fiqh jinayah

download fiqh jinayah

of 49

Transcript of fiqh jinayah

Posts tagged Biografi Abdul Kadir AudahRIWAYAT RINGKAS ABDUL KADIR AUDAHAl-Islam wa Audhaunal Qanuniyyah (Islam dan Perundang-undangan) 2 Abdul Kadir Audah adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas Kairo Mesir pada tahun 1930, selaku mahasiswa yang terbaik. Dan selagi duduk sebagai mahasiswa, ia adalah teladan utama dari kawan-kawannya, karena ia adalah seorang pemuda yang taat kepada Alloh SWT dan senantiasa membentengi dirinya dari percikan riak gelombang [...] 13 January 2012 saripedia 2 Comments Categories: BIOGRAFI TOKOH, BUKU PILIHAN, ISLAM & PERUNDANGUNDANGAN Tags: Abdul Kadir Audah, Ahli Hukum Islam, Ahli Hukum Mesir, Asy-syahid Abdul Kadir Audah, Biografi Abdul Kadir Audah, Hasan Albanna, Jenderal Muhammad Najib, Letkol. Jamal Abdul Nasser, Pemimpin Ikhwanul Muslimin, Revolusi Mesir, Revolusi Mesir kedua, Revolusi Mesir pertama, Riwayat Hidup Abdul Kadir Audah, Undang-undang Sekuler versus Syari'at Islam

RIWAYAT HIDUP ULAMA TERKENAL ABDUL QADIR AUDAH Al-Ustaz Abdul Qadir Audah ( al-marhum) adalah seorang putera Mesir yang hidupnya sangat sederhana, tidak suka hidup mewah dan hatinya sangat bersih, semasa mudanya, hati dan peribadinya amat anti terhadap segala kemungkaran dan kemaksiatan. Pada tahun 1930 M ia menjadi geraduan dari kulliyah huquq (fakulti Hukum) dan beliulah satu satunya lulusan fakulti tersebut yang langsung dilantik sebagai anggota parlimen dan merengkap sebagai hakim. Perhatiannya kepada bidang hukum lebih besar, oleh kerana itu walaupun ia sebagai anggota parlimen, namum waktunya selalu dipergunakan untuk mendamaikan segala persengketaan yang berkalu ketika itu. Di dalam parlimen ia bertemu dengan Al-Ustaz Hasan Al-Banna yang juga menjadi anggota parlimen, pemikiran dan pendapat selalu mempunyai persamaan, iaitu dauliyyah islamyyah menjadi asas perjuangan mereka berdua. Kemudian ada usaha-usaha dari pemerintahan sa'ad Zaghlul yang dibantu oleh inggeris untuk menjatuhkan Hasan Al-Banna, bahkan usaha jangan sampai ia terpilih lagi sebagai anggota parlimen. Maka dengan diam-diam Abdul Qadir Audah pergi bersendirian ke wilayah Ismailiyyah, disana ia berpidato dengan penuh semangat merengsang semula roh rakyat supaua mereka dapat memberi sokongan dalam pemilihan umum dengan bebas., dan ia bersedia memberikan pembelaan dan perlindungan dari segala pihak yang mengganggunya, sekalipun datangnya dari pihak pemerintah sendiri. sebahai Hakim, Abdul Qadir Audah terkenal sebagai orang yang berani dalam menegak kebenaran dan kemited terhadap segala perkataan dan perbuatan, maka pada suatu ketika pernah diajukan kepadanya perkara yang berkaitan dengan Ikhwan Muslimin dengan pihak pemerintah, dengan tegas ia menyatakan, memutuskan bahawa sekatan sekatan yang dikenakan terhadap Ikhwan Kuslimin adalah salah yang tidak berdasarkan undang undang negara. Tahun 1951 ia diminta oleh warga Ikhwan Muslimin supaya memusatkan perhatiannya kepada dakwah Islam dan membantu Hasan Al-Banna dalam pegerakan Ikhwan Muslimin, permintaan itu diterima oleh abdul Qadir, Semua jawatan dalam kerajaan dilepaskan, kemusian dimulainya dengan mendirikan perpustakaan yang beroriantasikan bidang perundangan atau hukum. Maka tidak lama kemudian bintangnya terserlah sehinga mengalahkan sarjana2 undang2 lainnya. Dimasa pemerintahan Jendral Najib ia dilanti sebagai anggota Perancang Undang-Undang Nasaional Mesir, maka dengan penuh ketekunan ia berusaha untuk menjadikan Al-Quran sebagai perlembagaan negara, Tahun 1953 pemerintah Libya memberi kepercayaan kepadanya untuk menggubal undang-undang dan perlembagaan negara Libya berdasarkan nasnas Al-Quran. Tahun 1954 dengan kuasa pemerintah Gamal Abdul Nasir Mujahid terkenal ini dihukum gantung, kerana gerakan perjuangannya tidak kenal erti takut dalam menegakkan hukum Allah, hukum Al-Quran sebagai satu-satunya hukum yang kekal abadi. Kekejaman Gamal Abdul Nasir diterimanya dengan lapang dada dan bertawakkal. Maka sewaktu keluar dari penjara untuk ke tali gantung, kelihatan wajahnya berseri seri tanda keiklasan, sebulum menjejakkan kaki ketiang pergantungan ia masih sempat meluahkan kata2 kepada sidang hadirin yang

menyaksikan peristiwa kejam dan terkutuk itu dengan suntikan semangat perjuangan yang berterusan walaupun ianya sudah tiada. dalam untaian katakata yang terakhir itu ia menyatakan: "Darahku akan melaknat tuan2, sedikitpun aku tidak ragu dan tidak bimbang, apakah aku mati ditempat tidur, ataukah aku mati di medan perang, aku mati ditahanan ataukah aku mati dalam kebebasan, sebab aku akan bertemu dengan Tuhanku." Mudahan roh beliau ditempatkan ditempat yang layak, amalnya diterima Allah, sejarah perjuangannya dapat membangkitkan semangat mujahidin " diantara orang2 mukmin, ada sekelompok manusia yang benar2 telah berjanji kepada Allah untuk berjuang, diantaranya ada yang telah kembali ke Rahmat Allah dan sebahagiannya masih menanti" (Al-Ahzab:23)

Rabu, 22 Desember 2010Pidana Mati (Komparasi Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif) Kriteria Eksekusi Mati Ruang lingkup pidana mati dalam hukum Islam mencakup tiga bagian yaitu: had, qisas, dan tazir[1]. Hasbi as-Shiddiqie menyimpulkan bahwa diantara perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana mati secara had, ialah: merampok, atau membegal, berzina (jika yang berzina itu muhshan), dan riddah.[2] Hukuman mati dalam katagori qisas adalah pembunuhan sengaja. Menurut para ahli fiqh hal ini wajib dijatuhkan hukuman qisas atas pelaku apabila terpenuhi syarat-syarat qisas berdasarkan nash-nash yang telah disebut dan lain-lain terkecuali jika wali orang yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman qisas.[3] Dalam kategori tazir menurut ulam Hanafiyah tidak terbatas dalam sekedar mencambuk atau memenjarakan saja bahkan ada kalanya tazir merupakan hukuman mati, yaitu bila keadaan atau peristiwa menghendaki demikian. Pendapat Hanafiyah ini disetujui pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ibnul Qayyim. Kedua ulama ini adalah ulama besar dikalangan Hanbaliyah. Dan disetujui pula oleh ulama golongan Malikiyah, dan sebagian ulama Syafiiyah.[4] Hasbi as-Shiddiqie berpendapat bahwa hakim boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai tazir, karena memang ada perbuatan pidana yang lebih berbahaya daripada jarimah hudud dan jarimah qishas, seperti menimbulkan kekacauan dalam negeri, mengancam keselamatan agama dan aqidah dan menjadi mata-mata musuh.[5] Dalam hukum Islam orang dapat dijatuhi hukuman mati disebabkan kejahatankejahatan berat yang sifatnya melanggar kepentingan umum, ketertiban umum, keseragaman bermasyarakat seperti membunuh seseorang dengan sengaja, dan direncanakan tanpa alasan dan sebab yang dapat diterima oleh akal sehat dan hukum yang ada dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dibutuhkan suatu hukum.[6] Hukuman mati merupakan suatu nestapa dan rasa sulit yang ditimpakan pada anggota badan manusia yang melakukan tindak pidana atau pada kehormatan harta benda. Hukum mati dalam syariat Islam sudah dilaksanakan sejak dahulu. Hukum ini dijatuhkan pada tindak kejahatan yang berat. Secara umum tindak pidana dibagi kedalam empat kelompok[7] hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk dan rajam sampai mati. Membatasi kebebasan meliputi hukuman penjara, atau mengirim si terhukum ke pembuangan atau pengasingan. Membayar denda atau diyat hukuman peringatan yang diberikan oleh hakim (qadhi).

Kriteria hukuman mati dalam hukum pidana Islam seperti yang mencakup jarimah hudud rajam,[8] adalah suatu bentuk hukuman paling berat dalam hukum pidana Islam, seharusnya hukum ini ditetetapkan secara jelas dan kongkrit dalam al-Quran, akan tetapi al-Quran tidak menyebutkan sebagai sanksi hukum. Dengan demikian hukum rajam tidak dapat diberlakukan[9] Hukuman mati untuk pelaku hirabah (penyamunan) yang disertai pembunuhan hal ini dikategorikan dengan qatuttariq yaitu sekelompok manusia yang berbuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, kehormatan, tatanan serta membuat kekacauan di muka bumi. Hal ini didasarkan atas firman Allah dalam surat al-Maidah ayat (33) namun cara pelaksanaannya dipertentangkan oleh ulama.[10] Al-baghy (pemberontak) sering diartikan sebagai keluarnya seorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang dimaksud al-baghy (pemberontak) adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam denga cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan. Sedangkan madzhab Maliki mengartikan al-baghy sebagai penolakan untuk mentaati imam dengan jalan kekuatan. Mereka menafsiarkan bughat sebagai kelompok orang-orang Islam yang menentang imam dan wakil-wakilnya.[11] Hukum bunuh bagi bughat dipahami oleh sebagian ulama sebagai serangan balik dan hanya ditujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya. Memerangi pemberontak hukumnya adalah wajib, karena menegakkan hukum Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surah al-Hujarat ayat 9[12] Jika salah satu dari golongan berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada printah Allah).. Sedangkan hukuman mati untuk riddah[13] didasarkan atas sabda Rasulullah: barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. Adapun ketentuan diantara para ahli hukum Islam bahwa tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang karena pernyataan Nabi ketika orang yang mengganti agamanya harus dihukum mati, hal itu terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (penghianatan negara), maka orang yang melakukan desersi diperintahkan untuk dibunuh. Itupun diawali dengan upaya untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam.[14] Sedang menurut A. Hanafi, Qisas adalah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau dia membunuh, dianiaya kalau dia menganiaya, jadi hukum ini dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja[15]

Pembunuhan dengan sengaja dikenai hukuman mati, hal ini masuk dalam kategori qishash. Adapun dasar hukum qishash dalam al-Quran dalam surah al-Baqarah 178- dan 179. Qishash adalah diwajibkan atas orang-orang yang melakukan pembunuhan sengaja. Bukan untuk membela diri, agama, keturunan, harta benda, dan akal pikiran bukan dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia waras, sadar, baligh, serta ia orang merdeka dan bukan hamba sahaya. Qishash adalah hukum yang diwajibkan Allah SWT yang terdapat dalam agama-agama lain yang diwahyukan Tuhan kepada manusia, hukum tersebut ada dalam kitab Taurat, Injil, dan al-Quran. Qishash adalah melenyapkan gangguan yang dihadapi oleh manusia dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia merusak di atas permukaan bumi dan mengadakan kerusakan.[16] Demikian hukum Qishash termasuk kriteria hukuman mati. Hukum pidana Islam mempunyai dasar kemaslahatan, yaitu untuk melindungi masyarakat banyak. Demi tegaknya kemaslahatan maka ditegakkan hukuman mati berupa jarimah qishash. [17] Assayyid Sabiq berkomentar, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan hukum qisash mengandung beberapa pemikiran:[18] hukum qisash merupakan bentuk koreksi hukum jahiliah yang diskriminatif, adanya hukum alternatif, yaitu qisash, diyat, atau maaf, adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum qisash adanya sistem rekonsiliasi dalam sistem pemidanaan. Muhammad Syahrur berkomentar dalam teorinya, batas maksimal (halah al-had alala) mengatakan hukum qishash dalam al-Quran merupakan hukum yang tertinggi, sehingga hakim dalam kasus tertentu dapat menentukukan hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban atau walinya hukum diyat (ganti rugi), tazir berupa penjara atau bahkan pembebasan (maaf) merupakan hal yang sangat mungkin diterapkan dalam masalah pembunuhan. Kuncinya sanksi diterapkan secara kondisional.[19] Dalam Islam manusia dilarang melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, mengganggu ketenteraman umum membahayakan diri orang maupun orang lain seperti pembunuhan, penganiayaan Rasulullah bersabda Laa dhorara wa laa dhirorah.[20] Jadi hadis di atas menerangkan bahwa seseorang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam jarimah qishash jika orang melakukan sesuatu mengganggu kepentingan umum atau melakukan penganiayaan maka perbuatan ini diancam dengan penganiayaan juga. Jarimah tazir adalah jarimah yang diancam dengan tazir, jarimah tazir tidak terbatas ketentuan hukumnya ada kalanya berupa hukum pengasingan ada juga yang berupa hukuman mati. Tazir juga berupa memberi pengajaran (at-taddib) jarimah yang tidak termasuk dalam jarimah qishash dan hudud.[21] Atau dengan arti lain hukuman yang tidak

ditentukan bentuk dan jumlahnya yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT, maupun hak pribadi. Berdasarkan definisi di atas, Abdul Azis Amir ahli hukum pidana Islam di Mesir, mengatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana tazir, amat luas, baik yang berkaitan dengan hak Allah SWT maupun hak pribadi, sehingga tidak ada satupun nash yang menunjukkan jumlah batasan jarimah tazir tersebut. Menurutnya jarimah tazir defenisi dalam segala bentuk maksiat diluar jarimah hudud.[22] Yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakn hukum tazir tidak harus dibatasi, adalah amalan para sahabat terbukti bahwa mereka telah melakukan hukuman tazir melebihi hukum hadd. Yang demikian itu menunjukkan bahwa keputusan itu adalah as-syaru (dibolehkan)[23] Dasar Hukum Ada beberapa ayat al-Quran dan Hadis yang dijadikan pegangan dasar hukum dalam pelaksanaan hukuman mati. Adapun sanksi hukum yang dijatuhkan atas pembegal atau perampok yang mempergunakan senjata menurut jumhur ahli fiqh ditetapkan dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat (33). Adapun pegangan dalam menetapkan sanksi pidana Qisash: firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 178-179. Ayat ini menegaskan bahwa Allah menegaskan atas para mukmin supaya melaksanakan hukum Qisash berkenaan dengan orang yang dibunuh orang-orang merdeka, budak belian, baik mereka itu laki-laki atau perempuan.[24] Adapun ayat lain yang dijadikan dasar hukum pelaksaanaan hukuman mati dalam surah al-Maaidah: 45.]52[ Adapun dasar hukum pelaksanaan hukum rajam didasarkan atas hadis, yang dilontarkan dalam salah satu pidato Sayyidina Umar.[26] Adapun yang menjadi dasar hukum untuk jarimah riddah, yang menjadi hukuman pokok adalah hukuman mati, dan statusnya sebagai hukuman had. Hal ini didasakan pada hadis Nabi saw.]72[ ) : : ( Adapun dasar yang mengisyaratkan ancaman hukuman mati bagi kaum pemberontak adalah hadis Nabi menyebutkan.[28] ( ) Sedangkan dasar penetapan hukum rajam didasarkan atas hadis Nabi:[29]

Tujuan Pemidanaan. Dalam Islam suatu hukum diterapkan dengan mempunyai tujuan yaitu tercapainya kemaslahatan manusia meskipun hukuman tersebut tidak disenangi. Dalam hukum pidana Islam tujuan pemidanaan terbagi menjadi 2 tujuan pokok: preventif (pencegahan) dalam istilah arab disebut al- radu waz-Zajru dan tujuan edukatif (pengajaran) atau al-islah wat-tadib[30] Tujuan preventif artinya menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang supaya tidak melakukan tindak pidana (jarimah). Tujuan yang ingin dicapai dari tujuan preventif ini untuk mengurangi kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada dalam masyarakat. Dalam tujuan preventif seperti jarimah bagi peminum khamar atau narkoba, jika hukuman peminum khamar sampai pada hukuman mati, hal ini harus mempunyai tujuan yaitu supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana. Karena dengan hukuman mati maka orang akan berfikir lebih dahulu untuk melakukan tindak kejahatan. Tujuan edukatif artinya untuk melakukan pelajaran bagi pelaku jarimah, agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dasar penjatuhan hukuman adalah rasa keadilan dan melindungi masyarakat, rasa keadilan menghendaki agar suatu hukum harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku tersebut. Selain ancaman pidana mati maka diadakan rehabilitasi terhadap mereka yang melakukan tindak pidana, supaya mereka pelaku kejahatan sadar akan perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum Islam tujuan diterapkannya hukum adalah demi terciptanya kemaslahatan umat manusia, dan memberi keadilan terhadap masyarakat. Jika hukum tersebut pantas diterapkan dan membawa masyarakat ke dalam keadaan damai dan tenteram, maka hukum haruslah dilaksanakan dengan adanya tujuan penerapan pidana mati maka suatu hukuman akan terfokus pada hukuman tersebut. Karena suatu hukum harus mempunyai tujuan, jika hukuman tanpa tujuan suatu hukum akan sia-sia. Menurut Abdul Qadir Audah, bahwa prinsip hukuman dalam Islam, dapat disimpulkan dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan terpidana dengan mengabaikan pribadi terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana yang bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana

bertujuan untuk memperbaiki sikap dan prilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya, hukuman bagi segala bentuk tindak pidana terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketenterman masyarakat yang menghendaki.[31] Syarat-Syarat Penerapan Pidana Mati Suatu konsekwensi yang tidak bisa dihindarkan dari dari asas legalitas adalah asas praduga tak bersalah (principle of law fullness/ prseumption of innosence), menurut asas ini, semua perbuatan boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh nash hukum. Selanjutnya, setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa keraguan. Jika suatu karaguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebasakan.[32] Konsep tersebut telah dilembagakan oleh Islam jauh mengenalnya sebelum hukum pidana positif. Empat belas abad yang silam Rasulullah bersabda: Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tapa adanya keraguan.[33] Hukuman dalam Islam diterpakan setelah terpenuhinya beberapa unsur baik yang bersifat umum maupun khusus.[34] Ketentuan ini diberlakukan karena hukuman dalam Islam dinggap sebagai suatu tindakan ikhtiyat, bahkan hakim dalam Islam harus menegakkan dua prinsip: hindari hukuman hadd dalam perkara yang mengandung unsur subhat, dan seorang imam atau hakim lebih baik salah memaafkan daripada salah menjatuhkan hukuman.[35] Dalam penerapan pidana mati harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, tidak boleh tidak jika tidak memenuhi syarat-syarat jika tidak memenuhi syarat maka hukuman mati dapat dibatalkan. Dalam hukum pidana Islam syarat-syarat hukuman mati (qishash) yaitu:[36] Orang terbunuh terlindungi darahnya, pelaku pembunuhan sudah baligh dan berakal, pembunuh dalam kondisi bebas memilih (tidak dipaksa), pembunuh bukan orang tua si terbunuh dan pembunuh sederajat dan tidak ada orang lain yang ikut membantu pembunuh di antara orang-orang yang wajib dikenai hukum qishas A 1. Orang terbunuh terlindungi darahnya, Artinya orang Islam yang sudah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak terlindungi

darahnya mereka wajib dibunuh misal orang kafir harbi, orang zina muhson, orang murtad dan orang yang membunuh. Ac 2. Pelaku pembunuh baligh dan berakal. Hukum qishash tidak berlaku bagi anak kecil, orang gila dan orang yang terganggu jiwanya, karena mereka tidak terkena taklif syari dan tidak mempunyai tujuan benar dan keinginan bebas. Ac. 3. Pembunuh dalam kondisi bebas memilih (tidak dipaksa). Imam Syafii berpendpat bahwa mendapat hukuman mati (qishash) adalah mendapat perintah adalah bukan orang yang memerintah. Sedangkan imam Malik dan imam Ahmad bin Hambal mengatakan: baik orang yang diperintah dan orang yang memerintah keduaduanya dihukum mati apabilia walinya tidak memaafkan.[37] Ac 3. Pembunuh bukan orang tua si terbunuh. Orang tua tidak di qishash membunuh anaknya, cucunya atau keturunannya ke bawah sekalipun disengaja akan tetapi bila anak membunuh orang tuanya, maka secara konsensus maka ia wajib di hukum mati, sebab orang tua penyebab hidup si anak. Dengan landasan hadis sebagai berikut: Laa yaqtulu al-walada bi al-waalidi[38] Ac 5. Ketika terjadi pembunuhan antara terbunuh dan pembunuh sederajat. Kesamaan derajat artinya terletak pada bidang agama dan kemerdekaan. Jika orang Islam membunuh orang kafir maka tidak dapat di hukum qishash, karena dalam hal ini tidak ada kesamaan derajat antara orang yang membunuh dan orang yang dibunuh. Akan tetapi jika orang kafir membunuh orang Islam, atau hamba sahaya membunuh orang merdeka mereka dihukum qishash. Allah berfirman: Wakatabna alaikum fiha ani nnafs[39] La yaqtulu muminun bi kaafirin[40] Ac 6. Tidak ada orang lain yang membantu membunuh diantara orang-orang yang wajib dikenai qishash. Jika terjadi pembunuhan kerja sama antara orang yang membunuh secara sengaja dan orang yang membunuh secara kesalahan, atau antar orang mukallaf dan orang bukan mukallaf. Maka tidak wjib dikenakan hukum qishash pada salah satu antara keduanya. Sebagai gantinya mereka wajib dikenai diyat. Dengan contoh di atas imam Malik dan as-Syafii tidak menyetujuinya, maka keduanya tetap dikenai hukum qishash bagi orang mukallaf dan bagi orang yang bukan mukallaf dikenai diyat.[41]

Pelaksanaan hukuman mati untuk jarimah tazir dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya dengan syarat-syarat sebagai berikut. Bila pelaku residivis yang tidak mempan dengan hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan yang menyebar di muka bumi. Prosesi Pelaksanaan Eksekusi Mati dan Pertimbangan-Pertimbangan Hukum. Para fukaha telah sepakat bahwa pelaksanaan hukuman had harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjukya). Hal ini disebabkan hukuman had itu merupakan hak Allah (masyarakat) dan sudah selayaknya apabila dilaksanakan oleh imam selaku wakil dari masyarakat.]25[ Untuk pelaku perampokan yang disertai dengan pembunuhan yang didasarkan atas firman Allah dalam surah al-Maidah ayat (33). Menurut imam Abu Hanifah dengan memfungsikan huruf atf aw litanwi artinya perincian. Bila mengambil harta dan membunuh maka dia disalib, tapi dia tidak mengambil harta tapi dia membunuh maka dia dibunuh, maka bila dia mengambil harta dan tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang, bila hanya menakut-nakuti, maka dia hanya di penjara. Menurut Imam Malik, sanksi pidana ini diserahkan pada imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Menurut Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Zaidiyah, bagi pelaku yang mengambil harta dan membunuh maka hukumannya adalah dihukum mati dan disalib. Sedangkan Imam Abu Hanifah, ulil amri dapat memilih apakah dipotong tangan dan kakinya dulu, ataukah disalib saja. Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa aw di atas berfungsi sebagai takhyir (pilihan) maka imam boleh memilih antara empat hukuman yang ditentukan dalam alQuran yaitu: hukuman mati, salib, potong tangan secara bersilang ataukah hukuman pengasingan. Namun tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ditentukan dalam ayat di atas.[43] Pelaksanaan hukuman pezina muhsan yaitu dera atau dirajam (dilempari sampai mati dan disaksikan orang banyak), Kehadiran seorang imam (kepala negara) tidaklah menjadi syarat dalam pelaksanaan hukuman. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. selalu memerintahkan kepada para sahabat dan beliau tidak ikut menghadiri pelaksanaan hukuman tersebut seperti hadis Maiz dan lainnya. Akan tetapi, persetujuan imam selalu diperlukan dalam pelaksanaan hukuman ini. hukuman had harus dilaksanakan secara terbuka dimuka umum sesuai denga firman Allah dalam surah An-Nur ayat 2[44] Adapun teknik eksekusi rajam apabila itu laki-laki, hukuman dilakukan dengan berdiri yanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa di pegang atau di ikat hal ini didaasarkan pada hadis Rasulullah ketika merajam Maiz dan orang Yahudi: Dari Abi Said

ia berkata. Ketika Rasulullah Saw memerintahkan kepada kami untuk merajam Maiz ibnu Malik maka kami membawanya ke Baqi. Demi Allah kami tidak memasukkannya ke dalam lubang dan tidak pula mengikatnya. Melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang[45] Apa bila melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan, maka ia tak perlu dikejar dan hukumannya dihentikan. Akan tetapi, apa bila pembuktiannya dengan saksi maka ia harus dikejar, dan selanjutnya hukumannya diteruskan sampai ia mati. Apabila yang dirajam itu wanita maka, menurut Iamam Abu Hanifah dan Imam SyafiI, ia boleh dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu menutupi auratnya. Adapu menurut madzhab Maliki dan pendapat yang rajih dari mazhab Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya dengan laki-laki.[46] Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau pejabat yang ditunjuknya, dan diteruskan oleh masyarakat. Namun ulama yang lainnya tidak mensyaratkan demikian[47] Hukuman rajam ini boleh dilaksanakan pada setiap saat dan musim, baik pada musim panas atau dingin, dalam keadaan sehat atau sakit, karena hukuman ini berakhir pada kematin. Akan tetapi, apabila yang terhukum itu adalah wanita yang sedang hamil maka pelaksanaan hukuman di tunda sampai ia melahirkan. Hal ini karena apabila hukuman tetap dilaksanakan, berarti menghukum juga bayi yang masih dalam kandunganya[48] Hukuman rajam ini menjadi perdebatan dikalangan Ulama, sekalipun bersumber dari khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mutazilah dan sebagian fukaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk) adapun alasan mereka yang menolak rajam adalah: hukum rajam adalah hukum yang paling berat diantara hukum yng ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al Quran. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mesti dilegalkan secara defenitif dalam nash. Hukuman bagi hamba sahaya separuh dari orang merdeka, kalau hukuman rajam dianggap hukuman mati, apa ada hukuman separuh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25: Jika para budk yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separuh dari wanita merdeka. Adapun jarimah qishas, ada pemilik hak qisash (waliyuddam), dan menurut jumhur ulama, yang terdiri atas Hanafiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafiiyah, adalah setiap ahli waris, baik dzawil furudh, maupun asabah yang laki-laki saja.[49]

Dalam keadaan ahli waris banyak sifat pemilikan qisash diperselisihkn oleh para ulama. Menurut imam Malik dan Imam Abu Hanifah hak qisash merupakan hak yang sempurna dan mandiri bagi setiap ahli waris, hal ini karena hak tersebut merupakan hak ahli waris sejak awal dengan meninggalnya korban.[50] Menurut Syafiiyah Hanabilah, Imam Muhammad bin Hasan, dan Imam Abu Yusuf, hak qisash merupakan hak bersama dari semua ahli waris. Hal ini pada awalnya hak qisash adalah hak korban. Dengan meninggalnya korban, ia tidak bisa melaksanakan sendiri haknya, sehingga harus digantikan oleh ahli waris yang memiliki hak itu secara bersamasama, sebagaimana mereka memiliki harta warisan bersama-sama.[51] Di kalangan fuqaha tidaka ada kesepakatan mengenai cara atau teknik peleksanaan hukum qisas. Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari kelompok Hanabilah, qisash pada jiwa harus dilaksanakan pada pedang, baik tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan pedang ataupun dengan alat yang lainnya, bagaimanapun bentuk perbuatannya. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Bazzar, Baihaqi dan Daruquthni dari Numan dan Ibnu Basyir, Bahwa Rasulullah saw. bersabda: [52] Menurut Malikiyah dan Syafiiyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqisash (dibunuh) sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh si korban dan cara yang digunakannya. Apabila ia membunuh dengan pedang maka ia juga harus dibunuh dengan pedang, apabila ia membunuh dengan cara membakar korban maka ia juga harus diqisash dengan cara dibakar. Namun demikian apabila wali korban mengubah pikirannya dengan mengqisash menggunakan pedang, hal itu dibolehkan. [53] Pendapat Hanabilah yang menyatakan tentang penggunaan pedang sebagai alat pelaksanaan qisash, tampaknya lebih manusiawi dibandingkan dengan pendapat Malikyah dan Syafiiyah. Hal ini karena dalam pendapat Malikiyah dan Syafiiyah tersebut terkesan adanya penyiksaan terhadap terhukum. Penggunaan pedang sebagai alat pelaksanaan hukuman qisash yang dikemukakan oleh Hanafiyah tersebut, didasarkan atas asumsi bahwa pedang merupakan alat yang dianggap cepat mematikan, sehingga terhukum tidak merasa disiksa. Dari asumsi tersebut dapat dikemukakan, apabila terdapat alat yang menurut dugaan dianggap lebih cepat mematikan, dapat pula digunakan sebagai alat untuk melaksanakan hukuman qisash. Contohnya seperti yang dikemukakan Abdul Qadir Audah, yang mengutip dari Lajnah Fatwa Al-Azhar dengan kursi listrik, hukuman gantung, dan lain-lain[54] Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai tazir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula

yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.[55] Dalam hukum pidana Islam hukuman yang telah dijatuhkan dapat ditunda, dibatalkan atau masih dapat dipertimbangkan, baik itu dalam jarimah qisash, tazir dengan ketentuan sebagai berikut. Segi penundaan: Penundaan eksekusi mati dalam Islam adalah wanita hamil sampai melahirkan, dan membesarkan anaknya. Hal ini terlihat ketika seorang perempuan dari suku Gamid datang menghadap Rasulullah dan berkata bersihkanlah saya, karena saya telah mngandung akibat perzinaan, kemudian Rasulullah menunda sampai anaknya lahir, dan katika anaknya lahir Rasulullah menunda lagi sampai anaknya besar, dan barulah beliau memerintahkan untuk melaksanakan eksekusi mati[56] Mengenai batas waktu penundaan eksekusi mati terhadap perempuan yang sedang hamil terdapat beberapa pendapat fukaha yang berbeda. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa penundaan tersebut sampai wanita menyelesaikan masa nifasnya, meskipun hukuman yang dijalani berupa hukumn jilid. Imam Syafii menyatakan bahwa apabila terpidana mati adalah seorang perempuan yang dalam keadaan hamil maka eksekusi pidana mati atas dirinya ditunda sampai dia melahirkan atau adanya bukti yang menyatakan bahwa dia tidak hamil. Sedangkan menurut Imam Malik bahwa penundaan eksekusi mati terhadap wanita hamil adalah sampai wanita tersebut melahikan, megenai masa nifas maka dia menganggap itu adalah penyakit, maka hukuman juga ditunda. Apabila setelah anaknya lahir, tidak ada perempuan yang bersedia untuk memberi air susu terhadap anak yang dilahirkan terpidana, maka eksekusi mati tidak boleh dilaksanakan. Namun apabila ada perempuan lain yang bersedia untuk menyusukan maka waktu penundaan eksekusi mati sampai anak berusia dua tahun.[57] Jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada di tempat. Dalam hal dewasa ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak ada di tempat ditunggu sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman qisash menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili mustahik tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena qisash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untuk menghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali.[58]

Apabila mustahik qishash itu banyak dan semuanya sudah dewasa berakal sehat dan hadir di tempat, masing-masing ahli waris memiliki kekuasaan untuk melaksanakan hukuman qisash. Dengan demikian, apabila salah seorang dari mereka melaksanakannya, qishash itu telah mencukupi ahli waris. Akan teapi, apabila mustahik qisash itu terdiri dari orang dewasa dan anak dibawah umur, atau diantara mereka ada yang gila atau sedang bepergian, maka seperti yang dikatakan di atas, masalah ini diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan qisash tetap dilaksanakan oleh orang dewasa, tetapi ada pula yang mengatakan harus menunggu sampai anak tersebut dewasa, atau sembuh dari gila, atau kembali dari bepergian. [59] Dalam jarimah tazir, seorang penguasa diberi hak untuk menentukan hukuman si pelaku, dengan syarat tidak mengganggu hak-hak si korban. Si korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadi si korban. Jika jarimah-jarimah tersebut menyinggung hak masyarakat maka pengampunan yang diberikan si korban tidak menghapusakan hukuman sama sekali, kecuali sekedar untuk meringankan hukuman si pelaku. Seorang hakim mempunyai kekuasaan yang luas pada jarimah tazir. Dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan hukuman.

Had ialah hukuman terbatas dan tertentu yang dilaksanakan hak Allah. Qishas adalah hukuman terbatas, tertentu dan setimpal dengn yang diperbuat sebagai hak pribadi, sebagai hak orang madzhlum (orang yang teraniaya) orang yang terkena atau walinya. Dan mereka ini boleh memberi maaf apabila mereka kehendaki. Dengan diberinya maaf itu, gugurlah sanksi pidana yang harus dijatuhi atas pelaku kejahatan. Sedangkan tazir adalah hukuman yang tidak terbatas dan tidak tertentu yang diserahkan kepada pertimbangan hakim. Lihat Hasbi Asshiddiqie, Pidana Mati Dalam Syariat Islam. Hal. 5-7.[1] [2] [3] [4] [5] [6]

Ibid. hal. 16 Ibid. hal. 19 Ibid. hal. 28 Ibid. hal. 28 Nur Wahidah. Pidana Mati Dalam Islam (Surabaya: al- Ikhlas, 1994) hal. 16

[7]

Abdurrahman Doi, Inilah Syariat Islam (Jakarta: Panji Mas, 1991) cet.I hal.

322 Dari segi bahasa adalah melempari batu sedangkan menurut istilah berarti melempari pezina muhshan sampai menemui ajalnya. Lihat Abu Zahrah, Al-Jarimah Waal-Uqubah Fi Alfiqh Al-Islam, (Beirut: Dar al-fikr, t.t.), II: hal. 109[8]

Abedul Salam Arif. Eksistensi Hukum Rajam Dalam Pidana Islam (Yogyakarta HMJ JS, 1999) hal 14.[9]

Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, Cet. I 2004). hal. 118[10] [11] [12]

Ibid. hal. 122 Ibid. hal. 123

[13] Dari segi bahasa berarti rujuk (kembali). Menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya disebut murtad. Yakni secara berani menyatakan kafir setelah beriman. Para ulama beragam dalam menetapka batasan tentang perbuatan riddah. Riddah dapat dilakukan dengan perbuatan (atau meninggalkan perbuatan), dengan ucapan, dengan Itikad yang dimaksud dengnan murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan haram dengan menganggapnya tidak haram atau atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggap perbuatan tidak wajib, misal sujud kepada matahari, atau bulan, atau berbuat zina dan menganggap zina bukan perbuatan haram. Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang, adapun murtad dengan Itikad adalah Itikad langgengnya alam, Allah sama dengan makhluk. Tetapi Itikad semata-mata tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum membuktikan dengan bentuk ucapan atau perbuatan. Lihat Makhrus Munajat hal. 126 [14] [15] [16]

Ibid. Hal. 128 A. Hanafi . Asas-Asashal. 3004

Fuad Mochammad Fachruddin, Islam Berbicara Hukuman Mati. (Jakarta: Mutiara, 1981) Hasbi as-Shiddiqie. Pidana Mati Dalam Syariat Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998)[17] [18]

As-Sayyid Sabiq Fiqh Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, II, 1992). Hal. 433. 138.

[19] Makhrus Munajat. hal.

Yahya Syarifuddin. An-Nawawi, Arbain an-Nawawiyah (Semarang: t.th) hal. 20. Hadis ini bernilai hasan dan diriwayatkan Ibnu Majah dan Ad-Daru Quthni dan Abu Said al-Khudry.[20]

Abdul Azis Dahlan, hal 1771. Hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukum had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakli (ulil Amri). Lihat Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakata: Logung Pustaka 2004), Cet. I. hal. 12[21] [22] [23]

Ibid hal. 1772.

RuwayI ar-Ruhayly. Fiqh Umar. Alih Bahasa: AM Basalama, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994) hal. 145[24]

Hasbi as-Shiddieqi. Pidana Mati hal. 10-12 Wardi Muslich. Hukum Pidana Hal. 136

[25]Ahmad [26] [27]

Ibid. hal. 54. Ibid. hal. 127. 124

[28] Makhrus Munajat. Dekonstruksihal. [29] [30]

Ibid. hal. 99 279. Lihat juga Makhrus Munajat.

A. Hanafi. Asas-Asashal Dekonstruksi.hal. 52-53.[31] Makhrus Munajat. Dekonstruksi [32] [33] [34]

hal. 54.

Ibid. Hal. 33-34 Ibid Hal. 35.

Unsur umum adalah unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah (delik), hal ini terdiari dari tiga, pertama ar-ruknu as-syari, yaitu adanya nash yang mengundangkannya, seperti firmanAllah, wamaa kunna muadzibiyna hatta nabasa rasula. Yaitu Allah tidak menyiksa seorang sebelum diutusnya ssorang rasul. Kedua a-ruknu al-madzi yaitu adanya perbuatan melanggar hukum. Ketiga ar-ruknu al-adzabi yaitu orang yang berbuat pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Lihat Abdul Qadir Audah. At-Tasyri Al-JinaI Al-Islami (Beirut: Dar al Fikr, tt), I hal. 111

[35] Makhrus Munajat. Hal. [36]

40.

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah (Kairo: Dar al-Fath li al-Ilam Al-Arabi 1990),

hal. 22-25[37] [38]

Ibid. hal. 22

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah 22 Fi bab la yuqtal al-walid bi al-waladih Hadis No. 2662 (mirs al-bab halabi wa syrkah) hal. 888[39] [40]

Al-Maidah (5): 45 Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majahhal. 888. Sabiq. Fiqh Sunnahhal. 28.

[41] Sayyid

[42] Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika. Cet. I),

hal. 57[43] Makhrus Munajat, Dekonstruksihal. [44] [45] [46]

118

Ahmad Wardi Muslich. Hal. 57 Ibid. Hal. 58.

Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiy, juz II, (Beirut: Da al-Kitab al-Arabi), hal. 445[47] [48] [49] [50] [51] [52] [53] [54] [55]

Ibid. hal. 446. Ibid. hal. 447 Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiyhal. 140 Ibid hal. 141 Ibid hal. 142 Ahmad Wardi Muslich. Hal. 158 Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiy.hal. 151 Ibid hal. 286 Ahmad Wardi Muslich. Hukumhal. 260.

[56]Makhrus Munajat. Dekonstruksihal. [57] [58] [59]

89

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum..hal. 344. Ahmad Wardi Muslich. Hal. 158 Ibid Hlm. 158

Pidana Mati (Komparasi Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif) Kriteria Eksekusi Mati Ruang lingkup pidana mati dalam hukum Islam mencakup tiga bagian yaitu: had, qisas, dan tazir[1]. Hasbi as-Shiddiqie menyimpulkan bahwa diantara perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana mati secara had, ialah: merampok, atau membegal, berzina (jika yang berzina itu muhshan), dan riddah.[2] Hukuman mati dalam katagori qisas adalah pembunuhan sengaja. Menurut para ahli fiqh hal ini wajib dijatuhkan hukuman qisas atas pelaku apabila terpenuhi syarat-syarat qisas berdasarkan nash-nash yang telah disebut dan lain-lain terkecuali jika wali orang yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman qisas.[3] Dalam kategori tazir menurut ulam Hanafiyah tidak terbatas dalam sekedar mencambuk atau memenjarakan saja bahkan ada kalanya tazir merupakan hukuman mati, yaitu bila keadaan atau peristiwa menghendaki demikian. Pendapat Hanafiyah ini disetujui pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Imam Ibnul Qayyim. Kedua ulama ini adalah ulama besar dikalangan Hanbaliyah. Dan disetujui pula oleh ulama golongan Malikiyah, dan sebagian ulama Syafiiyah.[4] Hasbi as-Shiddiqie berpendapat bahwa hakim boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai tazir, karena memang ada perbuatan pidana yang lebih berbahaya daripada jarimah hudud dan jarimah qishas, seperti menimbulkan kekacauan dalam negeri, mengancam keselamatan agama dan aqidah dan menjadi mata-mata musuh.[5] Dalam hukum Islam orang dapat dijatuhi hukuman mati disebabkan kejahatankejahatan berat yang sifatnya melanggar kepentingan umum, ketertiban umum, keseragaman bermasyarakat seperti membunuh seseorang dengan sengaja, dan direncanakan tanpa alasan dan sebab yang dapat diterima oleh akal sehat dan hukum yang ada dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dibutuhkan suatu hukum.[6] Hukuman mati merupakan suatu nestapa dan rasa sulit yang ditimpakan pada anggota badan manusia yang melakukan tindak pidana atau pada kehormatan harta benda.

Hukum mati dalam syariat Islam sudah dilaksanakan sejak dahulu. Hukum ini dijatuhkan pada tindak kejahatan yang berat. Secara umum tindak pidana dibagi kedalam empat kelompok[7] hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk dan rajam sampai mati. Membatasi kebebasan meliputi hukuman penjara, atau mengirim si terhukum ke pembuangan atau pengasingan. Membayar denda atau diyat hukuman peringatan yang diberikan oleh hakim (qadhi). Kriteria hukuman mati dalam hukum pidana Islam seperti yang mencakup jarimah hudud rajam,[8] adalah suatu bentuk hukuman paling berat dalam hukum pidana Islam, seharusnya hukum ini ditetetapkan secara jelas dan kongkrit dalam al-Quran, akan tetapi al-Quran tidak menyebutkan sebagai sanksi hukum. Dengan demikian hukum rajam tidak dapat diberlakukan[9] Hukuman mati untuk pelaku hirabah (penyamunan) yang disertai pembunuhan hal ini dikategorikan dengan qatuttariq yaitu sekelompok manusia yang berbuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, kehormatan, tatanan serta membuat kekacauan di muka bumi. Hal ini didasarkan atas firman Allah dalam surat al-Maidah ayat (33) namun cara pelaksanaannya dipertentangkan oleh ulama.[10] Al-baghy (pemberontak) sering diartikan sebagai keluarnya seorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang dimaksud al-baghy (pemberontak) adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam denga cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan. Sedangkan madzhab Maliki mengartikan al-baghy sebagai penolakan untuk mentaati imam dengan jalan kekuatan. Mereka menafsiarkan bughat sebagai kelompok orang-orang Islam yang menentang imam dan wakil-wakilnya.[11] Hukum bunuh bagi bughat dipahami oleh sebagian ulama sebagai serangan balik dan hanya ditujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya. Memerangi pemberontak hukumnya adalah wajib, karena menegakkan hukum Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surah al-Hujarat ayat 9[12] Jika salah satu dari golongan berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada printah Allah).. Sedangkan hukuman mati untuk riddah[13] didasarkan atas sabda Rasulullah: barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. Adapun ketentuan diantara para ahli hukum Islam bahwa tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang karena pernyataan Nabi ketika orang yang mengganti agamanya harus dihukum mati, hal itu terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (penghianatan negara), maka orang yang melakukan desersi diperintahkan untuk dibunuh.

Itupun diawali dengan upaya untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam.[14] Sedang menurut A. Hanafi, Qisas adalah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas setimpal dengan perbuatannya, dibunuh kalau dia membunuh, dianiaya kalau dia menganiaya, jadi hukum ini dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja[15] Pembunuhan dengan sengaja dikenai hukuman mati, hal ini masuk dalam kategori qishash. Adapun dasar hukum qishash dalam al-Quran dalam surah al-Baqarah 178- dan 179. Qishash adalah diwajibkan atas orang-orang yang melakukan pembunuhan sengaja. Bukan untuk membela diri, agama, keturunan, harta benda, dan akal pikiran bukan dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia waras, sadar, baligh, serta ia orang merdeka dan bukan hamba sahaya. Qishash adalah hukum yang diwajibkan Allah SWT yang terdapat dalam agama-agama lain yang diwahyukan Tuhan kepada manusia, hukum tersebut ada dalam kitab Taurat, Injil, dan al-Quran. Qishash adalah melenyapkan gangguan yang dihadapi oleh manusia dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia merusak di atas permukaan bumi dan mengadakan kerusakan.[16] Demikian hukum Qishash termasuk kriteria hukuman mati. Hukum pidana Islam mempunyai dasar kemaslahatan, yaitu untuk melindungi masyarakat banyak. Demi tegaknya kemaslahatan maka ditegakkan hukuman mati berupa jarimah qishash. [17] Assayyid Sabiq berkomentar, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan hukum qisash mengandung beberapa pemikiran:[18] hukum qisash merupakan bentuk koreksi hukum jahiliah yang diskriminatif, adanya hukum alternatif, yaitu qisash, diyat, atau maaf, adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum qisash adanya sistem rekonsiliasi dalam sistem pemidanaan. Muhammad Syahrur berkomentar dalam teorinya, batas maksimal (halah al-had alala) mengatakan hukum qishash dalam al-Quran merupakan hukum yang tertinggi, sehingga hakim dalam kasus tertentu dapat menentukukan hukum yang lebih rendah atas persetujuan si korban atau walinya hukum diyat (ganti rugi), tazir berupa penjara atau bahkan pembebasan (maaf) merupakan hal yang sangat mungkin diterapkan dalam masalah pembunuhan. Kuncinya sanksi diterapkan secara kondisional.[19] Dalam Islam manusia dilarang melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, mengganggu ketenteraman umum membahayakan diri orang maupun orang lain seperti pembunuhan, penganiayaan Rasulullah bersabda Laa dhorara wa laa dhirorah.[20]

Jadi hadis di atas menerangkan bahwa seseorang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam jarimah qishash jika orang melakukan sesuatu mengganggu kepentingan umum atau melakukan penganiayaan maka perbuatan ini diancam dengan penganiayaan juga. Jarimah tazir adalah jarimah yang diancam dengan tazir, jarimah tazir tidak terbatas ketentuan hukumnya ada kalanya berupa hukum pengasingan ada juga yang berupa hukuman mati. Tazir juga berupa memberi pengajaran (at-taddib) jarimah yang tidak termasuk dalam jarimah qishash dan hudud.[21] Atau dengan arti lain hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT, maupun hak pribadi. Berdasarkan definisi di atas, Abdul Azis Amir ahli hukum pidana Islam di Mesir, mengatakan bahwa ruang lingkup tindak pidana tazir, amat luas, baik yang berkaitan dengan hak Allah SWT maupun hak pribadi, sehingga tidak ada satupun nash yang menunjukkan jumlah batasan jarimah tazir tersebut. Menurutnya jarimah tazir defenisi dalam segala bentuk maksiat diluar jarimah hudud.[22] Yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakn hukum tazir tidak harus dibatasi, adalah amalan para sahabat terbukti bahwa mereka telah melakukan hukuman tazir melebihi hukum hadd. Yang demikian itu menunjukkan bahwa keputusan itu adalah as-syaru (dibolehkan)[23] Dasar Hukum Ada beberapa ayat al-Quran dan Hadis yang dijadikan pegangan dasar hukum dalam pelaksanaan hukuman mati. Adapun sanksi hukum yang dijatuhkan atas pembegal atau perampok yang mempergunakan senjata menurut jumhur ahli fiqh ditetapkan dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat (33). Adapun pegangan dalam menetapkan sanksi pidana Qisash: firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 178-179. Ayat ini menegaskan bahwa Allah menegaskan atas para mukmin supaya melaksanakan hukum Qisash berkenaan dengan orang yang dibunuh orang-orang merdeka, budak belian, baik mereka itu laki-laki atau perempuan.[24] Adapun ayat lain yang dijadikan dasar hukum pelaksaanaan hukuman mati dalam surah al-Maaidah: 45.]52[ Adapun dasar hukum pelaksanaan hukum rajam didasarkan atas hadis, yang dilontarkan dalam salah satu pidato Sayyidina Umar.[26] Adapun yang menjadi dasar hukum untuk jarimah riddah, yang menjadi hukuman pokok adalah hukuman mati, dan statusnya sebagai hukuman had. Hal ini didasakan pada hadis Nabi saw.]72[

) : : ( Adapun dasar yang mengisyaratkan ancaman hukuman mati bagi kaum pemberontak adalah hadis Nabi menyebutkan.[28] ( ) Sedangkan dasar penetapan hukum rajam didasarkan atas hadis Nabi:[29] Tujuan Pemidanaan. Dalam Islam suatu hukum diterapkan dengan mempunyai tujuan yaitu tercapainya kemaslahatan manusia meskipun hukuman tersebut tidak disenangi. Dalam hukum pidana Islam tujuan pemidanaan terbagi menjadi 2 tujuan pokok: preventif (pencegahan) dalam istilah arab disebut al- radu waz-Zajru dan tujuan edukatif (pengajaran) atau al-islah wat-tadib[30] Tujuan preventif artinya menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang supaya tidak melakukan tindak pidana (jarimah). Tujuan yang ingin dicapai dari tujuan preventif ini untuk mengurangi kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada dalam masyarakat. Dalam tujuan preventif seperti jarimah bagi peminum khamar atau narkoba, jika hukuman peminum khamar sampai pada hukuman mati, hal ini harus mempunyai tujuan yaitu supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana. Karena dengan hukuman mati maka orang akan berfikir lebih dahulu untuk melakukan tindak kejahatan. Tujuan edukatif artinya untuk melakukan pelajaran bagi pelaku jarimah, agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dasar penjatuhan hukuman adalah rasa keadilan dan melindungi masyarakat, rasa keadilan menghendaki agar suatu hukum harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku tersebut. Selain ancaman pidana mati maka diadakan rehabilitasi terhadap mereka yang melakukan tindak pidana, supaya mereka pelaku kejahatan sadar akan perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum Islam tujuan diterapkannya hukum adalah demi terciptanya kemaslahatan umat manusia, dan memberi keadilan terhadap masyarakat. Jika hukum

tersebut pantas diterapkan dan membawa masyarakat ke dalam keadaan damai dan tenteram, maka hukum haruslah dilaksanakan dengan adanya tujuan penerapan pidana mati maka suatu hukuman akan terfokus pada hukuman tersebut. Karena suatu hukum harus mempunyai tujuan, jika hukuman tanpa tujuan suatu hukum akan sia-sia. Menurut Abdul Qadir Audah, bahwa prinsip hukuman dalam Islam, dapat disimpulkan dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan terpidana dengan mengabaikan pribadi terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana yang bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan prilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya, hukuman bagi segala bentuk tindak pidana terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketenterman masyarakat yang menghendaki.[31] Syarat-Syarat Penerapan Pidana Mati Suatu konsekwensi yang tidak bisa dihindarkan dari dari asas legalitas adalah asas praduga tak bersalah (principle of law fullness/ prseumption of innosence), menurut asas ini, semua perbuatan boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh nash hukum. Selanjutnya, setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa keraguan. Jika suatu karaguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebasakan.[32] Konsep tersebut telah dilembagakan oleh Islam jauh mengenalnya sebelum hukum pidana positif. Empat belas abad yang silam Rasulullah bersabda: Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tapa adanya keraguan.[33] Hukuman dalam Islam diterpakan setelah terpenuhinya beberapa unsur baik yang bersifat umum maupun khusus.[34] Ketentuan ini diberlakukan karena hukuman dalam Islam dinggap sebagai suatu tindakan ikhtiyat, bahkan hakim dalam Islam harus menegakkan dua prinsip: hindari hukuman hadd dalam perkara yang mengandung unsur subhat, dan seorang imam atau hakim lebih baik salah memaafkan daripada salah menjatuhkan hukuman.[35] Dalam penerapan pidana mati harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, tidak boleh tidak jika tidak memenuhi syarat-syarat jika tidak memenuhi syarat maka hukuman mati dapat dibatalkan. Dalam hukum pidana Islam syarat-syarat hukuman mati (qishash) yaitu:[36] Orang terbunuh terlindungi darahnya, pelaku pembunuhan sudah baligh

dan berakal, pembunuh dalam kondisi bebas memilih (tidak dipaksa), pembunuh bukan orang tua si terbunuh dan pembunuh sederajat dan tidak ada orang lain yang ikut membantu pembunuh di antara orang-orang yang wajib dikenai hukum qishas A 1. Orang terbunuh terlindungi darahnya, Artinya orang Islam yang sudah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak terlindungi darahnya mereka wajib dibunuh misal orang kafir harbi, orang zina muhson, orang murtad dan orang yang membunuh. Ac 2. Pelaku pembunuh baligh dan berakal. Hukum qishash tidak berlaku bagi anak kecil, orang gila dan orang yang terganggu jiwanya, karena mereka tidak terkena taklif syari dan tidak mempunyai tujuan benar dan keinginan bebas. Ac. 3. Pembunuh dalam kondisi bebas memilih (tidak dipaksa). Imam Syafii berpendpat bahwa mendapat hukuman mati (qishash) adalah mendapat perintah adalah bukan orang yang memerintah. Sedangkan imam Malik dan imam Ahmad bin Hambal mengatakan: baik orang yang diperintah dan orang yang memerintah keduaduanya dihukum mati apabilia walinya tidak memaafkan.[37] Ac 3. Pembunuh bukan orang tua si terbunuh. Orang tua tidak di qishash membunuh anaknya, cucunya atau keturunannya ke bawah sekalipun disengaja akan tetapi bila anak membunuh orang tuanya, maka secara konsensus maka ia wajib di hukum mati, sebab orang tua penyebab hidup si anak. Dengan landasan hadis sebagai berikut: Laa yaqtulu al-walada bi al-waalidi[38] Ac 5. Ketika terjadi pembunuhan antara terbunuh dan pembunuh sederajat. Kesamaan derajat artinya terletak pada bidang agama dan kemerdekaan. Jika orang Islam membunuh orang kafir maka tidak dapat di hukum qishash, karena dalam hal ini tidak ada kesamaan derajat antara orang yang membunuh dan orang yang dibunuh. Akan tetapi jika orang kafir membunuh orang Islam, atau hamba sahaya membunuh orang merdeka mereka dihukum qishash. Allah berfirman: Wakatabna alaikum fiha ani nnafs[39] La yaqtulu muminun bi kaafirin[40] Ac 6. Tidak ada orang lain yang membantu membunuh diantara orang-orang yang wajib dikenai qishash.

Jika terjadi pembunuhan kerja sama antara orang yang membunuh secara sengaja dan orang yang membunuh secara kesalahan, atau antar orang mukallaf dan orang bukan mukallaf. Maka tidak wjib dikenakan hukum qishash pada salah satu antara keduanya. Sebagai gantinya mereka wajib dikenai diyat. Dengan contoh di atas imam Malik dan as-Syafii tidak menyetujuinya, maka keduanya tetap dikenai hukum qishash bagi orang mukallaf dan bagi orang yang bukan mukallaf dikenai diyat.[41] Pelaksanaan hukuman mati untuk jarimah tazir dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya dengan syarat-syarat sebagai berikut. Bila pelaku residivis yang tidak mempan dengan hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan yang menyebar di muka bumi. Prosesi Pelaksanaan Eksekusi Mati dan Pertimbangan-Pertimbangan Hukum. Para fukaha telah sepakat bahwa pelaksanaan hukuman had harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjukya). Hal ini disebabkan hukuman had itu merupakan hak Allah (masyarakat) dan sudah selayaknya apabila dilaksanakan oleh imam selaku wakil dari masyarakat.]25[ Untuk pelaku perampokan yang disertai dengan pembunuhan yang didasarkan atas firman Allah dalam surah al-Maidah ayat (33). Menurut imam Abu Hanifah dengan memfungsikan huruf atf aw litanwi artinya perincian. Bila mengambil harta dan membunuh maka dia disalib, tapi dia tidak mengambil harta tapi dia membunuh maka dia dibunuh, maka bila dia mengambil harta dan tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang, bila hanya menakut-nakuti, maka dia hanya di penjara. Menurut Imam Malik, sanksi pidana ini diserahkan pada imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Menurut Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Zaidiyah, bagi pelaku yang mengambil harta dan membunuh maka hukumannya adalah dihukum mati dan disalib. Sedangkan Imam Abu Hanifah, ulil amri dapat memilih apakah dipotong tangan dan kakinya dulu, ataukah disalib saja. Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa aw di atas berfungsi sebagai takhyir (pilihan) maka imam boleh memilih antara empat hukuman yang ditentukan dalam alQuran yaitu: hukuman mati, salib, potong tangan secara bersilang ataukah hukuman pengasingan. Namun tidak boleh menggabungkan sanksi-sanksi yang ditentukan dalam ayat di atas.[43] Pelaksanaan hukuman pezina muhsan yaitu dera atau dirajam (dilempari sampai mati dan disaksikan orang banyak), Kehadiran seorang imam (kepala negara) tidaklah menjadi

syarat dalam pelaksanaan hukuman. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. selalu memerintahkan kepada para sahabat dan beliau tidak ikut menghadiri pelaksanaan hukuman tersebut seperti hadis Maiz dan lainnya. Akan tetapi, persetujuan imam selalu diperlukan dalam pelaksanaan hukuman ini. hukuman had harus dilaksanakan secara terbuka dimuka umum sesuai denga firman Allah dalam surah An-Nur ayat 2[44] Adapun teknik eksekusi rajam apabila itu laki-laki, hukuman dilakukan dengan berdiri yanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa di pegang atau di ikat hal ini didaasarkan pada hadis Rasulullah ketika merajam Maiz dan orang Yahudi: Dari Abi Said ia berkata. Ketika Rasulullah Saw memerintahkan kepada kami untuk merajam Maiz ibnu Malik maka kami membawanya ke Baqi. Demi Allah kami tidak memasukkannya ke dalam lubang dan tidak pula mengikatnya. Melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang[45] Apa bila melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan, maka ia tak perlu dikejar dan hukumannya dihentikan. Akan tetapi, apa bila pembuktiannya dengan saksi maka ia harus dikejar, dan selanjutnya hukumannya diteruskan sampai ia mati. Apabila yang dirajam itu wanita maka, menurut Iamam Abu Hanifah dan Imam SyafiI, ia boleh dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu menutupi auratnya. Adapu menurut madzhab Maliki dan pendapat yang rajih dari mazhab Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya dengan laki-laki.[46] Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau pejabat yang ditunjuknya, dan diteruskan oleh masyarakat. Namun ulama yang lainnya tidak mensyaratkan demikian[47] Hukuman rajam ini boleh dilaksanakan pada setiap saat dan musim, baik pada musim panas atau dingin, dalam keadaan sehat atau sakit, karena hukuman ini berakhir pada kematin. Akan tetapi, apabila yang terhukum itu adalah wanita yang sedang hamil maka pelaksanaan hukuman di tunda sampai ia melahirkan. Hal ini karena apabila hukuman tetap dilaksanakan, berarti menghukum juga bayi yang masih dalam kandunganya[48] Hukuman rajam ini menjadi perdebatan dikalangan Ulama, sekalipun bersumber dari khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mutazilah dan sebagian fukaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk) adapun alasan mereka yang menolak rajam adalah: hukum rajam adalah hukum yang paling berat diantara hukum yng ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al Quran. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mesti dilegalkan secara defenitif dalam nash.

Hukuman bagi hamba sahaya separuh dari orang merdeka, kalau hukuman rajam dianggap hukuman mati, apa ada hukuman separuh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat. Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25: Jika para budk yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separuh dari wanita merdeka. Adapun jarimah qishas, ada pemilik hak qisash (waliyuddam), dan menurut jumhur ulama, yang terdiri atas Hanafiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafiiyah, adalah setiap ahli waris, baik dzawil furudh, maupun asabah yang laki-laki saja.[49] Dalam keadaan ahli waris banyak sifat pemilikan qisash diperselisihkn oleh para ulama. Menurut imam Malik dan Imam Abu Hanifah hak qisash merupakan hak yang sempurna dan mandiri bagi setiap ahli waris, hal ini karena hak tersebut merupakan hak ahli waris sejak awal dengan meninggalnya korban.[50] Menurut Syafiiyah Hanabilah, Imam Muhammad bin Hasan, dan Imam Abu Yusuf, hak qisash merupakan hak bersama dari semua ahli waris. Hal ini pada awalnya hak qisash adalah hak korban. Dengan meninggalnya korban, ia tidak bisa melaksanakan sendiri haknya, sehingga harus digantikan oleh ahli waris yang memiliki hak itu secara bersamasama, sebagaimana mereka memiliki harta warisan bersama-sama.[51] Di kalangan fuqaha tidaka ada kesepakatan mengenai cara atau teknik peleksanaan hukum qisas. Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari kelompok Hanabilah, qisash pada jiwa harus dilaksanakan pada pedang, baik tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan pedang ataupun dengan alat yang lainnya, bagaimanapun bentuk perbuatannya. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Bazzar, Baihaqi dan Daruquthni dari Numan dan Ibnu Basyir, Bahwa Rasulullah saw. bersabda: [52] Menurut Malikiyah dan Syafiiyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqisash (dibunuh) sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh si korban dan cara yang digunakannya. Apabila ia membunuh dengan pedang maka ia juga harus dibunuh dengan pedang, apabila ia membunuh dengan cara membakar korban maka ia juga harus diqisash dengan cara dibakar. Namun demikian apabila wali korban mengubah pikirannya dengan mengqisash menggunakan pedang, hal itu dibolehkan. [53] Pendapat Hanabilah yang menyatakan tentang penggunaan pedang sebagai alat pelaksanaan qisash, tampaknya lebih manusiawi dibandingkan dengan pendapat Malikyah dan Syafiiyah. Hal ini karena dalam pendapat Malikiyah dan Syafiiyah tersebut terkesan adanya penyiksaan terhadap terhukum. Penggunaan pedang sebagai alat pelaksanaan

hukuman qisash yang dikemukakan oleh Hanafiyah tersebut, didasarkan atas asumsi bahwa pedang merupakan alat yang dianggap cepat mematikan, sehingga terhukum tidak merasa disiksa. Dari asumsi tersebut dapat dikemukakan, apabila terdapat alat yang menurut dugaan dianggap lebih cepat mematikan, dapat pula digunakan sebagai alat untuk melaksanakan hukuman qisash. Contohnya seperti yang dikemukakan Abdul Qadir Audah, yang mengutip dari Lajnah Fatwa Al-Azhar dengan kursi listrik, hukuman gantung, dan lain-lain[54] Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai tazir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.[55] Dalam hukum pidana Islam hukuman yang telah dijatuhkan dapat ditunda, dibatalkan atau masih dapat dipertimbangkan, baik itu dalam jarimah qisash, tazir dengan ketentuan sebagai berikut. Segi penundaan: Penundaan eksekusi mati dalam Islam adalah wanita hamil sampai melahirkan, dan membesarkan anaknya. Hal ini terlihat ketika seorang perempuan dari suku Gamid datang menghadap Rasulullah dan berkata bersihkanlah saya, karena saya telah mngandung akibat perzinaan, kemudian Rasulullah menunda sampai anaknya lahir, dan katika anaknya lahir Rasulullah menunda lagi sampai anaknya besar, dan barulah beliau memerintahkan untuk melaksanakan eksekusi mati[56] Mengenai batas waktu penundaan eksekusi mati terhadap perempuan yang sedang hamil terdapat beberapa pendapat fukaha yang berbeda. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa penundaan tersebut sampai wanita menyelesaikan masa nifasnya, meskipun hukuman yang dijalani berupa hukumn jilid. Imam Syafii menyatakan bahwa apabila terpidana mati adalah seorang perempuan yang dalam keadaan hamil maka eksekusi pidana mati atas dirinya ditunda sampai dia melahirkan atau adanya bukti yang menyatakan bahwa dia tidak hamil. Sedangkan menurut Imam Malik bahwa penundaan eksekusi mati terhadap wanita hamil adalah sampai wanita tersebut melahikan, megenai masa nifas maka dia menganggap itu adalah penyakit, maka hukuman juga ditunda. Apabila setelah anaknya lahir, tidak ada perempuan yang bersedia untuk memberi air susu terhadap anak yang dilahirkan terpidana, maka eksekusi mati tidak boleh dilaksanakan. Namun apabila ada perempuan lain yang bersedia untuk menyusukan maka waktu penundaan eksekusi mati sampai anak berusia dua tahun.[57]

Jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa, ataukah gila, atau tidak ada di tempat. Dalam hal dewasa ditunda sampai anak yang belum dewasa dan dalam hal tak ada di tempat ditunggu sampai ada di tempat. Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan hukuman qisash menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang berpendapat hukuman qishas dilaksanakan oleh qadhi (hakim) yang mewakili mustahik tersebut. Menurut Malikiyah pelaksanaan hukuman qisash tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila. Alasannya adalah karena qisash itu tujuannya untuk mengobati rasa duka, dan untuk menghilangkannya tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain, baik itu hakim atau wali.[58] Apabila mustahik qishash itu banyak dan semuanya sudah dewasa berakal sehat dan hadir di tempat, masing-masing ahli waris memiliki kekuasaan untuk melaksanakan hukuman qisash. Dengan demikian, apabila salah seorang dari mereka melaksanakannya, qishash itu telah mencukupi ahli waris. Akan teapi, apabila mustahik qisash itu terdiri dari orang dewasa dan anak dibawah umur, atau diantara mereka ada yang gila atau sedang bepergian, maka seperti yang dikatakan di atas, masalah ini diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan qisash tetap dilaksanakan oleh orang dewasa, tetapi ada pula yang mengatakan harus menunggu sampai anak tersebut dewasa, atau sembuh dari gila, atau kembali dari bepergian. [59] Dalam jarimah tazir, seorang penguasa diberi hak untuk menentukan hukuman si pelaku, dengan syarat tidak mengganggu hak-hak si korban. Si korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadi si korban. Jika jarimah-jarimah tersebut menyinggung hak masyarakat maka pengampunan yang diberikan si korban tidak menghapusakan hukuman sama sekali, kecuali sekedar untuk meringankan hukuman si pelaku. Seorang hakim mempunyai kekuasaan yang luas pada jarimah tazir. Dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan hukuman.

Had ialah hukuman terbatas dan tertentu yang dilaksanakan hak Allah. Qishas adalah hukuman terbatas, tertentu dan setimpal dengn yang diperbuat sebagai hak pribadi, sebagai hak orang madzhlum (orang yang teraniaya) orang yang terkena atau walinya. Dan mereka ini boleh memberi maaf apabila mereka kehendaki. Dengan diberinya maaf itu, gugurlah sanksi pidana yang harus dijatuhi atas pelaku kejahatan. Sedangkan tazir adalah hukuman yang tidak terbatas dan tidak tertentu yang diserahkan kepada pertimbangan hakim. Lihat Hasbi Asshiddiqie, Pidana Mati Dalam Syariat Islam. Hal. 5-7.[1]

[2] [3] [4] [5] [6] [7]

Ibid. hal. 16 Ibid. hal. 19 Ibid. hal. 28 Ibid. hal. 28 Nur Wahidah. Pidana Mati Dalam Islam (Surabaya: al- Ikhlas, 1994) hal. 16 Abdurrahman Doi, Inilah Syariat Islam (Jakarta: Panji Mas, 1991) cet.I hal.

322 Dari segi bahasa adalah melempari batu sedangkan menurut istilah berarti melempari pezina muhshan sampai menemui ajalnya. Lihat Abu Zahrah, Al-Jarimah Waal-Uqubah Fi Alfiqh Al-Islam, (Beirut: Dar al-fikr, t.t.), II: hal. 109[8]

Abedul Salam Arif. Eksistensi Hukum Rajam Dalam Pidana Islam (Yogyakarta HMJ JS, 1999) hal 14.[9]

Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, Cet. I 2004). hal. 118[10] [11] [12]

Ibid. hal. 122 Ibid. hal. 123

[13] Dari segi bahasa berarti rujuk (kembali). Menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya disebut murtad. Yakni secara berani menyatakan kafir setelah beriman. Para ulama beragam dalam menetapka batasan tentang perbuatan riddah. Riddah dapat dilakukan dengan perbuatan (atau meninggalkan perbuatan), dengan ucapan, dengan Itikad yang dimaksud dengnan murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan haram dengan menganggapnya tidak haram atau atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggap perbuatan tidak wajib, misal sujud kepada matahari, atau bulan, atau berbuat zina dan menganggap zina bukan perbuatan haram. Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang, adapun murtad dengan Itikad adalah Itikad langgengnya alam, Allah sama dengan makhluk. Tetapi Itikad semata-mata tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum membuktikan dengan bentuk ucapan atau perbuatan. Lihat Makhrus Munajat hal. 126 [14] [15]

Ibid. Hal. 128 A. Hanafi . Asas-Asashal. 3004

Fuad Mochammad Fachruddin, Islam Berbicara Hukuman Mati. (Jakarta: Mutiara, 1981)[16]

Hasbi as-Shiddiqie. Pidana Mati Dalam Syariat Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998)[17] [18]

As-Sayyid Sabiq Fiqh Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, II, 1992). Hal. 433. 138.

[19] Makhrus Munajat. hal. [20]

Yahya Syarifuddin. An-Nawawi, Arbain an-Nawawiyah (Semarang: t.th) hal. 20. Hadis ini bernilai hasan dan diriwayatkan Ibnu Majah dan Ad-Daru Quthni dan Abu Said al-Khudry. Abdul Azis Dahlan, hal 1771. Hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukum had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakli (ulil Amri). Lihat Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakata: Logung Pustaka 2004), Cet. I. hal. 12[21] [22] [23]

Ibid hal. 1772.

RuwayI ar-Ruhayly. Fiqh Umar. Alih Bahasa: AM Basalama, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994) hal. 145[24]

Hasbi as-Shiddieqi. Pidana Mati hal. 10-12 Wardi Muslich. Hukum Pidana Hal. 136

[25]Ahmad [26] [27]

Ibid. hal. 54. Ibid. hal. 127. 124

[28] Makhrus Munajat. Dekonstruksihal. [29] [30]

Ibid. hal. 99 279. Lihat juga Makhrus Munajat.

A. Hanafi. Asas-Asashal Dekonstruksi.hal. 52-53.[31] Makhrus Munajat. Dekonstruksi [32]

hal. 54.

Ibid. Hal. 33-34

[33] [34]

Ibid Hal. 35.

Unsur umum adalah unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah (delik), hal ini terdiari dari tiga, pertama ar-ruknu as-syari, yaitu adanya nash yang mengundangkannya, seperti firmanAllah, wamaa kunna muadzibiyna hatta nabasa rasula. Yaitu Allah tidak menyiksa seorang sebelum diutusnya ssorang rasul. Kedua a-ruknu al-madzi yaitu adanya perbuatan melanggar hukum. Ketiga ar-ruknu al-adzabi yaitu orang yang berbuat pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Lihat Abdul Qadir Audah. At-Tasyri Al-JinaI Al-Islami (Beirut: Dar al Fikr, tt), I hal. 111[35] Makhrus Munajat. Hal. [36]

40.

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah (Kairo: Dar al-Fath li al-Ilam Al-Arabi 1990),

hal. 22-25[37] [38]

Ibid. hal. 22

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah 22 Fi bab la yuqtal al-walid bi al-waladih Hadis No. 2662 (mirs al-bab halabi wa syrkah) hal. 888[39] [40]

Al-Maidah (5): 45 Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majahhal. 888. Sabiq. Fiqh Sunnahhal. 28.

[41] Sayyid

[42] Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika. Cet. I),

hal. 57[43] Makhrus Munajat, Dekonstruksihal. [44] [45] [46]

118

Ahmad Wardi Muslich. Hal. 57 Ibid. Hal. 58.

Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiy, juz II, (Beirut: Da al-Kitab al-Arabi), hal. 445[47] [48] [49] [50]

Ibid. hal. 446. Ibid. hal. 447 Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiyhal. 140 Ibid hal. 141

[51] [52] [53] [54] [55]

Ibid hal. 142 Ahmad Wardi Muslich. Hal. 158 Abd. Qadir Audah, At-tsyri al-Jinaiy Al- Islamiy.hal. 151 Ibid hal. 286 Ahmad Wardi Muslich. Hukumhal. 260. 89

[56]Makhrus Munajat. Dekonstruksihal. [57] [58] [59]

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum..hal. 344. Ahmad Wardi Muslich. Hal. 158 Ibid Hlm. 158

PENGANTAR HUKUM PIDANA ISLAM Ditulis oleh M. Imam Purwadi, SH., MH Minggu, 16 Oktober 2011 12:30 PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA ISLAM

Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana). Perbuatan yang dilarang syarak dan pelakunya diancam oleh Allah dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syarak kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syarak adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syarak atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syarak bagi yang meninggal. Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah fikih jinayah sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad. Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah pada jarimah hudud dan jarimah kisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah dalam terminologi syarak adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah. Al-Qanun al-Jazai. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jazai disebut juga al-qanun al-uqubat (dari kata al-uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jazai termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain. Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jazai mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau

ancaman hukuman yang berbeda-beda. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas. Kisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya oleh Allah, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Kisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (kisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178). Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Quran dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan kisas/diat. Sebagai ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas. Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undangundang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas al-Quran maupun asSunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiranpemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam. Perkembangannya dalam Islam. Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh al-Kulafaar-Rasyidun sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri. Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Quran dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain alQuran . Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali

menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M 705 M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H 102 H/682 M 720 M). Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Quran, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mulamula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undangundang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina. Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undangundang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss. Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum pidana Suriah. Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal 22 Juni 1949 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan September 1949. Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebijakan pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah Teluk lainnya memberlakukan syariat Islam dalam undang-undang hukum pidananya. Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum pidana Islam pada bulan September 1983. Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadakan Islamisasi hukum pidana, Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera, dan ketentuan hukum pidana Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana Islam belum dilakukan hingga kini, karena hukum pidana yang masih berlaku masih peninggalan hukum pidana Barat (Belanda). Saran dan kritik saya tunggu, dari mahasiswa dan peminat perkembangan hukum pidana islam di Indonesia

pengertian, macam-macam dan perkembangan hukum pidana islam (fiqih jinayah) Diposkan oleh alipoetry, hukum sebagai petunjuk hidup saya... anda... dan mereka,,,,

PENGERTIAN, MACAM-MACAM DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (FIQIH JINAYAH)

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orangorang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak-hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang

lain. Al-Quran merupakan penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut Al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat cara dan sala satunya adalah Allah SWT memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak hukumnya harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/ atau sudah menikah hukumannya adalah dirajam. Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar, pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang murtad. Hal-hal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran. (Dalam writing and speaking/presenting pengertian hokum pidana islam). Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana). Perbuatan yang dilarang syara dan pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syara kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syara adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syara atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara bagi yang meninggalkannya. Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah fikih jinayah sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad. Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah pada jarimah hudud dan jarimah kisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah dalam terminologi syara adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah.

Al-Qanun al-Jazai. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jazai disebut juga al-qanun al-uqubat (dari kata al-uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jazai termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain. Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jazai mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas. Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Qisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (Qisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178). Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Quran dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan qisas/diat. Sebagai ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas.

Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada u