Fermentasi_Nata de Coco_Kloter A_Santo Yanuar Tan_11.70.0068_Universitas Soegijapranata Semarang
-
Upload
james-gomez -
Category
Documents
-
view
21 -
download
1
description
Transcript of Fermentasi_Nata de Coco_Kloter A_Santo Yanuar Tan_11.70.0068_Universitas Soegijapranata Semarang
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Nama : Santo Yanuar Tan
NIM : 11.70.0068
Kelompok : A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
0
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai uji fisik fermentasi nata de coco dalam substrat cair dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Fisik Nata de Coco
Kel.Tinggi
media awal (cm)
Ketebalan (cm) Presentase Lapisan (%)
H0 H7 H14 H0 H7 H14
A1 1 0 0,9 0,9 0 90 90
A2 1 0 1 0,5 0 100 50
A3 1,2 0 0,7 0,5 0 58,33 41,67 A4 1 0 0,8 0,5 0 80 50 A5 1 0 1 0,8 0 100 80
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil pengamatan uji fisik nata de coco yang dihasilkan selama
14 hari dari hari ke-0 (H0) hingga hari ke-14 (H14). Kelompok A1 dengan tinggi media awal
sebesar 1 cm dihasilkan nata de coco dengan ketebalan 0 cm pada hari ke-0, ketebalan 0,9 cm
pada hari ke-7, dan ketebalan tetap 0,9 cm pada hari ke-14. Presentase lapisan nata de coco yang
dihasilkan adalah pada hari ke-0 sebesar 0%, hari ke-7 sebesar 90% dan hari ke-14 juga sebesar
90%. Kelompok A2 dengan tinggi media awal sebesar 1 cm dihasilkan nata de coco dengan
ketebalan 0 cm pada hari ke-0, ketebalan 1 cm pada hari ke-7, dan ketebalan menurun menjadi
0,5 cm pada hari ke-14. Presentase lapisan nata de coco yang dihasilkan adalah pada hari ke-0
sebesar 0%, hari ke-7 sebesar 100% dan hari ke-14 menurun menjadi hanya sebesar 50%.
Kelompok A3 dengan tinggi media awal sebesar 1,2 cm dihasilkan nata de coco dengan
ketebalan 0 cm pada hari ke-0, ketebalan 0,7 cm pada hari ke-7, dan ketebalan menurun menjadi
0,5 cm pada hari ke-14. Presentase lapisan nata de coco yang dihasilkan adalah pada hari ke-0
sebesar 0%, hari ke-7 sebesar 58,33% dan hari ke-14 menurun menjadi hanya sebesar 41,67%.
Kelompok A4 dengan tinggi media awal sebesar 1 cm dihasilkan nata de coco dengan ketebalan
0 cm pada hari ke-0, ketebalan 0,8 cm pada hari ke-7, dan ketebalan menurun menjadi 0,5 cm
pada hari ke-14. Presentase lapisan nata de coco yang dihasilkan adalah pada hari ke-0 sebesar
0%, hari ke-7 sebesar 80% dan hari ke-14 menurun menjadi hanya sebesar 50%. Kelompok A5
dengan tinggi media awal sebesar 1 cm dihasilkan nata de coco dengan ketebalan 0 cm pada hari
1
2
ke-0, ketebalan 1 cm pada hari ke-7, dan ketebalan menurun menjadi 0,8 cm pada hari ke-14.
Presentase lapisan nata de coco yang dihasilkan adalah pada hari ke-0 sebesar 0%, hari ke-7
sebesar 100% dan hari ke-14 menurun menjadi hanya sebesar 80%.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de Coco
Kelompok Aroma Warna Tesktur RasaA1 +++ ++ ++ +++A2 ++++ ++ ++ +++A3 ++++ ++ +++ +++A4 ++++ ++ +++ ++++A5 ++++ ++ +++ ++++
Keterangan :Aroma Warna Tekstur Rasa++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++ : sangat manis+++ : agak asam +++ : putih bening +++ : kenyal +++ : manis++ : asam ++ : putih agak bening ++ : agak kenyal ++ : agak manis+ : sangat asam + : bening + : tidak kenyal + : tidak manis
Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat hasil pengamatan uji sensori terhadap 4 parameter nata de coco
yang dihasilkan yaitu aroma, warna, tekstur dan rasa. Nata de coco kelompok A1 dihasilkan
aroma yang agak asam (+++), warna putih agak bening (++), tekstur agak kenyal (++) dan rasa
yang manis (+++). Nata de coco kelompok A2 dihasilkan aroma yang tidak asam (++++), warna
putih agak bening (++), tekstur agak kenyal (++) dan rasa yang manis (+++). Nata de coco
kelompok A3 dihasilkan aroma yang tidak asam (++++), warna putih agak bening (++), tekstur
kenyal (+++) dan rasa yang manis (+++). Nata de coco kelompok A4 dihasilkan aroma yang
tidak asam (++++), warna putih agak bening (++), tekstur kenyal (+++) dan rasa yang sangat
manis (++++). Nata de coco kelompok A5 dihasilkan aroma yang tidak asam (++++), warna
putih agak bening (++), tekstur kenyal (+++) dan rasa yang sangat manis (++++).
2. PEMBAHASAN
saring air kelapa, 1 kg air, semua bahan dimasukin, panasin sampe larut, tunggu dingin, cek pH,
tambahin cuka sampe pH 4-5, pH kita 4,74
Pada praktikum ini, dilakukan proses fermentasi substrat cair yaitu fermentasi nata de coco.
Menurut Pambayun (2002) nata de coco merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang
termasuk komponen dalam minuman, yang terbentuk melalui proses fermentasi air kelapa,
dengan memanfaatkan bakteri. Bahan dasar yang digunakan untuk menghasilkan nata de coco
adalah limbah air buah kelapa yang tua, serta beberapa bahan lain yang di dalamnya
mengandung gula, protein, dan mineral.
Pada percobaan pembuatan nata de coco ini digunakan bahan dasar berupa limbah air kelapa dan
yang terpenting adalah pemanfaatan dari bakteri asam asetat jenis Acetobacter xylinum dalam
kondisi asam. Latar belakang dari penggunaan bakteri Acetobacter xylinum ini adalah karena
bakteri A. xylinum kemampuan yang khusus dalam membentuk selaput tebal atau lapisan pada
permukaan cairan fermentasi di mana diketahui lapisan ini merupakan komponen selulosa.
Palungkun (1996) menambahkan bahwa kemampuan bakteri Acetobacter xylinum dalam
membentuk “nata de coco” (krim) adalah dikarenakan keberadaan kandungan air sebesar 91,23
%, protein 0,29 %, lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 %, dan juga abu 1,06 % di dalam air kelapa.
Pertama-tama dilakukan persiapan limbah air kelapa sebagai bahan baku dalam membuat nata de
coco ini. Substrat cair berupa air kelapa yang digunakan untuk media pertumbuhan Acetobacter
xylinum mula-mula harus dipanaskan. Tujuan dari pemanasan menurut Palungkun (1992 ) adalah
untuk mematikan mikroba lain yang dapat mengkontaminasi nata yang akan dihasilkan. Tanpa
dilakukan pemanasan, kemungkinan tumbuhnya mikroba lain yang hidup yang secara langsung /
tidak langsung sangatlah besar. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter
xylinum dalam proses pembentukan selulosa dari pengkonversian gula. Proses pemanasan air
kelapa dapat dilihat pada Gambar 1.
3
4
Gambar 1. Pemanasan Air Kelapa
Setelah itu, dilakukan penambahan ammonium sulfat 0,5%, asam cuka glasial dan gula pada
media air kelapa. Penambahan asam cuka glasial ditambahkan secara terus-menerus hingga
tercapai pH 4-5. Penambahan gula menurut Sunarso (1982) berfungsi untuk pertumbuhan bakteri
Acetobacter xylinum sekaligus sebagai sumber karbon pada proses fermentasi nata de coco.
Sedangkan penambahan Amonium sulfat menurut Pambayun (2002) berperan sebagai sumber
nitrogen yang diketahui dapat mengoptimalkan pertumbuhan aktivitas bakteri pembentuk nata.
Dan menurut Pambayun (2002) untuk penambahan asam cuka glasial bertujuan untuk membuat
suasana asam karena bakteri Acetobacter xylinum diketahui tumbuh optimal pada pH sekitar 4,3;
sehingga pada pH basa bakteri tersebut tidak akan dapat tumbuh. Penambahan asam cuka ke
dalam media juga dilakukan guna mencegah terjadinya kontaminasi mikroba lain yang dapat
menggangu jalannya proses fermentasi air kelapa oleh Acetobacter xylinum. Nilai pH media air
kelapa pada praktikum ini setelah penambahan asam cuka adalah sebesar 4,74. Pengukuran pH
media dengan menggunakan pH meter dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
5
Gambar 2. Pengukuran pH Media dengan pH meter
Setelah dilakukan penambahan beberapa larutan tersebut, dilakukan proses penyaringan air
kelapa tersebut. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan ampas – ampas kelapa yang mungkin
masih ada. Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat pada Gambar 3. Kemudian, dilakukan
penambahan biang nata yang berisi Acetobacter xylinum. Penambahan biang nata ini harus
secara aseptis. Karena menurut Rahayu et al (1993), Acetobacter xylinum jika ditumbuhkan pada
media yang mengandung gula, maka Acetobacter xylinum tersebut akan mengkonversi gula
tersebut menjadi selulosa yang selanjutnya akan terakumulasi secara ekstraseluler dan akan
membentuk suatu polikel yang liat selama berlangsungnya proses fermentasi. Penambahan biang
Nata adalah sebesar 10% dari air kelapa. Penambahan biang Nata ini sesuai dengan teori Pato &
Dwiloka (1994) yang menyatakan bahwa jumlah starter yang ditambahkan dalam pembuatan
nata adalah sekitar 4 – 10%. Berdasarkan pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa penambahan
biang nata harus dilakukan secara tepat agar dapat dihasilkan karakteristik nata yang baik.
6
Gambar 3. Penyaringan Air Kelapa
Tahap berikutnya adalah tahap inkubasi air kelapa. Langkah kerjanya adalah mula-mula wadah
atau tempat yang berisi air kelapa yang sudah ditambahkan biang Nata ditutup menggunakan
kertas koran atau kertas coklat yang prosesnya dapat dilihat pada Gambar 4. Tujuan penutupan
dengan kain saring ini menurut Pambayun (2002) adalah berguna dalam melindungi Nata dari
kontaminasi yang berasal dari lingkungan sekitar. Akan tetapi, penutupan kertas koran ini harus
masih dapat menyediakan oksigen bagi bakteri Acetobacter xylinum karena Acetobacter xylinum
merupakan bakteri aerob yang pertumbuhannya membutuhkan oksigen. Namun, oksigen yang
masuk ke dalam substrat tidak boleh kontak langsung dengan permukaan nata dan juga tidak
boleh terlalu rapat dan kuat. Sehingga penutup yang diigunakan harus memmiliki sistem
ventilasi yang cukup baik. Bakteri Acetobacter xylinum juga memerlukan suhu ruang untuk
pertumbuhan optimalnyanya. Apabila suhu proses inkubasi kurang atau lebih dari suhu tersebut,
maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum akan terhambat. Bahkan bakteri ini akan mati
jika diinkubasi pada suhu 40oC. Waktu inkubasi dari nata de coco adalah sekitar 2 minggu yang
dalam proses tersebut, wadah atau tempat nata de coco tidak boleh terkena goncangan karena
akan menyebabkan kegagalan dalam proses pembentukan nata.
Lapisan di atas permukaan air kelapa akan terbentuk setelah masa inkubasi selesai. Setelah itu,
lapisan yang terbentuk diukur tinggi dan ketebalan lapisannya. Pengukuran ini dilakukan
7
sebanyak 3 kali pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Setelah pengamatan dan pengukuran
selama 2 minggu Nata yang terbentuk dicuci menggunakan air mengalir. Kemudian, nata de
coco direndam dalam aquades dan dicuci dengan air mengalir selama 3 hari. Tujuan pencucian
ini adalah untuk menghilangkan asam yang dihasilkan saat proses fermentasi berlangsung.
Gambar 4. Wadah Berisi Media Air Kelapa Setelah Penambahan Biang Nata
Tahap yang terakhir yaitu pemasakan nata de coco dalam larutan gula. Sebelum dimasak, nata
de coco dipotong – potong bentuk dadu kecil terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk
memperbesar luas permukaan nata yang akan kontak dengan larutan gula, sehingga rasa manis
dapat merata pada setiap bagian nata de coco
Pada hasil pengamatan selama 2 minggu, diketahui bahwa ketebalan nata de coco yang
dihasilkan masing-masing kelompok berbeda-beda. Selain itu, nata de coco yang sudah
terbentuk pada hari ke-7 mengalami penurunan pada hari ke-14 Penurunan ketebalan lapisan ini
terjadi pada hampir semua kelompok yaitu pada kelompok A2, A3, A4 dan A5. Hasil yang
berbeda dan penurunan ketebalan lapisan ini dapat disebabkan oleh nata de coco yang terkena
goncangan pada saat inkubasi berlangsung. Hal ini dibenarkan oleh Rahayu et al (1993), bahwa
nata de coco yang terbentuk di permukaan akan turun ke bawah cairan apabila terjadi gangguan
(goncangan) selama fermentasi. Banyak faktor lain juga yang dapat mengganggu proses
8
pembentukan nata de coco tersebut. Misalnya saja wadah yang terkena goncangan dapat
diketahui setelah proses inkubasi lapisan nata de coco yang terbentuk berada di bagian bawah.
Faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan dan penurunan ketebalan lapisan nata ini adalah
masalah keaseptisan yang berbeda – beda pada masing-masing kelompok. Semakin aseptis
prosedur yang dilakukan maka pertumbuhan Acetobacter xylinum dapat terjadi secara optimum.
Tranggono & Sutardi (1990) menambahkan bahwa keberadaan mikroba lain atau mikrobia
kontaminan dapat mengurangi konsentrasi glukosa yang tersedia sehingga lapisan nata de coco
yang terbentuk dapat kurang maksimal bahkan akan gagal.
Pengamatan selanjutnya adalah pengujian nata de coco yang terbentuk secara sensoris.
Berdasarkan pengamatan dapat dilihat bahwa semua nata de coco yang terbentuk berwarna putih
agak bening. Pada pengujian aroma nata de coco masing – masing kelompok secara umum
beraroma tidak asam namun untuk kelompok A1 dihasilkan nata de coco yang beraroma agak
asam. Sedangkan untuk parameter tekstur dapat dilihat hasil yang berbeda dari masing – masing
kelompok. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan ketika cara pemrosesan. Untuk
pengujian aroma, yang diukur adalah tingkat keasamannya. Aroma asam ini ditentukan oleh
proses pencucian selama 3 hari yang dilakukan oleh setiap kelompok. Proses dari tahap
pencucian hingga perendaman dengan aquades hingga tahap pemasakan akan mempengaruhi
sensori dan karakteristik dari nata yang dihasilkan. Misalnya saja jika pencucian tidak bersih
maka asam yang tertinggal pada nata de coco masih akan tertinggal. Pada pengujian tekstur,
secara teori yang benar, semakin tebal lapisan nata maka akan dihasilkan tekstur nata yang
kenyal yang disebabkan oleh kandungan selulosa yang lebih banyak. Hal ini didukung oleh
Herman (1979) yang menyatakan bahwa kekenyalan suatu nata akan sangat dipengaruhi oleh
jumlah serat yang terkandung, dalam hal ini yaitu selulosanya. Namun, berdasarkan hasil
pengamatan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa hasilnya tidak sesuai dengan pernyataan
tersebut, dimana kelompok A3 memiliki tekstur lebih kenyal daripada kelompok A1. Padahal
lapisan nata de coco kelompok A1 lebih tebal dibandingkan dengan lapisan nata de coco
kelompok A3. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketidaktelitian praktikan saat melakukan uji
sensori.
9
Parameter uji sensori yang terakhir adalah rasa yang diukur dari tingkat kemanisan nata de coco
setelah dimasak dalam larutan gula. Penambahan jumlah gula berbeda antar tiap kelompoknya,
yaitu secara berurutan dari kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5 yaitu sebesar 100 gram, 125 gram,
150 gram, 175 gram dan 200 gram. Semua gula tersebut dimasak dan dilarutkan dalam air
sebanyak 300 ml yang selanjutnya dimasak bersama dengan nata de coco masing-masing
kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rasa dari nata de coco kelompok A1,
A2 dan A3 berasa manis. Sedangkan rasa dari nata de coco kelompok A4 dan A5 berasa sangat
manis. Hasil ini sebenarnya kurang tepat mengingat banyaknya gula yang ditambahakan pada
saat proses pemasakan masing-masing kelompok tidaklah sama. Tetapi berdasarkan hasil
pengamatan diketahui adanya hasil yang sama pada kelompok A1, A2 dan A3, demikian juga A4
dan A5. Hasil ini menunjukan bahwa adanya faktor ketidaktelitian paraktikan pada saat
penambahan gula, proses pemasakan atau pada saat uji sensori dilakukan. Penampakan nata de
coco setelah melalui tahap pemasakan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Nata de coco Kelompok A1, A2, A3, A4 dan A5 Setelah Pemasakan
Selain membahas hasil dari praktikum yang dilakukan, untuk menambahkan dan memperkaya
informasi seputar pembuatan nata de coco, dibahas juga beberapa jurnal terkait sebagai berikut.
Pada jurnal Meliawati (2008), dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan permintaan nata de
coco, namun bibit yang digunakan menjadi kendala utama. Sulitnya dan tidak stabilnya bibit nata
yang digunakan menjadi masalah utama yang menghambat. Berdasarkan penelitian dan
observasi bibit yang digunakan oleh produsen dapat diketahui bahwa adanya ketidakmurnian
dari bibit tersebut yang mengandung bakteri selulosa. Beberapa bakteri yang dapat memproduksi
selulosa adalah antara lain dari genus Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium, dan Sarcina.
10
Bibit nata pada umumnya dijual di pasaran berupa cairan yang dikemas dalam bentuk botol.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Meliawati ini, dilakukan sebuah eksperimen untuk
menggunakan inokulum berbentuk pasta dan bukan berbentuk cairan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa CMC dan bubur selulosa merupakan bahan yang terbaik untuk digunakan
dalam menyimpan bakteri dengan kondisi stabil.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Misgiyarta (2006), menunjukan bahwa substrat
untuk pembuatan Nata tidak hanya dapat berasal dari air kelapa saja melainkan dapat digunakan
campuran dari air kelapa dan ekstrak limbah buah nanas. Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan bahwa dapat dihasilkan nata dengan ketebalan terbaik menggunakan campuran
esktrak limbah buah nanas dan air kelapa dengan perbandingan 8,75:1.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Halib et al (2012), dapat diketahui bahwa adanya
potensi dari nata de coco sebagai sumber selulosa murni untuk berbagai kebutuhan industri.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ternyata selulosa yang diekstrak dari nata de coco
telah memenuhi spesifikasi sebagai selulosa murni. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kelarutan
nata de coco dalam larutan cupriethylenediamine.
Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Bawa et al. (2008) dapat diketahu bahwa
terdapat 3 variabel penting dalam pembuatan nata de coco ini. Ketiga variabel tersebut adalah
pH, sukrosa dan konsentrasi ammonium sulfat. Berdasarkan penelitian ynag dilakukan dapat
dilihat bahwa variabel yang berperan paling vital dalam membentuk nata de coco dengan
karakteristik terbaik adalah pH. Pengukuran kualitas nata de coco yang dihasilkan terdiri dari
pengukuran ketebalan, massa basah, water-holding capacity (WHC), moisture content dan
hardness. Ketebalan maksimum nata de coco yang dapat dihasilkan dibentuk pada pH 4, dengan
10% sukrosa dan 0,5% ammonium sulfat. Pada kondisi tersebut dihasilkan nata de coco dengan
tekstur permukaan yang halus dan lembut serta tekstur yang kenyal. Penelitian ini dapat
digunakan untuk memproduksi nata de coco dengan kualitas terbaik.
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Effendi et al. (2012) meneliti tentang bagaimana
proses pembuatan nata de soya dengan memanfaatkan limbah whey tahu yang ditambahkan
dengan limbah air kelapa. Setelah itu, hasil yang diperoleh diuji secara fisik, kimia dan
11
organoleptik. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, kadar air, rendemen,
tekstur, warna, serat kasar, uji organoleptik, ketebalan nata dan penentuan perlakuan terbaik.
Pada akhir penelitian diperoleh hasil bahwa kualitas nata de soya yang dihasilkan cukup baik
yaitu ketebalannya mencapai 16,48 mm dengan penambahan substrat limbah air kelapa.
3. KESIMPULAN
Nata de coco merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang termasuk komponen dalam
minuman, yang terbentuk melalui proses fermentasi air kelapa, dengan memanfaatkan
bakteri.
Pemanasan bertujuan untuk mengurangi dan mematikan kontaminan atau mikroorganisme
yang dapat mengganggu dan menggagalkan pembuatan nata de coco.
Gula digunakan untuk pertumbuhan bakteri nata (Acetobacter xylinum) dan sebagai sumber
karbon pada proses fermentasi nata de coco.
Penambahan Amonium sulfat berfungsi sebagai sumber nitrogen untuk mengoptimalkan
pertumbuhan dan aktivitas bakteri nata.
Penambahan asam cuka glacial bertujuan untuk membuat suasana asam yang merupakan pH
pertumbuhan optimum bakteri Acetobacter xylinum yaitu 4,3.
Tahap penyaringan berguna untuk menghilangkan ampas – ampas kelapa yang masih ada.
Jumlah starter yang ditambahkan dalam pembuatan nata adalah sebesar 10%.
Penutupan dengan kertas koran berfungsi untuk melindungi nata de coco dari kontaminasi
lingkungan sekitar.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerob.
Wadah atau tempatnata de coco tidak boleh terkena goncangan agar lapisan nata dapat
terbentuk dengan baik.
Pencucian nata bertujuan untuk menghilangkan asam yang berlebih pada saat fermentasi.
Kekenyalan nata de coco dipengaruhi oleh jumlah kandungan serat yang ada yaitu selulosa.
Warna nata de coco yang dihasilkan adalah warna putih agak bening.
Semakin tebal nata de coco yang terbentuk maka semakin kenyal tekstur nata de coco yang
dihasilkan.
Semarang, 3 Juni 2014 Asisten Dosen :
Santo Yanuar Tan Chrysentia Archinitta L. M. 11.70.0068
12
4. DAFTAR PUSTAKA
Halib, Nadia ; Mohd Cairul Iqbal Mohd Amin & Ishak Ahmad. (2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of
Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205-211.
Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia 4(1) Halaman 9-17.
Melliawati, Ruth. (2008). Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta
Nata de Coco. Biodiversitas Volume 9, nomor 4 Halaman:255-258.
Misgiyarta. (2006). Fermentasi Nata Dengan Substrat Limbah Buah Nanas Dan Air Kelapa.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. ( 2002 ). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. & Dwiloka, B. (1994). Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata
de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.
Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan
Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada
Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM.
Yogyakarta.
13
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata =
Tinggi Ketebalan NataTinggi Media Awal
x 100%
Kelompok A1
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,91
x 100% = 90 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0 .91
x 100%
= 90 %
Kelompok A2
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
11
x 100% = 100 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51
x 100%
= 50 %
Kelompok A3
H0 Persentase Lapisan Nata =
01,2
x 100% = 0 %
14
15
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,71,2
x 100% = 58,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51,2
x 100%
= 41,67 %
Kelompok A4
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,81
x 100% = 80 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51
x 100%
= 50 %
Kelompok A5
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
11
x 100% = 100 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,81
x 100%
= 80 %
5.2. Jurnal (Abstrak)
5.3. Laporan Sementara