fraktur 123

download fraktur 123

of 31

Transcript of fraktur 123

  • 7/25/2019 fraktur 123

    1/31

    7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Konsep Teori fraktur

    2.1.1 Pengertian fraktur

    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan

    maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh

    trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005)

    fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan

    luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang

    diabsorpsinya.

    2.1.2 Penyebab fraktur

    Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir

    mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi jaringan

    sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,

    dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh

    dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan

    fragmen tulang (Brunner & Suddarth, 2005)

    Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur:

    a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai

    tulang, arah serta kekuatan tulang.

    b. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma,

    kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    2/31

    8

    Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan

    mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi

    oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia penderita

    dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat mengalami

    patah tulang.

    2.1.3 Jenis fraktur

    Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur dapat dibagi menjadi:

    a. Fraktur komplit

    Patah pada seluruh garis tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi

    normal.

    b. Fraktur tidak komplit

    Patah tulang yang terjadi pada sebagian garis tengah tulang.

    c. Fraktur tertutup

    Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit. Patah tulang tertutup

    adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang

    dengan dunia luar.

    d. Fraktur terbuka/fraktur komplikata

    Patah tulang dengan luka pada pada kulit dan atau membran mukosa sampai

    patahan tulang.

    Fraktur terbuka di gradasi menjadi:

    1) Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari 1 cm

  • 7/25/2019 fraktur 123

    3/31

    9

    2) Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan extensif

    sekitarnya.

    3) Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan

    lunak ekstensif dan sangat terkontaminasi.

    Menurut Feldman (1999), fraktur terbuka grade III dibagi lagi menjadi:

    a) Grade IIIA: terjadi kerusakan soft tissue pada bagian tulang yang

    terbuka

    b) Grade IIIB: trauma yang menyebabkan kerusakan periosteum

    ekstensif dan membutuhkan teknik bedah plastik untuk menutupnya

    c) Grade IIIC: fraktur terbuka termasuk rusaknya pembuluh darah besar

    e. Jenis fraktur khusus

    Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur yang khusus lain seperti:

    1) Greenstick: salah satu sisi tulang patah dan sisi lainnya membengkok.

    2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang

    3) Oblik: garis patahan membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

    4) Spiral: fraktur yang memuntir seputar batang tulang

    5) Kominutif: tulang pecah menjadi beberapa bagian

    6) Kompresif: tulang mengalami kompresi/penekanan pada bagian tulang

    lainnya seperti (pada tulang belakang)

    7) Depresif: fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (pada tulang

    tengkorak)

    8) Patologik: fraktur pada tulang yang berpenyakit seperti penyakit Paget,

    Osteosarcoma.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    4/31

    10

    9) Epifiseal: fraktur pada bagian epifiseal

    f. Tipe fraktur ekstremitas atas

    1) Fraktur collum humerus

    2) Fraktur humerus

    3) Fraktur suprakondiler humerus

    4) Fraktur radius dan ulna (fraktur antebrachi)

    5) Fraktur colles

    6) Fraktur metacarpal

    7) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal

    g. Tipe fraktur ekstremitas bawah

    1) Fraktur collum femur

    2) Fraktur femur

    3) Fraktur supra kondiler femur

    4) Fraktur patella

    5) Fraktur plateu tibia

    6) Fraktur cruris

    7) Fraktur ankle

    8) Fraktur metatarsal

    9) Fraktur phalang proksimal, medial dan distal

    2.1.4 Manifestasi klinis

    Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan

    ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer,

    2005).

  • 7/25/2019 fraktur 123

    5/31

    11

    a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi.

    b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa diketahui

    dengan membandingkan dengan bagian yang normal.

    c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat diatas

    maupun dibawah tempat fraktur.

    d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara

    fragmen satu dengan yang lainnya.

    e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat trauma

    dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

    Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar X.

    Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan tidak

    menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai yang patah

    (Brunner & Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat dan

    dapat dikurangi dengan menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi

    disekitar fraktur.

    2.1.5 Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawatdaruratannya

    Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan resusitasi,

    sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma

    muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab

    terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap.

    Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft

    tissue pada area yang cedera.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    6/31

    12

    Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi

    serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.

    a. Reduksi fraktur

    Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan

    rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi

    tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.

    1) Reduksi tertutup

    Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang kembali

    keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual

    2) Reduksi terbuka

    Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan

    bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,

    plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam

    posisinya sampai penyembuhan solid terjadi.

    3) Traksi

    Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner &

    Suddarth (2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh

    untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta

    mengurangi deformitas. Jenisjenis traksi meliputi:

    a) Traksi kulit :Buck traction,Russel traction,Dunlop traction

    b) Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan

    menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi

    skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    7/31

    13

    b. Imobilisasi fraktur

    Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau

    dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

    penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna.

    Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin

    dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam.

    c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

    Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan

    peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk

    memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

    2.1.6 Komplikasi Fraktur

    Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2 yaitu:

    a. Komplikasi awal

    1) Syok

    Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ

    yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar

    sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur

    pelvis.

    2) Emboli lemak

    Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena

    tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin

    yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah. Globula

    lemak ini bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang dapat

  • 7/25/2019 fraktur 123

    8/31

    14

    menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak, paru-

    paru, ginjal dan organ lainnya.

    3) Compartment Syndrome

    Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi

    jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh

    karena penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat,

    balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen karena

    perdarahan atau edema.

    4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati

    intravaskular.

    b. Komplikasi lambat

    1) Delayed union, malunion, nonunion

    Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak

    terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan distraksi

    (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat

    menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidak

    adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-

    ujung dari patahan tulang.

    2) Nekrosis avaskular tulang

    Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.

    Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan

    tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps

    struktural.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    9/31

    15

    3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna

    Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun pada

    kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan

    gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya

    masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan

    dan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan material, berkaratnya alat,

    respon alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik

    disekitar alat.

    2.2 Konsep Dasar Pembidaian

    2.2.1 Pengertian Pembidaian

    Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara

    pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal yang

    harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan

    pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah cara

    untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera dengan

    menggunakan suatu alat.

    Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi ekstremitas yang

    mengalami cedera dan melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri

    dan perdarahan serta digunakan untuk memulai proses penyembuhan. Pemakaian

    pembidaian pada pasien rawat jalan termasuk didalamnya fraktur, dislokasi dan

    sprain otot. Stabilisasi dari ektremitas yang patah tulang dengan pembidaian

    membantu kesejajaran tulang dan mengurangi ketidaknyamanan. Sesudah

  • 7/25/2019 fraktur 123

    10/31

    16

    dilakukan reduksi dari dislokasi, posisi anatomi dijaga dengan pembidaian.

    Menurut Saleh (2006), bidai dapat kaku atau lunak. Ada bidai buatan pabrik untuk

    penggunaan pada tempat tertentu pada tubuh kita dan ada pula bidai yang dapat

    dibuat dengan melakukan improvisasi dari barang atau benda yang sudah ada

    disekitar kita.

    2.2.2 Tujuan Pembidaian

    Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan pembidaian

    pada cedera musculoskeletal yaitu:

    a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang

    mengalami dislokasi.

    b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang

    yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan saraf

    perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).

    c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.

    d. Untuk mencegah terjadinya syok.

    e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.

    2.2.3 Kontra Indikasi Pembidaian

    Fitch (2008) menyatakan bahwa meskipun tidak ada kontraindikasi absolut dalam

    menggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang mengalami cedera,

    beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan alami akan terjadi sesudah

    terjadi cedera dapat menjadi hambatan dari keamanan metode dari imobilisasi.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    11/31

    17

    2.2.4 Prinsip Dasar Pembidaian

    Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita melakukan

    pembidaian (Saleh, 2006).

    a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian

    b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai kita

    benar- benar melakukan pembidaian

    c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali ketempat

    semula

    d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang bidai

    e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur terbuka

    sebelum memasang bidai

    f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang patah

    g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada tulang

    proksimal dan distal dari sendi tersebut

    h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian tulang

    yang menonjol dibawah kulit

    i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap nadi,

    gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur atau

    cedera

    j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    12/31

    18

    2.2.5 Tipe-Tipe Bidai/Splint

    Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian membantu mengurangi komplikasi

    sekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma neurovaskular dan mengurangi

    nyeri. Ada beberapa macam splint, yaitu:

    a. Hard splint(bidai kaku)

    Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku

    sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari

    plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini dibentuk

    dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang dipasang bidai.

    Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat

    digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi

    sementara pada persendian.

    b. Soft splint(bidai lunak)

    Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong

    dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau selimut.

    c. Air slintatau vacuum splint

    Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai

    udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment

    syndrome dan iritasi pada kulit.

    d. Traction splint(bidai dengan traksi)

    Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan traksi

    pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma pada

    daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas bawah.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    13/31

    19

    2.2.6 Back slab cast

    a. Pengertian

    New Zealand Orthopaedic Organization (2010), menyatakan bahwa back slab cast

    adalah alat imobilisasi pertama sebelum dilakukan tindakan definitif yang

    digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan

    digunakan untuk mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini mudah

    dilepaskan bila diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.

    Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips sementara yang

    digunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah tulang ankle.Back slab

    cast ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon achiles dan digunakan pada

    bagian yang terjadi pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Bidai

    tradisional dapat menekan aliran darah, meningkatkan rasa nyeri dan ketidak

    nyamanan.Back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan,

    spasme otot yang terjadi ketika trauma patah tulang. Sedangkan menurut Koval &

    Zukerman (2006), back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada kesejajaran

    selama proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah

    tonjolan tulang.

    b. Cara pembuatan

    Fitch (2008), menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembidaian adalah

    melapisi bagian ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan (padding) pada

    bagian tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur panjang

    pembidaian yang diperlukan yaitu melewati dua sendi. Gunakan 3 lembar dari

  • 7/25/2019 fraktur 123

    14/31

    20

    gips untuk ekstremitas atas dan 6 lembar untuk ekstremitas bawah untuk

    meyakinkan pembidaian yang dilakukan cukup kuat. Celupkan kedalam mangkok

    air yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat sampai mengenai seluruh gips,

    kemudian angkat, pegang secara vertikal dan gunakan dua jari menurunkan sisa

    air pada gips sehingga memudahkan pengeringan kemudian lapisi dengan

    padding. Letakkan dibawah ekstremitas yang akan dibidai sesuai posisi anatomis.

    Gunakan perban elastis untuk memegang posisi dari back slab cast yang dibuat

    dari bagian terjauh dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat tubuh.

    Gunakan telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering

    periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi anatomis dan

    kenyamanan pasien.

    Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa gips akan mengalami kristalisasi

    yang menghasilkan pembalutan yang kaku. Kecepatan terjadinya reaksi bervariasi

    sekitar 30 menit sampai 60 menit tergantung dari ketebalan dan kelembaban

    lingkungan. Selanjutnya perlu pemeriksaan X-ray untuk mengetahui fraktur atau

    dislokasi yang membutuhkan reduksi sebelum pembidaian dilepaskan.

    c. Keunggulan dari pembidaian dengan back slab cast

    Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa pasien yang menderita masalah

    tulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat berat. Nyeri dapat timbul

    secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun masalah penyertanya

    misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme otot dan

    pembengkakan. Tekanan yang berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat

  • 7/25/2019 fraktur 123

    15/31

    21

    menyebabkan rasa terbakar. Menurut Miranda (2010) back slab cast ini dapat

    membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika

    trauma pada kasus patah tulang. Back slab cast ini terdiri dari plaster yang

    menjaga tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpa

    memberikan penekanan. Pergerakan ekstremitas yang mengalami fraktur setelah

    pembidaian dengan back slab cast sangat minimal, sehingga dapat mencegah

    kerusakan fragmen tulang dan jaringan sekitarnya yang lebih berat.

    Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast menjaga tulang

    yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab cast ini

    dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan menurut New Zealand

    Orthopaedic Organization (2010), back slab castdigunakan untuk stabilisasi dari

    bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi

    oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini sangat mudah dilepaskan bila

    diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.

    2.2.7 Komplikasi Pembidaian

    Saleh (2006) menyatakan bahwa komplikasi pembidaian biasanya timbul bila kita

    tidak melakukan pembidaian secara benar, misalnya;

    a. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan dibawah bidai yang

    bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila dipasang terlalu ketat.

    b. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf perifer,

    pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan ujung ujung

    fragmen patah tulang.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    16/31

    22

    c. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi jaringan.

    Brinkley (2010), meyatakan bahwa komplikasi pembidaian antara lain:

    a. Kerusakan kulit

    Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit

    sehingga sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar benar dalam

    keadaan bersih. Pasir dan kotoran dapat menjadi titik tekanan pada kulit.

    b. Compartment syndrome

    Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian.

    Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan

    temperatur merupakan gejala penting yang harus diperhatikan.

    c. Infeksi

    Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya bakteri

    dan infeksi jamur.

    d. Kerusakan saraf

    Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan

    penekanan sirkulasi dan kerusakan saraf.

    2.3 Konsep Dasar Nyeri pada Fraktur

    2.3.1 Pengkajian Neurovaskular

    Nyeri merupakan salah satu aspek dalam pengkajian neurovaskular. Pengkajian

    neurovaskular pada pasien dengan trauma ekstremitas merupakan keterampilan

    penting yang harus dimiliki oleh seorang perawat. Menurut Judge (2007)

    pengkajian neurovaskular adalah tindakan yang dilakukan untuk mengetahui

  • 7/25/2019 fraktur 123

    17/31

    23

    fungsi neurologis dan integritas vaskuler dari ekstremitas. Pengkajian ini

    dilakukan secara sistematis untuk mengetahui adanya penurunan fungsi

    neurovaskular yang dapat membantu dalam upaya pencegahan kematian jaringan

    dari ekstremitas yang mengalami cedera. Pengkajian difokuskan pada tanda dan

    gejala penurunan status neurovaskular yang berdasarkan pada prinsip 5 P yaitu

    pain (nyeri), paralyze (kelemahan), pulselessness (penurunan/ hilangnya denyut

    nadi, parestesia (kehilangan sensasi) dan pallor (penurunan suhu). Pengkajian

    neurovaskuler dengan akurat serta pelaporan yang cepat dan tepat dilakukan untuk

    mencegah iskemia, deformitas atau kehilangan fungsi permanen dari ekstremitas

    tersebut.

    Pengkajian neurovaskular dilakukan pada kasus trauma muskuloskeletal, pada

    pasien yang dilakukan pemasangan gips, pasca operasi orthopedik dan kasus

    pemasangan traksi. Beberapa hal yang diobservasi pada pemeriksaan

    neurovaskular meliputi:

    a. Warna

    Warna ekstremitas yang dilakukan tindakan seharusnya natural yang

    menggambarkan suplai arteri dan vena lancar ke area yang cedera. Warna pucat

    mengindikasikan adanya sumbatan arteri dan warna kebiruan mengindikasikan

    adanya sumbatan vena.

    b. Suhu

    Judge (2007), menyatakan bahwa pemeriksaan suhu dari ekstremitas bagian

    bawah yang cedera dengan menggunakan punggung tangan. Ekstremitas yang

    terasa dingin mengindikasikan adanya insufisiensi arteri. Ekstremitas yang lebih

  • 7/25/2019 fraktur 123

    18/31

    24

    hangat dari ekstremitas yang tidak mengalami cedera kemungkinan terdapat stasis

    vena.

    c. Pergerakan/movement

    Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta pergelangan/sendi ekstremitas

    sesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak bisa melakukan secara aktif, maka

    bantu dengan teknik pergerakan pasif. Penurunan kemampuan pergerakan

    mengindikasikan masalah persarafan.

    d. Pengisian kapiler/capillary refill

    Dilakukan dengan menekan ujung jari pada kuku dan melihat pengembalian

    warna sehingga menjadi normal. Tekan ujung jari kuku selama 2-3 detik sampai

    berwarna pucat kemudian lepas tekanan dan observasi waktu sampai warna kuku

    kembali seperti semula:

    1) Normal Capillary refill 1

    2 detik

    2) Capillary refill > 2 detik (lambat) : insufisiensi arteri.

    e. Sensasi

    Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui sensasi dengan meminta pasien

    menutup mata saat melaksanakan sentuhan pada ekstremitas. Kemudian minta

    pasien mendeskripsikan sentuhan tersebut, apakah merasa dengan baik atau

    kesemutan / tidak merasakan sentuhan.

    f. Nadi

    Perawat melakukan palpasi pada daerah-daerah denyut nadi. Bandingkan

    kekuatan denyutan dengan ekstremitas yang sehat.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    19/31

    25

    g. Nyeri

    Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk akan mengalami

    nyeri pada saat pergerakan pasif.

    2.3.2 Nyeri Pada Fraktur

    Nyeri merupakan gejala penting yang timbul pertama kali saat terjadi

    kompartemen sindrom (Davis dan Lukas, 2005 dalam Judge, 2007). Bagian

    pertama dari observasi neurovaskular adalah menentukan level dari rasa nyeri

    yang dialami pasien. Alat pengkajian nyeri harus memberikan pilihan sesuai

    kondisi pasien. Berbagai macam alat pengkajian nyeri dapat digunakan dan

    masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan tetapi yang paling

    penting alat pengkajian nyeri harus sama digunakan oleh satu team yang

    memberikan perawatan pasien. Hal ini akan meningkatkan reliabilitas dan

    menurunkan subyektifitas dari pemeriksa. Numeric pain scale yang memberikan

    rata- rata dari tingkat rasa nyeri dengan menggunakan skala dari angka satu

    sampai sepuluh sangat berguna. Respon non verbal seperti mengepalkan tangan,

    meringis, berkeringat juga penting sebagai perwujudan nyeri.

    Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun

    masalah penyertanya. Misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari

    pembidaian, spasme otot dan pembengkakan. Tekanan yang berkepanjangan

    diatas tonjolan tulang dapat menyebabakan rasa terbakar. Nyeri adalah

    pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan

    jaringan yang aktual maupun potensial (Brunner & Suddarth, 2005).

  • 7/25/2019 fraktur 123

    20/31

    26

    Pasien dengan fraktur terjadi kerusakan fragmen tulang dan jaringan sekitar.

    Jaringan tulang terutama pada periosteum terdapat ujung-ujung saraf bebas

    sebagai reseptor nyeri. Kerusakan jaringan tulang dan sekitarnya mengakibatkan

    keluarnya mediator kimia yaitu bradikinin, histamin dan kalium yang bergabung

    dengan lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai transmisi neural (Clancy dan

    Mc Vicar, 1992 dalam Potter dan Perry, 2005). Bradikinin dilepas dari plasma

    yang keluar dari pembuluh darah di jaringan sekitar pada lokasi cedera jaringan.

    Bradikinin juga terikat dengan sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai yang

    menghasilkan prostaglandin dari pemecahan fosfolipid dalam membrane sel.

    Rangsangan nyeri ini menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen yang

    terdiri atas serabut A delta yang bermielin menghantarkan impuls secara lebih

    cepat daripada serabut C yang tidak bermielin. Transmisi stimulus nyeri berakhir

    di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu dorsalis,

    neurotransmitter seperti substansi glutamat dan substansi P dilepaskan sehingga

    menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus

    spinotalamus. Impuls nyeri diteruskan ke system saraf pusat, system limbik,

    thalamus, kortek sensori dan kortek asosiasi sehingga nyeri dapat dipersepsikan

    (Potter dan Perry, 2005)

    Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

    ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

    Menurut International Association for Study of Pain (IASP) yang dikutif dari

    Lestari (2010) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak

    menyenangkan didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual

  • 7/25/2019 fraktur 123

    21/31

    27

    maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri

    merupakan sensasi peringatan bagi otak terhadap beberapa stimulus yang

    menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Nyeri merupakan tanda penting terhadap

    adanya gangguan fisiologis.

    2.3.3 Penyebab Nyeri

    Wiryoatmojo (2002) dalam Zahrulyza (2005) dan Lestari (2010), menyatakan

    bahwa beberapa penyebab nyeri antara lain:

    a. Rangsangan fisik misalnya karena terpapar suhu, mekanik, listrik, atau

    pembedahan.

    b. Rangsangan kimiawi, misalnya karena ada substansia algogenik ekstrensik:

    HCl lambung, ATP, bradikinin, prostaglandin dari sel yang rusak, serotonin,

    asetilkolin, asam laktat. Zat-zat ini akan menimbulkan rasa nyeri bila keluar

    dari sel dan berada di jaringan interstisial.

    2.3.4 Klasifikasi Nyeri

    Secara umum nyeri diklasifikasikan kedalam 2 jenis yaitu:

    a. Nyeri akut

    Nyeri akut disebabkan oleh injuri pada tubuh. Nyeri ini merupakan peringatan

    adanya potensial kerusakan jaringan yang membutuhkan reaksi tubuh yang

    diperintahkan oleh otak. Nyeri dapat berkembang secara cepat ataupun perlahan.

    Nyeri dikatakan akut jika berlangsung paling lama 6 bulan sejak terjadinya injuri

    pada tubuh.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    22/31

    28

    b. Nyeri kronis

    Nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan biasanya diklasifikasikan sebagai

    nyeri kronis. Nyeri kronis biasanya akibat terjadinya penurunan fungsi tubuh.

    2.3.5 Jenis - Jenis Nyeri

    Mubarak dan Chayatin (2008), menyatakan bahwa ada tiga jenis nyeri yaitu:

    a. Nyeri perifer

    Nyeri perifer ini dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:

    1) Superficial pain, nyeri pada kulit, mukosa terasa tajam atau seperti

    ditusuk, akibat dari rangsangan fisik, mekanis, kimiawi.

    2) Deep pain (nyeri dalam), nyeri pada daerah viscera, sendi pleura,

    peritoneum

    3) Referred(menjalar), kejang otot didaerah lain, nyeri dirasakan pada daerah

    yang jauh dari sumber rangsangan, sering terjadi pada deep pain.

    b. Nyeri sentral (central pain), akibat rangsangan pada tulang belakang, batang

    otak, dan thalamus.

    c. Nyeri psikogenik, keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan di organ tempat dan

    tingkat keparahan berupa (rekayasa). Nyeri psikogenik tidak diketahui

    penyebab fisiknya. Seringkali muncul karena faktor psikologis bukan karena

    faktor fisiologis.

    2.3.6 Fisiologi Nyeri

    Murdianto (2009), menyatakan reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi

    untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor

  • 7/25/2019 fraktur 123

    23/31

    29

    nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

    kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,

    secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga

    yang tidak bermielin dari saraf perifer.

    Nosireseptorberdasarkan letaknya dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian

    tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), dalam (deep somatic), dan pada daerah, karena

    letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

    berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang

    berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

    Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

    a. Reseptor A delta

    Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

    memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

    penyebab nyeri dihilangkan.

    b. Serabut C

    Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0, 5 m/det) yang

    terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

    dilokalisasi.

    Struktur reseptor nyeri dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,

    pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

    reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit

    dilokalisasi. Spasme otot menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah

  • 7/25/2019 fraktur 123

    24/31

    30

    yang menjadi anoksia. Spasme otot juga dapat berakibat anoksia. Pembengkakan

    jaringan menjadi nyeri akibat tekanan kepada nosiseptor yang menghubungkan

    jaringan (Brunner &Suddarth, 2005).

    Sejumlah substansi dilepaskan kejaringan ekstraseluler sebagai akibat dari

    kerusakan jaringan. Zatzat kimia yang meningkatkan transmisi atau persepsi

    nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan substansi prostaglandin.

    Prostaglandin adalah zat kimia yang diduga dapat meningkatakan sensitivitas

    reseptor nyeri dengan meningkatkan efek dari bradikinin.

    2.3.7 Teori Transmisi Nyeri

    Impuls nyeri dialirkan ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut yaitu

    serabut- serabut yang bermielin rapat disebut serabut A-delta dan serabut lamban

    yang disebutb serabut C. Menurut Long (1997) terdapat beberapa teori tentang

    terjadinya pengiriman rangsangan nyeri yaitu :

    a. Teori pengendalian gerbang (Gate Control Theory)

    Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan kecil yang

    terdapat pada akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan

    meningkatkan aktifitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya

    pintu mekanisme (gate control) sehingga aktifitas sel T terhambat sehingga

    rangsangan ikut terhambat. Rangsangan saraf besar ini langsung merangsang

    korteks cerebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke medulla spinalis

    melalui serat efferent. Rangsangan serat saraf kecil menghambat substansia

  • 7/25/2019 fraktur 123

    25/31

    31

    gelatinosa sehingga membuka pintu mekanisme gate control, mengaktivasi sel

    T dan menghantarkan nyeri.

    b. Teori pemisahan ( specifity theory)

    Menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis melalui kornu

    dorsalis yang bersinap didaerah posterior, kemudian naik ke traktus lissur dan

    menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris

    tempat rangsangan diteruskan.

    c. Teori pola (pattern theory)

    Rangsangan nyeri masuk melalui akar dorsalis ke medulla spinalis kemudian

    merangsang aktifitas sel T mengakibatkan respon yang merangsang bagian

    lebih tinggi yaitu kortek serebri serta menimbulkan persepsi.

    d. Teori transmisi dan inhibisi

    Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf sehingga

    menjadi lebih efektif oleh neurotransmitter yang spesifik.

    2.3.8 Karakteristik Nyeri

    Karakteristik nyeri meliputi letak atau lokasi, durasi, irama dan kualitas (Brunner

    & Suddarth, 2005). Nyeri merupakan kejadian yang bersifat individu. Untuk

    mengkaji nyeri dapat dilakukan dengan pendekatan PQRST yaitu:

    P: Provokating (pemacu) faktor yang memperberat atau meringankan nyeri

    Q: Quality (kualitas) tumpul, tajam, merobek

    R:Region (daerah) lokasi

    S: Severity (keparahan)

    T: Time (waktu) serangan, lamanya

  • 7/25/2019 fraktur 123

    26/31

    32

    Tidak

    nyeri

    Nyeri

    sangat

    hebat

    2.3.9 Skala Intensitas Nyeri

    Untuk mengetahui suatu tindakan terhadap nyeri berhasil atau tidak, maka perlu

    adanya suatu alat ukur. Menurut AHCPR (Agency for Health care policy and

    research, 1992 dalam Lestari, 2010) ada beberapa metode pengukuran tingkat

    nyeri seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini:

    a. Skala Visual Analog Nyeri ( Visual Analog Scale)

    Skala analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis lurus yang mewakili

    intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.

    Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan

    nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih karena klien

    dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu

    kata atau satu angka (Potter, 2005).

    Gambar 1. Visual analog scale

    b. Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numeric Pain Rating Scale)

    Skala penilaian NPRS (Numerical Pain Rating Scales) lebih digunakan sebagai

    pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan

    menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji

    intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan

    skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,

    1992).

  • 7/25/2019 fraktur 123

    27/31

    33

    Gambar 2.Numerical pain rating scale

    c. Skala NyeriBourbanis

    0 : Tidak nyeri

    1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

    4-6 : Nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

    menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

    perintah dengan baik.

    7-9 : Nyeri berat: secara obyektif klien tidak dapat mengikuti perintah tapi

    masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

    dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

    panjang dan distraksi.

    10 : Nyeri sangat berat: Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

    3.Bourbanis scale

    Tidak

    nyeriNyeri

    hebat

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Nyeri sedang

    Tidaknyeri

    Nyeri

    sangat

    berat

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Nyerisedang

    Nyeri

    berat

    Nyeri

    ringan

  • 7/25/2019 fraktur 123

    28/31

    34

    2.3.10 Respon Terhadap Nyeri

    Secara objektif respon nyeri dapat diamati berupa tanda dan gejala fisiknya.

    Menurut Potter & Perry (2006) berupa respon fisiologis dan respon prilaku

    sebagai berikut:

    a. Respon prilaku akibat nyeri

    Respon prilaku terhadap nyeri meliputi pernyataan verbal, prilaku vokal, ekspresi

    wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dan perubahan respon terhadap lingkungan,

    seperti:

    1) Menangis

    2) Merintih

    3) Mendesis

    4) Merenggut

    5) Memegang bagian tubuh yang terasa nyeri

    6) Takut menggerakkan bagian tubuh

    7) Mengepalkan tangan

    8) Menarik diri

    b. Respon fisiologis terhadap nyeri

    Pada nyeri akut akan terjadi akan terjadi perubahan fisiologis yang dianggap

    sebagai indikator nyeri:

    1) Peningkatan frekuensi pernafasan

    2) Peningkatan frekuensi nadi

    3) Pucat

    4) Berkeringat.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    29/31

    35

    2.3.11 FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri

    Prohealth (2009), menyatakan bahwa nyeri yang dialami pasien dipengaruhi oleh

    sejumlah faktor antara lain:

    a. Usia

    Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon

    nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

    patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung

    menyembunyikan nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah

    hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat

    atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

    b. Makna nyeri

    Makna nyeri berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap

    nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

    c. Jenis kelamin

    Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan

    dalam merespon nyeri, lebih dipengaruhi budaya contoh: tidak pantas kalau

    laki-laki mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri.

    d. Kultur

    Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap

    nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah

    akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak

    mengeluh jika ada nyeri.

  • 7/25/2019 fraktur 123

    30/31

    36

    e. Perhatian

    Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

    mempengaruhi persepsi nyeri.

    f. Ansietas

    Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

    seseorang cemas.

    g. Pengalaman masa lalu

    Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri

    yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah

    tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam

    mengatasi nyeri.

    h. Pola koping

    Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

    sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi

    nyeri.

    i. Support keluarga

    Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga

    atau teman dekat ntuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

    2.3.12 Manajemen Nyeri

    Metode nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri menurut

    Brunner & Suddarth (2005) adalah:

    a. Stimulasi dan masase kutaneus

    b. Terapi es dan panas

  • 7/25/2019 fraktur 123

    31/31

    37

    c. Stimulasi saraf elektris transkutan (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulating)

    d. Distraksi

    e. Teknik relaksasi pernafasan dan relaksasi otot progresif

    f. Imaginasi terbimbing

    g. Hypnosis

    h. Metode bedah neuro dari penatalaksanaan nyeri

    Metode farmakologi menurut Long (1997) dalam Lestari (2010) pengelolaan

    nyeri menggunakan farmakologi dilakukan dengan pemberian obat- obatan yang

    terdiri dari analgesik, narkotik, analgesik nonnarkotik, Non Steroid

    Antiinflamatory Drug (NSAID) dan obat lain untuk mengurangi nyeri.