Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer ...

15
1 Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer: Analisis Filosofis Menurut Jean Baudrillard Alfira Astari & Selu Margaretha Kushendrawati Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Nama : Alfira Astari Program Studi : Filsafat Judul : Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer: Analisis Filosofis Menurut Jean Baudrillard Skripsi ini mencoba untuk menganalisa masyarakat konsumen yang ada pada era kontemporer menggunakan teori masyarakat konsumen miliki Jean Baudrillard melalui bukunya yang berjudul The Consumer Society. Penulisan ini ingin menunjukan bahwa di dalam mengkonsumsi suatu objek, manusia tidak lagi mementingkan nilai guna dari suatu objek tersebut, melainkan nilai tanda dari suatu objek. Dapat dikatakan bahwa terdapat pergeseran makna dari kegiatan konsumsi yang terdapat pada masyarakat tersebut. Masyarakat saat ini dapat dikatakan juga sebagai masyarakat konsumen, karena sebagian besar masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran makna dalam mengkonsumsi suatu objek. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam masyarakat konsumen akan selalu terdapat budaya massa yang memiliki kekuatan untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk terus mengkonsumsi suatu objek. Budaya massa ini memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat konsumen sehingga membuat masyarakat ini akan kehilangan otentisitas dirinya. Banyak faktor yang sebenarnya tidak disadari oleh masyarakat konsumen dalam mengkonsumsi suatu objek dan hal tersebut lah yang ingin ditunjukan dalam penulisan karya ini. Kata kunci: Masyarakat Konsumen, budaya massa, otentisitas. Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

Transcript of Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer ...

1

Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer:

Analisis Filosofis Menurut Jean Baudrillard

Alfira Astari & Selu Margaretha Kushendrawati

Program Studi Filsafat

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

 

 

 

ABSTRAK

Nama : Alfira Astari

Program Studi : Filsafat

Judul : Fenomena Masyarakat Konsumen Pada Era Kontemporer: Analisis

Filosofis Menurut Jean Baudrillard

Skripsi ini mencoba untuk menganalisa masyarakat konsumen yang ada pada era

kontemporer menggunakan teori masyarakat konsumen miliki Jean Baudrillard melalui

bukunya yang berjudul The Consumer Society. Penulisan ini ingin menunjukan bahwa di

dalam mengkonsumsi suatu objek, manusia tidak lagi mementingkan nilai guna dari suatu

objek tersebut, melainkan nilai tanda dari suatu objek. Dapat dikatakan bahwa terdapat

pergeseran makna dari kegiatan konsumsi yang terdapat pada masyarakat tersebut.

Masyarakat saat ini dapat dikatakan juga sebagai masyarakat konsumen, karena sebagian

besar masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran makna dalam mengkonsumsi suatu

objek. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam masyarakat konsumen akan selalu terdapat

budaya massa yang memiliki kekuatan untuk memberikan pengaruh kepada masyarakat

untuk terus mengkonsumsi suatu objek. Budaya massa ini memberikan dampak yang buruk

bagi masyarakat konsumen sehingga membuat masyarakat ini akan kehilangan otentisitas

dirinya. Banyak faktor yang sebenarnya tidak disadari oleh masyarakat konsumen dalam

mengkonsumsi suatu objek dan hal tersebut lah yang ingin ditunjukan dalam penulisan karya

ini.

Kata kunci: Masyarakat Konsumen, budaya massa, otentisitas.

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

2

Phenomena Of Consumer Society In The Contemporary Era:

Philosophical Analysis by Jean Baudrillard

This undergarduate thesis tries to analyze consumer societies in the contemporary era, using

the consumer societies theory of Jean Baudrillard through his book called The Consumer

Society. This undergraduate thesis showed that in the consuming an object people didn’t see

the use value from that object but they only saw the sign value of an object. There is a shift in

the meaning of consumption in the society. The society right now also says as a society

consumers, because most of those society has experienced shifts meaning in consume any

object. It because that in consumer society will always guiler mass culture which having a

power to give impact towards community to consume an object. These mass culture povided

the bad effect for the consumer society untill all those people in that society lost their

authenticity. Many factors which are not realized by consumers society in consuming an

object and this analysis will show all those factors.

Key words: Consumer society, mass culture, authenticity

 

 

A. PENDAHULUAN

Dapat dilihat bahwa fenomena masyarakat konsumen terus mengalami

perkembangan. Hal ini dapat diketahui dengan semakin banyaknya pusat perbelanjaan atau

mal-mal yang berdiri pada wilayah tersebut, dan mal-mal ini akan terus bertambah setiap

tahunnya. Mal-mal ini berdiri karena adanya kebutuhan masyarakat akan sarana hiburan yang

praktis karena segala yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya ada di

dalam mal tersebut. Orang-orang dapat berbelanja untuk keperluan dapur dengan menucuci

mata sekaligus di dalam satu tempat yang sama. Mereka tidak hanya sekedar berbelanja

untuk kebutuhan dapur, tetapi mereka juga dapat makan di rumah makan, membeli pakaian,

bertemu dengan teman atau mengantarkan anak-anak bermain dipusat permainan seperti

Timezone. Tidak hanya itu, bahakan banyak orang yang hanya sekedar jalan-jalan atau

melihat-lihat tanpa membeli apapun. Hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa mal

merupakan tempat yang strategis untuk berjalan-jalan.

Berdasarkan fenomena di atas, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari budaya

yang dimiliki oleh suatu daerah, sehingga seringkali membuat budaya tersebut sangat melekat

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

3

pada setiap manusia yang berada di daerah tersebut. Budaya atau culture merupakan cara

berada manusia melalui segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh setiap manusia untuk

mempertahankan kehidupannya.Budaya mengajarkan kebudayaan yang nantinya akan

berkembang di dalam suatu komunitas di mana kebudayaan tersebut merupakan ciptaan dari

manusia itu sendiri. Oleh karena itu, budaya dan manusia merupakan dua hal yang tidak

dapat dipisahkan dan culture merupakan individu-individu yang bergabung di dalam sistem

sosial. Meskipun budaya-budaya yang diterima oleh masyarakat itu berbeda-beda, namun

masyarakat atau setiap manusia pada dasarnya butuh apresiasi yang ditujukan pada dirinya

oleh masyarakat sehingga membuat manusia tersebut memiliki kebanggan akan dirinya

sendiri. Apresiasi ini berupa cap atau label yang akan melekat pada masyarakata tersebut,

seperti ‘gaul’ atau ‘populer’. Oleh karena itu setiap masyarakat berlomba-lomba untuk

mengkonsumsi hal-hal yang dapat memberikan label yang dapat membuat mereka bangga

pada diri mereka sendiri.

Hal ini membawa dampak pada budaya konsumerisme, di mana setiap manusia

cenderung untuk menikmati barang dengan jumlah pembeli yang besar karena dengan

memiliki barang tersebut maka secara tidak langsung dapat meningkatkan nilai mereka

sebagai manusia juga. Budaya konsumerisme ini membawa manusia untuk terus

mengkonsumsi sesuatu tanpa harus memimikirkan cost dan bennefit nya. Konsumerisme

merupakan suatu paham, di mana manusia mengkonsumsi suatu barang untuk keinginannya

bukan kebutuhannya. Semula ekonomi merupakan science of choice, di mana setiap manusia

memiliki pilihan untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai kemungkinan seefisien

mungkin. Namun ketika budaya konsumerisme ini berkembang maka pilihan-pilihan untuk

membuat kegiatan ekonomi ini menjadi efisien sudah tidak berlaku lagi, orang-orang lebih

mementingkan keinginannya untuk mengkonsumsi sesuatu yang memiliki nilai yang sangat

tinggi demi untuk meningkatkan nilai mereka dan tidak sekedar memenuhi kebutuhan mereka

sehari-hari. Begitu banyak hal yang dapat mempengaruhi budaya konsumerisme ini, salah

satunya budaya yang dianut oleh masayarakat itu sendiri.

Rangsangan yang diberikan oleh lingkungan sekitar ini sangat banyak, sehingga

membuat seseorang memiliki kemampuan untuk menyeleksi rangsangan tersebut. “Perilaku

konsumen biasanya dipengaruhi oleh iklan dan lingkungan sekitar. Konsumen dalam

mengkonsumsi sesuatu pasti diberikan rangsangan atau stimlulus yang akan diterima oleh

panca indera manusia, seperti penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan, dan pendengaran”

(Nugroho J setiadi, 2003: 159). Jika melalui iklan, maka seseorang akan memilih iklan yang

lebih menarik, misalnya iklan minuman bersoda hadir di televisi dengan kemasan yang

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

4

manarik dan audio yang menyanangkan akan membuat seseorang memiliki persepsi terhadap

iklan tersebut. Persepsi ini muncul karena adanya sensasi yang timbul karena ada perasaan

gembira, sensasi ini respon dari panca indera seseorang terhadap rangsangan cahaya, warna,

dan suara. Hal-hal seperti inilah yang akan mempengaruhi perilaku konsumen seseorang,

oleh karena itu peran lingkungan sosial dan masyarakat sangat mendukung bagi adanya

perilaku konsumen.

Mengkonsumsi barang atapun jasa saat ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

saja. Mengacu kepada Baudrillard, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli sesuatu

karena kebutuhannya ataupun karena fungsi dari barang atau jasa yang dikonsumsi tersebut,

melainkan adanya suatu pemaknaan terhadap suatu objek yang membuat objek tersebut

menjadi suatu sistem berupa tanda atau kode, bahasa, dan moral. Hal ini menyebabkan

terjadinya individualisme dan pengekangan individu tersebut secara bawah sadar baik dari

sistem tanda, sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Konsumsi disini akhirnya tidak

berpusat pada individu-individu dalam melakukan pilihan dalam kegiatan ekonominya

(konsumsi) melainkan dari faktor eksternal, baik itu masyarakat maupun media massa yang

bersifat memaksa individu. Setiap individu dipaksa untuk menggunakan sifat-sifat yang

sudah diciptakan oleh struktur yang berada di luar manusia yang berupa fenomena kolektif

dan moralitas yang berada dalam segala sistem tanda yang dikodekan. Baudrillard

mengatakan bahwa manusia akan selalu berada di bawah bayang-bayang konsumerisme

karena manusia selalu dipaksa untuk melakukan interaksi secara konsumtif yang bukan dari

dirinya sendiri melainkan dari keadaan sosial yang memaksanya, sehingga sangatlah sulit

untuk memisahkan manusia dari budaya konsumerisme.

a) Rumusan Masalah:

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai

berikut:

1. Seperti apakah konsep masyarakat konsumen milik Baudrillard sesuai dengan

fenomena masyarakat konsumen pada era kontemporer?

2. Apa saja alasan dari kemunculan masyarakat konsumen di dalam kehidupan

masyarakat pada era kontemporer?

3. Apakah misteri dibalik terjadinya masyarakat konsumen yang mengacu

kepada alasan sebenarnya dilakukan kegiatan konsumsi tersebut?

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

5

b) Tujuan Penulisan:

Penulisan ini memiliki tujuan agar masyarakat awam dapat mengetahui

konsep dari masyarakat konsumen menurut Jean Baudrillard sesuai dengan fenomena

masyarakat konsumen pada era kontemporer. Selain itu penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui sebab dari munculnya masyarakat konsumen di dalam kehidupan

masyarkat pada era ini. Hal lain adalah agar mengetahui apa yang menjadi dasar dari

tingkah laku masyarakat konsumen yang ada pada era kontemporer. Lalu, untuk

mengetahui sebab dari masyarakat pada era ini yang menikmati budaya

konsumerisme, mengetahui pengaruh dari kebudayaan dalam masyarakat konsumen,

serta mengetahui permasalahan yang muncul terhadap setiap individu dari adanya

masyarakat konsumen ini.

B. TINJAUAN TEORITIS

Penulisan karya ini mengacu kepada teori-teori mengenai masyarakat konsumen yang

terdapat pada buku Jean Baudrillard yang berjudul The Consumer Society Myth and

Structures, di mana Baudrillard mencoba untuk menjelaskan mengenai masyarakat konsumen

secara lebih jelas dan sistematis. Ia menjelaskan mengenai logika yang digunakan oleh

masyarakat konsumen dan ia pun menjelaskan mengenai teori konsumsi. Baudrillard

menjelaskan bagaimana pola pikir dan logika masyarakat konsumen tersebut dapat terbentuk.

Baudrillard sangat tertarik dengan kehidupan masyarakat konsumen pada masa podmodern

ini, dalam buku The Consumer Society Myth and Structures ini ia mulai bertentangan dengan

teori yang dimiliki oleh Marxian mengenai konsumsi dan masyarakat konsumen. Marxian

mengatakan bahwa konsumsi itu terjadi karena pertukaran barang karena adanya nilai guna

dan kebutuhan akan barang tersebut, namun Baudrillard melihat bahwa konsumsi yang terjadi

pada masyarakat konsumen ini ada karena adanya kehadiran dari tanda dan simbol yang

terdapat pada suatu objek.

Selain itu, dibantu juga oleh teori mengenai mitos yang dikemukakan oleh Roland

Barthes dalam menjelaskan mengenai masyarakat konsumen bahwa,

“I am only wondering about the enermous consumpion of such a sign by the public. I see it

reassured by the spectacular identity of a morphology and a vocation, in no doubt about the

latter because it knows the former, no longer having access to the real experience of

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

6

apostleship except through the bric-a-brac associated with it, and getting used to acquiring a

clear consience by merely looking at the shop-window of saintliness” (Barthes, 1991: 48).

Konsumsi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat hanyalah sebuah tanda yang

dibuat oleh sosial itu sendiri, dengan dibantu oleh berbagai macam bentuk media massa

membuat ‘konsumsi’ ini memiliki posisi yang cukup kuat di dalam masyarakat, sehingga

masyarakat pun sulit berpikir secara jernih dalam mengkonsumsi sesuatu. Tanda-tanda yang

yang terkandung di dalam konstruksi sosial dan media massa menjujukan adanya kemewahan

yang dianggap menjadi tanda-tanda keberuntungan, hal ini diungkapkan ketika awal dari

pemikiran mengenai konsumerisme. Barang-barang yang dikonsumsi oleh manusia bersifat

mengikat sehingga membuat manusia sulit untuk melepaskannya. Hal ini terus berlanjut

hingga munculah individu-individu yang memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi. Mitos

merupakan hal yang mampu mencegah perubahan sehingga tidak mudah untuk menghentikan

budaya konsumtif. Mitos ini tersampaikan melalui gambar, tingkah laku, dan informasi, hal-

hal tersebut dapat menyingkirkan kenyataan sehingga kehidupan yang dihadapi manusia

mejadi abu-abu dan terjadi kesaruan antara mana yang real dan mana yang tidak real

(peristiwa semu). Pada dasarnya iklan tidak membohongi setipa individu namun iklan

melampaui realitas atau kebenaran dan kesalahan. Hal inilah yang dikatakan oleh Baudrillard

sebagai Hipperealitas.

Adapula teori mengenai Otentisitas yang berhubungan dengan cara berada masyarakat

konsumen yang berbeda dengan cara berada manusia yang dikemukan oleh filsuf

eksistensialisme. Salah satunya adalah teori eksistensialisme yang dikemukakan oleh

Heidegger. Eksistensialisme menekankan kepada cara berada manusia yang memiliki

perbedaan dengan cara berada benda-benda atau yang lainnya. Eksistensialisme sangat

mendukung adanya kebebasan individu serta pertanggungjawaban atas segala yang dilakukan

oleh manusia. Eksistensialisme percaya bahwa manusia pasti akan mengetahui segala

kebenaran yang ada di dalam manusia itu sendiri dan kebeneran ini mutlak, eksistensialisme

juga berpendapat bahwa segala bentuk hubungan antara objek dan subjek tidak pernah ada

yang terpisah. Hal ini tentu saja bertentangan dengan masyarakat konsumen pada era

kontemporer saat ini karena selain hal-hal yang telah disebutkan, eksistensialisme sangat

menolak terhadap adanya pengaruh dari teknologi atau masyarakat sekitar dalam

pengambilan suatu keputusan.

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

7

C. METODE PENELITIAN

Dalam penulisan karya ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis dan

metode kepustakaan, di mana penulis mencoba untuk mendeskripsikan beberapa karya

seperti teks dan buku-buku yang berkaitan dengan tema penulisan karya ini serta sumber-

sumber lain yang saya temukan melalu internet atau surat kabar, serta metode refleksi kritis

terhadap teori serta analisa yang akan disampaikan di dalam penulisan karya ini. Penulis

menggunakan buku The Consumer Society, Myths & Structures Baudrillard sebagai sumber

utama.

D. PEMBAHASAN

Jumlah penduduk yang padat dengan tingkat kemakmuran yang beragam tidak

menghalangi sistem masyarakat konsumen untuk berkembang. Masyarakat konsumen ini

berkembang diseluruh lapisan masyarakat. Hanya saja yang lebih banyak disorot adalah

masyarakat konsumen yang berada pada lapisan menengah keatas karena biasanya lapisan

masyarakat ini cenderung lebih brutal dalam mengkonsumsi sesuatu. Namun pada

masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah tidak dipungkiri akan berkembangnya

masyarakat konsumen selama kehidupan mereka masih disentuh oleh teknologi atau budaya

massa. Secara umum konsumerisme ini akan selalu berkembang selama adanya modernitas

dan globalisasi. Lyotard mengatakan bahwa di dalam masyarakat kebudayaan modern dan

postmodern memiliki logika dan pengetahuan yang berbeda dan biasanya logika dan

pengetahuan mereka ini dipengaruhi oleh kapitalisme. Kapitalisme ini tidak saja

mempengaruhi sistem secara global tetapi juga mempengaruhi tatanan masyarakat dan

individu, di dalam tatanan masyarakat terdapat perbedaan-perbedaan yang mengacu pada

pembentukan status dengan simbol-simbol modernitas. Di dalam masyrakat konsumen ini

nilai guna dari suatu barang sudah bukan menjadi fokus utama lagi yang terpenting adalah

nilai tukar dari suatu objek.

Masyarakat konsumen ini tidak menyadari bahwa saat ini dirinya sedang berada di

dalam dunia yang terdiri dari manipulasi tanda. Tanda yang dihadirkan pada suatu objek

melebur menjadi satu bersama hal-hal yang real sehingga membuat mereka tidak mampu

untuk mebedakan hal-hal yang real dan bukan. Tanda-tanda ini hadir sebagai bentuk

kekuatan untuk mengelabuhi masyarakat agar masyarakat mau untuk mengkonsumsi objek

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

8

yang mengandung suatu tanda tertentu. Tanda-tanda ini berkembang juga melalui bantuan

dari budaya massa. Masyarakat konsumen ini cenderung untuk selalu hidup berkelompok dan

menjalin hubungan yang sangat erat dengan anggota kelompoknya. Biasanya melalui relasi

yang sangat erat budaya massa ini hadir di antara mereka, pembicaraan dari mulut ke mulut

mengenai berlian atau tas bermerek terbaru pun dapat denga mudah tersebar di dalam

masayarakat tersebut. Hal ini membuat konsumsi menjadi alat komunikasi atau bahasa yang

menjadi pengerat di dalam kelompok suatu kelompok tertentu.

Masyarakat konsumen atau masyarakat modern ini dalam mengkonsumsi suatu objek

tidak lagi menggunakan pilihan rasional mereka cenderung menggunakan hasrat sebagai

bentuk dari pemenuhan nafsu yang tidak tertahankan. Nafsu ini muncul karena adanya

beberapa faktor, yaitu karena adanya gengsi yang dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya

dan nafsu yang mencul karena adanya keinginan untuk meniru. Gengsi atau prestise biasanya

muncul karena adanya persaingan dalam mengkonsumsi suatu objek yang ada di dalam suatu

kelompok di dalam masyarakat konsumen, misalnya di dalam kelompok tersebut kebanyakan

anggotanya menggunakan iPhone maka secara implisit hal ini akan memberikan tekanan

kepada mereka yang tidak menggunakan iPhone, sehingga membuat orang tersebut membeli

iPhone untuk menaikan nilainya di dalam kelompok tersebut. Sementara itu, keinginan

meniru hadir karena adanya informasi yang diberikan melalui media massa seperti televisi,

majalah, dan radio. Kesempurnaan selalu dihadirkan di dalam media massa sehingga

membuat masyarakat konsumen ini meniru untuk mendapatkan kesempurnaan tersebut.

Misalnya tren budaya dari luar Indonesia seperti budaya K-Pop, Hollywood, Bollywood, dan

lain sebagainya. Hal ini dianggap sebagai realitas yang ada di dalam masyarakat konsumen,

jika demikian, maka realitas yang ada di dalam masyarakat konsumen sangat beragam dan

tidak jelas, realitas yang dibuat beragam dan cenderung terlalu banyak ini akan membawa

kematian pada realitas (realitas asli) itu sendiri, dimana,

“The excess of reality puts an end to reality, just as the excess of information puts an end to

information, or the excess of communication puts an end to communication.” (Baudrillard,

2000:66).

Saat ini tingkat tinggi atau rendahnya ekonomi seseorang sudah tidak lagi menjadi

penentu bagi tingkat konsumsi seseorang. Saat ini baik orang yang memiliki penghasilan

tinggi atau pun rendah memiliki tingkat konsumsi yang hampir sama tingginya. Hal ini

menyebabkan akan ada persaingan konsumsi di dalam masyarakat sehingga akan

menghasilkan masyarakat konsumen, melalui adannya persaingan tersebut maka akan sangat

sulit untuk dilakukan pencegahan terhadap meluasnya masyarakat konsumen tersebut.

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

9

Selama individu-individu berada di dalam suatu masyarakat konsumen tertentu, maka mereka

akan memiliki kebutuhan yang sama atas suatu objek tertentu (terlepas dari berguna atau

tidaknya objek tersebut bagi mereka). Saat ini hampir seluruh lapisan masyarakatnya dihuni

masyarakat konsumen. Masyarakat konsumen ini seolah-olah difasilitasi melalui lembaga-

lembaga yang ada di masyarakat. Contoh paling sederhana adalah di dalam sekolah, dapat

dilihat bahwa saat ini murid-murid disekolah paling tidak menggunakan Blackberry sebagai

alat komunikasinya atau mereka menggunakan tas dan sepatu dengan merk mahal.

Dalam hal ini, sekolah yang dianggap sebagai tempat yang seharusnya netral pun

menjadi tempat bagi masyarakat konsumen. Sekolah ini terdiri dari berbagai macam lapisan

masyarakat dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa, ketika individu-individu

berada dalam suatu kelompok masyarakat konsumen tertentu maka kebutuhan mereka atas

suatu objek akan sama, karena di dalam sekolah tersebut terdiri dari kalangan kaya atau

miskin dan seluruh individu yang berada di dalam masyarakat konsumen tersebut saling

mempengaruhi satu sama lain, maka kebutuhan mereka akan sama karena mereka berada

dalam kelompook masyarakat konsumen, yaitu sekolah. Hal ini menjadi bukti bahwa

kemapanan ekonomi tidak mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Lalu, patut dilakukan

analisa sebenarnya apa yang menjadi penyebab dari masyarakat untuk terus mengkonsumsi

sesuatu.

Fenomena masyarakat konsumen saat ini terjadi karena jumlah penduduk di daerah

tersebut cukup banyak, sehingga membuat kemungkinan-kemungkinan adanya faktor-faktor

yang mendukung untuk terciptanya masyarakat konsumen pada daerah tersebut. Sebelum

dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang menyebabkan adanya masyarakat konsumen

secara internal, sebaiknya kita juga mengetahui bahwa ada faktor-faktor eksternal yang juga

menjadi penyebab dari terciptanya masyarakat konsumen. Masyarakat pada era kontemporer

saat ini dihadapkan oleh banyaknya objek konsumsi, hal ini membuat masyarakat tersebut

merasa bahwa segala sesuatu yang dihadirkan didalamnya adalah hal-hal yang memang

disediakan untuk mereka konsumsi. Masyarakat ini cenderung untuk mengkonsumsi segala

objek yang telah tersedia tersebut tanpa memikirkan use value (nilai guna). Masayarakat

konsumen ini hanya akan mengkonsumsi sign value (nilai tanda) dari suatu objek. Tidak

adanya nilai guna pada objek yang dikonsumsi oleh mereka telah menjadi ciri khas pada

masyarakat konsumen manapun.

Baudrillard menjelaskan bahwa, budaya massa tidak pernah lepas dari masyarakat

konsumen karena dengan adanya budaya massa ini mampu membuat objek-objek konsumsi

tersebut menjadi lebih menarik. Budaya massa ini akan selalu hadir pada era yang berada di

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

10

bawah kuasa mode of consumption. Kuasa mode of consumption ini akan membantu media

massa dalam berperan di dalam masyarakat konsumen. Baudrillard meneruskan pemikiran

dari Marshal McLuhan bahwa, di dalam budaya massa terdapat Global Village. Global

Village ini merupakan teknologi komunikasi yang didalamnya akan selalu terdapat

manipulasi tanda dan pertunjukan dari sebuah objek yang biasanya hadir di dalam

perdagangan dan paling besar hadir melalui iklan, dimana iklan ini mampu merubah konsep

dari sebuah objek.

Selama masyarakat konsumen ini terus berkembang, personalitas dan jati diri setiap

individu yang ada di dalam masyarakat tersebut akan selalu dipertanyakan. Siapakah mereka

sebenarnya? Ada anggapan-anggapan anggapan tersendiri mengenai standarisasi

kesempurnaan seseorang. Misalnya, anggapan seperti bukan perempuan namanya kalau tidak

menggunakan berlian atau sepatu hak tinggi atau bukan pria jika tidak menggunakan motor

gede seperti Harley Davidson. Setiap individu menemukan kepribadiannya dengan cara

menemukan hal-hal apa yang menjadi kesenangan bagi dirinya agar mereka mampu menjadi

diri yang sebenarnya.

“To have found your personality, to be able to assert it, is to discover the pleasure of

being truly yourself. It often takes very little to achieve this. After a great deal of

searching, I realized that a little light tint in my hair was enough to create perfect

harmony with my complexion and my eyes. I found this blonde tone in the Récital

range of rinses ... And this Récital blonde, which is so natural, has not changed me. I

am more than ever myself.” (Baudrillard, 1998: 88)

Untuk menemukan kepribadian seseorang tidak lah sulit, hanya saja sering terbentur

dengan kepribadian semu. Namun kebanyakan manusia dipengaruhi oleh mitos pengatur

subjek, nafsu, keinginan, serta watak atau sifat. Adanya ribuan tanda yang terkandung di

dalam lingkungan manusia akan menciptakan suatu sintesa yang baru bagi individu tersebut,

sehingga membuatnya semakin sulit untuk menemukan kepribadiannya.

Iklan, kemasan suatu produk (packaging), display, fashion, media massa, ataupun

budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat itu sendiri, merupakan beberapa contoh media

yang mampu untuk memproduksi sign value. Komoditas sebisa mungkin selalu membuat

sign value harus sama dengan nilai guna, maksudnya disini adalah dengan melalui kemasan

suatu produk (packaging), display, fashion, media massa, ataupun budaya mampu membuat

sign value ini terlihat seolah-olah ia merupakan nilai guna dari barang tersebut, sehingga

membuat masyarakat menggap barang tersebut memiliki nilai guna bagi dirinya sehingga

membuat masyarakat dapat menunjukan gaya hidup (styles), gengsi, kemewahan, dan

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

11

kekuasaan yang dimilikinya. Baudrillard terinspirasi dari gagasan yang dimiliki oleh Veblen

mengenai conspicuous consupmtion (konsumsi yang mencolok) yang dianalisa oleh

Baudrillard di dalam ‘Theory Of the Leisure Class’.

Ia menjelaskan bahwa seluruh masyarakat selalu dikelilingi oleh kegiatan konsumsi

dan fenomena atas komoditas yang mampu meningkatkan identitas dan gengsi dari setiap

individu. Dalam hal ini, semakin tinggi gengsi dari suatu komoditas (mobil, rumah, pakaian)

maka semakin tinggi pula kedudukan sign value komoditas tersebut. Maksudnya, semakin

mahal dari komoditas tersebut maka semakin tinggi pula sign value dari komoditas tersebut.

Sama halnya seperti suatu kalimat akan memiliki makna sesuai dengan susunan kata atau

sesuai denga tatanan bahasanya, signs value akan akan memiliki makna jika sesuai dengan

posisi mereka di dalam sistem diferensial prestige.

Masyarakat konsumen pada era kontemporer ini dipaksa oleh keadaan, agar mereka

mengkonsumsi suatu objek, tidak ada pilihan lain, yang ada hanyalah apakah masyarakat

tersebut mengkonsumsi suatu objek sesuai dengan keinginannya atau tidak. Pilihan yang

dimiliki oleh masyarakat konsumsi adalah pilihan untuk memuaskan keinginannya atau tidak,

di dalam masyarakat konsumen sungguh sangat sulit bagi mereka untuk tidak mengkonsumsi

objek apapun sekalipun dalam jumlah yang sangat kecil.

Pada dunia yang dikontrol oleh kode ini, konsumsi akan berhenti ketika apa yang

disebut sebagai “kebutuhan” terpuaskan. Ide tentang “kebutuhan” berasal dari pemisahan

yang salah mengenai subjek dan objek, dan hasil akhirnya adalah tautologi subjek dan objek

yang dibatasi oleh istilah satu sama lain. Baudrillard mendekonstruksikan dikotomi subjek

dan objek dan lebih umum, pengertian tentang kebutuhan. Masayrakat tidak perlu membeli

apa yang mereka butuhkan, tetapi apa yang dikatakan kode pada masyarakay yang

seharusnya mereka beli. Kebutuhan setiap individu pun ditentukan oleh kode dan realitas

yang dijalankan menjadi semu. Misalnya, ketika seseorang membeli sebuah burger

McDonaldonald besar, mereka tidak hanya membeli makanan, tetapi juga membeli

pencitraan besarnya McDonald bagi nilai-nilai sosial kita.

Objek konsumsi menjadi komoditas dalam bahasa Marx kini dibeli sebagai sebuah

pertanyaan, tanda gaya, prestise, kemewahan, kekuasaan, dan lain-lain. Konsekuensinya,

kemakmuran seolah-olah diciptakan dari simbol konsumsi. Padahal tidak, kemakmuran yang

terlihat adalah sebagai pola yang distrukturkan untuk tetap menjadi pasar para kaum kapital.

Dan yang ingin saya gambarkan adalah, “orang-orang kaya” dan “yang memaksa kaya”

sebagai konsumen adalah orang miskin yang distrukturkan kaum kapital yang memproduksi

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

12

objek konsumsi. Oleh karena itu Baudrillard mengatakan bahwa, penguatan konsumsi

dianggap sejalan dengan penguatan dari kontrol produksi itu sendiri.

Konsumsi dianggap sebagai sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi sebagai

perluasan kekuatan produksi serta merupakan kekuatan produktif yang penting bagi kapital

itu sendiri. Seseorang dapat bergabung dan memisahkan diri dari yang lain pada prinsip

tanda-obyek yang dikonsumsi. Apa yang seseorang butuhkan dalam kapitalisme bukanlah

obyek tertentu (katakanlah mobil BMW), tetapi seseorang hendak mencari “perbedaan”.

Tampil berbeda dilakukan karena seseorang memerlukan status sosial dan nilai sosial. Dalam

konsumsi di masyarakat kapitalis modern, bukan soal kesenangan untuk mendapat dan

memakai obyek yang mereka cari, tetapi lebih soal perbedaan, mau tampil beda. Hal ini

memunculkan pandangan bahwa kebutuhan tidak dapat dipuaskan. Seseorang memiliki

kebutuhan selama hidup untuk membedakan dirinya dengan orang lain, yang menduduki

posisi lain dalam masyarakat. Sehingga Baudrillard berkesimpulan bahwa konsumsi adalah

sistem yang menjamin pengaturan tanda-tanda dan penggabungan kelompok, dan konsumsi

lalu menjadi sebuah moralitas (nilai ideologi) dengan menggunakan sistem informasi.

Kapitalisme berusaha menciptakan “mal hasrat” yang universal atas keberjamakan

ekspresi hasrat, dengan demikian hasrat individu berada dalam dua titik yakni hasrat yang

dimengerti sebagai asal dan tujuan kapitalisme. Sebagai asal, ia dimengerti sebagai energi

produktif yang kemudian diapropriasikan oleh kapitalisme. Sedangkan sebagai tujuan, ia

dipahami dalam konteks tubuh yang membutuhkan pemenuhan hasrat. Oleh karena itu, hasrat

mengalir dari tubuh individu ke dalam satu tubuh yang sama, dengan logika kapitalisme

sebagai pengatur hasratnya. Bagi Deluze-Guattari, hasrat tentu akan menjadi suatu modifikasi

(nama lain dari manipulatif) yang diserap nilai surplusnya.

Oleh karena itu, dapat dipahami disini bahwa masyarakat konsumen pada era ini

terjadi karena setiap orang memiliki hasrat untuk mengkonsumsi sesuatu dan selalu berusaha

untuk memenuhi hasratnya tersebut. Biasanya hasrat ini ditentukan oleh kelompok-kelompok

yang ada di dalam masyarakat konsumen yang dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang

ada pada kelompok tersebut, hal ini akan menjadi ciri khas dari kelompok tersebut. Jika telah

ditentukan kesepakatan objek apa yang akan menjadi identias mereka, maka ketika melihat

objek yang menggambarkan identitas kelompok mereka maka mereka hasrat untuk

mengkonsumsi objek tersebut akan keluar dari dalam diri mereka. Hasrat yang dimiliki oleh

masyarakat konsumen ini tidak akan pernah habis karena tanda yang melekat pada suatu

objek akan terus diproduksi. Tanda dalam objek tidak akan pernah membiarkan dirinya

kehilangan para penggemarnya.

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

13

Tujuan dari masyarakat konsumen yaitu untuk mendapatkan kenikmatan dan

kepuasan ini merupakan efek dari terpenuhinya kebutuhan mereka. Kadar kenikmatan dan

kepuasan yang dimiliki oleh setiap individu harusnya berbeda-beda karena kebutuhan yang

dimiliki oleh tiap individu tersebut juga berbeda-beda. Namun di dalam masyarakat

konsumen, hal ini tidak terjadi seperti demikian. Pada masyarakat konsumen, kenikmatan ini

sifatnya kolektif, kenikmatan dan kepuasan tidak dapat dikatakan sebagai kenikmatan atau

kepuasan jika tidak dirasakan oleh seluruh anggota kelompok yang ada di dalam masyarakat

konsumen. Oleh karena itu individu tidak mampu mendapatkan kesenangan dan kepuasan

pribadi disini.

Sebelum jatuh ke dalam masyarakat konsumen biasanya seseorang memiliki rasa

kesepian, sehingga untuk mengurangi rasa kesepian tersebut mereka akan melarikan diri

kepada konsumerisme. Biasanya ini terjadi pada kaum muda dan perempuan, mereka sering

sekali menghabiskan masa mudanya dengan mencari kebahagian dengan membeli ‘status

sosial’. Mereka tidak akan pernah berhenti mengkonsumsi suatu objek hingga mereka

menemukan kebahagian. Dalam mencari kebahagiaan ini mereka akan mengalami kekaburan

realitas. Kekaburan masyarakat konsumen atas realitas yang sebenarnya, membuat mereka

terjebak di dalam realitas semu. Hal ini membuat mereka tidak akan pernah menemukan

kenikmatan dan kepuasan pribadi, karena selain kenikmatan dan kepuasaan tersebut bersifat

kolektif, realitas yang masyarakat konsumen hadapi selalu berubah-ubah karena tanda yang

terdapat pada objek yang ada pada realitas tersebut juga berubah-ubah, sehingga membuat

masyarakat ini tidak pernah merasa puas atas apa yang mereka konsumsi.

Masyarakat konsumen seperti ini akan jatuh kepada masyarakat yang materialistik,

maksudnya disini masyarakat konsumen dapat dengan mudah terpikat dengan suatu objek

yang menarik perhatian mereka. Mereka dapat dengan mudah tertarik dengan suatu objek

meskipun hanya dilihat melalui panca indera saja. Banyak yang mengatakan bahwa manusia

ini pada dasarnya mahluk yang materialistik, mahluk dengan sifat keduniawian dan

kebendaan. Melalui sifatnya ini manusia dapat dapat menangkap objek-objek disekitarnya

yang mampu ditangkap oleh panca indera. Namun sifat ini akan semakin terlihat pada

masyarakat konsumen, hal ini dikarenakan di dalam masyarakat konsumen akan selalu

disuguhkan objek-objek yang dengan mudah memikat hati masyarakat konsumen melalui

panca indra (iklan, televisi, radio, dan lain sebagainya). Sifat materialistik yang tidak

terkendali, seperti yang terletak pada masyarakat konsumen ini akan membawa mereka

kepada hedonisme. Hedonisme di dalam masyarakat konsumen ini mengacu pencarian

kebahagian sebanyak mungkin dengan sebisa mungkin menghidari perasaan ‘sakit’(Franz

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

14

Magnis Suseno, 1987: 114). Hal ini sesuai dengan hasil akhir dari masyarakat konsumen ini,

yaitu mencari kebahagiaan.

E. KESIMPULAN

Melalui teori dan logika konsumsi tersebut Baudrillard ingin menunjukan bagaimana

cara manusia mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan dan budaya yang akan

membentuk mereka menjadi masyarakat konsumen. Baudrillard menjelaskan bahwa

masyarakat konsumen tersebut memiliki logikanya sendiri dalam melakukan kegiatan

konsumsi. Pada kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat konsumen terdapat

pergeseran makna terhadap objek yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumen tersebut.

Objek yang mereka konsumsi tidak lagi mengandung nilai guna melainkan nilai

tanda. Mereka mengkonsumsi suatu objek karena melihat nilai tanda yang terdapat pada

objek tersebut. Nilai tanda ini hadir di dalam suatu objek melaui konstruksi yang dibentuk

oleh masyarakat konsumen itu sendiri. Penyebaran nilai tanda pada objek ini juga diperkuat

melalui berkembangnya budaya massa. Pengaruh budaya massa di dalam masyarakat

konsumen sangat besar, karena budaya massa ini memacu keinginan atau hasrat yang dimiliki

oleh manusia dalam mengkonsumsi suatu objek. Adanya peran budaya massa (termasuk

media massa di dalamnya) membantu masyarakat untuk semakin tertarik dalam melihat tanda

yang terdapat di dalam suatu objek. Hal ini membuat masyarakat konsumen tersebut

cenderung menjadikan suatu objek atau benda sebagai alat yang mereka puja-puja.

Hal ini akan membuat masyarakat konsumen tersebut memiliki hasrat yang begitu

besar dalam mengkonsumsi suatu objek. Logika awalnya, masyarakat akan berhenti

melakukan kegiatan konsumsi ketika kebutuhan mereka akan suatu objek tertentu telah

terpenuhi dan mereka telah mendapatkan kenikmatan. Namun dengan adanya budaya massa

yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi tanda dari suatu objek akan membuat

masyarakat memiliki hasrat yang tidak terbatas untuk mengkonsumsi suatu objek, sehingga

akan membuat masyarakat konsumen hanya mendapatkan kenikmatan semu.

Selama manusia hidup dan berada di dalam masyarakat, manusia pasti akan selalu

bersinggungan dengan masyarakat konsumen. Masyarakat konsumen akan selalu dikelilingi

oleh budaya massa yang selalu memiliki cara-cara baru untuk menarik perhatian dari

masyarakat konsumen agar mereka memiliki hasrat untuk mengkonsumsi suatu objek

tertentu. Hal seperti ini tidak akan pernah bisa dihindari. Dalam mengkonsumsi suatu objek

masyarakat saat ini akan selalu dipengaruhi oleh budaya dan media massa, oleh karena itu

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013

15

masyarakat konsumen ini tidak memiliki otentisitas di dalam dirinya. Hal dikarenakan ketika

masyarakat konsumen tersebut mengkonsumsi sesuatu, mereka dianggap hanya ikut-ikutan

saja dan tidak bisa mempertanggung jawabkan pilihannya, karena mereka tidak

mengkonsumsi objek tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

Meminjam dari pemikiran Heidegger, agar manusia ini menjadi manusia yang otentik,

maka ketika mengkonsumsi suatu objek mereka harus dapat mempertanggungjawabkan

pilihannya dan mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhan serta keinginannya sendiri tanpa

adanya pengaruh dari orang lain atau media massa. Sepertinya prinsip yang digunakan oleh

masyarakat konsumen adalah selama mereka merasa bahagia atas apa yang mereka konsumsi,

mereka cenderung untuk tidak mempedulikan kesejahteraan pada dirinya ataupun masyarakat

lingkungan sekitar.

Berkembangnya masyarakat konsumen hingga saat ini tidak lepas dari pengaruh

globalisasi di mana segala sesuatunya berkembang sesuai dengan masuknya budaya dari luar

yang masuk ke dalam negeri. Globalisasi ini juga mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam

mengkonsumsi suatu objek. Memang setiap individu harus memiliki pola pikir yang global

dan terbuak agar tidak menjadi sesosok individu yang kaku dan tertutup atas informasi yang

baru. Namun meskipun demikian, tingkah laku mereka harus tetap melokal dan sesuai dengan

kepribadian dan budaya mereka.

F. KEPUSTAKAAN

Barthes, Roland. 1991. Mythologies. United States Of America: Twenty-fifth Printing.

Baudrillard, Jean P. 1993. Symbolic Exchange and Death. London: Sage Publications.

————. 1998. The Consumer Society, Myths and Structures. London: Sage Publications.

————. 2004. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta: Kreasi Wacana.

————. 2000. The Visual Illusion. New York: Colombia University Of Press.

Deleuze, Gilles & Felix Guattari.1972. Anti-Oedipus Capitalism and Schizophrenia.

Minneapolis. University of Minnesota Press.

Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Setiadi, Nugroho J, SE., MM. 2003. Perilaku Konsumen. Jakarta: Kencana.

Selu Margaretha Kushendrawati. 2011. Hiperrealitas Dan Ruang Publik, Sebuah Analisis

cultural studies. Jakarta: Penaku.

Suzeno, Franz Magnis. 2005. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.

Yogyakarta: Kanisisus.

Fenomena Masyarakat ..., Alfira Astari, FIB UI, 2013