FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA … file6. Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak...
-
Upload
hoangtuyen -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA … file6. Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Fitrian Sufianasari G.0009087
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji syukur penulis hantarkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Sibela Surakarta. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada : 1. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ismiranti Andarini, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Drs. Widardo, M. Sc selaku Pembimbing Pendamping yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 4. Sri Lilijanti Widjaya, dr., Sp.A(K) selaku Penguji Utama yang telah
memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M selaku Penguji Pendamping yang telah
memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang yang
senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan dukungan dalam segala hal sehingga terselesaikannya skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat terdekat, Wisma Musica Sari, Setuju, Orange House, Tikara atas semangat yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
8. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Surakarta, Juli 2012 Fitrian Sufianasari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ..................................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ......................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. x BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 4
BAB II. LANDASAN TEORI ..................................................................................... 5 A. Tinjauan Pustaka........................................ ............................................ 5
1. ISPA ............................................................. .................................... 5 a. Definisi............................................ ............................................. 5 b. Klasifikasi ISPA........................... ................................................ 6 c. Faktor risiko....................... ........................................................... 9 d. Etiologi........................................... .............................................. 21 e. Patofisiologi........................................ ......................................... 22 f. Diagnosis.............. ......................................................................... 23
2. Alergi ....................................................... ......................................... 24 B. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 25 C. Hipotesis ................................................................................................. 26
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 27 A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 27 B. Lokasi Penelitian .................................................................................... 27 C. Subjek Penelitian .................................................................................... 28 D. Teknik Sampling ..................................................................................... 28 E. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................. 29 F. Definisi Operasional Variabel ............................................................... 29 G. Rancangan Penelitian ............................................................................. 33 H. Instrumen Penelitian ............................................................................... 34 I. Cara Kerja ............................................................................................... 35 J. Teknik Analisis Data .............................................................................. 35
BAB IV. HASIL PENELITIAN ................................................................................... 36 A. Karakteristik Subjek Penelitian .............................................................. 36 B. Hasil Analisis Data ................................................................................. 38
BABV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 40 BABVI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 51
A. Simpulan ................................................................................................. 51 B. Saran ........................................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 52 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi penyebab penyakit akut
dan merupakan penyebab kematian Balita tertinggi di dunia. Setiap tahunnya,
ISPA mengakibatkan dua juta kematian Balita di dunia dan menduduki
peringkat pertama penyakit yang dapat mengurangi angka harapan hidup di
negara-negara berkembang. Populasi dengan risiko ISPA tertinggi adalah Balita.
Kejadian ISPA pada Balita di negara berkembang mencapai 151 juta tiap
tahunnya. Kasus dengan kejadian ISPA tertinggi yaitu India (43 juta), Cina (21
juta), Pakistan (10 juta), Banglades, Indonesia, dan Nigeria (masing-masing 56
juta) (WHO, 2009).
Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
kejadian ISPA tertinggi di dunia. Berdasarkan data WHO (2004), ISPA
merupakan salah satu penyakit yang menjadi sepuluh besar penyebab kematian
dan kecacatan di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk
kasus pneumonia pada Balita. Pada tahun 2006 tercatat penderita pneumonia
mencapai enam juta jiwa. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI
Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 Balita dengan
pneumonia atau 21,52% dari jumlah seluruh Balita di Indonesia. Proporsinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
35,02% pada usia di bawah satu tahun dan 64,97% pada usia satu hingga empat
tahun (Ginting, 2009).
Data terakhir Dinas Kesehatan Kota Surakarta menyebutkan bahwa 29,5%
kematian Balita disebabkan oleh ISPA dan sekitar 80-90% adalah karena
pneumonia. Pada tahun 2010, berdasarkan laporan hasil pengamatan penyakit
Puskesmas, ditemukan kasus pneumonia Balita sebanyak 288 kasus. Sedangkan
insidensi pneumonia diperkirakan 10-20% per tahun (Dinkes Surakarta, 2011).
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA terbagi menjadi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat, imunisasi tidak
lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik terdiri dari polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga
yang menderita ISPA dan tingkat sosial ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes,
2001; Yuwono, 2008; WHO, 2011).
Perkotaan mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Tahun
2010, Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa
Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer persegi,
tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2011).
Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan hunian rumah. Kepadatan
hunian yang tinggi akan meningkatkan kecepatan transmisi mikroorganisme,
sehingga apabila terdapat anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat
mudah menularkan ke anggota keluarga yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Balita dengan gizi kurang akan mengalami gangguan fungsi imunitas non
spesifik dan spesifik, sehingga akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi,
terutama ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Data Depkes tahun
2001 menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan
imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT sebesar 6%.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan mortalitas ISPA dapat
diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes, 2001).
Anggota keluarga yang merokok akan berpengaruh terhadap kejadian
ISPA pada Balita (Naria et al., 2008; Winarni et al., 2010). Asap rokok yang
dikeluarkan oleh perokok (sidestream smoke) mengandung lebih banyak hasil
pembakaran tembakau yang akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan
dan bahkan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman
pathogen maka akan menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi
perokok pasif lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).
Berdasarkan laporan tahunan terakhir mengenai dua puluh besar penyakit
di Puskesmas Sibela tahun 2010, salah satu jenis penyakit ISPA yaitu common
cold atau rinitis, menduduki peringkat pertama penyakit yang paling banyak
dialami pasien rawat jalan Puskesmas Sibela dengan jumlah total 6.086 (13,82
%). Sedangkan kunjungan total Balita yang terkena ISPA secara keseluruhan
mencapai 9.739 Balita (19,12 %) (Puskesmas Sibela, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat topik penelitian
tentang faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela
Surakarta.
B. Perumusan Masalah
Apa faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela
Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sibela Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
tertulis untuk memberi informasi tentang faktor risiko ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta dan sebagai dasar penelitian
lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Sebagai upaya untuk pencegahan dan penurunan angka kejadian
ISPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
DASAR TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. ISPA
a. Definisi
ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas,
mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, pleura dan
parenkim paru (Depkes, 2006; Wantania et al., 2008).
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute
Respiratory Infection (ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernapasan dan akut. Batas waktu 14 hari diambil untuk
menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit
yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari (Depkes, 2006).
Definisi ISPA menurut Lopez-Alarcon et al. (1997) yaitu suatu
penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek paling sedikit dua hari
berturut-turut diikuti satu atau lebih gejala-gejala seperti erythematous
mucosa, tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
demam. ISPA dikatakan episode baru bila telah sehat atau sembuh
sekurang-kurangnya dua hari dari gejala penyakit yang diderita.
Manifestasi klinis ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit
tenggorokan, suara serak, pilek, demam dan sakit telinga, tidak nafsu
makan (Tregoning dan Schwarze, 2010).
b. Klasifikasi ISPA
ISPA diklasifikasikan bermacam-macam tergantung dari
peninjauannya yaitu:
1) Berdasarkan lokasi anatomik (WHO, 2002):
1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPaA) yaitu infeksi
yang menyerang hidung sampai epiglotis. Penyakit yang termasuk
ISPaA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Wantania et al., 2008):
(1) nasofaringitis akut (common cold)
(2) rhinitis akut
(3) sinusitus akut
(4) rhinosinusitis akut
(5) faringitis akut
(6) tonsillitis akut
(7) otitis media akut
2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPbA) yaitu
infeksi yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari
bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru. Penyakit yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
termasuk ISPbA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Raharjoe, et
al., 2008):
(1) laringofaringitis akut
(2) epiglotitis akut
(3) laringitis akut
(4) trakhetis akut
(5) CROUP (Laringotrakheobronkitis Akut)
(6) bronkhitis akut
(7) bronkiolitis akut
(8) pneumonia
2) Berdasarkan ICD (International Classification Disease) (WHO,
2010):
1) Acute upper respiratory infections
(1) Acute nasopharyngitis [common cold]
(2) Acute sinusitis
(3) Acute pharyngitis
(4) Acute tonsillitis
(5) Acute laryngitis and tracheitis
(6) Acute obstructive laryngitis [croup] and epiglottitis
(7) Acute upper respiratory infections of multiple and unspecified
sites
2) Influenza and pneumonia:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
(1) Influenza due to certain identified influenza virus
(2) Influenza due to other identified influenza virus
(3) Influenza, virus not identified
(4) Viral pneumonia, not elsewhere classified
(5) Pneumonia due to Streptococcus pneumoniae
(6) Pneumonia due to Haemophilus influenzae
(7) Bacterial pneumonia, not elsewhere classified
(8) Pneumonia due to other infectious organisms, not elsewhere
classified
(9) Pneumonia in diseases classified elsewhere
(10) Pneumonia, organism unspecified
3) Acute lower respiratory infections:
(1) Acute bronchitis
(2) Acute bronchiolitis
(3) Unspecified acute lower respiratory infection
3) Berdasarkan derajat keparahan penyakit (WHO, 2002; Hadi, 2003):
a) ISPA ringan
ISPA ringan ditandai dengan gejala batuk dan pilek dengan atau
tanpa demam
b) ISPA berat
ISPA berat ditandai dengan gejala seperti ISPA ringan dan
disertain gejala lain seperti wheezing (mengi) yaitu napas bersuara,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
sakit atau keluar cairan dari telinga, bercak kemerahan (campak)
dan pernapasan cepat. Batas nafas cepat adalah frekuensi nafas
sebanyak (Depkes, 2002):
(1) 60 kali per menit atau lebih pada usia kurang 2 bulan.
(2) 50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan sampai kurang
dari 1 tahun.
(3) 40 kali per menit atau lebih pada usia 1 sampai 5 tahun.
c) ISPA sangat berat
ISPA berat ditandai dengan gejala seperti pada ISPA sedang dan
disertai gejala penarikan dinding dada, kesadaran menurun, tidak
dapat makan dan minum, bibir/kulit pucat kebiruan, stridor yaitu
suara napas seperti mengorok, dan kejang.
c. Faktor risiko
Departeman Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa faktor yang
meningkatkan angka kematian akibat pneumonia pada Balita adalah usia
kurang dari dua bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi,
BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, jangkauan pelayanan
kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, immunisasi tidak lengkap,
menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek
pencarian pengobatan yang salah.
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA dibagi menjadi
faktor intriksi dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat,
imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik
terdiri dari polusi udara, kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga
yang merokok, anggota keluarga yang menderita ISPA dan tingkat sosial
ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes, 2001; Yuwono, 2008; WHO,
2011).
1) Pencemaran udara
Pencemaran udara atau polusi udara diartikan sebagai adanya
bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan
perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.
Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu
serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat
menganggu kehidupan manusia (Wardhana, 2004).
Polusi udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu polusi udara di
dalam ruangan (indoor air pollution) dan polusi udara luar ruang
(outdoor air pollution). Timbulnya polusi udara dalam ruangan
umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi
udara (52%) adanya sumber kontaminasi di dalam ruangan (16%)
kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material
bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).
Sebagian besar polutan luar ruang merupakan hasil pembakaran
bahan bakar fosil yang bersumber dari kendaraan bermotor. Zat-zat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
yang termasuk polutan udara luar ruang adalah ozon (O3), nitrogen
dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO),
timbal dan partikel. Polutan-polutan tersebut berbahaya bagi
kesehatan dan dapat memicu terjadinya ISPA. Polutan seperti ozon
(O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), karbon
monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan
sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme (Kumar et al.,
2007a).
Hasil monitoring tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di
Indonesia menunjukkan pencemaran udara sudah melampaui standar
kualitas udara. Dari hasil pemetaan kualitas udara di Kota Surakarta
didapatkan kadar CO rata-rata mencapai 20,9 ppm dan di beberapa
tempat seperti Pajang, Klewer, Jurug dan Pasar Kliwon kadar CO
dalam udaranya mencapai 27 ppm, melebihi dari ambang batas
pencemaran udara yaitu 20 ppm (Kadyarsi, 2008; Kusminingrum dan
Gunawan, 2008).
2) Kepadatan hunian
Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
Padatnya penduduk kota antara lain disebabkan oleh adanya
perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota. Kota
Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa
Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
persegi, tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer
persegi. Sehingga rata-rata 20-30 kepala keluarga atau sekitar 113
jiwa hidup pada satu hektar lahan (BPS, 2011).
Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan penghuni
rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Nindya dan Sulistyiorini
(2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian ISPA. Banyaknya orang yang tinggal dalam satu
rumah mempunyai peranan penting dalam kecepatan transmisi
mikroorganisme penyebab ISPA (Nurjazuli dan Widyaningtyas,
2009). Kepadatan hunian yang tinggi dan tidak cukupnya ventilasi
menyebabkan kelembaban dalam rumah meningkat sehingga
berpengaruh terhadap suburnya pertumbuhan mikroorganisme
(Depkes, 2011).
3) Status sosial dan ekonomi
Status sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang,
pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tinggi
rendahnya status sosial ekonomi seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Yulisanti, 2000).
Pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi
status gizi dan status imunisasi yang merupakan faktor intrinsik ISPA.
Tingkat pendapatan orang tua yang rendah berpengaruh terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
intake nutrisi Balita sehingga berpengaruh pada status gizi Balita
(Husaini et al., 2000). Pendidikan orang tua di pedesaan yang
umumnya lebih rendah akan berpengaruh terhadap status gizi dan
status imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009). Penelitian
menyebutkan bahwa pemberian ASI tidak dipengaruhi oleh
pendidikan, pekerjaan maupun pendapatan (Latifah et al., 2010).
4) Status gizi
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau
keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh
dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).
Menurunnya status gizi berakibat menurunnya kekebalan tubuh
terhadap berbagi infeksi. Kekurangan gizi pada Balita meliputi kurang
energi dan protein serta kurang zat gizi seperti vitamin A, zat besi,
iodium dan seng (Hadi, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Tandyo
(2000) menyebutkan walaupun kadar imunoglobulin tidak menurun,
tetapi pada kondisi gizi buruk terdapat gangguan imunitas yang
disebabkan oleh menurunnya komplemen protein yang
mengakibatkan aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun
membunuh kuman menurun.
Gizi buruk juga menyebabkan gangguan pada imun non spesifik
dan spesifik berupa kerusakan epidermis, kerusakan epitel saluran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
cerna dan saluran napas, gangguan fungsi leukosit polimorfonuklear
(PMN), sel natural-killer dan aktifasi komplemen, penurunan jumlah
dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag,
penurunan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons
antibodi limfosit B dan penurunan sitokin yang diperlukan untuk
pengenalan antigen yang disebabkan karena defisiensi vitamin A
maupun seng. Gangguan fungsi imunitas non spesifik dan spesifik
tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama
ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998).
Sebaliknya, infeksi mempunyai kontribusi terhadap kekurangan
energi, protein dan zat gizi lain karena menurunnya nafsu makan
sehingga tingkat kecukupan gizi menjadi berkurang. Kebutuhan
energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal
karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha 1995). Selain infeksi,
faktor lain yang dapat menyebabkan gizi buruk adalah masalah sosial
ekonomi berupa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua
(Supariasa et al., 2002a).
5) Status Imunisasi
Imunisasi merupakan faktor penting dalam pecegahan ISPA.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti BCG, difteri dan campak. Data Depkes tahun 2001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan
imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT
sebesar 6%. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan
mortalitas ISPA dapat diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes,
2001). Balita dikatakan mendapatkan imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya berdasarkan jadwal
imunisasi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes,
2008).
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Nasional Depkes
Umur Jenis vaksin
0 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
9 bulan
18 bulan
HB 1, BCG, Polio 1
DPT 1, HB 2, Polio 2
DPT 2, HB 3, Polio 3
DPT 3,, Polio 4
Campak
DPT 4, Polio 5
(Depkes, 2008)
Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles
dengan gejala berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek,
konjungtivitis, dan ruam pada muka dan leher (Depkes, 2008). Selain
menyebabkan penyakit campak, virus measles juga merupakan salah
satu virus yang dapat menyebabkan ISPA (WHO, 2009). Imunisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
campak akan membentuk antibodi terhadap virus measles, sehingga
dapat mencegah ISPA yang disebabkan oleh virus tersebut.
Imunisasi DPT memberikan kekebalan secara simultan terhadap
penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan
(Depkes, 2008). Difteri merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheria. Apabila menyerang saluran
respiratorik atas akan memberikan gejala berupa demam, sekret
hidung berwarna kemerahan disertai adanya selaput berwarna
keabuan dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan
stridor dan penyumbatan. Sehingga secara langsung imunisasi DPT
dapat mencegah ISPA dengan memberikan imunitas terhadap
penyakit difteri.
Vaksin BCG terdiri dari bakteri hidup yang dilemahkan dari
biakan Bacille Calmette Guerin (Depkes, 2006). Vaksin BCG
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa. Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan,
karena pada anak batuk bukan merupakan gejala utama (Depkes,
2008).
Salah satu gejala nyata pada penderita TB adalah berkurangnya
berat badan berturut-turut selama dua bulan. Pada anak TB sering
menyebabkan gagal tumbuh maupun gizi buruk (Depkes, 2008). Gizi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
buruk mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap berbagi
infeksi karena melemahnya sistem imun akibat gangguan fungsi
leukosit, makrofag, limfosit B dan T, sel natural killer dan sitokin
(Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Sehingga pada
penderita TB akan mudah terjangkit penyakit infeksi seperti ISPA.
Oleh karena itu dengan mencegah TB, imunisasi BGC secara tidak
langsung juga dapat mencegah ISPA.
Studi yang dilakukan oleh Choudhury (2002) dan Waters (2004)
menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga
maka semakin tinggi peluang anak memperoleh imunisasi lengkap.
6) Anggota keluarga yang merokok
Efek asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan
perokok aktif. Asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama
(mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang
terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap
samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran
tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon
monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46
kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker
kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan
dibanding dengan kadar asap utama (Moir et al., 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Asap rokok juga mengandung zat prokarsinogen (mis. 4-
methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1-(butanone), nikotin, polysiklik,
tar, CO dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada
saluran pernafasan. Apabila hal itu terjadi maka akan mengakibatkan
iritasi pada saluran pernafasan dan bahkan paru-paru. Bila iritasi
tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman pathogen maka akan
menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi perokok pasif
lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).
7) Anggota Keluarga yang menderita ISPA
Penularan ISPA dari anggota keluarga akan sangat mudah karena
pola penyebaran ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar
dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga
dapat terjadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret
saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan
jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan dengan saluran
napas (WHO, 2008).
Penularan ISPA dari anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh
kepadatan hunian. Apabila hunian semakin padat, maka transmisi
mikroorganisme akan semakin meningkat. Sehingga apabila ada
anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat mudah
menularkan pada Balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
8) Berat Badan Lahir
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Karena pertumbuhan dan
pematangan organ maupun alat–alat tubuh BBLR belum sempurna
disertai dengan defisiensi imun, akibatnya BBLR sering mengalami
komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Fungsi
paru pada bayi dengan berat badan lahir rendah pada umumnya belum
matur sehingga akan mudah terserang penyakit pernapasan (Walter et
al., 2009; Filippone et al, 2003; Doyle et al., 2006; Halvorsen et al.,
2006; Vrijlandt et al, 2005)
Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita oleh bayi
berat lahir rendah adalah Bronchopulmonary dysplasia, ISPA, aspirasi
pnemonia, pernafasan periodik dan apnea yang juga disebabkan
karena pusat pernafasan di medulla belum matur (Eric et al., 2008;
Halvorsen et al, 2004).
9) Asi Eksklusif
ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya ASI saja tanpa
makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6
bulan (Depkes, 2006). ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi)
yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama hidupnya. ASI
dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi karena selain kaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
akan nutrisi, ASI juga mengandung faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus (Koosha, 2008)
Menurut stadium laktasi, ASI dibagi menjadi kolostrum (hari ke 1-4),
ASI masa peralihan (hari ke 4-14) dan ASI matur (hari ke 14 dan
seterusnya). Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta
antibodi (yang dapat memberikan perlindungan pada bayi sampai
umur 6 bulan) daripada ASI matur (Hapsari, 2009).
ASI mengandung zat anti infeksi berupa Imunoglobulin A,
laktoferin, lisosim, sel-sel leukosit dan bifidus faktor. Imunoglobulin
A (IgA) ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap tetapi
dapat melumpuhkan bakteri patogen Escherichia coli dan berbagai
virus pada saluran pencernaan. Laktoferin adalah sejenis protein yang
merupakan komponen zat kekebalan berfungsi untuk mengikat zat
besi di saluran pencernaan. Lisosim dalam ASI yang jumlahnya 300
kali lebih banyak daripada susu sapi dapat melindungi bayi terhadap
bakteri (Escherichia coli dan Salmonella) dan virus, termasuk virus
penyebab ISPA. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama
lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu Bronchus-
Asociated Lympocyte Tissue (BALT) yaitu antibodi pernafasan, Gut
Asociated Lympocyte Tissue (GALT) yaitu antibodi saluran
pencernaan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT)
yaitu antibodi jaringan payudara ibu. Faktor bifidus, sejenis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang pertumbuhan
bakteri Lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus
bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang
merugikan (American Academy of Pediatrics, 2005; Lawrence,
2002).
Antibodi-antibodi tersebut akan meningkatkan daya tahan tubuh
dan memberikan kekebalan terhadap penyakit ISPA.
d. Etiologi
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan ISPA ada lebih dari 300
jenis, terdiri atas golongan bakteri, virus, riketsia dan jamur (Depkes,
2002). Bakteri penyebab ISPA adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae tipe b (Hib), Corynebacterium diphtheriae,
Staphylococcus aureus, M. catarrhalis dan spesies bakteri lainnya seperti
Klebsiella pneumonia, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp.,
Pseudomonas spp., Escherichia coli, histoplasmosis and toxoplasmosis.
(Rudan et.al, 2008).
Penelitian Makela et al. berhasil mengindentifikasi bakteri
Chlamydia pneumoniae, Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae, dan Mycoplasma pneumonia pada sputum 200 remaja
Finlandia yang menderita ISPA (Makela et al., 1998).
Virus penyebab ISPA berupa Respiratory Syncytial Virus (RSV),
measles virus, human parainfluenza virus tipe 1, 2, and 3 (PIV-1, PIV-2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dan PIV-3), influenza virus tipe A dan B, varicella virus, adenovirus
(AV), rhinovirus, enterovirus, coronavirus (CoV), herpes simplex virus,
dan human metapneumovirus (hMPV). (WHO, 2009; Makela et al.,
1998; Chonmaitree et al., 2008).
Hasil penelitian Allander et al. dengan menggunakan teknik RT-
PCR di Amerika Serikat menyebutkan bahwa virus lain yang dapat
menyebabkan ISPA adalah bocavirus (BoV) dan polyomaviruses
(Allander et al., 2007).
f. Patofisiologi
Saluran pernapasan mempunyai sistem pertahanan terhadap
mikroorganisme yang berupa sistem mukosiliaris. Mikroorganisme yang
terhirup dalam bentuk droplet maupun yang kontak dengan mukosa
saluran pernapasan secara langsung akan terperangkap oleh lapisan
mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kemudian diangkut oleh
gerakan silia ke bagian belakang tenggorokan untuk ditelan maupun
dikeluarkan (Kumar et al., 2007b; WHO, 2008).
Patogen pernapasan yang virulen seperti virus influenza atau
parainfluenza dapat lolos dari pertahanan mukosiliaris dengan
mengeluarkan neuraminidase untuk menghambat gerakan silia.
Organisme tertentu seperti Haemophilus influenza mengeluarkan
berbagai faktor yang dapat menghambat gerakan silia. Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus aureus dan spesies bakteri lainnya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tidak memiliki faktor perekat spesifik, hanya dapat menginfeksi setelah
ada lesi pada mukosa saluran pernapasan (Kumar et al., 2007b; Prince
dan Wilson, 2006).
Setelah mikroorganisme menginfeksi mukosa saluran pernapasan,
terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, sekresi mukus dan udem
konka sehingga timbul gejala klinis berupa pilek (rhinorrhea) dan
kesulitan bernapas (Yuta et al., 1998). Infeksi dapat tejadi pada mukosa
laring dan faring sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan, suara serak
dan batuk (Soepardi et al., 2007).
g. Diagnosis
Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan anamnesis berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan fisik dengan atau tanpa pemeriksaan
penunjang. Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau
menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau
demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez-
Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008).
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
membedakan jenis ISPA yang satu dengan lainya. Dalam pemeriksaan
fisik digunakan alat bantu seperti stetoskop, tongue spatel, spekulum
hidung, spekulum telinga, dan senter. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologis dan CT-Scan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui etiologi ISPA
secara pasti. Terdapat berbagai macam pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan darah rutin, C-reaktif protein, uji serologis, pemeriksaan
mikrobiologis, dan pemeriksaan identifikasi virus secara langsung seperti
ELISA, imunofluoresensi RIA dengan menggunakan PCR (Alsagaff dan
Mukty, 2008; Raharjoe et al., 2008).
2. Alergi
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh
pajanan terhadap suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi
imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Abbas dan Lichtman,
2003). Manifestasi alergi dapat terjadi di kulit, saluran pernapasan dan
saluran cerna. Dalam saluran pernapasan, alergi dapat berupa rinitis alergi
dan asma.
Apabila tubuh terpajan dengan alergen, akan terbentuk IgE yang akan
menyebabkan degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi
seperti histamin yang mempunyai efek vasodilatasi mukosa dan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga dalam saluran pernapasan akan
menimbulkan gejala seperti ISPA yaitu udem mukosa, sumbatan hidung,
pilek, batuk maupun sesak napas. Karena gejala klinis menyerupai ISPA,
maka dalam penelitian ini alergi menjadi kriteria eksklusi sampel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Keterangan:
= diteliti
= tidak diteliti
Alasan variabel yang tidak diteliti, meliputi:
1. Polusi udara, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian ini
karena penelitian yang kompleks dan biaya yang relatif besar.
2. Kepadatan hunian, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian
ini karena peneliti harus menghitung luas rumah subjek penelitian,
sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar.
3. Tingkat sosial dan ekonomi akan mempengaruhi status gizi dan status
imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009; Husaini et al., 2000)
4. Pemberian ASI eksklusif, dalam pengukurannya mempunyai recall
bias (bias informasi) yang tinggi karena hanya berdasarkan ingatan ibu
(Koosha et al, 2008, Hikmawati, 2008; Tan, 2011).
5. Berat badan lahir, dalam pengukurannya mempunyai recall bias (bias
informasi) yang tinggi (Ward, 2007; Sistiarani, 2008; Bjerg, 2011).
C. Hipotesis
Status gizi, status imunisasi, anggota keluarga yang merokok dan
anggota keluarga yang menderita ISPA merupakan faktor risiko terjadinya ISPA
pada Balita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian
dimana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi hanya sekali pada saat
yang sama (Taufiqurrahman, 2008).
B. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Sibela Surakarta. Pemilihan
Puskesmas tersebut didasarkan atas pertimbangan:
1. Masih tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta
2. ISPA merupakan penyakit yang paling banyak dialami pasien rawat jalan di
Puskesmas Sibela Surakarta
3. Kunjungan Balita akibat ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta menduduki
peringkat tertinggi
4. Polusi udara di Surakarta sudah pada taraf yang mengkhawatirkan
5. Kepadatan penduduk Surakarta tertinggi di Jawa Tengah
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan studi untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kejadian penyakit ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
C. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien di Puskesmas Sibela Surakarta
dengan kriteria:
1. Kriteria inklusi yaitu:
a. Berumur 0-59 bulan
b. Tinggal di wilayah Surakarta
2. Kriteria eksklusi yaitu:
a. Tidak besedia menjadi subjek penelitian
b. Mempunyai riwayat alergi
D. Teknik Sampling
Teknik samping yang digunakan adalah fixed-disease sampling dan
dilanjutkan dengan accidental sampling. Fixed-disease sampling merupakan
skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau
tidak berpenyakit yang diteliti, sedangkan status paparan subjek bervariasi
mengikuti status penyakit subjek. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan
pengambilan sampel Balita ISPA dan tidak ISPA terlebih dahulu (Murti, 2010).
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan ukuran
sampel untuk analisis multivariat, dengan rumus (Murti, 2010):
Besar sampel penelitian multivariat = n. X
Keterangan:
n = 15-20 subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
X = jumlah variabel penelitian
Karena variabel yang akan diteliti berjumlah empat, maka besar sampel
minimal dalam penelitian ini adalah 15 x 4 = 60. Sehingga besar sampel dalam
penelitian ini berjumlah 60 dengan rincian 30 Balita ISPA dan 30 Balita tidak
sakit ISPA.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : status gizi, status imunisasi, anggota keluarga
yang merokok dan anggota keluarga yang
menderita ISPA.
2. Variabel terikat : ISPA
3. Variabel luar terkendali : umur
4. Variabel luar tak terkendali : kecukupan pemberian ASI, kecukupan vitamin
A, kepadatan hunian, polusi udara, pendapatan
total orang tua, pendidikan ibu dan berat badan
lahir.
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
a. Status gizi
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh dalam
bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).
Status gizi diukur dengan indeks antropometri BB/U dengan
menggunakan standar WHO 2005 dalam skor simpangan baku (standar
deviation score = Z-score) dengan rumus (Depkes, 2008):
Z- score = nilai individual subyek - nilai median baku rujukan
nilai simpangan baku rujukan.
Digunakannya indeks BB/U sebagai indikator status gizi karena
hanya ingin melihat status gizi saat ini, pelaksanaanya lebih mudah, lebih
cepat, baik untuk mengukur kondisi akut (muntaber) maupun kronis
(kecacingan) dan sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil (Supariasa
et al., 2002b).
Kriteria Status gizi dengan indikator Z-skor dari BB/U dengan
standar baku antropometri menurut WHO 2005 adalah sebagai berikut
(Depkes, 2008):
1) Gizi lebih : Zscore > 2
2) Gizi baik : Zscore ≥ -2 sampai 2
3) Gizi kurang : Zscore < -2 sampai 2
4) Gizi buruk : Zscore <-3
Alat pengukuran yang digunakan adalah timbangan yang sudah
tersedia di puskesmas. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan
dalam:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
0 = gizi baik/lebih
1 = gizi kurang/buruk
b. Status imunisasi
Status imunisasi dikatakan lengkap bila Balita sudah memperoleh
imunisasi BCG, DPT, Polio dan Campak sesuai dengan usia berdasarkan
jadwal dari Departemen Kesehatan.
Tabel 2. Kriteria Imunisasi Lengkap
Umur Jenis vaksin
0 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
9 bulan
18 bulan
HB 1, BCG, Polio 1
DPT 1, HB 2, Polio 2
DPT 2, HB 3, Polio 3
DPT 3,, Polio 4
Campak
DPT 4, Polio 5
(Depkes, 2008)
Apabila tidak memenuhi kriteria tersebut, maka status imunisasi
Balita dikatakan tidak lengkap. Data status imunisasi Balita didapatkan
dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh.
Skala pengukurannya nominal, dinyatakan dalam:
0 = imunisasi lengkap
1 = imunisasi tidak lengkap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
c. Anggota keluarga yang merokok
Dikatakan ada anggota keluarga yang merokok apabila ada satu atau
lebih anggota keluarga yang merokok dan dikatakan tidak ada bila tidak
satu pun anggota keluarga yang merokok.
Data anggota keluarga yang merokok didapatkan dari wawancara
dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah
nominal, dinyatakan dalam:
0 = tidak ada
1 = ada
d. Anggota keluarga yang menderita ISPA
Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau
menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau
demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez-
Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila ada satu atau lebih
dari anggota keluarga yang menderita ISPA maka dinyatakan ada.
Sedangkan tidak ada anggota keluarga yang menderita ISPA apabila
tidak ada satu pun anggota keluarga yang menderita ISPA.
Data anggota keluarga yang ISPA didapatkan dari wawancara
dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah
nominal, dinyatakan dalam:
0 = tidak ada
1 = ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2. Varibel terikat
ISPA adalah adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian
dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga
alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga
telinga tengah, pleura dan parenkim paru. Batas waktu 14 hari diambil untuk
menunjukkan berlangsungnya proses akut (Depkes, 2006; Wantania et al.,
2008).
Seorang Balita disebut mengalami ISPA bila mengalami atau
menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau
demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez-
Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila Balita tidak mengalami
salah satu dari gejala tersebut, maka Balita dinyatakan tidak menderita
ISPA. Dikatakan episode baru, bila ISPA terjadi lagi setelah dua hari bebas
dari ISPA (Lopez-Alarcon et al., 1997).
Data ISPA anak didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau
pengasuh. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:
0 = tidak ISPA
1 = ISPA
G. Instrumen Penelitian
1. Alat pengukuran status gizi berupa timbangan bayi yang sudah tersedia di
puskesmas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
2. Kuesioner wawancara faktor risiko ISPA
3. Perangkat lunak pengukuran status gizi: WHO Anthro ver 3.2
H. Rancangan Penelitian
Gambar 2. Skema Alur Penelitian
60 Balita di Puskesmas Sibela Surakarta
Balita tidak ISPA
Inform consent kepada responden
Wawancara faktor risiko ISPA
Menimbang Balita
Balita ISPA
Analisis statistik
Inform consent kepada responden
Wawancara faktor risiko ISPA
Menimbang Balita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
I. Cara Kerja
1. Responden (orang tua atau pengasuh) diminta menandatangani lembar
persetujuan keikutsertaan dalam penelitian (inform consent).
2. Melakukan wawancara dengan responden tentang faktor risiko ISPA.
3. Menimbang Balita.
4. Menganalisis data yang terkumpul
J. Teknik Analisis Data
Data yang sudah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan program
SPSS ver. 17 for windows. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui
pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat, dan
variabel bebas yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel terikat dengan
menggunakan uji regresi logistik (Murti, 2010).
Analisis regresi logistik untuk menjelaskan pengaruh beberapa variabel
bebas secara bersamaan dengan variabel terikat. Prosedur yang dilakukan
terhadap uji regresi logistik, apabila masing-masing variabel bebas dengan hasil
menunjukkan nilai p < 0,25 pada analisis univariat tetapi secara biologis
bermakna, maka variabel tersebut dapat dilanjutkan dalam model multivariat
(Murti, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 12 - 24 April 2012 di Puskesmas
Sibela Surakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 Balita.
Berdasarkan teknik sampling yang dipakai, yaitu fixed disease sampling, jumlah
Balita yang menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA ditentukan
jumlahnya terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, ditentukan jumlah Balita yang
menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA masing-masing sebanyak
30 Balita. Balita diambil secara acak berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
yang telah ditentukan sebelumnya. Karakteristik Balita yang menjadi subjek
dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel ISPA (%)
Tidak ISPA (%)
Jumlah (%)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Umur 0-24 bulan >24-59 bulan
14(46.67) 16(53.33)
16(53.33) 14(46.67)
15(50) 15(50)
12(40) 18(60)
29(48,33) 31(51,67)
28(46,67) 32(53,33)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Status Gizi
baik/lebih
Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap
Anggota keluarga yang merokok Ya Tidak
Anggota Keluarga yang menderita ISPA Ya Tidak
30(100)
3(10) 27(90)
21(70) 9(30)
20(66.67) 10(33.33)
30(100)
1(3.33) 29(6.67)
20(66.67) 10(33.33)
3(10) 27(90)
60(100)
4(6.67) 56(93,33) 41(68,33) 19(32,33) 23(38,33) 37(62,67)
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah Balita
perempuan lebih banyak daripada Balita laki-laki, yaitu sebanyak 31 (51.67%)
dari 60 Balita. Jumlah Balita yang menderita ISPA pun lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan, yaitu sebanyak 16 (53.33%) dari 30 Balita yang menderita
ISPA. Sedangkan pada kelompok Balita yang tidak menderita ISPA, didapatkan
jumlah Balita perempuan dan laki-laki sama.
Balita yang berusia kurang dari 24 bulan atau 2 tahun berjumlah lebih
sedikit, yaitu sebanyak 28 Balita (46.67%). Sedangkan Balita yang lebih dari 2
tahun berjumlah 32 (54.33%). Namun, Balita yang berusia kurang dari 24 bulan
lebih banyak menderita ISPA. Sebanyak 16 Balita dari 28 Balita yang berusia
kurang dari 24 bulan mederita ISPA.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada Balita yang
menderita gizi kurang maupun gizi buruk, sehingga variabel status gizi tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dapat dianalisis hubungannya dengan kejadian ISPA. Sebagian besar Balita, yaitu
56 Balita (93.33%) sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Sehingga hanya ada 4
Balita yang tidak mendapatkan imunisi lengkap. Dari 4 Balita tersebut, 3 Balita
menderita ISPA dan 1 Balita tidak menderita ISPA.
Balita dengan anggota keluarga yang merokok berjumlah lebih banyak,
yaitu sekitar dua kali dari Balita dengan anggota kelurga yang tidak merokok.
Sebanyak 41 (68.33%) Balita memiliki anggota keluarga perokok, sedangkan
Balita dengan anggota keluarga yang tidak merokok berjumlah 19 (32.67%). Dari
41 Balita tersebut, 21 Balita menderita ISPA.
Pada variabel anggota keluarga yang menderita ISPA, didapatkan Balita
dengan anggota keluarga yang tidak menderita ISPA lebih banyak, yaitu 37 Balita
(62.67). Dari 37 Balita tersebut, hanya 10 Balita yang menderita ISPA.
Sedangkan dari 23 Balita dengan keluarga menderita ISPA terdapat 20 Balita
yang menderita ISPA.
B. Hasil Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis multivariat. Analisis
multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel
bebas terhadap variabel terikat, dan variabel bebas mana yang berpengaruh paling
besar terhadap variabel terikat (Murti, 2010). Analisis multivariat dilakukan
dengan uji regresi logistic menggunakan SPSS ver.17 for windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Pada variabel status gizi, tidak dilakukan analisis data karena tidak ada
Balita yang menderita gizi kurang maupun gizi buruk sehingga tidak terdapat
variasi data. Oleh karena itu variabel yang dianalisis adalah status imunisasi,
anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.
Tabel 4. Faktor Risiko ISPA pada Balita
Variabel ISPA n(%)
Tidak ISPA n(%)
OR 95% CI p
Status Imunisasi Tidak Lengkap Lengkap
Anggota keluarga yang merokok
Ya Tidak
Anggota Keluarga yang menderita ISPA
Ya Tidak
3(10)
27(90)
21(70) 9(30)
20 (66,67) 10 (33,33)
1(3.33) 29(6.67)
20(66.67) 10(33.33)
3(10) 27(90)
1.233
3.728
12.728
0.044 - 34.285 1.015 – 13.696 2.912 – 55.626
0.902
0.047
0.001
Dari data di atas dapat dilihat bahwa Odds Ratio pada status imunisasi
sebesar 1.233, batas bawah dan batas atas dari 95% CI 0.044 sampai 34.285, dan
nilai p sebesar 0,902. Sedangkan pada variabel anggota keluarga yang merokok,
Odds Ratio sebesar 3.728, batas bawah dan batas atas dari 95% CI adalah dari
1.015 sampai 13.696, dan nilai p = 0.047. Pada variabel anggota keluarga yang
menderita ISPA didapatkan nilai Odds Ratio sebesar 12.728, dan batas 95% CI
dari 2.912 sampai 55.626, dengan nilai p sebesar 0.001.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB V
PEMBAHASAN
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang dianalisis secara
bersama-sama, terdapat 2 variabel yang terbukti sebagai faktor risiko kuat terjadinya
ISPA pada Balita, yaitu memiliki nilai p < 0.05. Faktor-faktor tersebut adalah anggota
keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.
Anggota keluarga yang merokok terbukti sebagai faktor risiko terjadinya ISPA
pada Balita, dengan nilai p = 0.047, OR = 3.728, dan 95% CI = 1.015 – 13.696.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa Balita dengan anggota keluarga yang
merokok berisiko menderita ISPA sebesar 3.728 kali bila dibandingkan dengan Balita
tanpa anggota keluarga yang merokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Vrijlandt et.al (2005) yang menyebutkan bahwa Balita dengan keluarga
yang merokok akan berisiko menderita ISPA sebesar 2.7 kali lipat dibandingkan
Balita dengan anggota keluarga tidak merokok. Dalam penelitian tersebut dikatakan
bahwa peningkatan frekuensi anggota merokok akan semakin meningkatan risiko
ISPA pada Balita.
Penelitian Winarni et al. (2010) pada 65 Balita di Wilayah Kerja puskesmas
Sempor, Kabupaten Kebumen, menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa Balita dengan keluarga yang merokok akan berisiko
menderita ISPA 37.71 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Balita dengan keluarga
yang tidak merokok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Penelitian Chahaya dan Nurmani (2005) dan Naria et.al (2008) juga menyebutkan
bahwa anggota keluarga yang merokok berpengaruh secara signifikan terhadap
kejadian ISPA Balita, dengan nilai p = 0.012.
Hasil penelitian Moir et al. (2008) menyebutkan bahwa kandungan zat kimia hasil
pembakaran pada asap samping rokok (sidestream) lebih tinggi daripada asam utama
(mainstream). Zat-zat kimia tersebut berupa karbon monoksida, tar, nikotin, amonia,
nikel, nitrosamine, zat prokarsinogen (mis. 4-methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1-
(butanone), polysiklik, dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada saluran
pernafasan. Paparan asap rokok akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan
dan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri atau kuman patogen maka akan
menimbulkan infeksi, terutama ISPA (Winarni et al., 2010).
Faktor risiko lain yang terbukti berpengaruh terhadap kejdian ISPA pada Balita
pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang menderita ISPA, dengan nilai p =
0.001, OR = 12.728 dan 95% CI = 2.912 – 55.626.
Hal tersebut berarti bahwa Balita dengan anggota keluarga menderita ISPA
berisiko menderita ISPA sebesar 12.728 kali dibandingkan dengan Balita yang
anggota keluarganya tidak menderita ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori
bahwa penularan ISPA paling utama adalah melalui udara dalam bentuk droplet
(WHO, 2008). Sehingga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA maka
akan meningkatkan transmisi mikroorganisme penyebab ISPA pada Balita.
Transmisi mikroorganisme dari anggota keluarga yang menderita ISPA
berhubungan erat dengan kepadatan hunian rumah Balita. Penelitian Sinaga et al.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
(2009) menyebutkan bahwa kepadatan hunian rumah meningkatkan risiko ISPA pada
Balita sebesar 6.4 kali. Penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa
keluarga dengan dua orang atau lebih dalam satu kamar mempunyai risiko 44% lebih
besar untuk menderita ISPA (Pawlinska-Chmara et al., 2007).
Kepadatan hunian yang tinggi (<4m2/penghuni) dapat meningkatkan risiko
infeksi saluran napas karena memperbesar kesempatan untuk infeksi silang
antaranggota keluarga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA. Kuman
penyebab infeksi dapat dengan mudah ditularkan lewat udara melaui droplet atau
aerosol, di dalam ruangan yang padat dengan ventilasi yang tidak memadahi dimana
orang bersin, batuk atau berbicara (Chahaya dan Nurmaini, 2005).
Dalam penelitian ini status gizi tidak dapat dianalisis, karena tidak didapatkan
Balita dengan gizi kurang maupun gizi buruk. Hal ini sesuai dengan data dari
Departemen Kesehatan Indonesia yang menyatakan bahwa Balita yang mengalami
gizi kurang di Indonesia pada 2010 hanya 13% sedangkan Balita yang menderita gizi
buruk hanya 4.9% (Riskesdas, 2010). Menurut Kepala Dinas Kesehatan Surakarta,
pada tahun 2010, Surakarta sudah terbebas dari kasus gizi buruk (Muniarti, 2011;
Dinkes Surakarta 2011). Oleh karena itu, akan sangat sulit untuk mencari sampel
Balita dengan gizi kurang maupun gizi buruk.
Gizi buruk sebagai salah satu faktor risiko ISPA telah dibuktikan oleh penelitian
Sukmawati dan Sri Dara Ayu pada 50 Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tunikamaseang Kabupaten Maros, Makasar. Dalam penelitian tersebut, status gizi
Balita secara signifikan mempengaruhi kejadian ISPA dengan nilai p = 0.031.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
(Sukmawati dan Ayu, 2010). Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ani
Noviani yang menyatakan bahwa status gizi Balita akan berpengaruh terhadap
frekuensi kejadian ISPA dengan p = 0.023 (Noviani, 2011).
Status gizi akan berpengaruh pada imunitas tubuh. Gizi buruk menyebabkan
gangguan pada imun non spesifik dan spesifik sehingga akan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi, terutama ISPA (Almatsier, 2009; Hadi, 2005; Tandyo
2000; Shankar dan Prasad, 1998).
Hasil analisis multivariat status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita
menunjukkan p = 0,902, OR = 1,233, 95% CI = 0.044 - 34.285. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa Balita dengan status imunisasi tidak lengkap 1,233 kali berisiko
menderita ISPA dibanding dengan Balita dengan status imunisasi lengkap. Namun
jika dilihat dari nilai p yang lebih besar dari 0.05, berarti status imunisasi tidak
signifikan dalam mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita. Hasil yang tidak
signifikan tersebut menandakan bahwa dalam penelitian ini, variabel status imunisasi
mempengaruhi kejadian ISPA by chance atau secara kebetulan.
Dengan melihat batas atas dan batas bawah dari 95% CI, variabel status
imunisasi tidak bisa dikatakan sebagai faktor risiko karena melewati angka satu.
Artinya Balita dengan status gizi kurang berpeluang untuk menderita ISPA maupun
tidak menderita ISPA. Hal ini dapat disebabkan karena sedikitnya sampel yang
mempunyai status imunisasi tidak lengkap. Dari 60 Balita hanya 4 Balita yang
mempunyai status imunisasi tidak lengkap, 3 Balita menderita ISPA dan 1 Balita tidak
menderita ISPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Hal tersebut sesuai dengan program imunisasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta
yang menyebutkan bahwa cakupan imunisasi pada Balita di Kota Surakarta dari tahun
2010 adalah sebesar 94,58%, sehingga sulit untuk menemukan Balita dengan status
imunisasi tidak lengkap (Dinkes Surakarta, 2011).
Depkes (2001) menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah
dengan imunisasi campak sekitar 11% dan dengan imunisasi DPT sebesar 6%.
Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga sistem imun mampu
mencegah infeksi dari mikroorganisme penyebab ISPA. Imunisasi campak dan DPT
akan memberikan kekebalan terhadap virus measles dan bakteri Corynebacterium
diphtheria yang dapat menyebabkan ISPA (Ganna, 2006).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Sukmawati dan Ayu (2010)
yang menyebutkan bahwa status imunisasi mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita
dengan nilai p = 0.026. Dalam penelitian tersebut didapatkan kejadian ISPA berulang
pada Balita lebih banyak terjadi pada Balita dengan imunisasi tidak lengkap dibanding
Balita dengan imunisasi lengkap.
Namun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sinaga et al. (2009) pada
124 Balita di puskesmas Sentosa Baru Kota Medan dengan metode wawancara.
Dalam penelitian tersebut status imunisasi tidak terbukti sebagai faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA karena nilai p = 0,789. Hal tersebut dapat disebabkan
karena sedikitnya Balita dengan status imunisasi tidak lengkap. Dalam penelitian
tersebut, dari 124 Balita hanya didapatkan 16 Balita dengan satus imunisasi tidak
lengkap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Penelitian Antonius (2009) di RSUP Dr Kariyadi Semarang juga memberikan
hasil yang sama. Dalam penelitian tersebut, didapatkan bahwa Balita dengan
imunisasi tidak lengkap mempunyai risiko 2,6 kali lebih besar untuk menderita ISPA.
Namun hasil tersebut tidak signifikan karena p = 0.06.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa faktor risiko yang tidak diteliti karena
keterbatasan peneliti. Faktor tersebut adalah polusi udara, kepadatan hunian rumah,
tingkat sosial ekonomi keluarga, pemberian ASI eksklusif dan berat badan lahir.
Penelitian Heri Purnomo pada 250 Balita di Kota Semarang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara kadar debu total dengan kejadian ISPA pada
Balita dengan p < 0.001 (Purnomo, 2001). Polusi udara dalam ruangan umumnya
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%) adanya sumber
kontaminasi di dalam ruangan (16%) kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba
(5%), bahan material bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).
Sedangkan zat-zat yang termasuk polutan udara luar ruang adalah ozon (O3),
nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), timbal dan
partikel. Polutan-polutan tersebut berbahaya bagi kesehatan dan dapat memicu
terjadinya ISPA. Polutan seperti ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida
(SO2), karbon monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan
sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme ISPA (Kumar et al., 2007a).
Untuk mengetahui kadar polusi udara membutuhkan penelitian yang kompleks
dan biaya yang relatif besar. Sehingga dalam penelitian ini polusi udara tidak diteliti
karena faktor ini kurang fisibel untuk dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Kondisi rumah yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kepadatan
hunian dan ventilasi rumah. Penelitian Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa
kualitas pencahayaan dalam rumah dan ventilasi rumah yang kurang akan
meningkatkan risiko ISPA pada Balita sebesar 2.9 kali. Sedangkan Balita yang tinggal
dalam rumah yang kepadatannya tinggi akan berisiko 6.9 kali menderita ISPA.
Penelitian Naria et al. (2008) memberikan hasil serupa, bahwa ventilasi rumah
dan kepadatan hunian rumah mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita secara
signifikan, dengan p masing-masing 0.043 dan < 0.001. Penelitian yang dilakukan di
Brazil menyatakan bahwa keluarga dengan dua orang atau lebih dalam satu kamar
mempunyai risiko 44% lebih besar untuk menderita ISPA (Pawlinska-Chmara et al.,
2007).
Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang kurang (< 10% dari luas lantai)
akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan kepadatan hunian yang
tinggi (<4m2/penghuni) dapat meningkatkan risiko infeksi saluran napas karena
memperbesar kesempatan untuk infeksi silang antaranggota keluarga apabila ada
anggota keluarga yang menderita ISPA. Kuman penyebab infeksi dapat dengan
mudah ditularkan lewat udara melalui droplet atau aerosol, di dalam ruangan yang
padat dengan ventilasi yang tidak memadahi dimana orang bersin, batuk atau
berbicara (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2009; Savitha et al., 2007; Chahaya et al.,
2005).
Penelitian Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa Balita dengan tingkat
penghasilan keluarga yang rendah 10 kali berisiko menderita ISPA. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
penelitian tersebut, tingkat penghasilan berhubungan dengan kondisi rumah Balita
dengan nilai p = 0.029. Seseorang dengan tingkat penghasilan yang lebih baik
memiliki peluang 3,22 kali lebih besar untuk memiliki rumah yang penuh dengan
syarat kesehatan.
Kepadatan hunian dan kondisi rumah faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam
penelitian ini. Untuk mengetahui kepadatan hunian rumah peneliti harus menghitung
luas rumah subjek penelitian. Sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang
relatif besar. Oleh karena itu, peneliti tidak meneliti kondisi rumah.
Antonius menyebutkan bahwa Balita dengan tingkat ekonomi orang tua yang
rendah berisiko menderita ISPA 3.7 kali lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena
tingginya paparan terhadap kuman infeksius. Keluarga dengan status ekonomi lebih
rendah mempunyai lebih banyak anak dan tinggal di perkampungan yang lebih padat.
Keadaan tersebut kondusif terhadap penularan kuman infeksius. Sanitasi ligkungan
yang tidak memadahi dan praktek higiene yang kurang juga dapat meningkatkan
paparan pada kelompok berstatus ekonomi rendah (Antonius, 2009).
Status sosial ekomoni diukur dengan pendidikan ibu dan pendapatan keluarga.
Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita secara tidak
langsung. Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi status gizi dan status imunisasi
yang merupakan faktor intrinsik ISPA. Tingkat pendapatan orang tua yang rendah
berpengaruh terhadap intake nutrisi Balita sehingga berpengaruh pada status gizi
Balita (Husaini et al., 2000). Pendidikan orang tua di pedesaan yang umumnya lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
rendah akan berpengaruh terhadap status gizi dan status imunisasi (Sediaoetama,
2006; Ayubi, 2009).
Dalam penelitian ini, tidak dilakukan penelitian terhadap tingkat sosial ekonomi
karena pengaruhnya terhadap kejadian ISPA pada Balita secara tidak langsung.
Bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko menderita ISPA 2,1 kali
lebih tinggi (Wiwoho et al., 2005). Heriyana et al. (2005) meneliti faktor risiko pada
Balita kurang dari 1 tahun di Rumah Sakit Kota Makasar. Dalam penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa pemberian ASI yang tidak eksklusif merupakan faktor
signifikan, dengan Odds Ratio 7,9. Artinya Balita dengan ASI tidak eksklusif akan
lebih berisiko menderita ISPA 7,9 kali dari Balita dengan ASI eksklusif.
Penelitian Savitha et al. (2007) pada 208 Balita di India dan menemukan bahwa
Asi tidak eksklusif merupakan faktor risiko ISPA pada Balita. Penelitian Sinaga et al.
(2009) menyebutkan bahwa Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko
2,96 kali menderita ISPA.
ASI mengandung zat anti infeksi berupa Imunoglobulin A, laktoferin, lisosim,
sel-sel leukosit dan bifidus faktor. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama
lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu Bronchus-Asociated
Lympocyte Tissue (BALT) yaitu antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue
(GALT) yaitu antibodi saluran pencernaan, dan Mammary Asociated Lympocyte
Tissue (MALT) yaitu antibodi jaringan payudara ibu. Antibodi-antibodi tersebut akan
meningkatkan daya tahan tubuh dan memberikan kekebalan terhadap penyakit ISPA
(American Academy of Pediatrics, 2005; Lawrence, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Pemberian ASI eksklusif, dalam pengukurannya mempunyai recall bias (bias
informasi) yang tinggi karena hanya berdasarkan ingatan ibu (Koosha et al, 2008,
Hikmawati, 2008; Tan, 2011). Sehingga dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan
penelitian terhadap variabel pemberian ASI eksklusif.
Studi terhadap 216 Balita di Blora menyatakan bahwa bayi berat lahir rendah
mempunyai kecenderungan sering menderita ISPA. BBLR berisiko menderita ISPA
3,8 kali lebih tinggi daripada bayi berat lahir normal (BBLN) (Wiwoho et al, 2005).
Sedangkan dalam penelitian Sukmawati dan Sri Dara Ayu pada 50 Balita di
Puskesmas Tunikamaseang, menyebutkan tidak terdapat hubungan antara berat badan
lahir dengan kejadian ISPA ada Balita (Sukmawati dan Ayu, 2010). Penelitian Sinaga
et al. (2009) juga menyebutkan hal sama, bahwa berat badan lahir tidak
mempengaruhi kejadian ISPA secara signifikan. Hal tersebut dapat disebabkan
pengukuran berat badan lahir mempunyai recall bias (bias informasi) yang tinggi
(Ward, 2007; Sistiarani, 2008; Bjerg, 2011).
Pertumbuhan dan pematangan organ maupun alat–alat tubuh pada BBLR belum
sempurna. Pada BBLR juga terdapat defisiensi imun, akibatnya BBLR sering
mengalami komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Fungsi paru
pada bayi dengan berat badan lahir rendah pada umumnya belum matur sehingga akan
mudah terserang penyakit pernapasan (Walter et al., 2009; Filippone et al, 2003;
Doyle et al., 2006; Halvorsen et al., 2006; Vrijlandt et al, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Peneliti tidak melakukan penelitian terhadap berat badan lahir karena dalam
pengukurannya berat badan lahir mempunyai recall bias (bias informasi) yang tinggi
(Ward, 2007; Sistiarani, 2008; Bjerg, 2011).