ffsdfs

14
TUTORIAL BLOK 12 KELOMPOK B9 1. FELICIA IVANTY 04111401002 2. TATIA INDIRA 04111401003 3. FRANDI WIRAJAYA 04111401019 4. PIERRE RAMANDHA 04111401020 5. SHELVIA CHALISTA 04111401024 6. LIA MAHDI AGUSTIANI 04111401027 7. MUHAMMAD REYHAN 04111401068 8. IRA MELIANI 04111401074 9. FARIS NAUFAL AFIF 04111401077 10. TEGUH RIDHO PERKASA 04111401080 11. NUR EQBARIAH BAHARUDEN 04111401099 KLARIFIKASI ISTILAH 1. HERNIOTOMI : Operasi untuk mengatasi hernia dengan cara mengembalilkan isinya ke posisi normal / pembuangan kantung hernia . 2. SPESIALIS ANASTESI : Ahli anastesi . 3. INHALASI : Penarikan udara / substansi ke dalam paru – paru . 4. HALOTHONE : Anastetik inhalasi yang di gunakan untuk menginduksi dan mempertahankan anastesi umum .

description

sdas

Transcript of ffsdfs

Page 1: ffsdfs

TUTORIAL BLOK 12

KELOMPOK B9

1. FELICIA IVANTY 04111401002

2. TATIA INDIRA 04111401003

3. FRANDI WIRAJAYA 04111401019

4. PIERRE RAMANDHA 04111401020

5. SHELVIA CHALISTA 04111401024

6. LIA MAHDI AGUSTIANI 04111401027

7. MUHAMMAD REYHAN 04111401068

8. IRA MELIANI 04111401074

9. FARIS NAUFAL AFIF 04111401077

10. TEGUH RIDHO PERKASA 04111401080

11. NUR EQBARIAH BAHARUDEN 04111401099

KLARIFIKASI ISTILAH

1. HERNIOTOMI : Operasi untuk mengatasi hernia dengan cara mengembalilkan isinya ke

posisi normal / pembuangan kantung hernia .

2. SPESIALIS ANASTESI : Ahli anastesi .

3. INHALASI : Penarikan udara / substansi ke dalam paru – paru .

4. HALOTHONE : Anastetik inhalasi yang di gunakan untuk menginduksi dan

mempertahankan anastesi umum .

5. SUCCINYLCHOLINE : agen penyekat neuromuscular deppolarisasi yang di gunakan

dalam bentuk garam florida , berfungsi sebagai obat tambahan untuk anastesi dan terapi

kejang .

6. INTUBASI : pemasangan selang kedalam saluran tubuh / organ berongga

7. MALIGNANT HYPERTHERMIA : Hal. 541 dorland saku

8. BASE DEFICIT : Pengurangan konsentrasi total bikarbonat yang mengindikasikan

asidosis metabolik / kompensasi terhadap alkalosis repiratory .

Page 2: ffsdfs

9. CREATINE KINASE SERUM : Kadar enzim yang mengkatalisis proses fosforilasi

creatine kinase di dalam serum

10. MYOGLOBIN : Oxygen – transporting muscle protein

11. COLA – COLORED URINE : Urin berwarna seperti cola ( coklat tua )

IDENTIFIKASI MASALAH

Tn. Aceng, umur 35 tahun akan menjalani herniotomi dekstra. Spesialis Anastesi

(SpAn) berencana memberikan anestesi umum berupa inhalasi halothane.

Sebelumnya, telah dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit Dalam yang

menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan jantung dan paru.

Keesokan harinya, setelah pemberian succinylcholine intravena dilakukan intubasi

dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane. Pada saat pembedahan

berlangsung, Tn Aceng mengalami kekakuan pada otot, suhu tubuh meningkat

sampai 40C dan tekanan darah menjadi 170/90 mmHg dan denyut jantung 120 kali/

menit. Dokter SpB dan Dokter SpAn menduga terjadinya suatu Malignant

hyperthermia.

Hasil laboratorium darah cito:

Base deficit >8 mEq/L, PH<7.25, konsentrasi creatine kinase serum >20,000/L units,

cola-colored urine, excess myoglobin in urine or serum, plasma [K+] >mEq/L

Page 3: ffsdfs

Jelaskan apa yang terjadi pada Tn. Aceng dalam tinjauan farmakologi sehubungan

dengan obat – obat yang diberikan !

1. Tn. Aceng, umur 35 tahun akan menjalani herniotomi dekstra. Spesialis

Anastesi (SpAn) berencana memberikan anestesi umum berupa inhalasi

halothane.

a. Bagaimana mekanisme kerja dari inhalasi halothane (ivanty,lia,ira,pierre,eqba)

- Dosis

- Indikasi dan kontra indikasi

- Komposisi

- Farmakokinetik

- Efek samping

b. Bagaimana cara cara pemberian anastesi umum ? contoh ! (faris,shelvi)

c. Keterkaitan pemberian anastesi umum (inhalasi halothane) dengan herniotomi

(frandi,teguh,lia)

d. Mengapa inhalasi halothane yang di pilih sebagai anastesi umum sebelum

menjalani herniotomi(pierre,eqba,reyhan)

2. Sebelumnya, telah dilakukan konsultasi dengan bagian Penyakit Dalam yang

menyatakan tidak ditemukan adanya kelainan jantung dan paru.

a. Apa hubungan pemberian inhalasi halothane dengan kelainan jantung dan

paru(shelvie,ivanty,ira)

b. Apa hubungan dilakukan herniotomi dengan kelainan jantung dan paru

(lia,tatia,faris)

3. setelah pemberian succinylcholine intravena dilakukan intubasi dilanjutkan

dengan pemberian inhalasi halothane.

a. Bagaimana mekanisme kerja dari succinylcholine (reyhan,frandi,teguh)

- Dosis

- Indikasi dan kontra indikasi

- Komposisi

Page 4: ffsdfs

- Farmakokinetik

- Efek samping

- Cara cara pemberian

b. Bagaimana interaksi pemberian succinylcholine dengan inhalasi halothane

(8,4,11)

c. Apa tujuan di lakukan intubasi(9,1)

d. Dimana dan bagaimana intubasi dilakukan (10,2)

e. Mengapa setelah pemberian succinylcholine intravena dilakukan intubasi

dilanjutkan dengan pemberian inhalasi halothane ? (11,2)

4. Pada saat pembedahan berlangsung, Tn Aceng mengalami kekakuan pada otot,

suhu tubuh meningkat sampai 40C dan tekanan darah menjadi 170/90 mmHg

dan denyut jantung 120 kali/ menit.

a. Adakah keterkaitan pemberian obat dengan terjadinya gejala pada kasus (1,5,4)

- Kekakuan pada otot

- Suhu tubuh meningkat

- Tekanan darah meningkat

- Denyut jantung meningkat

5. Dokter SpB dan Dokter SpAn menduga terjadinya suatu Malignant

hyperthermia.

a. Apa kriteria malignant hyperthermia (2,9,5)

b. Adakah hubungan antara pemberian obat dengan malignant hyperthermia ? kalau

ada jelaskan ! (3,10,6)

c. Bagaimana metabolisme obat di tinjau dari farmakogenomik (4,11,7)

d. Bagaimana cara mengatasi malignant hyperthermia saat operasi dan bagaimana

cara pencegahannya (5,1,8)

e. Bagaimana cara mendeteksi kelainan genetik pada kasus ini (6,2,9)

6. Hasil laboratorium darah cito:

Page 5: ffsdfs

Base deficit >8 mEq/L, PH<7.25, konsentrasi creatine kinase serum >20,000/L

units, cola-colored urine, excess myoglobin in urine or serum, plasma [K+]

>mEq/L

a. Interprestasi dan mechanism nilai yang abnormal (7,3,10)

Learning Issue

1. Hernia dan herniotomi (5)

2. Anastesi umum(1,6,10)

3. Halothane (2,7)

4. Succinylcholine ( 3, 8 )

5. Malignant hyperthermia (4,9,11)

Page 6: ffsdfs

5.a Apa kriteria malignant hyperthermia?

Gejala Klinis dan Diagnosa

Sebagian besar penderita hiperpireksia malignan secara fungsional normal. Hiperpireksia

malignan menimbulkan gejala setelah penderita menerima anestesi sebagai pemicu dan gejalanya

biasanya dikenali dokter bedah dan staf yang mengoperasinya. Kebanyakan kasus hiperpireksia

malignan terjadi pada pengalaman pertama pasien terhadap anestesi, akan tetapi tidak jarang juga

dapat berkembang pada anestesi berikutnya.

Hiperpireksia malignan dapat menyerang dalam kondisi yang ringan atau dalam kondisi

berkembang dan berpotensi fatal ketika pasien yang rentan diberikan obat pemicu seperti halotan

atau succinylcholine. Kondisi awal atau yang ringan itu ditandai dengan kekakuan otot,

mioglobinuria, dan peningkatan enzim-enzim pada otot.

Awal gejala klinis hiperpireksia malignan adalah takikardi secara tiba-tiba yang diikuti oleh

keadaan hipermetabolik dengan meningkatnya konsumsi oksigen, meningkatnya produksi

karbondioksida (hiperkapnia) dan sianosis. Terjadinya kekakuan otot, terutama pada masseter,

dapat terjadi pada pemberian pelemas otot seperti succinylcholine. Pada kasus khusus, kekakuan

otot terjadi segera setelah pemberian pelemas otot atau kemungkinan lainnya terjadi secara tiba-

tiba selama pemberian anastesi halotan.10,21 Setelah timbulnya kekakuan otot, pemberian dosis

tambahan succinylcholine tidak akan bermanfaat untuk relaksasi otot tersebut.21 Rhabdomiolisis

(kerusakan jaringan otot) terjadi ditandai dengan perubahan warna urin menjadi merah

kecoklatan dan gangguan elektrolit. Jika perawatan yang

diberikan gagal, akan terjadi rigor mortis.

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan,

2010.Peningkatan suhu tubuh tidak terjadi dengan cepat pada kasus hiperpireksia malignan.

Demam biasanya terjadi setelah kekakuan otot dan merupakan hasil dari reaksi tersebut.

Peningkatan suhu tubuh terjadi secara berangsur-angsur dengan kecepatan lebih dari 2°C per

jam, atau mungkin meningkat dengan tiba-tiba dalam 10-15 menit.

Karena hiperpireksia malignan jarang terjadi dan ada banyak penyakit lain yang juga

menimbulkan hipermetabolisme dan kerusakan otot, maka sangat sulit untuk mendiagnosa

hiperpireksia malignan berdasarkan penemuan klinis. Walaupun demikian, operator harus siap

untuk mengevaluasi pasien untuk tanda dan gejala hiperpireksia malignan.5

Hiperpireksia malignan didiagnosa atas alasan-alasan klinis, tetapi berbagai penyelidikan secara

Page 7: ffsdfs

umum telah dilakukan. Hal ini meliputi tes darah, yang menunjukkan peningkatan konsentrasi

kreatin kinase, kalium, fosfat, dan mioglobin yang meningkat sehingga mengakibatkan

kerusakan pada sel otot.

Tes kontraksi dengan kafein-halotan yang mengukur konsentrasi kafein yang diperlukan untuk

memicu kontraksi pada otot skeletal yang baru dibiopsi adalah tes standar untuk menentukan

kerentanan terhadap hiperpireksia malignan. Tes ini dilakukan dengan cara mencelupkan biopsi

otot pada larutan yang berisi kafein atau halotan untuk diamati kontraksinya. Penyelidikan

genetik mengusulkan bahwa tes kontraksi dengan kafein-halotan mungkin menghasilkan hasil

negatif yang keliru. Biopsi negatif tidak pasti menunjukkan pasien tidak rentan terhadap

hiperpireksia malignan, maka pasien yang dicurigai hiperpireksia malignan dari riwayat medis

mereka atau dari keluarga secara umum diberikan anestesi yang tidak memicu walau hasil biopsi

negatif.

5.e. bagaimana cara mendeteksi kelainan genetik pada kasus ini?

Malignant hyperthermia (MH) is inherited as an autosomal dominant trait with reduced

penetrance. It is associated with mutations in 2 genes: RyR1 (ryanodine receptor type 1), which

encodes the skeletal muscle isoform of the calcium release channel of the sarcoplasmic

reticulum,  and CACNA1S, which encodes the alpha subunit of the L-type calcium channel

isoform of the sarcolemma (dihydropyridine receptor). An aberrant termination of RyR1 activity

is found in MH-susceptible persons.

The RyR1 gene is located on chromosome 19. Mutations in RyR1 occur in at least 50% of

persons with MH and all families of central core disease. More than 30 mutations and 1 deletion

are associated with a positive caffeine halothane contracture test (CHCT), a clinical malignant

hyperthermia episode, or both. CHCT is the criterion standard for establishing the diagnosis of

MH.

Muscle biopsy for MH is done at 5 sites in the United States; the patient must travel to the testing

center to have the biopsy performed. Genetic DNA testing can be done with a blood sample sent

to 1 of the 2 testing sites.

Page 8: ffsdfs

3.d. dimana dan bagaimana intubasi dilakukan?

Tindakan Pemasangan ETT (Endo Tracheal Tube)/ Intubasi

A. PENGERTIAN

Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi  adalah memasukkan pipa jalan nafas

buatan kedalam trachea melalui mulut.  Tindakan Intubasi baru dapat di lakukan bila :  cara lain

untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan nafas buatan dalam jangka

panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi ke paru.

B. TUJUAN

1. Membebaskan jalan nafas

2. Untuk pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).

C. PERSIAPAN ALAT YANG DI GUNAKAN

1. Laryngoscope 

2. Endotracheal tube (ETT) sesuai ukuran (Pria : no.  7,7.5, 8 ) (Wanita no. 6.5, 7)

3. Mandrin 

4. Xylocain jelly

5. Sarung tangan steril

Page 9: ffsdfs

6. Xylocain spray

7. Spuit 10 cc

8. Orofaringeal tube (guedel)

9. Stetoskop

10.Bag Valve Mask  (ambubag)

11. Suction kateter

12. Plester

13. Gunting

14.Masker

D. PERSIAPAN TINDAKAN

1. Posisi pasien terlentang dengan

kepala ekstensi (bila dimungkinkan pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai )

2. Petugas mencuci tangan

3. Petugas memakai masker dan sarung tangan

4. Melakukan suction

5. Melakukan intubasi dan menyiapkan mesin pernafasan (Ventilator)

buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang

buka mulut pasien

masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-ujung blade sudah sampai di pangkal lidah-

geser lidah pelan-pelan ke arah kiri

Page 10: ffsdfs

angkat tangkai laryngoskop ke depan sehingga menyangkut ke seluruh lidah ke depan

sehingga rona glotis terlihat

ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah di tentukan sebelumnya

masukkan dari sudut mulut kanan arahkan ujung ETT menyusur ke rima glotis masuk ke cela

pita suara

dorong pelan sehingga seluruh balon ETT di bawah pita suara

cabut stylet

tiup balon ETT sesuai volumenya

cek adakah suara keluar dari pipa ETT dengan Menghentak dada pasien dengan ambu bag

cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang masuk leawt ETT apakah sama

antara paru kanan dan kiri

fiksasi ETT dengan Plester

hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen

6. Pernafasan yang adekuat dapat di monitor melalui cek BGA (Blood Gas Analysis) ± ½ – 1jam

setelah intubasi selesai

7. Mencuci tangan sesudah melakukan intubasi

8. catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator