Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

4
P enutupan 16 gereja di Aceh Singkil sekitar awal Mei lalu membuat kita terhenyak. Dari tuntutan pembubaran oleh FPI, intimidasi kepada mereka hingga ketundukan pemerintah kepada kelompok tertentu membuat kita terkejut ini sedemikian rupa. Terkejut karena ini baru kali pertama terjadi. Terkejut karena daerah dengan formalisasi semacam ini ternyata begitu keras menekan minoritas. Tapi ceritanya sedih ini tak berhenti di sini. The WAHID Institute & Yayasan Tifa Fact Sheet Edisi VI, 2012 Beberapa Problem Gereja di Indonesia

description

Beberapa Problem Gereja di Indonesia

Transcript of Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

Page 1: Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

P enutupan 16 gereja di Aceh Singkil sekitar awal Mei lalu membuat kita terhenyak. Dari tuntutan pembubaran oleh FPI, intimidasi

kepada mereka hingga ketundukan pemerintah kepada kelompok tertentu membuat kita terkejut ini sedemikian rupa. Terkejut karena ini baru kali pertama terjadi. Terkejut karena daerah dengan formalisasi semacam ini ternyata begitu keras menekan minoritas. Tapi ceritanya sedih ini tak berhenti di sini.

The WAHID Institute& Yayasan Tifa

Fact Sheet Edisi VI, 2012

Beberapa Problem Gereja di Indonesia

Page 2: Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

Beberapa Problem Gereja di Indonesia

P ada Juli lalu, GKKPD Kampong Sukamakmur Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten

Aceh Singkil nyaris akan dibakar. Pada Selasa pagi (17/07) seorang petugas gereja ini menemukan sebuah pengeras suara dan kaki keyboard yang bisa digunakan di gereja dalam keadaan rusak. Di dekat podium ditemukan jerikan bensin yang masih berisi 10 liter air. Selain itu, ditemukan satu jeriken yang telah gosong. Setelah kejadian ini, gereja dipasangi police line sehingga gereja tidak bisa diakses pada Minggu (22/07) untuk keperluan kebaktian.

Di luar persoalan-persoalan seputar perjanjian 1979 dan Pergub yang ‘menyimpang’ dari Perber tempat ibadah yang telah disinggung pada factsheet edisi sebelumnya, beberapa persoalan juga perlu ditelisik lebih jauh. Pertama, tekanan kelompok radikal Islam di balik kebijakan penutupan 16 gereja. Ancaman yang dimaksud adalah tindakan anarkhisme oleh kelompok, misalnya, FPI jika Pemkab tidak melakukan apapun terhadap gereja ini. Sikap Pemkab yang akhirnya menutup gereja menunjukkan betapa lemahnya birokrasi Pemkab Aceh, sehingga mudah diintervensi. Abdullah Saleh dari Komisi A DPR Aceh menyatakan Pemkab Singkil sebagai “tidak proaktif dan tidak percaya diri”. Selain itu, sikap ini juga menunjukkan tidak adanya visi-

misi yang jelas menyangkut relasi mayoritas-minoritas yang sehat.

Kedua, persoalan tumpang tindih identitas. Terkait GKPD (Gereja Kristen Pakpak Dairi), misalnya, bukan melulu dapat dilihat sebagai soal Kristen, tetapi juga identitas sebagai bagian dari komunitas Pakpak Dairi. Aceh Singkil, menurut pengakuan warga setempat seperti dituturkan ASB (Aliansi Sumut Bersatu), memiliki sejarah yang berbeda dengan narasi besar Aceh secara keseluruhan. Aceh Singkil memiliki pemeluk Kristen dalam jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan daerah lain di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), demikian juga dengan jumlah gereja.

Gereja di daerah ini didominasi oleh gereja suku Gereja Kristen Pakpak Dairi (GKPPD) yang bersambung identitasnya dengan provinsi terdekat dari NAD, Sumatera Utara. Sementara Aceh dengan identik dengan Islam, tidak dengan suku Pakpak Dairi di Aceh Singkil. Ketika penyegelan terjadi, pertarungannya bukan lagi soal peraturan tempat ibadah semata, melainkan pertarungan budaya ‘mayor’ dan ‘minor’. Dua hal ini patut menjadi perhatian.

Problem lainnya yang perlu disoroti adalah prosedur penindakan terhadap gereja atau tempat ibadah lainnya yang dianggap melanggar

Page 3: Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

Fact Sheet Edisi VI, 2012

regulasi karena tidak atau belum memiliki IMB. Peristiwa penyegelan Gereja Paroki Santo Johanes Baptista di Parung pada awal Agustus lalu merupakan persoalan tersendiri. Romo Paroki yakni Rm Albertus Simbol Gaib Partolo Pr. menolak menandatangani berita acara penyegelan gereja mengingat syarat-syarat administrasi tak terpenuhi. Surat ini ternyata tidak ditandatangani oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kab Bogor Dace Supriadi S.H. M.Si sehingga seketika itu pula Rm Simbol membuat surat bernomor 02/ST.JB/VIII/2012. Meski demikian, surat yang cacat secara procedural tetap diberlakukan. Bukan itu saja, jemaat gereja ini juga diancam: bahwa gereja mereka akan dibubarkan jika masih dipergunakan. Cacat prosedural yang terus-menerus diabsahkan untuk tindakan yang diklaim sesuai dengan peraturan tentu saja sangat memprihatinkan.

Persoalan yang juga penting disorot publik adalah soal status lahan itu sendiri. Artinya, kesesuaian peruntukan lahan dengan pendirian tempat ibadah yang selama ini lebih banyak berelasi dengan personal administratif seputar IMB. Dalam hal ini, misalnya, kasus Gereja Tiberias di Kelapa Gading yang diduga menggunakan lahan peruntukan fasum (fasilitas umum) atau fasos (fasiliras sosial). Protes oleh warga

RW 06 Kelurahan Kelapa Gading Jakarta Utara ini yang terdiri dari berbagai macam latar belakang agama, merupakan fenomena baru yang layak dicermati. Protes yang dimaksud sudah diselesaikan melalui jalur PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) namun langkah ini terhenti di tingkat kasasi.

Perkara ini sudah semestinya diselesaikan oleh gubernur dengan cara mencabut SK Gubernur. Warga RW 06 sendiri menuntut Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo mencabut keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 488/2011 tentang perubahan keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 685/200 tentang persetujuan pemanfaatan tanah milik Pemprov DKI Jakarta. Lahan yang dimaksud memiliki luas 4.629 m2 yang terletak di Blok HT-60, Jalan Kelapa Nias, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Jakut kepada Gereja Tiberias.

Dengan duduk perkara semacam ini, keluhan tidak lagi berpusat pada legal atau tidaknya sebuah gereja beroperasi sehingga solusinya adalah penutupan atau penyegelan untuk sementara waktu sampai urusan izin terpenuhi. Keluhan kini bergeser pada soal tidak adanya resapan air dan hal yang menyangkut fasilitas umum lainnya seperti kurangnya lahan untuk taman publik ditambah persoalan lahan parkir yang tidak kalah peliknya.

Page 4: Fact Sheet VI 2012 - The Wahid Institute

Penerbit: The WAHID Institute I Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Anita Wahid Pemimpin Redaksi: Rumadi I Sta! Redaksi: Subhi Azhari, Alamsyah M. Djafar, Nurun Nisa, Gamal Ferdhi,

Badrus Samsul Fata Design & Layout: Neng ErlinaAlamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah 8, Jakarta-10320 I Telp: + 62 21 3928 233 I Fax: +62 21 3928 250

Email: info.wahidinstitute.org I Website: wahidinstitute.org Facebook: facebook.com/Wahid.Institute.GusDur I Twitter: @WAHIDinst

Pernerbitan ini hasil kerjasama The Wahid Institute dan Yayasan Tifa

Saran dan Rekomendasi

1. Persoalan tempat ibadah, seperti gereja, merupakan persoa-lan krusial sehingga tidak bisa diatasi dengan serampangan. Dalam hal ini, setiap kepala daerah sudah seharusnya bertin-dak sesuai amanat konstitusi sekaligus memiliki perspektif yang adil kepada semua warganya, dari kalangan agama apapun dan mayoritas atau minoritas manapun

2. Selain soal pemenuhan administrasi, persoalan peruntukan lahan juga patut menjadi pertimbangan aparat pemerintah dalam persoalan pembangunan rumah ibadah. Hal ini pent-ing karena persoalan lahan menyangkut fasilitas publik yang sudah selayaknya dinikmati semua orang, apapun latar be-lakang agamanya, dan juga tidak mengganggu kepentingan orang banyak