Filsafat Ibnu Khaldun

download Filsafat Ibnu Khaldun

of 197

Transcript of Filsafat Ibnu Khaldun

Filsafat Ibnu Khaldun

Filsafat Ibnu KhaldunPENGANTAR

Ketika menyampaikan hasil penelitian ini dalam sebuah seminar pada tahun 1972 di hadapan sejumlah pemikir dan pemerhati filsafat Ibn Khaldun yang berasal dari berbagai negara, seperti Suria, Mesir, Irak, Libanon, Maroko, dan Prancis, saya kemukakan kepada mereka bahwa kajian saya tentang pemikiran Ibn Khaldunyang ditulis sesuai dengan standar akademis initidak hanya dimaksudkan untuk meraih gelar doktor, untuk kemudian disimpan di antara kumpulan arsip-arsip universitas. Bagi saya, dengan penelitian ini ada tujuan lebih luas yang ingin saya capai yaitu memperkenalkan secara lebih luas pemikiran Ibn Khaldun kepada masyarakat dan generasi terpelajar saat ini. Karena itu saya berharap kepada para peserta seminar agar tidak melulu membahas aspek teknis dari kajian saya ini yang mungkin jauh dari kesan akademisilmiah. Mungkin karena pengantar yang saya kemukakan itu, seluruh peserta seminarkecuali dua oranglebih banyak memusatkan perhatian mereka pada tataran teknis-akademis kajian saya (dan itu hak mereka), serta mengabaikan bagian terpenting dari kajian ini yaitu pengungkapan pemikiran-pemikiran baru tentang Ibn Khaldun yang meliputi tiga tema penting: kedudukan struktur kehidupan sosial bangsa Arab di tengah perkembangan budaya; kedudukan aspek politik bangsa Arab di tengah struktur kebangsaan; dan kedudukan masyarakat Arab di tengah gempita perkembangan keilmuan, spiritual, dan kehidupan budaya. Bagi saya, fenomena itu sangatlah menyakitkan karena berbagai bidang yang selama ini menjadi objek pemikiran Ibn Khaldun tentang kehidupan bangsa Arab meliputi sejumlah aspek sederhana, masih jauh dari sentuhan pemikiran para ulama dan peneliti kita. Padahal berbagai aspek pemikiran Ibn Khaldun itu sangat penting untuk membangun dan mengembangkan struktur sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Tampaknya, kedudukan kajian sayadi hadapan para pemikir dan penelitiidentik dengan kedudukan bangsa arab di hadapan mahkamah sejarah dalam hubungannya dengan ketiga bidang pemikiran yang telah menciptakan peradaban besar. Dan saya khawatir bahwa saat ini kita lebih senang melontarkan tuduhan, sebagaimana yang banyak dikemukakan oleh para pemikir kita saat ini bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir yang terlampau mencintai

bangsanya (Arab), bahkan cenderung bersikap chauvinis. Atau paling tidak, kita juga berpikiran sama dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan itu. Dalam forum seminar itu saya telah menyiapkan diri seandainya tuduhan yang dulu dilontarkan kepada Ibn Khaldun, juga ditujukan kepada saya karena berusaha untuk membawa pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun ke tengah gelanggang kehidupan bangsa Arab yang beranjak untuk bangkit. Saya semakin kesal karena bebagai masalah dan kemungkinan persoalan yang telah saya persiapkan sama sekali tidak dibahas oleh para peserta seminar; mereka menyentuh berbagai hal yang sama sekali di luar bayangan saya. Mereka mendiskusikan masalah-masalah yang sangat teknis seperti penempatan tanda baca: titik, koma, dan lain-lain, juga tentang rujukan dan referensi yang tidak saya sertakan. Tetapi satu kritik paling pedas yang saya rasakan adalah ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa yang saya gunakan bukanlah bahasa ilmiah, tetapi bahasa jurnalistik-populer. Dengan kata lain, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa yang bisa dibaca secara serius oleh pembacayang untuk memahaminya pun membutuhkan kerja keras Bahasa saya, menurut mereka, adalah bahasa yang terlampau populer sehngga bisa diakses oleh siapa pun, tidak hanya oleh kalangan akademis-ilmiah, tetapi juga oleh semua lapisan masyarakat secara umum. Dengan demikian, karya saya itu telah jatuh dari tingkatan ilmiah menjadi karya pop yang kacangan, dan saya dianggap telah merusak otoritas bahasa akademis atau bahasa ilmiah. Sungguh ironis, masalah semacam ini muncul ketika bangsa-bangsa yang maju sedang berusaha untuk menyederhanakan kajian ilmiah mereka sebagaimana yang dulu dilakukan oleh para ilmuwan kita pada masa kejayaan peradaban Arab. Fenomena semacam itu muncul ketika bangsa Arab saat ini memiliki kekayaan alam yang luarbiasa serta warisan peradaban yang agung tetapi tidak bisa didayagunakan karena manusia yang hidup di dalamnya tidak memiliki wawasan kultural yang memadai, kecuali beberapa orang jurnalis dan ahli sejarah. Sehingga para ilmuwan kita saat ini terus melaju penuh rasa percaya diri dengan bahasanya yang hebat yang telah memusnahkan kehidupan itu sendiri, serta dengan kebudayaan mereka yang tidak pernah menyatu dengan realitas yang dihadapi. Sedangkan para ilmuwan besar, para profesor di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih banyak berdiam diri di singgasana mereka dan enggan mencampuri berbagai urusan masyakat atau urusan politik; mereka berdiam diri tanpa memiliki kesadaran untuk melestarikan warisan budaya ini dengan bahasa mereka yang istimewa dan tradisi peradaban mereka yang selama ini telah mengangkat derajat mereka melampaui orang-

orang biasa. Bahkan seorang ilmuwan dalam bidang ekonomi pun hanya memperhatikan masalah halal dan haram suatu transaksi tanpa mau terlibat lebih jauh dalam urusan ekonomi. Sama halnya, para ilmuwan kita saat ini enggan untuk mengurusi masalah-masalah sosial pilitik, karena bagi mereka, bersentuhan dengan masalah-masalah itu akan membahayakan kepentingan material mereka. Mereka tidak menyadari bahwa sikap seperti itu akan menghancurkan sisi maknawi dari ilmu yang mereka kuasai. Karena itulah mereka hanya bisa diam sambil melihat jalannya gerak peradaban dengan berbagai aspek kehidupannya yang nyata, meliputi aspek budaya, politik dan lain-lain. Meski demikian, karya saya yang dianggap kacangan oleh para peserta seminar itu, ketika diterbitkan dan dilempar ke pasaran, ternyata mendapat sambutan yang cukup luas dari mayarakat. Itu terbukti dengan habisnya cetakan pertama buku ini dalam waktu singkat, kemudian disusul dengan cetakan kedua, dan kini memasuki cetakan ketiga. Saya sangat senang melihat fenomena itu, bukan dari sisi material yang saya dapatkan, tetapi bahwa pemikiran-pemikiran dan kebijakan tentang umat serta bangsa bisa tersebar secara luas sehingga masyarakat bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna sama sekali. Dan sesungguhnya, itulah kebijakan paling benar yang sesuai dengan nurani masyarakat yang selamat dari reduksi pemikiran ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama kita saat ini. Saya berharap agar buku ini bisa memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat umumnya dan generasi muda khususnya sehingga mereka mengatahui fenomena kehidupan yang telah lampau dan masa sekarang agar mereka bisa menentukan langkah yang tepat untuk menghadapi masa depan mereka. Sungguh benar sebuah ungkapan yang menyatakan: jika kau tidak tahu darimana asalmu, maka kau tak akan mengetahui kemana hendak pergi. Dan Ibn Khaldun telah menghabiskan seluruh kehidupannya untuk meneliti dan menganalisis berbagai fenomena yang terjadi di tengah masyarakatnya, yang berhasil membangun satu peradaban besar. Kemudian ia mengasingkan diri di sebuah gua di sebelah barat jazirah yang berbatasan dengan Maghrib 1 untuk menyusun dan menyempurnakan karyanya yang monumental tentang sejarah dan peradaban selama kurang dari lima bulan. Hal yang sangat mengagumkan darinya adalah ketajaman analisis yang ia lakukan1

Dalam beberapa karyanya, Ibn Khaldun menggunakan istilah maghrib dan masyriq untuk membedakan dua wilayah utama negeri-negeri umat Islam. Kadang, istilah maghrib ia gunakan untuk menyebut nama sebuah negara Muslim yang kini disebut Maroko. Di sini, kedua kata itu sengaja tidak diterjemahkan secara harfiah menjadi timur dan barat karena akan bercampur dengan dikotomi timur-barat dalam peristilahan kontemporer. Kata Maghrib (dengan M kapital) digunakan untuk menunjuk nama negara Muslim, dan membedakannya dari maghrib sebagai wilayah. (Penerj.)

dan kedalaman pemikiran yang ia tuangkan. Bahkan, hingga saat ini pun karya Ibn Khaldun tetap memunculkan rasa kagum luarbiasa sebagaimana yang dikemukakan oleh Toney: Sesungguhnya Muqaddimah merupakan karya paling besar dan paling agung yang pernah ditulis sepanjang zaman dan di wilayah mana pun. Hal itu karena karya Ibn Khaldun itu menyentuh satu permasalahansebagaimana dikatakan Yves Lacosteyang hingga saat ini pun masih menjadi permasalahan masyarakat kita yaitu perpecahan masyarakat; kemudian Ibn Khaldun menawarkan solusi untuk mengatasi masalah itu. DR. Abdullah Syarith

PENDAHULUAN Menjelang bab-bab akhir pembahasan buku ini, seorang kawan memberi saya sebuah buku tentang Ilmu-ilmu Humaniora. Saya patut berterimakasih kepadanya atas pemberian itu. Ketika menelusuri lembar-demi lembar buku itu, saya menemukan satu pembahasan tentang masalah yang selama ini menjadi perhatian saya, bahkan sebelum saya menyusun buku ini. Sungguh sangat disayangkan bahwa para penulis kita saat ini tidak begitu memedulikan penerapan metode ilmiah dalam kajian ilmu-ilmu humaniora. Padahal, bagi saya, itulah satusatunya metode paling tepat, khususnya untuk membahas suatu objek seperti pemikiran etika Ibn Khaldun. Penulis buku itu pun mengungkapkan kekecewaan yang sama terhadap perkembangan itu. Ia mengatakan: Ilmu-ilmu humaniora, atau rumpun ilmu yang digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena kemanusiaan, baik dari kajian individual maupun sosial, saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu sungguh berada di luar perkiraan kita sebelumnya. Hal itu terjadi karena kita harus menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengantisipasi pesatnya peradaban manusia. Perilaku dan peradaban manusia sesungguhnya diatur oleh hukumhukum ilmiah tertentu yang sangat mungkin untuk dianalisis dan diabstraksikan menjadi teoriteori sosial, kemudian diterapkan untuk kegunaan manusia. Satu masalah penting yang kita hadapi saat ini adalah bahwa sejarah manusia tak hanya menyuguhkan peradaban material, tetapi mereka juga memiliki perilaku batin dan fenomena psikologis yang sangat sulit untuk dianalisis secara rasional. Karena itu, langkah pertama yang harus kita lakukan saat ini adalah menguji seluruh fenomena kebudayaan manusia dengan pengujian yang benar berdasarkan prinsip-rinsip kebudayaan universal. Selebihnya, kita juga harus menganalisis perkembangan kebudayaan itu sehingga teori-teori kemanusiaan yang kita kembangkan sesuai dengan gerak kebutuhan manusia itu sendiri. Pada zaman sekarang kita membangun masyarakat kita dalam sebuah dunia yang menjadikan ilmu sebagai metode. Tak hanya itu, manusia juga menganggap ilmu sebagai jalan hidup mereka, tak hanya menjadi perangkat pelengkap dari suatu bangunan kebudayaan. Dengan demikian, kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dengan terus melakukan analisis dan pengujian teoretis atas berbagai gejala kemanusiaan, serta terus berusaha menyingkapkan berbagai hakikat kemanusiaan yang tak mengenal batas. Rasanya saya tak perlu membeberkan rasa senang saya yang tak terhingga ketika membaca buku itu. Penulis menyuguhkan suatu objek pembahasan yang berbeda dengan apa

yang selama ini saya lakukan. Melalui karyanya itu ia ingin memadukan antara pemikiran ilmiah yang terdapat dalam fenomena-fenomena kemanusiaan secara umum dengan berbagai perangkat ilmiah yang dibutuhkan. Saat ini kita menggunakan berbagai teori yang diadopsi dari luar untuk diterapkan dalam menganalisis peradaban kita yang kompleks dan heterogen. Bagi saya, hal itu cukup untuk memajukan disiplin ilmu-ilmu humaniora di negeri ini. Lebih jauh, penulis buku itu mengajukan sebuah tanya: Sampai kapan kita terus beranggapan bahwa kemajuan teknologi lebih cepat ketimbang kemajuan manusia? Saya berkeinginan untuk memasukkan perangkat pemikiran ilmiah ke dalam kehidupan etika kita sehingga kita bisa keluar dari gaya serta metode klasik yang terus digunakan dari dulu hingga sekarang, yaitu tradisi memberi peringatan keras dan tegas serta nasihat-nasihat lisan yang terus diwariskan dari zaman ke zaman, serta mewartakan kebanggaan akan masa lalu yang gemilang. Kita tak pernah menyadari bahwa metode semacam itu tidak bisa memberikan pengaruh positif terhadap generasi kita saat ini yang telah memiliki tradisi berpikir modern. Selain itu, tradisi konvensional itu tak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan makna dan etika. Tradisi itu hanya menghasilkan perdebatan yang tak kunjung akhir dan mewariskan pemikiran tradisional hingga saat ini. Pemikiran Ibn Khaldun tentang etika sesungguhnya tidak berbicara pada tataran kemanusiaan secara umumbaik individual maupun sosialsebagai satu entitas yang terpisah dari faktor-faktor material (al-masyiyah), serta pengaruhnya terhadap sejarah, dimensi kultural dan peradabannya. Ibn Khaldun melihat manusia sebagai suatu entitas yang berhubungan erat dengan kehidupan duniawi, dengan makanan yang dimakan sehari-hari, dengan berbagai ritual yang mentradisi serta seperangkat hukum atau peraturan yang mengikat dan mengatur perilaku mereka. Pemikiran Ibn Khaldun tentang etika tidaklah sama dengan pemikiran Ibn Sina atau alFarabi, atau pun pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato dan Sokrates. Pemikirannya pun tidak dibangun berdasarkan hukum-hukum etikanya Immanuel Kant yang berangkat dari nurani yang bebas dan bersih; juga tidak sama dengan filsafat manusia yang dikembangkan oleh para filsuf idealisme yang mengusung prinsip keberbedaan antara realitas manusia dengan idea, atau antara realitas dengan impian. Pemikiran semacam itu terus menjejakkan pengaruhnya ke dalam kehidupan manusia sejak zaman Plato sampai saat ini sehingga kita terus hidup dalam kehidupan yang dipenuhi konflik dan pertentangan antara dimensi rasional dengan dimensi material. Dan sesungguhnya konflik-konflik itu menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap melemahnya

pengaruh etika terhadap kehidupan manusia. Manusia mengalami perkembangan yang berbedabeda dalam setiap periode sejarahnya. Khususnya kita pada saat ini, mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu, peradaban, maupun ekonomi, tetapi dalam disiplin etika kita masih terus bertentangan satu sama lain, seiring mencuatnya perkembangan dalam berbagai bidang yang lain. Karena itu pulalah, peradaban kita saat ini terus diwarnai peperangan antara satu kelompok atau bangsa dengan kelompok atau bangsa lain di tengah maraknya keinginan untuk memasukkan pemikiran ilmiah ke dalam disiplin etika. Selain itu, juga ada seruan untuk tetap membiarkan kajian tentang etika di dalam disiplin filsafat dengan alasan bahwa disiplin etika tidak membahas atau menganalisis sesuatu yang terjadi secara nyata, tetapi membahas sesuatu yang semestinya berlaku dan diterapkan oleh individu maupun masyarakat. Dan bagi mereka, pembahasan semacam itu tidak layak untuk dianggap sebagai disiplin ilmiah. Orientasi pengetahuan semacam itu saat ini terus mendapat sokongan dalam berbagai pembahasan modern agar melepaskan dirinya dari perkembangan teori-teori sosial-politik. Saya berusaha untuk menganalisis karya monumental Ibn Khaldun yang berjudul Mukaddimah untuk mengungkapkan pemikirannya tentang etika. Hal itu tetap saya lakukan meskipun Mukaddimah tidak bisa merepresentasikan gejolak pemikiran Ibn Khaldun. Bila kita mengetahui cara untuk memadukan semangat keilmuan modern ke dalam karya-karyanya, tanpa mengabaikan berbagai ungkapan yang tidak pernah ia katakan, atau bila kita membiarkan diri kita untuk memahami segala sesuatu yang ia katakan namun tak pernah ia maksudkan, segala sesuatu yang tidak ia nyatakan dengan tegas, tetapi cukup dibimbing oleh pemikirannya yang brilian, kemampuan observasinya yang sangat mengagumkan, serta pemahamannya terhadap berbagai bidang kebudayaan dengan pemahaman yang tak ada bandingannya saat itu, bahkan pengaruh pemikirannya terus melampaui zaman demi zamansebagaimana yang diakui oleh banyak sarjana Barat saat ini, maka kita akan mampu menganalisis berbagai masalah kemanusiaan saat ini sebagaimana dulu ia menganalisisnya. IbnKhalduntelah berusaha untuk mengupas berbagai masalah yang rumit dan mengentaskannya dari keraguan. Dan satu hal yang sangat penting dalam pembahasannya terhadap berbagai kemanusiaan yang sangat luas, khususnya dengan fenomena yang kita alami saat ini adalah bahwa pembahasannya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat kita saat ini, sehingga menjadikannya sebagai satu-satunya pemikir yang mampu menafsirkan berbagai cacat dan kelebihan kita, kesempurnaan dan kekurangan kita

dengan penafsiran ilmiah. Itulah pembahasan yang saat ini kita geluti tetapi belum mampu untuk kita selesaikan. Pembahasan ini saya bagi ke dalam tiga bab besar. Bab pertama berisi pemikiran tentang etika dan kebudayaan, bab kedua mengupas masalah pemikiran tentang etika dan politik, serta bab ketiga membahas masalah pemikiran etika dan peradaban. Masing-masing bab terdiri atas enam pasal dan perlu saya kemukakan bahwa pembagian setiap bab ke dalam enam pasal itu bukanlah sesuatu yang disengaja, tetapi begitu saja muncul sesuai dengan kerangka pembahasan yang dibutuhkan. Bahkan penetapan ketiga bab tersebut muncul setelah saya selesai mengurai kedelapan belas pasal yang telah saya tetapkan sebelumnya dalam outline pembahasan. Pasal pertama dari bab pertama membahas pemikiran filosofis Ibn Khaldun disertai pembahasan tentang problem pengetahuan yang berhubungan dengan etika, sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran setiap filsuf. Saya memusatkan pembahasan pada masalah wahyu, mukjizat, karamah, dan sihir, serta apakah Ibn Khaldun menganggap aspek-aspek metafisika itu sebagai pengatahuan sejati, ataukah semua itu hanya elemen-elemen dari fenomena kejiwaan, tidak termasuk ke dalam disiplin pengetahuan. Orientasi saya untuk membahas masalah-masalah itu merujuk pada dua sebab berikut: Pertama, karena Ibn Khaldun menganggap aspek-aspek metafisika itu sebagai bagian penting dari kebudayaan masyarakat yang berkembang saat itu, bahkan hingga saat ini pun tetap menjadi aspek yang diperhitungkan dalam kehidupan masyaraka kita. Kedua, saya menyimpukan bahwa sesungguhnya Ibn Khaldun mengakui keberadaan aspek-aspek metafisika yang tidak bisa ditafsirkan secara ilmiah itu, tetapi menentang dengan tegas upaya untuk memasukkannya sebagai salah satu aspek pengetahuan, atau dinisbatkan kepada pengetahuan. Ibn Khaldun menganggap bahwa filsafat tidak mungkin merasionalisasikan aspek-aspek itu untuk kemudian mengembangkannya sebagai pengetahuan atau salah satu unsur unsur pengetahuan yang bisa dicerap oleh akal. Maka, segala sesuatu yang tidak bisa diuraikan oleh rasio dengan pembahasan ilmiah yang jelas dan tegas, cukuplah untuk diimani dan dilesapkan ke dalam keyakinan spiritual yang tentu saja lebih luas ketimbang pemahaman rasional. Akal manusia telah memiliki medan pengetahuan tersendiri yang jelas dan terbatas. Kita tidak boleh menggunakannya kecuali dalam segala sesuatu yang bisa mempertegas keyakinan kita terhadap pengetahuan, pemahaman dan kajian ilmiah. Dan sesungguhnya ada

banyak hal yang bisa kita analisis jika kita mengetahui cara-cara yang tepat untuk mendayagunakan akal kita dalam batas-batasnya yang telah ditetapkan. Pasal kedua bab pertama mengungkapkan sejumlah solusi yang dikedepankan oleh berbagai kebudayaan untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam bidang etika. Secara khusus saya akan mengupas sumbangan kebudayaan Cina dan India dalam masalah ini. Sesungguhnya peradaban timur kuno telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pemikiran etika. Tetapi peradaban barat modern, yang memberikan sumbangan besar terhadap pemikiran kita tentang sejarah, mengabaikan dan menganggap remeh sumbangan peradaban bangsa-bangsa timur itu. Mereka meyakini bahwa filsafat yang berkembang saat ini sesungguhnya berasal dari Barat, tepatnya di dataran Yunani dan memuncak di Barat pula, yaitu di Eropa. Hal itu merupakan egoisme dalam pemikiran yang selayaknya kita hindari. Meski demikian, hal itu tidak menghalangi saya untuk mengkaji pemikiran filsafat etika yang dikembangkan oleh seorang filsuf Yunani yaitu Aristoteles karena pemikirannya tentang etika menjadi landasan penting bagi perkembangan pemikiran etika pada zaman modern sehingga etika menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri. Pemikiran etika pada zaman modern meluas menjadi suatu perdebatan akademis yang senantiasa bergema hingga saat ini antara kelompok yang menggunakan pemikiran ilmiah dalam etika dengan kelompok yang tetap menganggap etika sebagai bagian dari filsafat. Pertentangan akademis ini perlu dikemukakan untuk memahami lebih jauh pemikiran ilmiah dala etika yang dikembangkan oleh Ibn Khaldun, serta perkembangan-perkembangan baru yang muncul kemudian. Pasal ketiga mengupas perbandingan antara metode yang digunakan oleh Ibn Khaldun untuk membahas etika dengan para filsuf Muslim yang lain, dan dengan para filsuf Yunani, serta dengan Santo Agustinus, sebagai wakil dari filsuf Kristen. Satu perbedaan penting antara pemikiran Ibn Khaldun dengan para filsuf lain adalah bahwa mereka menganggap manusia sebagai entitas yang mandiri dan khas, terlepas dari realitas duniawi yang nyata, sehingga mereka melesakkan sejumlah kemestian manusiawi dan nilai-nilai moral-ideal ke dalam segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas manusia yang diliputi oleh berbagai konflik, kesulitan dan masalah. Ibn Khaldun menganggap bahwa sekolah yang sebenarnya bagi manusia untuk mempelajari segala sesuatu yang bisa direalisasikan oleh mereka dalam kehidupan moral adalah sejarah manusia itu sendiri, dengan syarat bahwa sejarah itu tidak kosong dari berbagai peristiwa, tetapi bisa menguraikan sebab-sebab munculnya suatu peristiwa. Dengan demikian,

sejarah manusia menjadi satu aspek yang sangat penting yang di dalamnya kita bisa menemukan sejumlah ibrah atau pelajaran moral. Banyak dari sejarahwan yang mengungkapkan suatu peristiwa historis tetapi tidak mampu menyingkapkan berbagai ibrah dari sejarah itu sendiri melalui analisis, serta tidak mau menggunakannya untuk menyingkapkan realitas dari berbagai peristiwa. Jika saja para sejarahwan memasukkan unsur analisis ke dalam disiplin sejarah yang mereka geluti, maka sejarah tidak hanya menjadi filsafat sejarah serta ibrah ilmiah dalam pemikiran etika, tetapi kita juga bisa mengabstraksikan sejumlah kekayaan ilmiah lain yang meliputi bidang-bidang pemikiran humaniora lainnya, seperti bidang sosial, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain. Sungguh mengagumkan bahwa semua hal itu disentuh oleh Ibn Khaldun dalam pemikirannya tentang etika, disertai keluasan, kedalaman dan kecerdasan analisisnya yang brilian. Pasal keempat mencoba mengungkapkandari berbagai keistimewaan Ibn Khaldun metode yang ia gunakan untuk membahas masalah etika. Dan nyatanya, metode yang ia gunakan itu hampir serupa dengan metode-metode modern yang diterapkan oleh para pemikir kontemporer dalam kajian etika. Selain itu, bagian ini pun akan membahas kembali posisi pemikiran filsafat Islam dalam kajian etika, serta berbagai pendapat para pemikir modern tentang hal itu. Kita akan mendapati bahwa Ibn Khaldun menempati posisi yang istimewa dalam bidang tersebut. Namun kemudian muncul masalah, apakah Ibn Khaldun memang secara sengaja berusaha untuk memasukkan pembahasan tentang etika di dalam Mukaddimah-nya, ataukah kita saat ini yang berusaha meyakinkan adanya pembahasan etika dalam karya terkenalnya itu, sebagaimana kita mengemukakan berbagai kajian lain semisal kajian sosiologi, ekonomi, dan filsafat sejarah. Tetapi bukan masalah penting apakah Ibn Khaldun memaksudkan pembahasan etika dalam karyanya atau tidak, tetapi yang penting adalah bisakah kitadi tengah perkembangan tradisi ilmiah yang sangat pesatuntuk mengabstraksikan pemikiran tentang etika dari karyanya yang sangat besar itu, ataukah kita tidak mampu melakukannya? Dan khususnya menyangkut pemikiran tentang etika, kami melihat adanya satu bahasan penting yang dikemukakan oleh pemikir modern yang menentang untuk melihat etika dari kajian eksternal. Teori modern tentang etika mengemukakan bahwa etika tidak bisa dianalisis dengan melepaskannya dari aspek internal manusia, serta dari unsur terpenting yang ditinggalkan oleh para pemikir klasik tentang etika. Teori etika modern menentang kecenderungan para pemikir klasik yang menjadikan moralitas sebagai realitas yang jauh dan berjarak dari kehidupan

manusia nyata. Teori etika modern menyatakan dengan tegas: kita tidak mungkin menganaslisis dan menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi tanpa sebelumnya mengetahui realitas yang meliputi peristiwa itu. Sama halnya, kita tidak bisa mengobati seseorang yang sakit fisik sampai mengetahui dimensi psikis yang meliputinya. Materi pertama yang sangat penting bisa kita temukan dalam karya Ibn Khaldun dengan standar yang mendekati kesempurnaan ilmiah, meskipun kita mendapati kekurangan dalam pemikirannya. Metode yang digunakan oleh Ibn Khaldun dengan menganalisis aspek eksternal dalam kehidupan nyata manusia membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa manusia bermoral bukanlah manusia yang digambarkan oleh filsafat sebagai sesuatu entitas yang menetapi kemestian dan ketentuan nilai-nilai ideal, tetapi manusia yang diciptakan dalam kehidupan ini untuk berjuang: jiwanya berjuang melawan jasadnya, akalnya bertentangan dengan naluri-naluri kemanusiaannya; struktur jiwa dan fisiknya senantiasa berjuang menghadapi lingkungan alam yang meliputinya, juga lingkungan geografis, sosial, peradaban, dan politiknya. Di dalam dan melalui seluruh perjuangan itulah manusia menjadi hamba bagi zat yang menciptakan dan mengaturnya. Karena itulah, bagi Ibn Khaldun, manusia adalah anak dari kebiasaan dan adat tradisinya, bukan anak dari alam dan lingkungannya (mazj). Dengan kata lain, sesungguhnya yang mengatur perilaku manusia adalah aspek-aspek eksternal, bukan kehendak-kehendak internal atau aspek-aspek kejiwaan. Konsep pemahaman semacam ini pada gilirannya memunculkan beberapa pertanyaan penting yang mesti dihadapi oleh Ibn Khaldun dalam pembahasannya tentang etika, yaitu: apakah manusia diciptakan untuk menetapi aspek-aspek eksternalnya semata? Lalu, apa bedanya manusia dengan ikan, hewan, atau dengan tumbuhan lain, seandainya ia tidak memiliki kehendak (internal) untuk mengubah dan mendayagunakan aspek-aspek eksternal itu dan memanfaatkannya bagi kehidupan? Juga jangan dilupakan bahwa masalah ini telah menjadi bagian paling sulit dalam kajian tentang etika, baik dalam pemikiran klasik maupun kontemporer. Masalah ini menyangkut kajian tentang nurani dan kebebasan manusia serta kekuasaanya untuk menciptakan jalan hidupnya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dengan ungakapan lain, apakah manusia yang mengubah aspek-aspek eksternal, ataukah aspek-aspek eksternal yang mengubah dan mentransformasikan manusia? Bahkan Alquran pun berbicara tentang masalah ini: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (keadaan) suatu kaum hingga mereka mengubah (keadaan) mereka sendiri.

Ayat itu mengungkapkan bahwa Alquran sendiri mengakui kekuatan internal yang dimiliki manusia, suatu aspek yang tampaknya tidak menjadi pusat perhatian Ibn Khaldun dalam pembahasannya tentang etika. Sejauh yang kita dapatkan dari karya-karyanya, Ibn Khaldun menganggap bahwa manusia selamanya berada dalam tegangan konflik dengan realitas yang meliputinya, tetapi hanya ada sedikit manusia yang selamat keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian, jika kita ingin menguraikan segala perubahan yang terjadi dalam kehidupan internal manusia, maka kita harus melihat perubahan itu dari aspek eksternalnya, dan aspek eksternalnya itulah yang kemudian mengubah struktur internalnya. Kekurangan Ibn Khaldun dalam prinsip ini tampak jelas dalam seluruh tema yang kita abstraksikan dari pemikiran filsafat moralnya, karena ia beranjak dari realitas dan kemestian menuju batas terjauh yang kadang-kadang menafikan contoh-contoh ideal yang semestinya dilekatkan dalam kajian tentang etika, baik dari sisi ilmiah maupun lingkungan eksternal. Dan kami berusaha untuk tidak menyembunyikan kekurangan itu dalam kajian ini, tetapi berupaya untuk mengungkapkan dalam setiap bagian beberapa pembahasan yang berhubungan dengan hal itu. Pasal keenam, atau bagian terakhir dari bab pertama mengupas kebutuhan masyarakat Arab dari sisi etikasebagaimana diuraikan oleh Ibn Khaldundalam setiap tingkat keberadaannya: baik masyarakat perkoataan yang beradab maupun masyarakat pedesaan yang terbelakang, baik dari sisi politik, sosial, psikologis, maupun moral. Bagi kami, bagian ini merupakan bagian yang cukup menguras pemikiransebagaimana yang bisa Anda lihat kemudiankarena ia menempatkan manusia Arab di depan mahkamah sejarah. Meski demikian, ia tidak menuduh mereka, tetapi berusaha menganalisis setiap gerak perubahan mereka sesuai dengan perjalanan sejarah, serta dalam berbagai aspek yang meliputi dan memengaruhi kehidupan mereka. Ibn Khaldun menganalisis berbagai perubahan sosial masyarakat Arab dengan analisis yang didasarkan atas aspek-aspek eksternal kehidupan manusia yang mengatur setiap laku mereka. Tak sedikitpun ia membahas kehendak manusia serta pertentangan batinnya, ataupun prinsip-prinsip yang dengannya mereka memperteguh keyakinan untuk mengantisipasi pengaruh aspek-aspek ektsternal itu dalam perjalanan hidup mereka, serta menetapkan kewajibannya atas semua upaya itu. Satu capaian penting Ibn Khaldun dalam pemikiran etika adalah analisisnya bahwa masyarakat Arab memiliki jiwa yang sederhana dan cenderung pada berbagai perkara yang sederhana. Karakter itulah yang menjadikan masyarakat Arab sebagai

masyarakat yang lemah sepanjang sejarah. Atau paling tidak, masyarakat Arab tertinggal jauh dari perkembangan kebudayaan yang berkesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya. Mereka juga tidak mampu menegakkan aturan-aturan yang bisa tegak mngikuti gerak peradaban sebagaimana yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain, baik yang hidup sebelum, sezaman atau pun yang akan muncul di masa depan. Karakter gampangan dan kecenderungan menyederhanakan berbagai masalah itulah yang membuatnya lemah menghadapi setiap tantangan zaman. Masyarakat Arab pedesaan dikenal sebagai masyarakat yang pemberani karena lingkungan yang keras mengharuskan mereka bersikap seperti itu, sedangkan masyarakat kotanya cenderung bersikap lemah dan kekanak-kanakan karena horison kota mewarnai mereka dengan karakter tersebut. Sikap mudah menyerah terhadap gejala eksternal telah menjadi karakter alami orang Arab. Apakah Ibn Khaldun melakukan kesalahan dengan mengungkap kekurangan itu? Bab kedua tentang etika dan politik dalam pemikiran Ibn Khaldun dimulai dengan pasal pertama (atau pasal ketujuh dari seluruh bahasan) yang mengupas masalah kenegaraan Arab ditinjau dari prinsip-prinsip realitasnya. Ia mengawalinya dengan menganalisis konsep negara di Yunani kemudian membandingkan dengan kenyataan yang terjadi di bangsa-bangsa Arab yang menjadi sandaran Ibn Khaldun dan mengabaikan prinsip-prinsipnya yang merupakan kemestian bagi tegaknya suatu bangsa. Sejak awal Ibn Khaldun lebih memperhatikan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Ia tidak pernah berangkat dari prinsip-prinsip yang tidak diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari pijakan ini kita bisa mendapati bahwa bagi Ibn Khaldun, bangsa Arab dibangun atas prinsip-prinsip moral yang tidak ditemukan dalam konsep negara di Yunani maupun di Romawi. Tetapi dari tataran realitas kita mendapati sesuatu yang berbeda, bukan Islam, bukan pula Yunani, tetapi sebagai sebuah negara yang tidak tunduk pada prinsip atau aturan apapun, yaitu prinsip realitas; dan bukan pula negara hukum (syariah). Itulah yang menjadi prinsip dalam konsep negara Arab, kecuali yang terjadi pada masa empat puluh tahun awal kebangkitan Islam. Karena itulah kita mendapati bahwa Ibn Khaldun dalam analisisnya terhadap konsep kebangsaan Arab dan etikanya menafikan dimensi hukum dan perundang-undangannya serta bentuk-bentuk aturan lainnya. Ia menekankan analisisnya terhadap pemahaman jahiliyah yang sejak dulu dijadikan panutan oleh penguasa Arab pra-Islam, yaitu konsep negara-suku (alqablah). Bahkan, dimensi etis yang memperindah struktur negara, bukanlah bagian dari syariat yang telah diwajibkan oleh Islam kepada setiap penguasa. Pemahaman semacam itu didapati di

antara mereka sejak masa pra-Islam dan tetap bertahan hingga masa setelahnya, seakan-akan syariah tetap diabaikan dalam kehidupan bangsa-bangsa Arab. Aspek syariah tidak menjadi pijakan untuk mengembangkan peradaban yang telah dibangun atas prinsip-prinsip etika yang dibawa oleh Nabi saw., yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya. Pemahaman jahiliyah terhadap konsep kenegaraan ini menggiring Ibn Khaldun untuk membahas realitas konflik dalam suatu bangsa, karena negara tidak berdiri atas dasar-dasar agama maupun rasio, tetapi dibangun atas dasar kesukuan. Bagi Ibn Khaldun, konsep kesukuan terbentuk karena dua karakter yang dimiliki masyarakat Arab: pertama karakter untuk terikat dan bersatu dalam satu tujuan sebelum mereka mencapai kekuasaan. Kedua adalah karakter berceraiberai dan berpecah-belah serta bertentangan di antara sesama mereka yang memunculkan perpecahan dan perebutan kekuasaan juga keinginan untuk mendominasi kesejahteraan setelah mereka mendapatkan kekuasaan. Dengan kata lain, seluruh anggota suatu negara pada awalnya menyatukan diri dan menyamakan tujuan serta merapatkan barisan untuk berjuang mencapai tujuan mereka. Kemudian mereka diceraiberaikan oleh hasrat mendapatkan harta dan yang semacamnya. Dalam hal ini, Alquran menegaskan: meskipun kau berikan seluruh yang ada di bumi, sungguh engkau tak akan mampu mendamaikan hati-hati mereka. Sebagai tambahan terhadap realitas perpecahan yang terjadi, Ibn Khaldun

mengemukakan bahwa bangsa Arab sepanjang sejarahnya tidak pernah sukses menegakkan peraturan atau undang-undang yang mengatur seluruh elemen masyarakatnya, dan tidak pernah bisa menciptakan suatu sistem politik yang mantap sebagaimana yang pernah dikembangkan di Yunani dan Romawi. Kekuatan politik terrepresentasikan dalam kekuatan suku yang mengatur seluruh tatanan masyarakat kemudian hancur karena perpecahan yang mereka alami, sedangkan peran pemikiran politik dari para fuqaha, para filsuf, politisi dan para budayawan secara umum, menjadi peran negatif di hadapan kenyataan yang menakjubkan ini. Karena itulah Ibn Khaldun menganggap sifat bangsa Arab itu sebagai sifat alami yang tidak bisa diubah atau disembuhkan. Baginya, yang bisa dilakukan hanyalah bersungguh-sungguh menganalisis secara ilmiah, menggunakan analisis yang sesuai dengan pemahaman kita atas realitas bangsa Arab. Tetapi upayanya itu baru sampai pada titik ini, belum mampu memberikan solusi yang tepat untuk masalah yang dihadapi bangsa Arab.

Pasal kesembilan mengungkapkan masalah lain yang berhubungan dengan perpecahan bangsa Arab, yaitu masalah ekonomi dan moralitas bangsa Arab. Dalam bidang ini kita mendapati kelemahan yang merata dalam bidang ekonomi dan pemberdayaan keuangan pada bangsa Arab. Hal ini terjadi tanpa menafikan kenyataan bahwa Alquran, hadis Nabi saw., dan kebijakan khalifah Abu Bakar, Umar dan Ali mengutamakan pentingnya etika untuk mengatasi masalah keuangan dan pengaturannya serta menetapkan berbagai aturan yang menjauhkan para penguasa Arab dari kemungkinan terjerumus ke dalam jurang godaannya yang tak pilih bulu. Sesungguhnya sikap mengumpulkan dan memupuk harta untuk kepentingan sendiri telah menggejala sejak zaman sahabat Nabi saw, kemudian semakin marak seiring dengan terjadinya perluasan wilayah Islam dan mengalirnya berbagai upeti dari negeri-negeri taklukan. Keadaan itu diperburuk oleh penguasa yang mendayagunakan ekonomi negara dalam berbagai hal yang melenceng dari hukum atau undang-undang. Berdasarkan kehancuran kecil dan dari sisi lemahnya peraturan dalam bidang keuangan, Ibn Khaldun mengungkapkan berbagai jenis kejahatan finansial yang dilakukan oleh negara Arab, bukan masyarakatnya, sehingga mereka digambarkan sebagai orang-orang yang senang berlomba untuk mengumpulkan harta dengan jalan yang sah maupun tidak sah. Mereka tak lagi peduli, bahkan jika harus mendapatkannya dari sumber-sumber yang terlarang hanya agar bisa tampil di hadapan para penguasa sebagai orangorang yang berduit dan berkuasa, khususnya ketika para penguasa itu sedang mendapat masalah, atau harus mengerahkan pasukan yang disewa untuk mempertahankan kekuasaan mereka; orangorang berduit itu siap berada di balik layar melimpahkan bantuan materialnya. Ibn Khaldun tidak lupa untuk menganalisis tema ini, dengan mengungkapkan pemikiran tentang tertahannya masyarakat umum untuk bekerja karena adanya kezaliman dari para penguasa dan orang-orang kaya. Meski demikian, mereka terus berjuang ketika melihat bahwa hasil kerja keras mereka mengalir memenuhi kantong-kantong para penzalim. Sesungguhnya hal itulah yang menyebabkan merebaknya kekafiran di tengah masyarakat. Puncaknya adalah ketika rakyat kebanyakan yang semakin lemah terus dipaksa untuk bekerja keras sedangkan mereka tidak punya kesempatan sama sekali untuk menikmati jerih payahnya dan untuk memperbarui semangatnya, atau mendapatkan hasil kerja mereka dengan bagian yang layak. Sebuah negara merupakan pasar besar tempat berputarnya harta masyarakat, datang dan pergi sesuai dengan hukum kapital. Ketika masyarakat telah kehilangan rasa aman dan perlindungan atas hartanya, dan mereka kehilangan hasrat untuk menikmati jerih payah mereka, maka mereka akan berlepas

tangan dari pekerjaan dan serta merta, terputuslah aliran pemasukan untuk mereka, juga untuk penguasa. Pasal kesepuluh berbicara tentang kedudukan moral dan etika dalam konsep kenegaraan di Arab ketika mereka berada dalam keadaan miskin atau berlimpah. Dengan kata lain, bagaimanakah penguasa-penguasa Arab menerapakan strategi untuk menghadapi kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat bawah sebelum mereka menerapkan hukum negara, hingga mencapai kemewahan dan keberlimpahan, setelah bagaimana mereka menerapkan hukum negara, dengan strategi yang bisa mempercepat hilangnya derita dan bencana. Kemewahan dan keberlimpahan lebih ditekankan oleh Ibn Khaldun sebagaimana oleh para filsuf lain yang berkutat dalam pemikiran politik. Kemewahan sejak dahulu hingga sekarang menjadi ancaman paling penting yang membahayakan negara dan masyarakat, itulah yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai wabah, bencana yang membunuh dan menghancurkan negara dengan kehancuran yang lebih dahsyat ketimbang serangan musuh dari luar. Kemewahan dan keberlimpahan material yang dialami oleh bangsa Arab terjadi dengan peralihan yang sangat cepat, berkesinambungan dan tak terjangkau oleh bangsa-bangsa lain. Ibn Khaldun membahas masalah ini dengan analisis yang mendalam dan cerdas. Di samping itu, ia juga mengungkapkan adanya penyakit alami bangsa Arab yang sulit untuk disembuhkan. Dalam hal ini, Ibn Khaldun berhenti di tengah jalan dari kemestian untuk membahas dimensi etis dari masalah tersebut. Dan kita mendapati bahwa banyak sufi dan sebagian besar ulama yang menentang merebaknya gaya hidup mewah di negara dan masyarakat. Berbeda dengan Ibn Khaldun, mereka memandang bahwa hal itu bukanlah sifat alami masyarakat Arab. Perlawanan yang mereka lakukan sifatnya negatif karena jauh dari analisis ilmiah, dan mencukupkan diri dengan nasihat-nasihat dan peringatan keras. Ibn Khaldun membahas hubungan antara kemewahan dan keberlimpahan yang dirasakan oleh para penguasa dan masyarakat dengan munculnya pemberontakan dan perlawanan. Sayangnya, kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan itu adalah orang-orang saleh yang sangat jauh dari kemungkina sukses karena tidak memiliki syarat-syarat kesuksesan. Mereka tidak memiliki kekuatan material yang sangat dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Mereka juga tidak memiliki pengetahuan atau rujukan dalam bidang hukum dan pemerintahan. Pada waktu-waktu tertentu mereka melakukan pemberontakan, bukan untuk merusak, tetapi untuk menikmati cita-cita yang dilupakan oleh para penguasa. Karena itu dalam argumen Ibn Khaldun

tentang pemberontakan mereka, kita tak akan mendapatkan adanya simpati darinya, tetapi ia melihat pemberontakan itu semata sebagai kekacauan (chaos) yang muncul dari situasi kehidupan sosial yang tak menentu, bukan muncul sebagai kesadaran yang sejati. Kesaling pengaruh yang tak kunjung habis antara kemewahan negara dan kekacauan situasi sosial, dan yang membentuk kehidupan bangsa Arab dalam struktur pemerintahan dan masyarakat, telah menjauhkan mereka dari perkembangan yang benar. Karena itulah kita, bersama Ibn Khaldun, akan memasuki pembahasan baru yaitu: apakah masyarakat Arab mengetahui perkembangan atau siklus kehidupan politiknya? Sebelum memasuki pembahasan politik itu, Ibn Khaldun mengungkapkan pembahasan dari kajian filsafat dan alam sehingga ia bisa mengungkapkan unsur-unsur baru dalam masalah perkembangan alami. Ia menjelaskan bahwa perkembangan alami akan sampai pada kemustahilan berkembangnya suatu keadaan menuju keadaan yang lain. Ia membukakan kepada kita suatu lapangan teoretis baru tentang perkembangan sosial yang tidak dapat kita ketahui selain pada masa modern. Tetapi dalam menerapkan teori ini dalam bidang sosial dan politik, kita mendapati perkembangan yang terbalik dalam suatu siklus yang tidak pernah maju ke muka: setiap bangsa tercipta dari kesempitan dan berakhir dalam kemewahan dan kehancuran. Kemudian muncul lagi bangsa yang baru dari asal yang sama untuk kemudian berakhir dalam keadaan yang sama. Begitulah, setiap bangsa berputar dalam suatu siklus yang kosong, kadang-kadang masyarakat berlindung di bawah keadaan yang sempit, tidak bisa berinteraksi dengan siklus tersebut dan tidak mengetahui perkembangan yang semestinya. Dari siklus perkembangan yang berujung pada terbentuknya negara itulah Ibn Khaldun mengungkapkan pemikirannya yang brilian tentang perkembangan negara yang disamakan dengan perkembangan manusia. Ia juga menganalisis bahwa perkembangan yang terjadi dalam kehidupan sosial mengikuti garis perkembangan ini: revolusi pemikiran dan ideologi terjadi dalam dari kehidupan sosial dalam bisang psikologi, peradaban dan etika. Muncl orang-orang yang menghidupkan masalah itu. Mereka menjadi propagandis utama yang bekerja untuk mengembangkan pemikiran dengan keberanian dan semangat juang yang tinggi. Kemudian diikuti oleh bangkitnya kalangan pekerja yang bekerja keras memenuhi penghidupan mereka. Lalu tidak lama kemudian, perkembangan terhenti begitu saja; ilmu-ilmu syariat tidak berkembang untuk membandingi perkembangan masyarakat yang datang untuk mengaturnya. Segala perjuangan dan kerja keras yang dikerahkan oleh para ulama untuk mengembangkan syariat berhenti pada tataran individual yang tidak memberikan keuntungan apa

pun. Berbeda dengan kaum gereja, para penegak syariat tidak sampai pada pemikiran untuk mendirikan majelis keagamaan yang di dalamnya berbagai masalah didiskusikan sehingga perkembangannya sejalan dengan perkembangan sosial. Mereka hanya menetapkan berbagai perkara yang masih tegak hingga saat ini. Hasilnya, agama terpisah dari kehidupan sebagaimana ilmu terpisah dari agama. Perjuangan untuk agama tinggal kata-kata semata. Para ulama menafsirkan fenomena keagamaan seperti menefsirkan mimpi. Agama terpisah dari kenyataan hidup yang sebenarnya. Pasal terakhir dari bab kedua membahas masalah-masalah ekonomi. Tegasnya, membahas salah satu unsur yang sangat erat kaitannya dengan etika dalam kehidupan ekonomi, yaitu unsur pekerjaan. Dan sangat mengagumkan, Ibn Khaldun memandang penting masalah ini dalam kehidupan masyarakat, kemudian ia memberikan solusi, sebagaimana yang kita lakukan hari ini, atas masalah itu. Ia menganalisis masalah ini dengan analisis filosofis kultural. Kemudian melengkapinya dengan analisis terhadap kenyataan dalam sejarah masyarakat. Ia mengemukakan adanya keterikatan antara pekerjaan dengan pemikiran di satu sisi, dan amal serta pikiran dengan pertolongan sosial di sisi lain. Lalu, bagaimana hubungan segitiga antara ketiga perkara itu dalam kehidupan masyarakat membentuk apa yang kita sebut saat ini sebagai peradaban, kemajuan dan kesejahteraan. Kemajuan sesungguhnya dalam kehidupan suatu bangsa tidak terletak pada dipenuhinya kas negara oleh emas atau uang, tetapi ditunjukkan oleh semaraknya pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat sehigga mereka seakanakan menjelma sebagai sekelompok lebah. Setiap orang bekerja dalam bidangnya masingmasing dan menghasilkan produk yang menghidupi manusia. Pemikiran diterapkan ke dalam pekerjaan sehingga setiap pekerjaan berjalan teratur. Selain itu, kerjasama juga menghiasi setiap langkah pekerjaan sehingga mereka mampu membangun negara menuju kemajuan yang nyata. Setiap pekerja bergandeng tangan dengan para ilmuwan dan para pemikir. Tetapi dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut kita akan menghadapi masalah status sosial. Masalah ini juga dibicarakan oleh Ibn Khaldun. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat Arab terdapat golongan penguasa yang berbeda dengan golongan awam; lalu ada satu golongan sosial lain yang memiliki kedudukan penting yaitu golongan saudagar atau para pedagang. Golongan ini pada kenyataannya tidak bekerja dan tidak menghasilkan apa pun tetapi masyarakat menjadikan mereka sebagai tumpuan kehidupan. Sedangkan golongan pekerja menggeluti berbagai bidang pekerjaan dan produksi. Tetapi orang Arab tidak memiliki salah satu bidang

pekerjaan khusus dari sejumlah lapangan kerja yang ada karena mereka menganggap hina dan merendahkannya. Selain itu, jiwa pedesaan (baduwi) masih tampak mendominasi berbagai bidang kehidupan di perkotaan. Semangat pedesaan itu mewarnai gerak pekerjaan mereka. Padahal pekerjaan merupakan motor penggerak peradaban dan dasar kemajuan suatu bangsa. Kesalahan terbesar masyarakat Arab, dalam pandangan Ibn Khaldun, bukanlah karena mereka tidak bekerja, tetapi karena mereka tidak menghormati pekerjaan dan tidak memuliakannya. Mereka lebih suka menghina orang lain dalam pekerjaannya dan tidak mau memberikan upah kepada mereka. Karena itu, orang-orang menjadi malas bekerja dan secara otomatis laju peradaban pun menjadi tersendat. Itulah yang menjadi pokok pembicaraan Ibn Khaldun tentang etika dan hubungannya dengan peradaban. Hingga saat ini kita masih tidak mempercayai pekerjaan atau usaha sebagai kekayaan yang bisa diwariskan kepada anak cucu; kita mempercayai kekayaan dan limpahan material sebagai satu-satunya bekal yang bisa diwariskan kepada anak cucu kita. Dengan berakhirnya pembahasan pasal ini, kita memasuki bab ketiga yang membahas masalah peradaban dan etika. Pasal pertama membahas masalah pemikiran keagamaan dalam masyarakat Arab. Dalam bagian ini ada satu pokok penting tentang kedudukan Islam dalam membangun masyarakat. Islam menjadikan etika sebagai dasar kemajuan masyarakat. Ibn Khaldun menganggap bagian terpenting dari etika dalam Islam adalah menghidupkan aspek internal manusia, atau yang saat ini kita sebut hati nurani. Tetapi aspek tersebut cenderung berubah menjadi aspek kuasa eksternal yang mengebiri kejantanan dan keberanian masyarakat Arab. Ketahuilah bahwa Islam tidak hanya mengurusi dimensi etika. Islam merupakan prinsip dasar trejadinya kemajuan peradaban yang tadinya didominasi oleh pemikiran yang terbelakang di tengah masyarakat yang ummi. Dan sangat disayangkan bahwa Islam yang telah membawa masyarakat Arab keluar dari peradaban buta huruf, dan mencapai kemajuan peradaban manusia, tidak mampu menjaga dan mempertahankan pengaruh peradaban tersebut, serta efek lain berupa pemikiran baru dan berbagai penemuan baru dari kesederhanaan Islam serta keselamatannya yang murni. Dan hal ini terjadi setelah masyarakat mendapat berkah dari perjuangan besar yang dilakukan oleh para pemuka agama dan sejumlah pemikir untuk menangkis berbagai pemikiran asing, serta untuk memelihara ruh Islam sebagaimana awal perkembangannya. Perjuangan besar yang mereka lakukan itu merupakan upaya untuk menyebarkan dakwah Islam melalui jalan

peradaban, pemikiran dan dakwah. Dengan cara itulah mereka bisa menghilangkan kebodohan dari masyarakat yang tidak mengetahui keadaan bahasa ataupun bangsanya sendiri. Kesuksesan mereka dalam bidang ini, atau dalam penyebaran syiar Islam dan pendalaman dakwah Islam dalam kehidupan masyarakat, tidak terganggu oleh kesuksesan bangsa lain yang telah menyebarkan keyakinan mereka di tengah manusia. Tetapi kerja keras dan perjuangan tersebut tidak disertai oleh pengembangan dasar-dasar agama dan konsistensi mereka di atas dasar-dasar agama itu. Karena itu, para pemuka agama menjadi elemen ruhani, sosial dan peradaban, atau elemen etika dalam agama; elemen inilah yang dianggap oleh Ibn Khaldun sebagai keistimewaan mendasar dalam Islam. Kemudian terjadi periode kejumudan masyarakat yang diperparah oleh kejumudan dalam bidang fiqih. Para pemuka agama atau para ahli fiqih melancarkan peperangan terhadap kebebasan berfikir secara filosofis sehingga mereka mengharamkan diri mereka, juga masyarakat umum, untuk mengembangkan peradaban secara lebih luas. Karena itu, filsafat tetap menjadi pemikiran tanpa masyarakat, dan fiqih menjadi bidang ilmu yang tanpa pemikiran. Tak hanya itu, pada giliran berikutnya, mereka menjadi penentang terhadap setiap upaya pembaruan dalam bidang agama, bahkan terhadap orang-orang yang bukan filosof sebagaimana yang terjadi di maghrib, mereka menentangnya dengan keras, hingga Ibn Khaldun sendiri membahas mereka dan membandingkannya dengan para pejuang awal yang berjuang bersama-sama Nabi saw, dan bagaimana mereka menganggap agama sebagai penolong untuk menyelamatkan manusia dari kehidupan yang hina. Begitulah perkembangan pemikiran agama di tangan para pemuka agama di tengah-tengah pertentangan yang pengaruhnya tetap terasa hingga kini. Pada pasal yang ke empat belas saya membahas pemikiran keagamaan yang disandingkan dengan pemikiran tasawuf. Hal itu berhubungan erat dengan pembahasan Ibn Khaldun tentang etika. Selain itu, pemikiran tasawuf telah dan hingga saat ini menduduki peran yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan ini terungkap dalam suatu gambaran istimewa yang meliputi pemikiran dalam bidang etika dan filsafat. Kesimpulan Ibn Khaldun tentang masalah ini menegaskan bahwa tasawuf dalam masyarakat Islam telah menjadi satu disiplin keras atas hawa nafsu dan meniadakan keterikatan pada kelezatan duniawi. Orangorang yang menempuh jalan ini bersikap zuhud terhadap dunia. Dan ketika sebagian besar masyarakat terlelap dalam kemewahan dan keberlimpahan, sekelompok orang mengasingkan diri dengan memperbanyak ibadah kepada Allah. Kemudian mereka menciptakan praktik-praktik

tertentu yang didasarkan atas pemikiran spiritual dan konsep asketisme Kristen dalam bentuk yang baru. Selain itu, mereka juga biasanya menafikan pemikiran filosofis dalam tradisi yang mereka kembangkan. Kecerdasan Ibn Khaldun dalam hal ini terungkap ketika ia memperkenalkan fenomena-fenomena kejiwaan dalam tasawuf seperti perjuangan (mujhadah), penyingkapan (musykafah), dan karamah, tetapi dengan syarat semua itu mesti selaras dengan ajaran etika yang lurus; jika tidak maka semua itu dianggap sebagai praktik asing dan sihir yang dekat dengan kekafiran. Bagi Ibn Khaldun, tasawuf dianggap sebagai perjuangan jiwa seorang individu Muslim, tetapi ia enggan mengakuinya sebagai struktur sosial yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip sosial. Di sini, kami mengemukakan perbandingan antara Ibn Khaldun dengan Gibb, ternyata keduanya memiliki kesamaan dalam metode analisis terhadap tasawuf, juga hasil dari analisis mereka. Sebagaimana perbandingan atara pemikiran tasawuf, kesusasteraan, atau disiplin simbol pada masa sekarang, yang ketiganya memiliki kesamaan yang menunjukkan bahwa jiwa manusia selalu tertarik pada alam rahasia dan pembahasan tentang hal itu akan menyingkapkan rahasia-rahasia itu, yaitu bahwa ketika ditemukan bahasa-bahasa yang tidak dimengerti, akan disandarkan pada konsep syataht2 dalam tasawuf atau konsep simbol dalam bidang seni. Tetapi simbol-simbol itu, baik yang sufistik maupun artistik, ketika menyebar di tengah masyarakat dan menjadi satu metode dalam kehidupan, berkembang menjadi penentang terhadap hukum-hukum etika yang telah terbentuk dalam masyarakat. Karena itu muncul pertentangan keras antara para ahli fikih yang memegang otoritas hukum peribadahan umum di tengah masyarakat, dengan para pemuka tasawuf yang menentang hukum-hukum itu. Permusuhan itu tidak menghasilkan manfaat bagi masyarakat karena tetap terpecah antara verbalitas para ahli fikih dan asketisme para ahli sufi sehingga keduanya tetap jauh dari ruh Islam dalam etika dari dua sisi: mengikuti verbalitas para ahli fikih yang kosong dari ruh keagamaan Islam yang sebenarnya, dan pemikiran baru yang menjadi ciri khas tasawuf. Tetapi para ulama dan para sufi bukanlah aspek terpenting dan satu-satunya dalam kehidupan budaya, serta tidak merepresentasikan pemikiran tentang etika. Di tengah masyarakat terdapat sejumlah ilmuwan sejati yang bekerja untuk menyebarkan ilmu pengetahuan sehingga ilmu itu memengaruhi kehidupan material melaui pertumbuhan industri dan teknologi, struktur2

Syataht adalah ungkapan-ungkapan atau pernyataan yang diucapkan oleh para sufi dalam keadaan ekstase atau trance. Sebagian sufi mengatakan bahwa ungkapan itu merupakan ungkapan Tuhan melalui diri sufi yang telah mencapai maqm persatuan. (Penerj.)

hubungan antar masyarakat diwarnai oleh warna kebudayaan yang hakiki, dan pintu-pintu dialog dengan alam semesta terbuka lebar bagi manusia. Risalah pemikiran Ibn Khaldun itu tidak bisa disebarkan di tengah masyarakat oleh para ulama kecuali jika masyarakat itu sendiri telah memiliki kesiapan kultural dan tingkat peradaban yang memungkinkan penyebaran pemikiran itu. Dengan demikian, masyarakat buta huruf tidak akan bisa menerima atau membantu para ilmuwan yang ada. Hubungan itu merupakan hubungan yang mutlak dan niscaya, masyarakatlah yang menciptakan ulama, dan mereka membekali masyarakat dengan kemajuan pemikiran, sedangkan masyarakat yang terbelakang tidak memiliki semangat keilmuan dan tidak melahirkan para ilmuwan. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh Ibn Khaldun dengan membedakan antara wilayah maghrib dan masyriq, antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota; masyarakat pedesaan mengira bahwa masyarakat kota mengatasi mereka dalam hal pemikiran. Prasangka semacam itu menyebar di tengah masyarakat lalai di maghrib yang mengira bahwa keunggulan masyriq atas maghrib dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan industri merupakan keunggulan esensial yang didukung oleh berkembangnya rasionalisme di masyriq, sedangkan di maghrib terjadi kemunduran dan kejumudan esensial dalam bidang rasio. Sebenarnya yang terjadi bukanlah demikian. Apa yang menjadikan masyriq unggul atas maghrib, dan masyarakat kota atas masyarakat desa adalah karena industri memberikan manfaat yang nyata secara rasional, dan rasio yang terlatih itu hanya dapat ditemukan ditengah masyarakat yang maju. Ibn Khaldun memperhitungkan kegunaan ilmiah bagi masyarakat yang bisa diberikan oleh suatu bidang pengetahuan, sebagaimana sebagian yang lain merujuk pada pemikiran ilmiah. Para budayawan dan para ahli peradaban Islam telah mengemukakan pentingnya spirit etika yang luhur yang menyertai pemikiran ilmiah, misalnya dengan mengutamakan kebenaran, mengagungkan akal, analisis dan keraguan, serta memeliharanya untuk menguraikan ilmu mereka sehingga menghasilkan manfaat yang besar. Tetapi meski demikian, pemikiran ilmiah tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran baru. Misalnya banyak muncul perkembangan baru dalam disiplin kimia, biologi dan astronomi, sebagaimana berkembangnya ilmu ekonomi, efektifitas kerja dan pengembangannya. Pada bagian terakhir, Ibn Khaldun memaparkan masalah yang dihadapi bangsa Arab dan peranannya dalam lingkup pemikiran ilmiah. Ia juga mengutip pendapat beberapa ahli yang mengemukakan bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang jauh dari tradisi pengetahuan, dari politik, dan dari kerja. Kami telah mendiskusikan pemikiran tersebut dan telah berupaya untuk

membersihkannya dari segenap prasangka yang meliputinya disebabkan oleh reaksi yang terlampau cepat dan pembacaan yang tergesa-gesa. Hal tersebut lebih besar pengaruhnya ketimbang yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibn Khaldun, yang bagi para pengagumnya tampak sebagai pemikiran yang jelas, analitis, dan berani. Jika agama, tasawuf, dan pengetahuan berjalin-kelindan dalam hubungan yang saling bertentangan di tengah masyarakat Arab yang memunculkan pemikiran rasional dan etis, maka bahasa dan kebudayaan, juga pendidikanakan diungkapkan pada bagian akhir buku ini memiliki peranan yang besar dalam hubungan itu. Tanpa mengabaikan berbagai kekurangan dari analisis yang dilakukan oleh Ibn Khaldun, kita bisa mendapati bahwa pendidikan menjadi satu aspek penting dalam hasanah pemikiran bangsa Arab. Dalam bagian ini, Ibn Khaldun membahas kedudukan bahasa Arab, baik dari sisi gramatikalnya maupun sosio-linguistiknya. Kami menganggap penting untuk mengemukakan pembahasan tentang hubungan antara bahasa dengan pemikiran etika dan bagaimana hubungan itu hanya berkembang di atas prinsip sosial. Seandainya kita menyelesaikan masalah bahasa hanya berdasarkan kaidah gramatikal, sebagaimana yang dilakukan para ahli nahwu, maka kita tak akan menemukan adanya hubungan antara bahasa dengan etika. Sedangkan jika kita menghadapinya berdasarkan peranannya dalam mentransformasikan masyarakat menuju peradaban yang diinginkan dan maju, maka kita akan kesulitan untuk mendapatkan aspek mendasar dalam pembahasan etika. Dimensi etika ini menjadi pokok pembahasan Ibn Khaldun dengan analisisnya yang jelas dan mengagumkan. Ibn Khaldun membahasnya dari sisi politik dan mengungkapkan bahwa kehidupan politik dalam suatu masyarakat merepresentasikan realitas masyarakat yang sesungguhnya, sehingga ketika fenomena kehidupan politik melemah, lemah pula perkembangan bahasa pada tataran politik. Kemudian ia membahas masalah perkembangan dalam bahasa, dan menganggapnya sebagai bagian yang penting. Bagi Ibn Khaldun, kedudukan para ahli nahwu sama dengan kedudukan para ahli fikih yang hanya memelihara struktur kaidah. Karena itulah, bahasa masyarakat berkembang statis dalam suatu keadaan. Pengajaran bahasa memiliki peranan penting dalam hal ini. Dan masyarakat mengambil manfaat dari proses pengajaran inijika bahasa yang dikembangkan adalah bahasa yang baikatau menghasilkan berbagai karya sehingga mereka mencapai kedudukan sebagai masyarakat yang maju. Sedangkan di maghrib, masalah bahasa sangatlah krusial karena mereka tidak hanya mengikat bahasa dalam kaidah-

kaidah linguistik yang ketat dan baku, dan ironisnya, kaidah-kaidah itu tidak mereka pedulikan sama sekali. Hal itulah yang menyebabkan miskinnya peradaban di pelosok maghrib. Munculnya seluruh perkembangan baru dalam bahasa Arab yang disebabkan oleh adanya percampuran bahasa, dan kecenderungan untuk lebih mempelajari kaidah-kaidahnya, kemudian keterpisahannya dari masyarakat, tidak hanya sebagai alat untuk berinteraksi secara verbal tetapi juga sebagai perangkat berpikir dan pengetahuan, maka menurut Ibn Khaldun, kita harus menciptakan bahasa sehari-hari yang kita sebut dengan bahasa umum, disertai kaidah-kaidah baru sehingga bisa menjadi bahasa ilmu dan pengajaran, sebagaimana kita akan menciptakan bahasa baru ketika bahasa lama dirasakan tak lagi memadai. Masalah itu membutuhkan pembahasan panjang, yang salah satu bagiannya akan diungkap di sini, sedangkan selebihnya ditinggalkan untuk para ahli bahasa, tetapi bagian terpenting dari pemikiran Ibn Khaldunyang kami sandingkan dengan pemikiran etikaadalah bahwa suatu bangsa tidak boleh memiliki dua jenis bahasa, bahasa untuk kalangan khusus dan bahasa untuk kalangan awam, sehingga pada gilirannya akan menghasilkan kebudayaan umum dan kebudayaan khusus. Keterpecahan bahasa itu telah mengakibatkan keterpecahan budaya, pemikiran, etika dan kehidupan sosial. Karena itulah fenomena strata dalam bidang makna dan kehidupan ekonomi menjadi rusak. Sesungguhnya, bahasa yang tidak menyatukan para pemakainya dalam tradisi puisi, etika, seni, dan agama, bukanlah bahasa yang bisa melayani etika. Kami telah mengemukakan tentang adanya keterpecahan sosial dan pemikiran dalam bidang bahasa. Kami juga merasakan adanya keterpecahan dalam bidang kesusastraan. Hal itu karena kesusastraan memainkan peranan yang besar dalam kehidupan ruhani dan moral bagi masyarakat Arab karena mereka dianggap sebagai bangsa yang paling kuat terpengaruh oleh struktur kalimat yang fasih, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Hal itu disandarkan pada pemikiran bahwa kesusastraanlah yang membentuk kehidupan sosial mereka dan

mengekspresikan kehidupan batin mereka serta fenomena kebudayaan mereka. Ibn Khaldun menganggap bahwa kebudayaan secara umum dan sejarah secara khusus merupakan aspek paling penting bagi seorang sastrawan. Dan berkenaan dengan hal itu, kesusastraan Islam lebih tinggi dibanding kesusastraan Jahiliyah, karena kebudayaan berjalan seiring dengan perkembangan sastra, sebagaimana perkembangan industri sejajar dengan perkembangan pemikiran. Dalam hal ini, perkembangan kesusastraan di maghrib berjalan

sebaliknya, dibandingkan dengan perkembangan sastra di masyriq yang berjalan seiring dengan perkembangan kebudayaan dan pergolakan peradaban. Tetapi di sisi lain, Ibn Khaldun mengamati bahwa sastrawan Arab ketika mendapati perkembangan kebudayaan yang pesat, dan meniscayakannya untuk meningkatkan disiplin kesusastraannya, dilelapkan oleh kehidupan material dengan segala nikmat dan kelezatannya, sehingga kemudian ia menggunakan sastra sebagai alat untuk berdusta dan rekayasa. Dan ia menghindari segala masalah umat, yang telah mendahuluinya pada masa pra-Islam dan pada masa awal perkembangan Islam, tanpa melibatkan horison kulturalnya, yang menjadi kemestian dalam kehidupan kesusastraan. Perubahan orientasi moral itu berpengaruh buruk terhadap perkembangan sastra, karena masyarakat dengan segala gejolak dan horison kulturalnya merupakan teladan utama dan nilai ideal bagi seluruh fenomena kultural. Perubahan orientasi itu akan menghilangkan sumber utama segala kreativitas dalam bidang kesusastraan yaitu masyarakat. Keterpilahan itu terus berlanjut, begitu pula perkembangan dalam bidang tradisi dan bidang kesenian lainnya. Dalam bidang kesusastraan, misalnya, terjadi pemilahan antara sastrawan khusus dengan sastrawan populer. Banyak dari kalangan sastrawan khusus menulis karya-karya yang tidak beranjak dari realitas. Sedangkan para penulis pop lebih banyak menghasilkan karya dengan tema yang lebih banyak dan lebih beragam karena mereka menyandarkan karyanya pada masyarakat yang hidup di dalamnya. Meskipun sastra pop tidak bisa meningkatkan kualitasnya sesuai dengan peradaban tinggi, tetapi seiring dengan itu mereka menghasilkan karya sastra yang baik, yaitu berupa cerita, sehingga saat ini jika kita ingin membahas masalah cerita dalam kesusasteraan Arab, kita tak akan mendapatkannya dalam sastra khusus namun dalam sastra pop. Sebabnya adalah karena sastra pop telah tersosialisasi dan sastra khusus terasing dari masyarakat. Seperti itu pulalah yang terjadi dalam bidang pendidikan dan kedudukannya dalam hubungan antara sekolah dengan masyarakat. Dan sangat disayangkan bahwa banyak penulis yang membahas masalah ini tetapi mengabaikan pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan. Saat ini bidang itu menjadi lapangan pemikiran yang paling rumit dalam pembahasan tentang pendidikan kontemporer. Yang kami maksudkan adalah pemikiran Ibn Khaldun yang mengaitkan keberadaan pendidikan dengan masyarakat. Pandangan itu sesuai dengan pemikiran John Dowey yang mengaitkan kehidupan sosial dengan sekolah dalam satu ikatan yang legal;

sekolah tidak memiliki pengaruh terhadap pemikiran tentang etika, sebagaimana dalam bahasa dan sastra, kecuali dalam suatu horison sosial tertentu. Dalam bagian ini Ibn Khaldun mengungkapkan pandangannya yang khusus menyoroti pendidikan di negeri-negeri maghrib yang menurutnya telah terasing dari kehidupan masyarakat. Hal itu terjadi karena mereka menggunakan metode dan gaya pengajaran yang tidak disukai, menghilangkan diskusi dan terlalu banyak karya yang ditulis dalam satu bidang tertentu, tidak melakukan diversifikasi dalam pengetahuan, serta tidak membedakan antara ilmu yang menjadi target pendidikan dengan ilmu yang menjadi media (ilmu alat); selain itu, mereka juga menekankan pengajaran pada penguasaan material serta mengabaikan media-media inderawi yang bisa membangkitkan kesadaran dan intensitas pelajar. Pada gilirannya, metode pendidikan itu menghasilkan kekerasan dan ketegasan hukuman yang memengaruhi kecerdasan anak didik, mengajari mereka bersikap munafik, menumbuhkan egoisme, menjauhkan dari sikap jujur, terus terang dan keinginan untuk menghormati orang lain. Sedangkan pengajaran bahasa yang merupakan disiplin mendasartanpa mengabaikan kedudukannya sebagai pengetahuan mediasi (ilmu alat)di negeri-negeri maghrib berkembang mencapai batas tertentu sehingga membutuhkan pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Selain itu, keinginan untuk menghasilkan para sastrawan yang mumpuni menjadi mustahil karena mereka lebih menekankan pada pengajaran Alquran kepada anak-anak dan tidak membekalinya dengan suatu keahlian linguistik tertentu atau pun disiplin ilmiah yang lain. Hasilnya, anak-anak menguasai kemampuan untuk membaca Alquran namun buta dalam disiplin kebudayaan. Pengajaran bahasa, dibandingkan dengan pengajaran disiplin yang lain, harus terbebas dari kaidah-kaidah linguistik dan lebih banyak menekankan pada praktik dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pengajaran bahasa memiliki metode dan karakteristik tertentu. Bahasa menjadi media untuk mengembangkan kebudayaan dalam masyarakat. Dengan begitu, kedudukannya dalam pengembangan moral bisa terealisasi dengan baik. *** Sesungguhnya konflik-konflik ringan yang terdapat dalam gambaran ringkas pemikiran Ibn Khaldun tidak bisa menggambarkan dengan jelas seluruh pemikiran Ibn Khaldun yang mendalam, matang dan bersifat ilmiah, serta bagaimana ia menjelaskan konsep etika dengan baik, dan garapannya yang luas tentang berbagai masalah manusia, khususnya yang dialami oleh bangsa-bangsa Arab. Bagi saya, dengan segala upaya yang telah dikerahkan untuk mengupas

pemikiran Ibn Khaldun tentang etika, pekerjaan ini hanyalah langkah awal dari satu pekerjaan besar yang mungkin menjadi landasan ideologis untuk menyempurnakan kehidupan sosial masyarakat Arab dalam lapangan sosial, politik dan kebudayaan. Hal itulah yang memaksa untuk menggunakan seluruh sisa umur saya dalam mencapai tujuan itu, meskipun saya merasa masih terlampau jauh untuk sampai pada tujuan itu. Saya berharap akan muncul para peneliti baru yang berjuang dengan tulus dan sungguh-sungguh dalam menghasilkan temuan yang berbobot, melengkapi setiap kekurangannya, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibn Khaldun sesuai dengan kemampuan dan kapasitas ilmu mereka. Kita harus segera melepaskan diri dari cacat yang kita derita sejak masa kanak-kanak kita, dan menyembunyikan segala penyakit dalam diri kita, karena barangsiapa yang menyembunyikan penyakit dari dirinya sendiri, maka pasti penyakit itu akan segera membunuhnya. Sesungguhnya segala kemunduran dan nestapa yang dirasakan umat kita sepanjang sejarah peradabannya, disebabkan oleh kematian umat ini karena kita selalu menyembunyikan cacat-cacat yang dimilikinya, juga karena kita selalu membagusbaguskan sejarah dan kenyataan kita, lalu menceritakannya kepada generasi penerus dengan kebanggaan lisan, tentang bangsa kita, agama, sastra, peradaban, dan kebudayaan kita. Dengan sengaja atau tidak kita melupakan, atau enggan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang berada di balik pakaian lisan itu, berupa berbagai kekurangan dan cacat yang sering membuat kita meringis. Apa yang bisa kita ketahui saat ini adalah bahwa kita lemah dan tidak kuasa untuk menghimpun jiwa kita dan mengaturnya. Kita juga mengetahui tiadanya kepercayaan diri dan terlalu bersandar pada orang lain baik dalam urusan yang kecil maupun yang besar. Selain itu, segala sesuatu yang menyerang umat ini berupa kemubaziran, kerusakan, korupsi, kesengsaraan dan kemunduran, tidak bisa diibaratakan sebagai penyakit yang menyerang tubuh yang sehat, juga bukan serangan yang muncul ketika kita dalam keadaan sejahtera. Tetapi semua itu sesungguhnya bencana yang terus berlanjut dan sifat bawaan yang senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi. Kita terus mengungkapkan kebaikan umat ini dan menghiasinya dengan kata-kata yang indah dari zaman ke zaman. Segala sesuatu yang kita rasakan saat ini berupa rasa sakit dan kesengsaraan harus dikembalikan bahwa generasi kitalah yang menghidupinya, jangan menganggap bahwa itu merupakan hal baru dalam kehidupan atau sejarah kita. Maksudnya, setiap generasi umat ini juga merasakan kehidupan yang pahit ini dalam satu bentuk kehidupan yang berbeda dengan yang kita rasakan saat ini. Mungkin ada periode-periode tertentu ketika umat ini tidak mengalami keterpurukan, tetapi itu hanyalah pengecualian yang sangat sedikit.

Dan kita telah terbiasa mengungkapkan kisah-kisah manis itu dengan berbagai bentuk pengisahan dan dalam berbagai kesempatan. Sehingga terpatri dalam pikiran kita bahwa menceritakan sesuatu yang tanpa kenyataan merupakan sesuatu yang biasa dan wajar. Masalah itu sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan masalah etika, lebih jauh lagi dengan prinsipprinsip pengetahuan rasional. Lalu ketika ada orang lain yang menceritakan sesuatu yang sebenar-benarnya, kemudian mengungkapkannya dalam peristilahannya sendiri, maka kita langsung menghadapinya dengan sikap bermusuhan. Kemudian kita menyerangnya dengan berbagai tuduhan keji sebagaimana yang ditujukan kepada para orientalis atau para penjajah. Tak hanya itu, kita juga menganggap bodoh pemikirannya yang asing dan memandangnya dengan penuh kebencian. Hal muncul karena kita tidak memahami kemampuan dan upayanya yang istimewa baik dari segi politik maupun kebudayaan. Meski demikian, saat ini ada juga beberapa budayawan kita yang menerapkan metoe barat dalam pemikirannya dan tidak hanya mengetahui bagaimana menganalisis berbagai fenomena nyata, tetapi juga mengetahui bagaimana menggunakan rasio. Kita cenderung mengambil pemikiran dengan metode mereka secara sistematis dan ketat, namun tidak disertai analisis dan pembahasannya. Kita harus mengambilnya secara langsung dari penulisnya bukan dari sisi aturan-aturannya yang ketat tetapi dari sisi analisisnya yang berani terhadap kenyataan yang terjadi. Hal itu terjadi karena kita mendahulukan prasangka baik terhadap kenyataan yang terjadi. Dan saat ini, masih ada di antara kita yang menyibukkan diri dengan kecenderungan itu sehingga selalu mencampuradukkan antara perasaan dengan rekayasa. Karenanya, kita merasa nyaman dengan kebanggaan verbal yang telah diwariskan sejak zaman Jahiliyah. Kita tidak pernah bangkit untuk mencari cacat-cacat bangsa ini kemudian menyembuhkannya dengan keberanian dan perasaan yang penuh tanggung jawab. Salah satu contohnya adalah perbandingan ini : Dalam kitab al-Adlah al-Ijtimaiyyah f al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), karya Sayyid Quthbkarya ini dikutip karena hingga tahun 1967 telah mengalami cetakan ketujuh, menunjukkan betapa pemikirannya banyak diapresiasi masyarakatdikatakan: sesungguhnya banyak orang yang berjuang dalam dakwah Islam menggunakan metode-metode pemikiran barat; mereka menerimanya dengan semangat sejak kali pertama ketika mereka berusaha mereformasi kehidupan mereka dengan meminjam metode barat baik dalam pemikiran,

kehidupan, maupun perilaku. Sesungguhnya kita memiliki gambaran tentang kehidupan yang lebih besar dibanding yang dimiliki oleh agama, filsafat, atau kebudayaan manapun. Dalam gambaran itu tidak ada etika tentang pertanian maupun industri. Juga tidak ada etika tentang masyarakat borjuis dan nilai-nilai bagi masyarakat proletar, tidak ada etika tentang investasi, ataupun koperasi. Yang ada hanyalah etika Islam dan etika jahiliyah, nilai-nilai Islami dan nilainilai Jahili. Sejumlah kecenderungan filsafat, orientasi tafsir sejarah manusia, orientasi ilmu jiwa dan sejumlah pembahasan tentang etika, sesungguhnya merupakan orientasi dalam pemikiran jahiliyah, bukan Islamyang dulu maupun yang kini dipengaruhi langsung oleh bentuk-bentuk pemikiran jahiliyah. Sedangkan bagi Islam hanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan Islam yang berdiri atas dasar hukum Islam, dan kebudayaan jahiliyah yang berdiri atas berbagai metode yang semuanya merujuk pada satu macam aturan, yaitu aturan penegakan pemikiran kemanusiaan di dalamnya. Sedangkan dalam Islam, keistimewaannya yang paling penting adalah bahwa Islam merupakan keyakinan agung, baru, efektif, kreatif, dan reformatif. Islam mengisi kekosongan jiwa dan kehidupan; Islam menghargai seluruh potensi manusia, baik berupa perasaan maupun pekerjaan, emosi dan gerakan, sehingga di dalamnya tidak ada kekosongan maupun keraguan, tidak pula ada kesempatan untuk berkhayal dan berpanjang angan yang hanya menghasilkan khayalan atau imajinasi; Islam menghendaki kerja nyata dari seluruh umatnya. Islam datang untuk mengembangkan kehidupan dan memajukannya, bukan untuk membiarkan setiap peristiwa sosial berlalu begitu saja, di manapun dan kapan pun. Kepentingan Islam satusatunya adalah memelihara, memperbarui, dan meningkatkan kehidupan agar potensi kemanusiaan digunakan untuk menghasilkan berbagai produk, mengembangkan dan

meningkatkannya. Sesungguhnya wacana yang berkembang seputar gerakan perkembangan dan pembaruan dalam metode yang Islami, seluruhnya diorientasikan pada peningkatan kualitas kemanusiaan. Sesungguhnya dalam pemikiran materialis yang dikembangkan di barat dan menafikan bidang etika tidak terdapat konsep yang menyeru pada terciptanya kebaikan bersama dan maslahat umum. Sedangkan dalam pemikiran Islam tidak terdapat sesuatu yang menafikan unsur spiritual dari kehidupan, atau menafikan iman tanpa kerja dan eksperimen, atau ajaran yang menghina teladan-teladan yang baik (nilai-nilai ideal). Pengingkaran terhadap hakikat segala sesuatusebagaimana yang diajarkan filsafattidak ada dalam pemikiran itu. Karena itu, pertentangan (konflik) yang sebenarnya terjadi adalah antara Islam dengan dua pihak lain yang

bergerak bersamaan yaitu dengan pemikiran barat dan pemikiran timur. Islam merupakan kekuatan sebenarnya yang berhenti di hadapan pemikiran materialisme yang dianut oleh bangsabangsa di Eropa, Amerika dan Rusia. Islam merupakan ajaran yang meliputi seluruh keadaan dan bidang kehidupan, menegakkan tugas sosial dalam suatu lingkup kemanusiaan yang dipenuhi oleh pertentangan dan pertikaian. Islam juga menetapkan anjuran spiritual umum yang ditetapkan oleh sang pencipta agar diterapkan dalam kehidupan di muka bumi. Islam mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh yang meliputi eksistensi dan kehidupan, serta aturan-aturan praktis yang diterapkan di tengah masyarakat; Islam juga menetapkan hukum syariat yang terperinci dan terbuka untuk dikembangkan sehingga bisa berjalan sesuai perkembangan kebutuhan manusia. Demikian kata Sayyid Quthb dalam bukunya itu. Bandingkanlah pemikiran di atas dengan pemikiran Gustave Lebon tentang keadaan bangsanya, Prancis. Gustave Lebon mengemukakan kedaan bangsa Prancis sebagai bangsa yang terus berubah dengan pesat. Sejumlah peraturan politik mengalami perubahan secara mendasar dalam jangka waktu yang pendek. Kelompok-suku-suku di Prancis berkembang menjadi kelompok-kelompok yang berbeda. Pada hakikatnya mereka memiliki keyakinan yang sama; setiap kelompok bangsa berkeinginan untuk mewujudkan tujuan akhir dengan cara dan media yang beragam. Ia juga membandingkan antara bangsa Latin dengan bangsa Anglosaxon. Ia berkata: Bangsa-bangsa latin setiap hari menyia-nyiakan kekuatan mereka dan dikuasai oleh pikiran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder, menyebarkan kebencian dan permusuhan antara orang-orang miskin dengan orang-orang kaya. Mereka merupakan bangsa yang cepat berreaksi dan cepat pula padam. Dari sisi kebangsaan mereka menjadi masyarakat yang lemah, begitu pula dari sisi individu. Mereka tidak menghargai diri mereka sendiri serta tidak mempercayai orang lain. Tetapi itulah pendidikan ala bangsa Latin yang menyedihkan.3 Lebihlanjut ia mengatakan: Sesungguhnya kami adalah bangsa kecil yang

menghasratkan kebebasan dan mengangankan persamaan. Dengan perasaan ringan kami menanggung segala masalah sehingga semua masalah itu menjadi masalah bersama, bukan masalah personal. Lebih jauh Lebon mengatakan, Sesungguhnya bangsa Amerika terdiri atas dua kelompok: bangsa Inggris dan Bangsa Spanyol. Keduanya memiliki aturan dan perundang3

Al-Sunan al-Nafsiyyah, hal. 178

undangan yang sama karena bangsa-bangsa selatan mengambil sistem hukumnya dari utara. Tetapi etika Inggris di utara memiliki keistimewaan dengan kekuatannya yang hanya bisa dibandingi oleh bangsa Romawi, dengan cita-cita yang tidak pernah surut, potensi besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, kemerdekaan dan kekuatan jiwa yang hampir bisa disebut ganas, semangat yang tinggi dan rasa keagamaan serta perilaku yang konsisten. Mereka mengetahui dengan jelas kewajiban mereka, bisa memilah dengan tegas antara urusan kerja dan masalah yang menghajatkan pemikiran serius. Mereka juga sangat peka terhadap relitas yang melingkupinya, berungguh-sungguh membangun masyarakat dan optimis menghadapi jalan yang membentang di hadapan mereka. Para pekerja di antara mereka senantiasa bergairah melakukan kerja keras, dan para pelajar bersandar pada dirinya sendiri sejak kecil, mempelajari ilmu dan keahlian berlayar. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada seorang pun yang akan memperhatikan perjalanan hidup mereka kecuali diri mereka sendiri. Para guru di antara mereka mengajarkan sedikit ilmu dan lebih banyak mengajarkan etika, menyadari bahwa etika merupakan aspek paling penting yang menggerakkan sejarah. Dikisahkan bahwa Raja Inggris pernah mengadakan perjanjian dengan Gubernur Albert berisi penetapan syarat-syarat tentang biaya reguler yang digunakan oleh para pelajar di Universitas Wellington. Selanjutnya gubernur itu menetapkan peraturan untuk memberikan beasiswa kepada para pelajar berdasarkan seberapa tinggi nilai mereka dalam bidang etika, bukan berdasarkan seberapa banyak ilmu yang dikuasainya. Jika hal itu terjadi pada bangsabangsa latin, tentu yang akan mendapatkan beasiswa pendidikan adalah para pelajar yang paling banyak dan paling menguasai berbagai kitab. Sedangkan bangsa Spanyol di Amerika, sesungguhnya mereka menempati suatu wilayah yang kaya dengan sumber daya alam. Hasil bumi mereka lebih banyak dua kali lipat dibanding benua Eropa, sedangkan jumlah penduduknya sepuluh kali lipat lebih sedikit. Seluruh hasil bumi itu siap untuk dikonsumsi dan terus berproduksi tanpa henti. Meski mereka memiliki kekayaan alam yang berlimpah, namun mereka tenggelam dalam kebiasaan mubazir, hidup mewah, tidak memiliki tatanan perilaku yang baik dan semangat berdagang yang rendah. Seluruh urusan negara dipegang dan dikendalikan oleh para penguasa yang gaya hidupnya melebihi kaisarkaisar di Rusia, sedangkan para pegawai pemerintahannya bertindak sebagai pekerja bagi para penguasa. Para penguasa terus berteriak sekehendak hati mereka tanpa pernah dipedulikan oleh rakyat mereka. Negara mereka tinggal nama-nama belaka tanpa ada isinya. Semua hal itu

menyebabkan seluruh perdagangan dan industri berada dalam genggaman tangan orang-orang asing yang berasal dari Inggris, Amerika dan Jerman. Dan berkat adanya orang-orang asing itulah negara tersebut masih terjaga dan terpelihara dari serangan asing terhadap budaya yang tunduk pada kebudayaan Eropa.1 Ketika memperbandingkan antara gaya pemikiran para ulama barat dan para ulama kita, maka tidak semestinya kita menanyakan niat: apakah niat Sayyid Quthb dan orang-orang yang sepertinya semata-mata untuk kepentingan umat? Atau apakah niat Gustave Lebon adalah melecehkan cita-cita bangsanya (bangsa Latin) dan negaranya (Prancis)? Sesungguhnya niat keduanya sama. Tetapi yang pertama mewarisi sifat bangga dan angkuh yang diwariskan sejak zaman kakek moyangnya sebelum Islam, sehingga kebanggaan terhadap kabilah atau sukunya digantikan dengan kebanggaan terhadap Islam. Mereka lalai untuk mempelajari hakikat terdalam yang terdapat di antara niat-niat keislamannya dengan realitas umat Islam di hadapannya. Sedangkan yang kedua, Gustave Lebon, memperhatikan pemikiran ilmiah yang mengkritik realitas yang terjadi sebelum mendalami suatu masalah; setelah itu ia menganalogikan fenomena yang terjadi di masyarakatnya dengan realitas yang terjadi pada masyarakat lain yang lebih maju. Dan ia akan mengungkapkan kenyataan yang terjadi tanpa rasa takut atau gentar sedikitpun. Ia tidak merasa takut seandainya kelak ada orang yang menuduhnya berkhianat karena mengungkapkan kenyataan bangsanya. Rasa kebangsaan dan keagamaannya pun tidak berkurang; ia juga tidak mau mengingkari warisan umat dan kebudayaannya. Sama halnya, generasi muda mereka pun tidak merasa takut untuk merendahkan nilai-nilai kepribadiannya, atau menafikan harga dirinya ketika memuji bangsa lain dan mengutamakan perilaku bangsa lain, atau sikap-sikap kekanak-kanakan sejenis yang biasanya dihindari oleh orang-orang yang angkuh dengan keagungan dan kemuliaannya yang telah diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang membuat mereka merasa menjadi umat yang lebih unggul dibanding umat-umat sebelumnya. Hanya saja, mereka tidak menyadari bahwa senjata memiliki dua sisi yang sama tajam. Jika disikapi secara berlebih-lebihan, maka sisi yang berbahaya akan menebas dan memusnahkan sisi yang bermanfaat. Generasi muda kita memiliki semangat tawakal dan percaya diri terhadap kebanggaan lisan; mereka menghadapi realitas yang terjadi pada umat lain dengan pandangan yang asing; yang mereka perhatikan melulu ungkapan lisan, dan menghadapi ilmu pengetahuan dengan niat ruhani. Mereka juga melupakan bahwa saat ini kita hidup dalam satu masa yang setiap individu dan masyarakatnya tidak bisa berinteraksi kecuali dengan pemikiran yang terlatih dan realitas material yang tak mengenal rasa kasihan.

Disandarkan pada seluruh fenomena itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa kita memiliki kecenderungan jelek untuk mengagungkan masa lalu tanpa disertai data-data lain sebagai pembanding, atau keadaan bangsa lain yang lebih unggul; kita enggan untuk mengungkapkan kelemahan kita dalam sejarah dan dalam rrealitas yang kita alami tanpa menganalisis semua itu dengan pemikiran ilmiah yang terlepas dari ikatan apa pun. Sesungguhnya, tanpa hal itu kita semua akan menjadi orang-orang yang hanya mencekik leher bangsanya kemudian menyrangnya dengan cela kepribadiannya. Akhirnya, menjadi satu kewajaran untuk membiarkan masa kini bagi orang lain dan masa lalu untuk diri kita sendiri, dunia bagi mereka dan akhirat bagi kita. Disiplin, kepercayaan diri yang tinggi dan hasrat untuk mencapai hal-hal besar, memudahkan jalan yang mesti ditempuh manusia serta mempermudah hidup dengan berbagai temuan ilmiah menjadi keistimewaan mereka. Sedangkan apa yang kita miliki hanyalah makanan yang jatuh dari pucuk peradaban mereka untuk jasad kita. Sedangkan makanan untuk pikiran, jiwa dan peradaban kita hanyalah kata-kata yang indah, ungkapan-ungkapan yang bagus, kebanggaan terhadap suku dan kebangsaan kita. Sesungguhnya kerja ilmiah pertama yang harus dilakukan oleh seorang ahli budaya adalah menganalisis setiap kenyataan yang terjadi dengan kritik esensial. Tetapi kritik yang dimaksudkan di sini bukanlah serangan atau tuduhan tanpa dasar yang hanya akan dihadapai dengan sikap keras dan keangkuhan. Kedua sikap itu, baik dari yang mengkritik maupun dikritik pada dasarnya sama-sama bersifat negatif dan sia-sia. Pemikiran kritis yang berupa penjelasan dan analisis terhadap realitas yang terjadi kemudian dilanjutkan dengan membahas kekurangan dan sebab-sebabnya. Mao Zedong pada tahun 1942 mesti menghadapi munculnya orang-orang kritis dalam partainya. Langkah yang ia ambil adalah memperkeras dan menekan para jurnalis yang berkeinginan untuk menangkis ungkapan-ungkapan menghina terhadap musuh-musuh partai sosialis, atau menggugat pujian terhadap berbagai proyek partai sosialis, sebagai ganti dari analisis ilmiah terhadap keistimewaan atau kelebihan partai dan kekurangannya. Kemudian ia menutup tanggapannya itu dengan ungkapan: Segala sesuatu yang disebut ilmu tidak akan takut terhadap kritik atau celaan, karena ilmu adalah hakikat, dan hakikat tidak takut pada pengkritiknya. Para pembaca, pembahasan ini akan menelaahmelalui pasal demi pasalbahwa kerja keras yang kami lakukan untuk mengungkap kehebatan pemikiran Ibn Khaldun tentang etika

tidak menahan kami untuk mengulas kelemahan pemikirannya dalam bidang ini. Meskipun kita tetap menghormati dan memuliakan Ibn Khaldun, bahkan perasaan saya khususnya tentang keagungannya tak pernah lekang, tetapi hal itu tidak menyirnakan keinginan kami untuk mengungkap kritik dengan layak, khususnya dalam pembahasannya tentang realitas sosial yang ia bahas dengan kedalaman yang tiada taranya dalam sejarah pemikiran Islam. Tetapi ia berhenti pada pembahasan itu. Ia tidak membahas lebih jauh hubungannya dengan kebangkitan masyarakat, dan orientasi pemikiran terhadap penyelesaian berbagai masalah sosial, kemudian mengarahkannya pada berbagai hal yang mungkin terjadi di masa depan. Para pembaca akan merasakan bahwa ia sama sekali tidak mengungkap keyakinannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kehendaknya untuk menciptakan berbagai keajaiban dalam perjalanan budaya yang panjang disertai konflik-konfliknya yang tak pernah berkesudahan. Pembahasannya terhadap sejumlah realitas faktual, khususnya terhadap berbagai fenomena sosial, kosong dari kajian tentang masalah-masalah kemanusiaan, seperti masalah kejiwaan dan moral, dan secara lebih khusus menyangkut masalah konseptual, seperti masalah kewajiban dan kebahagiaan kecuali yang berhubungan dengan dalil-dalil keagamaanatau masalah kebaikan dan keburukan, meskipun petunjuk tentang hal itu diungkap secara implisit. Ia mengabaikan banyak permasalahan etika sosial seperti permasalahan keluarga dan poligami serta keretakan keluarga bangsa Arab, khususnya keluarga-keluarga yang menganut mazhab Maliki. Ia juga tidak memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Contoh lainnya, ia tidak begitu peduli terhadap masalah kesenian dan bagaimana bidang kesenian mendominasi masyarakat Arab dan memengaruhi kehidupan psikologis, sosial dan etika; ia juga mengabaikan berbagai permasalahan tentang lingkungan dan interaksi sosial yang menyebabkan munculnya berbagai problem etika-sosial bangsa Arab. Realitas seperti itulah yang melingkupi kehidupan politik sejak periode Abasiyah dan Andalusia. Saat ini kita tidak mengetahui dengan jelas sebabsebab terjadinya interaksi sosial dalam bidang politik, agama, etika dan adat kebiasaan. Karena itu kita tak akan membahas lebih jauh masalah itu. Hal itu merupakan masalah yang tetap kita pelihara meskipun sebab-sebabnya tidak kita ketahui sejak berabad-abad yang lampau. Begitu pula, kita tidak mendapatkan pembahasan dari Ibn Khaldun tentang permasalahan tanggung jawab, keutamaan, masalah nilai-nilai politis serta peran konsep-konsep ini dalam kehidupan politik dan sosial, kecuali dalam kehidupan etis-personal. Ringkasnya bisa dikatakan bahwa dimensi material dalam kehidupan sosial merupakan faktor yang mendominasi pemikiran

Ibn Khaldun, sehingga ia melalaikan dimensi maknawiselain yang berhubungan dengan agama. Memang benar, kami tidak berhak meminta Ibn Khaldun untuk mengungkapkan pemikirannya tentang etika secara sempurna sebagaimana yang dikehendaki oleh para penulis kontemporer. Tetapi apa yang membuat kami tidak menolerir kelalaiannya terhadap bidangbidang kajian ini adalah bahwa ia, sebagaimana diungkapkan, telah mencapai kedalaman teoretis ilmiah dalam analisisnya terhadap masalah-masalah kemanusiaan, sehingga tidak mungkin baginya untuk mengupas seluruh tanggung jawab pemikiran sebagaimana yang ditanggung oleh para ahli pikir modern. Lalu, apakah kita cukup dengan hanya mengungkapkan keutamaan dan keistimewaan pemikirannya pada masa lampau tanpa berusaha mengambil faidah, baik dari sisi keilmuan maupun pengamalan praktis? Pertanyaan ini selalu menggelitik pikiran saya dan selama enam tahun ini saya terus berusaha menelaah segala pemikirannya. Apa yang saya lakukan melalui karya ini merupakan satu upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Saya tidak bermaksud dengan karya ini untuk meraih gelar doktor, yang kemudian karya ini bernasib sama dengan karya-karya akademis lain: ditumpuk di antara berkas-berkas arsip universitas. Tetapi tujuan saya adalah untuk menawarkan pemikiran ilmiah dalam segala bidang pengetahuan yang kita bahas, lalu dipersembahkan kepada masyarakat dan generasi kita. Kemudian, saya berharap semoga pemikiran ini bisa disebarkan lebih luas kepada masyarakat umum, sehingga mereka menjadikannya sebagai satu kajian untuk diterapkan di tengah masyarakat kontemporer. Inilah satu-satunya pemikiran yang masih bisa diterima untuk perkembangan kita sekarang. Karena itu, dengan karya ini saya berharap tidak bertentangan dengan pandangan para peserta seminar yang mulia. Mereka menganggap karya saya ini jauh dari standar ilmiah-akademis. Karya saya, bagi mereka, hanyalah karya kacangan-populer yang jauh dari standar akademis yaitu pemeliharaan kaidah-kaidah akademis. Sesuai dengan berbagai aspek pemikiran Ibn Khaldun dalam bidang etikayang dibatasi dengan kemestian untuk menetapi realitas sosial dan analisis yang memadaikita bisa mendapatkan dua unsur mendasar yang berguna untuk memasukkan pemikiran ilmiah dalam berbagai masalah kemanusiaan, serta berbagai masalah sosial kontemporer. Kedua unsur itu adalah:

Pertama, Ibn Khaldun telah m