Farmasi Typhus Abdominalis

60
LAPORAN KASUS FARMASI TYPHUS ABDOMINALIS Oleh: Annisa Rizkia Fitri G99131018 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

description

makalah farmasi

Transcript of Farmasi Typhus Abdominalis

Page 1: Farmasi Typhus Abdominalis

LAPORAN KASUS FARMASI

TYPHUS ABDOMINALIS

Oleh:

Annisa Rizkia Fitri

G99131018

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2014

Page 2: Farmasi Typhus Abdominalis

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi

akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih

dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.1

B. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia  demam  tifoid  jarang dijumpai  secara epidemik, tetapi

lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang

menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Ada dua

sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih

sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari

demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih

selama lebih dari satu tahun). Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air

yang tercemar. Di derah nonendemik penyebaran terjadi melalui tinja.2,3

C. ETIOLOGI

Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus

halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya

lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. 2

Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi

2

Page 3: Farmasi Typhus Abdominalis

D. PATOFISIOLOGI

Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di

masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella

typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan

atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan

jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus.

Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu

hamil ke janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian

lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. 3, 4

Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal

yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus.

Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk

memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri

berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler.5

Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman

akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina

propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat

hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque

peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus

torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah

(mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh

organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di

organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di

luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang

mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis. 3, 4

Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang

biak kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke

lumen usus, sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus

kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif

sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul

demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler,

3

Page 4: Farmasi Typhus Abdominalis

gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque

peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan

perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman

terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat

mengakibatkan perforasi.4 Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat

menempel di reseptor sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi

seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain.

Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh

penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier. 3

4

Page 5: Farmasi Typhus Abdominalis

Skema 1. Patogenesis typhus abdominalis

5

Page 6: Farmasi Typhus Abdominalis

E. MANIFESTASI KLINIS

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga

kematian. 3,6

Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama

ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada

umumnya, yaitu  demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,

muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan

epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.

Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari

hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas

berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 10C tidak diikuti

peningkatan denyut nadi 9 kali per menit), lidah yang berselaput,

hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau psikosis.3,6,7

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan

hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi

molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis,

menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan,

dan timbulnya komplikasi.

1. Hematologi

a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi

perdarahan atau perforasi usus.

b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.

c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.

d. Laju endap darah (LED) meningkat.

e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 8

6

Page 7: Farmasi Typhus Abdominalis

2. Urinalisis

a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).

b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.4

3. Kimia klinis

Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran

radang sampai hepatitis akut. 7

4. Imunoserologi

a. Widal

Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah

terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen).

Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen

dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis

ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh

banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau

negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi,

reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi

anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil

negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik,

waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum

buruk, dan adanya penyakit imun lain.8,9

Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam

tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam

tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1

demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut

mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang

sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan

aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 8,9

Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4

kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan

7

Page 8: Farmasi Typhus Abdominalis

dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk

deteksi pembawa kuman (karier). 8

b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM

Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk

mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut

sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi,

atau di daerah endemik. 4

5. Mikrobiologi (kultur)

Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk

demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika

hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif

palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah

tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit

sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah

masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan

sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera

diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-

7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan

pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier

digunakan urin dan feses.5,9,10

6. Biologi molekular

PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini

dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi

dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi

kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas

tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh

lain, dan jaringan biopsi.11

G. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias

diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan

gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi

8

Page 9: Farmasi Typhus Abdominalis

secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan

untuk membantu menegakkan diagnosis. 6,12

Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji

sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp

dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi.4

Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10

dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal

selang 2 hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan

diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada

minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat

mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella.8,9

Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat

leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-

10 dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis

PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan

cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak

mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita

yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh

tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang

secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari

banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang

masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun.4

H. DIAGNOSIS BANDING

Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza.1

I. TERAPI

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid

yaitu :3

1. Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan.

9

Page 10: Farmasi Typhus Abdominalis

2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan

mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.

Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti

petunjuk diet berikut:

a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.

b. Tidak mengandung banyak serat.

c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak

merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari

terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.13

3. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.

Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu13,14:

Gambar 2. Antibiotik untuk demam tifoid

a. Kloramfenikol.

Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena

sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan

karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.

Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang,

10

Page 11: Farmasi Typhus Abdominalis

karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka

mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap

kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang

sama.Penurunan demam terjadi pada hari ke-5.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir

sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti

anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis

tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6.

c. Ampisilin dan kotrimoksazol

Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis

orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400

mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan

karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.

Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan

kotrimoksazol resisten.

d. Kuinolon

Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in

vitro serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.

Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain

Salmonella typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang

dapat digunakan untuk demam tifoid meliputi:

1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.

2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.

3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.

4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.

5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari

Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan

demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin.

e. Sefalosporin generasi III

11

Page 12: Farmasi Typhus Abdominalis

Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3

hari dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14

hari. Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis

3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x

diberikan 3-5 hari.

f. Antibiotik lainnya

Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam

tifoid dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif

daripada kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan

dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin

dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.

g. Kombinasi antibiotik

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada

keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok

septik di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam

kultur darah selain bakteri Salmonella typhi.

Sedangkan untuk simtopmatik dapat diberikan antipiretik:

Paracetamol dengan dosis 3x 500-1000 mg sehari.

12

Page 13: Farmasi Typhus Abdominalis

BAB II

ILUSTRASI KASUS

A. ANAMNESIS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. J

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Surakarta

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan toko

2. Keluhan Utama : Demam

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama demam yang dirasakan ± 2

minggu SMRS. Demam dirasakan hilang timbul terutama jika sore hingga

malam hari dan turun pada pagi hari, tetapi suhu badan tidak pernah

kembali ke suhu normal tubuh. Demam menggigil (-).

Pasien sudah meminum obat penurun panas (panadol) dan panasnya

sempat turun tapi naik lagi setelah beberapa jam minum obat. Pasien juga

mengeluhkan nyeri perut dan mual, nafsu makan berkurang, dan badan

terasa lemah. Muntah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri telan (-), mimisan (-),

gusi berdarah (-).

BAK 4-5 x/hari @ ½-1 gelas blimbing, warna kuning jernih, nyeri

saat BAK (-), BAK panas (-), BAK berpasir (-), BAK darah (-), BAK

menetes (-), anyang-anyangan (-), BAK tidak tuntas (-), BAK mengejan

(-), nyeri pinggang (-). Sejak mengeluh demam, pasien BAB 2x/hari,

warna kuning kecoklatan, konsistensi lunak hingga cair.

13

Page 14: Farmasi Typhus Abdominalis

4. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat hipertensi : disangkal

b. Riwayat DM : disangkal

c. Riwayat jantung : disangkal

d. Riwayat asma : disangkal

e. Riwayat sakit maag : disangkal

f. Riwayat sakit kuning : disangkal

g. Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat hipertensi : (+), pada ibu, tidak terkontrol

b. Riwayat sakit jantung : disangkal

c. Riwayat DM : disangkal

d. Riwayat sakit kuning : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan

a. Riwayat minum obat-obatan bebas : disangkal

b. Riwayat minum jamu : disangkal

c. Riwayat minum-minuman keras : disangkal

d. Riwayat merokok : disangkal

e. Olahraga : jarang

7. Riwayat Gizi

Pasien sehari makan tiga kali, porsinya sedang dengan nasi sayur,

lauk pauk tempe dan tahu kadang-kadang daging. Penderita jarang makan

buah-buahan dan minum susu.

8. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang laki-laki umur 35 tahun, bekerja sebagai

karyawan toko. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS PBI.

14

Page 15: Farmasi Typhus Abdominalis

9. Anamnesis Sistem

Keluhan utama : demam

Kepala : sakit kepala (-), pusing (-), nggliyer (-).

Mata : pandangan kabur (-), penglihatan ganda (-), mata

kuning (-), berkunang - kunang (-).

Hidung : pilek (-), mimisan (-)

Telinga : pendengaran berkurang (-), pendengaran

berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).

Mulut : gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut kering (-),

luka pada sudut bibir (-), gigi goyah (-) sulit

berbicara (-), gigi caries (-), papil lidah atrofi (-),

lidah kotor (+)

Tenggorokan : sakit menelan (-), terasa gatal tenggorokan (-).

Sistem Respirasi : sesak napas (-), batuk (-), mengi (-)

Sistem Cardiovaskuler : nyeri dada (-), dada ampeg (-), berdebar-debar

(-), sesak nafas (-), terbangun malam hari

karena sesak (-)

Sistem Gastrointestinal : nafsu makan berkurang (-), mudah haus (-),

mudah lapar (-), mual (+), muntah (-), muntah

darah (-), nyeri ulu hati (+), perut sebah (-),

Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-),

badan lemas (+), kejang (-), jimpe-jimpe pada

kedua kaki.

Sistem Genitourinaria : BAK 4-5x sehari @ 1/2 gelas belimbing, warna

kuning jernih, nyeri saat BAK (-), BAK panas (-),

BAK berpasir (-), BAK darah (-), BAK menetes (-

), anyang-anyangan (-), BAK tidak tuntas (-), BAK

mengejan (-).

Ekstremitas

Atas : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari

terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-).

15

Page 16: Farmasi Typhus Abdominalis

Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari

terasa dingin (-/-),, bengkak (-/-), lemah

Sistem Neuropsikiatri : kejang (-), emosi tidak stabil (-), kesemutan (-/-),

gelisah (-), mengigau.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 September 2014

1. Keadaan Umum : Compos mentis, sakit sedang, gizi kesan cukup

2. Tanda Vital

Tensi : 120/80 mmHg

Respirasi : 20x / menit

Nadi : 92x / menit, isi cukup, reguler

Suhu : 38,4°C (axiller)

3. Status Gizi

Berat Badan : 50 kg

Tinggi Badan : 160 cm

BBI : 83,33 %

BMI : 19,53 kg/m2

Kesan : normoweight

4. Kulit : warna sawo matang, ikterik (-), turgor kurang (-),

hiperpigmentasi (-).

5. Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (+), lurus, mudah

rontok (-), mudah dicabut (-), moon face (-).

6. Mata : conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),

katarak (-/-), perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor

dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), edema

palpebra (-/-).

7. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).

8. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi

pembau baik, foetor ex ore (-).

9. Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah

16

Page 17: Farmasi Typhus Abdominalis

tiphoid (+), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada

sudut bibir (-), foetor ex ore (-).

10. Leher : JVP tidak meningkat (R+2), trachea ditengah, simetris,

pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-).

11. Limfonodi : kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,

supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar

12. Thorax : bentuk simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-),

pernafasan toracoabdominal, sela iga melebar (-),

muskulus pektoralis atrofi (-), ginekomasti (-),

pembesaran KGB axilla (-/-).

Cor :

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium

dan parasternal tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercostale V, 1 cm medial

linea medio clavicularis sinistra, tidak kuat angkat.

Perkusi : batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea

parasternalis sinistra

batas jantung kiri bawah : spatium intercostale VI, 1 cm

medial linea medio clavicularis

sinistra

batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea

parasternalis dextra

batas jantung kanan bawah : spatium intercostale V, linea

parasternalis dextra

Kesan : konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Heart Rate 92 kali/menit, reguler. Bunyi jantung I-II murni,

intensitas tidak meningkat, reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo :

Depan

Inspeksi

17

Page 18: Farmasi Typhus Abdominalis

Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak

mendatar.

Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak

melebar, retraksi intercostal (-).

Palpasi

Statis : simetris

Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

Kanan : sonor

Kiri : sonor, mulai redup sesuai pada batas jantung, batas paru

lambung di Spatium Inter Costale (SIC) VI linea

medioclavicularis sinistra.

Auskultasi

Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah

kasar (-), ronchi basah halus (-) di daerah basal, eksperium

diperpanjang (-), wheezing (-).

Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah

kasar (-), ronchi basah halus (-) di daerah basal, wheezing (-).

13. Abdomen

Inspeksi : dinding perut sejajar dari dinding dada, ikterik (-),

venectasi (-), cicatrix (-), striae (-), edema (-) bekas luka

biopsi (-).

Auskultasi : peristaltik (+), nyeri ketok costovertebral (-), Bruit (-) di

hepar

Perkusi : tympani, pekak sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-).

Palpasi : dinding perut supel, nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak

teraba.

14. Genitourinaria : ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), NKCV (-/-)

15. Ekstremitas :

18

Page 19: Farmasi Typhus Abdominalis

Extremitas superior Extremitas inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Pucat - - - -

Akral dingin - - - -

Luka - - - -

Deformitas - - - -

Ikterik - - - -

Petekie - - - -

Spoon nail - - - -

Kuku pucat - - - -

Clubing finger - - - -

Hiperpigmentasi - - - -

Fungsi motorik 5 5 5 5

Fungsi sensorik Normal Normal Normal Normal

Reflek fisiologis +2 +2 +2 +2

Reflek patologis - - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Patologi Klinik

Pemeriksaan 23/09/14 Satuan Rujukan

Hb 15,6 g/dl 12-16

Hct 44,4 % 37-47

AE 5,31 10^6/uL 4,2-5,4

AL 6100 /ul 4800-10800

AT 118 10^3/uL 150-450

MCV 83,6 fL 80-100

MCH 29,4 pg 27-32

MCHC 35,1 g/dL 32-36

Neutrofil segmen % 50,1 % 50-70

19

Page 20: Farmasi Typhus Abdominalis

Limfosit 44,6 % 20-40

Monosit 5,3 % 2-8

Eosinofil 0 % 1-3

Basofil 0 % 0-1

SGOT 21 u/L <31

SGPT 23 u/L <31

LED 7

Widal

Typhi O

Typhi H

Paratyphi

Negatif

1/100

1/200

IgM Salmonela +6

0-2 : negatif

3 : borderline

4-5 : positif lemah

6-10 : Positif kuat

D. DAFTAR ABNORMALITAS

1. Demam

2. Mual

3. Nyeri perut

4. Badan lemas

5. Tinja lunak-cair

6. Lidah tifoid (+)

7. Widal Thypi H = 1/100

8. Widal Parathypi = 1/200

9. IgM Salmonela = +6

E. ANALISIS DAN SINTESIS

Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8,9 Demam typhoid

F. DIAGNOSIS

Typhus abdominalis

20

Page 21: Farmasi Typhus Abdominalis

G. RENCANA PEMECAHAN MASALAH

Problem : Typhus abdominalis

Assesment : Demam, mual, sakit perut, lemas, tinja lunak-cair, lidah

tifoid (+), widal typhi h = 1/100, widal paratyphi = 1/200,

IgM ssalmonela = +6

Terapi :

1. Non medikamentosa

a. Bed rest total hingga 7 hari bebas panas, mobilisasi bertahap mulai dari

duduk sampai pulihnya kekuatan

b. Diit TKTP 1500 kkal, rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas,

setelah itu ganti bubur kasar, setelah 7 hari ganti nasi

2. Medikamentosa

a. Infus NaCl 0,9% → rehidrasi

b. Kloramfenikol 4 x 500mg → drug of choice Typhus

c. Pamol 3x500 mg → Demam

d. Injeksi ranitidin→ Mual

3. Monitoring

Keadaan umum, vital sign, adanya komplikasi, dan hepatomegali

4. Edukasi

Penjelasan mengenai penyakit dan komplikasinya. Typhus

abdominalis merupakan penyakit infeksi yang memerlukan kepatuhan

pasien dalam melaksanakan terapi untuk mencegah komplikasi, seperti

gangguan saluran cerna.

21

Page 22: Farmasi Typhus Abdominalis

Penulisan Resep

RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Poli Klinik Interna

23 September 2014

Dokter : dr. Annisa

R / Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No II

Cum infuse set No I

Iv catheter no 20 No I

Three way No I

S imm

R / Kloramfenikol tab mg 500 No XXX

S 4 dd tab I

R/ Pamol tab mg 500 No. XV

S 3 dd tab I

R/ Ranitidin inj amp No. V

Cum disposable syringe cc 3 No. V

S imm

Pro : Tn. J (35 tahun)

Alamat : Surakarta

22

Page 23: Farmasi Typhus Abdominalis

BAB III

PEMBAHASAN

Tata laksana pada typhus abdominalis yang masih sering digunakan adalah

istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik.

A. Tindakan Umum

Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi

morbiditas dan mencegah komplikasi. Untuk membasmi infeksi dan mencegah

komplikasi, maka pemberian antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting

dan menjadi inti farmakoterapi terhadap typhus abdominalis. Antibiotik

diberikan secara empiris bila bukti-bukti klinis menyokong diagnosa typhus

abdominalis .

Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid

(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam

toksemik yang berat. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat

karena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Pemberian asam

salisilat dan antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan

perdarahan dan perforasi usus disamping memang tidak banyak berguna.

Untuk mengurangi demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat .

B. Terapi Antibiotik

Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan

asas tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap

efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut.

Orientasi penggunaan antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien

agar didapatkan hasil yang aman, efektif, dan efisien.

Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai

jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis. Sejak tahun 1960,

telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap kloramfenicol dan pada

tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance (MDR) yang kebal

terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol muncul dan

menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Untuk

23

Page 24: Farmasi Typhus Abdominalis

kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah Flouoroquinolone

dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta rendahnya angka

kasus relaps dan carrier.

Kloramfenikol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain

lokal masih sensitif. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak, karena

penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ketiga

menjadi pilihan utama .

C. Pembahasan Obat

Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah

Kloramfenikol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit

ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan

menghambat sintesa protein . Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif ,

namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak

menggunakan kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam

typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae.

Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam

tifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada pemberian

iv. Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis

hepatis diperpanjang sampai dengan 6 jam.

Dosis yang diberikan secara per oral pada dewasa adalah 20-30(40)

mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12 tahun membutuhkan dosis 40-50

mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis 50-100

mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena membutuhkan 40-80 mg/kg/hari

untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak berumur 7-12 tahun, dan 50-100

mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun.

Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg,

suspensi 125 mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan

intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.

Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.

Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam tifoid

24

Page 25: Farmasi Typhus Abdominalis

dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g, hari ke

2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai dengan suhu badan

normal. Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian

kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis,

pruritus ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir,

anemia hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan

terkadang Syndrom Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan

paracetamol akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol.

Interaksinya dengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu

kerusakan sumsum tulang.

D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini

1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat

dibandingkan jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin,

Kotrimoxazol).

2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin

generasi ketiga.

3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.

4. Dapat diberikan peroral.

5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di

Indonesia.

Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt,

AL, AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik

lain.

E. Antibiotika alternatif untuk kasus ini

1. Thiamphenicol

Dosis thiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap 8 jam,

dan untuk anak 30-50mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian

sehari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 500 mg.

Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian

kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum tulang yang

bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan

25

Page 26: Farmasi Typhus Abdominalis

Gray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan rifampisin dan

fenobarbiton akan mempercepat metabolisme tiamfenikol. Dengan

tiamfenikol demam pada demam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari

Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-

benar sensitif

Komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

Kasus relaps lebih banyak.

2. Cotrimoxazol

Nama obat Kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprim

dan sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal

sebagai TMP/SMX, dan beredar di masyarakat

dengan beberapa nama merek dagang misalnya

Bactrim.

Menghambat pertumbuhan bakteri dengan

menghambat sintesis dari asam dihidrofolik.

Aktivitas antibakteri dari TMP –SMZ meliputi

bakteri patogen saluran kemih kecuali Pseudomonas

aeruginosa. Sama efektif seperti chloramphenicol

dalam penurunan panas dan pencegahan relaps.

Trimethoprim sendiri juga efektif pada kelompok

kecil pasien.

Dosis Dosis untuk pemberian per oral pada orang dewasa

dan anak adalah trimetroprim 320 mg/hari,

sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6

tahun trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800

mg/hari. Pada pemberian intravena paling baik

diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12

26

Page 27: Farmasi Typhus Abdominalis

jam.

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat ini;

anemia megaloblastik pada pasien dengan defisiensi

folat.

Interaksi

Obat

Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan

resorbsi sulfonamid. Pada pemberiaan yang

bersamaan dengan diuretika thiazid akan

meningkatkan insiden thrombopenia, terutama pada

pasien usia tua.

Perhatian Hentikan pada timbulnya rash kulit pertama kali atau

tanda reaksi adverse: lakukan kotrol keadaan darah

dengan pemeriksaan Hitung Datrah lengkap secara

rutin, hentikan terapi jika timbul perubahan

hematologis yang signifikan; goiter, diuresis, and

hipoglikemia dapat terjadi pada terapi dengan

sulfonamides; pemberian per IvV yang

berkepanjangan atau dosis yang tinggi dapat

menyebabkan depresi sumsum tulang (jika tanda-

tanda muncul berikan leucovorin 5-15 mg/hari);

perhatian pada defisiensi folat (contoh pada pasien

alkoholisme, geriatri, pasien yang mendapat terapi

antikonvulsan, atau pada pasien dengan sindroma

malabsorbsi); hemoloisis dapat terjadi pada pasien

dengan defisiensi G-6-PD; pasien dengan AIDS

dapat tidak toleran atau merespon pemberian TMP-

SMZ; perhatian pada pasien dengan kerusakan ginjal

atau hepar (lakukan urinanalysis dan tes fungsi renal

selama terapi); pemberian cairan untuk mencegah

terbentuknya kristaluria dan batu saluran kemih.

Kelebihan Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap

Chloraphenicol, Thiamphenicol, dan golongan

27

Page 28: Farmasi Typhus Abdominalis

Penicillin

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

3. Golongan Penicillin

Nama obat Amoxicillin– Mempengaruhi sintesis dinding sel

mucopeptides selama multiplikasi aktif,menghasilkan

aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif.

Kurang efektif dibandingkan dengan

Chloramphenicoldalam menurunkan panas dan kasus

relaps. Angka Carrier lebih sedikit dibandingkan

antibiotik lain pada bakteri yang benar- benar sensitif.

Biasanya diberikan per oral dengan dosis harian 75-

100 mg/kgBB untuk 14 hari.

Dosis Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang

kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-8

g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada

pemberiaan secara intravena paling baik diberikan

dengan infus singkat yang dibagi dalam pemberiaan

setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan

pada anak 100-200 mg/kg/hari.

BSO Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250

mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250

mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5

ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg.

Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap golongan penicillin

Interaksi obat Mengurangi kemanjuran kontrasepsi oral

Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan

munculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi

ampisilin diperlambat pada pemberian yang

bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid),

28

Page 29: Farmasi Typhus Abdominalis

diuretik, dan obat dengan asam lemah

Perhatian Penyesuaian dosisi pada pasien dengan kerusakan

ginjal; dapat meningkatkan kemungkinan candidiasis

Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-

benar sensitif

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

Kasus relaps lebih banyak.

4. Golongan Quinolone (Flouroquinolone)

Nama obat Ciprofloxacin -- Fluoroquinolone dengan aktivitas

terhadap pseudomonas, streptococci, MRSA,

Staphylococcus epidermidis, dan kebanyakan

organisme gram negatif tapi tidak efektif untuk

kuman anaerobe. Menghambat sintesa DNA bakteri

dan juga pertumbuhannya. Terapi dilanjutkan setelah

tanda dan gejala hilang selama sekurantg- kurangnya

2 hari (biasanya 7-14 hari). Terbukti sangat efektif

untuk demem typhoid dan para typhoid. Panas turun

pada hari ke 3- 5, dan angka kejadian relaps dan

carrier jarang. Quinolone lain (seperti Ofloxacin,

norfloxacin, pefloxacin) biasanya juga efekti. Jika

pasien meneluh mual atau mengalami diare dapat

diberikan per IV. Fluoroquinolone sangat efektif

terhadap strain yang multiresistendan mempunyai

aktivitas antibakteri intraselluler.

Tidak dianjurkan diberikan pada anak dan wanita

hamil karena potensial untuk menyebabkan

kerusakan kartilago pada percobaan terhadap hewan.

Tetapi arthropati tidak dilaporkan pada penggunaan

asam nalidiksat (quinolon awal yang dikenal

menyebabkan kerusakan sendi yang sama pada

29

Page 30: Farmasi Typhus Abdominalis

hewan muda) pada anak atau pada anak dengan

fibrosis kistik yang memerlukan pengobatan dosis

tinggi.

Dosis Dewasa 20-30 mg/kgBB/hari bid untuk 14 hari, tapi jangka

pengobatan yang lebih pendek dapat adekuat; 250-

500 mg PO bid untuk 7-14 hari.

Dosis anak <18 tahun: pemberian tidak dianjurkan

>18 tahun: dosis sama dengan dewasa

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi

Obat

Antasid, garam besi dan seng dapat menurunkan

kadar serum; pemberian antasid 2-4 jam sebelum atau

sesudah meminum flouruquinolone; cimetidine dapat

mempengaruhi metabolisme dari fluoroquinolone;

mengurangi efek terapi dari phenytoin; pemberian

bersama dengan probenesid dapat meningkatkan

konsentrasi serum; dapat mengingkatkan toksisitas

dari theophylline, caffeine, cyclosporine dan digoxine

(monitor kadar digoxine pada pemberian bersama);

dapat meningkatkan efek dari koagulan (monitor PT)

Perhatian Pada terapi yang jangka panjang lakukan evaluasi

periodik terhadam fungsi sistem organ(seperti ginjal,

hepar, dan hematopoetik); sesuaikan dosisi pada

kerusakan fungsi renal; superinfeksi dapat terjadi

pada terapi antibiotik yang berulang atau jangka

panjang.

Kelebihan Angka relaps dan carier lebih sedikit

Perbaikan klinis lebih cepat

Obat pilihan untuk kasus Typus abdominalis MDR

Kekurangan Tidak dapat diberikan untuk anak usia dibawah 18

tahun

Harga lebih mahal

30

Page 31: Farmasi Typhus Abdominalis

5. Golongan Cephalosporine generasi ketiga

Nama obat Cefotaxime (Claforan) – menghentikan sintesis

dinding bakteri, yang akan menghambat

pertumbuhan bakteri. Merupakan cephalosporine

dengan spektrum gram negatif. Kemanjuran terhadap

bakteri gram positif kurang. Sangat baik terhadap S

typhi In vitro dan salmonella lain dan kemanjuran

untuk demam typhoid telah diterima. Hanya tersedia

sediaan untuk injeksi per IV. Saat ini kemunculan

infeksi Salmonella domestik yang resisten terhadap

ceftriaxone telah ditemukan.

Dosis Dewasa 2 g IV setiap 6 jam

Dosis anak 200 mg/kgBB/hari pada dosis terbagi selama 14 hari

bayi dan anak- anak: 50-180 mg/kgBB/hari IV/IM

dosis terbagi setiap 4- 6 jam>12 tahun: dosis sama

dengan dewasa

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi

Obat

Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian

bersama dengan furosemide dan aminoglykoside

dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.

Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;

berhubungan dengan colitis yang parah.

Nama obat Ceftriaxone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan

aktivitas spektrum luas terhadap gram negatif dan

gram positif; aktivitas invitro sangat baik terhadap S

typhi dan salmonella yang lain.

Dosis Dewasa 1-2 g IV setiap 12 jam

Dosis anak >7 hari: 25-50 mg/kgBB/hari IV/IM; tidak melebihi

125 mg/hari

31

Page 32: Farmasi Typhus Abdominalis

Bayi dan anak: 50-75 mg/kgBB/hari IV/IM terbagi

setiap 12 jam; tidak melebihi 2g/ hari

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi

Obat

Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian

bersama dengan ethacrynic acid, furosemide, and

aminoglycoside dapat meningkatkan toksisitas

terhadap ginjal.

Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;

pseudobiliary lithiasis; diare non–Clostridium

difficile ; ibu menyusui.

Nama obat Cefoperazone -- Cephalosporin generasi ketiga

dengan spektrum gram-negatif. Kurang efektif

terhadap organisme gram positif.

Dosis

Dewasa

2-4 g/hari dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 12

g/hari

Dosis anak Belum dipastikan, disarankan 100-150 mg/kgBB/hari

dosis terbagi setiap8- 12 jam; tidak melebihi 12

g/hari

Kontraindika

si

Pasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi

Obat

Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian

bersama dengan furosemide dan aminoglykoside

dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.

Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;

berhubungan dengan colitis yang parah.

Kelebihan Obat pilihan untuk kasus Typus abdominals MDR

Angka carrier dan relaps rendah

Perbaikan klinis lebih cepat

Kekurangan Tidak tersedia dalam sediaan oral

Harga lebih mahal

32

Page 33: Farmasi Typhus Abdominalis

F. Infus NaCl 0,9%

Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk mencegah dehidrasi,

sebagai tambahan nutrisi dan mencegah asidosis.

G. Pamol

Nama obat Pamol (Paracetamol) – Parasetamol adalah drivat p-

aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik.

Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen

dan mekanismenya diduga berdasarkan efek

sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena,

tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen

dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini

dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan

menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol

dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol

direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.

Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa

nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol sebagai

analgetik memiliki khasiat sama seperti aspirin atau obat-

obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya.

Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat

prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit

aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer.

Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs.

Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak

digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral,

Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna.

Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30

menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol

diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa

33

Page 34: Farmasi Typhus Abdominalis

mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk

terkonjugasi.

Karena Parasetamol memiliki

aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak

menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek

kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya cukup

aman digunakan pada semua golongan usia.

Dosis Dewasa Dosis umum untuk orang dewasa adalah 500 mg sampai

1000mg setiap empat jam serta dikonsumsi tidak lebih

dari 10 hari.

Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60

mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,

maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2

g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :

tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml

Kontraindikasi Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati dan ginjal

Interaksi

Obat

Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin untuk

mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab paracetamol

tidak mempunyai efek anti inflamasi seperti aspirin

sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan

didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada penyakit

rematik. Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil

dan menyusui namun tetap dianjurkan pada wanita hamil

untuk meminum obat ini bila benar benar membutuhkan

dan dalam pengawasan dokter. Paracetamol

dikombinasikan dengan opiod codein.

Paracetamol dokombinasikan dengan codein dan

penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol umumnya

digunakan untuk mengobati demam, sakit kepala, dan rasa

nyeri ringan. Senyawa ini bila dikombinasikan dengan

obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda

34

Page 35: Farmasi Typhus Abdominalis

nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang

lebih parah.

Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal dan

alkoholik

H. Ranitidin

Nama obat (Ranitidine HCl) – suatu penghambat aktivitas histamin

yang kompetitif dan reversibel pada reseptor H2

histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung dan

bukan suatu zat antikolinergik, Ranitidin bekerja dengan

cara menghambat sekresi asam lambung basal dan

nokturnal melalui peng -hambatan kompetitif terhadap

kerja histamin pada reseptor - H2 histamin di sel-se!

parietal. Ranitidin juga menghambat sekresi asam

lambung yang dirangsang oieh makanan, betazole,

pentagas-trln, kofein, insulin dan refleks vagal fisiologis.

Efek penghambatan terhadap histamin bersifat

kompetitif,  sedangkan terhadap pentagastrin bersifat

non-kompetitif.

Kadar puncak dalam darah setelah pemakaian oral,

tercapal dalam 1 - 2 jam dan tidak dipengaruhi oleh

adanya makanan..

Dosis Dewasa Injeksi:

Harus diberikan secara perlahan-lahan (-2'menit)

Dewasa: Intramuskular: 50mg/2ml, setiap 6-8 jam, tanpa

pengenceran. 

Intravena:

- Intermittent bolus: 50 mg (2 ml) setiap 6'- 8 jam.

Larutkan ranitidin injeksi dalam 0,9% larutan NaCI atau

larutan i,v, yang   cocok lainnya hingga konsen-trasi

tldak lebih besar dari 2,5 mg/ml (20 ml).            •

35

Page 36: Farmasi Typhus Abdominalis

Suntikkan dengan kecepatan tidak   lebih dari 4 ml/

menit(5menit),

- Intermittent infusion: 50 mg/2 ml setiap 6 - 8 Jam,

Larutkan ranitidin injeksi dalam dekstrosa 5% atau

larutan i.v, yang cocok   lainnya hingga konsentrasi tidak

lebih dari 0,5 mg/ml ( 100 ml).

  Diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 5 - 7

ml/menif(15-20menit),

- Injeksi i.v. kontinyu; tambahkan injeksi ke dalam

larutan dekstrosa 5% ( atau larutan untuk injeksi i.v. lain

yang cocok),   dengan kecepatan Infus 6,25 mg/jam,

- Pada penderita sindroma Zollinger - Ellison: encer-kan

injeksi ke daldm larutan dekstrosa 5% (atau larutan untuk

injeksi   i.v. lain yang cocok) sampai di -peroleh

konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/ml. Ke -cepatan infus

pertama 1,0   mg/kg/jam,setelah 4 jam (bila pada

pengukuran asam lambung diper -oleh> lOmEq/jam)

dosis dapat ditingkatkan 0 5 mg/kg/jam.

  Dosis maksimal sampai 2,5 mg/kg/jam dengan

kecepatan infus 220 mg/jam,

- Pada penderita gagal ginjal (bila bersihan kreatinin < 50

mg/menit): dosis yang dianjurkan i.m. atau i.v, adalah 50

mg trap   18-24 jam (bila perlu interval pemberian

ditingkatkan menjaditiap 12 jam ). Karena Ranitidin turut

terdialisa maka waktu   pemberian harus disesudikan,

yaitu bertepatan dengan akhirhemodialisa.

Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60

mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,

maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2

g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :

tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml

36

Page 37: Farmasi Typhus Abdominalis

Efek samping Perubahan reversible pada fungsi hati, reaksi

hipersensitivitas, sakit kepala, ruam kulit, dan reversible

mental confusion

Interaksi Obat Dengan diazepam, metoprolol, lignokain, fenitoin,

propanolol, teofilin, warfarin, midazolam, fentanyl, ni-

fedipin.

Ranitidine tidak menghambat kerja dari

sitokrom P450 dalam hati.

Pemberian bersama warfarin dapat

meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin

Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal, disfungsi hati, hamil dan masa laktasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, A. 2008. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK

UI.

2. Parry CM. 2002. Typhoid fever. NEJM 347(22): 1770-82

3. Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

FKUI Jilid III.Jakarta : IPD FKUI

4. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:

Infomedika.

37

Page 38: Farmasi Typhus Abdominalis

5. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current

Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.

6. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and

review.  Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3

7. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. 2008.

McGraw Hill

8. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta:

EGC.

9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis

2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

10. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal

Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.

11. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.

www.medline.com.

12. Baker et al. 2010.Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC

Infectious Diseases

13. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics

Update. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

14. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar

Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

38