FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme · FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan...

2
FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme Dikirim oleh prasetyaFISIP pada 08 Mei 2017 | Komentar : 0 | Dilihat : 1020 1399_20170509095604 FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan “Pemuda dan Nasionalisme”. Asisten Dosen Sosiologi FISIP UB Yogi Eka Chalid Farobi mengatakan tema tersebut sebagai bentuk keresahan bagaimana kualitas pemuda dalam konteks pemahaman, kecintaan, dan perilakunya terhadap realitas ke- Indonesiaan berada pada titik terendah. “Nilai – nilai Nasionalisme itu termanifestasi dalam nilai - nilai sosial seperti gotong royong, toleransi antar masyarakat, dan keterbukaan untuk saling menerima keadaan. Hal tersebut mulai terkikis di perilaku pemuda zaman sekarang. Lebih pentingnya lagi, saat ini masyarakat harus sadar bahwa terdapat hujaman dan kekuatan – kekuatan tertentu yang menghendaki agar nilai-nilai perilaku positif itu terkikis, disni kekuatan yang paling besar itu adalah ekonomi, ekonomi kemudian men-setting hal –hal tersebut melalui media massa, media sosial yang sengaja dicetak untuk merubah perilaku termasuk di dalamnya keengganan untuk mencintai bangsanya sendiri,” kata Yogi saat diwawancarai Jumat lalu (5/4/17). Yogi menambahkan pengaplikasian nilai-nilai luhur seperti sopan santun, toleransi, dan kepedulian di setting untuk mengikuti selera produsen ekonomi, hal ini menjadi keresahan dan sebagai peringatan kepada pemuda untuk tidak menjadi generasi prakmatis dan korban mode, serta tidak menjadi followers yang hakikatnya followers penuh kepentingan dan justru bagaimana pemuda memahami bagaimana menjadi produktif, karena nasionalisme tidak hanya dengan omongan, tapi dengan perilaku, serta berfikir apa yang bisa dikontribusikan kepada masyarakat indonesia. “Pemuda zaman sekarang tengah menghadapi dua jenis nasionalisme yaitu nasionalisme substansial dan artifisial. Saat ini yang dilakukan media massa adalah membangun nasionalisme itu artifisal yakni secara tidak nyata, yang sebatas hanya dipermukaan saja dan sebagai bungkus saja, tidak mengena pada kehidupan sehari hari, contohnya ada petisi tentang kemiskinan yang harus dilawan, tapi nihil aplikasi serta tidak ada praktek di lapangan, masyarkat yang menandatangani atau bersimpati perilakunya tetap hedonis, ngawur dan tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya, lain halnya jika di medsos menggembor - nggemborkan perubahan, hal ini tentunya mudah hilang, nasionalisme seprti ini cuma dipermukaan saja, dan anehnya itu menjadi trend kita, yakni nasionalisme tanpa substansi jelas dalam diri kita” papar Yogi. Laode Machdani Afala, S.IP., M.A. selaku dosen ilmu Pemerintahan FISIP UB menambahkan membangun nasionalisme memang tidak mudah, perlu latihan, perlu membaca dan memperbanyak diskusi, sehingga pemuda terbangun dari kegelisahan serta keinginan untuk membangun nasonalisme.

Transcript of FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme · FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan...

Page 1: FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme · FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan “Pemuda dan Nasionalisme”. Asisten Dosen Sosiologi FISIP UB Yogi Eka Chalid Farobi

FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme

Dikirim oleh prasetyaFISIP pada 08 Mei 2017 | Komentar : 0 | Dilihat : 1020

1399_20170509095604

FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan “Pemuda dan Nasionalisme”.

Asisten Dosen Sosiologi FISIP UB Yogi Eka Chalid Farobi mengatakan tema tersebut sebagai bentuk  keresahan bagaimana  kualitas pemuda dalam konteks pemahaman, kecintaan, dan perilakunya terhadap realitas ke-Indonesiaan berada pada titik terendah.

“Nilai – nilai Nasionalisme itu termanifestasi dalam nilai - nilai sosial seperti gotong royong, toleransi antar masyarakat, dan keterbukaan untuk saling menerima keadaan. Hal tersebut mulai terkikis di perilaku pemuda zaman sekarang. Lebih pentingnya lagi, saat ini masyarakat harus sadar bahwa terdapat hujaman dan kekuatan – kekuatan  tertentu yang menghendaki agar nilai-nilai perilaku positif itu terkikis, disni kekuatan yang paling besar itu adalah ekonomi, ekonomi kemudian men-setting hal –hal tersebut melalui media massa, media sosial yang sengaja dicetak untuk merubah perilaku termasuk di dalamnya keengganan untuk mencintai bangsanya sendiri,” kata Yogi saat diwawancarai Jumat lalu (5/4/17).

Yogi menambahkan pengaplikasian nilai-nilai luhur seperti sopan santun, toleransi, dan kepedulian di setting untuk mengikuti selera produsen ekonomi, hal ini menjadi keresahan dan sebagai peringatan kepada pemuda untuk tidak menjadi generasi prakmatis dan korban mode,  serta tidak menjadi followers yang hakikatnya followers penuh kepentingan dan justru bagaimana pemuda memahami bagaimana menjadi produktif, karena nasionalisme tidak hanya dengan omongan, tapi dengan perilaku, serta berfikir apa yang bisa dikontribusikan kepada masyarakat indonesia.

“Pemuda zaman sekarang tengah menghadapi dua jenis nasionalisme yaitu nasionalisme substansial dan artifisial. Saat ini yang dilakukan media massa adalah membangun nasionalisme itu artifisal yakni secara tidak nyata, yang sebatas hanya dipermukaan saja dan sebagai bungkus saja, tidak mengena pada kehidupan sehari hari, contohnya ada petisi tentang kemiskinan yang harus dilawan, tapi nihil aplikasi serta tidak ada praktek di lapangan, masyarkat yang menandatangani atau bersimpati perilakunya tetap hedonis, ngawur dan tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya,  lain halnya jika di medsos menggembor - nggemborkan perubahan,  hal ini tentunya mudah hilang, nasionalisme seprti ini cuma dipermukaan saja, dan anehnya itu menjadi trend kita, yakni nasionalisme tanpa substansi jelas dalam diri kita” papar Yogi.

Laode Machdani Afala, S.IP., M.A. selaku dosen ilmu Pemerintahan FISIP UB menambahkan membangun nasionalisme memang tidak  mudah, perlu latihan, perlu membaca dan memperbanyak diskusi, sehingga pemuda terbangun dari kegelisahan serta keinginan untuk membangun nasonalisme.

Page 2: FISIP UB Gelar Diskusi Pemuda dan Nasionalisme · FISIP UB menggelar diskusi bersama bertemakan “Pemuda dan Nasionalisme”. Asisten Dosen Sosiologi FISIP UB Yogi Eka Chalid Farobi

 “Gejala Masyarakat zaman sekarang ini adalah gejala instan, seperti  beragama dengan cara yang ekstrim, agama itu kemudian kan sebagai bentuk pemahaman semua itu harus diletakkan secara proposional.  Lalu ada juga K-pop, bukan berarti mode itu harus kita ikuti, kita harus membaca realitas atau fenomena secara lengkap, karena jika lengkap kita dapat memberikan sebuah pertimbangan, dan jangan setengah-setengah sehingga bingung harus menentukan jalan yang akan diambil dan mana yang tidak,” papar Yogi.

Yogi menambahkan bahwa kalangan muda saat ini kurang belajar dan membaca sehingga banyak dari mereka yang memiliki budaya instan salah satunya menganggap  K-Pop menjadi semacam jalan atau hal yang bisa mereka ikuti dengan alasan mereka suka.

Yogi menganggap hal ini tidak rasional karena tidak bisa memilih mana yang harus diikuti dan mana yang cukup dikagumi. Ia mengatakan pemuda harus tetap kritis dan terbuka, serta menggali ilmu dengan membaca.

“Saat ini, kampus dan Mahasiswa sekedar menggugurkan kewajiban normatif tanpa substansi yang jelas, aktivis mahasiwa sekedar aktivsime, seakan - seakan sibuk, tapi kesibukan tersebut tidak memiliki nilai. Niilai – nilai yang dimaksud adalah nilai – nilai  kebermanfaatan dan keberpihakan kepada masyarakat, dalam konteks – konteks, banyak acara – acara mahasiswa yang di dalamnya tidak terlihat nilai – nilai, yang penting usai, sudah menjalankan prokernya, jarang  penyelenggaraan diskusi, padahal diskusi penting untuk melebarkan wacana, meluas cakrawala berpikir, dan kita bisa paham perbedaan dan kekurangan,” jelas Yogi.

Selain itu menurutnya saat ini acara mahasiswa di kampus lebih cenderung ke hal - hal yg sifatnya gemerlap atau mewah,  yang perlu ditekankan kepada mahasiswa ialah bagaimana mahasiswa memahami pengabdian masyarakat, terlepas di jaman sekarang sudah banyak sekali perbedaan, seperti aksi yang ingin diliput media.

Nasionalisme tidak akan tumbuh dengan hal hal yang seperi itu, nasionalisme akan tumbuh dengan keterbukaan cakrawala berpikir dari membaca sekaligus dengan membangun jejaring  korepondensi dari luar, hal hal tersebut dapat dilakukan untuk memperkuat fondasi nasionalisme. (Anata/Humas FISIP/Humas UB)