Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia ISBN: 978...

125

Transcript of Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia ISBN: 978...

Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia

ISBN: 978-979-1458-94-8

©2015 Andira

Diterbitkan oleh CV. Andira

Anggota IKAPI

Penyunting isi:

Suaydhi, M.Sc

Prof. DR. Eddy Hermawan

DR. Ninong Komala

Prof. DR. Chunaeni Latief

DR. Muhayatun

Penyunting Naskah: Gammamerdianti, S.Si, Asri Indrawati, S.Si, M.T,

Candra Nur Ihsan, S.Kom

Disain Isi dan Kulit Muka: Gammamerdianti, S.Si

Dicetak oleh CV Andira

Cetakan Pertama, 2015

Penerbit Andira

Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung.

Telp/Fax: (022) 86065361

E-mail: [email protected]

Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk

apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Judul/Penyunting Isi: Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di

Indonesia/Suaydhi, M.Sc, Prof. DR. Eddy Hermawan, DR. Ninong

Komala, Prof. DR. Chunaeni Latief, DR. Muhayatun.

- Cetakan pertama - Bandung: CV. Andira, 2015.

v + 120 hal. ; 18 x 25 cm

ISBN:

Dari Penerbit

iii

DARI PENERBIT

Sebagai salah satu dari dua kepusatan dibawah Kedeputian Bidang

Sains Antariksa dan Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN), Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) mempunyai

visi untuk menjadi pusat keunggulan sains atmosfer. Visi ini dicapai

dengan misi membangun kompetensi dan kapasitas di bidang pemodelan

atmosfer, komposisi atmosfer dan teknologi atmosfer.

Dalam rangka mencapai misi tersebut, salah satunya adalah

dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media publikasi ilmiah.

Selain penyelenggaraan seminar dan publikasi hasil penelitian dalam

bentuk prosiding dan jurnal, PSTA juga melakukan publikasi buku ilmiah

Buku ilmiah dengan judul Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di

Indonesia memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan di PSTA, yang

diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan kemampuan dalam

menyampaikan hasil penelitian bagi para penulis, dan dapat memberikan

pemahaman akan topik-topik seputar sains atmosfer bagi para pembaca.

Masukan dan saran untuk penyempurnaan buku ini sangat kami

harapkan.

Penerbit Andira

Email: [email protected]

iv

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, Buku Ilmiah Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer (Buku PSTA) tahun 2015 dengan judul “Fisika, Kimia dan

Dinamika Atmosfer di Indonesia” telah dapat diterbitkan. Semua makalah

dalam buku ini telah menjalani tahapan review dan penyuntingan.

Makalah yang terdapat dalam buku ini berjumlah 8 makalah yang

membahas tentang proses fisika, kimia dan dinamika atmosfer yang

terjadi di Indonesia. Makalah–makalah tersebut membahas berbagai

permasalahan, mulai dari evaluasi kebeningan atmosfer pada saat langit

cerah, pengembangan metoda pengolahan data profil vertical atmosfer

berbasis satelit, penelitian tentang ozon di lapisan stratosfer atas,

sensitifitas model numerik dalam memprediksi fase aktif Madden-Julian

Oscillation, pengembangan metode identifikasi awal musim berdasarkan

data satelit, variasi musiman berbagai jenis awan di Indonesia, serta

prediksi dan validasi beberapa parameter meteorologi diurnal yang

berdasarkan luaran model. Keberadaan data satelit yang semakin tinggi

resolusinya baik dalam ruang maupun waktu dan kualitas model numeric

yang makin membaik sangat membantu dalam penelitian fisika, kimia dan

dinamika atmosfer di Indonesia. Kedua sumber data tersebut sangat

bermanfaat bagi kajian-kajian sains atmosfer selanjutnya.

Demikian gambaran sekilas dari artikel dalam buku ini. Terima

kasih kepada para penulis yang telah berpartisipasi dalam penulisan buku

“Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia”, para penyunting yang

telah mengoreksi dan melengkapi tulisan, serta para penyunting naskah

yang telah memperbaiki tampilan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat

dalam pengembangan penelitian sains atmosfer selanjutnya serta dapat

memberikan pencerahan kepada masyarakat umum dalam memahami

fisika, kimia dan dinamika atmosfer. “Tiada gading yang tak retak” adalah

ungkapan terakhir dari penyusun buku ini untuk segala kekurangan dan

kesalahan yang terdapat dalam buku ini.

Bandung, November 2015

Dewan Redaksi

v

DAFTAR ISI

Dari Penerbit iii

Kata Pengantar iv

Daftar isi v

1. BILANGAN KEBENINGAN ATMOSFER DI ATAS KOTA

BANDUNG DAN MAKASSAR PADA SAAT LANGIT CERAH 1

Saipul Hamdi

2. PENGEMBANGAN METODE PENGOLAHAN DATA PROFIL

VERTIKAL ATMOSFER BERBASIS SATELIT 15

Sinta Berliana S, Risyanto, Krismianto dan Edy M

3. PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP OZON DI LAPISAN

STRATOSFER ATAS HASIL OBSERVASI MLS-AURA 31

Novita Ambarsari dan Ninong Komala

4. IDENTIFIKASI FASE AKTIF MJO DI BENUA MARITIM

INDONESIA DALAM MODEL CCAM 43

Erma Yulihastin, Nurzaman Adikusumah dan Eddy H

5. INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL

TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA 59

Haries Satyawardhana dan Erma Yulihastin

6. IDENTIFIKASI AWAL MUSIM DI PULAU JAWA BERBASIS

DATA SATELIT TRMM 75

Krismianto

7. VARIASI MUSIMAN BERBAGAI JENIS AWAN DI INDONESIA 87

Suaydhi, Farid Lasmono dan Aisya Nafiisyanti

8. PREDIKSI DAN VALIDASI BEBERAPA PARAMETER

METEOROLOGI DIURNAL LUARAN MODEL 105

CCAM-NWP DI KOTOTABANG

Iis Sofiati

Saipul Hamdi, dkk Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota

Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

1

BILANGAN KEBENINGAN ATMOSFER DI ATAS KOTA

BANDUNG DAN MAKASSAR PADA SAAT LANGIT CERAH

Saipul Hamdi, Sumaryati, Sri Kaloka

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Insolasi di Kota Bandung (06⁰54’LS, 107º37'BT) dan Makassar

(05º08’LS, 119º27’BT) telah dianalisa untuk menentukan

bilangan kebeningan atmosfer pada periode waktu 5 tahun di

Bandung dan 3 tahun di Makassar. Dengan mempelajari karakter

insolasi harian secara berhati-hati untuk menentukan kriteria

langit cerah maka hanya tersisa beberapa hari cerah dalam tiap-

tiap tahunnya. Perbandingan antara insolasi dan radiasi puncak

atmosfer pada hari cerah, hasilnya menunjukkan bahwa bilangan

kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung berkisar 0,46-0,78

dengan kebeningan rata-rata sebesar 0,61 atau atmosfer di atas

Kota Bandung dikategorikan sebagai keruh. Terjadi peningkatan

bilangan kebeningan atmosfer minimum di atas Kota Bandung

dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara itu, bilangan

kebeningan atmosfer di atas Kota Makassar berkisar 0,59-0,72

dengan rata-rata sebesar 0,66 dan dikategorikan juga sebagai

keruh.

Kata kunci : bilangan kebeningan, insolasi, radiasi puncak

atmosfer

ABSTRACT

Incoming solar radiation over Bandung (06⁰54’S and 107º37'E)

and Makassar (05º08’S and 119º27’E) Indonesia has been

analyzed in order to calculate clearness number in 5 and 3 years

of data measurement respectively. Daily characteristics of

insolation has been studied carefully in order to determine clear

sky criteria, and it is found several days only in a year. By

comparing insolation and solar radiaton at top of atmosphere

under clear sky condition, it is found clearness number over

Saipul Hamdi, dkk

2

Bandung in range 0.46-0.78 with average value 0.61, or in turbid

atmosphere category. The increasing of minimum clearness

number over Bandung has been observed in last 10 years. The

clearness number over Makassar is in range 0.59-0.72, average is

0.66, and categoried as turbid atmosphere.

Keywords : clearness number, insolation, radiation top of

atmosphere

1. PENDAHULUAN

Sinar matahari sebagai sumber energy utama di bumi

memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga

kelangsungan kehidupan. Dalam perjalanannya memasuki

atmosfer menuju permukaan bumi, sinar matahari mengalami

banyak peristiwa fisika dan kimia, diantaranya adalah

penghamburan, pemantulan, serta penyerapan sebagian

energinya untuk menggerakkan beberapa proses fotokimia.

Persitiwa-peristiwa tersebut menyebabkan melemahnya insolasi

dibandingkan dengan besaran konstanta matahari (solar

constant). Penurunan tersebut dapat menjadi indikator yang

menunjukkan kebeningan atmosfer. Bilangan kebeningan

atmosfer atau clearness number merupakan sebuah bilangan

yang menunjukkan penyimpangan atmosfer dari atmosfer

standarnya dan dirumuskan dengan perbandingan radiasi surya

yang diukur secara langsung di permukaan bumi terhadap

radiasi surya pada kondisi standar yang diperoleh dari

perhitungan matematis. Semakin tinggi bilangan kebeningan

atmosfer (~1) maka atmosfer semakin bening, demikian juga

sebaliknya. Bilangan kebeningan atmosfer yang kecil

menunjukkan tingkat kebeningan atmosfer yang rendah. Nilai-

nilai kebeningan atmosfer yang telah diklasifikasikan

disampaikan pada Tabel 2.

Atmosfer bumi tersusun atas banyak senyawa kimia yang

berbentuk gas dan partikulat padat maupun cair. Senyawa kimia

yang menyusun atmosfer bumi dan berperan dalam pelemahan

insolasi diantaranya adalah senyawa ozon, oksigen, uap air, dan

aerosol. Pada beberapa bagian dunia, aerosol memiliki dampak

yang sangat penting namun sayangnya belum diketahui dengan

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

3

baik, meskipun beberapa peneliti telah menghasilkan beberapa

metode empiris untuk menghitung pengaruh aerosol (Davies dan

Hay, 1980; Sehrry dan Justus, 1983). Ozon menyerap radiasi

matahari di dalam spektrum yang sempit yaitu spektrum

ultraviolet, khususnya ultraviolet B dan C. Ketika memasuki

atmosfer bumi maka 90% dari sinar ultraviolet B (λ : 280-315 nm)

dan seluruh sinar ultraviolet C (λ: 100-280 nm) diserap oleh ozon,

uap air, oksigen, dan karbondioksida, sementara hanya sebagian

kecil ultraviolet A (λ: 315-400 nm) saja yang dipengaruhi oleh

atmosfer bumi (WHO, 2002). Secara umum, kontribusi ozon

terhadap pelemahan sinar matahari adalah sebesar 2-3%, dan

bisa mencapai 9-10 % di daerah lintang tinggi pada musim dingin

(Santamouris, et. al, 1983). Bagian terpenting lapisan ozon yang

menyerap sinar matahari adalah lapisan ozon stratosfer yang

dapat terurai dan terbentuk kembali secara alami dengan

bantuan sinar matahari. Adanya senyawa BPO (bahan perusak

ozon) yang mencapai lapisan stratosfer menyebabkan ozon terurai

secara berlebihan dalam waktu yang lama sehingga lapisan ozon

berkurang dan berpotensi meningkatkan insolasi.

Uap air memiliki pita penyerapan energi matahari yang

sangat lebar pada spektrum inframerah, sedangkan penyerapan

energi matahari oleh oksigen terjadi pada pita yang sangat sempit

di dalam spektrum infra merah. Pada saat langit cerah dan

matahari berada di zenith-nya maka jumlah sinar matahari yang

diserap oleh uap air dan gas karbondioksida adalah berkisar 6-8

% dari konstanta matahari (Fowle, 1915) dan kekuatan

penyerapannya lebih besar daripada penyerapan sinar ultraviolet

oleh ozon. Ketika sudut zenith matahari membesar maka

kekuatan penyerapannya juga membesar karena sudut yang

dibentuk oleh datangnya sinar matahari terhadap bidang normal

juga membesar.

Schuepp dalam Robinson (1996) mendefinisikan atmosfer

yang bening sebagai atmosfer yang memiliki ketebalan ozon

(O3)=0,34 cm, precipitable water (w)=2,0 cm, turbidity (B)=0 dan

tekanan (p)=1000 mbar pada jarak bumi-matahari yang

sebenarnya. Secara umum, atmosfer memiliki besaran-besaran

parameter tersebut yang berubah menurut waktu dan tempat

sehingga hasil perhitungannya pun menjadi tidak sama. Untuk

mendapatkan sebuah nilai pokok (=acuan) maka dihitunglah

Saipul Hamdi, dkk

4

clearness number mengikuti besaran yang telah distandarisasikan

tersebut. Bilangan kebeningan atmosfer (clearness number) untuk

Bandung adalah 0,3-0,7 yang menunjukkan bahwa kondisi

atmosfer Bandung cukup keruh dalam kategori berawan – keruh

– biru buram (Utomo dan Haen, 2004). Tulisan ini disusun untuk

menghitung bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung

pada periode pengamatan 2010-2014 sekaligus mengoreksi

bilangan kebeningan atmosfer yang pernah dihitung sebelumnya

oleh Utomo dan Haen (2004). Penghitungan bilangan kebeningan

atmosfer dilakukan dengan memanfaatkan insolasi yang diukur

menggunakan pyranometer global yang menjadi kelengkapan dari

weather station, dan membandingkan hasil-hasil yang diperoleh

di Bandung dengan hasil-hasil yag diperoleh di Kota Makassar

pada periode pengamatan 2012-2014.

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Pengukuran intensitas radiasi global matahari (insolasi)

dilakukan menggunakan sensor radiasi global matahari yang

menjadi bagian dari automatic weather station (AWS). Weather

station ini merupakan produk Davis Instrument bertipe Vantage

Pro II Plus dan dilengkapi dengan catu daya yang berasal dari

sinar matahari melalui solar cell system. Di Gedung LAPAN

Bandung, AWS dioperasikan pada atap gedung berlantai 4

dengan ketinggian kurang lebih 40 meter dari permukaan tanah,

dan Kota Bandung terletak pada ketinggian 720 m dpl. AWS

dioperasikan secara otomatis untuk melakukan perekaman data

setiap 15 menit. Di dalam rentang waktu 15 menit tersebut dipilih

intensitas tertinggi (hi solar rad) untuk digunakan dalam

penghitungan bilangan kebeningan atmosfer.

Di Kampus Universitas Hasanuddin Makassar, AWS

dioperasikan di Fakultas Teknik pada ketinggian kira-kira 15 m

dari permukaan tanah. AWS ini memiliki tipe yang sama dengan

AWS yang dioperasikan di Bandung, namun melakukan

perekaman data setiap 10 menit. AWS ini juga dilengkapi dengan

catu daya yang berasal dari sinar matahari untuk mengatasi

terjadinya gangguan kelistrikan. Pengukuran insolasi dilakukan

secara terus menerus selama 24 jam setiap harinya, dan 365 hari

dalam setahun. Pada pengukuran di Makassar, dijumpai kendala

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

5

teknis pada bulan Desember (2012 dan 2013) sehingga AWS tidak

menyimpan data sama sekali.

Intensitas radiasi matahari yang diukur adalah insolasi

pada pukul 12:00 setiap harinya, sehingga intensitas radiasi

matahari terhitung harus dikoreksi lagi dengan sudut zenith

matahari. Periode waktu yang akan digunakan adalah 2010-2014

(Kota Bandung) dan 2012-2014 (Kota Makassar). Kota Makassar

dan Bandung memiliki topografi dan kekhasan yang berbeda satu

dengan lainnya. Kota Bandung (06º57' LS 107º37' BT) terletak

pada ketinggian 720 m dpl dan dikelilingi oleh beberapa gunung

sehingga membentuk semacam wadah atau basin. Kota Makassar

(05º08’ LS, 119º27’ BT) terletak persis di pinggir laut sehingga

angin laut dapat dengan leluasa membawa polutan keluar dari

daratan, ditambah lagi melimpahnya uap air akibat pemanasan

laut oleh matahari pada siang hari.

2.2 METODOLOGI

Beberapa besaran dan persamaan matematis yang akan

digunakan untuk menghitung radiasi matahari adalah sebagai

berikut.

a. Konstanta matahari yang digunakan adalah I0 = 1,367

W/m2 (Li, et. Al, 2011)

b. Menghitung intensitas matahari di TOA berdasarkan

koreksi jarak bumi-matahari menggunakan factor koreksi

F, seperti disampaikan oleh Exell (2000) melalui

persamaan (1).

F = 1 – 0,0335 sin 360(nd-94)/365 .................. (1)

Dalam hal ini nd adalah urutan hari dalam tahun (Julian

day). Ketika matahari berada pada jarak terdekatnya maka

insolasi pada cuaca cerah adalah 3% lebih besar dari intensitas

rata-ratanya; dan ketika pada jarak terjauhnya maka insolasi 3%

lebih kecil. Dengan demikian maka intensitas matahari di TOA

adalah

I0’=I0 ◦ F

I0’ = 1,367 ◦ [1 – 0,0335 sin 360(nd-94)/365]..... (2)

Data-data yang dipergunakan di dalam tulisan ini adalah

data insolasi (incoming solar radiation) yang diperoleh pada saat

langit cerah tak berawan (clear sky). Dengan mempelajari

karakter data harian lalu disusun kriteria hari cerah yang

Saipul Hamdi, dkk

6

memenuhi syarat dalam menghitung bilangan kebeningan

atmosfer, yaitu sebagai berikut.

a) Tidak memiliki nilai pencilan ekstrim setelah kulminasi

matahari

b) Insolasi maksimum terjadi pada saat matahari

mencapai kulminasi

c) Grafik insolasi bersifat smooth

d) Insolasi maksimum >75% maksimum rata-rata

bulanan

Gambar 1. Jumlah data yang digunakan di Kota Bandung dan

Makassar.

Dengan menggunakan keempat kriteria tersebut maka

diperoleh sekumpulan data untuk dipergunakan dalam

penghitungan bilangan kebeningan atmosfer. Insolasi yang

digunakan adalah insolasi pada pukul 12:00±30 menit atau 11:30

s.d. 12:30, kemudian ditentukan nilai rata-ratanya (In). Bilangan

kebeningan atmosfer diperoleh dengan cara menghitung

perbandingan antara radiasi global matahari yang diukur di

permukaan In dengan radiasi total matahari yang dihitung di

puncak atmosfer Io’ (top of atmosphere, TOA) (Ideriah dan

Sulaeman, 1989; Kuya dan Jagtap, 1992; Okogbue dan

Adedokun, 2002) pada waktu dan lokasi yang sama, seperti

ditunjukkan pada persamaan (3). Jumlah data yang terkumpul

untuk menghitung bilangan kebeningan di Bandung dan

Makassar ditampilkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 sumbu

mendatar adalah tahun pengamatan, dan ketinggian kolom

adalah jumlah data yang digunakan.

CN =In

I0′ ................................................ (3

2332 36

40 4746

21

84

2010 2011 2012 2013 2014

Jumlah Data

BandungMakassar

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

7

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Variasi harian bilangan kebeningan atmosfer di Kota

Bandung menggunakan kriteria hari cerah pada tanggal 11

Oktober 2010 ditunjukkan pada Gambar 2. Sumbu mendatar

adalah waktu pengamatan dimulai pada pukul 06:00 dan

berakhir pada pukul 18:00, dan sumbu vertikal adalah bilangan

kebeningan. Daerah yang dibatasi oleh persegi empat berwarna

merah adalah daerah waktu yang diamati.

Gambar 2. Bilangan kebeningan atomosfer tanggal 11 Oktober

2010 di Bandung.

Gambar 3 adalah grafik bilangan kebeningan atmosfer di

atas Kota Bandung pada periode pengamatan 2010-2014, dan

Gambar 4 adalah pengamatan di Kampus Universitas Hasanudin

Makassar pada periode 2012-2014. Sumbu mendatar adalah

bilangan hari atau Julian Day (nd) yang menyatakan hari ke-

dalam satu tahun. Sumbu vertikal di sebelah kiri adalah bilangan

kebeningan atmosfer sedangkan sumbu vertikal sebelah kanan

adalah intensitas matahari puncak atmosfer (TOA) dan

berhubungan dengan grafik garis berwarna hitam yang dihitung

menggunakan persamaan (2). Pada kurun waktu 2010-2014

bilangan kebeningan atmosfer di Kota Bandung berkisar antara

0,46 dan 0,78 sedangkan di Kota Makassar berkisar antara 0,59

dan 0,72. Bilangan kebeningan atmosfer rata-rata selama lima

tahun di Kota Bandung (dari 178 hari cerah) adalah sebesar 0,61

dengan standar deviasi rata-ratanya sebesar 0,07 atau 11% dari

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

06:0

0

07:0

0

08:0

0

09:0

0

10:0

0

11:0

0

12:0

0

13:0

0

14:0

0

15:0

0

16:0

0

17:0

0

18:0

0

Bil

an

gan

keben

ingan

Jam Pengamatan

Bilangan Kebeningan, 11 Oktober 2010

Saipul Hamdi, dkk

8

nilai rata-ratanya, sedangkan bilangan kebeningan atmosfer rata-

rata di Kota Makassar (dari 151 hari cerah) adalah sebesar 0,66.

Statistika pengamatan ditampilkan pada Tabel 1. Klasifikasi hari

cerah menurut Utomo dan Haen (2004) ditampilkan pada Tabel 2.

Gambar 3. Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung

periode pengamatan 2010-2014 dilengkapi dengan radiasi matahari puncak atmosfer (TOA).

Gambar 4. Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Makassar periode pengamatan 2012-2014 dilengkapi dengan radiasi matahari puncak atmosfer (TOA).

1300

1350

1400

1450

1500

0,4

0,6

0,8

1

1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 361

Bil

angan K

ebenin

gan 2014

2013

2012

2011

2010

TOA

Inte

nsit

as

Bilangan hari (Julian Day)

1300

1350

1400

1450

1500

0,4

0,6

0,8

1

1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 361

Bil

angan K

ebenin

gan

2014

2013

2012

TOAInte

nsit

as (W

/m

2)

Bilangan hari (Julian day)

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

9

Tabel 1. Statistik bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar.

Bandung (1993-2002)

Bandung (2010-2014)

Makassar

Rata-rata 0,49 0,61 0,66

stdev 0,10 0,07 0,03

maks 0,7 0,78 0,72

min 0,3 0,46 0,59

Tabel 2. Klasifikasi kebeningan atmosfer (Utomo dan Haen, 2004).

CN Keadaan Atmosfer

0,0 – 0,5 Berawan atau mendung

0,5 – 0,7 Keruh

0,7 – 0,9 Biru buram

0,9 – 1,1 Biru

1,1 – 1,3 Biru sekali

>1,3 Amat biru sekali (jarang dijumpai)

3.2 PEMBAHASAN

Gambar 2 menjelaskan variasi bilangan kebeningan. Pada

saat matahari terbit, bilangan kebeningan atmosfer bernilai

sangatlah kecil, kemudian berangsur-angsur meningkat hingga

matahari mencapai kulminasi pada tengah hari (mid day), dan

kembali mengecil bahkan menjadi nol saat matahari terbenam.

Ketika matahari baru saja terbit dan sesaat akan terbenam, sudut

yang ditempuh oleh sinar matahari terhadap bidang permukaan

adalah relatif besar sehingga sinar matahari harus melewati

atmosfer yang memiliki jumlah partikel penyusun yang sangat

banyak sehingga menyebabkan penghamburan dan pemantulan

yang cukup kuat (Akogbue, 2007). Namun demikian, bilangan

kebeningan atmosfer pada sekitar kulminasi matahari adalah

relatif sama/stabil (Gambar 2) dan memiliki nilai rata-rata 0,958

pada pukul 11:30-12:30. Hal ini menjadi alasan yang kuat untuk

menghitung bilangan kebeningan atmosfer dengan cara

menghitung rata-rata di sekitar titik kulminasi matahari.

Pada Gambar 2 jumlah data yang digunakan adalah rata-

rata 40 data per tahun (data = hari saat langit cerah) atau kira-

kira 10% dari jumlah hari dalam satu tahun. Tentu saja jumlah

ini terlalu sedikit jika digunakan untuk melihat

Saipul Hamdi, dkk

10

perubahan/dinamika bilangan kebeningan dalam satu tahun,

apalagi data tersebut tidak tersebar secara merata. Namun

demikian, secara umum terlihat bahwa atmosfer di atas Kota

Bandung lebih jernih pada bulan-bulan basah dibandingkan

dengan bulan-bulan kering. Hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut. Ketika bumi mencapai jarak terjauh terhadap matahari

(pada saat ini insolasi mengalami intensitas terlemah dalam satu

tahun), dan bertepatan juga dengan musim kering, kebeningan di

atas Kota Bandung juga mengalami tingkat yang terendah seolah-

olah berfluktuasi mengikuti jarak bumi-matahari. Transmitansi

atmosfer untuk cahaya matahari merupakan hasil interaksi

dengan empat komponen yaitu (1) penyerapan oleh uap air, (2)

penghamburan oleh uap air, (3) penyerapan dan penghamburan

oleh debu, dan (4) penghamburan oleh udara kering dan bebas

debu (Houghton, 1954). Secara umum dapat disimpulkan bahwa

komponen utama yang berperan dalam kebeningan atmosfer

adalah debu dan uap air. Di dalam tulisan ini, pengaruh uap air

dalam bentuk awan telah diminimalisir secara optimum dengan

cara memilih hari-hari yang memenuhi empat kriteria langit

bersih.

Gambar 5. IWV (Integrated Water Vapor) di atas Arjeplog,

Sweden 66⁰03’N and 17⁰53’E (Nilson, 2008).

Jumlah uap air yang terkandung di dalam atmosfer

biasanya dihitung dalam satu kolom vertikal dan dinyatakan

sebagai perhitungan dari integrated water vapor atau IWV.

Gambar 5 adalah IWV pada tahun 1997-2006 di daerah Arjeplog

- Sweden, dan menunjukkan bahwa IWV secara umum mengikuti

siklus tahunan. Jumlah uap air pada musim panas adalah lebih

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

11

banyak dibandingkan pada musim dingin, dan bumi belahan

utara pun memiliki jumlah uap air yang relatif lebih banyak

dibandingkan dengan bumi belahan selatan (Nilson, 2008).

Jumlah uap air yang lebih banyak akan berakibat pada

penyerapan sinar matahari yang lebih banyak juga dan

menyisakan lebih sedikit sinar matahari yang mencapai

permukaan bumi sehingga menyebabkan bilangan kebeningan

menjadi menurun, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.

Secara geografi, Arjeplog dan Bandung ataupun Makassar

memiliki keadaan yang sangat berbeda karena Arjeplog terletak

pada lintang tinggi belahan bumi utara sedangkan Bandung dan

Makassar terletak pada lintang rendah belahan bumi selatan.

Jumlah pengamatan pada saat hari cerah di dalam

Gambar 4 adalah sebanyak 151 hari cerah dalam periode

pengamatan selama 3 tahun. Bilangan kebeningan rata-rata

terhitung adalah sebesar 0,66 dengan standar deviasi sebesar

0,03 atau 4%. Statistika bilangan kebeningan atmosfer di atas

Kota Bandung dan Makassar ditunjukkan pada Tabel 1. Pola

kebeningan atmosfer di Kota Makassar sedikit berbeda dengan

pola kebeningan atmosfer di Kota Bandung, meskipun sama-

sama memiliki nilai terendah pada saat matahari mencapai jarak

terjauh dengan bumi (Agustus). Nilai terendah ini dapat

dihubungkan dengan jumlah uap air di atmosfer yang lebih

banyak pada musim kemarau dibandingkan dengan musim

penghujan sehingga lebih berpotensi menahan laju radiasi

matahari. Akibatnya, persentase pelemahan insolasi pada musim

kemarau adalah lebih besar dibandingkan dengan musim

penghujan. Selain itu kejadian hujan juga membantu mengurangi

uap air di udara dan jatuh sebagai hujan. Di daerah tropis, trend

dan variabilitas IWV juga dipengaruhi oleh curah hujan, dan

sebaliknya diasosiasikan secara dekat dengan aliran rata-rata dan

konvergensi uap air oleh angin (Trenberth, et.al, 2005).

Di daerah tropis, IWV dipengaruhi oleh perubahan curah

hujan, dan dapat diasosiasikan juga dengan konvergensi dan

aliran rata-rata uap lembap yang mengikuti angin (Trenberth,

et.al, 2005). Selain itu, ditemukan juga kenaikan jumlah uap air

yang dikaitkan dengan kejadian El Niňo, dan kenaikan tersebut

terutama terjadi pada lokasi 10⁰LU hingga 20⁰LS, dan dapat

dikaitkan dengan akibat dari mengeringnya daerah 20⁰LU.

Saipul Hamdi, dkk

12

Kenaikan jumlah uap air di atmosfer dapat dikaitkan dengan

penurunan tingkat kebeningan atmosfer dan berakibat pada

menurunnya intensitas radiasi matahari tingkat permukaan.

Gambar 6. Curah hujan harian di Kota Makassar tahun 2014

diunduh dari https://weatherspark.com/history/33999/ 2014/Makassar-Ujung-Pandang-Sulawesi-Selatan-Indonesia. 17 Sumbu vertikal adalah jumlah jam dalam satu hari yang menunjukkan lamanya kejadian hujan, sedangkan bar di bagian atas berwarna hijau menunjukkan terjadinya hujan pada hari tersebut sedangkan warna putih adalah tidak adanya hujan.

Tingkat kebeningan atmosfer pada lima tahun pengamatan

di Bandung (2010-2014) yang ditunjukkan pada Tabel 3.1 adalah

0,46 – 0,78 dengan kebeningan rata-ratanya sebesar 0,62 dan

standar deviasinya 0,07. Hasil yang diperoleh tersebut

menunjukkan adanya peningkatan bilangan kebeningan dengan

yang dilaporkan oleh Utomo dan Haen (2004), menyatakan bahwa

bilangan kebeningan atmosfer Bandung untuk kurun waktu

1993-2002 berkisar 0,3–0,7 dan memasukkannya ke dalam

kategori berawan-keruh-biru buram. Bilangan kebeningan rata-

rata sebesar 0,61 dapat dikategorikan ke dalam atmosfer keruh.

Klasifikasi kebeningan atmosfer ditunjukkan pada Tabel 2.

4. KESIMPULAN

Hasil penghitungan bilangan kebeningan atmosfer

menggunakan kriteria langit bersih menunjukkan bahwa

Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah

13

atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar dikategorikan ke

dalam keruh dengan bilangan kebeningan rata-rata sebesar 0,61

(Bandung) dan 0,66 (Makassar). Tidak ditemukan adanya pola

khusus bilangan kebeningan atmosfer terhadap waktu meskipun

dapat dikatakan bahwa kebeningan atmosfer minimum terjadi

saat bumi mencapai jarak terjauh dalam satu tahun yang

bertepatan dengan musim panas. Bilangan kebeningan atmosfer

minimum di atas Kota Bandung mengalami peningkatan dalam

sepuluh tahun terakhir, demikian juga dengan bilangan

kebeningan atmosfer maksimumnya.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Jurusan Teknik

Lingkungan dan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas

Hasanudin Makassar atas bantuan operasional weather station,

dan kepada Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer LAPAN sebagai

penyedia data.

DAFTAR RUJUKAN

Davies, J.A., and Hay, J.E., 1980: Calculation of the solar

radiation incident on a horizontal surface. Proc. First Solar

Radiation Data Workshop, 32-58.

Exell, R.H.B., 2000: King Mongkut’s University of Technology

Thonburi.

Fowle, F.E., 1915: The transparency of aqueous water

vapor.Astrophys. J., 54, 394.

Houghton, H.G., 1954: On the annual heat balance of the

Northern Hemisphere. J. Meteor., 11, 1-9.

https://weatherspark.com/history/33999/2014/Makassar-

Ujung-Pandang-Sulawesi-Selatan-Indonesia.

Ideriah FJK, Sulaeman SO., 1989: Sky condition at Ibadan during

1975-1980.Solar Energy43(6), 325-330.

Kuye, A., Jagtap, S.S., 1992: Analysis of solar radiation data for

Port Harcourt, Nigeria. Solar Energy, 49(2), pp.139-145.

Li, H., Lian, Y., Wang, X., Ma, W., Zhao, L., 2011: Solar constant

values for estimating solar radiation. Energy,

doi:10.1016/j.energy.2010.12.050.

Saipul Hamdi, dkk

14

Nilson T., G. Elgered., 2008: Long-term trends in the atmospheric

water vapor content estimated from ground based GPS

data. J. Of Geophys. Res., Vol 113.

Okogbue, E.C., Adedokun, J.A., 2002b: Characterization of sky

conditions over Ile-Ife, Nigeria based on 1992-1998 solar

radiations observations.Meteorogische Zeitschrift,

Germany, vol 11 no 6, pp.419-423.

Okogbue, E.C., 2007: Broad-band solar irradiance and

photometric illuminance at the tropical station, Ile-ife,

Nigeria. Unpublished PhD Thesis, Obafemi Awolowo

University, Ile-ife, Nigeria, 223.

Robinson, N., 1966: Solar Radiation. Elsevier Publishing Co,

Amsterdam.

Santamouris, M.J., R. Rigopoulos, Y. Caouris., 1983: Estimating

the Atmospheric Ozone Transmission for Solar Radiation

Models.Pageoph, Vol 12, No 4, pp.633.

Sherry, J.E., and Justus, C.G., 1983: A simple hourly clear-sky

solar radiation model based on meteorological

parameters. Solar Energy, 32, pp.195-204.

Trenberth, K.E., J. Fasullo, L. Smith., 2005: Trends and variability

in column-integrated atmospheric water vapor. Climate

Dynamics, 24, 741-758.

Utomo, Y.S., I. Haen, H. Hoesin., 2004: Pemodelan matematis

untuk analisis radiasi surya di permukaan bumi daerah

khatulistiwa (15⁰LS-15⁰LU). Prosiding seminar nasional

rekayasa kimia dan proses, Universitas Diponegoro

Semarang.

WHO, 2002 : Global Solar UV Index: a practical guide. ISBN 92 4

159007 6.

Sinta dkk Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil

Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

15

PENGEMBANGAN METODE PENGOLAHAN DATA PROFIL

VERTIKAL ATMOSFER BERBASIS SATELIT

Sinta Berliana Sipayung, Risyanto, Krismianto dan Edy Maryadi

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

MODIS (MODerate resolution Imaging Spectroradiometer) adalah

merupakan bagian dari beberapa sensor yang ada pada satelit

Terra dan Aqua yang dirancang oleh NASA (National Aeronautics

and Space Administration) untuk meningkatkan pemahaman

tentang dinamika global dan proses terjadinya fenomena-

fenomena yang ada di darat, laut maupun atmosfer. Untuk

memahami fenomena atmosfer wilayah Indonesia dikembangkan

metode pengolah data profil vertikal atmosfer (temperatur,

moisture, water vapor dan ozon) dari MOD07/MYD07 level dua

swath format HDF4 menjadi data ASCII (format .dat dan txt)

dengan menggunakan visual basic, phyton dan GrADS. Data

MODIS swath dengan format HDF4 diambil lintang/bujur,

parameter atmosfer dan ketinggian yang sesuai, diproyeksikan

dan disimpan dalam bentuk tabulator 3 kolom, kemudian di plot

ke dalam Gambar dua dimensi dan data txt. Tujuan dari

pengolahan data ini adalah untuk membuat skrip pengolahan

data, mengidentifikasi file data swath format hdf4 menjadi data

parameter atmosfer dalam ASCII. Kelebihan dari aplikasi ini

adalah mudah digunakan mempunyai koordinat lintang, bujur,

resolusi spasial dan titik dapat ditentukan dengan mudah dan

terintegrasi dengan data base yang ada di BISMA. Adapun output

datanya adalah data siap pakai dengan file ASCII (format *.txt, file

binary format *.bin beserta file ctl-nya dan image), dan

menampilkan data baik spasial maupun titik digunakan untuk

analisis parameter atmosfer. Data MODIS profil vertikal atmosfer

telah di validasi dengan menggunakan data pengukuran in-situ

(radiosonde) di beberapa titik wilayah Indonesia dan diperoleh

koefisien korelasi rata-rata r=0.99.

Sinta dkk

16

Kata Kunci: Metoda, profil vertikal atmosfir dan MODIS

ABSTRACT

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) is a part

of some of the existing sensor on the Terra/Aqua satellites were

designed by NASA (National Aeronautics and Space

Administration) to improve understanding of the global dynamics

and the occurrence of phenomena that exist on land, sea and

atmosphere. To understand the atmospheric phenomenon around

Indonesia has developed a data processing method of atmospheric

vertical profile (temperature, moisture, water vapor and ozone)

level two (L-2) from MOD07 / MYD07 swath HDF4 format into the

ASCII data (such format, .dat and .txt) by using visual basic,

python and GrADS programs. MODIS data with HDF4 format

taken latitude/longitude and the appropriate altitude atmospheric

parameters, projected and stored in the form tabulator 3 colum,

and then plot into two-dimensional images and txt data. The

purpose of this processing data is to create a script of data

processing and identifying data file swath hdf4 format into data

atmospheric parameters. The advantages of the applicationa is

easy to use, have the latitude/longitude coordinate, spatial and

point resolution can be integrates with the existing of the base

data BISMA. As the output of processed MODIS data is ready to

use with data ASCII file format (* .txt format, binary file format *

bin its ctl file and image), displaying spatial and point data and

can be used for analysis of atmospheric parameters. The MODIS

atmospheric vertical profiles data and in-situ measurement data

(radiosonde) has been validated at some point in Indonesia and

the results with an average correlation coefficient r = 0.99.

Keywords: Method, profiles atmospheric vertical and MODIS

1. PENDAHULUAN

Dalam mengkaji fenomena-fenomena tentang sains

atmosfer untuk wilayah Indonesia, memerlukan data pengukuran

yang space base terutama untuk parameter atmosfer dalam

resolusi spasial dan titik, maka diperlukan metode untuk

ekstraksi data satelit mulai dari swath format HDF4 (Hierarchical

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

17

Data Format-4) level nol (L-0),level satu (L-1) dan level dua (L-2)

berdasarkan ketinggian hingga data siap pakai dalam format

American Standard Code of Information Interchange (ASCII). Namun data pengukuran profil vertikal atmosfer berbasis

observasi radiosonde sangatlah terbatas. Untuk mengatasi

keterbatasan ini dilakukan ekstraksi data atmosfer dari data

satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution

Imaging Spectroradiometer) yang terdiri dari 36 band spektral

antara 0,405 µm dan 14,385 µm (King, et.al., 1992), resolusi

spektral dari 250 m (bands 1 – 2), 500 m (bands 3 - 7) dan 1000

m (bands 8 - 36). Produk data MODIS adalah data kalibrasi yang

terdapat pada MOD 01 - Level-1A Radiance Counts, MOD 02,

Level-1B Calibrated Geolocated Radiances dan MOD 03 -

Geolocation Data Set. Data atmosfernya adalah MOD 04 - Aerosol,

MOD 05 - Total Precipitable Water (Water Vapor), MOD 06 - Cloud,

MOD 07 - Atmospheric Profiles, MOD 08 - Gridded Atmospheric

dan MOD 35 - Cloud Mask (http://modis-atmos.gsfc.nasa.gov),

data atmospheric Profiles berada pada MOD 07.

Data MODIS untuk darat adalah MOD 09 - Surface

Reflectance, MOD 11 - Land Surface Temperature & Emissivity,

MOD 12 - Land Cover/Land Cover Change, MOD 13 - Gridded

Vegetation Indices (Max NDVI & Integrated MVI), MOD 14 -

Thermal Anomalies, Fires and Biomass Burning, MOD 15 - Leaf

Area Index & FPAR, MOD 16 – Evapotranspiration, MOD 17 - Net

Photosynthesis and Primary Productivity, MOD 43 - Surface

Reflectance MOD 44 - Vegetation Cover Conversion

(http://edcdaac.usgs.gov/dataproducts.asp and http://modis-

land.gsfc.nasa.gov/). Sedangkan untuk laut adalah Angstrom

Exponent, Aerosol Optical Thickness, Chlorophyll, Downwelling

diffuse attenuation coefficient at 490 nm, Level 2 Flags,

Photosynthetically Available Radiation, Particulate Inorganic

Carbon, Particulate Organic Carbon, Sea Surface Temperature

Quality, Sea Surface Temperature Quality - 4um, Remote Sensing

Reflectance, (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/) dan untuk

Cryosphere MOD 10 - Snow Cover, MOD 29 - Sea Ice Cover

(http://nsidc.org/daac/modis/index.html.

Pengolahan data MOD07 level dua (L-2) menjadi parameter

profil vertikal atmosfer diantaranya adalah temperatur,

kelembaban, uap air dan ozon. Dalam pengolahan data satelit ini

Sinta dkk

18

telah banyak dilakukan dengan menggunakan algoritma yang

berbeda-beda untuk beberapa wilayah dari MOD07, seperti

Seemann, et.al, (2002, 2003, 2006 dan 2008), Menzel, et.al,

(2002) dan Wu, et.al., (2005) pada ketinggian 850mb. Dari

pengolahan-pengolahan metode algoritma tersebut diperoleh

kofisien korelasi sangat signifikan, dengan read mean square error

(RMSE) yang sangat kecil, serta resolusi tinggi dapat memberikan

banyak informasi tentang profil vertikal atmosfer seperti

temperatur dan kelembaban. Hasil tersebut dibandingkan dengan

data radiosonde dan diperoleh koefisien korelasi 0.99 dan 0,89.

Dengan konsep yang sama menggunakan profil dari National

Centers Environmental Prediction (NCEP) dan MODIS MOD07

menunjukkan hasil yang baik dengan akurasi sedikit lebih tinggi

Hua, et.al, (2013).

Ada kelamahannya pada sistem data aktual MODIS jika

dihubungkan dengan data observasi radiosonde yaitu tidak

mungkin mendapatkan banyak data dalam waktu dan ruang yang

bersamaan. Untuk menentukan temperatur, kelembaban, uap air

dan ozon profil dari satelit mengunakan hubungan regresi

statistik antara yang diamati dari radiances yang sesuai profil

atmosfer dan data radiosonde. Metode ini sering digunakan untuk

menghasilkan algoritma pencarian fisis, seperti yang dilakukan

dalam International TOVS Processing Package (ITPP, Smith, et.al,

(1993). Secara rinci telah dilakukan oleh Smith, et.al, (1970)

dalam algoritma yang sama dalam cuaca bebas awan, radiasi

yang diterima di bagian atas atmosfer pada frekuensi ν adalah

jumlah kontribusi cahaya dari permukaan bumi dan dari semua

tingkatan di atmosfer yang diungkapkan pada persamaan untuk

masing-masing parameter atmosfer.

R(��) = ∑ ����� [��, T(��)]w (��, ��) …....……. (1)

dimana :

w(��, ��) = € (��, ��) Γ (��,0 ��).

B[��, �(��)] = adalah radiasi Plank untuk level tekanan i pada

temperatur T.

€ (��, ��) = emisi spektrum sedang pada level tekanan ke-i.

à (��,0 ��) = transmisi spektrum diatas atmosfer pada

level tekanan ke-i.

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

19

Berbeda dengan (Li, et al., 2000) setelah dibandingkan

dengan profil vertikal atmosfer dengan algoritma teknik regresi

fisis dengan menerapkan pada Radiative Transfer Equation (RTE)

didasarkan pada metode regularisasi dengan meminimalkan

fungsi utamanya.

Data satelit Terra/Aqua diperoleh dari Stasiun Bumi Pare-

Pare dan Stasiun Bumi Rumpin LAPAN, hasil transfer melalui

jaringan Fiber Optic (FO) berupa raw data record (RDR) sehingga

perlu dengan menggunakan Software Real-time Software

Telemetry Processing System (RT-STPS) dan International MODIS

/AIRS Processing Package (IMAPP) mulai dari data raw level nol

(L-0) hingga data Environmental Data Record (EDR) level dua (L-2)

yaitu data atmosfer, darat dan laut dengan resolusi spasial 1 km,

namun resolusi temporal rendah. Data yang dikirim melalui

receiver berupa data raw yang didistribusikan melalui internet

disimpan dalam storage, diolah menggunakan data tambahan

Ancillary data yang diperoleh dari situs NASA dengan Data

Processing Computing menggunakan software RT-STPS dan

IMAPP, http://cimss.ssec.wisc.edu/;gumley/IMAPP/IMAPP.html).

Kelemahan data MODIS ini adalah bahwa data level dua masih

dalam swath (sapuan) format HDF4, belum menjadi data .dat, data

txt dan belum tervalidasi, sehingga perlu dikembangkan metoda

untuk pengolahan data swath HDF4, menjadi data ASCII dari data

MOD07/MYD07. Hingga saat ini pemanfaatan data satelit

Terra/Aqua masih terbatas di Indonesia khususnya terkait

dengan informasi atmosfer, dikarenakan resolusi temporalnya

masih rendah dibandingkan dengan satelit yang lain.

Untuk meningkatkan kualitas data temperatur dan

kelembapan khususnya dari satelit Terra/Aqua peneliti

sebelumnya menggunakan algoritma regresi statistik antara data

RAOBs, AIRS, MODIS dan radiosonde, hasilnya menunjukkan

signifikan berdasarkan koefisien korelasi Wu, et.al, (2005) dan

Seemann, et.al, (2005). Begitupun Kim, et.al, (2004), mengatakan

bahwa hubungan antara temperatur vertikal dari MODIS dan

radiosonde memiliki kesesuaian pada nilai dan pola yang cukup

baik.

Penggunaan hasil pengolahan (ekstraksi) data MODIS,

selama ini telah banyak diaplikasikan terkait dengan informasi

baik di darat maupun di laut yaitu informasi kebakaran hutan

Sinta dkk

20

dari MODIS/Aqua Near Real Time (NRT) Thermal Anomalies/Fire

5-Min level dua swath 1km dan informasi penangkapan ikan,

sedangkan informasi atmosfer masih terbatas khususnya wilayah

Indonesia. Tujuan dari kegiatan ini adalah menggunakan

perangkat lunak untuk pengolahan (ekstraksi) data,

mengidentifikasi data profil parameter atmosfer dari data sensor

MODIS swath format HDF4 View menjadi data ASCII dengan

menggunakan program visual basic, phyton dan grADS. Telah

dibagun sistem otomatisasi trasfer data dalam bentuk Gambar

dan ASCII agar data tersebut menjadi data siap olah atau siap

pakai yang akan di simpan dalam data base atmosfer Indonesia

(BISMA).

Permasalahannya adalah bagaimana meng-ekstrak

(mengolah) data satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS dari

format HDF4 level dua menjadi data ASCII, agar data tersebut

menjadi data siap pakai oleh pengguna terutama untuk

parameter fisis dan kimia atmosfer khususnya wilayah Indonesia,

yang selama ini belum banyak informasi diperoleh terutama yang

berkaitan dengan data atmosfer. Sipayung, S B., et.al, (2014)

telah mengekstraksi MODIS yaitu data temperatur dan

kelembaban di beberapa lokasi Indonesia dengan menggunakan

band-band yang ada dari level satu (L-1) menjadi level dua (L-2)

dengan menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN),

setelah divalidasi dengan menggunakan data pengukuran in-situ

(radiosonde) yang tersedia di University of Wyoming

(http://weather.uwyo.edu/cgi-bin/(sounding) diperoleh hasilnya

bahwa nilai dan polanya bersesuaian. Pengolahan data satelit ini

masih terbatas sehingga perlu dilakukan pengolahan data satelit

ini untuk kebutuhan dan informasi baik untuk peneliti maupun

pengguna terkait dengan fenomena-fenomena baik di darat, laut

maupun dan atmosfer khususnya wilayah Indonesia, namun

pada kesempatan ini difokuskan pada parameter profil vertikal

atmosfer.

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Data yang digunakan adalah MOD 07/MYD07 (Atmosphere

Profile) harian sesuai dengan tanggal yang tersedia dalam

pengukuran radiosonde (in-situ) yang terdiri dari 20 level

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

21

ketinggian yaitu 5, 10, 20, 30, 50, 70, 100, 150, 200, 250, 300,

400, 500, 620, 700, 780, 850, 920, 950, 1000 mb. Pengolahan

(ekstraksi) data berbasis satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS

menggunakan program Python dan GrADS beserta modul

librarynya seperti GDAL (Geospatial Data Abstraction Library),

Pyproj, Pyparsing dan Six berbasis Windows (XP/7/Vista/8).

Sedangkan pengolahan geolokasi data dari level nol menjadi level

satu 1B digunakan software Direct Broadcast Virtual Machine

(DBVM) dalam format HDF4. Pengolahan data MODIS dari level 1B

menjadi level dua dapat juga diekstrak profil vertikal atmosfer

dengan menggunakan band-band 33, 34, 35, 36, dan

kelembapan menggunakan band 27, 28 dan 29 berdasarkan

konsep Lambrigsen, (2003).

2.2 METODOLOGI

Langkah awal adalah menginstal aplikasi Python kemudian

mengaktifkan modul-modul library yang diperlukan, list data set

kemudian dapat kita temukan informasi yang terkait dengan

parameter atmosfer serta informasi koordinatnya. Hasil ekstraksi

khususnya data profil vertikal temperatur (Kelvin), profil

kelembaban (g/kgx10^3), uap air (cm) dan ozon (g/kg) yang

merupakan produk MODIS Profile (MOD 07/MYD07). Data yang

dihasilkan dari pengolahan MODIS ini telah dibagun suatu sistem

otomatisasi pengolahan data yaitu aplikasi antar muka dalam

bentuk Gambar dan juga dalam format ASCII. Dalam MODIS 07

swath dengan format HDF4 diproyeksikan dan disimpan dalam

bentuk tabulator 3 kolom dalam bentuk ASCII kemudian di plot

ke dalam Gambar dua dimensi divalidasi dengan data observasi

radiosonde dan diaplikasikan ke display yang nantinya dapat

diinformasikan ke pengguna seperti pada Gambar 1.

Sinta dkk

22

Gambar 1. Alur ekstraksi data MODIS swath HDF4 menjadi

data ASCII dan validasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mempermudah pemanfaatan data satelit

Terra/Aqua MODIS/MOD07 dikembangkan aplikasi antar muka

dari swath HDF4 menjadi file ASCII ditampilkan dan dapat

disimpan dalam file (format *.txt, binary format *.bin beserta ctl-

nya dan image). Aplikasi ini menampilkan data spasial, titik dan

profil vertikal atmosfer dikembangkan menggunakan metoda

visual basic 6.0, Python dan GrADS, yang terhubung langsung

dengan data Terra/Aqua MOD07 di BISMA

http://bisma.sains.lapan.go.id/list. Dengan memilih data satelit

Terra/Aqua MOD07 pengguna dapat menentukan lokasi yang

diinginkan, menginput lintang dan bujur yang terdiri dari 20 level

Data MODIS swath dalam

HDF4

Ambil data lintang, bujur dan nilai data

MODIS

dataset = gdal.Open ('..:/Python32/Data/t1.14045.0329.mod07.hdf') list_dataset = dataset.GetMetadata ('SUBDATASETS') latData = gdalnumeric.LoadFile(list_dataset["SUBDATASET_1_NAME"]) lonData = dalnumeric.LoadFile(list_dataset["SUBDATASET_2_NAME"]) aero = gdalnumeric.LoadFile(list_dataset ["SUBDATASET_7_NAME"]) index Level=16, data = aero[indexLevel,:]*1., slope=0.01, offset=-15000 fillValue=-32768, m.drawmeridians (meridians, labels=[0,0,0,1],fontsize=10) clev=pylab.arange(clevbatasbawah,clevbatasatas,clevincrement) cs = m.contourf(x,y,sstUniform2,clev) cbar = m.colorbar (cs,location='bottom',pad='10%',size='5%') plt.close()

Hasil plot 2 dimensi, Gambar dan data

MODIS format ASCII

Validasi data antara MODIS dan data

observasi radiosonde

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

23

ketinggian, dan sistem akan memproses secara otomatis. Data

yang digunakan adalah data Modis Terra/Aqua level dua MOD07

bulan Agustus dan Oktober 2013, dengan nama file

"t1.13223.0210.mod07.hdf" dan “a1.13286.0601.mod07.hdf”

Gambar 2. Fitur sistem pengolah data Terra/Aqua MOD07 profil

vertikal atmosfer dalam format image dan ASCII.

Satelit Terra/Aqua sensor MODIS merupakan cross-track

scanning radiometer orbit polar selatan-utara dan utara-selatan.

Lebar cakupan swath (sapuan) level nol, level satu (L-1) dan level

dua (L-2), dengan format HDF4. Pemanfaatannya masih terbatas

untuk wilayah Indonesia sehingga memerlukan ekstraksi data

menjadi parameter profil vertikal atmosfer yang terdiri dari

temperatur, moisture, water vapor dan ozon dengan mengunakan

metoda visual basic 6.0, Python dan GrADS seperti Gambar 2.

Pada pengembangan metoda untuk masing-masing parameter

Sinta dkk

24

atmosfer berbeda-beda, tergantung dengan faktor skala, fill value

dan satuan (units). Untuk temperatur, water vapor dan ozon

faktor skala yang digunakan adalah 0,01 sedangkan fill value

yang digunakan adalah -32768 begitu juga satuannya untuk

masing-masing parameter atmosfer. Penentuan dalam pengolahan

parameter temperatur, moisture dan ozon menggunakan set data

seperti fill value = -32768, scale_factor=0.01, add_offset=0, scale

value=scale_factor*(stored integer-add_offset), units='g/kg',

valid_range antara -32500 dan 32500, pressure_levels antara 5,

10, 20, 30, 50, 70, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 620, 700,

780, 850, 920, 950, 1000 hPa, terdiri dari 20 level ketinggian

dimulai dari permukaan hingga pada lapisan stratosfer. Begitu

pula untuk water vapor faktor skala yang digunakan 0.001, fill

value yang digunakan adalah -9999. Penentuan metode untuk

ekstraksi menggunakan set data fill value = -9999, scale_factor=

0.001, add_offset=0, scale value=scale_factor*(stored integer -

add_offset), units= 'cm', valid_range antara 0 dan 20000,

pressure_levels tidak mempunyai level ketinggian atau terdiri dari

satu layer yaitu hanya terdiri dari jumlah point latitude dan

jumlah point longitude untuk wilayah Indonesia.

Untuk menganalisis data yang sudah diolah tergantung

pada waktu data satelit Terra/Aqua MOD07, karena mengikuti

waktu Indonesia (WIB) terutama pada bulan Juni, Agustus dan

Oktober 2013. Sedangkan data yang diolah menggunakan

UTC/GMT sehingga perlu menambahkan 7 jam waktu wilayah

Indonesia dengan parameter atmosfer yaitu temperatur, moisture,

water vapor dan ozon orbit polar Selatan-Utara di pagi hari dan

orbit polar Utara–Selatan di sore hari seperti pada Gambar 3.

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

25

Gambar 3. Temperatur, moisture, water vapor dan ozon satelit

Terra bulan Juni dan Agustus 2013 (orbit polar

Selatan-Utara di pagi hari) dan satelit Aqua bulan

Oktober 2013 (orbit polar Utara–Selatan di sore hari)

Dalam menguji hasil pengembangan metode visual basic

6.0, Python dan GrADS data MODIS tersebut, maka perlu

divalidasi dengan data obsersevasi radiosode untuk parameter

atmosfer di wilayah Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 4. Dari perbandingan hasil tersebut menunjukkan bahwa

profil vertikal temperatur dan kelembaban atmosfer tampak

memiliki pola vertikal profil yang sama. Koefisien korelasi (r)

antara data MODIS dan radiosonde parameter temperatur dan

kelembaban menunjukkan hampir sama yakni 0.99 pada Tabel 1.

Sinta dkk

26

Gambar 4. Hasil pengembangan metode berupa data titik profil

temperatur MODIS untuk lokasi Jakarta, Manado,

dan mixing ratio lokasi Surabaya

Hal yang sama penurunan temperatur vertikal dari data

MODIS swath telah dikembangkan dari MOD07/MYD07 level dua

dan divalidasi dengan menggunakan regresi statistik, hasil

pengkuran radiosonde dan ekstraksi data MODIS diperoleh

koefisien korelasi rata-rata dari lima lokasi sebesar 0.99. Terdapat

perbedaan (error) dari suhu yang dihasilkan data MODIS

terhadap radiosonde pada ketinggian 1000mb (RMSE = 9.5) dan

100 mb (RMSE = 10.9), dilakukan oleh Risyanto dkk (2014)15.

Terdapatnya perbedaan RMSE pada kedua ketinggian tersebut,

kemungkinan karena adanya antenuasi gelombang. Perbedaan

terbesar lainnya terjadi pada ketinggian 100 mb, yang merupakan

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

27

titik balik profil lapse rate menjadi inversi. Diluar dari dua

ketinggian tersebut, rata-rata nilai temperatur yang diberikan

data MODIS tidak jauh perbedaannya dengan data pengukuran

radiosonde. Sedangkan lapisan permukaan (1000 mb) banyak

faktor yang mempengaruhi temperatur dengan adanya mixing

layer.

Tabel 1. Korelasi antara data MODIS dan Radiosonde parameter

temperatur dan kelembaban

______________________________________________________________

Temperatur Kelembapan

_________________________________________________________________

r RMSE Lokasi r RMSE

_________________________________________________________________

0.99 2.05 Jakarta Data MODIS tidak tersedia

0.99 2.42 Makasar Data MODIS tidak tersedia

0.99 2.51 Manado 0.97 3.58

0.97 8.77 Surabaya 0.92 2.30

0.99 3.2 Padang Data MODIS tidak tersedia

Hasil pengembangannya adalah berupa perangkat lunak

pengolahan (ekstraksi) data, untuk mengidentifikasi data profil

parameter atmosfer dari data sensor MODIS swath format HDF4

View menjadi data ASCII dengan menggunakan visual basic,

phyton dan GrADS.

4. KESIMPULAN

Dalam sistem pengolahan data satelit Terra/Aqua MOD07

yang diunduh dari BISMA (Basis Data Atmosfer Indonesia) dari

data swath format HDF4 level dua (L-2) menjadi data ASCII, telah

dikembangkan metode pengolah data MODIS profil vertikal

atmosfer seperti temperatur, moisture, water vapor dan ozon,

dalam bentuk aplikasi antar muka. Untuk memperoleh data profil

vertikal atmosfer dalam format *.txt, file binary *.bin beserta file

Sinta dkk

28

ctl-nya dan image (ASCII) menggunakan perangkat lunak Visual

Basic, Phyton dan GrADS program untuk pengolahan (ekstraksi)

data, dan mengidentifikasi data profil parameter atmosfer. Untuk

meningkatkan luaran data dari hasil metoda tersebut digunakan

data observasi radiosonde sebagai data pembanding di beberapa

titik wilayah Indonesia dan mempunyai koefisien korelasi hampir

sama r=0.99. Hasil yang telah diperoleh belum mencakup

Indonesia seluruhnya karena hanya satu kali sapuan (swath)

yaitu orbit polar selatan-utara di pagi hari (satelit Terra) dan orbit

polar utara–selatan di sore hari (satelit Aqua). Parameter atmosfer

yang lain telah tersedia di BISMA, namun belum semua

tervalidasi karena ketersediaan data pengukuran in-situ sangatlah

terbatas. Masih diperlukan data tambahan yaitu data observasi

radiosonde sebagai data pembanding untuk mendapatkan

informasi atmosfer wilayah Indonesia yang lebih akurat.

Ucapan terimakasih

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Pusat Sain dan

Teknologi Atmosfer yang telah mendistribusikan data raw satelit

yang ada di BISMA LAPAN Bandung yang diperoleh dari LAPAN

Pare-Pare dan Rumpin, hasil transfer melalui jaringan Fiber Optic

(FO).

DAFTAR RUJUKAN

Hua Li., Qinhuo Liu., Yongming Du., Jinxiong Jiang and Heshun

Wang., 2013. Evaluation of the NCEP and MODIS

Atmospheric Products for Single Channel Land Surface

Temperature Retrieval With Ground Measurements: A

Case Study of HJ-1B IRS Data. Ieee Journal Of Selected

Topics In Applied Earth Observations And Remote

Sensing, VOL. 6, NO. 3.

Kim Y. S., B. H. Kwon and K. M. Hong., 2004. Vertical

Temperature And Moisture Structure In Lower Atmosphere

Retrived From Terra/Modis. Gayana 68(2) supl. t.I. Proc. :

319-323, 2004 ISSN 0717-652X.

King, M. D., Y. J. Kaufman, W. P. Menzel and D. Tanre., 1992.

Remote sensing of cloud, aerosol, and water vapor

properties from the Moderate Resolution Imaging

Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit

29

Spectrometer (MODIS). IEEE Trans. Geosci. Remote Sens.,

30, 2–27.

Lambrigsen, B. H., Calheiros, R. V., 2003. The Humidity Sounder

for Brazil – An international partnership. IEEE Trans.

Geosc. Remote Sensing, no. 41, p. 352-361.

Li, J., W. Wolf, W. P. Menzel, W. Zhang, H.L. Huang, and T. H.

Achtor., 2000. Global soundings of the atmosphere from

ATOVS measurements: The algorithm and validation, J.

Appl. Meteorol., 39: 1248 – 1268.

Menzel, W. P., Seemann, S.W., Li, J and Gumley, L.E., 2002.

“MODIS Atmospheric Profile Retrieval Algorithm

Theoretical Basis Document.”.Available through NASA

MODIS Web site http://modis-

atmos.gsfc.nasa.gov/reference_atbd.html.

Seemann, S. W., J. Li, L. E. Gumley,, K. I. Strabala, and W. P.

Menzel., 2002. One Year of Global Atmospheric Total

Column Precipitable Water Vapor Retrievals from

MODIS Infrared Radiances. Remote Sensing of the Earth’s

Environment from Terra – Lectures at the International

Summer School on Atmospheric and Oceanic Sciences

(ISSAOS 2002) from 25 – 30 August 2002 in L’Aquila,

Italy. A Springer publication.

Seemann, S. W., Jun Li,, W. Paul Menzel and Liam E. Gumley,

August., 2003. Operational Retrieval of Atmospheric

Temperature, Moisture, and Ozone from MODIS Infrared

Radiances. Journal of Applied Meteorology: VOL. 42, Page

1072-1092.

Seemann SW, Borbas EE, Li J, Menzel WP, Gumley LE., 2006.

Modis Atmospheric Profile Retrieval Algorithm Theoretical

Basis. Document. MOD07/MYD07 ATBD C005, Version 6.

Seemann, S. W., J. Li, W. P. Menzel, and L. E. Gumley, Borbas,

E.E., Knuteson, R.O., Stephenson, G.R., and Huang, H-L.,

2008. Development of a global infrared emissivity

database for application to clear sky sounding retrievals

from multi-spectral satellite radiances measurements. J.

Appl. Meteorol. and Clim. 47, 108-123.

Smith, W. L., Woolf, H. M., Nieman, S. J and T. H. Achtor., 1993.

ITPP-5 - The use of AVHRR and TIGR in TOVS Data

Processing. Technical Proceedings of the Seventh

Sinta dkk

30

International TOVS Study Conference held in Igls, Austria

10 to 16 February 1993, J. R. Eyre Ed., 443-453.

Smith, W. L., Woolf, H. M and W. J. Jacob., 1970. A regression

method for obtaining real-time temperature and

geopotential height profiles from satellite spectrometer

measurements and its application to Nimbus 3 “SIRS”

observations. Mon. Wea. Rev.., 8, 582-603.

Sipayung, S. B., Risyanto, dan E. Maryadi., 2014. Aplikasi

Artificial Neural Network (ANN) untuk Estimasi Profil

Vertikal Temperatur dan Kelembapan dari Data MODIS.

Prosiding Nasional, Simposium Fisika Nasional (SFN

XXVII) ), Bali, 2014 “Fisika Dalam Kehidupan Sehari-hari”.

Universitas Udayana, Bali-Indonesia, 16-17 Oktober,

2014. ISSN: 1411-4771.

Risyanto, S. B. Sipayung, dan E. Maryadi., 2014. Analisis Profil

Suhu Vertikal Atmosfer dari Data MODIS Terra/Aqua di

Wilayah Indonesia, Prosiding Seminar Sains Atmosfer,

LAPAN Bandung, 2014, 24 Juni 2014. ISBN: 978-979-

1458-84-9.

Wu Xuebao, LI Jun, Zhang Wenjian, and Wang Fang., 2005.

Atmospheric Profile Retrieval with AIRS Data and

Validation at the ARM CART Site. Advances In

Atmospheric Sciences, VOL. 22, NO. 5, 647–654.

Novita dkk Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di

Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-

AURA

31

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP OZON DI LAPISAN

STRATOSFER ATAS HASIL OBSERVASI MLS-AURA

Novita Ambarsari dan Ninong Komala

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia e-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Temperatur dan ozon di stratosfer diperkirakan memiliki

hubungan anti-korelasi. Temperatur berperan dalam reaksi kimia

penguraian ozon di stratosfer. Saat temperatur di stratosfer tinggi,

konsentrasi ozon menurun karena reaksi penguraian ozon oleh

senyawa perusak ozon menjadi lebih cepat. Sebaliknya perubahan

konsentrasi ozon juga diperkirakan akan memberikan umpan

balik terhadap variasi temperatur. Pada penelitian ini dikaji

hubungan ozon dan temperatur di stratosfer atas (tekanan 1 hPa)

dengan menggunakan data-data hasil pengukuran instrument

Microwave Limb Sounder (MLS) pada satelit AURA tahun 2005-

2013. Analisis variasi ozon dan temperatur dalam bentuk

bulanan, musiman, profil vertikal, dan trend serta penentuan

nilai koefisien ozon temperatur (B) melalui grafik nilai log normal

ozon terhadap temperatur telah dilakukan. Hasil analisis pada

penelitian ini menunjukkan hubungan anti korelasi antara ozon

dan temperatur pada variasi bulanan serta trend dan scatter plot

ozon terhadap temperatur. Nilai koefisien ozon-temperatur pada

tekanan 1 hPa di Indonesia adalah sebesar 0,692 K. Dari hasil

perhitungan diketahui bahwa saat temperatur meningkat terjadi

penurunan konsentrasi ozon yang nilainya sebesar ln(O3) atau

sama dengan nilai eksponensial (0,692/T).

Kata Kunci : ozon, temperatur, sratosfer atas

ABSTRACT

Temperature and ozone in the stratosphere is expected to have an

anti-correlation relationship. Temperature plays a role in chemical

reactions of decomposition of ozone in the stratosphere. When the

Novita dkk

32

temperature in the stratosphere is high, the ozone concentration

decreases due to decomposition reaction of ozone by ozone-

depleting substances faster. Instead of ozone concentration

changes are also expected to provide feedback to temperature

variation. In this study examined the relationship of ozone and

temperature in the upper stratosphere (pressure 1 hPa) by using

data of the measurement results instrument of Microwave Limb

Sounder (MLS) on satellite AURA years 2005-2013. Analysis of

ozone and temperature variations in the form of monthly,

seasonal, vertical profiles, and trends as well as the determination

of ozone temperature coefficient (B) through the graph the value of

the log normal ozone to temperature has been carried out. The

analysis of this study showed an anti-correlation of relationship

between ozone and temperature on monthly variations and trends

and scatter plots ozone to temperature. Ozone-temperature

coefficient value at a pressure of 1 hPa in Indonesia amounted to

0,692 K. From the calculation is known that any increase in

temperature, causing a reduction in the ozone concentration as

much as ln(O3) or same value as exponential (0,692/T).

Keywords: ozone, temperature, upper sratosphere

1. PENDAHULUAN

Ozon dan temperatur di stratosfer atas memiliki

keterkaitan yang menunjukkan adanya ketergantungan reaksi-

reaksi kimia terhadap temperatur yang melibatkan proses

penguraian ozon. Temperatur mempengaruhi laju reaksi

penguraian ozon. Ozon dan temperatur yang memiliki sifat anti

korelasi yaitu saat temperatur di stratosfer tinggi, konsentrasi

ozon menurun karena reaksi penguraian ozon oleh senyawa

perusak ozon menjadi lebih cepat. Selanjutnya penurunan

konsentrasi ozon akan memberi respon terhadap perubahan

temperatur yang mengakibatkan temperatur meningkat

[Stolarski, et.al, 2012]. Temperatur merupakan kunci utama

dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Temperatur pada

tekanan tertentu menentukan kerapatan dan dinamika di seluruh

skala juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan proses

transfer radiatif di atmosfer [Schwartz, 2010]. Profil temperatur

Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA

33

vertikal di atmosfer bumi secara global berkaitan dengan radiasi,

konveksi, dan proses pemanasan dinamika antara permukaan

bumi dengan sistem atmosfer [Ramaswamy, et.al, 2006].

Menurut Chandra et al, (1995) dan Douglas et al, (2012)

disebutkan bahwa siklus tahunan ozon pada tekanan 1-2 hPa

lebih kuat didominasi oleh pengaruh dari temperatur terhadap

reaksi penguraian ozon. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan

dikaji hubungan ozon dengan temperatur pada tekanan 1 hPa.

Tekanan tersebut dipilih untuk mengeliminasi pengaruh

parameter yang lain terhadap temperatur dan ozon, terutama

GRK (Gas Rumah Kaca) yang memberikan efek pendinginan

stratosfer sehingga memperlambat laju reaksi penguraian ozon.

Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis musiman

ozon dan temperatur serta karakteristiknya pada tekanan 1 hPa.

Kemudian dilakukan juga penentuan nilai koefisien ozon-

temperatur yang dinyatakan sebagai B dari data hasil

pengukuran instrument Microwave Limb Sounder (MLS) satelit

AURA tahun 2005-2013.

Hasil penelitian Stolarski et al, (2012) menunjukkan

scatter plot rasio campuran ozon terhadap temperatur pada

tekanan 1 hPa (Gambar 1 kiri) dan nilai koefisien ozon-temperatur

(B) di lokasi lintang 45-50 Lintang Selatan (Gambar 1 kanan).

Gambar 1. (kiri) Scatter plot rasio campuran ozon terhadap

temperatur pada tekanan 1 hPa di wilayah 45 LS

Novita dkk

34

hingga 50LS menggunakan data MLS AURA

(tanda silang warna hitam) tahun 2005-2008 dan

data LIMS (tanda silang warna biru) tahun 2007-

2008. Data kemudian di plot kembali dalam

bentuk logaritma normal ozon terhadap nilai 1/T

untuk memperoleh nilai koefisien B yang

tercantum pada persamaan garis untuk masing-

masing data [Stolarski et al, 2012].

Hasil penelitian Stolarski et.al, (2012) menggunakan data

hasil observasi MLS AURA pada tahun 2005-2008 diperoleh nilai

B adalah sebesar (1120/1000) K atau sebesar 1,120 K dan

(1275/1000) K atau 1,275 K dari hasil perhitungan menggunakan

data dari instrument LIMS satelit Nimbus 7 pada tahun 1978-

1979. Pada penelitian ini akan ditentukan korelasi ozon dengan

temperatur serta nilai B untuk wilayah Indonesia menggunakan

data ozon dan temperatur hasil observasi MLS AURA tahun 2005-

2013.

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Data yang digunakan adalah data profil vertikal harian

ozon dan temperatur dari MLS AURA tahun 2005 sampai dengan

2013 untuk rata-rata wilayah Indonesia (area average) dengan

batas lintang dan bujur adalah 6 LU – 11 LS dan 95 BT – 145 BT.

2.2 METODOLOGI

Profil vertikal musiman dipilih pada rentang tekanan 3,1

hPa hingga 0,31 hPa sedangkan untuk pengolahan variasi

bulanan (dari Juli hingga Juni), time series, dan scater plot ozon

terhadap temperatur serta logaritma normal ozon terhadap nilai

1/T dipilih pada tekanan 1 hPa. Seperti yang telah dijelaskan

pada bagian pendahuluan, tekanan 1 hPa dipilih untuk

mengeliminasi pengaruh parameter lain selain temperatur

terhadap ozon, terutama GRK yang menyebabkan pendinginan

stratosfer dan menurunkan laju reaksi penguraian ozon.

Pembuatan scatter plot hubungan logaritma normal ozon

terhadap nilai 1/T atau 1000/T digunakan untuk menentukan

nilai koefisien ozon-temperatur yang dinyatakan sebagai B.

Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA

35

Salah satu cara untuk menentukan pengaruh temperature

terhadap ozon di stratosfer atas adalah dengan menentukan

keofisien ozon-temperatur, yang dinyatakan dalam B dan dihitung

berdasarkan persamaan (Barnett et al., 1975., Stolarski et al.,

2012):

O3 = O3oexp(B/T) …………………………… (1)

Dari persamaan tersebut, dapat dibuat grafik logaritma normal

ozon terhadap nilai 1/T untuk mendapatkan nilai B.

Instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) yang

ditempatkan pada satelit AURA memiliki kemampuan untuk

melakukan pengukuran profil vertikal komposisi kimia atmosfer

yang meliputi O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3,

N2O, CO, HCN, CH3CN, vulkanik SO2, serta parameter lainnya

seperti awan es dan temperatur atmosfer. MLS/AURA memiliki

resolusi vertikal mendekati 3 km di stratosfer dengan resolusi

horisontal 200 km (http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php).

Resolusi horisontal ini menghasilkan cakupan wilayah observasi

MLS meliputi 82 derajat lintang selatan dan 82 derajat lintang

utara. MLS mengukur profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia

setiap 24 jam [Ahmad, et.al, 2006].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil vertikal ozon dan temperatur di stratosfer atas dari

tekanan 3,2 hPa hingga 0,3 hPa ditunjukkan pada Gambar 2.

Profil vertikal ozon menurun dengan konsentrasi lebih tinggi pada

tekanan 3,2 hPa dan minimum pada tekanan 0,3 hPa. Hal ini

disebabkan konsentrasi ozon yang dominan berada di stratosfer

tengah (10 hPa hingga 1 hPa) karena pada lapisan ini terjadi

proses pembentukan ozon yang berasal dari pemutusan molekul

oksigen oleh radiasi UV dengan energi tinggi membentuk atom

oksigen yang bereaksi sangat cepat membentuk ozon. Kemudian

ozon menurun di stratosfer atas akibat reaksi pembentukan ozon

yang berjalan lebih lambat (Manins et al., 2001).

Novita dkk

36

Gambar 2. Profil vertikal rata-rata musiman ozon dan (b)

temperatur di stratosfer atas (tekanan 3 s.d 0,3 hPa)

di Indonesia tahun 2005-2013 untuk bulan DJF

(Desember-Januari-Februari), MAM (Maret-April-

Mei), JJA (Juni-Juli-Agustus), dan SON (September-

Oktober-November).

Profil vertikal temperatur menunjukkan nilai temperatur

maksimum pada tekanan 1 hPa atau pada lapisan stratopause

mencapai 268 K. Temperatur maksimum di straopause

disebabkan radiasi UV dengan panjang gelombang menengah

diserap oleh molekul ozon. Sifat ozon sebagai gas rumah kaca

yang dapat memancarkan sinar infra merah menyebabkan

stratopause menjadi lebih hangat (Haefele et al., 2009). Variasi

musiman menunjukkan profil vertikal ozon pada tekanan 3,2 hPa

a

b

Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA

37

lebih tinggi di bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) atau

pada saat musim penghujan di Indonesia. Variasi musiman profil

vertikal temperatur menunjukkan temperatur pada tekanan 1

hPa lebih besar pada bulan-bulan Maret-April-Mei (MAM)

dibandingkan dengan bulan lainnya.

Profil vertikal temperatur pada Gambar 2 (b) menunjukkan

variasi temperatur yang maksimum pada tekanan 1 hPa atau

pada lapisan stratopause dengan nilai antara 265 hingga 268 K.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ambarsari, N (2010) yang

mengkaji mengenai profil vertikal temperatur di wilayah Bandung

dan Watukosek juga menunjukkan maksimum temperatur pada

tekanan 1 hPa.

Variasi bulanan ozon dan temperatur pada tekanan 1 hPa

tahun 2005-2013 ditunjukkan pada Gambar 3. Pada gambar

terlihat adanya pola yang berkebalikan antara ozon dengan

temperatur terutama pada bulan Februari,-Maret ozon minimum,

sedangkan temperatur maksimum. Sebaliknya pada bulan-bulan

Desember-Januari terlihat ozon mencapai maksimum sedangkan

temperatur mengalami titik minimum.

Variasi bulanan temperatur di stratosfer atas dominan

dipengaruhi oleh variasi sudut zenith matahari. Oleh karena itu

pada bulan Februari-Maret dan September-Oktober, temperatur

mencapai maksimum karena posisi matahari yang berada dekat

dengan ekuator [Ambarsari dan Yulihastin, 2011]. Hal ini

menyebabkan ozon memberikan respon dengan menurunnya

konsentrasi akibat meningkatnya laju reaksi penguraian ozon di

stratosfer atas saat temperatur meningkat. Sebaliknya, ozon

mencapai maksimum saat temperatur rendah karena laju reaksi

penguraian ozon berkurang [Stolarski et al, 2012].

Novita dkk

38

Gambar 3. Variasi bulanan ozon (a) dan temperatur (b) dimulai

dari bulan Juli hingga Januari di Indonesia tahun

2005-2013.

Grafik time series ozon dan temperatur pada tekanan 1

hPa dari tahun 2005-2013 ditunjukkan pada Gambar 4. Tampak

pada gambar terlihat juga adanya pola yang berkebalikan saat

ozon maksimum dan temperatur minimum.

Scatter plot korelasi ozon dengan temperatur serta log

normal ozon terhadap nilai 1000/T yang dilengkapi dengan nilai

B sebagai koefisien ozon-temperatur ditunjukkan pada Gambar 5.

Hubungan ozon dan temperatur pada tekanan 1 hPa

menunjukkan korelasi berkebalikan dengan nilai koefisien

korelasi sebesar 0,641. Begitu pula korelasi log normal ozon

terhadap nilai 1000/T dengan nilai koefisien korelasi sebesar

a

b

Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA

39

0,611. Adapun nilai koefisien ozon-temperatur atau disebut

sebagai B yang diperoleh dari persamaan garis eksponensial

(Pers.1) di Indonesia didapatkan sebesar 692/1000 K atau 0,692

K.

Gambar 4. Time series ozon dan temperatur pada 1 hPa di

Indonesia tahun 2005-2013.

Bila dihitung menggunakan persamaan (1), bila

diasumsikan nilai temperatur 1 K maka dapat dihitung

konsentrasi ozon saat T = 1 K adalah sebesar 0,167 ppmv.

Kemudian bila diasumsikan terjadi kenaikan temperatur menjadi

2 K maka dapat dihitung konsentrasi ozon pada saat T = 2 K yang

diperoleh nilai konsentrasi ozon sebesar 0,118 ppmv. Bila

dihitung nilai perubahan ozon (O3 = O3,2K – O3,1K) akan diperoleh

hasil sebesar -0,049. Begitu seterusnya, saat temperatur

meningkat terjadi penurunan konsentrasi ozon yang nilainya

sebesar ln(O3) atau sama dengan nilai eksponensial (0,692/T).

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Stolarski et al

(2012) yang dilakukan di lintang 45 LS hingga 50 LS terdapat

perbedaan nilai B yang cukup signifikan. Nilai B yang diperoleh

Stolarski et al (2012) adalah 1,120 K dan 1,275 K sedangkan hasil

penelitian ini menghasilkan nilai B sebesar 0,692 K. Perbedaan

lokasi penelitian dan panjangnya data diperkirakan menjadi

faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Selain itu,

konsentrasi ozon di wilayah Indonesia yang lebih rendah

dibandingkan wilayah lainnya juga diperkirakan menyebabkan

nilai B berbeda. Untuk mengetahui adanya perubahan nilai B dari

Novita dkk

40

tahun-tahun sebelumnya sebelum periode penelitian ini

diperlukan data-data tambahan yang berasal dari instrumen lain.

Akan tetapi kesulitan memperoleh data di waktu-waktu

sebelumnya menjadi kendala untuk dapat membandingkan nilai

B saat ini dengan di masa lalu.

Gambar 5. Scatter plot konsentrasi ozon terhadap temperatur (a)

di Indonesia bulan Januari-Desember tahun 2005-

2013 dan logaritma normal ozon terhadap nilai

1000/T (b) serta nilai B sebagai koefisien persamaan

garis antara logaritma normal ozon dengan nilai

1000/T.

O3 = O3oexp(692/T)

a

b

Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA

41

4. KESIMPULAN

Variasi ozon dan temperatur pada ketinggian 1 hPa

menunjukkan hubungan berkebalikan yang terlihat dari variasi

bulanan, trend, maupun scatter plot dengan koefisien korelasi

sebesar 0,611. Nilai koefisien ozon-temperatur (B) di Indonesia

untuk tahun 2005-2013 diperoleh sebesar 0,692 K. Dari hasil

perhitungan diketahui bahwa saat temperatur meningkat terjadi

penurunan konsentrasi ozon yang nilainya sebesar ln(O3) atau

sama dengan nilai eksponensial (0,692/T). Pengaruh ozon

terhadap temperatur di stratosfer atas di Indonesia dapat

dituliskan dalam persamaan O3 = O3oexp(0,692/T).

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyedia data

komposisi kimia atmosfer hasil pengukuran satelit Aura milik

NASA yang dapat diakses dengan mudah melalui fasilitas website

MIRADOR NASA.

DAFTAR RUJUKAN

Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V.,

Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., 2006: Atmospheric

composition data products from the EOS Aura MLS. Proc.

Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric

Chemistry,Atlanta, Georgia, 2006 Jan 28 - Feb 3.

Ambarsari N dan Komala N., 2010: Profil Vertikal Ozon, ClO, dan

Temperatur di Bandung dan Watukosek Berbasis

Observasi Sensor MLS Satelit AURA, Prosiding Seminar

Sains Atmosfer I 2010, ISBN : 978-9779-1458-38-2, hal.

363-374.

Ambarsari N., Yulihastin E., 2011: Pengaruh Osilasi Tahunan dan

ENSO Terhadap Variabilitas Ozon Total Indonesia, Jurnal

Teknologi Indonesia, LIPI volume 34 edisi khusus, Agustus

2011. ISSN : 0126-1533.

Barnett, J. J., J. T. Houghton, and J. A. Pyle., 1975: The

temperature dependence of the ozone concentration near

the stratopause, Q. J. R. Meteorol. Soc, 101, 245–257,

doi:10.1002/qj.49710142808.

Chandra, S., C. H. Jackman, and E. L. Fleming., 1995: Recent

Novita dkk

42

trends in ozone in the upper stratosphere: Implications for

chlorine chemistry, Geophys. Res. Lett., 22(7), 843–846.

Douglass A.R., Stolarski S.R., Strahan S.E., dan Oman L.D.,

2012: Understanding Differences in Stratospheric Ozone

Response to Changes in Chlorine and Temperature as

Computed Using CCMVal-2 Models, Journal of Geophysical

Research, Vol. 117, D16306, 1-14.

Haefele, A. E., De Wachter., K. Hocke., 2009. Validation of ground-

based microwave radiometers at 22 GHz for stratospheric

and mesospheric water vapor, JOURNAL OF GEOPHYSICAL

RESEARCH, VOL. 114, D23305.

Manins Peter, 2001. Atmosphere Theme Report, CSIRO Australia,

www.environment.gov.au tanggal akses 20 Oktober 2015.

MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php

Stolarski S. R., Douglass A. R., Remsberg E. E., Livesey J. N., and

Gille C. J., 2012: Ozone-Temperature Correlation in The

Upper Stratosphere as a Measure of Chlorine Content,

Journal of Geophysical Research, Vol. 117, D10305, 1-8.

Schwartz M., The MLS Temperatur Product,

http://mls.jpl.nasa.gov/products/temp_product.php,

tanggal akses 25 Juli 2015.

V. Ramaswamy et.al., 2006: Chapter 1. Temperatur Trends in The

Lower Atmosphere, The US. Climate Change Science

Program.

Erma Yulihastin dkk Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim

Indonesia Dalam Model CCAM

43

IDENTIFIKASI FASE AKTIF MJO DI BENUA MARITIM

INDONESIA DALAM MODEL CCAM

Erma Yulihastin, Nurzaman Adikusumah, Eddy Hermawan

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan model

CCAM (Conformal Cubic Atmospheric Model) dalam menangkap

sinyal MJO aktif di BMI (Benua Maritim Indonesia) yang

direpresentasikan terjadi pada fase 4 dan 5. Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data pentad curah hujan hasil

prediksi model CCAM periode 1999-2005, curah hujan pentad

GPCP (Global Precipitation Climatology Project), indeks MJO

(Madden Julian Oscillation) yang berasal dari NOAA (National

Oceanic and Atmospheric Administration), serta data pentad OLR

(Outgoing Longwave Radiation) dan angin dari reanalisis

NCEP/NCAR (National Centers for Environmental

Prediction/National Center for Atmospheric Research) pada 1999-

2005. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

diagram hovmöller untuk menggambarkan penjalaran gelombang

MJO di wilayah BMI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model

CCAM dapat mengidentifikasi aktivitas MJO di BMI. Hal ini

dibuktikan dengan kemampuan model CCAM dalam

menggambarkan 7 kasus penjalaran gelombang MJO di BMI yaitu

pada 1999, 2002, 2003, 2005. Sinyal MJO bahkan dapat

ditangkap oleh model CCAM dengan baik meskipun terjadi 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎

kuat sepanjang tahun 1999.

Kata-kata kunci: MJO, CCAM, BMI

ABSTRACT

This study aims to evaluate the ability of the CCAM (Conformal

Cubic Atmospheric Model) in capturing the active of MJO signal in

IMC (Indonesian Maritime Continent) which represented occur in

Erma Yulihastin dkk

44

phases 4 and 5. The data used in this research is pentad data of

rainfall prediction models results of CCAM the period 1999-2005,

rainfall data of GPCP (Global Precipitation Climatology Project),

the MJO (Madden Julian Oscillation) index derived from NOAA

(National Oceanic and Atmospheric Administration), as well as

pentad data of OLR (Outgoing Longwave Radiation) and wind from

NCEP/NCAR (National Centers for Environmental

Prediction/National Center for Atmospheric Research) reanalysis

in 1999-2005. The method used in this research is the analysis of

hovmöller diagram to describe MJO wave propagation in the IMC.

The results showed that the CCAM model sensitive to MJO activity

in IMC. This is evidenced by the ability of CCAM models in

describing 7 cases MJO wave propagation in BMI, namely in 1999,

2002, 2003, 2005. MJO signal can even be captured by the CCAM

model as well despite strong 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 throughout in 1999.

Key words: MJO, CCAM, IMC

1. PENDAHULUAN

MJO merupakan fenomena unik di atmosfer tropis ekuator

yang diidentifikasi sebagai gelombang yang menjalar dari barat

(Samudera Hindia) ke timur (Samudera Pasifik) selama periode

30-60 hari. Sejak ditemukan pada 1971, MJO telah dipercaya

mampu mempengaruhi sistem cuaca dan iklim global. Hal ini

karena aktivitas MJO sangat berkaitan dengan peningkatan

konveksi di wilayah tropis yang dapat berinteraksi dengan

atmosfer dalam skala global (Zhang et al., 2012; Zhang et al.,

2013). Selain itu, MJO juga memberikan efek signifikan terhadap

monsun, seperti mempengaruhi waktu onset monsun, juga

mengganggu fase aktif dan fase jeda (break) monsun (Gottschalck

et al., 2010).

Lebih dari satu dekade, sejak indeks MJO mulai

diperkenalkan (Wheeler dan Hendon, 2004), memodelkan

penjalaran gelombang ini secara tepat dan akurat menggunakan

model atmosfer yang operasional masih menjadi tantangan

terbesar saat ini. Penelitian sebelumnya berupaya memecahkan

persoalan ini dengan melakukan pendekatan dengan cara

mengubah parameterisasi cumulus yang digunakan oleh model

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

45

atmosfer global (AGCM) (Jia dkk., 2009; Gottschalck et al., 2010;

Deng and Wu, 2010; Fu et al., 2013). Dari tiga macam skema

prameterisasi cumulus, skema MCA (Moist Convective Adjusment)

menunjukkan hasil yang terbaik dalam merepresentasikan hasil

observasi. Meskipun begitu, hasil simulasi gelombang MJO yang

diperoleh memiliki amplitudo yang terlampau besar, kecepatan

penjalaran gelombang yang terlalu cepat, serta anomali presipitasi

yang kurang realistis dibandingkan dengan observasi (Jia dkk.,

2009).

Prediksi beberapa model global menunjukkan hasil yang

relatif cukup baik (>0,6) jika digunakan untuk simulasi maksimal

25 hari. Sementara untuk simulasi antara 25 hingga 40 hari

menunjukkan hasil yang semakin rendah (<0,6) (Miyakawa et al.,

2012; Miyakawa et al., 2014).

Secara umum, hasil simulasi model tersebut cukup sesuai

dengan observasi, di mana pergerakan gelombang MJO terlihat

secara jelas dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik

melewati kawasan BMI. Namun demikian, hasil simulasi setiap

fase menunjukkan nilai anomali presipitasi yang over-estimated

terjadi pada formasi ITCZ di Samudera Pasifik. Sebaliknya, hasil

model tampak under-estimated di kawasan BMI. Selain itu, hasil

model juga memperlihatkan secara jelas bahwa bias terbesar

muncul pada formasi ITCZ di Samudera Pasifik pada fase 5, di

mana MJO saat itu berada di atas kawasan BMI. Hal ini

membuktikan bahwa kawasan Indo-Pasifik memegang peranan

utama yang mempengaruhi aktivitas MJO sehingga bias yang

terjadi di dalam model menjadi sangat besar. Sejumlah model

global juga mengalami persoalan ketika menyimulasikan fase aktif

MJO di atas BMI karena wilayah ini bertindak sebagai penghalang

sehingga sinyal MJO pun pecah (Fu et al., 2013). Ditambah lagi,

di BMI variasi diurnal sangat dominan sehingga model gagal

memperlihatkan penjalaran MJO di wilayah ini (Holloway et al.

2013). Selain itu, belum ada penelitian yang berupaya

menjelaskan performansi model CCAM (Conformal Cubic

Atmospheric Model) dalam menyimulasikan MJO.

Oleh karena itu, analisis hasil model CCAM dalam

menyimulasikan MJO yang difokuskan pada kawasan Benua

Maritim Indonesia (fase 4 dan fase 5) menjadi menarik sekaligus

penting. Penelitian ini bertujuan meneliti kemampuan model

Erma Yulihastin dkk

46

CCAM dalam menyimulasikan fase aktif MJO di kawasan BMI.

Investigasi terhadap data hasil model CCAM akan dilakukan

terhadap kecepatan penjalaran gelombang MJO dan distribusi

spasial fitur MJO melalui anomali presipitasi, OLR, dan angin.

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Penelitian mengenai MJO di BMI ini menggunakan data

utama yaitu indeks RMM1 dan RMM2 MJO yang diperoleh dari

NOAA dengan resolusi data pentad pada periode 1999-2011. Data

ini dipilih untuk mengidentifikasi periode di mana MJO aktif di

BMI yaitu pada fase 4 dan 5. Dari data indeks MJO tersebut,

ditemukan 7 kasus MJO aktif di BMI yang terjadi pada periode

tahun 1999, 2002, 2003, 2005. Tahun tersebut selanjutnya

dipilih merepresentasikan kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat (1999), 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah

(2002), dan kondisi normal (2003, 2005).

Data utama yang kedua adalah data prediksi hasil model

CCAM dengan resolusi spasial 60 km, di wilayah penelitian BMI

(95 − 145°BT, 12°LS − 10°LU) periode 1999-2011. Adapun parameter

data model CCAM yang digunakan untuk mengidentifikasi

aktivitas MJO adalah curah hujan dan angin. Kedua jenis

parameter tersebut memiliki resolusi waktu harian. Selanjutnya,

data rujukan utama yang mengonfirmasi terjadinya MJO adalah

data curah hujan harian GPCP yang berasal dari satelit TRMM

dan data harian OLR yang berasal dari data reanalisis

NCEP/NCAR. Data rujukan kedua adalah data angin zonal dan

meridional reanalisis NCEP/NCAR.

2.2 METODOLOGI

Metodologi yang dipilih dalam penelitian ini terdiri atas

beberapa analisis, yaitu analisis komposit untuk menghitung nilai

rata-rata dan anomali pentad di wilayah BMI. Kedua, analisis

hovmöller untuk mengidentifikasi penjalaran gelombang MJO dari

Samudera Hindia menuju kawasan BMI.

Kemudian, untuk mengidentifikasi MJO, digunakan data

harian model CCAM berupa anomali curah hujan terhadap curah

hujan rata-rata 1999-2005. Untuk menghilangkan karakteristik

diurnal, maka data harian ini selanjutnya dirata-ratakan menjadi

5-harian atau pentad. Selanjutnya, sebagai data pembanding,

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

47

digunakan data OLR dari reanalisis NCEP/NCAR dan data hujan

dari GPCP. Sementara untuk mengidentifikasi penjalaran

gelombang MJO dari Samudera Hindia menuju kawasan BMI,

dilakukan analisis hovmöller baik terhadap data model CCAM

maupun data reanalisis NCEP/NCAR.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 MJO UNTUK KASUS LANINA KUAT

Gambar 1 menunjukkan MJO aktif pada fase 4 dan 5

selama periode Mei-Juli 1999, April-Mei 2002, Mei-Juni 2002.

Terlihat pada Mei-Juli 1999, hasil prediksi curah hujan model

CCAM dapat menunjukkan penjalaran gelombang MJO dengan

kecepatan penjalaran sekitar 4,7 m/det. Hal ini cukup

membuktikan bahwa hasil model tersebut cukup realistis dalam

memprediksi kecepatan MJO yaitu 5 m/det (Deng and Wu, 2009).

Namun, penjalaran MJO ini tidak tampak melalui data

komparasi berupa anomali curah hujan GPCP. Selain itu,

perbedaan antara data curah hujan model CCAM dan GPCP

terlihat pada sebaran konsentrasi hujan secara zonal. Pada curah

hujan CCAM, hujan maksimum terkonsentrasi di kawasan BMI

bagian barat dan tengah (105 − 130°𝐵𝑇). Sedangkan curah hujan

GPCP terkonsentrasi di Indonesia bagian timur (120 − 140°𝐵𝑇).

Hal ini sekaligus memperlihatkan hasil model CCAM over-

estimated di bagian barat dan tengah BMI dan sebaliknya under-

estimated di timur BMI dan Pasifik barat. Begitu pun dengan data

OLR NCEP yang kurang dapat menunjukkan sinyal MJO tersebut.

Hal ini terjadi karena pada periode tersebut anomali negatif OLR

tersebar secara homogen di semua wilayah Hal ini berkaitan

dengan kejadian 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat yang terjadi sepanjang tahun 1999.

Dengan demikian ini menunjukkan bahwa model CCAM kurang

dapat menangkap sinyal 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat yang berdampak pada

peningkatan aktivitas konveksi di seluruh kawasan BMI.

Gambar 2 memperlihatkan pola spasial anomali hujan di

kawasan BMI dari perata-rataan data selama periode MJO aktif

pada fase 4 dan 5 tahun 1999. Perbandingan dengan observasi

GPCP tampak bahwa secara umum anomali hujan hasil model

CCAM under-estimated baik di daratan dan lautan. Curah hujan

dengan nilai lebih rendah dari observasi terlihat di Sumatra,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Sebaliknya, nilai over-

Erma Yulihastin dkk

48

estimated terlihat di kawasan tenggara Indonesia.

Gambar 3 merupakan angin pada ketinggian 850 mb

antara model dan data reanalisis. Terlihat bahwa pola angin

secara umum yaitu angin timuran bertiup di utara ekuator dan

berubah menjadi angin baratan di selatan ekuator dan ini dapat

direpresentasikan dengan baik oleh model CCAM. Namun, hasil

model juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari data

reanalisis untuk kawasan tenggara BMI.

Gambar 1. Diagram hovmöller rata-rata global 5°LU − 5°LS dari

anomali hujan pentad tahun 1999 berdasarkan

hasil prediksi model CCAM (a); GPCP (b); NCEP (c)

dan tahun 2002 berdasarkan hasil prediksi model

CCAM (d); GPCP (e); NCEP (f).

(a) MJO CCAM 1999 (b) MJO GPCP 1999

(d) MJO CCAM 2002

MJO NCEP 1999 (c)

MJO NCEP 2002 MJO GPCP 2002 (e) (f)

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

49

Gambar 2. Anomali presipitasi dari data pentad GPCP (atas) dan

CCAM (bawah) selama periode MJO aktif di BMI

tahun 1999.

Selain itu, fitur angin timuran kuat di kawasan Pasifik

barat yang menjadi ciri terjadinya LaNina kuat (indeks>1) juga

terlihat melalui data reanalisis. Sedangkan sirkulasi anti-siklonik

yang terbentuk di Samudra Hindia (0 − 10°𝐿𝑈) dan angin baratan

kuat di atas kawasan barat Indonesia mendukung terjadinya MJO

fase 4 dan 5 (Rui dan Wang, 1990).

Gambar 3. Angin 850 mb dari data pentad NCEP/NCAR (atas)

dan CCAM (bawah) selama periode MJO aktif di BMI

tahun 1999.

Erma Yulihastin dkk

50

Gambar 4 menjelaskan pola angin pada ketinggian 200 mb. Secara umum dari pola arahnya, angin yang dihasilkan oleh model CCAM sesuai dengan data reanalisis. Namun, secara intensitas, magnitudo angin timuran di atas ekuator BMI hasil model memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan data reanalisis.

Gambar 4. Sama seperti Gambar 3, tetapi untuk angin 200 mb

selama periode MJO aktif di BMI tahun 1999.

3.2 MJO UNTUK KASUS ELNINO LEMAH

Sementara itu pada periode April-Mei 2002 dan 16 Juni-1

Juli, hasil prediksi model CCAM memperlihatkan penjalaran MJO

(Gambar 1). Namun hal ini kurang sesuai dengan data hujan

GPCP. Sedangkan data reanalisis OLR NCEP/NCAR dapat

menangkap sinyal MJO. Namun, pada 16 Juni-1 Juli 2002

tampak terdapat anomali OLR positif sehingga sinyal MJO pada

Juni 2002 kurang dapat digambarkan oleh data tersebut.

Pada kejadian 2002, terlihat jelas bahwa secara global,

sinyal MJO cukup dapat dikonfirmasi oleh data reanalisis OLR

dari NCEP/NCAR. Meskipun demikian, gelombang MJO hasil

prediksi model CCAM menjalar terlalu cepat (~7,95 m/det)

dibandingkan kecepatan MJO secara umum (Deng and Wu,

2009). Hal ini memperlihatkan bahwa model CCAM memiliki

persoalan yang secara umum dihadapi oleh model global yaitu

penjalaran sinyal dari barat ke timur lebih cepat dari hasil

observasi karena posisi Benua Maritim Indonesia yang menjadi

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

51

faktor penghalang (barrier) sehingga sinyal MJO menjalar lebih

cepat dari Samudra Hindia menuju Indonesia dan menahannya di

wilayah ini (Fu et. al, 2013).

Selain itu, selama rentang Mei-Juli 2002 telah terjadi

𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah. Inilah yang mengakibatkan anomali negatif hujan

berdasarkan GPCP terjadi di kawasan BMI (Gambar 1). Namun

kondisi ini, lagi-lagi tidak dapat ditangkap oleh hasil hujan dari

model CCAM. Sama seperti kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat pada 1999,

tampaknya hasil CCAM juga kurang dapat merepresentasikan

pengaruh gangguan yang terjadi di Samudra Pasifik tersebut.

Gambar 5. Sama seperti Gambar 4, tetapi untuk anomali

presipitasi selama periode MJO aktif di BMI tahun

2002.

Gambar 5 memperlihatkan perbandingan spasial anomali

hujan antara data CCAM dan GPCP selama kasus ElNino lemah

pada 2002. Secara umum, pola anomali hujan hasil CCAM dapat

mengikuti hasil yang ditunjukkan GPCP. Namun demikian,

tampak ada nilai yang over-estimated di wilayah perairan sebelah

selatan Filiphina.

Gambar 6 dan 7 memperlihatkan perbandingan spasial

pola angin monsun pada ketinggian 850 mb dan 200 mb antara

CCAM dan NCEP/NCAR. Tampak bahwa secara umum, pola arah

dan intensitas angin pada level 850 mb dari CCAM dapat

mengikuti NCEP/NCAR. Selain itu, pengaruh 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah

Erma Yulihastin dkk

52

tampak pada angin baratan di level 850 mb yang terjadi di

kawasan sebagian Pasifik barat. Sementara itu pada level 200 mb,

magnitudo angin hasil CCAM untuk wilayah utara ekuator

memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan

NCEP/NCAR.

Gambar 6. Sama seperti Gambar 3, tetapi untuk kasus tahun

2002.

Gambar 7. Sama seperti Gambar 4, tetapi untuk kasus tahun

2002.

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

53

3.3 MJO UNTUK KASUS NORMAL

Gambar 8 menunjukkan MJO aktif pada fase 4 dan 5 pada

Mei 2003, April-Mei 2005 dan Oktober-Desember 2005. Untuk

periode Mei 2003, terlihat bahwa sinyal MJO sangat jelas dapat

diamati dari data anomali positif hujan hasil prediksi model

CCAM. Kondisi ini dikonfirmasi dengan sangat baik oleh data

anomali positif hujan GPCP dan anomali negatif OLR dari

reanalisis NCEP/NCAR. Demikian juga ketika terjadi fase kering

pada 16 Mei-1 Juni 2003. Baik model CCAM, GPCP, maupun

NCEP/NCAR dapat merepresentasikan ini dengan sangat baik.

Pada periode 2005, dua kali penjalaran gelombang MJO

yaitu pada April dan Mei 2005, juga terlihat dapat ditunjukkan

dengan sangat baik oleh ketiga data (CCAM, GPCP, dan

NCEP/NCAR). Hal yang bersesuaian antara ketiganya juga

diperlihatkan pada periode Oktober-Desember 2005.

Gambar 8. Sama seperti Gambar 1, tetapi untuk kejadian MJO

aktif pada fase 4 dan 5 tahun 2005.

Gambar 9 juga memperlihatkan bahwa pada periode 2003,

secara distribusi spasial hujan, hasil CCAM dapat dikonfirmasi

dengan cukup baik oleh GPCP dengan perbedaan nilai intensitas

hujan (over atau under estimated) tidak sebesar ketika pada kasus

LaNina kuat dan ElNino lemah sebelumnya.

(a) MJO CCAM 2003 (b) MJO GPCP 2003

(d) MJO CCAM 2005 (e) MJO GPCP 2005

MJO NCEP 2003

MJO NCEP 2005

(c)

(f)

Erma Yulihastin dkk

54

Gambar 9. Sama seperti Gambar 5, tetapi untuk kasus tahun

2003.

Gambar 10. Sama seperti Gambar 6, tetapi untuk kasus tahun

2003.

Gambar 10 dan 11 menunjukkan angin pada ketinggian

850mb dan 200mb juga bersesuaian dengan hasil GPCP dan

NCEP/NCAR. Nilai angin yang lebih besar pada ketinggian 200

mb dari hasil CCAM hanya ditunjukkan di atas Sumatra.

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

55

Gambar 11. Sama seperti Gambar 7, tetapi untuk kasus tahun

2003.

Gambar 12. Sama seperti Gambar 9, tetapi untuk kasus tahun

2005.

Gambar 12 menunjukkan bahwa pada kasus normal

periode 2005, hasil model CCAM memiliki nilai yang lebih besar di

wilayah perairan (Laut Jawa dan Maluku), dibandingkan dengan

data hujan GPCP. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan

pembentukan siklon tropis di Samudra Pasifik sebelah timur laut

Erma Yulihastin dkk

56

Filiphina, yang ditandai dengan sirkulasi angin antisiklonik

(Gambar . Keberadaan siklon tropis tersebut telah menimbulkan

gangguan berupa penguatan pada angin monsunal. Selain itu,

siklon tropis tersebut diperlihatkan oleh hasil model CCAM

dengan curah hujan maksimum di kawasan perairan Maluku.

Sedangkan Gambar 14 yang menunjukkan pola spasial angin

pada ketinggian 200 mb terdapat kesesuaian yang sangat baik

antara hasil CCAM dan data reanalysis NCEP/NCAR.

Gambar 13. Sama seperti Gambar 10, tetapi untuk kasus 2005.

Gambar 14. Sama seperti Gambar 11, tetapi untuk kasus tahun

2005.

Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM

57

4. KESIMPULAN

Hasil model CCAM memperlihatkan bahwa aktivitas MJO

di BMI pada fase 4 dan 5 dapat teridentifikasi dengan cukup baik.

Hal ini tampak pada 7 kasus MJO aktif di BMI yaitu pada periode

tahun 1999, 2002, 2003, 2005. Hasil prediksi curah hujan CCAM

menunjukkan secara konsisten terjadinya anomali curah hujan

positif sepanjang penjalaran gelombang MJO di wilayah BMI. Hal

ini dikonfirmasi oleh data anomali positif hujan GPCP dan

anomali negatif OLR dari data reanalisis NCEP/NCAR. Meskipun

demikian, tampak bahwa pada kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat tahun 1999

dan 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah 2002, model CCAM tidak dapat menangkap

fenomena tersebut sehingga terjadi perbedaan distribusi anomali

hujan yang cukup besar dengan hasil GPCP. Sementara pada

kasus normal, yang direpresentasikan pada tahun 2003 dan

2005, penjalaran gelombang MJO hasil model CCAM tampak

sangat sesuai dengan data GPCP dan reanalisis NCEP/NCAR.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan

kepada Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer Dr. Didi Satiadi yang

telah berkenan memberikan arahan dan masukan untuk

perbaikan makalah ini. Terima kasih pula untuk Kepala Pusat

Sains dan Teknologi Atmosfer, Ir. Halimurrahman, MT. atas

pengarahan terhadap penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Deng, L., and X. Wu., 2010: Effects of Convective Processes on

GCM Simulations of the Madden–Julian Oscillation. J.

Climate, 23, 352–377.

Fu, X., J-Y Lee, P-C Hsu, H. Tanigushi, B. Wang, W. Wang, and S.

Weaver et al., 2013: Multi-model MJO forecasting during

DYNAMO/CINDY period. Clim. Dyn., 41, 1067–1081.

Gottschalck, J., M. Wheeler, K. Weickmann, F. Vitart, N. Savage,

H. Lin, H. Hendon, D. Waliser, K. Sperber, M. Nakagawa,

C. Prestrelo, M. Flatau, and W. Higgins., 2010: A

Framework for Assessing Operational Madden–Julian

Oscillation Forecasts: A CLIVAR MJO Working Group

Erma Yulihastin dkk

58

Project. Bull. Amer. Meteor. Soc., 91, 1247–1258.

Holloway, C.E., S.J. Woolnough, Lister, and G.M.S. Lister., 2013:

The effects of explicit versus parameterized convection on

the MJO in a large-domain high-resolution tropical case

study. Part I: characterization of large-scale organization

and propagation. J. Atmos. Sci. 70, 1342–1369.

Jia, X., C. Li, N. Zhou, and J. Ling., 2010: The MJO in an AGCM

With Three Different Cumulus Parameterization Schemes,

Dyn. Of Atm. and Oceans, 49, 141-163.

Miyakawa, T., M. Satoh, H. Miura, H. Tomita, H. Yashiro, A.T.

Noda, Y. Yamada, C. Kodama, M. Kimoto, andK.

Yoneyama., 2014: Madden–Julian Oscillation prediction skill of

a new-generation global model demonstrated using a

supercomputer. Nature Communications, 5, 3769.

Miyakawa, T., Y.N. Takayabu, T. Nasuno, H. Miura, M. Satoh, and

M.W. Moncrieff., 2012: Convective Momentum Transport

by Rainbands within a Madden–Julian Oscillation in a

Global Nonhydrostatic Model with Explicit Deep Convective

Processes. Part I: Methodology and General Results. J.

Atmos. Sci., 69, 1317–1338.

Rui, H. and B. Wang., 1990: Development Characteristics and

Dynamic Structure of Tropical Intraseasonal Convection

Anomalies. J. Atmos. Sci., 47, 357–377.

Wheeler, M.C., and H. H. Hendon., 2004: An All-Season Real Time

Multivariate MJO Index: Developiment of an Index for

Monitoring and Prediction. Mon.Weather Rev., 132,1917-

1931.

Zhang, C. and J. Ling., 2012: Potential Vorticity of the Madden–

Julian Oscillation. J. Atmos. Sci., 69, 65–78.

Zhang, C.,J. Gottschalck,E.D. Maloney,M.W. Moncrieff,F.

Vitart,D.E. Waliser,B. Wang, andM.C. Wheeler., 2013:

Cracking the MJO nut. Geoph. Res. Lett. 40, 1223–1230.

Haries Satyawardhana, dkk Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal

terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

59

INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL

TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA

Haries Satyawardhana and Erma Yulihastin

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan data curah hujan TRMM

(Tropical Rainfall Measuring Mission) dan angin NNRP

(NCEP/NCAR Reanalysis Project) untuk melakukan satu

diheterogenitas spasial dari variabilitas iklim di Pulau Jawa.

Kajian mengenai anomali curah hujan pada saat El Nino telah

banyak dilakukan, El Nino membawa pengaruh kering di Pulau

Jawa. Namun, dalam penelitian ini kajian El Nino dihubungkan

dengan monsun Australia dan topografi lokal di Pulau Jawa. Hasil

dari penelitian ini adalah adanya anomali positi fcurah hujan di

Pulau Jawa pada saat El Nino terjadi pada bulan DJF (Desember,

Januari, Februari). Hal ini disebabkan adanya anomali angin

monsun selama El Nino. Pengaruh El Nino pada saat musim

peralihan (SON – September, Oktober, November) adalah adanya

penguatan angin monsun tenggara di Pulau Jawa. Sebaliknya

pada saat DJF, terjadi pelemahan angin monsun barat laut yang

menyebabkan kuatnya siklus diurnal baik angin darat-laut

maupun angin lembah-gunung sehingga meningkatkan curah

hujan di daerah pegunungan yang lebih dekat ke pantai selatan

dibandingkan dengan pantai Utara Jawa. Oleh karena itu,

variabilitas siklus diurnal berhubungan dengan ketidak-

simetrisan topografi lokal yang menyebabkan adanya

kecenderungan pola: basah untuk daerah selatan dan kering

untuk daerah utara.

Keywords: curahhujan TRMM, AUSMI, SOI

ABSTRACT

This research using rainfall data from TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission) and wind from NNRP (NCEP / NCAR

Haries Satyawardhana, dkk

60

reanalysis Project) to study the spatial heterogeneity of climate

variability in Java. The study of the precipitation anomalies during

El Nino have been carried out, in which the influence of El Nino

actually givea dry condition over Java. However, in this research

study of the El Nino is associated with the Australianmonsoon

and the local topography in Java. The result isEl Ninogive a

positive rainfall anomalies would occur in southern part of Java

during DJF (December, January, and February). This due to the

monsoon winds anomalies during El Nino, at which time the

transitional seasons (SON - September, October, and November)

has been strengthening of the southeast monsoon winds on the

island of Java. In contrast,inDJF the northwest monsoon winds is

weakening, which cause strong diurnal cycle both land-sea breeze

or wind-mountain valleys thus increasing rainfall in mountainous

areas, which are closer to the south coast compared to the

northern coast of Java. Therefore, the variability of the diurnal

cycle associated with non-symmetrical local topography that

causes the tendency of patterns: wet to dry to the south and the

north.

Keywords: TRMM rainfall, AUSMI, SOI

1 PENDAHULUAN

Iklim di Indonesia terutama yang berkaitan dengan variasi

curah hujan dipengaruhi oleh sistem monsun Asia-Australia dan

interaksi laut-atmosfer pada skala luas seperti El Nino Southern

Oscillation (ENSO). Aldrian et.al, (2007) menyatakan bahwa

monsun dan ENSO lebih banyak menjadi pendorong variasi

musim dan variasi interannual dari hujan dan kejadian ekstrem di

Indonesia.ElNino berpengaruh terhadap penurunan curah hujan

di Benua Maritim Indonesia (BMI), namun tidak berlaku untuk

semua wilayah, antara lain di selatan Jawa Barat (Qian, et.al,

2010). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons

curah hujan terhadap kejadian El Nino di setiap daerah di BMI,

khususnya di Pulau Jawa. Pengecualian yang terjadi selatan Jawa

tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut,apalagi mengingat

Pulau Jawa merupakan sentra pertanian (Malian, et.al, 2004).

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

61

Fenomena El Nino merupakan salah satu penyebab

terjadinya perubahan intensitas curah hujan di Indonesia di

mana pengaruh kering (basah) yang ditimbulkan oleh El Nino (La

Nina) memegang peranan penting dalam prediksi onset monsun

untuk penentuan kalender tanam di Indonesia. Selain itu, ENSO

juga berpengaruh terhadap lama musim hujan maupun kemarau

di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Boer dan Subiah (2005) yang

mengemukakan bahwa awal musim hujan pada tahun El Nino

dapat mundur sampai 4-6 dasarian dan maju pada tahun La

Nina.

Selain ENSO, fenomena monsun juga mempengaruhi pola

musim hujan dan kemarau di BMI.Monsun merujuk pada siklus

tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer

selama fase kering dan fase basah. Siklus tahunan ini membagi

fase kering dan fase basah menjadi dua periode. Fase kering

dipengaruhi oleh musim dingin yang terjadi di berbagai benua

dengan massa udara di atmosfer yang bersifat dingin dan kering

(Webster, et.al, 1998). Sebaliknya, fase basah dipengaruhi oleh

musim panas dengan udara yang bersifat lembap. Monsun

dibangkitkan oleh perbedaan pemanasan antara lautan dan

daratan disebabkan oleh pergerakan semu matahari, bentuk dan

topografi benua, baik Benua Asia, Eropa, Afrika, Maritim,

Amerika dan Australia (Li dan Yanai, 1996; Hung, et.al, 2004;

Chang, et.al, 2005). Adapun letak strategis geografis BMI yaitu

berada di antara area perlintasan monsun regional yakni monsun

Asia-Australia.

Angin monsun dan daerah curah hujan maksimum

selanjutnya sangat terkait dengan migrasi Inter-Tropical

Convegence Zone (ITCZ) di atas Jawa setiap tahun. Hal ini

mengakibatkan musim hujan selama musim dingin BBU (belahan

bumi utara) dan musim kering selama musim panas BBU, dengan

musim peralihan diantaranya. Apabila terjadi fenomena El Nino,

maka akan terdapat gangguan terhadap ITCZ tersebut, sehingga

terjadi inkonsistensi terhadap curah hujan di Pulau Jawa.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji variasi curah hujan

terhadap kondisi topografi di Pulau Jawa akibat adanya

pelemahan monsun yang diakibatkan fenomena El Nino.

Pemahaman mengenai interaksi antara monsun dan El Nino ini

penting mengingat fenomena ENSO dan monsun Asia-Australia

Haries Satyawardhana, dkk

62

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim di

Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengkaji pengaruh

topografi terhadap curah hujan dari pelemahan monsun akibat El

Nino.

Gambar 1. Topografi Pulau Jawa, garis putus-putus (107.5° dan

110.5° BT) adala hgaris yang digunakan untuk

analisis cross section yang digunakan di Bab 4.

2 DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data

curah hujan bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission)3B43 dan data SOI yang didapatkan dari

http://www.bom.gov.au/. Indeks AUSMI didapatkan dengan

menghitung rata-rata area angin zonal level 850 mb dari area

110°-130°BT, 15°LS-5°LU. Data curah hujan bulanan dari satelit

berbentuk data grid dengan periode 1998-2011, dengan resolusi

spasial 0.25°. Batas Wilayah Indonesia dalam penelitian ini

adalah 5ºLU-11ºLS dan 95º-141ºBT. Data angin berasal

dariNCEP/NCAR Reanalysis Project (NNRP) II yang mempunyai

resolusi spasial 2.5° dan Data Era Interim dengan resolusi spasial

0.25° dan kedua data angin tersebut mempunyai temporal

bulanan.

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GrADS

untuk pengolahan spasial data TRMM dan penghitungan

koefisien korelasi curah hujan dengan AUSMI,

sedangkanperangkat lunak lain digunakan untuk pemrosesan

data deret waktu untuk melihat koefisien korelasi AUSMI dan

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

63

SOI, serta untuk mengeplot cross section dari kedua daerah yang

berbeda topografinya.

2.2 METODOLOGI

Metode penelitian dijelaskan sebagai berikut:

1) Penghitungan indeks untuk monsun Australia menggunakan

data angin zonal NNRP level 850 mb, lalu dilakukan perata-ratan

per musim untuk tiap tahun.

2) Analisis yang pertama dilakukan adalah mengkaji daerah yang

curah hujannya dipengaruhi oleh monsun musim panas

Australia, dengan melakukan korelasi secara spasial antara curah

hujan TRMM dan AUSMI.

3) Setelah itu dilakukan analisis pengaruh ENSO terhadap

monsun yang diwakili oleh SOI dan AUSMI (baik berupa deret

waktu, deviasi maupun koefisien korelasinya). Hal ini penting

untuk menentukan waktu dan tahun-tahun El Nino yang

melemahkan monsun musim panas Australia (ditemukan korelasi

yang tinggi pada bulan DJF).

4) Perata-rataan dilakukan secara klimatologis untuk tahun El

Nino, selanjutnyadiamati anomalinya berupa pengurangan atau

penambahan curah hujan serta kecepatan angin monsun.

5) Analisis penampang melintang dilakukan untuk melihat

pengaruh topografi terhadap anomali curah hujan yang terjadi

selama DJF dan SON pada saat El Nino terjadi (garis putus-putus

pada Gambar 1).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Interaksi Monsun Australia-ENSO

Korelasi AUSMI dengan curah hujan untuk di wilayah

Indonesia, mendapatkan daerah yang berkorelasi tinggi adalah di

bagian selatan Indonesia, termasuk Pulau Jawa dan sekitarnya,

baik di daratan maupun perairan. Hal ini menandakan bahwa

Indonesia bagian selatan dipengaruhi oleh monsun Australia

dimana onset monsun Australia berdasarkan penelitian Kajikawa,

et.al, (2009) menggunakan AUSMI terjadi pada bulan Desember-

Februari. Hal ini mempunyai kesamaan dengan Indonesia bagian

selatan yang sebagian besar mempunyai curah hujan maksimum

pada bulan DJF.

Haries Satyawardhana, dkk

64

Gambar 2. Korelasi spasial antara AUSMI dan curah hujan

(TRMM), menggunakan data periode Januari 1998 –

Februari 2011.

Gambar 2 menunjukkan korelasi spasial antara AUSMI

dan curah hujan TRMM dengan periode data Januari 1998 –

Februari 2011. Terlihat bahwa korelasi di Pulau Jawa antara 0.5-

0.6.

Gambar 3 menunjukkan nilai SOI dan AUSMI yang

menandakan adanya pelemahan monsun pada saat El Nino. El

Nino ditandai dengan nilai SOI negatif pada tahun 1998, 02/03,

04/05, 06/07 dan 09/10, secara bersamaan nilai AUSMI pada

bulan DJF pun menurun. Kajikawa, et.al, (2009) menyatakan

bahwa El Nino memberikan efek negatif pada monsun musim

panas Australia (DJF), dimana pada saat El Nino kuat, monsun

musim panas Australia (yang merupakan periode basah di

Australia) melemah. Dengan melemahnya angin monsun maka

Australia mengalami penurunan curah hujan dibandingkan pada

saat normal. Sebaliknya monsun musim panas Australia menguat

apabila terjadi La Nina.

Analisis lebih lanjut digunakan standar deviasi untuk

melihat besarnya penyimpangan yang disebabkan El Nino dan La

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

65

-7.0

-5.0

-3.0

-1.0

1.0

3.0

5.0

7.0

DJF

19

98

SO

N 1

99

8

DJF

19

99

SO

N 1

99

9

DJF

20

00

SO

N 2

00

0

DJF

20

01

SO

N 2

00

1

DJF

20

02

SO

N 2

00

2

DJF

20

03

SO

N 2

00

3

DJF

20

04

SO

N 2

00

4

DJF

20

05

SO

N 2

00

5

DJF

20

06

SO

N 2

00

6

DJF

20

07

SO

N 2

00

7

DJF

20

08

SO

N 2

00

8

DJF

20

09

SO

N 2

00

9

DJF

20

10

SO

N 2

01

0

Tahun

AU

SM

I

-25.0

-20.0

-15.0

-10.0

-5.0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

SO

I

AUSMI SOI

Nina (Gambar 4-a), serta digunakan scatter plot untuk melihat

korelasi antara kedua indeks (Gambar 4-b).

Gambar 4-a menunjukkan bahwa deviasi terbesar pada

AUSMI terjadi pada Bulan Februari. Deviasi yang besar di bulan

DJF ini ditengarai merupakan pengaruh dari ENSO. Fenomena

ENSO yang ditunjukkan oleh SOI, mempunyai korelasi yang besar

pada saat monsun musim panas Australia (4-b), di mana AUSMI

dan SOI mempunyai koefisien korelasi (r) 0.8 (r2=0.675),

sedangkan pada bulan lain deviasi tidak terlalu besar dan nilai

korelasi tidak tinggi (tidak disertakan/digambarkan dalam

makalah ini).

Gambar 3. Time series untuk AUSMI dan SOI, untuk tahun El

Nino yang digunakan ditandai oleh lingkaran (DJF),

dan kotak (SON).

Gambar 4. a) Rata-rata dan standar deviasi AUSMI selama

periode 1998 – 2011; b) Scatter plot antara kedua

indeks: SOI dan AUSMI pada DJF.

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

AU

SM

I

R2 = 0.6753

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

-30.0 -20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0

SOI

AU

SM

I

a b

Haries Satyawardhana, dkk

66

3.2 Dampak Interaksi Monsun-ENSO pada Skala Luas

Untuk menganalisis proses yang multiskala, dilakukan

analisis skala luas untuk mengamati pola spasial El Nino dan

Monsun Australia. Skala yang lebih kecil dijelaskan di bagian

selanjutnya.Gambar 4 memperlihatkan komposit antara data

curah hujan TRMM, angin dan divergensi selama SON (5-a) dan

DJF (5-b). Perpindahan curah hujan monsunal di Asia-Australia

disebabkan oleh perbedaan pemanasan yang dipengaruhi oleh

dua faktor utama, yaitu: adanya pergerakan semu matahari pada

arah utara-selatan, dan perbedaan kontras panas skala besar

(planetary scale) antara daratan-lautan pada arah barat-timur

(benua Eurasia dan Samudera Pasifik), yang keduanya

mempunyai kapasitas panas yang berbeda. Hasilnya adalah

curah hujan maksimum yang bergerak tahunan secara kontinyu

di antara barat laut dan tenggara. Hal ini menyebabkan curah

hujan maksimum terjadi di selatan dan timur dataran tinggi Tibet

pada saat musim panas BBU (JJA), lalu berpindah ke arah

tenggara pada musim gugur BBU (SON), sampai ke Indonesia dan

Australia pada musim dingin BBU (DJF), dan kembali ke arah

barat laut pada saat musim semi BBU (MAM).

Gambar 5. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna),

angin NNRP (m/s; vektor) dan divergensi (interval

5x10-6 s-1; kontur), untuk a) SON dan b) DJF, periode

tahun 1998 – 2011.

Namun karena panas inersia di lautan lebih besar

dibandingkan daratan, maka terdapat lag (terlambat) panas ± 1 –

2 bulan terhadap pergerakan semu matahari tersebut sehingga

a b

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

67

menyebabkan angin monsun di Indonesia pada saat SON masih

sama arahnya dengan JJA, yaitu dari Australia (tenggara) menuju

Asia (barat laut) (Qian, et.al, 2010). Pada musim peralihan SON

(Gambar 5-a) tampak bahwa angin monsun di Pulau Jawa

mempunyai arah dari tenggara, sedangkan pada DJF (Gambar 5-

b) berlawanan arah dengan SON yaitu angin monsun barat laut.

Sementara itu, curah hujan maksimun sangat berkaitan

dengan ITCZ (Inter-tropical Convergence Zone), dimana area

konvergensi di Indonesia lebih banyak terlihat di periode DJF

dibandingkan SON. Pada saat SON, konvergensi terlihat di utara

dan barat Indonesia, mencakup Laut China Selatan dan barat

Pulau Sumatra dengan konvergensi -3x10-6 s-1(kontur pada

Gambar 5). Sedangkan konvergensi di Pulau Jawa hanya terlihat

sedikit. Sementara pada DJF, hampir di semua daerah di Pulau

Jawa terjadi konvergensi yang kuat sehingga menyebabkan

sebagian besar daerah mempunyai curah hujan yang tinggi.

Gambar 6 menunjukkan anomali curah hujan dan angin

pada tahun El Nino pada SON dan DJF, dimana pengaruh El Nino

berkurang secara bertahap dari pra-monsun (SON) sampai masuk

ke monsun basah (DJF). El Nino menguatkan angin monsun dari

Australia pada SON, sehingga memberikan pengaruh yang lebih

kering dibandingkan klimatologisnya. Hal ini dapat terlihat pada

gambar 6-a, dimana terdapat anomali negatif dari curah hujan

sehingga di seluruh daerah di Jawa mengalami penurunan curah

hujan pada saat El Nino terjadi. Anomali angin pada Gambar 6,

Gambar 7 (c), (d) dan (e) bukan menunjukkan arah angin, namun

menunjukkan pengurangan vektor angin antara El Nino dan

klimatologis. Pada Gambar 6-a pada SON di tahun El Nino,

anomali arah angin masih terlihat timuran, yang menandakan

bahwa angin monsun pada saat El Nino terjadi lebih kuat

dibandingkan klimatologisnya. Hal ini yang menyebabkan

pengurangan curah hujan SON pada saat El Nino. Sedangkan

pada DJF (Gambar6-b) arah dan kecepatan angin pada saat El

Nino sama dengan klimatologis nya, hanya angin baratan pada

DJF di tahun El Nino melemah jika dibandingkan dengan

klimatologisnya, hal ini menyebabkan pengurangan curah hujan

di Jawa juga terjadi pada saat DJF. Halini sama dengan

penelitian sebelumnya dimana pada saat El Nino terjadi anomali

angin kearah timuran, yang sama arahnya dengan angin monsun

Haries Satyawardhana, dkk

68

pada saat SON, namun berlawanan dengan monsun pada DJF

(Hamada, et.al, 2002).Pada DJF, pelemahan monsun Asia pada

saat El Nino terjadi sehingga mempengaruhi penurunan curah

hujan di selatan Indonesia. Menariknya, anomali curah hujan

yang positif justru terjadi di selatan Jawa Barat pada saat El Nino

dan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Qian, et.al, 2010),

yang akan dibahas di bagian selanjutnya.

Gambar 6. Komposit anomali curah hujan TRMM (mm; warna)

dan angin NNRP (m/s; vektor) pada saat El Nino

untuk a) SON, dan b) DJF. Kotak merah adalah

daerah yang terdapat anomali positif dari

pelemahan monsun akibat El Nino. Tahun El Nino

yang digunakan adalah 98, 02/03, 04/05, 06/07

dan 09/10.

3.3 Respons Interaksi Monsun-El Ninoterhadap Topografi di

Jawa

Gambar 7 memperlihatkan data curah hujan TRMM dan

angin selama SON (a) dan DJF (b), sedangkan komposit pada (c)

dan (d) adalah anomali curah hujan selama El Nino dalam dua

musim yang berbeda. Curah hujan meningkat secara bertahap

dari pra-monsun (SON) sampai masuk ke monsun basah (DJF).

Curah hujan yang tinggi terdapat di daratan jika dibandingkan

dengan lautan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Qian

(2008) bahwa curah hujan terkonsentrasi di pulau (daratan)

dikarenakan adanya konvergensi angin laut ke daratan dan

a

) b)

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

69

konvergensi angin lembah ke pegunungan, sehingga

menyebabkan penguatan proses konvektif. Hal ini menghasilkan

curah hujan yang lebih tinggi pada DJF dibandingkan dengan

bulan-bulan lainnya.

Curah hujan yang tinggi pada saat DJF, terdapat di Jawa

tengah dengan lebih tinggi di sebelah utara dibandingkan selatan.

Ini disebabkan oleh adanya angin monsun dari Asia yang

melewati Laut China Selatan dan dibelokkan Pulau Sumatera dan

sampai di utara Pulau Jawa. Namun pada saat El Nino, anomali

curah hujan positif justru terjadi di bagian selatan Pulau

Jawa.Pada Gambar 7 (e) menunjukkan bahwa pada DJF terlihat

angin baratan di atas Pulau Jawa lebih kuat terjadi pada saaat El

Nino jika dibandingkan dengan klimatologis-nya. Hal ini

ditunjukkan oleh magnitudo yang bernilai positif di semua lokasi

penelitian. Hal ini diakibatkan pelemahan Monsun Asia

sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Pelemahan angin monsun pada saat DJF mengakibatkan

pengurangan curah hujan di Pulau Jawa dan sekitarnya, namun

dapat menguatkan siklus diurnal baik angin darat-laut maupun

angin gunung-lembah (Qian, et.al, 2010). Hal ini dijelaskan oleh

penelitian sebelumnya dengan menggunakan simulasi model

RegCM3 yang mempunyai resolusi tinggi dengan menggunakan

input data NNRP. Dimana Qian, et.al,(2010) menunjukkan bahwa

pada pagi hari yaitu pada 01.00 - 13.00 WIB anomali angin

menunjukkan karakter angin darat yang menyebar dari pulau

Jawa menuju lautan di sekitarnya. Selama sore dan malam

13.00-01.00 WIB, anomali angin dan hujan menunjukkan pola

angin laut, memusat dari arah laut utara dan selatan menuju ke

tengah pulau, lebih dominan di pegunungan dekat pantai selatan

Jawa. Anomali siklus diurnal dari angin dan curah hujan

mempunyai fase yang sama dengan klimatologisnya (Hamada,

et.al, 2002). Oleh karena itu siklus diurnal pada DJF di tahun El

Nino menguat, dengan konvergensi yang intensif pada komponen

angin lembah yang menuju ke arah gunung sehingga dapat

meningkatkan curah hujan di atas pegunungan. Hasil pemodelan

menunjukkan bahwa angin monsun yang lebih lemah pada DJF

selama El Nino mengurangi pengaruh dari panas lokal yang

menggerakkan siklus diurnal angin, dan kemudian memperkuat

angin darat-laut, angin lembah-gunung, sehingga membentuk

Haries Satyawardhana, dkk

70

distribusi hujan di atas normal di wilayah pegunungan dalam

skala lokal.

Gambar 7. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna)

dan angin NNRP (m/s; vektor) pada a) SON, dan b)

DJF, serta anomali curah hujan TRMM dan angin

NNRP pada saat El Nino untuk c) SON, d) DJF dan

e) Komposit magnitudo dan vektor selisih angin DJF

(EN-Clim) dari Data Era Interim resolusi 0.25. Kotak

merah adalah daerah yang terdapat anomali positif

dari pelemahan monsun akibat El Nino.

a)

b

c)

d

e)

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

71

Analisis lebih lanjut mengenai pengaruh topografi

pegunungan selama kejadian El Nino yang berkaitan dengan pola

anomali positif curah hujan di Jawa, akan dijelaskan pada

Gambar 8. Curah hujan SON pada saat El Nino lebih kecil dari

klimatologinya, ini ditunjukkan oleh anomali curah hujan yang

bernilai negatif dari pantai utara sampai dengan selatan. Hal ini

disebabkan oleh adanya sirkulasi skala besar yaitu kenaikan

massa udara (konvergensi) yang tertekan selama El Nino akibat

perpindahan Sirkulasi Walker. Anomali curah hujan mulai tinggi

di area pegunungan yaitu di lintang 7° LS (Gambar 8-a).

Sedangkan anomali negatif juga terdapat di area perairan sekitar

Pulau Jawa yang konsisten dengan anomali divergensi level

rendah (akibat pergeseran sirkulasi Walker) yang menurunkan

curah hujan di BMI (diindikasikan oleh Gambar 4-a). Penguatan

angin monsun tenggara selama SON pada tahun El Nino

cenderung mengganggu panas lokal dan siklus diurnal angin

sehingga kurang dapat mempengaruhi pengurangan hujan. Selain

itu, penguatan angin monsun tenggara yang melewati gurun di

Australia Utara telah menambah pengaruh kering di wilayah BMI,

khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya.

Pada saat awal musim basah (wet season), di Pulau Jawa

terjadi pembalikan arah angin monsun dari timuran menjadi

baratan (lihat Gambar 5-b dan Gambar 7-b). Dalam hal ini,

terjadi anomali curah hujan positif ( Gambar 6-b dan 7-d) di

selatan sebagian Jawa Barat (daerah pegunungan), namun

anomali negatif terjadi di sebagian utara Jawa (daerah pantai)

yang mengindikasikan kuatnya angin lembah yang memusat di

puncak pegunungan sehingga menghasilkan curah hujan di atas

normal. Jika dibandingkan dengan daerah yang datar (flat),

terdapat pola deret waktu yang sama pada dua musim (SON dan

DJF), di mana anomali curah hujan dari utara sampai selatan

mempunyai nilai negatif. Hal ini berarti bahwa curah hujan pada

saat El Nino selalu di bawah klimatologinya, hanya magnitudo

curah hujan untuk DJF lebih tinggi daripada SON.

Haries Satyawardhana, dkk

72

Gambar 8. Potongan melintang (cross section) utara-selatan

untuk curah hujan TRMM (mm), dengan kondisi

klimatologi (garis putus-putus), El Nino (solid) dan

El-Nino dikurangi klimatologis (silang) di bujur

107,5° BT dan 110,5° BT dimana penggambaran

pulau ditunjukkan oleh garis tebal di sumbu x.

Curah hujan yang ditunjukkan adalah a) dan c)

untuk bulan SON dan b) dan d) untuk bulan DJF,

sedangkan a) dan b) menggambarkan kondisi

pegunungan dan c) dan d) menggambarkan daerah

yang datar.

S-O-N Daerah datar

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

-6.125

-6.325

-6.525

-6.725

-6.925

-7.125

-7.325

-7.525

-7.725

-7.925

-8.125

-8.325

-8.525

-8.725

Lintang

CH

(m

m)

Clim

EN

EN-Clim

D-J-F Pegunungan

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

-6.125

-6.325

-6.525

-6.725

-6.925

-7.125

-7.325

-7.525

-7.725

-7.925

-8.125

-8.325

-8.525

-8.725

Lintang

CH

(m

m)

Clim

ENEN-Clim

d) D-J-F Daerah datar

-100

-50

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

-6.125

-6.325

-6.525

-6.725

-6.925

-7.125

-7.325

-7.525

-7.725

-7.925

-8.125

-8.325

-8.525

-8.725

Lintang

CH

(m

m)

Clim

ENEN-Clim

a)

c)

b)

d)

Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa

73

4. KESIMPULAN

Pada periode SON selama tahun El Nino, terjadi pergeseran

Sirkulasi Walker menyebabkan penguatan angin monsun

tenggara di Pulau Jawa. Hal ini mengurangi intensitas siklus

diurnal sehingga menyebabkan adanya anomali curah hujan

negatif hampir di seluruh Pulau Jawa. Sedangkan kejadian El

Nino pada saat DJF, hampir di semua daerah terjadi penurunan

curah hujan, namun di daerah selatan Jawa Barat justru

terdapat anomali curah hujan positif. Pelemahan monsun barat

pada DJF akibat El Nino menyebabkanadanya anomali curah

hujan negatif di pantai utara Jawa, namun meningkatkan curah

hujan di pegunungan sebelah selatan Jawa.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Didi Satiadi selaku

Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer yang telah mendukung dan

memberikan masukan konstruktif kepada Penulis demi perbaikan

substansif terhadap makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Aldrian E., Gates, L.D. and Widodo, F.H., 2007: Seasonal

variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations

and in the reanalyses: The role of ENSO, Theoretical and

Applied Climatology, 87, 41–59.

Boer, R., and A. R. Subbiah., 2005: Agriculture drought in

Indonesia. Monitoring and Predicting Agricultural Drought:

A Global Study, V. S. Boken, A. P. Cracknell, and R. L.

Heathcote, Eds., Oxford University Press, 330–344.

Chang, C. P., Z. Wang, J. McBride, and C.-H. Liu., 2005: Annual

cycle of Southeast Asia–Maritime Continent Rainfall and

Asymmetric Monsoon Transition. Journal of Climate, 18,

287–301.

Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.

Winarso, and T. Sribimawati., 2002: Spatial and temporal

variations of the rainy season over Indonesia and their link

to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285–310.

Haries Satyawardhana, dkk

74

Hung, C.-W., X. Liu, and M. Yanai., 2004: Symmetry and

asymmetry of the Asian and Australian summer monsoons.

Journal of Climate, 17, 2413–2426.

Kajikawa, Y., B. Wang, J. Yang., 2009: A Multi-time scale

Australian Monsoon Index. InternationalJournal of

Climatology, DOI: 10.1002/joc.1955.

Li, C., and M. Yanai., 1996:The onset and interannual variability

of the Asian summer monsoon in relation to land–sea

thermal contrast. Journal Climate, 9, 358–375.

Malian, AH. Mardianto S., Ariani M., 2004: Faktor-faktor yang

mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta

Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 22 no 2,

Oktober 2004: 119 – 146.

Qian, J. H., 2008: Why precipitation is mostly concentrated over

islands in the Maritime Continent. Journal of Atmospheric

Science, 65, 1428–1441.

Qian, J. H., A.W. Robertson and V. Moron., 2010: Interactions

among ENSO, the Monsoon, and Diurnal Cycle in Rainfall

Variability over Java, Indonesia. Journal of Atmospheric

Science, 67, 3509-3524.

Webster P. J., V. O. Magaña, T. N. Palmer, J. Shukla, R. A. Tomas,

M. Yanai and T. Yasunari., 1998: Monsoons: processes,

predictability, and the prospects for prediction. Journal of

Geophysical Research 103(C7): 14 451–14 510.

Krismianto Identifikasi Awal Musim Di Pulau Jawa Berbasis

Data Satelit TRMM

75

IDENTIFIKASI AWAL MUSIM DI PULAU JAWA

BERBASIS DATA SATELIT TRMM

Krismianto

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Awal musim di pulau Jawa dapat diidentifikasi menggunakan

metode kriteria 3 dasarian dengan nilai threshold 50 mm. Data

yang biasa digunakan untuk identifikasi awal musim

menggunakan metode tersebut adalah data curah hujan dasarian

hasil observasi permukaan. Data tersebut memiliki kelemahan

wilayah observasinya yang sangat terbatas. Kelemahan tersebut

dapat diatasi dengan mengganti data curah hujan observasi

permukaan menggunakan data curah hujan observasi satelit.

Salah satu data hasil observasi satelit yang dapat digunakan

untuk identifikasi awal musim adalah data curah hujan dasarian

TRMM3B42. Data tersebut memiliki bias terhadap data observasi

permukaan sehingga nilai threshold awal musim 50 mm sudah

tidak representatif lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari

nilai threshold awal musim yang paling representatif berbasis data

curah hujan dasarian TRMM3B42. Metode yang digunakan untuk

mencari nilai threshold tersebut adalah metode misfit terkecil.

Hasilnya adalah nilai threshold awal musim yang paling

representatif untuk identifikasi awal musim menggunakan data

curah hujan dasarian TRMM3B42 adalah 62 mm untuk

identifikasi awal musim hujan dan 90 mm untuk identifikasi awal

musim kemarau.

Kata kunci: threshold, awal musim, curah hujan, TRMM3B42,

misfit.

ABSTRACT

Onset season in Java’s island can be identified using criteria of 3

10-daily’s rainfall method with 50 mm threshold value. The

Krismianto

76

rainfall data is used based on surface observation. These data

have very limited observations coverage. The weakness can be

overcome by replacing the data using satellite observations of

rainfall data. One of rainfall data based on satellite observations

that can be used to identify the onset season is 10-daily’s rainfall

TRMM3B42 data. The data will have a bias towards the surface

observation data so that the value of threshold 50 mm to identify

onset season is no longer representative. This study aims to find

the most representative of threshold value to identify onset season

using 10-daily’s rainfall TRMM3B42 data. The method used to

find the threshold value is the smallest misfit method. The result

is show that the most representative of threshold value to identify

the onset season using 10-daily’s rainfall TRMM3B42 data is 62

mm for identification of onset rainy season and 90 mm for the

identification of onset dry season.

Key words: threshold, onset season, rainfall, TRMM3B42, misfit.

1 PENDAHULUAN

Awal musim dapat dijelaskan oleh jumlah curah hujan

yang terjadi pada suatu tempat dalam waktu tertentu. Ketentuan

definisi awal musim di satu wilayah dapat berbeda dengan tempat

lainnya karena ketentuan tersebut sangat bergantung dengan

kondisi klimatologisnya. Kondisi klimatologis akan memberikan

indikator tertentu ketika awal musim terjadi sehingga dapat

ditetapkan definisi yang tepat (Pai dan Rajeevan, 2009; Marteu,

et.al., 2009).

Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap

informasi terkait cuaca dan iklim di Indonesia, Badan

Meteorologi, Klimatlogi, dan Geofisika (BMKG) telah melakukan

identifikasi awal musim menggunakan data curah hujan

dasarian. Jika terjadi 3 kali data curah hujan dasarian yang

memiliki nilai kurang dari 50 mm secara berturut-turut, maka hal

tersebut diartikan bahwa awal musim kemarau telah datang dan

jika terjadi 3 kali data curah hujan dasarian yang memiliki nilai

lebih dari atau sama dengan 50 mm secara berturut-turut maka

hal tersebut diartikan bahwa awal musim penghujan telah datang

(Fadholi, 2012).

Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM

77

Data curah hujan yang digunakan oleh BMKG untuk

identifikasi awal musim adalah data curah hujan hasil observasi

permukaaan. Data tersebut memiliki cakupan wilayah observasi

yang sangat terbatas karena datanya diperoleh dengan cara

pemantauan curah hujan yang jatuh di permukaan bumi secara

langsung di titik-titik tertentu (Subarna, 2006). Dengan semakin

berkembangnya teknologi satelit saat ini, kelemahan data curah

hujan observasi permukaan terkait dengan cakupan wilayah

observasinya yang sangat terbatas dapat diatasi dengan

mengganti data curah hujan tersebut menggunakan data curah

hujan hasil observasi satelit (Krismianto, 2015). Salah satu satelit

yang mampu mengobservasi curah hujan adalah satelit TRMM

(Tropical Rainfall Measuring Mission) yang merupakan satelit hasil

kerja sama antara pemerintah Amerika Serikat melalui NASA

(National Aeronautics and Space Administration) dan pemerintah

Jepang melalui NASDA (National Space Development of Japan)

yang sekarang menjadi JAXA (Japan Aerospace Exploration

Agency) yang didedikasikan untuk mengobservasi curah hujan di

wilayah tropis dan subtropis (NASDA, 2001). Produk data curah

hujan hasil observasi satelit TRMM ada berbagai macam dimana

salah satunya yang dapat digunakan untuk identifikasi awal

musim adalah data curah hujan TRMM3B42 dasarian.

Data curah hujan dasarian TRMM3B42 memiliki bias yang

cukup tinggi jika dibandingkan dengan data observasi permukaan

(Worqlul, et.al., 2014). Bias data tersebut disebabkan karena

masing-masing wilayah memiliki karakteristik curah hujan

tersendiri dan satelit TRMM belum mampu melihat karakteristik

lokal tersebut (Hong, et.al., 2010; Zhang, et.al., 2013). Data curah

hujan dasarian TRMM3B42 cenderung overestimate terhadap

data curah hujan dasarian observasi permukaan meskipun

polanya sama (Chen, et.al., 2013). Untuk wilayah-wilayah

tertentu, data curah hujan dari satelit TRMM cenderung

underestimate terhadap data curah hujan observasi permukaan

(Immerzeel, 2010). Terkait dengan hal tersebut maka ketika data

curah hujan dasarian TRMM3B42 digunakan untuk identifikasi

awal musim, maka nilai threshold awal musimnya masih harus

ditentukan terlebih dahulu karena nilai 50 mm sudah tidak

representatif lagi karena datanya yang overestimate atau

underestimate terhadap data curah hujan observasi permukaan.

Krismianto

78

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai threshold

awal musim yang paling representatif berbasis data curah hujan

TRMM3B42 dasarian. Metode yang digunakan untuk mencari

nilai thresholdtersebut adalah metode misfit terkecil, yaitu sebuah

metode iteratif berbagai nilai parameter model untuk mencari

nilai parameter model terbaik berdasarkan nilai kesalahan

terkecil (Grandis, 2009).

2 DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Cakupan wilayah kajian dalam penelitian ini adalah pulau

Jawa yang memiliki lokasi geografis 1050 BT sampai 1150 BT dan

90 LS sampai 5.50 LU. Pulau Jawa dipilih sebagai wilayah kajian

karena memiliki perbedaan musim yang sangat jelas antara

musim hujan dan musim kemarau. Periode data yang digunakan

dalam penelitian ini data tahun 1998 hingga tahun 2009.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

curah hujan dasarian TRMM3B42. Data curah hujan dasarian

TRMM3B42 adalah data curah hujan/presipitasi TRMM yang

digabung dengan data presipitasi infrared high quality dalam grid

yang mempunyai resolusi temporal 10 harian dan resolusi spasial

0,25° x 0,25° dalam cakupan global 50° LS sampai 50° LU.

Algoritma curah hujan dasarian TRMM3B42 terdiri dari 4 tahap

(Juaeni, et.al., 2010): (1) estimasi presipitasi berbasis microwave,

(2) estimasi presipitasi infrared (IR), (3) estimasi gabungan

microwave dan IR, dan (4) pen-skala-an ulang (rescaling) untuk

data dasarian.

Selain data satelit TRMM, dalam penelitian ini juga

digunakan data curah hujan observasi permukaan dasarian.Data

curah hujan observasi permukaan yang digunakan adalah data

curah hujan dari beberapa stasiun cuaca BMKG yang ada di

pulau Jawa seperti yang terlihat dalam Tabel 1.

Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM

79

Tabel 1. Beberapa lokasi stasiun cuaca BMKG di pulau Jawa.

ID Stasiun Koordinat Stasiun Cuaca Nama Lokasi

96745 60 11’ LS dan 1060 49’ BT Jakarta

96783 60 52’ LS dan 1070 36’ BT Bandung

96835 60 59’ LS dan 1100 22’ BT Semarang

96933 70 10’ LS dan 1120 45’ BT Surabaya

2.2 METODOLOGI

Metode yang digunakan untuk memperoleh nilai threshold

awal musim berbasis data curah hujan dasarian TRMM3B42

adalah metode misfit terkecil yang merupakan sebuah metode

memodifikasi model secara iteratif untuk mencapai sebuah

konvergensi menuju model optimum. Model optimum ditentukan

dengan nilai misfit terkecil yang ditentukan oleh kesesuaian

antara data pengamatan dengan data perhitungan. Salah satu

cara untuk mengetahui nilai misfit adalah dengan menghitung

nilai Root Mean Square Error (RMSE) yang dinyatakan dalam

Persamaan 1 berikut:

���� = ��

�(����� − ������)� ............................... (1)

dimana ������ adalah data awal musim referensi yang

merupakan data awal musim hasil identifikasi menggunakan data

curah hujan dasarian observasi permukaan dan ������ adalah

data awal musim hasil identifikasi menggunakan data curah

hujan dasarian TRMM3B42.

Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki pola curah

hujan monsunal (Aldrian dan Susanto, 2003) sehingga dalam

pendefinisian awal musim akan digunakan kriteria bahwa musim

hujan hanya terjadi pada bulan September, Oktober, Nopember,

Desember, Januari, Februari (SON DJF) dan musim kemarau

hanya terjadi pada bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus

(MAM JJA). Penggunaan kriteria tersebut dimaksudkan untuk

mengatasi kejadian ekstrim yang dapat mengakibatkan terjadinya

awal musim palsu (Benjamin dan Pierre 2006).

Krismianto

80

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Data curah hujan observasi permukaan yang digunakan

untuk referensi dalam penentuan threshold awal musim berbasis

data curah hujan TRMM3B42 dasarian adalah data curah hujan

observasi permukaan dari beberapa lokasi satasiun cuaca BMKG,

yaitu Jakarta (JKT), Bandung (BDG), Semarang (SMG), dan

Surabaya (SBY). Dalam Gambar 1 terlihat perbandingan data

curah hujan dasarian TRMM3B42 dengan data curah hujan

dasarian observasi permukaan dari beberapa stasiun cuaca yang

dijadikan referensi. Dalam Gambar tersebut terlihat bahwa data

curah hujan dasarian TRMM3B42 memiliki pola yang sama

dengan data dasarian observasi permukaan yaitu pola monsunal.

Gambar 1. Perbandingan curah hujan TRMM3B42 dengan

observasi permukaan (OBS), polanya sama.

Data curah hujan dasarian TRMM3B42 cenderung

overestimate terhadap data curah hujan dasarian observasi

permukaan kecuali untuk wilayah Surabaya (SBY) yang

underestimate seperti yang terlihat dalam Gambar 2 meskipun

Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM

81

memiliki pola yang sama. Terkait dengan hal tersebut maka

ketika melakukan identifikasi awal musim berbasis data curah

hujan dasarian TRM3B42, nilai threshold 50 mm harus dikoreksi

terlebih dahulu karena sudah ditak representatif lagi.

Gambar 2. Scatter plot data curah hujan TRMM3B42 (TRMM) vs

Observasi permukaan (OBS).

Data curah hujan TRMM3B42 dasarian diambil untuk

koordinat yang sama dengan beberapa lokasi stasiun cuaca yang

dijadikan titik referensi dan selanjutnya dilakukan metode misfit

terkecil untuk mengetahui nilai threshold awal musim berbasis

data curah hujan dasarian TRMM3B42. Dalam Tabel 2 dapat

dilihat nilai threshold awal musim terbaiknya adalah62 mm

untuk identifikasi awal musim hujan (AMH) dan 90 mm untuk

identifikasi awal musim kemarau (AMK). Dengan menggunakan

nilai threshold tersebut terlihat bahwa untuk identifikasi AMH

akurasinya meningkat yaitu menjadi sekitar 82,8% dengan Root

Mean Square Error (RMSE)-nya sebesar 3,3 sedangkan untuk

identifikasi AMK meskipun hasilnya lebih baik daripada

menggunakan threshold 50 mm, namun akurasinya masih

kurang baik yaitu hanya sekitar 60,4% dengan RMSE-nya sebesar

4,1. Dalam Tabel 2 terlihat juga bahwa khusus untuk identifikasi

Krismianto

82

AMH tidak dapat teridentifikasi 100% yang berarti identifikasi

AMH menggunakan kriteria 3 dasarian memiliki kelemahan dapat

gagal dalam mendeteksi datangnya AMH.

Tabel 2. Threshold awal musim berbasis data TRMM3B42

dasarian.

Threshold

(mm) RMSE

*Akurasi

(%)

AM teridentifikasi

(%)

AMH 50,0 4,0 68,6 73,0

AMK 50,0 4,3 57,4 98,0

AMH 62,0 3,3 82,8 73,0

AMK 90,0 4,1 60,4 100,0

* Rentang kesalahan ± 3 dasarian

3.2 PEMBAHASAN

Data curah hujan dasarian TRMM3B42 mampu

menunjukkan pola yang sama dengan data curah hujan dasarian

observasi permukaan. Terkait dengan hal tersebut maka sangat

memungkinkan awal musim hujan dan kemaru di pulau Jawa

diidentifikasi menggunakan data curah hujan dasarian

TRMM3B42. Pola monsunal dari curah hujan di pulau Jawa

disebabkan karena wilayah tersebut sangat didominasi oleh

fenomena monsun Asia dan Australia.

Berbeda dengan wilayah JKT, BDG, dan SMG yang

cenderung overestimate, curah hujan dasarian TRMM3B42 untuk

wilayah SBY cenderung underestimateterhadap data curah hujan

dasarian observasi permukaan. Hal tersebut disebabkan karena

wilayah SBY terletak di pulau Jawa bagian Timur yang memiliki

nilai rata-rata curah hujan relatif lebih rendah

dibandingkandengan wilayah pulau Jawa bagian Tengah dan

Barat seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Tampaknya

karakteristik nilai rata-rata curah hujan yang relatif lebih rendah

di wilayah tersebut mengakibatkan data curah hujan dasarian

TRMM3B42 juga terestimasi lebih rendah sehingga ketika

dibandingkan dengan data observasi permukaan akan cenderung

underestimate.

Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM

83

Gambar 3. Rata-rata curah hujan dalam 1 tahun.

Perbedaan karakteristik nilai rata-rata curah hujan antara

wilayah pulau Jawa bagian Barat, Tengah, dan Timur tersebut

disebabkan karena kekuatan pengaruh monsun untuk masing-

masing wilayah tersebut berbeda-beda. Pulau Jawa didominasi

oleh pengaruh monsun Asia (angin baratan) dan Australia (angin

timuran) seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Monsun Asia

mengakibatkan angin baratan yang banyak membawa massauap

air dari Samudera Hindia. Angin baratan tersebut bergerak

menuju pulau Jawa bagian Barat dan terus bergerak ke arah

Timur sehingga pulau Jawa bagian Baratakan memiliki

karakteristik yang lebih basah karena pengaruh angin

baratannya lebih kuat. Monsun Australia mengakibatkan angin

timuran yang bergerak menuju pulau Jawa bagian Timur dan

terus bergerak ke arah Barat. Angin timuran tersebut hanya

sedikit membawa massa uap air sehinga meskipun pengaruhnya

lebih kuat untuk wilayah pulau Jawa bagian Timur namun tidak

akan membuat wilayah tersebut menjadi lebih basah dari wilayah

lainnya. Terbatasnya massa uap air yang dibawa angin timuran

tersebut disebabkan karena angin timuran berasal dari Australia

yang berupa daratan dan hanya melewati perairan antara

Australia dan Indonesia yang relatif kecil.

JKT

BDG SMG SBY

Krismianto

84

Gambar 4. Angin baratan (a) dan angin timuran (b).

Akurasi hasil identifikasi awal musim berbasis data curah

hujan dasarian TRMM3B42 menggunakan nilai threshold yang

baru sudah cukup baik untuk identifikasi AMH namun masih

belum cukup baik untuk identifikasi AMK. Penyebab dari tinggi

rendahnya akurasi tersebut adalah besar kecilnya nilai bias data

ketika dibandingkan dengan data observasi permukaan.

4. KESIMPULAN

Karakteristik data curah hujan dasarian TRMM3B42 ada

yang overestimate dan ada yang underestimate terhadap data

observasi permukaan. Hal tersebut sangat sesuai dengan hasil

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa data hasil

observasi satelit memiliki bias data yang menyebabkan data

tersebut overestimate ataupun underestimate terhadap data

observasi permukaan, bergantung dengan karakteristik masing-

a

b

Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM

85

masing wilayahnya. Terkait dengan hal tersebut maka ketika data

curah hujan dasarian TRMM3B42 akan digunakan untuk

identifikasi awal musim menggunakan metode kriteria 3 dasarian

maka nilai threshold-nya perlu dikoreksi. Hasil identifikasi awal

musim berbasis data curah hujan dasarian TRMM3B42

menggunakan nilai threshold yang sudah dikoreksi menunjukkan

akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil

identifikasi awal musim menggunakan nilai threshold yang belum

dikoreksi (50 mm). Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi

peningkatan akurasi hasil identifikasi awal musim dengan

threshold yang sudah dikoreksi.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terimkasih kepada Dr. Tri Wahyu Hadi, Dr.

Nurjanna Djoko Trilaksono, dan Dr. Rusmawan terkait dengan

saran-sarannya tentang perlunya melakukan koreksai nilai

threshold awal musim jika diidentifikasi menggunakan data satelit

TRMM.

DAFTAR RUJUKAN

Aldrian, E., dan Susanto, R., D., 2003: Identification Of Three

Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their

relationship to Sea Surface Temperature. Int. J. Climatol. 23,

1435-1452.

Benjamin, P., dan Pierre, C., 2006: Influence of Madden Julian

Oscillation on East African Rainfall, I: Intraseasonal

Variability and Regional Dependency. Q.J.R.Meteorol.Soc.

132, 2521-2539.

Chen, Y., Ebert, E.E., Walsh, K.J.E., Davidson, N.E., 2013:

Evaluation of TRMM 3B42 precipitation estimates of tropical

cyclonerainfall using PACRAIN data. J.G.R. Atm. 118, 1-13.

Fadholi, 2012: Hujan dan Kemarau Menurut BMKG.

http://www.ift.or.id. Diakses 21 Oktober 2015.

Grandis, H., 2009: Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika.

Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Jakarta.

Hong, Y., Kuo-lin, H., Soroosh, S., 2010: Cloud Patch-Based

Rainfall Estimation Using A Satellite Image Classification

Aproach. 2nd Workshop of The International Precipitation

Working Group.

Krismianto

86

Immerzel, W.,W., 2010: Bias Correction for Satellite Precipitation

Estimation used by the MRC Mekong Flood Forecasting

System. Mission Report.Mekong River Commision.

Juaeni, I., Harjana, T., Nurzaman, Suryantoro, A., Martono,

Noersomadi, 2010: Pengembangan Pemanfaatan Data

TRMM Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Laporan Akhir

Program Insentif Riset Dikti. Pusfatsatklim-LAPAN.

Krismianto, 2015: Identifikasi Awal Musim Berbasis Suhu Puncak

Awan Untuk Pengembangan Sistem Informasi Awal Musim

Wilayah Pulau Jawa. Tesis. Institut Teknologi Bandung,

Bandung.

Marteau, R., Moron, V., Nathalie, P., 2009: Spatial coherence of

monsoon onset Western and Central Sahel (1950-2000). J.

Climate. 22, 1313-1324.

NASDA, 2001: TRMM Data Users Handbook.Earth Observation

Center.National Space Development Agency of Japan.

Pai, D.S., dan Rajeevan, M.N., 2009: Summer monsoon onset over

Kerala: New definition and prediction. J. Earth Syst. Sci.

118, 123-135.

Subarna, D., 2006: Telekoneksi Antara Hujan Monsun di India dan

curah Hujan di Indonesia Dari Data TRMM.

ProsidingSeminar Nasional Perubahan Iklim dan

Lingkungan di Indonesia. Pusfatsatklim-LAPAN, Bandung,

83-93.

Worqlul, A.W., Maathuis, B., Adem, A.A., Demissie, S.S., Langan,

S., Steenhuis, T.S., 2014: Comparison of rainfall

estimations by TRMM 3B42, MPEG andCFSR with ground-

observed data for the Lake Tana basin inEthiopia. Hydrol.

Earth Syst. Sci., 18, 4871-4881.

Zhang, M., Chen, S., Qi, Y.C., Yang, Y., 2013: Evaluation of TRMM

Summer Precipitation over Huai-River Basin in China.

Advanced Materials Research, pp., 726-731.

Suaydhi, dkk Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

87

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

Suaydhi, Farid Lasmono, Aisya Nafiisyanti

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Awan mempunyai pengaruh yang sangat penting baik pada cuaca

maupun iklim di permukaan bumi. Pengaruh tersebut berbeda

untuk jenis awan yang berbeda. Penelitian tentang distribusi

berbagai jenis awan di Indonesia belum banyak dilakukan.

Klasifikasi jenis awan ini diturunkan dari data kecerahan dua

kanal inframerah pertama dan kedua satelit MTSAT

menggunakan Metode two-dimensional threshold diagram. Data

awan per jam dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014

digunakan untuk analisis variasi bulanan dari tiap jenis awan.

Data reanalisis ERA Interim dipergunakan untuk menghitung

moist static energy (MSE) sebagai indikator ketidakstabilan

atmosfer dan kecepatan vertikalnya yang berkaitan dengan proses

konveksi pada pembentukan awan Cumulonimbus. Enam daerah

dengan distribusi spasial fasa awan Cbyang berbeda dipilih untuk

melihat pengaruh kondisi atmosfer pada distribusi awan Cb.

Tutupan awan Cb di enam daerah ini mencapai nilai maksimum

di atas 80%. Pulau Jawa mempunyai siklus tutupan awan Cb

yang sangat kontras, dengan nilai maksimum mencapai 85% dan

minimum hanya 10%. Kombinasi dari MSE dan kecepatan

vertikal atmosfer menentukan puncak fasa awan Cb di suatu

daerah. Distribusi spasial dari fasa awan rendah mempunyai

puncak pada bulan-bulan musim dingin. Variasi bulanan awan

menengah tidak mempunyai pola tertentu dalam distribusi

spasialnya. Distribusi spasial fasa awan cirrus lebih mirip dengan

distribusi spasial fasa awan mature Cumulonimbus, karena awan

cirrus terbentuk dari peluruhan sistem konveksi.

Kata-kata kunci: jenis awan, bulanan, Indonesia, fasa, distribusi

spasial.

Suaydhi, dkk

88

ABSTRACT

Clouds have great influence both on weather and climate of the

Earth. Each cloud has different role. There is still very few

research conducted on the distribution of different cloud types

over Indonesia. Classification of the cloud types is derived from

brightness data of the first and second canal of MTSAT satellite

usinga method of two-dimensional threshold diagram. Hourly

cloud data from 2010 until 2014 have been used to analyze the

monthly variation of each cloud type. Reanalysis data from ERA

Interim are used to compute the moist static energy (MSE) as an

indicator of atmospheric instabilityand the vertical velocity in

relation to the convection processon the formation of

Cumulonimbus cloud. Six regions with different spatial

distribution of the phase of Cb clouds have been selected to

analyze the influence of atmospheric condition on the distribution

of Cb clouds.Cb cloud cover over these six regions reaches

maximum value above 80%. Java Island has a very contrast cycle

of Cb cloud cover, with a maximum value reaching 85% and

minimum value of only 10%. The combinationof

MSEandatmospheric vertical velocity determines the phase of Cb

clouds over a region. The spatial distributionof the phase of low

level clouds peaks on winter months. Monthly variation of the

middle level clouds does not show any specific spatial pattern. The

phase of spatial distribution of cirrus clouds resembles that of

mature Cumulonimbus, because cirrus clouds are formed from

the decay of a convective system.

Keywords: cloud types, monthly, Indonesia, phase, spatial

distribution.

1 PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu dari tiga pusat konveksi

utama di dunia. Dengan suhu permukaan lautnya yang hangat,

wilayah Indonesia banyak menghasilkan uap air di atmosfernya.

Uap air ini merupakan komponen utama pembentukan awan.

Selain dari penguapan lokal, awan juga bisa berasal dari adveksi

uap air dari luar wilayah Indonesia. Ada berbagai tipe awan yang

dapat diamati di atmosfer. Secara umum, awan dibedakan

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

89

menurut ketinggian dan bentuknya. Ketinggian dasar awan

biasanya menjadi patokan klasifikasi awan.

Awan cumulonimbus (Cb) biasanya berkaitan dengan

hujan konvektif dengan intensitas tinggi (Gray and Jacobson Jr,

1977). Namun tidak semua awan menghasilkan hujan.

Identifikasi awan dan korelasinya dengan hujan yang teramati

dapat memberikan gambaran tipe awan yang berpotensi

menghasilkan hujan. Altostratus juga berpotensi menghasilkan

hujan, yaitu hujan stratiform (Field, 1999; Heymsfield, et.al.,

2002). Hal ini dapat menjadi petunjuk mengenai proses terjadinya

hujan, karena awan-awan tersebut mempunyai karakter yang

berlainan. Awan cirrus yang biasa ditemukan di troposfer atas

dan stratosfer bawah merupakan awan yang terdistribusi secara

global. Awan cirrus adalah salah satu jenis awan yang sangat

penting dalam komponen sistem iklim, namun yang paling

kurang dimengerti (Liou, 1986). Karena pengaruhnya terhadap

cuaca dan iklim di bumi,dinamika dan sifat radiatif dari awan

cirrus terus diperbaiki dalam pengembangan model atmosfer (Fu,

et.al., 1998; De Leon and Haigh, 2007; Gu, et.al., 2011).

Wilayah Indonesia mempunyai orografi yang kompleks dan

kondisi atmosfernya dipengaruhi banyak faktor, antara lain angin

darat-laut, monsun, ENSO (El Nino Southern Oscillation), dan

MJO (Madden-Julian Oscillation). Faktor-faktor tersebut

membuat kondisi atmosfer Indonesia bervariasi secara diurnal,

musiman, dan antar tahunan. Pemahaman tentang variasi

diurnal penting untuk perbaikan prediksi cuaca, dan pemahaman

tentang variasi musiman penting untuk prediksi musim.

Sedangkan variasi antar tahunan dapat mempengaruhi sifat

musim. Penelitian tentang variasi diurnal berbagai jenis awan di

Indonesia telah dilakukan oleh Lasmono, et.al., (2015), sementara

sebuah studi kasus tentang pengaruh El Nino, La Nina, dan MJO

pada distribusi awan di Indonesia telah dilakukan oleh Suaydhi

and Gammamerdianti (submitted).

Monsun merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada

musim di Indonesia. Kalau distribusi curah hujan di Indonesia

bervariasisecara bulanan atau musiman (Hamada, et.al., 2002;

Aldrian dan Susanto, 2003), maka distribusi tipe awan-awan

penghasil hujan diharapkan mempunyai variasi serupa. Namun

bagaimana variasi dari distribusi tipe-tipe awan lain yang bukan

Suaydhi, dkk

90

penghasil hujan? Makalah ini akan membahas variasi

bulanan/musiman berbagai jenis awan di Indonesia, dengan titik

berat pada pembahasan distribusi awan Cb.

2 DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Data dari Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)

versi 2, data curah hujan dari Global Satellite Mapping of

Precipitation (GSMaP),dan data reanalisis dari European Centre

for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) digunakan dalam

makalah ini. Data MTSAT2 digunakan untuk identifikasi tipe

awan. Data reanalisis digunakan untuk menggambarkan kondisi

meteorologis. Data satelit mempunyai resolusi waktu satu jam

dan resolusi spasial 5 km. Data reanalisis mempunyai resolusi

waktu 6 jam dan resolusi spasial 0.125 derajat (atau 13,75 km).

MTSAT2 adalah sebuah satelit geostasioner, yang artinya

satelit tersebut lokasinya tetap pada posisi yang sama di atas

permukaan bumi. MTSAT2 terletak sekitar 35.800 km di atas

ekuator pada garis bujur 145⁰BT. Satelit ini difungsikan untuk

meningkatkan pelayanan meteorologi, seperti prediksi cuaca,

penanggulangan bencana alam, dan keamanan transportasi, yang

mencakup wilayah Asia Timur dan Pasifik bagian barat. Satelit ini

mempunyai lima kanal, empat dalam spektrum inframerah dan

satu dalam cahaya tampak. Pada makalah ini, data dari kanal

inframerah pertama dan kanal kedua (IR1 and IR2) digunakan

untuk menurunkan jenis awan.

Data curah hujan GSMaP diturunkan dari data radiometer

microwave pasif dan data radiometer infra merah hasil

pengamatan dari bermacam-macam satelit, seperti TRMM/TMI,

Aqua/AMSR-E, ADEOS-II/AMSR, DMSP/SSMI(F13, 14, 15),

GOES-8/10, METEOSAT-7/5 dan GMS. Tehnik filter Kalman

digunakan untuk membuat estimasi laju curah hujan permukaan

pada tiap piksel 0,1 derajat suhu kecerahan infra merah

menggunakan satelit-satelit GEO-IR (Ushio, et.al., 2009). Filter ini

memprediksi laju curah hujan dari radiometer microwave dan

hasil morphing dari data tersebut diperoleh dengan cara mirip

yang digunakan oleh Joyce, et.al, (2004). Kemudian data prediksi

ini diperbaiki berdasarkan hubungan antara suhu kecerahan

infra merah dan laju curah hujan permukaan. Data GSMaP

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

91

tersedia dalam resolusi waktu 1 jam. Rentang waktu data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dari Maret 2014 sampai

Februari 2015, karena data GSMaP bulan Januari dan Februari

2014 belum tersedia.

Data reanalisis yang digunakan dalam makalah ini adalah

ECMWF Reanalysis (ERA) Interim, yang merupakan generasi

reanalisis terbaru dari ECMWF. ERA Interim adalah produk

perantara yang menjembatani antara ERA-40 (1957-2002)

dangenerasi reanalisis lengkap selanjutnya. Perbaikan data

ERAInterim atas pendahulunya adalah melalui berbagai

perbaikan dalam model yang digunakan, penggunaan analisis

variasional 4 dimensi, analisis kelembapan yang diperbaiki,

penggunaan koreksi bias variasional untuk data satelit, dan

perbaikan-perbaikan lainnya dalam penanganan bias (Dee, et.al.,

2011).

2.2 METODOLOGI

Sebuah metode two-dimensional threshold diagram (2D-

THR) from Suseno and Yamada, (2012) digunakan untuk

mengklasifikasikan tipe awan. Dengan metode ini ada tipe awan

yang diidentifikasi, yaitu cumulonimbus (Cb), mature

cumulonimbus (MCb), awan rendah, awan menengah, awan

cirrus tipis, dan awan cirrus tebal. Metode ini menggabungkan

nilai ambang (threshold) dari suhu kecerahan kanal infra merah 1

(TIR1) dan nilai ambang dari perbedaan suhu kecerahan antara

kanal infra merah 1 dan kanal infra merah 2 (∆TIR1-IR2). Jika

dalam Suseno dan Yamada, (2012) nilai ambang minimum TIR1

untuk awan Cb yang dipakai adalah 200 K, maka dalam makalah

ini yang dipakai adalah 180 K.Dengan nilai ambang minimum

TIR1 180K, hasil perbandingan awan Cb dan curah hujan lebih

menunjukkan kesesuaian dengan intensitas curah hujan,

terutama di pusat awan Cb [Suaydhi dan Gammamerdianti,

(submitted)]. Pemakaian nilai 180 K ini didasarkan pada hasil

penelitian Chen dan Houze Jr, (1997) bahwa suhu puncak awan

Cb bisa lebih rendah dari 200 K, yakni bisa mencapai 180 K.

Suaydhi, dkk

92

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Distribusi Spasial Awan Cb dan MCb

Gambar 1 menunjukkan fase bulanan awan

Cumulonimbus (Cb), awan MatureCumulonimbus (MCb) dan

hujan dari GSMap pada tahun 2014. Awan Cb (Gambar 1a)

mendominasi wilayah Indonesia terutama di bulan-bulan

Desember dan Januari. Namun demikian wilayah pantai barat

Sumatra dan di atas Sumatra Barat, Jambi, dan pantai selatan

Jawa Barat, awan Cb lebih dominan pada bulan Nopember. Di

atas sebagian Jawa Barat bagian selatan, Kalimantan Tengah,

Sulawesi Selatan bagian timur dan sebagian Papua, awan Cb

lebih banyak teramati di bulan Maret. Beberapa wilayah, seperti

pantai barat Sulawesi Barat dan Tengah Maluku dan Papua,

awan Cb paling banyak teramati pada bulan Mei. Awan Cb di

ujung Sumatra bagian utara lebih banyak terlihat pada bulan

September. Awan MCb (Gambar 1b) juga mempunyai pola

penyebaran yang mirip dengan awan Cb, namun tidak

mempunyai batas yang tegas seperti pada awan Cb.

Distribusi fase bulanan awan Cb dan MCb (Gambar 1a dan

b) kemudian dibandingkan dengan data fase curah hujan dari

GSMaP. Gambar 1cmenunjukkan fase bulanan curah hujan

GSMaP untuk rentang waktu Maret 2014 sampai dengan Februari

2015. Data Januari dan Februari 2015 digunakan untuk

mengganti data Januari dan Februari 2014 yang belum tersedia.

Hal ini bertujuan untuk melengkapi 12 bulan dalam melihat fase

bulanan curah hujan. Secara umum perbandingan fase bulanan

antara kombinasi awan Cb dan MCb dengan curah hujan

menunjukkan kemiripan pada distribusi spasialnya.

Gambar 2 menunjukkan fase bulanan awan Cb dan MCb

rata-rata selama lima tahun (2010-2014). Gambar tersebut

menunjukkan pada bulan apa awan Cb dan MCb mendominasi

suatu wilayah. Karena awan Cb adalah awan yang menghasilkan

hujan dengan intensitas tinggi, maka Gambar 2a memetakan

puncak curah hujan di suatu wilayah. Sumatra umumnya

mempunyai puncak curah hujan pada bulan Nopember, Jawa

pada bulan Desember, pantai utara Jawa pada bulan Januari,

kepulauan Maluku pada bulan Mei, dan sebagainya. Gambar 2b

menunjukkan bahwa awan MCb dominan di wilayah Indonesia

pada bulan-bulan Nopember sampai Februari, kecuali di daerah

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

93

Maluku dan sekitarnya yang umumnya terjadi pada bulan Mei

sampai Agustus. Distribusi awan Cb dan MCb ini jelas

disebabkan oleh pengaruh monsun.

Monsun merupakan proses konvergensi sirkulasi udara.

Pada bulan-bulan Desember sampai Februari, monsun Asia

banyak membawa uap air ke wilayah Indonesia yang berakibat

pada sangat tingginya tingkat kelembapan udara di wilayah

Indonesia. Kelembapan udara yang tinggi meningkatkan

pembentukan awan-awan Cb dari proses konveksi. Oleh karena

itu fasa puncak awan Cb bersesuaian dengan puncak musim

hujan di suatu wilayah.

Untuk melihat bagaimana pengaruh monsun terhadap

distribusi kedua awan tersebut di beberapa wilayah Indonesia,

maka pada Gambar 2a telah dibuat kotak-kotak di sebagian

wilayah Aceh (3.5º LU - 5º LU, 96.5º - 98.5º BT), SumatraBarat (3º

LS - 1º LU, 99º - 103º BT), Jawa (8º - 6.5º LS, 107º - 113º BT),

KalimatanBarat (2º LS - 1º LU, 109º - 113º BT), Maluku (4.5º -

3.5º LS, 127º - 130.5º BT), dan Papua (5º - 2º LS, 136º - 140º

BT). Wilayah-wilayah tersebut dipilih untuk mewakili variasi

spasial dari distribusi awan Cb. Aceh mewakili wilayah di sebelah

utara ekuator dengan puncak awan Cb pada bulan

Mei/September. Sumatra Barat dan Kalimantan Barat mewakili

wilayah di ekuator. Maluku dan Papua mewakili wilayah di

sebelah selatan ekuator. Pulau Jawa mewakili wilayah di sebelah

selatan, namun relatif jauh dari ekuator.

Suaydhi, dkk

94

Gambar 1. Fase bulanan awan Cumulonimbus (a), awan

Mature Cumulonimbus (b), dan hujan dari GSMap

(c), pada tahun 2014. Warna putih (jika ada)

mengindikasikan tidak awan atau hujan yang

teramati.

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

95

Gambar 2. Fase bulanan awan Cb dan MCb rata-rata 5 tahun

(2010-2014). Pada panel atas, enam daerah yang

ditandai dengan kotak akan dianalisis lebih lanjut.

3.2 Siklus Tahunan Awan Cb dan Kondisi Atmosfer

Siklus tahunan rata-rata 5 tahun (2010-2014) tutupan

awan Cb dan total precipitable water (TPW) untuk masing-masing

daerah di atas dapat dilihat pada Gambar 3. Pada siklus tahunan,

puncak fasa awan Cb di Aceh terjadi pada bulan September dan

tutupan awan Cb sangat tinggi dari bulan Juli sampai Desember

dengan persentasi tutupan awan mencapai 95% (Gambar 3a).

Secara spasial, tutupan awan di Aceh mempunyai puncak fasa

awan Cb pada bulan Mei dan September yang dikelilingi oleh

daerah dengan puncak fasa awan Cb pada bulan Nopember dan

Desember (Gambar 2). Sedangkan puncak TPW sendiri terlihat

pada bulan Mei dan Nopember (mendekati 50 kg/m2).

Sumatra Barat dan Kalimantan Barat yang wilayahnya

dilintasi garis ekuator mempunyai dua puncak siklus awan Cb

yang jelas, yaitu pada bulan April dan Nopember (Gambar 3b dan

d). Persentasi tutupan awan Cb pada kedua wilayah ini bisa

Suaydhi, dkk

96

mencapai 90% pada bulan Nopember dan paling rendah sekitar

65%. Papua juga mempunyai puncak tutupan awan Cb pada

bulan April dan Nopember, dengan persentasi maksimumnya

hanya sekitar 80% dan minimum 70% (Gambar 3f). TPW di ketiga

wilayah ini cukup stabil sepanjang tahun, antara 45 dan 55

kg/m2.

Wilayah kepulauan Maluku di sebelah selatan pulau

Seram dan pulau Buru mempunyai dua siklus puncak awan di

bulan Mei dan Desember/Januari (Gambar 3e). Namun

prosentase tutupan awan Cb tertinggi terlihat pada bulan Mei

yang mencapai 90%. Hal ini juga terlihat pada distribusi spasial

yang dominan pada bulan Mei (Gambar 2a). Siklus tahunan

tutupan awan Cb di Maluku sangat kontras dengan nilai

minimum di bawah 35% pada bulan Oktober. Siklus TPW juga

mempunyai maksimum pada bulan Mei dan minimum pada

bulan Oktober.

Pulau Jawa yang relatif cukup jauh dari garis ekuator

mempunyai satu nilai maksimum pada bulan Desember/Januari

dan minimum pada bulan Agustus. Siklus tutupan awan Cb di

bulau Jawa sangat mencolok, saat maksimum bisa mencapai 85%

dan saat minimum hanya sekitar 10%. Siklus TPW di pulau Jawa

juga terlihat sangat jelas, nilai maksimum pada

Desember/Januari mencapai 55% dan nilai minimum pada

Agustus di bawah 40%.

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

97

Gambar 3. Siklus tahunan tutupan awan Cb dan precipitable

water (TPW) di atas Aceh, Sumatra Barat, Jawa,

Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua, rata-rata

2010 - 2014.

Awan Cb terbentuk dari proses konveksi. Proses ini berasal

dari kondisi ketidak-stabilan atmosfer. Moist Static Energy (MSE)

dapat dipakai untuk mengukur kekuatan konveksi di suatu

daerah (Raymond, et.al., 2009). Oleh karena itu untuk melihat

variasi bulanan/musiman awan Cb, MSE akan digunakan

sebagai indikator kondisi ketidak-stabilan atmosfer. Makin tinggi

nilai MSE, makin tidak stabil kondisi atmosfer. MSE didefinisikan

sebagai berikut (Maloney, 2009):

𝑀𝑆𝐸 = 𝑐𝑝𝑇 + 𝑔𝑧 + 𝐿𝑞𝑣 …………………………….. (1)

di mana cp adalah kapasitas panas pada tekanan yang sama, T

temperatur, g percepatan gravitasi, z ketinggian, L panas laten

penguapan pada 0ºC, dan qv nisbah campuran uap air.

Gambar 4 menunjukkan siklus tahunan MSE rata-rata

lima tahun (2010-2014) pada enam wilayah di Indonesia. Aceh

Suaydhi, dkk

98

mempunyai dua siklus MSE, dengan nilai MSE rendah terdeteksi

pada bulan Februari dan Juli dan nilai MSE tertinggi pada bulan

Mei dan Nopember (Gambar 4a). Nilai rendah pada bulan Februari

disebabkan oleh posisi matahari berada jauh dari wilayah Aceh.

Ketika matahari telah melewati wilayah Aceh, nilai MSE mencapai

puncak pada bulan Mei. Penjelasan serupa juga berlaku untuk

nilai MSE rendah pada bulan Juli dan nilai agak tinggi pada

bulan Nopember. Nilai minimum pada bulan Februari lebih

rendah dari pada bulan Juli, karena Aceh terletak di utara garis

ekuator dan matahari berada di belahan bumi selatan pada bulan

Februari dan di belahan bumi utara pada bulan Juli. Namun

kecepatan vertikal tertinggi terjadi pada bulan September.

Kecepatan vertikal yang tinggi sebenarnya terdeteksi dari Juli

hingga Desember. Pada bulan-bulan inilah Aceh mempunyai

tutupan awan Cb yang tinggi (lihat Gambar 3a). Nilai MSE dan

kecepatan vertikal paling rendah terdeteksi di Aceh pada bulan

Februari, sehingga menyebabkan tutupan awan Cb paling rendah

pada bulan tersebut.

Sumatra Barat dan Kalimantan Barat mempunyai dua

nilai minimum MSE yang hampir sama, karena dua wilayah ini

dilintasi garis ekuator (Gambar 4b dan d). Kedua nilai minimum

ini terjadi pada waktu yang simetris, yaitu bulan Februari dan

Agustus. Tutupan awan Cb minimum di Sumatra Barat terjadi

pada bulan Februari dan Agustus, namun di Kalimantan Barat

tutupan awan Cb minimum terjadi di bulan Juni dan Juli.

Kecepatan vertikal minimum di Kalimantan Barat yang terjadi

pada bulan Juni dan Juli lebih sesuai dengan siklus tutupan

awan Cb di wilayah ini.

Pulau Jawa hanya mempunyai satu nilai minimum MSE,

yaitu di bulan Agustus dan September (Gambar 4c). Hal ini

bersesuaian dengan prosentase tutupan awan di Pulau Jawa yang

mencapai level paling rendah (di bawah 20%) pada bulan yang

sama. Sangat rendahnya tutupan awan Cb di Jawa pada bulan

tersebut dipengaruhi oleh nilai MSE yang sangat kecil (di bawah

327 kJ/kg), TPW yang sangat rendah (< 40 kg/m2) dan kecepatan

angin vertikal yang rendah. Namun penurunan prosentase awan

Cb yang rendah sudah terjadi sejak Mei dan berlangsung sampai

Oktober (Gambar 3c), bersamaan dengan menurunnya kecepatan

vertikal dan MSE pada periode yang sama.

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

99

Maluku dan Papua juga memiliki dua pusat minimum

MSE seperti yang terlihat di Aceh, Sumatra Barat dan Kalimantan

Barat. Di Maluku dan Papua, nilai MSE paling rendah terdeteksi

di bulan Agustus sampai Oktober (Gambar 4e dan f). Ini berbeda

dengan Aceh yang mengalami nilai MSE paling rendah pada bulan

Februari. Fenomena ini menunjukkan bahwa kestabilan atmosfer

dipengaruhi oleh posisi matahari. Aceh yang berada di utara garis

ekuator mempunyai nilai MSE paling rendah di bulan Februari

ketika matahari berada di selatan ekuator, sedangkan Maluku

dan Papua yang berada di selatan garis ekuator mempunyai MSE

paling rendah di bulan Agustus sampai Oktober.

Gambar 4. Seperti Gambar 3, namun untuk siklus tahunan

profil vertikal moist static energy (MSE) beserta

angin vertikal.

3.3 Jenis-jenis Awan Lainnya

Gambar 5 menunjukkan fase bulanan awan menengah

(mid-level cloud) dan awan rendah (low-level cloud) rata-rata 5

tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Distribusi

spasial awan menengah tidak mempunyaia pola tertentu (Gambar

5a).Sedangkan distribusi awan level rendah (Gambar 5b)

Suaydhi, dkk

100

menunjukkan pola yang hampir simetris antara belahan bumi

utara (BBU) dan belahan bumi selatan (BBS). Di BBU awan level

rendah terlihat dominan dari bulan Desember hingga Maret,

sementara di BBS awan ini dominan dari bulan Mei hingga

Nopember. Hal ini menunjukkan bahwa awan level rendah yang

mencakup kabut terbentuk di bulan-bulan musim dingin.

Gambar 5. Fase bulanan awan level menengah (a) dan awan level

rendah (b) rata-rata 5 tahun (2010-2014).

Gambar 6 menunjukkan fase bulanan awan cirrus di

Indonesia rata-rata lima tahun dari tahun 2010 sampai dengan

tahun 2014. Secara umum wilayah Indonesia mempunyai puncak

fase awan cirrus, baik cirrus tebal (Gambar 6a) dan cirrus tipis

(Gambar 6b), pada bulan Januari dan Desember. Khusus untuk

Sumatra dan sebagian Jawa, puncak awan cirrus tipis terjadi

pada bulan Mei. Sementara untuk wilayah di sebelah utara

Indonesia, puncak fase awan cirrus terjadi antara bulan Juli dan

Nopember.

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

101

Cirrus tebal berasal dari anvil awan cumulonimbus,

sedangkan cirrus tipis diperkirakan terbentuk melalui

penyebaran dan peluruhan aliran yang keluar dari sistem

konveksi dan melalui pendinginan yang terkait dengan gerakan

mengapung skala besar (Boehm and Verlinde 2000). Distribusi

spasial fase bulanan awan cirrus sekilas mirip dengan distribusi

awan Mature Cumulonimbus (Gambar 2b), karena awan cirrus

terbentuk dari peluruhan awan MCb. Khusus untuk Sumatra dan

Jawa yang mempunyai fase puncak awan cirrus pada bulan Mei

mungkin mempunyai proses pembentukan yang berbeda.

Gambar 6. Fase bulanan awan cirrus tebal (a) dan cirrus tipis (b)

rata-rata 5 tahun (2010-2014).

4 KESIMPULAN

Distribusi spasial berbagai jenis awan di Indonesia dan

sekitarnya menunjukkan variasi secara musiman. Awan-awan Cb

dan MCb yang merupakan sumber utama curah hujan

memperlihatkan bahwa puncak fasa kedua jenis awan ini

Suaydhi, dkk

102

bersesuaian dengan puncak musim hujan di Indonesia, seperti

Jawa pada bulan Desember dan Januari, di Sumatra Barat pada

bulan Nopember, dan Ambon dan sekitarnya pada bulan Mei.

Kedua jenis awan ini terbentuk dari proses konveksi di

lingkungan atmosfer yang tidak stabil. Analisis MSE sebagai

indikator ketidakstabilan atmosfer menunjukkan bahwa nilai

MSE yang tinggi bersesuaian dengan puncak fasa awan Cb. Nilai

MSE minimum bersesuaian dengan rendahnya tutupan awan Cb

di suatu daerah. Namun demikian kecepatan vertikal atmosfer

juga berpengaruh terhadap distribusi awan Cb. Kombinasi nilai

MSE dan kecepatan vertikal atmosfer menentukan puncak fasa

awan Cb di suatu daerah.

Jenis-jenis awan lainnya, yaitu awan rendah (stratus,

cumulus, nimbostratus), awan menengah (altostratus,

altocumulus), dan awan tinggi (awan cirrus) mempunyai

distribusi puncak fasa yang bervariasi. Awan level rendah

mempunyai puncak fasa di bulan-bulan musim dingin. Awan level

menengah tidak menunjukkan distribusi spasial yang jelas.

Awan-awan cirrus mempunyai penyebaran mirip dengan awan

MCb, karena awan cirrus diperkirakan terbentuk dari peluruhan

sistem konveksi.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para reviewer yang

telah membantu memperbaiki kualitas makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Aldrian, E., and R. D. Susanto, 2003: Identification of three

dominant rainfall regions within Indonesia and their

relationship to sea surface temperature. International

Journal of Climatology, 23, 1435-1452, 10.1002/joc.950.

Boehm, M. T., and J. Verlinde, 2000: Stratospheric influence on

upper tropospheric tropical cirrus. Geophys. Res. Lett., 27,

3209-3212

Chen, S. S., and R. A. Houze Jr., 1997: Diurnal Variation and Life

Cycle of Deep Convective Systems over the Tropical Pacific

Warm Pool. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 123, 357-388

Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia

103

De Leon, R. R., and J. D. Haigh, 2007: Infrared properties of

cirrus clouds in climate models. Q. J. Roy. Meteor. Soc.,

133, 273-282

Dee, D. P., and Coauthors, 2011: The ERA-Interim reanalysis:

configuration and performance of the data assimilation

system. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 137, 553-597,

10.1002/qj.828.

Field, P. R., 1999: Aircraft observations of ice crystal evolution in

an altostratus cloud. J. Atmos.Sci., 56, 1925-1941

Fu, Q., P. Yang, and W. B. Sun, 1998: An accurate

parameterization of the infrared radiative properties of

cirrus clouds for climate models. J. Climate, 11, 2223-2237

Gray, W. M., and R. W. Jacobson Jr. , 1977: Diurnal Variation of

Deep Cumulus Convection. Mon. Wea. Rev., 105, 1171-

1188

Gu, Y., K. N. Liou, S. C. Ou, and R. Fovell, 2011: Cirrus cloud

simuations using WRF with improved radiation

parameterization and increased vertical resolution. J.

Geophys. Res., 116, D06119, doi:10.1029/2010JD014574.

Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.

Winarso, and T. Sribimawati, 2002: Spatial and temporal

variations of the rainy season over Indonesia and their link

to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310

Heymsfield, A. J., and Coauthors, 2002: Observations and

parameterizations of particle size distributions in deep

tropical cirrus and stratiform precipitating clouds: Results

from in situ observations in TRMM field campaigns. J.

Atmos.Sci., 59, 3457-3491

Joyce, R. J., J. E. Janowiak, P. A. Arkin, and P. Xie, 2004: A

method that produces global precipitation estimates from

passive microwave and infrared data at high spatial and

temporal resolution. J. Hydrometeor., 5, 487-503

Lasmono, F., Suaydhi, and A. Nafiisyanti, 2015: Variasi diurnal

awan di atas Indonesia tahun 2014. Seminar Nasional

Sains Atmosfer 2015, (dalam proses penerbitan).

Liou, K.-N., 1986: Influence of cirrus clouds on weather and

climate processes: A global perspective. Mon. Wea. Rev.,

114, 1167-1199

Suaydhi, dkk

104

Maloney, E. D., 2009: The moist static energy budget of a

composite tropical intraseasonal oscillation in a climate

model. J. Climate, 22, 711-729

Raymond, D. J., S. L. Sessions, A. H. Sobel, and Z. Fuchs, 2009:

The mechanics of gross moist stability. Journal of

Advances in Modeling Earth Systems, 1, 1-20

Suaydhi, and Gammamerdianti, submitted: Distribusi jenis awan

di Indonesia pada saat El Nino, La Nina, dan MJO: Sebuah

studi kasus.

Suseno, D. P. Y., and T. J. Yamada, 2012: Two-dimensional,

threshold-based cloud type classification using MTSAT

data. Remote Sensing Letters, 3, 737-746

Ushio, T., and Coauthors, 2009: A Kalman filter approach to the

Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) from

combined passive microwave and infrared radiometric data.

J. Meteor. Soc. Japan, 87A, 137-151

Iis Sofiati Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter

Meteorologi Diurnal Luaran Model CCAM-

NWP di Kototabang

105

PREDIKSI DAN VALIDASI BEBERAPA PARAMETER

METEOROLOGI DIURNAL LUARAN MODEL CCAM-NWP

DI KOTOTABANG

PREDICTION AND VALIDATION OF SOME

METEOROLOGICAL PARAMETERS DIURNAL FROM

CCAM-NWP OUTPUT IN KOTOTABANG

Iis Sofiati

Bidang Pemodelan Atmosfer

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN

Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173

Email: [email protected]

Abstrak Dalam pemodelan prediksi cuaca diperlukan fase dan waktu yang tepat, tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk simulasi iklim jangka panjang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa data luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan di Kototabang dengan metode uji-T dan uji-F. Dalam penelitian ini digunakan data beberapa parameter meteorologi (suhu, curah hujan, kelembapan relatif, dan tekanan) jam-an luaran CCAM-NWP dan data dari AWS di stasiun pengamatan Loka-Kototabang. Dari hasil uji-T dan uji-F secara keseluruhan didapat bahwa hasil luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan terdapat perbedaan yang signifikan. Kata kunci: Parameter meteorologi, CCAM-NWP, observasi permukaan, uji-T.

Abstract In modeling weather prediction required phase and right time, not just for a short time integration but also for long-term climate simulations. The purpose of this study was to analyze the CCAM-NWP output data and surface observations in Kototabang with method of T-test and F-test. This study used the data of meteorological parameters (temperature, precipitation, relative humidity, and pressure) hourly of CCAM-NWP output and from AWS data in Loka-Kototabang observation stations. Overall from the T-test and F-test

Iis Sofiati

106

results found that the CCAM-NWP output and surface observations there are significant differences.

Keywords: Meterological parameters, CCAM-NWP, surface observation, T-test.

1. PENDAHULUAN

Siklus diurnal merupakan sinyal paling dominan di

antara berbagai variasi skala dan waktu dalam sistem iklim.

Energi dan pertukaran air antara atmosfer dan lapisan

permukaan dibawahnya diatur terutama oleh siklus diurnal.

Oleh karena itu fase dan waktu yang tepat dalam siklus

diurnal ini merupakan suatu keharusan untuk pemodelan,

tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk

simulasi iklim jangka panjang (Wang, 2012; Andi, 2010).

Penelitian dengan menggunakan model Cubic

Conformal Atmospheric Model (CCAM) resolusi 60 km untuk

simulasi atmosfer global telah dilakukan sebelumnya dalam

mempelajari skenario iklim masa depan untuk negara-negara

di sekitar Pasifik (Mc Gregor et al., 2012) dan di Indonesia

sendiri. Nguyen, et al., 2011 yang mempelajari skenario iklim

masa depan untuk negara-negara di sekitar Pasifik. Luaran

model tersebut sangat baik pada penentuan pola curah

hujan untuk musim transisi Maret-April-Mei dan September-

Oktober-November, dan perbaikan cukup baik untuk DJF

dan JJA (Nguyen, et al., 2014). CCAM juga mensimulasikan

perbaikan pola curah hujan di atas South Pacific Convergence

Zone (SPCZ) dan evaluasi kinerja fenomena tropis lainnya,

seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan sirkulasi

Walker. CCAM juga digunakan oleh (Juaeni, I., dkk., 2013)

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

107

yang menganalisa curah hujan bulanan dan harian untuk

wilayah Indonesia dengan model dinamik CCAM. Komparasi

secara visual dilakukan juga oleh peneliti lain (Kurniawan R.,

dkk., 2010) dengan membandingkan hasil luaran model

prakiraan cuaca antara CCAM dengan Action de Recherche

Petite Echelle Grande Echelle (ARPEGE) dan Tropical Limited

Area Prediction System (TLAPS) dimana dari penelitian

tersebut diperoleh hasil bahwa luaran ketiga model yang

disebutkan diatas memiliki pola yang hampir sama,

meskipun ARPEGE dan TLAPS menunjukkan hasil yang

sedikit lebih baik dari CCAM. Dalam penelitian tersebut

dinyatakan bahwa hasil yang berbeda diduga dikarenakan

penggunaan data analisis ARPEGE dan TLAPS sebagai

representasi data observasi.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam

penelitian ini akan dianalisis prediksi curah hujan dan suhu

luaran model dinamik Cubic Conformal Atmospheric Model-

Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP) di wilayah

Kototabang Sumatera Barat dengan input model yang

digunakan adalah data dari Global Forecast System (GFS)-

NOAA (Marcus, 2010; Katzfey and Mohar, 2011). Dengan

mengembangkan model yang tervalidasi, dari penelitian ini

diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat

dalam pengembangan luaran model untuk simulasi dan

prediksi cuaca.

2. DATA DAN METODOLOGI

2.1 DATA

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

beberapa parameter meteorologi (suhu, curah hujan,

Iis Sofiati

108

kelembapan relatif, dan tekanan) jam-an luaran CCAM-NWP,

dan data dari Automatic Weather Station (AWS) di stasiun

pengamatan Loka-Kototabang. CCAM merupakan model

variabel resolusi global, dan dengan menggunakan

transformasi Schmidt, didapat resolusi yang baik untuk

diaplikasikan di beberapa bagian belahan dunia (Mc Gregor

J. L., et al., 2008, Thatcher and Mc Gregor J. L., 2009).

Tabel 1. Konfigurasi simulasi CCAM-NWP.

Parameter Global

Model Cubic Conformal Atmospheric Model- Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP)

Domain Indonesia

Resolusi 60 km, 8 km, 4 km

Time step Jam-an

Kendali - Topografi, albedo, roughness, rsmin, soil, vegetasi.

- Meteorologi dari Global Forecast System (GFS)-NOAA.

Kondisi awal Restart untuk jam-an

Skema konveksi CSIRO Mass-flux scheme

Waktu simulasi Tanggal 2-4 Januari, 2015

2.2 METODOLOGI

Metode yang dipakai dalam penelitian ini dengan

melakukan proses running dan menganalisis data parameter

meteorologi, dan konfigurasi simulasi pada Tabel 1.

Kemudian data parameter meteorologi luaran model CCAM-

NWP divalidasi secara statistik dengan metode Uji-T dan Uji-

F dengan data jam-an dari AWS untuk setiap hari selama

periode pengamatan. Sebagai kelengkapan analisa, dalam

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

109

penelitian ini dilakukan uji statistik dan penjelasannya

adalah sebagai berikut: Uji-T merupakan Independent sample

t-test adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk

membandingkan rata-rata dua grup yang tidak saling

berpasangan yang dapat diartikan bahwa penelitian

dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda. Prinsip

pengujian uji ini adalah melihat perbedaan variasi kedua

kelompok data, sehingga sebelum dilakukan pengujian,

terlebih dahulu harus diketahui apakah variannya sama

(equal variance) atau variannya berbeda (unequal variance)

(Thaisir, M., 2014). Kemudian uji-F digunakan untuk

mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama

(simultan) terhadap variabel terikat. Apabila hasil yang

diperoleh signifikan, hubungan yang terjadi dapat berlaku

untuk populasi. Penggunaan tingkat signifikansi yang

digunakan adalah P=0,05. Data dinyatakan memiliki varian

yang sama (equal variance) bila F-Hitung < F-Tabel, dan

sebaliknya, varian data dinyatakan tidak sama (unequal

variance) bila F-Hitung > F-Tabel. Bentuk varian kedua

kelompok data akan berpengaruh pada nilai standard error

yang akhirnya akan membedakan rumus pengujiannya.

Persamaan yang digunakan untuk uji varian adalah:

.... .... (1)

dengan : X1 = rata-rata data 1, X2= rata-rata data 2, n1 =

jumlah data 1, n1 = jumlah data 2, S1 = simpangan data 1, S1

= jumlah data 2, df = derajat kebebasan = n1 + n2 -2 .... (2)

Sedangkan persamaan yang digunakan untuk uji-F adalah:

Iis Sofiati

110

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

00Z 2 Jan

12Z 00Z 3 Jan

12Z 00Z 4 Jan

12Z

Temperatur Kotatabang2-4 Januari 2015

Obs

CCAM-NWP

F = 𝑆22

𝑆22 .......................... (3)

dengan S1 = simpangan data 1, S1 = jumlah data 2.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan distribusi temporal

parameter meteorologi temperatur (suhu) luaran CCAM-NWP

dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4

Januari 2015 di Kototabang.

Gambar 1. Distribusi temporal suhu luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.

Berdasarkan hasil terlihat adanya perbedaan antara

suhu yang ditunjukkan oleh data luaran CCAM-NWP dan

AWS. Untuk luaran CCAM-NWP suhu rata-rata tertinggi (19-

25)oC terjadi pada pkl (14-17) WIB, dan suhu terendah (14-

19) oC terjadi pada pkl (24-06) WIB. Sedangkan dari data

AWS suhu rata-rata tertinggi (24-26)oC terjadi pada pkl (11-

15) WIB, dan suhu terendah (17,0-17,8) oC terjadi pada pkl 7

WIB. Pola distribusi temporal suhu tertinggi untuk model

terjadi lebih cepat dibandingkan dengan observasi.

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

111

0.010.020.030.040.0

00Z 2 Jan

12Z 00Z 3 Jan

12Z 00Z 4 Jan

12Z

Curah Hujan CCAM-NWP Kotatabang2-4 Januari 2015

0.000.010.020.03

00Z 2 Jan

12Z 00Z 3 Jan

12Z 00Z 4 Jan

12Z

Curah Hujan Observasi Kotatabang2-4 Januari 2015

Intensitas curah hujan maksimum yang terjadi pada

tanggal 2 Januari dari luaran CCAM-NWP sebesar 33,4 mm

pada pkl 01 WIB (Gambar 2 a), terlihat lebih besar

dibandingkan dengan observasi yang hanya sebesar 0,02 mm

pada pkl 23 WIB (Gambar 2 b).

Gambar 2. Distribusi temporal curah hujan luaran CCAM-NWP (a) dan observasi permukaan (b) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.

Sedangkan pada tanggal 3 Januari dari luaran model

curah hujan maksimum sebesar 15,7 pada pkl 11 WIB,

sementara dari observasi tidak terjadi hujan. Untuk tanggal

4 Januari curah hujan maksimum luaran model sebesar 3,5

pada pkl 15 WIB, dan dari observasi sebesar 0,02 pada pkl

20 WIB. Dari hasil tersebut terlihat adanya perbedaan

intensitas curah hujan dan waktu terjadinya yang cukup

signifikan.

(b)

(a)

Iis Sofiati

112

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

00Z 2 Jan

12Z 00Z 3 Jan

12Z 00Z 4 Jan

12Z

RH Kotatabang2-4 Januari 2015

Obs

CCAM-NWP

Selanjutnya dianalisa kelembapan relatif luaran

CCAM-NWP dan observasi permukaan seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil terlihat

bahwa pola distribusi kelembapan relatif luaran model

berbanding terbalik dengan observasi permukaan.

Kelembapan relatif untuk luaran CCAM-NWP rata-rata

tertinggi sebesar 91% terjadi pada pkl 8 WIB, dan terendah

sebesar 42% terjadi pada pkl 12 WIB. Sedangkan dari data

AWS kelembapan relatif rata-rata tertinggi (91-95)% terjadi

pada pkl (3-6) WIB, dan terendah (66-77) % terjadi pada pkl

(8-11) WIB.

Gambar 3. Distribusi temporal kelembapan relatif luaran

CCAM-NWP dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.

Gambar 4 menunjukkan distribusi temporal

parameter meteorologi tekanan dari luaran CCAM-NWP dan

observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari

2015 di Kototabang. Berdasarkan hasil terlihat adanya

perbedaan antara tekanan yang ditunjukkan oleh luaran

CCAM-NWP dan AWS. Untuk luaran CCAM-NWP tekanan

rata-rata tertinggi (904-919) hPa terjadi pada pkl (11-20)

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

113

880.00

890.00

900.00

910.00

920.00

930.00

00Z 2 Jan

12Z 00Z 3 Jan

12Z 00Z 4 Jan

12Z

Tekanan Kotatabang

2-4 Januari 2015

Obs

CCAM-NWP

WIB, dan tekanan terendah (884-888) hpa terjadi pada pkl

(13-16) WIB. Sedangkan dari data AWS tekanan rata-rata

tertinggi (920-921) hPa terjadi pada pkl (13-17) WIB, dan

terendah rata-rata sebesar 918 hpa terjadi pada pkl 23 WIB.

Gambar 4. Distribusi temporal tekanan luaran CCAM-NWP

dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan uji-T dan uji-

F terhadap data yang dihasilkan oleh CCAM-NWP dan AWS.

Dengan uji-T independen yang pertama dilakukan adalah

melakukan uji homogenitas varian dengan kriteria pengujian

adalah: Jika F hitung ≥ F tabel maka Ho (homogenitas)

ditolak (varian beda), dan F hitung < F tabel maka Ho gagal

ditolak (varian sama). Setelah itu dilakukan uji-T dengan

perumusan hipotesa berdasarkan kriteria pengujian Ho

diterima jika T-tabel<T-hitung<T-tabel. Sementara Ho ditolak

jika T-hitung<T-tabel atau T-hitung>T-tabel, dan T-tabel

dapat dilihat pada lampiran. Dengan menggunakan

persamaan (2) dan (3), didapat nilai dF dan F untuk Suhu

(T), Curah hujan (Ch), kelembapan relatif (Rh), dan tekanan

(P), seperti yang tertulis pada Tabel 2.

Iis Sofiati

114

Tabel 2. Nilai uji varian (F) untuk beberapa parameter meteorologi

T

(Model)

T

(AWS)

Ch

(Model)

Ch

(AWS)

Rh

(Model)

Rh

(AWS)

P

(Model)

P

(AWS)

Mean 19,41 21,41 2,16 0,002 55,81 83,25 899,66 920,05

Varian 7,29 9.68 32,35 2,59 417,69 34,66 62,44 0,90

Jumlah data 72 72 72 72 72 72 72 72

df 71 71 71 71 71 71 71 71

F-hitung 1,33 8,0002E-07 0,08 0,014

F-tabel 1,48 0,67 0,68 0,68

Berdasarkan perhitungan uji-F, didapat bahwa untuk T, Ch, Rh, dan P, karena F-hitung < F-tabel,

maka data model dan data observasi memiliki varian yang sama. Selanjutnya dilakukan uji-T dengan

menggunakan persamaan (1), dan hasilnya seperti yang tertulis pada Tabel 3.

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

115

Tabel 3. Nilai uji-T independen untuk beberapa parameter meteorologi

T

(Model)

T

(AWS)

Ch

(Model)

Ch

(AWS)

Rh

(Model)

Rh

(AWS)

P

(Model)

P

(AWS)

Mean 21,41 19,41 2,16 0,002 55,82 83,25 920,05 899,67

Varian 9,68 7,29 32,36 2,6E-05 417,69 34,66 0,9008 62,44

Jumlah data 72 72 72 72 72 72 72 72

df 142 142 142 142 142 142 142 142

P 6,52E-05 0,002 1,35E-20 5,1E-47

T-hitung 4,12 3,22 10,94 21,74

T-tabel 9,18 1,98 1,98 1,98

Kemudian dari perhitungan uji-T didapat bahwa untuk T, Ch, Rh, dan P, karena T-hitung > T-

tabel, dan P<0,05, maka homogenitas (Ho) ditolak, yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna

antara T, Ch, Rh, dan P yang dihasilkan dari model dengan observasi permukaan. Hasil penelitian lain

yang menyatakan bahwa luaran model kurang mendekati nilai observasi dinyatakan oleh Hutchinson and

Kesteven (2013).

Iis Sofiati

116

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil keseluruhan didapat bahwa hasil

luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan untuk tanggal

2-4 Januari 2015 yang dianalisa dengan uji-T dan uji-F

untuk empat parameter meteorologi (suhu, curah hujan,

kelembapan relatif, dan tekanan) terdapat perbedaan yang

signifikan. Artinya hasil luaran CCAM-NWP pada data

pengamatan penelitian ini tidak mendekati nilai observasi.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Nurzaman

Adikusumah, M.Si dan Bapak Drs. Bambang Siswanto, M.Si

untuk bantuannya dalam masalah running CCAM. Juga

kepada Sdr. Noviana Dewani M.Si, alumni Fakultas Ilmu dan

Teknologi Kebumian, Jurusan Sains Kebumian, Institut

Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya dalam

penggambaran output CCM-NWP.

DAFTAR RUJUKAN

Andi I., 2010: Pemodelan Curah Hujan Bulanan Berdasarkan

Metode Least Square-Non Linier, Spektra Vol.10, No. 2.

Hutchinson M., and Kesteven J., 2013: Assessing daily

rainfall extremes using a simple physicall-based

statistical model, 19th Annual National Conference of

the Australian Meteorological and Oceanographic

Society (AMOS).

Juaeni, I., Bambang S., Nurzaman A., Sofiati I., 2013:

Downscalling dan Uji Kinerja Model Atmosfer Indonesia

Resolusi Tinggi.. Prosiding Laporan Penelitian Inhouse

Triwulan ke-2, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-

LAPAN, Bandung.

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

117

Katzfey J., and Chattopadhyay., 2011: Evaluation of high

resolution regional climate simulations over the islands

in the South Pacific, The Fifth International Verification

Methods Workshop, Melbourne Australia.

Kurniawan R., Sukma D.P., Anggraeni R., Kurnia E, K., 2010:

Perbandingan Hasil Luaran Model Prakiraan Cuaca Cubic

Conformal Atmospheric Model (CCAM) Terhadap ARPEGE

dan TLAP.

Marcus T., 2010: CCAM-Numerical Weather Prediction.

CSIRO Marine and Atmospheric Research- Australia.

McGregor J. L., Nguyen, Kim C., Thatcher M., 2008: Regional

Climate simulation at 20 km using CCAM with a scale

selective digital filter,. CSIRO Marine and Atmospheric

Research, The Australian Goverment Department of

Environment, http://www/wrcp-

climate.org/WGNE/Bluebook/2008/individual-

articles/07_McGregor_Johnwgne08.pdf#page=1&zoom=1

50,0,655 (diakses 2 Agustus 2013).

-------, Katzfey J., Nguyen K. C., Thatcher M., 2012: Regional

Climate Modelling Using CCAM: Simulations for

CORDEX, CSIRO Marine and Atmospheric Research-

Australia.

Nguyen, K. C., Katzfey, Jack J., Mc Gregor, John L., 2011:

Global 60 km simulations with CCAM: evaluation over

the tropics, Climate Dynamics, 39, Issue 3-4, pp. 637-

654.

--------. Katzfey J., Mc Gregor J. L., 2014: Downscalling over

Vietnam using the stretched-grid CCAM: verification of

mean and interannual variability of rainfall, Climate

Dynamic Vol. 43: 861-879. DOI 10.1007/s00382-013-

1976-5.

Thaisir M., 2014: Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary

Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia

Menggunakan Metode Empiris, Skripsi, Departemen

Geofisika dan Meteorologi FMIPA, Institut Pertanian

Bogor.

Iis Sofiati

118

Thatcher M., McGregor J.L., 2009: Using a scale-selective

filter for dynamical downscaling with the conformal cubic

atmospheric models (CCAM). Mon. Weather Rev.

137:1742–1752.

Wang Z, Chang C. P., 2012: A numerical study of the

interaction between the large-scale monsoon circulation

and orographic precipitation over South and Southeast

Asia. Journal of Clim. doi:10. 1175/JCLI-D-11-00136.1.

Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran

Model CCAM-NWP di Kototabang

119

Lampiran

Tingkat Signifikansi untuk tes satu sisi

0,40 0,25 0,10 0,05 0,025 0,01 0,005 0,0025 0,001 0,0005

Tingkat Signifikansi untuk tes dua sisi

df 0,80 0,50 0,20 0,10 0,05 0,02 0,01 0,005 0,002 0,001

1 0,325 1,000 3,078 6,314 12,706 31,821 63,657 127,32 318,31 636,62

2 0,289 0,816 1,886 2,920 4,303 6,965 9,925 14,089 22,327 31,598

3 0,277 0,765 1,638 2,353 3,182 4,541 5,841 7,453 10,214 12,924

4 0,271 0,741 1,533 2,132 2,776 3,747 4,604 5,598 7,173 8,610

5 0,267 0,727 1,476 2,015 2,571 3,365 4,032 4,773 5,893 6,869

6 0,265 0,718 1,440 1,943 2,447 3,143 3,707 4,317 5,208 5,959

7 0,263 0,711 1,415 1,895 2,365 2,998 3,499 4,029 4,785 5,408

8 0,262 0,706 1,397 1,860 2,306 2,896 3,355 3,833 4,501 5,041

9 0,261 0,703 1,383 1,833 2,262 2,821 3,250 3,690 4,297 4,781

10 0,260 0,700 1,372 1,812 2,228 2,764 3,169 3,581 4,144 4,587

11 0,260 0,697 1,363 1,796 2,201 2,718 3,106 3,497 4,025 4,437

12 0,259 0,695 1,356 1,782 2,179 2,681 3,055 3,428 3,930 4,318

13 0,259 0,694 1,350 1,771 2,160 2,650 3,012 3,372 3,852 4,221

14 0,258 0,692 1,345 1,761 2,145 2,624 2,977 3,326 3,787 4,140

15 0,258 0,691 1,341 1,753 2,131 2,602 2,947 3,286 3,733 4,073

Iis Sofiati

120

16 0,258 0,690 1,337 1,746 2,120 2,583 2,921 3,252 3,686 4,015

17 0,257 0,689 1,333 1,740 2,110 2,567 2,898 3,222 3,646 3,965

18 0,257 0,688 1,330 1,734 2,101 2,552 2,878 3,197 3,610 3,922

19 0,257 0,688 1,328 1,729 2,093 2,539 2,861 3,174 3,579 3,883

20 0,257 0,687 1,325 1,725 2,086 2,528 2,845 3,153 3,552 3,850

21 0,257 0,686 1,323 1,721 2,080 2,518 2,831 3,135 3,527 3,819

22 0,256 0,686 1,321 1,717 2,074 2,508 2,819 3,119 3,505 3,792

23 0,256 0,685 1,319 1,714 2,069 2,500 2,807 3,104 3,485 3,767

24 0,256 0,685 1,318 1,711 2,064 2,492 2,797 3,091 3,467 3,745

25 0,256 0,684 1,316 1,708 2,060 2,485 2,787 3,078 3,450 3,725

26 0,256 0,684 1,315 1,706 2,056 2,479 2,779 3,067 3,435 3,707

27 0,256 0,684 1,314 1,703 2,052 2,473 2,771 3,057 3,421 3,690

28 0,256 0,683 1,313 1,701 2,048 2,467 2,763 3,047 3,408 3,674

29 0,256 0,683 1,311 1,699 2,045 2,462 2,756 3,038 3,396 3,659

30 0,256 0,683 1,310 1,697 2,042 2,457 2,750 3,030 3,385 3,646

40 0,255 0,681 1,303 1,684 2,021 2,423 2,704 2,971 3,307 3,551

60 0,254 0,679 1,296 1,671 2,000 2,390 2,660 2,915 3,232 3,460

120 0,254 0,677 1,289 1,658 1,980 2,358 2,617 2,860 3,160 3,373

0,253 0,674 1,282 1,645 1,960 2,326 2,576 2,807 3,090 3,291