FOKUS NU - ftp.unpad.ac.id filemenarik. Beberapa alat peraga sederhana pun diciptakan dan...

1
E NDI, 12, belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya ke Kota Bekasi, Jawa Barat, apalagi sampai melongok lokasi pembuangan sampah di Bantar Gebang. Namun, bocah itu begitu fasih saat menceritakan kondisi sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. ‘’Sampah menumpuk di Bantar Gebang selama Lebaran. Sampah-sampah itu menguntungkan pemulung, tapi bisa menyebabkan penyakit,’’ tutur siswa kelas IV SD Negeri 20 Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu. Cerita tentang Bantar Gebang diperoleh Endi dari salah satu buku yang disusun di deretan meja di pojok kelas. Meja yang berimpitan itu menjadi semacam perpustakaan mini bagi penghuni kelas. Endi dan seluruh siswa di sekolah tersebut memiliki kebiasaan membaca buku sebelum jam pelajaran dimulai. Mereka menyebut kebiasaan itu dengan istilah membaca senyap, yakni membaca buku dalam hati di keheningan kelas. ‘’Membaca senyap dilakukan 15 menit sebelum bel (tanda masuk) berbunyi,’’ kata Kepala SD Negeri 20 Batang Tarang Teguh Karyadi, beberapa waktu lalu. Membaca senyap merupakan upaya pihak sekolah menanamkan budaya membaca sejak kecil kepada para siswa. Metode PAKEM SD Negeri 20 Batang Tarang termasuk sekolah unggulan di Kabupaten Sanggau. Kendati berada di pelosok, sekolah tersebut memiliki segudang prestasi yang membanggakan. Di antaranya, sebanyak 22 siswa sekolah ini menjadi seminalis olimpiade sains tingkat nasional pada April lalu, menyisihkan ratusan siswa dari sekolah favorit di kota besar di Indonesia. Sekolah ini dulunya sama dengan kebanyakan sekolah di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Prestasi belajar dan kelulusan jeblok, kehadiran siswa rendah, angka putus sekolah tinggi, guru malas mengajar, serta sederet problematika pendidikan lainnya. Kondisi itu mulai berubah sejak mereka menerapkan metode Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Angka kelulusan setiap tahun pun terdongkrak hingga mencapai 100%. Begitu pula aktivitas dan daya kritis peserta didik. Siswa di sekolah ini tidak segan bertanya bahkan berdiskusi dengan tamu atau orang yang baru dikenal sekalipun. Itu semua berkat sebuah metode pembelajaran PAKEM yang dinilai anak- anak sangat menyenangkan. Metode PAKEM memosisikan guru sebagai tutor yang kreatif. Bahan pengajaran harus dikreasikan sedemikian rupa agar menjadi sebuah pengetahuan yang menarik. Beberapa alat peraga sederhana pun diciptakan dan diperkenalkan kepada siswa. Proses belajar-mengajar dibuat menyerupai sebuah permainan. Saat pelajaran matematika, misalnya, siswa diajak bermain kalino. Permainan itu mirip permainan kartu domino atau gaplek. Kartu kalino berisikan bilangan matematika. Setiap siswa harus meletakkan kartu yang telah dibagikan ke deretan kartu lain di atas meja berdasarkan jawaban yang diminta. Pemenangnya adalah pemain yang kartunya paling cepat habis. ‘’Belajar menjadi enak karena lebih seru dan tidak membosankan,’’ ujar Veronica, 12, teman sekelas Endi. Siswa sering pula belajar di luar kelas atau di alam terbuka. Mereka mempelajari beragam potensi sumber daya alam dan ekonomi masyarakat di sekitar WAHANA Visi Indonesia (WVI) memulai program pember- dayaan masyarakat di Kabupa- ten Sanggau, Kalimantan Barat, sejak 1996. Proyek itu kelanjutan dari program pengembangan masyarakat dan program lain yang dilakukan sebelumnya. Pada saat WVI masuk ke Sanggau, sebuah lembaga swa- daya masyarakat yang menjadi mitranya menghadapi sejumlah persoalan sosial kemasyarakat- an yang cukup pelik dan men- desak untuk diselesaikan. Beberapa persoalan itu, antara lain wabah diare, par- tisipasi pendidikan rendah, lapangan kerja terbatas, dan jeratan kemiskinan, menja- di potret warga keseharian. Sebuah suguhan yang sangat kontras di antara melimpahnya potensi kekayaan alam dan ekonomi setempat. Sungai- sungai besar yang mengaliri wilayah Sanggau sejatinya selalu menjadi berkah dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Namun yang ter- jadi, bentang alam itu acap kali mendatangkan penyakit karena pencemaran sehingga airnya tidak layak dikonsumsi. Hamparan hutan karet kian sulit diandalkan sebagai lumbung pendapatan kelu- arga. Produktivitas karet terus menyusut karena digerogoti usia dan minimnya perawatan. ‘’Mereka bertanam karet secara tradisional dan tidak menggunakan bibit unggul,’’ jelas Napis, Koordinator WVI Area Nangamahap. Ketidakberdayaan warga berpangkal pada kualitas hidup dan sumber daya manusia. WVI kemudian memetakan empat bidang garapan utama yang bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki keadaan. Keempat bidang itu yaitu pen- didikan, kesehatan, pengem- bangan ekonomi, dan pengor- ganisasian masyarakat. Mereka melakukan berbagai pendampingan dan pembela- jaran dengan memberdayakan potensi lokal setempat. Tahun ini adalah fase pa- mungkas. Sejak September lalu, WVI resmi mengakhiri pengabdian mereka di Sang- gau. Puluhan fasilitas air bersih serta ratusan sarana sanitasi, kesehatan, dan pendidikan di empat kecamatan pendamping- an dibangun selama 15 tahun. Alhasil, kualitas hidup warga setempat pun mulai terdong- krak. Balita penderita diare yang semula mencapai 41,6% menurun menjadi 34,2%. Ang- ka partisipasi sekolah berhasil dikatrol dari 65,2% menjadi 86,7%, dan pendapatan rata- rata keluarga pun merangkak naik dari Rp1,5 juta menjadi sekitar Rp1,75 juta sebulan. Ikene Sere Edwina dari bagian hubungan media WVI menambahkan, WVI tidak mungkin terus-menerus men- dampingi warga di satu lokasi. Masih banyak tempat lain yang membutuhkan bantuan. Selama pendampingan pun, telah lahir orang-orang sukses yang menjadi agen perubahan. Laurensius Turut, 63, petani asal Kecamatan Nangamahap, berhasil mengembangkan karet unggul. Dari menyadap karet, Rp300 ribu sehari bisa ia bawa pulang untuk kebutuhan kelu- arga. Atau Noraini, 46, dari Desa Batu Pahat, yang mengembang- kan lembaga pendidikan anak usia dini gratis di sana. Cerita kesuk- sesan juga terjadi di Dusun Kela- dang, Desa Sotok, Kecamatan Sekayam. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Boh Odup Mengket berhasil mengembangkan Credit Union Mura Kopa. Koperasi kredit tersebut kini beranggotakan 7.000 orang dengan perputaran modal men- capai Rp40 miliar. (AR/N-3) 22 RABU, 26 OKTOBER 2011 F OKUS NU KALINO: Siswa SD Negeri 20 Batang Tarang bermain kalino saat mengikuti mata pelajaran matematika. Metode PAKEM membuat proses belajar-mengajar terasa menyenangkan. Melahirkan Agen Perubahan Supaya Belajar tidak Membosankan

Transcript of FOKUS NU - ftp.unpad.ac.id filemenarik. Beberapa alat peraga sederhana pun diciptakan dan...

ENDI, 12, belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya

ke Kota Bekasi, Jawa Barat, apalagi sampai melongok lokasi pembuangan sampah di Bantar Gebang. Namun, bocah itu begitu fasih saat menceritakan kondisi sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang.

‘’Sampah menumpuk di Bantar Gebang selama Lebaran. Sampah-sampah itu menguntungkan pemulung, tapi bisa menyebabkan penyakit,’’ tutur siswa kelas IV SD Negeri 20 Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu.

Cerita tentang Bantar Gebang diperoleh Endi dari salah satu buku yang disusun di deretan meja di pojok kelas. Meja yang berimpitan itu menjadi semacam perpustakaan mini bagi

penghuni kelas.Endi dan seluruh siswa di

sekolah tersebut memiliki kebiasaan membaca buku sebelum jam pelajaran dimulai. Mereka menyebut kebiasaan itu dengan istilah membaca senyap, yakni membaca buku dalam hati di keheningan kelas.

‘’Membaca senyap dilakukan 15 menit sebelum bel (tanda masuk) berbunyi,’’ kata Kepala SD Negeri 20 Batang Tarang Teguh Karyadi, beberapa waktu lalu.

Membaca senyap merupakan upaya pihak sekolah menanamkan budaya membaca sejak kecil kepada para siswa.

Metode PAKEMSD Negeri 20 Batang Tarang

termasuk sekolah unggulan di Kabupaten Sanggau. Kendati berada di pelosok, sekolah

tersebut memiliki segudang prestasi yang membanggakan.

Di antaranya, sebanyak 22 siswa sekolah ini menjadi semifi nalis olimpiade sains tingkat nasional pada April lalu, menyisihkan ratusan siswa dari sekolah favorit di kota besar di Indonesia.

Sekolah ini dulunya sama dengan kebanyakan sekolah di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Prestasi belajar dan kelulusan jeblok, kehadiran siswa rendah, angka putus sekolah tinggi, guru malas mengajar, serta sederet problematika pendidikan lainnya.

Kondisi itu mulai berubah sejak mereka menerapkan metode Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Angka kelulusan setiap tahun pun terdongkrak hingga mencapai 100%.

Begitu pula aktivitas dan daya kritis peserta didik. Siswa di sekolah ini tidak segan bertanya bahkan berdiskusi dengan tamu atau orang yang baru dikenal sekalipun. Itu semua berkat sebuah metode pembelajaran PAKEM yang dinilai anak-anak sangat menyenangkan.

Metode PAKEM memosisikan guru sebagai tutor yang kreatif. Bahan pengajaran harus dikreasikan sedemikian rupa agar menjadi sebuah pengetahuan yang menarik. Beberapa alat peraga sederhana pun diciptakan dan diperkenalkan kepada siswa.

Proses belajar-mengajar dibuat menyerupai sebuah permainan. Saat pelajaran matematika, misalnya, siswa diajak bermain kalino. Permainan itu mirip permainan kartu domino atau gaplek.

Kartu kalino berisikan

bilangan matematika. Setiap siswa harus meletakkan kartu yang telah dibagikan ke deretan kartu lain di atas meja berdasarkan jawaban yang diminta. Pemenangnya adalah

pemain yang kartunya paling cepat habis.

‘’Belajar menjadi enak karena lebih seru dan tidak membosankan,’’ ujar Veronica, 12, teman sekelas Endi.

Siswa sering pula belajar di luar kelas atau di alam terbuka. Mereka mempelajari beragam potensi sumber daya alam dan ekonomi masyarakat di sekitar

WAHANA Visi Indonesia (WVI) memulai program pember-dayaan masyarakat di Kabupa-ten Sanggau, Kalimantan Barat, sejak 1996. Proyek itu kelanjutan dari program pengembangan masyarakat dan program lain yang dilakukan sebelumnya.

Pada saat WVI masuk ke Sanggau, sebuah lembaga swa-daya masyarakat yang menjadi mitranya menghadapi sejumlah persoalan sosial kemasyarakat-an yang cukup pelik dan men-desak untuk diselesaikan.

Beberapa persoalan itu, antara lain wabah diare, par-tisipasi pendidikan rendah, lapang an kerja terbatas, dan jeratan kemiskinan, menja-di potret warga keseharian. Sebuah suguhan yang sangat kontras di antara melimpahnya

potensi kekayaan alam dan ekonomi setempat. Sungai-sungai besar yang mengaliri wilayah Sanggau sejatinya selalu menjadi berkah dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Namun yang ter-jadi, bentang alam itu acap kali mendatangkan penyakit karena pencemaran sehingga airnya tidak layak dikonsumsi.

Hamparan hutan karet kian sulit diandalkan sebagai lumbung pendapatan kelu-arga. Produktivitas karet terus menyu sut karena digerogoti usia dan minimnya perawatan.

‘’Mereka bertanam karet secara tradisional dan tidak menggunakan bibit unggul,’’ jelas Napis, Koordinator WVI Area Nangamahap.

Ketidakberdayaan warga

berpangkal pada kualitas hidup dan sumber daya manusia.

WVI kemudian memetakan empat bidang garapan utama yang bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki keadaan. Keempat bidang itu yaitu pen-didikan, kesehatan, pengem-bangan ekonomi, dan pengor-ganisasian masyarakat.

Mereka melakukan berbagai pendampingan dan pembela-jaran dengan memberdayakan potensi lokal setempat.

Tahun ini adalah fase pa-mungkas. Sejak September lalu, WVI resmi meng akhiri pengabdian mereka di Sang-gau. Puluhan fasilitas air bersih serta ratusan sarana sanitasi, kesehat an, dan pendidikan di empat kecamat an pendamping-an dibangun selama 15 tahun.

Alhasil, kualitas hidup warga setempat pun mulai terdong-krak. Balita penderita diare yang semula mencapai 41,6% menurun menjadi 34,2%. Ang-ka partisipasi sekolah berhasil dikatrol dari 65,2% menjadi 86,7%, dan pendapatan rata-rata keluarga pun merangkak naik dari Rp1,5 juta menjadi sekitar Rp1,75 juta sebulan.

Ikene Sere Edwina dari bagian hubungan media WVI menambahkan, WVI tidak mungkin terus-menerus men-dampingi warga di satu lokasi. Masih banyak tempat lain yang membutuhkan bantuan.

Selama pendampingan pun, telah lahir orang-orang sukses yang menjadi agen perubahan. Laurensius Turut, 63, petani asal Kecamatan Nangamahap,

berhasil mengembangkan karet unggul. Dari menyadap karet, Rp300 ribu sehari bisa ia bawa pulang untuk kebutuhan kelu-arga. Atau Noraini, 46, dari Desa Batu Pahat, yang mengembang-kan lembaga pendidikan anak usia dini gratis di sana.

C e r i t a k e s u k -sesan juga terjadi di Dusun Kela-dang, Desa Sotok, Kecamatan Sekayam. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Boh Odup Mengket berhasil mengembangkan Cre dit Union Mura Kopa. Koperasi kredit tersebut kini beranggotakan 7.000 orang dengan perputaran modal men-capai Rp40 miliar. (AR/N-3)

22 RABU, 26 OKTOBER 2011 FOKUS NU

KALINO: Siswa SD Negeri 20 Batang Tarang bermain kalino saat mengikuti mata pelajaran matematika. Metode PAKEM membuat proses belajar-mengajar terasa menyenangkan.

Melahirkan Agen Perubahan

Supaya Belajar tidak Membosankan