Forgotten Eve - MELLA IMELDA Blog's | ^^ Just WRITE ... dari Penulis Dear reader… Perlu di akui...

196

Transcript of Forgotten Eve - MELLA IMELDA Blog's | ^^ Just WRITE ... dari Penulis Dear reader… Perlu di akui...

Forgotten Eve

Phoebe

E-book ini dilindungi oleh : Undang-undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE) No.07 Thn 2008

Setiap tindakan pelanggaran sesuai dengan UU ITE Akan di tindak Sesuai dengan hukum yang berlaku

Pengantar dari Penulis Dear reader…

Perlu di akui cerita ini asalnya juga dari fan fiction. Karena sebagai penggemar Korea, Jepang dan sekitarnya, Ide-ide cerita tidak akan bisa timbul sama sekali dalam otak saya ini jika tidak membayangkan Artis idola sebagai pemeran beberapa karakter tokoh. tapi sengaja banget gak ngebuat nama artisnya langsung biar pada punya daya khayal masing2. Soalnya saya sedang mendukung program pemerintah untuk meningkatkan budaya khayal sejak dini…khehe…khe…kkhe…!!! Ini adalah cerita pertama saya yang sifatnya agak ‘nakal’ sedikit. Gara-gara saya adalah seorang pencinta komik dan juga suka baca Shoujo. Tapi saya harap ‘nakal’ yang dimaksud tidak akan keterlaluan-keterlaluan banget sehingga membuat cerita ini jadi agak terkesan porno aksi.

Saya sendiri waktu mengarang-ngarang membayangkan tokoh-tokohnya berganti-ganti. Tokoh Kay yang paling sering ketuker. Awalnya sempat ngebayangin Kay adalah Jang Geun seok, lalu berubah jadi Kim Jae Wook gara-gara Kay punya darah Jepang campur Paris. Tapi pada Akhirnya keputusan di tetapkan pada No Min Woo yang punya wajah agak Europe + Jepang. Jadi No Min Woo disini digambarkan sebagai desainer yang dulunya mantan model dan agak play boy..(heheh) jadi jangan heran kalau belakangan, semakin di baca, sikap Kay ini terus berganti-ganti secara berkesinambungan.

Trus tokoh Ivea, sempat kepikiran Jesica SNSD. Tapi gak memenuhi syarat sebagai Ivea sih dia. Jadi Ivea tiba2 ‘malih rupo’

menjadi Kim Tae Hee dalam khayalan saya. Soalnya Atitude Kim Tae Hee Kayaknya cocok banget sama Ivea yang casual, dan bisa berubah 180 derajat pangkat tiga setelah make over. Trus Ivea ini kan kadang-kadang manis, kadang-kadang pendiem, kadang-kadang juga centil dan agresif. Pokoknya sikapnya kadang-kadang banget deh. Ivea juga digambarkan sebagai cewek yang ga begitu cantik tapi gak bosen di pandang. Kim Tae Hee cocok untuk mendapatkan peran ini.

Untuk tokoh Nathan, saya gak bingung-bingung amat. Soalnya Nathan ini digambarkan sebagai cowok yang cool. Tapi juga sosok yang tastefull dan cara mencintainya unik, khe—khe—khe …jadi entah mengapa Saya membayangkan Kashiwabara Takashi sebagai Nathan disini. Abis belum nemu artis korea yang cocok !

Tokoh Tara saya buat sebagai seorang wanita yang selalu jadi tempat curhat sana sini, sikap ‘panikan’ dan suka mikir yang enggak-enggaknya sih terinspirasi dari diri sendiri. Jadi pemilik café juga khayalan saya sendiri. Pokoknya waktu nulis saya menempatkan posisi saya pada diri Tara. Tapi setelah di baca, sosok Tara berubah jadi Sung Yu Ri yang cantik dan tegas dengan mulutnya yang agak pedas. Pokoknya sukkaaa deh sama sung Yu Ri. (Dengan kata lain penulis menghayalkan dirinya adalah Sung Yu Ri-red)

Yang terakhir adalah Bian. Bayangin susahnya nyari sosok wanita muda yang merupakan pemilik majalah SmiloQueen yang selalu cantik meskipun dandananya agak Lebay. Akhirnya Bian adalah satu-satunya tokoh yang saya buat tanpa mengkhayalkan dirinya sebagai siapa-siapa. Bianca Karta sudah jadi diri sendiri dalam cerita ini dan jadi tokoh paling pavorit bagi saya secara

personal. Kenapa? Karena Bian adalah satu-satunya tokoh yang tidak pernah bersedih dan punya perasaan paling netral di cerita ini. Bian adalah tokoh yang paling menikmati hidupnya.dalam berbagai keadaan.

Jadi, melalui cerita kali ini saya harap bisa mendapat respon yang manis pada teman-teman semua. Bila ada kesan, pesan, kritik dan saran, silahkan hubungi penulis di e-mail; [email protected] atau Twitter @Phoebeyeppo .

Selamat berkhayal Indonesia^_^. Salam Penulis

Prolog

Keramaian merebak menghangatkan satu sisi kota Tokyo yang sedang di jatuhi Kristal-kristal salju yang indah. Gedung yang sederhana itu adalah sebuah Hotel yang disulap menjadi rumah bunga yang di penuhi dengan Lily berwarna putih seolah-olah membuat buket bunga yang berada di tanganya menjadi sangat kecil dan tidak berarti.Tamu-tamu semakin banyak yang berdatangan. Tidak sedikit di antaranya di kenal sebagai orang-orang berpengaruh di dunia mode. Semuanya berpenampilan Khusus untuk hari ini.

“Selamat ya, Big Bro!” gumam seorang gadis Jepang dengan rambut sebahunya kepada seseorang yang berdiri di altar.

Orang itu menyambut ucapan manis dari gadis itu dengan senyuman mengembang. Ia sedang berdiri menanti wanita tercantik, Ratu untuk hari ini datang kepadanya yang akan segera mengucapkan janji setia selamanya dan akan saling menemani, dan saling mengisi hingga penghujung usia bersama-sama.

Pesta pernikahan ini bukan miliknya.

Tapi dia juga ikut berbahagia karena orang yang pernah punya arti penting dalam hidupnya akan berbahagia. Semoga saja begitu…

1 Valentine’s Bridal Fair.

Tiga hari belakangan ini sudah benar-benar menjadi hari yang sangat melelahkan bagi Ivea. Pekerjaan ini sudah membuatnya tidak kembali ke rumah sama sekali. Untungnya Chastine bisa mengerti dan selalu datang membawakanya makanan pada jam-jam istirahat. Tapi di Bridal Fair kali ini, Ivea dan beberapa teman lainya sama sekali tidak memiliki waktu istirahat yang pasti. Bahkan Tara yang merupakan tangan kanan atasan sempat pingsan pada hari kedua dan tidak bisa datang membantu hari ini. Sebuah Hotel besar di kota ini dengan semangat mengadakan Bridal Fair pada hari valentine, dimana dalam tiga hari ini Aula hotel sudah berisi beragam busana pengantin dari banyak perancang terkenal. Februari benar-benar sukses menegakkan imej-nya sebagai bulan penuh cinta.

“Eve, tolong bantu aku!” Suara yang lembut itu memaksa Ivea menoleh ke arahnya. Seorang laki-laki dengan pakaian kasualnya tampak sibuk melayani beberapa orang disebelah Kebaya biru buatanya. Dia selalu memanggil Ivea dengan panggilan Eve sejak pertama kali bertemu, dan dalam waktu singkat Ivea lebih di kenal dengan panggilan itu di bandingkan dengan nama aslinya yang ada di KTP.

Pria itu adalah Bos Ivea. Keith Lavoie Fujisawa. Atau lebih di kenal sebagai Kay, seorang desainer asal Paris yang karyanya cukup di kenal di Negara ini sebagai pemilik Chinamons Gallery dimana Ivea bekerja. Pria yang selalu berbicara dengan suara lembut dan sangat bersahabat itu kelihatan sangat kelelahan, karena Kay juga tidak kalah sibuk dengan karyawanya yang lain. Tara bilang kalau Kay sudah tinggal di Indonesia selama hampir lima tahun dan dalam lima tahun ini namanya benar-benar mendapatkan sambutan yang bagus dalam dunia mode.

“Ya? Apa yang bisa ku bantu?” Tanya Ivea setelah dia dan Kay berada dalam jarak yang cukup dekat.

“Kau bisa bantu aku angkat ini ke mobil? Hari ini kita akan pulang lebih cepat.”

“Baiklah!” “O, ya! Jangan lupa panggilkan Nathan kesini. Aku

sangat butuh tenaganya!” Ivea berhenti bergerak. Nathan? Setiap kali nama

Nathan di sebut, Jantungnya tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Nathan adalah karyawan Kay juga. Seorang Foto Grafer yang mengurusi foto-foto Prewedding bila itu di butuhkan. Tapi kenyataanya, hasil jepretan Nathan memang selalu menarik minat banyak pasangan sehingga Nathan akan sangat sibuk bila musim pernikahan tiba.

“Kenapa?” Suara Kay mengagetkan Ivea. Laki-laki Paris dengan wajah dominan Asia itu mengangkat sebelah

alisnya yang tebal dan tajam seperti pedang. “Kau masih gugup kalau bertemu denganya?”

“Kau menggodaku?” Kay tersenyum. “Sudah sewajarnya anak seusiamu

menyukai laki-laki, lalu kenapa harus takut?” Ivea menggeleng. “Aku tidak takut. Nanti aku

panggilkan.” Katanya sambil berbalik dan memegang dadanya berharap bisa menenangkan jantungnya. Dimana Natahan? Mata Ivea berkeliling aula mencari dimana laki-laki itu berada, Dia disana. Nathan berbicara dengan beberapa orang yang tidak Ivea kenal.

“Eve, “Panggil Kay.” Kau tidak usah melakukan itu. Biar aku menelponnya saja!”

*** Ivea termangu di depan gerbang hotel. Ternyata di

luar sedang hujan dan sekarang ia sendirian. Kay sudah bolak-balik beberapa kali mengangkut barang-barangnya bersama Nathan ke galeri. Sedangkan dirinya harus kebingungan untuk pulang dalam keadaan hujan seperti ini. Malam hari begini seharusnya dia sudah berada di kamarnya dan berbincang-bincang dengan Chastine seperti saat-saat sebelum Bridal Fair di mulai. Tapi bagaimana dia bisa pulang jika hujan kelihatanya sama sekali tidak memberikan cela untuk sekedar mencari taksi.

“Kau masih disini?” Ivea tiba-tiba tercekat. Suara yang sangat di kenalnya

bertanya dalam jarak yang sangat dekat denganya. Suara

Nathan. Ivea menoleh ke samping dan melihat Nathan yang sedang memandangnya sambil merapatkan Jaketnya. Sedang apa Nathan disini? Bukankah tadi dia sudah kembali ke galeri bersama Kay?

“Jawab pertanyaanku!” Suara Nathan terdengar lebih jelas di antara derai hujan yang mengguyur kota ini.

“Ya, Aku harus menunggu hujan reda untuk pulang!” Jawabnya. “Kau sendiri bukannya sudah pulang bersama Kay?”

Nathan menggeleng. “Kay memintaku mengawasimu sampai dia kembali lagi dan menjemput kita.”

Ivea mengangguk mengerti. Kemudian hanya tertingal bunyi hujan saja. Baik dirinya maupun Nathan sama sekali tidak bicara satu sama lain. Nathan membuatnya membeku dan tidak tau harus berkata apa. Ivea dan Nathan memang sangat jarang bertegur sapa. Dia hanya akan mendengar suara Nathan saat laki-laki itu memarahinya karena mengganggu pekerjaanya. Padahal di Galeri hanya ada dua orang laki-laki, tapi dia hanya bisa merasakan keberadaan Nathan dengan lebih jelas karena dimatanya hanya ada Nathan dan Nathan. Meskipun Ivea dan Kay sering bersama, Ivea tetap tidak bisa memalingkan kepalanya dari Nathan. Ivea menggosok-gosokkan kedua telapak tanganya. Hujan yang sangat lebat di malam hari bisa membuatnya masuk angin dan diserang flu.

“Kau kedinginan?” Suara Nathan memecahkan lamunan Ivea dan dirinya

hanya bisa menggeleng lalu menjawab kalau ini sudah

biasa terjadi. Kehujanan memang bukan sekali dua kali terjadi pada dirinya, untuk hidup di dalam negara dengan cuaca yang tidak menentu, Ivea harus siap pulang dalam keadaan basah sewaktu-waktu. Sedia payung sebelum hujan bukan kebiasaan yang menyenangkan bagi Ivea, dia sama sekali tidak suka membawa barang-barang yang memberatkan geraknya. Bekerja pada Kay yang sibuk dan cukup cerewet membuatnya harus merasa cukup hanya dengan membawa dompet di saku jaketnya.

“Mau mendengarkan ini?” Nathan menyodorkan sebuah I-pod berwarna Silver kepada Ivea. I-pod itu sudah menyala dan salah satu dari sepasang Handsetnya berada di telinga Nathan. Nathan melepas handset itu dan memberikanya kepada Ivea. “Ini punya Kay. Aku sebenarnya tidak suka mendengarkan musik-musik seperti ini, hanya akan membuatku mengantuk. Tapi Kay bilang mendengarkanya bisa membuatmu merasa hangat. Kau coba saja. Mungkin cocok untuk mu!”

“Terima kasih!” Ivea lalu mengambil alih I-pod dan Handsetnya. Bunyi derai hujan yang keras dan lantang seketika berganti dengan alunan piano yang mendayu serasi. Ivea menatap judul track di layar I-pod, Dieu tristesse – Chopin. Sebuah alunan musik Instrumental yang hangat dan romantis, sangat manis. Perasaanya semakin melayang terlebih saat beberapa kali Ivea dan Nathan beradu pandang. Sebenarnya apa yang ada dalam fikiran Nathan sekarang? Apakah Nathan juga menyukainya?

Jangan Ge-er dong Eve! Nanti kamu kecewa!. Bisik hati Ivea. Ia memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya keras. Selama ini Nathan selalu bersikap baik padanya. Tapi bukan berarti Nathan juga menyukainya. Ivea tidak mau kecewa.

***

“Bukankah kau bilang, mau jadi desainer sepertiku?

Jadi ku bawakan formulirnya!” Kay menyodorkan secarik kertas kepada Ivea, sebuah formulir kampus swasta terkemuka yang baru membuka pendaftaran.

Ivea memang pernah mengatakan tentang ketertarikanya pada dunia yang sudah memberikanya uang yang cukup untuknya seperti sekarang. Terlebih setelah beberapa kali Kay mengajarinya mendesain pakaian dan memuji Ivea sebagai anak yang berbakat. Ivea juga terkenang dengan alasan kedatanganya kekota ini adalah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Tapi uang untuk itu sama sekali belum terkumpul.

“Lalu dengan apa aku membayarnya?” Tanya Ivea sambil memandang Kay yang duduk dengan tenang di sofa ruang kerjanya.

“Aku sudah membayarnya, kau tinggal isi formulir itu, dan berusahalah untuk lulus, selanjutnya nanti saja kita fikirkan!”

Ivea memandangi formulir itu sekali lagi. Ia sangat ingin kuliah. Ivea ingin merubah dirinya dari seorang yang

sederhana menjadi seorang gadis berbakat yang di akui banyak orang selain Kay. Tapi walau bagaimanapun, berhutang tetap bukanlah sesuatu yang di sukainya. Kay selalu berbaik hati meskipun mereka berdua sering kali berdebat, Tapi kebaikan yang kali ini sangat sulit untuk ia terima. Bagaimana kalau dirinya lulus saringan?

“Eve, coba saja dulu.” Ivea menggigit bibirnya sambil memperhatikan kertas

itu sekali lagi. Apa salahnya dicoba? Bila keberuntungan itu berpihak kepadanya nanti Ivea bisa memutuskan akan mengambilnya atau tidak. Tapi seandainya dia lulus, pasti sangat sayang kalau tidak di manfaatkan. Di zaman sekarang ini, untuk masuk kuliah sudah semakin sulit, standar pendidikan semakin tinggi.

“Kalau begitu bagaimana kalau ku beri pekerjaan?” Tanya Kay.

“Pekerjaan?” “Kau cukup membantuku menyelesaikan sepasang

baju pengantin yang deadline akhir minggu ini. Jadi aku tidak perlu merepotkan Tara yang juga sedang sibuk di cafénya dan Kau akan ku beri 20% dari keuntungan. Bagaimana? Kau tidak perlu takut berhutang padaku!”

***

Sepatu Kets buluk ini sudah menemaninya selama

hampir tiga tahun. Ivea kini berjalan sambil memandangi langkah-langkahnya yang di bungkus sepatu berwarna

putih itu. Selama sekolah, sepatu itu selalu menemaninya malakukan segala aktivitas dan begitu juga setelah Ivea lulus dan bekerja kepada Kay. Membantu mengurusi gaun pernikahan memang bukan pekerjaan yang selama ini selalu di bebankan kepadanya. Pekerjaan seperti itu hanya untuk Tara dan Chastine sebelum akhirnya Chastine pindah dan bekerja di tempat lain. Dan kali ini Ivea medapatkan kesempatanya, Setelah ini Ivea tidak harus menemani pelanggan Fitting dan tidak lagi harus membuatkan minum. Meskipun nantinya Kay hanya akan menyuruhnya memasang renda atau manik-manik, semuanya cukup untuk membuatnya senang dan ia akan berusaha sebaik mungkin. Sekarang yang harus di lakukanya adalah mengisi formulir dan mengembalikanya kepada Kay.

Ivea sebenarnya masih ragu, kuliah akan membuatnya jarang melihat wajah Nathan. Nathan hanya ada pada pagi hari, hingga siang sebelum jam makan siang tiba. Semakin meninggi hari Nathan akan menghilang dan baru akan datang bila dia benar-benar sibuk dan itu belum tentu terjadi sebulan sekali. Di Galeri, yang paling santai bekerja adalah Nathan. Lalu bagaimana bila Ivea merindukanya nanti? Ivea menghembuskan nafasnya keras-keras. Tapi secara tidak sengaja matanya menangkap Nathan yang keluar dari dalam mobil di temani seorang wanita dan kelihatanya mereka sangat dekat. Keduanya berjalan mendekati Ivea. Tidak, keduanya berjalan mendekati pintu masuk galeri dimana Ivea berdiri.

“Kau mau pergi?” suara Nathan menyapanya. Akhirnya Ivea mendengarkan suaranya juga meskipun

tadi malam keduanya sempat ngobrol di depan Hotel setelah Bridal Fair berakhir. Tapi hati Ivea tidak bisa lega terlebih saat melihat wanita yang bersama Nathan juga tersenyum kepadaanya. Suara Ivea tidak mampu keluar, ia hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan Nathan barusan.

“Kalau begitu aku pergi dulu! Take Care ya!” Kata wanita itu lembut kepada Nathan.

Ivea hanya bisa mengigit bibirnya untuk membendung perasaan cemburu saat wanita itu dan Nathan berpelukan mesra di depanya. Jantungnya hampir melompat keluar jika saja Ivea tidak memegangi dadanya. Sebisa mungkin Ivea membalas senyum wanita itu sebelum akhirnya ia kembali ke pinggir jalan dan pergi menjauh dengan mobilnya.

“Kau mau kemana?” Nathan berbicara lagi padanya. “Umm…membeli kopi dan Wafle untuk Kay.” Jawab

Ivea. “Ngomong-ngomong wanita itu siapa?” “Dia? Nanti akan ku ceritakan. Mau ku temani?” “Dia saudara perempuanmu atau sepupu?” Nathan tertawa kecil, ia kelihatan sangat bahagia.

“Apa kami berdua kelihatanya mirip? Kata orang kalau mirip itu jodoh. Iya kan?”

“Dia pacarmu?”

“Ehm..” Nathan mendehem keras. “Kenapa kau penasaran sekali terhadapnya? Kau tidak sedang cemburu kan?”

Apa? Ivea terperangah mendengar ucapan Nathan. Ucapan yang sangat mengena, dan hari ini kedengaranya Nathan sedikit lebih cerewet daripada biasanya. Apa karena Nathan sedang bahagia? Ya, kelihatanya Nathan yang di lihat Ivea hari ini adalah orang yang berbeda.

“Kau cemburu?” Ivea menggeleng kuat. “Tidak, bagaimana mungkin

aku…aku cuma… Maaf kalau terlalu ikut campur dengan urusanmu!”

“Eve!” Nathan menarik lenganya saat Ivea hendak melarikan diri. Sekarang Ivea hanya bisa terdiam sambil memandang Nathan yang juga memandangnya. “Aku tau kau tidak mungkin cemburu. Lagi pula kau tidak boleh cemburu padaku. Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari seorang teman!”

Dia tersenyum. Nathan bahkan sudah menolak sebelum Ivea menyatakan cintanya. Apa yang harus di lakukanya? Ia sangat ingin menangis dan menjauh. Tapi bila itu dilakukanya sekarang di hadapan Nathan, ia hanya akan semakin mempermalukan dirinya.

“Eve! Syukurlah kau belum pergi. Ada telpon dari Chastine!” Kay tiba-tiba menyapaya.

Ivea menghela nafas. Ia merasa telah di selamatkan.

***

“Benarkah? Kejam sekali, kenapa dia tidak bisa

menghargai perasaanmu sedikit saja. Kenapa langsung to the point begitu!” Chastine menggerutu. Ia sangat bingung setiap kali melihat wajah sedih Ivea yang sudah di anggapnya seperti adiknya sendiri. “Sudalah Eve, menjauh saja! Aku tiba-tiba saja tidak menyukainya!”

Ivea menyeka air matanya. Mungkin selama ini dirinya memang sudah sangat mengganggu bagi Nathan sehingga Nathan bisa berkata seperti tadi. Dirinya dan wanita itu memang berbeda. Ivea hanya seorang gadis biasa dengan penampilan standar seperti orang kebanyakan. Kaos oblong dan celana Jeans sudah menjadi citra tersendiri baginya. Dan wanita itu? Cantik. Seperti model.

“Kalau begitu kau pulang saja dulu!” Kay yang dari tadi hanya menyimak tiba-tiba ikut bicara. “Istirahatlah. Kau jangan khawatir, Kami pasti bisa membantumu melupakan perasaanmu kepadanya.”

“Lalu apa aku harus menghindarinya? Bukanya malah akan semakin kelihatan?”

“Kau tidak perlu menghindarinya aku yang akan kalian benar-benar saling menjauh. Makanya kubilang, Kau kuliah saja. Setidaknya itu bisa membuatmu punya kesibukan yang jauh dari Nathan”

Ivea dapat merasakan tepukan telapak tangan Kay di bahunya. Ia merasa beruntung masih punya Kay dan Chastine untuk menemaninya di saat-saat seperti ini.

Ingatanya tanpa bisa di cegah kembali kepada kejadian di depan tadi, saat Nathan menarik lenganya dengan pandangan yang tidak bisa di mengerti.

“Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari seorang teman!”

Kata-kata yang sangat menyakitkan untuk Ivea, kata-kata terkejam yang pernah Ivea dengar seumur hidupnya. Ivea memang bukan orang yang bisa dengan mudah menyembunyikan perasaanya. Kay selalu bilang kalau wajahnya seperti cermin dari hatinya, dia akan mudah kelihatan bila sedang menyimpan sesuatu. Wajahnya dengan mudah memperlihatkan perasaan sedih, kecewa, senang, terkejut, dan juga perasaan takut.

“Bagaimana Eve? Kau ikut aku?” Tanya Chastine. Gadis itu berdiri dari sofa tempatnya duduk. Jam istirahatnya sebentar lagi habis.

“Kau harus kembali ke kantormu kan? Biar Eve bersamaku saja disini setelah Nathan pulang dia akan ku antar pulang!” Kata Kay.

Chastine memandang Ivea lekat-lekat kemudian sebisa mungkin memberikan senyum sebelum akhirnya ia pergi. Sekarang yang tersisa hanya Ivea yang tertunduk lelah dengan Kay yang masih memandanginya.

“Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa bertemu denganya?” Ivea berbisik.

“Kau harus belajar menyembunyikan perasaanmu. Hal yang seperti ini bisa sangat merugikan. Kalau begitu kau libur saja sampai selesai tes. Aku akan bilang kepada

mereka kalau kau belajar dengan giat untuk masuk universitas. Bagaimana?”

“Lalu bagaimana dengan gaun yang di deadline akhir minggu ini?”

“Aku bisa mengerjakanya sendiri! Kau hanya perlu memikirkan bagaimana caranya kau bisa lulus tes dan kembali menata perasaanmu. Sudah ku bilang kan? Kau tidak perlu menjauh dari Nathan, aku yang akan melakukanya!”

Ivea menatap Kay semakin dalam. Laki-laki ini benar-benar sudah bersikap sangat baik dan tanpa cela. Wajahnya yang terkesan ‘cantik’ itu selalu bisa menenangkan hati siapa saja yang ada di dekatnya. Begitu juga dengan hati Ivea saat ini. Nathan sepertinya memang tidak bisa menerima Ivea sejak awal, seharusnya Ivea sadar. Kay juga sudah mengatakan hal itu kepadanya berkali-kali. Tapi kenapa dirinya masih tidak mau dengar?

“Wanita itu sebenarnya punya hubungan apa denganya?”

“Kau masih mau memikirkan hal seperti itu?” Kay kemudian mendecakkan lidahnya. Keningnya terlihat semakin berkerut. “Aliya, namanya Aliya. Nathan dan dia dulunya memang punya hubungan, tapi belakangan mereka berteman baik. Tapi perlu kau tau kalau Nathan masih menyimpan nama Aliya baik-baik di dalam hati, bukankah sudah ku ingatkan dulu kalau jangan terlalu berharap?”

***

2 Ruangan ini sepi sejak satu jam yang lalu, beberapa

lampu sudah tidak menyala lagi, tidak ada suara apapun yang bergemerisik, tidak ada bunyi-bunyian gaduh yang selalu terjadi di pagi hari. Café ini sudah tutup dan hanya tinggal Nathan dan Tara disini. Sebagai pemilik, Tara sedang sibuk menghitung untung penjualanya selama seminggu di hadapan Nathan tanpa suara.

Pikiran Nathan melayang jauh meninggalkan raganya. Sebenarnya tidak ada sedikitpun terbersit maksud buruk dalam kata-katanya tadi pagi pada Ivea, tapi wajah terkejut Ivea sudah membenarkan prasangkanya selama ini bahwa Ivea sedang menyimpan sebuah perasaan khusus untuknya. Seandainya tidak ada Aliya, Nathan pasti sudah menyambut perasaan Ivea dengan tangan terbuka. Tidak bisa di pungkiri, Nathan juga menyukai Ivea sejak ia sadar kalau Ivea selalu memperhatikanya. Sejak Ivea selalu menyapanya setiap kali dia datang, dan sejak Ivea selalu memandanginya saat ia bekerja.

Aku tidak mungkin menyukaimu lebih dari seorang teman. Mau tidak mau Nathan memang harus bersikap

seperti itu, dia memang seharusnya menyukai Ivea sebatas teman dan tidak boleh lebih. Sejak lama hatinya sudah di genggam oleh Aliya dan ia sama sekali belum bisa

melepaskan diri, Untuk saat ini meskipun dirinya dan Aliya hanya bersahabat Nathan masih tidak bisa melepaskan diri begitu saja. Nathan masih mencintai Aliya. Tapi bagaimana bisa perasaanya sekarang terbagi dua dalam porsi yang sama besarnya?

“Kita pulang sekarang?” Suara tegas milik Tara mengembalikan Nathan kedunia nyata. Wanita itu sekarang sedang memandangnya dengan pandangan heran sambil menyilangkan kedua tanganya di depan dada. “Kau kenapa lagi?”

Nathan Menggeleng. “Kau memikirkan sesuatu? Tidak ingin cerita?” “Tidak perlu. Masih bisa di atasi sendiri kok, Mbak!

Sekarang kita pulang saja. Aku mau istirahat cepat-cepat. Antar aku sampai rumah ya?”

***

“Kenapa masih datang? Kan sudah di bilang tidak

usah datang!” Kay menggerutu begitu melihat wajah Ivea di depan pintu galerinya. Masih terlalu pagi, bahkan Kay sendiri sama sekali belum mandi. Ia baru bangun tidur saat ponselnya berbunyi dan terkejut saat membaca pesan dari Ivea yang sudah berada di depan galerinya.

Kay benar-benar tidak menyangka kalau Ivea akan datang ke galeri hari ini. Padahal baru kemarin Kay melihat gadis ini beruraian air mata. Bukankah dia sedang kecewa pada Nathan? Tapi hari ini Ivea sudah terlihat

seperti biasa seolah-olah tidak ada masalah apa-apa yang terjadi kemarin.

“Aku mau bekerja. Memangnya salah?” Kay memegangi kepalanya. Tentu saja tidak. Sama

sekali tidak ada yang salah dengan semangat bekerja Ivea kali ini. Tapi melihat Ivea yang menangis kemarin mengingatkan Kay pada adiknya. Tidak ada seorang kakakpun yang suka melihat adiknya menangis kan? Tidak ada orang lain yang boleh membuat Ivea menangis selain Kay sendiri.

“Sudahlah. Masuk! Tapi aku tidak mau melihat wajah mendung atau air mata lagi. Ok!”

Ivea mengangguk dan tersenyum. Kali ini apapun yang terjadi, Kay akan berusaha untuk tidak mau tau. Dengan rasa ngantuk yang masih menggayutinya Kay berusaha naik kembali kekamarnya dan bersiap untuk mandi. Pagi ini Kay sudah menguap beberapa kali karena semalaman dirinya benar-benar lembur untuk menyelesaikan pekerjaanya. Targetnya, Kay menyelesaikan pekerjaanya sebelum akhir minggu agar dia punya lebih banyak waktu isirahat. Ponselnya berdering nyaring di atas tempat tidur. Dengan malas Kay meraihnya dan menekan tobol terima, dari ibunya di Tokyo.

“Allo, Mom?” katanya. “Tentu saja aku akan kesana setelah semuanya beres. Mungkin setelah akhir minggu ini……tapi aku tidak bisa lama ya?....Baiklah…ya! love you too!”

Kay menutup telponya. Telpon yang mengingatkan kalau Kay seharusnya mengunjungi ibunya di Tokyo minggu depan, peringatan kematian ayahnya akan segera tiba dan Kay tidak ingin membiarkan ibunya pergi ke makam sendirian. Tapi bagaimana dengan Ivea? Siapa yang akan menjauhkanya dari Nathan? Bagaimana bila selama dirinya berada di Tokyo Ivea menangis karena Nathan? Kay menggeleng. Bagaimana bisa ia berfikir sepanik itu padahal ia sudah melihat sendiri kalau gadis itu sudah baik-baik saja.

Kay mengambil handuknya dan masuk kekamar mandi. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuknya bersiap-siap dan turun kelantai bawah. Setidaknya beredam di bathub selama itu membuat Kay tidak merasakan kantuk lagi sama sekali. Tahap demi tahap anak tangga di tapakinya dengan hati-hati hingga tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat Ivea terjatuh karena tersandung sesuatu. Kay berusaha menahan tawanya, Ivea selalu begitu dan sejauh ini Kay selalu bersikap sama, menertawainya sepuas mungkin dengan suara keras. Tapi kali ini Kay tidak jadi tertawa saat melihat Nathan berusaha menolong Ivea. Setangkas mungkin Kay berusaha menuruni tangga dalam tempo kilat dan menepis tangan Nathan yang hendak memapah Ivea untuk berdiri.

“Kau ini kenapa? Kan sudah ku bilang tidak usah bekerja!” Kay membantu Ivea berdiri sambil meggerutu. Kepala Ivea memar, pasti karena membentur lantai.

“Aku sepertinya tersandung kabel lampu.” Jawab Ivea sambil menggosok keningnya dengan tangan kiri dan tangan kananya menunjuk kabel lampu yang seringkali Nathan gunakan untuk lighting saat pemotretan di dalam galeri.

Kay melihat kearah yang di tunjuk Ivea, tapi kemudian matanya menatap Nathan yang masih mematung memandangi mereka tanpa berkata apa-apa. Anak ini kenapa? Kay membatin. “Ayo keruanganku saja!” Katanya sambil memapah Ivea masuk keruanganya tanpa memandang Nathan lagi.

***

Nathan mengaduk cangkir kopinya dengan malas.

Melihat Ivea jatuh tadi tubuhnya bergerak secara spontan menyongsong Ivea, tapi Kay menepis tanganya keras sebelum Nathan dan Ivea sempat bersentuhan. Kay berbeda, sikapnya sama sekali tidak biasa. Selama ini Kay tidak pernah berbuat seperti itu kepadanya. Pandangan yang Kay berikan untuknya tadi membuat Nathan merasa kalau Kay sedang menyalahkanya atas luka yang Ivea dapat. Nantan memejamkan kedua matanya berharap mendapatkan ketenangan lebih setelah melakukan hal itu. Tapi kelihatanya sia-sia.

“Kalian kenapa? Hari ini kelihatanya aneh!” Nathan menoleh kearah suara. Tara sedang berdiri di

depan pintu Pantry yang terbuka dengan bertolak

pinggang. Tara Soedarnadi adalah orang kepercayaan Kay dan juga pemilik Café di sebelah. Tapi sepertinya Tara lebih sering menghabiskan waktu di galeri di bandingkan dengan di cafenya sendiri. Begitu juga dengan hari ini. Tara pasti akan berada di Chinamons seharian karena semalam dia sudah melakukan evaluasi keuangan cafenya.

“Tidak ada!” Nathan berusaha tersenyum. Ia lalu duduk di meja makan kecil yang berada di tengah ruangan sambil menyeruput kopinya beberapa kali. Pagi-pagi begini dirinya sudah di rasuki perasaan kecewa.

“Kau, kapan akan mengatakan sesuatu? Kenapa selalu bilang tidak ada sedangkan wajahmu menyiratkan kalau sedang terjadi sesuatu?” Tanya Tara lagi, Ia masuk ke pantry dan duduk di hadapan Nathan setelah membuat capuchino Instan yang mengeluarkan aroma hangat. “Kau cemburu pada Kay?”

“Astaga, Mbak ini sedang bicara apa? Aku cuma kaget, ternyata kabel lampu bisa membuat orang cidera.”

“Benarkah?” “Sebenarnya Kay hari ini juga agak berbeda!” “Iya, sepertinya lebih protektif pada Ivea. Kita semua

juga tau kalau dia dan Ivea memang dekat. Ivea sudah seperti adiknya sendiri, kelakuan mereka berdua juga sudah seperti saudara selama ini. Jadi kau jangan khawatir dengan yang tadi. Mungkin Kay sedang sensitif karena Ivea terluka!”

“Aku cuma merasa bersalah, Alat-alat kerjaku melukai orang lain!”

“Bukanya cuma memar ringan? Kalau begitu bawakan dia air hangat untuk mengompres luka memarnya!”

Nathan jadi bersemangat. Benar sekali kata Tara barusan, ia merasa bersalah karena Ivea terluka, maka itulah obatnya.

***

Dengan semangat Nathan membawa sebaskom air

hangat dan sebuah handuk kecil berwarna putih bersih untuk Ivea. Pintu ruangan Kay terbuka, Kay memang tidak pernah menutup pintu kalau bukan untuk membicarakan hal penting. Apa yang sedang mereka lakukan didalam? Semangat Nathan tiba-tiba pupus saat melihat Ivea berbaring di sofa dan Kay meniup luka memarnya dengan lembut.

“Sebentar lagi obatnya kering” Kata Kay. “Kau seharusnya lebih hati-hati! Bukanya sebentar lagi kau akan tes masuk universitas? Kalau terluka parah bagaimana? Kau mau menuda kuliah setahun lagi? Kebanyakan menunda waktu kuliah tidak baik bagi perempuan! Seharusnya tahun depan kau sudah jadi sarjana kalau kau tidak terus-terusan menunda kuliah!”

“Mengomelnya nanti saja! Kepalaku masih pusing!” Ujar Ivea manja.

“Apa kau bilang? Beraninya membantah! Pokoknya kau terlarang menginjakkan kaki di sini sebelum kau lulus

ujian mengerti? Kau hanya boleh membawa kabar bagus ke Chinamons!”

“Tapi aku bisa libur lebih dari sebulan kalau begitu!” “Aku cuma tidak mau kau disini selama aku tidak ada!

Aku mau ke Tokyo dalam waktu lama, jadi kau tidak perlu kesini kalau aku belum pulang! Mengerti?”

“Tapi…” “Jangan Membantah lagi.” Kay menepuk ringan luka

memar di kening Ivea. Tapi kelihatanya itu cukup untuk membuat Ivea menjerit kesakitan. Ia tertawa senang melihat ekspresi Ivea yang kelihatanya sangat menderita, Kay yang biasa sudah kembali. “Makanya, berhentilah berdebat denganku! Kau akan menderita kalau kau terus membantah!”

Nathan menghela nafas lega. Mungkin benar kata Tara, hari ini Kay hanya merasa sensitif karena Ivea terluka. Bagaimana mungkin Nathan bisa merasa cemburu? Tunggu dulu, benarkah tadi aku cemburu? Tanya Nathan pada dirinya sendiri. Sekarang dirinya masih ragu akan masuk atau tidak. Kelihatanya Kay sudah mengobati luka Ivea dan tidak membutuhkan apa yang di bawanya kali ini.

“Ngomong-ngomong sekarang di Tokyo sedang musim dingin kan? Pasti sedang turun salju. Aku ingin melihat salju di Tokyo!” Suara Ivea terdengar lagi.

“Di Tokyo tidak turun salju!” “Bagaimana mungkin! Kau berbohong!”

“Aku sudah sering ke Tokyo dan tidak pernah melihat salju!” Jawab Kay lagi.

Mereka kembali berdebat, dan sepertinya Nathan tidak perlu mengganggu. Kay sudah menggantikan tempatnya dengan baik untuk mengobati Ivea yang luka.

***

Ivea fikir dirinya akan bertemu dengan orang-orang

baru selama ada di kampus baru. Ternyata, meskipun Ivea bertemu teman yang baru para pengajarnya bukanlah orang yang baru. Beberapa orang pengajar seringkali di lihat Ivea bersama dengan Kay di berbagai acara, satu di antaranya adalah sahabat dekat Kay yang sering datang ke Galeri, Bianca Karta pemilik majalah SmiloQueen yang terkenal itu. Dan Kay ternyata juga mengajar disini dalam mata kuliah khusus.

Ini adalah kali kesekian Ivea bertemu dengan Kay di kelas, dan Ivea terpaksa membiasakan dirinya memanggil Kay dengan sebutan Miseur. Semua temanya memanggil Kay dengan sebutan itu dan akan menjadi tidak sopan bila Ivea memanggil Kay dengan nama saja seperti yang biasa di lakukanya.

“Ivea, begitu pelajaran selesai temui saya di kantor!” Kata Kay. Ia melihat jam di tanganya beberapa lama tapi kemudian segera melangkah keluar kelas meninggalkan mereka semua.

Kay, meskipun penampilanya selama di kelas berbeda dengan penampilan yang biasa Ivea lihat, ia sama sekali tidak mengubah sikap bersahabatnya. Nyaris semua anak di kelas menyukainya dan tidak ada satupun yang berkomentar buruk. Tapi Kay tidak menjadi idola seperti Madame Bianca Karta atau Bian. Wanita itu selalu mengajar dengan penuh keceriaan yang membuat mata kuliahnya selalu di tunggu-tunggu sepanjang minggu. Terkadang bermacam-macam kata dalam bahasa Prancis yang sering di ucapkanya bisa membuat kelas riuh di penuhi gelak tawa. Selain itu, meskipun Bian adalah seorang pemarah, ia tidak pernah membawa amarahnya keluar kelas. Dia akan mudah tertawa dan melupakan kalau di kelas dia sudah mencaci maki mahasiswa dalam bahasa asing.

“Ada apa? Kenapa kau bisa di panggil oleh Miseur?” Voni tiba-tiba saja duduk di sebelah Ivea yang sedang termenung. Gadis itu adalah teman sekelas Ivea yang dikenal ramah di kelas.

Gadis berperawakan tinggi dan agak gemuk itu selalu tertarik membicarakan Kay setiap kali. Kay dengan mata kelabunya memang cukup menarik perhatian teman-temanya yang kebanyakan adalah perempuan. Tapi kebanyakan dari mereka juga tidak berani mendekati Kay karena prasangka-prasangka aneh yang mereka ciptakan sendiri.

“Mungkin mengenai tugas.” Jawab Ivea dengan malas. “Menurutmu Miseur tampan atau tidak?”

Ivea memandang Voni dengan kening yang berkerut. Selama ini dia tidak pernah memperhatikan apakah Kay tampan atau tidak. Tapi Kay yang memiliki hidung mancung dan bola mata kelabu itu memang terlihat spesial, terlebih wajah Kay yang agak Oriental menambah kesan unik pada dirinya. “Umm…entahlah. Mungkin iya!”

“Banyak anak-anak yang bilang kalau Miseur kurang gaya. Dia gay tidak ya? Kebanyakan desainer kan…!”

“Sembarangan!” Seru Ivea memotong kalimat Voni sesegera mungkin. Tidak semua desainer pria adalah gay. Lagi pula kalau memang gay kenapa? Tapi apa Kay memang seorang gay? Ivea tidak pernah bertanya-tanya tentang percintaan Kay sebelumnya.

“Oh ya, aku hampir lupa. Ada seseorang yang mencarimu dan menitipkan ini!” Voni memberikan secarik kertas kepada Ivea. Ia kemudian kembali sibuk dengan ocehanya tentang Kay dan dugaan-dugaan teman-temanya mengenai segala macam kisah percintaan Kay.

Ivea sudah tidak bisa mendengarkan apa-apa lagi. Fikiranya sudah terfokus kepada secarik kertas yang di lipat empat itu dan membukanya pelan-pelan. Sebuah memo untuk Ivea dari Nathan.

Eve, kau pulang jam berapa?Kalau jam pelajaranmu sudah selesai bisa kita bertemu? Aku mau membicarakan sesuatu. Aku tunggu di parkiran fakultasmu ya? Nathan

Tiba-tiba saja Ivea membeku. Nathan ingin

membicarakan sesuatu. Membicarakan apa? Tentang Nathan yang tidak pernah bisa menyukainya lebih dari seorang teman? Tapi bukankah hal itu sudah menjadi cerita lama? Ivea bahkan sudah tidak pernah datang lagi ke galeri pada siang hari karena takut bertemu dengan laki-laki itu. Tapi kali ini Nathan menunggunya untuk membicarakan sesuatu. Kenapa tiba-tiba jantung Ivea berdetak keras? Sudah lama Ivea tidak merasa begini. Apa yang harus di lakukanya?

***

Nathan duduk tenang di atas sepeda motor matic-nya .

Ia sudah bolos kerja hari ini, sejak pagi tadi. Entah apa yang mendorongnya untuk menemui Ivea di kampusnya dan masih bertahan dalam posisi yang sama hingga sekarang. Nathan sudah berperang dengan hatinya semalaman menolak kata-kata rindu masuk ke sekujur tubuhnya. Tapi keputusanya tetap sama, Nathan sama sekali tidak bisa menyangkal kalau dirinya sangat merindukan Ivea. Hari ini sudah memasuki bulan ketiga dan dia tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk bertemu dengan Ivea. Semenjak Ivea kuliah, mereka sama sekali tidak pernah bertemu, dan drastis galeri menjadi sangat sepi.

“Kau sudah lama disini?”

Nathan mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk tak bersemangat. Wajah Ivea yang sudah sangat lama tidak di temui kini bisa di tatapnya kembali, dan gadis itu tersenyum. Senyum yang berhasil menjadikan sengatan matahari yang terik menjadi sejuk bagai hembusan angin sore. Masih Ivea yang sama, dia sama sekali tidak berubah. Nathan spontan berdiri dari duduknya dan menghembuskan nafas pelan-pelan untuk menghilangkan kegugupanya. Ivea masih menanti jawabanya.

“Tidak juga!” “Mau membicarakan apa?” “Umm…” Nathan memikirkan kata-kata yang tepat.

Itu yang belum di persiapkanya. Haruskah dia mengatakan bahwa dirinya sedang merindukan Ivea?. “Aku mau minta maaf!”

Kedua alis Ivea bertaut. “Atas apa?” “Atas luka memarmu itu. Kau ingat kan?” “Oh, karena kabel itu? Sudah sangat lama sekali. Aku

bahkan tidak ingat kalau kau tidak mengungkitnya hari ini!” Ivea tersenyum lagi. Kelihatanya dia merasa sangat senang hari ini. “Kenapa kau harus minta maaf?”

“Aku cuma merasa sedikit bersalah. Kau terluka karena peralatanku! Kita juga tidak pernah bertemu lagi semenjak itu. Aku fikir kau marah padaku!”

“Mana mungkin aku bisa marah karena hal sepele seperti itu!”

“Bukan cuma yang itu.” “Ya? Apa lagi?”

“Tentang ucapanku waktu itu, kalau aku tidak mungkin bisa menyukaimu lebih dari seorang teman. Aku…umm…aku…” Nathan menggigit bibirnya. Tidak ada hal lain yang bisa di lakukanya selain hal itu karena ponsel Ivea berbunyi nyaring.

Ivea mengangkat ponselnya setelah sebelumnya permisi menjauh. Pasti Kay yang menelpon, Karena perdebatan yang seperti itu hanya akan di lakukan Ivea dengan Kay saja. Ivea bukanlah orang yang banyak bicara dan dia hanya bisa buka mulut jika sedang bersama Kay.

“Nanti kita lanjutkan ya? Aku harus menemui Miseur Keith dulu. Aku lupa kalau tadi dia menyuruhku menemuinya di ruanganya. See ya!” Dan Nathan harus melihat Ivea pergi.

Sebenarnya Nathan sangat igin mengajak Ivea pergi makan siang dan kembali ke galeri bersama-sama. Tapi sepertinya Nathan harus menyimpan perasaan kecewanya dalam-dalam untuknya sendiri. Ivea sedang menjauh menuju Kay.

***

3 “Cukup mudah kan tugas kalian? Saya harap

rancangan itu bisa saya terima akhir minggu ini. Setelah rancangan ini, kalian tidak perlu ujian semester lagi karena nilai semester kalian di ambil dari sini. Jadi berusahalah!”

Ivea mengulangi kata-kata Kay tadi pagi dikelas saat dia dan Tara makan siang bersama. Bagi Ivea awalnya semua ini bukan beban, sangat menyenangkan bisa praktek tanpa teori. Tapi saat mengetahui kalau nilai semester juga di ambil dari sini Ivea tiba-tiba merasa cemas karena pada dasarnya Ivea berkuliah disana karena bergantung pada beasiswa. Untuk selalu bertahan dengan beasiswa Ivea juga harus selalu menjaga kestabilan nilainya. Lalu bagaimana bila nilainya jatuh? Merancang busana pengantin kelihatanya sulit, karena dimana-mana wedding dress selalu berkonsep sama. Itulah yang membuatnya tidak yakin akan mendapatkan nilai tinggi. Sampai saat ini saja beberapa teman sekelasnya ada yang membuat desain dengan konsep dan gaya yang mirip sehingga tak jarang pertengkaran terjadi karena itu.

“Aku bahkan belum terfikir sama sekali.” Kata Ivea sambil menggeser duduknya keposisi yang lebih nyaman untuknya. “Sebenarnya sudah ada rencana, tapi belum ku gambar sama sekali.”

“Kau kesulitan ya? Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada Kay?”

“Mana aku berani, Mbak! Dia bisa marah. Ini kan mata kuliahnya, dia tidak akan memberi saran apa-apa.”

“Jangan minta saran dong! Gambar rancanganmu dan tanyakan pendapatnya! Dia tidak akan pelit kalau mengenai pendapat. Makanya banyak orang yang suka curhat sama dia!”

“Bener mbak?” “Pasti! Sekarang keluarkan alat tulismu itu dan

gambar dulu disini. Nanti akan ku beri sedikit saran sebelum kau menanyakan pendapatnya.”

Ivea berusaha merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah binder dan pensil. Kertas-kertas yang berada di dalam Binder berwarna biru muda itu berbeda dengan kertas yang lain, Binder itu khusus berisi kertas-kertas desain dan itu adalah hadiah dari Kay saat Ivea bisa lulus dengan baik dan bisa mengajukkan beasiswa. Menurut Kay itu hanya ungkapan terima kasih kecil karena dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membiayai Ivea meskipun itu dalam bentuk pinjaman. Saat mengatakan itu Kay terdengar seperti orang yang sangat pelit.

Goresan demi goresan di lakukan Ivea dengan sangat hati-hati, ia bahkan tidak meggunakan penghapus sama sekali dan membuat gambar dari sisi belakang juga. Tara cukup terkagum-kagum melihat detail yang Ivea buat. Ivea bahkan mampu menggambar sulaman bunga-bunga dengan gambar yang manis.

“Bagaimana?”

“Wah cepat sekali! Pantas Kay sangat menyukaimu. Dia menyukai anak-anak yang cerdas. Aku ingat kalau dulu Chastine juga sama sepertimu. Tapi Eve, mengapa kau buat gaun yang pendek?”

“Pakaian yanag paling aku sukai adalah sepatu, jadi aku ingin saat menikah nanti menggunakan sepatu yang indah dan bisa memperlihatkanya dari berbagai sisi. Makanya ku buat seperti ini!”

“Kalau begitu langsung bawa pada Kay sana!. Hari ini dia tidak makan siang. Mungkin ada di ruanganya!”

“Ok. Permisi Mbak!” Ivea kemudian meninggalkan Tara dengan langkah

senang. Tapi diam-diam ke khawatiran menyusup di hatinya. Gaun seperti ini tidak akan laku di jual karena kebanyakan orang menyukai gaun yang kelihatan mewah menyapu lantai. Kay tidak akan menyukai gaun yang tidak menghasilkan uang. Benar atau tidak Kay orang yang seperti itu, setidaknya dia selalu mengesankan kalau dirinya adalah seorang desainer mata duitan. Pintu ruang kerja Kay terbuka lebar. Laki-laki itu sedang berkonsentrasi pada sembuah buku tebal yang ia baca dengan pandangan serius di balik kaca mata tebalnya. Kaca mata yang selalu di gunakanya di kampus. Sepertinya Kay merasakan kedatangan Ivea sehingga ia menoleh kepada Ivea yang hendak mengetuk pintu.

“Ada apa?”

“Aku mau bertanya sesuatu.” Ivea kemudian mendekat dan meletakkan gambarnya diatas meja. “pendapatmu tentang desainku ini bagaimana?”

Kay melirik sekilas ke desain yan Ivea buat, lalu kembali membaca bukunya. Kay kelihatanya sangat tidak tertarik.

“Bagaimana?” Tanya Ivea penasaran. “Aku tidak bisa mengomentari apa-apa karena tugas

itu aku yang memberikan.” Ivea mendengus kecewa. Sudah ku duga bisik Ivea pada

dirinya sendiri. “Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu.” Katanya lemah. Mungkin memang sebaiknya Ivea tidak bertanya apa-apa. Ia melangkah malas menuju keluar ruangan tapi tiba-tiba Kay menghadangnya dan segera menutup pintu. Kay memandangnya dengan pandangan yang berbeda lalu memeluk Ivea dengan sangat tidak terduga. Tiba-tiba Ivea merasakan sesuatu yang berbeda tentang Kay bagi dirinya. Nafasnya agak sesak. Ivea tidak boleh begini, dia tidak boleh begini.

“Kay, Kenapa?” “Aku sedang bad mood.”Katanya pelan. “Kau tidak

akan menolak kan untuk menemaniku sebentar saja?” “Tentu saja tidak, kau selalu menemaniku saat aku

butuh!” Jawab Ivea. Dia berusaha untuk bersuara dengan lebih ceria meskipun hatinya masih shock. Kay tidak pernah seperti ini sebelumnya meskipun perasaanya sedang tidak baik. Ini pertama kalinya.

***

4 Ivea memegangi kepalanya sambil memandangi kertas

desain. Kelihatanya anak itu merasa sangat bingung. Secangkir teh hangat yang berada di mejanya mungkin sudah dingin karena tidak di sentuh. Jam Makan siang sebenarnya sudah lewat sekitar se jam yang lalu. Tapi Ivea masih belum beranjak dari sana, dari kursinya yang berada tepat di sebelah kaca anti pecah di café milik Tara yang membuat wajahnya terlihat terang karena cahaya matahari yang bersinar terik di luar. Ivea kelihatanya tidak merasakan panasnya karena dia betah berada disitu selama berjam-jam.

Kelakuan Ivea yang seperti itu sukses membuat Nathan tersenyum-senyum memandanginya. Melihat Ivea hari ini, meskipun dari jauh masih cukup untuk membuatnya bahagia. Ivea yang menggambar desain dengan konsentrasi penuh, kemudian menggigit bibir lalu meremas kertasnya, sudah menjadi perhatian Nathan selama ia datang ke café itu untuk makan siang. Tampang geram Ivea sesekali membuat Nathan menahan gelak tawanya karena takut di sangka orang gila oleh Tara yang sejak tadi berada di hadapanya dan diam-diam memperhatikanya.

“Kelihatnya kau sangat tertarik dengan Eve!” Suara Tara membuat Nathan memalingkan

pandanganya dari Ivea secepat mungkin. “Apa? Um…tidak. Cuma tidak sengaja melihatnya!”

Jawab Nathan sekenanya. “Tidak sengaja sampai satu jam lebih? Kau bahkan

tidak memperdulikan aku yang dari tadi duduk bersamamu. Kau membiarkan aku bicara sendiri seperti orang gila!” Tara lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Nathan yang ada di hadapanya. “Kau menyukai Ivea ya? Mengaku saja! Aku sudah curiga!”

Nathan tidak menjawab, ia berusaha menyembunyikan rona di wajahnya dengan meminum Jus apelnya sebanyak yang dia bisa.

“Aish…” desis Tara geram. “Bukankah aku sudah lama mengatakan padamu kalau anak itu juga tertarik padamu. Sekarang tunggu apa lagi. Kalau kau lambat hatinya bisa di rebut orang lain. Kay misalnya, Kita tidak bisa memungkiri Kalau Kay sangat menarik, tidak sedikit model yang tergila-gila kepadanya.”

Rona di wajah Nathan tiba-tiba saja memudar. Ia tertunduk kecewa pada dirinya sendiri. Melihat itu Tara jadi merasa salah bicara.

“Tidak, tidak! Kau jangan ambil pusing dengan kata-kataku barusan. Mana mungkin Kay bisa melakukan hal seperti itu. Orang yang disayanginya sebagai saudara akan selalu di sayanginya dengan cara itu selamanya! Aku yakin Ivea diperuntukkan untukmu!”

“Aku yang tidak yakin, Mbak!” Nathan bergumam berat. “Semenjak aku mengatakan hal bodoh itu dia benar-benar bersikap biasa. Tidak menunjukkan rasa tertariknya sama sekali, bahkan tidak menyapa kalau aku tidak memulai.”

“Hal bodoh seperti apa? Kau tidak pernah bercerita apa-apa!”

“Aku tidak bisa menyukainya lebih dari sekedar teman. Aku mengatakan itu saat aku menyadari perasaan sukanya padaku!”

“He?” Tara terkejut kemudian memukul keningnya dengan telapak tangan. “Harusnya kau lebih sabar untuk bersikap seperti itu. Hati orang bisa berubah, hatimu juga. Jangan membatasi dirimu pada sesuatu, sekarang kau menyesal kan? Pasti begitu! Kenapa kau bisa melakukanya?”

“Aku rasa aku juga menyukainya. Tapi suka saja tidak cukup. Ada orang yang aku cintai, Mbak. Kau juga tau siapa orangnya. Sampai saat ini aku belum bisa melepaskan diri darinya, bagaimana bisa aku menyambut Ivea?"

“Kau ini bodoh atau apa? Aliya yang melepasmu lebih dulu. Tapi sampai sekarang kau masih seperti kacung yang selalu mengikutinya kemana-mana. Kalau aku jadi Ivea aku tidak mau melihatmu lagi seumur hidupku!”

Nathan terperangah mendengar ucapan Tara barusan. “Menurut Mbak, Ivea berfikir begitu?”

“Ivea? Tentu saja tidak. Dia masih mau tersenyum padamu,kan? setidaknya itu menunjukkan kalau masih ada

kemungkinan untuknya menerimamu kembali.” Tara memanjang-manjangkan tubuhnya untuk menepuk bahu Nathan. “Sudahlah. Sekarang lepaskan Aliya dan datang kepada Ivea. Bawa Sandwich ini. Kulihat dia tidak memesan apa-apa kecuali teh sejak tadi!”

Nathan memandangi beberapa potong sandwich dalam sebuah piring keramik berwarna kuning terang yang di sodorkan Tara kepadanya. Semula Nathan masih ragu, tapi setelah melihat wajah Tara yang penuh dengan dukungan, Ia memutuskan untuk membawa sandwich itu kepada Ivea yang berada di dekat jendela. Ivea masih belum menyadari kedatanganya hingga dia memutuskan untuk menyapa lebih dulu dengan kata Hallo, dan mendapatkan sebuah senyum sebagai hadiahnya. Nathan semakin bersemangat dan duduk di hadapan Ivea sambil meletakkan sandwich itu di hadapanya.

“Untukmu!” Katanya dengan susah payah. Ivea memandangnya. “Aku di traktir?” Nathan mengangguk dalam. “Makan saja. Kau sudah

melewatkan jam makan siang” “tapi aku sedang tidak berselera! Aku harus

menyelesaikan deskripsi tugas ku” “Aku kira kau sedang menggambar desain!” “Desainya sudah jadi kemarin. Tapi aku masih

bingung harus menggunakan bahan apa. Aku berusaha membuatnya jadi sederhana, ringan dan manis.” Ivea kemudian mengeluarkan kertas desainya dari binder yang berada di atas meja. Gaun manis dengan motif bunga-

bunga berwarna merah jambu di sekitar dada tampak sangat sederhana seperti kata Ivea. Motif itu bertahan sampai ke lengan yang di buat minim, Sisanya, seperti wedding dress pada umumnya, menggunakan warna putih yang bermekaran hingga bawah lutut dengan layer yang tidak begitu panjang dari sebuah pita besar yang menempel pada perbatasan motif merah jambu yang berakhir beberapa senti di bawah dada. Gaun yang manis dan sopan. “Aku mau menggunakan shifon agar terlihat ringan meskipun berlapis-lapis. Tapi bagaiman dengan bordirnya? Aku khawatir Shifon tidak mampu menanggung bordir seberat ini!” Lanjutnya.

“Kenapa tidak gunakan brokat saja?” Leher Ivea yang tadinya lemas tiba-tiba tegak dan

bersemangat. “Brokat?” “Tidak ada salahnya kalau brokat di tempel pada

atasannya? Brokat pada zaman sekarang ini tidak hanya di gunakan untuk kebaya. Banyak brokat yang putih polos tapi bunga-bunganya berwarna di jual di pasaran. Brokat bisa membuat kerja lebih cepat dan ekonomis. Aku rasa hasilnya tidak akan mengecewakan!” Suara Nathan terdengar sangat Optimis. Ini pertama kalinya dia dan Ivea berbicara panjang lebar, Nathan merasa senang bisa berguna bagi Ivea.

“Boleh juga!” Kata Ivea dengan wajah penuh senyuman bahagia seolah-olah Nathan sudah membantunya membuang satu beban yang memberatkan pundaknya.

***

Deadline pengumpulan tugas sudah tiba. Ivea dengan

langkah perlahan membawa tugasnya yang sudah di jilid rapi kepada Kay di depan kelas. Entah mengapa dirinya merasa sangat was-was dengan hasilnya. Terlebih melihat pandangan Kay pada rancanganya yang kelihatan tidak yakin. Kay menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang Ivea sesekali sehingga Ivea menjadi satu-satunya mahasiswa yang berdiri lama di depan kelas. Setelah Kay menutup kembali lembaran tugas Ivea dan menumpuknya bersama dengan tugas-tugas yang lain, Ivea kembali ke tempat duduknya dengan langkah gontai dan membenamkan wajahnya kedalam pelukan kedua lenganya yang saling bertumpuk di atas meja.

Untuk beberapa Jam berikutnya dunia seperti kosong. Ivea benar-benar gelisah sehingga ia keluar masuk kamar mandi galeri lebih sering. Itu terjadi karena Ivea meminum banyak air putih di pantry untuk menghilangkan kegugupanya. Ia sangat berharap pada desain buatanya. Semula ia sangat yakin dengan desain minimalis karyanya. Tapi sepertinya Kay tidak terlalu suka. Harusnya Ivea tau bagaimana selera Kay setelah melihat gaun rancangan laki-laki itu yang di pajang memenuhi galeri. Gaun rancangan Kay selalu tampak mewah dan sangat wah! Kay suka menggunakan sutra dan satin dan menggunakan sulaman

sebagai pengganti brokat pada kebaya dan sejenisnya. Apalagi menggunakan Shiffon sebagai rok dan layernya.

Ivea melakukan itu lagi, Ia meminum banyak air putih dan menempelkan wajahnya pada meja makan yang berada di tengah dapur. Dia selalu menginginkan yang terbaik, lalu bagaimana jika karyanya kali ini sama sekali tidak menjadi yang terbaik? Harapanya untuk mendapatkan beasiswa pada semester depan bisa pupus karena nilai semester yang kalah telak pada mata kuliah yang satu ini.

“Apa kau akan seperti ini terus? Kau membuat orang-orang se-galeri jadi pusing!” Tara menyilangkan kedua lengan di depan dadanya sambil berdiri di sisi Ivea, dimana wajah Ivea menghadap sekarang. “Tenang saja. Kalau hoki kau juga akan dapat nilai baik!”

“Masalahnya aku bukan orang yang di penuhi dengan aura hoki, Mbak!” gumam Ivea lemah. Ia menjadi kelihatan sangat tidak bertenaga.

“Light Up, dong! Shine like you always do!” Ivea menggeleng. Kali ini dia tidak akan bisa. Malam

ini Kay akan memberikan penilaian seperti apa pada karya-nya? Kay bahkan mungkin masih berada di kampus untuk menilai kertas-kertas yang menumpuk tadi. Sampai saat ini Kay belum kembali ke galeri, hari ini mungkin Ivea tida akan melihat wajahnya sampai besok pagi.

“Kau mau aku beri obat penenang?” Bisik Tara sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Ivea. Pandangan nakalnya tampak mencurigakan.

Belum lagi Ivea memberi pesetujuan, Tara sudah memanggil Nathan sehingga Ivea sedikit gelagapan. Suara tapak kaki Nathan yang semakin mendekat dapat di dengar ivea dengan jelas. Pria itu sekarang sudah berdiri di depan pintu pantry bersama Tara, Tara kelihatan membisikkan sesuatu ketelinga Nathan, sesuatu yang mungkin tentang Ivea, pasti tentang Ivea karena keduanya berbisik-bisik sambil memandanginya. Tara kemudian meninggalkan mereka dan dalam beberapa detik kemudian wanita itu sudah terdengar berbicara dengan pelanggan sambil tertawa keras. Sedangkan Nathan, sekarang sudah berada di hadapanya dan tersenyum lembut.

“Kalian membicarakan apa? Membicarakan aku?” Tanya Ivea.

Nathan menggeleng sambil menggeser kursinya untuk merapat ke sisi Ivea. “Membicarakan aku!” Jawabnya.

“Kau? Ada apa?” “Karena aku sedang gugup sekarang!” Ivea jadi semakin heran, Nathan sedang

membicarakan apa! “Kau kenapa?” Tanya Nathan. “Kenapa Mbak Tara

sampai memintaku menemanimu? Kau ingin aku temani?” Ivea menggeleng kuat-kuat. “Tidak, dia yang

mengambil inisiatif itu sendiri.” Ivea kemudian diam karena menyadari Nathan sedang memandanginya. Ia tertunduk. Mungkin tidak ada salahnya bila Ivea menceritakan kegelisahanya pada Nathan dengan harapan bisa sedikit mengurangi beban. “Soal desain kemarin, tadi

siang aku sudah mengumpulkanya. Aku cuma gelisah karena ekspresi Kay saat melihatnya kurang baik. Aku khawatir mendapatkan nilai yang tidak bagus. Seharusnya aku tau bagaimana selera Kay. Tapi desainku benar-benar berlawanan dengan seleranya! Bagaimana ini!” Ivea kemudian menutup wajahnya.

Beberapa detik berikutnya rasa hangat dari tangan Nathan menjalari tanganya. Nathan telah menggenggam kedua tangan Ivea erat-erat dan memandanginya dengan pandangan tak biasa. “Apa yang kau butuhkan?”

“En..tah-lah!” Jawab Ivea gugup, Ia berdehem kecil. “ Seandainya aku bisa melupakan masalah ini untuk sejenak saja, sampai besok pagi.”

“kalau begitu akan ku kabulkan!” Dan tubuhnya berada dalam pelukan Nathan seketika.

Ivea terkejut dengan sikap Nathan kali ini. Nathan sudah bersikap seperti orang lain, tapi pelukan Nathan entah mengapa mengingatkanya kepada Kay. Ia tidak bisa melupakanya, Cara Nathan ini gagal, mengingat Kay berarti mengingat tugasnya dan pandangan tidak puas Kay di kelas tadi. Ivea berusaha mendorong tubuh Nathan tapi Nathan menolak untuk melepaskanya.

“Aku rasa cara ini tidak akan berhasil. Hatiku tidak cukup kuat untuk melupakan masalah yang sangat mengganggu itu!”

“Lalu bagaimana caranya agar kau bisa melupakanya?” rangkulan Nathan semakin kuat, suara

Nathan barusan terdengar sangat dekat dengan telinga Ivea. “Kau pernah membaca Vampire Knight?”

“Mmm? Tidak!” “Perlu hati yang kuat untuk melupakan masalah yang

mendominasi sebagian besar fikiran kita, dan kau tau Yuki dalam komik itu berpendapat apa? Mungkin harus menjadi vampire dulu baru kau bisa memiliki hati yang kuat.”

“lalu apa hubunganya?” “Apa kau mau menjadi Vampir?” Suara Nathan tiba-

tiba terdengar mengerikan, Ia meniru kata-kata Kaname Kuran dengan sukses.

“Kau jangan becanda!” “Aku serius. Bila di dunia ini memang ada vampire,

apa kau juga mau menjadi vampire?” Ivea terdiam sesaat. Kelihatanya cara Nathan kali ini

berhasil, kekhawatiran Ivea sedikit memudar beralih kepada fikiranya tentang vampir. Vampir bisa hidup abadi kan? Menjalani masa hidup yang lama dengan beban meminum darah untuk bertahan hidup memang memerlukan hati yang kuat. Terlebih usia yang panjang membuat vampire mungkin menghadapi masalah lebih banyak dan lebih kompleks.

“Jika aku adalah vampir, apakah kau akan merelakan darahmu untuk ku minum?”

“Jika itu memang bisa membuat aku jadi lebih kuat kenapa tidak!” Jawab Ivea jenaka. Ia tertawa kecil dengan pembicaraan mengenai vampir ini, tapi tawanya segera memudar begitu merasakan nyeri yang mematikan

syarafnya. Ivea tidak mampu bergerak lagi, Nathan benar-benar sudah menggigit lehernya.

***

Nathan memandangi dirinya di cermin. Ia tertawa

melihat wajahnya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sesekali. Tindakan bodoh seperti apa yang sudah di lakukanya tadi sore? Ia tidak menyangka kalau dirinya bisa bertindak sejauh itu. Tara tadi memang membisikkan padanya untuk lebih berani, tapi tentu yang di maksud Tara dengan berani bukan menggigit ivea seperti tadi. Masih terngiang di telinga Nathan pekikan kecil Ivea yang sangat dekat dengan telinganya. Sakit. Pasti begitu, meskipun Ivea tidak terluka tapi tubuhnya menjadi lemah seketika. Seandainya tidak ada Tara, Nathan mungkin tidak akan berhenti sebelum leher ivea benar-benar sobek dan mengeluarkan darah.

Ponsel Nathan berbunyi. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel itu dari sana, membuka Flapnya dan mendekatkanya ke telinga. Telpon dari Aliya, Nathan sebenarnya tidak ingin menerima telpon dari wanita itu, tapi entah mengapa tubuhnya bergerak melawan perintah otaknya.

“Hallo,”Jawab Nathan dengan tidak bersemangat. “Nat, Kau sibuk tidak malam ini? Bisa temani aku ke

acara ulang tahun teman?” “Maaf,Aku sedang capek!”

“Kalau besok bagaimana? Motormu di tinggal saja, besok aku jemput di galeri. Kau mau kan menemaniku belaja?”

Nathan memijat pelipisnya. Yang ada di fikiranya sekarang cuma Ivea, yang ingin di lakukanya hanya berbaring di tempat tidur semalaman dan dan mengenang kejadian tadi. Untuk pertama kalinya ia menganggap Aliya sebagai pengganggu. “Aku tidak bisa, besok ada pemotretan pree wedding di Anyer. Maaf!” Dan Nathan segera menutup ponselnya sebelum Aliya berkata lebih banyak lagi.

Ia sudah berusaha lepas dari Aliya dan datang kepada Ivea. Meskipun perasaanya pada aliya belum lenyap seratus persen, tapi Nathan sangat menyadari bahwa perasaanya kepada Ivea semakin membesar. Saat ini Ivea mendominasi fikiranya.

Bagaimana keadaanya sekarang? Fikir Nathan. Ia berusaha mengetik pesan unuk Ivea sekedar untuk menanyakan keadaanya. Tapi Nathan baru sadar kalau dirinya tidak pernah menyimpan nomor ponsel Ivea. Ia menghela nafas berat. Jam dinding menunjukkan waktu tengah malam, Nathan jadi gelisah begitu ingat kalau besok dia tidak akan bertemu Ivea seharian untuk mengucapkan kata maaf yang tadi tidak sempat di ucapkan karena Tara sudah histeris melihat kelakuanya. Ia membaringkan tubuhnya di ranjang, Ivea mungkin sudah tidur, tapi Nathan sama sekali tidak bisa tidur.

5 Kelihatanya upaya Nathan memang sukses. Ivea sama

sekali tidak mengingat-ingat lagi tentang tugasnya yang mengkhawatirkan itu. Bahkan mungkin dirinya tidak ingat kalau dirinya pernah mendapat tugas yang menjadikanya gelisah selama seminggu penuh. Yang Ivea ingat hanya rasa nyeri yang masih terngiang-ngiang meskipun sebenarnya ia tidak begitu merasa sakit lagi seperti kemarin.

Bercanda Nathan agak kelewatan, Ivea menggosok-gosok lehernya dan masih merasa nyilu saat kulit jemarinya menyentuh bekas gigitan itu. Seluruh lengan sebelah kanan juga merasakan hal yang sama. Ivea bahkan harus mengaduh saat Voni menepuk bahunya tadi pagi. Tapi meskipun begitu, pembicaraan tentang Vampire juga cukup menarik. Ivea jadi ingin tau bagaimana cerita komik yang di sebut-sebut Nathan itu.

“Ivea…” Suara Voni berbisik mengejutkan Ivea, sebenarnya bukan hanya suara Voni, tapi genggaman erat pada lenganya yang membuat rasa nyeri itu bangkit lagi.

Ivea segera menarik lenganya dan memandangi Voni. “Ada apa?”

“Madame Bian memanggilmu!” Pandangan Ivea segera beralih kedepan kelas, dimana

Bian dan Kay ada disana dan memandangi Ivea dengan

heran. Butuh waktu lama bagi Ivea untuk menyadari apa yang sedang di lakukan oleh mereka berdua dikelas ini. Tapi kemudian kesadaran Ivea pulih seratus persen dan dia sudah bisa mengingat Kalau Kay sedang mengumumkan hasil tugasnya dan Bianlah yang mengambil alih penilaian terhadap rancangan Ivea dan teman-teman lainya.

“Ya, Madame!” Ivea menjulurkan tanganya keatas sebisa mungkin sambil menahan rasa sakit.

“Kau melamun?” Tanya Bian. “Sedang tidak sehat?” “Tidak, saya cuma kurang tidur karena memikirkan

hasil rancangan saya.” “Voila! Kau tidak sia-sia mengorbankan waktu

tidurmu. Berdasarkan penilaianku, Rancanganmu yang menempati posisi tertinggi. Cantik, ringan, sopan, dan yang paling penting ekonomis.”

“Ya?” Ivea terkejut. “Maksudku, benarkah?” “Tentu saja. Ku harap dalam waktu dua minggu kau

bisa menyelesaikan gaunmu itu karena selain jaminan nilai semester, kau juga memenangkan satu halaman dari majalahku.” Bian tersenyum seolah-olah dia ikut berbahagia. “Dan selama pembuatan gaun itu, kau akan mendapat bimbingan penuh dari Miseur kalian ini. Selamat!”

Ivea sangat senang, Ia ingin melompat-lompat untuk mengekspresikan perasaanya, tapi tidak jadi mengingat tubuhnya tidak begitu fit. Walhasil, seharian ini hanya di habiskanya dengan senyum sumringah hingga akhirnya ia pulang kuliah dan kembali bekerja di galeri. Hari ini

Meskipun di galeri sangat sibuk, Ivea menjalaninya dengan suka cita, membantu Tara adalah pekerjaan yang paling menyenangkan untuk di lakukan hari ini.

“Kau kenapa? Senyum-senyum sepanjang hari. Jangan bilang kalau kau terkena gangguan kejiwaan karena virus yang di tularkan Nathan kemarin!” Bisik Tara nakal.

Jam didinding menunjukkan kalau hari sudah semakin gelap. Tapi galeri baru saja sepi setelah seharian ini di penuhi dengan hiruk pikuk yang benar-benar membuat semua orang sibuk, baik Kay, Tara dan juga Ivea. Sebentar lagi jam makan malam tiba, beberapa lampu Galeri sudah dimatikan dan mereka akan segera pulang.

“Aku cuma bahagia, rancanganku mendapat sambutan baik.”

“O…aku kira…” Kata-kata Tara menggantung. “bagaimana rasanya sekarang? Sudah lebih baik? Aku bingung karena kemarin sore kau seperti orang yang tidak berdaya.”

Ivea tersenyum mengingat kejadian kemarin. Untungnya Kay sedang tidak ada di tempat. Kalau saat itu Kay ada, semuanya pasti lebih heboh. “Aku baik-baik saja!”

“Tapi seharian ini kau memakai jaket, mencurigakan sekali. Apakah berbekas?”

“Sedikit!” Angin malam tiba-tiba berhembus begitu Tara dan

Ivea keluar dari galeri dan menunggu Kay turun untuk mengunci pintu. Tapi seseorang segera menghampirinya. Wanita berambut panjang dengan make Up tebal yang

membuatnya tampak ekstra cantik menyapa mereka dengan ramah. Bianca Karta. Penampilanya diluar maupun di sekolah selalu tampak sama. Tapi di sekolah Bian tidak pernah memakai gaun sependek yang di kenakanya sekarang.

“Kalian sudah mau pulang? Mana Kay?” “Sebentar lagi dia turun!” Jawab Tara. “Kau masuk

saja, aku mau mengantar Ivea pulang!” “Oh, tunggu sebentar. Tara, Kau pulang sendirian

tidak apa-apa kan? Aku dan Eve punya urusan penting yang harus di bicarakan!”

“Bagaimana Eve? Tidak apa-apa?” Tara bertanya kepada Ivea. Dan setelah melihat Ivea menggeleng kecil dengan di sertai senyumnya, Tara memutuskan untuk pulang sendirian. “Aku permisi dulu!” Katanya sebelum akhirnya Tara benar-benar pergi dengan mobilnya.

Tidak perlu menunggu lama, Kay turun dan menghampiri mereka. Ia terlihat santai dengan Jeans, T-shirt hitam dan Jas abu-abunya. Rambut panjangnya yang berwarna kemerahan di ikat rapi seperti yang selalu Kay lakukan di Kampus.

“Kau bercanda? Kita mau ke karaoke. Kenapa kau berpenampilan seperti akan pergi mengajar?” Tanya Bian sengit begitu melihat Kay mengunci pintu galerinya.

“Karaoke? Kau bilang kita cuma pergi makan bersama staf perencanaanmu!”

“Memangnya di Karaoke tidak bisa makan?”

Kay mendesis kesal. “Dan kau mau mengajak Eve ketempat seperti itu?”

“Memangnya kenapa? Eve bukan anak usia belasan tahun lagi kan? Lagi pula ini bukan mauku. Mereka yang mengatur tempatnya dan kita hanya tinggal menghadirinya saja. Kenapa harus repot?”

***

Ivea berkali-kali melihat Jam monolog yang menjadi

screen saver ponselnya. Sekarang sudah jam sepuluh malam. Seharusnya dia sudah tidur nyenyak di rumah bersama Chastine. Ivea sangat gelisah meskipun Bian dan teman-teman lainya adalah orang-orang yang menyenangkan, meskipun Chastine juga ada disini, Ivea tetap merasa rishi. Dia adalah orang luar yang bergabung dalam acara yang di adakan oleh para staff SmiloQueen karena satu rancanganya akan memenuhi salah satu halaman majalah yang di gawangi Bian untuk edisi bulan depan.

Kay sendiri juga sudah menguap beberapa kali. Ia memandangi Ivea dan menggerakkan mulutnya seperti sedang mengatakan sesuatu. Meskipun tanpa suara Ivea bisa menangkap bahwa Kay mengajaknya pulang. Ivea mengangguk senang. Akhirnya ada juga orang yang sefikiran denganya untuk segera pergi menghindari pesta aneh di tempat konyol seperti ini. Selang beberapa saat, Kay dan Bian terlihat berdebat di tengah deru musik yang

kencang, tapi kemudian Kay dan Bian saling berpelukan dan Bian juga melakukan hal yang sama pada Ivea.

“Hati-hati di jalan ya?” Kata Bian sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya pada Ivea dan membiarkan Ivea di bawa pergi oleh Kay.

Sepanjang koridor gedung karaoke ini sangat asing bagi Ivea. Dari beberapa pintu bahkan terdengar bunyi-bunyian aneh yang membuat Ivea merinding. Beberapa orang laki-laki yang berjalan berselisihan dengan mereka terus memandangi Ivea tanpa henti. Salah satu dari mereka mencoba mendekat dan memaksa Ivea untuk mengobrol denganya meskipun Ivea tidak bersedia. Sejak saat itu tangan Kay menggenggam tangan Ivea erat, mengesankan bahwa Ivea adalah miliknya, bersamanya dan tidak boleh di ganggu tanpa seizinya. Setidaknya Ivea masih merasa beruntung karena Kay juga ikut hari ini.

“Kau dan Nathan bagaimana? Belakangan ini aku sangat sibuk sehingga tidak bisa memperhatikan kalian lagi” Kay membuka suaranya.

“Kami baik-baik saja. Belakangan semuanya semakin membaik!”

“Mmm!” Gumam Kay mengerti. “Kalau begitu aku tidak perlu sok protektif lagi kan?”

“Untuk apa menanyakan hal seperti itu? Bukanya semenjak pulang dari Jepang kau dan aku nyaris tidak pernah saling bicara!”

“Begitu ya?” Kay kelihatanya sedang tidak bersemangat bicara. Mungkin pembicaraanya kali ini

sedikit di paksakan agar dia dan Ivea tidak kelihatan canggung.

Kenyataanya memang begitu. Semenjak pulang dari Jepang, Kay tidak pernah berdebat dengan Ivea seperti dulu mereka hanya berbicara di kampus dan pembicaraan itu benar-benar murni tentang pelajaran. Belakangan Ivea selalu pulang bersama Tara, Kay mungkin tidak tau kalau Ivea sudah pindah rumah. Mereka hanya pernah berbicara sekali di galeri, saat Kay memeluk Ivea beberapa waktu lalu.

“Tunggu, Kau lihat disana?” Kay tiba-tiba berbalik dan membawa Ivea kehadapanya. Ia sedang menghindari seseorang. Tapi yang mana? Jauh di belakang Kay terdapat lebih dari tiga orang yang berjalan dengan arah yang sama. “Lihat yang berseragam!”

Ivea melongok sambil sedikit menjinjit melewati bahu Kay yang lebih tinggi darinya. Ia bisa melihat laki-laki yang di maksudkan Kay. Tubuh tinggi dengan garis wajah tegas, sambil berjalan ia mengenakan jaket kulit berwarna hitam yang dari tadi di pegangnya. “Siapa?”

“Petugas itu, dia pernah menangkapku karena mengira aku adalah salah satu Hostes di sebuah club Gay!”

Ivea memandang Kay heran. “Klub Gay? Kapan? Kau Gay? Benarkah?”

“Kecilkan suaramu!” Kay menggeram. “Tentu saja tidak. Aku kesana karena harus menemui seseorang!”

“benarkah?” Kali ini suara Ivea kedengaran nakal seperti suara Sinchan.

“Kau jangan menggodaku! Sekarang bukan waktunya! Kau harus menolongku!” Bisik Kay. Ia merapatkan tubuh Ivea kedinding sehingga Ivea bisa merasaakan terpaan nafas Kay di wajahnya, jarak mereka sangat dekat. “Untuk sebentar saja, Jadilah pacarku!”

Jadilah pacarku. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga Ivea berkali-kali. Lagi-lagi ia merasakan debaran yang sama untuk kedua kalinya. Melihat wajah Kay dengan jelas hampir saja membuat kaki-kaki Ivea lunglai, ia benar-benar kehilangan Tenaga untuk berdiri. Kay memegangi kedua lengan Ivea untuk mempertahankan posisinya saat ini, tapi jeritan kecil Ivea benar-benar membuatnya terkejut.

“Kau kenapa? Apa yang salah?” Ivea menggosok lehernya lagi. Rasa nyilu yang luar

biasa menusuk di sekujur lengan kananya, rasa nyilu yang berasal dari sesuatu yang kini tengah di belainya dengan telapak tangan. Kay menarik tangan Ivea penasaran dan menyibak sedikit kerah jaket yang di kenakan Ivea seharian ini. Kedua matanya membesar melihat bekas gigitan yang membiru dan menimbulkan bengkak ringan.

“Astaga, siapa yang melakukanya?” Desis Kay. “Aku waktu itu…sedikit gelisah…jadi..Umm..jadi

Nathan…” Ivea tidak tau harus berkata apa. Otaknya sama sekali tidak bisa berfikir jernih sekarang.

“Nathan? Jadi ini yang kau bilang membaik? Ya…sepertinya hubungan kalian memang sudah sangat

membaik. Kalian berdua sudah melakukan hal seperti apa?”

***

Pintu ruangan kerja Kay di tutup. Sepertinya Kay

sama sekali tidak ingin di ganggu, dia bahkan tidak mengajar hari ini. Entah mengapa Ivea merasa semua ini terjadi karena salahnya. Tadi malam Kay kelihatanya benar-benar marah karena Ivea tidak menjawab satupun pertanyaanya. Kay juga tidak mau mengantar Ivea dan membiarkanya pulang sendirian.

Sudah berbagai cara di lakukan Ivea untuk membujuk Tara agar bersedia mengunjungi Kay di ruangaanya. Karena walau bagaimanapun Tara adalah orang yang paling dekat dengan Kay. “Bagaimana bila terjadi apa-apa di dalam?” Katanya pada saat itu. Tapi Tara selalu menggeleng dan menolak.

“kalau dia menutup pintu berarti sedang tidak ingin di ganggu!” Jawab Tara. “Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa sepertinya kau merasa bersalah begini? Kalian bertengkar?”

Ivea angkat bahu. Dia sendiri juga tidak tau apakah masalah Kay hari ini berkaitan denganya. Tapi Ivea tetap merasa bersalah.

“Kau bawakan saja coklat panas untuknya, karena di luar sedang hujan. Kalau dia membuka pintu untuk mu, silahkan masuk. Kalau tidak, lebih baik menyerah saja.”

Coklat panas, benarkah bisa menarik perhatian Kay? Ivea memandangi derai hujan di luar dari jendela kaca. Tiba-tiba ia merasakan udara di sekelilingnya berubah menjadi dingin, dengan cepat Ivea berjalan kedapur dan kembali dengan membawa coklat panas untuk Kay. Semula Ivea ragu untuk menganggu, tapi pada akhirnya Ivea memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Kay yang tertutup rapat. Tidak perlu menunggu lama, pintu itu terbuka dan sebelah mata Kay mengintip di baliknya, ia melihat coklat panas yang di bawa Ivea kemudian membuka pintu lebar-lebar dan kembali berbaring di sofa.

Ivea tersenyum senang. Coklat panas memang jitu. Ia mengikuti Kay kedalam dan meletakkan coklat panas di atas meja yang berantakan kemudian duduk di lantai, tepat di sebelah sofa dimana Kay berbaring dan menghadap kearahnya.

“Kau sedang marah ya?” Tanya Ivea. “Kay, kau marah padaku?”

Kedua bola mata kelabu milik Kay memandangi Ivea lekat-lekat. Sejurus kemudian kepalanya menggeleng pelan.

“lalu kenapa seharian disini? Apa dari tadi kau berbaring seperti ini?”. Ivea kemudian meyentuh kening Kay dan berusaha membandingkan dengan suhu tubuhnya. “Atau kau sedang sakit?”

Kay menepis tanganya lalu mendorong kepala Ivea dengan telunjuknya. “Jangan kurang ajar kepada orang tua. Berani-beraninya kau menyentuh kepalaku.”

“Aku kan cuma khawatir!” “Aku tidak apa-apa. cuma sedang tidak bersemangat.”

Kay kemudian menunjuk keatas meja kerjanya dimana terdapat sebuah tas kertas besar berwarna merah muda. “disana ada bahan-bahan yang kau butuhkan untuk wedding dressmu. Bian mengantarkanya tadi pagi. Pokoknya malam ini kau sudah harus memulai pekerjaanmu! Aku ingin gaunmu selesai dalam tiga hari agar segala kesalahanya nanti bisa cepat di perbaiki.”

Ivea berdiri dari duduknya menuju tas kertas berwarna merah muda dan memeriksa isinya. Sifon dan brokat masing-masing di bungkus rapi dalam sebuah plastik bening. Ternyata bahan-bahan untuk rancanganya disiapkan oleh Bian, semula Ivea kira ia harus mengusahakanya sendiri. Perhatian Ivea kemudian beralih kepada dompet berwarna hijau tua milik Kay yang terbuka di atas meja. Sebuah foto disana menarik perhatianya. Difoto itu, Kay memeluk dua orang wanita, yang pertama adalah wanita yang sangat dewasa berambut kemerahan sama seperti Kay dan yang satu lagi gadis bertubuh mungil dengan rambut hitam lurus, juga wajahnya yang agak bulat, manis sekali. Ivea membawa dompet itu mendekati Kay yang masih betah berbaring di sofa.

“Dia siapa? “ Ivea menunjuk wanita berparas Khas eropa yang ada di dalam foto.

“Ibuku!” Jawab Kay singkat. “Kalau gadis Jepang ini siapa? Pacarmu?”

Sekali lagi Kay mendorong kepala Ivea dengan telunjuknya. “Kenapa kau tertarik sekali dengan masalah percintaanku? Dia adikku!”

“Ogh?” Ivea kelihatan terkejut. Ia memandangi foto itu sekali lagi. Sama sekali tidak mirip. Kay memang memiliki sedikit ciri yang biasa di miliki orang-orang Jepang di wajahnya, Tapi gadis ini sangat tidak mirip denganya.

“Kenapa?” “Tidak mirip!” “Aku dan dia satu ayah! Sebelum menikah dengan

ibuku ayahku menikah dengan ibunya dan punya satu anak laki-laki, kemudian mereka bertengkar dan ibunya melarikan diri. Selama itu, Ayah menikah dengan ibuku, sampai akhirnya wanita itu ditemukan kembali dalam keadaan sakit keras. Dia kembali tinggal bersama kami dan setahun kemudian melahirkan Sachi, anak itu. Lalu hari-hari ibunya di penuhi bau obat di rumah sakit. Wanita itu meninggal saat Sachi berusia delapan tahun.”

“Berarti kau masih punya kakak laki-laki?” “Iya, tentu saja. Tsuyoshi. Dia di adopsi keluarga

Hidaka saat masih berusia dua atau tiga tahun, jadi saat ibunya di temukan dia benar-benar tidak bersama ibunya. Tapi selama ibunya di rumah sakit dia sering datang. Lama sekali kami tidak bertemu dan baru di pertemukan beberapa saat sebelum dia membawa Sachi kerumahnya untuk beberapa hari. Tsuyoshi di keluarga Hidaka berganti nama menjadi Yoshi.”

“Wah, kalau begitu keluargamu pasti ramai sekali.”

Kay tersenyum. “Setidaknya bila salah satu anaknya menghilang, ibuku tidak akan kesepian.”

“Maaf, mengganggu!” Kay dan Ivea spontan menoleh kearah pintu yang

terbuka. Nathan ada disana sedang memandang mereka berdua. Sebuah senyum menghiasi wajahnya yang kelihatan lebih bersinar daripada biasanya.

“Ada apa?” Tanya Kay. “Aku mau pamit pulang!” Jawabnya. “Eve, kau mau

pulang bersamaku?” Ivea menggeleng pelan. “Lain kali ya? Aku masih

banyak pekerjaan.” “Tentang rancangan itu kan? Aku sudah dengar dari

Tara, selamat ya?” “Terima kasih!” “Aku punya sesuatu untukmu!” Kata Nathan, sejurus

kemudian ia mendekati Kay dan Ivea lalu menberikan sesuatu kepada gadis itu. Sebuah komik Vampire Knight Volume pertama. Ada nama Nathan di lembar pertama.“Kalau begitu aku pulang dulu. Kay, aku pulang dulu!”. Nathan menganggukkan kepalanya sopan lalu berbalik pergi.

Ivea tiba-tiba saja tertunduk dan menghembuskan nafas pelan-pelan. Butuh hati yang kuat untuk menyembunyikan rasa malu-malunya. Tapi tadi ia melakukanya, Apakah Ivea sudah berubah jadi vampire sehingga cukup kuat untuk menghadapi Nathan? Ivea

tersenyum tipis sambil memandang komik yang di berikan Nathan untuknya.

“Ehm…” Kay berdehem dengan sengaja. “Kau dan dia sama saja! Mengapa semuanya jadi begini? Kalian belakangan ini semakin dekat ya? Kalau begitu percuma saja aku sok protektif selama ini. Atau mungkin dia menyadari kalau dia membutuhkanmu karena aku? Kau harus berterima kasih padaku!”

“Ya, Miseur! Terimakasih, thank you, Arigato, Kamsahamnida, Merci”

Kay tertawa. “Kalian berdua sudah resmi pacaran?” Ivea menggeleng. “Kenapa? Anak itu apakah sedang malu-malu? Kalau

begitu kau saja yang menyatakan cinta duluan. Tidak usah buang-buang waktu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersikap Agresif, Aku suka dengan perempuan yang berani mengusahakan cintanya!”

“Aku tidak yakin akan melakukan itu” “Kenapa?” “Karena sepertinya aku menyukai orang lain!” Kay terperangah. Ivea dapat melihat ekspresi Kay

yang sangat terkejut dengan ucapanya tentang keberadaan orang baru dihatinya.

“Apa? Siapa? Mahasiswa di kampus? Lalu kau mau apa?”

Ivea angkat bahu. “Sepertinya aku akan memilih Nathan pada akhirnya. Selama semuanya baik-baik saja

dan tidak ada masalah sebaiknya aku memilih Nathan. Iya kan?”

“Apakah orang baru itu juga menyukaimu?” “Entahlah!” “Mengapa tidak kau cari tau saja dulu. Setelah itu baru

memilih. Jangan sampai salah pilih. Sebab Nathan masih di ikuti Aliya meskipun kelihatanya sekarang lebih sering bersamamu. Kalau laki-laki yang baru tidak punya orang lain dan juga menyukaimu apa salahnya!” Ujar Kay menasihati.

***

Seharusnya hari-hari bersama Nathan bisa berangsung

dengan manis, Tapi Ivea tidak merasa sepenuhnya demikian. Kadang-kadang tawa, senyum dan sapaan lemah lembutnya sama sekali palsu. Ivea menantikan Kay, Sapaan dari Kay bisa membuatnya bersemangat. Jika Kay memintanya untuk mengerjakan sesuatu, Ivea akan langsung mengerjakanya tanpa menunda-nunda lagi. Ia akan membatalkan semua janjinya dengan Nathan dengan berbagai alasan. Tapi meskipun begitu, bila di suruh memilih, Ivea akan memilih Nathan untuk bersamanya dibandingkan dengan Kay. Karena perasaan Nathan kepadanya sudah jelas sedangkan Kay tidak. Karena Nathan menganggapnya sebagai wanita sedangkan Kay belum tentu.

Sesuai dengan target, gaun rancangan Ivea dapat di selesaikan dalam tiga hari dan hanya butuh seharian untuk memperbaiki semua kesalahanya. Setelah itu, Ivea dan Kay kembali jarang berbicara. Kay bahkan lebih suka meminta Nathan untuk membantu semua pekerjaan Ivea sehingga waktu-waktu Ivea hanya diisi dengan Nathan. Seperti kali ini. Ivea dan Nathan makan siang bersama di café milik Tara dan di pojok sana, Kay dan Tara juga makan siang bersama. Ivea hanya bisa mencuri-curi pandang sesekali kearah Kay dan berusaha lebih banyak memperhatikan Nathan. Tapi beberapa saat kemudian Ivea menjadi sangat bahagia bisa semeja dengan Kay karena Bian tiba-tiba datang dan mengajak semuanya bergabung bersama dalam satu meja.

“Besok modelku akan datang. Kalian siapkan saja tempatnya aku ingin fotonya nanti di latar belakangi gaun-gaun rancangan Kay yang di kenakan oleh manekin berwarna hitam. Soal fotografer, aku bisa bergantung padamu kan Nathan?” Bian berbicara dengan serius. Senyum cerah menghiasi wajahnya setelah melihat Nathan mengangguk lugu. “Aku percaya karyamu yang terbaik”

“Terima kasih.” Jawab Nathan. “Eve, Kau juga bersiap-siap. Dengan rancangan ini,

bisa saja namamu menanjak dalam sekejab. Kau tau kan majalahku seringkali menerbitkan selebriti baru!” Bian agak menyombongkan diri kemudian menertawakan kesombonganya beberapa saat. “Besok bisa saja galeri jadi ramai karena model yang ku pakai adalah artis terkenal.

Aku sebenarnya ingin mencari pasangan yang artis juga. Tapi akhirnya aku putuskan untuk meminta kepada Kay menjadi pasangan model itu besok!”

“Aku?” Kay tampak terkejut. “Aku tidak bersedia!” Bian menempelkan kedua telapak tanganya dan

menjunjungnya tinggi di atas kepala. Ia bertindak seperti sedang menyembah Kay yang ada di hadapanya. “Tolong aku! Kau sangat fotogenic. Kau dulu juga seorang model kan?”

“Tapi aku sudah sangat lama tidak di foto!” “Karena itu coba lagi. Kehadiranmu sebagai model

majalah ini mengesankan kalau kau mengakui rancangan Ivea. Ayolah ku mohon!”

“Tapi tidak semudah itu!” “Kay, Ku mohon. Eve. Ayo bantu aku untuk

membujuknya. Ini debut pertama rancanganmu.” Bian mulai memprovokasi Ivea. Ivea memandang Kay yang juga memandangnya. Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Ia tau Kay akan bersedia, Kay tidak pernah menolak untuk membantu Bian meskipun harus bertengkar dulu sebelumnya.

6 Pukul 15.45 sore. Seharusnya pemotretan sudah di

mulai beberapa jam yang lalu, tapi model yang akan di foto bersama Kay sama sekali belum datang. Bian sudah mondar-mandir dengan handphonenya sejak tadi dan ponsel itu juga berdering setiap kali. Kelihatanya Bian adalah orang yang sangat sibuk dan di butuhkan banyak orang. Ia membatalkan banyak janji karena keterlambatan hari ini. Tiga orang staf Bian juga melakukan hal yang sama. Terkadang mereka mengeluh kepada Bian dan Wanita itu masih meminta mereka untuk bersabar.

“Ada apa sebenarnya?” Tanya Nathan kepada Ivea sambil berbisik. Mereka berdua mendapat pemandangan langka sekarang, beberapa orang di dalam ruangan yang sama tengah kebingungan karena satu orang.

Ivea angkat bahu. “Artisnya tidak bisa di hubungi. Bian sudah berusaha menelpon manajernya, dia bilang, mereka menggunakan mobil yang berbeda. Si menejer sedang terjebak macet sekarang. Mungkin artisnya juga!”

“Sekarang Jam pulang Kerja. Wajar saja kalau macet. Seharusnya mereka tau kalau keadaan kota kita seperti ini adanya. Kenapa tidak datang lebih cepat? Mereka harusnya sudah disini pada jam makan siang kan?” Nathan menimang-nimang kameranya lalu memandang wajah Ivea.

“Berat?” Tanya Ivea “Apa?” “Kamera. Sejak tadi siang kau terus memegangnya!” “Kenapa? Aku bahkan bisa memegangnya lebih lama

kalau harus ambil foto di luar galeri.” Nathan kemudian memotret Ivea sekali dalam tempo yang sangat tak bisa di prediksi.

Ivea benar-benar terkejut saat lampu Blitz menyilaukan matanya. Ia kemudian harus menahanya beberapa kali lagi. “Apa yang kau lakukan?”

“Aku sedang memotret sekarang!” Jawabnya. Gadis itu mendesis pelan. Ivea dan Nathan lalu saling

tersenyum. Tapi suara keras Kay mengagetkan keduanya. Kay tidak pernah bicara keras selama ini.

“Kapan akan di mulai?” Tanya Kay. Ia terlihat kesal kepada Bian yang baru saja menjauh dari pintu masuk galeri. “Galeriku harus ditutup dan Tara harus melayani Fitting di rumah pelanggan karena ini.”

“Bisa tunggu sebentar lagi?” Suara Bian terdengar memelas. Ia sedang memohon. Bian tau kalau Kay sudah kesal karena Kay memang tidak suka menunggu. Kay tidak pernah memberi toleransi kepada keterlambatan.

“Kenapa harus dia? Mereka tidak professional, seharusnya mereka sudah datang dari tadi dan mereka masih menggunakan macet sebagai alasan? Nonsense!”

Bian tidak menjawab apa-apa. Ia hanya memasang wajah bingung yang sangat super sehingga membuat Kay semakin kesal.

“Sebaiknya kau cari penggantinya! Aku tidak akan mengizinkan orang-orang itu menginjak galeriku!”

“Tapi Kay, mana boleh begitu! Semua orang punya kesempatan kan? Mungkin sedang terjadi sesuatu makanya bisa seperti ini!”

“Bi, Ini sudah hapir malam, Kau kira semuanya bisa selesai dengan cepat? Artismu itu juga harus Fitting! Berkali-kali dia tidak pernah datang untuk Fitting meskipun sudah kami telpon sehingga aku harus membuat gaun itu sesuai dengan ukuran perancangnya. Seharusnya dia sadar kalau wedding dress tidak sama dengan gaun yang lain. Bagaimana aku tau dia punya chemistry atau tidak dengan gaun rancangan Ivea kalau dia selalu menganggap remeh urusan ini?”. Kay mendengus keras lalu berjalan dengan cepat kedalam ruang kerjanya.

Bian Mengigit bibirnya. Kay membuatnya semakin tenggelam dalam kebingungan. Kepalanya berusaha berfikir dengan cepat. Dirinya kemudian mendekati Chastine, asistenya untuk berdiskusi beberapa saat. Sejurus kemudian Bian terlihat memegangi kepalanya seolah-olah kepala itu adalah gunung api yang siap meletus kapan saja dan Bian sedang berusaha menahan letusanya. Bian hampir kehabisan kendali, padahal dirinya sedang tidak ingin marah dan mencaci maki karena banyak jadwal yang tertunda dan di sebabkan oleh masalah ini. Ivea dan Nathan saling pandang. Keributan tadi sempat membuat mereka beralih perhatian.

“Kelihatanya Kay sangat marah.” Sekarang giliran Ivea yang berbisik kepada Nathan.

“Tentu saja. Dia sama sekali tidak suka dengan orang yang meremehkan sesuatu. Artis itu sudah meremehkan kinerjanya dengan tidak datang untuk Fitting. Kay dulu juga seorang model, hal seperti ini mungkin sudah di luat batas toleransinya jika ia menepatkan diri sebagai model. Eve, kau sendiri lihat kan? Kay sudah menahan diri sejak hampir dua jam, itu berarti dia berusaha untuk memahami selama itu dan ini adalah pertama kalinya Kay menoleransi keterlambatan selama lebih dari lima belas menit!”

“Lalu bagaimana? Apa yang akan terjadi?” “Sepertinya wanita itu tidak akan datang untuk di

foto. Tapi seharusnya debut gaunmu ini tidak boleh batal.” Nathan mendesah. “Bagi Kay, gaun pernikahan itu punya nyawa, ia harus di gunakan oleh orang yang cocok. Karena itu ada orang yang terlihat cantik saat pesta pernikahanya meskipun pernikahanya sangat sederhana. Tapi ada juga yang terlihat tidak meskipun pernikahanya mewah dan melibatkan banyak orang terkenal.”

Ivea mengerti sekarang. Kay memang selalu mengerjakan proyek wedding dress-nya lebih maksimal dari pada harus merancang pakaian yang biasa. Tidak jarang, saat Fitting Kay merubah keadaan gaun hampir enam puluh persen. Kay memang di kenal sebagai perancang yang keras kepala, tapi pelanggan tidak pernah protes karena semua yang Kay lakukan dapat memuaskan hati

mereka. Ivea sangat ingin seperti Kay, Ivea sangat mengidolakanya.

“Kau punya ide?” Bianca Karta mengejutkan mereka. Ia tiba-tiba saja menyela pembicaraan Nathan dan Ivea dengan wajah yang berada dalam posisi sangat dekat dengan wajah Nathan. “Kau fotografernya. Kau punya pengganti? Sepertinya kau sangat faham dengan selera Kay.”

Nathan agak gelagapan di perlakukan begitu. Tentu saja ia sangat memahami Kay, Nathan bekerja kepad Kay semenjak galeri itu dibuka pada tahun pertama Kay tiba di Indonesia. Ia menggeser duduknya sehingga rapat dengan Ivea dan menghindari pandangan mata Bian. “Pengganti? Tentu saja mereka tidak akan mau di hubungi semendadak ini, kecuali bila pemotretanya di tunda. Atau…”

“Atau?” Nathan memandang Ivea sesaat. “Jadikan Ivea sebagai

pengganti!” “Apa?” Ivea terpekik kecil “Kenapa?” Tanya Bian setelah memandang Ivea

sekilas. “Berikan alasan yang tepat!” “Kay selalu mencocokkan gaun sesuai dengan

karakter pemakainya, karena itu dia selalu membutuhkan waktu perbaikan dan Fitting yang cukup lama. Kalau Kay menggunakan tubuh Eve untuk Fitting, berarti dia sudah membuat gaun itu cocok untuk dipakai oleh Ivea!”

Bian mengangguk-angguk. “Karena itu setiap gaunya bernyawa!” desisnya. Pantas saja Kay selalu memilih siapa

model yang akan mengenakan gaunnya bila fashion show. “Chastine, kau tolong aku. Bawa Eve keruangan Kay sekarang. Laki-laki itu pasti tau sebaiknya dia didadani seperti apa!”

“Tapi aku tidak fotogenic!” “Semua orang jadi fotogenic kalau berfoto untuk

facebook!” “Tapi aku tidak punya facebook!” Ivea masih berusaha

membela diri. Tapi apapun yang dilakukanya percuma. Ia sudah diseret oleh beberapa orang pegawai Bian dan dikurung dalam ruangan Kay untuk beberapa lama.

***

“Coba gunakan yang baby pink!” Kay memberi saran

kepada Ebi, penata rias bawaan Bian dengan suara lembut. Wanita itu kemudian mengganti kuasnya dan segera

meraih Blush On dengan Brand mahal itu kemudian menyapukanya di wajah Ivea dengan hati-hati. Setelah itu dirinya tidak perlu di perintahkan lagi untuk menyesuaikan warna lipstick dengan semua tata rias yang sudah di lakukanya atas campur tangan Kay. Tidak lama kemudian Ebi meminta izin untuk keluar dari ruangan dan meninggalkan kotak Make Up berwarna hitam dan silver besar miliknya di atas meja.

“Kenapa kau menutup pintu?” Tanya Ivea begitu melihat Kay menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat.

“Karena kau harus mengganti pakaianmu!” jawabnya. Kay kemudian mendekat dan memperhatikan wajah Ivea lekat-lekat. Jari tengah sebelah kananya menyapu bedak yang kelihatanya bertumpuk di sekitar alis Ivea yang sebelah kanan.

Ivea dapat merasakan desiran darahnya bila berada dekat dengan Kay seperti ini, matanya tidak sanggup memandang Kay berlama-lama sehingga ia membuang pandanganya kearah lain. Kay membuka kancing kemejanya perlahan dan spontan Ivea menahan tangan Kay untuk melanjutkan aksinya.

“Apa yang akan kau lakukan?” Kay memandang wajah Ivea yang kelihatanya agak

ketakutan. “Apa lagi? Membantumu mengganti pakaian tentunya!”

“Aku bisa menggantinya sendiri di Fitting room” “Kau gila? Kalau kau menggantinya sendiri Make Up

di wajahmu itu bisa berantakan. Apa kau lupa betapa cerobohnya dirimu? Aku tidak pernah membiarkan siapapun mengenakan gaun di galeri ini tanpa bantuan, karena Tara sedang tidak ada, jadi aku akan melakuknya sendiri.”

“Tapi, Kay…” “Apa? Kau tidak sedang berfikir yang macam-macam

kan? Ini sudah jadi pekerjaanku, Aku sudah biasa melakukan hal seperti ini!” Kay kemudian mendorong kepala Ivea dengan telunjuknya, Hal yang paling paforit

untuk di lakukanya kepada gadis itu. “Kau memakai pakaian dalam kan?”

“Tentu saja!” “Kalau begitu apa yang kau takutkan?” “Tetap saja aku tidak bisa!” Kay memutar bola matanya kesal. Ia kemudian meraih

sisa satin yang berada di atas sofa ruang kerjanya dan memberikanya kepada Ivea. Ivea meraih satin berwarna putih itu dengan ekspresi tidak mengerti. “Kalau begitu kau buka bajumu sendiri, lalu pakai kain itu seperti kau menggunakan handuk saat mandi. Kalau sudah selesai bilang padaku!” Kata Kay memberi instruksi lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke pintu.

Ivea menjalankan semua petunjuk Kay, ia membuka bajunya terlebih dahulu dengan hati-hati. Ivea tidak ingin dimarahi Kay nanti kalau make Up-nya rusak sebagai hasil dari perilaku keras kepalanya barusan.

“Kalau begini kau jangan pernah berfikir untuk jadi model, tubuhmu akan dengan mudah dilihat oleh orang lain.” Kata Kay.

Spontan Ivea menyentuh dadanya. Ia benar-benar terkejut mendengar suara Kay yang tiba-tiba. Ivea tau Kay sudah sering melakukan itu, membantu model menggunakan pakaian yang serba repot seperti gaun pengantin tentu saja sudah jadi makanan Kay sehari-hari. Tapi berdekatan dengan Kay saja ia sudah merasa malu, Apalagi jika Kay sampai membuka pakaianya seperti yang

akan dilakukanya tadi, Ivea ragu kalau ia bisa melanjutkan semuanya kalau itu benar-benar terjadi.

“Kay, aku sudah…” Suara Ivea menggantung. Ia akan melanjutkan ucapanya itu dengan kata-kata seperti apa? Semua kata tetap saja membuatnya ragu untuk mengucapkanya.

Kay berbalik dan mengambil gaun rancangan Ivea dari dalam lemari di ruang kerjanya. Ivea yakin, perasaan itu sepertinya hanya dirasakanya sendiri. Kay tidak menampilkan ekspresi apa-apa selain ekspresi profesionalnya dalam mengerjakan apapun yang sudah menjadi pekerjaanya.

***

“Kay, aku sudah…” Kay menelan ludah. Ivea

menggantung ucapanya dan sekarang sudah saatnya Kay menjalankan tugasnya sebaik mungkin.

Bodoh, wajah seperti apa yang di tampilkanya? Fikir Kay. Ekspresi Ivea mengesankan kalau Kay akan segerak memakanya bulat-bulat. Tentu saja tidak. Apapun yang Ivea fikirkan Kay tetap tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun Ivea juga perempuan, Meskipun Kay adalah laki-laki normal yang biasa, pekerjaan tetap pekerjaan dan ia tidak akan pernah melakukan hal bodoh apapun yang akan merusak citranya selama ini.

Kay menggenggam sifon pada gaun buatanya --bersama Ivea tentunya -- dengan lembut. Pemilihan shifon

untuk gaun pernikahan adalah ide nekat yang cukup brilian. Saat pertama kali membaca deskripsi tugas milik Ivea, Kay sudah merasa tidak percaya kalau gadis itu memilih bahan yang lain dari biasanya, rancanganya juga bagus dan memiliki kesan ganda. Gaun rancangan Ivea bisa dikenakan orang dengan karakter apa saja tanpa harus merombaknya secara signifikan.

“Aku baru tau kalau kau dulu juga model!” Suara Ivea memecahkan suasana sunyi diantara mereka seketika.

Kay masih melanjutkan pekerjaanya, “Memangnya kenapa? Aku kurang tampan?”

“Astaga! Kenapa kau harus merusak suasana dengan berkata hal seperti itu? Aku tau, kebanyakan model memang berakhir sebagai perancang busana. Tapi itu jarang terjadi pada model pria kan? Apalagi konsentrasi yang kau pilih adalah busana pernikahan!”

“Ibuku juga seorang desainer!” Kay menjawab singkat. “Lalu kenapa kau memilih untuk konsentrasi di

bidang ini? Meskipun kau juga merancang pakaian yang lainya, tapi pelangganmu kebanyakan adalah orang-orang yang mungkin datang kemari hanya sekali seumur hidupnya!”

Kay berhenti bergerak sesaat, dia kelihatanya sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaan ivea. Dan setelah menemukanya, Kay menjawab pertanyaanya sambil melanjutkan pekerjaanya. “Entahlah, mungkin karena saat tercantik seorang wanita adalah sewaktu dia tampil dengan

busana pernikahanya. Dan aku suka wanita cantik!” Kay tersenyum nakal.

Geez! Ivea berdesis. “Aku serius. Kenapa kau menjawabnya sambil bercanda?”

“Aku juga serius!” Jawab Kay sengit. “Wanita yang akan menikah itu, memancarkan aura kebahagiaan yang spesial, seperti apapun mereka, semuanya akan terlihat cantik dan sangat bersemangat untuk jadi lebih dan lebih cantik pada harinya. Aku suka membantu mereka untuk terlihat cantik.”

Kay sudah selesai, Ia memperhatikan Ivea dengan jarak yang cukup jauh sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Ada yang kurang, tentu saja sepatu. Kay kemudian mengambil high heels di dalam kotak sepatu di atas meja kerjanya, sepatu berwarna silver itu adalah milik Bian dan Kay cukup puas saat memakaikan sepatu itu, ukuranya sangat pas dengan Ivea.

“Kau sudah merasa jadi Cinderella?” Tanya Kay sambil mendongak keatas untuk melihat wajah ivea yang memerah. Tapi tetap saja Kay masih merasa kurang. Ia kemudian mengambil beberapa perhiasan yang sudah disediakan. Pilihanya jatuh pada kalung silver dengan bandul laba-laba di hiasi pemata yang tidak terlalu mencolok dan meminta Ivea memakainya.

Selain kalung, Kay juga meraih beberapa buah gelang dan cincin yang senada. Kali ini ia memakaikanya sendiri, dan saat Kay mengenakan cincin di jari Ivea, Ivea merasa

kalau dirinya sedang diliputi kebahagiaan sekarang. Kay menghela nafas lega lalu memperhatikan Ivea sekali lagi.

“Eve, kau benar-benar seperti seorang wanita yang akan segera menikah. Kau punya aura yang sama dengan wanita yang akan menjalani kehidupan baru mereka. Kau sedang merasakan apa? Kelihatanya seperti orang yang sedang jatuh cinta!” Komentar yang manis. Ivea benar-benar membuat Kay kagum hari ini sangat cantik dalam kesederhanaan yang di tampilkanya. “Apa karena Nathan sedang menunggu di luar?”

***

“Try to relax, Eve!” Teriak Bian keras-keras. Walau bagaimanapun Ivea tetap bukanlah seorang

model yang bisa langsung memberikan pose artistik. Butuh penyesuaian yang cukup memakan waktu. Tapi Bian masih bisa bersabar karena ia tengah bersenang hati melihat Ivea yang tampil dengan sangat manis. Nathan memang benar kalau Kay selalu menjadikan sebuah gaun sederhana yang di rancang Ivea menjadi bernyawa.

“Kau tidak pernah berfoto? Anggap saja seperti sedang foto di studio!” Kay berbicara sambil memijat-mijat sendiri bahunya. Sekarang dia sudah cukup lelah meskipun tidak terlalu banyak bekerja hari ini. “Aku kebelakang dulu. Bajuku sudah berkeringat, sepertinya harus segera diganti!” Katanya kemudian setelah menyeka keringat yuang keluar dari sela-sela rambutnya. Ia perlu minum,

semoga segelas air putih bisa mendinginkan kepalanya yang sudah panas karena stress. Kaki-kakinya terdengar melangkah tegas meninggalkan Ivea berdiri sendirian di depan kamera.

Ivea terpaku saat semua orang istirahat, merasa dirinya sedikit payah dan tidak berguna. Semua orang bisa saja kesal dan marah padanya meskipun mereka tidak memperlihatkanya secara terang-terangan. Melihat wajah Kay tadi, Ivea tau Kay bisa saja berteriak kesal seandainya dia adalah orang yang tidak punya kendali emosi seperti Bian. Tapi selama ini Kay selalu menyembunyikan emosinya dengan sukses kecuali tadi, saat Kay memarahi Bian karena model yang tidak datang sama sekali hingga sekarang.

Rasa dingin menyengat lengan Ivea sehingga ia bergindik melihat sesuatu yang menempel di sana. Kaleng softdrink yang berembun di sodorkan oleh Nathan untuknya membuat perasaanya lebih sejuk, Pria itu tersenyum dan Ivea membalasnya.

“Terimakasih!” Ujar Ivea setelah mengambilnya dari Nathan. Ivea kemudian membukanya dan mulai minum sebanyak-banyaknya. Dia sangat haus.

“Your pleasure!” Nathan kemudian duduk di lantai begitu saja.

Ivea semula bingung melihat Nathan selonjoran dengan cueknya. Seandainya dia tidak sedang menggunakan gaun, mungkin Ivea akan melakukan hal

yang sama. Ivea lebih memilih Jongkok di samping Nathan sambil terus meminum Softdrinknya sesekali.

“Maaf ya.” Nathan memandang Ivea dengan rona yang berbeda.

“Atas apa?” “Atas merepotkan kalian semua. Terutama dirimu,

Seharusnya kau sudah pulang sekarang. Tapi jam segini masih harus bekerja karena aku!”

Tawa kecil menghiasi wajah Nathan. “Aku sering menghadapi kejadian yang seperti ini, Pre wedding kebanyakan dilakukan oleh orang biasa yang bukan model. Yang harus kau lakukan hanya berusaha untuk lebih rileks. Umm…sebenarnya berat untuk mengatakan ini, tapi anggaplah foto kali ini adalah foto pre wedding mu dengan Kay!”

Mendengar ucapan Nathan, Ivea hanya bisa tutup mulut, Nathan dan Kay menarik perhatianya dengan sama banyaknya. Bagaima mungkin ia bisa menumbuhkan anggapan seperti itu bila di tempat yang sama, Nathan melihat mereka melalui lensa kamera. Ivea mendesah, ia memijati tumit kakinya yang sudah kelelahan, rasanya nyeri sekali.

“Kalau lelah duduk saja dulu!” Kata Nathan, sepertinya Nathan memperhatikan Ivea saat gadis itu memijati tumit kakinya.

“Aku memakai Gaun berwarna putih, bagaimana kalau kotor?”

“Kalau begitu duduk disini!” Kay menepuk lututnya dengan tangan kanan.

“Bagaimana bisa aku duduk disana? Kau bisa kesakitan, Aku ini berat”

“Tidak akan terjadi apa-apa, aku biasa melakukanya dengan keponakanku di rumah! Ayolah, waktu istirahat sangat sempit jangan sampai kau pingsan sebelum aku mendapatkan foto yang bagus!”

Ivea berfikir lama, tapi akhirnya ia memilih untuk mengikuti saran Nathan dan beralih untuk duduk di atas lututnya. Tiba-tiba tangan Nathan menarik lengan Ivea sebelum gadis itu sempat duduk dan sekarang Ivea benar-benar ada di pangkuanya, sangat dekat. Wajah Ivea terlihat lebih jelas, begitu juga ekspresi malu-malunya yang berhasil membuat jantung Nathan berdetak semakin kencang.

“Nat, semua orang melihat kita!” Kata Ivea pelan. Wajahnya menunduk. Beberapa orang pegawai Bian yang masih ada di ruangan itu berbisik-bisik sambil melihat kearah mereka berdua.

“Tidak usah di perdulikan!Tetaplah begini, sebentar saja!”

“Belakangan ini kau kenapa? Sikapmu sangat berani dan membuat aku malu, maksudku…ini tidak memalukan. Kau hanya membuatku malu untuk melihat wajahmu”

“Ya? Aku juga. Tapi ini satu-satunya cara agar kau terus mengingat aku. Kita sangat jarang bertemu belakangan ini. Kau lebih sering bersama Kay. Seandainya

bukan Kay aku pasti sudah cemburu.” Kalimat terakhir di ucapkan Nathan dengan berbisik. Wajahnya juga tertuduk, tentu saja ia juga merasakan hal yang sama dengan yang Ivea rasakan sekarang.

“Nat, boleh aku bersandar padamu?” suara Ivea terdengar sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat Nathan terperangah heran. Ivea merebahkan kepalanya di bahu Nathan sebelum laki-laki itu mengatakan ya. Ivea sedang memikirkan kebimbangan hatinya, memikirkan Kay dan Nathan di saat yang sama membuat hatinya seperti di serang bencana. Ivea ingin tenang dalam pelukan Nathan untuk sebentar saja dan melupakan semua masalah yang mengganggu fikiranya dan sepertinya berhasil. Ivea cukup merasa damai meskipun ia mendengar detak jantung Nathan yang sama kerasnya dengan yang Ivea punya. Tapi detakan demi detakan membuatnya seperti di hopnotis, beberapa saat kemudian Ivea merangkul Nathan erat-erat.

“Seandainya kau bisa bersikap seperti itu padaku kita bisa menyelesaikan pemotretan ini dengan cepat!”

Suara Kay membuat Ivea membuka mata dan menegakkan kepalanya. Laki laki itu sekarang sudah berjongkok di sebelah Nathan dan memandangi mereka berdua dengan wajah yang lebih segar. Kay sudah mengenakan pakaian serba hitam dengan jas putih sekarang. Rambutnya yang tadi di ikat rapi kali ini di biarkanya terurai alami.

“Lihat! Wajah kalian merah!” Kay kemudian tertawa senang dan baru berhenti setelah dirinya puas. Menertawakan Ivea dan Nathan kelihatanya bisa mengurangi tekanan yang sudah di dapatnya selama seharian.

“Tidak lucu!” Kata Ivea sinis. “Kau marah karena aku mengganggu? Baiklah, aku

minta maaf, tapi kalian lanjutkan nanti saja kita harus memulainya lagi agar cepat selesai karena aku aku ingin segera tidur!”

Ivea melepaskan rangkulanya dari Nathan dan berdiri di bantu oleh Kay. Kepada siapa dia akan berakhir? Benarkah ia melepaskan Nathan dan menyambut tangan Kay seperti ini pada akhirnya nanti? Semuanya di mulai kembali. Nathan disana, berada jauh darinya dan kembali memegang kamera. Sedangkan Ivea berada disini sangat dekat dengan Kay yang belakangan membuatnya diliputi rasa bingung yang berkepanjangan. Sesaat kemudian Lampu Blitz menyambar lagi. Kay merangkul pinggang Ivea dan membawanya dekat dengan tubuhnya.

“Eve, coba lihat mataku!” Bisik Kay. “Cobalah untuk memaksakan perasaanmu padaku kali ini saja. Aku sudah sangat lelah!”

“Aku juga sedang berusaha.” “Kau tau? Melihatmu dan Nathan tadi aku jadi merasa

tidak penting. Kau bisa setenang itu denganya sedangkan selalu tegang bersamaku! Aku cemburu!”

Cemburu? Ivea membatin. Benarkah Kay cemburu? Ia memandang wajah Kay dalam-dalam dan Kay tersenyum untuknya. Perlahan-lahan bayangan Nathan memudar dari ingatan Ivea berganti dengan Kay. Hanya Kay.

“Eve, untuk saat ini, Jadilah calon Istriku!”

*** Ivea mengaduk-aduk siomay-nya dengan tidak

bersemangat. Bayangan tentang senyum Kay kali itu sangat menghantuinya. Sebenarnya bagaimana perasaan Kay padanya? Rasa cemburu yang Kay katakana waktu itu rasa cemburu yang bagaimana?

“Kurasa, dia mengatakan hal itu hanya untuk membuatmu memperhatikanya. Buktinya, setelah itu, Nathan mendapatkan banyak foto bagus kan?” Kata Chastine tadi malam saat Ivea menceritakan semuanya. “Bagaimana bisa kau akhirnya memikirkan Kay sedangkan sekarang kau sedang sangat dekat dengan Nathan. Eve, jangan bermain api. Semua perhatian Kay selama ini tidak perlu kau masukkan kedalam hati. Aku sudah mengenalnya lama dan dia termasuk orang yang suka mempermainkan hati perempuan. Hanya saja semenjak dia mempermainkan hati sepupu Bian, Kay tidak pernah terlihat memiliki kedekatan Spesial dengan wanita manapun selain Tara. Kelihatanya dia Jera karena kejadian itu sempat membuat hubungan persahabatanya dan Bian menjadi sengit. Dia tidak menyukai gadis sepertimu sayang, Kay hanya menyukai perempuan yang Agresif. Kay memang suka menggoda siapa

saja, sekarang tinggal dirimu yang menentukan dirimu harus bagaimana dan berbuat seperti apa!”

Ivea meminum Jusnya sedikit, lalu kembali ke lamunanya. Chastine benar. Sepertinya Ivea memang tidak perlu berharap. Ia sudah punya Nathan sekarang dan perhatian Nathan kepadanya sangat penuh, bahkan berlimpah. Ponsel Ivea berdering. Pesan dari Kay mengganggu keputusan yang baru di buatnya.

Cepatlah keruanganku. Aku ingin memperlihatkan sesuatu. (Sender: Kay 08984455xxx) Kesana atau tidak? Ivea masih menimbang-nimbang.

Hatinya menginginkan Ivea segera kesana untuk menemui Kay. Tapi fikiranya berontak. Seandainya ada Nathan disini, Ivea yakin kalau dirinya akan lebih memilih untuk bersama Nathan. Mempercayakan hati kepada yang sudah jelas dan meninggalkan ketidak jelasan. Kali ini tidak apa-apa. Ivea harap ia bisa menemui Kay untuk yang terakhir kalinya dengan perasaan seperti ini. Dengan langkah gontai, Ivea berjalan meninggalkan Siomaynya di atas meja kantin dan menemui Kay di ruang kerjanya. Beberapa teman yang tidak begitu dikenalnya menyapa Ivea di sepanjang jalan dan Ivea hanya bisa membalas dengan senyuman. Selama ini Ivea bukanlah orang yang menonjol, ia lebih suka duduk di kelas sampai mata kuliah dimulai. Tapi karena hari ini Voni tidak datang, Ivea memilih

menghabiskan waktu di kantin. Merasakan udara kampus dengan serius, ini adalah pertama kali untuknya.

“Maaf, Miseur! Ada apa?” Ivea bertanya dengan sopan kepada Kay yang sibuk dengan laptopnya.

Perhatian Kay beralih kepadanya. Kay membuka kaca matanya dan memandang Ivea sebentar lalu mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerjanya. SmiloQueen. “Coba lihat ini. Bian memberikanya padaku pagi ini!”

Ivea mendekati Kay dan membuka majalah yang ada di atas meja. Ia bisa menebak, apa yang ingin Kay perlihatkan. Hari ini SmiloQueen yang memuat rancanganya terbit dan sudah di bagi-bagikan ke beberapa kelas di fakultasnya. Masing-masing kelas mendapatkan satu. Mungkin karena itu beberapa anak yang tidak di kenal tadi menyapanya. Ivea kelihatan kewalahan karena ia tidak juga menemukanya sehingga Kay akhirnya turun tangan dan membantunya menemukan halaman yang ingin Ivea temukan. Foto mereka mengisi satu halaman penuh dan terlihat sangat bagus. Nathan memang fotografer yang hebat.

“Bagaimana? disini aku tampan tidak?” Kay mulai bercanda seperti biasa.

Ivea hanya tersenyum. “Lihat, Akhirnya kau bisa juga berfoto dengan wajah

semanis ini. Aku kira waktu itu kita harus melakukanya sampai pagi!”

“Ya, terima kasih!” Kedua alis Kay bertaut. “Terima kasih kenapa?”

“Aku bisa begini karena kemarin kau menggodaku. Lelucon tentang permintaanmu untuk menjadikanku calon Istri waktu itu benar-benar membuatku terkejut!”

“Lelucon?” Wajah Kay agak serius. Tapi sesaat berikutnya ia tersenyum dan berkata demgan nada yang biasa. “Aku tidak bercanda. Ini Kan foto prewedding kita. Nanti akan ku tempel dalam ukuran besar di galeri. Bagaimana?”

“Sudahlah. Kau tidak perlu bercanda seperti ini. Kau sangat keterlaluan, Kata-kata cemburumu itu sudah membuatku hampir percaya dan…”

“dan apa?” Tanya Kay setelah mendengar kata-kata yang menggantung keluar dari mulut Ivea. “Dan kau sudah jatuh cinta padaku?”

Kaki-kaki Ivea terasa melemah. Kenapa Kay selalu menggodanya dengan cara seperti ini? Setelah bersikap aneh, Kay akan segera membahas mengenai Ivea dan Nathan seolah-olah semua yang di ucapkanya sama sekali bukan apa-apa. Perasaanmu kepadaku sebenarnya seperti apa? Fikir Ivea.

“Miseur” Suara beberapa mahasiswi mengganggu mereka. Para gadis iti masuk secara bergerombol mengelilingi meja Kay membuat Ivea tersingkir ketepi ruangan. Tidak ada satupun yang menyadari keberadaanya dan tidak ada satupun yang memperdulikanya. Ivea membiarkan Majalah itu tetap berada di meja dan hanya memandangi Kay yang sibuk meladeni penggemarnya.

“Kami sudah lihat di majalah. Miseur. Kau keren sekali” kata salah seorang dari mereka.

“Coba saja waktu mengajar kau berpenampilan seperti ini.”

“kalau begitu aku jamin kalian semua akan mendapatkan nilai semester yang rendah” Suara Kay terdengar sayup-sayup di antara keriuhan yang terjadi dalam ruanganya. “”Karena kalian tidak akan memperhatikan pelajaran. Cuma memperhatikanku!”

“Ah, Miseur. Bisa saja!” “Wanita di foto itu siapa? Rasanya pernah lihat!” “dia? Calon istriku!” Kay tersenyum. Ivea bisa melihat

kalau Kay sedang memandangnya. Tapi segera kembali memandangi mahasiswinya satu persatu. “Tidak, aku bercanda. Apa kalian tidak tau kalau dia mahasiswi yang mendapatkan nilai tertinggi dalam mata kuliahku!”

“Beruntung sekali dia!” “kalau kalian ingin seperti dia, dapatkan nilai yang

tinggi juga!” “Apa kalian sedang berpacaran?” “Kau memberikanya nilai tinggi karena dia pacarmu?” “Kalian ini bicara apa? Dia sudah berpacaran dengan

fotografer yang mengambil foto ini. Nilai tinggi karena usaha. Makanya berusahalah!”

Ivea menghela nafas dan berbalik pergi. Sikapnya semakin goyah, ia menjadi semakin bimbang.

***

“Apa-apaan dia? Dia sudah mulai bertindak nakal

terhadapmu?” Seru Chastine di atas ranjangnya. Ia memandang Ivea yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk diiringi dengan ekspresi terkejutnya. “Astaga, dia kenapa? Apa dia benar-benar menyukaimu?”

Ivea angkat bahu. “Lalu bagaimana dengan Nathan?” “Nathan juga belum memastikan hubungan kami

sampai sekarang. Jangan-jangan Nathan juga sedang mengerjaiku!”

Chastine memandang Ivea iba, jari-jari lentiknya membelai wajah Ivea dengan lembut. “Aku tidak tau apa yang terjadi. Menurutku ikuti saja alurnya, biarkan mengalir apa adanya. Tapi aku tekankan satu hal. Jangan pernah Kau bertindak duluan kepada Kay! Dia akan sangat mengharapkan itu. Selama aku mengenalnya, Kay selalu dikejar-kejar dan wanita selalu bertindak lebih dulu terhadapnya. Tentu saja dia akan senang kalau para wanita berbuat seperti itu, jadi bila akhirnya terjadi apa-apa dia tidak perlu bertanggung jawab!”

“Benarkah? jadi dia tidak pernah menyatakan perasaanya kepada perempuan manapun?”

“Dia yang selalu menerima banyak pernyataan cinta dengan berbagai cara. Bisa jadi Kay memang menyukaimu. Apapun bisa terjadi kan? Kalian terlalu sering berinteraksi dan terlalu sering bersama-sama!”

*** Nathan menggenggam tangan Ivea di iringi hembusan

angin sepoi-sepoi yang membelai. Keduanya sedang bersandar di motor matic milik Nathan yang di parkir di bawah pohon rindang di taman kampus. Belakangan ini Nathan selalu datang dan menemui Ivea di tempat yang sama dan jam yang sama. Ivea mendadak jadi sangat terkenal dan semua anak dari fakultasnya menyapanya. Kay juga mendadak menjadi idola, hampir setiap hari ia dikejar-kejar oleh para gadis itu dan harus menemani mereka ngobrol seharian. Ivea sebenarnya sangat cemburu. Ia dan Kay bahkan tidak pernah bicara lagi semenjak itu dan yang dirasakanya hanya tinggal kerinduan demi kerinduan yang datangnya sangat tidak di inginkan. Tapi kedatangan Nathan yang rutin jadi sangat menghiburnya. Setidaknya bersama Nathan, Ivea jarang mengingat Kay dengan menggunakan perasaan.

“Lalu bagaimana Kabar Kay kali ini?” Tanya Nathan. “Entahlah. Aku jarang berbicara denganya. Bahkan di

kelas juga. Di galeri apa lagi.” “Belakangan ini dia sangat jarang ada di galeri.” “Dia meladeni para fansnya sampe sore!” Nathan tertawa ringan. “kau sendiri? Tidak dikejar-

kejar oleh para fans pria?” “Bagaimana mungkin aku bisa? Kay sudah

menyebarkan kepada para Fansnya kalau aku berpacaran dengan fotografer yang mengambil gambar di majalah

waktu itu. Jadi hampir sefakultas menyangka kalau berita itu benar!”

Nathan mendehem. “Jadi menurutmu berita itu tidak benar? Eve, Aku benar-benar menyukaimu!”

Ivea terdiam, akhirnya Nathan mengatakanya juga. Meskipun Ivea tidak menyukai Nathan sebanyak dulu, tapi ia cukup senang dengan kata-kata Nathan barusan.

“Maaf, aku membuatmu sangat lama menunggu!” lanjut Nathan.

Ivea tersenyum begitu saja. “Tidak apa-apa! Kau hampir saja terlambat karena ku kira aku akan segera menikah dengan Kay!”

Nathan spontan tertawa. Ivea juga berusaha untuk tertawa meskipun sebenarnya kata-kata yang di ucapkanya tadi serius. Menikah dengan Kay? Ivea menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu barusan?

“Apa? Nat, Kau dan perempuan ini?” Suara Aliya terdengar lantang di belakang mereka. Ivea menoleh kepada wanita itu, wanita yang selalu bersama Nathan dulu. Wanita yang sering mengantar Nathan setiap pagi ke Galeri. Wanita yang membuat Nathan mengatakan bahwa dia tidak bisa menyukai Ivea lebih dari seorang teman. “Kau serius? Kau bahkan masih makan bersamaku tadi malam dan sekarang kau mengatakan kalau kau suka pada wanita lain?”

“Makan malam?” Tanya Ivea. Matanya memandang Nathan meminta kejelasan.

“Eve kau salah faham!” “Nat, Kau bilang kau tidak akan pernah melepaskanku

sebelum aku yang melepaskanmu. Sekarang kau ingin menjalani dua hubungan sekaligus?” Aliya menyela.

Nathan terlihat sangat marah. Dia menggenggam tangan Ivea kuat-kuat lalu berbicara dengan Aliya dengan suara Intens. “Bisakah kau menghentikan ucapanmu itu? selama ini kau bisa saja pergi dengan laki-laki manapun dan aku tidak berhak untuk marah karena kita tidak punya hubungan apa-apa. Sekarang apa hak mu untuk bicara seperti itu? Aku menyukai Ivea dan kau tidak punya hak apa-apa untuk melarangku!”

“Jadi sekarang kau ingin balas dendam?” “Balas dendam?” Ivea memegangi kepalanya,

mengapa ia menangkap sesuatu yang negatif dari perdebatan ini? Mengapa pertengkaran Nathan dan Aliya mengesankan kalau Nathan sedang menjadikanya alat untuk balas dendam? “Apa kau benar-benar hanya menyukaiku?” Tanya Ivea kepada Nathan. Ia memandang Nathan penuh Tanya.

“Eve!” Nathan memanggil Ivea seolah-olah sedang meminta Ivea untuk memikirkan kembali perkataanya. Untuk apa Ivea bertanya? Bukankah semua perilakunya selama ini sudah jelas, Nathan memperhatikanya dan menyukainya dengan sungguh-sungguh.

“Kenapa sangat mudah bagi mu untuk mengatakan kau sedang suka pada siapa, kau tidak bisa mencintai siapa, dan kau tidak mungkin mencintai siapa. Kenapa kau

sangat suka mempermainkan hati perempuan dengan kata-kata seperti itu?”

“Aku?” Nathan mulai terpancing karena Ivea menghempas tangannya yang tadi menggenggam tangan Ivea. “Aku mempermainkan siapa? Jadi selama ini kau menganggap aku sedang main-main denganmu? Atau sebenarnya kau yang sedang mempermainkanku?”

“Kenapa semuanya jadi berbalik kepadaku?” Suara Ivea mulai bergetar.

“Ya, tentu saja kau menganggap aku tidak penting. Karena selama ini kau lebih percaya kepada Kay dari pada aku, kau lebih memilih bersamanya daripada bersamaku! Aku bodoh sudah percaya dengan kata-kata orang lain kalau kalian berdua sudah seperti saudara. Kau fikir bagaimana perasaanku melihat kalian terus bersama, tertawa bersama sedangkan denganku kau tidak pernah seperti itu. Kau fikir bagaimana perasaanku melihat kalian berdua berpelukan berkali-kali melalui lensa kamera…”

“Sekarang kau ingin menyalahkanku?” Potong Ivea. “Baiklah kalau kau berfikir begitu Aku akan mengabulkan permintaanmu. Aku menyukai Kay! dan kau, jangan pernah lagi mendekatiku selamanya!” Ivea memandang Nathan dan Aliya bergantian, lalu segera melangkahkan kakinya secepat mungkin.

Ivea tidak kembali kekelas, Ia benar-benar pergi menjauh dari tempat itu. Mengapa ia bisa mengatakan hal-hal seperti itu? Kenapa dia tidak percaya kepada Nathan? Seharusnya Ivea bisa lebih bersabar, Ivea menyentuh

pipinya. Tidak ada airmata yang keluar. Apa yang terjadi pada hatinya?

***

7 Semestinya ada beberapa anak yang mengerjakan

tugas kelompok bersama Ivea hari ini, tapi seperti biasa Ivea hanya melakukanya sendirian karena teman-temanya yang lain bolos tanpa alasan. Ivea sebenarnya ingin segera pulang dan kembali bekerja di Chinamons, tapi rasanya ia sedang enggan bertemu dengan Nathan hari ini, Ivea hanya ingin beristirahat sebentar. Di galeri Ia tidak akan menemukan ketenangan sama sekali jika harus berhadapan dengan wajah kesal Nathan yang selalu membuatnya tertekan.

Ia duduk di bangkunya sambil memutar Dieu tristesse, instrumental klasik dan romantic milik Chopin yang paling di sukainya. Irama lembutnya membuat Ivea mulai memejamkan mata dan menikmatinya dengan seluruh, hingga tiba-tiba tas yang berada di pangkuanya terjatuh. Ivea membuka matanya dan melihat seseorang mengambil tasnya yang berada di lantai dan mengembalikanya kepangkuan Ivea. Kay tampak terengah-engah kelelahan, dia mengikat rambut panjangnya yang terurai lalu menggerakkan bibirnya seolah sedang membicarakan sesuatu. Ivea mencabut sebelah handset dari telinganya dan memandang Kay heran.

“Miseur?” Katanya.

“Maaf aku mengganggu. Aku cuma mau menghindar dari mereka sebentar. Aku sangat butuh ketenangan, sepertinya belakangan ini aku benar-benar kehilangan yang satu itu!” Keluhnya pelan. Suaranya lembut seperti biasa. Butir-butir keringat terlihat di dahi Kay saat dia menyeka rambutnya yang berwarna coklat jatuh perlahan. Dia benar-benar terlihat lelah, semenjak fotonya muncul dimajalah tiba-tiba saja para mahasiswi sejurusan bahkan sekampus mengidolakanya. Pada hari-hari sebelum ini, Kay melayani mereka dengan sopan, tapi mugkin ia sudah lelah di ganggu setiap hari sehingga membuatnya memilih untuk melarikan diri.

“Kelihatanya tadi masuk kekelas yang disana” “Coba kita lihat kesana dulu” “kalau ternyata tidak ada bagaimana?” “Aku lihat kok!” Suara-suara dari kejauhan sayup-sayup terdengar,

meskipun sebelah telinga Ivea masih menggunakan handset, ia masih bisa mendengar perdebatan beberapa siswi disana. Ivea tiba-tiba saja merasa tidak rela kalau Kay di temukan dan harus melayani pertanyaan anak-anak itu atau menemani mereka ngobrol sampai merasa bosan. Bukankah selama ini Ivea selalu merasa cemburu dengan itu? Kay dan dirinya jadi terasa begitu jauh semenjak Kay menjadi idola. Meskipun ia dan Kay bertemu lebih sering, meskipun dirinya mengenal Kay lebih dulu ia tetap tidak bisa merelakanya. Ivea spontan menarik Kay untuk bersembunyi di bawah meja dan sekarang, ia sedang

berhadapan dengan Kay dalam jarak yang sangat dekat, jemarinya menggenggam pakaian Kay kuat. Sepasang mata Kay memandang Ivea heran dan Ivea sendiri juga begitu, ia tidak menyangka kalau dirinya berani melakukan hal ini.

“Maaf, Miseur, tadi kau bilang tidak ingin di ganggu, jadi aku cuma…um…cuma berusaha membantu!” Ivea berbisik, dirinya merasa sangat gugup karena suasana yang aneh sedang meliputinya sekarang. Tiba-tiba saja udara menjadi panas membuat Ivea menghembuskan nafasnya perlahan.

Kay masih menatap wajah Ivea heran, tapi kemudian dia membisikkan kata terimakasih di telinga Ivea membuat jantung Ivea seakan berhenti berdetak.

“Kan sudah ku duga, tidak ada!” “Kemana Miseur pergi?” “Sudahlah, kita pulang saja. Aku punya janji!” Suara-suara itu lagi, semula terdengar sangat dekat.

Tapi kemudian Ivea tau bahwa mereka sudah menjauh seiring dengan menghilangnya suara langkah kaki mereka, suasana sudah benar-benar sunyi sekarang. Meskipun begitu Ivea dan Kay masih dalam posisi ini dan tidak ada satupun dari keduanya yang ingin bergerak. Ivea semakin gugup, dirinya sangat menyukai Kay semenjak malam itu dan sekarang orang yang sangat di sukainya sedang berada di hadapanya. Bagaimana dengan perasaan Kay padanya? Apakah Kay benar-benar tidak merasakan apa-apa? Atau Kay sebenarnya juga seperti dirinya saat ini, kerepotan mengatur debaran jantungnya? Ivea sangat gugup karena

Kay sendiri sama sekali tidak berinisiatif untuk bergerak. Bagaimana caranya agar Kay tau bahwa Ivea menyukainya?

Ivea teringat pada cerita Chastine tempo hari, Kay selalu mendapatkan pernyataan cinta, lalu apakah untuk bisa lebih sering bersamanya Ivea harus bertindak Agresif?. Entah kenapa Ivea tiba-tiba saja terpengaruh, dan nekat mendekatkan wajahnya kepada wajah Kay yang membuat bibir mereka bersentuhan. Tapi Kay segera menjauhkan wajahnya dari wajah Ivea dan membuat gadis itu tertunduk malu. Ia benar-benar melakukanya tanpa sadar. Mengapa Ivea menjadi sangat berani seperti ini?

“Anu, maaf! Aku….tiba-tiba saja,…Maafkan aku!” Ivea masih berbisik meskipun ia tau sekarang sudah tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Ia benar-benar menyesali keberanianya yang tiba-tiba saja datang tanpa di duga. Bagaimana bila Kay tidak suka dengan perbuatanya ini? Mata Ivea berkaca-kaca menahan kekecewaan kepada diri sendiri, wajahnya mungkin sudah sangat merah sekarang. Ivea memegang pipinya yang panas dan memejamkan matanya, ia harap Kay segera menghilang ketika Ivea membuka mata.

Tapi tiba-tiba saja dalam waktu singkat Ivea sudah menyadari bahwa bibirnya dan bibir Kay saling berpangutan lembut. Tubuhnya sekarang benar-benar berada dalam dekapan Kay dan sangat rapat, sama seperti rangkulan yang dirasakanya saat sesi pemotretan gaun pengantin pada hari itu.

Kay!. Hanya itu kata yang bergema di hati Ivea saat ini. Tubuhnya bergetar hebat.

***

Kaki-kaki Ivea melemah, sebelah tanganya mencoba

mempertahankan dirinya dalam posisi berdiri dengan bertumpu ke dinding. Ia gugup saat melangkahkan kaki memasuki Chinamons dan akan bertemu dengan Kay setelah kejadian tadi. Diam-diam Ivea berharap Kay tidak melihatnya, atau Kay sedang pergi entah kemana dan tidak kembali ke butiknya pada hari ini.

Bermacam rasa sudah mengaduk-aduk batin Ivea. Malu, Bahagia, heran, semuanya bercampur. Apakah Kay juga menyukainya? Jika tidak mengapa Kay melakukan hal seperti itu tadi. Ia masih mengingat pandangan Kay padanya setelah kejadian itu, juga senyumanya dan semuanya. Bahkan bayangan punggung Kay ketika laki-laki itu meninggalkanya.

Chinamons benar-benar sepi, Ivea melihat jam tanganya dan segera maklum karena ini jam istirahat sebelum Galeri di buka kembali sejam kemudian. Pintu ruang kerja Kay ada disana. Ivea melangkah perlahan karena ingin tau apakah Kay ada disana? Atau bila Kay ada, apa yang sedang dilakukanya? Apakah Kay juga merasa gugup seperti yang dirasakanya saat ini?

“Kamu serius?” Ivea mendengar suara seseorang didalam ruangan Kay. Suara Bian yang merupakan sahabat dekat Kay.

“Aku menciumnya karena simpati” Suara Kay juga terdengar. Mencium karena simpati? Siapa yang mereka bicarakan? Ivea? Dada Ivea tiba-tiba saja sesak. “Lalu aku harus bagaimana? Dia sudah terlalu menunjukkan perasaanya padaku, melihat wajahnya yang seperti itu, dia pasti sangat malu saat itu” Kay menyambung ucapanya.

“Kay. Bukankah kau malah semakin memberikan harapan kepadanya?”

“Aku tau, aku juga menyesali semua perbuatan nakalku padanya. Tapi aku juga kasihan bila harus menolaknya terang-terangan pada saat itu. Mungkin setelah ini aku akan memintanya melupakan kejadian itu”

“Sebenarnya siapa wanita itu, kapan kejadianya?” “Tadi siang, soal siapa dia kau tidak perlu tau!

Sekarang ayo kita makan.” “Tunggu, aku beres-beres dulu!” Dan Ivea merasa tidak ada lagi yang perlu di dengar.

Sesak didadanya berubah menjadi nyeri yang sangat mengiris. Ivea menyembunyikan diri di ruang ganti dan berusaha menarik nafas dalam-dalam agar udara bisa masuk keparu-parunya setelah bunyi mobil Kay menjauh. Tapi menarik nafas seperti itu malah membuat dadanya semakin sesak. Ivea menangis dan terus begitu untuk beberapa lama. Ia baru berhenti begitu mendengar beberapa orang masuk kedalam galeri. Seorang

diantaranya membuka pintu ruang ganti yang memang tidak terkunci dan menemukan Ivea disana. Tara tiba-tiba saja memeluknya seolah-olah dia mengetahui masalahnya dan ingin mengatakan pada Ivea, tidak apa-apa. Tidak usah di fikirkan.

“Kau kenapa? Kau punya masalah di Kampus?” Tara membelai punggungnya.

Ivea mengangkat wajahnya dan menggeleng pelan, sebisa mungkin ia memaksakan seulas senyum untuk menenangkan hati Tara yang mungkin sekarang sedang mengkhawatirkanya. “Aku mau kekamar mandi”. Katanya dengan suara parau. Ivea beridiri dan melangkahkan kaki menuju kamar madi. Ia termenung Disana untuk beberapa waktu. Ivea bisa melihat matanya yang agak memerah. Ia membasuh mukanya dengan air dari keran westafel dan memakai bedak, sebisa mungkin ia menyembunyikan matanya yang bengkak.

“Eve, kau sedang apa di dalam?” Suara Tara terdengar lagi. “Kau di minta menemui Kay di ruanganya!”

Ivea menelan ludahnya. Apa yang harus dilakukanya sekarang? Kay pasti memintanya melupakan kejadian memalukan tadi. Ivea bahkan merasa dia sudah tidak punya muka untuk bertemu dengan Kay. Langkah-langkahanya yang berat di paksakanya untuk berjalan keluar dari kamar mandi dan menuju ruangan Kay, wajahnya tertunduk begitu Kay membukakan pintu lalu memintanya masuk. Laki-laki itu menutup pintu dan

kembali duduk di meja kerjanya. Hati Ivea sudah sangat berantakan, mungkin penampilanya juga sama.

“Eve. Kau kenapa?” Kata Kay, masih sama lembutnya dengan nada bicaranya yang biasa.

Tapi bisa-bisanya dia masih menunjukkan perhatian seperti itu, perhatianya hanya akan membuat hati Ivea semakin sakit. “Miseur memanggilku karena apa?”

“Ummm…”Suara Kay terdengar bergumam. Ia jelas menyiapkan sesuatu. Sesuatu yang akan dia katakan, sesuatu yang akan membuat hati Ivea merasa semakin kecewa. “Lupakan kejadian tadi. Tadi siang saat melihat wajahmu…”

“Kumohon hentikan!” Tiba-tiba saja suara Ivea menjadi bertenaga. Ia mengangkat wajahnya dan berusaha memandang wajah Kay yang terkejut dengan nada suaranya. “Aku yang salah. Aku akan melupakan semuanya. Jadi tolong Miseur juga melupakanya!”

***

Ivea menangis? Melihat gadis itu keluar dari kamar

mandi dengan mata bengkak membuat Nathan merasa serba salah. Seharusnya hari ini dia meminta maaf kepada Ivea atas pertengkaran kemarin. Nathan memang sengaja datang ke galeri meskipun sebenarnya ia sedang tidak bersemangat. Tapi walau bagaimanapun Nathan membutuhkan Ivea dan perasaan itu sama sekali tidak bisa di bohongi.

“Kalian punya masalah?” Tara bertanya, mungkin karena melihat wajah Nathan yang bersedih dan tidak bersemangat. “Kenapa dia menangis ya? Aku kira dia sedang ada masalah di kampus. Tapi melihat tampangmu kali ini sepertinya masalah itu terjadi antara kalian berdua saja.

“Kemarin memang ada pertengkaran, Mbak!” “Wah, ternyata benar. Kalian punya masalah apa?” “Cuma salah faham kok mbak, Aliya sumber

masalahnya.” “Lha…memangnya kamu masih berhubungan sama

Aliya?” “Nggak tau lah, Mbak!” Nathan memegang kepalanya. Nathan mungkin kurang tegas, ia bersalah karena

masih bertemu dengan Aliya sampai malam itu, karena dia berjanji untuk tidak melepaskan Aliya sebelum gadis itu yang menyuruhnya pergi. Tapi perasaanya kepada Ivea tidak main-main. Nathan benar-benar menyukai Ivea dengan sepenuh hati dan kemarin siang semuanya menjadi kacau. Ia menyesali emosinya yang terlalu cepat tertumpah. Seharusnya dia memohon Ivea untuk tinggal di sisinya, seharusnya ia tidak membiarkan Ivea pergi dan memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Nathan tentang Aliya.

Bunyi suara Ivea Intens terdengar dari dalam ruangan Kay, hanya satu kata yang samar yang cukup untuk membuat Nathan terdorong mendekati pintu ruang kerja Kay dan mendapati Ivea membuka pintu dan berhadapan

denganya. Gadis itu menangis lagi? Nathan berusaha menggapai tangan Ivea yang meninggalkanya, tapi tidak dapat, Ivea berhasil keluar dari galeri. Nathan tidak akan menyerah begitu saja, ia mengejar ivea sampai tangan Ivea berhasil di gapainya dan membuat gadis itu menghentikan langkahnya.

“Eve!” desisnya. Ivea terisak, Nathan berusaha melihat wajahnya yang

tertunduk.Tapi Ivea menolak dan berusaha melepaskan tanganya yang di genggam Nathan dan hanya mengatakan beberapa kata sebelum pergi meninggalkan Nathan dalam keadaan termangu.

“Maaf, Nat! Maafkan aku!”

*** Tara masuk ke ruangan Kay setelah melihat Ivea

berlari keluar galeri sambil menangis. Kay terlihat sedang bingung sambil memandangi I-pod silver yang di jatuhkan Ivea dengan pandangan kosong. Pasti telah terjadi sesuatu. Fikir Tara. Tadi, beberapa saat setelah Ivea masuk keruangan Kay, ia mendengar teriakannya. Mungkin Kay dan Ivea berdebat, karena apa?

“Kay!” Tara berusaha mengembalikan kesadaran Kay. “Kau kenapa?”

“Ya?” Kay mungkin berharap Tara mengulangi kata-katanya. Tapi Kay sudah kembali bicara sebelum Tara

membuka mulut. “Aku cuma bingung dengan anak itu hari ini. Mungkin aku sudah melakukan kesalahan besar!”

“Bingung? Oh, mungkin karena dia menangis ya? Tadi setelah kau mengantarkan kunci Galeri ke café, aku langsung kembali kesini dan membuka galeri. Lalu ku dengar ada suara tangis di Fitting room, ternyata dia. Mungkin dia sedang punya masalah dengan Nathan.”

Tiba-tiba Tara merasakan ada sebuah atmosfir aneh. Kay memandangnya dengan ekspresi serius yang tak biasa.

“Jadi dia sudah disini sebelum kau datang?” Tanya Kay.

Tara mengangguk. “apakah dia mendengarkan pembicaraanku dan

Bian?” Kay tiba-tiba memegangi kepalanya. Dia terlihat sangat kesal.

“Kay, Sebenarnya ada masalah apa? Apa ada yang bisa ku bantu?”

“Tara, Aku tau kau bisa menyimpan rahasia.” Kay berdiri dari kursinya dan mendekati Tara yang berdiri membelakangi pintu. “Sebenarnya, aku dan Eve….”

*** Lupakan kejadian tadi. Tadi siang saat melihat wajahmu aku

benar-benar kelepasan menunjukkan perasaanku. Semula ku kira ini bisa berlanjut dengan baik tapi kemudian aku merasa bahwa hubungan yang seperti ini akan merusak persahabatan kita.

Seharusnya Kay mengatakanya saat itu, Meskipun ucapan seperti ini benar-benar hanya sebuah kepura-puraan, tapi Kay merasa kata-kata yang seperti itu akan tepat dan tidak menyakiti hati Ivea. Ini memang bukan pertama kalinya Kay menghadapi masalah dengan perempuan karena ulahnya sendiri, Ivea entah yang keberapa, tapi Ivea adalah orang pertama yang membuatnya memikirkan semua ini secara lanjut.

Aku akan melupakan semuanya. Jadi tolong Miseur juga melupakanya.

Kata-kata yang masih membayangi Kay hingga sekarang. Dan Miseur? Ivea hanya memanggilnya Miseur bila mereka sedang di Kampus, selama ini dirinya dan Ivea bersahabat sangat baik dan anak itu juga merupakan sahabat yang menyenangkan. Meskipun usia mereka terpaut tujuh tahun, Ivea selama ini selalu memanggil Kay dengan nama, dan hari ini dia memanggil Kay dengan sebutan Miseur?

Padahal Kay sangat berharap kalau semuanya akan segera membaik setelah dia mengucapkan kata-kata itu. Tapi Ivea tidak memberikan kesempatan sama sekali. Kata-kata melupakan yang Ivea ucapkan entah mengapa menjadi begitu menusuk. Kata melupakan itu tampaknya bukan hanya kata-kata yang menuju pada kejadian saat itu, tapi semuanya. Ivea mungkin memang berniat membuang semuanya. Gadis itu tidak datang kekelas Kay, bahkan mungkin tidak datang ke Kampus sama sekali dan di galeri, Kay tidak lagi mendengar Ivea tertawa riang

bersama Tara ataupun melihatnya bersama Nathan. Kay juga tidak melihat Ivea yang menungguinya untuk minta diantar pulang dengan headset di telinganya.

Kay seringkali menunggui kehadiran Ivea di persimpangan jalan dimana dirinya biasa menjemput atau mengantar Ivea pulang, dan Ivea tidak pernah muncul. Kay sangat menyesal karena dirinya tidak pernah memaksa untuk mengantarkan Ivea sampai rumah, sekarang dirinya tidak tau lagi harus mencari Ivea kemana. Bahkan alamat yang berada di buku data karyawan pun bukan alamat dimana Ivea sekarang. Gadis itu memang pernah tinggal disana pada awal kedatanganya kekota ini, tapi sekarang Ivea sudah pindah entah kemana. Sudah seminggu ini yang Kay bisa lakukan hanya memandangi kursi dimana Ivea biasa duduk di kelas atau melihat gaun rancangan Ivea yang di pajang di ruangan Kay setiap hari. Ivea benar-benar menghilang dari sisinya.

“Kay, Bagaimana dengan Fashion Show di Tokyo pertengahan tahun ini? Kau akan ikut mengisi acara, kan?” Bian mengagetkan Kay.

Jendela yang Kay pandangi tidak berisi sesuatu yang spesial, tapi ia memang tidak membutuhkan sesuatu yang spesial karena perhatian Kay memang tidak sedang menuju kesana. Kay berbalik memandangi Bian yang sibuk menyantap donat di kantornya. Bian memang tukang makan, meskipun begitu wanita ini sama sekali tidak pernah kelebihan berat badan. Semua wanita di dunia pasti sangat iri dengan anugrah spesialnya yang satu itu.

“Biarkan aku berfikir dulu!” “Kau mau memikirkanya dulu? Kau tidak pernah

melewatkan kesempatan untuk menampilkan busana-busana rancanganmu di luar negri, Lagipula ibumu juga masih berada di Tokyo kan? Kau sedang punya masalah?”

Kay menekan pelipis kananya dengan jari. Wajahnya seharian ini hanya berisikan ekspresi gusar. Bian mungkin heran dengan Kay hari ini, biasanya Kay sangat pandai menyembunyikan perasaanya tapi kali ini, Kay sama sekali tidak bisa menyembunyikan ketidak tenanganya. Kay bisa maklum melihat alis Bian yang terangkat karena melihatnya uring-uringan hari ini “Boleh aku minta kopi?”

“Tentu saja kalau itu bisa menenangkanmu!” Bian kemudian mengangkat telpon dan berbicara pada sekretarisnya. “Chastine, tolong bawakan secangkir kopi keruanganku, ya?” Dan wanita itu lalu menutup telpon.

“Chastine?” Tanya Kay. “Kau tidak sedang menanyakan siapa Chastine kan?

Dia adalah kariawanmu yang kau oper kekantorku. Kau bilang saat itu, Chastine harus bisa mengembangkan dirinya.”

Ya, tentu saja Kay ingat. Chastine adalah salah satu kariawanya, juga salah seorang mahasiswa yang pernah di ajarinya saat Kay masih di Paris. Chastine adalah salah satu kariawan tercerdas yang Kay punya dan keputusan untuk memindahkan Chastine kekantor majalah mode milik Bian adalah salah satu usaha Kay untuk membuat chastine lebih berkembang. Karena dengan begitu, Chastine bisa lebih

memperkaya diri dengan pengetahuan Mode yang Bian miliki. Dan satu lagi, Chastine yang membawa Ivea ke Gallerinya untuk menggantikan pekerjaannya. Saat itu chastine bilang kalau Ivea adalah teman serumahnya di tempat tinggal yang baru. Chastine pasti tau dimana Ivea, Chastine mungkin bisa membantunya.

***

8 Kay berjalan gusar mengitari koridor rumah sakit.

Ruang Lavender nomor tujuh, Chastine bilang Ivea berada disana, Ivea jatuh dari tangga rumah Kos-nya dan sempat koma selama 34 Jam. Dan begitu bangun Ivea kelihatanya benar-benar seperti orang kebingungan. Gadis itu mengalami Amnesia Parsial yang membuatnya melupakan kejadian yang dialaminya selama satu tahun terakhir. Chastine juga mengatakan bahwa dia bingung harus melakukan hal seperti apa, mereka tidak tau siapa orang tuanya karena Ivea tidak pernah bercerita, tidak ada data yang pasti dan sekarang dia mulai kehabisan uang untuk membayar biaya rumah sakit.

Ketemu, Bisik Kay. Ruang Lavender nomor tujuh tertera di depan pintu yang berwarna baby blue. Kay membuka pintu dan menemukan Ivea disana. Gadis itu tengah duduk dan memandangnya dengan bingung saat Kay mendekat dan duduk disamping tempat tidurnya. Ivea mengenakan piama rumah sakit dengan kening yang di tutupi perban, mungkin dibaliknya ada luka. Dan rambutnya yang panjang, sekarang hanya tinggal sebahu.

“Kau siapa?” Tanya Ivea dengan pandangan heran. “Kau benar-benar tidak mengingatku?” “Maaf. Mungkin kita pernah kenal, tapi aku sedang

tidak mengingat siapa-siapa. Chastine bilang aku amnesia.”

Ivea berbicara sambil menggosok-gosok tengkuknya, kelihatanya ia sedang merasa tidak enak karena sudah melupakan Kay.”Aku bahkan tidak ingat pada Chastine, tapi dia sangat baik. Dia selalu menemaniku disini”

“Kau bahkan tidak ingat Chastine?” Ivea mengangguk. “Kurasa biaya disini sangat mahal.

Aku ingin pulang, dia pasti terbebani.” Katanya. Matanya memandangi sekeliling ruangan tempatnya dirawat.

“Kau ingin pulang kemana? Kau ingat rumah orang tuamu?”

Ivea menggigit bibirnya.“Seingatku, Aku tidak punya siapa-siapa. Aku datang kekota ini untuk bekerja dan melanjutkan sekolah. Chastine bilang aku serumah denganya, mungkin kembali tinggal disana akan lebih baik daripada menghabiskan uang disini!” Ivea tersenyum. Senyum yang nyaris saja Kay lupakan karena Kay belakangan ini hanya bisa mengingat wajah Kecewa Ivea saat pertemuan mereka yang terakhir. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Kau siapa?”

“Aku?” Kay termenung sesaat. Dia harus mengatakan apa? Hubunganya dengan Ivea sangat complicated. Ivea adalah karyawan terbaiknya. Ivea juga mahasiswanya di Kampus. Dia dan Ivea seringkali bersama-sama meskipun perdebatan selalu mewarnainya. Tapi belakangan Ivea terasa sangat jauh, dan begitu mereka punya kesempatan untuk bersama, sesuatu yang mengejutkan terjadi. “Nanti aku ceritakan!” Kay naik keatas tempat tidur dan memeluk

Ivea erat-erat. Walau bagaimanapun Ivea adalah teman yang dirindukan “Yang pasti kita adalah sahabat baik.”

“Begitukah? Bagaimana kita bisa bersahabat?” “Chastine yang memperkenalkan kita!” Jawab Kay.

Hatinya merasa lebih lega. Setidaknya Ivea dan dirinya bisa berbicara tanpa ganjalan seperti ini lagi. Setidaknya Ivea tidak mengingat kejadian buruk yang membuatnya menangis dan pergi meninggalkan Kay. “Eve, maukah kau menjadi sahabatku lagi?”

“Tentu saja!” “Kalau begitu jangan menghilang lagi.” Kay membelai

kepala Ivea. “Oh, Ya. Rambutmu kenapa?” “Oh, ini? Waktu aku terbangun, aku lihat rambutku

sudah sangat panjang. Aku cuma mengingat wajahku dengan rambut yang seperti ini, Jadi jika aku melihat cermin aku seperti sedang melihat orang asing. Lalu aku meminta Chastine memotongnya untukku. Kenapa? Aneh ya?”

Kay melepaskan pelukanya dan memandangi wajah Ivea yang tersenyum untuknya sekali lagi. “Tidak, Kau cantik!”

***

Kay sudah mengambil alih semuanya dengan motivasi

yang tidak di mengerti. Mungkin perasaan bersalah disertai keinginan besar untuk menebusnya yang membuat Kay mengganti semua uang Chastine yang keluar untuk Ivea

dan melunasi biaya rumah sakit. Semula Chastine menolak karena walau bagaimanapun, baginya Ivea sudah seperti adik. Tapi Kay berkeras sehigga Chastine tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Keinginan Chastine untuk merawat Ivea setelah keluar dari rumah sakitpun di tolak oleh Kay begitu melihat keadaan tempat tinggal Chastine dan Ivea selama ini. Kamar yang sempit harus di tempati oleh tiga orang. Bagi Kay, keadaan seperti itu tidak akan membantu kepulihan Ivea sama sekali.

Sekarang, Kay lebih memilih Bian sebagai orang yang diyakininya akan menampung Ivea hingga kesehatanya membaik. Dirinya dan Ivea sedang berada di rumah Bian sekarang, Rumah yang sejuk dan di atur seminimalis mungkin membuat tempat yang sederhana itu kelihatan luas. Rumah ini sengaja di bangun untuk iklim tropis dengan banyak dinding kaca dan tanaman rambat yang menutupi tembok. Rumah yang sudah banyak berubah sejak terakhir kali Kay kunjungi, mungkin sekitar setengah tahun. Selama ini Kay lebih suka berbicara dengan Bian di kantornya, di galeri atau di Kampus.

“Bagaimana? Tanya Kay setelah menjelaskan semua persoalanya.

Bian memandang Ivea yang duduk di sebelah Kay. Gadis itu tampak bingung karena dikelilingi oleh tempat yang asing. “Teentu saja aku mau! Dia bisa menemaniku disini!”

“kalau begitu aku bisa tenang. Aku mungkin akan menitipkanya selama seminggu…”

“Selama-lamanya juga boleh!” potong Bian. “Tapi apa benar dia tidak ingat apa-apa?”

Kay mengangkat bahunya. “Aku juga sedang bingung bagaimana cara menjelaskan banyak hal kepadanya. Aku harap setelah seminggu terlewati Eve tetap bisa melanjutkan kehidupanya secara normal meskipun tidak mengingat apa-apa.”

“Kembali ke Kampus misalnya? Begitu kan?” “Tentu saja. Aku harus banyak menjelaskan tentang

keadaanya kepada ketua yayasan, jika tidak Eve bisa di keluarkan dari Kampus!”

“Kampus?” Ivea tiba-tiba ikut campur mendengar kata-kata Kampus. “Aku sudah mendaftar masuk ke universitas? Aku sudah lulus? Jurusan apa yang ku pilih?”

“Pertanyaanmu banyak sekali, darimana aku harus menjelaskanya?” Kata Bian sambil tersenyum pada Ivea. “Kau mungkin tidak ingat, kau sudah mendaftar beberapa bulan lalu kekampus tempat Kay dan aku mengajar. Kau juga mendapatkan nilai tertinggi pada desain wedding dress mu, itu karena aku yang jadi juri!” Bian kemudian tertawa anggun. “Dan rancanganmu itu, berhak tampil di dalam majalahku edisi bulan lalu. Tunggu sebentar!” Bian kemudian berdiri dan masuk kesalah satu ruangan di dalam rumahnya. Tak lama kemudian dia keluar dengan membawa majalah bertajuk SmiloQueen itu dan membuka salah satu halaman penting sambil menjatuhkan pinggulnya disamping Ivea. Ia menunjukkan sebuah foto disana dimana Ivea berada dalam rangkulan Kay dengan

mata yang saling beradu pandang. Foto itu menunjukkan kesederhanaan dan kehangatan dari Gaun yang di kenakan Ivea. Kesan itu semakin di perkuat dengan penampilan Kay yang mengenakan jas putih. Rambut panjang Kay yang diurai terkesan seperti di tiup angin dan menunjukkan wajah Kay dari samping dengan Jelas. “Lihat ini!”

Ivea memandang Kay seakan tak percaya. Lalu matanya kembali memandangi gambar dirinya dan Kay dimajalah. Gambar itu sudah tidak pernah Kay Lihat lagi semenjak Bian memberikannya kepada Kay pada hari majalah SmiloQueen terbit. Ini kedua kalinya, tapi Kay mendapati kesan yang berbeda saat melihat fotonya kali ini.

“Kalian berdua kelihatan serasi sekali.” Bian kembali berceloteh. “Lihat pandangan itu, meskipun sedang akting, kalian benar-benar kelihatan seperti pasangan yang sedang jatuh cinta.”

“Disini Aku akting ya?” Ivea bertanya sambil mengamati wajahnya di gambar. “Ternyata aku berbakat jadi artis ya? Di foto ini, aku kelihatan benar-benar seperti orang yang sedang jatuh cinta! Aku ingin segera bertemu dengan fotografernya!”

“Tentu saja. Kalian semua berteman baik di galleri milik Kay yang dinamainya chinamons itu! Kau juga bekerja disana menggantikan posisi Chastine, lalu Kay memberikan kau formulir pendaftaran Kampus mode itu. Jadi Kau ke Kampus pada pagi hari dan ke galleri pada siang hari”

“Benarkah?” Tanya Ivea kepada Kay dengan wajah gembiranya. “Aku bekerja di gallerimu? Bersama fotografer yang memotret kita ini?”

“Ya, Tentu saja” Jawab Kay sekenanya. “Setelah keadaanmu membaik aku akan mengajakmu kesana”

“Kapan?” “Mungkin seminggu lagi. Besok, aku akan berangkat

ke Tokyo!” Kay berusaha tersenyum. Akting, mengapa belakangan ini dia sulit berakting seperti yang seringkali di lakukanya? Dulu dengan mudahnya Kay memanipulasi perasaanya. Tapi belakangan mengatur perasaanya menjadi begitu sulit. Kay merasa kalau dirinya sudah berubah pelan-pelan.

***

Kay berjalan cepat diiringi Tara Soedarnadi menuju

mobil yang menjemputnya. Ia merasa sangat lelah karena jet lag ringan. Kegiatan di Tokyo yang padat membuatnya tidak sempat beristirahat sama sekali. Indonesia masih sangat pagi tapi Kay sudah merasakan panas yang menyengat, udara yang menyadarkan Kay kalau dia sudah kembali ke tanah air dan sudah meninggalkan musim dingin di Tokyo. Selama disana Kay seringkali mengingat Ivea, bukankah Ivea pernah menanyakan tentang Tokyo padanya sebelum kejadian buruk merusak hubungan mereka berdua dengan sukses. Ivea mengatakan ingin melihat salju di Tokyo, tapi saat itu Kay mematahkan

harapanya dengan mengatakan bahwa di Tokyo sama sekali tidak ada salju yang turun meskipun sedang musim dingin. Mengenang semuanya mengingatkan Kay pada Ivea. Seminggu sudah dirinya dan Ivea tidak bertemu, bagaimana keadaanya sekarang?

“Tara, kau bawa berapa mobil?” Tanya Kay kepada Tara yang berjalan bersisian denganya sambil mendorong troli barang-barang milik Kay.

“Tentu saja dua!” Jawab Tara sambil menunjuk mobil yang semakin mereka dekati. Sebuah Nissan merah milik Kay dan Picato hijau milik Tara. “Barang-barangmu yang banyak itu tidak akan cukup dalam satu mobil.”

“Siapa yang menyetir mobilku?” “Nathan!” “kalau begitu, Aku pinjam kunci mobilmu. Aku masih

ada urusan lain yang harus di selesaikan. Kau kembali ke galleri saja bersama Nathan!”

Meskipun ragu, Tara tetap mengambil kunci mobilnya dan memberikanya kepada Kay. Kay sendiri dengan tangkas berjalan menuju Picato Hijau milik Tara dan melajukanya sekencang mungkin menuju rumah Bian. Jam segini Bian pasti ada di kantor, tapi seharusnya Ivea berada di rumah dan tidak kemana-mana. Meskipun selama di Tokyo Kay tidak pernah berbicara dengan Ivea, tapi dirinya dan Bian selalu membicarakanya setiap hari. Bian kelihatanya sangat suka dengan keberadaan Ivea dirumahnya sehingga selama pembicaraan Bian berkali-kali memuji Ivea.

“Dia rajin sekali, aku jadi sering makan siang dirumah. Begitu aku pulang dia selalu memasak masakan yang enak untukku. Dan aku bersumpah kalau aku tidak pernah memintanya melakukan itu. Itu kemauanya sendiri.”

Kata-kata Bian yang satu itu sudah sangat melekat di benak Kay. Bian selalu mengucapkanya berulang-ulang dan tidak pernah bosan. Tapi bagaimana dengan Ivea? Bisa jadi gadis itu malah merasa sebaliknya.

Kay sudah sampai dirumah Bian. Pintu pagar Bian terbuka secara otomatis karena sensor telapak tangan Kay sudah tertanam dalam memori pengamanya. Kay bisa saja masuk kerumah ini tanpa password apapun seperti yang sering dilakukanya setengah tahun lalu. Tapi kelihatanya kali ini tidak begitu. Pintu utama tidak terbuka dengan sendirinya setelah Kay menekan beberapa Tuts password. Mungkin Paswornya sudah di ganti. Hal tersebut memaksa Kay untuk menekan tombol bel pada pads password itu beberapa kali dan ia harus menunggu hingga pintu terbuka. Ivea yang berada di balik pintu terlihat senang dengan kedatanganya, tapi gadis itu kelihatan tidak sama. Penampilanya tidak seperti Ivea yang biasa, rambut pendeknya yang berwarna hitam sudah berubah menjadi coklat gelap, kulitnya lebih bersih dan menebarkan aroma wangi Issey Miyaki yang sangat Kay kenal sebagai salah satu parfum yang sangat Bian sukai. Terakhir, Ivea tidak menggunakan Jeans atau celana pendek. Sebuah dress mini berwarna baby pink dikenakanya untuk melapisi baju kaos kuning berlengan pendek yang sangat pas di tubuhnya.

Bian benar-benar sudah membuatnya menjadi seperti boneka.

“Kau sudah pulang?” katanya. “Tentu saja!” Jawab Kay sambil menguap dan

melangkah masuk kerumah itu tanpa dipersilahkan terlebih dahulu.

Kay memilih sofa ruang tengah dan berbaring disana dengan nyaman. Badanya benar-benar sangat lelah dan butuh relaksasi. Mungkin setelah ini Kay akan memanjakan dirinya di Spa. Ivea yang tadi menghilang beberapa menit, datang mendekatinya dan membawa secangkir teh hangat lalu meletakkanya di atas meja. Kay tau itu dibuat untuknya, ia kemudian duduk dan menghirup aroma wangi dari teh melati.

“Bian belum pulang!” “lalu kenapa?” Tanya Kay dengan kening berkerut.

Kenapa Ivea memberikan informasi basi itu? Tentu saja Kay sudah tau kalau Bian tidak ada dirumahnya pada jam segini. “Aku kesini untuk numpang istirahat. Galleriku pasti sedang sangat berantakan dan aku tidak mungkin beristirahat disana. Tapi aku rasa Tara dan yang lain akan membereskanya hari ini juga.”

“Bagaimana dengan Tokyo? Disana sedang turun salju kan?”

“Di Tokyo tidak ada salju yang turun!” Jawab Kay. “Bohong!” “Tentu saja tidak. Aku sudah berkali-kali ke Tokyo

dan tidak pernah melihat salju!”

Ivea tidak menjawab apa-apa lagi, wajahnya yang memandang Kay dengan ekspresi kesal membuat Kay menahan tawanya, ia ingat kalau dulu, Kay sangat suka melihat wajah Ivea yang seperti ini, ia juga seringkali menertawakan gadis itu bila dia terjatuh atau menabrak sesuatu. Kay merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah muda lalu memberikanya kepada Ivea. Ivea menerimanya dengan heran, pelan-pelan ia membuka kotak itu dan melihat sebuah kalung dengan bandul berbentuk Kristal salju yang terbuat dari perak. Kalung itu memiliki rantai yang tidak begitu panjang dan berwarna hitam pekat.

“Ini untukku?” Tanyanya. “Aku cuma meminjamkanya! Kau bilang ingin lihat

salju di Tokyo, aku berkeliling mencarinya dan salju yang ku temukan hanya itu. Sudah ku bilang kan, di Tokyo tidak turun Salju. Kalaupun ada, sangat jarang sekali terjadi!” Jawab Kay. “Ingat, Kau harus mengembalikanya kalau kau melihat Salju turun di Tokyo suatu saat nanti”

Apa kita sering seperti ini?” Tanya Ivea lagi. Kali ini Kay tidak langsung menjawab. Ia memandang

Ivea bimbang. “Seperti apa?” “berdebat maksudku!” “Iya, tentu saja begitu. Tapi kita bukan musuh, aku

berani bersumpah! Bukankah aku pernah bilang kalau kita bersahabat baik?”

“Iya, Berdebat bukan berarti bermusuhan kan? Kau tidak perlu ketakutan begitu!” Kata Ivea sambil

memperhatikan salju yang dibawakan Kay untuknya dengan wajah penuh rona bahagia.

Kay menggigit bibirnya. Apakah benar dia bertindak seperti orang ketakutan tadi? Kay memang takut kalau Ivea membencinya seperti waktu itu. Meskipun pada waktu itu Ivea tidak mengatakan apa-apa, tapi dari pandangan matanya yang penuh dengan kekecewaan Kay bisa merasakan bahwa Ivea yang dihadapanya saat itu sudah membencinya. Kay memandang Ivea lagi. Wajah Ivea yang terlihat sangat senang kali ini membuat Kay seolah hanya bermimpi buruk saja, wajah penuh binar ini sepertinya tidak mungkin menghadirkan ekspresi yang benar-benar mengahancurkan hati Kay seperti saat itu. Tapi bukankah ini terjadi karena Ivea tidak mengingatnya? Lalu bagaimana bila ingatanya sudah kembali?

***

Kay benar-benar tidur nyenyak di sofa berwarna hitam

pekat itu, cahaya silau dari jendela bahkan sama sekali tidak mengganggunya. Melihat Kay yang seperti ini membuat Ivea merasa kalau Kay pernah menjadi bagian yang sangat penting dlam hidupnya. Tapi memang begitu seharusnya kan? Seperti cerita Bian, bisa di bilang selama setahun belakangan ini, Kay adalah sosok yang paling sering ditemuinya. Pagi di Kampus siang sampai sore di galeri, bahkan tak jarang sampai malam hari. Bahkan pada hari liburpun, dia dan Kay akan bertemu seharian penuh

karena Kay tinggal di galerinya dan menjadi penyebab mengapa Galeri itu tidak pernah ditutup.

Selain itu Kay juga pernah bilang kalau mereka bersahabat baik, juga sering berdebat. Dan sepertinya hubungan mereka semakin dekat semenjak busana rancangan Ivea menang dalam penilaian Bian dan membuat pertemuan mereka semakin intens karena membuat gaun itu. Tapi menurut Kay, hubunganya dan Kay juga sempat renggang karena foto dirinya bersama Kay tersebar di Kampus dan Kay mendadak menjadi idola yang dikejar-kejar para siswi seantero Kampus. Sejak itu komunikasi diantara mereka nyaris tidak ada sama sekali. Mungkin itulah yang membuat Kay seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang saat melihat Ivea dirumah sakit.

Bunyi tapak high heels yang di pakai Bian terdengar jelas dan berisik. Dia pulang untuk makan siang seperti biasa. Ivea mendekati Bian dan mengatakan kalau Kay sedang tidur dan Bian sebaiknya jangan terlalu berisik. Maka wanita itu segera melepas sepatunya dan berjingkat menuju kamarnya di lantai atas dan kembali beberapa menit kemudian untuk memantu Ivea menyiapkan makan siang.

“kau sepertinya sangat memperhatikan Eve, begitu sampai disini kau langsung kerumahku!” Bian menggoda Kay saat mereka makan siang bertiga di rumahnya. Ia belakangan memang sering makan siang di rumah karena

Ivea selalu memasakkan masakan-masakan lezat untuknya dan menelpon untuk makan siang bersama.

“Aku mau menjemputnya!” “Apa?” ekspresi nakal Bian tadi langsung berubah.

“Menjemputnya? Aku sudah terlanjur suka pada Eve. Memangnya kau mau membawanya kemana?”

“Umm…” Kay berhenti memasukkan makanan kemulutnya. “Mungkin kembali kerumah Chastine. Chastine mungkin cemas!”

“Tidak bisa! Kalau Chastine khawatir dia bisa datang kerumahku kapan saja! Aku akan menelponya!”

“Bi, Sudah ku katakan kalau setelah seminggu, kehidupan Eve harusnya kembali normal meskipun ingatanya belum pulih.”

“Apakah dia jadi tidak normal kalau dia hidup bersamaku? Dia bisa ku antar ke Kampus, aku juga tidak akan melarangnya bekerja di gallerimu.”

“Kau memperlakukanya seperti boneka.” Kay memandang Ivea yang memperhatikan pertengkaranya dan Bian dengan bingung. “Dia bukan Manekin yang bisa kau dandani sesukamu. Bagiku Eve yang sekarang tidak seperti Eve yang pernah ku kenal sebelumnya.”

“Kenapa? Karena di tanganku dia berubah menjadi cantik seperti cinderella? Kau khawatir kalau nanti kau menyukainya?”

“Kau gila? Bukan sekali dua kali aku bertemu dengan model yang jauh lebih cantik darinya. Aku cuma berfikir kalau sekarang perubahanya terlalu mencolok!”

Kay tertegun sesaat, Ia segera menutup mulutnya karena khawatir kalau-kalau Ivea tersinggung dengan kata-katanya. Tapi kelihatanya Ivea sama sekali tidak tersinggung dan malah membela bian dengan mengatakan kalau dirinya menyukai penampilan barunya dan Ivea juga menyukai Bian, Bahkan Ia memanggil Bian dengan sebuan Mom, sama seperti Kay memanggil ibunya. Kay merasa dikeroyok hingga akhirnya dia hanya bisa menyerah dan membiarkan Ivea tetap bersama Bian sampai pada waktu yang di kehendakinya.

***

“Benarkah kau tidak mengingat apa-apa?” Tara

bertanya pada Ivea dengan antusias. Masih sulit baginya untuk percaya kalau Ivea benar-benar telah mengalami Amnesia. Rasanya baru kemarin Tara memeluk Ivea yang menangis seorang diri di Fitting room dan sekarang ia melihat Ivea tersenyum seolah tidak pernah terjadi masalah apa-apa terhadapnya.

“Kau benar-benar melupakanku?” Tanya Nathan ikut campur. “Waktu aku melihatmu terakhir kali, kau meninggalkan Chinamons sambil menangis, ku kira karena beberapa hari sebelumnya kita bertengkar!”

“Aku menangis?” Ivea bertanya, wajahnya tampak berubah menjadi lebih heran.

Tara meninggalkan Natahan dan Ivea berbincang-bincang. Tadi ia melihat kalau Kay masuk keruanganya

dan masih mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian yang dikenakanya di bandara sepulang dari Jepang. Tara mengetuk pintu ruang kerja Kay dan Kay membukakan pintu untuknya.

“Ada apa?” Tanyanya. Tara duduk di sofa yang berada di sebelah kanan

pintu sambil memandang Kay yang duduk di atas meja kerjanya. “Kau semalam tidak pulang? Kau bersamanya?”

Kay tertawa ringan. “Kau sedang memikirkan apa? Aku semalaman di rumah Pamanku dan pagi tadi mampir kerumah Bian untuk menjemputnya. Dia tinggal di rumah Bian sekarang!”

“Memangnya kau pikir aku mengira apalagi? Kau tidak mengganti pakaian lalu datang bersamanya setelah hampir jam makan siang. Setelah apa yang terjadi pada kalian berdua, kau dan dia bisa saja…”

“Kalau kau berfikir seperti itu, aku jadi menyesal bercerita padamu.” Kay berpindah duduk ke sofa dan berhadapan dengan Tara. Ia terlihat masih tidak begitu baik, wajah yang biasanya tampak bersinar itu sedikit pucat menunjukkan kalau dirinya lelah dan kurang tidur.

“Kay, dia benar-benar hilang ingatan?” Tanya Tara penasaran.

“Begitulah kenyataanya. Aku di beritahu Chastine kalau dia sedang dirawat dirumah sakit dan saat aku kesana dia bertanya aku siapa” Kay tertawa getir. “Chastine bilang dia terjatuh di tangga rumah Kos. Semula aku tidak percaya. Tapi setelah melihat keadaan tempat

tinggal mereka aku rasa hal yang seperti itu mungkin untuk terjadi”

“Kalau begitu kau beruntung, setidaknya dia tidak akan menuntutmu karena melakukan pelecehan kepadanya!” Dan Tara harus menahan sakit sebagai ganjaran dari ucapanya. Kay sudah mencubit pipinya keras-keras dan memandanginya dengan mata yang melotot.

“Kau bilang apa?” Kata Kay, lalu melepaskan siksaanya terhadap Tara pelan-pelan.” Aku malah jadi merasa bersalah. Dengan bodohnya aku mengambil alih semua yang bersangkutan denganya, memindahkanya kerumah Bian dan membayar rumah sakit. Atau bisa saja aku membayar uang semesternya untuk semester depan. Karena beasiswanya sudah pasti di cabut. Dia sangat banyak meninggalkan mata kuliah.”

“Tinggal beberapa bulan lagi. Bukanya Eve salah satu murid tercerdas? Kalau aku jadi kau, aku juga akan mencarikan beasiswa yang lain. Tapi tidak perlu khawatir. Kau juga pernah melakukanya dengan Chastine kan?”

Kedua alis Kay bertaut. “melakukan apa?” “Sekarang pikiranmu yang entah kemana! Tentu saja

menyekolahkanya, kau pikir melakukan apa?” Suara Tara terdengar agak kesal. Tapi kemudian ekspresi wajahnya membaik. “Memangnya, kau dan Chastine pernah melakukan apa?”

“Aku menganggap Chastine seperti adikku, kau kira aku setega apa terhadap adik sendiri?”

“Bukankah dulu kau juga pernah bilang kalau Ivea mengingatkanmu kepada adikmu itu? Tapi akhirnya kau juga…”

“Sudah! Cukup. Bagaimana kalau dia mendengarnya?”

Sekarang giliran Kay yang kesal. Tara tertawa terbahak-bahak dan hampir tidak bisa berhenti jika mereka tidak mendengar suara ketukan pintu. Kay berdiri dari sofanya dan membukakan pintu untuk seseorang. Bian. Wanita ini masih se-trendi biasanya, segala yang dimilikinya selalu membuat Tara merasa iri. Wanita Kaya, dan berkepribadian baik, Bian selalu mudah untuk dekat dengan orang lain. Seperti sekarang, Wanita itu mendekati Tara dan menyapa dengan senyumnya yang cantik.

“Kedengaranya seru sekali, Kalian sedang bicara tentang apa?” katanya. “Tara, apa kabarmu?”

“Tentu baik-baik saja, Madame” jawab Tara. Dia memang selalu memanggil Bian dengan panggilan Madame meskipun dia tau kalau Bian sama sekali belum menikah sejak mereka berkenalan pertama kali di paris.

“Kau masih setia saja dengan laki-laki ini!” Bian berkata sambil menunjuk wajah Kay yang berada di hadapanya. ”apa kau tidak mau pindah kerja? Ke SmiloQueen misalnya. Pengalaman kerjamu bisa membuat karirmu menjulang tinggi!”

“Hey, Chastine sudah ku serahkan kepadamu dan kau masih mau merampok tangan kananku?” Kay menyela. “Sebenarnya kau kesini untuk apa?”

“Aku mau melihat Cinderellaku!” Tara memandang Kay. Cinderella? Siapa? “Bukankah tadi dia berada di luar bersama Nathan?”

Kay bertanya penasaran, Cinderella itu kelihatanya menghilang.

Bian menggeleng. “Tidak ada! Biar aku telpon!” Wanita itu kemudian mengeluarkan ponsel dari tasnya dan menelpon seseorang. “ Hallo, Bonjour…. Apa Eve bersamamu? Oh, sedang makan siang. Aku bisa tenang. Aku membawakan ponselnya yang ketinggalan. Nanti biar dia minta kepada Kay saja ya. Merci!” Dan Bian menutup telponya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah ponsel mahal dan menyerahkanya kepada Kay. “Aku titip untuk Eve, katakan padanya tidak usah menunggu karena malam ini mungkin aku tidak pulang” Kemudian Bian membuka pintu tanpa kata-kata pamit. Ia hanya melambaikan tanganya lembut kearah Tara dan Tara berusaha membalasnya.

“Cinderella yang dimaksud Bian, Eve?” Tanya Tara setelah Bian pergi.

Kay memasukkan Ponsel itu kesaku pakaianya. “Tentu saja. Kau bisa lihatkan perubahan Eve yang drastis? Ku rasa dia mendadak menganggap dirinya sebagai ibu peri begitu aku meninggalkan Eve dirumahnya dan begitu aku kembali dari Tokyo, Anak itu sudah berubah dan hampir tidak ku kenali.”

“Ya, Aku juga begitu tadi. Ivea tidak terlihat seperti gadis sederhana pada umumnya. Dia terlihat seperti putri

dengan perawatan spesial dan barang-barang bermerek.” Tara teringat akan penampilan Ivea yang berbeda, anak itu tidak lagi menggunakan kaos oblong atau kemeja yang di padu dengan Jeans dan Sepatu kets. Ivea berubah menjadi putri manis dengan make Up tipis dan kemeja sutra berwarna coklat. Sebuah Belt emas melilit pinggangnya dan high heels berwarna senada menghiasi kakinya. “Dia seperti model. Apa kau tidak tertarik padanya?”

“Apa?” Tanya Kay kaget. Dia tau kalau Tara sedang bercanda, tapi baginya pertanyaan ini harus di jawab dengan serius. “Entahlah, ku rasa penampilan barunya membuatku merasa risih, dia mengingatkanku pada seseorang. Aku lebih menyukai Eve yang ku kenal dulu!”

“Tapi kurasa, Eve yang kau kenal dulu bahkan tidak mau memandangmu!” Tara tersenyum penuh canda. Tapi senyumnya segera pudar saat melihat wajah Kay yang tidak seperti biasa. “Aku lapar. Ayo kita makan ke café sebelah!” katanya kemudian mengalihkan pembicaraan.

***

9 Ivea, Mungkin penampilanya berbeda, tapi Nathan

yakin kalau Ivea tetap orang yang sama. Orang yang Nathan harapkan untuk senyum setiap saat dan orang yang di inginkan untuk selalu memberi senyuman itu kepadanya. Ivea sedang sibuk membolak-balik komik Vampire Knight yang dari tadi di bawa-bawa Nathan dan yang bisa Nathan lakukan hanya memandanginya.

“Kamu suka baca komik ya?” Ivea berbicara dengan suara yang Nathan rindukan, meskipun kedengaranya Ivea tidak berbicara dengan logatnya yang biasa. Mendengar Ivea seperti mendengarkan Bian berbicara. Ivea meniru Bian seratus persen, dimulai dari Style, Atitude, hingga gaya bicara. “Ceritanya bagus? Boleh pinjam yang Volume satu?”

“Eve, volume satu sudah ada di tanganmu.” Jawab Nathan.

“Benarkah? Aku letakkan dimana ya? Nanti akan ku cari, mungkin tertinggal di rumah Chastine.” Ivea lalu tersenyum. “Ceritakan tentang hubungan kita, Kau bekerja di galeri juga? Sebagai apa? Hubungan kita dekat tidak?”

Nathan tersenyum sebelum ia bicara. “Aku harus cerita seperti apa? Bagaimana harus memulainya ya?”

“Dari mulai kita ketemu bagaimana?”

“Ivea, Setahun lalu kau datang ke galeri, di bawa oleh Chastine untuk menggantikanya. Chastine dulu bekerja di galeri juga sebelum dia di mutasi ke kantornya Bian. Saat itu kau sama sekali tidak menarik. Demi tuhan, aku sama sekali tidak membayangkan kalau akhirnya kita bisa seing bersama dan bergandengan tangan. Aku dulu sangat tidak suka kalau harus dekat-dekat denganmu. Tapi Kay sepertinya bertindak, dan seringkali melibatkan kita berdua dalam situasi yang sama.”

“Kalau begitu kita punya hubungan khusus?” “Bagiku iya! Setidaknya kau pernah tersenyum dan

mengatakan tidak apa-apa saat aku minta maaf karena terlalu lama membiarkanmu menunggu kata-kata kalau aku sangat menyukaimu.”

“Astaga, Are ya my boy friend?” “Entahlah. Karena beberapa saat setelah itu kita

langsung bertengkar hebat dan kau pergi meninggalkanku. Kita hanya bertemu di galeri saat kau keluar dari ruangan Kay sambil menangis. Aku kira saat itu kau cerita tentang masalah kita pada Kay, tapi entahlah!” Nathan mengulangi kata-kata itu sekali lagi. Ia tidak begitu yakin kalau Ivea menangis saat itu karenanya, Tapi bukankah Ivea hanya punya masalah denganya?

“Kita bertengkar karena masalah apa?” “Karena Aliya!...” Dan Nathan kemudian

menceritakan semuanya, tentang dirinya dan Aliya, tentang dirinya dan Ivea serta masalah yang terjadi diantara mereka dengan sangat detail. Berkali-kali Nathan

menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Nathan juga mengatakan kalau ia sempat mengira Ivea tidak ingin bertemu denganya lagi sehingga tidak pernah kembali lagi ke chinamons. Hatinya benar-benar diliputi emosi pada dirinya sendiri dan segala kebodohan yang dilakukanya. Ia baru berhenti bicara saat Ivea menggenggam tanganya dan mereka saling pandang beberapa saat.

“Aku minta maaf!” Ujar Ivea. “Maaf? Aku yang bersalah dan harusnya aku yang

minta maaf!” Ivea menggeleng. “Sepertinya itu terjadi karena aku

tidak mengerti masalah antara kau dan Aliya. Seandainya aku saat itu lebih bersabar dan meminta kau menjelaskanya dengan baik-baik, kau tidak akan sekacau ini sekarang!”

“Kau sudah meminta maaf, Eve. Saat itu aku berusaha mengejarmu. Kau minta maaf meskipun kau tidak mengizinkan aku melihat airmatamu dan pergi!”

“Kalau begitu. Light Up! Kita lupakan masalahnya dan mulai dari awal lagi bagaimana? Untuk sekarang mungkin aku masih bingung. Tapi kita jalani saja semuanya dulu, Aku rasa kau orang yang baik!”

*** Ivea tadi memandang Nathan dengan perasaan aneh

meliputinya. Nathan mungkin memang seseorang yang spesial yang pernah ada di hidupnya dulu. Ia dapat merasakan semua chamistry nya. Hatinya entah mengapa

merasa begitu tenang bila ada di dekat laki-laki ini dan Komik yang dibawanya juga membuat Ivea merasa sangat dekat. Terlebih saat Nathan bilang kalau Volume satu dari Komik Vampire knight saat itu sudah ada padanya. Ivea menjadi semakin yakin dengan perasaanya dan kata-kata Nathan mungkin saja benar.

Ivea Melihat keadaan Café dengan mata berkeliling, Dejavu sangat sering terjadi belakangan ini, tapi Ia maklum karena semuanya memang terjadi di tempat-tempat yang pernah dia datangi. Ivea mengangkat tangan memanggil pelayan yang ada di dekat pintu, dengan tangkas pelayan itu mendekat dan menanyakan pesananya, dan sebuah Ekspresso dengan krim menjadi sasaranya. Tidak berapa lama kemudian pesananya segera datang dan tersaji. Ivea berterimakasih dengan memberikan seulas senyum, beberapa detik kemudian senyumnya bertambah lebar saat Tara dan Kay mendekat dan duduk di mejanya setelah Tara berbicara banyak dengan pelayan yang di temuinya saat masuk.

“Bagaimana Eve? Pelayanan di Café ku baik kan?” Tanya Tara sambil tersenyum. Ia dan Kay duduk berdampingan dan kelihatanya sangat dekat.

“Ini café-mu?” “Ya, Kau mungkin tidak ingat. Tapi semua pegawai

dari Galeri sebelah ataupun yang pernah bekerja dan pernah berhubungan dengan Chinamons akan mampir kesini saat makan siang seperti sekarang. Dulu kau juga begitu, kau suka kemari meskipun hanya memesan

secangkir teh!” Tara kemudian memandang isi cangkir yang ada di hadapan Ivea. “Tapi sepertinya seleramu berubah.”

“Oh? Ini? Aku sedang ingin minum kopi!” Ivea mengkonfirmasi mengapa ia memesan kopi siang-siang begini. “Tadi Mom, menelpon Nathan dia menitipkan ponselku tidak?”

“Ya,”Jawab Kay, ia mengeluarkan sebuah ponsel mahal penuh dengan permata berwarna oranye menempel pada casingnya. Kristal yang berkilauan itu juga menempel di ponsel Bian dengan warna yang berbeda, bukan stiker permata plastik biasa seperti yang di jual di pasaran. Orang yang jeli pasti tau kalau Bian sangat suka dengan perhiasan dan Kristal mahal yang menempel di ponselnya dan juga ponsel Ivea itu juga menjadi perhiasan baginya. “Nathan mana?”

“Dia? Tadi dapat telpon dari rumah dan baru saja pulang!” Jawab Ivea. “Ada satu pertanyaan yang ingin ku tanyakan pada kalian. Kalian tau aku dan Nathan sedang menjalin hubungan?”

“Well.”Tara bersuara lebih dulu, karena Kay kelihatanya tidak antusias dengan pertanyaan Ivea tentang Nathan. “Selama ini kedekatan kalian memang agak berbeda. Dulu kau mengejarnya dengan cara yang cukup sopan dan manis, berusaha menarik hatinya terus menerus, sampai tiba-tiba dia membawa Aliya ke galeri dan mengatakan kalau dia tidak bisa menyukaimu lebih dari seorang teman.”

“Ya, dia sudah menceritakan yang itu, dan sudah menarik kata-katanya!”

“Oh, Ya? Tentu saja harus begitu. Karena setelah kejadian itu perhatiannya kepadamu malah semakin bertambah. Biasanya Nathan pulang sebelum jam makan siang, tapi semenjak itu dia selalu kemari hanya untuk melihatmu makan siang. Dia juga membantumu saat kau kebingungan dengan desain gaunmu yang di tugaskan Kay pada waktu itu!”

“Benarkah? Kalau begitu seharusnya aku berfoto dengan dia untuk majalah waktu itu!”

“Apa yang kau katakan? Kau cuma model pengganti! Kau tidak punya hak memilih pasangan!” Kay tiba-tiba saja menuding. Tara menyenggolnya sambil membisikkan sesuatu yang kelihatanya membuat Kay bersikap lebih tenang dan berbicara lagi dengan nada yang lebih datar. “Lagi pula mana mungkin dia berfoto denganmu, dia bertugas memotret pada saat itu!”

“Jadi dia fotografernya?” Ivea kelihatan senang. Kay mengangguk, ada sesuatu yang tidak bisa di

mengerti sedang terjadi padanya sekarang. Kay merasa cemburu dan dia tidak bisa menyembunyikan perasaanya? Kay menyesali sikapnya barusan.

“Tentu saja, dia sering mengambil fotomu diam-diam!”

“Dia sudah menceritakanya juga dan memperlihatkan salah satunya kepadaku!”

“Benarkah?” suara Tara terdengar bersemangat. “Apa dia sudah menceritakan tentang kenakalanya padamu? Dia pernah mencideraimu. Kalian membuat cerita konyol tentang vampir dan dia menggigitmu. Sehari setelahnya lengan kananmu akan terasa sakit kalau di sentuh, lalu dia memberimu komik sebagai ucapan permintaan maaf, judulnya…vampire…ummm…vampire apa ya?”

“Vampir Knight? Aku sudah menduganya. Saat melihatnya membawa komik itu aku merasa sudah sangat akrab dengan Vampire Knight. Ternyata begitu? Aku jadi ingin membaca komik itu segera. Kay, nanti kau mau mengantarku kerumah Chastine?”

“Baiklah! Lagipula aku ragu membiarkanmu pergi sendiri, Kau mungkin tidak ingat jalanya!”

Lalu, Kau…Aku biasa memanggilmu apa?” Wajah Ivea beralih memperhatikan Tara.

“Mbak Tara, seperti Nathan!” “Mbak Tara!” Ivea mengangguk-angguk. “Sepertinya

kau banyak tau tentang Nathan, mungkin nanti aku akan sering bertanya padamu! Tidak apa-apa, Kan?”

Tara mengibaskan telapak tanganya sambil tersenyum. “Tentu saja tidak, Aku akan menceritakan semua yang ku ketahui tentang Nathan.” Katanya sambil melirik Kay yang disadarinya juga sedang memandangnya dengan pandangan tak suka!”

***

Seharusnya Ivea menjalani kehidupan yang normal, Itu yang sangat Kay harapkan. Tapi meskipun Ivea selalu menjalankan kegiatanya seperti sedia kala, tetap saja ada yang tidak sama. Ivea seringkali datang ke galeri bersama Bian atau membawa mobil sendiri, terlalu mewah untuk seorang pegawai. Selain itu di kampus, Ivea mendadak menjadi ramah dan punya banyak teman selain Voni yang sebangku denganya. Gadis itu sekarang sering berpindah-pindah tempat duduk, sering nongkrong di kantin dan yang paling menonjol Ivea sangat suka memakai barang-barang Mahal. Menjadi anak angkat dari Bianca Karta membuat Ivea akhirnya meniru semua perilaku Bian seratus persen. Ivea yang Kay kenal dulu sudah menghilang berganti dengan orang baru yang meskipun berwajah sama tapi semua yang dilakukan dan apapun yang melekat padanya sangat berbeda.

Belakangan ini Kay merasakan ada yang berbeda dari sikapnya kepada Ivea. Dia seringkali tidak bisa menolak permintaan Ivea padanya dan akan memperhatikan Ivea dengan perhatian ekstra, tapi kemudian bisa diam seribu bahasa setelah melihat Ivea bersama Nathan, atau menanggapi cerita tentang Nathan dengan tidak bersemangat. Ivea benar-benar hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Entah mengapa Kay merasa kecewa dan berharap Ivea segera kembali mengingat perasaanya kepada Kay saja.

“Kau lihat? Ini surat-suratnya. Ivea akan segera menjadi anaku dan resmi secara hukum!”

Kay memandang Bian yang dari tadi duduk di depanya. Hari ini Bian datang kekampus meskipun tidak ada jam mengajar. Hal yang paling jarang di lakukanya. Kay tau Bian hanya sedang memamerkan rencananya yang sudah terlaksana meskipun belum sempurna. Ia bahkan juga menambah embel-embel Karta di belakang nama Ivea sebagai tanda kalau Ivea memang putrinya. Kay menggeleng heran. “Kau serius mengangkat gadis yang lebih muda sekitar tujuh tahun darimu sebagai anak? Dia lebih pantas jadi adikmu bukan?!”

“memangnya kenapa? Aku suka saat dia memanggilku dengan sebutan Mom!”

Kay memandangi wajah sahabatnya dengan anggukan tak mengerti. Bian sepertinya sedang menikmati peranya sebagi Ibu. Dia sekarang punya seorang putri yang dengan suka rela meniru semua perilakunya. “Ya, tentu saja. Kau bahkan sudah berhasil membuatnya mirip denganmu!”

“Memangnya kenapa? Kau selalu mengungkit hal seperti itu! Kau kesal karena aku sudah mengubahnya jadi tipe-mu?”

“Apa?” “Aku tau, aku adalah satu-satunya perempuan di

dunia ini yang sangat sesuai dengan seleramu. Tapi kau tidak mungkin mencintaiku kan? Karena kau tau aku tidak suka punya hubungan khusus dengan laki-laki, cinta cuma akan menghambat karirku saja! Karena itu kau menggoda sepupuku, Kau berharap kami punya sikap yang sama tapi ternyata tidak.”

Kay tertawa mengejek. “Kau percaya diri sekali!” “Apa kau lupa kau pernah mengatakan hal seperti itu

sewaktu kita kuliah dulu? Wah gampang sekali kau melupakanya! Tapi kau pasti tidak akan pernah melupakan seleramu sendiri kan? Karena itu kau menyukai Ivea. Karena anak itu sangat mudah berubah menjadi aku, dan dia adalah peniru yang cerdas!”

Kay melengos. Ia memang pernah menyukai Bian. Tapi itu sudah sangat lama sekali dan dia bahkan sudah melupakanya, juga melupakan bagaimana cara mencintai seseorang dengan perasaan seperti itu. Dan belakangan perasaan seperti itu tumbuh tanpa disadarinya saat melihat perubahan Ivea perlahan-lahan. Kay tidak suka dengan perubahan Ivea. Perubahan itu membuatnya risih, karena perubahan Ivea itu akan membuatnya kembali konyol dan bodoh seperti saat dia menanti perasaan Bian untuknya dulu.

“Terserah kalau kau tidak mau mengakuinya. Yang jelas kau tidak boleh merusak hubungan Ivea dengan Nathan, mereka sedang hangat-hangatnya.”Kata Bian sambil membereskan surat-surat yang tadi di tunjukkanya kepad Kay. “Aku mau ke Paris besok pagi. Tolong gantikan aku mengajar beberapa kali ya? Sekarang aku pergi dulu. Take Care!”

***

10

Ivea memandangi pintu galeri dengan ragu. Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan dia tidak bisa kembali kerumah karena ia sudah melupakan pasword untuk masuk kerumah. Selama ini Ivea memang tidak pernah di tinggal oleh Bian lebih dari sehari dan ini pertama kalinya. Kepergian Bian ke Paris sudah berjalan dua hari dan masih ada tiga atau empat hari lagi menjelang kepulanganya kembali ke Indonesia.

Lampu di lantai dua masih menyala terang, Kay pasti masih bangun dan mau membantunya. Ivea menetapkan hati untuk melangkah masuk kedalam galeri dan disana masih ada Tara yang mungkin tidak sedang memperhatikanya, Wanita itu kelihatanya sedang menerima telpon penting dan Ivea juga tidak mau mengganggu. Ia menaiki tangga menuju lantai dua, membuka satu-satunya pintu yang ada disana lalu melihat Kay yang sedang berkutat dengan gaun rancanganya yang kemudian memandang kearahnya.

“Kau sedang apa?” Tanya Kay. “Bukankah tadi kau sudah pulang bersama Nathan?”

“Apa kau membantuku? Aku melupakan password untuk masuk kerumah. Apa kau bisa memberitahuku paswordnya?”

Kay menghentikan pekerjaanya. Ivea tau, Kay pasti menganggapnya bodoh. Ivea juga tidak mengerti apa yang ada di fikiranya hari ini sehingga ia bisa melupakan paswornya sama sekali. “Apa kau fikir aku tau? Pasword rumah itu sudah diganti oleh Bian. Apa kau sudah mencoba menelponya?”

Ivea mengangguk. “Tapi tidak bisa terhubung!” “Kalau begitu masuk saja dulu, istirahatlah di tempat

manapun yang kau suka!” Kata Kay sambil memainkan ponselnya.

Mungkin dia mencoba menghubungi Bian. Fikir Ivea. Ivea menutup pintu kembali dan duduk di sofa yang menghadap ke televisi. Ini pertama kalinya Ivea masuk keruang tinggal Kay, Atau sudah pernah sebelumnya? Ruangan ini lebih persis dengan ruang kerja dibandingkan dengan kamar. Di semua tempat dipenuhi dengan kain dan patung, Ruang kerja Kay di lantai bawah jauh lebih rapi dibandingkan dengan ini.

“Sepertinya tidak aktif. Biasanya dia menelponku kalau pekerjaanya sudah selesai. Kita tunggu saja!” Kata Kay sambil mengembalikan ponselnya keatas meja yang berada dekat dengannya. “Nathan tau?”

“Tidak, tadi dia cuma mengantar sampai depan rumah. Aku tidak mengizinkanya masuk karena Bian berpesan begitu. Jadi dia pulang sebelum aku masuk kerumah.”

“Seharusnya dia memastikan sampai kau masuk kerumah, baru pergi!”

“Aku yang menyuruhnya pergi!” Ivea membela. Tapi dia segera menutup mulutnya. Entah mengapa Ivea merasa kalau pembicaraanya dan Kay tidak seperti biasanya. Kay terkesan sangat cuek, mungkin karena sedang sibuk bekerja.

***

“Aku yang menyuruhnya pergi!” Kata-kata Ivea itu

membuat Kay yersenyum kecut. Ivea masih berusaha membela Nathan saat Kay menyalahkanya.

Kay hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali berkonsentrasi pada gaunya. Pemasangan payet yang sama sekali tidak bisa di bilang sederhana membuat mata Kay mulai mengabur. Ini memang belum jam tidur Kay yang biasa, tapi melihat kerumitan yang seperti ini membuat Kay merasa lebih cepat mengantuk. Kay hanya punya sisa waktu dua minggu sebelum busana rancangan ini di perlihatkan kepada banyak orang nantinya. Perhelatan Show busana pengantin besar-besaran akan diadakan kembali di Tokyo bulan depan dan tentunya Kay harus ikut serta. Sekarang Kay harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan pemasanganya. Bila malam ini dia tidak tidur, seharusnya busana ini bisa diselesaikan dengan sukses besok pagi. Ponsel Kay berbunyi nyaring membuatnya kembali mengentikan pekerjaanya. Mungkin telpon dari Bian. Ia memandang Ivea sejenak sebelum

meraih ponselnya dan melihat gadis itu memandanginya penasaran. Telpon dari Tara.

“Ya?” Kay menjawab telponya setelah memberikan gelengan kepada Ivea yang mengisyaratkan bahwa bukan Bian yang menelpon.

“Kay, aku mau pulang! Aku sudah lelah sekali. Bagaimana dengan pintunya?”

“Kau tunggu disana sebentar, aku akan turun!” Kay lalu menutup ponselnya. Ia kemudian berbicara kepada Ivea. “Kau mau kopi?”

“Kalau tidak merepotkan!” “Kalau begitu tunggu saja disini. Aku mau kebawah

dulu!” Jarum dan benang yang ada di tangannya diletakkan

Kay diatas meja dan ia segera membuka pintu lalu menuruni tangga. Sebenarnya Kay masih kesal dengan penolakan Ivea saat Kay ingin mengantarnya pulang. Ivea lebih memilih pergi bersama Nathan karena mereka berdua mau makan malam dulu. Tapi melihat Wajah Ivea barusan, rasa kesal Kay mendadak sirna.

“Terimakasih untuk hari ini!” Kay berkata kepada Tara yang berada didepan pintu.

Tara hanya tersenyum dan melambaikan tangan menuju mobilnya yang di parkir di pinggir jalan. Setelah mobil berwarna Hijau itu melesat pergi, Kay mengunci pintu dan membuat dua cangkir kopi di pantry. Dengan tangkas kedua cangkir kopi itu dibawanya menaiki tangga lalu membuka pintu dengan menggunakan kaki. Kay

sudah terbiasa melakukan ini. Ivea berada dekat dengan Busna rancanganya, Kay bisa melihat wajahnya yang sangat antusias melihat setiap detil dari segala sisi.

“Ini kopimu!” Kay menyerahkan secangkir kopi kepada Ivea dan Ivea menyambutnya.

“Terima kasih” “Kembali!” balas Kay sambil menyeruput kopinya. Ivea juga melakukan hal yang sama sambil

memandangi busana pengantin buatan Kay. Busana yang sangat cantik berwarna putih bersih. Ivea memperhatikan busana unik itu dengan tidak bosan-bosanya. Seperti busana pengantin pada umumnya, super panjang dan menyapu lantai. Tapi Kay membuatnya sedikit berbeda, Bagian atasnya dibuat sedemikian rupa menyerupai rompi dengan lengan yang ketat hingga kesiku. Bagian ini memiliki payet yang sangat Kaya dan bahu yang terbuka. Kay sengaja membuatnya terkesan seperti kebaya mini diatas gaun mewah. Tapi pemasangan payet yang belum selesai membuat Kay selalu merasa kalau rancanganya belum sempurna.

“Ini yang akan dibawa ke Tokyo?” Tanya Ivea. “Ya, Mungkin dibawah dadanya akan kupasang Obi

berwarna Gold tapi aku masih ragu dengan warna itu. Sudah ku coba tapi aku merasa masih belum sempurna.”

“Aku rasa akan terlihat bagus, aku bisa membayangkanya!”

“Kau membayangkan yang seperti apa?” “Tentu saja pemasangan Obi di patung itu!”

“Itu masalahnya! Patung dan tubuh manusia itu berbeda” Kay berujar gusar. Tentu saja apapun yang dipasangkankan ke patung itu akan terlihat baik-baik saja. Mungkin Kay memang perlu melihat gaunya dipakai oleh manusia. Dia lalu memandang Ivea, dan tiba-tiba saja timbul ide. Bagaimana bila Ivea yang mengenakan gaun ini, Kay bisa melihat kekuranganya dan menutupinya dengan menambah ini itu seperti yang pernah dilakukanya pada gaun rancangan Ivea dulu.

“Eve, kau mau membantuku?”

*** Ivea mengenakan gaun indah itu. Dicermin, gaun

rancangan Kay tampak berkilauan di terpa cahaya lampu yang terang benderang. Ivea tidak bosan-bosanya memandangi bayangan dirinya dan memikirkan apa yang membuat penampilanya akan lebih sempurna. Dengan susah payah Ivea mengambil salju pemberian Kay dan mengenakanya di lehernya. Rantai hitamnya membuat warna kulitnya terlihat lebih bercahaya dan dia merasa benar-benar sudah menjadi Cinderella.

Tinggal sepatu kaca dan semua beres. Bisiknya. Ivea kemudian mengikat rambutnya rapi dan memandangi dirinya dicermin sekali lagi. Ia sudah merasa cukup. Tapi kenapa dirinya ingin terlihat cantik di depan Kay? Ivea menggigit bibirnya bingung.

***

“Apa kau masih lama?” Kay berteriak dari luar pintu

kamarnya. Ia sudah sangat gelisah dan tak sabar lagi untuk melihat ivea mengenakan gaun buatanya. Anak itu sudah menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit dan membiarkan Kay berdiri di depan pintu dalam waktu yang cukup lama. Kaki-kaki Kay sudah lelah berdiri.

“Sudah, Kau boleh masuk” Akhirnya. Bisik Kay lega. Ia membuka pintu dan

menemui Ivea yang membuatnya benar-benar terkejut. Gadis itu berubah menjadi orang yang berbeda lagi. Bukan Ivea yang mengatakan akan melupakanya, Bukan juga Ivea yang hidup di bawah bayang-banyang Bian. Melainkan Ivea yang dulu sempat membuatnya terperangah saat gadis itu mengenakan gaun rancanganya sendiri yang menang atas penilaian Bian. Ya, Kay ingat kalau saat itu jantungnya sempat berdetak cepat melihat Ivea mengenakan pakaian indah berwarna putih, sama seperti saat ini. Tidak, saat ini mungkin adalah saat dimana Jantungnya berdetak dalam tempo tercepat seumur hidupnya.

“Beautiful!” Seru Kay tanpa sengaja. “Maksudmu aku?” Tanya Ivea dengan pandangan

nakalnya. Kata-katanya itu benar-benar mengembalikan Kay kedunia nyata dengan sangat sukses.

Kay mendekat. “Tentu saja gaun rancanganku!”. Katanya geram. Kay memegang pergelangan tangan Ivea dan menunjuk satu garis diagonal dari siku hingga ke bahu. “Kurasa bisa di tambah payet disini”

“Sekarang Kenakan obinya!” “Mmm…baiklah!” Kay kemudian berjalan kesalah

satu dari tiga lemari pakaianya yang berjejer didinding yang sama dengan dinding tempat televisi bersandar. Ia kelihatan bingung memilih, sesekali Kay melihat kearah Ivea dan kembali tanpa membawa apa-apa.

“Mana obinya?” Tanya Ivea heran. “Aku rasa sudah sempurna tanpa itu!” Kata Kay

sambil mengangkat sebelah alisnya. “Coba katakan, bagian mana yang rasanya tidak nyaman?”

“Mmm..” Ivea meraba tubuhnya Kemudian memposisikan kedua tanganya di punggung. “Aku rasa bagian dadanya sedikit sempit.

Kay memperhatikan tubuh Ivea sebentar lalu meninggalkanya untuk mengambil pisau Cutter yang berada diatas meja kerjanya dan kemudian kembali berjalan menuju punggung Ivea. “Coba lepaskan Kebayanya!” Katanya. Dan perintahnya segera di turuti. Ivea membuka lapisan terluar dari gaun itu dan memberikanya kepada Kay. Setelah meletakkan Kebaya itu diatas sofa, Kay berusaha membuka jahitan di punggung gaunya dengan pisau cutter. Tanganya gemetar tanpa alasan yang jelas. Kay heran dengan dirinya yang merasa gugup saat berdekatan dengan Ivea seperti ini, Tidak seperti biasa dan berbeda dengan sebelumnya. Selama ini Kay bahkan terbiasa membantu modelnya untuk berpakaian dan dirinya sama sekali tidak pernah ragu

untuk memotong apa saja dengan cutter setiap kali Fitting. Tapi kali ini…

Tenanglah Kay!. Gumamnya dalam hati. Kay mencoba menenangkan diri dan akhirnya ia

memutuskan untuk segera menyelesaikan pekerjaanya. Semula semuanya berjalan baik-baik saja, tapi kemudian terdengar teriakan kesakitan dari mulut Ivea karena punggung sebelah kananya terluka dan berdarah. Kay menjadi sangat Shock dan segera melempar pisau cutternya jauh-jauh.

“Apa yang harus ku lakukan?” Katanya bingung.

*** “Kau hampir saja membuatku trauma dengan ini!”

Kay menggerutu sambil mengoleskan revanol dengan kapas pada luka Ivea. Beberapa kali Ivea terdengar mengaduh pelan. Kay tau Ivea pasti kesakitan, luka yang didapatnya cukup dalam dan mengeluarkan banyak darah. Selimut coklat muda milik Kay sekarang sudah dihiasi noda merah yang beberapa menit lalu terus mengalir dari lukanya.

“Seharusnya aku yang mengatakan kata-kata trauma!” Ivea balas menggerutu. Lalu Ia kembali menggigit bibirnya menahan perih saat Kay membubuhkan obat luka di punggungnya. “Kau tau rasanya nyeri sekali.”

Kay tau pasti memang begitu rasanya. Ini pertama kalinya dia melakukan kesalahan seperti ini dalam

hidupnya. Selama ini dirinya selalu menggunakan cutter untuk merapikan benang atau untuk membuka Jahitan bila gaun buatanya kekecilan seperti tadi. Kay tidak bisa membayangkan bagaimana bila salah satu pelanggan Gellerinya yang mengalami ini. Galleri miliknya bisa segera di tutup dan bangkrut, selain itu nama baiknya bisa rusak dan masa depannya yang semula terang dan jelas berubah jadi gelap.

Fikiriannya melayang kekejadian penuh kepanikan tadi, Kay sama sekali tidak bisa berfikir jernih karena otaknya di penuhi dengan emosi-emosi yang tak bisa dikendalikanya seperti biasa. Yang difikirkanya hanya membantu Ivea membuka gaun itu dan segera menutupi tubuh Ivea dengan selimutnya. Kay menggigit bibirnya, ia sama sekali tidak menyangka akan ada kejadian sekonyol itu yang membuatnya terlihat seperti orang gila hingga berakhir seperti ini, duduk di atas sofa dan mengobati luka Ivea dengan hati-hati. Ivea seringkali terluka karenanya dan luka yang paling parah adalah luka yang merenggut ingatan gadis itu hingga sekarang. Kay menelan ludahnya berat, kegugupanya bertambah parah begitu menyadari dirinya sedang menghadapi punggung Ivea dengan tubuhnya yang dibungkus selimut. Otak Kay kembali mencoba meruntut mengapa hal yang seperti ini bisa terjadi, ia menyentuh dadanya yang rasanya akan meledak.

“bagaimana dengan gaunmu?” Tanya Ivea setelah mereka saling diam beberapa lama.

“Aku akan memperbaikinya malam ini! Masalah yang lain jangan kau fikirkan dulu.” Jawab Kay, ia menempelkan perban pada luka Ivea sebagai langkah terakhir. “Besok kita kerumah sakit!”

“Aku akan membantumu memperbaikinya!” Ivea berujar pelan sambil berusaha mengambil pakaianya yang berada di lantai yang tidak jauh dari sofa tempat dirinya dan Kay duduk sekarang. Tapi Kay merampas pakaian Ivea seketika saat menyadari kalau Ivea ingin mengambilnya. Gadis itu terperangah sambil memandang Kay tak mengerti.

“Kau tidak boleh mengenakan pakaian ini!” “Apa maksudmu? Lalu bagaimana caranya aku

membantumu? apa aku harus berselimut seperti ini sampai pagi? Apa yang akan Kau lakukan?”

“Kau fikir aku akan melakukan apa?” Kay berkata sinis sambil mendorong kepala Ivea dengan lagak kesal. “Pakaianmu ini sangat sempit. Makanya, rubahlah cara berpakaianmu jangan meniru Bian. Kalau kau masih berkeras untuk memakai pakaian seperti ini, lukamu bisa bermasalah!”

***

Ivea tertidur dengan tenang disebelahnya, itu yang

Kay lihat saat pertama kali dia membuka mata. Semalaman dirinya benar-benar memperbaiki gaunya dan di bantu oleh anak itu. Kay menguap dan melihat darah di pakaian

yang dikenakannya tanpa sengaja. Semula Kay mengira kalau semua yang terjadi adalah mimpi, saat dirinya meihat Ivea mengenakan gaun buatanya, saat Kay gugup berdiri di belakang Ivea, teriakan gadis itu saat cutter Kay mengenai punggungnya, dan saat Kay mengobati luka itu dengan perasaan yang tak menentu.

Kay memandang Ivea yang tertidur dengan menggunakan Piama milik Kay yang kelihatan kebesaran pada tubuh Ivea yang kecil. Mereka berdua mungkin baru tidur setelah langit berubah warna menjadi biru karena Ivea benar-benar nekat menyelesaikan gaun buatan Kay malam itu juga. Kay turun dari ranjangnya dan beranjak kekamar mandi. Setelah beberapa waktu, ia keluar dan mengganti pakaianya lalu mencari dompet dan ponselnya yang entah berada dimana karena kegaduhan semalam membuat semua barangnya berpindah. Kay menemukan ponselnya terjatuh diatas meja dan dompetnya di sekitar patung yang mengenakan gaun bermasalah itu. Setelah semuanya beres, Ia kembali mendekati Ivea dan membangunkanya dengan lembut. Tidak begitu sulit karena meskipun Ivea pastinya sedang dalam keadaan yang sangat mengantuk, gadis itu tetap membuka mata.

“Kau sudah bangun?” Tanyanya. Kay mengangguk diiringi senyum. “Ayo kita kerumah

sakit.” “Sekarang?” “Tentu saja, Sebelum karyawan yang lain datang dan

berfikir yang tidak-tidak, ayo kita pergi!”

“Aku masih sangat mengantuk!” “Nanti kita lanjutkan saja dirumahmu, atau dimana

saja. Yang jelas jangan disini. Bagaimana kalau nanti pacarmu datang dan salah sangka!” Sebenarnya Kay merasa sangat berat mengatakan hal itu. Memangnya kenapa kalau Nathan datang dan salah sangka? Seharusnya itu memang terjadi agar Kay tidak perlu menyaksikan Ivea dan Nathan bersama-sama lagi. Kay memukul kepalanya keras-keras, apa yang sedang di fikirkanya?

***

Tara Soedarnadi baru saja tiba ke galeri saat sebuah

pesan singkat masuk ke inbox ponselnya. Pesan dari Kay yang mengatakan bahwa dia pergi pagi-pagi sekali karena harus mengerjakan sesuatu yang penting. Kay meninggalkan Kuncinya tergantung pada banner galeri di pinggir jalan. Dengan langkah agak terburu-buru Tara kembali ke pinggir jalan dan mengamati banner yang lampunya masih menyala, Ternyata Kay menyembunyikan kunci itu di tempat yang tidak begitu tersembunyi dan bisa di lihat dengan jelas. Perbuatan nekat Kay yang seperti ini baru pertama kali dilakukanya karena selama ini Kay selalu membawa kunci Galeri kemana-mana dan bila Tara butuh, Tara akan menjemputnya ketempat yang di beritahu Kay. Urusan Kay hari ini kelihatanya bukan urusan yang Kay ingin Tara ketahui.

“Mbak…cepetan buka ni!” Nathan berteriak dari pintu galeri sambil menggendong kiriman untuk Kay yang pagi-pagi sekali sudah sampai di rumahnya.

Tara kemudian mendekat dan membuka pintu dengan terburu-buru dan membiarkan Natahan masuk terlebih dahulu dan meletakkan kotak seukuran televisi 24 inch itu di depan pintu ruang kerja yang dikunci. Kiriman dari Jalan Jalak di daerah luar kota sana. Dari alamatnya, Tara sudah tau bahwa kotak itu berisi woll yang dipesan Kay untuk kebutuhan desainya yang baru. Kay memang meminjam alamat Nathan untuk pengiriman barang dari luar kota.

“Apa perlu di antar kekamar?” Tanya Nathan. Nafasnya terengah-engah.

“Nanti biar aku yang bawa. Kau ini kenapa? Kelihatanya capek sekali, karena bawa kotak woll itu?”

“Bukan, aku kesini naik bis dicampur jalan kaki karena motorku masuk bengkel! Tapi banyakan jalan kakinya.” Jawab Nathan. Ia kemudian duduk selonjoran dilantai marmer dan berusaha menenangkan dirinya. “Bos kita kemana? Sudah berangkat ke kampus?”

Tara angkat bahu. Dengan cueknya ia mengambil kotak kiriman yang diletakkan Nathan begitu saja dan membawanya kelantai atas. Kay pernah berpesan bila Woll pesananya datang, Nathan harus segera meletakkan kiriman itu dikamarnya, Tapi melihat keadaan Nathan yang sangat kelelahan itu, Tara menjadi tidak tega. Lagi pula Kunci kamar Kay hanya Tara yang memiliki

duplikatnya dan hanya Tara yang bisa masuk kesana kapan saja dia butuh. Tara meletakkan kotak kiriman di lantai sebelum ia membuka pintu lebar-lebar. Kamar Kay kali ini lebih berantakan daripada yang biasanya, seperti sudah terjadi kegaduhan besar disini. Ia berjalan masuk dan meletakkan kotak tersebut disisi tempat tidur lalu kembali memandangi kamar yang berantakan. Tanpa sengaja matanya tertuju kepada selimut yang berhiaskan noda darah diatas tempat tidur, Tara mendekat.

Ini darah siapa?. Fikirnya. Apa yang terjadi semalam? Apakah Kay terluka lalu diculik? Tara mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk melenyapkan fikiran paniknya. Mana mungkin Kay di culik kalau dia masih bisa mengirim pesan kepada Tara dengan bahasa khasnya yang tidak bisa ditiru orang lain. Tara merasa ini bukan waktunya untuk ambil pusing, Tapi begitu melihat pakaian perempuan diatas sofa Ia hanya bisa terkesiap. Pakaian yang sangat dikenalinya, milik Ivea.

“Eve ada disini semalam? Mereka melakukan apa? Kenapa bisa ada noda darah diatas tempat tidur? Kenapa Pakaian Eve bisa berserakan dilantai? Aku seharusnya mencurigai mereka sejak awal” Tara menggerutu. Tanganya dengan cepat mengambil ponsel yang akan digunakanya untuk menelpon Kay dan bertanya mengenai kecurigaanya. Tapi Tara segera mengurungkan niatnya, Bahkan Kay sampai menggantungkan kunci Galerinya di banner, ini kejadian yang Kay tidak ingin siapapun tau, kejadian yang seharusnya sebagai teman, ia juga

membantu untuk menyembunyikanya. Tara menggigit bibirnya, untung saja yang naik kesini adalah dirinya bukan Nathan. Sekarang yang harus dilakukanya hanya diam dan pura-pura tidak tau.

***

“Aku di rampok. Sejak kemarin aku berada di kantor

polisi dan ponselku di tahan sebagai barang bukti. Aku baru saja keluar dan sangat ingin mandi!” Bian menggerutu di ponsel. Dia menjelaskan penyebab ponselnya tidak bisa dihubungi.

Di paris mungkin sedang gelap. Kay tau Bian pasti sangat lelah meskipun wanita itu bercerita dengan semangat menggebu-gebu. Kay sendiri masih harus menguap beberapa kali karena menunggu Ivea yang sedang berada di ruang dokter. “Sekarang harusnya kau beristirahat.”

“Tentu saja aku akan begitu kalau tidak melihat panggilan darimu dan beberapa pesan dari Eve. Pagi-pagi sekali aku menghubungi Eve tapi ponselnya tidak aktif. Jadi aku menghubungimu!”

Kay menggeliat. Mungkin ponsel Ivea sudah kehabisan batrei karena semalaman Ivea bersamanya dan sibuk dengan masalah-masalah tadi malam. Kay memandangi pintu ruang dokter dan berharap Ivea segera keluar, ia sudah bosan menunggu. “Jadi Pasword rumahmu apa?”

“Kenapa aku harus memberitahumu? Aku mau bicara dengan Eve. Di pesanya dia mengatakan kalau dia bersamamu tadi malam!”

“Kenapa aku tidak boleh tau?” Kay bertanya dengan agak berang. “Kau menggantinya karena aku?”

“Tentu saja! Karena aku punya privasi dan aku tidak ingin lelaki manapun tau. Kau laki-laki kan?”

Pertanyaan bodoh yang selalu membuat Kay tertawa. Tentu saja dia laki-laki, Jika tidak Kay tidak akan merasakan perasaan apa-apa tadi malam. Tidak akan gugup dan melakukan hal konyol yang jadi penyebab Ivea berada diruang dokter sekarang. “Kau perlu bukti yang seperti apa?”

“Tidak, tentu saja aku percaya kalau kau laki-laki, karena itu aku mengganti paswornya dan tidak menginginkan kau masuk kerumahku lagi sembarangan seperti dulu. Sekarang ada Eve dirumahku. Aku tidak mau kejadian yang seperti dulu terulang lagi.”

Kay menelan ludahnya. Kejadian dulu itu adalah kejadian yang hampir saja Kay lupakan jika Bian tidak mengingatkanya. Kay tentu saja tidak akan melakukan apa-apa kepada Bian, tapi saat itu Kay melakukan sesuatu kepada Mia sepupu bian sebelum wanita itu akhirnya kembali ke Paris. “Kenapa kau mengungkitnya?”

“Karena aku tidak mau melihatmu meniduri Eve seperti yang kau lakukan pada sepupuku! Kalau itu terjadi pada Eve persahabatan kita bisa putus!”

“Kau mengubah password karena takut aku tidur seranjang dengan Eve? Karena dia melupakan Paswordmu, Kami semalaman sudah tidur diranjang yang sama!” Kay berkata dengan nada geram, ia tau kalau Bian akan sangat terganggu dengan hal ini. Di ujung sana Bian mencaci makinya dalam bahasa Prancis yang sangat Kay rindukan.

“…Kau akan mati setelah aku pulang!” Teriak Bian keras.

“Kau fikir kami melakukan apa? Kami tidak melakukan hal yang aneh selain tidur karena semalaman dia membantuku memasang payet gaunku.” Kay menguap lebar. “See? Kalau aku bisa aku sudah melakukanya semalam! Tapi semalaman tidak terjadi apa-apa!”

“What?” “Sekarang berikan Paswordnya!” “Mom menelpon? Boleh aku bicara?” Suara Eve

membuat Kay terkejut. Ia mengelus dadanya dan menggelengkan kepalanya.

Kay harap jantungnya yang shock segera kembali normal. Telpon genggam berwarna hitam itu disodorkanya kepada Ivea dan gadis itu mengambilnya. Ivea membawa ponsel Kay menjauh seolah-olah pembicaraannya dan Bian tidak boleh didengar siapa-siapa.

Kay menguap sekali lagi dan memegangi kepalanya yang mulai pusing. Senyumnya tiba-tiba saja mengembang mengingat pembicaraanya dan Bian tadi. Kekhawatiran Bian membuatnya terdengar seperti seorang ibu dan Kay baru mengingat kembali kalau selama ini Bian

memperlakukan Ivea seperti anaknya sendiri. Bukankah Ivea memanggil Bian dengan sebutan Mom? Pengalaman buruk Bian dengan Kay membuatnya sangat berhati-hati menjaga Ivea. Tentu saja Kay bisa paham, tapi ia merasa kalau Bian sedikit keterlaluan. Apa yang bisa dilakukanya pada Ivea? Kalau dia bisa dia sudah melakukanya. Walau bagaimanapun Kay adalah laki-laki normal yang pasti sangat menginginkan hal seperti itu dalam keadaan romantis seperti tadi malam. Kay punya banyak kesempatan, tapi berdekatan dengan Ivea hanya bisa membuatnya gugup dan membeku.

“Ayo pulang!” Ivea mengembalikan ponsel milik Kay. “Dia sudah memberi tahuku Paswordnya. Kau lelah kan? Nanti beristirahat di rumah saja!”

Kay menggeleng. “Aku akan mengantarmu pulang dan kembali ke Galeri setelah mengerjakan urusan lain. Aku mau istirahat disana saja.”

***

“Bicaranya nanti saja, Aku sangat lelah, semalaman aku

tidak bisa tidur karena mengerjakan sesuatu” Kata-kata Kay begitu dia kembali ke galeri sangat

mengusik Tara. Semalaman Kay tidak tidur karena melakukan sesuatu? Sesuatu yang seperti apa? Tara Melayani pelanggan yang sedang Fitting gaun pengantinya dengan sedikit kehilangan konsentrasi. Benaknya masih

memikirkan segala macam kecurigaan yang menunjuk kepada satu arah.

“Ini sudah pas! Dimana aku harus membayarnya? Kau bisa langsung mengantarkanya kerumahku kan?” Pelanggan wanita itu membangunkan Tara dari lamunanya.

Sebisa mungkin Tara melayani semuanya dengan baik, mengenai pembayaran dan packing gaun sampai memerintahkan Nathan mengantarkan gaun itu kealamat yang diberikan pelanggan mereka dengan mobil miliknya. Lalu Tara kembali termenung sambil bersandar kepatung yang menggunakan kebaya berwarna hijau.

“Mesra sekali!” Kay mengejeknya sambil terus berjalan kedapur.

Tara hanya bisa memandang Kay masih dengan pandangan curiga. Tiba-tiba Ivea masuk, wajahnya yang segar itu tersenyum dan menyapa Tara ramah.

“Kenapa kau datang?” Suara Kay menyambut sapaan Ivea yang ditujukan kepada Tara. ”Seharusnya kau tidur saja!”

“Aku sudah tidur, dan sekarang waktunya aku kerja!” Ivea segera mendekati Kay dan keduanya berjalan beriringan di dapur.

Tara menggigit bibirnya. Mereka berdua sedang membicarakan apa? Mengapa membuat Tara semakin salah paham? Tara mengikuti keduanya ke pantry dan menyaksikan Ivea membuatkan secangkir kopi untuk Kay.

Keduanya kemudian duduk berhadapan dan mengorol dengan suara yang cukup jelas untuk Tara dengar.

“Setelah ini kau harus membereskan kamarku!” Kay berbicara lalu menyeruput kopinya.

“Kenapa aku?” Tanya Ivea. “bukankah ruangan itu memang sudah berantakan?”

“Hei, apa kau tidak lihat kalau semalam semuanya berpindah tempat. Itu karena kau!”

“Kenapa aku lagi? Kau lupa kalau kau sudah membuatku mengeluarkan banyak darah? Aku yang dirugikan!”

“Kalau kau tidak berteriak aku tidak akan sepanik tadi malam! kenapa kau suka sekali membantah? Padahal tadi malam kau terlihat sangat manis!”Kay melengos.

Ivea juga melakukan hal yang sama. Meskipun keduanya sempat diam, tapi itu tidak memakan waktu lama. Ivea dan Kay kembali berbicara seolah-olah mereka tidak pernah berdebat sebelumnya. Masalah perdebatan, bukan hal yang aneh bagi Tara, melainkan mengenai apa yang mereka bicarakan. Tara benar-benar sudah jadi penjahat kali ini, sejak kapan ia jadi suka menguping pembicaraan orang?

“Kau mengatakan semua yang terjadi semalam kepada Bian?” Suara Kay lebih pelan dari sebelumnya. Apakah dia sudah sadar kalau Tara sedang memperhatikan mereka?

“Sedikit, dan harus ku lanjutkan begitu dia pulang!” “Dia bisa membunuhku!” Kay memegangi kepalanya.

“Bagaimana lukanya?”

“Masih sedikit nyeri, apalagi waktu tersiram air. Habis mau bagaimana lagi, aku sangat ingin mandi. Rasanya tubuhku di penuhi bau-bau aneh!”

Luka? Tara ingat kalau ada darah di selimut Kay saat ia memasuki kamar Kay untuk meletakkan barang kiriman. Fikiran Tara semakin tidak menentu, ia menggigit bibirnya lagi dengan bingung. Tara tidak akan membiarkan Kay dan Ivea melakukan ini kepadanya, membuat wanita intelek seperti dirinya menjadi terlihat bodoh. Walau Kay ingin merahasiakanya, Tara tetap harus menanyakanya.

“Kay! Sepertinya aku harus membicarakan sesuatu padamu!” Kata Tara begitu keberanianya terkumpul untuk masuk ke Pantry untuk menghampiri Kay dan Ivea yang terkejut melihatnya.

***

11 “Astaga!” Bian berseru kaget saat melihat luka yang

sudah mengering di punggung Ivea. Tentu saja ini sangat membuat Bian juga merasakan perih yang sama karena Ivea sudah sangat-sangat di sayanginya. Setelah mendengar cerita Ivea, selama di Paris Bian tidak bisa tenang, fikiranya selalu ingin pulang dan melihat sendiri luka yang disebabkan oleh sahabatnya. “Masih sakit?”

Ivea menggeleng. “Ceroboh sekali dia!” “Kay bilang, aku terlalu gemuk. Katanya dia tidak

pernah melakukan kesalahan seumur hidupnya, termasuk salah dengan ukuran pakaian!”

“Apa yang dia katakan, tentu saja kau tidak gemuk! Bahkan kau sudah mengurangi banyak dari bobot tubuhmu yang dulu. Dia itu membuat pakaian dengan ukuran siapa? Ukuran model-modelnya yang berdada rata itu, seenaknya saja dia mengatakan kalau kau gemuk!”

Ivea tersenyum. Senyum yang perlahan menenangkan kekesalanya untuk sementara. Tapi walau Bian sangat tau kalau Kay mengatakan hal-hal seperti itu untuk melindungi diri ia masih merasa kesal, tentu saja ia sangat mengenal orang seperti apa Kay itu. Mereka bersahabat bukan sehari dua hari, Mereka bersahabat hampir sepuluh tahun. Bian tiba-tiba teringat pada kata-kata Kay tempo

hari tentang dia dan Ivea yang sudah menghabiskan malam bersama. Ivea juga telah menceritakan semuanya, dan hal itu membuatnya penasaran.

“Apa benar kalian tidak melakukan apa-apa?” Tanya Bian.

“Tentu saja, Mom!” Bian kembali bernafas lega lalu memeluk Ivea erat-

erat. “Aku bisa tenang!” Katanya pelan. Meskipun begitu ada seberkas perasaan heran terbersit di benaknya. Kay tidak melakukan apa-apa dalam keadaan yang sudah sangat terbuka lebar untuknya melakukan sesuatu? Bian tau kalau Kay bukan orang seperti itu, Kay bahkan bisa melakukan sesuatu disaat suasana dan keadaan sama sekali tidak mendukung. Tapi kepada Ivea dia tidak melakukan apapun, Kay benar-benar melewatkan kesempatanya kali ini.

“Apa Nathan tau?” “Mmm!” Ivea bergumam mengiyakan. “Tapi aku

cuma bilang kalau aku bermalam di galeri dan tidak melakukan apa-apa selain membantu Kay menyelesaikan gaunya. Aku tidak menceritakan semuanya, Dia bisa berfikiran macam-macam tentang kami!”

“Ya, Sebaiknya Nathan tidak usah tau! “ “Mom,” “Ada apa?” “Sebenarnya aku dan Kay ada hubungan apa?” Bian terkejut untuk kesekian kalinya. Mengapa Ivea

bertanya seperti itu? Setahu Bian, perlakuan Kay kepada

Ivea dimasa lalu sama dengan perlakuanya kepada semua orang yang dekat denganya. Kay memang sosok yang bisa dekat dengan siapa saja dan bila ada orang lain yang dekat dengan Kay secara spesial, bisa di bilang Tara Soedarnadi orangnya. Kay selalu membagi apapun yang dia punya dengan Tara, berbagi cerita dan rahasia. Meskipun Bian dan Kay adalah teman dekat, Bian sendiri ragu kalau Kay pernah menceritakan rahasianya secara terbuka kepada Bian jika laki-laki itu tidak sedang dalam keadaan mabuk. “Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Entah kenapa aku meras dekat denganya sejak pertama kali kami bertemu di rumah sakit, tapi saat dia bilang kami pernah bersahabat baik, aku kira aku mengerti kenapa perasaan seperti itu timbul. Tapi terkadang aku selalu ingin marah saat melihatnya. Apa yang harus ku lakukan? Meskipun sudah berusaha menjauh, aku sering sekali mendekatinya tanpa sadar. Mom, aku rasa ada sesuatu yang penting antara aku dan dia yang sudah terlupakan!”

“Kalau begitu kau Tanya saja kepadanya! Tapi yakinkan dulu kalau itu memang penting. Jangan sampai kau membuatnya tertawa!”

***

“Berhentilah bersikap seperti ini. Kenapa kau suka sekali

berfikiran yang tidak-tidak tentang aku dan Ivea? Aku sangat

sulit menerima diriku sendiri bila aku benar-benar terlibat hal-hal seperti yang kau fikirkan itu!”

“Karena kau selalu membuatku curiga. Harusnya aku ingat kalau kau menganggap Ivea seperti adikmu sendiri, iya kan?”

Kay menghela nafas berat. Pertanyaan Tara terus mengelayuti fikiranya. Meskipun saat itu mulutnya mengatakan Ya, Tapi hatinya merasa Tidak. Sikapnya kepada Sachi tidak seperti ini. Pada awalnya memang iya, perdebatanya dengan Ivea selalu mengingatkanya pada perang saudara yang selalu terjadi antara dirinya dan adik perempuan satu-satunya. Karena Ivea dan Sachi sama, sama persis. Tapi Ivea yang sekarang adalah orang yang bisa membuat perasaanya berubah menjadi naif secara tiba-tiba. Menbuat Kay sering kehilangan kendali dan membuatnya melupakan cara untuk menyembunyikan segala macam perasaan dan emosi.

Angin yang berhembus dari jendela yang terbuka membuat rambut pendek Ivea berkibar beberapa saat, Ivea pun kemudian menyeka sejumput rambut yang menempel di wajahnya. Kay hanya bisa memperhatikan Ivea sesekali dan Ivea benar-benar tidak menyadari pandangan Kay kepadanya.

“Miseur ada di dalam gak?” Suara-suara berisik di luar mengganggu Kay.

Pasti anak-anak itu, anak-anak yang tidak bosan-bosanya mengejar-ngejarnya. Kay kali ini benar-benar tidak sedang ingin di ganggu. Dia sedang menikmati sesuatu tentang Ivea dan masih tidak ingin berhenti begitu saja.

Lalu apa yang harus dilakukanya? Mungkin Ivea shock saat Kay menarik tanganya untuk bersembunyi di bawah meja dan menutup mulut gadis itu. Suara-suara di luar membuka pintu dan tidak menemukan apa-apa.

“Lalu Miseur kemana?” Kata suara itu. “Mungkin di ruangan lain” “Tapi bukanya Ivea tadi di panggil oleh Miseur?

Madame Rhea yang memanggilnya tadi kan?” Suara yang berbeda lagi. Berarti yang mencari-cari Kay memang bukan hanya satu atau dua orang.

“Sudah, ke katin sajalah. Sebentar lagi bel berbunyi” Dan pintu ditutup dengan bunyi yang keras. Kay

memandang Ivea beberapa saat, kali ini di sangat grogi, tapi Ivea sama sekali tidak memberikan kesempatan apa-apa kepada Kay, dia kembali duduk di kursi yang di sediakan untuknya dan Kay pun akhirnya melakukan hal yang sama.

Dejavu. Kenangan yang tidak bisa terlupakan di kelas waktu itu terulang kembali dan kali ini Kay yang melakukanya. Tapi melihat reaksi Ivea yang biasa-biasa saja, entah mengapa Kay merasa kecewa. Apa benar Ivea sudah melupakan perasaanya kepada Kay seperti yang pernah di ungkapkannya dengan cara berbeda waktu itu? Diam-diam Kay menyesal pernah meminta Ivea untuk melupakanya.

“Wah, Miseur! Sepertinya kau sudah punya fans setia!” Kata Ivea.

Kay memandang Ivea dan tersenyum pahit. “Ini berkat desain wedding dressmu itu. Juga berkat model dari Bian yang tidak bisa datang karena terjebak macet.”

“Yep, Juga karena penduduk Indonesia yang memenuhi jalan raya waktu itu, berkat ketidak teraturan lalu lintas kota, berkat takdir kita karena tinggal di Negara seperti ini!” Ivea tertawa kecil seolah-olah yang dikatakanya barusan adalah kejadian yang lucu.

Ya, tentu saja, semua berkat takdir, berkat Tuhan. Jika wedding dressmu tidak menang aku tidak akan difoto bersamamu, aku tidak akan di kejar-kejar anak-anak itu sehingga bersembunyi di kelasmu, aku tidak akan melihat wajah kecewamu di bawah meja kelas waktu itu, dan aku tidak akan menciummu. Tapi berkat kesalahanku kau benar-benar terasa jauh meskipun sebnarnya kita sangat dekat.

“Miseur, kau masih menyimpan majalah yang memuat foto kita?” Suara Ivea mengembalikan Kay kedunia nyata. “Aku ingin melihatnya”

“Tentu saja!” Kay berusaha memberi senyum terbaiknya meskipun senyum itu palsu, Ia sebenarnya sedang tidak ingin tersenyum saat ini.

Kay membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan beberapa tumpukan majalah. Ia memperhatikan edisinya satu persatu dan menemukan majalah itu di tumpukan paling bawah. Kay memang tidak pernah menyimpan majalah edisi lawas terkecuali yang satu itu. Ia menyodorkanya kepada Ivea.

Ivea membukanya perlahan halaman demi halaman, sepertinya dia sedang tidak terburu-buru untuk

menemukan halaman spesial itu. Dan Kay menunggu dengan hati berdebar sampai pada akhirnya lembaran itu terbuka juga. Foto dirinya dan Ivea yang difoto seluruh badan dalam posisi berpandangan, dimana tengan kirinya merangkul pinggang Ivea erat-erat seolah-olah Ivea memang hanya miliknya, dan pandangan Ivea itu, benar-benar pandangan penuh cinta sedangkan Kay, dia sangat mengetahui bahwa apapun yang terlihat dalam foto itu hanya sandiwara.

“Gaun ini bagus ya?” Ivea menunjuk ke pinggangnya yang di rangkul Kay

dalam gambar dengan telunjuknya. Dan Kay tiba-tiba menggenggam tanganya erat. genggaman yang menyiratkan ‘jadilah milikku’ itu membuat perhatian Ivea beralih kepada Kay. Kay melakukan itu karena ingin, benar-benar karena kehendak hatinya yang paling dalam, hatinya ingin meneriakkan sesuatu, tapi mengapa sangat sulit untuk di keluarkan?

“Bel sudah berbunyi. Kembalilah kekelas!” katanya sambil tersenyum.

***

Ivea berjalan menapaki lantai koridor selangkah demi

selangkah. Fikiranya masih melayang ke kejadian tadi, dimana Kay menggenggam tanganya erat-erat. Sulit baginya untuk menyembunyikan perasaanya waktu itu, Ivea tidak yakin kalau ia bisa menyembunyikan

kegalauanya seratus persen. Belakangan ini dirinya seringkali berfikir tentang kedekatanya dengan Kay. Mengapa dia cemburu saat melihat Kay bersama Tara di café waktu itu? Ia juga heran dengan hasratnya untuk jadi lebih cantik di depan Kay, selain itu perhatian-perhatian Kay selalu membuat Ivea merasa kalau antara dirinya dan Kay ada sesuatu, Kay menyembunyikan sesuatu. Atau sebenarnya Ivea sendiri yang mulai bimbang?

Tapi dirinya dan Nathan sedang baik-baik saja. Lalu kenapa Ivea bisa memikirkan orang lain? Kadang terlintas di fikiranya kalau Kay hanya bercanda, atau perhatian Kay kepadanya hanya sebatas perhatian antar saudara. Tapi siapapun akan tau kalau perhatian Kay kepadanya sama seperti perhatian yang Nathan berikan. Menghasilkan perasaan yang sama, kebahagiaan yang sama. Tapi saat bersama Kay jiwanya sama sekali tidak tenang, tidak seperti saat dirinya bersama Nathan. Kay membuatnya takut kalau interaksi mereka yang berlebihan di lihat orang sedangkan bersama Nathan Ivea seolah-olah ingin semua orang tau dan mengatakan betapa serasinya mereka.

Ivea menggeleng. Ia hanya milik Nathan dan tidak boleh memikirkan orang lain. Bukankah dia pernah marah besar pada Nathan karena merasa di khianati? Meskipun Ivea tidak mengingat kejadian itu sama sekali tapi ia bisa membayangkan bagaimana kecewanya Nathan padanya saat itu. Dia tidak akan melakukan hal yang sama kepada Nathan. Tidak akan pernah. Ivea mengambil ponsel dari

dalam tasnya dan sibuk menekan beberapa tuts lalu segera berkonsentrasi mendengarkan sesuatu disana.

“Ya, Eve! Sudah pulang kuliah?” Nathan menjawabnya dengan semangat.

“Sudah, Kau ada dimana sekarang?” “Di Lapangan. Aku sedang tidak di galeri sekarang,

jadi tidak bisa menjemputmu!” “Tidak apa-apa. Kita bertemu di galeri saja ya? Ingat

jangan langsung pulang karena aku akan menunggu sampai kau datang!”

“Iya, Baiklah!” “Nat..” Ivea memanggil nama Nathan dengan manja.

“Aku merindukanmu!”

*** “Hari ini di kampus sangat-sangat membosankan. Aku

teringat kau terus setiap jam, setiap menit, setiap detik…” Ivea berbicara dengan nada mesra sambil menopang dagunya dan memandangi Nathan yang sibuk minum air putih. Sepertinya Nathan sangat kehausan karena seharian ini dia sibuk membantu Tara mengantar beberapa Gaun pernikahan.

“Hei. Sejak kapan kau jadi suka merayu sepeti ini?” Tanya Nathan diiringi tawa heranya. Ia kemudian duduk di hadapan Ivea yang masih memandanginya.

Ivea menggeleng, dia sendiri juga tidak tau mengapa tiba-tiba begini. Yang di ketahuinya, Ia sedang mengingat

orang lain dan tidak ingin Nathan tau. Sikap Kay padanya di Kampus belakangan ini semakin membuatnya merasa bimbang. Bagaimana mungkin Kay menunjukkan perhatianya dengan sangat menonjol di depan teman-temanya. Gosip sudah merebak tentang hubungan antara dirinya dan Kay. Tapi Ivea sendiri juga bingung mengapa ia sama sekali tidak mampu menolak ataupun menghindar.

“Kenapa menggeleng? Artinya, aku tidak tau, atau aku tidak sedang merayu?” Nathan melanjutkan perkataanya setelah melihat gelengan ringan dari Ivea.

“Mungkin yang pertama,” “Jadi kau mengakui kalau sedang merayuku?” “Memangnya kenapa? Tidak aneh kan bagi orang

yang sedang pacaran?” Kali ini Nathan kembali tertawa disertai anggukan

mengerti dari kepalanya. Nathan memandang jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 16.45, perutnya sudah berbunyi berkali-kali. “Kau ada pekerjaan? Maksudku. Apa kita bisa pulang dan makan? Aku sangat lapar. Sejak pagi aku sama sekali tidak menyentuh makanan.”

“Kalau begitu begini saja!” Ivea menyodorkan pergelangan tangan bagian dalamnya kepada Nathan. “Drink My blood, please!”

Nathan memandangi Ivea dengan pandangan kaget bercampur heran. Ia pernah melakukan ini, membahas mengenai vampir dan darah. Apa Ivea ingat sesuatu? “Apa kau mengingatnya?”

“Mengingat apa?” “Kita pernah melakukan ini, memang tidak seratus

persen mirip. Tapi ini mengingatkan aku pada kejadian itu.”

“Waktu kau menggigitku dulu? Aku tidak ingat tapi aku pernah mendengarnya dari Mbak Tara dan selama ini aku bertanya-tanya apa sebabnya. Beberapa waktu lalu aku mengunjungi rumahku yang lama untuk mengambil beberapa barang. Dan di antara barang-barangku, aku menemukan Komik Vampire knight dan di sampulnya ada namamu. Waktu kita ke café pada saat pertama kali bertemu, …umm, maksudnya saat pertama kali bertemu setelah aku kehilangan ingatanku, Saat itu kau membawa komik dengan judul yang sama. Jadi aku penasaran dan mencari-cari kelanjutanya di toko buku.”

“Akhirnya kau membacanya juga? Dulu kelihatanya kau tidak tertarik!”

“Benarkah? Mungkin karena yang kau berikan itu Volume pertama. Aku dulu juga tidak terlalu suka membaca buku yang ada gambarnya.” Ivea kemudian tersenyum. “selama membacanya. Aku seringkali bertanya-tanya. Hubungan kita ini seperti apa? Jika aku Yuki kau Zero atau Kaname?”

“Mungkin aku Zero! Aku tidak seperti Kaname Kuran yang memperhatikan Yuki sejak awal karena ternyata Yuki dan Kaname bersaudara. Kau sudah baca?”

Ivea mengangguk. “Aku selalu memperhatikanmu sejak awal, benarkan? Berusaha untuk dekat meskipun kau

selalu bersikap dingin sampai akhirnya entah apa yang membuatmu simpati dan mulai memperhatikanku.”

“Zero memperhatikan Yuki karena gadis itu selalu dalam lindungan Kaname.”

“Tunggu dulu. Kalau aku benar-benar seperti Yuki lalu siapa Kaname Kuran?”

“Kau masih tidak sadar?” Mata Nathan membesar seolah-olah pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang seru. “Kay adalah Kaname Kuran bagimu. Semua orang mengatakan kalau aku tidak perlu khawatir karena dia menganggapmu sebagai saudaranya. Tapi Bukankah Kaname mencintai adiknya sendiri?”

“Astaga, Kata-katamu terkesan kalau kau sedang cemburu! Ini pertama kalinya!” Ivea menyipitkan matanya. “Walau bagaimanapun aku sangat senang mendengar kata-katamu barusan!”

Nathan dan Ivea saling pandang. Ada binar kebahagiaan saat Ivea dan Nathan bersama. Nathan pelan-pelan berubah menjadi orang yang berbeda. Ia bisa merasakan perbedaanya. Saat bersama Ivea Nathan bukanlah dirinya lagi dan tidak begitu mengerti kenapa bisa begitu, Tapi bukankah cinta tidak perlu alasan?

“Baiklah, Aku sudah tidak bisa menahanya lagi!” Ujar Nathan. Tanganya kemudian menarik tangan Ivea yang terkulai di atas meja, tangan yang tadi disodorkan Ivea untuknya. Nathan mendekatkan pergelangan tangan bagian dalam milik Ivea kemulutnya. Gurat-gurat nadi berwarna biru yang tergambar disana benar-benar

membuatnya dahaga. “Nona, Kau yang menawarkan, jadi jangan mengeluh bila ini terasa sakit seperti waktu itu!”

Jantung Ivea memacu lebih cepat. Ini yang dia cari dan inilah yang seharusnya. Perasaan seperti ini seharusnya hanya di rasakanya dengan Nathan. Ivea menggigit bibirnya dan memejamkan matanya sebagai antisipasi dari rasa sakit yang akan di terimanya.

***

Sial, bernafaslah Kay!, Bisik Kay pada dirinya sendiri.

Entah sudah berapa lama ia termangu memandangi Ivea dan Nathan di dalam sana. cuma tangan kan? Cuma tangan Ivea yang di sentuh tapi itu sudah cukup berhasil membuat Kay merasakan perih di hatinya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam seolah-olah Kay memang harus memaksakan udara untuk masuk kejantungnya karena hanya dengan cara itulah oksigen dapat memenuhi rongga paru-parunya. Seumur hidupnya ini adalah pertama kali dirinya merasa sesakit ini, sangat pedih. Apa yang harus di lakukanya? Apa dia akan terus membiarkan kejadian-kejadian seperti ini mengganggunya? Dulu dengan tega dia mampu untuk merampas milik orang lain. Apa sekarang dia harus melakukanya juga?

***

Ivea dan Nathan berjalan bergandengan keluar dari Pantry. Kay berusaha melemahkan tubuhnya yang kaku. Emosi sudah berhasil memenuhi kepalanya. Mengapa mereka bisa punya cerita semanis itu? Mengapa Ivea selalu membiarkan dirinya di lukai oleh Nathan karena cerita Vampir. Kisah yang bodoh dan aneh!. Kay tertawa menyembunyikan kesedihanya. Tentu saja, karena Nathan dan Ivea punya lebih banyak waktu bersama. Fikir Kay. Dan selanjutnya mereka tidak akan punya kisah apa-apa lagi.

Kay mendekati keduanya dan merampas tangan Ivea dari genggaman Nathan, Bukan hal yang di sukai untuk di lakukan. Tapi harus karena Kay tidak ingin membagi Ivea dengan Nathan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Kay bisa merasakan ada Atmosfir aneh menyelisip. Pandangan mata Ivea dan Nathan yang sama heranya tertuju pada Kay seorang. Bahkan mereka bisa memiliki kesamaan seperti itu dalam waktu yang seperti ini.

“Kay? Ada apa?” Desis Nathan. Kay memandang Ivea sejenak lalu kembali menatap

mata Nathan dengan tegas. “Aku perlu mengakui sesuatu. Nat, bukan cuma kau yang memiliki hati Eve. Aku juga! Dan perlu kau tau saat Eve menangis keluar dari ruanganku dulu, Ivea menangis bukan karena kau, tapi karena kami bertengkar.” Kay agak berbohong. “Eve, pernah mengkhianatimu denganku pada saat itu. Dan kami sudah pernah berciuman.”

Kay tau, Nathan cukup bijak sana untuk tidak melayangkan pukulan apapun kewajahnya. Yang

dilakukan Nathan hanya memandangi Kay dan Ivea secara bergantian dan penuh kekecewaan. Ia tidak percaya, tentu saja. Bahasa tubuhnya mengatakan seperti itu. Perlahan-lahan ia mundur dan akhirnya berjalan pergi dengan langkah yang sangat cepat.

Tapi semuanya belum berakhir. Ivea berontak. Ia menjerit histeris dan memanggil-manggil nama Nathan. Air mata itu keluar lagi, Ivea menangis lagi. Gadis itu berusaha melepaskan tanganya dari genggaman Kay.

“Lepaskan aku…Nathan tunggu!...” Ivea mengemis belas kasihan Kay. Dan Kay tidak bisa menolak lagi.

Dengan berat hati ia melepaskan genggaman tanganya dan membiarkan Ivea pergi mengejar Nathan. Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh di luar, keduanya bertengkar hebat. Tidak, lebih tepatnya Nathan mencaci maki Ivea dan gadis itu terus mengiba dan meminta maaf. Tapi Nathan kelihatanya tidak semudah itu untuk memaafkan.

:Kau ini kenapa? Mengapa harus bertindak seperti itu?” Tara tiba-tiba saja bersuara.

Kay sendiri hanya bisa terdiam membisu ia duduk begitu saja dilantai sambil memegangi kepalanya. Kata-kata Tara barusan terdengar seperti menghakiminya dengan sangat sinis. Tiba-tiba saja Kay merasa tersingkir. Ia merasakan sentuhan lembut Tara di kepalanya. Gadis itu sekarang duduk di hadapanya dengan pandangan bijaksananya.

“Kau sudah benar-benar berhasil melukai banyak orang dalam satu waktu!” Suara Tara terdengar lebih lemah meskipun ucapanya masih sinis seperti sebelumnya. “Semuanya sedang sakit sekarang.”

“Aku hanya ingin Eve menjadi milikku saja!” “Ya, tapi kau malah membuat dia semakin menjauh.

Kay sejak kapan Kau merasakan perasaan seperti ini? Mengapa untuk yang satu ini tidak kau ceritakan padaku? Kau tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku kan?”

Tubuh Kay bergetar. Suaranya juga begitu. “Aku tidak yakin untuk bercerita padamu!”

“Sejak kapan kau butuh keyakinan untuk bercerita kepadaku? Selama ini kau selalu datang kepadaku dalam keadaan tidak yakin. Kau tidak sedang merampas permen dari tangan anak kecil kan? Kau suka tapi tidak terlalu butuh, sedangkan Nathan, dia suka dan sangat butuh. Sekarang kau sudah menghancurkan semuanya!”

“Kenapa kau malah memojokkanku!” Suara Kay berubah menjadi lebih Intens.

Tara terkejut. Tapi kemudian Ia merangkul sahabatnya itu erat-erat. “Apa harus aku membelamu dan menyalahkan Nathan? Kita bukan anak kecil lagi. Sudah lah. Mudah-mudahan ini akan jadi yang terbaik untuk semuanya.”

***

12 Ivea hari ini tidak ingin datang ke galeri. Ia tidak ingin

bertemu Kay dan siapapun. Hari ini adalah hari pertama dirinya tidak melihat air mata lagi di wajahnya. Benarkah bahwa Ivea sudah mengkhianati Nathan dengan Kay? Ivea mengerti mengapa selama ini dia bisa berebar saat berada dekat dengan Kay. Mengapa Kay sangat memperhatikanya. Bahkan ia dan Kay pernah berciuman? Nathan bahkan mengaku tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Mungkinkah selama ini cinta Ivea kepada Kay lebih besar dibandingkan dengan perasaanya kepada Nathan? Ivea bimbang.

Ranjang yang sangat kusut itu sudah menjadi pelarian Ivea selama berjam-jam. Sejak pagi dia ada dirumah, Bian juga begitu. Hari ini hari libur yang paling membosankan dalam hidup Ivea selama ini. Dia tidak ingin melakukan apa-apa, tidak bersemangat untuk melakukan sesuatu. Yang Ivea lakukan hanya memejamkan mata berharap rasa kantuk menyerang dan dirinya segera melewati hari ini karena tertidur sampai besok. Tapi apapun yang dilakukanya untuk itu, sudah sangat sia-sia. Bahkan obat tidur yang sudah di telanya sepertinya tidak memberikan reaksi apa-apa. Ponsel Ivea berdering keras, sebuah pesan masuk dari Kay.

Sore ini aku berangkat Ke Tokyo. Mungkin akan Lebih lama dari sebelumnya c.u! (Sender: Kay 08984455xxx) Ivea mendesah, sudah lebih dari seminggu ia

melarikan diri dan ia juga sudah melewatkan banyak hari dari cerita-cerita apapun di luar sana. Hari ini keberangkatan Kay ke Tokyo dalam rangka fashion shownya. Tapi kenapa Ivea merasa seperti akan kehilangan Kay selama-lamanya? Kenapa ia merasa Kay seperti akan meninggalkanya?

“Dear, Kau kenapa? Sakit? Apa perlu ku bawakan obat?” Suara Bian terdengar di depan pintu.

“Tidak, aku baik-baik saja!” “Kalau begitu kau bisa keluar sebentar? Nathan

menunggumu di bawah. Dengan langkah lemah Ivea melangkah dan membuka

pintu. “Mom, bisakah kau mengatakan padanya untuk menunda pertemuan ini? Aku akan bertemu denganya nanti malam, sekarang aku benar-benar sedang tidak bersemangat!”

***

“Jaga galeri selama aku pergi. Suatu saat nanti aku

pasti kembali.” Kay berkata sambil menepuk bahu Tara.

Cuma Tara yang bisa di andalkan saat ini. Cuma Tara orang yang paling Kay percaya.

Lonceng yang berada di pintu kaca galeri berbunyi karena daun pintu bergeser dari tempatnya. Ivea masuk dan memandangi Kay dengan tatapan yang tidak bisa di mengerti. Ini pertama kalinya Kay melihat Ivea lagi setelah kajadian waktu itu. Wajahnya kelihatan sembab dan matanya bengkak.

“Bisa kita bicara?” Kata Ivea dengan suara parau. Kay mengangguk dan berjalan menuju kamarnya di

lantai dua. Ivea mengikutinya dengan patuh. Gadis ini pasti tidak berhenti mengeluarkan air mata selama seminggu ini, matanya merah menandakan kalau kejadian ini sudah menjadi pukulan yang berat baginya. Kay kembali mengemasi barang-barangnya. Terlalu banyak untuk sekedar menghadiri fashion Show ke Tokyo. Dia membawa dua buah koper besar hanya untuk tinggal disana selama seminggu? Ivea merasa kalau Kay benar-benar akan pergi jauh.

“Kau mau pindah? Kenapa membawa barang sebanyak ini?” Tanya Ivea.

“Aku mau istirahat, liburan.” Jawab Kay sambil tersenyum.

“Kau ingin melarikan diri? Apa karena kau sudah mengakui sesuatu waktu itu?”

Gerakan Kay tiba-tiba terhenti. Wajah Ivea yang kecewa terlihat lagi. Mengakui apa? Nyaris lima puluh persen dari pengakuan Kay waktu itu berisi kebohongan,

Ivea dan dia tidak mengkhianati Nathan, mereka bahkan tidak memiliki hubungan spesial apa-apa pada waktu kejadian itu. Kay mengerti, cepat atau lambat seharusnya dia bersikap jujur. Tapi bukankah lebih baik Ivea mengingatnya dengan sendirinya?

“Bisakah Kau menceritakan seperti apa hubungan kita dulu?”

“Aku takut menceritakanya dengan membohongi perasaanmu. Aku bisa saja menceritakan kejadian itu dari sudut pandangku, lalu aku jadi benar dan kau bersalah.”

“Apanya yang benar dan salah?” Kay menyelesaikan Packingnya dan memutar

tubuhnya menghadapi Ivea dengan serius. Masih terkenang di benaknya saat dia lepas kendali dan merampas tangan Ivea dari genggaman Nathan dan mengeluarkan kata-kata bodoh itu, saat itu Ivea menangis dan terlihat sangat terluka oleh rasa cemburu laki-laki itu. Kay menyesalinya.

“Bagaimana dengan hubunganmu dan Nathan?” Ivea menggeleng tak yakin. “Kurasa sudah berakhir.” “Kau sangat sedih?” “Kau ingin menghindariku? Kau merasa bersalah

kepada Nathan?” “Eve, Aku selalu menyakiti orang lain bila aku

mengikuti perasaanku. Semua pernah menjadi korbanya, Bian, Nathan, bahkan kau!”

“Seharusnya kau pergi setelah masalahnya beres. Kenapa kau menyakitiku seperti ini!” Ivea menahan air

matanya yang hampir jatuh. Tapi bulir bening itu tidak bisa di tahan lagi, dan tumpah tanpa di inginkan. “Kau ingin aku menyelesaikan masalah seperti ini sendiri? Aku bahkan tidak punya kenangan apa-apa untuk mencari jalan keluarnya, bahkan untuk sekedar membuat alasan!”

Kay memegangi kepalanya. Bagaimana ini? Kenapa ia merasa terdesak? seharusnya masalah itu tidak menjadi kusut seperti sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Walau bagaimanapun, tinggal disisi Ivea baginya sudah menjadi keinginan yang juga berarti Kay mengikuti perasaanya. Kay menyeka air mata Ivea dan membelai wajahnya dengan lembut.

“Aku rasa lebih baik kau mengingat semuanya sendiri. Setelah kau ingat, Kau boleh mendatangiku dan melakukan apa saja! Tapi jangan pernah katakan akan melupakan semuanya. Semula aku merasa lega saat tau kau melupakan masalah itu, Tapi setelah menyadari kalau kau melupakan perasaanmu kepadaku hatiku jadi sakit!”

“Perasaanku yang bagaimana?” Kay menggeleng. “Aku sendiri juga belum tau. Aku

butuh waktu untuk memikirkanya” “lalu kenapa kau berkata seperti itu?” Kay kehabisan kata. Kenapa ia berkata begitu? Kay

dan Ivea memang tidak pernah memiliki hubungan Khusus dimasa lalu. Tapi hubungan seperti itu mendadak ada saat melihat Ivea dirumah sakit. Saat Ivea berubah, saat Ivea menceritakan tentang hubunganya dan Nathan, saat-saat yang belakangan membuatnya sudah kehilangan sesuatu

yang penting. “Eve, aku tidak bisa menjawab apa-apa. Tapi aku harap, ini bisa membantumu mengingat sesuatu.” Dan bibir Kay membelai bibir Ivea lembut sekali lagi. Kay sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya diharapkan oleh dirinya. Ivea mengingat semuanya atau tidak, Ivea yang menjauh atau dia yang pergi. Air mata Ivea jatuh membasahi tangan Kay yang masih menyentuh wajahnya. Kay bisa merasakan isakanya pelan. Dan secara perlahan juga Kay mengakhiri keinginanya yang diharapkanya tidak akan pernah berakhir. Saat-saat seperti ini membuat Kay merasakan kalau perasaan kasihnya sangat nyata, kalau kali ini dia tidak bersalah dan Ivea juga, kalau seharusnya ia merasakan perasaan seperti ini sejak awal. Kay menyeka air mata Ivea.

Ivea menggigit bibirnya sambil memandang Kay heran. “Apa kita sering melakukanya?”

Kay tidak menjawab apa-apa. Ini yang kedua, tapi yang pertama kali di lakukanya dengan penuh cinta.

Ivea semakin membenci dirinya. Sepertinya Ia benar-benar memiliki Affair dengan Kay dan mengkhianati Nathan. Kenapa dia membiarkan bibirnya di sentuh orang lain selain kekasihnya. Nathan bahkan tidak pernah melakukanya. “Aku pergi dulu!” Kata Ivea dan berusaha menjauh secepat mungkin. Kay tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi Ivea hingga bayanganya menghilang.

***

Nathan duduk dengan gelisah di ruang tamu. Jam didinding menunjukkan pukul 22. 15 Malam. Ivea belum datang juga padahal dia menjanjikan akan menemui Nathan mala mini. BIan juga sangat gelisah dan berulang kali menghubungi Ponsel Ivea tapi tidak tersambung juga. Dia juga berkali-kali menghubungi ponsel Kay dan sama. Nathan memejamkan matanya berharap di beri ketenangan untuk menghadapi semua ini. Ivea dan Kay, mereka berdua sedang apa? Bian bilang kalau Ivea tadi sore minta izin untuk pergi menemui Kay yang akan berangkat ke Jepang. Ada sejumput kecemburuan di sudut hati Nathan mendengarnya, tapi dia tidak bisa marah kepada Ivea. Bukan salah Ivea sendiri.

“Baiklah kalau kau berfikir begitu Aku akan mengabulkan permintaanmu. Aku menyukai Kay! dan kau, jangan pernah lagi mendekatiku selamanya.”

Kata-kata Ivea waktu itu terus berputar berulang kali di dalam kepalanya. Karena itukan Ivea pergi kepada Kay? Mereka berciuman setelah pertengkaran itu kan? Sewaktu mendengar cerita dari Tara hatinya merasa sakit yang lebih daripada sekedar merasa di khianati. Ivea, wanita yang dicintainya dengan sepenuh hati pergi meninggalkan Nathan karena kesalahanya. Ivea mengkhianati nya karena Nathan sudah terlalu sering membuatnya merasa bimbang.

“Eve! Kenapa kau baru pulang?” Bian berteriak melampiaskan kekhawatiranya. “Kau tidak apa-apa Kan? Kay tidak melakukan apa-apa terhadapmu kan?”

Nathan menoleh kearah pintu dimana Bian menyambut Ivea dengan penuh kecemasan. Ivea menggeleng singkat.

“lalu kenapa kau pulang semalam ini?” “Aku pergi nonton, Mom. Kebioskop!” “Sayang!” Bian memeluknya erat-erat. “Kau pasti

menangis di dalam bioskop! Lihat matamu bengkak seperti ini! Kau mau istirahat? Pasti sangat lelah! Nathan dari tadi menunggumu. Tapi kalau kau tidak mau bicara biar dia pulang dulu saja dan bertemu besok pagi! Tidak apa-apa kan Nat?”

Bian memandang Nathan dengan mata yanag agak memohon. Berat memang bagi Nathan untuk menerima permintaan Bian, tapi dirinya tidak akan memaksakan kehendaknya. Nathan berusaha untuk tersenyum. “Ya, tidak masalah!”

Ivea memandangnya. Matanya merah seperti orang yang kurang tidur. Wajahnya yang sembab membuat Nathan merasa kasihan. Pasti Ivea sangat ingin berbaring dan tidur. Atau sekedar mengurung diri dikamar untuk melanjutkan lagi tangisanya. Tapi Ivea menolak, ia melepaskan diri dari rangkulan Bian dan duduk di sofa yang sama dengan Nathan.

“Mom, bisa kami bicara berdua saja?” Pintanya dengan suara parau.

Bian tidak langsung meng-iya kan. Dia gelisah apakah menolak permintaan Ivea dan tetap tinggal atau pergi. Tapi akhirnya dia memilih opsi kedua dan pergi ke kamarnya.

“Nat, Aku mohon maaf!” Ivea memulai. Nathan tersenyum kecut. “Akhirnya aku mengerti apa

makna kata maafmu saat kau keluar dari ruang kerja Kay waktu itu.”

Ivea tidak menjawab ataupun membalas, dia hanya diam saja seolah-olah siap untuk mendengarkan cacian dari Nathan sekali lagi.

“Kau tidak bersalah, Semua yang terjadi juga disebabkan olehku sendiri. Kau mungkin tidak ingat, Tapi kurasa perasaanmu sekarang sama dengan perasaanku saat kita bertengkar karena Aliya waktu itu. Rasa kecewa karena orang yang kita sayangi tidak percaya pada kita. Aku bahkan tidak yakin kalau aku masih orang yang kau sayangi.”

“Nat!” Ivea memandangnya. “Aku sedang bingung sekarang. Aku tidak ingat apa-apa. Tapi harus mengalami kejadian seperti ini dimana aku sama sekali tidak punya kenangan untuk membela diri. Sekarang aku mengerti mengapa aku selalu merasa tidak tenang saat bersama Kay. Karena Aku sudah melakukan hal buruk kepadamu dan aku takut kau mengetahuinya.”

Jari-jari Nathan spontan membelai kepala Ivea. “Sekarang siapa pilihanmu?”

Ivea menggeleng. Dia tidak tau. Dia pasti sangat bingung.

“Siapapun pilihanmu, aku akan selalu ada disisimu. Setidaknya sampai perasaanku kepadamu benar-benar hilang dan kita bisa berteman baik!”

***

Mengapa sampai sekarang aku masih tidak bisa

mengingatnya? Kapan ingatanku akan kembali? Sebenarnya aku dan Kay ada masalah apa?

Ivea memandangi cermin di kamarnya. Kay sudah pergi ke Tokyo hampir setahun dan beberapa bulan belakangan tidak memberikan kabar sama sekali. Tidak ada satu orangpun yang membicarakanya. Begitu juga dengan Tara. Meskipun Ivea sudah tau banyak tentang dirinya dan Kay dari Tara, Ivea masih bingung dengan semua jalan cerita yang ada. Dia dan Nathan sangat intim, seolah-olah mereka berdua adalah pasangan paling bahagia di dunia, hingga tiba-tiba Aliya datang dan hubungan mereka hancur pada hari itu juga. Lalu Ivea dan Kay berciuman di kelas, karena apa? Saat itu perasaanya pada Kay bagaimana? Apakah dia mencintai Kay?

“Eve! Nathan mencarimu!” Bian berteriak dari luar pintu kamarnya.

Ivea memejamkan matanya. Nathan sudah datang kembali dan menunggu keputusanya dengan setia. Aku menunggu sampai kau benar-benar bersama Kay dan meninggalkanku. Jika bukan Kay, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kata-kata Nathan yang masih terus membayangi Ivea hingga sekarang. Ivea masuk ke kamar mandi dan membasuh mukanya. Setelah membubuhkan bedak tipis di wajahnya, ia segera turun menemui Nathan yang menyambutnya dengan pandangan khawatir.

“Kemana senyumanmu yang biasa?” Tanya Ivea. Ia selalu berusaha bersikap senatural mungkin pada Nathan. Setidaknya, Tanpa Kay, selama setahun ini dirinya dan Nathan bisa tertawa bersama lagi.

“Aku dapat berita buruk untukmu!” “Berita buruk apa?” “Kay akan menikah di Tokyo akhir minggu ini. Aku

tidak akan mendapatkanya jika saja Mbak Tara tidak keceplosan bicara. Sepertinya hal ini memang di rahasiakan rapat-rapat dari siapapun.”

“Menikah?” Otak Ivea tiba-tiba terasa kosong. Menikah? Ia bahkan perlu waktu yang lama untuk mencerna kata-kata itu. Kay akan menikah dengan orang lain di Tokyo, berarti Kay akan meninggalkanya untuk selama-lamanya.

***

Ivea dan Kay duduk berhadapan di restoran tiga lantai

itu. Tokyo sedang musim dingin, tapi dada Ivea terasa begitu sesak dan panas . bagaimana dia harus bersikap? Apakah dia harus marah-marah?

“Maaf karena tidak memberi tahu sebelumnya!” Kata Kay dengan suara parau. Sejurus kemudian ia berdehem kecil berusaha menormalkan suaranya.

“Seharusnya aku yang bilang begitu. Aku benar-benar payah, mengejarmu ke Tokyo berharap kau membatalkan pernikahanmu dan kembali ke Indonesia bersamaku!”

“Aku sangat menyayangimu Eve. Rasa sayang yang tidak pernah ku rasakan kepada orang lain sebelumnya. Semula aku ragu karena ku fikir perasaan kali ini ada karena kau sudah menyerupai perempuan yang pernah aku cintai. Tapi ternyata perasaan seperti ini pada akhirnya hanya kepadamu saja. Tapi rasa sayangku sendiri tidak cukup!”

Ivea memandang Kay shock. Apakah Kay sedang mengatakan bahwa dia mencintai Ivea? Lalu mengapa dia masih memilih untuk menikah dengan orang lain?Bukankah Ivea pernah meminta Kay untuk tinggal dulu? Itu artinya Ivea juga ingin bersama Kay kan? “apa alasanmu mengatakan itu? Apa kau mengerti perasaanku bagaimana?”

“Perasaan yang bagaimana?” “Meskipun aku tidak ingat apa-apa, Aku sudah

mendengar ceritanya dari Mbak Tara! Cukup banyak untuk tahu orang seperti apa aku ini sebenarnya.”

Kay diam sejenak lalu berbicara lagi. “Semula aku mengira juga begitu. Kita berciuman, itu awal dari semuanya. Kau pergi lalu meninggalkanku dalam rasa bersalah yang tak berujung. Kemudian kita dipertemukan lagi dalam keadaan berbeda. Kau menepati janjimu untuk melupakan semuanya dan aku tertekan karena kau juga melupakan perasaanmu kepadaku. Semua yang terjadi antara kita sangat membuatku stress. Aku kira aku bisa merampasmu dari Nathan. Tapi melihatkau menangis

histeris saat Nathan meninggalkanmu membuat aku sadar kalau aku cuma merasakan cinta ini sendiri”

Ivea memijat kepalanya yang terasa sakit sebulir air mata mengalir dipipinya dengan anggun. Ivea yang sama persis dengan Bianca Karta. Menjadi putri Bian membuat Ivea benar-benar meniru segala tindak tanduknya. Tapi Kay meyakini perasaanya kepada Ivea dan perasaanya kepada Bian adalah perasaan yang sama. Ia mungkin mencintai Ivea karena Bian, tapi dia tidak pernah berfikir menjadikan Ivea sebagai pengganti Bian karena perasaanya kepada Bian sendiri juga sudah sangat lama lenyap dan menghilang. Kay tersenyum getir untuk dirinya sendiri, tapi Ia berusaha setegar mungkin untuk menghadapinya.

“Apa kau baik-baik saja?” Kay bersuara lagi. Tapi kali ini Ivea tidak menjawab. Tubuhnya kaku dan terjatuh ke lantai begitu saja.

Epilog Gaun merah darah yang Ivea kenakan tersembunyi

dalam mantel bulu yang dihadiahkan Bian untuknya sehari sebelum Ivea memutuskan untuk berangkat ke Tokyo bersama Nathan. Laki-laki itu berjalan bersamanya dalam dandanan prima tuxedo hitam yang membuat Nathan benar-benar tampak maskulin. Keduanya memasuki toko bunga yang baru saja buka di pusat kota Tokyo.

“ohai-o gozaimasu!” Nathan menyapa pemilik toko dengan aksen bahasa Jepang yang sangat mahir. Beberapa detik kemudian ia dan pemilik toko berbincang-bincang dan membiarkan Ivea berjalan mengelilingi toko bunga dan melihat-lihat.

Serumpun lilac berwarna putih bersih menarik pehatianya. Ivea menyentuh kalung berbandul salju yang di kenakanya. Fikiranya mengawang, kembali mengingat Kay, kembali mengingat masa lalu satu persatu dan semuanya tersusun rapi sejak awal. Sejak hari dimana hujan turun lebat dan Kay memintanya memanggil Nathan, saat dimana Kay menepis tangan Nathan waktu ia terjatuh dan mendapatkan sebuah luka memar di keningnya. Saat pulang dari Karaoke, saat ia dan Kay bercumbu di dalam kelas.

Cepat atau lambat kau akan menyadari kalau perasaanmu padaku hanya pelarian, Eve. Kau menyukaiku saat itu karena Kau terlanjur kecewa pada Nathan yang selalu menyebabkan

kebimbangan dalam hatimu. Semenjak itu kau mencari orang lain yang bisa menggantikan posisi Nathan dan aku adalah orang yang kau pilih. Karena kita selalu bersama dan berinteraksi lebih sering karena aku membalas ciumanmu di kelas waktu itu. Aku juga sudah terlibat rasa yang sama dalam waktu yang cukup lama, berharap kau melihatku. Di satu sisi aku sangat ingin kau kembali ingat semuanya dan mengingat perasaanmu waktu itu. Tapi disisi lain aku takut, bila kau mengingat semuanya kau akan pergi jauh. Aku menunggu sampai hatiku sendiri tidak sanggup menahanya dan aku berfikir untuk merampasmu dari Nathan. Tapi hari itu juga aku sadar kalau aku cuma figuran dalam kisah kalian. Kau memohon Nathan untuk tidak meninggalkanmu, ingat? Kau tidak pernah memohon kepadaku untuk bersamamu saat aku akan berangkat ke Tokyo.Kau juga dengan mudahnya memaafkan Nathan yang saat itu mengatakan kalau dia tidak bisa menyukaimu lebih dari seorang teman, Tapi kau tidak bisa memaafkankuseperti kau menerima semua kekuarangan Nathan dengan baik. Yang ada di hatimu cuma dia, dari awal dan hingga akhirnya. Seandainya aku tidak ada, Aliya tidak ada, kalian mungkin sudah menjadi pasangan termanis di dunia. Aku cemburu. Kau lihat, kau pasti bisa melihat tubuhku sendiri bergetar hebat menahan perasaan ini. Tapi aku harus kuat untuk mengatakan semuanya, agar bukan cuma aku yang sadar. Tapi dirimu juga menyadarinya.

“Eve, kau sudah dapatkan bunga yang cocok?” Suara Nathan mengejutkanya.

Ivea memandang wajah Nathan dan berusaha untuk tersenyum. Bagaimana dengan Buket bunga Lili? Aku ingin

buket besar yang bisa ku berikan kepada mempelai wanitanya secara langsung.”

“Apa tidak apa-apa kita hanya membawa bunga kepernikahan Kay? Kau tidak ingin memberikan hadiah yang lain?”

Ivea merogoh tas tangan miliknya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah muda. Ia kemudian meletakkan kotak itu di atas meja dan melepas kalung yang di pakainya. “Aku harap ini di bungkus di dalam buket bunganya. Ini Kalung pemberian Kay. Dia pernah bilang, Aku harus mengembalikanya setelah aku melihat salju turun di Tokyo!”

Nathan tersenyum. Ia lalu memberikan kotak beludru bersama kalung berbandul Kristal salju itu kepada pemilik toko dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jepang. Pemilik toko kemudian memberikan secarik kartu kepada Nathan.

“Tulislah ucapanmu disini selama dia merangkai bunga!” Nathan meletakkan kartu itu di atas meja, kemudian mengeluarkan sebuah bolpoint silver dari balik tuxedonya.

Ivea menuliskan sesuatu setelah berfikir lama, ia harap kata-kata yang di tulisnya bisa menjadi doa yang terkabulkan oleh Tuhan yang menentukan takdir manusia.

For : Kay

Wish You Happiness

From: Ivea

Ivea mengamati kartunya sekali lagi. “Umm, Nat,

boleh aku minta kartu lagi?” “tunggu sebentar!” Nathan kemudian berjalan

mendekati pemilik toko yang sedang serius merangkai bunga. Beberapa saat kemudian Nathan kembali dengan membawa kartu yang sama persis dengan yang pertama ia dapat. Ia kemudian memberikan kartu itu kepada Ivea tanpa kata-kata. Ivea menyambutnya dengan senyum. Ia kembali menulis kata-kata baru.

For :Miseur Keith Fujisawa

Wish you Happiness, Sensei! From :Eve & Nat

Ivea memberikan kartu itu kepada Nathan. Dalam

beberapa menit kemudian, buket bunga sudah siap dalam tampilan yang agung dan cantik. Ivea memegangnya dengan sangat manis. Setelah Nathan membayarnya, mereka keluar dari Toko itu sambil bergandengan tangan. Salju turun perlahan menghiasi pagi hari di Tokyo. Pagi ini benar-benar akan jadi permulaan yang baru bagi semuanya.

“Eve, Kita naik taksi saja! Kepalamu bisa putih di penuhi salju!”

“Aku sudah lama sekali ingin melihat salju di Tokyo. Kita jalan kaki saja dulu. Kalau aku lelah, baru kita naik taksi!”

“Setelah dari pesta pernikahan ini, kita mau kemana?” “Terserah” “Bagaimana kalau kita makan malam saja? Kita

tambah sehari lagi ya? Jangan pulang besok!” “Hei, Mom bisa marah padaku! Dia akan datang hari

ini dan kurasa dia tidak akan mengizinkanku untuk menghabiskan waktu di Tokyo bersamamu.”

“Memangnya kenapa? Kau kan di Tokyo bersama calon suamimu!”

Ivea hanya tertawa. Tawa yang kali ini benar-benar menandakan kalau dirinya sudah terlepas dari segala beban yang menggelayutinya selama ini. Dulu, saat ia bertengkar dengan Nathan, dan saat Kay mengatakan kepada Bian kalau dia akan meminta Ivea melupakan kejadian yang terjadi di antara mereka, Ivea benar-benar berharap tuhan mencabut ingatanya. Tapi ternyata melupakan sesuatu bukan jalan keluar terbaik, Saat dirinya sudah melupakan semua, Ivea malah sibuk untuk mengingat kembali apa yang pernah di lupakanya. Karena manusia tidak pernah puas. Sekarang semuanya sudah kembali terkumpul menjadi satu, tidak ada satupun yang ingin Ivea lupakan. Semuanya akan menjadi kisah yang tertanam dalam dasar hatinya dan akan di bukanya sewaktu-waktu untuk sekedar di kenang.