FESTIVAL PEH CUN BENTUK EKSPRESI KEHIDUPAN UMAT BERAGAMA …

92
FESTIVAL PEH CUN BENTUK EKSPRESI KEHIDUPAN UMAT BERAGAMA DI KOTA TANGERANG Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : MUHAMAD YUSUP NIM : 11150321000018 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019/1441 H

Transcript of FESTIVAL PEH CUN BENTUK EKSPRESI KEHIDUPAN UMAT BERAGAMA …

FESTIVAL PEH CUN BENTUK EKSPRESI KEHIDUPAN UMAT

BERAGAMA DI KOTA TANGERANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

MUHAMAD YUSUP

NIM : 11150321000018

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019/1441 H

IV

ABSTRAK

Muhamad Yusup, 2019. Festival Peh Cun Bentuk Ekspresi Kehidupan Umat

Beragama di Kota Tangerang. Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Kota Tangerang adalah salah satu kota yang tergabung dalam Provinsi Banten,

sebuah kota perindustrian, dengan populasi masyarakatnya terpadat kedua di

Provinsi Banten. Kota Tangerang adalah daerah dengan masyarakatnya sangat

toleransi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dibuktikan dengan kehidupan

sehari-harinya di mana masyarakatnya berbaur dengan sangat baik tanpa adanya

konflik-konflik bernuansa keagamaan. Kota Tangerang sendiri memiliki sebuah

ekspresi dari arti berbaur itu dalam sebuah perayaan yang dinamakan Festival Peh

Cun (Cisadane), Peh Cun ini seolah menjadi wadah darikebudayaan umat-umat

beragama yang tertuang dalam sebuah perayaan, di dalam Peh Cun terdapat

pentas-pentas seni yang memiliki nilai keagamaan dan sosial. Peh Cun sendiri

adalah kebudayaan yang diangkat pemerintah dari satu kebudayaan yang dimiliki

masyarakat Cina Benteng dengan mayoritas penganut agama Konghuchu, Peh

Cun berarti mendayung perahu, ini adalah kerangka dasar dan icon utama dari

festival Peh Cun (Cisadane), pada saat ini adalah sebuah perayaan umat-umat

beragama yang ada di Kota Tangerang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berjenis penelitian lapangan (field

research)yang didukung dengan studi kepustakaan (library reseaech) dengan

pendekatan kualitatif. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah antropologi

dengan mengamati pelaku Peh Cun dan kebudayaannya, sosiologi mengamati

interaksi-interaksi yang ada dalam Festival Peh Cun, dan histori sebuah

pendekatan yang menelaah sumber-sumber yang berisikan informasi mengenai

masa lampau. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik

observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang

digunakan adalah deskriptif.

Kata Kunci: Peh Cun, Kota Tangerang, Kebudayaan.

V

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan taufliq dan hidayah-

Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat

serta salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan

para sahabatnya, serta semua umatnya senantiasa selalu berada dalam lindungan

Allah SWT, Tuhan yang selalu percaya kepada manusia, terkhusus dan terbaik

umat Nabi Muhammad SAW guna menjalankan roda kehidupan di bumi-Nya.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini

tidaklah mudah dan pastinya memiliki kekurangan. Akan tetapi penulis juga

selalu ingat bahwa karya tulis ini kelak akan menjadi saksi bisu

pertanggungjawaban penulis dalam proses menimba disiplin keilmuan.

Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari peran orang-orang disekitar

penulis yang terus memberikan dorongan dan semangat, serta tulus dan ikhlas

dalam membantu penulis baik tenaga, fikiran, bahkan material. Maka dari itu rasa

terimakasih sangat besar tercerahkan dalam karya tulis ini kepada siapapun yang

membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung, adapun diantaranya

penulis haturkan terimakasih, kepada:

1. Ucapan terimakasih kepada Keluarga besar, terutama kedua Orangtua, ayahanda

(Muchtar), dan Ibunda (Rohimah) yang senantiasa membesarkan penulis dengan

sangat baik, dibalut dengan kasih sayang serta doa yang selalu mengiringi

kemanapun penulis melangkah.

VI

2. Kepada Kakak-kakak, penulis yang terlahir sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara

tentunya sangat merasakan kasih sayang dan doa yang dirasakan mulai dari

terlahir di dunia sampai saat ini.

3. Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Yusuf Rahman,

M.A selaku pimpinan Fakultas Ushuluddin.

4. Ketua Jurusan baik yang sudah selesai dalam jabatannya atau yang masih

mengampu amanah tersebut, terimakasih penulis haturkan. Orang tua kami semua

di jurusan Pak Dr. Ahmad Ridho, DESA, Pak Dr. Media Zainul Bachri, M.A, Pak

Syaiful Azmi, M.A.

5. Kepada 2 Sekretaris Jurusan dalam periode yang berbeda, yang sangat banyak

membantu juga membimbing penulis selama kuliah, Bu Dra. Halimah, M.Ag., Bu

Lisfa Sentosa Aisyah, M.A.

6. Ibu Siti Nadroh M.A selaku dosen pembimbing skripsi penulis, yang senantiasa

sabar dalam proses membimbing, penulis tuturkan banyak-banyak terimakasih

padanya.

7. Kepada seluruh Dosen-Dosen Studi Agama-Agama yang terus konsisten dalam

mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.

8. Drs. Ismatu Ropi, M.A, Ph.D selaku dosen penasehat akademik, penulis sangat

termotivasi agar kelak bisa seperti beliau.

9. Tak luput penulis haturkan terimakasih kepada Ucu Nuraidah, yang sangat setia

menemani penulis dalam proses menuntut ilmu. Besar harapan penulis kelak

dapat dijodohkan oleh Tuhan dengan dirinya.

VII

10. Kawan-Kawan di jurusan Studi Agama-Agama angkatan 2015, penulis juga

haturkan terimakasih atas tali persahabatan yang terjalin semoga ikatan ini dapat

terjalin selalu.

11. Kawan-kawan Manajemen 2017, Universitas Pamulang.

12. Kepada kawan-kawan segala organisasi intra kampus, ekstra kampus HMI

KOMFUF, HMB Jakarta yang banyak memberikan saya kesempatan berproses

dan belajar.

13. Semua senior, junior baik di jurusan, fakultas, atau universitas, sampai senior di

organisasi yang telah banyak mengajarkan penulis dalam banyak hal.

14. Kepada Deni Iskandar S.Ag, Samsul Hafidz S.Ag, terimakasih telah menjadi

mentor baik di jurusan, HMI, ataupun wadah lainnya.

15. Tidak lupa penulis ucapakan terimakasih kepada guru-guru dari mulai tingkat TK-

SMA yang juga membentuk penulis sampai pada tahap ini.

16. Kepada narasumber terimakasih telah meberikan bahan kajian dalam skripsi ini.

Pak Bebeng, Pak Oey Tjin Eng, Pak Made, Pak H. Syamsudin, Pak Afan

Mendrova, Kak Keke.

17. Kelompok Kuliah Kerja Nyata 082 Bumerang.

Ciputat, 27 September 2019

Muhamad Yusup

VIII

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... I

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... II

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... III

ABSTRAK ...................................................................................................... IV

KATA PENGANTAR .................................................................................... V

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5

D. Landasan Teori ..................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10

F. Metodologi Penelitian .......................................................................... 12

G. Analisis Data ........................................................................................ 16

H. Teknik Penulisan .................................................................................. 18

I. Sistematika Penulisan .......................................................................... 19

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG

A. Sejarah dan Kondisi Geografis Kota Tangerang .................................. 28

B. Kondisi Sosial dan Budaya Kota Tangerang ....................................... 36

C. Kondisi Keberagamaan Di Kota Tangerang ........................................ 42

IX

BAB III FESTIVAL PEH CUN DI KOTA TANGERANG

A. Sejarah dan Perkembangan Festival Peh Cun ...................................... 47

B. Tujuan dan Peran Festival Peh Cun ..................................................... 54

C. Prosesi Festival Peh Cun ...................................................................... 58

BAB IV FESTIVAL PEH CUN BENTUK KEHARMONISAN UMAT

BERAGAMA DI KOTA TANGERANG

A. Nilai-Nilai dan Akulturasi yang terkandung dalam Peh Cun............... 63

B. Peran Festival Peh Cun dalam Pluralisme-multikulturalisme .............. 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 70

B. Saran ..................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

LAMPIRAN ....................................................................................................

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gejala agama bukanlah gejala ilmu kealaman, seperti air yang

selalu mengalir dari atas ke bawah atau seperti gejala elektron yang selalu

bergerak mengalir mencari proton. Agama biasanya di definisikan sebagai

kepercayaan akan adanya sesuatu yang Maha Kuasa dan hubungan dengan

yang Maha Kuasa itu. Karena agama adalah kepercayaan, maka agama

adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi antara sesama pemeluk agama

dengan agama lain adalah gejala sosial. Jadi, agama dapat dilihat sebagai

gejala budaya dan sebagai gejala sosial.1

Oleh karena itu, kesadaran bahwa agama selalu berada dalam

persepsi terhadap apa yang dipahami sebagai ultimate realty tergantung

kepada konstruksi keberagamaan. Dengan demikian interaksi sosial

keagamaan, perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan antara

individu atau antar kelompok keagamaan bukan sesuatu yang salah, tetapi

kebenaran-kebenaran dengan rasionalitas yang berbeda-beda. Kesalahan

yang seling terjadi dalam mengekspresikan keberagamaan adalah

memposisikan agama sebagai bangunan yang tidak boleh berubah dan

1M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam

Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 85.

2

menggunakan konsep kebenaran tunggal (single truth) dalam

mengkaji agama, seperti yang biasa terjadi bila memakai pendekatan

teologis.2

Menganggap bahwa agama masing-masing yang paling benar telah

menjadi sebuah permasalahan yang cukup rumit. Karena hegemoni makna

keagamaan masih saja dilakukan, baik di kampus, sekolah, maupun acara

seminar atau pengajian khususnya di Indonesia. Apalagi pada dasarnya

manusia cenderung melihat dirinya lebih baik dan harus lebih dihargai

ketimbang orang lain, padahal heterogenitas merupakan syarat masyarakat

demokrasi modern, sebab hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur atas

lahirnya perkembangan tentang pluralis-multikulturalis.3

Plural dalam hal ini juga dimaknai sebagai kemajemukan agama,

sementara multikultural mengandung arti kemajemukan budaya, meskipun

definisi agama dan budaya berbeda-beda.4 Indonesia adalah suatu negara

multikultural yang memiliki keragaman budaya, ras, agama, dan golongan

yang kesemuannya merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa

Indonesia. Selo Soemardja mengemukakan pada waktu disiapkannya

Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila tampaknya, para

pemimpin kala itu menyadari realitas bahwa di tanah air kita ada aneka

2M.Ridwan Lubis, Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama dalam

Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 86. 3Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,(Jakarta: Kompas, 2003), h xiv. 4Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,(Jakarta: Kompas, 2003), h xvi.

3

ragam kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu

suku.5

Pluralis-multikulturalis yang memiliki tujuan membangun interaksi

intern umat beragama dan antar umat beragama yang tidak hanya

berkoeksistensi secara harmonis dan damai, tapi juga bersedia aktif dan

proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan etika

kemanusiaan. Selain itu pluralisme-multikulturalisme menjamin

kebebasan beragama dan tanggungjawab sosial sekaligus.6 Persoalan yang

muncul ini terutama berhubungan dengan ras dan agama.7 Toleransi dapat

diartikan sebagai kesabaran, kelapangan dada.8

Kota Tangerang yang cukup menjaga keharmonisasian kebudayaan

dan keberagamaannya, dibuktikan dengan relasi sosial yang terjalin baik

antara Cina Benteng dengan Masyarakat lokal di Kota Tangerang sudah

terjalin sejak lama. Etnis Cina sebagai kelompok Cina Peranakan yang

hidup di sekitar Tangerang dan sudah menetap selama ratusan tahun di

Tangerang mempunyai sebutan sendiri yaitu “Cina Benteng“.9 Kota

Tangerang menjadi salah satu wilayah dengan kerukunan umat beragama

yang cukup baik dan harmonis, hal ini karena adanya komunikasi yang

5Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Gina Lestari, Bhinneka

Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara, Vol. 28,

No. 1 Februari 2018, h 32. 6Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,(Jakarta: Kompas, 2003), h xx. 7Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Beragama,(Jakarta:

Kompas, 2001), h 17. 8Umar R. Soeroer, Menuju Indonesia Yang Bhineka Tunggal Ika Vol. 2 No. 6

Februari 2003, h 128. 9Tulisan ini diambil dari Artikel Jurnal, Dian Sukmawati, Relasi Sosial Antara

Cina Benteng Dengan Pribumi Di Kota Tangerang, (Depok: Fak. FISIP UI 2017). h 5.

4

baik bukan hanya antar umat beragama bahkan dengan jajaran Pemerintah

Daerah Kota Tangerang.10

Dampak dari pluralisme-multikulturalisme

yang sudah terjalin dalam realitas sosial di Kota Tangerang sejak dulu,

disajikan dalam bentuk sebuah sebuah pesta rakyat dengan nama Festival

Cisadane sebuah pesta rakyat yang berisikan kebudayaan-kebudayaan

lokal baik yang bersifat tradisi juga bermakna agamis.11

Pluralisme-multikulturalisme merupakan fakta sosial yang tidak

dapat dihindari keberadaannya, di era saat ini kondisi tersebut rentan akan

adanya konflik bernuansa sara, akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa

daerah di Indonesia. Sebagai contoh kecil keberadaan etnis Cina yang

sering dianggap sebagai minoritas di berbagai wilayah Indonesia dengan

berbagai persoalannya, sering disorot secara umum.12

Kebanyakan kasus

yang terjadi dipicu oleh tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang

intoleran yang dibawa pada kelompoknya yang lebih luas dengan

mengatasnamakan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya.

Namun demikian, tantangan keragaman yang ada di Kota

Tangerang memiliki optimisme tersendiri menjadi sebuah potensi bukan

sebuah bibit konflik, hal ini bisa terus terjadi salah satunya karena di

topang dengan keberadaan Festival Cisadane sebagai simbol kerukunan

dan harmonisasi yang ada di Kota Tangerang jika dilihat pada fungsional

10

Wawancara dengan Made Purnawan, di Pure Kertajaya, Kelurahan Koang

Jaya, Kota Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019. 11

Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019. 12

Ruqoidah,Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina, Skripsi UIN

Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta2009, h 2.

5

dan realitas sosial yang ada.13

Jika menekankan pada pembahasan tentang

keharmonisan kerukunan beragama pada realitas kehidupan

bermasyarakat, khususnya yang akan diangkat dalam penelitian ini

berfokus pada pembahasan Festival Peh Cun. Maka dari itu, karya tulis

skripsi ini berjudul “Festival Peh Cun Bentuk Ekspresi Kehidupan

Umat Beragama di Kota Tangerang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar

sebuah penelitian ini berfokus pada satu tujuan, maka penulis hanya

membatasi pada praktik dan nilai Festival Peh Cun saja. Yang kemudian,

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah. Apa nilai yang terkandung

dalam Festival Peh Cun ?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

Tujuan Penelitian

Menindak lanjuti hasil kajian, seperti yang telah diterangkan,

maka, penelitian ini bertujuan. Untuk mengetahui potret relasi kehidupan

keagamaan masyarakat Kota Tangerang dalam perayaan Peh Cun (Festival

Cisadane).

13

Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada

tanggal 02 Agustus 2019.

6

Manfaat Penelitian

Dengan terwujudnya tujuan dari hasil kajian penelitian tentang

Festival Peh Cun Bentuk Ekspresi Kehidupan Beragama Di Kota

Tangerang, dapat diambil banyak manfaat diantaranya:

Manfaat Secara Teoritis

Sebagai bahan bacaan dan literatur tambahan bagi mahasiswa dan

masyarakat luas pada umumnya.

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

khasanah ilmu pengetahuan. Khususnya terhadap kajian kerukunan

umat beragama dalam masyarakat.

2. Dapat menambah wawasan berfikir secara kritis dan analisis dalam

menyingkapi kondisi lingkungan masyarakat yang beragam.

3. Diharapkan dapat menumbuhkan rasa toleransi dan kerukunan

beragama di Indonesia.

Manfaat Secara Akademik

1. Untuk mendapatkan gelar sarjana agama (S,Ag) di Prodi Studi

Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Untuk dijadikan sebagai bahan kajian masyarakat Kota Tangerang,

agar terciptanya kerukunan antar umat beragama.

7

D. Landasan Teori

a. Teori Kerukunan Umat Beragama

Secara etimologi, kata “Rukun”, ialah berdampingan. Kerukunan

umat beragama dapat diartikan, umat beragama hidup berdampingan tanpa

adanya rasa curiga satu dengan lainnya.14

Rukun dalam beragama, adalah

sikap yang baik guna melihat bahwa umat beragamatelah dewasa dalam

beragama. Menurut Mukti Ali, kerukunan umat beragama adalah, suatu

kondisi sosial semua golongan agama dapat hidup bersama-sama tanpa

mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban

agamanya, dalam kondisi rukun dan damai.15

Terdapat tiga prinsip dalam

memahami kerukunan beragama yaitu, prinsip mengakui, menghargai,

bekerjasama.16

b. Teori Pluralisme-Multikultralisme

Pluralis-multikulturalis berasal dari dua kalimat Plural dan

Multikultural di mana plural disini dimaknai sebagai kemajemukan agama,

sementara multikultural dimaknai kemajemukan budaya, meskipun

definisi agama dan budaya berbeda-beda.17

Pluralisme-multikulturalisme

memiliki tujuan membangun interaksi intern umat beragama dan antar

14

Jurnal Harmoni, St. Sunardi, Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:

Antara Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris Umat, dalam Membangun

Kesadaran dan Kearifan Universal, vol. 3, No. 9, Januari-Maret 2004, h 29. 15

M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola

Keragaman Dari Dalam, pada, Ihsan Ali Fauzi ed, Kebebasan, Toleransi, dan

Terortisme, (Jakarta, penerbit: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina), h 121-

123. 16

Ihsan Ali Fauzi ed, Kebebasan, Toleransi, dan Terortisme, (Jakarta, penerbit:

Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina), h 123-124. 17

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan (Jakarta:Kompas 2003), h 100.

8

umat beragama yang tidak berkoeksistensi secara harmonis dan damai,

tapi juga proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan

etika kemanusiaan. Selain itu sikap pluralitas-multikulturalitas menjamin

kebebasan beragama dan tanggungjawab sosial sekaligus.18

Dalam hubungan antar umat beragama, trauma sejarah dan

hambatan psikologi masih berkembang di kalangan tokoh dan umat

beragama sendiri, salah satu hambatan itu yang sering kemudian secara

sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis yang masih menganut

pola pemahaman bersifat harfiyyah, tekstual, dan parsial dalam melihat

eksistensi agama-agama lain.19

Charles Taylor dalam Multiculturalisme:Examining the politics of

recognition mengatakan, masing-masing kelompok budaya dan agama

menuntut pengakuan dan penghargaan. Namun, bahayanya mereka yang

memiliki identitas tertentu menolak menghargai dan mengakui yang lain.

Kurangnya toleransi seperti ini berdampak serius, khususnya bagi

demokrasi dan keadilan. Sebabnya adalah kekakuan identitas komunal

yang mempercayai dirinya sebagai yang otentik dan superior, atau

kekakuan identitas universalis yang berusaha untuk mempengaruhi yang

lain dengan cara memaksa.20

18

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,h xvi. 19

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan, h 64. 20

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan, h 72.

9

Keberagamaan dengan sikap pluralis-multikultural memiliki

dampak terhadap keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang

berlebihan dalam menjalankan agama seringkali menyebabkan kurangnya

kesadaran akan spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah

merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa paksaan, misalnya

merasakan betapa indahnya kemajemukan dan kebersamaan. Protokolisme

agama, rigiditas doktrin, dan birokratisme agama, merupakan ciri-ciri

keberagamaan yang kering.

Apabila kita dipaksa atau terpaksa dalam mengungkapkan

keberagamaan kita, maka berarti kita sedang mengalami kekeringan

spritual. Keberagamaan yang multikultural tidak melepaskan simbol tetapi

selalu berupaya melihat makna. Bagaimanapun, simbol memegang

peranan penting dalam setiap agama. Sikap ini tidak dimaksudkan semata-

mata demi agama itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk kemanusiaan.

Ketuhanan dan kemanusiaan memang bersifat fitrah, tetapi selalu berada

dalam ruang dan waktu. Seseorang Multikulturalis memahami mengapa

dia beragama dan berusaha sesuai kemampuannya untuk menjalankan

agamanya, sambil menyadari bahwa diriya adalah produk sejarah, dan

kemajemukan ekspresi kebudayaan manusia adalah hal yang lumrah.

Kesadaran multikulturalis dalam beragama paling tidak akan mengurangi

10

tumbuhnya budaya kekerasan atas nama agama yang selalu menjadi

sebuah permasalahan.21

Pada dasarnya sikap pluralis-multikutural, mengakui bahwa

kebenaran itu beragam dan bersifat positif akan kesamaan tujuan dan

fungsi semua agama. seperti yang paparan Chung Hyung Kyung (1996),

merupakan posisi yang paling tercerahkan ketika berhubungan dengan

agama-agama lain, menghormati perbedaan-perbedaan itu. Pluralisme

mengambil posisi bahwa agama sendiri tidak dapat mewakili pemenuhan

ataupun penyempurnaan agama-agama lain.22

E. Tinjauan Pustaka

Melihat hal ini, penulis mengangkat problematika dengan relevansi

teori yang telah dikemukakan oleh para ahli maupun narasumber yang ada

tentang kerukunan antar umat beragama, dalam berbagai literatur ilmiah

yang dapat dijadikan rujukan guna menyusun skripsi ini.

Karena penulis ingin mempunyai wawasan yang luas dan lugas

mengenai karya tulis ilmahnya. Kerukunan tidak akan ada tanpa

masyarakat, karena masyarakat yang menjadi objek utama dalam konteks

interaksi sosial di suatu wilayah tertentu. Diantara beberapa kajian-kajian

buku-buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, dan karya ilmiah lainnya yang

juga berkaitan yang mempunyai relevansi dengan judul yang ada.

21

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,(Jakarta: Kompas, 2003), h 79-80. 22

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan, h 75.

11

Dalam proses penulisan Skripsi ini,penulis merasa adanya

kesamaan kajian tentang kerukunan yang ada di Kota Tangerang yang

ditulis oleh Ruqoidah, dengan judul “ Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata

Cara Ibadah Cina”.

Secara umum menurut pandangan penulis, judul tersebut tidak

membahas tentang Festival Peh Cun (Festival Cisadane) sebagai topik

utama dalam membangun kerukunan umat beragama yang ada di Kota

Tangerang, hal tersebut mungkin disebabkan karena faktor pembahasan

yang berfokus pada kebudayaan-kebudayaan Cina yang ada di Kota

Tangerang.

Selanjutnya pada penelitian sebuah Tesis yang sudah dijadikan

Buku dibuat oleh Bambang Permadi, dengan judul “Relasi Cina Benteng

dan Islam”. Pada penelitian ini Bambang Permadi tidak menjelaskan

peran Festival Peh Cun terhadap kerukunan umat beragama yang ada, hal

ini penulis anggap karena pembahasan yang ada hanya berfokus pada

kondisi sosial antara masyarakat Cina Benteng dan Muslim yang ada di

Kota Tangerang.

Kemudian, penulis juga merasa tertarik dengan sebuah Jurnal,

dengan judul ”Relasi Sosial Antara Cina Benteng Dengan Pribumi Di

Kota Tangerang” yang ditulis oleh Dian Sukmawati, seorang Mahasiswi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ditulis pada

tahun 2017. Di mana pada pembahasannya lebih berfokus pada hubungan

Cina Benteng dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

12

Dalam hal ini penulis menarik sebuah perbedaan yang ada dengan

Skripsi yang penulis angkat, perbedaannya terletak pada fokus yang

diangkat oleh penulis adalah perayaan Peh Cun salah satu kebudayaan

yang berasal dari Cina Benteng yang berkembang menjadi Festival

Cisadane dan menjadi kerangka utama yang berperan dalam kerukunan

umat beragama di Kota Tangerang.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metodologi

penelitian yang terdiri dari :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melaksanakan penelitian

lapangan (Field Research) dengan cara menggunakan penelitian kualitatif,

yang mana penulis melakukan observasi langsung ke lapangan dengan

para pelaku Festival Peh Cun.Seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, dan

budayawan yang ada di Kota Tangerang. Disisi lain, penulis

mendiskripsikan gambaran secara keseluruhan mengenai Festival Peh

Cun.

Selain itu, penulis juga melakukan studikepustakaan (Lybrary

Research), peneliti mengumpulkan beberapa data dan informasi tertulis

yang mendukung terhadap penelitian dan dianggap releven dengan topik

skripsi. Data dan Informasi tersebut diperoleh penulis dari Jurnal

13

Penelitian, Laporan Penelitian, Buku-buku ilmiah, Skripsi, Tesis, dan

sumber-sumber lainnya.

2. Pendekatan

Untuk dapat menguraikan hasil penelitian mengenai Festival Peh

Cun, maka dalam hal ini, ada tiga pendekatan yang dilakukan oleh penulis

yaitu,pendekatan antropologi, sosiologi, dan historis.

Pendekatan antropologi dimaknai sebagai suatu sudut pandang

atau cara melihat dan memperlakukan suatu gejala yang menjadi perhatian

terkait bentuk fisik dan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa

manusia.23

Berhubungan langsung dengan kebudayaan di masyarakat

sekitar. Hal ini menghantarkan peneliti kepada pelaku Peh Cun yang

menjadi topik utama dalam Skripsi ini.

Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan sosiologis yang

merupakan sekelompok disiplin keilmuan yang membahas tentang aspek-

aspek berkaitan dengan manusia dan lingkungan manusia itu berada.24

Karena erat sekali kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat,peneliti

melihat peran Festival Cisadane secara langsung ketika masyarakat

bersentuhan di festival ini,sangat membantu penulis untuk menyelesaikan

penelitian tentang Festival Peh Cun, di Kota Tangerang.

Penulis juga melakukan PendekatanPersonal melaluipendekatan

historis, merupakan sebuah pendekatan yang menelaah sumber-sumber

23

Laily Ulfi,Pendekatan Historis Dalam Studi Islam (Studi Kasus Pemikiran

Amin Abdullah), Skripsi Yogjakarta: Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Sunan

Kalijaga, h. 16. 24

Jurnal,Moh. Rifai,Kajian Masyarakat Beragama Persfektif Pendekatan

Sosiologi, Vol. 2, No. 1 2018, h 13.

14

yang berisikan informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara

sistematis.25

Pendekatan historis dimaksudkan untuk mengkaji sejarah

secara langsung terhadap makna dan penerapan Festival Peh Cun yang

berkembang hingga sekarang.

3. Sumber data

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penulisan skipsi

ini, penulis memakai sumber data, diantaranya:

a. Data Primer

Ialah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari

individu-individu yang di selidiki.26

Dalam hal ini data yang digunakan

peneliti, didapatkan dari narasumber atau pelaku langsung Festival

Cisadane.

b. Data Sekunder

Data sekunder atau data tangan kedua merupakan data yang ada

dalam pustaka-pustaka.27

Penulis mendapatkan data ini dari kajian-kajian

terdahulu yang bersangkutan dengan Cina Benteng, dan budaya yang ada

di Kota Tangerang, juga buku-buku yang berkaitan dengan tema skripsi.

4. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah orang, tempat,

atau benda yang diamati sebagai sasarannya.28

Yang mana hal tersebut

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: DPKRI 1998), h 192. 26

S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta,

1995), h 23. 27

S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, h 23. 28

https://kbbi.web.id/subjek,Diakses pada 16 Agustus 2019.

15

adalah pelaku langsung Festival Peh Cun, yang terdiri dari, tokoh

masyarakat, tokoh agama, budayawan, selain itu juga masyarakat sebagai

penikmat Festival Cisadane di Kota Tangerang.

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan, maka data

yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari observasi, wawancara dan

dokumenter.

a. Observasi

Observasi merupakan cara mengumpulkan data yang didapatkan

melalui penelitian baik secara langsung maupun tidak secara langsung

menuju ke objek yang akan diteliti. Observasi bertujuan untuk

mendapatkan gambaran secara jelas tentang situasi dan kondisi yang

sebenarnya, sehingga dapat diketahui bagaimana sebenarnya keadaan yang

dipertanyakan. Metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan

langsung terhadap suatu benda, kondisi,situasi, proses atau perilaku.29

Penulis datang langsung pada saat perhelatan Festival Cisadane 2019, dan

mendatangi narasumber dan pelaku yang bersangkutan dengan Festival

Cisadane.

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan data mengenai hal-hal atau variabel

berupa catatan, transkip, buku, foto, surat kabar, media online, majalah,

prasasti, rapat, agenda dan sebagainya yang berhubungan dengan

29

Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, ( Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada), h 52.

16

penelitian.30

Dalam hal ini penulis mengambil beberapa kegiatan pasca

pelaksanaan, serta mengambil dokumen dari beberapa sumber yang

terpercaya perihal perayaan Festival Peh Cun.

c. Interview dan wawancara

Interview merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara berdialog langsung dengan narasumber yang berkaitan akan

tetapi dapat juga dilaksanakan dengan memberikan beberapa rentetan

pertanyaan tertulis agar narasumber mempunyai waktu untuk menjawab

dengan tidak tergesa-gesa.31

Wawancara adalah pertemuan antara periset

dan responden (narasumber), dimana jawaban responden akan menjadi

data mentah, guna bahan yang akan di selesaikan.32

Dalam proses ini

penulis datang kebeberapa narasumber seperti tokoh agama, Dinas

Kebudayaan Kota Tangerang, dan beberapa narasumber yang

bersangkutan lainnya guna dimintai keterangan dan data yang dibutuhkan.

G. Analisis Data

Analisis dalam penelitian merupakan bagian penting dalam proses

penelitian karena dengan analisis inilah, data yang ada akan tampak

manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan

30

https://kbbi.web.id//fokumentasi.html diakses pada tanggal 18 Agustus 2019. 31

Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial,( Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada), h 52. 32

Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik,(Jakarta: PT Pajar Interpratama

Offset, Kencana, 2009), h 104.

17

mencapai tujuan akhir penelitian.33

Analisis data adalah proses mencari

dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

catatan lapangan, dan dokumentasi. Dengan cara mengorganisasikan data

ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.34

Tentunya penulis menganalisis dari data

lapangan dan pustaka, merangkum dan memilah data yang akan disusun

dalam skipsi agar mudah dipahami bagi penulis dan pembaca.

a. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal penting, mencari pola dan membuang hal-hal

yang tidak diperlukan.35

Data yang direduksi penulis adalah data tentang

hasil pengamatan terhadap hasil wawancara dan prosesi Festival Cisadane

2019.

b. Penyajian Data

Penyajian data adalah penemuan makna-makna dan kemungkinan

penarikan kesimpulan yang dibentuk secara sistematis, dalam informasi

yang kompleks menjadi sederhana dan kolektif. Data yang ditemukan dari

hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks, dan diuraikan secara

33

Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h

371. 34

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 335. 35

Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik,(Jakarta: PT Pajar Interpratama

Offset, Kencana, 2009), h 105.

18

naratif.36

Dalam hal ini penulis menarasikan hasil wawancara dengan

narasumber dan prosesi langsung Festival Cisadane 2019 terutama pada

saat perhelataan perahu naga atau Peh Cun.

c. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian diharapkan merupakan temuan baru

yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau belum

jelas sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas.37

Setelah dilakukannya

penelitian secara berkala dalam prosesi Festival Cisadane, dan dengan

narasumber, adanya peran Festival Cisadane yang menjaga kerukunan di

Kota Tangerang.

H. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 2014/2015 yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2014.

36

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 341. 37

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 345.

19

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini disusun secara sistematis yang

terdiri dari lima bab, sebagai berikut:

Bab I, yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, yaitu berisi gambaran umum Kota Tangerang yang meliputi

sejarah, kondisi geografis, kondisi sosial masyarakat, dan kondisi

keberagamaan masyarakat Kota Tangerang.

Bab III, yaitu membahas tentang prosesi Perayaan Festival Peh

Cun di Kota Tangerang yang meliputi Sejarah, perkembangan Festival Peh

Cun, tujuan perayaan Festival Cisadane di Kota Tangerang.

Bab IV, yaitu analisis penulis tentang nilai yang terkandung dalam

Festival Peh Cun.

Bab V yaitu penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari

penulis.

20

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG

A. Sejarah dan Kondisi Geografi Kota Tangerang

Kota Tangerang adalah salah satu wilayah yang terletak di Provinsi

Banten, wilayah Banten yang dulu dikenal dengan nama Bantam adalah

daerah Pelabuhan yang ramai akan lalu lintas perdagangan jalur air, pada

tahun 1953 Banten yang kala itu masih tergabung dalam Povinsi Jawa

Barat, untuk pertama kalinya memunculkan keinginan daripada

masyarakat agar menjadi sebuah daerah setingkat provinsi atau pemisahan

dari Provinsi Jawa Barat hanya belum mendapat tanggapan serius dari

Pemerintah Daerah kala itu. Singkatnya pada tahun 1963 atau sepuluh

tahun setelah gagasan pertama, Bupati Serang kala itu Gogo Sandjadirdja

mengadakan acara halal-bihalal dengan tokoh masyarakat di Banten, acara

ini bukan hanya halal-bihalal semata di dalam percakapannya ada pula

gagasan tentang pembentukan Banten sebagai provinsi sendiri, hingga

gagasan tersebut diwujudkan dengan panitia pembentukan provinsi banten,

yang diketuai langsung oleh Gogo Sandjadirdja.

Pada tahun 1964 panitia ini menemui Menteri Dalam Negeri

(Mendagri) kala itu di Jakarta guna membahas keinginan pemekaran ini,

alhasil ternyata memang sudah ada wacana dari Pemerintah Pusat yang

akan menjadikan Banten sebagai daerah setingkat provinsi, hal tersebut

dipaparkan oleh Mayjen Sumarno Mendagri kala itu. Hingga di tahun

21

1970 diadakannya sidang musyawarah pleno, atas kebulatan tekad dari

keinginan masyarakat Banten yang berlandaskan Idiil dan Hukum, yaitu

syarat menjadi provinsi secara subjektif adalah kemauan dari rakyat

Banten, dan secara objektif sudah mapannya rakyat Banten secara sumber

daya manusia dan sumberdaya alam hanya hal tersebut masih belum dapat

menjadikan Banten sebagai Provinsi dengan cepat dan tidak dapat banyak

berkutik melawan kedigdayaan Pemerintah Pusat saat itu, hingga tiba saat

Pemerintah Pusat kala itu mulai goyang tepatnya di tahun 1997 dan runtuh

setahun kemudian.1

Dengan kondisi Pemerintah Pusat yang baru, Ekky Syahruddin

sebagai tokoh Banten mengadakan halal-bihalal di Pandeglang, tepatnya di

kampung Gardu Tanjak. Ekky Syahruddin menganjurkan agar rakyat

Banten menggaungkan kembali keinginan pembentukan Provinsi Banten,

hal tersebutpun mendapatkan respon yang positif dari tokoh masyarakat

lainnya seperti K.H Irsyad Djuwaeli ketua dari Mathlaul Anwar salah satu

Organisasi berlandaskan Ke-Islaman di Banten, dan tokoh lainnya yang

tergabung dalam pembentukan Provinsi Banten. Pada tahun 1999

Mendagri yang datang ke Jatinagor dalam perhelatan wisuda memaparkan

tentang pemprosesan Banten sebagai daerah setingkat provinsi, sampai

pada 4 Oktober tahun 2000, Suryadhi Mendagri kala itu mengeluarkan.

Undang-Undang No. 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provisi Banten,

1Https://biroumum.bantenprov.go.id Website Resmi Prov. Banten, di akses pada

tanggal 16 Agustus 2018.

22

di gedung DPR RI dan disahkan oleh seluruh fraksi partai yang ada dan

disambut antusiasme yang besar oleh masyarakat Banten.2

Kota Tangerang yang lahir tujuh tahun sebelum adanya Provinsi

Banten, resmi berdiri pada tanggal 28 Februari 1993 bersandar pada

Undang-Undang nomor 2 Tahun 1993.3 Kota Tangerang pada awalnya

adalah bagian dari Kabupaten Tangerang, yang kala itu masih tergabung

dalam Provinsi Jawa Barat, sebelum terbitnya UU nomor 23 tahun 2000

tentang pengesahan Banten sebagai Provinsi dan Kota Tangerang pun

masuk ke dalam daerah administrasi Provinsi Banten, dalam hal berdirinya

Kota Tangerang tidak terlepas dari kondisi yang berbatasan langsung

dengan Provinsi DKI Jakarta menjadikan Kabupaten Tangerang

mempunyai beban yang cukup berat sebagai daerah penyangga Ibu Kota,

dengan kondisi pertumbuhan sangat pesat baik dalam hal Ekonomi,

Industri, Politik, Sosial Budaya.

Atas dasar kondisi tersebut pada tanggal 28 Februari 1981 keluar

peraturan pemerintah tentang pembentukan Kota Administratif Tangerang,

berdasarkan peraturan tersebut Kecamatan Batuceper, Kecamatan

Tangerang, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Benda, Dan Kecamatan

Jatiuwung masuk kedalam wilayah Kota Adminitratif Tangerang.

Pertumbuhan penduduk terus berkembang dengan pesat mencapai 921.848

atau 8,27% kala itu, hal ini pun sejalan dengan Peraturan Daerah Tingkat

2Https://biroumum.bantenprov.go.id Website Resmi Prov. Banten, di akses pada

tanggal 16 Agustus 2018. 3Ruqoidah,Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina,

Skripsi Fakultas Ushuluddin Skripsi UIN jakarta, h 16.

23

II Tangerang Nomor 4 Tahun 1985 tentang Susunan Organisasi Dan Tata

Ruang Kota Administratif Tangerang, juga diatur dalam Surat Keputusan

Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Barat Nomor: 650/SK-39-

Pemda/1983 tanggal 14 maret 1983 Tentang Tata Ruang Kota

Administratif Tangerang, dengan serangkaian proses adminitratif maka,

Pelimpahan Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Bupati Kepala Daerah

Tingkat II Tangerang diserahkan kepada Walikota Administrtif Kota

Tangerang, dijabarkan dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah

Tingkat II Tangerang Nomor: 188.45/SK.40-HUK/1984 tanggal 17 Maret

1984.Yang kemudian ditetapkan Undang-Undang pembentukan

Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 2 Tahun 1993 tanggal 27

Februari 1993 oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia saat itu.4

Secara Geografis, Luas wilayah Kota Tangerang tercatat sebesar

164,55 km2 atau sekitar 1,59% dari luas keseluruhan Provinsi Banten.

Secara Astronomis, wilayah Kota Tangerang terletak pada 0606` sampai

6013` Lintang Selatan dan 106

036` sampai 106

042` Bujur Timur.

5 Luas

Kota Tangerang terbagi menjadi 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Ciledug

8,769 Km2, Kecamatan Larangan 9,611 Km

2, Kecamatan Karang Tengah

10,474 Km2, Kecamatan Pinang 21,59 Km

2, Kecamatan Cipondoh 17,91

Km2, Kecamatan Tangerang 15,785 Km

2, Kecamatan Karawaci 13,475

Km2, Kecamatan Jatiuwung 14,406 Km

2, Kecamatan Cibodas 9,601 Km

2,

4,https://www.kota-tangerang.web.id/id3/313-210 Situs Resmi Pemerintahan

Kota Tangerang, diakses pada 18 September 2017. 5Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, KotaTangerang Dalam Angka 2018, h

3.

24

Kecamatan Priuk 9,543 Km2, Kecamatan Batuceper 11,583 Km

2,

Kecamatan Neglasari 16,077 Km2, Kecamatan Benda 5,919 Km

2, serta

meliputi 104 Kelurahan dengan 998 rukun warga ( RW ), 5.053 rukun

tetangga ( RT ).6Berikut ini data jumlah Kelurahan, Rukun Warga, Rukun

Tetangga di Kota Tangerang,yang dibagi Perkecamatan.

Table I

Jumlah Kelurahan, Rukun Warga, Rukun Tetangga di Kota

Tangerang

NO Kecamatan Jumlah

Kelurahan

Jumlah

RW

Jumlah

RT

1 Ciledug 8 104 400

2 Larangan 8 90 427

3 Karang Tengah 7 74 36

4 Cipondoh 10 101 621

5 Pinang 11 79 233

6 Karawaci 16 127 537

7 Jatiuwung 6 41 233

8 Cibodas 6 91 471

9 Periuk 5 73 447

10 Batuceper 7 47 231

11 Neglasari 7 50 245

6https://www.kota-tangerang.web.id/id3/313-210Situs Resmi Pemerintahan Kota

Tangerang, Di akses 18 Agustus 2019.

25

12 Benda 5 41 200

13 Tangerang 8 80 409

Sumber: BPS Kota Tangerang dalam angka 2018

Kota Tangerang adalah wilayah terkecil kedua di Provinsi Banten

setelah Kota Tangerang Selatan. Dengan batas-batas wilayahnya,

meliputi:

1. Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan

(Kabupaten Tangerang).

2. Sebelah selatan

Berbatasan dengan Kecamatan Serpong, dan Kecamatan Serpong

Utara, (Kota Tangerang Selatan).

3. Sebelah Timur

Berbatasan dengan Kecamatan Kalideres, Kota Adminitrtif Jakarta

Barat.

4. Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kecamatan Cikupa dan Kecamatan Legok,

Kabupaten Tangerang.7

7https://www.kota-tangerang.web.id/id3/313-210 Situs Resmi Pemerintahan

Kota Tangerang, di akses 06 September 2019.

26

Gambar I

Peta wilayah Kota Tangerang

Sumber: BPS Kota Tangerang

Kota Tangerang memiliki Daerah Aliran Sungai ( DAS ) Cisadane,

Sungai Cisadane menjadi salah satu dari tiga buah DAS lainnya. Yaitu,

Sungai Cirarab, dan Sungai Angke. Diantara tiga DAS, hanya Sungai

Cisadane lah yang menjadi ciri khas atau simbolis di Kota Tangerang.

Dengan panjang 15 Km2, lebar 100 M, tinggi 5,35 M.

8 Menjadikannya

Sungai dengan potensi wisata yang cukup memikat wisatawan lokal,

termasuk Festival Peh Cun yang akan menjadi objek penelitian Skripsi

ini juga diadakan di bantaran Sungai Cisadane. Dalam hal populasi

penduduk, Kota Tangerang salah satu daerah di Provinsi Banten dengan

8Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, Kota Tangerang Dalam Angka 2018, h

11.

27

populasi penduduk yang cukup padat, berikut adalah persebaran dan

jumlah penduduk dengan rentang usia 15-64 tahun, di setiap Kecamatan

Kota Tangerang.

Table II

Populasi Penduduk Perkecamatan dengan Usia 15-64 Tahun

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Ciledug 70.184

2 Larangan 74.138

3 Karang Tengah 51.463

4 Cipondoh 107.732

5 Pinang 73.977

6 Tangerang 68.311

7 Karawaci 66.797

8 Jatiuwung 50.551

9 Cibodas 56.694

10 Periuk 54.746

11 Batuceper 38.139

12 Neglasari 43.380

13 Benda 37.308

Sumber: BPS Kota Tangerang 2018

28

B. Kondisi Sosial Masyarakat Kota Tangerang

Dalam hal sosial kemasyarakatan, Kota Tangerang identik dengan

dengan Cina Benteng, sebutan Cina peranakan pemeluk agama

Konghuchu yang tinggal di Kota Tangerang dan mudah berbaur dengan

masyarakat sekitar.9 Hal ini nampak juga dari komunikasi sehari-hari,

banyak dari Masyarakat Cina Benteng yang tidak bisa berbahasa Cina,

mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia dengan gaya Betawi

yang sama dengan masyarakat pada umumnya.10

Di wilayah Tangerang, Etnis Sunda dengan mayoritas pemeluk

agama Islam tinggal di daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah

yang tersebar di Kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug,

Tigaraksa, dan Legok. Etnis Betawi sendiri tinggal diperbatasan wilayah

berbatasan dengan DKI Jakarta yaitu Batu Ceper, Teluk Naga, Ciledug,

dan Ciputat, adapun sedikit orang Jawa tinggal di wilayah barat seperti

Kecamatan Mauk, Sepatan, dan Kronjo. dengan kondisi persebaran

tersebut penduduk Tangerang hidup dengan damai tanpa ada

persengketaan apapun diantara mereka.11

Kota Tangerang menjadi daerah

terpadat yang ada di Provinsi Banten, berikut adalah persebaran penduduk

yang ada di Kota Tangerang dibagi perwilayah Kecamatan.

9Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada

tanggal 02 Agustus 2019. 10

Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina,Skripsi

Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, h 3. 10

Bambang Permadi, Relasi Cina Benteng dan Islam, (Tangerang: Tyto Alba

Media. 2017), h 95-96.

29

Table III

Populasi Penduduk Perkecamatan

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total

1 Ciledug 98.216 94.175 192.391

2 Larangan 101.102 97.848 198.950

3 Karang Tengah 70.558 69.252 139.810

4 Cipondoh 153.352 149.620 302.972

5 Pinang 103.543 100.325 203.868

6 Tangerang 92.198 87.137 179.335

7 Karawaci 90.252 89.662 179.914

8 Jatiuwung 65.631 58.435 124.066

9 Cibodas 77.234 76.534 153.768

10 Periuk 75.086 71.734 146.820

11 Batuceper 52.297 49.089 101.386

12 Neglasari 60.460 56.092 116.552

13 Benda 51.858 48.201 100.059

Total 13 1.091.787 1.048.104 2.139.891

Sumber: BPS Kota Tangerang 2018

Pada saat penulis datang ke sebuah pemukiman ada sebuah hal

unik dimana ada seorang nenek Cina, menyanyikan sebuah lagu Cina

dengan kencang di tengah keramaian, dan disambut dengan bergoyangnya

para masyarakat setempat baik dari masyarakat Cina atau masyarakat

30

lainnya secara sukacita di Pasar Lama Kota Tangerang. Kepadatan serta

keramaian pasar yang tercermin menggambarkan bahwa kondisi

perekonomian Kota Tangerang adalah sebuah wilayah dengan

pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Laju pertumbuhan ekonomi Kota

Tangerang sebesar 5,91% dengan kategori penyumbang pertumbuhan

ekonomi terbesar yaitu informasi, dan komunikasi dengan nilai 9.24%,

jika dibandingan dengan tahun sebelumnya pertumbuhan ekonomi di Kota

Tangerang menyentuh angka 0,6%. Hal ini penulis anggap bahwa Kota

Tangerang menjadi daerah yang dengan perekonomian yang baik, berikut

adalah data jumlah masyarakat yang masih berada dalam garis

kemiskinan.12

Table IV

Populasi Penduduk Miskin dengan Satuan Jumlah, dan Persentase

dibawah pengasilan Rp. 510.000

Uraian Tahun 2015

Rp.455.288/

Bulan

Tahun 2016

Rp.496.349/

Bulan

Tahun 2017

Rp.508.551/

Bulan

Jumlah Penduduk 102. 560 102.880 105.340

Persentasi Dari Total

Penduduk

5,04% 4,94% 4,95%

Sumber: BPS Kota Tangerang 2018

12

Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, Kota Tangerang Dalam Angka 2018, h

110.

31

Garis kemiskinan yang ada di Kota Tangerang tentunya tidak

terlepas dari peran pendidikan yang cukup baik, pendidikan merupakan

aspek penting dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Upaya

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan merupakan

bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.13

berikut adalah

jumlah penduduk berdasarkan struktur usia dan pendidikan terakhir di

Kota Tangerang.

Table V

Pendidikan Penduduk Menurut Lulusan Terakhir Sekolah Dengan

Klasifikasi Usia

Pendidikan

Terakhir

5-9

Tahun

10-14

Tahun

15-19

Tahun

20-24

Tahun

25-29

Tahun

Belum Sekolah 106.395 31.302 4.252 942 1.143

Tidak Tamat

SD/Sederajat

19.684 86.759 32.426 3.229 704

Tamat

SD/Sederajat

272 578.869 13.427 7.746 8.756

Tamat SLTP 58 4.328 48.129 23.805 20.771

Tamat SLTA 2 57 27.455 98.653 98.169

Tamat Diploma

I/II

0 0 14 128 362

13

Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, KotaTangerang Dalam Angka 2018, h

110.

32

Tamat Diploma

III

0 1 4 794 4.503

Tamat SI 0 0 19 2.505 16.806

Tamat SII 0 0 1 11 420

Tamat SIII 0 0 1 3 12

Jumlah 126.411 131.316 125.728 137.816 151.646

Sumber: BPS Kota Tangerang 2018

C. Kondisi Keberagamaan Di Kota Tangerang

Kehidupan sekelompok masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan

dari keagamaan, dimana sebuah agama bahkan dapat menjadi identitas

atau simbol dari golongan. Di Kota Tangerang kehidupan umat beragama

pun bisa dikatakan tentram dan sangat bertoleransi antar umat beragama,

hal ini dirasakan langsung oleh penulis yang memang sejak kecil tinggal

dan besar di Kota Tangerang, dimana penulis cukup banyak memiliki

kawan juga dikelilingi oleh masyarakat atau keturunan Cina Benteng baik

yang beragama non Islam ataupun yang beragama Islam sebagai agama

mayoritas.

Dalam kasus ini, penulis mengatakan bahwa adanya masyarakat

beretnis Cina Benteng yang memeluk agama Islam selain daripada penulis

berinteraksi langsung dalam kesehariannya, juga diperjelas oleh Oey Tjin

Eng bahwa memang hal ini terjadi karena banyaknya pernikahan antara

masyarakat beretnis Cina Benteng yang menikah dengan masyarakat

Betawi dan mengikuti keyakinan atau agama Islam, begitupun dengan

33

keturunan yang dihasilkan, karena pada hakikatnya kebahagiaan adalah

kehidupan yang akan dijalani bersama pasangan hidup yang mempunyai

visi yang sama dalam menjalani kehidupan rumahtangga. Garis keturunan,

marga keluarga bukan lagi menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya

sebuah perkawinan.14

Terkadang agama menjadi sebuah tolak ukur dalam

kependudukan bukan sebagai patokan mayoritas dan minoritas, akan tetapi

sebagai acuan persebaran sebuah agama dalam suatu wilayah, berikut

adalah persebaran penduduk berdasarkan agama di Kota Tangerang.

Table VI

Persebaran Penduduk Menurut Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 1.587.272

2 Protestan 95.240

3 Katholik 40.921

4 Hindu 2.676

5 Buddha 66.455

6 Konghuchu 1.243

Sumber: BPS RI

Dari data tersebut bisa digambarkan bahwa penganut umat

beragama di Kota Tangerang sangat menerima akan perbedaan keyakinan

dan menjaga kerukunan juga daerah yang tentram baik antar etnis dan

14

Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019.

34

agama, hal ini dipertegas dengan perkataan Keke seorang staff dari Dinas

Kebudayaan dan Dinas Pariwisata. Kota Tangerang adalah miniatur

Indonesia karena tidak hanya masyarakat Betawi atau Sunda yang tinggal

disini masyarakat Cina pun banyak, dan kita menerimanya.

Bukan hanya itu Festival Cisadane ini mengambil dari acara

keagamaan mereka, dimana dulunya acara itu banyak mengundang

antusiasme masyarakat pada umumnya bukan hanya Cina, hal ini

membuktikan bahwa tidak adanya batasan untuk berinteraksi selama itu

masih dalam batas wajarnya apalagi memberi efek untuk mempersatukan

masyarakat.15

Hal serupa pun dipaparkan oleh Bebeng selaku pengurus

Klenteng Boen San Bio, jika adanya konflik yang melibatkan agama itu

hanya oknumnya saja, di Kota Tangerang itu tidak ada konflik besar atas

dasar agama, dan kita hidup tentram baik dengan masyarakat setempat

atau tokoh agama lainnya yang ada di Kota Tangerang.16

Dalam sebuah

kasus Geger Pecinan di Batavia tahun 1740 memaksa terjadinya migrasi

secara masif orang-orang Tionghoa keluar dari Batavia. Daerah terdekat

dan teraman bagi mereka adalah Tangerang jika dibandingkan dengan

daerah sekitar Batavia lainnyaseperti Bekasi dan Bogor. Tangerang lebih

aman karena dianggap Tangerang telah lebih dulu hidup pemukiman

keturunan Cina yang kemudian disebut Cina Benteng.

15

Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada

tanggal 02 Agustus 2019. 16

Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019.

35

Warga Cina Benteng dapat menerima dengan baik kedatangan

mereka karena dianggap sebagai saudara satu leluhur. Mereka berbaur

kemudian menjadi lebih kuat guna menghindari represi dari penguasa

Colonial dan lebih memilih untuk melebur dengan penduduk pribumi

setempat. Bahkan di pusat Kota Tangerang khususnya di daerah Pasar Lama

dan Pasar Baru. Vihara, Pure, Gereja Katholik, dan Masjid saling

bersebelahan tanpa adanya konflik yang terjadi.17

Berikut adalah persebaran

rumah ibadah yang ada di Kota Tangerang.

Table VII

Persebaran Rumah Ibadah Perkecamatan di Kota Tangerang

No. Kecamatan Masjid Gereja

Protestan

Gereja

Katholik

Pura Vihara/

Klenteng

1 Ciledug 42 1 2 1 0

2 Larangan 48 1 0 1 0

3 Karang

Tengah

38 0 0 0 0

4 Cipondoh 68 2 0 0 0

5 Pinang 59 0 0 0 1

6 Tangerang 53 9 9 0 4

7 Karawaci 67 22 2 0 7

8 Jatiuwung 26 1 0 1 0

17

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1990 ), h. 103.

36

9 Cibodas 56 5 0 0 1

10 Periuk 37 6 1 0 1

11 Batuceper 27 2 1 1 0

12 Neglasari 21 18 1 0 17

13 Benda 21 2 1 0 4

14 Jumlah 563 69 17 4 35

Sumber: Sumber Kementerian Agama RI 2014

37

37

BAB III

FESTIVAL PEH CUN DI KOTA TANGERANG

A. Sejarah dan Perkembangan Festival Peh Cun

Sejarah perayaan Peh Cun tentunya tidak terlepas dari Cina

peranakan di Kota Tangerang, yang biasa dikenal dengan Cina Benteng.

Kedatangan mereka dari dataran Cina di Kepulauan Nusantara terekam

dalam catatan Budha Tiongkok, Fe Hien. Saat itu ia mengunjungi pulau

jawa dalam perjalanannya menuju India yang berlangsung pada tahun 399

sampai 414 M. Perjalanan itu ia lakukan guna mencari buku-buku agama

Budha. Perjalanan bangsa Cina pada awalnya hanya terbatas pada

perjalanan keagamaan, setelah abad ke-8 perjalanan dagangpun mulai

dilakukan.

Setelah proses inilah mulai banyak perjalanan menuju Nusantara

khususnya pulau Jawa, pada masa kedatangnya kala itu Nusantara sedang

dalam masa kerajaan Hindu-Budha yang kondisinya sudah memiliki

jaringan-jaringan dalam perdagangan internasional, Tangerang yang

posisinya sebagai Pelabuhan umumnya bermatapencaharian sebagai

pedagang, hingga tibalah Laksamana Cheng Ho dengan armada besarnya

di Nusantara guna melakukan perdagangan Rempah dan Keramik, pada

tahun 1570 Cheng Ho melakukan muhibah ke Pantai Utara Jawa tepatnya

di daerah Teluk Naga Tangerang. Sejak kedatangannya itulah mulai

38

banyak masyarakat Cina berdatangan yang dipercaya sebagai asal muasal

kedatangan Cina Benteng di Kota Tangerang.1

Secara Etimologi Peh Cun berasal dari Bahasa Hokkian yang

dipendekan dari Pe Leng Cun / Pe Liong Cun bermakna mendayung

Perahu Naga.2 Peh Cun singkatnya, memiliki tujuan guna mengenang

seorang Menteri dari Negeri Cho, yang bernama Qu Yuan beliau adalah

seorang pejabat yang sangat setia pada negerinya, juga sangat banyak

memberi gagasan-gagasan untuk kemajuan negerinya yang kala itu sedang

banyak menghadapi peperangan.3

Pada tahun 403-221 SM sudah tidak berarti lagi sebagai negeri

pusat. Pada jaman itu terdapat tujuh negeri besar yaitu Negeri Cee,Cho,

Yan, Han, Thio, Gwi, dan Chien. Negeri Chien adalah negeri yang paling

kuat diantara lainnya, hal ini membuat enam negeri lainnya bersatu guna

menghadapi negeri Chien, bersatunya negeri-negeri tersebut tidak terlepas

dari peran besar Qu Yuan dan sangat disegani oleh Negeri Chien. Karena

peran besarnya itu Qu Yuan sangat dipercaya oleh Raja Cho Way Ong dari

negeri asalnya yaitu Negeri Cho, hal ini memiliki dampak negatif pada

banyaknya menteri-menteri lain seperti Kongcu lan, SiangKwan, Tay Hu,

dan Khien Siang dengan bantuan selir kesayangan raja bernama Te Siu

yang tidak suka terhadapnya dan berupaya menjatuhkan nama baiknya,

1Bambang Permadi, Relasi Cina Benteng dan Islam, (Tangerang: TytoAlba

Media. 2017), h 89. 2Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019. 3Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019.

39

dengan berbagai upaya yang sudah dilakukan akhirnya hubungan Raja

Cho Way Ong dengan Qu Yuan pun retak dan diakhiri dengan

pemecatannya. Akibat daripada itu persatuan keenam negeri yang pada

awalnya di satukan dengan peran besar seorang Qu Yuan ikut berantakan.4

Di tengah perpecahan dan peperangan yang terjadi siasat licik yang

dibuat oleh Negeri Chien terhadap Negeri Cho dengan mengundang Raja

Cho Way Ong di tahun 302 SM guna mengadakan perjanjian damai, Raja

Cho Way Ong pun tergoda dengan janji-janji manis Negeri Chien. Atas

kesetiaannya terhadap Cho Way Ong, Qu Yuan melarang raja nya tersebut

untuk datang pada pertemuan itu akan tetapi tidak di hiraukan oleh Cho

Way Ong, alhasil tertangkaplah raja dari Negeri Cho ini. Setelah

penangkapan itu diangkatlah raja baru Negeri Cho yaitu Cho Cing Siang

Ong, raja baru tersebut kembali memberi kepercayaan kepada Qu Yuan

guna mempersatukan keenam negeri, hal itupun berhasil walaupun tidak

sekokoh dulu. Pada tahun 293 SM Negeri Han dan Gwi dihancurkan oleh

Negeri Chien yang menewaskan 240.000 rakyatnya, atas hal tersebur Qu

Yuan kembali difitnah yang berujung pada dijatuhinya hukuman mati

dengan membuang Qu Yuan ke Sungai Bek Lo, Qu Yuan pun dengan

sukarela menerima hukuman tersebut.5

Dengan perasaan sukarela dan ketentramannya saat itu beliaupun

bertemu dengan seorang nelayan yang menyembunyikan identitasnya

4Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Prosesi 12 Tahunan YMS

KWAN IM HUD COUW Ke-14 2012, (Kota Tangerang: Boen Tek Bio 2012), h 69. 5Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019.

40

hanya menyebut dirinya dengan nama Gi Hu yang memiliki pandangan

untuk meninggalkan dunia dan kembali kedalam jalan yang suci.

Ketentraman Qu Yuan yang akan menghadapi kematiannya terganggu

dengan dihancurkannya ibukota Negeri Cho, hal ini semakin membuat

hidup Qu Yuan tidak berarti lagi sehingga memutuskan hari Twan Yang

yang menjadi asal muasal Sembahyang Twan Yang, sebuah hari suci

dalam bersujud, untuk mengakhiri hidupnya di Sungai Bek Lo, Qu Yuan

menerjunkan diri ke dalam sungai yang sedang mengalir deras dengan

mengikatkan dirinya pada sebuah batu, dan langsung hilang tenggelam. Gi

Hu dan nelayan lainnya yang melihat itupun segera membawa perahu-

perahu kecil untuk mencari Qu Yuan, tetapi hasilnya sia-sia dengan kata

lain tidak membuahkan hasil sama sekali.6

Pada tahun kedua Twan Yang, masyarakat setempat merayakan

kembali Twan Yang, dan Gi Hu pun berinisiatif membawa tempurung

bambu berisi beras dan daging yang sekarang dikenal dengan nama

Bakchang dengan tujuan memberi makan ikan-ikan besar disana agar tidak

memakan Qu Yuan yang diharapkan oleh masyarakat masih hidup kala

itu.7 Di tahun-tahun berikutnya mulai diadakannya perlombaan perahu

yang dihisai dengan naga yang melambangkan keberanian, untuk

6Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Prosesi 12 Tahunan YMS

KWAN IM HUD COUW Ke-14 2012, (Kota Tangerang: Boen Tek Bio 2012), h 69. 7Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019.

41

mengenang usaha pencarian Qu Yuan sang pecinta negeri, dan yang juga

sangat sayang akan rakyatnya.8

Sejarah Peh Cun di Kota Tangerang, dimulai dari lewatnya seorang

tuan tanah yang kaya raya bernama Oey Giok Koen pada tahun 1900.

Beliau kala itu melintasi depan Klenteng Boen San Bio menggunakan

kereta kuda bersama dengan isteri yang sedang mengandung juga

didampingi beberapa pengawal setianya. Ketika lewatnya kereta kuda

milik Oey Giok Koen tepat didepan Boen San Bio roda dari kereta kuda

beliau patah dan mengkhawatiran akan keselamatan dari isteri juga

kandungannya hingga dia berikhrar jikalau anak saya lahir dengan selamat

dan berjenis kelamin laki-laki Oey Giok Koen akan menghadiahi Klenteng

Boen San Bio sepasang Perahu Naga. Seiring berjalannya waktu anaknya

lahir dengan selamat dan berjenis kelamin laki-laki, beliaupun memenuhi

janjinya dengan memberikan sepasang Perahu Naga, yaitu Naga kuning

dan Naga merah untuk Klenteng Boen San Bio. Perahu Naga inilah yang

mengawali peringatan pada mendiang Qu Yuan atau diperingati dengan

Peh Cun, dibawa dan diturunkannya Perahu pemberian Oey Giok Koen di

Sungai Cisadane, Kota Tangerang. Perayaan Peh Cun pada awalnya selalu

diadakan pada tanggal lima, bulan lima, penanggalan Imlek, guna

memperingati keikhlasan Qu Yuan yang menjatuhkan diri ke sungai di

tanggal itu.9

8Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019. 9Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019.

42

Seperti paparan sebelumnya, sepasang perahu hasil pemberian Oey

Giok Koen yang mengawali keinginan Etnis Cina Benteng untuk

merayakan Peh Cun di Kota Tangerang, diiringi antusiasme masyarakat

Cina Benteng sangat ramai dan saling berlomba mendayung yang

memiliki arti spiritual pencarian Qu Yuan. Hingga pada tahun 1963

sepasang perahu tersebutpun rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi pada

akhirnya dibakar, akan tetapi masih disisakan kepala dan ekor naga dari

perahu yang berumur ratusan tahun tersebut.10

Pada tahun 1902, Hartawan seorang dermawan membuatkan

perahu baru dan memberikannya kepada Klenteng Boen Tek Bio, pada

tahun 1910 Peh Cun pun dirayakan jadilah ada perahu lain yang turut serta

meramaikan perayaan Peh Cun selain perahu naga merah dan kuning,

tidak berselang lama satu tahun kemudian pada saat perayaan perahu

pemberian Hartawan yang dikenal dengan perahu papak merah dan hijau

bertabrakan dengan perahu bambu yang lewat melintang yang berakibat

pada patahnya perahu papak hijau. Perahu Papak hijau yang patahpun di

keramatkan dan disimpan di daerah karawaci, di tahun-tahun berikutnya

perahupun terus di perbaharui. Di tahun 1964 Perayaan Peh Cun ini

sempat terhenti karena adanya pelarangan dari Pemerintah Orde Baru kala

itu. Seiringan dengan berjalannya waktu, Festival Cisadane muncul

pertama kali diangkat atas inisiasi walikota pertama kala itu, Zakaria

Mahmud menganggap bahwa kota yang baru terbentuk ini tidak memiliki

10

Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019.

43

sebuah icon, sedangkan pada dasarnya ada budaya yang banyak menarik

antusiasme masyarakat di Kota Tangerang, salah satunya adalah perayaan

Peh Cun yang sempat dilarang oleh Pemerintah Orde Baru, Atas dasar

inilah untuk mengisi kekosongan yang ada ditariklah Peh Cun sebagai

pesta rakyat bersama di Kota Tangerang. Hingga pada tahun 2000

Pemerintah Daerah Kota Tangerang mengangkat kembali Perayaan Peh

Cun, dan di akulturasikan dengan kebudayaan sekitar hingga perayaan

tersebut dikenal dengan Festival Cisadane, sesuai dengan nama sungai

tempat diadakannya perayaan Festival Peh Cun terus berlangsung dan

berkembang setiap tahunnya.11

Festival Cisadane tahun ini tepatnya diadakan pada tanggal 26 Juli

sampai 03 Agustus 2019, dalam pembukaan Festival Cisadane, Arief

Wismansyah selaku Walikota Tangerang saat ini, menuturkan bahwa

Festival Cisadane yang asal muasalnya tidak terlepas dari Cina Benteng

yang bermayoritas agama konghucu di Kota Tangerang adalah sebuah

perayaan yang bertujuan merawat keberagamaan budaya keagamaan yang

ada di Kota Tangerang guna memanfaatkan Sungai Cisadane yang

menjadi icon Kota Tangerang ini, sebagai tempat bersatunya Masyarakat

Kota Tangerang yang dinaungi dengan sebuah perayaan.12

Hal ini di pun

adanya dipaparkan kembali oleh perwakilan Kementerian Pariwisata, oleh

Dra. Esti Reko Astuti, M.Si. Festival Cisadane yang semakin berkembang

11

Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Prosesi 12 Tahunan YMS

KWAN IM HUD COUW Ke-14 2012, (Kota Tangerang: Boen Tek Bio 2012), h 69. 12

Sambutan Arief Wismansyah selaku Walikota Tangerang, dalam acara

pembukaan Festival Cisadane 2019, pada tanggal 26 Juli 2019, di Sungai Cisadane, Jl.

Benteng Makasar, Kota Tangerang, tempat berlangsungnya Festival Cisadane.

44

setiap tahunnya dan sudah menjadi pesta rakyat, pada awalnya adalah

sebuah festival keagamaan orang Cina, yaitu Festival Peh Cun yang

memiliki tujuan guna mengenang menterinya yang rela menceburkan diri

atas kesetiaannya pada negara.13

B. Tujuan dan Peran Festival Peh Cun

Peh Cun yang sudah menjadi salah satu budaya yang ada di Kota

Tangerang, pada tahun 2000 akhirnya resmi dikelola oleh Pemerintah

Daerah Kota Tangerang dengan nama Festival Cisadane dan mendayung

perahu naga menjadi kerangka dasar festival ini.14

Sebelum menjadi

Festival Cisadane, Peh Cun setiap tahunnya sudah memiliki daya tarik

terhadap masyarakat Kota Tangerang dengan perahu naganya. Karena

sempat vakum, sebagai budaya keagamaan yang berkembang di Kota

Tangerang juga banyak peminatnya maka inisiatif Pemerintah Daerah

Kota Tangerang sebagai wadah yang universal, menarik juga memadukan

dengan budaya-budaya baik keagamaan ataupun budaya lokal lain agar

semakin meriah sebagai satu buah perayaan tahunan dan diharapkan dapat

menjadi ekspresi kehidupan beragama.15

13

Sambutan langsung Esti Reko Astuti selaku Perwakilan dari Kementerian

Pariwisata, dalam acara pembukaan Festival Cisadane 2019, pada tanggal 26 Juli 2019, di

Sungai Cisadane, Jl. Benteng Makasar, Kota Tangerang, tempat berlangsungnya Festival

Cisadane. 14

Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Prosesi 12 Tahunan YMS

KWAN IM HUD COUW Ke-14 2012,( Kota Tangerang: Boen Tek Bio 2012), h 72. 15

Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada

tanggal 02 Agustus 2019.

45

Festival Cisadane ini bertujuan agar Sungai Cisadane dapat dirawat

dan dikelola oleh Masyarakat yang ada di Kota Tangerang sampai

kapanpun, juga memiliki tujuan agar kerukunan di Kota Tangerang dapat

terus di jalankan dan tidak hilang, selain itu Festival ini adalah ajang

pemersatu antar etnis dan agama karena seluruh aspek di dalamnya tidak

lepas dari tradisi budaya dan agama.16

Dalam hal ini Peh Cun yang menjadi

ekspresi kerukunan antar agama memiliki peran penting, karena adanya

Peh Cun pola komunikasi berjalan dengan baik. Pada dasarnya interaksi

antar umat beragama dapat terjadi karena adanya dialog antar umat

beragama yang baik.17

Bagi umat Hindu yang ada di Kota Tangerang mereka merasakan

langsung dampak dari Festival Cisadane ini, selain memberikan

sumbangsih seperti menampilkan Barong, juga sebagai wadah bagi

mereka agar dapat berperan dan eksis di Kota Tangerang yang notabennya

mereka adalah pendatang, bagi mereka pesta rakyat yang diadakan oleh

pemerintah ini memberikan jalan komunikasi yang baik antar umat

beragama dan pemerintah baik sebagai fungsi sosial, eksistensi dan juga

upacara-upacara peribadatan, hal ini bersandar pada faham teologis

mereka bahwa sikap keterbukaan dan pluralistas adalah sebuah perbedaaan

yang pada dasarnya adalah kesatuan, karena semua akan kembali pada

16

Sambutan Arief Wismansyah selaku Walikota Tangerang, dalam acara

pembukaan Festival Cisadane 2019, pada tanggal 26 Juli 2019, di Sungai Cisadane, Jl.

Benteng Makasar, Kota Tangerang, tempat berlangsungnya Festival Cisadane.

17

Wawancara dengan Made Purnawan, di Pure Kertajaya, Kel. Koang Jaya, Kota

Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019.

46

tuhan. Selain itu anggapan mereka terhadap pemerintah yaitu sebagai

orangtua yang mengayomi dan memberikan informasi-informasi tentang

kebaikan.18

Cina Benteng adalah aset penting bagi Kota Tangerang, salah

satunya karena faktor kebudayaannya, Cina Benteng dalam segi populasi

keagamaannya bukan hanya bagi mereka yang beragama Konghuchu,

banyak juga diantara mereka yang beragama Buddha. Klenteng Boen Taek

Bio, yang tergabung dalam naungan Vihara Nimmala adalah salah satu

bentuk naungan Tridharma yang ada di Kota Tangerang. Pengaruh satu

Etnis inilah yang membuat mereka terus rukun dan tentram, dan tidak

sedikit sumbangsih yang diberikan terhadap keberlangsungan Peh Cun

yang ada di Kota Tangerang, seperti pemberian lahan untuk menaruh

perahu naga yang ada.19

Bagi umat Kristen Protestan yang tergabung dalam GPIB Jemaat

“Samarinda” melihat Festival Peh Cun sebagai satu buah hal yang

menyatukan umat, di samping posisinya yang berdekatan dengan perayaan

festival, sebagai sebuah event yang cukup tua di Kota Tangerang umat

Protestan memiliki ketertarikan terhadap ragam seni dan kuliner yang ada

disini, menjadi sebuah kewajiban bagi mereka dalam membangun keadaan

yang nyaman sesuai dengan faham theologis mereka tentang pluralisme

bahwa setiap manusia adalah sama di mata Allah, dan semua adalah

ciptaan Allah dengan caranya masing-masing karena manusia memiliki

18

Wawancara dengan Made Purnawan, di Pure Kertajaya, Kel. Koang Jaya, Kota

Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019. 19

Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar

Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019.

47

hak asasinya sendiri-sendiri, hal ini dianggap sebuah keragaman, karena

Kota Tangerang dibentuk oleh itu.20

Islam sebagai agama mayoritas di Kota Tangerang tentunya

memiliki peran penting dalam membentuk harmonisasi di kalangan umat

beragama, yang kondisinya sampai saat ini masih jauh dari konflik yang

berlandaskan keagamaan. Hal yang sangat baik, karena kerukunan di Kota

Tangerang dibalut dengan sebuah hal yang berbeda yaitu Festival rakyat

atau dikenal dengan Festival Cisadane, jika perayaan keagamaan dalam

Isam selalu di adakan di Masjid Al-Adzom, maka Festival Cisadane atau

Festival Peh Cun ini adalah wadah bagi seluruh umat beragama yang

diadakan pemerintah di Kota Tangerang. Bukan hanya agama tetapi

budaya-budaya yang adapun ikut dibangun disini. Umat Islam adalah umat

yang paling banyak datang dalam pesta rakyat ini adalah umat Islam,

karena memang pada dasarnya kita menganggap ini sebagai ragam seni

dan budaya yang menjadi simbol keragaman yang ada disini.21

Umat Muslim sebagai Mayoritas membangun komunikasi bersama

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kota Tangerang, sebagai wadah

komunikasi bukan hanya untuk orang Islam, MUI pun adanya digunakan

sebagai wadah komunikasi dengan berbagai agama khususnya Kota

Tangerang. Lebih daripada itu, seringkali pernikahan lintas agama sadanya

terjadi karena dekatnya antar etnis khususnya Cina Benteng dan Betawi,

20

Wawancara dengan Afan Mendrofa, di GPIB Jemaat “Samarinda”, Kel.

Sukaasih, Kota Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019. 21

Wawancara dengan H. Syamsudin Suwari, di Jl. Jambu, Kel. Buaran Indah,

Kota Tangerang, Pada tanggal 10 Agustus 2019.

48

persoalan agama tidak pernah menjadi konflik besar dalam hal ini karena

itu adalah keyakinan yang dikembalikan pada individu masing-masing.

Sikap Plural yang ada di Kota Tangerang memang belum bisa dikatakan

sempurna dalam penerapannya, akan tetapi kita disini sudah cukup baik

dalam menjalankannya, dalam pandangan Islam sendiri diajarkan jika

adanya permasalahan hendaknya kamu bermusyawarah, musyawarah

inilah yang selalu dilakukan Muslim yang diwadahi salah satunya oleh

MUI kota Tangerang dengan agama lain agar dapat terus hidup

berdampingan dengan nyaman dan tentram.22

C. Prosesi Keagamaan Festival Peh Cun

Upacara pemandian perahu keramat biasanya diadakan secara

meriah disertai dengan pertunjukkan-pertunjukkan seperti Barongsai,

pertunjukan mandi minyak yang masih dalam keadaan mendidih, upacara

ini pun tidak hanya didatangi oleh masyarakat Cina Benteng juga di

datangi masyarakat setempat, pada prosesi pemandian biasanya disiapkan

air dari Sungai Cisadane, kembang tujuh rupa, dan kain merah berbentuk

segitiga 500 lembar, terakhir dimandikan kepada perahu keramat tersebut.

Prosesnya dimulai dari pembukaan kain penutup berwarna merah,

sepanjang 11 meter.

Diatas kain tersebut terdapat kain-kain lain dengan berbagai warna

dalam bentuk bunga, yaitu: merah yang berarti naga darat, kuning naga

22

Wawancara dengan H. Syamsudin Suwari, di Jl. Jambu, Kel. Buaran Indah,

Kota Tangerang, Pada tanggal 10 Agustus 2019.

49

langit, hijau naga laut, putih dan hitam sebagai lambang dari Yin dan Yang,

masing-masing berukuran 5 meter sebagai hiasan. Lalu dimulainya

memandikan Perahu Keramat oleh para sesepuh, dilanjutkan oleh 500

orang yang mengambil kain segitiga merah yang dibagikan kepada

masyarakat Cina Benteng dengan cara membasuh kain tersebut dengan air

Suangai Cisadane yang sudah disiapkan dan membasuhkan kepada Perahu

Keramat, sambil berdoa dalam hati. Adapun beberapa sembahyang yang

dilakukan, yaitu:

1. Sembahyang kepada Thian Setiap perayaan.

komunitas Cina Benteng selalu bersembahyang kepada Thian

(Dewa langit), sebelum dilakukannya sembahyang terhadap dewa-dewa

lainnya, dalam persembahayangannya sambil membakar tiga batang hio.

Altar persembahan terhadap Thian terletak di depan perahu keramat

disimpan.23

2. Sembahyang terhadap Dewa Bumi/ Hok Tek Ceng Sin.

Setelah sembahyang terhadap Thian, mereka sembahyang terhadap

Dewa Bumi, dengan tujuan meminta izin, agar dalam pelaksanaan upacara

berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dari pihak manapun,

sembahyang dilakukan dengan membakar tiga buah Hio.

23

Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina, Skripsi Fak.

Ushuluddin UIN Jakarta, h 40-42.

50

3. Sembahyang terhadap Dewa Harimau.

Dewa Harimau dipercaya sebagai penunggu rumah dan penjaga

pintu, dengan tujuan yang sama dengan Dewa Bumi. Prosesi Sembahyang

dengan membakar tiga buah Hio.

4. Sembahyang kepada Empe Lumut dan Ema Lumut.

Sebutan Empe Lumut dan Ema Lumut berasal dari batu nisan yang

ditemukan oleh Nenek Buyut Rudi A. Kuhu, bersamaan dengan potongan

kayu di tepi Sungai Cisadane. Yang kemudian disimpan di tempat yang

sama dengan perahu keramat disimpan. kemungkinan batu nisan ini adalah

batu nisan sepasang suami isteri yang disebut Empe Lumut dan Ema

Lumut, batu ini di sembayangi sebagai bentuk penghormatan kepada

mereka berdua dilakukan dengan membakar empat buah Hio. Selain itu

sesajen-sesajen berupa buah-buahan disiapkan untuk para leluhur.24

Dalam

serangkaian proses yang ada Inti dari Perayaan Peh Cun itu sendiri adalah

mendayung perahu naga yang bermakna mencari-cari Qu Yuan, naga

dalam pandangan Tionghoa melambangkan kekuatan.25

Setelah menjadi Festival Cisadane, banyak hal yang ditambahkan

dalam prosesinya, tapi tidak menghilangkan simbolis daripada perayaan

Peh Cun itu sendiri yaitu mendayung perahu naga. Festival Cisadane tahun

ini dimulai dengan pembukaan yang dihadiri oleh Kementerian Pariwisata,

Pemerintah Daerah Kota Tangerang, tokoh masyarakat Kota Tangerang,

24

Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina, Skripsi Fak.

Ushuluddin UIN Jakarta, h 43-46. 20

Wawancara dengan Oey Tjin Eng, 76Th, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada

tanggal 20 Juli 2019.

51

Selebritis Indonesia, dan puluhan ribu masyarakat Kota Tangerang.

Pembukaan dimulai dengan sambutan-sambutan dari Tokoh Pemerintahan,

dan dibuka langsung oleh Walikota Tangerang, Arief Wismansyah. Tahun

ini Festival Cisadane masuk dalam 100 of calender event dari Kementerian

Pariwisata.26

Lomba mendayung perahu naga atau Peh Liong Cun yang menjadi

icon utama dimulai dengan mengarui sungai sejauh 500 meter, tidak

sedikit juga perahu-perahu naga yang disiapkan dari Dinas-Dinas

Pemerintah Daerah Kota Tangerang pun dengan perwakilan pesertanya,

Festival Cisadane ini diagendakan mulai dari tanggal 26 Juli sampai 03

Agustus 2019. Disisi lain sebagai bentuk kepedulian juga memanfaatkan

ajang pesta rakyat ini, Pemerintah Daerah Kota Tangerang juga membuat

stand-stand kedinasan dan Unit Usaha Kecil Menegah (UMKM) yang

bertujuan untuk menaungi masyarakat Kota Tangerang dan kebutuhan

masyarakat, seperti Dinas kependudukan dan cetatan sipil yang membuka

stand guna mempermudah para penduduk dalam perekaman Electronic

Kartu Tanda Penduduk. UMKM yang adapun tidak sedikit yang

menyajikan makanan khas dari Indonesia seperti Selendang Mayang, dan

Kerak Telor tidak sedikit masyarakat yang datang dengan tujuan ingin

merasakan kuliner-kuliner yang ada di Festival Cisadane. Festival tahun

ini ditutup dengan pembagian hadiah atas perlombaan yang ada,

26

Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada

tanggal 02 Agustus 2019.

52

penampilan kesenian-kesenian yang berasal dari Banten, dan ditutup

musik dari band-band ternama di Indonesia.27

27

Penulis datang langsung ke lokasi Festival Cisadane 2019, di Sungai Cisadane,

Jl. Benteng Makasar, pada tanggal 26 Juli 2019.

53

BAB IV

FESTIVAL PEH CUN BENTUK EKSPRESI KEHIDUPAN UMAT

BERAGAMA DI KOTA TANGERANG

A. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Peh Cun

Perayaan Peh Cun (Festival Cisadane) memiliki segi nilai yang

dapat kita rasakan kebaikan dan keberadaannya, sebagai sebuah perayaan

saat ini Peh Cun semakin berkembang, Festival Peh Cun menjadi sebuah

wadah dari ekspresi kerukunan umat beragama di Kota Tangerang dalam

menaungi keragaman yang ada. Hal ini dijadikan jalan komunikasi antar

lini masyarakat, baik jajaran Pemerintah Daerah, tokoh agama, tokoh

masyarakat, guna menjadi tolak ukur dalam pandangan masyarakat dalam

berinteraksi sebagai masyarakat yang pluralisme-multikulturalisme.

Nilai sosial yang terkandung dalam festival ini menjadi nilai

kekerabatan, persaudaraan, dan kerukunan yang dapat kita lihat pada

prosesinya di mana beberapa budaya keagamaan yang berbaur menjadi

satu dan menjadi sebuah simbol kebersamaan pada satu eventyang

mengundang antusiasme masyarakat di dalam ataupun di luar Kota

Tangerang hingga puluhan ribu orang. Banyaknya tokoh agama yang

datang pada saat perayaan Peh Cun menjadikan Peh Cun seolah wadah

yang layak sebagai apresiasi komunikasi yang baik dari para tokoh

masyarakat dan agama yang datang.

54

Festival Peh Cun di tahun ini semakin menunjukan eksistensinya semakin

baik dan meriah setiap tahunnya.

Nilai keagamaan, pada prosesi festival ini tidak menghilangkan

esensial nilai-nilai pluralitas keagamaan didalamnya. Penulis merasakan

umat Konghuchu senang akan kehadiran perayaan ini, karena mereka

masih dapat melihat kebudayaannya dilestarikan disini dan ikut serta

memberi sumbangsih dalam meramaikannya dan memberi dampak atas

keberadaannya. Sikap-sikap pluralis juga dibuktikan dengan, pembukaan

Festival Peh Cun secara terbuka dilakukan pada sore hari hal ini penulis

fahami agar pada pagi harinya para umat Konghuchu di Kota Tangerang,

dapat melaksanakan prosesi doa-doa atau peribadatan lainnya, seperti

memandikan perahu keramat papak hijau, yang hanya dilakukan oleh

masyarakat Cina di Kota Tangerang. Air hasil pemandian tersebut

dimaknai dapat mendatangkan panjang umur bagi siapa yang

meminumnya dalam sudut pandang kepercayaan Cina, hal tersebut

dilakukan di Klenteng Boen Taek Bio, Kota Tangerang.

55

B. Peran Festival Peh Cun

Festival Cisadane dapat dijadikan contoh perayaan universal di

Kota Tangerang, sebuah simbol yang menggambarkan akan jauhnya

problematika dengan dasar keagamaan dan memberikan kesadaran akan

indahnya sikap pluralis-multikulturalis sebuah ekspresi nyata hubungan

interaksi sosial dan hubungan antar umat beragama yang baik. Seluruh

umat beragama yang ada di Kota Tangerang merasakan dengan kehadiran

pesta rakyat ini setiap tahun, hal ini menggambarkan bahwa sikap pluralis-

multikulturalis tak hanya berhenti pada tataran wacana dan sikap semata,

tapi telah sampai pada realitas sosial di elemen-elemen masyarakat.

Festival Peh Cun dapat memiliki peran dalam penanaman terhadap

pentingnya menjaga kultur budaya keagamaan yang ada. Seakan Festival

Cisadane ini adalah pesan dari ekspresi kerukunan masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini menjadi figur penting karena

keberlangsungan Festival Cisadane tidak terlepas dari perannya, hal ini

membuat tindakan mereka dianggap sejalan sebagai wadah yang harus

tetap berada di tengah masyarakat tanpa memihak manapun. Banyak

prestasi-prestasi yang telah digapai dalam mengembakan festival ini,

terlepas dari itu Pemerintah Daerah Kota Tangerang telah memberikan

sebuah kondisi yang nyaman dan mempermudah akses-akses keagamaan

dalam Festival ini sehingga semua golongan dapat memberikan

sumbangsihnya.

56

Pada dasarnya Pemeritah Daerah Kota Tangerang juga

mengarahkan agar timbulnya peran dari perayaan Peh Cun ini. Seperti

terus nenberikan kesempatan menampilkan budaya-budaya keagamaan

yang ada, seperti Barong dari Hindu, hingga tarian-tarian daerah

dihadirkan di pesta rakyat tahunan ini.

Hal ini pun menggambarkan adanya etika dan moralitas yang

sangat baik diantara masyarakat agama manapun, penulis sangat rasakan

ketika berada di sekeliling lingkungan mereka pada saat melakukan

prosesi wawancara dengan para narasumber asal Cina Benteng, Peh Cun

juga memberikan dampak terhadap keseharian mereka dengan bukti rasa

cinta terhadap kebersamaan di Kota Tangerang dan kerukunannya antar

etnis dan antar umat beragama yang ada.

57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisi dan pembahasan terhadap data yang

dikumpulkan melalui penelitian dapat disimpulkan, bahwa Peh Cun adalah

sebuah bentuk ekspresi dari kehidupan beragama di Kota Tangerang yang

di dalamnya terdapat nilai-nilai sosial hal ini diperkuat dari prosesi

perayaannya yang melibatkan banyak budaya keagamaan, hal ini merujuk

pada kebersamaan, kekerabatan, dan kerukunan. Festival Peh Cun juga

memiliki nilai keagamaan di dalamnya hal ini bedasar pada kepercayaan-

kepercayaan Cina Benteng beragama Konghuchu terhadap hal-hal yang

ada di dalam perhelatan perayaan Peh Cun.

Dari hasil penelitian tersebut juga bahwa hadirnya Festival Peh

Cun sebagai implementasi dari rasa kerukunan yang dirasakan masyarakat,

Pemerintah Daerah Kota Tangerang pun mendapatkan sebuah sarana

unutuk menjalin komunikai dengan antar umat beragama yang ada di Kota

Tangerang.

B. Saran

Setelah dilakukannya penelitian lapangan diberbagai wilayahKota

Tangerang dan beberapa kesimpulan yang didapat maka penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut:

58

1. Agar terus terawatnya kondisi kerukunan antar umat beragama yang

sudah terbentuk, bagi masyarakat Kota Tangerang agar tidak banyak

menyampaikan atau menyebarkan informasi tentang hal-hal yang belum

jelas kebenarannya yang menyangkut isu-isu agama, dan sara yang dapat

mengakibatkan perpecahan.

2. Untuk Pemerintah Daerah Kota Tangerang hendaknya terus menjadi

wadah yang universal dan tidak memihak terhadap salah satu golongan

guna menghindari salah faham dan rasa iri.

59

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali Muhamad, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan

Menjalin Kebersamaan,(Jakarta: Kompas, 2003).

H. Schumann Olaf, Dialog Antar umat Beragama, Membuka Babak Baru dalam

Hubungan Antarmat Beragama, (Jakarta, BPK Gunung Mulia).

Ihsan fauzi ali. ed, Kebebasan, Toleransi dan Terorisme, (Jakarta: BPK Gunung

Mulia).

Jainuri Achmad, dkk, Dari Wacana Keaksi nyata, (Jakarta, Titahandalalusia

Press, 2002).

Kahmad Dadang, Sosologi agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002).

Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2008).

Lubis Ridwan, Sosiologi Agama (Memahami Perkembangan Agama dalam

Interaksi Sosial), (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).

Madjid Nurcholish, Pluralisme Agama (Kerukunan dan Keragaman), (Jakarta:

Kompas, 2001).

Magnis Suseno Franz,Etika Jawa Sebuah analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan

Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001).

Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: Pustaka Setia, 2011).

Margono. S, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta, 1995).

Nottingham Elizabeth K. Agama dan Kemasyarakatan, Suatu Pengantar

Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Nusyriwan Jusuf,Interaksi Sosial Dalam Ensiklopedia Nasional IndonesiaJilid 7,

(Jakarta: PT. Cipta Adi pustaka, 1989).

Permadi Bambang, Relasi Cina Benteng dan Islam, (Tangerang: Tyto Alba

Media,2017).

60

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada).

Setyawati Edi, Kebudayaan Di Nusantara Dari Keris, Tor-tor, sampai Industri

Budaya, (Depok: Komunitas Bambu, 2014).

Soekanto Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1990).

Sudiarjo, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisus, 1994).

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013).

Jurnal

Lestari Gina, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di

Tengah Kehidupan Sara, Jurnal Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, Vol. 28 Nomor 1, Februari 2018.

Ode Sidu La, Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara,

Jurnal Humanika, Vol. 3Nomor 15, Desember 2015.

Rifai. Moh, Kajian Masyarakat Beragama Persfektif Pendekatan Sosiologi, Jurnal

Pendidikan, Vol. 2 Nomor 1, 2018.

R. Soeroer Umar, Menuju Indonesia Yang Bhineka Tunggal Ika, Jurnal

Pendidikan, Vol. 2 Nomor 6, Februari 2003.

STAIN Purwokerto, Pendidikan Nilai: Telaah tentang Model Pembelajaran,

Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Vol.12 Nomor 1, April 2007.

Sunardi St, Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Antara

Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris Umat, dalam Membangun

Kesadaran dan Kearifan Universal, Jurnal Harmoni, Vol. 3 Nomor 9,

Januari-Maret 2004.

61

Narasumber

Wawancara dengan Oey Tjin Eng, Budayawan dan Tokoh Cina Benteng, pada

tanggal 20 Juli 2019.

Wawancara dengan Bebeng, Tokoh Cina Benteng dan pengurus Vihara Nimmala/

Klenteng Boen San Bio, pada tanggal 22 Juli 2019.

Wawancara dengan Keke, Staff Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota

Tangerang, pada tanggal 02 Agustus 2019.

Wawancara dengan Made Purnawan, Pemangku agama Hindu di Pure Kerta Jaya,

pada tanggal 10 Agustus 2019.

Wawancara dengan Afan Mendrofa, pengurus bagian Litbang GPIB Jemaat

“Samarinda”, pada tanggal 10 Agustus 2019.

Wawancara dengan H. Syamsudin Suwari, Pengurus Majelis Ulama Indonesia

Kota Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019.

Skripsi

Albab Ulil, Pluralisme Agama Dalam PersfektifNurcholish Madjid DanPaul F

Knitter,Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ardiansyah, Kerukunan Umat Beragama Antara Masyarakat Islam dan Kristen di

Kelurahan Paccinongan, Kec. Somba Opu, Kab. Goa, Skipsi Fakultas

Ushuluddin UIN Alaudin Makasar.

Baroroh Zaimah Imamatul,Potrer Kerukunan Antar umat beragama (Studi kasus

Hubungan Antar Umat Islam, Kristen Dan Hindu di Desa Balun

Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan). Skipsi Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina,SkipsiFakultas

Ushuluddin UIN Jakarta.

62

UlfiLaily,Pendekatan Historis Dalam Studi Islam (Studi Kasus Pemikiran Amin

Abdullah), Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Sunan

KalijagaYogjakarta.

Lainnya

Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, KotaTangerang Dalam Angka 2018.

Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio, Prosesi 12 Tahunan YMS

KWAN IM HUD COUW Ke-14 2012, (Kota Tangerang: Boen Tek Bio

2012).

Dian Sukmawati,Relasi Sosial Antara Cina Benteng Dengan Pribumi Di Kota

Tangerang, Artikel Jurnal, (Depok: Fak. FISIP UI 2017).

https://www.kota-tangerang.web.id/id3/313-210Situs Resmi Pemerintahan Kota

Tangerang, diakses pada 18 September 2017.

Https://biroumum.bantenprov.go.idSitus Resmi Pemerintah Provinsi Banten, di

akses pada tanggal 16 Agustus 2018.

https://kbbi.web.id/subjek, di akses pada 16 Agustus 2019.

https://kbbi.web.id//fokumentasi.html diakses pada tanggal 18 Agustus 2019.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: DPKRI 1998).

Sambutan Arief Wismansyah selaku Walikota Tangerang, dalam acara

pembukaan Festival Cisadane 2019, pada tanggal 26 Juli 2019.

Sambutan langsung Esti Reko Astuti selaku Perwakilan dari Kementerian

Pariwisata, dalam acara pembukaan Festival Cisadane 2019, pada tanggal

26 Juli 2019.

LAMPIRAN I: DATA DOKUMENTASI

Dokumentasi 1.

H. Syamsudin Suwari, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang.

Sebagai narasumber dalam menjelaskan pandangan Islam terhadap Festival Peh

Cun sebagai simbol kerukunan di Kota Tangerang.

Dokumentasi 2.

Potret gedung MUI Kota Tangerang, dan Masjid Al-Adzom tempat dengan

berbagai aktivitas umat Islam juga masjid terbesar di Kota Tangerang.

Dokumentasi 3.

Afan Mendrofa, penanggungjawab Litbang GPIB Jemaat “Samarinda”

Tangerang.Sebagai narasumber dalam menjelaskan pandangan Kristen Protestan

terhadap Festival Peh Cun sebagai simbol kerukunan di Kota Tangerang.

Dokumentasi 4. Made Purnawan, Pemangku di Pure Kerta Jaya. Sebagai

narasumber dalam menjelaskan pandangan Hindu terhadap Festival Peh Cun

sebagai simbol kerukunan di Kota Tangerang.

Dokumentasi 5.

Bebeng, Pengurus Klenteng Boen San Bio, dan Vihara Nimmala sekaligus tokoh

Cina Benteng. Sebagai narasumber dalam menjelaskan tentang kondisi Peh Cun

dan Cina Benteng di Kota Tangerang.

Dokumentasi 6.

Oey Tjin Eng, budayawan dan tokoh Cina Benteng. Sebagai narasumber dalam

menjelaskan tentang sejarah, dan perkembangan Peh Cun dan Cina Benteng.

Dokumentasi 7.

Potret Vihara Nimmala, salah satu Tridharma yang ada di Kota Tangerang.

Dokumentasi 8.

Potret Klenteng Boen San Bio. tempat di taruhnya perahu naga pertama yang ada

di Kota Tangerang.

Dokumentasi 9.

Potret Pendopo Peh Cun, perahu naga tertua dalam perayaan Peh Cun di Kota

Tangerang.

Dokumentasi 10.

Potret Klenteng Boen Taek Bio. Vihara yang memberikan sumbangsih cukup

banyak dalam perayaan Peh Cun, dan tempat pemandian perahu kramat Papak

Hijau dan Papak Merah.

Dokumentasi 11.

Potret perahu kramat Papak Hijau dan Papak Merah.

Dokumentasi 12.

Keke, Staff Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang. Sebagai

narasumber dalam menjelaskan prosesi, perkembangan, peran, dan pandangan

Pemerintah Daerah Kota Tangerang.

Dokumentasi 13.

Potret pembukaan Perayaan Peh Cun (Festival Cisadane). Pada tanggal 26 Juli

2019, yang di buka langsung oleh Arief Wismansyah ,WalikotaTangerang, dan

Esti Reko Astuti selaku Perwakilan dari Kementerian Pariwisata

Dokumentasi 14.

Potret beberapa pentas seni dan kebudayaan, yang di tampilkan dalam Festival

Cisadane.

Dokumentasi 15.

Potret Dinas-Dinas dan UMKM, yang membuka stand. Upaya melayani dan

meramaikan Festival Cisadane.

Dokumentasi 16. Potret lambang Festival Cisadane 2019.

Dokumentasi 17.

Potret sungai Cisadane, dan jembatan Berendeng. Tempat dilaksanakannya

Festival Cisadane.

Dokumentasi 18.

Potret penampilan perahu naga dalam Festival Cisadane.

Dokumentasi 19.

Potret antusiasme masyarakat Kota Tangerang dalam menyambut Festival

Cisadane 2019.