Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

9
EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK KURIKULUM 2013 Patrisius Istiarto Djiwandono Rancangan Kurikulum 2013 yang sekarang sedang memasuki tahap uji publik mendorong kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Konsep tentang pembelajaran seperti ini sudah sejak lama digaungkan sejak dekade 1980 an dengan label Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), namun pada kenyataannya metode ini belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Lepas dari berbagai kendala yang menghambatnya, penerapan metode ini senantiasa memerlukan wawasan teoretis dan pijakan empiris, disertai dengan pemikiran kritis untuk mengetahui seberapa jauh cara belajar tersebut bisa dilakukan. Tulisan ini berupaya memberikan penyegaran tentang konsep tersebut. Pembahasan diawali dengan suatu konsep belajar yang telah lama mendunia, dilanjutkan dengan ulasan tentang beberapa tahapan penting dalam penerapannya, diakhiri dengan sepercik ulasan kritis yang dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini. 1

Transcript of Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

Page 1: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK KURIKULUM 2013

Patrisius Istiarto Djiwandono

Rancangan Kurikulum 2013 yang sekarang sedang memasuki tahap uji publik

mendorong kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Konsep tentang pembelajaran

seperti ini sudah sejak lama digaungkan sejak dekade 1980 an dengan label Cara Belajar Siswa

Aktif (CBSA), namun pada kenyataannya metode ini belum sepenuhnya mewujud di lapangan.

Lepas dari berbagai kendala yang menghambatnya, penerapan metode ini senantiasa

memerlukan wawasan teoretis dan pijakan empiris, disertai dengan pemikiran kritis untuk

mengetahui seberapa jauh cara belajar tersebut bisa dilakukan. Tulisan ini berupaya memberikan

penyegaran tentang konsep tersebut. Pembahasan diawali dengan suatu konsep belajar yang

telah lama mendunia, dilanjutkan dengan ulasan tentang beberapa tahapan penting dalam

penerapannya, diakhiri dengan sepercik ulasan kritis yang dikaitkan dengan kondisi pendidikan

di Indonesia dewasa ini.

Pembelajaran yang efektif senantiasa mewujud dalam bentuk proses belajar yang pada

akhirnya membawa perubahan tingkah laku dan tingkat pengetahuan dalam diri si anak didik.

Perubahan ini tidak hanya bisa dicapai melalui ceramah satu arah oleh guru yang mendominasi

keseluruhan pengalaman belajar di kelas. Para ahli lebih dari tiga dekade yang lalu telah

melahirkan konsep-konsep pembelajaran yang mengoptimalkan daya pikir dan kreativitas sang

murid untuk menambah ketrampilan dan pengetahuannya. Salah satunya adalah konsep belajar

Experiential Learning yang digagas pertama kali oleh Kolb (1984).

1

Page 2: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

Melalui experiential learning, murid didorong untuk mengalami sendiri rangkaian proses

yang membawa mereka pada meningkatnya pengetahuan mereka. Alih-alih memberikan

ceramah sepanjang jam pelajaran, guru hanya akan memberikan dasar-dasar pengetahuan dan

prinsip-prinsip utama suatu bidang bahasan, kemudian membiarkan para murid untuk melakukan

pengamatan, melakukan eksperimen sederhana, diskusi dengan teman sekelas, bahkan

mengakses sumber belajar lain seperti Google atau seperangkat sumber online lainnya untuk

sampai pada pemahaman suatu konsep sosial atau sains tertentu.

Penting untuk menghindari kesan bahwa pendekatan pembelajaran di atas sepenuhnya

dilakukan oleh murid, sementara sang guru hanya mengamati atau bahkan melakukan pekerjaan

yang lain. Studi-studi tentang efektivitas semua pendekatan tersebut dalam 7 – 10 tahun terakhir

menunjukkan bahwa peran guru tetap sangat sentral dalam kelas. Tanpa adanya peran guru

sebagai pemimpin, kegiatan belajar menjadi kacau, murid menjadi bingung manakala menemui

informasi yang bertentangan, frustrasi karena merasa tidak menemukan jawaban untuk

kesulitannya, atau bahkan apatis karena merasa tidak mendapat apa-apa dari kegiatan tersebut.

Guru tetap sebagai figur sentral di dalam kelas. Perbedaannya dengan praktek pembelajaran di

masa lalu yang terpusat pada guru adalah dia tidak lagi menjadi satu-satunya sumber

pengetahuan dan “kebenaran” di kelas. Alih-alih menjadi figur yang hanya menuangkan

seperangkat informasi kepada para murid yang kemudian ditransfer ke buku catatan mereka

kemudian direproduksi ketika ulangan tiba, guru menjadi semacam “event organizer” yang

dengan taktis membagi sesi belajar menjadi beberapa tahap: penyampaian prinsip-prinsip utama

suatu bidang bahasan, penugasan ke kegiatan pengamatan atau eksperimen dengan panduan yang

jelas tentang tujuan dari kegiatan tersebut, monitoring kegiatan belajar, pemberian bantuan

2

Page 3: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

manakala sang murid mengalami kesulitan, dan akhirnya semacam sesi pleno untuk

mendengarkan presentasi para murid tentang temuannya dan cara nalarnya, serta sedikit

penegasan, klarifikasi, atau koreksi terhadap cara bernalar dan hasil yang disajikan. Jacobson dan

Ruddy (2004) mengusulkan serangkaian pertanyaan sederhana namun akan cukup efektif dalam

membuka wawasan pikir para murid: “apakah kalian memperhatikan bahwa . . .”; “apakah hal itu

juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari”; dan “bagaimana kalian dapat menerapkannya ke

dalam kehidupan sehari-hari.”

Masa kritis dalam pendekatan pembelajaran experiential ini adalah ketika murid

mengalami kesulitan di tengah-tengah pengalaman belajarnya. Guru sebaiknya sedapat mungkin

tidak memberikan jawaban langsung, melainkan mengarahkan cara bernalar dan cara

mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia. Misalnya, guru menjumpai bahwa

beberapa muridnya tidak mengerti beberapa kata baru dalam suatu bacaan berbahasa asing. Alih-

alih menyodorkan kamus, sang guru bisa menuntun mereka untuk mencari kamus daring seperti

Cambridge atau Webster yang menyajikan informasi sangat lengkap tentang makna suatu kata.

Penting juga untuk senantiasa mencermati jalannya kegiatan belajar yang sedang berlangsung.

Manakala yang terasa oleh guru adalah kebingungan atau bahkan prosedur bernalar yang salah

arah, sang guru sebaiknya menghentikan kegiatan sejenak untuk mengingatkan anak didiknya

akan tujuan utama yang telah ditetapkan di awal sesi.

Sampai disini akan terasa oleh kita semua betapa untuk satu elemen kurikulum saja

diperlukan kerja yang cukup besar dalam menentukan teori pembelajaran sampai pada

3

Page 4: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

menerjemahkannya ke dalam kegiatan kelas. Tak pelak lagi bahwa kurikulum yang telah

dicanangkan mutlak harus disertai dengan upaya serius dan intensif dari pemerintah, khususnya

Kemendikbud, untuk memberikan pengarahan yang tepat kepada para guru di lapangan. Sudah

saatnya dinas-dinas pendidikan di tingkat kota dan kabupaten merangkul ahli-ahli kependidiakn

dari berbagai perguruan tinggi untuk bersama-sama menyiapkan para guru sehingga mereka bisa

menerapkan Kurikulum 2013 dengan benar. Tak kalah pentinngnya adalah upaya pendampingan

berkelanjutan untuk memberikan solusi bagi guru terhadap masalah-masalah kongkret di

kelasnya. Beruntung bahwa organisasi guru di negeri ini sudah mengenal Musyawarah Guru

Mata Pelajaran, yang dengan segera bisa menyediakan wadah untuk menajamkan kecakapan

mengajar para guru dalam paradigma yang relatif baru ini.

Pendekatan pembelajaran di atas tentunya akan subur dalam kondisi idealnya, yaitu kelas

yang tidak sangat besar, guru yang sudah terlatih, siap merubah pola pikir dari figur yang hanya

berceramah menjadi figur yang cakap dalam mengendalikan setiap tahap pembelajaran, serta

materi yang memang dirancang khusus untuk belajar lewat pengalaman, termasuk koneksi

Internet. Mengingat kondisi geografis, budaya lokal dan sosio-ekonomi pelaku pendidikan di

seantero negeri ternyata juga sangat beragam, pendekatan ini tentu tidak bisa seketika menjadi

obat penyembuh (panacea) untuk semua lingkungan belajar tersebut. Bahkan jika semua sudah

relatif bisa mendapat bekal yang sama untuk memulai, masih ada faktor evaluasi nasional yang

selama ini selalu menjadi perdebatan hangat. Kebijakan ujan nasional akan selalu menjadi

penentu kegiatan belajar di aras sekolah dan kelas. Hendaknya ujian nasional dirancang

sedemikian rupa sehingga tetap bisa mengakomodasi dan bahkan memupuk sikap kolaboratif,

mandiri, dan kreatif yang terkandung dalam pengalaman belajar experiential di kelas. Berita

4

Page 5: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

terbaru tentang format evluasi yang berciri observasi, bertanya, menalar, dan bereksperimen

diharpakan bisa diterapkan dalam pembelajaran di kelas sehingga terbentuk rangkaian yang

koheren dari penetapan tujuan, pengalaman belajar, sampai format evaluasi.

Patrisius Istiarto Djiwandono

Guru besar pendidikan bahasa

Universitas Ma Chung, Malang

5

Page 6: Experiential Learning Dalam Kurikulum 2013-Patrisius Djiwandono

BIODATA

Patrisius Istiarto Djiwandono lahir di Malang tahun 1967 dan menyelesaikan semua pendidikan

dari jenjang Sarjana sampai Doktor di bidang pendidikan bahasa Inggris. Sekarang menjabat

sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Ma Chung, Malang. Meraih gelar profesor

tahun 2010, dan berkecimpung di bidang pendidikan bahasa, tes bahasa, dan lingusitik terapan.

HP :081803805637

No rekening BCA: 3850225485

6