FIKIH MUNAKAHAT
-
Upload
ari-jelek-bgt -
Category
Documents
-
view
863 -
download
10
Transcript of FIKIH MUNAKAHAT
FIKIH MUNAKAHAT
DEFINISI NIKAH
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai : (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)(2) perkawinan
Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.
Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi") digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).
BERPASANGAN ADALAH FITRAH
Mendambakan pasangan merupakan fitrah Oleh karena itu agama mensyariatkan
dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21
Sakinah berasal dari akar kata sakana Sakana = diam/tenangnya
sesuatu setelah bergejolak.
itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta.
Sakinah --karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.
4 MACAM PERNIKAHAN Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri
Nabi, Aisyah, bahwa pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan.
Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.
Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik.
Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak.
Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka kepadanya.
Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.
SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?
Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing: Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)
Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau 1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).
Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).
Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami
(QS Al-Nisa' [4]: 23-24).
PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA
Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2) : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
(QS A1-Baqarah [2]: 221).
Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan, Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS Al-Ma-idah [5]: 5).
dianugerahi Kitab (suci) (QS Al-Ma-idah [5]: 5).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan: "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah." Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama.
POLIGAMI DAN MONOGAMI
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.Al-Nisa' [4]: 3
Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi Saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria.
Ketika turunnya ayat ini beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang istri , agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal, setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.
Imam Malik, An-Nasa'i, Ad-Daraquthni meriwayatkan
bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki sepuluh orang istri. Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan selebihnya.
Di sisi lain ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya poligami !
Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami , dan itu pun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Perlu juga dijelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat tsb adalah keadilan dalam bidang material.
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS An-Nisa' [4]: 129
Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini, adalah keadilan di bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarangmemperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai.
Dengan demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya
SYARAT SAH PERNIKAHAN
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, Mahar, serta terlaksananya ijab dan kabul
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,
atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil.
tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas
TIDAK SAH NIKAH KECUALI DENGAN (IZIN) WALI.
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi Saw.
Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali.
TIDAK SAH NIKAH KECUALI DENGAN (IZIN) WALI. Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firmanNya yang
ditujukan kepada para wali:
... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).
karena itu pula terhadap para wali ditujukan firman Allah :
Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orangmusyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum merekaberiman (QS Al-Baqarah [2]: 221).
Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,
Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukminlebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu (QS AlBaqarah [2]: 221).
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:
Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).
Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik --bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan-- sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan hanya sekali-- menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya,
Sampai dia menikah dengan suami yang la~n (QS Al-Baqarah [2]: 230).
Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis.
Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.
Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda.
Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.
Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran yang menyatakan "Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan) mereka." (QS Al-Nisa' [4]: 25).
Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.
SAKSI Kalangan ulama pun berbeda pendapat
menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan.
SAKSI
Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu?
Imam Syafi'i dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh).
Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan,atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselihan pendapat.
Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.
MAHAR
Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.
Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelan (QS An-Nisa' [4]: 4).
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya.
Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya.
Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20).
Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita.
Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
"Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) te1ah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh” (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
Carilah walau cincin dari besi.
Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda,
Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).
IJAB KABUL Hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui
walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata ,guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban.
Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling tidak "mewujudkan suatu kewajiban" yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah.
Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) daricalon suami.
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN
1. PACARAN
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya "Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam.
Rasulullah SAW bersabda :"Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
2. TUKAR CINCIN.
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, nashiruddin Al-Bani)
Tradisi orang kafir banyak diikuti oleh kaum pria Muslim. Mereka memakai cincin kawin/pertunangan dari emas, hal mana sering dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Dalil : Pertama: " Rasulullah SAW melarang orang memakai cincin
emas" (R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, An-Nasi, dll.)
Kedua: " Dari Ibnu Abbas, Rasulullah melihat seorang sahabat memakai cincin emas, lalu beliau lepaskan dari jari orang tersebut dan diletakkan. Beliau bersabda: "salah seorang dari kalian sengaja telah mengambil sebuah bara dari api dan diletakkan di tangannya!". Ketika Rasulullah SAW pergi, seseorang berkata kepada pemilik cincin itu: “Ambillah cincinmu itu dan pergunakan untuk keperluan lain". Orang itu menjawab dengan tegas: "Demi Allah saya tidak akan mengambil kembali apa yg tidak disukai Rasulullah SAW"
(R.Muslim, Ibnu Habban, dll)
Ketiga: Dari Abi Tsalabah Al-Khasyni, Rasulullah SAW melihat dia mengenakan cincin di tangannya. Rasulullah mengetuk cincin itu dengan kayu yg sedang dipegangnya. Ketika Nabi SAW berpaling ke arah lain, cepat ia buang cincin itu. (lalu Nabi kembali melihat ke arah tangan Abi Tsalabah, tapi tidak melihat cincin itu), lalu beliau bersabda: " Apa yg kamu lihat tentu menyakitkan dan merugikanmu" (R.Nasai, Ahmad, dll)
Keempat: Dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi SAW melihat seorangsahabatnya memakai cincin emas, lalu beliau memalingkan wajahnya. Orang itumencampakkan cincinnya dan memakai cincin dari besi, lalu Nabi menegur: " Celaka! Ini perhiasan penghuni api neraka". Orang itu cepat membuang cincinnya, lau ia memakai cincin dari perak, ternyata beliau mendiamkannya" (R.Ahmad dan Al-Bukhari)
Kelima: "Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, janganlah memakai sutera dan jangan memakai emas" (R.Ahmad dari Abu Amamah dengan sanad Hasan)
Keenam: "Barangsiapa dari umatku yg mengenakan (perhiasan) emas, kemudian meninggal dunia, maka Allah akan mengharamkan kepadanya (mengenakan) perhiasan emas Sorga " (R.Ahmad dari Abdullah bin Amru dengan sanad Sahih)
Seseorang bertanya kepada majalah The Women yg terbit di Inggris, edisi ke 19, Maret 1960, halaman 8. Pertanyaan itu berbunyi:
+ "Mengapa cincin kawin itu diletakkan pd jari manis sebelah kiri?“ - " Karena, konon pada jari itu terdapat urat nadi yg berhubungan dengan jantung. Dizaman kuno, jika cincin itu diletakkan pada ujung ibu jari sebelah kiri pengantin wanita dikatakan: "Dengan nama (Tuhan) Bapa". Pada ujung jari telunjuk diucapkan: "Dengan nama (Tuhan) Anak". Pada ujung jari tengan diucapkan: "Dengan nama ruh Kudus", dan pada waktu diucapkan "Amin", cincin itu diletakkan untuk yg terakhir kalinya pada jari manis pengantin tersebut.
3. MENUNTUT MAHAR YANG TINGGI.
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
4.MENGIKUTI UPACARA ADAT
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala :"Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85).
5. MENGUCAPKAN UCAPAN SELAMAT ALA KAUM JAHILIYAH.
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Ucapan Birafa' Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam
Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa' Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : "Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?". 'Aqil menjelaskan :"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
"Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"
Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
'Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi SAW jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath.Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
7. Pelanggaran Lain.Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.