FINAL PAPER - Unhas

70

Transcript of FINAL PAPER - Unhas

Page 1: FINAL PAPER - Unhas
Page 2: FINAL PAPER - Unhas
Page 3: FINAL PAPER - Unhas

FINAL PAPER

PERBANDINGAN WAKTU OPERASI DINI DENGAN WAKTU

OPERASI TERTUNDA PADA FRAKTUR LEHER FEMUR

DENGAN TATA LAKSANA HEMIARTHROPLASTY BIPOLAR

COMPARISON EARLY VERSUS DELAYED TIME-TO-

SURGERY IN FEMORAL NECK FRACTURE TREATED

WITH BIPOLAR HEMIARTHROPLASTY

MUHAMMAD LUTHFI MUAMMAR

Page 4: FINAL PAPER - Unhas

PERBANDINGAN WAKTU OPERASI DINI DENGAN WAKTU OPERASI

TERTUNDA PADA FRAKTUR LEHER FEMUR DENGAN TATA

LAKSANA HEMIARTHROPLASTY BIPOLAR Muhammad Luthfi Muammar

Abstrak

Latar Belakang

Fraktur segmen proksimal dari femur sering dijumpai pada pasien usia

lanjut dan merupakan masalah medis dan sosioekonomik. Atrofi otot dapat terjadi

sebagai konsekuensi dari immobilisasi. Waktu dilakukannya operasi adalah salah

satu faktor yang dapat dimodifikasi serta memiliki dampak terhadap kemampuan

pasien untuk kembali ke kehidupan sehari-hari Penelitian ini dilakukan untuk

menelusuri lebih lanjut hubungan antara penundaan waktu dilakukannya operasi

dengan kemampuan pasien kembali ke kehidupan independen.

Materi dan Metode

Penelitian ini adalah Retrospective Longitudinal Study dengan 50 subyek

fraktur neck femur dengan rentang usia 50 keatas yang diterapi dengan bipolar

hemiarthroplasty dari bulan Januari 2014 hingga Februari 2016. Kemampuan

pasien kembali ke kehidupan independen dinilai menggunakan Salvati Wilson

Assessment Score yang kemudian dianalisis statistik dengan chi square test,

independent t-test dan Pearson’s correlation test

Hasil

50 kasus fraktur neck femur dengan rerata usia pasien 65,3 ± 8,8 tahun

terbagi dalam kelompok operasi lebih awal 23 pasien dan 27 pasien dalam

kelompok operasi yang tertunda. Terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu

dilakukannya operasi dengan hasil fungsi klinis menurut Skor Salvati Wilson,

dengan nilai p 0,003 (p<0,05), demikian pula dengan hubungan antara waktu

dilakukannya operasi dengan hasil Skor nyeri didapatkan korelasi yang signifikan

dengan nilai p 0,000 (p<0,05).

Kesimpulan

Kelompok dengan intervensi operasi lebih dini memberikan hasil yang

lebih baik.

Kata Kunci: Fraktur Neck Femur, Salvati and Wilson score, Imobilisasi, Atrofi

Otot.

Page 5: FINAL PAPER - Unhas

COMPARISON EARLY VERSUS DELAYED TIME-TO-SURGERY

IN FEMORAL NECK FRACTURE TREATED WITH BIPOLAR

HEMIARTHROPLASTY Muhammad Luthfi Muammar

Abstract

Background

Fractures of the proximal segment of the femur is common in elderly patients and

represents medical and socioeconomic problem. Muscle atrophy occurs as a

consequence of immobilization. Timing of surgery is a modifiable factor that is

known to have an affect on patient's ability to return to daily living. This study

was conducted to explore the relationship between the time of surgery to the

operation with the patient's ability to return to an independent life.

Materials and method

This study is a Retrospective Longitudinal Study with 50 subjects of femoral neck

fracture with age of 50 above and were treated with bipolar hemiarthroplasty from

January 2014 to February 2016. The patient’s ability to return to an independent

life is assessed by using the Salvati Wilson Score and analyzed with chi square

test, independent t-test and Pearson’s correlation test.

Result

Fifty femoral neck fracture cases with a mean age of 65,3 ± 8,8 years were

divided into groups of early surgery in 23 patients and 27 patients in the delayed

surgery group. There was significant correlation between the timing of the

operation with the results of clinical function grading using the Salvati Wilson

Score, with p value 0.003 (p < 0.05). There was also significant correlation

between the timing of the surgery with the results of the pain score, with p value

0.000 (p < 0.05).

Conclussion

The group with earlier surgical intervention give better result

Keywords : Fractures of Neck Femur, Salvati and Wilson score, immobilization,

muscle atrophy.

Page 6: FINAL PAPER - Unhas

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR GRAFIK v

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang Penelitian 1

1.2. Rumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.3.1. Tujuan Umum 3

1.3.2. Tujuan Khusus 3

1.4. Kegunaan Penelitian 3

1.4.1. Kegunaan teoritis 3

1.4.2. Kegunaan praktis 3

BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka 4

2.1.1 Anatomi yang terlibat dan mekanisme cedera

dalam fraktur neck femur 4

2.1.2 Epidemiologi dan faktor resiko

fraktur neck femur 10

2.1.3 Klasifikasi fraktur neck femur 11

2.1.4 Manifestasi klinis dan evaluasi fraktur

Page 7: FINAL PAPER - Unhas

ii

neck femur 13

2.1.5 Penyembuhan fraktur neck femur 13

2.1.6 Penanganan fraktur neck femur 14

2.1.6.1 Pemilihan dan Peletakan Implan 16

2.1.7 Komplikasi fraktur neck femur 17

2.1.8 Hubungan waktu penundaan operasi dengan

Nilai fungsional klinis 18

2.2. Kerangka Pemikiran 28

2.3. Hipotesis 28

BAB III. BAHAN / OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Bahan / Objek Penelitian 29

3.1.1. Tempat dan Waktu Penelitian 29

3.1.2. Populasi Penelitian 29

3.1.3. Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel 29

3.1.4. Perkiraan Besar Sampel 30

3.1.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 30

3.1.6. Alat dan Bahan 30

3.2. Metode Penelitian 31

3.2.1. Desain Penelitian 31

3.2.2. Cara Kerja Penelitian 31

3.2.3 Alur Penelitian 34

3.2.4. Alokasi Subyek 35

3.2.5. Klasifikasi Variabel 35

Page 8: FINAL PAPER - Unhas

iii

3.2.6. Defenisi Operasional 35

3.2.7 Analisa Statistik 36

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 37

4.2 Pembahasan 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 53

5.2 Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 58

Page 9: FINAL PAPER - Unhas

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Statistik deskriptif dari variabel yang diteliti 37

Tabel 2. Distribusi Kategori SWS berdasarkan jenis kelamin 38

Tabel 3. Distribusi Kategori SWS berdasarkan kelompok usia 39

Tabel 4. Korelasi antara durasi fraktur dengan VAS dan SWS 40

Tabel 5. Perbandingan antara skor VAS dan SWS berdasarkan

kelompok 43

Tabel 6. Korelasi antara durasi fraktur dengan durasi operasi 44

Tabel 7. Perbandingan rincian skor SWS berdasarkan kelompok 45

Tabel 8. Correlation of SWS Items in Early Group 47

Tabel 9. Correlation of SWS Items in Delayed Group 47

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi femur proksimal 4

Gambar 2 . Anatomi femoral anteversion frontal plane 7

Gambar 3. Arsitektur tulang berdasarkan physical stress menurut hukum

Wolf pada proksimal femur 8

Gambar 4. Faktor Mekanik yang terlibat dalam fraktur tulang panggul 9

Gambar 5. Anatomi pembagian zona femur proksimal 11

Gambar 6. Klasifikasi Pauwel 12

Gambar 7. Klasifikasi Garden 12

Gambar 8. Autofagi intraselular 17

Gambar 9. Jalur akt m-TOR dalam regulasi protein 21

Gambar 10. Autofagi Intraseluler 23

Page 10: FINAL PAPER - Unhas

v

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Distribusi skor SWS berdasarkan jenis kelamin 38

Grafik 2. Distribusi skor SWS berdasarkan kelompok usia 39

Grafik 3. Korelasi antara durasi fraktur dengan skor VAS 40

Grafik 4. Korelasi antara durasi operasi dengan skor VAS 40

Grafik 5. Korelasi antara drain dengan skor VAS 41

Grafik 6. Korelasi antara durasi fraktur dengan skor SWS 41

Grafik 7. Korelasi antara durasi operasi dengan skor SWS 42

Grafik 8. Korelasi antara drain dengan skor SWS 42

Grafik 9. Rerata skor VAS berdasarkan kelompok 43

Grafik 10. Rerata skor SWS berdasarkan kelompok 44

Grafik 11. Rata-rata skor nyeri berdasarkan kelompok 45

Grafik 12. Rata-rata skor berjalan berdasarkan kelompok 46

Grafik 13. Rata-rata skor berjalan berdasarkan kelompok 46

Grafik 14. Rata-rata skor fungsional berdasarkan kelompok 47

Page 11: FINAL PAPER - Unhas

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Fraktur segmen proksimal dari femur sering dijumpai pada pasien usia

lanjut dan merupakan masalah medis dan sosioekonomik. Limitasi dari mobilitas

paska fraktur menjadi masalah yang sering dijumpai dan pada umumnya dipersulit

dengan penurunan kekuatan otot-otot anggota gerak bawah. Selain itu, penelitian

juga telah menunjukkan bahwa defisit kekuatan otot sangat besar setelah fraktur

femur proksimal. 1

Fraktur neck femur terjadi pada area dimana periosteum yang tipis atau

tidak ada periosteum dan intrakapsuler, dimana cairan synovial mencegah

konsolidasi hematom, sehingga menjadi predisposisi fraktur ini cenderung non

union. Pada fraktur yang bergeser, pembuluh darah yang kaya pada kepala femur

dapat terganggu atau menghilang, sehingga cenderung terjadi osteonecrosis dan

perubahan degeneratif sekunder pada kepala femur.2

Pada pasien-pasien tua dengan fraktur neck femur hampir seluruhnya

karena cedera dengan energi rendah yang terjadi dengan arah berputar secara tidak

langsung mengakibatkan rotasi eksternal pada tungkai bawah. Hal ini

mengakibatkan terhalangnya neck femur yang osteoporotik kearah lip posterior

dari acetabulum, sehingga terjadi fraktur neck femur dengan posterior

comminution. Terjatuh dengan benturan langsung pada greater trochanter dapat

menghasilkan fraktur dengan valgus impaction. 2

Page 12: FINAL PAPER - Unhas

2

Waktu dilakukannya pembedahan adalah salah satu faktor yang dapat

dimodifikasi serta memiliki dampak terhadap kemampuan pasien untuk kembali

ke aktivitas sehari-hari. Hubungan antara waktu dilakukannya pembedahan fraktur

proksimal femur dengan hasil akhir operasi telah menjadi subjek penelitian untuk

waktu yang lama. Waktu penundaan operasi yang singkat berkaitan dengan

penurunan tingkat komplikasi paska operasi. Chilov et al. telah mempublikasikan

bahwa operasi yang dilakukan sedini mungkin (dalam 24 hingga 36 jam paska

admisi ke rumah sakit) berhubungan dengan komplikasi paska operasi yang lebih

minimal (pneumoni, konfusi, ulkus decubitus) dan waktu tinggal di rumah sakit

yang lebih singkat. Namun, operasi yang dini tidak memperpanjang harapan hidup

pasien.5, 6

Penelitian ini dilakukan untuk menelusuri lebih lanjut hubungan antara

penundaan waktu dilakukannya operasi dengan nilai fungsional klinis pasien

sehingga data yang kemudian dihasilkan dapat dijadikan sebagai pedoman kerja

dalam tatalaksana pasien dengan fraktur neck femur di bagian Bedah Ortopedi dan

Traumatologi Rumah Sakit Wahidin Soedirohusodo.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka timbul pertanyaan, “Pada

pasien dengan fraktur neck femur yang ditatalaksana menggunakan bipolar

hemiarthroplasty, apakah terdapat hubungan antara waktu penundaan operasi

yang singkat dengan nilai fungsionalnya paska operasi?”

Page 13: FINAL PAPER - Unhas

3

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk membandingkan hasil fungsional klinis antara fraktur neck femur

yang dioperasi dengan bipolar hemiarthroplasty dengan waktu penundaan operasi

yang dini dan lama

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengevaluasi hasil fungsional klinis dari pasien-pasien dengan fraktur

neck femur dengan waktu penundaan operasi yang singkat

2. Mengevaluasi hasil fungsional klinis dari pasien-pasien dengan fraktur

neck femur dengan waktu penundaan operasi yang lama

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Memberikan konfirmasi ilmiah tentang perbedaan nilai fungsional klinis

yang timbul sebagai akibat penundaan masa operasi secara dini dan terlambat.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan

dalam hal masa dilakukannya operasi bagi pasien-pasien dengan fraktur neck

femur

Page 14: FINAL PAPER - Unhas

4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. KAJIAN PUSTAKA

2.1.1. Anatomi yang terlibat dan Mekanisme Cedera dalam Fraktur

Neck Femur

Bentuk dari femur cukup kompleks dengan bengkokan dan putaran yang

mengubah struktur tubularnya. Bengkokan anterior dari bagian tengah femur

sangat dikenal. Bagian sering dikenal dengan sebutan lengkungan anterior karena

posisi dari pisahan femur yang mengambil tempatnya saat diletakan pada area

horizontal, bersandar pada margin posterior dari trokanter dan aspek posterior

kondilus. Namun, in vivo orientasinya agak berbeda. Pada posisi berdiri, bagian

tengah femur lebih ke posisi koronal dengan bagian distal condong ke arah

posterior lutut dan bagian proximal ke arah anterior acetabulum.7

Gambar 1. Anatomi proksimal femur

7

Lengkungan posterior femur proximal tetap konstan seperti bagian tengah

anteriornya. Bagian tengah dari lengkungan posterior proximal berlawanan

Page 15: FINAL PAPER - Unhas

5

dengan level lesser trochanter. Lengkungan ini bersifat konstan. Penting diketahui

juga radius dari kelengkungan tidak berubah secara dramatis dengan ukuran

femur. Panjang kurva meningkat seiring peningkatan ukuran femur dari dasar

leher hingga lengkungan berlawanan arah di distal dari lesser trokanter, tetapi

radius dari lengkungan tetap konstan. 7

Kepala femur menonjol dibandingkan badan femur. Hal ini terjadi karena

leher femur membuat sudut miring dengan shaft dengan ukuran rata-rata 125o-

140o.walaupun ada variabilitas bermakna pada sudut leher – shaft dan panjang

leher, pada umumnya pusat dari kepala femur memanjang ke medial dan proximal

dari leher femur sehingga pusat kepala femur pada level ujung grreater trohanter.

Efek dari kepala dan leher yang menonjol ini untuk melateralisasi abduktor, yang

menempel pada greater trochanter, dari pusat rotasi (titik tengah kepala femur). Ini

meningkatkan tenaga yang ditimbulkan abduktor dan mengurangi keseluruhan

tenaga yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan pelvis selama posisi berdiri

dengan satu kaki. Mengurangi ungkitan ini (coxavalga) meningkatkan beban total

di panggul dan coxavara menguranginya sementara meningkatkan ungkitannya.

(coxavara dengan leher pendek memiliki efek negatif). 7

Pandangan koronal femur secara umum direferensikan sebagai bagian

distal posterior kondilus femur. Saat diorientasikan pada pandangan ini, dapat

terlihat femur proximal, termasuk kepala dan leher fmeur, terrotasi ke anterior.

Hal ini secara umum disebut anteversi leher-kepala femur. 7

Femur adalah tulang terpanjang dan terkuat di tubuh, panjangnya

diasosiasikan dengan gaya langkah manusia dan kekuatan dengan kekuatan berat

dan otot yang harus ditanggung. Bagian ujung atas memiliki kepala yang bundar

Page 16: FINAL PAPER - Unhas

6

dan bagian bawahnya melebar membentuk 2 kondilus. 7

Leher femur sepanjang 5 cm dan menghubungkan kepala dan shaft, yang

membentuk sudut 125o-140

o. posisi ini memfasilitasi pergerakan dari sendi

panggul dan memungkinkan tungkai bawah untuk bergerak tanpa mengenai

pelvis. Sudut ini lebih kecil pada wanita karena pelvis yang lebih lebar. Leher

tersempit pada bagian tengah dan lebih lebar pada bagian lateral daripada medial.

Kedua batasnya bundar. Batas atasnya mengarah horizontal dan membentuk sudut

konkav ke atas. Batas bawahnya lebih lurus dan oblik dan mengarah ke bawah,

lateral dan ke belakang, bertemu dengan shaft di daerah lesser trochanter.

Permukaan anterior leher menipis dan garis kasar yang prominen yang dinamakan

garis intertrochanter menandakan persambungannya dengan shaft. Permukaan

posterior lebih convex ke arah belakang dan keatas pada axis transversenya,

konkave pada aksis panjangnya dan oerwambungannya dengan shaft ditandai

dengan garis bundar, yang dinamakan crest intertrochanter. Permukaan anterior

leher seluruhnya intrakapsular dengan hanya sebagian kecil bagian medial leher

terposisi di bagian posterior kapsul. Leher femur tidak terposisi pada sudut yang

sama dengan shaft, tetapi lebih ke arah depan seiring dengan naiknya ke atas dan

medial. Karena ini, aksis transversus dari kepala femur membentuk suatu sudut

dengan aksis transversus dari bagian bawah tulang dan sudut ini dikenal dengan

nama sudut torsi femoral (sekitar 15 derajat). 7

Page 17: FINAL PAPER - Unhas

7

Gambar 2. Anatomi femoral anteversion frontal plane

7

Femur terdiri atas tiga kompartemen yang dipisahkan oleh fascia.

Kompartemen anterior terdiri atas otot-otot ekstensor lutut ( quadriceps femoris

yang terdiri dari : rektus femoris, vastus intermedius, vastus medial, vastus lateral

dan Sartorius ) diinervasi oleh nervus femoralis pada bagian yang berasal dari

pleksus lumbalis L 2-4 untuk quadrisep femoris dan L 2-3 untuk Sartorius. Otot

rektus femoris juga berfungsi sebagai otot fleksor yang lemah pada sendi panggul,

sedangkan Sartorius memiliki fungsi untuk abduksi dan rotasi medial dari paha.

Kompartemen ini mencakup tensor fascia latae, otot-otot iliacus dan psoas mayor,

serta arteri, vena nervus femoralis dan nervus cutaneus lateral femoris.1,2

Kompartemen medial terdiri dari otot-otot adduktor (gracilis, adduktor

longus, adduktor brevis, adduktor magnus, pectineus ) dan otot obturator

eksternus, yang diinervasi oleh nervus obturatorius. Otot pectineus dan adduktor

magnus menerima persarafan ganda yaitu dari nervus femoralis dan nervus skiatik.

Kompartemen ini juga mencakup arteri femoralis profunda, serta arteri, vena dan

nervus obturatorius. Kompartemen posterior terdiri dari otot-otot fleksor ( biceps

femoris, semitendinosus dan semimembranosus ) yang juga berfungsi untuk

ekstensi panggul, serta cabang dari arteri femoralis profunda, nervus skiatik dan

Page 18: FINAL PAPER - Unhas

8

nervus kutaneus femoral posterior. Kelompok otot ini diinetrvasi oleh nervus

skiatik. Biceps femoris juga berfungsi untuk ekstensi panggul, adduksi serta

eksternal rotasi dari paha, serta fleksi dari tungkai bawah. Long head dari biceps

femur mendapat inervasi oleh nervs tibialis (L5-S2), short head menerima inervasi

dari nervus peroneal komunis (S1-2). Otot semimembranoss dan semi tendinosus

berfungsi juga untuk rotasi internal paha diinervasi oleh nervus tibialis (L5-S2).2

Gambar 3. Arsitektur Tulang berdasarkan Physical Stress Menurut Hukum Wolff

pada Proksimal Femur 1,2

Pada saat tubuh berdiri, bagian proksimal femur mengalami tekanan tensil

dan kompresif yang besar terutama pada regio intertrokanter dan subtrokanter.

Pada daerah metadiafisis terdapat suatu pola trabekular tulang yang terbentuk

untuk menahan deforming force yang bekerja akibat tarikan otot-otot sekitar

panggul. Pola trabekular terbentuk berdasarkan directional alignment dari beban

tubuh yang diberikan pada bagian proksimal femur. Mekanisme adapatasi dinamik

yang terjadi merupakan stimulus terhadap adaptasi tulang yang terbebani .2,12

Pola trabekula pada proksimal femur terdiri dari grup kompresif primer yang

terbentuk mulai area korteks subtrokanter kearah medial dan ke arah superior

Page 19: FINAL PAPER - Unhas

9

bagian caput femoris serta grup tensil primer yang menjangkau mulai fovea ke

bagian superior dari collum femur dan lateral dari korteks subtrokanter. Selain

grup kompresif dan tensil primer, grup kompresif sekunder, tensil sekunder dan

trokanter mayor turut melengkapi pola orientasi trabekular. Keseimbangan dari

pola orientasi trabekula pada proksimal femur akan memberikan mekanisme

adaptatif terhadap beban gaya yang diberikan pada saat aktifitas.2

Terdapat beberapa deforming muscle forces yang akan menyebabkan

pemendekan, eksternal rotasi dan varus pada fraktur yaitu: Iliopsoas

menyebabkan trokanter minor bergeser ke medial dan proximal, Abduktor

menyebabkan trokanter mayor bergeser ke lateral dan proksimal, serta kelompok

otot Fleksor, ekstensor dan adduktor pinggul menyebabkan pergeseran distal

fragmen tertarik ke proksimal.

Gambar 4.Faktor mekanik yang terlibat dalam fraktur tulang panggul 1,3

Seperti yang digambarkan pada gambar diatas, beberapa faktor

memainkan peranan dalam mekanisme trauma yang mengarah kepada fraktur

Page 20: FINAL PAPER - Unhas

10

panggul. Faktor-faktor tersebut mencakup status neuromuskuler, status kognitif,

arah jatuh, jumlah energi dan ketinggian lokasi jatuh, lokasi kontrak, keterlibatan

jaringan lunak, densitas mineral tulang, dan geometri tulang.11

2.1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko Fraktur Neck Femur

Populasi Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 20% pada empat dekade kedepan,

dari 251 juta jiwa pada tahun 2013 menjadi 300 juta jiwa pada tahun 2050. Angka

harapan hidup akan mencapai usia 80 tahun pada 2050, meningkat 11% dibanding

saat ini pada usia 72 tahun. Peningkatan drastis ini pada kelompok umur diatas 50

tahun dan 70 tahun, dengan perkiraan menunjukkan pada 2050 kelompok umur

ini akan meningkat menjadi 135% ke 113 juta jiwa dan menjadi 294% ke 40,8

juta jiwa. Pada 2050, mereka dengan resiko osteoporosis, baik laki-laki dan

perempuan berumur diatas 50 tahun, akan menjadi sepertiga dari populasi total

orang Indonesia.19

Dhar, S A dkk. pada tahun 2008 melaporkan kejadian patah tulang pinggul

akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang signifikan.

Hagino dkk. melaporkan risiko seumur hidup dari patah tulang pinggul untuk

individu pada 50 tahun sebesar 5,6% untuk pria dan 20,0% untuk wanita.2, 3,10

Berbagai faktor berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya fraktur

panggul, antara lain: Jenis kelamin ( Fraktur panggul lebih sering dijumpai pada

kaum wanita. Wanita paska menopause memiliki kecenderungan dua kali lipat

lebih sering untuk mengalami fraktur pada daerah panggul ), peningkatan usia,

polifarmasi (kaum usia lanjut lebih cenderung untuk mengkonsumsi medikasi

dalam jumlah banyak dan mencakup anxiolitik, opiate, dan diuretic, untuk kondisi

medis kronik), indeks massa tubuh yang rendah, densitas mineral tulang yang

Page 21: FINAL PAPER - Unhas

11

rendah, penggunakan kronik alkohol dan rokok, disabilitas lainnya seperti stroke,

penyakit parkinson, dan neuropati serta riwayat fraktur panggul sebelumnya.10

2.1.3. Klasifikasi Fraktur Neck Femur

Berbagai klasifikasi telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi

fraktur neck femur dan untuk pemilihan metode penatalaksanaan. Pada

kebanyakan kasus, yang harus dibedakan adalah apakah kasus ini adalah fraktur

neck femur atau fraktur intertrochanter. Pada kasus fraktur neck femur

osteosynthesis atau arthroplasty dipilih berdasarkan derajat pergeseran sesuai

klasifikasi Garden setelah mempertimbangkan umur dan aktivitas pasien. Saat

osteosynthesis dilakukan, pemilihan implant yang digunakan dapat berubah sesuai

klasifikasi Pauwel, setelah mengevaluasi instabilitas dari sudut garis fraktur

utama. (Hiroaki Kijima The Reliability of Classifications of Proximal Femoral)

Gambar 5.Anatomi pembagian zona femur proksimal

Fraktur neck femur diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis sebagai

(a) subcapital, (b) transcervical atau (c) basicervical. Pada tahun 1928, Pauwel

mengklasifikasikan fraktur neck femur kedalam tiga tipe tergantung dari derajat

sudut yang dibentuk garis fraktur dengan garis horizontal. Klasifikasi ini

berdasarkan teori biomekanik yaitu peningkatan sudut menyebabkan peningkatan

Page 22: FINAL PAPER - Unhas

12

shear force melintasi garis fraktur, mengakibatkan meningkatnya insiden non

union. Klasifikasi Garden berdasarkan dari derajat pergeseran dan pengaruhnya

pada stabilitas serta insiden avasculer necrosis. Hubungan antara kompresi medial

dari trabekula pada kepala femur dan pelvis digunakan sebagai index pergeseran.2

Gambar 6. Klasifikasi Pauwel2

Gambar 7. .Klasifikasi Garden

2

Page 23: FINAL PAPER - Unhas

13

2.1.4. Manifestasi Klinis dan Evaluasi Fraktur Neck Femur

Pasien-pasien dengan fraktur neck femur yang bergeser adalah non

ambulatory, dengan tungkai bawah terjadi pemendekan dan rotasi eksternal.

Walaupun demikian, pasien-pasien dengan fraktur impaksi tidak memiliki

deformitas dan memungkinkan untuk berdiri. Nyeri tekan hip anterior serta nyeri

pada penekanan bi-trokanterik pada pergerakan hip biasa menyertai hal tersebut.

Adanya nyeri hip sebelumnya harus menjadi peringatan bagi dokter tentang

kemungkinan adanya fraktur patologis. Sekitar 10% dari pasien-pasien ini juga

mengalami fraktur osteoporotik pada tungkai atas terutama pada bahu dan

pergelangan tangan.2

2.1.5. Penyembuhan Fraktur Neck Femur

Proses penyembuhan tulang cancellous memiliki ciri-ciri berupa

kurangnya nekrosis tulang, pembentukan hematoma, aktivasi kaskade inflamasi

serta tidak adanya kalus eksternal. Peninjauan histologis dari proses penyembuhan

ini menunjukkan bahwa fraktur tulang cancellous terjadi dalam beberapa stadium

yang saling tumpang tindih berupa: (a) stadium pertama (pembentukan

hematoma) dengan durasi 3 hari pertama dimana terjadi pembentukan hematoma

yang minimal, (b) stadium kedua (proliferasi sel) dengan durasi segera setelah

operasi hingga 3 minggu kemudian dimana terjadi aktivasi sel mesenkim dan

diferensiasi sel tersebut, (c) stadium ketiga (pembentukan woven bone), dengan

durasi 5 hari hingga 4 minggu paska operasi dimana terbentuk tulang trabekula

yang baru, (d) stadium keempat (pembentukan lamellar bone), dengan durasi 9

hari hingga 6 minggu, dan (e) stadium kelima (remodeling tulang), dengan durasi

mulai dari 2 hingga 6 minggu paska operasi. 12, 13

Page 24: FINAL PAPER - Unhas

14

2.1.6. Penanganan Fraktur Neck Femur

Fraktur impaksi secara umum lebih stabil, walaupun demikian, sekitar 8-

33% fraktur impaksi akan bergeser bila tidak dilakukan stabilisasi internal. Fiksasi

in situ dengan tiga buah cancellous screw mempunyai angka union rate hingga

100% dan juga aman untuk tipe fraktur ini. Sekitar 10% pasien-pasien ini dapat

mengalami osteonekrosis, dan hal ini mempengaruhi pembuluh darah epifisis

lateral, tertambatnya pembuluh darah medial pada posisi valgus atau hipertensi

intrakapsuler. Adanya fraktur patologis, arthritis sebelumnya, dan gangguan

metabolik lainnya memerlukan penggantian prostetik.2

Semua fraktur subcapital yang bergeser memerlukan penganan bedah.

Keputusan yang harus diambil oleh ahli bedah adalah apakah untuk tatalaksana

fraktur ini dengan reduksi dan fiksasi internal atau dengan arthroplasty primer.

Pada pasien-pasien usia muda dengan kualitas tulang yang normal, reduksi

tertutup/reduksi terbuka secara emergensi dengan internal fiksasi diperlukan. Pada

pasien-pasien usia tua penatalaksanaan tergantung dari umur, status fungsional

sebelum cedera, kualitas tulang dan angka harapan hidup. Pada pasien-pasien

sampai umur 75 tahun yang dapat berjalan dengan tuntutan fungsional tinggi dan

kualitas tulang yag baik, reduksi dini dan fiksasi internal yang rigid

direkomendasikan. Jika pasien mempunyai tuntutan fungsional yang rendah atau

kualitas tulang yang rendah maka hemiarthroplasty modular bipolar atau total hip

arthroplasty lebih diutamakan. Untuk mendapatkan berjalan dini dan menghindari

masalah-masalah seperti non union dan osteonekrosis, banyak ahli bedah

merekomendasikan penggantian prostetik primer pada pasien-pasien tua yang

Page 25: FINAL PAPER - Unhas

15

dapat berjalan. Pada pasien-pasien diatas 75 tahun maka penggunaan

hemiarthroplasty bipolar dengan semen dianjurkan.2

Tujuan dari operasi adalah fiksasi internal yang stabil untuk memudahkan

pergerakan awal paska bedah. Stabilitas dari fiksasi fraktur bergantung kepada

kualitas tulang, pola fraktur, reduksi fraktur, desain implant dan peletakan

implant. Seorang ahli bedah harus memiliki kendali terhadap reduksi yang

dilakukan, jenis implant, dan peletakannya. 2, 4

Reduksi fraktur

Reduksi anatomis segera adalah sebuah prioritas, semakin dini reduksi

dilakukan semakin mengurangi resiko osteonekrosis dan reduksi anatomis

meningkatkan angka union. Teknik reduksi tertutup telah digambarkan oleh

Whitman (reduksi saat ekstensi) dan Leadbetter (reduksi saat fleksi). Tujuannya

adalah reduksi anatomis atau dengan kepala femur sedikit valgus dan version yang

netral atau anteversi yang minimal. Adanya varus atau retroversi tidak ditolerir,

karena akan mengakibatkan tingginya insiden fiksasi yang terganggu dan

pergeseran kembali. Reduksi harus diperiksa secara fluoroskopi dan reduksi yang

memuaskan dapat dievaluasi dengan index kesejajaran Garden. Jika reduksi

memuaskan tidak dapat dicapai dengan reduksi tertutup, reduksi terbuka

menggunakan pendekatan Watson Jones anterolateral hip diindikasikan. Interval

antara tensor fascia lata dan otot-otot abduktor dipisahkan secara tumpul, dan

vastus lateralis diangkat menjauhi intertrochanteric ridge. Kapsul dibagi secara

anterior sepanjang aksis neck femur dan dilepaskan secara transverse dari

insersinya ke arah proksimal femur. Dengan bantuan jahitan, fraktur dapat

tervisualisasikan. Pengait tulang dapat digunakan untuk mengimpaksi fraktur

Page 26: FINAL PAPER - Unhas

16

dengan melakukan tekanan langsung dari lateral, dan instrumen yang tumpul

dapat dimasukkan untuk menambah reduksi (mengangkat fragment kearah

anterior). Daerah insersi untuk alat fiksasi internal pada aspek lateral dari ujung

proksimal femur akan lebih mudah tervisualisasi.2

2.1.6.1. Pemilihan dan Peletakan Implan

Penggantian prostetik

Penggantian prostetik dibandingkan dengan fiksasi internal mempunyai kelebihan

pada ambulasi lebih dini dengan weight bearing penuh dan menurunkan resiko

non union dan osteonekrosis serta kegagalan stabilisasi. Walaupun demikian,

prosedur ini lebih ekstensif dan dihubungkan dengan kehilangan darah, durasi

operasi yang lebih lama, dan tingginya angka infeksi. Juga angka mortalitas dan

morbiditas meningkat saat prosedur penyelamatan yang dibutuhkan. Penggantian

prostetik dapat berupa hemiarthroplasty atau total hip arthroplasty tergantung

kasus individu tersebut.2

Page 27: FINAL PAPER - Unhas

17

Gambar 8. Perbedaan Monopolar dan Bipolar prostesis24

Prostesis hemiarthroplasty dapat berupa bipolar atau unipolar implant.

Keuntungan dari bipolar terhadap unipolar termasuk rendahnya resiko erosi

acetabulum, resiko rendah terhadap dislokasi setelah operasi dan lebih mudah

dikonversi ke total hip replacement karena adanya modular dari bipolar. Kerugian

dari bipolar termasuk resiko polyethylene debris dan seiring waktu, prostesis

bipolar dapat kehilangan pergerakan pada lapisan internal dan fungsinya menjadi

unipolar. Dengan adanya osteopenia dan porosis, fungsi klinis didapatkan dengan

penambahan semen polymethylmethacrylate, walaupun demikian, ada sedikit

resiko hipotensi intraoperatif dan resiko infeksi dengan penggunaan semen.2

2.1.7. Komplikasi Fraktur Neck Femur

Non union setelah fiksasi internal di observasi pada 5% dari fraktur yang

tidak bergeser dan sampai 25% pada fraktur yang bergeser. Pasien berusia muda

Page 28: FINAL PAPER - Unhas

18

di tata laksana dengan osteotomi femoral realignment atau graft pedikel otot

sebaliknya pada pasien usia tua di tatalaksana dengan arthroplasty. Avasculer

necrosis terjadi pada 10-15% pasien non impaksi atau fraktur yang tidak bergeser

dan pada 30-35% pasien dengan fraktur yang bergeser. Pergeseran fraktur dengan

kerusakan pada suplai arteri, juga tamponade intrakapsuler, berperan sebagai

penyebabnya. Setelah terjadi fraktur, gejala avasculer necrosis dapat tertunda

sampai 2 tahun. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri lipat paha atau nyeri paha

proksimal dan jalan pincang yang progresif serta pemendekan tungkai bawah.2

Komplikasi dari fraktur femur proksimal dengan pergeseran mencakup

kelemahan otot-otot panggul yang dapat terjadi pada wanita usia lanjut serta nyeri

yang berhubungan dengan jenis prosedur operasi yang dijalani. Penelitian yang

membandingkan kekuatan otot panggul wanita sebelum dan sesudah menjalani

tatalaksana fraktur femur proksimal menunjukkan bahwa kekuatan otot-otot

abduktor dan aduktor dari anggota gerak bawah yang cedera mengalami

peningkatan setelah 1 minggu dan 6 bulan paska operasi. Kemampuan otot dari

anggota gerak yang cedera untuk menghasilkan gaya isometrik mengalami

perbaikan yang pesat setelah 6 bulan paska operasi.1, 19

2.1.8. Hubungan Waktu Penundaan Operasi dengan Nilai Fungsional Klinis

Fraktur area panggul adalah fraktur terberat yang berhubungan dengan

osteoporosis. Meskipun perkembangan teknologi implan, teknik operasi, anestesi,

dan rehabilitasi telah maju secara pesat, hasil akhir dari tatalaksana pasien dengan

fraktur panggul masih buruk. Diperlukan adanya pencarian faktor resiko yang

dapat dimodifikasi karena fraktur panggul merupakan salah satu alasan utama

Page 29: FINAL PAPER - Unhas

19

institusionalisasi pasien usia lanjut.18

Salah satu faktor tersebut adalah waktu yang dihabiskan untuk menunggu

dilakukannya operasi. Imobilisasi berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya

massa otot sebesar 5-10% disertai dengan penurunan kekuatan otot sebesar 10-

20%. Selain itu, hilangnya massa otot berhubungan dengan atrofi otot yang

terjadi. Selain itu, terdapat pula kehilangan kekuatan otot yang konstan senilai 1-

3% per tahun pada kelompok usia diatas 50 tahun. Waktu yang dihabiskan untuk

menunggu dilakukannya operasi menyebabkan semakin panjangnya periode

imobilisasi dan tingkat nyeri yang lebih tinggi. Reaksi stress serta resistensi

insulin yang terjadi juga mengakselerasi proses kehilangan massa otot serta

kelemahan yang terjadi setelah imobilisasi paska fraktur panggul. Studi prospektif

yang menganalisa pengaruh dari waktu yang dihabiskan untuk menunggu

dilakukannya operasi terhadap kemampuan pasien untuk kembali ke aktivitas

sehari-hari menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Siegmenth et al. melaporkan

bahwa operasi yang dini berpengaruh terhadap insidensi kembalinya pasien ke

residensi awal, namun efek tersebut menjadi tiada setelah dilakukan modifikasi

terhadap faktor status kesehatan secara umum, skor status mental, dan mobilitas

sebelum fraktur. Sebaliknya, Cree dan Nade melaporkan bahwa waktu menunggu

yang lama untuk operasi tidak memiliki pengaruh terhadap kembalinya pasien ke

kehidupan mandiri.18

Immobilisasi pada ekstremitas dapat menyebabkan berkurangnya massa

dan kekuatan otot yang pada akhirnya akan membutuhkan waktu rehabilitasi lebih

panjang untuk mengembalikan fungsinya secara utuh. Nedergaard dan Jespersen

melaporkan bahwa dua sampai tiga minggu immobilisasi mengakibatkan

Page 30: FINAL PAPER - Unhas

20

menurunnya massa otot 5-10% sejalan dengan berkurangnya 10-20% kekuatan

otot. 18

Atrofi otot dapat terjadi sebagai konsekuensi dari immobilisasi. Efek dari

berbagai kondisi yang mengakibatkan immobilisasi seperti perawatan post

operasi, cedera muskuloskeletal, tirah baring lama akan mengakibatkan

perubahan kontraktilitas otot rangka yang memberikan efek negatif terhadap

fungsi dan kekuatan otot. Perubahan kontraktilitas pada otot rangka

mempengaruhi secara langsung keseimbangan antara sintesis dan degradasi

protein dan memberikan efek langsung terhadap komposisi myofibrillar pada

massa otot . 18

Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktural sel; mekanisme

biokimiawi yang mendasari proses tersebut bervariasi, tetapi akhirnya

memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi.Sintesis yang

berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya, akan menyebabkan atrofi.

1,5,6

Pengecilan dari ukuran sel akibat hilangnya isi sel disebut sebagai attofi

sel. Saat jumlah sel yang terlibat cukup banyak, seluruh organ atau jaringan akan

mengecil ukurannya dan menjadi atrofi. Sel yang mengalami atrofi mengalami

kemunduran dari fungsi, tetapi tidak mati.20

Penyebab dari atrofi mencakup penurunan beban kerja, imobilisasi

tungkai, kehilangan persarafan, penurunan suplai darah, nutrisi yang tidak cukup,

hilangnya stimulasi endokrin dan penuaan. Hal ini mewakili pemunduran dari

perubahan selular menjadi ukuran yang lebih kecil, yang mana suatu

keseimbangan baru tercapai antara ukuran sel dan penurunan suplai darah, nutrisi

Page 31: FINAL PAPER - Unhas

21

dan stimulasi trofik. Mekanisme dari atrofi mencakup kombinasi penurunan

sintesis protein dan peningkatan degradasi protein sel.20

1. Sintesis protein menurun dikarenakan berkurangnya aktifitas metabolik

2. Jalur ubiquitin-proteasome bertanggung jawab untuk degradasi banyak protein

sitosolik dan inti.Protein yang di degradasi melalui proses ini,secara khas

menjadi sasaran oleh konjugasi ubiquitin, peptida 76-asam amino sitosolik.

Protein ini kemudian didegradasi dalam proteasome, kompleks proteolitik

sitoplasmik besar. Jalur ini menyebabkan percepatan proteolisis pada keadaan

hiperkatabolik (termasuk kakeksia kanker) dan pengaturan berbagai molekul

aktivasi intrasel.

3. Atrofi juga dihubungkan dengan peningkatan autofagi,dengan hasil akhir

peningkatan vakuola autofagik. Autofagi memiliki arti proses dimana sel yang

tidak diberi nutrisi memakan komponennya sendiri untuk bertahan.

Gambar 9. Jalur Akt-mTOR dalam regulasi protein 21

Selama immobilisasi denaturasi dan degradasi protein melalui jalur

Page 32: FINAL PAPER - Unhas

22

ubiquitin proteolytic memainkan peranan penting terkait proses degradasi

myofibrillar dan atrofi otot.. Pada fase imobilisasi otot tidak mendapatkan stress

dan strain mekanik yang seharusnya didapatkan pada fase normal. Massa otot

dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi protein.

Berkurangnya sintesis protein dan atau meningkatnya degradasi protein dapat

menyebabkan disuse atrofi (Bodine, 2013). Regulasi pengaturan massa otot

diinduksi oleh perubahan protein sintesis yang mendapatkan sinyal jalur aktifasi

protein kinase (Akt) serta The Mammalian target of Rapamycin ( mTOR ) yang

bertanggung jawab untuk meningkatkan sintesis protein dan hipertrofi otot serta

menekan aktivasi jalur degradasi protein melalui jalur proteolitik sebagai respon

dari meningkatnya pembebanan mekanik massa otot selama mobilisasi

berlangsung. Pengurangan beban mekanik pada massa otot selama fase

imobilisasi berpengaruh sebagai umpan balik negatif terhadap aktifasi sinyal

protein kinase dan mengakibatkan regulasi keseimbangan sintesis dan degradasi

protein tidak dapat dipertahankan untuk mempertahankan massa otot. 1,5,6

Atrofi juga dipengaruhi oleh proses autofagi yang terdapat dalam sel. Pada

proses ini organela intraselular dan sebagian sitosol terasing dari sitoplasma dalam

vakuola autofagik yang terbentuk dari regio bebas ribosom RER. Kemudian,

berdifusi dengan lisosom primer yang sebelumnya telah ada, membentuk

autofagolisosom. Autofagi merupakan fenomena umum yang terlibat dalam

penyingkiran organela rusak atau mati, dan pada perbaikan kembali (remodelling)

sel yang disertai diferensiasi sel. Autofagi terutama terjadi pada sel yang

mengalami atrofi, yang diinduksi oleh kekurangan zat nutrisi atau hormon. 1,5, 20

Page 33: FINAL PAPER - Unhas

23

Secara umum, seluruh perubahan dasar seluler (dalam hal ini merupakan

perubahan ke arah atrofi) memiliki proses yang sama, yaitu menunjukkan proses

kemunduran ukuran sel menjadi lebih kecil. Namun, sel tersebut masih

memungkinkan untuk tetap bertahan hidup.Walupun sel yang atropi mengalami

kemunduran fungsi, sel tersebut tidak mati. Atrofi menunjukkan pengurangan

komponen-komponen struktural sel. Sel yang mengalami atrofi hanya memiliki

mitokondria dengan jumlah yang sedikit, begitu pula dengan komponen yang lain

seperti miofilamen dan reticulum endoplasma. Akan tetapi ada peningkatan

jumlah vakuola autofagi yang dapat memakan/merusak sel itu sendiri. 1,5, 20

Gambar 10. Autofagi intraselular22

Kemampuan untuk kembali beraktifitas secara normal pada pasien usia

lanjut juga dipengaruhi faktor-faktor lain terkait dengan usia. Sarkopenia

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kembalinya fungsi otot

pasca imobilisasi karena berkurangnya massa otot sejalan dengan bertambahnya

usia. Sarkopenia, istilah ini berasal dari kata Yunani sarx (daging) dan Penia

Page 34: FINAL PAPER - Unhas

24

(kemiskinan). Sarkopenia menggambarkan satu dari sekian banyak perubahan

yang tampak nyata yang berkaitan dengan usia, dimana terjadi suatu kemunduran

yang progesif dari massa, kekuatan dan fungsi otot. Faktor yang berkontribusi

terhadap sarkopenia termasuk diantaranya berkurangnya motorneuron, nutrisi,

penurunan level steroid seks, berkurangnya growth hormone / insulin lika Growth

Factor (IGF-1), serta kurangnya aktifitas fisik. Kehilangan kekuatan otot ini

terjadi 14 persen pada pria dan 16 persen pada wanita setiap dekade pada anggota

gerak bawah. 5,9

Massa otot mulai berkurang pada angka 6% setelah usia 30 tahun.

Kekuatan statis dan dinamis otot berkurang 5% setelah usia 45 tahun, sedangkan

endurance otot akan berkurang 1% tiap tahunnya. Kolagen berfungsi sebagai

protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan

pengikat. Akibat penuaan kolagen mengalami perubahan menjadi bentangan yang

tidak teratur dan menyebabkan penurunan hubungan tarikan linier. Penurunan ini

menyebabkan tensile strength kolagen mulai menurun. Perubahan pada kolagen

ini dapat menimbulkan penurunan kekuatan otot. Sedangkan otot sendiri

mengalami penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, dan hal ini juga

menyebabkan penurunan kekuatan otot. Komposisi otot berubah sepanjang waktu

manakala myofibril digantikan oleh lemak, kolagen dan jaringan parut. Aliran

darah ke otot berkurang sejalan dengan menuanya seseorang, diikuti dengan

berkurangnya jumlah nutrien dan energi yang tersedia untuk otot sehingga

kekuatan otot berkurang. Pada usia 60 tahun, kehilangan total adalah 10-20% dari

kekuatan otot yang dimiliki pada usia 30 tahun. 5,6,11

Umur terkait perubahan dalam sistem neuromuskular memainkan peran

Page 35: FINAL PAPER - Unhas

25

dalam timbulnya sarkopenia. Sel saraf manusia memiliki rentang hidup yang telah

ditentukan dan penurunan sel-sel ini tergantung pada kondisi usia, tubuh dan

penyakit yang dapat timbul. Neuron motor bertanggung jawab untuk mengirim

sinyal dari otak ke otot untuk memulai gerakan. Sebuah unit motor terdiri dari

motor neuron dan semua serat otot yang terhubung untuk menginervasi. Jumlah

serat yang menginervasi tergantung pada fungsi otot tertentu. Motor neuron akan

mati dengan usia yang mengakibatkan denervasi dari serat otot dalam unit motor.

Hal ini dapat mengakibatkan atrofi dari serat otot yang diinervasi. Ketika neuron

mati, suatu neuron motor yang berdekatan akan mereinervasi serat otot terkait

untuk mencegah proses atrofi lebih lanjut, namun bila dibandingkan dengan yang

sebelumnya unit motor yang mereinervasi memiliki tingkat konduksi yang lebih

lambat sehingga akan menghasilkan kontrol dan kekuatan otot yang berkurang.

Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan otot pada usia

lanjut. 1,8,11

Bertambahnya usia juga dikaitkan dengan beberapa perubahan tingkat

hormonal, termasuk penurunan konsentrasi hormon pertumbuhan (GH),

testosteron, dan Insulin Like Growth Factor (IGF-1). GH dan IGF-1 memainkan

peran yang dominan dalam regulasi metabolisme protein. GH dan testosterone

diperlukan untuk pemeliharaan protein, sementara IGF-1 berkorelasi dengan

tingkat sintesis protein otot, terutama myofibrillar protein (aktin dan myosin

filamen) serta myosin sintesis rantai berat ( bagian dari penghubung jembatan

pergerakan myosin pada kontraksi otot rangka). Penurunan berkelanjutan dari

hormon ini dikaitkan dengan penurunan massa otot dan peningkatan lemak tubuh.

Otot mulai berkembang pada usia 0 tahun dan mencapai puncak kekuatannya pada

Page 36: FINAL PAPER - Unhas

26

usia 25 tahun, kemudian menetap pada usia 35-40 tahun, lalu secara perlahan akan

menurun dengan puncak penurunan pada usia 65 tahun. 1,5,6,11

Berkurangnya aktifitas fisik yang umumnya menurun seiring dengan

pertambahan usia dapat mempengaruhi regulasi pengaturan sintesis protein otot

untuk mempertahankan massa otot. Latihan fisik merupakan bagian terbesar

dalam berkontribusi untuk mempertahankan massa otot. Massa otot memiliki

kekuatan penuh ketika sering dilatih atau digerakkan dimana dengan kontraksi

tersebut regulasi sintesa protein akan terus berjalan untuk mendapatkan kontraksi

yang maksimal. Sintesa protein otot yang berkurang akan terisi oleh lemak

maupun jaringan fibrosa yang dapat mengakibatkan berkurangnya elastisitas otot

sebanyak 3-5% perhari. Faktor lain yang dapat memberikan pengaruh signifikan

terhadap degenerasi otot adalah faktor nutrisi. Usia lansia sangat rentan terhadap

pengurangan asupan makanan. Penurunan kemampuan tubuh untuk

mempertahankan regulasi sintesis protein sangat tergantung dengan intake kalori

dan atau protein untuk mempertahankan massa otot. 6, 8,11

Kondisi sarkopenia yang dapat terjadi pada pasien usia lanjut dapat

semakin memperberat kemampuan pasien untuk dapat kembali ke dalam

kemandirian beraktifitas seiring dengan proses atrofi yang berjalan pada keadaan

imobilisasi lama pasca cedera muskuloskeletal.20

Hubungan antara waktu dilakukannya pembedahan fraktur proksimal

femur dengan hasil akhir operasi telah menjadi subjek penelitian untuk waktu

yang lama. Waktu penundaan operasi yang singkat berkaitan dengan penurunan

tingkat komplikasi paska operasi. Chilov et al. telah mempublikasikan bahwa

operasi yang dilakukan sedini mungkin (dalam 24 hingga 36 jam paska admisi ke

Page 37: FINAL PAPER - Unhas

27

rumah sakit) berhubungan dengan komplikasi paska operasi yang lebih minimal

(pneumoni, konfusi, ulkus decubitus) dan waktu tinggal di rumah sakit yang lebih

singkat. Namun, operasi yang dini tidak memperpanjang harapan hidup pasien.5, 6

Pada penelitian Zuckerman et al., didapatkan bahwa penundaan tindakan

operasi berkaitan dengan peningkatan dua kali lipat resiko kematian pasien dalam

satu tahun paska operasi. Kriteria penundaan yang dimaksud adalah penundaan

operasi yang membutuhkan waktu 72 jam atau lebih dari waktu admisi rumah

sakit hingga operasi. Dalam evaluasi lebih lanjut data yang ada, jika faktor jenis

kelamin, usia dan tingkat keparahan kondisi medis komorbid telah dikendalikan,

terdapat pula peningkatan mortalitas yang berkaitan dengan penundaan operasi,

meskipun nilai tersebut tidak signifikan. Selain itu, penundaan operasi selama 24

jam tidak memiliki efek signifikan terhadap prevalensi komplikasi selama

hospitalisasi.6, 18

Penelitian meta analisis juga menunjukkan bahwa penundaan masa operasi

lebih dari 48 jam meningkatkan resiko mortalitas pasien. Hingga saat ini, tidak

terdapat efek samping penundaan masa operasi yang singkat (kurang dari 24

jam).2,3

Pada penelitian Siegmenth et al didapatkan bahwa tindakan operasi yang

lebih awal pada fraktur didaerah sendi panggul akan meningkatkan kemandirian

dalam aktifitas sehari-hari pasien pasca tindakan operasi, namun Creede et al

menyatakan bahwa penundaan waktu untuk dilakukan tindakan operasi tidak akan

memberikan pengaruh yang nyata dalam kemampuan pasien pasca operasi untuk

kembali menjalani aktifitas sehari-hari.17

Page 38: FINAL PAPER - Unhas

28

2.2. KERANGKA PEMIKIRAN

FRAMEWORK

• Age• Gender• Prefacture living

condition• Status with regard to

the ADL

Interthrochanteric Fracture

Dynamic Hip screw

Early time-to-surgery Delayed time-to-surgery

Ability to return to independent living

2.3. HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara durasi penundaan operasi fraktur neck femur

yang ditatalaksana dengan bipolar hemiarthroplasty dengan kembalinya pasien

ke kehidupan independen.

Page 39: FINAL PAPER - Unhas

29

BAB III

BAHAN / OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 BAHAN / OBJEK PENELITIAN

3.1.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS Pelamonia Bagian Ortopedi dan Traumatologi,

Makassar. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2014 – Februari 2016.

3.1.2 Populasi Penelitian

Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah pasien-pasien lanjut

usia dengan fraktur neck femur yang mendapatkan penanganan dengan

menggunakan bypolar hemiarthroplasty di Rumah Sakit Pelamonia Bagian

Ortopedi dan Traumatologi, Makassar.

3.1.3 Sampel penelitian dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel diambil dari pasien-pasien lanjut usia dengan fraktur neck femur

yang mendapatkan penanganan dengan bipolar hemyarthroplasty dari periode

Januari 2014 hingga Februari 2015, dan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan

eksklusi.

Cara pengambilan sampel yaitu dengan melakukan pengumpulan data

medik pasien sebagai data sekunder dan melakukan wawancara dan pengisian

kuesioner sebagai data primer.

3.1.4 Perkiraan Besar Sampel

Page 40: FINAL PAPER - Unhas

30

Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan perbedaan dua proporsi pada

penelitian menggunakan uji korelasi Spearman Rho dengan jumlah sampel

minimum ≤ 4. Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel 50

3.1.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan fraktur neck femur Garden type IV

2. Pasien yang dioperasi dengan bipolar hemyarthroplasty

3. Usia > 50 tahun

4. Pasien setuju untuk mengikuti penelitian

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang tidak dapat di-follow up

2. Pasien dengan defisit neurologis (paraplegia ataupun paraparesis)

3. Pasien dengan diagnosis awal fraktur patologis akibat tumor atau metastase

tumor

4. Pasien dengan cidera tambahan yang menyebabkan gangguan postur jalan

3.1.6. Alat dan Bahan

1. Medical Record

2. Alat tulis

3. Kuesioner penilaian hasil fungsional (Salvati Wilson Assessment Score)

4. Kamera digital

5. Laptop

6. SPSS Versi 22

Page 41: FINAL PAPER - Unhas

31

3.2 METODE PENELITIAN

3.2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa Retrospective

Longitudinal Study.

3.2.2 Cara Kerja Penelitian

1. Mengidentifikasi pasien-pasien usia lanjut dengan fraktur neck femur yang

mendapatkan penanganan dengan menggunakan bipolar hemiarthroplasty

dari rekam medis dan register pasien di Rumah Sakit Pelamonia Bagian

Ortopedi dan Traumatologi di Makassar sebagai data sekunder.

2. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur wawancara

sebagai data primer untuk memperoleh data hasil klinis

3. Melakukan evaluasi secara klinis, penilaian dilakukan menggunakan

Salvati Wilson Assessment Score. Dimana pada evaluasi ini dapat

ditentukan secara kualitatif hasil fungsi klinis dari masing-masing pasien

4. Melakukan analisa statistik dengan Mann-Whitney U Test dan uji korelasi

Spearman Rho

5. Hasil dikumpulkan, dicatat, dan dianalisa, kemudian akan dilakukan

diskusi dan pengambilan keputusan dari prosedur tersebut

Page 42: FINAL PAPER - Unhas

32

Page 43: FINAL PAPER - Unhas

33

INTERPRETASI INDEKS KEMANDIRIAN SALVATI WILSON :

- Masing-masing item kemandirian akan mendapat poin 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan

ketidakmandirian mendapat poin 0

- Skor 10 mencerminkan kemandirian penuh, skor 4-8 kemandirian

moderate dan skor ≤ 2 kemandirian kurang

Page 44: FINAL PAPER - Unhas

34

3.2.3 Alur Penelitian

Seleksi Rekam medis pasien periode Januari

2014 hingga Februari 2016

Identifikasi nama, umur, jenis kelamin, diagnosis awal, waktu

penundaan operasi, tanggal operasi, tindakan operasi, tingkat aktivitas

sehari-hari paska operasi

Seleksi pasien berdasarkan kriteria Inklusi dan

Kriteria Eksklusi

Kesimpulan

Evaluasi tingkat aktivitas sehari-hari dengan Salvati Wilson Assessment

Score

Analisis perbandingan Salvati Wilson Assessment Score pada pasien fraktur

femur yang mengalami penundaan operasi yang singkat dan lama

Page 45: FINAL PAPER - Unhas

35

3.2.4 Alokasi Subyek

1) Kriteria Subyek

Kelompok pasien-pasien yang ditangani dengan menggunakan bipolar

hemiarthroplasty di RS Pelamonia Bagian Ortopedi dan Traumatologi di

Makassar selama kurun waktu Januari 2014 hingga Februari 2016.

2) Kriteria Objektif

Indeks fungsional independensi kegiatan sehari-hari berdasarkan Salvati

Wilson Assessment Score.

3.2.5 Klasifikasi Variabel

1) Variabel Bebas: umur, jenis kelamin, tindakan operasi yang dilakukan

2) Variabel Tergantung: Indeks fungsional independensi kegiatan sehari-hari

dengan Salvati Wilson Assessment Score.

3) Variabel kontrol: diagnosis awal, cedera penyerta, dan keadaan neurologis

3.2.6 Definisi Operasional

1) Fraktur neck femur Garden tipe IV adalah fraktur intrakapsuler dari

proksimal femur diantara subcapital dan basicervical dengan pergeseran

yang komplit.

2) Bipolar hemiarthroplasty :

Implant ortopedi yang di desain untuk menggantikan kepala femur pada

fraktur neck femur yang memiliki bagian inner bearing dan outer bearing

(mangkuk acetabulum)

Page 46: FINAL PAPER - Unhas

36

3) Waktu pembedahan adalah waktu yang diperlukan mulai terjadinya fraktur

sampai dilakukannya tindakan operasi (dalam satuan minggu). Penundaan

operasi melewati 1 minggu dianggap menjadi alasan yang berkaitan

dengan berkurangnya massa otot dan kekuatan otot yang dapat

mempengaruhi indepedensi aktifitas sehari-hari pasien pasca operasi.

Penundaan waktu operasi dapat terkait dengan pasien (alasan medis)

ataupun berkaitan dengan sistem (tidak adanya ketersediaan kamar operasi

ataupun dukungan anestesi).

4) Hasil independensi aktivitas sehari-hari adalah berdasarkan Salvati Wilson

Assessment Score dengan interpretasi : indepedensi penuh ( skor 10),

moderate indepedensi ( skor 4-8 ) dan indepedensi rendah ( skor ≤ 2 )

3.2.7. Analisis Statistik

Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode

statistik dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Uji statistik yang

digunakan pada penelitian ini adalah chi square test, independent t-test and

Pearson’s correlation test. dengan menggunakan program computer SPSS for

Windows version 22.

Page 47: FINAL PAPER - Unhas

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Subyek yang dianalisis sebanyak 50 orang yang terdiri dari 19

subyek laki-laki (38%) dan 31 subyek perempuan (62%). Umur pasien yang

diteliti berkisar antara 50 sampai 80 tahun dengan rata-rata 65,3 + 8,8 tahun.

Durasi fraktur bervariasi antara 3 sampai 180 hari dengan rata-rata 46,5 +

47,7 hari. Durasi operasi berkisar antara 60 sampai 150 menit dengan rata-

rata 77,4 + 22,8 menit. Skor hasil fungsional berdasarkan Salvati Wilson

Score berkisar antara 10 sampai 34 dengan rata-rata 21,6 + 5,7.

Tabel 1. Statistik deskriptif dari variabel yang diteliti

Variabel Minimum Maximum Mean SD

Usia (tahun) 50 80 65,3 8,8

Durasi fraktur (hari) 3 180 46,5 47,7

Durasi operasi (menit) 60 150 77,4 22,8

Drain (cc) 50 400 135,0 73,0

VAS 3 6 3,8 ,9

SWS 10 34 21,6 5,7

Page 48: FINAL PAPER - Unhas

38

Tabel 2. Distribusi Kategori SWS berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

SWS Category

Total Poor Fair Good Excellent

Laki-laki n 1 8 8 2 19

% 5,3% 42,1% 42,1% 10,5% 100,0%

Perempuan n 4 19 6 2 31

% 12,9% 61,3% 19,4% 6,5% 100,0%

Total n 5 27 14 4 50

% 10,0% 54,0% 28,0% 8,0% 100,0%

Chi Square (p=0,271)

Grafik 1. Distribusi skor SWS berdasarkan jenis kelamin

Pada penelitian ini didapatkan distribusi kategori Salvati Wilson

Score pada laki-laki tidak berbeda signifikan dengan perempuan (p > 0,05)

Page 49: FINAL PAPER - Unhas

39

Tabel 3. Distribusi Kategori SWS berdasarkan kelompok usia

Kelompok usia

Kategori SWS

Total Poor Fair Good Excellent

<60 tahun n 2 7 4 2 15

% 13,3% 46,7% 26,7% 13,3% 100,0%

60-69 tahun n 3 7 8 1 19

% 15,8% 36,8% 42,1% 5,3% 100,0%

>=70 tahun n 0 13 2 1 16

% 0,0% 81,3% 12,5% 6,3% 100,0%

Total n 5 27 14 4 50

% 10,0% 54,0% 28,0% 8,0% 100,0%

Chi Square test (p=0,158)

Grafik 2. Distribusi skor SWS berdasarkan kelompok usia

Pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan signifikan pada

distribusi kategori Salvati Wilson Score berdasarkan kategori usia (p >

0,05).

Page 50: FINAL PAPER - Unhas

40

Tabel 4. Korelasi antara durasi fraktur dengan VAS dan SWS

Variabel

VAS SWS

Statistics Statistics

R p R p

Durasi fraktur (hari) 0,549 0,000 -0,519 0,000

Durasi operasi (menit) 0,493 0,000 -0,364 0,009

Drain (cc) 0,361 0,010 -0,168 0,243

Grafik 3. Korelasi antara durasi fraktur dengan skor VAS

Grafik 4. Korelasi antara durasi operasi dengan skor VAS

Page 51: FINAL PAPER - Unhas

41

Grafik 5. Korelasi antara drain dengan skor VAS

Grafik 6. Korelasi antara durasi fraktur dengan skor SWS

Page 52: FINAL PAPER - Unhas

42

Grafik 7. Korelasi antara durasi operasi dengan skor SWS

Grafik 8. Korelasi antara drain dengan skor SWS

Terdapat korelasi positif yang signifikan antara lama fraktur dengan

skor VAS (p < 0,001), dimana durasi fraktur yang lebih lama memiliki skor

VAS yang lebih tinggi. Terdapat korelasi positif yang signifikan antara

durasi operasi dengan skor VAS (p < 0,001) dimana durasi operasi yang

lebih lama memiliki skor VAS yang lebih tinggi. Terdapat korelasi positif

yang signifikan antara jumlah drain dengan skor VAS (p < 0,001) dimana

Page 53: FINAL PAPER - Unhas

43

jumlah drain yang lebih banyak memiliki skor VAS yang lebih tinggi.

Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara durasi fraktur dengan skor

SWS (p < 0,001) dimana durasi operasi yang lebih lama memiliki skor SWS

yang lebih rendah. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara durasi

operasi dengan skor VAS (p < 0,001) dimana durasi operasi yang lebih lama

memiliki skor SWS yang lebih rendah. Tidak ada korelasi yang signifikan

antara jumlah drain dengan skor VAS (p > 0,05).

Tabel 5. Perbandingan antara skor VAS dan SWS berdasarkan kelompok

Variabel Kelompok n Mean SD p

VAS Dini 23 3,3 0,7

0,001 Tertunda 27 4,2 0,9

SWS Dini 23 24,1 4,9

0,003 Tertunda 27 19,4 5,5

Grafik 9. Rerata skor VAS berdasarkan kelompok

Page 54: FINAL PAPER - Unhas

44

Grafik 10. Rerata skor SWS berdasarkan kelompok

Rata-rata skor VAS dari kelompok dini secara signifikan lebih

rendah dibandingkan dengan kelompok tertunda (p < 0,01). Rata-rata skor

SWS dari kelompok dini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok tertunda (p < 0,01).

Tabel 6. Korelasi antara durasi fraktur dengan durasi operasi

Kelompok Variabel

Skor VAS Skor SWS

Statistics Statistics

R p R p

Dini (n=23) Durasi fraktur (hari) 0,331 0,123 -0,012 0,955

Durasi operasi (menit) 0,597 0,003 0,031 0,888

Drain (cc) 0,476 0,022 -0,285 0,187

Tertunda

(n=27)

Durasi fraktur (hari) 0,397 0,040 -0,446 0,020

Durasi operasi (menit) 0,234 0,239 -0,314 0,110

Drain (cc) 0,105 0,603 0,158 0,430

Untuk kelompok dini, didapatkan bahwa durasi operasi memiliki

korelasi positif yang signifikan dengan skor VAS, dimana durasi operasi

yang lebih lama memiliki skor VAS yang lebih tinggi (p < 0,01), dan drain

memiliki korelasi positif yang signifikan dengan skor VAS, dimana

jumlah drain yang lebih banyak memiliki skor VAS yang lebih tinggi (p <

Page 55: FINAL PAPER - Unhas

45

0,05). Untuk kelompok tertunda, didapatkan bahwa durasi fraktur yang

lebih panjang memiliki skor VAS yang lebih tinggi, dan durasi fraktur

mempunyai korelasi negatif yang signifikan dengan skor SWS, dimana

durasi fraktur yang lebih lama memiliki skor SWS yang lebih rendah.

Tabel 7. Perbandingan rincian skor SWS berdasarkan kelompok

Rincian SWS Kelompok n Mean SD p

Skor nyeri Dini 23 6,6 1,4 0,000

Tertunda 27 4,4 1,8

Skor berjalan Dini 23 6,2 2,0 0,153

Tertunda 27 5,3 2,1

Skor ROM Dini 23 6,7 1,1 0,281

Tertunda 27 6,4 1,0

Skor fungsional Dini 23 4,6 1,6 0,013

Tertunda 27 3,3 2,0

Rata-rata skor nyeri pada kelompok dini secara signifikan lebih

tinggi dibandingkan dengan kelompok tertunda (p < 0,001). Rata-rata skor

fungsional pada kelompok dini secara signifikan lebih tinggi dibandingan

dengan kelompok tertunda (p < 0,001). Tidak ada perbedaan signifikan

pada skor berjalan dan ROM diantara kedua kelompok (p > 0,05).

Grafik 11. Rata-rata skor nyeri berdasarkan kelompok

Page 56: FINAL PAPER - Unhas

46

Grafik 12. Rata-rata skor berjalan berdasarkan kelompok

Grafik 13. Rata-rata skor berjalan berdasarkan kelompok

Page 57: FINAL PAPER - Unhas

47

Grafik 14. Rata-rata skor fungsional berdasarkan kelompok

Tabel 8. Correlation of SWS Items in Early Group (n=23)

Variables

Pain Score Walking Score ROM Score Function Score

Statistics

R p R p R p R p

Fracture

Duration (day)

0,117 0,596 0,161 0,462 -0,233 0,285 -0,170 0,438

Operating

Time (min)

-0,160 0,465 0,061 0,784 0,098 0,655 0,088 0,689

Drain (cc) -0,108 0,623 -0,225 0,301 -0,302 0,161 -0,276 0,202

No significant correlation found in early group (all items had p value 0,05)

Tabel 9. Correlation of SWS Items in Delayed Group (n=27)

Variables

Pain Score Walking Score ROM Score Function Score

Statistics

R p R p R p R p

Fracture Duration

(day)

-0,431 0,025 -0,354 0,070 -0,271 0,171 -0,345 0,078

Operating Time

(min)

-0,473 0,013 -0,222 0,267 -0,268 0,177 -0,085 0,672

Drain (cc) 0,241 0,225 0,085 0,674 0,088 0,664 0,091 0,652

Note:

Ada korelasi negatif yang signifikan antara durasi fraktur dengan skor

nyeri (p<0,05). Semakin panjang durasi fraktur semakin rendah skor nyeri.

Ada korelasi negatif yang signifikan antara waktu operasi dengan skor nyeri (p<0,05). Semakin panjang waktu operasi semakin rendah skor

nyeri.

Page 58: FINAL PAPER - Unhas

48

4.2. PEMBAHASAN

Fraktur segmen proksimal dari femur sering dijumpai pada pasien usia

lanjut dan merupakan masalah medis dan sosioekonomik. Limitasi dari

mobilitas paska fraktur menjadi masalah yang sering dijumpai dan pada

umumnya dipersulit dengan penurunan kekuatan otot-otot anggota gerak

bawah. Selain itu, penelitian juga telah menunjukkan bahwa defisit

kekuatan otot sangat besar setelah fraktur femur proksimal.

Waktu dilakukannya pembedahan adalah salah satu faktor yang dapat

dimodifikasi serta memiliki dampak terhadap kemampuan pasien untuk

kembali ke aktivitas sehari-hari. Hubungan antara waktu dilakukannya

pembedahan fraktur proksimal femur dengan hasil akhir operasi telah

menjadi subjek penelitian untuk waktu yang lama.

Studi prospektif yang menganalisa pengaruh dari waktu yang

dihabiskan untuk menunggu dilakukannya operasi terhadap kemampuan

pasien untuk kembali ke aktivitas sehari-hari menunjukkan hasil yang

berbeda-beda. Siegmenth et al. melaporkan bahwa operasi yang dini

berpengaruh terhadap insidensi kembalinya pasien ke residensi awal, namun

efek tersebut menjadi tiada setelah dilakukan modifikasi terhadap faktor

status kesehatan secara umum, skor status mental, dan mobilitas sebelum

fraktur. Sebaliknya, Cree dan Nade melaporkan bahwa waktu menunggu

yang lama untuk operasi tidak memiliki pengaruh terhadap kembalinya

pasien ke kehidupan mandiri.20

Dari hasil penelitian ini berdasarkan kategori umur pasien

memberikan gambaran yang bermakna untuk korelasi yang signifikan

Page 59: FINAL PAPER - Unhas

49

antara umur dengan nilai indeks kemandirian, namun jika dikaji

berdasarkan masing-masing indeks skor kemandirian tampak indeks skor

nyeri dan fungsi memiliki keunggulan dibandingkan dengan kelompok

yang tertunda. Namun untuk skor kemandirian dalam berjalan dan Range of

motion tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara kedua

kelompok tersebut. Kemampuan untuk kembali beraktifitas pada kelompok

dengan usia lebih muda terkait dengan kondisi sarkopenia yang terjadi pada

usia tua. Evans dkk menyatakan berkurangnya massa otot berjalan sejalan

dengan bertambahnya usia dan terjadi sampai dengan berakhirnya

kehidupan. Berkurangnya massa otot dapat menyebabkan menurunnya

kekuatan otot, kapasitas aerobik dan kapasitas fungsional otot tersebut.

Kondisi yang telah terjadi ditambah dengan faktor imobilisasi dapat

memperberat kondisi bagi subyek dengan usia lebih tua untuk dapat segera

kembali ke aktifitas sebelumnya.1,6

Faktor lain yang dapat memberikan pengaruh adalah keberhasilan

reduksi akan mempengaruhi hasil tindakan operasi terkait dengan

konfigurasi fraktur yang tereduksi dengan baik.

Rehabilitasi paska tindakan operasi juga memegang peran penting

terkait keberhasilan pasien untuk dapat kembali ke kehidupan sehari-hari

secara mandiri. Rehabilitasi paska operasi sudah harus dimulai sedini

mungkin dengan full weight bearing 2-3 hari setelah dilakukannya tindakan

operasi. Selain hal tersebut mobilisasi lebih awal juga mencegah imobilisasi

lebih lanjut yang dapat semakin meningkatkan resiko atrofi pada otot.

Pada distribusi data subyek berdasarkan waktu operasi didapatkan

Page 60: FINAL PAPER - Unhas

50

hasil yang bervariatif antara kelompok dengan operasi awal dan tertunda.

Subyek yang dianalisis sebanyak 50 orang yang terdiri dari 19 subyek laki-

laki (38%) dan 31 subyek perempuan (62%). Umur pasien yang diteliti

berkisar antara 50 sampai 80 tahun dengan rata-rata 65,3 + 8,8 tahun.

Durasi fraktur bervariasi antara 3 sampai 180 hari dengan rata-rata 46,5 +

47,7 hari. Durasi operasi berkisar antara 60 sampai 150 menit dengan rata-

rata 77,4 + 22,8 menit. Skor hasil fungsional berdasarkan Salvati Wilson

Score berkisar antara 10 sampai 34 dengan rata-rata 21,6 + 5,7. Tidak

seluruh subyek dengan tindakan operasi lebih awal mendapatkan skor

kemandirian penuh dan sebaliknya tidak seluruh subyek dengan operasi

tertunda mendapatkan skor kemandirian kurang bahkan terdapat 2 subyek

dengan skor kemandirian penuh. Terdapat banyak faktor yang dapat

mempengaruhi kemampuan subyek untuk dapat dengan segera kembali ke

kemandirian dalam aktifitas sehari-hari. Selain faktor imobilisasi yang dapat

menyebabkan atrofi otot, faktor usia terkait dengan kondisi sarkopenia,

kondisi nutrisi, serta progam rehabilitasi yang adekuat juga dapat

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kembalinya massa dan

kekuatan otot. 2 subyek pada kelompok yang tertunda operasi dengan skor

kemandirian penuh memiliki usia masing-masing 55 dan 56 tahun. Kedua

subyek tersebut berasal dari latar belakang sosioekonomi yang cukup serta

memiliki tingkat edukasi yang cukup dan kedua pasien menjalani

rehabilitasi paska operasi secara terkontrol di rumah sakit. Dilihat dari

faktor-faktor yang melatarbelakangi tersebut, maka sesuai dengan

kemungkinan faktor resiko yang ada bahwa kondisi sarkopenia yang terjadi

Page 61: FINAL PAPER - Unhas

51

pada subyek tidak lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang lain (usia

50-80 tahun dengan rerata 65,3 + 8,8), serta kondisi sosioekonomi dan

edukasi yang cukup dapat mempengaruhi status nutrisi serta rehabilitasi

pasca operasi untuk mendapatkan hasil yang baik pada kemandirian pasca

operasi. Pada penelitian ini faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi

proses rehabilitasi pasca operasi tidak dimasukkan dalam kriteria evaluasi

pasca tindakan operasi.

Pada evaluasi hubungan antara waktu dilakukan tindakan operasi

dengan skor indeks kemandirian didapatkan hubungan yang signifikan

antara keduanya. Berdasarkan hasil uji Pearson’s correlation test, terdapat

pengaruh yang signifikan antara waktu dilakukannya operasi dengan hasil

fungsi klinis menurut Skor Salvati Wilson, dengan nilai p 0,003 (p<0,05),

demikian pula dengan uji Pearson’s correlation test antara waktu

dilakukannya operasi dengan hasil fungsi klinis nyeri menurut skor Salvati

Wilson didapatkan korelasi yang signifikan dengan nilai p 0,000 (p<0,05).

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Amer N dkk bahwa

penundaan waktu operasi akan menyebabkan waktu imobilisasi yang lebih

panjang dan dapat menginduksi proses atrofi pada otot. Nedergaard dkk

mengungkapkan pengurangan massa otot sebesar 10-20% pasca imobilisasi

yang mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sebesar 20-30%, proses

ini akan berlanjut seiring waktu imobilisasi dan akan memepengaruhi

proses rehabilitasi pasca tindakan operasi. 1,3

Terdapat 2 komponen indeks skor kemandirian yang tidak

memberikan korelasi yang tidak signifikan dengan uji Pearson’s correlation

Page 62: FINAL PAPER - Unhas

52

test yaitu berjalan dan range of motion, hasil ini dapat dijelaskan bahwa

cedera yang terjadi pada daerah panggul ( proksimal femur ), tidak

berhubungan secara langsung dengan kemampuan subyek untuk secara

mandiri berjalan dan range of motion tidak berhubungan secara langsung

dengan lokasi cedera yang terjadi kecuali terdapat cedera penyerta di daerah

pelvis.

Secara umum terlihat bahwa waktu untuk dilakukannya tindakan

operasi dari terjadinya cedera memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap nilai kemandirian. Variabel lain yang juga memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap nilai kemandirian adalah usia pasien. Terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian pasien paska

operasi, diantaranya kondisi atrofi otot yang telah terjadi paska imobilisasi,

kondisi sarkopenia yang telah terjadi seiring bertambahnya usia, status

nutrisi pasien serta rehabilitasi paska operasi. Faktor-faktor tersebut saling

mempengaruhi antara satu dengan lainnya, dan pada penelitian ini tidak

dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap faktor-faktor tersebut. Penilaian

terhadap faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap kemandirian

pasien paska dilakukannya tindakan operasi akan memberikan hasil yang

lebih baik untuk melihat hubungan antara waktu dilakukannya operasi

dengan kemandirian pasien paska operasi.

Page 63: FINAL PAPER - Unhas

53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan signifikan hasil kemandirian berdasarkan Salvati

Wilson Assessment Score antara kelompok dengan waktu operasi lebih

awal dengan kelompok dengan waktu operasi tertunda pada pasien lanjut

usia dengan fraktur intertrokanter femur

2. Kelompok dengan waktu operasi lebih awal memiliki nilai indeks

kemandirian lebih baik dibandingkan dengan kelompok dengan waktu

operasi yang tertunda.

3. Penilaian faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian aktifitas sehari-

hari pasca tindakan operasi seperti kondisi atrofi otot yang telah terjadi,

status nutrisi dan rehabilitasi paska operasi akan memberikan hasil yang

lebih baik terhadap hasil penelitian

5.2. Saran

1. Tindakan operasi pada fraktur neck femur dapat dilaksanakan lebih awal

untuk menghindari immobilisasi lama yang dapat menghambat pasien

kembali ke status kemandirian dalam kehidupan sehari-hari.

2. Diperlukan penilaian terhadap faktor yang dapat mempengaruhi

kemandirian aktifitas sehari-hari pasca tindakan operasi seperti kondisi

Page 64: FINAL PAPER - Unhas

54

atrofi otot yang telah terjadi, status nutrisi dan rehabilitasi paska operasi

untuk memberikan hasil yang lebih baik terhadap hasil penelitian

3. Dapat sebagai panduan untuk penelitian lanjutan mengenai evaluasi

perbandingan secara kuantitatif maupun kualitatif massa otot pada

kelompok pasien dengan imobilisasi lama pasca cedera muskuloskeletal

Page 65: FINAL PAPER - Unhas

55

DAFTAR PUSTAKA

1. Ivanova N et al., Changes In Hip Muscle Strength After Proximal Femoral

Fracture In Elderly Women. Acta Kinesiologiae Universitatis Tartuensis

2011; 17: 80-88.

2. Sivananthan S, Sherry E, Warnke P, Miller MD, Mercer’s Textbook of

Orthopaedics and Trauma 10th Edition. Lower Exremity Fractures and

Dislocations; 33: 340-345

3. Dhar SA, Gani NU, Butt MF, Farooq M, Mir MR. Delayed Union of an

Operated Fracture of the Femoral Neck. J Orthopaed Traumatologi 2008

May 28; 9: 97-99.

4. Smektala R et al., The Effect of Time-to-Surgery on Outcome in Elderly

Patients With Proximal Femoral Fractures. BMC Musculoskeletal Disorders.

2008 December 29; 9(171): 1-9.

5. Parker MJ, Pryior GA, The Timing of Surgery for Proximal Femoral

Fractures. The Journal of Bone and Joint Surgery 1992 March; 74-B(2):

203-205.

6. Ishimaru D, Ogawa H, Maeda M, Shimizu K. Outcomes of Elderly Patients

With Proximal Femoral Fractures According to Positive Criteria for Surgical

Treatment. Orthopedics 2012 March; 35(3): 353-358.

7. Suthar PP et al., Orthopaedic Aspect of Anatomy and Radiology of

Proximal Femur. International Journal of Research in Medical Sciences,

2015 August; 3(8):1820-1824

Page 66: FINAL PAPER - Unhas

56

8. Bateman, L., et al., Medical Management in the Acute Hip Fracture Patient:

A Comprehensive Review for the Internist. The Ochsner Journal 2012; 12:

101-110.

9. Griffiths R et al., Management of Proximal Femoral Fractures 2011.

Association of Anesthetists of Great Britain and Ireland, Anaesthesia 2012;

67: 85-98.

10. Han D, et al., A Novel Specialized Staging System for Cancellous Fracture

Healing, Distinct From Traditional Healing Pattern of Diaphysis Cortical

Fracture?. Int J Clin Exp Med 2015 January 30; 8(1): 1301-1304.

11. Chen WT et a., A Special Healing Pattern in Stable Metaphyseal Fractures.

Acta Orthopaedica 2015; 86(2): 238-242.

12. Baker RP et al., Total Hip Arthroplasty and Hemiarthroplasty in Mobile,

Independent Patients with a Displaced Intracapsular Fracture of the Femoral

Neck. The Journal of Bone & Joint Surgery 2006; 880A(12): 2583-2589.

13. Mittal R, Banerjee S. Proximal Femoral Fractures: Principles of

Management and Review of Literature. Journal of Clinical Orthopaedics and

Trauma 2012 April 18; 3: 15-23.

14. Foss NB, Kristensen MT, Palm H, Kehlet H. Postoperative Pain After Hip

Fracture is Procedure Specific. British Journal of Anesthesia 2008 October

19; 102(1): 111-116.

15. Al-Ani AN et al., Early Operation on Patients with a Hip Fracture Improved

the Ability to Return to Independent Living. The Journal of Bone and Joint

Surgery 2008; 90: 1436-1442.

Page 67: FINAL PAPER - Unhas

57

16. Zuckerman JD et al., Postoperative Complications and Mortality Associated

with Operative Delay in Older Patients Who Have a Fracture of the Hip. The

Journal of Bone and Joint Surgery 1995; 77-A(10): 1551-1556.

17. Orosz GM et al., The Timing of Surgery for Hip Fracture and its Effects on

Outcomes. JAMA 2004 April14; 291(14): 1738-1743.

18. Nyholm AM et al., Time to Surgery is Associated with Thirty-Day and

Ninety-Day Mortality After Proximal Femoral Fracture. The Journal of

Bone and Joint Surgery 2015; 97: 1333-1339.

19. www.iofbonehealth.org. Indonesia; 2013 [cited 30 September 2016].

Available from :

https://www.iofbonehealth.org/sites/default/files/media/PDFs/Regional%20

Audits/2013-Asia_Pacific_Audit-Indonesia_0_0.pdf

20. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, Robbins Basic Pathology 9th

Edition. Cell

Injury, Cell Death and Adaptations; 1: 1-28

21. Neel BA, Lin Y, Pessin JE. Skeletal Muscle Autophagy : A New Metabolic

Regulator. Trends in Endocrinology and Metabolism 2013 December;

24(12):635-643

22. Quizlet.com. Lysosomal Catabolism Diagram (np); 2016 [cited 30

September 2016]. Available from : https://quizlet.com/74896438/cellular-

adaptations-and-accumulations-flash-cards/

23. Suthar PP et al., Orthopaedic Aspect of Anatomy and Radiology of

Proximal Femur. International Journal of Research in Medical Sciences,

2015 August; 3(8):1820-1824

24. www2.aofoundation.org. Operative treatment; Arthroplasty; 2010 [cited 30

September 2016]. Available from :

https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery?showPage=redfix&bone

=Femur&segment=Proximal&classification=31-

Page 68: FINAL PAPER - Unhas

58

B3&treatment=&method=Arthroplasty&implantstype=&approach=&redfix

_url=1284974569031&Language=en

Page 69: FINAL PAPER - Unhas

Lampiran 1. Alat dan bahan

1. Medical record 2. Alat tulis menulis dan

Kuesioner Penilaian Hasil

fungsional (katz Score )

4. Kamera digital 5. Laptop

6. SPSS

Page 70: FINAL PAPER - Unhas