Filsafat Ilmu

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filososf muslim, seperti: Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusydi, Al-Ghazali dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena mereka benih-benih filsafat islam dikembangkan. Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap islam dan filsafat dunia timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah Al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pemikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, Hasil karya, fase pencarian ilmu, epistemologi ilmu, hierarki ilmu, serta ilmu laduni menurut Al-Ghazali. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali? 2. Bagaimanakah Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali? 3. Bagaimanakah Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali?

description

filsafat ilmu

Transcript of Filsafat Ilmu

Page 1: Filsafat Ilmu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh

yang disebut sebagai filososf muslim, seperti: Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu

Rusydi, Al-Ghazali dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa

dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi

juga karena mereka benih-benih filsafat islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-

Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap islam

dan filsafat dunia timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang

mendapat julukan Hujjah Al-Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan

banyak, mulai dari pemikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan

filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan

biografi, Hasil karya, fase pencarian ilmu, epistemologi ilmu, hierarki ilmu, serta ilmu

laduni menurut Al-Ghazali.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali?

2. Bagaimanakah Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali?

3. Bagaimanakah Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali?

4. Bagaimanakah Hierarki Ilmu Menurut Al-Ghazali?

5. Bagaimanakah Ilmu Laduni Menurut Al-Ghazali?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk Mengetahui Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali

2. Untuk Mengetahui Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali

3. Untuk Mengetahui Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali

4. Untuk Mengetahui Hierarki Ilmu Menurut Al-Ghazali

5. Untuk Mengetahui Ilmu Laduni Menurut Al-Ghazali

Page 2: Filsafat Ilmu

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Intelektual

Namanya sangat masyhur di Indonesia sebagai salah satu ulama klasik yang

dirujuk oleh para ulama di Indonesia, ahlus sunnah wa al-jama’ah. Muhammad bin

Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Abu Hamid Al-Ghazali dilahirkan pada

pertengahan abad kelima Hijriyah, tepatnya 450 H, di Thus, sebuah kota di Khurasan,

berada di sebelah tenggara Iran (De Boer, t.t.: 155).

Sebagian peneliti menisbatkan dari nama Al-Ghazali pada Gazalah. Ghazalah

adalah tempat kelahirannya. Namun ada juga yang menisbatkan pada kata Al-Gazzali

(perajut, penenun, pemintal) karena ayahnya berprofesi sebagai pemintal (tukang

samak kulit). Dibalik pekerjaannya sebagai pemintal, ayah Al-Ghazali sering

menghadiri majlis ulama dan dia selalu berdo’a agar dikaruniai anak yang menjadi

ahli fiqih dan ahli menasehati.

Di madrasah Nidzhamiyah di Naisabur, Al-Ghazali belajar dalam asuhan Al-

Juwaini sampai menguasai Ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, Fiqih, Filsafat, Tasawuf, dan

Retorika perdebatan. Hingga Al-Juwaini tutup usia pada tahun 478 H/1086 M. Pasca

meninggalnya Imam Haramain, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad, tempat

berkusanya perdana menteri Nizham Al-Muluk dikarenakan kota itu tempat

diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antar ulama terkenal. Dalam berbagai

perdebatan, Al-Ghazali yang mengalahkan para ulama ternama, sehingga mereka pun

tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali (Massimo Campanini dalam

Nasr dan Leaman (ed), 2003: 321).

Sejak saat itu nama Al-Ghazali terkenal di kawasan kerajaan Saljuk. Prestasi

tersebut menyebabkan ia dipilih oleh Nizam Al-Muluk untuk menjadi Guru Besar di

Madrasah Nizhamiyah pada tahun 483 H/1090 M. Meskipun ia baru berusia 30 tahun,

ia aktif mengadakan perdebatan terhadap golongan-golongan yang berkembang pada

waktu itu. Namun seiring dengan perjalanan Al-Ghazali yang prestisius tersebut, ia

mengalami suatu keadaan keraguan yang mendebat keilmuannya sendiri, dalam

pencarian kebenaran yang hakiki (Muhtar Solihin, 2001: 21).

Page 3: Filsafat Ilmu

3

Oleh karena itulah ia melepaskan jabatannya dan meninggalkan kota Baghdad

menuju Syiria, Palestina, lalu ke Makkah untuk mencari hakikat kebenaran. Setelah

mencapai hakikat kebenaran dalam akhir hidupnya, tidak lama kemudian Al- Ghazali

meninggal dunia di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan

banyak karya tulis. Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300

buah. Karena ia menulis dari usia 25 tahun, sewaktu di Nasyabur. Waktu yang ia

pergunakan untuk mengarang selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap

tahunnya Al-Ghazali menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan

kecil, yang meliputi beberapa kalangan ilmu, antara lain: Filsafat dan Ilmu Kalam,

Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Tasawuf, dan Akhlaq (Muhtar Solihin, 2001: 23).

B. Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali

1. Fase Keraguan (skeptis)

Pada fase ini Al-Ghazali terdorong untuk mengetahui kebenaran yang hakiki

demi mencari solusi terhadap permasalahan yang ada pada saat itu, ia lebih

bersifat fundamental dalam mengkaji tentang keberadaan ilmu. Ia meragukan

berbagai argumentasi kelompok-kelompok yang pada saat itu saling

berseberangan pendapat, sehingga terjadinya sesat menyesatkan. Keraguan ini

muncul atas pertanyaan Al-Ghazali “mana di antara semua kelompok ini

yangpaling benar?” (Al-Ghazali, 2003: xxxii).

2. Fase Validitas Ilmu

Al-Ghazali menginvestigasi perangkat pengetahuan yaitu indra dan akal,

namun keduanya masih mempunyai kelemahan dalam pencarian kebenaran yang

hakiki. Lalu ia mendalami Ilmu Kalam, setelah mendalaminya ia melihat bahwa

ilmu kalam bertujuan hanya merumuskan tanggapan atas lawan-lawan polemiknya

dan melecehkan mereka dengan menggunakan postulat-postulat mereka sendiri,

maka sangat jauh dalam mencari kebenaran hakiki. Ketika impiannya dalam ilmu

kalam tidak terpenuhi, ia mencoba mencari pada Ilmu Filsafat. Namun dalam

mengkaji Ilmu Metafisika, Al=Ghazali menolak para filosof dengan alasan bahwa

ilmu metafisika tidak dapat dicapai dengan akal belaka (Al-Ghazali, 2003:

xxxviii), sehingga ia membuat buku catatan tentang kerancuan para filosof yaitu

Tahafut al-Falasifah, yang mengkritik tentang metafisika.

Page 4: Filsafat Ilmu

4

Kemudian Al-Ghazali mencoba mencari kebenaran di kalangan Bathiniyah,

dengan mula-mula mempelajari segala aspek ajarannya. Menurut Al-Ghazali

golongan ini menolak kredibilitas akal dalam masalah agama, karena adanya

pertentangan-pertentangan pendapat yang dihasilkannya, dan mereka hanya

berpegang kepada ajaran dari Imam Ma’sum (terbebas dari kesalahan), yang

menerima ajarannya langsung dari Tuhan melalui Nabi Muhammad. Al-Ghazali

mencari keberadaan Imam Ma’sum untuk bisa memperoleh ajarannya, dan

akhirnya ia berkesimpulan bahwa kaum Bathiniyah dalam keadaan tertipu (Al-

Ghazali, 2003: xii).

Metode mereka tidak bisa mengantarkan kepada sesuatu pengetahuan yang

meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu, karena itu metode ini pun

ditinggalkan. Selanjutnya Al-Ghazali mempelajari Tasawuf, di sini ia tidak

mempelajari ajaran teoritis belaka, tetapi juga dalam praktik atau pengalaman

nyata. Sehingga ia mengalami masalah dilematis, yang harus memilih satu dari

dua kemungkinan: pertama, mengamalkan Tasawuf dengan konsekuensi

meninggalkan kemewahan, atau kedua, mempertahankan kedudukan dan

fasilitasnya dengan konsekuensi tidak memasuki pengalaman Tasawuf, sedangkan

Tasawuf itu sendiri ia yakini adalah jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki

(Al-Ghazali, 2003: xii). Ia kemudian memilih untuk mengamalkan Tasawuf dan

meninggalkan jabatannya.

3. Fase Evolusi Intelektual

Dalam fase ini, Al-Ghazali yang telah dilanda keraguan dan kesakitan

intelektual selama dua bulan, ia mendapatkan sesuatu yang ia cari selama ini,

yakni kebenaran hakiki melalui metode Tasawuf (Muhtar Solihin, 2001: 31).

Al-Ghazali telah sampai pada kondisi atau maqom ma’rifat dimana cahaya

Allah memancar pada sanubari, dan cahaya itulah kunci pengetahuan yang hakiki.

Cahaya itu yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai Ilmu Laduni. Sehingga kondisi

ini melatarbelakangi segi keilmuan Al-Ghaali dalam menuliskan karya-karyanya.

Setelah mengalami kondisi itu, ia lebih mengedepankan unsur spiritualitas,

dibandingkan dengan unsur teologis dan filosofis.

Page 5: Filsafat Ilmu

5

C. Epistemlogi Ilmu Menurut Al-Ghazali

Mempelajari pemikiran epistemologi Al-Ghazali memang agak unik, dalam

arti ` mempelajari corak berpikir beliau yang sebenarnya. Di satu sisi, ia

menyangsikan indra, di sisi lain ia meragukan akal. Dari sini jelas bahwa Al-Ghazali

tidak mengakui kebenaran Ilmu Indrawi begitupun kepada akal, dengan keinginan

mendapatkan kebenaran yang hakiki. Upaya penggalian ilmu itu, sesungguhnya

merupakan kerja epistemologis Al-ghazali. Namun persoalannya sekarang ialah

bagaimana epistemologi ilmu menurut Al-Ghazali? Dalam persoalan ini penulis akan

mengetengahkan tiga orientasi epistemologi ilmu menurur Al-Ghazali, sebagaimana

yang diklasifikasikan dalam buku Epistemologi Ilmu dalam sudut pandang Al-

Ghazali oleh Muhtar Solihin yang berkisar pada hakikat dan keutamaan ilmu, metode

penggalian ilmu, dan klasifikasi ilmu.

1. Hakikat Dan Keutamaan Ilmu

Dalam kitab Risalah Al-Laduniyah, Al-Ghazali memandang ilmu sebagai

gambaran jiwa yang berpikir penuh ketenangan dan selalu berpikir tentang hakikat

segala sesuatu. Gambaran ilmu ini terpisah dari materi berdasarkan substansi,

metode ukuran, dan esensiya. Seseorang yang berilmu adalah orang yang

mengetahui memahami, dan menganalisis berbagai faktor objektif. Adapun objek

ilmu atau pengetahuan adalah esensi sesuatu yang pengetahuannya tergambar

dalam jiwa. Keagungan ilmu itu menurut kadar keagungan objeknya, dan

tingkatan orang berilmu ialah menurut tingkatan ilmu yang dimilikinya.

Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menjelaskan bahwa objek ilmu yang paling

tinggi dan paling mulia adalah Allah, Pencipta, Al-Haqq, yang Maha Tunggal.

Ilmu seperti ini masuk dalam kategori ilmu Tauhid yang wajib dimiliki oleh

seluruh orang yang berakal. Ilmu Tauhid ini tidak menafikan ilmu-ilmu lainnya,.

Bahkan Al-Ghazali berpegang bahwa dari ilmu tauhid ini lahir ilmu-ilmu lainnya

(Muhtar Solihin, 2001: 35).

Oleh karena itu, ilmu Tauhid menjad titik tekan awal ilmu kemudian meliputi

seluruh disiplin pengetahuan. Maka terjadilah keterkaitan antara ilmu Tauhid

dengan ilmu yang lain, dilihat dari fungsinya dan hakikatnya sebagai penyandaran

tentang diri, manusia, alam, dan lainnya dalam koridor pengenalan dan

penghambaan kepada Allah.

Page 6: Filsafat Ilmu

6

Al-Ghazali juga menjelaskan seluruh ilmu pada dasarnya mulia, karena

menghindarkan manusia dari kebodohan. Namun status ilmu tersebut apakah akan

menjadi ilmu yang baik atau buruk, ketika dalam implementasinya (Muhtar

Solihin, 2001: 36).

Ilmu menurut Al-Ghazali ialah milik dan jiwa, ia pemberian dari Allah.

Kedatipun epistemologinya dapat diperoleh melalui rekayasa akal manusia. Oleh

karena itu, ilmu yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah untuk mengenal

Allah dan mengabdi pada-Nya. Berdasarkan hal ini, tampak bahwa kendatipun

sebagai ilmuwan yang sering menggunakan kemampuan akalnya, Al-Ghazali

tidak lepas dari koridor pengenalan kepada Allah (Muhtar Solihin, 2001: 38).

2. Metode Untuk Menghasilkan Ilmu

Al-Ghazali membagi dua sumber penggalian ilmu pengetahuan. Pertama,

sumber Insaniyah, dan kedua, sumber Rabbaniyah. Sumber Insaniyah adalah

sumber pengetahuan yang bisa diusahakan oleh manusia berdasarkan kekuatan

rekayasa akal. Sedangkan sumber Rabbaniyah tidak dihasilkan melalui

kemampuan akal, meainkan harus dengan informasi Allah, baik informasi

langsung melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia, maupun petunjuk

yang datang lewat wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya (Massimo

Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 325).

Pada sumber Rabbaniyah itu Al-Ghazali membagi perolehan ilmu menjadi dua

jalan, yakni dengan jalan wahyu, dan dengan melalui ilham. Ilmu yang diperoleh

lewat wahyu datang tanpa melalui proses belajar dan berpikir. Ia hanya diturunkan

kepada para Nabi, karena mereka memiliki akal Kulli (akal universal). Oleh

karena itu, ilmu yang diperoleh lewat wahyu ini disebut ilmu Nabawi, yakni ilmu

yang berkisar rahasia ibadah maupun larangan Allah, tentang hari akhir, surga,

neraka, serta termasuk juga masalah mengetahui Tuhan (metafisika), yang

menurut Al-Ghazali tidak bisa dicapai dengan akal, tetapi dengan wahyu Al-

Qur’an. Begitu pula tentang syariat agama, menurutnya manusia tidak mengetahui

rahasia yang terkandung dalam setiap pertanyaan ajaran agama itu (Massimo

Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 326).

Sedangkan ilmu yang datang melalui ilham yang masuk kedalam hati disebut

“Ilmu Ladunni”. Dalam Risalah Al-Ladunniyyah-nya, Al-Ghazali mengartikan

ilmu laduni adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia hati “tanpa

Page 7: Filsafat Ilmu

7

perantara” karena ia datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia (Muhtar

Solihin, 2001: 39).

Dengan kata lain, ilmu laduni merupakan ilmu yang didatangkan dari Tuhan

secara langsung tanpa sebab, yang membuat hati terbuka dalam memahami atau

mengetahui sesuatu tanpa perantara atau tanpa sebab. Selanjutnya, dari kedua

sumber perolehan ilmu pengetahuan itu (wahyu dan ilham), Al-Ghazali

memasukkan jalan Ta’allum dan Tafakkur sebagai metode untuk memperoleh

ilmu.

Persoalan ini menjadi terkait dengan uraian Al-Ghazali tentang ilmu Insani

yang menurutnya diperoleh melalui Ta’allum dan Tafakkur. Tafakkur berbeda

dengan Ta’allum. Kalau Tafakkur adalah proses berpikir secara bathini dengan

melalui nafs kulli (jiwa universal) yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu

universal yang bersifat metafisik, sedangkan Ta’allum adalah proses berpikir

secara zhahiri dengan menggunakan akal yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu

secara juz’i yang material (Muntar Solihin, 2001: 40).

Aktivitas Tafakkur pada ilmu insani itu, pada akhirnya menyentuh juga

kawasan ilmu-ilmu yang metafisik, karena dalam bertafakkur melibatkan aktivitas

jiwa manusia, terutama ketika sedang menganalisis dan memersepsi segala

sesuatu di balik alam yang real (fenomena). Sudah tentu bertafakkur seperti ini

akan menyentuh kawasan metafisik di balik apa yang dipikirkannya.

3. Alat Untuk Menghasilkan Ilmu

Ilmu yang dimiliki manusia diperoleh dengan menggunakan beberapa alat

yang dimiliki manusia. Alat-alat disini berfungsi sebagai media yang diberikan

oleh Allah, baik secara fisik maupun psikis sebagai tempat berprosesnya ilmu.

Alat-alat yang dimaksud adalah indra, akal dan hati.

a. Indra

Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan panca indra, yaitu

mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Ilmu yang diperoleh manusia melalui

indra disebut ilmu indrawi. Ilmu ini dihasilkan dengan cara persentuhan indra-

indra manusia dengan rangsangan yang datang dari luar, lingkungan (Danusiri,

1996: 43). Secara sederhana dari persentuhan (pengindraan) inilah kemudian

dihasilkan ilmu.

Page 8: Filsafat Ilmu

8

Pengindraan adalah proses refleksi (pemantulan) objek-objek luar yang

khusus ditangkap oleh indra tertentu.tiap-tiap indra mempunyai fungsi

masing-masing, umpamanya mata berfungsi untuk melihat, telinga untuk

mendengar, dan sebagainya. Ilmu yang diperoleh melalui indra mengalami

proses, antara lain: pertama, dengan sentuhan (refleksi) yaitu menerima

rangsangan dari luar; kedua, pencerapan yaitu pemantulan objek yang kita

terima secara menyeluruh setelah mengalami pengolahan; ketiga,

penggabungan unsur-unsur (sintesis) pengindraan; keempat, objek dan gejala

dunia luar dipantulkan secara khusus. Tingkat ini telah sampai pada tingkat

abstraksi (Muhtar Solihin, 2001: 41).

Al-Ghazali memasukkan metode indrawi sebagai cara yang dilakukan

manusia untuk memperoleh ilmu. Al-Ghazali melihat bahwa metode indrawi

ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang didapatkannya

pun bersifat sederhana, sebagaimana tampak secara lahiriah. Dari persoalan

kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa

ilmu yang diperoleh secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu

daya.

Kemudian dalam Misykatul Al-Anwar, Al-Ghazali melihat bahwa

indra penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Begitu juga dalam

Al-Munqidz Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra

memperdayakan kita. Atas dasar inilah Al-Ghazali menyimpulkan bahwa

semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan

keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan yang riil (Al-Ghazali, 1986:

20).

Dari penjelasan di atas, Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat

diperoleh melalui indra, tetapi bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini

masih bersifat sederhana, penuh keraguan, dan bisa saja menipu. Misalnya

ketika mata kita melihat bulan yang kecil, apakah bulan itu memang benar-

benar kecil? Tentu saja tidak. Lalu ketika melihat bintang yang berkedip di

malam hari, apakah benar bintang-bintang itu berkedip. Itu juga tidak

demikian. Juga ketika kita memasukkan tongkat yang lurus ke dalam air,

tongkat itu terlihat bengkok. Ini yang dimaksud bahwa pengetahuan indrawi

penuh dengan keraguan. Tetapi ada sebagian kaum yang menyatakan bahwa

Page 9: Filsafat Ilmu

9

pengetahuan yang melalui proses indra adalah ilmu pasti. Mereka disebut

dengan kaum empiris.

b. Akal

Akal, menurut Al-Ghazali diciptakan Allah dalam keadaan sempurna

dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat

akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia, sekalipun fisiknya lebih

kuat daripada manusia (Muhtar Solihin, 2001: 43).

Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memperjelas tentang akal.

Pertama, akal ialah suatu kemampuan berpikir yang membedakan manusia

dari binatang. Kedua, akal adalah ilmu atau ilmu tentang kemustahilan sesuatu

yang mustahil, kemungkinan sesuatu yang mungkin, dan kemestian sesuatu

yang mesti. Ini disebut Hawiyat ‘Aqliyat. Ketiga, akal adalah ilmu yang

diusahakan (ilmu al-muktasab) yang dicapai dari pengalaman yang dinamis.

Keempat, akal adalah segala ilmu yang mendorong manusia untuk mencapai

kenikmatan praktis.

Dalam kitab Ma’arij Al-Quds nya, Al-Ghazali melihat akal sebagai

jiwa rasional, yang memiliki dua daya: daya Al-Amilat (praktis) dan daya Al-

Alimat (teoritis). Akal teoritis dan akal praktis bukanlah dua daya yang betul-

betul terpisah, melainkan dua sisi dari akal yang sama. Sisi yang menghadap

ke bawah (badan) adalah akal praktis, dan sisi yang menghadap ke atas (akal

aktif) adalah akal teoritis.

Akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya uang

bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang

abstrak dan universal. Dari sudut ini, akal teoritis mempunyai empat tingkatan

kemampuan (Muhtar Solihin, 2001: 44), yaitu:

Akal Materi (Potensi) merupakan potensi belaka, yaitu kesanggupan

untuk menangkap arti-arti murni yang tidak pernah berada dalam

materi atau belum keluar.

Akal Habitul Intellect (Proses Abstraksi) yaitu kesanggupan untuk

berpikir abstrak, secara murni mulai kelihatan sehingga dapat

menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, keseluruhan lebih

besar daripada sebagian.

Page 10: Filsafat Ilmu

10

Akal Aktual (Akal Aktif) yaitu akal yang lebih mudah dan lebih

banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal

ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan

setiap kali dikehendaki.

Akal Perolehan (Aktualisasi Ilmu) yaitu akal yang didalamnya terdapat

arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.

(Muhtar Solihin, 2001: 45).

Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada

dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memperoleh dan

mengembangkan ilmu. Akal adalah alat berpikir untuk menghasilkan ilmu.

Namun terlalu bergantung pada akal juga tidak akan menghasilkan ilmu secara

utuh , karena akal juga mempunyai kekurangannya ketika dikaitkan dengan

masalah metafisika dan hal-hal yang tidak terbatas. Namun ada kaum yang

menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu didasarkan pada akal semata. Kaum

ini bernama Rasionalis.

c. Hati

Terminologi Qalb (Hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh

Al-Ghazali. Qalb itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali mempunyai

kedudukan penting dalam pembahasan epistemologi, yang sama pentingnya

dengan fungsi qalb sebagai esensi manusia. Menurut Al-Ghazali, qalb di

samping sebagai penunjukan esensi manusia, juga sebagai salah satu alat

dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu (Muhtar Solihin,

2001: 46).

Ilmu yang diperoleh dengan alat qalb lebih mendekati tentang hakikat-

hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan

jalan ilham digantikan oleh intuisi, yang pada buku-buku filsafat diperoleh

dengan Aql Al-Mustafad (Yasir Nasution, 1987: 84).

Adz-Dawq mengandung unsur rasa. Hal ini tergambar dari contoh

yang diajukan Al-Ghazali ketika menjelaskan perbedaan Adz-Dzauq dengan

akal. Ia mengatakan, “perhatikanlah rasa sya’ir (adz-dzauqasy-syi’r), betapa

orang-orang tertentu merasakan, sementara yang lain tidak”.

Tampaknya Adz-Dzawq adalah daya tangkap yang sekaligus

merasakan kehadiran yang ditangkap. Inilah yang dimaksud dengan intuisi

Page 11: Filsafat Ilmu

11

dalam tulisan ini. Al-Ghazali berpendapat bahwa setelah mampu menangkap

ilmu aksiomatis, jiwa manusia mempunyai dua cara memperoleh ilmu, yaitu

dengan cara berpikir yangdisebutnya dengan Al-Qiyas, dan dengan cara

merasakannya yang disebutnya dengan Al-Wijdan. Cara yang pertama

menggunakan al-mutkhayyilat yang bertempat di otak, sedangkan yang kedua

menggunakan daya pendorong (al-iradah) yang berpusat di jantung. Otak

berhubungan denggan akal, dan hati (qalb) berhubungan dengan Adz-Dzawq.

Keraguan Al-Ghazali terhadap dua pengetahuan sebelumnya terjawab

sudah, ketika ia temukan pengetahuan lewat nur dari Tuhan, membuatnya

yakin bahwa dengan hati (qalb) yang dirasakan dengan Dzawq lah ilmu yang

betul-betul diyakini itu dapat diperoleh. Pengalaman inilah yang menyebabkan

Al-Ghazali menempatkan hati di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan

argumentasi dan abstraksi, sedangkan hati menerima ilmu dari Tuhan secara

langsung tanpa adanya korespondensi.

D. Hierarki Ilmu

Selanjutnya, Al-Ghazali juga menjelaskan hierarki atau klasifiasi ilmu, yang

menurutnya dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu: Ilmu Syar’i (Ilmu

Religius), dan Ilmu ‘Aqli (Ilmu Intelektual). Menurut Al-Ghazali, validitas ilmu syar’i

tidak diragukan lagi ketimbang ilmu yang diperoleh dengan rekayasa akal.

Persoalan klasifikasi (hierarki) ilmu menjadi sangat signifikan untuk melihat

keutuhan dan kesinambungan pemikiran epistemologinya. Dari analisis Risalah Al-

Ladunniyah ditambah dengan kitab-kitab lain, ditemukan empat basis klasifikasi:

1. Klasifikasi Ilmu Syari’ah (agama) dan ‘Aqliyah (akal, intelektual)

2. Fardhu ‘Ain, dan Fardhu Kifayah

3. Ilmu Teoritis, dan Praktis

4. Ilmu yang dihadirkan (hudhuri)dan ilmu yang diusahakan (hushuli)

Uraian klasifikasi hudhuri hushuli menjadi sangat penting karena basis ini

didasarkan perbedaan mendasar dalam cara mengetahui. Ilmu hudhuri (ilmu laduni)

bersifat kasyf, supra-rasional, intutif dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushuli

bersifat tidak langsung, logis, dan diskursif. Ilmu hudhuri lebih unggul daripada

hushuli, dan terbebas dari kesalahan (Muhtar Solihin, 2001: 51).

Page 12: Filsafat Ilmu

12

Analisis persoalan ini menggambarkan bahwa Risalah Al-Ladunniyyah

merupakan kitab tentang konsepsi epistemologi Al-Ghazali yang menggabungkan

ilmu dalam paradigma esoteris dan eksoteris. Paradigma ini kemudian diarahkan pada

pemikiran ilmu laduni, dengan mendasarkan pada argumen dari Al-Qur’an dan Hadis.

Ini menggambarkan bahwa ilmu laduni sebagai bagian tak terpisahkan dari kajian

epistemologinya.

E. Ilmu Laduni

1. Pengertian Ilmu Laduni

Pengertian ilmu laduni menurut Al-Ghazali seperti yang diungkapkan dalam

beberapa karya besarnya Al-Ihya’ Ulumuddin dan Risalah Al-Ladunniyyah, ia

mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang datang dari Allah secara langsung ke

lubuk hati manusia tanpa sebab, dan tanpa belajar karena ia didatangkan Allah

melalui jalan kasyf dan ilham (Muhtar Solihin, 2001: 67).

Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut terkait ilmu laduni, bahwa ilmu yang

langsung turun ke dalam hati tanpa mengutak-atik dalil dan belajar serta usaha

yang sungguh-sungguh dari seorang hamba untuk memperoleh atas: pertama, ilmu

yang tidak diketahui oleh seorang hamba bagaimana dan dari mana diperolehnya;

kedua, ilmu yang diketahui seorang hamba melalui sebab, yang dari sebab itulah

ia memperoleh ilmu, yaitu menyaksikan malaikat yang menyusupkan ilmu ke

dalam hatinya. Ilmu yang pertama menurutnya dinamakan ilham dan embusan ke

dalam hati yang khusus diberikan kepada para wali dan orang yang bersih hatinya,

sedangkan ilmu yang kedua dinamakan wahyu, yang khusus diberikan kepada

Nabi (Muhtar Solihin, 2001: 68).

2. Dasar-Dasar Keberadaan Ilmu Laduni

Dalam mengeluarkan konsep ilmu laduni Al-Ghazali mendasarkan pada

argumen Naqliyah (baik Al-Qur’an maupun Hadis) dan argumen empiris dari

orang-orang tertentu. Argumen yang didasarkan pada dalil-dalil naqliyah disebut

dengan kesasian syara, dan argumen yang didasarkan pada empiris disebut

kesaksian pengalaman.

a. Kesaksian Syara

Page 13: Filsafat Ilmu

13

Dalam dalil Naqliyahnya, Al-Ghazali sebagaimana dikutip Muhtar

Sholihin (2001: 76) memberikan hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an untuk

memperkuat argumentasi tentang ilmu laduni, seperti:

Al-hasan meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah SAW

bersabda: “ilmu itu ada dua macam (ilmu dzahir dan ilmu batin), ilmu batin

letaknya di dalam hati dan itulah ilmu yang bermanfa’at”.

Dan juga Rasulullah SAW pernah bersabda:

“sesungguhnya dari kalangan umatku terdapat muhaddatsin (orang

yang diajak bicara rahasia oleh Allah) dan mu’allamin (orang yang diberi ilmu

oleh Allah) serta mutakallimin (orang-orang yang diajak bicara oleh Allah)

dan sesungguhnya Umar Bin Khattab adalah salah satu dari mereka”

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 65:

“dan kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”.

Beberapa dalil yang disebutkan adalah yang menjadi dasar argumentasi

Al-Ghazali dalam menjelaskan adanya ilmu laduni.

b. Kesaksian Pengalaman

Kesaksian pengalaman ini adalah kondisi seorang saksi yang

menyaksikan sebuah hal yang bersifat di luar prasangka kita. Seperti yang

diceritakan oleh Anas Bin Malik r.a. ia berkata, ”aku memasuki rumah Usman

Bin Affan r.a di tengah jalan aku bertemu dengan seorang wanita, lalu aku

memandanginya dan membayangkan kecantikannya. Ketika aku masuk,

Usman berkata ‘salah seorang di antara kamu yang hadir datang kepada ku

tampak bahwa kedua matanya bekas berzina. Tahukah kamu bahwa zina

kedua mata adalah dengan melihat? Hendaknya kamu bersungguh-sungguh

dalam bertaubat ataukah aku akan menghukummu?’ Anas Bin Malik pun

bertanya ‘adakah wahyu sesudah Nabi?’ Usman menjawab, ‘tidak’, akan

tetapi, yang ada hanyalah pandangan hati (bashirah) bukti yang jelas dan

firasat yang benar.”

Dalam hal ini pandangan hati dan firasat yang benar menjadikan ilmu

yang bersifat batin, yakni pengetahuan khusus yang diberikan oleh Allah

Page 14: Filsafat Ilmu

14

kepada orang yang dikehendakinya, dan tidak ragu lagi bahwa Usman Bin

Affan r.a adalah seorang khalifah yang salih (Muhtar Solihin, 2001: 78).

3. Ilmu Laduni dan Jiwa Manusia

Untuk mengetahui jiwa mana yang potensial untuk menerima berbagai ilmu,

Al-Ghazali menganalisisnya melalui konsepsinya tentang manusia. Sebagai ulama

yang banyak mengkaji tentang manusia, Al-Ghazali cukup arif dalam memahami

manusia. Menurutnya manusia yang diciptakan Allah terdiri dari dua unsur yang

berbeda, yaitu jasmani dan jiwa. Jasmani merupakan tempat tinggalnya jiwa, ia

merupakan unsur manusia, yang bersifat kasat mata, membutuhkan makanan

untuk pertumbuhannya dan mengalami kematian, kerusakan dan akhirnya

menyatu dengan tanah. Adapun jiwa merupakan substansi (jauhar fard), yang

mengandung nur, mempunyai potensi untuk berpikir, bekerja, dan bergerak.

Jiwa yang menjadi esensi manusia yang dimaksudkan Al-Ghazali bukanlah

jiwa yang potensi intelektualnya dipengaruhi sifat untuk makan, atau potensi

geraknya selalu memenuhi kehendak syahwat dan amarah, atau tidak menyalurkan

potensi hidupnya untuk berkembang biak, karena jiwa yang menurunkan

kehendak-kehendak jasmaniyah seperti itu, menurutnya disebut Roh

Hayawaniyah. Juga bukan Roh Thabi’iyah yang secara alamiah akan terus tumbuh

dan berkembang biak sebagaimana layaknya dialami oleh jasmani, sehingga

cenderung menuruti sifat-sifat hewani. Akan tetapi yang dimaksud jiwa disini

adalah nafs yang mempunyai Jauhar Al-Kamil Al-Fard (substansi jiwa yang

sempurna) yang senantiasa berdzikir, memelihara diri, bertafakur, meneliti, dan

merenung. Jadi, jiwa yang sempurna inilah, menurut Al-Ghazali yang menjadi

penerima segala ilmu.

Pentingnya menganalisis jiwa tersebut karena jiwa manusia merupakan

tambang dan sumber bagi ilmu dan hikmah. Jiwa menjadi tempat bersemayam dan

berproses segala ilmu. Ilmu merupakan unsur orisinal dalam jiwa, bukan unsur

eksternal karena merupakan sifat dari jiwa. Sebaliknya, jasmani bukan tempatnya

ilmu, karena akan lenyap dengan kematian, dan fungsi jasmani hanya sebagai

kendaraan bagi jiwa (Muhtar Solihin, 2001: 80).

Dari uraian di atas dapat dipahami, Al-Ghazali berkeyakinan bahwa jiwa

merupakan unsur terpenting dalam diri manusia, karena jiwa merupakan substansi

Page 15: Filsafat Ilmu

15

sebagai unsur yang paling mendasar, sehingga jiwa berfungsi sebagai hakikat

pemilik ilmu.

Adapun jiwa yang memperoleh ilmu laduni adalah jiwa yang menyucikan diri

dari berbagai hal yang mengotorinya. Jiwa yang telah suci dan telah memancarkan

cahaya ilahiyahnya memudahkan Tuhan memberikan ilmu secara langsung karena

sudah tidak ada hijab atau batas. Proses ini disebut dengan Mukasyafah. Pada

kondisi inilah Tuhan memberikan cahayanya kepada jiwa manusia dengan sebuah

pengetahuan yang tidak terbatas. Pengetahuan itulah yang disebut ilmu laduni,

ilmu yang diperoleh langsung dari Tuhan.

4. Metode Ilmu Laduni

Dalam rincian penjelasan tentang metode memperoleh ilmu laduni, Al-Ghazali

(Muhtar Solihin, 2001: 87) menggunakan dalil dari Al-Qur’an surat Asy-Syams

ayat 7.

Dalam metode ini, Al-Ghazali berpandangan bahwa karena ilmu laduni itu

datang dari Tuhan secara langsung ke dalam jiwa manusia, yakni jiwa sempurna

dari ayat tadi, ketika menjelaskan metode memperoleh ilmu laduni tersebut ia

mengambil pemahaman terhadap ayat tersebut. Dari ayat tersebutlah, ia

merumuskan beberapa metode untuk memperoleh ilmu laduni. Metode-metode

yang dimaksud adalah berikut ini:

Pertama, melalui pencarian seluruh ilmu dan pengambilan bagian yang paling

sempurnadari sejumlah besar yang ada. Secara terpintas, metode ini layaknya

bukan sebagai metode untuk memperoleh ilmu laduni. Namun bila dikaji lebih

mendalam, Al-Ghazali memaksudkan bahwa sebagian ilmu yang diperoleh

manusia adalah ilmu tentang hakikat. Ilmu tentang hakikat ini merupakan salah

satu bentuk dari ilmu laduni. Oleh karena itu, upaya untuk mendapatkan sebagian

ilmu, yakni ilmu yang dianggapnya sempurna itu, merupakan metode memperoleh

ilmu laduni.

Kedua, melalui metode Riyadhah dan Muraqabah. Riyadhah yang dimaksud

oleh Al-Ghazali adalah latihan kejiwaan, sedangkan Muraqabah adalah upaya

manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, latihan Riyadhah ini

harus dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga, Muraqabah,

harus dilakukan secara benar, yakni dengan cara yang tidak menyimpang.

Page 16: Filsafat Ilmu

16

Ketiga, melalui metode Tafakur, Tafakur yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali

ialah berpikir tentang realitas alam, baik yang tampak dalam diri manusia, hewan,

tumbuhan, alam dan segala makhluk ciptaan-Nya. Metode ini dianggap penting

dilakukan oleh manusia yang ingin mendapatkan ilmu laduni. Hal ini karena

apabila jiwa itu belajar dan mengolah ilmu, kemudian memikirkan atau

menganalisis data-data keilmuan yang ia dapatkan dengan syarat-syarat

bertafakur, baginya akan dibukakan pintu kegaiban.

Al-Ghazali dalam masalah tafakur ini jelas menekankan syarat-syarat

bertafakur, karena menurutnya, orang berpikir tidak ubahnya seperti pedagang

yang mengelola barang dagangannya dengan syarat atau aturan tertentu, sehingga

pintu laba akan terbuka baginya. Namun apabila menempuh jalan yang salah, dia

akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali apabila orang

yang berpikir menempuh jalan yang benar, dia akan menjadi seorang ilmuwan

(dhawi al-albab) yang terbuka pintu hatinya, sehingga dia akan menjadi alim

sempurna, berakal, mendapat ilham, dan ahli hujjah. Sehingga metode tafakur

merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan ilmu

laduni.

Keempat, ialah metode pengilhaman. Metode yang lebih menggambarkan

proses pemberian ilmu dari Tuhan kepada manusia melalui ilham. Al-Ghazali

memaksudkan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu laduni melalui metode atau

pendekatan kepada Tuhan sehingga Tuhan menurunkan ilham kepada orang-orang

yang telah berupaya untuk memperolehnya.

Untuk menguatkan argumen tentang metode keempatnya itu, Al-Ghazali

menjelaskan proses datangnya ilham dalam jiwa manusia. Menurutnya, ilham

dapat berkembang dari jiwa universal ke dalam jiwa parsial berdasarkan kadar

kejernihan, kekuatan, dan kesiapan penerimaannya. Ilham adalah kelanjutan

wahyu sebab wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham merincinya.

Ilmu yang diterima melalui pendekatan wahyu disebut ilmu kenabian,

sedangkan ilmu yang diperoleh dengan metode pengilhaman disebut ilmu laduni,

yaitu ilmu yang diperoleh manusia tanpa perantara yang menghubungkan antara

jiwa manusia dan pencipta. Ia semata- mata seperti cahaya dari lampu kegaiban

yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih, kosong, dan lembut (Muhtar Solihin,

2001: 91).

Page 17: Filsafat Ilmu

17

Hal itu disebabkan semua ilmu diperoleh dalam substansi jiwa yang universal

dan prima dalam substansi-substansi yang tinggal pertama kali secara absolut

Jawahir Almufarriqah Awwaliyyah Mahdhah, yang dinisbatkan kepada akal

pertama (al-‘aql al-‘awal), sebagaimana hubungan Siti Hawa dengan Nabi Adam.

Dalam menjelaskan jiwa universal, Al-Ghazali mengaitkannya dengan akal

universal. Akal universal lebih mulia, lebih sempurna, lebih kuat, dan lebih dekat

kepada sang pencipta yang Maha Tinggi daripada jiwa universal. Akan tetapi,

jiwa universal lebih agung, lebih lembut, dan lebih mulia daripada makhluk-

makhluk lain. Dari pelimpahan akal universal inilah dihasilkan ilham. Demikian

pula dari pancaran jiwa universal pun dihasilkan ilham. Oleh karena itu, wahyu

adalah perhiasan para Nabi, sedangkan ilham merupakan perhiasan para wali.

Keliam, metode Takziat An-Nafs yaitu proses penyucian jiwa manusia melalui

tahapan Takhalli dan Tahalli. Takhalli adalah pengosongan atau pembersihan jiwa

manusia dari akhlak atau perilaku tercela. Adapun Tahalli adalah pengisian jiwa

dengan akhlak terpuji. Proses tahalli ini berlangsung secara berangsur-angsur

melalui beberapa maqom, yaitu: tobat, sabar, syukur, harap, dan takut, zuhud,

fakir, ikhlas, waspada, mawas diri, tawakal, cinta, rindu, ridha (Muhtar Solihin,

2001: 92).

Metode ini merupakan kunci dari pemahaman Al-Ghazali tentang metode

pertama dan keempat. Dalam pandangannya yang telah dijelaskan di atas bahwa

ilmu yang sempurna lahir dari jiwa yang telah mengalami penyempurnaan.

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada lima hal yang

menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu: belum

sempurnanya jiwa, dikotori maksiat, menurutkan keinginan badan, ada penutup

yang menghalangi hakikat masuk ke jiwa (taqlid), dan tidak dapat berpikir logis.

Menurut Al-Ghazali, untuk menghilangkan penghalang itu dibutuhkan upaya

pengembalian jiwa kepada kesempurnaannya. Dalam konteks inilah, Al-Ghazali

mengonsepsi bahwa penyempurnaan jiwa dapat dilakukan melalui Tazkiya An-

Nafs.

Tazkiya An-Nafs dkonsepsikan Al-Ghazali dengan didasari oleh asumsi

bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar dari

objek material. Adapun kegiatan mengetahui ibarat cermin yang menangkap

gambar-gambar tersebut. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya

tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin.

Page 18: Filsafat Ilmu

18

Dengan demikian, kesucian jiwa merupakan syarat mutlak bagi masuknya

hakikat-hakikat atau ilmu laduni ke dalam jiwa. Jiwa yang suci akan mudah

menerima ilmu laduni dari Tuhan, sedangkan jiwa yang kotor justru akan

menghalangi masuknya ilmu laduni. Oleh karea itulah, Takziya An-Nafs

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perolehan ilmu laduni.

Keenam, adalah metode Dzikir. Secara etimologi, Dzikir adalah mengingat,

sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian

kepada Allah. Persoalan Dzikir ini merupakan metode paling utama untuk

memperoleh ilmu laduni (Muhtar Solihin, 2001: 93-94).

Al-Ghazali memandang bahwa pentingnya Dzikir menjernihkan hati, karena

hati merupakan tempat masuknya pengaruh-pengaruh dari luar yaitu panca indra

dan adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat

manusia (Massimo Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 333).

Karena ada kemungkinan berbagai pengaruh yang datang ke dalam hati,

manusia tidak dapat terlepas dari was-was yang selalu menghimpit hatinya, was-

was itu merupakan pintu masuknya setan, dan setan selalu mengembuskan was-

was ke dalam hati manusia. Was-was ini biasanya dibarengi dengan hayalan-

hayalan dalam hati. Hanya Dzikirlah yang menutup pintu masuk setan, karena

dzikir merupakan lawan semua godaan setan, dan was-was itu sendiri dapat

terputus dengan dzikir kepada Allah (Muhtar Solihin, 2001: 94).

Al-Ghazali meyakini bahwa Dzikir akan membuka tabir alam malakut yakni

dengan datangnya malaikat. Namun bukan hanya Al-Ghazali yang berpendapat

demikian, tetapi para sufi secara keseluruhan bahwasannya Dzikir membantu

menjaga hati seseorang yang ingin selalu mengingat Tuhannya.

Dalam penjelasan lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzikir juga

sangat berfungsi untuk mendatangkan ilham. Ketika hati manusia bersih maka

saat itu pula Allah memberikan ilham ke dalam hati. Lebih lanjut Al-Ghazali

membagi Dzikir pada dua macam, Dzikir Murni (dzikr al-khalis) yaitu dzikir yang

disertai kecocokan hati saat berhenti dalam memandang selain Allah. Dzikir

Jernih (dzikr shaf) yaitu yang terjadi saat pupusnya keinginan karena berdzikir.

Al-Ghazali juga membagi tiga klasifikasi Dzikir pada kerja spiritual, yaitu:

Pertama, dzikir lahir dengan gerakan lidah. Ini dianjurkan dalam bacaan dari

beberapa bentuk ibadah. Kedua, dzikir sir (rahasia) yang memiliki kedudukan

paling tinggi diantara ibadah dan sedekah. Ketiga, dzikir kalbu (qalb) dzikir ini

Page 19: Filsafat Ilmu

19

muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap alam dan kesibukan dengan kekasih.

Maka dalam kondisi dzkir ketiga ini manusia telah fana tahap pertama, maka dari

fana tahap pertama itulah diperoleh fana tahap kedua, yaitu dalam kondisi dirinya

bermusyahadah kepada Allah. Maka pada kondisi inilah ilham diberikan

kepadanya (Muhtar Solihin, 2001: 98).

Uraian tantang metode-metode untuk memperoleh ilmu laduni ini pada

dasarnya dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk selalu tunduk dan

patuh sebagai proses penghambaan kepada yang dicintai. Dengan adanya metode

ini sebagai gambaran bahwa untuk mencapai ketersingkapan hijab (mukashaf)

dalam upaya perjumpaan dengan Tuhan perlu adanya usaha khusus. Jadi setiap

manusia mempunyai potensi untuk meraih ilham dengan syarat melakukan

metode-metode tersebut.

Page 20: Filsafat Ilmu

20

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam epistemologi pengetahuan, Al-Ghazali mengalami perkembangan yang

tergambar dari mulai pemikiran filsafat, kalam, hingga tasawuf. Sehingga pada

puncaknya, Al-Ghazali menemukan sebuah pengetahuan yang bersifat ilham yang

menjadi dasar dari ilmu laduni. Ilmu laduni ialah sebuah ilmu yang secara langsung

diberikan oleh Tuhan, tanpa perantara, kepada manusia pilihannya yaitu orang-orang

yang selalu melakukan Riyadhah, Muraqabah, Tafakur dan Dzikir, karena metode ini

tergolong dalam Ta’allum Rabbani.

Page 21: Filsafat Ilmu

21

DAFTAR PUSTAKA

Rusliana, Lu, M, Si. 2015. Filsafat Ilmu (Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu Mahasiswa

PTAI dan Umum). Bandung. PT Refika Aditama