FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH...

146
Dr. Mudofir Arkeologi FIKIH SOSIAL Dari Tauhid Sosial, Moderasi Islam, Ecocide, Terorisme, hingga Isu-Isu Kebangsaan

Transcript of FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH...

Page 1: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

Dr. Mudofir

ArkeologiFIKIH SOSIAL

Dari Tauhid Sosial, Moderasi Islam, Ecocide, Terorisme,

hingga Isu-Isu Kebangsaan

Page 2: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terbit sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 3: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

ArkeologiFIKIH SOSIAL

Dari Tauhid Sosial, Moderasi Islam, Ecocide, Terorisme,

hingga Isu-Isu Kebangsaan

Page 4: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

Hak Cipta @2018

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Tidak ada bagian buku ini yang boleh diproduksi ulang, atau diubah dalam bentuk apa pun melalui cara elektronis, mekanis, fotokopi, atau rekaman tanpa izin tertulis dari pemilik hak cipta.

Penulis:Dr. Mudofir

Editor:Shofi Puji Astiti, M.Pd.I

Proofreader:Jaja Suhana

Desain sampul & isi: Mizan

ArkeologiFIKIH SOSIAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)ArkeologiFikih SosialDr. Mudofir

Cetakan Pertama, JakartaBuku ini diterbitkan Bukuku Media bekerjasama dengan Penerbit El-Markazi, 2018

ix + 200 hlm.; 15 × 23 cmISBN 978-602-5899-56-0

Page 5: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

vDr. MUDOFIR

KATA PENGANTAR

lhamdulillah buku “Arkeologi Fikih Sosial: Dari Tauhid Sosial, Moderasi Islam, Ecocide, Terorisme, hingga Isu-Isu Kebangsaan” akhirnya terbit. Buku ini merupakan pengembangan dari beberapa hasil penelitian dua tahun terakhir yang belum sempat diterbitkan. Ada penambahan sumber rujukan, tema-tema, dan sub-sub judul sehingga membentuk sebuah buku ilmiah—dan dalam batas-batas tertentu dapat menjadi rujukan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Studi Islam dan atau ilmu-ilmu Syari’ah. Khalayak umum juga dapat memakai buku ini sebagai wawasan pembanding tentang perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan seluruh percabangannya.

Seperti diketahui, sejak peralihan abad ke-19, banyak intelektual Muslim berbagai negara terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran modern yang lahir dari interaksi Timur dan Barat. Mereka merasakan, mengalami, dan terlibat dalam gegap gempitanya arus pemikiran modern yang melahirkan peradaban Barat hebat di bidang ilmu pengetahuan serta teknologi. Pengaruh-pengaruh tersebut lalu dituliskan ke dalam banyak karya baik teologi, sosiologi, maupun fikih atau hukum Islam, dan lain-lain. Corak teologi dan fikih mengalami pergeseran secara isi maupun metodologi. Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, misalnya, mengusulkan corak tafsir tematik; sementara Rasyid Ridha, Ibnu Asy’r, Yusuf Qaradhawi, dan lain-lain mengembangkan pendekatan maqāshid ‘āmmah ke dalam karya-karya fikih dan ushul fiqh mereka. Karya al-Syathibi al-Muwāfaqāt fi Ushul al-Syari’ah, yang membahas secara akademik tentang metode maqāshid dan mashlahat yang selama 400 tahun terabaikan diajarkan kembali di Universitas al-Azhar atas perintah Muhammad Abduh. Karena itu, Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh inspiratif bagi lahirnya kebangkitan Islam di abad modern.

Karya-karya fikih, karena itu, isi dan metodologinya sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks-konteks zamannya.

.A

Page 6: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

vi ArkeologiFIKIH SOSIAL

Pemberian konteks-konteks baru atas material fikih dimaksudkan agar relevansinya tetap terjaga. Dalam istilah Jasser Audah, Syari’ah diperlakukan ke dalam tiga hal: proteksi, konservasi, dan pengembangan (development). Proteksi berfungsi untuk memproteksi prinsip-prinsip Syari’ah agar tetap terlindung dari penyimpangan; konservasi berfungsi untuk melestarikan doktrin-doktrin Syari’ah yang sudah seharusnya demikian; sementara development atau pengembangan berfungsi untuk memungkinkan prinsip-prinsip Syari’ah berdialog dengan realitas-realitas sosial modern dengan memperbarui pemahaman, metodologi, dan pendekatan. Berdasarkan argumen-argumen tersebut di atas, buku ini ditulis untuk memperkaya atau menambah kepustakaan di bidang ilmu-ilmu Syari’ah—meskipun masih jauh dari sempurna. Saya berharap, ada kritik positif-konstruktif berharga dari para pembaca sehingga buku ini akan lebih baik lagi di masa depan.

Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta, Sri Haryanti, yang selalu mengerti atas kesibukan saya dalam menulis dan dalam melaksanakan tugas-tugas akademik. Terima kasih ini juga saya berikan kepada keluarga, anak-anak tercinta, yang ikut tercuri perhatian mereka oleh kesibukan saya ini. Semoga kesabaran dan pengertian mereka menjadi modal berharga bagi iklim pengembangan karir akademik saya di masa-masa mendatang. Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada penerbit Al Markazi yang telah menerbitkan buku ini. Semoga lahirnya buku ini menjadi amal bagi semua pihak yang terlibat. Amin ya rabbal ‘alamin.

Surakarta, 25 Maret 2018

Dr. Mudofir

Page 7: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

viiDr. MUDOFIR

DAFTAR ISI

Kata Pengantar v

Daftar Isi vii

Bab I Prolog 1

Bab II Rekonstruksi MaknaTauhid dan Fikih Sosial

untuk Moderasi Islam 12

Bab III Arkeologi Fikih Progresif: Membela Keadilan

dan Kesetaraan 19

Bab IV Arkeologi Terorisme dan Ecocide dalam

Perspektif Maqāshid al-Syarī’ah 37

BAB V Arkeologi Fikih Jihad dalam Pembangunan Bangsa:

Solo sebagai Lokus 76

BAB VI Epilog 112

Daftar Pustaka 117

Tentang Penulis 126

Page 8: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

8 ArkeologiFIKIH SOSIAL

ArkeologiFIKIH SOSIAL

Dari Tauhid Sosial, Moderasi Islam, Ecocide, Terorisme,

hingga Isu-Isu Kebangsaan

Page 9: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

1Dr. MUDOFIR

BAB IPENDAHULUAN

Dalam “The Venture of Islam,” Marshall G. S. Hodgson menyatakan demikian, “Seluruh umat manusia berada dalam satu bahtera yang sama. Kesadaran ini menjadi urgen ketika menghadapi bebagai moralitas di dunia modern yang terpecah-pecah dan berserakan. Maka, ia berharap bahwa komunitas Islam mampu menjadi rumah bagi individu-individu dengan berbagai latar belakang kepercayaan dan agama di bawah nilai-nilai humanitas”.1 Pernyataan Hodgson sangat positif tentang potensi Umat Islam menjadi bagian integral dari komunitas dunia global tanpa problem konflik berbasis doktrinal-teologis. Namun, prediksi Hodgson masih jauh dari harapan ketika dunia Islam masih berada dalam rangkaian konflik sektarian dan cengkeraman hegemonik Barat yang oleh Huntington disebut the Clash of Civilization.

Ramalan benturan peradaban oleh Huntington tidak semuanya terbukti. Ada usaha-usaha komunitas dunia, termasuk para cendekiawan Muslim, untuk merumuskan ajaran-ajarannya yang lebih moderat dan menekankan kerjasama global atas dasar kepentingan kemanusiaan. Dunia modern telah menghadapi masalah dan krisis yang sama di masa kini serta masa depan, yaitu: krisis lingkungan, krisis pangan, ancaman perang nuklir, dan krisis energi. Krisis-krisis ini akan mengancam planet bumi ini dan memerlukan kerjasama global tanpa memandang perbedaan agama, ras, bahasa, dan golongan. Itulah sebabnya, diskursus-diskursus kerjasama, teologi rahmatan lil ‘alamin, dan seruan moral untuk saling mengusahakan perdamaian dunia gencar dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia dengan semangat saling menghormati. Inilah pilihan paling rasional dari semua agama di dunia ini.

Di bidang studi Islam, utamanya fikih, sejak awal abad ke-21

1. Marshal G.S. Hodgson, the Venture of Islam, vol 3, Six: “Epilogue: the Islam Heritage and the Modern Conscience”, h. 411-441.

Page 10: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

2 ArkeologiFIKIH SOSIAL

telah mendorong wacana keterbukaan, perdamaian, isu kesetaraan gender, dan isu-isu lingkungan hidup. Metode dan isi fikih telah melangkah kepada isu-isu global yang dirasakan oleh kehidupan modern. Salah satu pendekatan yang populer adalah pendekatan maqāshid atau maslahat di bidang ushūl al-fiqh. Sedangkan di bidang tafsir diperkenalkan metode tafsir tematik atau al-tafsīr al-maudhū’iy oleh Muhammad Abduh dan diteruskan oleh muridnya Rashid Ridha. Dua pendekatan di bidang tafsir dan fikih tersebut mengubah cara pandang generasi ulama kemudian. Maka lahirlah ulama-ulama pembaru dengan karya-karya yang inspiratif bagi lahirnya elan vitae Islam di abad modern.

Metode maqāshid awalnya diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali dalam al-mushtashfā, Imam Abū al-Ma’ālī al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) dalam kitab al-Burhān fī Ushūl al-Fiqh (dalil-dalil nyata dalam ilmu ushul fikih), dan Abū Ishāq al-Syāthibī (w. 790 H/1388 M) dalam kitab al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī’ah, dan lain-lain. Maqāshid intinya mewajibkan melindungi kemaslahatan yang lima (al kulliyat al-khams), yaitu: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga properti, dan menjaga keturunan. Konsep ini awalnya terbatas pada penjagaan yang lima dengan cakupan yang sempit. Dalam perkembangannya, cakupan maknanya diperluas. Menjaga agama, misalnya, berarti pula menjaga tumbuhnya toleransi beragama, kerjasama-kerjasama antar-umat beragama, menyelenggarakan pendidikan untuk keterbukaan agama, dan lain-lain; Menjaga jiwa berarti pula menjaga kesehatan keluarga, menyiapkan anggaran jaminan kesehatan, memperluas akses pekerjaan, dan lain-lain; Menjaga akal bukan berarti hanya larangan minum khamr, tetapi juga kewajiban untuk berpikir positif, mengembangkan pemikiran ilmiah, memberikan pendidikan yang maksimal, dan lain-lain; Menjaga properti juga berarti menjaga hak-hak kekayaan intelektual, memberi jaminan keamanan, dan lain-lain; dan menjaga keturunan berarti juga menjaga gizi anak-anak, akses pendidikan yang layak, dan kebutuhan untuk memperoleh pengasuhan yang nyaman serta layak; dan seterusnya. Dalam perkembangan selanjutnya, al-kulliyat al-khams meningkat menjadi al-kulliyat al-sitt (kewajiban menjaga yang enam dengan tambahan

Page 11: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

3Dr. MUDOFIR

menjaga lingkungan hidup).2

Ulama‘ khalaf yang berjasa mengembangkan konsep maqāshid dalam perspektif umum dan modern adalah, pertama, Rashid Ridha (w. 1354 H/1935 M) mengkaji al-Qur’an untuk mengidentifikasi maqāshid, yang mencakup ‘reformasi rukun iman, penyebaran kesadaran bahwa Islam adalah agama fitrah, akal budi, pengetahuan, kebijaksanaan, berpikif logis, kebebasan, kemerdekaan, reformasi sosial, politik dan ekonomi, dan hak-hak perempuan;3 kedua, al-Thāhir ibn Asyūr (w. 1325 H/1907 M) menegaskan bahwa maqāshid umum hukum Islam adalah memelihara ‘keteraturan, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, dan fitrah. Layak dicatat bahwa tujuan kebebasan (al-hurriyah) yang diusulkan oleh ibn Asyūr dan beberapa cendekiawan kontemporer berbeda dengan tujuan al’itq yang dikemukakan para ulama klasik. Yang dimaksud dengan kebebasan dalam konteks al‘itq adalah pembebasan dari perbudakan, bukan ‘kebebasan’ dalam konteks kontemporer. Ibn Asyūr memperluas cakupan kebebasan menjadi kebebasan berpendapat (freedom of expression), kebebasan berkehendak (free will), dan kebebasan berkeyakinan (freedom of belief);4 ketiga, Muhammad al-Ghazāli (w. 1416 H/1996 M) menggaungkan ‘pengambilan pelajaran dari sejarah Islam empat belas abad yang lalu’, di mana keadilan menjadi sebab utama kejayaan peradaban Islam, dan ketidakadilan menjadi sebab utama kemundurannya, sehingga dia memasukkan ‘keadilan dan kebebasan’ dalam maqāshid pada level darurat/emergency; keempat, Yusuf al-Qaradhawi (l. 1245 H/1926 M) mengkaji al-Qur’an dan menyimpulkan maqashid ‘āmm sebagai ‘pelestarian keyakinan yang benar, menjaga harkat dan hak-hak asasi manusia, menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah swt., menyucikan jiwa, memperbaiki nilai moral, membangun keluarga harmonis, kesetaraan gender, membangun bangsa Muslim yang kuat dan menyeru pada pentingnya kerjasama-kerjasama dunia;5 kelima, 2. Lihat Mudhofir Abdullah, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).3. Muhammad Rashid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi: Tsubūt al-Nubuwwah bi al-Qur’ān (Kairo: Muassasah ‘Izzudin, tt.), h. 100.4. Muhammad al-Thahir ibn Asyūr, Ushūl al-Nidzām al-Ijtimā’iy fī al-Islām, ed. Muhammad el Tahir el Mesāwi (Ammān: Dār al-Nafāis, 2001), h. 256, 268.5. Lihat lebih lanjut Yusuf Qaradhawi, Kayfa Nata’āmal Ma’a al-Qur’ān al-‘Adzīm, edisi ke-I

Page 12: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

4 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Thaha al-‘Alwāni (lahir 1354 H/1935 M) menelaah al-Qur’an untuk mengidentifikasi maqāshid tertinggi dan terbesar, yang menurutnya adalah ‘mengesakan Allah atau tauhid, mengembangkan diri secara suci atau tazkiyah dan mengembangkan peradaban di bumi;6 dan lain-lainnya.

Karya-karya dengan tema-tema kontemporer juga terjadi di berbagai negeri Muslim. Di Iran, Irak, Indonesia, Pakistan, dan lain-lain telah melihat dunia modern dengan perspektif baru. Maka karya-karya fikih dalam pengertian al-fiqh al-akbar menggeser dan memperbarui konsep-konsep fikih lama. Lahirnya para cendekiawan Muslim dengan didikan Timur dan Barat makin memperkaya khasanah keilmuan Islam dan fikihnya.

Di Indonesia sendiri, lahir ulama-ulama yang kritis pada kemandekan umat Islam. Buya Hamka, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, disusul generasi belakangan seperti Harun Nasution, HM Rasyidi, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Ma’aarif, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, dan lain-lain menjadi tokoh-tokoh transisional yang menyerukan perlunya pembaruan Islam untuk mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat. Merekalah yang membuka cakrawala baru generasi muda untuk mengakomodasi unsur-unsur baru dari modernitas. Dari merekalah pula generasi Muslim sekarang memahami dan mengikuti jejak pembaruan dengan bahan-bahan baku serta metodologi yang terus berkembang. Fikih sosial baru sedang menapaki sejarahnya yang sama sekali baru di sebuah dunia masa depan.

Jaman Baru Fikih Sosial: Tantangan dan Peluang

Era modern ditandai oleh kecepatan, kejutan-kejutan, dan perubahan yang tiba-tiba (sudden shift). Inilah the great shifting (perubahan-perubahan besar) yang menggeser sejumlah tatanan lama (lembaga-lembaga agama, ideologi, kerja-kerja industri, bisnis, dan ekonomi-politik) kearah yang lebih terintegrasi melalui operasi

(Kairo: Dār al-Syurūq, 1999).6. Thaha Jabir al-Alwani, Maqāshid al-Syarī’ah, edisi ke-1 (Beirut: IIIT dan Dār al-Hīdī, 2001), h. 25.

Page 13: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

5Dr. MUDOFIR

internet of things.7 Jejaring dunia menjebol dinding-dinding kuat negara-bangsa, sehingga satu negara kuat bisa mendikte negara-negara lemah (baca: berkembang) melalui kontrol ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penjajahan atau kolonialisme memang sudah punah dari muka bumi. Tapi kolonialisme ekonomi dan ideologi masih tetap berlangsung. Negara-negara Muslim berada dalam cengkeraman negara-negara maju Eropa-Amerika-China baik di bidang ekonomi, sains, teknologi, maupun riset-riset. Ini berlangsung sejak abad ke-18 hingga kini. Pertanyaan muncul: apakah narasi fikih dan teologi Islam akan tetap sama di hadapan kemajuan-kemajuan bangsa Barat? Di hadapan gemuruh pembangunan yang menghasilkan peradaban maju? Ataukah perlu reinterpretasi dan reformulasi narasi-narasi fikih secara menyeluruh? Siapa yang bertanggungjawab atas kemunduran dunia Islam ini?

Dalam Orientalism karya terbaik Edward Said, bangsa-bangsa Timur (sebagian besarnya bangsa Muslim) dinarasikan, ditafsirkan, dan didefinisikan oleh para penulis Barat menurut ukuran-ukuran mereka secara etnografis. Dalam novel, buku-buku sejarah, peta-peta geografi, dan pengajaran-pengajaran di sekolah, Islam telah dikerangkeng dalam tafsir Barat. Bahkan Disraeli pernah mengatakan, “Timur adalah karir”.8 Ini menunjukkan Timur dan Islam berada dalam hegemoni Barat akibat tiadanya kekuatan ilmu pengetahuan yang menerobos zaman baru bernama zaman modern dengan ciri-ciri kecakapan teknis. Dunia Islam di abad-abad ke-16, 17, 18, 19, 20, dan 21 sibuk bertikai dan banyak menulis tentang isu-isu doktrinal tanpa keluar dari kenyataan-kenyataan sosial modern. Akibatnya, isu-isu furūiyyah (cabang-cabang) menguras begitu banyak energi. Bahkan menjadi titik-titik sengketa yang tidak pernah selesai. Sistem pendidikan Islam pun lambat bergerak menuju pendidikan berbasis riset yang bersifat induktif. Kondisi-kondisi ini kemudian memicu kesadaran para intelektual Muslim untuk 7. Buku-buku tentang seri disruption dapat ditemukan pada karya Christensen, Clayton, & Michail Horn, Disrupting Class: How Disruptive Innovation Will Change the Way the World Learns (New York: McGraw-Hill, 2008); Geoffrey Parker, Marshall Van Alstyne, & Sangeet Paul Choudary, Platform Revolution: How Networked Markets Are Transforming the Economy (New York: 2016); dll.8. Peranan penting karya Edward Said adalah mengevaluasi hubungan sejarah Barat den-gan dunia di sekitarnya. Orientalisme bagi Said adalah perpanjangan hegemoni Eropa atas Timur Tengah, khususnya, dan hegemoni Barat atas non-Barat, umumnya. Lihat Edward Said, Orientalism ((London: Penguin, 1978).

Page 14: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

6 ArkeologiFIKIH SOSIAL

melakukan langkah-langkah yang perlu. Kemunduran dunia Islam ini lalu disadari oleh ulama-ulama yang mampu melihat dengan tajam sejarahnya dan kelemahan-kelemahan internalnya. Beberapa intelektual Muslim yang menonjol adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Iqbal (1877-1938). Kedua tokoh ini belajar di Barat dan mereguk air minum peradabannya. Dua tokoh kunci ini mengintegrasikan studi keislaman dan studi Barat. Metode tersebut menjadi usulan-usulan baru bagi reformasi Islam.

Abduh, misalnya, menulis dalam autobiografinya bahwa sebelum dia berangkat ke Prancis, dia menguasai bahasa Prancis agar dapat mempelajari hukum Prancis secara langsung dari sumber-sumbernya.9 Saat itu, tafsir-tafsir Prancis melakukan reinterpretasi terhadap kitab perundang-undangan Prancis dalam kaitannya dengan ‘tema-tema tertentu’, mengabaikan urutan pasal-pasal kitab perundangan—sebuah metode tafsir yang identik dengan metodologi yang disahkan oleh Abduh (tafsir tematik), sebagaimana dia jelaskan dalam catatan pendahuluan buku tafsirnya. Metode tafsirnya diikuti oleh murid-muridnya seperti yang utama Rasyid Ridha dan Tahir ibn Athūr. Tafsir-tafsir ini kemudian membentangkan jalan bagi metode-metode dan mazhab-mazhab reinterpretasi baru, yang berkontribusi pada aliran-aliran reformis modern.10 Tujuan dari reinterpretasi Abduh adalah untuk membuktikan bahwa Islam itu koheren dengan sains modern dan rasionalitas. Di pihak lain pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal juga menginspirasi banyak Muslim Anak Benua India dan dunia Islam dalam memandang dunia modern. Ia menyerukan perlunya ijtihad untuk menemukan kebaruan-kebaruan di dalam Islam.

Abduh dan Iqbal mewakili kegelisahan intelektual Muslim yang hidup di masa peralihan abad ke-20. Kegelisahan ini diikuti kelahiran tokoh-tokoh pembaru seperti Fazlur Rahman, Taha Husen, Malek Ben Nabi, Abdul Karim Soroush, Muhammad Shahrur, Hassan Hanafi, Ali Syari’ati, Ismail Faruqi, Syed Hossein Nasr, dan lain-lain. Mereka menyajikan reinterpretasi ajaran Islam yang lebih dinamis, 9. Muhammad Abduh, al ‘A’māl al Kāmilah, ed. Muhammad Imārah (Kairo: Dār al Suroq, 1993).10. Lebih lanjut baca Nafi Basheer, “Tahir ibn Ashur: The Career and Thought of a Modern Reformis Alim, with Special Reference to His Work of Tafsir”, Journal of Qur’anic Studies 7, no. 1 (2005).

Page 15: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

7Dr. MUDOFIR

terbuka, dan dialogis. Di sejumlah bangsa-bangsa Muslim lainnya, metode mereka diikuti dengan sangat cermat dengan seluruh pengembangan-pengembangannya. Karya-karya mereka lalu memasukkan tema-tema modern seperti hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender,11 isu-isu lingkungan, kejahatan transnasional, kerjasama-kerjasama global, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Konten fikih makin kaya dengan isu-isu modern melalui pendekatan-pendekatan yang lebih kritis.

Demikianlah, gelombang modernisme Islam12 tak lagi bisa dibendung. Muslim modernis lahir dari proses interaksi mereka dengan pemikiran-pemikiran modern yang sangat kritis pada teks. Reinterpretasi ajaran Islam dilakukan di antaranya dengan meletakkan konteks-konteks baru pada teks-teks Syari’ah—apa yang oleh Muhammad Shahrur disebut qirā’ah mu’āshirah.13 Ini tidak lazim dalam khasanah pemikiran Islam awal. Dalam pandangan tradisional, setiap pemikiran yang keluar dari teks-teks Syari’ah adalah sesat. Penalaran intelektual terkait hukum-hukum Islam atau fikih dimungkinkan jika hanya berada dalam koridor teks atau nushūsh. Argumen ini menegaskan bahwa yang benar dan mutlak adalah teks Syari’ah. Sementara selain teks Syari’ah tidaklah mutlak. Teks-teks Syari’ah menjadi rezim bagi seluruh kebenaran.

Namun dalam pandangan modernisme Islam, teks-teks Syari’ah tidak lagi memadai untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan baru. Kekalahan demi kekalahan bangsa Muslim oleh Barat menyadarkan elit-elit intelektual untuk memperbarui pemahaman mereka yang dapat memecahkan masalah-masalah mereka. Ebrahim Moosa, misalnya, menyebut modernisme Islam identik dengan kelompok cendekiawan Muslim yang amat terkesan oleh cita-cita dan realitas modernitas serta sangat percaya bahwa pemikiran Muslim, sebagaimana yang mereka imajinasikan, sebagai penjelmaan dari abad pertengahan. Metode baru ini dianggap cukup fleksibel untuk membantu perkembangan inovasi dan adaptasi

11. Misalnya karya Abdullah Ahmed An Naim, “Islam and Human Rights”, Tikkun 18, no. 1 (2003), h. 48.12. Charles Kurzman, ed., Modernist Islam, 1840-1940: A Source Book (Oxford: Oxford Uni-versity Press, 2002), h. 4.13. Lihat karya Muhammad Shahrur, al Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah (Damaskus: al Ahāli, 1992).

Page 16: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

8 ArkeologiFIKIH SOSIAL

terhadap perubahan yang selaras dengan ruang dan waktu. 14

Harus diakui bahwa pergeseran dari teks ke konteks menjadi keniscayaan total bagi umat Islam modern. Namun bukan dalam arti memutus hubungan sama sekali dengan teks-teks Syari’ah. Teks-teks Syari’ah itu direintrepretasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang relevan dengan pandangan-pandangan dunia modern. Dengan demikian, cara ini berbeda dengan epistemologi ulama ortodoks (ulama Salaf) yang lebih cenderung memegang kemapanan teks (al-tsābit) sebagai sumber kebenaran otoritatif. Al Thabari, misalnya, melarang untuk berpendapat di luar teks Syari’ah. Dia menyatakan, “Barang siapa yang berkata tentang al-Qur’an berdasarkan pendapatnya, kemudian ia ternyata benar, maka sebenarnya dia telah melakukan kesalahan”.15 Menurut pendapat al Thabari, pengetahuan harus berdasar teks dan hadis, bukan nalar. Jalan yang benar untuk mendapatkan pengetahuan adalah al Kitab, Sunnah, dan al atsār.

Ibn Hazm, di sisi lainnya, juga punya pendapat serupa dengan al Thabari tentang teks. Dia berpendapat bahwa teks harus menjadi kebenaran bukan pendapat para sahabat dan tabi’in. Siapa saja yang mengikuti pendapat manusia maka bid’ah.16 Senada, Ibn Taymiyah mengatakan: “Bid’ah lahir dari kekafiran. Siapa saja yang menandingi al-Qur’an dan Sunnah dengan nalar maka pendapatnya muncul dari pendapat orang-orang sesat”.17 Pendapat-pendapat tersebut sangat dominan di abad-abad pertengahan dan mewarnai dunia Muslim yang secara perlahan ke arah stagnasi pemikiran. Mengapa? Karena pendapat-pendapat itu menyiratkan bahwa kebenaran tidak terdapat di dunia, manusia, atau alam, tetapi ada di dalam teks. Juga menyiratkan bahwa kebangkitan adalah kembali ke dalam teks dasar dan bahwa kebenaran berada di kekuasaan para ulama penjaga teks serta bahwa kebenaran adalah satu sehingga tidak ada pluralitas dan perbedaan. Ortodoksi ini cukup lama hinggap

14. Ebrahim Moosa, “The Debts and Burdens of Critical Islam” dalam Progressive Muslim, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003), h. 118.15. Al Thabari, Jāmi’ al Bayān ‘an Ta’wīl ay al Qur’ān, Juz I, Cet. II (Kairo: Al Bab al Halabi, 1954), h. 35 dan 45.16. Ibn Hazm al Andalusi, Rasāil ibn Hazm al-Andalusi, juz iv, diedit oleh Dr. Ihsan Abbas (al Mu’assasah al-Arabiyah lidirasat wa al-Nasyr, 1981), h. 415.17. Ibn Taymiyah, Dar’ Ta’ārudh wa al-Naql, juz I, bagian pertama, diedit oleh Muhammad Rasyad Salim (Kairo: Dar al-Kutub, 1971), h. 191, 209, 232.

Page 17: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

9Dr. MUDOFIR

dalam pikiran-pikiran dunia Muslim hingga abad-abad modern ketika para pembaru menggeser paradigma tekstual ke kontekstual.

Jika semua kebenaran dan ilmu pengetahuan hanya berasal dari teks, maka ayat-ayat kawniyah menjadi disfungsi. Padahal di dalam al-Qur’an banyak disebut fenomena-fenomena alam dengan seluruh hukum-hukumnya. Alam makroskopik dan mikroskopik banyak disebut di dalam al-Qur’an sebagai ayat-ayat yang harus diperhatikan juga. Di dalam al-Qur’an ada tiga tema besar: Allah, alam semesta, dan manusia. Tiga tema besar menjadi bahasan dalam keseluruhan al-Qur’an. Ini berarti, selain teks-teks al-Qur’an ada ayat-ayat lain yang berujud alam semesta dengan segala hukum sunnatullah-Nya. Itulah sebabnya, banyak mufasir dan intelektual lain yang tidak sependapat dengan al Thabari, Ibn Hazm, dan Ibn Taymiyah yang lebih skripturalis. Banyak ulama—terutama ulama-ulama khalaf telah mendeklarasikan pentingnya ayat-ayat kawniyah sebagai alat bantu memahami ayat-ayat al-Qur’an. Mereka (ulama khalaf) memadukan antara pemikiran deduktif (tekstual) dan pemikiran induktif (kontekstual) sehingga menghasilkan fikih atau pemahaman Islam yang lebih komprehensif dan holistik. Dengan cara ini, Islam dan seluruh ajarannya terasa hadir dalam gemuruh kehidupan manusia hari ini.

Tegasnya, konten fikih harus terus-menerus diperkaya dengan isu-isu kontemporer. Yang saya maksud fikih sosial dalam buku ini adalah al Fiqh al Akbar, istilah yang pertama digunakan Abu Hanifah, yang membahas masalah teologi, hukum, tasawuf, dan juga Syari’ah pada umumnya. Konten al Fiqh al Akbar kini harus mengakomodir isu-isu kontemporer yang secara nyata dirasakan, dialami, dan menjadi bagian hidup manusia modern. Tujuannya agar menjadi ‘applied Islamic ethics’—etika-etika Islam terapan dalam kehidupan Muslim.18 Etika Islam terapan ini berisi tentang isu-isu praktis seperti perlakuan terhadap minoritas, kesetaraan gender, hak-hak binatang, konservasi lingkungan, masalah aborsi, euthanasia, 18. “Applied Islamic ethics juxtaposes two different discourses in Islam, namely the juridical-moral discourse (‘ilm al-fiqh) and the ethico-moral discourse (‘ilm al-akhlāq, also adab). Given that apllied ethics is closely related to the topic of maqāshid al-syarī’ah, it may contribute to enriching and complementing such discourse by ntegrating essential elements of Islam encompassing its legal, moral, and spiritual dimensions. Lihat Ebraim Moosa and A.A. Mian, “Islam”, in Ruth Chadwick (ed.), Encyclopedia of Applied Ethics (2012, San Diego: Academic Press), v.2, h. 769.

Page 18: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

10 ArkeologiFIKIH SOSIAL

masalah buruh, masalah korupsi, dan isu-isu kebangsaan lainnya. Masalah-masalah kontemporer, tentu saja, mencerminkan masalah-masalah yang hadir dan dialami manusia hari ini dengan ukuran yang jauh lebih kompleks dan masif dibanding di jaman Rasulullah atau abad pertengahan.

Karena itu, pergeseran paradigma seorang fakih mutlak diperlukan untuk menghasilkan fikih yang responsif terhadap dunia hari ini dan masa depan. Perubahan kontens hukum atau ‘Fikih Besar’ harus dimulai dengan perubahan, pertama, pandangan dunia (worldview). Ini diajukan sebagai sebuah mekanisme keterbukaan dalam sistem hukum Islam. Kedua, keterbukaan filosofis yang diajukan sebagai sebuah mekanisme pembaruan diri dalam sistem hukum Islam. Selanjutnya, pandangan dunia atau worldview merupakan terjemahan istilah Jerman ‘weltanschauung’—sebuah istilah yang sudah berusia seratus tahun, yang secara literal bermakna ‘gambaran dunia’.19 Pandangan dunia adalah seperangkat ‘perkiraan yang kita pegangi tentang penyusunan dasar dunia’.20 Jadi, pandangan dunia adalah produk dari sejumlah faktor yang membentuk ‘kognisi’ manusia terhadap dunia. Ada sejumlah teori yang menyusun pandangan dunia manusia: 1) Tuhan, manusia, hari akhir, pengetahuan, moralitas, dan sejarah;21 2) Mitos (dongeng), doktrin, etika, ritual, dan masyarakat;22 3) Keyakinan, konsep, keteraturan, konstruk sosial, model peran, dan persepsi moral; 4) Dunia natural, etika, politik, biologi, psikologi, metode-metode penelitian ilmiah, dan banyak factor lain; 5) Tuhan, konsep diri, alam, ruang, dan waktu. Komponen-komponen tersebut membentuk sebuah pandangan dunia. Bentuk-bentuk material maupun non-material dari peradaban modern juga menjadi bahan baku penting bagi isi fikih sosial modern.

Dengan menyadari luasnya isu-isu kontemporer, maka al Fiqh al Akbar (baca: fikih sosial) perlu dikerjakan secara tematik—sebuah metode yang awalnya diperkenalkan oleh Muhammad 19. David K. Naugle, Worldview:the History of a Concept (Grand Rapids: Edmans, 2002), h. 2.20. Sire, James W., Naming the Elephant (Downers Grove, IL: Inter Varsity Press, 2004), h. 19-20.21. Sire Naming, Wordviews: Crosscurtural Explorations of Human Beliefs, edisi ke-3 (Pren-tice Hall, 1999), h. 19-20.22. Sire Naming, Wordlviews, h. iv.

Page 19: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

11Dr. MUDOFIR

Abduh. Melalui pembaruan pandangan dunia dan metode baru, maka konten fikih akan terus relevan dengan realitas sosial modern. Dia tak akan mengalami inferriority complexes dan terisolasi dari urusan-urusan manusia modern. Buku ini adalah usaha sangat kecil untuk melanjutkan para pendahulu yang telah memulai menuliskan konten-konten fikih kontemporer dengan pandangan dunia baru serta metodologi baru.[]

Page 20: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

12 ArkeologiFIKIH SOSIAL

BAB IIREKONSTRUKSI MAKNA

TAUHID DAN FIKIH SOSIAL UNTUK MODERASI ISLAM

Berbicara tauhid adalah bicara soal inti Islam. Namun pembahasannya tidak sederhana. Hal ini demikian karena tauhid adalah konsep besar yang membicarakan soal Tuhan (Allah), ciptaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Allah, sifat-sifat, dan makhluk-Nya (baik yang dapat dilihat dan yang gaib) adalah konsep-konsep yang pembahasannya melibatkan berbagai pendekatan. Ia bukan hanya ranah ilmu ‘aqidah, tapi juga ranah tasawuf, filsafat, ilmu sosial, dan bahkan sains.23 Masing-masing pendekatan memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Karena itu, tak ada pendekatan yang bisa mengklaim paling otoritatif dan benar dalam ‘memahami’ konsep-konsep tersebut.

Dari argumen di atas, maka pembahasan tentang tauhid dari perspektif al-Quran dan Hadis tak bisa membebaskan diri dari pendekatan tertentu. Hal ini demikian, karena Quran bukanlah buku tentang tauhid yang membahas secara detail dengan catatan-cataatn kaki. Quran bicara lebih pada konsep-konsep utama tentang tauhid dengan penjelasan-penjelasan dari hadis dan juga dari pendapat-pendapat ulama. Di sinilah perbedaan mulai masuk ke detail-detail tentang tauhid.

Ziauddin Sardar, misalnya, menyatakan bahwa tauhid adalah matriks atau acuan ke mana pandangan dunia diarahkan.24 23. Ibrahim Hosen dalam sebuah artikelnya pernah berpendapat bahwa dalam masalah Tauhid tidak boleh ada penalaran intelektual atau ijtihad. Kata Ibrahim Hosen, ijthad hanya boleh dalam masalah-masalah fikih. Tapi pendapat ini dalam banyak perdebatan teologi tidak menemukan bukti. Justru dalam masalah teologi banyak ranah perdebatan, misalnya, ten-tang sifat-sifat Tuhan, otoritas, dan masalah qadim atau hadis dari perkataan-perkataan-Nya.24. Dikutip kembali dalam Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. 139.

Page 21: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

13Dr. MUDOFIR

Dalam konteks Allah, tauhid adalah meng-Esakan-Nya yang berarti deklarasi tentang Allah sebagai tunggal secara sejati, tak ada duanya. Menurut Nurcholish Madjid, makna tauhid bersifat pembebasan radikal dari kepercayaan kepada selain-Nya. Selain Allah, tidaklah sakral. Nurcholish Madjid dalam sebuah artikelnya menjelaskan lebih lanjut tentang desakralisasi terhadap selain Allah.25 Desakralisasi atas segala hal yang bukan Tuhan dan ini berarti semua makhluk tidak layak diperlakukan seperti Tuhan. Makna tauhid semacam ini seharusnya membebaskan manusia untuk tidak bergantung kepada selain Allah baik dalam kehidupan sosial, budaya, maupun politik (kecuali dalam pengertian kerja sama). Tauhid menjadi kompas pemandu pada tindakan-tindakan yang benar sesuai dengan sunnatullah.

Secara teoritis makna dan tafsir tauhid di atas tidak tanpa kritik. Dawam Rahardjo sahabat Madjid juga mempertanyakan istilah desakralisasi karena istilah ini tidak berarti desakralisasi terhadap ikatan-ikatan perkawinan. Perkawinan adalah perjanjian sakral atau suci yang di dalam al-Qur’an disebut mitsāqan ghalīdha. Kritik lainnya adalah sikap tauhid bisa mendorong pemeluknya terjatuh ke dalam kemutlakan total dalam pemahaman. Dalam batas-batas tertentu, bisa mendorong sikap radikalisme. Bagian ini akan menguji apakah sikap tauhid justru mendorong radikalisme, anti sosial, dan atau tertutup seperti sebuah ideologi? Ataukah sebaliknya tauhid melahirkan keterbukaan dalam pikiran, sikap, dan tindakan atas nama-Nya? Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk dijawab dengan pendekatan teologi dan sosiologi sekaligus.

Tauhid dalam Qur’an dan Hadis

Tauhid sebagai konsep berasal dari ajaran Ibrahim yang mengenalkan ‘satu Tuhan’ atau monoteisme. Lawan monoteisme adalah politeisme yang berarti ‘banyak Tuhan’. Politeisme merupakan kepercayaan paling awal umat manusia yang kini masih bertahan dan banyak dianut oleh agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lain. Kepercayaan yang dulu dipeluk suku-suku Arab era pra-Islam juga

25. Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007).

Page 22: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

14 ArkeologiFIKIH SOSIAL

bersifat politeisme, kecuali sejumlah suku yang masih menganut al-hanīfiyāt al-samhah (kecenderungan kepada keterbukaan yang tulus) yang merupakan ajaran Nabi Ibrahim. Karena ajaran Ibrahim yang monoteistik inilah, agama Yahudi, Kristen, dan Islam disebut sebagai agama Ibrahim atau Abrahamic religion. Ajaran monoteisme ini ditulis dalam kitab Taurat, Injil, dan al-Qur’an—kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi mereka yakni: Nabi Daud, Musa, dan Muhammad SAW.26 Sedangkan Nabi Ibrahim mempunyai lembaran-lembaran yang berisi wahyu Allah yang disebut suhuf.

Selanjutnya, secara definisi, tauhid berarti mengesakan Tuhan Allah. Kata ‘tauhid’ adalah bentuk mashdar dari kata “wahhada” yang justru di dalam al Qur’an kata itu tidak ditemukan. Yang ada adalah kata ahad dan wahīd. Namun begitu, secara tersirat kandungan makna tauhid tersebar di sejumlah ayat. Misalnya QS. Maryam [19]: 65, al Anbiya [21]: 92, al An’am [6]: 164, al-Syuura [42]: 11, al ikhlas [112]: 1-4, al Kafirun [109]: 1-6, dan lain sebagainya. Tentu saja, makna ayat-ayat tersebut ada yang jelas dengan sendirinya dan ada yang perlu penjelasan lebih lanjut. Dalam hal ayat-ayat yang tidak jelas dengan sendirinya maka diperlukan penjelasan hadis, pendapat ulama yang relevan, dan juga analisis-analisis tafsir, tasawuf, serta filsafat.

Tauhid secara teoritik dapat dibagi menjadi tiga: tauhid uluhiyah, tauhid rububiyyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Yang pertama berarti bahwa Allah adalah Dzat yang patut disembah. Yang disebut kedua berarti bahwa Allah yang menciptakan dan mengurus semua ciptaan-Nya. Sementara yang ketiga berarti bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya. Beberapa ayat itu antara lain:

“Penguasa langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan mantapkan hati untuk beribadah kepada-Nya. Apakah kamu tahu bahwa ada seorang

26. Seruan dan risalah yang disampaikan Muhammad SAW., adalah seruan kenabian seperti disampaikan oleh nabi-nabiIbrani lainnya yang disebutkan dalam Perjanjian Lama. Inti ajarannya menegaskan bahwa Tuhan itu Esa. Dia Maha Kuasa. Dia adalah Pencipta alam raya. Dan bahwa akan datang hari pembalasan. Balasan pahala akan menanti mereka di surga, yakni mereka yang melaksanakan perintah Tuhan, dan hukuman yang pedih di neraka menanti mereka yang mengabaikan-Nya. Lebih lanjut lihat Ibn Hisyām, h. 121, 143.

Page 23: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

15Dr. MUDOFIR

yang sama dengan Dia [yang patut disembah?].”27

“Ingatlah, yang menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak bagi Allah.” 28

Lebih lanjut, tauhid menjadi dasar iman yang menempatkan Allah sebagai pusat. Sementara selain-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya. Ini berarti bahwa selain Allah adalah bersifat sementara, relatif, terbatas, tidak sempurna, dan sifat-sifat relatif lainnya yang tidak mungkin ada pada sifat Allah. Namun demikian, relasi Allah dan makhluk-Nya adalah relasi yang ‘dekat’ bagi mereka yang beriman dan jauh bagi yang tidak. Di dalam al-Qur’an ada tiga tema besar yang menjadi tema pokoknya, yakni: Allah, alam semesta, dan manusia. Relasi ketiganya adalah relasi antara Sang Khalik dan makhluk. Relasi ketiganya bukanlah relasi dalam pengertian ‘pantheism’—Allah menyatu dalam keseluruhan kosmos sebagaimana dipahami aliran ‘wihdatul wujūd’. Relasi yang dimaksud adalah relasi akrab yang dibatasi oleh sifat-sifat Khalik dan makhluk yang tidak sama.

Tauhid sering dilambangkan dengan kalimat lailaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Kata lailaha adalah kalimat negasi yang berarti menegasikan tuhan-tuhan selain Allah secara tanpa kompromi. Seluruh hal selain Allah tidaklah sakral, relatif, dan terbatas. Meminjam istilah Nurcholish Madjid, semua hal selain Allah harus didesakralisasi secara radikal. Karena itu, semua benda yang dulu dianggap ‘sesembahan’ seperti api, pohon besar, langit, gunung, bintang, bulan, matahari, dan lain-lain harus dianggap sebagai benda-benda biasa yang tidak memiliki nilai yang melampaui wujudnya sendiri. Selanjutnya, kalimat illallah adalah afirmasi bahwa hanya Allah lah yang layak disembah, yang menciptakan dari tiada, dan yang memelihara seluruh ciptaan-Nya tanpa batas. Kalimat afirmasi ini secara radikal menegaskan hanya Allah-lah yang patut disembah, menjadi tempat bergantung, penguasa hari kiamat, dan lain sebagainya.

Konsep tauhid, karena itu, menjadi ajaran paling kunci yang untuk pertama kalinya dideklarasikan Nabi di Mekah dan merupakan kelanjutan dari monotesime nabi Ibrahim yang hanīf. Ketika seorang

27. QS Maryam: 65.28. QS al A’rāf: 54.

Page 24: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

16 ArkeologiFIKIH SOSIAL

manusia mengucapkan tauhid, ia sebenarnya harus terbebas dari belenggu-belenggu yang mematikan seluruh kreativitas dan ketergantungan. Tauhid secara radikal membekali seorang yang beriman kemampuan untuk memanfaatkan daya kreatifnya untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Baik secara vertikal maupun horizontal, tauhid membangun relasi yang positif-konstruktif antara Allah-alam semesta-manusia atau theo-antropo-kosmos. Di sinilah tauhid menemukan makna idealnya.

Secara historis, ajaran tauhid di Mekah yang berabad-abad berada dalam tradisi musyrik (menyekutukan Tuhan dengan makhluk-Nya) merupakan konsep radikal yang meruntuhkan tatanan sosial masyarakat Arab. Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat yang hidup dari semangat kesukuan dengan seluruh konflik dan konsensusnya. Setelah tauhid diajarkan kembali oleh Nabi, maka secara perlahan tribalisme di Mekah dan sekitarnya mulai runtuh dan disatukan oleh Islam.29 Seruan al-Qur’an di Mekah menggambarkan seruan tauhid agar orang-orang Musyrik meng-Esakan Allah.30 Tradisi menyembah berhala yang telah berurat-berakar di Mekah membuat ajaran Tauhid sulit diterima. Namun setelah Madinah bergabung dan kekuatan masyarakat Islam mulai tumbuh, maka ajaran tauhid mulai diterapkan dalam bentuk hukum-hukum, aturan-aturan sosial dan politik di Madinah dan juga Mekah setelah fathu makkah.

Menurut sejumlah hadis, tauhid merupakan hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-Nya. Kalimat “hak” sebenarnya kurang tepat karena Allah tak pernah memerlukan apapun, Dia Maha Cukup. Namun, ini harus diartikan sebagai suatu konsep dalam perspektif manusia bukan perspektif Tuhan. Manusialah yang harus memenuhi kewajibannya dalam bentuk tauhid kepada Allah, yakni menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan siapa serta apa pun juga.

Beberapa hadis berikut cukup menggambarkan konsep di atas:

“Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku pernah dibonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sebuah keledai yang 29. Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Time to the Present (New York: Palgrave Macmilan, 2002).30. Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, terj. Kamran As’ad Irsyadi (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 25 dst.

Page 25: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

7Dr. MUDOFIR

bernama ‘Ufair, lalu Beliau bersabda, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah yang wajib dipenuhi hamba-hamba-Nya? Dan apa hak hamba yang pasti dipenuhi Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hak hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah Dia tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku beritahukan kabar gembira ini kepada manusia?” Beliau menjawab, “Tidak perlu kamu sampaikan, nanti mereka akan bersandar.”31

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka dia masuk surga, dan barang siapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka.”32

Dari Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau bersabda: Allah Tabāraka wa Ta’ālā berfirman kepada penghuni neraka yang paling ringan azabnya, “Jika seandainya dunia serta seisinya milikmu, maukah kamu menebus dirimu dengannya?” Ia menjawab, “Ya.” Allah berfirman, “Sungguh, Aku telah menginginkan darimu yang lebih ringan dari itu ketika kamu masih di tulang shulbi Adam, yaitu agar kamu tidak berbuat syirk –rawi hadits ini berkata, “Saya kira Beliau menyebutkan pula firman-Nya (dalam hadits qudsi ini), “Dan Aku tidak akan memasukkan kamu ke neraka. Tetapi kamu tidak menginginkan selain berbuat syirk.”33

Beberapa hadis di atas, sebenarnya, menegaskan bahwa tauhid itu semacam sumpah setia kepada satu Tuhan, yaitu Allah. Tidak boleh syirik karena syirik adalah perbuatan ketidaksetiaan mutlak—yakni menyekutukan Allah dengan ciptaan-Nya. Sikap syirik dapat berarti sikap mendua dalam kesetiaan yang pada level implementasi mengejawantah dalam bentuk ‘tidak loyal’, ‘munafik’, ‘mudah berpindah/berubah’, ‘tidak punya pendirian atau prinsip’, 31. HR. Bukhari dan Muslim.32. HR. Muslim.33. HR. Muslim.

Page 26: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

8 ArkeologiFIKIH SOSIAL

‘berani berbuat yang tidak bertanggungjawab’, dan lain-lain. Tauhid juga mengikat orang yang beriman untuk hanya pertama-tama mengabdikan hidupnya demi Allah. Pengabdian vertikal akan diikuti oleh pengabdian horizontal kepada sesama manusia, alam semesta, dan makhluk-makhluk lainnya. Selain itu, hadis di atas juga menjelaskan relasi antara hak dan kewajiban manusia terkait Allah termasuk balasan dan ganjaran.

Dari Tauhid ke Fikih Sosial

Bagaimana tauhid harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia? Konsep-konsep utama tauhid sebagaimana dibahas di atas, pada dasarnya, sangat ideal dan merupakan pendapat umum umat Islam yang telah mengikat dalam satu agama (baca: agama Islam). Sebagai konsep, ia bahkan saling iris dengan agama Yahudi dan Nashrani.34 Namun dalam tingkat praksis, implementasi tauhid sangat beragam. Satu Allah, tapi banyak agama (baca: agama samawi). Bagaimana ia bisa terjadi?

Allah adalah entitas yang tidak pernah diketahui dan tidak terjangkau. Informasi-informasi tentang Allah berasal dari Kitab Suci. Kitab Suci masih perlu dibaca dan dipahami kembali. Hasil dari bacaan dan pemahaman manusia tidak sama dan akan terus muncul pandangan-pandangan baru dari satu generasi ke generasi berdasarkan konteks-konteks sosial baru. Karena itu, tak heran jika muncul mazhab-mazhab dalam memahami sifat Allah baik dalam lapangan aqidah, fikih, maupun filsafat. Dalam soal ‘keadilan Allah’, misalnya, muncul aliran mu’tazilah, qadariyyah, Asy’ariyah, dan murji’ah.35 Dalam masalah politik muncul aliran Sunni, Syi’ah, Khawariz—dan belakangn ini Hizbut Tahrir. Dalam soal fikih kita mengenal mazhab Maliki, Hanbali, Syafii, Hanafi, dan Ja’fāri. Jika ditambah mazhab-mazhab fikih yang telah punah, pernah dikenal mazhab Abi Sufyan al-Tsaury, Daud al-Dhāhiry, dan lain-lain.36

Semua aliran atau mazhab itu adalah manifestasi dari

34. Lebih dalam baca Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980).35. Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. M. Irsy-ad Rafsadie (Bandung: Penerbit Mizan, 2017), h. 119, 130.36. Fazlur Rahman, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, h. 143 dst.

Page 27: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

9Dr. MUDOFIR

pemahaman dari generasi ke generasi yang dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, sosio-budaya-politik, dan tingkat kecerdasan masyarakat yang hidup. Selain itu, ada juga konteks-konteks linguistik dari Kitab Suci yang memunculkan makna-makna lain. Sejarah panjang umat manusia telah saling memengaruhi pemikiran dan pandangan dunia. Saling pinjam terjadi antar peradaban. Ketika Islam hadir di Mekah pada abad ke-7, telah ada peradaban di sekitarnya—terutama Yunani, Persia, Mesir, Rumawi, China, dan India. Lahirnya Islam, karena itu, menyebut dalam Kitab Sucinya (termasuk hadis) bangsa-bangsa itu. Ini berarti telah terjadi interaksi meski dalam level kecil antar bangsa itu—sekurang-kurangnya informasi tentang kemajuan-kemajuan di sekitar wilayah Arabia ikut masuk dalam latar-latar sosio-historis ke-Islam-an.

Tauhid intinya adalah bicara tentang Tuhan—yang dalam Islam dikenal dengan Allah. Perdebatan tentang Tuhan dalam sejarah Islam melahirkan karya-karya tasawuf dan filsafat. Ada yang beraliran kanan, kiri, dan tengah. Saya sebut kanan jika mazhab tertentu terlalu scripturalis. Disebut kiri bila mazhab itu terlalu menggunakan akal. Sementara disebut tengah bila secara seimbang memanfaatkan perkakas scripturalis dan nalar. Masing-masing mazhab itu memiliki pengikutnya sendiri-sendiri hingga saat ini.

Saya ingin contohkan soal tuhan Allah menurut Ibn Arabi dalam ‘futūhāt al makkiyat’. Menurut Ibn Arabi, Allah tuhan yang selama ini ketahui adalah Tuhan dalam pengertian ‘al ilāh al mu’taqad’ (Tuhan yang dipersepsi) bukan Tuhan yang sebenarnya atau ‘al ilāh al muthlaq’. Artinya persepsi-persepsi manusia tentang Tuhan itulah yang selama ini kita sembah. Orang Islam mengimani bahwa Allah adalah seperti yang digambarkan atau dipersepsikan oleh Kitab Suci dan atau hadis tanpa mempertanyakan bagaimana atau mengapa—bilā kaifa. Dan Kitab Suci hanya memberikan sedikit gambaran mengenai Tuhan. Bahkan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa ‘Allah itu lebih dekat daripada urat nadi’ (QS., Qāf: 16). Tafsir ‘Aku lebih dekat dari urat nadi’ dalam tradisi sufi memunculkan karya-karya tasawuf dengan berbagai warna—seperti munculnya aliran ‘wihdatul wujūd’ dari Ibn Arabi dan al-Busthāmi.

Page 28: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

10 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Juga soal ‘pengetahuan Allah’ apakah ia bersifat kulliyāt (generik) atau juz’iyyāt atau partikular. Ibnu Shina, misalnya, berpendapat bahwa pengetahuan Allah hanyalah bersifat general saja bukan partikular. Sementara al-Ghazali berpendapat bahwa pengetahuan Allah itu bersifat kulliyāt dan juga juz’iyyāt sekaligus. Varian-varian dari pendapat mainstream tersebut juga banyak bermunculan di kemudian hari. Jadi, memahami Allah yang oleh banyak orang dianggap selesai sesungguhnya masih panjang perdebatannya. Yang saya contohkan adalah soal wujud, sifat adil dan karakteristik pengetahuan Allah. Tentu akan makin panjang kalau contoh-contoh itu disusun secara alfabetik.

Yang menarik adalah implementasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Apakah tauhid hanyalah sebuah konsep ideal yang hanya berada di menara gading tanpa menyentuh soal-soal kehidupan praktis? Amien Rais, misalnya, pernah menulis buku tentang “Tauhid Sosial”. Yang dimaksudkan Amien adalah etika-etika Islam dalam kehidupan sosial yang harus mengartikulasikan nilai-nilai Tauhid. Istilah tauhid sosial bisa ditarik ke dalam tauhid ekonomi dan tauhid politik. ‘Tauhid ekonomi’ berarti penerapan etika-etika Islam ke dalam praktik perekonomian. Sementara ‘tauhid politik’ berarti penerapan etika-etika politik dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika istilah ‘tauhid sosial, ekonomi, dan politik’ bisa dipakai dan dapat diuji secara akademis, maka bisa dikembangkan ke ‘tauhid pendidikan’, ‘tauhid budaya’, ‘tauhid teknologi’, dan lain-lain. Hanya saja perlu kehati-hatian dalam memberikan penafsiran terhadap konsep-konsep tersebut.

Mengapa? Karena membahas konsep tauhid sepenuhnya wilayah ijtihad. Kita harus hati-hati karena bila penerapan tauhid untuk tujuan-tujuan perebutan kekuasaan, maka kandungan tafsirnya akan diarahkan untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Itulah sebabnya, para ulama harus memiliki kejujuran tinggi untuk mengawal tauhid dalam pengertian Islam yang benar. Moralitas dan kejujuran ilmiah harus menjadi perkakas utama dalam para ulama melakukan eloborasi tentangnya.

Seperti diketahui, atas nama Tauhid orang atau sekelompok

Page 29: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

11Dr. MUDOFIR

orang bisa memaksakan kehendak.37 Atau menafsirkan ayat-ayat tertentu untuk tujuan-tujuan yang sudah direncanakan, misalnya, untuk melakukan kekerasan, menggulingkan pemerintahan yang sah, menggerakkan pemberontakan, dan lain sebagainya. Semestinya, tauhid justru mendorong orang-orang beriman untuk meniru sifat-sifat Allah yang mengurus makhluk-Nya dengan penuh kasih. Tauhid mengajarkan sikap adil—sebagaimana sifat Allah. Keadilan, tanggungjawab, amanah, dan sifat-sifat lain adalah manifestasi dari nilai-nilai tauhid dalam kehidupan sosio-politik.

Masyarakat ‘tauhidik’—kalau boleh saya gunakan istilah ini—bukanlah masyarakat monolitik yang mengekang keterbukaan dan keberagaman. ‘Masyarakat tauhidik’ adalah masyarakat etis yang seluruh tindakan individu dan masyakarakat memiliki tujuan ke-Tuhan-an. Ada konsekuensi-konsekuensi tertentu dalam suatu tindakan seorang individu dan atau masyarakat. Konsekuensi tersebut bukan saja berdimensi kekinian-kedisinian (here and now), tetapi juga berdimensi eskatologis (akhirat). Hanya orang yang memercayai kehidupan akhirat yang terdorong untuk berbuat kebaikan sehabis-habisnya di dunia ini. ‘Masyarakat tauhidik’, karena itu, memiliki karakteristik sifat-sifat Allah yang bukan saja lembut tetapi juga keras. Ini mirip reward and punishment. Keadilan diwujudkan bukan hanya cukup dengan sikap lembut, tetapi juga sikap tegas melalui penegakan hukum.

Dalam konsep ushūl al fiqh dikenal istilah ‘al-maqāshid al ahkām al syar’iyyah’ (tujuan-tujuan diterapkannya hukum syari’ah). Konsep ini diarahkan untuk melindungi lima komponen, yakni: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga properti, dan menjaga keturunan.38 Kelima komponen tersebut adalah hal paling dasar yang harus memerlukan perlindungan dan atau perhatian. Tidak terjaganya salah satu komponen akan mengganggu komponen lainnya. Nah, ‘masyarakat tauhidik’ adalah masyarakat yang dapat melindungi kelima komponen tersebut yang dalam istilah para ulama disebut ‘al kulliyāt al khams’ (lima prinsip kunci). Belakangan konsep 37. Sebagai perbandingan baca karya Bassam Tibbi, The Challenges of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998), h. 2, 5, 24.38. Ibrahim Ibn Musa al-Syāthibī, al Muwāfaqāt Fī Ushūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.t.), vol. II, h. 3, 16, 17.

Page 30: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

12 ArkeologiFIKIH SOSIAL

‘lima prinsip’ ditambah satu lagi yaitu menjaga lingkungan atau ‘hifdh al-bi’ah’ sehingga disebut ‘al kulliyāt al sitt’ (enam prinsip utama).39

Dengan demikian seluruh tafsiran atas varian-varian tauhid, pada dasarnya, harus ditujukan untuk memenuhi penjagaan atas enam komponen tersebut. Artinya, apa saja (bisa berupa perbuatan, kebijakan, dan atau pilihan keputusan) yang tidak bertujuan melindungi enam prinsip utama, maka harus dianggap sebagai tindakan melawan nilai-nilai tauhid. Terburu-buru harus ditambahkan bahwa makna enam komponen itu bisa diperluas lagi. Misalnya menjaga agama berarti menjaga agama dari penistaan, dari perpecahan, konflik, bahkan kebebasan beragama. Menjaga jiwa berarti mengembangkan pendidikan, memfasilitasi lapangan kerja, menciptakan kesejahteraan, dan lain-lain. Sementara menjaga akal berarti menjaga dari pengaruh ideologi destruktif, keharusan menyediakan pendidikan yang layak, bahkan kebebasan untuk menyatakan pikiran, dan seterusnya. Dalam makna al kulliyāt al sitt yang diperluas itu, maka ‘masyarakat tauhidik’ bisa menjadi perwujudan dari ‘khairu ummat’ (umat terbaik) sebagaimana disebutkan di dalam al Quran (QS. Ali Imran: 110). Makna ‘khairu ummat’, pada dasarnya hanya akan terwujud jika umat Islam menekankan nilai-nilai etis dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, nilai-nilai tauhid merepresentasikan pikiran dan sikap integritas. Persoalannya, apakah integritas ini hanya bersifat vertikal—hanya untuk Tuhan, tapi radikal terhadap sesama manusia serta lingkungan (secara horizontal)? Ini pertanyaan kritis yang secara faktual banyak contoh kasusnya. Dalam Islam, terdapat mazhab baik fikih maupun teologi. Ada mazhab radikal yang dianut oleh kalangan Wahabi. Menurut Khaled Abou El Walid, Wahabi mengusung radikalisme dalam beragama. Mazhab ini dianggap tidak toleran pada mazhab-mazhab di luar jaringannya.40 Dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij juga disebut sebagai kelompok radikal yang sangat tidak toleran pada non-Khawarij. Membunuh dan menculik adalah tindakan yang biasa mereka lakukan. Ali bin Abi Thalib juga terbunuh oleh kelompok ini karena dianggap telah keluar 39. Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. 329.40. Khaled Abou El Walid, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oneword Publications: Oxford, 2001).

Page 31: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

13Dr. MUDOFIR

dari Islam. Dalam konteks sosial dewasa ini, turunan dari Khawarij masih timbul dan tenggelam di dunia Islam. Di Indonesia sendiri, sifat Khawarij masih dijumpai, terutama dari kelompok-kelompok takfīrī seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Al Qaidah, NII, dan lain-lain.41 Kelompok-kelompok ini dalam akidah sangat puritan dan tak mau kompromi. Mereka sangat mudah mengharamkan segala hal yang dianggap syirik. Tradisi-tradisi Jawa seperti mitoni, acara 40 dan 100 hari kematian, dan lain-lain sangat dikutuk dan dianggap bagian dari syirik.42 Karena pandangan keagamaan semacam inilah interaksi mereka dengan yang lain menjadi tidak akrab, tidak intens, dan renggang. Kerenggangan sosial ini menghasilkan interaksi kering yang bisa menjadi pintu masuk kesalahpahaman dan kesalahpahaman bisa mendorong konflik-konflik sosial, politik, serta budaya.

Gerakan sweeping terhadap tempat-tempat maksiat, orang-orang asing, dan dalam batas tertentu perlawanan terhadap pemerintah sering dilakukan. Bahkan kegiatan itu menjadi uji nyali jihad kecil bagi mereka. Tauhid telah menjadi senjata untuk membereskan semua yang anti-tauhid. Jadi, dalam banyak hal, sikap tauhid tak jarang mendorong pada radikalisme karena makna Tauhid hanya dilekatkan pada Allah semata dan dimaknai hanya dari titik tilik teologis yang kaku. Kesetiaan, dedikasi, dan pengorbanan adalah kemutlakan yang total hanya untuk Tuhan.Apakah maknanya seperti ini? Tidak adakah ruang untuk nilai-nilai humanisme yang menyangga interaksi umat manusia apapun ras, suku, bahasa, dan agama mereka? Tauhid yang hanya bersifat doktrin kaku bisa melahirkan egoism beragama dan truth-claim—klaim kebenaran yang menyatakan bahwa agama atau kepercayaan mereka sajalah yang paling benar sementara keyakinan yang lain salah dan pantas untuk dimusuhi.

Tauhid yang dimaknai dalam pengertian sempit teologis ini bisa membawa kepada konflik antar-pemeluk agama dan atau lingkungan hidup. Ini berlaku bagi monoteisme Kristen maupun Islam. Sebagai contoh, Lynn White, seorang pakar lingkungan, 41. Baca lebih lanjut Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkan, Regenerasi Gerakan Radikal dan Terorisme dalam Masyarakat Yang Semakin Terbuka (Yogyakarta: Metro Episteme, 2017).42. Periksa kembali Clifford Geertz, Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), h. 68, 77.

Page 32: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

14 ArkeologiFIKIH SOSIAL

pernah menyebutkan bahwa hutan-hutan di Eropa dan Amerika gundul di abad pertengahan akibat perintah Kristen monoteis menebangi pohon-pohon. Pohon-pohon harus ditebang karena di pucuk-pucuk pohon menjadi tempat kediaman para setan. Perintah ini menjadi sebab mengapa krisis lingkungan terjadi.43 Sebaliknya, politeisme justru berkontribusi besar dalam melindungi hutan-hutan di Amazon di Amerika Latin karena dipercaya banyak dewa hidup di hutan-hutan. Keprcayaan ini dianut oleh pendudukak di sekitar hutan Amazon.44 Tesis White ini perlu diuji keabsahannya. Tapi jika ini benar dan bahkan dianggap sebagai akar-akar krisis lingkungan dewasa ini, maka monoteisme Islam dan Kristen harus diberi makna baru yang lebih konstruktif terhadap lingkungan dan kemanusiaan. Diperlukan tafsir-tafsir baru yang lebih ekologis dan humanis. Dalam konteks ini, realitas-realitas sosial, budaya, dan lingkungan perlu diertimbangkan sebagai bahan baku pemikiran ulang atau reinterpretasi dalam ijtihad kontemporer.45 Ini untuk menghasilkan tafsir tauhid atau tafsir Islam yang lebih kontekstual.

Salah satu dari makna tauhid yang konstruktif bagi lingkungan dan kemanusiaan adalah dengan memaknainya secara strategis. Tauhid adalah kesatuan atau integrasi Allah dengan seluruh ciptaan-Nya. Bukan dalam pengertian phantheisme, tapi kesatuan dalam arti kontrol-Nya dan atau pengetahuan-Nya. Merusak hubungan-hubungan sosial dan lingkungan berarti merusak kebaikan-kebaikan-Nya yang menetes kepada seluruh alam. Ada sebuah hadis yang artinya, “sayangilah semua hal yang ada di langit dan bumi, maka Allah akan menyayangimu”. Hadis ini menyiratkan sifat timbal balik, yang dalam hukum fisika disebut ‘hukum sebab-akibat’. Perbuatan menyayangi berakibat pada hadirnya respons positif berupa sikap sayang Allah kepada makhluk-Nya.

Selain itu, makna tauhid harus digeser dari makna teologis ke makna sosiologis. Jika tauhid hanya terkait dengan Tuhan yang sesungguhnya tidak memerlukan apa pun kepada selain-Nya, maka makna Tauhid cenderung anti-sosial bagi para pemeluknya.

43. Lynn White, Jr. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” dalam Science 155 (3767), h. 1203-1207.44. Lynn White, Jr. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, h. 1205.45. Tentang penjelasan tafsir kontemporer lihat Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-first Century: A Contextualist Approach (New York: Routledge, 2014).

Page 33: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

15Dr. MUDOFIR

Sebailiknya, jika makna tauhid digeser ke ranah sosial, ia akan sangat relevan dengan konteks-konteks sosialnya sehingga Tuhan akan dirasakan hadir. Allah tidak berjarak dengan kenyataan-kenyataan sosial. Dia hadir dalam gemuruh penderitaan makhluk-Nya, karena itu makna tauhid menjadi sangat sosial. Seorang filsuf, Whitehead, pernah bilang, “Jika Tuhan berjarak dan tidak peduli pada gemuruh penderitaan makhluk-Nya, maka Tuhan tidak dirasakan hadir”.46 Pernyataan ini mengandung makna tauhid tidaklah cukup hanya dimaknai secara teologis, tetapi juga sosiologis.

Akar-akar radikalisme agama, termasuk dalam agama-agama samawī atau Abrahamic religions sering lahir dari truth-claim ini. Kekerasan atas nama agama pernah mengotori sejarah umat beragama ini dan terjadi secara biadab dan brutal. Perang Salib antara Islam dan Kristen di abad pertengahan menggambarkan kekejaman manusia atas manusia lainnya. Membantai anak-anak, wanita, orang tua, dan lawan dilakukan dengan penuh kegembiraan dan perasaan telah mengabdi kepada Tuhan.47 Pandangan semacam ini dilihat dari sudut modern sangatlah naif dan gila, tapi sejarah telah menyodorkan bukti-bukti itu. Agama-agama itu justru menjadi panduan untuk melakukan kekerasan. Para pendeta dan juga ulama menghkutbahkan tentang mati syahid. Mereka menyodorkan dalil-dalil yang meyakinkan sehingga menjadi energi dorong kebrutalan. Itulah sebabnya, perang atas nama agama adalah perang paling brutal karena motivasinya adalah perkenan Tuhan yang membawa mereka untuk masuk surga.

Kekerasan atas nama agama, meski di jaman modern telah banyak berkurang, terus terjadi di abad ini dan mungkin di abad-abad mendatang. Terorisme kini telah menjadi musuh bersama umat manusia baik yang dilakukan Negara (state terrorism) maupun oleh sekelompok orang atau individu. Amerika, misalnya, dianggap telah melakukan terorisme Negara melalui serangan militer ke Irak, Afghanistan, Iran, dan lain-lain. Tentara Myanmar memerangi, membunuh, dan mengusir suku Rohingya yang Muslim ke luar negaranya. Konflik Israel-Palestina juga menyuguhkan contoh 46. Lihat Alfred North Whitehead, “Suffering and Being”, dalam Adventures of Ideas (Harmondsworth, 1945).47. Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Bioghraphy, terj. Yanto Musthofa (Ciputat: Pustaka Alvabet, cet. 12, 2017), h. 266 dst.

Page 34: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

16 ArkeologiFIKIH SOSIAL

lain betapa agama memainkan peran kunci dalam peperangan ini. Yerusalem yang menjadi kota para Nabi justru menjadi medan laga perang-perang dalam konflik Timur Tengah.48 Agama-agama monoteisme tidak menjadi teladan bagi perdamaian dunia, tetapi justru menjadi pemain utama konflik-konflik sangat brutal. Itulah sebabnya, banyak orang modern yang mulai skeptis pada agama-agama monoteisme ini. Mengapa agama-agama tauhidik ini justru lebih banyak mengumandangkan perang ketimbang perdamaian? Mengapa negara-negara sekuler seperti Belanda, Perancis, Singapura, dan lain-lain justru berada dalam kehidupan yang stabil dan damai di banding negara-negara religius seperti Suriah, Irak, Iran, Libya, Palestina, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menohok umat beragama dengan sifat monoteisme ini. Adakah sesuatu yang salah dalam karakteristik ‘monoteisme’ ini? Uraian saya di atas telah menjelaskan tentang perlunya pergeseran makna dari tauhid teologis ke tauhid sosial. Pergeseran makna ini dilakukan dengan memberi muatan dan konteks baru padanya. Nilai-nilai kemodernan seperti humanisme dan kebajikan-kebajikan lain seperti kerja sama patut dimasukkan ke dalam setiap ajaran atau doktrin agama-agama. Dengan cara ini, makna monoteisme tidak bersifat egoistik dan jauh dari watak truth-claim.

Menurut Yuval Noah Harari, nilai-nilai humanisme dapat diandalkan untuk melengkapi nilai-nilai agama yang sering disalahgunakan. Menurutnya, manusia harus bekerja sama yang didorong kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Manusia harus menarik pengalaman dari dalam diri mereka, tidak hanya makna kehidupan mereka sendiri, tetapi juga makna seluruh jagat raya. Inilah ayat utama yang sudah diberikan humanisme kepada kita: menciptakan makna bagi sebuah dunia yang tak bermakna.49 Dengan demikian, kata Harari, inti dari revolusi relijius modernitas bukanlah hilangnya kepercayaan pada Tuhan, tetapi mendapatkan kepercayaan pada kemanusiaan. Itu butuh kerja keras berabad-abad. Para pemikir menulis pamflet, para seniman mengarang 48. Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Bioghraphy, h. 267, 268, 269.49. Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Ciputat: Penerbit Alvabet, 20180, h. 255.

Page 35: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

17Dr. MUDOFIR

puisi dan simfoni, para politisi membuat perjanjian-perjanjian dan bersama-sama mereka meyakinkan kemanusiaan bahwa ia mampu mengilhamkan makna pada alam semesta. 50

Pandangan Yuval Noah Hahari di atas sangat baik untuk dijadikan wawasan pembanding, meski saya dalam beberapa hal tidak setuju, terutama pendapatnya tentang humanisme dapat menggantikan agama. Saya lebih setuju nilai-nilai humanisme dan kabajikan-kebajikan sosial modern sebagai komplementer bagi kebajikan-kebajikan berbasis agama. Poin dari argumen Harari adalah perlunya bahan-bahan baku baru untuk memperkaya nilai-nilai kemanusiaan agama-agama baik sawami maupun non-samawi.Dalam praktik kehidupan, terlepas dari apa pun agamanya, umat manusia dikendalikan oleh apa yang disebut naluri kebaikan universal. Inilah yang mungkin disebut etika—sesuatu yang sangat penting dalam prinsip hidup berbasis humanisme. Dan nampaknya, etika terus berkembang sejalan dengan makin luasnya hubungan-hubungan kemanusiaan hingga abad-abad mendatang.

Bagaimana etika universal terbentuk? Kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani ethos, dan ‘moralitas’ dari bahasa Latin mores, kedua istilah ini digunakan untuk membicarakan bagaimana manusia seharusnya bersikap kepada satu sama lain, dan lebih tepat, bagaimana manusia bisa mengatasi masalah abadi dalam masyarakat, yaitu menemukan jalan kerjasama bagi orang perorang yang takkan pernah bisa memperoleh semua yang dikehendaki.Karena tidak mungkin mendapatkan semua yang diperlukan, manusia membutuhkan kaidah-kaidah etika agar bisa menemukan jalan tengah antara nafsu mementingkan diri-sendiri di satu pihak, dan kekejaman akibat paksaan sosial di lain pihak.

Secara historis, dari Yunani ke Tiongkok, budaya-budaya tulis kuno sangat peduli dengan soal bagaimana manusia harus hidup. Pendekatannya berbeda-beda pada penekanan dan rincian, tapi terdapat juga banyak persamaan. Naskah-naskah Mesir dan Babilonia, yang ditulis 5.000 tahun silam, menunjukkan bahwa masyarakat waktu itu menghadapi soal-soal etika secara praktis. Anggota lapisan penguasa Mesir terdorong bersikap adil dan

50. Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, h. 255.

Page 36: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

18 ArkeologiFIKIH SOSIAL

murah-hati; mereka diajari bahwa perilaku seperti itu baik dan menguntungkan, seperti dijelaskan P. H. Nowel Smith:

“Bangsa Mesir kuno punya kata ‘ma’at’ yang berarti a) ‘bersifat lurus, datar, rata’, b) ‘ketertiban, kecocokan, keteraturan’, dan c) ‘kebenaran, keadilan, ketulusan’. Kata itu punya persamaan yang langsung tampak dengan kata dalam bahasa Inggeris ‘right’. Memang, dokumen etika tertua yang diketahui merupakan buku pegangan tentang perilaku baik bagi pegawai pemerintah yang lagi naik daun. Dalam dokumen ini yang ingin jadi pejabat dihimbau agar mematuhi aturan ‘ma’at’, semata-mata karena dengan itu ia akan berhasil dalam hidupnya…Kita melakukan kebajikan karena, cepat atau lambat, menguntungkan”.51

Bangsa Babylonia percaya pada hukum timbal-balik (reciprocity)—mata lawan mata, dan gigi dibalas dengan gigi, kendati mata tuan lebih bernilai daripada mata budak. Kebudayaan Ibrani kuno menganut kepercayaan ini, tapi karena diperbudak, orang Yahudi memilih sikap yang lebih egaliter. Sepuluh Perintah Allah timbul dengan latarbelakang ini, sebagaimana halnya dengan gagasan bahwa Allah akan mengganjar mereka yang baik dan menghukum yang jahat. Kesenjangan bahwa perbuatan baik tidak selalu mendatangkan kebahagiaan atau kejahatan tidak selalu mendatangkan penderitaan menciptakan buah simalakama yang baru kemudian diatasi dengan gagasan mengenai pengadilan ilahi dan kehidupan sesudah mati.52 Etika-tika kuno bangsa-bangsa tersebut menunjukkan bahwa benih-benih nilai humanisme telah tumbuh secara organik dalam kehidupan homo sapiens—yang terus mengalami peningkatan di abad-abad ini melalui mekanisme kesetaraan hukum, perjanjian-perjanjian sosial, serta kebajikan-kebajikan kemanusiaan yang beradab. Di era modern, nilai-nilai etika terus berkembang ke cabang-cabang lain sesuai dengan luasnya cakupan kehidupan. Karena itu, tauhid sosial perlu memperoleh konteks-konteks barunya sehingga responsive terhadap setiap perubahan jaman. []

51. Dikutip kembali dalam Donald B. Calne, Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, terj. Parakitri T. Simbolon (Jakarta: Penerbit KPG, cet. I, 2004), h. 122.52. Donald B. Calne, Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, h. 123.

Page 37: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

19Dr. MUDOFIR

BAB IIIARKEOLOGI FIKIH

PROGRESIF: MEMBELA KEADILAN DAN KESETARAAN

Di antara kelompok umat Islam Indonesia masih terdapat keyakinan kuat bahwa Hukum Islam harus diformalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka meyakini bahwa Hukum Islam adalah hukum Allah yang bersifat mutlak dan manusia harus mematuhinya. Karena itu, keinginan kuat untuk memperjuangkannya dalam kehidupan luas nampak dalam gerakan keagamaan. Di sinilah muncul kelompok-kelompok sempalan yang menganggap tafsir mereka paling benar dan “yang lain” harus mengikuti mereka. Gerakan inilah yang dalam tataran praksis memunculkan radikalisme, terorisme, dan gerakan anti-modernitas.

Secara teologis, Islam memang banyak bicara soal hukum. Tetapi pembicaraan al-Quran tentang hukum lebih banyak bersifat prinsipal. Artinya mengatur prinsip-prinsip umum yang bersifat dasar. Para ulamalah yang merincinya ke dalam konsep-konsep yang lebih operasional. Dalam aspek inilah “peluang” tafsir lain dimungkinkan sepanjang tidak melanggar prinsip atau ruh-nya. Para intelektual atau ulama boleh menerjemahkan ke dalam kerangka pemikiran hukum tertentu yang lebih berpihak pada keadilan, hak-hak asasi manusia, egalitarianisme, dan demokrasi.

Moderasi Hukum Islam, karena itu, dimaksudkan memoderasi pandangan-pandangan hukum yang bias baik dalam konteks relasi pria-wanita, praktik ekonomi, sosial, maupun politik. Hukum Islam yang moderat dapat menghasilkan praksis Islam yang moderat dan kerja sama di semua bidang kehidupan. Nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, kemanusiaan, penghormatan pada HAM,

Page 38: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

20 ArkeologiFIKIH SOSIAL

demokrasi, dan lain-lain diakui sebagai common values yang harus dimiliki semua manusia tanpa kecuali. Yang dimaksud dengan Hukum Islam di sini adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), fatwa-fatwa MUI, peraturan-peraturan pemerintah terkait atau yang mengatur umat Islam dalam interaksinya dengan masyarakat atau Negara Indonesia. Masuk ke dalam kategori ini adalah Undang-Undang Perkawinan no 1, tahun 1974, KHI, Hukum Zakat, dan lain-lain.

Permasalahan yang perlu dibahas dalam artikel ini adalah soal pendekatan Hukum Islam (baca: fikih Islam), sifat, cakupan, sasaran, dan relevansinya dengan isu-isu kontemporer. Apakah isi Hukum Islam dalam masalah hak asasi manusia, demokrasi, dan kesetaraan jender adil ataukah tidak adil atau diskriminatif. Apakah ketentuan-ketentuan hukum Islam itu merespons isu-isu kontemporer dalam sudut pandang baru ataukah dengan titik optik lama sehingga menimbulkan banyak kontradiksi? Apakah moderasi Hukum Islam menjamin implementasi Islam praksis yang adil, menghormati HAM, demokrasi, egalitarian, dan selaras dengan semangat kemanusiaan universal?

Memecahkan Problem Metodologis

Tak ada metode yang sempurna dan ideal untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan pemikiran hukum Islam. Karena itu, sepanjang sejarah pemikiran hukum Islam ada banyak metode yang dikemukakan para ulama. Bahkan hingga hari ini masih muncul metode-metode baru yang mencoba merespon isu-isu sosial, politik, budaya, ekonomi, dan filsafat. Ini menunjukkan bahwa setiap isu memerlukan kerangka metodologis yang tepat sehingga bisa menghasilkan suatu kesimpulan utuh sesuai dengan konteksnya.

Beberapa metode itu berusaha membela kesesuaiannya dengan prinsip Islam. Empat mazhab utama seperti Maliki, Hambali, Syafii, dan Hanafi memiliki metode pemikiran sendiri yang satu sama lain tidak selalu sepaham. Mereka berbeda disebabkan perbedaan pilihan dalam mengambil kesimpulan hukum berdasarkan ra’y dan riwāyat. Itulah sebabnya, dalam sejarah terjadi pertentangan-

Page 39: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

21Dr. MUDOFIR

pertentangan pendapat antara ahlu ra’y dan ahl riwāyat. Tentu saja, kesimpulan-kesimpulannya berbeda dan satu sama lain memiliki kecenderungan berdasarkan pilihan metodologis tersebut. Ketika Imam Hanafi memilih jalur ra’yu maka Ia memakai qiyās, istihsān, dan maslahat dalam menentukan kesimpulan-kesimpulan hukumnya. Ini sangat berbeda hasilnya dengan Imam Maliki dan Hambali yang memilih jalur riwayat.

Perbedaan semacam ini tumbuh di dalam ruang sosial-budaya yang sangat terbuka di masa Islam klasik. Mereka juga memiliki pengikut fanatik yang membela, menyebarkan, dan mengembangkan kepada kalangan luas. Bahkan dari empat mazhab utama, muncul pula mazhab-mazhab baru dengan tokoh sendiri-sendiri. Mazhab-mazhab yang telah punah seperti Sofwan al-Tsawri, Abu Daud al Dzāhiri, dan lain-lainnya juga tercatat telah meramaikan pasar-pasar pemikiran fikih dengan metode tersendiri pula.53 Ini menunjukkan bahwa konteks-konteks sosial baru, dinamika politik baru, kecerdasan baru, dan perubahan-perubahan konstelasi dunia ikut menggerakkan evolusi pemikiran hukum berikut perangkat-perangkat metodologis yang diperlukannya.54

Dinamika pemikiran hukum Islam klasik menjadi potret utuh bagaimana gesekan-gesekan pemikiran muncul dan bergerak ke arah penyempurnaan-penyempurnaan. Isi dan cakupan hukum pun mengalami revolusi dari semula tentang soal-soal teknis ibadah, hukum keluarga, dan lain-lain kini telah bergeser ke cakupan hubungan antar agama, isu-isu toleransi, negara-bangsa (nation-state), sistem ekonomi, perbankan, sistem politik, isu-isu lingkungan, dan isu-isu hubungan internasional. Di bidang kedokteran, rekayasa biologi, etika, dan krisis-krisis energi juga menuntut pemikiran yang tidak kalah pentingnya. Jika hanya setia pada satu atau dua metodologi, maka umat Islam tidak bisa berbicara di panggung internasional membahas diskursus-diskursus di atas. Diperlukan metodologi-metodologi baru yang bisa mengeksplorasi problem-problem sosio-budaya dalam kerangka prinsip-prinsip nilai Islam.

53. Sebagai perbandingan baca karya Muhammad Ibn Hazm, Mu’jām al Fiqh, 2 vols (Damas-cus: Mathba’at Jāma’at Dimashq, 1966), II, 838-839.54. Lebih lanjut baca Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge, New York, Melbourn: Cambridgel University Press, 2005), h. 25.

Page 40: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

22 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Di era modern ketika susunan masyarakat, lembaga-lembaga, dan struktur-struktur sosial, budaya, ekonomi, politik, serta militer sangat berbeda maka kebutuhan terhadap metodologi baru pemikiran hukum Islam sangat penting. Karena itu, lahirnya karya-karya baru dari kalangan intelektual perguruan tinggi baik berlatar belakang pendidikan Barat maupun Timur dapat mengisi kebutuhan itu. Muhammad Abduh (1849-1905), misalnya, sadar bahwa era modern perlu disikapi secara realistis dan harus dibaca sebagai gejala baru yang memerlukan metode baru. Ia lalu menulis serangkaian pemikiran yang menghimbau agar umat Islam tidak gamang menghadapi jaman baru. Ia juga melakukan serangkaian pembaruan yang intinya untuk menegaskan kekuatan Islam yang masih terpendam dalam teks-teks dan konsep. Selain Muhammad Abduh muncul juga Muhammad Iqbal (1877-1938), Fazlur Rahman (1919-1988), Abdul Karim Soroush (1945-), Hassan Hanafi (1935-), Muhammad Arkoun (1928-2010), Mohammed Abed Al Jabiri (1935-2010), Malek Bennabi (1905-2010), Nurcholish Madjid (1939-2005), dan lain-lainnya. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan dan bangsa yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan kesadaran bahwa Islam perlu diperbaharui pemikiran dan metodologinya. Hal ini dilakukan agar Islam tidak stagnan dan terhenti berputar. Islam tidak hanya harus dikonservasi dan diproteksi, tetapi juga perlu dikembangkan55 agar lebih optimal dalam memenuhi kesejahteraan umat manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.

Fazlur Rahman punya metode double movement yang intinya memahami al Qur’an dan Sunnah melalui dua gerakan, yakni dari situasi sekarang ke masa al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa sekarang. Abdul Karim Soroush menawarkan pengertian yang beda antara “agama” dan “ilmu agama”. Yang pertama bersifat mutlak dan tidak mengalami perubahan. Sementara yang disebut kedua bersifat relatif dan boleh berubah. Pengertian kedua menuntut kita untuk berijtihad terus-menerus. Mohammed Abel al-Jabiri mengurai stagnasi pemikiran Arab dengan proyek the Critique

55. Jasser Auda menegaskan perlunya Syari’ah bukan hanya di konservasi, diproteksi, tetapi juga dalam konteks modern adalah dikembangkan. Lihat Jasser Auda, Maqāshid al-Syarȋ’ah As Philosophy of Islamic Law: A System Approach (London, Washington: The International Institute of Islamci Thoughts, 2007).

Page 41: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

23Dr. MUDOFIR

of the Arab Mind.56 Dalam proyeknya ini, Al Jabiri mengkritik nalar Arab yang menjadi sebab stagnasi pemikiran mereka, termasuk Islam. Selanjutnya, Muhammed Arkoun menawarkan dekonstruksi pemikiran Islam. Inti dari tawaran Arkoun adalah membedah kembali struktur pemikiran Islam untuk menemukan kembali dimensi-dimensi Islam sehingga lebih berenergi bagi respon modernitas. Tentu saja, daftarnya masih panjang untuk disebutkan di sini. Penting untuk dicatat bahwa dengan teori atau metode yang mereka rumuskan, mereka dapat mengeksplorasi dan mengkaji dengan amat antusias pemikiran Islam yang dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia, demokrasi, modernitas, hermeneutika, isu-isu sosial, ekonomi, politik, isu-isu lingkungan, dan lain sebagainya.

Harus diakui bahwa lompatan pemikiran dan metodologis ini terjadi bukan di ruang kosong, tetapi terjadi di ruang terbuka melalui gesekan-gesekan serta pertarungan pemikiran. Karena itu, ada kelompok yang mengambil jalur radikal—menolak ide-ide pembaruan dan memaksakan ideal-ideal Syari’ah tanpa meletakkannya dalam konteks.57 Dalam cangkang pemikirang ini, kesimpulan-kesimpulan pemikiran Islam dan hukumnya mengarah pada kekakuan, dogmatisme, radikalisme, dan anti-modernitas. Dalam batas yang jauh, kelompok ini melahirkan radikalisme agama yang tak jarang menyajikan kekerasan atau terorisme. Secara faktual, kelompok ini memeiliki pengikut setia yang membentuk kekuatan sendiri dalam dunia Islam.

Sementara itu, kelompok yang bernalar rasional dan realistis menghadapi modernitas ini dengan penuh gairah. Mereka menyerap, minum, dan mempelajari dengan sangat ambisius nalar kritis Barat, sistem pemikiran, sistem budaya, hukum, politik, dan kerangka filasafatnya. Dengan khazanah dan pengalaman Barat lalu mereka

56. Mohammed Abed El Jabiri dengan sangat kritis mengulas bahwa pemikiran Arab tidak menyediakan ruang gagasan-gagasan yang memadahi untuk merespon modernitas. Pikiran El Jabiri pada dasarnya dimulai dari pertanyaan-pertanyaan seperti Who determines Muslim history? Who is entitled to read women’s rights into the sacred texts? What kind of technical or social innovations are allowed and with what justification? These are all issues pointing to a basic conflict about the individual’s power of judgement. Lihat ulasan lebih lanjut Sonja Hegasy, “Mohammed Abed al-Jabri, Pioneering Figure in a New Arab Enlightenment” at Qantara.de, 06 May 2010, Accessed on 15 May 2016.57. Abdullah Ahmed an Naim, “Islamic Fundamentalism and Social Change: Neither the ‘End of History’ nor a ‘Clash of Civilizations’” dalam Geerie ter Haar and James J. Busuttil (eds.), Religious Fundamentalism and Social Change (New York: Routledge, 2003), h. 25-48.

Page 42: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

24 ArkeologiFIKIH SOSIAL

menuliskan respons atas berbagai masalah itu ke dalam konteks Islam. Lahirnya karya-karya pembaruan yang menyuarakan energi baru, konteks baru, isu baru, dan dasar-dasar pemikiran baru muncul dari pergulatan di atas. Dan mereka mewakili mazhab pemikiran baru Islam yang kini dikembangkan untuk merespon isu-isu internasional terkait hak asasi manusia, egalitarianisme, demokrasi, isu-isu lingkungan, dan kerja sama global dalam berbagai masalah dunia modern.

Demikianlah, dari gelombang gagasan progresif kaum intelektual yang bermukim di negara-negara maju lalu dibawa masuk ke Nusantara oleh kaum intelektual seperti Harun Nasution, HM Rasyidi, Nurcholish Madjid, Syafii Ma’arif, Abdurrahman Wahid, Munawir Sadzali, Muslim Abdurrahman, Dawam Raharjo, Ibrahim Hosein, dan lain-lainnya. Mereka merupakan tokoh-tokoh transisional yang meniupkan spirit pembaharuan dan memberi konteks-konteks baru pada doktrin Islam. Munculnya ide-ide yang memerhatikan isu-isu hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan jender, isu lingkungan, dan ide-ide kontemporer lainnya berasal dari interaksi mereka dengan tokoh-tokoh pembaru dunia yang lama bermukim di Amerika dan Eropa. Nurcholish Madjid dan kawan-kawan adalah murid langsung dari di antaranya Fazlur Rahman, Ismail Raziq Al Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, dan lain-lain. Gelombang inilah yang ikut mengisi muatan-muatan hukum, undang-undang, dan wacana pengarusutamaan jender di Tanah Air.

Menuju Fikih Moderat dan Progresif

Sejak gelombang pembaruan Islam masuk ke Tanah Air (terutama dekade tahun 1970-an), terjadi awalnya gejolak-gejolak sosio-budaya di antara umat Islam. Terutama antara grassroot dan para elitnya. Massa umat Muhammadiyah dan NU belum memahami sepenuhnya arti pembaruan. Ini terjadi karena isu-isu seperti kesetaraan, pemberdayaan masyarakat, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain adalah isu-isu yang bersifat elitis dan kurang menyentuh kebutuhan ril mereka pada waktu itu. Akibatnya, terjadi kesenjangan besar pemahaman di antara mereka. Ini disadari Nurcholish Madjid bahwa setiap pembaruan selalu mengancam

Page 43: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

25Dr. MUDOFIR

persatuan umat. Tapi, jalan ini harus dipilih ketimbang umat terus terbelenggu dalam cangkang kebekuan atau kebodohan.

Apa yang dikhawatirkan Cak Nur memang terbukti tapi seperti sebuah big bang, selalu berakhir dengan baik: yakni munculnya arus deras pikiran-pikiran baru yang kondusif bagi lahirnya perubahan-perubahan sosial di kalangan umat. Maka secara berangsur gagasan-gagasan yang awalnya aneh, liar, dan menyimpang dianggap biasa dan menjadi keniscayaan. Itulah sebabnya, ide-ide tentang demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, isu-isu lingkungan, dan modernisasi telah diterima secara wajar. Hal-hal ini kemudian memudahkan para elit memasukkannya ke dalam uandang-undang, aturan-aturan, dan juga kebijakan-kebijakan politik. Apalagi gerakan ini ditopang oleh perguruan-perguruan tinggi Islam dan lembaga-lembaga lainnya sehingga sosialisasinya massif serta kolosal. Media yang amat efektif adalah melalui karya-karya skripsi, tesis, disertasi, opini di media massa dan elektronik, serta ceramah-ceramah keagamaan. Dengan demikian, pembaruan hukum Islam telah terjadi dan menjadi pilihan yang diterima masyarakat.

Munawir Sadzali, misalnya, pada decade 1980 dan 1990-an dengan berani mengemukakan gagasan reinterpretasi ajaran Islam melalui pembaruan pembagian waris.58 Menurut Munawir Sadzali—waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Agama—menyorongkan pendapat bahwa pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan tidak harus sesuai dengan farāid. Menurut metode farāid, bagian perempuan setengah bagian laki-laki, dalam kondisi apa pun. Munawir menyadari bahwa farāid tidak bisa diterapkan dalam segala kondisi. Di Indonesia menurut beliau, kondisinya berbeda terutama di Jawa di mana kaum perempuan justru bekerja lebih lama. Karena fakta ini, bagian waris mereka harus sama dengan anak laki-laki. Gagasan ini, tentu saja, sangat kontroversial dan karena pendapatnya ini Munawir dikafirkan dan mengalami perlawanan keras.

Gagasan Munawir, sebenarnya mencerminkan letupan kecil

58. Lihat kata pengantar Mudhofir Abdullah, “Munawir Sadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dan Isu-Isu Strategis Bangsa” dalam M. Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam: Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sadzali (Yogyakarta: LKiS, 2015), h. v-xxii.

Page 44: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

26 ArkeologiFIKIH SOSIAL

dari api besar pembaruan fikih yang telah siap keluar memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya. Tujuannya adalah untuk menutup kesenjagan antara ajaran fikih Islam sebagai konsep illahiah dan realitas sosial modern sebagai kenyataan hidup. Islam harus hadir dalam gemuruh kenyataan-kenyataan hidup umat manusia. Munawir, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain adalah tokoh-tokoh intelektual yang menurunkan ideal-ideal Islam ke dalam praksis. Pemerintah Orde Baru, sangat terbantu dengan pikiran-pikiran mereka dan dengannya kebijakan-kebijakan pemerintah dapat berjalan secara efektif.

Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang konsep-konsep ajaran yang dianggap diskriminatif baik secara jender, sosial, dan ekonomi terus memperbaiki deskripsi-deskripsi fikih (dalam bentuk fatwa-fatwa yang lebih moderat dan adil). Undang-undang tentang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), program pengarusutamaan jender, penolakan poligami, tuntutan jaminan kesehatan, dan jaminan perlindungan bagi tenaga kerja wanita adalah hasil dari gerakan pembaruan yang digelorakan oleh tokoh-tokoh transisional sebagaimana disebut terdahulu.

Memang harus diakui bahwa globalisasi dan gempuran informasi telah memengaruhi pembaruan-pembaruan Islam di Tanah Air. Pengaruh Amerika dan Eropa nampak berperan penting, meskipun dalam sejarah selalu mengalami benturan dan akomodasi. John L. Esposito59 ahli Islam dari Georgetown University, misalnya, merumuskan pertanyaan penting dewasa ini berkaitan dengan Islam dan Barat: Apakah Islam dan Barat mesti berbenturan? Apakah kelompok Islam Radikal adalah kaum munafik abad pertengahan? Apakah Islam tidak sesuai dengan demokrasi? Apakah Islam Radikal merupakan ancaman bagi stabilitas Dunia Islam dan Barat?

Menurut Esposito, ini merupakan pertanyaan-pertanyaan kritis zaman kita yang bermula dari rasa saling benci dan saling tidak percaya. Terhadap pertanyaan, dan menjawab pertanyaan semacam ini, Nurcholish Madjid pernah menulis sebuah artikel yang telah memicu debat publik di Indonesia sepanjang tahun 1993

59. John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas? Edisi Revisi, Menggugat Tesis Huntington (Bandung: Mizan, 1996).

Page 45: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

27Dr. MUDOFIR

sampai sekarang. Artikel yang berasal dari Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki ini berjudul “Pesan untuk Generasi Muda”. Dalam artikelnya ini dia menegaskan pentingnya menggali kembali wawasan keislaman yang al hanifiyah al-samhah, suatu keberagamaan yang penuh kelapangan dan toleran. Demikianlah, gerakan-gerakan pembaruan baik di bidang hukum, sosial, politik, dan kebudayaan sejak tahun 1970-an telah menjadi prakondisi lahirnya fikih Islam yang moderat, toleran, adil, dan terbuka pada aspirasi-aspirasi baru hasil dari perkembangan-perkembangan sosial. Termasuk juga pergeseran ke isu-isu baru hasil dari revolusi perubahan sosial dan globalisasi.

Selanjutnya, pandangan Tariq Ramadan terkait dengan peradaban Eropa di mana umat Islam berinteraksi mengingat jutaan umat Muslim tinggal di sana layak diperhatikan.60 Sebagaimana Nurcholish Madjid yang mencoba memberi landasan rasional agar umat Muslim menerima gagasan modern Eropa yang positif, Tariq Ramadan juga menulis sejumlah argumen. Menurut Ramadan, setidaknya ada lima hak fundamental yang telah diterima orang-orang Islam di Eropa. Pertama, hak untuk menjalankan ajaran Islam. Muslim yang hidup di Eropa kini dapat menjalankan amalan Islam yang pokok. Tidak ada larangan untuk salat, membayar zakat, puasa, atau pergi haji ke Mekah. Di beberapa kota terdapat masalah administrasi berkenaan dengan pembangunan masjid tetapi pada umumnya, kebutuhan-kebutuhan pokok diberikan. Kedua, hak untuk belajar. Seluruh penduduk Eropa mendapat hak ini.Bagi orang Muslim, menurut salah satu prinsip agama yang paling penting, mencari ilmu adalah wajib. Di Negara-negara Eropa, prinsip legal tentang wajib belajar untuk semua anak memudahkan kaum Muslim mengamalkan hadis yang terkenal, “Mencari ilmu wajib atas semua orang Islam (laki-laki dan perempuan)”. Orang Muslim harus mengakui bahwa Saudara Muslim mereka tidak mendapatkan hak ini di mayoritas Negara-negara Muslim yang memiliki angka buta huruf mencapai 70%. Ketiga, Hak untuk mendirikan organisasi. Menurut hukum, orang Muslim, sebagaimana orang lain yang hidup di Eropa, mempunyai hak mendirikan organisasi. Selama ini tidak 60. Lihat Tariq Ramadan, Teologi Dialog Islam-Barat: Pergumulan Muslim Eropa, terj. Abdullah Ali (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), h. 152.

Page 46: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

28 ArkeologiFIKIH SOSIAL

ada larangan mendirikan organisasi di seluruh Eropa. Keempat, hak untuk menyusun perwakilan independen. Tidak ada, dalam setiap konstitusi Eropa, yang mencegah orang Muslim membentuk perwakilan baik di tingkat lokal maupun nasional. Mereka benar-benar bebas untuk mendirikan struktur yang mereka anggap paling pas, dan Kelima, hak untuk naik banding hokum. Dalam setiap urusan menyangkut agama, atau masalah-masalah administrasi dan hokum, orang Muslim mempunyai hak untuk naik banding terhadap kekuasaan pengadilan yang ada dan terlibat dalam prosedur legal melawan keputusan-keputusan yang tampaknya kurang berdasar atau kurang fair. Negara hukum, tentu saja, tidak sempurna, tetapi paling tidak, Negara ini memberikan jaminan penting dalam hal pembelaan hak-hak individu dan organisasi.61

Pengakuan Tariq Ramadan di atas didorong oleh kesadaran bahwa menjadi manusia modern yang hidup di Eropa harus pula megakomodasi konteks-konteks sosial, budaya, dan politik baru. Dalam konteks Indonesia, Nurcholish Madjid dan elit-elit Muslim lain melakukan tugas ini, meski pun memperoleh resistensi tinggi dari masyarakat Muslim. Dengan jalan ini, umat Islam belajar tentang kenyataan-kenyataan sosial dan politik yang berlaku tanpa harus melakukan perlawanan-perlawanan terbuka dengan dasar doktrin Islam yang dibaca secara kaku. Tugas ini, nampaknya, kini telah memetik hasilnya.

Gerakan reformasi atau pembaruan Islam sebagaimana terjadi di Indonesia, sesungguhnya, juga dialami di berbagai negara Muslim seperti Mesir, Maroko, Irak, Iran, Sudan, Aljazair, dan lain-lain dengan pergolakan-pergolakan hebat.62 Terkadang harus berkonflik dengan pemerintah-pemerintah mereka. Di Indonesia sendiri, organisasi-organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Alwasliyah, dan lain-lain dalam masa formasi kemerdekaan Republik Indonesia mengalami hubungan konflik, akomodasi, dan kooperasi—terutama dalam kaitannya dengan dasar Negara, isi konstitusi, dan model pemerintahan. Relasi konflik, akomodasi, dan kooperasi antara Islam dan Negara mendorong 61. Tariq Ramadan, Teologi Dialog Islam-Barat, h. 153-154.62. Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response (New York: Oxford University Press, 2001), dan James Q. Wilson, “The Reform Islam Needs”, City Journal, Summer, 2002.

Page 47: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

29Dr. MUDOFIR

lahirnya kompromi-kompromi moderat yang dituang dalam bentuk perundangan, aturan hukum, dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya.

Selama lebih dari 1500 tahun lalu, Islam dan masyarakat Muslim sesungguhnya terus mengalami evolusi. Evolusi itu, pada dasarnya, adalah metode perubahan diri kearah keadaan-keadaan yang lebih sempurna. Seperti terjadi pada evolusi biologis, evolusi di ranah sosial juga terjadi dan terus-menerus memperbarui dirinya ke tahap yang lebih baik. Hukum evolusi mengajarkan tentang perubahan-perubahan ke kualitas yang lebih baik. Itulah sebabnya, ketika Islam berjumpa dengan peradaban-peradaban lain seperti Persia, Yunani-Rumawi di masa klasik dan dengan peradaban Eropa-Amerika di masa modern Islam mengalami perubahan-perubahan dalam kelembagaan, politik, militer, tata ekonomi, dan kemasyarakatan. Terjadi perubahan ‘wajah’ Islam modern hasil dari evolusi panjang. Ada konteks-konteks baru yang hadir dalam tubuh Islam sehingga umat masih mempercayainya sebagai agama yang dapat menjadi pegangan hidup. Ijtihad di masa modern terus dilakukan untuk menampung aspirasi-aspirasi baru dalam bentuk fikih-fikih sosial kontemporer.

Melampaui Resistensi

Gerakan pembaran Islam yang melahirkan arkeologi Islam moderat dan fikih sosial yang lebih terbuka dan akomodatif di Tanah Air sejak dekade 1970-an kemudian melahirkan tiga isu penting, yakni: sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Harus diakui, tiga isu itu adalah piranti yang melahirkan gagasan-gagasan progresif yang memungkinkan Islam dapat berkomunikasi secara cair dengan komunitas dunia yang lain tanpa prasangka-prasangka. Namun demikian, tiga isu ini mendapat tantangan keras dari sekelompok umat Islam dan lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mengharamkan sekularisme, liberalisme, dan pluralism pada Juli 2005 melalui fatwanya. Gerakan yang mengembangkan tiga isu ini yang terdepan adalah Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Muda Muhammadiyah. Gerakan ini dianggap telah meresahkan

Page 48: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

30 ArkeologiFIKIH SOSIAL

kemapanan dan memecah belah kesatuan umat. Lebih jauh, menurut para penentangnya tiga isu ini pada akhirnya akan merelatifkan semua nilai atau mendesakralisasi nilai-nilai suci agama.

Ada tiga pertimbangan MUI mengapa perlu dikeluarkan fatwa haram atas sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Pertama, bahwa akhir-akhir ini menurut MUI telah berkembang paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat. Kedua, bahwa berkembangnya sekularisme, liberalisme, dan pluralism di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut, dan ketiga, bahwa karena itu MUI memandang perlu menetapkan tentang paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.63

Dasar pertimbangan sosial-politik ini, kemudian diselaraskan oleh MUI dengan pandangan-pandangan teologis MUI sendiri yang “eksklusif” berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an: Q. 3:85; 3:19; 109:6; 33:36; 60:8-9; 28:77; dan 23:71. Dari pertimbangan inilah MUI kemudian membuat definisi sendiri. Tentu saja, dari definisi yang dibuat sendiri oleh MUI pengertiannya sangat berbeda dengan yang telah dibuat dan dipahami sejumlah intelektual pembaru. Akibatnya terjadi penolakan di sejumlah kalangan Islam kanan yang disuarakan melalui mimbar-mimbar khutbah mereka.

Pertarungan pro-kontra atas tiga isu tersebut masih terjadi hingga kini. Bahkan mengental ke dalam ranah publik dan politik. Ini, misalnya, nampak dalam gerakan politik melawan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (saat itu Gubernur DKI) yang dianggap melakukan penistaan agama Islam. Dalam gerakan ini terjadi pertentangan antara kelompok penentang yang didukung MUI dan kelompok pendukung yang didukung sebagian kaum Muslim liberal. Persitiwa ini, saya kira, merupakan lanjutan dari “konflik” wacana antara MUI dan lainnya sejak pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme Juli 2005. Terburu-buru harus disebutkan bahwa konflik lanjutan ke ranah politik bisa jadi tidak persis sama sebagaimana pertentangan antara MUI dan kaum Islam progresif 63. Lihat Dawam Rahardjo dalam Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekulraisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Malang: Penerbit Madani, 2017), h. 6.

Page 49: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

31Dr. MUDOFIR

dalam isu fatwa haram sekularisme, liberalisme, dan plurailsme di atas. Namun apapun itu, ini menunjukkan keterbelahan umat Islam yang bermula dari masalah teologi bergeser ke ranah politik.

Tapi karena semua perdebatan itu terjadi di ruang terbuka, maka ada hikmah yang dapat dipetik, yakni lahirnya masyarakat yang kritis dan pendidikan untuk menghormati perbedaan. Ada pendidikan demokrasi dan pendidikan politik besar untuk generasi mendatang dalam perdebatan pro-kontra tersebut. Ini tepat sekali dengan teori terjadinya sebuah legislasi yang bermula dari tahapan inisiasi (adanya perdebatan-perdebatasn tentang isu tertentu di masyarakat), tahapan sosiologis (isu-isu tersebut diperdebatkan di antara kekuatan-kekuatan politik), dan akhirnya tahapan yuridis (yaitu isu-isu tersebut memperoleh persetujuan hukum atau yuridis dari DPR). Dengan demikian, argumen-argumen para penentang bisa memperkaya diskursus dan bisa menjadi bahan masukan. Jadi, ada take and give dari kedua belah pihak dalam suatu ruang demokrasi. Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam masyarakat Islam yang makin terbuka. Pada akhirnya, yang menang adalah gagasan-gagasan yang berpihak pada keadilan, kesejahteraan, dan keterbukaan yang dapat menghadirkan kemaslahatan umat manusia.

Fikih Sosial di Era Disrupsi

Selanjutnya, perubahan-perubahan sosial bukan saja akibat dari perubahan-perubahan budaya dan politik, tapi yang lebih penting adalah teknologi baik teknologi informasi, teknologi industri, maupun teknologi transportasi. Dunia sekarang sedang mengalami era industri 4.0 yang ditandai oleh otomasi, artificial intelligence, dan internet of things. Revolusi industri 4.0 ini mengubah sistem sosial, sistem hukum, keputusan-keputusan politik terkait ekonomi, investasi, dan lain-lain. Dalam ranah hukum, termasuk fikih, juga ikut terdampak.

Secara kronologis, tahapan revolusi industri dimulai dari penggunaan manusia dan binatang sebagai tenaga kerja. Ini adalah tahapan revolusi industri 1.0. Kemudian mesin uap menggantikan

Page 50: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

32 ArkeologiFIKIH SOSIAL

sebagian tenaga binatang dengan hasil yang lebih maksimal. Ini tahapan revolusi industri 2.0. Setelah mesin uap lalu manusia menemukan tenaga listrik untuk menggerakkan industrialisasi. Ini tahapan revolusi industri 3.0. Selanjutnya, revolusi industri 4.0 ditandai oleh serba internet yang menghubungkan segala hal menjadi satu sistem. Setiap tahapan era berlaku sistem sosial, budaya, politik, dan hukum yang berbeda-beda. Pandangan-pandangan dunia lama berpindah ke pandangan-pandangan dunia baru dengan tatapan yang lebih optimis. Masyarakt kini berpindah dari masyarakat berbasis industri ke masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based society). Tentu saja, dampak-dampak perubahan dari satu era ke era lainnya tidaklah kecil. Ada multiplier effect yang mempercepat perubahan-perubahan masyarakat dunia yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejarah modern kini menyaksikan kecepatan-kecepatan, kejutan-kejutan, dan perpindahan-perpindahan yang tiba-tiba baik di ranah ekonomi, budaya, agama, sosial, maupun politik. Siapa yang tidak dapat membaca dan menyesuaikan dengan angin perubahan ini dia akan terisolai atau tenggelam oleh arus sejarah.

Perubahan-perubahan dunia sesungguhnya sudah lama diramalkan. Banyak teks dan ajaran agama yang telah menyebutkan kondisi-kondisi perubahan ini. Di dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri”.64 Ayat-ayat yang menyiratkan perubahan dapat dibaca pada QS al Nisa [4]: 119; QS al Anfāl [8]: 53; QS Muhammad [47]: 15; QS al ‘Adiyāt [100]: 3, dan lain-lain. Menurut Ibn Fāris kata perubahan yang dalam bahasa Arab diwakili kata ghayyara-yughayyiru-taghyīran dan kata baddala menunjukkan arti pertama, shalāhun (perbaikan), ishlāh (reformasi), manfa’at (kegunaan); kedua, adalah perbedaan antara dua hal (ikhtilāf ‘alā syaiain).65 Adapun pelaku perubahan adalah Tuhan (Allah swt) dan manusia. Perubahan-perubahan oleh Allah terjadi dalam hukum-hukum fisika yang terjadi di alam makroskopik maupun mikroskopik. Sementara

64. QS, al-Ra’d [13]: 11.65. Ahmad ibn Faris, Mu’jam al Maqāyīs fī al-Lughah, juz IV (cet. I: Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 403.

Page 51: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

33Dr. MUDOFIR

perubahan oleh manusia terjadi melalui kehendak bebasnya.

Demikianlah, sejarah manusia adalah sejarah perubahan. Dunia Islam juga berubah mengikuti gerak-gerak intelektual pemeluknya sebagai upaya mersepons tantangan dan peluang jaman. Jalur-jalur perubahan ide mendorong jalur-jalur perubahan sosio-budaya. Sejarah Islam sendiri sejak 1500 tahun lalu mulai dari pra-Islam, era Muhammad SAW, sehingga abad modern dapat diringkas ke dalam enam fase. Pertama, fase formation and orientation (500-634) ‘pembentukan dan orientasi’ dimulai 500 M hingga 634 M, tahun-tahun setelah kepergian Muhammad SAW dan Abu Bakar. Kedua, fase konversi dan kristalisasi, ditandai dengan terbentuknya mayoritas Mulim di bawah pemerintahan yang Islamis. Ketiga, fase fragmentasi dan pertumbuhan (970 M-1041 M). Di satu pihak, fase ini ditandai dengan fragmentasi politik, tetapi di lain pihak Islam tampil untuk pertama kalinya sebagai kekuatan peradaban besar. Keempat, fase ‘migrasi dan pembaruan (1041-1405) yang membentang sejak invasi Mongol dan sesudah periode Tamerlane. Kelima, fase ‘konsolidasi dan ekspansi’ (1405-1683), mengisahkan jatuh bangun tiga dinasti Utsmani, Safavid (Persia), dan Mughal (India-Timuriyah), yang oleh Hodgdson ditutup dengan perjalanan sejarah Islam yang ada di sekitar lautan India. Keenam, fase ‘reformasi, dependensi, dan pemulihan’ (1683-sekarang).66 Dari enam fase yang dikemukakan Marshal G.S. Hodgson di atas menunjukkan ada perubahan-perubahan besar yang terjadi di dalam sejarah umat Islam. Setiap perubahan mengubah pula sistem-sistem sosial dan hukum yang berlaku—terutama dalam praksis-praksis yang lebih teknis dan muamalah.

Nah, di era modern ini Islam tidak pernah menghadapi tantangan dan peluang yang lebih besar sebelumnya. Karena itu, peradaban Islam mengalami krisis akut. Zaman modern adalah jaman yang ditandai oleh “teknikalisme”—keahlian serba teknik dengan seluruh pandangan dunianya. Di bidang indusri, militer, informasi, transportasi, ekonomi, dan lain-alin—yang merupakan kekuatan Barat dan Eropa telah membuat Islam sangat jauh 66. Marilyn Waldman, “Overview of the History of Islamdom” dalam Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol I, “General Prologue: The Islamic Vision in Religion and in Civilization”, h. 96.

Page 52: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

34 ArkeologiFIKIH SOSIAL

tertinggal. Maka pada awal abad ke-19 bangsa-bangsa Muslim dijajah dan dikontrol ekonomi-politik sepenuhnya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bangsa Barat.

Ilmu pengetahuan yang dicapai Amerika, Eropa, China, dan lain-lain telah menerbangkan pesawat ulang-alik dengan awak manusia ke ruang angkasa sejak dekade 1970-an. Sejak itu, pandangan dunia tentang misteri alam terkuak secara perlahan. Penerbangan ke planet Mars juga dilakukan sejak dekade 1990-an dan ini menambah kemenangan Eropa dan Amerika atas bangsa-bangsa Muslim yang belum pernah mencapai prestasi ini. Bahkan telah diterbangkan pesawat ruang angkasa keluar Tata Surya kita untuk menembus Tata Surya lain yang terdekat. Ini semua membuka mata umat Muslim untuk menggeser paradigma tentang hukum-hukum alam—dan pandangan ini mennggeser pula paradigma sosial kehidupan.

Di bidang internet, manusia telah mencapai keunggulan peradaban dalam kerjasama dan interaksi global. Semua manusia dari pelosok-pelosok dunia dapat berinteraksi, berbicara, dan bertemu muka melalui jejaring facebook dan instagram hanya dengan menyentuh layar gagdget. Mesin pencari google telah menjadi guru yang dapat memberi jawaban apa saja kepada setiap penggunanya. Ilmu pengetahuan, informasi-informasi, dan berita-berita tentang manusia lain di Negara-negara terjauh dapat diunduh secara mudah dan cepat. Dunia tidak lagi mengenal batas-batas. Telpon pintar telah memungkinkan seluruh manusia dapat terhubung melalui aplikasi android. Bukan hanya kemudahan berkomunikasi, tetapi juga yang lebih penting adalah kemudahan untuk transaksi-transaksi daring (online). Kini tersedia layanan go-jek, go-food, go-car, grab, go-send, dan lain-lain yang dapat dipesan melalui aplikasi-aplikasi dari telfon seluler. Manusia kini menjadi mudah dalam segala hal yang dulu tidak pernah terbayangkan. Ini menuntut penyesuaian-penyesuaian sikap, perilaku, dan literasi untuk mengoperasikan mereka—termasuk juga dampak-dampak negatif-destruktifnya.

Itulah sebabnya, perlu perubahan besar dalam merespons ini semua. Tanpa ketajaman dan ketepatan respons, maka manusia pasif akan terdisrupsi oleh para pendatang baru yang lebih gesit

Page 53: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

35Dr. MUDOFIR

dan jeli baik dalam berusaha maupun dalam merencanakan karir kehidupan serta kompetisi. Manusia modern harus bisa mengenali setiap perubahan cepat ini dan selanjutnya menyiapkan segala sesuatunya agar tidak terdisrupsi.

Menurut Rhenald Kasali, kini telah terjadi great shifting dalam kehidupan.67 Ciri-ciri great shifting di era disrupsi ini adalah pertama, dimulai dari teknologi dasar, yang lalu merembet ke semua sektor yang semula berdiri-sendiri, lalu berpaling sebagai satu-kesatuan membentuk sebuah konvergensi. Misalnya, telepon pintar yang ada dalam genggaman kita. Semua itu adalah konvergensi dari beberapa teknologi: semikonduktor, kamera digital, baterai litium, telekomunikasi, dan hiburan. Kini industri telah berubah ke dunia digital dan online. Dari perkantoran ke dunia cyber dan virtual. Dunia baru ini telah melahirkan kegiatan ekonomi kolaboratif dan sharing economy. Organisasi-organisasi yang serba terintegrasi dan terpagari sekarang menjadi sangat terbuka dan kolaboratif.Kedua, dari “produk” industri beralih ke platform. Ketiga, teknologi yang terus terbarui. Keempat, terjadi pergeseran-pergeseran sosial-budaya dan metode-metode kehidupan serta ekonomi. Kelima, ia dikembangkan oleh orang-orang baru yang membawa ‘masa depan’ ke hari ini, dan itu jelas berpotensi mengganggu kenyamanan petahana, bahkan menghancurkan masa depan ekonomi lama, yang masih membawa ‘hari kemarin’ ke hari ini, complicated, dan serba membatasi. Keenam, regulasi yang berlaku selalu ketinggalan dan mengacu pada referensi-referensi dan teknologi masa lalu sehingga hamper dapat dipastikan akan menimbulkan dilemma-dilema dan guncangan-guncangan sosial karena menyangkut kepentingan investor dan tenaga kerjanya. Ketujuh, terjadi perpindahan besar yang selalu disangkal pemain-pemain lama dan para pendukungnya yang terperangkap dalam cara-cara dan metode lama.68

Perubahan-perubahan besar ini berbeda dengan natural shifting yang biasa dijumpai di era-era terdahulu. Ini memerlukan kecakapan teknis yang bersifat integratif dengan bidang-bidang lainnya. Bagaimana dengan bidang fikih? Adalah keniscayaan total

67. Rhenald Kasali, The Great Shifting: Series on Disruption (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2018), xxxvi.68. Rhenald Kasali, The Great Shifting, h. xxxvii.

Page 54: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

36 ArkeologiFIKIH SOSIAL

bidang fikih melakukan reaktualisasi dengan memasukkan unsur-unsur baru yang banyak dijumpai dalam era the great shifting ini? Hukum perdagangan, hukum transaksi daring (online), dan hukum-hukum muamalah lain perlu mengakomodir unsur-unsur baru ini. Bahkan dalam batas tertentu, praktik ibadah haji, shalat, dan hukum pernikahan mulai memanfaatkan kecanggihan aplikasi tertentu sebagai alat bantu. Dengan keterbukaan umat Islam terhadap kebaruan-kebaruan seperti dialami dalam era disrupsi ini, maka fikih sosial dapat menjadi instrumen kehadiran Islam dalam kehidupan modern.

Tambahan lagi, problem-problem (masāil al fiqhiyah) di era disrupsi ini juga makin kompleks dan masif. Globalisasi yang terintegrasi dalam internet telah menyatukan semua bangsa dengan intensitas interaksi yang makin kompleks. Maka muncullah kejahatan transnasional atau lintas negara yang terjadi secara cepat dan luas. Kejahatan transnasional dapat berwujud arus narkoba, arus perdagangan orang, arus ideologi radikal atau terorisme, dan transaksi-transaksi lain yang bersifat serba langsung serta saling menular. Aturan-aturan terkait dengan penanganan kejahatan transnasional, tentu saja, memerlukan reformulasi dan kerjasama secara transnasional. Ijtihad fikih secara terus-mnerus dilakukan untuk merespons dan mengantisipasi perkembangan-perkembangan baru tersebut.[]

Page 55: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

37Dr. MUDOFIR

BAB IVARKEOLOGI TERORISME

DAN ECOCIDE DALAM PERSPEKTIF MAQASHID

AL SYARI’AHTerorisme dan bunuh diri lingkungan (ecocide) adalah fenomena yang terus mengancam kesejahteraan lingkungan. Lingkungan hidup secara sengaja dirusak oleh tindakan-tindakan sadar sekelompok manusia melalui aksi terorisme, pencemaran, industrialisasi tanpa batas, dan pandangan hidup serakah. Terorisme yang digerakkan oleh keyakinan agama dan ideologi radikal dapat merusak lingkungan melalui bom, senjata tertentu, blockade sumber daya-sumber daya lingkungan, pandangan hidup sekular tentang alam, dan lain-lain yang merugikan keberlanjutan hidup. Perang dan tindakan terorisme adalah sebuah tindakan bunuh diri lingkungan karena dampaknya merusak tatanan hidup, mencemari tanah, udara, air, hutan, dan lingkungan hidup baik biotik maupun abiotik.

Terorisme berangkat dari ideologi radikal yang mendeklarasikan perang terhadap pihak yang tidak sepaham. Terorisme bisa dilakukan oleh individu, kelompok, masyarakat, dan bahkan negara (state terrorism).69 Tindakan-tindakan terorisme dilakukan mulai dari yang kecil dengan korban-korban kecil hingga tindakan besar dengan korban-korban besar. Aksi terorisme telah terbukti menyisakan kerusakan lingkungan. Senjata modern yang dipakai dalam sejumlah perang telah terbukti merusak lingkungan hidup dengan pencemaran, matinya sejumlah flora-fauna, menyebabkan kanker, dan dampak-dampak lain yang bersifat psikologis.

Istilah terorisme yang dipakai dalam penelitian ini adalah meliputi terorisme berbasis agama dan berbasis negara. Ketika 69. Lihat Anthony Aust, Handbookof International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), cet. II, h. 265.

Page 56: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

38 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Amerika menggempur Irak dalam Perang Teluk I dan II menyisakan kerusakan lingkungan yang parah dan massif. Pengeboman berulang-ulang pemerintah Israel atas palestina dilaporkan telah membuat tingkat pencemaran tinggi di sana. Juga perang antara ISIS dengan pemerintah Suriah telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang mendorong migrasi besar-besaran dan mengubah secara destruktif tatanan sosial. Tahun 2001 teroris meledakkan World Trade Centre di Amerika.70 Di susul Bom Bali I dan II, Bom Kuningan di Indonesia, dan aksi-aksi terorisme lain di seluruh dunia telah menyumbang pencemaran udara, air, tanah, suara, dan ikut mengubah pola iklim di muka bumi. Perang modern baik dilakukan oleh negara dan kelompok teroris dengan senjata-senjata canggih telah mendorong pula industri senjata yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan bahan kimia dan senjata pemusnah massal juga telah dilakukan dan terus mengintai dalam sejumlah perang di masa-masa mendatang.

Tindakan terorisme dan tindakan-tindakan lain yang menyertai sebagaimana disebut di atas merupakan tindakan bunuh diri lingkungan atau ecocide. Istilah ecocide menunjuk pada penghancuran ekosistem oleh tindakan-tindakan spesies manusia. Aktivitas manusia seperti perang, terorisme, dan pemanfaatan ceroboh atas sumber-sumber daya ekosistem dapat disebut ecocide.71 Sebuah rujukan awal istilah ini pada 1969 mengungkap ecocide sebagai “the murder of the environment”.72 Definisi-definisi tersebut menunjukkan makna manusia sebagai aktor utama kehancuran lingkungan melalui tindakan bunuh diri ekologis dan seringkali didorong oleh pandangan hidup serta keyakinan tertentu.

Selanjutnya, konsep ecocide pertama kali dipopulerkan oleh Barry Weisberg pada 1970 dalam karyanya “Ecocide in Indochina” yang mengulas intervensi Amerika atas Vietnam pada 1964-1975. Dia menyatakan bahwa istilah ecocide digunakan pada Konferensi tentang Perang dan Tanggung Jawab Nasional (Conference on War and National Responsibility), di Washington, D.C., Februari 1970 70. Menurut New York Daily News setelah diserang teroris yang berafiliasi dengan al-Qae-dah 29 menit kemudian WTC runtuh rata dengan tanah dan menewaskan lebih dari 2.606 jiwa, NY Daily News, Associated Press, June 18, 2011.71. Unabridged Dictionary (Random House, 2006), entry “Ecocide”.72. Bandingkan Barry Weisberg, Ecocide (San Fransisco: Cantfield Press, 1970).

Page 57: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

39Dr. MUDOFIR

oleh Arthur W. Galston dari Universitas Yale Amerika.73 Penjelasan tersebut bisa mendasari pemakain istilah ini untuk segala tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, termasuk aksi terorisme.74 Jika pengertian terorisme diperluas mencakup terorisme negara, maka justru inilah yang terbesar menyumbang krisis lingkungan dan bahkan mengancam masa depan planet bumi yang merupakan warisan satu-satunya di tata surya.

Aksi terorisme dan ecocide memiliki akar, motivasi, dan dampak lingkungan yang hampir sama. Terorisme didasari oleh ideologi, teologi, dan keyakinan tertentu—keyakinan bahwa kelompok lain termasuk lingkungan harus dimusnahkan bahkan pun dengan senjata pemusnah massal. Sementara ecocide memiliki pandangan hidup dan kepercayaan tertentu bahwa alam harus ditaklukkan untuk memenuhi keserakahan manusia. Secara konseptual terorisme dan ecocide memiliki elemen-elemen negatif berupa niat merusak, “bunuh diri”, destruktif, tidak kompromi, mengandung nilai permusuhan, truth claim (keyakinan bahwa dirinya paling benar dan layak mengadili pihak lain sebagai salah), serakah, dan mengatasnamakan Tuhan atau ideologi tertentu sebagai pembenar atau legitimasi.

Melihat kandungan nilai yang dimiliki keduanya maka potensi destruktifnya terhadap lingkungan hidup sangat besar. Nilai-nilai itu bisa mirip agama dan terus memotivasi pemeluknya untuk melakukan aksi teror dan ecocide sebagai tindakan mulia yang direstui Tuhan. Perang-perang besar dalam sejarah sering digerakkan oleh motivasi perebutan sumber-sumber daya alam, termasuk kolonialisme di abad ke-17, 18, dan 19 oleh bangsa Barat atas bangsa Timur. Perang modern antara Soviet dengan Afghanistan; Perang Teluk I dan II yang melibatkan Amerika dan sekutunya dimotivasi oleh perebutan sumber-sumber minyak yang dimiliki kawasan itu. Seperti diketahui bahwa di laut Kaspia di sekitar Afghanistan ada deposit minyak yang bisa menyuplai 2/3 minyak dunia. Juga di di Teluk ada deposit minyak yang bisa menyuplai 1/3 minyak dunia. Motivasi-motivasi minyak dan ekonomi-politik telah menggerakkan 73. Barry Weisberg, Ecocide, h. 4. Lihat juga Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. 86-87.74. Lihat Tom Turnipseed, Ecocide dalam http://www.countercurrent.org/en.turnipseed230705.htm

Page 58: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

40 ArkeologiFIKIH SOSIAL

sejumlah perang di kawasan itu dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Pihak-pihak yang terlibat adalah pelaku-pelaku ecocide yang dengan serakah ingin menguasai sumber-sumber minyak untuk menggerakkan industrialisai di negaranya masing-masing.

Penggunaan senjata, bom, peluru kendali, pesawat tempur dan kapal perang yang boros minyak, bahkan bahan kimia telah digunakan sebagai alat penghancur. Bukan saja menghancurkan manusia, gedung-gedung, dan binatang tetapi juga menghancurkan lingkungan hidup dengan pencemaran atas tanah, tanaman, udara, dan air. Polusi udara, tanah, air, dan suara dapat menimbulkan sejumlah penyakit pada manusia dan binatang. Juga memengaruhi iklim karena bahan-bahan itu dapat menipiskan lapisan ozon yang menjadi filter bagi bumi. Jadi, baik terorisme negara seperti terjadi dalam perang antar negara maupun terorisme sekelompok ideolog radikal tidak pilih-pilih dalam penggunaan senjata. Tindakan keduanya sangat destruktif bagi lingkungan alam dan mengancam kehidupan yang berkelanjutan di bumi. Agama, sistem hukum, kearifan budaya, dan pandangan hidup kemodernan belum mampu untuk mengerem kedua jenis ecocide ini. Diperlukan penjelasan mengapa tindakan bunuh diri lingkungan dilakukan oleh manusia-manusia modern yang sudah mengenyam peradaban. Mengapa pula para pengikut agama Tuhan ikut mendestruksi lingkungan hidup melalui jalur terorisme. Kitab Suci yang dibaca kaum teroris tidak mampu memahamkan fungsi mereka sebagai khalifatullah fil ardh (wakil tuhan di muka bumi). Menjadi makhluk Tuhan bukan sekadar berebut sumber daya-sumber daya alam, tetapi yang lebih penting adalah memelihara keharmonisan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan alam, dan antara keduanya dengan Tuhan. Perintah bersyukur kepada Tuhan, pada dasarnya, perintah untuk merawat ciptaan Tuhan seperti tanah, air, tanaman, udara, manusia, dan lingkungan hidupnya.

Cara beragama yang tidak memerhatikan tiga relasi sakral antara Tuhan, alam, manusia adalah cara beragama yang tidak fungsional. Dekonstruksi dan rekonstruksi ajaran agama perlu dilakukan untuk menemukan sebuah pemahaman yang komprehensif. Juga didorong keluar dari cangkang berupa upaya

Page 59: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

41Dr. MUDOFIR

merengkuh kebaikan dan harmoni tiga relasi antara Tuhan, alam, dan manusia. Terorisme dan ecocide bukan saja bertentangan dengan ajaran dasar semua agama, termasuk Islam, tetapi juga bertentangan dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri yang dicirikan oleh kecenderungan hidup bersosial, berharmoni, saling membantu, dan saling ketergantungan. Konflik-konflik yang terjadi antar manusia, mestinya, tidak harus merusak lingkungan—misalnya dengan menggunakan senjata yang mencemari air, tanah, udara, dan tanaman. Konflik adalah salah satu dari hukum sosial dan sejarah, tetapi mengikutsertakan kerusakan lingkungan hidup adalah sebuah ecocide. Diakui bahwa sejak manusia menemukan metalurgi (ilmu tentang besi), kimia, bom, senjata pemusnah, dan persenjataan perang dengan seluruh teknologi yang dipakainya telah mencatatkan kehancuran kolosal dengan korban manusia serta pencemaran. Bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 merupakan catatan sejarah kelam umat manusia yang pernah dilakukan dalam sejarah modern. Juga tragedi Chernobyl yang terjadi akibat melelehnya reaktor nuklir di bekas Uni Soviet (sekarang Ukraina). Tragedi ini menyebarkan debu radioaktif melintasi Eropa, dari Skandinavia ke Italia dan di sebelah barat sampai ke Inggris. Tragedi menewaskan ratusan korban dan 3,5 juta orang menanggung risiko terkena kanker atau leukemia, tetapi penyakit itu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa kelihatan.75

Fenomena terorisme dan ecocide dalam penelitian ini dimasukkan sebagai masalah teologis-filosofis—meski sebenarnya merupakan masalah multidisipliner (masalah sosial, politik, spiritual, ekonomi, budaya, dan ideologi). Karena itu, penjelasan-penjelasan teologis dan filosofis sangat diperlukan untuk menyajikan peta jalan pemecahan krisis lingkungan. Namun penjelasan teologis-filosofis dalam penelitian ini dilakukan dengan metode filsafat hukum Islam melalui titik tilik maqashid al-Syari’ah. Metode ini diakui sangat efektif untuk menyusun argumen holistik vis a vis argumen legal-formalistik. Maqashid al-Syari’ah merupakan metode yang sangat strategis karena di dalam dirinya mengandung pandangan dunia yang terbuka. Pandangan dunia adalah ‘seperangkat perkiraan yang 75. Helen Caldikot, If You Love This Planet (New York: W.W. Norton, 1992), h. 92.

Page 60: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

42 ArkeologiFIKIH SOSIAL

kita pedomani mengenai penyusunan dasar dunia’; ‘kerangka acuan bagi pengalaman manusia’; dan ‘sebuah sistem kepercayaan’.76 Dalam konteks ini dapat dinyatakan bahwa ‘pandangan dunia’ atau worldview merupakan produk dari sejumlah faktor yang membentuk kognisi manusia terhadap dunia.77 Terorisme dan ecocide adalah perilaku kejahatan dengan keyakinan “suci” yang oleh para pelakunya sering tidak disadari sebagai kejahatan. Yang pertama dianggap sebagai perintah Tuhan sementara yang disebut kedua dianggap sebagai urusan bisnis dan atau kegiatan politik-ekonomi-budaya.

Ecocide: Arti dan Bentuk

Secara harfiah ecocide berarti bunuh diri lingkungan atau “the murder of the environment”.78 Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Barry Weisberg pada 1970 dalam karyanya “Ecocide in Indochina” yang mengulas intervensi Amerika Serikat atas Vietnam pada 1964-1975.79 Dampak Perang Vietnam yang memakai bahan-bahan peledak, senjata kimia, dan lain-lain sangat mengerikan sehingga mendorong tindakan ecocide ini perlu diatur dalam sebuah undang-undang. Soal ini Weisberg menyatakan, “the precise origins of this term seen unknown. No doubt, Ecocide originated in the recent concern that chemical warfare in Vietnam required a concept similar to that of Genocide, relating to the theory of war crime”.80 Pemakaian bahan kimia dan senjata penghancur massal di Vietnam dan juga dalam perang-perang modern lain telah menggerakkan moral para politisi untuk mengaturnya lebih ketat. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari bunuh diri lingkungan yang lebih destruktif di masa depan.

Namun, ecocide bukan hanya terjadi karena perang dan aksi-aksi terorisme. Ecocide dalam bentuk halus terjadi pada industrialisasi tidak ramah lingkungan, keserakahan mengeksploitasi tanah, air, hutan, dan udara. Semua aktivitas manusia yang tidak 76. Lihat, David K. Naugle, Worldview: The History of a Concept (Grand Rapids: Eerdmans, 2002), h. 2.77. Richard DeWitt, Worldview: An Introduction to History and Philosophy of Science (Malden, MA: Blackwell, 2004), h. 3.78. Lihat, Unabridge Dictionary (Random House, 2006), entry “ecocide”.79. Lihat Barry Wesiberg, Ecocide (San Fransico: Canfield Press, 1970), h. 4.80. Barry Weisberg, Ecocide, h. 4

Page 61: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

43Dr. MUDOFIR

mempertimbangkan kelangsungan lingkungan baik atas dorongan industri, ekonomi, politik, dan kegiatan produksi-konsumsi tidak ramah lingkungan dapat digolongkan ke dalam tindakan bunuh diri lingkungan. Tindakan-tindakan kecil seperti boros dalam konsumsi, tidak hemat listrik, penggunaan bahan-bahan plastik berlebihan, membuang sampah sembarangan, menebang hutan illegal, dan lain-lain termasuk juga tindakan ecocide. Juga pandangan hidup yang tidak ramah lingkungan seperti banyak anak, menolak KB, merokok, menolak hidup hemat, dan lain-lain yang bersifat teologis bisa masuk kategori ecocide.

Istilah “bunuh diri lingkungan” sangat tepat dan tajam karena menunjuk perbuatan sadar manusia dalam merusak komponen-komponen lingkungan. Karena itu, bentuk ecocide bisa berupa “fisikal” maupun psikologis. Yang bersifat fisikal dapat berupa tindakan-tindakan faktual, misalnya, membuang sampah sembarangan, illegal logging, mencemari air laut atau sungai dengan mercuri, penggunaan bahan-bahan kimia untuk aktivitas pertanian, dan lain-lain. Sementara yang bersifat psikologis dicontohkan dengan penyakit-penyakit mental seperti “rakus” dalam konsumsi, perilaku merusak hutan untuk keperluan industri, dan kegiatan penambangan yang tidak ramah lingkungan. Penyakit mental ini oleh Syed Hossein Nasr disebut sebagai sekularisasi kosmos, memisahkan alam dan lingkungan dari status sakralnya.81 Bunuh diri lingkungan atau ecocide bukan hanya dilakukan oleh orang-orang kaya dengan keserakahan terhadap konsumsi, tetapi juga disumbang oleh orang-orang miskin yang ceroboh dalam pemanfaatan sungai, penebangan hutan untuk kayu bakar, membunuh satwa untuk dijual, dan lebih jauh lagi terlibat gerakan terorisme akibat kemiskinan yang membuat hilangnya harapan hidup layak dan sejahtera.

Ecocide dan Ideologi Kapitalisme

Kapitalisme adalah sistem ekonomi berbasis kepemilikan pribadi dengan alat produksi untuk mencari keuntungan.82 Ciri-ciri 81. Lihat karyanya Syed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996).82. Chris Jenks, Core Socilogical Dichotomies (London, England, UK: Sage Press, t. t.), h. 383.

Page 62: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

44 ArkeologiFIKIH SOSIAL

utamanya adalah properti swasta, akumulasi modal, buruh murah, pertukaran sukarela, sistem harga, dan pasar yang kompetitif.83 Kapitalisme sepanjang sejarahnya telah menghasilkan kebangkitan ekonomi, politik, dan peradaban. Dengan didukung industrialisasi, modal besar, dan teknologi kapitalisme telah mengeksploitasi tanah, hutan, air, udara, tanaman, binatang, dan lain-lain. Semua itu digerakkan atas nama keuntungan tanpa batas. Kolonialisme di abad ke-17, 18, dan 19 telah menguras sumber daya-sumber daya alam dari berbagai negara dengan akibat-akibat yang luar biasa. Ada sejumlah negara yang menerima akibat kerusakan lingkungan.

Kapitalisme telah di samping mendorong munculnya lompatan-lompatan kehidupan manusia dengan prestasi-prestasi mencengangkan di segala bidang, namun ada lubang hitam berupa kesenjangan ekonomi antara Utara dan Selatan, kaya dan miskin, rusaknya sejumlah hutan, hancurnya ekosistem, punahnya sejumlah jenis binatang, merejalelanya illegal logging, perdagangan manusia/tenaga murah, perbudakan, dan hancurnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat. Dengan sifat serakahnya, kapitalisme telah mengancam kelangsungan lingkungan yang layak untuk generasi mendatang.

Apa hubungan antara ideologi kapitalisme dengan ecocide? Dampak-dampak industrialisasi, teknologi transportasi, teknologi nuklir, dan lain-lain telah mempercepat krisis lingkungan. Ancaman krisis energi, krisis pangan, dan perubahan iklim yang bisa menenggelamkan negara-negara pulau akibat mencairnya es Kutub Utara dan Selatan akan mendorong migrasi besar-besaran ke negara-negara yang aman. Negara-negara kaya mungkin akan bisa bertahan dengan modal kekayaannya dan sistem teknologinya yang dapat melindungi secara sementara terhadap dampak krisis lingkungan. Tapi negara-negara miskin akan sangat menderita. Mereka akan kacau secara ekonomi politik karena gelombang kelaparan dan revolusi rakyat kepada pemerintahnya. Dengan kondisi semacam ini, maka stabilitas politik meruntuhkan bangunan negara-negara itu untuk bertahan.

83. Robert L. Heilbroner, “Capitalism” dalam Steven N. Durlauf and Lawlrence E. Blume (eds.), New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd ed (Macmillan: Palgrave Macmillan, 2008).

Page 63: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

45Dr. MUDOFIR

Nah, ecocide oleh praktik-praktik kapitalisme liberal dapat pula melahirkan terorisme. Kapitalisme selama beberapa dekade telah memunculkan budaya globalisasi. Dan globalisasi telah meminggirkan negara-negara yang tidak kompetitif, miskin secara ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemerintahan yang korup atau negara gagal (failed state), seperti Irak, Suriah, Kongo, dan lain-lain. Globalisasi dengan budaya liberal dan ekonomi kapitalnya telah mendorong lahirnya kelompok-kelompok teroris yang menolak budaya global yang dihegemoni oleh Barat dan Amerika. Osama bin Laden dengan al-Qaidahnya serta jaringan organisasi radikalnya di seluruh dunia adalah contoh bagaimana kelompok-kelompok terpinggirkan secara budaya dapat menjadi musuh modernitas dan globalitas. Selain menimbulkan kecurigaan dan ketegangan antar negara-negara kaya dengan kelompok-kelompok teroris, kapitalisme dan globalisme juga mengancam kesejahteraan lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Terorisme dan Tragedy of the Commons

Terorisme di samping sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan84 juga kejahatan terhadap makhluk lainnya baik biotic maupun abiotic. Sejarah perang, kolonialisme, dan penaklukkan-penaklukkan modern dengan senjata-senjata modern telah merusak ekosistem dan menyumbang pencemaran yang dampaknya sangat berpengaruh pada pola-pola iklim. Selanjutnya pola-pola iklim memengaruhi cocok tanam dan siklus panen. Terorisme negara (state terrorism) dan terorisme atas nama agama atau atas gerakan politik sering tidak melihat pertimbangan etis kelangsungan lingkungan. Awalnya, targetnya adalah musuh-musuh manusia tetapi sebenarnya ada korban tak langsung yang pasti kena yaitu lingkungan.

Dalam Perang Teluk I dan II, misalnya, para teroris (baik negara maupun sekelompok tentara) membakar kilang-kilang minyak untuk memblokade lawan menguasai sumber-sumber strategis itu. Dampak pembakaran kilang minyak menimbulkan pencemaran lingkungan. 84. Terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan baca tulisan Indriyanto Seno Adji “Terorisme, Perpu No. I Th. 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O. C. Kaligis & Associates, 2001), h. 50.

Page 64: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

46 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Data satelit milik UNEP (the United Nations Environments’s Program), misalnya, menunjukkan gumpalan asap besar beracun dari kilang-kilang minyak yang terbakar. Ini menyebabkan polusi karena asap itu mengandung mercuri, sulfur, dan furan yang berbahaya sekali bagi kesehatan manusia dan eksosistem lainnya.85 Perang-perang serupa di Afghanistan, Palestina, Suriah, dan lain-lain yang digerakkan oleh motivasi ekonomi, politik, agama, dan terorisme juga menimbulkan pencemaran bagi lingkungan.

Tindakan terorisme baik state terrorism maupun terorisme individu yang membom fasilitas-fasilitas umum, target-target tanah subur, hutan, laut, dan lain-lain merupakan tindakan perusakan sumber-sumber kehidupan berikut ekosistemnya. Tindakan ini termasuk juga sebagai apa yang oleh Garret Hardin disebut tragedy of the commons (tragedi milik bersama).86 Konsep ini, pada dasarnya, menjelaskan runtuhnya lingkungan milik bersama akibat tidak adanya tanggung jawab dan egoisme individu atau kelompok masyarakat di dalam memperebutkan milik bersama sehingga akhirnya punah atau mengalami krisis. Soal tragedi milik bersama, Hardin mengatakan “ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons. Freedom in commons brings ruin to all”.87 Ungkapan Hardin yang menyatakan bahwa “kebebasan dalam milik bersama membawa keruntuhan bagi semua” menunjukkan suatu tragedi milik bersama akibat absennya tanggung jawab dan peraturan yang dipatuhi bersama. Menurut saya, aksi terorisme yang brutal dalam merusak fasilitas-fasilitas umum dan tanah penghidupan lain dapat dimasukkan ke dalam the tragedy of the commons yang bila terus-menerus dilakukan tanpa pencegahan akan mengancam kelangsungan lingkungan hidup bagi generasi berikutnya.

Respons Islam atas Fenomena Terorisme dan Ecocide

Islam dengan sistem ajarannya cukup mampu mengkanter ideologi terorisme. Para intelektual Islam telah banyak menulis buku 85. Jeffery St. Clair and Joshua Frank, Ecological Warfare: Iraq’s Environmental Crisis dalam http://www.stwr.org/middle-east/ecological-warfare-iraq’s-environmental-crisis .html86. Garret Hardin, “The Tragedy of the Commons” dalam Science, 13 December 1968, vol. 162, no. 3859, h. 1243-1248.87. Garret Hardin, “The Tragedy of the Commons”, h. 1249.

Page 65: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

47Dr. MUDOFIR

tentang konsep Islam rahmatan lil ‘alamin, toleransi, kerjasama antaragama, hak asasi manusia, demokrasi, dan ide kesetaraan jender. Konsep-konsep modern ini dijabarkan dengan pendekatan holistik dan meminjam teori-teori modern yang dikaitkan pada teks-teks Syari’ah. Karya-karya yang merespons tatanan modernitas dan globalitas dari para ulama menunjukkan keinginan kuat mereka untuk mengompromikan Islam dengan konteks-konteks kemodernan.

Dengan demikian, secara konseptual problem terorisme telah terselesaikan meski dalam segi tertentu teks-teks radikal dalam Syari’ah masih perlu ditafsir ulang sesuai konteks historisnya. Namun, secara faktual masyarakat Muslim berada di negara-negara yang secara politik labil dan secara ekonomi lemah. Mereka, pada saat sama, melihat kecongkakan dan hegemoni Barat atas dunia Islam. Barat telah mencengkram negara-negara Muslim selama masa-masa kolonialisme dan berlanjut hingga sekarang melalui kolonialisme budaya. Hampir sepenuhnya negara-negara Muslim bergantung kepada Barat baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya, dan militer. Kesenjangan inilah yang tidak bisa segera diatasi dalm konteks pembasmian terorisme.

Karena itu, terorisme dan krisis lingkungan saling terkait di dunia Muslim. Kesadaran akan adanya krisis lingkungan masih jauh dari pemikiran Muslim. Mereka masih terpenjara oleh kemiskinan, kekacauan politik, penjara dogmatisme, dan problem-problem sosial lain. Krisis lingkungan yang mendera mereka belum dirasakan hadir. Namun dalam jangka jauh akan membuat mereka lebih menderita lagi. Karena itu, respon Islam atas terorisme harus diimbangi oleh perbaikan kualitas hidup, kualitas kesehatan, pendidikan, akses ekonomi yang adil, dan stabilitas politik yang mantap.

Telah banyak konsep Islam tentang konservasi lingkungan yang ditulis para ilmuwan baik Muslim maupun non-Muslim. Di dalam al-Qur’an sendiri, Allah berbicara tentang tiga hubungan suci antara Tuhan, alam, dan manusia.88 Tiga hubungan ini menggambarkan pola hubungan suci yang harmonis. Allah dalam tiga hubungan ini oleh Ibn ‘Arabi disebut makrokosmos sementara manusia dan alam

88. Lihar Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran (Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980). Rahman menjadikan Allah, alam, dan manusia sebagai tema pokok al-Qur’an.

Page 66: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

48 ArkeologiFIKIH SOSIAL

disebutnya sebagai mikrokosmos. Sachiko Murata menggambarkan tiga hubungan ini dengan segi tiga dengan sudut atas ditempati Allah dan dua sudut lainnya ditempati alam dan manusia. Secara konseptual banyak perintah al-Qur’an untuk bersikap lembut terhadap komponen-komponen lingkungan seperti binatang, tanaman, air, tanah, udara, dan sesama manusia. Perintah ini adalah konsekuensi logis dari tiga hubungan yang harmonis itu.

Fenomena ecocide adalah fenomena penghancuran lingkungan secara dini. Sebagaimana Islam melarang tindakan bunuh diri, Islam juga melarang tindakan bunuh diri lingkungan atau ecocide. Bunuh diri adalah tindakan putus asa dan mencerminkan prasangka buruk seorang hamba pada kemurahan Tuhan. Justru Islam memerintahkan agar semua manusia mengutamakan prasangka baik di atas prasangka buruk baik kepada sesama manusia, lingkungan, maupun kepada Tuhan. Dengan akal dan kesadarannya—yang merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk lainnya—maka manusia oleh Tuhan ditunjuk menjadi wakil-Nya di muka bumi.89 Sebutan wakil Tuhan dalam Islam disebut khalifatullah fil ‘ardh (wakil Tuhan di muka bumi).

Konsep-konsep Islam tentang konservasi lingkungan tersebut tidak boleh berhenti di tataran konseptual. Secara aktual harus diwujudkan melalui gerakan sadar lingkungan dan sadar krisis ecocide. Perlu transformasi pengkajian ajaran Islam dari yang semula teologis habis ke ekologis secara proporsional. Islam perlu secara aktif mendorong umatnya untuk membaca secara lebih ekologis ayat-ayat al-Qur’an, ayat-ayat kawniyyah, dan ayat-ayat Tuhan yang ada dalam kearifan lokal, dan kearifan bangsa-bangsa beradab. Karena menangani fenomena ecocide merupakan perkara besar yang tidak bisa dilakukan sendirian, maka perlu kerjasama global. Dunia Islam harus terbuka bekerjasama dengan negara-negara lain mengatasi fenomena ecocide. Dan secara optimal mengeksplorasi ajaran-ajaran ekologisnya untuk menuntaskan aksi-aksi pencegahan ecocide.

89. Syed Hossein Nasr, the Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: Harper Collins Publisher, Inc., 2002).

Page 67: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

49Dr. MUDOFIR

Akar-akar Terorisme dan Destruksinya Bagi Lingkungan

Istilah terorisme sering hanya dikaitkan dengan ancaman menakutkan yang ditujukan pada sasaran sipil, bangunan, dan target-target musuh lainnya. Padahal secara faktual, terorisme banyak menghancurkan lingkungan hidup melalui daya rusak atas habitat tertentu, pencemaran udara, air, suara, dan tempat-tempat produktif bagi tumbuhnya makhluk hidup. Kerusakan ini bisa memutus atau merusak mata rantai ekologis dan diperlukan bertahun-tahun pemulihannya. Bahkan, dalam banyak kasus, tidak dapat dipulihkan dan menjadi tanah mati secara permanen.

Dilihat dari sejarah, terorisme awalnya untuk menyebut terorisme negara (state terrorism) seperti pernah dilakukan pemerintah Prancis pada tahun 1793-17954 yang dianggap sebagai Kekuasaan Teror (Reign of Terror).90 Ini dilakukan negara untuk menumpas pemberontak dan mengembalikan ketertiban negara. Tapi setelah itu, istilah terorisme banyak disalahgunakan baik dalam konsep maupun praktik. Tujuan dari aksi terorisme adalah untuk menakut-nakuti sesuai dengan asal-usul kata Latin terrere yang berarti “to frighten” (menakut-nakuti). Terorisme, karena itu, banyak dipraktikkan untuk tujuan-tujuan politik baik dilakukan oleh Partai Sayap Kanan, Sayap Kiri, maupun kalangan agama atau organisasi keagamaan tertentu.

Harus diakui bahwa definisi terorisme lama menjadi perdebatan. Karena itu, PBB merasa perlu membuat definisi untuk memperjelas posisinya terkait terorisme. Pada November 2004, PBB mendefinisikan terorisme sebagai “any act intended to cause death or serious bodily harm to civillians or non-combatans with the purpose of intimidating a population or compelling a government or an international organization to do or abstain from doing any act”91. Dari definisi ini, jelas bahwa sasarannya adalah penduduk sipil dan pemerintah agar mereka tewas atau agar pemerintah menghentikan tindakan tertentu. Dalam kata lain, terorisme dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dan atau negara untuk menimbulkan ketakutan, kerusakan, dan kehancuran. Dengan senjata canggih, 90. Lihat “Online Etymology Dictionary”, Etymonline.com, diakses tanggal 12 Mei 2015.91. Lihat, “UN Reform”. United Nations, 2005-03-21, Archived from the original on 2007-04-27.

Page 68: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

50 ArkeologiFIKIH SOSIAL

aksi terorisme ujung-ujungnya bukan hanya mendestruksi manusia, bangunan, atau sasaran-sasaran militer, tetapi juga menghancurkan lingkungan hidup.

Kehancuran lingkungan hidup sering terlupakan oleh media massa, teorisi, pengamat sosial, dan berita-berita elektronik terkait terorisme. Ini sebuah bukti bahwa kesadaran atas konservasi lingkungan masih rendah. Aksi terorisme lebih dimaknai sebagai kejahatan melawan kemanusiaan bukan kejahatan melawan kemanusiaan dan lingkungan hidup. Penyebutannya yang sering terpisah dari manusia menunjukkan bahwa lingkungan hidup dipandang sesuatu yang lebih rendah. Padahal makhluk hidup tanpa lingkungan yang baik tidak akan bertahan dan berkelanjutan. Dengan kerusakan lingkungan hidup akibat tindakan terorisme baik terorisme negara maupun terorisme konvensional sama artinya dengan hilangnya kesempatan emas untuk hidup berkelanjutan di masa depan.

Selain itu, terorisme oleh negara (state terrorism) yang sebenarnya lebih destruktif bagi lingkungan seringkali tidak disorot atau dijadikan isu. Sorotan media dan pengamat lebih sering diarahkan pada aksi-aksi terorisme seseorang atau kelompok radikal dari agama tertentu. Ketika Al-Qaidah pimpinan Osama bin Laden melakukan terorisme di World Trade Centre dan pangkalan militer Amerika di Manhattan, media dan dunia internasional mengutuk habis-habisan dan lupa pada terorisme Amerika Serikat atas Irak, Vietnam, dan Afghanistan. Padahal dari sisi korban, Perang Teluk I dan II serta intervensi Amerika atas negara-negara yang dianggap musuh jumlahnya jauh lebih massif, destruktif, dan berkepanjangan dengan trauma psikologis akut. Bahkan menyisakan trauma besar bagi anak-anak korban perang yang kehilangan masa depan, kehilangan daya dukung lingkungan, dan pencemaran akut yang mematikan siklus ekologis.

Terorisme negara dan terorisme individual atau kelompok sama-sama destruktif bagi lingkungan hidup. Dalam perang antar negara, korban dari sisi lingkungan hidup biasanya adalah pencemaran udara, air, dan tanah. Pembakaran kilang-kilang minyak seperti kasus Perang Teluk I dan II; polusi udara yang

Page 69: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

51Dr. MUDOFIR

memicu kanker paru; matinya sejumlah varietas tanaman dan atau binatang; hilangnya kesuburan tanah atas (top soil); dan terjadinya migrasi besar-besaran kawanan binatang dan manusia; dan lain-lainnya. Selain itu, perang atau tindakan teroris juga merusak hutan—terutama perang yang menggunakan hutan sebagai basis pertahanan seperti di Vietnam, sebagian Afghanistan, penyanderaan kelompok Abu Sayyaf, dan di Indonesia kelompok teroris Santoso yang berbasis hutan.

Selanjutnya, dalam perang dengan senjata kimia tingkat kerusakan lingkungan lebih berjangka panjang.92 Juga senjata bom atom dapat mempercepat kerusakan massif dan kolosal lingkungan hidup, selain korban manusia dan binatang. Kasus pengeboman di Ngasaki dan Hiroshima, misalnya, dilaporkan telah menimbulkan efek jangka panjang bagi kesehatan penduduk dan kesuburan tanah. Bekas-bekas bom atom itu telah menjadi tanah yang mati dan bahkan masih mematikan bila racunnya ditiup udara ke alam bebas.

Perlu ditegaskan bahwa terorisme negara atau state terrorism dimasukkan ke dalam kejahatan karena tujuannya adalah penguasaan atas sumber-sumber daya alam dan tujuan-tujuan politik lain atas bangsa-bangsa tertentu. Dalam perang-perang antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di dekade 1980-1990, perang antara Amerika Serikat dengan Afghanistan, masalah Timur Tengah, dan lain-lain ternyata motivasinya adalah perebutan sumber-sumber ekonomi berupa deposit minyak. Motivasi politik dan ekonomi telah mendorong perang-perang di masa lalu dan menjadi ancaman masa depan, dan ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang makin parah. Negara-negara kuat dengan dominasi militernya yang sangat canggih dapat mengontrol negara-negara lemah tapi kaya akan minyak. Karena itulah, motivasi ini dapat dikelompokkan ke dalam terorisme negara atau state terrorism.

Sementara itu, terorisme individual atau kelompok tertentu juga menyumbang kerusakan lingkungan dengan sasaran-sasaran sipil, bangunan, hutan, dan daerah-daerah subur lain. Terorisme jenis ini—meskipun skalanya lebih kecil dibandingkan state terrorism—92. Bandingkan laporan National Academy of Sciences, Chemical Attack, Warfare Agents, In-dustrial Chemicals, and Toxins pada http://www.dhs.gov/xlibrary/assets/prep_chemical_fact_sheet.pdf, diakses pada 15 Juni 2016.

Page 70: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

52 ArkeologiFIKIH SOSIAL

namun memiliki kekuatan motivasi lebih efektif karena didorong oleh doktrin-doktrin agama.93 Kasus ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)94 dapat menjadi contoh. Dengan alasan ajaran agama (Syari’ah), ISIS melakukan banyak kerusakan berupa merampas dan meledakkan kilang-kilang minyak; memborbardir sasaran bangunan dengan seluruh lingkungannya; merusak situs-situs penting dan bersejarah; serta menghancurkan lokasi-lokasi strategis untuk melumpuhkan pertahanan lawan. ISIS juga menyalahgunakan doktrin jihad dengan istilah jihad al-nikah (jihad seks). ISIS menyatakan bahwa perempuan-perempuan muslimah wajib berjihad seks untuk melayani para tentara yang berperang agar mereka memiliki semangat perang yang menyala.95 Dilaporkan bahwa perempuan-perempuan itu digilir oleh tentara dan setelah dipulangkan dalam keadaan hamil serta mengidap penyakit kelamin. Dilihat dari sisi lingkungan, jihad seks mendorong keluarga-keluarga lemah dengan anak-anak yang lahir tidak jelas. Secara psikologis akan merusak moralitas sang ibu dan pertumbuhan anak. Ini jelas dapat menjadi problem bagi lingkungan hidup yang sejahtera dan berkelanjutan.

Kondisi serupa terjadi di Palestina. Anak-anak Palestina dan keluarga-keluarga mereka hidup dalam intimidasi Israel dengan tentara-tentara yang kejam. Perlawanan bertahun-tahun rakyat Palestina pada negara Yahudi ini membuat serangan balasan yang lebih dahsyat dengan korban-korban massif. Kerusakan diderita bukan hanya dari kalangan rakyat sipil Palestina, tetapi juga masa depan anak-anak dan masa depan lingkungan hidup. Dilaporkan tingkat pencemaran di Palestina sangat tinggi baik di udara, air, tanah, maupun lingkungan tempat tinggal mereka. Ini telah berjalan sejak berdirinya Negara Israel tahun 1948. Dengan tingkat pencemaran yang tinggi dan intimidasi-intimidasi lainnya, membuat

93. Bandingkan dengan karya Sam Harris, The End of Fight: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York-London: Norton Paperback, 2005), h. 80 dst.94. Sebutan negara Islam oleh media Barat diprotes oleh organisasi-organisasi Islam di Eropa. Ini karena tindakan-tindakan “ISIS” yang sangat brutal tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mewakili mereka Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon setuju bahwa tindakan-tindakan ISIS tidak ada kaitannya dengan Islam. Lebih pas mereka disebut sebagai ‘The Un-Islamic Non-State’. Lihat Dan Bilefsky,“In New Front against Islamic State, Dictionary Becomes a Weapon”, The New York Time, 1 January 2016.95. Tunisia menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang telah berjihad seks sepulangnya dari Syria dalam keadaan hamil. Al Arabiya 20th September 2013, http://english.alarabiya.net/en/variety/2013/09/20/Tunisia-says-sexual-jihadist-girls-returned-home-from-syiria-pregnant.html.

Page 71: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

53Dr. MUDOFIR

lingkungan Palestina tidak layak bagi kehidupan manusia. Berbicara kehidupan adalah juga berbicara daya dukungnya. Lingkungan hidup yang buruk akan melahirkan generasi yang buruk dan ini menjadi beban dunia dan beban lingkungan. Dengan demikian, terorisme negara dan terorisme konvensional (indvidu atau kelompok atau jaringan radikalis) telah menyumbang instabilitas lingkungan hidup, mengoyak perdamaian, dan mengancam masa depan generasi yang berkelanjutan.

Jadi, akar-akar terorisme bisa muncul dari doktrin agama, ideologi politik, kultus, otoritarinisme, dan kepercayaan pada ratu adil. Akar-akar itu bisa disederhanakan menjadi doktrin agama dan ideologi politik. Beberapa di antaranya telah dijelaskan di muka. Akar kultus—meski ia cabang atau varian dari doktrin agama—menarik untuk dikaji. Kultus atau bahasa Inggrisnya cult telah mendorong tindakan irasional berupa terorisme atau kekerasan dan merusak lingkungan hidup. Kultus dari “Ranting Daud” atau Branch Davidian, misalnya, telah melakukan bunuh diri massal. Kultus mengontrol pikiran dan jiwa pengikutnya sehingga mereka bisa diperintahkan untuk berbuat apa saja termasuk melakukan terorisme.96 Kepatuhan total pada “sang Tokoh” membuat pengikutnya buta atas realitas sosial dan lebih condong pada perbuatan-perbuatan irasional. Bom bunuh diri dan aksi-aksi nekat lainnya dapat dirujuk sebagai gejala pengikut kultus tertentu dan atau keyakinan pada doktrin agama tertentu. Apalagi jika pemimpin organisasi dan atau negara dijangkiti oleh penyakit semacam ini maka bisa berpotensi merusak kemanusiaan dan lingkungan hidup serta keberlanjutan masa depan mereka.

Ecocide dan Fakta-Fakta Kerusakan Lingkungan

Terorisme sebenarnya bisa dikategorikan sebagai salah satu ecocide. Tapi dalam penelitian ini saya menempatkan terorisme sebagai konsep sendiri karena punya akar-akar yang berbeda—

96. Kajian tentang kultus telah banyak dilakukan di antaranya adalah karya Larry Kahaner, Cults that Kill: Probing the Underworld of Occults Crime (New York: Warner Books, 1989); Andre Haynal, Fanatism: A Historical and Psychoanalytical Study (New York: Schocken Books, 1980); dan Clifford L. Linedecker, Massacre at Waco, Texas, The Shocking True Story od Cult Leader David Koresh and the Baranch Davidians (New York: St. Martin’s Press, 1993).

Page 72: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

54 ArkeologiFIKIH SOSIAL

yakni berakar dari doktrin agama, kultus, messianisme, dan atau ideologi politik. Sementara ecocide saya pandang sebagai bunuh diri lingkungan yang berakar dari keserakahan, eksploitasi sumber daya alam, dan atau dimensi ekonomi liberal yang tidak arif. Dengan memisahkan semacam ini mudah bagi saya untuk menganalisisnya. Yang disebut pertama berdimensi doktrin agama, kultus, dan ideologi politik. Sementara yang disebut kedua lebih berdimensi ekonomi. Namun demikian, dalam batas-batas tertentu, ada interseksi atau saling iris antara dimensi agama dan ekonomi utamanya adalah di aspek ideologi politik. Artinya ideologi politik bisa ada di agama maupun ada di ekonomi.

Kapitalisme, industrialisasi ‘serakah’, eksploitasi alam tanpa kearifan, dan konsumerisme adalah jenis-jenis ecocide. Tentu saja, tidak semua kapitalisme dan industrialisasi itu jahat dan destruktif bagi lingkungan hidup. Sebab tanpa kapitalisme dan industrialisasi hidup manusia tidak optimal dalam kesejahteraan dan pembangunan. Yang dipersoalkan adalah kapitalisme dan industrialisasi yang tidak mempertimbangkan kearifan serta keberlanjutan. Seperti diketahui bahwa kerusakan lingkungan di samping karena bencana alam, juga yang terpenting adalah karena industrialisasi yang didorong ideologi kapitalisme selama berabad-abad. Dengan kata lain, krisis lingkungan lebih disebabkan oleh tindakan manusia atau bersifat antropogenik.

Ada tiga teknologi yang selama berabad-abad ikut menyumbang krisis lingkungan, yaitu: teknologi industri, teknologi transporatsi, dan teknologi energi. Teknologi industri meningkatkan produksi yang cepat dan efektif, tetapi efek sampingnya adalah polusi udara, air, tanaman, binatang, dan tanah karena limbah. Demikian juga teknologi energi dan transportasi juga menyumbang pencemaran dan pemborosan sumber daya alam tak terbarukan. Efek samping dari teknologi ini telah lama menjadi kritik para eco-thinkers sehingga muncul teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi. Menurut Emil Salim, untuk mencegah itu, ada lima prinsip agar sebuah teknologi itu ramah lingkungan atau ekologis, yaitu: Pertama, menghasilkan produk lebih banyak dengan input lebih sedikit; kedua, menghasilkan produk dengan dampak negatif pada

Page 73: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

55Dr. MUDOFIR

lingkungan sekecil mungkin tanpa limbah; ketiga, memungkinkan daur ulang (recycling) dalam proses produksi dan daur ulang atas produk yang dihasilkan; keempat, menggunakan energi secara efisien—lebih-lebih energi yang bisa didaur ulang seperti energi matahari, angina, gelombang, bio massa, dan energi tenaga air, serta memungkinkan proses produksi secara berkelanjutan.97 Lima prinsip ini hanyalah sebuah upaya mendorong lahirnya teknologi yang ekologis. Tapi apakah ini mungkin jika filsafat sains-nya tidak dibangun terlebih dahulu kearah eco-science?

Sains diciptakan manusia bukan untuk merusak lingkungan, tapi diciptakan untuk pemanfaatan dan pengelolaan alam sehingga bisa berkelanjutan. Karena itu, sains tidaklah value-free tapi value-bond (terikat nilai). Nilai intrinsik sains harus dispiritualkan agar ia menjadi mitra dan perkakas manusia dalam melindungi lingkungan hidupnya. Willis Harman, sebagaimana dikutip kembali oleh Azizan Baharuddin, menyatakan bahwa sains modern telah menunjukkan prestasi dan keberhasilannya di dalam menciptakan kemajuan peradaban manusia modern, namun ia rentan terhadap agresi pada lingkungan karena sains modern melepaskan ikatan-ikatan spiritual dan kedalaman makna terhadap kesakralannya.98

Sains tanpa moralitas, kapitalisme tanpa batas, dan industrialisasi tanpa kearifan dapat mempercepat kiamat dunia. Dalam sejarah modern, ecocide telah menjadi monster mengerikan. Melalui korporasi-korporasi besar, para pebisnis terus mengejar untung. Pertambangan, perminyakan, semen, produksi persenjataan, pengembang properti, dan lain-lainnya sering digerakkan dengan tidak memerhatikan etika dan moralitas. Karena itu, krisis tanah, pencemaran, penggundulan hutan, penyempitan tanah-tanah subur, dan gurunisasi terus berlangsung dengan tingkat yang tidak bisa dikendalikan. Munculnya jenis-jenis penyakit baru akibat pencemaran juga telah menjadi fenomena.

Dalam garis argumen di atas, krisis-krisis lingkungan telah dan sedang berlangsung. Di masa depan krisis lingkungan akan terus

97. Emil Salim, “Kesinambungan dengan Pembaruan” dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXI, No. 6 November-Desember 1992, h. 496.98. Lihat Azizan Baharuddin, “Rediscovering the Resources of Religion” dalam http://www.idrc.ca/ev-88052-201-1-DO_TOPIC.html, diakses tanggal 12 Mei 2016.

Page 74: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

56 ArkeologiFIKIH SOSIAL

menghantui kerapuhan planet bumi ini sebagai satu-satunya warisan. Mendukung ancaman dan fakta-fakta krisis, laporan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Stockholm pada 1972 menyebut hal-hal yang terkait krisis lingkungan. Penerbitan A Blueprint for Survival dari The Ecologist dan Laporan Pertama untuk Club of Rome The Limits to Growth menyebutkan elemen-elemen yang saling bergantung dalam masalah krisis lingkungan, yaitu: 1) meningkatnya pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, 2) semakin sedikitnya sumber-sumber yang dapat dilestarikan, 3) peningkatan eksponensial penduduk dunia atau overpopulasi, 4) masalah-masalah peningkatan produksi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk dunia, 5) meningkatnya kecenderungan-kecenderungan pada modernisasi dan industrialisasi dari hampir seluruh aktivitas manusia, 6) meningkatnya kecenderungan pada urbanisasi dan tumbuh suburnya megapolis, 7) melebarnya jurang antara negara-negara berkembang dengan negara-negara sedang berkembang (politik global yang tidak adil), 8) meningkatnya ketergantungan kepada teknologi, 9) meningkatnya kecenderungan pada apa yang disebut Herman Kahn sebagai budaya inderawi (yaitu yang berisfat empiris, duniawi, sekular, humanistic, prakmatik, utiliter, dan hedonistic), 10) meningkatnya pengangguran/kekurangan lapangan pekerjaan yang menambah angka kemiskinan, 11) pembangunan yang dirangsang timbulnya bukan oleh adanya kebutuhan-kebutuhan riil melainkan oleh semakin besarnya ketidakseimbangan konsumsi, dan 12) meningkatnya keterpisahan dari alam, keterasingan manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan dengan dirinya sendiri.99 Problem-problem semacam akan terus ada sebelum tindakan dan kerjasama global menemukan formula baru penyelesainnya.

Selanjutnya dari sisi fakta krisis, ditemukan bahwa dari tahun ke tahun lingkungan kita mengalami kemerosotan kualitas dan kuantitas. Data dari Laporan Asesmen Keempat IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007 tentang peningkatan emisi gas rumah kaca global (global greenhouse gas emission) menunjukkan adanya peningkatan sejak masa pra-industri sebesar 70% antara 1970 dan 2004. Antara 1970 dan 2004, menurut

99. Dikutip kembali dalam Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Penerbit Mizan, 1986), h. 100-102.

Page 75: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

57Dr. MUDOFIR

data tersebut, emisi global berupa CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6, yang diperparah oleh potensi pemasaran mereka (GWP), telah naik sebesar 70% (24% antara tahun 1990-2004), dari 28,7 sampai 49 Gigaton karbon dioksida setara dengan (GtCO2-eq)2.100 Sumbangan terbesar dalam emisi GHG (greenhouse gas emission) pada 1970-2004 berasal dari sektor suplai energi (naik sekitar 145%).

Kemudian di sektor hutan, kawasan hutan global adalah 3952 juta ha, yang menempati sekitar 30 persen luas daratan di bumi (FAO, 2006a). Antara tahun 2000 dan 2005, penggundulan hutan terus berlanjut pada kisaran 12,9 juta ha/tahun. Deforestrasi sebagian besar disebabkan karena pengalihan hutan menjadi pertanian, tetapi juga karena perluasan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan praktik-praktik penebangan liar yang tidak berkelanjutan (FAO, 2006, MEA, 2005b).101 Hutan-hutan juga telah terkapling-kapling oleh para pengusaha dengan penguasaan HPH. Kontrol beberapa pemerintahan negara kurang ketat dan penegakkan bagi mereka yang melanggar kurang tegas sehingga menyebabkan longsor, banjir, dan deforestrasi. Dampaknya memang tidak dirasakan langsung tetapi pasti akan terjadi.

Semua fakta krisis di atas adalah artikulasi dari bunuh diri lingkungan atau ecocide baik oleh kalangan pengusaha, pemerintah, dan juga masyarakat sekitar. Pengusaha bersalah karena lebih mementingkan laba ketimbang kehidupan berkelanjutan. Pemerintah bersalah karena tidak mengontrol secara tegas dan lebih berpihak pada kepentingan para pengusaha. Masyakat juga bersalah karena ikut terlibat dalam perusakan serta tidak melakukan advokasi bagi kelestarian hutan melalui kearifan lokal dan kesadaran akan kearifan lingkungan.

Ecocide dan Kekuatan Kapitalisme

Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi berbasis kepemilikan perusahaan swasta melalui kegiatan produksi untuk mencari

100. Lihat http://www.ipcc.ch/pdf/assesment-report/ar4/wg3/ar4-wg3.pdf, accessed 12 April 2016, h.3.101. Dikutip kembali dalam http://www.ipcc.ch/pdf/assesment-report/ar4/wg3/ar4-wg3.chapter9.odf, accessed 12 April 2016.

Page 76: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

58 ArkeologiFIKIH SOSIAL

untung.102 Karakteristik sentralnya adalah paham kapitalis berupa properti, akumulasi modal, buruh kasar, pertukaran sukarela, sistem harga, dan pasar-pasar yang kompetitif.103 Dalam ekonomi pasar kapitalis, pembuatan keputusan dan investasi ditentukan oleh pemilik yang menguasai produksi dalam keuangan dan pasar-pasar modal. Penjelasan para pakar tersebut di atas cukup menunjukkan bahwa kapitalisme di dalam dirinya sendiri mengandung potensi keserakahan dan eksploitatif. Ini ancaman bagi konservasi lingkungan.

Secara faktual, banyak contoh tentang keserakahan kapitalisme. Dalam bidang perminyakan dan energi, misalnya, sumber-sumber minyak dan energi di daratan dan lautan telah dieksplorasi. Sumur-sumur minyak terus diburu dari berbagai penjuru dunia. Ada tujuh perusahaan minyak raksasa yang menguasai minyak dunia dan meilibatkan negara-negara dengan budaya serta bahasa yang berbeda-beda. Tujuh perusahaan itu adalah Exxon (atau Esso), Shell, British Petrolium (BP), Gulf, Texaco, Mobil, dan Socal (atau Chevron).104 Perusahaan-perusahaan inilah yang telah membangun industry minyak internasional selama lima puluh tahun terakhir, dan tumbuh menjadi korporasi-korporasi terbesar di dunia Barat. Merekalah, bukan negara-negara, yang oleh para kritikus dituduh menjadi kartel.105

Selama sepuluh tahun Perusahaan-Perusahaan tersebut seperti memiliki suatu pesona istimewa, baik bagi negara produsen maupun komsumen. Dalam berurusan dengan minyak mereka nyaris mandiri, tidak terganggu hukum penawaran dan permintaan, dan perubahan di pasar saham, mengendalikan semua fungsi bisnis mereka dan menjual minyak dari satu anak perusahaan ke anak perusahaan lain. Tujuh kartel ini, telah memengaruhi dan mengubah peta dunia; mendorong temuan-temuan di bidang teknologi energi, transportasi, alat-alat berat, dan lain-lain.

Dengan contoh korporasi minyak di atas, dapat diperkirakan 102. Lihat Mariana V. Rosser and J. Barkley Jr, Comparative Economics in a Transforming World Economy (MIT Press, 2003).103. Robert L. Heibroner, “Capitalism” dalam Steven N. Durlauf and Lawrence E. Blume (eds.), The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd ed. (Macmillan: Palgrave Macmillan, 2008).104. Anthony Sampson, The Seven Sisters: Tujuh Perusahaan Minyak Raksasayang Mengendalikan Dunia, Ridoni Daniel (ed.), (Jakarta: Penerbit Change, 2015), h. 10.105. Anthony Sampson, The Seven Sister, h. 11.

Page 77: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

59Dr. MUDOFIR

apa dampaknya bagi wajah lingkungan hidup manusia di masa kini dan masa depan. Temuan-temuan minyak di atas juga telah mendorong negara-negara lain berkompetisi satu sama lain. Negara-negara dengan cadangan minyak potensial seperti Arab, Iran, Irak, Indonesia, Venezuela, dan lain-lain terdorong untuk bermitra dan atau bersaing. Wajah negara-negara sumber minyak seperti Arab Saudi dan lain-lainnya telah berubah nyaris 100 persen. Dari yang semula hamparan pasir sekarang menjadi sumur-sumur minyak yang memakmurkan negara itu—meskipun selama sejarah yang panjang bangsa Arab tidak sadar bahwa selama ini mereka tidur pulas di atas minyak. Apa artinya? Dampak-dampak eksploitasi minyak telah menambah tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan. Apalagi jika minyak dijadikan alat politik dengan disubsidi sehingga memicu konsumsi boros.

Jika konsumsi minyak tidak arif dan pemerintahan-pemerintahan suatu negara tidak ketat, maka akan memicu pemanasan global. Dengan demikian, ecocide secara faktual telah dilakukan oleh individu, masyarakat, dan juga pemerintahan-pemerintahan suatu negara. Bunuh diri lingkungan sangat nyata dan dilakukan secara sadar serta telanjang melalui sistem ekonomi kapitalisme yang tidak arif.

Di atas adalah contoh dari industri minyak. Di bidang pertambangan emas, juga mengancam kesejahteraan lingkungan hidup. PT Freeport Indonesia di Papua, misalnya, telah menimbulkan kerusakan lingkungan di sekitarnya. Pencemaran air, tanah, dan tanaman oleh bahan-bahan berbahaya dari limbah emas telah dilaporkan sebagai sangat berbahaya dan telah memakan korban. Pegunungan di rusak dan menyisakan bongkahan-bongkahan tambang yang beracun. Ini merusak sistem ekologi Tanah Papua. Jika suatu saat habis, maka akan menjadi tanah mati yang tidak berfungsi. Secara ekonomi, Freeport lebih menguntungkan pemilik perusahaan Asing dan hanya menyumbangkan 10 persen laba untuk rakyat Indonesia.106 Dengan kata lain, Freeport menjadi beban negara dan rakyat Indonesia di masa lalu maupun di masa depan dengan rusaknya lingkungan serta pencemaran yang berbahaya 106. Ulasan yang sangat kritis baca Ishak Rafick, Roadmap Masa Depan Indonesia: Jalan Pintas Mencegah Revolusi Sosial (Jakarta: Penerbit Change, 2014).

Page 78: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

60 ArkeologiFIKIH SOSIAL

bagi makhluk hidup.

Menurut Ishak Rafick, korporasi-korporasi asing telah menyedot kekayaan Indonesia dengan tidak adil. Dia mencontohkan bagaimana perusahaan Nippon Asahan Aluminium (NAA) milik Jepang menguras aluminium selama 30 tahun dan tak ada sumbangan ke pemerintah. Juga Exxon Mobil yang menguasai Blok Cepu yang memiliki deposit minyak dikuras dengan merugikan negara Indonesia.107 Daftar contoh kerakusan kapitalisme ini bisa panjang, tapi contoh-contoh itu menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme telah mengekspoitasi sumber-sumber daya alam dari berbagai negara. Negara kuat mendiktekkan kemauannya dengan pasal-pasal yang merugikan negara setempat. Bahkan keuntungan yang jatuh kepada rakyat hampir tidak ada dan hanya jetuh kepada kalangan segelintir elit pemerintahan.

Selanjutnya, kerusakan lingkungan juga terjadi pada pertambangan di sejumlah tempat di wilayah Indonesia dengan meninggalkan pencemaran-pencemaran jangka panjang. Pertambangan batu bara di Kalimantan, pertambangan Nikel di Bangka Belitung, perburuan emas di Jawa Barat, dan lain-lain adalah artikulasi dari kerakusan tanpa kearifan hidup berkelanjutan. Aktivitas perusakan lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh individu, masyarakat, pengusaha, dan pemerintah.

Apa yang terjadi di Indonesia juga terjadi di sejumlah negara. Terdapat sejumlah tempat yang semula menjadi wilayah industri dengan kegiatan ekonomi ramai dan padat penduduk kini menjai kota mati dengan reruntuhan bangunan paberik dan gedung-gedung. Contohnya adalah Oil Regions (Daerah Minyak) di Pennsylvania tempat bisnis perminyakan dimulai pertama kali.108 Kota Hashima di Jepang menjadi kota mati setelah dulu menjadi kota industri pertambangan batu bara dari sejak dibuka tahun 1887 sampai ditutup tahun 1974. Jumlah penduduknya waktu itu terpadat di planet bumi. Tapi setelah produksi batu bara habis kota itu dinyatakan ditutup karena tidak layak untuk menopang kehidupan.109 Kota mati lainnya adalah Kolmanskop di gurun Namibia Africa. Kota 107. Ishak Rafick, Roadmap Masa Depan Indonesia, h. 11.108. Anthony Sampson, The Seven Sisters, h. 36.109. http://whc.unesco.org.en/newsproperties/date=2015&mode.list, accessed 15 Mei 2016.

Page 79: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

61Dr. MUDOFIR

ini menghasilkan tambang berlian yang kaya dan mulai diproduksi tahun 1908 dan ditutup tahun 1954. Penemunya adalah orang Jerman dan selama masa kejayaannya kota ini sangat ramai dengan bangunan-bangunan berarsitekturr Jerman.110 Selanjutnya adalah kota hantu Pyramiden di Swedia. Kota ini ditemukan tahun 1910 dengan ditemukannya tambang batu bara dan dijula ke Russia tahun 1927. Di masa kejayaannya kota ini sangat ramai dan menjadi pusat aktivitas ekonomi yang penting. Setelah produktivitas menurun dan tidak lagi punya nilai ekonomi lalu kota ini ditutup tahun 1998.111 Daftar kota-kota mati yang dulunya jaya dan padat dapat diperpanjang. Contoh-contoh itu menunjukkan kerusakan lingkungan hidup karena aktivitas industrialisasi yang tidak arif serta berkelanjutan. Setelah kota-kota itu mati dan tidak produktif lagi lalu ditinggalkan dengan menyisakan kerusakan-kerusakan. Jika ini terus dilakukan, maka di masa depan akan banyak lahir kota-kota mati. Tinggal menunggu sejarah.

Kasus matinya kota-kota ramai di masa lalu adalah contoh ecocide yang berjalan sistematik. Kota-kota mati lahir di masa modern ketika teknologi ditemukan dan hubungan antar-bangsa begitu mudah melalui teknologi transportasi dan teknologi energi. Kapitalisme dituduh sebagai penanggungjawab. Para korporat rakus sering tidak memikirkan generasi mendatang dan mewariskan kerusakan lingkungan kepada mereka. Begitu bahan mentah habis di suatu wilayah maka berpindah ke wilayah yang lain. Perburuan minyak, emas, berlian, nikel, aluminium, dan batu bara terus dilakukan dengan kecepatan serta volume yang lebih besar.

Bukan hanya itu. Untuk memuluskan rencana dan ambisi kerakusannya, kaum kapitalis bisa membeli pemerintah melalui intervensi Undang-undang dan suap kepada para penguasa.112 Pembelian konsesi ladang minyak di Timur Tengah, misalnya, para

110. Lihat sebagai perbandingan karya G. Schneider, Treasures of the Diamond Coast (Na-mibia: MacMillan Education Press, 2008).111. Lihat Rachel Nuwer, “A Soviet Ghost Town in the Arctic Circle, Pyramiden Stands Alone”, Smithsonian Magazines, Smithsonian, retrieved 27 May 2014.112. Dalam kasus Indonesia, Ishak Rafick menyebut bahwa para Korporat asing telah melakukan intervensi dalam pembuatan perundangan-undangan untuk memuluskan ren-cananya. Contohnya adalah UU Migas Nomor 22/2011, UU Sumber Daya Air Nomor 7/2004, UU Energi Nomor 30/2007, Roadmap Masa Depan Indonesia, h. 18.

Page 80: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

62 ArkeologiFIKIH SOSIAL

pengusaha tinggal memengaruhi Rajanya dan semuanya beres.113 Di Indonesia sendiri sejak masa Orde Baru dan Orde Reformasi dikenal sangat murah menjual kekayaan negara kepada Asing. Misalnya untuk mengamankan kepentingan lewat undang-undang dilakukan dengan umpan bantuan utang dan hibah. Undang-undang tersebut antara lain: UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal; UU No. 23/2003 tentang Badan Hukum Pendidikan; UU no. 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil; UU Ketenagalistrikan Nomor 30/2009; UU Perkebunan Nomor 18/2004.114 Seluruh produk perundangan tersebut ditengarai telah diintervensi oleh Asing untuk mengaman kepentingan-kepentingan bisnisnya. Harus ada pengkajian menyeluruh terhadap undang-undang tersebut untuk menghindari kerugian lebih besar.

Kekuatan kaum kapitalis sungguh luar biasa dan sulit dikontrol. Kemajuan modern dengan seluruh dampak positif dan negatifnya adalah produk dari gerakan aktif para kapitalis. Seluruh matra baik matra laut, darat, dan udara telah dimasuki oleh mereka dengan kartel-kartel raksasa. Kerusakan lingkungan hidup, karena itu, tidak bisa dihindarkan. Generasi masa depan telah dicuri dan dirampas oleh kerakusan segelintir pengusaha secara tidak bertanggungjawab. Kerjasama global untuk mengerem laju ecocide harus dilakukan dengan melibatkan seluruh bangsa dan kearifan-kearifan agama, spiritual, kearifan tradisi, dan ajaran-ajaran luhur bangsa-bangsa beradab.

Terorisme, Ecocide, dan Globalisasi

Terorisme bukanlah masalah satu bangsa dan satu agama, tetapi masalah semua bangsa, agama, dan ideologi. Artinya pada skala dan jenis yang berbeda, setiap bangsa dan agama memiliki masalah terorisme. Terorisme telah melintas batas antar bangsa dan bersifat transnasional. Baik dari sisi dana, pelaku, sasaran, maupun wilayah. Tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia, misalnya, bukanlah berdiri sendiri. Ia bagian dari jaringan internasional.113. Anthony Sampson, The Seven Sister, h. 301 dst.114. Ishak Rafick, Roadmap Masa Depan Indonesia, h. 18.

Page 81: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

63Dr. MUDOFIR

Komunikasi antar pelaku dilakukan melalui teknologi informasi seperti internet dengan seluruh fasilitas yang tersedia. Para pelaku dan penyandang dana memanfaatkan internet sebagai alat propaganda, agitasi, provokoasi, rekrutmen, dan media penghubung. Karena kemudahan semacam ini, aksi-aksi terorisme sangat efektif menciptakan ketakutan dan instabilitas perdamaian dunia. Al Qaedah, ISIS, dan sel-sel terorisme lain telah membuktikan kemudahan ini untuk menjaring kader dan menyebarkan ketakutan dunia. Inilah terorisme global dengan pelaku dan korban global. Tempat terjadinya teror juga berlangsung di sejumlah negara-negara global.

Harus ditambahkan bahwa terorisme bukan hanya dilakukan oleh agama tertentu (Islam) tetapi juga oleh agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lain-lainnya). Etnic cleansing yang terjadi di Bosnia-Hercegovina tahun 1992-1995, misalnya, adalah terorisme negara yang dilakukan oleh Serbia yang Kristen atas Bosnia yang Muslim. Korban-korban sipil baik wanita dan anak-anak dibunuh tanpa rasa kasihan.115 Keterlibatan presiden dan pembantu dekatnya, termasuk Panglima, menunjukkan bahwa terorisme negara (state terrorism) benar-benar nyata. Demikian pula konflik antara Katolik dan Kristen di Irlandia Utara, Hindu dan Sikh, Syiah dan Sunni, dan lain-lainnya menunjukkan bahwa perang yang sangat primitif dengan korban-korban tewas itu nyata. Menurut saya, konflik-konflik itu bagian dari artikulasi radikalisme atau dengan kata-kata yang kasar ‘terorisme’.

Aksi-aksi terorisme bukan hanya menimbulkan korban manusia tetapi juga lingkungan hidupnya. Karena itu, terorisme merupakan kelanjutan dari bunuh diri lingkungan atau ecocide. Bunuh diri lingkungan yang dilakukan melalui aksi-aksi terorisme global melengkapi bunuh diri lingkungan melalui aktivitas-aktivitas ekonomi kapitalisme liberal—sebagaimana dijelaskan dalam matinya kota-kota industri di masa lalu.

Penting dicatat bahwa globalisasi mempercepat arus terorisme dan ecocide antar negara serta memperbesar daya rusak lingkungan hidup. Inti dari globalisasi adalah terjadinya proses 115. Lihat laporan Committee on Foreign Relations, US Senat, The Etnic Cleansing of Bos-nia-Hercegovina (New York: US Government Printing Office, 1992).

Page 82: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

64 ArkeologiFIKIH SOSIAL

integrasi internasional yang dihasilkan dari pertukaran pandangan-pandangan dunia (world views), produk, gagasan, dan aspek-aspek kebudayaan.116 Kemajuan transportasi, internet, pesawat terbang, kapal-kapal, media elektronik, dan telepon genggam dengan seluruh turunanya telah menjadi faktor globalisasi yang mempercepat kesalingtergantungan ekonomi, dan aktivitas-aktivitas kebudayaan—baik positif maupun negatif. Globalisasi, karena itu, menyatukan semua faktor itu ke dalam satu dunia dan atau satu panggung yang dirasakan hadir nyaris secara bersamaan.

Itulah sebabnya, suatu aksi terorisme dan atau aktivitas ecocide yang terjadi di suatu wilayah dapat memengaruhi wilayah-wilayah lainnya di berbagai negara. Krisis keuangan di negara tertentu atau gagal panen gandum di suatu negara akan berdampak pada harga-harga dan kelangkaan gandum di negara lainnya. Dunia yang saling bergantung semacam ini bisa menghadirkan sisi positif dan negatif.

Sisi positif dan negatif globalisasi tak bisa dihindarkan. Semua negara secara saling bergantung dan bekerjasama dapat mengatasi sisi negatifnya, termasuk dalam perkara terorisme dan fenomena bunuh diri lingkungan atau ecocide. Contoh-contoh kerjasama global telah dilakukan baik melalui kerjasama kawasan maupun kerjasama melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).117 KTT Bumi, pertemuan-pertemuan bilateral, dan multilateral di bidang penanganan krisis lingkungan serta terorisme global menunjukkan bahwa globalisasi juga bisa menyatukan satu visi penyelamatan warisan satu-satunya, yakni planet hijau bumi.118 Kesalingtergantungan negara-negara juga menegaskan bahwa tidak ada sebuah bangsa yang dapat mengatasi masalah terorisme dan ecocide sendirian. Kerjasama global, karena itu, adalah sebuah kemutlakan yang total.

Badan-badan dunia seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan seluruh organnya (FAO, WHO, ILO, IMF, dan lain-lain), Bank Dunia, ECOSOC (Economic and Social Council), ADB (Asian Development Bank), IDB (Islamic Development Bank), IMF

116. Martin Albrow and Elizabeth King (eds.), Globalization, Knowledge, and Society (London: Sage Press, 1990).117. Lihat kembali Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: ArgumenKonservasi LingkunganSebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah, h. 105 dst.118. Albert Gore, Jr., Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit (New York: Houghton Mifflin, 1992), h. 269.

Page 83: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

65Dr. MUDOFIR

(International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), dan lain-lainnya juga perlu bekerjasama merespons isu-isu krisis lingkungan dan terorisme global yang diintegrasikan ke dalam program dan kebijakan mereka. Mereka adalah lembaga dengan kekuatan modal sosial, ekonomi, dan politik yang besar dan bisa memengaruhi baik buruknya lingkungan dunia. Pengaruh-pengaruh badan dunia ini telah terbukti nyata dan bahkan dapat mendikte suatu pemerintahan negara. Jika hal ini positif dan merupakan bagian dari respons global atas krisis lingkungan, maka mendikte itu menjadi keharusan. Setiap negara bahkan harus ikut serta dalam program global ini. Bahkan naiknya seorang kepala negara harus diukur dari visinya yang jelas terhadap masalah-masalah lingkungan.

Konsep-Konsep Utama Syari’ah dalam Penanganan Terorisme dan Ecocide

Terorisme telah berkembang dalam jaringan transnasional dan menjadi ancaman global. Sebagai tindakan sadar dan sistematik, aksi-aksi terorisme harus menjadi masalah bersama semua bangsa. Ini berarti fenomena terorisme bukan hanya menjadi masalah domestik dan harus ditangani secara domestik, tetapi menjadi masalah global dengan penanganan secara global. Penanganan terorisme memakai beberapa pendekatan baik agama, ekonomi, hukum, sosio-budaya, maupun keamanan. Semua pendekatan itu ditempuh untuk mencapai pemecahan yang efektif dan komprehensif.

Penting dicatat bahwa terorisme melibatkan semua bangsa, semua agama, dan semua kebudayaan. Artinya, setiap bangsa dan agama punya masalah yang sama berupa terorisme dan ecocide (bunuh diri lingkungan). Perkembangan agama yang dianut setiap bangsa terus berkembang dan mengalami pembaruan-pembaruan. Dalam perkembangan ini, tak pelak, tidak selalu sukses. Beberapa kasus tersangkut problem, konflik, dan benturan. Apalagi jumlah penganut terus bertambah sejalan dengan pertambahan populasi dunia. Nampaknya, populasi dunia yang terus meningkat menimbulkan dampak ikutan baik ekonomi, ruang-ruang sosial budaya, pelayanan publik, krisis lingkungan, krisis energi, krisis

Page 84: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

66 ArkeologiFIKIH SOSIAL

pangan maupun masalah-masalah lain yang bersifat persaingan serta konflik antar kepentingan.

Seperti diketahui bahwa jumlah penduduk dunia per 1 Juli 2015 adalah diperkirakan sebesar 7,324,782,225 jiwa atau bertambah 1.1182% dari tahun sebelumnya yang diperkirakan sebesar 7,243,784,121 jiwa.119 Data ini berdasarkan hasil laporan dari Divisi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang prospek penduduk dunia yang memperkirakan jumlah penduduk dunia dengan metode medium fertility mengingat bahwa tidak mungkin menghitung penduduk dunia secara tepat dalam suatu periode tertentu. Benua Asia menjadi benua dengan penduduk terbanyak, sedangkan benua Australia dan Oseania menjadi benua dengan penduduk tersedikit. Indonesia sendiri diperkirakan mempunyai penduduk sebesar 255,708,785 pada tanggal 1 Juli 2015 ini.120

Adapun persebaran penduduk dunia berdasarkan benua dan wilayah adalah sebagai berikut:121

No Benua dan Wilayah Jumlah Penduduk %1 Asia 4,384,844,097 59.86%2 Afrika 1,166,239,306 15.92%3 Eropa 743,122,816 10.15%4 Amerika Selatan

dan Karibia630,088,917 8.60%

5 Amerika Utara 361,127,819 4.93%6 Australia dan

Oseania39,359,270 0.54%

Total 7,324,782,225 100.00%

Membaca data di atas dapat dianalisis bahwa ledakan penduduk dapat menambah persoalan lingkungan dan juga terorisme bila tidak memperoleh perhatian dari pemerintah-pemerintah suatu negara melalui kebijakan-kebijakan yang tepat dan adil. Dalam jumlah tujuh miliar lebih tersebut, umat Islam adalah seperlimanya, 119. http://www/informasipedia.com/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html diakses tanggal 11 Juli 2016.120. http://www/informasipedia.com/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html diakses tanggal 11 Juli 2016.121. http://www/informasipedia.com/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html diakses tanggal 11 Juli 2016.

Page 85: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

67Dr. MUDOFIR

yakni sekitar 1.464.956.445 orang.

Merujuk pada pendapat Fazlur Rahman, ada tiga tema utama yang menjadi tema pokok al-Qur’an, yakni: Allah, manusia, dan lingkungan atau alam semesta. Manusia dalam relasi ini menduduki sebagai khalifatullahfil ‘ardh atau wakil Allah di muka bumi. Tugasnya mengelola, memanfaatkan, dan mengembangkan karunia Allah di muka bumi untuk kepentingan manusia, lingkungan, dan makhluk lain non-manusia. Pengertian wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ‘ardh) tidak berarti penguasa yang terlepas dari tanggung jawab moral, tetapi wakil Tuhan yang didasari sifat shiddīq, amānah, tablīgh, dan fathānah. Manusia juga tetap seorang hamba atau ‘abdullah yang tidak bisa melampaui kekuasaan Allah atau ‘al-khaliq’. Dalam pengertian demikian, manusia memikul mandat sebagai ‘abdullah dan khalifatullah sekaligus.

Dari perspektif filsafat hukum Islam, ada teori maqashid al-syari’ah yang mewajibkan manusia untuk menjaga lima komponen, yakni: menjaga agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga properti, dan menjaga keturunan. Kelima komponen yang dijaga ini dikenal dengan istilah al-kulliyat al-khams. Semua mazhab menyepakati teori ini sebagai teori commonsense yang bisa dikatakan sebagai common platform para ulama untuk merengkuh tujuan-tujuan hukum yang tertinggi. Namun dalam perkembangannya teori ini terus diperbarui dan dianggap perlu mengakomodir konteks-konteks baru seperti misalnya masalah lingkungan hidup. Dari pemikiran inilah konsep yang lima ditambah satu lagi berupa ‘menjaga lingkungan’ sehingga menjadi enam komponen (al kulliyyat al-sitt). Pemikiran ini berangkat dari fakta bahwa menjaga ‘yang lima’ (al kulliyat al-khamsah) tidak akan berfungsi jika kelimanya berada dalam lingungan yang buruk. Menjaga agama, misalnya, tak akan berarti jika air, tanah, dan udara yang ada justru membuat manusia sakit dan bahkan mati karena tecemar bahan-bahan kimia mematikan. Atau menjaga akal dan jiwa tidak berarti tanpa pada saat yang sama menjaga lingkungan yang mendukung mereka bisa bertahan serta sehat. Menjaga lingkungan dalam konteks ini menjadi hal terpenting agar menjaga yang lima dapat dilakukan dengan baik dan berkualitas.

Teori maqāshid atau mashālih (kemaslahatan-kemaslahatan)

Page 86: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

68 ArkeologiFIKIH SOSIAL

telah diperkenalkan oleh sejumlah ulama. Maqāshid adalah kata lain atau alternatif dari kata ‘mashalih’. Abdul-Malik al Juwaini (w. 478 H/1185 M), misalnya, disebut sebagai kontributor paling awal terhadap teori maqashid yang menggunakan istilah al-maqāshid dan al-mashalih al-‘ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian. Selanjutnya, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengelaborasi klasifikasi maqashid, yang ia masukkan ke kategori ‘kemaslahatan mursal’ (al mashlahah al-mursalah), yaitu kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung dalam nash. Selanjutnya, Fachruddin al-Razi (w. 606 H/1209 M) dan al-Amidy (w. 631 H/1234 M) mengikuti terminologi al-Ghazali.122 Kemudian, teori ini dikembangkan lagi oleh Najmud Din al-Thufy (w. 716 H/1216 M) dengan memberi definisi baru al mashlahah sebagai ‘apa yang memenuhi tujuan sang Pembuat Syari’ah’. Sementara, al Qarafi (w. 1285 H/1868 M) mengaitkan kemaslahatan dan maqashid dengan ‘kaidah Ushul Fikih yang menyatakan: “Suatu maksud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudaratan”.123

Dari evolusi teori maqāshid tersebut nampak jelas bahwa tujuan dari maqāshid adalah berusaha mencapai kemaslahatan sebesar-besarnya. Para ulama berijtihad agar teks-teks al Qur’an dan hadis sahih tidak membatasi perluasan ‘kebaikan’ yang dalam masa klasik belum dirasakan ada atau hadir. Dengan teori yang sangat cerdas dan strategis ini, maqashid sangat relevan untuk dipakai dalam mengelaborasi konsep-konsep perlindungan lingkungan baik dari sisi terorisme maupun bunuh diri lingkungan atau ecocide.

Di masa modern, teori maqashid dapat diperluas penerapannya. Jika teori awal hanya menjaga lima komponen seperti: agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan kini ditambah lagi menjadi menjaga lingkungan. Menjaga lingkungan dengan seluruh levelnya, justru, menjadi yang terpenting ketika di sana-sini telah mnunjukkan tren kerusakan dan mengancam kelangsungan hidup di masa depan. Karena itu, perluasan makna, cakupan, dan penerapan teori maqashid merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara 122. Lihat Abu Bakr al-Maliki ibn al-Arabi, al-Mahshūl fi Ushūl al-Fiqh, Husayn Ali Alyadri dan Said Fuda (eds.), edisi ke-1 (‘Amman: Dar al-Bayariq, 1999), vol. 5, h. 222.123. Syihab al Din al-Qarafy, al-Dhahirah (Beirut: Dar al ‘Arab, 1994), vol. 5, h. 478.

Page 87: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

69Dr. MUDOFIR

dinamis serta berkelanjutan.

Selanjutnya, kata ‘menjaga’ atau al-hifdhu perlu diperluas lagi maknanya menjadi perlindungan dan pengembangan. Artinya enam komponen (menjaga agama, akal, jiwa, harta, keturunan, dan lingkungan) bukan hanya dikonservasi atau diproteksi tetapi juga dikembangkan atau dibuat lebih produktif untuk tujuan-tujuan kemaslahatan yang lebih berkualitas.

Para yuris atau fakih Muslim kontemporer mengembangbangkan terminologi maqashid tradisional dalam bahasa masa kini, meskipun ada penolakan beberapa fakih terhadap ide ‘modernisasi’ terminologi maqashid. Namun, menolak hadirnya isu-isu modern seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, lingkungan hidup, perbankan, perdagangan transnasional, dan lain-lain akan membuat hukum Islam terisolasi dari pergaulan antar bangsa dan antar peradaban. Karena itu, kontemporerisasi maqashid, menurut saya, sangat penting untuk dilakukan guna menangkap semangat jaman dengan seluruh tantangan serta peluangnya.

Secara operasional, menjaga enam komponen dapat diperluas makna, cakupan, dan dimensinya. Misalnya, menjaga agama berarti bukan hanya menjaga pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama, memelihara tempat-tempat ibadah, bebas melakukan kegiatan keagamaan, dan lain-lain, tetapi juga kebebasan memeluk agama, keharusan menghormati hak agama orang lain, dan lain sebagainya. Dalam konteks makna ini, menjaga agama yang semula hanya bermakna internal harus diperluas keluar mencakup penghormatan pada perbedaan agama, melindungi hak-hak pemeluk lain, mengembangkan toleransi, bersikap egalitarian, dan mengembangkan prinsip-prinsip inklusivitas beragama. Dengan makna semacam ini, terorisme, radikalisme agama, dan fundamentalisme ekstrem tidak mendapat tempat dan keluar dari prinsip hifdh al-din—sebagaimana dikemukakan para yuris klasik.

Menjaga agama (hifdh al-din) dengan perspektif kontemporer cukup efektif mengembangkan ide toleransi, menekan radikalisme, dan mengembangkan perdamaian dunia. Dialog intra dan antar umat beragama bisa menjadi instrumen pengembangan kehidupan beragama yang rukun, toleran, inklusif, dan rahmatan lil ‘alamin.

Page 88: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

70 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Cara pandang ini memungkinkan Islam khususnya, dan umat beragama umumnya bisa mengalihkan ide-ide menjaga agama kearah kerjasama global dalam bidang-bidang yang lebih strategis seperti mengatasi terorisme global dan ecocide transnasional.

Berdirinya ISIS, misalnya, tidak dapat dibenarkan. Para pendiri ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) mungkin berdalih bahwa negara yang didirikannya adalah untuk melindungi agama Islam dari rongrongan orang-orang kafir. Tetapi, karena mereka memaknai perlindungan agama terpisah dari filosofi komprehensif tentang hubungan Allah, manusia, dan alam yang seharusnya harmanonis dan penuh moral, maka tindakan mereka justru sangat sektarian, biadab, dan antitesis dengan nilai-nilai keislaman serta nilai-nilai keadaban yang berlaku dalam pergaulan bangsa-bangsa beradab di dunia. Contoh lainnya adalah negara Israel yang didirikan secara eksklusif di tengah-tengah bangsa Arab dan terus mengusik warga Palestina dengan kekerasan atas nama agama Yahudi. Daftar contoh ini dapat diperluas lagi baik terkait agama Islam, Yahudi, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, maupun varian-variannya. Ketidakharmonisan hubungan antar agama dapat mengganggu stabilitas suatu bangsa, kawasan, bahkan global. Bahkan dalam jangka jauh bisa mendorong kekerasan dan terorisme global.

Terorisme yang melanda Prancis, Jerman, dan tempat-tempat lain di dunia akhir-akhir ini sering dilakukan karena pelakunya merasa ingin membalas atas tindakan bangsa Barat kepada umat Islam di Irak, Palestina, Suriah, dan dunia Islam. Radikalisme yang didorong oleh sentimen-sentimen keagamaan dan ketidakadilan dunia Islam merupakan wujud nyata dari adanya saling pengaruh antara negara-negara yang tertindas dan para “penindasnya”. Mengakhiri fakta-fakta konfliktual inilah maka teori maqashid tentang keharusan menjaga agama berarti pula menjaga hubungan antar agama, mengembangkan toleransi, bahkan menghormati kebebasan beragama.

Sebagaimana konsep ‘menjaga agama’ yang diperluas ke ranah kontemporer, ‘menjaga jiwa’ (hifdh al-nafs) tidak hanya menjaga kesehatan dalam pengertian fisik, individual, dan sempit, tetapi juga diperluas ke makna kesehatan masyarakat, kesehatan

Page 89: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

71Dr. MUDOFIR

psikis, budaya, ruang kebebasan sebagai individu dan masyarakat, serta konsep-konsep lain terkait pertumbuhan jiwa. Perlu disadari bahwa jiwa tidak dapat berkembang baik dan positif jika berada dalam keterbelengguan, berada dalam lingkungan sosial budaya yang rapuh, biadab, perang, konflik, kelaparan, dan lain-lain. Ada sejumlah prakondisi yang harus dipenuhi jika jiwa ingin berkembang dengan baik, positif, dan produktif. Menjaga jiwa, karena itu, memerlukan prakondisi-prakondisi lain yang memungkinkan jiwa it terus tumbuh.

Selanjutnya menjaga akal (hifdh al-‘aql). Makna tradisional ‘menjaga akal’ dalam literatur teori maqashid terbatas hanya pada larangan meminum minuman keras. Maknanya perlu diperluas menjadi menjaga kesehatan akal, menciptakan ruang kebebasan berfikir atau berpendapat atau menulis dengan disinari tanggungjawab. Membuka kran kebebasan berpendapat tidak berarti membuka kran relativisme nilai. Ada parameter-parameter ilmiah yang bisa mengukurnya. Menjaga akal dapat juga diselenggarakan melalui pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi; membuka akses masyarakat pada layanan pendidikan baik formal maupun non-formal; dan program-program lain yang memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan pikiran-pikiran mereka secara positif-konstruktif. Menjaga akal juga bisa berarti usaha mendorong agar ijtihad tentang masalah-masalah keagamaan, sosial, ekonomi, dan lain-lain dapat dimungkinkan. Ijtihad tidak mungkin diselenggarakan jika akal-akal para ulama atau cendekiawan tidak dinamis, tidak berwawasan, dan ketinggalan jaman. Dengan perluasan makna ‘menjaga akal’ ini, maka produktifitas ijtihad diharapkan bisa meningkat, efektif, kaya perspektif, dan menjangkau isu-isu kontemporer yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Menjaga harta (hifdh al-mal). Arti menjaga harta berarti menjaga sumber-sumber daya kehidupan baik berupa aset fisik, non-fisik, maupun potensi-potensi ekonominya. Baik kebutuhan-kebutuhan dasar (primer) maupun sekunder. Filosofi ‘menjaga akal’ sebagamana diteorikan para ulama klasik sangat futuristik mengingat bahwa menjaga agama, jiwa, dan akal tidak fungsional jika berada dalam kehidupan yang lapar, tertindas, dan miskin ekstrem. Atau

Page 90: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

72 ArkeologiFIKIH SOSIAL

bahkan dalam sumber-sumber daya kehidupan yang tercemar dan potensial menyebabkan kematian.

Lebih jauh, hifdh al-mal versi al-Ghazali bersama dengan ‘hukuman bagi pencurian’ versi al-Amiri dan proteksi uang versi al-Juwaini akhir-akhir ini berkembang menjadi istilah-istilah sosio-ekonomi yang familiar, misalnya ‘bantuan sosial’, ‘pengembangan ekonomi’, ‘distribusi uang’, ‘masyarakat sejahtera’ dan ‘pengurangan kesenjangan antar kelas sosial-ekonomi’.124 Pengembangan ini memungkinkan pemanfaatan maqashid untuk mendorong pengembangan ekonomi, yang sangat dibutuhkan di kebanyakan negara-negara berpenduduk mayortas Muslim. Perluasan makna hifdh al-mal ini, dengan demikian, tida terbatas hanya pada ranah keluarga, tapi mencakup ranah masyarakat dan negara.

Menjaga keturunan (hifdh al-nasl). Menjaga keturunan dimulai sejak menjaga agama, jiwa, akal, dan harta. Keturunan yang sehat, cerdas, saleh/salehah, produktif, dan memiliki moralitas adalah aset pembangunan di masa depan. Menyiapkan keturunan yang unggul adalah penyiapan generasi mendatang yang unggul bagi pembangunan peradaban. Generasi unggul harus baik dari sisi fisik, akal, jiwa, keyakinan, dan kematangan. Menyiapkan generasi semacam ini tidaklah murah dan perlu dukungan banyak hal—termasuk kebijakan politik, akses pendidikan, kebebasan berfikir, lingkungan yang sehat, stabilitas politik, dan lain sebagainya.

Menyiapkan keturunan yang unggul dimulai dari persiapan-persiapan yang bermutu. Misalnya, dimulai dari bibit yang baik, sehat, cerdas, cukup gizi, cukup cinta-kasih, lingkungan yang berkualitas, dan bermoral. Nah, prakondisi-prakondisi itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi melalui serangkaian usaha, rencana, dan kehendak kuat untuk mengelolanya. Setiap manusia harus mencegah terjadinya ‘generasi yang hilang’ atau lost generation akibat salah urus, kurang gizi, dan lain-lain sehingga membuat mereka tidak berkualitas otak, fisik, dan psikisnya. Selain itu, menyiapkan generasi unggul harus pula memerhatikan aspek keberlanjutan dan kualitas hidup. Misalnya, membatasi kelahiran agar generasi dapat terjamin kesehatan, pendidikan, dan masa depannya. Tercakup di 124. Lihat Quttub Sano, Qira’ah Ma’rifiyyah fi al-Fikr al-Ushuli, edisi I (Kuala Lumpur: Dar al-Tajdid, 2003), h. 157.

Page 91: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

73Dr. MUDOFIR

dalamnya juga larangan banyak anak untuk menghindari ledakan penduduk dan menyongsong keterjaminan hidup layak baik dari sisi fisik, psikis, maupun lingkungan.

Yang terakhir adalah menjaga lingkungan (hifdh al-bi’ah). Seperti diuraikan dalam bab terdahulu, menjaga lingkungan sangat urgen karena menyangkut berkualitas tidaknya perlindungan kelima komponen dasariah, yakni: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Menjaga lingkungan berarti larangan atas pencemaran, pemborosan sumber-sumber daya alam, larangan sikap sekularistik terhadap alam, dan keharusan untuk membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang mempertimbangkan keberlanjutan; dan lain-lain. Maknanya bisa diperluas ke arah ekonomi, industri, pertambangan, perdagangan, perbankan, dan lain-lain.

Pendekatan berbasis nalar maqashid, utamanya hifdh al-bi’ah, semacam ini akan memungkinkan peran fundamental dalam penalaran hukum Islam terkait pemeliharaan lingkungan. Konsep halal dan haram, misalnya, bisa dikontemporerisasi menjadi eco-label yang berarti bahwa suatu benda atau produk dinyatakan halal bila tidak mengandung bahan-bahan dari binatang najis dan atau bahan-bahan yang tercemar. Intinya harus ramah lingkungan. Selama ini, konsep halal lebih menekankan aspek ‘najis’ atau ‘mengandung minyak babi’ dan kurang memerhatikan perspektif-perspektif ekologis. Pergeseran paradigma halal-haram harus diperluas lagi dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi ekologis.

Dari teori maqashid atau mashlahat yang intinya beroperasi untuk melindungi dan mengembangkan yang enam (al kulliyat al-sitt), maka pencegahan dan pemecahan terorisme serta ecocide dapat dilakukan secara efektif. Terorisme dan ecocide terlalu sering dilakukan atas nama ajaran-ajaran Islam dan agama. Padahal secara teologis tidak memiliki dasar legalitas. Pengembangan teori maqashid atau maslahat ditujukan untuk mendasari prinsip-prinsip tindakan Muslim terkait manusia dan lingkungannya secara benar. Perintah menjaga yang enam (menjaga agama, jiwa, akal, harta, keturunan, dan lingkungan) adalah perintah universal yang dapat diterima secara akal sehat, norma hukum, norma sosial, dan kearifan tradisi-tradisi masyarakat global.

Page 92: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

74 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Hubungan antara Allah, manusia, dan alam atau lingkungan diartikulasikan dalam keteraturan alam semesta dan menjadi tema pokok al Qur’an—yang merupakan wahyu Allah sebagai petunjuk umat manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardh. Karena itu, perintah menjaga yang enam sangat relevan dengan semangat kemanusiaan kontemporer yang dilanda peperangan, terorisme global, krisis lingkungan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, krisis pangan, krisis energi, dan ledakan penduduk. Semua krisis itu, pada dasarnya, adalah artikulasi dari krisis spiritual yang diidap oleh manusia modern. Di sini peran agama, seperti Islam, sangat fundamental untuk mengeksplorasi ajaran-ajarannya untuk tujuan-tujuan membangun perdamaian, menciptakan keadaban, menuntun arah hidup berkesinambungan, dan membangun wakil-wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi secara amanah. Hal ini dilakukan melalui penciptaan filsafat hukum Islam yang memadai bagi lestarinya enam komponen di atas yang saya sebut sebagai al-kulliyat al-sitt.

Menuju Masyarakat Islam Yang Nir-Terorisme dan Nir-Ecocide: Pendekatan Maqashid

Bangsa-bangsa Muslim sebagian besarnya tinggal di negara-negara miskin dan tertinggal baik secara ekonomi, sosial-politik, maupun secara ilmu pengetahuan. Ini bila dilihat dari sisi human development index (indeks pembangunan manusia). Indeks pembangunan manusia adalah statistik tentang indikator harapan hidup, tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan perkapita yang digunakan untuk merangking negara-negara.125 HDI juga sering diukur dari segi apakah seseorang itu bahagia atau layak dalam kehidupannya.126 Dilihat dari HDI, dunia Islam dianggap belum maksimal dalam mendorong kemajuan. Padahal dari sisi konseptual, Islam sangat unggul dan memerintahkan untuk dinamis dalam kehidupan di dunia ini. Apa yang menyebabkan negara-negara Islam tertinggal dan berada di bawah hegemoni Barat dan lainnya?

125. Human Development Index dikembangkan oleh ilmuan Pakistan bernama Mahbubul Haq yang bekerjasama dengan ekonom India, Amartya Sen. Lihat Wikipedia Online, “the Human Development Index”, diakses pada 14 Juli 2016.126. Wikipedia Online, “the Human Development Index”, diakses pada 14 Juli 2016.

Page 93: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

75Dr. MUDOFIR

Pertanyaan ini sebenarnya muncul sejak perjumpaannya dengan modernitas yang ditandai oleh kecakapan teknis dengan seluruh filsafat yang melandasinya sejak 300 tahun yang lalu. Karena itu, konsep-konsep fikih dan filsafat Islam harus direkonstruksi untuk mengungkit kebangkitan kembali di masa modern. Pembaruan atas ushul fikih, teologi, tafsir, filsafat, dan pendidikan harus digencarkan kembali.

Dari sisi krisis lingkungan dan aksi-aksi terorisme, dunia Islam juga parah dan menjadi sorotan dunia. Krisis lingkungan dan instabilitas politik negara-negara Muslim sangat mengenaskan sehingga sulit melakukan pembangunan. Nilai-nilai Islam—yang secara konseptual unggul—ternyata tidak berdaya di hadapan kekuatan Barat. Barat adalah bangsa modern dengan kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan militer. Empat hal tersebut menjadi dimensi penting yang menopang peradaban Barat modern selama hampir 300 tahun. Dengan kekuatan sains, teknologi, dan militer Barat menaklukkan, mengontrol, serta menghegemoni bangsa-bangsa Muslim selama berabad-abad. Pertanyaan dasarnya adalah adakah sesuatu yang salam dalam ajaran Islam dan umat Muslimnya?

Nah, dengan memperluas dan memperkaya teori maqashid atau maslahat di atas untuk memecahkan problem terbesar dunia Islam berupa terorisme dan ecocide—walaupun sebenarnya ecocide lebih dilakukan oleh Barat modern—perlu merekonstruksi filfasat pemikiran hukum di mana ia menjadi landasan berfikir umat. Dengan memperbaiki dan menyebarkan konsep-konsep dasar ini, ia bisa menjadi panduan bagi umat untuk merekonstruksi peradabannya di tengah-tengah ancaman krisis lingkungan dan terorisme.

Menarik sekali bahwa Jasser Auda mengusulkan perlunya maqashid diarahkan sebagai alat pemberdayaan atau pengembangan sumber daya manusia (SDM).127 Menarik bahwa Laporan Pembangunan PBB menyebutkan banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim berada di tingkat yang lebih rendah daripada tingkat negara maju dalam Indeks Pembangunan Manusia.

127. Lihat bukunya yang sangat bagus Jasser Auda, Maqashid Syariah as a Philosophy of Islamic Law: A System Approach (International Institute of Islamic Thought, 2008).

Page 94: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

76 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Laporan pembangunan UNDP tersebut disusun berdasarkan lebih dari 200 indikator, termasuk mengukur partisipasi politik, kemampuan baca-tulis, keikutsertaan dalam pendidikan, harapan hidup, akses mendapatkan air bersih, ketenagakerjaan, standar hidup, dan kesetaraan gender. Namun, beberapa negara dengan mayoritas Muslim, khususnya negara-negara Arab yang kaya minyak, menunjukkan kesenjangan, menurut Laporan PBB, antara tingkat pendapatan nasional mereka dan kesetaraan gender, yang mencakup partisipasi politik kaum wanita, partisipasi ekonomi, dan kekuasaan terhadap sumber daya.128

Di samping minoritas Muslim yang tinggal di negara-negara maju, sebagian kecil negara dengan mayoritas Muslim telah menduduki urutan Indeks Pembangunan yang Tinggi seperti Brunei, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Namun, kelompok-kelompok negara di atas secara kolektif hanya mewakili 1% umat Islam. Daftar HDI dengan posisi bawah meliputi Yaman, Nigeria, Mauritania, Djibauti, Gambia, Senegal, Guinea, Pantai Gading, Mali, dan Niger—yang secara kolektif mewakili 10% umat Islam. Negara-negara lainnya adalah Bangladesh, Indonesia, dan Irak yang porak poranda akibat perang berkepanjangan.

Dengan melihat fakta-fakta dunia Islam tersebut, penting kiranya pembangunan sumber daya manusia (human resources) menjadi bagian penting dari tujuan maqashid atau kemaslahatan publik. Pembangunan manusia yang baik, produktif, dan menguasai alat-alat modern seperti kecakapan teknologis, penguasaan sains, perbankan, perdagangan, pertambangan dan lain-lain di samping, tentu saja, ilmu-ilmu tradisional atau turats harus direalisasikan melalui hukum Islam. Hal yang sama juga untuk difungsikan bagi pencegahan terorisme dan ecocide atau bunuh diri lingkungan.

Jadi, memahami terorisme dan ecocide sebagai gejala global yang merusak lingkungan dan masa depannya dilakukan dengan memahami akar-akarnya baik dari sisi teologis, sosial-budaya, politik, maupun ekonomi. Terorisme secara faktual telah ikut menyumbang kerusakan lingkungan karena sasarannya bukan saja manusia,

128. Lihat United Nation Development Programm UNDP, Annual Report 2004 (diakses pada 16 Juli 2016) tersedia dalam http://www.undp.org/annualreports/2004/english

Page 95: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

77Dr. MUDOFIR

bangunan, tetapi juga tempat-tempat umum dan menimbulkan pencemaran air, udara, tanah, serta suara. Terorisme terdiri dari terorisme individual atau kelompok dan terorisme negara atau state-terrorisme. Kedua jenis terorisme telah menyumbang kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan yang berkelanjutan.

Bentuk-bentuk terorisme dan ecocide di masa kontemporer jauh lebih berbahaya. Mereka terdiri dari terorisme dengan teknologi canggih dengan korban-korban massal dan sangat destruktif bagi lingkungan—termasuk penggunaan bahan-bahan kimia, senjata pemusnah massal, dan lain-lainnya. Sementara ecocide atau bunuh diri lingkungan dapat berwujud fisik maupun non-fisik. Yang berwujud fisik seperti industrialisasi yang serakah dan tidak memerhatikan dampak lingkungan; penngunaan teknologi nuklir yang ceroboh; aktivitas perekonomian dan industri yang merusak ekosistem; penebangan hutan secara illegal; dan lain-lain. Sedangkan yang berwujud non-fisik antara lain: pandangan hidup hedonis; ideologi-ideologi capital-liberal; sikap konsumerisme; dan lain-lain.

Kontribusi Islam untuk mencegah dan memecahkan fenomena terorisme dan ecocide adalah dengan menyajikan konsep-konsep utama Syari’ah melalui pendekatan Maqashid al-Syari’ah. Caranya adalah dengan mendekonstruksi dan selanjutnya merekontruksi ajaran-ajaran fikih tentang keharusan merawat lingkungan sebagai bagian integral kewajiban agama. Menjaga lingkungan atau hifdh al-bi’ah dimasukkan ke dalam terori al kulliyat al khams sehingga menjadi al kulliyat al-sitt (menjaga enam komponen, yakni: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga, harta, menjaga keturunan, dan menjaga lingkungan). Namun demikian, makna al kulliyat al-sitt yang merupakan tujuan Maqashid al-Syari’ah harus dikontemporerisasi ke dalam isu-isu kontemporer seperti menjaga dan mengembangkan demokrasi, hak-hak asasi manusia, toleransi, sikap inklusif dan keterbukaan, egalitarian, hingga pengembangan sumber daya manusia. []

Page 96: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

78 ArkeologiFIKIH SOSIAL

BAB VARKEOLOGI FIQIH JIHAD DALAM PEMBANGUNAN

BANGSA: SOLO SEBAGAI LOKUS

Dalam beberapa kasus terorisme di Tanah Air, Surakarta dan sekitarnya sering disebut sebagai basis. Juga disebut menjadi tempat lahir dan persembunyian para pelaku. Kasus peledakan bom di Bali tahun 2002 yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan dikomando serta dikoordinasikan di kota Surakarta. Tertembaknya Noordin M Top dan sejumlah orang yang diduga teroris tahun 2009 juga terjadi di kota ini.129 Selanjutnya, kasus-kasus penembakan pos-pos polisi dan beberapa gereja oleh teroris juga pernah menghiasi berita-berita nasional yang terjadi dan berasal dari kota budaya ini.130 Bahkan sebagian besar pelaku teroris yang ditangkap di sejumlah daerah punya titik simpul dengan jaringan gerakan radikalisme di sini.

Tokoh terkenal yang menjadi inspirator gerakan radikal adalah Abu Bakar Baasyir. Dia berasal dari Jombang tapi lama bermukim di kota Surakarta sejak bergabung dengan Abdullah Sungkar menjadi pengasuh Pondok Pesantren al Mukmin Sukoharjo. Dua tokoh ini dikenal sangat kritis pada pemerintah Orde Baru melalui mimbar-mimbar khutbah, pengajian, dan siaran radio. Keduanya sempat lari ke Malaysia dan di sana membentuk sel-sel radikalisme. Setelah Orde Baru tumbang pada 1998, Abu Bakar Baasyir pulang kemudian menggerakkan dan menyerukan penerapan Syari’ah pada semua level kehidupan.

Abu Bakar Baasyir sangat yakin dan secara terus-menerus menyuarakan agar Syari’ah sebagai hukum Allah menjadi panglima

129. Harian Kompas, 7 Agustus 2009.130. Terjadi baku tembak di jalan Veteran, Tipes, Solo antara Farhan terduga teroris dengan polisi. Baca Republika, Jumat, 31 Agustus 2012.

Page 97: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

79Dr. MUDOFIR

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beliau menyatakan gerakan ini sebagai jihad yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim. Pengaruh Baasyir begitu besar, sehingga dia pernah diangkat menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia. Dalam gerakan jihad menerapkan Syari’ah di Indonesia, Baasyir merupakan orang paling penting dan tokoh yang paling lantang bicara formalisasi Syari’ah ke dalam kehidupan negara sebagai sebuah jihad.

Makna jihad oleh kelompok ini masih dimaknai secara tekstual dan kental dengan paradigma konfliktual.131 Tidak berubahnya pemahaman mereka atas ayat-ayat jihad, menyebabkan kelompok ini sangat memusuhi mayoritas umat Islam yang tidak sepaham. Sebagian besar umat Islam, di sisi lain, telah menyadari secara sadar bahwa penerapan Islam di Indonesia harus menyesuaikan konteks-konteks sosial dan budaya.132 Hidup dalam ikatan-ikatan kebangsaan dan ke-Indonesia-an, mengharuskan umat Islam menaati hukum-hukum yang berlaku di sini. Islam datang ke Nusantara tidak sendirian.133 Dalam sejarahnya sejak berabad-abad, Nusantara dihuni oleh berbagai keragaman budaya, agama, kepercayaan, adat istiadat, bahasa, norma, dan tradisi.134 Islam datang bukan di dunia yang sama sekali baru. Karena itu, Islam harus menempatkan diri secara baik di tengah keragaman bangsa yang telah ada sebelumnya.

Perlu dicatat bahwa Indonesia adalah keajaiban dan keberhasilan sebuah eksperimen sosial besar yang terjadi di abad XX. Keajaiban karena Indonesia lahir berawal dari sebuah ide tentang persatuan. Disebut keberhasilan eksperimen sosial besar karena Indonesia telah mengikat perbedaan dalam satu kesadaran nasional.135 Menyadari fakta-fakta ini, maka agama-agama yang 131. Mudhofir Abdullah, Jihad Tanpa Kekerasan (Jakarta: Inti Medina, 1999). 132. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), cet IV, h. 177.133. Ketika Islam datang, di Indonesia sudah ada Hindu, Budha, dan kepercayaan-kepercayaan lokal yang hidup ribuan tahun. Karena itu, ada banyak tradisi, norma, adat-istiadat, dan pandangan dunia yang beragam. Bandingkan dengan M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since C. 1200, third edition (London: Palgrave Macmillan, 2001).134. Kepulauan Nusantara membentang dari Teluk Benggala ke Samudra Pasifik. Asia Tenggara merupakan Nusantara dan sejak negara-bangsa lahir Nusantara terbagi-bagi ke dalam beberapa negara termasuk Indonesia. Bandingkan Michael Laffan, The Making of Indonesiaan Islam (Princeton: Princeton University Press, 2011), h. 1, 2, 3.135. Baca Robert E. Elson, The Idea of Indonesia: A History (Cambridge: Cambridge

Page 98: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

80 ArkeologiFIKIH SOSIAL

ada di Indonesia—termasuk Islam—tidak menjadi kebenaran tunggal yang secara otoriter mendikte dan melenyapkan yang lain (the others). Karena itu, Islam dan umat Islam dituntut menjadi agen bagi kesadaran nasional melalui ajaran-ajarannya berbagi tanggung jawab dengan agama-agama lain yang diakui di sini.

Jihad adalah salah satu ajaran Islam yang terpenting. Ibn Taymiyah bahkan menyebut jihad sebagai paling utama. Menurut Ibn Qayyim, jihad dapat berupa memerangi hawa nafsu, memerangi setan, memerangi orang kafir, dan jihad memerangi orang munafik, memerangi pelaku kezaliman, dan memerangi pelaku bid’ah serta kemungkaran.136 Pengertian tradisional jihad semacam ini masih dipegangi secara otentik oleh sekelompok umat Islam di Surakarta. Karena itu, banyak musuh yang harus dilawan. Ini dilakukan misalnya dengan melakukan sweeping atas tempat-tempat maksiat, mencurigai aktivitas agama lain, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Surakarta khususnya, paradigma radikal bukanlah paradigma mainstream. Ia hanyalah minoritas yang lahir sebagai respons atas perubahan-perubahan dan goncangan-goncangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam istilah Abdullah Ahmed an Naim, fenomena radikalisme atau fundamentalisme137 Islam harus dipahami sebagai an indigenous spontaneous response to profound social, political, and economics crises, rather than either predominant among Islamic societies at any given point in time, or permanent where it does occur.138 Ia bukan berakar dari dimensi teologis tapi lebih sebagai tanggapan atas perubahan-perubahn sosial dan politik di masa krisis yang dapat mengancam nasib masyarakat Muslim itu sendiri.University Press, 2008).136. Ibn al-Qayyim, Zādul Ma’ād fī Khair al-Ibād, tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abd al Qadir al Arnauth (Beirut: Muassasāt al Risalah, 1421 H). 137. Istilah fundamentalisme Islam menurut An Naim kurang tepat, karena istilah ini muncul dari gerakan Kristen Protestan atas situasi-situasi politik yang terjadi di masa krisis. Pada tahun 1910-1912, kelompok Kristen menerbitkan pamflet-pamflet berseri yang diberi judul The Fundamentals: A Testimony to the Truth. Istilah ini kemudian menjadi perdebatan dalam penerapannya kepada semua gerakan agama dengan konteks-konteks yang berbeda seperti dalam agama Islam. Lihat Abdullah Ahmed An Naim, “Islamic Fundamentalism and Social Change” dalam Gerrie ter Haar and James J. Busuttil (eds.), The Freedom to Do God’s Will: Religious Fundamentalism and Social Change (London and New York: Routledge, 2003), p. 25, 26138. Abdullah Ahmed An Naim, “Islamic Fundamentalism and Social Change”, p. 28.

Page 99: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

81Dr. MUDOFIR

Analisis An Naim punya relevansi konkrit dengan kemunculan gerakan radikalisme agama sejak Revolusi Iran tahun 1979 yang pengaruhnya sangat luas ke seluruh dunia Islam139 dengan fenomena di Indonesia pasca jatuhnya rejim Soeharto. Tahun 1998 setelah Orde Baru runtuh, fenomena radikalisme muncul hingga puncaknya terjadi pada kasus Bom Bali I dan II. Gerakan-gerakan radikal atas nama jihad terus terjadi secara sporadis hingga hari ini. Dengan fenomena radikalisme agama yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah final dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tokoh-tokoh Muslim mulai merumuskan konsep-konsep utama tentang jihad yang mengacu pada kepentingan nasional.140 Organisasi-organisasi Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain menyatakan sikap menerima asas tunggal Pancasila dalam seluruh sepak terjang usahanya di samping tetap setia pada ajaran-ajaran Islam. Di sinilah tokoh-tokoh transisional seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan lain-lain sangat berjasa mendorong transformasi pemahaman Islam yang kontekstual dengan tujuan bernegara.141

Penelitian ini berusaha menemukan sumbangan para elit intelektual Islam dalam melakukan reinterpretasi makna jihad yang diarahkan pada instrumen integrasi bangsa. Jihad tidak lagi cukup berhenti dengan makna tradisionalnya, tapi harus dikaitkan dengan konteks-konteks kepentigan bangsa. Argumen-argumen para elit intelektual sangat penting dalam membangun paradigma baru jihad dan karena kecanggihan argumen-argumen mereka umat Islam dapat menerima. Kini makna jihad yang transformatif dan konstruktif bagi pembangunan bangsa akan bergantung pada kesinambungan serta komitmen kebangsaan para elit intelektual tersebut yang 139. Banyak buku yang mengulas efek Revolusi Iran tahun 1979 pada dunia Islam. Salah satu di antaranya adalah karya Ervand Abrahamian, Khomeinism: Essays On the Islamic Re-public (California: University of California Press, 1993) dan Said Amir Arjomand, The Turban for the Crown: The Islamic Revolution in Iran (Oxford: Oxford University Press, 1988).140. Sebagai perbandingan lihat Christine Drake, National Integration in Indonesia: Pattern and Policies (Honolulu: University of Hawai Press, 1989).141. Karya-karya mereka banyak berpengaruh pada moderasi umat Islam Indonesia sejak beberapa dekade. Tema-tema yang ditulis mengaitkan Islam dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, politik, budaya, dan sejarah. Kecanggihan mereka yang sangat baik—karena punya kecakapan wawasan Barat dan Timur—maka analisis-analisis mereka sanggup mengilhami keterbukaan pemikiran dan kepedulian pada konteks-konteks sosial terdekat mereka. Seb-agai perbandingan lihat MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding Rosyidin Hasan (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002).

Page 100: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

82 ArkeologiFIKIH SOSIAL

menyusun argumen-argumen ilmiah dan islamis bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Makna Jihad dalam Literatur Agama dan Sosial

Jihad telah menjadi istilah “seram” dalam kehidupan sosial dan politik modern. Makna jihad lebih bernada peyoratif ketimbang konstruktif bagi usaha membangun kehidupan yang berkoeksistensi damai.142 Jihad juga secara inspiratif memengaruhi pola pikir dan ideologi sekelompok umat Islam untuk menegasikan sang liyan (the others) yang tidak sealiran dengan mereka. Sebagai konsep, jihad telah menjadi simbol perlawanan dan alat perjuangan menumpas yang berbeda atas nama Tuhan. Dalam sejarahnya, jihad menjadi konsep penting dalam perjuangan politik baik yang bersifat positif (melawan penjajah, mempertahankan Tanah Air, dan lain-lain) maupun negatif (gerakan sparatis dan pemberontakan).

Dalam arti harfiah dan tradisionalnya, jihad menunjukkan arti “mengerahkan segala daya dan kemampuan baik dalam bentuk perkataan maupun tindakan”. Dalam perspektif Syari’ah, definisi jihad salah satunya dikemukakan oleh Ibn Taymiyyah. Dia memaknai jihad sebagai “mengerahkan segala daya, yakni kemampuan untuk mencapai sesuatu yang dicintai oleh Allah Yang Maha Benar”. Hal ini demikian menurut Taymiyyah karena jihad pada hakikatnya adalah mengerahkan daya upaya dalam rangka mencapai apa yang dicintai Allah swt seperti beriman, beramal saleh, dan dalam rangka mencegah apa yang tidak disukai Allah seperti sikap kufur, fasik, dan maksiyat.

Makna tradisional jihad di atas memuat cakupan yang kurang luas karena masih berada dalam cangkang teologis. Makna sosial perlu disematkan kepada makna jihad dengan caramemberi konteks. Konteks-konteks yang diberikan untuk makna jihad misalnya adalah konteks sosial, konteks etis, konteks kebudayaan,

142. Buku-buku tentang jihad yang ditulis oleh ulama-ulama ‘radikal’ sering menjadi buku panduan bagi para pengikutnya. Imam Samudra, Amrozi, dan para teroris yang tertembak terinspirasi oleh buku-buku tersebut. Lihat misalnya karya Muhammad Haniff Hassan, Unlicensed to Kill: Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing (Singapore: T.P., 2005). Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: T.Pn., 2005).

Page 101: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

83Dr. MUDOFIR

konteks kebangsaan, konteks kemanusiaan, dan konteks-konteks kekinian sehingga relevansinya dengan kehidupan terasa hadir.

Transformasi makna jihad ke dalam konteks-konteks yang aktual—di samping konteks-konteks historisnya—akan memampukan makna jihad dalam mendorong perannya di bidang pembangunan, pemberdayaan, penegakan keadilan, dan penguatan civil society untuk ruang tumbuh demokrasi dan harmoni kebinekaan bangsa. Tafsir baru atas makna jihad ke arah kontributifnya bagi bangsa dan penguatan nilai-nilai demokrasi membutuhkan para agent yakni, para elit intelektual Muslim, para ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat yang merumuskan konesp-konsep utama.

Urgensi Reinterpretasi Jihad

Reinterpretasi jihad masih belum tegas dalam masyarkat Muslim Indonesia. Tumbuhnya kelompok-kelompok intoleran dalam masyarakat yang berbasis pada semangat jihad dianalisis sebagai tanda masih belum adanya transformasi jihad ke arah yang lebih konstruktif bagi harmoni kebinekaan bangsa. Kelompok-kelompok masyarakat ini masih memahami jihad sebagai perjuangan menegakkan Islam dalam maknanya yang harfiah. Ada kecenderungan untuk mengimpor ide-ide jihad Timur Tengah seperti yang dilakukan al-Qaidah, Ikhwanul Muslimin, dan dalam batas-batas tertentu ISIS (Islamic State of Irak and Syiria) ke Tanah Air. Ini ditunjukkan, misalnya, dengan maraknya terorisme yang pelakunya punya kaitan dengan tokoh-tokoh al-Qaidah, ISIS, dan Ikhwanul Muslimin.

Dengan berbasis pada makna jihad yang masih harfiah, tak pelak, konflik-konflik antar kelompok yang berbeda, kekerasan atas nama jihad, terorisme, dan intoleransi kini menunjukkan kecenderungan meningkat. Stabilitas bangsa akan terganggu dan terkendala untuk melaksanakan program-program pembangunan. Kondisi semacam ini sangat potensial membesar di setiap Pilkada atau pun Pilpres.143 Karena fakta-fakta ini, urgensi menyuarakan 143. Mobilisasi politik dengan basis agama sangat kuat pada Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta tahun 2017. Ini dibaca sebagai fenomena yang tidak konstruktif bagi pertumbuhan harmoni kebinekaan bangsa. Lihat misalnya Laporan Utama “Berebut Suara Massa Islam” dalam Tempo, 23 April 2017, h. 32 dst.

Page 102: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

84 ArkeologiFIKIH SOSIAL

jihad sosial dan jihad kebudayaan sangat perlu dilakukan. Inilah jihad dalam makna dan konteks-konteks sosialnya yang relevan dengan pembangunan bangsa. Dalam makna ini, kekuatan nilai-nilai agama, termasuk Islam, dapat menjadi instrumen integrasi dan bukan disintegrasi bagi bangsa.

Selanjutnya, kekerasan agama atau radikalisme agama disebabkan karena terbentuknya lethal cocktail (campuran yang mematikan) dari tiga faktor, yakni: individu yang terpinggirkan, kelompok yang memfasilitasi, dan ideologi yang membenarkan.144 Tiga campuran yang mematikan ini amat ditentukan oleh ideologi yang berakar dari semangat jihad. Karena jihad merupakan perintah Allah, jika dimaknai secara harfiah, maka sangat kuat mendorong pelakunya untuk melakukan kekerasan pada musuh-musuhnya. Dari argumen ini, makna jihad harus didekonstruksi dan direkonstruksi ke arah pembangunan bangsa.

Jihad untuk Merawat Harmoni Kebinekaan Bangsa

Ketika Islam masuk ke Nusantara, Islam sudah berinteraksi dengan jiwa-tubuh masyarakatnya. Islam berkoeksistensi damai dengan agama-agama dan keyakinan-keyakinan yang sudah ada di masyarakat. Fakta historis ini menunjukkan bahwa Islam tidak menegasikan elemen-elemen yang hidup dan menjadi praktik masyarakat lokal. Bahkan di Jawa, para Walisongo melakukan dakwah dengan cara mengakomodir unsur-unsur lokal sebagai pengaya nilai-nilai Islam dan sebaliknya.145 Di Sumatera Barat dan Aceh, misalnya, juga ada istilah “Syara bersendi adat dan adat bersendi Syara”. Ini menunjukkan konsep koeksistensi damai antara ajaran-ajaran Islam dan kearifan-kearifan adat setempat. Juga menunjukkan bahwa sejak perjumpaannya dengan elemen-elemen asing, Islam dan kaum Muslim tidak memusuhi serta menegasikan sang liyan.

Fakta-fakta historis dan sosiologis di atas memperkuat 144. Ini dikemukakan oleh Noor Huda Ismail pengamat teroris yang merupakan alumni dari Pesantren al-Mukmin Ngruki. Dikutip kembali dalam Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia (Bandung: Mizan, 2017), h. 41145. Lihat sebagai perbandingan John R. Bowen, “The Form Culture Takes: A State of the Field Essay on the Anthropology of Southeast Asia”, The Journal of Asian Studies, 54: 1047-1078.

Page 103: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

85Dr. MUDOFIR

argumen bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami moderasi dan “metamorfosis terbatas” dengan budaya-budaya bangsa. Budaya-budaya bangsa adalah budaya-budaya daerah yang setelah kemerdekaan menjadi puncak kebudayaan milik bangsa.146 Keragaman suku, etnis, agama, bahasa, dan adat-istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke merupakan kekayaan bangsa yang diikat oleh komitmen nasional pada dasar Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu semua menjadi modal sosial dan modal budaya yang terus diberi ruang tumbuh untuk menjadi instrumen integrasi bangsa Indonesia di masa kini dan masa depan yang panjang.

Selanjutnya, Islam dalam sejarah panjang interaksinya dengan budaya-budaya Nusantara telah berhasil diterima dengan baik oleh masyarakat. Ini ditandai dengan Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia. Bahkan menurut Nurcholish Madjid, Islam telah menjadi identitas bangsa.147 Dengan demikian, Islam dituntut untuk memainkan peran kunci di dalam membangun keharmonisan dan koeksistensi damai dengan seluruh bangsa yang beragam ini. Sebagai mayoritas, Islam menjadi penentu apa yang oleh Robert Elson disebut sebagai sebuah keberhasilan eksperimen sosial yang besar di abad XX ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).148

Sebagai identitas bangsa, Islam mewarnai budaya-budaya Indonesia baik dalam pandangan dunia maupun dalam praktik kehidupan. Karena perannya yang kunci, maka spirit Islam yang moderat dan koeksistensi damai dengan yang lain perlu terus ditumbuhkan melalui rekayasa pendidikan dan kebudayaan. Para elit intelektual Islam dituntut mengambil peran untuk merumuskan konsep-konsep utama tentang sumbangan Islam bagi pembangunan harmoni kebinekaan bangsa. Ideologi Pancasila, misalnya, hidup

146. Menurut Daoed Joesoef bahwa sebenarnya tidak ada kebudayaan bangsa. Yang ada adalah kebudayaan daerah dan kemudian membentuk budaya bangsa. Lihat Daoed Joesoef, “Membangun Budaya Bangsa dan Nilai Keindonesiaan Demi Masa Depan Bangsa”, dalam Daoed Joesoef dan Pontjo Sutowo, Nilai Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Kompas, 2017), h. xviii.147. Nurcholish Madjid, “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia” dalam Prisma, No. Ekstra, 1984 Tahun XIII, h. 12, 13148. Robert Elson, The Idea of Indonesia: A History, h. 12.

Page 104: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

86 ArkeologiFIKIH SOSIAL

matinya sangat bergantung pada para elit yang menyusun filosofi untuk membentengi tafsir-tafsir yang keliru dan bersifat disintegratif dari masyarakat Indonesia yang terus mengalami perubahan sosial serta budaya.149 Demikian pula Undang-Undang Dasar 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia daya tahannya bergantung pada para elit yang menopang dengan konsep-konsep yang terus diperbarui. Dengan upaya-upaya keras semacam ini, relasi Islam dan negara Indonesia akan tetap harmoni dan saling menguatkan.

Sosiologi Umat Islam Surakarta

Kota Surakarta dan sekitarnya adalah warisan kerajaan Mataram Islam. Karesidenan Surakarta meliputi Sragen, Boyolali, Sukoharjo, dan Karanganyar. Wilayah eks-karesidenan Surakarta memiliki kekayaan budaya dengan masa lalu pra-Islam yang kuat. Sebelum Islam masuk, Jawa dan terutama eks karesidenan Surakarta kental dengan masa lalu Animisme-Dinamisme, Hindu, dan Budha. Barulah sekitar abad ke-15 Islam mulai dianut oleh penduduk sekitar dengan masih mempraktikkan kebiasaan-kebiasaan pra-Islam. Disusul kemudian agama Kristen yang masuk ke sini melalui kolonialisme.

Dengan sosiologi dan sejarah semacam itu, masyarakat Surakarta sangat plural dan beragam. Clifford Geertz yang mempopulerkan teori priyayi, santri, dan abangan—meskipun penelitiannya dilakukan di Pare Kediri—namun bisa diterapkan di kota Surakarta dan sekitarnya.150 Kategorisasi priyayi-santri-abangan milik Geertz dalam konteks Surakarta menyajikan hubungan yang sangat faktual dan menyejarah. Konflik dan konsensus antara tiga golongan tersebut nyata-nyata terjadi dan menyuguhkan masalah-masalah sosial, budaya, dan politik tersendiri. Stratifikasi sosial Geertz ini, meski banyak pula yang mengkritiknya, dalam penerapannya membentuk orientasi ideologi dan pilihan-pilihan politik. Dalam kehidupan sosial setelah kemerdekan hingga kini, stratifikasi sosial itu mengejawantah dalam pilihan partai-partai politik.151 Namun 149. Lihat Arend Lijphard, Democracy in Plural Societies (New Haven: Yale University Press, 1977), h. 4.150. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976).151. Mudhofir Abdullah, Mencairnya Hubungan Santri-Abangan: Studi Atas Integrasi Sosio-

Page 105: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

87Dr. MUDOFIR

sejalan dengan proses pertukaran informasi dan interaksi sosial keagamaan, kategorisasi itu makin menipis dan secara relatif di kalangan priyayi maupun abangan telah terjadi santrinisasi.

Pengelompokan priyayi-santri-abangan di kota Surakarta tidak sepenuhnya runtuh. Relasi antar golongan agama, intra-agama, dan antar suku-suku yang ada (Jawa, Cina, dan Arab) di kota ini pernah beberapa kali mengalami konflik. Konflik terbesar yang terjadi antara Santri dan Abangan dalam sejarah menurut Robert Hefner adalah tragedi 30 September 1965.152 Tragedi ini memakan korban baik dari pihak abangan maupun pihak santri. Tragedi ini mengoyak integrasi bangsa dengan korban-korban yang tidak terperikan. Trauma tragedi ini mewariskan hubungan tegang dan gamang dari dua golongan, yakni santri dan abangan hingga dewasa ini. Ini bisa dilihat dari pilihan partai politik. Pemeluk Kristen, abangan, etnis Cina, dan sebagian priyayi punya orientasi politik pada PDI, Golkar, dan mungkin Nasdem—meskipun juga sebagian golongan santri. Sebaliknya yang santri punya orientasi politik ke partai-parta Islam seperti PKS, PAN, PKB, dan PPP. Membaca fakta-fakta ini, maka potensi konflik masih tetap mengintai dan punya latensi di masa-masa depan bila tidak ada menajemen konflik yang baik serta adil.

Makna Jihad dalam Persepsi dan Implementasi Publik Surakarta

Persepsi publik Surakarta terhadap makna jihad seperti tergali dalam wawancara, pembicaraan, media, khutbah-khutbah, dan pengamatan dapat dikelompokkan ke dalam tujuh pengertian utama: jihad sebagai qitāl (berperang), jihād al-nafs (pengendalian diri), jihad pembangunan keutuhan Pancasila dan NKRI, bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, pemberdayaan sosial dan ekonomi, membangun secara positif hablum min al-llāh wa hablum min al-nās (menjaga hubungan positif dengan Allah dan dengan manusia), dan

Budaya Santri-Abangan di Pesantren Ngruki Surakarta (Surakarta: Penerbit IAIN Surakarta, 2015). 152. Lihat Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A. Wishnu Hardana, Imam Ahmad (Yogyakarta: LkiS, 1999).

Page 106: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

88 ArkeologiFIKIH SOSIAL

amar ma’rūf wa nahy ‘anil munkar.153

Ketujuh makna utama jihad di atas setidak-tidaknya menggambarkan perkembangan pemahaman mereka atas fenomena jihad dalam konteks sosial, budaya, dan kebangsaan Indonesia. Publik Surakarta merupakan publik yang sangat bersentuhan dengan ide-ide modernisasi dengan seluruh semangat perubahan. Dengan warisan peradaban Jawa (pernah menjadi pusat-pusat kerajaan Mataram, Pajang, dan kerajaan Kartasura), adanya pengaruh-pengaruh penjajahan kolonial, tempat pertemuan berbagai etnis Nusantara, dan pusat pergerakan nasional maka lalu lintas informasi relatif telah terserap oleh kalangan masyarakat. Islam, dengan demikian, telah masuk ke dalam pikiran-pikiran masyarakat terpelajar. Makna Islam telah diperkaya dalam tafsir-tafsir sosial pergerakan, tafsir-tafsir kebudayaan Jawa, dan tafsir-tafsir apa yang oleh Clifford Geertz sebagai santri, priyayi, dan abangan. Dengan demikian, makna jihad pun relatif telah menjadi moderat. Bahkan maknanya di masa pergerakan ditransformasikan oleh H.O.S Tjokroaminoto, Samanhudi, para ulama pesantren, dan elit priyayi keraton sebagai alat perjuangan kemerdekaan serta pembebasan dari ketertindasan.

Secara mayoritas publik Surakarta memaknai jihad tidak sebagai qitāl atau perang melawan musuh-musuh Islam. Jihad telah ditransformasikan ke dalam ranah yang lebih kontekstual seperti pemberdayaan ekonomi melalui gerakan ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf), gerakan amar ma’ruf nahi munkar, dan pembelaan kepada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam wawancara dari 13 pesantren dan beberapa elit agamawan, hanya satu yang masih dengan keukeuh menyatakan bahwa jihad dengan makna perang masih tetap berlaku terutama memerangi musuh-musuh Islam. Musuh-musuh Islam yang dimaksud adalah para media mainstream yang dianggap menyudutkan umat Islam sebagai teroris. Juga para komprador Barat yang menurut mereka secara sistematik melemahkan Islam melalui kebudayaan yang menghancurkan sendi-sendi moral umat Islam, termasuk di

153. Wawancara dengan 13informan dari kalangan elit pesantren, sejumlah khutbah, dan diskursus-diskursus di media massa lokal.

Page 107: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

89Dr. MUDOFIR

dalamnya pemerintahan. Dalam argumen ini, ia menyerukan untuk melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan umat Islam.

Pendapat minoritas ini mewakili sebagian publik Muslim di Surakarta. Mereka berasal dari sel-sel pengajian yang tidak berafialisi ke organisasi mainstream seperti Muhamadiyah, NU, Majelis Tafsir Alquran, dan lain-lain. Di antara sel-sel itu juga terdapat varian-varian dari yang mulai moderat, radikal, hingga yang ultraradikal. Itulah sebabnya, buronan tokoh-tokoh teroris seperti Noordin M Top, misalnya, dapat hidup aman selama berbulan-bulan sampai akhirnya tertembak mati di Mojosongo Surakarta. Nasir Abas—mantan teroris yang sudah bertobat dan menjadi penulis—pernah menyatakan bahwa jika para teroris itu ikan maka masyarakat Surakarta itu airnya. Pernyataan Nasir Abas hanya benar jika yang dimaksud adalah kelompok-kelompok umat Islam yang tidak berafiliasi pada ormas-ormas mainstream.

Jadi, makna jihad dalam arti qitāl atau perang bukanlah pandangan mainstream masyarakat Surakarta. Masyarakat Surakarta justru terdepan dalam bidang pendidikan, pembangunan, dan keterbukaan sehingga ketika banyak kaum radikal berasal dari sini sebenarnya sebuah anomali. Namun, anomali ini sangat menarik dan menantang untuk dikaji.Mengapa anomali? Mestinya radikalisme agama di Surakarta tidak memperoleh ruang tumbuh karena agama di sini lebih bersifat sinkretis, menurut Geerzt. Sinkretisme ditandai oleh penerimaan terhadap unsur-unsur lain. Dalam konteks Islam Jawa, misalnya, sinkretisme berarti adanya unsur-unsur tradisi Hindhu-Budha dan kepercayaan Animisme-Dinamisme ke dalam Islam yang menurut Geertz ada pada kaum priyayi dan abangan serta sebagian santri. Dengan corak Islam semacam ini, masyarakat Surakarta dalam sejarahnya yang panjang sangat toleran dan mementingkan harmoni.

Tetapi sejarah tidaklah berjalan linier. Sejarah Islam dengan masyarakat Jawa telah mengalami proses akulturasi dan enkulturasi. Proses ini kemudian melahirkan varian-varian Islam. Varian-varian Islam itu tidak selamanya harmoni. Dalam banyak hal dan konteks yang berbeda mengalami ketegangan hingga konflik terbuka.

Page 108: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

90 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Lahirnya Majelis Tafsir Alquran, pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, Majelis Pengajian Gumuk, dan lain-lain merupakan contoh dari pertumbuhan dinamika kajian Islam di Surakarta. Di masyarakat Surakarta, varian-varian Islam itu tak jarang saling mencela melalui sarana-sarana yang tersedia seperti radio, khutbah-khutbah, dan pengajian-pengajian. Biasanya celaan itu terkait pada soal bidah (heresy) yang dilakukan oleh kelompok lain. Varian-varian Islam itu terjadi sebagai dinamika pemahaman kaum elit agamanya atas perkembangan-perkembangan sosial politik yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Nah, dari dinamika semacam inilah unsur-unsur radikal masuk melalui kelompok-kelompok kajian yang sejak awal sangat kritis pada kondisi-kondisi sosial yang dianggap tidak islami.

Tak pelak, implementasi jihad juga terjadi perbedaan sesuai dengan tafsir mereka atas makna jihad. Muhamadiyah konsisten bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Lembaga-lembaga pendidikan Muhamadiyah dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi telah banyak melahirkan sumber daya manusia bagi bangsa. Juga rumah-rumah sakit dan klinik-klinik telah memainkan gerakan sosial yang memberi pelayanan kepada masyarakat luas. Tak kalah pentingnya adalah lembaga-lembaga zakat, sedekah, dan wakaf Muhamadiyah telah memainkan gerakan filantropi Islam yang sangat efektif. Muhamadiyah menyebut gerakan sosial mereka sebagai implementasi dari jihad dan amar ma’ruf nahi munkar.

Nahdhatul Ulama (NU) mengimplementasikan jihad dengan membangun pondok pesantren, madrasah-madrasah, lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan pemberdayaan umat. Mengikuti jejak Muhamadiyah, NU juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum termasuk universitas. Rumah sakit dan klinik juga mulai dirintis. Meski terlambat, NU telah menyumbang kepada bangsa SDM-SDM yang unggul dan berkarakter. NU dan Muhamadiyah telah memainkan peran civil society, sebuah kontribusi sangat strategis untuk peradaban bangsa. Peran civil society ini telah menjadikan Indonesia negara yang sangat unik dengan topangan dua ornganisasi keagamaan terbesar ini sebagai mitra. Keduanya telah menyokong

Page 109: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

91Dr. MUDOFIR

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila. Stabilitas bangsa bahkan akan sangat bergantung pada stabilitas dua organisasi terbesar ini.

Selanjutnya, implementasi jihad dari organisasi-organisasi Islam underdog, juga dilakukan dalam bentuk kegiatan sosial, pembinaan akhlak, pendidikan, dan gerakan ekonomi. Hanya saja, mereka lebih eksklusif. Dalam arti lebih mengutamakan pelayanan kepada anggotanya saja. Jumlah anggota menentukan pendapatan organisasi. Karena itu, rekrutmen anggota-anggota baru menjadi cara yang menentukan hidup-matinya organisasi-organisasi tersebut. Contoh dari orgasasi keagamaan jenis ini adalah antara lain Majelis Tafsir Alquran, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan komunitas-komunitas pengajian lain.

Jadi, secara umum implementasi jihad telah mengalami transformasi. Bukan saja bersifat vertikal (berorientasi pada Allah), tetapi juga bersifat horisontal (berorientasi pada kemaslahatan umum). Titik tilik sosial, budaya, pendidikan, kebangsaan, dan kemanusiaan telah menjadi pandangan dunia jihad. Ini sebuah fenomena menggembirakan bagi ruang tumbuh Islam moderat. Dalam jangka jauh, bisa menjadi instrumen integrasi bangsa, menjaga stabilitas politik, dan menjaga umat Islam Surakarta dari orientasi radikal. Radikalisme agama yang di Surakarta dan sekitarnya telah dikenal nyata, pada akhirnya, akan direm oleh potensi-potensi lainnya, yaitu nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin, nilai-nilai kebangsaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pergeseran Makna, Konteks, dan Implementasi

Rumusan jihad dalam kitab-kitab fikih dan tafsir pada abad-abad pra-modern telah banyak digugat karena dianggap tidak kontekstual lagi dengan era modern. Perang di jaman modern telah diatur dalam kesepakatan-kesepakatan internasional sehingga perubahan-perubahan tersebut perlu diadaptasi dan diakomodasi dalam makna jihad kontemporer. Menurut Abdul Aziz Sachedina, jihad dalam rumusan ulama pra-modern adalah bersifat jus in bello (berkaitan dengan prinsip-prinsip diskriminasi dan penggunaan

Page 110: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

92 ArkeologiFIKIH SOSIAL

perang secara proporsional) sedangkan di jaman modern bersifat jus ad bellum154 (keterlibatan dalam perang dilakukan hanya untuk mempertahankan diri).155 Jihad dilakukan untuk defensif bukan ofensif.

Di abad pertengahan, jihad dimaknai sebagai perang untuk perluasan wilayah dan kepentingan-kepentingan politik lain. Penyalahgunaan sering tak terhindarkan. Namun begitu, situasi dunia saat itu memungkinkan makna tersebut. Sebab kalau tidak menyerang tetap akan diserang. Penaklukan bangsa-bangsa dengan menggunakan kekuatan militer sering terjadi. Motivasinya gabungan antara tujuan untuk merebut wilayah-wilayah, rampasan perang, dakwah, dan kekuasaan. Bukan saja dilakukan oleh dunia Islam tetapi juga oleh peradaban lain, seperti Kristen, Yunani, Persia, dan Spanyol. Di era itu, dunia berada dalam konflik-konflik antar kepentingan berbagai bangsa yang saling bersaing. Perebutan sumber-sumber ekonomi dan komoditas tak jarang berakhir dengan perang. Era ini juga menjadi era paling gelap dalam sejarah umat manusia, yakni penjajahan bangsa-bangsa yang secara militer kuat atas bangsa-bangsa yang lemah. Kolonialisme ini kemudian melahirkan perbudakan, penindasan, pengisapan sumber-sumber daya alam dan tenaga kerja manusia.

Bahkan tak jarang unsur-unsur agama dijadikan instrumen untuk membenarkan tindakan kolonialisme. Persaingan antar-agama di dalam memperebutkan wilayah-wilayah baru juga terjadi. Abad pertengahan adalah masa kejayaan Islam dan masa kegelapan Barat. Keadaannya berbalik ketika abad-abad menjelang memasuki era modern, Barat dengan sempurna menaklukkan dunia Islam dari Maroko sampai Merauke. Dunia Islam terpuruk dan hampir seluruh bangsa Muslim—untuk tidak menyebut negara Islam—terjajah, termasuk Nusantara. Kolonialisme Barat atas dunia

154. Makna jus ad bellum merujuk pada makna legitimate reasons a state engage in war—punya alasan-alasan yang sah bagi negara terlibat dalam perang. Lihat sebagai perbandingan M. Finnermore, “Rules of War and Wars of Rules: The International Red Cross and the Restraint of State Violence”, in John Boli and George M. Thomas, Constructing World Culture: International Nongovernmental Organization Since 1875 (Stanford University Press, 1999), p. 149-165.155. Abdul Aziz Sachedina, “From Defensive to Offensive Warfare: The Use and Abuse of Jihad in the Muslim World” dalam www.people.virginia.edu/~aas/ diakses tanggal 15 Agustus 2017.

Page 111: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

93Dr. MUDOFIR

Islam meninggalkan jejak-jejak dendam dan permusuhan. Belanda dan Inggeris yang menjajah di Nusantara mewariskan permusuhan Islam versus Barat-Kristen. Perlawanan Pangeran Diponegoro 1825-1830, Perang Aceh, Perang Paderi, dan perang-perang lain adalah bukti-bukti sejarah jihad melawan kaum kafir. Para ulama pesantren juga meneriakkan jihad melawan penjajah dengan semangat keyakinan agama. Jihad dalam sejarah Nusantara telah mengalami konkretisasi dalam wujud perlawanan perang.

Sejarah makna jihad seperti di atas tentu sangat berpengaruh secara sosial dan politik pada masyarakat Indonesia modern. Namun demikian, maknanya kini kian moderat sejalan dengan masa-masa normal hidup berbangsa dan bernegara. Terutama di era setelah masa-masa kemerdekaan. Juga di era Indonesia modern di mana semua agama telah menyepakati bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh ormas-ormas Islam menandai berakhirnya ketegangan antara Islam dan negara. Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah final sebagai dasar dan bentuk negara. Ormas-ormas Islam telah menyadari bahwa menjaga Pancasila dan NKRI adalah bentuk jihad bagi semua umat Islam. Dari diskursus-diskursus para elit agama dan pesantren, kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI merupakan wujud kesetiaan kepada penerapan ajaran-ajaran agama. Dengan negara yang stabil dan mantap, semua umat Islam bisa menjalankan agamanya dengan tenang.

Namun begitu, ada sebagian umat Islam yang belum bisa menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar serta bentuk negara kita. Mereka adalah kelompok-kelompok garis keras, yang menginginkan Syariah diterapkan secara formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerapan Syariah adalah bagi mereka sebagai kemutlakan total yang tidak bisa ditawar-tawar. Di Surakarta kelompok-kelompok ini tersebar di sejumlah lokasi yang menyelenggarakan kajian-kajian rutin dengan jamaah yang militan. Perlawanan mereka tidak bersifat terbuka, tapi disimpan dalam memori dan semangat atau gairah keagamaan yang militan. Militansi mereka akan muncul manakala situasi dan kondisi memungkinkan untuk itu. Jihad bagi mereka adalah doktrin yang

Page 112: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

94 ArkeologiFIKIH SOSIAL

hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap individu Muslim. Dalam konteks Indonesia masa kini, jihad mereka diimplementasikan dalam gerakan memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan mereka. Dalam situasi paling buruk, mereka bahkan tidak sungkan melakukan aksi kekerasan secara terbuka. Kasus penyerangan terhadap polisi dan kepentingan-kepentingan asing paling sering dilakukan.

Namun, kelompok-kelompok radikal di Surakarta sangatlah kecil. Yang membuat mereka nampak besar adalah karena aksi-aksi mereka diberitakan media dan dibaca oleh publik nasional maupun internasional. Penyerangan terhadap pos-pos polisi, peledakan bom di tengah massa, dan aksi-aksi terorisme lain di tempat-tempat ibadah mengundang kesadaran moral manusia. Aksi-aksi ini bukan mendapat dukungan masyarakat, tapi justru kecaman sangat keras. Melalui mimbar-mimbar khutbah, kecaman atas tindakan biadab terorisme ikut mendorong lahirnya kesadaran Islam yang lebih moderat.

Respons ulama, elit intelektual, dan masyarakat atas fenomena terorisme diwujudkan dalam bentuk seruan untuk mengedepankan akhlak Islam, dakwah yang menekankan dialog, keteladanan, dan watak Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn. Seruan ini ditulis dalam bentuk artikel-artikel populer di koran, buku-buku, jurnal-jurnal, riset-riset, hingga panduan moderatisme Islam dalam bentuk buku saku. Secara garis besar, isi seruan itu antara lain reinterpretasi makna jihad dalam dunia yang telah berubah; transformasi jihad ke arah yang lebih strategis seperti pemberdayaan umat, advokasi atas kerusakan lingkungan hidup, gerakan literasi; dan gerakan penyiapan generasi bangsa yang unggul melalui kebudayaan serta pendidikan. Dari sinilah makna jihad mengalami perluasan dari hanya sekadar perang dalam arti teologis menuju makna sosial, ekonomi, budaya, seni, dan ekologi.

Pendekatan yang mereka gunakan dalam mereinterpretasi dan merekonstruksi makna jihad pada konteks kontemporer adalah pendekatan semiotika, hermeneutika, dan moral. Dua ilmu yang disebut pertama dapat mengungkap makna lain di luar makna formal.

Page 113: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

95Dr. MUDOFIR

Juga dapat menggali dimensi-dimensi internal yang terlupakan di masa lalu. Sementara pendekatan moral adalah panduan untuk terikat pada nilai-nilai universal. Pendekatan-pendekatan semacam ini menegaskan pentingnya logika. Menurut Aliaa Ibrahim Dakroury, sarjana modern seperti Muhammad Abduh—dan para penerusnya—menekankan kembali peran akal dalam menafsirkan Alquran. Pendekatan tafsir Alquran Abduh digambarkan sebagai “tafsir rasional dan modern”.156 Abduh menekankan pentingnya peran akal, bersama wahyu, untuk memperoleh pemahaman manusia dan petunjuk. Baginya, hubungan antara akal dan wahyu adalah jelas: keduanya adalah sumber-sumber yang penting, dan karena itu, seharusnya saling melengkapi.157

Murid Abduh yang paling berpengaruh, Rasyid Ridha, juga menyoroti peran akal dalam Islam. Menurut Ridha, keimanan itu sendiri tumbuh berkembang berdasarkan kemampuan manusia yang mendasar ini. Menurut Campanini, sikap rasionalis dan aktivis Ridha diungkapkan dalam banyak tingkatan, termasuk “kritik kuatnya pada prinsip otoritas dan perilaku mengekor, serta taklid buta,” dan pernyataannya bahwa “Islam adalah agama tanpa misteri, khususnya berkait dengan Tuhan”.158 Tokoh-tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, Alie Yafie, Muhammad Qurays Shihab, dan lain-lain juga memperkenalkan tafsir-tafsir kontekstual atas Alquran dalam rangka mengintegrasikannya dengan realias-realitas masa kini. Tokoh-tokoh Muslim Indonesia tersebut bahkan telah memainkan peran idea of progress bagi masyarakat Indonesia. Dalam konteks kebangsaan, tokoh-tokoh tersebut telah berperan menjadi intelektual-intelektual penghubung bagi pembangunan kebangsaan dan kenegaraan.

Dengan kontekstualisasi makna jihad melalui tafsir-tafsir sosial berbasis kearifan-kearifan Nusantara sebagaimana dilakukan oleh para intelektual transisional di atas maka relasi agama dan negara tidak lagi konfliktual. Relasi Islam dan negara bergerak ke 156. Aliaa Ibrahim Dakroury, “Toward a Philosophical Approach of the Hermeneutics of the Qur’an, The American Journal of Islamic Science, p. 23, 1 (2006), 15-51: 22.157. Aliaa Ibrahim Dakroury, “Toward a Philosophical Approach”, p. 24.158. Massiomo Campanini, The Qur’an: Modern Muslim Interpretations, transl. Caroline Higgit (Abingon & New York: Routledge, 2011), h. 14.

Page 114: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

96 ArkeologiFIKIH SOSIAL

arah akomodasi yang memungkinkan bangsa ini dapat melakukan serangkaian pembangunan secara mantap. Namun harus diakui bahwa pemikiran para intelektual Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran intelektual mancanegara seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Asad, Fazlur Rahman, Abdul Karim Sharoush, dan lain-lain. Ruang tumbuh intelektual moderat makin menyempitkan gerak radikalisme di Indonesia. Karena itu, terorisme yang terjadi di Indonesia dengan pelaku-pelaku sebagian dari Surakarta adalah sebuah anomali dan sangat unik. Namun demikian, gerakan mereka telah terkucil dan ditelan oleh arus sejarah dan pembangunan.

Pergeseran makna, konteks, dan implementasi jihad di Indonesia dipengaruhi oleh tumbuhnya eksponen intelektual baru yang melakukan reinterpretasi dinamis terhadap teks-teks jihad. Juga dipengaruhi oleh perubahan sosial, stabilitas bangsa, semangat kerjasama global, dan meningkatnya kesadaran terhadap krisis bersama lingkungan hidup. Ancaman krisis lingkungan, krisis pangan, krisis energi, ancaman perang nuklir, dan ancaman-ancaman lain dari sisi sosial politik telah menggalang para pemimpin dunia untuk meningkatkan kerjasama global mengatasinya. Kondisi-kondisi semacam ini pada akhirnya menentukan corak masyarakat Islam Surakarta dalam memandang jihad.

Diakui masih ada kelompok lain yang terus radikal dan secara sembunyi-sembunyi “memusuhi” pemerintah dan aparat polisi yang dianggap bertindak tidak adil kepada mereka. Kelompok-kelompok inilah yang ketika ISIS (Islamic State in Irak and Syiria) dideklarasikan di Syiria menyatakan setia dan beberapa di antaranya ikut berjuang di sana. Peristiwa Bom Panci di Jakarta baik yang telah meledak maupun yang berhasil digagalkan adalah jaringan dari simpatisan ISIS. Fenomena ISIS diakui masih menarik sejumlah orang Islam di Indonesia—dan satu pelaku yang tertangkap berasal dari Surakarta. Namun penolakan terhadap kelompok radikal ini nyaris sempurna. Di setiap kantor kepala desa, kecamatan, dan tempat-tempat strategis di sudut-sudut kota terdapat spanduk atau baliho dengan tulisan “Masyarakat Surakarta menolak radikalisme dan terorisme” Atau tulisan “Kampung kami menolak radikalisme dan terorisme”.

Page 115: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

97Dr. MUDOFIR

Penolakan semacam ini sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa tak ada ruang tumbuh bagi radikalisme dan terorisme di Surakarta. Sikap radikalisme dan terorisme terjadi di sini adalah karena bertemunya tiga campuran maut (lethal cocktail): kondisi keterpinggiran, ada penyandang dana, dan ada teologi atau ajaran agama yang membenarkan. Inilah campuran maut yang tidak boleh bertemu. Karena itu, terorisme berbasis agama yang terjadi di Surakarta khususnya dan Indonesia umumnya adalah sebuah perstiwa ahistoris dan anomali besar.

Implementasi Jihad Dalam Konteks Agama Masa Kini

Karena tafsir jihad di masa kontemporer bergeser sesuai dengan perubahan-perubahan konteksnya, maka implementasinya pun berubah. Jihad dalam konteks modern bersifat jus in bellum (untuk bertahan) dari serangan musuh. Bila kondisinya normal, maka jihad diarahkan pada pembangunan, pemberdayaan, pendidikan, dan penciptaan produktifitas kesejahteraan umat manusia. Jihad bergeser dari jihad kecil (perang fisik) ke jihad besar (mengendalikan hawa nafsu) yang pengejawantahannya melalui aspek-aspek pembangunan dalam arti fisik maupun moral. Inilah jihad yang telah diberi konteks baru baik sosial, budaya, politik, maupun kemanusiaan.

Tegaknya nilai-nilai agama tidak akan tumbuh dalam masyarakat (baca: negara) bila secara sosial dan politik tidak stabil. Karena itu, stabilitas politik dan sosial menjadi prasyarat bagi tegaknya nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, pendidikan, dan keadilan. Dalam konteks kebangsaan, jihad menjadi instrumen strategis untuk mengisi, melanjutkan, dan meningkatkan mutu pembangunan baik mental maupun spiritual. Pembangunan yang dijalankan dalam situasi pemerintahan yang stabil akan mengefektifkan hasil-hasil pembangunan. Stabilitas politik juga memungkinkan sebuah negara dapat terus-menerus memperbaiki perangkat-perangkat aturan bernegara dan berbangsa ke arah yang lebih berkualitas.

Masyarakat Surakarta yang memiliki sejarah panjang dalam hal konflik menyadari bahwa stabilitas politik, sosial, dan budaya

Page 116: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

98 ArkeologiFIKIH SOSIAL

dapat menjadi instrumen pembangunan. Tragedi G 30 S, konflik antar etnis (Arab, Cina, dan Jawa), kerusuhan 13 Mei 1998, kerusuhan politik akibat Megawati kalah dalam pemilihan presiden 2002, dan lain-lain mengajarkan banyak hal tentang makna ketenangan dan stabilitas. Memori kolektif masyarakat Surakarta masih segar tentang kepedihan dan kerugian akibat sejumlah kerusuhan itu. Karena itu, menjaga stabilitas dan mengisi kemerdekan dengan pembangunan segala hal adalah pilihan rasional yang kini menggerakkan kemajuan-kemajuan di Surakarta dan sekitarnya.

Pertumbuhan sekolah-sekolah swasta unggulan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi sangat bergairah. Animo siswa yang masuk ke sekolah-sekolah Islam juga terus meningkat. Fakta ini mencerminkan makin intensnya interaksi antara abangan, priyayi, dan santri. Banyak anak-anak dari kelompok abangan dan priyayi masuk ke sekolah-sekolah berbasis Islam. Bahkan anak-anak yang SD, SMP, dan SMA-nya di sekolah-sekolah umum ketika kuliah masuk di perguruan-perguruan tinggi Islam seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Surakarta, Universitas Muhamadiyah Surakarta, Universitas Islam Batik (UNIBA), dan lain-lainnya. Dampak dari arus besar interaksi antara santri, abangan, dan priyayi di lembaga-lembaga pendidikan adalah terjadinya fenomena santrinisasi massif di segala tingkatan. Ini sangat menguntungkan bagi adanya ruang tumbuh sikap saling menghargai perbedaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.

Harus diakui bahwa proses mencairnya hubungan tiga komponen masyarakat antara priyayi, abangan, dan santri di Surakarta tidak serta-merta menyelesaikan semua potensi konflik. Namun, fenomena ini berdampak signifikan bagi tumbuhnya kesadaran nasional yang mengikat mereka dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan unsur-unsur heretik (bid’ah) yang banyak dipraktikkan kaum priyayi dan abangan memilih jalan berbeda. Kelompok-kelompok inilah yang potensial melahirkan radikalisme, meskipun jumlahnya sangat kecil.

Jadi, implementasi jihad dalam konteks agama masa kini secara umum telah bersinergi dengan pembangunan bangsa.

Page 117: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

99Dr. MUDOFIR

Beberapa narasumber dari tokoh-tokoh agama di sejumlah pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan telah menyatakan dengan tegas bahwa jihad masa kini di Indonesia adalah membela Pancasila dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaitan jihad yang konotasinya seram dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah kemajuan besar. Jihad tidak lagi hanya bersifat dogmatis-teologis, tapi bersifat sosiologis dengan makna dan ruang lingkup yang lebih kontekstual dengan kebutuhan-kebutuhan kebangsaan serta kenegaraan Indonesia.

Secara praksis, implementasi jihad dalam konteks agama masa kini di Surakarta dan sekitarnya dapat ditunjukkan dengan: 1) gerakan pendidikan, 2) gerakan pemberdayaan ekonomi melalui pendirian baitul māl wat tamwīl, lembaga-lembaga ZISWAF (zakat, isfak, sedekah, dan wakaf), pendirian klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit, 3) gerakan pengajian melalui PKK atau sejenisnya yang semnagtnya untuk menjalin persatuan dan kesatuan, 4) kegiatan keagamaan yang melibatkan berbagai unsur etnis, agama, dan kepentingan yang berbeda untuk tujuan cinta Tanah Air, dan 5) menghimpun dana untuk membantu korban-korban bencana. Semua gerakan dan kegiatan itu, telah dianggap sebagai bagian integral dari jihad. Dalam jangka jauh dapat menjadi media pendidikan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan antar masyarakat.

Dengan demikian, makna dan implementasi jihad telah diperluas ke dimensi sosial, ekonomi, budaya, serta politik. Dengan perluasan ini jihad tidak lagi mudah dipalsukan sebagai alat perlawanan umat kepada pemerintahnya. Dimensi-dimensi jihad dari sisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik akan ikut mengerem makna dan implementasi jihad yang disalahgunakan.

Implementasi Jihad dalam Membangun NKRI

Sosiolog kontemporer Peter L. Berger menyatakan bahwa modernisasi memang akan membawa pengaruh sekularisasi, tapi pada saat yang sama modernisasi juga menghasilkan gerakan tandingan yang disebutnya dengan istilah desekularisasi atau

Page 118: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

100 ArkeologiFIKIH SOSIAL

fundamentalisme agama.159 Dalam konteks agama Islam, perlawanan terhadap modernisasi dengan segenap nilainya dilakukan melalui konsep jihad. Jihad melawan segala praktik baik pemerintahan maupun masyarakat umumnya dianggap menyimpang dari garis-garis ajaran Islam versi mereka. Tumbangnya pemerintahan-pemerintahan sekular di Tunisia, Sudan, Iran, Suriah, dan lain-lainnya didahului di antaranya oleh fundamentalisme agama ini. Di Indonesia pada era Orde Baru, kelompok-kelompok Muslim yang kritis terhadap kebijakan pemerintah juga diberangus melalui jalan kekerasan. Perlawanan-perlawanan lain yang sekupnya kecil ditunjukkan oleh gerakan-gerakan terorisme dengan meledakkan lambang-lambang negara, seperti Kedutaan, Borobudur, dan lain-lainnya.

Namun, searah dengan membaiknya hubungan antara Islam dan negara sejak periode akhir rejim Soeharto, maka umat Islam mulai terakomodasi aspirasi-aspirasinya. Lembaga-lembaga Islam dibentuk seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), pembangunan seribu Masjid yang dinamai masjid Pancasila, berdirinya Bank Muamalat, lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) dan Kompilasi Hukum Islam, lahirnya Undang-Undang Perbankan Syari’ah, dan kebijakan-kebijakan lain yang sesuai dengan aspirasi-aspirasi umat Islam. Relasi negara dan Islam telah sampai pada tingkat harmoni sehingga umat Islam mengarahkan energi jihad kepada pembangunan bangsa.

Perubahan sosial dan politik di Tanah Air pasca-Orde Baru menampilkan hubungan yang akrab dan berani. Namun terbukanya kran kebebasan pers pasca-Orde Baru, memunculkan dinamika baru berupa munculnya aspirasi-aspirasi formalisasi negara Islam dari kelompok-kelompok Islam yang selama ini terbungkam. Tapi karena aspirasi-aspirasi tersebut tidak rasional maka suaranya melemah sampai akhirnya tertelan arus pembangunan. Suara-suara radikal di Tanah Air dan di Surakarta khususnya tidak lagi menjadi diskursus. Hanya beberapa pesantren yang masih keras menyuarakan formalisasi Syari’ah seperti Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki di

159. Peter L. Berger (ed.), “Desekularisasi Dunia, Tinjauan Global”, dalam Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia, terj. Hasibul Khoir (Yogyakarta: Arruz Media, 2003), h. 17-18.

Page 119: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

101Dr. MUDOFIR

Sukoharjo, Majelis Pengajian Gumuk di Mangkunegaran, Pesantren Isy Karima di Karang Pandan, dan pengajian-pengajian lain yang berada di sekitar Ngruki.

Pesantren Al Mukmin Ngruki dengan pimpinan Ustadz Abu Bakar Baasyir merupakan pesantren terdepan dalam menyuarakan penerapan Syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pengajian yang diadakan di berbagai daerah, penyampaian ceramah beliau selalu menyisipkan kritik atas kebijakan pemerintah yang tidak islami. Beliau menyatakan dengan tegas bahwa menerapkan Syariah di Indonesia adalah sebuah kemutlakan yang total. Murid-murid beliau sangat militan dan siap melaksanakan apa yang dipesankan Abu Bakar Baasyir. Ketika kerusuhan Poso dan Ambon terjadi tahun 1998, 2000, dan 2001 beberapa murid Baasyir ikut berangkat ke sana untuk berperang melawan Kristen. Ini menunjukkan bahwa ceramah-ceramah Baasyir sangat berpengaruh pada semangat jihad.

Selain itu, Baasyir yang sangat konsisten dengan prinsip yang diyakininya diduga menginspirasi terjadinya peledakan Bom Bali I dan Bom Bali II tahun 2002. Bahkan beberapa dokumen menyebutkan bahwa Baasyir telah menerima mandat dari Osamah bin Laden untuk melakukan perang melawan musuh-musuh Islam di Indonesia, terutama berperang melawan kepentingan-kepentingan asing dan Amerika yang ada di Tanah Air. Abu Bakar Baasyir telah menjadi titik simpul gerakan radikalisme di Tanah Air. Di kota Surakarta dan sekitarnya juga sangat dipengaruhi oleh ajaran-jarannya. Kini Abu Bakar Baasyir ditahan di Nusa Kambangan karena didakwa terlibat dalam sejumlah aksi terorisme, termasuk baiatnya pada Islamic State in Irak and Syiria (ISIS).

Fenomena Abu Bakar Baasyir sangatlah unik. Tidak semua yang berada di pesantren Al Mukmin mendukung pikiran-pikiran Baasyir. Baasyir adalah representasi dari apa yang oleh Khaled Aboe al-Fadl sebagai neo-khawarij yang dalam sejarah Islam sangat radikal dengan membasmi musuh-musuhnya. Ketulusan Baasyir pada Islam harus diakui sangat kuat. Sayangnya ketulusan ini tidak diikatkan pada wawasan-wawasan kebangsaan sehingga justru menjadi noda bagi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Padahal

Page 120: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

102 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Islam di Inonesia yang tidak diikatkan oleh keindonesiaan tidaklah berjalan efektif. Ini kurang disadari oleh tokoh-tokoh Islam radikal seperti Baasyir dan kawan-kawannya.

Gambaran radikalisme Islam yang terjadi di Tanah Air adalah artikulasi dari respons umat Islam pada gejala modernisme yang menampilkan karakteristik sekular. Khaled Aboe al Fadl menjelaskan bahwa gejala fundamentalisme Islam atau apa yang ia sebut sebagai puritanisme pemahaman Islam ini dibentuk oleh rasa kekalahan dan keterasingan dari modernitas sekaligus pemerintahan despotik di mana mereka tinggal. Rasa kalah dan terasing itu dalam teologi dimediasikan dalam bentuk sikap keagamaan yang ekstren dan cenderung absolut. Sementara dalam kesadaran sejarah dan sikap politik membentuk keyakinan bahwa tipe ideal sejarah adalah masa kejayaan Islam di zaman Nabi.160

Apa yang dinyatakan el Fadl di atas telah benar dan telah terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Globalisasi bukan saja hanya mentransfer ilmu dan teknologi, tetapi juga mentransfer nilai-nilai seperti budaya, seni, dan ideologi. Ideologi fundamentalisme awalnya terjadi di kebudayaan Kristen lalu masuk lewat globalisasi ke negara-negara Muslim. Masalah Timur Tengah, penjajahan Barat atas bangsa-bangsa Muslim, dan perebutan sumber-sumber minyak ikut memicu munculnya aksi-aksi terorisme dari kalangan Muslim. Rasa kalah dan terasing di era modern membuat umat Islam menjadi anak yatim yang putus asa.

Indonesia adalah negara yang jauh dari pusat-pusat konflik di Timur Tengah. Tapi globalisasi yang menyebar melalui teknologi informasi membuat jarak sangat menyempit. Konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah seperti terjadi di belakang rumah. Ini menyebabkan umat Islam Indonesia merasa tergugah untuk ikut terlibat dalam bentuk jihad. Jika tidak ada instrumen-instrumen penghambat seperti pendidikan umat Islam yang baik, kearifan tradisi luhur, tradisi bertoleransi, dan cinta pada perdamaian maka ide-ide radikalisme Islam dapat tumbuh secara cepat.

Karena tradisi, adat-istiadat, dan norma-norma luhur

160. Khaled Aboe al Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthofa (Ja-karta: Serambi, 2006), h. 71.

Page 121: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

103Dr. MUDOFIR

bangsa yang mencintai perdamaian serta solidaritas sosial masih melekat dalam hampir jiwa-tubuh masyarakat, maka benih-benih radikalisme agama tidak bisa tumbuh. Kecuali jika tiga unsur maut (lethal coacktail)—ada keterpinggiran, ada penyandang dana, dan ada teologi yang membenarkan—bertemu maka akan melahirkan terorisme.

Kondisi Indonesia sekarang sangatlah stabil. Stabilitas nasional ditopang oleh stabilitas daerah, seperti kota Surakarta dan sekitarnya. Dalam masa-masa yang stabil, masyarakat Surakarta memiliki banyak kesempatan untuk berfikir rasional, beribadah secara tenang, menikmati informasi-informasi lokal, nasional, dan global. Kondisi-kondisi inilah yang membuat masyarakat Surakarta dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih bermutu. Mereka juga menyadari bahwa berkat stabilitas yang mantap, maka kehidupan yang bermutu harus disyukuri. Syukur ini kemudian diejawantahkan melalui partisipasi mereka dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Mereka juga peka terhadap isu-isu yang hendak merenggut kedamaian dan ketenangan hidup berbangsa dan bernegara, seperti upaya-upaya kekerasan sosial atas nama apa pun. Mereka menyadari bahwa merawat stabilitas dan mengembangkannya menjadi aktivitas yang produktif dan relijius adalah bagian dari jihad dengan konteks dan makna yang baru.

Jihad di Indonesia yang dilakukan dengan makna dan konteks baru adalah jihad yang mengakomodasi perbedaan, mengembangkan toleransi, menegakkan hukum, menghormati HAM, menerima demokrasi, dan membuka diri terhadap kebaikan-kebaikan dari mana pun datangnya. Jihad dengan makna dan konteks baru tanpa nilai-nilai tersebut maka akan kehilangan arti praksisnya. Selama ini, jihad selalu dikaitkan dengan perang, kekerasan, terorisme, dan segala hal yang bersifat negatif. Padahal energi jihad bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif—sebagaimana diurai dalam penjelasan sebelumnya. Islam rahmatan lil ‘ālamīn adalah Islam yang harus diperjuangkan dengan semangat jihad. Konsep Islam rahmatan lil ‘ālamīn sangat tepat untuk membumikan Islam dengan jihad untuk kepentingan kebangsaan dan kenegaraan.

Karena itu, merawat stabilitas bangsa berarti merawat

Page 122: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

104 ArkeologiFIKIH SOSIAL

kemajemukan yang di dalamnya ada beragam agama, bahasa, adat istiadat, norma-norma, tradisi, dan suku. Keragaman atau kebhinekaan itu telah menjadi fakta sosiologis, historis, budaya, dan politis Nusantara yang sekarang bernama Indonesia. Agama-agama sangat menentukan lanskap kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya peran agama-agama sangat penting untuk memainkan stabilitas dan pembangunan. Nah, jihad dalam pengertian dan konteks yang baru harus mengambil peran integratif bagi bangsa serta negara.

Kota Surakarta bisa menjadi lokomotif bagi tumbuhnya budaya toleransi inter dan antar agama. Banyak hal yang telah dimainkan kota Surakarta dalam mendorong tumbuhnya ruang toleransi dan ruang demokrasi—yang menjadi pilar bagi persatuan dan kesatuan bangsa.161 Peristiwa-peristiwa bersejarah tentang peran Kota Surakarta dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa telah terukir dalam buku-buku sejarah. Dalam jaman Indonesia modern, peran kota ini dapat ditingkatkan ke ranah yang lebih luas lagi mengingat banyak tokoh-tokoh nasional lahir dari kota ini. Islam melalui konsep jihad sosialnya, dapat memainkan peran strategis di sini.

Implementasi Jihad untuk Stabilitas Pembangunan Bangsa

Dunia Islam telah berubah sejak jaman modern datang abad ke-18 dan 19. Memasuki abad ke-20 dan 21, Dunia Islam menyaksikan kehebatan bangsa Barat, Jepang, China, Singapura, dan juga Korea Selatan. Bangsa-bangsa tersebut telah menunjukkan kecermelangan peradaban mereka dengan capaian-capaian ilmiah yang sangat mengagumkan dan tidak pernah terjadi dalam peradaban sebelumnya. Globalisasi berhasil mempercepat penyebaran budaya dan nilai-nilai Barat ke dalam Dunia Islam. Karena itu, terjadilah keterkejutan budaya di Dunia Islam yang menghasilkan respons fundamentalisme.162

161. Ujian tentang keutuhan Surakarta secara relatif telah “lulus” karena Islam sebagai mayoritas di kota ini, namun Wali Kotanya beragama Kristen Katolik. Fakta ini menunjukkan bahwa umat Islam telah menyadari bahwa kepentingan bangsa lebih tinggi daripada kepentingan geolongan.162. Lihat sebagai perbandingan Gerrie ter Haar & James J. Busuttil (eds.), The Freedom to do God’s Will: Religious Fundamentalism and Social Changes (London and New York:

Page 123: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

105Dr. MUDOFIR

Di Indonesia juga terjadi hal yang sama. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Yogyakarta, Surakarta, dan lain-lainnya adalah kawasan yang lebih dulu memasuki abad modern. Kota-kota tersebut sebenarnya kota-kota penyebaran Islam awal yang sangat kental dan dalam. Namun, gempuran modernisasi yang dimulai oleh penjajah Belanda, Inggeris, dan Jepang hingga era sekarang membuat warna Islam sangat berbeda dengan Islam di Arab dalam sisi sosiologis dan teologisnya. Islam Indonesia adalah Islam dengan warna lokal yang kuat. Nilai-nilai lokal hasil akulturasi dan enkulturasi budaya menjadikan Islam Indonesia lebih moderat dibanding Islam yang ada di Timur Tengah. Fakta ini membuat program pemerintah untuk menjadikan Islam sebagai instrumen integrasi bangsa sangat mudah diterima. Instrumen integrasi ini juga telah berhasil digunakan untuk alat perlawanan terhadap kolonialisme. Islam Indonesia atau Nusantara, dengan demikian, merupakan keunikan Islam yang tumbuh dari ribuan mil jauhnya dari pusat Islam di Arab.

Peran NU dan Muhammadiyah sangat penting di sini. Kedua organisasi Islam terbesar tersebut telah melakukan peran moderasi Islam di Tanah Air. Keduanya menolak semua gerakan radikal yang merongrong ideologi negara. NU dan Muhamadiyah juga memelopori penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada era Soeharto. Dengan sikap-sikap yang konstruktif bagi penguatan ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedua organisasi ini bisa menjadi patner pemerintah sekaligus pengontrol kebijakan-kebijakannya. Pemerintah harus menjaga hubungan baik dengan keduanya dan melakukan komunikasi politik secara berkala demi pencapaian tujuan-tujuan bernegara secara lebih berkualitas untuk kesejahteraan rakyat. Di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, NU dan Muhamadiyah kembali berhasil meredam gejolak umat Islam yang menginginkan keadilan ditegakkan—utamanya terkait dengan kasus penghinaan al-Maidah ayat 51 oleh calon gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama.

Peran sosial dan politik kedua organisasi ini dalam masa-masa genting terbukti efektif. Pemerintahan Soeharto, Habibie, Routledge, 2003), h. 75, 111.

Page 124: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

106 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudoyono sering memanfaatkan kedua organisasi besar tersebut untuk membantu memecahkan isu-isu sensitif keagamaan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Tampilnya tokoh-tokoh NU dan Muhamadiyah yang moderat telah membantu pemerintah dalam meneruskan stabilitas bangsa. Dalam garis-garis argumen tersebut, maka pernyataan bahwa tak ada stabilitas bangsa tanpa stabilitas antar agama; dan tak ada perdamaian dalam kehidupan berbangsa tanpa perdamaian dalam kehidupan beragama menemukan kebenarannya.

Menyadari ini, maka mengalihkan makna jihad ke dalam pembangunan bangsa tidak lagi sulit untuk diwujudkan serta dirawat di masa-masa yang akan datang. Dalam Muktamar NU di Jombang 2015, NU mengusung tema Islam Nusantara. NU dalam muktamar ini ingin menegaskan kembali nilai-nilai Nusantara agar menjadi pedoman pengembangan dan penerapan Islam. Dengan pandangan ini, NU tidak ingin membenturkan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lokal dan tradisi yang telah hidup berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir. Dengan semangat nilai-nilai Nusantara, NU hendak memainkan peran inetegratif bagi bangsa. Juga mengarahkan nahdhiyyin untuk menjaga Islam moderat dan menjaga kerukunan intra-agama serta antar-agama.

Di sisi lainnya, Muhamadiyah mengusung tema Islam Berkemajuan dalam Muktamarnya di Makassar tahun 2015. Tema Islam Berkemajuan tak kalah strategisnya bagi integrasi bangsa. Muhamadiyah hendak menjadikan Islam lebih responsif terhadap kemajuan-kemajuan jaman yang menyajikan tantangan-tantangan baru. Dengan umat yang maju dan progresif, Muhamadiyah berharap umat Islam Indonesia bisa mengatasi ketertinggalan baik dalam pendidikan, ekonomi, maupun teknologi. Umat yang maju dengan bekal ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama akan menghindarkan umat Islam dari keterpinggiran serta kemiskinan sehingga akan jauh dari perilaku-perilaku inferior yang rentan terhadap radikalisme agama. Muhamadiyah, dengan demikian, konsisten memainkan peran integratif bagi bangsa melalui semangat jihad. Karya-karya Muhamadiyah di bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi dalam

Page 125: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

107Dr. MUDOFIR

wujud rumah sakit, klinik, BMT, perguruan tinggi, dan aset-aset lainnya menjadi bukti yang tercatat dalam halaman-halaman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks Surakarta dan sekitarnya, peran NU dan terutama Muhamadiyah sangat nyata dalam pembangunan bangsa melalui gerakan pendidikan, ekonomi, dan sosial. Pesantren-pesantren NU, lembaga-lembaga pendidikan Muhamadiyah, serta rumah-sakit rumah sakit bertebaran di mana-mana dan telah banyak membantu negera memberikan layanan kepada masyarakat. Peran civil society kedua organisasi ini mengartikulasikan dakwah bil-hāl. Dakwah bil hāl ini dapat disebut sebagai jihad sosial. Istilah jihad sosial dapat dipadankan dengan istilah kesalehan sosial sebagai lawan kesalehan individual. Yang disebut terakhir (kesalehan individual) tidak lagi cukup bermakna tanpa dilanjutkan dengan kesalehan sosial yang wujudnya adalah karya-karya sosial yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

NU, Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi Islam lain dapat dianggap sebagai media modal-modal sosial (social capitals) bagi pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Modal sosial yang oleh Robert Putnam berupa saling percaya, kemampuan bekerjasama, dan sikap jujur dapat dioperasikan oleh lembaga-lembaga sosial keagamaan seperti NU dan Muhamadiyah sebagai agen. Dan ini dijalankan melalui program-program pendidikan, pengajian, penanaman nilai-nilai moral, dan karya-karya sosial lain yang dilaksanakan oleh kedua organisasi tersebut.

Jika diamati lebih dekat, NU dan Muhamadiyah adalah organisasi yang tak surut sejengkal pun dalam kesetiaannya kepada bangsa dan negara. Maka keduanya dapat diandalkan dalam menjaga Pancasila dan NKRI. Bahkan seandainya pemerintah dianggap melenceng dari Konstitusi dan kebijakan-kebijakannya lebih cenderung ke kepentingan asing, maka kedua organisasi ini akan merespons dengan sangat cepat. Massanya yang besar dapat digerakkan untuk mengontrol pemerintah dengan baik. Selama ini, kedua organisasi itu telah memainkan peran checks and balances terhadap pemerintah. Dengan demikian, kelanjutan pembangunan bangsa untuk kesejahteraan rakyat dapat tertopang oleh peran

Page 126: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

108 ArkeologiFIKIH SOSIAL

kedua organisasi ini.

Hanya saja, hunbungan baik antara pemerintah, NU, dan Muhamadiyah tidak selamanya stabil. Bahkan antara NU dan Muhamadiyah sering saling berkompetisi baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Persaingan politik dua organisasi ini terjadi melalui partai-partai bentukannya seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasiona (PAN). Nah, persaingan keduanya baik yang tertutup maupun yang terbuka tak jarang berdampak pada retaknya relasi horisontal dan bahkan vertikal. Ini bisa meninterupsi program-program pembangunan. Posisi pemerintah sering tidak netral terhadap salah satu pihak. Karena itu, relasi tripartit tak pelak mengalami dinamika tinggi sehingga bisa berpengaruh pada ketegangan di akar rumput (grassroot). Ancaman-ancaman disintegrasi horisontal dan vertikal dapat membuahi kelompok-kelompok Islam yang kecewa untuk menjadi radikal dengan mengubah makna jihad ke arah radikalisme atau bahkan terorisme. Kekecewaan politik seringkali berlanjut ke ketidakpuasan sosial dan pada gilirannya meningkat menjadi radikalisme yang menunggangi agama.

Namun, dalam sejarahnya ketegangan NU dan Muhamadiyah tak pernah berlanjut pada stabilitas nasional gawat—tidak seperti ketegangan antara santri dan abangan yang oleh Robert Hefner mengalami puncak konfliknya pada tragedi G30S/PKI tahun 1948 dan 1965 yang menimbulkan korban-korban sangat banyak dan mengerikan. Ini terjadi karena para tokoh kedua organisasi tersebut memainkan peran social capitals yang saling percaya, bekerjasama, dan amanah dalam membangun umat demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua organisasi tersebut telah teruji oleh sejarah dan menyadari bahwa peran keduanya sangat diperlukan untuk kelangsungan NKRI, karena itu harus menjadi teladan bagi massanya (grassroot).

Selain peran organisasi keagamaan NU dan Muhamadiyah bagi integrasi bangsa, ada peran partai-partai politik Islam yang menghambat lahirnya radikalisme agama atau jihad dalam pengertian qitāl. Partai-partai politik Islam itu antara lain: PPP, PKB, PAN, PKS, dan PBB. Partai-partai politik Islam itu menjadi

Page 127: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

109Dr. MUDOFIR

bagian dari pemerintahan melalui keanggotaan mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat (pusat maupun daerah), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Karena menjadi bagian dari pemerintahan legislatif, maka elit-elit partai politik telah menerima seutuhnya bentuk negara dan membela dengan komitmen tinggi dari segala upaya perongrongan oleh siapapun. Dalam perspektif jihad, para elit partai politik telah melakukan jihad sosial dan politik dengan penuh kecintaan kepada Pancasila dan NKRI. Tidak diragukan lagi, peran partai-partai politik Islam dalam membela Pancasila, UUD 1945, demokrasi, dan NKRI menjadi garda depan bagi terwujudnya keutuhan bangsa secara berkelanjutan.

Jika di masa perang jihad dimaknai perang melawan musuh atau penjajah, maka di alam pembangunan jihad ditransformasi menjadi perang melawan kemiskinan, perang melawan radikalisme, melawan segala rongrongan terhadap dasar negara, menegakkan keadilan, memberdayakan kaum lemah, mengadvokasi kerusakan lingkungan, dan mengisi kemerdekaan dengan karya-karya kreatif. Konsep jihad bahkan telah melekat dalam kesadaran manusia Indonesia modern untuk merujuk pada setiap upaya sungguh-sungguh melawan segala hal yang negatif-destruktif.

Di kota Surakarta dan sekitarnya—yang mewarisi tradisi “mataraman” (mewarisi tradisi kerajaan Jawa selama hampir berabad-abad), Islam bercampur dengan nilai-nilai pra-Islam. Dengan kata lain, Islam telah mengalami domestikisasi sehingga tidak sepenuhnya Islam dalam pengertian Arab, tapi juga bukan sepenuhnya Jawa. Ini disebut sebagai sinkretis. Dalam warisan budaya semacam ini, maka tradisi-tradisi itu dapat mengerem karakter radikal atas nama Tuhan. Apalagi Keraton Surakarta dalam perkembangan awal Islam di Tanah Jawa menjadi agen islamisasi yang mempraktikkan campuran nilai-nilai Islam murni dan nilai-nilai kearifan Jawa. Keraton karena itu menyumbang sumbatan lahirnya radikalisme agama di kota ini.

Selanjutnya, pilihan satu-satunya yang terbuka untuk Islam hari ini dan masa depan—terkait dengan perannya bagi bangsa—adalah mempertahankan Pancasila, UUD 1945 dengan pasal-

Page 128: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

110 ArkeologiFIKIH SOSIAL

pasal amandemennya, dan NKRI sebagai bentuk final. Apalagi Islam telah mengawali perjuangan merebut kemerdekaan dari kolonialisme selama 350 tahun. Finalitas pengakuan umat Islam terhadap ketiga pilar itu menyajikan sebuah komitmen Islam pada nasib bangsa Indonesia di masa-masa yang akan datang. Nasib dan keberlangsungan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI di hari ini dan di masa depan terutama bergantung pada komitmen tinggi umat Islam. Umat Islam sebagai mayoritas harus menjadi garda depan dan memimpin gerakan bersama elemen-elemen masyarakat lain untuk senantiasa membela serta mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai pilar negara Indonesia. Hanya dengan cara seperti inilah, Indonesia akan selamanya ada dan terhindar dari perpecahan total sebagaimana dialami Uni Soviet, Yugoslavia, dan lain sebagainya. Untuk mengikat komitmen tinggi umat Islam pada keberlangsungan negara Indonesia ini, maka gerakan jihad dalam arti perang membela kelangsungan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI harus selalu diperbarui secara terus-menerus.

Jadi, berdasarkan argumen-argumen di atas ditegaskan bahwa, pertama, umat Islam Surakarta telah melakukan perubahan signifikan dalam memahami jihad. Reinterpretasi atas makna jihad dilakukan dengan memberi konteks baru terhadapnya, misalnya, dengan mengaitkannya pada konteks sosial, budaya, nilai-nilai kebangsaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Makna jihad telah mengalami transformasi dari teologis ke sosiologis; dari taktis ke strategis; dari perintah langit ke perintah bumi; dan dari makna mikroskopik ke makna makroskopik. Transformasi reinterpretasi ini memungkinkan jihad dapat dijabaroperasionalkan ke arah kepentingan-kepentingan kesatuan dan persatuan nasional Indonesia. Transformasi makna jihad semacam ini juga dapat menghindarkan Islam dari penyalahgunaan kekerasan atau terorisme atas nama Tuhan.

Kedua, para ulama, elit intelektual Islam Surakarta, dan umat Islam Surakarta pada umumnya memahami jihad bukan dalam arti ofensif, tetapi defensif. Maknanya kini bertransformasi menjadi gerakan sungguh-sungguh melawan kemiskinan, ketidakadilan, upaya pemberdayaan yang lemah, advokasi lingkungan hidup,

Page 129: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

111Dr. MUDOFIR

dan HAM. Dalam konteks kebangsaan, jihad menjadi instrumen dan modal sosial bagi tegaknya Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut mereka, menjaga ketiga pilar bangsa Indonesia adalah jihad akbar karena umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya dapat menjalankan kegiatan-kegiatan produktifnya dengan aman dan damai tanpa gangguan perang atau kerusuhan sosial serta politik. []

Page 130: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

112 ArkeologiFIKIH SOSIAL

BAB VIEPILOG

Masalah-masalah baru untuk fikih sosial Islam akan terus tumbuh berkembang dan memerlukan kajian serta riset-riset untuk mendekripsikannya ke dalam buku-buku yang sistematik. Generasi mendatang memerlukan penjelasan-penjelasan baru yang lebih responsif, komprehensif, dan kontekstual. Setiap generasi baru Muslim di berbagai Negara akan menghadapi perbedaan masalah dan perbedaan cara mengatasi. Itulah sebabnya, Fikih Sosial Islam harus memerhatikan lokalitas dengan seluruh konteks-konteksnya. Terkait dengan yang universal dan titik-titik temu nilai lainnya dapat dipecahkan secara bersama.

Kesalingtergantungan antar bangsa atau kerjasama global sekarang telah menjadi kenyataan sosial dan bahkan keniscayaan total. Hal ini demikian, karena tidak setiap bangsa dapat memecahkan masalahnya sendiri atau mencukupi kebutuhannya sendiri. Kerjasama dan saling membantu antar Negara Muslim dan bahkan antar-bangsa telah menjadi nilai modern yang tercantum dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan seluruh lembaga-lembaga subordinatnya: WHO, UNESCO, IAEA, ICAO, IFAD, ILO, IMF, IMO, UNHCR, UNCTAD, dan lain-lainnya. Semua badan-badan dalam naungan PBB itu merupakan perwujudan kerjasama antar-banga yang bertujuan menciptakana perdamaian, kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan global dengan semangat saling menghargai dan kesetaraan. Fikih sosial Islam tidak bisa melepaskan term-term kerjasama tersebut dalam konteks kehidupan Muslim di masa depan.

Selain itu, isu-isu kejahatan transnasional seperti terorisme, illegal lodging, narkoba, trafficking, ancaman nuklir, dan pencemaran lingkungan sangat penting untuk masuk dalam kajian fikih sosial. Fikih sosial baik sebagai norma-norma hukum maupun sebagai etika terapan Islam harus efektif dan fungsional dalam memecahkan

Page 131: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

113Dr. MUDOFIR

problem-problem tersebut di atas. Para pengkaji fikih harus membekali diri dengan informasi-informasi tersebut baik melalui akses bacaan maupun riset. Bahan baku Fikih Sosial tidak lagi memadai hanya dikaji secara deduktif—dalam arti mengutip dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah—tetapi juga perlu dilengkapi dengan kajian-kajian induktif melalui riset-riset lapangan. Merumuskan Fikih Sosial tanpa wawasan-wawasan kemodernan tidaklah lagi dapat dipegangi, sekalipun dalil-dalilnya bertebaran di setiap halaman. Riset-riset sosial, sains, humaniora, dan bahkan teknologi tetap diperlukan bagi seorang fakih menentukan status atau kepastian hukumnya. Itulah sebabnya, ijtihad individual tidak lagi disarankan. Yang disarankan adalah ijtihad kolektif yang melibatkan bidang lintas disiplin baik Studi Islam maupun studi ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora.

Dengan demikian, buku-buku fikih harus diberi konteks baru dengan materi-materi baru sembari tetap menampilkan material lama yang masih relevan. Tetapi jika ada material-material baru yang lebib baik maka harus diutamakan untuk diambil sesuai dengan adagium/kaidah al-muhāfadhah ‘alal qādim al-shālih wa al-akhdzu bil jadīd al-ashlah (memelihara nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). Kaidah ini masih cukup relevan untuk diterapkan.

Telah lama dirasakan bahwa kajian-kajian fikih tidak lagi diminati dan bahkan terasa banyak kehilangan relevansinya dengan konteks-konteks masa kini. Tetapi dengan kesadaran para intelektual Muslim modern—dimulai dari Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Al-Afghani, dan lain-lainnya—materi-materi dan metodologinya terus berkembang dengan cakupan tema-tema atau isu-isu yang lebih luas. Metode mashlahah atau maqāshid al-ahkām al-syarī’ah mulai dikenalkan dan sejak itu kajian-kajian fikih telah bergerak hidup.

Namun, kesadaran tentang ini belum merata dalam pandangan banyak umat Islam, terutama, umat Islam tradisional dari kawasan-kawasan yang relatif terisolir dari gemuruh peradaban modern. Kondisi terisolir membuat seseorang atau masyarakat tidak banyak pilihan untuk melakukan kreativitas dan inovasi dalam hidup. Dalam kungkungan atau belenggu sosial yang terisolir, maka

Page 132: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

114 ArkeologiFIKIH SOSIAL

seseorang atau sekelompok masyarakat mudah diinfiltrasi oleh ajaran-ajaran atau fikih yang tidak kritis dan cenderung tekstual. Ajaran terkungkung akan melahirkan keterkungkungan pikiran, ucapan, dan tindakan. Nah, Fikih sosial harus membebaskan keterkungkungan itu dan memberikan orang atau masyarakat kemerdekaan untuk melakukan pilihan-pilihan hidup yang lebih terbuka.

Itulah sebabnya, tauhid sosial, fikih sosial, dan etika sosial perlu diperbarui dengan rumusan-rumusan fikih yang membebaskan, bukan membelenggu, dan bukan menyajikan kekakuan doktrin. Teladan Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal layak dicontoh ketika keduanya melakukan terobosan-terobosan hukum melalui kreativitas ijtihad. Umar bin Khattab adalah ‘mujtahid agung’ yang memelopori gerakan ijtihad saat dihadapkan pada problem-problem baru yang kompleks dan menyangkut kemaslahatan-kemaslahatan publik. Jika menyangkut kemaslahatan publik, Umar bin Khattab lebih memilihnya meskipun terkesan melanggar teks. Contoh-contoh bersejarah dari tindakan Umar bin Khattab yang nampak melanggar nash antara lain: tidak membagi tanah rampasan perang di Mesir dan Irak karena demi kepentingan pertahanan dan supaya harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya; tidak menghukum potong tangan pencuri di saat-saat kesulitan ekonomi; talak hanya dua kali untuk melindungi kaum perempuan; dan lain-lain. Ijtihad Umar bin Khattab dilakukan di era yang belum modern—dengan problem-problem sosial yang relatif sederhana. Jika demikian, bukankah seharusnya di masa kini ketika problem-problem makin kompleks, luas, global, dan canggih ijtihad sangat perlu dilakukan? Tapi, anehnya, ijtihad sering hanya pada wilayah-wilayah yang tidak ada nash. Mereka tidak berani keluar dari teks. Bahkan mereka hanya menjadi komentator atas karya-karya ulama terdahulu tanpa berani melakukan kritik-kritik rekomendadtif berdasarkan langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, yang diperlukan adalah pergeseran pemahaman tekstual ke pemahaman yang lebih kontekstual agar relevansinya tetap terjaga. Juga keberanian melakukan ijtihad berdasarkan riset-riset mendalam yang dilakukan secara kolektif (jamā’iy).

Page 133: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

115Dr. MUDOFIR

Menurut Jasser Auda, ada tiga treatment terkait dengan teks-teks Syari’ah. Pertama, proteksi, yakni memproteksi teks-teks Syari’ah dari segala penyimpangan. Kedua, konservasi, yakni melestarikan teks-teks Syari’ah dari korupsi orang-orang tidak bertanggungjawab; dan ketiga, pengembangan atau development, yakni mengembangkan pemahaman teks-teks Syari’ah ke arah konteks-konteks baru sesuai dengan perubahan-perubahan sosial yang terus terjadi dengan cepatnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Jadi, level pertama dan kedua tetap dipertahankan namun tanpa harus mematikan dimensi development atau pengembangan. Pengembangan dilakukan dengan mengikuti perkembangan sejarah sosial, budaya, politik, dan hukum. Medianya adalah dengan memperbarui pandangan dunia (worldview) para intelektual Muslim dan umatnya agar berada pada keterbukaan pada kebaruan-kebaruan. Dengan argumen-argumen di atas dan bab-bab sebelumnya, Fikih Sosial ini dihadirkan.

Mahmoud Muhammad Thaha (salah seorang guru terpenting dari Ahmed An Naim) dalam bukunya The Second Message of Islam punya istilah yang tepat “evolusi Syari’ah”. Dia menjelaskan bahwa pesan-pesan Syari’ah berjalan berdasarkan perkembangan terus-menerus melalui hukum evolusi. Berawal dari Mekah yang bersifat universal lalu bergeser ke Madinah yang pesan-pesan Syari’ahnya bersifat implementatif. Periode Mekah ke periode Madinah ada perubahan pesan dari universal ke partikular. Jika pendapat Thaha ini diikuti maka dalam 1500 tahun ajaran Islam berkembang ke level-level yang lebih tinggi mengikuti arah hukum evolusi. Itulah sebabnya, dalam sejarahnya Islam berkembang dari skup regional (jazirah Arabia) menjadi global, yakni mulai berinteraksi dengan peradaban-peradaban internasional dengan berbagai kekayaan budaya masing-masing. Lahir dalam rentangan sejarah itu, ilmu-ilmu lain yang tidak dikenal di masa Rasulullah seperti: ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu fikih, ushul fikih, ilmu akidah, ilmu al-Qur’an, ilmu tarikh, dan lain-lain. Juga ilmu-ilmu sains seperti astronomi, antropologi, sejarah, dan lain sebagainya.

Sebagaimana perkembangan sejarah umat manusia yang terus mengalami kemajuan demi kemajuan, maka sejarah fikih

Page 134: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

116 ArkeologiFIKIH SOSIAL

terus mengalami transformasi-transformasi. Pandangan dunia, perubahan sosial, dan realitas sosial manusia berubah karena itu konten-konten fikih pun berubah. Lahir pula intelektual-intelektual brilian Muslim yang merumuskan konsep-konsep utama studi Islam, termasuk kajian fikih, dengan isu-isu yang telah dikontekstualisasi.

Kini, jaman modern dan postmodern telah hadir dengan perubahan-perubahan besar. Era revolusi industri 4.0 telah menghadirkan tuntuntan-tuntutan baru yang serba canggih. Cara bertransaksi (sistem aqad), misalnya, telah beralih ke sistem online. Dengan aplikasi-aplikasi tertentu, transaksi-transaksi sekarang tak lagi berlangsung secara tatap muka. Orang tidak lagi mengantri untuk mendapatkan layanan tertentu. Layanan-layanan konvensional mulai runtuh tergantikan dengan sistem online. Contoh kecil ini menunjukkan bahwa kategori-kategori legal-formalistik yang bersifat tradisional harus direvisi ke dalam konteks-konteks baru sehingga relevansinya tetap terjaga. Kehadiran fikih-fikih sosial yang baru terus dibutuhkan di masa depan dan para sarjana diminta untuk terus memproduksi kajian-kajian fikih yang lebih responsif terhadap peluang serta tantangan di masa depan.[]

Page 135: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

117Dr. MUDOFIR

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Al ‘A’māl al Kāmilah, ed. Muhammad Imārah (Kairo: Dār al Surūq, 1993).

Abdul Karim, Khalil. Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, terj. Kamran As’ad Irsyadi (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Abdullah, Mudhofir. “Munawir Sadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dan Isu-Isu Strategis Bangsa” dalam M. Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam: Membaca Ulang Pemikiran Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sadzali (Yogyakarta: LKiS, 2015).

------------------------. Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).

-------------------------. Jihad Tanpa Kekerasan (Jakarta: Inti Medina, 2009).

-------------------------. Mencairnya Hubungan Santri-Abangan: Studi Atas Integrasi Sosio-Budaya Santri-Abangan di Pesantren Ngruki Surakarta (Surakarta: Penerbit IAIN Surakarta, 2015).

Abou El Walid, Khaled. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oneword Publications: Oxford, 2001).

Abrahamian, Ervand. Khomeinism: Essays On the Islamic Republic (California: University of California Press, 1993) dan Said Amir Arjomand, The Turban for the Crown: The Islamic Revolution in Iran (Oxford: Oxford University Press, 1988).

Abu Hamid, al-Ghazali, Al-Mustashfa, Jilid I.

Al Thabari, Jāmi’ al Bayān ‘an Ta’wīl ay al Qur’ān, Juz I, Cet. II (Kairo: Al Bab al Halabi, 1954).

Al-Alwani, Thaha Jabir. Maqāshid al-Syarī’ah, edisi ke-1 (Beirut: IIIT dan Dār al-Hīdī, 2001).

Al-Arabi, Abu Bakr al-Maliki ibn. Al-Mahshūl fī Ushūl al-Fiqh, Husayn

Page 136: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

118 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Ali Alyadri dan Said Fuda (eds.), edisi ke-1 (‘Amman: Dar al-Bayariq, 1999), vol. 5.

Al-Fadl, Muna Abu. “Nahwa Manhajiyyāt al-Tā’amul ma’a Mashādir al Tanzīr al-Islām bayn al-Muqaddimat fī al-Ulūm al-Sulūkiyyah wal-Muqawwimāt” dalam Tayyib Abidin (Ed.) (Herndon, VA: Institute of International Islamic Thought, 1990).

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa, Jilid I.

Al-Qarafy, Syihab al Din. al-Dhahirah (Beirut: Dar al ‘Arab, 1994), vol. 5.

Al-Qayyim, Ibn. Zādul Ma’ād fī Khair al-Ibād, tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abd al Qadir al Arnauth (Beirut: Muassasāt al Risalah, 1421 H).

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II.

Al-Syatiby, Ibrahim Ibn Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.), Volume II.

An Naim, Abdullah Ahmed. “Islam and Human Rights”, Tikkun 18, no. 1 (2003).

An Naim, Abdullah Ahmed. “Islamic Fundamentalism and Social Change” dalam Gerrie ter Haar and James J. Busuttil (eds.), The Freedom to Do God’s Will: Religious Fundamentalism and Social Change (London and New York: Routledge, 2003).

Auda, Jasser. Maqashid Syariah as a Philosophyof Islamic Law: A System Approach (International Institute of Islamic Thought, 2008).

Auda, Jasser. Maqāshid al-Syarȋ’ah As Philosophy of Islamic Law: A System Approach (London, Washington: The International Institute of Islamci Thoughts, 2007).

Bagir, Haidar. Islam Tuhan, Islam Manusia (Bandung: Mizan, 2017).

Basheer, Nafi. “Tahir ibn Ashur: The Career and Thought of a Modern Reformis Alim, with Special Reference to His Work of Tafsir”, Journal of Qur’anic Studies 7, no. 1 (2005).

Berger, Peter L. (ed.), “Desekularisasi Dunia, Tinjauan Global”, dalam Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia, terj. Hasibul

Page 137: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

119Dr. MUDOFIR

Khoir (Yogyakarta: Arruz Media, 2003).

Bowen, John R. “The Form Culture Takes: A State of the Field Essay on the Anthropology of Southeast Asia”, The Journal of Asian Studies, 54: 1047-1078.

Caldikot, Helen. If You Love This Planet (New York: W.W. Norton, 1992).

Calne, Donald B. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, terj. Parakitri T. Simbolon (Jakarta: Penerbit KPG, cet. I, 2004).

Campanini, Massiomo. The Qur’an: Modern Muslim Interpretations, transl. Caroline Higgit (Abingon & New York: Routledge, 2011).

Christensen, Clayton, & Michail Horn, Disrupting Class: How Disruptive Innovation Will Change the Way the World Learns (New York: McGraw-Hill, 2008).

Dakroury, Aliaa Ibrahim. “Toward a Philosophical Approach of the Hermeneutics of the Qur’an, The American Journal of Islamic Science, p. 23, 1 (2006), 15-51: 22.

DeWitt, Richard. Worldview: An Introduction to History and Philosophy of Science (Malden, MA: Blackwell, 2004).

Drake, Christine. National Integration in Indonesia: Pattern and Policies (Honolulu: University of Hawai Press, 1989).

Elson, Robert E. The Idea of Indonesia: A History (Cambridge: Cambridge University Press, 2008).

Esposito, John L. Ancaman Islam, Mitos atau Realitas? Edisi Revisi, Menggugat Tesis Huntington (Bandung: Mizan, 1996)

Fairlough, Norman. Media Discourse (New York: Edward Arnold, 1995).

Faris, Ahmad ibn. Mu’jam al Maqāyīs fī al-Lughah, juz IV (cet. I: Beirut: Dār al-Fikr, 1994).

Finnermore M., “Rules of War and Wars of Rules: The International Red Cross and the Restraint of State Violence”, in John Boli and George M. Thomas, Constructing World Culture: International Nongovernmental Organization Since 1875 (Stanford University

Page 138: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

120 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Press, 1999).

Geertz, Clifford. The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976).

Geertz, Clifford. Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976).

Geoffrey Parker, Marshall Van Alstyne, & Sangeet Paul Choudary, Platform Revolution: How Networked Markets Are Transforming the Economy (New York: 2016).

Haar, Gerrie ter & James J. Busuttil (eds.), The Freedom to do God’s Will: Religious Fundamentalism and Social Changes (London and New York: Routledge, 2003).

Hallaq, Wael B. The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge, New York, Melbourn: Cambridgel University Press, 2005).

Harari, Yuval Noah. Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Ciputat: Penerbit Alvabet, 2018).

Hardin, Garret. “The Tragedy of the Commons” dalam Science, 13 December 1968, vol. 162, no. 3859.

Hassan, Muhammad Haniff. Unlicensed to Kill: Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing (Singapore: T.P., 2005). Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason (New York: T.Pn, 2005).

Hefner, Robert W. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A. Wishnu Hardana, Imam Ahmad (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Hegasy, Sonja. “Mohammed Abed al-Jabri, Pioneering Figure in a New Arab Enlightenment” at Qantara.de, 06 May 2010, Accessed on 15 May 2016.

Heilbroner, Robert L. “Capitalism” dalam Steven N. Durlauf and Lawlrence E. Blume (eds.), New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd ed (Macmillan: Palgrave Macmillan, 2008).

Hitti, Philip K. History of the Arabs: From the Earliest Time to the Present (New York: Palgrave Macmilan, 2002).

Page 139: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

121Dr. MUDOFIR

Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam, vol 3, Six: “Epilogue: the Islam Heritage and the Modern Conscience”.

Hooker, MB. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding Rosyidin Hasan (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002).

http://www/informasipedia.com/jumlah-penduduk-dunia/458-jumlah-penduduk-dunia-tahun-2015.html diakses tanggal 11 Juli 2016.

ibn Asyūr, Muhammad al-Thahir. Ushūl al-Nidzām al-Ijtimā’iy fī al-Islām, ed. Muhammad el Tahir el Mesāwi (Ammān: Dār al-Nafāis, 2001).

Ibn Hazm al Andalusi, Rasāil ibn Hazm al-Andalusi, juz IV, diedit oleh Dr. Ihsan Abbas (al Mu’assasah al-Arabiyah lidirasat wa al-Nasyr, 1981).

Ibn Hazm, Muhammad. Mu’jām al Fiqh, 2 Vols (Damascus: Mathba’at Jāma’at Dimashq, 1966), Volume II.

Ibn Taymiyah, Dar’ Ta’ārudh wa al-Naql, juz I, bagian pertama, diedit oleh Muhammad Rasyad Salim (Kairo: Dar al-Kutub, 1971).

Jenks, Chris. Core Socilogical Dichotomies (London, England, UK: Sage Press, t. t.).

Joesoef, Daoed. “Membangun Budaya Bangsa dan Nilai Keindonesiaan Demi Masa Depan Bangsa”, dalam Daoed Joesoef dan Pontjo Sutowo, Nilai Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Kompas, 2017).

Kasali, Reynald. The Great Shifting: Series on Disruption (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2018).

Khaled Aboe al Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006).

Kompas, 7 Agustus 2009.

Kurzman, Charles, ed., Modernist Islam, 1840-1940: A Source Book (Oxford: Oxford University Press, 2002).

Laffan, Michael. The Making of Indonesiaan Islam (Princeton: Princeton University Press, 2011).

Page 140: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

122 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Laporan Utama “Berebut Suara Massa Islam” dalam Tempo, 23 April 2017.

Lewis, Bernard. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response (New York: Oxford University Press, 2001), dan James Q. Wilson, “The Reform Islam Needs”, City Journal, summer, 2002.

Lijphard, Arend. Democracy in Plural Societies (New Haven: Yale University Press, 1977).

Madjid, Nurcholish. “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia” dalam Prisma, No. Ekstra, 1984 Tahun XIII, h. 12, 13.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), cet IV.

Madjid, Nurcholish. Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007).

Montefiore, Simon Sebag. Jerusalem: The Bioghraphy, terj. Yanto Musthofa (Ciputat: Pustaka Alvabet, cet. 12, 2017).

Moosa, Ebrahim, and A.A. Mian, “Islam”, in Ruth Chadwick (ed.), Encyclopedia of Applied Ethics (2012, San Diego: Academic Press).

Moosa, Ebrahim. “The Debts and Burdens of Critical Islam” dalam Progressive Muslim, ed. Omid Safi (Oxford: Oneworld, 2003).

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasih, 1996), edisi III.

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasih, 1996), edisi III.

Naming, Sire. Wordviews: Crosscurtural Explorations of Human Beliefs, edisi ke-3 (Prentice Hall, 1999).

Nasr, Syed Hossein. Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996).

Nasr, Syed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for

Page 141: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

123Dr. MUDOFIR

Humanity (New York: Harper Collins Publisher, Inc., 2002).

Naugle, David K. Worldview: the History of a Concept (Grand Rapids: Edmans, 2002).

North Whitehead, Alfred. “Suffering and Being”, dalam Adventures of Ideas (Harmondsworth, 1945).

NY Daily News, Associated Press, June 18, 2011.

Qaradhawi, Yusuf. Kayfa Nata’āmal Ma’a al-Qur’ān al-‘Adzīm, edisi ke-I (Kairo: Dār al-Syurūq, 1999).

QS. al A’rāf: 54.

QS. Maryam: 65.

QS. Al-Anbiya’ [21]: 107.

Rahardjo, Dawam dalam Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaharuan Islam: Sekulraisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Malang: Penerbit Madani, 2017).

Rahman, Fazlur. Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. M. Irsyad Rafsadie (Bandung: Penerbit Mizan, 2017).

Rahman, Fazlur. Major Themes of the Quran (Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980).

Ramadan, Tariq. Teologi Dialog Islam-Barat: Pergumulan Muslim Eropa, terj. Abdullah Ali (Bandung: Penerbit Mizan, 2002).

Republika, Jumat, 31 Agustus 2012.

Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since C. 1200, third edition (London: Palgrave Macmillan, 2001).

Ridha, Muhammad Rashid. al-Wahy al-Muhammadi: Tsubūt al-Nubuwwah bi al-Qur’ān (Kairo: Muassasah ‘Izzudin, tt.).

Sachedina, Abdul Aziz. “From Defensive to Offensive Warfare: The Use and Abuse of Jihad in the Muslim World” dalam www.people.virginia.edu/~aas/ diakses tanggal 15 Agustus 2017.

Saeed, Abdullah. Reading the Qur’an in the Twenty-first Century: A Contextualist Approach (New York: Routledge, 2014).

Page 142: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

124 ArkeologiFIKIH SOSIAL

Said, Edward. Orientalism ((London: Penguin, 1978).

Sano, Quttub. Qira’ah Ma’rifiyyah fi al-Fikr al-Ushuli, edisi I (Kuala Lumpur: Dar al-Tajdid, 2003).

Seno Adji, Indriyanto. “Terorisme, Perpu No. I Th. 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O. C. Kaligis & Associates, 2001).

Shahrur, Muhammad.al Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah (Damaskus: al Ahāli, 1992).

Singh, Bilveer dan Abdul Munir Mulkan, Regenerasi Gerakan Radikal dan Terorisme dalam Masyarakat Yang Semakin Terbuka (Yogyakarta: Metro Episteme, 2017).

Sire, James W. Naming the Elephant (Downers Grove, IL: Inter Varsity Press, 2004).

St. Clair, Jeffery, and Joshua Frank. Ecological Warfare: Iraq’s Environmental Crisis dalam http://www.stwr.org/middle-east/ecological-warfare-iraq’s-environmental-crisis .html.

Tibbi, Bassam.The Challenges of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998).

Turnipseed, Tom. Ecocide dalam http://www.countercurrent.org/en.turnipseed230705.htm.

Ullman, Stephen. Semantics: an Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Oxford University Press, 1962).

Unabridged Dictionary (Random House, 2006), entry “Ecocide”.

United Nation Development Programm UNDP, Annual Report 2004 (diakses pada 16 Juli 2016) tersedia dalam http://www.undp.org/annualreports/2004/english.

Waldman, Marilyn. “Overview of the History of Islamdom” dalam Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol I, “General Prologue: The Islamic Vision in Religion and in Civilization”.

Weisberg, Barry. Ecocide (San Fransisco: Cantfield Press, 1970).

Page 143: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

125Dr. MUDOFIR

White, Jr. Lynn. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” dalam Science 155 (3767), h. 1203-1207.

Wikipedia Online, “The Human Development Index”, diakses pada 14 Juli 2016.

Page 144: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

126 ArkeologiFIKIH SOSIAL

TENTANG PENULISDr. MUDOFIR lahir di Tegal. Dalam banyak tulisan dan buku, dia juga menggunakan nama pena Mudhofir Abdullah. Menyelesaikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di daerah kelahiran, Tegal. Tahun 1991 lulus dari Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN PK) dan melanjutkan studi di IAIN Surakarta lulus tahun 1997. S2 ditempuh

di Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus tahun 2002. S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus tahun 2009. Memperoleh penghargaan sebagai lulusan Doktor Terbaik pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Menyelesaikan S3 hanya dalam 2 tahun 2007-2009. Menjadi Wakil Rektor I IAIN Surakarta tahun 2011-2015. Rektor IAIN Surakarta tahun 2015-2019.

Banyak menulis di media massa dan jurnal. Karya-karya dalam bentuk buku, di antaranya adalah sebagai berikut:

1). “Jombang Kairo-Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia” (Solo: Penerbit Tiga Serangkai, 2004).

2). “Memburu Setan Dunia: Ikhtiar Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme” (Yogyakarta: Suluh Press, 2005).

3). “Menggugat Sosiologi Sekuler: Studi Analisis atas Sosiologi Weber”, karya terjemahan (Yogyakarta: Suluh Press, 2005).

4). “The Secret of Secret: Menyingkap Tabir Rahasia Illahi”, karya terjemahan (Yogyakarta: Suluh Press, 2006).

5). “Soeharto dan Ideologi Orde Baru” dalam Soeharto Sehat: Suvenir Untuk Presiden Kedua Negeri Ini, menulis bersama Asvi Warman Adam dkk.,(Yogyakarta: Penerbit Galang Press, 2006).

6). “Jihad Tanpa Kekerasan” (Jakarta: Penerbit Inti Medina, 2009).

Page 145: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

127Dr. MUDOFIR

7). “Pendidikan dan Kemiskinan”, editor (Solo: Penerbit Pustaka Mantiq, 1999).

8). “Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah” (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2010).

9). “Masailul Fiqhiyah: Isu-Isu Fikih Kontemporer” (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011).

10). “Mukjizat Tafakur: Cara Sukses Merengkuh Kebahagiaan dan Puncak Spiritualitas” (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012).

11). “Konvergensi Santri-Abangan: Melihat Islam dari Ngruki” (Solo: Penerbit IAIN Surakarta, 2013).

12). “Cintaku Berlabuh di Pesantren”, karya Novel (Surakarta: Penerbit BukuKu, 2016)

Alamat Kantor: Jalan Pandawa Pucangan Kartasura-Sukoharjo, telfon: 0271781516.

Alamat Rumah: Krapyak Wetan RT 05/RW 08 Kartasura, Sukoharjo.

Page 146: FIKIH SOSIAL - eprints.iain-surakarta.ac.ideprints.iain-surakarta.ac.id/1808/1/ARKEOLOGI FIKIH SOSIAL.pdf · perlunya fikih sosial baru dengan material-material kemodernan dengan

128 ArkeologiFIKIH SOSIAL