FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN...
-
Upload
hoangxuyen -
Category
Documents
-
view
227 -
download
4
Transcript of FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …/Pemikiran...FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA
SKRIPSI
Oleh :
SRI LESTARI
K4408048
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sri Lestari
NIM : K4408048
Jurusan / Program Studi : PIPS / Pendidikan Sejarah
menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PEMIKIRAN PENDIDIKAN
NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA” ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, Desember 2012
Yang membuat pernyataan
Sri Lestari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR DEWANTARA
Oleh :
SRI LESTARI
K4408048
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana PendidikanProgram Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERSETUJUAN
Skrispsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Desember 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd Dra. Sri Wahyuni M.Pd
NIP. 196401012007011 024 NIP. 195411291986012001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari : Senin
Tanggal : 3 Desember 2012
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dr. Sariyatun, M.Pd, M.Hum_____________
Sekretaris :Drs. Herimanto, M.Pd, M.Si _____________
Anggota I : Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd _____________
Anggota II : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd _____________
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd
NIP. 19600727198702100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Sri Lestari.PEMIKIRAN PENDIDIKAN NASIONAL KI HAJAR
DEWANTARA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Sebelas Maret, November 2012.
Tujuan penelitian ini untuk: (1)Mengetahui pemikiran pendidikan
Nasional Ki Hajar Dewantara (2) Mengetahui implementasi pemikiran pendidikan
Ki Hajar Dewantara terhadap Pendidikan di Indonesia (3) Mengetahui kendala
dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara di
Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian sejarah (historis), yaitu
merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang
terjadi pada masa lampau. Objek penelitian adalah pemikiran pendidikan nasional
Ki Hajar Dewantara.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang
digunakan dalam metode historis ada empat tahap kegiatan, yaitu: heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer
dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah analisis historis yaitu analisis
yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Pemikiran pendidikan
nasional dari Ki Hajar Dewantara yang berakar pada nasionalisme, sangat sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara menerapkan beberapa
sistem dan teori dalam melaksanakankan pendidikan yang sesuai dengan karakter
dan kepribadian bangsa Indonesia, antara lain a) Sistem among, yaitu memberikan
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan bakat dan
kekuatan lahir batin, terbatas oleh tuntutan kodrat alam yang hak, dan tujuannya
ialah kebudayaan, yang diartikan sebagai keluhuran dan kehalusan hidup manusia,
b) tripusat pendidikan, yaitu meliputi lingkungan keluarga, masyarakat dan
sekolah. Ketiganya sangat berpengaruh pada watak dan kepribadian anak, c) teori
trikon, yaitu kontinuitas, kovergensi dan konsentrisitas, d)trilogi kepemimpinan,
yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, e)
tiga pantangan, yaitu jangan menyalahgunakan wewenang, jangan menyeleweng
di bidang keuangan dan jangan melanggar kesusilaan.(2) Taman Siswa
merupakan wujud nyata dari implementasi pemikiran pendidikan nasional Ki
Hajar Dewantara. Taman Siswa berupaya menciptakan pendidikan nasional yang
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia. Taman Siswa lahir sebagai bentuk gerakan pendidikan
untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang saat itu tidak sesuai dengan
semangat bangsa Indonesia. (3) Kendala yang muncul dari didirikannya Taman
Siswa yaituadanya Undang-Undang Sekolah Liar. Undang-undang Sekolah Liar
isinya melarang didirikannya sekolah-sekolah liar(sekolah swasta yang tidak di
bawah pemerintah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
Sri Lestari.THE COGITATION IN NATIONAL EDUCATION OFKI
HAJAR DEWANTARA. Thesis. Surakarta: Teacher Trining and Education
Faculty. Sebelas Maret University, November2012.
The Objective for this research is: (1) To comprehend the cogitation in
national Ki Hajar Dewantara, (2) To find out the implementation ofcogitation
education Ki Hajar Dewantara in Indonesia, (3) To find out the obstaclein
implementation of cogitation education Ki Hajar Dewantara in Indonesia. The
type of this research is historic that have a purpose to analyze of the past. The
object for this research is the cogitation in national education of Ki Hajar
Dewantara.
This research employed a hirostical method. The rule of historical method
has have four step this is: heuristic, criticsm, interpretation and historiography.
The data source apply the primary source and secondary source. Technique of
collecting data used was historical analysis, the one emphasizing on the acuity of
historical fact interpretation using framework appoarch encompassing several
theories.
Considering the result of research, it can be concluded that: (1) The
cogitation in national education of Ki Hajar Dewantara that building on
nationalism, very appropriate with nation personality of Indonesia, Ki Hajar
Dewantara put into practice some system and theory in operate education of
appropriate with character and nation personality of Indonesia, beetwen us a)
Among system, that is give independence and freedom at students to development
talent, power of spiritual and outward, limited by power of nature that rightful
authority, that purpose is culture, the meangrandeur and fineness people
life.b)Three center education, that is include environment family, society and
school. These things very influential on character and child personality, c) Tricon
theory, that is continuity, convergence and concentricitas., d)Trilogy of
leadership, that is in front of can give a model, in the center of can give
motivation,on the back of can give liberty, instruction and directin, e) Three
prohibition, that is don’t misapplied authority, don’t deviate in sector finance,
don’t contravene morality, (2) Taman Siswa is real shape from implementation
the cogitation in national education of Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa making
effort national education that not be in contradiction with human right. Taman
Siswa was born as shape movement education to fight the colonial education
system that not appropriate with Indonesia nation spirit. 3) The obstacle from
beginning of Taman Siswa, that is existenceAct of wild school. The main Act of
wild school forbid founding wild schools (private school that not goverment-
sponsored).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
MOTTO
Salah satu dosa yang fatal adalah pendidikan tanpa karakter
(Mahatma Gandhi)
Ilmu merupakan naungan cahaya dan awalnya suatu amalan
(Al hadits)
Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang
(Ki Hajar Dewantara)
Dengan mempunyai ilmu akan mempermudah apa-apa yang kita hadapi, ilmu
ibarat tumbuhan yang akan selalu tumbuh dengan ia mencarinya dan akan selalu
tumpul jika ia tidak mengasahnya
(Al hadits)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan
kepada:
1. Ibu dan Bapakkutercinta yang
senantiasa memberikan doa,
kepercayaaan, dan dukungan
2. Semua keluargaku atas doa dan
bantuan
3. Aisah, Hanif, Ayu, Uut, Bu rani serta
mas oka yang selalu memberi doa dan
nasehat
4. Sejarah’ 08
5. Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang
memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar
Dewantara”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin penulis untuk mengadakan penelitian.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah memberikan
persetujuan dalam penyusunan skripsi.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas MaretSurakarta yang telah memberikan ijin dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd selaku Pembimbing I, yang dengan sabar telah
memberikan arahan, masukan, dan saran.
5. Dra. Sri Wahyuni, M.Pd selaku Pembimbing II, yang dengan sabar juga telah
memberikan motivasi, masukan, dan saran.
6. Sahabat-sahabat terbaikku, Mahari, Ulin, Dini, Yunita, dan Mita yang telah
setia memberikan bantuan dan dorongan semangat yang tak ternilai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Surakarta, Desember 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………….… ............................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.. ......................................... ii HALAMAN PENGAJUAN....................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN …… ... ………………………………………...... .. iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... v
HALAMAN ABSTRAK…………. .......................................................................... vi
ABSTRACT ……………. .................................................................................... vii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. viii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………...... ......................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI …………………………………………………………...... ......... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR … ………………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………... 8
BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................ 9
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9
1. Pendidikan…………………………………………….. .......... 9
2. Sekularisasi Pendidikan Kolonial…………........................... . 11
3. Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter…..................... .... 21
4. Rukun dan Hormat…………........................... ........................ 26
B. Kerangka Berpikir .......................................................................... 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 32
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 32
1. Tempat Penelitian………………………………………….....32
2. Waktu Penelitian ..................................................................... 32
B. Metode Penelitian........................................................................... 34
C. Sumber Data ................................................................................... 35
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 37
E. Teknik Analisis Data ...................................................................... 37
F. Prosedur Penelitian......................................................................... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN ....................................................................... 43
A. Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara .................... 43
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar
Dewantara ............................................................................... 43
2. Pemikiran Pendidikan .............................................................. 52
B. Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara ............ 79
1.Taman Siswa......................................................................79
2. Perkembangan Taman Siswa………………………................ 85
3. Melawan Undang-undang Sekolah Liar……………………....92
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ........................................... 101
A. Kesimpulan .................................................................................... 101
B. Implikasi ......................................................................................... 103
C. Saran ............................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 103
LAMPIRAN ………………………………………………..................................... 108
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Waktu Penyusunan Penelitian ................................... 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Bagan 2. 1 Kerangka Pemikiran ………………………………………………30
Bagan 3. 1 Prosedur Penelitian ........................................................................ 39
Bagan4. 1 Perbandingan pendidikan kritis dan Pendidikan “Gaya Bank”….. 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : “Gambar Ki Hajar Dewantara". ............................................. 112
Lampiran 2 : “Gambar Perguruan Taman Siswa”....................................... 113
Lampiran 3 : “Taman Siswa dan Pendidikan Nasional”. 1987. Dharma
Nyata 3................................................................................. 114
Lampiran 4 :“Sistem Pendidikan Perlu Diperbaiki”. 1973. Mei 19.
Sinar Harapan. 11 ................................................................ 116
Lampiran 5 :“Neng-Ning-Nung-Nang dari Alm. Ki Hajar”.1975, Mei2.
Sinar Harapan5 .................................................................... 117
Lampiran 6 : “Pengaruh Keluarga di dalam Pendidikan”. 1943.
Asia Raya .................................................................................................... 118
Lampiran 7 : “Mengembangkan Sistem Among dalam Pendidikan”. 1981.
Mei 2. Pikiran Rakyat. 8 dan 12 .......................................... 120
Lampiran 8 : “Ki Hajar Di tengah-tengah suasana ke Belanda-Belandaan”.
1973. Mei 3. Sinar Harapan. v ............................................. 123
Lampiran 9 : “Ndudut Saperangan Saka Ajaran Ki Hajar Dewantara”.
1978. Mei5.Dharma Kanda. 7 ............................................. 124
Lampiran 10 :“Kebangunan Nasional”. 1952. Mei 17. Nasional.14-15 ..... 125
Lampiran 11 : “Hari Pendidikan Nasional yang Pertama“.1961.Mei 2.
Obor Rakyat.1 dan 3 ............................................................ 127
Lampiran 12 : “Dehumanisasi Pendidikan”.2000. Mei 2. Solopos............. 128
Lampiran 13 : “Pendidikan Kita”.1974.Mei3.Pikiran Rakyat. 2 ................ 129
Lampiran 14 : “Persoalan Pendidikan”. 1975. 2 Mei.Pikiran Rakyat ......... 131
Lampiran 15 : “Api Kesejarahan Ki Hajar Dewantara”.1985.Mei2.
Pikiran Rakyat ..................................................................... 132
Lampiran 16 : “Ki Hajar Dewantara”. 1993. Mei2.Pikiran Rakyat ............ 133
Lampiran 17 : “Kita Kenang Ki Hajar Dewantara Tokoh Pendidikan”.
1979. Mei 2. Pikiran Rakyat ............................................... 135
Lampiran 18 : “Kilas Balik Perjuangan Ki Hajar”. 1995. Mei 2.
Pikiran Rakyat 8 -9.............................................................. .. 138
Lampiran 19 : “Keluarga sebagai Pusat Pendidikan”. 1996. Mei 2.
Pikiran Rakyat. 8 ................................................................ . 140
Lampiran 20 : “Rumah sebagai Tempat Pendidikan”. 1953. Mei. Keluarga.
14-15 ................................................................................... . 141
Lampiran 21 : “Tut Wuri Handayani”. 1953. Maret. Keluarga. 10 ............ . 143
Lampiran 22 : Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan tentang Ijin Penyusunan Skripsi ....................... 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Lampiran 23 : Surat Permohonan ijin Menyusun Skripsi ........................... 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia menerima dan meneruskan warisan sistem pendidikan
Hindu Belanda dimulai sejak memperoleh kemerdekaan, sampai pada tahun 1972
di Indonesia diumumkan pola sekolah komprehensif yang hendak dipakai (Said,
1980).
Indonesia telah memiliki pendidikan sendiri sebelum meneruskan system
pendidikan Hindu Belanda yaitu ketika orang Barat datang. Pendidikan itu dalam
bentuk pesantren dan pendidikan Islam di pesantren telah berkembang di
Indonesia ketika orang Barat datang pada abad ke XVI. Sistem pendidikan
pesantren mirip dengan sistem pendidikan dalam zaman Hindu. Pada sistem
pendidikan zaman hindu dan pendidikan pesantren murid datang pada guru,
tinggal bersama-sama dan menjadi kelurga guru sambil bekerja membantu
keluarga guru di rumah, sawah atau ladangnya, ia mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh guru (Said, 1980).
Masa kolonial Belanda berlangsung dari abad XVI sampai sekitar
pertengahan abad XX. Selama periode tersebut bangsa Indonesia dikenalkan dan
terkena pengaruh peradaban barat pada umumnya dan kebudayaan Belanda pada
khususnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, agama Kristen dan Katolik,
memberikan corak lain pada cara kehidupan menurut adat “ketimuran”. Pengaruh
dari Barat dan Belanda itulah yang menyebabkan kebudayaan Indonesia
berangsur-angsur maju kearah “modernisasi”. Dengan kata lain kebudayaan
Indonesia ingin menjadi modern dengan tetap mempertahankan identitasnya
sebagai bangsa Indonesia.
Tujuan dari pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh bangsa Barat
yaitu hanya untuk menyiapkan tenaga rendah/ murahan, mengabdi pada
kepentingan penjajah, melaksanakan politik memecah belah, dipertahankannya
kekuasaan politik dan ekonomi penjajah, sehingga menjadikan masyarakat yang
pandai bukanlah merupakan tujuan yang utama (Hadi, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Pendidikan yang diberikan oleh Belanda bagi penduduk bumiputera
sangatlah lamban, hal ini dibuktikan dengan pernyataan Mudyahardjo (2001)
sebagai berikut:
Sejak 1816, segera tampak bahwa pengaturan tentang persekolahan dan sekolah dasar lebih ditujukan pada pendidikan untuk orang-orang Belanda saja. Pada tahun 1848 untuk pertama kalinya ditetapkan anggaran belanja untuk pendidikan orang-orang Indonesia, dan baru tahun 1863 diputuskan melaksanakan pendidikan untuk semua anak-anak bumiputera (hlm. 259). Dalam hal memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, tujuan
bangsa Belanda hanyalah untuk mencetak tenaga-tenaga administrasi, yang
nantinya bisa dibayar dengan bayaran yang murah. Sehingga Belanda tidak secara
sungguh-sungguh untuk melaksanakan pendidikan di Indoensia. Selain itu
pendidikan rendah yang diberikan kepada masyarakat Indonesia juga mencegah
timbulnya gerakan-gerakan dari kaum intelektual untuk merdeka.
Belanda hanya membawa sistem pendidikan Barat, pada awalnya hanya
sedikit untuk orang-orang Belanda saja, tetapi kemudian diperluas untuk anak
Indonesia untuk mengisi kebutuhan pemerintah Belanda akan tenaga-tenaga
administrasi tingkat rendah dan lapisan bawah dari tingkat menengah. Sebelum
memberikan pendidikan untuk anak Indonesia, Belanda mengadakan pendidikan
untuk anak-anak Indonesia yang tujuannya menghapus pengaruh pendidikan
agama Katolik yang dibawa oleh orang Spanyol dan Portugis ke bagian Timur
Indonesia sebelum kedatangan Belanda (Said, 1980).
Mengenai tujuan dari sistem pendidikan Belanda, Suparlan (1984)
berpendapat:
Ketika Indonesia masih di tangan penjajah, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda tidak untuk mencetak orang-orang yang pandai, akan tetapi bertujuan mendidik pribumi untuk dijadikan pegawai Belanda agar ikut membantu usaha Belanda dalam mengeruk kekayaan bumi Indonesia ini (hlm. 11). Adanya tujuan pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda yaitu
mendidik penduduk pribumi untuk menjadi pegawai dan membantu usaha
Belanda, maka bentuk masyarakat yang tercetak mempunyai sifat-sifat seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pegawai rendah, jarang yang mempunyai mental/ sifat sebagai seorang pemimpin.
Pendidikan yang dibawa oleh pemerintah Belanda sangatlah besar pengaruhnya
dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Akan tetapi meskipun sebagian
besar dampak yang diberikan adalah dampak negatif, dampak positif yang
diberikan dari pendidikan Belanda itu juga ada. Masyarakat Indonesia tidak hanya
mengenal pendidikan agama, tetapi juga pendidikan umum yang bermanfaat
dalam kehidupan.
Mengenai penyelanggaraan pendidikan pada zaman kolonial
Mudyahardjo (2001) berpendapat, “Penyelenggaraan pendidikan pada Zaman
Kolonial Belanda didasarkan pada liberalisme kapitalistik, yaitu perluasan
pendidikan bumiputera yang diselaraskan dengan kepentingan penanaman modal
terutama para kapitalis Belanda” (hlm. 265).
Tujuan lain dari sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda
dikemukakan oleh Nasution (1995) sebagai berikut:
Pada zaman kolonial, telah disediakan sekolah oleh pemerintah Belanda yang beraneka ragam bagi orang Indonesia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini adalah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencaaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh perencanaan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda (hlm. 1).
Dalam menjalankan pendidikan di Indonesia, Belanda menerapkan
prinsip-prinsip agar pendidikan kolonial tidak terpengaruh dengan keadaan yang
ada di Indonesia, agar tetap berjalan sesuai dengan pendidikan yang ada di
Netherland. Salah satu prinsip yang diterapkan oleh Belanda yaitu Konkordansi.
Menurut Nasution (1995), yang dimaksud dengan konkordansi sebagai berikut:
Dalam prinsip konkordansi ini pemerintah Belanda memaksa semua sekolah berorientasi Barat mengikuti model sekolah seperti di Nederland dan menghalangi penyesuaian pendidikan kolonial dengan keadaan yang ada di Indonesia. Pendidikan Barat telah membawa perubahan dalam pandangan orang Indonesia dan dikhawatirkan jika orang-orang Indonesia sendiri menjauhkan diri dari kebudayaannya, bahkan mungkin akan terjadi konflik antara Barat dengan adat istiadat. Namun adat istiadat juga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Sebaliknya hubungan kolonial mencegah asimilasi orang Indonesia dengan orang Belanda (hlm. 145-146).
Sistem pendidikan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa secara tiba-tiba
dimiliki oleh bangsa Indonesia, akan tetapi melalui proses dan pengalaman yang
panjang. Seorang pakar pendidik mengemukakan sedikit mengenai hal-hal yang
menjiwai sistem pendidikan di Indonesia sebagai berikut:
Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa Indonesia pada masa lalu. Pendidikan yang ada di Indonesia saat ini tidaklah lepas dari pengaruh pendidikan Belanda yang telah berabad-abad menjajah bangsa Indonesia. Kurikulum sekolah pada masa penjajahan Belanda juga mengalami perubahan yang radikal. Kurikulum sekolah dipengaruhi oleh ide liberalisme. Tujuan pendidikan bukan lagi untuk memupuk rasa takut kepada Tuhan, akan tetapi pendidikan sekarang ditujukan kepada pengembangan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial serta usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya (Nasution, 1995: 9-10).
Selama ini para pendidik diajari teori pendidikan Barat yang sekuler dan
menjadikannya sebagai standar dalam melaksanakan pendidikan di sekolah-
sekolah, maupun di kampus. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek
sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan yang didasarkan pada teori
pendidikan Barat itu tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa
melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa
yang tidak memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Salah satu penyebabnya
antara lain pendidikan bangsa Indonesia yang telah mengabaikan kearifan lokal
dan lebih dari 30 tahun telah melibatkan pendidikan yang barat dalam proses
pendidikan.
Langkah yang tepat untuk mengatasi masalah yang timbul akibat
pengaruh dari pendidikan Barat yaitu kembali ke kebudayaan lokal, bukan berarti
bangsa Indonesia menolak filosofi dan teori Barat, akan tetapi harus memberikan
ruh kultural dalam melaksanakan pendidikan di Indonesia. Kearifan lokal dalam
pendidikan Indonesia diantaranya adalah sosok Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Dewantara telah menancapkan pilar-pilar pendidikan nasional yang dapat
menopang bangunan pendidikan yang berkebangsaan dan bermartabat.
Perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara adalah perjalanan untuk
mewujudkan nasionalisme dalam Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara adalah
seorang nasionalis yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Nasionalisme yang dianut dan hendak diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara
adalah nasionalisme kebudayaan bertrikon, yaitu berakar pada kebudayaan sendiri
yang terus berasimilasi dengan unsur-unsur budaya luar (Mudyahardjo, 2001).
Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, Dr. Douwes Dekker dan Tjipto
Mangunkusumo mendirikan Taman Siswa. Di dalam Taman Siswa tersebut Ki
Hajar Dewantara menuangkan ide-idenya tentang Pendidikan. Dewantara
menjelaskan bahwa pendidikan Taman Siswa tidak memakai syarat paksaan
seperti yang terdapat dalam dasar-dasar pendidikan Barat, yaitu perintah,
hukuman dan ketertiban. Praktek pendidikan seperti itu seolah-olah telah
menyiksa kehidupan batin anak. Anak-anak yang rusak budi pekertinya
dikarenakan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman. Apabila Taman Siswa
menerapkan sistem Pendidikan seperti pendidikan Barat itu maka tidak akan bisa
membentuk orang yang punya kepribadian (1977).
Perjuangan bangsa Indonesia dalam meningkatkan pendidikan sangatlah
beragam, salah satu usaha yang paling menonjol dalam meningkatkan perjuangan,
sebagai badan pembangunan masyarakat dan kebudayaan yaitu dibentuknya
Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Dengan dibentuknya Taman Siswa tidak
hanya bidang pendidikan yang bisa diperbaiki, akan tetapi dalam bidang
kebudayaan juga mengalami peningkatan.
Hal tersebut juga sesuai dengan simpulan Ki Hajar Dewantara bahwa
Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional, dan badan
pembangunan masyarakat dan kebudayaan. Sebagai badan perjuangan, Taman
Siswa mempunyai tugas untuk mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran
nasional. Hal ini mengandung arti bahwa Taman Siswa teguh mempertahankan
dan memelihara asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa dari segala bentuk
perpecahan yang bersumber dari semangat perseorangan dan ancaman dari luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
(pemerintah penjajahan Belanda dan Jepang) yang dilaksanakan dalam bentuk
melakukan perlawanan secara positif atau secara nonkooperatif (Mudyahardjo,
2001: 301-302).
Salah satu tujuan dari dibentuknya Taman Siswa, Soeratman (1985),
menyatakan:
Perguruan Taman Siswa dibentuk pada saat rakyat Indonesia bergerak menuju Indonesia merdeka. Pada waktu itu pergerakan rakyat sedang menempuh masa peralihan, dari masa perjuangan secara kooperatif dengan Pemerintah Kolonial ke masa perjuangan non-kooperatif. Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual, tetapi juga mengutamakan pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila, cara yang baik digunakan yaitu dengan dasar kekeluargaan (hlm. 77).
Ki Hajar Dewantara adalah bapak Pendidikan Nasional Indonesia, karena
Ki Hajar merupakan orang pertama yang mendirikan Perguruan Nasional yang
didasarkan pada konsep pendidikan yang berjiwa nasionalisme Indonesia yang
bersifat kultural. Prinsip mengutamakan pemerataan pendidikan dijadikan dasar
dalam pembangunan pendidikan. Hal yang terpenting ialah jiwa nasionalisme Ki
Hajar Dewantara telah memberi corak dalam perkembangan pendidikan nasional
Indonesia (Mudyahardjo, 2001).
Pengertian dari Pendidikan Nasional itu sangatlah beragam. Dewantara
(1977) dalam Taman Siswa menyatakan:
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pada garis hidup kebudayaan bangsanya dan ditujukan untuk kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kedamaian seluruh bangsa di dunia. Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju pada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin, tidak hanya syarat yang sudah ada melainkan syarat zaman baru yang bermanfaat dan yang sesuai dengan maksud dan tujuan bangsa (hlm. 15).
Pendidikan masa lampau menjadi dasar dari Pendidikan Nasional
Indonesia saat ini. Mudyahardjo (2001) menyatakan:
Pendidikan Nasional Indonesia merdeka secara formal dimulai sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, yaitu 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia merdeka merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau. Secara garis besar, apabila dilihat dari segi budaya, maka pendidikan masa lampau yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
secara tersurat dan/atau tersirat menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia merdeka (hlm. 214).
Pendidikan Nasional yang berdasarkan karakter bangsa adalah pendidikan
yang di cita-citakan Ki Hajar Dewantara dan dapat mengubah pendidikan di
Indonesia sehingga bisa kembali ke kearifan lokal bangsa Indonesia. Akhirnya
perlu disadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi,
berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup
sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik
dalam mengkaji mengenai Pendidikan dengan judul “Pemikiran Pendidikan
Nasional Ki Hajar Dewantara”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara?
2. Bagaimana implementasi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan Ki
Hajar Dewantara di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka
penelitian ini bertujuan :
1. Mendeskripsikan Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara
2. Mendeskripsikan Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
terhadap Pendidikan di Indonesia
3. Mendeskripsikan kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan
Ki Hajar Dewantara di Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Memberikan tambahan pengetahuan sejarah khususnya yang berkaitan
dengan Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
b. Dengan penulisan ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
c. Merangsang minat pembaca untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah Ki
Hajar Dewantara beserta pemikiran-pemikirannya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan akan dapat bermanfaat :
a. Dipakai sebagai suatu karya ilmiah yang berguna untuk menambah
wawasan masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat lingkungan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Sebagai bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana
dan sumber data dalam bidang sejarah.
c. Bagi penulis skripsi ini akan menjadi tolok ukur kemampuan dari penulis
dalam mempersembahkan karya ilmiah sejarah untuk memenuhi salah satu
syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan Program Sejarah Jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pendidikan
Pengertian Pendidikan, yang berasal dari kata "didik", lalu kata ini
mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara
dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan
adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran
(Kamus Besar Indonesia, 1991).
Seorang pakar pendidik merumuskan mengenai pengertian pendidikan
dalam arti sederhana, sebagai berikut:
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2001: 1).
Mengenai pengertian lain dari Pendidikan, Dewantara (2009)
berpendapat:
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘ tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat (hlm. 3).
Dalam Hasbullah (2005) menyatakan bahwa:
Pendidikan sebagai suatu bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan sebagai sesuatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Begitu juga dikarenakan pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan manusia menuju ke arah cita-cita tertentu, maka yang merupakan masalah pokok bagi pendidikan ialah memilih arah atau tujuan yang ingin dicapai (hlm. 10).
Dalam proses pendidikan peserta didik diibaratkan sebagai masukan,
yang mana peserta didik itu masih dalam keadaan yang kosong, belum
mempunyai bekal apa-apa kecuali hanya pembawaan yang dibawa sejak lahir
dan setelah memasuki dunia pendidikan peserta didik akan mengolah
pendidikan yang telah didapatkan itu. Pendidikan yang diberikan pada manusia
sebenarnya adalah mengembangkan unsur-unsur yang ada pada manusia.
Seorang pakar pendidikan merumuskan tentang pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan harus didasarkan atas prinsip Pancasila. Ungkapan “manusia Pancasila” dapat diartikan sebagai dedikasi yang tinggi terhadap masa depan Indonesia; mengembangkan identitas, kesadaran dan kesatuan bangsa; sehat fisik maupun jiwa; menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pambangunan; kreatif dan bertanggung jawab; taat pada agama; bersikap demokratis dan toleransi; mencintai rakyat dan sesama manusia; dapat mewariskan semangat dan nilai-nilai 1945; menghormati tradisi dan sejarah nenek moyang (Beeby, 1981: 279).
Sistem pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak Indonesia
sebaiknya didasarkan pada hidup kemanusiaan, yaitu keluhuran budi dan
bersendi pada semua sifat peradaban bangsa dalam arti luas. Keluhuran budi
dan peradaban bangsa itulah yang dalam kalangan pendidikan dan pengajaran
dinamakan dengan dasar kebudayaan. Apabila pendidikan dan pengajaran anak
telah bersandar pada kebudayaan kebangsaan sendiri maka hilanglah semua
akar hidup kebaratan yang telah merusak kesejahteraan rakyat Indonesia
(Dewantara, 1977)
Dalam proses pendidikan, kedudukan anak didik sangat penting.
Seperti yang dikemukakan oleh Hasbullah (2005) sebagai berikut:
Proses pendidikan berlangsung dalam situasi pendidikan yang dialaminya, anak didik merupakan komponen yang hakiki. Antara pendidik dan anak didik sama-sama merupakan subjek pendidikan. Keduanya sama penting. Inti kegiatan pendidikan adalah pemberian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
bantuan kepada anak didik dalam rangka mencapai kedewasaan. Pendidikan berusaha untuk membawa anak yang semula serba tidak berdaya, yang hampir keseluruhan hidupnya menggantungkan diri pada orang lain, ke tingkat dewasa yaitu suatu keadaan dimana anak sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, baik secara individual, secara sosial maupun secara susila (hlm. 24-25).
Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak
boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah
usaha kebudayaan, berasas keadaban, yaitu memajukan hidup agar
mempertinggi derajat kemanusiaan (Dewantara, 1977).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin),
pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Pendidikan juga merupakan bimbingan terhadap
perkembangan manusia menuju ke arah cita-cita tertentu.
2. Sekularisasi Pendidikan Kolonial
Secara historis diketahui sejak pemerintah Kolonial Belanda
memperkenalkan sistem pendidikannya yang bersifat sekuler, keadaan
pendidikan di Indonesia berjalan secara dualistis. Pendidikan Kolonial yang
tidak memperhatikan nilai-nilai agama dengan pola Baratnya berjalan sendiri,
sedangkan pendidikan Islam yang tidak memperhatikan pengetahuan umum
juga berjalan sendiri. Hal ini berjalan sampai diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia, meskipun pada permulaan abad ke-20 sudah
diperkenalkan sistem pendidikan madrasah yang berusaha memadukan kedua
sistem tersebut, akan tetapi suasana ketradisionalannya masih terlihat sekali
(Hasbullah, 2005).
Mengenai dimulainya pendidikan modern di Indonesia, Nugroho
(2008) menyatakan:
Pendidikan modern Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika Belanda mengakhiri politik Tanam Paksa menjadi Politik Etis sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di Negeri Belanda yang mengecam praktik Tanam Paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dahsyat di Hindia Belanda. Sejarah Pendidikan di Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, Pagoeyoeban Pasoendan di tahun 1913 dan Taman Siswa di tahun 1922” (hlm. 15).
Kaum kolonial yang berhasil masuk di bumi nusantara dengan misi
yang ganda (antara imperialisme dan kristenisasi) bukannya membawa dampak
yang positif bagi bangsa Indonesia akan tetapi justru sangat merusak tatanan
yang sudah ada. Menurut penjelasan Nata bahwa kedatangan bangsa Barat di
Indonesia yang memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan
teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi. Tujuan bangsa Barat
hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan
pendidikan, bangsa Barat telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru
dan tentunya lebih efektif, namun semua itu sekedar dilakukan untuk
menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan
penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika bangsa
Barat sendiri yang mendatangkan tenaga dari Barat (Nata, 2001).
Jepang mempunyai andil dalam melemahkan watak kolonial elitis
pendidikan Indonesia. Namun 3,5 tahun diduduki tentara asing tidaklah cukup
untuk menghapuskan akibat pengaruh Belanda yang sudah berabad-abad.
Sikap dan cara berpikir setiap pendidik, dari menteri sampai guru yang
terendah menunjukkan pengaruh kuat Belanda dan pola berpikirnya tampak
pada setiap langkah pembaharuan yang para pejabat dan guru itu buat. Lebih
parah lagi, tidak ada model sistem pendidikan yang sudah siap pakai untuk
suatu negara miskin dan baru merdeka (Beeby, 1981: 7).
Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak terlepas dari duplikasi
terhadap pendidikan di negara-negara Barat tersebut diperkuat oleh hasil
penelitian Idris (1982) yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954,
secara teoretik banyak diwarnai oleh corak pemikiran filsafat humanism,
karena elite pemikirnya yang berasal dari didikan kolonialis Belanda atau
Eropa, sehingga dalam praktiknya berkembang dualisme pendidikan, Islami
dan Sekuler (Muhaimin, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Belanda mempunyai kebijakan dalam mengatur jalannya pendidikan,
yang tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan Belanda sendiri, terutama
untuk kepentingan agama Kristen. Politik yang dijalankan Pemerintah Hindia
Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya
didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya, yaitu Kristen dan
rasa kolonialismenya sehingga bangsa Belanda menetapkan ketentuan atau
peraturan yang menyangkut pendidikan agama Islam (Nata, 2001).
Seorang pakar pendidikan merumuskan mengenai perbedaan
pendidikan dan pengajaran pada sekolah umum sekuler dan Islam sebagai
berikut:
Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah umum yang sekuler dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam pada awal masa kemerdekaan sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat akar dalam masyarakat (Muhaimin, 2009: 77-78).
Mengenai sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia sejak
adanya kekuasaan kolonial sampai jaman sekarang, Dewantara (1977)
menjelaskan:
Pengaruh yang ditimbulkan dari luar terhadap sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia dari adanya kekuasaan kolonial sampai sekarang menimbulkan dampak yang cukup besar, yang menjadikan pendidikan dan pengajaran Indonesia memiliki 3 sifat yang cukup dominan, yaitu: a. Intelektualistis, semata-mata sifatnya hanya berfikir (hanya untuk mengetahui dan tidak untuk diamalkan), b. Individualistis, mementingkan hidup sendiri dan tidak mementingkan hidup bersama, c. Materialistis, mengutamakan nikmat hidup kebendaan dan tidak menghargai nilai-nilai kebatinan (hlm. 191).
Daulay (2007) mengemukakan mengenai perbedaan pesantren dengan
lembaga pendidikan sekolah dari segi sistem, metode dan materinya sebagai
berikut:
Pesantren dan sejenisnya dari segi sistem, metode dan materi berbeda dengan lembaga pendidikan sekolah yang diasuh oleh pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Belanda. Dari segi sistemnya pesantren masih bersifat nonklasikal, metodenya terpusat pada metode wetonan, sorogan, hafalan yang disampaikan pada pengajian kitab-kitab klasik, materinya semata-mata ilmu agama saja. Sedangkan di sekolah-sekolah Belanda memakai sistem klasikal metodenya adalah seirama dan serasi dengan metode klasikal, materinya semata-mata pelajaran umum, disini sama sekali tidak diajarkan agama (hlm. 31).
Pendidikan masa kolonial menurut Septyoko (2008) bahwa, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan
tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah sarana
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata
hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah
lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah
untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.
Pelayanan pendidikan pada zaman kolonial Belanda sebelum tahun
1900 dapat dibedakan menjadi tiga macam, Mudyahardjo (2001) menyatakan,
“Pertama, Sekolah dasar dan lanjutan untuk golongan penduduk Eropa, Kedua,
Sekolah dasar negeri dan sekolah raja untuk golongan penduduk bumiputera,
dan Ketiga, sekolah kejuruan yang dapat diikuti oleh golongan Eropa dan
bumiputera” (hlm. 261).
Sistem pendidikan di Hindia Belanda dalam fungsi sosialnya tidak
dapat disamakan dengan sistem pendidikan di negeri Barat yang sudah
berkembang seperti Belanda misalnya. Sistem pendidikan di Belanda dapat
dikatakan sebagai satu bagian yang wajar dari masyarakat dan tumbuh serta
berkembang terus dengan masyarakatnya. Sistem pendidikan di Hindia
Belanda merupakan unsur asing dan belum merupakan suatu bagian wajar yang
semestinya dari masyarakat.
Pendidikan Masa Kolonial menurut Septyoko (2008) bahwa Masa
penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi berbagai sistem
yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan,
perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak
bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian
banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini
disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam
pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Metode pendidikan bangsa Barat tidak bisa dijadikan patokan dan
ukuran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia karena tujuan
pendidikan Barat sangat berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, hal-hal yang baik sesuai dengan karakter dan keadaan Bangsa
boleh ditiru dan diambil. Selanjutnya hal-hal yang bertentangan dengan
karakter pribadi rakyat Indonesia ditinggalkan (Fananie, 2001).
Pendidikan dan pengajaran harus menghasilkan orang-orang yang
cinta akan kebudayaannya sendiri, sehingga bisa tumbuh rasa bangga akan jati
dirinya sebagai sebuah bangsa yang unik, beragam dan satu. Murid yang
dididik dan diajar dengan cara yang cenderung mengikuti gaya Barat,
dikhawatirkan murid akan merasa minder dengan kebudayaan sendiri dan
menganggap kebudayaan Barat itu lebih tinggi dan lebih baik.
Pendidikan yang diberikan oleh orang Belanda tidak selalu memupuk
loyalitas terhadap pemerintah Belanda, akan tetapi malah cenderung
menimbulkan perlawanan terhadap Belanda, yang sering berbentuk organisasi
Barat, sering di bawah pimpinan orang yang berpendidikan Barat. Akibat lain
yang ditimbulkan adalah kesadaran bersekolah di kalangan bangsa Indonesia
yang menjelma dalam bentuk partikelir, sekolah swasta yang dicap oleh orang
Belanda sebagai wilde scholen, sekolah liar (Nasution, 1995).
Sistem sekolah pada zaman sekarang ini kebanyakan sudah
mendapatkan pengaruh dari sistem sekolah di Eropa sehingga berakibat buruk
bagi perkembangan pendidikan anak-anak, Ki Hajar Dewantara (1977)
berpendapat, “anak-anak yang mendapat pengaruh dengan sistem sekolah di
Eropa umumnya bertabiat kasar, kurangnya rasa kemanusiaan yang
menyebabkan kurangnya rasa sosial, sehingga tumbuh sifat egois dan
individualisme” (hlm. 106).
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sebagai arus kebudayaan. Pendidikan Islam Tradisional yang diselenggarakan
di nusantara tidak dilaksanakan secara terpusat, tetapi banyak diupayakan
secara perorangan, biasanya oleh para ulama Islam dalam rangka penyebaran
agama Islam (Mudyahardjo, 2001).
Lembaga pendidikan pesantren melahirkan out put yang mempunyai
pengetahuan agama sangat mendalam, tetapi miskin sekali pengetahuan umum.
Oleh sebab itu umat Islam sangat tercecer terutama dalam bidang pendidikan.
Orang yang duduk dalam tampuk pemerintahan adalah orang non-Islam atau
minimal orang Islam yang berpendidikan sekuler. Pemerintah dan bangsa
Indonesia pada masa awal kemerdekaan masih mewarisi sistem pendidikan
yang bersifat dualistis tersebut. Sistem pendidikan dan pengajaran modern
yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-
sekolah umum yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda
(Hasbullah, 2005).
Sebagian isi kebudayaan Barat adalah musuh yang akan
menghancurkan keberagaman para peserta didik. Muhaimin (2009)
menerangkan sedikit mengenai pengaruh budaya Barat tersebut, yaitu sebagai
berikut:
Dedikasi guru agama semakin menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah mulai tidak memperhatikan pendidikan agama anaknya, orientasi tindakan semakin materislistis, orang semakin bersifat rasional, orang semakin bersifat individualis, kontrol sosial semakin melemah, dan lain-lain. Budaya Barat sudah mengglobal, sehingga kita harus mampu menyaring nilai-nilai mana yang boleh diambil dan yang tidak boleh diambil (hlm. 58). Ki Hajar Dewantara sebagai seorang yang ahli dalam ilmu pendidikan
Indonesia, yang membangun sebuah perguruan Taman Siswa, pernah menulis,
“... sekarang sebaliknya keadaan pendidikan, yang hanya disandarkan pada
aturan “ onderwijs” dengan caranya “ school system”. Udara yang ada hanya
udara “intelektualitas” yang sering berjauhan dengan adat kemanusiaan.
Sekolah yang tidak didasarkan pada nilai-nilai Islam terkadang justru menjadi
penyebab anak-anak untuk keluar dari keislaman dan peradaban karena di
dalam sekolah itulah anak-anak mulai mendapat pengaruh yang berlawanan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
hingga anti dan benci pada Islam dan peradaban, sebagaimana yang telah
diterangkan oleh Ki Hajar Dewantara (Fananie, 2001).
Pengaruh dari IPTEK dan globalisasi sebagian besar berdampak
negatif terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia, Tauchid (1979)
menyatakan:
Bangsa Eropa dengan cepat menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan baru tentang intelektualisme dan materialisme. Ilmu pengetahuan menjadi rasionalistis dan posifistis. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil pendidikan intelek yang tinggi inilah yang telah merajai bangsa Barat. Rasio menunjukkan semakin tajamnya dalam segala bentuknya. Dengan bentuk dan wujud itulah Eropa datang dengan teknik dan intelektualismenya dan mengenalkan diri dari segi wajahnya yang kurang menarik. Masyarakat Indonesia menjadi sulit untuk mengenal segi yang baik dunia Barat yang modern (hlm. 13).
Menyinggung mengenai sistem pendidikan, Brodjonegoro
mengatakan bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini jelas
tidak lagi sesuai dengan kebutuhan riil dari masyarakat. Oleh karena itu perlu
diperbaiki dan disempurnakan, sehingga benar-benar membawa tugas bidang
pendidikan pada tujuannya (1973).
Pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda kepada rakyat
Indonesia mengandung unsur diskriminatif, seperti yang diungkapkan oleh
Rifa’i yaitu masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera
dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk
sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di
sekolah-sekolah Belanda (2011).
Menurut Ki Hajar Dewantara (1943), keadaan organisasi sekolah
secara sistem Barat pada zaman dulu, sebagian besar sekolah-sekolah hanya
mendidik kecerdasan fikiran serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
dan kepandaian. Pendidikan budi pekerti tidak begitu diutamakan, juga
muncul usaha yang dinamakan “jeugdzorg” dan “jeugdbeweging” pada
zaman pemerintahan Belanda, menurut maksud dan tujuannya tidak lain
daripada pengakuan kurangnya karakteropvoeding di dalam sekolah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Contoh bagaimana bentuk kebijakan politik pendidikan pemerintah
kolonial terjadi sekitar tahun 1930-an menurut Rifa’i (2011) adalah sebagai
berikut:
Pertama, seluruh sekolah swasta yang tidak dibiayai oleh pemerintah (Belanda) harus meminta izin; kedua guru-guru yang mengajar di sekolah swasta juga harus mendapat izin dari pemerintah terlebih dahulu; ketiga, materi pelajaran yang hendak disampaikan kepada siswa sekolah swasta tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah pemerintah. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan Belanda membuat diskriminasi terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum pribumi dengan pendidikan yang dilakukan pemerintah kolonial. Kebijakan pendidikan itu jelas merugikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh anak bangsa. Strategi perjuangan anak bangsa dalam menghadapi penjajahan salah satunya dilakukan dengan jalur pendidikan (hlm. 81).
Penjajahan itu mesti menimbulkan kebodohan, kemelaratan dan
tirani, dimana hak asasi bangsa lain diinjak-injak dengan semena-mena serta
keadilan dijungkir – balikkan tanpa manusiawi. Apabila rakyat yang dijajah
bodoh dan melarat, mudah ditipu dan dikendalikan demi kepentingannya.
Bangsa yang dijajah dalam posisi lemah, mudah ditunggangi seperti kuda dan
diperas seperti sapi perahan (Probohening, 1987).
Sifat-sifat dari sekolah yang didirikan pada zaman Belanda sangat
mengabaikan azas dan dasar kemanusiaan, seperti yang dikemukakan oleh Ki
Hajar Dewantara (1977) sebagai berikut:
Sekolah-sekolah negeri pada zaman Belanda sangat mengabaikan azas dan dasar kemanusiaan, sebaliknya meneguhkan semangat keduniawian, terutama cinta kepada kebendaan dunia, yang sering disebut dengan “materialisme”. Sifat materialisme inilah yang mematikan cita-cita kemanusiaan yang luhur, sehingga dapat menurunkan derajat kemanusiaan bangsa. Selain semangat/ cinta pada kebendaan ada pula cinta pada diri yang sering disebut dengan individualisme. Tumbuh suburnya individualisme mengakibatkan terpecahnya kesatuan hidup bersama. Sistem pendidikan Barat dapat menumbuhkan individualisme dan materialisme, sehingga seakan-akan mematikan “budi pekerti” manusia, menurunkan keluhuran budi, menghilangkan kehalusan budi rasa di dalam jiwa manusia yang sejati (hlm. 148).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Perbaikan-perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam
sistem sekolah dasar yang dibuka untuk orang-orang Indonesia sejak tahun
1892-1893, tetapi dalam artian yang kecil saja. Sekolah dasar ini dibagi
dalam dua kelas. Sekolah Kelas Satu diperuntukkan untuk golongan atas,
sedangkan sekolah Kelas Dua untuk rakyat (Richklefs, 1989).
Sekolah-sekolah yang ada sekarang dibangun menurut model Barat
yang dimodernisasikan, artinya intelek diutamakan. Pada akhirnya rakyat
Indonesia merasakan kekurangan dan kekosongan dalam hidup. Ketika
bangsa Indonesia mencari sesuatu yang lebih baik, yang lebih luhur, lebih
tinggi nilainya dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia ternyata
unsur-unsur itu telah ada pada perguruan bangsa Indonesia sendiri, tempat
mendidik anak-anak Indonesia yang tepat (Tauchid, 1979).
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam mengatur
pengajaran untuk orang-orang Belanda dan masyarakat Indonesia terlebih
rakyat lapisan bawah sangatlah berbeda. Perbedaannya yaitu, pengajaran
yang diberikan untuk orang-orang Belanda itu disusun dengan rapi (baik dari
segi tingginya pengajaran maupun kesempatan untuk belajar), sedangkan
pengajaran untuk rakyat tidak tertata bahkan sangat mengecewakan
(Dewantara, 1977).
Bangsa Belanda sebagai bangsa yang telah menjajah Indonesia
selama berpuluh-puluh tahun telah mengeksplorasi segala kekayaan yang ada
di Indonesia, sehingga merasa harus membalas semua yang telah diambil di
Indonesia, yaitu dengan cara Politik Etis. Seperti yang diungkapkan Rifai’i
bahwa Politik Etis yaitu usaha mengangkat tingkat kehidupan bangsa
Indonesia sebagai balas jasa. Usaha-usaha itu ialah dengan membangun
irigasi di daerah-daerah pertanian/ perkebunan, menyelenggarakan emigrasi
di daerah yang sudah dirasakan padat, dan memberikan pendidikan bagi
bangsa Indonesia (2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Bangsa Belanda tetap merupakan penjajah sehingga apapun yang
dilakukan hanya bertujuan untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri,
Rahardjo (2009) menyatakan:
Politik balas budi Belanda yang diusulkan Van Deventer, melalui trilogi Van Deventer, sebagai gambaran, kenyataannya hanya untuk kepentingan penjajah, bukan untuk kepentingan rakyat yang terjajah. Program irigasi ternyata hanya untuk mengairi perkebunan Belanda. Program migrasi atau perpindahan penduduk juga hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah untuk perkebunan Belanda. Program edukasi juga hanya untuk meningkatkan pendidikan bagi tenaga kerja Belanda (hlm. 104).
Perbaikan irigasi sebagai salah satu tujuan politik etis disesuaikan
dengan kebutuhan kaum modal Belanda, perbaikan irigasi hanya dilakukan di
daerah perkebunan-perkebunan, pabrik-pabrik. Perbaikan pendidikan
(edukasi) pun, disesuaikan dengan kebutuhan penjajah akan tenaga pegawai
yang sedikit cakap, itupun dilakukan dengan anggaran yang sedikit sekali.
Hal ini merupakan ironi, bahwa kemajuan pendidikan yang digembor-
gemborkan Belanda hasilnya yaitu 90% penduduk Indonesia masih buta
huruf (Kansil & Julianto, 1985).
Melalui kebijakan pendidikan politik etis, orang-orang bumiputera
harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan Barat yang telah
menjadikan Belanda bangsa yang besar. Oleh karena itu, dalam dua
dasawarsa sejak 1900, pemerintah Hindia-Belanda banyak mendirikan
sekolah-sekolah berorientasi Barat.
Berkaitan dengan arah etis yang menjadi landasan ideal dari langkah-
langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, pemerintah mendasarkan
kebijakannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Pertama, pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah; kedua, pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan golongan bumiputera sendiri. berdasarkan kebijakan politik tersebut, corak dan sistem pendidikan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur tersebut. Di satu pihak dengan ditempuhnya jalur pertama diharapkan dapat terpenuhinya unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi. Di lain pihak, terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Rifa’i, 2011: 76).
Pendidikan Masa Kolonial dan Sekarang menurut Septyoko (2008)
bahwa Pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan
pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan
bahwa sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada
saat kolonial. Tujuan dari sistem pendidikan itu adalah menciptakan manusia
yang siap kerja, baik itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan,
dan sebagainya. Bisa dikatakan bahwa pendidikan Indonesia saat ini seakan-
akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus
berfikir. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman
bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan
berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya pengetahuan tentang tujuan
dari pendidikan tersebut. Secara umum di masyarakat, tujuan pendidikan
adalah agar nanti bisa bekerja dan mencari uang.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sekularisasi
pendidikan kolonial adalah pendidikan yang berjalan secara sekuler yaitu
pendidikan yang mengesampingkan nilai-nilai agama dengan mengedepankan
pola pendidikan Barat yang dilaksanakan pada masa kolonial.
3. Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter
Kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki
Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter.
Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun
budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian
(persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu
terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya
yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (1977).
Mengenai pengertian budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara (1977)
berpendapat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Budipekerti atau watak atau dalam bahasa asing disebut karakter yaitu bulatnya jiwa manusia sebagai jiwa yang berasas hukum kebatinan. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau budi pekerti itu memang bersifat tetap dan pasti” (hlm. 25).
Budi pekerti, watak atau karakter, merupakan hasil dari bersatunya
gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan
tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti ‘pikiran-perasaan-kemauan’,
sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi, budi pekerti merupakan sifat jiwa
manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya
budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia dengan dasar-dasar dari
jiwa manusia, baik dalam arti menghilangkan dasar-dasar yang jahat dan
memang dapat dihilangkan, maupun dalam arti neutraliseeren (menutupi,
mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama
sekali karena sudah bersatu dengan jiwa (Dewantara, 2009).
Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Ketentuan ini merupakan hasil pembaharuan
sistem pendidikan nasional dari undang-undang Nomor 2 tahun 1989. Adanya
perubahan sistem pendidikan nasional tersebut karena dipandang sistem
pendidikan nasional yang lama tidak memadai lagi dan perlu diganti serta
disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sisdiknas, 2003).
Pendidikan Nasional itu sangatlah penting, karena dapat menjadi tolok
ukur bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan Nasional
yang dikehendaki adalah sebagai berikut:
Pendidikan Nasional haruslah bersifat fungsional, yaitu berfungsi untuk kepentingan kelembagaan masyarakat menuju perkembangan kehidupan bangsa yang menyangkut pengembangan pribadi dan watak bangsa. Sebab keduanya ini merupakan kriteria dasar dalam upaya mewujudkan suatu sistem pendidikan nasional (Hasbullah, 2005: 147).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
GBHN 1988 (1990) memberikan batasan mengenai pengertian
pendidikan nasional yaitu sebagai berikut:
Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggungjawab atas pembangunan bangsa (hlm. 105).
Mengenai Pendidikan Nasional, Hasbullah (2005) berpendapat,
“Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara
berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis dan politis. Pendidikan
tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang
bersangkutan, yang sering juga disebut kepribadian nasional” (hlm. 121).
Dalam mewujudkan visi bangsa Indonesia yang lebih baik itu
memang tidaklah mudah, Rachman (2002) menyatakan:
Salah satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan ialah mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab (hlm. 376).
Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah saja,
tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial lebih luas. Jadi,
meski sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi
lingkungan masyarakat tidak atau kurang baik, maka pendidikan budi pekerti
di sekolah tidak akan banyak artinya. Jadi antara keluarga, sekolah dan
masyarakat harus terjadi hubungan yang harmonis dalam memajukan
pendidikan (Azra, 2002).
Pembelajaran pendidikan karakter menggunakan pengembangan
proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak dilakukan
melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah dan masyarakat.kegiatan di kelas,
pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin,
mendiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan gemar membaca dapat
melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan oleh guru. Kegiatan di Sekolah,
melalui kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
lomba vocal group, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter
bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba kesenian
antarkelas, lomba olahraga antarkelas. Kegiatan di luar sekolah, melalui
kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh atau
sebagian peserta didik yang dirancang sejak awal tahun pelajaran. Misalnya
kunjungan ke tempat-tempat yang mneumbuhkan rasa cinta tanah air,
menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat
untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial (Sri Judiani,
2010).
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk
memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam
kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika
yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya
mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat anak didik menjadi
beo yang dalam setiap ujian hanya mengulang apa yang disampaikan oleh
gurunya (Harsubenowati, 2006).
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua
rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan kembali. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks
yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga,
sekolah dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan
berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan
dan harmonisasi.
Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu
keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi
cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga
keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi
dirinya maupun orang lain (Sri Judiani, 2010).
Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan
kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
posivitisme ala comte. Tujuan pendidikan karakter sebagai upaya untuk
membentuk karakter yang merupakan perwujudan dari kesatuan esensial si
subjek dengan pelaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Oleh sebab itu,
pendidikan karakter lebih menekankan aspek religiusitas yang merupakan
modal bagi pembentukan moral (Harsubenowati, 2006).
Untuk membentuk anak didik yang memiliki karakter baik sebagai
guru dan pendidik harus memberikan contoh dan teladan yang baik. Dunia
pendidikan dewasa ini masih sering ditemui penyimpangan perilaku dari
pendidik yang tidak dapat diteladani. Misalnya kasus pelecehan seksual guru
terhadap anak didiknya, pemukulan guru terhadap anak didiknya, dll. Hal
tersebut ternyata bertentangan dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara
mengenai sistem among, tut wuri handayani dan tringa yang seharusnya
diterapkan di dunia pendidikan (Wardani, 2010).
Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah menurut
Azra (2002) dapat dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut:
Pertama, menerapkan metode modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan buruk. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education) (hlm. 176-177).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan sebagai pembentukan karakter merupakan suatu kegiatan yang
mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun
budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian
(persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan) dalam
suatu proses pendidikan atau dalam kegiatan belajar mengajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
4. Rukun dan Hormat
a. Rukun
Dalam konsep tentang kerukunan ditekankan bahwa pada hakekatnya
manusia hidup di dunia tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena` itu harus
memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Suatu saat tentu akan
membutuhkan bantuan orang lain. Orang Jawa menilai tinggi konsep sama rata
sama rasa yaitu mewajibkan untuk terus menerus berusaha, memelihara
hubungan baik dengan sesamanya, memperhatikan keperluan sesamanya, dan
sebisa mungkin membagi rata keuntungan dengan sesamanya (Taryati,
Harnoko, Mudjiono & Suhatno, 1994).
Kerukunan atau rukun adalah suatu kehidupan yang harmonis, tenang,
tentram, tidak saling cekcok, ribut maupun bertengkar. Kehidupan yang rukun
adalah kehidupan yang serba damai, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Kerukunan dalam keluarga adalah kehidupan yang saling hormat menghormati,
saling menghargai, saling membantu dan saling mengerti dalam keruwetan
(kerepotan) orang lain, serta tidak saling iri hati (Taryati,dkk., 1994).
Masyarakat Jawa menuntut agar usaha-usahanya untuk menjamin
kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri jangan sampai mengganggu
keselarasan sosial. Prinsip kerukunan secara prinsipiil melarang pengambilan
posisi yang bisa menimbulkan konflik (Tugiman, 1999).
Untuk menciptakan kerukunan di dalam keluarga, tidak hanya orang
tua saja yang diperhatikan, tetapi juga perlu ada kedudukan pada anak. Oleh
karena itu anak perlu dididik dan dibiasakan untuk dapat menciptakan suasana
kerukunan di dalam keluarga. Selain itu anak perlu dididik dan diberi
pengertian, mengenai konsep pengertian dan pentingnya hidup rukun, baik di
dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga (Taryati,dkk., 1994).
Dalam konteks budaya Jawa, rukun berarti beusaha menghindari
pecahnya konflik-koflik. Rukun sebenarnya merupakan konsep tentang
keadaan permukaan dari suatu hubungan sosial. Seorang individu Jawa bisa
saja mengalami konflik batin dalam menjaga kerukunan. Ia dapat merasa
tertekan karena harus mementingkan kepentingan kelompok, karena keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
rukun selalu menuntut pengorbanan individu bagi masyarakat Jawa yang
penting konflik tidak sampai dimanifestasikan secara destruktif. Apabila
terdapat kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan diperlunak dengan
teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan dalam tatanan
kelompok, sehingga tidak sampai timbul konflik. Itulah sebabnya dalam
perspektif Jawa keadaan rukun tidak selalu bermakna damai dalam arti tanpa
konflik (Ekopriyono, 2005).
Segala permasalahan akan dapat diatasi dengan kerukunan, sesuatu
yang sulit akan menjadi ringan karena ditanggung dan dirasakan bersama,
ibarat pepatah “rukun gawe santosa” adanya kerukunan dalam keluarga tidak
merepotkan tetangga, bahkan kalau sudah terbiasa hidup rukun sejak kecil,
kelak setelah keluarga akan saling membantu (Taryati,dkk., 1994).
Dengan prinsip kerukunan maka nilai terpenting bagi masyarakat
Jawa adalah menjaga harmoni, yaitu tuntutan untuk mencegah segala kelakuan
yang bisa menimbulkan konflik. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai
keselarasan sosial di mana semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama
lain. Namun demikian, tidak berarti sikap rukun berhubungan dengan
kesediaan hati untuk menomorduakan kepentingan dan hak-haknya sendiri
terhadap kelompok, juga jangan diartikan sebagai semacam cita-cita
tenggelamnya individu ke dalam kolektif. Orang Jawa menyadari dirinya
sebagai individu, dengan masalah-masalah hidup individual, dan dengan hak-
hak serta kepentingan pribadi (Handayani, 2004).
Hal tersebut sesuai dengan simpulan Hidred Geertz (1982: 54) bahwa
yang disebut rukun oleh orang-orang tua suku bangsa Jawa adalah adanya
kesepakatan, adanya kebulatan suara dalam kelompok dalam hal cara dan
tujuan, serta tindak tanduk lahiriah. Jika tidak terdapat pernyataan pendapat
dan perasaan yang berselisih dan terbuka, kelompok yang bersangkutan disebut
rukun. Dengan demikian maka pelaksanaan rukun sebenarnya tidak sekedar
menunjuk pada adanya saling bantu dan kerjasama saja, tetapi juga penampilan
sebagaimana mestinya, serta tidak adanya pertentangan antar pribadi (Taryati,
dkk., 1994).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Saat yang tepat untuk memulai mendidik kerukunan pada anak di
dalam keluarga pada umumnya dimulai sejak dini yaitu sejak anak masih kecil.
Apabila anak sudah terbiasa hidup rukun di lingkungan keluarga, anak akan
menjadi terbiasa rukun pula dengan orang lain di luar lingkungan keluarganya
(Taryati, dkk., 1994).
b. Hormat
Rasa hormat berarti menghargai seseorang atau sesuatu. Rasa hormat
mendorong kita memperlakukan orang lain dengan baik dan menghargai
manusia, jadi rasa hormat adalah bagian dari kebajikan utama kecerdasan
moral (Borba, 1982).
Saling menghormati sikap dan perilaku untuk menghargai dalam
hubungan antar individu dan kelompok berdasarkan norma dan tatacara yang
berlaku. Apabila bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung atau
menyakiti serta menghargai tatacara yang berlaku (Zuriah, 2007).
Paham hormat horizontal adalah hormat secara universal, pada siapa
saja yang terdapat di dunia karena dan sejauh menandung percikan ilahi.
Paham hormat kepada siapa saja merupakan modal cukup berharga bagi
pengembangan motivasi masyarakat guna menimbulkan sikap-sikap etis,
misalnya kejujuran, kesetiaan, empati, simpati dan toleransi. Sikap hormat
akan menjadi kondisi dasar bagi sikap manusiawi seperti mengagumi,
memahami yang persisnya adalah merupakan semangat yang pernah menyinari
budi manusia dalam kreativitas keilmuan yamg telah melahirkan puncak-
puncak prestasi (Sutrisno, 1983).
Ada tiga langkah untuk menumbuhkan rasa hormat. Setiap langkah
memupuk sikap baik, sopan dan adab pada anak-anak. Karena perilaku hormat
paling baik diajarkan dengan memberi contoh (bukan hanya dengan
menguraikannya), langkah pertama menjelaskan cara memperbaiki sikap orang
tua agar anak dapat melihat seberapa pentingnya hal tersebut. Langkah kedua
adalah membantu anak menyadari konsekuensi perilaku tidak sopan dan
menentang kekasaran, pembangkangan, dan kekurangajaran, karena anak yang
menunjukkan rasa hormat biasanya lebih sopan dan santun, langkah terakhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
adalah membantu anak menyesuaikan tata krama sehingga dapat menghormati
dan dihormati orang lain (Borba, 1982).
Prinsip hormat memainkan peran besar dalam mengatur pola interaksi
dalam masyarakat Jawa sepertinya juga merupakan karakteristik budaya Jawa
yang cukup dominan. Orang Jawa merasa sangat penting untuk mengikuti
aturan-aturan tatakrama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat atau
kebapakan yang tepat. Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat
yang tepat dikembangkan pada diri orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan
keluarga. Pertama-tama anak belajar untuk merasa takut kepada orang yang
harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap takut kepada orang yang lebih
tua atau orang asing. Tidak lama kemudian dimulailah pendidikan untuk
merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan
sebagainya. Orang Jawa merasa isin apabila tidak bisa menunjukkan sikap
hormat yang tepat kepada orang yang pantas dihormati (Handayani, 2004).
Membangun rasa hormat secara timbal balik tidak banyak berbeda
dengan membangun rasa percaya (trust) secara timbal balik. Apabila kita telah
mampu untuk percaya dan hormat pada diri kita maka langkah selanjutnya
sebagai pemimpin adalah mempercayai dan menghormati orang lain
(Bahaudin, 2007).
Prinsip hormat melarang pengambilan posisi-posisi yang tidak sesuai
dengan sikap-sikap hormat yang dituntut. Prinsip kerukunan dan hormat
menuntut agar selalu menguasai perasaan-perasaan dan nafsu-nafsu dan agar
mau mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi terhadap pertahanan
keselarasan masyarakat. Tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk
menunjukkan hormat akan menggerogoti tanggung jawab moral individu serta
keberlangsungan norma-norma moral lain apabila dimutlakkan (Tugiman,
1999).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. KERANGKA BERPIKIR
Keterangan :
Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa Pendidikan yang diterapkan
di Indonesia umumnya merupakan sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh
pendidikan dari barat, yaitu Belanda. Pendidikan Belanda tersebut merupakan
pendidikan yang bersifat sekuler. Ki Hajar Dewantara yang ketika masa
Sekularisme dalam praktek
kolonialisme/ imperialisme
Ki Hajar Dewantara
Pendidikan Jawa
Nilai-nilai luhur seperti : religius, jujur, toleransi, peduli sosial, tanggung
jawab, mandiri, dll.
Sistem Pendidikan Taman Siswa
Pembentukan Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pendidikan Barat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
mudanya menempuh pendidikan di Belanda, tentunya tidak bisa lepas dari
pengaruh pendidikan tersebut. Akan tetapi Ki Hajar yang merupakan
bangsawan tentunya mendapatkan pendidikan Jawa yang cukup kental
sehingga Ki Hajar masih memegang teguh Budaya Jawa, yang dalam budaya
Jawa tersebut terdapat nilai-nilai luhur seperti religius, jujur, toleransi, peduli
sosial, tanggung jawab, mandiri, dll.
Ki Hajar Dewantara dalam menempuh pendidikan mendapatkan dua
pengaruh, yaitu dari Pendidikan Jawa dan Pendidikan Barat, tetapi beliau
masih memegang kuat budaya Jawa tersebut dan pada akhirnya berhasil
membentuk Pendidikan Taman Siswa. Tujuan dari dibentuknya Taman Siswa
tersebut yaitu untuk membentuk nilai-nilai budaya karakter bangsa. Asas dan
dasar pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara dalam Sistem Pendidikan
Taman Siswa merupakan landasan dasar yang kokoh untuk membangun
karakter bangsa, bersendi pada budaya bangsa dengan tidak mengabaikan
budaya asing. Dengan adanya Sistem Pendidikan Taman Siswa tersebut akan
membentuk Sistem Pendidikan Nasional yang berkarakter.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara studi pustaka. Adapun perpustakaan
yang digunakan untuk memperoleh data sebagai berikut :
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta
c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta
d. Perpustakaan umum kota Surakarta
e. Perpustakaan umum kota Sukoharjo
f. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
g. Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk melaksanakan
penelitian ini dimulai dari disetujuinya judul skripsi pada bulan Januari 2012
sampai dengan waktu yang diperkirakan untuk melaksanakan ujian skripsi pada
bulan November 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
B. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Mengenai pengertian metode Koentjaraningrat (1983) berpendapat “Kata
metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan.
Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja,
yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan” (hlm. 7).
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan dan memaparkan tentang Pemikiran Pendidikan Nasional Ki
Hajar Dewantara. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa
lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode
sejarah ini, penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa
lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode sejarah sangat penting dalam merekonstruksi suatu peristiwa
sejarah. Helius Sjamsudin (1996) berpendapat:
Metode sejarah adalah bagaimana mengetahui sejarah. Metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek atau bahan-bahan yang diteliti. Jadi, metode berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis” (hlm. 2). Nugroho Notosusanto (1971) menyatakan pengertian tentang metode
penelitian sejarah sebagai :
Proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata. Metode sejarah merupakan cara atau teknik merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui 4 tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber (intern dan ekstern), interpretasi, dan historiografi (vii).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Sejalan dengan pendapat ini, Sartono Kartodirdjo (1992) menyatakan:
Metode penelitian sejarah adalah prosedur cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Penelitian sejarah harus membuat rekonstruksi suatu kegiatan yang disaksikan sendiri, karena secara mutlak tidak mungkin mengalami lagi fakta yang diselidikinya (hlm. 37).
Mengenai metode penelitian sejarah Louis Gottschalk (1983)
berpendapat, “Metode penelitian sejarah adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif
dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses itu
disebut historiografi (penulisan sejarah)” (hlm. 32).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang
akan dikaji. Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian
menguji dan menganalisis secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang
dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan
suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Helius Syamsuddin memberikan batasan dalam penelitian sejarah yang
menjadi sumber data adalah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan bahan
mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala evidensi (bukti) yang telah
ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia di masa
lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan/ lisan”
(1996).
Sidi Gazalba (1981) mengklasifikasikan sumber sejarah menjadi 3
macam, yaitu sebagai berikut:
Pertama, sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah, kedua, sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas, ketiga, sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder (hlm. 105).
Louis Gottshalck (1986) mengemukakan mengenai sumber tertulis
primer yaitu sebagai berikut:
Sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sezaman dan berasal dari orang yang sezaman. Sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sezaman dengan peristiwa yang dikisahkannya (hlm. 35).
Pada sumber sejarah yang primer belum ada campur tangan sejarawan di
dalamnya. Dokumen (arsip) terkait dengan peristiwa tertentu merupakan jejak
peristiwa masa lalu yang hadir apa adanya. Dengan kata lain sifat informasinya
masih berasal dari tangan pertama. Berbeda dengan sumber primer, pada sumber
sejarah sekunder sudah ada campur tangan dari peneliti sejarah untuk
merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sumber seperti ini dapat berupa buku-buku,
hasil penelitian, jurnal, makalah, artikel, karya ilmiah. Intinya, kehadirannya
sebagai sumber sejarah telah diwarnai oleh peneliti sejarah itu sendiri (Hamid dan
Madjid, 2011).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber tertulis primer
maupun sekunder. Sumber primer dalam penelitian adalah Buku dan Surat Kabar
misalnya Buku “ Pendidikan” karya Ki Hajar Dewantara, Surat Kabar Keluarga
tahun 1952 dan tahun 1953. Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku
literatur yang relevan dengan penelitian ini. Pengumpulan data berdasarkan
sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yaitu melakukan
pengumpulan data tertulis dengan menggali data dari Surat Kabar, Majalah, buku-
buku literatur dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui
kunjungan pustaka, analisis.
Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara lain “ Ki Hajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dewantara” karangan Darsiti Soeratman dan ”Menuju Manusia Merdeka”
karangan Ki Hajar Dewantara.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yaitu mengumpulkan
sumber-sumber primer dan sekunder, baik arsip, dokumen, buku. Studi
kepustakaan sangat berguna untuk mendapatkan berbagai teori yang dapat
mempertajam analisis melalui teori-teori ilmu-ilmu sosial yang berkaitan dengan
tingkah laku individu dan kelompok masyarakat, serta sistem sosial, sistem
ekonomi, sistem budaya, dan sistem politik.
Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.
Teknik pengumpulan digunakan untuk menemukan, menganalisis dan
mengklarifikasi data. Dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau
studi pustaka. Keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, Koentjaraningrat
(1986) berpendapat, “ Pertama, memperdalam kerangka teoritis yang digunakan
sebagai landasan pemikiran, kedua memperdalam pengetahuan akan masalah yang
diteliti, ketiga mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah
dalam perumusan, keempat menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian”
(hlm. 36).
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis historis. Mengenai teknik analisis historis Kartodirdjo (1992)
berpendapat, “Analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi
data sejarah. Interpretasi dilakukan mengingat bahwa fakta sejarah tidak mungkin
berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat
komplek, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta
itu sendiri” (hlm. 85).
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah
yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyektivitas dalam menganalisis data
sejarah perlu dikurangi. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
yang sesuai dalam sumber data sejarah dan harus kredibel. Unsur disebut kredibel,
apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar
terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan penyelidikan
kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Gottschalk, 1986).
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan
sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Langkah selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun kritik
ekstern. Sumber data tersebut kemudian dibandingkan dengan sumber data yang
lain guna memperoleh kredibilitas sumber data.
Dalam penelitian ini, analisis dilakukan setelah kegiatan pengumpulan
dan pengklasifikasian data. Analisis dimulai dengan menyeleksi dan
membandingkan data kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan berbagai
keterangan lengkap mengenai data yang dijadikan fakta sejarah. Mengacu pada
kajian teori, fakta diberi keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai
tersusun fakta yang saling menunjukkan hubungan yang relevan diinterpretasikan
guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian perlu dibuat sebelum melakukan penelitian karena
dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya penelitian.
Menentukan tema yang akan diteliti merupakan langkah awal sebelum membuat
suatu rencana kerja dari persiapan membuat proposal sampai dengan penulisan
hasil penelitian. Untuk mempermudah penelitian, langkah yang perlu diambil dan
dijalankan guna mendapatkan hasil penelitian yang optimal diperlukan adanya
prosedur yang bisa digambarkan dalam bagan (persiapan). Bagan berisi langkah
sistematis yang menggambarkan kegiatan ini dari awal (perencanaan) sampai
dengan pembuatan laporan hasil penelitian. Setiap penelitian mempunyai prosedur
yang berbeda-beda menurut disiplin ilmu dan tujuan yang ingin dicapainya.
Penelitian ini merupakan historis maka skema dalam metode historis digambarkan
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi
Fakta Sejarah Jejak / Peristiwa
Sejarah
Gambar 3.1 Prosedur penelitian
Keterangan :
1. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan
cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan
dengan penelitian ini (Notosusanto, 1978). Sedangkan Menurut Sidi Gazalba
heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk
mendapatkan bahan penelitian (1981).
Banyak ahli metodologi yang telah mencoba membuat klasifikasi, dari
yang sangat sederhana sampai pada yang bercabang-cabang. Klasifikasi yang
sederhana mengenai sumber sejarah terdiri atas tiga macam, Notosusanto (1978)
berpendapat, “Pertama, sumber benda (bangunan, perkakas, senjata); kedua
sumber tertulis (dokumen); dan ketiga sumber lisan (misalnya hasil wawancara)”
(hlm. 36).
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan
tema penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa
perpustakaan di antaranya Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Perpustakaan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Nasional
Surakarta, Perpustakaan Kota Surakarta, dan lain-lain.
2. Kritik
Setiap sumber memiliki aspek ekstern dan intern. Aspek eksternnya
bersangkutan dengan persoalan apakah sumber itu memang merupakan sumber;
artinya sumber sejati yang peneliti butuhkan. Aspek internnya bertalian apakah
sumber itu dapat memberikan informasi yang peneliti butuhkan. Karena itu
sumber-sumber sejarah mempunyai dua segi, ekstern dan intern (Notosusanto,
1978).
Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak
sejarah yang telah dikumpulkan, yaitu yang menyangkut jejak-jejak sejarah itu
dapat dipercaya atau tidak. Kritik terbagi menjadi dua macam yaitu kritik ekstern
dan kritik intern.
Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu
kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan
dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam
penelitian ini dilaksanakan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah tertulis
berupa buku-buku literatur, surat kabar, majalah. Berbagai bentuk sumber data
tersebut dikelompokkan ke dalam jenis sumber data tertulis primer atau sekunder.
Aspek fisik kedua jenis sumber data sejarah tersebut, diidentifikasi meliputi
pengarang, tahun, dan tempat penulisan, atau penerbitan sumber data sejarah
tertulis, orisinalitas, penulisan apakah ditulis pengarang tersebut atau tidak.
Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang
disampaikan oleh sejarawan. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber
tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai
keasliannya, kemudian dilakukan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran
isi sumber, yang dapat ditempuh dengan cara membandingkan sumber sejarah
yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut
dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu
dengan sumber yang lain. Kritik intern dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti
pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa
lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat
dipercaya. Kerja kritik adalah membandingkan isi sumber. Hasil dari kritik
sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau
rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan interpretasi.
3. Interpretasi
Tahap interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis
sejarah. Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan
atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang
menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna
dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut
sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.
Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan
fakta sejarah atau sintesis sejarah
4. Historiografi
Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah/historis) adalah
merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis, diakronis dan sistematis,
menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Sifat uraian itu harus benar-benar tampak,
karena hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah sebagai penulisan ilmiah,
sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.
Dudung Abdurahman (2007:76) menyatakan bahwa historiografi
merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan. Dalam laporan penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian
sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari
awal (fase perencanaan) sampai dengan akhir yaitu dilakukannya penarikan
kesimpulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Penulisan sejarah yang bersifat ilmiah harus memperhatikan kaidah-kaidah
penulisan karya ilmiah pada umumnya, kaidah-kaidah tersebut antara lain:
a. Bahasa yang digunakan harus bahasa yang baik dan benar menurut kaidah
bahasa yang bersangkutan. Karya ilmiah dituntut untuk menggunakan
kalimat efektif.
b. Memperhatikan konsistensi, antara lain dalam penempatan tanda baca,
penggunaan istilah, dan penunjukan sumber.
c. Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks
permasalahannya.
d. Format penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku,
termasuk format penulisan bibliografi/daftar pustaka/daftar sumber.
Hasil penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya analisis
mengenai pemikiran pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara serta mengetahui
implementasi dari pemikiran pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara tehadap
pendidikan di Indonesia.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pemikiran Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Ki Hajar Dewantara
a. Kehidupan Masa Kecil
Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di
Soerjaningratan yang terletak di sebelah Timur pura Paku Alaman
Yogyakarta. Ibu Ki Hajar adalah putri keraton di Yogyakarta, lebih dikenal
sebagai pewaris Kadilangu, keturunan langsung dari Sunan Kalijogo. Ayah
Ki Hajar adalah keturunan Sultan Hamengku Buwana II, putra sulung Paku
Alam III yaitu G.P.H. Suryaningrat (Irna, 1985).
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di kalangan kaum ningrat, kaum
bangsawan, yang pada saat itu masih sangat dibedakan dengan lapisan
masyarakat yang lain (Soeprapto, 1973).
Ki Hajar Dewantara menikah dengan Raden Ajeng Sutartinah, putri
dari G.P.H. Sasraningrat, adik dari G.P.H. Suryaningrat yang merupakan ayah
dari Ki Hajar Dewantara, jadi Ki Hajar dan istrinya adalah saudara sepupu
(Suratman, 1990).
Ki Hajar selesai dari Sekolah Dasar kemudian melanjutkan ke Stovia
Jakarta pada tahun 1905. Sebagai seorang murid Ki Hajar tidak hanya
mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi
pikiran Ki Hajar sendiri berkembang jauh, bahkan kadang-kadang sampai
menimbulkan kejutan di kalangan teman-temannya. Kadang-kadang Suwardi
menampilkan sifatnya yang berani, demonstratif. Hal itu selalu dilandasi
dengan pikiran dan keyakinannya yang mapan dan mantap, di samping
semangat perjuangan Ki Hajar yang membara (Oetomosoekranah, 1981).
Mengenai pendidikan Ki Hajar Dewantara, Komandoko (2006)
berpendapat:
Nama kecil Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ki Hajar bersekolah di ELS (Europesche Lagere School - Sekolah Dasar Belanda), setelah lulus ELS Ki Hajar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dewantara melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hajar Dewantara mendapat beasiswa dan bersekolah di STOVIA, singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen yang disebut juga Sekolah Dokter Jawa, di Batavia (Jakarta) (hlm. 172).
Di Jakarta inilah pandangan kebangsaan Suwardi semakin luas.
Pelajar-pelajar STOVIA datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pergaulan
Suwardi dengan pelajar-pelajar STOVIA ini memperluas dan memperdalam
rasa kebangsaan Suwardi (Sagimun, 1983).
Suwardi ternyata juga mempunyai kegemaran menulis. Melalui jiwa
kerakyatannya yang kuat mendasar, Suwardi sering menuangkan masalah-
masalah, pemikiran-pemikiran yang akurat di penerbitan-penerbitan pers
waktu itu (Oetomosoekranah, 1981).
Ketika belajar di STOVIA, Ki Hajar sudah memperlihatkan bakat
mengarangnya. Karangannya dimuat di surat kabar Sedyo Tomo (bahasa
Jawa), De Express (bahasa Belanda) dan Midden Java (bahasa Belanda).
Hatinya pun tergerak oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sewenang-
wenang oleh pemerintah Belanda (Gustamin, 1993).
Mengenai pengalaman bekerja Ki Hajar Dewantara selain dalam
bidang jurnalistik, Harahap & B. S. Dewantara (1980) berpendapat, “ Ki
Hajar Dewantara meninggalkan STOVIA, lalu bekerja pada pabrik gula
KaliBagor di Banyumas, kemudian sebagai asisten apoteker pada Rathkamp
di Yogyakarta. Pekerjaan sebagai apoteker ternyata kurang cocok bagi Ki
Hajar, kemudian Ki Hajar terjun ke dunia jurnalistik (hlm. 3).
Ki Hajar Dewantara telah mencoba bermacam-macam pekerjaan,
kemudian ternyata Ki Hajar lebih tertarik pada pekerjaan di lapangan
jurnalistik, Mudyahardjo menerangkan bahwa Ki Hajar Dewantara memulai
karier perjuangannya di lapangan jurnalistik, yang dipergunakan sebagai alat
memberikan pendidikan politik kepada rakyat, melalui tulisan-tulisannya
yang berisi cita-cita perjuangannya. Karier jurnalistik Ki Hajar dimulai di
Yogyakarta sebagai pembantu harian “Sedyo Utomo” dan harian bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Belanda “Midden Java” di Semarang, kemudian pindah ke Bandung menjadi
koresponden “De Expres” yang dipimpin oleh Douwes Dekker (2001).
Ki Hajar Dewantara kemudian memutuskan untuk tetap
berkecimpung dalam bidang persuratkabaran, dan ternyata Ki Hajar lebih
tertarik di lapangan jurnalistik daripada semua pekerjaan yang telah dijalani
(Irna, 1985).
Bakat yang dimiliki Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik
digunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dan
mencurahkan rasa hati serta cita-cita perjuangan Ki Hajar Dewantara
(Tauchid, 1963).
Ki Hajar Dewantara selain banyak berperan dalam bidang
pendidikan juga aktif dalam berbagai bidang, sehingga mempunyai banyak
predikat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suratman (1984) yang
menyatakan:
Ki Hajar Dewantara mempunyai banyak predikat, sesuai dengan kepribadian Ki Hajar yang memang beraneka ragam (multifact), sehingga tergantung dari sudut mana memandangnya. Meskipun demikian dapat dirinci dalam tiga kategori predikat yang utama, yaitu pendidik, budayawan dan pemimpin rakyat (hlm. 2).
Perkenalan pertama antara Ki Hajar Dewantara dengan Douwes
Dekker berlangsung sekitar tahun 1908. Ketika Douwes Dekker menjabat
redaktur Bataviaasch Nieuwsblad yang dipimpin oleh Zaalberg, Douwes
Dekker memasukkan beberapa pembantu redaksi dari orang Indonesia antara
lain, Suryopranoto, Cipto Mangunkusumo dan Gunawan Mangunkusumo.
Douwes Dekker dianggap berbahaya bagi keamanan orang-orang Belanda
karena memasukkan pembantu redaksi dari orang Indonesia maka oleh
redaksi dipecat dari Bataviaasch Nieuwsblad (Suratman, 1990).
Hubungan antara Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara menjadi
semakin akrab setelah Douwes Dekker membaca tulisan Ki Hajar Dewantara
dalam harian-harian di Jawa Tengah, juga dalam harian De Express yang
diasuh oleh Douwes Dekker sendiri akhirnya mengetahui tentang kehebatan
Ki Hajar dalam jurnalistik. Douwes Dekker mengundang Suwardi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
pindah ke Bandung dan ikut mengasuh De Express. Pada tahun 1912 di kota
Bandung Suwardi kemudian menjadi Ketua Perhimpunan SAREKAT
ISLAM didampingi oleh Abdul Muis dan A.H Wignyadisastra, pemimpin
redaksi harian Kaoem Moeda (Harahap & B.S Dewantara, 1980).
Pada tahun 1912 Suwardi, Douwes Dekker dan Dr. Cipto
Mangunkusumo mendirikan Indische Partij, yang secara terang-terangan
menamakan dirinya sebagai badan “partai politik”, menuju kearah
kemerdekaan nusa dan bangsa (Dewantara, 1952).
Usaha yang dilakukan oleh Ki Hajar dan kawan-kawannya dalam
mempropagandakan “Indische Partij” sangat bermacam-macam, Harahap dan
Dewantara (1980) menjelaskan:
Tiga Serangkai (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo) itu menjelajahi pulau Jawa untuk mempropagandakan “Indische Partij” dan akhirnya mencapai sukses besar. Melalui alat media De Express dan penulisan serta penyebaran buletin dan brosur, gerakan nasional dari Tiga Serangkai ternyata menggemparkan masyarakat dan menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan kolonial Hindia Belanda (hlm. 4). Pada bulan Juli 1913 bersama Cipto Mangunkusuko, mendirikan
panitia untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan “Nederland”, disingkat
“komite bumiputera”, untuk memperotes rencana perayaan 100 tahun
kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis, yang akan dilaksanakan
pada tanggal 15 November 1913 di Indonesia dengan memungut biaya dari
rakyat secara paksa (Sudiyat, 1989).
Program-program dalam Indische Partij menunjukkan perlawanan
terhadap pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar, Douwes Dekker dan Cipto
Mangunkusumo dibuang ke negeri Belanda selama 6 tahun (1913-1919)
(Komandoko, 2006).
Tindakan yang dilakukan oleh Tiga Serangkai itu ternyata
menimbulkan akibat yang cukup serius, Tauchid (1963) mengatakan
“berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913
no. 2a, Ki Hajar Dewantara di internir ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke
Banda dan Douwes Dekker ke Timur Kupang” (hlm. 22).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Menurut ketentuan yang ada apabila diinginkan Suwardi, Tjipto dan
Douwes Dekker boleh meninggalkan Hindia Belanda. Berdasarkan
persetujuan dan kehendak ketiganya, maka negeri Belanda dipilih sebagai
tempat pengasingan, dengan pertimbangan agar di luar negeri nanti masih
dapat melanjutkan kegiatan politik (Irna, 1985).
Dalam pembuangan Suwardi, tentunya Belanda menginginkan agar
Suwardi bisa jinak, akan tetapi putra bangsawan itu memang tidak mudah
menyerah dengan keadaan, justru keadaan yang sulit itu dimanfaatkan untuk
belajar di bidang pendidikan. Suwardi juga mendirikan Persbiro Indonesia
dan juga menyibukkan diri dalam organisasi mahasiswa Indische Vereniging
(Oethomosoekranah, 1981).
Masa pengasingan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Ki
Hajar Dewantara, diantaranya dengan memperdalam jurnalistik, belajar seni
drama, menjadi redaktur majalah “Hindia Poetera”, membantu mingguan “De
Indier”, berkeliling memberi ceramah tentang aspirasi rakyat Indonesia yang
sesungguhnya, memperoleh Akta Mengajar (12 Juni 1915) (Sudiyat, 1989).
Tanggal 17 Agustus 1917, sesudah empat tahun kurang satu hari
dalam pembuangan, putusan hukuman pembuangan Ki Hajar Dewantara
dicabut, boleh kembali ke tanah air sebagai orang bebas, tetapi berhubung
dengan masih mengamuknya perang dunia, baru dapat kembali ke tanah air
pada tanggal 6 September 1919 (Tauchid, 1963).
Pada tahun 1919 Ki Hajar Dewantara diundang oleh kongres yang
pertama di Den Haag, sebagai ahli kesusastraan Jawa yang dibuktikan dengan
pandangan Ki Hajar Dewantara yang tajam dan diarahkan jauh ke depan,
yaitu Ki Hajar Dewantara menyatakan keyakinan bahwa bahasa Melayulah
yang nantinya akan menjadi dasar dari bahasa persatuan bangsa Indonesia
(Soeprapto, 1973).
Ki Hajar Dewantara yakin bahwa, keadaan yang berjiwa kolonial
tidak akan hilang jika hanya dilawan dengan pergerakan politik, tetapi harus
mampu menyebarkan benih hidup merdeka dikalangan rakyat Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
sendiri dengan jalan pengajaran disertai pendidikan nasional (Obor Rakyat,
1961).
Ki Hajar Dewantara semasa hidupnya selalu mengumandangkan
aspirasinya tentang pendidikan, sehingga pemerintah kemudian memberikan
penghargaan baik yang berupa satya Lencana Kemerdekaan, Pahlawan
Nasional Perintis Kemerdekaan, termasuk pemberian gelar doktor honoris
causa oleh UGM karena pengabdian Ki Hajar yang dalam di bidang
kebudayaan (Pikiran Rakyat, 1979).
b. Pendidikan yang diperoleh
1) Pendidikan Jawa
Salah satu hal yang turut membentuk kepribadian seseorang selain
potensi kodrati sebagai garis kehidupannya, juga kondisi lingkungan yang
memberikan pengalaman rohani dan jasmani, begitu pula dengan Suwardi,
seperti yang dinyatakan oleh Suratman (1990) yaitu, “Suwardi adalah
keturunan Sri Paku Alam III. Kehidupan dalam Kepangeran dengan segala
tradisi dan peraturan kehidupan kebangsawanan merupakan lingkungan hidup
yang sangat berpengaruh” (hlm 3).
Pengaruh hidup keluarga itu terus menerus dialami oleh anak-anak
mulai anak itu kecil hingga besar, maka budi pekerti tiap orang itu selain
terbentuk oleh dasar pembawaannya, sebagian besar dipengaruhi juga oleh
pengalaman anak-anak pada waktu masih dalam “gevoelige periode”, yaitu
pada waktu kecilnya berumur 7 tahun (Dewantara, 1943).
Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari Pesantren Kalasan di
bawah asuhan K.H. Abdurrahman. Sejak awal, pengasuh pesantren telah
melihat adanya keistimewaan pada sosok Suwardi. K.H. Abdurrahman
menjuluki Suwardi sebagai “Jemblung Trunogati” atau “anak mungil berperut
buncit, tetapi mampu menghimpun pengetahuan yang luas” (Rahardjo, 2009).
Pangeran Suryaningrat sangat menyukai musik dan soal-soal
keagamaan yang bersifat filosofis dan ke Islaman. Tulisan Pangeran
Suryaningrat banyak berbentuk syair dan bersifat filosofis-religius sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dengan pandangan hidup Pangeran Suryaningrat ialah Islam-Jawa (Suratman,
1990).
Ayah Ki Hajar Dewantara sangat taat menjalankan ajaran agamanya.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan Mataram, sehingga
diharuskan mempelajari kesusteraan Jawa dan mendalami kesenian. Sejak
kecil Ki Hajar banyak menonton wayang dan mengenal sekali cerita-cerita
wayang dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tersebut. Tokoh
Kresna dan Yudhistira menjadi tokoh pujaan Ki Hajar Dewantara. Sifat-sifat
dan watak kedua tokoh tersebut besar pengaruhnya terhadap perkembangan
jiwa Ki Hajar Dewantara. Adil, jujur, tidak pendusta, selalu menepati janji,
suka damai dan penuh cinta kasih merupakan pedoman hidup Ki Hajar
Dewantara (Sagimun, 1983).
Jiwa kerakyatan Suwardi Suryaningrat juga tampak dari pola
pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan, satu diantaranya yang cukup
terkenal yaitu, Andai aku seorang Belanda, tulisan bernada protes perhadap
pemerintah Belanda waktu itu (Pikiran Rakyat, 1979).
Ki Hajar Dewantara adalah seorang bangsawan, namun Ki Hajar
selalu berjiwa kerakyatan, karena sejak kecil Ki Hajar sering dan senang
bermain dengan anak-anak orang biasa. Bahkan kerika kecil sering tidur
bersama anak-anak orang biasa di masjid. Ketika di penjara Ki Hajar menolak
perlakuan istimewa. Ki Hajar ditahan bersama orang-orang penjara lainnya,
bahkan Ki Hajar ikut melakukan kerja paksa, tidak mau diperlakukan berbeda
dengan orang lain hanya karena Ki Hajar seorang bangsawan, anak seorang
pangeran (Sagimun, 1983).
Lingkungan merupakan tempat yang paling dominan membentuk
karakter dari Suwardi, seperti diungkapkan Suratman (1990) yaitu, “di dalam
lingkungan keluarga Suwardi dilakukan kegiatan berolah sastra. Suasana
religius dengan adanya langgar dan masjid di dekat rumah Suwardi,
mempertebal keyakinan agamanya. Suwardi menerima ajaran agama Islam
dari Pangeran Suryaningrat” (hlm. 7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
2) Pendidikan Barat
Ketika Ki Hajar putus sekolah kemudian tidak membuat Ki Hajar
menjadi patah semangat. Ki Hajar Dewantara yang telah aktif dalam
pergerakan nasional menyalurkan ekspresi perjuangannya melalui tulisan-
tulisannya. Berbagai tulisan-tulisan Ki Hajar dimuat di berbagai media massa,
di antaranya Sedya Tama, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, De
Expres, Tjahaja Timoer, dan Poesara (Komandoko, 2006).
Pada tahun 1913 Ki Hajar Dewantara diasingkan di negeri Belanda
terkait dengan tuduhan atas tulisan Ki Hajar yang menyinggung pemerintah
kolonial Belanda, padahal sebenarnya Ki Hajar tidak bermaksud seperti itu.
Tanah pengasingan yang mestinya salah satu wujud sistem hukuman agar
manusia jera, ternyata dimanfaatkan secara baik oleh Suwardi untuk
menambah pengetahuan dan pengalamannya dengan tetap berjuang untuk
kepentingan nusa dan bangsa Indonesia (Suratman, 1989).
Di dalam pembuangan Ki Hajar Dewantara menggunakan waktu
yang sebaik-baiknya yaitu belajar menjadi guru di Den Haag, anggota aktif
dari perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda “Indische Vereeniging” yang
kemudian lebih dikenal dengan Perhimpunan Indonesia (Soeprapto, 1973).
Tanah pembuangan Belanda dimanfaatkan Ki Hajar untuk
mengembangkan diri. Ki Hajar mempelajari secara sistematis pengetahuan
dan keterampilan jurnalistik dari S de Roode, kemudian mempelajari seni
drama dari Herman Kloppers serta mempelajari ilmu dan praktek pendidikan
dari berbagai sumber. Pada tanggal 12 Juni 1915 sempat memperoleh akta
guru (Ki Supriyoko, 1995).
Ketika dalam pengasingan di negeri Belanda, Ki Hajar mengobarkan
perjuangan kemerdekaan dan mengabarkan pada dunia internasional tentang
penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan Belanda melalui pidato-
pidatonya di kota Amsterdam, Groningen, Den Haag dan Utrech, bahkan Ki
Hajar sempat menambah ilmu tentang pendidikan hingga memperoleh ijazah
keguruan (Gustamin, 1993).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Hukuman pengasingan yang dijalani Ki Hajar Dewantara di Belanda,
baik itu penahanan dan penjara tidak menjadikan Ki Hajar jera maupun
mematahkan kegiatan serta semangat perjuangannya dalam mencapai cita-
cita, akan tetapi menjadikan Ki Hajar semakin tangguh dan ulet (Suratman,
1990).
Di Belanda Ki Hajar pun mengembangkan kemampuan pers dan
jurnalistik yang dimilikinya, sempat menjadi redaktur majalah “Indische
Vereeniging”, membantu majalah “Indische Partij” dan lain-lain. Dalam hal
ini Ki Hajar benar-benar mengaplikasikan ilmu “ngeti ning ora beli”: seolah-
olah dapat menerima perlakuan masyarakat Belanda tetapi pendirian anti
kolonial tetap terpatri di dadanya. Ki Hajar juga memberikan ceramah-
ceramah pada masyarakat Belanda maupun masyarakat Indonesia yang ada di
Belanda mengenai keadaan Indonesia
Ki Hajar Dewantara adalah seseorang yang hebat, karena sanggup
menghadapi 2 unsur kebudayaan yang masuk dalam kehidupan Ki Hajar dan
memadukannya secara serasi, seperti diungkapkan Rahardjo (2009) yaitu
sebagai berikut:
Ki Hajar Dewantara tidak ingin berpisah dengan rakyat dan selalu ingin berada bersama rakyat untuk selalu berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini Ki Hajar dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda, yaitu Jawa dan Barat. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut. Meskipun mendapatkan pendidikan Barat, Ki Hajar tidak kemudian menjadi individualistik, dan meskipun mendapat pendidikan Jawa, Ki Hajar juga tidak langsung menjadi seorang Jawa kolot. Pemahaman bahwa seseorang haruslah bekerja keras untuk melayani dan bukan untuk dilayani menjadi bukti bahwa Ki Hajar adalah seorang sosok yang mengombinasikan nilai-nilai luhur dua kultur, yaitu Jawa dan Barat (hlm. 108).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2. Pemikiran Pendidikan
a. Pendidikan sebagai pembebasan (ada perbandingan antara pemikiran
Ki Hajar dengan pemikiran Paulo Freire dan Montessori)
1). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
Pengertian dari pendidikan sangatlah luas. Rahardjo (2009)
mengartikan pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, pendidikan akan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tinggi (hlm. 75).
Mengenai konsep pendidikan yang diberikan oleh Belanda kepada
bangsa Indonesia, Ki Hajar Dewantara (1977) berpendapat, “Pendidikan dan
pengajaran yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia,
didasarkan pada azas dan dasar kolonial, yaitu untuk kepentingan penjajahan
dari bangsa Belanda” (hlm. 147).
Lahirnya Taman Siswa dinyatakan Ki Hajar Dewantara sebagai jalan
kembalinya pendidikan bangsa Indonesia ke yang nasional, yang ditandai
dalam usaha pengajarannya dengan penggunaan bahasa ibu menjadi bahasa
pengantar dalam pelajaran di Taman Siswa, serta penghapusan permainan dan
nyanyian anak-anak Belanda dengan yang nasional (Tauchid, 1979).
Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak
pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan
yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain
untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda,
sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi,
tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja-
pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).
Pengajaran yang tidak didasarkan pada semangat kebudayaan hanya
akan membentuk intelektual saja, sehingga intelektualisme akan semakin
berkembang di kalangan sebagian rakyat, yang akan menuntut pendidikan
dan pengajaran secara Eropa, dengan sendirinya melepaskan diri dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
masyarakat. Selain materialisme dan intelektualisme, hasil yang ditimbulkan
dari sistem pengajaran secara Barat yaitu rasa perseorangan atau
individualisme yang memisahkan orang yang satu dengan orang lain,
sehingga hilanglah “rasa keluarga” antara rakyat Indonesia yang sebenarnya
bisa menjadi tali yang suci dan kuat serta dasar yang kokoh untuk
menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Individualisme inilah yang
dapat mengakibatkan terpecah belahnya rasa persatuan keluarga bahkan
bangsa (Dewantara, 1977).
Tujuan pendidikan mengalami pergeseran, yang awalnya memiliki
target menciptakan manusia memiliki watak kemanusiaan, berubah kearah
materialisme (Sarjono dan Nurudin, 2000)
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri
perguruan Taman Siswa telah menciptakan suatu sistem pendidikan nasional
bagi bangsa Indonesia, berdasarkan garis hidup dan kebudayaan bangsanya.
Lahirnya pendidikan nasional merupakan reaksi positif terhadap pendidikan
kolonial yang berlaku waktu itu dengan kultur yang melandasinya (Suratman,
1980).
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa untuk menciptakan
hasil pendidikan yang memiliki lahir dan batin yang luhur maka pengajaran
yang didasarkan pada semangat keduniawian (materialisme), semangat
kenadlaran (intelektualisme), serta semangat perseorangan (individualisme)
dengan demokrasi Barat yang memecah belah rasa keluarga maupun kekuatan
yang lain, harus diganti dengan semangat ketimuran, yaitu sebagai berikut:
a. Pengajaran rakyat harus didasarkan pada semangat keluhuran budi manusia, sehingga mementingkan nilai-nilai kebatinan (mental culture) dan menghidupkan semangat idealisme.
b. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kecerdasan budi pekerti, yaitu matangnya jiwa seseorang secara utuh (character building)
c. Pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kekeluargaan, yaitu merasa bersama-sama hidup, bersama-sama susah dan senang, bersama-sama tanggung jawab; mulai keluarga dalam lingkup kecil sampai keluarga yang besar, misalnya kekeluargaan bangsa-bangsa (hlm. 139).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pendidikan memang selalu menjadi masalah bagi negara-negara
berkembang. Suratman (1989) menyatakan:
Di negara-negara berkembang, masalah pendidikan memang merupakan masalah nasional dan masalah sosial. Masalah nasional karena pendidikan terkait langsung dengan masa depan bangsa tersebut. Menjadi masalah sosial, karena pendidikan melibatkan kepentingan seluruh warganya” (hlm. 17). Pendidikan adalah untuk mendidik manusia, jadi sebenarnya
merupakan kewajiban utama bagi setiap pemerintah dan menjadi hak bagi
setiap warga untuk menikmati pendidikan, akan tetapi kesempatan
pendidikan bukan semakin bertambah tetapi sebenarnya berkurang. Masalah
yang dihadapi manusia bukannya berkurang tapi sebaliknya bertambah
kompleks. Ini ironis karena sebenarnya oleh penguasaan manusia terhadap
teknologi, manusia berhasil mengontrol alam untuk kebutuhannya. Suatu
ancaman besar muncul dari horison kemanusiaan dalam bentuk eksploitasi
penduduk dunia disertai disertai dengan eksploitasi polusi lingkungan
manusia sendiri. Apabila masalah ini tidak segera diatasi, berarti manusia
sedang menciptakan “bom waktu” untuk dirinya sendiri (Pikiran Rakyat,
1975).
Ketika bangsa Indonesia belum kedatangan bangsa Belanda,
Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia, Tauchid (1979) berpendapat:
Sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan dan kepribadian nasional, yang mengutamakan pembentukan watak untuk manusia merdeka lebih tinggi nilainya, yaitu sistem paguron, dengan tidak mengabaikan segi-segi baik dari nilai-nilai sistem sekolah yang modern (hlm. 29). Ketika Menteri Pendidikan Sjarif Thajeb berpidato menyambut Hari
Pendidikan, Sjarif Thajeb menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan
meneruskan garis-garis pokok kebijaksanaan pembaharuan pendidikan yang
telah dijalani selama ini. Tapi pembaharuan itu memerlukan proses yang
cukup lama, dan mungkin hasil pembaharuan pendidikan itu baru bisa dilihat
pada satu generasi yang akan datang (Pikiran Rakyat, 1974).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Pengajaran Nasional dan Pengajaran Kolonial itu sangat berbeda.
Pengajaran Nasional bertujuan untuk mendidik intelektual masyarakat
Indonesia, agar masyarakat kelak menjadi penegak keluhuran tanah dan
bangsa Indonesia, sedangkan Pengajaran Kolonial itu bertujuan mendidik
rakyat untuk dijadikan sebagai pembantu kekuasaan kolonial. Syarat-syarat
dari pengajaran kolonial itu sangat merugikan rakyat, karena guru-gurunya
harus orang Belanda sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan saran-
saran keliru bahwa kita orang Indonesia tidak pandai dalam memberikan
pengajaran, kemudian masyarakat kita dididik oleh orang Belanda, sehingga
lambat laun bisa saja memiliki watak seperti orang Belanda dan jauh dari
kehidupan rakyat. Ilmu-ilmu yang seharusnya diberikan kepada anak-anak
Indonesia misalnya saja kebudayaan nasional, rasa cinta tanah air malah tidak
diberikan sehingga sangat merugikan bagi anak-anak Indonesia, kemudian
karena sangat kurangnya guru (Belanda) sehingga masih banyak yang buta
huruf (Dewantara, 1977).
Sebenarnya banyak sekali gagasan dan cita-cita Ki Hajar Dewantara,
tetapi inti dari cita-cita Ki Hajar berkisar pada “Pembinaan suatu masyarakat
tertib damai dan sadar bahagia, berdasarkan asas kekeluargaan dimana setiap
orang mempunyai kemerdekaan untuk menyelenggarakan hidupnya menurut
nilai-nilai budinya yang tertinggi di dalam batas-batas kepentingan umum,
kepentingan nusa dan bangsa dan kepentingan seluruh manusia” (Obor
Rakyat, 1961).
Ki Hajar Dewantara dalam melaksanakan pendidikan bagi bangsa
Indonesia pasti menerapkan suatu prinsip atau asas yang digunakan agar
pendidikan itu bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan, yaitu berakar
pada nasionalisme/ kebudayaan sendiri. Berikut ini adalah beberapa ajaran
yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara dalam pelaksanaan pendidikan di
Indonesia, terutama dalam perguruan Taman Siswa:
a) Sistem Among
Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan mempunyai konsep
tentang metode Among. Kata “among” yang berasal dari bahasa Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
mempunyai arti seseorang yang tugasnya “ngemong” atau “momong”, yang
jiwanya penuh pengabdian. Pamong atau Inang pengasuh, mempunyai tugas
untuk mengasuh anak dengan penuh pengabdian. Metode among berjiwa
kekeluargaan, sehingga memberi gambaran tentang interaksi yang harus
terjadi antara pamong-siswa (Suratman, 1989).
Kelahiran Sistem Among dapat dikatakan mendapat inspirasi para ahli
dari luar negeri, terutama sesudah Ki Hajar mendalami pemikiran dari para
ahli tersebut. Pengaruh dari para ahli yang diterima Ki Hajar tidak begitu saja
diterima tetapi diolah sesuai dengan situasi dan kondisi sosial budaya bangsa
Indonesia, dan dari hal itu dapat dilihat sikap selektif adaptif Ki Hajar
Dewantara (Hariyadi, 1985).
Kata “mong” atau “among” sering ditemukan dalam beberapa kata
majemuk seperti: among putro, among mitro, among tamu, among dagang,
among tani. Dalam ungkapan tersebut selalu terdapat perilaku seseorang yang
akan selalu berusaha agar bisa menyenangkan, menggembirakan,
menyelamatkan dan membahagiakan pihak lain. Jadi mengamong atau sikap
among mengandung makna: membantu, memelihara suasana, menciptakan
iklim yang kondusif, disertai rasa tanggung jawab, kerelaan berkorban, penih
pengabdian dan dilandasi kasih sayang serta kemanusiaan (Suratman, 1990).
Mengenai sistem Among Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan
secara lebih rinci sebagai berikut:
Dalam sistem Among pengajaran berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi juga harus mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan dan menggunakannya untuk kepentingan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (hlm. 48). Menurut Ki Hajar Dewantara dalam sistem “among” bukan saja
pamong (guru) yang mengikuti anak didiknya dari belakang dengan
memberikan kebebasan berkreasi, tetapi juga harus mampu bersikap keras
jika diketahui anak didiknya nyeleweng. Dalam hal ini pamong juga harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
mengutamakan kodrat murid untuk mendekatkan diri dengan alam dan
masyarakatnya (Oethomosoekranah, 1981).
Ki Hajar Dewantara dengan Sistem Amongnya mengoreksi sistem
pendidikan kolonial pada saat itu dengan usaha mendidik manusia seutuhnya,
dalam mendidik yang dikembangkan bukan saja aspek kognitifnya, tetapi
juga aspek afektif dan psikomotoriknya (Hariyadi, 1985).
Pamong harus menjadi teladan, baik perilaku maupun tutur katanya.
Pamong harus memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk
mengembangkan jiwa raganya, disamping itu pamong juga harus
memberikan contoh-contoh, bantuan-bantuan, petunjuk serta pertimbangan
kepada anak didiknya (Oethomosoekranah, 1979).
Sistem among diturunkan dari asas kodrat alam. Sistem among
bermaksud mengganti sistem pendidikan lama yang menggunakan perintah,
paksaan, dan hukuman. Kewajiban belajar yang sejati hanya dapat diperoleh
dengan perkembangan kodrati. Perkembangan kodrati hanya dapat dicapai
dengan sistem among, yaitu sistem pendidikan dengan guru yang berperan
sebagai pamong yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang, dengan
semboyan “tut wuri andayani”, yakni tetap mempengaruhi dengan memberi
kesempatan kepada anak-anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus-
menerus “dituntun” dari depan (Mudyahardjo, 2001).
Sistem Among merupakan pendukung dan pelaksana aliran
pendidikan merdeka. Dasar kemerdekaan merupakan keharusan pada tiap
usaha pendidikan, sehingga iklim pendidikan harus bersuasanakan
kemerdekaan pula. Kemerdekaan merupakan syarat untuk membantu
perkembangan segala potensi kodrati anak didik tanpa tekanan dan hambatan
sehingga memungkinkan perkembangan pribadi yang kuat serta berjiwa
merdeka (Hariyadi, 1985).
Sikap yang ditempuh guru dalam pendidikan salah satu diantaranya
yaitu sikap laku among. Suratman (1980) berpendapat, “guru dapat bersikap
among dengan memperhatikan segala sifat kodrati yang ada pada anak
didiknya, dengan penuh kesadaran bahwa segala potensi harus dibantu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
perkembangannya. Guru memberikan kebebasan kepada anak didik sejauh
anak mampu memanfaatkan secara efektif kebebasan yang dimilikinya” (hlm.
19).
Semua ajaran Ki Hajar Dewantara sejatinya bertujuan agar kehidupan
menjadi aman, tentram lahir dan batin, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi
terutama untuk masyarakat umum. Ki Hajar Dewantara menolak sistem
pendidikan Belanda yang tujuannya hanya untuk mencetak pegawai rendah
yang akan dipekerjakan di perusahaan milik Belanda. Ki Hajar mempunyai
keyakinan bahwa dalam dunia pendidikan itu harus ada kebebasan pribadi
(Tesabudi, 1978).
Menurut Ki Hajar, isi pendidikan bukan saja sekedar memberi
pengetahuan pada anak didiknya, tetapi juga dilengkapi dengan pendidikan
yang mengandung nilai-nilai budaya bangsa, semangat kebangsaan, jiwa
merdeka, kemanusiaan, keterampilan, sejarah kebangsaan, kesenian dan
olahraga (pencaksilat) yang mengandung nilai-nilai kultural bangsa. Pada
hakekatnya sistem Among merupakan sistem pergaulan antar manusia yang
dilandasi oleh sikap cinta kasih, saling menghormati, saling menghargai,
demokratis, tidak ingin menguasai dan menundukkan orang lain untuk
kepentingan dirinya (Hariyadi, 1985).
Ki Hajar Dewantara mewariskan api semangatnya kepada kita.
pertama, kemampuan Ki Hajar dalam mengambil pilihan yang tepat untuk
zamannya. Kedua, keberanian dan kemampuan dalam mempertahankan dan
menjalankan pilihannya tersebut (Hermit, 1985).
Sistem among yang menonjol adalah penempatan anak sebagai figur
sentral dalam proses pendidikan sedangkan pamong (guru) ditempatkan
sebagai penuntun/ pembimbing/ pengemong yang dengan sepenuh jiwa
mengabdikan hidupnya bagi kepentingan sang anak. Kodrat atau fitrah anak
sebagai manusia diberi keleluasaan tumbuh dan berkembang sehingga anak
dapat dihantarkan menuju kearah kemerdekaan lahir batin dan mampu
menjadi manusia yang berarti bagi dirinya sendiri dan bagi manusia lainnya
(Gunawan, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Sistem among berfungsi sebagai sarana mengembangkan segala
potensi kodrati yang ada pada anak dalam proses pembentukan
kepribadiannya. Menurut pengalaman Taman Siswa, sistem among ternyata
mampu mempererat hubungan pamong-siswa berdasarkan jiwa kekeluargaan
dan merupakan metode yang cukup demokratis (Suratman, 1990).
Sistem Among ini oleh Ki Hajar Dewantara diibaratkan petani yang
memelihara tanamannya. Seorang guru dalam mendidik anak itu harus sesuai
dengan kodrat masing-masing anak. Bakat dan karakter anak nantinya pasti
akan menumbuhkan suatu hasil berdasarkan kodratnya sendiri-sendiri. Guru
tidak boleh memaksa anak harus menjadi apa nantinya, kewajiban guru hanya
menuntun dan mengarahkan anak menuju ke arah yang baik (Tesabudi,
1978).
Sistem pendidikan Among dan Tut Wuri Handayani yang diciptakan
oleh Ki Hajar Dewantara, telah dipakai oleh pemerintah dalam memajukan
pendidikan nasional. Demikian pula dengan Tri Pusat Pendidikan, harus bisa
berjalan seiring agar anak didik benar-benar mandiri dan bisa diandalkan
(Probohening, 1987).
b) Tut Wuri Handayani
Ki Hajar Dewantara menjadikan “Tutwuri Handayani” sebagai
semboyannya metode among. Sikap “tutwuri” adalah perilaku pamong yang
sifatnya memberi kebebasan kepada murid, untuk berbuat sesuai dengan
hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma
yang wajar dan tidak merugikan siapapun (Suratman, 1989).
Menurut Ch.A (1953) dalam membimbing seorang anak itu
hendaknya menerapkan “tut wuri handayani”, yang artinya orang tua
mengikuti anak dari belakang tetapi secara langsung atau tidak langsung
membimbing anak untuk kebaikannya. Dalam sikap “tut wuri handayani”
terdapat pengaruh orang tua, jadi bukannya sikap yang masa bodoh dan
membiarkan begitu saja (hlm. 11).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Tutwuri handayani yang menentukan sikap laku guru dalam
hubungannya dengan proses belajar mengajar, bertolak dari kenyataan-
kenyataan sebagai berikut:
Pertama, Setiap anak mempunyai sifat kodrati berupa perbedaan-perbedaan pribadi; Kedua, dalam pertumbuhan jiwa raga anak perlu diikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan kodrat alamnya; Ketiga, untuk menumbuhkan segala potensi kodrati sebagai karunia Tuhan YME kepada anak, perlu iklim dan suasana kemerdekaan; Keempat, manusia adalah makhluk individual sekaligus juga makhluk sosial; Kelima, setiap manusia mempunyai hasrat untuk dihargai dan diperlakukan sesuai dengan martabat kemanusiaannya; Keenam, untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan dalam hidup bermasyarakat, pelaksanaan hak asasi perlu diimbangi dengan perwujudan kewajiban asasi kemanusiaan; Ketujuh, bagi suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu wahana untuk menanamkan nilai-nilai sesuai dengan perkembangan budaya bangsanya yang dinamis (Suratman, 1980: 14).
Tut Wuri handayani yang dijadikan semboyan dalam lambang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI hingga kini. Semboyan Tut Wuri
Handayani tidak akan jauh dari “memberi kebebasan, kesempatan dan
kemungkinan yang benar” (Hermit, 1985).
Tut wuri handayani adalah sikap laku pendidik, yang berjiwa
kekeluargaan dan dilandasi dasar kodrat alam dan kemerdekaan. Kodrat anak
Indonesia perlu diperhatikan dalam memberikan bimbingan pada
pertumbuhan jiwa dan raga seorang anak. Menurut Ki Hajar Dewantara,
kodrat anak Indonesia ialah menerima perlakuan berdasarkan garis hidup atau
kultur bangsanya, apabila melandaskan pendidikan pada kultur asing maka
bertentangan dengan kodrat anak tersebut (Suratman, 1980).
Maksud dari sikap “handayani” terhadap perilaku siswa yang
menyimpang menurut Suratman (1989) yaitu :
Apabila pelaksanaan kebebasan oleh siswa ternyata menyimpang dari ketentuan yang seharusnya, seperti pelanggaran peraturan atau hukum masyarakat yang berlaku sampai merugikan pihak lain atau diri sendiri, maka pamong harus bersikap “handayani”. Sikap “handayani” mempunyai maksud untuk menjaga tertib damainya hidup bersama, dengan jalan meluruskan kembali perilaku murid yang tidak lurus tersebut (hlm. 15).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
c) Tripusat Pendidikan
Maksud dari pendidikan adalah “mengolah” anak menjadi yang
sesuai dengan cita-cita orang tua maupun negara. Seorang pendidik (orang
tua) yang bijaksana, tidak cukup hanya memberikan apa yang dicita-citakan
itu saja, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor yag lain, misalnya jiwa
anak, keadaan sosial maupun tingkat kebudayaan (Ch,A, 1953).
Di bidang pendidikan Ki Hajar Dewantara mempunyai konsepsi
tentang “Tripusat pendidikan”, satu upaya pembinaan pendidikan nasional
yang meliputi pendidikan di tiga lingkungan hidup, yaitu lingkungan
keluarga, perguruan/ sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan itu
mempunyai pengaruh edukatif pada pertumbuhan jiwa dan raga anak. Dengan
demikian kepribadian anak akan berkembang secara utuh dalam keadaan
berkeseimbangan (Suratman, 1989).
Di antara ketiga lingkungan dalam Tripusat pendidikan, yang
terpenting adalah lingkunga keluarga, seperti dijelaskan Ki Hajar Dewantara
(1977) yaitu: “alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan yang
terpenting, dikarenakan sejak timbulnya adab kemanusiaan hingga kini, hidup
keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap
manusia (hlm. 71).
Adanya hubungan pendidikan antara rumah dan sekolah, maka
diperlukan kerjasama antara rumah dan sekolah. Sekali waktu bisa diadakan
pertemuan antara orang tua murid dan guru-guru untuk membahas mengenai
pendidikan dan pengajaran, dengan kegiatan seperti ini akan tumbuh rasa
saling menghargai dalam tali silaturahim yang kuat antara orang tua dan guru,
yang bermanfaat bagi pendidikan (M.E, 1953).
Para orang tua ada yang beranggapan bahwa pendidikan yang
diberikan pada anak itu sudah cukup dengan memasukkan anak-anak ke
sekolah, dan tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya yang masih kecil
yang belum masuk sekolah. Orang tua mengira bahwa sekolah adalah satu-
satunya tempat mendidik anak-anak, padahal itu adalah anggapan yang keliru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Selain pendidikan yang diperoleh dari sekolah, masyarakat, pendidikan yang
utama juga dari orang tuanya. Jadi harus ada keseimbangan antara pendidikan
yang diberikan kepada anak, baik itu dari lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat agar anak nanti bisa hidup di tengah-tengah masyarakat
(M.E, 1953).
Konsep-konsep pendidikan seperti Tri Pusat Pendidikan yang
berusaha menyatukan peran antara orang tua (keluarga), masyarakat dan
lembaga pendidikan, “Pusat Pendidikan Keluarga” yang mengutamakan
pentingnya harmonisasi keluarga bagi pendidikan sang anak: “Dasar” dan
“Ajar” yang menggambarkan betapa pentingnya pembawaan anak dan
pengajaran dalam mendewasakan sang anak, sampai saat ini tetap relevan
untuk dikembangkan dan diimplementasikan (Pikiran Rakyat, 1995).
Di dalam Tripusat pendidikan, pusat keluargalah yang paling penting.
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa mulai kecil hingga dewasa anak-
anak hidup di tengah-tengah keluarganya. Ini berarti bahwa anak-anak itu,
baik dalam “gevoelige periode” (masa dimana semua pengalaman bercampur
dengan dasarnya jiwa) maupun dalam periode bertambahnya fikiran
(mengenai kemajuan dari angan-angannya serta bertambahnya pengetahuan)
mendapat pengaruh yang banyak dari keluarganya masing-masing (1943).
Lingkungan keluarga adalah lingkungan pendidikan yang paling awal.
Di dalam lingkungan keluarga itu anak-anak saling mendidik dan merupakan
pusat yang tetap dan mengandung keadaan yang sebaik-baiknya, maka untuk
ilmu pendidikan hanya tinggal mencari cara bagaimana kita membantu orang
tua tiap keluarga agar lebih pandai dalam membimbing anak-anaknya dalam
keluarga sendiri (Dewantara, 1977).
Melalui Tri Pusat Pendidikannya, Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa untuk mendidik pemuda secara efektif perlu dikembangkan konsepsi
“saling isi” diantara ketiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat. Apabila ketiga pusat pendidikan ini dapat berjalan secara
simultan dan “saling isi”, maka keterdidikan pemuda-pemuda bangsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Indonesia dapat ditingkatkan dan berbagai perilaku antisosial dalam
masyarakat dapat ditekan (Ki Supriyoko, 1996).
Lord Ponsonby, seorang bangsawan, filsuf, sarjana dan politikus di
Inggris merasa sedih bahwa telah menjadi korban pengajaran sekolah yang
telah diterimanya dari 93 guru yang terhitung mulai dari sekolah rendah
sampai ke Oxford. Lord Ponsonby merasa tidak mendapat hasil sedikitpun
dari pelajaran sekolah yang diterimanya selama bertahun-tahun di sekolah.
Lord hanya mendapatkan pendidikan dari pergaulan dan pekerjaan di rumah
ibu bapaknya, dan pendidikan keluarga itu lebih berharga daripada
pendidikan sekolah (Tauchid, 1979).
Ada beberapa hal yang menarik dalam keterangan Ki Hajar
Dewantara tentang sistem Tripusat (Wasita Th. Ke-1 no. 4 Juni 1935
sebagaimana dikutip dalam buku “Karya Ki Hajar Dewantara” bagian:
Pertama) yaitu:
Pertama, keinsyafan Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalur saja yaitu alam perguruan; Kedua, ketiga pusat pendidikan itu harus berhubungan erat dan harmonis; Ketiga, alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan memberikan budi pekerti, agama dan laku sosial; Keempat, perguruan sebagai balai wiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan keterampilan; Kelima, alam pemuda sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak dan kepribadiannya; Keenam, dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah usaha untuk “menghidupkan, menambah dan menggembirakan perasaan kesosialan” sang anak (Gunawan, 1989: 39). Keluarga mempunyai peran yang sangat dominan dalam membentuk
watak atau karakter seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara yaitu suasana di dalam keluarga itu akan berpengaruh kuat
terhadap pembentukan karakter atau jiwa seesorang Keadaan itu bermacam-
macam, misalnya, kemiskinan atau kekayaan, kesucian atau kerendahan
moral, ketentraman atau kerusuhan, anak yang banyak atau harta sedikit,
hanya mempunyai anak satu, ada yang sering dimarahi dan ada yang sering
dimanja. Semua keadaan itu masing-masing sangat berpengaruh terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
jiwa anak-anak dan bekasnya akan terus tersimpan dalam jiwa seorang anak.
“Tersimpan” ini berarti tidak tampak, akan tetapi terus menerus
mempengaruhi hidup seseorang, dalam bahasa asing inilah yang dinamakan
“onderbewuste complexen” (1943).
Azas dan tujuan pendidikan, yaitu membimbing anak dalam
pertumbuhannya baik jasmani maupun rohani kearah kedewasaan, agar anak
itu dapat teguh berdiri dengan kedua telapak kakinya, dalam mengarungi
gelombang hidupnya, dan tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain
(M.E, 1953).
Ki Hajar Dewantara telah mengajarkan teori kepada generasi bangsa
Indonesia, yaitu Tripusat Pendidikan, Trikon dan Trilogi Kepemimpinan.
Tripusat pendidikan adalah teori tentang pengelolaan pendidikan nasional,
yang mengakui adanya tiga pusat pendidikan, yaitu alam keluarga, alam
perguruan dan alam kemasyarakatan. Di antara ketiga lingkungan itu
hendaknya ada kesamaan nilai yang dijunjung tinggi, sehingga terdapat
keselarasan dan keserasian (Suratman, 1984).
Teori dalam ilmu pendidikan yang menyebutkan :”pendidikan sosial
itu adalah tugas sekolah”, benar-benar menyalahi keadaan yang nyata,
sebagai “pendidik kesosialan”. Sistem sekolahan selama masih ditujukan
kepada pemberian ilmu dan kecerdasan fikiran, akan selalu bersifat tidak
berjiwa, dan akan sedikit pengaruh pendidikannya bagi kecerdasan budi
pekerti dan budi sosialnya. Kecerdasan fikiran dan ilmu pengetahuan selalu
berpengaruh kuat terhadap bertumbuhnya egoisme (hanya mementingkan diri
sendiri) dan budi keduniawian (materialisme), maka seringkali sekolahan
yang tidak berjiwa itu berpengaruh antisosial (Dewantara, 1977).
Sekolah adalah tempat pendidikan yang kedua bagi anak-anak.
Apabila rumah sebagai tempat pendidikan yang pertama, maka sekolah
adalah merupakan lembaga pendidikan pembantu, yang berusaha menutupi
kekurangan-kekurangan dalam pendidikan di rumah, sedangkan tanggung
jawab terbesar tetap terletak pada orang tua. Di sekolah anak-anak bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
hanya dididik budi pekertinya, akan tetapi juga intelektual seorang anak (M.
E, 1953).
Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat
Pendidikan saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada watak dan
kepribadian anak. Dalam mendidik anak diberi tuntunan dan dorongan agar
tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Pamong wajib mendorong
anak didiknya dengan metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan
harus bisa menjadi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila berada di tengah-
tengah diharapkan mampu menuangkan gagasan atau ide-ide baru yang
mendorong kemajuan), Tut Wuri Handayani (bila berada di belakang
diharapkan ikut memberikan dukungan) (Rahardjo, 2009).
d) Teori Trikon
Makna dari konsep Trikon (kontinuitas, konvergenitas dan
kontentrinitas) yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, Supriyoko
menjelaskan yaitu menerima budaya luar secara selektif tanpa meninggalkan
budaya bangsa sendiri. Perjuangan politik Ki Hajar memang sudah dirintis
sejak usia belasan tahun. Pada usia 19 tahun Ki Hajar (saat itu masih bernama
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat) sangat aktif menjadi anggota Boedi
Oetomo (BO) sejak berdirinya (1995).
Trikon diambil dari tiga awal suku kata: kontinuita, konsentrisita,
dan konvergensi, sebagai dasar dan sikap hidup perjuangan Taman Siswa di
tengah-tengah masyarakat. Rumusan dalam bahasa Belanda dulu, sebelum
lahirnya simpul Trikon ialah: cultureel-nationaal-maatschappelijk, bersifat
kebudayaan, nasional dan kemasyarakatan (Tauchid, 1963).
Ki Hajar Dewantara berpendapat melalui teori Trikonnya, bahwa
dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional harus merupakan
kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke arah kesatuan
kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sikap
kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas).
Dengan demikian jelas bahwa terhadap pengaruh budaya asing harus bersikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
terbuka disertai sikap selektif adaptif dengan Pancasila sebagai tolok ukurnya
(Hariyadi, 1989).
Tauchid (1963) menjelaskan secara rinci mengenai Trikon sebagai
berikut:
Pertama, Dasar kulturil (kontinyu), bahwa kebudayaan itu sifatnya kontinyu, bersambung dan tidak putus, merupakan garis kehidupan suatu bangsa yang tumbuh dan berkembang maju. Kemajuan suatu bangsa adalah lanjutan garis hidup asalnya yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru baik dari bangsa sendiri maupun dari luar; Kedua, Dasar nasional (konsentris), alam hidup manusia itu merupakan “alam hidup perbulatan” (konsentris), yang digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran (circle) besar kecil yang semua itu bersatu menjadi titik pusat (middelpunt) dimana orang duduk atau berdiri di atas titik pusat itu. Lingkaran kecil adalah sebuah alam diri pribadi, lingkaran di luar yang lebih luas ialah alam keluarga, yang lebih luas lagi alam bangsa, dan yang terluas ialah alam manusia dan alam kemanusiaan; Ketiga, Dasar kemasyarakatan (konvergen), yaitu sambung dan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Seseorang harus menghubungkan dirinya dengan masyarakat, kalau ingin hidup mengabdi pada kepentingan masyarakat (hlm. 48-49). Kebudayaan Nasional Indonesia harus bersambungan (kontinu)
dengan kebudayaan lama. Kebudayaan Nasional Indonesia harus mengumpul
menuju ke arah kebudayaan universal (konvergen) dengan memiliki
kepribadian nasionalnya sendiri (konsentris). Ki Hajar Dewantara selalu
membimbing bangsanya agar menemukan kepribadiannya, dengan mengenal
dan mencintai kebudayaannya, bangsa Indonesia akan menemukan
kepribadiannya (Sagimun, 1983).
Trikon adalah suatu teori untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional. Lengkapnya adalah : kontinuitas, konsentrisitas dan
konvergensi. Dalam membina kebudayaan hendaknya selalu diusahakan
adanya kontinuitas dengan nilai-nilai budaya yang telah ada. Dalam
pergaulan dengan nilai budaya bangsa-bangsa lainnya hendaknya titik
pusatnya adalah tetap kepribadian bangsa sendiri, sedang dalam menuju ke
arah budaya manusia yang tunggal hendaknya dianut garis konvergensi.
Berbeda pangkal tolaknya, tetapi menuju ke satu arah (Suratman, 1984).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Asas Trikon adalah pengakuan, bahwa antara orang-orang dan dunia
sekitarnya, selalu ada pertimbangan, persatuan dan persambungan. Asas
Trikon penting bagi hubungan kita sebagai bangsa dengan bangsa-bangsa lain
dalam dunia internasional, dan dapat memperbesar kerukunan antara bangsa-
bangsa (Tauchid, 1963).
e) Tri Pantangan
Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan Tri pantangan, suatu
pedoman untuk dapat hidup aman, damai, salam dan bahagia. Adapun yang
dimaksud dengan tri pantangan, yaitu:
a. Jangan menyalahgunakan wewenang
b. Jangan menyeleweng di bidang keuangan
c. Jangan melanggar kesusilaan
Tri pantangan merupakan usaha preventif agar suatu masyarakat
tidak dilanda “bencana” keretakan hidup kekeluargaannya (Suratman, 1984).
Suratman (1984) menjelaskan mengenai Tri Pantangan dari Ki Hajar
Dewantara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, ialah “jangan menyalahgunakan wewenang (kekuasaan)” sumber utama adalah adanya nafsu untuk berkuasa, yang agaknya diwujudkan dengan agak keterlanjuran. Karena nafsu, terjadilah penyalahgunaan wewenang; Kedua adalah “jangan menyeleweng di bidang keuangan”. Secara kodrati manusia memang ada nafsu kebendaan, yang bisa menjadi pendorong ke arah penguasaan uang sebanyak-banyaknya. Jika dalam kehidupan organisasi terjadi penyelewengan di bidang keuangan, maka hal tersebuat akan mengganggu jalannya organisasi dan menghambat perkembangan organisasi tersebut; Ketiga adalah “jangan melanggar kesusilaan”. Di dalam masyarakat apabila terjadi pelanggaran kesusilaan, maka sumber utamanya adalah nafsu seksual. Pelanggaran kesusilaan akan terjadi apabila manusia sudah kehilangan kontrol atas dirinya, atau dengan kata lain sudah tidak mampu mengendalikan dirinya (hlm. 8-9).
Ki Hajar Dewantara sudah sejak awal melihat dan menyadari segi
kelemahan manusia sebagai individu, kemudian diciptakanlah “pengawasan
melekat” atau “waskat” melalui Tri pantangan tersebut. Hal yang sama
ternyata dianggap penting dan menjadi program pemerintah sejak kabinet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
1988. Ajaran Tri pantangan ini ternyata dilandasi oleh pandangan Ki Hajar
Dewantara tentang eksistensi manusia, yaitu sebagai individu dan makhluk
sosial, maka dari itu semua ajaran Ki Hajar Dewantara selalu bermuara
kepada manusia dan kepentingan kehidupan manusia bersama (Suratman,
1989).
Tri Pantangan itu sangat penting dalam untuk membina masyarakat
Taman Siswa, maka bagi setiap individu anggota dari Taman Siswa, hal
tersebut juga sangat penting, sebab dengan menganut pedoman tersebut, akan
selamat dalam menjalankan kehidupan di dunia ini (Suratman, 1984).
2). Perbandingan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan
Paulo Freire dan Montessori
a). Pendidikan menurut Paulo freire
Paulo Freire seorang penggagas teori pendidikan kritis, sering
menyebut paradigma pendidikan kritis dengan nama pendidikan humanis atau
pendidikan yang membebaskan (Freire, 1999).
Pemikiran Freire tentang filsafat pendidikan diungkapkan pertama
kali pada tahun 1959 dalam disertasi doktornya di Universitas Recife, juga
dalam berbagai percobaannya dalam pengajaran kaum buta huruf di kota
yang sama. Metodologi yang dikembangkan dan telah digunakan secara luas
oleh kalangan gereja Katolik dan yang lainnya dalam kampanye melek-huruf
di seluruh pelosok Timur Laut Brazil, lalu dianggap sebagai sebuah ancaman
bagi pemerintahan ketika itu hingga Freire dipenjara setelah kudeta militer
tahun 1964. Setelah dibebaskan kemudian Freire diperintahkan segera
meninggalkan Brazil, Freire pergi ke Chili dan menghabiskan waktu lima
tahun untuk bekerja pada UNESCO dan Lembaga Pembaruan Pertanian Chili
dalam program-program pendidikan masyarakat (Freire, 1985).
Pendidikan kritis merupakan proses dimana pendidikan
mengkondisikan peserta didik untuk mengenal, memahami dan
mengungkapkan kenyataan secara kritis. Berbeda dengan pendidikan
umumnya seperti diungkapkan oleh Paulo Freire dan disebut juga pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
yang membelenggu, yaitu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru
kepada peserta didik sehingga peserta didik mengikuti saja alur kehidupan
ini. Pendidikan kritis atau pendidikan yang membebaskan tidak dapat
direduksi menjadi sekedar usaha pendidik untuk memaksakan kebebasan
kepada peserta didik (1999).
Selama ini masalah dehumanisasi dipandang sebagai masalah utama
manusia. Dehumanisasi yang menandai bukan saja mereka yang telah
dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda)
mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk
menjadi manusia sejati. Akan tetapi untuk membebaskan diri dari kaum
penindas, pelajaran dan praktek ini harus datang dari kaum tertindas itu
sendiri, atau kelompok yang memang berpihak pada kaum tertindas itu
sendiri dengan berjuang menata kembali kemanusiaan kaum tertindas (Freire,
1985).
Perbedaan antara Pendidikan yang membelenggu dan pendidikan
kritis seperti dijelaskan Freire (1999) yaitu:
Pendidikan yang membelenggu bersifat perspektif, sedangkan pendidikan kritis bersifat dialogis. Pendidikan kritis menuntut adanya dialog, karena dialog merupakan bentuk perjumpaan di antara manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dan memahami dunia. Pendidikan yang membelenggu hanyalah semata-mata proses transfer pengetahuan, sedangkan pendidikan kritis merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadikannya sebagai proses transformasi yang diuji di alam nyata (hlm. 176). Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana murid
adalah celengan dan guru adalah penabung. Yang terjadi bukanlah proses
komuniksi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi
tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.
Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan
bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan
menyimpan (Freire, 1985).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Konsep pendidikan yang seperti itu telah melupakan perhatiannya
terhadap perkembangan kejiwaan secara individual terhadap peserta didik,
karena anak dianggap sebagai bagian obyek ilmu yang tak berkesadaran
(Sarjono dan Nurudin, 2000).
Bagi Freire, fitrah manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau
subyek, dan bukan menjadi penderita atau obyek. Oleh karena itu manusia
yang sejati adalah pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta
realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Untuk memperoleh
pengetahuan manusia dituntut untuk berperan sebagai subyek. Manusia harus
mampu menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya
cipta. Hal ini meniscayakan perlu dikembangnya langkah orientatif sebagai
pengembangan bahasa pikiran (Tought of Language). Yakni, pada hakekatnya
manusia mampu memahami hakekat keberadaan dirinya dan lingkungan
dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan praksis manusia merubah diri,
dunia dan realitas sosialnya (Freire, 1999).
Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam
kontradiksi melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut seperti
disebutkan Paulo Freire (1985) yang mencerminkan suatu keadaan
masyarakat tertindas secara keseluruhan :
1. Guru mengajar murid diajar 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa 3. Guru berpikir, murid dipikirkan 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan 5. Guru menentukan peraturan, murid diatur 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujui 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui
perbuatan gurunya 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta
pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu 9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan
kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka (hlm. 51-52).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Pendidikan yang tidak mengenal pendekatan kemanusiaan
(humanism) ini akan menciptakan masyarakat bisu (silence society). Yaitu,
sebuah masyarakat yang memiliki rasa ketergantungan, ambigu, antara
menjadi dirinya sendiri dan sebaliknya, dan mudah terpengaruh. Beberapa ciri
mendasar masyarakat demikian diantaranya masyarakat ini memiliki ketaatan
semu (quasi adherence) pada kondisi yang ada, atau seolah-olah mengikuti
arus namun sebenarnya tidak (quasi immerson) (Sarjono dan Nurudin, 2002).
Mu’arif (2008) mengemukakan bahwa sejauh ini terdapat tiga
paradigma dalam pendidikan:
Pertama, paradigma pendidikan konservatif. Paradigma pendidikan ini cenderung mengabaikan potensi-potensi manusia yang menimbulkan penindasan serta melahirkan kesadaran magis. Pendidikan konservatif diorientasikan untuk meneguhkan sekaligus melestarikan notrma-norma sakral sehingga menenggelamkan eksistensi manusia itu sendiri. Kedua, paradigma pendidikan liberal. Paradigma ini memiliki ruh kebebasan pasar yang menjadi ciri khas kapitalis. Pendidikan ini cenderung berpihak pada golongan kelas atas. Pendidikan dengan berbagai macam standar kualitasnya akan ditentukan oleh seberapa banyak modal yang dimiliki. Ketiga, paradigma pendidikan kritis, yang merupakan paradigma pendidikan yang hendak mengembalikan hak-hak kemanusiaan masyarakat untuk menghapus segala bentuk penindasan di bumi (hlm. 83-87).
Dalam situasi masyarakat yang seolah-olah tunduk pada kenyataan,
kesadaran ini tidak akan berhasil memahami adanya banyak perbedaan dan
tantangan atau memahaminya tetapi dengan cara yang distortif. Akibat fatal
yang ditimbulkan dari masyarakat bisu ini adalah melahirkan kekerasan-
kekerasan sebagai perwujudan pemberontakan sosial maupun sikap
ketidakmampuanya menanggapi realitas perbedaan yang ada (Sarjono dan
Nurudin, 2000).
Freire menggambarkan secara skematis pendidikan kritis yang
bersifat dialogis dan pendidikan “gaya bank” yang bersifat anti-dialogis
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
DIALOGIS ANTI DIALOGIS
Subjek Subjek Subjek
(pemimpin, (anggota masyarakat (kaum elite berkuasa)
pembaharu, membaharu, misalnya:
misalnya: guru) murid)
Interaksi Objek Objek
(keadaan yang harus (mayoritas kaum
dipertahankan) tertindas sebagai
Objek realitas)
Realitas yang harus
diperbaharui dan dirubah
(sebagai objek bersama)
Humanisasi Dehumanisasi
Sebagai proses tanpa henti berlangsungnya situasi
(sebagai tujuan) penindasan
(sebagai tujuan)
Gambar 4.1
Perbandingan pendidikan kritis dan Pendidikan “Gaya Bank”
(Sumber: Paulo Freire, 1999, xvi)
Langkah awal yang cukup menentukan dalam upaya penerapan
paradigma pendidikan kritis, yaitu sebuah proses yang disebut oleh Freire
dengan sebutan “commencement” atau proses yang dilakukan terus menerus
yang “selalu mulai dan mulai lagi”. Yang dimaksud dengan proses terus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
menerus oleh Freire adalah proses penyadaran (konsientisasi) yang dilakukan
tidak boleh berhenti. Konsientisasi merupakan proses yang inhern dari
keseluruhan proses pendidikan. Konsientisasi merupakan inti atau hakekat
dari proses pendidikan itu sendiri (Freire, 1999).
Melihat realitas yang demikian, Sarjono dan Nurudin (2000)
mengungkapkan:
Langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembalikan pendidikan kepada kesadaran penuh untuk menciptakan manusia yang memiliki watak kemanusiaan. Manusia yang memiliki kemampuan seimbang, bukan saja mempunyai kemampuan intelektual tetapi juga memiliki kesadaran manusia.
b). Pendidikan menurut montessori
Menurut Montessori ada hubungan yang erat antara gerakan jiwa
anak-anak dengan gerakan badannya. Setiap gerakan anak-anak adalah akibat
dari tuntutan jiwa dan badan anak-anak sendiri, psychologis dan physiologis.
Itulah sebabnya Montessori memakai dasar kemerdekaan dan kebebasan yang
sering disebut “spontanitet”. Spontanitet berarti gerak atau tindakan bebas
dari anak-anak, keluar dari keinginan sendiri, secara tiba-tiba dan tidak
terfikirkan lebih dahulu. Anak janganlah dipaksa untuk melakukan sesuatu
yang diinginkan seesorang, karena sering kali bertentangan dengan proses
pertumbuhan jiwa raga anak-anak sehingga bisa menghambat perkembangan
jasmani dan rohani anak (Dewantara, 1977).
Menurut Montessori periode awal umur 0-6 adalah periode sensitif,
masa peka atau usia emas, dimana pikiran anak mudah sekali menyerap
apapun dari lingkungannya. Dengan mengutip Dr. Alexis Carrel, Montessori
mengatakan: “ Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya, masa
ini seyogianya didayagunakan oleh pendidikan sebaik-baiknya, jika tersia-sia
kehidupan masa ini tidak akan pernah dapat dicari gantinya. Tugas kita
adalah memanfaatkan tahun-tahun awal kanak-kanak dengan kepedulian yang
tertinggi, bukannya menyia-nyiakannya” (2008).
Menurut Montessori telah terjadi tidak pemanusiaan terhadap
manusia di dalam pendidikan. Sebuah sinyalemen yang yang dianggap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
antagonis dengan cita-cita mulia pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan
yang selama ini dikenal berupaya mewujudkan manusia dewasa ternyata
masih belum mencapai harapan yang diinginkan. Dimana dalam konteks
psikologi, manusia dewasa berarti bagaimana membuat manusia menjadi
manusia (Sarjono dan Nurudin, 2000).
Dasar dari sistem pendidikan Montessori yaitu kemerdekaan dan
spontanita dari seseorang, Ki Hajar Dewantara (1977) menyebutkan :
Dasar pertama yang fundamental dari metode Montessori yaitu kebebasan dan spontanita seseorang, kemerdekaan hidup yang seluas-luasnya, mengurangi penguasaan guru dan orang tua terhadap hidupnya anak-anak, kembali kepada kodrat-iradatnya anak-anak, yaitu menguasai penguasa dari yang mengadakan hidup serta mengembalikan penguasa itu kepada-Nya. Kemudian Montessori juga mengajarkan bebaskanlah rohani maupun batiniah sang anak dari peraturan masyarakat yang merugikan, sebab hanya dengan kebebasan yang mutlak yang bergantung pada alam dan yang memberikan hidup, baru mungkin ada pertumbuhan yang wajar dari seseorang (127). Sistem pendidikan yang diterapkan montessori mementingkan
pelajaran pancaindra, hingga ujung jaripun dihidupkan rasanya, lagipula
mengadakan beberapa alat untuk latihan panca indra, semua itu bersifat
pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak
dipentingkan (Hariyadi, 1985).
Montessori menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa
sangat menyuburkan intelektual, akan tetapi mematikan perasaan sehingga
membalikkan jiwa manusia dari derajat “budi” menjadi “mesin”. Montessori
ingin melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi dan
menurunkan derajat kemanusiaan itu. Montessori ingin memerdekakan
manusia (Dewantara, 1977).
Banyaknya muncul universitas seperti sekarang ini, yang pada
dasarnya juga tidak berbeda dengan jenis sekolah yang mendahuluinya,
kecuali mungkin dari sisi intensitas belajarnya. Dijumpai guru besar berbicara
sedangkan murid mendengarkan. Menurut Montessori (2008), “masa
kehidupan yang paling penting bukanlah usia kuliah, namun masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
pertumbuhan yang pertama, yakni masa dari kelahiran hingga usia enam
tahun. Hanya kerja dan pengalaman praktislah yang mengarahkan anak muda
menuju kedewasaan” (hlm. 34-37).
Tentang latihan panca-indera, yang menjadi salah satu pokok dalam
sistem Montessori, supaya diketahui bahwa maksudnya adalah memajukan
keterampilan panca-indra, yaitu menyempurnakan pekerjaan mata, telinga,
hidung, lidah dan kulit seluruh tubuh. Itu semua penting untuk membantu
kemajuan fikiran anak-anak. Menurut Montessori latihan panca-indra tidak
saja bermanfaat bagi kemajuan anak-anak biasa, namun dapat juga menolong
tumbuhnya kekuatan jiwa dalam hidup anak-anak yang kekurangan fikiran.
Sistem pendidikan Montessori tidak saja menghilangkan adanya paksaan,
tetapi menghilangkan hukuman pada anak-anak, jangan sampai anak-anak
belajar itu karena takut akan hukuman (Dewantara, 1977).
b. Pendidikan untuk perempuan
1). Pendidikan sebagai Tuntutan
Pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Hidup tumbuhnya anak-anak terletak di luar kecakapan atau kehendak kaum
pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda
hidup, tentu saja hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. kekuatan
kodrati yang ada pada anak-anak ialah segala kekuatan di dalam hidup batin
dan hidup lahir anak-anak itu yang ada karena kodrat (Rahardjo, 2009).
Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak
pernah diwujudkan, Rifa’i menyimpulkan mengenai tujuan dari pendidikan
yang diberikan pemerintah kolonial bahwa tujuan pendidikan antara lain
untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda,
sebagian ada yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi,
tenaga teknik, tenaga pertanian, dan pekerjaan lain yang dianggap pekerja-
pekerja kelas dua atau kelas tiga (2011).
Sistem pendidikan suatu bangsa akan berhasil mendidik para
warganya apabila sistem tersebut berdasarkan budaya bangsanya. Sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
pendidikan yang beratus tahun diterapkan di Indonesia pada waktu penjajahan
Belanda jelas telah merusak jiwa rakyat serta budaya bangsa Indonesia. Ki
Hajar Dewantara berusaha untuk menggantikan sistem pendidikan kolonial
dengan sistem pendidikan yang berdasarkan kultur sendiri dengan
mengutamakan kepentingan rakyat (Hariyadi, 1985).
Pendidikan yang ditanamkan oleh Ki Hajar sebenarnya menekankan
pada aspek humanisme, sisi sosial kemanusiaan bahwa pendidikan berarti
daya upaya untuk memajukan, bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran dan tubuh anak, sehingga terbentuknya kesempurnaan
hidup yang selaras dan serasi dengan dunianya (Rahardjo, 2009).
Manusia hidup di bumi ini tentulah harus mempunyai pedoman
hidup agar kehidupan dapat berjalan lancar dan seimbang, begitu pula dengan
Ki Hajar Dewantara. Ajaran hidup Ki Hajar Dewantara yang dapat kita ambil
sebagai pedoman hidup merupakan pedoman atau petunjuk operasional-
praktis, diantaranya bisa disebut Tringa, Tri pantangan, Wasita Rini. Ajaran
Ki Hajar yang berwujud fatwa antara lain: “Hak diri untuk menuntut salam
bahagia”, “salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat”,
“Neng-Ning-Nung-Nang” (Suratman, 1989).
Kata terakhir yang Ki Hajar Dewantara tinggalkan sebelum wafat
yaitu kata “Aanvaarding”. Kata bahasa Belanda yang berarti “Kesediaan
menerima dengan tabah dan ikhlas”. “Aanvaarding” adalah salah satu asas
hidup Ki Hajar Dewantara yang beliau taati secara konsisten. Sikap
“Aanvaarding” ini bukan sikap “nrimo” dalam arti menerima nasib secara
“nglokro” (tanpa kehendak untuk menghadapinya secara aktif-kreatif), secara
pasif-apatis- masa bodoh karena malas atau putus asa, melainkan mau
menerima kenyataan hidup tanpa rasa khawatir, cemas, takut, getun, dan
kecewa agar bisa menanggapinya secara aktif dan kreatif dengan pikiran yang
kritis dan obyektif (Sinar Harapan, 1975).
Mendidik pada dasarnya adalah menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak, sehingga sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat, mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
tinggi. Pendidikan yang berdasarkan pada hukum-paksaan-ketertiban
dianggap merampas hak anak, yang dipakai sebagai alat pendidikan adalah
pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup
anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri (Hariyadi, 1985).
Pandangan Ki Hajar Dewantara yang dilandasi eksistensi manusia,
ialah sebagai individu dan makhluk sosial, maka semua ajaran Ki Hajar
Dewantara selalu bermuara kepada manusia dan kepentingan kehidupan
manusia bersama. Ajaran tersebut memang sesuai sekali dengan
kedudukannya sebagai wahana untuk mencapai tujuan akhir Tamansiswa,
yaitu terciptanya masyarakat tertib-damai dan salam-bahagia (Suratman,
1989).
2). Menurut Ki Hajar Dewantara
Masalah perempuan itu adalah masalah yang penting, hal yang
paling penting dan tidak boleh dipungkiri atau dilupakan ialah “kodratnya”
perempuan. Inilah keadaan yang nyata, yang hak dan sebenarnya harus
menjadi petunjuk jalan untuk semua orang. Sebenarnya hidup perempuan itu
mengandung lambang kesempurnaan hidup manusia di dunia. Pada zaman
sekarang, perempuan di dunia Barat berusaha mendapatkan hak persamaan
dengan laki-laki. Cita-cita yang dikejar oleh kaum perempuan itu memang
sudah semestinya, akan tetapi pergerakan untuk mendapatkan “persamaan”
lama-lama menimbulkan keadaan yang tidak cocok dengan kodratnya
perempuan (Dewantara, 1967).
Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-
anak perempuan. Ki Hajar melihat perempuan sebagai sosok yang memiliki
pengaruh besar dalam pendidikan. Menurut Ki Hajar laki-laki dan perempuan
adalah dua makhluk yang tarik menarik. Keduanya sama-sama mempunyai
ketertarikan pada lawan jenis. Oleh karena itu. Laki-laki dan perempuan
harus dipisah dalam kelas ketika mereka memasuki masa berahi atau masa
pubertas, akan tetapi itu bukan bentuk diskriminasi perlakuan terhadap
perempuan (Rahardjo, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Anak-anak kecil dalam proses pertumbuhannya lebih mudah
beradaptasi jika dengan guru perempuan daripada laki-laki, seperti
diungkapkan Ki Hajar Dewantara (1967) yaitu, “Anak-anak kecil masih
sangat membutuhkan hubungan batin dengan ibu, oleh karena itu anak-anak
lebih tertarik pada guru perempuan. Sebenarnya untuk memenuhi kemauan
dan keinginan anak, untuk memelihara tubuh anak, memang perempuan lebih
pandai daripada guru laki-laki” (hlm. 239).
Pengaruh perempuan berkuasa untuk mendidik keutamaan, karena
besarnya pengaruh perempuan pada barang dan tempat sekelilingnya yaitu
untuk mensucikan dan menghaluskan suasana (Ki Hajar Dewantara, 1967).
Ki Hajar Dewantara dalam artikel yang ditulisnya yaitu “Chodrat
Perempuan”, mengutarakan ketidaksetujuan pada jenis persamaan hak
perempuan yang berkembang di Eropa. Menurut Ki Hajar persamaan hak
hendaknya tidak melupakan kodrat perempuan yang berbeda dengan laki-laki
baik fisik maupun psikologis (Rahardjo, 2009).
Sebenarnya soal perempaun itu tidak boleh dipandang dari satu
sudut, menurut satu aliran, karena hidup perempuan itu tidak lebih dan tidak
kurang ialah soal hidup kemanusiaan sepenuhnya, ialah soal keadaban. Dalam
soal keturunan (dimana orang perempuan menjadi pemangku) jelas
meruapakan soal yang sangat penting, maka dengan sendirinya soal
perempuan itu menjadi sangat penting selama kita memandang perempuan
sebagai pemangku- turunan (Ki Hajar Dewantara, 1967).
Ki Hajar menganggap bahwa guru perempuan adalah guru yang
tepat untuk dijadikan pendidik bagi anak-anak karena ikatan emosional anak
dengan ibu lebih kuat daripada anak dengan bapak. Oleh karena itu lebih
mudah mendidik anak pada usia dini melalui guru perempuan daripada guru
laki-laki (Rahardjo, 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
B. Implementasi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara
1. Taman Siswa a. Latar Belakang Berdirinya Taman Siswa
Bangsa yang hidup di dalam penjajahan, sangat tidak mungkin
apabila penguasa sempat memikirkan pendidikan, kesejahteraan dan hari
depan rakyat yang dijajahnya. Malahan yang terjadi apabila ada yang belajar,
bisa berpikir secara luas dan sepak terjangnya dianggap membahayakan
penguasa, maka akan dihalang-halangi dan ditindas (Probohening, 1987).
Ketika pulang dari pengasingan di Belanda Ki Hajar Dewantara
bermaksud untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar bersifat
pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Pada tahun 1922 Ki
Hajar Dewantara, mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama di
Yogyakarta, yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan
seni-seni Jawa tradisional. Taman Siswa tidak menerapkan kurikulum
pemerintah sehingga tidak mendapat bantuan dari pemerintah (memang tidak
mau menerima karena mengutamakan kebebasan) (Ricklefs, 1989).
Ilmu pengetahuan yang diperoleh Ki Hajar selama pengasingan
diterapkannya ketika Ki Hajar diperbolehkan kembali ke Indonesia pada
tahun 1919, dan pada tahun 1922 mendirikan Perguruan nasional dengan
nama Taman Siswa (Gustamin, 1993).
Landasan upaya Ki Hajar Dewantara itu memang tidak lepas dari
merombak sistem pendidikan Belanda yang dianggap kurang relevan dengan
sistem timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan pola Barat sangat
mengabaikan kecerdasan budi pekerti, Ki Hajar mengkhawatirkan timbulnya
keresahan hidup bermasyarakat. Berpijak dari kondisi yang seperti ini Ki
Hajar menerapkan sistem pendidikan anak-anak atas dasar hidup
kemanusiaan serta peradaban bangsa dalam artian luas. Ki Hajar
memperkenalkan sistem among melalui tut wuri handayani sebagai fondasi
dan landasan kerja Taman Siswa (Oethomosoekranah, 1981).
Pada 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara bersama Sutatmo
Surjokusumo, Pronowidigdo, Sujoputro, dan lain-lain, menyatakan berdirinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman
Siswa di Yogyakarta (Rahardjo, 2009).
Ki Hajar Dewantara sebelum mendirikan perguruan Taman Siswa
ikut mengajar di perguruan “Adhidarmo” milik kakak Ki Hajar (R.M.
Surjopranoto), dan berdasarkan pada pengetahuan pendidikan yang dipelajari
Ki Hajar selama dalam pembuangan, Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli
1922 mendirikan “Perguruan Taman Siswa” yang sampai sekarang hidup
sebagai warisan utama Ki Hajar Dewantara (Tauchid, 1963).
Taman Siswa menamakan dirinya “Perguruan” dalam bahasa Jawa
“peguron”, untuk membedakan dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan
oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun oleh bangsa Indonesia
sebagai sekolah swasta (Tauchid, 1979).
Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa adalah satu kesatuan,
Sagimun (1983) berpendapat, “Ki Hajar Dewantara berusaha membina jiwa
kemerdekaan bangsa Indonesia melalui Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara
dan Taman Siswa merupakan dwi tunggal. Ki Hajar Dewantara dan Taman
Siswa tidak bisa dipisahkan. Modal pertama Taman Siswa adalah berupa
murid dan bangku sekolah yang diterima Ki Hajar Dewantara dari sekolah
Adhidharma” (hlm. 18).
Taman Siswa itu perguruan yang bersikap non-cooperation (tidak
mau kerjasama dengan pemerintah penjajahan). Bantuan ataupun segala
subsidi yang diberikan oleh penjajah ditolak mentah-mentah, karena Ki Hajar
tahu bahwa bantuan atau subsidi tersebut, bersifat mengikat. Padahal Taman
Siswa ingin bebas merdeka, berupaya menciptakan pendidikan nasional yang
tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia (Probohening, 1987).
Didirikannya Taman Siswa yaitu untuk membentuk manusia yang
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, seperti diungkapkan
Tauchid (1963) yaitu:
Perguruan Taman Siswa, yang dengan tegas menamakan dirinya perguruan nasional di tengah-tengah alam dan kekuasaan kolonial, diciptakan Ki Hajar Dewantara untuk tempat membangun manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
baru, menyiapkan tenaga-tenaga pejuang kemerdekaan nasional, pembela kemanusiaan, dan kebenaran, tempat menempa jiwa anak-anak Indonesia dengan semangat merdeka dan jiwa kebangsaan. Di tengah-tengah kekuasaan dan alam kolonial Taman Siswa menentang dan melawan kolonialisme (hlm. 30).
Setiap perbuatan yang baik, terkadang memang banyak yang
merintangi, begitu juga usaha Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman
Siswa. Sagimun (1983) menyatakan:
Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa awalnya memang mendapat kecaman dan celaan. Bahkan ada yang mencemooh serta menghina cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara. Ada yang mengatakan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memajukan tetapi sebaliknya akan memundurkan pendidikan bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara yakin akan kebenaran dan kesucian cita-citanya, sehingga Ki Hajar berjalan terus tanpa menghiraukan kata-kata yang ditujukan pada Ki Hajar dan mempunyai maksud menghalangi cita-cita Ki Hajar Dewantara (hlm. 18). Taman Siswa diciptakan Ki Hajar Dewantara sebagai “paguron”,
basa diterjemahkan dengan kata “perguruan”, tempat orang-orang maguru
(belajar hidup), bukan hanya rumah sekolah tempat pemberian pengetahuan,
tetapi tempat belajar hidup, tempat memperjuangkan dan mewujudkan cita-
cita hidup, dan tempat orang-orang penganut ajaran Taman Siswa bersama-
sama mewujudkan satu pergaulan hidup (Tauchid, 1963).
Di dalam perguruan, belajar menuntut ilmu pengetahuan itu dinomor
duakan, tapi bukannya terus dilupakan, yang terpenting yaitu pembentukan
watak, karakter vorming, taqwa kepada Tuhan tetapi bukan berarti Perguruan
mengabaikan pengajaran. Perguruan mengutamakan pembentukan watak dan
latihan kemauan luhur, dengan contoh teladan pribadi guru sebagai pemberi
tuntunan hidup (Tauchid, 1979).
Ki Hajar Dewantara dalam memimpin Taman Siswa mengalami
banyak rintangan dan kesulitan akan tetapi Ki Hajar Dewantara tetap
konsekuen. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa jangan suka
menerima bantuan yang dapat mengikat secara lahir dan batin, untuk dapat
terus hidup harus berani hidup di atas kekuatan dan kemampuan sendiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
meskipun mengalami rintangan dan kesulitan namun Ki Hajar dan Taman
Siswa tidak pernah memohon bantuan dan tetap konsekuen ingin berdiri di
atas kekuatan sendiri (Sagimun, 1983).
b. Asas Taman Siswa
Asas Tamansiswa 1922 yang pertama alinea pertama menegaskan
bahwa adalah hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan
mengingati tertib damainya kehidupan bersama (Suratman, 1990).
Tujuh Asas Taman Siswa (Beginsel Verklaring= Asas Taman Siswa)
secara ringkas menurut Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:
Pertama, memerdekakan manusia untuk memerdekakan dan mengurus hidupnya sendiri, dengan mewajibkan padanya untuk menuju ke arah tertib damainya keadaan umum; kedua, asas kita menetapkan bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, dalam arti lahir dan batin sehingga dapat memerdekakan diri; ketiga, harus berdasarkan kebangsaan dan menuju ke arah peri kemanusiaan; keempat, mementingkan tersebarnya pengajaran bagi rakyat umum; kelima, tidak boleh menerima bantuan yang mengikat lahir atau batin; keenam, harus berhemat dan menggunakan kekuatan sendiri; ketujuh, dengan suci hati mendidik anak didik dengan Among system (Yusuf, 1989: 55). Hak kemerdekaan diri dicantumkan sebagai asas Taman Siswa yang
utama dan pertama, menjadi dasar mencapai cita-cita hidup bahagia dan
masyarakat tertib damai. Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan
sebagai dasar pendidikan anak-anak Indonesia, mengisi jiwa merdeka pada
anak-anak jajahan berarti mempersenjatai bangsa dengan senjata keberanian
berjuang, menanamkan rasa harga diri pada bangsa yang dijajah untuk
mencapai kemerdekaannya (Tauchid, 1963).
Pasal dua memaparkan suatu metodik dalam kaitannya dengan
sistem among. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak-anak
akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan
merdeka tenaganya. Pada pasal dua ini menekankan para pendidik untuk
mendidik siswanya menjadi manusia yang tidak menggantungkan hidupnya
kepada orang lain. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
baik saja, akan tetapi harus mendidik murid mencari sendiri pengetahuan itu
dan memanfaatkannya untuk kepentingan umum (Koesmani, 1989).
Taman Siswa yang lahir dalam penjajahan, memang ingin berjuang
untuk menanggulangi kebodohan bangsanya dalam rangka mencapai
kemerdekaan nasional. Orang-orang Taman Siswa yang sebagian besar
memang tokoh-tokoh pergerakan nasional, ingin berjuang dalam bidang
politik dan pendidikan. Maka tidak mustahil apabila penjajah Belanda
(pemerintah Hindia-Belanda) selalu berupaya untuk mematikan Taman Siswa
atau setidak-tidaknya melemahkan semangat hidup bebas dan merdeka yang
diidam-idamkan oleh para pendiri dan penganut Taman Siswa (Probohening,
1987).
Pasal tiga diterangkan bahwa kita harus kembali ke kepribadian
bangsa sendiri berarti, kembali ke kebudayaan bangsa, kembali ke kodrat
alam Indonesia. Ke kodrat alam dan budaya bangsa berarti kembali ke cara
hidup kita sendiri, dan ini semua memerlukan latihan sejak dini, maka dari itu
diperlukan pendidikan anak sejak kecil hingga dewasa didasarkan kepada
pada budaya bangsa dan garis hidupnya menuju cita-cita pembangunan
bangsa (Koesmani, 1989).
Pasal empat diterangkan bahwa mengingat sebagian besar bangsa
Indonesia masih bodoh diperlukan perluasan pendidikan yang merupakan
program utama tuntutan kita, agar semakin banyak rakyat Indonesia yang
mengenyam pendidikan. Pasal lima menunjukkan sikap yang mengandung
prinsip, yang mengungkapkan sikap pribadi yang mantap menghadapi segala
kemungkinan, sebagai akibat dari tindakan ataupun niatnya. Bantuan orang
lain yang dapat mengurangi kebebasan harus ditolak. Pasal enam diterangkan
bahwa kita harus hidup sederhana. Kemudian pasal terakhir yaitu pasal tujuh
merupakan suatu janji atau sumpah orang Taman Siswa sebelum terjun dalam
dunia masyarakat. Kebulatan tekad yang kemudian terbentuk oleh sumpah
itulah yang membekali insan Taman Siswa untuk terjun dalam perjuangan
yang penuh dengan rintangan dan kesulitan (Koesmani, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Ajaran hidup Ki Hajar Dewantara sejak Kongres XII Persatuan
Taman Siswa tahun 1976 telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan
Taman Siswa yang diajarkan di semua tingkat perguruan sejak Taman Indria
sampai Perguruan Tinggi Taman Siswa. Ilmu yang diajarkan itu disebut
dengan istilah KETAMANSISWAAN. Diajarkannya Ketamansiswaan
sebagai pendidikan formal di Taman Siswa sejalan dengan salah satu
keputusan Kongres XII yang menyebutkan bahwa sejak tahun ajaran 1976-
1977 Perguruan Taman Siswa sepenuhnya menggunakan kurikulum Negeri
ditambah dengan Ketamansiswaan sebagai kekhususan pendidikannya
(Wiryosentono, 1989).
Taman Siswa merupakan perguruan milik bangsa Indonesia sehingga
apa yang dilaksanakan dalam Taman Siswa tujuannya untuk kepentingan
bangsa Indonesia. Sagimun (1983) berpendapat, “cita-cita Taman Siswa
untuk mendidik anak-anak Indonesia agar berjiwa merdeka harus dilakukan
oleh guru-guru bangsa Indonesia sendiri. Guru-guru itu harus berjiwa
kebangsaan dan bersemangat merdeka” (hlm. 22).
Tujuh pasal asas Taman Siswa, dilengkapi dengan sistem dan cara
pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Taman Siswa, merupakan
konsepsi kehidupan manusia baru, masyarakat tertib damai. Taman Siswa
adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar Dewantara, berupa asas, sendi
organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebiasaan hidup, sebagai syarat
pelaksanaan dan perwujudan cita-cita kehidupan Taman Siswa (Tauchid,
1963).
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut “sistem among”,
yaitu suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar:
Pertama, Kodrat alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepatnya dan sebaiknya; Kedua, kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berfikir serta bertindak merdeka. Sistem tersebut menurut berlakunya juga disebut sistem Tutwuri handayani (Suratman, 1980).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Sendi kodrat alam dan kemerdekaan sangat mendasar. Orang tua
tidak mungkin mendidik anaknya di luar atau bertentangan dengan kodrat
alamnya. Suratman (1989) menjelaskan mengenai pentingnya sendi kodrat
alam dan kemerdekaan dalam sistem among, yaitu:
Kodrat alam merupakan batas sejauh mana pendidikan mampu mengembangkan seluruh potensi kodrati dan kepribadian anak. Dasar kemerdekaan merupakan tuntutan bagi proses mengembangkan seluruh potensi anak tersebut. Perkembangan dalam suasana kemerdekaan tanpa adanya hambatan, yang berwujud tekanan, akan memberi keleluasaan tumbuh secara wajar. Anak didik yang mengalami perkembangan demikian akan tumbuh sebagai pribadi yang berjiwa merdeka, sebagai modal bertumbuhnya jiwa, sikap dan perilaku demokratis (hlm. 4).
2. Perkembangan Taman Siswa
Taman Siswa yang awalnya hanya merupakan setitik pasir di padang
gurun, kini telah berkembang pesat bahkan lontaran pemikirannya diakui di
tingkat nasional. Dari murid yang hanya sekitar 30 orang kini Taman Siswa
telah memiliki cabang hampir di seluruh tanah air (Oethomosoekranah,
1981).
Berdirinya Taman Siswa memberikan pengaruh terhadap
perkembangan pergerakan Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh
Rahardjo (2009), kelahiran Taman Siswa adalah titik balik dalam pergerakan
Indonesia. Kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat secara
radikal pun terpaksa memberikan ruang untuk gerakan ini” (hlm. 57).
Taman Siswa dipersiapkan mulai tahun 1921 di Yogyakarta, akan
tetapi baru didirikan secara resmi pada tahun 1922. Sekolah ini menyatakan
diri sebagai “lembaga pengajaran nasional”, dengan semboyan kembali dari
Barat ke nasional, dengan salah satu konsekuensinya yang pertama yaitu
pemakaian bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran,
penghapusan permainan kanak-kanak dan lagu kanak-kanak, untuk diganti
dengan yang nasional (Dewantara, 1977).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Didirikannya Taman Siswa pastilah mempunyai tujuan/ cita-cita
yang ingin dicapai, seperti yang diungkapkan Tauchid (1963) yaitu, “cita-cita
Ki Hajar Dewantara dengan gerakan hidup Taman Siswa, yang dalam wujud
geraknya merupakan lembaga pendidikan dan kebudayaan, ialah manusia
salam bahagia, masyarakat tertib damai” (hlm. 33).
Di dalam Taman siswa, murid diharapkan memiliki intelektual serta
kesusilaan yang tinggi, seperti yang diterangkan Dewantara (1977), bahwa:
Taman Siswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelektual, akan tetapi utamanya pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila. Dalam Taman Siswa banyak sekali olah seni yang diajarkan, antara lain, seni lukis, seni musik, seni tari, bahkan ada yang mengisi dengan gamelan (hlm. 58).
Taman Siswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hajar
Dewantara, berupa asas, sendi organisasi, sistem pendidikan dan perwujudan
cita-cita kehidupan Taman Siswa. Melalui metode Among, Taman Siswa
meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri,
mandiri dan berguna bagi masyarakat (Rahardjo, 2009).
Perbedaan antara sistem sekolah yang ada (waktu penjajahan
kolonial Belanda sampai sekarang di Indonesia), Ki Hajar Dewantara
mengatakan bahwa sekolah-sekolah tersebut merupakan sekolahan yang tidak
berjiwa, tidak tampak kepribadiannya. Tidak berbeda seperti gudang dan
pabrik yang di waktu pagi diisi dengan anak-anak yang belajar dan bermain,
tetapi di waktu malam sepi tidak ada penghuninya. Berbeda dengan
Perguruan Taman Siswa, murid-murid di waktu pagi, siang dan petang
berkumpul di perguruan dengan kesibukan dan kegiatan pelajarannya, dengan
olahraga, kegiatan seni, pramuka (Tauchid, 1979).
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda
untuk membatasi pendidikan bagi rakyat Indonesia agar bangsa Indonesia
tetap tidak berpendidikan sangat bermacam-macam, langkah ini dilakukan
karena bangsa Belanda sadar bahwa perluasan sekolah-sekolah bagi rakyat
Indonesia merupakan bahaya besar bagi kedudukannya sebagai penjajah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Sekolah yang didirikan kolonial Belanda bukan untuk mendidik bangsa
Indonesia menjadi manusia cerdas dan terampil, akan tetapi tujuan utamanya
adalah memberi kemudahan bagi pemerintah Belanda untuk memenuhi
kebutuhan akan pegawai rendah (Rahardjo, 2009).
Untuk memupuk semangat juang orang-orang Taman Siswa, pada
bulan Agustus 1930 diadakan kongres yang pertama. Sehingga Taman Siswa
merasa semakin kuat setelah digodog dalam kawah candradimuka-nya
perjuangan (Probohening, 1987)
Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara berdasarkan pada
nasionalisme, Mudyahardjo (2001) berpendapat, “nasionalisme yang dianut
dan hendak diwujudkan oleh Ki Hajar Dewantara adalah nasionalisme
kebudayaan bertrikon, yaitu berakar pada kebudayaan sendiri yang terus
berasimilasi dengan unsur-unsur budaya luar” (hlm. 297).
Sistem sekolah Taman Siswa, yang dimulai oleh Ki Hajar Dewantara
pada tahun 1922, menolak Islam pembaharu dan memakai kebudayaan Jawa
sebagai dasar filosofis bagi ciri nasional yang baru (Rickhlefs, 1989).
Tujuan Taman Siswa yaitu menjadi suatu gerakan pendidikan, oleh
karena itu menurut Ki Hajar Dewantara rakyat perlu dipersiapkan untuk
memiliki jiwa merdeka, pikiran dan intelektual maju, serta jiwa yang sehat.
Dari kesadaran itulah maka lahir Taman Siswa sebagai bentuk gerakan
pendidikan untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang saat itu tidak
sesuai dengan semangat bangsa Indonesia (Rahardjo, 2009).
Taman Siswa meskipun pergerakan swasta, tapi telah mampu
melakukan loncatan yang jauh dan bisa menjadi partner (mitra kerja) sekolah-
sekolah negeri. Probohening (1987) mengungkapkan, “Taman Siswa telah
berhasil mencetak tokoh-tokoh nasional yang berbobot dan terkemuka,
sementara sekolah-sekolah Taman Siswa juga tersebar luas di seluruh tanah
air. Mulai dari Taman Indria (TK), SD (Taman Siswa), SMP (Taman Madya)
sampai dengan mendirikan perguruan tinggi” (hlm. 3).
Cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa ialah
membina manusia yang merdeka lahir dan batin. Sagimun (1983)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
menjelaskan bahwa Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa mendidik agar
orang berpikir merdeka dan bertenaga merdeka. Manusia merdeka menurut
Ki Hajar Dewantara ialah orang yang lahir dan batinnya tidak terikat. Orang
yang merdeka adalah orang yang hidupnya tidak bergantung pada orang lain.
Mengekang kemerdekaan anak-anak berarti menghambat kemajuan dan
perkembangan jiwa anak-anak tersebut (hlm. 36).
Pendidikan dalam Taman Siswa mengutamakan pemeliharaan
latihan susila, dengan contoh-contoh teladan perbuatan “Kehidupan dan
kegiatan pendidikan” berjalan sepanjang hari penuh (Tauchid, 1979).
Sifat dari pendidikan Taman Siswa hampir sama dengan pendidikan
pesantren yang mana murid selalu berkumpul dengan murid setiap hari,
Rahardjo (2009) menyatakan:
Sifat pendidikan Taman Siswa adalah kultural nasional. Maka, Taman Siswa berbentuk perguruan yang berarti tempat berguru, tempat para murid mendapat pendidikan, dan tempat kediaman guru. Oleh karena itu gedung pendidikan tidak hanya digunakan untuk mengajar, tetapi juga tempat anak-anak berkumpul dengan guru, sehingga terjalin hubungan batin dan rasa kekeluargaan di antara guru dan murid (hlm. 60). Ki Hajar Dewantara dalam menerima kebudayaan yang datang dari
luar selalu bersikap selektif, Sagimun menjelaskan bahwa Ki Hajar
Dewantara dalam cita-cita mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia,
selalu berpangkal pada unsur-unsur kebudayaan sendiri, akan tetapi Ki Hajar
juga bersikap terbuka dan tidak menolak unsur-unsur kebudayaan asing. Ki
Hajar Dewantara juga bersedia menerima unsur-unsur kebudayaan dari luar,
asalkan unsur tersebut bermanfaat dan dapat memperkaya kebudayaan bangsa
Indonesia (1983).
Kemajuan Taman Siswa merupakan duri dimata kaum penjajah
Belanda, karena bisa saja menumbangkan kedudukan kolonial Belanda di
Indonesia, Sagimun (1983) menyatakan:
Perguruan yang berdasar atas kebangsaan sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang mulai sadar akan rasa kebangsaannya. Taman Siswa yang mencita-citakan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan ancaman dan bahaya yang besar bagi kelangsungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
penjajahan Belanda di tanah air. Oleh karena itu segala usaha atau cara yang dijalankan oleh penjajah Belanda untuk merongrong dan menghancurkan Taman Siswa serta perguruan-perguruan nasional lainnya (hlm. 23). Tujuan dari didirikannya Taman Siswa yaitu membangun budayanya
sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati
setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek
nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan
perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan dan kedamaian
tumbuh dalam diri (hati) manusia (Rahardjo, 2009).
Ki Hajar Dewantara dalam membenahi Taman Siswa, berkiblat pada
pemikiran sistem pendidikan Barat yang dinilainya kurang relevan dengan
sistem Timur. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang berlangsung di
negara Barat sangat mengabaikan kecerdasan, budi pekerti, mendewakan
angan-angan yang justru menimbulkan kemurkaan diri, intelektualisme dan
individualisme dikhawatirkan akan menghancurkan ketentraman dan
kedamaian dalam hidup bermasyarakat (pikiran rakyat, 1979).
Jasa yang diberikan Ki Hajar dan Taman Siswa tidak sedikit dalam
membina bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Pendidikan Taman
Siswa berdasar pada kebangsaan dan bersendi peradaban bangsa dalam arti
yang seluas-luasnya. Segala sesuatu yang merupakan kemajuan bangsa
diusahakan dan dipergunakan oleh Taman Siswa sebagai dasar pendidikan
(Sagimun, 1983).
Bentuk organisasi Taman Siswa berbeda dengan perhimpunan
lainnya. Seperti yang diungkapkan Darsiti Suratman (1985) yaitu:
Sifat Taman Siswa diwujudkan sebagai “Keluarga Besar yang Suci” yang mempunyai sifat lahir dan batin. Di dalam organisasi Taman Siswa ada pengurus. Ki Hajar Dewantara dianggap sebagai Ayah, yaitu bapak bagi “Keluarga Besar dan Suci”, dan wajib menjaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
kemurnian asas Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara berkedudukan sebagai Pemimpin Umum. Paham yang dianut dalam organisasi Taman Siswa yaitu Demokrasi dengan Kepemimpinan ( hlm. 93).
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pada zaman dahulu
bangsa Indonesia sudah memiliki rumah pengajaran sekaligus rumah
pendidikan, yang dinamakan Pondok Pesantren, sedangkan pada zaman
Budha dinamakan “pawiyatan” atau “asrama” atau pasraman. Asrama tidak
hanya rumah tempat tinggal guru dan tempat pengajaran agama saja akan
tetapi tempat pengajaran berbagai ilmu agama, ilmu alam, ilmu falak, ilmu
hukum, ilmu bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, sedangkan pondok pesantren
hanya tempat pendidikan agama (Tauchid, 1979).
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa merupakan
badan perjuangan yang berjiwa nasional, serta badan pembangunan
masyarakat dan kebudayaan. Taman Siswa sebagai badan perjuangan
mempunyai tugas mewujudkan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.
Hal ini berarti bahwa Taman Siswa teguh mempertahankan dan memelihara
asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa dari segala bahaya, baik itu yang
bersumber dari perorangan maupun ancaman dari luar (Mudyahardjo, 2001).
Adanya pembaharuan dan pembangunan pendidikan, diharapkan
bisa menunjang pembangunan bangsa, dalam arti yang luas. Melalui
pendidikan agar bisa menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang cakap
dan terampil. Menguasai ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan
laju pembangunan, di samping itu mendidik manusia dan masyarakat
Indonesia yang berintegritas nasional. Memiliki moral dan pandangan hidup
Pancasila (Probohening, 1987).
Tujuan pendidikan yang bersifat individual adalah individu-individu
yang mencapai kemerdekaan lahir dan batin. Sehubungan dengan hal ini, Ki
Hajar Dewantara menyatakan bahwa cita-cita pendidikan Taman Siswa
adalah membangun orang yang berpikir merdeka, ialah manusia yang
merdeka lahir dan batin. Tujuan sosial pendidikan adalah membangun
bersama-sama dengan segenap individu yang merdeka lahir dan batin, suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
masyarakat yang berkebudayaan-kebangsaan yang khas berdasarkan adab-
kemanusiaan, sehingga terwujud kehidupan bersama yang tertib-damai, yang
di dalamnya terdapat kemerdekaan pribadi, kebangsaan dan kemanusiaan
yang seimbang dan seiring sejalan (Mudyahardjo, 2001).
Melalui organisasi pendidikan pertama kali yang didirikan oleh Ki
Hajar Dewantara, yaitu Taman Siswa, pendidikan nasional mulai menemukan
jati dirinya, sebagai bentuk pendidikan yang diorientasikan pada manusia
sejati, manusia merdeka, berkaitan dengan soal budaya, bahasa, adat istiadat,
moral, baca tulis, menghitung (Rifa’i, 2011).
Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa-
masa sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh Darsiti Suratman (1985)
yaitu:
Kongres juga memutuskan untuk membuka Taman Guru di Yogyakarta dengan tujuan agar perluasan pendidikan nasional di kalangan rakyat menjadi lebih cepat. Salah satu keputusan dari konverensi yaitu Taman Siswa harus mempunyai percetakan sendiri, agar dapat memenuhi kebutuhan mencetak yang ketika itu sudah cukup banyak (hlm. 94).
Taman Siswa di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara memperoleh
kemajuan yang pesat sekali, seperti pernyataan Sagimun (1983) yaitu, “pada
masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, Taman Siswa sudah mempunyai
199 cabang, jumlah murid Taman Siswa kurang lebih 20.000 orang, jumlah
guru Taman Siswa yang tersebar kurang lebih 650 orang” (hlm. 30).
Mudyahardjo (2001) menjelaskan mengenai arti pendidikan yaitu,
“pendidikan adalah proses pembudayaan kodrat alam, maka isi pendidikan
keseluruhan jenis pendidikan di Taman Siswa pada dasarnya kebudayaan
yang dapat memelihara dan memajukan pertumbuhan jiwa raga anak, sesuai
dengan garis-garis kodrat alamnya” (hlm. 306).
Majalah atau Surat Kabar merupakan alat yang sangat penting bagi
suatu lembaga yang membutuhkan perluasan penyebaran cita-citanya kepada
masyarakat luas, maka dikeluarkanlah brosur-brosur dan majalah-majalah
oleh Taman Siswa. Pada tahun 1928 mulai terbit majalah “Wasita”, sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
tahun 1930, majalah “Wasita” ditujukan untuk orang-orang dalam
lingkungan Taman Siswa sendiri. Pada tahun 1931 majalah “Wasita”
dihentikan penerbitannya dan diganti dengan “Pusara”, yang sampai
sekarang tetap menjadi organ Persatuan. Selain “Wasita” dan “Pusara”,
pada zaman Penjajahan Belanda juga dikeluarkan majalah lain yaitu
“Keluarga” dan “Keluarga Putera”, yang terbit pada 1936 ( Darsiti
Suratman, 1985).
Taman Siswa meskipun mengalami banyak rintangan dan kesulitan,
namun Taman Siswa terus maju. Berkat kebenaran dan kesucian cita-cita
Taman Siswa, sampai pada akhir masa pemerintahan Hindia Belanda Taman
Siswa mencapai kemajuan yang sangat menggembirakan. Perguruan nasional
Taman Siswa banyak menggembleng patriot-patriot muda Indonesia, banyak
digembleng nasionalis-nasionalis yang memiliki semangat kebangsaan yang
tahan uji (Sagimun, 1983).
3. Melawan Undang-undang Sekolah Liar
Ki Hajar Dewantara melawan Undang-undang Sekolah Liar
Sejak tahun 1930 Taman Siswa menjadi lebih kuat daripada masa
sebelumnya, selain itu di Yogyakarta juga dibuka Taman Guru yang
tujuannya agar perluasan pendidikan nasional di kalangan masyarakat lebih
cepat. Darsiti Suratman (1985) menyatakan:
Perkembangan Taman Siswa yang cepat sejalan dengan perkembangan pergerakan Kebangsaan partai-partai. Bahasa Indonesia merupakan alat untuk membangun kebudayaan Indonesia dengan tanah air Indonesia sebagai wilayahnya dan bangsa Indonesia sebagai pendukungnya. Sejak saat itu persatuan di kalangan bangsa Indonesia menjadi semakin kuat. Bahasa Indonesia mengikat persatuan yang akan meningkatkan nasionalisme. Tindakan-tindakan partai politik semakin radikal untuk mencapai Indonesia yang merdeka, akibatnya Pemerintah Kolonial melakukan tindakan kekerasan, antara lain melarang pegawai negeri menjadi anggota suatu partai. Di negeri Belanda perkumpulan Indische Vereniging, yang pada tahun 1922 telah berganti nama menjadi “Perhimpunan Indonesia” makin bersikap radikal (hlm. 95).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Pada tahun 1931 Belanda mulai gelisah melihat pesatnya kemajuan
Taman Siswa, selain itu juga banyak organisasi-organisasi pendidikan lain
baik yang bersifat nasional, agama atau netral yang ikut membela Taman
Siswa (Soeprapto, 1973).
Perjalanan sejarah bangsa Belanda menunjukkan bagaimana bangsa
Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan
menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada,
Rifa’i (2011) menyatakan:
Pada tahun 1905, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe ordonnantie yang menetapkan bahwa para kiai, yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama islam (hlm. 56).
Pada tahun 1932 Gubernur Jenderal De Jong mengeluarkan
peraturan “Ordonansi Pengawasan terhadap sekolah-sekolah swasta/ Wilde
Schoolen Ordonantie/ Undang-undang Sekolah Liar” untuk menekan dan
membatasi kegiatan pengajaran partikelir (Soeprapto, 1973).
Ketika Pergerakan Nasional semakin kuat, maka Pemerintah
Kolonial menjadi khawatir dan lebih waspada. Tindakan itu juga diarahkan
pada pergerakan sosial, terutama yang menitikberatkan kegiatannya dalam
bidang pendidikan. Oleh karena itu dibuatlah “Undang-Undang Pengajaran”
yang berlaku mulai 1 Oktober 1932. Undang- Undang Pengajaran ini dikenal
sebagai “ Undang-Undang Sekolah Liar” (Darsiti Suratman, 1985).
Kehadiran Taman Siswa mendorong lahirnya sejumlah lembaga
pendidikan partikelir yang bercorak agama. Perkembangan Taman Siswa
yang cepat menimbulkan kekhawatiran pada pemerintah kolonial Belanda
sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderwijs
Ondonantie) pada 1932 (Rahardjo, 2009).
Dengan O.O (Onderwijs Ordonantie) yang dikeluarkan tahun 1932,
pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk menghantam Taman Siswa, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
ternyata Ki Hajar Dewantara dan pendukung-pendukungnya waspada. Taman
Siswa dapat menangkisnya dengan mudah, didukung kalangan pers dan
tokoh-tokoh pergerakan nasional, meskipun diakui memang ujian bagi Taman
Siswa waktu itu sangat berat (Probohening, 1987).
Pemerintah mengumumkan suatu ‘peraturan sekolah-sekolah liar’
(wilde scholen ordonantie) yang mengharuskan adanya izin dari pihak
penguasa sebelum sebuah sekolah swasta yang tidak mendapat subsidi
pemerintah (yang menempatkan suatu sekolah di bawah pengawasan
pemerintah) dapat didirikan. Timbullah protes yang sifatnya nasional atas
campur tangan terhadap sekolah-sekolah swasta ini, justru tepat pada waktu
sistem sekolah dibatasi karena alasan-alasan keuangan. Ki Hajar Dewantara
dari Taman Siswa memimpin suatu kampanye nasional bersama-sama dengan
kelompok Islam, termasuk Budi Utomo, bergabung dengan kaum oposisi.
Bahkan Volksraad mengecam peraturan baru itu dan pada tahun 1932
menolak anggaran belanja pendidikan pemerintah sebagai protes. Pada bulan
Februari 1933 Gubernur Jenderal de Jonge mundur dan mencabut peraturan
tersebut (Rickhlefs, 1989).
Onderwijs Ordonantie tersebut terutama ditujukan kepada sekolah
sekolah yang berbau politik. Dengan kata lain Onderwijs Ordonantie tersebut
memberi keleluasaan untuk menindak terhadap sekolahan yang tidak disukai
oleh pemerintah Belanda. Ordonansi tersebut mengancam hak asasi rakyat
yang penting (Soegijono, 1989).
Dikeluarkannya peraturan sekolah – sekolah liar sangat merugikan
bagi perguruan Taman Siswa, Sagimun menyatakan bahwa guru-guru Taman
Siswa banyak yang terkena larangan mengajar, karena dianggap berbahaya
bagi keamanan umum, yang dimaksudkan yaitu berbahaya bagi kepentingan
kaum penjajah. Selain itu banyak pula guru-guru Taman Siswa yang ikut
tersangkut dalam gerakan-gerakan menentang pemeritah Belanda. Pegawai-
pegawai pemerintah Hindia Belanda dilarang menyekolahkan anak-anaknya
di sekolah-sekolah Taman Siswa dengan berbagai ancaman (1983).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Pemerintah sekarang berusaha melakukan pengawasan terhadap
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang semakin berkembang, yang
dianggap sebagai ancaman yang potensial terhadap rezim kolonial. Goeroe
Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1905 ini tampaknya hanya menimbulkan
dampak yang terbatas. Pengeluaran Goeroe Ordonantie yang baru tahun 1925
diberlakukan untuk seluruh Indonesia dan dalam beberapa hal bersifat lebih
lunak, yang diminta hanyalah pemberitahuan tertulis tentang tujuan
pemberian pelajaran agama, tetapi daftar murid dan rincian kurikulum harus
tunduk di atas formulir-formulir resmi (Richklefs, 1989).
Menyusul rentetan percobaan berat berikutnya, Probohening (1987)
mengungkapkan bahwa, “ada 62 orang Taman Siswa yang dilarang mengajar
karena tuduhan politis. Kegiatan politik orang Taman Siswa tersebut
dihubung-hubungkan dengan Partindo dan PNI” (hlm. 3).
Dalam bidang pendidikan, suatu hal yang dirasakan umat Islam
sangat diskriminatif adalah ordonansi guru tahun 1905. Daulay (2007)
menyatakan :
Ordonansi guru tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi guru ini dirasakan oleh guru-guru agama sangat berat, dampak negatif yang disebabkan adanya ordonansi guru ini bisa untuk menekan Islam. Perkembangan berikutnya ordonansi guru tahun 1905 akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi maka diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru agama untuk memberi tahu ketika akan mengajar bukan meminta izin (hlm. 34-35).
Taman Siswa mengetahui apabila Undang-Undang Sekolah Liar
dilaksanakan, maka sekolah-sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi
dari pemerintah akan menderita, bahkan bisa gulung tikar, karena keadaan
yang sangat mendesak ini maka Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Harian yang berkedudukan di Yogyakarta, dalam sidang pada 29 September
1932, memutuskan memberi hak pada Ki Hajar Dewantara untuk
melaksanakan kekuasaan untuk segera bersikap terhadap Undang-Undang
Sekolah Liar tersebut ( Darsiti Suratman, 1985).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Dikeluarkannya Undang-undang Sekolah Liar membuat Taman
Siswa sulit dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya, Rahardjo menyatakan
bahwa Undang-undang Sekolah Liar melarang sekolah partikelir (swasta)
beroperasi bila tanpa izin pemerintah. Sekolah-sekolah partikelir itu harus
menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari
sekolah guru pemerintah. Apabila ordonansi Sekolah Liar dilaksanakan,
Perguruan Taman Siswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta
kebangsaan, Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari
sekolah guru sendiri (2009).
Diberlakukannya Undang-undang Sekolah Liar menimbulkan
dampak yang cukup mengejutkan bagi pemerintah Belanda, Sagimun
mengungkapkan bahwa pada awal tahun 1933 diadakan rapat-rapat protes
menentang Ordonansi Sekolah Liar. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa
kaum penjajah memang dengan sengaja menghalang-halangi kemajuan rakyat
Indonesia. Mengingat suara-suara rakyat Indonesia yang semakin lantang,
maka tidak lama kemudian pemerintah Hindia Belanda untuk sementara
membekukan berlakunya Ordonansi Sekolah Liar itu (1983).
Ki Hajar Dewantara mengirimkan surat protes kepada Gubernur
Jendral De Jonge yang mengemukakan rasa keberatannya atas pemaksaan
diberlakukannya undang-undang tersebut. Surat tersebut Ki Hajar tulis
dengan menggunakan bahasa Belanda yaitu antara lain kami pun bersikeras
melawan ordonansi (undang-undang) itu dengan cara lifdelijk verset sampai
tenaga penghabisan. Yang dimaksud dengan kata lifdelijk verset dalam surat
Ki Hajar yaitu perlawanan tenaga diam. Demikianlah cara Ki Hajar
menentang penjajahan, tanpa kekerasan (Gustamin, 1993).
Pada tanggal 1 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirim protes
keras dengan telegram kepada Gubernur Jenderal dengan pernyataan
“Apabila Ordonantie itu tidak dicabut, maka kemungkinan bangsa Indonesia
akan mengadakan perlawanan tanpa kekerasan” dan pada saat itu semua
pergerakan Nasional yang bercorak apapun berpihak pada Ki Hajar
Dewantara (Soeprapto, 1973).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Telegram itu berisi protes terhadap ordonansi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Belanda. Ordonansi dapat menghambat kemajuan rakyat
Indonesia. Isi telegram tersebut adalah sebagai berikut
“Gubernur Jenderal Buittenzorg”
“Yang Mulia. Ordonansi yang disajikan amat tergesa-gesa dan
dijalankan dengan cara paksaan dan mengenai sendi tulangnya
masyarakat dan adab, sesudah rencana pengajaran (dari pemerintah)
dibatalkan (oleh Volksraad) seolah-olah membuktikan kebingungan dan
kegetaran pada pemerintah, yang dengan sifat berbahaya salah mengerti
dan salah raba terhadap kepentingan hidup matinya rakyat. Bolehlah
saya memperingatkan, bahwa walaupun makhluk yang tak berdaya
mempunyai rasa asali (insting) untuk menangkis bahaya guna menjaga
diri dan demikianlah juga boleh jadi kami karena terpaksa akan
mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan
cara tenaga diam.”
“ Ki Hajar Dewantara”
Akhirnya Gubernur Jendral De Jonge menyerah dan mengundang Ki
Hajar untuk berunding. Hasilnya pemerintah Belanda bersedia mencabut
kembali undang-undang (ordonansi tersebut yang berlaku selama 4 bulan)
melalui lembaran negara nomor IV 1933. Perlawanan Ki Hajar dengan
“tenaga diam” nya berhasil meruntuhkan kewibawaan pemerintah Belanda
(Gustamin, 1993).
Undang-undang Sekolah Liar tersebut dapat merebut hak ibu-bapak
atau rakyat untuk memilih cara pendidikan bagi anaknya. Selain itu, Undang-
undang tersebut juga sangat menghina kedudukan pengajaran partikelir yang
tidak bersubsidi, dikarenakan sifatnya bukan lagi mengamati, akan tetapi
menguasai (Darsiti Suratman, 1985).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Ketika pemerintah Belanda melihat bahwa lahirnya Taman Siswa
sebagai salah satu pelopor munculnya keinginan untuk merdeka, maka
pemerintah membuat Undang-undang Sekolah Liar, Sagimun
mengungkapkan bahwa, ordonansi sekolah liar sengaja dibuat untuk
melumpuhkan dan menghancurkan perguruan-perguruan nasional bangsa
Indonesia, terutama perguruan Taman Siswa yang mencita-citakan
kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan ordonansi ini cabang-cabang Taman
Siswa mulai banyak yang diperintahkan untuk ditutup oleh Pemerintah
Hindia Belanda (1983).
Masalah Undang-undang Sekolah Liar kemudian dibawa ke Dewan
Rakyat. Banyak pertanyaan diajukan kepada pemerintah, dan ketika jawaban
pemerintah tidak memuaskan, maka pada 10 Januari 1933 Wiranatakusumah
dan kawan-kawan mengusulkan untuk membuat undang-undang baru.
Akhirnya usul Wiranatakusumah dan kawan-kawan diterima dan dimufakati
oleh Pemerintah. Maka usul inisiatif itu menjadi undang-undang. Undang-
undang Sekolah Liar ditunda untuk satu tahun lamanya dan sebagai
penggantinya, dihidupkan lagi ordonansi lama dari tahun 1923/ 1925.
Ketetapan penundaan Undang-undang Sekolah Liar 1932 itu telah disahkan
dalam staatsblad 21 Februari 1933, no. 66 (Darsiti Suratman, 1985).
Adanya Undang-undang Sekolah Liar menyebabkan munculnya
berbagai perlawanan, Darsiti Suratman (1985) menyatakan, “perlawanan Ki
Hajar Dewantara bersama Taman Siswa dalam menghadapi Undang-undang
Sekolah Liar mendapat sambutan yang sangat besar di kalangan masyarakat
luas. Seluruh pergerakan rakyat baik yang bersifat politik, agama, maupun
sosial secara serentak mendukung perlawanan Ki Hajar Dewantara” (hlm:
100).
Tahun 1933 Pemerintah Hindia Belanda merasa kewalahan dalam
menghadapi tekad bulat dari seluruh rakyat Indonesia dan terpaksa mnecabut
kembali Ordonantie tersebut (Soeprapto, 1973).
Dengan adanya aksi serentak tersebut, maka Gubernur Jendral pada
tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordonansi baru yang membatalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
“onderwijs ordonantie” 17 September 1932 yang berlaku mulai tanggal 21
Februari 1933. Kemenangan sikap Taman Siswa yang didukung oleh seluruh
masyarakat Indonesia itu menyebabkan Ki Hajar Dewantara memberikan
peringatan kepada seluruh masyarakat agar tetap waspada. Tetapi setelah
ordonansi tersebut dicabut, pemerintah Hindia Belanda mengadakan
ordonansi lagi untuk menutup malu yaitu ordonansi larangan hak mengajar
(Soegijono, 1989).
Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk
melumpuhkan dan menghancurkan Taman Siswa, Sagimun menyebutkan
antara lain, selain Onderwijs Ordonantie juga adanya penuntutan pajak upah
dan bermacam-macam jenis pajak lainnya. Pada tanggal 19 Juni 1924 barang-
barang Taman Siswa dilelang di depan umum. Barang-barang yang dilelang
itu berwujud bangku-bangku dan meja sekolah. Barang-barang Taman Siswa
yang dilelang dibeli oleh para pecinta Taman Siswa kemudian dikembalikan
pada Taman Siswa. Suatu bukti bahwa Taman Siswa dicintai dan dibutuhkan
oleh rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan (Sagimun, 1983: 23).
Pada tahun 1935 pemerintah kolonial mencoba menghalang-halangi
kegiatan Taman Siswa lagi dengan mengeluarkan surat edaran bahwa
Pegawai Negeri dicabut tunjangan ankanya apabila menyekolahkan anaknya
di sekolah partikelir (Soeprapto, 1973).
Pada 1935 sampai 1937, Taman Siswa dihadapkan pada masalah-
masalah baru: masalah “Tunjangan Anak” dan “Pajak Upah”. Untuk
menyelesaikan masalah yang kedua tersebut, Ki Hajar terpaksa berunding
dengan Gubernur Jenderal. Menurut Peraturan Pemerintah (1935), hak atas
“Tunjangan Anak” kepada Pegawai Negeri diberikan, jika anaknya
bersekolah di:
a. Sekolah Negeri
b. Sekolah yang mendapat subsidi
c. Sekolah-sekolah lainnya yang mendapat hak memakai salah satu
nama seperti sekolah negeri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Taman Siswa pasti tidak dapat dimasukkan golongan a dan b, dan
ada pula sebagian cabang-cabang Taman Siswa yang tidak dapat dimasukkan
pada golongan c. Majelis Luhur memperjuangkan agar semua cabang
mempunyai kedudukan yang sama, semuanya dapat digolongkan kelompok c
atau semuanya tidak. Sesudah berjuang selama dua tahun, nampaklah
hasilnya bahwa mulai tahun 1938 berlaku peraturan, bahwa semua pegawai
negeri, yang anaknya dikirimkan ke sekolah Pemerintah, bersubsidi atau
pertikelir, mempunyai hak atas “Tunjangan Anak” (Darsiti Suratman, 1985).
Masalah lain yang dihadapi Taman Siswa adalah mengenai upah.
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang bersifat kekeluargaan. Taman Siswa
tidak mengenal adanya buruh dan majikan. Untuk jasa guru atau pamong
dibagikan upah yang diatur menurut dasar kekeluargaan. Oleh karena itu
guru-guru berpendapat bahwa guru tidak seharusnya membayar pajak upah,
akan tetapi membayar pajak penghasilan (Darsiti Suratman, 1985).
Peraturan mengenai anak Pegawai Negeri yang bersekolah di
sekolah partikelir tidak akan mendapat tunjangan, hal ini ditolak lagi oleh
Taman Siswa, kemudian setelah Ki Hajar menemui Gubernur Jenderal pada
1932, dan akhirnya peraturan ini ditarik kembali (Soeprapto, 1973).
Ordonansi yang pada hakekatnya untuk melemahkan perjuangan
rakyat menentang pemerintah Hindia Belanda. Tetapi bagaimanapun
rintangan yang dihadapi Taman Siswa, namun Taman Siswa tetap tumbuh
subur. Cabang-cabang Taman Siswa di seluruh Nusantara dari Sabang sampai
Merauke berdiri dengan dukungan dari berbagai pihak dari masyarakat.
Sampai pada penjajahan yang hanya berlaku sampai tiga setengah tahun itu
Taman Siswa tetap berdiri meskipun dengan berbagai cara untuk
menyesuaikan diri dengan situasi pada waktu itu. Beberapa bagian antara lain
bagian Taman Dewasa harus ditiadakan dan diganti dengan Taman Tani,
meskipun dalam praktek yang diajarkan juga kurikulum Taman Dewasa
(Soegijono, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran pendidikan nasional dari Ki Hajar Dewantara yang berakar
pada nasionalisme, sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Berikut ajaran-ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang menyangkut tentang
pendidikan:
a. Hakekat pendidikan adalah “among” dalam perumusan “tut wuri
handayani”, isinya adalah pemberian kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik untuk mengembangkan bakat dan kekuatan lahir
batin, batas lingkungannya ialah kemerdekaan dan kebebasan yang
tidak leluasa, terbatas oleh tuntutan kodrat alam yang hak, dan
tujuannya ialah kebudayaan, yang diartikan sebagai keluhuran dan
kehalusan hidup manusia, termasuk pula kemerdekaan politik.
b. Trilogi Kepemimpinan memberi petunjuk bagaimana rakyat Indonesia
untuk dapat melaksanakan kepemimpinan yang baik, yaitu harus
bersikap: Pertama, Ing ngarso sung tulodho, secara harfiah berarti
bahwa pemimpin itu di depan hendaknya memberi contoh ; Kedua,
Ing madyo mangun karso, mengandung arti bahwa seorang pemimpin
itu di tengah-tengah pengikutnya harus mampu memberikan motivasi
agar dapat mempersatukan segala gerak dan perilaku secara serentak
untuk mencapai cita-cita bersama; Ketiga, Tut wuri handayani, berarti
bahwa pemimpin harus sanggup memberi kemerdekaan kepada
pengikutnya dengan perhatian sepenuhnya untuk memberikan
petunjuk dan pengarahannya.
c. Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat
Pendidikan saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
dan masyarakat. Ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada watak
dan kepribadian anak.
d. Ki Hajar Dewantara menjelaskan mengenai teori Trikonnya, bahwa
dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional harus
merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas) menuju ke
arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus
mempunyai sikap kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan
sedunia (konsentrisitas).
e. Tri pantangan, suatu pedoman untuk dapat hidup aman, damai, dan
bahagia. Adapun yang dimaksud dengan tri pantangan, yaitu: Jangan
menyalahgunakan wewenang, jangan menyeleweng di bidang
keuangan dan jangan melanggar kesusilaan.
2. Implementasi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara terhadap
pendidikan di Indonesia dapat dilihat dengan berdirinya Taman Siswa. Ki
Hajar Dewantara berusaha membina jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia
melalui Taman Siswa. Taman Siswa ingin bebas merdeka, berupaya
menciptakan pendidikan nasional yang tidak bertentangan dengan norma-
norma yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
Taman Siswa mengutamakan pembentukan watak dan latihan kemauan
luhur, dengan contoh teladan pribadi guru sebagai pemberi tuntunan hidup.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut “sistem among”, yaitu
suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua dasar, yaitu:
kodrat alam dan kemerdekaan.
3. Kendala dalam mengimplementasikan pemikiran pendidikan nasional Ki
Hajar Dewantara antara lain dengan dibuatnya Undang-Undang Sekolah
Liar oleh pemerintah kolonial. Undang-undang Sekolah Liar
mengharuskan adanya izin dari pihak penguasa sebelum sebuah sekolah
swasta yang tidak mendapat subsidi pemerintah (yang menempatkan suatu
sekolah di bawah pengawasan pemerintah) dapat didirikan.
Dikeluarkannya peraturan sekolah – sekolah liar sangat merugikan bagi
perguruan Taman Siswa. Masalah lain yang dihadapi Taman Siswa adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
mengenai upah. Sebagai suatu lembaga pendidikan yang bersifat
kekeluargaan. Taman Siswa tidak mengenal adanya buruh dan majikan.
Untuk jasa guru atau pamong dibagikan upah yang diatur menurut dasar
kekeluargaan. Oleh karena itu para guru berpendapat bahwa para guru
tidak seharusnya membayar pajak upah, akan tetapi para guru membayar
pajak penghasilan. Taman Siswa pada zaman pendudukan tentara Jepang
malah lebih berat rintangannya, perguruan Taman Siswa agak terkekang.
Taman siswa hanya boleh mempunyai sekolah dasar saja. Sekolah-sekolah
swasta termasuk Taman Siswa hanya diperbolehkan membuka sekolah
lanjutan kejuruan, misalnya sekolah pertanian.
B. Implikasi
1. Teoritis
Implikasi secara teoritis dalam penelitian ini adalah mengenai masalah
pendidikan yang terjadi di Indonesia. Pendidikan yang telah berjalan sejak
penjajahan kolonial ini kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan
itu semua mungkin belum disadari oleh rakyat Indonesia sendiri. Pendidikan yang
berjalan secara sekuler telah mengesampingkan nilai-nilai agama dan
mengedepankan pola pendidikan Barat yang mengutamakan intelektualisme,
individualisme dan materialisme. Hal ini secara tidak langsung merupakan
kolonialisme terhadap Indonesia di bidang pendidikan yang membuat bangsa
Indonesia sulit untuk menciptakan sistem pendidikan bangsa Indonesia yang
bersifat nasional.
2. Praktis
Pendidikan Barat yang selama ini berkembang telah menjadi bagian dari
pendidikan di Indonesia. Pendidikan Barat telah dijadikan acuan dalam pelajaran
di sekolah-sekolah. Pendidikan nasional membayangkan isolasi dalam dunia
sendiri yang kecil dan terbatas, jauh dari peradaban dengan dunia luar sedangkan
pendidikan Barat menjanjikan berbagai kemulyaan, dapat hidup bermasyarakat
dengan baik yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan Barat sehingga dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
adanya kenyataan yang seperti itu pendidikan Baratlah yang lebih dipilih karena
kesenangan yang didapat tampak begitu nyata. Padahal pendidikan Barat itu
hanya mengunggulkan materialisme, intelektualisme dan individualisme
sedangkan masalah anak-anak itu dinomorduakan. Anak-anak yang hanya
diberikan pendidikan semacam itu tanpa adanya pendidikan budi pekerti akan
menyebabkan anak tidak mengenal bangsanya bahkan bisa menjadi faktor
keruntuhan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi hasil penelitian tersebut maka penulis
menyarankan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai mahasiswa calon pendidik sejarah, pemikiran pendidikan nasional Ki
Hajar Dewantara dapat dijadikan sebagai salah satu langkah dalam mendalami
pendidikan yang berkembang di Indonesia. Melalui penelitian ini mahasiswa
akan mengetahui tentang perbedaan sistem pendidikan yang telah berkembang
di Indonesia yang berpedoman pada sistem pendidikan Barat dengan sistem
pendidikan yang didasarkan pada pengajaran nasional seperti yang
diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, dan semoga riwayat hidup Ki Hajar
Dewantara ini dapat dijadikan teladan bagi kita.
2. Bagi Guru
Sebagai seorang guru, pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara ini sangat
penting untuk ditelaah dan diterapkan dalam sistem belajar mengajar di
sekolah. Mengingat saat ini kurikulum yang diberikan di sekolah kurang
memuat nilai-nilai luhur kebangsaan seperti religius, jujur, cinta tanah air,
tanggung jawab, dll., tetapi lebih mengedepankan pada intelek sehingga
banyak siswa yang meremehkan guru, bersikap kurang baik kepada temannya,
maka guru dalam membimbing siswanya perlu menyisipkan nilai-nilai karakter
bangsa, melalui teori dan praktek.