Evaluasi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam
-
Upload
amrullah-an-najih -
Category
Documents
-
view
201 -
download
0
Transcript of Filsafat Pendidikan Islam
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 1/26
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM ALAMATX: http://udhiexz.wordpress.com/2007/12/30/10/
A. Pendahuluan Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita
semua mempunyai ide-ide tentang benda -benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati,
Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai inform al. 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang
sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logi s dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema -problema yang langsumg yang mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli -ahli filsafat. Dari beberapa definisi tadi bahwasanya se mua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah
buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio.
Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang -kadang karena ada kejadian yangmembingungkan dan kadang -kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh -
sungguh tentang soal -soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada
disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ?
Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secar a
kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan
fikiran didalam benda . Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan
terhadapnya telah menimbulkan teori -teori dan sistem pemikiran seper ti idealisme, realisme,
pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi -
asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimanafilsafat itu menjawabnya. B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang
berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al -Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya,
memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia
menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman -pengalaman
manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata
Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophi a: philos berarti cinta, suka
(loving), dan sophi a yang berarti pengetahuan, hikmah ( wisdom). Jadi, Philosophi a berarti
cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya
disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut fail asuf. Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian f ilsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481 -411 SM), yang dikenal sebagai
orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas
dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 2/26
terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan
atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran
utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan
oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para
ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.D alam
hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda -beda. Ahmad D. Marimba, misalnya
mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si ± terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima
unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan
atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong .
3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut,
dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat -alat yang dipergunakan. Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif
dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup
sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkankebahagiaan hidup di akhira t, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur
masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur
kehidupan dunia dan akhir at tersebut adalah al Qur¶an dan al Sunnah. Sebagai sumber
ajaran, al Qur¶an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh
perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan
perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah
mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long li f e educ at ion ). Dari uraian diatas,
terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran -ajarannya bersumber pada al - Qur¶an dan
al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran.Langkah yang ditempuh al Qur¶an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat
martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan
jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari
kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya. Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur¶an d an alHadist Firman Allah :
³ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur¶an) dengan perintah kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al
Qur¶an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar (
QS. Asy-Syura : 52 )´ Dan Hadis dari Nabi SAW : ³ Sesungguhnya orang mu¶min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang
senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya,
sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka
beruntung dan memperoleh kemenangan ia´ (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)´
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 3/26
1. Bahwa al Qur¶an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah
jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang
diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati
untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam
bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur¶an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar -benar pemberi
petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya
agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan
Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan
berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya
sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala
usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya,
pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk
memungkinkannya melakukan fungs i hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik -
baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corakpenghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk
memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit
dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa
modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para
ahli pendidik dan ju ga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara -cara
bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran
kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata -mata teknologi, dia harus meneliti asums i-asumsi
utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan
yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur
filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi it u, teknologimungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah
dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa
mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hak ikatnya
belum dipertimbangkan dengan hati -hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat
pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan
debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau
dengan mengulang-ulang dengan gigih kata -kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa
orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih
baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah
membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islammengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berl angsung dan
dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan
filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai -nilai itu kemudian dijadikan
dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lent ur normatif menurut
kebutuhan dan kemajuan. Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al
Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 4/26
1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah-tengah makhluk lain
serta tanggung jawab dalam kehidupannya. 2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung
jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya. 3) Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah
kepada Nya Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya
agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan
kepada manusia untuk mengambil manfaatnya Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu
merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al Qur¶an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan
demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan
yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam
pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan
Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa
sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat
pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam
harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan
pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam
berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh
(universal) tentan g pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama
Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu -ilmu lain yang relevan.
Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah
masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuanpendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan. D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam Prof. Mohammad At hiy ah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah
menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam ³ At
Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha ³ yaitu : 1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2. Persiapan untuk kehidup an dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya
menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan
saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus. 3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat
mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia
mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian
dan keagamaan. 5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi -segi kemanfaatan. Pendidikan
Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata -mata, tetapi
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 5/26
menaruh perhatian pada segi -segi kemanfaatan pada tujuan -tujuan, kurikulum, dan
aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara
agama dan ilmu pengetahuan. E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan
empat hal sebagai berikut : Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan.
Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur¶an dan al Hadist yang disertai
pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari
pengalaman empirik dalam praktek kependidikan. Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan -bahan yang bersifat tertulis dapat
dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing -masing prosedurnya
telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur¶an dan
al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur¶an semacam Mu¶j am al Mufahr as li Al faz h
al Qur¶ an al K arim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu¶j am al muhfars li Al faz h al
H adist karangan Weinsink. Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode
analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadapsasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah. Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus
pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini
biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori -teori keilmuan tertentu
yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini
pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam
paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena. F. Penutup. Islam dengan sumber ajarannya al Qur¶an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran
para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah
yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwasecara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan
Islam. Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya
dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam.
Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika
diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif.
Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh
Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak
bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang
telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak l ebih sebagaibahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu
upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa
pendidikan Islam ingin eksis ditengah -tengah percaturan global.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat , Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 6/26
Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya,
1983.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam , Cet.II , Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam , Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,
Makalah Filsafat Pendidikan Islam
ANALISIS KRITIS
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBN SINA
Oleh: Muhammad Kosim
A. Pendahuluan
Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf,ilmuwan, penyair dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian
Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya
adalah tentang filosof dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan
Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan
karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib
yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang filosof dan ahli di bidang kedokteran, akan tetapi
beberapa kajian yang dilakukan oleh generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina
ditemukan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam. Oleh sebab itu, Ibn Sina juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang memiliki pemikiran br ill iant .
Pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam memang telah banyak dikaji oleh para ahli,
tetapi tidak berarti kajian tersebut berhenti di situ saja. Pemikiran Ibn Sina yang tertulisdalam karya-karyanya akan tetap relevan untuk dianalisis secara kritis hingga saat ini
sehingga menimbulkan dinamika keilmuan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang bersifat solutif terhadap berbagai permasalahan pendidikan Islam dewasa ini, termasuk
di Indonesia.
Selain itu, pemikiran pendidikan yang dilahirkan oleh ilmuan muslim sejatinya menjadi
referensi penting dalam pengembangan pendidikan Islam dalam konteks kekinian dankedisinian. Sebab, pemikiran yang ia lahirkan tentu berlandaskan, atau tidak bertentangan
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup umat manusia dalam setiap lintasan
zaman kehidupan.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba untuk menganalisis pemikiran Ibn Sina tentang
pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dikemukakan terlebih dahulu biografi Ibn Sina
serta karya-karyanya, kemudian mengkaji pemikirannya tentang manusia dengan konsep
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 7/26
jiwa, lalu beberapa komponen pendidikan Islam, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, dan
metode pembelajaran.
B. Biografi dan Karya Ibnu Sina
1. Riwayat Hidup
Ibnu Sina bernama lengkap Ab µAl al-Husayn bin µAbdullh bin Sn (
). Ia lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara,
sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat
Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur
suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan
juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibn Sinaindependen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa. Sejak kecil, banyak orang
yang mengaguminya, sebab ia adalah seorang anak yang luar biasa kepandaiannya/Child
prodigy, bahkan pada usia 10 tahun telah hafal al-Qur'an seluruhnya. Dalam hal ini ia
mengatakan:
"Saya telah menghafal dan melengkapi studi al-Qur'an serta bagian-bagian terpenting dari
kesusastraan bahasa Arab, sebegitu jauhnya sehingga orang-orang merasa ingin mengetahui
lebih jauh tentang apa yang telah saya dapatkan."
Ia juga seorang ahli puisi Persia. Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, ia telah memahami
seluruh teori kedokteran yang ada di masanya dan melebihi siapa pun juga. Karenakepintarannya itulah, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini
terjadi setelah ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibn Manshur, dimana sebelumnya tidak
seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh
Sultan Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan
menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti
matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter
yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai."
Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasientanpa meminta bayaran.
Di antara guru yang mendidiknya adalah Abu 'Abd Allah al-Natili dan Isma'il sang Zahid.
Dengan kejeniusannya, ia mampu menguasai ilmu yang diterimanya, bahkan melebih dari
gurunya. Meskipun Ibn Sina sempat kebingungan untuk memenuhi hasrat belajarnya yang tak
kunjung terpenuhi dari guru yang telah ia temui, akhirnya ia dapat lebih banyak belajar di
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 8/26
perpustakaan istana, Kutub Khna. Ia diberikan kebebasan belajar di perpustakaan ini karena
keberhasilannya menyembuhkan sang pangeran, sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Beragam ilmu pengetahuan yang ia pelajari dan kuasai di perpustakaan ini, termasuk di
bidang filsafat. Namun, dalam mempelajari filsafat ini, terkadang ia memperoleh kesulitan.
Pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku - bukunya,
mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikankesulitan - kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya,
menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam
mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya.
Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata -
katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka
menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh al-Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall
seharga tiga dirham. Dengan mengenal pemikiran al-Farabi, ia mengaku berhutang budi
kepada al-Farabi. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yangdibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima
kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin. Peristiwa ini terjadi
ketika ia berusia 18 tahun. Sejak itu ia tidak perlu lagi belajar "meluas" tapi hanya perlu
meningkatkan pemahamannya secara "mendalam" atas apa yang sudah dipelajari pada saat ia
memasuki usia delapan belas tahun. Ketika ia memasuki usia senja, ia pernah menyatakan
kepada muridnya, al-Juzjani, bahwa sepanjang tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari
tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia 18 tahun. Pengalaman Ibn
Sina mengajarkan kepada generasi sesudahnya bahwa masa muda amat menentukan
keberhasilan seseorang.
Sebagai pemikir yang inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibn Sina tidaklah terlepas dari
cobaan yang menimpanya. Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh
Ibn Sina yang membakarnya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana,
kecuali Ibn Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan oleh putra
al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian. Setelah beberapa bulan,
ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya
dengan kehormatan. Di kota ini kemudian ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang
intelektual.
Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.
2 .K arya-karya Ibnu Sina
Ibn Sina sangat produktif dalam melahirkan karya tertulis, meskipun ia sibuk dalam
pemerintahan dan tugasnya sebagai "dokter". Di antara karya tulisan yang ia tinggalkan dan
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 9/26
berpengaruh terhadap generasi-generasi sesudahnya adalah:
a.Al-Syif', terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat yang mencakup empat bagian,
yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika. Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa
pemikirannya tentang pendidikan;
b.Al-Najt, merupakan ringkasan dari al-Syifa' yang ditujukan kepada para pelajar yang inginmempelajari dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap;
c.Al-Qnn fi al-Thibb (Canon of Medicine), berisikan tentang ilmu kedokteran yang terbagi
atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.
d.Al-Isyrt wa al-Tanbht, berisikan uraian tentang logika dan hikmah.
Masih banyak karya-karya yang beliau tulis. Semua karyanya sekitar 250 karya yang
diantaranya banyak berbicara tentang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Karyaa-karya ini
sebagian besar berbahasa Arab, tapi ada sebagian kecil di antaranya berbahasa Persia, seperti
Danishnamah 'ala'i (Buku ilmu pengetahuan yang dipersembahkan kepada 'Ala al-Dawlah).Buku ini merupakan karya filsafat pertama di Persia Modern.
C. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Sina
1. Hakikat Manusia
Bebicara tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia.
Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep
pendidikan yang ia kemukakan. Demikian halnya Ibn Sina, juga memiliki pandangan tentang
hakikat manusia. Bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibn Sina tidak pernahterlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa.
Secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya mesti dipelihara
dalam kelangusungan hidup di dunia ini. Namun dalam kajian filsafat, unsur rohani atau jiwa
mendapat perhatian lebih karena dianggap sebagai hakikat manusia yang sesungguhnya.
Demikian halnya dengan Ibn Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji
tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik
tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut paham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian
seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segalaapa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat
tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.16 Berlainan dengan al Farabi, Ibnu Sina
berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu:
1. sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (Wajib al Wujud li ghairihi), dan
2. sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya (Mumkin al Maujud li Dzatihi).
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 10/26
Dengan demikian, ada tiga obyek pemikirannya yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya
dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.
Jiwa manusia, sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah bulan,
memancar dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina membagi Jiwa dalam tiga
bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya saja Ibn Sina menguraikan
lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an. Adapun
pembagian jiwa tersebut adalah:
1. J iwa t umbuh-t umbuhan (Nabatiyyah) adalah daya yang terdapat dalam diri semua makhluk
yang hidup atau yang bernyawa (tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia). Daya ini terbagi
tiga macam, yaitu ghaziyab (makan); munmiyab (tumbuh); muwallidah (mereproduksi).Daya jiwa nabatiyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.
2. J iwa binatang (Hayawaniyyah), daya jiwa ini terdapat pada hewan dan manusia, tidak
pada tumbuh-tumbuhan. Daya jiwa hayawaniyah terdiri dari dua macam, yakni:
a. Daya jiwa hayawaniyah muhrikah (menggerakkan) terbagi atas dua macam:
1) Muhrikah b'itsah, ialah daya keinginan kecondongan yang mendorong lahirnya gerakan.
B'itsah ini mempunyai dua macam yakni b'itsah syahwiyah (kekuatan atau daya keinginan
yang membangkitkan gerakan, untuk memperoleh kebutuhan) dan b'itsah ghadlabiyah (daya
keinginan yang membangkitkan gerakan untuk menghindari segala sesuatu yang
memudlaratkan).2) Muhrikah f'ilah, ialah daya penggerak yang terdapat dalam urat-urat syaraf sampai bagian
luar badan sehingga otot-otot melakukan gerakan sesuai dengan tuntutan daya-daya
keinginan.
b. Daya jiwa hayawaniyah Mudrikab (menanggap), dengan dua bagian:
1) Mudrikah dari luar ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-
rangsangan yang datang dari luar.
2) Mudrikah dari dalam ialah daya jiwa hayawaniyah yang menangkap rangsangan yang
datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri. Daya ini terbagi atas lima macam, yaitu:
(a) Indra bersama (al-hiss al-musytarak), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh
indra luar; (b) Indra al-khayyal, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama; (c) Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayydl.
(d) Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari
materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala. (e) Indra
pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
3. J iwa manusia (insaniyah), yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua daya,
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 11/26
yaitu:
a. daya praktis {al-'amilat), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-'amilah disebut juga al-
'aqlul 'amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan
atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-
perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia, dari
seluruh binatang. Jika daya ini membirnbing daya-daya jiwa hayawaniyah serta dipengaruhi juga oleh aqlun nazhari (pikir teoritis) maka manusia akan hidup di atas keutarnaan, tetapi
jika sebaliknya manusia akan hidup dalam kehinaan.
b. daya teoretis {al-'alimat) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-'alimah
disebut juga "aqlun nazhari". (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-
konsep umum yang di-tajrid-kan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan
akal, yaitu.
1) Aqlun bil quwwab, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi
dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman-
pengalaman. Aqlun bil quwwah ini dibagi tiga:a) Al-Aqlu al-hayulani (akal material), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir
dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b) Al-'Aqlu al-malakat, yaitu jiwa yang memperoleh perkara-perkara badihiyah (kebenaran
aksioma) dengan ilharn ilahi tanpa melalui proses belajar, dia tidak pula lewat pengalaman
indrawi. Contoh, keseluruhan lebih besar dari bagiannya, dua yang berlawanan tidak akan
berkumpul.
c) Al-Aqlu bi al-fi'l, (akal aktual), yaitu bilamana jiwa memperoleh ilmu pengetahuan teoritis,
namun dia tidak dalam keadaan sedang empelajarinya, tapi ilmu sudah siap padanya, kapan
saja dia kehendaki dapat diketahuinya.
2) al-Aqlu al-Mustafad, yaitu akal yang muncul bilamana konsepsi rasional hadir pada akalitu, sedang dia dalam keadaan mengkajinya atau mempelajarinya. Perbedaan antara al-aql bi
al-fi'li dengan al-aql al-mustafad adalah, umpamanya, seorang seniman pelukis, daya jiwanya
pada waktu dia tidak dalam keadaan melukis, dan daya jiwanya pada waktu dia tenggelam
dalam melukis (mustafad). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima
limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Dari tingkatan jiwa di atas, jiwa al-insaniyah adalah yang tertinggi. Sementara dalam jiwa al-
insaniyah juga terdapat beberapa tingkatan akal, dari yang bersifat materil (hayulani) hingga
kepada yang abstrak (mustafad). Untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia,
diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia.
Ia juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu
yang berpengaruh pada dirinya, jika yang lebih berpengaruh jiwa binatang maka orang itu
akan menyerupai sifat-sifat binatang. Sebaliknya jika jiwa manusia telah mempunyai
kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia akan memperoleh kesenangan
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 12/26
abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna
akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di
akhirat.
Kemudian Ibn Sina juga membedakan antara jiwa dengan jasad. Berbeda dengan definisi
yang dikemukakan oleh Aristoteles, "jiwa adalah kesempurnaan awal bagi jasad alami yangorganis", Ibn Sina mengganggap definisi itu tidak membedakan secara tegas antara jasad
dengan jiwa. Bahkan pandangan Aristoteles mengisyaratkan adanya hubungan yang bersifat
esensial antara keduanya dimana jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Bagi Ibn Sina, jiwa
adalah "jauhar dari rohani". Ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi dari rohani, tidak
tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident,
hancurnya jasad tidak membawa kepada hancurnya roh (jiwa). Akan tetapi jiwa yang kekal
adalah jiwa insaniyah dimana kelak akan mendapat pembalasana di akhirat, sementara jiwa
tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hancur bersama hancurnya jasad. Dengan demikian, jiwa
memiliki kedudukan amat penting dari pada jasad. Hal ini berimplikasi kepada konsepnyatentang pendidikan yang mengutamakan pendidikan jiwa.
Meskipun demikian, antara jasad dengan jiwa juga memiliki hubungan yang erat dimana
antara keduanya saling mempengaruhi dan membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa.
Dengan kata lain jasad adalah syarat mutlak bagi adanya jiwa. Karenanya, manusia juga
harus memelihara jasad sehingga dibutuhkan pula adanya pendidikan jasmani yang baik.
2 . Tujuan Pendidikan
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Ibn Sina memandang bahwa manusia itu memilikiunsur jasmani dan jiwa (roh). Kemudian di dalam jiwa manusia terdapat beberapa tingkatan
akal. Jadi, secara garis besar substansi manusia itu ada tiga, yaitu akal (intellect), jiwa (nafs),
dan badan (jism).
Berangkat dari pandangan tersebut, Ibn Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah
"pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke
arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi
pekerti." Tampaknya tujuan ini bersifat universal.
Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkansese¬orang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan
potensi yang dimilikinya.
Khusus mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sina berpendapat hendaklah tujuan
pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 13/26
seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan
yang bersifat keterampilan ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan
sebagainya, sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang profesional yang mampu
mengerjakan pekerjaan secara profesional.
Dengan demikian, adanya pendidikan jasmani diharapkan seorang anak akan terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti
diharapkan seorang anak memiiiki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-
hari dan sehat jiwanya. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan pula dapat
mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya. Begitu pula tujuan pendidikan
keterampilan, diharapkan bakat dan minat anak dapat berkembang secara optimal.
Khusus mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak
mulia, Ibn Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia tersebut dijabarkan secara
luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadisyarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia yang meliputi aspek pribadi,
sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif.
Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa'adah).
Kebahagiaan menurut Ibn Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap. Mula-mula
kebahagiaan secara individu harus dicapai dengan memiliki akhlak mulia. Lalu jika individu
yang merupakan anggota keluarga berakhlak mulia, maka keluarga itu pun akan bahagia pula
dengan akhlak mulia. Selanjutnya keluarga yang berakhlak mulia akan menghasilkan
masyarakat yang berakhlak mulia sehingga suatu masyarakat tersebut akan memperoleh
kebahagiaan.
Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian, dan perlunya
keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya dengan perkembangan jiwa
seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan yang bersifat spiritual mendapat
penekanan yang lebih.
Menurut Hasan Langgulung, jika dilihat dari fungsinya, salah satu fungsi tujuan pendidikan
adalah sebagai alat untuk menentukan haluan pendidikan yang terbagi pada tiga tahap, yaitu
tujuan khusus (objectivies), tujuan umum (goals), dan tujuan akhir (aims). Apabila dikaitkan
dengan rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina di atas, maka tujuan akhir adalah
"pengembangan akal". Sebab, bagi Ibn Sina akal (intellect) adalah puncak dari kajadian ini.Walaupun pakar-pakar pendidikan yang terkemudian memberi definisi yang berbeda dengan
Ibn Sina ini, tetapi sebagian besar mereka setuju bahwa akal adalah satu-satunya
keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk yang lain. Sementara tujuan yang
bersifat khusus (objectiviesi) adalah mencari kerja untuk hidup. Tujuan ini juga bisa disebut
tujuan vokasional yang termasuk dalam tujuan khusus. Hal ini dapat dirumuskan berdasarkan
tujuan pendidikan keterampilan sesuai dengan bakat minat anak, sebagaimana yang telah
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 14/26
disinggung di atas.
Dari beberapa tujuan yang dikemukakan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah "mengembangkan potensi peserta didik secara optimal
sehingga memiliki akal yang sempurna, akhlak yang mulia, sehat jasmani dan rohani serta
memiliki keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga ia memperolehkebahagiaan (sa'adah) dalam hidupnya."
Kemudian, jika dikaitkan antara tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Ibn
Sina telah merumuskan tujuan secara sistematis. Dalam istilah Abuddin Nata, tujuan
pendi¬dikan Ibn Sina bersifat hirarkis-struktural. Artinya, di samping memiliki pendapat
tentang tujuan pendidikan yang bersifat uni¬versal (atau tujuan akhir) sebagaimana dikutip
pada bagian pertama, juga memiliki pendapat tentang tujuan pendidikan yang bersifat
kurikuler atau perbidang studi dan tujuan yang bersifat operasional (atau dalam istilah Hasan
Langgulung tujuan vokasional/tujuan khusus).
Hanya saja rumusan tujuan pendidikan Islam Ibn Sina, selain dari falsafahnya tentang hakikat
manusia, juga dipengaruhi oleh perjalanan atau pengalaman hidupnya yang cerdas dengan
pemikiran-pemikiran brilliant, juga terjun dalam pekerjaan sebagai tabib/dokter sesuai
dengan keilmuan yang dikuasainya. Artinya, Ibn Sina menghendaki orang lain bisa
meneladani apa yang telah ia perbuat. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa rumusan tujuan pendidikan Ibn Sina juga bersifat teoritis-praktis.
3 . K urikulum
Kurikulum, dalam artian sempit, adalah seperangkat mata pelajaran yang harus dikuasai oleh
peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, ilmu apa saja yang harus
dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik termasuk dalam kajian kurikulum.
Ibn Sina juga menyinggung tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh
seorang anak didik. Abuddin Nata, dalam desertasinya yang membahas "Konsep Pendidikan
Ibn Sina" menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibn Sina didasarkan kepada tingkat
perkembangan usia anak didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun.
a. Usia 3 sampai 5 tahun
Menurut Ibn Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian.
1) Olah r aga sebagai pend id ik an ja smani.
Ibn Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 15/26
mengenai pendidikan olah raga. Menurutnya ketentuan dalam berolahraga harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara
demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberikan
pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih
berolahraga lebih banyak lagi. Ia juga merinci olah raga mana saja yang memerlukan
dukungan fisik yang kuat serta keahlian; dan mana pula olahraga yang tergolong ringan,cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sebagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini
dise¬suaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan si anak.
Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan
pertumbuhan fisik si anak serta berfungsinya organ tubuh secara optimal. Hal ini penting
mengingat jasad/tubuh adalah tempat bagi jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat.
Mata pelajaran olah raga yang menginginkan kesehatan jasmani memang mendapat perhatian
dari Ibn Sina, apalagi jika dihubungkan dengan keahliannnya di bidang ilmu
kesehatan/kedokteran, tentu Ibn Sina memahami begitu pentingnya pelajaran oleh ragasebagai upaya untuk menjaga kesehatan jasmani.
2 ) P ela jar an ak hlak/ bud i pek er t i
Pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan
santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam
rangka membina kepribadian si anak sehingga jiwanya menjadi suci, terhindar dari
perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sukar diperbaiki
kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibn Sina memandang pelajaran akhlak sangat
penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Pendidikan akhlak harus dimulai darikeluarga dengan keteladanan dan pembiasan secara berkelanjutan sehingga terbentuk
karakter atau kepribadian yang baik bagi si anak.
3 ) P end id ik an k eber sihan
Pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibn Sina. Pendidikan ini diarahkan agar si
anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia
dalam Islam.
4) P end id ik an seni suar a dan k e senian
Pendidikan seni suara dan ke¬senian diperlukan agar si anak memiliki ketajaman perasaan
dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah
satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang suka
keindahan. Mengenai pelajaran kebersihan, Ibn Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup
bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 16/26
tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat
menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak di usia 3 ± 5 tahun, menunjukkan
bahwa Ibn Sina telah memandang penting pendidikan di usia dini. Hal ini relevan dengan
konsep pendidikan modern yang dikenal dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan istilah
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) lalu Taman Kanak-kanak (TK).
Hemat penulis, jika dilihat dari pelajaran yang perlu diterapkan di usia ini, tampaknya lebih
menekankan pada aspek apektif. Pentingnya pendidikan kebersihan, seni suara, dan kesenian
pada dasarnya bagian dari upaya pembinaan akhlak anak. Hal ini penting mengingat setiap
pengalaman yang dilalui oleh anak di usia dini akan jelas berbekas dalam kepribadiannya
kelak ketika dewasa.
b. Usia 6 sampai 14 tahun
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menu¬rut Ibn Sina adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir,
dan pelajaran olahraga.
1) P ela jar an al-Qur' an dan pela jar an agama
Pelajaran al-Qur'an adalah pelajaran pertama dan yang paling utama diberikan kepada anak
yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an
menurut Ibn Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang
memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendu¬kung keberhasilan dalammempelajari agama Islam seperti pela¬jaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan
pelajaran agama lain-nya yang sumber utamanya adalah al-Qur'an. Efektivitas menghafal al-
Qur'an di usia ini juga telah dibuktikan oleh Ibn Sina sendiri dimana ia telah hafal seluruhnya
pada usia 10 tahun.
Selain itu pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an juga mendukung keberhasilan dalam
mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai al-Qur'an berarti ia telah menguasai
ribuan kosa kata bahasa Arab atau bahasa al-Qur'an. Dengan begitu pelajaran membaca al-
Qur'an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai
pribadi Muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan Muslim, sebagaimana yang
diperlihatkan Ibn Sina sendiri. Sementara pelajaran agama harus lebih banyak diajarkan diusia ini, sebab pada usia ini anak telah mempu berpikir secara rasional sehingga dapat
memahami dasar-dasar ajaran agama yang harus ia jalankan selaku seorang muslim.
2 ) P ela jar an k eter ampilan
Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak mampu mencari
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 17/26
penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran ini dikenal dengan vokasional.
Pentingnya pendidikan tersebut dinyatakan oleh Ibn Sina, seperti yang dikutip Hasan
Langgulung:
"Setelah kanak-kanak diajar membaca al-Qur'an, menghafal dasar-dasar bahasa, barulah
dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya dan ia dibimbing ke arah itu, setelahgurunya tahu bahwa bukan semua pekerjaan yang diinginkannya bisa dibuatnya tetapi adalah
yang sesuai dengan tabiatnya. jika ia ingin menjadi jurutulis (barnagkali sekarang boleh
disebut kerani atau administrator) maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan
perdebatan dan lain-lain lagi. Begitu juga ia perlu belajar berhitung dan mempelajari tulisan
indah. Kalau dikehendaki yang lain maka ia disalurkan ke situ."
3 ) P ela jar an sya' ir
Pelajaran sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkatsebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan
akan sangat berguna dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan
Sunnah. Pelajaran ini dimulai dengan menceritakan syair-syair yangmenceritakan anak-anak
yang glamour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya serta bait-baitnya
lebih pendek. Kemudian Ibn Sina menolak ungkapan "seni adalah untuk seni", ia berpendapat
bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak.
4) P ela jar an olah r aga
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga,menurut Ibn Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran
ada¬lah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu
kaki dan mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan si anak dan disuasaikan
dengan tingkat perkembangannya.
Jika di usia 3-5 tahun lebih ditekankan pada aspek apektif atau pendidikan akhlak, maka di
usia 6-14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan di usia ini
telah diajarkan al-Qur'an dengan membaca, menghafal bahkan memahami tata bahasanya.
Dengan demikian, aspek apektif dan psikomotor sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini
beralasan mengingat di usia ini otak peserta didik telah berkembang dan mulai mampu
memahami persoalan yang abstrak.
c. Usia 14 tahun k e ata s
Di usia 14 tahun ke atas, Ibn Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada
anak berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia
14 tahun ke atas, amat banyak jumlahnya, namun pela¬jaran tersebut perlu dipilih sesuai
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 18/26
dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan
kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima
pelajaran tersebut dengan baik. Ibn Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih
jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut
oleh muridnya. Jadi, di usia ini telah diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu
(takhashshush/spesialisasi).
Di antara mata pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis
dan praktis. Tampaknya pembagian ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga
membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi, Ibn Sina banyak menambahkan ilmu-
ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang tentunya
berdasarkan kepada ajaran Islam. Adapun ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut
adalah:
1) ilmu yang bersifat teoritis meliputi:
a) ilmu tabi'i, yang disebutnya dengan ilmu yang paling bawah, yaitu mencakup ilmukedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan
ilmu kimia;
b) ilmu matematika yang disebutnya dengan ilmu pertengahan, mencakup tentang ruang,
bayang dan gerak, memikul beban, timbangan, pandangan dan cermin, dan ilmu
memindahkan air;
c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi, yaitu menuntut derajat kebebasannya dari
materi, yang mencakup ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa
wahyu, mu'jizat, berita gaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh setelah berpisah dengan
badan.
2) ilmu yang bersifat praktis, meliputi:
a) ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang;
b) ilmu pengurusan rumah tangga, yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri,
anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga;
c) ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintah,
kota dengan kota, serta bangsa dan bangsa. Ibn Sina juga menambahkan dalam ilmu politik
ini tentang wujud kenabian dimana manusia perlu kepadanya, terutama dalam kehidupan
bermasyarakat yang menginginkan tegaknya keadilan dengan menetapkan undang-undang
dan syariat.
Pembagian ilmu praktikal ini juga hampir sama dengan pembagian Aristoteles. Tetapi Ibn
Sina memberikian syari'at sebagai landasan yang amat penting dalam falsafah praktikal.
Setelah pembagian ini ia menyatakan, "Semua itu hanya dapat terlaksana dengan pemikiran
akal dan petunjuk syariat, sedangkan secara terperinci dengan syariat Ilahi". Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Ibn Sina memandang penting antara akal dan wahyu dalam dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan juga harus menyusun kurikulum yang
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 19/26
mendidik manusia agar memiliki akal sempurna berlandaskan kepada wahyu Ilahi.
Lebih rinci, Hasan Langgulung menulis klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina sebagai berikut:
ILMU
Tidak Kekal Kekal Abadi (Hikmat)
Sebagai Tujuan Sebagai Alat: Logik
Teoritikal: Praktikal:
- Ilmu Tabi'i - Ilm Akhlak
- Ilmu Matematika - Ilmu Administrasi Rumah
- Ilmu Metafisika (Ketuhanan) - Ilmu Administrasi Kota
- Ilmu Kully (Universal) - Ilmu Nabi (Syariat)
Gambar: Klasifikasi Ilmu Menurut Ibn Sina
Dari uraian pemikiran Ibn Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep
kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dalam
penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena
itu, mengenal psikologi anak amat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern
mencakup tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta
persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu
maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh
anak didik.
Kedua, kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara
optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-
masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing tingkat usia. Di usia
dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara
apektif, psikomotor dan kognitif. Sedangkan di usia 14 tahun ke atas ditekankan pada
pendalaman materi sesuai dengan keahlian yang ia mampu dan sukai. Artinya, diperlukan
spesifikasi keilmuan sehingga ia ahli di bidang tertentu.
Ketiga, kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan
melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutanmasyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap
lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di
masyarakat.
Keempat, kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu
al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 20/26
integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang
ditawarkan oleh Ibn Sina sejak usia kanak-kanak.
Kelima, kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak
integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibn Sina
memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak. Sedangkan perhatian Ibn Sinaterhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan bahwa ia memahami bahwa semua
ilmu berasal dari Allah dan harus terintegrasi antara iman, ilmu dan amal.
3. Metode
Ibn Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya metode
pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang satu dengan materi
pelajaran yang lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode harus mempertimbangkan
dengan karekteristik dari masing-masing materi pelajaran. Kemudian metode itu jugamempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak didik. Hal itu bisa dilihat dari
beberapa metode yang ditawarkannya. Menurut Abuddin Nata, di antara metode yang
ditawarkan Ibn Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi,
magang, dan penugasan. Kemudian Ali al-Jumbulati mengemukakan pula pemikiran Ibn Sina
tentang metode dera dan hukuman.
a) M et ode talqin
Metode talqin perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an, mulai de¬ngan cara
memperdengarkan bacaan al-Qur'an kepada anak di¬dik, sebagian demi sebagian. Setelah itu
anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dandilakukan berulang-ulang, hingga akhirnya ia hafal. Metode talqin ini menurut Ibn Sina dapat
pula ditempuh dengan cara seorang guru meminta bantuan murid-murid yang sudah agak
pandai untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal. Cara seperti ini dalam
ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam
pengajaran dengan modul.
b ) M et ode demon st r a si
Menurut Ibn Sina, metode demonstrasi dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat
praktik, seperti cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan
metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapanmurid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan
huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makh-rajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan
cara menulisnya.
c) M et ode pembia saan dan k eteladanan
Ibn Sina berpendapat bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 21/26
paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan
dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak. Ia
mengakui adanya pengaruh "mengikuti atau meniru" atau contoh tauladan baik dalam proses
pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara
tabi'iyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala
yang ia lihat dan ia rasakann serta yang didengarnya. Oleh karena itu, dalam pergaluan pun,anak diharapkan berinteraksi dengan anak-anak yang berakhlak baik pula.
d) M et ode d iskusi
Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di hadapkan
kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama. Ibn Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis. Pengetahuan model ini pada masa Ibn Sina
berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para
siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pe¬ngetahuan tersebut.
e) M et ode magang
Ibn Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para
murid Ibn Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan
praktek. Yaitu satu hari di ruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya
mempraktek-kan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan. Metode ini akan
menimbulkan manfaat ganda, yaitu di samping akan mempermahir siswa dalam suatu bidang
ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan
secara ekonomis. Dalam hal ini, guru harus mempersiapkan anak didiknya sebelum magang
sehingga magang tersebut tidak merugikan pihak lain.
f) M et ode penu ga san
Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibn Sina dengan menyusun sejumlah modul
atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya. Cara ini
antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya bernama Abu ar-Raihan al-Biruni dan
Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal
dengan istilah at-ta'lim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau
modul).
g) M et ode tar ghib dan tar hib Targhib, atau dalam pendidikan modern dikenal istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah,
penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk
reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Ibn Sina juga memberikan
perhatian pada metode ini. Menurutnya, memberi dorongan, memuji dan sebainya yang
sesuai dengan situasi yang ada kadangkala lebih berpengaruh dan lebih dapat mewujudkan
tujuan dari pada hukuman, sebab pujian dan dorongan dapat menghapus perasaan salah,
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 22/26
berdosa dan menyesal.
Namun, dalam keadaan terpaksa, metode hukuman (tarhib) dapat dilakukan. Dalam hal ini
Ali al-Jumbulati menjelaskan pemikiran Ibn Sina tentang hukuman ini:
Jika terpaks harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih
dulu. Jangan meninddak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberimotivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia
kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipuji didorong keberaniannya untuk
berbuat baik. Perbuatan demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus.
Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit,
karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang
hukuman itu sebagai suatu yang remeh. menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi
peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan
pengaruh yang positif dalam jiwa anak.
Dari beberapa metode yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa Ibn Sina memberikan
perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat karakteristik metode yang
ditawarkan oleh Ibn Sina, yaitu: pertama, pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan
dengan karakteristik materi pelajaran; kedua, metode juga diterapkan dengan
mempertimbangkan psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak; ketiga, metode
yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan anak didik; dan keempat, ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode
sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
Tampaknya, karakter ini masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu
artinya Ibn Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara
praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya, melainkan
jauh melampaui masa tersebut.
4.Konsep Guru
Guru memiliki peran amat penting dalam pendidikan. Ibn Sina pun menuliskan beberapa
pemikirannya tentang konsep guru, terutama yang menyangkut tentang guru yang baik.
Menurutnya, guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui caramendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci
murni.
Kemudian Ibn Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria
yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam
membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 23/26
anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan
kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja
dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan
santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Ibn Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan dari segi teoritis sajakepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, merubah budi pekerti dan
kebebasannya dalam berfikir. Ia juga menekankan adanya perhatian yang seimbang antara
aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman; aspek
penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek
pengamalan (psikomotorik) yang diwujudkan dalam pelajaran praktek.
Rumusan di atas menunjukkan bahwa Ibn Sina menginginkan seorang guru memiliki
kompetensi keilmuan yang bagus, berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati
dan menjadi idola bagi anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memilikiwawasan yang luas tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki
kharismatik, tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan
sulit didapat, meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.
D.Rekomendasi; Aktualisasi Pemikiran Ibn Sina dalam Pelaksanaan Pendikan Islam di
Indonesia
Dari beberapa pemikiran Ibn Sina tentang pendidikan Islam yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa pemikirannya yang menurut penulis tetap relevan untuk diaktualisasikan dalam
pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan aktualisasi pemikiran IbnSina ini bisa menjadi pendidikan alternatif dalam mewujudkan pendidikan Islam yang
mampu menjawab tantangan zaman. Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran
Ibn Sina tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pentingnya pendidikan akhlak. Sebagaimana yang diuraikan di atas, pendidikan
akhlak menjadi salah satu tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibn Sina. Pentingnya
pendidikan akhlak ini juga tergambar dalam kurikulum yang ia tawarkan, serta metode dan
sikap guru yang mengutamakan keteladanan di samping kompetensi keilmuan. Dalam
konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas penting.
Bahkan akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting dalam rumusan tujuan SistemPendidikan Nasional (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Namun dalam tataran pelaksanaan
pendidikan akhlak, tampaknya belum ditemukan formulasi yang tepat dan jelas. Padahal
persoalan akhlak menjadi problema utama yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu,
perhatian tokoh dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia amat
dibutuhkan untuk membangun karakter (caracter building) bangsa ini ke arah yang lebih
bermartarbat dan terhormat.
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 24/26
Dalam beberapa literatur pendidikan Islam, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas
utama. Salah seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey, seperi yang dikutip oleh Ali al-Jumbulati,
melukiskan dalam bait syairnya:
-
"Hanya saja suatu banga itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak. Namun jika akhlak
mereka hilang, maka bangsa itu pun lenyap pula." ±
Dan tidaklah mungkin suatu bangsa membangun suatu kaum jika akhlak mereka mengalami
keruntuhan.
Perhatian itu hendaknya terwujud dalam kebijakan pendidikan, seperi rekuitmen guru harus
mempertimbangkan kepribadiannya bukan hanya melalui tes tertulis secara kognitif,
kurikulum yang diterapkan hendaknya berbasis akhlak, sekolah-sekolah yang melakukan
kecurangan harus ditindak tegas, dan sebagainya. Selain itu perlu pula merubah paradigma
dari pemahaman akhlak hanya tugas guru agama semata menjadi tugas semua guru, terutamaguru yang beragama Islam secara bersama bertanggung jawab menerapkan pendidikan akhlak
(sesuai tuntunan Islam).
Kedua, pendidikan al-Qur'an sebagai model. Ibn Sina yang sering dikenal dunia internasional
sebagai ahli di bidang kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami
benar tentang al-Qur'an. Bahkan di usia yang masih muda, sekitar 10 tahun, ia telah
menghafal seluruh al-Qur'an. Itu artinya al-Qur'an sangat menentukan keberhasilan Ibn Sina
sebagai seorang ilmuan tiada tandingan di masanya. Tampaknya ia juga menyadari pengaruh
al-Qur'an tersebut sehingga ia menawarkan pentingnya mempelajari al-Qur'an yang dimulai
sejak dini bahkan perlu mengajarkan untuk menghafalnya di usia 6 sampai 14 tahun.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur'an kurang
mendapat perhatian serius. Tingkat sekolah dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan
belajar baca tulis al-Qur'an, sementara di tingkat Madrasah al-Qur'an hanya menjadi salah
satu pelajaran yang digabung dengan Hadis. Untuk itu orang tua harus mengajarkan al-Qur'an
sejak dini kepada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan ayat-ayat
al-Qur'an ke seluruh mata pelajaran, khususnya bagi MTs dan Madrasah Aliyah sebagai
sekolah yang bercirikan Islam. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu mendapat
pelatihan dan pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an tersebut
ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini, diharapkan anak didik akan merasasemakin dekat dengan al-Qur'an serta akan lahir generasi penerus Ibn Sina sebagai "ulama
yang ilmuan, atau ilmuan yang ulama".
Ketiga, pendidikan yang berorientasi kepada jiwa (al-nafs). Salah satu pemikiran penting Ibn
Sina dalam filsafat adalah konsep jiwa. Jika ditelusuri pemikiran pendidikan Islam Ibn Sina
nampaknya akan diarahkan kepada pengembangan potensi anak didik sehingga memiliki
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 25/26
tingkat jiwa yang tertinggi, yaitu al-aql al-mustafad. Penulis memahami bahwa konsep jiwa
yang ditawarkannya telah mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual
sebagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan melebihi dari konsep itu.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi kepada kecerdasan jiwa tersebut. Salah satu di
antaranya yang terpenting adalah perlunya pendidikan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafsiyah).Dengan jiwa yang suci, niscaya akan memudahkan anak didik menguasai berbagai ilmu yang
dipelajarinya serta mudah pula dibina kepribadiannya. Tegasnya, pendidikan yang
berorientasi kepada jiwa (al-nafs) dapat mencerdaskan peserta didik sekaligus membentuk
kepribadian yang berakhlak mulia. Profil peserta didik seperti sangat dibutuhkan dalam
konteks kekinian dan kedisinian.
Keempat, membangun paradigma pendidikan nondikotomik, atau pendidikan integralistik.
Dari beberapa pemikiran Ibn Sina di atas, bisa disimpulkan bahwa pendidikan yang
diinginkan bersifat integral atau nondikotomik. Integralistik itu bisa dilihat antara jasad danrohani, teoritis dan praktis, serta ilmu "umum" dengan "agama". Adanya paradigma
integralistik atau nondikotomik telah membuat Ibn Sina sebagai seorang saintis sekaligus
ulama terkemuka, paling tidak ke-ulama-annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta
penguasaannya terhadap ilmu al-Qur'an. Akhirnya, teori-teori yang dihasilkannya tetap
berlandaskan kepada ajaran Islam.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya
istilah "pendidikan umum" dan "pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini kerap
kali menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan
yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yangdimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap beragama hanya
urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak berbicara
tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pemikiran Ibn Sina paradigma ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan
sumber daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan
hakiki.
E. Penutup
Dari uraian pemikiran pendidikan Ibn Sina di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1. Ibn Sina memandang manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani sebagai jauhar dari
jiwa. Namun jiwa menempati peran penting bagi manusia, sebab jiwa dianggap kekal dan
menentukan kualitas seseorang. Jiwa itu sendiri terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu jiwa
tumbuh-tumbuhan, hewan dan jiwa manusia. Manusia harus mencapai tingkatan jiwa
manusia yang memiliki akal secara aktif. Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan bagi manusia.
5/7/2018 Filsafat Pendidikan Islam - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/filsafat-pendidikan-islam-559abb20350d9 26/26
2. Kurikulum berupa materi pelajaran yang ditawarkan Ibn Sina dimulai sejak usia dini (3 ± 5
tahun), lalu usia pertengahan (6 ± 14 tahun), dan usia di atas 14 tahun. Masing-masing
tingkatan usia tersebut memerlukan materi tertentu sesuai dengan tingkat
kemampuan/psikologis anak. Di usia dini lebih menekankan aspek apektif/akhlak, di usia
remaja telah memperkanalkan berbagai ilmu-ilmu dasar, sementara di usia dewasa harus di
arahkan kepada keahlian atau spesifikasi keilmuan sesuai dengan bakat dan minatnya.Kurikulum tersebut sudah bersifat hirarkis-sturuktural.
3. Ibn Sina juga mengemukakan beberapa metode pembelajaran yang harus
mempertimbangkan aspek psikologis anak dan jenis materi pelajaran yang diberikan. Dalam
penyajian metode ini, seorang guru harus memperhatikan pembinaan akhlak, baik akhlak
guru sendiri sebagai teladan maupun perilaku anak didik yang harus diarahkan kepada yang
baik. Oleh karena itu seorang guru selain dituntut untuk cerdas dan kompeten dalam
bidangnya, juga dituntut memiliki akhlak yang mulia penuh kharisma sehingga menjadi
teladan dan idola bagi anak didiknya.
4. Pemikiran-pemikiran Ibn Sina di atas membuktikan bahwa ia adalah seorang tokoh pendidikan Islam, di samping bidang-bidang lain yang dikuasainya. Oleh karena itu di antara
pemikirannya patut dianalisis dan perlu dijadikan referensi dalam pengembangan pendidikan
Islam saat ini. Dalam hal ini, ada beberapa pemikirannya yang patut dikembangkan dan
diaktualisasikan karena dianggap relevan dengan kondisi pendidikan Islam, khususnya di
Indonesia, di antaranya: pendidikan diselenggarakan hendaklah berbasis akhlak, pendidikan
al-Qur'an harus diterapkan selain sebagai pedoman hidup juga akan menjadi inspirasi dan
motivasi untuk meraih prestasi, pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi
kepada pendidikan jiwa (al-tarbiyah al-nafsiyah) yang akan diharapkan mampu melahirkan
peserta didik yang cerdas, beriman dan berakhlak mulia, serta perlu membangun paradigma
pendidikan nondikotomik.Diposkan oleh M. Jamaluddin Nafis di 20:02