Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

28
FENOMENOLOGI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D

Transcript of Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

Page 1: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

1

FENOMENOLOGI

SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM

PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Oleh:

Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D

Page 2: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

2

FENOMENOLOGI

SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM

PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar

Universitas Gadjah Mada

pada tanggal 14 Maret 2012

di Yogyakarta

Oleh:

Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D

Page 3: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

3

(halaman ini sengaja dikosongkan)

Page 4: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

1

Bismillaahir-rohmaanir-rohiim

Yang saya hormati,

Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat,

Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Guru Besar,

Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik,

Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor,

Para Dekan dan Wakil Dekan,

Ketua Lembaga,

Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas,

Para Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa

Para Pengurus dan Anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada,

Para Tamu Undangan dan Hadirin yang saya muliakan,

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Selamat pagi dan salam sejahtera

Aum Swasti Astu

Sungguh, rasa syukur memenuhi hati kami atas Ridhlo Allah

SWT yang diberikanNya sehingga pada pagi hari ini yang penuh doa

dari para hadirin, saya berkesempatan menyampaikan pidato

pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Perencanaan

Kota pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas

Teknik Universitas Gadjah Mada, dengan judul:

FENOMENOLOGI

SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM

PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN

Hadirin yang saya muliakan,

Tradisi perencanaan kota, sebenarnya sudah dimulai oleh

manusia seiring dengan usia peradaban kota yang telah dibangun

manusia sejak jaman Mesir Kuno yang ditandai oleh munculnya kota

Memphis yang dibangun oleh Raja Menes pada tahun 2.686 SM,

disusul oleh kota Thebes oleh Raja Hyksos pada tahun 1.786 SM,

Page 5: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

2

kemudian diikuti oleh kota Luxor tempat dibangunnya kuil-kuil

Karnak pada tahun 1546 SM oleh Raja Amenhotep I (Barocas 1972).

Pada masa-masa itu, pembangunan kota telah dipandu oleh suatu

rencana kota yang telah mengikuti prinsip-prinsip penataan ruang

yang mengatur penempatan kawasan pemerintahan, kawasan hunian,

kawasan sakral dan keagamaan, kawasan militer, kawasan industri,

kawasan perdagangan dan kawasan pergudangan. Prinsip-prinsip

tersebut sesungguhnya mirip dengan prinsip-prinsip perencanaan kota

yang kita kenal sekarang sebagai modern planning yang mencakup

town planning, zoning, site planning, dan civic design (Mokhtar,

1974). Namun, dalam teks-teks perencanaan kota yang dikenal sampai saat

ini, yang disebut sebagai perencanaan moderen (modern planning) adalah

perencanaan yang muncul setelah revolusi industri (Ratclif, 1974; Hall,

2004; LeGates and Stout, 2009).

Revolusi industri dengan kredonya rasionalisasi, optimalisasi,

minimalisasi, dan maksimalisasi telah merubah cara-cara manusia

melakukan produksi benda-benda dari penggunaan tenaga manusia dan

hewan menjadi tenaga mesin (Gurrel, 1992). Perubahan cara berproduksi ini

telah melahirkan pertumbuhan dan surplus perkotaan yang tidak diduga

sebelumnya. Kota-kota yang dibangun pada masa klasik, abad pertengahan

dan masa renaisans pada akhirnya tidak siap dan tidak mampu menerima

pertumbuhan dan surplus yang luar biasa. Kota-kota yang dirancang

terutama untuk fungsi hunian tiba-tiba harus menjalankan fungsi sebagai

ruang produksi, pergudangan sekaligus pemasaran. Konsekuensi yang harus

dibayar adalah semua limbah produksi yang terdiri dari limbah cair, padat

dan gas berhamburan melimbahi udara dan tanah-tanah hunian perkotaan.

Kesehatan manusia perkotaan kemudian dikorbankan atas nama surplus dan

pertumbuhan kota. Kota-kota menjadi kumuh, penuh polusi dan tidak

nyaman lagi dihuni.

Dalam situasi krisis perkotaan seperti itu, modern planning

dengan kapasitas preskriptifnya telah menjadi penyelamat kehancuran

involutif yang mematikan kota-kota di Eropa di akhir abad 19 dan

awal abad 20. Munculnya teori zoning, yang kemudian diikuti oleh

teori Garden City oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898, teori City

Development oleh Patrick Geddes tahun 1904, dan disusul oleh Lewis

Mumford pada tahun 1916 dengan teorinya Planning the Modern City

Page 6: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

3

telah menjadi landasan kokoh bagi muncul dan berkembangnya modern

planning pada masa-masa berikutnya (Hall, 2004; LeGates and Stout, 2009).

Modern planning, kemudian diekspor keluar Eropa melalui matarantai

kolonialisme sebagai suatu paradigma baru perkotaan atau urbanisme.

Munculnya permukiman-permukiman baru yang menggunakan konsep

garden city seperti Kawasan Darmo di Surabaya (1916), Bandung Utara

(1917), Candi Baru di Semarang (1917), Bogor (1917), Medan Baru (1917),

Menteng dan Gondangdia (1918), dan Kota Baru Yogyakarta (1920), telah

memberikan wajah baru perkotaan di Indonesia pada pada masanya (Van

Roosmalen, 2005).

Tokoh generasi kedua dari modern planning yang sangat

berpengaruh pada perkembangan kota-kota di dunia adalah Le

Corbusier (1929) dengan teorinya yang sangat termasyhur The City of

Tomorrow and Its Planning. Le Corbusier menggunakan pendekatan

paradoks dalam perencanaan kota yang terungkap dalam kata-katanya

yang sangat terkenal: “kita harus mengatasi kemacetan di pusat kota

dengan meningkatkan kepadatan, kita harus meningkatkan sirkulasi

lalulintas di pusat kota dengan meningkatkan jumlah ruang terbuka,

melalui cara membangun kota dengan bangunan-bangunan

tinggi/vertikal di atas lahan yang kecil” (Le Corbusier, 1929: 159-178,

Hall, 2004:207). Walaupun banyak sekali rancangan-rancangan kota

yang dibuatnya tidak pernah menjadi kenyataan (Algiers, Antwerp,

Stockholm, Barcelona, Newmours), namun pemikiran Le Corbusier

telah menjadi inspirasi bagi para perencana kota dunia untuk

membangun kota secara vertikal. Peremajaan kota (urban renewal)

mendapatkan pembenarannya dalam teori Le Corbusier. Kota-kota di

dunia yang semula dibangun dengan konsep permukiman lokal (di Indonesia

dikenal dengan konsep kampung kota) dihancurkan, digusur, dan digantikan

dengan bangunan-bangunan tinggi perkantoran, apartemen, dan komersial.

Belakangan, teori Le Corbusier telah mengalami penggantian terminologi

dan kemasan menjadi superblock dan compact city.

Perencanaan kota moderen (modern planning) yang menjadi

anak kandung paradigma positivisme dan menganut filosofi physical

determinism, telah menikmati kejayaannya selama kurang lebih 100

tahun. Modern planning dengan kredo-kredo engineering telah

berhasil memandu, merubah, dan memberi solusi terhadap masalah-

Page 7: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

4

masalah urbanisasi di kota-kota besar di dunia. Citra pasti, dapat

dipercaya, dan konsistensi yang tinggi antara rencana dan

implementasinya telah menjadikan modern planning sebagai suatu

model pembangunan dan pengarah peradaban baru kota. Modern

planning telah menjadi panglima bagi perubahan-perubahan fisikal,

spasial, dan sosial yang ditaati. Puncak pemikiran modern planning

terdapat dalam bentuknya “comprehensive rational planning” dengan

ditandai masuknya science ke dalam konsep dan kerja perencanaan

(Beauregard, 1984). Comprehensive rational planning yang

bersenyawa dengan Procedural Planning Theory dari Faludi (1973)

telah diterjemahkan ke dalam konteks perencanaan di Indonesia dalam

ujud Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) atau Rencana

Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).

Hadirin yang saya hormati,

Sanggahan, Kritik, dan Koreksi terhadap Modern Planning

Pada perkembangannya, paradigma modern planning telah

bergeser dari kesetiaanya semula, yakni tidak lagi setia kepada

kepentingan publik melainkan setia kepada kepentingan kapitalisme.

Fokus perencanaan modern planning yang semula pada infrastruktur

perkotaan untuk kepentingan-kepentingan publik bergeser menjadi

infrastruktur untuk jaringan pemasaran komoditas hasil produksi para

pemilik modal besar (Cooke, 1988). Dengan pergeseran fokus

perencanaan seperti itu, maka obyektifitas dan komprehensifitas

modern planning mendapatkan sanggahan, kritik dan pada akhirnya

terkoreksi oleh pandangan-pandangan yang muncul belakangan.

Modern planning disanggah karena telah mengabaikan kepentingan

dan eksistensi rakyat kebanyakan di perkotaan. Modern planning telah

berpihak kepada market dan kapitalis besar. Modern planning hanya

berfokus membangun masyarakat kelas menengah perkotaan dan

mengabaikan keberagaman masyarakat bawah perkotaan.

Di ujung senja perkembangan modern planning, ilmu

perencanaan telah terpelanting jatuh ke bawah dari tangga tertinggi

sebagai ilmu peradaban menjadi hanya sekedar ilmu kewirausahaan;

sedangkan pada dataran praksis, peran perencana meluncur terjun ke

Page 8: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

5

bawah dari ketinggian sebagai duta peradaban menjadi hanya sekedar

teknisi saja, atau meminjam terminologi sinis dari Fainstain (1988)

hanya sekedar menjadi “deal maker” saja. Sanggahan, kritik, dan

koreksi terhadap modern planning khususnya pada procedural

planning theory akhirnya melahirkan ragam pendekatan, model dan

teori perencanaan yang disebut oleh Healy, et al. (1982) sebagai

theoretical pluralism in urban and regional planning, mencakup ragam

pendekatan: (1) incrementalism, (2) implementation and policy, (3) social

planning and advocacy planning, (4) the political economy, (5) the new

humanism, dan (6) pragmatism.

Modern planning telah menyederhanakan asumsi bahwa

terdapat hubungan yang sangat positip dan dapat dibenarkan secara

ilmiah antara pikiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat,

kepentingan kapitalis, dan intervensi yang dilakukan pemerintah kota

sehingga perencanaan kota diyakini akan mampu membuat kota

menjadi terpadu sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat. Namun

kenyataan yang terjadi sungguh sangat berbeda. Kesenjangan dan

konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan para

pemodal besar (kapitalis), serta antara kepentingan masyarakat dengan

kepentingan pemerintah seringkali dijumpai.

Kasus-kasus di bawah ini hanya sedikit contoh yang menunjukkan

adanya kesenjangan-kesenjangan tersebut: (1) konflik Taman BMW antara

Pemprov DKI dengan warga Kelurahan Papanggo dan Sunter Tanjung Priok

(Kompas.com,5-11-2008), (2) konflik antara warga Kelurahan Pluit

Penjaringan Jakarta Utara dengan Pengembang yang akan membangun

apartemen di dekatnya (Kompas.com,22-3-2009), (3) konflik antara warga

Cina Benteng Kampung Lebak Wangi yang menolak penggusuran dengan

Pemkot Tangerang (Kompas.com 13 April 2010), (4) penolakan HMI dan

LSM Kendari terhadap rencana pembangunan mesjid di tengah-tengah Teluk

Kendari (Kompas.com 24 Agustus 2010), (5) konflik antara warga yang

menolak penggusuran makam Mbah Priok dengan PT. Pelabuhan Indonesia

(Pelindo) II (Kompas.com 14-4-2010), (6) penolakan warga Kecamatan

Sumarorong, Mamasa, Sulawesi Barat terhadap rencana pembangunan

bandara (Kompas.com 15 September 2010), dan (7) konflik dan kesenjangan

pendapat antara Pemerintah Kota Solo dengan Perusahaan Daerah Citra

Mandiri Jateng perihal pembangunan mal di atas lahan Pabrik Es Saripetojo

I (Kompas.com 11-7-2011).

Page 9: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

6

Kasus-kasus yang diajukan di atas menunjukkan adanya gap

atau kesenjangan antara pikiran dan kenyataan. Kesenjangan antara

pikiran pemerintah dengan pikiran masyarakat, kesenjangan antara

pikiran pengembang dan pemilik modal dengan pikiran masyarakat,

dan kesenjangan antara pikiran perencana dengan kenyataan yang

hidup dalam alam pikiran masyarakat. Dengan perkataan lain, terdapat

kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan, antara pikiran dan

realitas empiris, dan antara teks dan konteks. Kesenjangan-

kesenjangan tersebut secara akademik dapat disebut sebagai

kesenjangan epistemologis, yakni kesenjangan dalam perihal

pendekatan dan metode dalam membangun substansi pengetahuan

perencanaan.

Kesenjangan epistemologis menunjukkan bahwa pendekatan-

pendekatan perencanaan kota yang digunakan selama ini telah

kadaluwarsa; terdapat jurang lebar antara pengetahuan perencanaan

yang “diperoleh” dan pengetahuan perencanaan yang “dihasilkan” dan

“digunakan”. Epistemologi yang telah kadaluwarso, pada akhirnya

harus ditebus dengan harga yang sangat mahal yakni hilangnya obyek

ontologis perencanaan kota yang berupa “kota” itu sendiri. Dengan

perkataan lain, perencanaan kota tidak lagi mengambil obyek kota

karena kota telah diabaikan dan ditinggalkan oleh perencanaan kota.

Beauregard (1989) menyatakan bahwa modern planning (khususnya

pada model procedural planning dan rational comprehensive

planning) telah sibuk dengan obyek barunya yang berupa planning

process, policy making, dan decision making, yang secara prosedural

menurutnya benar tetapi secara substantif ternyata kosong dan

senjang. Premis-premis preskriptif perencanaan kota menjadi asing

dengan kenyataan empiris yang ditujunya. Perencanaan hanya sekedar

teks tanpa konteks. Kekosongan preskriptif ini yang telah membawa kota-

kota bergerak tanpa pemandu pada akhirnya telah diisi oleh “satu kekuatan

tunggal raksasa” yang oleh Lefebvre (1974) disebutnya sebagai single force,

single centre, dan monocentric strategy, yang kesemuanya itu adalah alias dari

market strategy, atau lebih tepatnya adalah alias dari world market strategy. “Sebagai suatu single strategy ...... market berusaha membangun single

market dan single konsumsi yang membawa dampak destruktif berupa

keserakahan ruang melalui apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai

Page 10: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

7

“consumption of space”. Melalui produksi ruang semacam itu,

manusia-manusia kota hidup dan berkehidupan dalam kendali modal.

Manusia-manusia kota “digerakkan” dan bukannya “bergerak” dalam

ruang-ruang perkotaan. Dampak meluas dari “single strategy” ini

adalah pada munculnya kondisi yang dia sebut sebagai “spatial

chaos”, yakni situasi ketika market hanya perduli terhadap ruang-

ruang serta lahan-lahan yang dikontrolnya saja, sehingga ruang-ruang

perkotaan lainnya menjadi “ruang-ruang sisa” atau menjadi “anak tiri

kota” yang dipinggirkan dan tidak diperhatikan atau dalam konsepsi

Trancik (1986) disebutnya sebagai lost space. Situasi seperti ini oleh

Habermas (1989) disebut sebagai “exclusion”, ruang yang dibuang

yang pada akhirnya justru berbalik arah memberikan “karma”nya

berupa banjir, kemacetan lalu lintas, konflik ruang, dan kecemburuan

sosial dan spasial yang memicu munculnya fenomena kriminal

perkotaan. Spatial chaos yang terjadi pada terutama kota-kota besar

merupakan produk dari apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai

“kontradiksi ruang” atau “contradictory space” Menurutnya, kota telah

membangun kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri, dan

fenomena ini telah membawa manusia-manusia kota tanpa disadari

telah digerakkan oleh kontradiksi-kontradiksi ini. Manusia-manusia

kota menjadi bingung dan terasing di kotanya sendiri. Kota-kota telah

dibangun menjadi kota-kota yang “tidak appropriate”. Kota-kota

semacam ini menurutnya tidak akan mampu memberikan kontribusi

pada perubahan manusia-manusia penghuni kota menjadi manusia-

manusia yang beradab mulia, seperti disampaikannya:”Change life,

change society…. mean nothing without the production of an

appropriate space” (Sudaryono 2008:4-5).

Kesenjangan epistemologis yang berujung pada terjadinya

kekosongan preskriptif perencanaan kota pada akhirnya memerlukan

suatu pendekatan baru dalam membangun pengetahuan di dalam

perencanaan kota, sehingga pengetahuan yang “diperoleh”, “dihasilkan”,

dan “digunakan” dalam perencanaan kota merupakan suatu pengetahuan

yang teranyam, menerus, dan cocok dengan problema empiris yang

dihadapi. Bukan pengetahuan yang deduktif, linier, deterministik, dan

hegemonik yang asing dan melahirkan kesenjangan antara premis-

premis preskriptif dengan realitas empirik yang ditatapnya. Pendekatan

epistemologi baru yang diusulkan dalam kesempatan ini adalah

pendekatan fenomenologi.

Page 11: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

8

Hadirin yang saya muliakan,

Fenomenologi: Tinjauan Filsafat

Fenomenologi, sebagai suatu aliran filsafat dikenalkan oleh

Husserl melalui bukunya yang sangat terkenal: The Crisis of

European Sciences and Transcendental Phenomenology: An

Introduction to Phenomenological Philosophy (1954). Menurut David

Carr, penterjemah buku ini dari edisi berbahasa Jerman ke edisi

berbahasa Inggris, buku ini ditulis pada tahun 1934 sampai tahun 1937

menjelang kepergiannya menghadap Sang Khalik pada tanggal 27

April 1938. Husserl (1970) mengawali bukunya dengan sangat lugas

dan terus terang dengan menyerang positivisme yang dikatakannya

telah gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia: The

positivistic reduction of the idea of science to mere factual science;

the crisis of science as the loss of its meaning for life (Husserl,

1970:5). Kegagalan positivisme menurutnya terlalu menjunjung tinggi

obyektifitas-positivistik dan generalisasi sehingga ilmu-ilmu menjadi

steril dan telah mengabaikan sejarah, spiritualitas, nilai-nilai ideal, dan

norma-norma kehidupan manusia. Obyektifitas versi positivisme

sesungguhnya adalah hasil dari suatu dominasi atau hegemoni suatu

epistemologi keilmuan. Cara bekerja ilmu-ilmu positivistik yang

mengagungkan metode deduksi pada akhirnya membawa ilmu-ilmu

pada kondisi stagnan. Ilmu-ilmu hanya berputar-putar dan secara

ulang-alik hanya menguji teori-teori yang sudah tersedia (grand

theories) dan membuktikan hipotesis saja, sehingga tidak melahirkan

ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu bergerak tidak kemana-mana alias tetap di

tempat.

Jalan keluar dari krisis ilmu-ilmu positivistik yang ditawarkan oleh

Husserl adalah “fenomenologi transendental” yang mengajarkan bahwa

sumber kebenaran ilmu bukanlah pada logika deduktif, melainkan pada

pengamatan langsung pada dunia nyata yang disebutnya sebagai “life-world”

atau “the world of common experience” (Husserl, 1970), atau “lived

experience” (Husserl, 1964) atau Schutz (1970) menyebutnya sebagai world

of daily life. Fenomenologi lebih mengedepankan pengamatan dan

pengalaman daripada rasio. Fenomenologi menurut Bettis (1969) merupakan

suatu metode filsafat dan bukannya suatu filsafat doktriner; dengan demikian

Page 12: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

9

fenomenologi dapat digunakan secara luas dalam bidang-bidang penelitian

sains, agama, antropologi, ilmu alam, fisika, teknik, kedokteran, seni,

psikologi, etika, bahasa, budaya, komunitas, arsitektur, perkotaan, dan

permukiman. Menurut Ponty (1962) yang juga penerus dari Husserl,

fenomenologi adalah suatu filsafat yang mempelajari “esensi” dibalik

“eksistensi”, atau menurut Prichard (1960) fenomenologi mempelajari

“realitas” dibalik “kenampakan”, dan menurut Husserl (1964) fenomenologi

mempelajari “noema” (makna kesadaran intensional) dibalik phenomena

(nampak atau appearance).

Intisari dari ajaran para tokoh fenomenologi mulai dari Husserl

(1964), Ponti (1962), Schutz (1970), sampai Heidegger (2008)

terdapat pada beberapa kata kunci atau terminologi dan konsep

sebagai berikut: (1) transcendental phenomenology, (2) life-world,

life experience, the common experience, (3) the science of them, (4)

self-knowledge, (5) a priori of life-world, (6) life of depth, (7) epoche,

bracketing, reduction. (8) intentionality of consciousness, (9) essence,

(10) clusters of meanings, (11) textual description and structural

description, (12) intersubjectivity,

Fenomenologi sebagai metode filsafat mengajak para ilmuwan

untuk menjelajah mencapai puncak kesadaran transendental keilmuan

yang dibangunnya untuk menggapai apa yang disebut Husserl (1970)

sebagai the ultimate source of all the formation of knowledge atau

original formation of meaning. Ilmu seperti itu adalah ilmu yang

mendarat bukan ilmu yang melayang-layang di udara obyektifitas.

Untuk menggapai kesadaran transendental, ilmuwan harus mengalami

dan menyelami obyek keilmuannya secara langsung (face to face),

memasuki dan menerobos life-world (the common experience) melalui

tahap-tahap yang disebutnya sebagai reduksi fenomenologis. Bagi

Husserl, setiap kehadiran benda-benda, tindakan manusia, ruang kota,

permukiman, atau susunan perabot di dalam rumah adalah hadir

dengan kesadaran intensional atau hadir dengan kesengajaan yang

bertujuan. Baginya, tidak ada kehadiran tanpa kesadaran

(consciousness). Kesadaran yang tidak sadar dalam setiap kehadiran

sesungguhnya adalah suatu kesadaran. All consciousness is

consciousness of something (Ponti, 1962:xvii). There is no such thing as

thinking without thinking about something. There is no such thing as pure

Page 13: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

10

willing without willing to do something. There is no such thing as pure

feeling without feeling about something (Bettis, 1969:11).

Tugas ilmuwan adalah menyingkap kesadaran yang tidak

sadar menjadi kesadaran yang sadar. Dalam konsepsi kesadaran

Husserl, ilmuwan hanyalah sekedar penyampai the science of them,

bukan sebagai pemilik. Fenomenologi mengajak para ilmuwan

bersikap rendah hati terhadap obyek keilmuan yang ditelitinya, yakni

hanya “menggali”, “mengetahui” dan “memahami” tetapi “tidak

memiliki”.

Setiap obyek keilmuan (life-world) memiliki keunikannya sendiri

(self-knowledge). Tugas ilmuwan adalah sekedar membidani kelahirannya,

memberinya nama dan mengenalkannya kepada masyarakat akademis dan

publik. Peran ilmuwan telah bergeser dari pemandu kebenaran (yang bersifat

deduktif-positivistik) menjadi penggali kebenaran (melalui kerja induktif-

eksploratif). Untuk mencapai makna dan kebenaran transendental (the

essence atau the ultimate knowledge atau epoche) maka ilmuwan harus

melakukan kerja reduksi eidetik (Husserl, 1970) untuk menyingkap

kebenaran yang secara bertahap bergerak ke atas mulai dari: (1) reduksi

fenomenologis (menyibak yang nampak, atau yang dialami dan tersaji secara

textual description), kemudian bergerak ke atas untuk menyibak structural

description untuk menuju pada (2) kesadaran intensional (intentionality of

consciousness) yang menjadi landasan (noema) bagi yang nampak

(phenomena), untuk kemudian menuju pada (3) makna tertinggi, hakekat,

esensi, yang ideal, the ultimate, yang transendental, atau epoche dari

keilmuan yang dibangunnya.

Walaupun kritik terhadap Fenomenologi pernah dilancarkan oleh

Derrida (1968) yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Husserl

sebagai ideal meaning atau the ultimate meaning sebenarnya hanyalah

transendental signified (penanda transendental), namun fenomenologi telah

dipakai secara luas dalam bidang-bidang ilmu seperti: natural sciences

(Hardy and Embree, 1992), communication (Allison and Garver, 1973),

religion (Bettis, 1969), dan psikologi (Brouwer, 1988).

Di Universitas Gadjah Mada, fenomenologi mulai berkembang

dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian sejak pertengahan 90-an

pada program pascasarjana. Khusus pada penelitian-penelitian dalam

rangka program doktor di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

Page 14: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

11

FT-UGM, fenomenologi telah melahirkan teori-teori baru di bidang

perkotaan, permukiman, dan arsitektur. Joesron Alie Syahbana

(Februari, 2003) dalam penelitian yang sangat mendalam di

perkampungan kumuh Kota Semarang telah berhasil membangun

“Teori Struktur Atas (fenomena) dan Struktur Bawah (noemena)”

dalam konteks pengelolaan sanitasi lingkungan oleh masyarakat.

Rimadewi Supriharjo (November, 2004) dalam suatu penelitian yang

sangat intensif di Kawasan Ampel Surabaya, telah berhasil

menemukan “Teori Pelapisan Ruang” berkaitan dengan nilai religi,

historis, sosiologis, dan ekonomi. Dermawati D.Santoso (April, 2007)

dalam penelitiannya yang sangat mendalam serta melibatkan

hubungan personal emosional dengan para warga di Kampung

Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta telah berhasil membangun

“Teori Toleransi Keruangan” dalam keterbatasan ruang di

permukiman padat kota. Edi Purwanto (Agustus, 2007) dalam

penelitiannya yang sangat bersemangat di Kawasan Malioboro

Yogyakarta telah berhasil membangun “Teori Rukun Kota”, Ruang

Perkotaan Berbasis Budaya Guyub. Suastiwi Triatmodjo (April, 2010)

dalam penelitiannya yang sangat mendalam dan penuh kontemplasi di

Kawasan Kauman Yogyakarta berhasil menemukan “Teori

Desakralisasi dan Pemufakatan Ruang”. Yohanes Djarot Purbadi

(April, 2010) dalam penelitiannya yang telah membawanya

mendapatkan gelar raja di Desa Kaenbaun Pulau Timor telah berhasil

membangun “Teori Tata Suku” yang menjadi basis Tata Spasial

Permukiman Suku Dawan. Judi Obet Waani (Agustus, 2010) melalui

penelitiannya yang mendalam dan tekun di Kawasan Titiwungen

Manado telah berhasil membangun “Teori Basudara” sebagai basis

Permukiman pasca reklamasi pantai. Djoko Wijono (Februari, 2011)

dalam penelitiannya yang sangat intensif disertai kecermatan yang

sangat tinggi di kota-kota kecil di Wilayah Yogyakarta telah berhasil

membangun “Teori Saged sebagai Spirit Arsitektur Kota Kecil”.

Page 15: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

12

Hadirin yang saya hormati,

Fenomenologi sebagai Epistemologi Baru dalam Perencanaan

Kota dan Permukiman

Secara eksplisit penggunaan pendekatan fenomenologi dalam

perencanaan kota dan permukiman memang tidak pernah ditemukan

di dalam teks-teks teori maupun praktek perencanaan. Namun

beberapa model perencanaan yang berkembang sejak dekade 90-an

secara substansial telah menunjukkan adanya ayunan berpikir secara

fenomenologis yang menekankan pada pendekatan intersubjective dan

berfokus pada planning from within. Teori dan konsep perencanaan

berikut adalah contoh yang dapat dikedepankan: (1) “Gender in

planning” (Friedmann 1992), (2) “Communicative turn in planning

theory” (Healey, 1992), (3) “Progressive planning” (Sanyal, 1996),

(4) “Empowerment” (Friedmann, 1992-a), dan (5) “Collaborative

Planning” (Harris, 2002). Teori dan konsep tersebut menunjukkan

adanya dimensi keterhubungan antara “obyek perencanaan” (life-

world) dengan “kesadaran konsensus arah perencanaan”

(intentionality of consiousness) seperti yang ditunjukkan oleh cara

berpikir fenomenologi.

Dalam bidang perencanaan kota dan permukiman, fenomenologi

mengajarkan seorang perencana kota dan permukiman menjadi

peneliti sekaligus perencana profesional atau perencana profesional

yang memiliki kemampuan meneliti. Perencana kota diajak untuk

melakukan perjumpaan dengan obyek empiris yang diteliti dan

direncanakan (life-world) secara langsung dan menyelam. Dalam

paradigma fenomenologi, obyek perencanaan difahami sebagai realitas

plural (jamak), merupakan suatu anyaman dari agregat-agregat yang

tidak dapat dipisah-pisahkan satu terhadap lainnya, sehingga perencana

diajak untuk bekerja secara holistik, iteratif, kontekstual, sinkronik

sekaligus diakronik. Model perencanaan seperti ini pernah diusulkan

pada tahun 2001 dengan sebutan inductive planning (Sudaryono, 2001).

Fenomenologi sebagai epistemologi baru dalam perencanaan

kota dan permukiman mengajak para perencana untuk membangun

pemahaman dan sikap terhadap konsep-konsep berikut ini:

Page 16: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

13

1) Kota sebagai hakekat ”ada”, ”mengada” dan ”berada”

Fenomenologi mengajarkan bahwa setiap kota yang berjatidiri

memiliki tiga lapis struktur hakekat yakni: (i) ”hakekat ada”, (ii)

”hakekat mengada”, dan (iii) ”hakekat berada”.”Hakekat ada”,

merupakan kesadaran tertinggi atau kesadaran transendental atau

kesadaran ideal awal mula suatu kota ”ada”. Kota Yogyakarta misalnya,

bermula dari ”ada” di dalam kesadaran transendental yang berupa

filosofi makro-kosmos yakni poros gunung-laut (Brotodiningrat, 1978).

Gunung laki-laki dari ketinggian yang terukur melelehkan limpahannya

deras menerjang ke bawah menuju laut perempuan yang bergolak untuk

melahirkan sebuah kota yang berjuluk Ngayogyokarto Hadiningrat.

Perjumpaan eksotik tersebut tersaksi dalam suatu simbol indah terukir

pada tubuh tetenger kutho yang berupa Tugu Yogya menggantikan tugu

golong gilik yang roboh pada Juni 1867 oleh gempa dahsyat yang

melanda Yogyakarta (Ricklefs, 2002). Walaupun beberapa kalangan

menyatakan bahwa Tugu yang dibangun kembali pada 1889 (22 tahun

pasaca gempa) memiliki makna berbeda dari semula (golong gilig),

namun makna makro-kosmosnya masih tetap sama dan bahkan

dipertegas atau dikukuhkan dalam ornamen yang melekat di tubuh Tugu

Yogya versi 1889 yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan.

Filosofi makro-kosmos ini secara konsisten telah menjadi ibu

pemandu ”kesadaran mengada” atau ”hakekat mengada” dari kota

Yogyakarta. Sejak Pangeran Mangkubumi sampai saat ini, ”kesadaran

mengada” telah menjadi komitmen dari ”para pengada” Kota

Yogyakarta. ”Kesadaran mengada” sebagai proses pembangunan dan

pengembangan kota telah menjadi ”kesadaran proses” bagi pemangku

keberadaan Kota Yogyakarta. Kesadaran ini secara teguh telah

mengantar ”keberadaan” Kota Yogyakarta menyusuri lorong waktu.

”Hakekat keberadaan” Kota Yogyakarta secara spasial terlahir

dan terpandu oleh pola simbolik gunung laki-laki (Tugu) dan laut

perempuan (Panggung Krapyak-ibu). Pola simbolik kota ini telah

menjadi ”panduan” sekaligus ”pemandu” perkembangan Kota

Yogyakarta sampai saat ini, sehingga ”keberadaan” kota dari 1756

sampai 2012 menunjukkan suatu anyaman kemenerusan sekaligus

keterikatan antara ”kesadaran ada transendental”, ”kesadaran mengada

Page 17: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

14

intensional” dan ”kesadaran berada eksistensial”. Hakekat keberadaan

Yogya terpelihara karena inti keberadaan kota terpelihara secara sadar.

Inti keberadaan Yogya adalah bentang ruang memanjang dari utara ke

selatan dan diapit oleh dua sungai yakni Code dan Winongo. Ketika

keberadaan bentang kawasan ini dilukai dengan bangunan-bangunan

tinggi menjulang, maka terlukalah Kota Yogya. Poros pandang

sinewaka dari Siti Hinggil ke Tugu memang mengajarkan kesadaran

transendental bahwa Kota Yogya adalah kota horisontal bukan kota

vertikal.

2) Kota berkembang ”dari dalam”

Fenomenologi mengajarkan bahwa kota yang berjatidiri adalah

kota yang berkembang ”dari dalam” (from within), bukan berkembang

karena transplantasi yang dipaksakan. Kota yang berkembang ”dari

dalam” adalah kota yang berkarakter dan berakar kokoh, karena

perkembangannya ”dibutuhkan dan diinginkan oleh warganya” dan di

dalam prosesnya ”mengalirkan kesadaran sejarah kotanya”. Perencanaan

kota semacam ini mirip dengan gagasan perencanaan yang diajukan oleh

Friedmann (1992-b) dan apa yang telah dilakukan oleh Wali Kota Solo

yakni perencanaan yang berawal dan berorientasi pada kesejahteraan

masyarakat, responsif dan mendukung terbentuknya konsensus-

konsensus baru atas dasar hubungan antar individu dan kelompok.

Kota yang berkembang “dari dalam” adalah kota yang setiap

tahap perkembangannya membuat warganya menjadi semakin bangga

kepada kotanya, seperti apa yang terjadi pada Kota Curitiba di Brazil.

Apa yang akan hadir, mengapa perlu hadir, dan bagaimana kehadiran

suatu komponen baru perkembangan kota merupakan suatu

kemenyatuan kesadaran intensional dari warga kota. Setiap komponen

kota yang “hadir atau berada” di Kota Curitiba adalah komponen kota

yang “mengada” dalam kesadaran masyarakat, artinya, proses

“mengada”nya dipahami dalam pikiran masyarakat karena hadirnya ide

tentang “ada” dari komponen baru merupakan hasil konsensus antara

masyarakat, pemerintah, dan pelaku pengembangan kota. Kota yang

berkembang “dari dalam” adalah kota yang tidak membuat warganya

menjadi “asing” dan “terasing” di kotanya sendiri. Fenomenologi

Page 18: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

15

mengajarkan kepada perencana kota bahwa kota yang berkembang “dari

dalam” adalah kota yang bergerak dari “ada”, “mengada” menuju

“berada” dan bukannya terbalik.

3) Kota ”yang menerus” bukan ”kota yang tertunda”

Fenomenologi mengajarkan, bahwa perencanaan kota adalah suatu

gerakan kesadaran intensional yang membawa kota bergerak ke depan

dengan kesadaran yang sadar atas dimensi ruang dan waktu ”kemarin”,

”sekarang”, dan ”besuk”. Fenomenologi memberikan payung bersikap

bahwa perencanaan kota tidak pernah mempersilahkan impuls-impuls

spekulatif dari pragmatisme-kapitalisme yang sempit dan berjangka

pendek memandu perkembangan kota seperti yang terjadi pada kasus-

kasus ruko yang mangkrak, perumahan-perumahan baru yang kosong

dan meliar, gedung-gedung perkantoran yang sunyi dari kegiatan,

taman-taman kota yang berpagar tak terpelihara, dan kawasan-kawasan

kota lama yang terbiarkan mati.

Fenomenologi mengajak para perencana kota menciptakan ”kota

yang menerus”, karena ”kota yang menerus” adalah kota yang sehat

secara jasmani dan rohani. Kota yang menerus adalah kota yang selalu

relevan dan memiliki konteks keabadian bagi segala generasi. Kawasan

inti Kota Yogya yang terapit secara membujur oleh Kali Code dan Kali

Winongo merupakan kawasan kota yang menerus yang selalu memiliki

vitalitas tinggi untuk selalu lahir kembali berjumpa dengan berbagai

rumpun generasi. Para pamong Kota Yogya, telah mempraktekkan

pendekatan fenomenologi dalam penataan kawasan ini sejak 1756

sampai saat ini, walaupun kawasan ini sejak tahun 1980-an selalu

terancam oleh gerakan-gerakan transplantasi kota berupa proyek-proyek

bangunan tinggi yang berarsitektur sebrang alias arsitektur yang tidak

kontekstual.

Kebalikan dari ”kota yang menerus” adalah ”kota yang tertunda”,

yakni kota yang sakit karena secara jasmani salah gizi dan tidak pernah

mendapatkan siraman rohani. ”Kota yang tertunda” adalah kota hasil

transplantasi, bukan kota yang memiliki kekuatan ”ruhaniah” yang

mampu melakukan reproduksi, regenerasi, dan selalu mengupayakan

kelahirannya kembali. Fenomena kota yang tertunda bahkan cenderung

Page 19: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

16

menuju kota yang mati, pernah ditulis oleh Jane Jacobs (1961) dalam

karyanya yang sangat terkenal ”The Death and Life of Great American

Cities” yang telah memberikan inspirasi bagi lahirnya teori ”Social

Capital” oleh Robert Putnam (1998). Dalam artikelnya, Jacobs

menggambarkan dua kasus kota yang berlawanan kondisi awal dan

perkembangan terakhirnya. Kota yang pertama adalah the North End di

Boston, yang di awal pengamatannya dua puluh tahun yang lalu

merupakan kawasan kumuh atau slum area; tetapi karena kawasan kota

ini memiliki ”ruh” (kesadaran transendental warganya) yang mewujud

dalam institusi sosial yang kokoh, maka perlahan-lahan kawasan ini

bergerak tumbuh menjadi kota yang bagus, teratur dan rapi. Sebaliknya,

kawasan kota yang kedua, yakni the Morningside Heights Area di Kota

New York, yang semula merupakan kawasan kota yang direncanakan

dengan sangat baik memiliki taman-taman kota yang indah, dikelilingi

oleh kampus Columbia University, Union Theological Seminary, the

Julliard School of Music, dan fasilitas-fasilitas sosial yang lengkap

perlahan-lahan, selama duapuluh tahun pengamatannya, menjadi

memburuk dan kemudian mati; kawasan kota ini mati karena memang

dari awalnya tidak ditiupkan ”ruh” di dalamnya. Fenomenologi

membawa kota menuju ”kota yang menerus” bukan ”kota yang

tertunda”.

4) Perencanaan sebagai suatu kerja “intersubyektif”

Dalam paradigma fenomenologi, antara “perencana” dan “obyek

perencanaan” dituntut terlibat di dalam suatu kemenyatuan yang intensif

(berlawan dengan paradigma spatial determinism yang justru

mengambil jarak terhadap obyek perencanaan). Perencana tidak hanya

sekedar dituntut mampu menggambarkan obyek perencanaannya, tetapi

juga dituntut mampu menjelaskan hakekat transendentalnya dan mampu

memperkuatnya melalui arahan-arahan preskriptif yang diusulkan.

Fenomenologi mengajarkan kepada para perencana kota untuk

menemukan ”ruh” kota dalam ujud kesadaran transendental kota dan

kemudian meniupkannya dan menguatkannya dalam proses ”mengada”

suatu kota. Dalam model kerja semacam itu, maka perencana kota dan

permukiman mengalir dalam lorong ruang dan waktu obyek yang

Page 20: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

17

direncanakannya untuk “mengalami” dan “memahami” makna perilaku

meruang dari warga dan penghuni ruang kota dalam alur siklus perilaku

yang terulang.

Dalam model kerja “intersubyektif”, perencana kota membangun

pengetahuannya mengenai obyek yang direncanakannya dengan cara

“mengalami” obyek tersebut dan bukannya bekerja dengan

mengandalkan persepsi yang dibangun secara sepihak dengan

menggunakan teori-teori dan standard-standard perencanaan yang

tersedia. Dengan demikian, rumusan-rumusan preskriptif yang diusulkan

oleh perencana akan memiliki hunjaman akar nilai pada kedalaman

empiris yang kokoh. Perencanaan yang dihasilkan dengan model kerja

seperti ini akan menjadi perencanaan “yang hadir” dan “menghadirkan”,

bukan perencanaan yang “asing” dan “mengasingkan” warga pelaku dan

pemilik kota.

5)Perencanaan sebagai suatu kerja “preskriptif-reduktif-transendental”

Sesuai dengan kodrat atau fitrahnya, ilmu perencanaan kota dan

permukiman dilahirkan dengan memiliki sifat preskriptif (rekayasa ke

depan) sebagai sifat kodratinya. Cara kerja preskriptif yang dilakukan

oleh para perencana sangat tergantung kepada epistemologi (sudut

pandang dan cara membangun pengetahuan) yang dianutnya. Walaupun

secara substansial dan fokus perencanaan sudah banyak mengalami

pergeseran konsep sejak revolusi industri sampai saat ini, namun secara

epistemologis baru terdapat tiga perubahan besar yang terjadi, baik yang

terdapat di dalam dunia teori maupun praktek perencanaan.

Epistemologi yang pertama adalah epistemologi deduktif-

positivistik yang berjaya sejak revolusi industri sampai pada sekitar 60-

an dan atau 70-an yang telah melahirkan model-model perencanaan blue

print planning. Epistemologi ini dianggap kadaluwarsa untuk kemudian

digantikan oleh epistemologi kedua yakni epistemologi deduktif-

rasionalistik yaitu masuknya science ke dalam ilmu perencanaan yang

melahirkan model-model perencanaan scientific-rational comprehensive

planning yang kemudian pada dekade 90-an dianggap tidak mampu lagi

memberikan landasan pengetahuan sesungguhnya tentang realitas

empiris permasalahan perkotaan, sehingga terjadilah kesenjangan antara

rencana dan kenyataan. Epistemologi yang ketiga adalah epistemologi

Page 21: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

18

communicative rationality yang dikenalkan oleh Habermas (1984) dan telah

mempengaruhi model-model perencanaan yang menekankan pada

pengambilan keputusan dan tindakan secara kolektif (collective deciding and

acting), democratic planning, dan pluralism participation. Di Indonesia

epistemologi ini digunakan dalam model perencanaan Musbang (Musyawarah

Pembangunan), perencanaan partisipatif, FGD (Focus Group Discussion).

Kritik, kesangsian, keberatan dan sanggahan yang dialamatkan kepada

epistemologi ini terfokus pada adanya dominasi pengambilan keputusan oleh

faktor gender, kekuasaan, kelas sosial, dan budaya. Dalam epistemologi ini

perencana kota “terhalang” oleh kehadiran yang termanipulasi untuk memasuki

jantung informasi sesungguhnya.

Hadirin yang saya muliakan,

Penutup

Untuk keluar dari ketiga belenggu epistemologi di atas, dalam

kesempatan yang sangat terhormat ini diajukan epistemologi ke-empat yakni

epistemologi fenomenologi yang menekankan pada cara kerja reduksi

transendental (transcendental reduction). Melalui cara kerja seperti ini, para

perencana kota diajak melakukan penyelaman untuk “mengalami ruang

perkotaan“, menyingkap helai demi helai tirai ruang perkotaan untuk

menemukan “hakekat terdalam” atau “kesadaran transendental” yang menjadi

“ruh” dari kota dan kelak digunakannya sebagai landasan nilai bagi langkah-

langkah preskriptif perencanaan yang diusulkannya. Melalui cara kerja seperti

ini, para perencana kota diantar menjadi perencana yang berkarakter serta

percaya diri dalam memperkuat dan bahkan membangun karakter atau jatidiri

kota yang direncanakannya. Dengan ungkapan yang lebih eksplisit dapat

ditekankan, bahwa fenomenologi membuka jalan sekaligus mengantar

perencana kota menjadi perencana berkarakter dan perencana yang berkarakter

akan membangun kota yang berkarakter, InsyaAllah.

Hadirin yang saya muliakan,

Di akhir pidato pengukuhan ini, ijinkanlah saya menyampaikan

rasa syukur saya kehadapan Allah SWT atas ridhloNya yang telah

memandu pikiran, jiwa, ruh, dan badan saya untuk dapat berdiri di

mimbar yang sangat terhormat dan bersejarah ini. Terimakasih disertai

Page 22: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

19

rasa hormat yang sangat dalam disampaikan kepada Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia yang telah menetapkan saya sebagai Guru

Besar pada tanggal 31 Agustus 2010. Terimakasih dan rasa hormat juga

disampaikan kepada Bapak Rektor, Wakil Rektor Senior, Wakil Rektor,

Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar, Pimpinan dan Anggota

Senat Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik, Pimpinan

dan Anggota Senat Fakultas Teknik, Ketua dan Sekretaris Jurusan

Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Ketua dan Anggota Laboratorium

Perencanaan Kota, yang telah memproses dan memberikan persetujuan

kepada saya untuk dapat memangku jabatan Guru Besar dalam Bidang

Ilmu Perencanaan Kota di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Terimakasih diiringi tunduk kekaguman yang tulus dan rasa

hutang budi yang amat besar disampaikan kepada semua Guru

Akademik saya yang telah mengawali, membentuk dan mengantarkan

kehidupan akademik saya sampai saya mendapatkan kepercayaan pada

pagi hari ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru

Besar. Tunduk kekaguman dan tulus terimakasih juga disampaikan

kepada semua Guru Kehidupan yang telah memberi tahu, mengingatkan,

menunjukkan jalan, memberikan teladan, memandu dan melimpahkan

nilai-nilai kehidupan kepada saya sehingga saya terdorong terus untuk

menghargai dan menghormati kehidupan.

Kepada sahabat-sahabat dan kolega saya di semua Jurusan dan

Lembaga di Fakultas Teknik, di Senat Fakultas Teknik, di Program

Pascasarjana, di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, di Program

Studi Perencanaan Kota dan Wilayah, di Program Studi Magister

Perencanaan Kota dan Daerah, dan di Pusat Studi Perencanaan

Pembangunan Regional disampaikan rasa terimakasih yang sangat

dalam atas dukungan dan pelajaran yang diberikan kepada saya tentang

arti dan makna kekuatan jaringan kebersamaan dan rasa saling

menghormati sebagai modal dalam membangun keilmuan dan

kehidupan akademik.

Perjumpaan saya selama kurang lebih dua tahun dan telah lewat

dengan kolega saya di Senat Fakultas Teknik dan kolega saya di Senat

Akademik UGM, serta satu tahun berjalan dengan kolega saya di

Majelis Guru Besar, telah memberikan pelajaran kepada saya tentang

Page 23: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

20

arti penting saling menguatkan pikiran bagi penguatan dan

pengembangan kehidupan akademik dan keilmuan di Universitas

Gadjah Mada. Terimakasih atas kepercayaannya kepada saya.

Kepada seluruh keluarga besar Suhartono Sastrosasmito dan

keluarga besar Wiro Atmodjo disampaikan rasa haru dan terimakasih

yang sangat dalam atas kerukunan, dukungan, penguatan serta ketulusan

doa yang diberikan kepada saya. Sungguh, kekuatan kerukunan kalian

membuat semangat saya selalu tumbuh untuk mencintai kehidupan.

Kepada almarhum dan almarhumah orang tua saya Bapak

Suhartono Sastrosasmito dan Ibu Subarti Suhartono ”sungkem donga

dumateng Ibu lan Bapak, maturnuwun awit sedoyo tulodo, pitedah lan

donga kekiyatan ingkang sampun Ibu lan Bapak paringaken dumateng

kawulo.......!”. Kepada almarhum dan almarhumah mertua saya Bapak

Wiro Atmodjo dan Ibu Suharminah:” maturnuwun sanget Ibu lan Bapak

sampun nggulowentah bayi ingkang dalem tilar sinau wonten

monconegoro lan sedoyo donga ingkang tansah lumintu dumateng

kawulo”.

Kepada isteriku Dr. Ir. Sri Sulandari, SU dan anak-anakku

Ninggar Seganten dan Lintang Sagoro kamu bertiga adalah laso baja

yang selalu menarikku dalam menapaki takik-takik terjal tebing

kehidupan. Kamu bertiga adalah pilar yang selalu membuat diriku tegak

dalam menyusuri lorong ruang dan waktu.

Kepada para hadirin yang sangat saya muliakan, terimakasih atas

limpahan doa yang tulus, kehadiran, serta kesabarannya dalam

mengikuti pidato pengukuhan saya pagi ini. Semoga kita semua selalu

mendapatkan perlindungan dan cahaya petunjuk dan penunjuk dari

Allah SWT, amin...amin...amin ya robbal 'alamin. Akhir kata,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Page 24: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

21

DAFTAR RUJUKAN

Allison, D.B. and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and

Other Essays on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern

University Press, Evanston.

Barocas, C. (1972). Monuments of Civilization: Egypt, Grosset &

Dunlap, New York.

Beauregard, R.A (1984). “Between Modernity and Postmodernity: the

Ambiguous Position of U.S.Planning”, quoted by Beauregard,

R.A (1989) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996). Readings

in Planning Theory, Blackwell, Cambridge, et.seq.

Bettis, J.D (1969). Phenomenology of Religion, Harper & Row

Publisher Incorporated, New York.

Brotodiningrat, KPH (1978). Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton

Yogyakarta.

Brower,M.A.W.(1988). Manusia dalam Fenomenologi, PT.Gramedia,

Jakarta.

Cooke,P.(1988).“Modernity, Posmodernity and the City”, quoted by

Beauregard (1989) in Fainstain, S.S.&Campbell(1996), et.seq.

Davidoff, P (1965). “Advocacy and Pluralism in Planning”, in

Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq.

Derrida, J.(1968). “Differance”, English tranlation in Allison, D.B.

and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and Other Essays

on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern University Press,

Evanston.

Fainstein, Susan S.(1988).”Urban Transformation and Economic

Development Policy”, quoted by Beauregard, R.A (1989) in

Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996) , et.seq.

Faludi, A (1973). Planning Theory, Pergamon Press, Oxford.

Friedmann, J (1992-a). “Feminist and Planning Theories: The

Epistemological Connection”, in Fainstein, S.S. & Campbell, S

(1996), et.seq.

Friedmann, J (1992-b). Empowerment : The Politics of Alternative

Development, Blackwell Publishers, Cambridge.

Gurel, S (1992). "Planning : Why and What?", Lecture delivered at the

Division of Human Settlements Development, AIT., Bangkok,

Thailand, February 29.

Page 25: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

22

Habermas, J (1989). “Further Reflection on the Public Sphere”, in

Calhound Craig (1993): Habermas and the Public Sphere, The

MIT Press, Cambridge.

Habermas, J (1984). “The Theory of Communicative Action Vol I:

Reason and the Rationalisation of Society” quoted by Healy, Patsy

(1992) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq..

Hall, P.S (2004). Cities of Tomorrow: An Intelectual History of Urban

Planning and Design in the Twentieth Century, Blackwell,

Oxford.

Hardy, L and Embree, L (1992). Phenomenology of Natural Science,

Kluwer Academic Publisher, Dordrecht.

Harris, N (2002). “Collaborative Planning: From Theoretical

Foundations to Practice Forms”, in Jones, Mark Tewdwer and

Allmendinger, Philip (2002). Planning Futures: New Directions

for Planning Theory, Routledge, London.

Healy, P., MD. G., and Thomas, J.M.(1982). Planning Theory :

Prospect For the 1980es, Pergamon Press, Oxford.

Heidegger, M (2008). Towards the Definition of philosophy: The Idea

of Philosophy and the Problem of World View, Phenomenology

and Transcendental Philosophy of Value, translated from

Germany (1919) by Sadler, T (2008), Continuum, London.

Husserl, Edmund (1964). The Phenomenology of Internal Time

Consciousness, translated from Germany Edition (1905) by

Churchill, James S (1964), Indiana University Press.

Husserl, Edmund (1965). Phenomenology and the Crisis of

Philosophy, translated from Germany Edition (1905) by Laurer,

Quentin (1965), Harper Torchbooks, New York.

Husserl, Edmund (1970). The Crisis of European Sciences and

Transcendental Phenomenology: An Introduction to

Phenomenological Philosophy, translated from Germany Ed.

(1954) by Carr,D.(1970), Northwestern Univ Press, Evanston.

Jacobs, Jane (1961). “The Death and Life of Great American Cities”,

in Fainstain,S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq.

Le Corbusier (1929). The City of Tomorrow and Its Planning,

translated from the 8th French Edition of Urbanisme by

Frederick Etchells, third edition (1971), The Architectural Press,

London.

Page 26: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

23

Lefebvre, H.(1974). The Production of Space, translated by Nicholson-

Smith Donald (1993), Blackwell Publishers, Oxford.

LeGates, R.T. and Stout, F.(2009). “Modernism and Early Urban

Planning”, in Birch, Eugenie L (2009). The Urban and Regional

Planning Reader, Routledge, Oxon.

Mokhtar, Ahmed Amin , in Whittick, Arnold (1974). Encyclopedia of

Urban Planning, Mc.Graw-Hill Book Company, New York.

Ponty, M.M.(1962). Phenomenology of Perception, translated by

Smith, Colin (1962), Routledge & Kegan Paul Ltd, London.

Prichard, H.A. (1960). “Appearances and Reality”, in Chisholm,

Roderick M. (1960). Realism and the Background of

Phenomenology, the Free Press a Corporation, Illinois.

Putnam, Robert D. (1998). "Social Capital: Its Importance to Housing

Development", Housing Policy Debate, Volume 9, Issue 1.

Ratcliffe, John (1974). An Introduction to Town and Country

Planning, Hutchinson & Co (publishers) Ltd, London.

Ricklefs, M.C.(2002). Yogyakarta dibawah Sultan Mangkubumi 1749-

1792 (terjemahan), Matabangsa, Yogyakarta.

Sanyal, Bishwapriya (1996). “Meaning, Not Interest: Motivation for

Progressive Planning”, in Mandelbaum, S.J., Mazza,L., and

Burchell, R.W. (1996). Explorations in Planning Theory, the

Center for Urban Policy Research, New Jersey.

Schutz, Alfred (1970). On Phenomenology and Social Relations, edited

by Wagner Helmut R. the University of Chicago Press, Chicago.

Sudaryono (2001). “Inductive Planning: Paradigma Baru Pendidikan

Perencanaan”, paper seminar, Asosiasi Sekolah Perencanaan

Indonesia (ASPI), Kampus UNDIP, Semarang, 31 Maret 2001.

Sudaryono (2008). Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi

Pemikiran H.Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini,

Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008.

Trancik, Roger (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design,

van Nostrand Reinhold Company, New York.

Van Roosmalen, Pauline, K.M.(2005). ”Expanding Grounds: The Roots

of Spatial Planning in Indonesia”, dalam Colombijn, F; Barwegen,

M; Basundoro, P; dan Khusyairi, J.A. (2005): Kota Lama Kota

Baru, Ombak, Yogyakarta.

Page 27: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

24

BIODATA

1. Nama: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D.

2. Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 31-1-1956

3. Jabatan: Guru Besar, 1 September 2010

3. Alamat kantor:

1) Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan

(JUTAP), Fakultas Teknik UGM.

2) Program Pascasarjana, FT-UGM

4.Email:[email protected]

5. Keluarga: Dr. Ir. Sri Sulandari, S.U. (isteri)

Ninggar Seganten

Lintang Sagoro

6. Alamat rumah: Jalan Enau 31, Perumahan Jambusari Indah,

Wedomartani, Sleman, Yogyakarta 55283.

7. Pendidikan:

1961 Taman Kanak-kanak Kuncung, Baciro, Yogyakarta

1968 SDN Demangan I, Yogyakarta

1971 SMPN 4 Yogyakarta

1974 SM Pembangunan Negeri I IKIP, Yogyakarta

1982 Jurusan Teknik Arsitektur FT-UGM

1985 Institute For Housing Stusies/BIE, Rotterdam (diploma)

1988 Asian Institute of Technology, Thailand (S2)

1993 Asian Institute of Technologi, Thailand (S3)

8. Pekerjaan:

1990-Sekarang: Dosen Jurusan T. Arsitektur dan Perencanaan UGM

2011-Sekarang: Ketua Program Pascasarjana FT-UGM

2010-2011 : Wakil Ketua Program Pascasarjana FT-UGM

2007-2010 : Anggota Senat Akademik UGM

2010-2010 : Sekretaris Komite Riset Senat Akademik UGM

2007-2010 : Sekretaris Senat Fakultas Teknik UGM

2004-2007 : Ketua Komisi I Senat Fakultas Teknik UGM

2003-2011 : Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan

Kota JUTAP-FT-UGM

1998-2004 : Ketua Laboratorium Perencanaan Kota FT-UGM

Page 28: Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru Dalam Perencanaan Kota Dan Permukiman

25

9. Publikasi:

2009- Compact Kampungs: Formal and Informal Integration in The

Context of Urban Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Journal

of Habitat Engineering, Volume 1, Number 1.

2009- Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi Pemikiran

Henri Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini, Jurnal

Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008, pp. 1-12.

2008- Production of Space on the Basis of A Spiritual Space: A Case

Study of Parangtritis Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Media

Teknik,No.4.Th.XXX, Edisi Nopember 2008.

2007- Pilar-pilar Tata Ruang Lokal: Studi Kasus Parangtritis, Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.18/No.2, April 2007.

2006-Paradigma Lokalisme Dalam Perencanaan Spasial, Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.17/No.1, April 2006.

2004- Pola dan Struktur Ruang Kawasan Agropolitan dalam Perspektip

Politikal-Ekonomi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,

Vol.15, No.2/Juli 2004.

2002- The Practice of Self-Help Housing Concepts in Indonesia, XXX

IAHS (International Association for Housing Science) World

Congress on Housing, University of Coimbra, Portugal, 9-13

September 2002.

1998- Planning Education and Profession in the Era of Globalization :

Retrospect and Prospect, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,

Vol.9, No.2/Mei 1998.

1998-Pemberdayaan Desa-Kota Bagi Penanggulangan Kemiskinan di

Perdesaan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.9, No.1,

Januari

1997- Konsep Kemitraan di dalam Pembangunan Perumahan, Manusia

dan Lingkungan, Jurnal PPLG-UGM, No.13, Th.V.

1997- Prospek Rumah Sangat Sederhana dalam Era Globalisasi, Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota-ITB, Vol.8, No.2, April 1997.

1993/6-The Future of Self-Help Housing, Ekistics, Volume 59, Number

354/355, July/August.

1990- Housing for Informal Sector Workers : The Case of Yogyakarta,

Indonesia, Habitat International Journal, Vol. 14, Num.4,

1990:75-88.