Filsafat Ilmu
-
Upload
rifqi-hubaib -
Category
Documents
-
view
44 -
download
3
description
Transcript of Filsafat Ilmu
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh
yang disebut sebagai filososf muslim, seperti: Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusydi, Al-Ghazali dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi
juga karena mereka benih-benih filsafat islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-
Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap islam
dan filsafat dunia timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang
mendapat julukan Hujjah Al-Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan
banyak, mulai dari pemikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan
filsafat. Dalam hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan
biografi, Hasil karya, fase pencarian ilmu, epistemologi ilmu, hierarki ilmu, serta ilmu
laduni menurut Al-Ghazali.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali?
2. Bagaimanakah Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali?
3. Bagaimanakah Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali?
4. Bagaimanakah Hierarki Ilmu Menurut Al-Ghazali?
5. Bagaimanakah Ilmu Laduni Menurut Al-Ghazali?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali
2. Untuk Mengetahui Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali
3. Untuk Mengetahui Epistemologi Ilmu Menurut Al-Ghazali
4. Untuk Mengetahui Hierarki Ilmu Menurut Al-Ghazali
5. Untuk Mengetahui Ilmu Laduni Menurut Al-Ghazali
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Intelektual
Namanya sangat masyhur di Indonesia sebagai salah satu ulama klasik yang
dirujuk oleh para ulama di Indonesia, ahlus sunnah wa al-jama’ah. Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Abu Hamid Al-Ghazali dilahirkan pada
pertengahan abad kelima Hijriyah, tepatnya 450 H, di Thus, sebuah kota di Khurasan,
berada di sebelah tenggara Iran (De Boer, t.t.: 155).
Sebagian peneliti menisbatkan dari nama Al-Ghazali pada Gazalah. Ghazalah
adalah tempat kelahirannya. Namun ada juga yang menisbatkan pada kata Al-Gazzali
(perajut, penenun, pemintal) karena ayahnya berprofesi sebagai pemintal (tukang
samak kulit). Dibalik pekerjaannya sebagai pemintal, ayah Al-Ghazali sering
menghadiri majlis ulama dan dia selalu berdo’a agar dikaruniai anak yang menjadi
ahli fiqih dan ahli menasehati.
Di madrasah Nidzhamiyah di Naisabur, Al-Ghazali belajar dalam asuhan Al-
Juwaini sampai menguasai Ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, Fiqih, Filsafat, Tasawuf, dan
Retorika perdebatan. Hingga Al-Juwaini tutup usia pada tahun 478 H/1086 M. Pasca
meninggalnya Imam Haramain, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad, tempat
berkusanya perdana menteri Nizham Al-Muluk dikarenakan kota itu tempat
diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antar ulama terkenal. Dalam berbagai
perdebatan, Al-Ghazali yang mengalahkan para ulama ternama, sehingga mereka pun
tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali (Massimo Campanini dalam
Nasr dan Leaman (ed), 2003: 321).
Sejak saat itu nama Al-Ghazali terkenal di kawasan kerajaan Saljuk. Prestasi
tersebut menyebabkan ia dipilih oleh Nizam Al-Muluk untuk menjadi Guru Besar di
Madrasah Nizhamiyah pada tahun 483 H/1090 M. Meskipun ia baru berusia 30 tahun,
ia aktif mengadakan perdebatan terhadap golongan-golongan yang berkembang pada
waktu itu. Namun seiring dengan perjalanan Al-Ghazali yang prestisius tersebut, ia
mengalami suatu keadaan keraguan yang mendebat keilmuannya sendiri, dalam
pencarian kebenaran yang hakiki (Muhtar Solihin, 2001: 21).
3
Oleh karena itulah ia melepaskan jabatannya dan meninggalkan kota Baghdad
menuju Syiria, Palestina, lalu ke Makkah untuk mencari hakikat kebenaran. Setelah
mencapai hakikat kebenaran dalam akhir hidupnya, tidak lama kemudian Al- Ghazali
meninggal dunia di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan
banyak karya tulis. Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300
buah. Karena ia menulis dari usia 25 tahun, sewaktu di Nasyabur. Waktu yang ia
pergunakan untuk mengarang selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap
tahunnya Al-Ghazali menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan
kecil, yang meliputi beberapa kalangan ilmu, antara lain: Filsafat dan Ilmu Kalam,
Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Tasawuf, dan Akhlaq (Muhtar Solihin, 2001: 23).
B. Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali
1. Fase Keraguan (skeptis)
Pada fase ini Al-Ghazali terdorong untuk mengetahui kebenaran yang hakiki
demi mencari solusi terhadap permasalahan yang ada pada saat itu, ia lebih
bersifat fundamental dalam mengkaji tentang keberadaan ilmu. Ia meragukan
berbagai argumentasi kelompok-kelompok yang pada saat itu saling
berseberangan pendapat, sehingga terjadinya sesat menyesatkan. Keraguan ini
muncul atas pertanyaan Al-Ghazali “mana di antara semua kelompok ini
yangpaling benar?” (Al-Ghazali, 2003: xxxii).
2. Fase Validitas Ilmu
Al-Ghazali menginvestigasi perangkat pengetahuan yaitu indra dan akal,
namun keduanya masih mempunyai kelemahan dalam pencarian kebenaran yang
hakiki. Lalu ia mendalami Ilmu Kalam, setelah mendalaminya ia melihat bahwa
ilmu kalam bertujuan hanya merumuskan tanggapan atas lawan-lawan polemiknya
dan melecehkan mereka dengan menggunakan postulat-postulat mereka sendiri,
maka sangat jauh dalam mencari kebenaran hakiki. Ketika impiannya dalam ilmu
kalam tidak terpenuhi, ia mencoba mencari pada Ilmu Filsafat. Namun dalam
mengkaji Ilmu Metafisika, Al=Ghazali menolak para filosof dengan alasan bahwa
ilmu metafisika tidak dapat dicapai dengan akal belaka (Al-Ghazali, 2003:
xxxviii), sehingga ia membuat buku catatan tentang kerancuan para filosof yaitu
Tahafut al-Falasifah, yang mengkritik tentang metafisika.
4
Kemudian Al-Ghazali mencoba mencari kebenaran di kalangan Bathiniyah,
dengan mula-mula mempelajari segala aspek ajarannya. Menurut Al-Ghazali
golongan ini menolak kredibilitas akal dalam masalah agama, karena adanya
pertentangan-pertentangan pendapat yang dihasilkannya, dan mereka hanya
berpegang kepada ajaran dari Imam Ma’sum (terbebas dari kesalahan), yang
menerima ajarannya langsung dari Tuhan melalui Nabi Muhammad. Al-Ghazali
mencari keberadaan Imam Ma’sum untuk bisa memperoleh ajarannya, dan
akhirnya ia berkesimpulan bahwa kaum Bathiniyah dalam keadaan tertipu (Al-
Ghazali, 2003: xii).
Metode mereka tidak bisa mengantarkan kepada sesuatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu, karena itu metode ini pun
ditinggalkan. Selanjutnya Al-Ghazali mempelajari Tasawuf, di sini ia tidak
mempelajari ajaran teoritis belaka, tetapi juga dalam praktik atau pengalaman
nyata. Sehingga ia mengalami masalah dilematis, yang harus memilih satu dari
dua kemungkinan: pertama, mengamalkan Tasawuf dengan konsekuensi
meninggalkan kemewahan, atau kedua, mempertahankan kedudukan dan
fasilitasnya dengan konsekuensi tidak memasuki pengalaman Tasawuf, sedangkan
Tasawuf itu sendiri ia yakini adalah jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki
(Al-Ghazali, 2003: xii). Ia kemudian memilih untuk mengamalkan Tasawuf dan
meninggalkan jabatannya.
3. Fase Evolusi Intelektual
Dalam fase ini, Al-Ghazali yang telah dilanda keraguan dan kesakitan
intelektual selama dua bulan, ia mendapatkan sesuatu yang ia cari selama ini,
yakni kebenaran hakiki melalui metode Tasawuf (Muhtar Solihin, 2001: 31).
Al-Ghazali telah sampai pada kondisi atau maqom ma’rifat dimana cahaya
Allah memancar pada sanubari, dan cahaya itulah kunci pengetahuan yang hakiki.
Cahaya itu yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai Ilmu Laduni. Sehingga kondisi
ini melatarbelakangi segi keilmuan Al-Ghaali dalam menuliskan karya-karyanya.
Setelah mengalami kondisi itu, ia lebih mengedepankan unsur spiritualitas,
dibandingkan dengan unsur teologis dan filosofis.
5
C. Epistemlogi Ilmu Menurut Al-Ghazali
Mempelajari pemikiran epistemologi Al-Ghazali memang agak unik, dalam
arti ` mempelajari corak berpikir beliau yang sebenarnya. Di satu sisi, ia
menyangsikan indra, di sisi lain ia meragukan akal. Dari sini jelas bahwa Al-Ghazali
tidak mengakui kebenaran Ilmu Indrawi begitupun kepada akal, dengan keinginan
mendapatkan kebenaran yang hakiki. Upaya penggalian ilmu itu, sesungguhnya
merupakan kerja epistemologis Al-ghazali. Namun persoalannya sekarang ialah
bagaimana epistemologi ilmu menurut Al-Ghazali? Dalam persoalan ini penulis akan
mengetengahkan tiga orientasi epistemologi ilmu menurur Al-Ghazali, sebagaimana
yang diklasifikasikan dalam buku Epistemologi Ilmu dalam sudut pandang Al-
Ghazali oleh Muhtar Solihin yang berkisar pada hakikat dan keutamaan ilmu, metode
penggalian ilmu, dan klasifikasi ilmu.
1. Hakikat Dan Keutamaan Ilmu
Dalam kitab Risalah Al-Laduniyah, Al-Ghazali memandang ilmu sebagai
gambaran jiwa yang berpikir penuh ketenangan dan selalu berpikir tentang hakikat
segala sesuatu. Gambaran ilmu ini terpisah dari materi berdasarkan substansi,
metode ukuran, dan esensiya. Seseorang yang berilmu adalah orang yang
mengetahui memahami, dan menganalisis berbagai faktor objektif. Adapun objek
ilmu atau pengetahuan adalah esensi sesuatu yang pengetahuannya tergambar
dalam jiwa. Keagungan ilmu itu menurut kadar keagungan objeknya, dan
tingkatan orang berilmu ialah menurut tingkatan ilmu yang dimilikinya.
Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menjelaskan bahwa objek ilmu yang paling
tinggi dan paling mulia adalah Allah, Pencipta, Al-Haqq, yang Maha Tunggal.
Ilmu seperti ini masuk dalam kategori ilmu Tauhid yang wajib dimiliki oleh
seluruh orang yang berakal. Ilmu Tauhid ini tidak menafikan ilmu-ilmu lainnya,.
Bahkan Al-Ghazali berpegang bahwa dari ilmu tauhid ini lahir ilmu-ilmu lainnya
(Muhtar Solihin, 2001: 35).
Oleh karena itu, ilmu Tauhid menjad titik tekan awal ilmu kemudian meliputi
seluruh disiplin pengetahuan. Maka terjadilah keterkaitan antara ilmu Tauhid
dengan ilmu yang lain, dilihat dari fungsinya dan hakikatnya sebagai penyandaran
tentang diri, manusia, alam, dan lainnya dalam koridor pengenalan dan
penghambaan kepada Allah.
6
Al-Ghazali juga menjelaskan seluruh ilmu pada dasarnya mulia, karena
menghindarkan manusia dari kebodohan. Namun status ilmu tersebut apakah akan
menjadi ilmu yang baik atau buruk, ketika dalam implementasinya (Muhtar
Solihin, 2001: 36).
Ilmu menurut Al-Ghazali ialah milik dan jiwa, ia pemberian dari Allah.
Kedatipun epistemologinya dapat diperoleh melalui rekayasa akal manusia. Oleh
karena itu, ilmu yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah untuk mengenal
Allah dan mengabdi pada-Nya. Berdasarkan hal ini, tampak bahwa kendatipun
sebagai ilmuwan yang sering menggunakan kemampuan akalnya, Al-Ghazali
tidak lepas dari koridor pengenalan kepada Allah (Muhtar Solihin, 2001: 38).
2. Metode Untuk Menghasilkan Ilmu
Al-Ghazali membagi dua sumber penggalian ilmu pengetahuan. Pertama,
sumber Insaniyah, dan kedua, sumber Rabbaniyah. Sumber Insaniyah adalah
sumber pengetahuan yang bisa diusahakan oleh manusia berdasarkan kekuatan
rekayasa akal. Sedangkan sumber Rabbaniyah tidak dihasilkan melalui
kemampuan akal, meainkan harus dengan informasi Allah, baik informasi
langsung melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia, maupun petunjuk
yang datang lewat wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya (Massimo
Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 325).
Pada sumber Rabbaniyah itu Al-Ghazali membagi perolehan ilmu menjadi dua
jalan, yakni dengan jalan wahyu, dan dengan melalui ilham. Ilmu yang diperoleh
lewat wahyu datang tanpa melalui proses belajar dan berpikir. Ia hanya diturunkan
kepada para Nabi, karena mereka memiliki akal Kulli (akal universal). Oleh
karena itu, ilmu yang diperoleh lewat wahyu ini disebut ilmu Nabawi, yakni ilmu
yang berkisar rahasia ibadah maupun larangan Allah, tentang hari akhir, surga,
neraka, serta termasuk juga masalah mengetahui Tuhan (metafisika), yang
menurut Al-Ghazali tidak bisa dicapai dengan akal, tetapi dengan wahyu Al-
Qur’an. Begitu pula tentang syariat agama, menurutnya manusia tidak mengetahui
rahasia yang terkandung dalam setiap pertanyaan ajaran agama itu (Massimo
Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 326).
Sedangkan ilmu yang datang melalui ilham yang masuk kedalam hati disebut
“Ilmu Ladunni”. Dalam Risalah Al-Ladunniyyah-nya, Al-Ghazali mengartikan
ilmu laduni adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia hati “tanpa
7
perantara” karena ia datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia (Muhtar
Solihin, 2001: 39).
Dengan kata lain, ilmu laduni merupakan ilmu yang didatangkan dari Tuhan
secara langsung tanpa sebab, yang membuat hati terbuka dalam memahami atau
mengetahui sesuatu tanpa perantara atau tanpa sebab. Selanjutnya, dari kedua
sumber perolehan ilmu pengetahuan itu (wahyu dan ilham), Al-Ghazali
memasukkan jalan Ta’allum dan Tafakkur sebagai metode untuk memperoleh
ilmu.
Persoalan ini menjadi terkait dengan uraian Al-Ghazali tentang ilmu Insani
yang menurutnya diperoleh melalui Ta’allum dan Tafakkur. Tafakkur berbeda
dengan Ta’allum. Kalau Tafakkur adalah proses berpikir secara bathini dengan
melalui nafs kulli (jiwa universal) yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu
universal yang bersifat metafisik, sedangkan Ta’allum adalah proses berpikir
secara zhahiri dengan menggunakan akal yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu
secara juz’i yang material (Muntar Solihin, 2001: 40).
Aktivitas Tafakkur pada ilmu insani itu, pada akhirnya menyentuh juga
kawasan ilmu-ilmu yang metafisik, karena dalam bertafakkur melibatkan aktivitas
jiwa manusia, terutama ketika sedang menganalisis dan memersepsi segala
sesuatu di balik alam yang real (fenomena). Sudah tentu bertafakkur seperti ini
akan menyentuh kawasan metafisik di balik apa yang dipikirkannya.
3. Alat Untuk Menghasilkan Ilmu
Ilmu yang dimiliki manusia diperoleh dengan menggunakan beberapa alat
yang dimiliki manusia. Alat-alat disini berfungsi sebagai media yang diberikan
oleh Allah, baik secara fisik maupun psikis sebagai tempat berprosesnya ilmu.
Alat-alat yang dimaksud adalah indra, akal dan hati.
a. Indra
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan panca indra, yaitu
mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Ilmu yang diperoleh manusia melalui
indra disebut ilmu indrawi. Ilmu ini dihasilkan dengan cara persentuhan indra-
indra manusia dengan rangsangan yang datang dari luar, lingkungan (Danusiri,
1996: 43). Secara sederhana dari persentuhan (pengindraan) inilah kemudian
dihasilkan ilmu.
8
Pengindraan adalah proses refleksi (pemantulan) objek-objek luar yang
khusus ditangkap oleh indra tertentu.tiap-tiap indra mempunyai fungsi
masing-masing, umpamanya mata berfungsi untuk melihat, telinga untuk
mendengar, dan sebagainya. Ilmu yang diperoleh melalui indra mengalami
proses, antara lain: pertama, dengan sentuhan (refleksi) yaitu menerima
rangsangan dari luar; kedua, pencerapan yaitu pemantulan objek yang kita
terima secara menyeluruh setelah mengalami pengolahan; ketiga,
penggabungan unsur-unsur (sintesis) pengindraan; keempat, objek dan gejala
dunia luar dipantulkan secara khusus. Tingkat ini telah sampai pada tingkat
abstraksi (Muhtar Solihin, 2001: 41).
Al-Ghazali memasukkan metode indrawi sebagai cara yang dilakukan
manusia untuk memperoleh ilmu. Al-Ghazali melihat bahwa metode indrawi
ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang didapatkannya
pun bersifat sederhana, sebagaimana tampak secara lahiriah. Dari persoalan
kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa
ilmu yang diperoleh secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu
daya.
Kemudian dalam Misykatul Al-Anwar, Al-Ghazali melihat bahwa
indra penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Begitu juga dalam
Al-Munqidz Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra
memperdayakan kita. Atas dasar inilah Al-Ghazali menyimpulkan bahwa
semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan
keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan yang riil (Al-Ghazali, 1986:
20).
Dari penjelasan di atas, Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat
diperoleh melalui indra, tetapi bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini
masih bersifat sederhana, penuh keraguan, dan bisa saja menipu. Misalnya
ketika mata kita melihat bulan yang kecil, apakah bulan itu memang benar-
benar kecil? Tentu saja tidak. Lalu ketika melihat bintang yang berkedip di
malam hari, apakah benar bintang-bintang itu berkedip. Itu juga tidak
demikian. Juga ketika kita memasukkan tongkat yang lurus ke dalam air,
tongkat itu terlihat bengkok. Ini yang dimaksud bahwa pengetahuan indrawi
penuh dengan keraguan. Tetapi ada sebagian kaum yang menyatakan bahwa
9
pengetahuan yang melalui proses indra adalah ilmu pasti. Mereka disebut
dengan kaum empiris.
b. Akal
Akal, menurut Al-Ghazali diciptakan Allah dalam keadaan sempurna
dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat
akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia, sekalipun fisiknya lebih
kuat daripada manusia (Muhtar Solihin, 2001: 43).
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memperjelas tentang akal.
Pertama, akal ialah suatu kemampuan berpikir yang membedakan manusia
dari binatang. Kedua, akal adalah ilmu atau ilmu tentang kemustahilan sesuatu
yang mustahil, kemungkinan sesuatu yang mungkin, dan kemestian sesuatu
yang mesti. Ini disebut Hawiyat ‘Aqliyat. Ketiga, akal adalah ilmu yang
diusahakan (ilmu al-muktasab) yang dicapai dari pengalaman yang dinamis.
Keempat, akal adalah segala ilmu yang mendorong manusia untuk mencapai
kenikmatan praktis.
Dalam kitab Ma’arij Al-Quds nya, Al-Ghazali melihat akal sebagai
jiwa rasional, yang memiliki dua daya: daya Al-Amilat (praktis) dan daya Al-
Alimat (teoritis). Akal teoritis dan akal praktis bukanlah dua daya yang betul-
betul terpisah, melainkan dua sisi dari akal yang sama. Sisi yang menghadap
ke bawah (badan) adalah akal praktis, dan sisi yang menghadap ke atas (akal
aktif) adalah akal teoritis.
Akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya uang
bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang
abstrak dan universal. Dari sudut ini, akal teoritis mempunyai empat tingkatan
kemampuan (Muhtar Solihin, 2001: 44), yaitu:
Akal Materi (Potensi) merupakan potensi belaka, yaitu kesanggupan
untuk menangkap arti-arti murni yang tidak pernah berada dalam
materi atau belum keluar.
Akal Habitul Intellect (Proses Abstraksi) yaitu kesanggupan untuk
berpikir abstrak, secara murni mulai kelihatan sehingga dapat
menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, keseluruhan lebih
besar daripada sebagian.
10
Akal Aktual (Akal Aktif) yaitu akal yang lebih mudah dan lebih
banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal
ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan
setiap kali dikehendaki.
Akal Perolehan (Aktualisasi Ilmu) yaitu akal yang didalamnya terdapat
arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.
(Muhtar Solihin, 2001: 45).
Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memperoleh dan
mengembangkan ilmu. Akal adalah alat berpikir untuk menghasilkan ilmu.
Namun terlalu bergantung pada akal juga tidak akan menghasilkan ilmu secara
utuh , karena akal juga mempunyai kekurangannya ketika dikaitkan dengan
masalah metafisika dan hal-hal yang tidak terbatas. Namun ada kaum yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu didasarkan pada akal semata. Kaum
ini bernama Rasionalis.
c. Hati
Terminologi Qalb (Hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh
Al-Ghazali. Qalb itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali mempunyai
kedudukan penting dalam pembahasan epistemologi, yang sama pentingnya
dengan fungsi qalb sebagai esensi manusia. Menurut Al-Ghazali, qalb di
samping sebagai penunjukan esensi manusia, juga sebagai salah satu alat
dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu (Muhtar Solihin,
2001: 46).
Ilmu yang diperoleh dengan alat qalb lebih mendekati tentang hakikat-
hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan
jalan ilham digantikan oleh intuisi, yang pada buku-buku filsafat diperoleh
dengan Aql Al-Mustafad (Yasir Nasution, 1987: 84).
Adz-Dawq mengandung unsur rasa. Hal ini tergambar dari contoh
yang diajukan Al-Ghazali ketika menjelaskan perbedaan Adz-Dzauq dengan
akal. Ia mengatakan, “perhatikanlah rasa sya’ir (adz-dzauqasy-syi’r), betapa
orang-orang tertentu merasakan, sementara yang lain tidak”.
Tampaknya Adz-Dzawq adalah daya tangkap yang sekaligus
merasakan kehadiran yang ditangkap. Inilah yang dimaksud dengan intuisi
11
dalam tulisan ini. Al-Ghazali berpendapat bahwa setelah mampu menangkap
ilmu aksiomatis, jiwa manusia mempunyai dua cara memperoleh ilmu, yaitu
dengan cara berpikir yangdisebutnya dengan Al-Qiyas, dan dengan cara
merasakannya yang disebutnya dengan Al-Wijdan. Cara yang pertama
menggunakan al-mutkhayyilat yang bertempat di otak, sedangkan yang kedua
menggunakan daya pendorong (al-iradah) yang berpusat di jantung. Otak
berhubungan denggan akal, dan hati (qalb) berhubungan dengan Adz-Dzawq.
Keraguan Al-Ghazali terhadap dua pengetahuan sebelumnya terjawab
sudah, ketika ia temukan pengetahuan lewat nur dari Tuhan, membuatnya
yakin bahwa dengan hati (qalb) yang dirasakan dengan Dzawq lah ilmu yang
betul-betul diyakini itu dapat diperoleh. Pengalaman inilah yang menyebabkan
Al-Ghazali menempatkan hati di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan
argumentasi dan abstraksi, sedangkan hati menerima ilmu dari Tuhan secara
langsung tanpa adanya korespondensi.
D. Hierarki Ilmu
Selanjutnya, Al-Ghazali juga menjelaskan hierarki atau klasifiasi ilmu, yang
menurutnya dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu: Ilmu Syar’i (Ilmu
Religius), dan Ilmu ‘Aqli (Ilmu Intelektual). Menurut Al-Ghazali, validitas ilmu syar’i
tidak diragukan lagi ketimbang ilmu yang diperoleh dengan rekayasa akal.
Persoalan klasifikasi (hierarki) ilmu menjadi sangat signifikan untuk melihat
keutuhan dan kesinambungan pemikiran epistemologinya. Dari analisis Risalah Al-
Ladunniyah ditambah dengan kitab-kitab lain, ditemukan empat basis klasifikasi:
1. Klasifikasi Ilmu Syari’ah (agama) dan ‘Aqliyah (akal, intelektual)
2. Fardhu ‘Ain, dan Fardhu Kifayah
3. Ilmu Teoritis, dan Praktis
4. Ilmu yang dihadirkan (hudhuri)dan ilmu yang diusahakan (hushuli)
Uraian klasifikasi hudhuri hushuli menjadi sangat penting karena basis ini
didasarkan perbedaan mendasar dalam cara mengetahui. Ilmu hudhuri (ilmu laduni)
bersifat kasyf, supra-rasional, intutif dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushuli
bersifat tidak langsung, logis, dan diskursif. Ilmu hudhuri lebih unggul daripada
hushuli, dan terbebas dari kesalahan (Muhtar Solihin, 2001: 51).
12
Analisis persoalan ini menggambarkan bahwa Risalah Al-Ladunniyyah
merupakan kitab tentang konsepsi epistemologi Al-Ghazali yang menggabungkan
ilmu dalam paradigma esoteris dan eksoteris. Paradigma ini kemudian diarahkan pada
pemikiran ilmu laduni, dengan mendasarkan pada argumen dari Al-Qur’an dan Hadis.
Ini menggambarkan bahwa ilmu laduni sebagai bagian tak terpisahkan dari kajian
epistemologinya.
E. Ilmu Laduni
1. Pengertian Ilmu Laduni
Pengertian ilmu laduni menurut Al-Ghazali seperti yang diungkapkan dalam
beberapa karya besarnya Al-Ihya’ Ulumuddin dan Risalah Al-Ladunniyyah, ia
mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang datang dari Allah secara langsung ke
lubuk hati manusia tanpa sebab, dan tanpa belajar karena ia didatangkan Allah
melalui jalan kasyf dan ilham (Muhtar Solihin, 2001: 67).
Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut terkait ilmu laduni, bahwa ilmu yang
langsung turun ke dalam hati tanpa mengutak-atik dalil dan belajar serta usaha
yang sungguh-sungguh dari seorang hamba untuk memperoleh atas: pertama, ilmu
yang tidak diketahui oleh seorang hamba bagaimana dan dari mana diperolehnya;
kedua, ilmu yang diketahui seorang hamba melalui sebab, yang dari sebab itulah
ia memperoleh ilmu, yaitu menyaksikan malaikat yang menyusupkan ilmu ke
dalam hatinya. Ilmu yang pertama menurutnya dinamakan ilham dan embusan ke
dalam hati yang khusus diberikan kepada para wali dan orang yang bersih hatinya,
sedangkan ilmu yang kedua dinamakan wahyu, yang khusus diberikan kepada
Nabi (Muhtar Solihin, 2001: 68).
2. Dasar-Dasar Keberadaan Ilmu Laduni
Dalam mengeluarkan konsep ilmu laduni Al-Ghazali mendasarkan pada
argumen Naqliyah (baik Al-Qur’an maupun Hadis) dan argumen empiris dari
orang-orang tertentu. Argumen yang didasarkan pada dalil-dalil naqliyah disebut
dengan kesasian syara, dan argumen yang didasarkan pada empiris disebut
kesaksian pengalaman.
a. Kesaksian Syara
13
Dalam dalil Naqliyahnya, Al-Ghazali sebagaimana dikutip Muhtar
Sholihin (2001: 76) memberikan hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an untuk
memperkuat argumentasi tentang ilmu laduni, seperti:
Al-hasan meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “ilmu itu ada dua macam (ilmu dzahir dan ilmu batin), ilmu batin
letaknya di dalam hati dan itulah ilmu yang bermanfa’at”.
Dan juga Rasulullah SAW pernah bersabda:
“sesungguhnya dari kalangan umatku terdapat muhaddatsin (orang
yang diajak bicara rahasia oleh Allah) dan mu’allamin (orang yang diberi ilmu
oleh Allah) serta mutakallimin (orang-orang yang diajak bicara oleh Allah)
dan sesungguhnya Umar Bin Khattab adalah salah satu dari mereka”
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 65:
“dan kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami”.
Beberapa dalil yang disebutkan adalah yang menjadi dasar argumentasi
Al-Ghazali dalam menjelaskan adanya ilmu laduni.
b. Kesaksian Pengalaman
Kesaksian pengalaman ini adalah kondisi seorang saksi yang
menyaksikan sebuah hal yang bersifat di luar prasangka kita. Seperti yang
diceritakan oleh Anas Bin Malik r.a. ia berkata, ”aku memasuki rumah Usman
Bin Affan r.a di tengah jalan aku bertemu dengan seorang wanita, lalu aku
memandanginya dan membayangkan kecantikannya. Ketika aku masuk,
Usman berkata ‘salah seorang di antara kamu yang hadir datang kepada ku
tampak bahwa kedua matanya bekas berzina. Tahukah kamu bahwa zina
kedua mata adalah dengan melihat? Hendaknya kamu bersungguh-sungguh
dalam bertaubat ataukah aku akan menghukummu?’ Anas Bin Malik pun
bertanya ‘adakah wahyu sesudah Nabi?’ Usman menjawab, ‘tidak’, akan
tetapi, yang ada hanyalah pandangan hati (bashirah) bukti yang jelas dan
firasat yang benar.”
Dalam hal ini pandangan hati dan firasat yang benar menjadikan ilmu
yang bersifat batin, yakni pengetahuan khusus yang diberikan oleh Allah
14
kepada orang yang dikehendakinya, dan tidak ragu lagi bahwa Usman Bin
Affan r.a adalah seorang khalifah yang salih (Muhtar Solihin, 2001: 78).
3. Ilmu Laduni dan Jiwa Manusia
Untuk mengetahui jiwa mana yang potensial untuk menerima berbagai ilmu,
Al-Ghazali menganalisisnya melalui konsepsinya tentang manusia. Sebagai ulama
yang banyak mengkaji tentang manusia, Al-Ghazali cukup arif dalam memahami
manusia. Menurutnya manusia yang diciptakan Allah terdiri dari dua unsur yang
berbeda, yaitu jasmani dan jiwa. Jasmani merupakan tempat tinggalnya jiwa, ia
merupakan unsur manusia, yang bersifat kasat mata, membutuhkan makanan
untuk pertumbuhannya dan mengalami kematian, kerusakan dan akhirnya
menyatu dengan tanah. Adapun jiwa merupakan substansi (jauhar fard), yang
mengandung nur, mempunyai potensi untuk berpikir, bekerja, dan bergerak.
Jiwa yang menjadi esensi manusia yang dimaksudkan Al-Ghazali bukanlah
jiwa yang potensi intelektualnya dipengaruhi sifat untuk makan, atau potensi
geraknya selalu memenuhi kehendak syahwat dan amarah, atau tidak menyalurkan
potensi hidupnya untuk berkembang biak, karena jiwa yang menurunkan
kehendak-kehendak jasmaniyah seperti itu, menurutnya disebut Roh
Hayawaniyah. Juga bukan Roh Thabi’iyah yang secara alamiah akan terus tumbuh
dan berkembang biak sebagaimana layaknya dialami oleh jasmani, sehingga
cenderung menuruti sifat-sifat hewani. Akan tetapi yang dimaksud jiwa disini
adalah nafs yang mempunyai Jauhar Al-Kamil Al-Fard (substansi jiwa yang
sempurna) yang senantiasa berdzikir, memelihara diri, bertafakur, meneliti, dan
merenung. Jadi, jiwa yang sempurna inilah, menurut Al-Ghazali yang menjadi
penerima segala ilmu.
Pentingnya menganalisis jiwa tersebut karena jiwa manusia merupakan
tambang dan sumber bagi ilmu dan hikmah. Jiwa menjadi tempat bersemayam dan
berproses segala ilmu. Ilmu merupakan unsur orisinal dalam jiwa, bukan unsur
eksternal karena merupakan sifat dari jiwa. Sebaliknya, jasmani bukan tempatnya
ilmu, karena akan lenyap dengan kematian, dan fungsi jasmani hanya sebagai
kendaraan bagi jiwa (Muhtar Solihin, 2001: 80).
Dari uraian di atas dapat dipahami, Al-Ghazali berkeyakinan bahwa jiwa
merupakan unsur terpenting dalam diri manusia, karena jiwa merupakan substansi
15
sebagai unsur yang paling mendasar, sehingga jiwa berfungsi sebagai hakikat
pemilik ilmu.
Adapun jiwa yang memperoleh ilmu laduni adalah jiwa yang menyucikan diri
dari berbagai hal yang mengotorinya. Jiwa yang telah suci dan telah memancarkan
cahaya ilahiyahnya memudahkan Tuhan memberikan ilmu secara langsung karena
sudah tidak ada hijab atau batas. Proses ini disebut dengan Mukasyafah. Pada
kondisi inilah Tuhan memberikan cahayanya kepada jiwa manusia dengan sebuah
pengetahuan yang tidak terbatas. Pengetahuan itulah yang disebut ilmu laduni,
ilmu yang diperoleh langsung dari Tuhan.
4. Metode Ilmu Laduni
Dalam rincian penjelasan tentang metode memperoleh ilmu laduni, Al-Ghazali
(Muhtar Solihin, 2001: 87) menggunakan dalil dari Al-Qur’an surat Asy-Syams
ayat 7.
Dalam metode ini, Al-Ghazali berpandangan bahwa karena ilmu laduni itu
datang dari Tuhan secara langsung ke dalam jiwa manusia, yakni jiwa sempurna
dari ayat tadi, ketika menjelaskan metode memperoleh ilmu laduni tersebut ia
mengambil pemahaman terhadap ayat tersebut. Dari ayat tersebutlah, ia
merumuskan beberapa metode untuk memperoleh ilmu laduni. Metode-metode
yang dimaksud adalah berikut ini:
Pertama, melalui pencarian seluruh ilmu dan pengambilan bagian yang paling
sempurnadari sejumlah besar yang ada. Secara terpintas, metode ini layaknya
bukan sebagai metode untuk memperoleh ilmu laduni. Namun bila dikaji lebih
mendalam, Al-Ghazali memaksudkan bahwa sebagian ilmu yang diperoleh
manusia adalah ilmu tentang hakikat. Ilmu tentang hakikat ini merupakan salah
satu bentuk dari ilmu laduni. Oleh karena itu, upaya untuk mendapatkan sebagian
ilmu, yakni ilmu yang dianggapnya sempurna itu, merupakan metode memperoleh
ilmu laduni.
Kedua, melalui metode Riyadhah dan Muraqabah. Riyadhah yang dimaksud
oleh Al-Ghazali adalah latihan kejiwaan, sedangkan Muraqabah adalah upaya
manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, latihan Riyadhah ini
harus dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga, Muraqabah,
harus dilakukan secara benar, yakni dengan cara yang tidak menyimpang.
16
Ketiga, melalui metode Tafakur, Tafakur yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali
ialah berpikir tentang realitas alam, baik yang tampak dalam diri manusia, hewan,
tumbuhan, alam dan segala makhluk ciptaan-Nya. Metode ini dianggap penting
dilakukan oleh manusia yang ingin mendapatkan ilmu laduni. Hal ini karena
apabila jiwa itu belajar dan mengolah ilmu, kemudian memikirkan atau
menganalisis data-data keilmuan yang ia dapatkan dengan syarat-syarat
bertafakur, baginya akan dibukakan pintu kegaiban.
Al-Ghazali dalam masalah tafakur ini jelas menekankan syarat-syarat
bertafakur, karena menurutnya, orang berpikir tidak ubahnya seperti pedagang
yang mengelola barang dagangannya dengan syarat atau aturan tertentu, sehingga
pintu laba akan terbuka baginya. Namun apabila menempuh jalan yang salah, dia
akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali apabila orang
yang berpikir menempuh jalan yang benar, dia akan menjadi seorang ilmuwan
(dhawi al-albab) yang terbuka pintu hatinya, sehingga dia akan menjadi alim
sempurna, berakal, mendapat ilham, dan ahli hujjah. Sehingga metode tafakur
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan ilmu
laduni.
Keempat, ialah metode pengilhaman. Metode yang lebih menggambarkan
proses pemberian ilmu dari Tuhan kepada manusia melalui ilham. Al-Ghazali
memaksudkan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu laduni melalui metode atau
pendekatan kepada Tuhan sehingga Tuhan menurunkan ilham kepada orang-orang
yang telah berupaya untuk memperolehnya.
Untuk menguatkan argumen tentang metode keempatnya itu, Al-Ghazali
menjelaskan proses datangnya ilham dalam jiwa manusia. Menurutnya, ilham
dapat berkembang dari jiwa universal ke dalam jiwa parsial berdasarkan kadar
kejernihan, kekuatan, dan kesiapan penerimaannya. Ilham adalah kelanjutan
wahyu sebab wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham merincinya.
Ilmu yang diterima melalui pendekatan wahyu disebut ilmu kenabian,
sedangkan ilmu yang diperoleh dengan metode pengilhaman disebut ilmu laduni,
yaitu ilmu yang diperoleh manusia tanpa perantara yang menghubungkan antara
jiwa manusia dan pencipta. Ia semata- mata seperti cahaya dari lampu kegaiban
yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih, kosong, dan lembut (Muhtar Solihin,
2001: 91).
17
Hal itu disebabkan semua ilmu diperoleh dalam substansi jiwa yang universal
dan prima dalam substansi-substansi yang tinggal pertama kali secara absolut
Jawahir Almufarriqah Awwaliyyah Mahdhah, yang dinisbatkan kepada akal
pertama (al-‘aql al-‘awal), sebagaimana hubungan Siti Hawa dengan Nabi Adam.
Dalam menjelaskan jiwa universal, Al-Ghazali mengaitkannya dengan akal
universal. Akal universal lebih mulia, lebih sempurna, lebih kuat, dan lebih dekat
kepada sang pencipta yang Maha Tinggi daripada jiwa universal. Akan tetapi,
jiwa universal lebih agung, lebih lembut, dan lebih mulia daripada makhluk-
makhluk lain. Dari pelimpahan akal universal inilah dihasilkan ilham. Demikian
pula dari pancaran jiwa universal pun dihasilkan ilham. Oleh karena itu, wahyu
adalah perhiasan para Nabi, sedangkan ilham merupakan perhiasan para wali.
Keliam, metode Takziat An-Nafs yaitu proses penyucian jiwa manusia melalui
tahapan Takhalli dan Tahalli. Takhalli adalah pengosongan atau pembersihan jiwa
manusia dari akhlak atau perilaku tercela. Adapun Tahalli adalah pengisian jiwa
dengan akhlak terpuji. Proses tahalli ini berlangsung secara berangsur-angsur
melalui beberapa maqom, yaitu: tobat, sabar, syukur, harap, dan takut, zuhud,
fakir, ikhlas, waspada, mawas diri, tawakal, cinta, rindu, ridha (Muhtar Solihin,
2001: 92).
Metode ini merupakan kunci dari pemahaman Al-Ghazali tentang metode
pertama dan keempat. Dalam pandangannya yang telah dijelaskan di atas bahwa
ilmu yang sempurna lahir dari jiwa yang telah mengalami penyempurnaan.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada lima hal yang
menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu: belum
sempurnanya jiwa, dikotori maksiat, menurutkan keinginan badan, ada penutup
yang menghalangi hakikat masuk ke jiwa (taqlid), dan tidak dapat berpikir logis.
Menurut Al-Ghazali, untuk menghilangkan penghalang itu dibutuhkan upaya
pengembalian jiwa kepada kesempurnaannya. Dalam konteks inilah, Al-Ghazali
mengonsepsi bahwa penyempurnaan jiwa dapat dilakukan melalui Tazkiya An-
Nafs.
Tazkiya An-Nafs dkonsepsikan Al-Ghazali dengan didasari oleh asumsi
bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar dari
objek material. Adapun kegiatan mengetahui ibarat cermin yang menangkap
gambar-gambar tersebut. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya
tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin.
18
Dengan demikian, kesucian jiwa merupakan syarat mutlak bagi masuknya
hakikat-hakikat atau ilmu laduni ke dalam jiwa. Jiwa yang suci akan mudah
menerima ilmu laduni dari Tuhan, sedangkan jiwa yang kotor justru akan
menghalangi masuknya ilmu laduni. Oleh karea itulah, Takziya An-Nafs
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perolehan ilmu laduni.
Keenam, adalah metode Dzikir. Secara etimologi, Dzikir adalah mengingat,
sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian
kepada Allah. Persoalan Dzikir ini merupakan metode paling utama untuk
memperoleh ilmu laduni (Muhtar Solihin, 2001: 93-94).
Al-Ghazali memandang bahwa pentingnya Dzikir menjernihkan hati, karena
hati merupakan tempat masuknya pengaruh-pengaruh dari luar yaitu panca indra
dan adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat
manusia (Massimo Campanini dalam Nasr dan Leaman (ed), 2003: 333).
Karena ada kemungkinan berbagai pengaruh yang datang ke dalam hati,
manusia tidak dapat terlepas dari was-was yang selalu menghimpit hatinya, was-
was itu merupakan pintu masuknya setan, dan setan selalu mengembuskan was-
was ke dalam hati manusia. Was-was ini biasanya dibarengi dengan hayalan-
hayalan dalam hati. Hanya Dzikirlah yang menutup pintu masuk setan, karena
dzikir merupakan lawan semua godaan setan, dan was-was itu sendiri dapat
terputus dengan dzikir kepada Allah (Muhtar Solihin, 2001: 94).
Al-Ghazali meyakini bahwa Dzikir akan membuka tabir alam malakut yakni
dengan datangnya malaikat. Namun bukan hanya Al-Ghazali yang berpendapat
demikian, tetapi para sufi secara keseluruhan bahwasannya Dzikir membantu
menjaga hati seseorang yang ingin selalu mengingat Tuhannya.
Dalam penjelasan lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzikir juga
sangat berfungsi untuk mendatangkan ilham. Ketika hati manusia bersih maka
saat itu pula Allah memberikan ilham ke dalam hati. Lebih lanjut Al-Ghazali
membagi Dzikir pada dua macam, Dzikir Murni (dzikr al-khalis) yaitu dzikir yang
disertai kecocokan hati saat berhenti dalam memandang selain Allah. Dzikir
Jernih (dzikr shaf) yaitu yang terjadi saat pupusnya keinginan karena berdzikir.
Al-Ghazali juga membagi tiga klasifikasi Dzikir pada kerja spiritual, yaitu:
Pertama, dzikir lahir dengan gerakan lidah. Ini dianjurkan dalam bacaan dari
beberapa bentuk ibadah. Kedua, dzikir sir (rahasia) yang memiliki kedudukan
paling tinggi diantara ibadah dan sedekah. Ketiga, dzikir kalbu (qalb) dzikir ini
19
muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap alam dan kesibukan dengan kekasih.
Maka dalam kondisi dzkir ketiga ini manusia telah fana tahap pertama, maka dari
fana tahap pertama itulah diperoleh fana tahap kedua, yaitu dalam kondisi dirinya
bermusyahadah kepada Allah. Maka pada kondisi inilah ilham diberikan
kepadanya (Muhtar Solihin, 2001: 98).
Uraian tantang metode-metode untuk memperoleh ilmu laduni ini pada
dasarnya dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk selalu tunduk dan
patuh sebagai proses penghambaan kepada yang dicintai. Dengan adanya metode
ini sebagai gambaran bahwa untuk mencapai ketersingkapan hijab (mukashaf)
dalam upaya perjumpaan dengan Tuhan perlu adanya usaha khusus. Jadi setiap
manusia mempunyai potensi untuk meraih ilham dengan syarat melakukan
metode-metode tersebut.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam epistemologi pengetahuan, Al-Ghazali mengalami perkembangan yang
tergambar dari mulai pemikiran filsafat, kalam, hingga tasawuf. Sehingga pada
puncaknya, Al-Ghazali menemukan sebuah pengetahuan yang bersifat ilham yang
menjadi dasar dari ilmu laduni. Ilmu laduni ialah sebuah ilmu yang secara langsung
diberikan oleh Tuhan, tanpa perantara, kepada manusia pilihannya yaitu orang-orang
yang selalu melakukan Riyadhah, Muraqabah, Tafakur dan Dzikir, karena metode ini
tergolong dalam Ta’allum Rabbani.
21
DAFTAR PUSTAKA
Rusliana, Lu, M, Si. 2015. Filsafat Ilmu (Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu Mahasiswa
PTAI dan Umum). Bandung. PT Refika Aditama