Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

16
Menikahi Wanita Hamil TUGAS MATA KULIAH MASAILUL FIQH DISUSUN OLEH: Eka Lusiandani Koncara SEMESTER 7 PAI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN PURWAKARTA 2008/2009

description

Bagi yang butuh unduhan file ini dalam format editable (‘.doc’, ‘.docx’, ‘.rtf’) dapat menghubungi alamat berikut:[email protected]

Transcript of Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

Page 1: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

Menikahi Wanita Hamil TUGAS MATA KULIAH MASAILUL FIQH

DISUSUN OLEH:

Eka Lusiandani Koncara

SEMESTER 7 PAI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN

PURWAKARTA 2008/2009

Page 2: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, akhirnya

kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Menikahi Wanita Hamil”

ini tanpa menemukan hambatan sedikitpun.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Masailul Fiqh.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah

ini, maka untuk itu kami mohon kritik dan saran kepada semua pihak, terutama

dosen pembimbing yang telah setia membimbing kami selama ini.

Terima kasih banyak kami haturkan kepada semua pihak yang telah

berpartisipasi hingga selesainya penyusunan tugas makalah ini.

Semoga bermanfaat...

Purwakarta, Januari 2009

Penyusun

Page 3: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

BAB II MENIKAHI WANITA HAMIL ................................................................... 3

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14

Page 4: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan

zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu

merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang

hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang

secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada

penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan

sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan

masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh

terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan

dalam masyarakat.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan

wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :

1. Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang

menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan

perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI,

penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat.

Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk

penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan.

Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi

perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan

logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

Page 5: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

2

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang

tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu :

pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita

tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak

laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah

pihak.

Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang

menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi

yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap

seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak

tanpa keturunan alias anak haram.

Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu

kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah

dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah

letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang

pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.

Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama

berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya

Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang

perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya

nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang

mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang

disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).

Page 6: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

3

BAB II

MENIKAHI WANITA HAMIL

Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat

kita justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan

berkepanjangan yang semuanya itu karena kurangnya pemahaman ajaran Islam

di dalam setiap keluarga di Indonesia). Bila seorang laki-laki menghamili wanita,

dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang

untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan

yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah

atau dia itu tidak memiliki ayah ?

A. Status Pernihakan

Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik

dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila

memenuhi dua syarat.

1. Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. Hal ini dikarenakan Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-

laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang berzina

tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang

musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki

yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas

orang-orang yang mu?min.” (QS: An Nur : 3.)

Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu

haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki

yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu

dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada

putri-nya.”

Page 7: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

4

Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan

namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah

dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila

terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau

dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan

pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala

telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-

sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama

yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21)

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang yang

membuat syari’at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang

menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang

musyrik.

Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat

ke dua berikut terpenuhi.

2. Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila

tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan

kandungannya.

Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai

ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia

beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74,

Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy

berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil

dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan

dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak

jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan

shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) )

Page 8: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

5

Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan

perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu

satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah

dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.”

(Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.)

Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah

anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak

menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad

Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan

selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan

dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status

menggauli dari sisi halal dan haram.”

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan,

?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya,

maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum

melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh

melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan

kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan

air (maninya) di persemaian orang lain.

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra

terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-

laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka

pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu

adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai

istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah

melahirkan.

Page 9: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

6

B. Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah

Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan

Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak

laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang

menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.

Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah.

Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak

bersuami.

Jadi anak itu tidak berbapak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah

Shallallaahu alaihi wa Sallam yang artinya: Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi

laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang

pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya

dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur

bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan

kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya

tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan

penyesalan saja.

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, seorang laki-laki mengaku berzina

dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari

hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait

dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa sallam : Artinya

anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan

penyesalan.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan

penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si

laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak

Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Page 10: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

7

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,

“Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). Maka beliau

menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang

berzina maka: anak itu tidak berbapak. Anak itu tidak saling mewarisi dengan

laki-laki itu. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka

walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya: Maka sulthan (pihak

yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum

beristibra? dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak,

atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir,

wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa

pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang

baru terlahir itu?

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid

kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa

pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu

adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh

Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka

tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak

mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang

terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa. Iddah itu

batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas

adalah lebih berhak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa,

beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini

pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya

berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama

Page 11: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

8

sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di

hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia

yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan

kepadanya)”

Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat

kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya

dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).

C. Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Berzina

Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua.

Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.

Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang

menghamili. Wanita itu dihamili oleh A, sedangkan yang menikahinya B.

Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia

menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud)

Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan

persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya

karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila

seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain,

kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.

Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang

hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina

yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.

Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil

dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-

benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.

Page 12: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

9

D. Perbedaan Pendapat Tentang Kebolehan Menikahinya

Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita

yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem

berikut ini:

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang

berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak

dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang

demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur: 3)

Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian

kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang

dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita

yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang

pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya

mengharamkan itu?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan

di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).

Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka

lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.

Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan

hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan

orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha

Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).

Page 13: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

10

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan

Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang

untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah

mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang

seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk

menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya

nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR

Tabarany dan Daruquthuny).

Dan hadits berikut ini:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang

yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut

memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-

Nasa'i)

Selain itu juga ada hadits berikut ini

Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan

zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat.

Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil

menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina

juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk

kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya." (HR

Ibnu Hibban dan Abu Hatim)

Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan

seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab,

"Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan

tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak

Page 14: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

11

tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu

'anhum ajmain.

Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita

maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang

pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi

oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri

berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina

adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami

sebutkan di atas (aN-Nur: 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang

yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap

menjadikannya sebagai isteri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan

masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)

Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah

Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.

3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam

Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita

yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah,

maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat,

maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka

nikahnya syah secara syar'i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas

prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa

hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Page 15: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

12

Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa

dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang

lain belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan

penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak

mengulangi.

Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah

terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh

suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-

laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil.

E. Pernikahan Tidak Perlu Diulang

Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan

pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya

tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir.

Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada

pernikahan ulang.

Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka

menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah.

Hukumnya bukan zina.

Page 16: Fiqih - Menikahi Wanita Hamil

13

BAB III

PENUTUP

Menurut pendapat Imam Syafi'I, menikah dengan wanita yang hamil dari

perzinaan boleh dan sah dengan menetapi persyaratan, yaitu dengan

mendatangkan 2 saksi dan wali. Juga disunnahkan mengadakan walimah.

Demikian juga menurut Hanafiyah, hanya saja, menurut madzhab ini, sang suami

tidak diperbolehkan mengumpuli istrinya hingga ia melahirkan anaknya.

Perbedaan madzhab-madzhab ini, jika sang suami bukan lelaki yang berbuat zina

kepada wanita tersebut. Apabila sang suami adalah orang yang berbuar zina

kepada sang wanita, maka semuanya sepakat memperbolehkan pernikahan

tersebut. Baik wanitanya hamil atau tidak. Akan tetapi semua itu tidak

mengurangi dosa zina.

Ia hanya bisa ditebus dengan penyesalan dan taubat yang sungguh-

sungguh. Imam Ahmad mensyaratakan taubat yang sungguh-sungguh bagi

diperbolehkannya kawin dengan orang-orang yang berbuat zina.

Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad

nikah, maka si anak sah dinasabkan pada si bapak.

Namun jika bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka

anak ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapaknya, kecuali jika si Bapak

menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah

dagingnya