FILM PENDIDIKAN: KARYA SENI, REPRESENTASI, DAN …

14
185 FILM PENDIDIKAN: KARYA SENI, REPRESENTASI, DAN REALITAS SOSIAL DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA Oos M. Anwas Pustekkom Kemdikbud ( [email protected]) Abstrak: Masa remaja adalah fase mencari dan membentuk jati diri. Mereka seringkali mendapatkan figur atau keteladanan dari sajian televisi dan film komersial, termasuk film asing. Pengalaman empirik bahwa film Aku Cinta Indonesia (ACI) di tahun 1980-an berhasil menjadi sebuah tontonan menarik dan teladan bagi remaja pada saat itu. Hal ini menjadi optimisme pengembangan film pendidikan dalam membangun karakter bangsa. Film pendidikan dapat dikembangkan melalui: 1) menyajikan karakter tokoh idola remaja masa kini, dan 2) menciptakan figur ideal panutan remaja. Konsep film sebagai karya seni yang komplek dan menjadi representasi dan gambaran realitas sosial. Oleh karena itu film pendidikan dituntut mampu menghadirkan kekayaan budaya, kekayaan alam, termasuk kearifan lokal sebagai representasi dan realitas sosial bangsa Indonesia. Sebagai karya seni, film pendidikan perlu mengolah psikologi dan emosi penonton. Untuk itu, film pendidikan perlu dibuat dramatisasi yang wajar, alur cerita menarik, memberikan kejutan-kejutan dan kepenasaranan, penokohan dengan karakteristik yang tegas, bahasa yang mudah dicerna, serta ditunjang teknis produksi mulai: pengambilan gambar, editing, pemilihan shot, memberikan penekanan, dan aspek- aspek teknis lainnya. Kata kunci: film, film pendidikan, pendidikan karakter, karya seni, representasi dan realitas sosial. EDUCATIONAL FILM: ART, REPRESENTATION, AND SOCIAL REALITY IN BUILDING NATION CHARACTER Abstract: Adolescence is a phase of finding and shaping identity. They often get a figure or an example from television programs and commercial films, including foreign films. Empirical experience showed that I Love Indonesia (ACI) movie in 1980’s managed to be an exciting spectacle and gave role models for adolescents at that time. That also builds optimism that educational films can support nation character building. Educational films can be developed through: 1) presenting the character of today’s teen idol, and 2) creating the ideal figure of teen role models. Film is a kind of art that represents the complex picture of social reality. Therefore, educational films are supposedly able to present the cultural wealth, natural resources, including local knowledge as a representation of social reality of Indonesia. As an art work, educational film is necessary to cultivate the psychology and emotion of the audience. To that end, an educational film needs to contain proper dramatization, interesting plot, and suspense. It is also able to arouse curiosity, demonstrate strong characterizations, use clear language, and is supported by production technical matters such as shooting, editing, shot selection, giving emphasis, and other production aspects. Key words: films, educational films, character education, art, representation and social reality.

Transcript of FILM PENDIDIKAN: KARYA SENI, REPRESENTASI, DAN …

18512341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

FILM PENDIDIKAN: KARYA SENI, REPRESENTASI,DAN REALITAS SOSIAL DALAM MEMBANGUN

KARAKTER BANGSA

Oos M. AnwasPustekkom Kemdikbud

( [email protected])

Abstrak:Masa remaja adalah fase mencari dan membentuk jati diri. Mereka seringkali mendapatkanfigur atau keteladanan dari sajian televisi dan film komersial, termasuk film asing. Pengalamanempirik bahwa film Aku Cinta Indonesia (ACI) di tahun 1980-an berhasil menjadi sebuahtontonan menarik dan teladan bagi remaja pada saat itu. Hal ini menjadi optimismepengembangan film pendidikan dalam membangun karakter bangsa. Film pendidikan dapatdikembangkan melalui: 1) menyajikan karakter tokoh idola remaja masa kini, dan 2)menciptakan figur ideal panutan remaja. Konsep film sebagai karya seni yang komplek danmenjadi representasi dan gambaran realitas sosial. Oleh karena itu film pendidikan dituntutmampu menghadirkan kekayaan budaya, kekayaan alam, termasuk kearifan lokal sebagairepresentasi dan realitas sosial bangsa Indonesia. Sebagai karya seni, film pendidikan perlumengolah psikologi dan emosi penonton. Untuk itu, film pendidikan perlu dibuat dramatisasiyang wajar, alur cerita menarik, memberikan kejutan-kejutan dan kepenasaranan, penokohandengan karakteristik yang tegas, bahasa yang mudah dicerna, serta ditunjang teknis produksimulai: pengambilan gambar, editing, pemilihan shot, memberikan penekanan, dan aspek-aspek teknis lainnya.

Kata kunci: film, film pendidikan, pendidikan karakter, karya seni, representasi dan realitas sosial.

EDUCATIONAL FILM: ART, REPRESENTATION,AND SOCIAL REALITY

IN BUILDING NATION CHARACTER

Abstract:Adolescence is a phase of finding and shaping identity. They often get a figure or an examplefrom television programs and commercial films, including foreign films. Empirical experienceshowed that I Love Indonesia (ACI) movie in 1980’s managed to be an exciting spectacle andgave role models for adolescents at that time. That also builds optimism that educationalfilms can support nation character building. Educational films can be developed through: 1)presenting the character of today’s teen idol, and 2) creating the ideal figure of teen rolemodels. Film is a kind of art that represents the complex picture of social reality. Therefore,educational films are supposedly able to present the cultural wealth, natural resources, includinglocal knowledge as a representation of social reality of Indonesia. As an art work, educationalfilm is necessary to cultivate the psychology and emotion of the audience. To that end, aneducational film needs to contain proper dramatization, interesting plot, and suspense. It isalso able to arouse curiosity, demonstrate strong characterizations, use clear language, andis supported by production technical matters such as shooting, editing, shot selection, givingemphasis, and other production aspects.

Key words: films, educational films, character education, art, representation and social reality.

186

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

A. PENDAHULUANPerkembangan film nasional makin surut

seiring gencarnya tayangan televisi daninternet. Bioskop-bioskop yang dulu di eratahun 1980-an pernah merajai, kini banyakyang gulung tikar. Dulu, jika mau menontonfilm harus datang ke bioskop atau layartancap di pedesaan. Saat ini nonton filmdengan mudah melalui siaran televisi,internet, memutar DVD atau flashdisk.Kondisi tersebut merupakan konsekuensilogis dari perkembangan Teknologi Informasidan Komunikasi (TIK).

Masyarakat saat ini berada dalam erainformasi yang sudah akrab dengan teknologiselular dan berbasis internet. Namunsubstansi media radio, televisi, dan film tetapeksis dan diminati masyarakat. Yangmembedakan adalah teknologi yangdigunakan. Kini masyarakat sudah terbiasamendengarkan radio melalui handphone ataumelalui internet. Menonton televisi viainternet dan juga handphone baik dalambentuk live streaming maupun video ondemand (VOD). Begitu pula menonton filmdapat dengan mudah dinikmati melalui sajiantelevisi, internet, handphone, bahkanberbagai video offline. Dengan kata lainmenikmati film bisa dilakukan di mana sajaataupun kapan saja sesuai dengankesempatan dan kondisi yang tersedia.

Banyaknya film yang diproduksi, baik filmimpor maupun produksi dalam negerimemberikan alternatif tontonan bagimasyarakat. Namun film yang ada seringkalimenyajikan adegan kekerasan, horor,percintaan, eksploitasi perempuan,kehidupan glamor, atau sikap konsumtif.Kondisi ini tentu saja menjadikankekhawatiran bagi sebagian besarmasyarakat terutama anak-anak dan remaja.Anak dan remaja sangat rentan denganpengaruh-pengaruh tayangan film.Dalam kajian teori perubahan perilaku, anak-anak dan remaja merupakan masa mencaridan membentuk identitas diri. Pada masaini sangat dibutuhkan figur atau keteladanan.Celakanya, figur dan keteladanan pada saatini seringkali mereka dapatkan dari berbagaitayangan film atau televisi yang ditontonnya.Di sisi lain kondisi dalam masyarakat adakecenderungan menurunnya moral bangsa

seperti kasus korupsi di berbagai bidang,praktik mafia kasus, plagiator, dan kasuslainnya merupakan cermin kegagalanpendidikan karakter bangsa (Majalah Gatra,6-12 Mei 2010). Kementerian Pendidikan danKebudayaan menyadari akan hal itu sehinggapendidikan karakter menjadi salah satuprioritas kementerian yang perlu ditanamkanmelalui berbagai upaya. Salah satu caraadalah melalui sajian film.Film merupakan media yang digemari anak-anak dan remaja. Di sisi lain karakteristikfilm dapat didramatisir untuk menyajikanpesan sesuai yang diharapkan. Pengalamanempirik, Departemen Pendidikan danKebudayaan tahun 1980-an telah berhasilmemproduksi film Aku Cinta Indonesia (ACI).Film ini dinilai sukses menjadi sebuahtontonan menarik dan tokohnya menjadiidola dan teladan bagi remaja pada saat itu.Oleh karena itu pada saat ini diperlukan film-film yang memiliki misi pendidikan dalammenanamkan moral dan karakter bangsa.

Jika dilakukan diskusi dengan banyakpihak terutama para sineas dan pengelolastasiun televisi, mereka mengklaim bahwadirinya selama ini sudah banyakmemproduksi acara televisi atau film yangmenyajikan unsur pendidikan.Permasalahanya adalah apa indikator sebuahfilm dikatakan sebagai film pendidikan, danbagaimana seharusnya membuat film yangmampu mendidik masyarakat. Tulisan inibertujuan untuk mengkaji konsep danpengembangan film pendidikan, yangmampu menghibur, mendidik, dan menjaditauladan dalam menanamkan karakterbangsa.

B. KAJIAN LITERATUR DANPEMBAHASAN1. Perkembangan Film Nasional

Film seringkali disebut sebagai gambarhidup atau bergerak (movie). Film jugaseringkali disebut sinema. Film atausinema berasal dari kataCinemathographie yang berasal dari kataCinema dan tho atau phytos yang artinyacahaya, dan graphie yang berarti tulisanatau gambar atau suasana/citra. Jadi filmdapat diartikan melukis atau merekam

18712341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

gerak dengan cahaya. Objek rekaman inibisa dalam bentuk orang, benda, ataufantasi (fiktif) dan peran-peran tertentu.Alat utamanya adalah kamera, animasi,dan perangkat pendukung lainnya. Filmseringkali menggunakan teknologilapisan-lapisan cairan selulosa atauseluloid.

Perfilman di Indonesia memilikisejarah yang panjang. Berikut sejarahperfilman nasional yang disarikan darisajian Wikipedia (2012), bahwa eraperfilman Indonesia diawali denganberdirinya bioskop pertama di Indonesiapada 5 Desember 1900 di daerah TanahAbang, Batavia dengan nama GambarIdoep yang menayangkan berbagai filmbisu. Film pertama kali yang dibuat diIndonesia adalah film bisu tahun 1926yang berjudul Loetoeng Kasaroeng olehsutradara Belanda G. Kruger dan L.Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktorlokal oleh Perusahaan Film Jawa NV diBandung dan muncul pertama kalinyapada tanggal 31 Desember, 1926 di teaterElite and Majestic, Bandung. Film lokalyang bicara pertama dibuat oleh TheTeng Chun yaitu film Bunga Roos dariTjikembang (1931), dan dibuat olehHalimoen Film dengan judul IndonesieMalaise (1931). Film pertama yangbercirikan lokal Indonesia adalah filmDarah dan Doa. Film ini disutradarai olehpribumi asli yaitu Usmar Ismail sertadiproduksi oleh perusahaan milik orangIndonesia asli yaitu Perfini (PerusahaanFilm Nasional Indonesia). Oleh karena ituhari pertama pengambilan gambar filmyang menyajikan perjuangan Long Marchof Siliwangi ini dijadikan sebagai Hari FilmNasional yaitu tanggal 30 Maret 1950.

Dalam sejarahnya film sudah disadarisebagai media dalam mempengaruhimasyarakat. Misalnya pada masapendudukan Jepang, produksi film diIndonesia dijadikan sebagai alatpropaganda politik Jepang. Pemutaranfilm di bioskop hanya dibatasi untukpenampilan film-film propaganda Jepangdan film-film Indonesia yang sudah adasebelumnya. Pada periode 1962 s.d.

1965, film-film asing dicurigai sebagaiagen imperialis Amerika Serikat, sehinggaterjadi pemboikotan, pencopotanreklame, bahkan pembakaran gedungbioskop.

Seiring perkembangan danmembaiknya suku politik, fi lm diIndonesia berkembang pesat. Banyakfilm bermunculan. Film nasional yangpopuler dan dinilai baik diantaranyaadalah film yang berjudul: Tiga Dara(1956), Si Mamad (1973), Si Doel AnakBetawi (1973), Badai Pasti Berlalu (1977),Tjoet Nja’ Dhien (1986), Naga Bonar(1986), dan banyak lagi film-film lainnya.Begitu pula gedung bioskop berdiri diberbagai pelosok tanah air. Pada tahun1987, pengusaha Sudwikatmonomembangun grup Studio 21 danberkembang ke berbagai kota diIndonesia. Munculnya bioskop raksasatersebut berakibat negatif terhadapgulung tikarnya bioskop-bioskop kecil.Kondisi ini berlangsung hingga awaltahun 1990-an.

Khusus perkembangan filmpendidikan, pemerintah dalam hal iniDepartemen Pendidikan dan Kebudayanpada tahun 1980-an telah suksesmemproduksi film Aku Cinta Indonesia(ACI). Film ini ditayangkan oleh TVRIdalam bentuk mini seri yang diproduksioleh Pusat Teknologi KomunikasiPendidikan dan Kebudayaan (PusatTKPK), Depdikbud. Film ini dinilai suksesmenjadi sebuah tontonan menarik dandigemari remaja pada saat itu. Indikatorkeberhasilan film ini dapat dilihat dariantusias remaja mengidolakan sangtokoh (pemeran utama). Penonton yangsebagian besar kaum remaja, secaratidak sadar mendapatkan pigur atauketeladanan untuk bersikap danberperilaku yang baik di tengah-tengahgejolak usia remaja pada masa tersebut.

Mulai awal tahun 1990 berkembangberbagai stasiun televisi swasta danteknologi VCD dan DVD. Kondisi iniberdampak besar atas penurunan drastisproduksi perfilman nasional. Begitu pulabioskop nasional termasuk bioskop group

188

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

raksasa Studio 21 mulai gulung tikar.Masyarakat lebih senang menonton filmmelalui layar televisi dan VCD atau DVD.Kondisi ini diperparah dengan banyaknyaVCD dan DVD bajakan yang sangatmurah dan mudah didapatkan di pasaran.

Mulai sekitar tahun 1998 perfilmannasional mulai bangkit kembali. Hal iniditandai dengan jumlah produksi filmnasional mulai meningkat lagi. Film yangmuncul dan sukses digemari masyarakatdiantaranya: Cinta dalam Sepotong Rotikarya Garin Nugroho, film Mira Lesmanadengan Petualangan Sherina, dan RudiSoedjarwo dengan Ada Apa denganCinta?.

Pertumbuhan fi lm nasionalmengalami peningkatan. Peningkatan inididukung dengan hadirnya konsep barubioskop yaitu Blitzmegaplex. Namunpeningkatan jumlah film tersebut masihmengkhawatirkan karena tema film yangdiangkat didominasi oleh film horor danfilm remaja. Kondisi ini diperparah olehmembanjirnya film-film asing terutamadari Amerika (film Hollywood) dan India(film Bollywood) yang tentu sajamembawa pesan budaya dan perilakuasing yang belum tentu sesuai dengankarakter bangsa Indonesia. Realitasnyatema film yang mampu menyejukanpenonton serta membangun karakterbangsa masih langka. Kondisi inisesungguhnya merupakan peluang bagiberbagai pihak baik pemerintah maupunswasta untuk membangun film yang tidakhanya sekedar mempertimbangkanaspek komersial. Saat ini sangatdibutuhkan film nasional yang memilikiidealisme, mampu mencerdaskan danmerepresentasikan bangsa yang memilikinilai dan norma, tidak sekedar tontonanmenarik tetapi menjadi sebuah tuntunanyang dapat mendidik dan membangunkarakter bangsa.

2. Film dan Perilaku Anak/RemajaFilm disinyalir banyak pihak memiliki

pengaruh terhadap pembentukanperilaku terutama anak-anak dan remaja.Dalam kehidupan sehari-hari bisa

disaksikan bagaimana anak-anak meniruberbagai adegan (action) yangdiperolehnya di layar televisi. Toko-tokohfilm anak/film kartun, seperti: Shaun TheSheep, Superman, Spongebob, Upin Ipin,dan tokoh lainnya sungguh melekatdalam kehidupan anak. Kondisi sepertiini dimanfaatkan betul oleh parapengelola stasiun televisi dan pelakuperdagangan lainnya. Misalnya, merekamembuat busana anak dengan gambartokoh film anak, atau mainan yang miripdengan para tokoh tersebut, dan hasilnyasangat digemari anak-anak. Dampaklainnya ada kecenderungan anak-anakyang merasa senang dan bergengsi bilamakan makanan yang sering muncul dilayar televisi. Anak-anak mulai pandaimenyebut merek-merek dagang terkenal,termasuk merk mobil yang mungkinmustahil terbeli oleh orangtuanya. Lebihmengkhawatirkan lagi mereka lebih sukanongkrong di depan televisi,dibandingkan belajar, membaca, ataumengerjakan pekerjaan rumah darigurunya (Anwas, 2009).

Realitasnya bahwa film kartun yangsangat digemari anak-anak dan remajabanyak menyajikan adegan-adegankekerasan, kekonyolan, dan perkelahian.Dalam film kartun tindakan kekerasan,jahil, usil dan perilaku lainnya dikemasmenjadi tayangan yang lucu, main-main,dan menarik. Semua adegan tersebutbisa jadi dalam pandangan anak-anakmerupakan sesuatu yang lucu, menarikdan menimbulkan dorongan untuk ditiru.Padahal dalam dunia nyata, kondisitersebut sangat berlainan dengan adegandalam film kartun, sehingga jika ditirubisa membahayakan diri danlingkungannya, serta masa depanperkembangan kepribadiannya.

Dalam kaitan dengan ini menarikuntuk dikaji hasil penelitian yangdilakukan Hasanah (2011) tentangdampak negatif tayangan film kartunterhadap perilaku anak. Penelitian inidilakukan terhadap anak usia 7 s.d. 12tahun di desa Karangasem, kecamatanPetarukan, kabupaten Pemalang, Jawa

18912341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkanbahwa dampak negatif tayangan filmkartun terhadap perilaku anak usia 7s.d.12 tahun adalah menjadi suka meniruatau imitasi dari adegan-adegan yang adapada tayangan film kartun. Salah satuperilaku imitasi anak yaitu adeganperkelahian, kekerasan dan meniru jurus-jurus dari adegan tayangan film kartun.Kemudian adegan itu digunakan untukpura-pura berkelahi dengan teman-temannya. Walaupun hanya bermain,namun hal tersebut tidak baik karenasecara tidak langsung tayangan filmkartun telah mensosialisasikan adegankekerasan. Selain imitasi, dampak lainyang ditimbukan dari tayangan filmkartun yaitu menjadikan anak malasuntuk melakukan kegiatan lainnya sepertibelajar, mengaji, beribadah, dan lain-lain.Simpulan penelitian ini adalah tayanganfilm kartun mempunyai dampak terhadapperilaku anak antara lain adanya perilakuimitasi, membuat anak malas, susahdiatur, dinasihati dan bahkan terkadangmembantah orang tuanya.

Selain film kartun seperti dijelaskansebelumnya bahwa di Indonesia dan jugafilm asing banyak memproduksi film-filmhoror dan adegan asmara, termasukdalam bentuk animasi. Film horor inidisinyalir memiliki dampak yang burukkhususnya bagi perkembangan anak danremaja. Noe’man (Racmade, 2012)menjelaskan dampak film horor bagianak, di antaranya:a. Kepercayaan dan sistem nilai (belief

dan value). Anak yang terbiasamenonton film horor atau mistik akanmenganggap apa yang mereka lihatadalah benar. Mereka belum bisamembedakan mana yang nyata danrekaan semata. Anak-anak dapatmenginternalisasikannya ke dalambelief sistem sehingga setelah dewasamereka cenderung percaya klenik.

b. Perubahan perilaku, misalnya:kecemasan, ketakutanberkepanjangan, dan mimpi buruk. Isifilm horor sebagian besar adegankekerasan dan kejahatan berdarah.

Anak terobsesi menirunya yangcenderung membahayakan dirinyadan orang lain.

c. Dampak psikologis jangka panjang.Dampak ini mempengaruhi rasapercaya dirinya. Bila anak-anak selalumelihat ekspresi wajah marah ataumenakutkan, maka mereka merasadirinya tidak layak dicintai.

d. Dampak pada prestasi akademik,kurang tidur, dan rasa cemasberkepanjangan. Akibat yangditimbulkan adalah menurunnyakonsentrasi dan kemampuanmengendalikan diri hingga merekatidak dapat belajar optimal.

Kesadaran dan peran orang tua danmasyarakat terhadap bahaya tayanganfilm dan juga televisi masih relatif lemah.Kesibukan aktivitas sehari-hari seringkalimenjadi kambing hitam kurangnyaperhatian orangtua terhadap anaknya.Pencegahan lebih baik dari pengobatan.Dalam era komunikasi sekarang, peranorangtua sangat penting dalammencegah bahaya negatif pengaruhteknologi informsi dan komunikasikhususnya film, televisi, dan internet.Kesadaran orangtua akan bahaya filmdapat mencegah dampak negatif.Kesadaran tersebut diwujudkan dalamperilaku, antara lain: pendampingan saatmenonton, bimbingan dan pengawasan,serta menciptakan komunikasi yangharmonis antara anak dan orangtua.

Di sisi lain dalam era komunikasisekarang ini, anak-anak dan remaja sulitdicegah untuk tidak menonton film.Mereka bisa mengakses film melaluiberbagai cara misalnya, internet, televisi,atau kaset DVD dan file flashdisk. Olehkarena itu diperlukan film yang menjadialternatif pilihan. Film ini diharapkan tidaksekedar menjadi tontonan menarik, tetapidapat mendidik, menjadi tuntunan danidola anak dan remaja. Dengan kata lain,saat ini dibutuhkan film pendidikan yangmemiliki idealisme sebagai karya seni,mampu mencerdaskan, dan memiliki jatidiri bangsa.

190

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

3. Landasan Kajian FilmKajian terhadap film secara garis

besar dapat dianalisis melalui duapendekatan yaitu pertama, wacanaformal-estetik yang menitikberatkanpada aspek formal dari film sebagaisebuah art form dan kedua, wacanakritik yang menitikberatkan pada aspeksosio-kultural-ideologis yang terkandungdalam sebuah film (Dryer, 1998).

Teori film klasik menjelaskan bahwafilm sebagai hasil karya seni. Film bukansekedar hiburan tetapi merupakanaktivitas dan karya seni. Sebagai karyaseni, film perlu mengandung makna danberhubungan dengan bentuk-bentukseni. Teori film klasik ini melahirkan duatradisi besar yaitu formalisme danrealisme. Mazhab formalismemenegaskan ketika film tidak mampumerekam realitas seperti apa adanya,maka film dapat melakukan berbagaikreativitas, memanipulasi pesansehingga menjadi daya tarik penontondengan dimensi berbeda, misalnyamelalui montage dan shot yangdihadirkan kepada penonton. Arnheim(UC Press 2006), menegaskan bahwafilm sebagai ‘seni’ apabila film tersebutpunya esensinya sendiri dan terbuktiberbeda dengan esensi seni yang lain,misalnya seni rupa dan teater.

Mazhab Realisme lebih menekankanpada representasi dan realitas sosial.Mazhab realism berbeda dengan tradisiformalism yang kemudian banyakmembahas aspek teknis film sepertimontage, tradisi realis memperluaspembahasannya pada topik-topik yanglebih luas seperti proses representasidan realitas sosial (Kusuma, 2009).Mazhab realisme tidak menggunakanmontage dan shot untuk mengubah ataumenambah realitas film. Tokoh aliran iniadalah André Bazin (Perancis) selalumengkrit ik montage karenamengkhianati kenyataan danmembohongi penonton. Realitas danrepresentasi sosial adalah kekuatanbesar dalam mengkaji sebuah karya film.Dengan kata lain film yang bagus adalah

film yang mampu menghadirkan realitasdan representasi sosial.

Dalam perkembangannya, lahir pulateori film modern yang memandang danmengkritisi kekuatan sosial ideologisfi lm. Bagaimana sebuah fi lmmenciptakan makna yang tersembunyi.Teori film kontemporer melahirkankembalinya paham formalisme baru(neoformslism) dan masuknyapendekatan kognitif dalam teori film.Teori film kontemporer melihat filmsebagai suatu sistem terbuka, estetikafilm kini mengarah pada cinematicpoetics sebagai ontologinya.

Dalam realisasinya sebuah filmsangat besar pengaruh dari sangsutradara. Sutradara berperan dalammenciptakan sebuah film yang bermutuberdasarkan sudut style, kreativitasmaupun psikologis dalammenyumbangkan nilai estetik ke dalamkarya filmnya. Di sisi lain kekuatan filmjuga terkait dengan kekuatan teknis,pengambilan gambar, editing, pemilihanshot, dan aspek-aspek teknis lainnya.Film adalah merupakan karya dari tim(crew), kekompakan, kerjasama, dansaling melengkapi dalam melahirkansebuah karya yang bermutu.

Mengkaji sebuah film memangsangat kompleks. Karena fi lmmerupakan karya yang cenderungkompleks dan dinamis. Namun menurutSalt (2003) dalam menganalisis filmdapat menggunakan patokan minimmaltiga hal yaitu: (1) berdasarkankonstruksi teknisnya (jenis kamera yangdigunakan, ukuran lensa, angle, editing,art direction dan tata ruang), (2) Style(executive and artistic decision) sangsutradara, dan (3) mengukur seberapabesar tingkat respon dari penonton.Sedangkan kriteria mengevaluasi filmdapat diklasifikasikan dalam tiga aspekyaitu: (1) originalitas, (2) pengaruh filmtersebut dengan film lainnya dan (3)seberapa besar visi dan pengaruh kreatifsang pembuat f i lm (fi lm maker)terpenuhi dalam film garapannya.

Proses mengakses film berbanding

19112341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

lurus dengan persepsi ekologis manusiasebagai makhluk yang dipandangsenantiasa bergerak oleh lingkungannya(Anderson, 1996). Secara lebih rinciAnderson menjelaskan bahwa denganmemahami dan menggali psikologi danbiologi evolusioner tersebut, fenomenaalam pikiran seperti emosi, kenyamanan,metarepresentasi, dan hubungannyadengan kajian film dan sastra sepertiidentif ikasi, ketegangan danketerkejutan, bisa dijelaskan dengancara menelusuri evolusi otak manusia.

Mencermati uraian di atas dapatdisimpulkan bahwa sebuah fi lmmerupakan sebuah karya seni yangkompleks. Seni dan keindahan ini dapatdiwujudkan dalam estetika formalismeyang terletak pada montage danmerekam realitas. Di sisi lain film jugamerupakan representasi danmencerminkan realitas sosio kultural.Fi lm dapat menciptakan danmenanamkan tertentu. Artinya filmdapat menciptakan makna ataumemberikan pengaruh perilaku tertentuterhadap penontonnya baik secara nyatamaupun tersembunyi. Di sisi lainkekuatan teknis, teknik pengambilangambar, editing, pemilihan shot, danaspek-aspek teknis lainnya dapatmenguatkan sebuah film baik aspeksubstansi maupun tingkat estetikasebuah film.

Tingkat pemaknaan terhadap sebuahfilm cenderung bersifat relatif. Artinyapemaknaan terhadap film dipengaruhioleh kemampuan dan wawasan darisetiap individu masing-masing. Olehkarena itu perlu ada segmentasi yangjelas dalam setiap film. Segmentasi iniakan meminimalisir dampak negatifsebuah fi lm sebagai akibat dariperbedaan kemampuan dan wawasanindividu dalam melihat karya yangkompleks tersebut. Yang sangat perludilindungi adalah anak-anak dan remaja.Usia ini merupakan masa labil yangsedang mencari jati diri. Tayangan filmyang ditujukan bagi orang dewasabelum bisa dimaknai oleh usia merekasecara komprehensif.

4. Film Pendidikana. Kebutuhan Film Pendidikan.

Teori belajar sosial (Bandura, 1977),menegaskan bahwa manusia belajardengan mengamati dan meniruperilaku orang lain. Peniruan modelmenjadi unsur penting dalam belajar.Individu dapat saling membelajarkandengan cara saling mengamati perilakuindividu lainnya. Dengan salingmengamati perilaku orang lain,manusia dapat dengan cepatmendapatkan respons.

Teori belajar ini sangat cocokditerapkan pada tingkatan anak-anakdan remaja. Masa ini adalah usiamencari figur atau panutan dalamrangka pembentukan karakter atau jatidirinya. Dalam kenyataanya, anak-anakdan remaja sering kali mengidolakanfigur yang ditemukan di televisi ataufilm dibandingkan dengan figur guruatau orangtuanya. H a s i lpenelitian Bandura menunjukkanbahwa anak-anak lebih agresif setelahmenonton model agresif, film agresifatau kartun kekerasan dibandingkandengan anak-anak yang melihat modelyang tidak agresif atau tanpa modelsekalipun (Woolfolk dan Nicolich, 1984).Di sisi lain realitas masyarakat yangeforia dengan era reformasi danperebutan kekuasaan, sangat perlufigur atau keteladanan yangmemberikan kesejukan, kedamaian,dan contoh nyata khususnya bagi anak-anak dan remaja.

Menanamkan pendidikan karaktertidak cukup hanya melalui lingkungankonvensional seperti keluarga, sekolah,dan masyarakat saja. Lingkunganmedia khususnya film sangatdiperlukan. Oleh karena itu sangatmendesak diperlukan film-filmpendidikan yang bertemakan nilai-nilaikarakter bangsa. Film yang memilikiidealisme sebagai karya seni, mampumerepresentasikan masyarakat denganberbagai nilai norma dan kekayaankearifan lokal, serta melukiskan realitasmasyarakat Indonesia yang sangatkompleks.

192

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Konsep film pendidikan yangdibangun sesuai dengan teori belajarsosial Bandura tersebut dapatdilakukan dengan dua cara yaitu: 1)menyajikan tokoh yang diidolakanoleh anak dan remaja masa kini yangsesuai dengan nilai-nilai pendidikankarakter, dan 2) menciptakan figurideal yang mampu menjadi panutanbagi anak-anak dan remaja. Duapendekatan tersebut dapat dipilihberdasarkan pertimbangan dan hasilanalisis situasi, masalah dankebutuhan yang dihadapi sasaran,hasil kajian dan penelitian tentangsasaran dan konsep film pendidikan,serta pertimbangan-pertimbanganlainnya. Dalam penayangan filmpendidikan ini dapat dilakukan baikmelalui layar lebar, televisi, internet,bahkan melalui offline (DVD atauflashdisk).

b. Representasi dan Realitas SosialBangsa Indonesia Indonesia

memiliki keragaman budaya yangkhas dan daya tarik sendiri dariSabang sampai Merauke. Keragamanbudaya tersebut antara lain: keseniandaerah, kerajinan, upacara-upacaraadat, dan nilai budaya lainnya yangsangat kaya. Alam Indonesia jugasangat kaya dengan sumber dayaalam, baik di darat, udara, dan jugadi laut. Indonesia juga memilikikearifan lokal seperti: sifat gotongroyong, kerja sama tolong menolong,toleransi, kemandirian, tanggungjawab, disiplin, kreatif, empati, ramah,rajin, dan sikap atau perilaku lainnyasebagai modal sosial yang tumbuhlestari secara turun-temurun.

Dalam kajian film menurutpandangan realisme bahwa kekuatanterbesar fi lm terletak padakemampuannya menghadirkankembali realitas dan representasisosial sebagaimana aslinya. Filmpendidikan, perlu diwujudkan sebagairealitas dan representasi sosialtentang kekayaan alam, budaya, dankearifan lokal sangat diperlukan.

Kekayaan tersebut sesungguhnyamenjadi bahan yang kaya ide dankreativitas untuk dikembangkanmenjadi topik-topik yang menarik danbermanfaat dalam format fi lmpendidikan. Realitas dan representasiini tidak hanya berfungsi sebagai dayatarik, tetapi memberikan makna dannilai tinggi terhadap film pendidikantersebut, sekaligus melestarikan nilaidan budaya bangsa.

Film dapat menyuguhkan realitaspotret yang terjadi dalam masyarakat.Melalui format film bisa memainkankarakter dan penokohan dalammembawa emosi penonton larutdalam cerita dan adegan yangdiperankan. Film dapat menyuguhkanbentuk dan contoh-contoh perilakupendidikan karakter yang benar-benar nyata terjadi dalammasyarakat, baik di lingkungankeluarga, hidup bertetangga, sekolah,masyarakat. Di sisi lain film juga bisamenyajikan dramatisasi kehidupanmasyarakat yang diinginkan dalammenanamkan nilai-nilai karakterbangsa.

Film juga bisa menyajikanbagaimana bersikap dan perilakutoleransi, menghormati danmenghargai perbedaan agama, sukubangsa, bahasa, status sosial, danberbagai perbedaan lainnya yang adadalam masyarakat. Begitu pulapenghayatan dan pengamalanterhadap ajaran agama bisadiperankan secara real dalamkehidupan sehari-hari. Jangansampai fi lm pendidikan yangmenggambarkan masyarakat religius(seperti di Indonesia ini) disajikandalam tayangan film yang terkessansekuler dan jauh dari pengamalannilai-nilai agama. Kondisi film sepertiinilah yang seringkali dikritik olehkritikus film penganut pandanganRealism seperti André Bazin(Perancis), bahwa kekuatan terbesarsinema justru terletak padakemampuannya menghadirkankembali realitas sebagaimana aslinya.

19312341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Film bukan sekedar karya seni tetapiperlu merepresentasikan danmenghadirkan relitas sosial sehinggamenjadi lebih bermakna sertamemiliki nilai-nilai edukatif.

c. Menanamkan Pendidikan KarakterPendidikan karakter merupakan

upaya menanamkan kecerdasandalam berpikir, penghayatan dalambentuk sikap, dan pengamalan dalambentuk perilaku yang sesuai dengannilai-nilai luhur yang menjadi jatidir inya, diwujudkan dalamberinteraksi dengan Tuhannya, dirisendiri, antarsesama, danlingkungannya (Anwas, 2009). Nilai-nilai luhur yang telah dirumuskanKementerian Pendidikan danKebudayaan dalam pendidikankarakter mencakup 18 aspek.Kedelapan belas aspek tersebutadalah religius, jujur, toleransi,disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,demokratis, rasa ingin tahu,semangat kebangsaan, cinta tanahair, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemarmembaca, peduli lingkungan, pedulisosial, dan tanggungjawab(Kemdikbud, 2012).

Penanaman xpendidikan karaktertidak bisa hanya sekadarmenstranfer ilmu pengetahuan ataumelatih suatu keterampilan tertentu.Pendidikan karakter juga tidak bisadilakukan dalam bentuk matapelajaran tertentu. Penanamanpendidikan karakter perlu dilakukansecara holistik. Pendidikan karakterperlu proses, contoh teladan, danpembiasaan atau pembudayaandalam lingkungan peserta didik baikdalam lingkungan sekolah, keluarga,lingkungan masyarakat, maupunlingkungan (exposure) media massa(film). Oleh karena itu 18 nilai-nilailuhur karakter bangsa yang telahdirumuskan oleh KementerianPendidikan dan Kebudayaan dapatmenjadi acuan dalammengembangkan topik-topik film

pendidikan dalam membangun danmenanamkan karakter bangsa.

d. Karya SeniFilm sebagai karya seni yang

sangat kompleks. Melalui sajian audiovisual dan gerak serta dramatisasidengan berbagai teknis montage danteknis lainnya dapat menciptakansuasana tertentu yang memberikanpesan tertentu kepada penontonya.Film yang baik juga dapat mengolahdan memainkan psikologi danpenomena alam pikiran manusialainnya seperti emosi, rasa benci,cinta, nyaman, tegang, atau kejutan-kejutan sehingga menimbulkankepenasaranan untuk terus menontondari awal hingga akhir. Untukmenciptakan hal fim pendidikan perlumempertimbangkan aspek-aspeksebagai berikut:

1) Dramatisasi yang wajarFilm pendidikan dapat

menyajikan dramatisasi yangdibangun atas dasar realitassosial. Dramatisasi juga bisadibangun atas dasar nilai-nilaiidealisme dalam menanamkannilai-nilai karakter untukmenciptakan situasi dan pesantertentu. Film pendidikan dapatmembangun sebuah dramatisasiyang wajar, menarik, namunharus sarat dengan pesan-pesanpendidikan karakter dan pesanedukatif lainnya. Dramatsasi ataukonflik yang baik akan memainkanpsikologi dan emosi penonton,sehingga emosi penonton larutalam film tersebut. Dalam hal inikreativitas penulis naskah dansutradara sangat menentukankeberhasilan tersebut.

2) Alur CeritaAlur cerita sebuah film yang

baik adalah film yang bisamembuat penonton tertarik,penasaran, sulit ditebak penontonuntuk mengikutinya hingga akhir

194

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

cerita (Anwas, 2006). Sajian filmmenimbulkan kepenasaranan bagipenonton dari awal hingga akhir.Dalam alur cerita terdapatkejutan-kejutan yang tidak bisadiduga sehingga tidakmembosankan. Sebaliknya alurcerita yang mudah ditebakpenonton, tidak akan menarik.Misalnya dalam alur cerita filmbela diri, selalu diawali dengantindakan kekerasan ataupenganiayaan terhadap sangtokoh atau keluarga tokoh. Sangtokoh yang biasanya masih kecilmenyimpan dendam. Kemudian iaberguru hingga menginjakdewasa. Di akhir cerita sang tokohmembalas dendam keluarganyaatau menumpas kejahatandengan ilmu yang dimiliki hasilbergurunya. Begitu seterusnya.Alur cerita seperti ini banyak kitajumpai dalam berbagai film kita,sehingga daya tarik film menjadimenurun.

Alur cerita yang baik sangatditentukan oleh kemampuan sangpenulis untuk mengolah menjadisebuah daya tarik tersendiri.Iskandar (1999) menegaskanuntuk membuat daya tarik alurcerita tidak harus A, B, C, D, s.d.Z. Bisa saja cerita dimulai dari C,lalu A, B, D dan seterusnya. Ataubisa juga D, E, E, A, L, danseterusnya. Singkatnya urutancerita bisa dimainkan, asalkanpenulis tetap menonjolkanbenang merah sebuah cerita,sehingga penonton bisamenangkap alur cerita danmenarik untuk ditonton. Untukmenjadikan daya tarik, biasanyapenulis mencari scene yang palingmenarik. Scene ini ditempatkan diawal cerita. Dengan cara sepertiini penonton akan tertarik danmenjadi penasaran untukmengikuti terus hingga acaraselesai.

3) PenokohanDalam berbagai diskusi

tentang film Indonesia, salah satukelemahannya adalah dialog-dialog yang terkesan seragam.Dialog yang dilontarkan sangtokoh tidak sesuai dengankarakteristiknya. Misalnya; petanidi pedesaan berbicara dengangaya intelek, dialog anak SDseperti remaja bahkan orang tua,gaya bicara pembantu rumahtangga sama dengan majikannya,atau seorang guru berbicaraseperti pengusaha. Kejadianseperti ini rasanya tidak sulitdijumpai dalam adegan film atausinetron kita.

Penulis naskah pastisebelumnya sudah menentukankarakteristik setiap tokoh. Hanyasaja ketika menulis penokohan itukurang dijiwai secara mendalam.Akibatnya ia tidak sadar membuatdialog yang terkesan sejajar. Disinilah tuntutan sang penulisuntuk bisa menjadi berbagaikarakter secara konsisten. Olehkarena itu sebelum menulisnaskah, perlu dibuat secara jelaskarakteristik masing-masingpenokohan. Karakteristik yangtelah ditentukan ini menjadi acuanpenulis dalam merumuskanperilaku sang tokoh mulai dari:berbicara (termasuk logat/aksentertentu jika diinginkan), hobi,kebiasaan sehari-hari, dan aspeklainnya.

Pengemasan pesanpendidikan karakter dapatmelekat pada penokohan. Pesandikemas dalam karakter tokohyang baik dan tokoh antagonis.Pengkondisian dan pembiasaandalam bertutur sapa yang baikdapat ditanamkan melaluikarakter tokoh. Upaya ini akanberkesan pada anak jika dikemassecara apik dan melekat dalampribadi sang tokoh, sehingga tidakterkesan menggurui. Misalnya,

19512341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

ketika masuk ke rumah dibiasakanmengucapkan salam ataumengetuk pintu, mau tidurpermisi pada orang tuanya danmembaca doa, bangun tidurselalu pagi, dan prilaku ataukebiasaan lain yang mungkinkelihatannya sepele tetapi sikapdan perilaku inilah yang menjadidasar penanaman kepribasianpada anak.

Dalam kenyataanya menjiwaikarakter untuk dituangkan dalamsebuah adegan atau dialogtersebut tidak mudah. Penulisharus benar-benar menjiwaimasing-masing karakter. Bisadibayangkan seorang penulisseolah dirinya mendeskripsikanperan (audio visual dan gerak)berbagai karakter yang berbeda.Kadang-kadang secara tidak sadaria menulis adegan atau dialogdengan nuansa yang hampir samaterhadap tokoh yang karakternyabeda. Di sini penulis harus bisamengibaratkan dirinya sebagaikarakter yang baik, jahat, lucu,antagonis, tokoh ulama, tokohmasyarakat, dan sebagainya. Iaharus konsisten dengan karakterertersebut dari awal hingga akhircerita, dan kembali padapertanyaan semula apakah penulismemiliki wawasan yang cukuptentang berbagai karakter sangtokoh sesuai tuntutan naskah.

4) BahasaBahasa atau dialog dalam

sebuah film merupakan salah satuunsur kemenarikan. Iskandar(1999) menegaskan bahwa dalamdialog sebuah film bahasa harusmudah dicerna penonton. Olehkarena itu perlu dipertimbangkansegmentasi penonton dalam halpenguasaan bahasa. Perludihindari kata-kata atau istilahyang sulit dipahami khalayak.Kadang-kadang dialogmenjemukan.

Bahasa dialog juga terkaitdengan karakter dan status sosialsang tokoh yang dimunculkandalam film tersebut. Misalnya,bahasa petani akan berbedadengan bahasa seorang ustadz,walaupun mereka berasal darisatu daerah. Begitu pula bahasayang digunakan seorangmahasiswa akan berbeda denganbahasa seorang buruh bangunansekalipun usia mereka sebaya.Dialog sebuah film akan menarikapabila menggunakan kalimatyang padat dan wajar, sesuaidengan karakteristik penokohan(Anwas, 2006).

Bahasa juga terkait denganlogat/dialek atau aksen suatudaerah. Dimunculkannya logat/aksen ini seringkali menjadi dayatarik dan ciri atau identitas asalsang tokoh. Dialog sang tokohyang menggunakan kata: teh,mah, kumaha, menggambarkanbahwa tokoh tersebut berasal dariSunda. Begitu pula kata mas,monggo, inggih dari Jawa; ucok,horas, bah, dari Batak; atau lu,gua, enyak, babe, dari Betawi.Kadang-kadang ada film/sinetronyang menceritakan realitasmasyarakat Jawa Barat misalnya,tetapi dalam dialog muncul kata-kata sama seperti orang yangberasal dari Betawi dansebagainya.

5) Teknis ProduksiSebagai rekaman gambar

bergerak, pengambilan gambarfilm menggunakan kamera danteknis lainnya. Kualitas filmpendidikan juga terkait denganberbagai teknis syuting,diantaranya: teknik pengambilangambar, editing, pemilihan shot,dan aspek-aspek teknis lainnya.Secara teknis produksi, film bisamemberikan penekanan terhadappesan-pesan khusus padapenonton primer, misalnya melalui

196

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

teknik close up, penggunaangrafis/animasi, sudutpengambilan gambar, teknikediting, serta trik-trik lainnya yangmenimbulkan kesan tertentu padasasaran sesuai dengan tujuanyang dikehendaki (Anwas, 1999).

Sesungguhnya gambar, suara,dan juga gerak dalam filmmerupakan hasil olahan. Dalamhal ini Rakhmat (1991),menegaskan bahwa gambarandunia dalam televisi (dan film)sebetulnya gambaran dunia yangsudah diolah. Dalam hal iniJalaludin Rakhmat menyebutnyasebagai Tangan-tangan Usil.Tangan pertama yang usil adalahkamera (camera), gerak(motions), ambilan (shots), dansudut kamera (angles)menentukan kesan pada diripemirsa. Tangan kedua adalahproses penyuntingan. Duagambar atau lebih dapatdipadukan untuk menimbulkankesan yang dikehendaki. Adeganmemenggal kepala orang,bertarung di angkasa dan bentukadegan lainnya yang tidak lazimdilakukan dalam kehidupan,merupakan hasil ulah editor dalamediting. Tangan ketiga adalahketika gambar muncul dalam layatfilm. Layar fi lm mengubahpersepsi kita tentang ruang danwaktu.

Kemampuan mengolah pesandalam film melalui teknis produksiini merupakan peluang positifdalam menanamkan pendidikankarakter. Diperlukan adanya suatuvisi yang sama dari semua crewfilm dalam penggarapan filmpendidikan. Film pendidikan tidaksekedar menyajikan tontonanmenarik, tetapi diperlukan sebuahidealisme sebagai karya seni yangberkualitas, mampumerepresentasikan dan sebagairelitas sosial yang memiliki jati diridan karakter bangsa.

C. SIMPULAN DAN SARAN1. Simpulan

Film tidak sekedar berfungsi sebagaimedia hiburan dan informasi saja, tetapidapat berfungsi sebagai mediapendidikan. Dalam perkembangansejarah film nasional, sejak zamanpenjajahan, film sudah menjadi mediapropaganda, media pendidikanmasyarakat, bahkan menjadi mediapembelajaran. Kementerian Pendidikandan Kebudayaan sejak tahun 1980-antelah sukses memproduksi film Aku CintaIndonesia (ACI). Film yang ditayangkanTVRI ini dinilai sukses menjadi sebuahtontonan menarik dan tokohnya menjadiidola dan teladan bagi remaja pada saatitu.

Membangun kembali fi lm yangmemiliki visi dan idealisme pendidikansaat ini sangat dibutuhkan di tengah-tengah gencarnya serbuan film-film asingatau film nasional yang seringkalibertemakan film horor dan percintaan.Masa anak-anak dan remaja adalah fasemencari dan membentuk karakter ataujati dirinya. Dalam era informasi, anak-anak dan remaja seringkali mendapatkanfigur atau keteladanan tokoh dari sajiantelevisi dan film yang tidak dirancanguntuk pendidikan, termasuk film asing.Dalam membangun karakter bangsayang telah dijabarkan oleh Kemdikbuddalam 18 nilai, diperlukan film by designuntuk pendidikan karakter. Konsep filmpendidikan dapat dibangun dengan duacara yaitu 1) menyajikan tokoh yangdiidolakan oleh anak dan remaja masakini yang sesuai dengan nilia-nilaipendidikan karakter, dan 2) menciptakanpigur ideal yang mampu menjadi panutanbagi anak-anak dan remaja.

Indikator film pendidikan adalah tidaksekedar menghadirkan tontonan menariktetapi dituntut mampumerepresentasikan dan menggambarkanrealitas sosial. Bangsa Indonesia memilikikeragaman budaya yang khas, kekayaansumber daya alam yang melimpah,religius, serta nilai norma dan kearifanlokal yang tumbuh lestari secara turun-

19712341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

temurun. Film pendidikan dituntutmampu menghadirkan kekayaan budaya,kekayaan alam, termasuk kearifan lokaltersebut sebagai realitas dan representasisosial bangsa Indonesia.

Sebagai karya seni, film pendidikanmenyajikan teknis montage dan teknislainnya dapat menciptakan suasanatertentu yang memberikan pesantertentu kepada penontonnya. Film yangbaik juga dapat mengolah danmemainkan psikologi dan penomenaalam pikiran manusia seperti emosi, rasabenci, cinta, nyaman, tegang, ataukejutan-kejutan sehingga menimbulkanrasa penasaran untuk terus menontondari awal hingga akhir. Untukmenciptakan film pendidikan seperti itu,perlu dibuat dramatisasi yang wajar, alurcerita menarik, memberikan kejutan-kejutan dan rasa penasaran penontondari awal hingga akhir, penokohandengan karakteristik yang tegas, bahasayang mudah dicerna penonton, sertateknis produksi yang benar mulai dariteknik pengambilan gambar, editing,pemilihan shot, memberikan penekanan,serta dan aspek-aspek teknis lainnya .

2. SaranRealisasi film pendidikan bukan

sekedar tanggung jawab KementerianPendidikan dan Kebudayaan. Filmpendidikan adalah sebuah kebutuhan ditengah gencarnya serbuan film asing danfilm nasional yang kurang mendidik.Pemerintah, BUMN, swasta, danmasyarakat perlu bahu-membahumenggalang kekuatan untuk mendukungfilm pendidikan. Di sisi lain perlu dibangunsecara bertahap dan berkesinambungankesadaran anak-anak, remaja, guru,orangtua dan masyarakat untuk memilihdan menonton film-film yang memilikimuatan pendidikan baik di layar televisi,bioskop, DVD/flashdisk, atau via internet.

Kesadaran dan kemampuan insan filmperlu dibangun dalam membuat filmpendidikan yang tidak sekedar tontonanmenarik tatapi mampumerepresentasikan dan menggambarkan

realitas masyarakat Indonesia. Begitupula gambaran penghayatan danpengamalan terhadap ajaran agamaperlu hadir secara natural kehidupankeseharian dalam sajian film pendidikan.Jangan sampai masyarakat Indonesiayang religius disajikan dalam tayanganfilm pendidikan yang terkesan sekulerdan jauh dari pengamalan nilai-nilaiagama.

Aspek teknis montage dan teknislainnya perlu dikuasai secara cermat olehsemua insan film. Dalam hal inikompetensi insan film perlu ditingkatkanuntuk menghasilkan kualitas teknissyuting dan kualitas film yang baik. Disisi lain dukungan peralatan produksi dandukungan lainnya perlu kondusif.

PUSTAKA ACUANAnwas, Oos M. (1999). “Antara Televisi, Anak,

dan Keluarga”. Artikel Jurnal Teknodik,Jakarta: Pustekkom Depdiknas No. 7/IV/Teknodik/Oktober/1999

_______,(2006). “Analisis Skenario Televisi danTV Pendidikan”. Artikel Jurnal Teknodik,Jakarta: Pustekkom Depdiknas No. 11/XI/Teknodik/Juni/2006

_______, (2009). “Membangun Media Massayang Mendidik Masyarakat”. Artikel JurnalPendidikan dan Kebudayaan. Jakarta:Balitbang Kementerian Pendidikan NasionalVol. 15 No. 1 Januari 2009.

Anderson, Joseph D. (1996). “The Reality ofIllusion: An Ecological Approach to CognitiveFilm Theory”. Carbondale: Southern IllinoisUniversity Press.

Andrew, J. Dudley. (1976). “The Major FilmTheories:An Introduction”. Oxford UniversityPress, bagian Bibliografi.

Arnheim, Rudolf. (UC Press 2006), “Film as Art”.University of California Press

Bandura, Albert. (1977). “Social LearningTheory”. New Jersey: Prentice-Hall Inc,Englewood Cliffs.

Dryer, (1998). “Introduction to Film Studies,”dalam The Oxford Guide to Film Studies,.Edited by John Hill and Pamela ChurchGibson.

198

Jurnal Teknodik Vol. XVI Nomor 2, Juni2012

123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234123412341234

Kusuma, Veronica (2009). “Neorealisme MenurutAndre Bazin” http://klubkajianfilmikj.wordpress.com/2009/04/30/neorealisme-menurut-andre-bazin/ (5 Mei2012)

Iskandar, Eddy D. (1999). “Panduan PraktisMenulis Naskah Skenario”. Bandung: RemajaRosda karya.

Jalaludi Rakhmat. (1991). “Islam Aktual; RefleksiSosial Seorang Cendikiawan Muslim”Bandung: Mizan.

Kemdikbud. (2012). “Delapan Belas (18) NilaiPendidikan Karakter”.perpustakaan.kemdiknas.go.id/download/PendidikanKarakter.pdf (5 Juni 2012)

Hasanah, Usfatun. (2011). “Dampak NegatifTayangan Film Kartun terhadap PerilakuAnak” (Studi Deskriptif pada Anak Usia 7-12 tahun di Desa Karangasem KecamatanPetarukan Kabupaten Pemalang) UnderGraduates thesis, Universitas NegeriSemarang. http://lib.unnes.ac.id/12713/ (4Juni 2012)

Rachmade. (2012). “Dampak Buruk Film Hororbagi Balita”. http://rachmade.wordpress.com/2012/01/09/dampak-buruk-film-horor-bagi-anak-balita/(4 Juni 2012)

Salt, Barry, (2003). “Film Style and Technology:History and Analysis”. London: StarwordPublishing

*******