formulasi pangan darurat

105
SKRIPSI FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS F24104020 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

description

formulasi pangan darurat

Transcript of formulasi pangan darurat

Page 1: formulasi pangan darurat

SKRIPSI

FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT

BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG

KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

MOISTURE FOODS (IMF)

Oleh :

ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

F24104020

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: formulasi pangan darurat

Anggraeni Gigih S, F24104020. FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOOD (IMF). Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah. 2008

RINGKASAN

Keadaan darurat di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 disebutkan sebagai terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Keadaan darurat yang demikian tetap menempatkan kebutuhan atas pangan sebagai hak yang utama bagi korban. Kebutuhan pangan korban bencana biasanya dipenuhi oleh dapur umum, tetapi beberapa kondisi bencana tidak memungkinkan didirikannya dapur umum. Oleh karena itu diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan para korban.

Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.

Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Hal ini dikarenakan kandungan air IMF yang masih cukup tinggi sehingga tidak menyebabkan haus dan nilai aw yang rendah menyebabkan daya awet IMF yang cukup lama. Produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.

Pembuatan IMF secara moderen melibatkan pola adsorpsi atau desorpsi yang di dalamnya terdapat hubungan antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis. Isotermi sorpsi ini digunakan untuk memperkirakan penyerapan air oleh bahan pada tingkat aw tertentu.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan (2) menghasilkan prototipe pangan darurat dengan teknologi intermediate moisture food. Penelitian ini meliputi pembuatan tepung instan sebagai bahan baku produk, formulasi awal, penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal sebagai penelitian pendahuluan kemudian dilanjutkan produksi IMF dengan teknik moist infiution.

Formulasi awal menghasilkan tiga prototipe pangan darurat dengan bahan baku tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Formulasi produk mengacu pada nilai makronutrien pangan darurat yaitu protein 7.9-8.1, lemak 9-11.7, dan karbohidrat 23-35 dalam satuan gram/bar, dengan asumsi satu bar sama dengan 50 gram solid.

Page 3: formulasi pangan darurat

Penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal menunjukkan adanya kemiripan pola kurva. Kurva isotermi sorpsi formula mengikuti bentuk kurva isotermi sorpsi bahan baku tetapi letaknya lebih rendah dikarenakan terdapat minyak goreng dalam formula awal. Minyak goreng dapat menurunkan kemampuan bahan dalam mengikat air.

Produksi IMF dimulai dengan penambahan air ke dalam formula awal diikuti penambahan humektan. Penambahan air sebenarnya dapat dihitung berdasarkan kurva isotermi sorpsi. Namun dalam penelitian ini kurva isotermi sorpsi formula pisang dan kacang hijau kurang dapat menggambarkan penyerapan air dengan tepat sehingga penambahan airnya dilakukan manual sampai diperoleh kriteria produk yang diinginkan yaitu mudah ditelan dan dicetak..

Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan persamaan Grover. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Berdasarkan persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah dilakukan pengukuran aw aktual dengan aw meter, nilai aktualnya lebih tinggi dibanding nilai prediksi dan nilai aw produk tanpa humektan. Penggunaan 4% gliserol cukup efektif untuk menurunkan nilai aw produk. Nilai aw aktual produk dengan gliserol tidak berbeda jauh dengan nilai aw prediksinya. Nilai aw aktual produk tanpa penambahan humektan adalah 0.771, 0.822, dan 0.853; nilai aw dengan 10% sorbitol adalah 0.772, 0.835, dan 0.832; nilai aw dengan 4% gliserol adalah 0.737, 0.804, dan 0.815 masing-masing untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Oleh karena itu dipilihlah produk dengan humektan gliserol untuk dianalisis lebih lanjut.

Uji organoleptik dilakukan terhadap ketiga produk dengan gliserol sebagai humektan. Uji organoleptik meliputi uji kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan secara keseluruhan terhadap produk. Formula terpilih dari uji organoleptik ini adalah formula ubi jalar yang memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang hijau.

Pengukuran isotermi sorpsi produk akhir dapat digunakan untuk melihat pengaruh penambahan humektan terhadap pergeseran kurva isotermi sorpsi. Kurva isotermi sorpsi produk akhir yang mengandung humektan berada di atas kurva isotermi sorpsi formula awal yang tidak mengandung humektan tetapi mempunyai pola yang hampir sama. Pergeseran ini disebabkan oleh adanya humektan pada produk akhir sehingga pengikatan airnya lebih tinggi. Humektan merupakan senyawa higroskopis yang berfungsi mengikat air.

Produk terpilih kemudian dianalisis mutu mikrobiologisnya. Nilai total mikroba pada minggu ke-0 adalah 3.79 log CFU/gram dan pada minggu ke-4 sebesar 4.34 log CFU/gram atau mengalami kenaikan sekitar 0.55 log CFU/gram sedangkan jumlah kapang-khamir pada produk selama empat minggu mengalami kenaikan 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk selama empat minggu menunjukkan penampakan normal dan belum terdapat pertumbuhan mikroba. Namun berdasarkan acuan produk yaitu bakpia pathuk yang mempunyai nilai Angka Lempeng Total (total mikroba) maksimal 104, maka produk pangan darurat ini hanya dapat dikonsumsi satu minggu setelah produksi.

Page 4: formulasi pangan darurat

FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT

BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG

KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

MOISTURE FOODS (IMF)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

F24104020

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 5: formulasi pangan darurat

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT

BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG

KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE

MOISTURE FOODS (IMF)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS

F24104020

Dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1986

Di Pati

Tanggal lulus : Agustus 2008

Menyetujui Bogor, Agustus 2008

Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Page 6: formulasi pangan darurat

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 14 Mei 1986.

Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari

pasangan Edy Santoso, S.P.,M.M dan Dra. Nisviati.

Pendidikan dasar penulis ditempuh di SD Negeri Pati

Kidul 04 Pati pada tahun 1992-1998. Tahun 1998 penulis

melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Pati dan lulus pada tahun 2001. Penulis

melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pati pada tahun 2001 dan lulus pada

tahun 2004.

Penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif pada organisasi

Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai anggota

divisi Soskemas (2005-2006) dan Ketua Biro Kesekretariatan (2006-2007) serta

Sekretaris Omda IKMP (Organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga

Mahasiswa Pati) tahun 2005-2006. Penulis juga pernah terlibat pada beberapa

kepanitiaan antara lain panitia LCTIP XIV, Baur 2006, NSPC V dan VI.

Penulis menyusun skripsi sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana

dengan judul “Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar,

Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate

Moisture Foods (IMF)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.

Penelitian ini mendapatkan bantuan dana dari Indofood Riset Nugraha.

Page 7: formulasi pangan darurat

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah mencurahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga

penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Formulasi

Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung

Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF)”

dengan baik. Selama penyelesaian skripsi ini penulis menyadari betul begitu

banyak bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik yang berupa materi

maupun non materi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik dan

pembimbing skripsi yang begitu sabarnya dan penuh keikhlasan telah

memberikan arahan, bimbingan dan nasehat kepada penulis.

2. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen

penguji atas kesediaanya meluangkan waktu untuk menguji penulis dan

memberi masukan yang memperkaya skripsi ini.

3. Bapak, Ibu, dan Mbak Santi serta seluruh keluarga penulis yang selalu

memberikan dukungan, doa dan segenap curahan kasih sayangnya yang tulus

kepada penulis.

4. Indofood Riset Nugraha atas bantuan dana penelitian tugas akhir ini.

5. Seluruh dosen ITP-IPB atas transfer ilmu dan pengetahuannya kepada penulis

selama kuliah.

6. Para laboran khususnya Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Rozak, Mas

Edi, Teh Ida, Pak Koko dan Bu Antin serta seluruh staf Departemen ITP dan

para pustakawan yang telah membantu selama kuliah dan penelitian.

7. Mas Andri atas perhatian dan dukungan serta doa yang memberi semangat

lebih pada penulis.

8. Teman-teman satu bimbingan Christine, Hesti dan Ame atas informasi dan

bantuannya untuk tetap semangat.

9. Sahabat penulis Arum dan Sukma sebagai power puff girls. Jeng Ofa, Dini,

Jeng Rin, Kani, Aris, Dyah, Faried, Nene, Bima, Tika, Mbak April, Jamz atas

Page 8: formulasi pangan darurat

semangat dan kebersamaan untuk belajar banyak hal selama berjuang di

Himitepa.

10. Teman-teman Golongan A terutama Nanang, Chabib, Qia, dan Babe Sofyan

yang terlalu sering bersama dan menjadi bagian dari setiap tugas dan laporan

praktikum selama kuliah

11. Azis dan Prita sesama pejuang pangan darurat, Hans Puke, Hans CeWe, Anca,

Lia, Netha, Inke, Rizka (terutama atas info susu skim), Arif Fadli (untuk

proteonya) Kang Maman, Indra, Memed, Shinta, Yuli (untuk pinjaman catatan

yang lengkap), Jendi (untuk bantuan LCD) dan teman-teman ITP 41 lainnya

atas kerja sama, persahabatan dan semangatnya selama kuliah, juga untuk

Mike (ITP 42) dan Sadek (ITP 43) atas pinjaman buku-buku yang begitu

membantu penulis serta teman-teman ITP 40, 42 dan 43 lainnya.

12. Rekan-rekan satu lab : Mbak Dian, Mbak Hana, Mbak Erni, Mbak Feny,

Mbak Cyn, Bang Ahyar, Kak Marto, Mbak Betty yang telah meramaikan lab

pengolahan.

13. Sahabat-sahabatku di Anpat Co. terutama Uuk, Icha, Ratna, Angsa Crew,

Anpat 41, dan seluruh IKMP atas kekeluargaaan dan rasa senasib-

sepenanggungan selama di Bogor.

14. Keluarga kost Puri Fikryyah (atas canda tawa dan kebersamaan yang indah)

dan Wisma Blobo.

15. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

turut membantu proses penelitian ini.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat

bagi masyarakat dan memberikan wacana baru bagi perkembangan cakrawala

dunia ilmu pengetahuan. Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Segenap saran, kritik dan masukan yang membangun sangat

diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

Page 9: formulasi pangan darurat

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 3

C. MANFAAT PENELITIAN .................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PANGAN DARURAT ......................................................................... 4

B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) .................................... 7

1. Definisi dan Karakteristik IMF ...................................................... 7

2. Teknologi pengolahan IMF ............................................................ 8

3. Kemasan IMF ................................................................................. 9

C. ISOTERMI SORPSI AIR .................................................................... 10

1. Aktivitas air (aw) ............................................................................ 12

2. Model persamaan isotermi sorpsi air ............................................. 14

D. HUMEKTAN ....................................................................................... 14

1. Sorbitol ........................................................................................... 15

2. Gliserol ........................................................................................... 16

3. Aplikasi Humektan......................................................................... 20

E. TEPUNG KACANG HIJAU ............................................................... 20

F. TEPUNG UBI JALAR ......................................................................... 23

G. TEPUNG PISANG .............................................................................. 24

III. BAHAN DAN METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 28

B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 29

1. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 30

Page 10: formulasi pangan darurat

a. Pembuatan tepung instan .......................................................... 30

b. Penghitungan formula awal produk ......................................... 30

c. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula

awal .......................................................................................... 32

2. Penelitian Utama ............................................................................ 34

3. Metode Analisis ............................................................................. 37

a. Analisis Proksimat .................................................................... 37

a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992) .................. 37

a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992) ...................................... 37

a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995).... 38

a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992) .................................. 38

a.5. Kadar karbohidrat by difference ...................................... 39

b. Analisis nilai aw dengan aw meter ............................................. 39

c. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999) ................................ 39

d. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI

01-3751-2006) .......................................................................... 40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU .................................................. 42

B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK ............ 44

C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU ......................................... 46

D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN ................. 54

E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN ....................... 57

F. UJI ORGANOLEPTIK ........................................................................ 63

G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH ..................... 66

1. Komposisi nutrisi ........................................................................... 67

2. Pengaruh Penambahan Humektan ................................................. 68

3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir ................................. 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN .................................................................................... 75

B. SARAN ................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77

LAMPIRAN .................................................................................................... 82

Page 11: formulasi pangan darurat

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional, dan non

konvensional serta peranan utamanya dalam pangan .................... 18

Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover ............................................................. 20

Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan ....... 21

Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau ........................................... 22

Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) ................. 23

Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan ................ 24

Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram ...................................... 25

Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ........................... 26

Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-

tepungan lainnya ............................................................................ 27

Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi .......... 29

Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi ... 45

Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat ........................................ 46

Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula .... 46

Tabel 14. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB .................... 51

Tabel 15 Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau ..... 58

Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap

formula dengan Persamaan Grover ................................................ 59

Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter ........ 61

Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi

jalar) ............................................................................................... 68

Tabel 19. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB ..................... 69

Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat

minggu ........................................................................................... 71

Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat

pada pangan semi basah ................................................................. 73

Page 12: formulasi pangan darurat

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989) ... 11

Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 200) .............. 12

Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema 1996) 13

Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org) ............................ 16

Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org) ............................. 17

Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan ................................ 31

Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air ............................. 33

Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution 36

Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360 .............................. 39

Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku ............................. 43

Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006) ........................ 48

Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi

tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan) ........... 49

Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan

formula (kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-

bawah) ......................................................................................... 50

Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data

percobaan dan data prediksi dengan Persamaan GAB (a) ubi

jalar, (b) pisang, dan (c) kacang hijau ......................................... 53

Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan

pisang (kiri-kanan) ..................................................................... 63

Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik .................................. 64

Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel ............................... 65

Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel .................................... 65

Gambar 19. Nilai kesukaan dari ketiga sampel. ............................................ 66

Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo ................. 67

Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar tanpa humektan dan

produk akhir yang mengandung humektan ................................. 69

Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir....................... 71

Page 13: formulasi pangan darurat

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kadar air keetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang

hijau, dan pisang....................................................................... 82

Lampiran 2. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Ubi Jalar ..... 83

Lampiran 3. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Pisang......... 84

Lampiran 4. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Form. Kacang Hijau . 85

Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik ..................................... 86

Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik ............................... 88

Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan ..................................... 89

Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit ............................................. 90

Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik ........................................................ 91

Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) ..................... 92

Page 14: formulasi pangan darurat

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keadaan darurat secara eksplisit disebutkan di dalam Penjelasan UU No.

7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan

sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau

menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.

Definisi pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam PP No.68

tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional. Keadaan darurat yang

dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan

terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan

beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi

cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana

(emergency foods).

Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di

Indonesia mengakibatkan penderitaan yang cukup mendalam bagi korban dan

pengungsi. Keadaan darurat dalam kondisi bencana yang demikian tetap

menempatkan kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia yang utama bagi

korban bencana.

Beberapa lembaga pemberi bantuan biasanya mendirikan dapur umum.

Keberadaan dapur umum begitu membantu pemenuhan kebutuhan pangan

bagi korban bencana, tetapi pada kondisi-kondisi bencana tertentu, seringkali

tidak memungkinkan didirikannya dapur umum, sedangkan korban selamat

tetap memerlukan makanan. Bantuan pangan seringkali diberikan dalam

bentuk mi instan. Padahal dalam kedaan bencana yang demikian, fasilitas

memasak dan keberadaan air bersih untuk memasak begitu minimal bahkan

seringkali tidak ada. Berdasarkan keadaan yang seperti ini, diperlukan disain

pangan khusus untuk keadaan darurat bencana yang dapat langsung

dikonsumsi (ready to eat), praktis didistribusikan, dan bergizi.

Sifat penting dari pangan darurat menurut US Agency of International

Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya

dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan

Page 15: formulasi pangan darurat

memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya

tidak mengandung bahan yang menyebabkan alergi. Beberapa kondisi

bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena

itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak

menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk

menyertai konsumsi pangan.

Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk

dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture

foods (IMF). Menurut Robson (1976), produk pangan semi basah umumnya

mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.

Karakteristik utama produk pangan semi basah yaitu mudah ditelan

tanpa ada sensasi kering, dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya penyiapan

lebih lanjut, dan daya awet pangan semi basah serta proses pembuatannya

yang cukup sederhana memungkinkan produk pangan semi basah ini menjadi

salah satu alternatif pangan untuk keadaan darurat.

Cara pengolahan pangan semi basah terutama didasarkan pada

penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba

patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup

sehingga memiliki tekstur yang plastis, misalnya dengan penambahan

humektan atau mengurangi kadar air dengan pengeringan. Menurut Karel

(1976), teknik produksi pangan semi basah meliputi tiga kategori yaitu (1)

Pencelupan basah (moist infution) (2) Pencelupan kering (dry infution) dan (3)

Pencampuran (blending).

Pangan semi basah dapat diproduksi dengan cara tradisional dan

modern. Cara tradisional misalnya penggaraman atau penambahan gula.

Proses produksi pangan semi basah modern dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan

kering yang kemudian dikontrol proses pembasahannya, sedangkan pada tipe

desorpsi, bahan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan

osmosis lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang

diinginkan (Robson 1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan

Page 16: formulasi pangan darurat

antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik

isotermi sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).

Pangan darurat hendaknya bercita rasa dan dibuat dari bahan pangan

lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat dalam rentang usia

yang luas. Selain itu pemanfaatan bahan pangan lokal dapat meningkatkan

potensi pertanian pada suatu daerah. Bahan pangan lokal Indonesia misalnya

ubi jalar, pisang dan kacang hijau. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa

digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia.

Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbi-

umbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006

(Deptan, 2007). Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman

rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi

ketiga di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 535.10 kuintal/Ha pada tahun

2006 (Deptan, 2007). Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman

Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat

ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005).

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan 1). Mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan

baku dan campurannya yang selanjutnya akan digunakan dalam formulasi

pangan darurat dan 2). Menghasilkan prototipe produk pangan darurat melalui

teknologi intermediate moisture foods (IMF) yang dapat diterima dan

memenuhi standar kecukupan gizi produk pangan darurat, mudah ditelan, dan

tidak menyebabkan haus.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perancangan bentuk

bantuan pangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat yang terkena

bencana alam, kekeringan, peperangan atau kekurangan pangan lainnya.

Page 17: formulasi pangan darurat

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PANGAN DARURAT

Menurut IOM (1995), pangan darurat (emergency food product) adalah

pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia dalam keadaan

darurat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah bencana alam, rawan pangan

(kelaparan), peperangan, dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak

dapat hidup secara normal.

Di Indonesia, keadaan darurat secara eksplisit juga disebutkan di dalam

Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam

yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk

mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.

Konsep pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam Peraturan

Pemerintah No. 68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional yaitu

meliputi persediaan pangan di seluruh wilayah untuk konsumsi manusia,

bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat Keadaan darurat

yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang

mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi

seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia

maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk

bencana (emergency foods).

Karakteristik cadangan pangan untuk kondisi paceklik dan kondisi

akibat bencana berbeda. Untuk kondisi paceklik, bentuk cadangan pangan

merupakan bahan pangan pokok (beras maupun non beras) dengan penyiapan

yang lengkap termasuk melalui pemasakan dan pencampuran dengan bahan

lain (air, sumber protein dan lain-lain) sedangkan cadangan pangan untuk

keadaan darurat akibat bencana merupakan produk pangan siap santap tanpa

melalui proses pemasakan dan penambahan bahan lainnya (misal air).

Perbedaan karakteristik dua jenis cadangan pangan tersebut belum begitu

disadari oleh badan-badan yang berhubungan dengan penanganan bencana.

Bantuan-bantuan pangan untuk keadaan bencana masih didominasi oleh beras

atau mi instan yang memerlukan penambahan air dan pemasakan sebelum

Page 18: formulasi pangan darurat

dikonsumsi. Bantuan berupa beras dan mi instan seperti ini tidak efektif untuk

mencukupi kebutuhan pangan dalam keadaan darurat bencana.

Tujuan pemberian pangan darurat adalah untuk menyediakan kebutuhan

pangan bagi korban bencana sesuai dengan asupan harian selama kurang lebih

lima belas hari, sehingga dapat mengurangi timbulnya penyakit atau kematian

di antara pengungsi. Pangan darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan

nutrisi korban bencana dimulai dari awal pengungsian sampai bantuan pangan

yang lebih lengkap datang dan pendirian dapur umum dapat dilakukan.

Kondisi darurat seperti keadaan bencana alam ini membutuhkan bentuk

pangan yang dapat langsung dikonsumsi.

Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International

Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya

dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan

memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya

bercita rasa lokal agar lebih mudah diterima oleh penduduk setempat dalam

rentang usia yang beragam. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah

dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana

juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga

tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.

Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat

adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan dari IOM

(1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimated the mean per

capita energy requirements (EMPCER) individu di negara berkembang

dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi adalah sebesar 2100 kkal. Laporan ini

menggunakan beberapa asumsi yaitu 1). Data populasi penduduk yang

digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di

negara berkembang, 2). Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan

untuk wanita dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tinggi pada

penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, 3). Nilai

berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika

Serikat dengan tinggi yang proporsional, dan 4). Total energi yang

Page 19: formulasi pangan darurat

dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1.55 dan 1.56 kali

BMR (basal metabolic rate).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat

menurut Zoumas et. al. (2002) adalah

1. Pangan darurat tidak didisain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ibu

hamil dan menyusui.

2. Pangan darurat tidak sesuai untuk individu yang menderita malnutrisi dan

membutuhkan perawatan medis.

3. Pangan darurat bukan therapeutic nutritional supplement.

4. Pangan darurat tidak dapat menggantikan ASI bagi bayi umur 0-6 bulan.

5. Pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air menjadi bentuk bubur

untuk older infants (7-12 bulan)

Ingridien merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam

pembuatan pangan darurat. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat akan

dikonsumsi oleh beragam etnik dan budaya. Alkohol dan bahan hewani selain

susu tidak boleh digunakan dalam pembuatan pangan darurat. Bahan-bahan

pangan dengan kandungan zat alergen seperti kacang tanah, tidak boleh

digunakan. Beberapa ingridien yang dapat digunakan dalam formulasi pangan

darurat (Zoumas et. al., 2002) adalah

1. Cereal base : tepung gandum, jagung, oat, tepung beras

2. Protein : isolat atau konsentrat protein kedelai, susu, kasein, dan produk

turunannya

3. Lemak : hydrogenated soybean oil, minyak biji kapas, minyak bunga

matahari

4. Gula : sukrosa, glukosa, high-fructose corn syrup, maltodekstrin

5. Baking and leavening agents jika diperlukan

6. Vitamin dan mineral

Page 20: formulasi pangan darurat

B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)

1. Definisi dan Karakteristik IMF

Soekarto (1979) mendefinisikan pangan semi basah atau

intermediate moisture food (IMF) sebagai makanan dengan kadar air 10-

40% dengan nilai aktivitas air (aw) 0.6-0.9 serta mempunyai tekstur yang

plastis sehingga memungkinkan IMF dapat dibentuk dan dapat langsung

dimakan. Definisi IMF lainnya dikemukakan oleh Robson (1976), yaitu

produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan

berkadar air sekitar 15-30 %.

Sesuai dengan namanya “semi basah”, maka jenis pangan ini bersifat

cukup basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa direhidrasi dan juga

cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan.

Ciri khas IMF yaitu kadar air 10-40 % dan nilai aw 0.6-0.9 membuat

IMF memiliki daya awet yang cukup baik karena pada kondisi yang

demikian tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh

pada aw di atas 0.90. Demikian juga untuk pertumbuhan khamir yang

bersifat patogen. Hal ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil

terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses

pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan.

Hal ini juga ditunjang oleh kondisi substrat dari pangan semi basah yang

bersifat sebagai pengawet.

Menurut Taoukis et. al. (1999) karakteristik produk IMF memiliki

beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau

makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF secara

signifikan lebih hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi,

pembekuan atau pengalengan. Teknologi IMF juga menghasilkan produk

dengan retensi nutrisi dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

proses lain seperti pengeringan dan proses panas. Sifat IMF yang plastis

dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi kering menjadikan produk IMF

dapat secara langsung dikonsumsi tanpa penyiapan, lebih convenience dan

lebih hemat energi. Kandungan air yang tidak terlalu tinggi menbuat IMF

memiliki kandungan nutrien dan densitas kalori yang tinggi. IMF juga

Page 21: formulasi pangan darurat

dapat dibentuk dengan ukuran dan bentuk geometris yang memudahkan

pengemasan.

Keunggulan karakteristik IMF sesuai dengan kebutuhan konsumen

modern terhadap produk pangan dengan densitas nutrient tinggi. IMF

terutama sangat diperlukan ketika suplai bahan pangan, kemampuan untuk

mensuplai dan waktu persiapan adalah menjadi faktor pembatas, misalnya

pada keadaan darurat militer, ruang angkasa, eksplorasi dan pendakian

gunung (Taoukis et al, 1999).

IMF bukanlah suatu hal baru di Indonesia. Beberapa pangan

tradisional merupakan pangan yang diolah dengan teknologi IMF

tradisional. Sebagai contoh adalah dodol yang merupakan campuran

tepung dan gula, bakpia pathuk, kue wingko, manisan buah, ataupun hasil

fermentasi yang sudah banyak dikenal. Makanan tradisional ini biasanya

digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan serta sebagai

lauk-pauk.

2. Teknologi Pengolahan IMF

Cara pengolahan IMF terutama didasarkan pada penurunan nilai

kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan

pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup.

Karel (1976) menggolongkan IMF menjadi dua tipe, yaitu tradisional

dan modern. Beberapa IMF tradisional adalah hasil olahan tanpa

penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil

olahan dengan penambahan gula dan garam, serta produk rerotian (bakery

product). Tipe IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara

pengolahannya, yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution), dimana bahan

pangan padat direndam dalam larutan sehingga produk akhirnya

mempunyai nilai aw seperti yang diinginkan misalnya prototipe produk

yang direncanakan pada penelitian ini, (2) Pencelupan kering (dry

infution), dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian

direndam dalam larutan osmotik sampai tingkat aw yang diinginkan

misalnya manisan buah. Proses ini memerlukan energi lebih tinggi dari

Page 22: formulasi pangan darurat

metode yang lain, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan

(3) Pencampuran (blending) dimana komponen-komponen bahan pangan

ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau perlakuan lain untuk

mencapai aw produk yang diinginkan sehingga menghasilkan makanan

dengan aw tertentu misalnya selai (jam) dan dodol.

Berdasarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut

terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan

desorpsi. Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol

proses pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan

tipe desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan

osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang

diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu (Robson,

1976).

3. Kemasan IMF

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau

pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil

pertanian. Adanya pembungkus dapat mengurangi kerusakan, melindungi

bahan pangan dari pencemaran dan gangguan fisik seperti gesekan,

benturan, dan getaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan,

dan distribusi (Syarief et. al., 1989).

Menurut Waletzko dan Labuza (1976) daya simpan suatu produk

pangan dipengaruhi oleh 1). Interaksi antar komponen dalam sistem

pangan tersebut, 2). Proses produksi yang digunakan, 3). Permeabilitas

kemasan terhadapa cahaya, kelembaban (air), dan gas, dan 4). Disribusi

waktu-suhu-RH pada saat penyimpanan dan transportasi.

Pangan semi basah apabila dilihat dari substratnya sudah bersifat

mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik akan dapat

meningkatkan keawetannya dan berperan dalam pemasaran. Kemasan

pangan semi basah tradisional seperti dodol dan wingko umumnya

menggunakan kertas yang dilapisi dengan lilin dan plastik.

Page 23: formulasi pangan darurat

Menurut Syarief et. al. (1989) produk yang bersifat hidrofilik harus

dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki nilai

aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus

dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah.

Beberapa kemasan yang dapat digunakan adalah plastik jenis

polipropilen dan aluminium foil. Penggunaan plastik polipropilen

dikarenakan sifatnya yang mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah,

tahan suhu tinggi sampai dengan 150 oC, tahan terhadap asam kuat, basa,

dan minyak (Syarief et. al., 1989). Konstanta permeabilitas plastik

polipropilen adalah sebesar 0.12 gram/m2.mmHg.hari (Eskin dan

Robinson, 2001 dikutip di dalam Histifarina, 2002)

Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus

cahaya. Alufo dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai

permeabilitas uap air nol. Berbagai makanan yang dibungkus dengan

aluminium foil menunjukkan bahwa produk tersebut cukup baik dan tahan

terhadap aluminium dengan resiko perkaratan yang kecil (Syarief et. al.,

1989). Menurut pengukuran Histifarina (2002), konstanta permeabilitas

uap air aluminium foil adalah 0.02 gram/m2.mmHg.hari.

C. ISOTERMI SORPSI AIR (ISA)

Isotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan

dengan equilibrium relative humidity ruang tempat penyimpanan bahan (ERH)

atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Soekarto

(1979) menyebutkan bahwa hubungan ini telah banyak dipakai pada banyak

lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu peranan

baru yang sangat penting adalah penggunaannya dalam formulasi dan disain

pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF).

Kurva isotermi sorpsi air menggambarkan kadar air kesetimbangan

dalam hubungannya dengan aktivitas air atau kelembaban relatif

keseimbangan pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk

setiap bahan pangan.

Page 24: formulasi pangan darurat

Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)

Kurva di atas memperlihatkan dua jenis isotermi sorpsi air. Umumnya

istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk higroskopik dan

isotermi desorpsi untuk meneliti proses pengeringan. Kurva dengan

kemiringan curam menunjukkan bahan bersifat higroskopik dan kurva yang

agak mendatar menunjukkan produk yang tidak peka terhadap air (deMan,

1989).

Kurva isotermi sorpsi biasanya berbentuk sigmoid dan dapat dipenggal

menjadi tiga daerah yang sesuai dengan kondisi air yang berlainan dalam

makanan. Bagian pertama biasanya curam, sesuai dengan adsorbsi lapisan

monomolekul air, bagian kedua agak lebih rata sesuai dengan adsorpsi lapisan

tambahan air, dan bagian ketiga menyatakan pengembunan air dalam kapiler

dan pori-pori bahan (deMan, 1989). Tidak ada pembagian yang tajam antara

ketiga daerah sorpsi tersebut dan tidak ada harga kelembaban relatif yang pasti

untuk menggambarkan ketiga bagian ini.

Bell dan Labuza (2000) mengklasifikasikan bentuk kurva isotermi sorpsi

menjadi tiga tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I (A) adalah bentuk kurva sorpsi

yang khas untuk bahan anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik

dengan energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air

Moi

stur

e C

onte

nt

Water Activity

Adsorpsi

Desorpsi

2

1

3

Page 25: formulasi pangan darurat

pada aw yang rendah. Tipe II (B) merupakan bentuk kurva sorpsi yang paling

banyak ditemui pada produk pangan. Tipe III (C) mewakili kurva sorpsi untuk

bahan kristal seperti sukrosa.

Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 2000)

1. Aktivitas Air (aw)

Kandungan air suatu bahan pangan tidak dapat digunakan sebagai

indikator nyata dalam menentukan ketahanan masa simpan. Oleh karena

itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat

atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan

kimiawi. Aktivitas air memiliki peranan penting dalam hubungannya

dengan stabilitas bahan. Gambar 3 menunjukkan hubungan aktivitas air

dengan Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas yang

dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid,

1993).

Page 26: formulasi pangan darurat

Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema, 1996)

Masih di dalam Syarief dan Halid (1993) aktivitas air berdasarkan

hukum Raoult berbanding lurus dengan jumlah mol zat terlarut dan

berbanding terbalik dengan jumlah mol pelarut.

aw = n1 ………………………………………..... (1) n1 + n2

dengan n1 : jumlah mol zat terlarut

n2 : jumlah mol pelarut

n1 + n2 : jumlah mol larutan

Aktivitas air dalam kondisi normal dinyatakan sebagai perbandingan

tekanan uap air pada bahan (P) dan tekanan uap air murni (Po) pada suhu

yang sama (Fennema, 1996). Sesuai definisi di atas, aktivitas air

dinyatakan dalam persamaan

aw = P ………………………………………………. (2) Po

Tahanan air dalam makanan juga dipaparkan oleh hubungan antara

kandungan air makanan dan kelambaban nisbi udara di sekelilingnya.

Perbandingan kedua angka ini juga menyatakan aktivitas air. Kelembaban

Page 27: formulasi pangan darurat

nisbi yang berlaku dalam terminologi ini adalah kelembaban nisbi

kesetimbangan atau equilibrium relative humidity / ERH (deMan, 1989).

Aktivitas air pada keadaan kesetimbangan ini dinyatakan dalam persamaan

aw = ERH …………………………………………. (3) 100

2. Model Persamaan Isotermi Sorpsi Air

Model matematika mengenai isotermi sorpsi air telah banyak

dikemukakan oleh para ahli baik secara empiris maupun teoritis. Beberapa

model masih dibatasi oleh kondisi percobaan. Model yang umum

digunakan pada bahan pangan diantaranya adalah model BET dan GAB..

International Symposium on Properties of Water (ISOPOW) pada

tahun 1983 menyatakan bahwa model persamaan yang paling tepat untuk

menggambarkan isotermi sorpsi adalah model GAB (Guggenheim-

Anderson-de Boer). Persamaan ini dapat dipakai pada kelembaban relatif

sampai 94% (van den Berg, 1985 di dalam Bell dan Labuza, 2000). Model

persamaan GAB ini merupakan perluasan model BET. Persamaan tersebut

adalah :

m = C . k . mo .aw ................................ (4) (1- k aw)(1-k aw + C k aw)

dengan :

C : konstanta Gunggenheim (energi adsorpsi)

k : faktor koreksi

mo : kadar air monolayer

D. HUMEKTAN

Prinsip dasar pembuatan IMF adalah menurunkan aw bahan sampai

mencapai zone aw IMF. Penurunan aw tersebut dapat dicapai dengan

mengeringkan bahan. Akan tetapi produk kering biasanya memerlukan

rehidrasi sebelum dapat dikonsumsi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan

menggunakan humektan. Humektan adalah bahan yang dapat menurunkan

Page 28: formulasi pangan darurat

nilai aw tetapi dapat mempertahankan kandungan air yang terdapat pada

produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al., 1999).

Taoukis et. al. (1999) juga mengatakan bahwa terdapat empat kategori

senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu (1) garam

(mineral dan organik), (2) gula, (3) poliol, dan (4) turunan protein. Tabel 1

menunjukkan jenis-jenis humektan dan berbagai fungsinya.

Menurut Troller (1989), kriteria pemakaian humektan dalam bahan

pangan yaitu, aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif sesuai dengan

konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak

berwarna atau tidak mengubah warna produk pangan. Humektan selain

berkemampuan mengikat air dan menurunkan aw, juga dapat bersifat sebagai

anti mikroba (bacteriostatic dan mycostatic), memperbaiki tekstur, cita rasa

dan dapat meningkatkan nilai kalori.

1. Sorbitol

Sorbitol diisolasi pertama kali pada tahun 1872 oleh kimiawan

Prancis, J. B. Boussugault. Menurut Codex nama Sorbitol disebut juga D-

Glucitol, D-Glucitol syrup, Sorbit, D-Sorbitol, dan Sorbol. Menurut Badan

POM, sorbitol merupakan monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6–Hexanehexol)

dengan rumus kimia C6H14O6. Sorbitol berupa senyawa yang berbentuk

granul atau kristal dan berwarna putih dengan titik leleh berkisar antara

89° sampai dengan 101°C. Sorbitol mudah larut dalam air tetapi tidak

dapat larut dalam pelarut organik kecuali etanol (Hough et. al.,1979).

Tingkat kemanisan sorbitol 0.48-0.54 dari sukrosa. Sorbitol

berwarna putih, tidak berbau, bersifat higroskopik, dan menimbulkan

aftertaste dingin (Hough et. al., 1979). Nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau

setara dengan 10,87 kJ/g. Penggunaan sorbitol tergolong GRAS, tetapi jika

dikonsumsi lebih dari 50 gram/hari akan menimbulkan efek laksatif atau

diare (Caloriecontrol, 2006). Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada

Gambar 4.

Page 29: formulasi pangan darurat

Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org)

Sorbitol digunakan pada sugarless frozen dessert, menjaga

kelembaban kelapa parut siap pakai, sugarless candy, permen karet, es

krim, dan minuman/makanan rendah kalori (Igoe dan Hui, 1994). Poliol

termasuk sorbitol merupakan bahan yang resisten terhadap metabolisme

bakteri di dalam mulut. Bakteri ini memecah gula dan pati menjadi asam

yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan enamel gigi. Sorbitol juga

tahan terhadap suhu tinggi, sehingga tidak menyebabkan reaksi

pencoklatan (Maillard reaction) (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol juga

banyak digunakan sebagai gula alternatif bagi penderita diabetes karena

cenderung tidak menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan gula darah).

Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam hati (Hough

et. al., 1979 ).

2. Gliserol

Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol

yang memiliki tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen).

Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan berat molekul 92,10, massa

jenis 1,23 g/cm3 serta titik didihnya 2040C (Winarno, 1992).

Secara alami gliserol terdapat pada tanaman yaitu melalui

penguraian fruktosa difosfat oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton

kemudian direduksi menjadi α-gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan

melalui proses fosforilasi sehingga terbentuk molekul gliserol (Winarno,

1992). Gliserol juga dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun.

Page 30: formulasi pangan darurat

Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org)

Gliserol berfungsi sebagai penyerap air (humektan) dan platicizer.

Gliserol juga biasa digunakan untuk mengatur kandungan air dalam

makanan sehingga dapat mencegah kekeringan pada makanan. Gliserol

berbentuk cair dengan rasa manis agak pahit (bittersweet) (Igoe dan Hui,

1994). Tingkat kemanisan gliserol adalah 0.75 kali sukrosa. Penggunaan

gliserol dalam jumlah besar dapat menimbulkan rasa pahit (Fennema,

1996).

Menurut Lindsay (1985), gliserol bersifat mudah larut dalam air,

meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw.

Gliserol banyak digunakan pada produk confectionary (permen dan

marsmallow), sebagai pelarut flavor, untuk menurunkan lemak pada frozen

dessert, dan mencegah pembentukan kristal es (Igoe dan Hui, 1994).

Produk non pangan yang menggunakan gliserol antara lain produk

perawatan tubuh, sabun, obat-obatan, dan produk kesehatan mulut.

Berdasarkan FDA-21 CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila

penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing

Practice). Meskipun aman digunakan, perlu diwaspadai adanya

kontaminasi gliserol oleh dietilen glikol yang merupakan senyawa yang

berbahaya bagi kesehatan manusia (www.fda.gov).

Page 31: formulasi pangan darurat

Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangana

Bahan Menurun

kan aw

Keke-nyalan

Aktivitas antimikroba

Kemampuan rehidrasi

Menahan Kristalisasi

Pemanis

Fung si

lainb Status FDA

Garam Mineral NaCl, KCl, CaCl2 XX X X XX GRAS Phospat, polyphospat X XX CFR 182 and 184 Karbonat dan Sulfat tertentu XX XX CFR 182 and 184 Garam dari serum susu XX X CFR 182 and 184 Asam Organik Asam-asam pangan dan garam-garam Na, K, dan Ca

XX X XX X XX CFR 182 and 184

Asam Askorbat X XX CFR 182 and 184 Protein dan turunannya Asam-asam amino dan garam XX X XX 21 CFR 172.320 Oligopeptida X XX GRAS Hidrolisat protein XX X XX GRAS Monosakarida, Disakarida dan Polisakarida Pentosa XX XX GRAS Hexosa (glukosa, ftuktosa) XX XX XX XX GRAS Mannosa, galaktosa, dll XX XX GRAS Disakarida (sukrosa, laktosa, maltosa)

XX XX XX GRAS

Berbagai macam Oligosakarida XX XX X GRAS Produk alami dan industri : madu, gula invert, Sirup jagung tinggi fruktosa, sirup glukosa, sirup maple

XX XX XX GRAS

Page 32: formulasi pangan darurat

Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan (lanjutan)

Bahan Menurun

kan aw

Keke-nyalan

Aktivitas antimikroba

Kemampuan rehidrasi

Menahan Kristalisasi

Pemanis

Fung si

lainb Status FDA

Maltodekstrin (dekstrosa ekivalen 3-20) dan hidrolisatnya; gum dan hidrolisatnya; selulosa dan hidrolisatnya

X

XX

XX

XX

XX

X

GRAS

GRAS

Alkohol dan polyols Ethanol XX XX 21 CFR 184.1293 Sorbitol XX XX XX XX XX 21 CFR 184.1835 Mannitol, xylitol, erythritol XX X XX 21 CFR 172.395 Gliserol XX XX X XX X X 21 CFR 182.1320 1,2-propanadiol, 1,2-butanadiol (propilen glikol)

XX XX XX X 21 CFR 182.1666

1,3-butanadiol, 1,3-pentanadiol (1,3-butilen glikol)

XX XX XX 21 CFR 172.220

1,3,5-polyol (empat untuk 12 atom karbon)

XX XX 21 CFR 172.864

Polietilen glikol (mol wt 400, 600, 1500, 2400, dll)

XX XX 21 CFR 172.820

a dikutip dari Guilbert (1984) di dalam Taoukis et al. (1999) b Fungsi lainnya termasuk pengatur pH, meningkatkan nilai gizi, melarutkan protein dan antioksidasi

Page 33: formulasi pangan darurat

3. Aplikasi Humektan

Jumlah pemakaian humektan dapat ditentukan dengan menggunakan

beberapa persamaan matematika, misalnya persamaan Grover. Grover

(1974) memprediksi aw dari larutan air-gula. Persamaan Grover

memprediksi nilai aw produk berdasarkan komposisi produk dan

perbandingan bobot masing-masing komponen dengan total bobot air

dalam produk tersebut. Persamaan ini sangat tepat untuk aplikasi produk

confectionary tetapi tidak tepat untuk pemakaian humektan dalam

konsentrasi tinggi. Persamaan Grover tersaji pada persamaan 5 dan nilai

konstanta persamaan Gover (Ei) dapat dilihat pada Tabel 2.

aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 ........................................ (5)

dimana,

Eo = Σ Ei / mi

Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover

Komponen Ei Lemak 0 Pati 0.8 Gum 0.8 Pektin 0.8 Sukrosa 1.0 Laktosa 1.0 Gula invert 1.3 Protein 1.3 Asam 2.5 Gliserol 4.0 Sodium klorida 9.0

E. TEPUNG KACANG HIJAU

Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dikenal dengan beberapa nama,

seperti mungo, mung bean, green bean dan mung. Tanaman kacang hijau

merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia.

Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah

(Marzuki dan Suprapto, 2005). Kacang hijau memiliki beberapa nama daerah,

seperti artak (Madura), kacang wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi

(Makassar).

Page 34: formulasi pangan darurat

Buah/polong kacang hijau merupakan polong bulat memanjang dengan

ukuran antara 6-15 cm. Polong muda berwarna hijau tua dan setelah tua

berwarna hitam atau coklat jerami. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan pada

umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya,

berwarna hijau, coklat, kuning atau hitam (Kay, 1979). Dua jenis kacang hijau

yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Golden gram

merupakan kacang hijau yang berwarna keemasan, dalam bahasa botaninya

disebut Phaseolus aureus sedangkan yang berwarna hijau atau green gram

disebut Phaseolus radiatus (Astawan, 2005). Komposisi nilai gizi kacang

hijau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan.*

Komponen Jumlah Energi (Kal) 345 Protein (gram) 22.2 Lemak (gram) 1.2 Karbohidrat (gram) 62.9 Kalium (mg) 125 Phospor (mg) 320 Fe (mg) 6.7 Vitamin A (SI) 157 Vitamin B1 (mg) 0.64 Vitamin C (mg) 6 Air (gram) 10

* Prawiranegara (1989)

Melihat komposisi nilai gizinya, kacang hijau merupakan bahan yang

cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino esensial terdapat

dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino yang

hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi

kandungan asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah

kandungan metioninnya. Leusin dan metionin merupakan asam amino

esensial. Kandungan asam amino dalam kacang hijau tersaji pada Tabel 4.

Page 35: formulasi pangan darurat

Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau*

Jenis Asam Amino Kandungan (%) Alanin 4.15 Arginin 4.44 Asam aspartat 12.10 Asam glutamat 17.00 Glisin 4.03 Histidin** 4.05 Isoleusin** 6.95 Leusin** 12.90 Lisin** 7.94 Metionin** 0.84 Fenilalanin** 7.07 Prolin 4.72 Serin 5.35 Treonin** 4.50 Triptofan 1.35 Tirosin 3.86 Valin** 8.23

* Marzuki dan Suprapto (2005) ** asam amino esensial

Pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan

antara lain untuk diolah menjadi makanan atau ditumbuhkan menjadi

kecambah (tauge). Kacang hijau dapat juga diolah menjadi tepung, baik

tepung kacang hijau atau tepung pati kacang hijau (tepung hunkwe). Tepung

kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake), cookies

dan kue tradisional (kue satu), produk bakery, bubur, dan makanan bayi.

Tepung kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 adalah bahan makanan

yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang

sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung. Syarat mutu standar

tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 36: formulasi pangan darurat

Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 12.1 12.2 12.3 12.4 13. 14. 14.1 14.2 14.3

Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati selain pati kacang hijau Kehalusan Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 40 mesh Air Silikat Serat kasar Derajat asam Protein Bahan tambahan makanan : bahan pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang

- - - - - -

% b/b % b/b % b/b % b/b % b/b ml N.

NaOH/100 g % b/b

-

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

koloni/g APM/g koloni/g

Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada Min. 95 100 Maks. 10 Maks. 0.1 Maks. 3.0 Maks. 2.0 Min. 23 Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 106 Maks. 10 Maks. 104

F. TEPUNG UBI JALAR

Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau biasa disebut ketela rambat (Jawa) atau

sweet potato (Inggris) dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis maupun

sekitar subtropis, juga dengan keadaan tanah yang kurang subur. Ubi jalar

merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat

beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua

dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lainnya yaitu mencapai angka 105

kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007).

Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang mengandung betakaroten,

vitamin C, kalsium, sat besi juga serat. Ubi jalar mengandung beberapa jenis

Page 37: formulasi pangan darurat

oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi, yaitu stakisa, rafinosa, dan

verbakosa. Oligosakarida penyebab flatulensi ini tidak dapat dicerna oleh

bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase tetapi dicerna oleh bakteri

pada usus bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya gas dalam usus

besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komposisi kimia ubi jalar dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan.*

Komponen Jumlah Energi (Kal) 123 Protein (gram) 1.8 Lemak (gram) 0.7 Karbohidrat (gram) 27.9 Kalium (mg) 30 Phospor (mg) 49 Fe (mg) 0.7 Vitamin A (SI) 60 Vitamin B1 (mg) 0.09 Vitamin C (mg) 22 Air (gram) 68.5

* Prawiranegara (1989)

Masyarakat Indonesia umumnya memanfaatkan ubi jalar hanya sebatas

konsumsi secara langsung secara sederhana. Pengolahan lanjut ubi jalar

menjadi tepung ubi jalar misalnya, selain menjadi upaya pengawetan ubi jalar

juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna ubi jalar. Pembuatan tepung

ubi jalar dapat dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan yang

sederhana dan dapat dilakukan dalam skala industri rumah tangga ataupun

industri kecil. Tepung ubi jalar dapat dibuat dari ubi jalar mentah ataupun ubi

jalar masak yang telah dikukus atau direbus.

G. TEPUNG PISANG

Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman sepanjang musim yang tumbuh

subur di daerah tropis. Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi

tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan

tertingggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha

pada tahun 2005 (Deptan, 2007).

Page 38: formulasi pangan darurat

Umumnya pisang dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu banana

dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam

bentuk segar setelah buah matang, contohnya pisang raja, ambon, susu, mas,

dan badak. Plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng atau

direbus, seperti pisang kepok, siam, tanduk, dan uli. Terdapat juga jenis pisang

lainnya yaitu pisang berbiji banyak yang disebut pisang batu atau pisang

klutuk (Munadjim, 1983). Komponen gizi pada pisang dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram

Komponen Jumlah Energi (Kal) 146 Protein (gram) 2.0 Lemak (gram) 0.2 Karbohidrat (gram) 38.2 Kalium (mg) 10 Phospor (mg) 28 Fe (mg) 0.9 Vitamin A (SI) 75 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin C (mg) 3 Air (g) 59.1

* Prawiranegara (1989)

Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam

bentuk asli dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan

pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tepung pisang

mempunyai sifat mudah dicerna dan cocok digunakan sebagai bahan makanan

untuk anak-anak. Tepung pisang di Eropa dimanfaatkan sebagai campuran

dengan bubuk kakao sebagai bahan puding. Tersedianya tepung pisang dalam

jumlah cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan

makanan sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan

sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu

memperringan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman, 1982).

Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang,

yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan

pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan

Page 39: formulasi pangan darurat

SNI 01-0222-1987

mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan

pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan.

Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Jenis A Jenis B 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 9.1 9.2 9.3 9.4 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6

Keadaan: Bau Rasa Warna Benda asing Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan) Jenis pati lain selain tepung pisang Kehalusan lolos ayakan 60 mesh Air Bahan tambahan makanan Sulfit (SO2) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba : Angka lempeng total Bakteri pembentuk coli E. coli Kapang dan khamir Salmonella/25 gram Staphylococcus aureus

- - - - - -

%b/b

%b/b -

mg/kg

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

kol/g

APM/g kol/g kol/g

- kol/g

Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Min. 95 Maks. 5 negatif Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 104 0 0 Maks. 102 Negatif Negatif

Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Min. 95 Maks. 12 Maks. 10 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 106 0 Maks. 106 Maks. 104 - -

Pisang cukup sesuai diproses menjadi tepung karena kandungan

karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah

pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi

dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan

5% pati sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan

gula sebesar 66% (Kekitu, 1973 di dalam Gowen, 1995). Potensi gizi tepung

pisang sebagai sumber karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 9.

Page 40: formulasi pangan darurat

Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-

tepungan lainnya *

Bahan Karbohidrat (gram/100gr) Keterangan Tepung pisang 71.74 Sebagai sumber pati Tepung beras 80

Sebagai karbohidrat by difference

Tepung jagung 73.7 Tepung gaplek 81.3 Beras pecah kulit 76.2

* Hardiman (1982)

Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang tua yang belum

matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua, sedangkan gula-gula

sederhana sebaliknya (Munadjim, 1983). Menurut Von Loesecke (1950),

pisang yang akan dibuat tepung sebaiknya dipanen saat mencapai tingkat

kematangan ¾. Pada kondisi ini pembentukan pati mencapai jumlah

maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol

sehingga menghasilkan rasa asam dan manis yang seimbang.

Page 41: formulasi pangan darurat

III. BAHAN DAN METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan

untuk formulasi produk dan bahan analisis. Bahan untuk formulasi produk

meliputi tepung, susu bubuk full cream, gula, minyak goreng, konsentrat

protein kedelai, air, dan humektan.

Tepung yang digunakan adalah tepung matang (disebut juga tepung

instan) yang masing-masing dibuat dari kacang hijau, ubi jalar, dan pisang

uli. Tepung ini terbuat dari bahan yang telah dimasak (dikukus) sebelum

dikeringkan (ditepungkan). Bahan lainnya yaitu minyak goreng komersil

merek bimoli, gula pasir yang dihaluskan, susu bubuk full cream komersil

merek Dancow, konsentrat protein kedelai instan merek Proteo, air

mineral, sorbitol cair dan gliserol sebagai humektan yang dibeli dari toko

kimia Bratako Chemical dan Setia Guna, Bogor.

Bahan-bahan untuk analisis meliputi sepuluh jenis larutan garam

jenuh yang menghasilkan kelembaban relatif 7.58 – 91.2 % dan bahan-

bahan kimia untuk analisis produk. Jenis garam yang digunakan dan

kelembaban relatif yang dihasilkan tersaji pada Tabel 10. Bahan lainnya

yang digunakan untuk analisis produk yaitu akuades, silika gel, dan

vaselin, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat seperti, K2SO4,

HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, indikator merah metil dan biru metil, HCl,

kapas bebas lemak, heksana, asam tartarat, potato dextrose agar, dan plate

count agar. Bahan-bahan kimia ini diperoleh dari Ruang Persediaan Bahan

Departemen ITP, Fateta – IPB.

Page 42: formulasi pangan darurat

Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi *

No. Jenis Garam RH pada 25-30oC (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

NaOH LiCl

CH3COOK MgCl2 K2CO3

NaBr KI

NaNO3 KCl

KNO3

7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2

* Bell dan Labuza (2000)

2. Alat

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan produk adalah mangkok,

sendok pengaduk, neraca, penangas air, dan termometer. Sedangkan alat-

alat yang digunakan untuk analisis meliputi neraca analitik, cawan

aluminium, cawan porselen, aluminium foil, inkubator suhu ruang, oven,

desikator kecil, aw meter, tanur, labu Kjeldahl, ekstraktor Soxhlet, labu

lemak, labu takar, buret, pipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya

yang mendukung penelitian.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian

pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dibagi dalam tiga

tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung yang digunakan sebagai

bahan baku. Tahap kedua formulasi awal produk yang disesuaikan dengan

persyaratan nilai makro nutrien pangan darurat. Tahap formulasi ini akan

menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung

kacang hijau, dan tepung pisang. Verifikasi kandungan nutrisi prototipe

produk dilakukan dengan analisis proksimat. Tahap ketiga dilakukan

penentuan kurva isotermi sorpsi dari bahan baku dan formula ketiga prototipe

produk yang telah dihasilkan.

Page 43: formulasi pangan darurat

Penelitian utama meliputi pembuatan produk dengan pengaturan kadar

air dan aktivitas air (aw) serta aplikasi penambahan humektan. Analisis yang

dilakukan pada produk adalah analisis proksimat dan uji organoleptik.

Pengukuran isotermi sorpsi, analisis proksimat produk akhir dan pengujian

mikrobiologis dilakukan pada produk terpilih hasil uji organoleptik.

2. Penelitian Pendahuluan

b. Pembuatan tepung instan

Tepung yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung

matang atau tepung instan, yaitu tepung yang dibuat dari bahan yang

telah dimasak sampai matang. Tahap awal penepungan adalah

mengukus bahan-bahan seperti ubi jalar, pisang, dan kacang hijau

sampai matang. Bahan yang telah matang tersebut kemudian diiris tipis

(kecuali kacang hijau) lalu dikeringkan. Bahan yang telah kering

kemudian dihaluskan dan diayak. Pengayakan bertujuan mendapatkan

tepung dengan ukuran 80 mesh. Proses pembuatan tepung instan dapat

dilihat pada Gambar 6.

c. Penghitungan formula awal produk

Penghitungan formula awal produk didasarkan pada persyaratan

nutrisi pangan darurat yaitu mengandung kalori minimal 233 kkal/ 1

bar dengan kandungan protein sebesar 7.9-8.1 g, lemak 9.1-11.7 g, dan

karbohidrat 23-35 g. Nilai ini berdasarkan asumsi bahwa satu bar sama

dengan 50 gram bobot kering. Tahap formulasi ini akan menghasilkan

tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang

hijau, dan tepung pisang dengan target rasa manis.

Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi adalah masing-

masing tepung sebagai sumber karbohidrat, konsentrat protein kedelai

sebagai sumber protein, susu bubuk fullcream sebagai sumber protein

dan lemak serta menambah cita rasa, dan minyak goreng sebagai

Page 44: formulasi pangan darurat

Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan

Bahan-bahan yang akan ditepungkan

Dibersihkan

Dimasak/dikukus sampai matang

Ditiriskan dan dibersihkan kembali

Diiris tipis-tipis (kecuali kacang hijau)

Dikeringkan

Dihaluskan dan diayak 80 mesh

Dikemas

Tepung instan

Page 45: formulasi pangan darurat

sumber lemak. Penambahan gula dilakukan untuk memperoleh rasa

manis sesuai target rasa produk.

Formulasi ini dilakukan dengan bantuan program Microsoft

Excel dengan prinsip kesetimbangan massa. Data-data awal komposisi

bahan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) dan

dari informasi nilai gizi pada label bahan yang dipakai. Data-data awal

tersebut juga diperoleh dari analisis proksimat untuk bahan-bahan yang

tidak terdapat pada DKBM. Analisis proksimat juga dilakukan untuk

verifikasi formulasi awal.

d. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal

Penentuan kurva isotermi sorpsi ini digunakan untuk mengetahui

jumlah air yang akan ditambahkan pada formulasi awal sesuai nilai aw

yang diinginkan. Penentuan kurva isotermi sorpsi diawali dengan

pengukuran kadar air awal sampel. Pengukuran kadar air dilakukan

dengan metode oven menurut SNI 01-2891-1992. Kadar air awal ini

digunakan untuk mengetahui kondisi awal dan bobot solid sampel.

Penentuan kurva isotermi sorpsi ini menggunakan sepuluh jenis

larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dibuat dengan melarutkan

garam ke dalam aquades pada desikator kecil sampai menjadi jenuh.

Kondisi jenuh diketahui ketika garam tidak dapat larut lagi.

Sekitar lima gram sampel diletakkan pada cawan aluminium foil

kering yang telah diketahui bobotnya kemudian dimasukkan ke dalam

desikator yang berisi larutan garam jenuh seperti terdapat pada Tabel

10. Desikator yang telah berisi sampel disimpan dalam inkubator suhu

ruang (+ 30 oC). Susunan alat dapat dilihat pada Gambar 7.

Page 46: formulasi pangan darurat

Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air

Sampel dalam cawan ditimbang bobotnya setiap hari sekali

sampai diperoleh bobot konstan. Bobot konstan ditandai oleh selisih

antara tiga penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g bobot

kering untuk sampel pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10

mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di atas 90% (Liovonen dan

Ross, 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian

diukur kadar airnya menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992).

Kadar air ini adalah kadar air kesetimbangan pada RH tertentu.

Kurva isotermi sorpsi dibuat dengan memplotkan kadar air

kesetimbangan dengan nilai aw atau ERH (equilibrium relative

humidity) dengan menggunakan model persamaan GAB.

m = )1)(1(

...

Ckawkawkaw

awmokC

+−−

dengan m menunjukkan kadar air, C adalah konstanta Gunggenheim

atau menunjukkan energi adsorpsi air, dan k sebagai persamaan GAB,

serta mo sebagai kadar air monolayer. Penentuan kurva isotermi sorpsi

juga dilakukan pada produk terpilih yang telah ditambah humektan.

Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan

model persamaan isotermi sorpsi GAB untuk menggambarkan

keseluruhan kurva isotermi sorpsi hasil percobaan. Uji ketepatan

Keterangan :

1. Inkubator

2. Desikator

3. Penyangga berlubang

4. Cawan aluminium

berisi sampel

5. Larutan garam jenuh

1

2

4

3

5

Page 47: formulasi pangan darurat

model dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative

Determination (MRD) (Walpole, 1992). Rumus MRD adalah :

MRD = n

100∑

=

−n

i

MiMpiMi1

|/)(|

dengan Mi menunjukkan kadar air percobaan, Mpi sebagai kadar air

hasil penghitungan dengan persamaan GAB, dan n adalah jumlah data.

Nilai MRD < 5 menunjukkan model isotermi sorpsi dapat

menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan cukup tepat. Nilai 5

< MRD <10 menyatakan keadaan yang agak tepat dan MRD > 10

menggambarkan keadaan yang tidak tepat.

3. Penelitian Utama

Formulasi produk IMF dilakukan dengan pengaturan kadar air

formula awal dan penggunaan humektan. Metode produksi yang

digunakan adalah moist infution yaitu bahan-bahan seperti pada

formulasi awal ditambah air sampai tidak menyebabkan rasa haus dan

mudah ditelan. Besarnya jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui

dari persamaan isotermi sorpsi formulasi awal. Berdasarkan kurva

isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air

pada aw tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu

berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan

jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Bahan yang telah

dicampur air kemudian ditambah humektan untuk menurunkan nilai aw

menjadi 0.6 – 0.8. Tahap selanjutnya adalah pencetakan dan

pengemasan. Skema diagram alir proses produksi dapat dilihat pada

Gambar 8.

Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Jumlah

humektan yang ditambahkan ke dalam produk harus mampu mencapai

kisaran aw produk akhir 0.6 – 0.8.

Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan

Grover dengan rumus:

aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2

Page 48: formulasi pangan darurat

dimana Eo = Σ Ei / mi

Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3,

karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam

gram air per gram bahan. Nilai Ei pada gliserol sebesar 4,0 dan nilai Ei

pada sorbitol sebesar 2,0. Hasil perhitungan jumlah humektan yang

diperoleh dengan persamaan Grover diaplikasikan pada proses

produksi IMF. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari

sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan

aftertaste pahit.

Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik meliputi kemudahan

ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan keseluruhan produk. Hasil uji

organoleptik adalah formula terpilih diantara tiga formula yang

direncanakan.

Karakterisasi produk akhir dilakukan pada formula terpilih uji

organoleptik. Karakterisasi produk akhir meliputi analisis proksimat

akhir, pengaruh humektan pada kurva isotermi sorpsi, dan analisis

mikrobiologi produk (total mikroba dan kapang-khamir).

Page 49: formulasi pangan darurat

Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution

Bahan-bahan formulasi awal

Dicampur sampai homogen

Formula awal

Ditambah air mineral (air telah direbus

sampai suhu + 80 oC)

Diaduk sampai homogen

Dicicipi

Tidak haus/mudah

ditelan

Haus/tidak mudah ditelan

Ditambah humektan sampai aw + 0.6-0.8

Dicampur sampai homogen

Cek dengan aw meter

Dicetak dan dikemas

Produk IMF

Cek dengan aw meter

Page 50: formulasi pangan darurat

4. Metode Analisis

b. Analisis Proksimat

a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992)

Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam

oven bersuhu + 105-110 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan

dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dua gram

sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105-

110 oC selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai

bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (% bk) = (W1 + W2) –W3 x 100 (W3 – W1) Kadar air (% bb) = (W1 + W2) – W3 x 100 W2

Keterangan :

W1 = bobot cawan aluminium kosong (g)

W2 = bobot sampel (g)

W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992)

Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit

kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin

ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan

lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550 oC hingga diperoleh

abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan :

Kadar abu (% bb) = W2 x 100 W1

Keterangan :

W1 = bobot sampel (g)

W2 = bobot abu (g)

Page 51: formulasi pangan darurat

a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10

ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu

Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO,

2.0 + 0.1 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Sampel

didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih

lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil

destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat

destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga

dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml

NaOH-Na2S2O3 dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam

erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator

(metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml.

Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N

sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang

sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan :

Kadar N (%) = (Vs – Vb) x C x 14.007 x 100 % bobot sampel

Kadar protein (%) = % N x 6.25

Keterangan :

Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml)

Vb = volume untuk titrasi blanko (ml)

C = konsentrasi HCl (N)

a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992)

Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup

kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat

ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak

yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi

dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana

didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven

Page 52: formulasi pangan darurat

bersuhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan

dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan :

Kadar lemak (% bb) = W2 x 100 % W1

Keterangan :

W1 = bobot sampel (g)

W2 = bobot lemak (g)

a.5. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (air + abu + protein +

lemak) (% bb)

c. Analisis nilai aw dengan aw meter

Analisis dengan aw meter dilakukan untuk mengetahui nilai aw

aktual pada produk. Pengukuran dilakukan dengan aw meter merek

Shibaura. Pengukuran dimulai dengan mengkalibrasi alat aw meter

dengan garam jenuh NaCl yang memiliki nilai aw 0.75. Selanjutnya

dilakukan pengujian nilai aw pada sampel uji. Sampel yang diuji

berukuran 3-5 gram. Nilai aw terbaca pada saat alat menunjukkan nilai

aw yang tetap atau complete test.

Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360

d. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999)

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penilaian

konsumen terhadap produk. Uji yang dilakukan adalah uji rating

Page 53: formulasi pangan darurat

hedonik dan uji rating atribut kemudahan ditelan dan aftertaste pahit

menggunakan skala 1-7. Uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif

sedangkan uji rating atribut dapat digolongkan pada multisample

difference test : rating approach. Pengujian menggunakan 25 orang

panelis dari lingkungan kampus IPB. Kuesioner pengujian dapat

dilihat pada Lampiran 4.

Pengujian rating hedonik dan uji rating terhadap masing-masing

atribut dilakukan tanpa membandingkan antar sampel. Pengujian

dilakukan di dalam ruangan khusus uji organoleptik yang berisi 10

booth dengan tipe pintu rounding door. Data yang diperoleh kemudian

ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA).

e. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 01-3751-2006)

Analisis mikrobiologis dilakukan terhadap formula terpilih dari

uji organoleptik. Pengujian ini dilakukan tiap minggu sekali selama

satu bulan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis total mikroba

(TPC) dengan menggunakan plate count agar (PCA) dan total kapang-

khamir menggunakan acidified potato dextrose agar (APDA). APDA

merupakan PDA yang diasamkan dengan penambahan asam tartarat

10%. Analisis mikrobiologi mengacu pada SNI 01-3751-2006 yaitu

cara uji cemaran mikroba pada tepung terigu. Hal ini dikarenakan

produk pangan darurat ini berbahan baku tepung.

Sampel uji yang berupa padatan ditimbang 10 gram kemudian

ditempatkan dalam plastik steril dan ditambahkan larutan fisiologis

NaCl 0.85% sebanyak 90 ml. Larutan ini kemudian dihomogenisasi di

dalam alat stomacher selama satu menit. Larutan ini merupakan

larutan konsentrasi 10-1. Pemupukan dilakukan sampai 10-5. Metode

yang digunakan adalah cawan tuang, yaitu agar steril dituangkan ke

dalam cawan yang telah berisi sampel pada tingkat pengenceran

tertentu. Cawan yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama

dua hari di dalam inkubator suhu 37 oC untuk total mikroba dan 25 oC

Page 54: formulasi pangan darurat

untuk kapang-khamir. Cawan diinkubasi dalam posisi terbalik. Pada

analisis total mikroba, dipilih cawan yang menunjukkan jumlah koloni

antara 25-250 sedangkan pada analisis kapang khamir dipilih cawan

dengan jumlah koloni 10-150.

Penghitungan koloni total mikroba :

N = Σ C a [(1.n1) + (0.1.n2)] x d

Keterangan :

N = total koloni per ml atau gram sampel

C = jumlah koloni yang dapat dihitung

n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua

d = tingkat pengenceran pertama saat mulai penghitungan

Penghitungan koloni total kapang-khamir :

N = rata-rata jumlah koloni x faktor pengenceran

Page 55: formulasi pangan darurat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU UNTUK FORMULASI PRODUK

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat ini

adalah tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Ketiga

tepung ini merupakan tepung masak atau tepung instan. Hidayah (2002)

mengatakan bahwa perbedaan dasar dari proses pembuatan tepung kacang

hijau instan dan non instan adalah pada tahap pematangan atau pengukusan

sebelum proses pengeringan sehingga kacang hijau dalam keadaan telah

matang pada saat pengeringan. Tepung instan yang digunakan dalam

formulasi ini dibuat dari bahan-bahan yang telah dimasak sampai matang

(dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Tepung instan dapat langsung

dikonsumsi tanpa dimasak lebih lanjut. Masing-masing tepung berukuran 80

mesh.

Tepung ubi jalar berwarna putih agak kecoklatan karena menggunakan

ubi jalar putih dan memiliki aroma khas ubi. Warna kecoklatan ini dapat

disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Ubi jalar mentah jika dibiarkan kontak

dengan udara luar akan berubah kecoklatan akibat adanya aktivitas enzim

polifenolase (Syarif dan Halid, 1993). Namun reaksi pencoklatan enzimatis

dapat dihambat salah satunya dengan pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga

memiliki kandungan gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26 % (Tsou et.

al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya

meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan

Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Tingginya kandungan gula ini

kemungkinan juga menyebabkan tepung ubi jalar yang terbuat dari ubi jalar

putih berwarna agak kecoklatan akibat reaksi pencoklatan atau karamelisasi.

Tepung ubi jalar ini memiliki nilai kadar air sebesar 4.78 %bk.

Tepung pisang berwarna coklat muda dan memiliki aroma khas pisang

(amil asetat). Pisang yang digunakan untuk membuat tepung ini adalah jenis

pisang uli. Pisang uli merupakan jenis plantain, yaitu pisang yang perlu

dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Tepung pisang ini dibuat dari

pisang uli yang telah dikukus sampai matang. Pisang secara umum

Page 56: formulasi pangan darurat

mengandung senyawa fenol yang memberikan sensasi rasa astringent pada

pisang muda dan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis (John dan

Marchal, 1995). Pisang uli mentah berwarna putih kekuningan, tetapi setelah

dikukus sampai matang berubah menjadi kuning kecoklatan sehingga

menghasilkan tepung pisang yang berwarna coklat muda. Kadar air tepung

pisang adalah sebesar 3.76 %bk.

Tepung kacang hijau dibuat dari kacang hijau yang telah dihilangkan

kulit arinya yang berwarna hijau dengan cara merendam kacang hijau dalam

air selama satu malam sehingga kulit arinya mudah lepas atau dapat juga

menggunakan kacang hijau kupas kulit komersial sehingga lebih efisien

waktu. Tepung kacang hijau berwarna kuning karena kacang hijau yang telah

hilang kulit arinya berwarna kuning. Permasalahan yang timbul dari tepung

kacang hijau ini adalah masih terdapatnya bau langu kacang hijau sehingga

agak mengganggu karakteristik sensorinya. Tepung kacang hijau memiliki

kadar air sebesar 4.20 %bk. Penampakan masing-masing tepung tersaji pada

Gambar 10.

Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku

Ingridien lain yang digunakan dalam formulasi ini adalah susu bubuk,

konsentrat protein kedelai, gula, dan minyak goreng. Susu bubuk dan

konsentrat protein kedelai berfungsi sebagai sumber protein. Susu bubuk yang

dipakai adalah susu bubuk fullcream dengan pertimbangan efek sensori yang

dihasilkannya yaitu lebih berasa creamy dan manis. Susu merupakan satu-

satunya bahan hewani yang diizinkan untuk digunakan sebagai ingridien

Page 57: formulasi pangan darurat

dalam produksi pangan darurat, namun penggunaanya tidak boleh berlebihan

dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber karbohidrat meskipun susu

mengandung gula (laktosa). Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat

mengkonsumsi susu sapi karena adanya efek lactose intolerance pada

beberapa orang.

Konsentrat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi ini adalah

jenis konsentrat protein kedelai instan yaitu dapat langsung dikonsumsi tanpa

pemasakan lebih lanjut. Gula berperan sebagai pencita rasa manis, sesuai

dengan target rasa produk, sebagaimana dijelaskan oleh Zoumas et. al. (2002),

bahwa pangan darurat dianjurkan memiliki cita rasa manis. Gula yang

digunakan berupa gula pasir (sukrosa) kristal yang dihaluskan. Penghalusan

ini bertujuan mempermudah percampuran bahan.

Minyak di dalam komposisi formula digunakan sebagai sumber lemak.

Sumber lemak di dalam komposisi pangan darurat hendaknya berupa lemak

nabati dan tidak boleh menggunakan lemak hewani, seperti lemak babi (lard),

lemak sapi (tallow), dan produk turunannya (Zoumas et. al. 2002). Minyak

yang digunakan dalam formulasi ini adalah minyak goreng atau minyak

kelapa sawit.

B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK

Proses formulasi awal produk dilakukan untuk mendapatkan formulasi

awal produk sesuai dengan standar nutrisi pangan darurat 2100 kkal/hari atau

233 kkal/bar dan sifat sensori rasa produk. Produk yang diharapkan memiliki

rasa manis. Menurut Drewnoski (1997) di dalam Zoumas et. al. (2002), flavor

yang paling mudah diterima oleh sebagian besar populasi yang beragam di

dunia ini adalah rasa manis. Prototipe produk mengacu pada kue-kue

tradisional Indonesia yaitu kue satu dan bakpia pathuk (isi kacang hijau) atau

makanan ringan komersial yang terbuat dari tepung kedelai dan buah-buahan

kering (fruit soy bar).

Penghitungan formulasi dan nilai kecukupan nutrisi dihitung

berdasarkan nilai makronutrien yang terdapat pada Daftar Komposisi Bahan

Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1989) tetapi pada konsentrat

Page 58: formulasi pangan darurat

protein kedelai instan yang tidak terdapat pada daftar tersebut dilakukan

analisis proksimat sendiri untuk mengetahui komposisi nutrisinya. Komposisi

nutrisi susu bubuk mengacu pada daftar nutrisi yang terdapat pada kemasan

produk. Daftar nilai makronutrien bahan-bahan yang digunakan dalam

formulasi pangan darurat ini terdapat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi

Bahan Makronutrien (g/100 g bobot solid)

Protein Lemak KH Ubi jalar putiha 5.7143 2.2222 88.5714 Pisang ulia 4.8900 0.4890 93.3985 Kacang hijaua 24.6667 1.3333 69.8889 Konsentrat protein kedelaib 88.8421 0.8842 5.8842 Susu bubuk fullcreamc 29.0187 24.4368 38.5643 Gulaa 0 0 99.3658 Minyak kelapa sawita 0 100 0

Keterangan : a = berdasarkan data DKBM dengan konversi bobot solidnya b = hasil analisis proksimat c = berdasarkan data pada label kemasan produk

Penghitungan formulasi menggunakan prinsip kesetimbangan massa

dengan bantuan Microsoft excel. Prototipe produk yang diharapkan memiliki

nilai protein 7.9–8.1 gram, lemak 9-11.7 gram, dan karbohidrat 23-35 gram

per bar dengan asumsi tiap bar sama dengan 50 gram solid. Nilai kalori total

didapatkan dari jumlah makronutrien bahan yang digunakan dalam formulasi

dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Tiap gramnya

karbohidrat dan protein memiliki kalori sebesar 4 kkal sedangkan lemak 9

kkal (Prawiranegara, 1989). Formulasi dasar produk dan prediksi kecukupan

persyaratan nutrisi dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.

Page 59: formulasi pangan darurat

Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat

FORMULA BAHAN %

Ubi Jalar

Tepung ubi jalar Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng

39.22 16.67 13.73 13.73 16.67

Pisang

Tepung pisang Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng

42.27 19.59 9.28 15.46 13.40

Kacang Hijau Tepung kacang hijau Gula Minyak goreng

64.70 17.65 17.65

Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula

Formula Ubi Jalar

Formula Pisang

Formula Kacang Hijau

Protein (g/bar) 9.6357 7.9970 7.9804 Lemak (g/bar) 10.8661 9.2387 9.2549 Karbohidrat (g/bar) 27.8037 31.4747 31.3787 Total Kalori/bar (kkal) 247.5527 241.0231 240.7303

Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa formula dengan bahan baku tepung

kacang hijau tidak menggunakan konsentrat protein kedelai dan susu bubuk

sebagai tambahan ingridien sumber protein. Hal ini dikarenakan hanya dengan

menggunakan tepung kacang hijau sudah mencukupi nilai kecukupan protein,

yaitu 7.9 – 8.1 gram/bar. Kacang hijau merupakan jenis kacang-kacangan

yang tinggi kandungan proteinnya. Produk dengan bahan baku tepung ubi

jalar dan tepung pisang perlu ditambahkan ingridien sebagai sumber protein

karena kedua bahan tersebut rendah kandungan proteinnya.

C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU DAN FORMULA AWAL

Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku digunakan untuk melihat

stabililitasnya dan perkiraan pola isotermi sorpsi dari formula awal sedangkan

isotermi sorpsi formula awal digunakan untuk mengetahui jumlah air yang

ditambahkan dalam produksi IMF.

Page 60: formulasi pangan darurat

IMF dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Proses

produksi IMF modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan

desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian

dikontrol proses pembasahannya sedangkan pada tipe desorpsi, bahan

dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi

sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan

(Robson,1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan antara

kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi

sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).

Pembuatan kurva isotermi sorpsi diawali dengan penentuan kadar air

kesetimbangan pada berbagai RH pada suhu + 30 oC. Masing-masing bahan

mengalami kesetimbangan pada rentang waktu yang berbeda, yaitu sekitar 4 –

14 hari. Data pengukuran kadar air masing-masing bahan tersaji pada

Lampiran 1.

Isotermi sorpsi tepung ubi jalar, tepung pisang, tepung kacang hijau, dan

ketiga formula awal memperlihatkan model yang sama yaitu berbentuk

sigmoid atau seperti huruf S. Bentuk kurva isotermi sorpsi yang demikian

merupakan bentuk yang umum ditemui pada bahan pangan. Tipe kurva

isotermi sorpsi yang berbentuk sigmoid ini menurut Bell dan Labuza (2000)

disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari kombinasi efek koligatif, efek

kapiler, dan interaksi permukaan solid dengan air.

Bahan dari formula awal yang dianalisis isotermi sorpsinya terbatas pada

bahan baku masing-masing produk. Tepung ubi jalar, tepung pisang dan

tepung kacang hijau dalam masing-masing formula memiliki presentasi yang

lebih tinggi dibanding bahan-bahan yang lainnya yaitu sebesar 39.22%,

42.27%, dan 64.70%. Hal ini mengacu pada Adawiyah (2006) yang

melakukan penelitian terhadap isotermi sorpsi model pangan dan komponen

penyusunnya. Penelitian tersebut menghasilkan pola isotermi sorpsi model

pangan berbentuk sigmoid menyerupai pola sorpsi pati dan kasein yang

prosentasenya lebih tinggi dibanding bahan lainnya dan tidak tampaknya

pengaruh gula pada pola isotermi sorpsi model pangan dikarenakan

Page 61: formulasi pangan darurat

proporsinya yang kecil. Bentuk kurva isotermi sorpsi gula dapat dilihat pada

Gambar 11 yang memperlihatkan patahan tajam pada nilai aw 0.84.

Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006)

Bahan yang berada pada RH tinggi (80-90%) ditumbuhi kapang sebelum

mencapai titik kesetimbangan. Pada saat kapang telah tumbuh, bobot bahan

menjadi naik-turun tidak stabil. Kapang pada tepung ubi jalar mulai tumbuh

pada RH 83.8 sedangkan pada tepung kacang hijau dan tepung pisang dimulai

pada RH 91.2. Pertumbuhan kapang pada pengukuran isotermi sorpsi formula

dimulai pada RH 83.8 pada masing-masing formula. Hal ini mungkin

disebabkan lebih kompleknya bahan yang terdapat pada formula, seperti susu

bubuk, konsentrat protein, dan gula. Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa

nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

mikororganisme. Nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan

mikroorganisme adalah sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi, dan

faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan mineral. Contoh pertumbuhan kapang

pada tepung dan formula dapat dilihat pada Gambar 12.

Page 62: formulasi pangan darurat

Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi

tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan)

Data hubungan kadar air (M) dengan nilai aw dari kurva isotermi sorpsi

yang telah diperoleh kemudian diubah dalam persamaan matematis model

GAB. Persamaan GAB tersebut adalah :

m = )1)(1(

...

Ckawkawkaw

awmokC

+−− ............................................... (6)

dengan m = kadar air basis kering (%), mo = kadar air monolayer (%), aw =

aktivitas air, C dan k merupakan konstanta persamaaan GAB.

Pembuatan kurva isotermi sorpsi dengan model GAB ini dimulai dengan

membuat plot hubungan kuadratik antara aw/M dan aw. Persamaan GAB

tersebut di atas diubah menjadi persamaan polinomial ordo dua atau

persamaan kuadratiknya dengan aw/M sebagai ordinat dan aw sebagai absis

seperti terlihat pada persamaan (7). Kurva hubungan kuadratik tepung dan

formula awal dapat dilihat pada Gambar 13.

M

aw =

mo

k(C

1-1)aw

2 + mo

1(1-

C

2)aw +

Ckmo

1 ...................... (7)

Persamaan kuadratik yang diperoleh dapat disederhanakan menjadi:

Y = αX2 + βX + Є .................................................................... (8)

dengan

Y = M

aw, X=aw,

α = mo

k(C

1-1), β =

mo

1(1-

C

2), dan Є =

Ckmo

1 .................. (9)

Page 63: formulasi pangan darurat

Substitusi α, β, dan Є dengan nilai persamaan kuadratik yang diperoleh

menghasilkan nilai konstanta C dan k serta nilai kadar air monolayer (mo).

Nilai k merupakan konstanta faktor koreksi dari molekul multilayer sedangkan

C menunjukkan konstanta Gunggenheim (Liovonen dan Ross, 2002) atau

menurut Adawiyah (2006) nilai C berhubungan dengan energi adsorpsi. Mo

merupakan nilai kadar air monolayer. Daerah monolayer berada pada kisaran

RH 0-20% (Syarief et. al., 1989). Nilai-nilai parameter persamaan GAB tersaji

pada Tabel 14.

Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan formula

(kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-bawah)

y = -0,1686x2 + 0,1813x + 0,0092

R2 = 0,9627

0,000,010,020,030,040,050,060,07

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00aw

aw/M

y = -0,2814x2 + 0,2617x + 0,0496

R2 = 0,94

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

0,12

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1aw

aw/M

y = -0,3981x2 + 0,3598x + 0,0286

R2 = 0,9776

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0 0,2 0,4 0,6 0,8

aw

aw/M

y = -0,2738x2 + 0,2423x + 0,0092

R2 = 0,9617

0,000,010,020,030,040,050,060,07

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8

y = -0,2192x2 + 0,2412x + 0,0378

R2 = 0,8878

0,00

0,02

0,04

0,06

0,08

0,10

0,12

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1aw

aw/M

y = -0,2003x2 + 0,2136x + 0,0007

R2 = 0,9756

0,00

0,01

0,02

0,030,04

0,05

0,06

0,07

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00aw

aw/M

Page 64: formulasi pangan darurat

Tabel 14. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB

Tepung K. Hijau

Formula K.Hijau

Tepung Ubi Jalar

Formula Ubi Jalar

Tepung Pisang

Formula Pisang

k 0.8898 0.9159 1.0853 1.0232 0.9349 0.8068 C 24.1477 7.7426 26.2674 14.2949 328.4014 9.9091

Mo 5.0589 2.8374 3.8129 2.3905 4.6531 3.3091 MRD 3.79 3.18 5.03 2.85 4.42 6.98

Kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar agak berbeda dari tepung kacang

hijau dan pisang. Bentuk kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar landai sampai

mencapai nilai aw sekitar 0.3-0.6. Pada nilai aw tersebut tepung ubi jalar

mengalami kenaikan kadar air yang tidak terlalu tinggi tetapi pada aw 0.8-0.9

nilai kadar ainya naik cukup tinggi. Kurva yang berbentuk landai ini hampir

menyerupai kurva isotermi sorpsi gula (Gambar 11), tetapi tidak terjadi

patahan tajam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan gula dalam

ubi jalar yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26% (Tsou et. al., 1989).

Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila

dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di

dalam Sulistiyo, 2006).

Kurva isotermi tepung kacang hijau memiliki bentuk yang hampir sama

dengan tepung pisang. Hal ini diduga karena kedua bahan tersebut

mengandung karbohidrat (pati) dalam jumlah tinggi. Ubi jalar juga

mengandung pati dalam jumlah cukup tinggi tetapi menurut Bradbury dan

Holloway (1988) di dalam Sulistiyo (2006), pemasakan dapat menghidrolisis

pati sehingga terjadi peningkatan maltosa.

Kurva isotermi bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui

stabilitasnya selama penyimpanan dan berhubungan dengan rencana

pengemasan. Parameter stabilitas bahan berdasarkan kurva isotermi sorpsi

terutama terletak pada nilai kadar air monolayer (mo). Menurut Bell dan

Labuza (2000) pada kebanyakan produk pangan kering, kadar air monolayer

menunjukkan kadar air kritis yang dapat juga diasosiasikan dengan nilai aw

kritis.

Penurunan kualitas produk terjadi seiring dengan peningkatan kadar air

di atas kadar air monolayernya. Hal ini berarti jika produk memiliki kadar air

Page 65: formulasi pangan darurat

di atas kadar monolayernya maka produk akan lebih cepat mengalami

penurunan kualitasnya. Pada kebanyakan produk pangan kering, kenaikan

nilai aw sebesar 0.1 dapat menurunkan umur simpan produk 2-3 kalinya.

Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan proses produksi yang bervariasi,

penyimpanan dapat ditoleransi pada kondisi 1% di atas kadar air

monolayernya (Bell dan Labuza, 2000).

Berdasarkan pengukuran isotermi sorpsi bahan baku dapat diketahui

masing-masing nilai kadar air monolayernya. Tabel 14 menunjukkan bahwa

tepung ubi jalar memiliki kadar air monolayer sebesar 2.39% bk. Nilai ini

lebih rendah dibandingkan kadar air awalnya yaitu sebesar 4.78% bk. Tepung

kacang hijau dan tepung pisang masing-masing memiliki nilai kadar air

monolayer di bawah nilai kadar air awalnya yaitu sebesar 5.06% bk dan

4.65% bk sedangkan kadar air awalnya masing-masing adalah 4.20%bk dan

3.76% bk.

Gambar 14 memperlihatkan kurva isotermi sorpsi formula awal

memiliki pola yang hampir sama dengan pola kurva isotermi sorpsi bahan

bakunya tetapi letaknya lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada formula

terdapat penambahan minyak goreng. Adanya minyak ini cenderung

menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air (Adawiyah, 2006).

Selain itu juga dapat dilihat bahwa tidak tampaknya pengaruh gula pada

masing-masing pola kurva isotermi sorpsi formula awal.

Masing-masing bahan memperlihatkan bahwa nilai kadar air monolayer

dan konstanta C pada formula lebih rendah dibanding tepung tunggalnya

sedangkan nilai k formula tidak terlalu berbeda dengan tepung tunggalnya.

Menurut Adawiyah (2006) adanya penambahan minyak pada model pangan

menurunkan jumlah dan energi pengikatan air pada lapis monolayer. Nilai

MRD atau ketepatan model pada masing-masing pengukuran isotermi sorpsi

menunjukkan nilai kurang dari 10% atau dapat dikatakan memiliki ketepatan

cukup tinggi.

Page 66: formulasi pangan darurat

Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data

percobaan dan data prediksi dengan persamaan GAB (a) basis tepung ubi jalar, (b) basis tepung pisang, (c) basis tepung kacang hijau

0

10

20

30

40

50

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw

kada

r ai

r (%

bk)

percobaantep.ubi jalar

GAB tep.ubijalar

percobaanformula ubijalarGAB formulaubi jalar

0

5

10

15

20

25

30

35

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw

kada

r ai

r (%

bk) percobaan

tep.pisang

GABtep.pisang

percobaanformula pisang

GAB formulapisang

0

5

10

15

20

25

30

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw

kada

r ai

r (%

bk)

percobaantep.k.hijau

GABtep.k.hijau

percobaanformula k.hijau

GAB formulak.hijau

c

b

a

Page 67: formulasi pangan darurat

D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN DALAM FORMULASI

Produksi IMF dilakukan dengan teknik pembuatan IMF metode moist

infution, yaitu campuran bahan-bahan kering dikontrol proses pembasahannya

(Robson, 1976). Proses pembasahan dilakukan dengan menambahkan air pada

campuran bahan-bahan kering. Jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui

dari kurva isotermi sorpsi formula. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula

awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada aw tertentu. Selisih antara

nilai kadar air pada aw tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar

air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Air

yang digunakan untuk produksi IMF ini merupakan air mineral yang telah

dipanaskan sampai mencapai suhu + 80 oC.

1. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Ubi Jalar

Penambahan jumlah air pada formula ubi jalar mengacu pada kurva

isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti terlihat pada Gambar 14.

Penambahan air direncanakan sampai aw produk sekitar 0.8-0.9. Hal ini

berdasarkan asumsi bahwa pada aw 0.8-0.9 kadar air produk cukup tinggi

sehingga produk yang dihasilkan nantinya tidak menyebabkan haus, seret,

dan susah ditelan.

Jumlah air yang ditambahkan pada formula ubi jalar diperoleh dari

interpolasi kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti pada Gambar 14,

yaitu pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 12.9752% bk dan pada aw 0.9

diperoleh nilai kadar air 30.0410% bk. Nilai kadar air ini merupakan nilai

kadar air perkiraan. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air awal

formula yaitu sebesar 5.3408% bk dan kadar air yang ingin dicapai pada

produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada produk,

yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0763 gram H2O/gram bobot

solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.2470

gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air

tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan

penulis). Pengujian ini meliputi kemudahan ditelan dan dicetak.

Page 68: formulasi pangan darurat

Hasil pengujian organoleptik subjektif menyatakan bahwa pada aw

0.8 produk masih bersifat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan

susah ditelan. Produk yang ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9

terlihat terlalu lembek sehingga sulit dicetak dan menempel pada langit-

langit mulut ketika dikonsumsi.

Kedua produk yang telah dicoba ternyata memberikan hasil yang

tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu dicobakan

lagi penambahan air pada kisaran aw 0.84-0.88. Hasil produk yang sesuai

kriteria yaitu mudah ditelan dan mudah dicetak diperoleh pada nilai aw

0.88 yaitu dengan penambahan air sebanyak 0.1848 gram H2O/gram bobot

solidnya dengan perkiraan kadar air totalnya sebesar 23.8254 % bk.

2. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Pisang

Prosedur yang sama juga dilakukan pada tepung pisang. Jumlah air

yang ditambahkan mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula pisang dan

penambahan air dilakukan sampai aw produk mencapai kisaran 0.8-0.9.

Jumlah air yang ditambahkan pada formula pisang diperoleh dari

interpolasi kurva isotermi sorpsi formula seperti pada Gambar 14 yaitu

pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 8.8425 % bk dan pada aw 0.9

diperoleh nilai kadar air 11.6387 % bk. Kadar air awal formula pisang

adalah 6.1233 % bk. Berdasarkan nilai kadar air ini dapat dihitung jumlah

air yang ditambahkan dalam formula pisang. Jumlah air yang ditambahkan

pada produk dengan nilai perkiraan aw 0.8 adalah sebesar 0.0272 gram

H2O/gram bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan

sebesar 0.0551 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah

dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif

terbatas (dilakukan penulis) dengan atribut pengujian sama seperti formula

ubi jalar yaitu kemudahan ditelan dan dicetak.

Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa pada aw 0.8 produk

bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah

ditelan serta teksturnya masih mirip formula awalnya. Produk yang

ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9 juga masih menunjukkan

Page 69: formulasi pangan darurat

karakteristik yang hampir sama dengan produk yang ditambah air sampai

aw 0.8. Oleh karena penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan

sifat produk yang free flowing dan sulit ditelan maka dilakukan

penambahan air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi

sorpsinya. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai

diperoleh tekstur produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak.

Hasil percobaan menunjukkan jumlah air yang harus ditambahkan untuk

memenuhi kriteria tersebut adalah sebesar 0.2133 gram H2O / gram bobot

solidnya.

3. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Kacang Hijau

Penambahan air pada formula kacang hijau juga dilakukan dengan

cara yang sama. Jumlah air yang ditambahkan mengacu pada kurva

isotermi sorpsi formula kacang hijau pada kisaran aw 0.8-0.9.

Kurva isotermi sorpsi formula kacang hijau dapat dilihat pada

Gambar 14. Nilai kadar air pada aw 0.8 adalah sebesar 10.1374 % bk dan

15.7153 % bk pada aw 0.9. Nilai kadar air ini merupakan nilai kadar air

perkiraan pada produk. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air

awal formula yaitu sebesar 5.1912 % bk dan kadar air yang ingin dicapai

pada produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada

produk yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0495 gram H2O/gram

bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar

0.1052 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur

dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas

(dilakukan penulis). Karakteristik pengujian ini meliputi kemudahan

ditelan dan dicetak.

Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa pada aw 0.8

produk bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan

susah ditelan. Demikian halnya dengan produk yang ditambah air sampai

mencapai nilai aw 0.9. Produk tersebut masih bersifat free flowing, tidak

bisa menyatu dengan baik, mudah rapuh, dan susah ditelan. Oleh karena

penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan sifat produk yang

Page 70: formulasi pangan darurat

belum memenuhi kriteria yang diharapkan maka dilakukan penambahan

air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi sorpsinya.

Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai diperoleh tekstur

produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak. Hasil menunjukkan

jumlah air yang harus ditambahkan untuk memenuhi kriteria tersebut

adalah sebesar 0.2166 gram H2O/gram bobot solidnya.

E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN

Tahap selanjutnya dalam proses produksi paroduk pangan darurat

debgan teknologi IMF ini adalah aplikasi humektan. Penggunaan humektan

dimaksudkan untuk menurunkan nilai aw produk sampai pada kisaran nilai aw

IMF tetapi kadar air produk tetap terjaga sehingga menghasilkan produk yang

masih cukup basah.

Bahan yang telah dicampur dengan air selanjutnya ditambah humektan

dengan konsentrasi tertentu. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan

gliserol. Penggunaan humektan dalam produk merupakan penggunaan single

humectant atau kedua humektan digunakan terpisah. Menurut Sloan et. al.

(1976), pada penggunaan single humectant dapat dipilih metode pencampuran

kering atau larutan. Penelitian ini mengaplikasikan humektan dengan cara

pencampuran kering.

Aplikasi humektan menggunakan model persamaan Grover. Persamaan

Grover dapat diterapkan pada kisaran aw 0.43-0.91 dengan nilai simpangan

sebesar 6.8%. Persamaan Grover menghasilkan prediksi data aw model

campuran pangan yang lebih baik dibanding persamaan Ross (Adawiyah,

2006). Keunggulan persamaan Grover adalah memperhitungkan komposisi

masing-masing komponen yang digunakan di dalam model campuran. Bell

dan Labuza (2000) menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi aw

daging yang ditambahkan glikol sebagai humektan dan memprediksi jumlah

humektan yang digunakan untuk menurunkan aw daging tersebut.

Persamaan Grover biasa dipakai untuk memprediksi aw produk

berdasarkan komposisi bahan penyusunnya. Persamaan ini banyak diterapkan

Page 71: formulasi pangan darurat

pada produk confectionery (Taoukis et. al., 1999). Bentuk persamaan Grover

adalah

aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2

dimana,

Eo = Σ Ei / mi

Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun. Beberapa nilai Ei

yang sudah diketahui diantaranya protein 1.3, karbohidrat (pati) 0.8, lemak 0,

sukrosa 1. mi menunjukkan kadar air dalam gram air per gram bahan (Bell dan

Labuza, 2000). Menurut Adawiyah (2006) penambahan minyak di dalam

model pangan cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat

air di daerah monolayer. Oleh karena itu dilakukan modifikasi pada koefisien

Ei minyak menjadi -1.

Perkiraan nilai aw dengan persamaan Grover membutuhkan data bobot

masing-masing komponen. Oleh karena itu pada masing-masing formula

dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui nilai komposisi aktualnya

meskipun sebelumnya telah diketahui komposisinya menurut penghitungan

kesetimbangan massa. Hasil analisis proksimat ketiga formula tersebut dapat

dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau

Komponen Ubi Jalar Pisang Kacang Hijau

% BB % BK % BB % BK % BB % BK Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat

5.07 2.23 21.39 16.43 54.88

5.34 2.35 22.53 17.31 57.80

5.77 2.52 18.69 14.14 58.88

6.12 2.67 19.83 15.01 62.49

4.94 1.61 18.37 15.29 59.79

5.19 1.69 19.32 16.08 62.89

Aplikasi humektan ini diharapkan dapat menurunkan aw produk hingga

mencapai 0.7-0.8. Pemakaian sorbitol menggunakan sorbitol cair. Sorbitol cair

tidak berwarna (jenih), agak kental, dan tidak berbau. Sorbitol tergolong

GRAS tetapi asupan tiap harinya dibatasi karena konsumsi yang berlebihan

dapat menyebabkan efek laksatif atau diare. Batas konsumsi sorbitol adalah 50

gram/hari (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol mempunyai konstanta persamaan

Grover (Ei) sebesar 2.0.

Page 72: formulasi pangan darurat

Gliserol merupakan humektan yang dapat juga berperan sebagai

plasticizer. Gliserol yang digunakan merupakan gliserol food grade. Gliserol

juga tidak berwarna (jenih) dengan kekentalan yang lebih tinggi dibanding

sorbitol cair. Gliserol tergolong food additive GRAS dengan nomor 21 CFR

182.1320. Kekurangan gliserol adalah aftertaste pahit pada pemakaian dengan

konsentrasi tinggi. Oleh karena itu batas penggunaan konsentrasi gliserol pada

produk ini selain telah mencapai nilai aw yang diharapkan juga ditentukan oleh

aftertaste pahit yang ditimbulkannya. Konstanta Grover untuk gliserol adalah

4.0.

Pemakaian sorbitol ditentukan pada konsentrasi 5% dan 10%. Asumsi

yang digunakan adalah berat produk per bar adalah 50 gram solid dengan

ukuran saji 10 bar per hari. Dengan demikian jumlah konsumsi maksimal

sorbitol sekitar 50 gram/hari sehingga tidak menyebabkan efek laksatif.

Pemakaian gliserol dicoba mulai dari konsentrasi yang rendah dengan melihat

nilai aw yang dihasilkan dan aftertaste pahitnya.

Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap formula dengan persamaan Grover

Formula Sebelum ditambah humektan

Sorbitol (%) Gliserol (%)

5 10 2 4 6 8

Ubi jalar 0.851 0.811 0.773 0.819 0.788 0.759 0.731 Pisang 0.862 0.826 0.791 0.833 0.804 0.777 0.752 K.hijau 0.850 0.813 0.778 0.820 0.792 0.765 0.739

Berdasarkan Tabel 16 tersebut dapat dilihat nilai prediksi aw produk

dengan penambahan sorbitol atau gliserol. Penambahan sorbitol dalam

konsentrasi 5% mampu menurunkan aw produk sampai dibawah 0.85 dan

penggunaan konsentrasi 10% dapat menurunkan aw sampai nilai dibawah 0.8.

Dengan demikian dipilih produk dengan penambahan sorbitol konsentrasi

10% untuk diuji lebih lanjut. Nilai aw ubi jalar sebelum ditambah sorbitol

sebesar 0.851 dan setelah ditambah 10% sorbitol turun menjadi 0.773. Produk

formula pisang yang memiliki nilai aw awal sebelum penambahan humektan

sebesar 0.862 turun menjadi 0.791. Demikian halnya produk formula kacang

hijau dengan nilai aw awal sebelum ditambah humektan 0.85 turun menjadi

Page 73: formulasi pangan darurat

0.778. Tekstur produk yang telah ditambah sorbitol tampak lebih menyatu,

kompak, tidak rapuh, dan terasa lebih manis.

Jumlah gliserol yang ditambahkan pada produk dimulai dari 2% - 8%.

Berdasarkan penghitungan dengan persamaan Grover diperoleh data

penurunan nilai aw yang cukup signifikan. Nilai aw tanpa penambahan gliserol

pada formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah 0.851, 0.862, dan

0.850. Pada setiap penambahan konsentrasi gliserol dilakukan pencicipan

terhadap ketiga produk dengan atribut kritis aftertaste pahit. Penambahan

gliserol pada konsentrasi 2% menghasilkan nilai aw 0.819 , 0.833, dan 0.820

untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Aplikasi 2% gliserol belum

menunjukkan adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Jumlah 4% gliserol

menghasilkan nilai aw 0.788, 0.804, dan 0.792 untuk formula ubi jalar, pisang,

dan kacang hijau. Hasil pencicipan produk dengan konsentrasi 4% gliserol

juga menunjukkan belum adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Dengan

demikian dicobakan konsentrasi penambahan gliserol yang lebih tinggi yaitu

6%. Konsentrasi 6% gliserol menghasilkan nilai aw sebesar 0.759, 0.778, dan

0.765 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Penambahan 6%

gliserol pada formula pisang dan kacang hijau menunjukkan adanya aftertaste

pahit sedangkan formula ubi jalar belum menunjukkan aftertaste pahit. Oleh

karena itu pada formula ubi jalar dicobakan konsentrasi 8% gliserol dan

menghasilkan nilai aw sebesar 0.731 dengan rasa normal atau belum

menunjukkan aftertaste pahit..

Data hasil penambahan gliserol menunjukkan bahwa pada konsentrasi

6% gliserol sudah terdeteksi aftertaste pahit pada formula pisang dan kacang

hijau. Oleh karena itu jumlah gliserol yang ditambahkan pada formula pisang

dan kacang hijau adalah sebesar 4%.

Penambahan gliserol pada formula ubi jalar menunjukkan bahwa sampai

pada konsentrasi 8% belum terdeteksi aftertaste pahit. Hal ini kemungkinan

karena tingginya kandungan gula pada tepung ubi jalar sehingga dapat

menutupi aftertaste pahit yang disebabkan gliserol. Produk formula ubi jalar

jika dilihat nilai penurunan awnya maka pada konsentrasi 4% aw yang

diperoleh sudah cukup rendah dan memenuhi kriteria aw IMF. Oleh karena itu,

Page 74: formulasi pangan darurat

pada formula ubi jalar juga dipilih konsentrasi 4% gliserol yang akan diuji

lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi penggunaan humektan.

Tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran aw dengan aw meter

untuk melihat aw aktualnya. Pengukuran dengan aw meter ini juga sebagai

verifikasi prediksi aw dengan persamaan isotermi sorpsi GAB dan persamaan

Grover. Nilai aw aktual hasil pengukuran dengan aw meter dapat dilihat pada

Tabel 17.

Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter

Formula Ubi Jalar

Formula Pisang

Formula Kacang Hijau

Tanpa humektan 0.771 / 29.7 oC 0.822 / 30.6 oC 0.853 / 30.2 oC

Sorbitol 10 % 0.772 / 29.9 oC 0.835 / 30.6 oC 0.832 / 30.2 oC Gliserol 4 % 0.737 / 30.2 oC 0.804 / 30.6 oC 0.815 / 30.3 oC

Hasil pengukuran aw produk tanpa humektan dengan aw meter (aw aktual

tanpa humektan) menunjukkan nilai yang agak berbeda dengan nilai prediksi

baik dengan persamaan isotermi sorpsi GAB ataupun dengan persamaan

Grover. Nilai aw prediksi formula ubi jalar dengan persamaan GAB adalah

0.88 dan dengan persamaan Grover adalah 0.851 sedangkan pengukuran nilai

aw aktualnya adalah 0.771. Prediksi aw formula pisang tanpa humektan dengan

persamaan GAB menunjukkan nilai aw lebih besar dari 0.9 dan dengan

persamaan Grover adalah 0.862 sedangkan pengukuran aw aktualnya bernilai

0.822. Nilai aw prediksi formula kacang hijau tanpa humektan dengan

persamaan GAB juga menunjukkan nilai lebih besar dari 0.9 sedangkan

dengan persamaan Grover memiliki nilai aw sebesar 0.850. Nilai aw prediksi

dengan persamaan Grover pada formula kacang hijau tidak berbeda jauh

dengan nilai aw aktualnya yaitu 0.853.

Pengukuran aw aktual pada formula ubi jalar tanpa dan dengan

penambahan humektan menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai

prediksinya dengan persamaan Grover. Formula ubi jalar dengan penambahan

10% sorbitol memiliki nilai aw aktual sebesar 0.772 dan penambahan 4%

gliserol menghasilkan nilai aw aktual sebesar 0.737.

Nilai aw aktual formula pisang dengan penambahan 10% sorbitol lebih

besar dibandingkan dengan nilai aw prediksinya sedangkan formula dengan

Page 75: formulasi pangan darurat

penambahan 4% gliserol mempunyai nilai aw aktual 0.804 yang sama dengan

nilai prediksinya yaitu 0.804. Formula kacang hijau dengan penambahan

sorbitol memiliki nilai aw 0.832. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai

prediksi yaitu 0.778. Nilai aw formula kacang hijau yang ditambah 4% gliserol

adalah 0.815 tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yaitu sebesar 0.792.

Perbedaan antara nilai aw aktual dengan aw prediksi persamaan Grover

mungkin disebabkan oleh penghitungan persamaan Grover yang kurang tepat.

Pada penghitungan prediksi aw dengan persamaan Grover terdapat konstanta

Grover untuk nilai protein, lemak, gula, dan pati sedangkan pada penelitian

tidak dilakukan analisis total pati dan total gula pada formula. Penghitungan

total pati pada formula menggunakan selisih total karbohidrat (karbohidrat by

difference) dengan total sukrosa yang ditambahkan pada formula sedangkan

total gula dihitung berdasarkan jumlah sukrosa yang ditambahkan dalam

formulasi. Adanya perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan nilai aw

aktual dengan aw prediksi persamaan Grover.

Berdasarkan hasil pengukuran nilai aw aktual tersebut dapat dilihat

bahwa pada formula ubi jalar dan pisang dengan penambahan sorbitol

memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan aw produk tanpa humektan pada

masing-masing formula. Nilai aw produk dengan penambahan sorbitol

seharusnya lebih rendah dibanding aw produk tanpa humektan karena adanya

humektan dapat menurunkan aw bahan. Oleh karena itu produk yang akan

diuji lebih lanjut adalah produk yang menggunakan gliserol sebagai humektan.

Produk yang ditambah gliserol menunjukkan penurunan aw yang cukup

signifikan dan nilainya memenuhi kisaran aw IMF. Produk masing-masing

formula kemudian dicetak dengan bentuk persegi dan mempunyai dimensi 5 x

5 x 2 cm dengan bobot 50 gram solid. Penampakan produk dapat dilihat pada

Gambar 15.

Page 76: formulasi pangan darurat

Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan

pisang (kiri-kanan)

F. UJI ORGANOLEPTIK

Uji sensori secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu uji pembedaan

(discrimination test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif (affective

test) (Meilgaard, et al., 1999). Uji pembedaan digunakan untuk menentukan

perbedaan yang nyata diantara sampel. Uji deskriptif digunakan untuk

menentukan intensitas perbedaan diantara sampel sedangkan uji afektif

digunakan untuk mengukur sikap subjektif panelis tehadap suatu produk

berdasarkan alat sensorinya.

Uji organoleptik yang akan dilakukan terhadap produk pangan darurat

ini adalah uji rating atribut dan uji rating hedonik. Uji rating atribut termasuk

dalam multisample difference test : rating approach sedangkan uji rating

hedonik termasuk dalam uji afektif kuantitatif. Uji rating dapat menggunakan

skala pengukuran 5, 7, atau 9. Pengujian ini menggunakan skala 7. Pengujian

ini menggunakan 25 panelis tidak terlatih yang diambil dari lingkungan

kampus IPB Bogor. Data hasil pengujian organoleptik (Lampiran 4) diolah

menggunakan program SPSS 13 dengan uji Anova dan uji lanjut Duncan pada

taraf nyata 0.05. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila hasil uji Anova

menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05. Penyajian sampel uji

dapat dilihat pada Gambar 16.

Page 77: formulasi pangan darurat

Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik

1. Uji Rating Atribut

Uji rating atribut meliputi kemudahan ditelan dan aftertaste pahit.

Atribut kemudahan ditelan digunakan untuk melihat tingkat kemudahan

produk dapat ditelan atau dengan kata lain seberapa banyak air yang

dibutuhkan untuk menyertai konsumsi. Hal ini berdasarkan kriteria produk

pangan darurat yaitu tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai

konsumsi. Pengukuran pada uji rating kemudahan ditelan menggunakan

skala 7 dengan angka 1 menunjukkan sangat sulit ditelan dan angka 7

sangat mudah ditelan.

Hasil yang diperoleh pada uji rating terhadap atribut kemudahan

ditelan menunjukkan bahwa ketiga formula berbeda nyata. Hal ini

ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.000. Oleh karena ketiga

formula berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji

Duncan menunjukkan bahwa formula pisang dan kacang hijau berada pada

kolom subset yang sama sedangkan formula ubi jalar berada pada kolom

subset yang berbeda. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara

formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini berbeda nyata

dengan formula ubi jalar dalam hal kemudahan ditelan. Nilai kemudahan

ditelan untuk formula pisang dan formula kacang hijau adalah sebesar 4.08

dan 3.92. Nilai ini menyatakan panelis memberikan penilaian netral

terhadap kemudahan ditelan bagi kedua formula tersebut. Nilai

kemudahan ditelan formula ubi menunjukkan angka 4.96 yang berarti

formula ubi jalar agak mudah ditelan.

Page 78: formulasi pangan darurat

Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel

Atribut aftertaste pahit digunakan untuk melihat pengaruh

penggunaan gliserol. Angka 1 pada uji aftertaste pahit menunjukkan

sangat tidak pahit dan angka 7 sangat pahit. Pengujian terhadap aftertaste

pahit juga menunjukkan ketiga formula berbeda nyata. Nilai signifikansi

pengujian sebesar 0.000. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut Duncan

untuk melihat perbedaan ketiga formula. Uji Duncan menunjukkan bahwa

formula ubi jalar mempunyai nilai aftertaste pahit 3.16 atau dapat

dikatakan agak tidak pahit. Tingkat aftertaste pahit formula ubi jalar

berbeda nyata dengan formula pisang dan kacang hijau yang mempunyai

nilai aftertaste pahit 4.16 atau mempunyai tingkat kepahitan netral. Hasil

pengujian terhadap atribut aftertaste pahit dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel

3,92b4,08b

4,96a

0

1

2

3

4

5

6

7

ubi jalar pisang kacang hijau

sampel

kem

udah

an d

itel

an

3,16a

4,16b 4,16b

0

1

2

3

4

5

6

7

ubi jalar pisang kacang hijau

sampel

ting

kat a

fter

tast

e pa

hit

Page 79: formulasi pangan darurat

2. Uji Rating Hedonik

Uji rating hedonik yang termasuk dalam uji afektif kuantitaf dapat

digunakan untuk menentukan preferensi atau kesukaan secara keseluruhan

terhadap produk. Uji rating hedonik ini menggunakan skala 7 dengan angka 1

bernilai sangat tidak suka dan angka 7 sangat suka.

Hasil uji rating hedonik menunjukkan secara nyata terdapat perbedaan

diantara ketiga formula. Uji lanjut Duncan menyatakan formula pisang dan

kacang hijau berada pada kolom subset yang sama sedangkan formula ubi

jalar berada pada subset yang lain. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat

kesukaan terhadap formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini

berbeda nyata dengan formula ubi jalar. Panelis memberikan nilai kesukaan

3.44 untuk formula pisang dan 3.6 untuk formula kacang hijau atau dapat

dikatakan panelis agak tidak suka dengan kedua formula tersebut. Formula ubi

jalar mempunyai nilai kesukaan 5.32. Nilai ini menunjukkan panelis agak suka

terhadap formula ubi jalar. Hasil uji hedonik dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Hasil uji rating hedonik ketiga sampel.

G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH

Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa produk yang paling

mudah ditelan, paling tidak terasa pahit, dan paling disukai diantara ketiga

formula tersebut adalah produk dengan formula ubi jalar. Oleh karena itu

produk formula ubi jalar merupakan produk yang akan dianalisis lebih lanjut.

3,6b3,44b

5,32a

0

1

2

3

4

5

6

7

ubi jalar pisang kacang hijau

sampel

tin

gkat

kes

uk

aan

Page 80: formulasi pangan darurat

Analisis meliputi perbandingan kurva isotermi sorpsi produk akhir dengan

formula awalnya, analisis proksimat produk akhir, dan analisis mikrobiologis.

Produk IMF biasanya dikemas dengan kertas berlapis lilin misalnya

dodol Garut dan kue wingko, atau dengan plastik misalnya dodol buah atau

jenang Kudus. Kemasan tersebut merupakan kemasan primer atau kemasan

yang langsung kontak dengan produk. Menurut Syarief et. al. (1989), produk

yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-

produk ini memiliki nilai aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk

semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas

uap air yang rendah. Produk pangan darurat ini akan dikemas dengan

aluminium foil. Pemilihan kemasan aluminium foil dikarenakan aluminium

foil mempunyai konstanta permeabilitas uap air yang sangat rendah. Selain itu

aluminium foil juga bersifat hermetis dan fleksibel sehingga memudahkan

pengemasan. Produk yang dikemas dengan aluminium foil dapat dilihat pada

Gambar 20.

Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo

1. Komposisi Nutrisi

Analisis proksimat dilakukan pada produk yang telah ditambah

humektan (gliserol). Analisis proksimat ini digunakan untuk melihat

komposisi nutrisi aktual produk akhir yang merupakan produk terpilih.

Hasil analisis proksimat tersaji pada Tabel 18.

Page 81: formulasi pangan darurat

Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi jalar)

Komponen % BB % BK Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat

20.38 1.70 15.98 12.05 49.89

25.60 2.13 20.07 15.13 62.67

Berdasarkan hasil analisis proksimat pada Tabel 19 dapat dilihat

bahwa kandungan proteinnya belum memenuhi kisaran nilai yang

dianjurkan oleh IOM. Nilai protein produk hanya 15.13% bk atau setara

7.56 gram/bar produk sedangkan kandungan lemak dan karbohidatnya

memenuhi pesyaratan nutrisi pangan darurat. Kandungan lemak produk

adalah 20.07% bk atau setara dengan 10.03 gram/bar dan jumlah

karbohidrat pada produk adalah sebesar 62.67% bk atau setara 31.33

gram/bar. Nilai total kalori per bar sebesar 245.917 kkal.

Terjadinya perbedaan nilai protein aktual produk dengan

penghitungan diduga dikarenakan pada tahap formulasi menggunakan

acuan nilai nutrisi berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan dan

informasi nilai gizi yang tercantum pada kemasan susu fullcream yang

digunakan. Nilai-nilai tersebut mungkin berbeda dengan nilai aktual bahan

yang digunakan pada penelitian ini disebabkan varietas dan proses

produksi yang berbeda. Meskipun nilai proteinnya masih kurang dari

anjuran nutrisi minimal pangan darurat, produk pangan darurat formula

ubi ini mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi dan memenuhi minimal

kalori yang dipersyaratkan dalam pangan darurat yaitu 233 kkal/bar.

2. Pengaruh Penambahan Humektan terhadap Kurva Isotermi Sorpsi

Penambahan humektan pada produk akhir berpengaruh pada kurva

isotermi sorpsi. Gambar 21 memperlihatkan adanya pergeseran kurva

isotermi sorpsi formula awal (formula tanpa humektan). Kurva isotermi

sorpsi produk akhir memiliki pola yang hampir sama tetapi berada di atas

kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan.

Page 82: formulasi pangan darurat

0

10

20

30

40

50

60

70

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw

kad

ar a

ir (

%B

K)

percobaanform ubi tanpahumektan

GAB form ubitanpahumektan

percobaanform ubidenganhumektanGAB form ubidenganhumektan

Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan dan produk

akhir formula ubi jalar yang mengandung humektan

Tabel 19. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB

Formula Ubi Tanpa Humektan

Formula Ubi dengan Humektan

k 1.0232 1.0095 C 14.2949 20.9096

Mo 2.3905 5.2640 MRD 2.85 3.71

Nilai kadar air monoloyer produk akhir yang mengandung humektan

adalah 5.2640 %bk. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai kadar air

monolayer formula tanpa humektan yaitu 2.3905 %bk sedangkan nilai

energi pengikatan air (C) pada produk akhir yang mengandung humektan

sebesar 20.9096 lebih tinggi dibanding formula tanpa humektan yang

memiliki energi pengikatan air sebesar 14.2949. Hal ini disebabkan pada

produk akhir yang mengandung humektan lebih banyak mengikat air. Pada

Gambar 21 juga dapat dilihat bahwa penggunaan humektan dapat

menurunkan aw tetapi kadar air produk masih dapat dipertahankan. Kurva

tersebut menunjukkan bahwa pada nilai kadar air yang sama, formula yang

ditambah humektan mempunyai nilai aw yang lebih rendah dibandingkan

formula tanpa humektan.

Page 83: formulasi pangan darurat

Penyerapan air lebih besar terjadi pada produk akhir dibandingkan

dengan produk tanpa humektan. Penelitian tentang isotermi sorpsi pindang

ikan tongkol yang dilakukan oleh Kadir (1982) juga memperlihatkan

fenomena yang sama. Nilai kadar air pada tingkat aw yang sama untuk

pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0% lebih kecil

dibandingkan dengan pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6%.

Jika dibuat kurva isotermi sorpsinya maka kurva isotermi sorpsi pindang

ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6% berada di atas kurva isotermi

sorpsi pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0%. Garam

merupakan salah satu jenis humektan. Keberadaan humektan pada produk

akhir dapat meningkatkan pengikatan air. Hal ini sesuai dengan fungsi

humektan yaitu mengikat air. Menurut Taoukis et. al. (1999) humektan

merupakan senyawa yang bersifat higroskopis.

Humektan yang digunakan pada produk terpilih adalah gliserol.

Berdasarkan struktur kimianya, gliserol mempunyai tiga gugus hidroksil

(OH). Adanya gugus hidroksil ini menyebabkan gliserol mudah berikatan

dengan air. Ikatan ini adalah ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen merupakan

interaksi elektrostatik yang dapat terjadi pada dua molekul air yaitu antara

muatan negatif sebagian pada atom oksigen dari satu molekul air dengan

muatan positif sebagian pada atom hidrogen dari molekul yang lain

(Lehninger, 1993). Atom hidrogen dari molekul humektan yang bermuatan

positif sebagian dapat membentuk ikatan hidrogen dengan atom oksigen

yang bermuatan negatif sebagian dari molekul air yang terkandung di

dalam produk. Oleh karena itu produk akhir yang mengandung humektan

gliserol memperlihatkan pengikatan air yang lebih tinggi dibandingkan

produk tanpa gliserol.

3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir

Analisis kestabilan mikrobiologis dilakukan satu kali seminggu

selama empat minggu. Analisis kestabilan mikrobiologis ini meliputi

analisis pertumbuhan kapang-khamir dan total mikroba. Analisis kapang

khamir menggunakan media potato dextrose agar (PDA) yang kemudian

Page 84: formulasi pangan darurat

0

1

2

3

4

5

0 1 2 3 4 5

minggu

jum

lah

kolo

ni (l

og C

FU

/gra

m)

total mikroba kapang-khamir

diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10 % sedangkan total

mikroba menggunakan media plate count agar (PCA). Pemupukan

dilakukan sampai pengenceran -5 dengan metode cawan tuang atau pour

plate.

Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat minggu

Minggu Jumlah Mikroba (koloni/gram)

Kapang-Khamir Total Mikroba 0 6.0 x 101 (< 1.0 x 102) 6.3 x 103 1 7.3 x 101 (< 1.0 x 102) 9.4 x 103 2 1.2 x 102 1.3 x 104 3 1.3 x 102 1.6 x 104 4 1.4 x 102 2.2 x 104

Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir selama

empat minggu

Hasil analisis mikrobiologis produk seperti yang terdapat pada Tabel

20 menunjukkan bahwa pertumbuhan total mikroba dan kapang-khamir

mengalami kanaikan yang tidak terlalu tinggi selama empat minggu. Nilai

total mikroba pada minggu ke-0 sebesar 6.3 x 103 koloni/gram atau 3.79

log CFU/gram dan pada minggu keempat produk mengandung 2.2 x 104

koloni/gram atau sebanyak 4.34 log CFU/gram. Nilai total mikroba

mengalami kenaikan sebesar 0.55 log CFU/g.

Analisis kapang-khamir menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni

hanya terdapat pada cawan dengan pengenceran 10-1 sedangkan pada

cawan dengan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5 tidak terdapat

Page 85: formulasi pangan darurat

pertumbuhan koloni sampai minggu keempat. Jumlah kapang-khamir pada

minggu ke-0 sebesar 6.0 x 101 atau sebesar 1.78 log CFU/gram dan pada

minggu minggu ke-4 jumlah kapang-khamir adalah 1.4 x 102 atau 2.15

log CFU/gram. Kenaikan jumlah kapang-khamir selama empat minggu

sebesar 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk sampai minggu

keempat masih menunjukkan penampakan normal dan tidak terdapat

pertumbuhan mikroba. Menurut Seiler (1976) kapang merupakan masalah

mikrobial utama pada IMF modern.

Nilai mutu mikrobiologis produk mengacu pada bakpia pathuk

(isinya) dikarenakan adanya kemiripan tekstur dan bentuk produk akhir

dengan isi bakpia pathuk. Menurut SNI 01-4291-1996 disebutkan bahwa

bakpia pathuk merupakan makanan semi basah dengan angka lempeng

total (total plate count) yang menunjukkan total mikroba maksimal 104

dan jumlah kapang maksimal 103. Berdasarkan jumlah kapang-khamirnya,

produk pangan darurat berbahan baku tepung ubi jalar ini masih dapat

dikonsumsi dalam rentang waktu empat minggu setelah produksi, tetapi

jika mengacu pada nilai total mikrobanya, produk ini hanya dapat

dikonsumsi sampai satu minggu setelah produksi.

Sebagai pembanding lainnya, pangan basah misalnya bandeng asap

dengan nilai aw 0.9 mempunyai total mikroba setelah tiga hari

penyimpanan sebesar 8.1 x 106 koloni/gram dan mengalami penurunan

kesegaran dua hari kemudian dengan nilai total mikroba sebesar 9.0 x 107

koloni/gram. Dengan demikian bandeng asap selama dua hari

penyimpanan mengalami kenaikan jumlah mikroba sebesar 1.04 log CFU

(Susijahadi, 1983).

Aktifitas air merupakan faktor penting dalam pengendalian mikroba.

Rendahnya nilai aw IMF dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan

reaksi kimia lain sehingga IMF bersifat lebih awet. Walaupun demikian

pengendalian mikroba yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada

penurunan aw, melainkan dipengaruhi pula oleh pH, suhu, bahan pengawet

dan kondisi bersaing dengan mikroflora lainnya.

Page 86: formulasi pangan darurat

Salah satu keuntungan IMF adalah pertumbuhan bakteri tidak terjadi

pada aw dibawah 0.85. Beberapa jenis kapang dan khamir dapat tumbuh

tetapi khamir patogen tidak dapat tumbuh pada aw yang rendah (Tilbury,

1976). Beberapa jenis mikroorganisme yang potensial dapat tumbuh pada

IMF dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat pada pangan semi basah

aw Bakteri Khamir kapang 0.90 Lactobacillus a

Micrococcus Pediococcus Vibrioa

Hansanula Saccharomyces

-

0.88 - Candida Debaryomyces Hanseniaspora Torulopsis

Cladosporium

0.87 - Debaryomyces a - 0.86 Staphylococcus b - Paecilomyces 0.80 - Saccharomyces Aspergillus

Penicillium Emericella eremascus

0.75 Bakteri Halophilic - Aspergillus, a

wellemia 0.70 - - Eurotium

chrysosporium 0.62 - Saccharomyces Eutorium, a

Monascus Ket : a beberapa strain , b aerobik

Leistner dan Rödel (1976)

Hasil pengujian total mikroba menunjukkan nilai yang lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai kapang-khamir. Hal ini dikarenakan pada

pegujian total mikroba semua mikroba baik bakteri, kapang, atau khamir

dapat tumbuh pada media tersebut. Berdasarkan Tabel 22 bakteri yang

dapat tumbuh pada kisaran aw IMF adalah bakteri halofilik dan

Staphylococcus. Kemungkinan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk

pangan darurat ini sangat rendah karena produk ini memiliki rasa manis

dan tidak menggunakan garam NaCl di dalam ingridiennya sedangkan

kontaminasi Staphylococcus mungkin terjadi. Hal ini disebabkan salah

satu habitat Staphylococcus adalah kulit, kelenjar kulit, membran mukosa

Page 87: formulasi pangan darurat

dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Keberadaan

Staphylococcus pada produk IMF mengindikasikan dua hal yaitu 1).

Indikator ketidakhigienisan dalam proses pembuatan IMF dan 2). Adanya

enterotoksin Staphylococcus yang dapat meyebabkan keracunan makanan.

Staphylococcus dapat tumbuh optimal pada aw yang tinggi yaitu sekitar

0.995. Namun beberapa survei terhadap 14 strain Staphylococcus yang

dapat menyebabkan keracunan makanan baik dalam skala laboratorium

atau pada makanan menunjukkan Staphylococcus dapat tumbuh pada aw

0.86 (Pawsey dan Davies,1976).

Selain diduga akibat kontaminasi Staphylococcus dari tangan pekerja

pada saat produksi, bakteri yang terdapat pada produk mungkin

diakibatkan oleh spora bakteri yang berasal dari bahan bakunya, yaitu

tepung ubi jalar. Nilai kadar air tepung ubi jalar yang berada di atas kadar

air monolayernya mempengaruhi stabilitas tepung ubi jalar salah satunya

terhadap mikroorganisme, selain itu pembuatan tepung yang

memanfaatkan pengeringan alami panas matahari pada ruang terbuka juga

berpengaruh terhadap keberadaan spora bakteri pada tepung ubi jalar.

Kerusakan pangan lainnya yang potensial dan merupakan kerusakan

kimiawi utama yang terjadi pada produk IMF adalah reaksi pencoklatan

(Waletzko dan Labuza, 1976).

Page 88: formulasi pangan darurat

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pengukuran isotermi sorpsi bahan baku (tepung ubi jalar, tepung pisang,

dan tepung kacang hijau) dan formula awal menghasilkan kurva yang

berbentuk sigmoid. Nilai-nilai persamaan GAB yaitu C, k, dan Mo untuk

tepung ubi jalar adalah 26.2674, 1.0853, dan 3.8129; tepung pisang 328.4014,

0.9349, dan 4.6531; dan tepung kacang hijau 24.1477, 0.8898, dan 5.0589.

Pola kurva isotermi sorpsi formula awal mengikuti pola kurva bahan

bakunya tetapi mengalami pergeseran ke bawah. Hal ini disebabkan adanya

minyak dalam formula yang menurunkan penyerapan air. Berdasarkan

isotermi sorpsi formula awalnya, jumlah air yang harus ditambahkan pada

formula ubi jalar pada aw 0.88 adalah 0.1848 gram/gram solid. Penambahan

air pada formula pisang dan kacang hijau dilakukan manual karena

penghitungan dengan kurva isotermi sorpsinya kurang tepat. Jumlah air yang

ditambahkan pada formula pisang adalah 0.2133 gram/gram solid sedangkan

pada formula kacang hijau sebesar 0.2166 gram/gram solid.

Perkiraan nilai aw produk dengan menggunakan persamaan Grover

menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai aw aktualnya dibandingkan

dengan menggunakan kurva isotermi sorpsi. Humektan yang akhirnya

digunakan pada produk adalah gliserol. Nilai aw aktual produk dengan

penambahan gliserol untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah

0.737, 0.804, dan 0.815.

Uji organoleptik dilakukan pada produk yang menggunakan gliserol

sebagai humektan. Hasil uji organoleptik menyatakan bahwa formula ubi jalar

memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat

kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang

hijau.

Analisis kapang-khamir dan total mikroba dilakukan pada produk

pangan darurat terpilih dari uji organoleptik yaitu produk formula ubi jalar.

Hasil pengujian kapang-khamir selama empat minggu menunjukkan kenaikan

sebesar 0.37 log CFU sedangkan nilai total mikroba mengalami kenaikan

Page 89: formulasi pangan darurat

sebesar 0.55 log tetapi penampakan visual produk sampai minggu keempat

memperlihatkan kondisi produk masih normal dan belum terdapat

pertumbuhan mikroba. Berdasarkan acuan produk yaitu SNI 01-4291-1996

tentang bakpia pathuk, produk pangan darurat terpilih dengan bahan baku

tepung ubi jalar hanya dapat dikonsumsi sampai satu minggu setelah

diproduksi jika mengacu pada nilai Angka Lempeng Total (total mikroba)

produk yang masih dibawah batas maksimal.

B. SARAN

Nilai protein produk terpilih masih belum mencukupi standar nilai

protein yang dianjurkan dalam pangan darurat. Oleh karena itu perlu diadakan

analisis proksimat terhadap ingridien yang digunakan untuk melihat komposisi

nutrisi aktualnya atau dapat juga mengganti konsentratprotein kedelai dengan

isolat protein atau bahan lain yang tinggi kandungan proteinnya.

Pengujian organoleptik pada penelitian ini dilakukan pada skala

laboratorium dengan 25 panelis yang memiliki usia yang hampir sama. Oleh

karena itu perlu dilakukan uji organoleptik dengan lebih banyak panelis

dengan rentang usia yang lebih luas karena diharapkan produk pangan darurat

ini dapat dikonsumsi oleh semua golongan usia kecuali bayi.

Hasil uji mikrobiologi menyatakan bahwa produk pangan darurat ini

hanya dapat dikonsumsi sampai waktu satu minggu setelah produksi jika

mengacu pada jumlah total mikrobanya yang masih di bawah batas maksimal

yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4291-1996 tentang bakpia pathuk. Oleh

karena itu untuk mereduksi jumlah mikroba awal dan menekan

pertumbuhannya hendaknya diupayakan kondisi produksi yang lebih saniter

dan dilakukan pemanggangan produk sehingga daya awet produk dapat

ditingkatkan.

Page 90: formulasi pangan darurat

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah D. R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas

Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor

Anonim. 2008. Glycerol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] Anonim. 2008. Sorbitol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical

Chemist, Washington DC. Astawan, M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang Membantu Kesuburan Pria.

Departement of Food Science and Technology, IPB, Bogor di dalam http://www.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde.php [8 Juni 2008]

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI 01-

2981-1992. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 1996. Bakpia Pathuk. SNI 01-4291-1996. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI

01-2981-1992. Jakarta Bradbury, J. H dan W. D Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops :

Significance for Nutrition and Agriculture in the Pasific. ACIAR. Canbera. Di dalam Sulistiyo, C. N. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) di PT Fits Mandiri Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bell, L. N. dan T. P. Labuza. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isoterm

Measurement and Use. American Association Cereal Chemist, minnesota, USA.

Calorie control. 2006. Reduce-Calorie Sweeteners : Sorbitol. Di dalam

http://www.caloriecontrol.org/index.html [ 8 Juni 2008] deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit

ITB, Bandung Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Tanaman

Pangan. www.database.deptan.go.id [15 Juli 2007] Drewnoski, A. 1997. Taste Preference and Food Intake. Annu Rev Nutr 17:237-

253. Di dalam Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M.

Page 91: formulasi pangan darurat

Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC.

Eskin, N. A. M. dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability Chemical,

Biochemical dan Microbiological Changes. CRC Press, NY. Di dalam Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor

Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Lembaga

Sumberdaya Informasi IPB, Bogor Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Guilbert, S. 1984. Additifs et Agents d.presseurs de lÕaw. Pages 199-227. Di

dalam : Additifs et Auxiliaires de Fabrication dans les Industries Agro-alimentaires. J.L. Multon, ed. Tec et Doc Lavoisier, Aprix, Paris. Di dalam Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No. 14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota

Hardiman. 1982. Tepung Pisang, Ciri, Jenis, Cara Pembuatan, Resep Penggunaan.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hidayah, N. 2002. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Kacang Hijau Instan dan

Analisa Gizinya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya

Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor Hough, C.A.M, K.J.Parker, A.J.Viltous.1979. Development in Sweeteners-1.

Applied Science Publ. LTD, London Igoe, R. S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and

Hall, New York IOM. 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning

Emergency Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC.

John, P. dan J. Marchal. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam

Gowen, S. (ed.). Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY

Page 92: formulasi pangan darurat

Kadir, S. 1982. Isothermal Sorpsi Air dan Pengaruh Garam Dapur terhadap Kadar

Air dan Aktivitas Air (aw) Pindang Iikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture

Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.

Kay, D. E. 1979. Food Legume. Tropical Product Institute, London. Kekitu, A. O. 1973. Chemical Composition of Unripe (Green) and Ripe Plantain

(Musa paradisiaca). J. Sci. Food Agric 24 : 703-707. Di dalam Chandler S. 1995. The Nutitional Value of Bananas. Di dalam Gowen, S. (ed.) Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY

Leistner, L. dan W. Rödel. 1976. The Stability of IMF with Respect to

Microorganisms. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.

Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja, penerjemah.

Erlangga, Jakarta Lindsay, R. C. 1985. Food Additivies. Di dalam Fennema O.R. 1996. Food

Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Marcel Dekker. Inc., New York

Liovonen S. M dan Y. H. Ross. 2002. Water Sorption of Food Model for Studies

of Glass Transition and Reaction Kinetic. Vol 65, Nr 5. Marzuki, R dan Soeprapto. 2005. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya,

Jakarta Meilgaard, M., G.. V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation

Techniques. 3rd Ed. CRC Press, USA. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU

Pangan dan Gizi IPB, Bogor Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta Pawsey, R. dan R. Davies. 1976. The Safety of Intermediate Moisture Foods with

Respect to Staphylococcus aureus. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London

Prawiranegara. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal

Departemen Kesehatan RI. Penerbit Bhratara, Jakarta

Page 93: formulasi pangan darurat

Robson J. N. 1976. Some Introductory Thoughts on Intermediate Moisture Foods.

Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London

Seiler. D. A. L. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. 1976. Di

dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London

Sloan, A. E., P. Waletzko, T. P. Labuza. 1976. Effect of Order-of-Mixing on aw-

Lowering Ability of Food Humectants. J. Food Sci. 41:536-540. Soekarto S. T. 1979. Air Ikatan, Penetapan Kuantitatif dan Penerapannya pada

Stabilitas Pangan dan Disain Pangan Semi Basah. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB, Bogor

Susijahadi. 1983. Pertumbuhan Mikroba pada Bandeng (Chanos chanos) Asap

Selama Penyimpanan Suhu Kamar dalam Berbagai Tingkat Kelembaban. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarif, R., S. Santausa, Isyana, St. 1989 Buku dan Monograf Teknologi

Pengemasan Pangan. Lab Rekayasa Proses Pangan PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor

Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No.

14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota

Tilbury, R. H. 1976. The Microbial Stability of Intermediate Moisture Foods with

Respect to Yeasts. Di dalam : R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker, (eds.). Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD, London.

Troller, J. A. 1989. Water Activity and Food Quality. Di dalam T. M.

Hardman.(ed.). Water and Food Quality. Elsevier Applied Science, New York.

Tsou, S. C. S, KK. Kan, SJ. Wang. 1989. Biochemical Studies on Sweet Potato

for Better Utilization at AVRDC . Di dalam Mackay, K.T., M. K. Palomar, R.T. Sanico (eds.). Sweet Potato Research and Decelopment for Small Farmers. SEAMEO-SEARCA, Laguna

Page 94: formulasi pangan darurat

USFDA. 2007. FDA Advises Manufacturers to Test Glycerin for Possible Contamination, Glycerin Contaminated with Diethylene Glycol (DEG) Remains a Potential

Health Hazard to Consumers. www.fda.gov [ 14 Agustus 2008] van den Berg, C. 1985. Description of Water Activity of Food for engineering

Purposes by means at the GAB Model of Sorption. Di dalam Bell, L. N. dan Labuza, T. P. 2000. Moisture Sorption Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use.. Am. Assoc. of Cereal Chem. St. Paul, MN

von Loesecke, H. M. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc. New York. Waletzko, P. Dan T. P. Labuza. 1976. Accelerate Shelf-life Testing of an

Intermediate Moisture Food in Air and in an Oxygen-Free Athmoshphere. J. Food Sci. 4 : 1338-1444

Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri, penerjemah.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta. Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P.

Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC.

Page 95: formulasi pangan darurat

Lampiran 1. Kadar air kesetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang hijau, dan pisang

RH (%)

Kadar Air Kesetimbangan (%bk) Ubi Jalar Kacang Hijau Pisang

Tepung Formula Tepung Formula Tepung Formula 7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2

3.1464 3.2353 4.5943 5.1491 7.0862 10.3983 13.7923 -------

berkapang berkapang

1.3929 ------ ------

3.2634 3.8352 5.5092 7.4100 9.5156

berkapang berkapang

3.3305 4.2225 5.4247 6.7235 7.0681 10.1937 13.2121 13.8990 19.0898

berkapang

1.0966 1.4707 2.5481 2.9515 3.8705 5.4321 7.1996 7.8212

berkapang berkapang

4.9711 5.4961 5.6464 6.0378 8.0302 10.1361 13.5282 14.5647 20.3352

berkapang

1.1867 1.9186 3.1546 3.5891 4.1435 5.0339 6.8942 7.8508

berkapang berkapang

Ket . ------- = data tidak digunakan

Page 96: formulasi pangan darurat

Lampiran 2. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Ubi Jalar Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 23,8254 19,2411 19,6140 - - protein 17,3128 13,9816 14,2526 1,3762 1,3 0,9446 lemak 22,5324 18,1969 18,5496 1,0574 -1,0 -0,9457 KH 57,8005 32,9535 33,5922 0,5839 0,8 1,3701 gula 13,7255 13,9915 1,4019 1,0 0,7133 total 121,4711 98,0986 100 Eo 2,0824 Eo2 4,3363 aw 0,851 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 3,9228 0,5098 2,5922 6,7196 0,811 10 1,9614 1,0197 3,1021 9,6228 0,773 Gliserol 2 9,8070 0,4079 2,4903 6,2014 0,819 4 4,9035 0,8157 2,8981 8,3992 0,788 6 3,2690 1,2236 3,3060 10,9297 0,759 8 2,4518 1,6315 3,7139 13,7929 0,731

Page 97: formulasi pangan darurat

Lampiran 3. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Pisang Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 27,5376 21,7091 22,0533 - - protein 15,0058 11,8297 12,0173 1,8351 1,3 0,7084 lemak 19,8344 15,6363 15,8842 1,3884 -1,0 -0,7203 KH 62,4907 33,8002 34,3361 0,6423 0,8 1,2456 gula 15,4639 15,7091 1,4039 1,0 0,7123 total 124,8685 98,4392 100 Eo 1,9460 Eo2 3,7870 aw 0,862 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 4,4107 0,4534 2,3995 5,7575 0,826 10 2,2053 0,9069 2,8529 8,1391 0,791 Gliserol 2 11,0266 0,3628 2,3088 5,3305 0,833 4 5,5133 0,7255 2,6715 7,1371 0,805 6 3,6755 1,0883 3,0343 9,2070 0,778 8 2,7567 1,4510 3,3971 11,5400 0,752

Page 98: formulasi pangan darurat

Lampiran 4. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Kacang Hijau

Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 26,8483 21,1657 21,4521 - - protein 16,0837 12,6795 12,8511 1,6693 1,3 0,7788 lemak 19,3236 15,2336 15,4398 1,3894 -1,0 -0,7197 KH 62,8991 31,9390 32,3712 0,6627 0,8 1,2072 gula 17,6471 17,8859 1,1994 1,0 0,8338 total 125,1547 98,6649 100 Eo 2,1000 Eo2 4,4100 aw 0,850 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 4,2904 0,4662 2,5662 6,5852 0,813 10 2,1452 0,9323 3,0323 9,1949 0,778 Gliserol 2 10,7260 0,3729 2,4729 6,1154 0,820 4 5,3630 0,7458 2,8459 8,0989 0,792 6 3,5753 1,1188 3,2188 10,3605 0,765 8 2,6815 1,4917 3,5917 12,9003 0,739 10 2,1452 1,8646 3,9646 15,7182 0,714

Page 99: formulasi pangan darurat

Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik

UJI RATING KEMUDAHAN DITELAN

Sampel : intermediate moisture food

Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………

Instruksi :

1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kemudahan ditelan dengan

memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel

Respon Kode Sampel

366 145 810 Sangat mudah Mudah Agak mudah Netral Agak sulit Sulit Sangat sulit

UJI RATING AFTERTASTE PAHIT

Sampel : intermediate moisture food

Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………

Instruksi :

1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan

oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel

3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel

Respon Kode Sampel

366 145 810 Sangat pahit Pahit Agak pahit Netral Agak tidak pahit Tidak pahit Sangat tidak pahit

Page 100: formulasi pangan darurat

KOMENTAR (wajib diisi)

- terima kasih -

UJI HEDONIK

Sampel : intermediate moisture food

Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………

Instruksi :

1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kesukaan keseluruhan atribut

sampel (over all) dengan memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel

Respon Kode Sampel

366 145 810 Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka

Page 101: formulasi pangan darurat

Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik

Panelis 366 (ubi) 145 (pisang) 810 (kacang ijo)

ditelan pahit suka ditelan pahit suka ditelan pahit suka 1 6 2 5 4 5 3 6 2 2 2 7 5 6 6 4 6 6 5 4 3 6 2 6 3 5 3 5 5 5 4 3 1 7 5 5 1 1 5 5 5 6 2 6 5 2 1 3 2 4 6 5 2 7 6 5 5 4 5 2 7 3 5 3 2 5 5 3 4 5 8 6 2 6 5 5 4 5 6 2 9 4 4 4 3 5 3 6 3 6 10 6 4 6 6 2 5 5 4 5 11 5 5 6 3 4 3 2 3 3 12 6 1 7 1 4 5 2 5 3 13 5 4 5 6 6 1 3 6 1 14 3 5 4 4 6 3 5 4 6 15 3 2 4 3 5 3 2 4 3 16 6 2 7 5 2 5 3 6 2 17 6 4 6 4 3 5 6 4 4 18 6 5 4 2 6 2 3 5 1 19 5 1 6 3 4 4 4 6 3 20 3 5 5 5 5 3 5 4 3 21 3 2 4 5 2 3 7 5 6 22 5 4 6 4 5 4 3 5 5 23 3 4 4 5 3 4 3 2 5 24 6 3 3 4 3 3 2 3 1 25 4 3 6 3 3 2 4 4 4

Page 102: formulasi pangan darurat

Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1490,347(a) 27 55,198 28,908 ,000 panelis 74,987 24 3,124 1,636 ,073 sampel 15,680 2 7,840 4,106 ,023 Error 91,653 48 1,909 Total 1582,000 75

a R Squared = ,942 (Adjusted R Squared = ,909)

Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan

sampel N

Subset

1 2 3 25 3,920 2 25 4,080 1 25 4,960 Sig. ,684 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,909. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.

Page 103: formulasi pangan darurat

Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1165,667(a) 27 43,173 25,479 ,000 panelis 50,747 24 2,114 1,248 ,252 sampel 16,667 2 8,333 4,918 ,011 Error 81,333 48 1,694 Total 1247,000 75

a R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,898) Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan

sampel N

Subset

1 2 1 25 3,160 3 25 4,160 2 25 4,160 Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,694. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.

Page 104: formulasi pangan darurat

Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1380,653(a) 27 51,135 26,579 ,000 panelis 53,253 24 2,219 1,153 ,329 sampel 54,320 2 27,160 14,117 ,000 Error 92,347 48 1,924 Total 1473,000 75

a R Squared = ,937 (Adjusted R Squared = ,902) Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan

sampel N

Subset

1 2 2 25 3,440 3 25 3,600 1 25 5,320 Sig. ,685 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,924. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.

Page 105: formulasi pangan darurat

Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 6.1 6.1.1 6.1.2 6.2 7. 7.1 7.2 7.3 7.4 8. 9. 9.1 9.2 9.3

Keadaan Warna Bau Rasa Air Jumlah gula dihitung sebagai sakarosa Lemak Protein Bahan tambahan makanan Pemanis buatan Sakarin Siklamat Pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang

- - -

% b/b

% b/b % b/b % b/b % b/b

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

koloni/g APM/g koloni/g

Normal Normal Normal Maks. 30 Min. 25 Maks. 10 Min. 8 Tidak boleh ada Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 104 negatif Maks. 103