Final IPM 2008

download Final IPM 2008

of 130

Transcript of Final IPM 2008

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

KERJASAMA: Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Bandung Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

ISBN Nomor Publikasi Nomor Katalog Ukuran Buku Jumlah Halaman

: 979.486.6199 : 3204.0806 : 4716 3204 : 25,7 Cm x 18,2 Cm : 75 + xi

Naskah

: Seksi Statistik Sosial

Gambar kulit dan seting : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Diterbitkan : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya

Bupati BandungKata Sambutan

Assalammualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT sang pencipta alam semesta, atas perkenan dan rahmat-Nya, kita telah diberi kesempatan untuk mencurahkan segenap kemampuan melalui pemikiran, gagasan, ide sebagai bahan kajian dalam perencanaan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung kedalam sebuah buku yang berjudul INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008 . Publikasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bandung tahun 2008 edisi keenam ini, diharapkan dapat memberikan gambaran secara makro kondisi pembangunan manusia di Kabupaten Bandung melalui beberapa komponen yang mempengaruhinya seperti Komponen pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Hal ini merupakan gagasan UNDP dalam penyempurnaan Indeks Mutu Hidup. Selanjutnya data yang disajikan dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung, khususnya pasca pemekaran wilayah dengan Bandung Barat. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi mereka yang tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Bandung.

Akhirnya semoga Allah SWT tetap memberikan rahmat-Nya kepada kita semua dalam mengemban tugas mulia pembangunan Kabupaten Bandung seutuhnya. Amiin.

Wassalammualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,

Soreang,

Desember 2008

BUPATI BANDUNG

H. OBAR SOBARNA, S. Ip.

Kata PengantarDengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas perkenannya Publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung 2008 dapat disajikan. Publikasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran makro pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Bandung. Paparan karakteristik pencapaian IPM di Kabupaten Bandung diuraikan melalui masing-masing indikator pembentuknya. Indikator tersebut adalah Angka Harapan Hidup (AHH) untuk pengukuran di bidang kesehatan; Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) untuk pengukuran di bidang pendidikan; dan Komponen Daya Beli untuk pengukuran di bidang ekonomi. Publikasi IPM Kabupaten Bandung 2008 ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bandung. Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaikbaiknya, namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung.

Soreang, Desember 2008 KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG,

SOEGIRI SOETARDI, MA NIP. 340010736

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

ii

DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data BAB II. METODOLOGI 2.1. Pengertian Indikator 2.2. Indikator Indikator Pembangunan Manusia 2.3. Metode Penghitungan IPM 2.4. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.5. Ukuran Perkembangan IPM 2.6. Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait BAB III. GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG 3.1. Kependudukan 3.2. Kesehatan 3.3. pendidikan 3.3.1 Angka Melek Huruf 3.3.2 Tingkat Partisipasi Sekolah 3.3.3 Rata Rata Lama Sekolah 3.4. Ketenagakerjaan BAB IV. KEMAJUAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BANDUNG 4.1. Kemajuan Pembangunan Manusia Periode 2004-2008 4.2. Pencapaian Angka IPM Kecamatan i ii iii iv v 1 1 5 6 7 8 9 11 15 16 17

21 21 24 33 35 36 44 45

52 52 59

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

iii

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

69 69 71

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Tahun 2008 Tabel 3.1 Angka kematian bayi (AKB) dan Rata rata Umur Parkawinan Pertama Wanita di kabupaten Bandung tahun 2003-2008 Tabel 3.2. Presentasi Penduduk yang mengalami Keluhan Kasehatan Menurut Jenis Kelamin di kabupaten Bandung Tahun 2006 - 2008 Tabel 3.3. Presentase lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2007 - 2008 Tabel 3.4. APK Menurut Jenis Kelamin dan jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung,Tahun 2007 2008 Tabel 3.5. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di kabupaten Bandung Tahun 2008 Tabel 3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas di Kabupaten Bandung Tahun 2005 - 2008

13 16 30

32

33 39 45

51

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2008

22

Gambar 3.2. Analisis Derajat Kesehatan Gambar 3.3. Angka Kematian bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung ,tahun 2003 - 2008 Gambar 3.4. Presentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, tahun 2007 - 2008 Gambar 3.5. Presentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2007 - 2008 Gambar 3.6. Presentase Balita Menurut Lamanya di Beri ASI di Kabupaten Bandung, tahun 2008 Gambar 3.7. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Gambar 3.8. Perbandingan APK dan APM menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Gambar 3.9. APM Menurut Jenis kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Gambar 3.10. APS Menurut jenis Kelamin dan Jenjang pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 20085 Gambar 3.11 Tingkat Kesempatan kerja, Pengangguran, dan TPAK Menurut Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Gambar 4.1 Pertumbuhan IPM Kabupaten bandung, Tahun 2004 - 2008 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Pertumbuhan Angka Harapan Hidup (AHH) di Kabupaten Bandung, Tahun 2004 - 2008 Pertumbuhan Komponen penyususn Indeks Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2004-2008 Pertumbuhan komponen Daya beli (PPP) di Kabupaten Bandung, Tahun 2004 - 2008 Sebaran Angka Pencapaian IPM menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Peringkat Tujuh Kecamatan yang memiliki IPM Tertinggi di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Sebaran Pencapaian Angka AHH menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008

24 26 29 29 31 38 41 41 43 49

53 55 56 57 60 61 62

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

vi

Gambar 4.8 Sebaran Pencapaian Angka AMH Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008 Gambar 4.9 Sebaran Pencapaian Angka RLS menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008 Gambar 4.10 Sebaran Pencapaian Angka PPP menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008

64 66 68

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

vii

BAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan manusia (human

development)

yang

dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of

people). Pembangunan manusia dapat dipandang sebagai proses upaya kearah perluasan pilihan dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut (UNDP, 1990). Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan peningkatan kemampuan manusia, seperti meningkatkan kesehatan dan pendidikan. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan, melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya, dan sosial politik. Pembangunan manusia harus menyeimbangkan berbagai aspek tersebut. Tujuan utama dari pembangunan manusia, yaitu untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak peluang-peluang yang bisa diraih. Manusia harus bebas untuk melakukan apa yang menjadi pilihannya di dalam sistem pasar yang berfungsi dengan baik. Pendekatan pembangunan manusia menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta peningkatan dan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

1

(kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu : (1) Produktifitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan

memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus

berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pendekatan pembangunan manusia menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta peningkatan dan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan,

kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu jender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

2

Pembangunan manusia atau peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting. Penekananan terhadap

pentingnya peningkatan SDM dalam pembangunan menjadi suatu kebutuhan. Kualitas manusia (SDM yang tangguh) disuatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di wilayahnya. Pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) secara berkesinambungan, tiga aspek penting yang menjadi perhatian, yaitu peningkatan kualitas fisik (kesehatan), intelektualitas (pendidikan), maupun

kemampuan

ekonominya

(daya

beli)

seluruh

komponen masyarakat. Hal lain tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan kualitas SDM adalah pembinaaan aspek moral (keimanan dan ketaqwaan), Sinergi pemanfaatan kemampuan fisik, kecerdasan dan daya beli merupakan perwujudan dari rasa keimanan dan ketaqwaan. Tingkat pendidikan dan kesehatan individu penduduk merupakan faktor dominan yang perlu mendapat prioritas utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan dan kesehatan

penduduk yang tinggi menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dalam kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting dalam upaya

meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri yang semuanya bermuara pada aktivitas perekonomian yang maju. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia, termasuk dalam konteks ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang tidak mendorong peningkatan kualitas manusia hanya akan membuat daerah yang bersangkutan tertinggal dari daerah lain. IPM merupakan wujud dari komitmen tujuan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Pengembangan SDM yang telah menjadi fokus perhatian dalam pembangunan di Kabupaten Bandung selama ini, sangat relevan dengan upaya peningkatan kualitas SDM di Kabupaten Bandung yang masih relatif rendah. Permasalahan SDM dibidang pendidikan, kesehatan, maupun daya

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

3

beli masyarakat tercemin pada pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung yang masih tertinggal dibanding kabupaten/kota sekitarnya. Agar keberhasilan peningkatan pembangunan menyentuh sasaran dan terkorelasi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup manusia maka diperlukan pengukuran dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Munculnya pengukuran ini karena terjadi pergeseran dalam kebijakan pembangunan yang menyebabkan pengukuran hasil-hasil pembangunan perlu disesuaikan dan terukur terhadap upaya peningkatan kualitas hidup manusia, dan juga adanya ketidak jelasan terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai evaluator pembangunan, karena keberhasilan bukan hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih jauh lagi terjadinya manusia kearah hidup yang lebih baik. Arah kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bandung akan relatif lebih baik jika didukung oleh ketersediaan data yang berkualitas dan memadai. Sasaran pembangunan akan mencapai hasil yang tepat dan berkualitas. Keberhasilan pencapaian pembangunan fisik di wilayah Kabupaten Bandung diharapkan dapat diimbangi dengan upaya peningkatan pembangunan manusia, sehingga mencapai sasaran ideal. Sasaran pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Kabupaten Bandung perlu penjabaran yang lebih jelas, rinci dan terarah. Sehingga memerlukan pula sistem pemantauan dan pelaporan yang dapat

mengidentifikasi kesenjangan (kondisi obyektif-empiris) dan keadaan yang diharapkan. Pengukuran kemajuan pencapaian menuju keadaan yang diinginkan memerlukan seperangkat ukuran-ukuran atau indikator yang

dapat dipantau. Sedangkan penentuan indikator yang relevan memerlukan kerangka pemikiran dan analisis yang beragam tetapi mampu menggali perbedaan potensi dan masalah yang ada di tingkat kabupaten.

1.2.

Tujuan IPM merupakan suatu indeks yang menunjukan tentang aspek-aspek:

peluang hidup panjang dan sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

4

yang memadai,serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut merupakan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi. IPM atau Human Development Indeks (HDI) telah dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP). IPM sangat perlu dievaluasi dalam rangka pembangunan suatu daerah, karena IPM dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonominya. Pembangunan manusia harus dipahami sebagai salah satu output penting dalam suatu proses perencanaan pembangunan karena IPM merupakan urutan skala kualitas pembangunan manusia yangmengukir keberhasilan pembangunan. Dengan dibuatnya IPM Kabupaten Bandung per kecamatan akan dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan dan sebagai bahan perencanaan pembangunan dengan segenap

intervensinya agar pencapaian pembangunan memiliki sinergi terhadap peningkatan kualitas masyarakatnya. Agar arah pembangunan manusia menuju arah yang lebih baik dan terspesifikasi baik secara sektoral maupun kewilayahan. Penyusunan IPM bertujuan untuk memaparkan sejauhmana

perkembangan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung dan memberi gambaran yang lebih lengkap dalam melihat sejauhmana dampak

pembangunan yang dilaksanakan terhadap peningkatan kualitas penduduk. Disamping itu, dapat diperoleh pula gambaran tentang seberapa besar kemajuan IPM di masing-masing kecamatan setiap tahunnya dan bagaimana kontribusi kecamatan dalam menunjang akselerasi pencapaian IPM

Kabupaten Bandung. Tersedianya informasi tersebut diharapkan akan dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyusun program dan kebijakan di Kabupaten Bandung, khususnya yang berkaitan dengan program-program pembangunan manusia di Kabupaten Bandung.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

5

1.3.

Ruang Lingkup dan Sumber Data Perencanaan bagi program-program pelaksanaan pembangunan

memerlukan informasi yang dapat menyajikan gambaran sebenarnya di lapangan (represent reality). Semua informasi yang ada tersebut berguna

sebagai penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi suatu kebijakan. Dari sini dapat dilihat pentingnya pemanfaatan data yang relevan dengan kualitas data yang baik dan dari sumber yang terpercaya, oleh karena itu kecermatan dan konsistensi data sangat diperlukan untuk mencegah kekeliruan kesimpulan yang dapat terjadi di kemudian hari secara dini. Ruang lingkup Penyusunan data Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008 ini adalah mencakup seluruh wilayah administratif Kabupaten Bandung. Sedangkan rentang isu yang dibahas mencakup aspek

kependudukan, sosial budaya, ketenagakerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Khusus IPM, Suseda dan Susenas. Juga dilengkapi dengan data hasil Sensus Penduduk, Sensus Ekonomi, Perhitungan PDRB

dan data lain yang dikumpulkan dari berbagai dinas/instansi yang ada kaitannya dengan analisis.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

6

BAB II METODOLOGI

Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Pembangunan yang dapat mencapai manusia yang berharga dan diakui kemanusiaanya dan pencapaiannya. Premis penting dalam pembangunan manusia diantaranya adalah: Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian; Pembangunan

dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka; oleh karena itu, konsep

pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja; Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas) manusia tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan

kemampuan manusia tersebut secara optimal; Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan pendapatan sebagai acuan dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan, yang disebut Pradigma Pembangunan Manusia (PPM), peradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih komplek dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek nonekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek ekonomi. yang diukur oleh indikator bernama IPM (indeks

pembangunan manusia). Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

7

daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). IPM merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan dalam perencanaan kebijakan dan evaluasi pembangunan. IPM mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap paling mendasar, yaitu usia hidup, pengetahuan, dan hidup layak. 2.1. Pengertian Indikator Petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut juga sebagai Indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (1) sahih (valid), indikator harus dapat mengukur sesuatu yang

sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut; (2) objektif, untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda; (3) (4) sensitif, spesifik, perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator; indikator hanya mengukur perubahan situasi yang

dimaksud. Namun demikian perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.

Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

8

(indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu angka melek huruf (AMH), angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan hidup dari anak usia 1 tahun (e1). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu: (a) Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program, seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. (b) Indikator Proses, yang menggambarkan bagaimana proses

pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun. (c) Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SMTA ke atas, AKB, angka harapan hidup, TPAK, dan lain-lain.

2.2.

Indikator-Indikator Pembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar

kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah tentunya diperlukan data-data yang cukup up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut. Apakah pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan gedung SD juga telah mampu

meningkatkan tingkat partisipasi sekolah di wilayah ini? Apakah program Paket Kejar telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut diatas diperlukan pula ukuran-ukuran

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

9

yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya diketengahkan mengenai berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian seperti dikatakan Azwini, Karomo dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik (Hicks and Streeten, 1979, Rat, 1982, Holidin, 1993a, dan Holidin 1993b) karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik dari keterkaitan antar variabel yang

digunakannya. Terlepas dari kelemahan tersebut, ada nilai lebih dari IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada satu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Disamping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH bisa dihitung dengan mudah setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah. Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks. Untuk itu perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan Manusia

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

10

(IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, disampaing mengukur kualitas fisik; tercermin dari angka harapan hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu; tercermin dari nilai purcashing power parity index (ppp). Jadi indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH.

2.3.

Metode Penghitungan IPM Perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan

diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan

(knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur

berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang

masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan

Human Development Report (HDR). Indikator angka melek huruf diperolehdari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator ratarata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

11

Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah

disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut : Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita (=A) . Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B). Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan

International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilaiPDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :

E ( i, j ) j PPP / unit = ------------------------(p( 9, j ) . q ( i,,j ) j dimana, E( i,j)

: pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i

P( 9, j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) q( i,,j ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

12

Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

Komoditi

Unit

(1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Beras lokal Tepung terigu Ketela pohon Ikan tongkol/tuna/cakalang Ikan teri Daging sapi Daging ayam kampung Telur ayam Susu kental manis Bayam Kacang panjang Kacang tanah Tempe Jeruk Pepaya Kelapa Gula pasir Kopi bubuk Garam Merica/lada Mie instant Rokok kretek filter Listrik Air minum Bensin Minyak tanah Sewa rumah Total

(2) Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit

Sumbangan thd total konsumsi (%) *) (3) 7.25 0.10 0.22 0.50 0.32 0.78 0.65 1.48 0.48 0.30 0.32 0.22 0.79 0.39 0.18 0.56 1.61 0.60 0.15 0.13 0.79 2.86 2.06 0.46 1.02 1.74 11.56 37.52

Sumber : Badan Pusat Statistik

Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

13

Lantai : keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0 Luas lantai per kapita : > 10 m2 = 1, lainnya = 0 Dinding : tembok = 1, lainnya = 0 Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0 Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0 Fasilitas air minum : leding = 1, lainnya = 0 Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0 Skor awal untuk setiap rumah = 1 Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebaga berikut : C (i)* = C(i) jika C(i) < Z = Z + 2(C(i) Z) = Z + 2(Z) = Z + 2(Z) di mana, C(I) = Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5) Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari.(1/2) (1/2) (1/2) (1/3) (1/4)

jika Z < C(i) < 2Z jika 2Z < C(i) < 3Z jika 3Z < C(i) < 4Z(1/3)

+ 3(C(i) 2Z) + 3(Z)

+4(C(i) 3Z)

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

14

2.4.

Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129) dapat

disajikan sebagai berikut :

IPM = 1/3 (X (1) + X (2) + X (3))

Dimana, X(1) : X(2) : Indeks harapan hidup Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks ratarata lama sekolah) X(3) : Indeks standar hidup layak

Masing-masing

indeks

komponen

IPM

tersebut

merupakan

perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :

Indeks X(i) = (X(i) - X(i)min) / (X(i)maks - X(i)min) dimana, X(i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3) Nilai maksimum X(i) Nilai minimum X(i)

X(i)maks : X(i)min :

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

15

Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPMIndikator Komponen IPM (=X(I)) (1) Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata lama sekolah Konsumsi per kapita yang disesuaikan 2005 Nilai maksimum (2) 85 100 15 732.720a)

Nilai Minimum (3) 25 0 0 300.000b)

Catatan (4) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan

Catatan:

a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018. b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.

2.5.

Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun

waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang

telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titikideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;141) dapat dirumuskan sebagai berikut : (IPM t+n IPMt) x 100 r= --------------------------(IPM ideal IPMt)1/n

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

16

dimana, IPM IPM IPMt t+n ideal

: : :

IPM pada tahun t IPM pada tahun t + n 100

2.6.

Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan

pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimpelmentasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah :

Rasio jenis kelamin

Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100. Perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah usia > 65 tahun terhadap penduduk usia 15 - 64 tahun, dikalikan 100. Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas. Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya) Proporsi penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di SD Proporsi penduduk usia 13 - 15 tahun yang sedang bersekolah di SLTP Proporsi pendudk usia 16 - 18 tahun yang sedang bersekolah di SLTA Proporsi penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi

Angka ketergantungan

Rata-rata Lama Sekolah Angka Melek Huruf

Angka Partisipasi Murni SD Angka Partisipasi Murni SLTP Angka partisipasi Murni SLTA Persentase penduduk dengan pendidikan SLTP ke atas

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

17

Jumlah penduduk usia Banyaknya penduduk yang berusia antara 7 sekolah sampai 24 tahun Bekerja Melakukan kegiatan/ pekerjaan paling sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang bekerja. Penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja atau mencari pekerjaan. Perbandingan angkatan kerja terhadap penduduk usia 10 tahun Perbandingan penduduk terhadap angkatan kerja yang mencari kerja

Angkatan Kerja

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Angka Pengangguran Terbuka Persentase pekerja yang setengah menganggur Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tidak tetap Persentase pekerja dengan status berusaha dengan buruh tetap Persentase pekerja dengan status berusaha pekerja tak dibayar

Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri

Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tak dibayar

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang berusaha dengan buruh tetap

Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pekerja keluarga

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

18

Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga medis Angka Harapan Hidup waktu lahir Angka Kematian Bayi

Proporsi balita yang kelahirannya ditolong oleh tenaga medis ( dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya ) Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup. Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan ). Proporsi rumah tangga sumber penerangan listrik yang menggunakan

Persentase rumah tangga berlantai tanah Persentase rumah tangga beratap layak Persentase rumah tangga berpeneranganListrik Persentase rumah tangga bersumber air minum leding Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa / sumur / mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah / kotoran terdekat Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik

Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik Pengeluaran

Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai Gini Rasio terletak antara 0 yang mencerminkan kemerataan sempurna dan 1 yang menggambarkan ketidak merataan sempurna.

Gini Rasio

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

19

Penduduk Miskin

Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar. Suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM), dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM)

Garis Kemiskinan

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

20

BAB III GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG

Gambaran kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kabupaten Bandung yang lebih detail merupakan faktor yang krusial dalam mencermati kondisi kesejahteraan masarakat. Hal ini terkait dengan implementasi pembangunan di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan yang merupakan upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable). IPM merupakan suatu besaran komposit yang dibangun dari berbagai indikator tunggal di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan untuk mengakselerasi indikator IPM harus dilakukan terhadap indikator-indikator tunggalnya. Uraian berikut akan memaparkan hasil pembangunan manusia di Kabupaten Bandung yang mencakup berbagai bidang pembangunan, khususnya yang terkait langsung maupun langsung dengan indikator IPM.

3.1.

Kependudukan Pasca pemerkaran wilayah Kabupaten Bandung menjadi dua wilayah

berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 2007, Kabupaten Bandung memiliki penduduk sebesar 3.127.008 jiwa. Penduduk sejumlah tersebut mendiami wilayah seluas 1.767,93 km2 sehingga rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Bandung adalah 1.769 jiwa per km2. Bila penduduk Kabupaten Bandung tahun sebelumnya dihitung ulang (berdasarkan kecamatan yang masih tetap termasuk wilayah Kabupaten Bandung, maka jumlah penduduk tahun 2006 = 2.994.551 jiwa, 2007 = 3.038.082 jiwa. Laju pertubuhan penduduk pada tahun 2007 adalah sebesar 1,45 persen, dan laju mengalami peningkatan menjadi 2,93 persen pada tahun 2008.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

21

Sebagai daerah tujuan urbanisasi, dimana daya tarik ketersedian lapangan usaha (terutama sektor manufacture) yang cukup besar, wajar saja apabila laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung relatif lebih besar

dibandingkan kabupaten lain di sekitarnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah besarnya penduduk jangan sampai menjadi beban pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas adalah aset yang sangat bermanfaat dalam perekonomian. Dan upaya pengendalian jumlah penduduk hendaknya terus dipayakan dalam rangka menciptakan tatanan keluarga kecil yang sehat dan berkualitas. Komposisi penduduk Kabupaten Bandung menurut struktur umur dan jenis kelamin digambarkan dengan oleh piramida penduduk berikut ini:

Gambar 3.1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2008

75+ 70 - 74 65 - 69 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 00 - 04200.000 150.000 100.000 50.000 0 50.000 100.000

L

P

150.000 200.000

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

22

Piramida penduduk menunjukkan distribusi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta tingkat perkembangan penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda. Secara umum, dari gambaran piramida penduduk Kabupaten Bandung masih termasuk golongan penduduk muda menuju transisi. Hal ini diperlihatkan oleh panjang batang piramida untuk kelompok umur penduduk muda (5-9 dan 10-14 tahun) yang sedikit lebih panjang (mencapai 29,65 % dari total penduduk) dari kelompok umur lainnya. Dan batang piramida untuk kelompok umur tua (60 tahun ke atas) yang cukup pendek (mencapai 3,51 % dari total penduduk). Suatu penduduk digolongkan penduduk muda apabila proporsi penduduk dibawah 15 tahun sekitar 40 persen dari total penduduk. Sedangkan apabila proporsi penduduk diatas 60 tahun mencapai 10 persen, maka digolongkan penduduk tua. Apabila upaya pengendalian penduduk terus dilakukan, yaitu ditunjukkan dengan terus menurunnya tingkat fertilitas dan dilakukan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan, maka pada masa mendatang komposisi penduduk akan didominasi oleh usia produktif. Bila mencermati perbandingan panjang batang piramida pada kelompok umur 0-4 tahun yang lebih pendek dibandingkan kelompok umur 59 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan tingkat fertilitas selama kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini berarti bahwa upaya Kabupaten Bandung mengendalikan jumlah kelahiran cukup berhasil. Informasi penting lainnya yang dapat diperoleh dari priramida penduduk adalah angka beban ketergantungan (Dependency Ratio). Angka beban ketergantungan menunjukkan seberapa jauh penduduk yang berusia produktif/aktif secara ekonomi harus menanggung penduduk yang belum produktif dan pasca produktif. Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (usia 0 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia 15 64 tahun). Selama kurun waktu 2002-2008 angka beban ketergantungan ini memperlihatkan kecenderungan berfluktuatif. Pada tahun 2002 angka beban ketergantungan penduduk di Kabupaten Bandung mencapai sebesar 53,22 IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008 23

sedikit meningkat menjadi 55,84 pada tahun 2003 dan di tahun 2004 menurun menjadi 52,48, sedangkan pada tahun 2005 menjadi 51,78 dan sedikit naik menjadi 51,81 pada tahun 2006 dan naik kembali ditahun 2007 menjadi 51,93 (catatan: angka tahun 2002-2007 menggunakan angka Kabupaten Bandung sebelum pemekaran wilayah). Pada tahun 2008 angka beban ketergantungan sedikit meningkat menjadi 52,19, artinya pada setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sebanyak 53 penduduk tidak produktif.

3.2.

Kesehatan Tujuan dari pembangunan manusia dibidang kesehatan adalah untuk

mencapai umur panjang yang sehat. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduknya. Menurut Henrik L Blum, peningkatan derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu : faktor lingkungan berpengaruh sebesar 45 persen, perilaku kesehatan sebesar 30 persen, pelayanan kesehatan sebesar 20 persen dan kependudukan/keturunan berpengaruh sebesar 5 persen. Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya digambarkan sebagai berikut:Gambar 3.2. Analisis Derajat Kesehatan

Lingkungan 45 persen

Keturunan 5 persen

DERAJAT KESEHATAN Morbiditas & mortalitas

Pelayanan Kesehatan 20 persen

Sumber: Depkes RI

Perilaku 30 persen

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

24

Berdasarkan bagan di atas, maka peningkatan kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan merupakan faktor yang sangat memungkinkan untuk diintervensi dengan cepat, dan kontribusinyapun mencapai 65 persen. Sedangkan perubahan perilaku, meskipun dapat diintervensi, namun

perubahannya memerlukan waktu yang cukup lama. Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi pembangunan kesehatan, yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan arah kebijakan bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial yang dirangkum ke dalam sembilan butir kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Kesembilan butir tersebut antara lain: meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, memelihara dan meningkatkan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan SDM, dan lain-lain. Selanjutnya kebijakan tersebut dijabarkan ke dalam tujuh program kesehatan pokok, antara lain: peningkatan lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, upaya kesehatan, perbaikan gizi masyarakat, peningkatan kemampuan dan pengadaan sumber daya kesehatan, dan lain-lain. Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo) / Expectation of Life at

Birth (e0), Angka Kematian Bayi (AKB) / Infant Mortality Rate (IMR), angkakematian kasar, dan status gizi, merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan. Dari indikator-indikator tersebut yang disepakati

digunakan sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo). Pencapaian pembangunan bidang kesehatan di kabupaten bandung diperlihatkan pada gambar berikut:

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

25

Gambar 3.3. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun 2003-200880.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 AHH AKB 2003 65.40 47.74 2004 65.85 46.37 2005 66.23 43.50 2006 66.98 40.18 2007 67.33 38.72 2008 68.42 37.36

AHH

AKB

Pada gambar di atas diperlihatkan bahwa selama periode tahun 20032008 angka harapan hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka harapan hidup Kabupaten Bandung meningkat dari 65,40 tahun pada tahun 2003, menjadi 68,42 tahun pada tahun 2008. Seiring teori yang ada, angka harapan hidup berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Makin tinggi kualitas kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian, dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup. Angka kematian bayi pada tahun 2003 adalah sebesar 48 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 38 bayi per 1000 kelahiran hidup. Artinya sepanjang rentang waktu enam tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

26

bidang,

termasuk

didalamnya

intervensi

program

kesehatan

yang

dilaksanakan di seluruh pelosok Kabupaten Bandung. Menurut "B-Pichart

classification"-Stan

D'Souza

(1984)

dalam

Brotowasisto (1990), Angka kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu: 1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular. 2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. 3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital. Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2008, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori: daerah

intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untukMenurut pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) ada beberapa faktor

menurunkan AKB-nya.

yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, yaitu: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup; b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan; c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi.

Kabupaten bandung mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga upaya peningkatan derajat kesehatan melalui penurunan angka kematian bayi secara signifikan sangat membutuhkan perhatian lebih dan kerja keras. Terutama masyarakat dalam melakukan intervensi problem-problem kesehatan

yang berkaitan

dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Pada 27

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

daerah-daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi, terutama terjadi di wilayah Bandung selatan, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus lebih diprioritaskan. Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi, dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman dan perawatan bayi pada saat dilahirkan. Menurut data Suseda tahun 2007, masih terdapat 43,18 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari non tenaga kesehatan (non nakes) seperti dukun, dan 3,11 persen dibantu oleh non nakes lainnya. Pada tahun 2008 penangan persalinan oleh tenaga non nakes dapat dikurangi menjadi 31,86 persen persalinan yang dibantu dukun bersalin, dan 1,99 persen oleh tenaga non nakes lainnya. Pada gambar 3.4 dan 3.5 terlihat bahwa pada dua tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter (ditunjukkan oleh penolong persalinan pertama oleh dukun bayi 37,17 persen, dan pertolongan terakhir menurun menjadi 31,86 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 4,98 persen

(dari penolong pertama kelahiran 4,42 persen); dan oleh bidan meningkat menjadi 60,54 persen (dari penolong pertama kelahiran 57,57 persen). Penanganan persalinan oleh non nakes memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga nakes seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Maka peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun beranak pada proses persalinan, maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun beranak, maupun kemitraan dukun beranak-nakes. IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008 28

Gambar 3.4. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2008

60 50 40 30 20 10 02007 2008

Dokter 6.56 4.42

Bidan 46.08 57.57

Nakes Lain 0.58 0.43

Dukun 45.59 37.17

Lainnya 1.19 0.41

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2007-2008

Gambar 3.5. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2008

70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.002007 2008 Dokter 6.60 4.98 Bidan 46.59 60.54 Nakes Lain 0.52 0.63 Dukun 43.18 31.86 Lainnya 3.11 1.99

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2007-2008

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

29

Telah disinggung bahwa selain faktor penanganan pada saat persalinan, tinggi rendahnya AKB juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi. Disamping itu, pencapaian AHH dan AKB berkaitan erat dengan tingkat pendidikan keluarga terutama ibu. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat wanita semakin dewasa dalam membina rumahtangganya, termasuk dalam perilaku kesehatannya. Pada saat

mempunyai keturunan, wanita dewasa dan berpendidikan yang cukup akan berusaha memberikan yang terbaik bagi bayinya, termasuk dalam pemberian ASI. Berdasarkan data Suseda, usia perkawinan pertama wanita di Kabupaten Bandung rata-rata diatas 22 tahun. Tabel 3.1. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Wanita di Kabupaten Bandung, Tahun 2003-2008 Rata-rata Umur Perkawinan Pertama (tahun) (3) 22,12 21,65 22,10 22,16 22,21 22,27

Tahun (1) 2003 2004 2005 2006 2007 2008

AKB (2) 47,74 46,37 43,50 40,18 38.72 37,36

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2003-2008 Terkait dengan pola pemberian ASI, berdasarkan data Suseda 2008 umumnya balita telah diberi ASI selama kurun waktu diatas satu tahun (83,71 persen). Dari balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 7,99 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan, dan 8,30 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Dan sebagian besar balita (36,28 persen) diberi ASI sampai berumur IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008 30

diatas dua tahun. Kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI yang semakin meningkat akan berdampak kepada peningkatan angka harapan hidup diwaktu mendatang, meskipun pengaruhnya tidak langsung terasa sesaat setelah disusui. Gambar 3.6. Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2008

> 24bulan 36.28%

1 - 5 bulan 7.99%

6 - 11 bulan 8.30%

18 - 23 bulan 21.12%

12 - 17 bulan 26.30%

Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan kerena bebagai lalasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi kebutuhan bayi dan balita.

Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI. Dari sudut pandang kesetaraan jender, berdasarkan data hasil Suseda 2008, ternyata tidak ditemukan perlakuan yang berbeda dalam hal menyusui balita di masyarakat Kabupaten Bandung. Persentase balita laki-laki yang disusui mencapai 92,48 persen relatif tidak jauh berbeda dengan yang dialami balita perempuan yang mencapai 89,90 persen. Kondisi tersebut menunjukkan telah bertumbuh kembangnya kesadaran para orang tua tentang pentingnya membangun kebersamaan dalam membesarkan anak-

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008

31

anak, tanpa adanya perlakuan berbeda dalam pemenuhan kebutuhan gizinya atau ASI. Tubuh manusia memerlukan makanan untuk menjaga

kelangsungan hidup. Kebutuhan akan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak

membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Orang yang mengalami kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh di bawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya. Sisi lain yang menunjukan adanya peningkatan derajat kesehatan

diperlihatkan oleh penurunan persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan. Pada tabel 3.2 terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 terdapat sekitar 20,81 persen penduduk mempunyai keluhan kesehatan, atau jumlahnya relatif sama dengan kondisi tahun 2007.

Tabel 3.2 Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2006-2008

Jenis Kelamin [1] Perempuan Laki-laki Kab. Bandung

2006 [2] 26,54 25,37 26,31

2007 [3] 20,24 20,88 20,56

2008 [4] 22,09 19,56 20,81

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008 IPM Kabupaten Bandung Tahun 2008 32

Berdasarkan hasil SUSEDA tahun 2008, Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan relatif sama dibandingkan dengan tahun lalu, namun apabila ditelaah lebih lanjut, terlihat bahwa penyembuhan dari penyakit dapat lebih cepat. Lamanya menderita sakit antara 8-14 hari

menurun dari 10,67 persen pada tahun 2007, menjadi 5,99 persen pada tahun 2008. Dan sebagian besar penduduk yang mengalami sakit mengalami sakit dibawah 4 hari (47,09 persen).

Tabel 3.3 Persentase Lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2008

Lama Sakit [1] =