Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

101
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. http://www.akhirzaman.info/ Hal. | 1

description

Keanekaragaman aspirasi politik dan doktrin yang dibawa oleh berbagai sekte dalam Islam itu, berdampak negatif sebagai akibat terjadinya akulturasi budaya dan keyakinan, sesudah meluasnya daerah kekuasaan Islam. Rupanya al-Quran dan Sunnah Rasul tidak lagi dijadikan sebagai rujukan oleh sekian banyak aliran yang muncul waktu itu guna mencari titik temu. Akan tetapi sebaliknya, justru keduanya mereka jadikan sebagai dasar untuk menguatkan doktrin atau paham mereka masing-masing. Sikap demikian ini mendorong mereka kepada tindakan...

Transcript of Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Page 1: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 1

Page 2: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 2

PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk berakal dan beragama tetap memiliki kebebasan berkehendak untuk menyatakan pikiran, ide, dan menentukan jalan hidupnya. Dalam kaitan ini Islam menjamin kebebasan tersebut dengan suatu pertanggungjawaban dalam arti yang sebenarnya.

Akidah tauhid yang merupakan sokoguru kesatuan bagi ummat Muslim yang diliputi oleh suasana persaudaraan, sejak zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, menjadi goyah terutama menjelang berakhirnya dekade kedua masa Khulafa'ur-Rasyidin yaitu, diakhir pemerintahan Khalifah 'Usman ibn 'Affan. Sebab utama goyahnya kesatuan ummat Muslim tersebut, berpangkal pada pertikaian politik yang bercorak keagamaan diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing. Peristiwa tersebut merupakan awal masa desintegrasi yang dalam perkembangan selanjutnya, terutama sesudah terbunuhnya Khalifah ketiga, benar-benar mendorong lahirnya sekte-sekte dalam Islam dengan doktrin atau ajaran masing-masing yang berbeda-beda.

Kambuhnya semangat fanatisme golongan di satu pihak, dan munculnya sikap kultus individu terhadap diri 'Ali ibn Abi Talib dan Ahl al-Bait di pihak lain, tampaknya sangat berpengaruh terhadap lahirnya doktrin teologi kaum Syi'ah dalam penalaran sejarahnya. Kekalahan mereka di bidang politik dan militer, selama pemerintahan Bani Umayyah dan Bani 'Abbasiyyah, yang menyebabkan banyak di antara para imam mereka menjadi korban politik, rupanya merupakan faktor penting yang mendorong lahirnya ide atau mitos tentang Imam Mahdi atau al-Mahdi al-Muntazar.

Keanekaragaman aspirasi politik dan doktrin yang dibawa oleh berbagai sekte dalam Islam itu, berdampak negatif sebagai akibat terjadinya akulturasi budaya dan keyakinan, sesudah meluasnya daerah kekuasaan Islam. Rupanya al-Quran dan Sunnah Rasul tidak lagi dijadikan sebagai rujukan oleh sekian banyak aliran yang muncul waktu itu guna mencari titik temu. Akan tetapi sebaliknya, justru keduanya mereka jadikan sebagai dasar untuk menguatkan doktrin atau paham mereka masing-masing. Sikap demikian ini mendorong mereka kepada tindakan-tindakan yang ekstrem dan permusuhan dengan sesama Muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh golongan Syi'ah maupun Ahmadiyah dalam mewujudkan dan menyebarkan ide serta pengaruh mereka masing-masing.

Paham Mahdi atau Mahdiisme, sebagaimana diketahui dalam sejarah, adalah ajaran yang meyakini akan datangnya seorang tokoh Juru Selamat atau Messiah pada ummat yang tertindas, akibat merajalelanya kezaliman penguasa. Tokoh tersebut dikenal sebagai al-Mahdi yang ditunggu-tunggu. Paham yang millenaristis ini, juga pernah muncul di Indonesia sekitar abad XIX - abad XX, khususnya di Jawa pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Tokoh gerakan tersebut oleh sebagian masyarakat Jawa dikenal pula dengan nama Ratu Adil.1) Dengan demikian, corak gerakan Mahdiisme dapat dikatakan sebagai modus gerakan masyarakat belum maju yang tertindas serta mengalami perubahan tata sosial yang drastis untuk melakukan protes sosial terhadap

Page 3: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 3

penguasa yang lalim guna memperoleh kejayaan mereka kembali. Lahirnya Mahdiisme juga bermula dan protes-protes sosial sebagai akibat pergolakan politik yang didorong oleh ambisi ingin merebut kekuasaan dari sekian banyak kelompok Muslim yang saling bermusuhan pada permulaan sejarahnya.

Dari serangkaian kegagalan pemberontakan bersenjata yang dimotori oleh kaum Syi'ah selama kurang lebih dua abad lamanya, mereka mengalami kekecewaan yang mendalam, kekalahan serta penderitaan yang beruntun, dan selalu menjadi korban kekerasan lawan-lawan politiknya. Disamping itu, tidak sedikit di antara para imam mereka menjadi korban kekerasan politik; dan ini menyebabkan kecintaan mereka kepada imam-imam tersebut semakin mendalam. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan kaum Syi'ah mudah mencerna 'aqidah ar-raj'ah dan masalah al-gaibah, dua masalah yang tampaknya merupakan faktor dominan dalam mempercepat proses lahirnya sikap menunggu-nunggu kehadiran kembali para imam mereka yang telah wafat atau yang tidak mereka akui kematiannya.

Kepercayaan seperti ini tidak dikenal oleh ummat Muslim sebelumnya. Oleh karena itu, doktrin Mahdiisme, yang semula lahir sebagai penggerak gerakan keagamaan yang bersifat politis, berkembang menjadi doktrin teologi yang eskatologis. Paham Mahdiisme ini semakin luas pengaruhnya dan bahkan akhirnya menjadi milik berbagai aliran dalam Islam.

Paham Mahdi semula muncul di kalangan Syi'ah Kaisaniyyah, aliran ini berkeyakinan bahwa Muhammad ibn Hanafiyah adalah al-Mahdi al-Muntazar. Menurut keyakinan mereka, dia masih hidup dan tinggal di bukit Radwa, dan kehadirannya kembali senantiasa mereka tunggu. Dalam hubungan ini timbul pertanyaan, mengapa paham Mahdi ini tidak tumbuh di kalangan kaum Khawarij? Jawaban terhadap pertanyaan ini cukup jelas: bahwa kaum Khawarij tidak mengenal 'aqidah ar-raj'ah dan al-gaibah, sekalipun sekte tersebut juga mengalami nasib yang sama dengan nasib kaum Syi'ah.

Selanjutnya paham Mahdi ini pun muncul di kalangan sekte Syi'ah al-Jarudiyyah. Para pengikut keyakinan sekte ini selalu menunggu kehadiran kembali imam mereka, Muhammad ibn 'Abdullah, atau yang dikenal dengan sebutan an-Nafsuz-Zakiyyah, sebagai al-Mahdi.

Di kalangan Syi'ah Imamiyyah, terdapat dua kelompok pengikut paham Mahdi yang besar pengaruhnya dan terkenal dalam sejarah, yaitu sekte Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh) atau yang dikenal dengan Syi'ah Isma'iliyyah atau Syi'ah Batiniyyah, dan kedua adalah sekte Isna 'Asyariyyah (Syi'ah Duabelas). Dalam merealisasikan ide kemahdiannya kedua aliran tersebut tampaknya terdapat perbedaan yang cukup menonjol. Jika kemahdian Syi'ah Isma'iliyyah lebih bersifat realistis, maka kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah lebih bersifat idealis. Menurut sekte yang disebut pertama, al-Mahdi itu telah mengejawantah pada diri Abdullah ibn Muhammad, dan ia berhasil membentuk dinastinya di Magrib (Afrika), sedangkan menurut sekte yang disebut kedua, al-Mahdi itu terjelma pada diri Muhammad ibn Hasan al-'Askari (Imam keduabelas) sesudah ia dinyatakan hilang secara misterius dan dinyatakan pula sebagai yang ditunggu-tunggu tanpa batas waktu tertentu.

Page 4: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 4

Paham Mahdi yang pernah berkembang di Indonesia lebih mirip dengan paham Mahdi Syi'ah daripada paham Mahdi Ahmadiyah. Menurut aliran terakhir ini, al-Mahdi dan al-Masih adalah satu pribadi yang terjelma pada diri Mirza Ghulam Ahmad, pendiri aliran tersebut. Selain itu, ia juga mengaku sebagai jelmaan Krishna. Aliran ini berpendapat bahwa kehadiran al-Mahdi didasarkan atas pengangkatan dari Tuhan melalui jalan ilham atau mukasyafah (terbukanya tirai alam gaib).

Pengalaman Mirza Ghulam Ahmad tersebut oleh sementara pengikutnya diinterpretasikan sebagai wahyu. Asumsi ini tampaknya dibenarkan oleh Mirza, karena itu wahyu dipandang masih terbuka sepanjang zaman, asalkan syari'atnya tetap mengikuti syari'at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikian pandangan aliran Ahmadiyah Qadian terhadap diri Mirza. Berbeda dengan aliran Ahmadiyah Lahore, mereka memandangnya hanya sebagai mujaddid abad ke-14 H, dan ia bukan nabi hakiki. Sebab ia hanya menerima wahyu tajdid atau wahyu walayah (wahyu kewalian), bukan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Sekalipun demikian, aliran kedua ini, secara implisit masih mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, yakni nabi secara lugawi.2) Tugas kemahdian dan kemasihan Mirza memang dapat dijumpai dalam berbagai literatur dan diuraikan secara jelas baik oleh Mirza sendiri maupun oleh para pengikutnya. Akan tetapi dapat dikatakan langka uraian yang menyangkut tugas kekrishnaannya, sebagai yang pernah dinyatakan pada 1904, bahwa dirinya adalah penjelmaan Krishna. Jika pengakuannya sebagai Krishna adalah atas dasar wahyu maka sulit dibuktikan kebenarannya baik secara literal maupun melalui tanda-tanda alamiah. Dengan demikian, ummat Muslim yang non-Ahmadiyah, tentunya sulit menerima kebenaran pengakuan tersebut.

Sebagaimana diketahui, tugas kemahdian dan kemasihan Mirza memang berbeda dengan tugas kemahdian dalam Syi'ah. Menurut Paham Syi'ah, al-Mahdi dikenal pula dengan al-Qa'im (orang yang bangkit untuk menuntut balas terhadap musuh-musuhnya), sehingga kepercayaan terhadap al-Mahdi ini merupakan faktor pendorong bagi perjuangan kaum Syi'ah untuk merebut kekuasaan politik dan untuk menegakkan pemerintah Islam sesuai dengan aspirasi mereka. Berbeda dengan tugas kemahdian menurut Ahmadiyah, disini al-Mahdi ingin menegakkan Islam diatas semua agama, dan karenanya dia dikenal pula dengan sebutan Hakim Pengislah, yang bertugas mendamaikan ummat Muslim seluruhnya dan mengislamisasikan yang lain tanpa jalan kekerasan.

Masalah Mahdi tersebut di atas, rupanya tidak disinggung sama sekali baik dalam al-Quran maupun dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim, sebagaimana dikenal dalam sejarah.3) Akan tetapi, bagi kaum Syi'ah dan Ahmadiyah, hadits-hadits Mahdiyyah yang terdapat di dalam kitab-kitab Sunan mereka pandang sebagai hadits mutawatir (otentik). Oleh sebab itu kedua aliran ini menjadikan paham Mahdi sebagai prinsip keyakinan. Mereka beranggapan bahwa seorang Muslim yang menolak Mahdi, berarti Islamnya belum benar. Sikap dan anggapan seperti ini sering menimbulkan perselisihan dan permusuhan.

Selanjutnya tentang paham kewahyuan kedua aliran tersebut, dapat dikatakan tidak jauh berbeda, masing-masing beranggapan bahwa Tuhan tetap akan menurunkan

Page 5: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 5

wahyu-Nya sampai hari kiamat. Dan wahyu yang diturunkan itu menurut golongan Syi'ah dikenal dengan wahyu ta'lim (wahyu pengajaran), sedangkan menurut golongan Ahmadiyah dikenal dengan wahyu walayah (wahyu kewalian), atau wahyu tajdid (wahyu pembaharuan), atau dikenal pula dengan Wahyu muhaddas (wahyu yang diterima dengan cara berdialog langsung dengan Tuhan-ini sama dengan Yahudi - Talmud). Terma wahyu yang terakhir ini, tampaknya telah dicipta dan dikenal oleh golongan Syi'ah jauh sebelum lahirnya Ahmadiyah. Wahyu seperti itu, oleh kedua golongan di atas sangat dibutuhkan untuk membimbing ummat dan memberi interpretasi sesuai dengan perkembangan zaman terhadap pernyataan-pernyataan al-Quran. Adapun perbedaan kedua paham kewahyuan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan berpangkal pada perbedaan motivasi yang melatarbelakangi lahirnya gerakan kedua aliran itu.

Sebelum lahirnya paham Mahdi dalam Islam, paham seperti itu sebenarnya telah dimiliki oleh agama-agama besar lainnya, terutama dari golongan Hindu, Yahudi, Nashrani dan lain sebagainya. Dan wajarlah apabila golongan Syi'ah yang memunculkannya untuk pertama kalinya. Sebab kaum Syi'ah lah Yahudi maupun Nashrani. Kemudian dibuatlah hadits-hadits Mahdiyyah, karena kaum Syi'ah sangat berkepentingan dengan ide kemahdian tersebut dalam meneruskan perjuangan menuntut hak legitimasi kekhilafahan. Dan dengan demikian hadits-hadits Mahdiyyah yang mereka buat cepat menguasai opini masyarakat, sehingga golongan non Syi'ah pun tidak ketinggalan membuat hadits-hadits Mahdiyyah dengan versi lain sesuai dengan identitas golongannya masing-masing. Oleh sebab itu banyak di kalangan para intelektual Muslim yang datang kemudian menilai hadits-hadits Mahdiyyah tidak ada yang otentik bahkan keseluruhannya adalah palsu.

Selanjutnya dalam kajian ini akan dibahas ciri-ciri utama doktrin dan gerakan Mahdiisme Syi'ah dan Ahmadiyah, dengan harapan pembaca akan memperoleh informasi atau keterangan yang lebih jelas tentang sifat-sifat kedua gerakan Mahdi tersebut. Terlepas dari sikap setuju atau tidak setuju terhadap ajaran mereka, pembaca diharap dapat menilai sendiri secara obyektif, sejauh mana penyimpangan atau relevansinya dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Rasul.

Maksud dan tujuan penulisan buku ini ialah memberikan pengertian secara obyektif kepada masyarakat luas tentang gerakan Mahdiisme tersebut dan tentang cara-cara mereka mewujudkan cita-cita perjuangannya. Untuk itu, diharapkan agar seluruh ummat Muslim, tidak mudah terpengaruh dan terlibat dalam tindakan-tindakan yang ekstrem, apalagi terseret ke dalam permusuhan dengan sesama Muslim, hanya karena keyakinan yang tidak fundamental bahkan tidak ada dasar otentiknya sama sekali. Barangkali perlu selalu diingat bahwa gerakan Syi'ah khususnya dalam memenuhi ambisinya yang ditopang oleh ide-ide Mahdiisme, manakala masih menjadi kelompok minoritas ia selalu menyembunyikan identitasnya namun, bila ia merasa kuat, ia tidak segan-segan bertindak ekstrem dan menyeret pada para pengikutnya untuk bersikap konfrontatif terhadap pengikut paham lain. (ini juga sifat Yahudi)

Dengan mengetahui dan memahami keyakinan dan paham kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, seorang akan bersikap toleran dan akan terhindar dari sikap picik karena pandangan yang sempit dan tindakan ekstrem. Perlu dijelaskan, mengapa dalam kajian

Page 6: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 6

ini tidak dibahas paham Mahdi Ahlus-Sunnah. Hal ini disebabkan oleh langkanya literatur yang dapat menunjang pembahasan tersebut, seperti: Al-Mahdiyyah fil-Islam tulisan Sa'ad Muhammad Hasan, al-Mahddyyah karya Dr. Ahmad Amin, dan lain sebagainya. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam kajian ini adalah: Dimanakah letak persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah? Dengan demikian, pembahasannya akan dapat memberi informasi, manakah diantara ajaran kedua golongan tersebut yang lebih relevan dengan al-Quran dan Sunnah, apabila dilihat dari aspek teologi. Untuk memecahkan permasalahannya, akan digunakan pendekatan secara historis dan komparatif. Selanjutnya dalam bahasan ini penulis akan membicarakan pokok-pokok persoalan sebagai berikut: Dalam Bab I, yang berupa pendahuluan, disini akan diberikan deskripsi global tentang paham Syi'ah dan Ahmadiyah Selanjutnya paham Mahdi Syi'ah yang meliputi:

a. Pengertian al-Mahdi dalam Syi'ah dan Ahmadiyah. b. Sejarah lahirnya Syi'ah, di sini akan dijelaskan mengenai latar belakang sejarahnya,

pertumbuhan dan perkembangan sekte-sektenya berikut paham mereka masing-masing.

c. Beberapa ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan dengan paham Mahdi yaitu masalah imamah, 'aqidah raj'ah, dan masalah al-gaibah.

Kemudian diuraikan pula tentang paham Mahdi Ahmadiyah dalam Bab III, di sini dijelaskan tentang:

a. Sejarah lahirnya Ahmadiyah yang mencakup latar belakang sejarah berdirinya Ahmadiyah, pertumbuhan dan perkembangan sekte-sektenya.

b. Beberapa ajaran pokok Ahmadiyah yang meliputi: Masalah wahyu, nubuwwah, dan masalah jihad yang berkaitan dengan paham Mahdiisme.

Uraian tentang perbandingan antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah dimuat dalam Bab IV. Dalam bab ini dijelaskan tentang:

a. Asal mula lahirnya paham Mahdi yang mencakup tentang situasi yang melatar belakanginya, dan beberapa faktor penyebabnya.

b. Persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dan paham Mahdi Ahmadiyah. c. Corak kemahdian Syi'ah dan Ahmadiyah, dan d. Paham Mahdi dan masalah 'akidah.

Selanjutnya Bab V menjelaskan tentang: Paham kewahyuan Syi'ah dan Ahmadiyah, yang mencakup masalah-masalah:

a. Al-Quran dan paham kewahyuan ummat Muslim, disini juga diterangkan: Hubungan paham kewahyuan Syi'ah dengan doktrin keimaman serta sikap Syi'ah yang eksklusif, dan

b. Paham kewahyuan Ahmadiyah yang berkaitan dengan ide pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad dan doktrin kenabian.

Page 7: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 7

Dalam Bab VI diuraikan tentang Paham Mahdi dalam perspektif rasional. Di sini akan dijelaskan mengenai aspek landasan idiil paham Mahdiisme yang mencakup:

a. Hadits-hadits Mahdiyyah dan identitas kelompok, b. Beberapa pendapat tentang hadits-hadits Mahdiyyah sebagai hadits palsu. Selanjutnya

disusul dengan uraian tentang:

Beberapa interpretasi mengenai al-Mahdi dan proses tersebarnya paham Mahdi.

Kemudian diakhiri dengan Bab VII, yaitu: Penutup. Pada bab ini diajukan beberapa kesimpulan serta saran-saran yang berkaitan dengan penulisan naskah ini. Dalam kajian ini, perlu dikemukakan dua pendekatan, yaitu, pertama, pendekatan historis. Dengan pendekatan ini penulis harus mengumpulkan data sejarah yang berkaitan dengan golongan Syi'ah dan Ahmadiyah khususnya, dan sejarah ummat Muslim pada umumnya.

Setelah data sejarah diperoleh, diklasifikasikan secara kronologis, dan diseleksi, dihubung-hubungkan satu sama lain, serta diperbandingkan antara data yang bersumber dari karya-karya penulis dari kedua golongan tersebut dan data yang berasal dari karya-karya penulis non-Syi'ah dan non-Ahmadiyah. Kedua, pendekatan komparatif. Disini penulis mencoba membandingkan baik yang menyangkut ide, paham, doktrin, maupun corak gerakan dari kedua golongan di atas, yaitu: golongan Syi'ah dan Ahmadiyah, untuk dianalisis lebih jauh guna memperoleh tingkat obyektivitas yang diharapkan.

Adapun metode yang dipergunakan dalam penulisan ini, adalah dengan metode verstehen (memahami permasalahannya). Di sini penulis berusaha memahami dan mengerti pokok permasalahan yang hendak dibahas terlebih dahulu, dengan menggunakan dua pendekatan di atas. Setelah datanya dianalisis kemudian disusun dalam kesatuan yang harmonis dan sistematis, sehingga mudah dimengerti maksudnya, kemudian baru ditarik suatu kesimpulan yang utuh dan menyeluruh.

A. Pengertian Al-Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah

Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud dalam kajian ini, bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1) Kata al-Mahdi adalah ism maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata Arab].

Kata ini bisa berarti, Allah telah memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-

Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sighat kata al-Mahdi itu adalah maf'ul (dalam bentuk mabni lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sigat [kata-kata Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang ada adalah sigat al-fa'il, sebagaimana dalam firman Allah:

Hasan as-Sabah

Page 8: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 8

آمنوا إلى صراط مستقيم وإن اللو لهاد الذين

“Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus.” (QS al-Hajj 22: 54)

Juga dalam firman-Nya:

وكفى بربك ىاديا ونصيرا

“... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS al-Furqan 25:31).

Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkannya dengan hadits-hadits Mahdiyyah.2)

Dalam hubungan ini, Ahmad Amin menjelaskan, bahwa dalam al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan kata [kata-kata Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian kitab-kitab hadits adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn Abi Talib. Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab Usdul-Gabah:

" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali sebagai pemimpin, namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian akan mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa kalian ke jalan yang lurus."

Kemudian pengertian bahasa agama ini berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang terakhir ini adalah Syi'ah Kaisaniyyah.3 ) Selanjutnya perlu ditambahkan disini bahwa kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan demikian, orang yang disebut Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.4) Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu shalat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah pengertian al-Mahdi yang dikenal secara umum di kalangan ummat Islam.

Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut paham Syi'ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut aliran ini al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang merupakan

Page 9: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 9

penjelmaan atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan al-Masih a.s., dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujaddid atau pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham Ahmadiyah Lahore. Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.

Uraian diatas menunjukkan bahwa kepercayaan kaum Ahmadiyah terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut penyelidikan mereka, makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa al-Masih, sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. Dan sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadits-hadits Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini. Paham kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham kemahdian Syi'ah yang timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum Syi'ah tidak mau mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan mereka tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan ini, Ahmad Amin menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu bermula dari ucapan Ibn Saba', yang menyatakan bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan kembali lagi ke dunia, adalah mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s., tetapi ia mendustakan kembalinya Muhammad.5)

Dalam salah satu pernyataannya yang lain, ia tidak mengakui kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan 'Ali tetapi, setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut akan muncul lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian, akhirnya, muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi, dan kemudian dibuatlah hadits-hadits Mahdiyyah.

Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut, atau berarti golongan. Seperti firman Allah:

ب راىيم وإن من شيعتو ل

“... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya... “ (QS as-Saffat 37:83).

Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:

Syi'ah adalah golongan yang membantu 'Ali dalam menumpas pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair, bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum Khawarij. Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai terjadinya penyimpangan yang menimbulkan huru-hara. Sebagian lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin mereka. Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat, daripada tokoh sahabat lainnya.6)

Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan oleh al-Mahdi Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an pada umumnya, dan tampaknya istilah tersebut

Page 10: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 10

lebih cocok untuk golongan Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah Syi'ah sebagai yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam Duhal-Islam III, tampak lebih luas. Syi'ah menurut pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa 'Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan bahwasanya Nabi telah menjanjikan kekhilafahan sesudahnya kepada 'Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhilafahan tersebut kepada penerusnya.

Selanjutnya tentang arti kata 'Ahmadiyah' berasal dari kata 'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism 'alam yang searti dengan kata 'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut Mirza Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan dengan sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah dalam menghadapi musuh-musuhnya dengan cara berperang. Sedang kata 'Ahmad' lebih berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7)

Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan "ya" nisbah, maka jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh Mirza dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi. Nama Ahmadiyah dipakai secara resmi sebagai nama aliran tersebut, sejak 4 November 1900, sewaktu pendirinya membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte baru dalam Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut.

B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH

1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA

Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan besar, yaitu: Golongan Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum

Bani Hasyim.

Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah

Ayatullah Khomeini

Page 11: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 11

Khadijah, istri Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Anshar yaitu Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang kalian sebutkan (Abu Bakr, Umar, dan 'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8)

Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abi Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.

Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan potensi ummat Islam untuk menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.

Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah mengundang reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat. Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada pemerintahannya sendiri.

Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini, segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang

Page 12: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 12

dikenal dengan perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke Madinah.

Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.

Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9) Posisi 'Ali yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur’an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa al-Asy'ari.

Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di Daumatul-Jandal, sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat 'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As tampaknya dengan mudah meyakinkan Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan hasil perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa menyatakan pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat Mu'awiyah sebagai penggantinya.10) Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.

Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak

Page 13: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 13

terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai maksudnya.11) Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.

Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada sebagai seorang politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.

Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih utama memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi. Jumlah mereka relatif lebih kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah," sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?

Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang kontroversial. Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nash (hadits) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nash yang dimaksud antara lain, mengenai kisah perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.

Nash seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni menolak nash tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nash-nash semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadits tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi golongan Sunni terhadap hadits-hadits sahih yang berkaitan dengan kekhilafahan 'Ali, karena nash itu dikhawatirkan akan menjadi senjata kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12) Abu Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.13)

Page 14: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 14

Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya.14) Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.

Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah - pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan berkembang.

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH

Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham Mahdiyyah.

Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.15) Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan adalah menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya, demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.16) Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.

Hasan as-Sabah

Page 15: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 15

Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang, ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.

Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan Muharam.

Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya yang cukup berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati keluarganya. Dan karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa Umayyah. Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).

Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.

Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah, demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa Persia. 17) Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam bentuknya yang baru.18)

Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini juga merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.

Diantara kelompok-kelompok yang memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait sebagai kedok.19)

Page 16: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 16

Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan yang menyatu dengan sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.

Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di Persia telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan. Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam, sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah dan harus ditaati oleh manusia.20) Rupanya pandangan seperti inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya. Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:

"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan perkara yang terjahat ialah perkara baru yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat". (Hadits riwayat Muslim).

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nashrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nashrani dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain wafat.

Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain , oleh karena pada saat itu belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia

Page 17: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 17

dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.

Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka, dan keimaman harus melalui nash dari imam baik yang dikenal maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan Imamiyyah.

Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan, keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim. Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.

Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi. Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu, kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam.21) Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.

Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.

A. SYI'AH KAISANIYYAH

Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan

Page 18: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 18

dalih membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.

Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah, 'Aqidah

ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22)

Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi rebutan diantara kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial.

Dalam hubungan ini asy-Syahrastani menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23) oleh karenanya menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri 'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.

B. SYI'AH ZAIDIYYAH

Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.

Page 19: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 19

Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang [kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.

Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.24) Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25) Sebagaimana sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai al-Mahdi.

C. SYI'AH IMAMIYYAH

Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan bimbingan

Page 20: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 20

para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan perpecahan.

Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan nash yang jelas dan benar. Ibn Khaldun

menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk menentukannya, bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nash itu sendiri menurut mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.26)

Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nash, tetapi dengan pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka harus menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait yang menjurus ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-Bait di pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah sebelum Islam.

Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.

Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,27) sekalipun ia belum

Page 21: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 21

dewasa. Imam ini selamanya tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid, namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya.28) Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya, Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadits.

Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, seperti: Abu Hanifah dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali Syariati dan lain sebagainya, menunjukkan klaim terhadap ummat Islam non Syi'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi Timur Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.

'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya, seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan dengan tegas sebagai berikut:

"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."29)

Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan imam-imam mereka.

Page 22: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 22

Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu sama lain

1. SYI'AH ISMAILLIYYAH

Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.

Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30) Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan Islam.31) Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.32)

Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya melalui nash dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabatan imam diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyyah.

Page 23: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 23

Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara subsektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.33)

Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.

Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.34) Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.

Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan menguasai ummat Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah pihak.35) Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di India. Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.

2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH

Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun 260 H.

Page 24: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 24

Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait yang diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai

wafatnya tahun 254 H/ 868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan menguasai beberapa bahasa.

Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib) mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.36) Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia dianggap hilang secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya dinasti Safawiyah dimana para penguasanya mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah formula khutbah dan azannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.37)

C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN DENGAN PAHAM MAHDI ATAU

MAHDIISME

Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan erat dengan

doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.

1. MASALAH KEIMAMAN Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru agama, dan nash-nash keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun tekstual.

Page 25: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 25

Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran.38) Alasan kedua ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada hadits Gadir Khum,

yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir: " ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."

Dengan nash semacam ini, keimaman itu diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan Ahlul-Bait.

Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus

sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39) 2. MASALAH KEGAIBAN IMAM Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan [kata-kata Arab]. Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:

Page 26: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 26

"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali, aku tidak akan membenarkan kematiannya"40)

Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka janganlah kalian mengingkarinya."41) Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah terhadap imam mereka.

Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk mempertahunkan

eksistensi suatu aliran tertentu yang terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian teori tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan, karena aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.

Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang mengajarkan bahwa

Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali. Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu perantara) antara [kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42) Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran al-Babiyyah.

Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori ini adalah

pengembangan dari teori yang pertama diatas. Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah merajalela di atas bumi.43) Sehingga dalam kepercayaan tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama dalam hirarki Syi'ah Dua belas. 3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah 'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi Harun

Page 27: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 27

dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib dan akan kembali lagi.44) Adanya kesamaan antara kepercayaan kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah, Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan ajaran golongan Saba'iyyah.

Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah. Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu. Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang apa yang diyakininya itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45)

Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia mengancam siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti itu, yaitu tidak mau mengakui kematian Habil sewaktu dibunuh oleh saudaranya, Qabil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nashrani, mereka meyakini bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan, dia akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian. Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang mempercepat proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah Raj'ah dalam suatu kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai tersebut.

Page 28: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 28

Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang masih gigih mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin lama semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan al-Jarudiyyah yang merupakan sub sekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang jauh dari doktrin kezaidiyyahannya. Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya, banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah dalam menghadapi penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya. Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan daripada yang lain.

FAHAM MAHDI AHMADIYAH

Apabila paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah itu lebih ditandai oleh motif-motif politik, maka paham Mahdi Ahmadiyah yang lahir di ujung abad ke-19, tampaknya lebih bermotif pembaharuan pemikiran dalam Islam, terutama dalam menghadapi bahaya Kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. Dengan demikian, ide kemahdian Ahmadiyah berbeda dengan ide kemahdian Syi'ah yang mencita-citakan terwujudnya kekuasaan politik di dunia Islam di bawah pimpinan al-Mahdi.

Mahdiisme Ahmadiyah rupanya tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di akhir zaman,

dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nashrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan kepada para pemeluknya kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari'at Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sesudah ummatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama. Menurut paham aliran ini, 'Isa dan al-Mahdi adalah satu pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil salah satu dari beberapa hadits-hadits Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan aliran ini, dan mereka - para pengikut paham Ahmadiyah - memandang hadits

Mirza Ghulam Ahmad

Page 29: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 29

Mahdiyyah yang mereka pegangi sebagai otentik seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."

Hadits tersebut mereka pahami dan mereka hubungkan dengan pribadi Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengejawantahan 'Isa al-Masih dan al-Mahdi, yang berasal dari India. Tentunya para pengikut paham Ahmadiyah ini secara tegas menolak hadits-hadits Mahdiyyah lainnya yang mengandung maksud berbeda dengan paham mereka. Apabila kemahdian Ahmadiyah meniru sifat-sifat atau watak Nabi 'Isa, maka dalam mencapai tujuannya, aliran ini tidak suka menempuh jalan kekerasan, akan tetapi dengan jalan damai, sebagaimana yang ditempuh oleh kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan kekerasan atau perang, menurut paham pengikut aliran ini, adalah tidak penting bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan jihad atau perang kecil yang dikenal dengan [kata-kata Arab]. Akan tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [kata-kata Arab] yaitu perang melawan hawa nafsu.

Sifat kemahdian Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat kemahdian Syi'ah yang jauh lebih agresif. Pada umumnya, pengikut paham Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran kembali pemimpin mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan pada aqidah raj'ah, karenanya pengikut aliran ini tidak memandang penting silsilah al-Mahdi itu berasal dari keturunan Ahlul-Bait. Menurut paham yang terakhir ini, al-Mahdi itu tidak harus keturunan Ahlul Bait atau dari bangsa Arab, akan tetapi siapa saja yang dikehendaki dan diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan masalah keimaman, maka kemahdian Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu sesudah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Persepsi yang demikian ini, apa pun alasan yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh golongan Islam lainnya, khususnya golongan Sunni.

Dari perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka terima pada awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok Muslim, oleh Rabitah al-'Alam al-Islami. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, terlebih dahulu perlu diuraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan Mahdiisme Ahmadiyah.

A. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH

1. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH

Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.

Page 30: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 30

Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya

Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya.1)

Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat Muslim yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India ini, semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Mutiny di tahun 1857.

Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap ummat Islam. Inggris berkeyakinan bahwa ummat Islamlah yang menjadi biang keladi pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab. Selain itu ia pun menuduh ummat Muslim ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan Mughal, disamping itu Inggris menganggap oposisi ummat Muslim adalah karena didorong oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala, sedangkan kaum Hindu tampak dapat menyembunyikannya, sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi ummat Islam, demikianlah penjelasan K. 'Ali.2)

Sebagaimana diketahui, kaum Hindu dibawah pemerintahan kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada ummat Islam, karena itu sikap non-kooperatif ummat Muslim India saat itu semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri. Selain itu mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan dan perselisihan dengan sesama Muslim, karena masalah khilafiyyah di satu pihak, dan di pihak lain hubungan diantara mereka terutama yang telah mendapat didikan sistem Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya. Situasi ummat Muslim di India saat itu, boleh jadi tidak jauh berbeda dengan keadaan ummat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan kolonial Belanda.

Dalam keadaan demikian, intelektual kaum ulama Islam sebagai digambarkan oleh Maulana Muhammad 'Ali, telah tenggelam sampai ke tingkat yang paling bawah. Sehingga pertarungan antar sesama kelompok Muslim, karena perbedaan paham yang kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan menghukum Muslim lainnya sebagai kafir.3) Demikianlah situasi ummat Muslim yang melatar belakangi munculnya gerakan Mahdiisme Ahmadiyah. Sebagai yang telah disinggung dimuka, bahwa kemahdian Ahmadiyah berorientasi pada pembaharuan pemikiran. Di sini Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi

Mirza Masroor Ahmad

Page 31: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 31

dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan kepadanya. Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencamya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap ummat Muslim saat itu.

Dalam hubungan ini, Wilfred Cantwell Smith menggambarkan bahwa Ahmadiyah yang lahir menjelang akhir abad ke-19, ditengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen (terhadap Islam), dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maka lahirnya Ahmadiyah adalah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh-nya. Disamping itu, di saat yang sama, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.4) Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan ummat Muslim yang sangat sensitif, yaitu masih adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Quran dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Inilah kiranya yang menyebabkan timbulnya reaksi keras dan permusuhan ummat Muslim terhadap aliran yang baru lahir itu. 2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE AHMADIYAH

Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mina Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab - India. Di situ mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.

Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh.5) Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari ummat Muslim India. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara politis, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.

Page 32: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 32

Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri:

"Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), dimana pikiran seperti itu masih diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris."6)

Demikian pula halnya dengan pernyataan Basyiruddin Mahmud putera Mirza Ghulam Ahmad, yang sewaktu Putera Mahkota Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan: "Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan Selamat datang atas kunjungan Tuan ke India, dan kami tegaskan kepada Tuan bahwa warga Ahmadiyah adalah setia kepada pemerintah Inggris. Dan insya'Allah kesetiaan warga Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."7)

Dalam perjalanan hidupnya, pendiri aliran ini pernah mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian ia meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadian. Sewaktu mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868. Disamping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu yang ada, ia pergunakan untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot, demikian Maulana Muhammad 'Ali, ia pernah terlibat dalam suatu persengketaan dengan kaum misionaris Kristen dan sesudah empat tahun tinggal disana, ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk bertani. Karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, maka sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mempelajari al-Quran. Di saat yang sama, ia lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan. Kematian ayahnya, merupakan babak baru dalam sejarah hidupnya, sekarang ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada Islam. Tampaknya ia mulai tertarik pada pergerakan kaum Hindu, Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan, guna menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu dalam berbagai media cetak.

Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan ummat Muslim di satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.8)

Page 33: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 33

Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas 'Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan hadits-hadits Nabi, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan turunnya 'Isa al-Masih dan hadits-hadits Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan diatas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan peristiwa-peristiwa alamiah. Selain itu, untuk memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.

Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan di sini, ialah bahwa diantara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah terjadinya dua gerhana di bulan Ramadan, dan belum pernah terjadi sejak penciptaan langit dan bumi. Pertama gerhana bulan di malam permulaan bulan Ramadan, dan kedua, gerhana matahari di pertengahan bulan tersebut. Menurut kaum Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadits riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah Punjab, India, dimana Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan. Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka, terjadi pada hari Kamis 13 Ramadan 1311 H/22 Maret 1894 M, sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum'at 28 Ramadan 1311 H/6 April 1894 M. Dua peristiwa ini merupakan tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza sebagai al-Mahdi dan al-Masih.9) Demikian menurut keyakinan Ahmadiyah. Sebagai pengikutnya, Saleh A. Nahdi mengomentari hadits yang menyatakan: "... Bila kamu melihat di sebelah Timur api berkobar selama tiga atau tujuh hari lamanya, maka harapkanlah kelapangan bagi ummat Muhammad." Api yang berkobar di sebelah Timur diartikan sebagai gunung Krakatau yang meletus tahun 1883.10) Dengan demikian, kehadiran pendiri aliran ini menurut keyakinan pengikutnya telah diramalkan oleh Rasulullah, kemudian mereka interpretasikan secara rasional dan untuk menguatkan alasan-alasan mereka, dikemukakan pula sebuah hadits riwayat Abu Nu'aim dari Abu Bakr ibn Muqri:

"Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung bernama Karimah."

Dalam keterangan lain menyebutkan, tempat munculnya al-Mahdi adalah kampung Kadi'ah atau disebut juga dengan nama Kara'ah.11) Nama-nama tersebut menunjukkan tidak jelasnya tempat di mana al-Mahdi akan muncul, sehingga siapa saja dapat menafsirkannya sesuai dengan keinginannya.

Menurut paham pengikut Ahmadiyah, al-Mahdi yang dimaksud dalam hadits-hadits Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Mekkah atau Madinah, akan tetapi dari Persia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keturunan Rasulullah. Kalau pun al-Mahdi itu harus dari Ahlul-Bait, maka yang dimaksudkan tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah dengan Nabi, akan tetapi boleh jadi ia seorang yang saleh, taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh Salman al-Farisi sebagai yang diisyaratkan hadits Nabi dalam al-Jami'us-Sagir: "Salman termasuk (keluarga) kami Ahlul-Bait. Walhasil, demikian Maulana Muhammad Sadiq menegaskan, hadits yang menerangkan bahwa Mahdi di akhir zaman itu berasal dari kalangan Ahlul-Bait, hanyalah

Page 34: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 34

menyatakan bahwa dia seorang yang sangat setia dan taat kepada Nabi.12) Sekalipun dia bukan berasal dari keturunan Nabi atau bukan bangsa Arab, tetapi dia seorang yang saleh dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang ditunjukkan oleh Mirza, maka menurut paham aliran ini, dialah al-Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi. Oleh karena itu, didalam masalah kemahdian, tentunya kaum Ahmadiyah cenderung menolak hadits-hadits Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Syi'ah.

Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase perpecahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.

A. FASE KEBANGKITAN (1880 -1900)

Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam hubungan ini, al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu. 13)

Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang aneh oleh masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas dimasa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam.14) Di tahun itu pula pernyataan-pernyataannya yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan baru diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barahin Ahmadiyah. Dalam buku ini dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih bersifat apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam Ahmad terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum misionaris.

Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai'at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk

Page 35: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 35

maksud yang terakhir ini, ia memerlukan bai'at atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai'atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.

Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah,15) demikian penjelasan Maulana Muhammad 'Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari Surah as-Saf: 6), yang isinya memuat informasi Nabi 'Isa kepada Bani Isra'il, bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.

Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagai berikut:

"Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya);

"Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan" .

Allah berfirman lagi:

"Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya."16)

Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan 'Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan ummat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid'ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.

Dari kenyataan diatas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam. Nama "Ahmadiyah," oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.

B. FASE MENGHADAPI UJIAN (1900-1908)

Page 36: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 36

Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi" dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jumatnya sebagai berikut:

"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."17)

Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya. Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah pendirinya wafat.

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas. Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan:

Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad, bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula (sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang baru (mengaku sebagai nabi).18)

Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya melalui majalah bulanan berbahasa Inggris seperti Review of Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan pandangan mereka yang keliru terhadap Islam. Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat. Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922.19) Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di

Page 37: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 37

Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan.

Disamping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat Islam. Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam. Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah. Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang pernah menimpa ummat Islam Indonesia, yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad 'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen itu. Golongan Hindu dipimpin oleh Pandit Lekhram, 'Abdullah Atim dari golongan Kristen, dan Maulana Muhammad Husain dari Batala mewakili golongan 'Ulama Hadits dari kelompok Hanafi, Sunni, dan Syi'ah.20)

Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan:

"Celakalah kaumku! Sungguh mereka tidak mengenalku, mereka mendustakan, mencaci-maki, mengkafirkan, serta melaknatiku sebagai yang dilakukan oleh orang-orang kafir."21)

Dalam aktivitasnya mempropagandakan tugas kemahdiannya di kalangan kaum Hindu di tahun 1904, ia pun mengatakan, bahwa dia diutus oleh Tuhan, tidak hanya untuk orang Islam dan Kristen, tetapi juga untuk orang-orang Hindu. Disaat itulah Mirza menyatakan dirinya sebagai Krishna. Dengan demikian, sifat kemahdian Ahmadiyah ini tampak jangkauannya lebih luas daripada sifat kemahdian Syi'ah. Sebelum ia wafat di tahun 1905, ia berwasiat pada pengikutnya, agar dibentuk suatu masyarakat yang disebut sebagai Sadar Anjuman Ahmadiyah. Selanjutnya ia pun menunjuk penggantinya yang kemudian diistilahkan sebagai khalifahnya.

Setelah Mirza merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan tugas kemahdiannya kepada penggantinya yang masih muda usianya, untuk menyebarkan kebenaran Islam yang telah didakwahkannya, dan dua tahun kemudian, Mirza masih sempat menulis buku seperti Haqiqat al-Wahyi, Barahin Ahmadiyah bagian ke 5, dan Chashmah Ma'rifah dan lain sebagainya. Ia pada akhir April 1908, pergi ke Lahore dan disana ia menyelesaikan bukunya terakhir ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan persaudaraan antara orang-orang Hindu dan Islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada 26 Mei 1908, ia menghembuskan nafas terakhir dan jenazahnya dimakamkan di Qadian.22) Dalam

Page 38: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 38

hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwasanya Milza Ghulam Ahmad adalah seorang yang banyak menderita berbagai macam penyakit, sebagaimana yang diceritakan lewat tulisan-tulisan Mirza sendiri dan para pengikutnya.23)

Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan di kalangan masyarakat Kristen di Barat yang sedang dilanda oleh krisis spiritual di satu pihak, dan di pihak lain masyarakat Barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit mereka cerna itu. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan aliran Baha'i di Eropa dan Amerika Serikat di bawah pimpinan 'Abb-as Afandi yang memfokuskan kegiatan propagandanya di kalangan Kristen dan Yahudi, sesudah aliran ini gagal mempengaruhi ummat Islam.

C. FASE PERPECAHAN DAN PENGEMBANGAN (1908-1924)

Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan "khalifah" sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.

Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat. Dalam kaitan ini, Maulana Muhammad 'Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya. Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut.24)

Page 39: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 39

Sikap para pengikut Mirza ini tampak lebih agresif daripada sikap pendiri aliran tersebut, sebab dia tidak suka mengkafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan secara terang-terangan, sebagaimana dinyatakan: "... Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula memfatwakan yang demikian itu untuk diriku maka, dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Oleh sebab itu, aku tiada mengkafirkan mereka, bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka ke dalam fatwa Rasulullah".25)

Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern Ahmadiyah ini, maka secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah RasuBullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini.

Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai golongan Qadiani.

Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore.26) Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.27)

Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat

Page 40: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 40

Kristen Barat. Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious Gems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.28)

Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.

B. AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI

1. MASALAH WAHYU

Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadits sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah

untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.

Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri.Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq. Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain

Page 41: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 41

mereka.29 Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut:

a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa), atau kaum laki-laki lain. (Lihat QS. 28: 7; QS. 5: 111; QS. 21: 7).

b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama, dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar. Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj (Lihat QS. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat QS. 41: 44). Dan ketiga dengan jalan ilham.

c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.30)

Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih atau al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi oleh sekte Qadiani. Dan secara implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja terma yang mereka pakai adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi 'Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping itu, berita kehadiran al-Masih juga disebutkan dalam hadits-hadits sahih, kemudian mereka mencoba menguatkan keyakinan tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.

Al-Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan terma-terma baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri', wahyu gair tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah dan lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran, juga menggunakan hadits-hadits Nabi seperti:

"Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel, yaitu orang-orang yang (dapat) berdialog dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan para nabi. Maka jika sekiranya ada salah seorang diantara ummatku (termasuk golongan itu), tentulah 'Umar orangnya." (H.R. Bukhari).

Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah rusak, telah dihimpunnya sendiri menjadi 80 buah kitab lebih, yang

Page 42: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 42

kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah yang isi kandungannya adalah merupakan penjelasan maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap telah menyimpang dari prinsip Islam.

Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan di awal kegiatannya,31) artinya tidak tenggelam dalam anggapan pengikutnya yang menilai petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima oleh masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa 'Isa a.s., benar-benar disalib di tiang salib, sekalipun Nabi 'Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat dengan kepercayaan orang Nashrani daripada pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi 'Isa tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang diserupakan dengan 'Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah:

وما ق ت لوه وما صلبوه ول كن شبو لهم

"... padahal mereka tidak membunuhnya ('Isa) dan tidak menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan 'Isa ..." (QS an-Nisa 4:157).

Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa a.s., telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan terutama sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan dari kaum propagandis dan misionaris Hindu dan Nashrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan kemunduran ummat Islam di berbagai bidang, di pihak lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang penyaliban 'Isa a.s., atau Yesus Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan al-Quran tampaknya pendirian ini didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nashrani dengan paham Islam, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima paham kemahdiannya.

2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA'

Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri, adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair mustaqil (tidak

Page 43: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 43

mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari'at akan tetap berlangsung. Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka istilahkan dengan nabi mustaqil.32) Oleh karena itu, kata "nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah paham Lahore.

Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.33) Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki.

Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka memandang al -Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian, paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau nabi mustaqil sesudah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dan penggunaan terma wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.

Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi,

Page 44: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 44

baik yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab 33:40.)

ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول اللو وخاتم النبيين

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi ..."

Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:

"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku." (H.R. Bukhari)

Penggunaan terma nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza (al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah, untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.

Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka. Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab 33:40,) sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan hadits-hadits Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah (argumen) mereka.

Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadits-hadits sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan argumen bahwa kata, [kata-kata Arab], menurut bahasa Arab, apabila kata [kata-kata Arab] dirangkai dengan kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya.34) Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali ibn Abi Talib:

"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."

Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian menyatakan bahwa kata [kata-kata Arab] dan [kata-kata Arab], artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah 'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami. Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan "akhir para nabi."35)

Page 45: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 45

Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana dalam pernyataannya: "Dan dengan keperkasaan d an keagungan Allah, sesungguhnya aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah, kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. Para nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah) telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza) telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."36)

Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:

"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku ..."37)

Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya, ia mengatakan:

"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah Nashrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya, dan dia tergolong penghuni neraka."38)

Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya, seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas Muslim, dan menjadikan mereka sebagai

Page 46: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 46

kaum minontas non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal, berjudui Islam and Ahmadisme.39) Demikian al-Maududi.

3. MASALAH JIHAD

Masalah yang ketiga ini, merupakan salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan misi kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut, untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar atau jihad kecil,yaitu berperang melawan musuh. Kedua, Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.

Selain dua macam jihad di atas, menurut paham Mahdi Ahmadiyah, masih ada satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan Jihadul-Kabir atau jihad besar, seperti: tablig dan dakwah. Jihad besar dan jihad yang paling besar terus berjalan sepanjang masa, sedangkan jihad kecil, memiliki beberapa syarat dan berlakunya secara insidentil.40

Dalam hubungan ini, pendiri aliran tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta dalam mencapai tujuan, yaitu menghidupkan ajaran Islam dan mengembangkannya guna meraih kembali kejayaan dan wibawa Islam di seantero dunia. Adapun cara serta jalan yang ditempuh untuk mencapai maksud tersebut, adalah dengan jalan damai, bukan dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara seperti ini, bagi kaum Ahmadiyah adalah mencontoh cara-cara Nabi 'Isa. Oleh karena itu, berjihad dalam berperang di jalan Allah, untuk mempertahankan Islam bagi kaum Ahmadiyah, sudah tidak diperlukan atau tidak relevan lagi untuk masa-masa sekarang ini. Mereka beralasan bahwa cara tersebut, hanyalah merupakan jihad kecil semata, sedangkan jihad besar dan yang paling besar banyak dilupakan orang. Dan sebagai gantinya -jihad kecil- dapat digunakan media cetak, dengan menerbitkan berbagai karya tulis untuk memahamkan Islam kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di saat seperti sekarang ini, masyarakat memiliki kebebasan berbicara, beragama, dan Islam pun tidak membenarkan para pengikutnya memaksakan keyakinan atau agamanya pada orang lain. Dalam kaitan ini NazirAhmad menyatakan:

"Sungguh Allah telah mewajibkan kepada ummat Islam suatu kewajiban yang lebih besar daripada berperang, yang karenanya syari'at itu diturunkan, yaitu jihad besar dan yang paling besar ialah mendamaikan jiwa dan mempropagandakan agama serta dakwah di jalan Allah, di tengah-tengah masyarakat dunia."41)

Adanya pemahaman seperti di atas, pendiri Ahmadiyah menolak berjihad melawan kaum kolonial Inggris di India saat itu sebagaimana ia menyatakan:

"... oleh karena itu, aku menolak jihad. Aku bukan orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan sesungguhnya yang benar, adalah bahwa pemerintah Inggris tidak melakukan

Page 47: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 47

sesuatu (tindakan) terhadap Islam dan syi'ar agama. Dia pun tidak pula secara terang -terangan menyebarkan agamanya dengan pedang. Perang atas nama agama yang seperti itu, haram dalam tuntunan al-Quran. Demikian pula pemerintah Inggris tidak menyebabkan perang agama."42)

Kehadiran al-Mahdi ke dunia untuk menyebarkan Islam dengan pedang, dalam pandangan Ahmadiyah adalah sangat keliru, bahkan harus diberantas. Sebab cara demikian tidak cocok dengan nama Islam itu sendiri, sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan kemenangan spiritualnya. Dan oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) merasa telah menerima keterangan dari Tuhan, bahwa kehadiran al-Mahdi yang menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka masuk Islam, sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang diterimanya. Pembaharuan tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza, tampaknya justru menambah keyakinan Muslim non-Ahmadiyah, bahwa kaum Qadiani telah menjadi alat pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan ummat Islam. Oleh karena itu, pemerintah Inggris di India tetap memberi hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.

Akhirnya tiga persoalan-masalah kewahyuan, kenabian, dan masalah jihad- di atas, disamping ia merupakan identitas misi Mahdiisme Ahmadiyah, juga merupakan salah satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan yang hebat antar sesama ummat Islam. Sehingga tidak mustahil dampak negatif ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India.

PERBANDINGAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH

Sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu, paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah dan Ahmadiyah tampak jelas perbedaannya, baik dilihat dari aspek teologi, cara-cara merealisasikan ide-ide kemahdiannya masing-masing aliran, maupun dari aspek ajarannya.

Seperti diketahui, ide kemahdian ini bermula dari kekecewaan dan penderitaan kaum Syi'ah yang berkepanjangan. Mereka selalu dalam tekanan-tekanan politik musuh-musuhnya, sesudah mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan politik. Oleh karena itu, mereka selalu mendambakan sosok

pimpinan yang berwibawa, dihormati olehlawan atau kawan dan menjadi penguasa tunggal di dunia Islam, itulah al-Mahdi.

Dalam masalah ini kaum Syi'ah sepakat, bahwa al-Mahdi itu harus lahir dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib. Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia harus dan keturunan Hasan dan Husain (dan garis Rasulullah) atau tidak? Tampaknya masing -masing golongan telah mengangkat tokoh-tokohnya sendiri sebagai al-Mahdi, seperti Syi'ah Kaisaniyyah. Barangkali cukup menarik, perbedaan antara Mahdiisme Isma'iliyyah dengan Mahdiisme Isna 'Asyariyyah, yang keduanya mengaku dari keturunan Husain. Paham kemahdian Isma'iliyyah tampak lebih realistis daripada paham kemahdian Syi'ah

Page 48: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 48

Isna 'Asyariyyah yang fantastis, karenanya al-Mahdi belum pernah muncul, bahkan ia tidak pernah akan muncul untuk selama-lamanya.

Adapun paham kemahdian Ahmadiyah, yang dimotivasi oleh keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiran dalam memahami ajaran Islam, bukan untuk merebut kekuasaan politik. Akan tetapi, kemunculan al-Mahdi pada aliran ini dipadukan dengan kedatangan kembali 'Isa al-Masih dan Krishna yang terjelma pada diri Mirza Ghulam Ahmad. Kemunculan al-Mahdi yang inkarnatif ini, menandakan adanya pengaruh kehinduan, oleh karena itu, aliran baru tersebut banyak memunculkan akidah baru yang inovatif, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan paham kemahdian Syi'ah ataupun lainnya. Oleh karena itu, mereka menolak paham Mahdi yang person kemahdiannya bukan berasal dari India, tentunya kaum Syi'ah pun menganggap asing dan menolak munculnya al-Mahdi di luar keturunan 'Ali ibn Abi Talib.

A. ASAL MULA LAHIRNYA PAHAM MAHDI

'Akidah Mahdiyyah dalam tradisi Syi'ah maupun Ahmadiyah merupakan prinsip keyakinan yang mesti dipertahankan. Menurut aliran-aliran Syi'ah, di akhir zaman nanti pasti akan muncul seorang tokoh keturunan Ahlul-Bait yang akan menegakkan kejayaan Islam, memberantas segala bentuk kecurangan, dan mengadakan pemerataan keadilan. Ia akan memegang kekuasaan tertinggi di dunia Islam dan menjadi ikutan ummat manusia.

Adapun orang yang pertama kali meneriakkan sebutan al-Mahdi adalah Sulaiman ibn Surad, yang ditujukan kepada Husain sewaktu ia terbunuh, dengan mengatakan: "Husain sebagai al-Mahdi putera al-Mahdi"1) Selanjutnya dijelaskan, bahwa kata 'al-Mahdi' semula dipahami dalam pengertian bahasa yang artinya, "orang yang mendapat petunjuk Tuhan." Kemudian kata tersebut diartikan sebagai orang yang ditunggu-tunggu kemunculannya dengan membawa kesejahteraan dan kedamaian. Orang yang mula-mula memberi pengertian demikian adalah Kaisan, bekas budak 'Ali ibn Abi Talib dan sebagai tokoh pendiri aliran Kaisaniyyah, yang dialamatkan kepada diri Muhammad ibn Hanafiyyah yang diyakininya sebagai al-Mahdi yang tinggal di bukit Radwa.2) Julukan al-Mahdl ini mulai tersebar, sejak tahun 66 H, yaitu sesudah pemerintahan Bani Umayyah gagal mempertahankan sendi-sendi keadilan dan persamaan. Menurut aliran ini (Syi'ah Kaisaniyyah), Muhammad ibn al-Hanafiyyah itu adalah al-Mahdi al-Muntazar yang dikenal pula dengan al-Mahdi ibn al-Wasi. Selanjutnya Donaldson menjelaskan, penggunaan istilah al-Mahdi itu, lebih 200 tahun sebelum masa pengumpulan hadits-hadits Nabi, yaitu masa yang cukup untuk kristalisasi pemikiran tentang al-Mahdi dalam bentuknya yang pasti.3)

Sehubungan dengan uraian di atas, hadits-hadits Mahdiyyah memang melahirkan berbagai pendapat yang kontroversial di kalangan ummat Islam. Hadits-hadits Mahdiyyah tidak dimuat dalam Sahih al-Bukhari maupun Sahih al-Muslim, mungkin sekali karena sanad-sanadnya tidak siqah atau dapat dipercaya, sehingga banyak para cendekiawan Muslim yang belakangan seperti: Syaikh Muhammad Darwisy, Muhammad Rasyid Rida,

Page 49: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 49

Muhammad Farid Wajdi, Syaikh Tahir Jalaluddin, dan A. Hasan dari PERSIS, tidak mau menerimanya sebagai yang otentik. Akan tetapi sementara ahli-ahli hadits seperti: al-Qurtubi, Ibn Hajar al'Asqalani, Abul-Husain al-Abiri, Syamsuddin as-Sakhawi, Jalaluddin as-Suyuti, Ibn Hajar al-Haitami, az-Zarqani, al-Qadi Muhammad as-Syaukani, al-Qanuji, Abul-Hasan Muhammad as-Sahari, Muhammad Habibullah as-Syanqiti, dan as-Safarini memandang hadits-hadits Mahdiyyah sebagai muttawatir. Hanya saja al-Muhaddis Sayyid Ahmad menegaskan, bahwa tiap-tiap bagian dari hadits-hadits Mahdiyyah itu dengan memandang sanad-nya, tidak dapat dianggap mutawatir.4)

Terjadinya perbedaan pendapat yang bertolak belakang, mengenai hadits-hadits Mahdiyyah disebabkan adanya perbedaan cara menilai keabsahan hadits-hadits tersebut. Pihak yang menolak keotentikannya, disamping mereka mengadakan analisis obyektif dengan menggunakan ilmu-ilmu hadls, juga mengadakan analisis sejarah ummat Islam tentang asal mula terbentuknya paham Mahdi atau Mahdiisme di kalangan kaum Syi'ah.

Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun pun menolak keotentikan hadits-hadits tersebut, tidak dapat dipercaya riwayatnya. Seperti 'Asim dan Muhammad ibn Khalid adalah perawi-perawi yang kontroversial dalam penilaian kaum Muhaddisin.5) Dan masalah Mahdiisme ini, Ibn Khaldun tampak lebih menonjolkan teori al-'Asabiyyah-nya. Ia berpendapat, bahwa dakwah Mahdiyyah tidak dapat ditegakkan tanpa disertai semangat fanatisme yang kuat (al-'Asabiyyah) sehingga Allah memberikan pertolongan-Nya, sebab tanpa kekuatan dan fanatisme (idealisme perjuangan) tidak banyak terwujud.6)

Adapun bagi pihak-pihak yang memandang hadits-hadits Mahdiyyah sebagai otentik, pada umumnya analisis mereka hanya didasarkan pada satu aspek saja, yaitu ilmu hadits, seperti ilmu Mustalah Hadits; ilmu Rijalul-Hadits, dan yang semisalnya. Akan tetapi keotentikannya tidak didukung oleh keobyektifan sejarah, terutama sejarah kaum Syi'ah. Mereka tidak menyadari siasat kaum Syi'ah yang selalu mengisukan paham Mahdi dalam perjuangan politiknya, sehingga dapat membentuk opini masyarakat dengan menyebarluaskan atau mengekspos hadits-hadits Mahdiyyah. Dengan demikian pengamhnya sangat luas dan diserap oleh pelbagai sekte dalam Islam. Dan bahkan sementara ahli-ahli hadits sendiri ada yang menilai keotentikannya, hanya dengan mengukur banyaknya orang yang meriwayatkan hadits-hadits Mahdiyyah tersebut. Sebagaimana diketahui, kaum Syi'ah yang berpusat di Irak banyak membuat hadits-hadits palsu (maudu'), sehingga tidak mustahil di antara hadits-hadits Mahdiyyah itu adalah ciptaan mereka, mengingat banyak materi haditsnya yang kontroversial.

Memang tepatlah apa yang dinyatakan oleh al-Maududi bahwa apabila hadits-hadits Mahdiyyah ini dilihat lebih cermat, maka akan terdapat dalam sanad-sanad (urut-urutan orang yang meriwayatkannya), banyak segi yang melemahkan. Diantaranya terdapat berbagai ikhtilaf (pertentangan) yang jelas tentang materi hadits itu sendiri. Kedua, partai-partai politik yang terlibat dalam perselisihan di awal sejarah Islam, mereka berusaha menebarkan hadits-hadits Mahdiyyah untuk kepentingan dan tujuan politik masing-masing golongan. Sebab, banyak perawi hadits yang terlibat dalam kegiatan politik praktis saat itu.7) Selanjutnya pendapat Syaikh Muhammad Darwisy yang dikutip oleh H. M. Arsyad Talib Lubis, menyatakan bahwa hadits-hadits Mahdiyyah adalah lemah

Page 50: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 50

(da'if) seluruhnya, tak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan janganlah terperdaya oleh orang yang mengumpulkannya dalam berbagai tulisan.8)

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya paham Mahdi, dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama aspek politis dan kedua aspek teologis. Pada aspek politik bermula dari kegagalan-kegagalan kaum Syi'ah secara beruntun untuk memperoleh kekuasaan politik. Kekecewaan mereka yang paling dalam, berawal dari tidak terpilihnya 'Ali ibn Abi Talib sebagas Khalifah pertama. Kemudian disusul oleh kegagalan politik 'Ali dalam menghadapi pembelotan Mu'awiyah yang melahirkan tahkim atau arbitrase, sehingga Khalifah 'Ali menjadi korban kekerasan politik kaum Khawarij, sekalipun saat itu secara doktrinal Syi'ah belum lahir.

Pemikiran tentang al-Mahdi, semula bersumber dari aliran Syi'ah, dan terbentuknya pemikiran ini, semenjak mereka kehilangan kekuasaan politik yang berpindah ke tangan Mu'awiyah, sesudah terbunuhnya Khalifah 'Ali. Penyerahan kekuasaan oleh Hasan ibn 'Ali kepada Mu'awiyah, kemudian disusul oleh kematian Husain di padang Karbela, merupakan saat-saat yang mempercepat proses terbentuknya pemikiran tersebut.

Apabila kematian 'Ali merupakan awal lahirnya paham Syi'ah yang secara doktrinal ditandai oleh tuntutan mereka akan hak legitimasi kekhalifahan pada keturunan Ahlul-Bait, maka kematian Husain, bagi kaum Syi'ah merupakan awal lahirnya istilah al-Mahdi, sekalipun masih dalam pengertian bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tersebut berubah menjadi paham Mahdi al-Muntazar, setelah term al-Mahdi tadi, dihubungkan dengan 'aqidah ar-raj'ah, dan paham Mahdi tersebut dipelopori oleh golongan Syi'ah Kaisaniyyah, sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah wafat. Rupanya paham Mahdi ini semula, oleh sementara pemimpin Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama sesudah Muhammad ibn Hasan al-'Askari dinyatakan hilang secara misterius, dijadikan cara untuk mengalihkan perhatian para pengikutnya yang mulai kehilangan semangat dan daya juang mereka, disamping eksistensi sekte ini mulai terancam perpecahan yang serius. Kemudian dimitoskanlah seorang tokoh yang akan membawa kemenangan dan kesejahteraan dengan sebutan al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, guna menghimpun kembali potensi mereka. Dalam hubungan ini Ahmad Amin menjelaskan, bahwa para pemimpin gerakan Syi'ah yang berpandangan jauh, menganggap kekecewaan politik tersebut merupakan faktor penyebab keputusasaan, dan faktor ini dikhawatirkan akan menjadi penyakit yang meracuni jiwa kaum Syi'ah. Mereka berusaha membesarkan hati kaumnya dengan ide akan kembalinya kepemimpinan mereka, yang akan menghancurkan kekuasaan Bani Umayyah. Untuk meyakinkan kaumnya, ide tersebut harus bercorak keagamaan. Sebelum terbentuknya paham al-Mahdi al-Muntazar, demikian Ahmad Amin, mula-mula mereka gunakan istilah al-Hukumah al-Muntazirah (pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu), kemudian isu ini berubah menjadi al-Hakim al-Muntazar atau penguasa (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Akhirnya, isu kedua ini berkembang dan berubah menjadi al-Mahdi al-Muntazar.9)

Dalam merealisasikan ide Mahdiisme, kaum Syi'ah menempuh dua cara yang berbeda. Di satu pihak, kaum Syi'ah ingin merealisasikannya dalam bentuk perjuangan politik nyata, seperti 'Abdullah yang mengaku sebagai Mahdi dari Syi'ah Isma'iliyyah.

Page 51: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 51

Akan tetapi, di lain pihak ada beberapa sekte Syi'ah, sengaja tidak ingin mewujudkan tokoh Mahdi sebagai realita, tapi hanya sebagai mitos seperti yang diyakini oleh golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dan sekte-sekte Syi'ah lainnya. Oleh karena itu sekte ini tetap mempertahankan konsep al-Mahdi al-Muntazar. Tampaknya konsep keimanan Syi'ah itu memberi kesan, semakin imam itu gaib, semakin ma'sum-lah imam itu. Dan kema'suman itulah yang mendorong pengikut Syi'ah memberi kedudukan istimewa atau otoritas yang tinggi kepada seorang imam.

Tampaknya konsep akidah Mahdiyyah bagi pengikut Syi'ah Dua belas, bermula dari kevakuman imam sesudah Imam ke11, yaitu Hasan al-'Askari. Munculnya sekte baru, yaitu aliran Ja'fariyyah yang dipimpin oleh Ja'far saudara Imam Hasan al'Askari, benar-benar dipandang oleh golongan Syi'ah Dua belas sebagai ancaman yang berbahaya. Sebab sekte baru tersebut, berkeyakinan bahwa keimaman bagi mereka masih terbuka lebar. Di sisi lain, rupanya Syi'ah Dua belas ingin menyatukan sub-sub sekte lain dari jalur Musa al-Kazim yang telah bercerai-berai.

Untuk mencapai maksud tersebut, kemudian oleh pakar-pakar sekte ini, diciptalah teori tentang "imam yang gaib" dengan al-Mahdi sebagai tokohnya, putera Hasan al-'Askari sebagai Imam ke-12, atau yang terakhir belum ada keterangan yang jelas. Dalam masalah ini, sebagai yang dikutip oleh Montgomery Watt dari pendapat an-Nubukhtiy, tentang ada atau tidaknya putera Hasan al-'Askari, memang ada tiga pendapat.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa Imam ke-11 ini, tidak mempunyai anak laki-laki. Pendapat kedua menyatakan, bahwa ia mempunyai anak laki-laki tetapi, ia wafat sewaktu berusia dua tahun, sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa ia wafat sewaktu dilahirkan.10)

Ketidakjelasan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah tentang keberadaan imam mereka yang kedua belas, mungkin sekali dimanfaatkan oleh kaum politisinya yang lihai untuk mencipta mitos al-Mahdi al-Muntazar. Dengan mitos tersebut kaum politisi aliran ini, dapat mempertahankan loyalitas pengikut Hasan al'Askari kepada imam penggantinya yang selalu gaib itu.

Dalam kaitan ini, Montgomery Watt menjelaskan bahwa teori keimaman (imam duabelas) merupakan sebuah interpretasi dari berbagai peristiwa yang telah diseleksi dan dengan sengaja dicipta oleh kaum politisi Syi'ah untuk mencapai tujuan akhir mereka. Seorang yang paling bertanggung jawab terhadap formulasi teori ini dan yang mempertahankannya secara intelektual serta menentang pikiran-pikiran lainnya adalah Abu Sahl an-Naubakhti yang meninggal tahun 913.11) Dengan demikian, munculnya teori keimaman yang gaib terakhir ini, dengan tokohnya yang menghilang secara misterius, yang dikenal dengan sebutan al-Mahdi al-Muntazar adalah akibat krisis keimaman di kalangan Syi'ah Dua belas. Untuk menjaga keutuhan eksistensi dan loyalitas para pengikutnya, maka diciptalah teori tersebut, sebagai suatu idealisme perjuangan politik mereka.

Selanjutnya, faktor-faktor penyebab terbentuknya paham al-Mahdi atau Mahdiisme ini, pada dasarnya ada dua faktor penyebabnya yang sangat erat

Page 52: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 52

hubungannya satu sama lain, Pertama adalah faktor intern. Sebagaimana uraian di atas, kaum Syi'ah mengalami kekecewaan dan penderitaan yang bertubi-tubi, dan banyak imam mereka yang menjadi korban kekerasan lawan-lawan politiknya. Keadaan ini mendorong kaum Syi'ah lebih terbuka terhadap masuknya pikiran-pikiran non-Islam, karena mereka ingin mendapat dukungan politik di masyarakat luas, yang sebagian besar anggotanya belum dapat meninggalkan keyakinan lama mereka. Dan sebagai akibatnya lahir keyakinan baru yang inovatif yang dicipta oleh orang yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.

Keputusasaan kaum Syi'ah yang diakibatkan oleh kekalahan politik dan penganiayaan yang berulang-ulang mendorong mereka menjadi gerakan bawah tanah dan siap menerima berbagai macam ide.12) Sikap keterbukaan aliran ini hampir dapat dipastikan merupakan faktor utama timbulnya berbagai doktrin isoteris, dan salah satunya adalah ajaran Mahdiisme.

Selain itu, kisah-kisah dalam al-Quran seperti kisah 'Uzair dan Ashab al-Kahfi, demikian pula dalam kitab-kitab hadits tentang akan turunnya kembali 'Isa ibn Maryarn ke dunia di akhir zaman, sering dijadikan sebagai landasan 'aqidah ar-raj'ah yang kemudian diformulasikan sebagai doktrin Mahdiisme. Disamping itu, usaha-usaha penyebaran hadits-hadits Mahdiyyah oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dibiarkan saja oleh tokoh-tokoh Syi'ah, Umayyah dan 'Abbasiyyah yang mengetahuinya. Karena masing-masing pihak merasa mendapat keuntungan darinya Sikap masa bodoh terhadap orang-orang yang membuat hadits Mahdiyyah ini, oleh Ahmad Amin diistilahkan sebagai persekongkolan yang keji yang dapat merusak pikiran orang banyak.13) Kelompok Islam tertentu yang tidak berkepentingan dengan hadits-hadits Mahdiyyah, ternyata mengingkari paham Mahdi dan 'aqidah ar-raj'ah seperti: Golongan Muktazilah, Khawarij, dan Syi'ah Zaidiyyah.

Tidak kalah hebatnya pengaruh dan peranan sementara kaum Sufi14) yang telah menyerap paham Mahdi dan memasukkannya ke dalam doktrin esoteris serta mereka gubah dalam bentuk syair, dan pada golongan awam yang telah mereka tenggelamkan kedalam kehidupan penuh khayalan sehingga dapat merusak akidah dan menjadikan mereka statis dalam menghadapi kenyataan hidup, apa lagi dalam menegakkan hukum dan kebenaran. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman menegaskan bahwa sebenarnya paham Mahdi di kalangan Islam Sunni, pada dasarnya adalah bersumber pada doktrin Imamah Syi'ah yang didesakkan oleh kaum Sufisme.15) Dengan demikian, tidaklah mustahil paham kemahdian Islam Sunni ini bermula lewat hadits-hadits Mahdiyyah yang diriwayatkan oleh golongan Sunni sendiri yang kurang selektif terhadap perkembangan sejarah perjuangan politik kaum Syi'ah di satu pihak, dan kegiatan kaum Sufi di pihak lain, dalam memasyarakatkan paham Mahdiyyah tersebut.

Kedua, adalah faktor ekstern. Sikap keterbukaan kaum Syi'ah menerima ide-ide dan keyakinan non-Islam, sangat memudahkan penetrasi akidah atau kepercayaan mesianistis dan millenaristis yang bersumber dari pengikut-pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani, lewat tokoh-tokohnya yang berpura-pura mencintai Ahlul-Bait.

Page 53: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 53

Sebagaimana diketahui, keyakinan seperti disebut terakhir ini, sudah muncul dan berkembang sejak ribuan tahun sebelum Masehi, terutama di kalangan masyarakat Yahudi, sesudah kerajaan mereka dihancurkan oleh bangsa lain. Kemudian mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka, melalui seorang Juru Selamat atau Mesiah.16) Tokoh ini, menurutkepercayaan mereka ada pula yang berkeyakinan, bahwa dia akan muncul secara supernatural dari seorang wanita. Akan tetapi, sesudah Nabi 'Isa dilahirkan dan terutama sesudah dia diangkat menjadi nabi, banyak kaumnya mengharap agar dia bisa memainkan peranan sebagai al-Masih untuk membebaskan mereka dari penindasan bangsa lain, kalau perlu dengan kekerasan. Akan tetapi, Nabi 'Isa menolak, sebab tugasnya adalah menyelamatkan domba-domba Israil dari kemerosotan rohaniah.17)

Keyakinan tentang akan kembalinya orang yang telah mati ('aqidah ar-raj'ah), dalam kaitan ini Ahmad Amin menyebutkan bahwa keyakinan tersebut, mula-mula dihembuskan oleh Ibn Saba' di tengah-tengah ummat Islam, sewaktu Khalifah 'Ali terbunuh, dengan kelihaiannya ia dapat menarik simpati ummat Islam yang masih awam, ia menyatakan:

"Seandainya kalian membawa otak 'Ali seribu kali kepada kami, kami tidak akan membenarkan kematiannya. Dia tidak akan mati sehingga ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana dipenuhinya bumi ini oleh kecurangan."18)

Bagian akhir dari pernyataan tersebut, kalimatnya sama dengan sebagian besar teks hadits-hadits Mahdiyyah. Kalimat di atas, mengisyaratkan kepada kita, perlu diragukannya keotentikan hadits-hadits Mahdiyyah yang senada dengan pernyataan Ibn Saba' di atas. Akan tetapi, justru hadits-hadits Mahdiyyah semacam itu, sering dijadikan dalil oleh sementara ummat Islam untuk membenarkan mitos al-Mahdi sang Juru Selamat.

Berbeda dengan terbentuknya paham kemahdian Ahmadiyah, Mahdiisme Ahmadiyah ini, bermula dari penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di sebuah desa bernama Mohalla Khan Yar, di kota Srinagar, Kashmir. Makam itu diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa, oleh karenanya Abu Zahrah menyatakan:

"Dan sungguh Ghulam Ahmad ini, sesudah ia menemukan sebuah kuburan di Srinagar dekat Kashmir ... Dan sungguh ia telah mengarahkan (kegiatannya) mengajak kepada agama baru ..."

Selanjutnya dinyatakan:

"... sungguh dengan ditemukannya kuburan al-Masih ini, ruh dan kekuatan al-Masih melebur kedalam dirinya, dan mengaku bahwa dirinya adalah al-Mahdi al-Muntazar..."19)

Reinkarnasi yang bersumber dari ajaran Hindu yang diambil alih oleh beberapa sekte Syi'ah ekstrem, tampaknya juga mewarnai akidah Mahdiyyah di kalangan Ahmadiyah. Selain itu, interpretasi kaum Sufi tentang keberadaan al-Mahdi, mengisyaratkan akan lahirnya seorang tokoh pembaharu untuk menegakkan hukum-hukum agama dan kebenaran demikian Ibn Khaldun,20) juga mewarnai paham Mahdi

Page 54: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 54

Ahmadiyah. Kiranya memang agak sulit untuk dikatakan, bahwa paham Ahmadiyah itu, dipengaruhi oleh aliran tertentu dalam Islam atau yang non-Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, jika dilihat dari unsurnya yang beragam, tampaknya paham kemahdian aliran ini, lebih menunjukkan paham kemahdian yang sinkretis.

Dari uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa kepercayaan yang bersifat Mesianistis atau Millenaristis, tampaknya sudah muncul sejak lama dan pemunculannya kembali ditengah-tengah masyarakat yang tertindas akibat kezaliman penguasa, mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Gejala umum yang tampak, yaitu diawali dengan munculnya protes-protes sosial yang dibarengi dengan harapan-harapan akan datangnya seorang tokoh legendaris yang akan membawa kesejahteraan dan ketenteraman dalam Islam, tokoh tersebut dikenal dengan Imam Mahdi, Messiah dalam agama Nasrani danYahudi, Ratu Adil dalam budaya Jawa, dan Uri di kalangan orang primitif di Irian. Atas dasar kenyataan sejarah seperti di atas, rupanya para cendekiawan Muslim yang berwawasan luas sulit menerima paham Mahdi yang bersifat eskatologis ini.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, kiranya dapat dibedakan secara jelas antara gerakan Mahdi Syi'ah dengan gerakan Mahdi Ahmadiyah. Apabila gerakan Mahdi Syi'ah berangkat dari keinginan untuk mengangkat derajat rakyat tertindas dan membawanya pada kondisi yang lebih baik, sebagai akibat kezaliman dan kecurangan penguasa, maka jalan yang ingin ditempuhnya adalah dengan merebut kekuasaan politik, atau dengan jalan kekerasan. Dengan kekuatan dan kekuasaanlah al-Mahdi akan memberantas segala macam kecurangan dan ketidakadilan. Dengan demikian, jalan yang ditempuhnya dalam merealisasikan ide kemahdiannya adalah dengan jalan melalui dari atas, dan di sini al-Mahdi dilambangkan dengan al-Qa'im (yang bangkit untuk menumpas pemerintahan yang zalim).

Adapun gerakan Ma'ndi Ahmadiyah yang bertolak dari keinginan untuk membangun ummat yang telah rusak dan terbelakang, dan ingin mengembalikan Islam dan ummat pemeluknya pada kejayaaannya, maka dalam hal ini, al-Mahdi berkeyakinan, bahwa ummat Islam harus dapat memahami Islam secara aktual. Untuk itu, mereka harus menerima pembaharuan yang dimajukan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh al-Mahdi dan sekaligus sebagai al-Masih. Menurut pendapatnya, Islam dan ummat Islam akan maju, apabila mereka mau melaksanakan ajaran yang diterimanya dari Tuhan yang berupa ilham atau yang dikenal dengan wahyu walayah guna melaksanakan ajaran al-Quran sesuai dengan tuntutan zamannya. Oleh karena itu, al-Mahdi al-Ma'hud yang mengaku juga sebagai al-Masih dan Krishna, ingin menghimpun pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan Hindu ke dalam Islam tanpa menggunakan kekerasan. Dengan demikian, jalan yang ditempuh oleh gerakan Mahdi Ahmadiyah ini adalah dengan menempuh jalan dari bawah, yaitu dengan mengefektifkan dakwah Islam, terutama lewat tulisan-tulisan, untuk menunjukkan kebenaran Islam terhadap pandangan mereka non-Muslim yang keliru. Oleh karena itu, al-Mahdi berusaha sebagai pendamai di antara ummat yang berselisih, di sinilah ia dilambangkan sebagai Hakim Pengislah (Juru pendamai di antara pihak-pihak yang sedang berselisih).

B. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PAHAM MAHDI SYI'AH DAN PAHAM MAHDI AHMADIYAH

Page 55: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 55

Pada umumnya keyakinanterhadap al-Mahdi mulai terbentuk sesudah pemimpin Syi'ah yang dicintai oleh pengikutnya itu wafat, sejak dari Mahdiisme Kaisaniyyah sampai Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Krisis kepemimpinan Syi'ah selalu dibarengi dengan usaha-usaha untuk mempertahankan kebenaran kelompoknya dengan memasukkan doktrin 'aqidah ar-raj'ah, masalah gaibah dan Mahdiyyah kepada para pengikutnya, kemudian diikuti dengan membuat hadits-hadits tentang al-Mahdi.

Demikian juga keadaan ummat Islam India yang sedang dalam penderitaan, dibawah tekanan pernerintah kolonial Inggris, tentunya mereka juga mengharapkan munculnya seorang tokoh pimpinan yang dapat melepaskan mereka dari berbagai penderitaan. Terutama sekali sesudah pemerintah Inggris di India mengucilkan ummat Islam di satu pihak, dan menganak-emaskan ummat Hindu di pihak lain, seperti sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap golongan Muslim di Indonesia,dengan menganak-emaskan golongan Cina dan kaum Nasrani, pada masa sebelum kemerdekaan.

Apabila di tengah-tengah memuncaknya penderitaan masyarakat Muslim India yang tertindas seperti yang dialami oleh ummat Islam di Indonesia, kemudian timbul pemberontakan melawan pemerintah kolonial, namun akhirnya dapat ditumpas, maka dalam situasi yang demikian itu, lalu muncul seorang tokoh baru yang mengaku sebagai al-Masih al-Mau'ud dan al-Mahdi al-Ma'hud adalah merupakan gejala umum munculnya ide Mahdiisme di kalangan masyarakat Muslim. Akan tetapi perlu diketahui, munculnya gerakan Mahdiisme di India ini, berbeda dengan gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial, baik yang muncul di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun di Jawa Timur yang dipelopori oleh ummat Islam, dikenal pula dengan sebuah gerakan Mahdi, namun gerakan Mahdi di Jawa lebih mirip dengan gerakan Mahdi Syi'ah. Sekalipun demikian, gejala-gejala yang muncul di permukaan, seperti adanya kepercayaan terhadap tokoh karismatis yang dijanjikan, kekeramatan atau keajaiban, pengakuan sebagai Wali Allah, pengakuan (seorang tokohnya) telah menerima wahyu atau wangsit (pesan) dari tokoh yang supematural dan masih gaib, kemudian disusul dengan munculnya seorang yang mengaku atau ditokohkan sebagai al-Mahdi atau Ratu Adil, untuk mengusir penjajah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gerakan Mahdi dan seumpamanya, adalah melupakan modus suatu masyarakat tertindas dan belum maju serta mengalami perubahan sosial yang drastis, guna menuntut perbaikan nasib mereka, atau sebagai protes sosial tehadap penguasa yang zalim, dan keadaan seperti ini, selalu terjadi dalam siklus sejarah ummat manusia. Biasanya gerakan Mahdiisme ini, selalu ditandai dengan protes-protes sosial yang bersifat keagamaan dan sering menjurus ke arah radikalisme. Kadang-kadang gerakannya bersifat nativistis, dan di saat yang lain, ia lebih bersifat millenaristis, bahkan kadangkadang lebih bersifat messianistis.

Adapun persamaan dan perbedaan antara paham Mahdi Syi'ah dengan paham Mahdi Ahmadiyah ialah bahwa kedua aliran ini telah menjadikan paham Mahdi sebagai keyakinan prinsip mereka. Hanya saja bagi golongan Ahmadiyah dan Syi'ah Isma'iliyyah, kemunculan tokoh al-Mahdi telah menjadi kenyataan sejarah Bedanya kalau idealisme kemahdian Syi'ah Isma'iliyah telah berakhir dengan wafatnya 'Abdullah al-Mahdi, maka lain halnya dengan idealisme kemahdian golongan Ahmadiyah yang terus hidup dan

Page 56: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 56

berkembang, karena ide pembaharuan yang dicanangkan oleh Mirza Ghul-am Ahmad belum tercapai. Idealisme Ahmadiyah, tampak lebih realistis bila dibandingkan dengan idealisme kemahdian Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dimana keinginan untuk mewujudkan cita-cita golongan terakhir ini menunggu al-Mahdi al-Muntazar, adalah merupakan idealisme yang fantastis. Sekalipun demikian, semangat Mahdiisme di kalangan pengikut Syi'ah Dua belas ini, lebih lama bertahan daripada semangat Mahdiisme Syi'ah yang lain.

Adapun persamaan landasan tersebut, tampaknya kedua aliran ini, sama-sama menggunakan al-Quran dan hadits sebagai dasar aqidah Mahdiyyah masing-masing, sekalipun al-Quran sendiri secara eksplisit tidak pernah menyinggung masalah kemahdian. Akan tetapi, bagi kaum Syi'ah, menunggu kehadiran al-Mahdi merupakan keyakinan pokok, dan untuk menguatkan keyakinannya, mereka mencipta nama julukan untuk al-Mahdi, seperti kata al-qa'im, yang terdapat di dalam al-Quran. Oleh karena itu, al-Kulaini menafsirkan kata al-qa'im dalam Surah ar-Ra'd: 33,) sebagai al-Mahdi.

"Apakah Tuhan yangmenjaga setiap diri (al-Qa'im) terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?"

Kata al-qa'im di atas, diinterpretasikan sebagai al-Mahdi, demikian menurut paham Syi'ah.21) Tentunya penafsiran tersebut, dikuatkan pula oleh hadits-hadits Mahdiyyah versi Syi'ah yang berupa fatwa-fatwa para Imam Syi'ah.

Bagi kaum Syi'ah, sekalipun mereka mensejajarkan kehebatan Imam Mahdi dengan kehebatan nabi, namun umumnya mereka secara tegas tidak memandang al-Mahdi sebagai nabi, berbeda dengan golongan Ahmadiyah, khususnya sekte Qadiani, mereka berkeyakinan bahwa al-Mahdi adalah nabi yang tidak mandiri (gair mustaqil). Oleh karena al-Mahdi adalah al-Masih, dan al-Masih adalah nabi yang mengejawantah pada diri Mirza Ghulam Ahmad, maka untuk menguatkan keyakinan ini, mereka menafsirkan kata [kata-kata Arab] dalam surah as-Saf 61:6, sebagai al-Mahdi.

قالما ب ين يدي م ن الت وراة ومبشرا برسول يأتي منب عدي وإذ قال عيسى اب نمريم يا بني إسرائيل إني رسول اللو إليكم مصد اسمو أحمد

"Dan (ingatlah) ketika'Isa ibn Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang diturunkan) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku namanya Ahmad."

Sekte Qadiani berpendapat bahwa dalam ayat ini, nama Ahmad diperuntukkan kepada Mirza Ghulam Ahmad, karena dia sama dengan Nabi Isa a.s., dalam sifat-sifatnya, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sifat dan pola perjuangannya sama dengan Nabi Musa a.s.22) Pendapat ini berbeda dengan pendapat sekte Lahore, bahwa nama Ahmad dalam ayat tersebut, adalah untuk diri Nabi Muhammad, sesuai dengan tafsiran para sahabat dan tafsiran Mirza Ghulam Ahrnad sendiri.23) Selanjutnya tentang hadits-hadits yang mereka pergunakan sebagai dalil untuk menguatkan pendirian mereka, umumnya adalah hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab Sunan sebagaimana yang digunakan oleh kaum Sunni. Sekalipun demikian, mereka tidak

Page 57: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 57

memakai hadits-hadits Mahdiyyah Ahmadiyah, tidak bisa menerima al-Mahdi keturunan Arab. Akan tetapi, yang mereka yakini adalah Mahdi keturunan Persia dan tidak ada hubungannya dengan Ahlul-Bait.

Barangkali perlu ditambahkan bahwa kedudukan al-Mahdi dalam pandangan Syi'ah, lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa al-Masih yang diturunkan kembali ke dunia, dimana al-Mahdi tampil sebagai imam salat, sedangkan al-Masih sebagai ma'mumnya, mengakui semua imam-imam Syi'ah, dan mengingkari al-Mahdi, demikian menurut keyakinan mereka, ibarat orang yang mengakui semua nabi dan mengingkari Nabi Muhammad.24) C. CORAK KEMAHDIAN SYI'AH DAN AHMADIYAH

Adapun corak kemahdian Syi'ah atau Ahmadiyah, kiranya dapat dilihat dari aspek, bagaimana kedua aliran tersebut merealisasikan ide kemahdian masing-masing. Sebagaimana diketahui bahwa ide kemahdian Syi'ah lebih bersifat politis. Ini memang dapat dimaklumi, karena kaum Syi'ah sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya selalu mendapat tekanan dan intimidasi dari lawan-lawan politiknya. Sehingga keinginan balas dendam tampak lebih mewamai ide kemahdiannya, dan mendorong aliran ini menjadi gerakan bawah tanah yang agresif untuk merebut pemerintahan. Karena itu, figur al-Mahdi yang mereka dambakan dijulukinya dengan sebutan al-Qa'im. Selanjutnya al-Mahdi dilambangkan sebagai penguasa tunggal di dunia Islam.

Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah yang masih berkembang di Iran sampai saat ini, lebih banyak dipengaruhi oleh unsur kedengkian dan dendam bangsa Iran terhadap bangsa Arab, sehingga kehadiran al-Mahdi al-Muntazar melambangkan kekuasaan otoriter. Dan sebagai penguasa, al-Mahdi akan membantai semua orang Arab Quraisy, demikian menurut riwayat ahli-ahli hadits Syi'ah.25) Gambaran kepemimpinan Mahdiisme Syi'ah Dua belas, barangkali dapat dikatakan sebagai yang tercermin pada kepemimpinan Ayatullah Khumaini dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.

Selanjutnya kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa al-Mahdi akan membangkitkan mereka (musuh-musuh) yang telah mati demikian pula dengan sahabat-sahabat Nabi untuk diadili dan dibunuhnya. Ditambahkan pula bahwa al-Mahdi membawa kitab baru dan mengajak manusia kepada perkara baru, sebagaimana riwayat al-Majlisi yang menjelaskan bahwa al-Mahdi akan menempuh cara baru sebagai yang ditempuh oleh Rasulullah. Yaitu dia akan menghancurkan apa (tatanan) yang telah ada sebelumnya (yang telah rusak) dan digantikan dengan ajaran baru yang dibawanya.

Berbeda dengan corak kemahdian Ahmadiyah, yang di dalamnya, al-Mahdi tidak dipandang sebagai al-Qa'im tetapi sebagai Hakim Pengislah atau sebagai "Juru Damai." Menurut keyakinan aliran ini, al-Mahdi mempunyai tugas untuk mempersatukan kembali perpecahan ummat Islam, baik di bidang akidah maupun syariah. Sehingga mereka bersatu kembali sebagaimana di zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Selain itu, al-Mahdi ingin menyatukan semua agama, terutama agama Nasrani dan Hindu, melebur ke dalam agama Islam. Gerakan Mahdiisme yang bermotif tajdid atau pembaharuan ini, beranggapan bahwa kehadiran al-Masih yang Islami, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, pada

Page 58: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 58

saat yang tepat. Yakni kondisi ummat Islam saat itu terpecah belah, bersikap taqlid buta pada pendapat ulama, suka menjelek-jelekkan golongan lain, dan para ulamanya mementingkan keduniaan.

Kondisi ummat yang demikian, menurut paham Mahdi Ahmadiyah ini, diperlukan adanya wahyu muhaddas oleh seorang Mujaddid guna membersihkan agama dari berbagai bentuk kebid'ahan dan penyelewengan. Kedua, agar dapat menangkap makna al-Quran dan menafsirkannya sesuai dengan perkembangan zamannya.

Ketiga, guna memberi contoh cara-cara hidup Muslim yang sejati, dan cara-cara memperjuangkan Islam yang relevan dengan tuntutan masanya. Oleh sebab itu, gerakan Mahdiisme Ahmadiyah dalam merealisasikan ide kemahdiannya, menuju pada tujuan yang dicita-citakan adalah dengan jalan damai tanpa kekerasan. Cara ini menurut mereka, adalah cocok dengan sifat dan cara yang ditempuh oleh 'Isa al-Masih dalam menyampaikan dakwahnya kepada Bani Israil. Menurut paham aliran ini, menyebarkan kebenaran Islam dan paham kemahdiannya dengan menggunakan argumen-argumen rasional dan fakta-fakta sejarah yang obyektif, bila dibandingkan dengan cara-cara kekerasan dan berperang atau jihad asgar, cara terakhir ini, dianggap tidak sesuai dengan sifat Islam itu sendiri, yang merupakan rahmatan lil-Alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Dengan demikian, corak kemahdian Syi'ah pada umumnya adalah aktif yang agresif dan bersifat politiko-religious, sedangkan corak kemahdian Ahmadiyah adalah aktif yang defensif dan bersifat sosio-religious.

D. PAHAM MAHDI DAN MASALAH AKIDAH

Sebagaimana diketahui dalam uraian di atas, paham Mahdi atau Mahdiisme bagi golongan Syi'ah maupun Ahmadiyah, dipandang sebagai keyakinan yang prinsip, sehingga ia merupakan ajaran yang harus dipertahankan dan diperjuangkan keberadaannya. Akan tetapi, apabila paham ini dikaitkan dengan akidah Islam, maka ia bukan merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini dan diikuti oleh setiap Muslim. Oleh karena paham ini tidak ada hubungannya serta tidak ada dasarnya dalam al-Quran atau dasar otentiknya.

Gerakan millenarium atau gerakan messiah yang diwarnai dengan [kata-kata Arab], yang dikenal oleh masyarakat Islam sebagai gerakan al-Mahdi, pada dasarnya dipengaruhi oleh unsur-unsur ajaran Yahudi dan terutama oleh ajaran Nasrani. Gerakan yang serupa, yang pernah juga terjadi di luar kelompok Islam seperti: Gerakan Mwana Leza, di kalangan masyarakat Ila di Rhodesia Utara, gerakan orang-orang Cina Taiping (1850-1865) yang dimotori oleh Hung Siu-chuan, gerakan millenarium di kalangan masyarakat Munda dan Oraon dari Chota Nagpur di India. Demikian pula gerakan Taborite dari Bohemia, Thomas Munzer dan gerakan Pemerintahan Orang Suci di Munster, membuktikan betapa besarnya pengaruh ajaran Nasrani pada gerakan-gerakan tersebut.26)

Sehubungan dengan masuknya pengaruh ajaran Yahudi maupun Nasrani yang mewarnai gerakan-gerakan yang milleniaristis dan Mesianistis dalam siklus sejarah

Page 59: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 59

ummat manusia, apa lagi dalam hadits-hadits Mahdiyyah yang dijadikan pegangan oleh kaum Syi'ah, redaksinya mirip dengan ucapan Ibn Saba' (sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat) pada halaman 93 di atas. Sedangkan hadits Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Ahmadiyah, seperti pada halaman 50, perawinya menurut penilaian ahli-ahli hadits sendiri adalah lemah, sehingga Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa hadits tersebut adalah da'if mudtarib27) (lemah lagi kacau sanad atau matannya). Dengan demikian, hadits-hadits Mahdiyyah adalah tidak otentik, oleh sebab itu, tidak bisa dijadikan landasan atau dasar dalam masalah akidah. Sementara kaum Mutakallimin (para teolog Muslim) membuat suatu komitmen bahwa dasar akidah haruslah dasar yang qat'i (pasti kebenarannya) seperti ayat alQuran atau hadits mutawatir.

'Akidah Mahdiyyah yang muncul di kalangan Syi'ah Kaisaniyah, sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyah wafat, untuk pertama kalinya sampai dewasa ini, rupanya merupakan salah satu sumber utama lahirnya bid'ah 'aqidah. Sebagaimana dimaklumi, akidah Mahdiyyah bagi kaum Syl'ah, tidak bisa lepas hubungannya dengan masalah kekhalifahan dan keimaman.

Demikian pula bagi golongan Ahmadiyah, akidah tersebut erat hubungannya dengan masalah kewalian, kemuhaddasan, atau kemujaddidan. Sekalipun demikian, keduanya terdapat kemiripan-kemiripan akidah terutama pada masalah kenabian dan kewahyuan.

Dalam keyakinan Syi'ah, menunjukkan bahwa keberadaan imam sebagai khalifah atau missi kerasulan atau kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, adalah mutlak diperlukan oleh ummat manusia sepanjang zaman. Bagi mereka, seorang imam dipandang sebagai gudang ilmu Tuhan, sebagai penterjemah wahyu-Nya, sebagai hujjah nyata bagi ummat manusia, dan ia juga merupakan cahaya Allah yang menerangi hati mereka. Karena itu, scorang imam juga memperoleh wahyu dari Tuhan. Golongan ini -khususnya Syi'ah Isna 'Asyariyyah- juga mempunyai paham bahwa kenabian itu tidak terhenti sampai pada Nabi Muhammad saja, tetapi kenabian itu tetap berlangsung pada 'Ali dan keturunannya. Hanya saja status kenabiannya tidak dinyatakan secara eksplisitt dan sebagai ganti istilah kenabian itu, mereka gunakan term-term al-Wasi, al-Mahdi, atau al-Imam.

Paham seperti ini, demikian Ihsan Ilahi Zahir menjelaskan, adalah diserap dari pemikiran Yahudi yang memandang Yusa' ibn Nun sebagai penerima wasiat atau kekhalifahan dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam guna mempertahankan kejayaan Islam dan ummat Islam.28)

Paham Syi'ah ini senada dengan paham Ahmadiyah terutama sekali dari sekte Qadian yang secara tegas memandang Mirza sebagai nabi dengan menggunakan istilah Nabi Gair Mustaqil atau Gair Tasyri'i. Berbeda dengan sekte Lahore yang lebih moderat dan lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, dalam rumusan akidahnya, mereka menunjukkan bahwa sekte ini berkeyakinan, tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad dan diakuinya bahwa kepercayaan mereka terhadap Mirza, hanya sebagai Mujaddid. Dan kepercayaan terhadapnya pun tidak termasuk rukun iman, dan kepada Muslim lain yang tidak mempercayainya, juga tidak dianggap kafir. Dia (al-Mahdi al-Ma'hud) adalah

Page 60: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 60

Mujaddid, Wali Allah, atau sebagai Muhaddas. Namun demikian, sekte terakhir ini masih menyebutnya sebagai Nabi Gair Tasyri'i atau Gair Haqiqi, selain itu, mereka juga masih menggunakan term wahyu taydid, wahyu walayah, atau wahyu muhaddas.

Apabilia dalam paham Mahdi Syi'ah yang didasarkan pada 'aqidah ar-raj'ah, melahirkan teori tentang Mandataris Imam, maka dalam paham Mahdi Ahmadiyah tampaknya bersumber dari teori al-Bab. Selain itu, jika paham Mahdi Syi'ah menunjukkan rasa permusuhan dan kedengkian sesama Muslim, maka dalam paham Ahmadiyah, menunjukkan adanya ide pembaharuan. Oleh sebab itu, aliran ini beralasan bahwa untuk memperoleh konsep pembaharuan diperlukan wahyu yang baru.

Dalam menjalankan syari'at Islam, tampaknya kaum Ahmadiyah tidak jauh berbeda dengan kaum Sunni, terutama dari sekte Lahore, bila dibandingkan dengan kaum Syi'ah. Demikian pula Kitab Sucinya, hadits-hadits serta pendapat ulama yang terhimpun dalam berbagai kitab yang mereka jadikan sebagai dalil, adalah sama dengan cara-cara yang biasa digunakan oleh kaum Sunni. Hanya saja, karena perbedaan latar belakang akidah yang kecil saja, yaitu tentang pemahaman term kenabian dan kewahyuan semata, mengapa mereka harus dipandang sebagai non-Muslim? Sedangkan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan terutama dari sekte Isma'iliyyah, seperti kelompok Druz yang masih ada sampai sekarang tetap diakui sebagai kelompok Muslim, padahal tradisi mereka jauh berbeda dengan tradisi kaum Sunni.

Dari keterangan di atas, apabila kita kaitkan dengan Amandemen Konstitusi Pakistan 1973 nomor 2, demikian pula jika dikaitkan dengan Keputusan Muktamar Alam Islami yang tidak mengakuinya aliran Almadiyah -sebagai kelompok Muslim seperti yang lain, maka penulis berkesimpulan bahwa keputusan yang demikian itu lebih bersifat politis dan emosional. Tidak mustahil vonis yang dijatuhkan kepada golongan Ahmadiyah ini, berlatar belakang pada peristiwa yang pernah terjadi di awal kemunculan aliran ini, yang diwarnai oleh kekerasan antara golongan Sunni dengan golongan Ahmadiyah. Dan diantara tokoh Sunni yang paling keras menentang keberadaan aliran tersebut adalah Syaikh Abul-A'la al-Maududi, namun yang ditentangnya adalah golongan Ahmadiyah Qadiani, seperti dalam bukunya [kata-kata Arab].

PAHAM KEWAHYUAN MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH

Pada dasarnya spiritual manusia menghendaki petunjuk yang dapat memenuhi tuntutan batiniahnya. Tuntutan tersebut tidak lain adalah berupa ide-ide eskatologis yang transendental, yang tidak mungkin dipecahkan secara rasional. Tentunya pemecahan kebutuhan tersebut haruslah melalui berita-berita langit yang dikenal sebagai wahyu. Dalam kaitan ini, G. G.Anawati, seorang spesialis terkenal dalam bidang pemikiran Islam, dari Kairo menjelaskan:

Pada hakikatnya agama itu terdiri dari wahyu dan tafsirnya. Wahyu adalah pasti dan tetap, karena ia merupakan pernyataan kehendak Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak. Sedangkan tafsir yang merupakan tanggapan nurani manusia terhadap wahyu. Berabad-abad wahyu bertahan tanpa mengalami perubahan sedikit pun, sedangkan tafsir

Page 61: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 61

dalam perjalanan masa sering mendapat tekanan baik dari luar maupun dari dalam, dan pada setiap tahapan sejarah memberikan cirinya pada masyarakat.1)

Dalam al-Quran, memang banyak digunakan kata "wahyu" dalam bentuk kata benda atau dalam bentuk kata kerja untuk berbagai pernyataan. Apabila term wahyu ini dikembalikan kepada pengertian teologi Islam, tentunya dapat diambil dua pengertian dasar yaitu: Wahyu Syari'ah dan wahyu bukan Syari'ah atau identik dengan istilah ilham. Pengertian wahyu yang kedua inilah sering oleh sementara kelompok dalam Islam menganggapnya sebagai wahyu yang masih tetap akan turun, walau sepeninggal Nabi Muhammad. Anggapan tersebut tidak hanya sampai di situ saja, akan tetapi, mereka memfungsikan ilham tersebut dan meyakininya sebagai wahyu Syari'ah.

A. AL-QURAN DAN PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM

Mayoritas ummat Islam sepakat bahwa wahyu Syari'ah yang diturunkan oleh Tuhan hanya untuk para rasul, agar diajarkan kepada ummat mereka masing-masing. Apabila kerasulan itu sudah diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka tentunya setiap Muslim harus yakin bahwa wahyu Syari'ah itu tidak akan turun lagi. Dan yang bisa berkembang bukanlah wahyu itu, tetapi interpretasi atau tafsirnya, wahyu yang masih bersifat global itu perlu ditafsirkan dan diaktualisasikan penafsirannya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Mengenai al-Quran, ummat Islam pada prinsipnya menerima Kitab Suci tersebut untuk dijadikan pedoman dan rujukan dalam pelbagai persoalan keagamaan dan ilmu pengetahuan dan disamping itu, ia diyakini sebagai yang memiliki nilai kebenaran normatif mutlak, sedangkan hadits Nabi, menduduki ranking kedua sesudah al-Quran. Golongan Sunni yang merupakan mayoritas ummat Islam, telah menerima konsensus para sahabat di zaman Khalifah Usman, yang telah berhasil mendewakan kembali al -Quran dalam bentuk yang seragam yang dikenal dengan Mushaf al-Quran. Mushaf ini, dijadikan standar bagi penulisan al-Quran selanjutnya, sesudah ummat Islam dihadapkan pada tantangan besar yang akan membawa mereka pada perpecahan karena persengketaan mengenai Kitab Sucinya, sebagai yang dialami oleh ummat-ummat sebelum Islam.

Barangkali perlu dipahami, bahwa sebelum pekerjaan besar tersebut dimulai oleh Khalifah 'Usman, pada umumnya para sahabat Nabi telah memiliki mushaf yang mereka tulis sendiri. Kadang-kadang pada mushaf mereka itu banyak dijumpai kalimat dalam ayat-ayat tertentu terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya. Seperti mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf Ibn Mas'ud, mushaf Ibn 'Abbas, dan lain sebagainya. Dr. Subhi Salih menjelaskan dalam kitabnya, Mabahis fi 'Ulumil-Quran, bahwa Ibn Mas'ud adalah salah seorang sahabat yang paling segan membakar mushaf pribadinya, sesudah Mushaf 'Usmani diterima sebagai mushaf standar oleh ummat Islam saat itu, sampai Allah mengilhamkan kepadanya untuk kembali kepada pendapat 'Usman yang hakikatnya merupakan pendapat ummat, di mana Mushaf standar tersebut, ditulis oleh sebuah team ahli yang ditunjuk oleh Khalifah dapat memperkokoh persatuan dan melenyapkan sebab-sebab perselisihan.2) Untuk itu, terlebih dahulu akan dibahas mengenai:

Page 62: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 62

1. AL-QURAN SEBAGAI MUJIZAT NABI MUHAMMAD

Al-Quran sebagai firman atau wahyu Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat Jibril. Kata "wahyu" adalah kata benda, dan bentuk kata kerjanya adalah auha-yuhi, arti kata wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.3) Selanjutnya dijelaskan bahwa pengertian wahyu sebagai ilham, banyak dipakai dalam al-Qur-an dengan berbagai ungkapan seperti contoh-contoh di bawah ini:

a. Kata "wahyu" dapat bermakna ilham secara fitri atau kodrati, sebagaimana Allah mengilhamkan kepada Nabi Musa a.s., sebagaimana juga Allah mengilhamkan kepada kaum Hawari, lihat QS. al-Qasas 28:7; dan QS. Al-Ma'idah 5:111.

b. Kata "wahyu" bermakna ilham yang bersifat instinktif untuk binatang, sebagaimana Allah mengilhamkan kepada sejenis lebah, lihat QS. an-Nahl 16:68.

c. Juga bisa bermakna perintah Allah kepada Malaikat Jibril, untuk mengerjakan perintah itu dengan cepat seperti dalam firman-Nya QS. al-Anfal 8:12, dan QS. an-Najm 53:10.

d. Arti wahyu bisa berupa isyarat cepat atau dengan jalan memberi tanda disertai dengan isyarat seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Zakariyya kepada kaumnya, lihat QS. Maryam 19:11.

e. Bisa berarti pula ilham syaitan yang berupa perintah melakukan tipu daya, atau untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah atau agama, seperti dalam firman Allah QS. al-An'am 6:112, 121.4)

Demikian arti kata wahyu yang dipergunakan dalam berbagai risalah yang berupa syari'at, seperti yang biasa kita pahami selama ini, juga memiliki arti yang lain sebagaimana yang dijelaskan diatas. Dalam hubungan ini, Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa pengertian wahyu dalam istilah mesti berbeda dengan ilham. Wahyu, demikian Muhammad 'Abduh, adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari hadapan Allah, baik dengan perantara maupun tidak, baik dengan suara atau tidak, tetapi ia yakin bahwa ia (wahyu) itu datang dari Allah. Berbeda dengan ilham, yaitu perasaan yang diyakini oleh jiwa yang menggerakkannya kepada sesuatu yang dicari, tanpa disadari dari mana datangnya.5) Tentunya Muhammad 'Abduh, sepaham dengan golongan Sunni, bahwa wahyu sebagai yang dimaksudkan diatas, tidak akan turun lagi sesudah Nabi Muhammad wafat.

Penjelasan diatas, secara tegas menunjukkan kepada kita, bahwa pengertian wahyu haruslah dibedakan dengan pengertian ilham, demikian umumnya paham kewahyuan kaum Sunni. Bagi mereka, wahyu itu, hanya untuk para nabi dan rasul Allah, dan tidak mungkin lagi turun sesudah Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dan untuk manusia biasa, hanyalah diberi ilham atau kasysyaf dalam teori kaum Sufi, dimana seseorang, apabila dia telah mencapai kebersihan jiwa, maka dia dapat melihat apa yang tak terlihat oleh orang biasa. Oleh sebab itu, kiranya dapat disimpulkan bahwa ilham atau kasysyaf, tidak sampai ke derajat wahyu atau ke tingkat kenabian. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran guna memimpin ummat, tidak diperlukan lagi wahyu

Page 63: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 63

sebagaimana paham Syi'ah dan Ahmadiyah. Sebab Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, QS al-Qiyamah 75:19. "Kemudian menjadi kewajiban Kami (menerangkan) penjelasannya." Maksudnya, jika al-Quran itu dibaca dengan sungguh-sungguh dan direnungkan maknanya, maka Allah akan mengilhamkan maksud ayat yang dibacanya itu, sekiranya Allah menghendakinya.

Adapun kemukjizatan al-Quran, para ahli teologi Islam sepakat bahwa al-Quran adalah merupakan mukjizat yang paling besar dan abadi bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sebab terbukti sampai hari ini belum ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan al-Quran baik secara keseluruhan maupun hanya sepuluh surah, bahkan diturunkan menjadi satu surah saja. Dengan demikian, kenyataan seperti itu membuktikan akan kebenaran risalah dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.

Memang al-Quran disamping susunan ayat-ayatnya yang puitis, gaya bahasa dan paramasastranya yang tinggi, juga ungkapan kalimatnya yang padat dan berisi yang mengungkapkan berbagai informasi bagi ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku atas semua ciptaan-Nya. Kenyataan yang demikian ini, tidak mungkin bisa dicipta oleh manusia yang ummi (tidak mengenal tulis-baca) sebagai yang dialami oleh Rasulullah.

Dalam kaitan kemukjizatan ini, an-Nazzam, seorang tokoh Muktazilah, sebagaimana pula halnya al-Murtada dari golongan Syi'ah sependapat, bahwa kemukjizatan al-Quran itu adalah bis-Sarfah. Arti sarfah disini menurut an-Nazzam yaitu Allahtelah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang al-Quran sekalipun mereka mampu melakukannya. Dan sarfah ini terjadi secara luar biasa. Akan tetapi, sarfah dalam pengertian al-Murtada adalah Allah telah mencabut pengetahuan mereka untuk menentang al-Quran dengan mendatangkan al-Quran tandingan.6) Tampaknya pendapat diatas, oleh sementara pakar Muslim ditolak, sedangkan argumen sarfah tersebut tertolak pula oleh pemyataan al-Quran S. al-Isra' 17:88, yaitu bahwa yang ditentang itu adalah untuk mencipta karya semisal al-Quran, tidak hanya pada bangsa manusia saja, tetapi juga dari bangsa jin, sekalipun mereka harus bekerja sama dalam menjawab tantangan itu.

2. PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM

Pada dasarnya paham kewahyuan ummat Islam adalah senada, baik dari golongan Khawarij, Murji'ah, Syi'ah Zaidiyyah, Muktazilah, Ahlu Sunnah, dan golongan al -Maturidiyyah, selain Syi'ah Imamiyah dan sekte-sekte Syi'ah lainnya yang ekstrem, disamping aliran Ahmadiyah. Tentunya kita ingin bertanya mengapa di kalangan ummat Islam sampai terjadi demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dicari faktor-faktor penyebabnya, motivasi-motivasi yang tersembunyi, dan situasi intern ummat Islam sendiri pada saat itu.

Barangkali perlu dijelaskan disini, bahwa sebelum adanya usaha penulisan al-Quran kembali dalam bentuk seragam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah 'Usman ibn 'Aff'an, sehingga muncullah Mushaf al-Quran yang diakui dan diterima oleh ummat Islam dan dijadikan sebagai mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, memang harus diakui adanya beberapa mushaf yang ditulis oleh beberapa orang sahabat Nabi,

Page 64: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 64

yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti mushaf 'Umar ibn Khattab, mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf 'A'isyah, Hafsah, mushaf 'Abdullah ibn 'Abbas, dan Ibn Mas'ud, dan lain sebagainya Sebagai ilustrasi adanya perbedaan-perbedaan dalam mushaf-mushaf tersebut, dengan mushaf 'Usmani, adalah sebagai berikut. Coba bandingkan antara mushaf yang kita miliki sekarang dengan mushaf-mushaf lainnya seperti pada mushaf 'Umar terdapat kalimat:

Pada mushaf 'A'isyah terdapat kalimat:

Dan pada mushaf 'Abdullah ibn Masud, seperti:

Dalam perbedaan-perbedaan tersebut diatas, tampaknya mushaf Ibn Mas'ud, lebih banyak daripada mushaf-mushaf sahabat yang lain, apabila dibandingkan dengan teks al-Quran yang kita miliki sekarang yaitu mushaf-mushaf 'Usmani, demikian Sya'ban.7)

Oleh sebab itu, di kala mushaf-mushaf sahabat itu dikumpulkan untuk dimusnahkan oleh Khalifah 'Usman, agar nantinya tidak menimbulkan ketegangan dan permusuhan intern ummat Islam, sesudah Mushaf 'Usmani yang disepakati sebagai mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, maka yang paling keras reaksinya terhadap rencana Khalifah tersebut adalah Ibn Mas'ud, dan ia enggan membakar mushaf pribadinya. Seandainya 'Abdullah ibn Mas'ud tersebut, tetap mempertahankan pendiriannya, tentu ia merupakan kendala utama bagi terwujudnya kesatuan ummat Islam.

B. PAHAM KEWAHYUAN KAUM SYI'AH

Kaum Syi'ah yang dimaksud disini adalah lebih dikhususkan kepada golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Mengingat aliran ini, sangat besar pengaruhnya dan tampak mau berkembang di Indonesia, Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini sekarang berpusat di Iran, dengan keberhasilan mereka mendirikan negara Republik Islam Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini, sesudah ia dapat merebut kekuasaan Sah Iran, Riza Pahlevi pada 11 Februari 1979.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa saat terbentuknya paham Syi'ah, tampak lebih banyak ditentukan oleh masalah politik. Kekalahan yang bertubi-tubi, banyak imam-imam mereka yang menjadi korban kekerasan politik dinasti Umayyah, dan gerakan-gerakan perlawanan mereka dapat ditumpas. Dalam kondisi yang demikian itulah golongan ini menjadi antipati terhadap Bani Umayyah yang pada hakikatnya mereka dipandang sebagai golongan Sunni. Di sisi lain, juga berakibat timbulnya sikap yang eksklusivistik pada aliran Syi'ah ini, dan sikap seperti ini, tampak sangat menonjol dalam doktrin-doktrinnya yang kontroversial.

1. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KEIMAMAN

Paham kewahyuan Syi'ah, rupanya tidak bisa terlepas dari masalah keimaman, Keimaman bagi mereka merupakan sesuatu yang paling fundamental dalam ajaran Syi'ah, karena itu, status keimaman bagi kaum Syi'ah tidak jauh berbeda dengan status kenabian. Setiap imam Syi'ah, dalam hal ini adalah Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dipandang ma'sum yakni terjaga atau suci dari dosa. Para imam itu, bagi kaum Syi'ah selalu diyakini sebagai tokoh yang

Page 65: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 65

senantiasa mendapat bimbingan wahyu dari Tuhan, sebagaimana halnya dengan Syi'ah yang gullah atau ekstrem, seperti Syi'ah Mufaddiliyyah, Syi'ah al-Qariyyah yang beranggapan bahwa wahyu dan nabi itu tidak pernah terhenti sampai hari kiamat. Menurut aliran al-Mufaddiliyyah, apabila sifat ketuhanan telah menyatu dalam diri seseorang, maka dia adalah nabi, namun jika ia menyeru kepada manusia untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya, maka dia adalah rasul. Akan tetapi, bagi golongan al-Qariyyah beranggapan, bahwa orang yang belum mencapai derajat insan Kamil (manusia sempurna), kadang-kadang ia dapat juga menerima wahyu, yaitu wahyu ta'lim (wahyu pengajaran).8) Konsep wahyu ta'lim ini senada dengan konsep kewahyuan golongan Ahmadiyah yang dikenal dengan wakyu muhaddas, wahyu walayah atau wahyu tajdid yaitu wahyu yang diperoleh secara berdialog dengan Tuhan, wahyu kewalian atau wahyu pembaharuan.

2. HUBUNGANNYA DENGAN SIKAP SYI'AH YANG EKSKLUSIVISTIK

Sikap seperti ini boleh jadi karena kaum Syi'ah selalu mengkultuskan para imam mereka. Sikap merasa benar sendiri tersebut rupanya didorong keinginan hak-hak legitimasi kekhilafahan. Karena itulah kaum Syi'ah tidak segan-segan menuduh kaum Sunni, suka memanipulasikan hadits-hadits dan ayat-ayat al-Quran yang menyangkut kepentingan Ahlul-Bait Nabi, maksudnya adalah 'Ali ibn Abi Talib. Sangat boleh jadi sikap yang eksklusivistik tersebut bermula dari rasa fanatisme kelompok. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kebenaran dari pihak lain, dan tentunya mereka akan mempertahankan paham mereka sekalipun keliru atau menyimpang dari prinsip-prinsip keislaman. Selain itu, mereka juga memakai dalil-dalil atau bukti-bukti baik rasional maupun tekstual yang mungkin sulit diterima oleh pihak lain.

Dalam hubungan ini, sikap antipati kaum Syi'ah terhadap golongan Bani Umayyah yang semula berpangkal pada masalah khilafah, namun kemudian berkembang pada masalah-masalah lain diluar masalah politik. Sebagai akibat praktis dari sikap yang bermusuhan tadi, kaum Syi'ah yang datang kemudian, tidak mau lagi mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Ketiga Khalifah tersebut dalam pandangan kaum Syi'ah dianggap sebagai penyerobot-penyerobot hak-hak Ahlul-Bait, yaitu hak 'Ali untuk menjadi Khalifah pertama. Oleh sebab itu, usaha penulisan kembali al -Quran dimasa Abu Bakr kemudian disempurnakan penulisannya kembali dalam bentuknya yang seragam oleh Khalifah 'Usman, dan hasilnya telah diterima dan diakui oleh suluruh ummat Islam, demikian pula telah diakui juga oleh 'Ali ibn Abi Talib, namun bagi pengikut Syi'ah tetap tidak mau menerima dan mengakui sebagai mushaf satu-satunya yang harus diyakini keotentikannya. Penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini rupanya merupakan bukti nyata dari rencana global Ibn Saba' yang berpura-pura memihak 'Ali ibn Abi Talib, untuk meruntuhkan kejayaan Islam dari dalam dengan memecah-belah ummat Islam dan dengan meracuni akidah mereka.

Penolakan kaum Syi'ah diatas, berbeda dengan sikap 'Ali sendiri yang mengakui dan memuji akan kebenaran dan kemuliaan usaha 'Usman dalam mengantisipasi perpecahan diantara ummat Islam dengan mengatakan: "Seandainya aku yang menjadi khalifah, tentu akan aku lakukan sebagaimana yang dilakukan Usman.9) Yaitu mengadakan penulisan kembali al-Quran dalam bentuk yang seragam sebagai yang telah

Page 66: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 66

diupayakan oleh Khalifah Ketiga. Dengan demikian, penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani tampak lebih diorientasikan pada kepentingan politik mereka terhadap golongan Sunni. Bahkan mereka, demikian ad-Dihlawi, melemparkan tuduhan-tuduhan kepada tokoh tokoh dan para pemimpin Sunni seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sebagai telah memanipulasi surah-surah dan ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan Ahlul-Bait seperti Surah al-Walayah dan sebagainya.10) Untuk itu, perlu disini disajikan sebuah contoh dari Surah Walayah yang diyakini kaum Syi'ah, bahwa surah itu sengaja dibuang oleh kaum Sunni, karena mereka, demikian tuduhan Syi'ah, menganggap surah tersebut memuat keutamaan 'Ali ibn Abi Talib. Dalam Kitab Quran versi Syi'ah Persia, Surah Walayah ini dicantumkan, dan dikutip oleh ad-Dihlawi dalam sebuah bukunya yang berjudul: Mukhtasar at-Tuhfah al-Isna 'Asyariyyah halaman 33 adalah sebagai berikut:

Dari kenyataan-kenyataan diatas, dapat diduga bahwa penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini dikarenakan para penulisnya bukan dari "pihak 'Ali ibn Abi Talib." Jika kaum Syi'ah menerima mushaf tersebut, berarti mereka harus mengakui eksistensi kekhilafahan sebelum 'Ali, dan yang demikian itu, bagi Syi'ah berarti kekalahannya dan kemenangan di pihak kaum Sunni. Dan sebagai konsekuensi penolakan tersebut, maka sebagai alternatif terakhir ialah kaum Syi'ah harus berpegang pada mushaf 'Ali ibn Abi Talib, atau yang dikenal dengan "mushaf Fatimah." Kemudian, apakah mereka sudah merasa puas dengan penolakan itu? Tidak, mereka juga membuat kedustaan lain selain pada al-Quran. Al-Kulaini, demikian nama seorang tokoh Syi'ah yang mereka sejajarkan dengan al-Bukhari, dalam meriwayatkan hadits-hadits dari imam-imam Syi'ah sebenarnya hanya rekayasa al-Kulaini sendiri dengan mencatut beberapa nama dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib, dalam meriwayatkan "hadits-hadits" versi Syi'ah, dan ia mengatakan bahwa dirinya telah meriwayatkan (hadits} dari Hisyam ibn Salim dan 'Abdullah: "Sesungguhnya al-Quran yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah 17.000 ayat. Demikian pula hadits yang diriwayatkannya dari Hakam ibn 'Utaibah, ia berkata: 'Ali Zainal Abidin ibn Husain telah membaca sebuah ayat al-Quran yang berbunyi demikian:

"Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus seorang rasul dan nabi tidak pula mengutus seorang muhaddas sebelum kamu Muhammad ..."11)

Selanjutnya ia berkata: "Ali ibn Abi Talib adalah seorang muhaddas." Disini 'Ali, oleh kaum Syi'ah dianggap sebagai seorang yang dapat berdialog langsung dengan Tuhan, karenanya ia mendapat wahyu muhaddas, sebagaimana keyakinan orang Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Jelaslah disini bahwa penggunaan istilah wahyu muhaddas oleh Ahmadiyah, rupanya telah lebih dahulu digunakan oleh golongan Syi'ah. Dengan demikian jelaslah bagi kita, betapa besar pengaruh ajaran Syi'ah ke dalam aliran Ahmadiyah dan pengaruh tersebut tampak lebih dominan terutama dalam masalah kewahyuan dan kenabian. Pengaruh tersebut, sangat boleh jadi lewat ajaran kaum Sufi Syi'ah di daerah dimana Mirza Ghulam Ahmad tinggal atau dibesarkan.

Pemusnahan mushaf-mushaf pribadi di kalangan sahabat Nabi, dan hanya Mushaf 'Usmani saja yang diakui sebagai mushaf standar rupanya mendorong kaum Syi'ah untuk mempertahankan mushaf 'Ali, kemudian mushaf 'Ali tersebut, mereka tambah ayat-

Page 67: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 67

ayatnya menjadi 17.000 ayat. Sesudah itu mereka melemparkan tuduhan terhadap lawan-lawan politiknya Seorang pengarang kitab Faslul-Kitab fi Isbati Kitabi Rabbil-Arbab, yang bernama Husain ibn Muhammad Taqi an-Nuri at-Tabarisi, menuduh para pembesar sahabat seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman, telah mengubah al-Quran dengan menghilangkan sebagian dari surah-surah dan ayat-ayatnya yang berkenaan dengan keutamaan Ahlul Bait, juga mengenai perintah untuk mengikuti Ahlul-Bait, serta larangan memusuhinya. Sebagai yang dicontohkan dalam Surah al-Insyirah, dimana salah satu ayatnya menurut mereka dibuang oleh kaum Sunni, yaitu ayat:

Disamping itu mereka juga berkeyakinan bahwa dalam Mushaf 'Usmani ada surah yang panjang yang dibuang, yang mereka namakan sebagai Surah al-Walayah.12

Paham kewahyuan Syi'ah tersebut menunjukkan kepada kita betapa menyimpangnya pemahaman mereka tentang al-Quran, apabila dibandingkan dengan pemahaman kaum Sunni. Karena sikap mereka yang eksklusif inilah yang mendorong mereka menghalalkan cara-cara yang telah diharamkan oleh Islam, yaitu dengan menambah-nambah ayat atau surah dalam al-Quran, sehingga mereka berpendirian bahwa al-Quran yang sekarang berada di tangan ummat Islam adalah palsu, demikian kaum Syi'ah. Adapun al-Quran yang benar adalah al-Quran yang diambil melalui imam-imam mereka. Selanjutnya ad-Dihlawi menambahkan, golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah melarang pada para pengikutnya, berdalil dengan menggunakan Mushaf 'Usmani sebab menurut pendirian mereka bahwa mushaf tersebut adalah:

1. Kalimat-kalimatnya yang telah diubah atau dihilangkan sebagian surah-surahnya, demikian pula tentang tertib urut sebagian surah-surahnya ("tidak asli lagi").

2. Penulisan Mushaf 'Usmani mereka ibaratkan seperti penulisan Kitab Taurat dan Injil. Karena sebagian penulisnya adalah kaum munafiq dan penipu agama.

3. Bahwa Kitab Taurat dan Injil telah di-nasakh (digantikan) oleh al-Quran. Sedangkan al-Quran yang beredar sekarang banyak sekali yang telah dirusak. Dan tidak seorang pun yang mengerti (keaslian) Kitab al-Quran ini kecuali tiga orang imam Syi'ah. Siapa tiga orang yang dimaksud itu, tampaknya sulit diketahui, sebab sumber itu tidak menyebutkan atau mengisyaratkannya.13)

Demikian pendirian kaum Syi'ah dalam mempertahankan paham kewahyuan mereka dan tampak bertolak belakang dengan paham kaum Sunni.

C. PAHAM KEWAHYUAN AHMADIYAH

Aliran Ahmadiyah yang tampak berkembang dengan subur di Indonesia, pada dasarnya mempunyai beberapa kesamaan dengan paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama paham kewahyuan dari Ahmadiyah Qadiani. Kaum Qadiani lebih ekstrem daripada Ahmadiyah Lahore dalam mempertahankan "ajaran" Mirza Ghulam Ahmad, sedangkan Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat. Kota Qadian adalah tempat dibesarkannya Mirza Ghulam Ahmad, kota tersebut merupakan bagian dari wilayah Punjab - India dan di kawasan India inilah tempat berlangsungnya pertemuan agama-

Page 68: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 68

agama besar - Hindu, Budha, Islam, dan Kristen - yang membawa budaya serta tradisi yang beraneka ragam. Selain itu, ia juga berdampingan dengan Persia yang menjadi pusat kegiatan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Dengan demikian, perkembangan Islam di kawasan ini sudah barang tentu mendapatkan corak tertentu yang penuh inovasi (kebid'ahan) dan pengaruh Syi'ah tentunya cukup dominan lewat para propagandisnya yang berbaju mistik atau tarekat. Sebab dengan mistik dan tarekat inilah ajaran-ajaran agama yang sudah berbau Syi'ah, lebih mudah diserap oleh masyarakat Muslim India.

Apabila kondisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam di India saat itu dikaitkan dengan kehidupan Mirza Ghulam Ahmad, yang tampaknya tidak banyak mengenyam pendidikan di kala mudanya, maka sudah tidak pelak lagi, bahwa Mirza dalam menerima ajaran Islam kurang bahkan tidak selektif -mana Islam yang murni dan mana pula Islam yang ajarannya sudah ternodai berbagai kebid'ahan- sehingga ajaran-ajarannya sulit diterima oleh golongan Sunni sampai hari ini. Sebelum ia diyakini dan dipropagandakan oleh pengikut-pengikut setianya sebagai nabi, rupanya Mirza lebih tampak sebagai pengikut Sunni daripada ia sebagai seorang Syi'i, demikian dalam berbagai pernyataannya untuk menghadapi serangan lawan-lawannya, sesudah ia memproklamasikan dirinya sebagai al-Masih atau al-Mahdi yang dijanjikan.14)

Pengakuannya sebagai 'Isa al-Masih, sedangkan al-Masih. Yang dijanjikan itu adalah seorang nabi, dan seorang nabi dalam menerima ajaran-ajaran dan Tuhan adalah melalui wahyu, maka lantaran pengertian yang terakhir inilah lahir paham kewahyuan dalam Ahmadiyah, yang bertentangan dengan paham kewahyuan golongan Sunni, namun banyak persamaannya dengan paham kewahyuan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.

Adapun faktor-faktor yang membentuk paham kewahyuan golongan Ahmadiyah ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1. HUBUNGANNYA DENGAN IDE PEMBAHARUANNYA

Cita-cita pembaharuan yang dicanangkan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh pendiri aliran baru dalam Islam, yaitu Ahmadiyah, rupanya ingin menyatukan atau menghimpun tiga kekuatan agama besar -Islam, Hindu, dan Nasrani- dibawah pengaruh kepemimpinannya, adalah merupakan masalah besar yang justru akan membawanya kedalam suatu dilema terhadap ide pembaharuannya sendiri. Pengakuannya sebagai penjelmaan dari tiga tokoh karismatik yakni sebagai al-Mahdi, 'Isa al-Masih., dan sebagai Krishna, jelas menunjukkan adanya pengaruh kemahdian Syi'ah lewat hadits-hadits maudu' atau palsu yang dicipta oleh propagandis-propagandisnya atau hadits-hadits da'if (lemah) yang banyak dimuat dalam Kitab-Kitab Sunan.

Dalam kaitan ini, dapatkah Mirza dengan pengakuan kekrishnaannya memurtadkan warga Hindu dari agama mereka, dan dengan kemasihannya, dapatkah Mirza menggoyahkan keimanan kaum Nasrani saat itu? Dan dengan pengakuannya sebagai al-Mahdi yang menerima wahyu, justru menimbulkan pertentangan pendapat intern ummat Islam yang membawa pada perpecahan yang dirasakan sampai saat ini. Kaum Ahmadiyah berpendirian bahwa nabi dan wahyu itu masih tetap akan turun sampai kapan pun, karena keduanya sangat diperlukan oleh ummat manusia sepanjang zaman.

Page 69: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 69

Pengertian wahyu seperti ini memang diperlukan untuk menafsirkan wahyu tasyri' yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad, guna memperoleh pemahaman yang aktual seirama dengan tuntutan zamannya. Pemahaman seperti ini, tidak jauh berbeda dengan pemahaman kaum Syi'ah. Menurut golongan terakhir ini, bahwa seorang imam bagi mereka ibarat mandataris Nabi Mulhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang harus menuntun dan melindungi ummatnya, untuk itu diperlukan petunjuk langsung dari Tuhan yaitu apa yang mereka namakan sebagai wahyu, lihat kembali pada halaman 115 di atas.

Dugaan sementara orang, bahwa wahyu itu benar-benar sudah terhenti sesudah Nabi Muhammad, demikian Nazir Ahmad seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, dan Allah tidak berfirman lagi kepada manusia, anggapan seperti itu adalah salah sama sekali. Karena wahyu adalah sesuatu yang dapat menghilangkan keragu-raguan, menambah pengetahuan, dan menyembuhkan hati yang luka. Oleh sebab itu, wahyu tidak dikhususkan kepada nabi saja, dan kadang-kadang Allah berfirman kepada selain nabi, sebagaimana dalam firman-Nya, QS. asy-Syura 42:51

وما كان لبشر أن يكلمو اللو إل وحيا أو من وراء حجاب

"Dan tiadalah Allah berfirman kepada manusia kecuali dengan (perantaraan) wahyu atau dari balik hijab (tabir pemisah antara alam fisik dengan alam gaib)."

Kata libasyarin dalam ayat diatas, Nazir Ahmad menafsirkannya sebagai manusia apakah dia seorang nabi atau bukan, sebagaimana wahyu yang diterima oleh ibu Nabi Musa, kaum Khawari, dan Maryam, ibu Nabi 'Isa.15)

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kata wahyu dalam al-Quran, banyak dipakai dalam berbagai ungkapan dan tidak selalu diartikan sebagai firman Allah kepada para rasul atau nabi, tetapi digunakan untuk pengertian yang lain seperti: ilham, memberi isyarat dan lain sebagainya. Sebab, kalau setiap kata wahyu selalu diartikan sebagai firman Tuhan kepada nabi dan rasul, maka di dalam al-Quran juga ada ayat sepertidalam Surah al-An'am: 121, yang apabila diartikan seperti pengertian diatas, maka pengertiannya jauh sama sekali dari maksud yang sebenarnya. Disinilah tampak beberapa kelemahan argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut Ahmadiyah. Demikian pula ayat atau hadits-hadits yang dijadikan dalil tampak kurang logis, karena diinterpretasikan sesuai dengan keyakinan mereka.

Dari uraian diatas, jelas bagi kita bahwa ide pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad, tidak bisa terlepas dari masalah kewahyuan, sekalipun wahyu yang diterimanya itu berbeda dengan wahyu yang diterima oleh Rasulullah. Namun demikian, ide pembaharuan yang direalisasikannya adalah merupakan faktor pendorong lahirnya paham kewahyuan baru yang kontroversial.

2. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KENABIANNYA

Doktrin kenabian dalam Ahmadiyah rupanya sulit dipisahkan dengan paham kewahyuannya. Jika paham kenabian Syi'ah Isna 'Asyariyyah bermula dari masalah keimaman, maka paham kenabian Ahmadiyah terfokus pada masalah kemasihan yang

Page 70: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 70

dijanjikan. Sebagaimana dijelaskan dimuka, paham kenabian Ahmadiyah memang memberi pengertian baru yang senada dengan paham Syi'ah yaitu bahwa nabi itu akan terus diutus oleh Tuhan tanpa batas waktu. Akan tetapi, agaknya berbeda mengenai tugas kenabiannya. Terutama tugas kenabian Mirza Ghulam Ahmad disamping sebagai Hakim Pengislah (juru damai), dia juga bertugas untuk membunuh Dajjal. Sebab Nabi 'Isa yang dahulu pernah diutus oleh Tuhan kepada Bani Israil, telah wafat secara alami, sebagai yang dinyatakan dalam sebuah karyanya:

"... Dan di antara kunci pengajaran dan pemberian pemaharnanNya, bahwa al-Masih ibn Maryam benar-benar telah wafat secara alami sebagaimana halnya saudara-saudaranya kaum Muslimin. Dan Allah telah memberi kabar gembira kepadaku dan telah berfirman: "Sesungguhnya al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang berbahagia yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan, dia adalah engkau." Kami (Allah) berbuat apa yang Kami kehendaki, maka janganlah engkau membuat kedustaan. Dan (Tuhan) berfirman pula: "Sungguh Kami telah menjadikan kamu sebagai al-Masih ibn Maryam ..."16)

Informasi tentang wafatnya 'Isa ibn Maryam secara wajar memang dapat diterima secara rasional. Informasi seperti ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang diyakini oleh pengikut golongan 'Asyariyyah yang beranggapan bahwa 'Isa al-Masih itu masih hidup hingga sekarang, dan dia akan turun lagi menjelang hari Kiamat untuk membunuh Dajjal. Keyakinan seperti ini, tampaknya dilandasi oleh paham Masyi'atullah (kehendak mutlak Tuhan) diluar jangkauan akal manusia. Akan tetapi, jika kepercayaan tersebut dikembalikan pada komitmen ahli-ahli teologi Islam, bahwa keyakinan itu harus didasarkan pada al-Quran dan hadits mutawatir yakni hadits yang memfaedahkan yakin maka tidaklah menjadi kafir bagi orang yang mengingkari pendapat Asyariyyah tersebut. Sebab dasar atau dalil untuk meyakini bahwa 'Isa al-Masih itu masih hidup dan akan turun kembali ke dunia untuk membunuh Dajjal, hanyalah hadits sahih yang memfaedahkan zhan atau dugaan. Oleh sebab itu, keyakinan tentang masih hidup atau sudah wafatnya 'Isa al-Masih bukanlah rukun iman, dan karenanya tidak perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan bisa membawa perpecahan ummat Islam.

Adapun pegangan dasar kaum Ahmadiyah adalah al-Qur-an, Mushaf 'Usmani - hadits Bukhari dan Muslim, serta kitab-kitab hadits lainnya, disamping ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri. Pengakuan sebagai mujaddid (pembaharu) kemudian pengakuan Mirza sebagai 'Isa, disamping pengakuannya dapat berdialog langsung dengan Tuhan adalah merupakan faktor penyebab lahirnya paham kenabian Ahmadiyah. Mujaddid dalam pengertian Mirza, bukan diangkat oleh manusia, tetapi harus diangkat oleh Tuhan sebagaimana dalam pernyataannya:

"Hai kaumku! Sesungguhnya (ajaranku) itu dari Allah, sungguh (ajaranku) itu dari Allah, sungguh (ajaranku) itu dari Allah. Dan aku bersaksi kepada Tuhanku, bahwa sesungguhnya (ajaranku) dari Allah. Aku beriman kepada-Nya, dan kepada Kitab-Nya al-Furqan, serta kepada apa yang telah ditetapkan pada (Nabi Muhammad) penghulu manusia dan jin. Sungguh aku telah diutus (oleh Allah) pada abad ini untuk mengadakan pembaharuan pada agama dan menyinarkan wajah agama itu. Dan atas yang demikian itu, Allahlah saksinya, dan Allah pun mengetahui siapa yang celaka dan siapa yang bahagia."17)

Page 71: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 71

Penyataan Mirza diatas, oleh Ahmadiyah Qadiani dianggap sebagai wahyu, dan diyakininya sebagai meyakini al-Quran atau hadits Nabi, demikian R. Batuah, pengikut sekte Qadiani di Indonesia. Selanjutnya ia menyatakan: Mirza Ghulam Ahmad harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya.18 Sebaliknya orang yang mengingkari ajaran Mirza berarti ia mengingkari seluruh ajaran al-Quran, namun bagi sekte Lahore tidak demikian keyakinannya, boleh jadi ajaran Mirza dijadikan sebagai pemacu gerakan dakwahnya saja di kalangan kaum Nasrani di dunia. Pernyataan Mirza sebagai seorang yang dapat berdialog langsung dengan Tuhan layaknya seorang rasul yang menerima wahyu adalah demikian:

"Aku tidak pernah mengatakan kepada manusia, kecuali apa yang telah aku tulis dalam kitabku, bahwasanya aku adalah muhaddas dan Allah berbicara dengan aku sebagaimana Allah berbicara dengan para muhaddasin. Dan Allah mengetahui bahwa Dia telah memberiku pangkat ini, maka bagaimana aku (dapat) menolak apa yang telah diberikan Allah kepadaku? Dan dia telah memberiku rizki apakah aku (harus) berpaling dari limpahan (anugerah) Tuhan, Pencipta dan Pemelihara alam semesta ini?"19)

Mungkin orang akan mempersoalkan apakah paham kenabian diatas, sebagai yang dilontarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad dapatkah paham itu dikategorikan sebagai pembaharuan dalam Islam? Atau justru sebaliknya yaitu sebagai bid'ah 'akidah? Apabila didalam Surah as-Saf: 6, Nabi 'Isa a.s. menginformasikan kepada pengikutnya, akan datang seorang rasul bernama Ahmad sesudahnya nanti, ini bukan berarti nama Ahmad tersebut untuk Mirza Ghulam Ahmad, tetapi yang dimaksudkan adalah Nabi Muhammad. Ibn 'Abbas adalah salah seorang ulama sahabat, yang lebih mengerti mengenai maksud ayat:

"... dan (Isa) memberi kabar gembira akan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, bemama Ahmad ..."

Dalam kaitan ini Ibn 'Abbas dalam kitab tafsirnya, tidak menjelaskan adanya nama lain selain nama Rasulullah Muhammad. Rupanya paham kenabian Ahmadiyah ini bermula dan doktrin kewahyuannya.

Setelah kita mengikuti uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan paham kewahyuan Ahmadiyah adalah tidak jauh berbeda, secara garis besarnya perbedaan kedua paham kewahyuan tersebut, hanyalah terletak pada aspek motivasi gerakan yang melatarbelakanginya.

Gerakan Syi'ah lebih diwarnai oleh motif-motif politis, sedangkan gerakan Ahmadiyah, ditandai oleh motif-motif ide pembaharuannya. Jika paham kewahyuan Syi'ah bermuara pada masalah keimaman, maka dalam Ahmadiyah paham kewahyuannya bermuara pada masalah kemahdian atau kemasihan Mirza Ghulam Ahmad. Akan tetapi jika kita lihat dari aspek-aspek yang lain, kedua paham kewahyuan diatas, dapat dikatakan berpangkal pada prinsip-prinsip yang serupa. Yaitu keduanya beranggapan bahkan berkeyakinan bahwa untuk membimbing ummat manusia masih diperlukan wahyu Allah atau petunjuk dari Tuhan yang baru berupa wahyu.

Page 72: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 72

Terma wahyu yang dimaksud oleh kedua golongan itu, bukanlah wahyu seperti yang ada dalam al-Quran, tetapi wahyu yang lain. Di kalangan Syi'ah dikenal adanya wahyu ta'lim, sedangkan di kalangan Ahmadiyah dikenal dengan wahyu walayah, wahyu tajdid, atau wahyu muhaddas. Baik kaum Syi'ah maupun Ahmadiyah, keduanya memiliki tokoh-tokoh utamanya yang dikenal sebagai al-Mahdi yang merupakan tokoh legendaris yang dapat berhubungan dengan Tuhan, untuk menerima firman-firmanNya. Oleh sebab itu, kedua golongan ini berkeyakinan bahwa wahyu tetap akan turun sampai kapan pun. Demikian pula kehadiran seorang nabi juga tidak terbatas pada kurun waktu tertentu. Dalam kaitan ini, apakah al-Mahdi itu identik dengan nabi? tidak dibahas dalam tulisan ini. Oleh karena konsep kenabian dan kewahyuan tersebut muncul lebih dahulu di kalangan Syi'ah, maka konsep kenabian dan kewahyuan Ahmadiyah banyak mendapat pengaruh dari ajaran Syi'ah. PAHAM MAHDI DALAM PERSPEKTIF RASIONAL A. ASPEK LANDASAN IDIIL MAHDIISME

Sebagai diketahui paham Mahdi muncul, adalah akibat kegagalan kaum Syi'ah berperan di bidang politik. Memang benar, paham ini telah dikenal secara luas di kalangan ummat Islam, namun pengenalan mereka tidak ditunjang oleh pengetahuan yang luas dan obyektif. Mereka kurang memahami proses terbentuknya paham tersebut, dan pada umumnya mereka mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab hadits yang memuat hadits-hadits Mahdiyyah. Ummat Islam mengenal paham ini, sangat boleh jadi sesudah tersebarnya hadits-hadits Mahdiyyah secara intensif dalam berbagai versinya. Para ahli hadits yang meriwayatkannya, menurut penuturan sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Kaldun dalam Muqaddimah-nya, seperti Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al -Hakim, Imam Tabrani dan Abu Ya'la. Mereka itu menyandarkan hadits-hadits pada sekelompok sahabat Nabi seperti: 'Ali, Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Talhah, Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Sauban ibn Iyas, 'Ali al-Hilaliy, dan Abdullah Ibn Haris. Selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan:

"Apabila pada tokoh-tokoh (orang yang menjadi) sanad (sandaran) hadits-hadits Mahdiyyah, terdapat cacat karena ia pelupa atau jelek hafalannya, lemah atau mungkin jelek pandangan (paham)-nya, kemudian mereka (para ahli hadits tersebut) mencari jalan lain untuk menyahihkan hadits Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat hadits sahih ..."1)

Dalam kaitan ini al-Maududi dalam bukunya [kata-kata Arab] mengelompokkan hadits-hadits Mahdiyyah menjadi dua bagian: Pertama, hadits-hadits Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan nama "Mahdi." Kedua, hadits-hadits Mahdiyyah yang tidak menyebutkannya secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul keturunan al-Mahdi tersebut, terdapat banyak sekali riwayat yang kontroversial.2 Sebagian riwayat-riwayat itu, demikian al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan 'Ali dengan Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang menyatakan, al-Mahdi itu berasal dari keluarga 'Abbas bahkan meluas sampai pada keturunan 'Abdul-Muttalib (kakek Rasulullah). Sementara riwayat lain lagi memberitakan bahwa tokoh (al-Mahdi) yang ditunggu-tunggu itu berasal dari suatu kampung yang bernama "Kara'ah," atau "Kadi'ah," atau "Karimah." Golongan Ahmadiyah memandang nama kampung tersebut di atas adalah

Page 73: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 73

kampung kelahiran al-Mahdi al-Ma'hud (Mirza Ghulam Ahmad), artinya, bahwa tokoh al-Mahdi itu dilahirkan di luar kota Mekkah dan Madinah.

Pernyataan hadits-hadits Mahdiyyah yang kontroversial seperti itu menunjukkan banyaknya motif yang timbul dari berbagai kelompok Muslim yang sedang bersaing dan berlomba merebut pengaruh, dengan menyebarkan berita-berita akan munculnya seorang tokoh al-Mahdi atau Juru Selamat, sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing. Tokoh itulah yang diisukan sebagai orang yang akan membebaskan mereka dari tindakan kezaliman dan penindasan dari lawan-lawan politiknya. Seandainya kepemimpinan seorang khalifah yang berwibawa, adil, memiliki kesanggupan berkorban, dan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan melindungi mereka dari berbagai macam ancaman bahaya, sebagaimana pernah dilakukan oleh kedua Khalifah Abu Bakr dan 'Umar, sehingga kestabilan politik, ekonomi, dan keamanan tetap terjamin, kesatuan dan persatuan ummat Islam dapat dipertahankan, tentulah paham Mahdi atau Mahdiisme tidak akan muncul secepat itu. Dimana kemunculan paham ini didorong oleh timbulnya keresahan dan kerawanan dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya protes-protes sosial yang sulit dihindarkan. Dalam situasi yang demikian itulah timbul keinginan masyarakat luas yang mendambakan sosok pimpinan yang dapat mengayomi kepentingan dan ketenteraman mereka, dari berbagai tindakan kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang sedang memerintah.

Dengan demikian landasan ideal paham Mahdi tersebut bukanlah didasarkan atas kepentingan agama tetapi, pada mulanya, lebih bersifat politis. Kemudian para pendukung paham ini sedikit demi sedikit membalut kepentingan politik tersebut dengan kepentingan yang bersifat keagamaan, dan barulah kemudian bermunculan hadits-hadits Mahdiyyah dalam berbagai versinya. Dan pada akhirnya tampaklah paham Mahdi ini sebagai paham keagamaan, apalagi sesudah banyak diantara hadits-hadits Mahdiyyah ini secara kurang selektif dimuat dalam kitab-kitab Sunan. Mengapa sampai terjadi yang demikian? Barangkali salah satu faktor penting yang perlu dicatat adalah, bahwa agama merupakan alat paling ampuh untuk meyakinkan masyarakat luas terhadap ide-ide kemahdian. Yang dikaji adalah bahwa teks-teks hadits Mahdiyyah pada umumnya identik dengan teks bagian akhir pernyataan Ibn Saba', yang tidak mempercayai kematian 'Ali ibn Abi Talib, sewaktu berita itu sampai ke telinganya.

1. HADITS MAHDIYYAH DAN IDENTITAS KELOMPOK

Dari fenomena tersebut di atas munculah dalam gerakan politik Syi'ah pengkultusan pribadi 'Ali ibn Abi Talib dan keturunannya. Karena sikap pengkultusan ini, penulis Barat seperti Dozy menilai kaum Syi'ah dalam berbagai tradisinya banyak dipengaruhi oleh budaya Persia, dimana rakyat memandang raja memiliki hak-hak istimewa yang harus dipatuhi dan diikuti seperti halnya Tuhan. Demikian pula golongan Syi'ah memandang 'Ali dan keturunannya atau imam-imam mereka sebagai memiliki kema'suman (suci dari dosa), sehingga ketundukan mereka kepada seorang imam tidak jauh berbeda dengan ketundukan mereka kepada seorang rasul.

Dalam hubungan ini Ihsan Ilahi Zahir, berkesimpulan bahwa sikap pengkultusan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka, bermula sejak masuknya unsur-unsur Yahudi,

Page 74: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 74

Nasrani, dan Majusi (agama Persia kuno) ke dalam Islam. Akan tetapi, unsur yang paling dominan dalam tradisi Syi'ah tersebut adalah unsur kepersiaan, terutama dalam pengkultusan mereka terhadap para imam.3)

Fenomena tersebut, tampaknya juga mewarnai hadits-hadits Mahdiyyah, di mana dinyatakan bahwa pasti ada diantara keturunan 'Ali atau Ahlul-Bait yang akan bangkit untuk menegakkan kembali kejayaan Islam, setelah mereka mengalami kekalahan yang serius, terutama untuk menegakkan keadilan dan membasmi kejahatan. Dengan demikian, wajarlah apabila kaum Syi'ah sangat mendambakan hadirnya seorang Juru Selamat yang dapat membebaskan mereka dari berbagai kezaliman dan dapat mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa tunggal di dunia Islam. Di kalangan Syi'ah Iran umpamanya, dalam paham kemahdiannya, nampak diwarnai oleh perasaan dendam dan cemburu terhadap penguasa Arab, sehingga tidak mustahil antar kedua bangsa itu akan selalu timbul perselisihan yang diikuti dengan tindak kekerasan dan reaksioner.

Perasaan tersebut sangat boleh jadi dipengaruhi oleh sejarah bangsa itu (Iran) sendiri. Di satu pihak, mereka mencapai puncak kejayaan dan merasa sebagai bangsa nomor satu di dunia, akan tetapi di pihak lain, mereka juga pernah dikalahkan bangsa Arab (tentara Islam di bawah pimpinan Khalifah 'Umar ibn Khattab). Tentunya oleh Khalifah, mereka yang telah memeluk Islam, diperlakukan sama dengan Muslim lainnya tanpa dibeda-bedakan satu dengan yang lain. Barangkali saja bangsa Iran ini dianggap sebagai bangsa asing atau 'Ajam, sehingga karenanya kedudukan mereka disejajarkan dengan kedudukan kaum mawali (bekas budak) atau sebagai masyarakat kelas dua. Dengan demikian, perlakuan dinasti Umayyah terhadap bangsa Persia yang bertentangan dengan semangat ukhuwwah Islamiyyah yang diajarkan oleh Nabi, tampaknya merupakan faktor yang mendorong timbulnya rasa dendam bangsa Persia terhadap bangsa Arab hingga sekarang.

Disamping itu, perkawinan antara puteri Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah, juga merupakan faktor tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih cenderung menjadi pengikut Syi'ah yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan berada di tangan keturunan 'Ali dengan Fatimah. Oleh karena itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya mereka ingin menjatuhkan dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun 'Abbasiyyah. Karena penderitaan yang berkepanjangan inilah, mereka sangat mengharapkan kehadiran al-Mahdi al-Muntazar untuk membalas dendam mereka.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa faktor yang membentuk kefanatikan Syi'ah Iran terhadap paham Mahdi agak berbeda dengan paham Mahdi Syi'ah lainnya. Dampak dari paham Mahdi Syi'ah Iran tersebut terlihat nyata dalam sikap politik bangsa itu sampai hari ini, terutama sesudah Ayatullah Khumaini berkuasa di Iran.

Rupanya paham Mahdi ini tidak hanya menjadi milik golongan Syi'ah saja, tetapi di kalangan Sunni pun dikenal paham tersebut. Di masa Dinasti Umayyah, terutama di masa-

Page 75: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 75

masa kemundurannya, muncul pula paham seperti itu, namun tokohnya bukanlah al-Mahdi, tetapi Sufyani. Demikian pula halnya di kalangan dinasti 'Abbasiyyah. Mereka menunggu-nunggu munculnya al-Mahdi lain dari keturunan 'Abbas. Timbulnya harapan seperti itu, tidak lain karena mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka yang telah silam. Oleh karena dinasti terakhir ini menggunakan bendera hitam sebagai lambang kemenangannya, maka ciri seperti ini juga muncul dalam hadits-hadits Mahdiyyah yang mereka pegangi.

Ada riwayat yang menyatakan, bahwa pada suatu saat nanti akan lahir sekelompok manusia yang datang dari arah timur (Khurasan) berbendera hitam dengan membawa kemenangan. Bahkan ada riwayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa mereka berperang melawan putera Abu Sufyan dari dinasti Umayyah dan para pendukungnya. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, warna hitam merupakan lambang kejayaan pasukan 'Abbasiyyah yang dipimpin oleh Salman al-Farisi dari Khurasan. Dengan demikian, nyata sekali kepalsuan hadits Mahdiyyah tersebut. Kenyataan seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh golongan Umayyah.

Dalam penyebaran paham Mahdi tersebut, rupanya mereka juga tidak ketinggalan untuk membuat hadits-hadits palsu sebagaimana dilakukan oleh golongan Syi'ah, agar paham Mahdi yang mereka jadikan sebagai landasan ideal perjuangan politiknya dapat diterima oleh masyarakat luas dan dapat memotivasi mereka untuk menjadi pendukung ide perjuangannya.

Dalam penuturan Ahmad Amin, pembuat hadits Mahdiyyah untuk golongan Umayyah adalah Khalid ibn Yazid ibn Mu'awiyah.4 Selanjutnya ditegaskan, bahwa kepandaian membuat hadits-hadits Mahdiyyah tersebut ialah dengan cara meninggalkan teks-teks hadits yang dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk masa kapan saja. Apabila yang menang itu golongan 'Ali atau golongan 'Abbasiyyah umpamanya, maka hadits-hadits Mahdiyyah tersebut dapat mereka pergunakan untuk kepentingan mereka.5 Penggunaan nama "Sufyani" sebagai nama tokoh yang ditunggu-tunggu oleh golongan Mu'awiyah seperti halnya al-Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh kaum Syi'ah, mungkin sekali diambil dari nama salah seorang tokoh putera Umayyah, yaitu Abu Sufyan, dan karena itu nama "Sufyani" sekaligus menjadi identitas golongan ini.

Jika hadits-hadits Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Syi'ah itu menunjukkan, bahwa kedudukan Mahdi diunggulkan sehingga ia narnpak lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa al-Masih, maka tidak tertutup kemungkinan ada kelompok lain yang kurang sependapat dengan cara-cara Syi'ah tersebut, dan mencobanya untuk menyejajarkan kedudukan 'Isa al-Masih dengan al-Mahdi, bahkan mengidentikkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah hadits-hadits Mahdiyyah versi lain, seperti hadits yang dijadikan pegangan golongan Ahmadiyyah:

"Tidak ada Mahdi selain 'Isa ibn Maryam."

Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun sebagai sosiolog Muslim, mencoba mengomentari hadits Mahdiyyah diatas, yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Khalid.

Page 76: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 76

Perawi ini, menurut penilaian al-Hakim dan al-Baihaqi, adalah orang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) sebagai Ahli hadits dan sebagai orang yang boleh meriwayatkan hadits.6 Bahkan seorang Ahli hadits, Sayyid Ahmad, menilai hadits tersebut sebagai palsu dan tidak berdasar.

Selanjutnya dijelaskan bahwa hadits diatas, oleh sementara orang diinterpretasikan: [kata-kata Arab] artinya,

"tidak seorang (bayi) pun dalam ayunan yang dapat berbicara, selain 'Isa ibn Maryam."

Sedangkan Ibn Abi Wasil menafsirkan demikian:

"Tidak ada Mahdi yang petunjuknya serupa dengan petunjuk 'Isa Ibn Maryam."

Senada dengan hadits Mahdiyyah diatas, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut:

"Hampir tibalah saatnya orang yang hidup diantara kalian, akan dapat menjumpai 'Isa ibn Maryam sebagai Imam Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad).

Hadits ini secara tegas menyamakan antara Mahdi dan 'Isa al-Masih sebagai satu pribadi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran kembali 'Isa al-Masih di dunia ini melalui proses reinkarnasi sebagaimana diyakini oleh golongan Ahmadiyah ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan di atas, al-Maududi menjelaskan:

"Bahwa kehadiran 'Isa yang kedua kalinya tidaklah melalui proses kelahiran kembali, yang jelas dipergunakan term nuzul' atau turun. Dan kehadirannya bukan sebagai nabi yang mendapatkan wahyu. Ia tidak membawa Syari'at baru dan tidak menambah atau mengurangi Syari'at Nabi Muhammad. Dia pun tidak mengadakan pembaharuan atau membentuk sekte baru, serta tidak mengajak manusia untuk beriman kepadanya. Kehadirannya yang kedua ini hanya untuk tujuan tertentu, yaitu memberantas fitnah Dajjal."7)

Penegasan al-Maududi ini, hanyalah mewakili paham Sunni pada umumnya, tentang 'Isa al-Masih. Namun penegasan tersebut juga mengundang timbulnya pertanyaan baru, yaitu: Apakah selama ini 'Isa a.s., masih hidup di alam malaikat, di alam jin, atau di alam ruh lainnya? Jika ia membenarkan alternatif yang terakhir, bahwa 'Isa bisa hidup di alam ruh, maka akan timbul lagi pertanyaan berikutnya. Apakah dia manusia setengah malaikat, manusia setengah jin, ataukah manusia sebenarnya yang dapat hidup di alam ruh dan terlepas dari hukum alam yang berlaku bagi manusia lainnya? Barangkali pertanyaan terakhir ini, sekaligus merupakan kunci jawaban golongan Sunni dengan disertai interpretasi intuitif, serta mengembalikan persoalan tersebut kepada Masyi'atullah atau kehendak mutlak Tuhan, sebagaimana kepercayaan mereka terhadap Khidir yang pernah hidup semasa dengan Nabi Musa. Masalah tersebut (turunnya 'Isa as.), menurut Dr. Ahmad asy-Syirbashi, telah menjadi perdebatan diantara para ulama baik dulu maupun sekarang. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa para ulama pada umumnya memandang masalah tersebut bukan merupakan keyakinan pokok, karena tidak ada dasarnya yang mutawatir (otentik) sehingga tidak perlu diperdebatkan.8)

Page 77: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 77

Disamping itu perlu dicatat, bahwa hadits sahih hanyalah menghasilkan zhan (dugaan) yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam masalah keyakinan. Apalagi masalah turunnya 'Isa al-Masih ini sudah menjadi kepercayaan kaum Yahudi dan Nasrani, dan al-Quran tidak menyinggungnya sedikitpun. Al-Quran hanya menegaskan:

"Sungguh Aku (Allah akan mematikan kamu ('Isa) dan mengangkatmu kepada-Ku ..." (QS Al-Ahzab:55)

Ayat diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa Nabi 'Isa termasuk makhluk Allah yang mengalami proses kematian sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk setiap ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh manusia lainnya.9)

Oleh sebab itu, informasi akan kehadiran 'Isa al-Masih, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Bukhari dan Muslim, untuk kedua kalinya masuk akal, apabila informasi tersebut diinterpretasikan sebagai lambang kebangkitan Islam di abad modern setelah manusia kehilangan makna spiritual dalam hidupnya. Dengan demikian kerancuan atau kesimpangsiuran hadits-hadits Mahdiyyah, jelas menunjukkan kepalsuan hadits tersebut. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan beberapa pendapat para 'ulama' dan cendekiawan Muslim tentang hal ersebut.

2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG HADITS-HADITS MAHDIYYAH SEBAGAI HADITS PALSU

Pertama, pendapat Syaikh Muhammad Darwisy, yang mengatakan dalam bukunya Asna'ul-Matalib:

"Hadits-hadits Mahdiyyah semuanya adalah lemah, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan seorang tidak boleh terkecoh oleh orang yang (berusaha) mengumpulkannya dalam berbagai karyanya."

Kedua, pendapat Sayyid Ahmad, seorang ahli hadits, dalam bukunya Ibrazul-Wahmil-Ma'mun, terutama mengenai hadits Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Ahmadiyah:

"Sungguh hadits Mahdiyyah ini, bukanlah hadits da'if (lemah) sebagai yang dikatakan oleh si pengeritik hadits (Ibn Khaldun) dan sekalipun (pengeritik) lain mengatakan yang demikian itu, bahkan hadits itu batal, palsu dan dibuat-buat, tidak ada dasarnya hadits itu dari ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam., juga bukan ucapan Anas Ibn Malik, ataupun ucapan Hasan al-Basri."10)

Ketiga, pendapat Muhammad Farid Wajdi dalam karya besarnya, Da'iratul-Ma'arif al-Qarnil-'Isyrin, menyatakan:

"Maka sesungguhnya di dalam hadits-hadits Mahdiyyah itu, tergolong (pernyataan) yang keterlaluan, dan merupakan pukulan keras bagi sejarah, serta sangat berlebih-lebihan, tidak memahami pelbagai persoalan manusia, dan jauh dari sunnatullah (hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semua ciptaanNya), yang dikenal oleh manusia. Pada mulanya pembaca tidak merasa, bahwa hadits-hadits Mahdiyyah itu adalah hadits-hadits

Page 78: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 78

palsu yang sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh yang sesat, atau oleh para pendukung ('Ali) untuk sebagian ahli propagandisnya yang menuntut kekhilafahan di Arabia atau di Magrib (Afrika)."11)

Selain itu, Ahmad Amin juga berpendapat, bahwa hadits-hadits Mahdiyyah itu merupakan hadits yang mengandung cerita bohong, sebab dalam kisah kehidupan al-Mahdi telah dipenuhi dengan cerita yang aneh-aneh dan kabar gaib tentang peristiwa zamannya. Disamping itu, terdapat juga apa yang disebut al-Jafr yaitu ilmu ramalan yang ditulis pada kulit lembu, tentang apa yang akan dialami oleh Ahlul-Bait, dan menurut kaum Syi'ah, ramalan tersebut diriwayatkan dari Ja'far as-S-adiq.12 Berita-berita aneh semacam itu, banyak juga terdapat dalam kitab yang disebut kitab al-Malahim yang dimiliki oleh sebagian ummat Islam. Anehnya berita-berita semacam itu oleh pengarangnya dijadikan sebagai hadits, dan menghubungkannya dengan Rasulullah. Sebagian lagi dihubungkan dengan Ahlul-Bait. Dan sebagian yang lain menghubungkannya dengan Ka'ab al-Akbar dan Wahb ibn Munabbah.

Demikianlah pendapat sementara para sarjana Muslim. Tampaknya mereka meneliti dan melihat dengan jeli hadits-hadits Mahdiyyah itu, tidak hanya dari aspek 'ulumul-hadits atau ilmuilmu hadits, akan tetapi juga menghubungkannya dengan aspek-aspek sejarah yang obyektif, terutama sejarah ummat Islam itu sendiri. Dengan cara seperti ini, seorang akan lebih selamat dan tidak mudah terjebak ke dalam paham-paham yang keliru dan sesat. Hadits-hadits Mahdiyyah yang kontroversial itu, rupanya merupakan akibat dari terjadinya persaingan ketat antara kelompok-kelompok Muslim yang sedang berselisih pada saat itu untuk merebut pengaruh yang lebih luas di bidang politik. Kecenderungan politik yang didasari dengan paham agama, tampaknya mendorong terciptanya paham keagamaan yang bermacam-macam Di saat seperti itulah masing-masing pihak membuat hadits-hadits palsu tentang al-Mahdi dengan berbagai versinya.

B. BEBERAPA INTERPRETASI TENTANG AL-MAHDI

Perbedaan pendapat mengenai tokoh Mahdi sebagaimana digambarkan oleh para pengikut paham (Mahdi) tersebut, menunjukkan adanya bermacam-macam penafsiran mengenai sifat dan sikap kepemimpinan tokoh al-Mahdi. Kaum Syi'ah pada umumnya menilainya sebagai pemimpin otoriter yang memiliki hak-hak istimewa, kejam, dan ingin membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan Syi'ah Imamiyyah dan sebagian diantara golongan Syi'ah Rafidah berkeyakinan bahwa tiga orang khalifah (Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman), Mu'awiyah, Yazid, Marwan, Ibn Ziyad, dan lain sebagainya, serta semua pembunuh para Imam Syi'ah, akan dibangkitkan kembali untuk diadili oleh Imam Mahdi dan disiksanya sebelum munculnya Dajjal. Kemudian mereka dimatikan lagi dan akan dibangkitkan untuk kedua kalinya di hari kiamat. Selanjutnya dijelaskan oleh Syarif Murtada, bahwa Abu Bakr dan 'Umar akan disalib pada sebuah pohon oleh al -Mahdi.13)

Selain interpretasi tentang al-Mahdi yang otoriter ini, tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan di sini, interpretasi kaum Sufi (Syi'ah) yang bertolak dari pemahaman mereka mengenai hadits [kata-kata Arab].

Page 79: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 79

Semula hadits ini ditafsirkan bahwa tidak ada Mahdi selain Mahdi yang ada hubungannya dengan Syari'at Nabi Muhammad, sebagaimana halnya hubungan 'Isa a.s., dengan Syari'at Nabi Musa. Kemudian penafsiran ini mengalami perubahan dan penafsiran baru bahwa hal itu mengisyaratkan akan munculnya seorang laki-laki yang akan membawa pembaharuan terhadap hukum-hukum Islam dan akan menegakkan kebenaran. Diantara kaum Sufi tersebut berpendapat bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan Fatimah dengan 'Ali, dan ada pula yang berpendapat bahwa al-Mahdi itu bisa dari keturunan siapa saja.14)

Interpretasi kaum Sufi inilah yang tampaknya mengilhami konsep Mirza Ghulam Ahmad tentang al-Mahdi, mengingat kakeknya berasal dari Persia, dan ia pun kemudian dibesarkan di India yang relatif banyak mendapatkan pengaruh paham Syi'ah yang disebarkan oleh para pengikut Sufi itu.

Adapun menurut interpretasi golongan Ahmadiyah, al-Mahdi ini bukan pimpinan atau tokoh agama bayangan yang suka berperang dan selalu menghunus pedang untuk menghakimi musuh-musuhnya. Dia adalah "juru damai" antar kelompok-kelompok agama yang berselisih dan saling bermusuhan satu sama lain. Interpretasi kemahdian seperti ini merupakan refleksi keadaan ummat beragama di India pada saat itu, baik di kalangan ummat Islam maupun non-Islam. Kelompok-kelompok agama -Islam, Hindu, dan Kristen- yang berselisih itu, ingin ia persatukan lewat Islam. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Kedua versi interpretasi diatas rupanya menunjukkan bahwa masing-masing golongan ingin mewujudkannya dalam kenyataan. Dengan demikian, penafsiran terhadap al-Mahdi sangat dipengaruhi oleh keadaan ummat saat itu. Dan oleh sebab itu, masing-masing kelompok dalam merealisasikan ketokohan al-Mahdi, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahmadiyah, melekatkan sifat dan watak yang berbeda terhadap al-Mahdi itu.

Dalam hubungan ini Ibn Khaldun menginterprestasikan tentang al-Mahdi sebagai berikut:

"Sesungguhnya dakwah agama dan (propaganda politik) kerajaan, tidak akan (berlangsung) dengan sempurna, kecuali dengan mewujudkan sesuatu kekuatan yang fanatik, guna menegakkan dan mempertahankan (dakwah atau propaganda) itu sehingga sempurnalah pertolongan Allah untuknya."15)

Dengan demikian, munculnya al-Mahdi dalam teori 'asabiyah Ibn Khaldun adalah suatu pertanda atau fenomena lahirnya kelompok masyarakat baru yang ingin mewujudkan cita-cita politik yang didasarkan pada ide millenarium. Untuk itu ide tersebut harus dipacu dengan semangat fanatisme kelompok sehingga dapat mewujudkan kekuatan baru untuk memenangkan perjuangan. Oleh sebab itu, kelompok masyarakat baru tersebut tidak akan memperoleh kekuatan dan tidak pula dapat mencapai tujuan perjuangan, tanpa ikut sertanya para propagandis yang memiliki fanatisme yang kuat terhadap Islam dan Ahlul-Bait. Teori tersebut menegaskan bahwa kemunduran dan kekalahan suatu ummat disebabkan oleh lemah atau memudarnya semangat fanatisme dari jiwa ummat itu sendiri.

Page 80: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 80

Interpretasi tentang al-Mahdi model Ibn Khaldun ini, tampaknya lebih sesuai dengan panalaran ummat dewasa ini daripada harus membayangkannya dalam ujud al-Mahdi yang amat abstrak dan imajinatif. Term al-Mahdi ini rasanya lebih cocok ditafsirkan sebagai pembawa ide-ide baru guna membangun kembali dunia Islam yang tenggelam dalam keterbelakangan, kepesimisan, dan kedangkalan wawasan dalam menghadapi tantangan zamannya. Kemudian ia dapat mengangkat harkat Islam dan ummat Islam dalam arti yang sebenarnya, sehingga ummat Islam dapat diselamatkan dari ekses-ekses modernisasi yang bersifat materialistis, dan sikap latah atau suka meniru tradisi kaum kafir. Seperti diketahui Rasulullah dalam sabdanya pernah mengemukakan sinyalemen sebagai berikut:

"Sungguh kalian (nanti) akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, pastilah kalian mengikuti mereka." Aku menyela, "Apakah (mereka itu) orang Yahudi dan Nasrani?" Jawab beliau: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim dari Sa'id al -Khudri).

Lagi pula, dengan pernyataan Rasulullah akan kehadiran kembali Isa al-Masih, sebagaimana disebut dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, yang diberi mandat untuk membunuh Dajjal (musuh) Islam, hal itu bisa ditafsirkan sebagai lambang akan munculnya kaum pembaharu yang selalu sadar akan bahaya yang senantiasa mengancam dan menteror rohani ummat. Disamping itu mereka pun selalu berorientasi pada kepentingan Islam dan ummat Islam dan berjuang untuk menyelamatkannya dari rongrongm kebebasan hawa nafsu yang ingin mencari kepuasan lahiriah, sebagai ekses dari penerapan teknologi canggih dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian, orang tidak perlu mengaku dan menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi maupun sebagai 'Isa al-Masih, apa lagi dengan mengajarkan keyakinan atau peribadatan yang penuh khurafat dan bid'ah.

Keterangan hadits diatas, menunjukkan betapa besarnya pengaruh tradisi Yahudi dan Nasrani dewasa ini terhadap sikap dan perilaku ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sistem kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, tampaknya banyak diwarnai oleh tradisi masyarakat Yahudi dan Nasrani yang dipandang sebagai tradisi modern dan mesti diikuti. Tradisi keislaman hanya tampak pada aspek-aspek ritualnya saja, sedangkan cara hidup dan mempertahankan hidup dan penghidupannya, cara bergaul dan lain sebagainya masih diwarnai oleh tradisi keyahudian atau kenasranian. Jarang diantara ummat Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam kondisi ummat seperti inilah diperlukan Mahdi-Mahdi baru dalam pengertian para da'I (penyeru agama) yang tangguh, sebagai penuntun atau penunjuk ummat dan dapat menyelamatkannya dari kemunafikan, kemusyrikan, kefasikan, dan kekafiran.

Realitas sinyalemen Rasulullah diatas, memang sulit dihindari oleh masyarakat Muslim dewasa ini, dimana perubahan sosial terjadi sangat dinamis. Salah satu penyebabnya adalah adanya akulturasi budaya dan interaksi sosial yang cepat melalui sistem komunikasi modern yang canggih dan yang dapat membuka isolasi masyarakat tradisional untuk menyerap berbagai budaya asing, dalam kaitan ini adalah budaya Barat yang liberal.

Page 81: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 81

Penemuan-penemuan baru yang ditunjang oleh sistem pendidikan modern dalam upaya untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dan kenikmatan hidup lahiriah, membawa manusia selalu dilanda oleh rasa ketidakpuasan dalam bidang-bidang kehidupan tertentu. Keadaan seperti ini mendorong manusia abad modern bersikap longgar terhadap ikatan-ikatan dan keyakinan agama, yang semula dianggap sakral atau tabu. Sebagai akibatnya terjadilah pergeseran nilai dari perilaku manusia itu sendiri. Suatu perbuatan yang sebelumnya dipandang nista, bisa jadi berubah menjadi sesuatu yang biasa atau bahkan menjadi kebanggaan; dan demikian pula sebaliknya. Sebagai akibatnya banyak manusia di zaman modern kehilangan makna spiritual dalam kehidupannya.

Ketidakseimbangan antara kemajuan materiil yang dicapai oleh manusia, di satu pihak, dan kemunduran spiritual yang dideritanya, di pihak lain, menggiring manusia bersikap kurang selektif dalam menerima budaya atau tradisi asing yang destruktif. Oleh karena itu, mereka bersikap sangat toleran terhadap perilaku yang menyimpang dan bertentangan dengan ajaran agama. Dalam kondisi seperti ini kaum kapitalis modern, sebagai penguasa teknologi canggih, mampu membuat hitam atau putihnya situasi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Barangkali mereka inilah yang dilambangkan oleh Rasulullah sebagai Dajjal-nya ummat manusia di zaman akhir. Pada saat seperti ini diperlukan kehadiran al-Mahdl atau al-Masih dalam pengertian simbolis yang lebih aktual dan kontekstual. Yaitu kehadiran kelompok Muballig atau Da'I yang tangguh dan memiliki pengetahuan luas dan visi yang jauh, mampu memecahkan problema kehidupan masyarakat, dan sanggup memberikan berbagai alternatif yang lebih Islami dalam menanggulangi berbagai perilaku, tradisi dan situasi ummat di masa mendatang dan tanggap terhadap kondisi ummat masa kini, sehingga mereka diharapkan dapat menyampaikan ajaran Islam secara tepat dan up to date. Yang lebih penting lagi adalah kemampuan mereka mengisi kekosongan rohaniah para penguasa teknologi dengan ajaran Islam dan menghimpunnya menjadi kekuatan baru yang Islami, sehingga tidak mustahil kebangkitan Islam kembali justru muncul dari Barat sebagai suatu keharusan sejarah.

C. PROSES TERSEBARNYA PAHAM MAHDI

Paham Mahdi atau Mahdiisme, semula merupakan isu politik dari golongan Syi'ah yang kalah secara serius dalam percaturan politik di abad-abad pertama Hijrah. Kekalahan Syi'ah ini, tentunya melemahkan semangat dan daya juang diantara pengikutya. Gejala melemahnya semangat juang mereka dalam mempertahankan eksistensinya, tampaknya menjadi perhatian khusus bagi kaum politisi Syi'ah yang berambisi untuk merebut kekuatan politik. Mereka berusaha membangkitkan kembali semangat perjuangan para pengikutnya dengan mengisukan al-Mahdi sebagai Juru Selamat yang akan memberi pertolongan dan memenangkan kembali perjuanganmereka, lewat para propagandis Syi'ah yang amat fanatik.

Bersamaan dengan isu politik yang baru ini, dicipta pula hadits-hadits Mahdiyyah yang memberi harapan-harapan baru, yaitu akan diraihnya kembali kejayaan dan kemenangan kaum Syi'ah dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Isu al-Mahdi yang bersifat politis ini ditopang oleh 'aqidah ar-raj'ah, masalah al-gaibah dan imamah ciptaan Ibn Saba'. Kemudian isu tersebut diformulasikan oleh kelompok politisi Syi'ah yang lihai,

Page 82: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 82

menurut analisis Ahmad Amin rupanya proses terbentuknya paham Mahdi dimulai dari term "pemerintahan Syi'ah yang ditunggu-tunggu," kemudian isu tersebut berkembang dan berubah menjadi "penguasa yang ditunggu-tunggu," yang selanjutnya berubah lagi menjadi "al-Mahdi yang ditunggu-tunggu." Sayang proses terbentuknya paham Mahdi itu, tidak dijelaskan secara kronologis dengan menyebutkan tokoh-tokoh Syi'ah yang mencipta paham tersebut.

Akan tetapi, sejak kekalahan Syi'ah Kaisaniyyah, isu al-Mahdi al-Muntazar sudah muncul dan mereka sebarkan di kalangan pengikutnya. Dari sekte ini, isu al-Mahdi diambil alih oleh sub-sub sekte dari Syi'ah Imamiyyah, dan pengikut paham Mahdi yang paling dikenal dalam sejarah adalah paham Mahdi Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan Isma'iliyyah, keduanya mempunyai daerah pengaruh yang cukup luas, lantaran aktivitas para propagandisnya yang fanatik. Keefektivan penyebaran paham Mahdi ini ditunjang pula oleh adanya suasana kemunduran dan kekalahan diantara kelompok-kelompok Muslim yang sedang bersaing, di satu pihak, dan, di pihak lain, karena adanya semangat baru diantara kelompok tersebut untuk bangkit kembali guna menebus kekalahan mereka di bidang politik. Tujuan utamanya tidak lain adalah membangun kembali kejayaan mereka yang telah hilang, namun demikian, tidak jarang dijumpai dalam masyarakat kita muncul seorang yang mendakwahkan dirinya sebagai Imam Mahdi secara person, tanpa memiliki latar belakang perjuangan dari suatu kelompok tertentu.

Selain itu perlu ditambahkan disini, bahwa golongan Sufi tidak kalah hebat peranannya dalam menyebarkan paham Mahdi. Merekalah yang digambarkan oleh Fazlur Rahman sebagai Qussas, story-teller atau juru cerita yang sangat besar pengaruhnya di kalangan masyarakat umum. Untuk menarik perhatian umum, mereka memperluas cerita dalam al-Quran dan membumbuinya dengan kisah-kisah yang bersumber dari agama Nasrani, Yahudi, Gnostik, bahkan diambil juga dan kisah-kisah dalam agama Buddha dan Zoroaster. Juru cerita yang berhaluan Syi'ah dan yang berada dalam pengaruh Kristen ini dengan sengaja memasukkan ide-ide baru tentang al-Mahdi sebagai figur spiritual yang akan muncul di akhir zaman dan akan menegakkan kembali supremasi dan keadilan Islam dengan memberantas kaum yang menentang Tuhan.16)

Dalam hubungan ini, sementara golongan Sufi lain dalam paham kemahdiannya mempunyai corak kemahdian yang berbeda, yaitu apa yang disebut al-Quth, atau pemimpin utama penguasa rohaniah Al-Qutb ini, menurut Ahmad Amin, merupakan tandingan Imam atau al-Mahdi. Dia dipandang sebagai pengatur segala urusan sepanjang masa dan diyakini sebagai tiang penyangga langit dan tanpa keberadaannya sudah barang tentu langit itu akan runtuh. Selanjutnya dijelaskan bahwa di bawah al-Qutb ini adalah tingkatan para cerdik pandai, demikian Ahmad Amin.17)

Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa al-Mahdi dalam perspektif rasional tampak sulit diterima sebagai ajaran dari Nabi, dan hal itu sendiri tidak terdapat didalam al-Quran maupun didalam kitab Sahih Bukharõ dan Sahih Muslim. Memang, jika orang membaca hadits-hadits Mahdiyyah hanya sepintas dan hanya beberapa buah hadits saja yang ditelaahnya, tanpa mau membandingkan secara jeli dengan hadits-hadits Mahdiyyah lainnya yang penuh kontroversial, tentunya dia akan menerimanya dan mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar datang dari Nabi. Akan tetapi, jika dia mempelajarinya

Page 83: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 83

dengan sikap kritis serta menghubungkannya dengan sejarah ummat Islam secara obyektif, maka dia tidak akan menerima begitu saja pernyataan-pernyataan hadits Mahdiyyah yang bertentangan dengan penalaran akal sehat itu.

PENUTUP

Ummat Islam dalam perjalanan sejarahnya, benar-benar telah mengalami perpecahan yang cukup serius. Peristiwa Saqifah yang merangsang kambuhnya penyakit fanatisme kekabilahan, adalah gejala awal dari suatu proses disintegrasi yang bertolak dari perebutan kekuasaan politik yaitu masalah kekhilafahan.

Munculnya kelompok yang ambisius, sebagai yang dilakukan oleh putera-putera Umayyah, lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan duniawi, justru merupakan faktor yang mempercepat proses perpecahan ummat Islam yang semakin meluas. Sebagaimana kenyataan dalam sejarah, perpecahan tersebut bermula dari perpecahan politis, tetapi kemudian berubah menjadi perpecahan yang bersifat teologis.

Luasnya daerah kekuasaan Islam, keluar dari Jazirah Arabia, membawa dampak baru dalam kehidupan sosio-kultural ummat Islam. Proses akulturasi kebudayaan dan kepercayaan antara Islam dan non-Islam, mendorong berbagai macam inovasi akidah yang sulit dihindarkan. Dan diantara kelompok Muslim yang terparah dalam menghadapi perpecahan tersebut adalah golongan Syi'ah. Karena golongan ini bersikap amat terbuka terhadap masuknya berbagai macam aspirasi budaya dan keagamaan, dengan demikian, aliran ini merupakan tempat yang paling aman bagi musuh-musuh Islam yang ingin meruntuhkannya dari dalam.

Diantara sekte-sekte Syi'ah terpenting ialah Syi'ah Kaisaniyyah, Imamiyyah, dan Syi'ah Zaidiyyah. Timbulnya berbagai kepercayaan yang aneh di kalangan sekte-sekte ini merupakan bukti nyata tentang adanya pengaruh paham atau kepercayaan yang non-Islam seperti: masalah imamah, aqidah ar-raj'ah, masalah gaibah, dan Mahdiyyah. Sekte yang paling konsisten dengan Islam dan lebih dekat dengan paham Ahlus-Sunnah, hanyalah Syi'ah Zaidiyyah, bila dibandingkan dengan sekte-sekte Syi'ah lainnya.

Sekte Imamiyyah adalah sekte yang banyak mendapatkan pengaruh dari berbagai kepercayaan keagamaan di luar Islam, seperti yang dialami oleh Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sedangkan yang terparah adalah Syi'ah Isma'iliyyah atau Batiniyyah, dan yang telah keluar dari jalur Islam adalah golongan Kaisaniyyah. Faktor lain yang menyebabkan kaum Syi'ah menyimpang begitu jauh dari Islam adalah bahwa imam-imam yang mereka angkat dari keturunan 'Ali, hanya sebagai lambang saja. Mereka tidak memimpin atau mengorganisasikan langsung para pengikutnya, bahkan sebagian besar diantara mereka hidup di Madinah dan tetap konsisten dengan ajaran Islam serta jauh dari kaum pendukungnya.

Paham Mahdi rupanya telah tersebar luas di kalangan ummat Islam; tidak hanya di kalangan Syi'ah. Namun karena kalangan Syi'ah mengalami banyak kekecewaan yang mendalam, mendapat kekalahan beruntun dari lawan-lawan politiknya dan banyak di antara imam-imam mereka menjadi korban kekerasan politik, maka al-Mahdi mulai

Page 84: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 84

mereka interpretasikan sebagai tokoh legendaris yang penuh karisma. Dia akan datang di akhir zaman untuk memimpin dunia Islam yang adil dan membasmi kezaliman. Padahal pengertian seperti ini tidak terdapat baik dalam al-Quran maupun dalam kitab Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim.

Apabila orang dengan jeli melihat para perawi hadits-hadits Mahdiyyah yang terdapat dalam kitab Kitab Sunan, dia akan merasa sulit untuk menerima hadits-hadits Mahdiyyah. Muktazilah dan Syi'ah Zaidiyyah tidak mengenal paham Mahdi yang erat kaitannya dengan masalah imamah, 'aqidah ar-raj'ah, dan masalah al-gaibah.

Al-Mahdi bagi kaum Syi'ah merupakan keyakinan yang prinsipal sebagaimana bagi kaum Ahmadiyah, terutama dari sekte Qadiani. Perbedaannya, tokoh Mahdi menurut sekte yang disebut terakhir ini berasal dari Persia, yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Imam Mahdi, al-Masih, serta Krishna dan bahkan dilambangkan sebagai Hakim Pengislah.

Versi kemahdian dua aliran diatas, membawa corak kemahdian yang berbeda. Mahdiisme Syi'ah lebih bersifat politis dan mengarah pada tindakan balas dendam terhadap lawan-lawan politiknya. Oleh karena itu, pengikut paham Mahdi di Iran, tampaknya merasa kurang senang terhadap kepemimpinan Islam di tangan bangsa Arab, karena bangsa Iran merasa pernah diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua pada masa dinasti Umayyah. Oleh karenanya al-Mahdi yang mereka yakini dilambangkan sebagai al-Qa'im yang akan bangkit untuk mengadili dan menghukum musuh-musuhnya dari bangsa Arab. Sedangkan corak kemahdian Ahmadiyah bersifat pembaharuan. Tampaknya mereka terus berupaya mewujudkan ide kemahdiannya, terutama di kalangan Kristen Barat, dengan menunjukkan kebenaran Islam melalui berbagai media cetak. Rupanya Tokoh Mahdi Ahmadiyah berkeyakinan bahwa untuk mempersatukan ummat beragama dan menjauhkannya dari sikap permusuhan diantara mereka, hanyalah dengan jalan membawa mereka ke dalam Islam dengan menunjulckan bukti-bukti kekeliruan agama mereka.

Setiap pembaharuan terutama di kalangan masyarakat tradisional, tidaklah berjalan secara mulus, sebab tokoh pembaharunya harus mengubah pikiran masyarakat, agar mereka mau menjadi pendukung dan pelaksana ide pembaharuannya. Mahdi Ahmadiyah yang tampil sebagai Mujaddid abad ke-14 H, rupanya membawa pemikiran yang menimbulkan kesalahpahaman yang cukup serius diantara sesama Muslim, sehingga terjadi saling mengkafirkan satu sama lain. Term-term keagamaan yang dipakainya justru merupakan sesuatu yang sangat sensitif dan tabu untuk dibicarakan sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, seperti istilah menerima wahyu, mengaku menjadi nabi, penjelmaan al-Masih ibn Maryam dan lain sebagainya.

Sekalipun demikian, Ahmadiyah Lahore ternyata lebih dekat dengan golongan Sunni, bila dibandingkan dengan Ahmadiyah Qadian. Sekte ini masih tampak relatif lebih baik daripada sekte-sekte Syi'ah lain selain Zaidiyyah.

Bagaimanapun alasan yang hendak dikemukakan oleh penganut paham Mahdi, penulis berpendapat bahwa landasan idiil paham ini pada dasarnya bermula dari

Page 85: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 85

keinginan-keinginan kaum Syi'ah untuk bangkit merebut kekuasaan politik di dunia Islam sesudah mereka mengalami kekecewaan mendalam akibat kekalahan yang beruntun. Perumusan ide sentral Syi'ah ini diwarnai oleh unsur-unsur keyahudian, kenasranian, dan unsur kepersiaan sehingga terbentuklah paham Mahdi seperti yang dikenal sekarang ini, kemudian diciptalah hadits-hadits Mahdiyyah. Hadits-hadits Mahdiyyah tersebut penuh dengan pernyataan yang kontroversial, tetapi kemudian dicari relevansinya dengan ayat -ayat al-Quran yang mereka pandang tepat, baik oleh kelompok Syi'ah sendiri maupun golongan Ahmadiyah. Oleh karena itu, hadits-hadits Mahdiyyah tampak lebih mencerminkan identitas dan kepentingan kelompok Islam tertentu daripada mencerminkan idealisme Islam secara universal.

Dalam mengoperasikan paham Mahdi ini, masing-masing kelompok mempunyai pandangan yang berbeda tentang siapa sebenamya tokoh Mahdi itu? Di kalangan Syi'ah dan Ahmadiyah terdapat gambaran yang sangat kontras. Di satu pihak Syi'ah menggambarkannya sebagai pemimpin yang otoriter tetapi, di pihak lain, Ahmadiyah menggambarkannya sebagai pemimpin pembaharuan yang santun dan tidak suka menempuh jalan kekerasan dalam menghadapi lawan-lawannya. Akan tetapi tepat kiranya jika gambaran tersebut dikembalikan pada arti kata "al-Mahdi" itu sendiri, yakni orang yang telah mendapatkan petunjuk dan berinisiatif untuk menunjukkan orang lain ke jalan yang benar. Dengan perkataan lain, ia adalah mubalig Islam yang tangguh dan mampu menegakkan Islam ditengah-tengah masyarakat yang telah rusak.

Penyebaran isu al-Mahdi diawal kemunculannya adalah sangat efektif, terutama di kalangan masyarakat awam. Melalui berbagai kegiatan isu itu berpengaruh sehingga terbentuklah paham Mahdi ditengah masyarakat luas. Paham ini kemudian dianggap dan, bahkan, dijadikan keyakinan yang memiliki dasar-dasar otentik.

Sekalipun demikian, paham Mahdi adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk memotivasi dan membakar semangat perjuangan guna menegakkan Islam dan kemerdekaan ummat tertindas, seperti yang pernah terjadi di Jawa khususnya di zaman kolonial Belanda. Dan paham semacam ini, sewaktu-waktu tetap akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam untuk melawan kezaliman atau penjajahan, apabila kondisinya memungkinkan untuk itu. Asal saja paham tersebut tidak dijadikan sebagai prinsip keyakinan, sehingga orang tidak akan dikatakan sebagai pencipta atau pengikut bid'ah akidah.

Berkaitan dengan paham kewahyuan Syi'ah dan Ahmadiyah, rupanya tidak jauh berbeda. Sekiranya ada perbedaan, perbedaan itu tidak dapat dikatakan prinsipal. Demikian pula halnya dalam doktrin kenabiannya. Bahkan konsep kewahyuan dan kenabian dalam Ahmadiyah tampaknya banyak dipengaruhi oleh ajaran Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Namun demikian golongan Ahmadiyah, berbeda dengan sekte Syi'ah, tetap dianggap sebagai sekte baru dari golongan Sunni, sekalipun mereka telah dipandang keluar dari Islam dan tidak diakui sebagai sekte golongan Sunni itu sendiri.

Kedua golongan tersebut memandang al-Mahdi sebagai tokoh karismatik yang harus diyakini sebagaimana meyakini seorang rasul atau nabi. Dan mereka juga memandang hadits-hadits Mahdiyyah sebagai hadits mutawatir (otentik) meskipun, jika

Page 86: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 86

dikaji secara selektif dan dilihat dari aspek sejarah perkembangan paham Mahdiisme, hadits-hadits Mahdiyyah tersebut adalah palsu adanya.

Untuk itu, diharapkan agar ummat Islam tidak mudah terpengaruh oleh slogan-slogan Mahdiisme yang kadang-kadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang atau tidak bertanggung jawab. Apalagi jika slogan-slogan Mahdiisme tersebut dijadikan sarana untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah, yang melindungi dan menghormati agama dan kehidupan beragama dan khususnya agama Islam. Demikian pula diharapkan agar lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang sosial keagamaan tetap waspada dan berhati-hati dalam menghadapi semacam gerakan Mahdiisme yang berbau politik.

Dengan demikian, ummat Islam akan hidup dengan tenang dan tidak mudah terbawa atau terseret ke dalam pergolakan-pergolakan yang akan merugikan diri sendiri dan ummat Islam pada umumnya. Demikian pula hendaknya ummat Islam tidak mudah terpancing dan dilibatkan oleh pihak-pihak yang ingin mempertentangkan penguasa dengan kaum Muslimin Indonesia. Semoga kiranya buku ini dapat dirasakan manfaatnya secara luas oleh para pembacanya.

LAMPIRAN: Hadits-hadits yang menjadi dasar kepercayaan adanya Imam Mahdi

A. HADITS-HADITS MAHDIYYAH VERSI SYI'AH YANG ERAT KAITANNYA DENGAN AHLUL-BAIT

01. Dari 'Ali r.a., bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "al-Mahdi itu adalah dari (keturunan) kami, Ahlul-Bait, Allah akan memperbaikinya dalam satu malam." (HR. Ahmad).

02. Dari Ummu Salamah, ia berkata: "Aku dengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi itu adalah dari keturunanku, yakni putera Fatimah." (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, Tabrani, dan al-Hakim).

03. Dari 'A'isyah r.a., ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi itu adalah seorang laki-laki dari keturunanku, ia berperang atas dasar sunnahku, sebagaimana aku berperang atas dasar wahyu." (HR. Nu'aim ibn Hammad)

04. Dari Huzaifah r.a., berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi itu adalah seorang laki-laki dari anak keturunanku, warna-(kulit)-nya, warna Arab, (postur) tubuhnya, tubuh orang Israil, pada pipi sebelah kanan ada tai lalat. Seakan-akan dia seperti bintang bercahaya, ia memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana dipenuhinya bumi itu oleh kecurangan. Pengikut bumi dan langit, burung di udara merasa senang pada kekhilafannya." (HR. Rauyani dan Abu Nu'aim) .

05. Dari Husain r.a., bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Gembirakanlah hai Fatimah, al-Mahdi itu dari (keturunanmu)." (HR. Ibn 'Asakir)

Page 87: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 87

06. Dari Huzaifah r.a., berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Bersabda: "Al-Mahdi itu adalah seorang laki-laki dari anak(keturunan)ku, wajahnya seperti bintang bercahaya." (HR. Rauyani dan Abu Nu'aim)

07. Dari 'Ali dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya masa itu hanya tinggal sehari, pastilah Allah mengutus seorang laki-laki (al-Mahdi) dari Ahl Bait-ku yang akan memenuhi masa itu dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kecurangan." (HR. Abu Dawud)

08. Dari Ibn Mas'ud dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Nama al-Mahdi adalah Muhammad." (HR. Nu'aim ibn Hammad)

09. Dari 'Ali r.a., dan ia memandang puteranya Hasan, maka ia berkata: "Sungguh anakku adalah seorang sayyid, sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menamakannya. Dan akan lahir seorang laki-laki dari tulang sulbi (punggung)nya yang diberi nama dengan nama nabi kalian (Muhammad) Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang menyerupai perangainya, tetapi tidak serupa kejadian (penciptaan)nya, kemudian menyebutkan sebuah kisah (al-Mahdi) akan memenuhi bumi dengan keadilan." (HR. Abu Dawud)

10. Nari Abu Sa'id r.a. dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi itu dari (keturunan)ku, keningnya luas, hidungnya mancung, dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana bumi itu dipenuhi oleh kezaliman dan kecurangan, ia berkuasa selama tujuh tahun." (HR. Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Ibn Majah, Nu'aim ibn Hammad, dan al-Hakim)

11. Dari Abu Sa'id r.a., dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi itu dari (keturunan) kami Ahlul-Bait, seorang laki-laki dari ummatku, hidungnya mancung, dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kecurangan." (HR. Abu Nu'aim)

12. Dari Anas r.a., "Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Kami tujuh orang putera 'Abdul-Muttalib yang menjadi penghulu ahli surga: Aku, Hamzah, 'Ali, Ja'far, Hasan, dan Husain, dan al-Mahdi." (HR. Ibn Majah dan Abu Nu'aim)

13. Dari 'Auf ibn Malik r.a., bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan datang fitnah yang gelap gulita, yang diikuti oleh fitnah-fitnah yang satu terhadap yang lain, sehingga keluarlah seorang laki-laki dari Ahlul-Bait-ku yang disebut al-Mahdi. Maka apabila kamu menjumpainya, ikutilah dia, dan jadilah kamu tergolong orang yang mendapat petunjuk." (HR. Tabrani)

14. Dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengingatkan: "Akan menimpa ummat ini suatu bencana sehingga tidak ada tempat untuk berlindung yang dapat melindunginya dari (tindak) kezaliman, kemudian Allah mengutus seorang laki-laki dan keturunan Ahlul-Bait-ku. Maka dia memenuhi bumi dengankeadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kezaliman, penghuni langit dan bumi merasa senang kepadanya. Langit tidak menyerukan sesuatu pun dari titik-titik

Page 88: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 88

hujannya, kecuali ia menurunkannya dengan deras, dan bumi tiada (pula) menyerukan sesuatu pun dari tumbuh-tumbuhannya, sehingga orang yang telah mati (bisa hidup kembali). Al-Mahdi saat itu hidup tujuh atau delapan tahun (lamanya)." (HR. al-Hakim)

15. Dari 'Ali al-Hilali r.a., bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada (puterinya) Fatimah: "Demi Tuhan yang mengutus aku membawa kebenaran, sesungguhnya dari kedua (puteramu) yakni Hasan dan Husain, Mahdi ummat ini, apabila dunia telah menjadi goncang karena pertempuran, fitnah merajalela, jalan-jalan terputus, sebagian(manusia) menyerang satu sama lain, maka yang tua tiada (lagi) sayang kepada yang muda, dan yang muda tiada lagi menaruh hormat kepada yang tua. Maka pada saat itu Allah mengutus dari (keturunan) Hasan dan Husain, seorang yang akan membobol benteng kesesatan dan hati-hati yang pekat. Dia akan menegakkan agama (Islam) pada akhir zaman, sebagaimana aku (Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) menegakkan agama itu di masa pertama. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana ia dipenuhi oleh kecurangan." (HR. Tabrasõi dan Abi Nu'aim)

16. Dari 'Ali ibn Abi Talib, bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Apakah al-Mahdi itu dari (keturunan) kita atau selain kita, ya Rasulullah?" Jawab Nabi: "Bahkan dari (keturunan) kita. Pada kita Allah menutup (para nabi) sebagaimana pada kita Allah telah memberi kemenangan. Karena kitalah (manusia) terselamatkan dari kemusyrikan, dan karena kita pula Allah menjinakkan diantara hati-hati mereka, sesudah permusuhan yang jelas, sebagaimana Allah telah menjinakkan hati-hati mereka sesudah permusuhan (karena) syirk?" (HR. Tabrani)

17. Dari Ibn Mas'ud r.a., ia berkata: Nabi bersabda": "Seandainya (umur) dunia tinggal satu malam saja, pasti Allah memanjangkan malam itu, sehingga seorang dari Ahlul -Baitku berkuasa, namanya serupa dengan namaku, dan nama bapaknya serupa dengan nama ayahku. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kezaliman dan kecurangan, dan ia membagi-bagikan harta secara rata. Dan Allah menjadikan hati ummat ini merasa kaya, maka ia (al-Mahdi) menetap (di bumi) selama tujuh atau sembilan (tahun) dan sesudah itu, tidak ada lagi kebaikan dalam hidup." (HR. Abu Nu'aim)

B. HADITS-HADITS MAHDIYYAH VERSI 'ABBASIYYAH YANG JUGA BERHUBUNGAN DENGAN AHLUL-BAIT, ATAU HANYA MENUNJUKKAN IDENTITAS KELOMPOK ATAU GOLONGANNYA.

1. Dari Ibn Masud r.a., ia berkata: Sewaktu kami berada di samping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tiba-dba datang sekelompok pemuda dari Bani Hayim, maka setelah nabi melihat mereka, tergenanglah air matanya dan berubahlah warna (muka)nya. Maka aku pun bertanya: "Kami senantiasa melihat wajahmu (berubah) ada sesuatu yang dibencinya," maka ucap beliau: "Sungguh kami dari Ahlul-Bait, yang Allah telah memilihkan untuk kami kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Dan sesunggunnya Ahlul-Bait-ku sesudahku nanti akan menemui bencana dan pengusiran sehingga datang sekelompok orang dari sebelah timur yang membawa bendera

Page 89: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 89

hitam. Mereka menuntut hak, maka hak itu tidak diberikan lalu mereka memeranginya, mereka pun kemudian memperoleh kemenangan. Selanjutnya apa (hak) yang telah mereka minta itu diberikan, tetapi mereka tidak mau menerimanya, sehingga mereka memberikannya kepada seorang laki-laki dari Ahlul-Bait-ku. Kemudian dia memenuhinya (bumi) dengan keadilan sebagaimana dipenuhinya (bumi) itu oleh kecurangan. Maka barangsiapa diantara kalian yang menjumpai yang demikian itu, hendaklah mendatangi mereka sekalipun harus merangkak diatas salju, maka sebenarnya merekalah al-Mahdi." (HR. Ibn Abi Syaibah, Nu'aim ibn Hammad dan Ibn Majah dan Abu Nu'aim)

2. Dari Sa'id ibn Musayyab, ia berkata: Rasulullah bersabda: "Bendera-bendera hitam milik Bani muncul dari Arab timur, kemudian mereka tinggal (disitu) selama dikehendaki Allah, kemudian (pasukan) kecil berbendera hitam muncul memerangi seorang laki-laki dari putera Abu Sufyan dan kawan-kawannya, dari sebelah timur, mereka diharuskan taat pada al-Mahdi." (HR. Nu'aim ibn Hammad)

3. Dari Sauban r.a., ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga (orang) kesemuanya adalah putera Khalifah akan berperang dekat tempat perbendaharaanmu, kemudian tidak seorang pun dari mereka yang memperolehnya. Lalu dari arah timur muncul (pembawa) bendera-bendera hitam memerangi kalian, dengan (cara) berperang yang belum pernah digunakan oleh suatu kaum pun kemudian datang Khalifatullah al-Mahdi. Apabila kalian mendengarnya, maka datangilah dia dan berbai'atlah padanya, sekalipun (harus) merangkak diatas salju, maka sesungguhnya dia adalah Khalifatullah al-Mahdi. (HR. Ibn Majah, al-Hakim, dan disahihkan oleh Abu Nu'aim)

4. Dari Sauban al-Baihaqi, berkata: RasululIah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila kalian melihat bendera-bendera hitam datang dari Khurasan, maka datangilah dia, sesungguhnya disana ada Khalifatullah al-Mahdi." (Musnad Imam Ahmad dalam Dala'ilun-Nubuwwah. Juga diriwayatkan oleh Nu'aim ibn Hammad, al-Hakim, dan Abu Nu'aim.)

5. Dari 'Amr ibn Yasir, berkata: Rasulullah bersabda: "Hai 'Abbas! Sesungguhnya perkara ini (kepemimpinan ummat), Allah telah memulai dengan (mengutus) aku, dan akan diakhirinya oleh seorang laki-laki dari putera (keturunan)-mu, Dia akan memenuhinya (bumi) dengan keadilan sebagaimana bersama-sama 'Isa a.s." (Lihat dalam Kanzul-'Ummal, Juz VII, hlm. 177)

C. HADITS-HADITS MAHDIYYAH VERSI UMAYYAH

1. Dari 'Ali, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan muncul seorang laki-laki dari belakang (lembah) sungai yang disebut al-Haris seorang petani yang didahului oleh seorang laki-laki yang disebut Mansur. Dia tinggal atau menetap bersama keluarga Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana orang Quraisy tinggal bersama Rasululluh Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan wajib bagi setiap Mukmin menolongnya atau memenuhi ajakannya."

Page 90: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 90

2. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda: "Ya Allah jadikanlah dia pemimpin dan al-Mahdi." (HR. Tirmizi)

Tampaknya hadits Mahdiyyah seperti ini, tidak banyak ragamnya, namun demikian, dengan disebutnya nama al-Mansur, jelas hadits Mahdiyyah tersebut menunjukkan identitas Bani Umayyah.

D. HADITS-HADITS MAHDIYYAH YANG BERSIFAT UMUM, TANPA MENYEBUTKAN IDENTITAS KELOMPOK TERTENTU

01. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan ada diantara ummatku al-Mahdi, jika umurnya pendek maka (sampai) tujuh, jika tidak, maka delapan dan jika tidak juga, maka sembilan tahun. Ummatku akan memperoleh kenikmatan yang belum pernah mereka perolehnya seperti itu, (baik dari golongan) orang baik-baik di antara mereka maupun dari orang jahat. Allah akan menurunkan hujan lebat pada mereka, dan bumi tidak akan menahan tumbuh-tumbuhan sedikit pun, dan harta benda akan bertumpuk-tumpuk. Seorang berseru, "Hai Mahdi! berikanlah harta itu kepadaku!" Maka jawabnya: "Ambillah"! (HR. ad-Daruqutni dar Tabrani)

02. Dari Abu Sa'id r.a., Sungguh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Telah bersabda": "Al-Mahdi akan muncul dari ummatku, Tuhan akan menurunkan hujan untuk manusia, ummat akan merasa senang, ternak hidup (dengan aman), dan bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya dan harta akan diberikan dengan merata." (HR. Abu Nu'aim dan al-Hakim)

03. Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a., dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Sungguh dari ummatku (nanti) akan muncul al-Mahdi, yang hidup (bersama pengikutnya) lima, tujuh, atau sembilan - Sa'id yang meriwayatkan hadits ini - ragu-ragu. Lalu kami bertanya, apa maksudnya yang demikian itu?" Ia menjawab: "Tahun." Sabda Nabi selanjutnya: "Maka datanglah seorang laki-laki kepadanya, lalu berkata: "Hai Mahdi berilah aku!" Kata Mahdi: Kemudian ia datang kepadanya membawa (sesuatu) dengan kainnya sekuat-kuat ia membawanya." (HR. Tirmizi dan katanya ini hadits hasan-sahih)

04. Dari Abu Sa'id r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda: "Ketika masa (kedamaian) terhenti, dan fitnah merajalela (datang) seorang laki-laki yang disebut al-Mahdi yang pemberiannya dapat menenangkan." (HR. Nu'aim dan Abu Nu'aim)

05. Dari Abd Sa'id r.a., bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan ada (nanti) di kalangan ummatku seorang bernama al-Mahdi, jika umurnya sedang, maka tujuh, apabila tidak, maka sembilan (tahun tinggal bersama pengikutnya). Ummatku akan mendapat kenikmatan yang belum pernah terdengar sama sekali nikmat seperti itu. (Tumbuh-tumbuhan) akan memberikan hasilnya dan tak ada sesuatupun yang ditahannya dari mereka. Harta pada saat itu bertimbun-timbun lalu berdirilah seorang lelaki dan berkata: "Hai Mahdi berilah aku (sesuatu)." Jawabnya: "Ambillah olehmu." (HR. Ibn Majah)

Page 91: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 91

06. Dari ibn 'Umar r.a., berkata, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi akan muncul dan kepalanya bersorban. Besertanya seorang penyeru yang berseru (kepada orang banyak) - Inilah Mahdi Khalifatullah, karena itu ikutilah dia. (HR. Abu Nu'aim)

07. Dari 'Umar r.a., ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Al-Mahdi akan muncul dan diatas kepalanya ada malaikat yang berseru: Ini adalah al-Mahdi, karena itu ikutilah dia!" (HR. Abu Nu'aim)

08. Dari 'Abdullah ibn Sa'id az-Zubaidi berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Manusia akan keluar dari arah timur menyerahkan kekuasaan kepada al-Mahdi." (HR. Ibn Majah dan Tabrani)

09. Dari 'Amr ibn 'As berkata: "Tanda akan munculnya al-Mahdi, apabila ada pasukan tentara terbenam di daerah Baida' (antara Mekkah dan Madinah), maka itulah tanda keluarnya Mahdi." (HR.Nu'aim)

10. Dari Abu Sa'id r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda: "Aku beri kalian kabar gembira tentang al-Mahdi yaitu, dia seorang laki-laki dari suku Quraisy, yang dikirim untuk ummatku ketika manusia dalam perselisihan dan keguncangan. Maka ia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan dan kezaliman. Penghuni langit dan bumi akan merasa senang kepadanya. Ia akan membagi-bagikan harta benda secara benar (adil), kemudian ada seorang laki-laki bertanya kepadanya: "Apakah arti benar itu"? Jawabnya: "Diantara manusia (akan memperoleh bagian) yang sama. Dan hati ummat Muhammad akan dipenuhi oleh rasa kaya, dan keadilannya merata (diantara) mereka, sehingga dia menyuruh seorang penyeru yang berseru: "Barang siapa butuh (pertolongan) ku, maka tak seorang pun yang datang kepadanya, kecuali seorang laki-laki, lalu ia meminta sesuatu kepadanya." Al-Mahdi berkata: Datanglah kepada petugas yang mengurusnya, sehingga ia memberimu!" Kemudian ia datang kepadanya (petugas itu) dan mengatakan: "Aku adalah utusan Mahdi kepadamu, agar kamu memberiku harta kepadaku." Selanjutnya ia menyatakan: "Akulah diantara ummat Muhammad seluruhnya yang paling loba nafsunya, mereka semua (jika) diiming-iming dengan harta ini, maka ia tinggalkan harta itu, selain aku, lalu harta itu dikembalikan kepadanya, lalu berkatalah petugas itu: "Sungguh kami tidak akan menerima lagi apa yang telah kami berikan." Maka tinggallah Mahdi (bersama pengikutnya) dalam keadaan yang demikian itu, enam, atau tujuh, atau delapan, atau sembilan tahun. Dan sepeninggalnya tidak ada lagi kehidupan yang sebaik itu." (HR. Ahmad, al-Mawardi, dan Abu Nu'aim)

11. Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a., dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Akan berkumpullah bersama-sama al-Mahdi, ummat (pengikut)nya seperti berkumpulnya lebah pada ratunya. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kecurangan sehingga manusia menjadi sebagaimana halnya keadaan mereka yang mula-mula, tidak membangunkan orang yang tidur dan tidak pula mengalirkan darah." (HR. Nu'aim ibn Hammad)

Page 92: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 92

E. HADITS-HADITS MAHDIYYAH YANG MENUNJUKKAN ADANYA DUA PERSON YANG BERBEDA, ANTARA AL-MAHDI DENGAN 'ISA AL-MASIH

1. Dari Jabir r.a., ia berkata: Rasulullah bersabda: "'Isa ibn Maryam akan turun, lalu ia bersabda: Pemimpin mereka (ummat Islam saat itu) adalah al-Mahdi. Marilah salat bersama kami. Ia menjawab: "Ingatlah! Bahwasanya sebagian kamu menjadi pemimpin pada sebagian yang lain, sebagai penghormatan Allah kepada ummat (saat) ini." (HR. Abu Nu'aim)

2. Dari Jabir ibn 'Abdillah r.a., berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Segolongan ummatku akan selalu berperang membela kebenaran, sehingga turunlah 'Isa ibn Maryam pada saat fajar terbit di Baitul-Maqdis (Palestina). Ia turun pada al-Mahdi, maka dikatakan: "Majulah hai Nabi Allah! dan salatlah bersama kita." Maka ia berkata: "Ummat ini menjadi pemimpin (amir) sebagian yang satu pada sebagian yang lain." (HR. Ibn Amr ad-Dani)

3. Dari Khuzaifah r.a., berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Mahdi memalingkan mukanya, dan sungguh 'Isa ibn Maryam telah turun seakan-akan air menetes dari rambutnya, maka berkatalah Mahdi: Majulah kemuka dan salatlah bersama-sama manusia. 'Isa menjawab: "Sesungguhnya salat itu diiqamati adalah untukmu, lalu salatlah 'Isa al-Masih di belakang seorang laki-laki (al-Mahdi) dari anak keturunanku." (HR. Abu 'Amr ad-Dani)

4. Dari Abu Umamah r.a., ia berkata: Rasulullah telah berkhutbah pada kita dan beliau menyebut-nyebut tentang dajjal, dan bersabda: "Kota Madinah akan bersih dari kotoran yang mengotorinya, sebagaimana seperti alat peniup api (tukang besi) membersihkan kotoran besi. Hari itu akan disebut sebagai hari kelepasan (Yaumul-Khalas)." Ummu Yuyaik berkata: "Dimanakah saat orang-orang Arab hai Rasulullah?" Nabi menjawab: "Mereka pada hari itu sedikit (jumlahnya) kebanyakan mereka berada di Bait al-Maqdis dan imam mereka adalah al-Mahdi, seorang laki-laki saleh. Sewaktu imam mereka telah maju (untuk) salat subuh bersama mereka, tiba-tiba turunlah 'Isa ibn Maryam kepada mereka waktu itu. Maka imam pun surut ke belakang supaya dia 'Isa menjadi imam. Kemudian ia meletakkan tangannya diantara kedua bahunya kemudian Isa berkata kepada al-Mahdi: "Majulah (sebagai imam) dan salatlah, maka sebenamya salat yang telah diiqamati itu adalah untukmu." Maka salatlah bersama mereka imam mereka." (HR. Ibn Majah, Ibn Khuzaimah, Abu 'Uwanah, al-Hakim, Abu Nu'aim)

5. Dari Ibn 'Abbas r.a., ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan binasa suatu ummat, yang aku sebagai pemulanya, 'Isa ibn Maryam sebagai penutupnya, dan al-Mahdi pada pertengahannya." (HR. Abu Nu'aim)

F. HADITS-HADITS MAHDIYYAH YANG MENGIDENTIKKAN ANTARA 'ISA AL-MASIH DENGAN AL-MAHDI. HADITS-HADITS BERIKUT INILAH YANG DIPEGANGI OLEH GOLONGAN AHMADIYAH

Page 93: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 93

1. Dari Anas ibn Malik dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: "Tidak seorang pun (sebagai) al-Mahdi, kecuali 'Isa ibn Maryam." (HR. Baihaqi dan al-Hakim)

2. "Hampir dekat masanya, orang yang hidup di antara kalian, akan berjumpa dengan 'Isa ibn Maryam sebagai Imam Mahdi."

3. Dari Anas r.a., Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Keadaan (manusia) tidak akan bertambah, kecuali hanya kesusahan, dunia tiada bertambah (damai) melainkan semakin surut ke belakang, tiada bertambah (sikap) manusia kecuali semakin loba, tidaklah hari kiamat akan terjadi, melainkan manusia semakin bertambah jahat, dan tiada Mahdi akan muncul kembali 'Isa ibn Maryam." (HR. Ibn Wajah)

4. Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Hampir (tiba masanya) orang yang hidup antara kalian akan berjumpa dengan 'Isa ibn Maryam sebagai Imam Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad)

5. Nabi bersabda, bahwa al-Mahdi akan menyatakan: "Dan barang siapa ingin melihat 'Isa al-Masih dan Sam'un, maka aku inilah (Mahdi) orangnya." (Birhar al-Anwar, juz 13, hlm. 202)

6. Dari Khuzaifah ibn Yaman, berkata: "RasululIah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila telah lewat 1240 tahun, Allah akan mengutus al-Mahdi." (an-Najmus-Saqif, Juz: II, halaman 209)

Golongan Ahmadiyah memandang hadits tersebut sebagai ramalan Nabi yang tepat, karena menurut mereka, Mirza Ghulam Ahmad yang dipandang sebagai al-Mahdi telah lahir pada tahun 1250 H, dan mendakwahkan dirinya sebagai al-Mahdi dan al-Masih, tahun 1290. Dan kelahirannya tersebut ditandai dengan terjadi dua kali gerhana, yaitu gerhana bulan di awalRamadan dan gerhana matahari dipertengahannya, sebagai dinyatakan dalam hadits berikut ini:

7. Dari Muhammad ibn 'Ali berkata: "Sesungguhnya (kelahiran) Mahdi kita, ditandai oleh dua hal yang belum pernah terjadi sejak Allah mencipta langit dan bumi. Yaitu gerhana bulan dipermulaan bulan Ramadan dan gerhana matahari dipertengahannya. Keduanya tidak pernah terjadi sejak Allah mencipta langit dan bumi." (HR. ad-Daruqutni)

8. Dari 'Amr ibn 'As berkata: "Tanda (akan munculnya) al-Mahdi yaitu apabila ada pasukan perang terbenam di Baida, maka dia itulah tanda keluarnya al-Mahdi."

G. HADITS-HADITS MAHDIYYAH MENGENAI TEMPAT KELUARNYA AL-MAHDI

1. Dari Qatadah r.a., berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Mahdi akan muncul dari Madinah ke Makkah. Kemudian ia dikeluarkan oleh orang-orang dari tengah-tengah mereka. Lalu mereka berbai'at kepadanya di antara rukun dan macam, sedang ia tidak menyukainya." (HR Nu'aim ibn Hammad)

Page 94: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 94

2. Dari Ibn 'Amr r.a., berkata: Nabi bersabda: "Al-Mahdi akan keluar dari sebuah kampung yang disebut Kar'ah." (HR. Abu Nu'aim dan Abu Bakr al-Maqri)

3. Nabi bersabda: "Al-Mahdi akan keluar dari suatu kampung yang disebut kampung Karimah." (HR. Abu Nu'aim)

4. "Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung yang disebut Kadi'ah." (Jawahirul-Asrar, karya Syaikh 'Ali Hamzah ibn 'Ali at-Tusi)

5. Rasulullah bersabda: "Akan muncul bintang berekor di sebelah timur sebelum keluarnya al-Mahdi." (HR. Nu'aim)

6. Dari Husain ibn 'Ali, ia meriwayatkan: "Apabila kalian melihat tanda api besar di langit di sebelah timur, yang keluar di malam hari, maka saat itu manusia akan mendapat kelapangan dan diwaktu itulah kehadiran al-Mahdi."

7. "Jika kalian melihat nyala api di sebelah timur, tiga atau tujuh hari, maka haraplah kelapangan keluarga Muhammad insya Allah." (HR. Imam Muhammad ibn Bakir)

Catatan kaki: Pendahuluan

1. Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 57 2. Al-Mawdudi, Ma hiyal-Qadiyaniyah, (Kuwait: Darul-Qalam, hlm. 22, 25).

Selanjutya lihat pula Susmoyo Djoyo Sugito, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki, (Pedoman Besar Ahmadiyah Lahore Indonesia, 1984), hlm. 6-8.

3. Dwight M. Donaldson, 'Aqidah asy-Syi'ah, terj. dalam bahasa Arab, selanjutnya disebut Donaldson (Mesir: Matba'ah as-Sa'adah, tt.), hlm. 231.

Catatan kaki: Faham Mahdi Syi’ah 1. Keberadaan Ibn Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi masalah yang kontroversial,

sementara penulis-penulis Islam modem ada yang tidak meyakini keberadaannya. Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt dalam salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai mitos bikinan kaum Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan pengakuan penulis-penulis Muslim terdahulu baik dari kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari, al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani, Ibnul-Asir dan lain-lainnya. Sedang dan penulis-penulis Muslim belakangan, antara lain: Ahmad Syalabi, Ahmad Amin dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui keberadaan Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya namun mereka tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah. Dalam kaitan ini, Ahmad Syalabi menandaskan, adanya sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn Saba' yang ditulis oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada al-Askari. Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya bahwa Abdullah ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu hanya cerita bohong cerita itu telah diciptakan oleh seorang yang bernama Saif ibn 'Umar yang meninggal 170 tahun sesudah Hijrah.L Riwayatnya ini bertentangan dengan kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis

Page 95: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 95

buku tersebut, juga membawa kebohongan, yang penting, demikian Ahmad Syalabi, bukan masalah nama, akan tetapi kebenaran tokoh sesat dan menyesatkan itu memang benar-benar ada. Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas, dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol.III, hlm. 145-146.

2. Donaldson op. cit., hlm. 230. 3. Ahmad Amin, Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut Duhal-Islam III (Kairo: Maktabah

an-Nahdah al-Misriyyah, 1964), hlm. 235-6. 4. H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947),

hlm. 310. 5. Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-

Mar'i 1965), hlm. 270. 6. Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi Syarhil-Milal wan Nihal, ed. Dr.

Mahmud Jawad Masykur, Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81. 7. Maulana Muhammad 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His Life and Mission,

(Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, 1959), hlm. 17. 8. Donaldson, op.cit., hlm. 32. 9. Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II, (Darus-Sadir, 1965), hlm. 317. 10. Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471. 11. Donaldson, op. cit., hlm. 55. 12. Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:

Mizan, 1983), hlm. 140. 13. Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah, vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt),

hlm. 36. 14. Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7. 15. Pada prinsipnya kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan Saba'iyyah sebagai

sektenya, tetapi kaum Sunni pada umurnnya memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.

16. Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah Tarjumann as-Sunnah, 1984), hlm. 163.

17. Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1977), hlm. 171. 18. Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186. 19. Ibid., hlm. 187. 20. Ahmad Syalabi, Mausu'atut-Tarikhul-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah:

Maktabah an-Nahdatul-Mõsriyyah, 1978), hlm. 147-8. 21. Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82. 22. Abul-Fath 'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya disebut asy- Syahrastani, al-Milal

wan-Nihal, (Beirut: Darul-Fikr, tt.), hlm. 149. 23. Ibid., hlm. 151. 24. Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2. 25. Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,selanjutnya disebut Ibn Khaldun,

(Darul-Fikr, tt.), hlm. 200. 26. Ibid., hlm. 162. 27. 'Ali adalah satu-satunya putera Husain yang selamat dari pembantaian tentara Yazid,

sewaktu Husain terbunuh di padang Karbela Sikapnya yang pemurung dan sesing menangis karena teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata Arab]. Pengikut aliran ini

Page 96: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 96

kemudian membuat cerita fiksi bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswat bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta petunjukTuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.

28. Donaldson, op. cit., hlm. 123. 29. Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216. 30. Aliran Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup bergelimang dalam kesenangan

dan kemewahan serta membebaskan pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini juga dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti 'Abbasiyyah.

31. Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7. 32. Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6. 33. As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235. 34. Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3. 35. Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190. 36. Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170. 37. Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188. 38. Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6. 39. As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362. 40. Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270. 41. Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218. 42. Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239. 43. Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352. 44. Muhammad al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami, (Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-

'Arabiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, 1948), hlm. 88. 45. Ibid, hlm. 88-9.

Catatan kaki: Faham Mahdi Ahmadiyah

1. Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Panitia Penerbit, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966), hlm. 27.

2. K. 'Ali History of India, Pakistan & Bangladesh, (Dacca: 'Ali Publication, 1980), hlm. 496. 3. Maulana Muhammad Ali, Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, His Life and Mission, (Lahore:

Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, 1959), hlm. 12. 4. Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, (New Delhi: Usha Publication, 1979), hlm.

368. 5. Abul-A'la al-Maududi, Ma Hiyal-Qadiyaniyyah, selanjutnya disebut al-Maududi, (Beirut:

Darul-Qalam Kuwait, 1969), hlm. 12. 6. Ibid., hlm. 12-3. 7. Ibid. 8. Wilfred Cantwell Smith. op. cit., hlm. 369. 9. S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, (Yogyakarta: PP. Yayasan

Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hlm. 71-2; Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Selayang Pandang, (Yogya Rapem, 1979), hlm. 25.

10. Saleh A. Nahdi, Masalah Imam Mahdi, (Surabaya Raja Pena, 1966), hlm. 9.

Page 97: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 97

11. Maulana Sadiq H. A., "Kedatangan al-Masih dan al-Mahdi," Sinar Islam, Februari 1980, hlm. 21.

12. Ibid., hlm. 19-20. 13. Al-Maududi, op. Cit., hlm. 22. 14. Maulana Muhammad 'Ali, op. Cit., hlm. 2. 15. Ibid., hlm. 17. 16. Mirza Ghulam Ahmad, Itmamul-Hujjah'alal-Lazi Lajja wa Zaga'anil-Mahajjah, (Lahore:

Kalzar Muhammadi, 1311 H), hlm. 3. 17. Al-Maududi, op. cit., hlm. 23. 18. Ibid., hlm. 24. 19. Maulana Muhammad 'Ali, op. cit., hlm. 8-10. 20. Ibid., hlm. 15. 21. Mirza Ghulam Alunad, Hamamat al-Busyra ila Ahlil-Makkata wa Shulaha'i Ummil-Qura,

(Sialkot Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fashih, 1311 H/ 1892 M), hlm. L9. Selanjutnya disebut Hamamat al-Busyra.

22. Maulana Muhammad 'Ali, op. Cit., hlm. 20. 23. Al-Maududi, op. Cit., hlm. 16-9. 24. Maulana Muhammad 'Ali, op. cit., hlm 21-2. 25. Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 255. 26. Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985),

hlm. 21. 27. Ibid., hlm. 22. 28. HAR. Gibb and J.H. Kramers, op. cit., hlm. 44. 29. Nazir Ahmad, al-Qawl as-Sharih fi Zuhur al-Mahdiy wa al-Masih, (Lahore: Nawa-i Waqt

Printers Ltd., 1389/1970), hlm. 66. 30. S. Ali Yasir, op. Cit., hlm. 35-6. 31. Hamamatul-Busyra, op. cit., hlm. 29-30. 32. Susmoyo Djoyosugito., op. cit., hlm. 4. 33. Team Dakwah PB GAI, 'Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, (Bagian Tablig

dan Tarbiyah, 1984), hlm. 9. 34. Muhammad Shadiq, H.A., Analisa Tentang Khatam al-Nabiyyin (Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, 1984), hlm. 12. 35. Nazir Ahmad, op. cit., hlm. 195. 36. Hamamatul Busyra. op. cit.. hlm. 313. 37. Al-Maududi, op. cit., hlm. 32. 38. Al-Maududi, op. cit., hlm. 115. 39. Ibid., hlm. 116. 40. Nazir Ahmad, op. cit., 69-70. 41. Ibid., hlm. 81. 42. Ibid.

Catatan kaki: Perbandingan Antara Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah

1. Duhal-Islam III, op. Cit., hlm. 236. 2. Ibid. 3. Donaldson, op. Cit., hlm. 231. 4. H.M. Arsyad Thalib Lubis, Imam Mahdi, (Medan: Firma Islamiyah, 1967), hlm. 36, et. Seq.

Page 98: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 98

5. Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 312-3, 322. 6. Al-Maududi, op. cit., hlm. 159-60. 7. Ibid., hlm. 159-160. 8. H.M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 36. 9. Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 241-2. 10. W. Montgomery Watt, The Majesty That was Islam, (London: Sidgwick & Jackson, 1974),

hlm. 170; Syah 'Abdul-'Aziz Gulam Hakim ad-Dihlawi, Mukhtasarut-Tuhfah al-Isna Asyariyyah, ed . Muhammad Syukri al-Alusi (Istanbul: Isik Kitabevi, 1980), hlm. 199.

11. Ibid., hlm. 170-1. 12. Fazlur Rahrnan, op. cit., hlm. 172. 13. Duhal-Isram III, op. cit., hlm. 243. 14. Kaum Sufi yang dimaksud disini ialah mereka yang pernah bergabung dengan Syi'ah

Isma'iliyyah yang terkemudian mengajarkan tentang al-qatb dan abdal. 15. Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 179. 16. Kata "Mesiah" berasal dari bahasa Ibrani "Mashiat," dalam bahasa Arab disebut al -

Masih, yang berarti seorang yang diusap dengan minyak kesturi. Demikian pula kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Christos," yang selanjutnya dikenal dengan Juru Selamat sebagai yang dikenal sekarang.

17. H.M. Rasyidi, "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan," Prisma VI, (Januari, 1977), hlm. 45.

18. Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 250-1. 19. Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hlm. 250-1. 20. Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 327. 21. Donaldson, op. cit., hlm. 232. 22. Departemen Agama, "Potensi Organisasi Keagamaan Ahmadiyah Qadian," vol. II,

(Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kanwil Departemen Agama Semarang, 1984/1985), hlm. 33.

23. Tim Dakwah PB. GAI, op. cit., hlm. 23. 24. Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 362. 25. Ibid., hlm. 376 et.seq. 26. Peter Worsley,The Trumpet Shall Sound, (New York: Schocken Book 1974), hlm. 22-224. 27. Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322. 28. Ihsan Ilahi Zahir, op. Cit., hlm. 396-397.

Catatan kaki: Faham Kewahyuan Syi'ah dan Ahmadiyyah

1. H.L Beck dan N.J.G. Kaptein, eds., Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam Jilid I, terj., Sukarsi (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 45.

2. Subhi Salih, Mabahisul-Quranil-KLarim (Kairo: Darul-Ittihad lit-Tiba'ah, 1977), hlm. 82, 83. 3. Sya'ban Muhammad Isma'il, Ma'al-Quranil-Karim (Kairo: Darul-Ittihadil-'Arabi lit-Tiba'ah,

1978) hlm. 85. 4. Subhi Salih, op. Cit., hlm. 24. 5. Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid (Mesir: Maktabah wa Matba'ah Muhammad 'Ali

Sabih wa Auladuh, 1978), hlm. 84. 6. Mana' Qattan, op. Cit., hlm. 261. 7. Sya'ban Muhammad Isma'il, op. cit., hlm. 89, 90.

Page 99: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 99

8. Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi, Mukhtasar at-Tuhfatul-Isna 'Asyariyyah (Turki: Isik Kitabevi, 1980), hlm. 10; 24. Selanjutnya disebut ad-Dihlawi.

9. Subhi Salih, Mabahis fi 'Ulumil-Quran (Kairo: Darul-Ittihad al-'Arabi lit Tiba'ah, 1977), hlm. 83.

10. Ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 30. 11. Ibid., hlm. 52. 12. Ibid., hlm. 30, 31. 13. Ibid., hlm. 50. 14. Al-Maududi, Ma Hiyal-Qadiyaniyyah, hlm. 26, Hamamatul-Busyra, hlm. 35-6. 15. Nazir Ahmad as-Siyalkoti, al-Qaulus-Sarih fi Zuhuril-Mahdi (Lahore: Nawa-i-Waqt

Printers Ltd.,1961), hlm. 166. 16. Mirza Ghulam Ahmad, Itmamul-Hujjah 'Alal-Lazi Lajja wa Zagha 'Anil Mahajjah (Lahore:

Matba' Kalzar Muhammadi, 1311 H), hlm. 3. 17. Ibid., hlm. 13. 18. Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa (Jemaat Ahmahdiyah Indonesia, 1985),

hlm. 22-3. 19. Itmamul-Hujjah, op. cit., hlm. 266.

Catatan kaki: Faham Mahdi Dalam Perspektif Rasional

1. 'Ibn Khaldun, op. cit.,hlm. 311-2. 2. Al-Maudidi, op. cit., hlm. 159-60. 3. Ihsan Ilahi Zahir, op. cit., hlm. 401. 4. Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 238. 5. Ibid., Hlm. 219. 6. Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 322. 7. al-Maududi, op. cit., hlm. 216-7. 8. Ahmad asy-Syirbasyi, Yas'alunaka fid-Din wal-Hayah, (Beirut: Darul-Jail, tt.), hlm. 514. 9. Bandingkan dengan Ahmad asy-Syirbasyi, ibid., hlm. 513. 10. M. Arsyad Thalib Lubis, op. cit., hlm. 35 dan 45. 11. Muhammad Farid Wajdi Da'iratul-Maarifil-Qarnil-'Isyrin, (Beirut, Libanon: Darul-Ma'rifah

lit-Tiba'ah wan-Nasyr, 1971), hlm. 480. 12. Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 243. 13. Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 201. 14. Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327. 15. Ibn Khaldun, op. cit., hlm. 327. 16. Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 132-3. 17. Duhal-Islam III, op. cit., hlm. 245.

BIBLIOGRAFI

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah. Darul-Fikril-'Arabi, tt. Ahmad Amin, Duhal-Islam. Juz III, cet. VII. Qahirah: Maktabah an-Nahdatul-Misriyyah, tt. ----------, Zuhurul-Islam. Juz IV. Qahirah: Maktabah an-Nahdatul-Misriyyah, 1964. ----------, Fajrul-Islam. Singapura: Sulaiman Mar'i, 1965 Ahmad, al-Mahdi Lidinillah. Kitabul-Munyah wal-'Amal fi Syarhil-Milal wan-Nihal. Beirut: Darul-Fikr, 1979.

Page 100: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 100

Ahmad Syalabi. Mausu'atut-Tarikhil-Islami wal-Hadaratil-Islamiyyah. Juz III, Qaihrah: Maktabah an-Nahdatul-Misriyyah, 1978. 'Ali, K. History of India, Pakistan, and Bangladesh. Dacca: 'Ali Publications, 1980. 'Ali, Maulana Muhammad. Mirza Ghulam Ahmad of Qadian: His Life and Mission. Lahore: Ahmadiyyah Anjuman Isha'at Islam, 1959. 'Ali, Syed Amir. Api Islam. Terj. HB. Jasin, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Anawati, G.C. Filsafat, Teologi dan Mistik, ed. H.L. Beck dan N.J.B. Kaptein, jilid. I: Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS, 1988. Al-Bahi, Muhammad. Al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami, Juz II, Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah 'Isa al-Babi al-Halabi, 1948. ----------, Al-Fikrul-Islami fi Tatawwurihi. Mesir: Darul-Fikr, 1971. Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al-Quran, 1979. Potensi Organisasi Keagamaan Ahmadiyyah Qadian, Bagian II. Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama tahun 1984-1985, Kanwil Depag Jawa Tengah, Semarang, 1985. Djoyosugito, Susmoyo. Hasrat Mirza Ghulam Ahmad Bukan Nabi Hakiki. Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyyah Lahore Indonesia, 1984. Donalson, Dwight, M. 'Aqidah as-Syi'ah, Terj. dalam Bahasa Arab, Mesir Maktabah as-Sa'adah, tt. Ad-Dihlawi, Syah 'Abdul 'Aziz Ghulam Hakim. At-Tuhfatul-Isna 'Asyariyyah, Ed. Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi. Istambul-Turki: Isik Kitabevi, 1980. Fazlur Rahman. Islam. Chicago and London: University of Chicago Press, 1977. Garib, 'Adullah Muhammad. Sunnah dan Syi'ah Mungkinkah Dipertemukan, Terj. Mustafa Mahdami dan Hasan Husain. Surabaya: Pustaka Anda, 1984. Gibb, H.A.R. Modern Trends in Islam, New York: Octagon Books A Division of Farar Straus and Giroux, 1978. Gibb, H.A.R. and Kramers, Eds. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1947. Ghulam Ahmad, Mirza. Itmamul-Hujjah 'Alal-Lazi Lajja wa Zaga'anil-Mahajjah. Lahore: Kalzar Muhammadi, 1311 H/1892 M. ----------, .Hamamatul-Busyra Ila Ahlil-Mekkah wa Sulaha'I ummil Qura. Sialkot: Al-Munsyi Ghulam Qadir al-Fasih, 1389 H. Ibnul-Asir. Al-Kamil fit-Tarikh, Juz II. Darus-Sadr, 1965. Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Khaldun, 'Abdur Rahman ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. Darul-Fikr, tt. Lubis, H.M. Arsyad Talib. Imam Mahdi. Medan: Firma Islamiyyah, 1967. Al-Maududi, Abul-Ala. Ma Hiyal-Qadiyaniyyah. Kuwait: Darul-Qalam, 1969. Muhammad 'Abduh. Risalatut-Tauhid. Mesir Maktabah wa Matba'ah Muhammad 'Ali Sabih wa Auladih, 1979. Muhammad Isma'il, Sya'ban. Ma'al-Quranil-Karim. Qahirah: Darul-Ittihadil-'Arabi Lit-Tiba'ah, 1978. Al-Mus-awi, Syarafuddin. Dialog Sunnah dan Syi'ah, Terj. Muhammad al -Baqir. Bandung: Mizan, 1983. Nahdi, Saleh A. Masalah Imam Mahdi. Surabaya: Raja Pena, 1966. Nasution, Harun. Teologi Islam, Cet. II. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, tt. Qattaan, Mana' Khalil. Mabahis fi 'Ulumil-Quran. Mansyuratul-'Asril-Hadits, 1973.

Page 101: Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A.

http://www.akhirzaman.info/

Hal. | 101

Rida, Muhammad Rasyid. Al-Wahyul-Muhammadi. Beirut: al-Maktabul-Islami, l971. Rasyidi, H.M. "Imam Mahdi dan Harapan Akan Keadilan," Prisma, VI (Januari, 1977). Shadiq, H.A. Muhammad. Analisa Tentang Khatam an-Nabiyyin. Jamaat Ahmadiyah Indonesia, 1984. ----------, "Kedatangan al-Masih dan al-Mahdi," dalam Sinar Islam II (Februari, 1980). Shiddiqi, Nouruzzaman. Syi'ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Bidang Penerbit Pusat Latihan Penelitian Pengembangan Masyarakat, 1985. As-Siyalkoti, Nazir Ahmad. Al-Qaulus-Sarih fi Zuhuril-Mahdi wal-Masih. Lahore: Nawa'i Waqt Printers Ltd.; 1389 H/1970 M. Asy-Syahrastani, 'Abdul-Fath, 'Abdul-Karim. Al-Milalwan-Nihal, Beirut: Darul-Fikr, tt. Smith, Wilfred Cantwell. Modern Islam in India. New Delhi: Usha Publication, 1979. Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, Terj. Panitia Penerbit. Jakarta: Panitia Penerbit, 1966. Subhi as-Salih. Mabahisul-Quranil-Karim. Qahirah: Darul-Ittiha dil-'Arabi Lit-Tiba'ah, 1977. Tim Dakwah PB GAI. Akidah Gerakan Ahmadiyyah Lahore Indonesia. Bagian Tabligh dan Tarbiyah, 1966. Watt, W. Montgomery. The Majesty That Was Islam. London: Sidgwick & Jackson, 1974. Woslvy, Peter. The Trumpet Shall Sound. New York: Schocken Book, 1974. Zahir, Ihsan Ilahi, As-Syi'ah wat-Tasyayyu'. Lahore Pakistan: Iradah Tarjuman as-Sunnah, 1984. Sumber: http://media.isnet.org/islam/Mahdi/index.html

"Bilamana pemilik Hak Cipta berkeberatan dengan digunakan bahan-bahan miliknya, silahkan menghubungi kami dan dalam kesempatan pertama, insya-Allah kami akan segera

menarik kembali.” ([email protected] )

Semoga bermanfaat