Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

129
HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 1/129 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang. 1 Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup. 2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan, 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh Bayi Kurang Bulan dan Berat Badan Lahir Rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain. 3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk peyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 4 Selanjutnya dikemukakan bahwa

Transcript of Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Page 1: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 1/89

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang

pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization

(WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas

neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran

hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1 Secara khusus

angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.2

Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun

2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh

penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan, 23%

kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27%

kasus disebabkan oleh Bayi Kurang Bulan dan Berat Badan Lahir Rendah, serta 7%

kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk peyakit infeksi

pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan

sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis

neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor

risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi.4

Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila

penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-

18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di

negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan

angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang

1 WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996.2 Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidence-based,

cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?. Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]

3 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development. www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_ world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]

4 Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.

5 Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Available in: www.emedicine.com. Last updated August 18th 2006. cited at December 13th 2006. [Tingkat Pembuktian IV]

Page 2: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 2/89

diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari-

September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka

kematian sebesar 14,18%.8

Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya

yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada

bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong

terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah

pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.

berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada sepsis yang dapat bertahan hidup, akan terjadi

morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan kerusakan

otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan juga

kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati, dan

lain-lain.9

Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran

hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan

kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi

pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens

sepsis neonatorum secara khusus. 10

1.2. Permasalahan

Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.

Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka

kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian

antibiotikberspektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang.

Dalam tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1)

permasalahan penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan

(profilaksis) sepsis neonatorum.

Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis yang

aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran penyakit dapat

menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu, pemeriksaan

penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur merupakan baku

emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan tersebut hasilnya

baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil yang kurang

Page 3: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 3/89

memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik,

antar waktu, ataupun antar negara.

Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan

sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran

klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi

penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola

resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit

menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan resiko infeksi

nosokomial.Error: Reference source not found,11

Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah menghadirkan

berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan

Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain sebagainya pada sepsis

neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa kritis berdasarkan Evidence-

based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan dan kerugiannya.

Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu diangkat

ke permukaan. Resiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum sudah banyak

diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di Indonesia.

Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan yang

optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat informasi

baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah memberikan

cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan akhir-akhir ini telah

memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang lebih efisien dan

efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini membutuhkan teknologi

kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin belum dapat terjangkau

untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan dikembangkan

dikemudian hari. 12,13,14

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis

neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan yang

lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi

Indonesia.

Page 4: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 4/89

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Terwujudnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-

based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan

sepsis neonatorum.

2. Terwujudnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan program

yang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang diagnosis,

tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.

Page 5: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 5/89

BAB II

METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi penelusuran kepustakaan

Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan

elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New

England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease

Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka

Journal of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-

2006) serta World Health Organization tentang “Neonatal Problems” tahun 2003.

Kata kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in

newborn, GBS (Group B Streptococcus).

2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi

Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)

berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian

ditentukan tingkatannya.  Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat

rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan

berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan

kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.

Tingkat pembuktian (Level of evidence)

Ia.    Meta-analisis randomized controlled trials.

Ib.    Minimal satu randomized controlled trials.

IIa.   Minimal satu non-randomized controlled trials.

IIb.   Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.

IIIa.  Studi cross-sectional.

IIIb.  Seri kasus dan laporan kasus.

IV.    Konsensus dan pendapat ahli.

 

Tingkat rekomendasi

A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.

B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.

C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.

Page 6: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 6/89

BAB III

SEPSIS NEONATORUM

3.1. Definisi

Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi

sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam

sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi

sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences

(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan

mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi

multiorgan, dan akhirnya kematian.16

3.2. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan

menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)

15 Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.

16 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9.

6 Shattuck KE, Chonmaitree T : The changing spectrum of neonatal meningitis over a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136.

7 Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care Med 2003;167:695-701.

8 Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 32-43. [Tingkat Pembuktian IV]

9 Modul Sepsis 10 Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1202/MENKES?SK?

VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2003.

12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist and interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical manifestation. Lancet. 1998;352:1271-1277.

13 Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697–702. [Tingkat Pembuktian Ib]

14 Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report). Abstract 12 th

National Congress of Child Health and 11th Asean Pediatric Federetion Conference, Bali, 2002; p. 125.

Page 7: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 7/89

dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).Error: Reference

source not found

Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera

dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat

proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada

kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli,

Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara

berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram

negatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000

kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19

Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)

yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21

Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.

Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara

maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan

penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh

mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas

aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis

berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.Error: Reference source not

found

Dini LambatAwitan

Sumber infeksi

<72 jam

Jalan lahir

>72 jam

Lingkungan (nosokomial)

Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian

besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak

dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan

sekitar (SAL).Error: Reference source not found

3.3. Etiologi

Page 8: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 8/89

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,

kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.

Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu

berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan

perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab

utama dari sepsis neonatorum.23

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti

oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di

empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia.

Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan

pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes

(20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis

neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp

dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga

ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada

neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di

daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang

dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering

ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24

Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat

pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun

terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada

tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp,

Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti

Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26

Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu. Error: Reference source not found

1975-1980 1985-1990 1995-2003RSCM/FKUI(Monintja, 1981; Amir Aminullah 1993, I 2003)

Amerika Serikat (Texas Univ.; CDC

Salmonella spKlebsiella sp

Group B Strep.E. coli

Pseudomonas spKlebsiella spE. coli

Group B Strep.Listeria sp

Acinetobacter spEnterobacter spPseudomonas spSerratia sp

E. coliGroup B Strep

Page 9: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 9/89

Atlanta)(Shattuck 1992; Schuchat 1997)

Inggris(Health PT 2003)

Listeria sp Enterovirus

Group B Strep.E. coliListeria spEnterovirus

Listeria spStrep. Pneumoniae

Group B StrepListeria spE. coliEnterovirus

Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004.

Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering

adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria

monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan

berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-

negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,

Enterobacter, Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri

anaerob. Koloni-koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna,

konjungtiva, dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari

mikroorganisme yang invasif.Error: Reference source not found

Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar

waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari

survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000

terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien

BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan

21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus

bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram

positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)

sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering

(47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi

hematogen pada BBLR ( < 1500 gram ).Error: Reference source not found

Organisme

SAD SAL

Jumlah infeksi (% of total)

Mortalitas (%)b

Jumlah infeksi (% of total)

Mortalitas (%)b

Gram-positive bacteria (total) 31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2    GBS 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9    Viridans streptococcus 3 (3.6)    Other streptococci 4 (4.8)    Listeria monocytogenes 2 (2.4)    Coagulase-negative 9 (10.7) 629 (47.9) 9.1

Page 10: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 10/89

Staphylococcus    Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2    Enterococcus species 43 (3.3)    Other 3 (3.6) 117 (8.9)Gram-negative bacteria (total)

51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2

    Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0    Haemophilus influenzae 7 (8.3)    Citrobacter 2 (2.4)    Bacteroides 2 (2.4)    Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6    Pseudomonas 35 (2.7) 74.4    Enterobacter 33 (2.5) 26.8    Serratia 29 (2.2) 35.9    Other 2 (2.4) 18 (1.4)Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8    Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9    Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9    Other 30 (2.3)

a NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447 orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL . b Semua penyebab kematian .

Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641

Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis

neonatorum berlainan dan bervariasi antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu,

kuman penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan

pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang

peranan yang sangat penting.

3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah

(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi ke

sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian (tabel

4).Error: Reference source not found

Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus.Error: Reference source not found

Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan desaturasi O2Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau >37.5ºC)Waktu pengisian kapiler > 3 detikHitung leukosit <4000x109/L atau >34000x109/LCRP >10mg/dl

FIRS/SIRS

Page 11: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 11/89

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml16 S rRNA gene PCR : Positif

Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat dalam Tabel 5.

SEPSIS

Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal

SEPSIS BERAT

Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi cairan dan obat-obat inotropik

SYOKSEPTIK

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan optimal

SINDROM DISFUNGSI

MULTIORGAN↓ KEMATIAN

Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan

laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada

International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai

kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5

dan 6).29

Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila

terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun

terbukti infeksi (proven).30

Tabel 5. Kriteria SIRS Error: Reference source not found

Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per menit

Laju napas per menit

Jumlah leukosit X 103/mm3

Usia 0-7 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >50 >34

Usia 7-30 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septikError: Reference source not

found

Infeksi

Sepsis

Sepsis berat

Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.

Page 12: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 12/89

Syok septik

Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

3.5. Patofisiologi

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman

karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian

kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu : Error:

Reference source not found,31

1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin

melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.

Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau

Listeria dll.

2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya

saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.

Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan

akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman

pada janin.

3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih

berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam

rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran

pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi

yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24

jam.

Page 13: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 13/89

Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan.

Sumber : Nama pengarang nomor kepustakaan ?

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena

infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat

prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang

memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu

padat, dll.Error: Reference source not found

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran

darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari

tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam

gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran

klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain

pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul

akibat beratnya penyakit.32

3.5.1 Respons inflamasi

Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.

Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang

memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan

tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan

lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida

merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki

INFEKSI INTRANATAL

INFEKSI PRANATAL

Page 14: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 14/89

peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein

spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks

LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14

akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk

transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.Error: Reference source not

found

Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni

(1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan (2)

dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen

mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam

jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin

dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui

mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.Error: Reference source not

found, 34

Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai

dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer

dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan

mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.Error: Reference source not found,35

Page 15: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 15/89

Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis.Error: Reference source

not found

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang

meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral

dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di

membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan

sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi

menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin

proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-

β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin

antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti

inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi

terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.

Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat

membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian.

Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi

yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat

berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ

secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide,

tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin), dan

komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi

sehingga menyebabkan kerusakan organ.Error: Reference source not found

Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan

sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada

endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh

penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul

antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi

pada otot polos pembuluh darah.33

3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi

Page 16: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 16/89

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator

inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung

akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik

secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur

ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi

kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin

dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga

mengaktivasi jalur intrinsik.Error: Reference source not found

Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu

mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki

efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan

pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-α. Selain itu, trombin

merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi

kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang

terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.

Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui

lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan

hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.

Page 17: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 17/89

Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company.Error:

Reference source not found

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.5.3. Gangguan fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem

koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh

darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-

type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah

plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis

fibrin.Error: Reference source not found,37,38

Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator

dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak

mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat

tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.Error: Reference source

not found,Error: Reference source not found,39,40 Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin

Page 18: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 18/89

degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes

koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis

meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah

kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara

klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal

ginjal dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.Error: Reference

source not found

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan

tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen

khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,

aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan

fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam

mikrovaskular (Gambar 4).41

Gambar 4. Supresi Fibrinolisis

Sumber ?? kepustakaan nomor ?

Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular

menyeluruh ( PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor

pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM secara

bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien

PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk.Error: Reference

source not found,Error: Reference source not found

Page 19: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 19/89

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme

inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan

koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya

trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,

syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan

kematian.42 Hilangnya homeostasis pada sepsis. Patofisiologi sepsis terdiri dari

aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu

homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada

Gambar 5 di bawah ini yang memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat

mekanisme ini.Error: Reference source not found

Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi. Error: Reference source notfound

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.6 DIAGNOSIS

Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk

menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya

faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.Error:

Reference source not found

3.6.1. Faktor Risiko

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi

dan lain-lain.

Page 20: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 20/89

Faktor risiko ibu:

1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah

lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila

disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4

kalinya.Error: Reference source not found,43,44

2. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,

infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),

kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.Error:

Reference source not found,45,46

3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.Error: Reference source not found,Error:

Reference source not found

4. Kehamilan multipel.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,47

5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.48

6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.Error: Reference source not found

Faktor risiko pada bayi:

1. Prematuritas dan berat lahir rendah.Error: Reference source not found,Error:

Reference source not found,Error: Reference source not found,49

2. Dirawat di Rumah Sakit.50

3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal

distress dan trauma pada proses persalinan.Error: Reference source not

found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found

4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,

infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal Error: Reference source not

found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found

5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,

atau asplenia.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found

6. Asfiksia neonatorum.Error: Reference source not found,Error: Reference source not

found,Error: Reference source not found

7. Cacat bawaan.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,Error: Reference

source not found

8. Tanpa rawat gabung.Error: Reference source not found

9. Tidak diberi ASI.Error: Reference source not found

10. Pemberian nutrisi parenteral.51,52

Page 21: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 21/89

11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.Error:

Reference source not found

12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.Error: Reference

source not found

13. Buruknya kebersihan di NICU.Error: Reference source not found

Faktor risiko lain:

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering

terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit

putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci

tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta

buruknya kebersihan di NICU.Error: Reference source not found,Error: Reference source not

found,Error: Reference source not found,Error: Reference source not found

Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan

masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab

tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir

ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap

mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

3.6.2. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik

yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan

dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis

yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon

tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat

terlihat dalam tabel 5.Error: Reference source not found,53 Janin yang terkena infeksi

akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena

nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis

sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia.

Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain

itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis

lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat

disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan

clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal

Page 22: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 22/89

ataupun gangguam respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,

intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea,

merintih dan retraksi).54,55

Tabel 5. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus. Error: Reference source

not found

Gejala klinisFrekuensi

Aminullah , 1993

Shattuck, 1992

Pong A, 2003

Gangguan minum 100% 35% 48%Letargi/tampak sakit berat 100%    Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%Ikterus/hiperbilirubinemia 55%  Jittery/Iritabel 16% 62% 60%Kejang 48% 19% 42%Gangguan serebral (spastis, paresis) 23%    Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%Serangan apnea 20% 15% 31%Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%

Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood

Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat

bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:56

• Laju napas > 60 kali per menit

• Retraksi dada yang dalam

• Cuping hidung kembang kempis

• Merintih

• Ubun ubun besar membonjol

• Kejang

• Keluar pus dari telinga

• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)

• Letargi atau tidak sadar

• Penurunan aktivitas /gerakan

• Tidak dapat minum

• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

• Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen

Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun

Page 23: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 23/89

2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis

pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (lihat Tabel 6). Penegakan diagnosis

ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori

tersebut.57

Tabel 6. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis. Error: Referencesource not found

Kategori A Kategori B

Gangguan napas (misalnya: apnea, frekuensi napas > 60 atau <30 kali/menit, retraksi dinding dada, merintih pada waktu ekspirasi, sianosis sentral)

Kejang Tidak sadar Suhu tubuh tidak normal (tidak normal

sejak lahir dan tidak memberi respons terhadap terapi atau suhu tidak stabil sesudah pengukuran suhu normal selama tiga kali atau lebih, menyokong ke arah sepsis)

Persalinan di lingkungan yang kurang higienis (menyokong ke arah sepsis)

Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis (menyokong ke arah sepsis)

Tremor Letargi atau

lunglai/layuh Mengantuk atau

kurang aktif Iritabel atau rewel Muntah (menyokong

ke arah sepsis) Distensi abdomen

(menyokong ke arah sepsis) Tanda mulai muncul

sesudah hari ke 4 (menyokong ke arah sepsis)

Air ketuban bercampur mekonium

Malas minum, sebelumnya minum dengan baik (menyokong ke arah sepsis)

Sumber: Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. 2005. hlm 32-43

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-

tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:Error: Reference source not

found

Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai

sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau

tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;

Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja

timbulnya;

Page 24: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 24/89

Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi tanda

awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.

Bayi berumur lebih dari tiga hari

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda

atau lebih pada Kategori B;

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak

menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis

neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.58

Clinical signs and symptoms

Not able to feed Not attaching to the breast No suckling at all Temperature >37.7°C or

<35.5°C Respiratory rate >60 breaths/min.

Severe chest indrawing Nasal flaring Grunting Reduced movements

Crepitations Lethargic or unconscious Convulsions Bulging fontanelle Cyanosis Reduced digital capillary refill

time Pus draining from the ear Redness around umbilicus

extending to the skin

Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective

NON SPECIFIC

Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti

pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

3.6.3.1 Laboratorium

3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman

A. Kultur Darah

Page 25: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 25/89

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan

karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.59

Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan

kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-

masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis

neonatorum onset dini maupun lanjut.

Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa

infeksi merupakan penyebab tersering pada kematian BBLR dan diagnosis

sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada pemeriksaan

kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur negatif, meski

telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas. Pemberian

antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah persalinan

prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri pada media

kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh kemungkinan

pemberian antibiotiksebelumnya pada bayi yang dapat menekan

pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat disebabkan

akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu penelitian

menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan hasil

negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml dengan

hitung koloni < 4CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni bakteri pada

bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.60,Error: Reference source not found

Jumlah koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak

dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat

kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna

untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan

kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan

abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan

pengobatan.Error: Reference source not found

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 1-

10%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala

spesifik. Punksi lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan

sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini

dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian

Page 26: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 26/89

dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila

hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian

antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada

pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS, diperlukan

modifikasi tipe antibiotikdan dosis.Error: Reference source not found Dari

penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur

darah negatif.Error: Reference source not found

Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk

mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih

baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.Error:

Reference source not found,Error: Reference source not found Spesimen urin diambil

melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik kandung kemih.61

Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan

lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.Error:

Reference source not found

B. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan

sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan

identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan

untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri

Gram positif atau Gram negatif.Error: Reference source not found

Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus,

pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada

rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat

dalam menentukan penggunaan antibiotikpada awal pengobatan sebelum

didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri.62

Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,

seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena

merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.

Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair

dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec™ dan BacT

Alert™ dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.

Page 27: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 27/89

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan

kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda

sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis

banyak dilaporkan dikepustakaan dengan spesifisitas dan senitivitas yang

berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda

sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi yang sering

dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus dan bayi

prematur (tabel 7).63

Tabel 7. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur.Error:

Reference source not found

Haematological testsTotal white blood cell countTotal neutrophil countImmature neutrophil countImmature/total neutrophil ratioNeutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Do¨hlebodies, intracellular bacteriaPlatelet countGranulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)D-dimerFibrinogenThrombin-antithrombin III complex (TAT)Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)Plasminogen tissue activator (tPA)

Acute phase proteins and other proteinsa1 AntitrypsinC Reactive protein (CRP)FibronectinHaptoglobinLactoferrinNeopterinOrosomucoidProcalcitonin (PCT)

Components of the complement systemC3a-desArgC3bBbPsC5b-9

Chemokines, cytokines and adhesion moleculesInterleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75Interferon c (IFNc)E-selectinL-selectinSoluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)Vascular celladhesion molecule-1 (VCAM-1)

Cell surface markers

Page 28: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 28/89

Neutrophil Lymphocyte MonocyteCD11b CD3 HLA-DRCD11c CD19CD13 CD25CD15 CD26CD33 CD45ROCD64 CD69CD66b CD71

OthersLactateMicro-erythrocyte sedimentationSuperoxide anion (respiratory burst)

Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235

3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang

diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:

Hitung trombosit.

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/μL jarang

ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum

dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/μL), MPV

(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara

signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.Error: Reference source not found

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun

jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan

kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi

pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat

proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih

sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang,

PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat

mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak

dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia

juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia

perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.Error:

Reference source not found

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).

Page 29: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 29/89

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.

Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima

untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah

0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama

kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan

kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio

I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis

neonatorum dapat ditegakkan.Error: Reference source not found

Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan

yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau

peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui

sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat

proses persalinan.

Pemeriksaan kadar D-dimer.

D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh

karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem

fibrinolisis.64 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak

spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab

lain seperti trombosis, keganasan, dan terapi trombolitik. 65, 66,67, 68

Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara

lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole blood

agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan antibodi

monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks. Metode ini

sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal, namun kurang

sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara ELISA konvensional

dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan kadar D-dimer, tetapi cara ini

tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Terdapat

beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas

D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu

singkat dan sensitivitasnya mendekati cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-

dimer dengan metode yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing

metode, belum ada satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas

abnormal.

Page 30: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 30/89

3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan

muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-

6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di

neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi

yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah

stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai

proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan

kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada diagnosis sepsis

neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau sebagai

suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotika,

lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat memengaruhi kadar

CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis,

granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,

rotavirus, adenovirus, influenza).Error: Reference source not found,69,70

Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai

sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi

positif 48,77%.71 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis

awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.72

Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan

dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.

Page 31: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 31/89

Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.73

Sumber:

Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.Error: Reference source not found

Sumber:

3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)

PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13

kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler

Page 32: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 32/89

kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah. Secara

fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama bervariasi antara 0,1-

21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya menurun dan setelah 48 jam

nilainya normal yakni <2 ng/mL.

PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP,

mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta

sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat

membedakan infeksi bakterial dari infeksi viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT

29,7 ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran

kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.

3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi.

Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah

dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,

Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan

petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes

sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi

tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus,

pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotikdapat

dihentikan.Error: Reference source not found

IL-6 adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek sistem

imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan

fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis

protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis

neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum

peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak

terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari

penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan

dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan

kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan

risiko pemberian antibiotika.74,75 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap

hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9. Penggunaan IL-6 dan

CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi terinfeksi dengan usia

Page 33: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 33/89

pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma terjadi pada waktu 12-48 jam

setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun. Perbandingan waktu dan

konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRPSumber : kepustakaan nomor ?

3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien

sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih

cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris,

pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna

mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N. meningitidis dan S pneumoniae. Selain

bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan

prognosis pasien sepsis neonatorum.

Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan

spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan

oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang

menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor

risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.76

PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien sepsis

neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada kuman

dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi dan

Page 34: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 34/89

sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau, diharapkan

cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan memperbaiki

prognosis pasien.Error: Reference source not found

Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga bermanfaat

untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik molekular pada

bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah terbukti cepat dan

akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif 88,9% dan nilai

prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan lingkup yang

besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjuctive test untuk

diagnostik cepat bakteremia pada neonatus resiko tinggi dengan gejala sepsis.

Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk

mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan resiko tinggi infeksi jamur.

Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 98%

dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat

terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah Sakit

Rujukan Propinsi.

3.6.3.2 Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,

misalnya:

- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS

(Respiratory Distress Syndrome).

- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.Error:

Reference source not found

- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini

yang telah terbukti dengan kultur.Error: Reference source not found

Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks

untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark

ataupun abses.Error: Reference source not found

USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan

ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan

Page 35: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 35/89

perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan progresivitas

komplikasi.Error: Reference source not found

3.6.4. Pendekatan Diagnosis

Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan

diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.

Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar. Oleh

karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan berbagai

cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang

mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan

diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan

diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko

tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 8).77

Tabel 8 : Pengelompokan faktor risiko 77

Risiko mayor Risiko minor

1. Ketuban pecah > 24 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >

38 C

3. Korioamnionitis

4. Denyut jantung janin yang menetap >

160x/menit

5. Ketuban berbau

1. Ketuban pecah > 12 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5

C

3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit

ke-5< 7 )

4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR )

< 1500 gram.

5. Usia gestasi < 37 minggu.

6. Kehamilan ganda.

7. Keputihan pada ibu.

8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) /

tersangka ISK yang tidak diobati.

Page 36: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 36/89

Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan

diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic

work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan

identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas

dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.Error: Reference source not found

Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan memakai

kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan diagnosis

sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 9. Selanjutnya

dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau

sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotika. Sistem

skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan

diagnosis sepsis awitan lambat.78

Tabel 9 : Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal.Error: Reference source not found

Penemuan Skor

Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem

pernafasan, gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).

Jumlah leukosit total <10.000 atau ≥20.000 / mm3.

Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm3.

Rasio neutrofil batang : neutrofil matur ≥0.1

Usia >1 minggu.

1

1

1

1

1

Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6

Berlainan dengan Spector dkk, beberapa peneliti lain memilih kombinasi

beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologik dan protein

tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring.

Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum

awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :79

1. Jumlah leukosit <5.000 / mm3

2. Rasio neutrofil imatur : total neutrofil ≥0,2

3. Laju endap darah ≥15 mm/jam

4. Latex C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)

5. Latex haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)

Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini

mempunyai sensitifitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga dapat

Page 37: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 37/89

mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitifitas dan spesifisitas

berturut-turut 83% dan 74%.Error: Reference source not found

Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga

dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil

pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring

system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 10. 80

Tabel 10. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini dan lambat.80

Skor

Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.

Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.

Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) ≥ 0,3.

Jumlah imatur PMN meningkat.

Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (≤5000/mm3 atau ≥25.000, 30.000,

dan 21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).

Terdapat perubahan degeneratif pada PMN ≥3+ untuk vakuolisasi, granulasi

toksik, dan badan Dohle.

Jumlah trombosit ≤150.000 / mm3.

1

1

1

1

1

1

1

Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7

Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum

awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar

jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor ≥3

sensitifitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.Error:

Reference source not found

Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana

karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan

darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah

mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang

menunjang sistem skoring tersebut.Error: Reference source not found

Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa

perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan

kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan

perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4

variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan

variabel inflamasi (tabel 11).Error: Reference source not found

Page 38: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 38/89

Tabel 11. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16

Variabel Klinis

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit

Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )

Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

TD < 2 SD menurut usia bayi

TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )

TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

Variabel Perfusi Jaringan

Pengisian kembali kapiler > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi

Leukositosis ( > 34000x109/L )

Leukopenia ( < 5000 x 109/L )

Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2

Trombositopenia <100000 x 109/L

C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9.

3.7. Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis

neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan

waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam

melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat

peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut,

penggunaan antibiotiksecara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola

kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.Error: Reference source

not found Antibiotiktersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui.

Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan; walaupun

Page 39: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 39/89

beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif ini

meliputi transfusi granulosit, intravenous immune globulin (IVIG) replacement,

transfusi tukar (exchange transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan.Error:

Reference source not found

3.7.1 Pemberian antibiotik

Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan pengobatan

dapat menyebabkan kematian.Error: Reference source not found,81 Pada kasus

tersangka sepsis, terapi antibiotikempirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil

kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotikharus dievaluasi ulang

dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak

menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik,

pemberian antibiotikharus dihentikan.Error: Reference source not found7

Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat universal.

Penggunaan antibiotikyang berlebihan akan menimbulkan masalah resistensi di

kemudian hari. Antibiotikspektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi daripada

antibiotikspektrum sempit.Error: Reference source not found Oleh karena itu,

kebijakan dalam pemberian antibiotikharus ada pada setiap unit perawatan neonatus.

Surveilans bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit

neonatal untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotikdi masing-masing

unit.19,52 Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama

yaitu, mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotika.82 Pemakaian

antibiotiksecara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa

tempat.Error: Reference source not found,83

Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotikakan

menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti

Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta

lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotika. Sedangkan

bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap

vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang

mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). Error:

Reference source not found,84

Page 40: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 40/89

Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram

negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira

50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap

sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-

tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul

(kira-kira 20%).Error: Reference source not found

Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada

bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan Enterobacter

sp.85 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk terhadap

karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai angka

prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp. menunjukkan

resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan gentamisin;

resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan seftriakson; dan

resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data terakhir pada bulan Juli

2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-RSCM, menunjukkan

bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat tinggi terhadap

antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua (sefotaksim, seftriakson)

serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotiklini ketiga (imipenem, meropenem).

Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter sp. yang masih sensitif

terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus sp. masih sensitif

terhadap amikasin.Error: Reference source not found

Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis

neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis

yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap

ampisilin.Error: Reference source not found,86 Ampisilin dan sefalosporin generasi

ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme

Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.

Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotikbetalaktam dan aminoglikosida sangat

dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut. 87

Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme

pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan

memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara

berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.Error:

Reference source not found Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara

Page 41: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 41/89

luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi

hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan

sefalosporinase.87

Antibiotiktidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan

intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif

untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti

telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi

(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi

justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotika.54,88

3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan

Listeria monocytogenes.Error: Reference source not found Kombinasi penisilin atau

ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan

umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.Error: Reference source

not found,Error: Reference source not found Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan

meningkatkan aktivitas antibakteri.Error: Reference source not found

3.7.1.2 Pemilihan antibiotikuntuk sepsis awitan lambat

Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga

digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab

infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena

telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.

Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau

amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian

besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan

aminoglikosida lain.Error: Reference source not found

Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat

anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai

terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko

infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau

azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim

(sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap

Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.Error: Reference source not found

Page 42: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 42/89

Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin

atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan utama

menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik

terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap

aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan

serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga

sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap

Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat

munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian

aminoglikosida.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin

(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi

ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas

dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Pilihan antibiotikbaru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotiklain

adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a

cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan

aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotikgolongan penisilin resisten

penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).Error: Reference source not found

Pemberian antibiotikpada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak

bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotikhendaknya

disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan

neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara

rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotika.

3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau

lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,

gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik

seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada

keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian

inotropik, dan pemberian komponen darah.89,90,91 Terapi suportif ini dalam

kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan

dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian

Page 43: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 43/89

tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-

CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.

3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)

Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti

merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan

dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses

opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen

serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.Error: Reference source not found

Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis

neonatal masih bersifat kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat

penurunan mortalitas bayi prematur secara bermakna pada pemberian IVIG,

sedangkan peneliti lain tidak memperlihatkan perbedaan.92 Studi multisenter yang

dilakukan oleh Weisman dkk melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7

hari pertama tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.93

Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah dilakukan

dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT) didapatkan penurunan

angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga terinfeksi.94 Namun, bila

diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis, angka tersebut menjadi tidak

signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada belum cukup kuat untuk

menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus Sepsis Neonatorum. Meta-

analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan angka mortalitas secara

signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah pemberian IVIG

poliklonal.95

Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan

kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum onset dini. Dosis yang

dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.96 Pemberian IVIG terbukti

aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.97

3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF)

Sistem granulopoietik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih

belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis

neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-CSF.98

Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka

Page 44: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 44/89

mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.99 G-CSF

merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya

adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas

kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan

fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis neonatorum.100

Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam sirkulasi

karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat.101

Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat

meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan

dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak

memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.Error: Reference source not

found,102 Oleh karena itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan

tetapi beberapa klinik menggunakannya dengan dosis 10 μg/kg/hari pada pasien

dengan neutropenia yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90

Dari Cochrane review disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup

untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara

rutin dalam mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan

pemberian IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95

Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi

jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat

meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi

nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan

membutuhkan biaya yang mahal.89

3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)

Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,

sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai

pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama

antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.

Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan

plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.103,104,105,106 Tujuan TT pada

sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki

keadaan umum pasien.Error: Reference source not found,Error: Reference source not found,Error:

Page 45: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 45/89

Reference source not found Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang

pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG,

IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan

aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil; mengeluarkan

endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah;

memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak;

serta memperbaiki perfusi perifer dan distres pernapasan. Darah yang digunakan

untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah yang diperlukan untuk tindakan TT

adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan atau 100 ml/kgBB untuk bayi

prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming the tubing. Metode yang paling

disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric exchange, yaitu mengeluarkan dan

memasukkan darah yang dilakukan bersama-sama melalui kateter arteri umbilikalis

(dipakai untuk mengeluarkan darah pasien) dan kateter vena umbilikalis (dipakai

untuk memasukkan darah donor). Kontra indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk

memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis,

necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang

baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.107

TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal

ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT

memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan

menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan

asidosis berat. Tabel 12 di bawah ini, menunjukkan survival dari beberapa penelitian

kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan juga mengenai efek

samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.108

Tabel 12. Angka Survival bayi yang dilakukan TT. 108

Page 46: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 46/89

fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane

review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum

terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.109

3.7.2.6 Pemberian Melatonin

Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal

bebas. Melatonin, merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin,

dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvan untuk mengatasi sepsis

109 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for Neonatal Sepsis. Reviewed by Vogin GD. Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia]

17 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants. Available at: URL:http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian Ia]

18 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33. [Tingkat Pembuktian IV]

19 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian IIb]

20 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.

21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.

22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002; 31: 3-8.

23 Moodi N, Carr R : Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153.

24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infants in developing countries. Curr. Opin.Infect Dis 2004.17:217-224.

25 Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31. [Tingkat Pembuktian IV]

26 Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.

28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-low-birth-weight infants.Clin Microb Rev.2004.641. (dr.retno)

29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.

32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future. Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. British Medical Journal 2003;326:262-266.

33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73.

41 Tambahan dari Prof Rahaju . 48 Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal sepsis.

Obst Gynecol 87:188-94. 1996.

Page 47: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 47/89

neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.

Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini

merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok

kontrol. Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini

dengan sampel yang lebih besar.110

3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik

50 Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD, Cherry JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926. WB Saunders Philadelphia.

51 Pusponegoro TS. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000; 2:96-102.

52 Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of Nosocomial Sepsis in Neonates by Means of a Computer-Weighted Bedside Scoring System (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.

54 Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13. [Tingkat Pembuktian IV]

55 Tantaleán JA, León RJ, Santos AA, Sánchez E. Multiple Organ Dysfunction Syndrome in Children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian IIIa]

56 Buku Pedoman “Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000 57 Departemen Kesehatan RI – UKK Perinatologi IDAI –MNH-JHPIEGO. Buku

Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir Untuk Dokter, Perawat, Bidan di Rumah Sakit . Kosim MS, Surjono A, Setyowireni D, penyunting. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2004.

58 Vergnano S, Sharland M, Kazembe P, Mwansambo C, et al. Neonatal sepsis: an international perspective. Archives of disease in childhood fetal and neonatal edition 2005;90:F220-FF224. [Tingkat Pembuktian IV]

59 Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW : Time to positivity of neonatal blood cultures Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F182-F186 ( November ).

63 Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.

64 Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis : Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001 p. 1113- 29.

65 Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy. In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis : Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins 2001 p. 1132- 52.

66 Kolde HJ. Haemostasis : Physiology, pathology, diagnostics. 2nd ed. Basel: Pentapharm Ltd. 2004 p130.

67 Muller-Berghaus G, ten Cate H, Levi M. Disseminated intravascular coagulation: clinical spectrum and established as well as new diagnostic approach. Thromb Haemost 1999; 82(2): 706-12.

68 Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.

71 Mustafa S, Farooqui S, Waheed S, Mahmood K. Evaluation of C-reactive protein as early indicator of blood culture positivity in neonates.Pak J Med Sci 2005;21(1):69-73.

Page 48: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 48/89

Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah

diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic

inflammatory response syndrome" (SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi

baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut

sebelumnya. Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik

humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi

eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi. Pelaporan

72 Weitkamp JH, Aschner JL. Diagnostic use of C-reactive protein (CRP) in assessment of neonatal sepsis. Amer Acad Ped. 2005;6(11).

73 http://neoreviews.aappublications.org/sub-journals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jpeg

74 Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord Blood Level of Interleukin-6 and Interleukin-8 for the Immediate Diagnosis of Early-Onset Infection in Premature Infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123.

75 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of Unnecessary Antibiotic Therapy in Newborn Infants Using Interleukin-8 and C-Reactive Protein as Markers of Bacterial Infections. Pediatrics 1999; 104 (3): 447-453.

76 Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005; 42: 681-5. [Tingkat Pembuktian IIIa].

77 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90.

78 Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Study of The Usefulness of Clinical and Hematologic Findings in The Diagnosis of Neonatal Bacterial Infections. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6.

79 Philip AG, Hewitt JR. Early Diagnosis of Neonatal Sepsis. Pediatrics 1980; 65:1036-41.

80 Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early Diagnosis of Neonatal Sepsis.Using a Hematologic Scoring System. J Pediatr 1998; 112: 761-7.

88 Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 82: F1-2.

89 Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.

90 Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct Therapies to Bacterial Sepsis in the Neonate NBIN 2004, 4(1):46-50.

91 Carcillo JA . New developments in the management of newborn sepsis, shock and multiple organ failure. Ital J Pediatr 2004; 30: 383-392. [Tingkat Pembuktian IV]

94 Ohlsson A, Lacy JB. Intravenous Immunoglobulin for Suspected or Subsequently Proven Infection in Neonates. The Cohcrane Library 2000; issue 2.

95 Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.

96 Jenson HB, Pollock BH. Meta-analyses of the effectiveness of intravenous immune globulin for prtevention and treatment of neonatal sepsis. American Academic of Pediatrics 1997; 99(2). [Tingkat Pembuktian Ia]

97 Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.

108 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1, 2002 Available

Page 49: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 49/89

ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan risiko,

dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif

sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat

dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis banyak dilakukan

untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara adalah dengan menurunkan

aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-α. Dalam suatu studi eksperimental pada hewan

coba, penyuntikan TNF-α dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan

dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan terhadap aktivitas

in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns -- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm

110 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects of Melatonin Treatment in Septic Newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60. [Tingkat Pembuktian IIb]

11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial Interleukin 6 Measurement in the Early Diagnosis of Neonatal Sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71.

27 Bellig LL, Ohning BL : Neonatal sepsis. Home page eMedicine http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm

31 Dari Rencana Sepsis Prof Asril. 34 Gauser, Crit Care Med 2000. Cara penulisan kurang lengkap...... Judul

tulisan,volume atau nomor Majalah 35 Bone RC. A Continuing Evolution in Our Understanding of The Systemic Inflammatory

Response Syndromes (SIRS) and The Multiple Organ Dysfunction Syndromes (MODS). Ann Intern Med 1996; 125: 80-7.

36 Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward Resolving the Challenges of Sepsis Diagnosis. Clinical Chemistry 2004; 50:8:1301-14. [Tingkat Pembuktian IV]

37 Bernard GR. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis: A Review of Current Information CME. Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewprogram/1890.

38 Bone RC. Pathogenesis of Disseminated Intravascular Coagulation in Sepsis.JAMA 1993;270:975-9.

39 Mathay MA. Severe Sepsis- A New Treatment with Both Anticoagulant and Anti-Inflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.

40 Levi M. Current Understanding of Disseminated Intravascular Coagulation. Br J Haem 2004;124:567-76.

42 Nystrom P.O. The Systemic Inflammatory Response Syndrome: Definitions and Aetiology. J Antimicrob Chemother 1998; 41:Suppl A 1-7.

43 Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE, penyunting. Neonatology Management Procedures on Call Problem Diseases Drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999. h.408-14.

44 Monintja HE. Infeksi Sistemik pada Neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE, penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.

45 Gotoff SP. Infections of The Neonatal Infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h.538-52.

46 Mc Cracken GH. Bacterial and Viral Infections of the Newborn. Dalam: Avery GB, penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.

47 Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal Infections. Dalam: Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Care of the High Risk Neonates. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1986. h.262-85.

Page 50: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 50/89

IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra) ternyata dapat melindungi binatang dari

kematian akibat bakteremia dan endotoksemia.Error: Reference source not found,111,112

Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa pengurangan tingkat

sirkulasi TNF-α dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah perkembangan

kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan penggunaan terapi anti

sitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok septik pada pasien sepsis.

Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF-α pada penderita sepsis baru

49 Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal Sepsis Self-learning Packet 2002. Diunduh dari: http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf.

53 Pong A, Bradley JS.  Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin North Am. 1999; 13:711-33.

60 Schelonka et al. Volume of blood needed to detect common neonatal pathogens. J. Pediatr. 129: 275-8, 1996.

61 Kuschel C. National Women’s Newborn Services Clinical Guidelines. Antibiotics for neonatal sepsis. August 2003. [Tingkat Pembuktian IV]

62 Rand KH, Tillan M. Errors in interpretation of Gram stains from positive blood cultures. Am J Clin Pathol.2006;126(5): 686-690.

69 Berger C, Uehlinger J, Ghelfi D et al. Comparison of C-reactive protein and white cell count with differential in neonates at risk for septicaemia. Europ J Pediatr 1995; 154(2) : 138-144.

70 Kawamura M, Nishida H. The usefulness of serial C-reactive protein measurements in managing neonatal infection. Acta Paediatr 1995; 84: 10-13.

81 Rahman S, Hmeed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistent neonatal sepsis in Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F52-4. [Tingkat Pembuktian IIIa]

82 Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance. J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.

83 Rohsiswatmo R. Multidrug resistant in a neonatal unit the therapeutic implications. Paedtr Indones. Dalam publikasi. 2006………… Nomor, Vol. Pediatr Indones????

84 R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.

85 Deorari A. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health KONIKA XIII, Bandung: Hasan Sadikin General Hospital, 2005.h.61-9.

86 Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis increases the incidence of Gram negative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet Gynecol 1999; 7: 210-3.

87 Garges HP, Alexander KA. Newer antibiotics: imipenem/cilastatin and meropenem. Neo Rev 2003; 4: e364-8.

92 Boehme U, Sidiropoulos, Muralt GV, et al. Immunoglobulin supplementation in prevention and treatment of neonatal sepsis. Pediatr Infect Dis J 1986; 5 : S193-95.

93 Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.

98 Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.

99 Mohan P, Brocklehurst P. Granulocyte transfusions for Neonates with Confirmed or Suspected Sepsis and Neutropaenia (Cochrane Review). The Cochrane Library 2003; issue 4. [Tingkat Pembuktian Ia]

Page 51: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 51/89

merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini dapat dilakukan pada

pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental, diharapkan tata laksana

pasien akan menjadi lebih optimal.Error: Reference source not found

3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum

Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk

sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya

menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan

sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk

mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang

sangat dominan sebagai anti-inflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal

tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai

bahaya yang menyertainya.113 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara

konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg

equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.114

Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan

untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid

dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status

hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respons terhadap

katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan

hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,115 Sebuah meta-analisis memperkuat

hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.116

3.7.2.9 Dukungan Nutrisi

Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan

metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi

100 Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria 2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]

101 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med 1994;148:764-766.

102 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001; 84: F172-6.

Page 52: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 52/89

insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi

meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut

oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat

dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada

keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi;

atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis.

Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1

g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua

jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak

memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral

diberikan setelah bayi lebih stabil.117

3.8. Pencegahan dan Penanggulangan

Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa

intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat dilakukan

pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan postpartum. Intervensi

pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 13.118

Tabel 13. Evidence of efficacy for interventions at different time periods 118

Intrapartum Amount of evidence

Reduction (%)in all-cause neonatal mortality or morbidity/major risk factor if specified (effect range)

Antibiotics for preterm premature rupture of membranes

Corticosteroids for preterm labour

Detection and management of breech (caesarian section)

Labour surveillance (including partograph) for early diagnosis of complications

Clean delivery practices

IV

IV

IV

IV

IV

Incidence of infections: 32%(13 .47%)

40%(25 .52%)

Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%)

Early neonatal death: 40%58 .78%

Incidence of neonatal tetanus:55 .99%

Page 53: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 53/89

PostpartumAmount of evidence

Resuscitation of newborn baby

Breastfeeding

Prevention and management of hypothermia

Kangaroo mother care (low birthweight infants in health facilities)

Community-based pneumonia case management

IV

V

IV

IV

V

6 .42%

55 .87%

18 .42%

Incidence of infections:51% (7.75%)

27%(18 .35%)

Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005

3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini

Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian

antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal

persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya

infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban

pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan

korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan

angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%.

Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah

dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama

persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang

pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.119

3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut

Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan

infeksi nosokomial antara lain :

Pemantauan yang berkelanjutan

Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

Bentuk ruang perawatan

Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

Page 54: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 54/89

Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

Pemakaian antibiotik yang rasional

Program pendidikan

Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program

kontrol.120

3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis

Terapi pencegahan atau antibiotikprofilaksis pada bayi baru lahir tidak

dilakukan lagi. Pemberian antibiotikharus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu dan

bayi. Antibiotikhanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 gram tanpa

memandang ke dua faktor tersebut.Error: Reference source not found

Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian

antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya

penurunan insiden terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative

staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin.

Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara continuous infusion. Namun,

tidak ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka

mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis

yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan

akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti

cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap

vankomisin.121 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat

infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan

sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum

bayi lahir. Setelah itu, antibiotikbaru dapat diberikan.122

3.8.2.2. Kebersihan Tangan

Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan utama

yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan dalam

pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit, sarana tempat

dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan, terlalu sibuk, dan

juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.123

Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah:

1. Mikroorganisme kulit

2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan

Page 55: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 55/90

3. Kepatuhan mencuci tangan

4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan

5. Kapan wajib mencuci tangan

6. Tujuh langkah mencuci tangan

7. Prosedur standar mencuci tangan rutin

Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :

Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan.

Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit

dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan

bagian sisi jari.

Bilas dengan air mengalir.

Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir

Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah

Buat busa secukupnya

Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik

Bilas kembali dengan air bersih

Tutup kran dengan siku

Keringkan tangan dengan tissue

Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.

Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada

alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (hand-

rubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.124 Alternatif

ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para

tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci

tangan dengan sabun antiseptik.125,126,127 Hand-rubbing dilakukan sesudah memegang

satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal masuk ke ruang

perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air

mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci tangan, dapat

meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.128 Penelitian Chelly Gunawan tentang

efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak buta, didapatkan

hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan tersebut dengan Alkohol

Based Handrub yang digunakan di Eropa.129 Hand Rub diletakkan disetiap tempat

tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan dan mencegah penurunan

kepatuhan dalam penggunaannya.

Page 56: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 56/90

Gambar 9. Tujuh langkah mencuci tangan.130

Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005.

Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi

nosokomial. Hal yang sering ditemui adalah terbatasnya tempat cuci tangan, serta

rasio pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Hand Rub dan sosialisasi

pentingnya mencegah infeksi sangat diperlukan. Selain itu, sangat membantu

menurunkan kejadian luar biasa infeksi sepsis dan selulitis di bangsal seperti kejadian

di Surabaya yang tercantum pada tabel dibawah ini.

Tabel 14. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Dokter dan Perawat dan

Bidan di Ruang Neonatus Periode Mei 2002 ( 30 orang )

KRITERIA MEDIS

BENAR

MEDIS

SALAH

PARAMEDIS

BENAR

PARAMEDIS

SALAH

TPP

BENAR

TPP

SALAH

1 30 70

2 40 60 50 50 30 70

3 40 60 30 70

4 20 80 20 80 0 100

5 80 20

Sumber : kepustakaan nomor ?

KRITERIA :

a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan

b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu

Page 57: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 57/90

c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan

d. Batuk pilek memakai masker

e. Disinfeksi kulit prosedural

Tabel 15. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Tenaga Medis dan

Paramedis di Ruang Neonatus Pasca Komunikasi dan Pengelolaan KLB ( 30 orang )

KRITERIA MEDIS

BENAR

MEDIS

SALAH

PARAMEDIS

BENAR

PARAMEDIS

SALAH

TPP

BENAR

TPP

SALAH

1 90 10

2 90 10 90 10 80 20

3 90 10 50 50

4 80 20 80 20 50 50

5 90 10

Sumber : kepustakaan nomor ?

KRITERIA :

a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan

b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu

c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan

d. Batuk pilek memakai masker

e. Disinfeksi kulit prosedural

Tabel 16. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah

Intervensi pada Saat KLB

SEBELUM INTERVENSI

BULAN SEPSIS

DENGAN

SELULITIS

KEMATIAN

SEPSIS DG

SELULITIS

JANUARI 1 1(100%)

FEBRUARI 11 6(46%)

MARET 7 4(57%)

APRIL 4 1(25%)

47,4%

Page 58: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 58/90

SESUDAH INTERVENSI

BULAN SEPSIS

DENGAN

SELULITIS

KEMATIAN

SEPSIS DG

SELULITIS

MEI 0 0

JUNI 0 0

JULI 1 0

AGUSTUS 0 0

SEPTEMBER 0 0

OKTOBER 0 0

Sumber : kepustakaan nomor ?

3.8.2.3. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)

Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya

infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk

memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI

tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin

sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur

yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang

mendapat susu formula (47,2%).131

Penelitian acak buta ganda pre dan post test control group design dengan

pemberian probiotik selama 14 hari pada bayi prematur, dapat meningkatkan kadar

imunoglobulin A sekretori feses sebanyak 19,7% dibanding yang tidak diberi

probiotik. Diduga bakteri probiotik yang diberi sejak dini setelah lahir, mempunyai

efek protektif terhadap infeksi dini yang umumnya terjadi di mukosa

gastrointestinal.132

3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG

Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang

mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis

dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis

sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai

terapi standar sepsis.96

Page 59: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 59/90

3.8.2.5. Ruang Perawatan

Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai

dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Jumlah pasien yang terlalu banyak,

kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue,

tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, perawatan yang tidak baik

terhadap ruangan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi, dapat

meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Setiap ruang perawatan terutama

NICU memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi,

dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan

invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan.

Menurut American Academic Pediatric, 2004 pelayanan kesehatan neonatus dibagi

menjadi beberapa tingkatan (lihat tabel 17).133

Tabel 17. Tingkat Pelayanan Kesehatan Neonatus 133

Pelayanan Kesehatan Dasar Neonatus (Perawatan neonatus level I) : - Perawatan bayi normal - Resusitasi neonatus dan stabilisasi neonatus sebelum rujukan Pelayanan Kesehatan Spesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level II) : - Level I + bayi berat lahir >1500 g - Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) : - Level IIIA Level II + ventilasi mekanik - Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor - Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula, esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll) - Level IIID Tindakan bedah lanjut – bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–1347.

Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut :134

Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela yang

terbuka ke daerah luar.

Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang

bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk

sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.

Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi.

Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.

Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus ada

di dekat pintu masuk.

Page 60: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 60/90

Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu

dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor.

Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi.

Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika

terkontaminasi.

Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh dengan

larutan hipoklorida 10%.

Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap

inkubator.

Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator.

Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga

inkubator.

Permukaan di ruang bayi harus dibersihan dengan seksama sedikitnya

sekali seminggu.

Pemisahan limbah dibagi atas :

a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)

Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester,

masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang

terkontaminasi dengan cairan tubuh.

b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam)

Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,

kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi

cairan tubuh pasien.

c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)

Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset,

sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.

Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary

sewer dan digelontor dengan air.

Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan

dan air.

Page 61: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 61/90

3.8.2.6. Petugas

      Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada bayi

dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The

American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah

Tabel 14. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan 133

Level Neonatal Unit Jumlah Perawat

Unit perawatan bayi normal (Level1)

1 perawat per 6-8 neonatus

Unit Perawatan Transisi (Level II) 1 perawat per 3-4 neonatus

Unit Perawatan Intensif (Level III) 1 perawat per 1-2 neonatus

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–1347.

3.9. Komplikasi

Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:Error: Reference source not found,135,136

Meningitis

Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus

dan/atau leukomalasia periventrikular.

Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute

respiratory distress syndrome (ARDS).

Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti

ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.

Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai

dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental

Kematian

3.10. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila

tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan

meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus

neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi

kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini

adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis

awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %).Error:

Reference source not found,137

Page 62: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 62/90

Page 63: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 63/88

BAB IV

DISKUSI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis

neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan

pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum.

Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena

gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain yang

disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini

berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Oleh

karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis secara dini dengan

membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini, banyak sekali ditemukan

berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di berbagai sarana kesehatan. Ada

sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko

dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor

(lihat tabel 13). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka

pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan

penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.77

Tabel 13. Pengelompokan faktor risiko 77

Risiko mayor Risiko minor

1. Ketuban pecah > 24 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >

38 C

3. Korioamnionitis

4. Denyut jantung janin yang menetap >

160x/menit

5. Ketuban berbau

1. Ketuban pecah > 12 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >

37,5 C

3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 ,

menit ke-5 < 7 )

4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR)

< 1500 gram.

5. Usia gestasi < 37 minggu.

6. Kehamilan ganda.

7. Keputihan pada ibu.

8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) /

tersangka ISK yang tidak diobati.

Page 64: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 64/88

Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan

usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai

dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi

jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 14).Error: Reference source not found

Tabel 14. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus Error: Reference source not found

Variabel Klinis

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit

Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )

Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

TD < 2 SD menurut usia bayi

TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )

TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

Variabel Perfusi Jaringan

Pengisian kembali kapiler > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi

Leukositosis ( > 34000x109/L )

Leukopenia ( < 5000 x 109/L )

Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2

Trombositopenia <100000 x 109/L

C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9

Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab

merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun demikian,

terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali menunjukkan hasil

yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 48-

72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman penyebab infeksi tidak

Page 65: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 65/88

selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Menurut survei yang

dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000, pada SAD

ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada SAL

bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram positif (70,2%). Bakteri Gram

negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative

Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan

berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP,

Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis

sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 15. Pada dasarnya, pemeriksaan

penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok yaitu :

Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan

darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP.

Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator.

Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masing-

masing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang yang

sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan.

Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian

antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi

dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang jelas

berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut.

Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat

bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah

lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit lainnya

di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri Gram negatif

tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD. Dari penelitian-

penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah terjadi

peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan penggunaan

antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter,

kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur penggunaan antibiotik,

sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap pelayanan persalinan. Di

lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik

Page 66: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 66/88

akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan, peningkatan mortalitas, serta

semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus

menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.

Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).

Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi

mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola

resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal

berikut:

1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL

berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.

2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.

3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik

memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.

Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan

menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi

silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan.

4. Farmakokinetik antibiotik.

5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi

antibiotik terdahulu).

Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik:

1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai

sebelum memulai terapi antibiotik.

2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin

(piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin).

3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim,

seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem).

4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi

pengguanaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk

pengobatan empirik.

Page 67: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 67/88

5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi.

6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis.

7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman

dan tepat.

8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama.

9. Obati sepsis bukan kolonisasi.

10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara

menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.

Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga

diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak

positif antara lain :

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),

pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.95,96,97,108,109

Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke

permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya di

luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan manfaatnya.

Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan lambat

(SAL).

Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan

pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan

tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan

dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah

dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan

korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat

menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS

sebesar 86%.119

Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain :

1. Pemantauan yang berkelanjutan

2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

3. Bentuk ruang perawatan

4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

Page 68: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

HTA Indonesia_2008_Sepsis Neonatorum_hal. 68/88

6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

8. Pemakaian antibiotik yang rasional

9. Program pendidikan

10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120

Page 69: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Tabel 15. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum

Pemeriksaan Penunjang

Overview Sensitivitas Spesifisitas Possitive predictive value

Negative predictive

value

Kelebihan Kekurangan

Kultur darah 28,59,60 dapat dilakukan pada SAD maupun SAL

standar baku emas

hasil baru dapat dilihat 48-72 jam

cara pengambilan spesimen khusus

jumlah darah yang diambil cukup banyak (1cc)

hasil positif palsu: kontaminasi dalam pengambilan sampel

hasil negatif palsu: sampel terlalu sedikit

Kultur urin 5,22,61 bila dicurigai terdapat infeksi saluran kemih

cara pengambilan spesimen khusus, yaitu: kateterisasi steril/ aspirasi suprapubik

dilakukan pada anak yang lebih besar

memberikan hasil yang lebih baik pada SAL

Pewarnaan Gram 62 membedakan kuman Gram negatif atau positif

dapat digunakan pada fasilitas lab yang terbatas

bermanfaat pada awal pengobatan

terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus

dapat mendeteksi

Page 70: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Hitung trombosit 5 dalam 2-3 hari pertama kehidupan.

mudah dilakukan biaya murah

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit 5

mudah dilakukan biaya murah

pemeriksaan tidak spesifik

IT ratio menghitung rasio neutrofil imatur dan neutrofil total

60-90%

D-dimer 64,65,66,67,68 hasil pemecahan cross-linked fibrin

tidak spesifik untuk sepsis

CRP 72 protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan

60% 78,94% 48,77% 66,66%99,7% (serial pada SAD)

98,7% (serial pada SAL)

biaya murah tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis

Procalcitonin Merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat 13 kDa, merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid, yg dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam darah.

92,6% (SAD)100% (SAL)

97,5% (SAD)100% (SAL)

bereaksi lebih cepat daripada CRP

biaya mahal

InterleukinIL6, IL8 petanda infeksi yang

disintesis oleh sel monosit, endotel dan imunitas

100% tidak direkomen-

dasikan sebagai indikator tunggal dalam mendiagnosis sepsis

PCR 96% 94% 88,9% 99,8% mampu memberi-kan informasi jenis kuman secara cepat

hanya dapat dilakukan di RS Rujukan/ Pendidikan

Page 71: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

dapat mendeteksi infeksi jamur invasif

Page 72: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

BAB V

ANALISIS BIAYA

Penyusun suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost,

indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan Sepsis

Neonatorum di rumah sakit, meliputi:

1. Komponen Diagnostik

Pemeriksaan kultur darah

Pemeriksaan kultur urin

Pemeriksaan kultur LCS

Pewarnaan Gram

Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer,

Fibrinogen, Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT,

Analisis Gas Darah dan elektrolit)

Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins (C Reactive

Protein, Procalcitonin)

Chemokines, cytokines and adhesion molecules (Interleukin – 6 dan

Interleukin – 8)

Laktat

Gula darah

Pemeriksaan Radiografi Thorax

USG Abdomen

CT Scan

Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi

2. Komponen Terapi

Pemberian Antibiotik

Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar,

pemberian fresh frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis

neonatorum)

3. Jasa Tindakan Medik

Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian

Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk

Rumah Sakit Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada

kesamaan biaya untuk suatu penyakit tertentu dengan kategori atau

kriteria yang sama.

Page 73: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.

NO JENIS KEGIATAN RSUPN CMRSUP Kariadi

III II / I / UTAMA PRIVATE / VIP1 KOMPONEN DIAGNOSTIK        

  - Pemeriksaan kultur darah Rp 180.000 Rp 122.500 Rp 145.000 Rp 152.000   - Pemeriksaan kultur urin Rp 180.000 Rp 88.000 Rp 125.000 Rp 132.000   - Pemeriksaan kultur jamur Rp 310.000 Rp 53.000 Rp 63.000 Rp 70.000   - Pewarnaan Gram Rp 26.000 Rp 20.500 Rp 31.000 Rp 32.500   - Pemeriksaan Hematologi          a. Darah perifer lengkap Rp 25.000 Rp 48.250 Rp 59.500 Rp 63.000   b. D-dimer Rp 134.000 Rp 218.000 Rp 237.000 Rp 245.000   c. Fibrinogen Rp 51.000 Rp 63.500 Rp 70.000 Rp 75.000   d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Rp 220.000 138.500 Rp 167.000 Rp 175.000   e. PT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000   f. APTT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000   g. Analisis gas darah dan elektrolit Rp 150.000 Rp 142.500 Rp 165.000 Rp 173.500   h. IT ratio Rp 10.000      

 - Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins        

  a. C Reactive Protein Rp 30.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000   b. Procalcitonin Rp 500.000        - Chemokines, cytokines and adhesion molecules          a. Interleukin – 6 224 USD        b. Interleukin – 8 ) 224 USD      

Page 74: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

  - Laktat Rp 225.000 Rp 67.000 Rp 73.500 Rp 75.000 - Dextrose stick Rp. ………. Rp. ………. Rp. ………. Rp. ……….

  - Pemeriksaan rdiografi torax Rp 65.000 Rp 75.000 Rp 90.000 Rp 107.000   - USG kepala Rp 190.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000   - USG Abdomen Rp 210.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000   - CT Scan          a. Tanpa kontras Rp 450.000 Rp 500.000 Rp 600.000 Rp 650.000   b. Dengan kontras Rp 600.000 Rp 868.000 Rp 1.007.000 Rp 1.115.000   - Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp 100.000 Rp 132.000 Rp 155.000 Rp 190.000            

2 KOMPONEN TERAPI          - Pemberian Antibiotik          a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021   b. Garamycin vial        - 20 mg Rp 28.000        - 60 mg Rp 58.000        - 80 mg Rp 70.000        c. Ceftazidim vial 1 gram Rp 18.500 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604   d. Piperacillin vial 4,5 gram  Rp 363.000        - Terapi Suportif          a. Intravenous immune globulin Rp 750.000        b. Transfusi Tukar  Rp. 1.142.400 Rp. 343.902 Rp. 343.902  Rp. 343.902  c. Pemberian Fresh Frozen Plasma  Rp. 84.500 Rp. 44.056  Rp. 44.056  Rp. 44.056

 d. Pemberian kortikosteroid pada sepsis

neonatorum Rp ................  Rp. ……….  Rp. ……….  Rp. ……….  JASA TINDAKAN MEDIK        

Page 75: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

  - Untuk tindakan Transfusi tukar Rp 500.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000   - Untuk tindakan transfusi Rp 25.000

Page 76: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada berat

ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan medik,

tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan biaya

yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu :

Sepsis Neonatorum Ringan / Suspect Neonatal Sepsis

- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.

360.000

- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.

360.000

- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.

26.000

- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) = Rp.

25.000

- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) = Rp.

30.000

- pemeriksaan IT Rasio ( rutin ) = Rp.

10.000

- untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa

- untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan

- pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

Sepsis Neonatorum Sedang

- infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah ( selama 4 hari )

hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol

hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp. 360.000

Page 77: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.

360.000

- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.

26.000

- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) 2 x 25.000 = Rp.

50.000

- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) 2 x 30.000 = Rp.

60.000

- pemeriksaan IT Ratio ( rutin ) 2 x 10.000 = Rp.

20.000

- pemberian antibiotik selama 14 hari

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

- Pemeriksaan radiologi thorax = Rp.

65.000

- Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp.

100.000

- Pemeriksaan USG kepala = Rp.

190.000

Sepsis Neonatorum Berat

- infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah ( selama 7 hari )

hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol

hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

- pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp. 360.000

- pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali ( 2 x Rp. 180.000 ) = Rp.

360.000

- pewarnaan gram dilakukan 1 kali ( 1 x Rp. 26.000 ) = Rp.

26.000

Page 78: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

- pemeriksaan darah perifer lengkap ( rutin ) 2 x 25.000 = Rp.

50.000

- pemeriksaan C Reactive Protein ( rutin ) 2 x 30.000 = Rp.

60.000

- pemeriksaan IT Ratio ( rutin ) 2 x 10.000 = Rp.

20.000

- pemberian antibiotik selama 14 hari

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

- Pemeriksaan radiologi thorax = Rp.

65.000

- Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp.

100.000

- Pemeriksaan USG kepala = Rp.

190.000

- Pemeriksaan kultur jamur = Rp.

310.000

- Pemeriksaan PT = Rp.

86.500

- Pemeriksaan APTT = Rp.

86.500

- Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum = Rp. ...........

- Terapi Suportif

Intravenous immune globulin

= Rp. 750.000

Transfusi Tukar

= Rp. 1.141.560

Pemberian Fresh Frozen Plasma

= Rp. 223.000

Page 79: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

KONDISI DI INDONESIA

Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka

kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal

Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi rendah

nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal . Sistem ini belum terwujud dan

terlaksana dengan baik

Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan

pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah Sakit

Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan

Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam

menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah

infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat.

Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum

adalah kemasan cairan dalam volume besar ( 500 cc) yang terlalu besar untuk

kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga

sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol

infus yang berulang kali yang mmenyebabkan infeksi

Page 80: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

BAB VI

REKOMENDASI

I. Bahwa Sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan

angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian

Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera

ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,

kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]

II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen

Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (Stake holder) berusaha

untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek

teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang

diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis

neonatorum, meliputi :

1. Penegakan diagnosis

2. Penatalaksaan

3. Pencegahan

2.1. Penegakan diagnosis :

Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar

klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko

tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.

Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan

penunjang.

Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria

diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis

didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.

Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel,

yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan

variabel inflamasi.

Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis

atau dugaan sepsis sangat penting.

Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di

tempat pelayanan kesehatan:

Page 81: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang

konvensional dianjurkan untuk melakukan :

Skrining Infeksi maternal

Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,

pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.

Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan

penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang

konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat

melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang

ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR,

prokalsitonin, dan lain-lain.

2.2. Penatalaksanaan

Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di

Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut :

Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus

menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.

Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS).

Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi

mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga

diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan

dampak positif antara lain :

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),

pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A]

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola

resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal

berikut:

Page 82: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL

berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.

2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.

3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik

memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.

Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan

menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi

silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena

itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan

mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman.

4. Farmakokinetik antibiotik.

Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan

terapi antibiotik terdahulu).

2.3. Pencegahan

Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu

dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,

persalinan dan beberapa saat setelah persalinan

Pencegahan secara umum :

o Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.

o Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi

TORCH, infeksi saluran kemih, dll.

o Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.

o Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan

anemia.

o Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman

persalinan kurang bulan.

o Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.

o Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman

Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang

baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong

Page 83: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Pemberian ASI dini dan eksklusif

Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi

o Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi

Pencegahan secara khusus

Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan

lambat (SAL).

a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.

Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal

persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko

terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir

prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS

sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin

dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum

sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%. [Rekomendasi B]

b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara

lain:

1. Pemantauan yang berkelanjutan

2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

3. Bentuk ruang perawatan

4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

8. Pemakaian antibiotik yang rasional

9. Program pendidikan

10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.

[Rekomendasi A]

III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk:

Page 84: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan

neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas.

Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari

tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan

propinsi.

Melaksanakan program-program di bidang kesehatan neonatal secara

terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal.

Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem

Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain.

Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan sediaan

cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada bayi baru

lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100 – 125 cc.

Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak cairan

yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi

nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi

parenteral total.

Page 85: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09

DAFTAR PUSTAKA

Page 86: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09
Page 87: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09
Page 88: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09
Page 89: Final Koreksi Draft Akhir 4 Feb 09