FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN...

120
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA SKRIPSI Oleh : SRI LESTARI K4408048 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Transcript of FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN...

Page 1: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA

SKRIPSI

Oleh :

SRI LESTARI

K4408048

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sri Lestari

NIM : K4408048

Jurusan / Program Studi : PIPS / Pendidikan Sejarah

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PEMIKIRAN PENDIDIKAN

NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA” ini benar-benar merupakan hasil

karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil

jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Desember 2012

Yang membuat pernyataan

Sri Lestari

Page 3: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA

Oleh :

SRI LESTARI

K4408048

Skripsi

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana PendidikanProgram Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 4: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERSETUJUAN

Skrispsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, Desember 2012

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd Dra. Sri Wahyuni M.Pd

NIP. 196401012007011 024 NIP. 195411291986012001

Page 5: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Senin

Tanggal : 3 Desember 2012

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dr. Sariyatun, M.Pd, M.Hum_____________

Sekretaris :Drs. Herimanto, M.Pd, M.Si _____________

Anggota I : Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd _____________

Anggota II : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd _____________

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd

NIP. 19600727198702100

Page 6: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRAK

Sri Lestari.PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR

DEWANTARA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Universitas Sebelas Maret, November 2012.

Tujuan penelitian ini untuk: (1)Mengetahui pemikiran pendidikan

Nasional Ki Hajar Dewantara (2) Mengetahui implementasi pemikiran pendidikan

Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan di Indonesia (3) Mengetahui kendala

dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara di

Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian sejarah (historis), yaitu

merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang

terjadi pada masa lampau. Objek penelitian adalah pemikiran pendidikan nasional

Ki Hajar Dewantara.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang

digunakan dalam metode historis ada empat tahap kegiatan, yaitu: heuristik, kritik,

interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer

dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik

studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah analisis historis yaitu analisis

yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi fakta sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Pemikiran pendidikan

nasional dari Ki Hajar Dewantara yang berakar pada nasionalisme, sangat sesuai

dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara menerapkan beberapa

sistem dan teori dalam melaksanakankan pendidikan yang sesuai dengan karakter

dan kepribadian bangsa Indonesia, antara lain a) Sistem among, yaitu memberikan

kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan bakat dan

kekuatan lahir batin, terbatas oleh tuntutan kodrat alam yang hak, dan tujuannya

ialah kebudayaan, yang diartikan sebagai keluhuran dan kehalusan hidup manusia,

b) tripusat pendidikan, yaitu meliputi lingkungan keluarga, masyarakat dan

sekolah. Ketiganya sangat berpengaruh pada watak dan kepribadian anak, c) teori

trikon, yaitu kontinuitas, kovergensi dan konsentrisitas, d)trilogi kepemimpinan,

yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, e)

tiga pantangan, yaitu jangan menyalahgunakan wewenang, jangan menyeleweng

di bidang keuangan dan jangan melanggar kesusilaan.(2) Taman Siswa

merupakan wujud nyata dari implementasi pemikiran pendidikan nasional Ki

Hajar Dewantara. Taman Siswa berupaya menciptakan pendidikan nasional yang

tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tidak bertentangan

dengan hak asasi manusia. Taman Siswa lahir sebagai bentuk gerakan pendidikan

untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang saat itu tidak sesuai dengan

semangat bangsa Indonesia. (3) Kendala yang muncul dari didirikannya Taman

Siswa yaituadanya Undang-Undang Sekolah Liar. Undang-undang Sekolah Liar

isinya melarang didirikannya sekolah-sekolah liar(sekolah swasta yang tidak di

bawah pemerintah).

Page 7: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRACT

Sri Lestari.THE COGITATION IN NATIONAL EDUCATION OFKI

HAJAR DEWANTARA. Thesis. Surakarta: Teacher Trining and Education

Faculty. Sebelas Maret University, November2012.

The Objective for this research is: (1) To comprehend the cogitation in

national Ki Hajar Dewantara, (2) To find out the implementation ofcogitation

education Ki Hajar Dewantara in Indonesia, (3) To find out the obstaclein

implementation of cogitation education Ki Hajar Dewantara in Indonesia. The

type of this research is historic that have a purpose to analyze of the past. The

object for this research is the cogitation in national education of Ki Hajar

Dewantara.

This research employed a hirostical method. The rule of historical method

has have four step this is: heuristic, criticsm, interpretation and historiography.

The data source apply the primary source and secondary source. Technique of

collecting data used was historical analysis, the one emphasizing on the acuity of

historical fact interpretation using framework appoarch encompassing several

theories.

Considering the result of research, it can be concluded that: (1) The

cogitation in national education of Ki Hajar Dewantara that building on

nationalism, very appropriate with nation personality of Indonesia, Ki Hajar

Dewantara put into practice some system and theory in operate education of

appropriate with character and nation personality of Indonesia, beetwen us a)

Among system, that is give independence and freedom at students to development

talent, power of spiritual and outward, limited by power of nature that rightful

authority, that purpose is culture, the meangrandeur and fineness people

life.b)Three center education, that is include environment family, society and

school. These things very influential on character and child personality, c) Tricon

theory, that is continuity, convergence and concentricitas., d)Trilogy of

leadership, that is in front of can give a model, in the center of can give

motivation,on the back of can give liberty, instruction and directin, e) Three

prohibition, that is don’t misapplied authority, don’t deviate in sector finance,

don’t contravene morality, (2) Taman Siswa is real shape from implementation

the cogitation in national education of Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa making

effort national education that not be in contradiction with human right. Taman

Siswa was born as shape movement education to fight the colonial education

system that not appropriate with Indonesia nation spirit. 3) The obstacle from

beginning of Taman Siswa, that is existenceAct of wild school. The main Act of

wild school forbid founding wild schools (private school that not goverment-

sponsored).

Page 8: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

MOTTO

Salah satu dosa yang fatal adalah pendidikan tanpa karakter

(Mahatma Gandhi)

Ilmu merupakan naungan cahaya dan awalnya suatu amalan

(Al hadits)

Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang

(Ki Hajar Dewantara)

Dengan mempunyai ilmu akan mempermudah apa-apa yang kita hadapi, ilmu

ibarat tumbuhan yang akan selalu tumbuh dengan ia mencarinya dan akan selalu

tumpul jika ia tidak mengasahnya

(Al hadits)

Page 9: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan

kepada:

1. Ibu dan Bapakkutercinta yang

senantiasa memberikan doa,

kepercayaaan, dan dukungan

2. Semua keluargaku atas doa dan

bantuan

3. Aisah, Hanif, Ayu, Uut, Bu rani serta

mas oka yang selalu memberi doa dan

nasehat

4. Sejarah’ 08

5. Almamater

Page 10: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang

memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar

Dewantara”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk

mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya

skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai

pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan penelitian.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah memberikan

persetujuan dalam penyusunan skripsi.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sebelas MaretSurakarta yang telah memberikan ijin dan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd selaku Pembimbing I, yang dengan sabar telah

memberikan arahan, masukan, dan saran.

5. Dra. Sri Wahyuni, M.Pd selaku Pembimbing II, yang dengan sabar juga telah

memberikan motivasi, masukan, dan saran.

6. Sahabat-sahabat terbaikku, Mahari, Ulin, Dini, Yunita, dan Mita yang telah

setia memberikan bantuan dan dorongan semangat yang tak ternilai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi

ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, Desember 2012

Page 11: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………….… ............................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.. ......................................... ii HALAMAN PENGAJUAN....................................................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN …… ... ………………………………………...... .. iv

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... v

HALAMAN ABSTRAK…………. .......................................................................... vi

ABSTRACT ……………. .................................................................................... vii

HALAMAN MOTTO ............................................................................................. viii

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………...... ......................... ix

KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

DAFTAR ISI …………………………………………………………...... ......... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR … ………………………………………………………….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7

D. Manfaat Penelitian ………………………………………………... 8

BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................ 9

A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9

1. Pendidikan…………………………………………….. .......... 9

2. Sekularisasi Pendidikan Kolonial…………........................... . 11

3. Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter…..................... .... 21

4. Rukun dan Hormat…………........................... ........................ 26

B. Kerangka Berpikir .......................................................................... 30

Page 12: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 32

A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 32

1. Tempat Penelitian………………………………………….....32

2. Waktu Penelitian ..................................................................... 32

B. Metode Penelitian........................................................................... 34

C. Sumber Data ................................................................................... 35

D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 37

E. Teknik Analisis Data ...................................................................... 37

F. Prosedur Penelitian......................................................................... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ....................................................................... 43

A. Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara .................... 43

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar

Dewantara ............................................................................... 43

2. Pemikiran Pendidikan .............................................................. 52

B. Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara ............ 79

1.Taman Siswa......................................................................79

2. Perkembangan Taman Siswa………………………................ 85

3. Melawan Undang-undang Sekolah Liar……………………....92

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ........................................... 101

A. Kesimpulan .................................................................................... 101

B. Implikasi ......................................................................................... 103

C. Saran ............................................................................................... 104

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 103

LAMPIRAN ………………………………………………..................................... 108

Page 13: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Waktu Penyusunan Penelitian ................................... 33

Page 14: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Bagan 2. 1 Kerangka Pemikiran ………………………………………………30

Bagan 3. 1 Prosedur Penelitian ........................................................................ 39

Bagan4. 1 Perbandingan pendidikan kritis dan Pendidikan “Gaya Bank”….. 72

Page 15: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : “Gambar Ki Hajar Dewantara". ............................................. 112

Lampiran 2 : “Gambar Perguruan Taman Siswa”....................................... 113

Lampiran 3 : “Taman Siswa dan Pendidikan Nasional”. 1987. Dharma

Nyata 3................................................................................. 114

Lampiran 4 :“Sistem Pendidikan Perlu Diperbaiki”. 1973. Mei 19.

Sinar Harapan. 11 ................................................................ 116

Lampiran 5 :“Neng-Ning-Nung-Nang dari Alm. Ki Hajar”.1975, Mei2.

Sinar Harapan5 .................................................................... 117

Lampiran 6 : “Pengaruh Keluarga di dalam Pendidikan”. 1943.

Asia Raya .................................................................................................... 118

Lampiran 7 : “Mengembangkan Sistem Among dalam Pendidikan”. 1981.

Mei 2. Pikiran Rakyat. 8 dan 12 .......................................... 120

Lampiran 8 : “Ki Hajar Di tengah-tengah suasana ke Belanda-Belandaan”.

1973. Mei 3. Sinar Harapan. v ............................................. 123

Lampiran 9 : “Ndudut Saperangan Saka Ajaran Ki Hajar Dewantara”.

1978. Mei5.Dharma Kanda. 7 ............................................. 124

Lampiran 10 :“Kebangunan Nasional”. 1952. Mei 17. Nasional.14-15 ..... 125

Lampiran 11 : “Hari Pendidikan Nasional yang Pertama“.1961.Mei 2.

Obor Rakyat.1 dan 3 ............................................................ 127

Lampiran 12 : “Dehumanisasi Pendidikan”.2000. Mei 2. Solopos............. 128

Lampiran 13 : “Pendidikan Kita”.1974.Mei3.Pikiran Rakyat. 2 ................ 129

Lampiran 14 : “Persoalan Pendidikan”. 1975. 2 Mei.Pikiran Rakyat ......... 131

Lampiran 15 : “Api Kesejarahan Ki Hajar Dewantara”.1985.Mei2.

Pikiran Rakyat ..................................................................... 132

Lampiran 16 : “Ki Hajar Dewantara”. 1993. Mei2.Pikiran Rakyat ............ 133

Lampiran 17 : “Kita Kenang Ki Hajar Dewantara Tokoh Pendidikan”.

1979. Mei 2. Pikiran Rakyat ............................................... 135

Lampiran 18 : “Kilas Balik Perjuangan Ki Hajar”. 1995. Mei 2.

Pikiran Rakyat 8 -9.............................................................. .. 138

Lampiran 19 : “Keluarga sebagai Pusat Pendidikan”. 1996. Mei 2.

Pikiran Rakyat. 8 ................................................................ . 140

Lampiran 20 : “Rumah sebagai Tempat Pendidikan”. 1953. Mei. Keluarga.

14-15 ................................................................................... . 141

Lampiran 21 : “Tut Wuri Handayani”. 1953. Maret. Keluarga. 10 ............ . 143

Lampiran 22 : Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan tentang Ijin Penyusunan Skripsi ....................... 145

Page 16: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

Lampiran 23 : Surat Permohonan ijin Menyusun Skripsi ........................... 146

Page 17: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia menerima dan meneruskan warisan sistem pendidikan

Hindu Belanda dimulai sejak memperoleh kemerdekaan, sampai pada tahun 1972

di Indonesia diumumkan pola sekolah komprehensif yang hendak dipakai (Said,

1980).

Indonesia telah memiliki pendidikan sendiri sebelum meneruskan system

pendidikan Hindu Belanda yaitu ketika orang Barat datang. Pendidikan itu dalam

bentuk pesantren dan pendidikan Islam di pesantren telah berkembang di

Indonesia ketika orang Barat datang pada abad ke XVI. Sistem pendidikan

pesantren mirip dengan sistem pendidikan dalam zaman Hindu. Pada sistem

pendidikan zaman hindu dan pendidikan pesantren murid datang pada guru,

tinggal bersama-sama dan menjadi kelurga guru sambil bekerja membantu

keluarga guru di rumah, sawah atau ladangnya, ia mengikuti pelajaran yang

diberikan oleh guru (Said, 1980).

Masa kolonial Belanda berlangsung dari abad XVI sampai sekitar

pertengahan abad XX. Selama periode tersebut bangsa Indonesia dikenalkan dan

terkena pengaruh peradaban barat pada umumnya dan kebudayaan Belanda pada

khususnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, agama Kristen dan Katolik,

memberikan corak lain pada cara kehidupan menurut adat “ketimuran”. Pengaruh

dari Barat dan Belanda itulah yang menyebabkan kebudayaan Indonesia

berangsur-angsur maju kearah “modernisasi”. Dengan kata lain kebudayaan

Indonesia ingin menjadi modern dengan tetap mempertahankan identitasnya

sebagai bangsa Indonesia.

Tujuan dari pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh bangsa Barat

yaitu hanya untuk menyiapkan tenaga rendah/ murahan, mengabdi pada

kepentingan penjajah, melaksanakan politik memecah belah, dipertahankannya

kekuasaan politik dan ekonomi penjajah, sehingga menjadikan masyarakat yang

pandai bukanlah merupakan tujuan yang utama (Hadi, 2003).

Page 18: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Pendidikan yang diberikan oleh Belanda bagi penduduk bumiputera

sangatlah lamban, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Mudyahardjo (2001)

sebagai berikut:

Sejak 1816, segera tampak bahwa pengaturan tentang persekolahan dan sekolah dasar lebih ditujukan pada pendidikan untuk orang-orang Belanda saja. Pada tahun 1848 untuk pertama kalinya ditetapkan anggaran belanja untuk pendidikan orang-orang Indonesia, dan baru tahun 1863 diputuskan melaksanakan pendidikan untuk semua anak-anak bumiputera (hlm. 259). Dalam hal memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, tujuan

bangsa Belanda hanyalah untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi, yang

nantinya bisa dibayar dengan bayaran yang murah. Sehingga Belanda tidak secara

sungguh-sungguh untuk melaksanakan pendidikan di Indoensia. Selain itu

pendidikan rendah yang diberikan kepada masyarakat Indonesia juga mencegah

timbulnya gerakan-gerakan dari kaum intelektual untuk merdeka.

Belanda hanya membawa sistem pendidikan Barat, pada awalnya hanya

sedikit untuk orang-orang Belanda saja, tetapi kemudian diperluas untuk anak

Indonesia untuk mengisi kebutuhan pemerintah Belanda akan tenaga-tenaga

administrasi tingkat rendah dan lapisan bawah dari tingkat menengah. Sebelum

memberikan pendidikan untuk anak Indonesia, Belanda mengadakan pendidikan

untuk anak-anak Indonesia yang tujuannya menghapus pengaruh pendidikan

agama Katolik yang dibawa oleh orang Spanyol dan Portugis ke bagian Timur

Indonesia sebelum kedatangan Belanda (Said, 1980).

Mengenai tujuan dari sistem pendidikan Belanda, Suparlan (1984)

berpendapat:

Ketika Indonesia masih di tangan penjajah, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda tidak untuk mencetak orang-orang yang pandai, akan tetapi bertujuan mendidik pribumi untuk dijadikan pegawai Belanda agar ikut membantu usaha Belanda dalam mengeruk kekayaan bumi Indonesia ini (hlm. 11). Adanya tujuan pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda yaitu

mendidik penduduk pribumi untuk menjadi pegawai dan membantu usaha

Belanda, maka bentuk masyarakat yang tercetak mempunyai sifat-sifat seperti

Page 19: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

pegawai rendah, jarang yang mempunyai mental/ sifat sebagai seorang pemimpin.

Pendidikan yang dibawa oleh pemerintah Belanda sangatlah besar pengaruhnya

dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Akan tetapi meskipun sebagian

besar dampak yang diberikan adalah dampak negatif, dampak positif yang

diberikan dari pendidikan Belanda itu juga ada. Masyarakat Indonesia tidak hanya

mengenal pendidikan agama, tetapi juga pendidikan umum yang bermanfaat

dalam kehidupan.

Mengenai penyelanggaraan pendidikan pada zaman kolonial

Mudyahardjo (2001) berpendapat, “Penyelenggaraan pendidikan pada Zaman

Kolonial Belanda didasarkan pada liberalisme kapitalistik, yaitu perluasan

pendidikan bumiputera yang diselaraskan dengan kepentingan penanaman modal

terutama para kapitalis Belanda” (hlm. 265).

Tujuan lain dari sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda

dikemukakan oleh Nasution (1995) sebagai berikut:

Pada zaman kolonial, telah disediakan sekolah oleh pemerintah Belanda yang beraneka ragam bagi orang Indonesia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini adalah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencaaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh perencanaan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda (hlm. 1).

Dalam menjalankan pendidikan di Indonesia, Belanda menerapkan

prinsip-prinsip agar pendidikan kolonial tidak terpengaruh dengan keadaan yang

ada di Indonesia, agar tetap berjalan sesuai dengan pendidikan yang ada di

Netherland. Salah satu prinsip yang diterapkan oleh Belanda yaitu Konkordansi.

Menurut Nasution (1995), yang dimaksud dengan konkordansi sebagai berikut:

Dalam prinsip konkordansi ini pemerintah Belanda memaksa semua sekolah berorientasi Barat mengikuti model sekolah seperti di Nederland dan menghalangi penyesuaian pendidikan kolonial dengan keadaan yang ada di Indonesia. Pendidikan Barat telah membawa perubahan dalam pandangan orang Indonesia dan dikhawatirkan jika orang-orang Indonesia sendiri menjauhkan diri dari kebudayaannya, bahkan mungkin akan terjadi konflik antara Barat dengan adat istiadat. Namun adat istiadat juga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Page 20: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Sebaliknya hubungan kolonial mencegah asimilasi orang Indonesia dengan orang Belanda (hlm. 145-146).

Sistem pendidikan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa secara tiba-tiba

dimiliki oleh bangsa Indonesia, akan tetapi melalui proses dan pengalaman yang

panjang. Seorang pakar pendidik mengemukakan sedikit mengenai hal-hal yang

menjiwai sistem pendidikan di Indonesia sebagai berikut:

Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa Indonesia pada masa lalu. Pendidikan yang ada di Indonesia saat ini tidaklah lepas dari pengaruh pendidikan Belanda yang telah berabad-abad menjajah bangsa Indonesia. Kurikulum sekolah pada masa penjajahan Belanda juga mengalami perubahan yang radikal. Kurikulum sekolah dipengaruhi oleh ide liberalisme. Tujuan pendidikan bukan lagi untuk memupuk rasa takut kepada Tuhan, akan tetapi pendidikan sekarang ditujukan kepada pengembangan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial serta usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya (Nasution, 1995: 9-10).

Selama ini para pendidik diajari teori pendidikan Barat yang sekuler dan

menjadikannya sebagai standar dalam melaksanakan pendidikan di sekolah-

sekolah, maupun di kampus. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek

sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan yang didasarkan pada teori

pendidikan Barat itu tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa

melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa

yang tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Salah satu penyebabnya

antara lain pendidikan bangsa Indonesia yang telah mengabaikan kearifan lokal

dan lebih dari 30 tahun telah melibatkan pendidikan yang barat dalam proses

pendidikan.

Langkah yang tepat untuk mengatasi masalah yang timbul akibat

pengaruh dari pendidikan Barat yaitu kembali ke kebudayaan lokal, bukan berarti

bangsa Indonesia menolak filosofi dan teori Barat, akan tetapi harus memberikan

ruh kultural dalam melaksanakan pendidikan di Indonesia. Kearifan lokal dalam

pendidikan Indonesia diantaranya adalah sosok Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar

Page 21: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Dewantara telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat

menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat.

Perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara adalah perjalanan untuk

mewujudkan nasionalisme dalam Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara adalah

seorang nasionalis yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Nasionalisme yang dianut dan hendak diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara

adalah nasionalisme kebudayaan bertrikon, yaitu berakar pada kebudayaan sendiri

yang terus berasimilasi dengan unsur-unsur budaya luar (Mudyahardjo, 2001).

Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, Dr. Douwes Dekker dan Tjipto

Mangunkusumo mendirikan Taman Siswa. Di dalam Taman Siswa tersebut Ki

Hajar Dewantara menuangkan ide-idenya tentang Pendidikan. Dewantara

menjelaskan bahwa pendidikan Taman Siswa tidak memakai syarat paksaan

seperti yang terdapat dalam dasar-dasar pendidikan Barat, yaitu perintah,

hukuman dan ketertiban. Praktek pendidikan seperti itu seolah-olah telah

menyiksa kehidupan batin anak. Anak-anak yang rusak budi pekertinya

dikarenakan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman. Apabila Taman Siswa

menerapkan sistem Pendidikan seperti pendidikan Barat itu maka tidak akan bisa

membentuk orang yang punya kepribadian (1977).

Perjuangan bangsa Indonesia dalam meningkatkan pendidikan sangatlah

beragam, salah satu usaha yang paling menonjol dalam meningkatkan perjuangan,

sebagai badan pembangunan masyarakat dan kebudayaan yaitu dibentuknya

Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan dibentuknya Taman Siswa tidak

hanya bidang pendidikan yang bisa diperbaiki, akan tetapi dalam bidang

kebudayaan juga mengalami peningkatan.

Hal tersebut juga sesuai dengan simpulan Ki Hajar Dewantara bahwa

Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional, dan badan

pembangunan masyarakat dan kebudayaan. Sebagai badan perjuangan, Taman

Siswa mempunyai tugas untuk mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran

nasional. Hal ini mengandung arti bahwa Taman Siswa teguh mempertahankan

dan memelihara asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa dari segala bentuk

perpecahan yang bersumber dari semangat perseorangan dan ancaman dari luar

Page 22: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

(pemerintah penjajahan Belanda dan Jepang) yang dilaksanakan dalam bentuk

melakukan perlawanan secara positif atau secara nonkooperatif (Mudyahardjo,

2001: 301-302).

Salah satu tujuan dari dibentuknya Taman Siswa, Soeratman (1985),

menyatakan:

Perguruan Taman Siswa dibentuk pada saat rakyat Indonesia bergerak menuju Indonesia merdeka. Pada waktu itu pergerakan rakyat sedang menempuh masa peralihan, dari masa perjuangan secara kooperatif dengan Pemerintah Kolonial ke masa perjuangan non-kooperatif. Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual, tetapi juga mengutamakan pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila, cara yang baik digunakan yaitu dengan dasar kekeluargaan (hlm. 77).

Ki Hajar Dewantara adalah bapak Pendidikan Nasional Indonesia, karena

Ki Hajar merupakan orang pertama yang mendirikan Perguruan Nasional yang

didasarkan pada konsep pendidikan yang berjiwa nasionalisme Indonesia yang

bersifat kultural. Prinsip mengutamakan pemerataan pendidikan dijadikan dasar

dalam pembangunan pendidikan. Hal yang terpenting ialah jiwa nasionalisme Ki

Hajar Dewantara telah memberi corak dalam perkembangan pendidikan nasional

Indonesia (Mudyahardjo, 2001).

Pengertian dari Pendidikan Nasional itu sangatlah beragam. Dewantara

(1977) dalam Taman Siswa menyatakan:

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pada garis hidup kebudayaan bangsanya dan ditujukan untuk kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kedamaian seluruh bangsa di dunia. Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju pada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak hanya syarat yang sudah ada melainkan syarat zaman baru yang bermanfaat dan yang sesuai dengan maksud dan tujuan bangsa (hlm. 15).

Pendidikan masa lampau menjadi dasar dari Pendidikan Nasional

Indonesia saat ini. Mudyahardjo (2001) menyatakan:

Pendidikan Nasional Indonesia merdeka secara formal dimulai sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, yaitu 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia merdeka merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau. Secara garis besar, apabila dilihat dari segi budaya, maka pendidikan masa lampau yang

Page 23: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

secara tersurat dan/atau tersirat menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia merdeka (hlm. 214).

Pendidikan Nasional yang berdasarkan karakter bangsa adalah pendidikan

yang di cita-citakan Ki Hajar Dewantara dan dapat mengubah pendidikan di

Indonesia sehingga bisa kembali ke kearifan lokal bangsa Indonesia. Akhirnya

perlu disadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.

Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi,

berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup

sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik

dalam mengkaji mengenai Pendidikan dengan judul “Pemikiran Pendidikan

Nasional Ki Hajar Dewantara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara?

2. Bagaimana implementasi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara terhadap

Pendidikan di Indonesia?

3. Bagaimana kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan Ki

Hajar Dewantara di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka

penelitian ini bertujuan :

1. Mendeskripsikan Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

2. Mendeskripsikan Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara

terhadap Pendidikan di Indonesia

3. Mendeskripsikan kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan

Ki Hajar Dewantara di Indonesia

Page 24: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Memberikan tambahan pengetahuan sejarah khususnya yang berkaitan

dengan Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.

b. Dengan penulisan ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

c. Merangsang minat pembaca untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah Ki

Hajar Dewantara beserta pemikiran-pemikirannya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan akan dapat bermanfaat :

a. Dipakai sebagai suatu karya ilmiah yang berguna untuk menambah

wawasan masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat lingkungan

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Sebagai bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana

dan sumber data dalam bidang sejarah.

c. Bagi penulis skripsi ini akan menjadi tolok ukur kemampuan dari penulis

dalam mempersembahkan karya ilmiah sejarah untuk memenuhi salah satu

syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan Program Sejarah Jurusan Ilmu

Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Page 25: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pendidikan

Pengertian Pendidikan, yang berasal dari kata "didik", lalu kata ini

mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara

dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan

adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran

(Kamus Besar Indonesia, 1991).

Seorang pakar pendidik merumuskan mengenai pengertian pendidikan

dalam arti sederhana, sebagai berikut:

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2001: 1).

Mengenai pengertian lain dari Pendidikan, Dewantara (2009)

berpendapat:

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘ tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat (hlm. 3).

Dalam Hasbullah (2005) menyatakan bahwa:

Pendidikan sebagai suatu bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan sebagai sesuatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan

Page 26: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Begitu juga dikarenakan pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan manusia menuju ke arah cita-cita tertentu, maka yang merupakan masalah pokok bagi pendidikan ialah memilih arah atau tujuan yang ingin dicapai (hlm. 10).

Dalam proses pendidikan peserta didik diibaratkan sebagai masukan,

yang mana peserta didik itu masih dalam keadaan yang kosong, belum

mempunyai bekal apa-apa kecuali hanya pembawaan yang dibawa sejak lahir

dan setelah memasuki dunia pendidikan peserta didik akan mengolah

pendidikan yang telah didapatkan itu. Pendidikan yang diberikan pada manusia

sebenarnya adalah mengembangkan unsur-unsur yang ada pada manusia.

Seorang pakar pendidikan merumuskan tentang pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan harus didasarkan atas prinsip Pancasila. Ungkapan “manusia Pancasila” dapat diartikan sebagai dedikasi yang tinggi terhadap masa depan Indonesia; mengembangkan identitas, kesadaran dan kesatuan bangsa; sehat fisik maupun jiwa; menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pambangunan; kreatif dan bertanggung jawab; taat pada agama; bersikap demokratis dan toleransi; mencintai rakyat dan sesama manusia; dapat mewariskan semangat dan nilai-nilai 1945; menghormati tradisi dan sejarah nenek moyang (Beeby, 1981: 279).

Sistem pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak Indonesia

sebaiknya didasarkan pada hidup kemanusiaan, yaitu keluhuran budi dan

bersendi pada semua sifat peradaban bangsa dalam arti luas. Keluhuran budi

dan peradaban bangsa itulah yang dalam kalangan pendidikan dan pengajaran

dinamakan dengan dasar kebudayaan. Apabila pendidikan dan pengajaran anak

telah bersandar pada kebudayaan kebangsaan sendiri maka hilanglah semua

akar hidup kebaratan yang telah merusak kesejahteraan rakyat Indonesia

(Dewantara, 1977)

Dalam proses pendidikan, kedudukan anak didik sangat penting.

Seperti yang dikemukakan oleh Hasbullah (2005) sebagai berikut:

Proses pendidikan berlangsung dalam situasi pendidikan yang dialaminya, anak didik merupakan komponen yang hakiki. Antara pendidik dan anak didik sama-sama merupakan subjek pendidikan. Keduanya sama penting. Inti kegiatan pendidikan adalah pemberian

Page 27: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

bantuan kepada anak didik dalam rangka mencapai kedewasaan. Pendidikan berusaha untuk membawa anak yang semula serba tidak berdaya, yang hampir keseluruhan hidupnya menggantungkan diri pada orang lain, ke tingkat dewasa yaitu suatu keadaan dimana anak sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, baik secara individual, secara sosial maupun secara susila (hlm. 24-25).

Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak

boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah

usaha kebudayaan, berasas keadaban, yaitu memajukan hidup agar

mempertinggi derajat kemanusiaan (Dewantara, 1977).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin),

pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan

masyarakatnya. Pendidikan juga merupakan bimbingan terhadap

perkembangan manusia menuju ke arah cita-cita tertentu.

2. Sekularisasi Pendidikan Kolonial

Secara historis diketahui sejak pemerintah Kolonial Belanda

memperkenalkan sistem pendidikannya yang bersifat sekuler, keadaan

pendidikan di Indonesia berjalan secara dualistis. Pendidikan Kolonial yang

tidak memperhatikan nilai-nilai agama dengan pola Baratnya berjalan sendiri,

sedangkan pendidikan Islam yang tidak memperhatikan pengetahuan umum

juga berjalan sendiri. Hal ini berjalan sampai diproklamasikannya

kemerdekaan Indonesia, meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah

diperkenalkan sistem pendidikan madrasah yang berusaha memadukan kedua

sistem tersebut, akan tetapi suasana ketradisionalannya masih terlihat sekali

(Hasbullah, 2005).

Mengenai dimulainya pendidikan modern di Indonesia, Nugroho

(2008) menyatakan:

Pendidikan modern Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika Belanda mengakhiri politik Tanam Paksa menjadi Politik Etis sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di Negeri Belanda yang mengecam praktik Tanam Paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dahsyat di Hindia Belanda. Sejarah Pendidikan di Indonesia

Page 28: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, Pagoeyoeban Pasoendan di tahun 1913 dan Taman Siswa di tahun 1922” (hlm. 15).

Kaum kolonial yang berhasil masuk di bumi nusantara dengan misi

yang ganda (antara imperialisme dan kristenisasi) bukannya membawa dampak

yang positif bagi bangsa Indonesia akan tetapi justru sangat merusak tatanan

yang sudah ada. Menurut penjelasan Nata bahwa kedatangan bangsa Barat di

Indonesia yang memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan

teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi. Tujuan bangsa Barat

hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan

pendidikan, bangsa Barat telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru

dan tentunya lebih efektif, namun semua itu sekedar dilakukan untuk

menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan

penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika bangsa

Barat sendiri yang mendatangkan tenaga dari Barat (Nata, 2001).

Jepang mempunyai andil dalam melemahkan watak kolonial elitis

pendidikan Indonesia. Namun 3,5 tahun diduduki tentara asing tidaklah cukup

untuk menghapuskan akibat pengaruh Belanda yang sudah berabad-abad.

Sikap dan cara berpikir setiap pendidik, dari menteri sampai guru yang

terendah menunjukkan pengaruh kuat Belanda dan pola berpikirnya tampak

pada setiap langkah pembaharuan yang para pejabat dan guru itu buat. Lebih

parah lagi, tidak ada model sistem pendidikan yang sudah siap pakai untuk

suatu negara miskin dan baru merdeka (Beeby, 1981: 7).

Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak terlepas dari duplikasi

terhadap pendidikan di negara-negara Barat tersebut diperkuat oleh hasil

penelitian Idris (1982) yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan di

Indonesia sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954,

secara teoretik banyak diwarnai oleh corak pemikiran filsafat humanism,

karena elite pemikirnya yang berasal dari didikan kolonialis Belanda atau

Eropa, sehingga dalam praktiknya berkembang dualisme pendidikan, Islami

dan Sekuler (Muhaimin, 2009).

Page 29: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Belanda mempunyai kebijakan dalam mengatur jalannya pendidikan,

yang tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan Belanda sendiri, terutama

untuk kepentingan agama Kristen. Politik yang dijalankan Pemerintah Hindia

Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya

didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya, yaitu Kristen dan

rasa kolonialismenya sehingga bangsa Belanda menetapkan ketentuan atau

peraturan yang menyangkut pendidikan agama Islam (Nata, 2001).

Seorang pakar pendidikan merumuskan mengenai perbedaan

pendidikan dan pengajaran pada sekolah umum sekuler dan Islam sebagai

berikut:

Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah umum yang sekuler dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam pada awal masa kemerdekaan sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat akar dalam masyarakat (Muhaimin, 2009: 77-78).

Mengenai sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia sejak

adanya kekuasaan kolonial sampai jaman sekarang, Dewantara (1977)

menjelaskan:

Pengaruh yang ditimbulkan dari luar terhadap sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia dari adanya kekuasaan kolonial sampai sekarang menimbulkan dampak yang cukup besar, yang menjadikan pendidikan dan pengajaran Indonesia memiliki 3 sifat yang cukup dominan, yaitu: a. Intelektualistis, semata-mata sifatnya hanya berfikir (hanya untuk mengetahui dan tidak untuk diamalkan), b. Individualistis, mementingkan hidup sendiri dan tidak mementingkan hidup bersama, c. Materialistis, mengutamakan nikmat hidup kebendaan dan tidak menghargai nilai-nilai kebatinan (hlm. 191).

Daulay (2007) mengemukakan mengenai perbedaan pesantren dengan

lembaga pendidikan sekolah dari segi sistem, metode dan materinya sebagai

berikut:

Pesantren dan sejenisnya dari segi sistem, metode dan materi berbeda dengan lembaga pendidikan sekolah yang diasuh oleh pemerintah

Page 30: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Belanda. Dari segi sistemnya pesantren masih bersifat nonklasikal, metodenya terpusat pada metode wetonan, sorogan, hafalan yang disampaikan pada pengajian kitab-kitab klasik, materinya semata-mata ilmu agama saja. Sedangkan di sekolah-sekolah Belanda memakai sistem klasikal metodenya adalah seirama dan serasi dengan metode klasikal, materinya semata-mata pelajaran umum, disini sama sekali tidak diajarkan agama (hlm. 31).

Pendidikan masa kolonial menurut Septyoko (2008) bahwa, pemerintah

Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan

tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah sarana

pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata

hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah

lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah

untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.

Pelayanan pendidikan pada zaman kolonial Belanda sebelum tahun

1900 dapat dibedakan menjadi tiga macam, Mudyahardjo (2001) menyatakan,

“Pertama, Sekolah dasar dan lanjutan untuk golongan penduduk Eropa, Kedua,

Sekolah dasar negeri dan sekolah raja untuk golongan penduduk bumiputera,

dan Ketiga, sekolah kejuruan yang dapat diikuti oleh golongan Eropa dan

bumiputera” (hlm. 261).

Sistem pendidikan di Hindia Belanda dalam fungsi sosialnya tidak

dapat disamakan dengan sistem pendidikan di negeri Barat yang sudah

berkembang seperti Belanda misalnya. Sistem pendidikan di Belanda dapat

dikatakan sebagai satu bagian yang wajar dari masyarakat dan tumbuh serta

berkembang terus dengan masyarakatnya. Sistem pendidikan di Hindia

Belanda merupakan unsur asing dan belum merupakan suatu bagian wajar yang

semestinya dari masyarakat.

Pendidikan Masa Kolonial menurut Septyoko (2008) bahwa Masa

penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai sistem

yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan,

perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak

bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian

banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang

Page 31: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini

disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam

pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Metode pendidikan bangsa Barat tidak bisa dijadikan patokan dan

ukuran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia karena tujuan

pendidikan Barat sangat berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa Indonesia.

Akan tetapi, hal-hal yang baik sesuai dengan karakter dan keadaan Bangsa

boleh ditiru dan diambil. Selanjutnya hal-hal yang bertentangan dengan

karakter pribadi rakyat Indonesia ditinggalkan (Fananie, 2001).

Pendidikan dan pengajaran harus menghasilkan orang-orang yang

cinta akan kebudayaannya sendiri, sehingga bisa tumbuh rasa bangga akan jati

dirinya sebagai sebuah bangsa yang unik, beragam dan satu. Murid yang

dididik dan diajar dengan cara yang cenderung mengikuti gaya Barat,

dikhawatirkan murid akan merasa minder dengan kebudayaan sendiri dan

menganggap kebudayaan Barat itu lebih tinggi dan lebih baik.

Pendidikan yang diberikan oleh orang Belanda tidak selalu memupuk

loyalitas terhadap pemerintah Belanda, akan tetapi malah cenderung

menimbulkan perlawanan terhadap Belanda, yang sering berbentuk organisasi

Barat, sering di bawah pimpinan orang yang berpendidikan Barat. Akibat lain

yang ditimbulkan adalah kesadaran bersekolah di kalangan bangsa Indonesia

yang menjelma dalam bentuk partikelir, sekolah swasta yang dicap oleh orang

Belanda sebagai wilde scholen, sekolah liar (Nasution, 1995).

Sistem sekolah pada zaman sekarang ini kebanyakan sudah

mendapatkan pengaruh dari sistem sekolah di Eropa sehingga berakibat buruk

bagi perkembangan pendidikan anak-anak, Ki Hajar Dewantara (1977)

berpendapat, “anak-anak yang mendapat pengaruh dengan sistem sekolah di

Eropa umumnya bertabiat kasar, kurangnya rasa kemanusiaan yang

menyebabkan kurangnya rasa sosial, sehingga tumbuh sifat egois dan

individualisme” (hlm. 106).

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan

perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun

Page 32: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

sebagai arus kebudayaan. Pendidikan Islam Tradisional yang diselenggarakan

di nusantara tidak dilaksanakan secara terpusat, tetapi banyak diupayakan

secara perorangan, biasanya oleh para ulama Islam dalam rangka penyebaran

agama Islam (Mudyahardjo, 2001).

Lembaga pendidikan pesantren melahirkan out put yang mempunyai

pengetahuan agama sangat mendalam, tetapi miskin sekali pengetahuan umum.

Oleh sebab itu umat Islam sangat tercecer terutama dalam bidang pendidikan.

Orang yang duduk dalam tampuk pemerintahan adalah orang non-Islam atau

minimal orang Islam yang berpendidikan sekuler. Pemerintah dan bangsa

Indonesia pada masa awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pendidikan

yang bersifat dualistis tersebut. Sistem pendidikan dan pengajaran modern

yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-

sekolah umum yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda

(Hasbullah, 2005).

Sebagian isi kebudayaan Barat adalah musuh yang akan

menghancurkan keberagaman para peserta didik. Muhaimin (2009)

menerangkan sedikit mengenai pengaruh budaya Barat tersebut, yaitu sebagai

berikut:

Dedikasi guru agama semakin menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah mulai tidak memperhatikan pendidikan agama anaknya, orientasi tindakan semakin materislistis, orang semakin bersifat rasional, orang semakin bersifat individualis, kontrol sosial semakin melemah, dan lain-lain. Budaya Barat sudah mengglobal, sehingga kita harus mampu menyaring nilai-nilai mana yang boleh diambil dan yang tidak boleh diambil (hlm. 58). Ki Hajar Dewantara sebagai seorang yang ahli dalam ilmu pendidikan

Indonesia, yang membangun sebuah perguruan Taman Siswa, pernah menulis,

“... sekarang sebaliknya keadaan pendidikan, yang hanya disandarkan pada

aturan “ onderwijs” dengan caranya “ school system”. Udara yang ada hanya

udara “intelektualitas” yang sering berjauhan dengan adat kemanusiaan.

Sekolah yang tidak didasarkan pada nilai-nilai Islam terkadang justru menjadi

penyebab anak-anak untuk keluar dari keislaman dan peradaban karena di

dalam sekolah itulah anak-anak mulai mendapat pengaruh yang berlawanan,

Page 33: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

hingga anti dan benci pada Islam dan peradaban, sebagaimana yang telah

diterangkan oleh Ki Hajar Dewantara (Fananie, 2001).

Pengaruh dari IPTEK dan globalisasi sebagian besar berdampak

negatif terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, Tauchid (1979)

menyatakan:

Bangsa Eropa dengan cepat menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan baru tentang intelektualisme dan materialisme. Ilmu pengetahuan menjadi rasionalistis dan posifistis. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil pendidikan intelek yang tinggi inilah yang telah merajai bangsa Barat. Rasio menunjukkan semakin tajamnya dalam segala bentuknya. Dengan bentuk dan wujud itulah Eropa datang dengan teknik dan intelektualismenya dan mengenalkan diri dari segi wajahnya yang kurang menarik. Masyarakat Indonesia menjadi sulit untuk mengenal segi yang baik dunia Barat yang modern (hlm. 13).

Menyinggung mengenai sistem pendidikan, Brodjonegoro

mengatakan bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini jelas

tidak lagi sesuai dengan kebutuhan riil dari masyarakat. Oleh karena itu perlu

diperbaiki dan disempurnakan, sehingga benar-benar membawa tugas bidang

pendidikan pada tujuannya (1973).

Pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda kepada rakyat

Indonesia mengandung unsur diskriminatif, seperti yang diungkapkan oleh

Rifa’i yaitu masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera

dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk

sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di

sekolah-sekolah Belanda (2011).

Menurut Ki Hajar Dewantara (1943), keadaan organisasi sekolah

secara sistem Barat pada zaman dulu, sebagian besar sekolah-sekolah hanya

mendidik kecerdasan fikiran serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan

dan kepandaian. Pendidikan budi pekerti tidak begitu diutamakan, juga

muncul usaha yang dinamakan “jeugdzorg” dan “jeugdbeweging” pada

zaman pemerintahan Belanda, menurut maksud dan tujuannya tidak lain

daripada pengakuan kurangnya karakteropvoeding di dalam sekolah.

Page 34: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Contoh bagaimana bentuk kebijakan politik pendidikan pemerintah

kolonial terjadi sekitar tahun 1930-an menurut Rifa’i (2011) adalah sebagai

berikut:

Pertama, seluruh sekolah swasta yang tidak dibiayai oleh pemerintah (Belanda) harus meminta izin; kedua guru-guru yang mengajar di sekolah swasta juga harus mendapat izin dari pemerintah terlebih dahulu; ketiga, materi pelajaran yang hendak disampaikan kepada siswa sekolah swasta tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah pemerintah. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan Belanda membuat diskriminasi terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum pribumi dengan pendidikan yang dilakukan pemerintah kolonial. Kebijakan pendidikan itu jelas merugikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh anak bangsa. Strategi perjuangan anak bangsa dalam menghadapi penjajahan salah satunya dilakukan dengan jalur pendidikan (hlm. 81).

Penjajahan itu mesti menimbulkan kebodohan, kemelaratan dan

tirani, dimana hak asasi bangsa lain diinjak-injak dengan semena-mena serta

keadilan dijungkir – balikkan tanpa manusiawi. Apabila rakyat yang dijajah

bodoh dan melarat, mudah ditipu dan dikendalikan demi kepentingannya.

Bangsa yang dijajah dalam posisi lemah, mudah ditunggangi seperti kuda dan

diperas seperti sapi perahan (Probohening, 1987).

Sifat-sifat dari sekolah yang didirikan pada zaman Belanda sangat

mengabaikan azas dan dasar kemanusiaan, seperti yang dikemukakan oleh Ki

Hajar Dewantara (1977) sebagai berikut:

Sekolah-sekolah negeri pada zaman Belanda sangat mengabaikan azas dan dasar kemanusiaan, sebaliknya meneguhkan semangat keduniawian, terutama cinta kepada kebendaan dunia, yang sering disebut dengan “materialisme”. Sifat materialisme inilah yang mematikan cita-cita kemanusiaan yang luhur, sehingga dapat menurunkan derajat kemanusiaan bangsa. Selain semangat/ cinta pada kebendaan ada pula cinta pada diri yang sering disebut dengan individualisme. Tumbuh suburnya individualisme mengakibatkan terpecahnya kesatuan hidup bersama. Sistem pendidikan Barat dapat menumbuhkan individualisme dan materialisme, sehingga seakan-akan mematikan “budi pekerti” manusia, menurunkan keluhuran budi, menghilangkan kehalusan budi rasa di dalam jiwa manusia yang sejati (hlm. 148).

Page 35: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Perbaikan-perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam

sistem sekolah dasar yang dibuka untuk orang-orang Indonesia sejak tahun

1892-1893, tetapi dalam artian yang kecil saja. Sekolah dasar ini dibagi

dalam dua kelas. Sekolah Kelas Satu diperuntukkan untuk golongan atas,

sedangkan sekolah Kelas Dua untuk rakyat (Richklefs, 1989).

Sekolah-sekolah yang ada sekarang dibangun menurut model Barat

yang dimodernisasikan, artinya intelek diutamakan. Pada akhirnya rakyat

Indonesia merasakan kekurangan dan kekosongan dalam hidup. Ketika

bangsa Indonesia mencari sesuatu yang lebih baik, yang lebih luhur, lebih

tinggi nilainya dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia ternyata

unsur-unsur itu telah ada pada perguruan bangsa Indonesia sendiri, tempat

mendidik anak-anak Indonesia yang tepat (Tauchid, 1979).

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam mengatur

pengajaran untuk orang-orang Belanda dan masyarakat Indonesia terlebih

rakyat lapisan bawah sangatlah berbeda. Perbedaannya yaitu, pengajaran

yang diberikan untuk orang-orang Belanda itu disusun dengan rapi (baik dari

segi tingginya pengajaran maupun kesempatan untuk belajar), sedangkan

pengajaran untuk rakyat tidak tertata bahkan sangat mengecewakan

(Dewantara, 1977).

Bangsa Belanda sebagai bangsa yang telah menjajah Indonesia

selama berpuluh-puluh tahun telah mengeksplorasi segala kekayaan yang ada

di Indonesia, sehingga merasa harus membalas semua yang telah diambil di

Indonesia, yaitu dengan cara Politik Etis. Seperti yang diungkapkan Rifai’i

bahwa Politik Etis yaitu usaha mengangkat tingkat kehidupan bangsa

Indonesia sebagai balas jasa. Usaha-usaha itu ialah dengan membangun

irigasi di daerah-daerah pertanian/ perkebunan, menyelenggarakan emigrasi

di daerah yang sudah dirasakan padat, dan memberikan pendidikan bagi

bangsa Indonesia (2011).

Page 36: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Bangsa Belanda tetap merupakan penjajah sehingga apapun yang

dilakukan hanya bertujuan untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri,

Rahardjo (2009) menyatakan:

Politik balas budi Belanda yang diusulkan Van Deventer, melalui trilogi Van Deventer, sebagai gambaran, kenyataannya hanya untuk kepentingan penjajah, bukan untuk kepentingan rakyat yang terjajah. Program irigasi ternyata hanya untuk mengairi perkebunan Belanda. Program migrasi atau perpindahan penduduk juga hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah untuk perkebunan Belanda. Program edukasi juga hanya untuk meningkatkan pendidikan bagi tenaga kerja Belanda (hlm. 104).

Perbaikan irigasi sebagai salah satu tujuan politik etis disesuaikan

dengan kebutuhan kaum modal Belanda, perbaikan irigasi hanya dilakukan di

daerah perkebunan-perkebunan, pabrik-pabrik. Perbaikan pendidikan

(edukasi) pun, disesuaikan dengan kebutuhan penjajah akan tenaga pegawai

yang sedikit cakap, itupun dilakukan dengan anggaran yang sedikit sekali.

Hal ini merupakan ironi, bahwa kemajuan pendidikan yang digembor-

gemborkan Belanda hasilnya yaitu 90% penduduk Indonesia masih buta

huruf (Kansil & Julianto, 1985).

Melalui kebijakan pendidikan politik etis, orang-orang bumiputera

harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat yang telah

menjadikan Belanda bangsa yang besar. Oleh karena itu, dalam dua

dasawarsa sejak 1900, pemerintah Hindia-Belanda banyak mendirikan

sekolah-sekolah berorientasi Barat.

Berkaitan dengan arah etis yang menjadi landasan ideal dari langkah-

langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, pemerintah mendasarkan

kebijakannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

Pertama, pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah; kedua, pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan golongan bumiputera sendiri. berdasarkan kebijakan politik tersebut, corak dan sistem pendidikan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur tersebut. Di satu pihak dengan ditempuhnya jalur pertama diharapkan dapat terpenuhinya unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik

Page 37: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi. Di lain pihak, terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Rifa’i, 2011: 76).

Pendidikan Masa Kolonial dan Sekarang menurut Septyoko (2008)

bahwa Pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan

pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan

bahwa sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada

saat kolonial. Tujuan dari sistem pendidikan itu adalah menciptakan manusia

yang siap kerja, baik itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan,

dan sebagainya. Bisa dikatakan bahwa pendidikan Indonesia saat ini seakan-

akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus

berfikir. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman

bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan

berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya pengetahuan tentang tujuan

dari pendidikan tersebut. Secara umum di masyarakat, tujuan pendidikan

adalah agar nanti bisa bekerja dan mencari uang.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sekularisasi

pendidikan kolonial adalah pendidikan yang berjalan secara sekuler yaitu

pendidikan yang mengesampingkan nilai-nilai agama dengan mengedepankan

pola pendidikan Barat yang dilaksanakan pada masa kolonial.

3. Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter

Kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki

Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter.

Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun

budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian

(persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu

terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya

yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (1977).

Mengenai pengertian budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara (1977)

berpendapat:

Page 38: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Budipekerti atau watak atau dalam bahasa asing disebut karakter yaitu bulatnya jiwa manusia sebagai jiwa yang berasas hukum kebatinan. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau budi pekerti itu memang bersifat tetap dan pasti” (hlm. 25).

Budi pekerti, watak atau karakter, merupakan hasil dari bersatunya

gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan

tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti ‘pikiran-perasaan-kemauan’,

sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi, budi pekerti merupakan sifat jiwa

manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya

budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia dengan dasar-dasar dari

jiwa manusia, baik dalam arti menghilangkan dasar-dasar yang jahat dan

memang dapat dihilangkan, maupun dalam arti neutraliseeren (menutupi,

mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama

sekali karena sudah bersatu dengan jiwa (Dewantara, 2009).

Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Ketentuan ini merupakan hasil pembaharuan

sistem pendidikan nasional dari undang-undang Nomor 2 tahun 1989. Adanya

perubahan sistem pendidikan nasional tersebut karena dipandang sistem

pendidikan nasional yang lama tidak memadai lagi dan perlu diganti serta

disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sisdiknas, 2003).

Pendidikan Nasional itu sangatlah penting, karena dapat menjadi tolok

ukur bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan Nasional

yang dikehendaki adalah sebagai berikut:

Pendidikan Nasional haruslah bersifat fungsional, yaitu berfungsi untuk kepentingan kelembagaan masyarakat menuju perkembangan kehidupan bangsa yang menyangkut pengembangan pribadi dan watak bangsa. Sebab keduanya ini merupakan kriteria dasar dalam upaya mewujudkan suatu sistem pendidikan nasional (Hasbullah, 2005: 147).

Page 39: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

GBHN 1988 (1990) memberikan batasan mengenai pengertian

pendidikan nasional yaitu sebagai berikut:

Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggungjawab atas pembangunan bangsa (hlm. 105).

Mengenai Pendidikan Nasional, Hasbullah (2005) berpendapat,

“Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara

berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis dan politis. Pendidikan

tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang

bersangkutan, yang sering juga disebut kepribadian nasional” (hlm. 121).

Dalam mewujudkan visi bangsa Indonesia yang lebih baik itu

memang tidaklah mudah, Rachman (2002) menyatakan:

Salah satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan ialah mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab (hlm. 376).

Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah saja,

tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial lebih luas. Jadi,

meski sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi

lingkungan masyarakat tidak atau kurang baik, maka pendidikan budi pekerti

di sekolah tidak akan banyak artinya. Jadi antara keluarga, sekolah dan

masyarakat harus terjadi hubungan yang harmonis dalam memajukan

pendidikan (Azra, 2002).

Pembelajaran pendidikan karakter menggunakan pengembangan

proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak dilakukan

melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah dan masyarakat.kegiatan di kelas,

pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin,

mendiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan gemar membaca dapat

melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan oleh guru. Kegiatan di Sekolah,

melalui kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah

Page 40: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

lomba vocal group, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter

bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba kesenian

antarkelas, lomba olahraga antarkelas. Kegiatan di luar sekolah, melalui

kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh atau

sebagian peserta didik yang dirancang sejak awal tahun pelajaran. Misalnya

kunjungan ke tempat-tempat yang mneumbuhkan rasa cinta tanah air,

menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat

untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial (Sri Judiani,

2010).

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk

memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam

kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika

yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya

mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat anak didik menjadi

beo yang dalam setiap ujian hanya mengulang apa yang disampaikan oleh

gurunya (Harsubenowati, 2006).

Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua

rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pendidikan karakter pertama

dan utama mestilah diberdayakan kembali. Langkah pertama yang harus

dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks

yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga,

sekolah dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan

berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan

dan harmonisasi.

Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu

keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi

cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga

keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi

dirinya maupun orang lain (Sri Judiani, 2010).

Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan

kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang

Page 41: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

posivitisme ala comte. Tujuan pendidikan karakter sebagai upaya untuk

membentuk karakter yang merupakan perwujudan dari kesatuan esensial si

subjek dengan pelaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Oleh sebab itu,

pendidikan karakter lebih menekankan aspek religiusitas yang merupakan

modal bagi pembentukan moral (Harsubenowati, 2006).

Untuk membentuk anak didik yang memiliki karakter baik sebagai

guru dan pendidik harus memberikan contoh dan teladan yang baik. Dunia

pendidikan dewasa ini masih sering ditemui penyimpangan perilaku dari

pendidik yang tidak dapat diteladani. Misalnya kasus pelecehan seksual guru

terhadap anak didiknya, pemukulan guru terhadap anak didiknya, dll. Hal

tersebut ternyata bertentangan dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara

mengenai sistem among, tut wuri handayani dan tringa yang seharusnya

diterapkan di dunia pendidikan (Wardani, 2010).

Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah menurut

Azra (2002) dapat dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut:

Pertama, menerapkan metode modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan buruk. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education) (hlm. 176-177).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan sebagai pembentukan karakter merupakan suatu kegiatan yang

mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun

budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian

(persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan) dalam

suatu proses pendidikan atau dalam kegiatan belajar mengajar.

Page 42: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

4. Rukun dan Hormat

a. Rukun

Dalam konsep tentang kerukunan ditekankan bahwa pada hakekatnya

manusia hidup di dunia tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena` itu harus

memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Suatu saat tentu akan

membutuhkan bantuan orang lain. Orang Jawa menilai tinggi konsep sama rata

sama rasa yaitu mewajibkan untuk terus menerus berusaha, memelihara

hubungan baik dengan sesamanya, memperhatikan keperluan sesamanya, dan

sebisa mungkin membagi rata keuntungan dengan sesamanya (Taryati,

Harnoko, Mudjiono & Suhatno, 1994).

Kerukunan atau rukun adalah suatu kehidupan yang harmonis, tenang,

tentram, tidak saling cekcok, ribut maupun bertengkar. Kehidupan yang rukun

adalah kehidupan yang serba damai, baik dalam keadaan suka maupun duka.

Kerukunan dalam keluarga adalah kehidupan yang saling hormat menghormati,

saling menghargai, saling membantu dan saling mengerti dalam keruwetan

(kerepotan) orang lain, serta tidak saling iri hati (Taryati,dkk., 1994).

Masyarakat Jawa menuntut agar usaha-usahanya untuk menjamin

kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri jangan sampai mengganggu

keselarasan sosial. Prinsip kerukunan secara prinsipiil melarang pengambilan

posisi yang bisa menimbulkan konflik (Tugiman, 1999).

Untuk menciptakan kerukunan di dalam keluarga, tidak hanya orang

tua saja yang diperhatikan, tetapi juga perlu ada kedudukan pada anak. Oleh

karena itu anak perlu dididik dan dibiasakan untuk dapat menciptakan suasana

kerukunan di dalam keluarga. Selain itu anak perlu dididik dan diberi

pengertian, mengenai konsep pengertian dan pentingnya hidup rukun, baik di

dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga (Taryati,dkk., 1994).

Dalam konteks budaya Jawa, rukun berarti beusaha menghindari

pecahnya konflik-koflik. Rukun sebenarnya merupakan konsep tentang

keadaan permukaan dari suatu hubungan sosial. Seorang individu Jawa bisa

saja mengalami konflik batin dalam menjaga kerukunan. Ia dapat merasa

tertekan karena harus mementingkan kepentingan kelompok, karena keadaan

Page 43: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

rukun selalu menuntut pengorbanan individu bagi masyarakat Jawa yang

penting konflik tidak sampai dimanifestasikan secara destruktif. Apabila

terdapat kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan diperlunak dengan

teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan dalam tatanan

kelompok, sehingga tidak sampai timbul konflik. Itulah sebabnya dalam

perspektif Jawa keadaan rukun tidak selalu bermakna damai dalam arti tanpa

konflik (Ekopriyono, 2005).

Segala permasalahan akan dapat diatasi dengan kerukunan, sesuatu

yang sulit akan menjadi ringan karena ditanggung dan dirasakan bersama,

ibarat pepatah “rukun gawe santosa” adanya kerukunan dalam keluarga tidak

merepotkan tetangga, bahkan kalau sudah terbiasa hidup rukun sejak kecil,

kelak setelah keluarga akan saling membantu (Taryati,dkk., 1994).

Dengan prinsip kerukunan maka nilai terpenting bagi masyarakat

Jawa adalah menjaga harmoni, yaitu tuntutan untuk mencegah segala kelakuan

yang bisa menimbulkan konflik. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai

keselarasan sosial di mana semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama

lain. Namun demikian, tidak berarti sikap rukun berhubungan dengan

kesediaan hati untuk menomorduakan kepentingan dan hak-haknya sendiri

terhadap kelompok, juga jangan diartikan sebagai semacam cita-cita

tenggelamnya individu ke dalam kolektif. Orang Jawa menyadari dirinya

sebagai individu, dengan masalah-masalah hidup individual, dan dengan hak-

hak serta kepentingan pribadi (Handayani, 2004).

Hal tersebut sesuai dengan simpulan Hidred Geertz (1982: 54) bahwa

yang disebut rukun oleh orang-orang tua suku bangsa Jawa adalah adanya

kesepakatan, adanya kebulatan suara dalam kelompok dalam hal cara dan

tujuan, serta tindak tanduk lahiriah. Jika tidak terdapat pernyataan pendapat

dan perasaan yang berselisih dan terbuka, kelompok yang bersangkutan disebut

rukun. Dengan demikian maka pelaksanaan rukun sebenarnya tidak sekedar

menunjuk pada adanya saling bantu dan kerjasama saja, tetapi juga penampilan

sebagaimana mestinya, serta tidak adanya pertentangan antar pribadi (Taryati,

dkk., 1994).

Page 44: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Saat yang tepat untuk memulai mendidik kerukunan pada anak di

dalam keluarga pada umumnya dimulai sejak dini yaitu sejak anak masih kecil.

Apabila anak sudah terbiasa hidup rukun di lingkungan keluarga, anak akan

menjadi terbiasa rukun pula dengan orang lain di luar lingkungan keluarganya

(Taryati, dkk., 1994).

b. Hormat

Rasa hormat berarti menghargai seseorang atau sesuatu. Rasa hormat

mendorong kita memperlakukan orang lain dengan baik dan menghargai

manusia, jadi rasa hormat adalah bagian dari kebajikan utama kecerdasan

moral (Borba, 1982).

Saling menghormati sikap dan perilaku untuk menghargai dalam

hubungan antar individu dan kelompok berdasarkan norma dan tatacara yang

berlaku. Apabila bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung atau

menyakiti serta menghargai tatacara yang berlaku (Zuriah, 2007).

Paham hormat horizontal adalah hormat secara universal, pada siapa

saja yang terdapat di dunia karena dan sejauh menandung percikan ilahi.

Paham hormat kepada siapa saja merupakan modal cukup berharga bagi

pengembangan motivasi masyarakat guna menimbulkan sikap-sikap etis,

misalnya kejujuran, kesetiaan, empati, simpati dan toleransi. Sikap hormat

akan menjadi kondisi dasar bagi sikap manusiawi seperti mengagumi,

memahami yang persisnya adalah merupakan semangat yang pernah menyinari

budi manusia dalam kreativitas keilmuan yamg telah melahirkan puncak-

puncak prestasi (Sutrisno, 1983).

Ada tiga langkah untuk menumbuhkan rasa hormat. Setiap langkah

memupuk sikap baik, sopan dan adab pada anak-anak. Karena perilaku hormat

paling baik diajarkan dengan memberi contoh (bukan hanya dengan

menguraikannya), langkah pertama menjelaskan cara memperbaiki sikap orang

tua agar anak dapat melihat seberapa pentingnya hal tersebut. Langkah kedua

adalah membantu anak menyadari konsekuensi perilaku tidak sopan dan

menentang kekasaran, pembangkangan, dan kekurangajaran, karena anak yang

menunjukkan rasa hormat biasanya lebih sopan dan santun, langkah terakhir

Page 45: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

adalah membantu anak menyesuaikan tata krama sehingga dapat menghormati

dan dihormati orang lain (Borba, 1982).

Prinsip hormat memainkan peran besar dalam mengatur pola interaksi

dalam masyarakat Jawa sepertinya juga merupakan karakteristik budaya Jawa

yang cukup dominan. Orang Jawa merasa sangat penting untuk mengikuti

aturan-aturan tatakrama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat atau

kebapakan yang tepat. Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat

yang tepat dikembangkan pada diri orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan

keluarga. Pertama-tama anak belajar untuk merasa takut kepada orang yang

harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap takut kepada orang yang lebih

tua atau orang asing. Tidak lama kemudian dimulailah pendidikan untuk

merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan

sebagainya. Orang Jawa merasa isin apabila tidak bisa menunjukkan sikap

hormat yang tepat kepada orang yang pantas dihormati (Handayani, 2004).

Membangun rasa hormat secara timbal balik tidak banyak berbeda

dengan membangun rasa percaya (trust) secara timbal balik. Apabila kita telah

mampu untuk percaya dan hormat pada diri kita maka langkah selanjutnya

sebagai pemimpin adalah mempercayai dan menghormati orang lain

(Bahaudin, 2007).

Prinsip hormat melarang pengambilan posisi-posisi yang tidak sesuai

dengan sikap-sikap hormat yang dituntut. Prinsip kerukunan dan hormat

menuntut agar selalu menguasai perasaan-perasaan dan nafsu-nafsu dan agar

mau mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi terhadap pertahanan

keselarasan masyarakat. Tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk

menunjukkan hormat akan menggerogoti tanggung jawab moral individu serta

keberlangsungan norma-norma moral lain apabila dimutlakkan (Tugiman,

1999).

Page 46: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

B. KERANGKA BERPIKIR

Keterangan :

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa Pendidikan yang diterapkan

di Indonesia umumnya merupakan sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh

pendidikan dari barat, yaitu Belanda. Pendidikan Belanda tersebut merupakan

pendidikan yang bersifat sekuler. Ki Hajar Dewantara yang ketika masa

Sekularisme dalam praktek

kolonialisme/ imperialisme

Ki Hajar Dewantara

Pendidikan Jawa

Nilai-nilai luhur seperti : religius, jujur, toleransi, peduli sosial, tanggung

jawab, mandiri, dll.

Sistem Pendidikan Taman Siswa

Pembentukan Nilai-nilai Budaya Bangsa

Pendidikan Barat

Page 47: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

mudanya menempuh pendidikan di Belanda, tentunya tidak bisa lepas dari

pengaruh pendidikan tersebut. Akan tetapi Ki Hajar yang merupakan

bangsawan tentunya mendapatkan pendidikan Jawa yang cukup kental

sehingga Ki Hajar masih memegang teguh Budaya Jawa, yang dalam budaya

Jawa tersebut terdapat nilai-nilai luhur seperti religius, jujur, toleransi, peduli

sosial, tanggung jawab, mandiri, dll.

Ki Hajar Dewantara dalam menempuh pendidikan mendapatkan dua

pengaruh, yaitu dari Pendidikan Jawa dan Pendidikan Barat, tetapi beliau

masih memegang kuat budaya Jawa tersebut dan pada akhirnya berhasil

membentuk Pendidikan Taman Siswa. Tujuan dari dibentuknya Taman Siswa

tersebut yaitu untuk membentuk nilai-nilai budaya karakter bangsa. Asas dan

dasar pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara dalam Sistem Pendidikan

Taman Siswa merupakan landasan dasar yang kokoh untuk membangun

karakter bangsa, bersendi pada budaya bangsa dengan tidak mengabaikan

budaya asing. Dengan adanya Sistem Pendidikan Taman Siswa tersebut akan

membentuk Sistem Pendidikan Nasional yang berkarakter.

Page 48: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan cara studi pustaka. Adapun perpustakaan

yang digunakan untuk memperoleh data sebagai berikut :

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta

c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta

d. Perpustakaan umum kota Surakarta

e. Perpustakaan umum kota Sukoharjo

f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

g. Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk melaksanakan

penelitian ini dimulai dari disetujuinya judul skripsi pada bulan Januari 2012

sampai dengan waktu yang diperkirakan untuk melaksanakan ujian skripsi pada

bulan November 2012.

Page 49: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Page 50: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

B. Metode penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena

keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat. Mengenai pengertian metode Koentjaraningrat (1983) berpendapat “Kata

metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan.

Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja,

yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan” (hlm. 7).

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,

mendiskripsikan dan memaparkan tentang Pemikiran Pendidikan Nasional Ki

Hajar Dewantara. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa

lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode

sejarah ini, penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa

lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metode sejarah sangat penting dalam merekonstruksi suatu peristiwa

sejarah. Helius Sjamsudin (1996) berpendapat:

Metode sejarah adalah bagaimana mengetahui sejarah. Metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek atau bahan-bahan yang diteliti. Jadi, metode berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis” (hlm. 2). Nugroho Notosusanto (1971) menyatakan pengertian tentang metode

penelitian sejarah sebagai :

Proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata. Metode sejarah merupakan cara atau teknik merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui 4 tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (intern dan ekstern), interpretasi, dan historiografi (vii).

Page 51: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Sejalan dengan pendapat ini, Sartono Kartodirdjo (1992) menyatakan:

Metode penelitian sejarah adalah prosedur cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami lagi fakta yang diselidikinya (hlm. 37).

Mengenai metode penelitian sejarah Louis Gottschalk (1983)

berpendapat, “Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisa

secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif

dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses itu

disebut historiografi (penulisan sejarah)” (hlm. 32).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan

mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang

akan dikaji. Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian

menguji dan menganalisis secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang

dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan

suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Helius Syamsuddin memberikan batasan dalam penelitian sejarah yang

menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan

mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala evidensi (bukti) yang telah

ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di masa

lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/ lisan”

(1996).

Sidi Gazalba (1981) mengklasifikasikan sumber sejarah menjadi 3

macam, yaitu sebagai berikut:

Pertama, sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah, kedua, sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas, ketiga, sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang

Page 52: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder (hlm. 105).

Louis Gottshalck (1986) mengemukakan mengenai sumber tertulis

primer yaitu sebagai berikut:

Sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sezaman dan berasal dari orang yang sezaman. Sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sezaman dengan peristiwa yang dikisahkannya (hlm. 35).

Pada sumber sejarah yang primer belum ada campur tangan sejarawan di

dalamnya. Dokumen (arsip) terkait dengan peristiwa tertentu merupakan jejak

peristiwa masa lalu yang hadir apa adanya. Dengan kata lain sifat informasinya

masih berasal dari tangan pertama. Berbeda dengan sumber primer, pada sumber

sejarah sekunder sudah ada campur tangan dari peneliti sejarah untuk

merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sumber seperti ini dapat berupa buku-buku,

hasil penelitian, jurnal, makalah, artikel, karya ilmiah. Intinya, kehadirannya

sebagai sumber sejarah telah diwarnai oleh peneliti sejarah itu sendiri (Hamid dan

Madjid, 2011).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber tertulis primer

maupun sekunder. Sumber primer dalam penelitian adalah Buku dan Surat Kabar

misalnya Buku “ Pendidikan” karya Ki Hajar Dewantara, Surat Kabar Keluarga

tahun 1952 dan tahun 1953. Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku

literatur yang relevan dengan penelitian ini. Pengumpulan data berdasarkan

sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yaitu melakukan

pengumpulan data tertulis dengan menggali data dari Surat Kabar, Majalah, buku-

buku literatur dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui

kunjungan pustaka, analisis.

Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah

buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara lain “ Ki Hajar

Page 53: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Dewantara” karangan Darsiti Soeratman dan ”Menuju Manusia Merdeka”

karangan Ki Hajar Dewantara.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yaitu mengumpulkan

sumber-sumber primer dan sekunder, baik arsip, dokumen, buku. Studi

kepustakaan sangat berguna untuk mendapatkan berbagai teori yang dapat

mempertajam analisis melalui teori-teori ilmu-ilmu sosial yang berkaitan dengan

tingkah laku individu dan kelompok masyarakat, serta sistem sosial, sistem

ekonomi, sistem budaya, dan sistem politik.

Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.

Teknik pengumpulan digunakan untuk menemukan, menganalisis dan

mengklarifikasi data. Dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau

studi pustaka. Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, Koentjaraningrat

(1986) berpendapat, “ Pertama, memperdalam kerangka teoritis yang digunakan

sebagai landasan pemikiran, kedua memperdalam pengetahuan akan masalah yang

diteliti, ketiga mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah

dalam perumusan, keempat menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian”

(hlm. 36).

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis historis. Mengenai teknik analisis historis Kartodirdjo (1992)

berpendapat, “Analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi

data sejarah. Interpretasi dilakukan mengingat bahwa fakta sejarah tidak mungkin

berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat

komplek, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta

itu sendiri” (hlm. 85).

Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah

yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyektivitas dalam menganalisis data

sejarah perlu dikurangi. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur

Page 54: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

yang sesuai dalam sumber data sejarah dan harus kredibel. Unsur disebut kredibel,

apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar

terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan penyelidikan

kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Gottschalk, 1986).

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan

sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder.

Langkah selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun kritik

ekstern. Sumber data tersebut kemudian dibandingkan dengan sumber data yang

lain guna memperoleh kredibilitas sumber data.

Dalam penelitian ini, analisis dilakukan setelah kegiatan pengumpulan

dan pengklasifikasian data. Analisis dimulai dengan menyeleksi dan

membandingkan data kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan berbagai

keterangan lengkap mengenai data yang dijadikan fakta sejarah. Mengacu pada

kajian teori, fakta diberi keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai

tersusun fakta yang saling menunjukkan hubungan yang relevan diinterpretasikan

guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian perlu dibuat sebelum melakukan penelitian karena

dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya penelitian.

Menentukan tema yang akan diteliti merupakan langkah awal sebelum membuat

suatu rencana kerja dari persiapan membuat proposal sampai dengan penulisan

hasil penelitian. Untuk mempermudah penelitian, langkah yang perlu diambil dan

dijalankan guna mendapatkan hasil penelitian yang optimal diperlukan adanya

prosedur yang bisa digambarkan dalam bagan (persiapan). Bagan berisi langkah

sistematis yang menggambarkan kegiatan ini dari awal (perencanaan) sampai

dengan pembuatan laporan hasil penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur

yang berbeda-beda menurut disiplin ilmu dan tujuan yang ingin dicapainya.

Penelitian ini merupakan historis maka skema dalam metode historis digambarkan

sebagai berikut :

Page 55: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah Jejak / Peristiwa

Sejarah

Gambar 3.1 Prosedur penelitian

Keterangan :

1. Heuristik

Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan

cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan

dengan penelitian ini (Notosusanto, 1978). Sedangkan Menurut Sidi Gazalba

heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk

mendapatkan bahan penelitian (1981).

Banyak ahli metodologi yang telah mencoba membuat klasifikasi, dari

yang sangat sederhana sampai pada yang bercabang-cabang. Klasifikasi yang

sederhana mengenai sumber sejarah terdiri atas tiga macam, Notosusanto (1978)

berpendapat, “Pertama, sumber benda (bangunan, perkakas, senjata); kedua

sumber tertulis (dokumen); dan ketiga sumber lisan (misalnya hasil wawancara)”

(hlm. 36).

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber

tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan

tema penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa

perpustakaan di antaranya Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret

Surakarta, Perpustakaan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan

Page 56: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Nasional

Surakarta, Perpustakaan Kota Surakarta, dan lain-lain.

2. Kritik

Setiap sumber memiliki aspek ekstern dan intern. Aspek eksternnya

bersangkutan dengan persoalan apakah sumber itu memang merupakan sumber;

artinya sumber sejati yang peneliti butuhkan. Aspek internnya bertalian apakah

sumber itu dapat memberikan informasi yang peneliti butuhkan. Karena itu

sumber-sumber sejarah mempunyai dua segi, ekstern dan intern (Notosusanto,

1978).

Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak

sejarah yang telah dikumpulkan, yaitu yang menyangkut jejak-jejak sejarah itu

dapat dipercaya atau tidak. Kritik terbagi menjadi dua macam yaitu kritik ekstern

dan kritik intern.

Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu

kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan

dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam

penelitian ini dilaksanakan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah tertulis

berupa buku-buku literatur, surat kabar, majalah. Berbagai bentuk sumber data

tersebut dikelompokkan ke dalam jenis sumber data tertulis primer atau sekunder.

Aspek fisik kedua jenis sumber data sejarah tersebut, diidentifikasi meliputi

pengarang, tahun, dan tempat penulisan, atau penerbitan sumber data sejarah

tertulis, orisinalitas, penulisan apakah ditulis pengarang tersebut atau tidak.

Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang

disampaikan oleh sejarawan. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber

tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai

keasliannya, kemudian dilakukan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran

isi sumber, yang dapat ditempuh dengan cara membandingkan sumber sejarah

yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut

dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu

dengan sumber yang lain. Kritik intern dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

Page 57: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti

pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa

lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat

dipercaya. Kerja kritik adalah membandingkan isi sumber. Hasil dari kritik

sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau

rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik, maka langkah selanjutnya adalah

melakukan interpretasi.

3. Interpretasi

Tahap interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis

sejarah. Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah

4. Historiografi

Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah/historis) adalah

merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis, diakronis dan sistematis,

menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Sifat uraian itu harus benar-benar tampak,

karena hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah sebagai penulisan ilmiah,

sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.

Dudung Abdurahman (2007:76) menyatakan bahwa historiografi

merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang

telah dilakukan. Dalam laporan penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian

sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari

awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir yaitu dilakukannya penarikan

kesimpulan.

Page 58: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Penulisan sejarah yang bersifat ilmiah harus memperhatikan kaidah-kaidah

penulisan karya ilmiah pada umumnya, kaidah-kaidah tersebut antara lain:

a. Bahasa yang digunakan harus bahasa yang baik dan benar menurut kaidah

bahasa yang bersangkutan. Karya ilmiah dituntut untuk menggunakan

kalimat efektif.

b. Memperhatikan konsistensi, antara lain dalam penempatan tanda baca,

penggunaan istilah, dan penunjukan sumber.

c. Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks

permasalahannya.

d. Format penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku,

termasuk format penulisan bibliografi/daftar pustaka/daftar sumber.

Hasil penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya analisis

mengenai pemikiran pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara serta mengetahui

implementasi dari pemikiran pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara tehadap

pendidikan di Indonesia.

.

Page 59: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara

1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar Dewantara

a. Kehidupan Masa Kecil

Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di

Soerjaningratan yang terletak di sebelah Timur pura Paku Alaman

Yogyakarta. Ibu Ki Hajar adalah putri keraton di Yogyakarta, lebih dikenal

sebagai pewaris Kadilangu, keturunan langsung dari Sunan Kalijogo. Ayah

Ki Hajar adalah keturunan Sultan Hamengku Buwana II, putra sulung Paku

Alam III yaitu G.P.H. Suryaningrat (Irna, 1985).

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kalangan kaum ningrat, kaum

bangsawan, yang pada saat itu masih sangat dibedakan dengan lapisan

masyarakat yang lain (Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara menikah dengan Raden Ajeng Sutartinah, putri

dari G.P.H. Sasraningrat, adik dari G.P.H. Suryaningrat yang merupakan ayah

dari Ki Hajar Dewantara, jadi Ki Hajar dan istrinya adalah saudara sepupu

(Suratman, 1990).

Ki Hajar selesai dari Sekolah Dasar kemudian melanjutkan ke Stovia

Jakarta pada tahun 1905. Sebagai seorang murid Ki Hajar tidak hanya

mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi

pikiran Ki Hajar sendiri berkembang jauh, bahkan kadang-kadang sampai

menimbulkan kejutan di kalangan teman-temannya. Kadang-kadang Suwardi

menampilkan sifatnya yang berani, demonstratif. Hal itu selalu dilandasi

dengan pikiran dan keyakinannya yang mapan dan mantap, di samping

semangat perjuangan Ki Hajar yang membara (Oetomosoekranah, 1981).

Mengenai pendidikan Ki Hajar Dewantara, Komandoko (2006)

berpendapat:

Nama kecil Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar bersekolah di ELS (Europesche Lagere School - Sekolah Dasar Belanda), setelah lulus ELS Ki Hajar

Page 60: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Dewantara melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hajar Dewantara mendapat beasiswa dan bersekolah di STOVIA, singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen yang disebut juga Sekolah Dokter Jawa, di Batavia (Jakarta) (hlm. 172).

Di Jakarta inilah pandangan kebangsaan Suwardi semakin luas.

Pelajar-pelajar STOVIA datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pergaulan

Suwardi dengan pelajar-pelajar STOVIA ini memperluas dan memperdalam

rasa kebangsaan Suwardi (Sagimun, 1983).

Suwardi ternyata juga mempunyai kegemaran menulis. Melalui jiwa

kerakyatannya yang kuat mendasar, Suwardi sering menuangkan masalah-

masalah, pemikiran-pemikiran yang akurat di penerbitan-penerbitan pers

waktu itu (Oetomosoekranah, 1981).

Ketika belajar di STOVIA, Ki Hajar sudah memperlihatkan bakat

mengarangnya. Karangannya dimuat di surat kabar Sedyo Tomo (bahasa

Jawa), De Express (bahasa Belanda) dan Midden Java (bahasa Belanda).

Hatinya pun tergerak oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sewenang-

wenang oleh pemerintah Belanda (Gustamin, 1993).

Mengenai pengalaman bekerja Ki Hajar Dewantara selain dalam

bidang jurnalistik, Harahap & B. S. Dewantara (1980) berpendapat, “ Ki

Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA, lalu bekerja pada pabrik gula

KaliBagor di Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rathkamp

di Yogyakarta. Pekerjaan sebagai apoteker ternyata kurang cocok bagi Ki

Hajar, kemudian Ki Hajar terjun ke dunia jurnalistik (hlm. 3).

Ki Hajar Dewantara telah mencoba bermacam-macam pekerjaan,

kemudian ternyata Ki Hajar lebih tertarik pada pekerjaan di lapangan

jurnalistik, Mudyahardjo menerangkan bahwa Ki Hajar Dewantara memulai

karier perjuangannya di lapangan jurnalistik, yang dipergunakan sebagai alat

memberikan pendidikan politik kepada rakyat, melalui tulisan-tulisannya

yang berisi cita-cita perjuangannya. Karier jurnalistik Ki Hajar dimulai di

Yogyakarta sebagai pembantu harian “Sedyo Utomo” dan harian bahasa

Page 61: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Belanda “Midden Java” di Semarang, kemudian pindah ke Bandung menjadi

koresponden “De Expres” yang dipimpin oleh Douwes Dekker (2001).

Ki Hajar Dewantara kemudian memutuskan untuk tetap

berkecimpung dalam bidang persuratkabaran, dan ternyata Ki Hajar lebih

tertarik di lapangan jurnalistik daripada semua pekerjaan yang telah dijalani

(Irna, 1985).

Bakat yang dimiliki Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik

digunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan

mencurahkan rasa hati serta cita-cita perjuangan Ki Hajar Dewantara

(Tauchid, 1963).

Ki Hajar Dewantara selain banyak berperan dalam bidang

pendidikan juga aktif dalam berbagai bidang, sehingga mempunyai banyak

predikat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suratman (1984) yang

menyatakan:

Ki Hajar Dewantara mempunyai banyak predikat, sesuai dengan kepribadian Ki Hajar yang memang beraneka ragam (multifact), sehingga tergantung dari sudut mana memandangnya. Meskipun demikian dapat dirinci dalam tiga kategori predikat yang utama, yaitu pendidik, budayawan dan pemimpin rakyat (hlm. 2).

Perkenalan pertama antara Ki Hajar Dewantara dengan Douwes

Dekker berlangsung sekitar tahun 1908. Ketika Douwes Dekker menjabat

redaktur Bataviaasch Nieuwsblad yang dipimpin oleh Zaalberg, Douwes

Dekker memasukkan beberapa pembantu redaksi dari orang Indonesia antara

lain, Suryopranoto, Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo.

Douwes Dekker dianggap berbahaya bagi keamanan orang-orang Belanda

karena memasukkan pembantu redaksi dari orang Indonesia maka oleh

redaksi dipecat dari Bataviaasch Nieuwsblad (Suratman, 1990).

Hubungan antara Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara menjadi

semakin akrab setelah Douwes Dekker membaca tulisan Ki Hajar Dewantara

dalam harian-harian di Jawa Tengah, juga dalam harian De Express yang

diasuh oleh Douwes Dekker sendiri akhirnya mengetahui tentang kehebatan

Ki Hajar dalam jurnalistik. Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk

Page 62: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

pindah ke Bandung dan ikut mengasuh De Express. Pada tahun 1912 di kota

Bandung Suwardi kemudian menjadi Ketua Perhimpunan SAREKAT

ISLAM didampingi oleh Abdul Muis dan A.H Wignyadisastra, pemimpin

redaksi harian Kaoem Moeda (Harahap & B.S Dewantara, 1980).

Pada tahun 1912 Suwardi, Douwes Dekker dan Dr. Cipto

Mangunkusumo mendirikan Indische Partij, yang secara terang-terangan

menamakan dirinya sebagai badan “partai politik”, menuju kearah

kemerdekaan nusa dan bangsa (Dewantara, 1952).

Usaha yang dilakukan oleh Ki Hajar dan kawan-kawannya dalam

mempropagandakan “Indische Partij” sangat bermacam-macam, Harahap dan

Dewantara (1980) menjelaskan:

Tiga Serangkai (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo) itu menjelajahi pulau Jawa untuk mempropagandakan “Indische Partij” dan akhirnya mencapai sukses besar. Melalui alat media De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur, gerakan nasional dari Tiga Serangkai ternyata menggemparkan masyarakat dan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda (hlm. 4). Pada bulan Juli 1913 bersama Cipto Mangunkusuko, mendirikan

panitia untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan “Nederland”, disingkat

“komite bumiputera”, untuk memperotes rencana perayaan 100 tahun

kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis, yang akan dilaksanakan

pada tanggal 15 November 1913 di Indonesia dengan memungut biaya dari

rakyat secara paksa (Sudiyat, 1989).

Program-program dalam Indische Partij menunjukkan perlawanan

terhadap pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar, Douwes Dekker dan Cipto

Mangunkusumo dibuang ke negeri Belanda selama 6 tahun (1913-1919)

(Komandoko, 2006).

Tindakan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai itu ternyata

menimbulkan akibat yang cukup serius, Tauchid (1963) mengatakan

“berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913

no. 2a, Ki Hajar Dewantara di internir ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke

Banda dan Douwes Dekker ke Timur Kupang” (hlm. 22).

Page 63: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Menurut ketentuan yang ada apabila diinginkan Suwardi, Tjipto dan

Douwes Dekker boleh meninggalkan Hindia Belanda. Berdasarkan

persetujuan dan kehendak ketiganya, maka negeri Belanda dipilih sebagai

tempat pengasingan, dengan pertimbangan agar di luar negeri nanti masih

dapat melanjutkan kegiatan politik (Irna, 1985).

Dalam pembuangan Suwardi, tentunya Belanda menginginkan agar

Suwardi bisa jinak, akan tetapi putra bangsawan itu memang tidak mudah

menyerah dengan keadaan, justru keadaan yang sulit itu dimanfaatkan untuk

belajar di bidang pendidikan. Suwardi juga mendirikan Persbiro Indonesia

dan juga menyibukkan diri dalam organisasi mahasiswa Indische Vereniging

(Oethomosoekranah, 1981).

Masa pengasingan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Ki

Hajar Dewantara, diantaranya dengan memperdalam jurnalistik, belajar seni

drama, menjadi redaktur majalah “Hindia Poetera”, membantu mingguan “De

Indier”, berkeliling memberi ceramah tentang aspirasi rakyat Indonesia yang

sesungguhnya, memperoleh Akta Mengajar (12 Juni 1915) (Sudiyat, 1989).

Tanggal 17 Agustus 1917, sesudah empat tahun kurang satu hari

dalam pembuangan, putusan hukuman pembuangan Ki Hajar Dewantara

dicabut, boleh kembali ke tanah air sebagai orang bebas, tetapi berhubung

dengan masih mengamuknya perang dunia, baru dapat kembali ke tanah air

pada tanggal 6 September 1919 (Tauchid, 1963).

Pada tahun 1919 Ki Hajar Dewantara diundang oleh kongres yang

pertama di Den Haag, sebagai ahli kesusastraan Jawa yang dibuktikan dengan

pandangan Ki Hajar Dewantara yang tajam dan diarahkan jauh ke depan,

yaitu Ki Hajar Dewantara menyatakan keyakinan bahwa bahasa Melayulah

yang nantinya akan menjadi dasar dari bahasa persatuan bangsa Indonesia

(Soeprapto, 1973).

Ki Hajar Dewantara yakin bahwa, keadaan yang berjiwa kolonial

tidak akan hilang jika hanya dilawan dengan pergerakan politik, tetapi harus

mampu menyebarkan benih hidup merdeka dikalangan rakyat Indonesia

Page 64: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

sendiri dengan jalan pengajaran disertai pendidikan nasional (Obor Rakyat,

1961).

Ki Hajar Dewantara semasa hidupnya selalu mengumandangkan

aspirasinya tentang pendidikan, sehingga pemerintah kemudian memberikan

penghargaan baik yang berupa satya Lencana Kemerdekaan, Pahlawan

Nasional Perintis Kemerdekaan, termasuk pemberian gelar doktor honoris

causa oleh UGM karena pengabdian Ki Hajar yang dalam di bidang

kebudayaan (Pikiran Rakyat, 1979).

b. Pendidikan yang diperoleh

1) Pendidikan Jawa

Salah satu hal yang turut membentuk kepribadian seseorang selain

potensi kodrati sebagai garis kehidupannya, juga kondisi lingkungan yang

memberikan pengalaman rohani dan jasmani, begitu pula dengan Suwardi,

seperti yang dinyatakan oleh Suratman (1990) yaitu, “Suwardi adalah

keturunan Sri Paku Alam III. Kehidupan dalam Kepangeran dengan segala

tradisi dan peraturan kehidupan kebangsawanan merupakan lingkungan hidup

yang sangat berpengaruh” (hlm 3).

Pengaruh hidup keluarga itu terus menerus dialami oleh anak-anak

mulai anak itu kecil hingga besar, maka budi pekerti tiap orang itu selain

terbentuk oleh dasar pembawaannya, sebagian besar dipengaruhi juga oleh

pengalaman anak-anak pada waktu masih dalam “gevoelige periode”, yaitu

pada waktu kecilnya berumur 7 tahun (Dewantara, 1943).

Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Kalasan di

bawah asuhan K.H. Abdurrahman. Sejak awal, pengasuh pesantren telah

melihat adanya keistimewaan pada sosok Suwardi. K.H. Abdurrahman

menjuluki Suwardi sebagai “Jemblung Trunogati” atau “anak mungil berperut

buncit, tetapi mampu menghimpun pengetahuan yang luas” (Rahardjo, 2009).

Pangeran Suryaningrat sangat menyukai musik dan soal-soal

keagamaan yang bersifat filosofis dan ke Islaman. Tulisan Pangeran

Suryaningrat banyak berbentuk syair dan bersifat filosofis-religius sesuai

Page 65: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

dengan pandangan hidup Pangeran Suryaningrat ialah Islam-Jawa (Suratman,

1990).

Ayah Ki Hajar Dewantara sangat taat menjalankan ajaran agamanya.

Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan Mataram, sehingga

diharuskan mempelajari kesusteraan Jawa dan mendalami kesenian. Sejak

kecil Ki Hajar banyak menonton wayang dan mengenal sekali cerita-cerita

wayang dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tersebut. Tokoh

Kresna dan Yudhistira menjadi tokoh pujaan Ki Hajar Dewantara. Sifat-sifat

dan watak kedua tokoh tersebut besar pengaruhnya terhadap perkembangan

jiwa Ki Hajar Dewantara. Adil, jujur, tidak pendusta, selalu menepati janji,

suka damai dan penuh cinta kasih merupakan pedoman hidup Ki Hajar

Dewantara (Sagimun, 1983).

Jiwa kerakyatan Suwardi Suryaningrat juga tampak dari pola

pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, satu diantaranya yang cukup

terkenal yaitu, Andai aku seorang Belanda, tulisan bernada protes perhadap

pemerintah Belanda waktu itu (Pikiran Rakyat, 1979).

Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan, namun Ki Hajar

selalu berjiwa kerakyatan, karena sejak kecil Ki Hajar sering dan senang

bermain dengan anak-anak orang biasa. Bahkan kerika kecil sering tidur

bersama anak-anak orang biasa di masjid. Ketika di penjara Ki Hajar menolak

perlakuan istimewa. Ki Hajar ditahan bersama orang-orang penjara lainnya,

bahkan Ki Hajar ikut melakukan kerja paksa, tidak mau diperlakukan berbeda

dengan orang lain hanya karena Ki Hajar seorang bangsawan, anak seorang

pangeran (Sagimun, 1983).

Lingkungan merupakan tempat yang paling dominan membentuk

karakter dari Suwardi, seperti diungkapkan Suratman (1990) yaitu, “di dalam

lingkungan keluarga Suwardi dilakukan kegiatan berolah sastra. Suasana

religius dengan adanya langgar dan masjid di dekat rumah Suwardi,

mempertebal keyakinan agamanya. Suwardi menerima ajaran agama Islam

dari Pangeran Suryaningrat” (hlm. 7).

Page 66: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

2) Pendidikan Barat

Ketika Ki Hajar putus sekolah kemudian tidak membuat Ki Hajar

menjadi patah semangat. Ki Hajar Dewantara yang telah aktif dalam

pergerakan nasional menyalurkan ekspresi perjuangannya melalui tulisan-

tulisannya. Berbagai tulisan-tulisan Ki Hajar dimuat di berbagai media massa,

di antaranya Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De

Expres, Tjahaja Timoer, dan Poesara (Komandoko, 2006).

Pada tahun 1913 Ki Hajar Dewantara diasingkan di negeri Belanda

terkait dengan tuduhan atas tulisan Ki Hajar yang menyinggung pemerintah

kolonial Belanda, padahal sebenarnya Ki Hajar tidak bermaksud seperti itu.

Tanah pengasingan yang mestinya salah satu wujud sistem hukuman agar

manusia jera, ternyata dimanfaatkan secara baik oleh Suwardi untuk

menambah pengetahuan dan pengalamannya dengan tetap berjuang untuk

kepentingan nusa dan bangsa Indonesia (Suratman, 1989).

Di dalam pembuangan Ki Hajar Dewantara menggunakan waktu

yang sebaik-baiknya yaitu belajar menjadi guru di Den Haag, anggota aktif

dari perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda “Indische Vereeniging” yang

kemudian lebih dikenal dengan Perhimpunan Indonesia (Soeprapto, 1973).

Tanah pembuangan Belanda dimanfaatkan Ki Hajar untuk

mengembangkan diri. Ki Hajar mempelajari secara sistematis pengetahuan

dan keterampilan jurnalistik dari S de Roode, kemudian mempelajari seni

drama dari Herman Kloppers serta mempelajari ilmu dan praktek pendidikan

dari berbagai sumber. Pada tanggal 12 Juni 1915 sempat memperoleh akta

guru (Ki Supriyoko, 1995).

Ketika dalam pengasingan di negeri Belanda, Ki Hajar mengobarkan

perjuangan kemerdekaan dan mengabarkan pada dunia internasional tentang

penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan Belanda melalui pidato-

pidatonya di kota Amsterdam, Groningen, Den Haag dan Utrech, bahkan Ki

Hajar sempat menambah ilmu tentang pendidikan hingga memperoleh ijazah

keguruan (Gustamin, 1993).

Page 67: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Hukuman pengasingan yang dijalani Ki Hajar Dewantara di Belanda,

baik itu penahanan dan penjara tidak menjadikan Ki Hajar jera maupun

mematahkan kegiatan serta semangat perjuangannya dalam mencapai cita-

cita, akan tetapi menjadikan Ki Hajar semakin tangguh dan ulet (Suratman,

1990).

Di Belanda Ki Hajar pun mengembangkan kemampuan pers dan

jurnalistik yang dimilikinya, sempat menjadi redaktur majalah “Indische

Vereeniging”, membantu majalah “Indische Partij” dan lain-lain. Dalam hal

ini Ki Hajar benar-benar mengaplikasikan ilmu “ngeti ning ora beli”: seolah-

olah dapat menerima perlakuan masyarakat Belanda tetapi pendirian anti

kolonial tetap terpatri di dadanya. Ki Hajar juga memberikan ceramah-

ceramah pada masyarakat Belanda maupun masyarakat Indonesia yang ada di

Belanda mengenai keadaan Indonesia

Ki Hajar Dewantara adalah seseorang yang hebat, karena sanggup

menghadapi 2 unsur kebudayaan yang masuk dalam kehidupan Ki Hajar dan

memadukannya secara serasi, seperti diungkapkan Rahardjo (2009) yaitu

sebagai berikut:

Ki Hajar Dewantara tidak ingin berpisah dengan rakyat dan selalu ingin berada bersama rakyat untuk selalu berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini Ki Hajar dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda, yaitu Jawa dan Barat. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut. Meskipun mendapatkan pendidikan Barat, Ki Hajar tidak kemudian menjadi individualistik, dan meskipun mendapat pendidikan Jawa, Ki Hajar juga tidak langsung menjadi seorang Jawa kolot. Pemahaman bahwa seseorang haruslah bekerja keras untuk melayani dan bukan untuk dilayani menjadi bukti bahwa Ki Hajar adalah seorang sosok yang mengombinasikan nilai-nilai luhur dua kultur, yaitu Jawa dan Barat (hlm. 108).

Page 68: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

2. Pemikiran Pendidikan

a. Pendidikan sebagai pembebasan (ada perbandingan antara pemikiran

Ki Hajar dengan pemikiran Paulo Freire dan Montessori)

1). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Pengertian dari pendidikan sangatlah luas. Rahardjo (2009)

mengartikan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, pendidikan akan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tinggi (hlm. 75).

Mengenai konsep pendidikan yang diberikan oleh Belanda kepada

bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1977) berpendapat, “Pendidikan dan

pengajaran yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia,

didasarkan pada azas dan dasar kolonial, yaitu untuk kepentingan penjajahan

dari bangsa Belanda” (hlm. 147).

Lahirnya Taman Siswa dinyatakan Ki Hajar Dewantara sebagai jalan

kembalinya pendidikan bangsa Indonesia ke yang nasional, yang ditandai

dalam usaha pengajarannya dengan penggunaan bahasa ibu menjadi bahasa

pengantar dalam pelajaran di Taman Siswa, serta penghapusan permainan dan

nyanyian anak-anak Belanda dengan yang nasional (Tauchid, 1979).

Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak

pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan

yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain

untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda,

sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi,

tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja-

pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).

Pengajaran yang tidak didasarkan pada semangat kebudayaan hanya

akan membentuk intelektual saja, sehingga intelektualisme akan semakin

berkembang di kalangan sebagian rakyat, yang akan menuntut pendidikan

dan pengajaran secara Eropa, dengan sendirinya melepaskan diri dari

Page 69: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

masyarakat. Selain materialisme dan intelektualisme, hasil yang ditimbulkan

dari sistem pengajaran secara Barat yaitu rasa perseorangan atau

individualisme yang memisahkan orang yang satu dengan orang lain,

sehingga hilanglah “rasa keluarga” antara rakyat Indonesia yang sebenarnya

bisa menjadi tali yang suci dan kuat serta dasar yang kokoh untuk

menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Individualisme inilah yang

dapat mengakibatkan terpecah belahnya rasa persatuan keluarga bahkan

bangsa (Dewantara, 1977).

Tujuan pendidikan mengalami pergeseran, yang awalnya memiliki

target menciptakan manusia memiliki watak kemanusiaan, berubah kearah

materialisme (Sarjono dan Nurudin, 2000)

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri

perguruan Taman Siswa telah menciptakan suatu sistem pendidikan nasional

bagi bangsa Indonesia, berdasarkan garis hidup dan kebudayaan bangsanya.

Lahirnya pendidikan nasional merupakan reaksi positif terhadap pendidikan

kolonial yang berlaku waktu itu dengan kultur yang melandasinya (Suratman,

1980).

Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa untuk menciptakan

hasil pendidikan yang memiliki lahir dan batin yang luhur maka pengajaran

yang didasarkan pada semangat keduniawian (materialisme), semangat

kenadlaran (intelektualisme), serta semangat perseorangan (individualisme)

dengan demokrasi Barat yang memecah belah rasa keluarga maupun kekuatan

yang lain, harus diganti dengan semangat ketimuran, yaitu sebagai berikut:

a. Pengajaran rakyat harus didasarkan pada semangat keluhuran budi manusia, sehingga mementingkan nilai-nilai kebatinan (mental culture) dan menghidupkan semangat idealisme.

b. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kecerdasan budi pekerti, yaitu matangnya jiwa seseorang secara utuh (character building)

c. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kekeluargaan, yaitu merasa bersama-sama hidup, bersama-sama susah dan senang, bersama-sama tanggung jawab; mulai keluarga dalam lingkup kecil sampai keluarga yang besar, misalnya kekeluargaan bangsa-bangsa (hlm. 139).

Page 70: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Pendidikan memang selalu menjadi masalah bagi negara-negara

berkembang. Suratman (1989) menyatakan:

Di negara-negara berkembang, masalah pendidikan memang merupakan masalah nasional dan masalah sosial. Masalah nasional karena pendidikan terkait langsung dengan masa depan bangsa tersebut. Menjadi masalah sosial, karena pendidikan melibatkan kepentingan seluruh warganya” (hlm. 17). Pendidikan adalah untuk mendidik manusia, jadi sebenarnya

merupakan kewajiban utama bagi setiap pemerintah dan menjadi hak bagi

setiap warga untuk menikmati pendidikan, akan tetapi kesempatan

pendidikan bukan semakin bertambah tetapi sebenarnya berkurang. Masalah

yang dihadapi manusia bukannya berkurang tapi sebaliknya bertambah

kompleks. Ini ironis karena sebenarnya oleh penguasaan manusia terhadap

teknologi, manusia berhasil mengontrol alam untuk kebutuhannya. Suatu

ancaman besar muncul dari horison kemanusiaan dalam bentuk eksploitasi

penduduk dunia disertai disertai dengan eksploitasi polusi lingkungan

manusia sendiri. Apabila masalah ini tidak segera diatasi, berarti manusia

sedang menciptakan “bom waktu” untuk dirinya sendiri (Pikiran Rakyat,

1975).

Ketika bangsa Indonesia belum kedatangan bangsa Belanda,

Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan

kepribadian bangsa Indonesia, Tauchid (1979) berpendapat:

Sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan dan kepribadian nasional, yang mengutamakan pembentukan watak untuk manusia merdeka lebih tinggi nilainya, yaitu sistem paguron, dengan tidak mengabaikan segi-segi baik dari nilai-nilai sistem sekolah yang modern (hlm. 29). Ketika Menteri Pendidikan Sjarif Thajeb berpidato menyambut Hari

Pendidikan, Sjarif Thajeb menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan

meneruskan garis-garis pokok kebijaksanaan pembaharuan pendidikan yang

telah dijalani selama ini. Tapi pembaharuan itu memerlukan proses yang

cukup lama, dan mungkin hasil pembaharuan pendidikan itu baru bisa dilihat

pada satu generasi yang akan datang (Pikiran Rakyat, 1974).

Page 71: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Pengajaran Nasional dan Pengajaran Kolonial itu sangat berbeda.

Pengajaran Nasional bertujuan untuk mendidik intelektual masyarakat

Indonesia, agar masyarakat kelak menjadi penegak keluhuran tanah dan

bangsa Indonesia, sedangkan Pengajaran Kolonial itu bertujuan mendidik

rakyat untuk dijadikan sebagai pembantu kekuasaan kolonial. Syarat-syarat

dari pengajaran kolonial itu sangat merugikan rakyat, karena guru-gurunya

harus orang Belanda sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan saran-

saran keliru bahwa kita orang Indonesia tidak pandai dalam memberikan

pengajaran, kemudian masyarakat kita dididik oleh orang Belanda, sehingga

lambat laun bisa saja memiliki watak seperti orang Belanda dan jauh dari

kehidupan rakyat. Ilmu-ilmu yang seharusnya diberikan kepada anak-anak

Indonesia misalnya saja kebudayaan nasional, rasa cinta tanah air malah tidak

diberikan sehingga sangat merugikan bagi anak-anak Indonesia, kemudian

karena sangat kurangnya guru (Belanda) sehingga masih banyak yang buta

huruf (Dewantara, 1977).

Sebenarnya banyak sekali gagasan dan cita-cita Ki Hajar Dewantara,

tetapi inti dari cita-cita Ki Hajar berkisar pada “Pembinaan suatu masyarakat

tertib damai dan sadar bahagia, berdasarkan asas kekeluargaan dimana setiap

orang mempunyai kemerdekaan untuk menyelenggarakan hidupnya menurut

nilai-nilai budinya yang tertinggi di dalam batas-batas kepentingan umum,

kepentingan nusa dan bangsa dan kepentingan seluruh manusia” (Obor

Rakyat, 1961).

Ki Hajar Dewantara dalam melaksanakan pendidikan bagi bangsa

Indonesia pasti menerapkan suatu prinsip atau asas yang digunakan agar

pendidikan itu bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan, yaitu berakar

pada nasionalisme/ kebudayaan sendiri. Berikut ini adalah beberapa ajaran

yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara dalam pelaksanaan pendidikan di

Indonesia, terutama dalam perguruan Taman Siswa:

a) Sistem Among

Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan mempunyai konsep

tentang metode Among. Kata “among” yang berasal dari bahasa Jawa,

Page 72: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

mempunyai arti seseorang yang tugasnya “ngemong” atau “momong”, yang

jiwanya penuh pengabdian. Pamong atau Inang pengasuh, mempunyai tugas

untuk mengasuh anak dengan penuh pengabdian. Metode among berjiwa

kekeluargaan, sehingga memberi gambaran tentang interaksi yang harus

terjadi antara pamong-siswa (Suratman, 1989).

Kelahiran Sistem Among dapat dikatakan mendapat inspirasi para ahli

dari luar negeri, terutama sesudah Ki Hajar mendalami pemikiran dari para

ahli tersebut. Pengaruh dari para ahli yang diterima Ki Hajar tidak begitu saja

diterima tetapi diolah sesuai dengan situasi dan kondisi sosial budaya bangsa

Indonesia, dan dari hal itu dapat dilihat sikap selektif adaptif Ki Hajar

Dewantara (Hariyadi, 1985).

Kata “mong” atau “among” sering ditemukan dalam beberapa kata

majemuk seperti: among putro, among mitro, among tamu, among dagang,

among tani. Dalam ungkapan tersebut selalu terdapat perilaku seseorang yang

akan selalu berusaha agar bisa menyenangkan, menggembirakan,

menyelamatkan dan membahagiakan pihak lain. Jadi mengamong atau sikap

among mengandung makna: membantu, memelihara suasana, menciptakan

iklim yang kondusif, disertai rasa tanggung jawab, kerelaan berkorban, penih

pengabdian dan dilandasi kasih sayang serta kemanusiaan (Suratman, 1990).

Mengenai sistem Among Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan

secara lebih rinci sebagai berikut:

Dalam sistem Among pengajaran berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi juga harus mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan dan menggunakannya untuk kepentingan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (hlm. 48). Menurut Ki Hajar Dewantara dalam sistem “among” bukan saja

pamong (guru) yang mengikuti anak didiknya dari belakang dengan

memberikan kebebasan berkreasi, tetapi juga harus mampu bersikap keras

jika diketahui anak didiknya nyeleweng. Dalam hal ini pamong juga harus

Page 73: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

mengutamakan kodrat murid untuk mendekatkan diri dengan alam dan

masyarakatnya (Oethomosoekranah, 1981).

Ki Hajar Dewantara dengan Sistem Amongnya mengoreksi sistem

pendidikan kolonial pada saat itu dengan usaha mendidik manusia seutuhnya,

dalam mendidik yang dikembangkan bukan saja aspek kognitifnya, tetapi

juga aspek afektif dan psikomotoriknya (Hariyadi, 1985).

Pamong harus menjadi teladan, baik perilaku maupun tutur katanya.

Pamong harus memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk

mengembangkan jiwa raganya, disamping itu pamong juga harus

memberikan contoh-contoh, bantuan-bantuan, petunjuk serta pertimbangan

kepada anak didiknya (Oethomosoekranah, 1979).

Sistem among diturunkan dari asas kodrat alam. Sistem among

bermaksud mengganti sistem pendidikan lama yang menggunakan perintah,

paksaan, dan hukuman. Kewajiban belajar yang sejati hanya dapat diperoleh

dengan perkembangan kodrati. Perkembangan kodrati hanya dapat dicapai

dengan sistem among, yaitu sistem pendidikan dengan guru yang berperan

sebagai pamong yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, dengan

semboyan “tut wuri andayani”, yakni tetap mempengaruhi dengan memberi

kesempatan kepada anak-anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus-

menerus “dituntun” dari depan (Mudyahardjo, 2001).

Sistem Among merupakan pendukung dan pelaksana aliran

pendidikan merdeka. Dasar kemerdekaan merupakan keharusan pada tiap

usaha pendidikan, sehingga iklim pendidikan harus bersuasanakan

kemerdekaan pula. Kemerdekaan merupakan syarat untuk membantu

perkembangan segala potensi kodrati anak didik tanpa tekanan dan hambatan

sehingga memungkinkan perkembangan pribadi yang kuat serta berjiwa

merdeka (Hariyadi, 1985).

Sikap yang ditempuh guru dalam pendidikan salah satu diantaranya

yaitu sikap laku among. Suratman (1980) berpendapat, “guru dapat bersikap

among dengan memperhatikan segala sifat kodrati yang ada pada anak

didiknya, dengan penuh kesadaran bahwa segala potensi harus dibantu

Page 74: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

perkembangannya. Guru memberikan kebebasan kepada anak didik sejauh

anak mampu memanfaatkan secara efektif kebebasan yang dimilikinya” (hlm.

19).

Semua ajaran Ki Hajar Dewantara sejatinya bertujuan agar kehidupan

menjadi aman, tentram lahir dan batin, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi

terutama untuk masyarakat umum. Ki Hajar Dewantara menolak sistem

pendidikan Belanda yang tujuannya hanya untuk mencetak pegawai rendah

yang akan dipekerjakan di perusahaan milik Belanda. Ki Hajar mempunyai

keyakinan bahwa dalam dunia pendidikan itu harus ada kebebasan pribadi

(Tesabudi, 1978).

Menurut Ki Hajar, isi pendidikan bukan saja sekedar memberi

pengetahuan pada anak didiknya, tetapi juga dilengkapi dengan pendidikan

yang mengandung nilai-nilai budaya bangsa, semangat kebangsaan, jiwa

merdeka, kemanusiaan, keterampilan, sejarah kebangsaan, kesenian dan

olahraga (pencaksilat) yang mengandung nilai-nilai kultural bangsa. Pada

hakekatnya sistem Among merupakan sistem pergaulan antar manusia yang

dilandasi oleh sikap cinta kasih, saling menghormati, saling menghargai,

demokratis, tidak ingin menguasai dan menundukkan orang lain untuk

kepentingan dirinya (Hariyadi, 1985).

Ki Hajar Dewantara mewariskan api semangatnya kepada kita.

pertama, kemampuan Ki Hajar dalam mengambil pilihan yang tepat untuk

zamannya. Kedua, keberanian dan kemampuan dalam mempertahankan dan

menjalankan pilihannya tersebut (Hermit, 1985).

Sistem among yang menonjol adalah penempatan anak sebagai figur

sentral dalam proses pendidikan sedangkan pamong (guru) ditempatkan

sebagai penuntun/ pembimbing/ pengemong yang dengan sepenuh jiwa

mengabdikan hidupnya bagi kepentingan sang anak. Kodrat atau fitrah anak

sebagai manusia diberi keleluasaan tumbuh dan berkembang sehingga anak

dapat dihantarkan menuju kearah kemerdekaan lahir batin dan mampu

menjadi manusia yang berarti bagi dirinya sendiri dan bagi manusia lainnya

(Gunawan, 1989).

Page 75: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Sistem among berfungsi sebagai sarana mengembangkan segala

potensi kodrati yang ada pada anak dalam proses pembentukan

kepribadiannya. Menurut pengalaman Taman Siswa, sistem among ternyata

mampu mempererat hubungan pamong-siswa berdasarkan jiwa kekeluargaan

dan merupakan metode yang cukup demokratis (Suratman, 1990).

Sistem Among ini oleh Ki Hajar Dewantara diibaratkan petani yang

memelihara tanamannya. Seorang guru dalam mendidik anak itu harus sesuai

dengan kodrat masing-masing anak. Bakat dan karakter anak nantinya pasti

akan menumbuhkan suatu hasil berdasarkan kodratnya sendiri-sendiri. Guru

tidak boleh memaksa anak harus menjadi apa nantinya, kewajiban guru hanya

menuntun dan mengarahkan anak menuju ke arah yang baik (Tesabudi,

1978).

Sistem pendidikan Among dan Tut Wuri Handayani yang diciptakan

oleh Ki Hajar Dewantara, telah dipakai oleh pemerintah dalam memajukan

pendidikan nasional. Demikian pula dengan Tri Pusat Pendidikan, harus bisa

berjalan seiring agar anak didik benar-benar mandiri dan bisa diandalkan

(Probohening, 1987).

b) Tut Wuri Handayani

Ki Hajar Dewantara menjadikan “Tutwuri Handayani” sebagai

semboyannya metode among. Sikap “tutwuri” adalah perilaku pamong yang

sifatnya memberi kebebasan kepada murid, untuk berbuat sesuai dengan

hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma

yang wajar dan tidak merugikan siapapun (Suratman, 1989).

Menurut Ch.A (1953) dalam membimbing seorang anak itu

hendaknya menerapkan “tut wuri handayani”, yang artinya orang tua

mengikuti anak dari belakang tetapi secara langsung atau tidak langsung

membimbing anak untuk kebaikannya. Dalam sikap “tut wuri handayani”

terdapat pengaruh orang tua, jadi bukannya sikap yang masa bodoh dan

membiarkan begitu saja (hlm. 11).

Page 76: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Tutwuri handayani yang menentukan sikap laku guru dalam

hubungannya dengan proses belajar mengajar, bertolak dari kenyataan-

kenyataan sebagai berikut:

Pertama, Setiap anak mempunyai sifat kodrati berupa perbedaan-perbedaan pribadi; Kedua, dalam pertumbuhan jiwa raga anak perlu diikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan kodrat alamnya; Ketiga, untuk menumbuhkan segala potensi kodrati sebagai karunia Tuhan YME kepada anak, perlu iklim dan suasana kemerdekaan; Keempat, manusia adalah makhluk individual sekaligus juga makhluk sosial; Kelima, setiap manusia mempunyai hasrat untuk dihargai dan diperlakukan sesuai dengan martabat kemanusiaannya; Keenam, untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat, pelaksanaan hak asasi perlu diimbangi dengan perwujudan kewajiban asasi kemanusiaan; Ketujuh, bagi suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu wahana untuk menanamkan nilai-nilai sesuai dengan perkembangan budaya bangsanya yang dinamis (Suratman, 1980: 14).

Tut Wuri handayani yang dijadikan semboyan dalam lambang

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI hingga kini. Semboyan Tut Wuri

Handayani tidak akan jauh dari “memberi kebebasan, kesempatan dan

kemungkinan yang benar” (Hermit, 1985).

Tut wuri handayani adalah sikap laku pendidik, yang berjiwa

kekeluargaan dan dilandasi dasar kodrat alam dan kemerdekaan. Kodrat anak

Indonesia perlu diperhatikan dalam memberikan bimbingan pada

pertumbuhan jiwa dan raga seorang anak. Menurut Ki Hajar Dewantara,

kodrat anak Indonesia ialah menerima perlakuan berdasarkan garis hidup atau

kultur bangsanya, apabila melandaskan pendidikan pada kultur asing maka

bertentangan dengan kodrat anak tersebut (Suratman, 1980).

Maksud dari sikap “handayani” terhadap perilaku siswa yang

menyimpang menurut Suratman (1989) yaitu :

Apabila pelaksanaan kebebasan oleh siswa ternyata menyimpang dari ketentuan yang seharusnya, seperti pelanggaran peraturan atau hukum masyarakat yang berlaku sampai merugikan pihak lain atau diri sendiri, maka pamong harus bersikap “handayani”. Sikap “handayani” mempunyai maksud untuk menjaga tertib damainya hidup bersama, dengan jalan meluruskan kembali perilaku murid yang tidak lurus tersebut (hlm. 15).

Page 77: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

c) Tripusat Pendidikan

Maksud dari pendidikan adalah “mengolah” anak menjadi yang

sesuai dengan cita-cita orang tua maupun negara. Seorang pendidik (orang

tua) yang bijaksana, tidak cukup hanya memberikan apa yang dicita-citakan

itu saja, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor yag lain, misalnya jiwa

anak, keadaan sosial maupun tingkat kebudayaan (Ch,A, 1953).

Di bidang pendidikan Ki Hajar Dewantara mempunyai konsepsi

tentang “Tripusat pendidikan”, satu upaya pembinaan pendidikan nasional

yang meliputi pendidikan di tiga lingkungan hidup, yaitu lingkungan

keluarga, perguruan/ sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan itu

mempunyai pengaruh edukatif pada pertumbuhan jiwa dan raga anak. Dengan

demikian kepribadian anak akan berkembang secara utuh dalam keadaan

berkeseimbangan (Suratman, 1989).

Di antara ketiga lingkungan dalam Tripusat pendidikan, yang

terpenting adalah lingkunga keluarga, seperti dijelaskan Ki Hajar Dewantara

(1977) yaitu: “alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan yang

terpenting, dikarenakan sejak timbulnya adab kemanusiaan hingga kini, hidup

keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap

manusia (hlm. 71).

Adanya hubungan pendidikan antara rumah dan sekolah, maka

diperlukan kerjasama antara rumah dan sekolah. Sekali waktu bisa diadakan

pertemuan antara orang tua murid dan guru-guru untuk membahas mengenai

pendidikan dan pengajaran, dengan kegiatan seperti ini akan tumbuh rasa

saling menghargai dalam tali silaturahim yang kuat antara orang tua dan guru,

yang bermanfaat bagi pendidikan (M.E, 1953).

Para orang tua ada yang beranggapan bahwa pendidikan yang

diberikan pada anak itu sudah cukup dengan memasukkan anak-anak ke

sekolah, dan tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya yang masih kecil

yang belum masuk sekolah. Orang tua mengira bahwa sekolah adalah satu-

satunya tempat mendidik anak-anak, padahal itu adalah anggapan yang keliru.

Page 78: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Selain pendidikan yang diperoleh dari sekolah, masyarakat, pendidikan yang

utama juga dari orang tuanya. Jadi harus ada keseimbangan antara pendidikan

yang diberikan kepada anak, baik itu dari lingkungan keluarga, sekolah

maupun masyarakat agar anak nanti bisa hidup di tengah-tengah masyarakat

(M.E, 1953).

Konsep-konsep pendidikan seperti Tri Pusat Pendidikan yang

berusaha menyatukan peran antara orang tua (keluarga), masyarakat dan

lembaga pendidikan, “Pusat Pendidikan Keluarga” yang mengutamakan

pentingnya harmonisasi keluarga bagi pendidikan sang anak: “Dasar” dan

“Ajar” yang menggambarkan betapa pentingnya pembawaan anak dan

pengajaran dalam mendewasakan sang anak, sampai saat ini tetap relevan

untuk dikembangkan dan diimplementasikan (Pikiran Rakyat, 1995).

Di dalam Tripusat pendidikan, pusat keluargalah yang paling penting.

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa mulai kecil hingga dewasa anak-

anak hidup di tengah-tengah keluarganya. Ini berarti bahwa anak-anak itu,

baik dalam “gevoelige periode” (masa dimana semua pengalaman bercampur

dengan dasarnya jiwa) maupun dalam periode bertambahnya fikiran

(mengenai kemajuan dari angan-angannya serta bertambahnya pengetahuan)

mendapat pengaruh yang banyak dari keluarganya masing-masing (1943).

Lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan yang paling awal.

Di dalam lingkungan keluarga itu anak-anak saling mendidik dan merupakan

pusat yang tetap dan mengandung keadaan yang sebaik-baiknya, maka untuk

ilmu pendidikan hanya tinggal mencari cara bagaimana kita membantu orang

tua tiap keluarga agar lebih pandai dalam membimbing anak-anaknya dalam

keluarga sendiri (Dewantara, 1977).

Melalui Tri Pusat Pendidikannya, Ki Hajar Dewantara menyatakan

bahwa untuk mendidik pemuda secara efektif perlu dikembangkan konsepsi

“saling isi” diantara ketiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan

masyarakat. Apabila ketiga pusat pendidikan ini dapat berjalan secara

simultan dan “saling isi”, maka keterdidikan pemuda-pemuda bangsa

Page 79: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Indonesia dapat ditingkatkan dan berbagai perilaku antisosial dalam

masyarakat dapat ditekan (Ki Supriyoko, 1996).

Lord Ponsonby, seorang bangsawan, filsuf, sarjana dan politikus di

Inggris merasa sedih bahwa telah menjadi korban pengajaran sekolah yang

telah diterimanya dari 93 guru yang terhitung mulai dari sekolah rendah

sampai ke Oxford. Lord Ponsonby merasa tidak mendapat hasil sedikitpun

dari pelajaran sekolah yang diterimanya selama bertahun-tahun di sekolah.

Lord hanya mendapatkan pendidikan dari pergaulan dan pekerjaan di rumah

ibu bapaknya, dan pendidikan keluarga itu lebih berharga daripada

pendidikan sekolah (Tauchid, 1979).

Ada beberapa hal yang menarik dalam keterangan Ki Hajar

Dewantara tentang sistem Tripusat (Wasita Th. Ke-1 no. 4 Juni 1935

sebagaimana dikutip dalam buku “Karya Ki Hajar Dewantara” bagian:

Pertama) yaitu:

Pertama, keinsyafan Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja yaitu alam perguruan; Kedua, ketiga pusat pendidikan itu harus berhubungan erat dan harmonis; Ketiga, alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan memberikan budi pekerti, agama dan laku sosial; Keempat, perguruan sebagai balai wiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan keterampilan; Kelima, alam pemuda sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak dan kepribadiannya; Keenam, dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah usaha untuk “menghidupkan, menambah dan menggembirakan perasaan kesosialan” sang anak (Gunawan, 1989: 39). Keluarga mempunyai peran yang sangat dominan dalam membentuk

watak atau karakter seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar

Dewantara yaitu suasana di dalam keluarga itu akan berpengaruh kuat

terhadap pembentukan karakter atau jiwa seesorang Keadaan itu bermacam-

macam, misalnya, kemiskinan atau kekayaan, kesucian atau kerendahan

moral, ketentraman atau kerusuhan, anak yang banyak atau harta sedikit,

hanya mempunyai anak satu, ada yang sering dimarahi dan ada yang sering

dimanja. Semua keadaan itu masing-masing sangat berpengaruh terhadap

Page 80: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

jiwa anak-anak dan bekasnya akan terus tersimpan dalam jiwa seorang anak.

“Tersimpan” ini berarti tidak tampak, akan tetapi terus menerus

mempengaruhi hidup seseorang, dalam bahasa asing inilah yang dinamakan

“onderbewuste complexen” (1943).

Azas dan tujuan pendidikan, yaitu membimbing anak dalam

pertumbuhannya baik jasmani maupun rohani kearah kedewasaan, agar anak

itu dapat teguh berdiri dengan kedua telapak kakinya, dalam mengarungi

gelombang hidupnya, dan tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain

(M.E, 1953).

Ki Hajar Dewantara telah mengajarkan teori kepada generasi bangsa

Indonesia, yaitu Tripusat Pendidikan, Trikon dan Trilogi Kepemimpinan.

Tripusat pendidikan adalah teori tentang pengelolaan pendidikan nasional,

yang mengakui adanya tiga pusat pendidikan, yaitu alam keluarga, alam

perguruan dan alam kemasyarakatan. Di antara ketiga lingkungan itu

hendaknya ada kesamaan nilai yang dijunjung tinggi, sehingga terdapat

keselarasan dan keserasian (Suratman, 1984).

Teori dalam ilmu pendidikan yang menyebutkan :”pendidikan sosial

itu adalah tugas sekolah”, benar-benar menyalahi keadaan yang nyata,

sebagai “pendidik kesosialan”. Sistem sekolahan selama masih ditujukan

kepada pemberian ilmu dan kecerdasan fikiran, akan selalu bersifat tidak

berjiwa, dan akan sedikit pengaruh pendidikannya bagi kecerdasan budi

pekerti dan budi sosialnya. Kecerdasan fikiran dan ilmu pengetahuan selalu

berpengaruh kuat terhadap bertumbuhnya egoisme (hanya mementingkan diri

sendiri) dan budi keduniawian (materialisme), maka seringkali sekolahan

yang tidak berjiwa itu berpengaruh antisosial (Dewantara, 1977).

Sekolah adalah tempat pendidikan yang kedua bagi anak-anak.

Apabila rumah sebagai tempat pendidikan yang pertama, maka sekolah

adalah merupakan lembaga pendidikan pembantu, yang berusaha menutupi

kekurangan-kekurangan dalam pendidikan di rumah, sedangkan tanggung

jawab terbesar tetap terletak pada orang tua. Di sekolah anak-anak bukan

Page 81: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

hanya dididik budi pekertinya, akan tetapi juga intelektual seorang anak (M.

E, 1953).

Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat

Pendidikan saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan

masyarakat. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada watak dan

kepribadian anak. Dalam mendidik anak diberi tuntunan dan dorongan agar

tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Pamong wajib mendorong

anak didiknya dengan metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan

harus bisa menjadi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila berada di tengah-

tengah diharapkan mampu menuangkan gagasan atau ide-ide baru yang

mendorong kemajuan), Tut Wuri Handayani (bila berada di belakang

diharapkan ikut memberikan dukungan) (Rahardjo, 2009).

d) Teori Trikon

Makna dari konsep Trikon (kontinuitas, konvergenitas dan

kontentrinitas) yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, Supriyoko

menjelaskan yaitu menerima budaya luar secara selektif tanpa meninggalkan

budaya bangsa sendiri. Perjuangan politik Ki Hajar memang sudah dirintis

sejak usia belasan tahun. Pada usia 19 tahun Ki Hajar (saat itu masih bernama

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat) sangat aktif menjadi anggota Boedi

Oetomo (BO) sejak berdirinya (1995).

Trikon diambil dari tiga awal suku kata: kontinuita, konsentrisita,

dan konvergensi, sebagai dasar dan sikap hidup perjuangan Taman Siswa di

tengah-tengah masyarakat. Rumusan dalam bahasa Belanda dulu, sebelum

lahirnya simpul Trikon ialah: cultureel-nationaal-maatschappelijk, bersifat

kebudayaan, nasional dan kemasyarakatan (Tauchid, 1963).

Ki Hajar Dewantara berpendapat melalui teori Trikonnya, bahwa

dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional harus merupakan

kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan

kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sikap

kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas).

Dengan demikian jelas bahwa terhadap pengaruh budaya asing harus bersikap

Page 82: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

terbuka disertai sikap selektif adaptif dengan Pancasila sebagai tolok ukurnya

(Hariyadi, 1989).

Tauchid (1963) menjelaskan secara rinci mengenai Trikon sebagai

berikut:

Pertama, Dasar kulturil (kontinyu), bahwa kebudayaan itu sifatnya kontinyu, bersambung dan tidak putus, merupakan garis kehidupan suatu bangsa yang tumbuh dan berkembang maju. Kemajuan suatu bangsa adalah lanjutan garis hidup asalnya yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru baik dari bangsa sendiri maupun dari luar; Kedua, Dasar nasional (konsentris), alam hidup manusia itu merupakan “alam hidup perbulatan” (konsentris), yang digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran (circle) besar kecil yang semua itu bersatu menjadi titik pusat (middelpunt) dimana orang duduk atau berdiri di atas titik pusat itu. Lingkaran kecil adalah sebuah alam diri pribadi, lingkaran di luar yang lebih luas ialah alam keluarga, yang lebih luas lagi alam bangsa, dan yang terluas ialah alam manusia dan alam kemanusiaan; Ketiga, Dasar kemasyarakatan (konvergen), yaitu sambung dan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Seseorang harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat, kalau ingin hidup mengabdi pada kepentingan masyarakat (hlm. 48-49). Kebudayaan Nasional Indonesia harus bersambungan (kontinu)

dengan kebudayaan lama. Kebudayaan Nasional Indonesia harus mengumpul

menuju ke arah kebudayaan universal (konvergen) dengan memiliki

kepribadian nasionalnya sendiri (konsentris). Ki Hajar Dewantara selalu

membimbing bangsanya agar menemukan kepribadiannya, dengan mengenal

dan mencintai kebudayaannya, bangsa Indonesia akan menemukan

kepribadiannya (Sagimun, 1983).

Trikon adalah suatu teori untuk membina dan mengembangkan

kebudayaan nasional. Lengkapnya adalah : kontinuitas, konsentrisitas dan

konvergensi. Dalam membina kebudayaan hendaknya selalu diusahakan

adanya kontinuitas dengan nilai-nilai budaya yang telah ada. Dalam

pergaulan dengan nilai budaya bangsa-bangsa lainnya hendaknya titik

pusatnya adalah tetap kepribadian bangsa sendiri, sedang dalam menuju ke

arah budaya manusia yang tunggal hendaknya dianut garis konvergensi.

Berbeda pangkal tolaknya, tetapi menuju ke satu arah (Suratman, 1984).

Page 83: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

Asas Trikon adalah pengakuan, bahwa antara orang-orang dan dunia

sekitarnya, selalu ada pertimbangan, persatuan dan persambungan. Asas

Trikon penting bagi hubungan kita sebagai bangsa dengan bangsa-bangsa lain

dalam dunia internasional, dan dapat memperbesar kerukunan antara bangsa-

bangsa (Tauchid, 1963).

e) Tri Pantangan

Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan Tri pantangan, suatu

pedoman untuk dapat hidup aman, damai, salam dan bahagia. Adapun yang

dimaksud dengan tri pantangan, yaitu:

a. Jangan menyalahgunakan wewenang

b. Jangan menyeleweng di bidang keuangan

c. Jangan melanggar kesusilaan

Tri pantangan merupakan usaha preventif agar suatu masyarakat

tidak dilanda “bencana” keretakan hidup kekeluargaannya (Suratman, 1984).

Suratman (1984) menjelaskan mengenai Tri Pantangan dari Ki Hajar

Dewantara, yaitu sebagai berikut:

Pertama, ialah “jangan menyalahgunakan wewenang (kekuasaan)” sumber utama adalah adanya nafsu untuk berkuasa, yang agaknya diwujudkan dengan agak keterlanjuran. Karena nafsu, terjadilah penyalahgunaan wewenang; Kedua adalah “jangan menyeleweng di bidang keuangan”. Secara kodrati manusia memang ada nafsu kebendaan, yang bisa menjadi pendorong ke arah penguasaan uang sebanyak-banyaknya. Jika dalam kehidupan organisasi terjadi penyelewengan di bidang keuangan, maka hal tersebuat akan mengganggu jalannya organisasi dan menghambat perkembangan organisasi tersebut; Ketiga adalah “jangan melanggar kesusilaan”. Di dalam masyarakat apabila terjadi pelanggaran kesusilaan, maka sumber utamanya adalah nafsu seksual. Pelanggaran kesusilaan akan terjadi apabila manusia sudah kehilangan kontrol atas dirinya, atau dengan kata lain sudah tidak mampu mengendalikan dirinya (hlm. 8-9).

Ki Hajar Dewantara sudah sejak awal melihat dan menyadari segi

kelemahan manusia sebagai individu, kemudian diciptakanlah “pengawasan

melekat” atau “waskat” melalui Tri pantangan tersebut. Hal yang sama

ternyata dianggap penting dan menjadi program pemerintah sejak kabinet

Page 84: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

1988. Ajaran Tri pantangan ini ternyata dilandasi oleh pandangan Ki Hajar

Dewantara tentang eksistensi manusia, yaitu sebagai individu dan makhluk

sosial, maka dari itu semua ajaran Ki Hajar Dewantara selalu bermuara

kepada manusia dan kepentingan kehidupan manusia bersama (Suratman,

1989).

Tri Pantangan itu sangat penting dalam untuk membina masyarakat

Taman Siswa, maka bagi setiap individu anggota dari Taman Siswa, hal

tersebut juga sangat penting, sebab dengan menganut pedoman tersebut, akan

selamat dalam menjalankan kehidupan di dunia ini (Suratman, 1984).

2). Perbandingan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan

Paulo Freire dan Montessori

a). Pendidikan menurut Paulo freire

Paulo Freire seorang penggagas teori pendidikan kritis, sering

menyebut paradigma pendidikan kritis dengan nama pendidikan humanis atau

pendidikan yang membebaskan (Freire, 1999).

Pemikiran Freire tentang filsafat pendidikan diungkapkan pertama

kali pada tahun 1959 dalam disertasi doktornya di Universitas Recife, juga

dalam berbagai percobaannya dalam pengajaran kaum buta huruf di kota

yang sama. Metodologi yang dikembangkan dan telah digunakan secara luas

oleh kalangan gereja Katolik dan yang lainnya dalam kampanye melek-huruf

di seluruh pelosok Timur Laut Brazil, lalu dianggap sebagai sebuah ancaman

bagi pemerintahan ketika itu hingga Freire dipenjara setelah kudeta militer

tahun 1964. Setelah dibebaskan kemudian Freire diperintahkan segera

meninggalkan Brazil, Freire pergi ke Chili dan menghabiskan waktu lima

tahun untuk bekerja pada UNESCO dan Lembaga Pembaruan Pertanian Chili

dalam program-program pendidikan masyarakat (Freire, 1985).

Pendidikan kritis merupakan proses dimana pendidikan

mengkondisikan peserta didik untuk mengenal, memahami dan

mengungkapkan kenyataan secara kritis. Berbeda dengan pendidikan

umumnya seperti diungkapkan oleh Paulo Freire dan disebut juga pendidikan

Page 85: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

yang membelenggu, yaitu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru

kepada peserta didik sehingga peserta didik mengikuti saja alur kehidupan

ini. Pendidikan kritis atau pendidikan yang membebaskan tidak dapat

direduksi menjadi sekedar usaha pendidik untuk memaksakan kebebasan

kepada peserta didik (1999).

Selama ini masalah dehumanisasi dipandang sebagai masalah utama

manusia. Dehumanisasi yang menandai bukan saja mereka yang telah

dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda)

mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk

menjadi manusia sejati. Akan tetapi untuk membebaskan diri dari kaum

penindas, pelajaran dan praktek ini harus datang dari kaum tertindas itu

sendiri, atau kelompok yang memang berpihak pada kaum tertindas itu

sendiri dengan berjuang menata kembali kemanusiaan kaum tertindas (Freire,

1985).

Perbedaan antara Pendidikan yang membelenggu dan pendidikan

kritis seperti dijelaskan Freire (1999) yaitu:

Pendidikan yang membelenggu bersifat perspektif, sedangkan pendidikan kritis bersifat dialogis. Pendidikan kritis menuntut adanya dialog, karena dialog merupakan bentuk perjumpaan di antara manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dan memahami dunia. Pendidikan yang membelenggu hanyalah semata-mata proses transfer pengetahuan, sedangkan pendidikan kritis merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadikannya sebagai proses transformasi yang diuji di alam nyata (hlm. 176). Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana murid

adalah celengan dan guru adalah penabung. Yang terjadi bukanlah proses

komuniksi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi

tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.

Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan

bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan

menyimpan (Freire, 1985).

Page 86: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Konsep pendidikan yang seperti itu telah melupakan perhatiannya

terhadap perkembangan kejiwaan secara individual terhadap peserta didik,

karena anak dianggap sebagai bagian obyek ilmu yang tak berkesadaran

(Sarjono dan Nurudin, 2000).

Bagi Freire, fitrah manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau

subyek, dan bukan menjadi penderita atau obyek. Oleh karena itu manusia

yang sejati adalah pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta

realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Untuk memperoleh

pengetahuan manusia dituntut untuk berperan sebagai subyek. Manusia harus

mampu menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya

cipta. Hal ini meniscayakan perlu dikembangnya langkah orientatif sebagai

pengembangan bahasa pikiran (Tought of Language). Yakni, pada hakekatnya

manusia mampu memahami hakekat keberadaan dirinya dan lingkungan

dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan praksis manusia merubah diri,

dunia dan realitas sosialnya (Freire, 1999).

Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam

kontradiksi melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut seperti

disebutkan Paulo Freire (1985) yang mencerminkan suatu keadaan

masyarakat tertindas secara keseluruhan :

1. Guru mengajar murid diajar 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa 3. Guru berpikir, murid dipikirkan 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid

menyetujui 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui

perbuatan gurunya 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta

pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu 9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan

kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid

10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka (hlm. 51-52).

Page 87: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Pendidikan yang tidak mengenal pendekatan kemanusiaan

(humanism) ini akan menciptakan masyarakat bisu (silence society). Yaitu,

sebuah masyarakat yang memiliki rasa ketergantungan, ambigu, antara

menjadi dirinya sendiri dan sebaliknya, dan mudah terpengaruh. Beberapa ciri

mendasar masyarakat demikian diantaranya masyarakat ini memiliki ketaatan

semu (quasi adherence) pada kondisi yang ada, atau seolah-olah mengikuti

arus namun sebenarnya tidak (quasi immerson) (Sarjono dan Nurudin, 2002).

Mu’arif (2008) mengemukakan bahwa sejauh ini terdapat tiga

paradigma dalam pendidikan:

Pertama, paradigma pendidikan konservatif. Paradigma pendidikan ini cenderung mengabaikan potensi-potensi manusia yang menimbulkan penindasan serta melahirkan kesadaran magis. Pendidikan konservatif diorientasikan untuk meneguhkan sekaligus melestarikan notrma-norma sakral sehingga menenggelamkan eksistensi manusia itu sendiri. Kedua, paradigma pendidikan liberal. Paradigma ini memiliki ruh kebebasan pasar yang menjadi ciri khas kapitalis. Pendidikan ini cenderung berpihak pada golongan kelas atas. Pendidikan dengan berbagai macam standar kualitasnya akan ditentukan oleh seberapa banyak modal yang dimiliki. Ketiga, paradigma pendidikan kritis, yang merupakan paradigma pendidikan yang hendak mengembalikan hak-hak kemanusiaan masyarakat untuk menghapus segala bentuk penindasan di bumi (hlm. 83-87).

Dalam situasi masyarakat yang seolah-olah tunduk pada kenyataan,

kesadaran ini tidak akan berhasil memahami adanya banyak perbedaan dan

tantangan atau memahaminya tetapi dengan cara yang distortif. Akibat fatal

yang ditimbulkan dari masyarakat bisu ini adalah melahirkan kekerasan-

kekerasan sebagai perwujudan pemberontakan sosial maupun sikap

ketidakmampuanya menanggapi realitas perbedaan yang ada (Sarjono dan

Nurudin, 2000).

Freire menggambarkan secara skematis pendidikan kritis yang

bersifat dialogis dan pendidikan “gaya bank” yang bersifat anti-dialogis

sebagai berikut :

Page 88: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

DIALOGIS ANTI DIALOGIS

Subjek Subjek Subjek

(pemimpin, (anggota masyarakat (kaum elite berkuasa)

pembaharu, membaharu, misalnya:

misalnya: guru) murid)

Interaksi Objek Objek

(keadaan yang harus (mayoritas kaum

dipertahankan) tertindas sebagai

Objek realitas)

Realitas yang harus

diperbaharui dan dirubah

(sebagai objek bersama)

Humanisasi Dehumanisasi

Sebagai proses tanpa henti berlangsungnya situasi

(sebagai tujuan) penindasan

(sebagai tujuan)

Gambar 4.1

Perbandingan pendidikan kritis dan Pendidikan “Gaya Bank”

(Sumber: Paulo Freire, 1999, xvi)

Langkah awal yang cukup menentukan dalam upaya penerapan

paradigma pendidikan kritis, yaitu sebuah proses yang disebut oleh Freire

dengan sebutan “commencement” atau proses yang dilakukan terus menerus

yang “selalu mulai dan mulai lagi”. Yang dimaksud dengan proses terus

Page 89: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

menerus oleh Freire adalah proses penyadaran (konsientisasi) yang dilakukan

tidak boleh berhenti. Konsientisasi merupakan proses yang inhern dari

keseluruhan proses pendidikan. Konsientisasi merupakan inti atau hakekat

dari proses pendidikan itu sendiri (Freire, 1999).

Melihat realitas yang demikian, Sarjono dan Nurudin (2000)

mengungkapkan:

Langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembalikan pendidikan kepada kesadaran penuh untuk menciptakan manusia yang memiliki watak kemanusiaan. Manusia yang memiliki kemampuan seimbang, bukan saja mempunyai kemampuan intelektual tetapi juga memiliki kesadaran manusia.

b). Pendidikan menurut montessori

Menurut Montessori ada hubungan yang erat antara gerakan jiwa

anak-anak dengan gerakan badannya. Setiap gerakan anak-anak adalah akibat

dari tuntutan jiwa dan badan anak-anak sendiri, psychologis dan physiologis.

Itulah sebabnya Montessori memakai dasar kemerdekaan dan kebebasan yang

sering disebut “spontanitet”. Spontanitet berarti gerak atau tindakan bebas

dari anak-anak, keluar dari keinginan sendiri, secara tiba-tiba dan tidak

terfikirkan lebih dahulu. Anak janganlah dipaksa untuk melakukan sesuatu

yang diinginkan seesorang, karena sering kali bertentangan dengan proses

pertumbuhan jiwa raga anak-anak sehingga bisa menghambat perkembangan

jasmani dan rohani anak (Dewantara, 1977).

Menurut Montessori periode awal umur 0-6 adalah periode sensitif,

masa peka atau usia emas, dimana pikiran anak mudah sekali menyerap

apapun dari lingkungannya. Dengan mengutip Dr. Alexis Carrel, Montessori

mengatakan: “ Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya, masa

ini seyogianya didayagunakan oleh pendidikan sebaik-baiknya, jika tersia-sia

kehidupan masa ini tidak akan pernah dapat dicari gantinya. Tugas kita

adalah memanfaatkan tahun-tahun awal kanak-kanak dengan kepedulian yang

tertinggi, bukannya menyia-nyiakannya” (2008).

Menurut Montessori telah terjadi tidak pemanusiaan terhadap

manusia di dalam pendidikan. Sebuah sinyalemen yang yang dianggap

Page 90: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

antagonis dengan cita-cita mulia pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan

yang selama ini dikenal berupaya mewujudkan manusia dewasa ternyata

masih belum mencapai harapan yang diinginkan. Dimana dalam konteks

psikologi, manusia dewasa berarti bagaimana membuat manusia menjadi

manusia (Sarjono dan Nurudin, 2000).

Dasar dari sistem pendidikan Montessori yaitu kemerdekaan dan

spontanita dari seseorang, Ki Hajar Dewantara (1977) menyebutkan :

Dasar pertama yang fundamental dari metode Montessori yaitu kebebasan dan spontanita seseorang, kemerdekaan hidup yang seluas-luasnya, mengurangi penguasaan guru dan orang tua terhadap hidupnya anak-anak, kembali kepada kodrat-iradatnya anak-anak, yaitu menguasai penguasa dari yang mengadakan hidup serta mengembalikan penguasa itu kepada-Nya. Kemudian Montessori juga mengajarkan bebaskanlah rohani maupun batiniah sang anak dari peraturan masyarakat yang merugikan, sebab hanya dengan kebebasan yang mutlak yang bergantung pada alam dan yang memberikan hidup, baru mungkin ada pertumbuhan yang wajar dari seseorang (127). Sistem pendidikan yang diterapkan montessori mementingkan

pelajaran pancaindra, hingga ujung jaripun dihidupkan rasanya, lagipula

mengadakan beberapa alat untuk latihan panca indra, semua itu bersifat

pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak

dipentingkan (Hariyadi, 1985).

Montessori menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa

sangat menyuburkan intelektual, akan tetapi mematikan perasaan sehingga

membalikkan jiwa manusia dari derajat “budi” menjadi “mesin”. Montessori

ingin melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi dan

menurunkan derajat kemanusiaan itu. Montessori ingin memerdekakan

manusia (Dewantara, 1977).

Banyaknya muncul universitas seperti sekarang ini, yang pada

dasarnya juga tidak berbeda dengan jenis sekolah yang mendahuluinya,

kecuali mungkin dari sisi intensitas belajarnya. Dijumpai guru besar berbicara

sedangkan murid mendengarkan. Menurut Montessori (2008), “masa

kehidupan yang paling penting bukanlah usia kuliah, namun masa

Page 91: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

pertumbuhan yang pertama, yakni masa dari kelahiran hingga usia enam

tahun. Hanya kerja dan pengalaman praktislah yang mengarahkan anak muda

menuju kedewasaan” (hlm. 34-37).

Tentang latihan panca-indera, yang menjadi salah satu pokok dalam

sistem Montessori, supaya diketahui bahwa maksudnya adalah memajukan

keterampilan panca-indra, yaitu menyempurnakan pekerjaan mata, telinga,

hidung, lidah dan kulit seluruh tubuh. Itu semua penting untuk membantu

kemajuan fikiran anak-anak. Menurut Montessori latihan panca-indra tidak

saja bermanfaat bagi kemajuan anak-anak biasa, namun dapat juga menolong

tumbuhnya kekuatan jiwa dalam hidup anak-anak yang kekurangan fikiran.

Sistem pendidikan Montessori tidak saja menghilangkan adanya paksaan,

tetapi menghilangkan hukuman pada anak-anak, jangan sampai anak-anak

belajar itu karena takut akan hukuman (Dewantara, 1977).

b. Pendidikan untuk perempuan

1). Pendidikan sebagai Tuntutan

Pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.

Hidup tumbuhnya anak-anak terletak di luar kecakapan atau kehendak kaum

pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda

hidup, tentu saja hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. kekuatan

kodrati yang ada pada anak-anak ialah segala kekuatan di dalam hidup batin

dan hidup lahir anak-anak itu yang ada karena kodrat (Rahardjo, 2009).

Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak

pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan

yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain

untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda,

sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi,

tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja-

pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).

Sistem pendidikan suatu bangsa akan berhasil mendidik para

warganya apabila sistem tersebut berdasarkan budaya bangsanya. Sistem

Page 92: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

pendidikan yang beratus tahun diterapkan di Indonesia pada waktu penjajahan

Belanda jelas telah merusak jiwa rakyat serta budaya bangsa Indonesia. Ki

Hajar Dewantara berusaha untuk menggantikan sistem pendidikan kolonial

dengan sistem pendidikan yang berdasarkan kultur sendiri dengan

mengutamakan kepentingan rakyat (Hariyadi, 1985).

Pendidikan yang ditanamkan oleh Ki Hajar sebenarnya menekankan

pada aspek humanisme, sisi sosial kemanusiaan bahwa pendidikan berarti

daya upaya untuk memajukan, bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,

karakter), pikiran dan tubuh anak, sehingga terbentuknya kesempurnaan

hidup yang selaras dan serasi dengan dunianya (Rahardjo, 2009).

Manusia hidup di bumi ini tentulah harus mempunyai pedoman

hidup agar kehidupan dapat berjalan lancar dan seimbang, begitu pula dengan

Ki Hajar Dewantara. Ajaran hidup Ki Hajar Dewantara yang dapat kita ambil

sebagai pedoman hidup merupakan pedoman atau petunjuk operasional-

praktis, diantaranya bisa disebut Tringa, Tri pantangan, Wasita Rini. Ajaran

Ki Hajar yang berwujud fatwa antara lain: “Hak diri untuk menuntut salam

bahagia”, “salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat”,

“Neng-Ning-Nung-Nang” (Suratman, 1989).

Kata terakhir yang Ki Hajar Dewantara tinggalkan sebelum wafat

yaitu kata “Aanvaarding”. Kata bahasa Belanda yang berarti “Kesediaan

menerima dengan tabah dan ikhlas”. “Aanvaarding” adalah salah satu asas

hidup Ki Hajar Dewantara yang beliau taati secara konsisten. Sikap

“Aanvaarding” ini bukan sikap “nrimo” dalam arti menerima nasib secara

“nglokro” (tanpa kehendak untuk menghadapinya secara aktif-kreatif), secara

pasif-apatis- masa bodoh karena malas atau putus asa, melainkan mau

menerima kenyataan hidup tanpa rasa khawatir, cemas, takut, getun, dan

kecewa agar bisa menanggapinya secara aktif dan kreatif dengan pikiran yang

kritis dan obyektif (Sinar Harapan, 1975).

Mendidik pada dasarnya adalah menuntun segala kekuatan kodrat

yang ada pada anak, sehingga sebagai manusia dan sebagai anggota

masyarakat, mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang

Page 93: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

tinggi. Pendidikan yang berdasarkan pada hukum-paksaan-ketertiban

dianggap merampas hak anak, yang dipakai sebagai alat pendidikan adalah

pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup

anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri (Hariyadi, 1985).

Pandangan Ki Hajar Dewantara yang dilandasi eksistensi manusia,

ialah sebagai individu dan makhluk sosial, maka semua ajaran Ki Hajar

Dewantara selalu bermuara kepada manusia dan kepentingan kehidupan

manusia bersama. Ajaran tersebut memang sesuai sekali dengan

kedudukannya sebagai wahana untuk mencapai tujuan akhir Tamansiswa,

yaitu terciptanya masyarakat tertib-damai dan salam-bahagia (Suratman,

1989).

2). Menurut Ki Hajar Dewantara

Masalah perempuan itu adalah masalah yang penting, hal yang

paling penting dan tidak boleh dipungkiri atau dilupakan ialah “kodratnya”

perempuan. Inilah keadaan yang nyata, yang hak dan sebenarnya harus

menjadi petunjuk jalan untuk semua orang. Sebenarnya hidup perempuan itu

mengandung lambang kesempurnaan hidup manusia di dunia. Pada zaman

sekarang, perempuan di dunia Barat berusaha mendapatkan hak persamaan

dengan laki-laki. Cita-cita yang dikejar oleh kaum perempuan itu memang

sudah semestinya, akan tetapi pergerakan untuk mendapatkan “persamaan”

lama-lama menimbulkan keadaan yang tidak cocok dengan kodratnya

perempuan (Dewantara, 1967).

Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-

anak perempuan. Ki Hajar melihat perempuan sebagai sosok yang memiliki

pengaruh besar dalam pendidikan. Menurut Ki Hajar laki-laki dan perempuan

adalah dua makhluk yang tarik menarik. Keduanya sama-sama mempunyai

ketertarikan pada lawan jenis. Oleh karena itu. Laki-laki dan perempuan

harus dipisah dalam kelas ketika mereka memasuki masa berahi atau masa

pubertas, akan tetapi itu bukan bentuk diskriminasi perlakuan terhadap

perempuan (Rahardjo, 2009).

Page 94: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Anak-anak kecil dalam proses pertumbuhannya lebih mudah

beradaptasi jika dengan guru perempuan daripada laki-laki, seperti

diungkapkan Ki Hajar Dewantara (1967) yaitu, “Anak-anak kecil masih

sangat membutuhkan hubungan batin dengan ibu, oleh karena itu anak-anak

lebih tertarik pada guru perempuan. Sebenarnya untuk memenuhi kemauan

dan keinginan anak, untuk memelihara tubuh anak, memang perempuan lebih

pandai daripada guru laki-laki” (hlm. 239).

Pengaruh perempuan berkuasa untuk mendidik keutamaan, karena

besarnya pengaruh perempuan pada barang dan tempat sekelilingnya yaitu

untuk mensucikan dan menghaluskan suasana (Ki Hajar Dewantara, 1967).

Ki Hajar Dewantara dalam artikel yang ditulisnya yaitu “Chodrat

Perempuan”, mengutarakan ketidaksetujuan pada jenis persamaan hak

perempuan yang berkembang di Eropa. Menurut Ki Hajar persamaan hak

hendaknya tidak melupakan kodrat perempuan yang berbeda dengan laki-laki

baik fisik maupun psikologis (Rahardjo, 2009).

Sebenarnya soal perempaun itu tidak boleh dipandang dari satu

sudut, menurut satu aliran, karena hidup perempuan itu tidak lebih dan tidak

kurang ialah soal hidup kemanusiaan sepenuhnya, ialah soal keadaban. Dalam

soal keturunan (dimana orang perempuan menjadi pemangku) jelas

meruapakan soal yang sangat penting, maka dengan sendirinya soal

perempuan itu menjadi sangat penting selama kita memandang perempuan

sebagai pemangku- turunan (Ki Hajar Dewantara, 1967).

Ki Hajar menganggap bahwa guru perempuan adalah guru yang

tepat untuk dijadikan pendidik bagi anak-anak karena ikatan emosional anak

dengan ibu lebih kuat daripada anak dengan bapak. Oleh karena itu lebih

mudah mendidik anak pada usia dini melalui guru perempuan daripada guru

laki-laki (Rahardjo, 2009

Page 95: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

B. Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara

1. Taman Siswa a. Latar Belakang Berdirinya Taman Siswa

Bangsa yang hidup di dalam penjajahan, sangat tidak mungkin

apabila penguasa sempat memikirkan pendidikan, kesejahteraan dan hari

depan rakyat yang dijajahnya. Malahan yang terjadi apabila ada yang belajar,

bisa berpikir secara luas dan sepak terjangnya dianggap membahayakan

penguasa, maka akan dihalang-halangi dan ditindas (Probohening, 1987).

Ketika pulang dari pengasingan di Belanda Ki Hajar Dewantara

bermaksud untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar bersifat

pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Pada tahun 1922 Ki

Hajar Dewantara, mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di

Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan

seni-seni Jawa tradisional. Taman Siswa tidak menerapkan kurikulum

pemerintah sehingga tidak mendapat bantuan dari pemerintah (memang tidak

mau menerima karena mengutamakan kebebasan) (Ricklefs, 1989).

Ilmu pengetahuan yang diperoleh Ki Hajar selama pengasingan

diterapkannya ketika Ki Hajar diperbolehkan kembali ke Indonesia pada

tahun 1919, dan pada tahun 1922 mendirikan Perguruan nasional dengan

nama Taman Siswa (Gustamin, 1993).

Landasan upaya Ki Hajar Dewantara itu memang tidak lepas dari

merombak sistem pendidikan Belanda yang dianggap kurang relevan dengan

sistem timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan pola Barat sangat

mengabaikan kecerdasan budi pekerti, Ki Hajar mengkhawatirkan timbulnya

keresahan hidup bermasyarakat. Berpijak dari kondisi yang seperti ini Ki

Hajar menerapkan sistem pendidikan anak-anak atas dasar hidup

kemanusiaan serta peradaban bangsa dalam artian luas. Ki Hajar

memperkenalkan sistem among melalui tut wuri handayani sebagai fondasi

dan landasan kerja Taman Siswa (Oethomosoekranah, 1981).

Pada 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara bersama Sutatmo

Surjokusumo, Pronowidigdo, Sujoputro, dan lain-lain, menyatakan berdirinya

Page 96: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman

Siswa di Yogyakarta (Rahardjo, 2009).

Ki Hajar Dewantara sebelum mendirikan perguruan Taman Siswa

ikut mengajar di perguruan “Adhidarmo” milik kakak Ki Hajar (R.M.

Surjopranoto), dan berdasarkan pada pengetahuan pendidikan yang dipelajari

Ki Hajar selama dalam pembuangan, Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli

1922 mendirikan “Perguruan Taman Siswa” yang sampai sekarang hidup

sebagai warisan utama Ki Hajar Dewantara (Tauchid, 1963).

Taman Siswa menamakan dirinya “Perguruan” dalam bahasa Jawa

“peguron”, untuk membedakan dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan

oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun oleh bangsa Indonesia

sebagai sekolah swasta (Tauchid, 1979).

Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa adalah satu kesatuan,

Sagimun (1983) berpendapat, “Ki Hajar Dewantara berusaha membina jiwa

kemerdekaan bangsa Indonesia melalui Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara

dan Taman Siswa merupakan dwi tunggal. Ki Hajar Dewantara dan Taman

Siswa tidak bisa dipisahkan. Modal pertama Taman Siswa adalah berupa

murid dan bangku sekolah yang diterima Ki Hajar Dewantara dari sekolah

Adhidharma” (hlm. 18).

Taman Siswa itu perguruan yang bersikap non-cooperation (tidak

mau kerjasama dengan pemerintah penjajahan). Bantuan ataupun segala

subsidi yang diberikan oleh penjajah ditolak mentah-mentah, karena Ki Hajar

tahu bahwa bantuan atau subsidi tersebut, bersifat mengikat. Padahal Taman

Siswa ingin bebas merdeka, berupaya menciptakan pendidikan nasional yang

tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tidak bertentangan

dengan hak asasi manusia (Probohening, 1987).

Didirikannya Taman Siswa yaitu untuk membentuk manusia yang

selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, seperti diungkapkan

Tauchid (1963) yaitu:

Perguruan Taman Siswa, yang dengan tegas menamakan dirinya perguruan nasional di tengah-tengah alam dan kekuasaan kolonial, diciptakan Ki Hajar Dewantara untuk tempat membangun manusia

Page 97: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

baru, menyiapkan tenaga-tenaga pejuang kemerdekaan nasional, pembela kemanusiaan, dan kebenaran, tempat menempa jiwa anak-anak Indonesia dengan semangat merdeka dan jiwa kebangsaan. Di tengah-tengah kekuasaan dan alam kolonial Taman Siswa menentang dan melawan kolonialisme (hlm. 30).

Setiap perbuatan yang baik, terkadang memang banyak yang

merintangi, begitu juga usaha Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman

Siswa. Sagimun (1983) menyatakan:

Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa awalnya memang mendapat kecaman dan celaan. Bahkan ada yang mencemooh serta menghina cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara. Ada yang mengatakan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memajukan tetapi sebaliknya akan memundurkan pendidikan bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara yakin akan kebenaran dan kesucian cita-citanya, sehingga Ki Hajar berjalan terus tanpa menghiraukan kata-kata yang ditujukan pada Ki Hajar dan mempunyai maksud menghalangi cita-cita Ki Hajar Dewantara (hlm. 18). Taman Siswa diciptakan Ki Hajar Dewantara sebagai “paguron”,

basa diterjemahkan dengan kata “perguruan”, tempat orang-orang maguru

(belajar hidup), bukan hanya rumah sekolah tempat pemberian pengetahuan,

tetapi tempat belajar hidup, tempat memperjuangkan dan mewujudkan cita-

cita hidup, dan tempat orang-orang penganut ajaran Taman Siswa bersama-

sama mewujudkan satu pergaulan hidup (Tauchid, 1963).

Di dalam perguruan, belajar menuntut ilmu pengetahuan itu dinomor

duakan, tapi bukannya terus dilupakan, yang terpenting yaitu pembentukan

watak, karakter vorming, taqwa kepada Tuhan tetapi bukan berarti Perguruan

mengabaikan pengajaran. Perguruan mengutamakan pembentukan watak dan

latihan kemauan luhur, dengan contoh teladan pribadi guru sebagai pemberi

tuntunan hidup (Tauchid, 1979).

Ki Hajar Dewantara dalam memimpin Taman Siswa mengalami

banyak rintangan dan kesulitan akan tetapi Ki Hajar Dewantara tetap

konsekuen. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa jangan suka

menerima bantuan yang dapat mengikat secara lahir dan batin, untuk dapat

terus hidup harus berani hidup di atas kekuatan dan kemampuan sendiri,

Page 98: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

meskipun mengalami rintangan dan kesulitan namun Ki Hajar dan Taman

Siswa tidak pernah memohon bantuan dan tetap konsekuen ingin berdiri di

atas kekuatan sendiri (Sagimun, 1983).

b. Asas Taman Siswa

Asas Tamansiswa 1922 yang pertama alinea pertama menegaskan

bahwa adalah hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan

mengingati tertib damainya kehidupan bersama (Suratman, 1990).

Tujuh Asas Taman Siswa (Beginsel Verklaring= Asas Taman Siswa)

secara ringkas menurut Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:

Pertama, memerdekakan manusia untuk memerdekakan dan mengurus hidupnya sendiri, dengan mewajibkan padanya untuk menuju ke arah tertib damainya keadaan umum; kedua, asas kita menetapkan bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, dalam arti lahir dan batin sehingga dapat memerdekakan diri; ketiga, harus berdasarkan kebangsaan dan menuju ke arah peri kemanusiaan; keempat, mementingkan tersebarnya pengajaran bagi rakyat umum; kelima, tidak boleh menerima bantuan yang mengikat lahir atau batin; keenam, harus berhemat dan menggunakan kekuatan sendiri; ketujuh, dengan suci hati mendidik anak didik dengan Among system (Yusuf, 1989: 55). Hak kemerdekaan diri dicantumkan sebagai asas Taman Siswa yang

utama dan pertama, menjadi dasar mencapai cita-cita hidup bahagia dan

masyarakat tertib damai. Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan

sebagai dasar pendidikan anak-anak Indonesia, mengisi jiwa merdeka pada

anak-anak jajahan berarti mempersenjatai bangsa dengan senjata keberanian

berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk

mencapai kemerdekaannya (Tauchid, 1963).

Pasal dua memaparkan suatu metodik dalam kaitannya dengan

sistem among. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak-anak

akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan

merdeka tenaganya. Pada pasal dua ini menekankan para pendidik untuk

mendidik siswanya menjadi manusia yang tidak menggantungkan hidupnya

kepada orang lain. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan

Page 99: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

baik saja, akan tetapi harus mendidik murid mencari sendiri pengetahuan itu

dan memanfaatkannya untuk kepentingan umum (Koesmani, 1989).

Taman Siswa yang lahir dalam penjajahan, memang ingin berjuang

untuk menanggulangi kebodohan bangsanya dalam rangka mencapai

kemerdekaan nasional. Orang-orang Taman Siswa yang sebagian besar

memang tokoh-tokoh pergerakan nasional, ingin berjuang dalam bidang

politik dan pendidikan. Maka tidak mustahil apabila penjajah Belanda

(pemerintah Hindia-Belanda) selalu berupaya untuk mematikan Taman Siswa

atau setidak-tidaknya melemahkan semangat hidup bebas dan merdeka yang

diidam-idamkan oleh para pendiri dan penganut Taman Siswa (Probohening,

1987).

Pasal tiga diterangkan bahwa kita harus kembali ke kepribadian

bangsa sendiri berarti, kembali ke kebudayaan bangsa, kembali ke kodrat

alam Indonesia. Ke kodrat alam dan budaya bangsa berarti kembali ke cara

hidup kita sendiri, dan ini semua memerlukan latihan sejak dini, maka dari itu

diperlukan pendidikan anak sejak kecil hingga dewasa didasarkan kepada

pada budaya bangsa dan garis hidupnya menuju cita-cita pembangunan

bangsa (Koesmani, 1989).

Pasal empat diterangkan bahwa mengingat sebagian besar bangsa

Indonesia masih bodoh diperlukan perluasan pendidikan yang merupakan

program utama tuntutan kita, agar semakin banyak rakyat Indonesia yang

mengenyam pendidikan. Pasal lima menunjukkan sikap yang mengandung

prinsip, yang mengungkapkan sikap pribadi yang mantap menghadapi segala

kemungkinan, sebagai akibat dari tindakan ataupun niatnya. Bantuan orang

lain yang dapat mengurangi kebebasan harus ditolak. Pasal enam diterangkan

bahwa kita harus hidup sederhana. Kemudian pasal terakhir yaitu pasal tujuh

merupakan suatu janji atau sumpah orang Taman Siswa sebelum terjun dalam

dunia masyarakat. Kebulatan tekad yang kemudian terbentuk oleh sumpah

itulah yang membekali insan Taman Siswa untuk terjun dalam perjuangan

yang penuh dengan rintangan dan kesulitan (Koesmani, 1989).

Page 100: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Ajaran hidup Ki Hajar Dewantara sejak Kongres XII Persatuan

Taman Siswa tahun 1976 telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan

Taman Siswa yang diajarkan di semua tingkat perguruan sejak Taman Indria

sampai Perguruan Tinggi Taman Siswa. Ilmu yang diajarkan itu disebut

dengan istilah KETAMANSISWAAN. Diajarkannya Ketamansiswaan

sebagai pendidikan formal di Taman Siswa sejalan dengan salah satu

keputusan Kongres XII yang menyebutkan bahwa sejak tahun ajaran 1976-

1977 Perguruan Taman Siswa sepenuhnya menggunakan kurikulum Negeri

ditambah dengan Ketamansiswaan sebagai kekhususan pendidikannya

(Wiryosentono, 1989).

Taman Siswa merupakan perguruan milik bangsa Indonesia sehingga

apa yang dilaksanakan dalam Taman Siswa tujuannya untuk kepentingan

bangsa Indonesia. Sagimun (1983) berpendapat, “cita-cita Taman Siswa

untuk mendidik anak-anak Indonesia agar berjiwa merdeka harus dilakukan

oleh guru-guru bangsa Indonesia sendiri. Guru-guru itu harus berjiwa

kebangsaan dan bersemangat merdeka” (hlm. 22).

Tujuh pasal asas Taman Siswa, dilengkapi dengan sistem dan cara

pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Taman Siswa, merupakan

konsepsi kehidupan manusia baru, masyarakat tertib damai. Taman Siswa

adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asas, sendi

organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebiasaan hidup, sebagai syarat

pelaksanaan dan perwujudan cita-cita kehidupan Taman Siswa (Tauchid,

1963).

Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut “sistem among”,

yaitu suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar:

Pertama, Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepatnya dan sebaiknya; Kedua, kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berfikir serta bertindak merdeka. Sistem tersebut menurut berlakunya juga disebut sistem Tutwuri handayani (Suratman, 1980).

Page 101: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Sendi kodrat alam dan kemerdekaan sangat mendasar. Orang tua

tidak mungkin mendidik anaknya di luar atau bertentangan dengan kodrat

alamnya. Suratman (1989) menjelaskan mengenai pentingnya sendi kodrat

alam dan kemerdekaan dalam sistem among, yaitu:

Kodrat alam merupakan batas sejauh mana pendidikan mampu mengembangkan seluruh potensi kodrati dan kepribadian anak. Dasar kemerdekaan merupakan tuntutan bagi proses mengembangkan seluruh potensi anak tersebut. Perkembangan dalam suasana kemerdekaan tanpa adanya hambatan, yang berwujud tekanan, akan memberi keleluasaan tumbuh secara wajar. Anak didik yang mengalami perkembangan demikian akan tumbuh sebagai pribadi yang berjiwa merdeka, sebagai modal bertumbuhnya jiwa, sikap dan perilaku demokratis (hlm. 4).

2. Perkembangan Taman Siswa

Taman Siswa yang awalnya hanya merupakan setitik pasir di padang

gurun, kini telah berkembang pesat bahkan lontaran pemikirannya diakui di

tingkat nasional. Dari murid yang hanya sekitar 30 orang kini Taman Siswa

telah memiliki cabang hampir di seluruh tanah air (Oethomosoekranah,

1981).

Berdirinya Taman Siswa memberikan pengaruh terhadap

perkembangan pergerakan Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh

Rahardjo (2009), kelahiran Taman Siswa adalah titik balik dalam pergerakan

Indonesia. Kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat secara

radikal pun terpaksa memberikan ruang untuk gerakan ini” (hlm. 57).

Taman Siswa dipersiapkan mulai tahun 1921 di Yogyakarta, akan

tetapi baru didirikan secara resmi pada tahun 1922. Sekolah ini menyatakan

diri sebagai “lembaga pengajaran nasional”, dengan semboyan kembali dari

Barat ke nasional, dengan salah satu konsekuensinya yang pertama yaitu

pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran,

penghapusan permainan kanak-kanak dan lagu kanak-kanak, untuk diganti

dengan yang nasional (Dewantara, 1977).

Page 102: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Didirikannya Taman Siswa pastilah mempunyai tujuan/ cita-cita

yang ingin dicapai, seperti yang diungkapkan Tauchid (1963) yaitu, “cita-cita

Ki Hajar Dewantara dengan gerakan hidup Taman Siswa, yang dalam wujud

geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah manusia

salam bahagia, masyarakat tertib damai” (hlm. 33).

Di dalam Taman siswa, murid diharapkan memiliki intelektual serta

kesusilaan yang tinggi, seperti yang diterangkan Dewantara (1977), bahwa:

Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual, akan tetapi utamanya pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila. Dalam Taman Siswa banyak sekali olah seni yang diajarkan, antara lain, seni lukis, seni musik, seni tari, bahkan ada yang mengisi dengan gamelan (hlm. 58).

Taman Siswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar

Dewantara, berupa asas, sendi organisasi, sistem pendidikan dan perwujudan

cita-cita kehidupan Taman Siswa. Melalui metode Among, Taman Siswa

meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri,

mandiri dan berguna bagi masyarakat (Rahardjo, 2009).

Perbedaan antara sistem sekolah yang ada (waktu penjajahan

kolonial Belanda sampai sekarang di Indonesia), Ki Hajar Dewantara

mengatakan bahwa sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolahan yang tidak

berjiwa, tidak tampak kepribadiannya. Tidak berbeda seperti gudang dan

pabrik yang di waktu pagi diisi dengan anak-anak yang belajar dan bermain,

tetapi di waktu malam sepi tidak ada penghuninya. Berbeda dengan

Perguruan Taman Siswa, murid-murid di waktu pagi, siang dan petang

berkumpul di perguruan dengan kesibukan dan kegiatan pelajarannya, dengan

olahraga, kegiatan seni, pramuka (Tauchid, 1979).

Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda

untuk membatasi pendidikan bagi rakyat Indonesia agar bangsa Indonesia

tetap tidak berpendidikan sangat bermacam-macam, langkah ini dilakukan

karena bangsa Belanda sadar bahwa perluasan sekolah-sekolah bagi rakyat

Indonesia merupakan bahaya besar bagi kedudukannya sebagai penjajah.

Page 103: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

Sekolah yang didirikan kolonial Belanda bukan untuk mendidik bangsa

Indonesia menjadi manusia cerdas dan terampil, akan tetapi tujuan utamanya

adalah memberi kemudahan bagi pemerintah Belanda untuk memenuhi

kebutuhan akan pegawai rendah (Rahardjo, 2009).

Untuk memupuk semangat juang orang-orang Taman Siswa, pada

bulan Agustus 1930 diadakan kongres yang pertama. Sehingga Taman Siswa

merasa semakin kuat setelah digodog dalam kawah candradimuka-nya

perjuangan (Probohening, 1987)

Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara berdasarkan pada

nasionalisme, Mudyahardjo (2001) berpendapat, “nasionalisme yang dianut

dan hendak diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah nasionalisme

kebudayaan bertrikon, yaitu berakar pada kebudayaan sendiri yang terus

berasimilasi dengan unsur-unsur budaya luar” (hlm. 297).

Sistem sekolah Taman Siswa, yang dimulai oleh Ki Hajar Dewantara

pada tahun 1922, menolak Islam pembaharu dan memakai kebudayaan Jawa

sebagai dasar filosofis bagi ciri nasional yang baru (Rickhlefs, 1989).

Tujuan Taman Siswa yaitu menjadi suatu gerakan pendidikan, oleh

karena itu menurut Ki Hajar Dewantara rakyat perlu dipersiapkan untuk

memiliki jiwa merdeka, pikiran dan intelektual maju, serta jiwa yang sehat.

Dari kesadaran itulah maka lahir Taman Siswa sebagai bentuk gerakan

pendidikan untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang saat itu tidak

sesuai dengan semangat bangsa Indonesia (Rahardjo, 2009).

Taman Siswa meskipun pergerakan swasta, tapi telah mampu

melakukan loncatan yang jauh dan bisa menjadi partner (mitra kerja) sekolah-

sekolah negeri. Probohening (1987) mengungkapkan, “Taman Siswa telah

berhasil mencetak tokoh-tokoh nasional yang berbobot dan terkemuka,

sementara sekolah-sekolah Taman Siswa juga tersebar luas di seluruh tanah

air. Mulai dari Taman Indria (TK), SD (Taman Siswa), SMP (Taman Madya)

sampai dengan mendirikan perguruan tinggi” (hlm. 3).

Cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa ialah

membina manusia yang merdeka lahir dan batin. Sagimun (1983)

Page 104: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

menjelaskan bahwa Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa mendidik agar

orang berpikir merdeka dan bertenaga merdeka. Manusia merdeka menurut

Ki Hajar Dewantara ialah orang yang lahir dan batinnya tidak terikat. Orang

yang merdeka adalah orang yang hidupnya tidak bergantung pada orang lain.

Mengekang kemerdekaan anak-anak berarti menghambat kemajuan dan

perkembangan jiwa anak-anak tersebut (hlm. 36).

Pendidikan dalam Taman Siswa mengutamakan pemeliharaan

latihan susila, dengan contoh-contoh teladan perbuatan “Kehidupan dan

kegiatan pendidikan” berjalan sepanjang hari penuh (Tauchid, 1979).

Sifat dari pendidikan Taman Siswa hampir sama dengan pendidikan

pesantren yang mana murid selalu berkumpul dengan murid setiap hari,

Rahardjo (2009) menyatakan:

Sifat pendidikan Taman Siswa adalah kultural nasional. Maka, Taman Siswa berbentuk perguruan yang berarti tempat berguru, tempat para murid mendapat pendidikan, dan tempat kediaman guru. Oleh karena itu gedung pendidikan tidak hanya digunakan untuk mengajar, tetapi juga tempat anak-anak berkumpul dengan guru, sehingga terjalin hubungan batin dan rasa kekeluargaan di antara guru dan murid (hlm. 60). Ki Hajar Dewantara dalam menerima kebudayaan yang datang dari

luar selalu bersikap selektif, Sagimun menjelaskan bahwa Ki Hajar

Dewantara dalam cita-cita mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia,

selalu berpangkal pada unsur-unsur kebudayaan sendiri, akan tetapi Ki Hajar

juga bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan asing. Ki

Hajar Dewantara juga bersedia menerima unsur-unsur kebudayaan dari luar,

asalkan unsur tersebut bermanfaat dan dapat memperkaya kebudayaan bangsa

Indonesia (1983).

Kemajuan Taman Siswa merupakan duri dimata kaum penjajah

Belanda, karena bisa saja menumbangkan kedudukan kolonial Belanda di

Indonesia, Sagimun (1983) menyatakan:

Perguruan yang berdasar atas kebangsaan sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang mulai sadar akan rasa kebangsaannya. Taman Siswa yang mencita-citakan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan ancaman dan bahaya yang besar bagi kelangsungan

Page 105: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

penjajahan Belanda di tanah air. Oleh karena itu segala usaha atau cara yang dijalankan oleh penjajah Belanda untuk merongrong dan menghancurkan Taman Siswa serta perguruan-perguruan nasional lainnya (hlm. 23). Tujuan dari didirikannya Taman Siswa yaitu membangun budayanya

sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati

setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek

nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.

Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan

independen baik secara politis, ekonomis maupun spiritual. Universal artinya

berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan

perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,

merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan dan kedamaian

tumbuh dalam diri (hati) manusia (Rahardjo, 2009).

Ki Hajar Dewantara dalam membenahi Taman Siswa, berkiblat pada

pemikiran sistem pendidikan Barat yang dinilainya kurang relevan dengan

sistem Timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang berlangsung di

negara Barat sangat mengabaikan kecerdasan, budi pekerti, mendewakan

angan-angan yang justru menimbulkan kemurkaan diri, intelektualisme dan

individualisme dikhawatirkan akan menghancurkan ketentraman dan

kedamaian dalam hidup bermasyarakat (pikiran rakyat, 1979).

Jasa yang diberikan Ki Hajar dan Taman Siswa tidak sedikit dalam

membina bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Pendidikan Taman

Siswa berdasar pada kebangsaan dan bersendi peradaban bangsa dalam arti

yang seluas-luasnya. Segala sesuatu yang merupakan kemajuan bangsa

diusahakan dan dipergunakan oleh Taman Siswa sebagai dasar pendidikan

(Sagimun, 1983).

Bentuk organisasi Taman Siswa berbeda dengan perhimpunan

lainnya. Seperti yang diungkapkan Darsiti Suratman (1985) yaitu:

Sifat Taman Siswa diwujudkan sebagai “Keluarga Besar yang Suci” yang mempunyai sifat lahir dan batin. Di dalam organisasi Taman Siswa ada pengurus. Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai Ayah, yaitu bapak bagi “Keluarga Besar dan Suci”, dan wajib menjaga

Page 106: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

kemurnian asas Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara berkedudukan sebagai Pemimpin Umum. Paham yang dianut dalam organisasi Taman Siswa yaitu Demokrasi dengan Kepemimpinan ( hlm. 93).

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pada zaman dahulu

bangsa Indonesia sudah memiliki rumah pengajaran sekaligus rumah

pendidikan, yang dinamakan Pondok Pesantren, sedangkan pada zaman

Budha dinamakan “pawiyatan” atau “asrama” atau pasraman. Asrama tidak

hanya rumah tempat tinggal guru dan tempat pengajaran agama saja akan

tetapi tempat pengajaran berbagai ilmu agama, ilmu alam, ilmu falak, ilmu

hukum, ilmu bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, sedangkan pondok pesantren

hanya tempat pendidikan agama (Tauchid, 1979).

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa merupakan

badan perjuangan yang berjiwa nasional, serta badan pembangunan

masyarakat dan kebudayaan. Taman Siswa sebagai badan perjuangan

mempunyai tugas mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.

Hal ini berarti bahwa Taman Siswa teguh mempertahankan dan memelihara

asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa dari segala bahaya, baik itu yang

bersumber dari perorangan maupun ancaman dari luar (Mudyahardjo, 2001).

Adanya pembaharuan dan pembangunan pendidikan, diharapkan

bisa menunjang pembangunan bangsa, dalam arti yang luas. Melalui

pendidikan agar bisa menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang cakap

dan terampil. Menguasai ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan

laju pembangunan, di samping itu mendidik manusia dan masyarakat

Indonesia yang berintegritas nasional. Memiliki moral dan pandangan hidup

Pancasila (Probohening, 1987).

Tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah individu-individu

yang mencapai kemerdekaan lahir dan batin. Sehubungan dengan hal ini, Ki

Hajar Dewantara menyatakan bahwa cita-cita pendidikan Taman Siswa

adalah membangun orang yang berpikir merdeka, ialah manusia yang

merdeka lahir dan batin. Tujuan sosial pendidikan adalah membangun

bersama-sama dengan segenap individu yang merdeka lahir dan batin, suatu

Page 107: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

masyarakat yang berkebudayaan-kebangsaan yang khas berdasarkan adab-

kemanusiaan, sehingga terwujud kehidupan bersama yang tertib-damai, yang

di dalamnya terdapat kemerdekaan pribadi, kebangsaan dan kemanusiaan

yang seimbang dan seiring sejalan (Mudyahardjo, 2001).

Melalui organisasi pendidikan pertama kali yang didirikan oleh Ki

Hajar Dewantara, yaitu Taman Siswa, pendidikan nasional mulai menemukan

jati dirinya, sebagai bentuk pendidikan yang diorientasikan pada manusia

sejati, manusia merdeka, berkaitan dengan soal budaya, bahasa, adat istiadat,

moral, baca tulis, menghitung (Rifa’i, 2011).

Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa-

masa sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh Darsiti Suratman (1985)

yaitu:

Kongres juga memutuskan untuk membuka Taman Guru di Yogyakarta dengan tujuan agar perluasan pendidikan nasional di kalangan rakyat menjadi lebih cepat. Salah satu keputusan dari konverensi yaitu Taman Siswa harus mempunyai percetakan sendiri, agar dapat memenuhi kebutuhan mencetak yang ketika itu sudah cukup banyak (hlm. 94).

Taman Siswa di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara memperoleh

kemajuan yang pesat sekali, seperti pernyataan Sagimun (1983) yaitu, “pada

masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, Taman Siswa sudah mempunyai

199 cabang, jumlah murid Taman Siswa kurang lebih 20.000 orang, jumlah

guru Taman Siswa yang tersebar kurang lebih 650 orang” (hlm. 30).

Mudyahardjo (2001) menjelaskan mengenai arti pendidikan yaitu,

“pendidikan adalah proses pembudayaan kodrat alam, maka isi pendidikan

keseluruhan jenis pendidikan di Taman Siswa pada dasarnya kebudayaan

yang dapat memelihara dan memajukan pertumbuhan jiwa raga anak, sesuai

dengan garis-garis kodrat alamnya” (hlm. 306).

Majalah atau Surat Kabar merupakan alat yang sangat penting bagi

suatu lembaga yang membutuhkan perluasan penyebaran cita-citanya kepada

masyarakat luas, maka dikeluarkanlah brosur-brosur dan majalah-majalah

oleh Taman Siswa. Pada tahun 1928 mulai terbit majalah “Wasita”, sampai

Page 108: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

tahun 1930, majalah “Wasita” ditujukan untuk orang-orang dalam

lingkungan Taman Siswa sendiri. Pada tahun 1931 majalah “Wasita”

dihentikan penerbitannya dan diganti dengan “Pusara”, yang sampai

sekarang tetap menjadi organ Persatuan. Selain “Wasita” dan “Pusara”,

pada zaman Penjajahan Belanda juga dikeluarkan majalah lain yaitu

“Keluarga” dan “Keluarga Putera”, yang terbit pada 1936 ( Darsiti

Suratman, 1985).

Taman Siswa meskipun mengalami banyak rintangan dan kesulitan,

namun Taman Siswa terus maju. Berkat kebenaran dan kesucian cita-cita

Taman Siswa, sampai pada akhir masa pemerintahan Hindia Belanda Taman

Siswa mencapai kemajuan yang sangat menggembirakan. Perguruan nasional

Taman Siswa banyak menggembleng patriot-patriot muda Indonesia, banyak

digembleng nasionalis-nasionalis yang memiliki semangat kebangsaan yang

tahan uji (Sagimun, 1983).

3. Melawan Undang-undang Sekolah Liar

Ki Hajar Dewantara melawan Undang-undang Sekolah Liar

Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa

sebelumnya, selain itu di Yogyakarta juga dibuka Taman Guru yang

tujuannya agar perluasan pendidikan nasional di kalangan masyarakat lebih

cepat. Darsiti Suratman (1985) menyatakan:

Perkembangan Taman Siswa yang cepat sejalan dengan perkembangan pergerakan Kebangsaan partai-partai. Bahasa Indonesia merupakan alat untuk membangun kebudayaan Indonesia dengan tanah air Indonesia sebagai wilayahnya dan bangsa Indonesia sebagai pendukungnya. Sejak saat itu persatuan di kalangan bangsa Indonesia menjadi semakin kuat. Bahasa Indonesia mengikat persatuan yang akan meningkatkan nasionalisme. Tindakan-tindakan partai politik semakin radikal untuk mencapai Indonesia yang merdeka, akibatnya Pemerintah Kolonial melakukan tindakan kekerasan, antara lain melarang pegawai negeri menjadi anggota suatu partai. Di negeri Belanda perkumpulan Indische Vereniging, yang pada tahun 1922 telah berganti nama menjadi “Perhimpunan Indonesia” makin bersikap radikal (hlm. 95).

Page 109: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

Pada tahun 1931 Belanda mulai gelisah melihat pesatnya kemajuan

Taman Siswa, selain itu juga banyak organisasi-organisasi pendidikan lain

baik yang bersifat nasional, agama atau netral yang ikut membela Taman

Siswa (Soeprapto, 1973).

Perjalanan sejarah bangsa Belanda menunjukkan bagaimana bangsa

Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan

menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada,

Rifa’i (2011) menyatakan:

Pada tahun 1905, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe ordonnantie yang menetapkan bahwa para kiai, yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama islam (hlm. 56).

Pada tahun 1932 Gubernur Jenderal De Jong mengeluarkan

peraturan “Ordonansi Pengawasan terhadap sekolah-sekolah swasta/ Wilde

Schoolen Ordonantie/ Undang-undang Sekolah Liar” untuk menekan dan

membatasi kegiatan pengajaran partikelir (Soeprapto, 1973).

Ketika Pergerakan Nasional semakin kuat, maka Pemerintah

Kolonial menjadi khawatir dan lebih waspada. Tindakan itu juga diarahkan

pada pergerakan sosial, terutama yang menitikberatkan kegiatannya dalam

bidang pendidikan. Oleh karena itu dibuatlah “Undang-Undang Pengajaran”

yang berlaku mulai 1 Oktober 1932. Undang- Undang Pengajaran ini dikenal

sebagai “ Undang-Undang Sekolah Liar” (Darsiti Suratman, 1985).

Kehadiran Taman Siswa mendorong lahirnya sejumlah lembaga

pendidikan partikelir yang bercorak agama. Perkembangan Taman Siswa

yang cepat menimbulkan kekhawatiran pada pemerintah kolonial Belanda

sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderwijs

Ondonantie) pada 1932 (Rahardjo, 2009).

Dengan O.O (Onderwijs Ordonantie) yang dikeluarkan tahun 1932,

pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk menghantam Taman Siswa, dan

Page 110: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

ternyata Ki Hajar Dewantara dan pendukung-pendukungnya waspada. Taman

Siswa dapat menangkisnya dengan mudah, didukung kalangan pers dan

tokoh-tokoh pergerakan nasional, meskipun diakui memang ujian bagi Taman

Siswa waktu itu sangat berat (Probohening, 1987).

Pemerintah mengumumkan suatu ‘peraturan sekolah-sekolah liar’

(wilde scholen ordonantie) yang mengharuskan adanya izin dari pihak

penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi

pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan

pemerintah) dapat didirikan. Timbullah protes yang sifatnya nasional atas

campur tangan terhadap sekolah-sekolah swasta ini, justru tepat pada waktu

sistem sekolah dibatasi karena alasan-alasan keuangan. Ki Hajar Dewantara

dari Taman Siswa memimpin suatu kampanye nasional bersama-sama dengan

kelompok Islam, termasuk Budi Utomo, bergabung dengan kaum oposisi.

Bahkan Volksraad mengecam peraturan baru itu dan pada tahun 1932

menolak anggaran belanja pendidikan pemerintah sebagai protes. Pada bulan

Februari 1933 Gubernur Jenderal de Jonge mundur dan mencabut peraturan

tersebut (Rickhlefs, 1989).

Onderwijs Ordonantie tersebut terutama ditujukan kepada sekolah

sekolah yang berbau politik. Dengan kata lain Onderwijs Ordonantie tersebut

memberi keleluasaan untuk menindak terhadap sekolahan yang tidak disukai

oleh pemerintah Belanda. Ordonansi tersebut mengancam hak asasi rakyat

yang penting (Soegijono, 1989).

Dikeluarkannya peraturan sekolah – sekolah liar sangat merugikan

bagi perguruan Taman Siswa, Sagimun menyatakan bahwa guru-guru Taman

Siswa banyak yang terkena larangan mengajar, karena dianggap berbahaya

bagi keamanan umum, yang dimaksudkan yaitu berbahaya bagi kepentingan

kaum penjajah. Selain itu banyak pula guru-guru Taman Siswa yang ikut

tersangkut dalam gerakan-gerakan menentang pemeritah Belanda. Pegawai-

pegawai pemerintah Hindia Belanda dilarang menyekolahkan anak-anaknya

di sekolah-sekolah Taman Siswa dengan berbagai ancaman (1983).

Page 111: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

Pemerintah sekarang berusaha melakukan pengawasan terhadap

lembaga-lembaga pendidikan Islam yang semakin berkembang, yang

dianggap sebagai ancaman yang potensial terhadap rezim kolonial. Goeroe

Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1905 ini tampaknya hanya menimbulkan

dampak yang terbatas. Pengeluaran Goeroe Ordonantie yang baru tahun 1925

diberlakukan untuk seluruh Indonesia dan dalam beberapa hal bersifat lebih

lunak, yang diminta hanyalah pemberitahuan tertulis tentang tujuan

pemberian pelajaran agama, tetapi daftar murid dan rincian kurikulum harus

tunduk di atas formulir-formulir resmi (Richklefs, 1989).

Menyusul rentetan percobaan berat berikutnya, Probohening (1987)

mengungkapkan bahwa, “ada 62 orang Taman Siswa yang dilarang mengajar

karena tuduhan politis. Kegiatan politik orang Taman Siswa tersebut

dihubung-hubungkan dengan Partindo dan PNI” (hlm. 3).

Dalam bidang pendidikan, suatu hal yang dirasakan umat Islam

sangat diskriminatif adalah ordonansi guru tahun 1905. Daulay (2007)

menyatakan :

Ordonansi guru tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi guru ini dirasakan oleh guru-guru agama sangat berat, dampak negatif yang disebabkan adanya ordonansi guru ini bisa untuk menekan Islam. Perkembangan berikutnya ordonansi guru tahun 1905 akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi maka diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru agama untuk memberi tahu ketika akan mengajar bukan meminta izin (hlm. 34-35).

Taman Siswa mengetahui apabila Undang-Undang Sekolah Liar

dilaksanakan, maka sekolah-sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi

dari pemerintah akan menderita, bahkan bisa gulung tikar, karena keadaan

yang sangat mendesak ini maka Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Harian yang berkedudukan di Yogyakarta, dalam sidang pada 29 September

1932, memutuskan memberi hak pada Ki Hajar Dewantara untuk

melaksanakan kekuasaan untuk segera bersikap terhadap Undang-Undang

Sekolah Liar tersebut ( Darsiti Suratman, 1985).

Page 112: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Dikeluarkannya Undang-undang Sekolah Liar membuat Taman

Siswa sulit dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya, Rahardjo menyatakan

bahwa Undang-undang Sekolah Liar melarang sekolah partikelir (swasta)

beroperasi bila tanpa izin pemerintah. Sekolah-sekolah partikelir itu harus

menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari

sekolah guru pemerintah. Apabila ordonansi Sekolah Liar dilaksanakan,

Perguruan Taman Siswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta

kebangsaan, Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari

sekolah guru sendiri (2009).

Diberlakukannya Undang-undang Sekolah Liar menimbulkan

dampak yang cukup mengejutkan bagi pemerintah Belanda, Sagimun

mengungkapkan bahwa pada awal tahun 1933 diadakan rapat-rapat protes

menentang Ordonansi Sekolah Liar. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa

kaum penjajah memang dengan sengaja menghalang-halangi kemajuan rakyat

Indonesia. Mengingat suara-suara rakyat Indonesia yang semakin lantang,

maka tidak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda untuk sementara

membekukan berlakunya Ordonansi Sekolah Liar itu (1983).

Ki Hajar Dewantara mengirimkan surat protes kepada Gubernur

Jendral De Jonge yang mengemukakan rasa keberatannya atas pemaksaan

diberlakukannya undang-undang tersebut. Surat tersebut Ki Hajar tulis

dengan menggunakan bahasa Belanda yaitu antara lain kami pun bersikeras

melawan ordonansi (undang-undang) itu dengan cara lifdelijk verset sampai

tenaga penghabisan. Yang dimaksud dengan kata lifdelijk verset dalam surat

Ki Hajar yaitu perlawanan tenaga diam. Demikianlah cara Ki Hajar

menentang penjajahan, tanpa kekerasan (Gustamin, 1993).

Pada tanggal 1 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirim protes

keras dengan telegram kepada Gubernur Jenderal dengan pernyataan

“Apabila Ordonantie itu tidak dicabut, maka kemungkinan bangsa Indonesia

akan mengadakan perlawanan tanpa kekerasan” dan pada saat itu semua

pergerakan Nasional yang bercorak apapun berpihak pada Ki Hajar

Dewantara (Soeprapto, 1973).

Page 113: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

Telegram itu berisi protes terhadap ordonansi yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Belanda. Ordonansi dapat menghambat kemajuan rakyat

Indonesia. Isi telegram tersebut adalah sebagai berikut

“Gubernur Jenderal Buittenzorg”

“Yang Mulia. Ordonansi yang disajikan amat tergesa-gesa dan

dijalankan dengan cara paksaan dan mengenai sendi tulangnya

masyarakat dan adab, sesudah rencana pengajaran (dari pemerintah)

dibatalkan (oleh Volksraad) seolah-olah membuktikan kebingungan dan

kegetaran pada pemerintah, yang dengan sifat berbahaya salah mengerti

dan salah raba terhadap kepentingan hidup matinya rakyat. Bolehlah

saya memperingatkan, bahwa walaupun makhluk yang tak berdaya

mempunyai rasa asali (insting) untuk menangkis bahaya guna menjaga

diri dan demikianlah juga boleh jadi kami karena terpaksa akan

mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan

cara tenaga diam.”

“ Ki Hajar Dewantara”

Akhirnya Gubernur Jendral De Jonge menyerah dan mengundang Ki

Hajar untuk berunding. Hasilnya pemerintah Belanda bersedia mencabut

kembali undang-undang (ordonansi tersebut yang berlaku selama 4 bulan)

melalui lembaran negara nomor IV 1933. Perlawanan Ki Hajar dengan

“tenaga diam” nya berhasil meruntuhkan kewibawaan pemerintah Belanda

(Gustamin, 1993).

Undang-undang Sekolah Liar tersebut dapat merebut hak ibu-bapak

atau rakyat untuk memilih cara pendidikan bagi anaknya. Selain itu, Undang-

undang tersebut juga sangat menghina kedudukan pengajaran partikelir yang

tidak bersubsidi, dikarenakan sifatnya bukan lagi mengamati, akan tetapi

menguasai (Darsiti Suratman, 1985).

Page 114: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

Ketika pemerintah Belanda melihat bahwa lahirnya Taman Siswa

sebagai salah satu pelopor munculnya keinginan untuk merdeka, maka

pemerintah membuat Undang-undang Sekolah Liar, Sagimun

mengungkapkan bahwa, ordonansi sekolah liar sengaja dibuat untuk

melumpuhkan dan menghancurkan perguruan-perguruan nasional bangsa

Indonesia, terutama perguruan Taman Siswa yang mencita-citakan

kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan ordonansi ini cabang-cabang Taman

Siswa mulai banyak yang diperintahkan untuk ditutup oleh Pemerintah

Hindia Belanda (1983).

Masalah Undang-undang Sekolah Liar kemudian dibawa ke Dewan

Rakyat. Banyak pertanyaan diajukan kepada pemerintah, dan ketika jawaban

pemerintah tidak memuaskan, maka pada 10 Januari 1933 Wiranatakusumah

dan kawan-kawan mengusulkan untuk membuat undang-undang baru.

Akhirnya usul Wiranatakusumah dan kawan-kawan diterima dan dimufakati

oleh Pemerintah. Maka usul inisiatif itu menjadi undang-undang. Undang-

undang Sekolah Liar ditunda untuk satu tahun lamanya dan sebagai

penggantinya, dihidupkan lagi ordonansi lama dari tahun 1923/ 1925.

Ketetapan penundaan Undang-undang Sekolah Liar 1932 itu telah disahkan

dalam staatsblad 21 Februari 1933, no. 66 (Darsiti Suratman, 1985).

Adanya Undang-undang Sekolah Liar menyebabkan munculnya

berbagai perlawanan, Darsiti Suratman (1985) menyatakan, “perlawanan Ki

Hajar Dewantara bersama Taman Siswa dalam menghadapi Undang-undang

Sekolah Liar mendapat sambutan yang sangat besar di kalangan masyarakat

luas. Seluruh pergerakan rakyat baik yang bersifat politik, agama, maupun

sosial secara serentak mendukung perlawanan Ki Hajar Dewantara” (hlm:

100).

Tahun 1933 Pemerintah Hindia Belanda merasa kewalahan dalam

menghadapi tekad bulat dari seluruh rakyat Indonesia dan terpaksa mnecabut

kembali Ordonantie tersebut (Soeprapto, 1973).

Dengan adanya aksi serentak tersebut, maka Gubernur Jendral pada

tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordonansi baru yang membatalkan

Page 115: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

“onderwijs ordonantie” 17 September 1932 yang berlaku mulai tanggal 21

Februari 1933. Kemenangan sikap Taman Siswa yang didukung oleh seluruh

masyarakat Indonesia itu menyebabkan Ki Hajar Dewantara memberikan

peringatan kepada seluruh masyarakat agar tetap waspada. Tetapi setelah

ordonansi tersebut dicabut, pemerintah Hindia Belanda mengadakan

ordonansi lagi untuk menutup malu yaitu ordonansi larangan hak mengajar

(Soegijono, 1989).

Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk

melumpuhkan dan menghancurkan Taman Siswa, Sagimun menyebutkan

antara lain, selain Onderwijs Ordonantie juga adanya penuntutan pajak upah

dan bermacam-macam jenis pajak lainnya. Pada tanggal 19 Juni 1924 barang-

barang Taman Siswa dilelang di depan umum. Barang-barang yang dilelang

itu berwujud bangku-bangku dan meja sekolah. Barang-barang Taman Siswa

yang dilelang dibeli oleh para pecinta Taman Siswa kemudian dikembalikan

pada Taman Siswa. Suatu bukti bahwa Taman Siswa dicintai dan dibutuhkan

oleh rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan (Sagimun, 1983: 23).

Pada tahun 1935 pemerintah kolonial mencoba menghalang-halangi

kegiatan Taman Siswa lagi dengan mengeluarkan surat edaran bahwa

Pegawai Negeri dicabut tunjangan ankanya apabila menyekolahkan anaknya

di sekolah partikelir (Soeprapto, 1973).

Pada 1935 sampai 1937, Taman Siswa dihadapkan pada masalah-

masalah baru: masalah “Tunjangan Anak” dan “Pajak Upah”. Untuk

menyelesaikan masalah yang kedua tersebut, Ki Hajar terpaksa berunding

dengan Gubernur Jenderal. Menurut Peraturan Pemerintah (1935), hak atas

“Tunjangan Anak” kepada Pegawai Negeri diberikan, jika anaknya

bersekolah di:

a. Sekolah Negeri

b. Sekolah yang mendapat subsidi

c. Sekolah-sekolah lainnya yang mendapat hak memakai salah satu

nama seperti sekolah negeri

Page 116: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

Taman Siswa pasti tidak dapat dimasukkan golongan a dan b, dan

ada pula sebagian cabang-cabang Taman Siswa yang tidak dapat dimasukkan

pada golongan c. Majelis Luhur memperjuangkan agar semua cabang

mempunyai kedudukan yang sama, semuanya dapat digolongkan kelompok c

atau semuanya tidak. Sesudah berjuang selama dua tahun, nampaklah

hasilnya bahwa mulai tahun 1938 berlaku peraturan, bahwa semua pegawai

negeri, yang anaknya dikirimkan ke sekolah Pemerintah, bersubsidi atau

pertikelir, mempunyai hak atas “Tunjangan Anak” (Darsiti Suratman, 1985).

Masalah lain yang dihadapi Taman Siswa adalah mengenai upah.

Sebagai suatu lembaga pendidikan yang bersifat kekeluargaan. Taman Siswa

tidak mengenal adanya buruh dan majikan. Untuk jasa guru atau pamong

dibagikan upah yang diatur menurut dasar kekeluargaan. Oleh karena itu

guru-guru berpendapat bahwa guru tidak seharusnya membayar pajak upah,

akan tetapi membayar pajak penghasilan (Darsiti Suratman, 1985).

Peraturan mengenai anak Pegawai Negeri yang bersekolah di

sekolah partikelir tidak akan mendapat tunjangan, hal ini ditolak lagi oleh

Taman Siswa, kemudian setelah Ki Hajar menemui Gubernur Jenderal pada

1932, dan akhirnya peraturan ini ditarik kembali (Soeprapto, 1973).

Ordonansi yang pada hakekatnya untuk melemahkan perjuangan

rakyat menentang pemerintah Hindia Belanda. Tetapi bagaimanapun

rintangan yang dihadapi Taman Siswa, namun Taman Siswa tetap tumbuh

subur. Cabang-cabang Taman Siswa di seluruh Nusantara dari Sabang sampai

Merauke berdiri dengan dukungan dari berbagai pihak dari masyarakat.

Sampai pada penjajahan yang hanya berlaku sampai tiga setengah tahun itu

Taman Siswa tetap berdiri meskipun dengan berbagai cara untuk

menyesuaikan diri dengan situasi pada waktu itu. Beberapa bagian antara lain

bagian Taman Dewasa harus ditiadakan dan diganti dengan Taman Tani,

meskipun dalam praktek yang diajarkan juga kurikulum Taman Dewasa

(Soegijono, 1989).

Page 117: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemikiran pendidikan nasional dari Ki Hajar Dewantara yang berakar

pada nasionalisme, sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Berikut ajaran-ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang menyangkut tentang

pendidikan:

a. Hakekat pendidikan adalah “among” dalam perumusan “tut wuri

handayani”, isinya adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan

kepada anak didik untuk mengembangkan bakat dan kekuatan lahir

batin, batas lingkungannya ialah kemerdekaan dan kebebasan yang

tidak leluasa, terbatas oleh tuntutan kodrat alam yang hak, dan

tujuannya ialah kebudayaan, yang diartikan sebagai keluhuran dan

kehalusan hidup manusia, termasuk pula kemerdekaan politik.

b. Trilogi Kepemimpinan memberi petunjuk bagaimana rakyat Indonesia

untuk dapat melaksanakan kepemimpinan yang baik, yaitu harus

bersikap: Pertama, Ing ngarso sung tulodho, secara harfiah berarti

bahwa pemimpin itu di depan hendaknya memberi contoh ; Kedua,

Ing madyo mangun karso, mengandung arti bahwa seorang pemimpin

itu di tengah-tengah pengikutnya harus mampu memberikan motivasi

agar dapat mempersatukan segala gerak dan perilaku secara serentak

untuk mencapai cita-cita bersama; Ketiga, Tut wuri handayani, berarti

bahwa pemimpin harus sanggup memberi kemerdekaan kepada

pengikutnya dengan perhatian sepenuhnya untuk memberikan

petunjuk dan pengarahannya.

c. Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat

Pendidikan saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah

Page 118: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

dan masyarakat. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada watak

dan kepribadian anak.

d. Ki Hajar Dewantara menjelaskan mengenai teori Trikonnya, bahwa

dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional harus

merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke

arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus

mempunyai sikap kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan

sedunia (konsentrisitas).

e. Tri pantangan, suatu pedoman untuk dapat hidup aman, damai, dan

bahagia. Adapun yang dimaksud dengan tri pantangan, yaitu: Jangan

menyalahgunakan wewenang, jangan menyeleweng di bidang

keuangan dan jangan melanggar kesusilaan.

2. Implementasi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara terhadap

pendidikan di Indonesia dapat dilihat dengan berdirinya Taman Siswa. Ki

Hajar Dewantara berusaha membina jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia

melalui Taman Siswa. Taman Siswa ingin bebas merdeka, berupaya

menciptakan pendidikan nasional yang tidak bertentangan dengan norma-

norma yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Taman Siswa mengutamakan pembentukan watak dan latihan kemauan

luhur, dengan contoh teladan pribadi guru sebagai pemberi tuntunan hidup.

Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut “sistem among”, yaitu

suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar, yaitu:

kodrat alam dan kemerdekaan.

3. Kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan nasional Ki

Hajar Dewantara antara lain dengan dibuatnya Undang-Undang Sekolah

Liar oleh pemerintah kolonial. Undang-undang Sekolah Liar

mengharuskan adanya izin dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah

swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah (yang menempatkan suatu

sekolah di bawah pengawasan pemerintah) dapat didirikan.

Dikeluarkannya peraturan sekolah – sekolah liar sangat merugikan bagi

perguruan Taman Siswa. Masalah lain yang dihadapi Taman Siswa adalah

Page 119: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

mengenai upah. Sebagai suatu lembaga pendidikan yang bersifat

kekeluargaan. Taman Siswa tidak mengenal adanya buruh dan majikan.

Untuk jasa guru atau pamong dibagikan upah yang diatur menurut dasar

kekeluargaan. Oleh karena itu para guru berpendapat bahwa para guru

tidak seharusnya membayar pajak upah, akan tetapi para guru membayar

pajak penghasilan. Taman Siswa pada zaman pendudukan tentara Jepang

malah lebih berat rintangannya, perguruan Taman Siswa agak terkekang.

Taman siswa hanya boleh mempunyai sekolah dasar saja. Sekolah-sekolah

swasta termasuk Taman Siswa hanya diperbolehkan membuka sekolah

lanjutan kejuruan, misalnya sekolah pertanian.

B. Implikasi

1. Teoritis

Implikasi secara teoritis dalam penelitian ini adalah mengenai masalah

pendidikan yang terjadi di Indonesia. Pendidikan yang telah berjalan sejak

penjajahan kolonial ini kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan

itu semua mungkin belum disadari oleh rakyat Indonesia sendiri. Pendidikan yang

berjalan secara sekuler telah mengesampingkan nilai-nilai agama dan

mengedepankan pola pendidikan Barat yang mengutamakan intelektualisme,

individualisme dan materialisme. Hal ini secara tidak langsung merupakan

kolonialisme terhadap Indonesia di bidang pendidikan yang membuat bangsa

Indonesia sulit untuk menciptakan sistem pendidikan bangsa Indonesia yang

bersifat nasional.

2. Praktis

Pendidikan Barat yang selama ini berkembang telah menjadi bagian dari

pendidikan di Indonesia. Pendidikan Barat telah dijadikan acuan dalam pelajaran

di sekolah-sekolah. Pendidikan nasional membayangkan isolasi dalam dunia

sendiri yang kecil dan terbatas, jauh dari peradaban dengan dunia luar sedangkan

pendidikan Barat menjanjikan berbagai kemulyaan, dapat hidup bermasyarakat

dengan baik yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan Barat sehingga dengan

Page 120: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

adanya kenyataan yang seperti itu pendidikan Baratlah yang lebih dipilih karena

kesenangan yang didapat tampak begitu nyata. Padahal pendidikan Barat itu

hanya mengunggulkan materialisme, intelektualisme dan individualisme

sedangkan masalah anak-anak itu dinomorduakan. Anak-anak yang hanya

diberikan pendidikan semacam itu tanpa adanya pendidikan budi pekerti akan

menyebabkan anak tidak mengenal bangsanya bahkan bisa menjadi faktor

keruntuhan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa.

C. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi hasil penelitian tersebut maka penulis

menyarankan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa

Sebagai mahasiswa calon pendidik sejarah, pemikiran pendidikan nasional Ki

Hajar Dewantara dapat dijadikan sebagai salah satu langkah dalam mendalami

pendidikan yang berkembang di Indonesia. Melalui penelitian ini mahasiswa

akan mengetahui tentang perbedaan sistem pendidikan yang telah berkembang

di Indonesia yang berpedoman pada sistem pendidikan Barat dengan sistem

pendidikan yang didasarkan pada pengajaran nasional seperti yang

diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, dan semoga riwayat hidup Ki Hajar

Dewantara ini dapat dijadikan teladan bagi kita.

2. Bagi Guru

Sebagai seorang guru, pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara ini sangat

penting untuk ditelaah dan diterapkan dalam sistem belajar mengajar di

sekolah. Mengingat saat ini kurikulum yang diberikan di sekolah kurang

memuat nilai-nilai luhur kebangsaan seperti religius, jujur, cinta tanah air,

tanggung jawab, dll., tetapi lebih mengedepankan pada intelek sehingga

banyak siswa yang meremehkan guru, bersikap kurang baik kepada temannya,

maka guru dalam membimbing siswanya perlu menyisipkan nilai-nilai karakter

bangsa, melalui teori dan praktek.