flpp

download flpp

of 11

Transcript of flpp

Masalah FLPP dan Luasan Rumah Minimal PASAL 22 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyebutkan; luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 M2. Tapi, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menilai pasal itu diskriminatif dan menyulitkan Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR) memiliki rumah. Apersi pun mengambil tindakan hukum. Pada 22 Maret 2012 lalu, Apersi maju ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan sidang judicial review (JR) terhadap isi pasal tersebut. Seberapa besar urgensinya sehingga Apersi melakukan JR terhadap pasal tersebut, belumlah kita ketahui. Apakah benar, dengan luasan 36 M2, dan harga maksimum Rp 70 juta per unit, menjadi faktor utama membuat MBR di Indonesia Lalu mengingatkan kepada kita tentang permasalahan backlog di tanah air yang sudah mencapai 13,6 juta unit tersebut. Seperti yang disampaikan kuasa hukum Apersi Muhammad Joni kepada media beberapa waktu lalu (Kompas, Sabtu 24 Maret 2012). Bisa menjadi faktor penghambat untuk rakyat Indonesia yang belum menempati atau memiliki rumah memperoleh haknya. Belum ada sebuah ulasan detail yang menampilkan simulasi perhitungan tentang plus minus dari ketentuan tersebut kepada kita. Informasi media juga bersifat umum. Lantas dengan berlogika kita bertanya. Pihak pemerintah yang diwakili Djan Faridz selaku Menteri Perumahan Rakyat mengatakan, pembangunan rumah adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan. Ini sesuai amanat pasal 28-h ayat 1 UUD 45. Sementara kuasa hukum Apersi pun beralasan yang sama bahwa, atas dasar UUD 1945 pasal 27 ayat 1, pasal 28 d ayat 1, serta pasal 28 h ayat 1 dan 4, mengatakan pasal 22 ayat 3 UU No 1 tahun 2011 itu telah bertentangan dengan UUD 1945. Kita masih menjalani proses perdebatan ini. Bagaimana penjelasan para ahli dan pengamat di bidang perumahan menanggapi kasus ini, rakyat Indonesia sangat menantikannya. Sama seperti harus adanya penjelasan kenapa BBM kita wajib dinaikkan. PERMENPERA TENTANG FLPP Setelah Permenpera No 4 dan No 5 tahun 2012 tentang Fasilitias Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) keluar tengah Maret 2012, maka ketentuan bantuan pemerintah cq Menpera untuk pembangunan rumah umum untuk MBR resmi wajib mengikuti ketentuan tersebut. Yakni hanya rumah dengan luas lantai minimal 36 M2 dan harga maksimumnya Rp 70 juta per unit yang berhak mendapatkan suku bunga 7,25% dan masa tenor 15 tahun. Selain itu tidak! Terkait pembangunan rumah umum ini, masalahnya, sejak keluarnya UU No 1 tahun 2011, pihak pengembang (umumnya pengembang yang bergabung dalam Apersi) sudah memproses pembangunan rumah dengan harapan akan memanfaatkan FLPP. Masalahnya para pengembang membangun luas lantai rumah di bawah 36 M2. Tepatnya tipe 21 M2 dan atau tipe 27 M2 menurut besaran yang sebelumnya. Sehingga, ketika Permen FLPP keluar, fasilitasi tersebut tidak bisa diakses mereka. Sebenarnya dengan kasus tersebut, letak permasalahan sudah sangat jelas. Artinya Apersi melakukan JR bukan karena para pengembang berpihak kepada masyarakat MBR yang belum memiliki rumah. Atau pemerintah cq Menpera dalam hal ini diwakili Djan Faridz yang

menjelaskan alasan menaikkan luasan rumah karena sangat consern kepada kesejahteraan rakyatnya, khususnya di sektor papan. Menurut penulis, alasannya bukan karena itu. Alasannya sederhana saja. Masing-masing mau mengamankan jalurnya. Masih bekerja di ranah persoalan untung rugi. Normatifnya pemerintah bertanggungjawab atas kepastian permukiman bagi setiap warga. Artinya, memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Masalahnya, hingga tahun berapa citacita tersebut bisa kesampaian? Hingga hari ini pemerintah cq Menpera tidak pernah menuliskan hal tersebut dalam dokumen lembaran negara. Apakah itu dalam Kebijakan Strategi Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman Nasional (KSPKPN) misalnya. Atau dalam suatu mukadimah. Seperti dalam Mukadimah Kongres Nasional Perumahan Permukiman II tahun 2009 lalu. Hal itu tidak ada! Demikian juga halnya dari sisi pengembang. Jelas pengembang adalah lembaga profit. Harusnya jangan bicara keberpihakan mengingat tidak adanya pengaturan keuntungan untuk pembangunan rumah umum bagi MBR, dan rumah umum untuk ekonomi menengah dan untuk rumah komersial di negeri ini, membuat semuanya bisa mengaku-ngaku pihak yang berpihak untuk rakyat banyak. Padahal semuanya atas dan untuk keuntungan yang sebesarbesarnya . AMANAT UU NO 1 TAHUN 2011 Memang ini sesuatu yang tidak biasa mengingat kesejahteraan bersifat relatif. Mencontohkan, bahwa pendapatan masyarakat tahun 1970-an sebesar Rp 500.000 dan tahun 2011 sebesar Rp 1.500.000. Artinya, tingkat kebutuhan akan terus berkembang. Sebelumnya - atas dasar sebutan rumah inti-pemerintah mengeluarkan Permen No tahun 2007 bahwa hitungan luasan lantai cukup 27 M2. Yang penting ada dulu, kemudian akan dikembangkan sesuai kebutuhan dan perkembangan ekonomi penghuninya. Tidak sulit mencari alasan bagai sebuah pijakan bertindak. Masalahnya hanya pada; apakah itu sudah benar? Oleh UU No 1 tahun 2011 diatur bahwa, luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 M2 adalah batas minimalnya. Jika kemudian bertambah luas, apa masalahnya? Memang pertanyaan apakah sudah tepat untuk kebutuhan yang dinasmis (baca: berkembang) seperti itu-sama halnya dengan pendapatan per kapita suatu keluarga di sebuah negara, berkembang atau bertambah sejalan dengan perkembangan ekonomi di suatu negara? Artinya, apakah ketentuan seperti itu harus diatur di tingkat UU atau cukup hanya di Kepmen atau Permen saja? Masalahnya adalah, kalau sudah keluar seperti itu bagaimana jalan keluarnya? Menurut hemat penulis, ikuti saja pola pikir pemerintah. Bangun saja rumah dengan luasan minimal 36 M2 supaya FLPP-nya bisa dimanfaatkan. Masalahnya apakah daya beli ada para pengembang lebih mengetahuinya? Kalau ternyata pembeli di segmen ini sangat rendah, kesulitan pengembang dalam menjalankan roda bisnisnya toh akan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi di sebuah kota. Ini bermuara pada pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota dan provinsi. Dari sana, pemerintah akan mengalami kesulitan mencapai target penyerapan anggaran atau pengentasan angka backlog-nya. Persoalan kedua adalah, untuk MBR yang tidak mampu mengalokasikan Rp 800-an ribu per bulan cicilan kreditnya, apa program pemerintah untuk meng-cover segmen tersebut?

Program apa yang sedang dijalankan Menpera untuk memenuhi kebutuhan papan bagi masyarakat pendapatan di bawah Rp 2,5 juta? Kongres Nasional Perumahan Permukiman II di Jakarta tahun 2009 mengamanahkan supaya pemerintah menyediakan lahan di tengah perkotaan bagi permukiman MBR dan adanya kepastian bermukim bagi setiap warga. Kemudian mengalokasikan dana untuk pembangunan PKP sebesar 2% melalui APBN dan APBD. Dan yang ketiga, adanya kepastian bermukim bagi warga MBR baik di daerah slum maupun squater jika terjadi program atau relokasi di lokasi tersebut.

Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), Iqbal Latanro mengaku, khawatir masalah penetapan suku bunga kredit pemilikan Rumah (KPR) dalam Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) belum menemukan titik terang. Pasalnya, hal ini membuat investor meriang karena kinerja bisa terganggu bila penetapan suku bunga FLPP tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan berita-berita ini investor meriang nanya-nanya, keluh Iqbal, usai Rapat Dengar Pendapat BTN dengan Komisi XI DPR RI, di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 8 Febuari 2012. Seperti diketahui, dalam masalah suku bunga FLPP, BTN ditekan untuk mempertahankan suku bunga bisa lebih rendah di level tujuh persenan pada tahun ini. Namun, karena dalam porsi share dana dalam FLPP dari pemerintah menurun, yang tadinya 60% untuk pemerintah berbanding 40% untuk BTN, menjadi 50% : 50%. BTN memiliki hitung-hitungan dengan menaikan bunga FLPP menjadi 8,22% (dengan penjaminan) dari sebelumnya di level 7,42% (dengan penjaminan). Dengan skema baru agak berat dan kami tidak kuat menanggung, kata Iqbal. Dalam FLPP sendiri, market share BTN tercatat mencapai 99% dari 16 bank yang dipercaya dalam menangani masalah FLPP. Kita kan ukur kekuatan kita juga, ujarnya. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/02/04/108541/FLPPDisetop-Pembangunan-Rumah-Terhenti

Kalangan pengembang mengeluhkan dihentikannya program penyaluran subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Mereka terpaksa harus menghentikan pembangunan rumah tapak sejahtera tipe di bawah 36 meter persegi. "Sampai saat ini pengembang rumah tapak masih menunggu keputusan pemerintah terkait FLPP," kata Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPD Real Estate Indonesia (REI) Jateng Djoko Santoso, kemarin. Menurut dia, disetopnya FLPP karena masa perjanjian kerjasama operasional (PKO) antara Kementerian Perumahan Rakyat dengan bank-bank penyedia layanan tersebut sudah habis. Akibatnya, REI tahun ini hanya mematok target pembangunan rumah sebanyak 12.000 unit yang terdiri atas 7.900 unit rumah tipe kecil, 3.500 unit rumah tipe menengah, dan sisanya rumah tipe mewah.

"Tahun lalu kami merealisasikan pembangunan rumah sebanyak 11.169 unit. Sebanyak 7.483 unit rumah tipe kecil, 3.343 unit rumah tipe menengah, dan 343 unit rumah tipe mewah," ujarnya.

Selain masalah FLPP, peraturan yang mewajibkan konsumen melapor ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pembelian rumah mewah senilai lebih dari Rp 500 juta juga mengganjal pembangunan rumah. Kewajiban itu dinilai akan mengganggu permintaan karena konsumen akan enggan membeli rumah di atas Rp 500 juta. "Untuk saat ini, rumah tipe menengah harganya sudah Rp 500 juta. Kami berharap angka batasan dinaikkan jadi Rp 1 miliar, jangan Rp 500 juta," katanya. Kendala lain, lanjutnya, peraturan mengenai batas luas rumah sejahtera tapak minimal 36 meter persegi juga mengganjal. Peraturan tersebut sulit diterapkan karena daya beli masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya mampu menjangkau harga rumah di bawah tipe 36. Di sisi lain, pengembang tidak sanggup menekan harga hingga di bawah Rp 100 juta per unit demi memenuhi kualitas bangunan. "Karena itu target kami di 2012 tidak begitu besar dibanding tahun lalu. Sebab banyak kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung pengadaan perumahan," tuturnya. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/02/04/108541/FLPPDisetop-Pembangunan-Rumah-Terhenti

Penetapan Bunga FLPP Mesti Memihak KonsumenMinggu, 19 Februari 2012 , 08:25:00 WIB

RMOL.DPR mendesak pemerintah segera mengambil keputusan terkait bunga program FLPP. Diharapkan, dengan adanya keputusan tersebut masyarakat dapat kembali menikmati fasilitas FLPP. Menurut Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin M Said, jika antara Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan perbankan tidak mencapai kata sepakat, maka rakyat akan terus dirugikan.

ILUSTRASI/IST

Setelah tercapai kesepakatan antara bank BUMN dan Kemenpera tentang bunga FLPP, kami berharap Menpera (Menteri Perumahan Rakyat) segera membuat keputusan. Hal itu agar persoalannya segera cepat selesai sehingga program perumahan rakyat bisa berjalan dengan semestinya, ujarnya kepada Rakyat Merdeka, Jumat (17/2). Mengenai angka 7 persen yang disepakati antara kedua belah pihak, dia mengaku cukup puas dan menyambut baik hal itu. Menurut Muhidin, DPR menyerahkan kepada kedua belah pihak untuk menentukan. Yang terpenting angka itu tidak memberatkan masyarakat sebagai konsumen, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Kalau program perumahan rakyat tidak dilanjutkan akan terjadi stagnasi. Rumah yang sudah dibangun akan terbengkalai karena tidak terbeli masyarakat. Untuk itu kami mendesak segera diselesaikan masalah FLPP itu, tegasnya. Muhidin melanjutkan, Kemenpera sudah menjanjikan akan menyelesaikan masalah tersebut paling lambat akhir Febuari ini. DPR akan menunggu hal itu dan berharap setelah ada keputusan bisa dilakukan koordinasi dengan pihak terkait agar langsung diterapkan di lapangan. Kami menghimbau Menpera segera mengambil keputusan secepatnya. Apalagi program perumahan rakyat ini untuk masyarakat menengah ke bawah, ujarnya. Sebelumnya diberitakan, penikmat subsidi bunga kredit pemilikan rumah boleh lega. Perbankan dan pemerintah sudah hampir satu kata soal suku bunga FLPP. Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo mengatakan, selambat-lambatnya akhir Februari ini nasabah KPR bisa memanfaatkan FLPP. Sesuai kesepakatan dengan Komisi V DPR, selambat-lambatnya akhir Februari 2012 memang sudah harus selesai, ujarnya. Hartoyo mengatakan, secara umum Kemenpera dan empat bank pemerintah, yakni BTN, BNI, BRI dan Bank Mandiri, sudah sepakat memutuskan suku bunga FLPP yakni di kisaran 7,25 persen. Dari kesepakatan bunga tersebut, Kemenpera dan bank penyalur sepakat, pemerintah yang akan menanggung subsidi sebesar 50 persen dari bunga. Namun, hingga kini belum ada kepastian apakah dalam skema subsidi bunga ini akan ada penjaminan terhadap kredit atau tidak. Penjaminan ini bisa menurunkan tingkat risiko bagi bank. [Harian Rakyat Merdeka] http://ekbis.rakyatmerdekaonline.com/read/2012/02/19/55259/Penetapan-Bunga-FLPPMesti-Memihak-KonsumenProgram kepemilikan rumah yang digagas Kemenpera tergabung dalam Fasilitas Likuiditas Pemilikan Perumahan (FLPP) yang lebih diperuntukkan bagi PNS, TNI, Polri dan masyarakat berpenghasilan rendah. Tipe rumah yang dibangun adalah 36 m2 dengan luas minimal 60 m2. http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1847330/perumnas-bangun-100000-unit-rumah-murah

FLPP Dinilai Hanya "Lip Service" PemerintahTuesday, March 6, 2012 JAKARTA, KOMPAS.com Program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digulirkan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dinilai sebatas "lip service". KPR dengan FLPP tak mampu menyelesaikan substansi masalah sebenarnya yakni backlog perumahan yang mencapai angka 13,6 juta. Demikian diungkapkan oleh pakar hukum properti Erwin Kallo, di Jakarta, pada Kamis (1/3/2012). Menurut Erwin, langkah Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz menurunkan suku bunga kredit dari angka 8,15 persen menjadi 7,25 persen pada tahun 2012, tak lantas menjawab permasalahan

backlog. "Substansi masalah sebenarnya adalah bagaimana pemerintah menyelesaikan backlog perumahan. Backlog sendiri terjadi karena terciptanya jenjang antara daya beli masyarakat dan biaya produksi atau harga jualnya," katanya. "Meski Menpera sudah menurunkan suku bunga kredit itu tak signifikan mengurangi backlog. Karena tetap saja biaya produksinya masih mahal," lanjut Erwin.

Menurut pendiri School of Property Law ini, cara paling signifikan untuk mengurangi backlog adalah dengan pengurangan biaya produksi. Jika pemerintah serius membangun rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), maka bisa dimulai dengan pengurangan atau pembebasan pajak. Misalnya, bagi pengembang yang membangun rumah sangat sederhana (RSS), dibebaskan pajak pembelian tanah dan saat penjualan rumah. Dengan perincian pembebasan PPH, BPHTB, IMB, dan biaya lain-lain sampai 30 persen. "Khusus untuk MBR bisa berkurang sampai 30 persen. Jadi harganya bisa lebih murah lagi dari Rp 70 juta," jelasnya. Sementara itu, menanggapi banyaknya permasalahan perumahan dewasa ini, menurut Erwin, tak bisa diselesaikan oleh Kementerian Perumahan Rakyat saja. Menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan dengan kebijakan lintas sektor. Presiden, menurutnya, bisa memerintahkan Menteri Keuangan untuk mengurangi pajak khusus rumah untuk MBR. Kemudian, Kementerian Pekerjaan Umum diperintahkan untuk membangun infrastruktur di pinggiran kota yang menunjang akses perumahan. Langkah lainnya yang dinilai bisa dilakukan Presiden adalah meminta Menteri Dalam Negeri agar memerintahkan pemerintah daerah membebaskan ijin lokasi, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membebaskan BPHTB. Sumber : http://properti.kompas.com/index.php...ice.Pemerint ah

Aturan Baru FLPP Meresahkan Padang Ekspres Sabtu, 03/03/2012 12:39 WIB (jpnn) 1766 klik Surabaya, PadekKementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) mengeluarkan kebijakan yang bisa menghentikan produksi Rumah Sederhana Tapak (RST) di Indonesia.

Pasalnya Kemenpera mengubah skema dan kriteria program Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) 2012 terhadap aturan yang berlaku 2010-2011. Sehingga pengembang tak bisa segera merealisasikan penjualan akibat perubahan aturan.

Ketua REI Setyo Muharso mengatakan ada perubahan dalam kriteria KPR FLPP 2012. Misalnya pada harga rumah maksimal yang bisa mendapatkan FLPP, ungkap Setyo saat dihubungi kemarin. Adapun komponen harga rumah maksimal, FLPP baru mensyaratkan rumah tapak seharga Rp 70 juta. Sedangkan sebelumnya, harga maksimal rumah Rp 80 juta.

Padahal di lapangan, banyak pengembang RST yang sudah terlanjur mengikat perjanjian jual beli dengan konsumen untuk tipe seharga Rp 80 juta. Terutama sejak Januari 2012 hingga pekan ketiga Februari 2012 saat program KPR FLPP sempat mandeg. Apalagi, dalam skema baru tersebut KPR FLPP diberikan untuk rumah mininal tipe 36. Sedangkan data REI menunjukkan 21.143 unit rumah yang dibangun anggota REI di seluruh Indonesia tidak akan bisa menggunakan skema KPR FLPP karena merupakan rumah yang memiliki tipe di bawah 36.

Hal yang sama juga dialami Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Sebab diperkirakan ada 40 ribu rumah yang terlanjur terbangun dan tidak dapat terjual melalui skema KPR FLPP.

Untuk itu, para asosiasi melakukan berbagai cara agar mereka bisa terus menyediakan RST bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Terutama sebagai mitra strategis pemerintah mengurangi angka backlog perumahan yang mencapai 13,6 juta unit. Karena itulah REI sudah mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan untuk mengubah batasan nilai jual RST yang berhak menerima KPR FLLP. Kami mengusulkan besarannya Rp 88 juta, kata Setyo. Untungnya sudah ada fatwa Menkumham yang memungkinkan bahwa stok rumah di bawah tipe 36 bisa mendapat FLPP. Tinggal tunggu keputusan resminya, imbuh dia.

REI memperkirakan RST tipe 36 dengan harga jual Rp 70 juta bisa di bangun di wilayah Indonesia, terkecuali Jawa.Mengingat besaran biaya pembebasan tanah yang jauh melebihi batas. Sehingga REI berharap pemerintah mengeluarkan indeks kemahalan konstruksi. Yang menggambarkan besaran biaya konstruksi pada setiap wilayah di Indonesia. Jadi mungkin saja dibangun rumah tipe 36 harga Rp 70 di Kalimantan, tapi di Jawa harganya akan beda, dia memberikan contoh.

Dalam skema baru KPR FLPP 2012, penghasilan pokok maksimal MBR dinaikkan dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 3,5 juta per bulan untuk rumah tapak. Sedangkan nilai KPR maksimal yang bisa dipinjam dari bank harga rumah tapak Rp 63 juta karena uang muka 10 persen dari harga jual. Jangka waktu yang diberlakukan masih 15 tahun dengan suku bunga 7,25 persen.

Di tempat terpisah, Kemenpera mengungkapkan akan menggandeng BRI Syariah untuk menyalurkan program KPR FLPP. Adanya tambahan bank penyalur FLPP ini diharapkan mempermudah masyarakat untuk mengakses kredit perumahan bersubsidi. Jadi ke depan ada lima bank penyalur FLPP karena sebelumnya ada BNI, BRI, Mandiri, dan BTN yang telah menjalin kerja sama dengan Kemenpera, ujar Menpera Djan Faridz.

BRI yang memiliki banyak cabang sampai ke desa-desa diharapkan dapat merangsang pengembang meningkatkan pembangunan perumahan di daerah. Dengan adanya tambahan bank penyalur KPR FLPP, diperkirakan jumlah unit rumah bertambah dari 160 ribu unit menjadi 200 ribu unit. Apalagi, porsi dana FLPP dari Kemenpera dapat diturunkan dari 65 persen menjadi 50 persen.

Selisih proporsi dana tersebut digunakan untuk menambah jumlah rumah yang disubsidi. Secara otomatis kami akan terus menambah bank penyalur FLPP. Makin banyak penyalur makin bagus karena rakyat makin mudah mengakses kredit perumahan, terangnya.

Tahun ini, BRI berani menarget penyaluran KPR FLPP sebanyak 60 ribu unit. Disusul BNI dan Bank Mandiri yang masing-masing 40 ribu unit dan 30 ribu unit. Sedangkan BTN hanya 16 ribu unit. Apabila target penyaluran KPR FLPP pada 2012 mencapai 200 ribu unit, BRI Syariah mendapat jatah 40 ribu unit. Penyaluran FLPP 2011 mencapai Rp 3,7 Triliun dengan jumlah 109.592 unit. Angka itu meningkat drastis ketimbang 2010 hanya Rp 242 miliar dengan jumlah 7.959 unit. (jpnn)http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=25088

Bagikan7 Rumah Rakyat l Kebijakan Pembiayaan Menghambat Penyerapan Perumahan Murah Skema Bunga FLPP Harus Direvisi

KORAN JAKARTA/M YASIN Sejumlah pengembang mengakui skema baru kebijakan perumahan melalui bunga kredit Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang ditetapkan 7,25 persen masih

memberatkan. Kebijakan baru pengaturan FLPP yang bertujuan mengatasi kekurangan jumlah perumahan justru menghambat penyerapan perumahan. Berdasarkan data sejumlah Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (REI), melalui skema baru FLPP, penyerapan kredit sangat kecil. DPD REI Kalimantan Tengah mencatat, dari target pada 2012 ini yang sebanyak 1.250 unit, penyerapan sekarang hanya mencapai 4 unit. Beberapa daerah lainnya seperti Sumatra Selatan, yang menargetkan penyerapan 1.800 unit, baru terserap 80 unit. Di Sulawesi Selatan, yang menargetkan 787 unit, hingga sekarang hanya terserap 10 unit. Daerah lain yang mengalami penurunan penyerapan akibat skema baru FLPP ialah Jawa Barat yang secara nasional merupakan basis utama pembangunan rumah bagi masyarakat bawah dengan pangsa pasar 40 persen. Setidaknya, sekitar 4 ribu unit rumah di bawah tipe 36 di Jawa Barat, pada 2012 ini, tidak dapat dikreditkan akibat terbentur skema baru aturan FLPP. Di Manado, Sulawesi Utara, penyerapan rumah melalui FLPP sama sekali belum terealisasi. Ketua Umum DPP REI, Setyo Maharso, mengatakan seluruh pengembang yang tergabung dalam REI tidak bisa menjual rumah tipe 36 meter per segi (m2) seharga 70 juta rupiah sebagaimana diatur dalam skema baru FLPP. Menurut dia, 21 ribu unit rumah di bawah tipe 36 m2 yang telah dibangun pengembang dengan harga jual 80 juta rupiah tidak terfasilitasi dengan baik lewat FLPP. "Dalam tiga bulan pertama 2012, ada 21 ribu rumah yang sudah siap KPR tapi tidak bisa akad kredit karena tertahan skema baru aturan FLPP. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar kenaikan harga rumah bebas pajak pertambahan nilai (PPN) diterapkan secara bervariasi berdasarkan kawasan. Penetapan besaran harga rumah diatur menurut biaya produksi dan harga lahan di setiap kawasan," kata Setyo di Manado, Sulawesi Utara, pekan lalu. Dia menambahkan pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah agar besaran harga rumah sejahtera dibebaskan dari pengenaan PPN 10 persen yang berbeda di setiap daerah. Pihaknya mengusulkan agar di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan harga rumah ditetapkan 88 juta rupiah, Sulawesi, Batam, dan Bali 95 juta rupiah, sementara di Papua 145 juta rupiah. Memberatkan Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPD REI Papua, Poerbaraya, mengatakan pihaknya yang paling terbebani dengan skema baru FLPP. Menurut dia, mahalnya harga material bangunan serta tingginya harga tanah tidak memungkinkan skema baru FLPP diterapkan. Dia menjelaskan harga semen per sak ukuran 50 kilogram di dataran terendah di Papua mencapai 150 ribu hingga 200 ribu per sak.

Di Puncak Jaya, harga semen dengan ukuran yang sama dapat mencapai 1,5 juta hingga 2 juta rupiah per sak. "Rumah tipe 36 meter persegi seharga 70 juta rupiah sangat tidak realistis dibangun di wilayah kami. Kondisi geografis daerah kami sangat berbeda dengan daerah lainnya," kata Poerbaraya. Sementara itu, untuk memfasilitasi kredit yang tidak terserap melalui skema baru FLPP, PT Bank Negara Indonesia (BNI) bekerja sama dengan DPP REI membuat skema perkreditan perumahan bertenor 20 tahun bertajuk KPR BNI Griya Idaman yang ditujukan bagi masyarakat bawah. Gatot Mudiantoro Suwondo, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan setidaknya 100 ribu unit rumah seharga di atas 70 juta hingga 200 juta (kisaran 100 juta) dapat terealisasi dalam program perkreditan ini untuk jangka waktu lima tahun mendatang. Menurut dia, pihaknya berupaya merelokasi minat beli konsumen yang tidak terserap oleh FLPP melalui program KPR BNI Griya Idaman. "Potensi pasarnya cukup besar. Bila 21 ribu unit rumah yang tidak terserap oleh FLPP, mudah-mudahan dapat terealisasi dari program ini. Jadi, secara keseluruhan, KPR BNI pada 2012 ini dapat tumbuh sekitar 27 hingga 28 persen," kata Gatot di Manado. Melalui KPR Griya BNI, pihaknya optimistis pangsa pasar BNI di bidang perumahan sebagai penyalur kredit akan mencapai 9,7 persen. Pihaknya, kata dia, secara keseluruhan mengalokasikan sekitar 25 triliun hingga 26 triliun rupiah untuk perkreditan KPR di segmen menengah atas dan bawah. "Pada 2011 lalu, penyerapan FLPP kami hanya kurang dari 100 miliar rupiah dari dana yang kami alokasikan sebanyak 250 miliar rupiah. Pada 2012 ini, kami alokasikan setidaknya 1 triliun hingga lima tahun ke depan untuk segmen menengah bawah. Salah satunya melalui KPR BNI Griya Idaman," tambah Gatot. Secara terpisah, Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), mengatakan skema baru FLPP yang baru diberlakukan kembali pada Februari 2012 lalu berpotensi menghambat penuntasan kekurangan perumahan di Indonesia. Menurut dia, skema baru FLPP yang mengatur minimal tipe rumah 36 meter persegi dengan harga 70 juta rupiah tidak dapat ditemukan di pasaran. "Aturan baru FLPP itu tidak kondusif bagi pasar perumahan di Indonesia karena rumah tipe 36 seharga 70 juta rupiah per unit praktis tidak tersedia di pasaran," kata Ali di Jakarta, barubaru ini. hay/E-6http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/87770

JAKARTA - Realisasi pengembangan rumah bersubsidi diakui sangat memberatkan. Pengembang dan perbankan mengaku kesulitan merealisasikan rumah murah. Sebelumnya, pengembang mengaku kesulitan karena terkait syarat tipe minimal rumah yang harus dibangun, yakni minimal tipe 36 dengan harga jual 70 juta rupiah. Kini, perbankan yang mengeluh. Sebagai penyalur rumah bersubsidi tersebut melalui skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), bank mengalami keterbatasan pasokan rumah untuk segmen tersebut sehingga realisasi kreditnya menjadi stagnan. Direktur Mortgage and Consumer Banking PT Bank Tabungan Negara, Irman Alvian Zahiruddin, mengatakan pihaknya mengambil langkah lain agar keluar dari dilema tersebut dengan menggagas skema kredit alternatif untuk rumah segmen tersebut. "Agar kami tidak bergantung pada bisnis KPR bersubsidi, kami melakukan terobosan KPR berbunga tetap 7,49 persen fixed dua tahun. Kemudian sesudahnya menggunakan suku bunga komersial hingga tenor kredit 25 tahun. Variasi ini untuk nilai kredit di atas 250 juta rupiah," kata Irman di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sebelumnya, bank penyalur FLPP lainnya juga melakukan hal serupa, yakni Bank Negara Indonesia (BNI) yang menggulirkan KPR Griya Idaman. Produk tersebut digulirkan sebagai alternatif pembiayaan rumah bersubsidi. Dengan tenor 20 tahun, sasaran pembiayaan tersebut diarahkan agar konsumen yang membeli rumah di bawah tipe 36 atau luas 36 meter persegi ke atas dapat lebih diserap masyarakat. Skema kredit alternatif yang digulirkan bank BNI di luar skema kredit subsidi mensyaratkan uang muka 10 persen dari nilai kredit. had/E-6 http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/90851