FILSAFAT ILMU jad.docx

26
FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN A. Filsafat Menurut Islam; Telaah Historis dan Persefektif Dalam sejarah islam, awal mula nama falsafah dipakai untuk julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang menolak falsafah pada masa itu, khususnya dari para fuqaha’, muh}addithun dan para ulama salaf lainnya. 1 Hal itu tidak lain karena adanya pertentangan konsep falsafah dengan pandangan Islam sendiri. Namun setelah adanya proses – sebut saja – islamisasi, nama falsafah dipahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal usul namafalsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsafah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud. 2 Bahkan, Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsa>fah, tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsafah al- Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah. 3 Meskipun disisi lain ia tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur dengan pemikiran Yunani. Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama, menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Yang menurut Halter, bukti adanya filsafat identik dengan istilah hikmah menunjukkan filsafat sudah ada dalam tradisi intelektual Islam. 1 Nasr, S.H., Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987) hal. 58 2 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005) hal 57 3 Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, hlm. 258; Ibid., hlm 47.

Transcript of FILSAFAT ILMU jad.docx

Page 1: FILSAFAT ILMU jad.docx

FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN

A.     Filsafat Menurut Islam; Telaah Historis dan Persefektif

Dalam sejarah islam, awal mula nama falsafah dipakai untuk julukan yang diberikan

kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani.

Tidak sedikit para ulama yang menolak falsafah pada masa itu, khususnya dari

para fuqaha’, muh}addithun dan para ulama salaf  lainnya.1

Hal itu tidak lain karena  adanya pertentangan konsep falsafah dengan pandangan Islam

sendiri. Namun setelah adanya proses – sebut saja – islamisasi, nama falsafah dipahami sebagai

istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam.

Asal usul namafalsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas

falsafah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.2 Bahkan, Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak

keras, pada akhirnya menerima falsa>fah, tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan

berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-

Falsafah al-Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah.3 Meskipun disisi lain ia tetap saja menolak

pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd yang dianggapnya masih bercampur dengan

pemikiran Yunani.

Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama,

menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani.

Yang menurut Halter, bukti adanya filsafat identik dengan istilah hikmah menunjukkan filsafat

sudah ada dalam tradisi intelektual Islam. Alparslan Acikegence menambahkan, konsep-konsep

semisal dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan

lain-lainnya adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan

kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang disebut hikmah.4

Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis ada, dan kesan berbeda dengan

tradisi filsafat Yunnani.

Ini diperkuat oleh C.A. Qadir.mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani

menurutnya adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli adalah al-

Qur’an dan al-Hadith.Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta

bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga

bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan

1 Nasr, S.H., Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987) hal. 582 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal(Jakarta, ISLAMIA,

2005) hal 573 Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah, hlm. 258; Ibid., hlm 47.4 Namun, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmahterdesak

oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan karya-karya filosof Yunani. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Jurnal Framework … hal. 57.

Page 2: FILSAFAT ILMU jad.docx

alam semesta misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak

terdapat dalam filsafat Yunani.5 Polemik anatara pandangan apakah filsafat dalam islam itu murni

warisan yunani kuno ataukah produk islam sendiri, memang jawabanya masih kontra fersi.

Pandanagan-pandangan yang paling umum dilontarkan Pertama, dari kalangan mayoritas

orientalis adalah, bahwa Filsafat Islam merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani kun; ‘It is Greek

philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson yang  lebih suka

menyebutnya sebagai filsafat berbahasa Arab (Arabic Philosophy). Dibalik pandangan itu terselip

rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar

mengambil dan memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Pendapat tersebut

mungkin saja ada benarnya bila berpatok pada literatur sejarah filsafat dunia, peran dan

kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari

Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu, sebagai jembatan

peradaban (Kulturvermittler) dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.

Pandangan kedua menganggap, filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama

lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan

terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides, Yang

menurutnya semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari

golonganMu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah filsafat berasas pada

sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis

untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.6

Dua sudut pandang tersebut di atas menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.antara lain

oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, Orientalis yang menganut perspektif Greco-

Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga

pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer

dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12

Masehi. Akibatnya, menurut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat

Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang, di pusat-pusat

keilmuan Dunia Islam.

Yang Ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari

kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan

tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab

manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat, Munculnya kelompok  Khawarij,

Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk

kepada ayat-ayat al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam

Islam. Hingga pada abad-abad berikutnya berkembang pada seputar kedudukan logika,  masalah

5 Qadir, C.A., Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988), hlm. 286 Ibid, hal 29

Page 3: FILSAFAT ILMU jad.docx

atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan

serta ke-aza>li-an dan keabadian alam semesta.

Pandangan revisionis ini diwakili, antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan

Alparslan Açıkgenç.Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian

Ibnu Rusyd.Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan

filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi

sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman, filsafat Islam

merupakan nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup

peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab,

Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Parsi,

Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini.7

Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua sehingga ia

menambahkan, cakupan filsafat Islam itu luas dan kaya.

Tanpa menafikan adanya hubungan antara filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif

mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain, sedangkan pemikiran Yunani sebagai

sulaman. Meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu

kain.Ini artinya, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, meskipun di dalam filsafat Islam terdapat

unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani.8

Namun Pendapat lain mengatakan, Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad

ke-2 dan ke-3 H. bersamaan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya,

sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri.

Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H). pendapat ini lebih dekat

pandangannya ke yunanisme. Seolah-olah filsafat itu muncul dalam islam karna melalui proses

penerjemahan filsafat yunani.

Namun terlepas dari adanya perbedaan penjelasan mengenai filasafat islam itu murni hasil

karya yunani atau tidak, Menurut Peters, sejarah telah mencatat,  karya-karaya aristoteles telah

berhasil dihimpun kedalam satu korpus madzhab dan ditambah dengan teks-teks neoplatonik leh

filosof islam semenjak abad ke-10 M. menurut pendapat ini, al-Farabi yang paling awal menjadi

filosof muslim. Meskipun Pendapat Peters di bantah oleh Ahmad Hanafi, menurutnya al-Kindi lah

yang pertama kali menjuluki filsafat kedalam islam. diperkuat oleh Hasyimsyah Nasution, bahwa

al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama meberikan istilah filsafat islam.9

Perbedaan pandangan pandangan mengenai sejarah pertama kali munculnya filsafat tidak

hanya terjadi pada letak historisnya, tetapi penamaannyapun masih diperslisihkan

eksistensinya.apakah filsafat itu Islam atau Arab. Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam,

7 Ibid, hal 318 Hamid Fahmy Zarkasyi, hal. 60.9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001) hal 15

Page 4: FILSAFAT ILMU jad.docx

kemudian berkembang hingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa

filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawanpun banyak menulis

berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis menyebut

mereka kaum filosof Islam, ada pula yang menamakan bahwa mereka merupakan para filosof

beragama Islam, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan Para Hikmah Islam (Falasifatul-

Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan

Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq

mengatakan bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian

nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan,

“Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh

ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam

dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.10

Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah

Filsafat Islam. Ia mengatakan :

“Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan

keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran

Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga

abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan ‘

Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat

dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya

sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu.

Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialahFilsafat Dalam Islam atau Filsafat

Islam atau Filsafat di Negeri-NegeriIslam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa

terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak

memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih

tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup

segala hal-akhwal”.11

Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan

filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Ia lebih

suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata,

melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material,

pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia

Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.

Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun

hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat), adalah di bawah naungan Islam, dan kebanyakan

10 Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988) hal  611 Ibid, hal 9-10

Page 5: FILSAFAT ILMU jad.docx

karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan  Filsafat Arab  ialah bahwa

filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan

bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam

memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan

Filsafat Islam tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga berlawanan

dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius danJacobitas dari

golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan

berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.

Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut Filsafat

Islam, pengingat Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat

sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut

adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena

Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.

Dan dalam pemakaian istilah Filsafat Islam lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat,

seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wan-Nihal dari as-Syihrisaani,

dalam bukuAkhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqadimah Ibni Khaldun.12

Dengan demikian, filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan

oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam.Islam

disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.Filsafat disebut Islami bukan karena yang

melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan

Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman saja.Hakekat

Filsafat Islam ialah akal dan al-Quran.Filsafat Islam tidak mungkin tanpa akaldan al-Quran.Akal

yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri

keislamannya.Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat

spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi akal bekerja, akal tetap bekerja dengan otonomi

penuh, Namun tetap dilandasi Al-Qur’an.

Akal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika akal dan al-

Quran dipahami begitu, menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang

bersifat subordinatif dan reduktif.maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-

bawahi, baik akal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi akal. Jika al-Quran

mengatasi akal maka akal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut

otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas

kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran.

Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah akal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat

dialektis.Akal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Qur’anik. Akal sebagai subjek,

12 A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat…..hal 11

Page 6: FILSAFAT ILMU jad.docx

dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang

bersumber pada al-Quran. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan

al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh

akal.Hubungan dialektika antara akal dan al-Quran bersifat fungsional.13

Secara umum, Filsafat Islam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya.

Filsafat mendasarkan diri pada metode burha>ni (kontekstual), sementara teologi pada jadalli.

Filsafat Islam berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan

wahyu.Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius.Secara ontologis filsafat Islam

menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik. Secara

epistemologis filsafat Islam menyakini akal, hati, indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan

yang valid

Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani, baahwa Filsafat Islam adalah pembahasan

meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran

keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.14

B.     Konsepsi Ilmu Pengetahuan Menurut Tradisi Pemikiran Islam

Dalam kajian filsafat, ada tiga unsur utama yang tidak bisa dipisahkan, yaitu epistemologi,

ontologi dan aksiologi. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, dan saling menetukan arah

pemikiran filsafat. umumya dalam kajian filsafat yang di utamakan salah satu dari ketiganya

adalah unsur epistemologi. Bukan maksud menafikan yang lain. Tetapi sepanjang mengartikan

filsafat sebagai proses mencari pengetahuan, epistemologi menjadi dasar awal yang dipakai.

Membicarakan episteme (sistem pengetahuan), seperti yang telah dibahas sebelumnya,

mau tidak mau, secara fundamental harus bersentuhan dengan akal atau nalar (‘aql).15 secara

umum, al-Jabiri mengkalsifikasi tipoogi nalar mejadi dua bentuk, dengan mengikuti persefektif

Andre Lalenda, yaitu nalar pembentuk atau aktif (al-‘aqlu al-mukawwin) dan nalar terbentuk atau

dominan (al-‘aqlu al-mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu

menarik asas-asas umum, berdasar pemahamannya terhadap hubungan segala sesuatu.Sedangkan

nalar dominan adalah sejumlah asas dan akidah yang dijadikan pegangan dalam argumentasi. Jika

yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal niversal (al-‘aqlu al-kauni), maka

yang kedua tidak universal, sebab ia menjadi sistem kaidah yang dibakukan dan diterima dalam

era tertentu.

Kadang kala, seseorang mampu melakukan penalaran terhadap sesuatu, tetapi sulit untuk

menyentuh setandar kebenaran.Karena tidak mampu menyeimbangkan (singkronisasi) antra

13 Musa al- Asy-Arie, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992) hal 16

14 Ibid, Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, filsafat…hal 515 Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal, Arah Baru Study

Islam (Yogyakarta, Arruz Media Group, 2008) hal 235

Page 7: FILSAFAT ILMU jad.docx

pernyataan dengan kondisi realitas yang sebenarnya. Tujuan utama adanya akal yang dimiliki

manusia adalah untuk berpikir, sejauh ia berpikir pada sesuatu yang diaggapnya benar dan salah.

Menurut Endang Syaifuddin Anshari, Manusia seyogyanya adalah mahluk pencari kebenaran.

Untuk mencapai sebuah kebanaran harus memliki kompoonen-komponen yang menyertainya.

Komponen-komponen itu meliputi ilmu, filsafat dan agama (dalam hal ini islam). Ketiga

komponen itu jika diterapkan bersama, niscaya akan memnghasilkan suatu kesimpulan yang

mendekati kebenaran. oleh karena itu, islam sangat menekankan tiga aspek tersebut sebagai dasar

rujukan untuk memperoleh pengetahuan.

Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari

banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya

disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut

ilmu.

“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang

berilmu). (QS 35:28)16

Disamping ayat-ayat Al Qur’An, banyak juga hadith yang memberikan dorongan kuat

untuk menuntut Ilmu. Antara lain hadit yang diriwayatkan Imam Baihaqi,

“Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib

bagisetuap muslim”17

Beberapa ayat dan hadith tentang anjuran mencari ilmu menunjukkan betapa islam sangat

memperhatikan sekali berkembangnya ilmu pengetahuan. Diaspek yang lain, Filsafat islam

mengakaji dari berbagai hal didalamnya, termasuk diantaranya tentang ketuhanan, alam gaib,

serta realitas yang ada di dunia ini. Yang kesemuanya dibawah lingkaran wahyu (Al-Qur’an) dan

sunnah (hadith). 18 Posisi akal sangat dominan perannya sebagai sarana memperoleh penegtahuan,

tetapi tetap dalam batah-batas koridor agama.

Dalam tradisi pengetahuan islam, Epistemologi yang diapakai guna mendapatkan sebuah

pengetahuan meliputi tiga aspek berbeda. Yaitu epistemologi baya>ni (tekstual) ‘irfani (intuitif),

dan burhani (kontekstual),  ketiganya tersebut, konsep yang diterapkan mempunyai ciri has

tersendiri dalam memperoleh pengethaun.

1. Epistemology Bayani.

Dalam sejarahyna, Munculnya kodifikasi tadwin (kodifiasai massif ilmu

pngetahuan) disinyalir sebagai babak baru transformasi episteme bayani dari wacana kebahasaan

menuju wacana diskursif. Periode tadwin ini telah mengantarkan budaya arab kebudaya tulis (al-

16 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Qur’an, 1971) hal 12017 Jalaludin Asy-suyuti, Jaami’u Ashogir (t.k., t.p. t.t.) hal 4418 Lihat abdurrahman asegaf, filsafat….hal 27

Page 8: FILSAFAT ILMU jad.docx

kitabah). Dan penalaran (ad-dirayah). Diaman islam yang sebelumnya berada dalam budaya oral

atau lisan (al-mushafah}ah) dan transmisi-replektif (ar-riwayah).Lebih jauh,

epistemology bayani telah menjadai semacam persefektif (ru’yah) dan sistem (manhaj) yang

melandasi pemikiran sistematis dalam menginterprestasi wacana (fi tafsiri al-khitab) dan

memproduksi wacana (fi intaj al-khitab).19

Menurut Mahmud Arif, mengutip dari pendapatnya Ibn Manzur, Secara leksikal,

terma bayan mengandung beragam arti, diantaranya (1) menimbang (al-was}l), (2) keterpilihan

(al-fasl), (3) jelas dan terang (az-zubur wat al-wuduh), (4) kemampuan membuat terang dan

jelas.20 Berdasarkan keragaman arti tersebut, Mahmud arif menyimpulkan, makna generic dari

term bayani adalah keterpilihan dan kejelasan. Yang berwujud pada sebuah persefektif dan

metode. hal ini, epistemologibaya>ni menjadi sebuah sitem pemikiran yang tidah hanya sekedar

mencakup arti tindakan memahamkan, tetapi juga segala sesuatu yang mendasri tindakan

memahami.

Ciri umum dari pemikiran bayani adalah menempatkan ilmu-ilmu arab islam sebagai dasar

pengetahuan istidlali murnai. Yaitu nahwu, balaghoh, fiqh  dankalam. Dan ilmu-ilmu inilah yang

menjadi lokomutif bagi formulasi keilmuan naqliyah murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah.

Otoritas teks yang sangat kuat juga menjadi perioritas utama dalam mencapai pengetahuan. Salah

satu tokoh yang terkenal epistemologbayani ini adalah imam Asy-Syafi’i, ia menjadi pioneer

utama bayaniun yang menteorisasi episteme bayani sebagaimana terformulasikan dalam

pemikiran ushul fiqihnya. Bahkan banyak kalangan terutama George A. Maqdisi menilai, Asy-

Syafi’i adalah pahlawan pertama aliran tradisionalisme bayani dan memiliki pengaruh besar di

belantika pemikiran dunia islam sejajar dengan dengan pengaruh aristoteles dalam dunia

pemikiran yunani kuno. Dengan pemikiran fundamentalnnya tentang empat perinsip dasar

pengetahuan islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. As-syafi’I juga merumuskan

kerangka pikir yang menjadi basis  penting epistemologi bayani Sekurang-kurang terdapat dua

aspek pokok yeng terkandung dlam pemikirannya, yaitu aspek hukum (legal) dan aspek teologi.21

2. Epistemology ‘Irfani

Salah satu determinan historis budaya dan tradisi pemikiran arab islam adalah warisan

klasik. Dalam konteks keilmuan, produk determinan historis ini bisa dikenal denagn ‘ulumu al-

awa’il (warisan keilmuan generasi terdahulu). Begitu banyak sumber-sumber warisan klasik yang

telah memebri kontribusi besar pemekaran budaya dan tradisi pemikiran arab islam. Hanya saja

sumber-sumber warisan klasik yang disinyalir telah menebar benih tradisi hermes.yang

didalamnya bisa dekleompokkan menjadi tiga arus utama, yaitu (1) system

19 Mahmud Arif, Pendidikan…hal 5720 M. Abd. Al-Jabiri, Bunyat…hal 36-3721 Lihat George Maqdisi, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian West; With Special

Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990) hal 12

Page 9: FILSAFAT ILMU jad.docx

kepercayaan zoroster dan manna yang banyak dianut bangsa persi; (2)  aliran as-sabi’ah; (3)

aliran-aliran filusuf. Dari antara isu sentral yang digulirkan oleh tradisi “hermes”22 dan budaya

Persia adalah paham dualitas ekstrim antara tuhan dan materi, antara kebaikan (cahaya) dan

keburukan (kegelapan).

Paham keterkaitan antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’, begitu juga paham ‘penyucian

jiwa’ dan asal muasl jiwa dari anasir ketuhanan, paham ilmu dan agama, serta orientasi kehidupan

akhirat dengan kepekaan terhadap keindahan bumi dengan citra keindahan langit, telah membawa

perubahan mendasar terhadap struktur nalar pemikiran islam (arab-islam). Hingga kemudian

meunculkan paham gnostik (al-‘aql al-mustaqil) yang dikenal dengan konsep metode ‘irfani.23

Terma al-‘irfani dalam kata-kata bahasa arab mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifah

al-‘ilmu). Terma tersebut popular dekalangan untuk menunjukkan arti “pengetahuan termulia

yang di hujumkan kelubuk hati melalui carakhasf (penyigkapan mata batin) atau ilham. Para

penagnut nalar gnostik (metode ‘irfani) beranggapan bahwa pengetahuan yang ia miliki sebagai

bentuk ilham atau iluminasi setelah bersatu dengan daya-daya samawi yang tersembunyi. Ia

menambahkan, bahwa ada perbedaan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indra, rasio, atau

keduanya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui khu>sf. ia memandang bahwa jenis

pengetahuan yang dipeoroleh lebih tinggi dan mulia.

Aliran metode epistemologi ‘irfani dalam dunia islam umumnya merupakan kalangan

tasawuf. yang kemudian bermetamorfosis menjadi taswuf sunni dan taswuf falsafai. Tasawuf

sunni pemikirannya cendrung moderat, namun tetap berpegang teguh pada koridor syari’at dan

dominan ciri-ciri moralnya. Sedangkan tasawuf falsafi, konsep dan praktek sufistiknya banyak

dipengaruhi oleh aliran mistik-filosofis.Dan acapkali menyimpang dari tuntunan syari’at.

3. Epistemologi burhani

Secara historis, menurut Mahmud Arif, Masuknya pemikiran logika dan filsafat

Aristotelian ke dalam budaya dan tradisi pemikiran islam dinilai berlangsung lebih belakangan

bersamaan dengan periode kodifikasi (tadwin). Konon, dibalik gerakan tadwin terselubung

maksud dari khalifah Al-Makmun (813-835 M.) untuk mengembangkan wacana baru yang bisa

meng-counter ekspansi pengaruh gerakan-gerakan intelektual-politis yang dianggap akan

menagncam kelangsungan kekuasaanya.24

Strategi politik Al-Makmun dalam mengatasi memanasnya hubungan antara

‘abbasiyyun dan ‘alawiyun ini telah pada glorifikasi pemikiran Aristotelian,  yakni penegakan

nalar universal (al-‘aql al-kauni), yang nayata-nayata bersebrangan dengan nalar gnostik yang

22 Konon, istilah hermes dalam mitologi yunani adalah nama dewa yang menjadi perantara antara sang maha dewa (tuhan) dengan manusia.  Perantara adantara dunia dunia ‘langit’ dengan ‘bumi’. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic (Jakarta, Paramadinan, 1996) hal 125-126

23 Lihat Muhammad arif, Pendidikan…5624 Mahmud Arif, Pendidikan…hal 65

Page 10: FILSAFAT ILMU jad.docx

banyak didukung oleh kalangan ‘alawiyun (khususnya sy’ah isma’iliyah). Hal ini merampabah

pada pergeseran format rasionalisasi keagamaan, Politik dan budaya, yang secara khusus ilmu

pengetahuan.

Secara bahasa, al-burha>ni mempunyai arti argumen yang tegas dan jelas. Kemudian jika

diperluas, burha>ni merupakan terminologi yang diapakai dalam sebuah metode ilmu

pengetahuan untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu

proposisi melalui cara deduksi. kemudian ciri umum dari metode ini yaitu memadukan antara

persefektif pemikiran dengan persefektif realitas tertentu. Secara geneologis berhubungan erat

dengan tradisi pemikiran Aristotelian.

Sstem epistimologi burha>ni bertumpu sepenuhya pada seperangkat kemampuan

intelektual manusia, baik berupa indra, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya

memperoleh pengetahuan tentang semesta. Secara solidasi, sistemik dan postulatif. Disamping itu,

terdapat tiga perinsip penting yang melandasi konstruksi epistimologiburha>ni, yaitu (1)

rasionalisme (al-aqliniyah), (2) kausalitas (as-sababiyah),  dan (3) esensialisme (al-

mahiyah).25Yang dikembangkan lewat penggunaan metode utama yaitu, deduksi dan

induksi.sedangkan pengetahuan adakalanya diperoleh melalui indra dan juga adakalanya melalui

rasio.

Epistemologi burhani dikenal oleh orang islam melalu penerjemahan filsaftnya aristoteles

yang dikenal dengan metode demonstratif. Dalam penuturan aristoteles, Yang dimaksud dengan

metode demostratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila yang apabila seseorang

memiliknya maka ia akan memiliki pengetahuan. Menurutnya silogisme merupakan seperangkat

metode berpikir yang dengannya seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru dari

pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari berbagai premis), terlepas pengetahuan

itu benar atau salah dan sesuan dengan relitas atau tidak.

Metode dasar yang diambil dalam metode ini adalah silogisme, yakni mengambil

kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, dengan

sebutan middle term (al-hadd al-ausath). Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila

premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pda kebenaran yang telah teruji  atau

disebut kebenaran utama (primary truth), Karena apabila premis-premis benar maka akan

menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam sejarahnya aliran episteme ini telah melahirakan

beberapa nama besar filusuf muslim, seprti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-

lain.

C.     Aktualisasi Filsafat Menuju Peradaban Keilmuan; Tinjawan Terhadap pengembangan

ilmu-ilmu keislaman dan Lembaga Pendidikan Islam.

25 Lihat, M. Athif Al-Iraqi, An-Naz’ah Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t) hal 62-63

Page 11: FILSAFAT ILMU jad.docx

Pendidikanislampada hakikatnya dalam teori dan peraktek selalu mengalami

perkembanagn, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki sumber dasar

dan rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar (akal), melinkan juga wahyu. Kombinasi nalar

dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dengan tunutunan

firman Allah Swt. Terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas

pendidikan islam yang tdiak dimilki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya

mengandalkan kekuatan akal dan budaya manusia.

Harusnya dengan keterjalinan antara dua sumber akal dan wahyu tersebut dapat

mengahsilkan konsep pemikiran islam yang sembpurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui

upaya penggabungan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang berjalan dimasa lalu dengan

kebanyakan karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses

hingga kini. Hanya saja, teori-teori pendidikn mereka seakan tenggelam karena masuknya trema-

terma baru yang muncul belakangan ini, terutama yang berasal dari refrensi barat.Sehingga

memunculkan kesan deolah-olah yang memunculkan teori pendidikan pertama kali adalah

seluruhnya orang barat.

Pada saat yang sama, pemikiran pendidikan islam klasik masih dipahami dalam kontek

klasik (back to basic), tidak ada proses aktualisasi kekinian, maka tidak berlibahan, jika dikatakan

bahwa sampai saat ini tradisi ilmiah dan hazanah intelektul umat islam masih mengalami

kemunduran dan terbelakang, bila dibandigkan kondisi keemasan islam dimasa lalu.

Kondisi tersebut membuka problem sekaligus tantangan bagi pendidikan islam kedepan,

agar dilakukan rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi pendidikan yang relevan dengan

kebutuhan saat ini. Bila tidak dilakukan, maka hazanah intelketual islam dibidang pendidikan

akan semakin ketinggalan zaman dan menjadai setagnan.

Tafsir QS al-Dzariyat (51) sering digunakan untuk menunjukkan bahwa tujuan umum

pendidikan islam adalah untuk membentuk manusia yang beribadah, karena “Aku (Tuhan) tidak

menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-ku”. 26 Sepatutnya ayat

tentang ibadah ini dipahami secara konfrehensip, tidak dipersempit maknanya. Lazimnya ibadah

dimaknai sebagai pemenuhan proses penghambaan atau pengabdian seorang mahluk kepada sang

Halik melalui berbagai macam ritual yang umunya menjadi ajaran islam. Pendidikan juga

merupakan proses yang seharusnya tidak dipisahkan dari kategori ibadah. Karena bagaimanapun

juga tanpa pendidikan, seorang tidak akan mampu mencapai ibadah yang hakiki.

1. Problem Epistemologi

Persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan islam telah berjalan cukup lama. Terutama

sekali, semenjak madrash Nizhamiyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan

26 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan…..hal 862

Page 12: FILSAFAT ILMU jad.docx

logika dan filsafat. Mengakibatkan terjadinya pengesampingan ‘ulumual-diniyah dengan ulumual-

aqliyah. Terlebih lagi menuntut ilmu agama itu adalah fardhu ‘ain sedangkan menuntut ilmu-imu

non-agama merupakan fardhu kifayah.Hal ini menimbulkan suatu keyakinan, bahwa mempelajari

agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari imu-ilmu non-agama.

Akibat pola pikir pendidikan yang dekotomis ini, berimplikasi pada sebuah disharmoni relasi

antara ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan

amal, antara dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan dimensi ketuhanan (teosentres)

dengan  kemanusiaan (antroposentris).

Selain itu, persolan yang membudaya dan sulit dihilangkan dalam tradisis keilmuan

pendidikan islam saat ini adalah pola pikir yang menjadi tendensi normatif dan deduktif.

terlihat ketika praktek pendidikan islam yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar

(teaching, ta’lim) dari pada sistem mendidik (education, tarbiyah, dan ta’dib). Kedua sitem

mtersebut jelas-jelas perbedaannya sangat besar. Aktifitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan

peranan guru yang amat besar, sedangkan mendidik tidak harus berpatokan pada tersebut.

Bergesernya praktek pendidikan menjadi identik dengan mengajar ini jugamenimbulakan

penekanan yang tidak seimbang pada aspek pengetahuan. Seakan proses pembelajaran hanya

memperioritaskan pada kemampuan kognitf saja ktimbang kemampuan psikomotorik dan

afektifnya. Peserta didik menirima pengetahuan hanya berdasar pada sistem transfer of knowledge

(penyampaian pengetahuan) dari orang yang dipandang lebih tahu (guru). Sementara  dimensi

sikap dan (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kurang diperhatikan.27 Inilah yang kemudian

pendidikan islam saat ini berjalan monoton. Sehingga asumsi yang dicapai, lulus sekolah dapat

mendapatkan ijazah dan menerima nilai yang baik.

2. Relefansi burhanidalam membangun paradigma keilmuan; implementasi pada sistem

pendidikan pola integrasi-interkoneksi

Pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan keyakinan akan eksistensi pengembangan

sifat-sifat hakiki kemanusiaan yang sarat dengan nuansa moral. Peranan pendidikan sebagai

sarana pengembangan kemanusiaan kea arah lebih baik, selalu terakumulasi kedalam tujuan yang

di inginkan.baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, Sesuai dengan kebutuhan

seseorang atau sekelompok orang yang terlibat didalamnya. Dapat dikatakan, bahwa perubahan ka

arah lebih baik itu merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri. 28 Sehingga jika tanpa ada

perubahan, menurut tujuan-tujuan pendidikan yang telah di tetapkan, sama artinya tidak ada

proses kependidikan.

27 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989) Hal 10428 Lihat, Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca

Sarjana, 2007) hal 4

Page 13: FILSAFAT ILMU jad.docx

Dalam konteks pendidikan islam, penciptaan manusia ka arah perubahan yang lebih baik

juga menjadi tujuannya. Upaya sadar yang dilakukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia

utuh (humanis) adalah tugas utama pendidikan islam. Pendidkan islam sangat menekankan

dimensi moral yang selalu merujuk pada ajaran agama. Jika suatu saat, terjadi transformasi sosial

akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka disitu peranan pendidikan islam menjadi

sangat kuat. sebab, tugas utama pendidikan islam dalam meng-rekontruksi sosial, menjadi

tanggung jawab utama yang harus dipenuhi.

Tetapi, Seharusnya Pendidikan islam saat ini tidak hanya bergerak dalam tataran dimensi

sosial menyangkut moral saja, namun perlu juga berorientasi pada arah pengembangan teknologi

dan ilmu pengetahuan secara umum. Agar mampu berinteraksi dengan perkembangan jaman yang

semakin maju.pilar utama yang menjadi landasan spiritual umat islam, selalu menjadi sepirit agar

pendidikan islam saat ini dapat bersaing dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan

(secience). Untuk itu, untuk membangun kembali dari keterlelapan yang panjang, pendidikan

islam perlu merekonstruksi kembali sitem dan motode yang dipakai, Seperti halnya kemajuan

islam yang pernah dirasakan di jaman dahulu.

Meminjam bahasanya Abdurrahman Assegaf, sebagai uapaya untuk mendatangkan

kembali kemajuan dan peradaban islam, maka perlu adanya internalisasi motodelogis yang

bersifat Hadhari (peradaban) terhadap keilmuan pendidikan islam. Salah satunya

metode burhani atau lebih gampangnya disebut metode demonstratif, metode ini merupakan

aktifitas kognitif yang berbentuk iferensi rasional. Yaitu penggalian ilmu pengetahuan secara

rasional, redikal serta sistematis dan konfrehensif.29 Dari beberapa metodelogi yang dikembangkan

ilmu pengethuan islam jaman klasik, metode burhani  dipandang paling akurat jika dijadikan

sebagai sistem paradigma dan metodelogi ilmiah dalam pendidikan islam saat ini. Selain metode

ini telah meimiliki sejarah panjang dimasa keemasan islam, perluanya aktualisasi

metodeburhani saat ini lebih disebabkan problematika pendidikan islam kini kian hari kian

paradoksal.

Burhani  merupakan metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji

kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan

keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Seharusnya, menurut Menurut

Amin Abdullah, adanya penegtahuan umum yang meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan

terpisah seperti biologi, fisika, sosilogi, geografi, matematika, agama dan lain

sebaginya,30 merupakan suatu bidang yang perlu diakumulasikan secara integratif dan keterkaitan.

Sehingga mampu menghasilkan suatu kesimpulan ilmiah yang bersifat burhani.

29 A. Abd. Al-jabiri, Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003) hal 24730 Amin Abdullah, Pengantar, Islamic studys; Dalam Paradigama Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta, suka

pers 2007) hal vii

Page 14: FILSAFAT ILMU jad.docx

Apa yang dikatakan aristoteles, tentang pencarian penyebab-penyebab objek yang

diselididiki juga menjadi tugas ilmu pengetahuan umumnya pendidikan islam saat ini. penyebab

tersebut terdiri empat macam yang semuanya harus disebut, yaitu Prtama, penyebab efisien

(efficient cause/fa’il), adalah faktor yang menjalankan kejadian.Kedua, peneyabab final (final

cause/ghayah), yaitu tujuan yang menjadi arah kejadian.Ketiga, penyebab material (material

cause/madah), ini menjadi bahan dar mana benda dibuat. Dan yan keempat, penyebab formal

(formal cause/surah), yaitu, merupakan bentuk yang menyusun bahan.31 Dengan kempat tersebut,

secara lengkap suatu peristiwa ilmu pengetahuan dapat dijelskan dengan hasil ilmiah.

Paradigama pendidikan saat ini menggambarkan, seolah-olah ilmu pengetahuan umun

secara tegas sudah terpisah dengan ilmu pengetahuan agama.Jika ilmu pengetahuan umum adalah

produk hasil dari ilmuan-ilmua barat, dan ilmu pengetahuan agama merupakan produk hasil ajaran

agama.Tentunya pandangan dekotomis ini sangat bertentangan dengan sejarah perjalananya ilmu

pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, untuk menyeimbangkan kembali persepsi dekotomis

antara ilmu pengetahuan agama dan umum, perlua danya integrasi-interkonektif yang

bersifat burhani. Karena, Jika semuanya sudah merujuk pada konsep pengembangan tersebut,

tentu ini menjadi dinamika baru, untuk  membangun kembali hadhari (peradaban) islam yang

sudah lama terlelep.

D.     Penutup

Hakiktanya, ilmu pengatahuan dalam islam tidak bisa dipisahkan dari filasafat. Terlepas

adanya persepsi filsafat itu yunani (hellenisme) atau islam murni. Karena kenyataanya, konsep

filsafat dalam islam sedikit ada persamaan metode dengan yunani. tetapi disisi lain, islam

memiliki konsep sendiri dimana kerangka konseptualnya sangat berbeda dengan yunanian.

Sejatinya, yang membedakan corak pengetahuan islam dengan yang lain adalah, dimensi teologis

(wahyu) yang selalu menjadi acuan dan sumber utama filsafat islam.

Meskipun filsafat islam telah diakui keberadaannnya, Namun sebagian ada pula yang

menolaknya. Penolakan ini tidak lepas dari doktrin dan pandangan yang dimiliki. Apakah segala

pengetahuan dalam islam seluruhnya harus filosofis atau tidak. Tentunya, Ini menimbulkan suatu

dinamika pandangan yang berbeda, dan berdampak pada pola sistem pengetahuan (epistem)

dalam islam itu sendiri. Pandanagn yang mengakui sistem penbgetahuan diperoleh melalui

sistematika filosofis berhujung pada adanya suatu konsep yang dinamkan burhani. Pandanagn ini

mengatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui akal dengan cara sistematis, redikal,

konfrehensif dan berpatokan pada Al-Qur’an dan hadith.

Sementara pandangan yang mengakui bahwa pengetahun bisa ditempuh dengan jalan

penyucian jiwa dan penyatuan terhadap sifat-sifat ketuahanan, sebagian besar dikumandangkan

31 K bertens, Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999) hal 473

Page 15: FILSAFAT ILMU jad.docx

oleh kelompok tasawuf yang mengakui konsep metodeogi ‘irfani. ia mengatakan bahwa

pengetahuan bisa diperoleh melalui ilham dengan cara zuhud dan menyatukan diri terhadap tuhan.

Adapun Kelompok yang mayoritas di dominasi oleh kaum tradisional, juga memiliki pandangan

berbeda dalam memperoleh pengetahuan.Ia lebih memperioritaskan teks guna menemukan sebuah

interpretasi pengetahuan. Penempatan ilmu-ilmu arab dalam membangun pengetahuan menjadi

tradisi yang kian berkembang, Sehingga memunculkan sebuah motodelogi bayani dalam

diskursus yang dikembangkan.

Beberapa konsep pengetahuan tersebut berhujung pula pada sebuah implikasi paradigma

pendidikan islam saat ini, khususnya pendidikan islam di indonesia.  utamanya

metodelogi bayani yang menjadi basis utama kaum tradisional. Terkesan normatifisme tekstual

sangat dominan, sehingga terjadinya paradoksi antara perkembangan pengetahuan pendidikan

islam dengan pengetahuan umum sangat kuat. Maka, menjadi hal penting jika dilakukan

rekonsntrukturalisasi dan rekonseptualisasi ideologi pendidikan yang lebih bersifat demonstratif

(burhani), Guna membangun kembali hazanah peradaban ilmu pengethuan islam (hadhari)

kedepan yang lebih relefan.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Pengantar, Islamic studys; Dalam Paradigma Integrasi-

Interkoneksi (Yogyakarta, Suka Pers, 2007)

AgamaR.I,,Departemen,Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta, Pentafsir al-Qur’an, 1971)

Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988)

A. Maqdisi, George,Cita Humanism Islam,(Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005)

A. Maqdisi, George, The Rises Of Humanism In Classical Islam And The Christian West;

With Special Reference To Scholastism, (Edinburgh, Edinburgh University Pers, 1990)

Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta, LKIS, 2008)

Assegaf, Abd. Rahman,“Membangun Format Pendidikan Islam Di Era Globalisasi” Dalam

Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta, Al-Ruzz, 2004)

Page 16: FILSAFAT ILMU jad.docx

Asy-‘Arie (al), Musa, Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis,

Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Bertens, K.,Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)

Bugir, Haidar,Buku Saku Tasawuf, (bandung, Mizan, 2005)

C.A.,Qadir,  Philosophy and Science in the Islamic World, (London, Routledge, 1988)

Fahmy Zarkasyi, Hamid, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat

Islam”,Jurnal(Jakarta, ISLAMIA, 2005)

Hanafi, Ahmad,Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996)

Hidayat, Komaruddin,Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutic(Jakarta,

Paramadinan, 1996)

Iraqi (Al), M. Athif,An-Naz’ah Al-‘Aqliyah Fi Falsafat Ibn Rusyd, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, t.t)

Jabiri (Al), M. Abd., Formasi Nalar Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003)

Jabiri (Al), M. Abd.,Bunyat Al-Aql Al-Arabi, (Bairut: Al Markaz Ats-Thaqafi Al-‘Arabi,

1993)

Jabiri (Al), A. Abd.,Tragedy Intelektual, terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief,

2003)

Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekan Baru, Penerbit UIN Pasca

Sarjana, 2007

Mundiri, Logika, (Jakarta, Rajawali Pers, 2001)

Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Islamic Text Society, 1987)

Nasution, Hasyimsyah,Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001)

Nyubi, Nazih,Political Islam; Religion And Politics In The Arab Word, (London,

Reutledge,1991)

Nor Wan Daud, Wan Mohd, The Konsep Of Knowledge In Islam, (London, Mansel, 1989)

Suyuti (Asy), Jalaludin,Jaami’u Ashogir (t.k., t.p. t.t.)

Syaifuddin Anshari, Endang,Ilmu Filsafat Dan Agma, (Surabaya, Bina Ilmu, t.t)

Walbridge, Jhon,Mistisme Filsafat Islam, Keraifan Iluminatif Quthb Al-Din Al-Syirazi,

(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008)

Widodo, Kamus Ilmiah Popular (Yogyakrta, Absolut, 2002

Zaprulkhan, Epistemology Burhani Dalam Pemikiran Para Filosof Muslim, Jurnal,Arah Baru

Study Islam (Yogyakarta, Aruzz Media Group, 2008)