Filsafat Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan diarahkan untuk kepentingan jangka panjang. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi lahan pertanian, relijius dan ekonomi. Maka diperlukan adanya suatu pengelolaan terhadap sumberdaya air agar keberadaannya tetap bermanfaat dan berkelanjutan untuk kepentingan jangka panjang. Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap “Filsafat Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air”, Satria Budi Fadilah 1

Transcript of Filsafat Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangKesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan diarahkan untuk kepentingan jangka panjang. Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi lahan pertanian, relijius dan ekonomi. Maka diperlukan adanya suatu pengelolaan terhadap sumberdaya air agar keberadaannya tetap bermanfaat dan berkelanjutan untuk kepentingan jangka panjang.

Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata pengaturan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat.Salah satu kampung adat yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah Kampung Kuta yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini dikenal sangat menghormati warisan leluhurnya. Adat dan tradisi menjadi salah satu peninggalan leluhur yang tidak boleh dilanggar. Kampung ini dikategorikan sebagai kampung adat karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya (Mustafid, 2009). Seperti halnya kampung-kampung adat yang masih mempunyai undang-undang atau aturan tersendiri, Kampung Kuta memiliki aturan dalam pengelolaan sumberdaya agar dapat menciptakan kelestarian bagi lingkungan.1.2. Rumusan MasalahPengelolaan sumberdaya air di hulu sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya air tersebut. Melalui pengelolaan daerah hulu yang baik maka masyarakat akan mendapatkan manfaat penghidupan yang lebih baik dan lebih pasti dari keberadaan air bersih. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu semakin sulit dilakukan, air semakin mengalami kelangkaan. Pengelolaan yang buruk di hulu akan berakibat pada kehancuran di hilir. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengelola sumberdaya air melalui kearifan lokal. Hanya sebagian kecil masyarakat pada daerah-daerah khusus yang mampu melakukan pelestarian sumberdaya air di daerah hulu, salah satunya Kampung Kuta yang memiliki kearifan lokal melalui budaya pamali dalam pelestarian lingkungan. Maka perumusan masalah yang dapat diambil untuk penelitian ke depan yaitu:

1. Bagaimana pandangan filsafat sebagai bentuk kearifan lokal dalam upaya

menyelamatkan sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta. 2. Bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumberdaya air.1.3. Tujuan MakalahBerdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dari makalah ini yaitu:

1. Mengetahui bentuk asasi secara filsafat yang dilaksanakan dalam kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta.

2. Bagamana implementasi filsafat tersebut dalam kearifan lokal untuk menjaga

kelestarian sumberdaya air.

1.4 Kegunaan MakalahHasil makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya air, khususnya kepada:

1. Bagi pembaca, dapat mengkaji kearifan lokal yang terdapat di Kampung Kuta terkait dengan pengelolaan sumberdaya air.

2. Bagi akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau

referensi untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi masyarakat khususnya komunitas Kampung Kuta, makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang kearifan lokal yang mereka miliki sehingga mereka senantiasa menjaga dan selalu melestarikan kearifan lokal tersebut.1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang yang menjelaskan pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia.

Rumusan masalah mengenai Bagaimana implementasi dan pandangan filsafat sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumberdaya air. Sedangkan tujuannya mengetahui bentuk asasi secara filsafat dan implementasi dalam kearifan lokal untuk menjaga kelestarian sumberdaya air. Kegunaan berisi mengenai mamfaat melakukan penulisan serta penjelasan sistematika pembahasan yang terintegrasi dimulai dari pendahuluan sampai ke kesimpulan.BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Berupa landasan teori yang berisikan, definisi dan pengartian serta konsep-konsep dari pandangan ilmiah yang sudah terkonsep dan terumuskan.BAB III PEMBAHASAN

Menjelaskan dan membahas isi dari rumusan masalah mengenai bentuk dan implementasi kearifan lokal untuk menjaga kelestarian sumberdaya airBAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Berupa kesimpulan dari penjabaran pembahasan serta memberikan saran secara konsepsi dan obyektif.BAB II

PENDEKATAN TEORITIS2.1 Ontologi

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie, 2004).

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis yang terkenal diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret maupun rohani / abstrak (Bakhtiar, 2004). 2.2 Epistemologi

beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert D.Runes. menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.2.3 AksiologiMenurut kamus filsafat, aksiologi berasal dari bahasa Yunani ; axios (layak, pantas) dan logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Jujun S. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010).

Bramel (Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan, maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya. Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar Amsal, 2004).Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah tidak terhitung banyak manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Mengutip pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang mengatakan bahwa Pengetahuan adalah kekuasaan. Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan ke dalam empat tahapan yaitu:

Untuk apa ilmu tersebut digunakan?

Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ?

Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ?

Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.2.4 Komunitas AdatMenurut Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010), pemahaman lebih luas mengenai komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa.

Komunitas adat menurut Siregar (2002) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur, di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik.2.5Kearifan LokalKonsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al.(2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999 sebagaimana dikutip oleh Arafah, 2002). Sedangkan menurut Zakaria (1994) sebagaimana dikutip oleh Arafah (2002), pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya.

Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah:

1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.

2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.

3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

2.6Pengelolaan Sumberdaya AirPengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan air dan pengendalian daya rusak air (Kodoatie dan Sjarief, 2005). Menurut Grigg (1996) dalam Kodoatie dan Sjarief (2005), pengelolaan sumberdaya air didefinisikan sebagai aplikasi dan cara struktural dan non-struktural untuk mengendalikan sistem sumberdaya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Tindakan struktur (structural measures) untuk pengelolaan air adalah fasilitas-fasilitas terbangun (constructed facilities) yang digunakan untuk mengendalikan aliran dan kualitas air. Tindakan-tindakan non-struktural (non-structural measures) untuk pengelolaan air adalah program-program atau aktifitas-aktifitas yang tidak membutuhkan fasilitas-fasilitas terbangun.

Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya. Beberapa aspek yang terkait pengelolaan sumberdaya air yaitu; pembekalan air minum dan industri, irigasi, PLTA, pelayaran, perikanan, rekreasi, drainase (pengelolaan limpasan hujan), pengendalian banjir, pengendalian kekeringan, pengendalian kualitas air, pengendalian dalinitas, pertahanan nasional, hubungan internasional dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).2.7Perubahan SosialMasyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan. Soekanto (2002), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti:

1. bertambah/berkurangnya penduduk,

2. penemuan-penemuan baru,

3. pertentangan/konflik masyarakat, dan

4. terjadinya pemberontakan atau revolusi.

Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya adalah:

1. sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,

2. peperangan, dan

3. pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

2.8 Definisi Konseptual1. Pengelolaan Sumberdaya Air adalah upaya pemanfaatan sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya.

2. Kearifan lokal adalah suatu filsafat kebijaksanaan, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan/etika masyarakat lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, diwariskan, penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil dari timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya.

3. Bentuk kearifan lokal adalah suatu ciri yang membangun kearifan lokal tersebut sehingga kearifan lokal tersebut memiliki wujud :a. Nilai adalah suatu perbuatan atau tindakan yang oleh masyarakat dianggap baik. Nilai dalam setiap masyarakat tidak selalu sama, karena nilai di masyarakat tertentu dianggap baik tapi dapat dianggap tidak baik di masyarakat lain.

b. Norma adalah suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam suatu masyarakat.

c. Kepercayaan adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya.

d. Sanksi adalah suatu tindakan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar suatu peraturan.

e. Aturan-aturan khusus adalah aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk suatu kepentingan tertentu.

4. Implementasi kearifan lokal adalah suatu penerapan/aplikasi bentuk kearifan lokal yang dilakukan komunitas adat yang sesuai dengan aturan adat yang memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai, dan sikap dari komunitas adat tersebut (Susilo, 2007 dalam Mawardi, 2009).

5. Faktor internal adalah faktor berasal dari dalam masyarakat yang akan mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.

6. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat yang akan mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: meliputi

: mengasilkan

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 KARAKTERISTIK WILAYAH 3.1.1 Keadaan UmumKampung Kuta terletak di bagian Timur Laut Kabupaten Ciamis, berada di bagian Lembah, dikelilingi oleh tebing yang curam setinggi 30-60 meter. Kampung Kuta secara administratif berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, wilayah Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta dan di tetapkan sebagai sebuah Dusun, yaitu Dusun Kuta yang terdiri dari satu RW dengan empat RT. Secara geografis wilayah Kampung Kuta berbatasan dengan beberapa wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara, berbatasan dengan Dusun Cibodas.

b. Sebelah Barat, berbatasan dengan Dusun Margamulya.

c. Sebelah Timur dan Selatan, berbatasan dengan Sungai Cijolang, yang sekaligus berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah.

Topografi tanah berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan air laut. Dengan demikian kondisi udara Kampung Kuta cukup sejuk. Luas wilayah Kampung Kuta sekitar 97 hektar.Tabel 1. Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010NoPemanfaatan LahanLuas Wilayah (Ha)

1Hutan keramat40

2Lahan sawah tadah hujan70

3Perkebunan 18

4Kolam10

5Tanah desa12

3.1.2 Penduduk dan Mata PencaharianJumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 yaitu sebanyak 298 jiwa terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 145 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 153 jiwa dengan kepala keluarga sebanyak 127 Kepala Keluarga (KK). Seluruh masyarakat di Kampung Kuta berkewarganegaraan Indonesia dan beragama Islam. Masyarakat memiliki akses terbatas terhadap pendidikan, sebagian besar hanya dapat meraih pendidikan sampai dengan setingkat SLTA. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang tidak tamat SD atau tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah.

3.1.3 Kondisi Sarana dan PrasaranaSarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Kuta diantaranya sarana transportasi, komunikasi, dan peribadatan. Sarana transportasi yang sudah cukup baik, jalan utama dapat dilalui oleh kendaraan darat apa saja meskipun kondisi jalan belum di aspal seluruhnya, beberapa jalan kondisinya masih berbatu.

Sarana komunikasi yang berkerkembang di Kampung Kuta yaitu handphone (telepon genggam) dan televisi (menggunakan parabola). Terdapat Pasanggrahan dan Bale Sawala yang biasanya digunakan untuk keperluan acara adat. Daerah I Masyarakat Adat Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 2010. Pemenuhan kebutuhan rohani terutama dalam hal peribadatan, di Kampung Kuta sudah terdapat satu mesjid dan satu mushola. Terdapat enam warga yang membuka warung kecil di depan rumahnya. Sarana pemandian umum atau jamban dimanfaatkan oleh mayoritas masyarakat Kampung Kuta.3.1.4 Organisasi KemasyarakatanKehidupan masyarakat Kampung Kuta tampaknya banyak mengalami kemajuan dibidang material dan spiritual. Kemajuan-kemajuan ini disadari oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai hasil usaha yang mereka lakukan sendiri. Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat Kampung Kuta mengakibatkan kebutuhan di segala bidang terus meningkat. Keberhasilan masyarakat Kampung Kuta tidak terlepas dari kearifan pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal masyarakat adalah kepala dusun yang dibantu oleh seorang ketua RW dan empat ketua RT. Pemimpin informal adalah kuncen yang memiliki pengaruh besar dalam penataan kehidupan bermasyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari kuncen dibantu oleh seorang ketua adat, seorang wakil ketua adat, seorang sekretaris adat, dan seorang bendahara adat.3.2 SEJARAH KAMPUNG KUTANama Kampung Kuta diberikan karena sesuai dengan lokasinya yang berada di lembah curam sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan. Nama kuta sendiri dalam bahasa Sunda berbarti pagar tembok. Asal- usul Kampung Kuta terdiri atas dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu Kampung Kuta pada masa kerajaan Galuh dan pada masa Kerajaan Cirebon.

Versi Kampung Kuta pada masa Kerajaan Galuh ini dimulai pada awal pendirian Kerajaan Galuh. Seorang Raja Galuh bernama Prabu Ajar Sukaresi sedang mengembara bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman. Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan kerajaan. Versi asal- usul Kampung Kuta pada masa Kerajaan Cirebon diawali oleh dua kerajaan yang menaruh perhatian besar terhadap Kampung Kuta, yaitu Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram Solo. Akhirnya Raksabumi menjadi pemimpin di Kampung Kuta atau penunggu dan penjaga daerah Kuta (kuncen) hingga akhir hayatnya. Setelah meningga Raksabumi dimakamkan di Cibodas dan dikenal dengan nama Ki Bumi. Beliau dianggap sebagai cikal bakal dan leluhur yang menurunkan masyarakat Kuta. Raksabumi adalah pemimpin pertama dan sampai sekarang Kampung Kuta tetap dipimpin oleh keturunan Ki Bumi.3.2.1Kepercayaan MasyarakatMasyarakat Kampung Kuta memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan keyakinan terhadap makhluk gaib. Mereka meyakini di dalam Hutan Keramat tinggal makhluk-makhluk gaib yang menguasai serta mengendalikan seluruh wilayah Kuta. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa makhluk-makhluk gaib itulah yang menetapkan aturan-aturan yang secara turun-temurun ditaati oleh semua orang termasuk kuncen. Ketaatan terhadap tabu yang berlaku tersebut, didasarkan oleh rasa takut akan akibat yang harus ditanggung apabila melanggarnya.3.2.2Upacara AdatMasyarakat Kampung Kuta hingga kini masih melaksanakan berbagai upacara/ritual adat yaitu diantaranya:

1. Upacara Nyuguh

Upacara ini merupakan upacara wajib yang selalu dilakukan pada tanggal 25 Safar. Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki dan terhindarnya malapetaka yang menimpa masyarakat Kampung Kuta.

2. Upacara Hajat Bumi

Upacara ini merupakan bagian dari upacara Nyuguh, sebelum dilakukan Nyuguh, masyarakat akan memulai upacara Hajat Bumi di bale dusun. Upacara ini melibatkan seluruh masyarakat Kampung Kuta. Tujuannya adalah untuk mensyukuri keberhasilan dalam bercocok tanam terutama padi dan memohon perlindungan pada masa tanam yang akan datang.

3. Upacara Babarit

Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi gejala-gejala alam seperti gempa bumi, kemarau panjang, banjir atau kejadian alam lainnya. Upacara ini dipimpin oleh ajengan dan kuncen dengan membaca doa untuk memohon kepada penguasa alam dan para karuhun agar masyarakat terhindar dari bencana. Upacara ini dilengkapi dengan sesajian dan makanan sebagai persembahan kepada para leluhur.

Selain masih mempertahankan berbagai upacara adat, masyarakat Kampung Kuta mengenal berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern, diantaranya: calung, reog, sandiwara (drama sunda), tagoni, keliningan, jaipongan, qasidah, ronggeng, dan kesenian dangdut. Kesenian tersebut dipertunjukkan pada saat hajatan perkawinan atau pada saat penerimaan tamu kampung. Kelompok kesenian yang terdapat di Kuta, yaitu: Degung, terbang, gondang, dan tayuh/tayuban.3.3PAMALI SEBAGAI FILSAFAT KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG KUTAMasyarakat Kampung Kuta memiliki filsafat atau filosofi kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh leluhur. Filosofi kearifan lokal masih tetap dijalankan sampai saat ini karena sifatnya amanah sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta. Bentuk kearifan lokal yang sudah dijalankan masyarakat Kuta tersebut yaitu budaya pamali. Pamali (tabu) adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat.

Tabu atau pamali merupakan dasar filsafat atau filosofi yang tertuang dalam prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Di Kampung Kuta, prinsip tradisional tersebut masih berlaku sebagai pranata sosial yang dapat mengendalikan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam atau dengan sesamanya.

Prinsip-prinsip utama di atas dibedakan menjadi dua bagian yaitu prinsip utama yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan prinsip yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Prinsip yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan norma adat yang sangat mengikat masyarakat karena sudah dilakukan secara turun-temurun dan diketahui oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta.

Budaya pamali memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh masyarakat Kampung Kuta. Setiap orang yang melanggarnya selalu mendapatkan balasan yang diyakini berasal dari karuhun mereka yang murka. Pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh penduduk kampung. Bentuk-bentuk musibah yang datang dapat bermacam-macam seperti penyakit, serangan hama tanaman, gempa bumi berupa tanah longsor, angin topan atau banjir, dan bahkan kematian.

Kampung Kuta memiliki ciri khas yaitu mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah. Keaslian turun temurun tetap dapat dipertahankan karena mereka masih patuh dan taat pada aturan yang berlaku dari leluhurnya dan merupakan salah satu bagian dari budaya pamali. 3.4IMPLEMENTASI PANDANGAN FILSAFAT DAN BENTUK KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR3.4.1Implementasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya AirSumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan salah satu budaya pamali yang sangat ditekankan di Kampung Kuta.

Untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat pemandian umum, menggunakan selang plastik/paralon dan bambu ke tempat penampungan atau pemandian umum. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Pemasanganan selang/paralon harus dilakukan dari hulu ke hilir sehingga air dapat mengalir dengan baik. Berdasarkan pernyataan Bapak Krmn diatas, tahap pemasangan selang/paralon yaitu:

1. Melakukan penggalian tanah sekitar lima puluh sentimeter.

2. Memasukkan selang/paralon pada galian tersebut.

3. Menimbun selang/paralon tersebut menggunakan batu atau ijuk. Batu atau ijuk digunakan agar selang tertahan dan tidak keluar dari galian tersebut.

4. Untuk mengalirkan air, selang/paralon yang digunakan sekitar lima sampai sepuluh lente (satu lente sama dengan empat meter).

Terdapat empat orang yang sudah menggunakan jet pump (Sanyo) untuk menarik air. Mata air yang ditarik menggunakan Sanyo adalah mata air Cibungur, salah satunya dimanfaatkan oleh Bapak Krmn (Ketua Adat) untuk menarik air ke samping rumahnya dan pemandian umum untuk tamu di dekat Pasanggrahan. Mayoritas masyarakat Kampung Kuta lebih memilih untuk memanfaatkan air yang ada di pemandian umum. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar sudah terbiasa untuk pergi ke pemandian umum meskipun letaknya jauh dari rumah.

Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Seseorang yang melakukan nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan yang terdapat di dalam Hutan Keramat. Selain digunakan untuk membasuh diri, air dari kawah dan Ciasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam botol. Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengahnya lagi untuk dipenuhi dengan air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan. Harus terus diminum. Sumberdaya air yang terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh yang ditemani oleh kuncen.Pengelolaan Hutan Keramat merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya air yang ada di dalamnya. Sumberdaya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebuthan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebebkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam Hutan Keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya Budaya pamali dalam pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelstarian ekosistem di dalamnya maka, sumberdaya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik.3.4.2Bentuk Dinamika Kearifan LokalBudaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan.

Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.3.4.3Implikasi Kearifan LokalKearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian hutan dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Masyarakat secara sadar melakukan pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan secara turun-temurun. Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampung Kuta memberikan hasil dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah membawa masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional tahun 2002 yang penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali. Manfaat yang dapat dirasakann dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu:

1. Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.

2. Menumbuhkan pola hidup sederhana.

3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan/dikendalikan.

4. Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau tetap tersedia.

5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.

6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.

7. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta.Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali yaitu:

1. Melestarikan rumah adat dusun Kuta.

2. Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya.

3. Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman tahunan sekitar mata air.

4. Melestarikan kesenian setempat seperti Ronggeng Tayub, Terbang, dan Gondang Buhun.

5. Melestarikan upacara adat setempat yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.

Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur, dan pelarangan menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian sumberdaya alam.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1KesimpulanKampung Kuta adalah salah satu kampung adat yang diakui keberadaannya yang terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat Kampung Kuta adalah dalam bentuk budaya pamali yang sudah dikenal dan merupakan amanah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka dan berkembang menjadi norma yang mengatur perilaku masyarakat lokal.

Tabu atau pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan prinsip- prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal secara nyata. Sekalipun demikian terdapat indikasi awal adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang masuk, seperti penggunaan teknologi mesim pompa air, modifikasi bentuk rumah dan gaya modern, dan penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata.

Proses pelanggengan kearifan lokal budaya Pamali dilakukan dengan penurunan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.

Kearifan lokal budaya pamali berdampak bagi kelestarian sumberdaya alam di Kampung Kuta. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian lingkungan pada tahun 2002. Kearifan lokal pamali ini diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air demi terciptanya kelestarian sumberdaya alam. Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat nyipuh di dalam Hutan Keramat. Sumberdaya air ini diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Sementara untuk ritual adat, digunakan sumber air dari Ciasihan dan Pamarakan yang ada di dalam Hutan Keramat.4.2SaranPerlu diadakan penelitian lanjutan yang berkaitan kearifan lokal masyarakat Kampung Kuta. Dengan diketahuinya kearifan lokal masyarakat yang lebih mendalam, maka diharapkan akan menjadi modal dalam menentukan bentuk pembangunan yang ideal dijalankan.

Masyarakat Kampung Kuta sudah berhasil dalam mempertahankan kearifan lokal yang terangkum dalam budaya pamali. Namun, dengan dipeolehnya penghargaan Kalpataru dalam kategori masyarakat pelestari alam dan lingkungan dari Pemerintah Pusat, ada kecenderungan Kampung Kuta seperti dijadikan daerah tujuan wisata budaya dan alam. Oleh karena itu, masyarakat dengan dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Daerah lebih selektif dalam menerima tamu atau pihak-pihak yang ingin mengunjungi Kampung Kuta.

DAFTAR PUSTAKAArafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Azra, Azyumardi. 1993. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi. Ulumul Quran, no. 4, vol. IV.Bakhtiar , Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Bakker, Anton.1992. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta: Pustaka Kanisius

Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Jujun S. Suriasumantri. 2005 Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.

Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta.

Mawardi, 2009. Implementasi Kurikulum: Sebuah Prinsip Dasar. http://mawardiumm.blogspot.com/2009/08/implementasi-kurikulum-sebuah- prinsip.html. diakses 18 April 2010, pukul 02.23.

Mitchell, Bruce, B Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Mustafid. 2009. Kampung Kuta; Dusun Adat Yang Tersisa Di Ciamis. http://artikelindonesia.com/kampung-kuta-dusun-adat-yang-tersisa-di-ciamis.html. diakses 7 April 2010, pukul 11:30.

Ridwan, N. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. diakses 22 Maret 2010, diakses 7 April 2010, pukul 11:20.

Saleh, T. dan Rasul, R. 2008. Pengenalan Pengelolaan Sumberdaya Air. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/db20326d7baed0dca1bebc8428f6f2ee4fbd2e0b.pdf. diakses 20 November 2009, pukul 12:48.

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal Filsafat: Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.

Tishaeni, H. 2010. Keberlanjutan Komunitas Adat Kampung Cireundeu Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iDAFTAR TABEL ................................................................................................................. iiDAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ iiiBAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 11.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 21.3. Tujuan Makalah ............................................................................................................... 21.4. Kegunaan Makalah .......................................................................................................... 21.5. Sistematika Penulisan ...................................................................................................... 3BAB II PENDEKATAN TEORI2.1. Ontologi ........................................................................................................................... 42.2. Epistemologi .................................................................................................................... 42.3. Aksiologi .......................................................................................................................... 42.4. Komunitas Adat ............................................................................................................... 62.5. Kearifan Lokal ................................................................................................................. 62.6. Pengelolaan Sumber Daya Air ......................................................................................... 72.7. Perubahan Sosial .............................................................................................................. 82.8. Definisi Konseptual .......................................................................................................... 9BAB III PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Wilayah ..................................................................................................... 113.1.1. Keadaan Umum .................................................................................................... 113.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian .......................................................................... 113.1.3. Kondisi Sarana dan Prasarana .............................................................................. 123.1.4. Organisasi Kemasyarakatan ................................................................................. 123.2. Sejarah Kampung Kuta .................................................................................................. 123.2.1. Kepercayaan Masyarakat ..................................................................................... 133.2.2. Upacara Adat ........................................................................................................ 133.3. Pamali Sebagai Filsafat Kearifan Lokal Di Kampung Kuta .......................................... 143.4. Implementasi Pandangan Filsafat Dan Bentuk Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air ......................................................................... 153.4.1. Implementasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air .................... 153.4.2. Bentuk Dinamika Kearifan Lokal ........................................................................ 173.4.3. Implikasi Kearifan Lokal ..................................................................................... 17BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 194.2. Saran ............................................................................................................................... 20DAFTAR PUSTAKADAFTAR TABEL1. Tabel . Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010 .................. 11

DAFTAR GAMBAR1. Gambar. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 10

Implementasi kearifan lokal

Faktor eksternal

Faktor internal

Bentuk kearifan lokal :

Nilai

Norma

Kepercayaan

Sanksi

Aturan-aturan khusus

Filsafat Kearifan Lokal dalam

Pengelolaan Sumber Daya Air

(mata air)

Filsafat Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, Satria Budi Fadilah22