FA Buku Tata Kelola Ekosistem Gambut - PELANGI HIRES.compressed

84
TATA KELOLA EKOSISTEM, TATA AIR (HIDROLOGI) DAN REHABILITASI PASKA KEBAKARAN EKOSISTEM GAMBUT Catatan dari Diskusi Pakar, Praktisi dan LSM Jakarta, 27-29 September 2015

description

ekosistem gambut klhk

Transcript of FA Buku Tata Kelola Ekosistem Gambut - PELANGI HIRES.compressed

TATA KELOLA EKOSISTEM, TATA AIR (HIDROLOGI) DAN REHABILITASI PASKA

KEBAKARAN EKOSISTEM GAMBUT

Catatan dari Diskusi Pakar, Praktisi dan LSMJakarta, 27-29 September 2015

TATA KELOLA EKOSISTEM, TATA AIR (HIDROLOGI) DAN REHABILITASI PASKA

KEBAKARAN EKOSISTEM GAMBUT

Catatan dari Diskusi Pakar, Praktisi dan LSM

Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Pengukuran dan pemantauan gambut di Bengkalis, Riau, oleh tim Direktorat Pengendalian Kerusakan

Gambut. Foto oleh Waluyo, Dit. Pengendalian Kerusakan Gambut.

1

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

GAMBUT INDONESIA: Sebidang lahan yang termarjinalkan dan upaya perbaikan ke depan

Gambut Indonesia mencakup areal seluas 21 juta ha , atau setara 11,48% dari luas daratan Indonesia, tersebar dari

pantai timur Sumatera seluas 7,2 juta ha, dataran pantai sebelah barat-selatan-timur Kalimantan seluas 5,8 juta ha, dan daratan pantai di Papua seluas 8,0 juta. Meski secara ekonomi kondisi gambut ini tidak menguntungkan untuk mendukung pertanian dan perkebunan, akan tetapi pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi dan kebutuhan akan lahan meningkat terus, sehingga terjadi penggunaan lahan gambut dalam skala luas untuk pemenuhan pangan dan serat tidak dapat dihindari.

Potret ini seolah menyajikan keadaan bahwa gambut dari aspek kelayakan berada pada level terendah dalam pemanfaatan ruang, sehingga dibutuhkan investasi yang cukup besar dan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk mengelola sebidang lahan gambut yang memiliki keunikan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Dari sinilah persoalan itu bermula. Pemanfaatan lahan gambut menjadi tidak terkontrol, sekali lahan gambut terusik, pemulihannya memakan energi yang sangat tinggi dengan dampak yang ditimbulkannya sangat komplek.

2

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Sekiranya diberikan pilihan, pastilah keputusan untuk memilih lahan gambut untuk

memanfaatkannya sebagai lahan perkebunan, adalah keputusan terakhir dari pola penggunaan ruang. Penanda dari kondisi ini bisa dilihat dari tingginya kebutuhan pengelolaan perkebunan di lahan gambut, antara lain intervensi teknologi dan infrastruktur yang lebih banyak dibanding lahan non gambut. Implikasinya adalah tingginya biaya produksi dan biaya sosial untuk satu komoditas yang dibudidayakan di lahan gambut. Salah satu diantaranya untuk menekan biaya produksi, upaya pembersihan lahan dan mengurangi tingkat keasaman, dilakukan dengan cara membakar, mengalirkan air melalui pembuatan kanal yang tidak terkontrol. Pada akhirnya, lahan gambut menjadi rusak, mudah terbakar dan sulit dikendalikan.

Lalu bagaimana memperbaikinya?

Siklus perbaikan ini dimulai dengan membenahi tata kelola gambut sebagai sebuah kesatuan ekosistem, terintegrasi dengan pembenahan tata kelola lahan untuk pertanian dan perkebunan di Indonesia. Pilihan pemanfaatan gambut harus menjadi pilihan terakhir, itupun untuk kedalaman minimal dengan prasarat maksimal, yang tidak terbatas pada pemanfaatan ilmu teknologi (termasuk adopsi contoh kearifan masyarakat) yang memungkin pemanfaatan gambut bisa dilaksanakan. Namun, termasuk peningkatan kapasitas masyarakat dan penegakan hukum menjadi media untuk meletakkan kepatuhan dan mendorong ketaatan dalam penggunaan lahan gambut.

Salah satu upaya pembenahan tata kelola ekosistem gambut ini diruangi dinamikanya dalam bentuk diskusi terfokus, yang menghadirkan pakar, praktisi dan lembaga swadaya masyarakat di bidang pengelolaan ekosistem gambut untuk menyampaikan pandangan dan pengalamannya, dengan tujuan mendapatkan solusi yang komprehensif.

3

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

4

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta, 27-29 September 2015

Dokumentasi diskusi dibagi ke dalam 3 kelompok isu, yaitu : tata kelola ekosistem

gambut, tata kelola air, dan infrastruktur dan kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yang rekomendasinya menyajikan 11 point yang merupakan langkah tindak lanjut dari diskusi para pakar, sebagai berikut : (1) Ada persoalan pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem gambut yang dikaitkan dengan governance dalam perspektif pencegahan. Akan disiapkan beberapa bahan publikasi seperti buku, booklet, poster, brosur, dll mengenai gambut untuk meningkatkan kesadaran; (2) Di dalam PP No. 71 / 2014 soal pengendaliannya sudah pasti kecuali faktor hukum yang akan ditindaklanjuti kemudian, akan dibuat turunan-turunan PP No. 71 /2014 dan pengetatan PIPIB; (3) Harus ada direktif untuk konsesi yang sudah ada; (4) Harus diinventori perizinan secara keseluruhan; (5) Harus ada pemetaan/mapping kondisi menyeluruh temasuk mapping realisasi tabat yang sudah terbuka, mapping rehabilitasi yang perlu dilakukan, serta mapping dan review regulasi yang dilakukan dengan berkoordinasi dengan BIG dan one map policy oleh Kemenko; (6) Harus ada continous monitoring dan pengawasan yang juga akan melibatkan berbagai pihak termasuk LSM. Formatnya akan didiskusikan lagi bersama pengelola kawasan di daerah; (7) Harus segera menyusun kebijakan-kebijakan seperti pedoman teknis tata kelola air di lahan gambut yang nantinya akan menjadi pedoman bagi pemerintah dan dunia usaha; (8) Harus mendalami rehabilitasi dan agenda kerja termasuk kebijakan; (9) Ketahanan masyarakat harus dikembangkan melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Harus mengajak stakeholders lain untuk mengembangkan kebijakan lingkungan dan membangun kesadaran; (10) Membuat tim kecil untuk merangkum seluruh rencana kerja dan perumusan kebijakan; dan, (11) Meminta pandangan khusus dari senior karena sudah termasuk ke dalam subjek Ketahanan Nasional.

Selanjutnya, notulensi dan materi paparan disajikan berikut ini.

5

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta, 27-29 September 2015

NOTULENSI DISKUSI PAKARTATA KELOLA EKOSISTEM, TATA AIR (HIDROLOGI) DAN REHABILITASI PASKA KEBAKARAN EKOSISTEM GAMBUT

6

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

7

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

8

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

NOTULENSI DISKUSI PAKARTATA KELOLA EKOSISTEM, TATA AIR (HIDROLOGI) DAN REHABILITASI PASKA KEBAKARAN EKOSISTEM GAMBUT

27 September 2015Paparan Menteri LHK• Konsentrasi penanganan siaga darurat pada 6 provinsi yaitu: Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar,

Kalteng, dan Kalsel.

• Daritanggal1Januaris.d.tanggal25September2015jumlahhotspots 15.866 (NOAA-18) atau 67% dari angka 23.595 hotspots pada periode yang sama di tahun 2014.

• Upayapemadaman(waterbombing) → Riau: 24 juta liter; Sumsel: 18,6 juta liter; Jambi: 3,29 juta liter; Kalbar: 3,23 juta liter; Kalsel: 3,32 juta liter; Kalteng: 650 ribu liter.

• Selainitujugadilakukanteknikmodifikasicuaca/hujanbuatan,masing-masing:134tondiRiau;64,3 ton di Sumsel; 2,4 ton di Jambi; 35 ton di Kalbar; 2,4 ton di Kalteng.

• PositioningPaper:

I. TATA KELOLA EKOSISTEMa. Prinsip Dasar Tata Kelola Ekosistem b. Perpsektif Pencegahan Kerusakan dan Rehabilitasi Paska Kebakaran

II. TATA AIR/HIDROLOGI a. Pengelolaan Dengan Pendekatan Hidrologib. Pengembangan Drainage System and Management

III. INFRASTRUKTURDANKEWAJIBANa. Pentingnya Kewajiban Swastab. Kebakaran Kalteng dan Sejarah PLG- 1 juta

• Hasildiskusiiniakanmenjadibahanreferensidalammenyusunkebijakanmengenaipengelolaangambut yang tepat dan pencegahan kebakaran pada lahan gambut tersebut.

9

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Aspek Prinsip – prinsip DasarTata Kelola Ekosistem Gambut

10

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Gambut Topogen adalah gambut yang tidak mempunyai kubah, terkena limpasan

air sungai, dipengaruhi oleh pasang surut laut dengan tipologi luapan A, B, dan C pada musim kemarau.

Gambut Ombrogen adalah gambut mempunyai kubah, kubah ini tidak dipengaruhi oleh limpasan air sungai sewaktu musim hujan, dapat dipengaruhi pasang surut tipe C dan D. → Sumber air hanya dari kubah di musim kemarau.

Emisi karbon bersifat lokal spesifik, tidakhanya ditentukan oleh tinggi muka air dan jenis komoditas.

Roh dari PP No.71/2014 ini antara lain Pengurangan emisi dari gambut selaku carbon sink, Cukup tersedia air di kubah untuk membasahi/merembeskan air ke zona bawah kubah ketika tidak ada hujan → Kesatuan hidrologis, Zona perakaran cukup lembab, tidak hidrofobik dan tersedia pori aerasi. → Tidak mudah terbakar, Perkembangan dan fungsi akar tanaman tidak terganggu bila cukup oksigen dalam air dan pori, serta cukup nutrisi.

Ciri-ciri tanah gambut yang sudah tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula adalah ketika kita injak tanah gambut tersebut, tanahnya berdebu.

Dari muka air tanah, akan terjadi aliran kapiler ke atas air tanah. Kemampuan jangkauan aliran kapiler gambut ditentukan oleh nilai BV, taraf perombakan gambut, dan kadar bahan sedimen mineral yang berasal dari limpasan air sungai.

Aliran kapiler diharapkan sampai ke permukaan tanah gambut sehingga gambut permukaan tidak menjadi kering hidrofobik yang mudah terbakar. Kenaikan kapiler di tanah gambut umumnya < 40 cm, padahal di tanah mineral dapat >2 m.

Aspek Prinsip – prinsip Dasar Tata Kelola Ekosistem Gambut

Prof. Dr. Azwar Ma’as: UGM

11

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Dr. Nyoman N. Suryadiputra: Wetlands Indonesia

Prinsip utama tentang tata kelola yang baik meliputi Transparansi, Partisipasi,

Akuntabilitas, Pertanggungjawaban (responsibility), Koordinasi dan Ketanggapan (responsiveness).

Kesamaan pemahaman oleh berbagai pihak atas nilai dan manfaat serta ringkihnya (fragile) eksositem gambut. Cakupannya sangat luas meliputi Kehati, Perubahan Iklim, Kebencanaan, Jasa lingkungan dll.

Drainase di lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit di Sungai Rajang Delta, Sarawak, mengakibatkan penurunan tanah (land subsidence) yang sedemikian dalam, akhirnya menyebabkan bencana banjir dalam beberapa dekade mendatang → (1). Pada tahun 2034 (25 tahun sejak 2009), 42% (357,000 Ha) dari total luas wilayah (850,000 ha) akan mengalami masalah banjir, (2). Pada tahun 2059 (50 tahun sejak 2009), 56% (476,000 ha) dari total luas wilayah (850,000 ha) akan banjir, dan (3). Pada tahun 2109 (100 tahun sejak 2009), 82% (697,000 ha) dari total luas wilayah (850,000 ha) akan banjir;

Di kabupaten Indragiri Hilir, terutama di Tembilahan kini lebih dari 100 ribu hektar areal perkebunan kelapa dilaporkan terkena intrusi air laut/tergenang banjir. http://www.segmennews.com/2014/06/ribuan-hektare-kebun-kelapa-di-inhil-terkena-intrusi-air-laut).

Kebun sawit di Desa Ujung Tanjung,Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir. Dahulunya lokasi ini gambut dangkal, kini tanah mineral terekspose dan sering banjir (sd 60 cm), produksi TBS 1 ton/Ha.

Cara membuka lahan dengan membakar lahan, biayanya sekitar Rp.1,8 juta per hektar (kasus di Kabupaten Tapanuli Selatan);

Pasal 23 (ayat 3) dari PP Gambut No 71/2014, membatasi air tanah gambut hanya boleh diturunkan maksimum sedalam 0,4 m (agar lahan tidak dikategorikan rusak). Jika kondisi demikian diterapkan pada perkebunan sawit atau akasia di lahan gambut, maka nilai emission savings dapat mencapai 60 ton CO2/Ha/tahun (dibandingkan jika air tanah gambut dibiarkan turun hingga 1 meter). Menurut IPCC 2014, faktor emisi GRK untuk perkebunan sawit di lahan gambut adalah 11 ton C-CO2/Ha/tahun (atau setara 40 ton CO2/Ha/tahun); sedangkan untuk akasia adalah 20 ton C-CO2/ha/tahun (setara 73,4 ton CO2/ha/tahun). Nilai faktor emisi ini tentunya bersifat subjektif, karena muka air tanah gambut dalam kenyataannya sulit dipertahankan secara konstan.

Langkah – langkah ke depan untuk mencegah kebakaran di lahan gambut:

1. Petakan seluruh lahan gambut dan non gambut, baik milik pemerintah, swasta, adat maupun individu (yang potensial akan dialihfungsikan untuk

12

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

jadi lahan perkebunan; indikasi lokasi tidak jauh dari Mills PKS, pertanian dan HTI). Silahkan acu peta lahan gambut terdegradasi yang diterbitkan BPSDLP-KemTan 2013;

2. Petakan titik-titik lokasi MILLS pengolahan kelapa sawit (kordinat, nama desa, nama pemilik usaha), sebagai indikasi akan terjadinya potensi pembukaan lahan di sekitarnya untuk kebun sawit;

3. Petakan sebaran dan lokasi titik-titik hot spots sejak masa lalu hingga kini (sejarah hot spots). Karena bahan bakar (sisa sisa tanaman yang belum habis terbakar), akan terbakar kembali saat musim kemarau yang akan datang;

4. Kumpulkan data curah hujan dan muka air tanah gambut untuk lokasi-lokasi yang potensial terbakar. Gunakan data ini sebagai langkah awal pencegahan kebakaran dengan menyebarkan aparat keamanan ke berbagai lokasi rawan kebakaran;

5. Kampanye besar-besaran secara luas & Kerahkan aparat keamanan, hingga ke pelosok-pelosok akan bahaya kebakaran dan sangsi yang akan dikenakan;

6. Benahi & tegakkan berbagai kebijakan (PP 71/2014; Permentan 11/2015- ISPO dll), serta segera buatkan turunan-turunan dari PP No 71/2014 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut);

7. Tutup semua saluran/kanal yang sudah terlanjur ada di lahan gambut (fungsikan pintu air yang ada di konsesi-konsesi HTI dan kebun sawit), serta tutup bagian-bagian sungai yang letaknya berbatasan dengan lahan gambut;

8. Stop pembuatan saluran/kanal-kanal di lahan gambut;

9. Tutup saluran-saluran di lahan gambut yang langsung berdempetan dengan kawasan konservasi;

10. Basahi seluruh lahan gambut menjelang kemarau.

13

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Hutan rawa gambut menjadi issue penting karena merupakan simpanan karbon

sangat tinggi, sumber emisi sensitif, dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ketika hutan tidak dikelola secara berkelanjutan;

Lahan gambut adalah 10% dari luas total lahan Indonesia, tetapi menyumbang 50% dari total emisi. Stok Carbon di lahan gambut adalah 10 kali dari hutan terbaik di tanah mineral;

52% lahan gambut yang ada di Kalimantan ada di Kalimantan Tengah, sehingga kami membuat sample komunitas gambut yaitu di Tumbang Nusa yang merupakan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus. Dari pengalaman di lapangan dalam menghadapi area terdegradasi kita harus fokus pada teknik rehabilitasinya. Di Tumbang Nusa ada 80 jenis kayu.

Hutan rawa gambut adalah ekosistem rapuh (fragile ecosystem). Regenerasi sangat lambat, degradasi telah dialami Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah (deforestasi, drainase dan kebakaran) → Intervensi

manusia diperlukan untuk menghilangkan hambatan terhadap regenerasi hutan;

Pengayaan dan pemeliharaan anakan dapat dijadikan prinsip dasar dalam rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi;

Faktor-faktor Pembatas (Upaya Rehabilitasi): Penggenangan air (Pola banjir), Kompetisi tanaman dari semak/belukar dan pakuan, Kedalaman gambut dan kematangan gambut, Ketersediaan komponen biologis, Keasaman dan toksisitas, Ketersediaan unsur hara, Intensitas cahaya, serta Kebakaran;

Strategi penelitian untuk menghadapi kondisi tersebut yaitu dengan membangun hutan dengan tujuan khusus untuk memperlihatkan pengelolaan dan rehabilitasi hutan rawa gambut di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah;

Prinsip rehabilitasi yang dikembangkan meliputi teknik persemaian, penanaman, penggunaan mikroba tanah, agroforestry di lahan gambut, dan pengelolaan kebakaran di hutan rawa gambut;

Teknik persemaian dilakukan dengan mempelajari teknik perbanyakan tanaman dominan dari hutan rawa gambut dengan teknik generatif maupun vegetatif;

Penelitian mengenai teknik penanaman diantaranya terdiri dari analisis tipologi lahan gambut, uji jenis, uji persiapan lahan;

Rehabilitasi partisipatif : pembangunan model agroforestry di lahan gambut dengan memberdayakan masyarakat (kombinasi tanaman hutan/alley cropping);

Pengelolaan kebakaran dilakukan dengan membuat model pada sampel lahan dengan mempelajari karakteristik bahan bakar dan api di berbagai vegetasi, potensi air di lahan gambut, kecepatan api di lahan gambut, dan

Dr. Acep Akbar: Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

14

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

keefektifan pemadaman kebakaran dengan rekayasa teknologi;

Prinsip dasar rehabilitasi HRG telah dikembangkan BPK Banjarbaru dengan mengembangkan teknik-teknik rehabilitasi pada hutan rawa gambut terdegradasi di Kalimantan Tengah;

Penelitian kedepan yang diperlukan:

• Aspek-aspek phisiologi yangberpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasi di hutan rawa gambut terdegradasi.

• Revegetasipartisipatif.

• Dampakpembendungankanaltarhadapperbaikan ekosistem.

• Hamadanpenyakithutan.

• Teknologihasilhutan.

• Ekonomihutan.

• Pendataanstokkarbonsecaraberkala.

• Pengelolaankebakaranhutandanlahanberbasis masyarakat sekitar.

15

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Aspek Perspektif Pencegahan Kerusakan dan Rehabilitasi Lahan Gambut Paska Kebakaran

16

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Kebakaran tidak hanya mempengaruhi lahan yang terbakar, tetapi sangat

mengganggu lingkungan sekitar;

Penduduk lokal paling dirugikan oleh kabut asap → Dari berbagai pihak yang dirugikan, yang paling menderita akibat kebakaran hutan dan lahan adalah penduduk dan perekonomian lokal. Dengan demikian tidak adil jika pembakaran hanya dinilai dari sisi ekonomi internal perusahaan, namun harus dinilai biaya eksternal yang ditanggung pihak lain disebabkan ulah beberapa orang yang sengaja membakar;

Jenis Kebakaran (IPCC 2014) :

1. Kebakaran terkendali (controlled burning), misalnya untuk persiapan lahan, merupakan bagian dari pengelolaan lahan → emisi CO2: 264~72 t C/ha (Setara dengan kebakaran total biomas HTI Akasia umur 5-6 tahun), serta

2. Kebakaran tidak terkendali (uncontrolled burning) → emisi CO2: 601~164 t C/ha (setara dengan emisi kebakaran total biomas hutan sekunder);

Tingkat kerusakan karena kebakaran, terbagi menjadi:a. Ringan: Hutan terbakar/dibakar karena

Dr. Fahmuddin Agus: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

disiapkan untuk dikonversi. Kebakaran hanya membakar sebagian vegetasi (pohon), tidak sampai ke lapisan gambut;

b. Sedang: Hutan terbakar/dibakar karena disiapkan untuk dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Muka air di saluran drainase cukup dalam. Kebakaran membakar vegetasi (pohon), namun api tidak masuk ke lapisan gambut;

c. Berat (Belukar Gambut): Terbakar karena banyak jembatan api. Api membakar 15-63 cm lapisan gambut karena muka air di saluran >150 cm.

Kadar air (KA) di permukaan tanah : KA <117% (% berat) → cenderung terbakar, sedangkan KA >291% → cenderung tidak terbakar;

Kedalaman muka air tanah (MAT): MAT <70 cm → cenderung tidak terbakar, Semakin dalam MAT semakin tinggi peluang kebakaran.

Bagaimana cara mengendalikan kebakaran gambut?a. Minimalkan kedalaman muka air tanah,

selama tidak mengganggu produksi. Untukkelapasawit,kedalamanmukaairtanah yang ideal adalah antara 50-70 cm.

b. Rehabilitasi lahan semak belukar gambut menjadi lahan produktif kerena lahan tersebut menjadi langganan api.

c. Fire brigade tingkat desa dan kecamatan dan kabupaten.

Aspek Perspektif Pencegahan Kerusakan dan Rehabilitasi Lahan Gambut Paska Kebakaran

17

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Tata kelola pemerintahan dan pencegahan kebakaran gambut;

Tahun 2007 pertama kali dilakukan blocking canal di sekitar PT. Duta Palma, oleh Green Peace; sebelumnya pada masa pemerintahan rezim Soeharto (Tahun 1997), WALHI yang pertama melakukan pembagian masker kepada warga, sebagai akibat dari adanya kabut asap;

Governance → bicara mengenai kebangsaan;

Prinsip-prinsip pencegahan dan penanggulangan kebakaran :

1. Pencegahan: teknis, sosiologis, tata kelola pemerintahan (governance) serta sarana dan prasarana;

2. Penanggulangan Dini: padamkan sebelum besar, lokal: yang paling dekat yang mencegah dan memadamkan;

Prinsip pencegahan kebakaran untuk gambut: ZERO BURNING – kesadaran, kepekaan dan kewaspadaan, perijinan, pengawasan, dan penegakan hukum → Peat Swamp Governance;

Tata kelola pencegahan: Pembagian peran

Emmy Hafild: Yayasan Indonesia Hijau, Pengamat dan Praktisi Lingkungan Hidup

dan tanggung jawab; Proses dan mekanisme pengambilan keputusan cepat, tanggap dan efektif; Akuntabilitas; Efisien dan Efektif;Partisipasi dan Transparansi;

Pemetaan Stakeholder: (1). Pemerintah: pusat, provinsi, kabupaten, desa, BNPB; (2). Swasta : Penyebab – pengelola kebun sawit, HTI, penambang, koperasi, calo tanah : buka, tanam dan jual, pabrik kelapa sawit dan lembaga keuangan; (3). Masyarakat: korban tapi sekaligus pencetus karena tidak peka – adat, petani, penggarap dan petani kelapa sawit; (4). LSM: lingkungan, kemiskinan/kesejahteraan masyarakat; serta (5). Pakar/Ilmuwan: pro pemanfaatan, pro konservasi;

Pemetaan Aspirasi/Persepsi Stakeholder: (1). Pemerintah: obsesi kelapa sawit dan HTI – masih mau membuka 5 juta hektar untuk kelapa sawit, solusi nanggung, tidak tuntas dan tidak efektif, tersandera birokrasi – tidak efisien, lambat, bertele-tele, Abai(negligence), tidak peduli, korup; (2). Swasta: tidak peduli dengan eksternalitis, economic animal (calo tanah), abai, penghematan.

Rekomendasi Kebijakan: Moratorium Total Pembukaan Lahan Baru di Gambut, Penegakan total zero burning dengan mengedepankan desa, Kompensasi dana bantuan masyarakat, Struktur Baru dengan Mengedepankan BNPB, serta Akuntabilitas pemerintah daerah: pembekuan DAU danDAK.

18

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Cegah Api Pola Hutan Gambut Hak Milik “Jumpun Pambelom dan Pertanian

Terpadu di Lahan Gambut “Tane Pambelom”;

Lahan Gambut identik dengan lahan terlantar dan tidak produktif → Kondisi Awal Ex PLG paska kebakaran tahun 1997 → Lahan Gambut Potensi Lokal yang harus dipelihara dan dioptimalkan;

Luas gambut hanya 17,2 % wilayah Kalimantan Tengah, tapi titik panas yang terjadi di gambut sampai 59,5 % dari hotspots di Kalimantan Tengah, dan sekitar 29,0 % terjadi di gambut dalam;

Kenapa bencana selalu berulang:

1. Kawasan ex PLG terlantar dan dikapling-kapling;

2. Kegiatan Penanggulangan bersifat komando (Posko terpadu), dan bergerak saat memasuki tahapan tanggap darurat/siaga (kondisi kebakaran sdh diluar kendali). Hal itu terjadi akibat tidak adanya Rencana Mitigasi, Kontijensi, Rencana Operasi dan Rencana Pemulihan Paska Bencana;

Januminro: Kabupaten Pulang Pisau 3. Tim serbu api desa kesulitan biaya operasional (BBM, biaya makan minum), uang saku, peralatan mesin sudah tua, dsb.;

4. Pemadaman menggunakan pesawat udara tidak efektif (hanya memadamkan bagian permukaan) memacu peningkatan kepekatan asap dan tidak efesien (biaya); (5). Anggaran yang minim dalam APBD, bencana yang berulang tidak menjadi prioritas Anggaran.

Pengembangan Hutan Hak Milik untuk Mendukung Kalteng sebagai Provinsi REDD+;

Rekomendasi:

a. Perlu ada penjelasan dari Pemerintah terkait dengan operasi kanalisasi yang sedang dilakukan untuk menghindari trauma kanalisasi ex PLG yang nyata-nyata menimbulkan dampak.

b. Perlu ada sosialisasi terkait konsep kanalisasi dengan komunitas lokal (tokoh masyarakat Dayak terutama para pakar, LSM lokal untuk menghindari trauma kanalisasi ex PLG yang nyata-nyata menimbulkan dampak.

c. Untuk menaikan muka air di kawasangambut dilakukan penutupan kanal primer ex PLG maupun kanal yang dibuat oleh masyarakat, serta penutupan pada beberapa titik parit disepanjang jalan lintas Kalimantan yang terhubung ke kanal primer dan anak sungai.

d. Kegiatan yang saat ini dilakukan di Tumbang Nusa dilakukan dengan menutup parit dan melakukan pemompaan dari sungai Kahayan. Pemompaan disarankan menggunakan pipa dari pinggir sungai Kahayan, tidak dengan membuka kanal baru.

e. Pemompaan air dilakukan dari sungai Sebangau yang memiliki karateristik

19

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

air hitam yang sama dengan kawasan gambut. Pemompaan air dari Sungai Kahayan yang coklat keruh akan merusak ekosistem air gambut yang berwarna hitam.

f. Selain operasi darat diikuti dengan segera melakukan operasi hujan buatan.

g. Pemerintah Pusat sangat diperlukan untuk mendorong dan mendampingi Pemda dalam menyiapkan Rencana Mitigasi, Kontijensi, Rencana Operasi dan rencana pemulihan paska bencana.

h. Mendorong Pemda untuk menyediakan anggaran terkait bencana kebakaran dan asap sebagai salah satu prioritas, dan menyisihkan kucuran Dana Desa untuk operasional Tim Serbu Api/MPA, dll.

i. Peran Tim Serbu Api/Masyarakat Peduli Api dijadikan sebagai garda depan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

j. Pembuatan jalan lintas Kalimantan merupakan salah satu faktor tambahan terjadinya kebakaran lahan. Untukmenurunkan resiko, maka perlu tindakan untuk melakukan penyekatan parit di kiri-kanan jalan lintas yang lansung menuju ke kanal PLG maupun kanal yang dibuat oleh masyarakat.

k. Untuk tingkat tapak upaya-upayapencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan melakukan pertahanan api terpadu salah satunya membuat sumur bor.

l. Sumur bor dapat disiapkan di kiri-kanan jalan yang memiliki resiko kebakaran yang tinggi.

m. Pola suksesi alami dengan perkayaan dapat menjadi solusi untuk rehabilitasi kawasan gambut terbakar.

20

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PEMBAHAS KELOMPOKTATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT

21

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

28 September 2015PEMBAHAS KELOMPOK TATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT

Chairil Anwar: BaLitbang Inovasi, KLHK

Zona kubah gambut harus merupakan zona konservasi.

Zona buffer / penyangga harus diawasi dengan serius.

Zona pemanfaatan: inti dari penggunaan zona pemanfaatan adalah menjaga tinggi muka air (tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam). Jika tinggi air terlalu dangkal, maka pertumbuhan akar akan tidak bagus.

Permukaan gambut akan kering jika tidak ada hujan selama >75 hari, dan masih bisa dikendalikan tinggi muka air sampai 62cm.

Tinggi maksimal muka air adalah 85cm (air kapiler masih bisa bergerak ke atas) dan permukaan tanah masih mengandung kadar air sebesar 200-300%.

Peat soil terbentuk dari bakteri anaerob (hanya menghasilkan 37 kal/atp) yang jauh lebih kecil dari bakteri aerob.

Kesalahan pada masa lampu dan masih sampai kini dalam mengelola ekosistem gambut adalah perusahaan tidak memiliki peta topografi sehingga bisa dilihat arahair dan bisa membuat desain drainase yang lebih baik.

Pembuatan kanal asal dengan desain yang benar sehingga kanal air bisa dijadikan sebagai irigasi.

Saran dalam hal pengelolaan ekosistem gambut adalah:1. PembuatanPetatopografi.2. Pengaturan tinggi muka air.3. Pilih tanaman yang sesuai dengan

ekosistem gambut.4. Jangan ada kebakaran.

Bagaimana kita menetapkan law enforcement terhadap kegiatan usaha/kegiatan di ekosistem gambut karena secara umum penyebab kebakaran lahan gambut sudah diketahui.

Ada peneliti yang pro konservasi dan pro pemanfaatan, seharusnya para peneliti termasuk pro konservasi dan pro pemanfaatan dalam waktu yang bersamaan.

22

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Wahyu Indraningsih: Dir. PKG, KLHK

Ekosistem gambut dipandang sebagai sebuah ekosistem utuh yang berada

dalam satu kesatuan hidrologis gambut.

Luas KHG di beberapa pulau di Indonesia sampai 32 juta Ha (32.656.106).

PR di dalam PP No. 71 / 2014 adalah menetapkan fungsi lindung.

Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk melindungi ekosistem gambut.

Kita telah meminta kepada perusahaan yang memiliki kegiatan di lahan gambut untuk membuatpetatopografi.

Water management yang perlu dilakukan adalah di kawasan masyarakat yang perlu difasilitasi oleh pemerintah.

Preview Hasil inventarisasi di Kubu Raya.

Peta KHG perlu dijadikan landasan untuk kegiatan selanjutnya seperti tata kelola air.

Pemetaan KHG yang berisi info kedalaman, penggunaaan lahan, dengan kriteria yang terdapat di dalam PP No. 71 / 2014, maka luasan wilayah di Kubu Raya 35% adalah merupakan ekosistem gambut yang harus dilindungi, di Bengkalis sekitar 66.5% merupakan kawasan lindung.

PR adalah bagaimana kita memetakan karakteristik ekosistem gambut, siapa yang melakukan pemetaan, dan diperlukan kebijakan yang lebih tegas.

23

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Arief Yuwono: SAM, KLHK

Apabila gambut diintervensi maka akan terjadi kerusakan.

Control burning dan zero burning perlu dilakukan.

Bagaimana kita bisa mengatur kegiatan masyarakat selaras dengan kebijakan pemerintah.

Untuk semua perusahaan yang memilikiusaha/kegiatan harus mengikuti zero burning.

Peraturan yang berlaku mengenai pemanfaatan lahan gambut:1.UUNo.32/2009.2.UUNo.41/2009.3. Moratorium Presiden.

Yang disebut kanalisasi adalah kanal bloking yang berfungsi sebagai drainase yang bisa menjamin water balance.

Persoalan yang terjadi adalah kendala di administrasi.

Dalam PP No. 71 / 2014 ada sistematika yang sudah termuat di dalamnya perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaaan,

pengawasan, sanksi administratif.

Perencanaan di dalam ekosistem gambut harus disesuaikan untuk penggunaannya.

Angka 30% sebagai fungsi ekosistem gambut adalah masih kurang, tetapi disesuaikan dengan angka realitasnya.

Tindakan preventif perlu dilakukan untuk mencegah Karhutla, tetapi belum ada strukturnya.

Kita harus bisa mengembangkan semua tanggung jawab kepada semua pihak yang terlibat dan punya kewajiban untuk melakukan tanggung jawab.

Kedalaman muka air tanah masih pro kontra yang terdapat di dalam PP No. 71 / 2014.

Pembuatan drainase di lahan gambut pada perusahaan-perusahaan adalah bertujuan sebagai sarana transportasi, dan menjaga akar gambut agar tidak basah dan mengalirkannya ke laut. Apabila terjadi over drainage maka akan terjadi kekeringan yang menyebabkan kebakaran.

Ada beberapa pertimbangan di dalam pembuatan drainase di lahan gambut seperti seperti water balance.

Harus diteliti pohon dan tanaman apa yang tumbuh secara alami di lahan gambut.

PPLH bisa melakukan pengawasan lingkungan di perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan/usaha di lahan gambut.

Ada syarat-syarat sebelum perusahaan mendapatkan izin penggunaan lahan gambut sepertiharusmembuatpetatopografi.

PP No. 71 / 2014 berlaku 2 tahun setelah ditetapkan.

HTI wajib melakukan tindakan penanggulangan dan pemulihan terhadap lahan gambut yang berpotensi mengalami kerusakan.

24

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Hanni Adiati: SAM, KLHK

Upayapencegahan1. Pencegahan lebih bersifat operasional

di lapangan jika kita bersandar kepada peran masyarakat dan Pemda setempat.

2. Mencermati pengetahuan masyarakat lokal yang terkait budaya lokal masyarakat bagaimana memelihara HRG nya.

3. Revitalisasi kanal air dengan pembasahan kembali yang diikuti dengan penanaman kayu lokal HRG.

4. Bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk pembibitan kayu lokal untuk pemulihan.

5. Menguatkan kembali komitmen Pemda dalam penganggarannya untuk pos pencegahan kerusakan HRG. Melakukan sinergitas antara program Pemda dan Pusat (KemenLHK, Kemenkes, Kementan, BNPB).

6. Membangun pemahaman bersama atas pengertian status tanggap darurat.

7. ZERO BURNING. Kondisi sekarang sudah berbeda, maraknya perambahan, adanya perubahan iklim. Perlu dilakukan untuk daerah yang tidak bisa dilakukan CONTROL BURNING.

8. Memperhatikan kesejahteraan masya-rakat miskin dengan program hasil hutan bukan kayu selain perkebunan sawit.

9. Penegakan hukum bagi semua yang melakukan pelanggaran hukum.

Upayarehabilitasi1. Moratorium izin pada HRG.2. Moratorium sawit.3. Moratorium logging.

Rehabilitasi HRG:1. Bersama Pemda dan masyarakat

mengadakan gerakan penanaman kembali pada lokasi-lokasi yang terdegradasi.

2. Bekerja sama dengan berbagai pihak (balai penilitian, masyarakat adat, akademisi, lembaga donor, perusahaan, dll) untuk pengadaan bibit tanaman lokal untuk pemulihan HRG.

3. Menggalakkan pembibitan 2 di tingkat desa.

4. Pemerintah pusat mengedukasi Pemda dalam merumuskan politik anggarannya.

5. Koreksi kanal-kanal yang memotong kubah gambut.

6. Pola pertahanan api dengan membuat sumur bor setiap 100m.

7. Menambah tanaman-tanaman alami di area kawasan semak gambut.

25

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Nurwadjedi: BIG

Kata kunci adalah Tata Kelola Pemerintahan (Governance).

Pengendalian lahan gambut dimulai dari dikeluarkannya moratorium Inpres tahun 2011.

Sedang dilakukan pembuatan peta moratorium revisi ke delapan.

Terjadinya kebakaran karena ingin melakukan kegiatan di lahan gambut, sehingga perangkat peraturannya harus diperkuat untuk mencegah terjadinya kebakaran.

Diperlukan layer data:1. Data layer kawahan hutan.2. Layer lahan gambut.3.LayerHGU.

Layer kehutanan yang dipergunakan untuk monitor sebagai penundaan izin terkait di lahan gambut.

Pemberian izin banyak diberikan oleh Pemda.

Peta KHG adalah peta yang sangat strategis dalam hal menjaga kawasan ekosistem gambut.

Perlu dilakukan inventarisasi dan perlu ditindaklanjuti.

Terkait dengan inventarisasi harus ada langkah monitoring dengan saran:1. Pembuatan peta neraca tutupan lahan

(bisa mendeteksi penggunaan lahan).2. Pembuatan peta neraca air di KHG.3. Pembuatan peta neraca kerusakan

ekosistem gambut.

Kelemahan kita di dalam moratorium adalah kurangnya perangkat data:1. Data layer HGU (hanya berupa polygon)

perkebunan dan belum termasuk atributnya yang sangat penting dalam usaha pencegahan.

2. Belum memiliki peta gambut yang bagus. Peta yang sudah dimiliki adalah peta gambut dari Kementan berkisar 15 juta Ha.

Tantangan ke depan adalah memetakan lahan gambut dengan skala 1:50.000 yang sesuai dengan one map policy.

Ada kesempatan membuat peta kawasan gambut dengan adanya perlombaan pembuatan peta kawasan gambut yang melibatkan pakar-pakar global dimana hasilnya bisa dijadikan untuk memperbaiki SNI pemetaan lahan gambut ke depannya.

Peta RBI dengan skala 1:50.000 sudah selesai. Bisa didownload dengan gratis di website BIG.

Yang perlu dilakukan ke depannya adalah revisi peta RTRW dan pembuatan peta tutupan lahan.

PIPIB perlu diperkuat.

26

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

DISKUSI DAN SARAN KELOMPOK TATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT

27

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

DISKUSI DAN SARAN KELOMPOK TATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT

Robianto Susanto: UNSRI

• Peta tata ruang sangat penting.

• 2 (dua) pendekatan dalam pengelolaan gambut adalah:a. Shallow water table.b. Drainase.

• Usul: sebanyak mungkin untukmengikutsertakan institusi lokal.

• Action: perlu dibuat action plan untuk lokasi-lokasi kritis (pendekatannya multi dimensi, multi stakeholders).

• Contoh keberhasilan harus disebarluaskan agar bisa menjadi contoh.

Teguh Surya: Greenpeace

• Kebakaran hutan yang terjadi sekarang sudah semakin parah.

• Perlu langkah-langkah emergency response untuk dapat bantuan kesehatan dan upaya evakuasi.

• Fokus bagaimana cara untuk memperbaiki lahan gambut yang sudah rusak.

• Gambut adalah ekosistem unik yang sepanjang tahun harus tetap basah, jadi tidak cocok untuk dilakukan penanaman sawit.

• Komitmen bersama untuk menjaga ekosistem gambut.

• Kejahatan terorganisir yang menyebabkan kebakaran hutan yang bersifat global perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas.

• Kesalahan mendasar adalah kesalahan tata kelola pada ekosistem gambut.

• Pemerintah memberikan izin pada lahan gambut sebelum memiliki data yang lengkap mengenai ekosistem gambut.

• Kedepannya diharapkan tidak ada lagi pembukaan konsesi pada lahan gambut.

• Ingin menawarkan 6 solusi:1. Prinsip mencegah adalah hal yang

utama dari pada memadamkan api. Menjaga hutan gambut yang tersisa adalah prioritas.

2. Memulihkan kawasan yang rentan pada kawasan gambut.

3. Perusahaan dengan desakan pemerintah harus menghentikan konsesi hutan.

4. Pemerintah harus segera mencanangkan program restorasi ekosistem gambut secara massif yang bersifat nasional.

5. Regulasi yang jelas menuju akhir deforestasi.

6. Perlu tanggung jawab dari perusahaan-perusahaan yang memiliki izin usaha di kawasan ekosistem gambut dengan menegakkan hukum.

28

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Supiandi Sabiham: IPB, Ketua HGI

• Perlu adanya peta dasar yang bisa menjadi dasar untuk pengembangan selanjutnya.

• Seringnya peta RTRW tidak sesuai dengan peta TGHK.

• Perlupetatopografiyangbetul-betulrealdengan kondisi gambut sebenarnya di lapangan.

• Kita memiliki program mencegah kebakaran, tetapi ada UU yangmemperbolehkan kebakaran, perlu adanya tambahan peraturan di dalam peraturan peralihan dalam PP No. 71 / 2014.

• Mencegah lebih baik dari pada memperbaiki.

• Lokal pengetahuan perlu diperhatikan sebagai masukan dalam aspek-aspek kebijakan.

Kiki Taufik: Greenpeace

• Bencana asap di Sumatera dan Kalimantan berdampak sangat besar bagi masyarakat.

• Bantuan yang ditawarkan dari pemerintah luar negeri seharusnya diterima untuk menyelamatkan masyarakat dari dampak asap kebakaran.

• TidakadapergerakanyangsignifikandariPemda.

• Peta KHG dan peta degradasi gambut perlu dibuka ke publik agar masyarakat tau dan bertujuan sebagai monitoring.

• Proteksi gambut harus total demi menyelamatkan ekosistem gambut yang tersisa.

• Pemerintah Indonesia harus bisa memfasilitasi bagi pihak-pihak yang berjuang dalam penanganan Karhutla.

29

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Marinus: Balitbang Banjarbaru Januminro: Kabupaten Pulang Pisau

• Pengelolaan lahan gambut harus mampu menjaga dari subsidence dan kekeringan.

• Teknik-teknik apa yang bisa dilakukan dalam hal menjaga ekosistem gambut seperti pembuatan kanal-kanal dan pembahasan kembali lahan gambut.

• Siapa yang melakukan 5W1H.

• Perlu dilakukan penegasan metode control burning atau zero burning yang akan ditaati oleh berbagai pihak.

• Perlu sosialisasi PP No. 71 / 2014, sudah sampai mana kemajuan pelaksanaannya.

• Tanaman gaharu bagus ditanam di lahan gambut, dan sudah ada contoh di beberapa daerah yang akan melakukan panen raya.

• Di dalam UU No. 24 / 2007 pada Pasal1.2 kebakaran belum termasuk ke dalam ranah bencana, perlu dibuatkan Perpu.

• Kasus kebakaran perlu menjadi perhatian penting dan melibatkan Menteri Kesehatan, saat ini terutama untuk kasus Palangkaraya.

• Forum diskusi ini perlu menghimbau Kapolri dan Panglima TNI agar tidak hanya membeli peralatan perang tetapi juga menyediakan peralatan pemadaman kebakaran.

30

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

10. Perlu adanya monitoring yang berkesinambungan baik oleh pemerintah, masyarakat, pakar dan pihak lainnya.

11. Perlu adanya evivac yang merecord segala kegiatan di lahan gambut.

12. Immediate policy perlu segera dibuat.

13. Spec biodiversity.

14. Antisipasi pola kerja yang dilakukan oleh masyarakat.

15. Insentif dan disinsentif untuk masyarakat dan swasta.

16. Governance adalah sebuat entitas yang dioperasikan oleh pemerintah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

17. Pengawasan perizinan.

18. Pengelolaan di kawasan gambut yang bisa produktif.

19. Menyangkut kelembagaan seperti stakeholders.

20. Yang menjadi konsen setelah pertemuan ini yang paling penting adalah memberangkatkan PPLH sehingga akhir Desember 2015 diharapkan sudah selesai.

Ibu Siti Nurbaya: Menteri LHK

Notulen harus sesuai dengan manuskrip rekaman.

Kita akan mendapatkan referensi kebijakan dari pertemuan diskusi pakar ini.

Highlight:

1. Mengenali ciri ekosistem gambut.

2. Confirm dan justify untuk melakukan pencegahan kebakaran lahan gambut.

3. Perlu pengaturan water level yang terkait pengelolaan atau water management (water system, water balance, water management).

4. Harus ada zona lindungnya (fungsi lindung).

5. Selanjutnya harus ada 8 Eselon 1 dan 2 Eselon 2 yang selanjutnya akan melakukan perumusan.

6. System mosaic di dalam layout land use yang sudah dibuat.

7. Bagaimana melakukan kontrol terhadap kanal-kanal.

8. Perlu review pabrik-pabrik yang melakukan kegiatan/usaha di lahan gambut.

9. Atensi khusus gambut pada pulau kecil.

31

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

• Governance adalah apa dan melakukan apa, jadi tidak tepat polisi dan TNI diberikan alat pemadaman kebakaran karena tidak sesuai dengan tupoksi.

• Evakuasi perlu dilakukan kepada Balita karena ISPA adalah pembunuh no. 2 bagi Balita di Indonesia.

• Segera perlu dilakukan prioritas sehingga semua anggaran dan tenaga untuk melakukan prioritas tersebut yang berupa pencegahan.

• Akuntabilitas Pemda termasuk di dalam UUNo.23/2013,sehinggaapabilaPemdagagal melakukan pencegahan asap akan mendapat sanksi.

• Evakuasi harus dilakukan oleh BNPB karena merupakan komando.

• Padatahun1997adalaporanbahwafilterudara power plant milik PLN Kalteng mengalami kerusakan disebabkan oleh asap.

• Karena tidak tersedia sparepartfilter di PLN maka power plant PLN mati.

• Saran : mengundang BUMN agarmelaksanakan manajemen krisis sehingga kejadian serupa tidak terulang.

Emmy Hafild: Walhi Culture Sarwono Kusumaatmaja: Mantan Menteri KLH

32

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PRESENTASI KELOMPOKTATA KELOLA AIRAspek Pengelolaan Ekosistem Gambut dengan Penataan Hidrologi (Ecohydro)

33

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PRESENTASI KELOMPOK TATA KELOLA AIRAspek Pengelolaan Ekosistem Gambut dengan Penataan Hidrologi (Ecohydro) Budi Indra: IPB, TAM Kementan

a. Masalah umum penggunaan lahan gambut:

- Pemetaan di lahan gambut oleh perkebunan sawit tanpa memperhatikan peta kontur apalagi kedalaman gambut.

- Konsesi diberikan tanpa memperhatikan kawasan hidrologis gambut.

- Kenapa kita memberikan konsesi kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan menata air dan lainnya.

- Masalah disemanisasi.

b. Gambaran umum kawasan gambut:

- Kawasan hidrologis gambut berada di antara 2 sungai. Selama ini kita belum mendapatkan peta kawasan hidrologis gambut.

- Kedalaman perlu diketahui dengan cara transect. Harus ada metodologi mengetahui kedalaman gambut dengan cara mengetahui dari kondisi morfologi.

- Setiap kawasan hidrologis gambut memiliki karakteristik yang berbeda.

- Negara harus mengembalikan kerugian perusahaan untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut ke fungsi lindung.

- Kawasan lindung tidak boleh ada kegiatan budidaya apapun.

c. Tata kelola lahan dan air berwawasan lingkungan (ekohidro) : konsep, teori, aplikasi dan diseminasi:

- Konsep rancangan dengan bagi zonasi (zona atas, zona bawah, jalan).

- Tujuan mengelola adalah menjaga kelembaban gambut pada kisaran optimum agar tanaman tumbuh maksimum dan gambut tidak mudah terbakar.

- Gambut terhindar dari deformasi tidak balik.

- Emisi karbon dalam batas alamiah.

- Sasaran adalah Kelembapan gambut di daerah perakaran berada di sekitar kapasitas lapang (pF 3.2).

- Muka air tanah berada di bawah daerah perakaran (tidak bisa diukur rata).

d. Neraca air untuk rancangan drainase:

- Memiliki data kedalaman gambut, memiliki data mineral layer dan memiliki data water table.

- Hujan, air masuk dari hulu, ada groundwater, ada evaporasi dan ada terpolasi dan kemudian ada air keluar baik dari sungai maupun rembesan ke dalam tanah (disebut debit drainase). Semua terjadi secara alamiah, tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

- Kurva retensi air gambut bisa dipakai untuk indeks kekeringan lahan yang berkaitan dengan kekuatan menahan api yang bisa dipakai untuk mencegah kebakaran.

34

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

e. Aplikasi dan diseminasi

- Tatakan sawit disesuaikan dengan kontur seperti yang terjadi di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti.

- Transect dilakukan dengan cara memotong kontur agar dapat memiliki data tertinggi dan terendah.

- Perhitungan emisi gambut tergantung kondisi cuaca dan kondisi kelembaban (disebut emisi sesaat).

- Subsidence rata-rata 1.9 cm - 3.8cm/tahun

- Hujan dan muka air tanah dan air gambut sangat berhubungan satu sama lain.

- Kita harus mengintegrasikan semua data dengan menggunakan persamaan tertentu.

- Perlu dilakukan pelatihan kepada masyarakat atau tenaga karyawan yang bekerja di lahan gambut serta manajemennya untuk menjaga ekosistem gambut.

- Saluran perimeter berfungsi sebagai indikator terdapatnya air di lahan gambut.

f. Rekomendasi

- Perbaikan tata kelola air dengan cara:

1. Delineasi kawasan hidrologis gambut.

2. Pembuatan peta topografi elevasigambut (interval 50cm).

3. Pembuatan peta kontur ketebalan gambut (interval 50cm).

4. Zona lahan beda elevasi (interval 1m).

5. Pembagian blok lahan searah garis kontur.

6. Analisis neraca air per zona lahan dan seluruh kawasan.

7. Perancangan jaringan drainase antar dua zona lahan.

8. Perancangan bangunan tabat air dilengkapi parit sisir.

9. Pembuatan pos jaga + pos ukur di setiap zona lahan.

10. Pemantauan iklim di KHG (minimal 1 hari sekali).

11. Pemantauan level air dan kelembaban gambut secara intensif.

- Perusahaan melaksanakan sendiri dikawal pemerintah.

- Masyarakat dibantu perusahaan dalam KHG dan pemerintah.

- Pengelolaan terpadu berbasis KHG.

35

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

- Perubahan ekosistem gambut akan menyebabkan perubahan kondisi air di ekosistem gambut.

- Gambut adalah satu ekosistem yang rapuh dan dinamis.

- Komponen hutan rawa gambut adalah gambut, vegetasi, dan hidrologi yang merupakan satu kesatuan terpadu.

- Fungsi gambut sebagai penyimpan dan pengatur tata air.

- Dampak perubahan hidrologi lahan gambut:

1. Kekeringan dan kebakaran.

2. Pembatas revegetasi.

3. Kualitas air.

4. Gambut menjadi sumber bahan bakar.

5. Lahan gambut menjadi sumber emisi.

6. Percepatan subsiden.

7. Ancaman biodiversitas.

8. Livelihood dan kesehatan.

Dony Rachmanadi: BPK Puslitbang Banjarbaru

- 50% lahan gambut berada di bawah permukaan.

- Usaha perbaikan adalah dengan caraimplementasi dengan mengumpulkan database yang betul-betul menggambarkan kondisi lahan gambut danverifikasi.

- Perubahanfisik,kimiadanbiologitanah:nilai Mg > Ca, sehingga pertumbuhan tanaman stagnan.

- Perubahan nilai hidrolik konduktivitas: 5.76

- Kalimantan Tengah memiliki data yang paling lengkap di dunia mengenai lahan gambut, tetapi tidak diketahui siapa yang menyimpan datanya dan bagaimana mengaksesnya.

- Evaluasi tinggi muka air tanah masih dilakukan di desa Tumbang Nusa, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

- Tanaman tidak bisa tumbuh karena perubahan fisik, kimia dan biologi padaekosistem gambut.

- Gambut yang tidak memiliki vegetasi akan menyebabkan tinggi muka air tanah akan menurun.

36

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

- Rewetting (pompa) hanya bisa dilakukan dalam jangka pendek dalam hal pemadaman kebakaran.

- Pemompaan akan bisa meningkatkan tinggi muka air tanah.

- Pemilihan jenis yang tepat kondisi:

1. Kondisi tergenang (survival tinggi, tumbuh cepat: Combretocarpus rotundus, survival tinggi, tumbuh lambat: Campnosperma coriceum (terentang).

2. Kondisi tidak tergenang (survival tinggi, tumbuh cepat: cratoxylon galucum.

- Restorasi adalah “cost” (investasi) yang harus kita keluarkan dan kita lakukan dengan keyakinan.

37

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Aspek Pendekatan Pengembangan Tata Air (Sistem Drainase)dalam Kawasan Ekosistem Gambut untuk Solusi KebakaranLahan Gambut serta Pemanfaatannya

38

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Aspek Pendekatan Pengembangan Tata Air (Sistem Drainase) dalam Kawasan Ekosistem Gambut untuk Solusi Kebakaran Lahan Gambut serta Pemanfaatannya

Andi Sudirman: Direktorat Irigasi dan Rawa, Kemen PUPR

- PermenPUNo.29/2015mengenairawasecara substansi isinya sama dengan PP No. 73 / 2012.

- Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar atau cekung dengan endapan mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem.

- Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di tepi pantai, dekat pantai, muara sungai, atau dekat muara sungai yang tergenang air akibat pengaruh pasang surut air laut.

- Kesatuan hidrologi dibatasi oleh sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut harian.

- Rawa Lebak adalah rawa yang terletak jauh dari pantai dan berada pada kawasan tanah rendah yang tergenang air akibat luapan air sungai dan hujan yang tergenang secara periodik atau menerus.

- Penetapan rawa untuk mengetahui apakah rawa berfungsi sebagai fungsi lindung atau fungsi budidaya:

1. Rawa di luar kawasan hutan (penetapan oleh Menteri).

2. Rawa bergambut di luar kawasan hutan (penetapan oleh Menteri rekomendasi Menteri LHK).

3. Rawa dalam kawasan hutan (penetapan oleh Menteri rekomendasi Menteri LHK).

4. Rawa bergambut dalam kawasan hutan (penetapan oleh Menteri rekomendasi Menteri LHK).

- Hasil penetapan dicantumkan dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.

- Jangka waktu penetapan paling lama 3 tahun setelah PERMEN No. 29/PRT/M/2015 tentang rawa ditetapkan.

- 3 kegiatan utama dalam pengelolaan rawa:1. Konservasi rawa.2. Pengembangan rawa.3. Rencana pengelolaan rawa pasang

surut, yang disusun berdasarkan kesatuan hidrologi rawa pasang surut.

- 3 kegiatan utama dalam pengelolaan rawa:1. Konservasi rawa.2. Pengembangan rawa.3. Pengendalian daya rusak air pada rawa.

- Konservasi rawa dilakukan dengan cara:1. Perlindungan dan pelestarian rawa.2. Pengawetan air pada rawa.3. Pencegahan pencemaran air pada rawa.

- Pengembangan rawa hanya dapat dilakukan pada rawa dengan ekosistem fungsi budidaya.1. Amdal.2. Izin lingkungan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

39

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

- Pengendalian daya rusak air pada rawa yang masih alami adalah dengan cara pengawasan dan pemantauan rawa.

- Prinsip pengembangan dan pengelolaan rawa adalah dengan tata kelola air.

- Pada pengelolaan rawa, wajib memperhatikan pengaturan muka air dan sirkulasi air.

- Tahap pengembangan daerah rawa di Indonesia:1. Tahap pengembangan I (membangun

drainase terbuka, produktivitas lahan tidak terlalu tinggi, 1.5 – 2.5 ton/Ha).

2. Tahap pengembangan II (jaringan dranase dilengkapi dengan bangunan-bangunan pengatur air sederhana, meningkatkan mutu lahan guna mewujudkan produksi pertanian yang lebih baik untuk menunjang kehidupan petani secara layak 2.5 – 3.5 ton/Ha).

3. Tahap pengembangan III (pengelolaan air terkendali penuh, umumnya mengacu kepada system polder, produktivitas lahan yang tinggi).

- Pada pengelolaan rawa, wajib memperhatikan pengaturan muka air dan sirkulasi air.

- Kesatuan Hidrologi adalah suatu kawasan dengan batas hidrologi yang jelas, seperti pantai, sungai utama, batas dataran tinggi dengan kondisi hidrologi independen dari unit lain yang berdekatan dalam satu kawasan dataran rendah.

- Kesatuan hidrologi di daerah gambut dan dataran rendah pantai memiliki beberapa ciri antara lain: tanahnya mentah, organik dan permeabel, dan akan mengalami penurunan tanah jika didrainase.

- Pengaturan tata air rawa pada saat drainase harus tepat, terutama pada rawa dengan tanah gambut. Jika tidak, tanah gambut tersebut dapat terekspos dan pada akhirnya dapat memicu emisi karbon / gas rumah kaca.

- Pengelolaan rawa sangat terkait dengan isu lingkungan hidup dan kehutanan mengingat pada sebagian rawa terdapat gambut dan / atau berada pada kawasan hutan.

- Fungsi rawa adalah sebagai drainase air, retensi air dan navigasi air.

- Arahan kebijakan ke depan adalah akan dilakukan penetapan rawa oleh Menteri PUPR dengan memperhatikanrekomendasi Menteri LHK pada rawa bergambut dan rawa yang berada di kawasan hutan.

- Dalam waktu dekat akan dilakukan penyusunan peta rawa sebagai perwujudanUUno.4/2011.

- Untuk rawa yang telah dikembangkannamun sebenarnya berada di kawasan konservasi, pengelolaannya dilaksanakan melalui pendekatan pengelolaan adaptif. Sebagai contoh, lahan pertanian yang sudah dikembangkan pada areal gambut yang seharusnya dikonservasi, pengelolaan adaptifnya adalah pengaturan muka air tanah tidak lebih dalam dari 20 – 30 cm; atau jika usaha pertanian pada lahan tersebut terlantar maka akan dikembalikan menjadi area/kawasan konservasi.

- Upayapengaturanmukaairdansirkulasiair dengan pembuatan pintu dan jalan usaha tani (rehabilitasi dan peningkatan daerah rawa).

40

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Kussaritano: mitra LHK, Kalteng

Pendekatan dan pengembangan tata air (drainase) dalam kawasan ekosistem gambut untuk solusi kebakaran lahan gambut serta pemanfaatan yang produktif apakah bisa dilakukan.

Peraturan mengenai rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah:1. Inpres No 2 tahun 2007 tentang

Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut.

2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 55/Menhut-II/2008 Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Peta RTRW di kalteng baru ditetapkan di dalam Perda pada bulan Agustus 2015.

Kebakaran terjadi di kabupaten yang memiliki lahan gambut. Kabupaten yang memiliki sebaran gambut itu, adalah Kapuas, Katingan, Kobar, Kotim, Pulpis, Seruyan dan Palangka.

Luas gambut di Kalteng sebesar 17.2% dari keseluruhan wilayah, tapi titik panas yang terjadi di lahan gambut sampai 59.5% dari hotspot di Kalteng.

26 September 2015, Angka PM10 di Palangka Raya menunjukan 2613,53 mikrogram/m.

Ada desentralisasi lepas control terhadap izin usaha kelapa sawit.

Apakah kanal air yang dibuat di lahan gambut representatif terhadap semua ekosistem gambut.

Kebakaran lahan terjadi untuk kemudian lahantersebutdijualkembali.(AspekKUHAPno. 55).

Fakta lapangan di Kalteng:1. Banyak gambut tercabik-cabik kanal

(drainase) termasuk pada kubah gambut, mengakibatkan over bleeding (air gambut terbuang dengan cepat).

2. Tipologi arus sungai (hulu ke hilir) dan aliran air pasang surut (ada di Kalteng).

3. Kondisi permukaan air sungai lebih rendah dari kanal, pada musim kemarau air dari kanal/saluran mengalir ke sungai.

4. Ada beberapa kanal lain yang di buat oleh warga serta proyek Pemda.

5. Ada kubah gambut (peat dome) dengan ketebalan gambut tinggi, di belah oleh kanal.

6. Terbit banyak perijinan perkebunan kelapa sawit di areal gambut dan kubah gambut.

7. Perlu pendekatan pembangunan yang menjaga agar gambut tetap basah, bukan merekayasa atau mengubah fungsi gambut dari basah menjadi kering, nomenklatur ini harus di pertahankan, karena danau yang di areal ekx PLG terancam jika sekeliling sudah dilubangi dengan kanal.

8. Di Kalteng, kawasan gambut berperan penting dalam mengatur siklus hidrologi, menjadi sumber air di kala musim kemarau dan menyimpan air saat musim

41

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

hujan (mencegah banjir). Ini merupakan kontrol alam yang luar biasa namun sayang tidak menjadi bagian integral dalam pembangunan dalam beberapa dekade ini, kalau diubah akan menjadi sistem yang sangat rapuh. Kalau salah, akan berhadapan kebakaran dan penurunan tanah. Dua fenomena itu karena digalinya kanal. Gambut yang seharusnya berfungsi menyimpan air malah dibuat kanal-kanal sehingga menjadi kering sehingga menjadi rawan / rentan terhadap kebakaran.

9. Hal ini, akan menimbulkan dampak lingkungan seperti kebakaran dan asap di musim kemarau, banjir di musim penghujan, meningkatnya laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi gas rumah kaca, kerusakan gambut karena irreversible drying, dan hilangnya bahan organik terlarutkan (DOC) yang menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.

Solusi taktis dan strategis: Memperbaiki tata kelola lahan gambut, beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut, secara komprehensif dan holistic.

Beberapa saran:a. Hukum: sinkronisasi peraturan dan

komitmen penegakan, dll.b. Kebijakan: tata ruang yang konsisten

untuk restorasi dan kelola gambut yang berkelanjutan (Pulpis, Kapuas, Palangkaraya RTRWK nya belum selesai, Kalteng baru aja ada Perda No 5 Tahun 2015 RTRWP).

c. Teknis: canal blocking, deep well, pemulihan ekosistem gambut dengan kondisi air dan tanaman asli, monitoring water level setiap jam/hari, beje, dll.

d. Ekonomi: insentif finansial untukmasyarakat dalam menjaga water level dari gambut misalnya dengan memberi

dana dan insentif (stewardship grant) untuk membuat canal blocking di parit-parit atau beje. Bantuan finansial bagipetani/peladang untuk menggunakan sistem pertanian yang ramah terhadap ekosistem gambut.

e. Sosial: sosialisasi peraturan, sosialisasi pentingnya menjaga ekosistem dan water level dari gambut.

A Kombinasi jangka pendek dan jangka panjang.

A Memperkuat kapasitas SDM dan tingkat kepedulian kepada BPBD, Manggala Agni, Damkar Swakarsa.

A Sinergis di level kementerian terkait hingga ke level daerah.

A Pembendungan kanal (blocking canal) dapat memperlambat proses kehilangan air akibat laju permukaan melalui kanal besar, dengan mengedepankan karakteristik gambut yg ada.

A Telah ada panduan pembuatan bloking kanal atau tabat kanal.

A Perlu di buat FS termasuk (DD) detail desain (dimana, lokasi dan berapa kebutuhan material).

A Menentukan siapa yg bertanggung jawab dan siapa yang melaksanakan (bukan hanya membangun tapi memelihara bloking kanal tersebut).

42

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PEMBAHAS KELOMPOKTATA KELOLA AIR

43

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PEMBAHAS KELOMPOK TATA KELOLA AIR

Supiandi Sabiham: IPB, Ketua HGI

Ekosistem gambut (KHG) ada 2 tipe yaitu gambut tebal dan gambut tipis.

Gambus tebal sangat mudah rusak.

Gambut tebal berumur 7000 tahun, gambut tipis 200 – 400 tahun.

Gambut tebal masih memiliki tanah tanah mineral yang termasuk ke dalam KHG.

Gambut tipis umumnya ada di pesisir pantai dan lapisan bawahnya terdisi dari endapan mangrove.

Pada musim kemarau dari hasil penggalian, tinggi muka air tanah berkisar 75 – 80 cm.

Pada umumnya, kadar air d lahan gambut dengan kedalaman muka air tanah 0 – 20 cm selalu berada di atas kritis (relatif stabil).

Umur sawit yang susah air menyebabkantinggi muka air menurun (sawit lebih banyak memerlukan air).

Tingkat stabilitas dan ketahanan terhadap sifat fisik gambut terkait dengan sifathidrofobisitas.

Ketahanan kadar air terhadap tanaman yang sudah tua makin rendah yang menyebabkan

hidrofobisitasnya semakin rendah.

Tingkat hidrofobisitas tergantung dari tinggi muka air tanah. Apabila tingkat hidrofobisitasnya tinggi, maka tinggi air tanah juga tinggi.

Emisi karbon mencerminkan stabilitas karbon.

Jika terjadi pengeringan maka emisinya makin mengecil.

Emisi makin dalam maka emisi makin turun (sifat reduksi oksidasi).

Makin tinggi kelembaban, emisi karbon makin turun.

Emisi gambut dihitung dari subsidence gambut.

Kombinasi antara dekomposisi dan respirasi yang mempengaruhi emisi karbon pada ekosistem gambut.

Rekomendasi:

1. Konservasi lindung dan budi daya.

2. Di kawasan budi daya (manajemen air, perludatatopografi).

3. Pengelolaan tinggi muka air tanah untuk kebutuhan tanaman dan stabilitas gambut, serta untuk menekan emisi C.

4. Pengembangan ke depan: landscape (mosaic) model.

44

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Bastoni: Litbang LHK Palembang

Konversi lahan gambut harus diikuti pembuatan drainase pada lahan gambut yang bisa menyebabkan perubahan hamparan lahan dan mempercepat subsidence.

Dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi subsidensi gambut rata-rata 85,30 cm atau 17,06 cm/tahun.

Dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi penurunan muka air tanah rata-rata 116,67 cm atau 23,33 cm/tahun.

Kebakaran lahan terbesar di Sumatera Selatan terjadi pada tahun 1997 ketika terjadi El Nino.

OKI salah satu Kabupaten terbesar yang memiliki ekosistem gambut dan yang memiliki hotspot terbanyak.

Kebanyakan kubah gambut di Sumsel sudah merupakan kawasan budi daya berupa perkebunan kelapa sawit.

Pola sebaran hotspot muncul pada tahun 1997 sebelum adanya HTI (sebelum adanya drainase) dan berbeda polanya setelah adanya HTI (dengan adanya drainase).

Pembuatan drainase yang menyalahi konsep yang seharusnya menyebabkan terjadi pengeringan pada lahan gambut.

Drainase yang diikuti dengan adanya tabat, tidak bisa menjaga tinggi muka air tanah pada ekosistem gambut yang dalam.

Sawit di lahan gambut tanpa pengelolaan yang baik menyebabkan pohon sawit tumbuh kering ketika berumur sedang.

Alur upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut dengan menggunakan rekayasa teknologi (aspek teknologi) dan rekayasa kelembagaan (aspek kelembagaan).

Paket iptek hasil litbang kehutanan untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut:1. Panduan Restorasi dan Rehabilitasi Hutan

Rawa Gambut Bekas Kebakaran dan Konversi.

2. Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal UnggulanHRG (Indigeneous species) tanpa drainase lahan.

3. Budidaya Jelutung Rawa (Dyera lowii Hook.F) pada lahan gambut.

4. Pola Agroforestri Tanaman Hutan dan Perkebunan di lahan gambut dangkal.

5. Pola Agrosilvofishery untuk optimalisasiPemanfaatan Lahan Rawa Bersulfat Masam.

6. Pengelolaan Jenis Pohon Pionir HRG (Beriang dan Gelam) untuk kayu energi pembangkit listrik dan arang.

7. Paket Peralatan Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan.

Pohon yang cocok ditanam di lahan sawit adalah budidaya ramin, punak, meranti rawa.

Agroforestry di lahan gambut: sawit, nenas, jelutung.

Jenis pohon untuk restorasi ekosistem dan kayu energy di lahan gambut adalah: Jenis pohon pionir beriang memiliki potensi yang sangat bagus dalam hal menyimpan karbon di lahan gambut dan pohon pionir gelam.

Pencegahan kebakaran dapat ditempuh melalui pola budidaya tanpa drainase lahan dengan memanfaatkan keunggulan ekonomis dan ekologis jenis-jenis pohon lokal unggulan (indigeneous species).

45

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

I Wayan Susi Dharmawan: Litbang KLHK

Diharapkan dari hasil diskusi pakar ini, kebakaran hutan tidak terjadi secara berulang lagi.

Gambut merupakan ekosistem yang sangat penting yang berfungsi sebagai penjaga alami terhadap system hidrologi.

Perlu pendekatan integrative antara kondisi ekosistem gambut (ketebalan gambut dan hidrologi gambut) dengan forest (tutupan lahan).

Perlu sinergi antar pemerintah Pusat dan Pemda dalam penanggulangan kebakaran pada lahan gambut.

Secara alami gambut bisa pulih kembali tanpa ada gangguan (intervensi) dari manusia.

Bagaimana upaya kita memilah daerah ekosistem gambut yang perlu dilakukan rehabilitasi segera.

Biomassa tegakan hutan gambut pada kondisi berbagai umur bekas kebakaran dan hutan gambut tanpa gangguan manusia.

Pemulihan diduga memerlukan waktu selama 25.4 tahun setelah kebakaran.

Dengan memperhitungkan kecepatan pemulihan berdasarkan nilai basal areanya maka diperlukan waktu sekitar 57 tahun untuk pemulihannya.

Tidak mudah mengatur hidrologi pada satu kawasan hidrologi gambut.

Pada musim kemarau dengan system drainase yang tepat, maka kondisi lahan gambut tetap dalam kondisi basah.

Air di saluran drainase sangat minim ketika musim hujan tetapi tetap diperlukan.

Prioritas:1. Perlu diadakan pemetaan peta kesatuan

hidrologis gambut dengan tingkat pemulihan biomassa alami sangat rendah terutama pada areal bekas kebakaran akibat kerusakan sangat berat yang berulang-ulang.

2. Perlindungan dan konservasi hutan rawa gambut primer dengan kerapatan tegakan tinggi dan kubah gambut.

3. Perlindungan regenerasi alami hutan rawa gambut.

46

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Koesnadi Wirasapoetra: Syarikat Hijau Indonesia

Proyek Land Banking adalah proyek untuk penyiapan lahan bagi investor (memburu kayu komersial seperti ramin untuk ekspor dan bank land).

Babak baru berupa konversi gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera.

Suku Ngaju mengenal gambut sebagai GLEGET. Pengelolaannya dilandasi oleh pengetahuan lokal.

Restorasi ekosistem gambut bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, sayangnya para ahli, akademisi dan pemerintah daerah sering mengabaikan (menutup mata) atas pengetahuan lokal masyarakat dalam menata alam.

Menghitung hotspot perlu tetapi melakukan evaluasi luas ijin usaha di ekosistem gambut jauh lebih penting untuk selamatkan bangsa ini.

Pengalaman gagalnya PLG 1 juta hektar, berdampak meluasnya kerusakan ekosistem gambut di Indonesia – babak baru pembukaan besar-besaran ekosistem gambut bagi ijin usaha industri kelapa sawit, HTI bahan baku

bubur kertas – dengan sistem kanalisasi raksasa yang mengeringkan tata air ekosistem gambut. Wajar bencana asap sepanjang 20 tahun terakhir selalu terjadi di Indonesia.

Dampak bencana asap Negara dan Rakyat di rugikan → siapa bertanggung jawab?

Moratorium harus segera dilakukan untuk menghentikan kebakaran lahan dengan tidak memberikan izin HTI baru kepada perusahaan untuk membuka lahan sawit.

Belajar dari salah urus gambut:1. Review perizinan (audit) yang ada di

sektor HTI, perkebunan kelapa sawit, pabrik-pabrik, infrastruktur, perumahan, industry lainnya pada kawasan gambut.

2. Melakukan proteksi terhadap wilayah kelola masyarakat lokal untuk memastikan bahwa negara hadir dan melindungi asset-aset produksi yang selama ini dikelola oleh masyarakat lokal (dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya, akses informasi, permodalan, tata niaga dan perlindungan).

3. Membangun kerja sama para pihak dalam system management restorasi gambut berbasis partisipasi rakyat dan kemitraan (dalam upaya pemulihan lahan dan hutan gambut, termasuk tabat kanal-kanal dan meningkatkan keanekaragaman hayati).

Tata ruang tradisional SDA Desa menyebabkan tidak adanya kebakaran lahan sejak paska PLG, tahun 1999 s/d saat ini, melindungi seluas 170.000 Ha hutan, kebun karet, rotan di 26 desa.

Tantangan masyarakat masih menghadapi perusahaan kelapa sawit, dan proyek REDD yang terbengkalai.

47

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Hutan adat yang ada belum memiliki legalitas atau status pengakuan dari Pemerintah.

Kekayaan Desa Katunjung, Kec. Matangai di lahan gambut berupa pengolahan karet, rotan, ikan, sawah dan air bersih.

Hasil dari kearifan masyarakat lokal mengelola lahan gambut:1. Tidak pernah terjadi kebakaran lahan

dan hutan sejak paska PLG – tahun 1999 sampai dengan saat ini.

2. Melindungi seluas 170,000 hektar hutan, kebun karet, rotan di 26 desa, melibatkan sebanyak 500 kader desa dan 4 organisasi rakyat (pengrajin rotan, serikat tani, koperasi hijau dan Aliansi rakyat pengelola gambut).

3. Masyarakat terlibat + 3.849 KK, + 15.000 jiwa. Luas areal direhabilitasi dan reforestasi + 98.900 hektar, terdiri dari; kebun rotan 23.700 hektar, kebun karet 28.700 hektar dan hutan desa/adat 46.400 hektar. Jumlah tanaman 77.340.000 pohon, berupa pohon karet 14.350.000, pohon rotan 11.850.000 dan pohon hutan yang berada di hutan adat dan kebun rotan mencapai 51.140.000 pohon.

4. Kurikulum Pendidikan Sekolah Gambut ditunjang guru-guru dan kader desa.

5. Revitalisasi aturan-aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan hutan gambut.

6. Sebanyak 20 Perdes tentang pengelolaan SDA lahan Gambut dibuat oleh warga dan aparat desa selama 2010 – 2011.

7. Terbentuknya Satgas Penanggulangan Bencana Desa.

Kusumo Nugroho: BBSDLP, Kementan

Gambut adalah tanah jadi perlu pertimbangan fisik tanah dalam rangka melakukanpengelolaan tata kelola air.

Kondisi kebakaran ini diperlukan dihubungkan secara holistik, yaitu apa saja dari segi pendayagunaan lahan mana yang efisien,danperlumenatainfrastrukturnya.

Dari tiap resource yang ada perlu dicari valuenya masing-masing dalam hal penanganan Karhutla.

Diperlukan maintenance setelah adanya infrastruktur.

Yang terpenting adalah pembuatan SOP dalam hal pencegahan terjadinya Karhutla.

Yang perlu diperhatikan adalah sumber air pada infrastruktur yang sudah dibangun.

Jangkauan air juga diperlukan selain vegetasinya yang memiliki kaitan dengan air.

Aspek lingkungan (iklim, topografi, sosialmasyarakat, land use. Ekonomi).

Tingkat produksi mana yang kita harapkan agar tetap lestari, karena setiap tingkatan memberikan aspek yang berbeda.

48

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Permen No. 14 / 2009 ada peraturan mengenai pengelolaan lahan gambut.

Gambut juga bisa melakukan erosi (abrasi).

Keperluan di dalam tindakan pencegahan kebakaran pada lahan gambut:1. Identifikasikarakteristikgambut.2. Pengumpulan data spasial.3. Lokasi gambut yang diperlukan untuk

melakukan tata kelola air.4. Model simulasi bisa dibuat untuk

mendapatkan gambaran masa depan tanpa merusak lahan gambut.

Resistensi terhadap penetrasi dengan membuat kanal blocking.

Perubahan arahan global dalam pengelolaan gambut perlu disesuaikan dalam kebijakan pemerintah Indonesia dengan membuat model pengelolaan gambut Indonesia.

Management event perlu melakukan pengembangan skenario penanganan masalah serta menjalankan dan uji skenario.

Proses management event perlu diputuskan.

49

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

DISKUSI DAN SARAN KELOMPOK TATA KELOLA AIR

50

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

DISKUSI DAN SARAN KELOMPOK TATA KELOLA AIR

Robiyanto Susanto: UNSRI

Ada baiknya kita mendukung desa-desa yang sudah berhasil melakukan pengelolaan lahan gambut dengan sangat baik.

Perlu melibatkan multi stakeholder dari lapangan karena aktor utamanya adalah petani dan masyarakat.

Taryono Darusman: Wanadri

Lahan gambut yang tidak dikelola oleh perusahaan (dikelola masyarakat) lebih perlu didahulukan dalam hal penanganannya.

Analisa sosial sangat penting dilakukan terutama dalam hal kebakaran lahan yang sudah terjadi terutama dalam hal pencegahannya.

Analisa sosial di tingkat tapak juga sangat penting karena banyak masyarakat lokal sebagai pencetus kebakaran hutan yang terjadi di lapangan.

51

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Reza: Wetlands

Seharusnya diskusi pakar ini berisi pemateri dan pembahas, tetapi hampir semua pembahas juga memaparkan bahan. Terminologi pemateri dan pembahas kurang jelas.

Gambut Indonesia sekarang mau diapakan, dan perlu kata sepakat agar pertemuan seperti ini tidak terjadi lagi.

Teori yang kita dapatkan sudah sangat banyak, tetapi tetap terjadi kebakaran.

Jangan membuat kanal baru di lahan gambut baik untuk transportasi.

Water management sangat perlu dilakukan.

Saat ini ecohydro sukses di lokasi atau hanya di perusahaan saja (apakah termasuk best practices untuk semua kondisi gambut).

Budidaya di lahan gambut harus ditinggalkan atau mengganti komoditasnya.

Diperlukan saran dan tindakan konkret dalam hal tindakan preventif kebakaran lahan gambut.

Kiki Taufik: Greenpeace

Kondisi gambut Indonesia tinggal 50% yang masih baik. Apabila kita masih membiarkan perusahaan membuka lahan sawit, bukan tidak mungkin dalam 10 tahun lahan sawit akan habis.

Kewajiban bagi pemerintah untuk menyiapkan data yang lengkap sehingga penerapannya juga tepat, dan datanya harus dibuka untuk umum.

Kita keluar dari diskusi ini dengan adanya TOOLKIT bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut.

Stop membuka lahan gambut, dan melakukan konservasi semua lahan gambut yang tersisa.

52

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Emmy Hafild: Walhi Culture

Yang sudah bagus dalam hal pengelolaan lahan gambut perlu dipertahankan dan diperkuat dan bila perlu dilakukan replikasi.

Data dari pakar jangan hanya science specific sehingga merupakan multi approach yang perlu dilakukan.

Hasil penelitian, hasil percobaan perlu disosialisasi dan diperbanyak lokasinya.

Perlu pemetaan stakeholders dan aspirasi masing-masing.

Komunikasi merupakan hal penting dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, dari pemerintah ke swasta, pemerintah ke masyarakat.

Perubahan paradigma terhadap pengelolaan lahan gambut. Ekosistem gambut adalah ekosistem yang produktif dengan banyak produk (udang galah, kayu ramin).

Externalities (pengusaha dapat untung, tapi yang lain dapat rugi maka yang bayar siapa?).

Law enforcement harus sama rata.

Dipa Rais: Wetlands

Apabila kita bisa menjaga lahan gambut bisa mengurangi cost.

Ketidak konsistenan data.

Perlu mencari beberapa alternative dalam pencegahan kebakaran lahan gambut seperti instalasi geomembrane dan bagaimana desainnya.

Dalam aplikasi penggunaan air dalam penanganan kebakaran lahan gambut perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.

Dalam kaitan peta KHG, kita bisa memproyeksikan ke depannya kita perlu membuat peta Indonesia 5 tahun ke depan, 10 tahun ke depan.

53

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PRESENTASI KELOMPOKTATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT DAN KEWAJIBAN PENANGGUNG JAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATANAspek Pentingnya Kewajiban Perusahaan Mendukung Infrastruktur Kebakarandalam Rangka Pengelolaan Gambut

54

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PRESENTASI KELOMPOK TATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT DAN KEWAJIBAN PENANGGUNG JAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATANAspek Pentingnya Kewajiban Perusahaan Mendukung Infrastruktur Kebakaran dalam Rangka Pengelolaan Gambut

Bambang Hendroyono: Sekjen KLHK

Perkembangan hotspot September 2015 terbesar berada di Kalimantan Tangah (APL 3055, HL 475).

Analisa hotspot berdasarkan perizinan usaha: hutan alam 12%, HTI 43%, open access 45%,IUPHHK-HA.

Analisa hotspot berdasarkan tipe lahan: mineral 74%, gambut 26%.

Permasalahan kebakaran di lahan gambut adalah adanya pembalakan liar.

Permasalahan lainnya adalah kanal di gambut sebagai transportasi illegal logging.

Kawasan lindung di areal HTI berjumlah 10%.

Potret permasalahan kebakaran di lahan gambut adalah kanalisasi yang dibuat oleh perusahaan yang menyebabkan kekeringan.

SuratEdaranDirjenBUK/PHPK:1. Surat Edaran Dirjen BUK Nomor SE.6/

VI-BUHT/2012 tanggal 14 September2012 tentang Penanganan Dini Bahaya

Kebakaran Hutan dan Lahan serta Penurunan Jumlah Hotspot kepada pemegangIUPHHK-HTI.

2. Surat Edaran Dirjen BUK Nomor SE.3/VI-BUHT/2014 tanggal 27 Februari 2014tentang Antisipasi Musim Kemarau dan Upaya Pencegahan terjadinya KebakaranHutankepadapemegangIUPHHK-HTI.

3. SuratEdaranDirjenBUKNomorSE.4/VI-BUHT/2014 tanggal 2 April 2014 tentangPengendalian Kebakaran Hutan kepada pemegangIUPHHK-HTI.

4. Surat Edaran Dirjen BUK Nomor SE.5/VI-BUHT/2014 tanggal 20 Juni 2014tentang Antisipasi Menghadapi El Nino dan Kewaspadaan Kebakaran Hutan dan Lahan.

5. Surat Edaran Dirjen BUK Nomor SE.10/VI-BUHT/2014 tanggal 31 Oktober 2014tentang Pencegahan Kebakaran Hutan.

6. Surat Edaran Dirjen BUK Nomor SE.12/VI-BUHT/2014 tanggal 30 Desember2014 tentang Antisipasi Musim Kemarau dan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran Hutan di areal IUPHHK dansekitarnya.

7. SuratEdaranDirjenBUKNomorSE.5/VI-BUHT/2014tanggal27April2015tentangDeteksi Dini Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Portal Sipongi.

Instrumen penanggulangan kebakaran hutan setelah adanya izin HTI yaitu:1. Sarana dan prasarana (dukungan early

warning system dan kewajiban pemegang izin menyediakan Sarpras)

2. Perbaikan tata kelola (sekat, ecohydro)

55

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

3. Penegakan hukum (pidana, sanksi administratif)

Temuan umum hasil audit kepatuhan 2014:

Audit kepatuhan tahun 2014: 10 perusahaan tidak patuh dan 1 perusahaan sangat tidak patuh.

Jumlah HTI di seluruh Indonesia adalah seluas 2.7 jt Ha.

Review pemegang izin:

Upaya pemerintah sudah dilakukan padatahun 2014.

Instrument penanggulangan kebakaran hutan:

Izin HTI/HA (sarana/prasarana, perbaikan tata kelola, penegakan hukum)

Peta kerawanan kebakaran hutan sebagai panduan pelaksanaan kalender kerja

Kewajiban pemegang izin dalam manajemen kebakaran hutan:

Kewajiban Pemegang Izin dalam manajemen kebakaran hutan :1.Pasal 48 ayat (3) UU 41/1999 tentang

Kehutanan.2. Pasal 24 ayat (1) PP 45/2004 tentang

Perlindungan Hutan.3. Permenhut P.12/Menhut-II/2009 tentang

Pengendalian Kebakaran Hutan :a. Pasal 12. Pencegahan Kebakaran

meliputi :1) Inventarisasi lokasi rawan kebakaran

hutan2) Inventarisasi faktor penyebab 3) Penyiapan regu pemadam kebakaran4) Pembuatan prosedur tetap5) Pengadaan sarana dan prasarana6) Pembuatan sekat bakar

b. Pasal 14. Pencegahan kebakaran hutan dilakukan :

1) Pemegang izin pemanfaatan hutan2) Pemegang izin penggunaan kawasan3) Pemegang izin hutan hak4) Pemegang izin pemanfaatan pada

hutan konservasi4. Pasal 1 butir 12 Permenhut P.30/Menhut-

II/2014tentangIHMBdanRKUPHHK-HTI

- Pembersihan Lahan tanpa pembakaran. 5. Lampiran 1 Bagian D, Perdirjen P.7/VI-

BUHT/2014tentangPedomanPenyusunan,PenilaiandanPersetujuanRKUPHHK-HTI.- Menyajikan rencana perlindungan

terhadap bahaya kebakaran 6. Kewajiban Pemegang Izin dalam Klausul

SK pemberian Izin untuk melakukan perlindungan hutan (pengendalian kebakaran)

Perlu adanya penyempurnaan tentang Aturan yang secara khusus mengatur mengenai penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Izin meliputi : Sistem Pencegahan, Sistem Pemadaman, Sistem Penanganan Paska Kebakaran, Sarana Prasarana dan Kelembagaan

Sistem pencegahan :1. Aspek system pengendalian kebakaran

hutan2. System deteksi dini (pantauan hotspot dan

cuaca)3. PLTB4. SOP Pengendalian Kebakaran Hutan 5. Alokasi biaya 6. Rencana kerja 7. Inventarisasi daerah rawan karhut 8. Inventarisasi faktor penyebab 9. Laporan kegiatan pencegahan

Sistem pemadaman :1. Melakukan deteksi kebakaran hutan 2. Memadamkan kebakaran

56

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

3. koordinasi dengan instansi terkait 4. Mobilisasi masyarakat untuk pemadaman 5. Laporan tindakan pemadaman kepada

Bupati/walikota

Sistem penanganan paska kebakaran hutan :1. Identifikasimonitoringdanevaluasi2. Penegakan hukum 3. Rehabilitasi

Sarana prasarana :1. Peralatan deteksi dini 2. Peralatan pemadaman3. Sumber daya air 4. Sekat bakar 5. Akses jalan pemadaman 6. Posko dan pos jaga 7. Sarana komunikasi dan informasi 8. Sarana prasarana penyuluhan 9. Laporan kegiatan pencegahan

Kelembagaan :1. Perangkat organisasi Regu Pemadam

Kebakaran 2. Pelatihan bagi Regu Pemadam Kebakaran Poin-poin penting:

Memperhatikan karakteristik biofisik areakerja yaitu perizinan di tanah mineral (pembuatan embung) dan perizinan di tanah gambut.

Penerapan teknologi ecohydro dalam pengelolaan gambut untuk mengontrol tinggi muka air

Memperhatikan aspek sosial dengan mengoptimalkan peranan Masyarakat Sekitar melalui Program MPA (Masyarakat Peduli Api)

Awal 2015 sudah disusun rencana aksi yang disusun dengan para pakar gambut dan melibatkan masyarakat.

Kegiatan yang sudah dilakukan:1. Penerbitan SK tim review ( 22 Mei 2015)2. Koordinasi dengan para pihak (NGO, Pakar,

Masyarakat, Pemda, Mei – Juni 2015)3. Pelaksanaan FGD dengan para pihak (23

Juni 2015)4. Pelaksanaan sosialisasi kepada

masyarakat (26 Juni 2015)5. Proses administrasi menggunakan

teknologi pemotretan resolusi tinggi (LIDAR) 70.000 Ha (September 2015)

6. Kajian sosial (1 Oktober 2015)7. Pemetaan Partisipatif (1 Oktober 2015)

Kebijakan yang akan disiapkan:1. Penyempurnaan peraturan2. Tata kelola gambut melalui pengelolaan

berbasis satuan hidrologis3. Melakukan penegakan hukum melalui

mekanisme multidoor dan sanksi administratif

4. Perpanjangan moratorium hutan alam dan lahan gambut dan melaksanakan pengawasan dengan efektif.

57

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Prof. Dr. Azwar Maas (UGM)

- Infrastruktur pemadaman awal kebakaran:1. Akses, ketercapaian dan keterlintasan

(perlu dipikirkan ketercapaian dan keterlintasan yang juga sesuai dengan kebutuhan pemadaman lewat daratan.

2. Sarana transportasi banyak tapi multi fungsi yang digunakan untuk kegiatan lain. Kendaraan air terbatas.

3. Sarana pemantauan: komunikasi (radio, televisi).

4. Sumber air: harus tersedia dengan jarak 100 m dengan jumlah yang mencukupi.

5. Sarana pemadaman : macam peralatan pemadaman seperti pompa dengan berbagai kapasitas berikut kesiapan operasionalnya(temuanUKP4)diRiautahun 2013-2014.

6. SDM yang siap gerak: banyak SDM yang multi fungsi.

- Terjadi kebakaran karena ada sumber energi, ditunjang dengan biomassa yang kering.

- Berapapun jumlah karbon yang terkandung di dalam lahan gambut

tidak masalah asal ekosistemnya tidak terganggu.

- Tidak semua air tanah pada ekosistem bisa naik, tergantung macam gambutnya.

- Pelaku pembakaran dengan alasan:1. Buka lahan secara cepat2. Adanya akses3. Penyuburan tanah4. Hutan terdegradasi5. Tidak memiliki nilai ekonomi6. Ada yang menyuruh

- Faktor yang berperan dalam kebakaran:1. Alam2. Musim kemarau3. Tidak ada pergerakan air laut4. Biofisiklahan5. Tipe gambut6. Kondisi gambut7. Posisi lahan8. Sistem kanalisasi

- Banyak system yang kurang sinergi.- Perlu dilakukan tata kelola air secara

bersama seperti dari Kemen PUPR,KLHK, Deptan, Depdagri, Tata Ruang BPN, Bappenas, praktisi pengamat lingkungan, akademisi dan harus dilakukan dengan menjadi satu kesatuan dan terus berjalan.

- Penanggulangan pemadaman sangat mutlak.

- Himbauan: apa target dari FGD 3 hari ini. - Konsep penataan satuan hidrologis yang

berkaitan dengan konservasi air dan pengelolaan tata air berbasis ecohydro menjadi kunci untuk pencegahan di masa depan.

- Kombinasi antara pemetaan ketebalan gambut dan melihat permukaan (LIDAR) adalah dua hal yang sangat perlu dilakukan.

58

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

- Usul: bentuk tim antar kementerianuntuk melibatkan orang-orang yang patut dilibatkan dan dibuatkan SK agar mereka bisa melakukan enforcement.

Harris Gunawan (UNRI)

- Presiden sudah memberikan guideline untuk kita membuat rekomendasi hasil dari FGD ini.

- “Dari Riau inilah akan terjawab bagaimana kita akan menuntaskan bencana asap. Dari Riau keluarlah konsep solusi tuntas bencana asap untuk seluruh indonesia”

- Kebakaran terjadi 99.99% terjadi karena olah tangan manusia.

- Perbaikan kubah gambut sebagai sumber air

- Ekosistem gambut di Riau telah mengalami over bleeding sehingga menjadi lebih mudah terbakar.

- “Peat swamp” menuju collaps.- Revitalisasi tata air dengan membuat

kanal air berbasis masyarakat.- Pengeringan melalui kanal akan

memberikan dampak terhadap munculnya hotspots.

- Kubah gambut mensuplai air segar bagi masyarakat.

- Rekayasa sosial perlu dilakukan.- Perlu dikembangkan kebun campuran di

lahan gambut.- You don’t need money

59

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

ASPEK KEBAKARAN DAHSYAT LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH DAN SEJARAH PLG 1 (SATU) JUTA Ha SERTA SOLUSI PENYELESAIAN

60

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Hariadi Kartodiharjo (IPB)

- Persoalan pengaturan water regulation.- Buruknya proses administrasi perizinan- Perencanaan pencegahan kebakaran

2016 perlu dilakukan dengan cara prediksi cuaca

- Persoalan substansial yang sudah direspon oleh Kemenhut di lapangan tidak jalan. Proses diperoleh dengan biaya transaksi (suap/peras)

- System perizinan lemah dalam mengendalikan pemberian izin.

- Pungutan dana reboisasi 30-36% dari seharusnya.

- Posisi KLHK dalam Karhutla hanya dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

- Terkait perizinan pada tahun 2016 tidak akan berubah.

- Penegakan hukum multi door masih menjadi kunci dan perlu ditingkatkan dengan audit kepatuhan.

- Perbaikan tata kelola izin lama dan baru- Diperlukan sistem komunikasi cepat - Realisasi tataguna lahan di Kalimantan

Tengah

- Tipologi pelanggaran: realisasi kebun tanpa izin

- PP No. 60 dan PP No. 61 / 2012 tidak berjalan dengan baik (sebagai PP No. 10 / 2010).

Pencegahan Karhutla - Audit legalitas izin: data perizinan tidak

terdokumentasi dengan baik, izin terbit tidak sesuai prosedur hukum atau belum disesuaikan dengan peraturan yang baru, peraturan/kebijakan kurang lengkap dan tidak harmonis

Rekomendasi Hasil Audit:- Instrument untuk melakukan audit

evaluasi perizinan sudah lengkap.

Harapan hasil:- Tersusunnya data kepatuhan- Penegasan pelaksanaan kewajiban

pemerintah/Pemda melakukan pengawasan izin, GNSDA-KPK dapat menjadi instrument.

- Perlu penguatan pengawasan birokrasi melalui ketepatan ukuran kinerja.

- KLHK perlu menguatkan kapasitas Pemda (Prop, Kab) dengan LH sebagai urusan wajib (izin lingkungan, audit izin, dll).

61

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Rusdian Lubis (Mantan Direktur Amdal)

- Policy yang kita punya tentang lingkungan sudah banyak.

- Dahulu gambut belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia.

- Studi mengenai gambut sudah sangat banyak

- Studi penting yang perlu dilakukan tentang penyelesaian masalah gambut:1. Sains2. Teknologi3. Sosial

- Masalah transparansi dan goverment dahulu belum terlalu dikenal

- Masalah gambut adalah seharusnya sumberdaya yang dimiliki bersama.

- Dasar pembuatan regulasi:1. Benefits and costs2. Policy basis3. Mutual coercion and mutually agreed

upon policy may work4. International intervention

62

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

PEMBAHASAN KELOMPOK TATA KELOLA EKOSISTEM GAMBUT DAN KEWAJIBAN PENANGGUNG JAWAB USAHA DAN/ATAU KEGIATAN

63

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Baba Barus (IPB)

- Latar belakang munculnya PP No. 71 / 2014 adalah karena ketidakmampuan pemerintah dalam menanggulangi bencana kebakaran.

- Peraturan sebelumnya tidak mampu dijalankan (PP Biomassa dan PP Kebakaran)

- Peraturan memerlukan data yang detil dan belum dapat menjawab permasalahan yang ada.

- FilosofipengaturandalamPPNo.71/2014:1. Kesatuan ekosistem gambut dibangun

berbasis kesatuan hidrologis gambut2. Kalkulasi dilakukan pertama berbasis

tanah gambut 3. Penentuan KHG dengan batas di luar

tanah gambut, tetapi masuk ke tanah bergambut dan mineral (penentuan luasan daerah dilindungi min 30%, setara menyimpan air 67%, setara dengan keperluan di daerah budidaya.

4. Dibuat peta indikasi daerah KHG dan daerah kubah dengan interpretasi citra yang didukung data sistem lahan, peta peat wetland, SRTM, landsat, dan peta tanah tersedia.

5. Ukuran kerusakan: muka air dari

permukaan tanah.- Isu-isu yang berkembang :

1. Pedoman inventarisasi (draft)2. Penentuan KHG sudah mendekati

final (draft), tetapi penetapan daerah berfungsi lindung dan budidaya membutuhkan data akurat, menjadi acuan dalam RTRW

3. Pedoman pengukuran muka air (draft), masukan: karakter KHG (fisik,penggunaan), evaluasi berdasarkan model, dll.

4. Pedoman pengelolaan (belum ada), masukan : karakter KHG, sistem ecohydro, perkembangan muka air, pengelolaan bersama / berbagi peran

- Banyak perusahaan tidak melakukan tata kelola air dengan baik

- Perubahan PP No. 71 / 2014 : muka air 0.4 m (terjadi gangguan produksi?), penilaian berbasis ruang dan waktu sehingga perlu informasi lebih kuat serta pertimbangan emisi, kebakaran dan produksi.

- Pedoman inventarisasi, pedoman penentuan fungsi, pedoman tata kelola air, pedoman pengelolaan.

- Percepatan harus dilakukan terhadap :1. Kegiatan inventarisasi berbasis

teknologi modis/NOAA untuk indikasi, pembuatan data lidar, landsat, citra HR, UAV

2. Penentuan status fungsi lindung dan budidaya

3. Pedoman operasional4. Pengaturan peran para pihak dalam

setiap satu KHG5. Implementasi :

a. Dalam RTRWb. Pengaturan kembali tata airc. Penentuan titik pantau dan

ikutannya.

64

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Henri Subagiyo (ICEL)

- Dalam konteks Karhutla tidak bisa didekati dengan volunteer base principal (hanya bisa didekati dengan pilihan-pilihan yang cukup longgar)

- Prinsip kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

- Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami masyarakat akibat dari kegiatan perusahaan atau usaha di lahan gambut.

- Pasal 49 UU No. 41 / 1999 “Pemeganghak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

- Tindakan pasif yang perlu dilakukan bisa dilakukan dengan cara:1. Amdal (RKL-RPL)2. Sarpras Karhutla3. Pemeliharaan dan pengawasan

- Syarat dibatalkan izin perusahaan :1. Data Amdal tidak benar2. Pemalsuan3. Tidak dilaksanakannya Amdal

- Tindakan prevention oleh Pemerintah sangat menolong perusahaan dalam hal tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang telah dihasilkan dari kegiatan usaha perusahaan tersebut.

- Harus ada penghentian penanaman varietas tanaman yang menyebabkan pengeringan lahan gambut.

- Hentikan pemberian izin pembukaan lahan gambut.

- Harus ada policy yang tegas setelah moratorium.

- UUNo.39/2014,pasal(67)- Rekomendasi :

1. Pengaturan tentang standar pencegahan, penanggulangan dan pemulihan

2. Teknis = kapasitas + integritas pengawasan

3. Mewajibkan pengawasan oleh pemerintah daerah dan sanksi atas pelanggarannya

4. Efektifkan pelaksanaan PP Gambut (PP No. 71/2014) + perketat moratorium izin dan audit perizinan dan sistem perizinan.

5. Penguatan hak kelola dan pemberdayaan masyarakat.

65

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Sarwono Kusumaatmadja (Mantan Menteri LH)

- Berawal dari tahun 1995, ada arahan Presiden untuk memperbaiki irigasi yang sudah ada untuk meningkatkan produksi padi.

- Pada saat itu arahan tersebut tidak dilaksanakan.

- Kemudian muncul ide pembukaan lahan gambut sejuta hektar yang merupakan usulan proyek dari beberapa Menteri. Namun, tidak ada kebijakan yang jelas mengenai pembukaan lahan gambut.

- Kemudian dibuat peraturan syarat–syarat yang berat oleh KLH dalam pembukaan lahan gambut sejuta hektar.

- Badai El Nino yang terjadi (musim kemarau) dimanfaatkan untuk melakukan pembukaan lahan gambut secara besar-besaran dengan cara membakar.

- Pada waktu itu, kebakaran lahan belum termasuk ke dalam bencana nasional.

- Tidak ada volunter yang bersedia membantu untuk melakukan penanggulangan kebakaran pada waktu itu (hanya Wanadri dan Pemuda GP Anshor yang bersedia membantu).

- Food security, water security harus disesuaikan dengan ilmu pengetahuan

yang tepat agar dapat membuat keputusan yang tepat.

- Perlu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang tersedia.

- Perlu dibuat komitmen bersama dalam melakukan penanggulangan Karhutla.

Marinus K Harun (BPK Puslitbang Banjarbaru)

- Hutan gambut lestari (kriteria & indikator, kelembagaan, tata kelola yang baik, administrasi lingkungan)

- Paradigma ketika berbicara tentang keberlanjutan (sosial, ekonomi, dan ekologi).

- Kebakaran lahan gambut adalah mengindikasi lemahnya manajemen kebakaran dan manajemen lahan.

- Aspek manajemen lahan: lahan budidaya vs non budidaya terkait dengan PP No. 71 /2014.

- Lahan gambut terlantar harus diproduktifkan

- Berdasarkan Inpres RI No. 6 / 2013, PIPIB diupdate setiap 6 bulan sekali.

- Selama RTRW belum disusun, maka kebakaran hutan akan tetap terjadi.

66

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

- Penyusunan tata ruang daerah harus partisipatif untuk meminimalisasi konflik. Prosesnya bottom-up, dari detail ke umum, desa berjenjang ke atas.

- Rencana pengelolaan manajeman kebakaran: kita hanya bisa mengelola bahan bakar, terutama pada lahan gambut yang berupa bahan bakar.

- Peta areal kerja dan areal yang akan dilindungi.

- Pengelola wajib membuat SOP dalam hal penanganan Karhutla.

- Pembuatan rewetting bisa berfungsi sebagai kolam beje (penghasil ikan)

- Sistem informasi kebakaran: data dicari, data dikumpulkan, didistribusikan

- Budaya kearifan lokal perlu diangkat.- Perlu dilakukan mapping kebijakan.- Bahan diskusi : regulasi yang saling

bertabrakan / bertentangan- Bahaya yang ditimbulkan adalah kering

tak balik dan subsidence.- Bisa dilakukan penanaman gaharu di

lahan gambut

Herry Purnomo (CIFOR)

- Kerugian dari asap kebakaran adalah Rp. 1.5 T

- Keunggulan Indonesia di mata dunia adalah perkebunan sawit (2015 minyak sawit Indonesia menyuplai minyak sawit dunia sebesar 52%).

- Di Riau terdapat 11 stasiun pengamatan kebakaran lahan.

- Beberapa temuan :1. Situasi lapangan yang kompleks2. Disebabkan oleh multiple aktor

(pemerintah, swasta, masyarakat)3. Tipe gambut yang berbeda4. Hubungan lainnya (politik, sosial,

iklim,cuaca)- Implementasi regulasi sangat perlu

dilakukan.- Ketika masyarakat rugi sekian banyak

karena kebakaran lahan (asap), ada pihak yang mendapatkan keuntungan. Yang sangat besar.

- Tidak ada investasi yang lebih baik dari perkebunan sawit

- Kemen LHK tidak banyak berperan dan tidak banyak memahami transaksi lahan yang terjadi di daerah

67

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Teguh Surya dan Kiki Taufik (Greeenpeace)

- Jika tidak ada komitmen serius untuk menanggulangi Karhutla, maka persoalan ini tidak akan selesai.

- Pembukaan lahan gambut secara besar-besaran harus segera dihentikan.

- Isu yang penting diangkat adalah bagaimana solusi jangka panjang dan menjaga lahan gambut tetap basah yang dibantu dengan instrumen hukum yang menggerakkan pembasahan lahan gambut

- Diperlukan langkah konkret yang diambil oleh Presiden mengenai lahan gambut

- Perlu kontribusi dari pakar dalam membantu pemerintah dalam sisi keilmuan untuk pembasahan lahan gambut.

- Tingkat organisasi masyarakat sipil bisa dilakukan dengan cara pengawasan

- Hal pertama yang bisa dilakukan adalah melanjutkan proses audit kepatuhan.

- Review izin perlu dilakukan untuk mendapatkan win-win solution.

- Pengerahan SDM sebanyak mungkin dalam pembasahan ekosistem gambut skala nasional.

- Sudah banyak inisiatif yang dilakukan berbagai pihak untuk menanggulangi kejadian Karhutla.

- Fire fighting vs fire prevention, mana yang lebih utama dan berkaitan dengan anggaran.

- 80 % pencegahan 20% pemadaman (standar internasional).

- Internalisasi biaya lingkungan perlu diberlakukan kepada semua perusahaan yang melakukan kegiatan/usaha di lahan gambut.

- Pembuatan peta RTRWP sangat diperlukan untuk semua daerah.

- Lahan gambut lebih disukai karena masyarakat yang hidup di sana lebih sedikit dan pengawasan yang minim

- Singapura dan Malaysia harus turut bertanggung jawab terhadap kebakaran lahan gambut karena banyaknya perusahaan mereka yang melakukan kegiatan perkebunan sawit di Indonesia.

68

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Vanda (Greenomics)

- Ibu Menteri sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan untuk dapat memberikan insentif berupa pembebasan PBB pada areal HCVF (High Conservation Value Forest) serta kepada Menteri Agraria untuk mendukung konservasi areal HCVF di wilayah kebun sawit .

- 43% kebakaran terjadi pada HTI- Hasil observasi :

1. Kebakaran lahan banyak terjadi di kawasan lindung

2. Korporasi lebih memprioritaskan konsentrasi menjaga tegakan pohon HTI daripada menjaga kawasan lindung

3. Kebakaran juga terjadi pada konsesi korporasi yang sudah berkomitmen “no deforestation”

4. Terjadi pembiaran kawasan-kawasan lindung yang terbakar.

- Di dalam UU No. 18 / 2013 pemerintahtidak boleh lalai.

- Perusahaan harus melakukan rehabilitasi dan restorasi lahan gambut yang sudah terbuka

- Monitoring di KLHK harus berbasis Tata Ruang HTI untuk menjaga kawasan lindung juga monitoring komitmen korporasi.

Kiki Taufik (Greeenpeace)

- Masyarakat sudah sangat putus asa dalam menghadapi kebakaran lahan gambut.

- Sebaran api terbanyak berada di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan Tengah dan Mife, Papua.

- Seruan aksi:1. Segera tinjau ulang konsesi di lahan

gambut, kawasan moratorium2. Lakukan gerakan penyelamatan

gambut nasional dengan melakukan langkah-langkah pemetaan kawasan hidrologi gambut, membangun sekat kanal, dan melakukan upaya-upaya restorasi gambut

3. Kebijakan satu peta tunggal4. Memastikan perusahaan untuk

mengimplementasikan komitmen nol deforestasi dan perlindungan total gambut.

69

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

RUMUSAN DISKUSI

70

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

I. UMUM

1. Beberapa indikasi akar permasalahan degradasi dan kebakaran lahan dan hutan gambut, berkaitan dengan aspek ekonomi politik kebakaran dan kejahatan lingkungan di tingkat lokal, nasional dan regional. Hal ini merupakan salah satu aspek penting untuk menjadi perhatian karena fenomena yang terjadi saat ini sudah masuk ke subyek keamanan nasional.

2. Terdapat gap persoalan pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem gambut yang dikaitkan dengan governance dalam perspektif pencegahan.

3. Terdapat beberapa kebijakan yang tidak sinkron terkait dengan pengelolaan ekosistem gambut.

4. Belum ada persepsi yang sama diantara jajaran pemerintah maupun para pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap krisis sumberdaya alam termasuk ekosistem gambut.

5. Pada masa depan pemerintah dan pemangku kepentingan harus lebih mengedepankan usaha-usaha pencegahan kebakaran (fire prevention) daripada pemadaman api (fire suppression) karena akan jauh lebih murah dan efektif. Ini harus terlihat diantaranya pada alokasi anggaran yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran lahan, hutan dan gambut.

6. Di dalam PP No. 71 / 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sudah dipastikan (firm) soal pengendaliannya sehingga tidak perlu diutak-atik lagi, kecuali pasal-pasal yang terkait dengan kerusakan yang berimplikasi hukum.

7. Pemerintah perlu membentuk “Tim Khusus Tata Kelola Lahan Gambut dan Kebakaran” berdasarkan Instruksi Presiden dengan melibatkan sektor-sektor terkait di pemerintahan, pihak swasta, dan pakar, tokoh masyarakat dan LSM.

II. Tata Kelola Ekosistem Gambut

Pokok Bahasan:

a. Prinsip Dasar Tata Kelola Ekosistem b. Perpsektif Pencegahan Kerusakan dan

Rehabilitasi PasKa Kebakaran

Rumusan:

1. Kesatuan hidrologis gambut dijadikan sebagai dasar pengelolaan ekosistem gambut untuk mempertahankan kubah gambut agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, terhindar dari banjir dan kekeringan dengan menata kubah dan meminimalkan saluran drainase di sekeliling kubah.

2. Perlu disiapkan langkah-langkah ke depan untuk menetapkan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), karakteristik ekosistem gambut dan menetapkan fungsi lindung ekosistem gambut sesuai dengan kriteria yang antara lain meliputi minimal 30 % dari luasan KHG, ketebalan gambut, rencana tata ruang, hutan konservasi, hutan lindung, serta flora dan fauna endemik.

3. Untuk memperkuat perumusan kebijakanharus mengenali KHG dan karakteristik ekosistem gambut dari aspek keilmuan maupun praktik di lapangan.

4. Prinsip dasar pengelolaan ekosistem gambut harus dalam unit kesatuan hidrologis gambut yang mencakup lahan gambut maupun tanah mineral yang dibatasi oleh dua sungai.

5. Peta KHG yang memuat karakteristik ekosistem gambut merupakan peta strategis untuk penetapan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut.

6. Perlu disusun landscape model dan atau mozaic model dalam layout pemanfaatan ekosistem gambut.

7. Pencegahan kebakaran lahan gambut dilakukan dengan tidak membiarkan kondisi gambut dalam keadaan kering, artinya menjaga kelembaban di permukaan lahan gambut melalui pengaturan muka air di lahan.

8. PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut segera diefektifkan dan peraturan turunannya segera disusun.

71

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

9. Penataan ulang konsesi yang sudah terlanjur berada di lahan gambut dan berdampingan dengan kawasan konservasi, perlu mendapat perhatian.

10. Pencegahan kebakaran hutan harus dilakukan dengan penataan ulang pengelolaan ekosistem gambut secara komprehensif yang sifatnya permanen.

11. Untuk mendukung kegiatan pencegahankebakaran sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas, kepada berbagai pihak pelaku usaha (kelapa sawit dan HTI) dan pemerintah daerah (desa, kota/kabupaten dan provinsi), segera melakukan:a. Pengukuran dan pengumpulan data

curah hujan dan muka air tanah gambut di seluruh lokasi konsesi perkebunan kelapasawit dan HTI.

b. Pemetaan sebaran dan kordinat lokasi titik hot spot sejak masa lalu hingga kini (sejarah hot spots) disertai data perkembangan penduduk (perambah) di lokasi titik api.c. Kampanye besar-besaran secara luas di

berbagai pelosok pedesaan.

12. Melakukan rehabilitasi lahan gambut paska kebakaran dengan cara:

a. Menerapkan teknik rehabilitasi lahan gambut yang terbakar sesuai dengan tingkat kerusakannya dengan melakukan penanaman kembali, rewetting, pemilihan jenis tanaman yang toleran genangan dengan langkah-langkah menyiapkan persemaian, penanaman, penggunaan mikroba tanah, agroforestry di lahan gambut, dan pengelolaan penanganan kebakaran di lahan gambut.b. Mewajibkan para pemegang konsesi

segera melaksanakan rehabilitasi di areal konsesinya masing-masing.

c. Melibatkan dunia usaha dalam perbaikan lahan-lahan gambut bekas terbakar di sekitar areal konsesi mereka.

13. Perlu disiapkan rumusan kebijakan yang terkait moratorium total pembukaan lahan baru di gambut, penegakan total zero burning dengan mengedepankan di tingkat desa, pemberian kompensasi dan bantuan masyarakat, membangun struktur baru dengan mengedepankan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), alokasi anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan dini, akuntabilitas

pemerintah daerah, dan pembekuan DAU(DanaAlokasiUmum)danDAK(DanaAlokasiKhusus).

14. Pemerintah pusat harus memfasilitasi pemerintah daerah dalam menyiapkan rencana mitigasi, kontijensi, rencana operasi dan rencana pemulihan paska bencana kebakaran, serta menyediakan anggaran terkait bencana kebakaran dan asap sebagai salah satu prioritas.

15. Fokus untuk memperluas aksi-aksi rehabilitas dengan sistem tabat, embung, sumur bor, tanam tanaman sekat bakar dan penanaman vegetasi yang adaptif di lahan gambut dengan melibatkan masyarakat. Sekat kanal terbukti efektif menahan air.

16. Perlu perhatian terhadap ekosistem gambut di pulau kecil, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan ekosistem gambut di pulau besar.

17. Salah satu syarat untuk pengelolaan ekosistem gambut secara terintegrasi dalam satu kesatuan hidrologis gambut adalah interaksi dan kolaborasi yang kuat antara stakeholders.

18. Pemulihan kerusakan perlu mempertimbangkan hasil kajian / penelitian dengan belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang telah dilakukan beberapa pihak.

19. Kekuatan masyarakat dan kearifan tradisional yang selama ini mampu melindungi ekosistem gambut menjadi bagian penting dalam peningkatan tata kelola ekosistem gambut.

20. Melakukan proteksi terhadap wilayah kelola masyarakat lokal untuk memastikan bahwa negara hadir dan melindungi aset-aset produksi yang selama ini dikelola oleh masyarakat lokal (dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya, akses informasi, permodalan, tata niaga dan perlindungan).

21. Membangun kerja sama para pihak dalam manajemen restorasi gambut berbasis partisipasi rakyat dan kemitraan (dalam upaya pemulihan lahan dan hutan gambut, termasuk tabat atau sekat kanal-kanal dan meningkatkan keanekaragaman hayati).

72

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

III. Tata Kelola Air

Pokok bahasan:

1) Pengelolaan Ekosistem Gambut dengan Penataan Hidrologi (ecohydro)

2) Pendekatan Pengembangan Tata Air (sistem drainase) dalam Kawasan Ekosistem Gambut untuk Solusi Kebakaran Lahan Gambut serta Pemanfaatan yang Produktif.

Rumusan:

1. Dalam rangka perbaikan tata kelola air di lahan gambut, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: a. Deliniasi kesatuan hidrologi gambut; b. Pembuatan peta topografi elevasi

(interval 50 cm); c. Pembuatan peta kontur ketebalan

gambut (interval 50 cm); Zonasi lahan beda elevasi (interval 1 m);

d. Pembagian blok lahan searah garis kontur elevasi;

e. Analisis neraca air per zona lahan dan seluruh kawasan;

f. Perancangan jaringan drainase antar dua zona lahan yang berdekatan;

g. Perancangan bangunan tabat air dilengkapi parit sisir;

h. Pembuatan pos jaga dan pos ukur di setiap zona lahan;

i. Pemantauan iklim di Kesatuan Hidrologis Gambut;

j. Pemantauan level air dan kelembaban gambut secara intensif.

2. Penerapan teknologi ecohydro dalam pengelolaan gambut untuk mengontrol tinggi muka air diperluas.

3. Dalam rangka perbaikan tata kelola air perlu dikembangkan konsep canal blocking, sumur dalam, pemulihan ekosistem gambut dengan kondisi air dan tanaman asli, monitoring water level setiap jam/hari, beje (beje merupakan suatu bentuk kolam ikan tradisional masyarakat dayak), dll.

4. Perlu pengaturan muka air tanah, dengan pendekatan dari berbagai aspek:

water system, water balance and water management.

5. Upaya pemadaman api dan asap yangberasal dari kebakaran ekosistem gambut dapat dilakukan dengan pembasahan lahan gambut (rewetting) dengan memperhatikan:a. Karakteristik ekosistem gambut;b. Sumber air yang mempunyai ekosistem

sama dengan ekosistem gambut; bukan sumber air dari tanah mineral;

c. Konsep berbagi air antara dunia usaha dan masyarakat;

d. Isu sosial masyarakat setempat untuk menghindari konflik;

e. Penyiapan sarana dan prasarana yang memadai untuk upaya pemadaman dini harus dipenuhi dan diberikan pengelolaaan kepada masyarakat desa yang rawan terhadap terjadinya kebakaran lahan dan hutan.

6. Konsep rewetting di kawasan gambut yang sudah terbakar atau dibuka, sekarang menjadi bagian pertaruhan strategi peredam emisi karbon, mencegah kebakaran di lahan gambut dan pengembalian watak asli peran sebagai tandon (reservoir) air di kawasan gambut tropika.

7. Pentingnya dilakukan kontrol kanal untuk menjaga dan mempertahankan kelembaban gambut dan penggunaan kanal utama yang dimanfaatkan untuk untuk sarana transportasi.

8. Perlu dilakukan peninjauan atau review konfigurasidandimensikanalyangtelahada,sebagai landasan untuk tata kelola air secara menyeluruh terutama di daerah bekas PLG sejuta hektar (Kalimantan Tengah dan Riau).

9. Pemantauan berkelanjutan untuk tata kelola air direfleksikan dalam bentuk kalender aktivitas dengan beberapa instrumen.

10. Rehabilitasi lahan gambut paska kebakaran dilakukan dengan menaikkan muka air tanah di lahan gambut dengan membangun tabat / sekat kanal / canal bloking baik kanal yang dibuat oleh pemerintah maupun masyarakat. Untukituperludilakukanperluasaninvestasisosial dan juga sosialisasi khususnya terhadap komunitas lokal (tokoh masyarakat, para pakar, dan LSM lokal).

11. Perusahaan melaksanakan tata kelola air sendiri dengan pengawalan ketat pemerintah, sedangkan masyarakat perlu

73

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

dibantu dan difasilitasi perusahaan, LSM dan pihak lain yang beroperasi dalam KHG beserta pemerintah.

12. Insentif finansial yang signifikan diusulkanbagi masyarakat yang mampu menjaga muka air (water level) gambut misalnya dengan memberi dana dan insentif (stewardship grant) untuk membuat canal blocking di parit-paritataubeje.Bantuanfinansialbagipetani / peladang untuk menggunakan sistem pertanian yang ramah terhadap ekosistem gambut.

IV. Kelompok Tata Kelola Ekosistem Gambut dan Kewajiban Penanggung Jawab Usaha dan/atau Kegiatan

Pokok Bahasan:

1) Pentingnya Kewajiban Perusahaan Mendukung Infrastruktur Kebakaran Dalam Rangka Pengelolaan Gambut.

2) Kebakaran Dahsyat Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah Dan Sejarah PLG 1 (Satu) Juta Hektar Serta Solusi Penyelesaian.

Rumusan:

1. Hasil observasi :a. Kebakaran lahan banyak terjadi di

kawasan lindung;b. Korporasi lebih memprioritaskan

konsentrasi menjaga tegakan pohon HTI daripada menjaga kawasan lindung;

c. Kebakaran juga terjadi pada konsesi korporasi yang sudah berkomitmen “zero deforestation”;

d. Terjadi pembiaran kawasan-kawasan lindung yang terbakar.

2. Hal penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem gambut adalah pengawasan terhadap pelaksanaan izin sebagaimana persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam mendapatkan izin dan kewajiban-kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tercantum dalam izin.

3. Pembangunan infrastruktur penanganan kebakaran di perusahaan:a. Sistem deteksi dini;b. Menara pengawas;c. Sumur bor/kolom penampung air;d. Penerapan teknologi ecohydro;e. Sarana komunikasi;f. Pengembangan Sumber Daya Manusia

(SDM).4. Penguatan kapasitas pemerintah daerah

dalam melaksanakan urusan wajib, termasuk pengendalian kebakaran ekosistem gambut.

5. Review dan tata ulang seluruh perizinan kegiatan/usaha yang berada di ekosistem gambut.

6. Penegakan hukum secara multidoors masih menjadi kunci dan pelaksanaan audit kepatuhan.

7. Audit kepatuhan terhadap pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan termasuk pengawasan dan audit kepatuhan terhadap perusahaan yang berkegiatan di lahan gambut.

8. Rekomendasi hasil audit:a. Rekomendasi tingkat kebijakan

(pembentukan peraturan pusat dan daerah), pembangunan SIP (Sistem Informasi Perizinan) terintegrasi, pembentukan tim penyelesaian konflik);)

b. Rekomendasi tingkat kegiatan (pelengkapan dokumen oleh pemegang izin dan verifikasi lapangan (tindakanpenertiban terhadap pelanggaran tertentu).

9. Harapan hasil audita. Tersusunnya data kepatuhan atas

berbagai aspek serta identifikasipermasalahan hukum dan tumpang tindih lahan dari izin usaha;

b. Identifikasi permasalahan dalamkebijakan yang mengakibatkan perilaku melawan hukum dan merusak lingkungan dalam kegiatan perizinan;

c. Tersusunnya rekomendasi pembenahan di tingkat kegiatan dan kebijakan.

10. Perlu adanya penyempurnaan tentang aturan yang secara khusus mengatur mengenai penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Izin meliputi : Sistem Pencegahan, Sistem Pemadaman, Sistem Penanganan Paska Kebakaran, Sarana Prasarana dan Kelembagaan.

74

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

11. Tata kelola yang baik membutuhkan pastisipasi publik secara aktif, maka keterbukaan informasi perizinan menjadi keniscayaan.

12. KLHK perlu menguatkan kapasitas pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dengan LH sebagai urusan wajib (izin lingkungan, audit izin, dll).

13. Pencegahan KARHUTLA perlu renstratersendiri untuk memfokuskan langkah kerja dan sumberdaya yang diperlukan.

14. Prinsip kehati-hatian tentang ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

15. Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami masyarakat akibat dari kegiatan perusahaan atau usaha di lahan gambut.

16. Internalisasi biaya lingkungan perlu diberlakukan kepada semua perusahaan yang melakukan kegiatan/usaha di lahan gambut.- Di dalamUUNo. 18 / 2013 pemerintah

tidak boleh lalai.- Perusahaan harus melakukan

rehabilitasi dan restorasi lahan gambut yang sudah terbuka,

- Monitoring KLHK harus berbasis Tata Ruang HTI untuk menjaga kawasan lindung juga monitoring komitmen korporasi.

17. Memastikan perusahaan untuk mengimplementasikan komitmen zero deforestation dan perlindungan total gambut. Komitmen ini harus meliputi semua anak perusahaan dan perusahaan afiliasinya.Perusahaan juga wajib menjalankan good corporate governance untuk mencegah staf perusahaan tersebut mencari keuntungan pribadi dalam pengelolaan lahan termasuk pembakaran lahan dan pemilikan lahan secara tidak etis.

18. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan pemerintah daerah, kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan lingkungan yang

terorganisasi (organized crime) di semua tingkat dalam pembakaran dan transaksi kepemlikan lahan.

19. Kapasitas KLHK, kejaksaan, kepolisian dan hakim untuk mengatasi kejahatan lingkungan perlu ditingkatkan segera melalui pelatihan dan kerjasama dengan KPK.

20. KLHK dan pemerintah daerah meyakinkan DPR dan DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran (fire prevention – 80%) daripadapemadaman kebakaran (fire suppression- 20%). Kerugian kebakaran di setiap provinsi setiap tahun mencapai angka 20 trilyun rupiah. Investasi untuk pencegahan kebakaran untuk seluruh Indonesia harus mencapai angka puluhan trilyun rupiah. Dana ini bisa bersumber pada anggaran pemerintah pusat dan daerah, pihak swasta dan bantuan pihak lain yang tidak mengikat.

21. Singapura dan Malaysia harus ikut bertanggung jawab terhadap kebakaran lahan gambut karena banyaknya perusahaan mereka yang melakukan kegiatan perkebunan sawit di Indonesia. Tanggung jawab ini bisa diwujudkan dalam aksi kerjasama bilateral maupun regional (ASEAN).

22. Pasal 49 UU No. 41/1999 yang berbunyi“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Harus diterapkan sebagai langkah pertama jika terjadi kebakaran. Pemilik konsesi dan pengelola hutan negara bertanggung jawab penuh jika arealnya terbakar. Jika perusahaan tidak sanggup bertanggung jawab pada areal tersebut harus memberitahukan secara tertulis pada pemerintah/pihak yang berwenang sesegera mungkin. Peta penguasaan lahan dan tanggung jawab kebakaran lahan harus segera dibuat untuk memastikan insentif dan dis-insentif pengelolaan lahan, hutan dan gambut untuk implementasi pasal 49 ini dan menyongsong pengurangan kebakaran pada tahun 2016.

23. Politik anggaran perlu memprioritaskan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik di pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah.

75

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

TINDAK LANJUT

76

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

1. Perlu penataan ulang kebijakan nasional secara menyeluruh yang menjadi akar permasalahan degradasi dan kebakaran lahan dan hutan gambut, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi politik kebakaran dan aspek kejahatan lingkungan di tingkat lokal, nasional dan regional. Fenomena yang terjadi saat ini sudah memasuki aspek keamanan dan ketahanan nasional (national security and resilience) baik dari segi ekonomi, lingkungan maupun hubungan antar-negara. Langkah antisipatif harus dilakukan untuk menanggulangi kebakaran yang ada sekarang dan mencegah terulangnya kejadian ini pada tahun-tahun mendatang.

2. Perlu dilakukan penataan ulang pengelolaan ekosistem gambut secara komprehensif yang sifatnya permanen. Namun demikian perlu diatasi adanya persoalan pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem gambut yang dikaitkan dengan governance dalam perspektif pencegahan degradasi dan kebakaran lahan gambut. Ketiadaan (vacuum) pengetahuan harus diisi, agar proses pengambilan keputusan dapat berlangsung secara tepat dilandaskan pada ilmu pengetahuan. Dihindari jangan sampai kebijakan yang dibuat akibat pemanfaatan lahan gambut mempunyai dampak negatif yang luas.

3. Pemerintah perlu membangun “persepsi krisis yang sama” terhadap kondisi sumber daya alam termasuk ekosistem gambut. Sangat penting untuk membangun perubahan mindset dan komitmen yang sama diantara jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, para pengusaha, ilmuwan dan peneliti, LSM serta masyarakat.

4. Untuk penataan ulang pengelolaanekosistem gambut perlu memperhatikan unit pengelolaan dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan perlu menetapkan fungsi lindungnya dengan mempertahankan kubah gambut yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan air serta penataan ulang

kanal-kanal yang sudah terbangun saat ini. Penataan ulang tersebut ditujukan agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, kelembaban pada lahan gambut selalu terjadi, terhindar dari banjir dan kekeringan serta kebakaran.

5. Perlu dilakukan pemetaan regulasi secara menyeluruh yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. hal ini akan dijadikan landasan untuk sinkronisasi dan penyempurnaan regulasi terutama dari perspektif pencegahan degradasi dan kebakaran lahan gambut.

6. Perlu mendelineasi kawasan dengan fungsi lindung dan budidaya pada setiap kubah gambut berdasarkan long term impact projection (sampai 50 – 100 tahun ke depan) untuk menghindari: 1) Alokasi fungsi budidaya yang pada

akhirnya berakibat pada umur pakai yang pendek (drainage elevation limit tercapai dalam waktu yang pendek).

2) Kawasan dengan fungsi lindung terkena dampak besar dari kawasan fungsi budidaya sekitarnya (creeping impact).

3) Benefit jangka panjang yang hilangmelebihi benefit jangka pendek. Kajianlong term impact projection perlu dilakukan oleh suatu tim multidisiplin, minimal: ahli lingkungan, ahli gambut, ahli hidrologi dan ahli ekonomi.

7. Mengkaji ulang pakem 30% kawasan fungsi lindung. Bila suatu kawasan fungsi lindung pada kubah gambut tidak bisa lestari (berdasarkan long term impact projection) maka proporsi ini perlu dinaikkan.

8. Segera dibuat turunan PP No. 71 /2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, antara lain berupa:a. Pedoman rehabilitasi dan restorasi

ekosistem gambut yang telah terdegradasi dengan tujuan utama membasahi gambut sebagai langkah awal dalam pemulihan,

b. Pedoman teknis tata kelola air pada lahan gambut,

77

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

c. Pedoman pemantauan status pengelolaan ekosistem gambut oleh penanggung jawab usaha.

9. Perlu implementasi pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah sebagai dasar pembinaan, pemantauan dan pengawasan, serta perlu dilakukan pembinaan kepada dunia usaha dan masyarakat untuk mengoperasionalkan pedoman.

10. Perlu ada tindakan tegas dari Menteri terhadap tim yang bertugas memantau kejadian kebakaran, karena terdapat perbedaan yang cukup besar antara luas area yang terbakar tahun 2015 dengan hasil rekapitulasi per provinsi dengan keadaan di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar proses penegakan hukum dan pencegahan kebakaran berjalan efektif.

11. Perlu dilakukan inventori perizinan secara menyeluruh yang terletak pada lahan gambut termasuk monitoring tentang pola pengelolaan ekosistem gambut dan status kualitas ekosistem gambut pada perusahaan didasarkan pada syarat-syarat yang diberlakukan. Dari hasil monitoring tersebut, apabila tidak memenuhi syarat, maka izin akan dicabut.

12. Perlu pengetatan terhadap Penundaan Pemberian Izin Baru Pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Pengawasan terhadap Moratorium / Penundaan Pemberian Izin Baru Pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut harus lebih di kuatkan baik di level pusat maupun daerah. Perusahaan yang telah memiliki Ijin harus segera direview untuk menghindarkan pembukaan lahan di Hutan alam dan lahan Gambut.

13. Penataan ulang konsesi yang sudah terlanjur berada di lahan gambut dan berdempetan / berdampingan dengan kawasan konservasi maupun terletak pada lahan gambut dengan fungsi lindung. Konsesi yang sudah terlanjur berada di lahan gambut dan berdempetan / berdampingan dengan kawasan konservasi maupun terletak pada lahan gambut dengan

fungsi lindung harus ditata ulang untuk dirubah menjadi bagian dari buffer zone yang melindungi kawasan konservasi.

14. Menghentikansementaraseluruhaktifitasdikonsesi yang ada di gambut, sampai peta satu kesatuan hidrogis gambut dan peta kawasan lindung dan budidaya di lahan gambut selesai dibuat.

15. Perlu sistem monitoring yang baik dan dilaksanakan secara terus menerus dengan melibatkan pemda dan masyarakat secara proaktif, dengan memperkuat early warning system. Konsentrasi penanganan siaga darurat pada 7 (tujuh) provinsi yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

16. Perlu dilakukan pemetaan yang harus masuk dalam sistem one map policy antara lain tentang :a. pemetaan kesatuan hidrologi gambut

(KHG),

b. pemetaan seluruh lahan gambut dan non gambut, baik milik pemerintah, konsesi swasta, adat maupun individu (yang potensial akan dialihfungsikan untuk menjadi lahan perkebunan; indikasi lokasi tidak jauh dari Mills PKS, pertanian dan HTI).

c. pemetaan tingkat degradasi atau kerusakan gambut,

d. pemetaan konfigurasi kanal-kanal yangada ,

e. pemetaan rehabilitasi dan restorasi yang perlu dilakukan.

f. pemetaan titik – titik lokasi MILLS pengolahan kelapa sawit (koordinat, nama desa, nama pemilik usaha), sebagai indikasi akan terjadinya potensi pembukaan lahan di sekitarnya untuk kebun sawit;

g. pemetaan sebaran dan lokasi titik hot spot sejak masa lalu hingga kini (sejarah hot spots).. Karena bahan bakar (sisa tanaman yang belum habis terbakar),

78

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

akan terbakar kembali saat musim kemarau yang akan datang.

17. Pasal 49 UU No. 41 / 1999 berbunyi"Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” harus diterapkan sebagai langkah pertama jika terjadi kebakaran. Peta penguasaan lahan dan tanggung jawab kebakaran lahan harus segera dibuat untuk memastikan insentif dan disinsentif pengelolaan lahan, hutan dan gambut untuk implementasi pasal 49 ini dan menyongsong pengurangan kebakaran pada tahun 2016.

18. Perlu memfokuskan juga pikiran dan tindakan untuk memulihkan kembali lahan gambut yang sudah terdegradasi atau rusak, dengan memperluas pelaksanaan tabat / sekat dan penanaman vegetasi yang adaptif di lahan gambut. Pemulihan kerusakan perlu mempertimbangkan hasil kajian / penelitian, belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang telah dilakukan beberapa pihak, serta mempertimbangkan penguatan masyarakat.

19. Perlu ada aturan dan direktif untuk konsesi yang sudah ada tentang penataan ulang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut antara lain meliputi kewajiban yang harus dilakukan, infrastruktur yang harus dimiliki, personil yang memadai untuk operasional dalam pencegahan, penanggulangan dan pemulihan ekosistem gambut di area konsesinya.

20. Perlu pengawasan secara konsisten dan terus menerus dengan format yang ditentukan kemudian.

21. Perlu penguatan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam pengawasan penerapan instrumen pencegahan dan penanggulangan degradasi dan kebakaran ekosistem gambut. Kapasitas KLHK, kejaksaan, kepolisian dan hakim untuk mengatasi kejahatan lingkungan perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan kerjasama

dengan KPK. KLHK bekerja sama dengan pemerintah daerah, kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan lingkungan yang terorganisasi (organized crime) di semua tingkat dalam pembakaran dan transaksi kepemilikan lahan.

22. KLHK dan pemerintah daerah meyakinkan DPR dan DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran (fire prevention – 80%) daripada pemadaman kebakaran (fire suppression - 20%). Kerugian kebakaran di setiap provinsi setiap tahun bisa mencapai angka belasan trilyun rupiah. Investasi untuk pencegahan kebakaran untuk seluruh Indonesia harus mencapai angka puluhan trilyun rupiah. Dana ini bisa bersumber pada anggaran pemerintah pusat dan daerah, pihak swasta dan bantuan pihak lain yang tidak mengikat.

23. Memastikan perusahaan menjalankan good corporate governance untuk mencegah staf dan pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut mencari keuntungan pribadi dalam pengelolaan lahan termasuk pembakaran lahan, transaksi lahan dan kepemilikan lahan secara tidak legal dan tidak etis.

24. Perlu dibangun interaksi dan kolaborasi yang kuat untuk pengelolaan ekosistem gambut yang terintegrasi dalam satu kesatuan hidrologis gambut, untuk perlindungan air maupun berbagi air antar pihak yang memanfatkan ekosistem gambut.

25. Perlu membangun publikasi dan display yang tepat dan efektif terutama untuk tujuan awareness bagi seluruh stakeholder sesuai dengan kelompok sasarannya, termasuk kelompok sasaran generasi lingkungan.

26. Perlu memperkuat ketahanan masyarakat dengan membangun aliansi masyarakat di masing-masing layer terutama yang sudah mempunyai kelembagaan yang baik.

79

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

Diskusi Pakar Tata Kelola Ekosistem, Tata Air (Hidrologi) dan Rehabilitasi Paska Kebakaran Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta, 27-29 September 2015

27. Perlu mempelajari fenomena sosial dalam penanganan pencegahan dan pemulihan ekosistem gambut paska kebakaran.

28. membuat tim kecil untuk merangkum rencana kerja dan perumusan kebijakan yang relevan dengan panataan ulang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut terutama dari perspektif pencegahan.

29. meminta pandangan khusus dari senior karena sudah termasuk ke dalam Keamanan Nasional.

30. partisipasi publik secara aktif harus dibuka, untuk mewujudkan tata kelola yang akuntabel berupa keterbukaan informasi atau transparansi data.

31. Perlu tanggung jawab bersama antara Indonesia, Singapura dan Malaysia dalam penanggulangan dan pencegahan kebakaran dan asap yang bisa diwujudkan dalam aksi kerjasama bilateral maupun regional (ASEAN).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Gedung Manggala Wanabakti Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia

Tel: +62 (0) 21 570 4501 Fax: +62 (0) 21 572 0226