f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

52
Hubungan Kausalitas Jangka Panjang Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus Provinsi Aceh melalui Analisis Vector Autoregression (VAR): 1 Riswandi 2 Abstrak Sumber pendanaan pendidikan naik cukup signifikan sejak Aceh memperoleh otonomi khusus tahun 2001, namun capain indikator utama pendidikan khususnya mutu lulusan dan tata kelola pendidikan masih bervariasi sehingga dikhawatirkan investasi pendidikan belum menjadi determinan penting pertumbuhan ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang investasi pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh. Data yang digunakan adalah data runtun waktu sebanyak 23 observasi (1984 – 2006). Analisis VAR, Impluse Response dan uji Granger Causality, uji unit roots dan kointegrasi Johansen dilakukan untuk mengetahui karakteristik hubungan jangka panjang antarvariabel. Temuan penelitian adalah, pertama, seluruh variabel penelitian terkointegrasi pada orde pertama, I(1). Kedua, dalam jangka panjang, kenaikan investasi pendidikan sebesar 1 persen meingkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,31 persen. Ketiga, berdasarkan model VAR(1), dalam jangka pendek investasi pendidikan belum signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh, namun tidak demikian halnya dalam jangka panjang. Hal ini didukung hasil uji Granger Causality bahwa dalam jangka pendek hanya ada satu hubungan kausalitas dari pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan, sedangkan dalam jangka panjang hubungan kausalitas satu arah tidak langsung (indirect causality) justeru terjadi sebaliknya. Terakhir, berdasarkan analisis Impulse Response, respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock variabel endogen apapun dan darimana (ordering) shock tersebut terjadi. Usulan kebijakan untuk pemerintah Aceh adalah pertama, shock apapun yang dapat mempengaruhi anggaran daerah sebaiknya tidak diikuti dengan 1 Disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan di Jakarta, 4 – 6 Agustus 2009. 2 Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif pada Pusat Kajian dan Informasi Ekonomi Aceh (pike Aceh). Riswandi dapat dihubungi di e-mail: [email protected] ; www.pikeaceh.org 1

Transcript of f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Page 1: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Hubungan Kausalitas Jangka Panjang Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus Provinsi Aceh melalui Analisis Vector Autoregression (VAR):1

Riswandi2

Abstrak

Sumber pendanaan pendidikan naik cukup signifikan sejak Aceh memperoleh otonomi khusus tahun 2001, namun capain indikator utama pendidikan khususnya mutu lulusan dan tata kelola pendidikan masih bervariasi sehingga dikhawatirkan investasi pendidikan belum menjadi determinan penting pertumbuhan ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang investasi pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh. Data yang digunakan adalah data runtun waktu sebanyak 23 observasi (1984 – 2006). Analisis VAR, Impluse Response dan uji Granger Causality, uji unit roots dan kointegrasi Johansen dilakukan untuk mengetahui karakteristik hubungan jangka panjang antarvariabel. Temuan penelitian adalah, pertama, seluruh variabel penelitian terkointegrasi pada orde pertama, I(1). Kedua, dalam jangka panjang, kenaikan investasi pendidikan sebesar 1 persen meingkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,31 persen. Ketiga, berdasarkan model VAR(1), dalam jangka pendek investasi pendidikan belum signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh, namun tidak demikian halnya dalam jangka panjang. Hal ini didukung hasil uji Granger Causality bahwa dalam jangka pendek hanya ada satu hubungan kausalitas dari pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan, sedangkan dalam jangka panjang hubungan kausalitas satu arah tidak langsung (indirect causality) justeru terjadi sebaliknya. Terakhir, berdasarkan analisis Impulse Response, respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock variabel endogen apapun dan darimana (ordering) shock tersebut terjadi. Usulan kebijakan untuk pemerintah Aceh adalah pertama, shock apapun yang dapat mempengaruhi anggaran daerah sebaiknya tidak diikuti dengan pengurangan anggaran pendidikan. Kedua, Pemerintah Aceh perlu menyusun peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan anggaran pendidikan yang bersumber dari tambahan dana migas dan otonomi khusus.

Kata kunci: investasi pendidikan, pertumbuhan ekonomi Aceh, kointegrasi, vector autoregression, impulse response, Granger causality

1 Disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan di Jakarta, 4 – 6 Agustus 2009.2 Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif pada Pusat Kajian dan Informasi Ekonomi Aceh (pike Aceh). Riswandi dapat dihubungi di e-mail: [email protected]; www.pikeaceh.org

1

Page 2: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Bagian I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Investasi pendidikan atau modal manusia (human capital) telah menjadi salah satu

determinan penting keberhasilan pembangunan ekonomi jangka panjang. Investasi pendidikan

merupakan mesin perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-driven economy) yang

memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja,

penurunan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, peningkatan daya saing

perdangangan, teknologi, kesehatan, stabilitas politik, hak asasi manusia dan demokrasi.

Serangkaian penelitian3 telah dilakukan untuk menghubungkan bagaimana investasi modal

manusia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Mayoritas hasil

penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara investasi modal manusia dan

pertumbuhan ekonomi, meskipun sebagian kecil lagi gagal menjelaskan hubungan tersebut

karena masalah metodologi dan data.

Salah satu implikasi hasil temuan di atas adalah reorientasi kebijakan pembangunan

ekonomi jangka panjang berbasis modal manusia di hampir sebagian negara di dunia. Tidak saja

negara maju tetapi juga negara miskin mulai melakukan investasi modal manusia dalam jumlah

yang relatif besar dengan cara peningkatan alokasi anggaran pendidikan, pelatihan, penelitian

dan pengembangan, dan program magang. Sejalan hal tersebut, di Indonesia, UUD 1945 pasal 31

ayat 4 dan dan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 pasal 49 mengamanatkan

pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan sebesar 20% dari anggaran pendapatan

dan belanja negara dan daerah untuk pendanaan pendidikan.

Berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, Pemerintahan Aceh sedikit lebih maju dalam

hal pendanaan pendidikan. Sumber pendanaan pendidikan di Aceh mengalami peningkatan yang

sangat besar sejak tahun 2001 dengan diberlakukannya UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Provinsi Naggroe Aceh Darussalam4. Bahkan, pada tahun 2004, Aceh memiliki belanja

pendidikan per kapita tertingi kedua setelah Provinsi Papua (Bank Dunia, 2006). Selanjutnya,

seiring perubahan situasi politik dan perdamaian di Aceh, pendanaan pendidikan Aceh terus

memperoleh tambahan anggaran yang sangat signifikan5 setelah UU No 11 Tahun 2006 tentang

3 Penelitian dengan topik investasi modal manusia mulai berkembang sejak pertengahan 1950-an sebagai respon lahirnya Teori Ekonomi Baru (new growth theory or endogenous growth theory) oleh Robert Solow. Teori ini menempatkan modal manusia sebagai faktor kunci dan dianggap sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of growth). 4 Menurut UU ini, pemerintah Aceh sekurang-kurangnya mengalokasikan 30% dari tambahan dana bagi hasil migas Aceh untuk biaya pendidikan.5 Tahun 2009, anggaran pendidikan Aceh mengalami kenaikan cukup signifikan menjadi sebesar 1,82 triliun atau sebesar 182 persen dibandingkan anggaran yang sama tahun 2007.

2

Page 3: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Pemerintahan Aceh diberlakukan. Dengan UU yang baru ini, alokasi anggaran pendidikan Aceh

tidak saja bersumber dari 20% APBA (Angaraan Pendapatan dan Belanja Aceh) dan APBK

(Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota) tetapi juga memperoleh tambahan sebesar

30% dari tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang diperoleh dari dana transfer

pemerintah pusat.

Bagaimana pemanfaatan dana pendidikan yang relatif cukup besar tersebut mampu

menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang lebih baik dan selanjutnya menjadi motor

penggerak perekonomian Aceh adalah masalah utama yang sedang dihadapi bukan saja

pemerintah Aceh tetapi juga pemangku kepentingan bidang pendidikan. Di satu sisi, anggaran

pendidikan yang berlimpah menjadi sumber daya yang sangat penting untuk mencapai empat

pilar pendidikan Aceh sebagaimana termaktub dalam Rencana Strategis Pendidikan Aceh6,

namun di sisi lain capain-capain indikator utama pendidikan khususnya kompetensi lulusan serta

tata kelola pendidikan menunjukkan hasil yang bervariasi7. Tanpa adanya lulusan yang bermutu

dan proses pendidikan yang efisien, pertumbuhan ekonomi yang bersinambungan dalam jangka

panjang sulit untuk dicapai.

Oleh karenanya penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara lebih dalam bagaimana

hubungan kausalitas jangka panjang antara anggaran pendidikan dan pertumbuhan ekonomi

Aceh. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu mendeteksi seberapa besar kontribusi

peningkatan anggaran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Hanya sistem

pendidikan yang bermutu mampu menghasilkan lulusan yang memiliki produktivitas tinggi dan

mampu bersaing di pasar tenaga kerja. Selanjutnya, pasar tenaga kerja yang terlatih dan terdidik

(educated and skilled-abundant-labour market) mampu menggerakan perekonomian secara

signifikan dan berkelanjutan.

6 Empat pilar pendidikan Aceh yaitu peningkatan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, tata kelola, dan pendidikan islami sebagaimana termaktub dalam visi Rencana Strategis Pendidikan Aceh, 2007 – 2011 yaitu “Terwujudnya pendidikan di Aceh yang merata untuk semua anak, berkualitas tinggi, bersifat islami, dan mampu menghasilkan lulusan yang kompetitif”. 7 Capaian indikator pendidikan khususnya di bidang perluasan akses pendidikan semakin membaik dan bahkan lebih tinggi dari target nasional. Per 2007, APM SD sebesar 94,66% sedikit lebih rendah dibandingkan target nasional sebesar 94,81%, sementara itu, APK SMP dan SMA sederajat berturut-turut, 96,59% dan 73,86% jauh lebih baik dibandingkan target nasionalnya berturut-turut sebesar 95% dan 64,20%. Di bidang peningkatan mutu dan daya saing pendidikan, capaian indikator nilai rata-rata UN SD sebesar 5,84 sedikit lebih baik dibandingkan target nasional sebesar 5,00, sedangkan di tingkat SMP/SMA sederajat sebesar 6,15 dan 6,33 masih jauh tertinggal dibandingkan target nasional sebesar 7 untuk keduannya (Dinas Pendidikan Aceh, 2008).

3

Page 4: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas antara anggaran

pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. Secara lebih khusus, tujuan penelitian ini adalah;

(a) untuk menganalisis hubungan kausalitas antara anggaran pendidikan dan

pertumbuhan ekonomi Aceh.

(b) untuk menelusuri bagaima respon pertumbuhan ekonomi Aceh sebagai akibat

perubahan anggaran pendidikan.

(c) untuk menganalisis bagaimana karakteristik hubungan jangka panjang antara

investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh.

1.3 Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh. Data dan infomasi yang digunakan tidak saja

pada level provinsi tetapi juga di 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Pengujian Model VAR, uji

Granger Causality, Impulse Response dan uji Kointegrasi digunakan untuk menjawab masing-

masing tujuan point (a), (b), dan (c).

1.4 Data dan Metode Penelitian

Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah dikompilasi dan

dipublikasikan oleh berbagai instansi, antara lain; Badan Perencanaan dan Pembangunan

(BAPPEDA) Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, dan Badan Pusat Statistik Aceh. Data runtun waktu

(time series data) selama 23 observasi, periode 1984-2006, digunakan untuk menganalisis secara

umum bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang antarvariabel terjadi.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian inferensi dengan menggunakan model ekonometrika untuk

menganalisis bagaimana hubungan kausalitas jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi Aceh

dan investasi pendidikan Aceh. Fungsi Produksi Coob-Douglas yang telah diperluas dengan

memasukkan anggaran pendidikan sebagai proksi investasi manusia digunakan sebagai model

dasar penelitian, sebagai berikut:

Yt = AKtαLt

βEtγ (1)

dimana Yt adalah output, Kt adalah modal fisik, Lt adalah jumlah tenaga kerja, Et adalah

anggaran pendidikan pemerintah, dan A adalah kemajuan teknologi.

4

Page 5: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Selanjutnya, persamaan (1) ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural menjadi

sebagai berikut:

lyt = a + αlkt + llt γlet + εt (2)

dimana lyt = logaritma output per kapita

lkt = logaritma modal fisik

llt = logaritma kesempatan kerja

let = logaritma anggaran pendidikan pemerintah

a = konstanta, dengan asumsi constant return to scale (A konstan)

α, , γ = parameter yang akan diestimasi

ε = error term

t = tahun observasi

Model VAR(1) dengan lag 1, misalnya, dapat diturunkan dari persamaan (2) untuk

mengetahui bagaimana hubungan kausalitas anggaran pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi

Aceh, sebagai berikut:

lyt = a10 + a11 yt-1 + a12lkt-1 + a13llt-1 + a14let-1 + εyt (3)

lkt = a20 + a21 yt-1 + a22lkt-1 + a23llt-1 + a24let-1 + εkt (4)

llt = a30 + a31 yt-1 + a32lkt-1 + a33llt-1 + a34let-1 + εyt (5)

let = a40 + a41 yt-1 + a42lkt-1 + a43llt-1 + a44let-1 + εet (6)

Dalam penelitian ini, operasional variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

(a) Logaritma PDRB (produk domestik regional bruto) digunakan sebagai proksi logaritma

pertumbuhan ekonomi (lyt).

(b) Logaritma pembentukan modal tetap bruto merupakan proksi logaritma modal fisik (lkt).

(c) Logaritma kesempatan kerja (llt) adalah logaritma kesempatan kerja yang diproksi

dengan jumlah angkatan kerja Aceh (penduduk berumur 15 tahun ke atas).

(d) Logaritma pengeluaran pendidikan pemerintah per tenaga kerja (le t) diproksi dengan

pengeluaran pendidikan pemerintah provinsi Aceh yang dialokasi setiap tahun dari

Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).

5

Page 6: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Bagian II

Kajian Teori

2.1 Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Ilmu ekonomi pendidikan (economics of education) merupakan salah satu cabang ilmu

ekonomi yang mengalami perkembangan cukup pesat sejak tahun 1960-an. Pada awal

perkembangnya, Schultz (1961) menganalisis bahwa peningkatan pendapatan riil per kapita

masyarakat America pada pertengahan abad ke-20 disebabkan pertumbuhan modal manusia.

Selanjutnya, Lucas (1988) mempresentasikan sebuah model yang menjelaskan bahwa kekuatan

yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat akumulasi modal manusia. Bahkan

sebuah konferensi ekonomi Internasional yang diselenggarakan tahun 1963 telah menghasilkan

sebuah prosiding yang berisi tentang beberapa hal penting berkaitan dengan kontribusi

pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, profitabilitas investasi pendidikan (termasuk

estimasi tingkat pengembalian sosial dan individu), peranan tenaga kerja terdidik dalam

pembangunan ekonomi, perencanana dan pembiayaan pendidikan, dan efek pendidikan terhadap

distribusi pendapatan dan kekayaan (Psacharopoulos, 1987).

Sementara itu, bagaimana investasi pendidikan memberikan kontribusi positif dan langsung

terhadap pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan oleh berbagai hasil penelitian. Pertumbuhan

ekonomi di beberapa negara maju lebih didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, bukan pertumbuhan tanah dan

modal fisik per pekerja. Terbukti bahwa negara-negara yang mengalami pertumbuhan

pendapatan secara persisten juga memiliki pengeluaran yang besar di bidang pendidikan dan

pelatihan untuk angkatan kerja mereka (Becker, 1993).

Belassi dan Musila (2004) menggunakan prosedur estimati kointegrasi dan kesalahan

residual (error correction model=ECM) untuk menginvestigasi dampak pengeluaran pemerintah

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) riil Uganda selama periode 1965-1999. Penelitian ini

juga memasukkan modal fisik dan tenaga kerja sebagai salah variabel penting yang

mempengaruhi pertumbuhan dalam jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dengan menggunakan model ECM, dalam jangka pendek, secara rata-rata setiap kenaikan 1%

pengeluaran pendidikan per tenaga kerja akan mendorong output nasional sekitar 0,04%.

Sementara itu, dengan estimasi kointegrasi, dalam jangka panjang, secara rata-rata setiap

kenaikan 1% pengeluaran pendidikan per tenaga kerja akan meningkatkan output nasional

sekitar 0,6%.

6

Page 7: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Berbeda dengan pendekatan yang dilakukan penelitian di atas, Nour dan Muysken (2006)

menggunakan pendekatan lain untuk menjelaskan bagaimana defisiensi sistem pendidikan dan

banyaknya pekerja lokal dan asing yang tidak terlatih di negara-negara semenanjung Arab,

khususnya Uni Emirat Arab, merupakan hambatan serius untuk mengurangi ketergantungan

terhadap teknologi luar negeri dan merestrukturisasi perekonomian dari ketergantungan mereka

terhadap ekspor minyak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa interaksi antara sistem

pendidikan yang tidak memadai dan tingginya pasokan tenaga kerja asing yang tidak terlatih

memiliki konsekuensi serius, seperti; tingkat keahlian yang rendah, penyelenggaraan pelatihan

yang rendah, ketidaksesuain keahlian, transfer pengetahuan yang rendah, usaha-usaha yang

terbatas untuk pengembangan teknologi lokal, ketergantungan terhadap teknologi luar negeri dan

penurunan produktivitas. Mereka juga menemukan bahwa kuliatas pendidikan dan pelatihan

yang rendah, kurangnya insentif untuk memotivasi interaksi yang efektif antara pemilik

pengetahuan dan penerima pengetahuan, dan ketidaksesuaian keahlian merupakan faktor penting

penghambat transfer pengetahuan.

Sementara itu, Al-Yousif (2008) meneliti hubungan kausalitas antara pengeluaran

pendidikan sebagai proksi modal manusia dan pertumbuhan ekonomi di 6 negara GCC8 dengan

menggunakan uji Granger Causality. Hasil penelitian menyatakan hasil yang beragam namun di

hampir semua negara hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah (unidirectional causality)

yaitu dari manusia ke pertumbuhan ekonomi, tidak sebaliknya. Keragaman hasil penelitian ini

disebabkan oleh karakteristik masing-masing negara dan penggunaan proksi modal manusia

yang berbeda-beda.

Lebih spesifik, Nomura (2007) meneliti bagaimana kontribusi investasi pendidikan

terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berubah-ubah jika tingkat pendidikan dan pemerataan

pendidikan berbeda. Dengan menggunakan rata-rata tahun sekolah (average number of years of

schooling) dan koefisien Gini masing-masing sebagai proksi tingkat pendidikan dan pemerataan

pendidikan, hasil penelitian menunjukkan, pertama, kontribusi investasi pendidikan terhadap

pertumbuhan ekonomi lebih besar dan secara statistik lebih signifikan di negara-negara dengan

tingkat pendidikan yang rendah dibandingkan di negara-negara dengan pemerataan pendidikan

yang lebih baik. Meskipun dalam kenyataan peningkatan rata-rata tahun sekolah di negara

tersebut relatif lebih rendah disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidik dan infrastuktur

pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi, dan pasar modal yang tidak sempurna. Implikasi dari

temuan ini adalah kebijakan pendidikan sebaiknya dirancang untuk meningkatkan pemerataan

8 GCC (Gulf Cooperation Council) adalah kerjasama negara-negara semenanjung Arab meliputi Saudai Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman dan Qatar, tidak termasuk Yaman.

7

Page 8: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

pendidikan sebab peningkatan rata-rata tahun sekolah tanpa disertai peningkatan pemerataan

pendidikan akan memiliki dampak yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.2 Keuntungan Individu dan Sosial Investasi Pendidikan

Tidak satupun negara dapat mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tanpa

investasi modal manusia secara substansial. Pendidikan memperkaya pemahaman manusia dan

dunia. Pendidikan juga meningkatkan kualitas hidup manusia dan manfaat sosial yang lebih luas

baik untuk individu maupun masyarakat. Pendidikan meningkatkan produktivitas dan kreativitas

tenaga kerja serta meningkatkan kewirausahaan dan kemajuan teknologi. Bahkan, pendidikan

memainkan peran yang penting dalam menyelamatkan kemajuan sosial dan ekonomi dan

meningkatkan distribusi pendapatan (Ozturk, 2001).

Dampak positif investasi pendidikan tidak hanya memberikan keuntungan individu (private

benefits) tetapi juga keuntungan sosial (social/public benefits). Investigasi dampak menyeluruh

(total effect) investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi terus berlangsung dan

mengalami perkembangan baik dari sisi metodologi maupun variabel yang diukur. Peneliti tidak

hanya berfokus pada efek langsung (direct effect) atau manfaat individu (individual benefits)

dari investasi pendidikan terhadap peningkatan pertumbuhan melalui peningkatan pendidikan

dan keterampilan angkatan kerja tetapi juga menganalisis efek tidak langsung (indirect effect)

investasi pendidikan terhadap kesehatan, pertumbuhan penduduk, demokrasi, HAM, stabilitas

politik, kemiskinan, ketidakmeraan distribusi pendapatan, lingkungan dan tingkat kriminal.

Mayoritas hasil penelitian mendukung tesis bahwa investasi pendidikan tidak saja memberikan

keuntungan individu tetapi juga dampak sosial (spillover benefit atau social benefit atau

externalities). Bahkan, Pscharopoulos dan Patrinos (2002) berkesimpulan bahwa tingkat

pengembalian keuntungan sosial atau ekternalitas positif mungkin lebih baik dibandingkan

tingkat pengembalian individu untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk

tingkat pendidikan tinggi justeru sebaliknya. Hasil ini juga didukung oleh temuan Keller (2006)

bahwa tingkat partisipasi pendidikan dasar tidak memberikan signal keuntungan langsung (direct

benefits) terhadap pertumbuhan perkapita, tetapi partisipasi pendidikan dasar menunjukkan

indirect effect dengan menurunnya tingkat fertilitas yang cukup signifikan, menarik investasi

modal fisik, meningkatkan angka partisipasi di tingkat pendidikan menengah, dan dampak

tersebut selanjutnya meningkatnya pendapatan per kapita.

Pada level pendidikan mana yang memberikan manfaat yang paling besar terhadap

pertumbuhan ekonomi juga menjadi topik kajian yang menarik. Papageorgiou (2003)

menunjukkan hasil regresi bahwa pendidikan dasar memberikan kontribusi pada produksi output

8

Page 9: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

akhir saja sementara pendidikan tinggi memberikan kontribusi terhadap inovasi dan

pengembangan teknologi. Atau dengan kata lain, sebagaimana yang ditemukan oleh Knowles

(1997), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan memberikan produktivitas yang tinggi

karena semakin meningkatnya tambahan produk dari setiap tambahan tenaga kerja (marginal

product of labour).

Survey di 44 negara oleh Pscharopoulos (1981) telah memperkaya studi tentang

pengukuran manfaat individu dan sosial investasi pendidikan. Beberapa temuannya adalah

sebagai berikut:

a) tingkat pengembalian pendidikan dasar adalah paling tinggi dibandingkan

dengan tingkat pendidikan lainnya, termasuk pendidikan tinggi;

b) tingkat pengembalian individu lebih besar dibandingkan pengembalian

sosial, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi/univesitas;

c) tingkat pengembalian investasi pendidikan lebih tinggi 10 persen daripada

tingkat pengembalian investasi fisik; dan

d) tingkat pengembalian pendidikan di negara-negara berkembang lebih tinggi

relatif terhadap pengembalian pendidikan di negara-negara yang lebih maju.

9

Page 10: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Bagian III

Hasil dan Pembahasan

3.1 Anggaran Pendidikan Aceh

Anggaran pendidikan Aceh cenderung mengalami peningkatan yang sangat signifikan

setelah Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah dengan status otonomi khusus melalui UU No

18 Tahun 2001. Karena kekhususan ini, sejak tahun 2002 Pemerintah Aceh memperoleh

tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi dengan komposisi 55 persen dari pertambangan

minyak dan 40 persen dari pertambangan gas bumi. Dari tambahan pendapatan tersebut,

Pemerintah Aceh wajib mengalokasikan sebesar 30 persen untuk pembiayan pendidikan. Dalam

perkembangnya, selama periode 2003-2006, alokasi tambahan dana bagi hasil migas untuk

sektor pendidikan terus menurun seiring dengan penurunan produksi migas Aceh.

Grafik 3.1.1 : Trend Anggaran Pendidikan Aceh, Tahun 1995-2009

480650

1,365

700

1,835

491699704

442016461040200400600800

1,0001,2001,4001,6001,8002,000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Tahun

Miliar Rp

Implementasi UU No 18/2001 Implementasi UU No 11/2006

Sumber: Bappeda Aceh , 2009.

Sejak UU Nomor 18 Tahun 2001 digantikan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh dan efektif berlaku mulai tahun 2007, anggaran pendidikan Aceh kembali

mengalami peningkatan sangat signifikan. Menurut undang-undang yang lahir akibat

kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, Pemerintah

Aceh dapat menggunakan sebagian dari tambahan dana otonomi khusus sebesar 2% dari plafon

10

Page 11: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

DAU nasional (Dana Alokasi Umum) selama 15 tahun (208-2022) dan 1% setelahnya selama 5

tahun (2023-228) untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan

pendidikan, sosial, dan kesehatan. Persentase alokasi dana otonomi khusus untuk sektor

pendidikan tidak secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut. Selanjutnya, mulai tahun

2009 menurut UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Aceh demikian halnya dengan daerah lain juga memperoleh

tambahan anggaran pendidikan dasar sebesar 0,5% dari Dana Bagi Hasil dari Pertambangan

Minyak Bumi dan Gas Bumi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anggaran pendidikan

Aceh sebesar 1,8 triliun tahun 2009 berasal dari tiga sumber utama yaitu 30 persen bagian dari

tambahan dana bagi hasil migas, persentase tertentu dari dana otonomi khusus, dan 0,5 persen

dari dana bagi hasil migas.

Trend persentase anggaran pendidikan terhadap APBA terus mengalami penurunan sejak

tahun 2004, namun tidak demikian halnya dengan persentase anggaran pendidikan terhadap

PDRB, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.1.2. Penurunan persentase anggaran pendidikan

terhadap APBA disebabkan meningkatnya APBA Aceh setelah mendapatkan tambahan dana

yang sangat besar dari transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan dan dana

otonomi khusus. Akibatnya, porsi anggaran pendidikan semakin lama semakin menurun.

Sebaliknya, kenaikan persentase anggaran pendidikan terhadap PDRB lebih disebabkan oleh

kecenderungan melemahnya kapasitas ekonomi daerah dalam menghasilkan produk dan jasa-jasa

setelah terkena dampak bencana alam gempa dan tsunami.

Grafik 3.1.2 : Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap PDRB dan APBA, 1995 – 2008

0.01 0.02 0.01 0.01 0.04 0.05 0.12 1.66 1.56 1.73 1.35 1.30 1.814.14

6.84

14.58

6.10 5.858.79

11.31

17.61

44.80 45.95

33.19

27.6822.75

16.06 16.02

05101520253035404550

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008Tahun Anggaran

Persen

% PDRB % APBA

Sumber: Bappeda Aceh (2009).

11

Page 12: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Semakin besar transfer dana pemerintah pusat ke Aceh, semakin sulit Pemerintah Aceh

memenuhi kewajiban alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBA,

sebagaimana diatur oleh amandemen keempat UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 dan UU No 11

Tahun 2006. Pemerintah Aceh hanya berfokus pada pemenuhan 30% anggaran pendidikan dari

tambahan dana migas dan persentase tertentu dari dana otonomi khusus, sedangkan mandat

alokasi 20 persen dari APBA untuk pembiayaan pendidikan belum teralisasi, kecuali untuk

periode 2002-2006.

Porsi anggaran pendidikan sebesar 16,02 pada tahun 2008 mencerminkan bahwa kriteria

utama pembiayaan pendidikan seperti kecukupan pendanaan (adequacy of funding)9 belum

terpenuhi. Kecukupan dana pendidikan dapat diukur dari persentase dana pendidikan terhadap

produk domestik bruto (gross domestic bruto) dan dari anggaran pemerintah daerah, misalnya

8% dari GDP dan/atau 20% dari anggaran pemerintah dikategorikan cukup. Namun demikian,

sejak akhir tahun 1970-an, Bank Dunia telah menginisiasi sejumlah ukuran-ukuran kecukupan

yang ditujukan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan (Benson, 1978), meliputi:

(a) angka partisipasi di sekolah dasar;

(b) persentase antara jumlah murid laki-laki dan murid perempuan

menjelaskan seberapa besar kesempatan belajar untuk perempuan;

(c) angka partisipasi di sekolah lanjutan pertama; dan

(d) tingkat melek huruf

Untuk menjamin tercapainya keempat ukuran tersebut, sistem pendidikan yang dibiayai

secara cukup harus mencakup, antara lain:

(a) ketersediaan guru dan ruang kelas di perkotaan maupun di pedesaan;

(b) biaya per kapita untuk menjamin tercapainya tingkat minimum kompetensi dan

komitmen guru-guru;

(c) adanya alokasi pengeluaran untuk nutrisi atau kesehatan sehingga anak didik secara fisik

mampu menerima proses pembelajaran dengan baik.

Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya, pembahasan lebih difokuskan pada bagaimana

efek kecukupan dana pendidikan di Aceh terhadap pencapaian indikator utama pendidikan baik

di bidang akses, mutu, maupun tata kelola.

9 Ada tiga kriteria utama pendanaan pendidikan meliputi kecukupan (adequacy of funding), effisiensi (efficiency), dan pemerataan (equity).

12

Page 13: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

3.2 Pencapaian Indikator Pendidikan Aceh

Pada bagian ini akan dipaparkan capaian indikator pendidikan Aceh baik pada level

provinsi maupun kabupaten/kota serta masalah yang dihadapi. Data yang ditampilkan bersumber

dari Renstra Pendidikan Aceh dan Database Pendidikan hasil kerjasama Dinas Pendidikan

Provinsi Aceh, Bappeda Provinsi Aceh dan UNICEF Banda Aceh. Beberapa indikator

pendidikan yang dianalisa meliputi indikator pemerataan dan perluasan akses pendidikan,

peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, dan penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan

pencitraan publik.

Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan

Grafik 3.2.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah

tingkat partisipasi penduduk sekolah di Aceh. Pada jenjang pendidikan SD/MI, angka partisipasi

masyarakat sangat tinggi bahkan melebihi norma nasional. Sementara itu, meskipun secara rata-

rata partisipasi sekolah pada level pendidikan menengah (SMP/MTs dan SMA/SMK/MA) lebih

baik dibandingkan capaian secara nasional, indikator partisipasi pendidikan pada level ini belum

menunjukkan hasil yang menggembirakan. Beberapa faktor penyebab semakin menurunnya

angka partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan menengah adalah semakin memburuknya

perekonomian masyarakat dan anggaran pendidikan untuk pendidikan nonformal sangat terbatas.

Di akhir tahun 2007, kondisi pendidikan nonformal di Aceh masih bergerak lambat; angka

buta huruf penduduk berumur 15 tahun relatif tinggi yaitu 6,02%; jumlah peserta Paket A, B, dan

C baru sekitar 31.480 orang; cakupan Paket A, B, dan C masih rendah sekitar 6,1% dari jumlah

putus sekolah SD, SMP, dan SMA yang masing-masing sebesar 48.050 siswa, 97.629 siswa, dan

370.496 siswa. Produktivitas tenaga kerja tentu sangat rendah jika ternyata lebih dari 6% dari

komposisi penduduk yang aktif secara ekonomi (15 tahun ke atas) masih tidak dapat membaca.

Ada beberapa implikasi krusial terhadap peningkatan partisipasi sekolah di tingkat dasar di

satu sisi dan penurunan partisipasi sekolah pada level pendidikan yang lebih tinggidi sisi yang

lain. Pertama, pasar tenaga kerja profesional kemungkinan tidak dapat dipenuhi di tingkat lokal

sehingga harus mengimpor tenaga kerja dari provinsi lain. Dengan demikian, efek ganda

(multiplier effect) tambahan keuntungan peningkatan tenaga kerja di sektor tertentu terhadap

pertumbuhan ekonomi Aceh lebih besar pada perekonomian daerah asal tenaga kerja tersebut

dibandingkan perekonomian lokal. Di samping itu pertumbuhan ekonomi tanpa didukung oleh

sumber daya manusia yang terampil dan terdidik (skilled and educated-induced economic

growth) sulit dicapai dalam jangka panjang. Kedua, eksploitasi pekerja anak cenderung

meningkat karena banyak lulusan sekolah dasar yang tidak meneruskan pendidikan ke level

pendidikan yang lebih tinggi. Fenomena ini mengakibatkan perubahan kesejahteraan, sosial dan

13

Page 14: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

ekonomi masyarakat ke level yang lebih baik akan sulit dicapai karena rendahnya produktivitas

pekerja anak. Ketiga, orientasi politik terhadap alokasi anggaran sebaiknya mulai dilakukan

dengan memberikan stimulus keuangan secara proporsional di jenjang semua jenjang

pendidikan. Stimulus keuangan tidak hanya difokuskan pada sekolah dasar (SD/MI) dan sekolah

menegah pertama (SMP/MTs) saja tetapi harus ditingkatkan pada sekolah menengah atas dan

kejuruan (SMA/SMK/MA).

Grafik 3.2.1: Trend Angka Partisipasi Kasar Menurut Jenjang Pendidikan, 1999-2005 (persen)

111,61 113,35 115,69 113,4 117,57 117,53 116,6 114,06

66,4772,51 74,74 76,89 79,75

86,97 91,2585,22

38,0243,4 45,36 47,51 49,6 52,72

68,39

52,22

0

20

40

60

80

100

120

140

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 NASIONAL

SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA

Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012.

Sebagaimana diperlihatkan Grafik 3.2.2, rasio siswa per guru jauh lebih baik dibandingkan

standar nasional, khususnya pada tingkat SD/MI. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan

guru secara umum telah terpenuhi di Aceh, kecuali distribusi guru beberapa bidang studi utama

belum merata secara geografis antara perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan kondisi tersebut,

kebijakan penambahan guru oleh pemerintah daerah kurang populis, kecuali untuk guru kontrak

menurut bidang studi yang ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal untuk mengurangi

diskrepansi ketersediaan guru mata pelajaran.

Grafik 3.2.2: Rasio Siswa per Guru Menurut Jenjang Pendidikan, Tahun 1999-2005

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2000 2001 2002 2003 2004 2005 NASIONAL

SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA

Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012.

14

Page 15: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Sementara itu, rasio siswa per guru untuk SD/MI di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi

Aceh belum pada level yang mengkhawatirkan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.2.1.

Meskipun masih jauh dibawah standar nasional, secara rata-rata, rasio siswa per guru di daerah

perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah kabupaten. Kota Lhokseumawe memiliki

rasio tertinggi sebesar 1:17,29 dan diikuti Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Subulussalam, dan

Kota Langsa masing-masing sebesar 1:16,53; 1:16,59; dan 1:15,93. Sementara itu, rasio siswa

per guru terendah terjadi di Kota Sabang sebesar 1:7,27.

Gambar 3.2.1 : Rasio Siswa Per Guru SD/MI di Kabupaten/KotaTahun Ajaran 2008/2009

Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009.

Secara umum hampir di semua kabupaten/kota, kesempatan belajar anak didik perempuan

SD/MI masih tertinggal dibandingkan dengan anak didik laki-laki, sebagaimana diperlihatkan

Grafik 3.2.3. Pada tahun ajaran 2008/2009, hanya 48 persen saja merupakan murid perempuan

dari total siswa sebanyak 638,489 orang. Kota Sabang dan Simeulue memiliki proporsi yang

lebih seimbang antara siswa laki-laki dan perempuan, sedangkan Aceh Timur dan Aceh Utara

memiliki proporsi yang lebih buruk.

Meskipun proporsi kesempatan belajar antara anak laki-laki dan perempuan tidak terlalu

buruk, pemerintah daerah harus tetap konsisten dalam jangka panjang untuk memberikan

kesempatan belajar yang sama bagi mereka. Sejalan dengan ini, Boyte (2005) telah

membuktikan secara empiris bahwa kesempatan belajar untuk perempuan secara positif dan

sangat kuat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan perempuan yang semakin baik dapat

menambah harapan hidup dirinya dan keluarganya, mengurangi angka kematian, dan

memberikan keuntungan sosial yang lebih luas. Yang paling penting adalah ketika pemerintah

15

Page 16: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

memberikan dukungan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan perempuan,

kebijakan tersebut akan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan ekonomi di masa

depan.

Grafik 3.2.3: Jumlah SD/MI Siswa Laki-laki dan Perempuan di Kabupaten/KotaTahun Ajaran 2008/2009

Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

Indikator rendahnya mutu pendidikan Aceh dapat dilihat dari indikator persentase

kelulusan ujian nasional tahun 2006 yang belum menggembirakan (SMP/MTs sebesar 93,30%;

SMA/MA sebesar 81,35%; dan SMK sebesar 77,56%). Indikator lain yang mempresentasikan

masih rendahnya mutu pendidikan di Aceh adalah ketersediaan sarana dan prasarana

pembelajaran yang sangat minim termasuk keadaan ruang kelas dan ketersediaan perpustakaan,

sebagaimana diikhtisarkan Tabel 3.2.1 di bawah ini. Pada tingkat pendidikan dasar, hanya 3

persen dari total sekolah sebanyak 3.838 unit (3.152 SD, dan 523 MI) yang memiliki fasilitas

gedung perpustakaan. Kerusakan ruang baik rusak ringan dan berat di SD/MI terutama

disebabkan oleh konflik yang lalu dan usia gedung sekolah yang tua. Disamping itu, sebaran

SD/MI yang memiliki fasilitas kualitas ruang sangat rendah berada di daerah perdesaan.

Tabel 3.2.1Keadaan Ruang Kelas dan Ketersediaan Perpustakaan menurut jenjang pendidikan di Aceh

Tahun 2006Kondisi/ketersediaan SD/MI (%) SMP/MTs (%) SMA/MA (%)

Rusak ringan/sedang 33,06 19,06 14,85

Rusak berat 24,08 17,19 10,69

Perpustakaan 3 56,51 71,22

Sumber: Kebijakan Umum APBA 2008.

16

Page 17: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Angka Mengulang di Aceh pada dasarnya cukup baik berada di bawah 1 persen, kecuali

untuk tingkat SD/MI sebagaimana diperlihatkan pada Grafik 3.2.4 di bahwa ini. Angka

mengulang sangat tinggi terjadi pada periode puncak konflik (khususnya tahun 2002 dan 2001)

sehingga akses ke sekolah dan proses pembelajaran tidak efektif, terutama sekolah yang berada

di daerah perdesaan dan konflik. Sementara itu, di tahun 2005, angka mengulang kembali

mengalami kenaikan yang sangat signifikan terutama di tingkat SD/MI disebabkan oleh bencana

alam dan tsunami sehingga mempengaruhi anak didik mengikuti ujian yang dilakukan di

sekolah.

Grafik 3.2.4: Angka Mengulang Menurut Jenjang PendidikanTahun 1999-2005 (dalam persen)

0

1

2

3

4

5

6

2000 2001 2002 2003 2004 2005

SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA

Sumber: Renstra Pendidikan Aceh, 2007-2012.

Indikator mutu pendidikan Aceh masih rendah juga dapat dilihat pada kualifikasi dan

kompetensi guru mengajar di kelas. Sebagaimana digambarkan pada Grafik 3.2.5, kualifikasi

guru di tingkat SD/MI lebih didominasi oleh guru dengan pendidikan tertinggi setingkat diploma

3 ke bawah. Sebaran guru dengan lulusan sarjana juga tidak merata sehingga menyebabkan

ketimpangan mutu pendidikan antardaerah, terutama daerah kabupaten dan kota. Guru dengan

pendidikan sarjana lebih suka tinggal di daerah perkotaan dibandingkan guru dengan pendidikan

yang lebih rendah. Kabupaten Simelue, misalnya, komposisi guru menurut pendidikan terakhir

sangat kontras yaitu 94% guru hanya berijazah diploma 3 ke kebawah dan hanya 6% guru

berijazah sarjana. Sementara itu, di Kota Sabang dan Banda Aceh, komposisi guru menurut

kualifikasi pendidikan lebih seimbang.

17

Page 18: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Grafik 3.2.5: Guru SD/MI Menurut Pendidikan Terakhir Tahun 2009

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

SIMEULU

SINGKILACEH SELATAN

ACEH TENGGARAACEH TIMUR

ACEH TENGAHACEH BARAT

ACEH BESARPIDIE

BIREUENACEH UTARA

ACEH BARAT DAYAGAYO LUES

ACEH TAMIANG

NAGAN RAYAACEH JAYA

BENER MERIAHPIDIE JAYA

BANDA ACEHSABANG

LANGSALHOKSEUMAWE

SUBULUSSALAM

≥ D4/S1

≤ D3

Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009.

Grafik 3.2.6 menunjukkan bahwa secara rata-rata, 54 persen sekolah SD/MI memiliki

sumber air tanpa toilet di lingkungan sekolah dan 66 persen memiliki fasilitas toilet tanpa

sumber air. Secara geografi, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan susah dicapai mempunyai

fasilitas toilet yang sangat buruk seperti di Aceh Timur, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Singkil.

Lebih dari 50 persen sekolah yang terletak di daerah tenggara Aceh tidak memiliki fasilitas

toilet. Kondisi ini sangat buruk sehingga dapat mempengaruhi mutu dan proses pembelajaran di

sekolah. Lingkungan yang sehat dan nyaman memberikan efek yang positif bagi proses

pembelajaran dan juga bagi kesehatan anak didik, guru, dan juga lingkungan.

Grafik 3.2.6: Persentase SD/MI Yang Memiliki Sumber Air dan Toilet Tahun 2009

Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009.

18

Page 19: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik

Koefisiensi efisiensi internal merupakan indikator yang menunjukkan seberapa efisien

sistem pendidikan yang dilakukan. Berbeda dengan efisiensi eksternal yang lebih melihat pada

manfaat sistem pendidikan terhadap keadaan sosial, ekonomi dan budaya, koefisien efisiensi

internal (KE) menunjukkan seberapa baik performa siswa di dalam sistem pendidikan. Faktor

yang dapat digunakan untuk mengukur koefisien efisiensi internal meliputi Angka Bertahan,

Angka Kelulusan, dan Jumlah Tahun Siswa.

Grafik 3.2.7 memperlihatkan bahwa secara umum proses pembelajaran di Aceh lebih

efisien dibandingkan capaian secara nasional, KE Aceh sebesar 93,43 persen dibandingkan

capaian nasional sebesar 88,54 persen. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan efisiensi

proses pembelajaran antardaerah. KE tertinggi (tidak termasuk Banda Aceh) adalah Kabupaten

Singkil sebesar 96,35 persen diikuti oleh Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Besar masing-

masing sebesar 95,83 persen dan 95,63 persen, sedangkan KE adalah di Kabupaten Aceh Barat

Daya sebesar 79,95 persen.

Grafik 3.2.7: Koefisiensi Efisiensi Internal SD/MI Tahun Ajaran 2008/09

0 20 40 60 80 100

SIMEULU

SINGKIL

ACEH SELATAN

ACEH TENGGARA

ACEH TIMUR

ACEH TENGAH

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE

BIREUEN

ACEH UTARA

ACEH BARAT DAYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANG

NAGAN RAYA

ACEH JAYA

BENER MERIAH

PIDIE JAYA

BANDA ACEH

SABANG

LANGSA

LHOKSEUMAWE

SUBULUSSALAM

NAD

NASIONAL

Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, Bappeda Aceh dan UNICEF Banda Aceh, 2009.Catatan: Koefisien Efisiensi Internal Banda Aceh mencapai 101 persen. Angka ini tidak lazim sebab nilai proses

pembelajaran paling efisien sebesar 100 persen. Nilai KE Banda Aceh mungkin disebabkan oleh data yang kurang valid sehingga dalam analisis ini diabaikan.

19

Page 20: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

3.3 Hubungan Kausalitas Investasi Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi Aceh

3.3.1 Hasil Estimasi OLS dan Identifikasi Pelanggran Asumsi Klasik

Tabel 3.3.1 mengihktisarkan hasil estimasi OLS (ordinary least square) terhadap model

penelitian untuk mengetahui bagaimana hubungan logaritma modal fisik, logaritma tenaga kerja,

dan logaritma investasi pendidikan terhadap logaritma pertumbuhan ekonomi Aceh. Meskipun

memiliki kriteria statistik yang cukup baik (R2 dan uji F), hasil estimasi Model Lengkap (seluruh

variabel independen diperhitungkan) ternyata menunjukkan hasil yang relatif kurang baik karena

hanya variabel logaritma investasi pendidikan yang secara statistik signifikan menjelaskan

pertumbuhan ekonomi. Hal ini kemungkinan disebabkan belum terpenuhinya asumsi-asumsi

klasik (classical linear regression model, CLRM), akibatnya estimator yang dihasilkan dari

model lengkap tersebut tidak lagi BLUE (best linear unbiased estimator). Jika asumsi klasik

tersebut tidak terpenuhi, semua kesimpulan statistik yang dilakukan, misalnya uji t dan F tidak

valid dan konsekuensinya adalah pengujian hipotesis juga tidak valid.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, berbagai model alternatif dibentuk untuk menjelaskan

hubungan yang lebih rasional antarvariabel penelitian. Pada Model A (variabel logaritma modal

fisik tidak diperhitungkan) dan Model B (tanpa variabel logartima tenaga kerja) menunjukkan

hasil yang relatif lebih dibandingkan dengan Model C (tanpa variabel logaritma investasi

pendidikan). Bahkan pada Model C, variabel logaritma investasi pendidikan tidak signifikan

secara statistik dan memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi sehingga dalam

pembahasan selanjutnya tidak dipertimbangkan lagi.

Untuk menghasilkan estimator yang BLUE, identifikasi dan pengujian berbagai

pelanggaran asumsi klasik harus dilakukan terhadap seluruh model penelitian yang

dipertimbangkan, seperti multikolinieriti, heteroskedastisitas, dan autokeralasi. Pada Model

Lengkap, pelanggaran multikolinieriti diduga terjadi karena kolerasi antara logaritma modal

fisik dan logaritma tenaga kerja relatif sangat tinggi10 yaitu sebesar 0,925 (Lampiran 2). Dengan

demikian, sulit untuk menentukan bagaimana perubahan variabel independen secara individu

mempengaruhi perubahan variabel dependen karena perubahan satu variabel independen ternyata

juga mempengaruhi perubahan variabel independen yang memiliki korelasi tersebut. Indikator

lain terjadinya multikolineariti adalah koefisien determinasi regresi tambahan baik lk dan ll

terhadap variabel independen lainnya juga sangat tinggi yaitu sebesar 0,93 dan 0,89, kecuali

pada regresi le terhadap variabel independen lainnya relatif lebih kecil yaitu sebesar 0,698

(Lampiran 2). Pada Model A, tidak terdapat pelanggaran autokorelasi, sedangkan pelanggaran

10 Gujarati (2004, 359) menjelaskan bahwa multikolineariti mungkin saja meyebabkan masalah yang serius jika koefisien korelasi antara dau regresor lebih tinggi dari 0,8.

20

Page 21: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

heteroskedastisitas telah diperbaiki dengan menggunakan metode White’s heteroscedasticity-

consistent standard errors. Sementara itu, pada Model B, tidak terdapat pelanggaran baik

autokorelasi maupun hetoroskedastisitas. Dengan demikian, estimator pada kedua model yang

dipertimbangkan dalam penelitian ini (Model A dan B) telah BLUE.

Tabel 3.3.1 : Hasil Estimasi OLS

Variabel Bebas Model Lengkap

Model A (tanpa lk)

Model B (tanpa ll)

Model C (tanpa le)

Konstanta -2.645391(10.65712)

-17.125***)(5.971)ª

3.589618**)(14.48378)

19.57357(14.48378)

Lk 0.249072(0.154377)

_ 0.332663***)(0.156519)

0.821275***)(0.156519)

Ll 0.608892(1.028408)

2.1263***)(0.4319)ª

_ -2.037088(1.320544)

Le 0.202434***)(0.040069)

0.24986***)(0.02066)ª

0.190353***)(1.320544)

_

Kriteria Statistik

R2 0.930833 0.9214 0.929557 0.837917

F-Stat 85.23283 117.158 131.9590 51.69671

DW-stat 0.987708 1.0515 0.966534 0.399348

Sumber : Lampiran 1 untuk Model Lengkap, B dan C. Lampiran 2 untuk Model A

Catatan : ( ) adalah nilai standard errors ( )ª adalah nilai heteroscedasticity-consistent standard errors(*), (**), (***) berarti bahwa masing-masing pada tingkat 10%, 5% dan 1% menolak Ho.

Jika demikian, model mana yang paling sesuai untuk menjelaskan hubungan kausalitas

jangka panjang antara investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh? Untuk menjawab

pertanyaan ini, pada bagian selanjutnya dibahas uji statistik secara formal untuk mengidentifikasi

ketidakstasioneritasan (non-stationarity) atau dengan kata lain ada atau tidaknya akar- akar unit

(unit roots) pada suatu variabel runtun waktu (time series).

3.3.2 Uji unit roots

Esensi uji stasioner atau tidak stasioner suatu variabel runtun waktu adalah untuk

menentukan bagaimana respon variabel tersebut terhadap guncangan atau shock yang terjadi.

Pada runtun waktu yang stasioner, guncangan hanya bersifat sementara dan dalam jangka

panjang pengaruh guncangan tersebut dieliminasi atau dihilangkan karena runtun waktu tersebut

bergerak berlawanan terhadap nilai jangka panjang mereka. Dengan kata lain, runtun waktu yang

tidak stasioner mengandung guncangan yang relatif permanen. Dengan demikian, nilai rata-rata

21

Page 22: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

dan varian dari runtun waktu yang tidak stasioner akan bergantung pada waktu sehingga

menyebabkan (a) tidak ada nilai rata-rata jangka panjang dari runtun waktu tersebut dan (b)

varian akan bergantung pada waktu dan terus bergerak ke titik yang tak terhingga (infinity)

(Asteriou dan Hall, 2007).

Sebagaimana dirangkum dalam Tabel 3.3.2 di bawah ini, semua variabel penelitian setelah

dilakukan first differencing adalah stasioner atau tidak mengandung akar-akar unit pada tingkat

signifikansi 10 persen untuk logaritma pertumbuhan ekonomi, 5 persen untuk logaritma tenaga

kerja dan logaritma investasi pendidikan, dan 1 persen untuk logaritma modal fisik, dengan

mempertimbangkan konstanta. Dengan kata lain, seluruh variabel penelitian terintegrasi pada

orde satu, I(1), setelah dilakukan fisrt differencing masing-masing pada tingkat signifikansinya.

Implikasi uji unit roots ini adalah bahwa hasil estimasi OLS Model A dan B pada Tabel 3.3.1 di

atas bukan hasil regresi yang salah (spurious regression)11.

Tabel 3.3.2 : Hasil Uji Augmented Dickey-Fuller

Model: xt = a1 + bxt + a2t +

Unit-roots tests at logarithmic levels:

Variabel Konstanta Konstanta dan Trend

Tanpa Konstanta dan Trend

k

lyt 1.721972 -1.609051 5.635272***) 1

lkt -1.948427 -2.838266 3.267577***) 1

llt -1.279687 -2.283666 1.460333 1

let -0.224007 -2.054672 1.161479 1

Unit-roots tests at first difference:

Variabel Konstanta Konstanta dan Trend Tanpa Konstanta dan Trend

k

lyt -2.684882*) -3.114032 - 1

lkt -4.349321***) -4.696601***) - 1

llt -3.157677**) -3.305586*) -2.438896**) 1

let -3.031451**) -3.095013 -2.694479***) 1Sumber: Lampiran 3.Catatan: (*), (**), (***) berarti bahwa masing-masing pada tingkat 10%, 5% dan 1% menolak Ho untuk

nonstationer. Nilai k merupakan banyaknya lag yang paling optimal dengan menggunakanAkaike info criterion

3.3.3 Uji Kointegrasi

11 Hampir sebagian besar variabel makroekonomi menggambarkan trend sehingga kemungkinan besar dalam model ekonometrik yang dibangun dari variabel tersebut menghasilkan regresi yang salah (spurious regression). Oleh sebab itu, uji akar-akar unit wajib dilakukan sehingga hasil regresi terhadap model yang dibentuk terbebas dari spurious regression.

22

Page 23: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Jika variabel ekonomi terkointegrasi maka hal ini menunjukkan adanya keseimbangan

jangka panjang antarvariabel tersebut. Kointegrasi menjadi persyaratan paling penting terhadap

semua model ekonomi yang menggunakan data runtun waktu nonstasioner. Bahkan terhadap

variabel yang memiliki trend, kemungkinan adanya keseimbangan jangka panjang tetap ada. Jika

variabel yang digunakan tidak terkointegrasi maka hasil estimasi akan menyesatkan dan tidak

valid (spurious regression).

Berdasarkan uji kointegrasi Johansen, Model A merupakan model penelitian yang paling

baik karena adanya kointegrasi antarvariabel penelitian. Sementara itu, dalam Model B, nilai

Likelihood Ratio lebih kecil dibandingkan nilai kritis pada tingkat signifikansi baik 5 persen

maupun 10 persen sehingga Ho ditolak (Lampiran 4). Dengan kata lain, dalam Model A terdapat

hubungan keseimbangan jangka panjang logaritma pertumbuhan ekonomi dengan logaritma

tenaga kerja dan logaritma investasi pendidikan, tidak demikian halnya pada Model B. Hasil Uji

kointegrasi Model A adalah sebagai berikut:

lyt = 8.691933 + 0.262110 llt + 0.312027 let (7)

(s.e) (0.64424) (0.02800)Sumber: Lampiran 4

Berdasarkan uji kointegari Johansen, pada Model A terdapat satu persamaan kointegrasi

antara pertumbuhan ekonomi dengan tenaga kerja dan investasi pendidikan pada tingkat

signifikansi 5 persen. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang, secara rata-rata, setiap

kenaikan investasi pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh

sebesar 0,31 persen. Sementara itu, dalam jangka panjang, secara rata-rata, setiap kenaikan

tenaga kerja sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 0,26 persen.

Karena investasi pendidikan lebih elastis dibandingkan tenaga kerja, kebijakan pemerintah yang

pro-pendidikan harus menjadi prioritas kebijakan strategis jangka panjang.

3.3.4 Model Vector Autoregression (VAR) dan Impulse Response

Persamaan struktural di atas didukung oleh teori ekonomi yang kuat untuk menunjukkan

bagaimana hubungan variabel di sebelah kanan (variabel independen atau bebas) menjelaskan

variasi atau perilaku perubahan variabel di sebelah kiri (variabel dependen atau terikat). Model

struktural tersebut selanjutnya diestimasi untuk menguji relevansi teori ekonomi tersebut.

Namun, teori ekonomi sangat terbatas untuk menjelaskan hubungan yang lebih dinamis

antarvariabel. Bahkan, estimasi dan kesimpulan statistik sulit dilakukan karena variabel endogen

mungkin saja berada baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri.

23

Page 24: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, pendekatan alternatif dengan model nonstruktural

seperti pendekatan VAR menjadi pilihan untuk menjelaskan hubungan dinamis antarvariabel.

Karakteristik penting model VAR adalah semua variabel penelitian merupakan variabel endogen,

hanya konstanta dan trend yang anggap sebagai variabel eksogen. Selain itu, εyt, εkt εlt εet pada

persamaan (3, (4), (5), dan (6) berturut-turut merupakan vektor inovasi pertumbuhan ekonomi,

modal fisik, tenaga kerja, dan investasi pendidikan. Dalam model VAR, analisis dinamis dapat

digunakan untuk mendeteksi bagaiman respon variabel endogen terhadap persamaan VAR setiap

perubahan setiap inovasi tersebut. Isu lain yang juga penting dalam model ini adalah penentuan

jumlah lag persamaan VAR yang dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai kriteria,

misalnya Determinant Residual Covariance (IΩI), log Likehood ( ℓ ), Akaike Information

Criteria (AIC), dan Schwarz Criteria (SC). Semakin kecil nilai kriteria tersebut, semakin baik

model persamaan VAR.

Dari Model A di atas, persamaan VAR (1) adalah persamaan yang paling cocok untuk

menjelaskan hubungan dinamis antarvariabel penelitian. Berdasarkan uji t (nilai kritis t10%, 22

adalah 1,328), pada persamaan (8), hanya investasi pendidikan satu periode yang lalu secara

statistik tidak signifikan menjelaskan pertumbuhan ekonomi saat ini. Dengan kata lain, investasi

pendidikan dalam jangka pendek belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh.

Sementara itu, pada persamaan (9), hanya pertumbuhan ekonomi satu periode tahun yang lalu

tidak signifikan secara statistik menjelaskan perubahan tenaga kerja saat ini (Lampiran 5).

lyt = -9,126136 + 0,864419 yt-1 + 0,779088 llt-1 + 0,030282 let-1 (8)

llt = 1.977035 – 0,038111 yt-1 + 0,891347l lt-1 + 0,018421 let-1 (9)

let = 24,53224 + 2,085642 yt-1 – 3,595095 llt-1 + 0,430853 let-1 (10)

Sumber: Lampiran 5.

Hasil Model VAR(1) yang telah diestimasi dapat digunakan untuk analisis lanjutan yang

lebih dinamis dengan menggunakan propertis Impulse Response (IR)12. Analisis IR menelusuri

efek guncangan/inovasi/shock terhadap nilai sekarang maupun yang akan datang dari variabel

endogen. Efek shock tersebut sangat tergantung pada urutan atau ordering variabel endogen pada

persamaan VAR. Jika terjadi shock investasi pendidikan (εet) maka efek terhadap perubahan

variabel endogen akan berbeda, tergantung darimana urutan dimulai, apakah langsung ke nilai

investasi pendidikan saat ini kemudian ditransformasikan ke pertumbuhan ekonomi dan

selanjutnya ke tenaga kerja. Pada tulisan ini, fokus analisis hanya menjelaskan bagaimana shock

yang terjadi mempengaruhi investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. 12 Pada dasarnya, analisis lanjutan dari hasil estimasi model VAR meliputi analisis, variance decomposition, impulse response, dan uji Granger Causality. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan hanya dua analisis terakhir.

24

Page 25: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Grafik 3.3.1 memperlihatkan fungsi IR yang menelusuri bagaimana respon investasi

pendidikan akibat terjadinya shock atau inovasi pertumbuhan ekonomi (grafik kiri) dan

bagaimana respon pertumbuhan ekonomi akibat adanya shock investasi pendidikan (grafik

kanan), dengan urutan shock mulai dari ly, le, dan kemudian diteruskan ke ll. Setiap fungsi IR

mengukur efek satu standar deviasi shock yang berasal dari setiap variabel endogen terhadap

nilai variable endogen lainnya saat ini dan 15 tahun yang akan datang. Pada grafik kiri, satu unit

shock pertumbuhan ekonomi pada periode pertama menyebabkan investasi pendidikan bergerak

naik sebesar 0,58% dari titik asalnya. Setelah satu periode, efek ini bersifat fluktuatif dan

kemudian shock pertumbuhan ekonomi kembali memiliki efek positif yang persisten terhadap

investasi pendidikan setelah periode kesepuluh. Sementara itu, pada grafik kanan, shock

investasi pendidikan belum memberikan efek apapun terhadap pertumbuhan ekonomi pada

periode pertama. Namun, respon atau efek positif investasi pendidikan terhadap pertumbuhan

ekonomi bersifat seketika (immediate) dan persisten, tidak berfluktuatif sebagaimana shock

pertumbuhan ekonomi terhadap investasi pendidikan. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa respon pertumbuhan ekonomi dan investasi pendidikan adalah bersifat

expansionary response dalam jangka panjang, tanpa mempertimbangkan shock yang terjadi.

Grafik 3.3.1: Impulse Response ly dan le dengan Ordering ly le ll

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

2 4 6 8 10 12 14

Response of LY to LE

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

2 4 6 8 10 12 14

Response of LE to LY

Response to One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Sumber: Lampiran 6.

Grafik 3.3.2 menunjukkan bahwa efek atau respon pertumbuhan ekonomi dan investasi

pendidikan akibat adanya inovasi setiap variabel endogen sedikit berbeda jika urutan shock atau

orderingnya dirubah menjadi dari le, ly dan kemudian diteruskan ke ll. Pada grafik kiri, shock

pertumbuhan ekonomi belum memberikan efek apapun terhadap investasi pendidikan, paling

25

Page 26: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

tidak untuk periode pertama. Meskipun efek pertumbuhan ekonomi bersifat fluktuatif, efek

kumulatif terbesar terjadi pada periode kedua yaitu setiap kenaikan satu unit shok pertumbuhan

ekonomi menggerakan investasi pendidikan sebesar 2,12 persen dari titik awalnya. Sementara

itu, pada grafik kanan, efek investasi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat

langsung dan memiliki respon yang posisif dan konsisten dalam jangka panjang.

Grafik 3.3.2: Impulse Response ly dan le dengan Ordering le ly ll

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

2 4 6 8 10 12 14

Response of LY to LE

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

2 4 6 8 10 12 14

Response of LE to LY

Response to One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Sumber: Lampiran 6.

3.3.5 Uji Granger Causality

Kausalitas adalah konsep ekonometrik yang lebih tepat untuk menggambarkan hubungan

antarvariabel daripada konsep korelasi. Jika investasi pendidikan menyebabkan pertumbuhan

ekonomi berarti bahwa nilai pertumbuhan ekonomi saat ini dapat dijelaskan oleh nilai

pertumbuhan ekonomi periode yang lalu dan kemudian dengan menambahkan nilai lag investasi

pendidikan dapat memperkaya penjelasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi dikatakan Granger

caused oleh investasi pendidikan jika investasi pendidikan membantu memprediksi nilai

pertumbuhan ekonomi dan tidak berarti bahwa nilai pertumbuhan ekonomi merupakan efek atau

hasil dari investasi pendidikan. Dengan demikian, hubungan kausalitas menyatakan bahwa nilai

suatu variabel (misal x) periode yang lalu dapat digunakan untuk menjelaskan nilai suatu

variabel yang lain (misal y) periode sekarang.

Tabel 3.3.3 mengikhtisarkan bahwa hubungan sebab akibat antara pertumbuhan ekonomi

dan investasi pendidikan sangat tergantung pada jumlah lag pada model VAR. Hubungan

kausalitas pada VAR(1) menunjukkan bahwa pada tingkat signifikansi 5 persen hanya terdapat

satu hubungan sebab akibat (unidirectional causality) yaitu dari pertumbuhan ekonomi ke

26

Page 27: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

investasi pendidikan, dan tidak sebaliknya. Identifikasi hubungan kausalitas ini sama dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Blis dan Klenow (2000), Hicks dan Kubisch (1984), Looney

(1987) dan Brempong (1998). Sementara itu, jika uji Granger causality dari model VAR(5),

hubungan kausalitas justeru terjadi sebaliknya yaitu dari investasi pendidikan ke pertumbuhan

ekonomi, sama dengan temuan Al-Yousif (2008). Hasil ini mendukung temuan uji kointegrasi

bahwa dalam jangka panjang investasi pendidikan merupakan determinan penting terhadap

pertumbuhan ekonomi Aceh.

Tabel 3.3.3 : Hasil Uji Granger Causality Model ANull Hypothesis: Lag 1 Lag 5

F-Stat. Prob. F-Stat. Prob.

LL does not Granger Cause LY 5.73849 0.02706 1.91944 0.20923

LY does not Granger Cause LL 1.08637 0.31036 0.04857 0.99789

LE does not Granger Cause LY 0.04085 0.84197 1.46283 0.31181

LY does not Granger Cause LE 7.32303 0.01400 1.08499 0.44371

LE does not Granger Cause LL 2.88285 0.10585 0.90342 0.52805

LL does not Granger Cause LE 0.26789 0.61073 8.78643 0.00631

Sumber: Lampiran 7.

Hasil uji kausalitas tersebut di atas tidak berarti bahwa dalam jangka pendek investasi

pendidikan tidak memberikan dampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Arah

kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke anggaran pendidikan ini tidak bermakna

bahwa anggaran pendidikan tidak memiliki peran dalam mendorong perekonomian Aceh atau

anggaran pendidikan bukan variabel eksogen. Namun, anggaran pendidikan yang dianggap

sebagai investasi modal manusia mampu mendorong pembangunan ekonomi melalui

peningkatan produktivitas tenaga kerja, kemajuan teknologi dan informasi. Dengan kata lain,

pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect causality)

melalui peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan selanjutnya peningkatan

produktivitas tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tesis ini didukung oleh

adanya hubungan kausalitas satu arah dari tenaga kerja ke pertumbuhan ekonomi.

27

Page 28: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Bagian IV

Simpulan dan Saran

4.1 Simpulan

Beberapa simpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Anggaran pendidikan Aceh mengalami peningkatan yang sangat signifikan

setelah Aceh ditetapkan sebagai salah satu daerah dengan status otonomi khusus. Bahkan,

dengan ditandatangani perjanjian damai antara GAM dan RI, anggaran pendidikan Aceh

meningkat sangat signifikan.

2. Pemerintah Aceh belum memenuhi persentase anggaran pendidikan sebesar 20

persen dari total APBA, kecuali pada periode 2002-2006.

3. Sumber anggaran pendidikan Aceh yang terus meningkat memberikan dampak

terhadap pencapaian indikator pendidikan Aceh secara bervariasi. Di bidang pemerataan dan

perluasan akses pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang SD/MI

menunjukkan trend yang semakin baik, bahkan lebih tinggi daripada capaian secara nasional.

Sebaliknya, APK untuk jenjang pendidikan menengah (SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA)

masih rendah. Rasio siswa per guru jauh lebih baik dibandingkan standar nasional, khusunya

pada tingkat SD/MI, tetapi distribusi guru bidang studi belum merata antara daerah perkotaan

dan perdesaan. Kesempatan belajar anak didik perempuan masih tertinggal dibandingkan

dengan anak didik laki-laki, meskipun angkanya tidak terlalu buruk.

Di bidang peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, indikator persentase kelulusan ujian

nasional belum menggembirakan. Ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran masih

rendah termasuk ruang kelas dan perpustakaan, terutama sekolah SD/MI di daerah terpencil.

Kualifikasi dan kompetensi guru masih rendah, bahkan khusu untuk SD/MI hampir 94 persen

guru hanya lulus diploma 3 ke bawah. Sementara itu, di tingkat SD/MI, 54 persen sekolah

SD/MI memiliki sumber air tanpa toilet dan 66 persen memiliki fasilitas toilet tanpa sumber

air.

Terakhir, di bidang penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik, capaian

koefisiensi efisiensi internal di Aceh secara rata-rata melebihi capaian nasional. Hal ini

mengindikasikan bahwa proses pembelajaran di Aceh lebih efisien dibandingkan capaian

secara nasional.

4. Hubungan kausalitas jangka panjang antara investasi pendidikan dengan

pertumbuhan ekonomi dan karakteristiknya dapat disimpulkan sebagai berikut:

(a) Berdasarkan hasil uji kointegrasi Johansen, dalam jangka panjang, setiap kenaikan 1

persen anggaran pendidikan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,31

28

Page 29: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

persen. Sementara itu, setiap kenaikan tenaga kerja sebesar 1 persen akan mendorong

pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar ,26 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam

jangka panjang investasi pendidikan lebih elastis dibandingkan tenaga kerja, sehingga

kebijakan pemerintah ‘pro-pendidikan’ harus dijadikan prioritas kebijakan strategis

jangka panjang.

(b) Model VAR (1) adalah merupakan model yang dapat menjelaskan hubungan kausalitas

antara investasi pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, analisis yang lebih

dinamis berdasarkan model VAR(1) adalah analisis Impulse Response dan uji Granger

Causality.

(c) Berdasarkan fungsi Impulse Response, respon pertumbuhan ekonomi dan investasi

pendidikan adalah bersifat expansionary response dalam jangka panjang, tanpa

mempertimbangkan shock yang terjadi. Sementara itu, efek investasi pendidikan terhadap

pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada ordering atau urutan shock yang terjadi.

Jika shock diawali dari pertumbuhan ekonomi kemudian ditransformasi ke investasi

pendidikan dan terakhir ke tenaga kerja, respon investasi pendidikan terhadap shock

pertumbuhan ekonomi langsung dan positif. Sementara itu jika urutan shock dimulai dari

investasi pendidikan kemudian ditransformasikan ke pertumbuhan ekonomi dan terakhir

ke tenaga kerja, shock pertumbuhan ekonomi belum memberikan efek apapun terhadap

investasi pendidikan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang respon investasi

pendidikan persisten dan positif.

(d) Berdasarkan hasil uji Granger Causality, pada tingkat signifikansi 5 persen dalam jangka

pendek hanya terdapat satu hubungan kausalitas (unidirectional causality) dari

pertumbuhan ekonomi ke investasi pendidikan. Namun dalam jangka panjang,

pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung (indirect

causality) melalui peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan selanjutnya

peningkatan produktivitas tenaga kerja akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tesis ini

didukung oleh adanya hubungan kausalitas satu arah dari tenaga kerja ke pertumbuhan

ekonomi.

5. Dari serangkaian uji yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam jangka

panjang investasi pendidikan sangat efektif menjadi determinan penting pertumbuhan

ekonomi Aceh. Investasi pendidikan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi

melalui pendanaan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien sehingga mampu

meningkatkan mutu dan produktivitas tenaga kerja.

29

Page 30: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

4.2 Saran

Beberapa saran dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Aceh sebaiknya harus memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari total

APBA, di samping tetap menjaga komitmen alokasi anggaran sebesar 30 persen dari

tambahan dana migas untuk sektor pendidikan.

2. Pemerintah Aceh tidak mengurangi alokasi anggaran pendidikan akibat adanya shock

jangka pendek karena terbukti secara empiris bahwa investasi pendidikan dalam jangka

panjang memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh.

3. Agar anggaran pendidikan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi

Aceh, peraturan perundang-undangan, misalnya peraturan gubernur, perlu dikeluarkan untuk

menghindari tumpang tindih pembiayaan pendidikan yang bersumber dari tambahan dana

bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Selama ini, tumpang tindih pemanfaatan

anggaran pendidikan terjadi baik antarprogram, antarSKPD (satuan kerja perangkat daerah)

dan antarsumber pendanaan. Dengan demikian, reorientasi pemanfaatan anggaran pendidikan

akan lebih merata, efisien, dan berkecukupan sehingga berdampak positif terhadap

peningkatan mutu pendidikan dan selanjutnya meningkatkan produktivitas lulusan di pasar

tenaga kerja

4. Pemerinta daerah perlu membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara

eksplisit berapa persen bagian dari tambahan dana otonomi khusus sebagaimana diatur dalam

UU Nomor 11 Tahun 2006.

5. Kebijakan alokasi anggaran untuk jenjang pendidikan yang lain, misalnya pendidikan

nonformal, juga harus menjadi prioritas kebijakan alokasi anggaran pemerintah Aceh.

30

Page 31: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Daftar Pustaka

Al-Yousif, Y.K. (2008), ‘Expenditure and Economic Growth: Some Empirical Evidence from the GCC Countries’, Journal of Developing Areas, vol. 42, iss. 1, pp. 69-80

Asteriou, D. dan Hall, S.G. (2007), ‘Applied Econometrics: A Modern Approach’, Revised Edition, Palgrave Macmillan, New York.

Bank Dunia (2006), ‘Analisis Pengeluaran Publik Aceh: Pengeluaran untuk Rekonstruksi dan Pengentasan Kemiskinan’, Jakarta.

Belasi, W. dan Musila, J.W. (2000), ‘The Impact of Education Expenditure on Economic Growth in Uganda: Evidence from Time Series Data’, The Journal of Developing Areas, vol. 38 (1), pp123-133.

Benson, C (1978) ‘Educational financing and government spending’, Theory into Practice, vol. 17, No. 4, pp. 341-347.

Blis, M. and P. Klenow, P. (2000), ‘Does schooling cause growth’, American Economic Review, vol. 90, pp. 1160-1183.

Boyte, L. (2005), ‘Female Education and Religiosity: Their Institutional Impacts on Economic Growth’, Atlantic Economic Journal, vol. 33, pp. 361–362.

Brempong, G.K (1998), ‘The political economy of budgeting in Africa, 1971-1991’, Public Budgeting and Financial Management, vol. 9(4), pp. 590-616.

Gujarati, D.N (2004), ‘Basic Econometric’, Fourth ed., McGraw-Hill, UK.

Hicks, N.L. and Kubisch, A. (1984), ‘Cutting government expenditure in LDCs’, Finance and Development, vol. 21(3), pp. 37-39.

Keller, K.R.I (2006), ‘Investment in Primary, Secondary, and Higher Education and the Effects on Economic Growth, Contemporary Economic Policy, vol. 24 (1), pp. 18-34.

Knowles, S. (1997), ‘Which level of Schooling has the Greatest Economic Impact on Output?’, Applied Economics Letters, vol. 4, pp. 177-180.

Looney, R.W. (1987), ‘The impact of political change, debt servicing and fiscal deficits on Argentinian budgetary priorities’, Journal of Economic Studies, vol. 14(3), pp. 23-40.

Lucas, R. (1988), ‘On the Mechanisms of Economic Development’, Journal of Monetray Economics, vol. 22 (1), pp. 3-42.

Nomura, T. (2007), ‘Contribution of Education and Educational Equality to Economic Growth’, Applied Economics Letters, vol. 14, pp. 627-630.

31

Page 32: f 9235 80 Riswandi HubunganKausalitasJangkaPanjangInvestasi

Nour, S. dan Muysken, J. (2006), ‘Deficiencies in Education and Poor Prospects for Economic Growth in the Gulf Countries: the Case of the UAE’, Journal of Development Studies, vol. 42 (6), pp. 957-980.

Ozturk, I. (2001), ‘The Role of Education in Economic Development: A Theoretical Perspective’, Journal of Rural Development and Administration, vol. 33 (1), pp. 39-47.

Papageorgiou, C. (2003), ‘Distinguishing between the Effects of Primary and Post-Primary Education on Economic Growth’, Review of Development Economics, vol. 7 (4), pp. 622-635.

Psacharopoulos, G. (ed.) (1987), ’Economics of Education: Research and Studies’, Pergamon Press, New York, pp. 1.

Psacharopoulos, G. (1981), ‘Returns to education: an Updated International Comparison’, Comparative Education, vol. 17 (3), pp. 321-41.

Psacharopoulos, G. dan Patrinos, H.A. (2002), ‘Returns to Investment in Education’, Policy Research Working Paper, The World Bank, Latin America and the Caribbean Region.

Pemerintah Aceh (2008), ‘Qanun Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan’.

Pemerintah Aceh (2005), ‘Rencana strategis (Renstra) pendidikan Nanggore Aceh Darussalam 2007-2012’, CV Guruminda, Banda Aceh.

Pemerintah Indonesia (2006), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh’.

Pemerintah Indonesia (2004), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah’.

Pemerintah Indonesia (2003), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional’.

Pemerintah Indonesia (2001), ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Naggroe Aceh Darussalam’.

Schultz, T.W. (1961), ’Investment in Human Capital’, American Economic Review, vol. 51 (1), pp. 1-17.

32