FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia....
date post
07-Feb-2018Category
Documents
view
226download
0
Embed Size (px)
Transcript of FENOMENOLOGI Pengantar - · PDF filekenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia....
1
BAGIAN I
FENOMENOLOGI
1.1. Pengantar
Fenomenologi secara umum adalah studi tentang
kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran
manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari
kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti
penampilan atau yang tampak, memperlihatkan diri
(phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu,
ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi
adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa
saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang
fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada
kesadaran kita.
Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula
sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The
Phenomenology of Spirit, 1807.1 Sejak itu banyak 1 Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh
Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi
2
pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari
agama. Hanya saja metode studi terhadap agama
terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas
menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan
bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada
karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja
yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsep-
konsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran
agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak
saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan
kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan
agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang
memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum
positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari
realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi
kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar
dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik,
agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan
manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir
kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl
Marx, yang begitu alergi terhadap agama,
memandang agama tidak lebih dari pada warisan
budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia
yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginan-
konkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, 1992. Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2.
3
keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud
dalam kenyataan. 2
Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap
agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik
(ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)?
Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil
mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama.
Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu
diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain
seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi.
Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan
cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif
dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama.
Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik
peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret
sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau
metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Fakta-
fakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran
konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung
orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam
konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah
asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas
keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti.3 Dan
fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural.
2 Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm. 5-6. 3 Loc Cit.
4
Walaupun demikian, perkembangan ilmu
antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru
bahwa para antropolog cenderung tidak lagi
menggunakan metode-metode antropologis untuk
menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis
kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan
kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme
dalam agama dan mitos, serta mengembangkan
metode baru yang tepat untuk studi agama dan
mitos.4
Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain
yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu
menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain
tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan
dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun
fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu
lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu
lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah
kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus
tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama
mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang
mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling
menghormati batas-batas penelitian.5 Pentingnya
4 Mariasusai Dhavamony, hlm. 22. 5 Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan
diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia
5
menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa
yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan
masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau
kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama
menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti
psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius
yang selalu berkembang sebagai bahan yang
mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris.6
Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20,
fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul
dalam berbagai macam bentuknya, misalnya,
fenomenologi transendental (E. Husserl),
fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau
Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan
P. Ricoeur).7 Luasnya medan kajian dan beragamnya
bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi
kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis.
Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas
semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif.
bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 15.
6 Ibid., hlm. 43. 7 Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Diktat Kapita Selektat
Fenomenologi Agama, hlm. 8.
6
Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat
peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana.
1.2. Sekilas Sejarah Fenomenologi
Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam
masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di
hadapan fenomenologi dipandang sebagai data
pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di
mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari
asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data
pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang
dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh
besarnya,8 fenomenologi haruslah kembali kepada
data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri
(fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl
sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada
tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus
memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik 8 Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali
dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1.
7
terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah
kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan
bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam
membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia
hendak menekankan pentingnya relasi-relasi
eksistensial untuk menghadirkan eidos dalam
kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori.9
Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma
baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi
fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes
hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun
secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant,
dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada
tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa metafisika
perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu
yang seutuhnya bersifa