fobia sosial-SEMINARKLINIS

download fobia sosial-SEMINARKLINIS

of 25

Transcript of fobia sosial-SEMINARKLINIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemasan saat berbicara di depan umum adalah sebuah keadaan yang wajar saja terjadi, bahkan dikatakan sebagai bagian dari pengalaman berbicara di depan publik, namun ketika kecemasan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap performa barulah hal ini menjadi suatu masalah karena ketika performa terganggu hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan diri dalam menghadapi situasi. Gejala kecemasan saat berbicara di depan publik dapat dirasakan secara fisiologis dan juga psikologis, untuk fisiologis dapat berupa keluarnya keringat pada tubuh dan juga telapak tangan, kemudian detak jantung yang semakin cepat, ketegangan otot, serta gemetarnya tubuh terutama pada kaki, dan suara yang bergetar. Sedangkan, untuk keadaan psikologis sendiri di dalam pikiran muncul ketakutan yang irasional, tidak mampu untuk berkonsentrasi dan rasa tidak tenang. Ketidakmampuan diri untuk melawan kecemasan dapat berakibat pada pembentukan rasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap diri tidak menarik dan menganggap diri tidak menyenangkan bagi orang lain, dimana segala pikiran negatif tersebut dapat menjadi faktor penghambat perkembangan diri untuk jangka panjangnya, sedangkan saat berbicara di depan umum, atau jangka pendek, pikiran negatif tersebut akan mengakibatkan tidak dapat dikendalikannya situasi. Berbagai penemuan menunjukan bahwa orang yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada waktu serta tempat yang tepat dalam interaksi sosial, misalnya mengatakan terima kasih pada waktu yang tepat (Fischetti, Curran & Wessberg, 1977)

(http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). Seseorang memiliki suatu kecemasan karena adanya proses pembelajaran dari dalam dirinya, perilaku rendah diri yang dibiasakan dan juga lingkungan yang tidak mendukung perkembangan diri dapat menjadi penyebab pembentukan pribadi dengan kecemasan sosial atau fobia sosial, dimana akibat dari kecemasan dan fobia tersebut seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik dalam lingkungan sosialnya, individu memiliki kecenderungan menghindar dari segala aktifitas sosial dan menunjukkan kemampuan komunikasi dan koordinasi yang rendah. Berikut adalah beberapa contoh kasus mengenai fobia sosial: Keluhan Tn. D (58). Saya sering ingin membawa istri saya untuk berekreasi, jalan-jalan ke mal untuk sekadar melihat-lihat. Tentu saja bila ada sesuatu yang dibutuhkan di rumah, saya akan menyarankannya untuk membelinya. Namun, begitu dia melihat saya kesulitan memperoleh tempat parkir, dia akan cepat memutuskan untuk pulang saja, ia kelihatan cemas, panik dan banyak keluar keringat, apalagi bila melihat kemacetan lalu lintas atau melihat kerumunan orang banyak. Saya kasihan melihat istri panik, tetapi terus terang saya juga akhirnya sering merasa jengkel karena harus cepat pulang padahal saya masih ingin berjalan-jalan." (http://jawabali.com/keluarga/blog/fobia-sosial-istri/08/03/2010) Kasus fobia sosial di Indonesia misalnya para pelawak yang terkena kasus penyalahgunaan obat-obatan atau zat adiktif lain. Mereka diduga melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk menyiapkan diri dalam suatu interaksi sosial. Contohnya, ketika akan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka menjadi lebih percaya diri meskipun orang lain menilai negatif (Nevid, 2005). Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat merusak sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh lebih tinggi dibanding mereka yang menderita gangguan anxietas lain (Schnerier dkk., 1992). Istilah

3

gangguan anxietas sosial baru-baru ini diajukan sebagai istilah yang lebih tepat karena beratnya masalah dan konsekuensi negatif bagi orang-orang yang mengalaminya jauh lebih besar dibanding fobia lain (Liebowitz dkk., 2000) (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi di mana ia mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan serangan panik besarbesaran. Orang-orang yang menderita fobia sosial seringkali bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh dibawah kemampuan atau kecerdasan mereka karena sensitivitas sosial ekstrim yang alami dan jauh melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu sehingga merugikan secara emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). Menurut Kessler dalam Hofmann (2004), fobia sosial adalah tipe gangguan kecemasan yang umum dan merupakan gangguan mental ketiga yang umum terjadi di Amerika Serikat. Fobia sosial adalah gangguan kecemasan yang dicirikan dengan rasa takut yang ekstrim dan menghindari stimulus fobik dari situasi sosial dan situasi performa (Anthony, 1997). Situasi yang ditakuti oleh individu dengan fobia sosial dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu interaksi sosial dan performa sosial. Situasi yang termasuk ke dalam interaksi sosial, antara lain pesta, kencan, bertemu orang asing, terlibat dalam percakapan singkat, menjaga kontak mata, berbicara dengan atasan, dan menjadi asertif. Sedangkan, yang termasuk ke dalam situasi

performa, antara lain berbicara di depan orang banyak, makan atau menulis sambil dilihat orang lain, menggunakan toilet umum bersama dengan orang lain dalam satu ruangan, dan tampil di depan orang lain (Anthony, M. M., 1997 Assessment and Treatment of Sosial Phobia. The Canadian Journal of Psychiatry. Vol. 42, No. 8, p. 826-834). .Sebagian besar orang yang mengalami fobia sosial menyadari bahwa mereka tidak seharusnya memiliki ketakutan yang berlebihan, tetapi mereka tidak dapat mengontrol rasa takut tersebut. Terkadang mereka menjauhi tempat atau peristiwa-peristiwa yang mereka anggap dapat mempermalukan mereka. Situasi-situasi tersebut dapat menjauhkan mereka dari melakukan tugas seharihari atau menikmati waktu dengan teman dan keluarga. Orang yang mengalami gangguan ini biasanya takut melakukan kontak mata, malu dan merasa inferior terhadap penampilannya. Hal yang membedakan antara fobia sosial dengan gangguan kecemasan lain adalah bahwa fobia sosial merupakan suatu bentuk spesifik dari kecemasan sebagai ketidaknyamanan dalam situasi sosial di mana orang tersebut menjadi pusat perhatian orang lain. Sekitar 3.7% dari usia populasi di Amerika Serikat, yakni usia 18-54 tahun, diperkirakan 5.3 juta orang Amerika mengalami fobia sosial setiap tahunnya. Fobia sosial dua kali lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Akan tetapi laki-laki lebih sering mencari pertolongan mengenai gangguan ini. Gangguan ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja awal dan jarang terjadi setelah usia 25 tahun. Suatu survey acak terhadap 500 penduduk Winnipeg, Manitoba, menemukan bahwa 1 di antara 3 orang mengalami kecemasan yang berlebihan ketika berbicara di depan umum, yang mempunyai pengaruh buruk yang cukup signifikan terhadap hidup mereka (Stein, Walker, & Forde, 1996). Temuan dari National Comorbidity Survey mengungkapkan bahwa 34.2% individu dengan diagnosis fobia sosial memiliki sejarah gangguan mood dengan perbandingan hanya 14.5% orang yang tidak pernah mengalami fobia sosial (Nevid, J. S., Rathus, S.

5

A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). . Fobia sosial dapat bersifat umum atau khusus, tergantung rentang situasi yang ditakuti dan dihindari. Orang-orang dengan tipe umum mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal, lebih banyak komorbiditas dengan berbagai gangguan lain, seperti depresi dan kecanduan alkohol, dan hendaya yang lebih parah (Mannuza dkk., 1995; Wittchen, Stein, & Kessler, 1999). Gangguan axietas sosial cenderung menjadi kronis jika penangananya tidak berhasil (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). B. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi klinis tentang gangguan kecemasan, yakni fobia sosial. Selain itu, tugas ini untuk memenuhi tugas Seminar Psikologi Klinis.

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Fobia Sosial (Sosial Phobia) Kata fobia berasal dari bahasa Yunani, phobos, yang berarti takut. Konsep takut dan cemas bertautan erat. Takut adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). Perbedaan fobia spesifik dengan fobia general yaitu pada fobia spesifik contohnya adalah takut berbicara di depan umum, sedangkan fobia general yaitu individu itu mengalami cemas, gelisah dan tidak nyaman di hampir seluruh situasi sosial (Klinger et.al., 2006). Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya. Pada gangguan fobia, ketakutan yang dialami jauh melebihi penilaian tentang bahaya yang ada. Orang dengan gangguan fobia tidak kehilangan kontak dengan realitas, mereka biasanya tahu bahwa ketakutan mereka itu berlebihan dan tidak pada tempatnya. Untuk didiagnosis fobia sosial, individu harus mengenali bahwa rasa takutnya tersebut berlebihan atau tidak masuk akal dan selalu menghindari situasi-situasi yang ditakuti atau tetap bertahan dengan rasa tidak nyamannya yang ekstrim. Sebagai tambahan, rasa takut atau perilaku menghindari tersebut mampu menyebabkan distres atau interference yang signifikan terhadap kegiatan rutin sehari-hari atau fungsi normal individu (Anthony, 1997). Kriteria seseorang mengalami fobia sosial, yaitu (Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III) : 1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan

7

sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif. 2. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the family circle). 3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol. Menurut DSM-IV, fobia sosial adalah ketakutan yang tidak beralasan atau ketakutan yang berlebihan terhadap situasi sosial, dan interaksi dengan orang lain yang secara otomatis dapat membawa perasaan-perasaan self-consciousness, judgement, evaluasi, dan perasaan inferior. Fobia sosial merupakan rasa takut dan kecemasan untuk dinilai dan dievaluasi negatif oleh orang lain, yang mengarahkan kepada perasaan ketidakmampuan, rasa malu, hina, dan depresi (Klinger, E., Legeron, P., Roy, S., Chemin, I., Lauer, F., & Nugues, P. 2006. Internet and Virtual Reality as Assessment and Rehabilitation Tools for Clinical Psychology and Neuroscience. Amsterdam, IOS Press). Adapun perincian kriterianya adalah sebagai berikut (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobia-sosial/07/03/2010) : 1. Kriteria A Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau tampil didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya. 2. Kriteria B Apabila pasien terpapar dengan situasi sosial, hampir selalu timbul kecemasan atau bahkan mungkin serangan panik.

3. Kriteria C Pasien menyadari bahwa ketakutannya sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Ketakutan tersebut tidak merupakan waham atau paranoid. 4. Kriteria D Pasien menghindar dari situasi sosial atau menghindar untuk tampil di depan umum atau pasien tetap bertahan pada situasi sosial tersebut tetapi dengan perasaan sangat cemas atau sangat menderita. 5. Kriteria E Penghindaran dan kecemasan atau penderitaan akibat ketakutan terhadap situasi sosial atau tampil di depan umum tersebut mempengaruhi kehidupan pasien secara bermakna atau mempengaruhi fungsi pekerjaan, aktivitas dan hubungan sosial atau secara subjektif pasien merasa sangat menderita. 6. Kriteria F Untuk yang berusia di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan. 7. Kriteria G Ketakutan atau sikap menghindar tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat atau kondisi medik umum atau gangguan mental lain (gangguan panik dengan atau tanpa agoraphobia, gangguan dismorfik, gangguan perkembangan prevasif, atau dengan gangguan kepribadian skizoid). 8. Kriteria H Bila terdapat kondisi medik umum atau gangguan mental lain, ketakutan pada kriteria A tidak berhubungan dengannya (gagap, parkinson, atau gangguan perilaku makan seperti bulimia atau anoreksia nervosa). Kriteria A merupakan

9

kunci gejala fobia sosial. Hal yang penting pada kriteria ini yaitu adanya situasi yang dapat membangkitkan fobia yaitu situasi yang dinilai atau diamati oleh orang lain dan juga ketakutan akan memperlihatkan kecemasan atau bertingkah dengan cara yang memalukan. Fobia sosial adalah gangguan kecemasan yang dicirikan dengan rasa takut yang ekstrim dan menghindari stimulus fobik dari situasi sosial dan situasi performa (Anthony, 1997). B. Sebab-sebab yang mempengaruhi munculnya fobia sosial 1. Faktor biologis a. Predisposisi genetis. Faktor genetik dapat berperanan dalam fobia sosial. Analisa pedigree/silsilah memperlihatkan silsilah pertama dari proband dengan fobia sosial tiga kali beresiko mendapat sosial fobia dibanding kontrol. Namun, gen spesifik belum pernah diisolasi. Perangai anak yang selalu dilarang telah dihubung-hubungkan dengan perkembangan fobia sosial di masa dewasa. Beberapa studi telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan penyuntikan sangat familiar, 64 % fobia darah dan penyuntikan memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita gangguan yang sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam umum hanya 3 sampai 4 % (Ost, 1992). Hal itu juga berlaku baik untuk fobia sosial maupun fobia spesifik, prevalensinya lebih tinggi dibanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasein, dan studi terhadap orang kembar menunjukan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar monozigot (Hettema, M. Neale, & Kendler, 2001). Terkait dengan penemuan ini adalah penelitian Jerome Kagan mengenai karakter terhambat atau pemalu (Kagan & Snidman, 1997). Beberapa bayi usia empat menjadi terganggu dan menangis ketika ditunjuki mainan atau stimulasi lain. Pola prilaku ini, yang mungkin

diturunkan, dapat menjadi tahap awal bagi perkembangan fobia kelak. Dalam satu studi, sebagai contoh, anak-anak yang mengalami hambatan memiliki kemungkinan lima kali lebih besar dibanding anak-anak yang tidak terhambat untuk mengalami fobia kelak (Biedermen dkk, 1990) (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). b. Iregularitas dalam fungsi neurotransmitter, yakni serotonin dan norepinephrin. c. Abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku. 2. Faktor sosial-lingkungan (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). a. Pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis. b. Mengamati respon takut pada orang lain. c. Kurangnya dukungan sosial. 3. Faktor behavioral (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). a. Pemasangan stimuli aversif dan stimuli yang sebelumnya netral (classical conditioning). b. Kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari stimuli fobik (operant conditioning). c. Kurangnya kesempatan untuk pemunahan (extinction) karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti. 4. Faktor kognitif dan emosional (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). a. Konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika). b. Faktor-faktor kogntif, seperti prediksi berlebih tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self-defeating atau irasional, sensitivitas

11

berlebih tehadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal tubuh, dan self-efficacy self-efficacy yang rendah. 5. Faktor social learning 6. Faktor defective social skills 7. Faktor spiritual Fobia sosial disebabkan oleh kurangnya rasa percaya akan adanya perlindungan yang selalu diberikan oleh Allah SWT. Selain itu, fobia sosial juga dapat disebabkan oleh kurangnya mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga individu tersebut rentan memiliki prasangka atau pikiran negatif terhadap orang lain. C. Pendekatan Menurut Aliran-aliran 1. Pendekatan Psikodinamika Menurut Freud, fobia sosial atau hysteria-ansietes merupakan manifestasi dari konflik Oedipal yang tidak terselesaikan. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik dan ansietas. Akibatnya, ego berusaha menggunakan mekanisme-pertahanan represi yaitu membuang jauh dari kesadaran. Konflik seksual ditransfer dari orang yang mencetuskan konfilk kepada sesuatu yang sepertinya tidak penting atau objek yang tidak relevan atau situasi yang sakarang mempunyai kekuatan untuk membangkitkan anxietas. Situasi atau obyek yang dipilih atau disimbolkan biasanya berhubungan langsung dengan sumber konflik. Dengan menghindari objek tersebut pasien dapat lari dari penderitaan ansietas yang serius (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobia-sosial/07/03/2010). Dinamika Psikologis : Sebab muncul gejala-gejala, seperti banyak mengeluarkan keringat, gelisah, gemetaran, dsb.

Trauma

Represi

Situasi traumatik

Fobia social

2. Pendekatan Kognitif Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimulasi negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; turk dkk, 2001). Isu utama dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini. Rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulasi dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998) (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). Dinamika Psikologis : Sebab muncul gejala-gejala, seperti banyak mengeluarkan

13

keringat, gelisah, gemetaran, dsb. Classical conditioning Modelling Operant conditioning Situasi yang sama Fobia sosial

3. Pendekatan Biologis A. Teori Neurotransmiter 1) Mekanisme Dopaminergik Dari penelitian didapatkan bahwa fobia sosial berhubungan dengan gangguan pada system dopaminergik. Kadar homovanilic acid (HVA) pada penderita fobia sosial lebih rendah blia dibandingkan dangan penderita panik atau kontrol. Adanya perbaikan gejala fobia sosial dengan pemberian monoamine oxidase inhibitor (MAOI) menunjukkan bahwa kinerja dopamine terganggu pada fobia sosial. 2) Mekanisme Serotonergik Pemberian fenilfluramin pada panderita fobia sosial menyebabkan peningkatan kortisol sehingga diperkirakan adanya disregulasi serotonin. Walaupun demikian, pada pemberian methchlorphenylpiperazine (MCPP), suatu serotonin agonis, tidak ditemukan adanya perbedaan respons prolaktin antara penderita fobia sosial dengan kontrol normal. Begitu pula, pengukuran ikatan platelet (3H)-paroxetine, suatu petanda untuk mangetahui aktivitas serotonin; tidak terlihat adanya perbedaan antara fobia sosial dengan gangguan panik atau kontrol normal.

3) Mekanisme Noradrenergik Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar epinefrin sehingga dengan cepat terjadi peningkatan denyut jantung, berkeringat dan tremor. Pada orang normal, gejala fisik yang timbul akibat peningkatan epinefrin mereda atau menghilang dengan cepat. Sebaliknya pada penderita fobia sosial tidak terdapat penurunan gejala. Bangkitan gejala fisik yang meningkat semakin mengganggu penampilan di depan umum. Pengalaman ini juga membangkitkan kecamasan pada penampilan berikutnya sehingga mengakibatkan orang tidak berani tampil dan menghindari panampilan selanjutnya. 4) Pencitraan Otak Dengan magnetic resonance imaging (MRI) terlihat adanya penurunan volume ganglia basalis pada penderita fobia sosial. Ukuran putamen berkurang pads fobia sosial. (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobia-sosial/07/03/2010) Dinamika Psikologis : Sebab muncul gejala-gejala, seperti banyak mengeluarkan keringat, gelisah, gemetaran, dsb.

Genetik

Kepribadian avoidant

Situasi sosial

Fobia social

D. Gejala Fobia Sosial Gejala-gejala yang menandai bahwa seseorang mengalami fobia sosial, antara lain palpitasi (jantung berdebar-debar), banyak mengeluarkan keringat, gemetaran, panas-dingin, pening atau pingsan, pusing, gangguan perut,

15

kerongkongan terasa tersekat, diare, otot menjadi tegang, dan gelisah (Nevid, 2005). E. Onset Fobia sosial biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja, biasanya pada usia 13 tahun. Diagnosis bahwa seseorang mengalami fobia sosial jika orang tersebut memiliki gejala setidaknya selama 6 bulan. Fobia sosial tipikal bermula pada masa kanak-kanak atau remaja dan seringkali diasosiasikan dengan riwayat rasa malu (USDHHS, 1999a). orang-orang dengan fobia sosial umumnya melaporkan bahwa mereka pemalu semasa kanak-kanak (Stemberger dkk., 1995. Sekali fobia sosial tercipta, hal tersebut akan berlanjut pada perjalanan yang kronis dan persisten sepanjang hidup (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). Pada anak, fobia sosial tidak dapat langsung didiagnosis kecuali anak tersebut memunculkan kecemasan yang berlebihan. Mereka mengekspresikan rasa cemasnya tersebut dengan cara menangis, tantrum, menjadi pendiam atau menghindari situasi sosial. Bagi individu yang berusia di bawah 18 tahun, maka diagnosis fobia sosisal tidak dapat ditegakkan kecuali gangguannya sudah terjadi selama 6 bulan (Anthony, 1997). F. Prevalensi Estimasi prevalensi seumur hidup untuk fobia sosial berkisar antara 3% sampai 13% (APA, 2000). Gangguan ini tampaknya lebih sering terdapat pada perempuan dibandingkan laki-laki, mungkin karena tekanan sosial dan kultural yang lebih besar diletakkan dipundak perempuan-perempuan muda untuk menyenangkan orang lain dan dengan demikian mendapatkan persetujuan mereka (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). Berdasarkan data dari The National Comorbidity Survey yang dilakukan

terhadap lebih dari 8000 individu menyatakan bahwa sekitar 13,3% orang dewasa (11,1% laki-laki, 11,5% perempuan) memiliki kriteria fobia sosial berdasarkan DSM-III-R. Data tersebut diperkirakan lebih tinggi dari data sebelumnya yang diperoleh dari The Epidemologic Catchment Area Survey, yang menyatakan prevalensi sebesar 2,73% (berdasarkan kriteria DSM-III) (Anthony, 1997). Menurut survey yang dilakukan di Amerika sejak tahun 1994, fobia sosial adalah gangguan jiwa nomer 3 terbesar di Amerika Serikat. Prevalensi fobia sosial terlihat meningkat pada ras kulit putih, orang yang menikah, dan individu dengan taraf pendidikan yang baik. Fobia sosial umumnya bermanifestasi pada orang dewasa tapi biasa terdapat pada anak-anak atau remaja (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobia-sosial/07/03/2010). Fobia sosial cukup jamak terjadi, dengan angka prevalensi sepanjang hidup 11 % pada laki-laki dan 15 % pada perempuan (Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996). Fobia ini memiliki tingkat komorbiditas tinggi dengan berbagai gangguan mood dan penyalahgunaan alkohol (Crum & Pratt, 2001; Jansen dkk., 1994; Kessler dkk., 1999; Lecrubier & Weiler, 1997). (http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010). G. Terapi Macam-macam terapi antara lain (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobiasosial/07/03/2010) : 1. Terapi relaksasi Terapi ini terdiri dari belajar untuk menurunkan tegangan otot selama beristirahat, ketika bergerak dan pada situasi-situasi yang dapat menyebabkan kecemasan. Terapi ini dapat dijadikan sebagai pendamping terapi exposure (Anthony, 1997). 2. Medication (terapi obat)

17

a. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat menjadi first-line pengobatan yang baku untuk fobia sosial. Paroxetine menerima pengakuan badan Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA) untuk indikasi ini pada tahun 1999 dan SSRI yang pertama memperolehnya. Penelitian menyatakan bahwa SSRIS juga mungkin efektif. b. Benzodiazepines: Benzodiazepines mungkin efektif untuk fobia sosial, tetapi memiliki profil keselamatan lebih sedikit. Alprazolam Dan Clonazepam telah digunakan dengan sukses. c. Buspirone: Beberapa studi menyarankan kemanjuran pada penderita fobia sosial. d. Propranolol: Beta-Blockers telah digunakan untuk blok autonomic terhadap tanggapan dengan fobia sosial. Pencegahan gejala seperti gemetaran peningkatan detak jantung mendorong kearah sukses didalam menghadapi situasi sosial. e. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIS): Phenelzine telah

dipertunjukkan untuk bisa efektif didalam studi. Pembatasan yang berkenaan diet makan mengurangi ketenaran mereka. Moclobemide, suatu MAOI lebih baru, pasti mempunyai kemanjuran dengan fobia sosial. 3. Terapi Kognitif Model terapi ini menyatakan bahwa ketika klien masuk ke dalam situasi sosial, maka aturan pasti, asumsi, atau unconditional beliefs menjadi aktif. Melalui pendekatan terapi perilaku rasional-emotif, Ellis menunjukkan kepada orang-orang dengan fobia sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irasional untuk penerimaan sosial (sosial approval) dan perfeksionisme

menghasilkan kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi sosial. Terapi kognitif dari Beck berusaha untuk mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan-keyakinan yang disfungsional atau terdistorsi. Terapis kognitif membantu orang untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pemikiran mereka dan membantu mereka untuk memandang situasi secara rasional. Klien diminta untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menguji keyakinan mereka, yang akan membawa mereka untuk mengubah keyakinan yang ternyata tidak berdasar pada realitas. Terapis mendorong klien dengan fobia sosial untuk menguji keyakinan mereka bahwa mereka akan diabaikan, ditolak, atau ditertawakan oleh orang lain dalam pertemuanpertemuan sosial dengan menghadiri suatu pesta, memulai pembicaraan, dan memonitor reaksi orang-orang lain. Terapis juga membantu klien mengembangkan keterampilan sosial untuk meningkatkan efektivitas interpersonal mereka dan mengajari mereka bagaimana cara menghadapi penolakan sosial. Salah satu contoh teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif (cognitive restructuring) atau disebut juga restrukturisasi rasional. Teknik ini merupakan suatu proses di mana terapis membantu klien mencari pikiranpikiran self-defeating dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi-situasi pembangkit kecemasan (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). 4. Virtual Reality Exposure Melalui proses pemaparan terhadap suatu seri stimuli virtual yang makin bertambah menakutkan dan hanya bila ketakutan sudah berkurang pada langkah terdahulu, orang belajar untuk mengatasi ketakutan dengan cara yang sama dengan seandainya mereka mengikuti program pemaparan gradual terhadap stimuli fobik dalam situasi aktual. Keuntungan dari realitas virtual adalah bahwa hal ini memberi kesempatan pada kita untuk mengalami situasi yang sulit atau hampir tidak mungin untuk diandalkan

19

dalam realitas yang sesungguhnya (Yancey, 2000). Terapis bereksperimentasi dengan terapi virtual, misalnya dalam bentuk terapi kelompok di mana sekelompok orang yang aktualnya ada di tempat yang berbeda-beda dapat memakai peralatan realitas virtual, dihubungkan dengan komputer-komputer mereka pada saat yang sama, dan bertemu secara elektronik dalam suatu kantor terapi yang simulasi. (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). 5. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-behavioral berhasil menurunkan rasa takut individu terhadap evaluasi sosial (Heimberg & Juster, 1995). Terapi CBGT dibuat dengan menggunakan protokol yang dikembangkan oleh Heimberg (1991). Sebelumnya, rangkaian terapi yang dilakukan adalah melakukan assessment independent dan self report terhadap klien. Kemudian diikuti dengan pelatihan dalam hal restrukturisasi keterampilan kognitif, exposure yang diulang terhadap simulasi dari situasi yang ditakuti dalam tiap sesi, dan dihubungkan dengan homework assignments (Heimberg, Juster, Hope, & Mattia, 1995). Setelah pelatihan tersebut dilakukan maka seluruh rangkaian assessment independent dan self report dilakukan kembali. (Safren, S. A., Heimberg, R. G., & Juster, H. R. 1997. Brief Report: Clients Expectancies and Their Relationship to Pretreatment Symptomatology and Outcome of Cognitive-Behavioral Group Treatment for Sosial Phobia. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 65, No. 4, p. 694-698). 6. Terapi Pemaparan Klien mendapatkan instruksi untuk memasuki situasi sosial yang makin penuh stres dan untuk tetap tinggal dalam situasi tersebut sampai dorongan untuk kabur sudah menjadi berkurang. Terapis dapat membantu membimbing mereka selama percobaan pada pemaparan, dan secara

bertahap menarik dukungan langsung sehingga klien mampu untuk menghadapi sendiri situasi tersebut. Terapis mungkin mengkombinasikan pemaparan dengan teknik kognitif yang membantu klien untuk mengurangi pikiran-pikran maladaptif pembangkit kecemasan yang mungkin mereka temui dalam situasi-situasi sosial, dengan pikiran-pikiran yang lebih sesuai. (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). H. Prevensi Fobia sosial dapat dicegah dengan cara memberikan pola asuh yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian pada anak sehingga anak mampu beradaptasi dan membina hubungan sosial yang baik dengan orang lain. I. Kualitas Hidup Fobia sosial dapat mempunyai pengaruh besar pada fungsi sehari-hari dan kualitas hidup seseorang (Leiboitz dkk., 2000; Olfson dkk., 2000; Stein & Kean, 2000). Fobia sosial dapat menghalangi orang untuk menyelesaikan sasaran pendidikannya, maju dalam karier atau bertahan dalam pekerjaan yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Makin banyak jumlah situasi yang ditakuti, makin besar gangguan fungsinya (Stein, Torgrud, & Walker,2000). (Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I). J. Ayat-ayat Al-Quran dan Hadist 1. Q. S. Ali-Imran: 56-57 Artinya: Mereka pasti bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka termasuk golonganmu, tapi mereka itu kaum yang selalu ketakutan. Jika mereka memperoleh tempat berlindung, gua atau lubang yang sempit sekalipun, mereka pasti berpaling dan bergegas untuk mendapatkannya.

21

2. Q. S. Yunus: 36 Artinya: Kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Dugaan, tidak berarti sama sekali bila berhadapan dengan yang haq. Allah sungguh Maha Mengetahui segala yang mereka lakukan. 3. Q. S. Al-Hujuraat: 12 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hindarilah jauh-jauh sangka menyangka, sedikit persangkaan sudah merupakan dosa. Janganlah saling memata-matai keburukan orang, dan jangan saling mengumpat; sukakah di antaramu makan daging saudara sendiri yang sudah mati; pasti kamu merasa jijik. Bertaqwalah kepada Allah. Allah sungguh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

K. Prognosis Fobia sosial biasanya mulai pada usia dini sehingga dapat menyebabkan gangguan di semua bidang akademik seperti rendahnya kemampuan sekolah, menghindar dari sekolah, dan sering putus sekolah. Pemilihan karirnya sangat terbatas dan sering berhenti dari pekerjaan. Fobia sosial cenderung menjadi kronik. Bila tidak diobati dapat menjadi komorbiditas dengan gangguan lain seperti depresi, penyalahgunaan alkohol atau obat. Pada penderita agorafobia dan fobia sosial, pemakaian alkohol sering merupakan usaha untuk mengobati diri sendiri. Anak yang memiliki kegiatan sekolah dan aktivitas sosial memiliki prognosis yang lebih baik (http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobiasosial/07/03/2010).

BAB III PENUTUP Kesimpulan Fobia sosial merupakan gangguan kecemasan ketika berhadapan dengan situasi sosial atau melakukan performa di depan umum. Ada dugaan terdapat perubahan biokimia dan fungsional otak pada penderita fobia sosial. Fobia sosial dapat menjadi suatu masalah yang serius karena berpengaruh pada keberfungsian fisik maupun psikologis. Fobia sosial merupakan ketakutan atau kecemasan pada situasi sosial yang timbul bila seseorang menjadi pusat perhatian. Penderita fobia sosial biasanya tidak menganggap masalahnya perlu untuk diobati. Bila tidak diobati dapat menimbulkan keterbatasan dalam berbagai segi kehidupan. Fobia sosial harus dibedakan dari gangguan mental lainnya. Orang yang mengalami depresi seringkali menghindari untuk menghabiskan waktu bersama teman dikarenakan kurangnya motivasi dan ketertarikan dalam bersosialisasi. Akan tetapi, individu yang mengalami depresi tersebut, tidak menghindari situasi sosial

23

ketika mereka dalam kondisi normal. Begitu pula dengan orang-orang yang dengan gangguan schizoid seringkali menghindari untuk bersosialisasi. Namun, mereka tidak mengalami distres akibat kekurangan aktivitas sosial dan mereka juga tidak secara khusus tertarik dengan kegiatan sosial. Individu dengan kepribadian menghindar cenderung menghindari bersosialisasi karena mereka takut akan kritik dari orang lain. Faktanya, orang dengan gangguan fobia sosial general kriterianya seringkali sesuai dengan kriteria diagnostik bagi orang yang memiliki kepribadian menghindar. Walaupun kedua gangguan tersebut berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Fobia sosial tidak didiagnosis ketika kecemasan individu tersebut dianggap sebagai gangguan mental. Seseorang yang memiliki serangan panik, maka diagnosisnya dengan menggunakan diagnosis gangguan panik dan biasanya perilaku menghindar tersebut berhubungan dengan kemungkinan mengalami serangan panik serta tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Sedangkan untuk gangguan agoraphobia, individu menghindari tempat-tempat ramai seperti mall, jalan yang ramai atau menggunakan transportasi umum. Jadi, meskipun ketiga gangguan tersebut tampak sama dalam menghindari situasi sosial, tetapi mereka tetap memiliki perbedaan pada rasa takutnya yang akan dinilai negatif (Anthony, 1997).

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran. 2007. Quran Karim dan Terjemahan Artinya. Yogyakarta: UII Press. Anthony, M. M., 1997. Assessment and Treatment of Sosial Phobia. The Canadian Journal of Psychiatry. Vol. 42, No. 8, p. 826-834. Hofmann, S. G. 2004. Cognitive Mediation of Treatment Change in Sosial Phobia. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 72, No. 3, p. 392-399. Klinger, E., Legeron, P., Roy, S., Chemin, I., Lauer, F., & Nugues, P. 2006. Internet and Virtual Reality as Assessment and Rehabilitation Tools for Clinical Psychology and Neuroscience. Amsterdam, IOS Press. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta : PT Nuh Jaya. Moscovitch, D. A., Hofmann, S. G., Suvak, M. K., & In-Albon, T. 2005. Mediation of Changes in Anxiety and Depression During Treatment of Sosial Phobia. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 73, No. 5, p. 945-952. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima

25

Jilid I. Jakarta: Erlangga. Safren, S. A., Heimberg, R. G., & Juster, H. R. 1997. Brief Report: Clients Expectancies and Their Relationship to Pretreatment Symptomatology and Outcome of Cognitive-Behavioral Group Treatment for Sosial Phobia. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 65, No. 4, p. 694-698. http://linakura.multiply.com/journal/item/7/07/03/2010 http://eemoo.wordpress.com/2009/01/20/fobia-sosial/07/03/2010 http://jawabali.com/keluarga/blog/fobia-sosial-istri/08/03/2010