Filsafat Pendidikan -Bagian I

47
BAGIAN I PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN Bab I Apa Itu Filsafat 1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui Disadari atau tidak, setiap manusia selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya dan mencari jawaban tentang segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia memiliki hasrat ingin tahu. 1 Dalam diri manusia ada dorongan untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang haus akan pengetahuan baru (an inquistive mind), yang terbuka untuk menyelidiki segala kejadian dan gejala. 2 Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan dia untuk berpikir. Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk-makhluk infra-human seperti tumbuhan dan hewan. Sesekor hewan, misalnya tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tidak tahu bahwa ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain. Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian dan merumuskan putusan- putusan logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat spekulatif, abstrak dan refleksif. Aristoteles 1 Aristoles, Metaphysics, I,1. 2 P. Leenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, Gramedia, Jakarta, 1988), hal-4-6. 1

description

makalah

Transcript of Filsafat Pendidikan -Bagian I

Page 1: Filsafat Pendidikan -Bagian I

BAGIAN I

PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN

Bab I

Apa Itu Filsafat

1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk MengetahuiDisadari atau tidak, setiap manusia selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal

selalu bertanya dan mencari jawaban tentang segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia memiliki hasrat ingin tahu.1 Dalam diri manusia ada dorongan untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang haus akan pengetahuan baru (an inquistive mind), yang terbuka untuk menyelidiki segala kejadian dan gejala.2

Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan dia untuk berpikir. Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk-makhluk infra-human seperti tumbuhan dan hewan. Sesekor hewan, misalnya tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tidak tahu bahwa ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain. Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian dan merumuskan putusan-putusan logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat spekulatif, abstrak dan refleksif. Aristoteles menjelaskan manusia sebagai makhluk berakal budi (animal rationale). Tetapi ada bentuk lain yang juga penting, yaitu pengetahuan yang bersifat simbolis atau figuratif yang bekerja dengan gambar-gambar, simbol-simbol, mitos-mitos dan perbandingan (kiasan). Ernst Cassirer, seorang filsuf terkemuka aliran Neokantian abad ini mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang menggunakan simbol-simbol (animal symbolicum). Jadi ada dua hal yang saling melengkapi.

1.2. Dua Jenis FilsafatManusia pada hakekatnya adalah fisuf, sejauh sebagai makhluk berakal budi dia

terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban tentang semua yang ada dan tentang semua yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan bukanlah monopoli orang-orang terpelajar melulu, tetapi menyangkut semua orang.

Pada umumnya dibedakan dua jenis filsafat3. Pertama, filsafat elementer (alamiah) yang ada pada semua bangsa dan menjadi milik semua orang. Filsafat alamiah ini pada umumnya bersifat naratif (dalam bentuk cerita-cerita) dan bukan argumentatif dan sistematis. Filsafat jenis ini diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos, disajikan dalam kisah-kisah, diabadikan dalam syair-syair dan dipadatkan dalam kata-kata bijaksana. Dalam arti ini filsafat 1 Aristoles, Metaphysics, I,1. 2 P. Leenhouwers, Manusia dan Lingkungannya, Gramedia, Jakarta, 1988), hal-4-6.3 B. Mondin, Introduzione alla Filosofia (Milano: Editrice Massimo, 1990), hal. 10-11.

1

Page 2: Filsafat Pendidikan -Bagian I

terdapat pada semua suku bangsa dan peradaban pada segala momen sejarah dan bukan monopoli suku bangsa tertentu.

Tetapi selain filsafat elementer ini terdapat juga filsafat ilmiah yang bersifat sistematis dan metodis. Dalam pembicaran selanutnya, kita akan menggunakan filsafat dalam pengertian kedua ini. Secara historis filsafat jenis kedua ini dimulai dan dikembangkan pertama kali di Dunia Barat sama seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangsa Yunani, leluhur peradaban manusia Barat, pertama kali berhasil menemukan dan menetapkan sarana-sarana seperti logika, yaitu aturan-aturan untuk penalaran logis yang perlu untuk mengangkat filsafat dari tingkat alamiah ke tingkat ilmiah. Pada bangsa-bangsa asli Timur sezaman Yunani Kuno ketika filsafat lahir, unsur-unsur filsafat selalu berhubungan dengan kehidupan religius dan karena itu tidak dapat disebut sebagai filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Parmenides, Herakleitos, Pythagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir besar pertama yang mengembangkan tehnik-tehnik baru untuk menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan mendasar menyangkut kehidupan dengan bertumpu pada penalaran murni (penalaran yang dikontrol secara ketat oleh hukum-hukum logika). Tokoh-tokoh ini mengembangkan filsafat sebagai ilmu yang sistematis dan metodis. Filsafat sistematis adalah hasil temuan manusia Yunani.

1.3. Apa Itu FilsafatIstilah filsafat dalam bahasa aslinya (Yunani: philosophia), terbentuk dari dua kata

dasar. Pertama, philia (kata benda) berarti cinta; philein (kata kerja) berarti mencintai. Kedua, sophia (kata benda) berarti kebijaksanaan, kebenaran. Menurut tradisi filsafat, orang yang pertama kali memakai kata philosophos atau filsuf orang yang mencintai kebijaksanaan) adalah Phytagoras. Phytagoras merasa diri tidak layak menyandang nama sophos (yang bijaksana). Nama itu hanya cocok dan pantas dikenakan pada dewa-dewalah yang memiliki kebenaran dan kebijaksanaan dalam arti utuh dan lengkap. Untuk manusia sudah cukup disebut philosophos, yaitu orang yang mencintai kebijaksanaan. Dalam diri seorang manusia hanya ada hasrat dan keinginan untuk mendekatkan diri terus menerus kepada kebijaksanaan dan kebenaran. Manusia tidak pernah memiliki kebenaran satu kali untuk selama-lamanya.

Dari tinjauan etimologis ini menjadi jelas bahwa filsafat secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian segera tampak bahwa filsafat adalah suatu aktivitas intelektual yang bersifat dinamis dan bukan suatu pengertian yang statis. Cinta (philia) atau hasrat menunjuk kepada suatu aspirasi, keterarahan seluruh diri kepada sesuatu yang dicita-citakan, yang belum dimiliki sepenuhnya. Kebijaksanaan dan kebenaran (sophia) menunjuk kepada sasaran yang dituju oleh aspirasi itu.4

Ada beberapa unsur hakiki yang perlu digarisbawahi di sini: Pertama, sebagai aktivitas intelektual filsafat selalu terarah kepada kebenaran (objek intelek adalah kebenaran). Filsafat tidak pernah berhenti pada suatu pendapat yang sudah mapan dan diterima umum; ia tidak pernah berhenti mempertanyakan. Ia selalu mempertanyakan secara kritis semua pendapat dan pandangan dan tidak menerima begitu secara buta.5 Kedua, filsafat mau mencari sampai

4 V. Mathieu, “Filosofia” dalam Dizionario delle Idee , (Firenze; Sanson, 1977), hal. 425-426.5 Kata kritik berasal dari kata Yunani, Krinein yang berarti menilai, mengapresiasi, memilah-milah dan

membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk dan yang otentik dari yang palsu dan bukan sekedar mencerca orang seperti biasa kita bayangkan kalau mendengar kata kritik. Sering dibedakan antara kritik yang konstruktif dan kritik yang desturktif, tetapi dalam arti asli kata kritik lebih dekat kepada kritik yang konstrukrif. Kritik yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk komunikasi sambung nalar yang bertujuan untuk mempertanggungjawabkan secara argumentatif semua pernyataan dan tindakan kita. Dengan demikian sedapat mungkin dibatasi upaya untuk menyelesaikan segala persoalan hanya pada taraf komunikasi sambung rasa yang sering hanya mempertenggangkan dalam mengambil keputusan.

2

Page 3: Filsafat Pendidikan -Bagian I

ke akar (memikirkan secara radikal, radix; akar), mau mencari sampai kepada sesuatu yang paling mendalam yang mendasari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat mau menggapai syarat-syarat yang memungkinkan adanya atau terjadinya sesuatu. Inilah yang dalam filsafat dikenal sebagai metode transendental (to transcend; melampaui dan mengatasi fakta-fakta dan gejala-gejala yang tampak). Ketiga, ketulusan dan kejujuran untuk selalu memihak kepada kebenaran, kerendahan hati untuk terus menerus mencari. Dalam hal ini orang perlu membuat suatu pertobatan terus menerus. Ada tiga jenis pertobatan yang perlu untuk mencapai kebenaran. Pertama, pertobatan intelektual. Orang harus terus menerus menjernihkan pandangannya tentang realitas yaitu bahwa kebenaran ada dan harus ditemukan. Kedua, pertobatan moral. Orang harus selalu mengarahkan diri kepada nilai yang akan membantu perwujudan dirinya dalam penggunaan kebebasan yang memihak kepada nilai. Ketiga, pertobatan religius. Orang harus membuka diri kepada realitas yang lebih tinggi.6

1.4. Filsafat dan Ilmu-ilmu EmpirisSecara singkat filsafat yang dimaksudkan di sini selain sebagai ilmu adalah juga sikap

hidup. Sikap hidup yang dituntut oleh filsafat adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup sendiri, tentang tindakan dan tentang realitas secara keseluruhan. Plato pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak direflesikan tidak layak untuk dibanggakan. Sebagai ilmu, sebenarnya filsafat merupakan suatu bentuk pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan kritis tentang seluruh kenyataan yang dibahas menurut aspek kedalamannya, sampai ke akar-akarnya. Filsafat dengan ini berupaya mencari sebab-sebab terdalam dan prinsip-prinsip7

dasar dari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar.8 Adapun yang menjadi persamaan antara ilmu-ilmu dan filsafat, yakni filsafat dan ilmu-

ilmu timbul dari dorongan untuk mengetahui dan keinginan dasar untuk mengerti. Filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari manusia sebagai mahkluk rasional, yang bertanya dan mencari jawaban. Semuanya terarah kepada kepentingan manusia. Tidak ada filsafat untuk filsafat, seperti juga tidak ada ilmu untuk ilmu. Karena apa yang dilakukan manusia dengan sadar dan sengaja selalu bersifat intensional dalam arti memiliki tujuan tertentu. Demikian juga filsafat dan ilmu selalu merupakan abdi manusia, demi kepentingan manusia.

Sementara yang menjadi perbedaan antara ilmu-ilmu dan filsafat terletak pada objek kajian (obyek material) dan sudut pandang dari mana suatu segi dari realitas dibahas (objek formal). Objek material dari filsafat adalah seluruh kenyataan; tak ada aspek yang diabaikan. Maka objek filsafat adalah yang paling luas. Objek formal adalah sebab-sebab pertama dan terdalam (first and ultimate causes) dari kenyataan. Sementara ilmu-ilmu lain membatasi diri pada bagian tertentu dari kenyataan. Misalnya, objek kajian biologi terbatas pada makhluk-makhluk hidup; objek kajian geografi adalah letak tempat-tempat di permukaan bumi, iklim, fauna, flora, dan populasi suatu daerah; ilmu kedokteran mempelajari perlbagai hal tentang

6 B. Lonergen membedakan tiga macam pertobatan (conversions). Pertama, pertobatan intelektual, yaitu upaya yang terus menerus untuk menjelaskan secara radikal dan menghapuskan semua pandangan yang membatasi realitas, objektivitas dan pengetahuan manusia hanya ada pada apa yang diinderai. Kedua, pertobatan moral, yaitu mengalihkan keputusan dan pilihan dari kepuasan kepada nilai-nilai. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan tentang realitas, dan jawaban terhadap nilai-nilai diperkuat dan dimurnikan, orang harus semakin bebas untuk mengungkapkan dan memajukan permihakannya kepada nilai-nilai yang sejati. Kebebasan dan pertobatan moral terungkap dalam memilih hal yang benar-benar baik; bila nilai bertentangan dengan kepuasan, nilai harus menang. Dengan nilai di sini dimaksudkan apa saja yang menunjang perwujudan diri manusia. Ketiga, pertobatan religius, yaitu berkaitan dengan keprihatinan paling mendasar. Inilah jatuh cinta yang sebenarnya pada sesuatu yang sehat dan seimbang menuntut orang mengabdikan diri secara utuh kepada yang benar dan baik.

7 Prinsip (Latin: principium, Yunani: arkhe) berarti awal, titik tolak dari mana sesuatu berasal, Prinsip juga berarti sebab, alasan jadinya sesuatu yang baru.

8 L. Bagus, Metafisika, Gramedia, Jakarta, 1991), hal. 8.

3

Page 4: Filsafat Pendidikan -Bagian I

kesehatan dan penyakit-penyakit. Ilmu-ilmu lain bekerja mulai dengan kata-kata dan gejala-gejala yang dapat diamati diobservasi dan dikuantifikasi. Ilmu-ilmu lain menyelidiki sebab-sebab sejauh dapat diamati dan dapat diukur, bukan sebab terdalam, yaitu kenyataan sebagaimana adanya. Boleh dikatakan bahwa ilmu-ilmu membahas sebab-sebab kedua dan terdekat (secondary and immediate causes).

1.5. Filsafat dan Ideologi

Ditilik dari segi kata, Ideologi berarti ilmu tentang ide-ide; ilmu yang mengambil ide-ide sebagai objek kajiannya. Pada umumnya ideologi diartikan sebagai berikut.9:

Pertama, teori tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan fisik pihak yang memperjuangkannya. Dalam hal ini ideologi menjadi sarana untuk membenarkan dan mengabadikan kekuasaan dan kepentingan sebuah kelompok sosial.

Kedua, keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani suatu kelompok sosial. Di sini pengertian ideologi bersifat netral. Baik buruknya suatu ideologi tergantung pada isinya.

Ketiga, segala penilaian etis, anggapan-anggapan normatif, teori-teori serta paham-paham keagamaan, yang tidak dapat diuji secara matematis-logis atau empiris (tuntutan positivisme). Dalam arti ini ideologi tidak bersifat rasional, karena bersifat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.

Filsafat berbeda dari ideologi. Filsafat bersifat refleksif dan spekulatif, sedangkan ideologi bersifat instrumental dan pragmatis digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dianggap berguna secara praktis. Filsafat bersifat revelatif, dalam arti bertujuan menyingkapkan kebenaran, sedangkan ideologi menetapkan ide-ide dasar yang berguna untuk menunjang sukses praktis. Filsafat akan tetap bertahan selama sifat refleksif kritis dan spekulatifnya ada dan akan mati kalau ia berubah menjadu ideologi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan praktis dan langsung.10

1.6. Tujuan Belajar Filsafat

1.6.1. Tujuan Umum11

Pada umumnya studi filsafat menjadikan orang mampu menangani pertanyaan-pertanyaan dasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu lain, tapi tentang kenyataan dan tanggung jawab manusia. Dalam hal ini filsafat memberikan:

Pertama, pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaaan-pertanyaan dasar manusia serta mendalami jawaban-jawaban yang pernah diberikan oleh pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah, wawasan seseorang diperluas.

Kedua, kepekaan kritis dan kemampuan untuk menganalisis secara tepat argumentasi; pendapat dan tuntutan pelbagai ideologi yang selalu muncul dan membujuk orang untuk mempercayakan diri secara buta. Filsafat di sini berperan sebagai kritik ideologi.

Ketiga, pendasaran metodis dan sistematis dalam menjalani studi dalam ilmu-ilmu lain.

9 F. Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Kanisius, Yogyakarta, 1993), hal.130-131.10 Frans Magnis Suseno, “Ideologia”, dalam Dizionario delle Idee (Firenze: Sansoni, 1977), hal. 51211 Frans Magnis Suseno,Berfilsafat dari Konteks (Jakarta, Gramedia, 1992), hal. 20-23.

4

Page 5: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Keempat, filsafat dapat membantu orang untuk melihat kenyataan secara keseluruhan yang utuh dan menangkap bagian-bagian dalam dimensi kedalamannya.

1.6.2. Fungsi filsafat untuk Indonesia

Pertama, filsafat merupakan sarana untuk mengambil sikap kritis terhadap tantangan mordenisasi dan globalisasi yang sedang membawa perubahan dalam pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang baku dari bangsa kita.

Kedua, filsafat merupakan sarana yang tepat untuk menggali kekayaan kebudayaan, tradisi dan pandangan hidup bangsa kita serta mengaktualisasikannya kembali sesuai dengan derap perkembangan bangsa. Warisan rohani yang direfleksikan dapt menjadi modal bagi pembentukan terus menerus jati diri bangsa.

Ketiga, flsafat merupakan alat bantu untuk membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk penyelewengan seperti ketidakadilan sosial, pelecehan terhadap martabat manusia, pemerkosaan hak-hak asasi manusia yang masih sering terjadi.

Keempat, filsafat memberikan sarana dan dasar bagi dialog antar umat beragama.

1.6.3. Fungsi filsafat untuk Pendidikan Keagamaan

Pertama, studi filsafat membimbing orang untuk memahami secara mendalam martabat, kebebasan dan hubungan manusia dengan Tuhan dan dunia. Filsafat yang sehat akan membantu untuk membina kesadaran yang semakin mendalam tentang hubungan antara roh manusia dan kebenaran yang diwahyukan secara penuh dalam diri Yesus Kristus.

Kedua, filsafat membantu pembentukan intelektual seorang yang beriman dan beragama dalam usahanya untuk mencintai dan menghormati kebenaran (loving veneration of truth) dan membimbing dia untuk mengakui bahwa kebenaran tidak diciptakan oleh manusia, tetapi diterima sebagai hadiah dari Allah, kebenaran Tertinggi.

Ketiga, filsafat membuat orang sadar bahwa budi manusia mencapai kebenaran objektif dan universal, bahkan kebenaran tentang Allah dan arti terakhir hidup manusia meskipun dalam bentuk terbatas dan sering kali sulit.

Keempat, pentingnya filsafat bagi orang yang beriman dan beragama memperlihatkan kebenaran bahwa iman tidak dapat bertahan tanpa daya nalar. Karena itu usaha yang tidak berkesudahan untuk memikirkan untuk memikirkan secara mendalam iman merupakan seuatu yang sangat manusiawi.

1.7. Metode Filsafat

Istilah metode menurut asal katanya (Yunani) terbentuk dari dua kata ; Meta (sesudah atau di belakang atau bersama dengan) dan odos (perjalanan). Berdasarkan etimologi ini, metode bisa menunjuk kepada apa yang ingin dicapai pada akhir suatu pencarian. Jadi suatu metode selalu mengandaikan dua unsur itu. Pertama, apa yang hendak dicapai atau tujuan.

5

Page 6: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Kedua, cara kerja macam mana yang memungkinkan pencapaian tujuan yang dimaksud secara paling efektif dan memberikan hasil paling memuaskan. 12 Perlu dibedakan dua cara memandang metode dalam uraian filosofis: metode umum dan khusus.13

1.7.1. Metode Umum

Pada umumnya dalam filsafat, seperti juga dalam karya ilmiah umumnya, dikenal dua metode sejak lama. Pertama, metode deduksi. Metode ini selalu bertolak dari hukum-hukum umum untuk menilai dan menguji kasus-kasus khusus. Cara yang lazim untuk metode ini adalah silogisme di mana ada satu premis mayor dan satu premis minor, dan kesimpulan akan ditarik dari hubungan antara kedua premis itu. Kedua, metode deduksi. Metode yang bertolak dari kasus-kasus khusus, sambil melihat unsur umum yang ada pada banyak kasus khusus, menetapkan hukum-hukum umum.

1.7.2. Metode Khusus

Dalam filsafat dewasa ini dikenal beberapa metode yang digunakan secara luas:

1.7.2.1. Metode Fenomenologi

ikembangkan oleh Edmund Husserl sebagai metode untuk menjelaskan arti dari sesuatu sejauh sesuatu itu muncul dari kesadaran. Kesadaran menurut Husserl memiliki dua kurub: kutub subjektif dan kutub objektif. Penjelasan fenomenologis harus memperhatikan kedua aspek dari kesadaran (pengalaman). Dalam filsafat pendidikan, metode ini ingin menjelaskan pendidikan iru sebagai suatu fenomen (gejala-gejala) dalam kehidupan manusia.

Ada tiga tahap dalam metode fenomenologi yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, mengurungkan semua pengetahuan yang sudah ada, yaitu pendapat orang dan memusatkan perhatian pada fenomen, yaitu bagaimana sesuatu itu menampakkan diri dalam kesadaran. Kedua, reduksi eidetis, yaitu dengan mengurungkan semua aspek tambahan yang tidak perlu sehingga yang tinggal hanya aspek yang paling inti, hakiki, yang universal dan yang mengatasi ruang dan waktu, yang disebut eidos (hakikat). Ketiga, reduksi transendental, yaitu setelah menyisihkan pelbagai pendapat dan unsur-unsur tambahan, maka orang mencapai subjek murni, aku murni yang mengatasi semua pengalaman. Yang diperlukan dalam penjelasan tentang fenomen pendidikan adalah reduksi eidetis.

1.7.2.2. Metode Kritis

Metode ini penting dalam membicarakan aliran-aliran filsafat pendidikan nanti. Metode ini menyelidiki paham-paham tentang pendidikan, meneliti sistem-sistem dan teori-teori yang sudah ada. Yang diteliti secara kritis adalah anggapan dasarnya, entah diterima atau tidak. Juga diteliti ketetapan (konsistensi) dan hubungan logis (koherensi) teori-teori atau sistem-sistem itu. Konsistensi berarti sesuai dengan asas atau prinsip-prinsip yang dianut. Koherensi berarti keselarasan atau persesuaian satu bagian dengan bagian lain, yang membuat sistem itu menjadi satu kesatuan yang utuh.

12 P. Gilbert, La Semplicita del Principio (Alba: Piemme, 1992), hal. 77-78.13 Suatu aliran yang agak lengkap dalam Bahasa Indonesia tentang Metode filsafat dibaca dalam Anton Bakker,

Metode-metode filsafat, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1984).

6

Page 7: Filsafat Pendidikan -Bagian I

1.7.2.3. Metode Transendental

Metode transendental bertitik tolak dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu fakta kegiatannya (berpikir, berbicara, memilih). Tidak dianalisis arti dan nilai yang diungkapkan sebagai isi eksplisit dalam kegiatan itu, melainkan dicari pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian itu ditemukan baik pada phak subjek sendiri yang bertindak, maupun pada pihak objek yang dilibatkan. Setiap kali dibentangkan lagi konsekuensi syarat atau pengandaian yang ditemukan. Dengan demikian secara sistematis disingkapkan struktur-struktur hakiki dalam manusia dan dunianya yang merupakan dasar konstitutif bagi kegiatannya yang faktual.

1.8. Pembagian Filsafat

Setiap filsuf biasanya memilih bidang tertentu dari kenyataan sebagai objek pokok refleksinya. Berdasarkan pemilihan ini maka dapat dilihat persoalan-persoalan yang selalu muncul dalam sejarah filsafat seperti logika (membahas aturan-aturan penalaran yang baik dan tertib), epistemologi mempersoalkan tentang asal-usul pengetahuan dan bagaiamana orang mencapai kebenaran). Kritik ilmu-ilmu (filsafat ilmu pengetahuan), bahasa (filsafat bahasa), kosmologi (filsafat alam dunia; alam dunia tersusun dari pelbagai unsur yang bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang teratur atau kosmos), metafisika umum atau ontologi (membahas tentang dasar dari segala yang ada sejauh ada), agama (filsafat tentang hubungan manusia dengan suatu pribadi yang memperlihatkan manusia sebagai manusia), estetika (filsafat keindahan; sejauh mana sesuatu dikatakan indah), pedagogi (filsafat pendidikan), politik (filsafat tentang dimensi sosial dan politis manusia), sejarah (filsafat sejarah), kebudayaan (filsafat kebudayaan), aksiologi (filsafat tentang nilai), dan sebagainya.

Tetapi persoalan-persoalan itu dapat dikembalikan kepada 9 (sembilan) cabang filsafat dan kesembilan cabang ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian utama. Pembagian ini dikenal sebagai pembagian filsafat yang klasik.14

1.8.1. Filsafat tentang Pengetahuan

1. Logika, menyelidiki dan menetapkan aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir manusia lurus dan tidak sesat.

2. Epistemologi, merupakan pengetahuan tentang pengetahuan

3. Kritik ilmu-ilmu menyelidiki titik pangkal, metode dan objek ilmu-ilmu

1.8.2. Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan

1. Ontologi, merupakan pengetahuan tentang ’semua yang ada sejauh ada’

2. Teologi Metafisik (filsafat ketuhanan) membahas tentang apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama Allah

3. Antropologi (filsafat manusia) berbicara tentang manusia

14 H. Hamersma, Pintu Masuk ke Alam Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), hal. 14-15.

7

Page 8: Filsafat Pendidikan -Bagian I

4. Kosmologi (filsafat alam dunia) membahas tentang alam dunia sebagai suatu susunan yang teratur (kosmos).

Ontologi disebut juga metafisika umum, sedangkan teologi metafisik, antropologi metafisik dan kosmologi filosofis merupakan bagian-bagian dari metafisika khusus.

1.8.3. Filsafat tentang Tindakan Manusia

1. Etika (filsafat moral) membahas tentang tindakan manusia yang dilakukan secara sadar dan segaja.

2. Estetika (filsafat keindahan) berusaha menyelidiki ,mengapa sesuatu dialami sebagai yang indah.

8

Page 9: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Bab II

Apa Itu Filsafat Pendidikan?

2.1. Apa Itu Pendidikan

2.1.1. Pendidikan Sebagai Aktivitas Eksistensial dan Fundamental

Fenomena pendidikan merupaka sesuatu yang hakiki dan eksistensial bagi kehidupan manusia.15 Pendidikan merupakan fenomen bukan hanya karena tampak bagi mata sebagai data dan gejala, melainkan tampak bagi kesadaran manusia: pikiran, jiwa dan pribadinya. Fenomen itu disebut hakiki karena di mana pun manusia ada bersama selalu ada pendidikan.

Pertama, pendidikan disebut eksistensial karena menyangkut eksistensi manusia. Di sini eksistensi berarti cara manusia berada yang khas di dunia. Untuk jelasnya pengertian eksistensi baiklah kita melihat pandangan dasar eksistensialisme, eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang merasakan misinya sebagai pemberantas dua pandangan yang berat sebelah tentang manusia, yakni materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham yang melihat manusia hanya sebagai bagian dari alam jasmani (materi) yang tidak berbeda dari benda-benda jasmani lain. Sedangkan idealisme adalah paham yang berpendapat bahwa manusia itu hanya subyek, dimana subyek itu disamakan dengan pikirannya sendiri. Dunia di luar pikiran manusia tidak ada, kalaupun ada, tidak mungkin dimengerti.16 Cara berada manusia menurut Heidegger (seorang tokoh paling terkemuka dari eksistensialisme) adalah dasein ( da: di sana, sein : berada). Da menunjuk pada kehadiran, dalam arti bersatu dan terlibat dalam alam jasmani. Dengan kehadiran di sini dimaksudkan bahwa manusia itu serentak ada di dalam (imanen dalam alam), tetapi serentak mengatasi (transenden) dalam arti menguasai, mengerti susunan alam dan hukum-hukumnya, dia memberi arti kepada dunia. Dua pandangan ekstrem ini diatasi karena adanya dunia luar tak mungkin disangkal dan realitas manusia yang transenden terhadap alam tidak mungkin disangkal. Keberadaan manusia dalam dunia tidak hanya memperlihatkan hubungan antara objek dan wadah yang memuat melainkan mengerti dan memberi arti.

Dunia berarti lebih luas dari alam jasmani. Dunia manusia adalah dunia arti-arti. Dalam kesatuan dengan alam, manusia menjadi sadar akan diri, akan alam dan akan seluruh kenyataan. Dalam kesadarannya ia hidup dan menghidupi alam jasmani. Dalam kesadaran itu, manusia memanusiakan diri dan memanusiakan dunia. Bukti dasar tentang itu adalah kebudayaan, baik dalam arti aktif maupun dalam arti pasif. Dalam arti aktif, kebudayaan adalah hasil pengangkatan diri manusia di atas kodrat alam dan dunia jasmani. Manusia menata dan mengatur alam jasmani. Dalam arti pasif, kebudayaan adalah hasil-hasil dari relasi manusia dan alam, selain benda-benda tetapi juga ritus-ritus, keyakinan-keyakinan, dan sebagainya.

Kedua, pendidikan menyangkut cara orang berelasi dengan orang lain. Manusia tidak bisa berkembang dan menjadi diri sendiri tanpa hubungan dengan manusia-manusia lain. Dunia manusia adalah dunia arti-arti, dan arti-arti itu juga berlaku untuk manusia-manusia 15 N. Drikarya, Kumpulan Karangan tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 37-41.16 P. Feire mengungkapkan kedua sikap esktrem ini dengan nama objektivisme materialistis yang kasar dan

solipsisme. Dalam sikap yang pertama, unsur subjek ditindas dan diabaikan. Dalam sikap yang kedua realitas objektif di luar subjek dianggap tidak ada dan tidak berarti. Bdk. Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 114-115.

9

Page 10: Filsafat Pendidikan -Bagian I

lain sebagai subjek. Jelas bahwa manusia hanya dapat hidup sebagai manusia kalau ia hidup bersama dengan manusia lain. L. Binswanger menegaskan bahwa cara berada manusia adalah ada bersama dengan subjek-subjek, dalam cinta kasih, yang saling membangun dan menyempurnakan. Cita-cita dari individu diarahkan kepada cinta tanpa pamrih sebagai pemenuhannya. Cinta menciptakan persekutuan. Karena itu, persekutuan, ada bersama bersifat hakiki bagi manusia.

Ketiga, fenomena pendidikan begitu nyata dalam hubungan antar manusia. Dalam hal ini hubungan bersifat saling memberi arti, hubungan membangun dan menyempurnakan dalam cinta kasih. Suatu perbuatan disebut fenomen mendidik karena hasilnya apakah baik atau buruk. Pendidikan adalah suatu aktivitas fundamental karena pendidikan itu menyentuh akar-akar hidup manusia sehingga mengubah dan menentukan hidup itu.

2.1.2. Pendidikan Sebagai Proses Pemanusiaan

Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda.17 Dalam proses pendidikan dua pribadi (aku) bertemu, yaitu aku dari pendidik dan aku dari yang dididik, sehingga yang dididik diangkat ke tingkat aku pendidik. Pengangkat itu yang disebut pemanusiaan. Pemanusiaan itu dibedakan atas proses hominisasi dan humanisasi.

Pertama, proses hominisasi (homo; manusia), yaitu perkembangan menjadi manusia. Pendidikan disebut hominisasi bukan karena proses bertumbuh dan berkembang yang diharapkan dari pendidikan secara lambat laun membawa kepada kesempurnaan diri sebagai manusia, baik dari aspek biologis maupun dari aspek psikologis. Homonisasi itu mengarah kepada menjadi seorang pribadi, seorang subjek yang mengerti diri dan tahu menempatkan diri dalam situasi. Kedua, proses humanisasi (humanus; manusiawi, humanisme; kehidupan manusia dan masyarakat yang sempurna karena cocok dengan tuntutan dan cita-cita manusia), yaitu proses perkembangan manusia yang lebih tinggi dari tingkat yang minimal (hominisasi), kepada perkembangan ke tingkat yang lebih sempurna. Tingkat lebih tinggi itu adalah kebudayaan yang lebih tinggi. Kebudayaan adalah hasil pengangkatan alam (kodrat) ke tingkat lebih tinggi dengan kekuatan akal budi manusia. Kata cultura pada dasarnya berarti mengolah (latin: colere), mengerjakan, mengembangkan dan memelihara dan merawat, tetapi juga berarti memperhalus. Dengan kebudayaan sebagai hasil pengolahan manusia dengan menggunakan akal budinya, maka barang-barang menjadi berguna, alat-alat yang merupakan perpanjangan tangan manusia untuk mengolah alam dan mempermudah hidup diciptakan, ekspresinya menjadi lebih halus seperti gerak, perasaan, cita-cita dan jiwanya yang terungkap dalam kesenian, bangunan, keyakinan religius dan tingkah laku. Tujuan pendidikan adalah membantu manusia yang muda sehingga bisa bergerak, bertindak dan bersikap sebagai manusia. Pendidikan tidak hanya bermaksud memimpin manusia menjadi homo tetapi menjadi homo yang human (homo humanus). Jadi pendidikan sebenarnya bertujuan untuk membantu seorang manusia muda untuk menjadi pribadi atau subjek yang human.

2.2. Aktivitas Pendidikan Sebagai Persoalan Filsafat2.2.1. Ilmu Pendidikan

Istilah Pedagogi yang kita kenal berasal daru bahasa Yunani, yang berarti ”seni membimbing seorang anak”. Pada umumnya istilah ini sinonim dengan ”ilmu pendidikan”. 18

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang lahir dengan kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk bertindak , tetapi tanpa kecakapan untuk 17 N. Driyarkarya, Op. Cit., hal. 81-8618 B. Mondin, Introduzione alla Filosofia (Milano; Editrice Massimo, 1990), hal. 132-137.

10

Page 11: Filsafat Pendidikan -Bagian I

menerjemahkan kemampuan itu ke dalam perbuatan nyata. Manusia terlebih dahulu harus belajar dari orang lain tentang bagaimana mengungkapkan kemampuan-kemampuan itu seperti berjalan, merawat dan memelihara diri, berbicara, membaca dan menulis, menghargai dan mencintai. Seekor hewan, sebaliknya, sudah ’mahir’ dan ’terspesialisasi’ sejak lahir; ia memiliki kecakapan dan kepandaian secara instingtif. Manusia pada saat kelahirannya hanya memiliki kemampuan untuk berkembang. Kecakapan dan kepandaian serta penghalusan budi dicapai lewat pendidikan dan proses belajar. Lewat proses belajar dan pendidikan dia serentak menspesialisasikan diri, menjadi pribadi yang matang dan berbudaya.

2.2.2. Subyek Pendidikan Pedagogi modern telah membalikan hubungan tradisional antara guru dan murid.

Dalam proses pendidikan peranan yang dididik ditegaskan di depan pendidik. Dewasa ini, telah terjadi revolusi dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama ”revolusi Kopernikus”. Yang dimaksudkan dengan revolusi ini adalah seperti Kopernikus dalam bidang astronomi telah mengubah secara radikal pandangan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme), dengan menegaskan bahwa matahari adalah pusat alam semesta (heliosentrisme). Demikian juga dalam pendidikan, pendidik tidak lagi menjadi pusat kegiatan edukatif, melainkan yang dididik atau peserta didik. Maka tugas pendidik adalah menemukan kebutuhan yang dididik dan menciptakan situasi yang tepat agar yang dididik dapat mengembangkan dan menyempurnakan diri.

Dalam perspektif ini, subjek dalam proses pendidikan adalah yang dididik. Konsep pendidikan seperti ini dikenal sebagai pedosentrisme (paidos; anak). Anak adalah seorang pribadi yang aktif dan orisinal. Yang dididik ini tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda melainkan manusia. Karena pendidikan tidak mengenal batas umur, tetapi berlangsung seumur hidup, maka subjek pendidikan itu adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus memwujudkan diri. Ia harus menjadi seorang pribadi. Kepribadian merupakan hasil perpaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur yang diwariskan dari lingkungan dan unsur yang diperoleh dari belajar. Akan tetapi unsur-unsur itu selalu bersifat dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat plastis karena ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda, berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak dapat dideterminasi (ditentukan lebih dahulu). Dia selalu dapat berubah menjadi lebih baik, atau lebih buruk. Dan kalau ada kemungkinan untuk selalu berubah, maka benar apa yang sudah dikatakan ”pendidikan berlangsung seumur hidup” (long life education).

2.2.3. Tiga Dimensi Dasar PendidikanPertama, personal. Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi. Peserta didik bukanlah objek atau benda melainkan subjek dengan berbagai kemampuan dan kreativitas yang khas. Aktivitas pendidikan harus mampu memajukan pribadi dan membuat ia mengembangkan diri.

Kedua, sosial. Pendidikan adalah suatu aktivitas antar-subjektif dan bersifat sosial. Pendidikan mampu membantu orang untuk saling mengenal, untuk hidup bersama dan menjamin harmoni sosial dan peka terhadap kepentingan umum suatu kelompok sosial di mana ia hidup, dan ikut memberikan sumbanganya untuk kesejahteraan umum.

Ketiga, kultural. Pendidikan mengalihkan nilai-nilai dari generasi yang lebih dahulu kepada generasi berikutnya dalam bentuk pengetahuan, nilai sosial, moral dan agama, yang telah diolah dengan tujuan membuat individu yang menerima menjadi pribadi yang memberikan sumbangannya bagi perkembangan peradaban lebih lanjut. Dalam hal ini, perlu diingat tiga unsur penting dalam perkembangan manusia. Pertama, unsur kemampuan dasar, bakat (nature; alam yang dibawa sejak lahir). Kedua, unsur pemberdayaan, bantuan (nurture; secara

11

Page 12: Filsafat Pendidikan -Bagian I

harafiah berarti gizi, tetapi dapat diperluas dengan semua bantuan yang memudahkan perkembangan seorang pribadi termasuk pendidikan). Ketiga, pengolahan sendiri oleh pribadi yang bersangkutan (culture; secara harafiah berarti kebudayaan, tetapi dapat dialihkan kepada hasil olah budidaya sendiri). Di sini pendidikan bertujuan supaya seseorang dapat mengolah sendiri entah itu dirinya sendiri atau juga dunianya untuk pada gilirannya memberikan sumbangan bagi peradaban.

2.2.4. Autoedukasi dan HeteroedukasiPertama, autoedukasi bermaksud menjamin perkembangan harmonis berbagai daya dan kemampuan yang ada dalam diri peserta didik tanpa merujuk pada ideal-ideal yang ada di luar individu. Secara negatif, autoedukasi menolak campur tangan dari kuar yang bersifat otoriter. Secara positif, autoedukasi memajukan spontanitas dan melindungi yang dididik terhadap dikte-dikte manipulasi dari luar.

Kedua, heteroedukasi bermaksud menyesuaikan subjek yang dididik dengan tuntutan struktur-struktur sosial, ekonomis, moral, agama dan politik. Proses pendidikan mencapai sasarannya kalau yang dididik menyesuaikan diri, juga tahu bersikap dan bertindak sesuai dengan tatanan yang ada.

Ketiga, kedua hal ini tidak saling bertentangan dalam konteks pendidikan yang integral. Proses pendidikan di sini mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap pribadi tanpa mengabaikan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memajukan kematangan dan kedewasaan integral dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab personal, sedangkan heteroedukasi akan menumbuhkan dalam diri yang dididik kesadaran akan keterlibatan sosial dan tanggung jawab pribadi di tengah-tengah lingkungan sosial atau religius.

2.3. Filsafat Pendidikan2.3.1. Filsafat dan Pendidikan

Setiap praksis pendidikan selalu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia, dunia dan Tuhan.19 Seringkali pandangan itu tidak bersifat refleksif, kritis dan sistematis. Seringkali pandangan itu diandaikan saja dan dihayati secara praktis. Tetapi pandangan itu diberi bentuk yang lebih ilmiah dalam ilmu mendidik, yang memiliki objek yang jelas dan dilengkapi dengan metode yang khusus. Pada langkah terakhir ada suatu pandangan yang diberi bentuk yang sistematis dengan diberi dasar-dasar mengenai hakikat manusia, dunia dan Tuhan, dan melihat implikasinya bagi praksis pendidikan. Pada tahap ini disusunlah suatu filsafat yang menguraikan tentang latar belakang dan menjelaskan fenomen dan praksis pendidikan secara kristis.

Pengertian tentang pendidikan selalu berkaitan erat dengan pengertian tentang manusia dan tujuan hidup manusia. Maka jelas ada hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi filsafat dan etika. Sesudah memahami pertanyaan tentang siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya, harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan bagaimana mencapai tujuan akhir manusia itu. Maka ilmu pendidikan harus dibangun di atas dasar filsafat manusia yang sehat dan juga atas dasar etika yang seimbang.

Setiap filsafat yang sistematis akan menyusun suatu konsepsi mengenai pendidikan, entah dalam garis besar atau juga secara lengkap dan filsafat itu dapat memberikan pengarahan kepada ilmu pendidikan dan praksis mendidik (misalnya; komunisme, nasionalisme, eksistensialisme, personalisme, pragmatisme, dan sebagainya). Maka selalu ada hubungan timbal balik antara filsafat (pendidikan), ilmu pendidikan dan praksis pendidikan.

19 A. Bakker, Filsafat Pendidikan, (ms), 1977

12

Page 13: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Terutama seorang pendidik yang memiliki keahlian harus menyadari latar belakang ini. Juga seorang guru dengan bidang spesialisasinya pertama-tama menjadi pendidik. Baik kepada spesialisasi itu, maupun kepada unsur-unsur pedagogi, sosiologi, psikologi dan didaktik, perlu memiliki perspektif yang lebih luas. Filsafat pendidikan berusaha untuk memberikan kerangka (frame) lebih luas itu.

Secara singkat, filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang memberikan landasan teoritis dan kritis tentang data-data, gejala-gejala dan teori-teori pendidikan. Data-data, gejala-gejala, dan teori-teori itu tidak diterima saja tetapi diterima dan dianalisis secara kritis untuk melihat sejauh mana data, gejala dan teori itu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia yang utuh. Karena bagaimanapun, seperti yang sudah dikatakan di atas, subjek pendidikan adalah manusia, dan praksis pendidikan itu berlangsung di antara pribadi-pribadi. 2.3.2. Kaitan antara Filsafat dan Ilmu Pendidikan

Filsafat pendidikan dan Ilmu Pendidikan menyelidiki data-data dan gejala-gejala yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda dan pada taraf berbeda. Mereka memakai istilah yang sama tetapi dengan memakai arti yang berbeda.

Masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan. Filsafat merumuskan prinsip-prinsip dan asas yang mendasari pelaksanaan pendidikan. Ia tidak memperhatikan detail-detail seperti susunan ruang sekolah, metode ilmu-ilmu sosial, isi kebudayaan nasional, juga tidak membahas tentang bagaimana memberi motivasi belajar. Gayanya adalah lebih luas dan tidak langsung bersifat praktis. Maka walaupun hal-hal yang konkret lekas berubah, filsafat tidak berkembang dengan pesat. Bahayanya, filsafat kurang mengindahkan fakta. Akibatnya, baik ilmu pendidikan dan praksis pendidikan yang diinspirasikannya, mengabaikan banyak segi.

Ilmu Pendidikan sebaliknya berdasarkan fakta-fakta dan gejala-gejala konret. Hal-hal umum muncul dari kenyataan objektif, dan langsung dihubungkan dengan pengalaman. Namun bahayanya, ilmu pendidikan sering terlalu dangkal dan kurang terbuka bagi unsur-unsur yang hakiki. Sering kali ilmu pendidikan yang dangkal memberikan interpretasi yang keliru tentang kenyataan.

Maka filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan saling melengkapi. Mereka tidak mengambil alih hasil ilmu lainnya sehingga todak terjadi pinjaman logis. Masing-masing mereka memakai metodenya sendiri dan mencapai pemahamannya sendiri. Tetapi mereka saling memperkaya secara psikologis dan saling memberikan inspirasi. Filsafat harus menguji hasil pencariannya dengan data-data ilmu pendidikan; dan kadang-kadang harus membetulkan pandangannya yang terlalu a priori. Ilmu pendidikan dipihaknya, harus memeriksa teorinya di hadapan prinsip-prinsip dasar dari sudut filsafat; dan sering kali harus membuka diri terhadap pengarahan lain juga tersembunyi di balik gejala-gejala.

2.3.3. Objek Filsafat PendidikanDibedakan antara objek material dan objek formal. Objek material filsafat pendidikan

adalah: Pertama, segala gejala (fenomen) pendidikan sebagai fakta dan peristiwa. Kedua, segala sistematisasi ilmiah; teori, data, eksperimen (psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya). Ketiga, segala bentuk refleksi kritis filsafat dalam sejarah mengenai pendidikan. Segala bahan itu merupakan pertanyaan, dorongan dan tantangan. Tetapi filsafat pendidikan terutama tertarik dengan struktur dan arah dasar. Misalnya, relasi pendidikan, perkembangan ekspresi, segi intelektual dan kebebasan.

Objek formal filsafat pendidikan ialah menghubungkan segala gejala dan teori itu dengan hakikat manusia. Filsafat pendidikan mencoba mengakarkan kembali semua unsur dalam struktur-struktur dasar, seperti berlaku bagi manusia dengan mutlak. Misalnya, proses belajar, mata pelajaran ilmu eksata, kebudayaan dan sejarah.

13

Page 14: Filsafat Pendidikan -Bagian I

2.3.4. Fungsi Filsafat PendidikanPada umumnya dibedakan lima macam fungsi filsafat pendidikan.20

Pertama, fungsi spekulatif. Filsafat pendidikan berusaha mengerti secara menyeluruh persoalan-persoalan mengenai pendidikan dan hubungan persoalan itu dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan.

Kedua, fungsi normatif. Filsafat pendidikan memberikan arah dan pedoman bagi praksis pendidikan. Arah dan pedoman ini biasanya ditentukan berdasarkan tujuan pendidikan, norma-norma moral dan agama yang dianut dan cita-cita yang ingin dicapai.

Ketiga, fungsi kritis. Filsafat pendidikan memberikan kerangka untuk menguji dan menafsirkan data-data ilmiah dan praksis pendidikan. Dalam hubungan dengan teori-teori filsafat pendidikan menilai secara kritis anggapan-anggapan dasar yang menjadi penopang pelbagai teori dan berusaha melihat konsistensi dari teori-teori itu sert a kesesuaiannya dengan pandangan tentang manusia yang dianut.

Keempat, fungsi teoritis. Filsafat pendidikan dapat memberikan konsepsi, ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat menjadi dasar pijakan bagi praksis pendidikan.

Kelima, fungsi integratif. Filsafat pendidikan dapat memberikan suatu gambaran yang dapat menyatukan berbagai bidang keilmuan yang masing-masing berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, sehingga membuka pintu bagi dialog antara berbagai ilmu itu.

2.3.5. Metode Filsafat PendidikanDapat dibedakan dua cara, sesuai dengan metode filsafat umumnya. Pertama, bertolak

dari data-data dan teori-teori ilmu pendidikan. Dianalisis oleh filsafat, dan dicari dasar-dasar hakiki yang tersembunyi di dalamnya dengan memakai metode kritis dan fenomenologi. Lama kelamaan muncullah pemahaman lebih luas, mendalam dan menyeluruh. Bahaya dari metode ini, yaitu bahwa orang terlalu terikat pada konsep-konsep empiris. Kedua, bertitik tolak dari suatu filsafat sistematik yang cukup lengkap. Dari situ ditarik kesimpulan mengenai fenomen pendidikan. Misalnya, pandangan umum mengenai sosialitas manusia, dikhususkan dalam hubungan dengan pendidikan. Namun ada bahaya bahwa filsafat ini terlalu teoritis dan jauh dari praksis. Ketiga, dalam kuliah ini, titik tolak pertama (metode kritik dan fenomenologi) khusus dalam pembahasan bagian pertama dan titik tolak kedua (pendekatan sistematis) khusus dalam bagian kedua.

20 Muhamad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya; Usaha Nasional, 1986), hal.51-52.

14

Page 15: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Bab IIIFilsafat Pendidikan Dalam Lintasan Sejarah

3.1. Filsafat Yunani – Abad Pertengahan21

3.1.1. Kebudayaan-Kebudayaan KunoDalam masyarakat primitif hampir tidak ada refleksi kritis dan sadar tentang proses

pendidikan. Di situ pendidikan bertujuan melestarikan masa lampau dan mengamankan diri terhadap lingkungan hidup yang mengancam. Asumsi dasar pendidikan di dalam kebudayaan itu adalah apa yang ada, sudah benar. Karena kebiasaan dan adat berubah sangat perlahan, maka mudah disimpulkan bahwa apa yang ada, selalu sudah ada. Dan karena sudah selalu ada, maka itu sudah merupakan hakikat dari kenyataan. Dalam kebudayaan ini fungsi pendidikan demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi suatu filsafat pendidikan untuk mengarahkan proses pendidikan.

Pendidikan pada kebudayaan Yunani purbam tempat filsafat sistematis pertama kali lahir, tidak terkecuali. Tetapi pada awal abad 5 SM orang Yunani mulai memberikan perhatian istimewa pada persoalan-persoalan mengenai pendidikan. Kondisi-kondisi sosial yang sebelumnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang kaku mulai dipertanyakan dan cara hidup yang lama dianggap tidak lagi memadai. Sukses dalam perang-perang dengan Persia dan kemakmuran ekonomi yang mencolok dibandingkan dengan keadaan sebelumnya menuntut adaptasi sosial baru. Semakin orang menjadi sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi cocok dengan keadaan-keadaan baru, persoalan-persoalan mengenai pendidikan semakin tajam mendesak. Bagaimana manusia muda harus dididik bila kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi memadai, sedangkan cara hidup yang baru belum mendapat pengakuan umum? Di sini situasi menuntut pemikiran kritis dan sadar dari filsafat.

3.1.2. SofismePara sofis Yunanilah yang pertama kali mengabdikan diri terhadap persoalan-

persoalan mengenai pendidikan yang ditimbulkan oleh keresahan-keresahan sosial zamannya. Mereka mulai menyadari bahwa tatanan lama tidak memadai lagi dan memberikan kritik-kritik yang tajam. Mereka menggunakan penalaran rasional untuk mengkritik pola-pola pendidikan tradisional, yang sebagian bersifat transmitif (mengalihkan) dan berusaha melestarikan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang sudah mapan. Dalam melawan pelestarian kebiasaan-kebiasaan lama tanpa sikap kritis, mereka menetapkan kurikulum berdasarkan penalaran rasional dan kebutuhan-kebutuhan orang yang mereka ajar. Mereka tidak menggunakan kebiasaan-kebiasaan sosial lama sebagai ukuran penilaian, sebaliknya, mereka menegaskan bahwa ”manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” (homo mensura). Prinsip homo mensura ini berasal dari Protagoras. Manusia di sini adalah individu. Segala hal sama dengan apa saja; pengetahuan, penilaian moral, hukum, dan sebagainya. Kaum sofis mengajarkan bahwa tentang sesuatu orang bisa mengatakan apa saja. Segala sesuatu bersifat relatif. Kaum sofis juga menuntut pembayaran atas pengajaran mereka (komersialisasi), maka yang mereka ajarkan adalah yang individu butuhkan, bukan apa yang benar.

Individualisme dan relativisme ini akan membawa kepada sikap meragukan semua (skeptisisme). Keinginan para sofis untuk mengajarkan sisi apa saja, dengan tidak terikat oleh kebenaran dan norma tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan bayaran. Hal ini jelas menimbulkan keraguan mengenai kemungkinan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang stabil, yang menyebabkan mereka dituduh tidak tulus.

Mengenai teori pendidikan, para Protagonis membuat kritik terhadap aliran sofisme dengan menggunakan metode-metode rasional seperti bahasa dan dialektika yang pernah

21 Kerangka dasar pokok ini didasarkan pada uraian John S. Brubacher, A History of The Problems of Education, (New York and London, McGraw –Hill Book Company, Inc. 1947), hal. 96-112.

15

Page 16: Filsafat Pendidikan -Bagian I

diajarkan oleh para sofis. Menurut mereka dengan cara dan metode pengajaran yang dilakukan oleh para sofis, jelas menimbulkan rasa skeptis bahwa orang dapat memiliki keutamaan (arete). Menurut tradisi lama norma keutamaan adalah contoh dan teladan kaum nigrat atau bangsawan. Keutamaan diwariskan dan bukan diajarkan. Keutamaan dimiliki dengan melatih diri dalam tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur dan bukan melalui latihan akal atau intelek. Karena itu usaha para sofis yang bersifat demokratis dan populer untuk mengajarkan keutamaan kepada kaum muda dari kelompok sosial rendah dengan sendirinya ditolak.

Persoalan yang muncul antara kaum sofis dan kelompok konservatif adalah persoalan pendidikan yang ditambahkan pada perjuangan yang berbasis politis untuk menggantikan sistem aristokratis lama dengan sistem demokratis dalam masyarakat Yunani. Dengan para sofis mulailah suatu proses emansipasi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hubungan erat ini penting karena ia memberikan kepada persoalan pendidikan suatu prioritas tingkat tinggi dalam pikiran guru-guru terbaik zaman itu.

3.1.3. Sokrates (469-399 SM)Sokrates memberikan perhatian sangat besar terhadap implikasi-implikasi

pengetahuan teoritis. Ia mengambil sisi demokratis dan sejalan dengan kaum sofis menegaskan bahwa keutamaan dapat diajarkan. Ia menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang kayak disebut baik kalau tidak dilakukan dengan pengetahuan tentang hal yang baik itu. Dengan kata lain, untuk melakukan yang baik, mula-mula orang harus memiliki pengetahuan tentang apa yang baik. Tetapi pengetahuan teoritis dapat diajarkan. Karena itu, sejauh suatu tindakan bergantung pada pengetahuan teoritis, keutamaan tentu saja dapat diajarkan. Tetapi apakah pengetahuan semata-mata tentang keutamaan menjamin tindakan yang keutamaan? Karena Sokrates berpendapat bahwa tak seorangpun dengan kesadaran melakukan hal yang buruk, maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”.

Sokrates mengkritik para sofis yang menyangkal adanya pengetahuan yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keuntungan praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih.

”Metode Sokrates” adalah metode dialog (pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi dengan kesadaran kritis). Ada dua tahap dari metodenya. Pertama, metode sangkalan atau ironi. Dengan metode ini Sokrates tidak bermaksud untuk mentransmisikan pengetahuan melainkan terutama menggali dan mencapai pengetahuan yang sahih secara bersama-sama. Usaha bersama dalam dialog (memberi dan menerima), dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Dalam dialog itu Sokrates tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan. Dialog merupakan pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah seorang philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan. Kedua, tehnik kebidanan (Tehnik Maieutik). Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang utuh tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan dan menyadari pengetahuan dan kebenaran yang sudah terkandung dalam dirinya. Sokrates melihat diri hanya sebagai bidan intelektual. Seperti seorang ibu yang akan melahirkan sudah memiliki

16

Page 17: Filsafat Pendidikan -Bagian I

bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu untuk melahirkan bayinya, demikian juga seorang guru tidak memiliki kebenaran untuk diberikan kepada para murid.22 Seorang guru hanya membantu agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan yang sudah dimiliki tanpa disadari.

Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan oleh pemikir-pemikir radikal dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan (aktif) dan murid tinggal menerima (reseptif) tanpa kesempatan mempersoalkan. Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan sebagai cara paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi cinta dan pengharapan terhadap sesama. Pendidikan dialogal inilah yang akan membawa pembebasan dari situasi masyarakat yang menindas.23

3.1.4. Plato (427-347 SM)Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan terdapat dalam buku The Republic (judul

asli; Politeia). Pandangannya tentang pendidikan didasarkan atas analisis mengenai kodrat manusia, masyarakat serta hakikat pengetahuan. Pertama, mengenai manusia dibedakan tiga bagian.24 Bagian pertama, bagian keinginan yang terikat dengan indera-indera dan dorongan badani. Keinginan ini berkaitan dengan hawa nafsu. Bagian kedua, bagian keberanian atau semangat yang berkaitan dengan kecenderungan ke arah sikap suka menonjolkan diri. Bagian ini berkaitan dengan kehendak. Bagian ketiga, bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan bagian-bagian lain.

Dalam hubungan dengan hakikat yang dididik (educand), Plato juga membahas tentang nilai moral setiap bagian itu. Keutamaan yang berkaitan dengan keinginan adalah pengendalian diri. Keutamaan yang cocok dengan keberanian adalah kegagahan (keperkasaan), dan keutamaan dari akal budi adalah kebijaksanaan. Keanekaan fungsi dalam diri manusia ini akan diselaraskan oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki yang adil di mana akal budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan.

Kedua, analisis atas masyarakat sebagai dimensi kedua dari filsafat pendidikan Plato sangat mirip dengan analisis atas individu. Ada tiga kelompok sosial yang menjamin kesatuan masyarakat. Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia: kecenderungan dominan kelompok ini adalah keinginan; keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri. Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga keamanan negara terhadap serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan adalah keberanian; keutamaan yang cocok adalah kegagahan. Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang untuk memimpin negara. Dalam kelompok ini yang dominan adalah kemampuan intelektual; keutamaan yang perlu adalah kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah prinsip yang mengatur dan menyelaraskan ketiga kelompok dalam masyarakat.

Ketiga, menurut Plato pengetahuan adalah produk dari kodrat manusia dan pendidikan. Pengetahuan adalah mengingat kembali (anamnesis). Ini disebabkan karena jiwa manusia sebelum bersatu dengan tubuh sudah ada lebih dahulu dalam dunia ide-ide. Dalam keadaan itu ia mengenal segala hal. Tepai dengan bersatu dengan tubuh ia diasingkan dari pengetahuan

22 Teori Sokrates ini juga diperjelas oleh kata kerja Latin educare, yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain yang berarti ”membawa keluar”. Dari kata Latin ini diturunkan kata kerja Latin lain educare yang kemudian menghasilkan kata-kata dalam bahasa Barat seperti edukatif dan edukasi. Kata kerja Jerman er-ziehen yang berarti mendidik, juga memberikan nuansa arti yang sama.

23 Ide dasar Paulo Freire ini ditulis dalam bab 2 dan 3 dari bukunya yang terkenal yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta, LP3ES, 1985).

24 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta:Kanisius, 1990), hal. 111-130.

17

Page 18: Filsafat Pendidikan -Bagian I

itu. Maka pendidikan membantu untuk mengingat kembali apa yang sudah ada lebih dahulu. Pendidikan adalah latihan terhadap naluri-naluri dalam diri anak untuk mencapai keutamaan yang sesuai. Maka pendidikan yang tepat bagi individu dan setiap kelompok dalam masyarakat adalah melatih naluri-naluri atau fungsi-fungsi khas untuk memiliki keutamaan-keutamaan yang sesuai. Lebih dari itu, pendidikan yang tepat adalah pendidikan di mana individu dididik dalam kelasnya; di situ ia belajar menghayati suatu kehidupan di mana keinginan dikontrol oleh akal.

Keempat, mengenai praksis pendidikan Plato menegaskan bahwa kelompok pertama tidak memerlukan pendidikan lama, karena keterampilan yang diperlukan oleh profesi mereka dapat dipelajari dengan mengerjakannya. Kelompok kedua memerlukan pendidikan yang intensif dalam musik dan olah raga. Kelompok ketiga memerlukan pendidikan yang jauh lebih intensif dan lama karena pada mereka tergantung masa depan negara. Mereka inilah calon-calon pemimpin negara yang harus mengetahui dengan baik konsep tentang ”yang baik” yang perlu untuk menjamin kesejahteraan negara.

3.1.5. Aristoteles (384-322 SM)Gagasan Aristoteles tentang pendidikan disajikan dalam dua bukunya, yaitu Etika

Nikomachea dan Politika. Dalam hal pendidikan ia memusatkan perhatian pada bagaimana mengajarkan keutamaan, yang merupakan suatu tema etika. Ia tidak menerima bahwa pengetahuan adalah keutamaan. Ada tiga hal yang membuat manusia baik dan berkeutamaan: kodrat, kebiasaan, dan akal budi.

Pertama, mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik makhluk bukan manusia dalam kebaikan dan kebajikan. Yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah jiwanya, sifat khas jiwa adalah aktivitasnya. Ada tiga jenis aktivitas. Yang paling sederhana adalah tingkat vegetatif yang diperlihatkan dalam pertumbuhan, reproduksi dan kebinasaan. Tingkat yang mengantarai adalah tingkat hewani yang dihadirkan dalam sensasi, keinginan dan gerak lokal. Tingkat rasional (akal budi) mengatur dan mengarahkan kedua tingkat lain. Akal budi adalah unsur yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia.

Kedua, kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat dengan hewan dalam arti tindakan-tindakan awal mereka lebih dimotivasi oleh keinginan. Dalam tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang adanya keutamaan moral yang muncul dari bakat alam mereka. Sebaliknya, keutamaan adalah kebiasaan yang harus dipelajari. Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.” Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu dengan membiasakan akal budi menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali melakukan hal yang buruk.

Ketiga, Aristoteles membedakan antara akal budi praktis dan akal budi teoritis. Akal budi praktis berkaitan dengan kedua aktivitas jiwa yang lebih rendah. Ia mengekang dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu agar dapat diungkapkan secara tepat. Bidang khasnya adalah moral dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan akal sepenuhnya bersifat kognitif dan asyik dalam spekulasi mengenai hakikat kebenaran universal.

18

Page 19: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Norma bagi pendidik untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai dengan melaksanakan keutamaan khas manusia. Karena kekhasan manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi, yaitu pemikiran murni. Maka pengolahan intelek adalah keutamaan utama karena mengantar kepada kebahagiaan.

3.1.6. TomismePendiri Tomisme adalah Thomas Aquinas (1224-1274), yang diberi gelar ”Doctor

Angelicus”. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul De Magistero, untuk waktu yang agak lama mempengaruhi ajaran Gereja Katolik mengenai pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman yang dikenal sebagai zaman Skolastik.

Pertama, mengenai kodrat manusia yang dididik Thomas Aquinas sependapat dengan Aristoteles mengenai jiwa sebagai prinsip aktivitas. Maka pendidikan melibatkan aktivitas dari anak didik. Thomas Aquinas membandingkan cara kerja seorang dokter. Dokter tidak dapat menyembuhkan tubuh orang sakit; dengan terapinya ia hanya membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya. Tubuh memiliki potensi alamiah untuk dapat mempertahankan keseimbangan kesehatan, dan hal-hal ini perlu dirangsang oleh dokter. Seorang guru tidak ”mengajar” seorang anak. Guru hanya membantu seorang anak untuk menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar.

Kedua, Thomas Aquinas menjelaskan proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas materi (hyle) (potensi=hendak menjadi sesuatu) dan forma (morphe) (aktus/tindakan menjadi sesuatu, prinsip yang menentukan), potensi dan aktualitas. Ide-ide, pengertian-pengertian merupakan hasil aktualisasi dari beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama yan g dimiliki pelajar adalah kemampuan untuk membentuk pengertian-pengertian umum. Akan tetapi potensi ini, hanya efektif bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang merupakan contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera melaporkan objek-objek, esensinya dilepaskan dari kualitas-kualitas aksidental dan disajikan kepada intelek. Intelek lalu, berkat potensi yang dimiliki untuk membuat konsep-konsep, membuat objek yang diinderai menjadi dimengerti. Jadi proses belajar sebagai aktualisasi potensi adalah menghubungkan hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan yang partikular, menghubungkan materi dan forma. Dari segi logika, belajar adalah mengidentifikasi objek dan memberikan kepada mereka klasifikasi yang tepat dan khas.

Ketiga, yang dikatakan di sini baru merupakan lanjutan pengaruh Aristoteles atau filsafat Thomas Aquinas khususnya dan filsafat skolastik umumnya. Sumbangan filsafat kristen belum jelas. Sumbangan kemudian tidak ditemukan banyak dalam De Magistero melainkan dari filsafat Skolastik dan para pemikir Kristen dari zaman Patristik dan terutama Agustinus. Unsur pembeda dari pengajaran Kristen adalah supernaturalisme. Dengan bantuan unsur adikodrati ini Thomas Aquinas mampu menyusun kembali filsafat dalam bentuk yang begitu bertahan, yang oleh pada filsuf Skolastik dijadikan sebagai rujukan dan dilihat sebagai filsafat dengan nilai abadi (philosophia perennis).

Keempat, dengan bantuan akal budi Aristoteles membedakan materi dan forma. Dalam teorinya tentang penyebaban (prinsip kausalitas) ia menegaskan bahwa pada awal mula dunia, harus ada suatu forma murni yang menentukan bentuk atau keteraturan dari semua hal yang akan muncul. Forma murni ini, bertentangan dengan potensi dan diidentifikasi dengan akal budi. Pemikiran yang sama ada pada kitab Suci Injil Yohanes 1:1: ”Pada awal mula

19

Page 20: Filsafat Pendidikan -Bagian I

adalah Firman, dan Firman itu bersama dengan Allah, dan Firman adalah Allah.” Pernyataan ini dikenal sebagai doktrin tentang ”logos” (Yunani). ”Firman” adalah arti pertama dari kata Yunani ”logos” yang dengan tepat diterjemahkan dengan ’alasan atau sebab’. Kata ini digunakan rupanya untuk menjembatani pemikiran Kristen dan Filsafat Yunani. Dengan ini Allah orang Kristen yang mewahyukan diri dilihat sebagai forma murni, aktus murni, penyebab pertama yang tidak disebabkan, pencipta dan penyelenggara semua kebenaran dan kebaikan.

Kelima, menempatkan Allah sebagai pusat filsafat Kristen memiliki konsekuensi yang menentukan bagi pendidikan. Hal ini membuat filsafat pendidikan Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” (Injil Matius. 7;29), dalam semangat yang sama Gereja perdana dan abad pertengahan melaksanakan perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah segala bangsa.., Ajarilah mereka mentaati semua yang kuperintahkan kepada kamu.”(Injil Matius 28:19-20). Maka pengajaran Skolastik tidak hanya berwibawa tetapi juga bersifat dogmatis. Tetapi akan sangat baik kalau doktrin dimaklumkan bukan hanya berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan wibawa wahyu ilahi yang tidak diragukan lagi.

Keenam, filsafat pendidikan Kristen bersifat teosentris dengan tujuan jauh dan dekat. Tujuan akhir pendidikan Kristen berkaitan dengan tujuan akhir manusia. Untuk menemukan itu manusia harus kembali ke asalnya untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambarannya untuk mengabdi dan mencintai Dia dan sesudah kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung, karena berhubungan dengan soal kehidupan sebagai warga negara (masyarakat) tertentu, panggilan dan akhirnya untuk kesejahteraan diri dan nasionalisme. Walaupun tujuan dekat filsafat Kristen berkaitan dengan kehidupan di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris.

Kelima, sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan tentang dosa asal. Sofisme mengajarkan tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan yang teratur dan dipuji, juga ada beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan terakhir ini terutama terikat dengan tubuh yang dipertentangkan dengan jiwa. Pertentangan ini terutama dipengaruhi dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan Kristen sejak lama. Filsafat pendidikan Kristen, cenderung tidak percaya pada praksis pendidikan yang didasarkan hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun terpengaruh dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan oleh rahmat Allah dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu, orang punya harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hakikatnya yang terluka dosa.

Keenam, harapan ini terbuka untuk semua umat manusia. Pandangan ini sangat berarti bagi masa depan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan Yunani hanya terarah kepada beberapa orang yang terpandang dan hanya untuk kaum lelaki Yunani yang adalah orang-orang bebas. Harkat dan martabat yang hanya diberikan orang Yunani kepada beberapa orang oleh kekristenan diperluas kepada semua umat manusia. Dalam kekristenan semua orang entah Yunani atau orang barbar, budak atau orang bebas, hitam atau putih, laki-laki atau perempuan, adalah anak-anak Allah.

20

Page 21: Filsafat Pendidikan -Bagian I

3.2. Masa Modern – Masa Kini3.2.1. Reformasi Protestan

Protestanisme menegaskan peranan individu sebagai pelaku tindakan yang bebas dan pemikir yang mandiri. Karena itu, pemikiran yang mandiri dan keputusan yang bebas selalu didorong. Dalam filsafat Yunani, peranan individu tidak terlalu ditegaskan. Pada masa abad Pertengahan pemikiran yang mandiri, apa lagi kalau itu melawan otoritas hierarki Gereja dianggap sebagai kesombongan. Tetapi hal yang mengherankan, yaitu bahwa semangat Protestanisme ini sangat sedikit memperoleh mempengaruhi teori pendidikan dalam sekolah-sekolah Protestan selama masa refromasi. Kaum Protestan juga takut terhadap penggunaan kebebasan yang berlebihan. Martin Luther King (1483-1546) yang sukses melepaskan diri dari otoritas Gereja di Roma, mencari otoritas lain yang memiliki wibawa untuk memecahkan semua konflik yang muncul, yaitu Kitab Suci.

J. Calvin (1509-1564) memberikan beberapa modifikasi atas doktrin Tomistik tentang kodrat manusia yang rusak. Menurut dia, kodrat manusia sama sekali rusak karena dosa asal. Hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan manusia.

Protestanisme mengambilalih beberapa aspek dari pandangan Aristoteles-Tomistik mengenai tujuan pendidikan. Tujuan akhir pendidikan ditentukan oleh hakikat manusia yang tidak binasa. Tujuan dekat pendidikan menyiapkan orang untuk bekerja dan menyumbang bagi kepentingan orang lain. Lebih jelas dari Kaum Katolik, Protestanisme menegaskan kebapakan Allah. John Knox (1505-1572), pemimpin besar Kalvisnisme Skotlandia bahkan menetapkan perintah yang berana etis: ”Tak seorang ayahpun daam situasi apapun, boleh menggunakan anak-anaknya berdasarkan fantasinya, terutama selama masa mudanya, tetapi semua harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam pengetahuan dan keutamaan.”

3.2.2. Naturalisme dan EmpirismePemacu naturalisme adalah perkembangan baru dan cepat dalam ilmu pengetahuan

pada abad 17 dan 18. Pelopor gerakan baru ini adalah Francis Bacon (1561-1623) penulis karya berjudul Advancement of Learning dan Novum Organum. Perlahan-lahan dan melalui beberapa penulis, unsur-unsur baru dari pemahaman baru tentang dunia menjadi jelas pengaruhnya dalam filsafat pendidikan.

Dimensi pertama yang ditegaskan dalam filsafat pendidikan yang naturalistik adalah bahwa pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan alam dan kodrat (natura). Orang pertama yang memberikan pendasaran teoritis bagi orientasi pendidikan ini adalah Johann Amos Comenius (Komensky, 1592-1670).25 Sebagai seorang pendeta ia menegaskan bahwa kodrat manusia menjadi rusak karena dosa. Tetapi ia tidak merendahkan kodrat manusia. Dalam Didactica Magna ia menegaskan bahwa ”jika kita ingin mencari penyembuhan atas cacat celah kodrat, maka itu harus dicari dalam kodrat itu sendiri. Ia mengusahakan suatu sistem pendidikan yang bekerjasama dengan alam dan bukan memperkosa alam. Dari kodratnya segala sesuatu berkembang dari alam. Perkembangan alam selalu teratur, tahap demi tahap. Manusia harus dididik menjadi makhluk yang saleh, berbudi pekerti dan bijaksana. Dimensi kedua filsafat pendidikan naturalistik adalah tekanan pada peran sentral indera-indera dalam proses belajar. Comenius menegaskan pentingnya pengalaman mengenai indera-indera.

Landasan teoritis bagi penekanan pendidikan pada indera-indera berasal dari pietisme. Pietisme adalah suatu reaksi dari rasionalisme dalam agama yang melihat agama sebagai

25 Tentang J.A. Comenius, lihat Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, I (Bandung; 1978), hal. 8-16.

21

Page 22: Filsafat Pendidikan -Bagian I

suatu pengalaman vital batin. Pembenaran agama oleh rasa puas batiniah diungkapkan di bidang pendidikan dalam proses belajar, juga dibenarkan dalam pengalaman inderawi.

Dimensi inderawi filsafat pendidikan naturalistik lebih jauh ditegaskan dalam empirisme (empeiria; pengalaman inderawi) John Locke (1632-1704). Dalam karyanya yang berjudul: Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa semua pengetahuan dalam akal budi berasal dari pengamatan atas fakta-fakta yang disampaikan oleh pengalaman inderawi. Ia menegaskan bahwa pada saat kelahiran, akal budi seseorang ibarat suatu papan bersih (tabula rasa). Anggapan dasarnya berbunyi: ”Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tidak ada dalam indera-indera.” Hal ini berarti bahwa tidak ada pengertian dalam pikiran yang masuk tanpa melalui penginderaan.

Locke membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang dibentuk oleh kesan langsung mengenai objek-objek empiris oleh indera-indera, yang disebut sensation, sebagai hasil penginderaan dunia luar. Kedua, pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal dari reflexion, yaitu pengalaman dalam jiwa sebagai hasil pengolahan dari sensation. Akal budi memiliki kemampuan untuk membedakan, membandingkan dan membuat generalisasi atas kesan-kesan yang disampaikan oleh indera-indera.

Dalam pendidikan, Locke menekankan harmoni antara unsur rohani dan unsur jasmani. Prinsip yang dipegang teguh adalah ungkapan tua yang berbunyi : mens sana in copore sano; jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat. Pendidikan bertujuan membantu anak menjadi orang yang sehat jasmani dan berkepribadian yang utuh.

3.2.3. RasionalismeDiemensi ketiga filsafat pendidikan naturalistik adalah tekanan istimewa yang

diberikan kepada akal budi (ratio). Abad 18 boleh disebut zaman akal budi. (the age of reason). Yang baru dari zaman ini adalah keyakinan tak terbatas yang diberikan kepada akal budi, terlepas dari pengaruh otoritas karya-karya klasik dan juga dari wahyu Kristen. Kemampuan manusia untuk bertumpu hanya pada akal budinya, membawa pandangan baru tentang dirinya. Manusia adalah hasil ciptaan alam semata. Manusia sebagai hasil ciptaan alam, harus diperintah oleh hukum-hukum yang seragam, seperti aspek-aspek lain dari alam. Dengan mengembalikan manusia kepada alam, martabat dan harkat manusia justru ditinggikan. Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1927) dari Swiss adalah pendidikan pertama yang sukses memaklumkan teori dan praksis pendidikan berdasarkan observasi atas hukum-hukum seragam tentang kodrat manusia. Menurut dia, jalannya kodrat itu tidak menyimpang. Maka hanya ada satu metode pendidikan, yaitu mengikuti tuntutan kodrat. Ia sering menggunakan frasa-frasa seperti ”keharusan psikologis”, ”mekanisme kodrat manusia”, atau ”bentuk mekanis dari semua pengajaran”. Frasa-frasa ini bersama-sama dengan metode pendidikannya memperlihatkan bahwa Pestalozzi berusaha membawa pendidikan ke arah harmoni dengan naturalisme zamannya.

Tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya alamiah yang ada padanya. Proses pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan perkembangan kodrat anak, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah pemberian pertolongan agar anak kemudian menolong diri sendiri. Pendidikan adalah Hilfe zur Selbsthilfe: menolong untuk menolong diri sendiri. Dalam pengajaran ia menganjurkan agar orang mengamati alam, sebab asal semua pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan menimbulkan pengertian, bahkan pengertian tanpa pengamatan adalah kosong.

Akibat rasionalisme juga jelas dalam teori sosial tentang pendidikan. Ini jelas dalam pemikiran Helvetius (1715-1771), seorang filsuf Perancis. Jika manusia diperintah oleh hukum-hukum alam, maka penemuan hukum-hukum alam akan memampukan dia untuk menyesuaikan pendidikan dengan kondisi-kondisi sosial yang selalu berkembang maju. Helvetius berpikir bahwa ia menemukan itu dalam empirisme Locke. Dengan bergerak lebih maju dari Locke ia mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan dalam budi, juga tidak ada

22

Page 23: Filsafat Pendidikan -Bagian I

kemampuan-kemampuan untuk membuat perbandingan dan generalisasi, kecuali kalau diterima budi oleh indera-indera. Dari sini harus disimpulkan bahwa manusia hanyalah produk dari pendidikan. Perbedaan antara manusia diakibatkan oleh hukum-hukum yang tidak adil dan ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Imaginasi, lembaga-lembaga sosial juga harus takluk kepada metode-metode kritis rasionalisme dan empirisme. Maka lembaga-lembaga harus dinilai secara rasional berdasarkan pengaruhnya atas manusia dan bukan oleh otoritas ilahi atau manusia. Untuk mencapai perkembangan pendidikan maksimal bagi manusia, lembaga-lembaga sosial harus fleksibel dan progresif.

Apa yang menjadi norma kemajuan pendidikan bagi seorang naturalis? Condore (1743-1794), seorang pemikir revolusioner Perancis mengemukakan kepercayaan akan kemampuan manusia untuk menjadi sempurna secara tak terbatas. Dengan kata lain, kemajuan tidak punya akhir kecuali kemajuan lebih besar lagi.

3.2.4. Romantisisme Dimensi terakhir filsafat Pendidikan yang naturalistik adalah romantisisme.

Barangkali inilah aliran yang paling mempengaruhi abad 19 dan 20. romantisisme merupakan suatu reaksi terhadap ekses rasionalisme pada zaman akal budi. Penekanan terhadap peranan akal budi terlalu berat sebelah. Manusia tidak dapat hidup hanya dengan ilmu pengetahuan tanpa hati dan rasa. Selain akal budi, manusia memiliki hati dan perasaan, yang juga merupakan bagian dari kodrat manusia.J.J. Roussseau (1712-1778) mempopulerkan aspek naturalisme ini dalam karyanya Emile. Ia memberikan tekanan pada dorongan hati yang sukarela dari anak. Ada tiga hal yang mempengaruhi pendidikan, yaitu alam, manusia dan benda-benda. Dari ketiganya, manusia dan benda-benda dapat dikontrol secara sadar, sedangkan alam adalah suatu data yang mandiri. Karena itu, alam merupakan dasar yang mengontrol, sedangkan kedua pengaruh lain harus takluk untuk mendapatkan pendidikan yang lengkap. Alam harus berfungsi secara bebas tanpa dihalangi. Perasaan-perasaan dan dorongan hati yang asali tidak hanya merupakan titik tolak, tetapi juga norma bagi teori dan praksis pendidikan.

Roussseau tidak percaya bahwa campur tangan manusia atas alam, termasuk Pendidikan, dapat memberikan sesuatu yang baik. Ia menulis:”Segala sesuatu baik, karena berasal dari Sang Pembentuk alam,” tetapi ”segala sesuatu menjadi rusak dalam tangan manusi.” Semboyan Rousseau yang terkenal adalah retournons a la nature; kembalilah kepada alam. Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia bebas, tanpa tekanan dan ikatan. Dalam proses pendidikan, anak harus dibiarkan berkembang menurut kodratnya dan menjauhkan pengaruh jelek, karena kodrat anak adalah baik. Rousseau mencita-citakan pendidikan dalam bentuk keadaan alam asli yang murni. Keadaan asli dijadikan sebagai norma bagi pendidikan. Pendidikan di desa lebih ideal daripada di kota.

3.2.5. Idealisme Filsafat pendidikan sejak Sokrates sampai dengan Rousseau memberi kesan bahwa

anak didik dapat mengenal dunia sebagai sesuatu yang real. Dalam keyakinan ini, kebenaran didefinisikan sebagai persesuaian antara akal budi dan kenyataan di luar akal budi. Tentu ada perbedaan pendapat di antara para filsuf pendidik mengenai hakikat dunia dan cara anak didik memperoleh pengetahuan. Namun tidak diragukan bahwa dengan segala ketekunan dan ketelitian pengetahuan yang pasti dapat diperoleh. Tetapi keyakinan ini mulia diragukan menjelang akhir abad ke-18.

Dengan bertumpu pada empirisme Locke, David Hume (1711-1776), tidak menerima sebagai pengetahuan apa saja, kalau pengetahuan itu tidak didahului oleh kesan inderawi. Satu-satunya hubungan yang dapat diinderai antara sebab dan akibat ditentukan oleh urutan peristiwa-peristiwa dalam waktu dan hubungan satu sama lain dalam ruang. Sebab dan akibat (prinsip kausalitas) tidak merupakan peristiwa yang dapat diamati, melainkan suatu

23

Page 24: Filsafat Pendidikan -Bagian I

kesimpulan yang didasarkan atas kebiasaan. Tansformasi peranan sebab menjadi sekedar mendahului dalam waktu dan kedekatan spasial sangat bertentangan dengan gagasan-gagasan tentang akal sehat yang diragukan oleh banyak pemikir mengenai kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang pasti tentang kenyataan.

Skeptisisme Hume mendorong Immanuel Kant (1724-1804), ke pemikiran yang tidak hanya membangkitkan apa yang dikenal sebagai Revolusi Kopernikus dalam filsafat, tetapi juga secara mendalam mempengaruhi filsafat pendidikan pada abad 19 dan awal abad 20. mengikuti logika Hume yang meyakinkan, Kant menerima bahwa tidak mungkin orang belajar untuk mengenal kenyataan objektif sebagaimana adanya – das Ding an sich. Akan tetapi ia berusaha memberikan suatu penjelasan yang membela gagasan-gagasan akal sehat tentang dunia, yang sudah diremehkan oleh Hume. Ia sampai pada kesimpulan yang revolusioner, bahwa fenomen seperti kausalitas, waktu dan ruang merupakan kategori-kategori a priori dari budi. Budi disusun sedemikian sehingga dapat memahami dunia hanya dengan kategori-kategori ini. Kausalitas, ruang dan waktu yang sebelumnya menjadi bagian kenyataan objektif sekarang dilihat sebagai bagian dari budi manusia. Dalam proses belajar, kenyataan atau dunia disesuaikan dengan akal budi dan bukan akal budi menyesuaikan diri dengan kenyataan objektif. Singkatnya, budi membebankan kategori-kategori subjektifnya kepada dunia.

Reorientasi teori mengenai pengetahuan ini berpengaruh atas filsafat pendidikan. Terutama yang paling menyolok adalah rekonstruksi atas teori pengenalan akal budi dan pendidikan. Asumsi sampai dengan saat itu adalah bahwa kenyataan dapat dikenal. Kebanyakan filsuf sebelumnya melihat proses belajar kurang lebih sebagai suatu proses fotografis yang rumit. Dalam proses mengenal, budi memuat rekaman atas realitas. Semua ini rupanya harus diganti kalau analisis Kant benar. Dalam proses pengenalan itu akal budi yang sedang belajar sekarang, harus membangun dalam dirinya sendiri ide-idenya sendiri tentang dunia. Maka filsafat pendidikan ini dikenal sebagai idealisme. Tekanannya adalah pada keadaan intern budi atau perasaan individu.

Perkembangan terbesar idealisme dalam filsafat pendidikan terjadi di Jerman. Tema sentral kuliah-kuliah Kant mengenai pendidikan bersifat moral. Anak-anak harus dilatih untuk bertindak, bukan seperti mereka mau, tetapi sebagaimana seharusnya. Rasa wajib adalah produk struktur a priori dari kehendak dan bukan dari pengalaman. Meskipun pada dasarnya kehendak ini terarah dari hal yang benar dan baik, ia dihalangi dalam mewujudkan dirinya oleh keinginan-keinginan. Karena itu, pendidikan merupakan suatu fase untuk melatih kehendak yang baik untuk mewujudkan dirinya sendiri.

Akan tetapi memiliki kehendak baik saja tidak cukup. Kehendak harus juga diberi beberapa petunjuk tentang arah perwujudan dirinya. Petunjuk ini ditempatkan Kant dalam suatu imperatif praktis. ”Bertindaklah sedemikian, dalam memperlakukan kemanusiaan, entah itu dalam diri Anda sendiri atau dalam diri pribadi lain, dalam segala hal sebagai tujuan dan tidak pernah hanya sebagai sarana.” 26 ”Hormat terhadap kemanusiaan” dengan ini menjadi suatu imperatif kategoris (perintah tak bersyarat) dalam filsafat pendidikan yang demokratis.

Idealisme Kant dikembangkan oleh G.W.F. Hegel (1770-1831). Hegel memberikan hanya sedikit perhatian langsung terhadap filsafat pendidikan. Hegel menolak menyebut sebagai fenomen pengalaman Ding an sich dari Kant yang tidak dapat dikenal, yang terletak di luar pengalaman. Bagi dia aktivitas berpikir selalu berarti berpikir tentang pemikiran dan pengalamannya sendiri. Proses pemikiran itu sendiri menjadi dasar dari kenyataan; tidak ada hal yang berada di luar pengalaman. Budi mutlak, Ide, atau Roh Absolut terus menerus berkembang dalam kesadaran diri tentang rencana yang ditetapkan oleh perkembangannya sendiri. Perkembangan ini diwujudkan secara objektif dalam alam dan bahkan lebih penting bagi pendidikan, dalam lembaga-lembaga sosial. Sejarah lembaga-lembaga sosial adalah rangkaian tahap-tahap yang ditempuh oleh Roh Absolut untuk mewujudkan diri. Budi anak

26 Immanuel Kant, Ethical Philosophy, Indianapolis, Indiana, Hackett Publishing Company, 1988, hal. 36.

24

Page 25: Filsafat Pendidikan -Bagian I

mencapai perwujudan diri dengan berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial, yaitu dengan berpartisipasi dalam Budi Absolut yang mewujudkan diri. Meskipun ada penekanan besar terhadap proses, Hegel memahami bahwa perwujudan diri manusia merentang secara tak terbatas ke masa depan.

Untuk idealisme Hegel, pendidikan merupakan proses perwujudan diri. Dinamika perwujudan diri pada dasarnya terjadi dalam proses dialektis yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan menurut urutan tesis, antitesis, dan sintesis. Dari segi pendidikan orang mulai dengan tesis bahwa anak memulai hidupnya sebagai budak terhadap alam atau kodrat. Hidup merupakan ciptaan dari perasaan subjektif, emosi dan rangsangan-rangsangan. Yang berlawanan atau antitesis dari hidup dalam perbudakan terhadap alam adalah kehidupan budi objektif atau roh yang bebas. Untuk mendamaikan atau mencapai sintesis dari perlawanan-perlawanan ini, diperlukan ”pengasingan diri”. Pengasingan diri adalah suatu dobrakan yang dibuat anak selama masa adolesensi untuk keluar dari tekanan perasaan dan rangsangan. Dengan ini ia menjadi sadar akan ketidakcukupan semua pengalaman yang hanya bersifat individual. Sebagai konsekuensi, ia mulai menjangkau apa yang bersifat universal dalam kehidupan imajinasi dan pemikiran. Menurut Hegel ketaatan kepada yang universal, kepada Yang Absolut adalah awal dari kebijaksanaan. Sekolah sangat penting sebagai agen sosial untuk mencapai yang universal. Dan dalam sekolah, yang universal itu dapat dicapai dengan mudah dalam kesusasteraan Yunani dan Romawi. Penaklukan diri dan rasa hormat terhadap prestasi masa lampau tidak merintangi melainkan membebaskan orang dalam perjalanan perwujudan diri itu, sesudah ziarah dalam pengasingan diri, orang muda kembali kepada dirinya sendiri dan diperkaya dengan bahan-bahan yang diperoleh dari kebudayaan masa lampau dan apa yang sebelumnya kelihatannya tidak lengkap dalam hidupnya mulai diperkaya. Dari situ ia melanjutkan proses perwujudan diri sebagai warga dari suatu negara, yang seperti sudah disebutkan, merupakan fase tertinggi dan tujuan terakhir dari perwujudan diri dari Roh Absolut.

Dalam filsafat Friedrich Wilhelm August Frobel (1782-1852), idealisme membuat pembaruan yang paling berarti dalam pendidikan. Dalam bukunya Menschenerziehung (pendidikan manusia; 1826), Frobel menegaskan tentang kesatuan abadi segala hal. Kesatuan ini, berasal dari Allah dan diungkapkan secara baik dalam hukum-hukum baik alam fisik maupun roh manusia. Perkembangan yang satu selalu paralel dengan yang lain. Tujuan kehidupan dan pendidikan untuk setiap orang adalah mengembangkan dan mewujudkan kesatuan ilahi yang berdiam di dalam diri sendiri. Kodrat batin dari anak sudah terbentuk untuk tujuan ini, karena sifatnya yang khas adalah aktivitas diri yang sedang berusaha. Anak tidak memiliki aktivitas, ia sendiri adalah aktivitas itu. Juga tidak perlu dirangsang untuk bertindak, karena ia selalu aktif secara spontan. Menurut Frobel, manusia selalu aktif dan kreatif. Der Mensch ist ein Schopfer: Manusia adalah Pencipta.

Frobel adalah orang pertama yang memahami arti permainan bagi pendidikan anak. Permainan, yang bagi para pendidik sebelumnya hampir selalu diabaikan dan oleh kaum Puritan dianggap sebagai dosa, oleh Frobel diberikan suatu pembenaran filosofis. Ia memberi arti pendidikan kepada permainan sebagai cara alamiah pengungkapan keluar dari aktivitas diri. Permainan adalah ungkapan keluar dari suatu upaya intern untuk mencapai perwujudan diri. Semakin anak menetapkan keterhubungan antara usaha internnya dan pengungkapannya keluar, semakin ia memperlihatkan dalam hidupnya sendiri kesatuan ilahi yang memerintah dunia. Seperti teori Hegel, pendidikan bermaksud mendamaikan dan mengantarai hal-hal yang berlawanan. Inilah alasannya, mengapa ia terus menerus merujuk kepada usaha anak untuk membuat apa yang ada dalam dirinya (ekspresi) diungkapkan keluar dan yang di luar dibatinkan (interiorisasi). Frobel tidak membatasi makna pendidikan hanya pada kegembiraan permainan yang membahagiakan. Ia selalu mencermati tanda-tanda dalam permainan yang menyimbolkan bangkitnya yang ilahi dari batin anak.

25

Page 26: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Tentu saja, apa yang ada dalam batin anak tidak dibangkitkan semuanya seketika; ada tahap-tahap. Di antara tahap-tahap ini ada hubungan dan kesatuan sama seperti hubungan antara dunia batin dan dunia luar. Setiap tahap yang menyusul bertumbuh dari tahap yang mendahului. Jadi pendidikan adalah proses perkembangan, atau seperti disebut Frobel, proses ”pemekaran”. Hakikat dan tujuan perkembangan anak terdapat dalam diri anak dan dapat dicapai hanya melalui perkembangan dari dalam ke luar.” Inilah yang menjadi simbolisme Frobel; penampakan dari tahap-tahap lebih awal dalam suatu rangkaian perkembangan diandaikan sebagai menampakkan lebih dahulu atau menyimbolkan tahap-tahap yang akan dikembangkan secara penuh kemudian. Teori pendidikan sebagai pemekaran menurut Frobel bertumpu pada paralelisme antara kehidupan manusia dengan pertumbuhan dalam kehidupan tumbuhan. Teori seperti itu sama sekali tidak baru karena ada juga dalam karya para ahli biologi kontemporer, teori Comenius, dan dalam ajaran para pendidik terdahulu. Namun Frobel adalah orang pertama yang mengorganisasi suatu sekolah sebagai taman bai anak-anak, suatu Kindergarten, di dalam mana pertumbuhan pendidikan anak-anak dapat dibandingkan dengan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan.

Walaupun filsafat idealistik Frobel menambahkan suatu daya dorong besar terhadap aktivitas dan teori-teori perkembangan mengenai pendidikan, harus diingat baik-baik di sini bahwa orisinalitas teorinya tidak terletak dalam membela teori-teori ini tetapi dalam menunjuk permainan sebagai sarana pengungkapannya.

3.2.6. Realisme Filsafat Pendidikan yang bercorak idealisitik tidak memonopoli panggung pemikiran

mengenai pendidikan abad 19. sezaman dengan Hegel dan Frobel tampil seorang filsuf pendidikan lain, yaitu Johann Friedrich Herbart (1776-1811). Pandangannya lebih bersifat realistik. Herbart bertolak dari pemikiran Kant, seperti Hegel dan Frobel. Herbart setuju dengan Kant bahwa kita tidak dapat mengenal dunia sebagai mana adanya, Ding an sich. Walaupun kita tidak dapat mengenal realitas yang mendasari dan mengasalkan pengalaman, namun tentang satu hal Herbart merasa pasti, yaitu bahwa pengalaman selalu mengenai sesuatu yang lebih dari pengalaman mengenai hal-hal yang tampak, seperti sudah dikemukakan oleh idealisme.

Berangkat dari kenyataan mengenai ”sesuatu yang lebih” dari pengalaman itu, Herbart menyimpulkan bahwa realitas tersusun dari suatu keanekaan ”hal-hal real” yang mandiri. Akal budi hanyalah salah satu dari yang banyak itu. Dalam kontaknya satu sama lain, hal-hal yang real itu cenderung untuk mempertahankan kekhasannya masing-masing. Pengalaman timbul sebagai hasil interaksi dari hal-hal yang real itu. Akibat interaksi dari antara yang real tetap ada dalam pengalaman sebagai ide-ide dan dengan demikiran mempengaruhi cara kita mempertahankan diri dalam kontak dengan hal-hal real yang muncul kemudian. Proses ini merupakan basis bagi seluruh psikologi aprepsepsi, yaitu proses belajar hal yang baru berdasarkan yang lama.

Filsafat pendidikan yang berdasarkan dari pertimbangan mengenai apa yang telah ada lebih dahulu pasti bersifat realisitik. Pengalaman pendidikan merupakan hasil kontak antara jiwa sebagai sesuatu yangt nyata dengan hal-hal real lain. Sebagai proses, pengalaman itu dicapai karena hal0hal real yang lain disajikan kepada jiwa. Jelasnya, hasil-hasil pendidikan dikontrol hal-hal real yang dipilih untuk disajikan. Cara pembentukan pengalaman pada akhirnya bergantung pada persiapan yang dibuat. Dalam filsafat pendidikan yang realistik tekanan diberikan kepada faktor-faktor dari luar akal budi. Dalam filsafat pendidikan idealistik tekanan diberikan kepada apa yang ada di dalam budi yang diungkapkan keluar. Teori pendidikan Herbart dengan demikian bertumpu pada manipulasi atas hal yang real yang ada dalam kontak dengan akal budi dan karena itu dikritik sebagai terlalu mekanistik dan deterministik. Tetapi, di atas semua itu, jika murid memiliki kebebasan menerima atau

26

Page 27: Filsafat Pendidikan -Bagian I

menolak usaha-usaha pedagogis dari guru, para penganut teori Herbart merasa bahwa mereka dapat berbesar hati dan antusias dengan pekerjaan mereka.

Dalam memilih hal-hal real yang harus disajikan dalam kurikulum, Herbart tidak bertitik tolak dari alam (kodrat) seperti dilakukan Rousseau. ”Menyerahkan manusia pada alam, atau bahkan ingin membimbing dia kepada alam dan melatih ia besar dalam alam adalah suatu ketololan. Karena apa itu kodrat manusia? Kodrat manusia yang tampak cocok untuk kebanyakan kondisi adalah suatu sifat yang begitu umum, yang pembentukan dan perkembangannya sama sekali tergantung kepada proses”.

Herbart bersandar sepenuhnya pada sejarah dalam memilih kurikulum. Dia memang bukan orang pertama yang yang memulai teori mengenai epok budaya (tahap-tahap perkembangan kebudayaan umat manusia), tetapi dia adalah orang pertama yang memberikan perhatian terhadap pentingnya pendidikan mengenai epok budaya itu. Dalam filsafat pendidikan naturalisitik, para rasionalis seperti Helvetius mereduksi masa lampau kepada tabula rasa dan setiap kali memulai lagi dengan lembaga-lembaga sosial baru berdasarkan akal budi. Hegel menegaskan bahwa ada suatu kesinambungan yang inheren dengan kehidupan institusional. Sejarah merupakan realisasi progresif dari Roh Absolut. Tahap-tahap (epok-epok) budaya yang telah dilewati oleh umat manusia untuk mencapai tujuannya, menurut Herbart harus diperhatikan sebagai jalan khas yang diulangi dalam pendidikan kaum muda. Kemudian teori Herbart mengenai epok budaya diteguhkan oleh penelitian mengenai embrio yang menyingkapkan bahwa tahap-tahap suksesif dalam pertumbuhan embrio suatu spesies cenderung untuk merekapitulasi pelbagai tahap dalam evolusi spesies itu sendiri. Karena itu, teori epok budaya mengenai pendidikan dikenal juga sebagai teori rekapitulasi.

3.2.7. ProgresivismePopularitas filsafat pendidikan idealistik dan realistik berumur pendek. Secara

keseluruhan filsafat dinilai terlalu spekulatif dan konservatif untuk menghadapi pemikiran abad 20. Di Amerika dekade-dekade pertama abad 20 ditandai dengan protes dan pembaruan sosial. Rekonstruksi filsafat pendidikan terjadi berkat kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan metode penelitian ilmiah. Sesudah lama terpaut pada spekulasi metafisis abad 19, filsafat pendidikan kembali ke jalan yang lebih naturalistik. Julukan populer untuk filsafat baru ini adalah pendidikan progresif. Pelopornya adalah John Dewey (1859-1952) dan teks dasarnya terdapat dalam karyanya, Democracy and Education.

Filsafat pendidikan baru ini disebut dengan pelbagai nama. Disebut pragmatisme (pragma; kegunaan) karena ukuran dari segala teori dan perbuatan adalah kegunaan praktis dan hasil yang memajukan hidup. Disebut instrumentalisme karena akal budi sebagai kekuatan utama manusia harus berperan sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi tantangan dan persoalan dalamn hidup. Akal budi bukanlah tujuan tetapi alat untuk hidup, yaitu demi kesejahteraan dan perkembangan manusia. Disebut eksperimentalisme karena menganggap lingkungan hidup mempengaruhi pembentukan kepribadian. Lingkungan hidup dengan tantangan-tantangan yang ada di dalamnya mendorong manusia untuk berjuang dan berkembang.27

Filsafat pendidikan Dewey memberi perhatian besar kepada alam dan peranan pengetahuan dalam pendidikan. Dalam mengembangkan teorinya tentang pengetahuan, Dewey dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Dari Aristoteles sampai Hegel pada pendidikan melihat akal budi sebagai hal paling penting. Maka pendidikan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Dalam buku Origin of Species (1859) Darwin menegaskan bahwa semua spesies terus-menerus berubah. Satu-satunya jalan perubahan yang sekarang harus dilacak dalam alam adalah multiplikasi dan diversifikasi perubahan itu. Menurut hipotesis Darwin, inteligensi manusia muncul lebih kemudian dalam proses evolusi. Ia muncul sebagai

27 Mohamad Noer Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya, Usaha Nasional, 1986), hal. 228-229.

27

Page 28: Filsafat Pendidikan -Bagian I

sarana untuk membuat adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungan yang mengancam. Berdasarkan petunjuk ini Dewey mengerjakan suatu teori pendidikan di mana orang diajar untuk berpikir, bukan hanya karena berpikir itu baik dalam dirinya, tetapi karena berpikir merupakan sarana untuk memecahkan persoalan-persoalan adaptasi dengan dunia yang mengancam.

Pertumbuhan terus menerus dan diversifikasi bagi Dewey merupakan hukum alam yang menjelaskan norma pendidikan. Dewey adalah filsuf pendidikan pertama yang memberi ungkapan sistematis kepada aspek dinamis teori evolusi Darwin. Pendidikan menjadi satu dengan pertumbuhan. Tujuan pertumbuhan adalah pertumbuhan yang lebih. Pendidikan tidak memiliki tujuan lain selain pendidikan lebih. Jadi Dewey tidak mau mencari tujuan atau ukuran pertumbuhan dan pendidikan di luar proses pertumbuhan dan pendidikan. Ia tidak ingin mencari kriteria pendidikan di luar dimensi alam yang terikat dengan saat sekarang dan di sini. Untuk alasan itu ia menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh merupakan persiapan untuk hidup, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan.

Pendidikan yang demikian dinamis dan memberikan harapan dengan kehidupan yang bertumbuh pada dasarnya bersifat progresif. Tetapi meskipun evolusi merupakan aturan kehidupan yang menopang teori progresif, Dewey tidak berpikir bahwa kemajuan bersifat otomatis. Menurut Dewey kemajuan bergantung pada penggunaan inteligensi dan pada pengolahan kemampuan-kemampuan individu. Karena itu, kemajuan merupakan hasil usaha tahap demi tahap seperti hal kebenaran. Kemajuan dapat diukur dalam batas tertentu, tetapi tidak dapat dikalkulasi secara tepat. Hal ini tidak berarti bahwa filsafat pendidikan Dewey tidak memiliki ideal-ideal. Yang pasti, ideal itu tidak merupakan titik akhir yang pasti dan aman terhadap badai perubahan. Sebaliknya, ideal itu dilihat oleh Dewey hanya sebagai proyeksi aspirasi-aspirasi manusiawi dalam bentuk hipotesis-hipotesis sementara yang berperan sebagai patokan praktis untuk menilai kemajuan hidup yang tengah dijalani. Semua nilai termasuk pendidikan dan kebenaran ditentukan secara instrumental. Nilai-nilai diukur oleh manfaat praktis yang diberikan kepada kehidupan.

Bagi Dewey ada hubungan khusus antara individu dan masyarakat. Proses pendidikan sama dengan proses sosialisasi. Keduanya bertumpu pada komunikasi antara individu-individu. Ukuran pendidikan bagi masyarakat yang baik adalah tingkat komunikasi dan hubungan saling membangun di antara individu-individu anggotanya. Yang harus dikomunikasikan dan dibagikan adalah berbagai sumber daya budaya yang tersedia. Semakin besar saling pengaruh dan saling tergantung dalam hal budaya, semakin besar sumber daya yang tersedia dapat digunakan oleh masing-masing orang dalam mengolah diri sebagai individu yang unik. Semakin besar individu berkembang semakin banyak tersedia kesempatan untuk saling membantu dan membangun di dalam masyarakat. Pentingnya individualitas diperlihatkan di dalam peranan yang diberikan Dewey kepada kebebasan baik sebagai suatu metode pendidikan maupun sebagai tujuan pendidikan. Namun kebebasan tidak boleh bertentangan dengan kontrol sosial.

3.2.8. EksistensialismeEksistensialisme28 adalah aliran pemikiran filsafat yang timbul setelah Perang Dunia

yang serentak merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Menurut materialisme manusia itu tidak berbeda dari benda-benda alam lain. Manusia itu hanya benda materi. Materialisme keliru karena manusia tidak hanya berada dalam dunia, tetapi juga menghadapi dunia. Dia tidak hanya menempati dunia, tetapi juga menghadapi dunia dengan mengerti arti-arti dan barang-barang yang dihadapi. Ia mengerti arti barang-barang dan arti dari tindakannya. Itu berarti bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya sadar, sadar akan diri sendiri dan sadar akan objek-objek yang ada di hadapannya.

28 N. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, (Djakarta, PT. Pembangunan, 1964), hal. 57-89.

28

Page 29: Filsafat Pendidikan -Bagian I

Eksistensialisme juga merupakan reaksi terhadap idealisme. Idealisme berasal dari kata ideos, idea yang berarti buah pikiran atau juga pikiran. Jika kita berpikir maka kita mempunyai idea atau gambaran dalam budi kita tentang barang-barang tertentu. Menurut R. Descartes (1596-1650) manusia itu sama saja dengan kesadarannya. Kesadaran tidak berhubungan dengan dunia jasmani. Dalam kesadaran ada ide-ide. Tetapi ide-ide itu sama sekali tidak berasal dari kontak dengan alam di luar kesadaran. Descartes memang belum terperangkap dalam kesesatan idealisme, tetapi pandangannya itu merupakan titik pangkal dari idealisme yang memungkiri sama sekali pengertian mengenai dunia luar. Tiap pikiran tentang dunia luar itu tidak berarti dan karena itu harus dipungkiri. Akibatnya, secara logis idealisme juga menyangka; adanya manusia lain. Sikap ini disebut solipsisme, yaitu sikap yang menganggap manusia lain tidak ada. Kesalahan idealism, yaitu hanya memandang manusia sebagai subjek. Pada hal manusia selain sebagai subjek juga adalah objek.

Menurut eksistensialisme manusia adalah eksistensi. Eksistensi berarti cara berada manusia yang khas di dunia. Kekhasan itu antara lain karena manusia adalah subjek yang bisa menentukan situasi dan memilih perbuatannya sendiri. Tetapi itu tidak berarti manusia memisahkan diri dari dunia sekitarnya. Manusia tidak hanya sibuk dengan dirinya. Ia sibuk juga dengan dunianya. Di sini manusia keluar dari dirinya sendiri. Dia tidak hanya berada dalam dunia, tetapi serentak terlibat dalam dunia. Dengan keluar dari dirinya sendiri dia dapat membangun dirinya dan dunianya. Manusia selalu membangun diri dan dunianya dalam kontak dengan dunianya dan dalam hubungan dengan manusia-manusia lain. Manusia selalu dalam proses menjadi. Pendidikan justru merupakan bagian dari proses menjadi manusia ini. Proses itu serentak berupa hominisasi dan humanisasi.

3.2.9. PersonalismePersonalisme adalah aliran filsafat yang menekankan hakikat manusia sebagai

persona, pribadi. Hal yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain dalam alam semesta adalah akal budinya, kesadarannya. Kesadaran tersebut merupakan kesempurnaan yang tidak terdapat dalam makhluk-makhluk lain di dunia. Dasar dari kesempurnaan itu adalah budi dan kehendak. Manusia tidak hanya ada, melainkan ia sadar bahwa ia ada. Ia sadar tentang dirinya sendiri dan memiliki diri sendiri. Dalam tiap perbuatannya ia mengalami diri sendiri. Manusia menyadari diri sebagai subjek, ’aku’ yang bertindak dalam perbuatannya. Maka ia tidak hanya mengalami diri sebagai apa (benda), tetapi juga sebagai siapa (pribadi).

Manusia adalah persona karena ia dapat bertindak dengan sadar dan insaf. Dasar dari kepribadiannya adalah kerohaniannya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia membedakan dirinya dengan manusia-manusia lain dan makhluk-makhluk infra-human (bukan manusia). Manusia lain diakui sebagai pribadi-pribadi dan disapa sebagai Engkau, sedangkan makhluk-makhluk lain tidak dianggap sebagai pribadi-pribadi. Karena itu persona tidak boleh diperlakukan sebagai objek atau alat belaka. Persona adalah subjek yang mencintai dan hanya dalam cinta ia boleh diterima dan diperlakukan.

Dasar dari cinta adalah kerohanian manusia. Dalam kerohaniannya manusia dapat mencintai orang lain. Dalam cinta manusia membuka diri dan menyerahkan diri kepada pribadi lain. Dengan itu ia memperkaya diri dan semakin menjadi lebih manusia, ia semakin sempurna sebagai pribadi. Hubungan antara manusia yang paling tinggi adalah hubungan berdasarkan cinta yang saling membangun dan menyempurnakan, hubungan antara pribadi-pribadi, antara subjek dengan subjek dan bukan antara subjek dengan objek. Akan tetapi hubungan antara pribadi-pribadi menerima dasarnya dari Tuhan sebagai sumber segala segala kepersonaan. Keterbukaan dan penyerahan diri kepada pribadi lain berakar dalam keterbukaan dan penyerahan diri kepada Tuhan.

Manusia sebagai persona juga tetap tidak sempurna. Akan tetapi ia dapat dan harus menjadi sempurna. Justru dalam hal ini pendidikan mendapatkan arti dan maknanya, yaitu sebagai proses untuk mengisi dan menyempurnakan diri dan orang lain sebagai persona untuk

29

Page 30: Filsafat Pendidikan -Bagian I

menjadi manusia yang berkuasa dan berdaulat atas diri sendiri dan atas alam sekitarnya. Manusia berdaulat atas diri sendiri sejauh ia menjalankan hidupnya menurut dorongan-dorongan yang luhur sambil mengalahkan dorongan-dorongan rendah. Manusia berdaulat atas alam sekitarnya sejauh ia mengetahui dan menaklukan alam dan menguasai alam demi kepentingan hidupnya.

30