Filsafat Arsitektur - Ruang Menurut Filsafat Barat

of 42 /42
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena Atas RahmatNyalah kami dapat menyelesaikan paper yang berjudul “RUANG MENURUT FILSAFAT BARAT” ini sesuai dengan harapan. Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada dosen selaku pembimbing kami di dalam proses pelaksanaan dan penyelesaian tugas ini dan semua pihak yang telah mendukung kami. Adapun tujuan dari pembuatan tugas ini yaitu sebagai syarat untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah Filsafat Arsitektur. Kami menyadari bahwa laporan tugas ini masih jauh dari sempurna. Maka saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Atas keterbasan dan kekurangan-kekurangan didalam pembuatan tugas paper ini kami agar dimaklumi. Akhirnya dari apa yang telah disusun ini, kami mengharapkan agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Denpasar, Februari 2007

Embed Size (px)

description

Pengertian RuangFenomena RuangRuang UniversalDari Tiada Menjadi Ada Jadi menurut kesimpuln Lao Tzu terdapat 3 hirarkhi ruang:1. Ruang sebagai hasil dari perangkaian secara tektonik.2. Ruang yang dilingkupi bentuk stereotomik.3. Ruang peralihan yang membentuk suatu hubungan antara dunia di dalam dan dunia di luar.Contoh-contoh bangunan yang memiliki konsep dan filosofi yang sama dengan Lao atau Postmodern space antara lain:a. Plaza d’Italia Merupakan sebuah alun-alun yang terbentuk dari objek-objek arsitekturalnya di sekitarnya. Dimana objek-objek sekitarnya menciptakan sebuah ruang ditengah, selain itu pola-pola garis di dalamnya juga memberikan kesan ruang secara abstrak. Kedua objek di dalamnya dibuat kontras dalam hal warna dengan tujuan membentuk ruang diantaranya. b. Peter Eisenman’s House IIIBangunan ini menggunakan kolom sebagai elemen pembatas ruangnya. Selain sebagai pembatas, kolom juga berfunngsi sebagai elemen dekoratif. Pada bangunan ini tersdapat sebuah kolom yang menembus lantai dan langit-langit. Pada ruang tidur atas, kolom yang tembus ini seolah-olah memberikan kesan dua ruang maya yang memisahkan dua buah tempat tidur. Dinding-dinding yang ada selain sebagai pemisah juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang luar dan ruag dalam.c. Burns House Bangunan ini menunjukkan perbedaan ketinggian lantai yang mengalir tak beraturan dan juga tembok yang saling overlapping sebagai pembentuk ruang.Geometri Terbatas Jagad RayaTeori TempatRuang Ilahi: Cahaya GothicTeori RuangIntuisi, Metafisik, dan Visi Bentuk

Transcript of Filsafat Arsitektur - Ruang Menurut Filsafat Barat

The aim of our creations is the art of space, the essence of architecture (H

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena Atas RahmatNyalah kami dapat menyelesaikan paper yang berjudul RUANG MENURUT FILSAFAT BARAT ini sesuai dengan harapan. Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada dosen selaku pembimbing kami di dalam proses pelaksanaan dan penyelesaian tugas ini dan semua pihak yang telah mendukung kami. Adapun tujuan dari pembuatan tugas ini yaitu sebagai syarat untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah Filsafat Arsitektur. Kami menyadari bahwa laporan tugas ini masih jauh dari sempurna. Maka saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Atas keterbasan dan kekurangan-kekurangan didalam pembuatan tugas paper ini kami agar dimaklumi.

Akhirnya dari apa yang telah disusun ini, kami mengharapkan agar dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca.Denpasar, Februari 2007

Penyusun

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Masalah

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perancanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain prabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut. Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar; dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, dan juga filsafat. Filsafat sebagai salah satu ilmu yang memiliki peran penting di dalam pendekatan arsitektur. Filsafat arsitektur mengandung beberapa arahan sperti Rasionalisme, empirisisme, fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme yang mempengaruhi arsitektur itu sendiri.

Ruang sebagai salah satu bagian penting dalam dalam arsitektur juga merupakan hal yang menarik untuk dibahas dalam filsafat arsitektur. Beberapa ahli filsafat telah memberikan sumbangan pemikirannya dalam memberikan pengertian dan pemahaman mengenai ruang dalam arsitektur. 1.2. Rumusan Masalah1. Apa itu ruang?

2. Bagaimanakah Filsafat ruang luar dan ruang dalam dalam postmodern space?

3. Bagaimanakah ruang dalam pandangan Plato?

4. Bagaimanakah filosofi ruang berdasarkan konsep teologi?5. Bagaimanakah filsafat ruang terbatas dan tak terbatas dalam kaitannya dengan arsitektur?1.3. Tujuan1. Untuk mengetahui apa itu ruang.

2. Untuk mengetahui filasafat ruang luar dan ruang dalam dalam post modern space.

3. Untuk mengetahui ruang dalam pandangan Plato.4. Untuk mengetahui fiosofi ruang berdasarkan konsep teologi.

5. Untuk mengetahui filsafat ruang terbatas dan tak terbatas dalam kaitannya dengan arsitektur.1.4. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui filsafat filsafat mengenai ruang dalam arsitektur.2. Agar mahasiswa dapat menerapkan konsep-konsep filsafat dalam perancangan.BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Pengertian RuangThe aim of our creations is the art of space, the essence of architecture (H.P. Berlage, 1908)

Terminologi space (ruang) berakar dari istilah klasik spatium yang menjadi espace dalam bahasa Prancis, spazio dalam bahasa Itali, dan espacio dalam bahasa Spanyol. Sedangkan kata Jerman Raum dikembangkan dari bahasa teotonik ruun, dan kemudian mejadi room dalam bahasa Inggris dan ruimte dalam bahasa Belanda.

Tulisan di bawah ini bermaksud untuk memberi catatan bagaimana arsitektur pada abad ini memahami ruang. Pemahaman yang dipelihara sepanjang kurun waktu itu hadir tidak tanpa asal-usul. Ia adalah anak kandung Pencerahan yang disuasanai oleh kegairahan luarbiasa untuk menjelaskan fenomena alam dengan rasio manusia. Pilihan untuk menjelaskan fenomena ruang secara rasional ini telah membawa kemajuan-kemajuan yang signifikan pada pembentukan dan penguasaan ruang di seluruh muka bumi kita ini (penemuan dunia baru, kontak dengan kebudayaan baru,dst.), di samping juga korban yang tidak terbilang ( kolonialisme, keseragaman ruang,dst.).Tulisan ini tidak bermaksud memberi jawaban dari persoalan yang ditimbulkan oleh pilihan tadi, alih-alih hanya ingin memperlihatkan dinamika konstruksi ruang dalam arsitektur yang berubah-ubah dan senan-tiasa direkonstruksi. Dalam dinamika itu posisi arsitek sendiri yang adalah interpreter semangat jaman-nya. Tanpa kesulitan kita bisa berbicara tentang benda-benda dalam ruang -meja dan kursi di ruang tamu, tikar dan amben di ruang tidur, sikat gigi dan gayung di kamar mandi, pisau dan panci di ruang dapur... - namun kita menghadapi kesulitan besar ketika harus bicara tentang ruang itu sendiri. Apa itu ruang? Pemahaman tentang ruang yang dapat disediakan oleh Bahasa Indonesia dan Jawa lebih mengarah kepada tempat dilangsungkannya kegiatan tertentu (ruang tamu, kamar mandi, ruang tidur, dapur), sedangkan deskripsi yang obyektif nyaris tidak tersedia . Sementara itu produksi ruang sudah dan terus berlangsung: Arsitek merancang rumah, Perencana Kota merencanakan jalan-jalan dan lapangan, Penduduk Miskin menggarap bantaran sungai dan bawah jembatan untuk hunian mereka. Orang-orang menghayati ruang tapi tidak bisa berkata-kata tentangnya, bahasa rupanya tidak memadai untuk menjadi representasi penghayatan tadi, penghayatan memang mendahului representasi seperti PengalamanmendahuluiBahasa. Penghayatan akan ruang ternyata tidak manusiawi, sebab binatang pun memilikinya. Binatang yang pergi dan kembali ke sarang/kandangnya lagi memperlihatkan bahwa mereka pun menghayati ruang. . Arsitektur adalah salah satu disiplin yang mengklaim mempelajari, merencanakan dan mencipta ruang. Ruang adalah Alfa dan Omeganya Arsitektur, namun demikian juga tidak pernah ada jawaban yang sama dari disiplin ini untuk pertanyaan di atas. Sebenarnya persoalan ruang ini juga menjadi pergumulan serius di kalangan ilmuwan (Scientists) Fisika, Matematika. Misalnya, Teori Kompleksitas dan Chaos yang sekarang sedang dalam perbincangan hangat adalah buah pemikiran mereka dan berdampak pada pemahaman kita akan ruang. Adalah baik bila para pencipta ruang: perupa, sinematograf, penari, arsitek, city-planner untuk saling berbagi mengenai fenomena yang mempesona ini.2.2. Fenomena Ruang Dalam berbicara tentang ruang dianggapkan kita pernah bertemu dengan sesuatu, yaitu fenomena yang menyergap kesadaran kita. Sebenarnya tidak tepat kalau kita mengatakan bertemu, karena nyatanya kita adalah terlibat, disergap, dan terbenam dalam fenomena (ruang). Ruang bukanlah obyek di luar diri kita (Subyek) tetapi fenomena yang memperlihatkan diri. Agar bisa dibicarakan, maka suatu fe-nomena harus direduksikan dan kemudian baru dijuruskan ke dalam disiplin-disiplin yang lebih khusus. Arsitektur, terlebih Arsitektur Modern, memahami ruang sebagai kekosongan yang terjadi karena kita menetapkan batas-batas. Ini adalah salah satu pereduksian fenomena ruang yang secara luarbiasa sudah membentuk wacana tentang ruang di abad ini, di samping pereduksian dari disiplin ilmu yang lain. Ruang, sebuah kata dengan daya tarik ajaib bagi para arsitek abad ke 20, sebuah kata yang begitu sering dipergunakan dan sekaligus disalah gunakan sehingga mulai timbul suatu kebingungan mengenai asal dan maknanya.

Ruang dalam arsitektur merupakan suatu hal yang sangat misterius dan tidak kasat mata. Pada tahun 1957 Louis I. Kahn berkata arsitektur bararti menciptakan ruang dengan cara yang benar-benar direncanakan dan dipikirkan. Pembaharuan arsitektur yang terus menerus sebenarnya berakar dari pengubahan konsep-konsep ruang.

Semenjak dahulu kala ruang telah menjadi diskusi yang vital dalam diskusi ilmu filsafat dan pengetahuan alam, tetapi anehnya dalam teori arsitektur hal ini baru muncul beberapa tahun yang lalu. Bahkan tidak ditemukan satu risalah pun mengenai arsitektur sebelum paruh akhir abad ke 19 yang menganggap ruang sebagai hal yang hakiki. Sampai kurun-kurun berikutnya ruang tetap sekedar suatu gagasan in abstrackto, suatu hal yang sekedar dibiarkan menjadi pemikiran para filsuf dan ilmuan.

Interpretasi ilmiah tentang ruang telah melalui banyak perubahan tergantung pada perkembangan pemikiran manusia mengenai alam semesta. Meskipun demikian perkembangan konsep-konsep mengenai ruang tidak secara jelas dikaitkan dengan teori-teori arsitektur hingga akhir abad 19. banyak hal yang menyebabkan tidak secara explicit maupun implicit dikaitkan dengan arsitektur. Pertama, kebanyakan arsitek pada masa abad 19 terutama adalah tukang dan dari sebab itu mereka sama sekali tidak tertarik untuk menulis mengenai masalah metafisika bahkan merasa perlu tahu pun tidak kedua, ide ruang yang pada masa sekarang cukup terkenal di kalangan arsitek pada masa lalu menjadi bagian dari dunia intuisi intelektual sehingga tidakdipandang sebagai konsep artistik melainkan sebagai konsep metafisika semata. Contohnya adalah pandangan Imanuel Kant yang pada akhir abad 18. memandang ruang dan waktu sebagai kondisi a preori bagi intuisi manusia, bukan sebagai prinsip-prinsip bagi kritik estetika. Hal yang sama juga dianut Schopenhauer setengah abad kemudian. Baru pada tahun 1901 setelah Riegl memperkenalkan teori hasrat artistik (Kuntswollen), ide ruang mulai ditafsirkan sebagai cita-cita artistik yang berlaku bagi semua periode historis terdahulu.

Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai aspek-aspek ide ruang dalam filsafat dan ilmu pengetahuan secara umum dan kaitannya dengan bidang arsitektur. 2.3. Ruang UniversalPemahaman akan adanya ruang universal ini agaknya memiliki asal-usul sekitar Copernicus dan Galileo yang menyatakan bahwa Bumi ini hanya bagian dari sistem Matahari yang lebih besar. Barangkali juga dapat ditandai keterpesonaan Petrarcha ketika ia mendaki bukit Ventoux (1336) dan menyadari bahwa ternyata ruang dan horizon sebenarnya dapat meregang, menjulur dan meluas jauh melampaui kemam-puan matanya sendiri melihat. Diketemukannya peta geografis, alih-alih mandala sebagai peta mitologis, menandai pencerahan dan kesadaran akan ruang yang lebih luas ini. Pemahaman ruang sebagai sesuatu yang netral tidak terikat pada kemampuan mata subyek memandang ini mendapatkan acuan de-finitipnya dalam konsep extensio dari Ruang Kartesiannya Ren Descartes (1596-1650), yang kelak diteruskan oleh Newton (pengertiannya akan Ruang Absolut dan Ruang Relatif). Konsep ruang inilah yang melahirkan pengertian tiga dimensi untuk benda-benda dan ruang. Ruang netral ini dianggap meregang (extensio) ke ketiga sumbu (x,y,z) tanpa batas dan setiap titik dapat ditetapkan lokasinya dari Titik Origin (0,0,0). Konstruksi ruang seperti ini menguasai pemahaman arsitek akan ruang di jaman serba komputer ini, dan bahkan program komputer untuk arsitek (misalnya, AutoCAD) adalah contoh penerapan konsep Ruang Kartesian par excellence Konstruksi ruang yang seperti ini memungkinkan lahirnya penemuan-penemuan di bidang navigasi, penemuan benua baru (Amerika), dorongan untuk menjelajah lautan dan bertemu peradaban dan kebudayaan lain. Termasuk mengklaim daerah-daerah baru itu sebagai koloni mereka. Hunian dan tata kota di daerah koloni baru itu dibuat sama (karena mereka menganggap bahwa ruang mereka itu meregang hingga mencapai daerah koloni baru itu) dengan daerah asal. Terjadilah universalisasi (globalisasi?) kon-sep ruang homogen tadi yang dicirikan dengan adanya dominasi dan pelenyapan konstruksi ruang lokal yang asli. Ruang-ruang yang semula mitologis digantikan dengan ruang yang lebih geografis. Tidak serba mencakup memang, tapi lebihmendekatikenyataan. Sebelum jaman yang menakjubkan itu, yakni: Pencerahan karena mengawali modernisme, sebenarnya pergeseran ruang dari ruang mitologis ke ruang geografis sudah terjadi ketika manusia memasuki peradaban tulisan. Ketika manusia memasuki budaya tulis, maka berguguranlah sumber-sumber pengetahuan yang semula berpusat di sekitar orang-orang besar (dan umumnya tua-tua) itu dan digantikan dengan buku-buku yang terdistribusi ke banyak orang. Ruang memusat dan tunggal didobrak menjadi planet-planet baru. Memasuki kebudayaan tulisan adalah memasuki proses spatialisation atau pe-ruang-an pengetahuan.2.4. Dari Tiada Menjadi Ada Arsitek percaya bahwa ruang ada hanya kalau batas-batasnya ditetapkan . Batas-batas itu menangkap dan meng-konkret-kan ruang universal tanpa batas yang ada dalam semesta ini ke dalam suatu kepingan ruang yang dapat kita serap melalui indera kita. Ruang universal itu adalah ruang homogen yang sama kepadatannya dan merata di setiap posisi. Kepercayaan akan adanya ruang universal ini niscaya adalah dipungut dari Science. Peran dan kesibukan arsitek, dengan demikian, adalah mengolah, menyu-sun, mengkomposisikan batas-batas tadi sedemikian sehingga kepingan ruang yang terjadi memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh penghuninya . Jadi, sasaran penciptaannya adalah ruang, tapi yang lang-sung dikenai pekerjaan arsitek adalah batas-batasnya. Kesibukan ini mirip dengan puisinya Lao Tzu.

Thirty spokes converge upon a single hub;

It is on the hole in the center that the purpose of the axle depends

We make a vessel from a lump of clay;

It is the empty space within the vessel that makes it useful

We make doors and windows for a room;

But it is these empty space that make room habitable

Thus while the tangible has advantages;

It is the intangible that makes it useful

LaoTzu (c. 550 S.M.)

Inti dari filosofi Lao Tzu adalah Tao atau the way of becoming. Ini menggambarkan pengertian bahwa tidak ada yang abadi di dunia yang selalu berubah ini. Semua konsep statis seperti yang telah diajukan oleh Confusius, sejaman dengan LaoTzu oleh para penganut Taoisme dianggap keliru. Keluwesan pola pikir Tao mencerminkan pandangan ke depan yang benar terhadap pikiran manusia yang selalu berubah, tetapi sama sekali tidak menyinggung ide ruang. Lao Tzu pada bukunya yang berjudul Tao Teh Ching, dia menyatukan being (yang ada) dan non-being (yang tak ada) ke dalam satu konsep yang terus bergema dalam seluruh perkembangan peradaban manusia. Penyatuan dari dua kondisi yang berlawanan memang masih menjadi struktur vital dalam estetika kontemporer yang berkaitan dengan ruang.

Kutipan di atas sebagai salah satu bagian dari buku itu mengandung lebih dari sekedar prinsip dari dua elemen yang bertentangan, karena bagian itu juga menyibakkan superioritas yang terkandung yakni ruang di dalamnya. Yang tidak nyata justru menjadi hakikatnya dan di-nyata-kan dalam bentuk materi. Estetika arsitektural akhir abad 19 menyatakan bahwa eksistensi ruang menjadi eksistensi dari arsitektur. Pada awal abad ke-20, beberapa tren artistik tertentu yang memahami kata-kata bijak kuno dari timur bahwa massa adalah abdi dari kekosongan, akhirnya sampai pada ketetapan akan dematerialisasi (peniadaan materi) terhadap soliditas massa.

Dewasa ini perenungan LaoTzu sangat berpengaruh terhadap para arsitek yang menganggap kandungan yang tidak nyata dari bentuk arsitektur sebagai potensi arsitektur yang sejati.

Pada bait ke-2 pada kutipan di awal bab We make a vessel from a lump of clay; It is the empty space within the vessel that makes it useful yang memiliki arti ruang tercipta dengan membuat rongga dari gumpalan lempung. Ini menunjukkan pada suatu kualitas teknik dan material yang menurut Gottfried Semper disebut sebagai bentuk stereotomik.

Pada bait ke-3 LaoTzu telah menyatakan bahwa ruang yang terkandung di dalam adalah lebih hakiki ketimbang materialnya, yakni massa. Lao Tzu lebih menekankan pada batasan antara ruang internal dan eksternal, yaitu dinding pemisah. Ia mau menjelaskan kekosongan yang terbingkaikan oleh pintu dan jendela ayng boleh dianggap sebagai ruang transisi yang membatasi bentuk arsitektur yang fundamental tersebut. Hal tersebut merupakan usaha tertulis pertama yang menyatakan bahwa batas ruang sekaligus merupakan penghubung antar ruang yang menggeser tekanan di dalamnya terhadap bagian-bagian bangunan yang menerjemahkan ruang internal menjadi ruang eksternal. Karena ruang terdapat pada kedua sisi dinding, dan karena batas ini harus bisa ditembus pada suatu tempat tertentu, akan terjadi pemisahan sekaligus penyambungan. Dindingnyalah yang menjadi ekspresi sejati dan jujur dari fungsi internalnya, atau dinding itulah yang berorientasi ganda, satu interior dan satu eksterior. Jadi menurut kesimpuln Lao Tzu terdapat 3 hirarkhi ruang:1. Ruang sebagai hasil dari perangkaian secara tektonik.2. Ruang yang dilingkupi bentuk stereotomik.

3. Ruang peralihan yang membentuk suatu hubungan antara dunia di dalam dan dunia di luar.

Pada saat yang sama filsafat Barat masih hanya menyibukkan diri dengan ide ruang dalam metafisika saja semenjak berabad-abad. Baru menjelang akhir abad ke-19 kritik estetika itu mulai mengenalkan ide filosofis umum ini terhadap bentuk arsitektural.

Pada saat itu konsep Lao Tzu telah diterapkan pada taman-taman di Cina, dimana batas-batas antar taman dibatasi oleh sebuah gerbang yang memiliki bentuk lingkaran. Sebetulnya gerbang yang ada tidak bisa dikatakan juga membatasi sepenuhnya, selain berfungsi sebagai pembatas gerbang tersebut juga berfungsi sebagai penghubung antara taman yang satu dengan taman yang lainnya, selain itu gerbang tersebut juga memiliki fungsi sebagai tujuan akhir (goal) dari jalur pedestrian di dalamnya. Pemikiran Lao Tzu tersebut memiliki kemiripan dengan konsep post modern space yang lahir di Jerman pada pertengahan tahun 1970-an, dimana postmodern space memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan komponen bangunan itu sendiri. Hal ini bermula dari abad-19 di Jerman dimana space, raum, void, dll. menjadi prioritas metafisik, tidak hanya sebagai esensi arsitektural saja tapi juga mampu mengekspresikan kebudayaan dan eksistensinya melalui media ini. Sebagai perlawanan dari hal ini, post modern space memliki ciri khas yang lebih spesifik, bermula dari kebiasaan, tak terbatas, atau bermakna ambigu dalam hal zoning dan bersifat irasional dan transformasional dalam hubungan antarbagian ataupun keseluruhannya. Batas-batas dari space seringkali tidak jelas dan seolah-olah memiliki luas yang tak terbatas. Seperti pada hal-hal lain pada masa post modernisme, hal ini muncul secara evolusi, bukan revolusi karena mengandung bagian dari kualitas modernisme. Post-Modern Space Memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan komponen bangunan itu sendiri. Bentuknya mempunyai karakteristik abstrak yang merupakan elaborasi dari grid cartesius, namun masih bersifat rasional dan logis.

Arsitek-arsitek yang mnganut paham ini antara lain Peter Eisenman, Robert Stern, Charles Moore, Kohn Pederson-Fox.

Adapun contoh-contoh bangunan yang memiliki konsep dan filosofi yang sama dengan Lao atau Postmodern space antara lain:a. Plaza dItalia

Merupakan sebuah alun-alun yang terbentuk dari objek-objek arsitekturalnya di sekitarnya. Dimana objek-objek sekitarnya menciptakan sebuah ruang ditengah, selain itu pola-pola garis di dalamnya juga memberikan kesan ruang secara abstrak. Kedua objek di dalamnya dibuat kontras dalam hal warna dengan tujuan membentuk ruang diantaranya.

b. Peter Eisenmans House IIIBangunan ini menggunakan kolom sebagai elemen pembatas ruangnya. Selain sebagai pembatas, kolom juga berfunngsi sebagai elemen dekoratif. Pada bangunan ini tersdapat sebuah kolom yang menembus lantai dan langit-langit. Pada ruang tidur atas, kolom yang tembus ini seolah-olah memberikan kesan dua ruang maya yang memisahkan dua buah tempat tidur. Dinding-dinding yang ada selain sebagai pemisah juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang luar dan ruag dalam.c. Burns House

Bangunan ini menunjukkan perbedaan ketinggian lantai yang mengalir tak beraturan dan juga tembok yang saling overlapping sebagai pembentuk ruang.

2.5. Geometri Terbatas Jagad RayaThe Elements

The physical world must have bodily form; it must be visible and tangible (31b).

Hence, its ingredients must include fire and earth.

Since fire and earth will have to be combined, there must be at least one other ingredient that serves to combine them.

But since fire and earth are solids, we require two intermediates to combine them.

Hence, the demiurge created air and water, and arranged all four elements proportionally: as fire is to air, air is to water; as air is to water, water is to earth.

As we will see below, we have not reached the bottom with these four elements: there are (geometrical) atoms of which these elements are composed.

(Timaeus,Plato)

Kontras yang tajam terhadap metafisika Timur ditunjukkan oleh Plato yang lahir hampir sekitar 200 tahun setelah Lao Tzu. Plato merupakan salah satu narasumber pemikiran Barat yang paling berpengaruh. Menurut Plato yang benar-benar ada hanyalah yang terlihat dan teraba, sedangkan pandangan Tao justru persis kebalikannya. Plato memahami ruang sebagai salah satu dari 4 elemen yang membentuk dunia yaitu tanah, udara, air, dan api. Dengan demkian ruang, yang dipandang seperti udara, menjadi teraba karena memiliki karakter yang jelas berbeda dengan semua unsure lainnya. Pada bukunya yang berjudul Timaeus dalam masa Renaissance yang sengat berpengaruh dalam pembentukan teori arsitektur Barat, karena sistem perbandingan kosmos Plato kemudian diterjemahkan ke dalam doktrin-doktrin untuk menentukan proporsi bangunan. Plato mengatakan:

Kini segala sesuatunya harus mewadaq, kasat mata, dan teraba: namun tak ada sesuatu pun yang kasat tanpa adanya api, tak ada sesuatu yang dapat teraba bila tak bermassa, dan tak ada sesuatupun yang dapat bermassa tanpa adanya unsur tanah. Maka Tuhanpun menciptakan dunia dari api dan tanah.Meletekkan air dan udara di antara api dan tanah dan membuatnya sebanding antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga udara terhadap air sebanding dengan air terhadap tanah; demikianlah ia membuat dunia ini sebagai kesatuan yang kasat mata dan teraba.

Dapat disimpulkan bahwa menurut Plato ruang adalah elemen terbatas dalam satu dunia yang terbatas pula. Berbeda dengan pemikiran Lao Tzu, ruang baginya bukan sekedar penyerta yang tidak benar-benar ada, melainkan justru menjadi bagian yang teraba dari konstruksi kosmos yang tertata dalam aturan perbandingan matematis tertentu.

Arti penting Timaeus terletak pada konsepsinya yang spesifik mengenai ruang dimana seluruh keberadaannya merupakan keutuhan yang terbatas, yang dapat dibagi secara matematis menjadi bagian-bagian yang proporsional. Prinsip-prinsip pembagian ini digunakan sebagai sebuah model bagi Renaissance Italia. Pembagian dari struktur arsitekturalnya menjadi satu kesatuan dari unit-unit spasial yang lebih kecil. Pengaruh pemikiran plato terhadap teori arsitektur barat sangat besar. Arsitek Renaissance tersebut sangat kagum, seperti halnya plato, terhadap keterkaitan antara makrokosmos dengan mikrokosmos, antara jagat ilahi dengan dunia buatan manusia. Dia berusaha untuk mensistemasi komponen komponen yang mungkin, semisal Sang Jiwa, jagat raya, raga manusia, musik atau matematika, dengan bantuan perbandingan pitagoras. Arsitek Renaissance tersebut juga memandang arsitektur sebagai pewadaqan secara plastis dari proporsi-proporsi universal ini, dan diapun berusaha mentransformasikan sel-sel spatial dari interior memjadi sistem-sistem matematis yang serupa.

Dunia platonic merupakan suatu dunia tiga deminsional, sedangkan pengertian apapun mengenai ruang dipahami dalam konteks geometri. Geometri dan objektifitas menjadi sarana untuk membasmi alienasi manusia terhadap yang tidak kasat mata, dan itu berarti pula, ruang universal yang penuh misteri. Dengan demikian, kosmos yang difus dapat dilihat sebagai suatu yang teraba dan rasional dalam pandangan manusia. Manusia mengungkapkan hasratnya untuk memenuhi jagat raya yang sulit dipahami dengan bantuan arsitektur geometris yang terbatas. Citra arsitektural ini selanjutnya akan menjadi representasi sadar diri yang mewadaq dari hasratnya. Pemikiran yang platonic dalam gerakan-gerakan modern yang abstrak melanjutkan hasrat spiritual akan harmoni geometris dan universal. 2.6. Teori Tempat

Dua generasi setelah Plato, Aristoteles mengemukakan sebuah konsep baru mengenai ruang yang disebut sebagai teori tempat ( topos ) yang menolak ide streotomik Plato. Agak sulit untuk menguji kebenaran apakah pandangan Aristoteles juga berpengaruh terhadap perkembangan teori arsitektur Reinassence seperti halnya Timaeus karya Plato. Hanya ada beberapa pernyataan oleh Alberti yang menyinggung pernyataan tersebut, yakni tempat, kota sebagai suatu keutuhan, dan distribusi dari bagian bagiannya. Meskipun demikian, dalam abad kedua-puluh setelah perang Perancis dan Jerman, konsep ruang Aristotelian direhabilitasi, karena selama ini konsep tersebut hanya terlindas oleh pemikiran Renaissance Platonic saja. Dalam arsitektur kontemporer, generasi baru arsitek dari awal tahun enampuluhan mencoba memperkenalkan kembali konsep tempat modern ini. Misalnya saja, perhatian terhadap konsep tempat oleh Aldo van Eyck ( 13 ) yang semenjak tahun 1920-an berusaha mneghentikan kejumawaan spatial yang mengasingkan dalam arsitektur Fungsionalis. Perubahan sikap yang penting terhadap konsep ruang ini menjadi hakim bagi pembahasan singkat berikut mengenai kandungan fundamental teori kalsik Plato mengenai ruang, sejauh dalam kaitannya dengan arsitektur.

Dalam Buku IV dari Fisika, Aristoteles membangun konsepnya mengenai tempat ( topos ) sebagai suatu di mana, atau suatu place of belonging, yang menjadi lokasi yang tepat di mana setiap elemen fisik cenderung berada. Aristoteles mengatakan, Wadaq-wadaq semata bergerak ke atas dan ke bawah menuju tempatnya yang tepat dan Setiap hal berada di suatu tempat, yakni dalam sebuah tempat. Suatu tempat, atau ruang, tidak dapat memliki suatu wadaq.

Akhirnya, Aristoteles merangkumkan karakteristik dari ruang menjadi lima butir.

Tempat melingkungi objek yang ada

Tempat bukan bagian dari yang dilingkunginya.

Tempat dari sesuatu objek tidak lebih besar dan tidak lebih kecil dari objek tersebut.

Tempat dapat ditinggalkan oleh objek serta dapat dipisahkan pula dari objek tersebut.

Tempat selalu mengikuti objek, meskipun objek tersebut berpindah sampai berhenti pada posisinya.

Aristoteles memberi penjelasan lebih lanjut, bentuk dan tempat tidak memberi batas yang sama : bentuk adalah batas dari objek yang telah dilingkungi ; sedangkan tempat adalah batas dari pelingkung yang membatasi objek itu . Tempat adalah batas dari wadaq pelingkungnya sehingga wadaq yang dilingkungi dapat melakukan gerak setempat. Dengan demikian tempat dari suatu objek merupakan batas pertama yang tak tergerakkan dari pelingkungya.

Bila definisi terakhir diterjemahkan ke dalam arsitektur, dapat disimpulkan bahwa batas- batas yang dapat dipindahkan, seperti rumah mobil atau dinding partisi, menurut pandangan Aristotelian tidak dapat menentukan suatu tempat.

Batas yang dapat dipindah-pindahkan tidak dapat menjawab kebutuhan manusia akan suatu tempat kediaman, atau suatu tempat yang dimilikinya serta dimana ia dapat merasa enak.

Pandangan Aristoteles mengenai kosmos yang terbatas terdepak oleh alam pikiran Renaissance yang menerima jagat raya yang sebagai suatu kekosongan tanpa batas. Suatu tempat diinterpretasikan sebagai suatu system wadah, satu di dalam yang lain, yang terus berkembang sampai akhirnya membentuk jagat raya sebagai suatu keutuhan. Aristoteles menyimpulkan bahwa tidak sesuatu wadaq yang mampu mengandung alam semesta dan jagat raya. Tak Ada sesuatupun yang dapat mewadahi yang semesta. Teori tempat menganggap semua elemen wadaq sebagai bagian dari suatu bagian dari suatu keutuhan, suatu kesatuan organic. System konseptual tersebut berakhir pada lingkaran terluar kosmos. Keyakinan Pythagorean bahwa ada suatu kekosongan atau suatu kehampaan disangkal oleh Aristoteles karena ide mengenai suatu kekosongan ( kenon ), yang juga merupakan sesuatu, kosekuensinya juga akan memiliki tempat dan ini berarti suatu wadaq teraba lainnya. Ia menyimpulkan Jelaslah bahwa tidak ada suatu kekosongan yang bebas, baik yang sepenuhnya bebas maupun yang berada dalam wadaq-wadaq renggang ; tidak pula ada kekosongan yang potensial.

Dewasa ini, kesatuan terbatas dari kosmos Aristoteles tidak lagi terasa naf seperti yang telah lama terjadi. Kendati boleh jadi kita temukan bahwa kosmos merupakan kekosongan yang meluas tanpa batas, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kediaman manusia diatas bumi. Para filsuf penganut aliran eskistensial dan fenomenologis dewasa ini mempertanyakan relevansi pengetahuan ilmiah mengenai jagat raya, mengingat bahwa ruang yang didiami sejauh ini tidak memiliki sifat nirbatas, melainkan sekedar sebuah lingkup rongga tertutup terbatas, yang melindungi dan memberi rasa aman kepada kita. Meski jagat raya tak terbatas, permukaan bumi yang kita diami pun telah membentuk suatu keutuhn terbatas dimana setiap mahkluk hidup menemukan tempatnya. Maka, perluasan nir-batas telah ditransformasi oleh teoti tempat menjadi konsep kesepakatan eksistensial.

2.7. Ruang Ilahi: Cahaya Gothic

Sampai akhir abad ke-18, pemikiran teologis sangat mempengaruhi dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Akhir-akhir ini peranan argumen-argumen teologis dalam fisika dan kosmologi ditelaah lagi oleh Jammer. Ia menerangkan keterlibatan Tuhan dengan ruang atau tempat selama abad-abad pertengahan, yang pada umumnya disebabkan oleh luasnya pemikiran kaum Yahudi. Jammer menerangkan bagaimana cendekiawan abad pertengahan yang mengidentifikasikan ide ruang dengan Tuhan yang hadir di mana-mana; dan karena Tuhan adalah cahaya, akibatnya cahaya dan ruang memiliki sifat ilahi. Contohnya pada katedral gothic, kita dapat menyamakan transparansinya dengan hasrat si pembanguan katedral untuk mempresentasikan ide mengenai Tuhan dalam bentuk cahaya dan ruang. Semenjak estetika Hegel, katedral gothic diterangkan sebagai sebuah paradigma ungkapan fisik atas suatu ide yang immaterial. Tak seorang pun yang dapat terbebas dari atmosfir adikodrati yang ajaib yang tertangkap dalam banyak interior gothic. Namun kemudian timbul banyak pertanyaan, adakah efek transdental ini berakar dari konsep-konsep skolastik abad pertengahan mengenai ruang?

Sampai sekarang ini banyak perdebatan apakah arsitektur yang berciri Roman menjadi Gothic disebabkan oleh perubahan-perubahan sepadan dalam pemikiran-pemikiran teologis? Bukti bentuk arsitektural sebagai suatu realitas yang teraba dapat menjadi titik berangkat untuk menyelidiki efek-efek regional terhadap ide-ide metafisik. Contohnya otonomi dalam arsitektural diajukan dalam teori arsitektur Frankl. Menurutnya, interpretasi yang tepat atas bentuk arsitektural merupakan satu hal yang penting, apabila tidak dapat dikatakan sebagai metode yang terpenting untuk memahami sikap-sikap spiritual yang dianut dalam kurun waktu tertentu. Apabila kita melakukan pendekatan secara formal menurut Hans Jantzen yang menyebut interiot gothic sebagai suatu struktur diafan (struktur tembus cahaya). Jantzen mengingatkan bahwa pengalaman akan ruang dan cahaya arsitektural, yang menyangkut indera, sangat berbeda dengan konsep intelektual dari cahaya metafisik yang termasuk dalam wilayah pemikiran. Ia yakin bahwa kedua aspek ini tidak selalu sejalan.

Paul Franc merupakan salah seorang eksponen yang paling vokal dari pendekatan morfologis untuk memahami ide-ide. Secara langsung ia menyatakan bahwa bentuk arsitektur adalah otonom dan bahwa perkembangan gaya gothic dapat dipahami seluruhnya dengan melihat bentuk ruang-ruang yang kini telah ada, tanpa memerlukan pengetahuan, mungkin secara tidak langsung mendapat inspirasi dari ide-ide teologi dalam jamannya. Menurut Witelo yang merupakan orang pertama pada abad pertengahan yang melihat makna lokal dan religius yang diprakondisikan dari citra dan penggunaan warna-warna yang khusus dibuat semata-mata demi kualitas keindahan visual saja. Witelo mendefinisikan kualitas-kualitas yang murni atmosferik seperti diaphanitas (kesemrawangan), densitas (kepekatan), obscuritas (kegelapan), atau umbria (bayangan). Kualitas-kualitas tersebut dengan tepat menunjukkan efek-efek spasial yang kita kenal sekarang sebagai karakteristis dari ruang utama gothic.

Kualitas-kualitas spasial tersebut pada tahun 1270 telah menjadi sangat eksplisit; semenjak itu para teoritisi Renaissance seperti Alberti dan Leonardo da Vinci sering mengutip teori Witelo. Namun interpretasi terhadap ruang, terutama psikologinya mengenai persepsi ruang, mencapai puncaknya pada suatu kesadaran fenomenologis terhadap kualitas-kualitas yang tak pernah diperoleh tanpa secara langsung mengalami interior gothic. Jelaslah bahwa keberadaan bangunan pada akhirnya menyadarkan kita akan fenomena ruang dan keajaiban-keajaiban atmosferik yang dapat kita tangkap.

Cendekiawan Abbot Suger mengemukakan tentang peranan cahaya. Ia tidak mengaitkan peranan itu dengan ekspresi ruang utama, melainkan hanya dengan kaulitas material dari permukaan yang terkena cahaya. Ia melakukan melalui permainan materi, seperti mengaitkan cahaya dengan kilauan emas, batu, dan kaca. Bagi Suger, cahaya berarti kecemerlangan dan tujuannya untuk memberikan kesan. Ia juga sedikit menyinggung mengenai kualitas-kualitas spasial yang dihasilkan oleh penyinaran dengan cara baru. Abbot Suger juga menekankan pada jendela kaca berwarna-warni(stained glass) yang kemudian diabadikan kepada inovasi-inovasi structural dari interior gothic. Seorang cendekiawan Panofsky dalam pembahasannya mengenai katedral gothic menarik tautan intelektual antara scolastisisme dengan bentuk gothic. Ia mengacu pada konsep kecemerlangan atau kebeningan. Panofsky mengintroduksikan transparency sebagai representasi dari manifestation yang sifatnya intelektual itu. Transparency mengandung arti bahwa cahaya masuk melewati dinding atau dengan kata lain cahaya datang dari luar. Ide sedemikian secara diametral berlainan dengan ide-ide Jantzen yang berusaha menunjukkan bahwa jendela stained glass itu sendiri oleh umat pengikut ibadat dilihat sebagai sumber cahaya yang dibingkai oleh kegelapan tak teraba dari ruang interiornya sendiri. Jadi kesimpulannya pencahayaan yang rendah bukan kondisi khusus bagi ruang Gothic. Klimaks dari ekspresi ruang Gothic terjadi dengan penemuan stained glass yang ternama itu, yakni transformasi chaya yang jatuh ke citra dindingnya menjadi cahaya yang bersinar dari citra itu sendiri. Jendela Gothic merupakan sebuah fenomenal spatial atmospheric yang memperkuat struktur diafan dinding. Menurut Jantzent cahaya Gothic tidak dapat disebut cahaya transparan seperti yang disebut Panofsky melainkan cahaya artificial yang keluar dari jendela stained glass tersebut.

Menurut filsafat yang dikemukakan oleh Agustininus yang menyatakan bahwa cahaya alami merupakan manifestasi Tuhan yang paling nyata. Jelaslah bahwa pernyataan mengenai pencahayaan pada ruang Gothic Tak ada sepotong pun dari ruang dalam yang dibiarkan tetap gelap tak terdefinisikan oleh cahaya. Berlawanan dengan konsep Jantzen dan dengan realitas dari beberapa interior Gothic yang masih asli itu.

2.8. Teori Ruang

Teori tentang ruang telah banyak diungkapkan oleh filsuf-filsuf terkemuka khususnya oleh para filsuf barat. Teori klasik yang selama paruh abad keenam-belas yakni teori Aristotelian mengenai ruang sebagai tempat dan terbatasnya Kosmos yang telah lama bertahan mulai mendapat tantangan. Karya Nicholas Copernicus De Revolutionibus Orbium Caelestium merupakan salah satunya yang mengemukakan keberadaan ruang kosong (ruang absolute) yang tidak terbatas. Teori Copernicus ini di dasarkan pada pemikirannya mengenai ruang kosong sebagai tempat berputarnya planet-planet. Teori Copernicus ini meruntuhkan teori klasik yang menolak adanya eksistensi ruang kosong. Teori copernician ini didukung oleh Galileo Galilei melalui pangamatan teleskopnya terhadap sistem tata surya.

Selanjutnya pada abad ketujuh-belas, Rene Descartes mulai mempertanyakan konsepsi tradisional mengenai dunia seperti dalam pernyataannya De omnibus debutandum; hanya ada satu kepastian,yakni setiap orang mempunyai keraguan. Descartes berpendapat bahwa intuisi hati nurani (conscience) dapat menjadi pertanda/realitas utama dari suatu eksistensi (keberadaan). Descartes sendiri menolak eksistensi independent dari vacuum (ruang kosong), dimana vacuum tidak mungkin ada tanpa sesuatu yang ada begitu pun sebaliknya. Bagi Descartes ruang dan massa adalah sama.Spasialitas(keruangan) identik dengan ekstensi(perluasan) massa. Ruang Cartesian ini cenderung bersifat dua dimensi (2 D). Selanjutnya Heidegger melakukan koreksi terhadap konsep ruang Cartesian melalui ekspansi tiga dimensi. Ruang sebagai ekstensi substansial ini dapat dilihat dari realisasi perencanaan kota gaya Baroque pada abad ketujuh-belas dan kedelapan-belas. Intuisi hati nurani Descartes juga mendapat tentangan dari empirisis John Locke yang lebih menekankan pengalamaninderawiterhadapkeberadaanruang.

Pada akhir abad ketujuh-belas konflik antara intuisi dan pengalaman pribadi ini berhasil disintesiskan oleh Isaac Newton, yang membedakan ruang absolute dan ruang relative. Menurut Newton, ruang absolute tidak dapat dideteksi oleh indra; ruang menjadi terukur hanya dalam ruang relative saja. Ruang absolute bersifat homogen dan nir-batas; sedangkan ruang relative adalah sistem koordinat atau ruang absolute yang terbatasi oleh suatu ukuran. Beberapa arsitek kontemporer juga memiliki pandangan yang sama, salah satu contohnya adalah Louis I Kahn yang menyatakan bahwa arsitektur adalah perubahan dari tak terukur menjadi terukur.Max Jammer menunjukkan alasan teori Newton dapat bertahan sekitar dua abad,salah satunya adalah kontribusi dan otoritas ilmiah Newton dalam bidang-bidang lain, semisal mekanika, yang dalam hal teori ruang justru dibuat kecil.Alasan blain adalah konsepnya mengenai ruang dianggap sebagai bukti teologis terbaik mengenai keberadaan Tuhan. Demikian pula arsitek De Stijl, yakni Gerrit Rietveld juga mendekati konsepsi Newton mengenai ruang relatif dengan pernyataannya: demi tujuan praktis, kita memisahkan, membatasi, dan membawa suatu bagian ruang tak terbatas ke dalam skala manusiawi, berarti pula kita telah mambawa bagian ruang tersebut ke dalam kehidupan sebagai suatu kenyataan. Ide mengenai suatu ruang ini secara umum mengejawantahkan dirinya hanya sebagai suatu kelanjutan dari sebagian realitas yang dihasilkan melalui pembatasan.

Selain Newton, terdapat beberapa ilmuwan lain yang juga memberikan pendapat mengenai teori ruang seperti Leibniz dan Huygens. Kedua ilmuwan tersebut secara kategoris menolak konsep ruang tersebut dan hanya mendukung aspek ruang relatif saja dimana ruang merupakan suatu sistem hubungan di antara hal yang berada bersama. Namun Leibniz dan Huygens sama-sama gagal untuk memberikan bukti ilmiah yang mendukung argumen mereka. Hanya pada akhir abad ke-19 asumsi mereka direstorasi dengan adanya teori relativitas oleh Mach dan Einstein. Analog dengan ide Leibniz, teoritisi Bauhaus modern yakni Moholy-Nagy juga mengidentifikasikan arsitektur dengan ruang yang hanya dapat ditangkap melalui indrawi.

2.9. Intuisi, Metafisik, dan Visi Bentuk

Filsuf Imanuel Kant memberikan pandangan terhadap ruang sebagai suatu yang tidak didasarkan pada informasi yang ditangkap melalui indra. Selain itu, Kant juga mengenakan kualitas ketidakterbatasan terhadap ruang. Dalam filosofinya, Kant membedakan dua aspek yang secara ideal membentuk suatu keutuhan.Ia mengakui keberadaan suatu dunia tampak yang terbentuk oleh hal-hal itu sendiri. Di lain pihak, ada suatu dunia noumenal yang didasarkan atas intuisi-intuisi a priori yang merupakan suatu cita-cita transcendental dan tidak tergantung pada informasi inderawi. Kant percaya bahwa keindahan tidak berasal dari suatu pengalaman duniawi indera-indera. Kant merangkum 4 momentum sine qua non (tidak dapat tidak) untuk menentukan keindahan. Keindahan hanya dapat ada apabila menciptakan kepuasan yang universal, necessary, uninterested, serta memiliki purposeness without purpose. Kedua dunia Kant dibeberkan dalam estetika sebagai konsep bentuk dan materi. Benuk dipandang sebagai berlainan dari materi dan merupakan ide intelektual dari materi itu sendiri dan selanjutnya menghasilkan pengindaraan visual. Keempat kondisi sine an qua non sulit untuk memenuhi persyaratan fungsional dari bentuk lindungan dan bentuk structural. Hanya pada eksperimen-eksperimen marginal langka saja bentuk-bentuk arsitektur dapat diciptakan menurut kondisi sine qua non Kant tersebut. Meskipun demikian, keindahan tidak dapat dihasilkan oleh kandungan spasialnya dan tidak pula oleh massa substansialnya, melainkan pada hakikatnya dihasilkan oleh penggambaran materinya. Jelaslah bahwa ruang menurut konsep Kant tidak memengaruhi keindahan.

Hegel berhasil memadukan keindahan dan ruang yang tidak dapat dipadukan oleh Imanuel Kant. Menurut Hegel, seni merupakan presentasi indrawi dari suatu ide. Seni merupakan simbol luar dari suatu isi metafisik yang terbentuk dalam waktu. Bagi Hegel, isi adalah roh dimana roh merupakan lingkungan dari konsentrasi jiwa yang hidup dalam hubungan-hubungan keruangan. Ruang dalam yang menjadi kasat mata merupakan bentuk konkrit persemayaman roh. Tahap perkembangan arsitektur Hegel yang terakhir dan yang paling puncak dalam sistem sejarah seninya, yakni pada era romantik dalam arsitektur Kristen tertanam dalam katedral Gothic. Ide yang diekspresikan dalam bangunan ini merupakan jiwa, ruang absolute, dan bilik dalam Tuhan.

Tesis Hegel sangat berpengaruh terhadap pemikiran seni modern. Estetika arsitektur abad ke-20 menginterpretasikan bentuk sebagai suatu ekspresi dari isi dalamnya (ruang). Perkembangan selanjutnya berdasarkan pemikiran neo-Hegelian, pengaruh Hegel terejawantahkan dengan paling jelas dimana ruang dipandang sebagai imaterialisasi bentuk. Ide Hegelian ini dikoreksi oleh Schopenhauer yang merasa bahwa ide ini tidak cukup, karena ide tersebut dikuasai oleh intelek dan prinsip alas an yang kurang mencukupi. Schopenhauer ingin menempatkan seni pada suatu tingkat yang lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan. Dengan demikian, isi dalam suatu bentuk bukanlah roh melainkan kehendak. Keindahan tergantung pada objektivikasi dari kehendak. Meskipun ruang, waktu dan materi merupakan praduga apreori Schopenhauer seperti Kant namun tidak berhasil memandang ruang sebagai isi yang hakiki dari bentuk arsitektural. Schopenhauer memandang arsitektur sepenuhnya sebagai materi, dan konsekuensinya, pembatasan fisik ini menggunakan kedudukannya yang rendah pada jenjang hierarki seni. Bagi Schopenhauer, arsitektur sekedar suatu materi dan materi sedemikian tidak dapat menjadi ungkapan suatu ide. Analisis Schopenhauer yang ternama mengenai arsitektur berpusat pada nosi mengenai beban dan pendukungnya dimana arsitektur merupakan perbedaan lebih besar dari sebagian ide yang merupakan tingkatan terbawa dari objektivitas kehendak.Prinsip pendukung dan beban bagi Schopenhauer sangat kritis yang memaksanya untuk secara langsung menolak semua penyelesaian arsitektur yang tidak berkaitan dengan kedua elemen ini ( pendukung dan beban ) sama sekali. Sebagai contoh dia tidak setuju dengan kantilever yang jelas menggantung dimana elemen pendukungnya tidak kasat mata, atau transisi yang halus dari rib vault Gothic dengan pier-nya karena transisi dari beban ke pendukung tidak terwujud secara tektonik.

Faade Hexastyle dari kuil kedua Hera, Paestum (460-50) S.M.). Arsitektur sebagai expresi dari beban dan pendukungnya.Sebagai kesimpulan Schopenhauer secara umum mengakui bahwa materi merupakan satu-satunya cara dengan mana para seniman dapat mengungkapkan kehendaknya, dan sebaliknya, ia menafsirkan kehendak sebagai projeksi empatk dari konsep-konsep structural si pengamat ke dalam objek arsitektural yang bersangkutan. Kualitas artistic dari ruang yang terlingkungi atau terisi ini, sebagai suatu ide, ditolak karena dinamika interior dari massanya. Teori Schopenhauer mengenai arsitektur, sebagai pergolakan antara massa dan berat ataupun ekspresi yang penuh gairah dari beban dan pendukung, telah membawa benih-benih empati dari abad kesembilan belas kemudian.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan sesuatu yang misterius dan terdapat berbagai macam sudut pandang mengenai ruang. Secara umum runag dapat dipandang sebagai ruang absolut (homogen, nir-batas, tidak dapat dideteksi oleh panca indra) dan ruang relatif (ruang absout yang terukur dan dapat dideteksi oeh panca indra).

Ruang dalam dan ruang luar pada post modern space dipisahkan oleh sebuah dinding yang selain sebagai pemisah juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang, dimana ruang-ruang yang ada seolah-olah tidak mempunyai batasan yang jelas.

Ruang merupakan suatu yang kasat mata dan teraba karena memiliki unsur yang paling berbeda diantara unsur yang lainnya. Ruang merupakan suatu yang terbatas di dunia yang terbatas pula.

Ruang dalam hubungannya dengan konsep teologi lebih tertuju pada konsep arsitektur Gothic yang mewakilkan kebesaran Tuhan dalam bentuk cahaya dan ruang.

Pengertian ruang terbatas dan tak terbatas tertuju pada tujuan praktis, yakni apabila suatu ruang tak terbatas dipisahkan, dibatasi, dan dibawa ke dalam suatu skala manusiawi maka ruang tersebut telah masuk ke dalam kehidupan sebagai suatu kenyataan.3.2. Saran

Adanya pro dan kontra mengenai filosofi ruang dalam Arsitektur yang dikemukakan oleh para filsuf memberikan kesempatan untuk memilah filosofi yang sesuai di dalam merancang suatu karya arsitektur.DAFTAR PUSTAKA

Van Deven, Cornelis. 1987. Ruang Dalam Arsitektur. Jakarta: Gramedia

www.google.comwww.wikipedia.com