Final Refrat
Transcript of Final Refrat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai berhentinya aliran empedu
tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan adanya ikterus. Penyakit yang
menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup banyak sehingga
sering menyebabkan kesukaran dalam diagnosa. Sedangkan kepastian diagnosa adalah
penting sekali karena berhubungan dengan pengobatan yang berbeda, apakah
memerlukan tindakan operasi atau hanya medikamentosa. Banyaknya pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada penderita ikterus belum tentu dapat menentukan diagnosa yang
tepat. Oleh karena itu diperlukan algoritme pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang
sistimatik dan terarah dalam rangka penentuan diagnosa.1
Dalam usaha menentukan diagnosa ikterus kolestasis dilakukan pemeriksaan
yang dapat memberikan gambaran saluran empedu dan dapat menunjukan letak dari
sumbatan. Banyaknya imaging yang dapat dilakukan dengan memakai alat dari
konvensional sampai alat canggih maka pemilihan pemeriksaan adalah amat penting. 2
Pemeriksaan Radiologi/imaging untuk menentukan penyakit penyebab kolestasis
yang sering digunakan adalah Ultranonografi, Computerized Tomografi (CT scan),
Endoscopic Retrograde Cholangiopanreografi (ERCP), Magnetik Resonance
cholangiopancreotografi (MRCP), Percutaneus Transhepatic Cholangiografi (PTC),
PTBD.2,3,4
1.1 Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi traktus bilier, definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, pemeriksaan radiologis, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis dari
kelainan-kelainan pada traktus bilier.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai
kelainan-kelainan pada traktus bilier dan sebagai salah satu syarat dalam menjalani
kepaniteraan klinik di bagian Radiologi RSUP dr. M. Djamil, Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
1.3 Metode Penulisan
Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk ke berbagai
literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi kandung empedu 3, 5, 6, 7
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya menonjol sedikit ke
luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral musculus rektus abdominalis.
Sebagian besar korpus menempel dan tertamam di bagian dalam jaringan hati. Kandung
empedu tertutu seluruhnya oleh lipatan peritoneum visceral. Infundibulum kandung
empedu longgar, karena tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum.
Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka bagian
infundibulum menonjol seperti kantong dan disebut kantong Hartmann.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan
cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu tetapi menahan aliran
keluarnya.
Saluran empedu ekstra hepatic terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale dengan
batas atas porta hepatic sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu
saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang disebut
kanalikulus empedu yang yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. panjang
duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pancreas dan
dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding
duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi (m. sfingter ampula
hepatikopankreatika), yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam
ampula Vater, tetapi dapat pula terpisah.
Variasi anatomi kandung empedu, saluran empedu dan pembuluh arteri yang
memperdarahi kandung empedu dan hati sering ditemukan. Variasiseperti ini, yang
kadang ditemukan dalam bentuk luas, perlu diperhatikan oleh ahli bedah untuk
menghindari komplikasi pembedahan seperti perdarahan atau cedera pada duktus
hepatikus atau duktus koledokus.
Gambar 1 : Anatomi
Anatomy of the biliary system and its relationship to surrounding structures
2.1.2 Anatomi saluran empedu7
A. Saluran empedu dan hubungannya dengan saluran cerna. 1. hati, 2. cabang duktus
hepatikus, 3. kandung empedu, 4. duktus sistikus, 5. duktus koledokus, 6. lambung, 7.
pylorus, 8. duodenum, 9. pancreas, 10. duktus pancreas, 11. papilla Vater.
B. Saluran empedu, ligament hepatoduodenale dan struktur peritoneal. 1-11 sama dengan
gambar A, 12. v. kava inferior, 13. v. lienalis, 14. v. mesenterika superior, 15. v.
porta, 16. aorta, 17. trunkus seliakus dengan cabang a. lienalis , a. gastroduodenalis
dan a. hepatica, 18. a. hepatica naik ke porta hati melalui ligamentum
hepatoduodenale bersama duktus koledokus dan v. porta.
Gambar 2 :
2.1.3 Fisiologi Kandung Empedu 5, 6, 7
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml perhari. Di luar
waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 persen. Pengaliran cairan kantung empedu diatur oleh
tiga factor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu dan tahanan
sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke
dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi
dan empedu mengalir ke arah duodenum. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti
disemprotkan karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi dari
pada tahanan sfingter.
Hormon sel APUD (Amin Precursor Uptake and Decarboxylation Cells)
kolesistokinin (CCK) dari selaput lender usus halus yang disekresi karena rangsang
makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus, merangsang nervus vagus,
sehingga terjadi kontraksi kadung empedu. Demikian CCK berperan besar terhadap
terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan.
2.1.4 Biokimia Kandung Empedu 3, 6, 7
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90 %)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak dan garam anorganik. Garam
empedu adalah molekul steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.
Sintesis asam empedu berkurang yang berpengaruh secara signifikan terhadap
pengurangan hidroksilasi kolesterol ( kolesterol-7-hidroxilase ). Perubahan ini
menyebabkan peningkatan insiden kolelitiasis / batu empedu pada lansia. Selain itu
berkurangnya ekstraksi LDL kolesterol dari darah didalam hepar dan peningkatan serum
kolesterol total dapat mencetuskan Coronary Arterial Disease pada lansia. Keduanya
merangsang peningkatan konsentrasi kolesistokinin ( suatu hormon peptida yang
dikeluarkan mukosa duodenum yang merangsang kontraksi kandung empedu dan
merelaksasi sfingter bilier ) pada waktu puasa, dengan insiden lebih tinggi pada lansia.
Meski begitu, pengosongan kandung empedu pada waktu puasa dan tidak puasa tidak
berubah sejalan dengan pertambahan usia, yang menurunkan sensitivitas kolesistokinin.
2.2 Definisi
Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu ( 3 bulan pertama),
penumpukan bahan-bahan yg harus diekskresi oleh hati (bilirubin, asam empedu,
kolesterol), serta regurgitasi bahan-bahan tersebut ke plasma.1
Kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.7
Gambar 3:
Kolesistitis adalah proses inflamasi atau peradangan akut pada kandung empedu
yang umumnya terjadi akibat penyumbatan pada saluran empedu.9
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut darisaluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total.9
Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana saluan empedu tidak terbentuk atau
tidak berkembang dengan secara normal.10
Tumor
2.3 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat
yang mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang
menderita penyakit ini menjalani pembedahan saluran empedu. Batu empedu relatif
jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun, ada sumber menyatakan bahwa
jumlah wanita usia 20 - 50 tahun yang menderita batu empedu kira-kira 3 kali lebih
banyak dari pada laki-laki. Setelah usia 50 tahun, rasio penderita batu empedu hampir
sama antara pria dan wanita. Insidensi batu empedu meningkat sering bertambahnya
usia. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan dengan semakin tinggi pada orang
Amerika asli, diikuti oleh orang kulit putih, dan akhirnya orang Afro-Amerika. Batu
saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara barat.8, 10, 12
Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi. Sekitar 90% kasus
berkaitan dengan batu empedu; sedangkan 10% sisanya tidak. Kasus minoritas yang
disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkaitan dengan
pascabedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat), puasa berkepanjangan, dan
beberapa infeksi pada penderita AIDS. 5, 13
Di Amerika Serikat, Kolangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier. 13
Insidens atresia biller adalah 1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. Rasio
atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 1,4 : 1. Dari 904 kasus atresia
bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%),
berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%).10
Tumor dari kandung empedu adalah jarang terjadi baik itu yang jinak ataupun
yang ganas. Rata-rata 2 % dari seluruh kanker ditemukan pada autopsi. Adenoma jinak
atau papiloma secara nyata jarang terjadi dibandingkan dengan tumor ganas. yang paling
penting dari kandung empedu dan dapat melibatkan diantara intrahepatik atau
ekstrahepatik kandung empedu. Pasien dengan intrahepatik kolangiokarsinoma
(karsinoma kolangiokarsinoma) mempunyai prognosis yang jelek, dan metastasis tumor
yang dini. Angka kejadian kanker kandung empedu di amerika serikat kira-kira 1 kasus
dari 100.000 orang dalam penelitian otopsi, variasi angka kejadiannya 0,01-0,46 %.
Kanker kandung empedu lebih biasa terjadi di Israel, Jepang dan India amerika. Di
Indonesia, penyakit tumor empedu masih kurang mendapat perhatian dibandingkan
penyakit hati lainnya seperti hepatitis virus kronik, sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler.14
2.4 Etiologi
Kolestasis terbagi menjadi :1
- kolestasis intrahepatik
- kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Lain-lain : Sindrom Zellweger
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil
2. penyakit Caroli
C. Kelainan Metabolik
1. Kelainan metabolisme as amino, lipid, KH, asam empedu
2. Penyakit metabolik lain : def α1 – antitripsin, hipotiroid, hipopituitarisme
D. Infeksi
1. Hepatitis virus A, B, C
2. TORCH, reovirus, dll
E. Genetik/ kromosomal
1. Sindrom Alagile
2. Sindrom Down, Trisomi E
F. Lain-lain
Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom
polisplenia, lupus neonatal
Kolestasis Ekstrahepatik
Atresia bilier
Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
Massa (kista, neoplasma, batu)
Inspissated bile syndrome , dll
Gambar 4:
Kolelistiasis Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui.
Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di
kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi
menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi, tampaknya faktor
predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.8, 12
Kolesistitis proses inflamasi atau peradangan akut pada kandung empedu yang
umumnya terjadi akibat penyumbatan pada saluran empedu. Faktor resiko yang terkena
kolesistitis antara lain adalah jenis kelamin wanita, umur tua, obesitas, obat-obatan,
kehamilan, dan suku bangsa tertentu. Untuk memudahkan mengingat faktor-faktor risiko
terkena kolesistitis, digunakan akronim 4F dalam bahasa Inggris (female, forty, fat, and
fertile). Selain itu, kelompok penderita batu empedu tentu saja lebih berisiko mengalami
kolesistitis daripada yang tidak memiliki batu empedu.
Kolangitis disebabkan oleh infeksi bakterial akut dari saluran empedu yang tersumbat
baik parsial atau total. Sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen
saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau
dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus,
atau dari dinding saluranempedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran
empedu.
Atresia Bilier etiologinya masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan
kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 10 – 30% kasus
atresia bilier(4,6). Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier
adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau
iskemi(1).
Tumor kandung empedu disebabkan oleh karena sumbatan dari kandung empedu
dengan stasis bilier, etiologinya :
a. Riwayat penyakit keluarga dengan fibrosis kongenital:
- hepatic fibrosis kongenital
- kista koledokus
- polikistik liver
b. Parasit :
- Clonorchis sinensis
- Opisthorchis viverrini yang ditemukan di thailan, laos dan Malaysia barat.
c. Batu empedu dan hepatolitiasis, resiko exstrahepatik kanker kandung empedu
diturunkan hingga 10 tahun atau lebih setelah kolesistektomi.
d. Sklerosis kolangitis primer.
e. Kolitis ulserative.
f. Zat-zat beracun:
- Thorium dioxide (thorotrast)
- Radionuclides
- Carcinogens (eg, arsenic, dioxin, nitrosamines, polychlorinated biphenyls)
g. Obat-obatan:
- Kontrasepsi oral.
- Metildopa
- Isoniazid
h. Tipoid kronik yang karier mempunyai angka kejadian yang lebih besar dari kanker
hepatobilier, yang meliputi kolangiokarsinoma.
i. Sirosis kandung empedu.
2.5 Patofisiologi
Patogenesis Kolestasis 1
Kelainan terjadi pada :
1. Membran sel hati ambilan asam empedu
Gangguan pada enzim Na+ - K+ - ATPase transporter
Misalnya : estrogen, endotoksin
2. Di dalam sel hati
Gangguan transpor garam empedu di dalam sel hati
Gangguan sekresi garam empedu ke kanalikulus biliaris
Misalnya : toksin, obat-obatan
3. Saluran empedu intrahepatik
Proses metabolisme garam empedu yang abnormal
Gangguan kontraksi kanalikulus biliaris
4. Saluran empedu ekstrahepatik
Sumbatan, infeksi
Patogenesis kolelitiasis
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di
dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk
terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah
ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary
stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu (4,
8).
a. Batu kolesterol
Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
- Supersaturasi kolesterol
- Hipomotilitas kandung empedu
- Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
b. Batu kalsium bilirunat (pigmen cokelat)
Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.
Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan
infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan
asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak
larut.
c. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan
hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen
hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (1,9).
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial ataupun komplit sehingga menimbulkan gejala kolik
bilier. Pasase berulang batu empedu melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan
iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur.
Apabila batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu besar
atau pun karena adanya striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu duktus sistikus (3).
Patogenesis Kolesistitis
terjadi akibat penyumbatan pada saluran empedu. Batu empedu yang menyumbat saluran
empedu akan membuat kandung empedu meregang, sehingga aliran darah dan getah bening
akan berubah; terjadilah kekurangan oksigen dan kematian jaringan empedu. Sedangkan pada
kasus tanpa batu empedu, kolesistitis lebih disebabkan oleh faktor keracunan empedu
(endotoksin) yang membuat garam empedu tidak dapat dikeluarkan dari kandung empedu.
Patogenesis kolangitis
Untuk timbulnya kolangitis harus ada dua faktor :
1. Tekanan intraduktus dalam batang saluran empedu harus menigkat ( obstruksi saluran
empedu sebagian atau lengkap)
2. Empedu harus terinfeksi.
Stasis empedu seperti yang timbul pada anomaly saluran empedu congenital (sepertipenyakit
Caroli dan kista koledokus) bisa juga berhubungan dengan kolangitis.
Adanya hambatan dari aliran cairan empedu akan menimbulkan stasis cairanempedu,
kolonisasi bakteri dan pertumbuhan kuman yang berlebihan. Kuman-kuman ini berasal dari
flora duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi dapat juga dari penyebaran limfogen dari
kandung empedu yang meradang akut,penyebaran ke hati akibat sepsis atau melalui sirkulasi
portal dari bakteri usus. Karena tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang tersumbat,
kuman akankembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran darah dan mengakibatkan
sepsis. Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada kolangitis akut yang sering dijumpai
berturut-turut adalah kuman-kuman aeroba gram (-) enterik E. Coli,Klebsiella, kemudian
Streptococcus faecalis dan akhirnya bakteri anaerob seperti Bacteroides fragilis dan
Clostridia.
Kolangitis akuta tidak akan timbul dengan empedu terinfeksi tanpa peningkatan tekanan
intraduktus (obstruksi saluran empedu relative) atau dengan obstruksi tanpa empedu
terinfeksi.
Dengan adanya obstruksi total atau hampir total, empedu terinfeksi bisa berlanjut ke supurasi
hebat dan menyebabkan kolangitis toksik. Abses hati timbul pada sekitar 15%pasien
kolangitis toksik.
Patogenesis Atresia Bilier
Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan gambaran
histopatologik, diketahui bahwa atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami kemsakan secara progresif. Pada
keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan
mengalami kerusakan yang progresif pula(1).
Patogenesis Tumor Empedu
Tumor kandung empedu disebabkan oleh karena sumbatan dari kandung empedu dengan
stasis bilier dan menyebabkan penurunan fungsi hati. Sumbatan pada bilier menyebabkan
disfungsi hepatoseluler, malnutrisi yang progresif, koagulopathi, pruritus, disfungsi ginjal dan
kolangitis.Inflamasi yang sangat lama dengan perkembangan dari peradangan yang kronis
adalah poss akhir dari proses pembentukan tumor pada kandung empedu. Organisme parasit
yang memacu perubahan DNA dan mutasi memacu produksi karsinogen dan radikal bebas
dan stimulasi dari proliferasi sel pada epitel kandung empedu, yang menyebabkan kanker.
Bakteri dapat memacu adanya zat endogen, derivate karsinogen garam empedu, seperti
lithocholate, juga merupakan implkasi dari patogenesis. Hal ini didukung oleh penelitian
epidemiologi pada penderita typoid. Sel kolangiokarsinoma terdiri dari reseptor somatostatin
RNA, dan garis sel memiliki reseptor yang spesifik. Pertumbuhan sel dihambat oleh analog
somatostatin.
2.6 Gejala klinis
Sindrom kolestatik yaitu : ikterus, urin berwarna tua, tinja dempul (menetap/
fluktuatif).
Gejala klinis kolestasis1
Retensi/ regurgitasi
Empedu – gatal, toksik
Bilirubin – ikterus
Hiperkolesterolemia xantomatosis
Trace element – toksik (tembaga, dll)
empedu intraluminal
Malabsorbsi lemak malnutrisi
Malabsorbsi vitamin yang larut dalam lemak
- A – kulit tebal, rabun senja
- D – osteopenia
- E – saraf, otot (degenerasi)
- anemia hemolitik
- K – pembekuan - hipoprotrombinemia
Diare/ steatorrhoe kalsium
Gejala-gejala ini pada akhirnya akan menimbulkan penyakit hati progresif (sirosis bilier)
yang berakibat terjadi :
1. Hipertensi porta (hipersplenisme, ascites, varises perdarahan)
2. Gagal hati
Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis Intrahepatik
dan Ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik Kolestasis intrahepatik
Wama tinja selama dirawat
Pucat
79% 26%
Kuning 21% 74%
Ukuran dan konsistensi hati
yang abnormal
87% 53%
Berat lahir (gram) 3200 2700
Usia saat tinja akolik (hari) 16 30
Trombus empedu intraportal 63% 1%
Biopsi hati
Fibrosis portal
94% 47%
Proliferasi duktular 86% 30%
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.8,12
Gejala kolesistitis yang dikeluhkan penderita umumnya berupa nyeri pada perut
kanan bagian atas yang menetap lebih dari 6 jam dan sering menjalar sampai belikat
kanan. Penderita kadang mengalami demam, mual, dan muntah. Pada orang lanjut usia,
demam sering kali tidak begitu nyata dan nyeri lebih terlokalisasi hanya pada perut kanan
atas.13
Simptom kolangitis yang paling sering ditemukan pada kolangitis akut adalah
nyeri perut, demam dan ikterus. Trias yang klasik dari Charoot yakni demam, nyeri
abdomen kuadran atas.8
Keluhan utama Tumor biasanya ditentukan oleh kolesistolitiasis. Sering
ditemukan nyeri menetap di perut kuadran kanan atas, mirip kolik bilier. Apabila terjadi
obstruksi duktus sistikus akan timbul kolesistitis akut. Gejala lain yang dapat terjadi
adalah ikterus obstruksi dan kolangitis akibat invasi tumor ke duktus koledokus. Satu
diantara tiga pasien dengan nyeri epigastrik yang sedang. Diare, anoreksi dan penurunan
brat badan adalah gejala tambahan.14
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal
Atresia adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu
pun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi
biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 – 5.
Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan
dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan
pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tctap akolik, maka
kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik Sedangkan pada
kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi.1,
11
2.7 Pemeriksaan fisik
Kolelitiasis
1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas.8, 12
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan
sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal
ikte rik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis .8,12
Dari pemeriksaan kolesistitis dapat ditemukan demam, takikardia (denyut nadi
cepat), dan nyeri tekan pada perut kanan atas. Saat dokter meminta penderita menarik
napas dalam, sambil meraba daerah bawah iga kanannya (subcosta kanan). Penderita
kolesistitis umumnya menunjukkan Murphy's sign positif, di mana gerakan tangan dokter
pada kondisi di atas menimbulkan rasa sakit dan sulit bernapas.8, 12
Pada kolangitis seringkali didapatkan nyeri hebat diepigastrium atau perut kanan
atas karenaadanya batu koledokus. Nyeri ini bersifatkolik, menjalar ke belakang atau ke
skapulakanan, kadang-kadang nyeri bersifat konstan. 8
Pemeriksaan fisik pada atresia bilier adalah adanya tanda ikterus atau kuning
pada kulit, pada mata dan di bawah lidah. Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar
juga kadang disertai limpa membesar.
Pemeriksaan fisik tumor didapatkan massa yang keras sampai lunak di daerah
kendung empedu. Serum, urin dan feses menunjukkan tanda-tanda Jaundice akibat
kompresi duktus bilier. 14
2.8 Pemeriksaan penunjang
Kolestasis 1
Darah
- Uji fungsi hati :
1. Kemampuan transpor organik anion : bilirubin
2. kemampuan sintesis :
i. Protein : albumin, PT, PTT
ii. Kolesterol
3. Kerusakan sel hati
i. Enzim transaminase (SGOT = AST ; SGPT = ALT)
ii. Enzim kolestatik : GGT, alkali fosfatase
Tabel 2 data awal lab
Ekstrahepati
k
Intrahepatik
Bilirubin Direk
(mg/dL)
6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8
SGOT < 5 x N > 10 x N /
> 800 U/I
SGPT < 5 x N > 10 x N /
> 800 U/I
GGT > 5 x N/
> 600 U/I
< 5 x N/ N
- Uji serologi : intrahepatik kolestasis
1. Hepatitis virus B, (C) bayi dan ibu
2. TORCH
- Lain-lain (sesuai indikasi)
Urin
- Bilirubin – urobilinogen
Tinja
- Tinja 3 porsi
I. 0600 - 1400
II. 1400 - 2200
III. 2200 - 0600
Bila tinja pucat fluktuatif intrahepatik
Bila tinja pucat menetap ekstrahepatik (atresia bilier)
- Sterkobilin
Biopsi Hati
Intrahepatik Giant Cell Transformation
Ekstrahepatik dilatasi duktulus biliaris
atresia bilier proliferasi duktulus
Kolelistiasis 8,12
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali
terjadi serangan akut
Gambar 4: Gallbladder of a 13-year old with morbid obesity and multiple
cholesterol stones
Dari pemeriksaan laboratorium kolesistitis, dapat ditemukan peningkatan jumlah sel darah
putih (leukositosis) dan peningkatan enzim-enzim hati (SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan
bilirubin); namun hasil-hasil pemeriksaan ini tidak dapat memastikan diagnosis.
Kombinasi lekositosis, hiperbilirubinemia dan peningkatan ALTdan AST dan fosfastase
alkali /GGTP serum ditemukan pada kebanyakan pasien kolangitis akut.13
Atresia bilier 10, 11
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk
membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Sclain itu dilakukan pemeriksaan darah
tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai
dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan
gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma- GT > 5 kali, lebih mengarah ke
kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rcndah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkat48 an gamma-GT,
bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya
10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka asam empedu di
dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2.9 Pemeriksaan radiologis 2, 3, 4, 5
Kolestasis
USG perut, berlangsung dalam 2 fase
Puasa 1 – 2 jam setelah minum/ makan minimal 4 jam
Skintigrafi (isotop Tc-DISIDA) Tc- BRIDA
Kolangiografi (intraoperatif)
Gambar 5: Diagnostic algorithm for patients presenting with jaundice. CBDE, common bile
duct exploration; CT, computed tomography; ERCP, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography; IOC, intraoperative cholangiogram; lap, laparoscopic; PTC,
percutaneous transhepatic cholangiography.
Kolelitiasis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren
lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Gambar 6:
Gambar 7: Abdominal ultrasonography is the most useful screening study
for biliary tract disease, especially in stone disease. The ultrasonogram
shows several stones (arrow) in the dependent portion of the gallbladder
in a patient with clinical features of an early cholecystitis. The gallbladder
wall is not yet thickened as in Figure 7.9. (Courtesy of Henry I. Goldberg,
MD.)
Gambar 8 :Gallbladder ultrasound in patient with biliary colic demonstrating multiple
dependent echogenic foci with posterior acoustic shadowing consistent with gallstones.
Computed Tomography (CT)
CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi, dilatasi biliaris, menentukan komposisi batu,
dan kadang-kadang kurang sensitif daripada US untuk kalkulus yang memiliki keuntungan
visualisasi pada bagian distal biliaris ketika dikaburkan oleh US. CT bisa juga mendeteksi
dengan akurat adanya tumor obstruktif. Gambaran CT untuk choledocholithiasis yaitu :
Target sign, lebih rendah dan berada di sekelilingi empedu atau mukosa. Rim sign : densitas
batu berada diluar garis kulit yang tipis. Crescent sign Kalsifikasi batu : sayangnya hanya
20% batu yang memiliki densitas tinggi. Rata-rata 20% choledocholithiasis terjadi bersama
kasus-kasus ikterus obstruksi pada orang dewasa. 10% populasi didapatkan adanya batu
empedu di dalam kandung empedu, akan tetapi batu ini tidak diartikan penyebabnya adalah
obstruksi saluran. Dalam keadaan tertentu, 1% sampai 3% pasien dengan choledocholithiasis
tidak memiliki batu dalam kandung empedu.
Gambar 9: Gallstone ileus as manifest on CT scan. (A) Air in the biliary tree
is a result of a cholecystoduodenal fistula due to a gallstone. (B) In the
second scan, a gallstone (black arrow) partially obstructs a jejunal loop of
bowel; collapsed segments of bowel (small arrows) can be seen beyond
the site of obstruction. (Courtesy of Henry I. Goldberg, MD.)
Cholecystography
Cholecystography sukar menemukan batu di duktus choledochus. Oral cholecystography
ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic
iodinated organic compound diberikan oral yang diserap di dalam usus kecil, diekskresi oleh
hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu
kandung empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Intravenous cholecystography
dikerjakan sebagai pengganti oral cholecystography. Bahan kontras dipergunakan adalah
iodipamide (biligrafin yang mengandung iodine 50%).
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Gambar 10 Intraoperative cholangiogram confirming the presence of common bile duct
stones. Calculi are indicated with arrows. (Courtesy of Michael D. Holzman, MD.)
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP terutama digunakan untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit-penyakit saluran
empedu termasuk batu empedu. Sampai saat ini, endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) menjadi kriteria standar untuk diagnosis dan terapi
choledocholithiasis. Karena ERCP merupakan pedoman tehnik diagnostik untuk visualisasi
lithiasis traktus biliaris. Bagaimanapun ini merupakan teknik yang invasif dan dihubungkan
dengan kelahiran maupun kematian. ERCP merupakan kombinasi antara sebuah endoskopi
(panjang,fleksibel, pipa bercahaya) dengan prosedur fluoroskopi yang menggunakan sinar X
pada biliaris memberikan efek yang sama seperti MRCP, tetapi keuntungan yang didapatkan
pada sesuai dengan prosedur terapi seperti sfingterotomi dengan pengangkatan batu dan
penempatan biliaris. ERCP dikerjakan dengan menyuntikkan bahan kontras di bawah
fluoroskopi melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati. Ini penting,
keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi
jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan menempatkan eksternal dan
internal drainage stents dapat dikerjakan secara perkutan. Pemeriksaan ERCP memerlukan
waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam. Sebaiknya untuk prosedur yang aman dan akurat, perut
dan duodenum harus dikosongkan. Tidak boleh makan atau minum apapun setelah tengah
malam sebelum malam melakukan prosedur, atau untuk 6 hingga 8 jam sebelumnya,
tergantung dari waktu sesuai dengan prosedur dan juga operator harus mengetahui adanya
alergi atau tidak, khususnya terhadap iodine.
FIGURE 7.15. This endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) scan demonstrates anormal common bile duct (large arrow),
cystic duct (small arrow) and gallbladder (GB). (Courtesy of Henry I.
Goldberg, MD.)
Gambar 11: (A) Normal endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) scan shows the biliary tree and pancreatic duct in a patient who
previously underwent cholecystectomy. (B) The ERCP scan in another
patient shows a dilated common bile duct containing a large stone.
(Courtesy of John P. Cello, MD.)
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
MRCP adalah sebuah teknik pencitraan terbaru yang memberikan gambaran sama seperti
ERCP tetapi tanpa menggunakan zat kontras medium, instrument, dan radiasi ion. Pada
MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai
intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal
rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu. MRCP merupakan non-invasif dan tidak
menyebabkan kematian, memberikan indikasi yang terbatas terhadap yang diamati. MRCP
memainkan peranan penting atau fundamental untuk diagnosis pasien yang memiliki
kemungkinan kecil adanya choledocholithiasis, situasi ini sama seperti ERCP yang
mengalami kegagalan untuk mendeteksi choledocholithiasis. Sebagai tambahan, MRCP juga
memiliki peranan penting untuk mengkonfirmasi adanya eliminasi choledocholithiasis yang
spontan sesudah ERCP dan sfingterotomi dan pasien suspek choledocholithiasis dengan
pembedahan gastritis atau kandung empedu.
Gambar 12:
Gambar 13:
The magnetic resonance cholangiopancreatography
(MRC) scan shows a stricture of the common bile duct (large
arrow) with a normal distal common duct (arrowhead). The bile
ducts proximal to this malignant stricture are dilated. Abbreviation: GB,
gallbladder. (Courtesy of Henry I. Goldberg, MD.)
Gambar 14 : A, MRCP showing multiple, small stones in a nondilated common bile duct.
B, Corresponding endoscopic retrograde cholangiopancreatography image. (From Moon JH,
Cho YD, Cha SW, et al: The detection of bile duct stones in suspected biliary pancreatitis:
Comparison of MRCP, ERCP, and intraductal US. Am J Gastroenterol 100:1051-1057,
2005.)
Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
PTC mungkin merupakan pilihan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
pemeriksaan ERCP (misalnya, dengan pembedahan gastritis atau obstruksi batu CBD bagian
distal atau kurang berpengalamannya operator) dan juga pada pasien dengan penyakit batu
intrahepatik yang ekstensif dan cholangiohepatitis. Maka diperlukan needle yang panjang dan
besar untuk dimasukkan ke dalam duktus intrahepatik dan cholangiografi. Kontraindikasi
untuk PTC yaitu tidak terjadi koagulopati dan ukuran duktus intrahepatik yang normal
menyulitkan pemeriksaan ini. Antibiotik propipaktik direkomendasikan untuk faktor risiko
cholangitis. Angka kecacatan rata-rata 10 %, dan kematian 1%. Komplikasi PTC adalah
perdarahan, luka pada duktus, kebocoran kandung empedu, dan cholangitis. Keberhasilan
pemeriksaan ini antara 75-85%.
Batu dalam empedu mungkin tunggal maupun multipel. Kadang-kadang akan didapatkan
batu yang bertindak sebagai katup sehingga akan timbul fluktuasi dalam intensitas ikterusnya.
Batu akan tampak sebagai struktur hiper ekhoik dengan bayangan akustik dibelakangnya.
Batu dibagian distal saluran empedu ekstra hepatik lebih sukar ditegakkan diagnosisnya
dibandingkan dengan batu dibagian proksimal saluran empedu ekstra hepatik. Bahkan
kadang-kadang tidak mungkin ditentukan secara USG dan memerlukan pemeriksaan
konfirmatif misal ERCP. Penghalang utama adalah gas pencernaan dan jalan anatomis
saluran empedu ini.
Batu bisa timbul di saluran intra hepatik maupun di ekstra (duktus choledochus).
Kholedokholitiasis adalah batu didalam duktus choledocchus. Batu ini bisa single maupun
multiple. Batu yang tertanam biasanya terjadi di bagian bawah duktus diatas ampula vateri.
Intensitas ikterus biasanya fluktuasi/hilang timbul dimana batu bertindak sebagai katup (“ball
valve”). Obstruksi partial masih mengeluarkan cairan empedu ke dalam duadenum.
Secara sonografi terlihat Common Bile Duct (CBD) berdilatasi, tampak bayangan hiper
ekhoik dengan bayangan akustik. Batu akan mudah terlihat karena dikelilingi oleh cairan
empedu, diagnosis akan lebih sulit ketika seluruh saluran empedu tertutup/terisi oleh batu,
dimana kontras antara cairan empedu dan batu menghilang. Serta tampak hanya sebagai
akustik shadow yang mungkin diduga sebagai gas echo dari duodenum.
Kolesistitis
Umumnya dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen atau USG. Foto polos hanya
dapat memastikan ada atau tidaknya batu. Sedangkan USG, selain dapat memastikan ada
tidaknya batu, juga dapat menilai ketebalan dinding empedu dan cairan peradangan di sekitar
empedu. ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) juga dapat dilakukan
untuk melihat anatomi saluran empedu, sekaligus untuk mengangkat batu apabila
memungkinkan.
Ultrasonografi abdomen menunjukkan pelebaran saluran empedu. Ultrasonografi dapat
membedakan kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik denga nketepatan 96% pada kasus-
kasus dengan saluran empedu yang melebar.
Gambar 15 :Empyema of the gallbladder. (A) The ultrasound shows
complex echoes within the gallbladder
caused by the presence of pus and a greatly thickened wall due to acute
cholecystitis.
Gambar 15 : Intra-operative cholangiogram by injection of contrast into the
gallbladder demonstrating a long cystic duct, dilated common bile duct,
but no evidence of biliary obstruction in a 12-year-old with acute
cholecystitis
Gambar 16 :. Pericholecystic abscess is manifest on x-ray as multiple air
bubbles (arrows) indicating air
both within and surrounding the inflamed gallbladder. (Courtesy of Henry
I. Goldberg, MD.)
Gambar 17: Recurrent pyogenic cholangitis. This CT scan illustrates some
of the common features,
including dilated intrahepatic ducts and stones or debris in several ducts
(arrows). (Courtesy of Henry I.
Goldberg, MD.)
Gambar 18 : Recurrent pyogenic cholangitis. This CT scan illustrates some
of the common features, including dilated intrahepatic ducts and stones or
debris in several ducts (arrows). (Courtesy of Henry I. Goldberg, MD.)
Atresia
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostik USG 77% dan dapat ditingkatkan
bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah
minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier
kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak
ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari.
Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi
ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal
tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum.
Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10.
Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks
hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan
bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil
pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan
kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan
atresia bilier.
Tumor
Secara radiologi, kolangiokarsinoma menunjukkan 3 hal:
Massa intra hepatic pada 20-30 % kasus. Kalsifikasi mungkin ada. Ultrasound
menunjukkan hipoekoik, hiperekoik, atau gabungan dari masa yang ekogen.
Klatskin tumor adalah yang biasanya dijumpai.
Karsinoma pada saluran empedu intra hepatik.
Karsinoma saluran empedu intra hepatik yang biasanya disebut kholangio karsinoma
intra hepatik adalah tumor kedua terbanyak sesudah hepatoseluler karsinoma.
Kholangio karsinoma intra hepatik dikelompokan atas 2 jenis yaitu :
- Periferal kholangiokarsinoma
- Hilar kholangiokarsinoma atau biasa disebut tumor klatskin Periferal
kholangiokarsinoma berasal dari duktus biliaris intra lobuler, sedangkan Hilar
kholangiokarsinoma berasal dari duktus hepatikus utama (duktus hepatikus
komunis) atau percabangan dari duktus hepatikus utama. Secara USG periferal
kholangiokarsinoma biasanya terlihat sebagai massa hipoekhoik yang tunggal
dan homogen, dan kadang-kadang terlihat nodul. Jika terlihat bayangan
hiperekhoik dengan bayangan akustik ini biasanya karena kalsifikasi.
Pada periferal kholangiokarsinoma tidak terlihat trombus pada vena porta. Hilar
kholangio karsinoma yang sering disebut tumor klatskin atau sentral kholangio
karsinoma biasanya lebih sering dibandingkan dengan periferal kholangio karsinoma.
Pada USG terlihat duktus biliaris intra hepatal berdilatasi sedangkan duktus biliaris
ekstra hepatal normal. Massa terlihat hipekhoik/ekhogenik dengan batas tidak tegas,
ireguler dan biasanya menginfiltrasi kedaerah sekitarnya.
Karsinoma primer saluran empedu ekstra hepatik
Karsinoma duktus bikliaris ini biasanya neoplasma yang jarang terjadi . Pertumbuhan tumor
ini sering tersembunyi sampai timbulnya obstruksi aliran empedu yang menyebabkan ikterus
obstruktif.
Gambaran umum dari tumor ini mempunyai 3 type :
1. Tipe papiller tumbuh kedalam lumen dari duktud biliaris.
2. Tipe Noduler membentuik suatu massa lobulated dan tumbuh pada porstio dari
duktus
3. Tipe difus pada dinding duktud biliaris yang menebal
Pada ultrasonografi, tumor saluran empedu ini akan terlihat sebagai suatu massa
bergema tinggi atau hampir sama dengan hati serta tidak mempunyai bentuk yang
khas, permukaannya dapat reguler maupun ireguler. Struktur gema dapat homogen
maupun heterogen.
Computed tomography (CT). CT biasanya menunjukkan massa pada kadung empedu
atau penyebaran pada organ sekitarnya. Spiral CT bisa juga menunjukkan penyebaran
pada liver begitu pula struktur pembuluh darah disekitarnya.
Magnetic resonance imaging (MRI),kolangiogarafi dan angiografi mungkin
membantu dalam menevaluasi pasien dengan kanker kandung empedu. Sensitivitas
ultrasound dalam mendeteksi kanker kandung empedu bervariasimulai dari 70 sampai
100 persen. Dengan tehnik MRI terbaru, kanker kandung empedu bisa dibedakan dari
obstuksi bilier ataupun liver dan peningkatan tekanan vena porta bisa terlihat.
Kolangiografi juga bisa membantu dalam mendiagnosis pasien dengan jaundice pada
pasien karsinoma kandung empedu. Kolangiografi yang tipikal adalah biasanya
didapatkanstriktur yang panjang pada common hepatic duct . Angiografi dapat
mengidentifikasi peningkatan vena porta atau arteri hepatika tapi dengan CT spiral
dan tehnik MRI terbaru hal tersebut bisadiidentifikasi
Gambar 19 : Carcinoma of the gallbladder. The CT scan shows a calcified
stone in the gallbladder (arrowhead) and a soft tissue mass in the
gallbladder wall (small arrows) due to gallbladder carcinoma. (Courtesy of
Henry I. Goldberg, MD.)
Gmabar 20 :. Spiral CT is superior to ultrasound in diagnosis and staging
of neoplasms in the biliary tree. This CT scan shows dilated intrahepatic
bile ducts radiating to the proximal common hepatic duct, which is
abruptly cut off (arrow). A subtle cholangiocarcinoma is present. (Courtesy
of Henry I. Goldberg, MD.)
Gambar 21 : The ERCP shows a cholangiocarcinoma at the junction of the
right and left hepatic
ducts, known as a Klatskin tumor. Notice marked enlargement of
intrahepatic ducts, particularly of the left system. (Courtesy of John P.
Cello, MD.)
.
Tabel 3
Table 54-1 -- Accuracy of Preferred Imaging Modalities for Different Biliary Tract
Diagnoses Causing Right Upper Quadrant Pain
SUSPECTED
DIAGNOSIS
IMAGING
MODALITY
SENSITIVITY
(%)
SPECIFICITY
(%)
Cholelithiasis Ultrasound 95 99
Acute calculous
cholecystitis
Ultrasound 88 80
HIDA 95 95
SUSPECTED
DIAGNOSIS
IMAGING
MODALITY
SENSITIVITY
(%)
SPECIFICITY
(%)
Acute acalculous
cholecystitis
Ultrasound 36-93 17-89
HIDA 70-80 90-100
Choledocholithiasis ERCP 95 89
MRC 95 98
I/OP cholangiogram 78 97
Lap ultrasound 80 99
Biliary dyskinesia HIDA 94 80
From Trowbridge RL, Rutkowski NK, Shojania KG: Does this patient have acute
cholecystitis? JAMA 289:80-86, 2003.
ERCP, endoscopic retrograde cholangiopancreatography; HIDA, cholecystokinin
hepatobiliary 2,6-dimethyl-iminodiacetic acid scan; I/OP, intraoperative; Lap, laparoscopic;
MRC, magnetic resonance cholangiography.
2.10 Penatalaksanaan
Kolestasis 1
1. Terapi etiologik
Operatif – ekstrahepatik portoenterostomi kasai (umur < 6 – 8 minggu)
Non operatif – intrahepatik (medikamentosa)
2. Stimulasi aliran empedu
Fenobarbital
- Enzim glukuronil transferase
- Enzim sitokrom P450 induksi
- Enzim Na+K+ATPase 3 – 10 mg/ kgBB/ hr ; 2 dd
Ursodeoksikolat 10 – 30 mg/ kgBB/ hr
- Competitive binding empedu toksik
- Bile flow inducer
- Suplemen empedu
- hepatoprotector
Kolestiramin 0,25 – 0,5 g/ kgBB/ hr
- Menyerap empedu toksik
- Menghilangkan gatal
Rifampisin 10 mg/ kgBB/ hr
- aktivitas mikrosom
- Menghambat ambilan empedu
3. Terapi suportif
Terapi nutrisi
- MCT
- Vitamin ADEK
o A 5.000 – 25.000 U/ hr
o D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr
o E 25 – 50 IU/ kgBB/ hr
o K1 2,5 – 5 mg/ 2 – 7 x/ mig
Mineral dan trace element Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe
4. Terapi komplikasi
Hiperlipidemia/ xantelasma : kolestipol
Gagal hati : transplantasi
Ganbar 22 :
Kolelitiasis 8, 12
Kolik perlu diberi spasmoanalgetik untuk mengurangi nyeri atau serangan kolik. Bila
memperlihatkan peradangan, dapat diberi antibiotik.
Selanjutnya batu perlu dikeluarkan, dapat secara pembedahan atau endoskopi sfingterotomi.
Pembedahan pengangkatan batu dari duktus choledochus (choledocholitotomi), yang
diharapkan dapat menyembuhkan sekitar 95% kasus. Karena bila tidak dikeluarkan akan
timbul serangan kolik dan peradangan berulangkali, yang nantinya dapat memperburuk
kondisi penderita. Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau
balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu
dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama skopnya.
Pengobatan paliatif untuk pasien ini adalah dengan menghindari makanan yang kandungan
lemak tinggi. Manajemen terapi :
- Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein.
- Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
- Observasi keadaan umum dan pemeriksaan tanda vital
- Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
- Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
Tindakan untuk kasus kolesistitis akut yang baru didiagnosis meliputi: 9, 13
1. Mengistirahatkan usus dan memberikan makanan secara parenteral (lewat infus).
2. Memberikan obat penghilang rasa nyeri (analgesik) dan antiemetik (antimuntah).
Analgesik pilihan adalah meperidine, atau kombinasi paracetamol dengan opioid.
3. Memberikan antibiotik parenteral. Antibiotik pilihan antara lain meropenem,
piperacillin-tazobactam, ampicillin-sulbactam, dan imipenem-cilastatin.
Jika kemudian ditemukan bahwa kasus kolesistitis ini terkait batu empedu, tindakan pilihan
adalah pembedahan. Pertimbangan utamanya adalah karena batu empedu yang dibiarkan,
bahkan percobaan peluruhan batu, akan semakin menyumbat saluran empedu dan
memperparah peradangan. Umumnya pembedahan dilakukan dalam 72 jam setelah diagnosis
ditegakkan oleh dokter. Pembedahan segera hanya dilakukan jika sudah ada tanda-tanda
pecahnya kandung empedu (biasanya ditandai nyeri seluruh perut yang sangat hebat). Pilihan
tindakan pembedahan juga berbeda; untuk kasus bedah elektif digunakan teknik
laparoskopik; sedangkan untuk kasus akut digunakan teknik pembedahan terbuka biasa.
Pengobatan pertama pada pasien dengan kolangitis meliputi antibiotik intravena
danresuscitasi cairan.Antibiotik cephalosporin (misal cefazolin,
cefoxitin)merupakan obat pilihanpada kasus-kasus ringan sampai sedang. Apabila kasusnya
berat atau memburuk secara progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin
ataupun metronidazolesebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. 8
Gambar 23
Figure 54-26 Diagnostic and therapeutic algorithm of patients with ascending cholangitis.
CT, computed tomography; ERCP, endoscopic retrograde cholangiopancreatography; IOC,
intraoperative cholangiogram; LAP, laparoscopic; MRCP; magnetic resonance
cholangiopancreatography; PTC, percutaneous transhepatic cholangiography.
Atresia 10, 11
Selama evaluasi, pasien dapat diberi :
A) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam
litokolat), dengan memberikan :
– Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim
glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+–K+–ATP–ase (menginduksi
aliran empedu).
– Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik
asam empedu sekunder(8).
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
– Asam ursodeoksikolat, 3–10 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik(21).
B) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.
C) Terapi bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya
meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai
berikut:
-Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat, meskipun telah
diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison selama 5 hari.
-Gamma-GT meningkat > 5 kali
-Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
-Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah
portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II. Pada atresia
bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk
menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan frozen section.
Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun
tidak ada duktus bilier yang paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk
menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan
transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Ada peneliti yang menyatakan
adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah
menjalani operasi Kasai. Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita :
-atresia bilier tipe III
- yang telah mengalami sirosis
-kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat
-pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran empedu.
Terapi medik diindikasikan pada pasien dengan pasien dengan kondisi umum yang tidak baik
untuk prosedur operasi dan pasien dengan tumor yang tidak bisa diangkat.
Teknik endoskopi pada sumbatan meliputi spingterektomi, dilatasi balon pada striktur.
Endoprostetik transhepatik insersi perkutan juga menunjukkan keberhasilan, tetapi
meningkatkan komplikasi.
Kemoterapi telah dicoba pada pasien tetapi tidak menunjukkan keuntungan.
Radio terapi intraoperative menggunakan sten bilier dengan iridium (Ir 192), radium, atau
cobalt (Co 60), radioimunoterapi menggunakan sodium iodide (I 131). Radioterapi internal
bisa dikombinasikan dengan drainase bilier, tetapi kemajuannya belum terbukti.
Tumor 14
Terapi pembedahan:
Indikasi pembedahan meliputi:
- Tidak ada metastasis ke hati, tidak ada karsinomatosis dan tidak ada perluasan ke vaskuler.
- Pasien yang mempunyai keadaan umum yang baik.
Kontraindikasi:
- Jika tumor telah meluas ke vena porta atau arteri hepatica.
- Metastasis yang melibatkan paritonel yang difus.
- Invasi vaskuler.
- Pasien yang mempunyai resiko tinggi pada anestesi general dan pembedahan karena kondisi
umum kesehatannya.
Reseksi adalah perawatan yang terbaik dan paliasi yang terbaik. Keuntungan dari reseksi
meliputi kemungkinan sembuh untuk jangka waktu yang lama, terutama pada pasien dengan
tumor bagian distal. Reseksi adalah paliasi yang paling baik dari terjadinya komplikasi
infeksi. Tipe prosedur pembedahan tergantung pada lokasi dan perluasan dari penyakit.
Tumor proksimal (Klatskin tumor) dapat dimanage dengan teknik yang bervariasi, meliputi:
· Pasien dengan tumor perihiler, tanpa invasi vascular, dapat dengan eksisi local.
· Tumor tipe III dengan lobektomi hepar kanan atau kiri.
Reseksi pada kandung empedu, mungkin dapat dikombinasikan dengan reseksi hepar,
rekontruksi dapat dilakukan dengan unilateral atau bilateral hepatikojejunostomi dengan
menggunakan stents transhepatik.
Tumor kandung empedu yang moderat dapat dimanage dengan reseksi kandung empedu dan
rekontruksi Roux-en-Y. Tumor yang tidak dapat direseksi dapat di manage dengan
kolesistektomi, Roux-en-Y hepatikojejunostomi, atau koledojejunostomi proksimal dari
tumor, dan gastrojejunostomi dan simpathektomi kimia.
Tindakan preorerative:
Stage dari penyakit dapat dievaluasi dengan menggunakan CT scac dan MRI.
Pelibatan vaskuler dapat diidentifiksi dan ditegakkan dengan CT scan, MRI dan angiografi.
Pasien dengan resiko tinggi pembedahan dan anestesi, dan kardial dan pulmo perlu
dipertimbangkan kehati-hatian operasi, atau tidak dilakukan.
Tindakan intraoperative:
Pencegahan dengan melakukan kolesistektomi pada penderita kolelitiasis merupakan cara
yang paling baik. Cara ini terbukti menurunkan angka kejadian karsinoma kandung empedu.
Diperkirakan setiap melakukan 100 kolisistektomi dapat dicegah satu penderita karsinoma
kandung empedu. Apabila ditemukan karsinoma kandung empedu ditemukan sewaktu
laparotomi, harus dilakukan kolisistektomi dan reseksi baji hepar selebar 3-5 cm disertai
diseksi kelenjar limf regional di daerah ligamentum hepatoduodenale.
Reseksi yang lebih luas seperti hemihepatektomi atau lobektomi, tidak memberi hasil yang
lebih baik.
Laparoskopi dapat berguna pada identifikasi metastasis dan penyakit peritoneal,
ultrasonografi juga berguna untuk tindakan intraoperative. Laparatomi eksplorasi dapat
dilakukan pada pasien yang keadaan umumnya baik untuk pembedahan dengan tidak ada
metastasis pada pemeriksaan preoperative.
Tindakan post operative:
Pasien mempunyai resiko komplikasi yang umum, meliputi pneumonia, trombosis vena, dan
infeksi. Pemberian antibiotik dan koagulopati diijinkan. Fisioterapi, latihan nafas dianjurkan.
Komplikasi postoperasi dapat local atau general. Komplikasi general meliputi:
· Infarct Myocardial
· Pneumonia
· Infeksi pada daerah pembedahan.
· Thrombosis vena
· Embolisme Pulmo
Komplikasi dari teknik pembedahan meliputi:
· Striktur
· Perdarahan postoperasi
Komplikasi dari pemasangan stent meliputi:
· Awal - Kolangitis (7%) dan perforasi
· Lambat - Blokade and migrasi stent
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis 8, 12:
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
- Empiema
- Perikolesistitis
- Perforasi
5. Kolesistitis kronis
- Hidrop kandung empedu
- Empiema kandung empedu
- Fistel kolesistoenterik
- Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun
dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan
dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan
dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan
nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya
peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus
koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Komplikasi kolangitis 8
- renal failure
- gagal nafas
- Pneumonia
- GI bleeding
- Sepsis
- Multiple organ failure
2.12 Prognosis
Angka kesembuhan cukup tinggi apabila kolesistitis ditangani sebelum ada penyulit. Adapun
penyulit-penyulit yang dapat timbul antara lain: empiema kandung empedu, perluasan
sumbatan ke arah usus, sepsis, pankreatitis, dan pecahnya kandung empedu.
Kolangitis
Biasanya buruk jika terjadi sepsis atau multiple organ failure yang disebabkan olehinfeksi
berat multiple organ failure mempunyai chance of survival yang baik jikadilakukan bile
decompresion dan pemberianantibiotika intravena yang adekuat.
Atresia10, 11
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran histologik
porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhāsilannya 71–86%,
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya
34–43,6%. Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1–60 hari, 61–70 hari, 71–90 hari dan > 90
hari, maka masing-masing akan memberikan kebcrhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%,
35%, 23%, dan 11%. Scdangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup
3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan(1). Anak termuda yang
mengalami operasi Kasai berusia 76 jam.
Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi
> 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier
ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi pcnyulit hipertensi portal.
Prognosis biasanya ditentukan dengan mempertimbangkan umur , riwayat sirosis atau abses
hati, dan jenis kelamin.
Tumor 14
Pilihan pengobatan dan prognosis sangat ditentukan oleh lokasi dari tumor. Prognosis adalah
baik jika tumor kandung empedu pada distal, dan tumor polipoid. Beberapa factor yang
menunjukkan adanya prognosis yang jelek meliputi keterlibatan pada nodus limfatikus, invasi
vaskuler, stage T yang luas, dan mutasi dari gen P 53.
Rata-rata peluang hidup pada reseksi curative adalah 67-80 % dalam 1 tahun dan 11-21 %
dalam 5 tahun. Reseksi local mempunyai rata-rata kematian (8 %) dari pada reseksi hepar
mayor (15 %), dengan waktu harapan hidup 21 bulan dibandingkan 24 bulan pada reseksi
hepar mayor.
Pada kanker distal kandung empedu, rata-rata reseksi lebih dari 60 %, dan prognosisnya lebih
baik dari pada tumor hiler, rata-rata umur harapan hidupnya 39 bulan. Variasi persentase
harapan hidup dari 50-70 % dalam 1 tahun, 17-39 % dalam 3 tahun.
Tumor intrahepatik yang difus kemungkinan meninggal dalam satu tahun.
Jika tidak dirawat, 50 % pasien dengan kanker kandung empedu dapat bertahan hidup sampai
1 tahun, 20 % selama 2 tahun, dan 10 % dapat bertahan dalam 3 tahun.