Fraktur Basis Cranii, Secondary Survey, Obstruksi Laring
description
Transcript of Fraktur Basis Cranii, Secondary Survey, Obstruksi Laring
Fraktur Basis Cranii
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.
Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio
temporal dan regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan
letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan
fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
• Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi.
• Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk
mengoreksi deformitas yang terjadi.
• Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan
bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi
melebar.
• Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid).
Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi
akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan
terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang
tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada
kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi
cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis,
dan sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan
otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak.
Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi bantalan tambahan untuk
jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan sepuluh
kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengan
kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala.
Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis,
kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan
(parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur
tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik
tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi
melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan
memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana
fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii
merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan
banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan
dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan
menjadi indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.
PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam
dari tulang tengkorak
• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan
luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii
yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada
daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
1. Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga
subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe
campuran (mixed).
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars
skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani.
Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan
labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada
tulang mastoid secara berurut.
Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan
labyrinth, berakhir di fossa media.
Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal
yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan
nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari
nervus cranialis
2. Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar
dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada
ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan
mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah
suatu fraktur yang stabil.
Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan
meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan
sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan
membran tectorial.
Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat
rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu
fraktur yang tidak stabil.
3. Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang
biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur
mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur
tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem
vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
Tanda – tanda dari fraktur dasar tengkorak adalah :
Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur
pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek
membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul
disamping membrane timpani (tidak robek)
Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior
dan merusak sinus sigmoid.
Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior
menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.
Selain tanda diatas fraktur basal juga diindikasikan dengan tanda – tanda
kerusakan saraf cranial.
Saraf olfaktorius, fasial dan auditori yang lebih sering
terganggu. Anosmia dan kehilangan dari rasa akibat trauma kepala
terutama jatuh pada bagian belakang kepala. Sebagian besar anosmia
bersifat permanen
Fraktur mendekati sella mungkin merobek bagian kelenjar pituitary hal ini
dapat mengakibatkan diabetes insipidus
Fraktur pada tulang sphenoid mungkin dapat menimbulkan laserasi saraf
optic dan dapat menimbulkan kebutaan, pupil tidak bereaksi terhadap
cahaya. Cedera sebagian pada saraf optic dapat menimbulkan pasien
mengalamipenglihatan kabur.
Kerusakan pada saraf okulomotorius dapat dikarakteriskan
dengan ptosis dan diplopia.
Kerusakan pada saraf optalmic dan trigeminus yang diakibatkan fraktur
dasar tengkorak menyebrang ke bagian tengah fossa cranial atau cabang
saraf ekstrakranial dapat mengakibatkan mati rasa atau Paresthesia
Kerusakan pada saraf fasial dapat diakibatkan karena fraktur tranversal
melalui tulang petrous dapat mengakibatkan facial palsy segera ,sedangkan
jika fraktur longitudinal dari tulang petrous dapat menimbulkan fasial palsy
tertunda dalam beberapa hari.
Kerusakan saraf delapan atau auditorius disebabkan oleh fraktur petrous
mengakibatkan hilang pendengaran atau vertigo postural dan nystagmus
segera setelah trauma.
Fraktur dasar melalui tulang sphenoid dapat mengakibatkan laserasi pada
arteri karotis internal atau cabang dari intracavernous dalam hitungan jam
atau hari akan didapat exopthalmus berkembang karena darah arteri masuk
kes sinus dan bagian superior mengembung dan bagian inferior menjadi
kosong dapat mengakibatkan nyeri.
Jika fraktur menimbulkan ke bagian meningen atau jika fraktur melalui
dinding sinus paranasal dapat mengakibatkan bakteri masuk kedalam
cranial cavity dan mengakibatkan meningitis dan pembentukan abses, dan
cairan otak bocor kedalam sinus dan keluar melalui hidung atau disebut
rinorhea. Untuk menguji bahwa cairan yang keluar dari hidung merupakan
cairan otak dapat menggunakan glukotest dm (karena mucus tidak
mengandung glukosa). Untuk mencegah terjadinya meningitis pasien
propilaksis diberikan antibiotik.
Penimbunan udara pada ruang cranial (aerocele) sering terjadi pada fraktur
tengkorak atau prosedur –dapat menimbulakn pneumocranium
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan
kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan
glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III,
IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan
darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur
terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto
Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk
kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-
can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP,
lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami
benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya
fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan
proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang
diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows
hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam
menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk
penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi
tidak diperlukan.
• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan
penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum
dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan
menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang
lebih baik dibanding CT scan.
Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai
adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan
menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar
dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu
kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan
mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion
Fe.
DIAGNOSIS
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis
yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat
menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut
medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau
cedera penetrasi antara lain :
• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata
(panda eyes)
• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
DIAGNOSA BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung
seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada
tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le
Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa
diakibatkan oleh :
• Kongenital
• Ablasi tumor atau hidrosefalus
• Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
• Tindakan bedah 24, 25, 26
PENATALAKSANAAN
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga
diyakini tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan da
rah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki,
dari depan dan belakang. 21
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan
fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien
dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan
orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang
paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas
memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran
dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan
ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis.
Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan.
Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis
cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF
(rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala
terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain
lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik
mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial
traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada
paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas
tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal.
Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan
apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran
CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi
yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.
KOMPLIKASI
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada fraktur
basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang
pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur condyler
tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada dalam keadaan koma
dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini juga mungkin datang
dengan gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan keluhan
kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum molle
(curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan trapezius.
Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga berdampak
terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis yang muncul
setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan responsif terhadap
steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang komplit dan terjadi
secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari nervus
dengan prognosis buruk.
Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus
cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion
Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur
namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat
berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna,
dan berpotensi menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel
caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada
kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan
untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi.
SECONDARY SURVEY
Mencari perubahan fisik anatomis yang dapat berkembang menjadi lebih gaawat dan
dapat mengancam jiwa apabila tidak segera di atasi. Dilakukan ketika primary survey
telah tuntas.
Peralatan
Stetoskop
Tensimeter
Jam
Lampu pemeriksaan
Gunting
Thermometer
Catatan
Alat tulis
Pemeriksaan laboratorium lainnya (Hb, foto thorax, pemeriksaan penunjang
lainnya)
Teknik pelaksanaan
1. Periksa kondisi umum menyeluruh (head to toe)
a. Posisi saat ditemukan
b. Tingkat kesadaran
c. Sikap umum, keluhan
d. Ruda paksa, kelainan
e. Keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
a. Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan cedera tulang
belakang
b. Telinga
Perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflex pupil, kondisi kelopak
mata, kemerahan perdarahan sclera/alrian antrum anterior, benda
asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung kelainan anatomi karena
ruda paksa
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka
mulut/tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, cyanosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, warna goresan-goresan, suhu
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, tag,
stabilitas tulang leher
3. Periksa dada
Flailchest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan,
perlukaan, suara ketuk, suara nafas
4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi
5. Periksa tulang belakang
Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot
6. Periksa pelvis/genitalia
Perlukaan, nyeri, pembengkaan, krepitasi, priapismus, inkontinensia
7. Periksa ekstremitas atas dan bawah
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan gangguan rasa, bengkak, denyut
nadi, warna luka
Catatan
1. Perhatikan tanda-tanda vital
2. Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu dimulai dengan
pertanyaan adakah : deformitas, ekskoriasi, kontusio, abrasi, penetrasi,
bula/burn, laserasi, swelling/sembab.
3. Pada dugaan patah tulang, pemeriksaan setiap tahun selalu dimulai dengan
pertanyaan: adakah nyeri, instabilitas, krepitasi.
SUMBATAN LARING
ETIOLOGI
Sumbatan laring biasanya disebabkan oleh:
Radang akut dan radang kronis.
Benda asing
Trauma akibat kecelakaan, perkelahian ,percobaan bunuh diri dengan
senjata tajam
Trauma akibat tindakan medik
Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
Kelumpuhan nervus rekurens bilateral.
GEJALA dan TANDA
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
Suara serak (disfonia) sampai afoni
Sesak nafas (dispnea)
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium,supraklavikula dan interkostal.Cekungan ini terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernafasan untuk mendapatkan oksigen
yang adekuat.
Gelisah karena haus udara. (air hunger)
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
4 STADIUM JACKSON
Stadium 1 (pasien masih tenang)
Inspirasi = cekungan di Suprasternal, Stridor
Stadium 2 (Pasien Sudah mulai gelisah)
Inspirasi = Cekungan suprasternal makin dalam, dan di epigastrium
muncul juga, Stridor
Stadium 3 ( Sangat Gelisah)
Inspirasi = Cekungan di suprasternal, epigastrium, infraclacula dan
intercosta, Stridor terdengar saat ekspirasi dan inspirasi
Stadium 4 (gelisah hingga lemas, dan mati)
Terdapat banyak cekungan dan sangat jelas. Menyebabkan paralitik
pernafasan
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan klinis
Laringoskopi
Dewasa = tidak langsug
Anak = langsung
PENANGGULANGAN
Tujuan: jalan napas lancar kembali
Stadium 1, menggunakan terapi konservatif:
Anti inflamasi
Anti alergi
Antibiotik
Oksigen intermitten
Stadium 2 dan 3:
Intubasi endotrakea (orotrakea atau nasotrakea)
Trakeostomi
Stadium 4: Krikotirotomi
Tindakan operatif atau resusitasi (intubasi endotrakea, trakeostomi,
krikotirotomi) dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah (Astrup)
Intubasi endotrakea: pilihan pertama jika fasilitas tersedia
Trakeostomi: pilihan pertama jika perawatan intensif tidak tersedia
INTUBASI ENDOTRAKEA
Indikasi:
Mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas
Membantu ventilasi
Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal
dari lambung
- Magill, 1964, membuat pipa endotrakeal terbuat dari PVC dengan cuff
di ujungnya dapat diisi udara, ukurannya disesuaikan dengan ukuran
trakea pasien, biasanya diameter 7-8.5 mm untuk dewasa. Penggunaan
intubasi endotrakea maksimal 6 hari, dilanjutkan trakeostomi
- Komplikasi: stenosis laring atau trakea
Teknik Intubasi Endotrakea
- Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (live saving
procedure) dan dapat dilakukandengan atau tanpa analgesia topikal
dengan xylocain 10%.
- Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit, dan kepala ekstensi.
- Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,
dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke
kiri.
- Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu
laringoskop diangkat ke atas, sehingga pita suara dapat terlihat.
Dengan tangan kanan pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus
melalui celah antara kedua pita suara ke dalam trakea. Pipa endotrakea
juga dapat dimasukkan melalui salah satu lubang hidung sampai
rongga mulut dan dengan cunam Magill ujung pipa endotrakea
dimasukkan ke dalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea.
- Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
- Apabila menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang
tidur telentangitu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir,
sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal keatas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa endotrakea
dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara
sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi
dengan plester.
Memasukkan pipa endotrakea ini harus hati-hati karena dapat menyebabkan
trauma pita suara, laserasi pita suara timbul granuloma dan stenosis laring
atau trakea.
TRAKEOSTOMI
- Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior
trakea untuk bernapas.
- Berdasarkan letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan rendah
batasnya adalah cincin trakea ke-3
- Berdasarkan waktu:
1. Trakeostomi darurat & segera persiapan sarana sangat kurang
2. Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) & dapat dilakukan dengan
baik (lege artis)
Indikasi :
1. Obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas ( rongga
mulut, sekitar lidah dan faring ). Dengan adanya stoma, seluruh O2 yang
dihirup akan masuk ke paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi bergun
a untuk pasien dengan kerusakan paru dengan kapasitas vital kurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus misalnya pasien koma
4. Untuk memasang respirator
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik bila tidak ada fasilitas
bronkoskopi
PERASAT HEIMLICH
DEFINISI
Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar besar yang
terletak di hipofaring.
PRINSIP
• Memberi tekanan pada paru, dilakukan tekanan kedalam dan ke atas
rongga perut sehingga menyebabkan diafragma terdorong ke atas.
• Tenaga dorongan ini akan mendesak udara dalam paru ke luar.
• Udara ini akan mencari jalan keluar melalui bronkus, trakea dan
akhirnya mendorong sumbatan laring ke luar.
CARA
• Penolong berdiri dibelakang pasien sambil memeluk badannya.
• Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, kedua
tangan diletakkan pada perut bagian atas.
• Kemudian dilakukan penekanan rongga perut ke arah dalam dan ke
atas dengan hentakan beberapa kali.
• Pada anak, penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari
tengah kedua tangan.
• Pasien tidak sadar atau terbaring, penolong berlutut dg kaki pada
kedua sisi pasien. Posisi muka pasien dan leher harus lurus. Kepalan
tangan kanan diletakkan dibawah tangan kiri di daerah epigastrium.
Dengan hentakan tangan kiri ke bawah & ke atas beberapa kali udara
dlm paru akan mendorong benda asing ke luar.