FATHONAH NUR ANGGRAINI-FST.pdf

123
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii) FATHONAH NUR ANGGRAINI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H

Transcript of FATHONAH NUR ANGGRAINI-FST.pdf

  • AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI

    FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota

    L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)

    FATHONAH NUR ANGGRAINI

    PROGRAM STUDI KIMIA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2014 M/1435 H

  • AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI

    MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS

    (Cinnamomum burmannii)

    Oleh:

    FATHONAH NUR ANGGRAINI

    NIM 109096000023

    SKRIPSI

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

    Program Studi Kimia

    Fakultas Sains dan Teknologi

    Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta

    PROGRAM STUDI KIMIA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2014 M/1435 H

  • AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI

    MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS

    (Cinnamomum burmannii)

    SKRIPSI

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

    Program Studi Kimia

    Fakultas Sains dan Teknologi

    Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta

    Oleh:

    Fathonah Nur Anggraini

    109096000023

    Menyetujui

    Pembimbing I

    Pembimbing II

    Anna Muawanah, M.Si.

    NIP : 19740508 199903 2 002

    Drs. Dede Sukandar, M. Si

    NIP. 19650104 199103 1 004

    Mengetahui,

    Ketua Program Studi Kimia

    Drs. Dede Sukandar, M. Si

    NIP. 19650104 199103 1 004

  • PENGESAHAN UJIAN

    Skripsi yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi

    Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum

    Burmannii) telah diuji dan dinyatakan lulus pada sidang Munaqosyah Fakultas

    Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada

    hari Jumat, 21 Maret 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

    untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

    Menyetujui,

    Penguji I

    Penguji II

    Sandra Hermanto, M.Si.

    NIP : 19750810 200501 1 005

    Nurhasni, M. Si

    NIP. 19740618 200501 2 005

    Pembimbing I

    Pembimbing II

    Anna Muawanah, M.Si.

    NIP : 19740508 199903 2 002

    Drs. Dede Sukandar, M. Si

    NIP. 19650104 199103 1 004

    Mengetahui,

    Dekan

    Fakultas Sains dan Teknologi

    Ketua Program Studi Kimia

    Dr. Agus Salim, M.Si.

    NIP : 19720816 199903 1 003

    Drs. Dede Sukandar, M. Si

    NIP. 19650104 199103 1 004

  • PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

    HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

    SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

    LEMBAGA MANAPUN

    Jakarta, Maret 2014

    Fathonah Nur Anggraini

    109096000023

  • ABSTRAK

    FATHONAH NUR ANGGRAINI, Aktivitas Antioksidan dan Mutu Sensori

    Formulasi Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L) dan Kayu Manis

    (Cinnamomum burmannii). Di bawah bimbingan ANNA MUAWANAH dan

    DEDE SUKANDAR.

    Penelitian mengenai aktivitas antioksidan dan mutu sensori formulasi minuman

    fungsional sawo (Achras sapota L) dan kayu manis (Cinnamomum burmannii)

    telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui formulasi minuman

    yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik dan aktivitas antioksidannya

    serta kualitasnya berdasarkan standar mutu sari buah SNI 01-3719-1995.

    Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu penentuan formulasi minuman

    fungsional, analisis antioksidan yang meliputi aktivitasnya (IC50), serta komponen

    antioksidan vitamin C dan total fenolik, dan terakhir analisis produk meliputi sifat

    fisik, sifat kimia, cemaran logam dan cemaran mikroba. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa formula 561 merupakan produk yang paling disukai panelis

    berdasarkan uji organoleptik. Formulasi 561 menunjukkan aktivitas antioksidan

    (IC50) 54,1 L/mL, yang berbeda nyata dengan aktivitas antioksidan (IC50)

    komponen penyusunnya sawo 72,04 L/mL pada taraf signifikansi 5%.

    Kandungan total fenolik formulasi 561 yaitu sebesar 459,69 (mg/L) EAG, vitamin

    C 70,4 mg/100 mL, kadar air 88,32 % (b/b), pH 3,94, total padatan terlarut 10 %,

    total asam 7,68 %, dan kadar abu 0,48 % (b/b), logam Zn 0,95 mg/L, logam Cu

    0,285 mg/L serta total mikroba kurang dari 1,0 101 koloni/mL. Formulasi 561

    memiliki kualitas yang sesuai dengan standar SNI sari buah (SNI 01-3719-1995).

    Kata Kunci: Achras sapota L, Cinnamomum burmannii, minuman fungsional,

    aktivitas antioksidan, mutu sensori, SNI 01-3719-1995.

  • ABSTRACT

    FATHONAH NUR ANGGRAINI, Antioxidant Activity and Sensory Quality In

    Sapota (Achras sapota L) and Cinnamon (Cinnamomum burmannii) Functional

    Drink Formulation. Advisor ANNA MUAWANAH dan DEDE SUKANDAR.

    The antioxidant activity and sensory quality in sapota (Achras sapota L) and

    cinnamon (Cinnamomum burmannii) functional drink formulation was studied.

    The objective of this study was to determine the most preffered formulation based

    on organoleptic, to determine antioxidant activity and quality of sapota-cinammon

    functional drink formulation based on SNI 01-3719-1995. The research consisted

    of three stages, which were determinating of sapota-cinammon drink formulation,

    analysis of antioxidant covering the activity (IC50) and the component of

    antioxidant were asorbic acid and phenolic total compounds, and lastly analysis of

    products covering the physical properties, chemical properties, metal

    contaminations and microbial contamination. The results showed that the 561

    formula was the most preferred formulation by panelists based on the organoleptic

    test. In the formulation 561 indicates antioxidant activity (IC50) of 54,1 L/mL

    which were significantly different to antioxidant activity (IC50) the constituent

    components sapota of 72,04 L/mL on level of significance 5%. Phenolic total

    content the 561 formula of 459,69 (mg/L) EAG, asorbic acid content of 70,4

    mg/100 ml, moisture 88,32 % (w/w), pH 3,94, TSS of 10%, acid total acidity of

    7,68 %, level of ash 0,48 % (w/w), Zn level of 0,95 mg/L, Cu level of 0,285

    mg/L, and total microbial was less than 1,0 101

    colony/mL of product. The

    quality of 561 formulation heve met the standards of SNI (SNI 01-3719-1995).

    Keywords : Achras sapota L,Cinnamomum burmannii, functional drink,

    antioxidant activity, sensory quality, SNI 01-3719-1995.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis haturkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan

    hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Aktivitas

    Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi Minuman Fungsional Sawo

    (Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)yang disusun

    dalam rangka memenuhi mata kuliah tugas akhir sebagai syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia di Fakultas Sains dan

    Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

    Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada

    semua pihak yang telah membantu secara ikhlas dalam penyelesaian skiripsi ini,

    yakni kepada:

    1. Ibu Anna Muawanah, M.Si., selaku pembimbing I yang telah dengan sabar

    membimbing dan memberikan saran kepada penulis selama proses penulisan

    skripsi ini.

    2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si., selaku pembimbing II dan juga selaku

    Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan perhatian dan

    bimbingannya kepada penulis.

    3. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    4. Bapak Dr.Thamzil Laz selaku penasihat akademik yang selalu memberikan

    nasihat, motivasi, dan inspirasi kepada penulis.

  • viii

    5. Ayah, Bunda, dan juga Kakak yang tidak pernah mengenal lelah dalam

    memberikan perhatian dan dukungannya kepada penulis sampai sekarang.

    6. Keluargaku di Solo Mbah Putri, Pakde, Om, Bulek, Sepupu yang senantiasa

    selalu mendoakan penulis dalam setiap kesulitan dan perjuangan. Semoga

    Allah SWTmembalas kebaikan kalian.

    7. Ade, Diah, Lina, Ayya, Nur, Dita, Adaw, Puput, Chitta, Rafi, Hafiz serta

    teman-teman kimia 2009 yang sudah banyak partisipasinya, dalam membantu

    penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

    8. Kak pipit selaku laboran kimia yang telah sabar membantu dan mendukung

    dalam proses penelitian.

    9. Adik- adik kimia angkatan 2010 dan 2011 yang juga telah membantu dalam

    proses penelitian.

    Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

    itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

    berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan

    pengetahuan bagi para pembacanya. Aamiin.

    Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri, mudah-

    mudahan semua bentuk perhatian, bantuan dan partisipasi yang sudah diberikan

    mendapatkan pahala yang setimpal dari-Nya.

    Jakarta, Januari 2014

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    Hal

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

    DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

    1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 3

    1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3

    1.4. Hipotesis Penelitian .................................................................................... 4

    1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sawo Manila ............................................................................................... 5

    2.2. Kayu Manis............................................................................................... 11

    2.3. Pangan Fungsional .................................................................................... 14

    2.4. Minuman Sari Buah .................................................................................. 15

    2.4.1. Komposisi Sari Buah ..................................................................... 19

    2.5. Antioksidan ............................................................................................... 22

    2.6. Analisis Sensori ........................................................................................ 28

    2.7. Instrumentasi ............................................................................................ 30

  • x

    2.7.1. Spektrofotometri Serapan Atom.................................................... 30

    2.7.2. Spektrofotometri UV-Vis .............................................................. 32

    BAB III METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................. 35

    3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 35

    3.3. Prosedur Penelitian .................................................................................. 36

    3.3.1. Pembuatan Minuman Fungsional .................................................. 36

    3.3.2. Analisis Sensori ............................................................................. 37

    3.3.3. Analisis antioksidan ...................................................................... 38

    3.3.4. Uji Sifat Fisik dan Kimia ............................................................. 39

    3.3.5. Uji Cemaran Logam ...................................................................... 42

    3.3.6. Uji Cemaran Mikroba.................................................................... 42

    3.3.7. Analisis Data ................................................................................. 44

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Analisis Sensori ......................................................................................... 45

    4.2. Analisis Antioksidan ................................................................................. 57

    4.3. Uji Sifat Fisik dan Kimia .......................................................................... 67

    4.4. Uji Cemaran Logam .................................................................................. 70

    4.5. Uji Cemaran Mikroba .............................................................................. 71

  • xi

    BAB V PENUTUP

    5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 74

    5.2. Saran .......................................................................................................... 75

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76

    LAMPIRAN .................................................................................................... 87

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Hal

    Gambar 1. Sawo Manila (Achras Sapota L) .................................................... 5

    Gambar 2. Struktur Beberapa Fenolat ............................................................. 9

    Gambar 3. Kulit Dan Bubuk Kayu Manis ....................................................... 11

    Gambar 4. Sukrosa .......................................................................................... 21

    Gambar 5. Mekanisme Antioksidan Primer .................................................... 23

    Gambar 6. Asam Askorbat .............................................................................. 24

    Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida Dan

    Hidrogen Peroksida ........................................................................ 26

    Gambar 8. Reduksi DPPH dari Senyawa Peredam Radikal Bebas ................. 27

    Gambar 9. Skema Peralatan SSA .................................................................... 31

    Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis ........................................... 33

    Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna .................................. 46

    Gambar 12. Formulasi Minuman Fungsional .................................................... 47

    Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin ................................. 49

    Gambar 14. Reaksi Pembentukan Melanin dari O-Kuinon atau O-Difenol ...... 50

    Gambar 15. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Aroma .................................. 51

    Gambar 16. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Rasa Manis dan Asam ......... 54

    Gambar 17. Skema Teori Kemanisan ................................................................ 55

    Gambar 18. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Penerimaan Keseluruhan ..... 57

    Gambar 19. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue ...... 59

  • xiii

    Gambar 20. Kurva Korelasi Aktivitas Antioksidan dengan Kadar Fenolik

    Total Buah Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis ........................... 62

    Gambar 21. Mekanisme Kerja Antioksidan Golongan Fenol ........................... 64

    Gambar 22. Mekanisme Kerja Vitamin C Sebagai Antioksidan ....................... 65

    Gambar 23. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida dan

    Hidrogen Peroksida ........................................................................ 66

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Hal

    Tabel 1. Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar ......................... 8

    Tabel 2. Standar Mutu Minuman Sari Buah (SNI 01-3719-1995) ................... 16

    Tabel 3. Formulasi Minuman Sari Buah Sawo ................................................. 37

    Tabel 4. Hasil Pengujian Organoleptik Minuman Fungsional ......................... 45

    Tabel 5. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada Sawo,

    Kayu Manis, dan Jeruk Nipis ............................................................. 58

    Tabel 6. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada

    Minuman Fungsional 561 ................................................................... 63

    Tabel 7. Sifat Kimia dan Fisik Minuman Fungsional Tersukai........................ 67

    Tabel 8. Uji Cemaran Logam Minuman Tersukai ............................................ 70

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Hal

    Lampiran 1. Bagan Skema Penelitian ................................................................ 88

    Lampiran 2. Bagan Proses Pembuatan Minuman Fungsional

    Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 89

    Lampiran 3. Formulir Uji Organoleptik ........................................................... 90

    Lampiran 4. Skor Hedonik Panelis Terhadap Minuman Fungsional

    Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 91

    Lampiran 5. Hasil SPSS Warna ....................................................................... 96

    Lampiran 6. Hasil SPSS Aroma ....................................................................... 97

    Lampiran 7. Hasil SPSS Rasa Manis ............................................................... 98

    Lampiran 8. Hasil SPSS Rasa Asam ................................................................ 99

    Lampiran 9. Hasil SPSS Penerimaan Keseluruhan .......................................... 100

    Lampiran 10. Hasil Uji T-Student Aktivitas Antioksidan Perasan Sawo

    dan Minuman Formula 561 ........................................................ 101

    Lampiran 11. Hasil Uji T-Student Kandungan Total Fenolik Perasan Sawo

    dan Minuman Formula 561 ......................................................... 102

    Lampiran 12. Pengujian Aktivitas Antoksidan Sawo, Kayu Manis, dan

    Jeruk Nipis .................................................................................. 103

    Lampiran 13. Perhitungan Minuman Fungsional 561 ....................................... 104

    Lampiran 14. Hasil Analisis Total Fenol ......................................................... 105

    Lampiran 15. Hasil Uji Logam.......................................................................... 106

    Lampiran 16. Hasil Uji Cemaran Mikroba ........................................................ 107

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Buah sawo (Achras sapota L.) selama ini dianggap sebagai buah asli

    Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di Pulau

    Jawa. Buah sawo disukai karena memiliki rasa yang manis dan biasa dikonsumsi

    sebagai buah segar dalam keadaan matang (Rukmana, 1997). Namun, buah sawo

    sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang mudah rusak terutama

    setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan fisik,

    mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak dapat disimpan

    lama dan umumnya hanya dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika

    disimpan pada kondisi normal (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang demikian,

    maka diperlukan teknologi pengolahan sehingga buah sawo tidak hanya

    dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan

    olahan lain yang memiliki nilai tambah. Pengolahan ini merupakan salah satu cara

    untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang masa simpan buah

    sawo (Aryati, 2006). Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dijadikan sebagai

    alternatif yaitu diolah menjadi pangan fungsional berupa minuman fungsional sari

    buah.

    Pangan fungsional merupakan pangan yang mempunyai efek fisiologis

    bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan kondisi umum

    dari tubuh, mengurangi resiko terhadap suatu penyakit, dan bahkan dapat

  • 2

    digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit (Astawan, 2003; Siro et al.,

    2008). Efek fisiologis tersebut karena adanya komponen aktif yang terkandung

    didalam bahan pangan tersebut (Winarti et al., 2005).

    Komponen aktif yang terkandung didalam buah sawo dan bermanfaat bagi

    kesehatan yaitu vitamin C, fenolik, dan karotenoid yang diketehui memilik efek

    antioksidan (Kulkarni et al.,2006). Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai

    struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal

    bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih,

    2006). Radikal bebas yang berlebih dapat menyerang senyawa apa saja terutama

    yang rentan seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada timbulnya berbagai

    penyakit degeneratif (Middleton, 2000).

    Pengolahan sawo selain untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang

    masa simpan, juga dapat menghasilkan minuman fungsional yang dapat dijadikan

    sebagai sumber gizi terutama sumber antioksidan. Selain itu, pembuatan minuman

    fungsional dapat juga dipadukan dengan bahan lain seperti kayu manis sebagai

    flavor dalam formulasi minuman. Kayu manis merupakan tanaman rempah yang

    telah lama dimanfaatkan sebagai pewangi atau peningkat cita rasa pada makanan

    atau minuman (Rismunandar et al.,2001). Komponen-komponen bioaktif dalam

    kayu manis, seperti sinamaldehid, asam sinamat, dan sineol diketahui memiliki

    aktivitas antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan (Jayapprakasha, 2003).

    Dengan demikian, perpaduan antara sawo dengan rempah-rempah dalam

    formulasi diharapkan akan menghasilkan suatu formulasi yang dapat diterima dari

    segi sensori dan juga dapat diperoleh aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.

  • 3

    1.2. Rumusan Masalah

    a. Apakah formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis berpengaruh

    terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan pengujian organoleptik?

    b. Bagaimana aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawo-

    kayu manis yang tersukai?

    c. Apakah kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis

    tersukai telah memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-

    1995.

    1.3. Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini yaitu:

    a. Mendapatkan formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis yang

    paling disukai oleh panelis berdasarkan pengujian organoleptik.

    b. Mengetahui aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawo-

    kayu manis yang paling disukai.

    c. Mengetahui kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis

    tersukai sesuai standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.

  • 4

    1.4. Hipotesis

    a. Terdapat pengaruh formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis

    terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan pengujian

    organoleptik.

    b. Formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis yang tersukai

    memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.

    c. Kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis telah

    memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.

    1.5. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat

    kepada masyarakat mengenai pemanfaatan buah sawo sebagai bahan baku

    alternatif minuman fungsional yang memiliki aktivitas antioksidan, bermanfaat

    bagi kesehatan dan juga sebagai upaya dalam peningkatan mutu produk buah

    sawo.

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sawo Manila (Achras sapota L)

    Sawo manila, Achras sapota L.yang biasa dikenal sebagai chikku

    merupakan salah satu buah lezat daerah tropis yang merupakan keluarga dari

    Sapotaceae. Sawo disukai karena rasanya yang manis dan lezat. Sawo biasa

    dikonsumsi sebagai makanan pencuci mulut (Hiremath et al., 2012).

    Tanaman sawo diduga berasal dari daerah Amerika Tengah, terutama

    kawasan Guatemala. Namun, tanaman sawo selama ini dianggap sebagai tanaman

    asli Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di

    Pulau Jawa (Rukmana,1997). Sawo diketahui merupakan salah satu tanaman buah

    utama di India, Meksiko, Guatemala, dan Venezuela (Kulkarni et al., 2006; Maya

    et al., 2003). Bentuk tanaman dan buah sawo dapat dilihat pada gambar 1.

    Gambar 1. Sawo Manila ( Candra, 2011)

    Di Indonesia, sawo merupakan tanaman buah-buahan yang berbuah tanpa

    musim. Tanaman sawo ini dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik mulai dari

    dataran rendah sampai ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Tanaman

    sawo memiliki daya adaptasi yang cukup luas pada kondisi iklim tropis

  • 6

    (Rukmana, 1997). Buah sawo yang cukup tua memiliki ukuran buah yang

    maksimal, kulit buah berwarna coklat muda, daging buah agak lembek, bila

    dipetik mudah terlepas dari tangkainya, serta bergetah relatif sedikit (Aryati,

    2006).

    Matangnya buah dapat diberi batasan sebagai perubahan berturut-turut

    warna buah, aroma, tekstur kearah kondisi buah yang siap untuk dikonsumsi

    (Kartasapoetra, 1989). Sawo tidak dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya

    dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika disimpan pada kondisi biasa

    (Aryati, 2006). Buah sawo umumnya dikonsumsi sebagai buah segar dalam

    keadaan matang atau biasa dinamakan buah meja (Rukmana, 1997).

    Sawo memiliki beberapa nama umum lainnya yang berbeda pada setiap

    negara, seperti sawo manila (Indonesia), baramasi (Bengal dan Bihar), buah chiku

    (Malaya, India), chicle (Meksiko), chico (Filipina), korob (Kosta Rika), Mespil

    (Virgin Islands), muy (Guatemala), muyozapot (El Salvador), neeseberry (British

    West Indies), nispero (Puerto Rico, Amerika Tengah), nispero quitense (Ekuador),

    sapot (Brasil), sapotille (French West Indies), zapota (Venezuela)(Morton, 1987).

    Menurut Heyne (1987), tanaman sawo manila (gambar 1) memiliki

    taksonomi sebagai berikut.

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Magnoliophyta

    Kelas : Magnoliopsida

    Ordo : Ericales

    Famili : Sapotaceae

    Genus : Chrysophyllum

    Spesies : Achras sapota L

  • 7

    Menurut Rukmana (1997), sawo termasuk buah klima-terik yaitu buah

    yang proses fisiologisnya berlangsung terus walau sudah dipetik atau dipanen.

    Proses fisiologis yang dimaksud yaitu akan mengadakan perubahan dari tua

    (mature) setelah panen menjadi masak (ripening) dan akan berlanjut ke fase lewat

    matang (decaying) atau pembusukan juga disertai terbentuk aroma khas. Oleh

    karena itu, buah sawo sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang

    mudah rusak terutama setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa

    kerusakan fisik, mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak

    dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya dapat bertahan selama 5-7 hari

    jika disimpan pada kondisi biasa (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang

    demikian, perlu diperkenalkan kepada petani khususnya dan masyarakat

    umumnya mengenai teknologi pengolahannya sehingga buah sawo tidak hanya

    dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan

    olahan lain yang memiliki nilai tambah besar. Selain itu, pengolahan merupakan

    salah satu cara untuk mempertahankan mutu produk pertanian (Aryati, 2006).

    .Tanaman sawo, selain menghasilkan buah yang rasanya manis dan

    menyegarkan, juga mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap

    (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemprov Jabar, 2008; Aryati, 2006).

  • 8

    Tabel 1.Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar oleh Direktorat Gizi

    Depkes (1981).

    No Kandungan Gizi Jumlah

    1. Kalori 92.00 kal

    2. Protein 0.50 g

    3. Lemak 0.1 g

    4. Karbohidrat 22.4 g

    5. Kalsium 25.00 g

    6. Fosfor 12.00 mg

    7. Zat besi 1.00 mg

    8. Vitamin A 60.00 SI

    9. Vitamin B1 0.01 mg

    10. Vitamin C 21.00 mg

    11. Air 75.50 g

    12. Bagian yang dapat dimakan 79.00 %

    Buah sawo juga diketahui mengandung flavonoid, saponin, dan tanin

    (Sukandar et al., 2012). Selain itu, sawo diketahui merupakan sumber yang baik

    dari asam askorbat, karetenoid, dan fenolik yang dilaporkan memiliki banyak

    manfaat pada kesehatan (Kulkarni et al., 2006). Hasil penelitian Sukandar et al

    (2012) menunjukkan ekstrak etanol buah sawo memiliki aktivitas antioksidan

    yang cukup tinggi yaitu dengan IC50 sebesar 29,20 ppm, sedangkan Kulkarni et al

    (2006) menyebutkan dalam penelitiannya perasan sari sawo memiliki aktivitas

    antioksidan (IC50) sebesar 87,53 L/mL.

    Buah sawo dilaporkan juga mengandung gula (Siddappa et al., 1954),

    asam (Shanmugavelu et al.,1973), protein, asam amino (Selvaraj et al.,1984),

    fenolat (gambar 2), yaitu, asam galat (1), asam chlorogenic (2), catechin (3),

    leucodelphinidin (4), leucocyanidin (5).dan leucopelargonidin (6) (Mathew et

    al.,1969), karotenoid, asam askorbat, dan mineral seperti kalium, kalsium dan zat

    besi (Selvaraj et al., 1984).

  • 9

    1

    3

    5

    2

    4

    6

    Gambar 2. Struktur Beberapa Fenolat

    Shanmugavelu et al (1973) menyebutkan buah sawo juga merupakan

    sumber yang baik dari gula yang dapat dicerna, yaitu berkisar antara 12 sampai 20

    persen dan juga memiliki banyak kandungan mineral seperti zat besi dan kalsium.

    Buah juga memiliki jumlah yang cukup protein, lemak, kalsium, serat, fosfor,

    karoten, zat besi, dan vitamin C. Selain itu, sawo diketahui kaya akan bio-besi

    yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin (Gursharansingh, 2001).

  • 10

    Sumeru (1995) menyebutkan buah sawo adalah buah berdaging buah tebal

    dengan rasa manis yang memiliki kandungan gula sebesar 14%, sakarosa 7,02%,

    dektrosa 3,7%, levulosa 3,4%, dan mengandung sedikit asam serta abu 1%. Selain

    itu, sawo mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap, yaitu kalori

    92,0 kkal, protein 0,5 gram, lemak 0,10 gram, karbohidrat 26,4 gram dan vitamin

    sekitar 60,00 SI (Rukmana, 1997). Buah sawo memiliki kandungan mineral cukup

    baik. Buah ini merupakan sumber kalium yang baik, yaitu 193 mg/100 g. Di lain

    pihak, sawo juga memiliki kadar natrium yang rendah, 12 mg/100g. Perbandingan

    kandungan kalium dan natrium yang mencapai 16:1 menjadikan sawo sangat baik

    untuk jantung dan pembuluh darah (Candra, 2010).

    Logam transisi, besi, tembaga, dan seng, juga merupakan nutrisi penting

    yang terkandung dalam sawo (Kulkarni et al., 2006). Kekurangan ion logam ini

    dilaporkan telah menjadi gangguan defisiensi gizi yang paling umum terjadi di

    dunia yang mempengaruhi sekitar dua milyar orang, sebagian besar mereka

    tinggal di negara berkembang (Lynch, 2005). Menurut Kulkarni et al (2006)

    dalam Kwong et al (2004), kekurangan zat besi memiliki dampak yang merusak

    yakni menurunnya imunitas sel dan menyebabkan perubahan perilaku dan

    kognitif. Kekurangan tembaga juga telah dikaitkan dengan gangguan metabolisme

    karbohidrat (Davis et al.,1987), sedangkan kekurangan seng menyebabkan

    kekurangan atau ketidak sempurnaan dari pertumbuhan, kematangan seksual,

    kekebalan, rasa dan nafsu makan (Apgar, 1992).

  • 11

    2.2. Kayu Manis

    Menurut Heyne (1987), pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli Asia

    Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina, Indonesia termasuk didalamnya.

    Tumbuhan ini termasuk famili Lauraceae yang memiliki nilai ekonomi dan

    merupakan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama untuk diambil

    hasilnya. Hasil utama kayu manis (gambar 3) adalah kulit batang dan dahan,

    sedang hasil samping adalah ranting dan daun. Komoditas ini selain digunakan

    sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak

    dimanfaatkandalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman,

    rokok, dan lain-lain.

    Gambar 3. Kulit dan Bubuk Kayu Manis (Rusli et al., 1988).

    Dari 54 spesies kayu manis (Cinnamomum sp.) yang dikenal di dunia, 12

    di antaranya terdapat di Indonesia. Tiga jenis kayu manis yang menonjol di pasar

    dunia yaitu Cinnamomum burmannii (di Indonesia) yang produknya dikenal

    dengan nama cassiavera, Cinnamomum zeylanicum (di Sri Lanka dan Seycelles)

    dan Cinnamomum cassia (di China) yang produknya dikenal dengan Cassia

    China. Jenis-jenis tersebut merupakan beberapa tanaman rempah yang terkenal di

    pasar dunia. Tanaman kayu manis yang selama ini banyak dikembangkan di

    Indonesia adalah C. burmannii Bl, yang merupakan usaha perkebunan rakyat,

  • 12

    terutama diusahakan di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara. Jenis

    Cburmanii BL atau cassiavera ini merupakan produk ekspor tradisional yang

    masih dikuasai Indonesia sebagai negara pengekspor utama di dunia.Tanaman

    kayu manis memiliki klasifikasi sebagai berikut:

    Kerajaan : Plantae

    Divisio : Magnoliophyta

    Kelas : Magnoliopsida

    Ordo : Laurales

    Suku : Lauraceae

    Marga : Cinnamomum

    Spesies : Cinnamomum burmanii Bl

    Tanaman kayu manis merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong

    dalam famili Lauraceae, yaitu salah satu famili dari ordo Ranales. Famili ini

    memiliki 45 genera dan 1100 spesies. Pertanaman kayu manis umumnya

    merupakan perkebunan rakyat, terutama tersebar di daerah Sumatera Barat,

    Kerinci, dan Tapanuli Selatan. Dewasa ini kayu manis juga sudah mulai

    dikembangkan di Jawa, Kalimantan, Flores, dan Lombok. Jenis tanaman yang

    diusahakan sebagaian besar adalah Cinnamomum burmannii BI. dan sedikit

    Cinnamomum zeylanicum BI. dan Cinnamomum cassia BI, terutama di daerah

    Jawa Barat (Rusliet al., 1985). Kulit kayu manis kering yang bermutu baik pada

    umumnya mengandung minyak atsiri, pati, getah, resin, fixed oil, tanin, selulosa,

    zat warna, kalium oksalat, dan mineral (Rismunandar et al., 2001).

  • 13

    Komponen utama flavor dalam kayu manis adalah sinamaldehid gmbar

    struktur, yang bukan merupakan fenol. Tetapi komponen minor flavor, kumarin

    mengandung gugus fenol dan penting untuk memberi ciri khas flavor alami kayu

    manis (Ho et al., 1992).

    Eugenol yang merupakan komponen utama flavor cengkeh, juga

    ditemukan pada kayu manis dalam jumlah kecil. Eugenol ditemukan pada kayu

    manis sebesar 0,04-0,2 %, pada oleoresin kayu manis sebesar 2-6 %, dan pada

    minyak kayu manis sebesar 70-90 % (Ho et al., 1992). Kayu manis dapat berperan

    sebagai antioksidan karena mengandung senyawa tanin dan eugenol (King, 2000).

    Selain sebagai rempah, hasil olahan kulit kayu manis seperti minyak atsiri

    dan oleoresin banyak digunakan dalam industri-indusri farmasi, kosmetik,

    makanan dan minuman, rokok, dan sebagainya. Tanaman ini juga digunakan

    sebagai tanaman penghijauan dan konservasi tanah-tanah yang miring pada daerah

    aliran sungai. Cinnamomum burmannii juga banyak ditanam sebagai tanaman hias

    karena warna pucuknya yg merah terlihat indah (Rusli et al., 1985).

    Minyak atsiri kayu manis sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai

    antiseptik. Minyak kayu manis ini juga memiliki efek untuk mengeluarkan angin

    (karminatif), membangkitkan selera atau menguatkan lambung (stomakik),

    sebagai obat sariawan, encok, masuk angin, dan sebagai antidiare. Untuk

    pengolahan makanan dan minuman, minyak kayu manis sudah lama dimanfaatkan

    sebagai pewangi atau peningkat citarasa, diantaranya untuk minuman keras,

    minuman ringan, agar-agar, kue, kembang gula, bumbu gulai, dan sup

    (Rismunandar et al., 2001).

  • 14

    2.3. Pangan Fungsional

    Menurut Badan POM (2011), pangan fungsional adalah pangan olahan

    yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian

    ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak

    membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Menurut Winarti & Nurdjanah

    (2005), berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari

    produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai

    produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut.

    Berbagai minuman telah tersedia dan berkhasiat menyehatkan tubuh yang

    mengandung komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari

    jahe, sari temulawak, beras kencur, serbat, dan bandrek.

    Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman,

    mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa

    yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan

    tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika

    digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung

    senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk

    kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Winarti et al.,2005

    dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), 2001).

    Pangan fungsional mempunyai tiga fungsi dasar antara lain sensory

    (warna dan penampilan menarik, citarasanya enak), nutritional (bernilai gizi), dan

    physiological (memberikan pengaruh fisiologis, menguntungkan bagi tubuh).

    Fungsi fisiologis dari suatu pangan fungsional antara lain: a) mencegah penyakit

  • 15

    yang berhubungan dengan konsumsi pangan, b) meningkatkan daya tahan tubuh

    (regulating bio-defensiveness), c) meregulasi rithme kondisi fisik tubuh, d)

    memperlambat proses penuaan (aging), dan e) penyehatan kembali (recovery)

    tubuh setelah menderita penyakit tertentu (Muchtadi, 2004).

    Dewasa ini produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan

    mulai banyak diminati oleh konsumen karena kesadaran akan pentingnya hidup

    sehat semakin meningkat. Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang

    terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi

    kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif.

    Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah

    karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease,

    monoterpen, fitoestrogen, sulfide dan asam fitat (Winarti et al., 2005). Komponen

    fenolik dalam tanaman diketahui dapat menghambat pertumbuhan kanker dan

    mempunyai aktivitas antimutagenik. Pertumbuhan kanker yang dapat ditekan oleh

    senyawa fenolik antara lain kanker usus, payudara, paru-paru, dan kulit (Craig,

    1999).

    2.4. Minuman Sari Buah

    Minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan

    air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan

    yang diizinkan (SNI 01-3719-1995). Minuman sari buah yang diproduksi harus

    memiliki mutu yang sesuai dengan yang ada dalam SNI 01-3719-1995 yang

    ditunjukkan pada tabel 2 berikut.

  • 16

    Tabel 2. Standar Mutu Minuman Sari Buah (SNI 01-3719-1995)

    No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

    1. Keadaan:

    1.1 Aroma - Normal

    1.2 Rasa - Normal

    2. Bilangan Formol

    (ml N NaOH)/100

    ml min.15

    3. Bahan tambahan makanan:

    3.1 Pemanis buatan - tidak boleh ada

    3.2 Pewarna tambahan sesuai SNI 01-0222-1987*)

    3.3 Pengawet sesuai SNI 01-0222-1987*)

    4. Cemaran logam:

    4.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3

    4.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5,0

    4.3 Seng (Zn) mg/kg maks. 5,0

    4.4 Timah (Sn) mg/kg

    maks.

    40,0/250,0**)

    4.5 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03

    5. Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,2

    6. Cemaran mikroba

    6.1 Angka lempeng total koloni/ml maks. 2 x 102

    6.2 Coliform APM/ml maks. 20

    6.3 E.coli APM/ml < 3

    6.4 Salmonella koloni/25ml Negatif

    6.5 S.Aureus koloni/ml 0

    6.6 Vibrio.sp koloni/ml Negatif

    6.7 Kapang koloni/ml maks. 50

    6.8 Khamir koloni/ml maks. 50

    CATATAN:

    *) dan revisinya

    **) untuk yang dikemas dalam

    kaleng

    Menurut Pollard et al (1974), sari buah merupakan hasil pengepresan atau

    ekstraksi buah yang sudah disaring. Buah yang digunakan sebagai sari buah harus

    dalam keadaan matang dan mempunyai cita rasa yang enak. Buah-buahan yang

    akan diproses menjadi sari buah hendaknya merupakan buah varietas tertentu dan

  • 17

    berasal dari daerah penanaman yang sama. Sedangkan faktor yang mempengaruhi

    cita rasa sari buah adalah perbandingan antara gula dan asam, jenis dan jumlah

    komponen aroma, serta jenis vitamin (Kusumawati, 2008).

    Menurut Makfoeld (1982), tahap-tahap pengolahan sari buah secara umum

    adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi,

    ekstraksi, homogenisasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan, dan pengemasan.

    Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap proses

    pengolahan tersebut, bergantung pada sifat buah dan sari buah yang diinginkan

    (Kusumawati, 2008).

    Pemilihan bahan merupakan hal yang penting dalam pembuatan formulasi

    minuman ini, karena bahan yang baik akan menghasilkan kualitas minuman yang

    baik pula. Pemilihan buah dilakukan berdasarkan bentuk buah, ukuran, warna, dan

    banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan.

    Penghancuran sari buah dilakukan dengan blender dan ekstraksi dilakukan

    dengan cara pengepresan secara manual atau dengan pengepres alat dan kain

    saring. Ekstraksi yang baik dapat menghindarkan tercampurnya kotoran dan

    jaringan buah sehingga flavornya baik (Muchtadi, 1979).

    Penambahan pengawet berperan penting dalam pembuatan sari buah untuk

    meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu pengawet yang dapat

    digunakan yaitu natrium benzoat. Batas maksimum pengawet yang diperbolehkan

    Menkes di dalam minuman yaitu 600 mg/kg (PP No. 722/ Menkes/ Per/ IX/

    1988).Natrium benzoat dipilih sebagai pengawet minuman karena efektif mampu

    menghambat pertumbuhan kapang dan khamir (Jay, 1978). Namun, keefektifan

  • 18

    natrium benzoat bekerja sebagai pengawet yaitu pada bahan pangan yang

    memiliki pH 4.0 (Jay, 1978; Dunn, 1957). Oleh karena itu, perlu ditambahkan

    asidulan atau zar pengatur keasaman yang berfungsi untuk menurunkan pH pada

    minuman. Asidulan yang dapat ditambahkan yaitu asidulan alami seperti jeruk

    nipis. Asidulan alami dapat dipilih agar meminimalkan penggunaan bahan

    tambahan pangan (BTP) sintetis ke dalam minuman (Herold, 2007).

    Pengemasan yang merupakan bagian penting dalam suatu proses

    pembuatan produk pangan. Menurut Dwiari (2008), fungsi paling mendasar dari

    kemasan adalah mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan

    sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dan dipasarkan. Jenis kemasan yang

    digunakan dalam penelitian ini yaitu botol. Botol merupakan kemasan berbahan

    gelas yang memiliki beberapa keuntungan, yaitu bersifat inert terhadap bahan

    kimia, tahan terhadap tekanan dari dalam, tahan panas, dan relatif murah. Selain

    itu, botol gelap yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kemasan yang

    tahan cahaya, tidak transparan atau tidak tembus cahaya, sehingga menghindarkan

    produk dari reaksi oksidasi akibat terkena cahaya langsung yang dapat

    menyebabkan kerusakan pada produk.

    Setalah dilakukan proses pengemasan, dilakukan proses pasteurisasi.

    Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dapat membunuh atau

    memusnahkan sebagian tetapi tidak semua mikroba yang ada dalam bahan dan

    biasanya menggunakan suhu di bawah 100. Pasteurisasi membunuh semua

    mikroorganisme mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik (Winarno, 1993).

    Walaupun demikian, proses pasteurisasi hanya efektif membunuh mikroba

  • 19

    patogen atau pembusuk, maka produk pangan yang sudah dipasteurisasi umumnya

    masih mengandung mikroba lain seperti bakteri tidak berspora dari genera

    Streptoccocus dan Lactobacillus, serta kapang dan khamir (Fardiaz, 1996).

    Penyimpanan dingin (chilling storage) merupakan cara penyimpanan

    bahan atau produk pangan di bawah suhu 15C dan di atas titik beku

    bahan/produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat

    turunnya mutu sari buah, disamping penambahan zat-zat pengawet kimia dan

    konsentrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan

    mikroba pada bahan/produk yang disimpan. Penurunan ini disebabkan terjadinya

    denaturasi enzim dan penghambatan sintesa enzim yang dibutuhkan mikroba.

    Menurut Pollard & Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi sari

    buah adalah 35-40F (1.67-4.44C) (Kusumawati, 2008)..

    2.4.1. Komposisi Sari Buah

    Dalam penelitian ini, minuman fungsional sari buah dibuat dengan

    beberapa komposisi diantaranya yaitu, buah sawo, kayu manis, air, gula pasir,

    jeruk nipis, dan natrium benzoat.

    Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat

    mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno, 1992). Air

    yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengekstraksi komponen-komponen

    kimia dalam buah sawo hingga menjadi sari buah. Namun, air dalam

    penggunaanya harus memenuhi beberapa persyarataan agar dapat digunakan,

    diantaranya yaitu sebagai berikut (Hartono, 2011)

  • 20

    a. Syarat fisik. Air tersebut bening (tak berwarna), tidak berasa, dan suhu

    dibawah suhu diluarnya.

    b. Syarat bakteriologis. Air harus terbebas dari segala macam bakteri, terutama

    bakteri patogen. Untuk mengetahuinya dengan memeriksa melalui sampel

    air, dalam per 100 ml sampel tidak dibolehkan terkandung bakteri E.Coli

    dan total bakteri koliform (PMK No.492 tentang persyaratan kualitas air

    minum).

    c. Syarat kimia. Air tidak boleh mengandung zat-zat kimia berbahaya yang

    dapat mempengaruhi kesehatan.

    Gula atau sukrosa (gambar 4) adalah oligosakarida yang memiliki peran

    penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit,

    siwalan,dan kelapa kopyor. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan

    sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak

    dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula

    pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai

    menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 1992). Menurut

    Buckle et al (1987), sukrosa dalam pembuatan makanan berfungsi untuk memberi

    rasa manis dan sebagai pengawet dimana dalam konsentrasi tinggi dapat

    menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menurunkan aktivitas air dalam

    bahan pangan (Muawannah, 2012).

  • 21

    7

    Gambar 4. Sukrosa

    Jeruk nipis adalah asidulan alami yang dapat ditambahkan dalam

    pembuatan minuman fungsional sari buah. Jeruk nipis memiliki karakteristik

    citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma yang tajam (Fellers,

    1985). Senyawa volatil dari buah jeruk juga sangat penting dalam membentuk

    aroma dan flavor. Komponen-komponen ini mencakup hidrokarbon terpen,

    komponen karbonil, alkohol, dan ester yang terdapat pada minyak kulit jeruk dan

    sedikit pada kantung minyak yang terdapat dalam kantung sari buah (Ting et al.,

    1971). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain ialah sebagai bahan obat

    tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk

    menambah rasa segar pada minuman (Kordial, 2009).

    Natrium benzoat merupakan butiran atau sebuk putih tidak berbau dan

    bahan ini dapat ditambahkan langsung ke dalam makanan atau dilarutkan terlebih

    dahulu di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya. Dalam penggunaanya, asam

    benzoat kurang kelarutannya dalam air dibandingkan dalam bentuk garamnya,

    sehingga pemakaiannya sering digunakan dalam bentuk garamnya yaitu natrium

    benzoat (C6H3COONa) (Winarno et al.,1980).

  • 22

    Natrium benzoat merupakan pengawat sintetis yang biasa ditambahkan

    pada makanan atau minuman. Aturan menteri kesehatan menyebutkan bahwa

    batas penggunaan natrium benzoat pada yaitu600 mg/kg, PP No. 722/ Menkes/

    Per/ IX/ 1988. Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai pengawet yaitu

    berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam

    benzoat tidak terdisosiasi. Molekul-molekul asam benzoat tersebut dalam suasana

    asam dapat mencapai sel mikroba yang membran selnya mempunyai sifat

    permeabel terhadap molekul-molekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Sel

    mikroba yang mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul

    asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan berdisosiasi dan menghasilkan

    ion-ion H+, sehingga akan menurunkan pH mikroba tersebut. Hal ini

    mengakibatkan metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mikroba tersebut

    mati (Winarno dan Laksmi, 1974)

    2.5. Antioksidan

    Menurut Kochhar & Rossel (1990), antioksidan sebagai senyawa yang

    dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti

    khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya

    reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.

    Menurut Winarno (1997), antioksidan dibagi menjadi dua ketegori yaitu

    antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat

    yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk

    yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif dapat

    mengurangi laju awal reaksi (Gordon, 1990). Menurut Shahidi (1995), antioksidan

  • 23

    primer (AH) bekerja dengan mekanisme seperti pada gambar 5. Antioksidan

    primer (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara memberikan atom hidrogen

    secara terus-menerus kepada radikal lipida (reaksi 1 dan 2). Reaksi berikutnya

    berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (reaksi 5 dan 6).

    (1) ROO*+AH ROOH + A

    *

    (2) RO*+ AH ROH + A

    *

    (3) ROO*+ A

    *ROOA

    (4) RO*+ A

    *ROA

    (5) RO*+ RH ROOH + R

    *

    (6) ROO*+ RH R

    *+ ROOH

    Gambar 5. Mekanisme Antioksidan Primer

    Berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) antioksidan dapat dibagi

    menjadi 4 tipe, yaitu:

    a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan menyumbangkan

    atom H, misalnya vitamin E.

    b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat

    pemulung, misalnya vitamin C.

    c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan Cu2+,

    misalnya flavonoid.

    d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi

    bentukstabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase.

  • 24

    8

    Gambar 6. Asam Askorbat

    Vitamin C atau asam askorbat (gambar 6) merupakan nutrien dan vitamin

    yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan.

    Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam

    askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling dikenal,

    vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS dan radikal bebas (Frei,

    1994).

    Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan

    cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C juga

    dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan

    ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam

    sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi

    dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen

    reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer electron ke dalam

    tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan (Levine,

    et al., 1995).

    Askorbat dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik dengan

    atau tanpa katalisator enzim. Secara tidak langsung, askorbat dapat meredam

    aktivitas dengan cara mengubah tokoferol menjadi bentuk tereduksi. Reaksinya

  • 25

    terhadap senyawa oksigen reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen

    lainnya. Askorbat juga melindungi makromolekul penting dari oksidatif. Reaksi

    terhadap radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.

    Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Vitamin E yang

    teroksidasi radikal bebas dapat bereaksi dengan vitamin C kemudian akan berubah

    menjadi tokoferol setelah mendapat ion hidrogen dari vitamin C (Belleville-

    Nabeet,1996)

    Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi

    dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid peroksida.

    Sebagai reduktor asam askorbat akan mendonorkan satu elektron membentuk

    semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi

    disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.

    Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat.

    Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka

    peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel (Suhartono et

    al., 2007).

    Menurut Asada (1992) reaksi askorbat dengan superoksida secara fisologis

    mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi dengan hidrogen peroksida dikatalisis

    oleh enzim askorbat peroksidase, yaitu sebagai berikut (gambar 7)

  • 26

    Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (Atas)

    danHidrogen Peroksida (Bawah) (Asada, 1992)

    Askorbat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan kompartemen

    ekstraseluler. Kloroplas mengandung semua enzim yang berfungsi untuk

    meregenerasi askorbat tereduksi dan produk-produk terioksidasi. Hidrogen

    peroksida juga dihancurkan dalam kloroplas melalui reaksi redoks askorbat dan

    pemanfaatan kembali glutation. Superoksida diubah menjadi hidrogen peroksida

    secara spontan melalui reaksi dismutasi atau oleh enzim SOD. Hidrogen

    peroksida ditangkap oleh askorbat dan enzim askorbat peroksidase (Asada, 1992).

    Dalam hal ini monodehiroaskorbat memiliki 2 jalur regenerasi. Salah satunya

    melalui monodehidrosiaskorbat reduktase, yang lainnya melalui dehidroaskorbat

    reduktase dan glutation, sementara yang berperan sebagai donor elektron adalah

    NADPH. Jalur ini juga memberikan 2 manfaat, yaitu detoksifikasi hidrogen

    peroksida yang didiga berperan dalam reaksi Feton dan oksidasi NADPH.

    Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal

    adalah metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhidrazyl).Metode DPPH memberikan

    informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH

  • 27

    memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet

    gelap. Penangkap radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang

    kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah

    elektron yang diambil (Sunarni, 2005).

    Molekul 1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil (DPPH) pada gambar 8, yang

    bereaksi dengan atom hidrogen yang dilepaskan satu molekul komponen sampel

    (antioksidan), pelepasan satu molekul sampel akan membentuk senyawa 1,1-

    diphenyl-2-21 picrylhidrazine dan radikal antioksidan yang menyebabkan

    terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning. Reaksi antara antioksidan

    dengan molekul DPPH (Prakash, 2001).

    N

    NH

    NO2

    NO2

    O2N

    N

    N

    NO2

    NO2

    O2N + A + A

    9

    2,2-difenil-1-pikrilhidrazil Antioksidan 2,2-difenil-1-pikrilhidrazin

    (DPPH) (DPPH Hidrazin)

    Gambar8. Reaksi Radikal DPPHdengan Senyawa Antioksidan

    Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavanol,

    isoflavon, flavon, katekin, dan flavanon), turunan dari asam sinamat, kumarin,

    tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt et al.,1990). Secara alami,

    antioksidan terdapat dalam hampir semua bahan pangan. Walaupun demikian, jika

    H

  • 28

    bahan pangan tersebut diolah maka antioksidan yang terkandung di dalamnya

    dapat mengalami degradasi kimia atau fisik sehingga fungsinya berkurang

    (Fardiaz, 1980).

    2.6. Analisis Sensori

    Analisis sensori atau pengujian organoleptik penting dilakukan untuk

    mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah

    suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah et al., 2012).

    Analisis sensori atau pengujian organoleptik adalah identifikasi, pengukuran

    ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik (atribut) produk berdasarkan

    penerimaan melalui kelima indera manusia yaitu penglihatan, penciuman,

    pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Atribut sensori yang dianalisis dengan

    pengindraan ini antara lain adalah penampilan, aroma, tekstur dan konsistensi,

    citarasa, serta suara (Meilgaard, 1999).

    Metode pengujian sensori melibatkan panelis dalam menilai suatu produk

    pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang yang menilai dan

    memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari

    konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam

    menilai menilai kualitas sensori. Penggunaan panelis diharapkan dapat

    menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh indra manusia

    (Setyaningsih et al., 2010).

    Citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh

    berbagai indra (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran)

    pada waktu mengkonsumsi makanan atau minuman. Kompleks sensasi yang

  • 29

    ditimbulkan dapat berupa sensasi rasa (manis, asam, asin, dan pahit) oleh papila

    lidah (taste buds), sensasi aroma oleh rongga hidung (nasal cavity), dan sensasi

    pain (sepat, panas atau pedas (pungency), dingin) oleh saraf-saraf trigeminal.

    Sensasi tidak langsung, seperti penampakan, suara, dan emosi juga turut

    berpengaruh terhadap persepsi citarasa makanan dan minuman yang dikonsumsi.

    Oleh karena itu, sensasi tersebut dapat mempengaruhi aspek penerimaan

    konsumen secara keseluruhan (Lindsay, 1996).

    Secara umum, Meilgaard (1999) mengklasifikasikan analisis sensori

    menjadi tiga bagian yaitu, uji pembedaan, uji deskripsi, dan uji afektif.

    a. Uji Pembedaan

    Uji pembedaan yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui perbedaan

    diantara dua atau lebih contoh. Uji pembedaan biasanya digunakan dalam

    konteks pengawasan mutu produk, studi umur simpan, dan investigasi bau atau

    flavor asing.

    b. Uji Deskriptif

    Uji deskriptif yaitu uji yang digunakan untuk menentukan atau mengukur

    karakter dan instensitas perbedaan dalam suatu produk. Uji ini lebih tepat

    digunakan untuk pengembangan produk, reformulasi produk, dan untuk meneliti

    perbedaan produk percobaan dengan produk komersial. Panelis yang digunakan

    dalam uji ini yaitu yang sudah terlatih yang telah melalui proses seleksi dan

    pelatihan.

  • 30

    c. Uji Afektif

    Uji afektif yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui respon individu

    berupa penerimaan ataupun kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah

    ada, produk baru, atau karakteristik khusus dari produk yang diuji. Menurut Poste

    (1991), hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu

    produk. Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif kualitatif

    dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatatif terdiri dari focus group,

    focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan, metode uji afektif kuantitatif

    terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji penerimaan (Meilgaard, 1999).

    Menurut Poste (1991), uji kesukaan atau uji hedonik merupakan metode

    pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel

    bila dibandingkan sampel lain. Skala hedonik kemudian digunakan utnuk

    menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala

    yang dapat digunakan pada uji hedonik yaitu skala yang berkisar antara 1 sampai

    5 antara 1 sampai 5, dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak

    Suka, dan (1) Sangat Tidak Suka (Akhtar et al., 2010).

    2.7. Instrumentasi

    2.7.1. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

    Spektrometri serapan atom adalah bagian dari spektroskopi. Teknik

    spektroskopi didasarkan pada emisi atau absorbsi radiasi elektromagnetik yang

    merupakan sifat khas dari perubahan energi tertentu dalam suatu molekul atau

    atom. Perubahan energi ini berupa tingkatan energi yang terkuantisasi yang

    mencirikan jenis-jenis atom atau molekul. Bila suatu substansi diradiasi dengan

  • 31

    radiasi elektromagnetik, energi dari foton dapat dipindahkan ke atom atau

    molekul sehingga dapat mengubah tingkatnya dari keadaan dasar ke keadaan

    tereksitasi. Proses ini dikenal sebagai absorpsi (Anwar et al., 1989). Dalam garis

    besarnya prinsip spektrofotometri serapan atom sama saja dengan

    spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk

    spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya (Rohman, 2007).

    Metode spektrofotometri serapan atom, berprinsip pada absorbansi cahaya

    oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang

    tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tersebut

    memiliki energi yang cukup untuk mengubah tingkat energi elektronik suatu

    atom. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu

    atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi

    (Khopkar, 2003). Skema peralatan AAS (gambar 9) yaitu:

    Gambar 9. Skema Peralatan SSA (Haswell, 1991)

  • 32

    1. Sumber radiasi, yaitu berupa lampu katoda berongga (hollow cathoda

    lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutuo yang mengandung suatu

    katida dan anoda.

    2. Atomizer,yaitu yang terdiri dari pengabut dan pembakar.

    3. Monokromator, yaitu untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang

    yang digunakan dalam analisis.

    4. Detektor, yaitu untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat

    pengatoman.

    5. Rekorder, yaitu suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai

    sistem pencatatan hasil (Rohman, 2007).

    2.7.2. Spektrofotemetri UV-VIS

    Spektrofotometri merupakan suatu metode pengukuran yang digunakan

    untuk mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi

    elektromagnetik, dimana substansi kimia secara selektif menghamburkan

    (scatter), menyerap atau mengemisi energi elektromagnetik pada panjang

    gelombang yang digunakan dalam range ultraviolet (200-400 nm), sinar tampak

    (400-700 nm), atau cahaya yang mendekati inframerah (Khopkar, 2003).

    Prinsip spektrofotometri UV-Vis yakni radiasi pada rentang panjang

    gelombang 200-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-

    elektron pada ikatan didalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati

    keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi

    yang melewati larutan tersebut. Dua hukum empiris telah diformulasikan tentang

    intensitas serapan. Hukum Lamberts menyatakan bahwa fraksi sinar yang diserap

  • 33

    tidak tergantung terhadap intensitas sumber sinar. Hukum Beers menyatakan

    bahwa serapan tergantung jumlah molekul yang terserap. Dari kedua hukum

    tersebut dapat disajikan ke dalam persamaan berikut (Supratman, 2010):

    A = log Io

    I = kcb

    Dimana :

    A = absorbansi Io = intensitas sinar awal

    I = intensitas sinar yang diteruskan c = konsentrasi sampel

    b = tebal selyang dilalui sampel (cm) k = koefisien ekstingsi

    Hukum Beer menyatakan bahwa absorbans berbanding langsung dengan

    tebal larutan dan konsentrasi larutan. Dimana apabila suatu berkas radiasi dengan

    intensitas Io dilewatkan melalui suatu larutan dalam wadah transparan setebal b

    yang berisi sejumlah n partikel (atom, ion, atau molekul) maka sebagian radiasi

    akan diserap sehingga intensitas radiasi yang diteruskan I menjadi lebih kecil dari

    pada Io. Dimana berkurangnya intensitas radiasi tergantung dari luas penampang

    yang menyerap partikel, dan luas penampang ini sebanding dengan jumlah

    partikel (n). Ini menunjukkan bahwa larutan tersebut menyerap sejumlah sinar.

    Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis (Fernandez, 2011)

  • 34

    Sebuah spektrofotometer memiliki lima bagian penting (gambar 10), yaitu:

    1. Sumber cahaya, untuk UV umumnya digunakan lampu deuterium (D2O),

    untuk visibel digunakan lampu tungsten xenon (Auc).

    2. Monokromator, suatu alat yang berfungsi mengubah cahaya polikromatik

    menjadi cahaya monokromatik.

    3. Sel penyerap / wadah pada sampel, cell dalam spektrofotometer disebut juga

    dengan kuvet.

    4. Photodetector, berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi energi

    listrik.

    5. Analyzer (pengolah data), untuk spektrofotometer modern biasanya dilengkapi

    dengan komputer.

  • 35

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Kimia

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian inidilaksanakan

    pada bulan Mei 2013 sampai November 2013.

    3.2. Alat dan Bahan

    3.2.1. Alat

    Alat-alat yang digunakan pada penelitianini antara lain yaitu pisau, juice

    extractor, alat penyaring, botol gelas, timbangan analitik, hot plate, tanur listrik,

    peralatan gelas kimia, pH meter, refraktometri, spektrofotometer UV-Vis

    (Lambda 25 merk Perkin Elmer), dan spektrofotometer serapan atom (Perkin

    Elmer Analyst 800).

    3.2.2. Bahan

    Bahan-bahan utama yang digunakan adalah buah sawo, kayu manis, jeruk

    nipis, C6H3COONa, dan C12H22O11 yang didapatkan dari Pasar Tradisional

    Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan-bahan lainnnya yaitu Na2CO3, C7H6O5 (asam

    galat), reagen Folin-Cicalteau, KI, I2, NaOH, HNO3, CH3OH, DPPH, PCA dan

    BPW.

  • 36

    3.3. Prosedur Penelitian

    3.3.1. Pembuatan minuman fungsional

    Pembuatan minuman fungsional dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu,

    pemilihan bahan, ekstraksi, penambahan larutan gula, natrium benzoat, dan jeruk

    nipis, pengemasan, dan pasteurisasi. Buah sawo dipilih berdasarkan bentuk buah,

    ukuran, warna, banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan.

    Buah yang memiliki gumpalan getah dan gorasan pada kulitnya tidak dipilih

    karena menandakan kematangan buah yang tidak merata atau rusaknya buah.

    Sortasi atau pemilihan ulang dilakukan yang bertujuan agar didapatkan hasil yang

    seragam, lalu dilakukan pembersihan dan pencucian. Kemudian, dilakukan

    ekstraksi untuk mendapatkan sari buah yang diinginkan dengan menggunakan alat

    juice extractor. Dilakukan penyaringan dengan penyaring dan kainuntuk

    memisahkan ampas dan sari buahnya. Selanjutnya, dilakukan ekstraksi kayu

    manis dengan menggunakan airselama 15 menit yang dilakukan di dalam wadah

    tertutup untuk meminimalkan teruapkannya komponen volatil. Selanjutnya,

    minuman fungsional dibuat dengan lima macam formulasi (tabel 3) yaitu dengan

    mencampurkan perasan sari sawo, ekstrak kayu manis 0,8 % (b/v), larutan gula 30

    % (b/v), jeruk nipis, dan larutan natrium benzoat (konsentrasi akhir 500 ppm).

    (Aturan Menkes batas maksimum pengawetyaitu 600 mg/kg, PP No. 722/

    Menkes/ Per/ IX/ 1988).Minuman dibuat dalam volume total 100 mL untuk

    memudahkan formulasi.

  • 37

    Tabel 3. Formulasi minuman sari buah sawo

    Bahan Komposisi per 100 mL

    829 561 401 952 733

    Sari sawo (mL) 40 45 50 55 60

    Ekstrak kayu manis 0,8 % b/b 40 35 30 25 20

    Larutan gula 30 % (b/b) 15 15 15 15 15

    Larutan Na-Benzoat (konsentrasi akhir

    500 ppm) 1 1 1 1 1

    Jeruk nipis (mL) 4 4 4 4 4

    Minuman fungsional yang telah diformulasi lalu dikemas ke dalam botol

    kaca yang sebelumnya telah disterilkan. Setelah itu, botol di pasteurisasi didalam

    penangas air selama 30 detik.

    3.3.2. Analisis Sensori

    Analisis sensori atau uji organoleptik dilakukan melalui uji hedonik yang

    mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Parameter uji

    yang digunakan yaitu parameter warna, aroma, rasa manis, rasa asam, dan

    penerimaan keseluruhan. Pengujian dilakukan terhadap 20 orang panelis semi

    terlatih, yaitu panelis yang bukan ahli dan juga yang bukan awam yang tidak bisa

    mengenali ciri-ciri organoleptik. Pengujian dilakukandalam sebuah kuesioner

    (lampiran 3) dengan menggunakan skala hedonik yang berkisar antara 1 sampai 5,

    dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak Suka, dan (1) Sangat

    Tidak Suka (Akhtar et al., 2010). Data yang didapatkan kemudian dianalisis

    dengan menggunakan software SPSS versi 17 untuk menentukan formulasi yang

    paling disukai panelis. Formulasi tersukai kemudian dianalisis antioksidannya

    yang meliputi pengujian aktivitas antioksidan serta komponen kimia antioksidan,

    kemudian diuji sifat fisik, dan sifat kimianya sesuai SNI 01-3719-1995.

  • 38

    3.3.3. Analisis Antioksidan

    Analisis antioksidan meliputi pengujian aktivitas antioksidan dan

    komponen kimia antioksidan yaitu pengujian total fenolik dan kandungan vitamin

    C.

    3.3.3.1.Uji Aktivitas Antioksidan (Kekuda et al., 2010)

    Aktivitas penghambatan radikal sampel dilakukan berdasarkan

    penghambatannya pada radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH).

    Disiapkan larutan sampel pada varian konsentrasi (0,19 L sampai 100 L/mL)

    dalam metanol. Dimasukkan masing-masing larutan sampel sebanyak 2 mL ke

    dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan 2 mL larutan DPPH 0,002 % (dalam

    metanol). Dilakukan inkubasi didalam ruang gelap selama 30 menit, lalu diukur

    absorbansi sampel dengan spektrofotometer UV-Vis (panjang gelombang=518

    nm). Besarnya aktivitas antioksidan diukur dengan parameter persen inhibisi lalu

    diukur (IC50).

    Persen inhibisi=

    100 %

    Nilai IC50 ditentukan dengan menggunakan rumus persamaan regresi

    linear, dengan ekstrapolasi persen inhibisi sebagai ordinat (y) dan konsentrasi

    sebagai absis (x).

    3.3.3.2.Analisis Total Fenol (Heilerova et al., 2003 )

    Pengukuran total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen Folin-

    Ciocalteu dan asam galat sebagai standar. Pertama-tama 0,2 mL sampeldiambil

    dan kemudian ditambahkan 1 mL reagen Folin Ciocalteu 10 % (dalam air).

    Didiamkan atau diinkubasi selama 5 menit dalam tempat gelap. Setelah itu,

  • 39

    ditambahkan 3 mL larutan Na2CO32 % (dalam air). Sampel diinkubasi selama 1

    jam dalam tempat gelap. Lalu absorsorbansinya diukur pada panjang gelombang

    765 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. Total fenolik ditentukan dalam

    (g/mL) berat ekuivalen asam galat (EAG) dengan menggunakan persamaan

    regresi dari kurva standar asam galat (032 g/mL).

    3.3.3.3.Analisis Kadar Vitamin C (AOAC, 1999)

    Kadar vitamin C ditentukan dengan cara titrasi Iod. Sebanyak 5 ml sampel

    dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Ditambahkan 20 ml air destilat dan

    beberapa tetes larutan pati sebagai indikator. Selanjutnya dititrasi dengan larutan

    Iod 0,01 N sampai larutan berwarna biru. Tiap ml larutan Iod equivalen dengan

    0,88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dapat dihitung sebagai asam askorbat

    dengan rumus sebagai berikut :

    =ml Iod 0,01 N x 0,88 x P x 100

    dimana, merupakan mg asam askorbat per 100 ml sari buah dan P merupakan

    faktor pengenceran.

    3.3.4. Uji Sifat Kimia dan Fisik

    Analisis sifat kimia dan fisik bertujuan untuk mengetahui komposisi nilai

    gizi dari produk pangan. Uji sifat kimia dan fisik meliputi analisis kadar air, kadar

    abu, pH, total padatan terlarut, dan total asam.

    3.3.4.1. Kadar Air (AOAC, 2005)

    Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

    mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105C selama 1 jam. Cawan

    tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan

  • 40

    sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga

    beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut,

    kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105C selama 5 jam atau hingga

    beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke

    dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

    Perhitungan kadar air:

    % Kadar air =

    100 %

    Keterangan :

    A = Berat cawan kosong (gram)

    B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

    C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

    3.3.4.2. pH

    Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter.

    Pengukuran nilai pH dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap minuman

    fungsional.

    3.3.4.3. Uji Padatan Terlarut

    Uji padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer

    dengan cara sari buah diteteskan pada kaca sensor yang ada pada hand

    refraktometer dan angka brix dibaca.

    3.3.4.4. Total Asam (AOAC 1990)

    Sebanyak 10 g sampel diencerkan dengan aquades sampai volume 100 ml.

    Diambil 10 ml sampel hasil pengenceran, lalu ditambahkan dengan tiga tetes

    indikator phenolptalin. Kemudian dititrasi sampel dengan 0,1 N NaOH sampai

  • 41

    terjadi perubahan warna menjadi merah jambu. Total asam dianggap sebagai total

    asam sitrat (% asam sitrat) yang terkandung dalam sampel. Penentuan total asam

    dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

    (%) =

    Keterangan:

    V NaOH= volume NaOH yang digunakan saat titrasi

    N NaOH= normalitas NaOH

    = berat eqivalen asam sitrat

    Fp= faktor pengenceran

    3.3.4.5. Kadar Abu (AOAC 2005)

    Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu

    105C kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang

    hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke

    dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak

    berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu

    600 selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

    Kadar abu ditentukan dengan rumus:

    % Kadar abu =

    100 %

    Keterangan :

    A = Berat cawan porselen kosong (gram)

    B = Berat cawan dengan sampel (gram)

    C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

  • 42

    3.3.5 Uji Cemaran Logam (SNI 01-3719-1995)

    Sebanyak 5-10 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam

    cawan porselen, ditempatkan cawan berisi sampel uji diatas penaggas listrik dan

    dipanaskan secara bertahap sampai sampel tidak berasap lagi. Kemudian

    dilanjutkan pengabuan dalam tanur pada suhu 500 5 sampai abu berwarna

    putih, bebas dari karbon. Kemudian abu berwarna putih dilarutkan dalam 5 mL

    HNO3 1 N sambil dipanaskan diatas penanggas listrik atau penanggas air selama

    2-3 menit dan dimasukan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian dititar hingga

    tanda garis dengan aquades, jika perlu disaring larutan dengan menggunakan

    kertas saring Whatman No.41 ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian larutan

    blanko disiapkan dengan perlakuan yang sama seperti contoh. Lalu dibaca

    absorbansi larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan

    SSA pada panjang gelombang maksimum sekitar 324,7 nm untuk Cu, 217 nm

    untuk Pb, dan 213,9 nm untuk Zn.

    3.3.6 Uji Cemaran Mikroba Metode (ALT) Angka Lempeng Total

    Pada uji ini pertama dilakukan pembuatan Plate count agar (PCA),

    Buffered peptone water (BPW), dan uji cemaran mikroba.

    a. Pembuatan Plate count agar (PCA)

    Bahan-bahan 5 g Pancreatic digest of ceseine, 2,5 g yeast extract, 1 g

    glukosa, 15 g agar dilarutkan dalam 1000 mL air suling. pH diatur menjadi 7,0

    dan dimasukkan 450 mL larutan tersebuk ke dalam botol-botol berukuran 500

    mL. Disterilkan pada suhu 121C selama 15 menit pada autoklaf.

  • 43

    b. Pembuatan Buffered peptone water (BPW)

    Bahan-bahan 10 g peptone, 5g natrium klorida, 3,5 g disodium hidrogen

    fosfat, 1,5 g kalium dihidrogen fosfat dilarutkan ke dalam 1000 mL air suling.

    Kemudian diatur pH menjadi 7,0. Dipipet kedalam tabung-tabung reaksi.

    Disterilkan pada autoklaf pada suhu 121C selama 20 menit.

    c. Uji cemaran mikroba

    Tingkat pengenceran 1:100, 1:1000, dan1:10000 dibuat dengan

    menggunakan larutan pengencer BPW. Masing-masing 1 mL dipipet dari

    pengenceran tersebut ke dalam cawan petri steril secara duplo. Sebanyak 12-15

    mL media PCA yang masih cair dengan suhu 45 C 1C dituangkanke dalam

    masing-masing cawan petri. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati sehingga

    sampel dan pembenihan tercampur merata dan memadat. Pemeriksaan dikerjakan

    blanko dengan mencampur air pengencer untuk setiap sampel yang diperiksa.

    Campuran dalam cawan petri dibiarkan sampai memadat. Semua cawan petri

    dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari pengeram pada suhu

    35C1C selama 24 jam sampai 48 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap

    cawan petri yang mengandung 25 koloni-250 koloni setelah 48 jam. Perhitungan

    angka lempeng totalnya yaitu:

    Angka lempeng total (koloni/mL) = n x F

    Keterangan: n adalah rata-rata koloni dari dua cawan petri satu pengenceran,

    (koloni/mL), F adalah faktor pengenceran dari rata-rata koloni yang dipakai.

  • 44

    3.3.7 Analisis Data

    Data yang didapat dari penilitian ini diolah menggunakan sofware SPSS

    One Way ANOVA dan bila berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan.

  • 45

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Analisis Sensori

    Analisis sensori atau pengujian organoleptik penting dilakukan untuk

    mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah

    suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah, 2012). Uji

    organoleptik pada produk pangan harus dilakukan karena akan berkaitan dengan

    selera dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut di pasaran. Suatu

    produk akan sia-sia walaupun secara uji kima, fisik, dan nilai gizinya tinggi, tetapi

    bila rasanya tidak enak akan sulit diterima oleh konsumen (Soekarto, 1990).

    Analisis sensori yang digunakan yaitu uji afektif. Hasil uji afektif

    mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk (Poste, 1991).

    Terdapat dua macam uji afektif yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pada proses

    pengujiannya, digunakan pengujian secara kuantitatif atau yang lebih dikenal

    sebagai uji hedonik. Hasil pengujian organoleptik pada minuman fungsional dapat

    dilihat pada tabel 4.

    Tabel 4. Hasil Pengujian Organoleptik Minuman Fungsional

    Kode Warna Aroma Kemanisan Keasaman Penerimaan

    Keseluruhan

    561 3,500,89a 3,200,83

    a 3,950,69

    a 3,900,85

    b 3,900,72

    a

    952 3,450,94a 3,500,69

    a 3,750,72

    a 3,601,05

    b 3,800,83

    a

    733 3,150,87a 3,401,14

    a 3,550,76

    a 3,000,86

    a 3,300,98

    a

    829 3,201,00a 3,600,94

    a 3,450,94

    a 3,350,81

    b 3,501,00

    a

    401 3,100,85a 3,551,23

    a 3,450,82

    a 3,600,82

    b 3,450,82

    a

    Keterangan: Abjad yang diberi huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata

    pada =0,05

  • 46

    Hasil pengujian organoleptik minuman fungsional (tabel 4) menunjukkan

    bahwa parameter warna, aroma, rasa manis, dan penerimaan keseluruhan tidak

    berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%, namun berbeda nyata pada parameter

    rasa asam. Hasil analisis ragam ANOVA dapat dilihat pada lampiran 5-9.

    4.1.1. Warna

    Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan

    panelis terhadap parameter warnaberada pada skala kisaran 3,1-3,5 atau berada

    pada kisaran agak disukai (gambar 11). Hasil analisis sidik ragam ANOVA

    menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi

    5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 5). Hal ini mengindikasikan

    bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-kayu manis tidak

    mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Ini menunjukkan bahwa kelima

    formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena

    memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama.

    Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna

    3,53,45

    3,153,2

    3,1

    2,9

    3

    3,1

    3,2

    3,3

    3,4

    3,5

    3,6

    561 952 733 829 401

    Skal

    a H

    ed

    on

    ik W

    ana

    Kode

  • 47

    Formulasi 561 memiliki skor hedonik tertinggi dengan rata-rata

    penerimaan 3,5 dengan persentase 15% panelis menyatakan tidak suka, 30%

    menyatakan agak suka, 45% menyatakan suka, dan 10% menyatakan sangat suka.

    Warna merupakan parameter yang penting dalam pengujian organoleptik

    karena konsumen cenderung lebih tertarik pada suatu bahan pangan yang menarik

    warnanya.Warna berkaitan erat dengan penerimaan produk pangan, karena warna

    merupakan atribut kualitas yang paling penting, walaupun suatu produk bernilai

    gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warnanya kurang menarik maka

    akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati. Hal ini karena warna

    merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen

    terhadap suatu produk (Fennema, 1985). Selain itu, warna biasanya menjadi

    faktor pertama yang dilihat konsumen dalam memilih suatu produk pangan

    (Winarno, 2002). Warna minuman fungsional sawo-kayu manis yaitu berwarna

    coklat (gambar 12). Hal ini terjadi karena telah terjadi reaksi pencoklatan

    enzimatik yang terjadi pada saat pembuatan minuman fungsional sawo-kayu

    manis.

    Gambar 12. Formulasi Minuman Fungsional

  • 48

    Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi karena adanya kandungan fenolik

    pada bahan. Menurut Winarno (1992), senyawa fenolik yang bertindak sebagai

    substrat dalam reaksi pencoklatan enzimatis dapat berupa tanin dan katekin. Sawo

    dan kayu manis diketahui mengandung tanin dan katekin (King, 2000; Mathew,

    1969)

    Proses pemotongan, pengupasan, pengirisan, dan ekstraksi yang dilakukan

    pada sawo dan kayu manis mengakibatkan kerusakan jaringan yang menyebabkan

    senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan bertemu dengan enzim yang

    ada dalam sitoplasma (Soesanto et al., 1994). Pada umumnya reaksi oksidasi fenol

    dikatalisis oleh dua enzim fenolase yaitu kresolase dan katekolase. Kresolase

    mengkatalisis oksidasi monofenol (tirosin dan kresol) dengan menambah gugus

    hidroksil pada posisi ortonya sehingga menjadi orto-difenol. Reaksi oksidasi

    selanjutnya, katekolase menghilangkan dua atom hidrogen pada orto difenol

    membentuk orto-quinon (Park et al.,1985) Reaksi dalam tahapini dapat dilihat

    pada Gambar 13.

  • 49

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    3,4-Dihidroksi fenilalaninL - tirosin

    +(O)

    Aktivitas Kresolase

    O

    0 - Kuinon fenilalanin

    + H2O+(O)

    3,4-Dihidroksi fenilalanin

    O

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    OH

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    Aktivitas Katekolase

    OH

    CH2CH(NH2)COOH

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    3,4-Dihidroksi fenilalaninL - tirosin

    +(O)

    Aktivitas Kresolase

    O

    0 - Kuinon fenilalanin

    + H2O+(O)

    3,4-Dihidroksi fenilalanin

    O

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    OH

    CH2CH(NH2)COOH

    OH

    Aktivitas Katekolase

    OH

    CH2CH(NH2)COOH

    Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin (Park et al.,1985)

    Menurut Eskin et al (1971), katekolase mengkatalisis reaksi oksidasi orto

    difenol menjadi orto-quinon, orto-quinon dengan orto difenol akan terhidroksilasi

    membentuk trihidroksi benzena, kemudian trihidroksi benzena bereaksi dengan

    orto-quinon membentuk hidroksi quinon. Menurut (Soesanto et al.,1994),

    selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer

    berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat (gambar 14).

    Pembentukan senyawa melanin dari orto quinon berlangsung secara spontan dan

    tidak tergantung pada adanya enzim atau oksigen (Eskin et al.,1971).

  • 50

    OH