F11kje_BAB II Tinjauan Pustaka

14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SERAT PANGAN (DIETARY FIBER) Deskripsi serat pangan oleh Trowell yang diacu dalam Cummings & Englyst (1991) menyebutkan bahwa serat pangan merupakan bagian dari makanan yang diperoleh dari dinding sel tumbuhan. Berdasarkan aspek fisiologi dan nutrisi, serat pangan meliputi semua jenis polisakarida dan lignin, serta beberapa jenis oligosakarida, yang tahan terhadap enzim pencernaan di jalur gastrointestinal atas. Serat pangan dapat didefinisikan sebagai ingredien pangan fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al. 1999). Selama lebih dari dua dekade, manfaat serat pangan telah banyak dipublikasi. Serat pangan berperan dalam mengatur motilitas saluran gastrointestinal, mempengaruhi metabolisme glukosa dan lemak, memperlancar buang air besar, menstimulasi aktivitas metabolisme bakteri, detoksifikasi terhadap zat-zat yang berada dalam kolon, serta berkontribusi dalam menjaga kestabilan ekosistem di kolon dan integritas mukosa intestinal (Guillon et al. 2000). Ditinjau dari sudut geografis, konsumsi serat pangan cukup bervariasi. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, konsumsi serat relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat di negara lain. Sebagai contoh, rata-rata asupan serat pangan di Amerika Serikat hanya berkisar antara 12 hingga 15 g per hari. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan rekomendasi World Health Organization (WHO), yaitu sekitar 25 hingga 40 g per hari. Sementara penduduk Afrika diketahui mengonsumsi serat sebanyak 50 g per hari (Jalili et al. 2001). Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat dicerna. Polisakarida yang dapat dicerna memiliki ikatan α (1-4) seperti yang terdapat pada pati serta beberapa jenis glikogen dalam daging. Ikatan ini dapat dicerna oleh enzim amilase yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Selain ikatan α (1-4), terdapat titik percabangan dalam rantai pati dan glikogen yaitu ikatan α (1-6) yang dapat dihidrolisis oleh enzim α (1-6) dextrinase (isomaltase) yang disekresikan oleh pankreas. Sebaliknya, polisakarida yang tidak dapat dicerna memiliki ikatan β (1-4). Enzim yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas tidak dapat menghidrolisis ikatan kovalen β (1-4). Meskipun polisakarida dengan jenis ikatan β (1-4) bersifat resistan terhadap pencernaan manusia, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat, propionat dan butirat) sebagai metabolit. Ikatan antar monomer glukosa pada pati dan glikogen dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Ikatan α (1-4) antar monomer glukosa pada pati dan glikogen (Jalili et al. 2001)

Transcript of F11kje_BAB II Tinjauan Pustaka

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 SERAT PANGAN (DIETARY FIBER)

    Deskripsi serat pangan oleh Trowell yang diacu dalam Cummings & Englyst (1991) menyebutkan bahwa serat pangan merupakan bagian dari makanan yang diperoleh dari dinding sel tumbuhan. Berdasarkan aspek fisiologi dan nutrisi, serat pangan meliputi semua jenis polisakarida dan lignin, serta beberapa jenis oligosakarida, yang tahan terhadap enzim pencernaan di jalur gastrointestinal atas. Serat pangan dapat didefinisikan sebagai ingredien pangan fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al. 1999).

    Selama lebih dari dua dekade, manfaat serat pangan telah banyak dipublikasi. Serat pangan berperan dalam mengatur motilitas saluran gastrointestinal, mempengaruhi metabolisme glukosa dan lemak, memperlancar buang air besar, menstimulasi aktivitas metabolisme bakteri, detoksifikasi terhadap zat-zat yang berada dalam kolon, serta berkontribusi dalam menjaga kestabilan ekosistem di kolon dan integritas mukosa intestinal (Guillon et al. 2000).

    Ditinjau dari sudut geografis, konsumsi serat pangan cukup bervariasi. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, konsumsi serat relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat di negara lain. Sebagai contoh, rata-rata asupan serat pangan di Amerika Serikat hanya berkisar antara 12 hingga 15 g per hari. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan rekomendasi World Health Organization (WHO), yaitu sekitar 25 hingga 40 g per hari. Sementara penduduk Afrika diketahui mengonsumsi serat sebanyak 50 g per hari (Jalili et al. 2001).

    Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat dicerna. Polisakarida yang dapat dicerna memiliki ikatan (1-4) seperti yang terdapat pada pati serta beberapa jenis glikogen dalam daging. Ikatan ini dapat dicerna oleh enzim amilase yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Selain ikatan (1-4), terdapat titik percabangan dalam rantai pati dan glikogen yaitu ikatan (1-6) yang dapat dihidrolisis oleh enzim (1-6) dextrinase (isomaltase) yang disekresikan oleh pankreas. Sebaliknya, polisakarida yang tidak dapat dicerna memiliki ikatan (1-4). Enzim yang disekresikan oleh kelenjar saliva dan pankreas tidak dapat menghidrolisis ikatan kovalen (1-4). Meskipun polisakarida dengan jenis ikatan (1-4) bersifat resistan terhadap pencernaan manusia, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat, propionat dan butirat) sebagai metabolit. Ikatan antar monomer glukosa pada pati dan glikogen dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

    Gambar 1. Ikatan (1-4) antar monomer glukosa pada pati dan glikogen (Jalili et al. 2001)

  • 4

    Gambar 2. Ikatan (1-4) antar unit glukosa dalam selulosa (Jalili et al. 2001)

    Serat pangan berdasarkan kelarutannya terhadap air terbagi pada dua jenis. Pertama serat pangan larut (SDF) yang terdiri dari pektin dan turunannya, gum, serta mucilage. Sementara serat tidak larut (IDF) terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan selulosa termodifikasi. Sumber makanan yang kaya akan SDF ialah buah-buahan, polong-polongan, oat dan beberapa jenis sayur-sayuran. Di samping itu, IDF banyak terdapat di dalam sereal, biji-bijian, polong-polongan serta sayur-sayuran. Keterangan lebih detail tentang tipe serat pangan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Tipe Serat Pangana

    Tipe Karakteristik Sumber Derajat Degradasi*

    Larut Pektin Kaya akan asam galakturonat,

    rhamnosa, arabinosa, galaktosa; karakteristik lapisan tengah dan dinding luar

    Serealia utuh, polong-polongan, kol, umbi-umbian, apel

    +

    Gum Sebagian besar terbentuk oleh monomer heksosa dan pentosa

    Oatmeal, kacang kering, beberapa jenis polong

    +++

    Mucilage Disintesa oleh sel tumbuhan dan

    dapat mengandung glikoprotein Bahan tambahan makanan

    +++

    Tidak Larut

    Selulosa Struktur dasar dinding sel; hanya terdiri dari monomer glukosa

    Serealia utuh, bekatul, kol dan sejenisnya, kacang kapri, buncis, apel, umbi-umbian

    +

    Hemiselulosa Komponen dinding sel primer

    dan sekunder; tipe yang berbeda terdiri dari unit monomer yang berbeda pula

    Bekatul, sereal, biji utuh

    +

    Lignin Terdiri dari alkohol aromatik; perekat, dan komponen dinding sel lainnya

    Sayuran, gandum 0

    *Derajat degradasi akibat fermentasi bakteri di usus besar; aWildman dan Medeiros 2000

  • 5

    2.2 PRINSIP ANALISIS SERAT PANGAN METODE AOAC DAN ASP

    Metode analisis yang dikembangkan oleh AOAC Official Methods dan Asp et al. (1992) adalah metode yang dipilih pada penelitian ini. Kedua metode ini termasuk dalam kategori analisis serat pangan secara enzimatik gravimetri. Enzimatik gravimetri lebih ekonomis dibandingkan dengan metode enzimatik kimia.

    Sebelum keempat sampel dianalisis kadar serat pangannya, sampel terlebih dahulu diberikan perlakuan pendahuluan yang sesuai dengan karakteristik sampel. Karakteristik sampel dibedakan menjadi tiga jenis, antara lain sampel tinggi lemak, sampel basah, dan sampel kering. Teknik persiapan sampel pada metode AOAC tidak berbeda dengan metode Asp.

    Sampel kacang kedelai dan kacang tanah merupakan sampel yang memiliki kadar lemak yang tinggi, yaitu lebih dari 10%. Kedua sampel ini membutuhkan ekstraksi lemak terlebih dahulu melalui ekstraksi pelarut menggunakan 25 bagian (v/b) petroleum eter atau heksana. Dalam penelitian ini solven yang digunakan adalah petroleum eter karena memiliki titik didih yang rendah, yaitu 35-38oC sehingga lebih mudah dipisahkan dari bahan pangan melalui penguapan atau pemanasan. Selain itu, petroleum eter lebih bersifat hidrofobik, selektif terhadap lemak, murah, tidak higroskopis, dan tidak mudah terbakar dibandingkan dengan etil eter. Komposisi utama petroleum eter adalah pentana dan heksana (Min dan Ellefson, 2010). Pentana dan heksana bersifat sinergis dalam mengekstrak lemak dan pencampuran keduanya mengakibatkan petroleum eter bersifat lebih stabil (Fialkov dan Chumak, 2000). Ekstraksi lemak dengan petroleum eter dilakukan sebanyak tiga kali, lalu petroleum eter dibiarkan menguap selama 15 menit. Sampel kemudian dikeringkan sekitar 12 jam pada oven bersuhu 105oC hingga kadar air sampel kurang dari 5%.

    Ekstraksi lemak yang dilakukan pada penelitian ini termasuk ekstraksi pelarut (liquid-liquid extraction). Ekstraksi pelarut didefinisikan sebagai proses pemisahan suatu zat dari sebuah campuran dengan mencampurkan dalam sebuah pelarut yang mampu melarutkan zat yang diinginkan tetapi tidak melarutkan zat lainnya (Holden 1999). Data hasil analisis serat pangan dikoreksi oleh selisih bobot akibat penghilangan lemak dan air selama proses persiapan sampel.

    Sampel wortel merupakan sampel yang termasuk dalam jenis sampel basah. Oleh karena itu, sampel ini dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 70oC menggunakan oven vakum hingga kadar air sampel kurang dari 5% karena memiliki zat yang relatif sensitif terhadap panas (Devahastin dan Suvarnakuta 2008). Sampel kemudian diblender dan diayak agar ukuran sampel homogen, yaitu 40-50 mesh.

    Sampel oat merupakan jenis sampel basah sahingga harus dikeringkan terlebih dahulu menggunakan oven pada suhu 105oC hingga kadar air sampel kurang dari 5%. Berbeda dengan sampel wortel yang sensitif terhadap panas, sampel oat tidak memiliki substansi yang sensitif terhadap panas sehingga air dalam sampel dapat diuapkan menggunakan suhu yang relatif lebih tinggi. Sampel kemudian diblender dan diayak agar ukuran sampel homogen, yaitu 40-50 mesh.

    BeMiller (2009) menyatakan bahwa persyaratan sampel yang digunakan dalam analisis serat pangan ialah kadar lemak kurang dari 10%, kadar air kurang dari 5%, serta ukuran mesh sampel berkisar antara 40-50 mesh. Ukuran sampel yang lebih kecil meningkatkan luas area kontak sehingga hidrolisis pati dan protein oleh enzim dapat berjalan secara efisien dan efektif (Naz 2002). Tabel 2 menunjukkan data mengenai kadar air dan kadar lemak sampel.

  • 6

    Tabel 2. Data kadar air dan kadar lemak sampel sebelum dan setelah proses persiapan sampel

    Sampel Kadar air (%) Kadar Lemak (%)

    Awal Akhir Awal Akhir

    Kacang Kedelai 11.67 1.24 16.98 1.31

    Kacang Tanah 15.02 1.36 48.01 2.97

    Wortel* 78.98 1.25 0.23 -

    *tidak dilakukan ekstraksi terhadap lemak

    Sampel yang telah homogen disimpan di dalam kemasan tertutup dan kedap udara. Sampel dikemas sebanyak lima gram per kemasan. Silika gel (SiO2.H2O) diletakkan di dalam kemasan agar dapat menyerap air. Silika gel menyerap air melalui proses adsorpsi dan kondensasi kapiler (Karukstis dan Van Hecke 2003). Selanjutnya sampel disimpan di dalam freezer bersuhu 0 (-20oC). Metode penyimpanan ini bertujuan menurunkan aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba yang masih ada di dalam sampel (Morawicki 2009). Aktivitas enzim dapat menurun akibat proses denaturasi protein oleh panas, perlakuan pH, atau salting out.

    Pertumbuhan mikroba juga dapat dihambat melalui proses pengeringan dan penambahan bahan pengawet. Kadar bahan pengawet yang digunakan ditentukan berdasarkan kemungkinan kontaminasi, kondisi penyimpanan, lama penyimpanan, serta analisis yang akan dilakukan terhadap sampel. Kadar air yang rendah pada sampel yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan penambahan pengawet dalam sampel selama penyimpanan tidak dibutuhkan. Nilai Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan sampel.

    Persamaan lainnya antara metode AOAC dan Asp terletak pada prosedur hidrolisis pati menggunakan enzim -amilase tahan panas (Termamyl). Sampel terlebih dahulu dipanaskan (95-100oC selama 30-35 menit) agar granula pati tergelatinisasi sehingga lebih mudah dihidrolisis oleh enzim. Suspensi pati yang dipanaskan akan mengembang hingga volume tertentu serta menyerap air. Hal tersebut berakibat pada rentannya pati terhadap zat kimia atau enzim yang ada di sekelilingnya (Uhlig 1998). Enzim yang tahan panas dibutuhkan agar enzim tidak terdenaturasi selama proses gelatinisasi sampel. Selama proses ini, terjadi pemotongan terhadap molekul pati pada ikatan (1-4). Pemotongan oleh enzim termamyl menghasilkan glukosa, maltosa dan oligosakarida (Ceirwyn, 1999).

    Mekansime reaksi enzim termamyl dapat dilihat pada Gambar 3. Enzim termamyl memiliki gugus karboksil dan gugus nitrogen (imidazol) pada sisi aktifnya. Substrat (pati) membentuk kompleks dengan enzim termamyl. Karboksil anion kemudian menyerang substrat pada posisi C nomor 1. Produk antara yang terbentuk ialah glukosil-enzim yang selanjutnya dipisahkan melalui reaksi deglukosilasi. Gugus imidazol berperan dalam reaksi deglukosilasi dengan mengikat proton pada air sehingga molekul air menjadi OH- yang menyerang C1 pada kompleks glukosil-enzim. Hasil reaksi berupa glukosa, maltosa dan oligosakarida yang memiliki C1 dengan konfigurasi (Naz 2002).

  • 7

    Gambar 3. Reaksi hidrolisis pati oleh enzim termamyl (Naz 2002)

    Komponen penyebab utama ketidakakuratan analisis serat pangan ialah pati (BeMiller 2010). Proses penghilangan pati yang tidak sempurna akan meningkatkan jumlah residu akhir yang berarti sebagai kesalahan hasil analisis. Oleh karena itu, pada prosedur analisis serat pangan metode AOAC dan Asp terdapat tahap hidrolisis pati lanjutan menggunakan enzim. Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa pati yang terdapat di dalam sampel terhidrolisis dengan sempurna. Akan tetapi, enzim yang digunakan pada kedua metode tersebut berbeda satu sama lain. Enzim yang digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis pati ialah amiloglukosidase, sementara pada metode Asp digunakan enzim pankreatin.

    Enzim amiloglukosidase merupakan salah satu enzim amilase. Produksi enzim amiloglukosidase komersial dapat dilakukan dengan menggunakan mikroba, yaitu Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Aspergillus niger, karena selain dapat memecah pati pada ikatan (1-4), enzim yang berasal dari A. niger juga mampu memecah ikatan (1-6) (Uhlig 1998). Enzim ini memecah substrat (pati) menjadi glukosa dari C terluar dari strukstur pati. Hasil reaksi pemecahan pati ialah glukosa yang memiliki konfigurasi . Kondisi optimumnya ialah pada rentang pH 4.0-4.4 dan suhu 58-65oC (Naz 2002).

    Enzim pankreatin merupakan campuran enzim lipase, protease, dan amilase. Oleh karena itu, selain mampu menghidrolisis lemak, enzim ini juga mampu menghidrolisis protein dan pati (Johnson dan Hillier 2008). Enzim pankreatin memiliki aktivitas optimum pada rentang pH antara 6.0 hingga 7.0 (Uhlig 1998).

    Selain enzim yang digunakan untuk menghidrolisis pati, perbedaan lainnya antara metode AOAC dan metode Asp ialah penggunaan enzim untuk menghidrolisis protein. Metode AOAC menggunakan enzim protease, sementara metode Asp menggunakan enzim fisiologis, yaitu pepsin dan pakreatin. Enzim fisiologis ialah enzim yang merupakan bagian dari enzim pencernaan di dalam tubuh manusia. Penggunaan enzim fisiologis didasarkan pada definisi serat pangan sebagai komponen yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia (Trowell 1974).

    C

    O-O

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    OH

    O

    H H

    C

    OHO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    HO

    OH

    C

    OO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O

    O

    CH2

    H

    HO

    OH

    HO

    O

    OH

    OH

    HO

    HO

    O

    Asp197

    1 2 3

    C

    O-O

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    OH

    O

    H H

    C

    O-O

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    O O

    CH2

    Asp197

    C

    O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    OH

    O

    H H

    O

    H H

    C

    OHO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    HO

    OH

    C

    OHO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O O

    CH2

    Asp197

    HO

    OH

    HO

    HO

    OH

    C

    OO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O

    O

    CH2

    H

    HO

    OH

    HO

    O

    OH

    OH

    HO

    HO

    O

    Asp197

    C

    OO

    CH2

    CH2

    C

    OO

    CH2

    CH2

    Glu233

    C

    -O

    O

    CH2

    H

    HO

    OH

    HO

    O

    OH

    HO

    OH

    HO

    O

    OH

    OH

    HO

    O

    OH

    OH

    HO

    HO

    O

    OH

    HO

    HO

    O

    HO

    HO

    O

    Asp197

    1 2 3

  • 8

    Enzim protease yang digunakan dalam analisis serat pangan metode AOAC berasal dari Bacillus subtilis. Hidrolisis menggunakan enzim protease bertujuan menghidrolisis protein yang terdapat di dalam sampel. Enzim protease memutuskan ikatan peptida pada struktur protein. Mekanisme reaksi pemutusan ikatan peptida terdiri atas reaksi alkilasi dan deasilasi. Naz (2002) menjelaskan tahapan reaksi tersebut sebagai berikut: 1) pembentukan kompleks enzim-protein dengan ikatan kovalen yang bersifat reversible, 2) pembentukan produk antara tetrahedral akibat penyerangan oleh serin 221 yang bersifat reaktif terhadap C karbonil. 3) protonasi pada substrat yang menyebabkan berubahnya struktur tetrahedral menjadi kompleks asil-enzim. 4) produk antara tetrahedral terbentuk kembali akibat penyerangan H2O terhadap kompleks asil-enzim. 5) aktivitas His 64-Ser 221 mengakibatkan terjadinya pembebasan sisi asilasi pada substrat sehingga menghasilkan asam amino. Mekanisme reaksi enzim protease dapat dilihat pada Gambar 4. Protease aktif pada kondisi pH antara 6-8 (Barberis et al. 2008).

    Gambar 4. Mekanisme reaksi enzim protease (Naz 2002)

  • 9

    Hidrolisis protein pada metode Asp menggunakan enzim pepsin, yaitu enzim proteolitik yang aktif pada pH asam. Oleh karena itu, pada lambung manusia pepsin berperan dalam pencernaan protein tahap awal yang menghasilkan asam amino dan polipeptida (Ganapathy et al. 2006). Asam amino kemudian diserap sementara polipeptida yang ukurannya lebih besar dihidrolisis oleh enzim pankreatin di usus dua belas jari (Silk 1985). Mekanisme kerja enzim pepsin serupa dengan enzim protease, yaitu memecah ikatan peptida pada protein menjadi asam amino. Enzim pepsin terdiri atas dua gugus karboksil, yaitu gugus yang terprotonasi dan gugus yang terionisasi. Tahap pertama dari pemecahan ikatan peptida ialah terbentuknya kompleks enzim-substrat. Tahap selanjutnya ialah penyerangan pada gugus karboksilat pada ikatan peptida. Oksigen karbonil pada gugus terprotonasi kemudian mengikat proton dari gugus hidroksil yang mengakibatkan terbentuknya produk antara berupa kompleks amino-asil-enzim. Kompleks tersebut kemudian bereaksi dengan air sehingga menghasilkan asam amino. Reaksi pemecahan ikatan peptida oleh enzim pepsin dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5. Reaksi pemecahan ikatan peptida oleh enzim pepsin menghasilkan asam amino

    (Naz 2002) Enzim yang digunakan dalam analisis serat pangan harus memiliki spesifikasi tertentu,

    terutama aktivitas spesifik (Anonim 1999). Aktivitas spesifik ialah satuan yang digunakan untuk mengukur kinerja enzim. Satuan aktivitas enzim pada umumnya dinyatakan dalam unit aktivitas yang menyatakan jumlah enzim yang mengubah 1 mol substrat per menit pada kondisi optimum (Anonim 2002). Termamyl memiliki aktivitas sebesar 3000 U/ml, protease memilliki konsentrasi 50 mg/ml atau setara dengan 350 unit tyrosin/ml, sementara amiloglukosidase memiliki aktivitas sebesar 50 U/ml. Aktivitas enzim pepsin yang digunakan pada analisis serat pangan metode Asp ialah 2755 U/mg.

  • 10

    Protein yang tersisa pada residu akhir diperhitungkan sebagai faktor koreksi, baik pada metode AOAC maupun Asp. Analisis protein pada residu dilakukan melalui metode analisis nitrogen Kjehldahl (AOAC 1999). Selain protein, mineral yang tersisa pada residu akhir juga dikoreksi melalui metode pengabuan. Asp (2001) menjelaskan bahwa pengendapan mineral terjadi pada tahap presipitasi serat pangan larut (SDF) menggunakan etanol. Oleh karena itu, sebagian besar peneliti menyarankan adanya koreksi terhadap kadar abu dan protein terhadap residu serat di akhir analisis (Prosky et al. 1988; Schweizer et al. 1988; Lee et al. 1992).

    Presipitasi SDF dilakukan dengan menambahkan etanol 95% ke dalam larutan analisis yang terdiri atas IDF, SDF terlarut, hasil hidrolisis enzim, mineral, serta komponen kontaminan lainnya. Tingkat kelarutan polisakarida, dalam hal ini SDF, di dalam larutan menurun akibat penambahan larutan tertentu seperti alkohol, iodin, tembaga, dan garam amonium kuartener. Penurunan tingkat kelarutan polisakarida di dalam air menyebabkan polisakarida mengalami presipitasi atau pengendapan (Aman & Westerlund 2006).

    Perbedaan antara analisis TDF dan IDF terletak pada proses presipitasi. Komponen IDF terlebih dahulu dipisahkan dari larutan analisis melalui penyaringan, sehingga filtrat yang diperoleh hanya terdiri atas komponen SDF terlarut yang selanjutnya dipresipitasi. Asp (2001) menyatakan bahwa presipitasi menggunakan etanol akan mengendapkan polisakarida yang memiliki derajat polimerisasi >10. Akan tetapi, pada beberapa kasus, polisakarida yang memiliki derajat polimerisasi yang besar tidak dapat dipresipitasi oleh etanol, terutama molekul yang bercabang. Polisakarida yang memiliki derajat polimerisasi

  • 11

    dan karbohidrat pada jumlah tertentu dapat mengganggu proses analisis serat pangan sehingga hasil yang diperoleh menjadi kurang akurat. Data proksimat sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Data Proksimat sampela

    Sampel Data Analisis Proksimat (DM*)

    Air Protein Lemak Karbohidrat Abu

    Kacang Kedelai 13.00% 35.00% 17.00% 31.00% 4.40%

    Kacang Tanah 15.00% 24.80% 47.90% 24.60% 2.70%

    Oat 13.00% 17.60% 7.00% 55.90% 4.05%

    Wortel 79.00% 1.50% 0.20% 10.40% 0.80%

    *DM: Dry Matter Basis (basis kering) aLiu 1999; NAS 1979; dan Hanif et al. 2006

    2.3 VALIDASI DAN VERIFIKASI METODE

    Validasi metode adalah suatu proses untuk mengkonfirmasi bahwa prosedur analisis yang

    dilakukan untuk pengujian tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Huber 2001). Garfield et al. (2000) menyatakan bahwa validasi metode adalah suatu proses penting dari quality control laboratorium. Sifat-sifat dari sebuah metode ditentukan dan dievaluasi secara obyektif. Hasil validasi metode dapat digunakan untuk menilai kualitas, tingkat kepercayaan (reliability), dan konsistensi hasil analisis. Hal tersebut merupakan bagian dari Good Laboratory Practice (GLP) (Huber 2001).

    Metode analisis mempunyai atribut tertentu seperti ketepatan, ketelitian, spesifisitas, sensitivitas, kemandirian, dan kepraktisan yang harus dipertimbangkan ketika memilih metode yang cocok untuk memecahkan masalah tertentu (Garfield et al. 2000). Namun atribut-atribut tersebut tidak dapat dioptimalkan sekaligus sehingga harus diputuskan atribut metode yang tepat. Informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan harus seimbang dengan pertimbangan praktis seperti biaya, waktu, risiko, kesalahan, dan tingkat keahlian yang diperlukan.

    Ketika menggunakan metode yang dikembangkan oleh pihak lain, baik metode yang digunakan oleh laboratorium lain, metode yang telah dipublikasi, atau metode baku, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, apakah data validasi cukup memadai atau membutuhkan tindakan revalidasi sebelum penggunaan. Kedua, jika data validasi telah cukup memadai, apakah laboratorium mampu mencapai level performa yang ditunjukkan oleh data validasi tersebut. Dengan kata lain, dibutuhkan analis yang kompeten serta peralatan dan fasilitas yang memadai. Misalnya, jika metode yang digunakan telah divalidasi oleh organisasi terstandarisasi seperti AOAC Internasional, laboratorium umumnya hanya menjaga performa data dengan cara memverifikasi metode.

    Verifikasi metode ialah tindakan validasi pada beberapa atribut metode saja. Laboratorium harus menentukan atribut metode yang dibutuhkan. Spesifikasi analisis dapat menjadi acuan untuk merancang proses verifikasi. Rancangan yang baik akan menghasilkan informasi yang dibutuhkan serta meminimalisir tenaga, waktu, serta biaya. Pemilihan parameter validasi atau verifikasi tergantung pada beberapa faktor seperti aplikasi, sampel uji, tujuan metode, dan peraturan lokal atau internasional. Karakteristik verifikasi metode pengujian dapat dilihat pada Tabel 5.

  • 12

    Tabel 5. Verifikasi metode pengujiana

    Parameter yang dievaluasi

    Prosedur yang harus diikuti

    Jumlah pengujian

    Kalkulasi Keterangan

    Repeatability

    Analisis terhadap sampel dengan analis, peralatan, laboratorium yang sama dalam rentang waktu singkat

    10

    Terhadap standar deviasi pada masing-masing sampel

    Menentukan standar deviasi pada masing-masing sampel

    Selektivitas (spesifisitas)

    Analisis terhadap sampel dengan metode kandidat serta metode standar

    1

    Hasil dari konfirmasi teknik dengan uji beda digunakan untuk mendapatkan data mengenai kemampuan metode untuk mengkonfirmasi identitas analat dan kemampuannya untuk mengukur analat setelah diisolasi dari gangguan-gangguan yang ada

    Memberikan bukti pendukung yang dibutuhkan untuk memberikan kepercayaan yang cukup terhadap metode yang digunakan

    Ruggedness (Robustness)

    Mengidentifikasi variabel yang dapat memberikan efek yang signifikan terhadap performa metode. Evaluasi dilakukan dengan memberi perlakuan berbeda pada variabel dan melihat dampak perubahan terhadap keakuratan data

    2

    Terhadap nilai rata-rata hasil analisis dari tiap set percobaan

    Mengontrol titik kritis metode

    aEURACHEM Guide (1998)

    Menurut EURACHEM Guide (1998), parameter-parameter tersebut meliputi selektivitas/spesifisitas, limit deteksi, limit kuantitasi, linearity, rentang, repeatability,

  • 13

    reproducibility, akurasi, ketidakpastian, sensitivitas, ruggedness (robustness), dan recovery. Selektivitas (spesifisitas) menyatakan kemampuan metode untuk menentukan analat yang dimaksud di antara keberadaan komponen lainnya di dalam matriks sampel secara akurat dan spesifik pada keadaan yang telah ditentukan dalam metode. Limit deteksi ialah konsentrasi terendah analat dalam sampel yang mampu dideteksi, namun tidak dihitung secara kuantitatif. Limit kuantitasi ialah konsentrasi terendah analat dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi yang bisa diterima (repeatability) serta akurasi. Linearity menunjukkan kemampuan metode untuk memperoleh hasil analisis yang proposional terhadap konsentrasi analat. Rentang ialah set nilai tertentu dimana tingkat kesalahan alat dalam pengukuran diharapkan berada di antara batas yang telah ditentukan. Repeatability menunjukkan presisi pada kondisi yang berulang. Misalnya, hasil analisis diperoleh melalui metode yang sama dari sampel dengan laboratorium, operator, serta peralatan yang sama pada rentang waktu yang pendek. Reproducibility menunjukkan presisi pada kondisi yang diulang kembali. Misalnya, hasil analisis diperoleh melalui metode yang sama dari sampel dengan laboratorium, operator, serta peralatan yang berbeda. Akurasi ialah kedekatan yang diterima antara hasil analisis dengan nilai acuan. Ketidakpastian merupakan parameter yang berhubungan dengan hasil pengukuran, ketidakpastian menunjukkan penyebaran nilai yang dapat dijelaskan sebagai atribut hasil. Parameter dapat berupa standar deviasi atau interval kepercayaan. Sensitivitas ialah perubahan respon pengukuran oleh perubahan stimulus yang berkaitan. Stimulus dapat berupa jumlah analat yang berada di dalam sampel. Ruggedness (robustness) ialah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil analisis akibat perubahan kecil pada lingkungan maupun kondisi analisis yang dilakukan. Recovery merupakan pengukuran analat yang ditambahkan pada sampel dalam jumlah yang diketahui.

    2.4 FAKTOR-FAKTOR KESALAHAN PADA ANALISIS SERAT PANGAN METODE ENZIMATIK-GRAVIMETRI

    Diagram ishikawa adalah diagram sebab-akibat yang merupakan salah satu dari tujuh pengendali mutu. Diagram ini menunjukkan penyebab dari suatu hal, pada pembahasan ini ialah kesalahan analisis serat pangan metode enzimatik gravimetri yang dilakukan pada penelitian ini. Faktor-faktor kesalahan yang digambarkan dalam diagram ishikawa diperoleh melalui pengamatan selama penelitian dilakukan.

    Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi selama analisis serat pangan metode enzimatik gravimetri digambarkan melalui diagram Ishikawa (Gambar 6). Faktor-faktor kesalahan digolongkan ke dalam empat kategori utama yaitu reagen dan enzim, metode, alat, dan analisis. Masing-masing kategori terbagi menjadi beberapa faktor. Pada faktor reagen dan enzim, kontaminasi atau kemurnian, umur simpan, serta sifat-sifat kimia reagen dan enzim merupakan kemungkinan penyebab terjadinya kesalahan selama analisis.

    Persiapan sampel, penyaringan, dan penentuan faktor koreksi merupakan bagian dari faktor kesalahan metode. Persiapan sampel yang tidak tepat dapat menyebabkan sampel tidak homogen sehingga hasil analisis memiliki keragaman yang tinggi. Penyaringan larutan analisis membutuhkan kehati-hatian yang tinggi karena sampel dapat tumpah atau tercecer karena crucible memiliki volume yang terbatas. Penentuan faktor koreksi dilakukan terhadap kadar abu dan protein residu. Sampel yang memiliki kadar serat pangan kurang dari 10% akan menghasilkan data kadar abu dan protein yang memiliki keragaman yang besar (BeMiller 2010). Hal ini dikarenakan jumlah residu yang digunakan sangat kecil.

  • 14

    Neraca analitik, pH-meter dan inkubator bergoyang adalah alat yang mungkin dapat menjadi penyebab kesalahan analisis. Neraca analitik dan pH-meter harus dikalibrasi terlebih dahulu karena dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Inkubator bergoyang harus memiliki suhu yang stabil agar enzim dapat bekerja secara maksimal. Inkubator bergoyang digunakan dalam waktu yang cukup lama, yaitu 30 hingga 60 menit sehingga kestabilan alat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan data yang baik. Faktor analis yaitu ketrampilan, sikap atau perilaku dan faktor kelelahan menjadi penentu hasil analisis. Prosedur yang panjang dan memakan waktu mengharuskan analis mengatur waktu dengan baik agar hasil analisis tidak terpengaruh oleh ketrampilan yang tidak konstan akibat kelelahan.

    Gambar 6. Diagram Ishikawa faktor-faktor Kesalahan Analisis Serat Pangan Metode Enzimatik-gravimetri

    2.5 PENGOLAHAN DATA 2.3.1 Rata-rata ()

    Cara terbaik untuk mengevaluasi sebaran data hasil analisis adalah dengan

    menghitung rata-rata. Rata-rata memberikan perkiraan yang tepat mengenai nilai dengan populasi data (Oakland 2003). Rumus rata-rata ialah:

    = + + + +

    = /

    = jumlah semua pengukuran sampel hingga ulangan ke-n

    Kesalahan analisis serat

    pangan

    Metode

    Analis

    Persiapan sampel

    Penyaringan

    Faktor koreksi

    Keterampilan

    Sikap/perilaku

    Kelelahan

    Reagen & Enzim

    Alat

    Umur simpan

    Sifat-sifat kimia

    Kontaminasi

    Neraca analitik

    pH-meter

    Inkubator bergoyang

  • 15

    2.3.2 Standar Deviasi dan RSD

    Cara yang terbaik untuk mengevaluasi ketelitian dari data analisis adalah dengan menghitung standar deviasi. Standar deviasi mengukur penyebaran data-data percobaan dan memberikan indikasi yang bagus mengenai seberapa dekat data tersebut satu sama lain (Nielsen 2003). Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus:

    = ( ) 1

    Cara lain untuk mengukur ketelitian adalah dengan menghitung nilai Relative Standard Deviation (RSD). Nilai RSD ini merupakan nilai standar deviasi yang dinyatakan sebagai presentase dari rata-rata. RSD dapat dihitung dengan rumus:

    =

    100% Keterangan:

    SD = standar deviasi ; xi = nilai yang diperoleh dari setiap ulangan ; x = nilai rata-rata; n = jumlah ulangan; RSD = standar deviasi relatif Nilai RSD yang dapat diterima tergantung dari konsentrasi analat yang diperoleh dari

    hasil pengujian. Nilai RSD yang dapat diterima dibandingkan dengan nilai RSD Horwitz (RSDR). RSDR dihitung menggunakan rumus:

    % = 2(, ) RSDR adalah standar deviasi relatif antar laboratorium dan C adalah konsentrasi

    dalam bentuk fraksi desimal. RSD dalam laboratorium biasanya sampai 2/3 RSDR (Pomeranz dan Meloan 1994; Garfield 2000). Batas RSD yang dapat diterima dalam penelitian ini adalah 2/3 RSD.

    2.3.3 Uji t dan F

    Uji signifikansi meliputi uji t-student dan uji F. Uji t membandingkan rata-rata

    ulangan yang dilakukan oleh dua metode dan membuat asumsi dasar atau hipotesis nol, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata dari dua set data (James, 1999). Uji t memberikan jawaban ya atau tidak terhadap pembenaran dari hipotesis nol dengan keyakinan yang pasti, seperti 95% atau bahkan 99%. Nilai kritik untuk t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka hipotesis nol dapat ditolak yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara dua hal yang dibandingkan. Nilai t hitung didapat dari rumus:

  • 16

    = 1

    + ( 1

    )

    = ( 1) + ( 1) + 2

    dengan derajat bebas sebesar + 2

    Uji F atau uji rasio varian ialah uji yang digunakan untuk membandingkan antara dua standar deviasi, yang berarti membandingkan pula ketelitian antara dua metode. Asumsi dasar atau hipotesis nol dari uji ini adalah bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua standar deviasi. Hipotesis nol ditolak jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F Tabel yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketelitian dua metode. Nilai F hitung didapat dari rumus:

    =

    Keterangan: nilai s yang lebih besar ditempatkan sebagai pembilang sehingga F>1.