FIX Skenario 2 Blok Mata
-
Upload
siska-dewi-agustina -
Category
Documents
-
view
324 -
download
9
Transcript of FIX Skenario 2 Blok Mata
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berikut ini adalah skenario 2:
Koas Sumanto saat jaga IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi mendapatkan pasien
seorang perempuan usia 40 tahun dengan keluhan mata kanan merah sejak 3hari
yang lalu. Selain itu ia merasa gatal, berair, kelopak mata bengkak dan lengket
ketika bangun tidur di pagi hari. Akan tetapi pasien tidak mengeluh pangangan mata
kanannya kabur ataupun silau.
Pada pemeriksaan didapatkan: VOD 6/6, pada konjungtiva bulbi didapatkan
injeksi konjungtiva, konjungtiva palpebra hiperemi dan secret, kornea jernih.
Setelah melapor kepada senior jaga, koas Sumanto disuruh melengkapi
pemeriksaan dan memberi usulan pemeriksaan/terapi untuk pasien tersebut.
Selanjutnya pasien diperbolehkan rawat jalan.
Skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk
mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran
yang sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: mata
merah, jenis pemeriksaan mata dan interpretasinya, diagnosis banding, penatalaksanaan
dan prognosis penderita.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran
pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini.
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang
bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang
sudah didapatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi, fisiologi, dan histologi dari organa accesoria mata?
2. Bagaimana patofisiologi gejala, tanda dan hasil pemeriksaan pada penderita?
3. Apa saja pemeriksaan mata pada penderita dan bagaimana interpretasinya?
4. Apa kemungkinan diagnosis banding penderita?
1
5. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada penderita?
6. Apakah komplikasi yang mungkin diderita pasien?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan kedokteran klinik terutama yang
berkaitan dengan skenario.
2. Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik ilmu
penyakit mata untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3. Memenuhi tugas kelompok tutorial skenario 2 Blok Mata.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa
dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu
kedokteran klinik ilmu penyakit mata.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI, FISIOLOGI, HISTOLOGI MATA
Kelopak Mata
Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan komea.
Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata
terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata.1,2
Dapat membuka diri untuk memberi jalan masuk sinar kedalam bola mata yang
dibutuhkan untuk penglihatan.2
Pembasahan dan. pelicinan seluruh permukaan bola mata terjadi karena
pemerataan air mata dan sekresi berbagai kelenjar sebagai akibat gerakan buka tutup
kelopak mata. Kedipan kelopak mata sekaligus menyingkirkan debu yang masuk.2
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian
belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.1
Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata
sehingga terjadi keratitis et lagoftalmos.1
Pada kelopak terdapat bagian-bagian :1
- Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis
pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
- Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan
bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot
orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola
mata yang dipersarafi N. facial M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen
orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli
menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra
terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n. III, yang berfungsi
untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
3
- Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di
dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.
- Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan
pembatas isi orbita dengan kelopak depan.
- Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran
pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang merupakan jaringan
penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20 pada
kelopak bawah).
- Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
- Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V, sedang
kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan
melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli.
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet yang
menghasilkan musin.1
Gambar 1. Gambar kelopak mata atas
4
Sistem Lakrimal
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.
Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus
nasolakrimal, meatus inferior.1,2
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :1,2
- Sistem produksi atau glandula lakrimal. Glandula lakrimal terletak di temporo
antero superior rongga orbita.
- Sistem ekskresi, yang terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus
lakrimal dan duktus nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak dibagian depan rongga
orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di
dalam meatus inferior.
Film air mata sangat berguna untuk kesehatan mata. Air mata akan masuk ke
dalam sakus lakrimal melalui pungtum lakrimal. Bila pungtum lakrimal tidak
menyinggung bola mata, maka air mata akan keluar melalui margo palpebra yang disebut
epifora. Epifora juga akan terjadi akibat pengeluaran air mata yang berlebihan dari
kelenjar lakrimal.1
Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya
dilakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai
dakriosistitis, maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal.1
Gambar 2. Sistim Saluran air mata
5
Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang.3 Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat
membasahi bola mata terutama kornea.1
Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau
lensa kontak (contact lens), agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-sama
dengan kelenjar lacrimal yang memproduksi air mata, selaput ini turut menjaga agar
cornea tidak kering.3
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :1
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
- Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
- Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1
Histologi Konjungtiva:
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-
sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superficial dan di dekat linbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
6
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan
folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari
jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran
reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola
mata.13
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas
tarsus atas.
B. KONJUNGTIVITIS
Definisi: Peradangan konjungtiva oleh virus, bakteri, klamidia, alergi atau trauma
Etiologi: A. Infeksi :
1. Virus
2. Bakteri
3. Klamidia (Trachoma)
4. Jamur (Jarang)
B. Non Infeksi
1. Alergi /Hipersensitivitas
2. Toxic/Iatrogenik
3. “Dry Eye Syndrome”
Tanda dan Gejala: konjungtiva hiperemis, edema palpebra, discharge krusta,
gatal(alergi)
Perawatan: _ Lakukan kompres hangat untuk membntu proses penyembuhan dan
mengurangi nyeri
_ Irigasi mata untuk membuang discharge
_ Berikan obat-obatan mata
7
_ Jika bukan infeksi: gunakan eyepad
_ Kaca mata gelap
_ Berikan analgetika
_ Cegah penyebaran infeksi:
_ Gunakan obat dengan botol terpisah (dupleks)
_ Cuci tangan
_ Gunakan waslap/handuk khusus utk infeksi
Tabel 1. Klasifikasi Konjungtivitis serta tanda dan gejala khasnya
Etiologi Gejala Khas sifat sekre
t
Komplikas
i
Terapi
A Viral
Adenoviral
kerato-
conjunctivitis
biasanya
bilateral, injeksi
konjungtival,
folikular,
perdarahan
subkonjungtiva,
pseudomembra
n jika berat
Pembesaran
Kel. Lymphe
preaurikuler(+),
Lemah,subfebri
s, Px.Lab
Sekret:Bakteri(-
),Monosit(+)
Akut-
subak
ut
Watery/
serous
Symptomatik&anti
viral
Vasokonstriksor,
kompres dingin,
istirahat
Herpes
simplex c.
vesicles di
eyelid
unilateral,
folikular
Akut antiviral topikal
untuk mencegah
keratitis
8
Bakterial
Simple
bacterial c.
Injeksi
konjungtiva,Cr
usted eyelids,
Suba
kut
mucop
urulent
antibiotik topical
spektrum luas
Gonococcal
kerato-c.
Konjungtiva
hiperemis,kasar
&kemosis
Akut banyak
,
purule
nt
Ulserasi-
perforasi
kornea,endo
phthalmitis
jika berat
cyprofloxacin/
levofloxacin(topica
l)
cefoxitin/
cefotaxime(IV)
Chlamydial
Adult
chlamydial
kerato-c.
keratitis Gatal,
merah, folikel
besar-
besar,herbet’s
pits, pannus,
variable
peripheral
keratitis
Suba
cute-
kroni
s
Mucou
s,
mucop
urulen
cyprofloxacin(topic
al, oral)
Neonatal
chlamydial c.
papillary Mucop
urulent
cyprofloxacin/
levofloxacin
(topical)
Trachoma Progresif:
folikular-scars-
herbets pits,
pannus-
trichiasis-
sikatriks
enteropion
Doxycilin
1x100mg/hari, 3-4
minggu +Vit.B
Complek,
Tetracyclin salep6-
8 minggu
Azithromycin(siste
mik) drop/1g
singledose,
9
levofloxacin(topica
l)
B Alergi
Allergic rhino-
c.
Edema transient
eyelid&
konjungtiva,
disertai
gangguan pada
hidung. Gatal
(++)
kamb
uh-
kamb
uh
seperti
benang
Vernal kerato-
c.
Mucoid nodul,
trantas dots
Atopic kerato-
c.
Disertai gejala
atopy: asma,
hay fever&
dermatitis.
Palpebra,
hiperemis,
menebal,
laserasi
mukoi
d
mast cell
stabilizers(topical),
steriod(topical)
Tocix Hiperemis,
khemosis,
lakrimasi
stop pemakain
obat, perlu
irigasi/bilas
dengan
BSS/Aqua
bidest,
Astringent, tear
subsitusi.
Steroid ringan
kalau iritasi
berat
Hiperemis,
khemosis,
lakrimasi
10
C. SKLERITIS
Definisi:
Skleritis adalah gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh destruksi
kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun
penyakit sistemik. (Eva PR. 2000).
Etiologi:
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi
invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya
dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:
Penyakit Autoimun Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis
nodosa, Polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener,
Lupus eritematosus sistemik, Pioderma gangrenosum,
Kolitis ulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatik
Penyakit Granulomatosa Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-
Koyanagi-Harada (jarang)
Gangguan metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif
Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster,
Infeksi Herpes Simpleks, Infeksi oleh Pseudomonas,Aspergillus,
Streptococcus, Staphylococcus
Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam
atau basa), Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea,
Pasca ekstraksi katarak
11
Tidak diketahui
Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T
dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari
sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan
pada sklera dan perforasi dari bola mata.2 Inflamasi yang mempengaruhi sklera
berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular.
Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari
skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan
dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik
granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari
sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks
imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang
menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.7
Klasifikasi
Skleritis diklasifikasikan (Foulks GN, Langston DP. 1988)
1. Episkleritis
a. Simple
b. Nodular
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik
terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak
dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis
diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan
jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
a. Difus
12
b. Nodular
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi
okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan
skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun.
3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut
dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular
yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah
obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari
atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti
oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera
setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis
tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang
ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg
perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut
dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu. Obat-obat imunosupresif lain juga dapat
digunakan. Siklofosfamid sangat bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun
dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi
terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus
diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh
sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif
atau efek dari invasi langsung mikroba. Tindakan bedah kemungkinan besar diperlukan
13
apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio
retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai
pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau
tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap
terapi. Kelainan ini sering diserta oleh penurunan penglihatan akibat edema makula.
Dapat terjadi galukoma sudut terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat
steroid.
Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis
pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen
dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada
rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik
dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih
jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis
idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid.
D. KERATITIS
Definisi
Keratitis diartikan sebagai peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang dan edema kornea pada lapisan kornea manapun yang dapat bersifat
akut atau kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus
atau karena alergi.
14
Patofisiologi
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang avaskuler dan membrane
Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam mikroorganisme seperti amoeba, bakteri
dan jamur. Streptococcus pneumonia (pneumokokus) adalah bakteri pathogen kornea
sejati; pathogen lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (misalnya
pada pasien yang mengalami defisiensi imun) agar dapat menimbulkan infeksi.
Moraxella liquefaciens, yang terutama terdapat pada peminum alkohol (sebagai
akibat kehabisan piridoksin), adalah contoh bakteri oportunistik dan dalam beberapa
tahun belakangan ini sejumlah bakteri oportunis kornea baru ditemukan. Diantaranya
adalah Serratia marcescens, kompleks Mycobacterium fortuitum-chelonei, Streptococcus
viridians, Staphylococcus epedermidis, dan berbagai organisme coliform dan Proteus,
selain virus dan jamur.
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada waktu
peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang banyak
mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus
dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel
lekosit, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,
yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada kornea. Bila
tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa
meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi
penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang
dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar
menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan
di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.
Klasifikasi Keratitis
Pembagian keratitis ada bermacam-macam :
15
1. Menurut kausanya
a. Bakteri
Banyak ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain. Streptococcus pneumonia
merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak bagian dunia. Penyebab lainnya
yaitu Pseudomonas aeruginosa, Moraxella liquefaciens, Streptococcus beta-hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Mycobacterium fortuitum, S. epidermidis. Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, Neiseria sp, Corynebacterium dhiptheriae, K.
aegyptus dan Listeria merupakan agen berbahaya oleh karena dapat berpenetrasi ke
dalam epitel kornea yang intak. Sekret yang berwarna kehijauan dan bersifat
mukopurulen khas untuk infeksi oleh karena P. aerogenosa. Kebanyakan ulkus kornea
terletak di sentral, namun beberapa terjadi di perifer.
b. Virus
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial.
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi perikornea,
dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan
luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini
harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus.
c. Jamur
Keratitis fungi banyak dijumpai pada para pekerja pertanian, sekarang makin
banyak dijumpai diantara penduduk perkotaan, dengan dipakainya obat kortikosteroid
dalam pengobatan mata. Sebelum era kortikosteroid, ulkus kornea fungi hanya timbul
bila stroma kornea kemasukan sangat banyak organisme, suatu peristiwa yang masih
mungkin timbul di daerah pertanian. Mata yang belum terpengaruhi kortikosteroid masih
dapat mengatasi organism sedikit-sedikit, seperti yang terjadi pada lazimnya penduduk
perkotaan.
d. Alergi
e. Defisiensi vitamin
16
Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral berwarna kelabu dan
indolen, disertai kehilangan kilau kornea di daerah sekitarnya. Kornea melunak dan
sering terjadi perforasi.
f. Kerusakan N.V (nervus trigeminus)
Jika nervus yang mempersarafi kornea terputus karena trauma, tindakan bedah
peradangan atau karena sebab apapun, kornea akan kehilangan kepekaannya yang
merupakan salah satu pertahanan terhadap infeksi yaitu reflex berkedip. Pada tahap awal
ulkus neurotropik pada pemeriksaan fluorescein akan menghasilkan daerah-daerah
dengan berupa berupa bercak terbuka.
g. Idiopatik
2. Menurut tempatnya
a. Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis serta pada
kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat (misalnya: pada
keratitis punctata superficialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa
dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi partial dan
lain-lain. Lesi-lesi ini juga bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua variasi ini
mempunyai makna diagnostik yang penting.
b. Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat subepitelial
pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan adenovirus 8 dan 19). Umunya
lesi ini dapat diamati dengan mata telanjang namun dapat juga dikenali pada pemeriksaan
biomikroskopik terhadap keratitis epitelial.
c. Keratitis stroma
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang menunjukkan
akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan, atau
parut; penipisan dan perlunakan yang dapat berakibat perforasi; dan vaskularisasi.
d. Keratitis endothelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea, yang mula-mula
mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari edema yang disebabkan oleh
peningkatan TIO, yang mulai pada epitel kemudian pada stroma. Selama kornea tidak
17
terlalu sembab, sering masih dapat terlihat kelainan endotel kornea melalui slit-lamp. Sel-
sel radang pada endotel (endapan keratik atau KPs) tidak selalu menandakan adanya
penyakit endotel karena sel radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya
riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes simpleks
sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis herpetic tidak,
penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis mengenai pemakaian
obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes
simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti
diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya
sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau
(fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut
nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah
dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea
bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar
dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada
kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
pada kornea.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang
meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi
pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak
disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang
purulen.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah
tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan
dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan
18
pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu
peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan,
pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari
infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan.
Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit
dan respon terhadap pengobatan.
Pemeriksaan diagnosis yang biasa dilakukan adalah :
1. Ketajaman penglihatan
2. Tes refraksi
3. Pemeriksaan slit-lamp (biomikroskop), penting untuk pemeriksaan kornea dengan
benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan yang
terang.
4. Respons reflex kornea
5. Goresan ulkus untuk analisis dan kultur
6. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dapat memperjelas lesi epitel
superficial yang tidak mungkin terlihat bila tidak dipulas
Berikut ini adalah jenis keratitis dan bentuknya:
No. Jenis keratitis Bentuk keratitis
19
1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama
sepertiga bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau
lonjong) dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella-
zoster
Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang
linear (pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus
namun paling mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom
Sjorgen
Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,
terpulas fluorescein; filament epithelial dan
mukosa khas; terutama belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar
akibat lagoftalmus atau
eksoftalmus
Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas
fluorescein; terutama di belahan bawah kornea
7. Keratokonjungtuvitis
vernal
Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan
berbercak-bercak kelabu, paling mencolok di
daerah pupil atas. Kadang-kadang membentuk
bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele
HS, HZ dan destruksi
ganglion gaseri
Edema epitel berbercak-bercak; difus namun
terutama di fissure palpebrae, pukul 9-3
9. Keratitis karena obat-
terutama antibiotika
spectrum luas
Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan
edema seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
10. Keratitis superficial
punctata (SPK)
Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau
lonjong; menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis
limbic superior
Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di
sepertiga atas kornea; filament selama
eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus
20
12. Keratitis rubeola,
rubella dan parotitis
epidemika
Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah
pupil
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein
pada sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi
vitamin A
Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel
akibat keratinisasi partial; berhubungan
dengan bintik-bintik bitot
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki
ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan
klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus
dan luasnya infiltrat.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga
untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal
ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis
dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial
jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.
Penatalaksanaan pada keratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan
etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir. Untuk bakteri
gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian
antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin
atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan.
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi
21
keluhan-keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin
yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang
waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada KPS
ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya jaringan
parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif seperti fotobia namun pada
umumnya pada pemeberian steroid dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga
dapat memperpanjang infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut
adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi dan
terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan
glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah berat
radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat menyembunyikan gejala penyakit lain.
Penggunaan kortikosteroid pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan
untuk diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan
bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi
peradangannya seperti halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri
karena tidak akan menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan
juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak terlaru sering
terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga terjadi pada
konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar matahari, udara panas,
dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah memiliki riwayat atopi
sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya karena dapat memperberat
lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan
diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.
22
Prognosis
Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan prognosis
fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis itu sendiri. Jika lesi pada
keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus kornea dan jika lesi pada keratitis
tersebut telah melebihi dari epitel dan membran bowman maka prognosis fungsionam
akan semakin buruk. Hal ini biasanya terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya
kurang adekwat, kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah
dianjurkan, terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan
seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena mata pasien tersebut
masih terpapar secara berlebihan oleh lingkungan luar, misalnya karena sinar matahari
ataupun debu.
Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun serta dapat pula mengakibatkan timbulnya
katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh steroid.
E. UVEITIS
Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis banyak penyebabnya
dan dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Pada kebanyakan kasus,
penyebabnya tidak diketahui.
Penyakit peradangan pada traktus uvealis umumnya unilateral. Bentuk uveitis
paling sering adalah uveitis anterior akut atau iritis yang umumnya unilateral dan ditandai
adanya riwayat sakit, fotofobia dan penglihatan kabur. Serta mata merah (merah
sirkumkorneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau irreguler. Bentuk uveitis
lainnya adalah uveitis posterior, intermediet, dan panuveitis.
Definisi
Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis dapat diklasifikasikan menurut
anatominya :
1. Uveitis anterior dibagi dalam dua kelompok:
Iritis: dimana inflamasi umumnya mengenai iris.
23
Iridocyclitis: dimana mengenai dari iris dan bagian anterior dari korpus
ciliaris.
2. Uveitis Intermediet adalah inflamasi dari uvea yang mengenai korpus ciliaris
bagian posterior (Pars Plana), retina perifer dan sedikit koroid.
3. Uveitis Posterior adalah inflamasi yang mengenai koroid dan retina posterior
sampai ke dasar dari vitreus.
4. Panuveitis adalah inflamasi yang mengenai selurh bagian dari badan uvea
Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu
trauma tembus okuli, walaupun kadang – kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi
terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar
mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam
(antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius.
Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu
setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier
sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel
kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea.
Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit
ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada
24
perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca
nodules.
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris
dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris
dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel
radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan
tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari
bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata
belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe. Selanjutnya
tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos
humor yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan
siliar.
Gambaran Klinik
1. Uveitis anterior
a. Gejala subyektif
1) Nyeri
2) Fotofobia dan lakrimasi
3) Kabur
b. Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila
diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1. Hiperemi iris
2. Pupil mengecil
3. Nodul Koeppe di pinggir pupil
4. Nodul Busacca didepan iris
5. Granuloma iris
6. Sinekia iris
7. Oklusi pupil
25
8. Atrofi iris
9. Kista iris
10.Perubahan pada lensa
1. Pengendapan sel radang
2. Pengendapan pigmen
3. Perubahan kejernihan lensa
11. Perubahan dalam badan kaca
12. Perubahan tekanan bola mata
2. Uveitis intermediet
a. Gejala subjektif
Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang kabur
dan floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia.
b. Gejala Objektif
Secara umum, segmen anterior tenang dan kadang-kadang terdapat flare di
kamera okuli anterior. Dapat ditemukan pula sel dan eksudat pada korpus vitreus.
3. Uveitis Posterior
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat
berterbangan” atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat yaitu
apabila koroiditis mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior bola mata
tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior
tidak disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi.
Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama
terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru
didapatkan tepi lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan
disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathing pembuluh darah.
26
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan
disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang lebih
lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih
dahulu terkena.
Pemeriksaan Penunjang
1. Flouresence Angiografi
2. USG
3. Biopsi Korioretinal
Diagnosis
Diagnosis uveitis ditegakkan berdasarkan anamnesa yang lengkap, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang menyokong.
Pengobatan
Pengobatan uveitis pada umumnya digunakan obat-obatan ntraoc. Seperti
sikloplegik, OAINS atau kortikosteroid. Pada OAINS dan kortikosteroid, dapat juga
digunakan obat-obatan secara sistemik. Selain itu, pada pengobatan yang tidak
beresponsif terhadap kortikosteroid, dapat digunakan imunomodulator.
a. Mydriatik dan Sikloplegik
Midriatik dan sikloplegik berfungsi dalam pencegahan terjadinya sinekia posterior dan
menghilangkan efek fotofobia sekunder yang yang diakibatkan oleh spasme dari otot
siliaris. Semakin berat reaksi inflamasi yang terjadi, maka dosis sikloplegik yang
dibutuhkan semakin tinggi
b. OAINS
Dapat berguna sebagai terapi pada inflamasi post operatif, tapi kegunaan OAINS dalam
mengobati uveitis anterior endogen masih belum dapat dibuktikan. Pemakaian OAINS
yang lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti ulkus peptikum, perdarahan traktus
digestivus, nefrotoksik dan hepatotoksik.
c. Kortikosteroid
Merupakan terapi utama pada uveitis. Digunakan pada inflamasi yang berat. Namun,
karena efek sampingnya yang potensial, pemakaian kortikosteroid harus dengan indikasi
yang spesifik, seperti:
27
· Pengobatan inflamasi aktif di mata
· Mengurangi ntraocula inflamasi di retina, koroid dan N. Optik
d. Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam
penglihatan yang sudah tidak beresponsif terhadap kortikosteroid. Imunomodulator
bekerja dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi
inflamasi. Indikasi digunakannya imunomodulator adalah
1. Inflamasi ntraocular yang mengancam penglihatan pasien
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis pasien
tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau kelainan
darah. Dan, sebelum dilakukan informed concent.
Prognosis
Pada uveitis anterior gejala klinis dapat hilang selama beberapa hari hingga
beberapa minggudengan pengobatan, tetapi sering terjadi kekambuhan. Pada uveitis
posterior, reaksi inflamasi dapat berlangsung selama beberapa bulan hingga tahunan dan
juga dapat menyebabkan kelainan penglihatan walaupun telah diberikan pengobatan.
Komplikasi
1. Glaukoma, peninggian tekanan bola mata.
2. Katarak.
3. Neovaskularisasi.
4. Ablatio retina.
5. Kerusakan nervus optikus.
6. Atropi bola mata.
28
F. BLEPHARITIS
Definisi
Blefaritis adalah radang pada kelopak mata, sering mengenai bagian kelopak mata
dan tepi kelopak mata. Pada beberapa kasus disertai tukak atau tidak pada tepi kelopak
mata, biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.
Blefaritis adalah inflamasi kronik batas kelopak mata. Dapat disebabkan yang
paling umum oleh seborea (nonulseratif), atau infeksi stapilokokus (ulseratif), atau
keduanya. (Keperawatan Medikal Bedah vol.3).
Etiologi
Berdasarkan penyebabnya blefaritis dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Blefaritis Ulseratif
Penyebabnya adalah staphylococcus aureus, staphylococcus epidermidis.
b. Blefaritis Non-Ulseratif
Penyebabnya adalah kelainan metabolisme dan jamur pitirusponem ovale.
Secara umum :
a. Infeksi/alergi yang biasanya berjalan kronik/akibat disfungsi kelenjar
meibom.
Contoh : Debu, asap, bahan kimia, iritatif/bahan kosmetik.
b. Infeksi bakteri stafilokok, streptococcus alpha/beta hemolyticus, pnemokok,
psedomonas, demodex folliculorum, hingga pityrosporum ovale.
c. Infeksi oleh virus disebabkan herpes zoster, herpes simplex, vaksinia dan
sebagainya.
d. Jamur dapat menyebabkan superfisial (sistemik).
Klasifikasi
29
a. Blefaritis Ulseratif
b. Blefaritis Seboreik
Gejala Klinis
Blefaritis Ulseratif:
Pada kasus blefaritis ini bulu mata rontok dan tidak dapat diganti oleh yang
baru sehingga menyebabkan pasien fotofobi.
Iritasi, rasa terbakar dan gatal pada tepi kelopak mata
Pada pangkal rambut terdapat sisik kering (krusta) berwarna kuning pada
bulu mata. Jika sisik dilepas tampak ulkus-ulkus kecil di tepian palpebra
Palpebra merah.
Terjadi pertumbuhan bulu mata yang mengarah ke dalam atau kearah bola
mata (trikiasis) yang akan menyebabkan ulserasi kornea.
Blefaritis Seboreik
Bulu mata cepat rontok tetapi masih dapat diganti dengan yang baru
Iritasi, rasa terbakar dan gatal pada tepi kelopak mata
Tidak ditemukan krusta tetapi terdapat skuama pada pangkal bulu mata,
kepala, alis, telinga
Tidak terjadi ulserasi
Tepian palpebra tidak begitu merah
Pemeriksaan fisik
Difokuskan pada pemeriksaan kelopak mata
Inspeksi :
Pada kasus blefaritis ini diinspeksi bulu mata rontok sehingga
menyebabkan pasien fotofobi
Pada pangkal rambut terdapat sisik kering (krusta) berwarna kuning pada
bulu mata atau terdapat skuama.
Jika sisik dilepas tampak ulkus-ulkus kecil di tepian palpebra
Palpebra merah atau tidak terlalu merah.
30
Terjadi pertumbuhan bulu mata yang mengarah ke dalam atau kearah bola
mata (trikiasis) yang akan menyebabkan ulserasi kornea.
Palpasi:
Terdapat penebalan palpebra, nyeri tekan daerah palpebra (kelopak mata)
Pemeriksaan penunjang
Dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahui penyebabnya:
Uji Laboratorium
Radiografi
Fluorescein Angiografi
Computed Tomografi
Pemeriksaan dengan slit lamp
Prognosis
Bisa menyebabkan komplikasi dan terjadi kekambuhan. Namun, blefaritis tidak
menyebabkan kerusakan pandangan dan penglihatan.
Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung dari jenis blefaritisnya, namun kunci dari semua jenis
blefaritis adalah menjaga kebersihan kelopak mata dan menghindarkan dari kerak. Sangat
dianjurkan untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan bedak atau kosmetik saat
dalam penyembuhan blefaritis, karena jika kosmetik tetap digunakan maka akan sulit
untuk menjaga kelopak mata tetap bersih.
Terapi meliputi pembersihan secara cermat setiap hari batas tepi kelopak mata
(palpebra) menggunakan aplikator berujung kapas, shampo noniritatif seperti shampoo
bayi tidak pedih dimata, air dan gosokan lembut. Dapat diberikan kompres air hangat
pada kedua mata.
Menggunakan teknik aseptic, pasien atau perawat mengangkat krusta dengan
waslap dan memberikan antibiotika dan steroid topical untuk kasus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri.
Komplikasi
31
a. Sindrom mata kering
b. Konjungtivitis
d. Kista meibom
e. Bintil pada kelopak mata
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario kedua dari blok mata ini, pasien mengeluh mata merah sejak tiga
hari yang lalu, terasa gatal, berair, kelopak mata bengkak, dan terasa lengket ketika
membuka mata terutama di pagi hari. Namun, dari pemeriksaan lebih lanjut visus mata
kanan (VOD) pasien normal (tidak mengalami penurunan) yaitu 6/6, tidak ada
kekaburan mata, dan silau. Selain gejala yang telah disebutkan, juga didapati injeksi
konjungtiva, konjungtiva palpebra hiperemi, dan sekret kornea jernih.
Mata merah merupakan tanda dari adanya peningkatan pasokan darah ke dalam
mata, mata merah dapat dibagi menjadi dua yang fisiologis dan patologis. Pada kondisi
fisiologis terjadi seperti ketika mata menangis, mata lelah atau mengantuk, mata setelah
bangun tidur, dll. Sedangkan mata merah patologis dapat terjadi karena beberapa hal
seperti infeksi, peradangan, alergi, trauma, dll. Pasokan darah berlebih yang masuk ke
mata terjadi karena memang mata membutuhkan lebih banyak oksigen seperti dalam
kondisi mata lelah. Sedangkan dalam proses peradangan yang dapat diakibatkan oleh
alergi maupun infeksi mata juga mendapatkan pasokan darah yang lebih. Dalam skenario
ini mata merah pasien tergolong mata merah patologis (konjungtivitis). Mata merah ini
merupakan hasil dari vasodilatasi pembuluh darah yang ada di bulbus oculi maupun
konjungtiva. Adapun mata merah karena alergi, vasodilatasi muncul karena adanya
histamine yang dihasilkan akibat adanya reaksi antigen antibodi pada tubuh.
Pada konjungtivitis mata merah paling jelas terlihat pada forniks dan makin
berkurang ke arah limbus karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior
(injeksi konjungtiva). Warna merah terang menunjukkan adanya infeksi bakteri
sedangkan mata yang putih mengesankan konjungtivitis alergika. Hiperemia tanpa
infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angina, sinar matahari, asap,
32
dll. Tetapi sesekali bisa muncul pada penyakit yang berhubungan dengan ketidakstabilan
vaskuler.
Rasa gatal di mata pada konjungtivitis alergika terjadi karena reaksi dari histamin.
Namun jika konjuntivitis diakibatkan dari adanya bakteri, toksik, maupun virus. Gatal
yang terasa paling hebat terutama gatal yang diakibatkan oleh reaksi alergi pada mata.
Mata berair (epifora), sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda
asing, sensasi terbakat, tergores, atau karena rasa gatal. Transudasi ringan juga timbul
dari pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya
sekresi air mata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitas sika.
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudatnya berlapis-lapis
dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergika, pada
hampir semua konjungtivitis didapati banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur,
jika eksudat sangat banyak dan palpebranya saling melekat.
Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot
muller/tarsal. Keadaan ini dijumpai pada beberapa konjungtiva berat.
Untuk itu pasien perlu melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut seperti
pemeriksaan kultur dari sekret yang keluar dari mata dan uji sensitivitas antibiotic jika
konjungtivitis diakibatkan oleh bakteri. Namun selagi menunggu hasil dari pemeriksaan
tersebut, setelah diambil sekret sebagai sample, pasien diberikan anti inflamasi dan
antibiotik spektrum luas yang sistemik. Namun jika konjungtivitas alergik maka perlu
diberikan antihistamin topikal, dan menghindari allergen yang dapat menimbulkan reaksi
alergi pada tubuh.
Prognosis dari gejala-gejala yang dialami pasien adalah baik, jika pasien segera
memeriksakan diri, dan mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat.
33
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Mata merah yang dikeluhkan pasien dalam skenario ini merupakan hasil dari
vasodilatasi pembuluh darah yang ada di bulbus oculi maupun konjungtiva
sebagai mekanisme mata meningkatkan pasokan darah yang berkurang akibat
terinfeksi bakteri, virus, jamur, peradangan, trauma dll.
2. Dari skenario, didapati pasien yang matanya merah namun visusnya normal,
kemungkinan terkena konjungtivitis bakteri
3. Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, klamidia, alergi atau trauma. Pasien dengan konjungtivitis dapat
memberikan gejala konjungtiva hiperemis, edema palpebra, discharge krusta,
gatal(alergi).
SARAN
1. Dokter sebaiknya melengkapi pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan
kultur (pengecatan Giemsa) dari sekret yang keluar dan uji sensitivitas antibiotik
(jika konjungtivitis bakteri) untuk dapat menegakkan diagnosis penyakit.
2. Sambil menunggu pemeriksaan, dokter dapat memberikan pasien anti inflamasi
dan antibiotik spektrum luas yang sistemik. Namun jika konjungtivitas alergik,
maka perlu diberikan antihistamin topical, dan menghindari allergen yang dapat
menimbulkan reaksi alergi pada tubuh.
3. Selain itu pasien juga dapat diberi edukasi untuk tidak mengucek mata, selalu cuci
tangan yang bersih terlebih saat menyentuh mata dan mengompres mata dengan
air hangat untuk membantu proses penyembuhan dan mengurangi nyeri.
34
4. Pasien disarankan pula untuk kembali berkonsultasi pada dokter jika didapatkan
keluhan memberat, seperti sekret yang menjadi purulen, penglihatan semakin
kabur, dll.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. Externa Disease And Cornea, San Fransisco 2006-2007 : 8-12, 26-35
Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P, ed. Oftalmologi Umum 14th ed. Jakarta : Widya Medika; 2000, 129-52
Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog. 1988; 111-6
Gaeta, TJ. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 30 November 2008]
Ilyas S, 2002. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta; Sagung Seto
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56
Mason H. Anatomy and Physiology of the Eye, in Mason, H. & McCall, S. Visual
Impairment: Access to Education for Children and Young People, David Fulton
Publishers, London, 1999. p:30-38.
Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Airlangga, Surabaya, 1984. h:1-8
Singh D. Keratitis fungal. Available from:URL:http:///www.eMedicine.com /oph/topic99.htm.
Skuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Intraocular Inflammation and Uveitis. Singapura; American Academy Ophtalmology
Thygeson, Phillips. 1950. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical Association; 144:1544-1549.
35
Vaughan Daniel, 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta; Wydia Medika
Wijana Nana SD. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal; 1993, 86-102
36