FARMAKOTERAPI NYERI

download FARMAKOTERAPI NYERI

of 55

Transcript of FARMAKOTERAPI NYERI

FARMAKOTERAPI NYERIMAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakoterapi Terapan

KELOMPOK 3: Ni Putu Rasvita Dewi Khaerunnisa Elfandari Dewi L. N. Masripah Sri Nurhayani 260112100015 260112100016 260112100017 260112100018 260112100026

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS FARMASI JATINANGOR

2010FARMAKOTERAPI NYERI

1.

Definisi Nyeri Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. 2. Patofisiologi Nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu: a. Reseptor A Delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

2

b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. 2.1 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory) Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat

3

menggosok punggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005). 2.2 Respon Psikologis Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman pasien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi pasien. Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda, antara lain: a. Bahaya atau merusak b. Komplikasi seperti infeksi c. Penyakit yang berulang d. Penyakit baru e. Penyakit yang fatal f. Peningkatan ketidakmampuan g. Kehilangan mobilitas h. Menjadi tua i. Sembuh j. Perlu untuk penyembuhan k. Hukuman untuk berdosa l. Tantangan m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

4

n. harus ditoleransi o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki 2.3 Respon Fisiologis terhadap Nyeri

Sesuatu yang

Respon fisiologi terhadap nyeri terdiri atas dua stimulus, yaitu stimulus simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial) dan stimulus parasimpatik (nyeri berat dan dalam). 1) Stimulasi Simpatik a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate b. Peningkatan heart rate c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP d. Peningkatan nilai gula darah e. Diaphoresis f. Peningkatan kekuatan otot g. Dilatasi pupil h. Penurunan motilitas GI 2) Stimulus Parasimpatik a. Muka pucat b. Otot mengeras c. Penurunan HR dan BP d. Nafas cepat dan irreguler e. Nausea dan vomitus f. Kelelahan dan keletihan 2.4 Respon Tingkah Laku terhadap Nyeri Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur) b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir) c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan)

5

d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri: a. Fase Antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima) Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada pasien. b. Fase Sensasi (terjadi saat nyeri terasa) Fase ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Pasien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

6

Pasien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan pasien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila pasien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu pasien mengkomunikasikan nyeri secara efektif. c. Fase Akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan pasien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila pasien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang. 2.5 lain: a. Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. b. Jenis Kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri, antara

7

c. Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. d. Makna Nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. e. Perhatian Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. f. Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. g. Pengalaman Masa Lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. h. Pola Koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. i. Dukungan Keluarga dan Sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

8

2.6

Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut: a. Skala Intensitas Nyeri Deskritif

b. Skala Identitas Nyeri Numerik

c. Skala Analog Visual

d. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan: 0 : Tidak nyeri

9

1-3 4-6 7-9

10

: Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik : Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik : Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan pasien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Priharjo, 1993). Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus

10

dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005). Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat pasien melengkapinya. Apabila pasien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005). 3. Manifestasi Klinik Secara umum pasien mungkin berada dalam keadaan distress (kesakitan) akut yang nyata (nyeri trauma) atau tampak tidak menderita keluhan yang berarti (kronis/menetap). Terdapat beberapa gejala nyeri:a. Nyeri dapat digambarkan sebagai: tajam menusuk, pusing, panas seperti

terbakar, menyengat, pedih, nyeri merambat, rasa nyeri yang hilang timbul, dan berbeda tempat rasa nyeri. b. Setelah beberapa lama, rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan gejala yang sama sekali berbeda (contoh : dari nyeri menusuk menjadi pusing, dari nyeri yang terasa nyata menjadi samar samar). c. Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia (gangguan pola tidur), rasa marah dan ketakutan. Manifestasi klinik nyeri dapat dibagi menjadi tiga kategori mayor, yakni nyeri akut, nyeri kronik, dan nyeri neuropatik. a. Nyeri Akut Nyeri akut terjadi akibat luka atau karena pembedahan, bertempat lokal, dan semakin reda ketika luka tersebut hilang. Nyeri akut yang tidak ditangani dapat menyebakan gejala-gelala psikologis seperti tachypnea, tachycardia, dan

11

meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pucat, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Penanganan nyeri akut yang buruk dapat menyebabkan stess psikologis, yang berpengaruh juga pada sistem imun, dimana tubuh akan mengeluakan kortikosteroid endogen. Kondisi ini diikuti juga dengan penurunan kemampuan bergerak dan penurunan kapasitas paru-paru, yang juga dapat memperlambat penyembuhan luka. Nyeri akut somatik muncul karena adanya luka di kulit, tulang, persendian, otot, dan jaringan konektif, yang pada umumnya terlokalisasi di tempat luka. Nyeri viseral termasuk luka syaraf pada organ internal (seperti hati dan usus) dapat menyebar. Nyeri akut harus segera ditangani bahkan sebelum ada diagnosis, kecuali pada kondisi luka di kepala dan usus dimana nyeri dapat membantu dalam diagnosis. b. Nyeri Kronik Nyeri kronik berlangsung melebihi batas normal waktu yang diharapkan dalam proses penyembuhan. Nyeri kronik menyebabkan nosiseptif, peradangan, dan neuropatik. Nyeri kronik dapat berlangsung pada waktu tertentu dan dapat berkepanjangan. Respon psikologis yang terjadi pada nyeri akut jarang muncul pada nyeri kronik. Pasien dengan nyeri kronik dapat menyebabkan masalah psikologis, ketergantungan, toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan yang dapat memperparah nyeri. c. Nyeri Neuropatik Nyeri neuropatik bersifat seperti nyeri kronik nonmalignant, yang termasuk penyakit dalam sistem syaraf sentral dan periferal. Contoh dari nyeri neuropatik adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN). Periferal atau polineuropatik berhubungan dengan polineuropati distal pada diabetes, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan beberapa kemoterapi. Tipe nyeri sentral yaitu nyeri stroke sentral, trigeminal neuralgia, dan sindrom yang disebut Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). Contoh dari CPRS adalah distofi simpatik reflek dan kausalgia, dimana keduanya adalah nyeri neuropatik yang berhubungan dengan fungsi abnormal dari sistem syaraf autonom. Gejala nyeri neuropatik yaitu gatal, terasa terbakar, seperti ditusuk-tusuk, dan seperti disengat listrik. Kondisi lainnya seperti denyut melemah, nyeri

12

seperti terbakar. Seringkali kerusakan syaraf periferal dapat dijadikan petunjuk tempat terjadinya kerusakan dari syaraf tersebut. Penanganan nyeri yang rasional dari nyeri ini harus memperhatikan hasil evaluasi dari neuropati dan hubungannya dengan kerusakan periferal dan sentral. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri ini adalah opioid seperti metadon yang merupakan golongan antagonis reseptor N-Metil-DAspartat (NMDA). Penggunaan antikonvulsan juga dapat digunakan untuk memblok chanel Na+ pada serabut syaraf aferen periferal. Obat-obatan lain seperti antidepresan trisiklik, bupropion, dan venlafaxine dapat memblok mekanisme penghambatan pengeluaran target monoamin dorsal horn. Adapun beberapa tanda dari nyeri, antara lain: a) Nyeri akut dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, diaforesis, midriatik dan pallor (pucat), tetapi gejala tersebut tidak memastikan diagnosis nyeri. b) Nyeri selalu bersifat subyektif ; jadi lebih baik diagnosa didasarkan pada gambaran dan riwayat penyakit yang diceritakan oleh pasien.c) Nyeri nosiseptik seringkali akut, terlokalisasi, dapat digambarkan dengan

jelas, dan membaik dengan analgesik konvensional. Nyeri biasanya berupa nyeri seperti dipukul dan rasa tidak nyaman yang terlokalisasi, tetapi nyeri viseral rasanya seperti berasal dari struktur lain atau timbul sebagai fenomena yang terlokalisasi.d) Nyeri neuropatik seringkali kronis, tidak dapat dijelaskan dengan dengan

baik dan tidak mudah diobati dengan analgesik konvensional. Pasien umumnya merasakan nyeri yang seperti membakar, pedih, seperti tersengat listrik, atau menusuk, respon nyeri berlebihan terhadap rangsangan yang membahayakan (hiperalgesia), atau respon nyeri terhadap rangsangan yang secara normal tidak membahayakan (allodynia)e) Pengobatan nyeri yang tidak efektif dapat menyebabkan hipoksia

(kekurangan oksigen), hypercapnea, hipertensi, aktivitas jantung berlebihan dan gangguan emosional. f) Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 4 subtipe : 1. Nyeri yang menetap lebih dari waktu sembuh normal untuk luka akut

13

2. Nyeri akibat penyakit kronis 3. Nyeri yang tidak jelas organ penyebabnya, serta 4. Nyeri baik akut maupun kronis yang disebabkan oleh kankerg) Pasien

dengan nyeri kronis mungkin timbul masalah psikologik

ketergantungan dan toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, serta peka terhadap perubahan lingkungan yang justru memperparah nyeri (Sukandar et al., 2008). 4. Diagnosa 4.1 Nyeri akut Nyeri akut yaitu suatu keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam bulan atau kurang. Batasan Karakteristik :1) Subjektif : Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri

dideskripsikan. Untuk pasien dewasa dan dalam kondisi sadar penuh, rasa nyeri ini bisa dikaji secara verbal menggunakan skala 0-10 atau 0-5 (tergantung kebijakan RS menggunakan yang mana) (Yenichrist, 2008).2) Objektif a. Perilaku sangat berhati-hati b. Memusatkan diri c. Fokus perhatian rendah (perubahan persepsi waktu, menarik diri dari

hubungan sosial, gangguan proses berpikir)d. Perilaku distraksi (mengerang, menangis) e. Raut wajah kesakitan (wajah kuyu, meringis) f. Perubahan tonus otot g. Respon autonom (diaforesis, perubahan tekanan darah dan nadi,

dilatasi pupil, penurunan atau peningkatan frekuensi pernafasan) h. rubor (kemerahan jaringan) i. kalor (kehangatan jaringan)

14

j. tumor (pembengkakan jaringan) k. dolor (nyeri jaringan)l.

fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan) (Dharmayana, 2009)

4.2

Nyeri kronis Nyeri kronis yaitu keadaan dimana seseorang individu mengalami nyeri

yang menetap atau intermiten dan berlangsung lebih dari enam bulan. Batasan Karakteristik :1) Mayor (harus terdapat), individu melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih

dari 6 bulan2) Minor (mungkin terdapat) a. Ketidaknyamanan b. Marah, frustasi, depresi karena situasi c. Raut wajah kesakitan d. Anoreksia, penurunan berat badan e. Insomnia f. Gerakan yang sangat berhati-hati g. Spasme otot h. Kemerahan, bengkak, panas i. j.

Perubahan warna pada area terganggu Abnormalitas refleks

4.3

Diagnosa Tambahana. Kecemasan yang berhubungan dengan hilangnya kontrol b. Ketakutan yang berhubungan dengan nyeri c. Kelemahan yang berhubungan dengan pengobatan pada penyakit d. Perubahan penampilan peran yang behrubungan dengan perubahan status

kesehatan dan kerusakan kopinge. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan kesakitan dan nyeri

15

f. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan

ketidaknyamanang. Aktivitas intoleran yang berhubungan dengan nyeri dan/atau depresi h. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri i. j.

Kurang perawatan diri (total atau sebagian) yang berhubungan dengan nyeri Perubahan pemeliharaan kesehatan yang berhubungan dengan perasaan tak berdaya (Ramali, 2000)

4.4

Alat Pengukur Nyeri

5.

Hasil Terapi yang Diinginkan Tujuan terapi adalah untuk meminimalkan nyeri, mencegah timbulnya

gangguan tidur, dan memberikan kenyamanan yang memadai pada dosis analgesik efektif terendah. Selain itu, pada nyeri kronis juga diharapkan meliputi pemulihan dan menghilangkan terhadap masalah psikososial.

6.

Penanganan

16

Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. 6.1 Terapi farmakologi Terapi farmakologi adalah terapi menggunakan obat-obatan sintetik, semisintetik, maupun bahan alam. Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan Korteks Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam (q 4h) setelah pembedahan (Irman, 2007). a. Obat Nonopioid Analgesik yang diberikan harus dimulai dengan analgesik yang paling efektif dengan efek samping terendah. Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin FDA untuk Orang Dewasa Golongan dan nama Rentang dosis lazim (mg) Dosis maks (mg hr) salisilat 325-650 tiap 54 jam 870 tiap 3 4 jam 650 tiap 4 jam atau 1090 Tiga kali sehari Natrium Diflusinal Para-Aminofenol Parasetamol b Fenamat Meklofemat Asam mefenamatb

generik Salisilat Asam asetil (aspirin)b Kolin b Magnesium b

4000 5220 4800 Dalam terapi 5400 1500 dosis

325 650 tiap 4 jam 500 1000 pada awal 250 500 tiap 8 12 jam 325 1000 tiap 4 6 jam 50-100 tiap 4 -6 jam Awal 500

4000 400 1000c

17

250 tiap 6 jam ( Maks 7 hari) Asam pianokarboksilat Etodolak 200 400 tiap 6 8 jam Hanya segera Asam Asetat Kalium diklofenak Pada beberapa pasien, Awal 100, 50 tiga kali sehari Asam Propionat Ibuprofen b Fenoprofen Ketoprofen b Naproksen 200 400 tiap 4 6 jam 200 400 tiap 4 6 jam 25 50 tiap 6 8 jam 12,5 25 tiap 4 6 jamd 500 saat awal 500 tiap 12 jam atau Natrium Naproksenb

1000

utk

pelepasan

150d

3200 1200e 3200 300 75e 1000c

250 tiap 6 8 jam Pd beberapa pasien 440 660e saat awale 220 tiap 8 12

Naproksen, released Naproksen,

jam e delayed 500 tiap 12 jam controlled 200 1000 tiap 24 jam

1000

released Asam Pirozolin karboksilat Ketorolak (parenteral) 30 60 mg (dosis im 30-60 tunggal saja) 15 30 tiap 6 jam (maks 5 120 Ketorolak (oral) (Indikasi hanya hari) Pada jam beberapa (maks 5 pasien, 40 hari,

untuk dosis awal 20 10 tiap 4

lanjutan/setelah parenteral 6

saja) termasuk dosis parenteral) Penghambat siklooksigenase-2

18

Selekoksib

Awal 400 diikuti dengan 400g 200 pd hari yang sama, lalu 200 dua kali seharig 20 dua kali seharih

Valdekoksiba

40h

Tidak termasuk obat yang diberi ijin hanya untuk osteoporosis atau Tersedia sebagai obat bebas maupun dengan resep dokter Sampai dengan 1250 mg pada hari pertama Sampai dengan 200 mg pada hari pertama Obat bebas Tidak untuk terapi awal nyeri akut Untuk nyeri akut dismenore primer Untuk dismenore primer

rematoid arthritisb c d e f g h

Obat-obat ini (kecuali parasetamol) menurunkan produksi prostaglandin melalui mekanisme berantai asam arakidonat, oleh karenanya mengurangi jumlah rangsangan nyeri yang diterima oleh SSP.

Aspirin yang diberikan bersama dengan anti inflamasi non steroid (AINS) yang lain lebih berisiko menyebabkan efek samping pada saluran cerna. Garam salisilat kurang menyebabkan efek samping dibandingkan dengan aspirin dan tidak menghambat agregasi platelet.

Senyawa dengan struktur mirip aspirin tidak boleh diberikan kepada anak atau remaja yang menderita influenza atau chickenpox (cacar air), karena sindrom reye dapat terjadi.

Parasetamol mempunyai aktivitas analgesik dan antipiretik tetapi hanya sedikit efek antiinflamasi. Juga bersifat sangat hepatotoksik jika overdosis.

Nama obat Keterangan Aspirin (asam Mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antinflamasi. asetilsalisilat atau Efek samping utama : perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik (dosis asetosal) besar) dan iritasi lambung. Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid). Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan

19

Asetaminofen (parasetamol)

Ibuprofen

Asam mefenamat Diklofenak

Indometasin Fenilbutazon

Kelompok obat gout b. Obat Opioid

darah) pada pembuluh darah koroner janung dan pembuluh darah otak Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Parasetamol mempunyai efek analgesik dan anipiretik, tetapi kemampuan antinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol. Mempunyai efek analgesik, anipiretik, dan antinflamasi, namun efek antinflamasinya memerlukan dosis lebih besar. Efek sampingnya ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan. Mempunyai efek analgesik dan antinflamasi, tetapi tidak memberikan efek anipiretik. Diberikan untuk antinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Mempunyai efek anipiretik, antinflamasi dan analgesik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih toksik. Hanya digunakan untuk antinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout. Pada keadaan akut : kolkisin, fenilbutazon, dan indometasin. Mengurangi kadar asam urat : probenesid, allopurinol dan sulfinpirazon

Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor opioid spesifik pada susunan saraf pusat untuk meghasilkan efek yang meniru efek neurotransmiter peptida endogen, opiopeptin (misal endorfin dan enkefalin). Opioid analgesik penggunaan utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi atau sebagai akibat luka atau suatu penyakit misal kanker. Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang dikelompokkan menjdi 3 tipe utama yaitu -, -, dan -reseptor. -reseptor memiliki jumlah yang paling banyak di otak dan merupakan reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk mengasilkan efek analgesik. Sedangkan - dan -reseptor menunjukkan selektivitas terhahap enkefalin dan dinorfin secara respektif. Aktivasi -reseptor juga dapat menghasilkan efek

20

analgesik, namun berlawanan dengan -agonis, yang dapat menyebabkan euforia. Beberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan psikomotorik dengan beraksi pada -reseptor. Aktivasi pada - dan -reseptor dapat menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan cara mengaktivasi K+ chanel melalui proses yang melibatkan G-protein. Sedangkan aktivasi reseptor dapat menghambat membran Ca2+ chanel. Sehingga dapat merintangi peletuoan neuronal dan pelepasan transmitter (Tusthi, 2007) Kerja pada pusat Hipnoanalgetika:a. Menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor opiate (kerja

analgetika), b. Sebaliknya tidak mempengaruhi kualitas indra lain pada dosis terapi,c. Mengurangi aktivitas kejiwaan (kerja sedasi), d. Meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah (kerja trankuilansia), e. Menghambat pusat pernafasan dan pusat batuk (kerja depresi

pernapasan dan kerja antitusiva),f. Seringkali mula-mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi

pusat muntah (kerja emetika), selanjutnya menyebabkan inhibisi pusat muntah (kerja antiemetika),g. Menimbulkan miosis (kerja miotika), h. Meningkatkan pemnbebasan ADH (kerja antidiuretika), dan

i. Pada pemakaian berulang kebanyakan menyebabkan terjadinya toleransi dan sering juga ketergantungan. Kerja perifer Opiat:a. Memperlambat pengosongan lambung dengan mengkonstriksi pylorus, b. Mengurangi motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obtipasi

spastic),c. Mengkontraksi sfinkter dalam saluran empedu, d. Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot sfinkter kandung

kemih,

21

e.

Mengurangi tonus pembuluh darah dengan bahaya reaksi ortostatik, danf. Menimbulkan pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal, serta pada

penderita asma suatu bronkhospasmus, akibat pembebasan histamine(1) (Mutschler, 1991) Mula kerja analgesik oral biasanya sekitar 45 menit, dan efek puncak umumnya terlihat dalam 1 sampai 2 jam. Golongan dan Nama Rute Generik Agonis Mirip Morfin Morfin Hidromorfin Oksimorfin Triorfanol Kesetaraan Dosis Analgesik (mg) Dewasa Im Po Im Po Im R im (akut) po (akut) im (kronis) po (kronis) Im Po Po Po 10 30 1,5 7,5 1 5a 2 4 1 1 15 30 b 15 30 b 5 10 b 20 30 c 75 300c, tidak disarankan 0,1 0,2 25mcg/jamd

Codein

Hidrocodon Oksikodon Agonis-Mirip Meperidin Meperidin Im Po Pentanil Im Transdermal Transmukosal hanya untuk nyeri berat Agonis-Mirip Metadon Metadon im (akut) po ( akut) im (kronis) po (kronis) Propoksilen Po Turunan Agonis-Antagonis Protazosin Im

bervariasie bervariasie bervariasie bervariasie 65b Tidak dianjurkan

22

Butorfanol

Nalbufin Buprenorfin Dezosin Antagonis Nalokson Iv 0,4 1,2 f Analgesik Sentral Tramadol Po 50 100 b a 50 mg morfin rectal = 5 mg oksimorfin rectalb c d e

Po Im intranasal Im Im Im

50b 2 1 b (satu spray) 10 0,4 10

Dosis awal saja (kesetaraan dosis analgesik tidak ada) Dosis awal lebih rendah (oksikodon 5 10 mg) Kesetaraan dosis morfin im = 8 22 mg / hari Kesetaraan dosis analgesik metadon, jikadibandingkan dengan

opioid lain akan menurun secara progresif sejalan dengan makin tingginya dosis opioid sebelumnya.f

Dosis awal yang digunakan hanya pada keadaan overdosis opioid

Agonis dan antagonis parsial bersaing dengan agonis pada reseptor opiat dan menimbulkan efek campuran antara agonis dan antagonis. Obat-obat tersebut mungkin mempunyai selektivitas f5 mm dengan kedalaman submukosa pada mukosa lambung akibat terputusnya kontinuitas/integritas mukosa lambung (Yenichrist, 2008). Karena nyeri pasien pada kasus di atas, bisa juga terdapat tukak gaster, sehingga sangat dianjurkan untuk pemeriksaan melalui endoskopi untuk mengetahui apakah hanya gastritis atau sudah menjadi tukak gaster/duodenum. Manifestasi Klinis Gejala ulkus dapat selama beberapa hari, minggu, atau bulan, dan bahkan hilang sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului. Pada pasien kita diatas mengalami nyeri ulu hati seperti terbakar disertai kram, mual, dan muntah. Nyeri perut juga tidak berkurang sesaat atau beberapa saat sesudah makan, pada palpasi juga adanya nyeri tekan pada epigastrium. Nyeri dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Nyeri terjadi karena kandungan

40

asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan adanya kontak antara lesi (ulkus) dan asam merangsang mekanisme lokal yang memulai kontraksi otot halus disekitarnya. Nyeri bisa hilang setelah makan, karena makanan menetralisir asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung kosong, nyeri kembali timbul. Aktivitas makan merupakan salah satu cara menentukan letak ulkus (di lambung atau di duodenum). Apabila setelah makan, nyeri menghilang mungkin letak ulkus di lambung, jika tidak hilang, dimungkinkan letaknya di duodenum (tapi cara ini tidak bisa digunakan sebagai patokan). Pirosis (nyeri ulu hati), merupakan sensasi luka bakar pada oesophagus dan lambung yang naik ke mulut, kadang disertai eruksitasi (sendawa) asam. Eruksitasi bisa terjadi saat lambung kosong. Muntah, meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat/tanpa didahului mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung. Dari anamnesis diketahui penderita meminum obat sakit gigi sejak 1 minggu yang dibeli di warung. OAINS Analgesik: menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran; opioida., salah satu dari kelompok senyawa yang terikat dengan sejumlah reseptor spesifik (reseptor opioid) yang berkaitan erat pada SSP untuk memblok persepsi nyeri, digunakan pada nyeri sedang sampai nyeri hebat, menyebabkan ketergantungan dalam jangka panjang Obat ini mempunyai efek analgesik, antipiretik, antiinflamasi (dosis tinggi). Pasien banyak diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet aspirin, parasetamol, dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri pada sakit kepala, nyeri gigi, gangguan muskuloskeletal, dll. OAINS tidak efektif pada terapi nyeri

41

visceral (mis: IM, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan analgesik opioid akan tetapi OAINS sangat efektif pada nyeri hebat tertentu, misal kanker tulang. OAINS mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin. Dan inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering menyebabkan kerusakan GIT (dyspepsia, mual, gastritis). Efek samping yang paling serius adalah perdarahan GIT dan perforasi. COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitusif (COX-1), tetapi sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2). Inhibisi COX-2 diduga bertanggung jawab untuk efek antiinflamasi OAINS, sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisistas gastrointestinal. Efek samping OAINS pada GIT. Dalam lambung, COX-1 menghasilkan prostaglandin (PGE dan PGI) yang menstimulasi mukus, sekresi bikarbonat, dan menyebabkan vasodilatasi (kesemuanya menjaga mukosa lambung, lihat atas). OAINS nonselektif menghambat COX-1 sehingga mengurangi efek sitoprotektif prostaglandin (menyebabkan efek serius pada GIT bagian atas, termasuk perdarahan dan ulserasi). OAINS COX -2 selektif yang baru (colecoxib) mempunyai efek toksisitas GIT yang jauh lebih sedikit. Selain itu OAINS merusak mukosa secara local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek obat ini juga terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan bahaya perdarahan ulkus. (Neal, 2005). Contoh Obat-Obat OAINS:1. Parasetamol : asetaminofen, Panadol, Tylenol, Tempra, Nipe

Indikasi Peringatan Resorpsinya

: nyeri ringan sampai sedang, demam : Berkurangnya fungsi hati dan ginjal (Sukandar, 2008). :

di usis cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. Dalam hati, zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih sebagai konjugat-glukuronida dan sulfat (Tjay & Kirana, 2002). Efek Samping :

42

Antara lain reaksi hipersensitivitasdan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 304 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan SH) (Tjay & Kirana, 2002). Intreraksi Resin : penukan-anion : kolestiramin menurunkan absorpsi parasetamol. Antikoagulan : penggunaan parasetamol secara rutin dalam waktu yang lama mungkin meningkatkan warfarin. Metoklopramid dan Domperidon : Metoklopramid mempercepat absorpsi parasetamol (meningkatkan efek) (Sukandar, 2008).2. Asetosal

: Asetosal, Aspirin, Cafenol, Naspro : Nyeri ringan sampai sedang, demam; antiplatelet.

Indikasi

Kontraindikasi: Anak di bawah usia 12 tahun dan anak yang sedang disusui (Sindrom Reye : karena hubungan dengan Sindrom Reye, maka sediaan mengandung asetosal tidak diberikan pada anak berusia di bawah usia 12 tahun; kecuali ada indikasi yang spesifik ; misalnya juvenile arthritis Penyakit Still. Penting untuk menjelaskan bahwa asetosal adalah obat yang mengganggu pencernaan; hemofilia; tidak untuk pengobatan gout (Sukandar, 2008). Resorpsinya : cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung (Tjay & Kirana, 2002). Efek Samping : Yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan pendarahan samar (occult). Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal, yang dapat dikurangi dengan suatu antasida (MgO, aluminiumhidroksida, CaCO3). Pada dosis besar, faktor lain memegang peranan, yakni hilangnya efek pelindung dari prostasiklin (PgI2) terhadap

43

mukosa lambung, yang sintesanya turut dihalangi akibat blokade siklooksigenase (Tjay & Kirana, 2002). Peringatan : Asma; penyakit alergi; menurunnya fungsi ginjal atau hati (hindarkan bila hebat); dehidrasi; kehamilan; pasien usia lanjut; defisiensi G6PD. Interaksi

:

Analgesik lain : hindari pemberian bersama dengan AINS lain (meningkatkan efek samping) Antasida dan Adsorben : sekresi asetosal dinaikkan pada urin yang biasa. Antikoagulan antiplatelet. Antiepileptika : peningkatan efek fenitoin dan valporat. Kortikosteroid : risiko pendarahan dan ulserasi saluran cerna meningkat. Sitostatika : mengurangi efek sekresi metotraksat (meningkatkan toksisitas). Diuretika antagonisme efek diuretik spironolakton; menurunkan ekskresi asetazolamid (risiko toksisitas). Metoklopramid dan domperidon : metoklopramid meningkatkan efek asetosal (meningkatkan laju absorpsi). Mifepriston : disarankan untuk menghindari asetosal sampai 8-12 hari setelah mifepriston. Urikosurik : efek probenesid dan sulfinpirazon di kurangi (Sukandar, 2008). : risiko pendarahan meningkat karena efek

3. Diklofenak Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang menyerupai flurbiprofen maupun meklofenamat. Obat dan ini adalah juga penghambat mengurangi siklooksigenase yang relatif nonselektif kuat,

44

bioavailabilitas asam arakidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa (Katzung, 2002). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (firstpass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak lambung (Wilmana, 1995). Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dan CYP2C9 menjadi metabolit tidak aktif, jadi disfungsi ginjal tidak mempengaruhi klirens secara nyata. Klirens empedu bisa mencapai 30% dari klirens total (Katzung, 2002). Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien dan meliputi distress gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi daripada dengan beberapa AINS lainnya. Sebuah kombinasi antara diklofenak dengan mesoprostol mengurangi ulkus pada gastrointestinal bagian atas tetapi bisa mengakibatkan diare. Peningkatan serum aminotransferase lebih umum bisa terjadi dengan obat ini daripada dengan AINS lainnya (Katzung, 2002).

4. Ibuprofen

Indikasi

:

Demam dan nyeri untuk anak; nyeri dan radang pada penyakit rematik (termasuk juvenile arthritis) dan gangguan otot skelet lainnya; nyeri ringan sampai berat termasuk dismenore, analgesik pasca bedah. Kontraindikasi : Pasien mengidap tukak lambung aktif; pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap asetosal atau AINS lainnya, termasuk mereka

45

yang kena serangan asma, angiodema, urtikaria atau rinitisnyadipicu oleh asetosal dan AINS lainnya. Interaksi : Analgesik lain : hindari pemberian bersama dua atau lebih AINS; termasuk asetosal (menambah efek samping). Antasid dan adsorben : antasid menurunkan absorpsi diflunisal Antibakteri : AINS dengan 4-kuinolon mungkin meningkatkan resiko kejang. Antikoagulan : meningkatkan resiko pendarahan dengan ketorolak dan semua antikoagulan (termasuk heparin dosis rendah) (Sukandar, 2008). Stress Reaksi stress diatur oleh HPA axis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal axis), bagian terbesar dari system neuroendokrin. Selain itu HPA axis juga mengatur banyak proses tubuh, seperti pencernaaan, sistem imun, perasaan dan emosi, seks, dan energi penyimpanan. Elemen-elemen HPA axis adalah PVN (paraventrikular nucleus) dari hipotalamus, yang mengandung neuroendokrin yang mensistesis dan mensekresi vasopressin dan CRH (corticotrophin Releasing Hormone). Kedua hormon ini mengatur:

lobus anterior kelenjar hipofisis. Secara khusus, CRH dan vasopressin merangsang ACTH (adrenocorticotropic hormon). ACTH pada gilirannya bekerja pada:

korteks adrenal yang menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama kortisol pada manusia) sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh ACTH. Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH) dalam siklus umpan balik negatif. Stres (pada kasus diatas stress psikogenik) inilah yang kemudian

mengakibatkan ulkus akut. Hal ini mungkin karena gangguan aliran darah yang

46

melewati mukosa, yang berkaitan dengan tingginya kortisol dalam plasma. (Silbernagle, 2007) Sehingga pada kasus diatas penggunaan OAINS sifatnya mencegah sistem pertahanan terutama prostaglandin dan itu juga kortisol yang bersifat steroid meningkatkan sekresi asam lambung. Pemeriksaan Penunjang (Radiologi dan Endoskopi) Untuk mengetaui diagnosa pada kasus diatas, perlu pemeriksaan radiologi barium meal kontras ganda (menegakkan diagnosa tukak peptik), sekarang ahli gastroenterologi lebih menganjurkan pemeriksaan endoskopi. Di samping itu bisa dilakukan pemeriksaan histopatologi, sitologi brushing dengan biopsi melalui endoskopi. Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak minimal 4 sampel untuk 2 kuadran, bila tukak besar diambil sampel 3 kuadran (dasar, pinggir, sekitar tukak) minimal 6 sampel. Jika ditemukan H. pylori sebagai etiologi tukak peptik dianjurkan pemeriksaan tes CLO, serologi, dan UBT dengan biopsi melalui endoskopi. Sugesti pasien menderita tukak apabila ditemukan (Yenichrist, 2008) : 1. Riwayat tukak pada keluarga, 2. Rasa sakit klasik dengan keluhan spesifik, 3. Faktor predisposisis (OAINS, perokok berat, alkohol), 4. Penyakit kronik (PPOK, sirosis hati),5. Ditemukan H. pylori dari serologi/IgG anti HP atau UBT

Diagnosis Berdasar pada (1) pengamatan klinis, dyspepsia (sakit dan discomfort), kelainan fisik yang dijumpai, sugesti pasien tukak, (2) hasil pemeriksaan penunjang (radiologi dan endoskopi) (3) hasil biosi untuk pemeriksaan tes CLO, histopatologi kuman HP (Yenichrist, 2008). Penatalaksanaan pada Gastritis

47

Obat yang menyembuhkan ulkus ( penurun sekresi asam dan penguat mukosa) dan Antasida). Obat yang menyembuhkan ulkus

Penurun sekresi asam

Inhibitor pompa proton (Omeprazol dan Lansoprazol) Tidak aktif pada pH netral, tetapi sangat berguna pada keadaan hipersekresi asam lambung yang disebabkan oleh sindrom Zollinger-Ellison dan pada pasien dengan esofagitis refluks dimana ulkus yang berat biasanya resisten terhadap obat lain. Dalam keadaan asam obat tersebut disusun kembali menjadi dua macam molekul reaktif, yang bereaksi debgan gugus sulfhidril pada H/K-ATPase yang berperan untuk mentranspor H keluar dari sel parietal. Oleh karena enzim dihambat secara irreversible, maka sekresi asam hanya terjadi setelah sintesis enzim baru. Antagonis reseptor H histamine (Cimetidin dan Ranitidin) Bekerja dengan memblok kerja histamin pada sel parietal dan mengurangi sekresi asam. Obat tersebut mengurangi nyeri akibat ulkus peptikum dan meningkatkan penyembuhan ulkus. Cepat diabsorbsi secara oral dan efek samping rendah. Simetidin mempunyai efek antiandrogen, menurunkan metabolisme obat di hati, namun jarang menyebabkan ginekomastia. Antibiotik, Eradikasi H. Pylori (Antibiotik) H. pylori adalah batang gram negatif berbentuk spiral dan dapat bergerak. Terletak bagian dalam lapisan mukus dan tumbuh optimal pada pH 7. H. pylori menginvasi permukaan sel epitel sampai kedalaman tertentu lalu toksin dan ammonia yang dihasilkan oleh aktivitas ureasenya yang kuat bisa merusak sel. Proses inflamasi tersebut mengaktifkan sitokin yang menyebabkan pelepasan gastrin meningkat. Efek trofik hipergastrinemia meningkatkan massa sel parietal yang meningkatkan sekresi asam berlebih. Dalam duodenum, asam menginduksi jejas mukosa dan selsel metaplasia dari fenotip lambung. Inflamasi kronis ini menyebabkan ulserasi. Eradikasi H. pylori menurunkan sekresi HCl secara signifikan dan penyembuhan ulkus lambung-duodenum jangka panjang. Penelitian menunjukkan, kombinasi inhibisi asam dan antibiotik dapat mengeradikasi H.pylori pada >90% pasien dalam 1 minggu. Kombinasi obat yang direkomendasikan: klaritromisin, omeprazol, dan

48

metronidazol (atau amoksisilin). Jika klaritromisin tidak dapat digunakan, dapat dipakai

amoksisilin,

metronidazol,

dan

omeprazol.

Resistensi

terhadap

metronidazol sering terjadi. Penguat Mukosa (Sukralfat, Kelasi Bismut, Misoprostol) Sukralfat mengalami polomerisasi pada pH