Feminisme Tjoet Nja' Dhien dalam Film Tjoet Nja' Dhien

9
Feminisme Tjoet Nja’ Dhien dalam Film Tjoet Nja’ Dhien Oleh: Muhammad Daniel Fahmi Rizal 1406590923 Wanita dijajah pria sejak dulu Dijadikan perhiasan sangkar madu.... Nukilan di atas adalah sebagian larik dari lagu berjudul Sabda Alam. Sabda alam adalah lagu ciptaan komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. Menceritakan tentang dua makhluk Tuhan yakni pria dan wanita. Pria, dalam pandangan Marzuki, adalah sosok makhluk yang berkuasa. Hidupnya mendominasi hubungan antara pria dan wanita. Wanita, dalam pandangan Marzuki, adalah makhluk yang memiliki karakter lemah, lembut, dan manja. “Kelemahan” wanita, digambarkan oleh Marzuki, membuat pria mempunyai peran dan posisi yang lebih kuat daripada wanita. “Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.” Marzuki menggambarkan sosok wanita yang lemah dan dijajah oleh pria. Posisinya digambarkan serba kalah. Namun, dibagian akhir lagu Marzuki menulis larik, “namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut di kerling wanita”. Sekuat apapun pria, posisinya pasti akan takluk saat wanita mulai menebarkan pesonanya. Wanita memiliki potensi besar dalam menaklukkan lawan jenisnya. Kalau sudah berhasil menekuk lutut, segala pandangan tentang sosok yang lemah tersebut akan luluh sirna. Lagu yang dituliskan Marzuki tadi seakan menjadi refleksi pada pandangan masyarakat umum tentang peran dan posisi wanita. Wanita sering dianggap sebagai makhluk yang lemah, makhluk yang dayanya lebih kecil daripada pria. Perannya menjadi terkotak dan terbatasi 1

description

Tentang bagaimana sosok Tjoet Nja' Dhien digambarkan dalam film Tjoet Nja' Dhien

Transcript of Feminisme Tjoet Nja' Dhien dalam Film Tjoet Nja' Dhien

Feminisme Tjoet Nja Dhien dalam Film Tjoet Nja Dhien

Oleh:Muhammad Daniel Fahmi Rizal1406590923

Wanita dijajah pria sejak duluDijadikan perhiasan sangkar madu....

Nukilan di atas adalah sebagian larik dari lagu berjudul Sabda Alam. Sabda alam adalah lagu ciptaan komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. Menceritakan tentang dua makhluk Tuhan yakni pria dan wanita. Pria, dalam pandangan Marzuki, adalah sosok makhluk yang berkuasa. Hidupnya mendominasi hubungan antara pria dan wanita. Wanita, dalam pandangan Marzuki, adalah makhluk yang memiliki karakter lemah, lembut, dan manja. Kelemahan wanita, digambarkan oleh Marzuki, membuat pria mempunyai peran dan posisi yang lebih kuat daripada wanita. Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu. Marzuki menggambarkan sosok wanita yang lemah dan dijajah oleh pria. Posisinya digambarkan serba kalah. Namun, dibagian akhir lagu Marzuki menulis larik, namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut di kerling wanita. Sekuat apapun pria, posisinya pasti akan takluk saat wanita mulai menebarkan pesonanya. Wanita memiliki potensi besar dalam menaklukkan lawan jenisnya. Kalau sudah berhasil menekuk lutut, segala pandangan tentang sosok yang lemah tersebut akan luluh sirna.Lagu yang dituliskan Marzuki tadi seakan menjadi refleksi pada pandangan masyarakat umum tentang peran dan posisi wanita. Wanita sering dianggap sebagai makhluk yang lemah, makhluk yang dayanya lebih kecil daripada pria. Perannya menjadi terkotak dan terbatasi saat harus mengurusi sumur, dapur, dan kasur. Wanita hanya difungsikan sebagai pekerja rumah tangga. Tugasnya hanya melayani keluarga dan melayani suami. Tidak ada kesempatan untuk turut memberikan sumbangsih ke ruang publik. Padahal, bila kita mengaca dan menghayati apa yang ditulis Marzuki, wanita memiliki potensi untuk menjadi berbahaya. Laki-laki yang selalu tampil kuat dan mendominasi akan luluh saat wanita mengeluarkan keberbahayaannya.Potensi wanita yang besar tadi memicu banyak orang untuk mendobrak batas-batas adat tentang pengerdilan posisi wanita. Gerakan feminisme muncul sebagai bentuk protes atas segala pengungkungan dan pembatasan yang dilakukan kaum pria khususnya dan masyarakat umumnya. Gerakan yang mulai muncul pada abad ke-17 ini menyuarakan untuk adanya kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kaum perempuan tidak seharusnya dikecilkan perannya. Mereka juga ingin dan bisa untuk memberikan sumbangsih pada masyarakat dan lingkungan sosial tempat mereka berada. Di beberapa titik di dunia bahkan peran wanita lebih vital daripada peran laki-laki.Di Indonesia sendiri gerakan feminisme dewasa ini bersifat masif. Banyak pihak memperjuangkan kaum perempuan untuk bisa tampil dan memberikan perannya bagi masyarakat. Seperti diketahui pada umumnya, Indonesia memiliki beragam suku dan ras. Mereka ada dengan ikatan-ikatan adat dan budaya tempat mereka hidup. Terkadang, adat dan budaya yang ada cenderung mengagungkan peran laki-laki. Budaya patriarki banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Pria memiliki otoritas penuh dalam memutuskan segala hal di dalam keluarga. Sistem sosial seperti ini seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Tak jarang, dengan segala kuasanya, kaum pria membatasi setiap laku dan perbuatan kaum wanita. Pembatasan ini lah yang memicu R.A. Kartini untuk berontak dan menyuarakan keresahannya.Pada perkembangannya, peran wanita masih saja diidentikkan dengan dapur, sumur, dan kasur. Bahkan saat negeri ini sudah menyatakan kemerdekaannya. Pada masa Orde Baru, dikenalkan istilah state ibuism. Ideologi ini sangat dikukuhkan oleh Soeharto. Ideologi ini mengatur bagaimana seharusnya perempuan dicitrakan dan sekaligus bertingkah laku. Ibu dalam arti istri di rumah atau pejabat negara, dalam ideologi politik Orde Baru menjadi protoype yang ideal sebagai penunjang peran suami. Peran utama perempuan adalah ibu rumah tangga. Peran perempuan di masyarakat adalah perpanjangan dari perannya di rumah tangga. Karenanya, jenis-jenis aktivitasnya haruslah sejalan dengan citra dimaksud yang tentu saja harus a politis. Bangunan ideologi isteri dalam politik Orde Baru pada dasarnya mengadopsi konsep istri dalam kebudayaan Jawa dan istri prajurit dalam tradisi militer. sebagai pendamping suami istri tak hanya aktif di rumah tetapi juga di ruang publik melalui aktivitas PKK atau Dharma Wanita. Keduanya merupakan wadah pengabdian bagi istri untuk menunjang karier suami. Di dalamnya tentu ada kegiatan untuk membantu pemerintah dalam menggerakkan kaum perempuan secara pro bono. Mereka melaksanakan dan menyukseskan program-program pembangunan, antara lain melalui partisipasi dalam penurunan angka kelahiran (KB) dan perbaikan kesehatan anak (Marcoes dalam Jurnal Bijak, 2012:20)Padahal, jauh sebelum kemerdekaan terjadi, peran dan posisi wanita tidak sesempit itu. Kita kenal seorang pejuang bernama Cut Nya Dien dari Aceh. Peran dan fungsinya sangat besar dalam perang Aceh. Bahkan, beliau tidak hanya berperan sebagai jenderal perang namun juga sebagai Ibu. Suatu peran yang kompleks dan beliau mainkan seorang diri, setidaknya seperti yang tergambar dalam film Tjoet Nja Dhien yang disutradarai Eros Djarot.Tjoet Nja Dhien tayang pada tahun 1988. Tokoh Tjoet Nja Dhien diperankan secara apik oleh Christine Hakim, dan mengantarkannya meraih Piala Citra-nya yang keenam sebagai aktris terbaik. Film ini menceritakan Teuku Umar (Slamet Rahardjo) memimpin rakyat Aceh dalam memerangi penjajah Belanda. Teuku Umar didampingi istrinya, Tjoet Nja Dhien dan putrinya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak oleh musuh. Tjoet Nja Dhien ganti jadi panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran dan pengkhianatan, tubuh Tjoet melemah dan akhirnya buta. Film ini ingin menegaskan bahwa kekuatan iman adalah segalanya (via filmindonesia.or.id).

Gambar 1: Poster Film Tjoet Nja Dhien

Feminisme pada tokoh Tjoet Nja Dhien digambarkan melalui laku yang dia jalani sepanjang film. Tjoet Nja Dhien tidak hanya menemani suaminya berperang, ia juga melakukan pekerjaan domestik semisal mengurus anak dan melakukan pekerjaan dapur, di medan perang! Setelah suaminya meninggal, ia maju ke depan memimpin sepasukan rakyat Aceh untuk melawan tentara Belanda. Feminisme yang ditunjukkan Tjoet Nja Dhien sudah merupakan feminisme radikal, yang mana batas-batas seksisme sudah dipatahkan melalui tindakan-tindakan Tjoet Nja Dhien dalam medan perang.Feminis radikal beranggapan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab pembagian kerja secara seksual adalah sistem patriarkat yang laki-laki itu yang mengendalikan perempuan dengan kekuasaan. Sumber kelemahan perempuan adalah pada struktur biologis badannya (Sugihastuti, 2007:66). Gerakan ini merupakan gerakan yang mencoba mendobrak pandangan bahwa perempuan lemah karena faktor biologis. Pandangan inilah yang dipatahkan film Tjoet Nja Dhien. Tjoet Nja Dhien hadir dengan menunjukkan keberkuasaan sosok perempuan dalam masa-masa perang. Peran karakter Tjoet Nja Dhien sangat vital, baik bagi pasukannya maupun bagi masyarakat Aceh.

Aksi Feminisme Tjoet Nja DhienFilm Tjoet Nja Dhien penuh dengan aksi feminisme yang dilakukan tokoh utamanya, Tjoet Nja Dhien. Tjoet Nja Dhien sejak awal cerita sudah hidup secara nomaden, dari hutan ke hutan, untuk menemani suaminya. Ia mengurus langsung segala keperluan suaminya. Ia membantu semua kebutuhan perang yang dibutuhkan pasukan. Selepas suaminya meninggal, Tjoet Nja Dhien turun langsung ke lapangan memimpin pasukan. Ia memimpin pengungsian warga aceh menuju gunung, menyusuri hutan bersama pasukannya, menyerbu pasukan Belanda, dan menghancurkan benteng pertahanan mereka. Aksi heroik Tjoet Nja Dhien mematahkan pandangan masyarakat umum tentang ketiadaberdayaan kaum perempuan.Dalam Tjoet Nja Dhien, keteguhan hati tokoh Tjoet Nja Dhien sudah ditunjukkan saat adegan Teuku Umar meninggal. Tjoet Nja Dhien berseru kepada anaknya, Tjoet Gambang, Sebagai perempuan Aceh, pantang meneteskan air mata untuk mereka yang syahid di medan perang. Ungkapan tersebut menunjukkan keteguhan Tjoet Nja Dhien atas apa yang dia alami. Wanita yang dalam anggapan banyak orang merupakan makhluk lemah dan cenderung cengeng, tidak kentara dalam diri seorang Tjoet Nja Dhien.Jika dalam budaya patriarkal laki-laki memiliki peran utama sebagai pemberi keputusan, maka dalam Tjoet Nja Dhien berlaku sebaliknya. Menurut ungkapan tokoh lain, Teuku Leubeh, Tjoet Nja Dhien adalah otak dari serangan-serangan yang direncanakan Teuku Umar. Teuku Leubeh menyampaikan pesan tersebut ini kepada seorang Jenderal Belanda. Sosok Leubeh digambarkan sebagai seorang pengkhianat perang.

Gambar 2: Ungkapan Teuku Leubeh

Jikalau ada yang menganggap laki-laki itu makhluk yang lebih pintar daripada wanita, bisa ditengok apa yang dilakukan Tjoet Nja Dhien. Tjoet Nja Dhien meramu strategi perang bersama Pang Laot. Bukan Pang Laot yang memutuskan dari arah mana penyerangan, namun Tjoet Nja Dhien yang memutuskan. Ia meramu strategi dengan menunjukkan dari arah mana saja pasukan perlu menyerang.

Gambar 3: Tjoet Nja Dhien Meramu Strategi Perang

Tjoet Nja Dhien juga turun sendiri ke lapangan saat harus membeli senjata bagi pasukannya. Ia menuju Meulaboh untuk mengambil sumbangan dari Habib Meulaboh. Ia harus menyamar kemudian masuk gerobak barang sambil menggendong bayi untuk mencapai Meulaboh. Tujuan akhirnya adalah menuju kediaman saudagar Portugis, untuk membeli senjata bagi pasukannya. Semua itu dilakukan Tjoet Nja Dhien seorang diri.

Gambar 4: Tjoet Nja Dhien bertransaksi

Maskulinitas Tjoet Nja Dhien juga ditunjukkan saat dia bersama pasukannya menyergap Teuku Leubeh yang sedang melintasi hutan. Dengan tangannya sendiri, Tjoet Nja Dhien membunuh Teuku Leubeh atas segala penghianatannya terhadap rakyat Aceh. Dari sorot mata yang digambarkan aktris Christine Hakim, terlihat bagaimana seorang Tjoet Nja Dhien bisa menjadi begitu bengis dan kejam terhadap orang yang ia anggap bersalah.

Gambar 5: Adegan Tjoet Nja Dhien Sebelum Membunuh Teuku Leubeh

Di bagian akhir film, Tjoet Nja Dhien dalam keadaan terjepit. Ia dipojokkan oleh tentara Belanda di hutan sebagai akibat pengkhianatan Pang Laboh. Pang Laboh berkhianat karena ingin Tjoet Nja Dhien ditangkap dan dilindungi oleh pemerintah Kolonial, mengingat kondisi Tjoet Nja Dhien saat itu sudah kepayahan karena rabun serta encok yang dideritanya. Selain itu, kondisinya beserta pasukannya juga sudah karut marut, kekurangan pangan, dan bercerai berai. Namun, di tengah kondisinya yang serba kepayahan itu, Tjoet Nja Dhien masih bersikukuh untuk tidak menyerah. Ia masih dengan keras hati mengobarkan semangat pasukannya untuk jihad fi sabilillah. Sebuah keteguhan hati yang sangat kuat, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Gambar 6: Kondisi Tjoet Nja Dhien yang Sedang Terjepit

Semua yang digambarkan film Tjoet Nja Dhien menunjukkan bagaimana seorang wanita bisa begitu hebat perannya. Anggapan orang-orang bahwa wanita adalah makhluk yang lemah tidak kentara dalam diri seorang Tjoet Nja Dhien. Film ini bisa menjadi acuan tentang besarnya potensi yang dimiliki seorang wanita. Perannya tidak hanya terbatas peran mental saja, namun juga peran fisik. Lewat teladan yang digambarkan Tjoet Nja Dhien, mengingat ini adalah kisah kepahlawanan, dapat diambil pelajaran untuk semua pihak agar tidak menyepelekan kaum perempuan.Pandangan seksisme sudah selayaknya dihapus. Tidak seharusnya wanita dipandang remeh karena secara biologis dia wanita. Wanita juga merupakan figur yang kuat. Film Tjoet Nja Dhien membantu banyak pihak untuk merenungkan kembali peran wanita dalam masyarakat. Kita dulu pernah punya sosok Cut Nya Dhien, seorang wanita perkasa yang berjuang demi kemerdekaan rakyatnya. Sebagai wanita, ia berjuang dengan sepenuh jiwa untuk mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Saat ini kita sudah merasakan kemerdekaan. Bila mengingat jasa dan pengorbanan Cut Nja Dhien dahulu, pantaskah bila kita masih saja mengecilkan peran kaum wanita?

Daftar Pustaka

Film Indonesia. Tjoet Nja Dhien. http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-t013-86-320118_tjoet-nja-dhien#.VQDHKvyUdqV. diakses tanggal 12 Maret 2015Marcoes, Lies. 2012. Jurnal Alumni UIN Bijak; Sumbangan IAIN/UIN Pada Kajian Gender di Indonesia. Jakarta: Alumni UIN Syarif Hidayatullah JakartaSugihastuti, dan Siti Hariti Sastriyani. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta: Carasvati Books.

6