Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
-
Upload
taufik-munajat-anwar -
Category
Documents
-
view
255 -
download
0
description
Transcript of Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
EXECUTIVE SUMMARYHasil-hasil Penelitian Tahun 2006
Puslitbang Kesejahteraan Sosial
Editor
Drs. Charles S. Talimbo, M.Si
DR. Harry Hikmat, M.Si
Penyusun
Drs. Sutaat
Dra. Indah Huruswati
Drs. Bambang Pudjianto, M.Si
Rusmiyati, SE
Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si
Drs. Anwar Sitepu, MP
Sugiyanto, S.Pd, M.Si
Drs. Nurdin Widodo
Dra. Sri Gati Setiti
Dra. Alit Kurniasari, MP
Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA
EXECUTIVE SUMMARYHasil-Hasil Penelitian Tahun 2006
Puslitbang Kesejahteraan Sosial
Hak Cipta Setiap Tulisan pada : masing-masing Penulis
Hak Cipta Penerbitan pada : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI.
Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur
Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126
Design Cover : Pradjwalita
Setting & Layout : Sarif Hidayat
All Right Reserved
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Tidak dibenarkan memproduksi ulang
setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga, baik secara
elektronik, fotokopi, mekanik, rekaman atau cara lain sebelum mendapat izin tertulis
dari penerbit.
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Executive Summary, Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Kesos /
editor, Charles S. Talimbo, Harry Hikmat.
iv + 205 hlm. ; 14,5 x 21 cm, (Executive Summary Tahun 2006)
ISBN : 978-979-5379-20-7
Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial
Departemen Sosial Republik Indonesia
Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur
Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126
KATA PENGANTAR
Selama tahun 2006 telah dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan
pengembangan untuk beberapa tema yang dinilai mendesak seperti
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasan yang Berbasis Institusi Lokal,
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan (Identifikasi Permasalahan
dan Kebutuhan Keluarga), Evaluasi Program Subsidi Panti, Pelayanan Lanjut
Usia Berbasis Kekerabatan, Pengembangan Komunitas Peduli Anak,
Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Migran maupun Penelitian
Diagnostik tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten Nunukan, Pulang
Pisau, Bone dan Manado. Selain itu, ada penelitian yang merupakan
pengembangan salah satu metode untuk menentukan secara efektif data
kemiskinan di suatu komunitas, yaitu Pemeringkatan Keluarga menurut
Kondisi Sosial Ekonomi. Hasilnya telah dicetak dalam bentuk buku.
Tetapi untuk memudahkan pembaca, terutama pihak eksekutif yang
ingin memanfaatkan sebagai acuan berkaitan dengan penentuan kebijakan,
maka kami berusaha menyajikannya dalam bentuk Executive Summary.
Sudah barang tentu sajian ini lebih komunikatif. Dan bila pembaca
memerlukan yang lebih spesifik dan detail, tidak ada salahnya menelaah
buku-buku hasil penelitiannya.
Kami percaya, eksekutif masa kini adalah tipe ”research minded”
karenanya setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada wangsit,
tetapi melalui suatu proses kajian yang matang.
Semoga.
Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
Charles S. Talimbo
NIP. 170011051
iPuslitbang Kesos
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................
1. Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat
Kabupaten Nunukan
( Drs. Sutaat ) ..................................................................................
2. Diagnosa tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten
Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah
( Dra. Indah Huruswati ) ...............................................................
3. Peta Masalah Sosial di Bone: Potensi, Problem dan
Strategi Penanganannya
( Drs. Bambang Pudjianto, M.Si ) ..................................................
4. Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon
Tengah Kotamadya Tomohon - Minahasa
( Rusmiyati, SE ) .............................................................................
5. Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan Di Era
Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat
( Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si ) ..................................................
6. Participatory Wealth Ranking, Sebuah Alternatif Teknik
Indentifikasi dan Seleksi Sasaran Program Pemberdayaan
Fakir Miskin
( Drs. Anwar Sitepu, MP ) ............................................................
7. Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
(Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan)
( Sugiyanto, S.Pd, M.Si ) ................................................................
Halaman
i
iii
1
25
43
65
81
99
119
iiiPuslitbang Kesos
8. Evaluasi Program Subsidi Panti dalam Mendukung
Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial
( Drs. Nurdin Widodo ) ..................................................................
9. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
(Studi Kasus Pada Lima Wilayah di Indonesia)
( Dra. Sri Gati Setiti ) ....................................................................
10. Pengembangan Komunitas Peduli Anak
( Dra. Alit Kurniasari, MP ) .......................................................
11. Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
( Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si ) ...........................................
INDEKS ..................................................................................................
SEKILAS EDITOR ..............................................................................
SEKILAS PENYUSUN ......................................................................
129
153
169
181
191
195
199
iv Puslitbang Kesos
DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL
DI SEBATIK BARAT KABUPATEN
NUNUKAN1
Drs. Sutaat 2
ABSTRAK
Kabupaten Nunukan sebagai salah satu daerah pemekaran memiliki
permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, terutama belum tersedianya data-
base yang akurat sebagai bahan penyusunan rencana program pembangunan di
wilayahnya. Penelitian ini mencoba menggambarkan mendiagnosa kondisi dan
permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Nunukan, khususnya di
Kecamatan Sebatik Barat sebagai daerah pemekaran baru. Konsep yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sosial budaya. Perwujudan kebudayaan sebagai perangkat
pengetahuan tampak dalam kehidupan komuniti, berbentuk pranata sosial. Pranata
sosial dapat dipahami sebagai sistem antar hubungan peran dan norma berkenaandengan aktivitas yang dianggap penting oleh anggota komuniti.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa program pembangunan belum
banyak menyentuh Sebatik Barat. Hal ini menjadikan wilayah tersebut jauh tertinggal
dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang lebih tinggi masih
terbatas. Hal ini terkait dengan keterbatasan infrastruktur yang ada. Masalah-masalah
kesejahteraan sosial sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang
rendah, antara lain masalah fakir miskin, perumahan tidak layak huni, keterlantaran,
dan keluarga rentan. Untuk itu, penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain:(1) guna memacu kemajuan wilayah dan penduduk diperlukan upaya perbaikan dan
peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana pendidikan dan transportasi/
perhubungan dalam pulau dan antar pulau; (2) Program-program sektor sosial bagi
masyarakat berupa pemberdayaan masyarakat kurang mampu, perbaikan lingkungan
dan perumahan, serta peningkatan fungsi dan peningkatan peran sumber-sumber
kesejahteraan sosial (PSKS)
Kata kunci:
Masalah Sosial, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
1 Ditulis dari hasil penelitian tentang Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Sebatik Barat,
Kabupaten Nunukan, oleh Puslitbang Kesos, tahun 2006.
2 Sutaat, Peneliti Madya pada Puslitbang Kesos, berpendidikan S1 bidang kesejahteraan sosial;berpengalaman dalam berbagai kegiatan penelitian, dan memimpin berbagai kegiatan penelitian
di lingkungan Puslitbang Kesos, termasuk dalam penelitian tentang Diagnosa PermasalahanSosial di Empat Kabupaten tahun 2005.
1Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Hasil penelitian Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial (Puslitbang UKS,
2005) menyebutkan bahwa berbagai permasalahan sosial yang dihadapi
Kabupaten Nunukan sebagai daerah yang berbatasan dengan Malaysia,
antara lain: masih terisolirnya sejumlah masyarakat yang tinggal di pedalaman
dan perbatasan, sehingga sulit atau jauh dari sentuhan program
pembangunan; masih terdapatnya pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten
Nunukan yang belum dimanfaatkan atau belum punya nama; dan masih
rendahnya taraf hidup masyarakat terutama bila dibandingkan dengan taraf
kehidupan warga Malaysia di perbatasan.
Perbedaan kebudayaan pada masing-masing komuniti akan
mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu. Perbedaan tindakan dan
tingkah laku dalam menanggapi obyek yang sama dapat menimbulkan
suatu masalah antara satu komuniti dengan komuniti lainnya, dan ini
merupakan suatu dampak dari adanya masalah sosial yang terwujud sebagai
tindakan kebudayaan. Oleh karena itu, secara umum kesejahteraan sosial
dari masing-masing komuniti akan berbeda, begitu juga dengan pendefinisian
terhadap kesejahteraan dan masalah sosial. Menurut konsep sosial budaya,
masalah sosial hanya dapat diidentifikasi menurut cara pandang komuniti,
yakni bagaimana komuniti tersebut memberikan makna pada gejala yang
ada sebagai masalah sosial atau tidak. Dengan demikian, masalah sosial
pada masyarakat tertentu belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh
masyarakat yang lainnya (Rudito, 2003). Komuniti adalah sekelompok
manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya
berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang
jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap
anggota-anggotanya (Warren, Cottrell dalam Ndaraha: 1990)
Di lingkungan Departemen Sosial, individu-individu atau masyarakat
yang mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal
sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Saat ini terdapat
27 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang telah diidentifikasi
Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak yang
menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak
jalanan, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi
korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, lanjut usia terlantar, lanjut
usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah,
2 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis, tuna
susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana, korban penyalahgunaan
napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah tak layak huni, keluarga
bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, masyarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana alam, korban bencana
sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/AIDS, dan keluarga rentan
(Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002).
Guna mewujudkan kesejahteraan sosial, setiap masyarakat mempunyai
berbagai potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan. Pengertian sumber
menurut Max Siporin, adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi
dan dapat digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan
penyelesaian masalah. Allan Pincus dan Anne Minahan (Dwi Heru Sukoco,
1991) membagi sistem sumber menjadi tiga kategori, yaitu: Sistem Sumber
Informal atau Natural, Sistem Sumber Formal, Sistem Sumber
Kemasyarakatan, yaitu rumah sakit, lembaga pendidikan, lembaga pelatihan
kerja, tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Untuk mempertahankan
kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan dan mengorganisasikan
semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti aktivitas ekonomi,
sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong, dan sebagainya.
Didalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial, potensi dan sumber
kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal, sedangkan masalah
kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor kelemahan atau tantangan.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut di atas, permasalahan sosial akan
ditangani secara sistematis dan tepat sasaran jika didasarkan pada data yang
akurat dan reliabel. Disinilah letak pentingnya data tentang masalah
kesejahteraan sosial sumber kesejahteraan sosial sebagai bahan dalam
pengembangan kebijakan/program yang terarah dan komprehensif.
Tersedianya data yang akurat dan reliabel akan menjadi acuan dalam
penentuan kebijakan prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial,
sehingga pelaksanaan program pembangunan akan tepat sasaran dan tepat
guna.
Daerah pemekaran baru seperti halnya Nunukan, tampaknya
mengalami masalah dalam hal penyediaan data (database) yang akurat
mengenai permasalahan sosial serta sumberdaya yang ada di wilayahnya.
Oleh karena itu, masih mengalami hambatan dalam merumuskan kebijakan
dan program kesejahteraan sosial yang responsif terhadap kondisi yang
3Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
ada. Sementara itu Pemerintah Pusat belum mempunyai data yang cukup
tentang potensi dan sumber serta permasalahan sosial, sehingga program
pusat dirasa kurang responsif terhadap kebutuhan lokal. Sebagai akibatnya,
pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terjangkau.
Sehubungan dengan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial melaksanakan penelitian diagnostik tentang permasalahan sosial di
daerah.
Penelitiaan ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif tentang
jenis permasalahan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, serta upaya-
upaya penanganan yang pernah dilakukan di wilayah Kabupaten Nunukan.
Dengan berbagai pertimbangan kebutuhan wilayah, lokasi penelitian ini
difokuskan di Kecamatan Sebatik Barat sebagai salah satu kecamatan
pemekaran yang terletak di daerah perbatasan.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Deskriptif dimaksud untuk mencari dan menggali persepsi yang ada dan
berkembang di masyarakat; dengan menggali kenyataan sosial yang ada
dan mengkaitkannya dengan budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Informasi dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, diskusi, dan
bahan-bahan dokumen. Informan penelitian ini adalah warga masyarakat
dan tokoh masyarakat setempat, serta aparat pemerintah daerah yang
dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian ini.
Lokasi penelitian ini di Kabupaten Nunukan, khususnya di Kecamatan
Sebatik Barat yang merupakan daerah pemekaran baru dan letaknya
berbatasan dengan negara tetangga (Malaysia Timur).
Keadaan Wilayah Lokasi Penelitian
Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau di Provinsi Kalimantan
Timur yang letaknya paling utara. Pulau ini terbagi menjadi dua bagian,
yakni bagian selatan merupakan wilayah Negara Republik Indonesia dan
bagian utara merupakan wilayah Negara Malaysia Timur (Sabah).
Sebatik Indonesia pada mulanya terdiri dari dua buah desa induk,
yaitu Desa Setabu dan Desa Sungai Pancang. Perkembangan wilayah Desa
Sungai Pancang relatif lebih maju dibandingkan Desa Setabu. Hal ini karena
4 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Sungai Pancang mempunyai akses yang lebih mudah dengan negara tetangga
(Malaysia). Sementara itu, Desa Setabu yang letaknya di bagian barat
menghadap Pulau Nunukan dan Daratan Kalimantan, memiliki infrastruktur
transportasi ke Nunukan atau daratan Kalimantan relatif yang kurang
memadai. Oleh karena itu, dari segi kemajuan wilayah Desa Setabu menjadi
lebih lambat.
Kecamatan Sebatik Barat yang berpusat di Desa Setabu terdiri dari
empat desa, yakni Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu, dan
Desa Aji Kuning (letaknya berbatasan dengan Malaysia Timur). Desa Aji
Kuning ini berbatasan dengan Desa Sungai Pancang (Sebatik Timur), dan
karena itu desa ini merupakan desa di wilayah Sebatik Barat yang termasuk
paling maju. Kecamatan Sebatik Timur yang semula merupakan induk Desa
Sungai Pancang terdiri dari empat desa, yakni Desa Tanjung Karang, Sungai
Pancang, Sungai Nyamuk, dan Desa Tanjung Aru.
Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten
Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur
5Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Kependudukan
Penduduk Kecamatan Sebatik Barat berjumlah 10.285 jiwa. Sementara
itu jumlah penduduk Sebatik secara keseluruhan 30.947 jiwa. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa 1/3 jumlah penduduk Sebatik berada di
Sebatik Barat, dan 2/3 lainnya merupakan penduduk Sebatik Timur. Hal
ini dapat dipahami mengingat bahwa Sebatik Timur kondisinya lebih maju
dari Sebatik Barat, baik dari segi ekonomi maupun sarana infrastruktur
yang relatif lebih baik dan lengkap. Oleh karena itu, penduduk banyak
terkonsentrasi di wilayah Timur yang jauh lebih maju.
Kondisi seperti tersebut di atas tampak pula pada jumlah pendudukper kelurahan di Sebatik Barat, yakni Kelurahan Aji Kuning dengan jumlahpenduduk terbesar (3.687 jiwa). Kondisi ini terkait dengan kemajuan DesaAji Kuning yang jauh melebihi desa-desa lain di Sebatik Barat. Sejak dariawal penduduk Aji Kuning telah banyak mengadakan hubungan ekonomiperdagangan dengan negara tetangga (Malaysia).
Tabel 1. Penduduk Kecamatan Sebatik Barat
Oleh karena itu, berdasarkan hasil wawancara dengan tokohmasyarakat setempat menyebutkan bahwa banyak penduduk Aji Kuningyang merupakan eks TKI di Malaysia. Bahkan banyak di antara merekamasih mempunyai kerabat yang berada di Malaysia (terutama di Tawao).Beberapa warga mempunyai identitas ganda, yakni warga Indonesia danwarga Malaysia; atau warga negara Malaysia tetapi merupakan penduduktetap Desa Aji Kuning. Tampaknya memang secara sosial budaya antarawarga Aji Kuning dengan Tawao-Malaysia hampir tidak ada batas. Beberaparumah warga ada yang sebagian berada di wilayah Indonesia dan sebagianlainnya berada di wilayah Malaysia, dan bahkan ada beberapa warga yangmendirikan rumah di atas tanah wilayah Malaysia.
REKAPITULASI HASIL PENDATAAN PENDUDUK TAHUN 2005
JUMLAH RT/DUSUN
KEPALA KELUARGA
JUMLAH JIWA DESA
RT DUSUN L P JML L P JML
Aji Kuning 17 4 908 51 959 1990 1697 3687
Setabu 7 - 442 28 470 1156 1001 2157
Binalawan 6 - 359 14 373 1013 886 1899
Liang Bunyu 11 - 530 28 558 1374 1168 2542
JUMLAH 41 4 2239 121 2360 5533 4752 10285 Sumber : Monografi Kecamatan Sebatik, 2005.
6 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Pranata Kehidupan Masyarakat
1. Pranata Agama/Kepercayaan
Agama yang dianut penduduk Kecamatan Sebatik Barat sebagian
besar Islam, sedangkan sebagian lainnya Kristen Katholik dan
Protestan. Dengan demikian di lokasi kajian sarana ibadah yang ada
meliputi bangunan Masjid, langgar, dan Rumah Kebaktian di
perumahan penduduk. Semua tempat ibadah tersebut merupakan
usaha swadaya masyarakat.
Selain menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, pendudukdi Wilayah Kecamatan Sebatik Barat juga masih ada yangmengembangkan aliran kepercayaan Suku Bangsa Tidung. SukuTidung adalah bagian dari Suku Dayak yang tinggal di Tarakan yangmenempati daerah Pulau Sebatik, dan merupakan suku asli.Kepercayaan tersebut berupa pemberian semacam sesajen yangdilakukan oleh perorangan dengan cara mengirim doa melaluipemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah laut dandekat dengan tempat tinggalnya.
Acara menjalankan ritual adat/kepercayaan/religi yang dijalankannenek moyang Suku Dayak. Penduduk yang menjalankan dan masihmengembangkan religi asli dari warisan nenek moyang mereka,walaupun banyak juga yang menganut Agama Islam dan Khatolik.Namun dalam kepercayaan orang Sebatik masih mempercayai adanyaroh halus yang mendiami batu dan pohon besar dan menjaga sungaidan atau laut.
2. Pranata Keluarga/Kekerabatan
Dalam urusan perkawinan prinsip kekerabatan di lokasi kajian
adalah tidak ada aturan yang mengikat, artinya dimana pihak laki-laki
dan pihak perempuan mempunyai kebebasan untuk menentukan
pasangan/pilihan hidup. Sedangkan untuk penyelenggaraan pesta
perkawinan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan antara
kedua keluarga besar. Dalam sistem kekerabatan yang masih dianggap
kerabat dekat adalah kerabat sampai keturunan ketiga.
Pada dasarnya, dalam suatu keluarga besar yang masuk dalam
satu keluarga batih dan dikatakan masih memiliki ikatan yang kuat,
7Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
dapat mempersatukan kelompok mereka yang ditandai dengan adanya
hak dan kewajiban antar anggota kerabat. Hak dan kewajiban anggota
kerabat tersebut dapat dilihat dalam pola perkawinan, perawatan orang
tua dan upacara kematian.
• Dalam Pola Perkawinan: sebagian besar penduduk mengikuti
aturan Agama Islam, misalnya dilarang oleh penduduk apabila
terjadi perkawinan: (1) antara anak laki-laki dan perempuan sesama
saudara laki-laki sekandung; dan (2) perkawinan antara bapak
dengan anak perempuannya. Tetapi jika terjadi perkawinan sepupu
silang, yakni perkawinan antara anak laki-laki antara saudara
sekandung laki-laki perempuan boleh dilakukan, karena hal tersebut
dianggap bukan saudara sedarah seperti halnya dengan anak
saudara laki-laki seayah.
• Dalam Pola Perawatan Orang Tua (lanjut usia). Jika salah satu
orang tua atau salah satu anggota keluarga sakit maka seluruh
anggota keluarga dilibatkan untuk membantu dan menanggung
biaya perawatan yang telah dimusyawarahkan secara bersama-
sama. Akan tetapi untuk perawatan sehari-hari perawatan
ditanggung oleh anak yang tinggal serumah, dan nantinya mewarisi
tempat tinggal orang tuanya.
• Dalam hal kematian, pelaksanaan penguburan baru bisa
dilaksanakan setelah anggota keluargganya kumpul terutama dua
generasi ke atas dan ke bawah. yakni: anak-anak, saudara kandung,
paman, bibi dari bapak maupun ibu. Jika ada peristiwa kematian
maka semua warga masyarakat terlibat, baik dalam upacara
pemakaman ataupun dalam pesta kendurinya/membaca doa.
Untuk keperluan membaca doa dalam kenduri, keperluan untuk
selamatan/kenduri setiap kepala keluarga akan memberikan
sumbangan sesuai dengan kedekatan hubungan antara kepala
keluarga dengan keluarga yang mengalami kematian.
3. Pranata Ekonomi
Keluarga-keluarga pada masyarakat Sebatik Barat dalam
pemenuhan kebutuhan hidup, terutama pangan merupakan tanggung
jawab bersama antara suami istri. Kebutuhan sandang dan keseluruhan
bahan pangan diperoleh dari lingkungan sekitar dan dapat juga dari
8 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
luar desa, selain belanja langsung di pasar yang ada di wilayah kecamatan
tersebut, dengan cara menjual hasil ladang, dan hasil tangkapan ikan/
nelayan, sesuai dengan mata pencaharian penduduk, dimana hasil dari
mata pencaharian tersebut dimanfaatkan untuk membeli bahan
kebutuhan pokok. Jadi untuk mencari nafkah bukan sepenuhnya
tanggung jawab seorang suami, istripun juga sangat berperan untuk
memenuhi segala keperluan rumah tangga.
Pasar yang biasa digunakan untuk menjual hasil-hasil pertanian/
tangkapan ikan dan membeli bahan kebutuhan pokok sehari-hari
adalah pasar tradisional yang terdekat dengan tempat tinggal mereka.
Pasar-pasar ini merupakan pasar keliling yang secara rutin mempunyai
jadwal di tiap desa. Pasar pada masing-masing desa hanya aktif satu
kali dalam satu minggu. Pedagang pasar tersebut sebagian besar berasal
dari Nunukan. Mereka berkeliling ke desa-desa sesuai dengan jadwal
pasar pada desa yang bersangkutan, misalnya untuk Desa Setabu pasar
aktif pada hari minggu. Kebutuhan sayuran penduduk sehari-hari
diperoleh dari penduduk setempat yang berdagang keliling membawa
sayuran hasil kebunnya. Sementara untuk kebutuhan pokok lainnya
diperoleh dari warung-warung yang ada di lingkungannya.
Sistem pertanian penduduk Sebatik umumnya sudah menetap,
dan tidak ada lagi sistem pertanian dengan cara ladang berpindah.
Walaupun sebagian besar wilayah Kecamatan Sebatik Barat adalah
hutan, namun hutan tersebut merupakan hutan lindung yang tidak
diperkenankan untuk dikerjakan sebagai lahan pertanian penduduk.
Sebagian dari mereka juga sudah mengenal sedikit model pertanian
modern, seperti memakai pupuk kimia, pestisida dan adanya benih
unggul. Namun demikian dari segi peralatan kerja umumnya masih
menggunakan peralatan sederhana, seperti parang, linggis, pacul dan
kampak.
Perkebunan dan perikanan sudah mulai terarah dengan cara
modern yakni dengan cara membuat keramba terapung, walupun
masih ada juga nelayan tradisional. Sedangkan dalam hal peternakan
masih bersifat tradisional, ternak mereka masih dibiarkan berkeliaran
di kebun atau di jalan-jalan desa, dan tidak disiapkan kandang dan
pakan secara khusus. Hasil tangkapan ikan dan hasil pertanian umumnya
mereka jual ke Malaysia atau di pasar-pasar tradisional yang ada di
9Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
sekitar wilayah Sebatik Barat. Mereka jarang membawa dan menjual
barang dagangannya ke Nunukan, karena biaya yang mahal dan belum
lancarnya trasportasi umum.
Potensi dan Sumber Alam
Berdasarkan informasi tokoh masyarakat setempat, di Sebatik
sebenarnya terdapat sumber alam yang dapat mendukung kemajuan
wilayah, yakni sumber minyak bumi, namun demikian hingga kini belum
ada upaya untuk ekspolitasi sumber tersebut. Sumber alam yang sudah
diolah saat ini adalah tanah pertanian/perkebunan. Hasil yang diperoleh
saat ini dari pengolahan tanah yang merupakan hasil pertanian/perkebunan
rakyat, adalah dari kebun coklat dan pisang. Kebun coklat dan pisang
tersebut cukup luas dan memberikan hasil cukup besar bagi masyarakat
Sebatik Barat. Jenis pisang di wilayah ini bagi masyarakat setempat dikenal
dengan nama “pisang sanggar” (pisang goreng), karena umumnya disajikan
dengan cara digoreng. Untuk masyarakat Jawa, pisang sanggar tersebut
biasa dikenal sebagai pisang “kepok”.
Menurut masyarakat setempat, hasil coklat dan pisang banyak dijual
ke negara tetangga Malaysia (Tawao). Ada bebarapa hal yang mendorong
mereka melakukan hal itu, pertama karena kebiasaan yang sudah lama mereka
lakukan secara turun menurun untuk melakukan hubungan dagang dengan
penduduk negara tetangga. Bahkan di antara mereka ada yang pernah tinggal
dan punya kerabat yang berada di Malaysia dan mempunyai Identity Card
(ID) Malaysia. Kedua, tampaknya masyarakat masih lebih mengutamakan
kebutuhan ekonomi daripada kesadaran sebagai WNI. Hal ini tampaknya
merupakan salah satu ciri masyarakat di daerah perbatasan. Ketiga, dari segi
transportasi dan jarak serta waktu tempuh ke Tawao relatif lebih murah
dan mudah dibandingkan ke Nunukan. Kenyataan yang ada saat ini,
infrastruktur untuk jalur transportasi ke wilayah Indonesia masih kurang
memadai. Jalan penghubung antar kecamatan kondisinya rusak, apalagi
pada musim penghujan sulit dilalui kendaraan roda empat maupun roda
dua.
Sebelum masyarakat mengembangkan tanaman coklat, di Sebatik
pernah dikembangkan tanaman kopi terutama saat permintaan kopi dari
negara tetangga cukup besar. Setelah permintaan kopi dan harganya anjlok
masyarakat mulai beralih pada tanaman coklat.
10 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Permasalahan Sosial
Hasil penelitian ini mengidentifikasi ada tiga besaran permasalahan
sosial di Sebatik Barat yang mendorong munculnya berbagai permasalahan
kesejahteraan sosial, yakni masalah ketertinggalan, masalah infrastruktur yang
kurang memadai, dan masalah potensi dan sumber kesejahteraan sosial
yang belum menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat.
Masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Masalah Ketertinggalan
Sebatik merupakan pulau terluar dan terbagi menjadi dua wilayah
negara yaitu sebelah Utara Wilayah Malaysia (Sabah), dan sebelah
Selatan Wilayah Indonesia (Provinsi Kalimantan Timur). Kondisi yang
demikian menjadikan penduduk Sebatik tidak terlepas dari pengaruh
kehidupan masyarakat negara tetangga. Pada satu sisi, penduduk
Sebatik mendapat imbas kemajuan ekonomi dari penduduk negara
tetangga. Pada sisi lain, ada ketergantungan masyarakat dengan negara
tetangga, misalnya dalam pemasaran hasil dan pemenuhan kebutuhan
rumahtangga. Ketergantungan masyarakat pada negara tetangga dapat
mengurangi rasa kebangsaan dan nasionalisme. Mereka akan lebih
mementingkan kebutuhan ekonomi daripada memperhatikan
kedudukannya sebagai warga negara Indonesia. Hal ini tampak dari
informasi yang diperoleh bahwa beberapa penduduk Sebatik,
terutama yang dekat dengan perbatasan mempunyai ID ganda. Alasan
mereka adalah untuk kemudahan hubungan dengan masyarakat negara
tetangga yang dirasakan memberikan banyak keuntungan. Sementara
itu, akses komunikasi dan transportasi ke wilayah Indonesia masih
kurang memadai, sehingga sebagian besar penduduk seolah-olah
kurang menyatu dan berinteraksi secara intensif dengan penduduk
lainnya di wilayah Indonesia. Hal ini menjadikan Sebatik Barat tertinggal
dalam berbagai pembangunan, baik pembangunan fisik maupun non
fisik.
Masalah-masalah kesejahteraan sosial yang biasanya terkait dengan
daerah tertinggal antara lain rendahnya kemampuan ekonomi,
rendahnya pendidikan, dan rendahnya kualitas hidup. Demikian pula
yang terjadi di Sebatik Barat, tampak dari besarnya populasi keluarga
kurang mampu (kecuali miskin). Masalah yang terkait dengan rendahnya
11Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
kemampuan ekonomi tampaknya cukup besar, seperti rumah tidak
layak huni, keterlantaran, dan wanita rawan sosial ekonomi.
Meskipun tidak semua keluaga miskin berkaitan dengan kondisi
rumah, namun beberapa kasus keluarga miskin di Kecamatan Sebatik
Barat, umumnya bertempat di rumah yang layak huni. Penjelasan dari
kasus dimaksud adalah bila kita lihat pada status rumah atau
kepemilikan rumah. Beberapa kasus keluarga miskin menunjukkan
bahwa mereka menempati rumah yang bukan milik sendiri, tetapi
miliki kerabat atau warisan dari orangtuanya.
Ada beberapa jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang hampir ada di setiap desa, yaitu keluarga miskin, fakir
miskin, wanita rawa sosial ekonomi, lanjut usia, penyandang cacat,
dan rumah tidak layak huni. Masalah-masalah tersebut tampaknya
berkaitan dengan kondisi kemiskinan. Namun demikian dapat
dikatakan bahwa penduduk miskin Sebatik Barat untuk pemenuhan
kebutuhan pangan belum merupakan hal yang serius (belum kritis).
Kemiskinan yang mereka alami adalah kekurangmampuan dalam hal
pemenuhan kebutuhan lainnya, misalnya pendidikan keluarga, partisipasi
iuran warga, dan penyediaan rumah yang layak huni.
Desa
No Jenis PMKS Setabu
Aji
Kuning
Bina-
lawan
Liang
Bunyu
Jml
1 Balita Terlantar - 14 - - 14
2 Anak Terlantar 22 38 - 2 62
3 Anak Nakal 8 10 - - 18
4 Anak Cacat 4 8 - 5 17
5 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 47 45 19 10 121
6 LU Terlantar 57 31 37 58 183
7 Penyandang Cacat 6 13 8 11 38
8 Cacat Bekas Sakit Kronis 7 - - 13 20
9 Pengemis - 3 - 5 8
10 Eks Napi - 3 - - 3
11 Keluarga Fakir Miskin 9 7 7 - 23
12 Rumah Tidak layak Huni 58 346 27 30 461
13 Kel. Bermasalah Psikologi 1 2 - - 3
14. Keluarga miskin 38 674 173 228 1.113
12 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Tabel 2. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Tiap Desa di Kecamatan Sebatik Barat, Tahun 2006
Hal yang menguntungkan bagi masyarakat Sebatik adalah kondisi
tanah yang relatif subur, menghasilkan komoditi pertanian yang cukup
besar seperti pisang, coklat, dan kopi. Hambatan yang dialami untuk
memperoleh pendapatan tinggi dari sektor pertanian, terutama
kurangnya posisi tawar dengan konsumen di negara tetangga; petani
hampir tidak pernah dapat menentukan harga jual hasil pertaniannya.
Menurut penduduk Sebatik, kasus komoditi kopi yang pernah
memberikan penghasilan cukup besar, namun dengan berkurangnya
dan bahkan berhentinya permintaan kopi dari negara tetangga
menjadikan harga kopi anjlok. Dampaknya adalah sebagian besar
mereka membabat kebun kopi untuk diganti dengan tanaman lainnya,
atau membiarkan kebun kopinya tidak terurus.
Sumber laut Sebatik (perikanan) sebenarnya cukup memberikan
harapan, namun penduduk setempat masih menggunakan perahu
tradisional ukuran kecil dan dengan peralatan yang sederhana, sehingga
kalah bersaing dengan nelayan dari negara tetangga. Beberapa nelayan
memperoleh peralatan dan modal dari penduduk negara tetangga,
tapi dengan konsekuensi harus menjual tangkapannya kepada mereka.
Oleh karena itu, selama peneliti ada di lokasi tidak melihat adanya
hasil laut yang berlimpah di pasar/warung lokal. Bahkan terkesan
sulit memperoleh ikan dari pasar lokal.
2. Masalah Keterbatasan Infrastruktur
Sebatik sebagai wilayah yang tergolong daerah tertinggal
mempunyai keterbatasan infrastruktur, seperti sarana perhubungan,
komunikasi, penyediaan air bersih, sarana pendidikan, dan sarana
kesehatan. Prasarana dan sarana kesehatan yang ada di wilayah
Kecamatan Sebatik Barat saat ini hanya ada dua puskesmas, yakni
satu Puskesmas di Desa Setabu dan satu Puskesmas di Desa Aji Kuning,
dengan jumlah dokter masing-masing satu orang. Dengan demikian,
penduduk mengalami hambatan dalam mengakses fasilitas kesehatan
yang ada. Hal ini merupakan permasalahan sendiri bagi penduduk
Sebatik Barat dalam mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, banyak penduduk Sebatik Barat yang masih
mengandalkan pengobatannya pada bantuan dukun melalui cara-cara
tradisional, yang dalam bahasa daerah/lokal disebut tatamba. Tatamba
13Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
juga merupakan kebiasaan adat (ritual) pengobatan bagi penduduk
yang terkena bisa ular, tenung yaitu cara penyembuhannya disembur
dengan air putih yang sudah diberi doa. Menurut mereka si sakit
sembuh karena izin dari Allah. Beberapa cara tradisional lainnya masih
sering dilakukan penduduk, misalnya pengobatannya dengan cara
mengunyah pucuk daun jambu dan nangka, merebus akar alang-alang,
cabe rawit, butuh (kemaluan) tupai, lalu diminum.
14 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Desa
No Jenis Fasilitas Setabu
Aji
Kuning Binalawan
Liang
Bunyu
Jml
1. Puskesmas 1 1 - - 2
2. Polindes - - 1 1 2
3. Posyandu 4 4 3 4 15
4. Dokter 1 1 - - 2
5. Perawat/Mantri 5 - - 1 6
6. Bidan 3 1 - 1 5
7. Dukun 2 - 9 7 18
Tabel 3. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Sebatik Barat
Tahun 2006
Kondisi tanah yang berbukit-bukit, sedikit sumber air, dan dekat
dengan laut menyebabkan kualitas air tanah maupun air pemukaan
sangat rendah. Oleh karena itu, penduduk Sebatik mengalami
permasalahan dalam penyediaan air bersih. Sumber air bersih utama
masyarakat saat ini adalah air hujan. Sehingga pada musim kemarau
penduduk mengalami kekurangan air bersih. Saat tidak ada hujan,
sumber air bersih yang ada meskipun rendah kualitasnya adalah sumur
umum dekat sungai yang mulai mengering. Untuk itu, penduduk harus
mengangkut air dari sumber tersebut bagi kebutuhan rumahtangganya.
Sarana jalan darat yang ada di Sebatik, baik jalan antar kecamatan
maupun antar desa sebagian besar berupa jalan darurat (jalan tanah
dan pasir batu). Jalan aspal baru mencapai jarak sekitar 2 km di Desa
Setabu (ibukota kecamatan). Sebagian jalan-jalan di Sebatik terutama
pada musim penghujan sulit dilalui oleh kendaraan roda dua maupun
roda empat. Sementara itu, jumlah sarana angkutan umum yang ada
masih terbatas dan dengan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti
itu menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk Sebatik, yakni
mobilitas penduduk antar desa/kecamatan sangat terbatas, termasuk
masalah pengangkutan hasil pertanian/perkebunan penduduk.
Saat ini angkutan laut (perahu motor) ke Nunukan tiap hari umumnya
hanya dua trip (berangkat pagi dan pulang siang hari), dan dengan
jumlah yang terbatas. Untuk ke Nunukan sekali jalan beaya yang harus
ditanggung per orang antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 20.000,- tergantung
dari banyaknya penumpang, makin banyak penumpang akan semakin
murah biayanya. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah
Nunukan untuk menciptakan sarana perhubungan yang relatif mudah
dijangkau masyarakat dan dengan frekuensi yang cukup memadai.
Sarana pendidikan yang ada saat ini masih terbatas, beberapa
desa hanya mempunyai sekolah sampai SD. Untuk wilayah Sebatik
Barat, sekolah lanjutan pertama (SMP) hanya ada dua yakni satu di
Desa Setabu dan satu di Desa Aji Kuning. Sehingga bagi anak-anak
penduduk desa lainnya harus menempuh jarak cukup jauh bila ingin
melanjutkan pendidikan pada tingkat SMP. Saat ini sekolah lanjutan
atas baru ada di Kecamatan Sebatik Timur, yakni sekolah milik swasta.
Sekolah lanjutan atas negeri hanya ada di Nunukan. Kondisi seperti
ini menyebabkan banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk
melanjutkan sekolah, baik karena masalah jarak lokasi maupun
kemampuannya yang terbatas. Oleh karena itu, hanya beberapa anak,
khususnya dari golongan mampu yang dapat melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi. Dengan demikian, dari segi pendidikan penduduk
Sebatik Barat sebagian besar rendah (hanya mencapai tingkat Sekolah
Dasar.
15Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Desa
No. Jenis Fasilitas
Pendidikan Setabu Aji
Kuning Binalawan
Liang
Bunyu
Jml
1. TPA 3 1 4 2 10
2. Sekolah Dasar 1 3 1 1 11
3. SLTP 1 1 - - 2
4. Kejar Paket A, B - - - 2 2
Jumlah 5 5 5 5 25
Tabel 4. Sarana Pendidikan di Kecamatan Sebatik Barat
Tahun 2006
Saran komunikasi telepon kabel dan telepon umum di wilayah
Sebatik Barat hingga saat ini belum tampak kehadiranya. Sementara
ini, penduduk banyak menggunakan sarana telepon seluler yang
jaringanya masih terbatas. Kepemilikannya juga masih terbatas pada
penduduk yang tergolong cukup mampu. Jaringan/siaran televisi dan
radio sebagian sudah dapat ditangkap penduduk meskipun masih
terbatas. Namun demikian masuknya jaringan/siaran televisi asing
(negara tetangga) tampaknya tidak bisa dihindarkan mengingat letaknya
yang cukup dekat. Bila siaran televisi Indonesia tidak lebih kuat, maka
dapat menghambat masuknya informasi nasional dalam kehidupan
masyarakat Sebatik.
3. Masalah Pontensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial merupakan hal yang
penting dalam menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat.
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial ini dapat berwujud lembaga
sosial maupun individu-individu yang peduli terhadap usaha-usaha
kesejahteraan sosial. Jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS) yang mencakup kelompok/lembaga sosial dan perorangan
dapat dijelaskan seperti berikut:
• Perkumpulan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kelompok ini
beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang memiliki anak balita.
Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa dari
pemerintah. Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan kesehatan
dan kesejahteraan ibu dan anak. Kegiatannya berupa pemeriksaan
kesehatan balita, menimbang balita, penyuluhan dan pelayanan
keluarga berencana serta peningkatan gizi keluarga.
• PKK, Kelompok ini dibentuk atas prakarsa pemerintah,
beranggotakan kaum wanita terutama ibu rumahtangga. Tujuan
kelompok ini adalah peningkatan kesejahteraan keluarga melalui
berbagai kegiatan seperti arisan, simpan pinjam, tabungan, gotong
royong, dan usaha ekonomis produktif. Lembaga ini mempunyai
jangkauan wilayah berjenjang dari tingkat Rukun Tetangga, Dusun,
Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.
• Karang Taruna/kelompok pemuda. Kelompok ini merupakan
organisasi pemuda pada tingkat lokal. Inisiasi pembentukan Karang
Taruna oleh masyarakat, dan secara fungsional berada dalam
pembinaan Departemen Sosial. Anggotanya sebagian besar remaja
dan beberapa orang dewasa, dengan usia berkisar antara 19 tahun
sampai dengan usaia 40 tahun. Kelompok pemuda ini pada
umumnya memiliki kegiatan edukatif, ekonomis produktif dan
16 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
rekreatif. Namun demikian kondisi saat ini sebagian besar
tampaknya kurang aktif.
• Kelompok Tani dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa pemerintah
dalam upaya peningkatan hasil pertanian. Kelompok ini
beranggotakan para petani dan memiliki kegiatan mulai dari
pengolahan tanah, bertanam sehingga diperoleh peningkatan hasil
pertanian.
• Pengajian/majlis taklim dibentuk oleh masyarakat untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi
kaum muslim. Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya
adalah mengadakan pengajian dan pembinaan mental keagamaan.
• Arisan keluarga. Kelompok ini dibentuk masyarakat merupakan
wadah silaturahmi, umumnya beranggotakan sejumlah Kepala
Keluarga dari etnis tertentu. Arisan ini digunakan sebagai sarana
tukar informasi dan saling memberikan pemikiran tentang
permasalahan yang dihadapi anggota.
• Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Masyarakat, merupakan individu-individu yang berasal dari
masyarakat setempat. Pembentukannya oleh inisiatif pemerintah
dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial. Mereka bekerja secara
mandiri, kelompok maupun bersama dalam wadah lembaga sosial
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat
lingkungannya.
• Kelompok kesenian terdiri dari sekumpulan warga masyarakat yang
mempunyai minat dan bakat dibidang kesenian baik itu kesenian
tradisional maupun modern. Kelompok ini memiliki kegiatan
latihan rutin dan pentas untuk mengisi acara permintaan atau acara-
acara tertentu, misalnya pada upacara pernikahan dan peringatan
hari-hari besar nasional. Kegiatan kesenian tradisional yang terkenal
adalah tarian “Jepin” yang dilakukan secara berpasangan laki-laki
dan perempuan. Pakaian yang digunakan adalah pakaian adat
setempat.
Berdasarkan observasi dan hasil diskusi dengan warga masyarakat
setempat menunjukkan bahwa kondisi PSM dan KT di Sebatik Barat
17Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
saat ini dapat dikatakan kurang aktif lagi. Hal ini menurut mereka
disebabkan kurangnya bantuan dan pembinaan dari pemerintah
terhadap sumber-sumber tadi. Saat ini tampaknya PSM dan KT yang
merupakan andalan sektor sosial lepas dari perhatian Kantor Sosial
setempat. Pembinaan terhadap kelompok-kelompok sosial masyarakat
di Kabupaten Nunukan dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini
terjadi karena pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam kegiatan
pembinaan, terutama karena faktor lokasi yang sulit dijangkau dan
dukungan lainnya yang masih terbatas.
Organisasi-organisasi sosial lokal saat ini mempunyai kegiatan
yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong
dan pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum
tergugah dan kurang memahami pentingnya peran mereka dalam
penanganan masalahan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Hal ini
antara lain disebabkan kondisi SDM yang relatif rendah (sebagian
besar pendidikan SD), dan minimnya sumber dana maupun informasi
yang mereka miliki.
Penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kecamatan Sebatik
Barat saat ini masih kekurangan sumber yang dapat diakses oleh
mereka. Panti-panti sosial yang ada di Kabupaten Nunukan jumlah
maupun jangkauannya masih terbatas. Apalagi panti-panti rehabilitasi
sosial atau lembaga rehabiliasi sosial lainnya bagi penyandang cacat
saat ini belum ada di wilayah Kabupaten Nunukan. Sementara itu
organisasi-organisasi sosial yang ada di Kabupaten Nunukan belum
menjangkau wilayah Sebatik. Sehingga banyak penyandang masalah
yang tidak memperoleh pelayanan yang memadai.
Upaya yang Telah Dilakukan
Bila memperhatikan data PMKS seperti telah dikemukakan
sebelumnya, dapat dikatakan bahwa permasalahan sosial yang ada erat
kaitannya dengan ketidakmampuan ekonomi keluarga. Oleh karena itu,
upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat akan selalu terkait
dengan upaya peningkatan dari segi ekonomi atau pendapatan penduduk.
Beberapa upaya pemerintah yang masuk ke Sebatik berdasarkan
informasi tokoh-tokoh setempat, adalah upaya pemberdayaan keluarga
18 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
miskin berupa bantuan stimulan ekonomi produktif melalui Kelompok
Usaha Bersama (KUBE) dan bantuan perbaikan rumah penduduk. Dari
hasil observasi tampaknya KUBE tersebut tidak lagi terlihat kegiatannya.
Hal ini antara lain disebabkan kurang/tidak adanya pembinaan secara rutin
dari penyelenggara program/kegiatan.
Upaya penduduk sendiri untuk menanggulangi masalah kesejahteraan
sosial dilakukan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk, seperti
kelompok kematian, arisan, dan kelompok-kelompok yang berbasis RT.
Namun demikian masih sangat terbatas kualitas maupun jangkauannya.
Tampaknya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial di Sebatik Barat
masih memerlukan campur tangan dari luar, misalnya peranserta LSM/
Orsos dan peran pemerintah pusat maupun daerah. Hingga saat ini belum
terlihat peran LSM/Orsos dalam usaha kesejahteraan sosial.
Kesimpulan dan Saran
Program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat,
menjadikan wilayah ini masih tertinggal dibanding wilayah lainnya. Masih
minimnya infrastruktur yang ada, terutama sarana air bersih, pendidikan,
transportasi dan komunikasi, menjadikan mobilitas penduduk antar desa/
kecamatan sangat terbatas, dan akses pada pendidikan yang lebih tinggi
terbatas. Masalah kesejahteraan sosial umumnya bersumber dari kondisi
ekonomi penduduk yang rendah; kemampuan penduduk untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi yang jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan
yang relatif cukup tinggi.
Masalah kesejahteraan sosial yang cukup menonjol adalah kemiskinan,
masalah rumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan
keterlantaran. Masalah-masalah ini sebenarnya bersumber dari kondisi
ekonomi penduduk yang rendah, kemampuan penduduk untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan yang
relatif cukup tinggi.
Potensi dan sumber kesejahteraan sosial setempat, seperti Pekerja Sosial
Masyarakat (PSM) dan Karang Taruna (KT) saat ini kurang aktif
melaksanakan fungsinya. Hal ini antara lain karena kurangnya pembinaan
dari pemerintah setempat terhadap sumber-sumber tersebut. PSM dan
KT yang merupakan andalan sektor sosial tampaknya lepas dari perhatian
19Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
pemerintah setempat. Organisasi-organisasi sosial lokal mempunyai kegiatan
yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong dan
pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum tergugah dan
kurang memahami pentingnya peran mereka dalam penanganan masalahan
kesejahteraan sosial di lingkungannya.
Guna memacu kemajuan kehidupan masyarakat Sebatik, diperlukan
upaya perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana
pendidikan, komunikasi, dan transportasi/perhubungan dalam pulau dan
antar pulau. Diharapkan dengan mudahnya akses pendidikan dan
transportasi/perhubungan bagi penduduk akan mempunyai dampak
terhadap peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Untuk itu, maka diperlukan program-program yang terpadu antar instansi
(Dinas-Dinas), antara lain:
a. Program-program sektor sosial yang diperlukan adalah upaya
pemberdayaan penduduk miskin, perbaikan lingkungan dan
perumahan, serta peningkatan fungsi dan peran sumber-sumber
kesejahteraan sosial lokal agar mampu berperan dalam pembangunan
bidang kesejahteraan sosial.
b. Untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan
formal diperlukan sarana pendidikan yang berkaitan dengan lembaga
pendidikan, buku-buku pelajaran dan beasiswa bagi anak-anak dari
keluarga miskin dan anak-anak terlantar.
c. Mengingat keterbatasan lembaga pelayanan sosial bagi penyandang
masalah kesejahteraan sosial, antara lain lembaga pelayanan dalam
bentuk panti rehabilitasi sosial, maka perlu dipertimbangkan oleh pusat
maupun pemerintah daerah (Instansi Sosial) untuk mendirikan panti-
panti rehabilitasi sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
d. Sejalan dengan upaya ini, pemerintah daerah setempat perlu secara
berkesinambungan melakukan pembaharuan data permasalahan
kesejahteraan sosial, agar dengan demikian pemerintah daerah akan
selalu mempunyai data yang akurat dan up to date bagi perencanaan
pembangunan.
20 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
e. Wilayah Sebatik yang berbatasan langsung dengan negara lain,
mempunyai posisi strategis terhadap kesatuan wilayah NKRI. Untuk
itu, maka baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu
lebih ekstra membangun wilayah yang bersangkutan, baik fisik maupun
non fisik. Dengan demikian, diharapkan tidak lagi menjadi daerah
tertinggal dan menjadi salah satu daerah perbatasan yang dapat
diandalkan Pemerintah RI.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Nunukan dengan BPS Kabupaten Nunukan, 2002,
Kabupaten Nunukan dalam Angka Tahun 2002, BPS, Nunukan.
Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
Pusdatin, Jakarta.
Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press
Kecamatan Sebatik Barat, 2005, Monografi Kecamatan Sebatik
Rudito, Bambang dkk, 2004, Metode dan Teknik Pengelolaan Community Devel-
opment, ICSD, Jakarta.
Taliziduhu, Ndraha, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Rineke Cipta, Bandung.
21Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Lampiran 1
Jenis PMKS dan Kriteria Menurut Masyarakat Lokal
di Kecamatan Sebatik Barat Tahun 2006
No. Jenis PMKS Kriteria Jumlah
1. Balita Terlantar anak usia 0 – 5 tahun, berasal dari keluarga kurang mampu, dan kurang atau tidak terpenuhi kebutuhannya secara memadai.
14
2. Anak Terlantar anak usia 6 – 12 tahun, yatim atau yatim piatu, orangtua tidak mampu secara ekonomi, hanya mampu mendapatkan pendidikan sampai SD.
62
3. Anak Nakal anak usia 15 – 21 tahun, sering mengkonsumsi alkohol, sering menggunakan obat-obat terlarang, dan mengganggu orang lain/lingkungan.
18
4. Anak Cacat anak usia 6 – 21 tahun, menderita cacat karena bawaan atau kecelakaan, mengalami hambatan dalam beraktivitas.
17
5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi
wanita, janda, usia produktif, kondisi ekonomi kurang mampu, mempunyai tanggungan anak usia sekolah, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya.
121
6. LU Terlantar laki-laki atau perempuan usia 60 tahun ke atas, tidak produktif lagi, tergantung pada bantuan orang lain, keluarga kurang mampu memberikan pelayanan.
183
7. Penyandang Cacat
orang dewasa, cacat bawaan atau karena kecelakaan, mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
38
8. Cacat Bekas sakit Kronis
orang dewasa, cacat akibat penyakit, seperti stroke, katarak dsb, hidupnya tergantung dari bantuan orang lain.
20
9. Pengemis anak-anak atau dewasa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meminta-minta, tidak punya pekerjaan tetap.
8
10. Eks Napi orang dewasa, telah selesai menjalani hukuman karena pelanggaran lalu lintas, tidak mempunyai pekerjaan tetap.
3
11. Keluarga Fakir Miskin
keluarga dengan penghasilan tidak tetap, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tidak mampu membiayai pendidikan anak, pendidikan keluarga paling tinggi SD, rumah darurat atau kondisinya kurang sempurna.
23
12. Rumah Tidak layak Huni
Dinding tidak sempurna, banyak yang bolong, lantai tidak sempurna/lantai kayu banyak yang rusak, atap dari daun atau dari seng tapi rusak, dan kurang sehat.
461
13. Kel. Bermasalah
Psikologi
kurang harmonis, suami isteri sering bertengkar, biasanya
terkait dengan masalah-masalah ekonomi.
3
14. Keluarga miskin keluarga dengan penghasilan tetap, sering mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mampu membiayai pendidikan anak pada tingkat SD.
1.113
22 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
Lampiran 2
PETA WILAYAH
1. Peta Wilayah Desa Aji Kuning
2. Peta Wilayah Desa Binalawan
23Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
3. Peta Wilayah Desa Setabu
4. Peta Wilayah Desa Liang Bunyu
24 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan
DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL
DI KABUPATEN PULANG PISAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH1
Dra. Indah Huruswati 2
ABSTRAK
Kabupaten Pulang Pisau merupakan sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran
dari Kabupaten Kapuas yang diresmikan pada tahun 1999. Dampak dari pemekaran
tersebut, Kabupaten ini dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi,
antara lain permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah
administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana infrastruktur yangmasih kurang, serta masalah kesejahteraan sosial yang semakin merebak. Pemerintah
Daerah berupaya menata kembali sistem administrasi wilayahnya, salah satunya adalah
dengan menyediakan data dasar (database) yang akurat dan reliable tentang permasalahan
sosial serta sumberdaya, yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan
prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan pro-
gram pembangunan di Kabupaten ini dapat terwujud secara tepat sasaran dan tepat
guna.
Upaya penyediaan database tersebut, dilakukan melalui penelitian kerjasamaantara Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial - Departemen Sosial RI dengan
Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah pada pertengahan tahun
2006 lalu. Penelitian dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pandih Batu dan
Maliku yang dipilih berdasarkan keragaman masalah sosial dan potensi yang dimiliki.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa permasalahan sosial yang paling menonjol
adalah masalah fakir miskin (kemiskinan), keluarga rentan dan keluarga berumah
tidak layak huni, selain juga anak terlantar. Kriteria permasalahan sosial serta potensi,
diungkapkan dalam hasil penelitian ini berdasarkan pandangan masyarakat lokal
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang mereka miliki.
Kata kunci:
Permasalahan Sosial
1 Tulisan ini diangkat dari penelitian Diagnosis Permasalahan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau
Provinsi Kalimantan Tengah, dengan tim penelitian Drs. Moch. Syawie, MSc; Dra. EndangKironosasi, M.Si.
2 Indah Huruswati, Peneliti Muda pada Puslitbang Kessos, Badiklit Kesejahteraan Sosial
25Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Sejak dicanangkannya otonomi daerah yaitu sejak diberlakukannya
Undang-Undang No.22 tahun 1999 (yang diperbaharui menjadi Undang-
Undang No. 32 tahun 2002) tentang Pemerintahan Daerah, terjadi
pemekaran pada beberapa wilayah di Indonesia. Tentunya berdampak pada
perubahan status administrasi pada wilayah-wilayah tersebut. Beberapa
wilayah yang semula merupakan kecamatan berubah menjadi kabupaten
karena dianggap telah memenuhi persyaratan administrasi, kewilayahan dan
sumberdaya manusia serta sumberdaya alam dan ekonomi. Pulang Pisau
yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Kapuas menjadi kabupaten
baru (pemekaran).
Dampak dari pemekaran tersebut, Kabupaten Pulang Pisau
dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain
permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah
administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana
infrastruktur yang masih kurang, masalah kesejahteraan sosial yang semakin
merebak serta permasalahan lainnya.
Dalam kaitan dengan penataan kembali wilayah pemekaran ini tentunya
memerlukan data dasar (database) yang akurat dan reliable sebagai dasar
dalam menyusun perencanaan program pembangunan di wilayah tersebut,
sehingga proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya serta dapat berlangsung secara
berkesinambungan. Sementara itu data dasar (database) mengenai
permasalahan sosial serta peta sumberdaya yang ada di wilayah yang
bersangkutan belum dimiliki oleh Pemerintah Daerah setempat.
Terkait dengan Pemerintah Pusat, dengan kurangnya data dan peta
permasalahan sosial, sumber daya sosial, ekonomi dan alam yang bercirikan
masyarakat lokal, tentunya akan berpengaruh pada program pusat yang
dampaknya tidak mampu mengakomodir kebutuhan daerah. Akibat lebih
lanjut adalah pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat tidak dapat
sepenuhnya terjangkau.
Padahal segala permasalahan sosial dapat diatasi secara sistematis dan
tepat sasaran jika didasarkan pada data yang akurat dan reliable. Disinilah
letak pentingnya data tentang masalah kesejahteraan sosial dan sumber
kesejahteraan sosial sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan yang
26 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
terarah dan komprehensif. Tersedianya data yang akurat dan reliable akan
menjadi acuan dalam penentuan kebijakan prioritas program pembangunan
kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan program pembangunan di
Kabupaten Pulang Pisau dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut akan
tepat sasaran dan tepat guna.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Badan Pendidikan dan Penelitian
Sosial – Departemen Sosial RI bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten
Pulang Pisau - Kalimantan Tengah melakukan Penelitian Diagnosa
Permasalahan Sosial ini, sebagai langkah awal upaya identifikasi sekaligus
menemukenali secara lebih dalam permasalahan yang dihadapi daerah.
Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
• Apa dan bagaimana jenis penyandang masalah sosial serta potensi
dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian?
• Bagaimana kriteria dan karakteristik penyandang masalah kesejahteraan
sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di
lokasi penelitian?
• Program kesejahteraan sosial apa saja yang selama ini dilaksanakan di
Kabupaten Pulang Pisau?
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) diperolehnya data kualitatif tentang
jenis penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber daya sosial,
ekonomi dan alam sebagai data dasar di lokasi penelitian; (2) diperolehnya
data kualitatif tentang kriteria dan karakteristik penyandang masalah sosial
serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian;
(3) diperolehnya gambaran mengenai lokasi dan peta penyandang masalah
kesejahteraan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan
alam di lokasi penelitian; dan (4) diperolehnya gambaran tentang program-
program penanggulangan permasalahan sosial yang pernah dilaksanakan
di lokasi penelitian.
Masalah kesejahteraan sosial dapat terjadi di setiap wilayah dan
disebabkan oleh berbagai hal yang saling berkait. Faktor penyebab masalah
kesejahteraan sosial dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal
sekaligus. Faktor internal pada umumnya menunjuk pada sistem sosial yang
mengandung benih ketimpangan struktural dalam masyarakat. Biasanya
terdapat segolongan masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap
peluang-peluang sosial ekonomi, sehingga menjadi rentan terhadap masalah
27Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
kesejahteraan sosial. Keterbatasan aset produksi dapat juga menyebabkan
kemiskinan, kemiskinan menyebabkan kurang pangan dan gizi, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental.
Dalam kaitannya dengan faktor eksternal, bisa termasuk intervensi
pemerintah, lembaga pemerintah dan pengusaha swasta. Intervensi pro-
gram dari pemerintah yang pada awalnya bertujuan intervensi pemecahan
masalah, ternyata justru menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap
pemerintah dan/atau menimbulkan suatu jenis masalah yang sebelumnya
tidak ada dalam masyarakat (Dove, 1985)
Secara potensial setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk
mengatasi masalah kesejahteraan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Potensi kesejahteraan sosial tersebut ada dalam bentuk sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya sosial yang berupa kemampuan
mengorganisir sumber daya alam atau manusia atau perpaduan keduanya.
Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat memanfaatkan dan
mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti
aktivitas ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong dan
sebagainya.
Metode Penelitian
Penelitian diagnostik yang dilakukan merupakan proses mengenal pasti
penyakit melalui tanda penyakit, simptom dan hasil pelbagai langkah
diagnostik. Penyakit yang dimaksud di sini adalah permasalahan sosial yang
ada di masyarakat. Kesimpulan yang didapat melalui proses ini dikenali
sebagai diagnosis.
Untuk mengenal pasti permasalahan sosial yang ada, digunakan
pendekatan kualitatif yang tujuannya adalah untuk memahami kondisi serta
pemahaman sekelompok orang dalam satu kelompok sosial. Diharapkan
dengan pendekatan ini diperoleh suatu gambaran bagaimana pelaku dalam
komuniti memandang dan memahami gejala sosial yang tampak, diobservasi,
dicatat dan dianalisa.
Sumber data terdiri dari : (1) data primer yaitu perorangan atau
individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten yang hidup dan
berkembang di daerah tersebut; (2) data sekunder yaitu literatur, baik cetak
maupun elektronik yang mendukung tujuan penelitian. Sedangkan
28 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
pengumpulan informasi dilakukan selain melalui pengamatan (observasi),
juga wawancara, diskusi, penelusuran dokumen dan bahan-bahan visual.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah,
khususnya di Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku. Sebagian
kecamatan Maliku sebelum ada pemekaran merupakan bagian dari
kecamatan Pandih Batu. Sasaran penelitian adalah penduduk yang menetap
di daerah Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku, baik dari jenis
kelamin maupun jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk sebagai
penyandang masalah sosial, lokasi, penyandang masalah sosial dan potensi
serta sumber kesejahteraan sosial.
Gambaran Umum Lokasi
Kabupaten Pulang mempunyai
wilayah seluas 8.997 km² atau 899.700 ha,
sebagian wilayahnya terdiri dari lahan
gambut (277.300 hektar). Kabupaten ini
meliputi 8 wilayah kecamatan, 83 desa
definitif, dan 1 kelurahan. Secara umum
wilayah Kabupaten ini memiliki potensi
sumber daya alam yang lumayan besar,
terutama pada sektor kehutanan dan sektor
lain seperti pertanian dan peternakan yang
turut menyumbang potensi cukup besar
sejak dari tingkat desa.
Kecamatan Pandih Batu dan Maliku
yang menjadi lokasi penelitian ini, berjarak
paling jauh sekitar 56 km sampai 75 km
dari Ibukota Kabupaten, dengan waktu
tempuh sekitar 4 – 6 jam. Sementara itu,
jarak dari desa-desa ke ibukota Kecamatan antara 7 km sampai 30 km
yang dapat dicapai melalui jalan darat (jalan kabupaten) maupun jalan air
(Sungai Kahayan) dengan menggunakan perahu klotok dan speedboat.
Karakteristik penduduk di dua kecamatan memiliki sifat heterogen,
dimana komposisi penduduknya berasal dari ragam sukubangsa dan agama,
baik yang tergolong sebagai penduduk lokal yang terdiri dari sukubangsa
29Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
Dayak dan Banjar maupun penduduk pendatang yang terdiri dari
sukubangsa Madura, Jawa dan Sunda.
Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi
yang ada, yaitu terkonsentrasi di tepi sungai dan cabang-cabangnya, terutama
para penduduk asli. Begitupun dengan pola pemukiman penduduk
umumnya relatif sama yaitu mengelompok di tengah lahan wilayah desa,
dan umumnya didirikan di tepi jalan dibuat sejajar atau mengikuti aliran
sungai. Rumah mereka umumnya dibuat dari kayu atau papan, dengan
atap ada yang menggunakan genteng dan daun kelapa atau rumbia.
Pendidikan warga masyarakat di wilayah ini pada umumnya Sekolah
Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Anak-anak
yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan di tingkat SLTP dan ingin
melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTA terpaksa harus pergi keluar dari
desanya, karena keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia
di wilayah ini. Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu,
tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Mereka lebih memilih pergi
merantau ke Kota Palangkaraya untuk menjadi buruh bangunan atau menjadi
penambang emas di Kereng Pangi.
Mata pencaharian warga masyarakat sebagian besar sebagai petani.
Namun memperhatikan data yang ada di kecamatan ini tampaknya relatif
banyak warga masyarakat yang belum/tidak bekerja.
Diagnosis Permasalahan Sosial
Berdasarkan hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua Kecamatan
ditemukenali sejumlah permasalahan sosial yang ada yaitu 14 permasalahan
sosial untuk Kecamatan Pandih Batu dan 19 permasalahan sosial untuk
Kecamatan Maliku. Berdasarkan urutan permasalahan yang paling tinggi
frekwensinya yaitu masalah yang terkait dengan kemiskinan – yaitu masalah
keluarga fakir miskin. Masalah lain yang juga relatif tinggi yaitu masalah
rumah tidak layak huni dan wanita rawan sosial-ekonomi serta keluarga
rentan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian warga desa (laki-laki) yang
sudah menikah dalam usia muda, meninggalkan desa dengan alasan mencari
nafkah di tempat lain. Akhirnya keluarga mereka menjadi terlantar, demikian
halnya dengan lahan yang mereka miliki juga menjadi terlantar sehingga
membawa akibat pada kerentanan dan kemiskinan. Keluarga-keluarga yang
30 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
ditinggalkan oleh para kepala keluarga terpaksa harus berusaha mencari
nafkah sendiri atau ikut dengan orang tua mereka. Namun karena
keterbatasan dari kaum perempuan untuk bisa mengolah lahan, maka
mereka akhirnya tidak bisa memperoleh penghasilan. Keluarga-keluarga
tersebut akhirnya menjadi rentan untuk masuk ke dalam kemiskinan dan
bagi ibu-ibu, mereka menjadi rawan secara sosial-ekonomi. Hal ini
berdampak juga terhadap anak-anak mereka yang cenderung menjadi
terlantar, karena orang tua tidak mampu memberikan kebutuhan dasar
mereka. Anak-anak menjadi berhenti sekolah pada usia wajib belajar 9
tahun dan mereka tidak mendapatkan makanan bergizi, karena ibunya
(orangtua) tidak mempunyai uang untuk membeli makanan bergizi.
Kondisi lingkungan turut berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa dengan tidak meratanya
distribusi penduduk antar desa di dua Kecamatan, yang salah satunya
disebabkan oleh keterbatasan aksesibilitas antar desa dengan desa lainnya
atau antar desa dengan kecamatan, maka pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada di lingkungan tidak dapat secara optimal dikelola
dan dimanfaatkan, baik karena keterbatasan SDM maupun teknologi yang
mereka miliki. Misalnya beberapa desa di Kecamatan Pandih Batu yaitu
Desa Pantik terdapat lahan tidur seluas 970 ha, di Desa Pangkoh Sari terdapat
lahan tidur seluas 400 ha dan di Desa Talio Muara terdapat lahan tidur
seluas 391 ha. Lahan tersebut belum tergarap sebagai akibat keterbatasan
SDM, baik dari segi jumlah dan penguasaan teknologi.
Karakteristik masyarakat yang bermukim di dua kecamatan ini terdiri
dari beragam sukubangsa dan agama. Sifat multi-etnik (heterogen) yang
mewarnai kehidupan sosial masyarakat, pada satu sisi merupakan potensi,
tetapi pada sisi yang lain potensial menimbulkan kerawanan konflik sosial,
bahkan fisik. Potensi konflik antara sukubangsa menjadi semakin rawan
karena pernah terjadi peristiwa konflik antara sukubangsa Dayak dan Banjar
(melayu) dengan sukubangsa Madura sekitar buan Maret tahun 2001. Saat
ini hubungan sosial diantara mereka yang pernah terlibat konflik relatif
sudah berangsur membaik, walaupun kondisi ini tetap harus diwaspadai
melalui kebijakan atau kegiatan-kegiatan yang tidak menimbulkan
kecemburuan sosial antara “penduduk lokal” (Dayak dan Banjar) dengan
“penduduk pendatang” yang terdiri dari para transmigran umum maupun
swakarsa yang terdiri dari Madura, Jawa dan Sunda.
31Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
Sementara itu bila melihat dukungan masyarakat terhadap program
pembangunan seharusnya juga melihat kesiapan mereka dalam hal
kemampuan mengelola dan memanfaatkannya. Membangun kapasitas salah
satunya adalah melalui pendidikan formal, yaitu sekolah. Kesulitan
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak biasanya terkendala
oleh faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi putus sekolah
atau tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masalah
keterbatasan juga terjadi pada sarana pelayanan kesehatan, misalnya untuk
Kecamatan Pandih Batu tersedia satu unit Puskesmas yang tidak dilengkapi
Puskesmas Pembantu di tingkat desa. Tenaga dokter pun hanya satu dengan
15 tenaga medis lainnya (perawat dan bidan). Sementara alat perhubungan
(transportasi) antar desa maupun desa ke kecamatan relatif sulit dan mahal.
Tampaknya dengan melihat kondisi yang ada, diperlukan banyak pro-
gram dan kegiatan yang dapat mengakomodasi berbagai keragaman
kepentingan, sehingga melalui suatu proses tertentu keragaman karakteristik
penduduk dapat saling bersinergi untuk mencapai kehidupan masyarakat
yang sejahtera. Program dan kegiatan yang dikembangkan melalui
pemanfaatan potensi keswadayaan masyarakat (gotong-royong) menjadi
suatu yang bisa dipertimbangkan. Melalui potensi keswadayaan masyarakat
itu sendiri di samping strategis juga memiliki nilai pemberdayaan dalam
rangka proses memandirikan masyarakat untuk membantu dirinya sendiri.
Aksesibilitas masyarakat dalam beraktivitas, baik aktivitas sosial maupun
ekonomi masih menjadi kendala. Kondisi geografis dan alam yang demikian
belum dilengkapi dengan sarana-prasarana transportasi yang memadai.
Keterbatasan sarana-prasarana transportasi menyebabkan harga kebutuhan
pokok sehari-hari relatif tinggi, sementara penghasilan rumah tangga relatif
rendah. Hal ini terutama menjadi kendala terhadap aksesibilitas antar desa
maupun antara desa ke ibukota kecamatan.
Pembangunan infrastruktur fisik perlu dibarengi dengan pembangunan
infrastruktur sosial yang baik, sehingga diharapkan akan mendorong
partisipasi masyarakat. Tanpa itu, maka mereka cenderung memanfaatkan
infrastruktur fisik yang ada untuk memudahkan mereka pergi mencari nafkah
ke luar daerahnya. Dengan demikian, maka pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada di lingkungannya menjadi tidak optimal. Adanya
tanah pertanian yang tidak digarap dan kegagalan upaya masyarakat
memanfaatkan lahan tidur merupakan akibat pembangunan infrastruktur
32 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
sosial-ekonomi belum dilakukan sesuai harapan masyarakat. Dalam hal ini
sudah tentu pihak Pemerintah berperan penting untuk memfasilitasi, baik
dari aspek kebijakan, regulasi, permodalan maupun aspek teknologi tepat
guna.
Upaya meningkatkan kesejahteraan sosial diperlukan suatu perencanaan
sosial yang baik. Perencanaan akan berjalan baik bila dilengkapi dan didasari
data yang akurat. Mencermati pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan dan upaya penanganan permasalahan sosial yang ada
menunjukkan bahwa sasaran program kurang tepat. Di Kecamatan Pandih
Batu, keluarga miskin atau fakir miskin tidak secara merata memperoleh
bantuan Raskin, Askeskin atau pun BLT-BBM. Seharusnya setiap keluarga
miskin/fakir miskin memperoleh beragam program bantuan. Tetapi hal
ini tidak terjadi dengan alasan bahwa alokasi bantuan kurang sesuai dengan
jumlah keluarga miskin atau fakir miskin yang ada. Apapun alasannya, maka
program bantuan yang ada menjadi kurang efektif. Seperti penerima BLT-
BBM karena tidak memperoleh Askeskin, maka dana BLT yang
diperolehnya dan seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari terpaksa digunakan untuk berobat. Penerima Raskin yang
seharusnya bisa menikmati beras enak dengan harga murah terpaksa harus
menjual berasnya itu ke pasar atau ke tetangga hanya untuk membiayai
SPP anaknya yang masih sekolah tetapi tidak memperoleh beasiswa berupa
dana Bantuan Khusus Murid (BKM) atau Bantuan Operasional Sekolah
(BOS).
Penyandang permasalahan sosial seperti fakir miskin yang cacat karena
penyakit kronis (diabetes) dan memiliki beberapa anak yang tidak terawat
karena masalah keterbatasan ekonomi seharusnya memperoleh program
bantuan sebagai fakir miskin, penyandang cacat akibat penyakit kronis serta
program bantuan bagi anaknya, yaitu program bantuan untuk anak terlantar.
Dinas Sosial dan Dinas terkait lainnya telah melakukan upaya
penanganan permasalahan sosial melalui pendataan terhadap rumah tak
layak huni, wanita rawan sosial, keluarga rentan, remaja nakal dan lahan
tidur. Pembinaan dan pelatihan dilakukan pula kepada beberapa jenis
penyandang masalah sosial untuk meningkatkan keterampilan (anyaman)
dan bantuan lainnya berbentuk bantuan kursi roda bagi penyandang cacat
dan bantuan ternak sapi kepada lansia terlantar, walaupun sebagian besar
ternak sapi kini sudah mati akibat terkena wabah penyakit. Dinas Sosial
33Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
melakukan program bantuan untuk Komunitas Adat Terpencil yang ada
di Desa Talio melalui program pemberantasan buta aksara. Dinas Kesehatan
juga membantu memberikan pelayanan kesehatan melalui kegiatan Posling
dan Posyandu kepada anak-anak terlantar.
Permasalahan sosial yang belum ditangani dengan upaya-upaya tertentu
adalah masalah rumah tak layak huni, khususnya yang berada di Desa Kantan
Muara berjumlah sekitar 96 unit dan di Desa Pangkoh Sari bahkan baru
dalam proses pendataan. Demikian pula keluarga rentan yang sampai saat
ini masih dalam proses pendataan, termasuk permasalahan sosial bagi
penyandang cacat akibat penyakit kronis. Sementara itu, penanganan lahan
tidur sudah dilakukan melalui musyawarah desa maupun sosialisasi, akan
tetapi pelaksanaannya masih terkendala oleh kekurangan modal dan kurang
kompaknya warga masyarakat.
Berkaitan dengan penggunaan kriteria untuk menggolongkan jenis
penyandang masalah sosial (Anak Terlantar, Anak Balita Terlantar, Remaja
Nakal, Lansia Terlantar, Wanita Rawan Sosial, Anak Cacat, Penyandang
Cacat, Anak Yatim/Piatu, Fakir Miskin, Keluarga Rentan dan sebagainya),
tampaknya dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua kecamatan
masih terlihat perbedaan dalam menentukan usia anak dan remaja. Di
samping perbedaan kriteria, penajaman kriteria menjadi sangat penting.
34 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
35Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
No. JENIS PMKS KRITERIA
1. Fakir Miskin 1. Penghasilan kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari;
2. Tingkat produktifitas KK rendah, karena sebagai pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut;
3. Kondisi rumah / fisik bangunannya tidak layak ditempati (seperti bangunannya bocor, tidak memiliki jendela, lantainya masih beralaskan tanah, ukuran rumah 4 x 4 m dengan anggota keluarga lebih dari 5 orang, dan lain-lain).
4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabatan lainnya.
5. Tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.
2. Rumah Tidak Layak Huni 1. Kepadatan hunian yang cukup tinggi (rumah ukuran 4 x 4 m dihuni lebih dari 5 orang);
2. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan buruk. Bahan atap dari daun, dinding dari seng atau kayu rapuh dengan lantai tanah atau papan (jenis rumah panggung);
3. Ukuran bangunan rumah relatif kecil, yaitu antara 4 x 4 m atau 4 x 6 meter dan umumnya tidak memiliki penyekat ruangan;
4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabat lainnya.
5. Bangunan rumah tidak dilengkapi fasilitas MCK.
3. Wanita Rawan Sosial 1. Usia antara 16 tahun sampai 60 tahun; 2. Status janda ditinggal mati suami atau status belum
menikah; 3. Banyak anak/tanggungan yang belum bekerja; 4. Penghasilan kecil dan tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari; 5. Pengangguran atau tidak ada
pekerjaan/penghasilan sama sekali.
4. Lansia Terlantar 1. Usia di atas 61 tahun; 2. Penghasilan kecil, bahkan tidak ada sama sekali,
sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri;
3. Hidup sendiri atau bersama kerabat/non kerabat, tetapi kurang diperhatikan/perawatan dari sanak-keluarganya, baik karena alasan ekonomi maupun alasan non-ekonomi.
Tabel 1. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) di Kecamatan Pandih Batu
5. Anak Balita Terlantar 1. Usia 0 – 4 tahun; 2. Kurang gizi dan kondisi sering sakit; 3. Kurang perawatan/perhatian orangtua; 4. Orangtua tergolong kurang mampu secara ekonomi.
6. Keluarga Rentan 1. Keluarga muda yang baru menikah sampai 5 tahun dan kurang serasi (ada di Desa Kantan Muara);
2. Usia nikah sudah 10 tahun dan masih menumpang orangtua/mertua (ada di Desa Gadabung);
3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan.
7. Anak Yatim Piatu 1. Usia antara 5 tahun sampai 16 tahun; 2. Ditinggal orangtua/satu atau kedua orangtua
meninggal; 3. Berasal dari keluarga tidak mampu.
8. Penyandang Cacat Fisik/ Mental
1. Adanya kelainan fisik/mental akibat kecelakaan maupun bawaan sejak lahir (bisu-tuli, kaki pincang, keterbelakangan mental);
2. Fungsi jasmani dan sosial terganggu; 3. Usia di atas 18 tahun
9. Penyandang Cacat Fisik/ Mental akibat Penyakit Kronis
1. Mantan penderita penyakit kronis yang dinyatakan secara medis telah sembuh;
2. Memiliki cacat fisik/mental akibat penyakitnya itu
10. Anak Terlantar 1. Usia 5 – 12 tahun; 2. Kurang perawatan orangtua karena kurang mampu
secara ekonomi; 3. Kurang gizi dan sering sakit-sakitan; 4. Kurang pergaulan dan komunikasi
11. Anak Cacat 1. Usia 5 – 12 tahun dan ada pula yang menetapkan 5 – 18 tahun;
2. Memiliki kelainan fisik dan mental; 3. Memiliki kelainan fisik atau mental saja
12. Komunitas Adat Terpencil (KAT)
1. Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam satu kesatuan fisik dan sosial yang relatif kecil;
2. Lokasi kesatuan fisik dan sosial yang terpencil; 3. Masyarakatnya masih amat terikat dengan
sumberdaya alam dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;
4. Keterbelakangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
13. Remaja Nakal 1. Usia 13 – 1 6 tahun; 2. Perilaku mengganggu lingkungan atau membuat resah
lingkungan. 3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau pas-pasan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan
14. Lahan tidur 1. Lahan tidak digarap pemilik lebih dari 15 tahun; 2. Lahan ditinggal pemilik tanpa ada yang mengurus,
sehingga menghambat perekonomian/produktivitas pertanian, khususnya ada di Desa Pantik
36 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
Tabel 2. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) di Kecamata Maliku
No. JENIS PMKS KRITERIA
1. Balita Terlantar 0 – 4 tahun, kurang perawatan dari orang tua/keluarga luas (laki-laki / perempuan)
2. Anak Terlantar 5 – 13 tahun, tidak terlalu diperhatikan dan tidak terpenuhi kebutuhan dasar oleh orang tua/keluarga luas.
3. Anak Nakal 0 – 13 tahun, perilaku mengganggu kebiasaan umum (tetapi tidak masalah karena masih anak-anak, laki-laki/ perempuan).
4. Remaja Laki-laki Nakal 14 – 18 tahun, perilaku mengganggu dan dipermasalahkan.
5. Remaja Perempuan Nakal 14 – 18 tahun, sering begadang.
6. Anak Cacat 5 – 13 tahun, fisik tidak normal, mental tidak normal, terganggu dalam aktifitasnya.
7. Wanita Rawan Sosial Ekonomi
16 – 60 tahun, belum menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar baik jasmani ataupun rohani.
8. Wanita Korban Kekerasan 16 – 60 tahun, disakiti secara fisik dan mental.
9. Lanjut Usia Terlantar Sudah menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar.
10. Lanjut Usia Korban Kekerasan
60 tahun ke atas, dirampas hak-haknya (tergantung lokal).
11. Penyandang Cacat Individu sejak lahir mengalami kelainan fisik dan mental serta karena penyakit kronik.
12. Tuna Susila Hubungan sex dengan lawan jenis berulang-ulang tanpa menikah dan tidak mengharapkan imbalan, baik barang maupun jasa.
13. Bekas Narapidana Orang yang selesai menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat (stigma sama tetapi perlakuan berbeda terhadap pelaku perampokan dan menabrak orang sampai meninggal karena tidak sengaja).
14. Keluarga Fakir Miskin Mempunyai pekerjaan tapi tidak tetap, penghasilan tidak mencukupi, termasuk untuk kebutuhan pangan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (jumlahnya paling besar).
15. Keluarga Berumah Tidak Layak
Rumah ukuran kurang dari 4 x 4 m, dinding dari jabuk (papan lapuk), lantai tanah, atap bocor.
16. Komunitas Adat Terpencil Kelompok orang yang jauh dari keramaian, transportasi hanya dari sungai, kebiasaan tidak berbeda dengan orang dari lokasi lain.
17. Masyarakat yang Tinggal di daerah Rawan Bencana
Kelompok orang yang tinggal di daerah secara fisik dan mental tertekan oleh proses alam dan sosial.
18. Pekerja Migran Terlantar Merantau, pendatang yang mencari kerja di suatu tempat tidak memperoleh yang diharapkan dan menjadi masalah di tempat tersebut.
19. Keluarga Rentan Keluarga yang banyak masalah (sosial, ekonomi, kebiasaan).
37Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
Kesimpulan dan Saran
Masalah yang menjadi prioritas mendapat perhatian adalah masalah
fakir miskin dan keluarga miskin, rumah tidak layak huni serta Wanita
Rawan Sosial Ekonomi. Melihat kondisi permasalahan tersebut, yang pal-
ing menonjol adalah terkait dengan kemiskinan. Hampir di seluruh desa
masalah kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dihadapi oleh
warga masyarakat.
Masalah kemiskinan yang merupakan masalah terbesar di wilayah ini,
belum diupayakan penanganannya melalui program pemberdayaan secara
maksimal dan berkesinambungan. Program bantuan bagi keluarga miskin
yang tidak seluruhnya mendapat bantuan dan yang sifatnya hanya sesaat
merupakan program yang klise tetapi terus berlangsung. Hal ini tentunya
memerlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini secara
bersama-sama baik antara pemerintah dan masyarakat serta melakukan
program pemberdayaan secara berkesinambungan.
Kondisi kemiskinan terkait dengan keterbatasan atau hambatan-
hambatan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hambatan tersebut
antara lain terkait dengan infrastruktur, sarana transportasi dan hambatan
dalam upaya pengolahan lahan. Hambatan ini menyebabkan relatif banyak
lahan (lahan tidur) yang tidak dapat diolah oleh masyarakat (petani).
Kemiskinan ini antara lain juga sebagai dampak dari gagalnya proyek lahan
gambut (sejuta hektar lahan gambut), mengingat bahwa lokasi ini merupakan
lokasi transmigrasi.
Permasalahan lain yang ada, berkaitan dengan infrastruktur jalan.
Prasarana jalan ini dianggap penting karena dapat memudahkan pemasaran
hasil pertanian yang sangat potensial bagi masyarakat setempat. Sementara
untuk saat ini, sarana transportasi yang utama di wilayah ini adalah sungai,
transportasi ini relatif mahal khususnya bagi warga masyarakat yang akan
menjangkau wilayah lain maupun untuk memasarkan hasil pertanian dan
perkebunan mereka (dalam bidang pertanian).
Permasalahan lain adalah keterbatasan sarana pendidikan dan
transportasi yang dimiliki daerah, sehingga masyarakat harus menjangkaunya
keluar desa atau kecamatan. Sementara kondisi ekonomi keluarga
menyebabkan anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan akses untuk mendapatkan
38 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
pelayanan kesehatan, merupakan masalah lain yang dihadapi oleh warga
masyarakat karena sarana kesehatan (Puskesmas) hanya ada di Kecamatan
dan Rumah Sakit Umum di provinsi.
Lahan kosong yang dimiliki oleh sebagian warga, bisa menjadi
sumberdaya alam yang potensial jika diolah dengan baik. Mengingat lahan
di wilayah ini dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman jika saja ada
kerjasama yang baik antara pemerintah setempat dengan warga masyarakat.
Keterbatasan dalam hal penyediaan sarana pengolah lahan dan bibit tanaman
merupakan salah satu hambatan dimana lahan yang luas akhirnya hanya
menjadi lahan tidur.
Sementara pada sisi lain, sumberdaya yang masih dimiliki adalah adanya
rasa kebersamaan di antara warga masyarakat, karena mereka merasa sebagai
orang perantauan (transmigran). Kerjasama dalam bentuk tolong menolong
atau gotong royong serta semangat untuk mengolah lahan secara maksimal
merupakan pranata yang dapat dijadikan sumberdaya sosial dari warga
masyarakat di wilayah ini untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Peningkatan kesejahteraan ini tampaknya tidak dapat dilakukan sendiri oleh
masyarakat namun masih diperlukan peran Pemerintah Daerah setempat.
Dengan kata lain, meskipun memiliki keterbatasan modal usaha namun
masyarakat masih memiliki modal sosial berupa rasa kebersamaan atau
tolong menolong dan semangat membangun atau mengembangkan lahan
untuk pertanian dan perkebunan, dalam upaya mengatasi kemiskinan yang
dihadapi.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, diajukan saran-saran sebagai
berikut:
1. Sumberdaya alam yang potensial berupa lahan yang luas dan
sumberdaya sosial yang dimiliki warga masyarakat (keterampilan
dalam bidang pertanian dan beternak serta masih adanya rasa
kebersamaan/tolong menolong) bisa merupakan modal utama dalam
membangun masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan kerjasama
yang baik antar Dinas-Dinas Provinsi maupun Kabupaten, guna
membangun wilayah ini secara ber-kesinambungan.
2. Dinas Teknis seperti Pekerjaan Umum, Perumahan dan Permukiman
membangun prasarana jalan, saluran irigasi dan penyediaan perumahan
sosial bagi warga masyarakat miskin. Prasarana jalan dan saluran irigasi
39Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
sangat penting dan diperlukan oleh wilayah ini untuk membangun
ekonomi masyarakat.
3. Berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sangat
diperlukan untuk meluncurkan program mereka ke wilayah ini.
Masyarakat desa memiliki kemampuan yang potensial dalam hal
pertanian dan peternakan. Hal ini seharusnya didukung dengan pro-
gram pemberdayaan masyarakat di wilayah ini. Mereka siap untuk
memanfaatkan sumberdaya alam (lahan) yang ada namun mereka
sangat memerlukan stimulan berupa peralatan pengolah lahan dan
penyediaan bibit padi, palawija serta karet. Selain itu, perlu dilakukan
sosialisasi pengolahan tanah yang berkesinambungan di tingkat daerah,
mengingat lahan yang digarap di wilayah ini berbeda dengan lahan di
Jawa.
4. Demikian pula halnya dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan
Dinas Kesehatan, perlu meningkatkan kesejahteraan melalui program
perlindungan dan asuransi sosial bagi keluarga miskin. Dinas Kesehatan
diperlukan berkaitan dengan penyediaan air bersih. Dinas Sosial melalui
Direktorat Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga,
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Anak,
Direktorat Lanjut Usia, dan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang
Cacat, dapat berperan melakukan rehabilitasi dan pemberdayaan
masyarakat secara bersama-sama dan berkesinambungan. Hal ini
sangat diperlukan mengingat hasil diagnosis permasalahan sosial di
wilayah ini menunjukkan permasalahan sosial yang menonjol adalah
masalah Kemiskinan (keluarga fakir miskin), Keluarga Rentan, Rumah
tidak Layak Huni, Anak Terlantar, Penyandang Cacat (termasuk Anak
Cacat), dan Lanjut Usia Terlantar.
5. Dinas Koperasi dan UKM diperlukan sebagai lembaga yang dapat
memfasilitasi kredit usaha kecil bagi para petani khususnya terkait
dengan keterbatasan modal usaha mereka dalam mengolah lahan
pertanian atau mengembangkan usaha peternakan mereka.
6. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa
diperlukan secara bersama-sama dan berkesinambungan, sehingga
pemberdayaan dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat desa,
tidak sebagian-sebagian dan sesaat saja. Misalnya program
40 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
pemberdayaan keluarga miskin tidak disarankan untuk memberikan
bantuan tunai berupa uang namun diberikan dalam bentuk barang
seperti traktor, dimana alat tersebut dapat dikelola secara bersama-
sama oleh seluruh warga masyarakat. Bantuan ini tidak berhenti sesaat,
tetapi harus lebih bersifat kesinambungan. Program bantuan atau
pemberdayaan bagi keluarga miskin sebaiknya diberikan untuk seluruh
keluarga yang bersangkutan, baik bagi anak-anak mereka untuk
mendapatkan bantuan beasiswa sekolah (BOS) serta asuransi kesehatan
bagi keluarga yang bersangkutan maupun jaminan sosial bagi keluarga
tersebut.
7. Sosialisasi pendidikan kedaerahan bagi anak-anak di tingkat desa,
dianggap sangat penting, karena anak-anak perlu banyak diberi
pengetahuan tentang daerahnya untuk membangun desa mereka.
Bukan pengetahuan perkotaan atau pengetahuan tingkat nasional yang
diberikan. Bila yang terjadi hal demikian, maka orientasi masa depan
anak-anak akan cenderung memilih pergi ke kota. Merantau menjadi
pilihan pemuda karena mereka tidak lagi mempunyai pengetahuan
kedaerahan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2006. Pulang Pisau dalam Angka tahun 2005. Kerjasama BPS dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pulang Pisau.
Dove, M.R. (ed), 1985
Peranan Kebudayaan Tradisional di Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, 2005
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD).
Riwut, Tjilik, 2003
Maneser Panatau Tatu Hiang, Pusaka Lima, Palangkaraya.
41Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau
PETA MASALAH SOSIAL DI BONE:
POTENSI, PROBLEM DAN STRATEGI
PENANGANANNYA1
Drs. Bambang Pudjianto, M.Si 2
ABSTRAK
Pemerintah daerah pada umumnya lebih mengutamakan pembangunan fisik
dan ekonomi di wilayahnya daripada pembangunan kesejahteraan sosial. Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah yang
baru dimekarkan adalah masalah infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Namun
kedua hal tersebut sangat terkait dengan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh
masyarakat setempat. Di sisi lain, pada praktiknya jaringan sosial tidaklah begitu saja
menciptakan modal fisik dan modal finansial. Dalam konteks penelitian ini banyak
warga masyarakat yang memiliki pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun sulit
untuk mengakses peluang dan sumber daya melalui jaringan-jaringan yang ada (main-
stream). Akibatnya, pertalian-pertalian sosial yang ada di tingkat lokal tidak secara
langsung mampu memberikan manfaat ekonomis (tingkat kesejahteraan yang lebih
baik), utamanya bagi warga masyarakat menengah-bawah. Jenis penelitian yang dipilihadalah deskriptif, dan alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam,
pedoman FGD, dan peta wilayah Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa di wilayah
lokasi penelitian telah memiliki potensi sumber kessos berupa; pranata pendidikan,
pranata sosial, pranata kesehatan, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta
pranata jaringan kerja. Namun dengan berbagai potansi ekonomi, sosial, dan kultural
yang dimilikinya; penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa jenis
permasalahan sosial yang bermuara pada masalah kemiskinan. Karena itu, penting
untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, yaitu agar digunakan strategi
yang berprinsip pada partisipasi masyarakat dengan bersinergi pada peningkatan
fungsi dan peran sumber-sumber lokal.
Kata kunci:
Pranata Sosial, Potensi dan Sumber Daya, Masalah Sosial
1 Diangkat dari penelitian “Diagnosa Permasalahan Sosial di Kabupaten Bone Provinsi SulawesiSelatan dengan anggota Tim : Konsultan Drs. M. Rondang Siahaan; DR Bambang Rudito.Ketua Tim : Drs.Sutaat. Anggota: Dra. Endang Kironosasi, M.Si; Drs. Bambang Pudjianto, M.Si;Dra. Indah Huruswati; Drs. Suyanto. Sekretariat: Dini Khairunnisa, S.Kom
2 Bambang Pudjianto, Kasub Bid. Analisis Kebutuhan Bidang Program Puslitbang Kesos danPeneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, DepartemenSosial RI
43Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Potret Kesejahteraan di Tengah Kelimpahan
Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar
di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang didirikan oleh Manurung
Rimatajang pada tahun 1330, pernah mencapai puncak kejayaannya pada
masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario
Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri
Bontoala, pertengahan abad ke-17 (Abddurazak dkk, 1989:9). Pada masa
itu, masyarakat Bone yang didominasi oleh suku Bugis tersohor bukan
hanya sebagai pelaut dan pedagang yang tangguh, melainkan juga petani
yang ulet, handal dan produktif.3
Cermin kemasyhuran warga Bone dan suku Bugis khususnya dibidang
pertanian masih terlihat sampai sekarang. Data sensus penduduk tahun 2003
menunjukkan bahwa 72,2 persen penduduk Bone berusia 15 tahun ke atas
bekerja dan hidup dari sektor pertanian. Dari jumlah itu, sebesar 97,4 persen
adalah warga suku Bugis. Etos kerja yang tinggi dan sistem pertanian yang
baik membuat Bone di kenal sebagai lumbung padi. Bahkan bukan hanya
di Sulawesi Selatan, melainkan juga di kawasan timur Indonesia.4
Produksi tanaman bahan makanan, terutama padi, selalu surplus.
Hampir setiap kecamatan menjadi penghasil padi. Sentra penghasil padi
berada di Kecamatan Kahu, Barebbo, Sibulue, Bengo, Salomekko, Tonra,
Awangpone, Ajangale, Dua Boccoe, dan Cina. Tahun 2002 Bone
menghasilkan 517.535 ton padi. Sedangkan tahun 2003, menurut estimasi
Dinas Pertanian Kabupaten Bone, meningkat mendekati 560.000 ton. Tanah
yang digarap para petani tidak hanya menghasilkan padi. Produksi jagung,
ubi kayu, kacang hijau, kacang tanah dan kedelai juga berlimpah. Bahkan
tahun 2002 produksi kacang tanah (13.906 ton) dan kedelai (8.760 ton)
merupakan produksi tertinggi di Sulsel. Produksi 84.159 hektar perkebunan
rakyat ikut memperkuat peran sektor pertanian.5 Hasil yang menonjol dari
perkebunan adalah tebu, kakao, kelapa, jambu mete, kemiri, dan cengkeh.
3 lihat profil Bone yang dirilis dalam situs resmi Kabupaten Bone; WWW.Bone.go.id
4 Lihat “Kabupaten Bone dalam Angka tahun 2003” diterbitkan BPS Kabupaten Bone Tahun 2004.5 Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalam
Angka tahun 2003/2004.
44 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Tebu merupakan bahan baku gula Pabrik Gula Bone dan Pabrik Gula
Camming di Kabupaten Bone.6
Pertanian telah menjadi tiang utama kegiatan ekonomi Bone. Tahun
2002 nilainya mencapai Rp 2,2 trilyun. Yang merupakan 65 persen total
kegiatan daerah. Angka itu lebih kecil dibanding tahun 1999 dan 2000 yang
mencapai 67,7 dan 66,3 persen. Tanaman bahan makanan menjadi
penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Dominannya sektor pertanian
di Bone juga tercermin dari luas wilayah Kabupaten Bone yang sebagian
besar merupakan lahan persawahan dan tegalan. Data BPS tahun 2002
menyebutkan, dari 4.559 km persegi luas Kabupaten Bone, 88.449 ha
merupakan lahan persawahan, 120.524 ha lahan tegalan/ladang, dan 43.052
ha lahan perkebunan. ‘Hanya’ 11.148 ha lahan untuk tambak/empang dan
145.073 ha merupakan hutan.7
Meskipun Bone menjadi daerah sentra penghasil bahan makanan, dalam
mata rantai perdagangan hasil pertanian, para petani yang notabene menjadi
aktor utama produksi dan merupakan mayoritas penduduk Bone justru
tidak bisa menikmati keuntungan yang memadai. Segelintir spekulan dan
tengkulak yang menguasai jalur perdagangan yang justru selama ini meraup
untung besar. Tidak sulit untuk mendapatkan petani Bone yang terlilit hutang
para tengkulak. Akibatnya taraf hidup masyarakat Bone terbilang rendah
jika dibandingkan dengan potensi dan kemampuan berproduksi yang
mereka miliki.
Rendahnya taraf hidup masyarakat Bone terlihat dari hasil survey yang
dilakukan oleh BPS-UNDP pada tahun 2004. Survey ini menyimpulkan
bahwa Human Development Index (HDI) warga Bone tergolong rendah. Yakni
ditunjukkan dengan angka partisipasi bidang pendidikan yaitu hanya 60,7%
(yang seharusnya di atas 80-90%). Partispasi jender dalam ekonomi juga
masih sangat terbatas, dimana wanita bekerja yang berpendapatan hanya
28,1%. Sementara itu life expectation juga rendah, dibawah 65 tahun, dengan
balita penderita gizi buruk yang cukup tinggi, mencapai 27%.8
6 Laporan Litbang Kompas, 22/10/2002,atau lihat juga Laporan BPS-Bappenas-UNDP tentang“The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia” tahun 2004
7 Ibid.8 Ibid
45Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Data-data tersebut di atas jelas sangat memprihatinkan (terlebih pada
kasus bayi penderita gizi buruk), mengingat posisi Bone sebagai sentra
penghasil padi di Sulsel. Lebih memprihatinkan lagi karena Bone sejak tahun
2000-an, selain unggul di sektor pertanian, kontribusi sektor perikanan juga
tak kalah produktifnya. Pada tahun 1997 misalnya, sektor perikanan telah
menyumbang 9,2 persen pendapatan daerah, dan pada tahun 2001
meningkat menjadi 16,7 persen. Hal ini ditunjang oleh letak geografisnya,
yaitu dari 27 kecamatan di kabupaten Bone, 10 di antaranya memiliki garis
pantai sepanjang 127 kilometer. Ini jelas potensi ekonomi yang sangat
menjanjikan. Namun sebaliknya, jika tidak dimanage secara benar, kasus
pada sektor pertanian tidak mustahil berulang pada sektor perikanan dan
sektor perekonomian lainnya, yaitu sebuah potret buram (kemiskinan) di tengah
kelimpahan. Karena itu, jangan terkaget jika tanpa upaya dan strategi yang
tepat dalam mengatasinya, maka meletusnya berbagai permasalahan sosial
hanya tinggal menunggu waktu saja.
Penelitian ini ditujukan untuk melihat gejala yang muncul akibat fakta
sosial yang dijelaskan di atas. Artinya, bagaimanakah gambaran tentang
potensi dan sumberdaya sosial, ekonomi dan alam di Kabupaten Bone
memberi solusi atas permasalahan penyandang masalah sosial yang timbul
akibat timpangnya strategi pembangunan dengan penguatan sumber daya
lokal selama ini.
46 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Kerangka Fikir
Kelemahan mendasar dari pembenahan struktur perekonomian kita
di tengah masa krisis (baik regional dan nasional) dinilai oleh banyak kalangan
adalah karena diabaikannya variabel kondisi sosial-ekonomi sebagai bagian
dari penyebab krisis. Diantaranya untuk konteks penelitian ini terlihat pada
masalah ketimpangan pembangunan SDM khususnya masyarakat lapisan
paling bawah.9 Artinya, bertambahnya keluarga miskin yang diikuti kemudian
dengan meningkatnya kuantitas dan kompleksitas permasalahan sosial besar
kemungkinan adalah akibat dari ketidakselarasan antara strategi
pembangunan kesejahteraan dengan strategi pembangunan ekonomi dalam
9 Ketimpangan pembangunan masa Orde Baru terjadi dalam bentuk-bentuk: (1) ketimpanganantar golongan ekonomi masyarakat; (2) ketimpangan antara kelompok pengusaha besar-kecil;(3) ketimpangan antar wilayah; (4) ketimpangan antar subwilayah di daerah yang pertumbuhanekonominya tinggi; (5) ketimpangan laju ekonomi antar sektor; (6) ketimpangan antara ekonomiperkotaan dan pedesaan; dan (7) ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia di lapisanmasyarakat bawah. Lihat Adrinof A. Chaniago, 2001:309.
47Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Gambar 1 : Peta Kota Watampone, Kabupaten Bone
praktik. Dengan bahasa lain, bahwasanya masalah kemiskinan dan rawan
sosial-ekonomi adalah karena lemahnya ketahanan ekonomi dan ketahanan
sosial masyarakat (modal sosial) golongan menengah-bawah dalam
menghadapi guncangan besar arus krisis (Adrinof A.Chaniago, 2001:316).
Untuk ukuran tertentu, program-program intervensionis10 dari
pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah diakui menunjukkan kemajuan
dalam beberapa indikator keberhasilan di bidang kesejahteraan, misalnya
dengan penjelasan angka pendapatan perkapita penduduk yang terus
mengalami kenaikan, menurunnya jumlah angka orang buta huruf, angka
kematian bayi semakin dapat ditekan, dan usia tingkat harapan hidup semakin
panjang. Akan tetapi tingkat kesejahteraan tersebut di sisi lain tidak serta
merta dapat menjamin kemampuan dan kualitas hidup mereka secara lebih
baik. Pasalnya ketika arus krisis mendera pelbagai wilayah di Indonesia
(1998- sekarang), hampir semua golongan lapisan bawah dipastikan tidak
mampu “bertahan” di masa krisis tersebut, tidak terkecuali masyarakat di
wilayah kajian ini. Akibatnya pengangguran semakin bertambah cepat,
jumlah keluarga fakir miskin meningkat, menurunnya kadar asupan gizi
dan tingkat kesehatan (cacat), rebaknya anak jalanan dan terlantar, ancaman
eksploitasi seksual komersiil, perdagangan obat-obatan terlarang, dan
seterusnya
Terpaan krisis ekonomi dan dilanjutkan dengan perubahan orientasi
sosial-politik pembangunan nasional melalui bergulirnya masa transisi yang
disebut “era reformasi” tak pelak juga telah memunculkan kembali apresiasi
masyarakat lokal yang (tak lain adalah kelompok masyarakat lapisan
menengah-bawah) terbagi-bagi dalam wilayah kesukubangsaan berusaha
menciptakan akses terhadap sumber daya yang ada di wilayah kesuku-
bangsaannya. Bahkan komuniti-komuniti yang pada awalnya telah atau
hampir “terkubur” di era Orde Baru, mereka berusaha sekuat tenaga
membangun kembali sisa-sisa warisan kejayaan masa lalu dari suku-
bangsanya demi untuk turut bagian dalam sistem pencaharian ekonomi di
era ini (Rudito, 2005:23).
10 Fungsi intervensi sosial, yaitu: (1) prevensi ditujukan untuk mencegah timbul dan meluasnyapermaslahan kesejahteraan sosial dalam kehidupan masyarakat; (2) rehabilitasi, ditujukan untukmemfungsikan kembali dan memantapkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat;(3) pengembangan, ditujukan untuk pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosialmasyarakat melalui pengembangan potensi dirinya. Lihat Bambang Rudito dkk, 2005: 36.
48 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Karena itu kini hendaknya pendekatan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan perlu memperhatikan secara serius variabel pelapisan
masyarakat baik secara sosial-ekonomi dan antar wilayah, memperkecil
ketimpangan ekonomi antar sektor, serta terus mengupayakan perbaikan
kualitas SDM lapisan menengah-bawah. Jika tidak, kita akan mengulang
kembali kesalahan model pembangunan masa lalu yang pada akhirnya akan
melahirkan tipe-tipe ketimpangan ekonomi, sosial dan politik “versi
terbaru”. Salah satu kekhwatiran yang mengancam adalah kegagalan
mengangkat kualitas hidup penduduk yang mayoritas bekerja di sektor
tradisional (seperti pertanian dan peternakan). Yakni menjadikan sumber
ekonomi sektor tradisional sebagai kekuatan potensial yang dapat
meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial mereka secara proporsional.
Berhadapan dengan kondisi faktual tersebut, maka sepatutya dicarikan
alternatif langkah-langkah dan strategi penanganan yang tidak sepenuhnya
menggantungkan pada anggaran pemerintah. Misalnya dengan melakukan
participatory budgeting forum sebagaimana diamanatkan dalam SE Mendagri
No. 050/987 Tahun 2003 yang menawarkan proses perencanaan
pembangunan secara partisipatif (Rakorbang Partisipatif). Praktiknya, surat
edaran menteri ini masih semata bersifat “himbauan” yang jarang (sulit)
implementasinya dilakukan di lapangan secara tuntas. Padahal dengan
penganggaran keuangan daerah secara partisipatif memungkinkan
penanganan pelbagai masalah sosial dan pembangunan daerah dapat lebih
terarah, obyektif dan lebih berdaya-guna maksimal bagi kebutuhan riil warga
masyarakatnya. Namun, lagi-lagi pedekatan seperti ini terbentur oleh masalah
internal pemerintah desa, kecamatan atau kabupaten yang umumnya para
staf pemerintah tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengelola aset
desa/kecamatan dan dana pendapatan desa/kecamatan dengan baik. Oleh
karenanya, kecenderungan untuk menolak transparansi dan partisipasi sangat
besar, sekalipun desa tidak memilik aset yang cukup untuk melakukan
pembangunan.
Dalam lintasan sejarahnya, suku-bangsa di Bone terkenal gigih dalam
menjaga wilayah teritorialnya, atau dalam bahasa lain sumber daya
perekonomian di wilayahnya. Karena itu penting memper-timbangkan
konteks representasi identitas, golongan, sistem kehidupan lokal, serta
pemerataan pembangunan di setiap kewilayahan.
49Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Potensi dan Masalah Tanete Riattang : Sebuah Analisa Sosial
Di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Bone, kecamatan
Tanete Riattang memiliki keistimewaan tersendiri. Secara geografis, posisi
kecamatan yang tepat berada di tengah Kabupaten Bone memberikan
keuntungan berupa infrastruktur pemerintahan dan layanan publik yang
relatif lebih baik jika dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Posisi
geografis Tanete Riattang yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan
juga membuat kecamatan ini menjadi tujuan bagi warga Bone di wilayah
pinggiran untuk mengadu peruntungan. Akibatnya, secara demografis,
Tanete Riattang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
Secara historis-kultural, Tanete Riattang juga menempati posisi istimewa
di Bone, karena pusat Kerajaan Bone pada masa silam terletak di kecamatan
ini. Tidak mengherankan jika di kecamatan ini pula terdapat cagar budaya
berupa makan raja-raja bone, berbagai peninggalan dan artefak budaya
Kerajaan Bone dan sebuah museum penting yang menyimpan warisan
budaya kebesaran Kerajaan Bone dahulu kala. Tak berlebihan kiranya, jika
kecamatan ini disebut sebagai ‘pewaris sah’ kebudayaan Kerajaan Bone
pada abad pertengahan.
Posisi geografis yang strategis dan warisan kultural yang kaya membuat
Tanete Riattang menyimpan potensi ekonomi yang cukup besar untuk
didayagunakan menjadi keunggulan wilayah. Kelurahan Manurungge dan
Watampone yang dapat dibilang sebagai ‘epicentrum’ Kabupaten Bone
merupakan bagian sentral dari perekonomian Tanete Riattang khususnya,
dan Bone umumnya. Kekayaan warisan kultural seperti rumah adat Bugis
(Bola Somba) di Kelurahan Watampone, Museum Saoraja Lapawawoi
Kr. Sigeri dan makam raja-raja Bone di kelurahan Bukaka juga dapat menjadi
objek pariwisata potensial.11
Hanya di Tanete Riattang, diversifikasi mata pencaharian penduduk
terjadi dalam porsi yang relatif berimbang. Dari sejumlah kelurahan di
kecamatan ini, tiga diantaranya yakni Kelurahan Pappolo, Ta’, dan Walennae
sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Kelurahan-kelurahan
tersebut merupakan kelurahan di wilayah pinggiran kecamatan dengan tingkat
kepadatan penduduk relatif rendah. Dengan lahan yang subur, pertanian
11 Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/pariwisata.php
50 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
di tiga wilayah kelurahan ini berkembang dengan baik. Sementara itu, di
tiga kelurahan yakni Watampone, Bukaka dan Manurungge, sektor pertanian
bukanlah mata pencaharian utama penduduknya. Kelurahan Bukaka dan
Manurungge bergerak pada perekonomian sektor industri, berbeda halnya
dengan Watampone yang lebih mengandalkan sektor jasa (administrasi)
dan pariwisata. Selain sektor pertanian, jasa dan industri, saat ini Kecamatan
Tanete Riattang juga tengah mengembangkan sektor peternakan sebagai
bagian dari keunggulan wilayah. Beberapa jenis hewan ternak yang menjadi
favorit untuk dikembangkan di wilayah ini adalah antara lain ayam buras,
sapi dan kambing.12
Dengan berbagai potensi ekonomi tersebut, Kecamatan Tanete
Riattang juga menyimpan potensi-potensi sosial strategis lainnya. Sebagai
wilayah yang tergolong ‘perkotaan’, Kecamatan Tanete Riattang memiliki
berbagai pranata yang dapat digunakan sebagai modal bagi peningkatan
dan pengembangan kesejahteraan masyarakat. Beberapa pranata yang telah
tersedia di Tanete Riattang antara lain; pranata pendidikan13, pranata sosial14,
pranata kesehatan15, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta
pranata hubungan dan jaringan kerja yang baik dan mapan.
Namun dengan berbagai potensi ekonomi, sosial dan cultural yang
dimilikinya, Kecamatan Tanete Riattang yang tergolong wilayah ‘perkotaan’
juga tak lepas dari berbagai permasalahan sosial. Walaupun tidak sangat
kompleks, namun berbagai persoalan yang ada tetap membutuhkan
perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah. Karena penanganan
yang setengah-setengah hanya akan membuat permasalahan sosial yang
muncul semakin banyak dan bukan tidak mungkin menjadi semakin
kompleks.
12 Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalamAngka tahun 2004/2005.
13 Terdapat 74 lembaga pendidikan di Tanete Riattang dengan perincian; TPA/TK 25 buah, SD/MI 34 buah, SMP/MTs 7 buah dan Perguruan Tinggi 4 buah, BPS Kabupaten Bone, 2005.
14 Terdapat 6 jenis pranata sosial, yakni; arisan keluarga (17 buah), PKK (28 buah), dasawisma (39buah), siskamling (28 buah), karang taruna (6 buah), LPM/BPD (8 buah) dan jimpitan (11buah), lihat BPS Kabupaten Bone, 2005.
15 Terdapat 2 puskesmas dan 24 posyandu, 20 dokter, 78 perawat, 16 bidan dan 8 dukun/pengobat tradisional. Tidak terdapat rumah saki di Tanete Riattang, namun jarak dengan RSkabupaten sangat dekat, BPS Kabupaten Bone, 2005.
51Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 12 jenis permasalahan sosial
yang terjadi di Tanete Riattang, sejak dari masalah anak terlantar, anak
nakal, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, penyandang cacat, lanjut
usia terlantar, cacat bekas penyakit kronis, napza, eks napi, keluarga fakir
miskin, rumah tidak layak huni, sampai keluarga bermasalah psikologi. Dari
sejumlah jenis permasalahan tersebut, masalah sosial yang berlatar belakang
ekonomi menunjukkan gejala paling dominan. Dari 1520 kasus, terindikasi
80,1% diantaranya merupakan masalah sosial berlatar belakang ekonomi,
yaitu dengan perincian 49,2% (748 kasus) masalah keluarga fakir miskin,
33,6% (512 kasus) masalah wanita rawan sosial ekonomi, dan 7,3% (111
kasus) masalah rumah tidak layak huni. Selebihnya, sebesar 19,9% terbagi
relatif rata dalam 9 masalah sosial lainnya.
Berbagai jenis masalah sosial tersebut di atas merupakan bentuk
ancaman secara ekonomi, sosial dan politik bagi proses pembangunan
kesejahteraan sosial di Tanete Riattang. Celakanya, ancaman ini secara faktual
menjadi lebih besar akibat terbatasnya anggaran belanja daerah bagi upaya
penanganan dan penyelesaian pelbagai jenis PMKS tersebut secara
menyeluruh dan berkesinambungan. Terlebih dana stimulan bantuan sosial
yang diharapkan menjadi bagian dari jawaban persoalan, selama ini masih
sangat tergantung pada alokasi dana dari pusat dan provinsi, membuat
pemerintah daerah tidak dapat secara leluasa dan cepat menyelesaikan
masalah sosial tersebut.
52 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipilih adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan
untuk memperoleh gambaran/peta mengenai jenis, kriteria dan lokasi
penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial
secara kualitatif di Kabupaten Bone. Deskriptif yang dimaksud adalah
mencari dan menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat
dengan menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan
budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Yakni simbol-simbol
penyampaian dan penetapan suatu gejala sosial sebagai kenyataan yang ada
di sekeliling masyarakat dan yang dialami oleh anggota masyarakat. 16
16 Lebih lanjut tentang penelitian kualitatif lihat Matthew B Miles & A. Michael Huberman,“Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru” Jakarta : UI Press, 1992.
53Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Gambar 2. Peta Kecamatan Tanete Riattang,
Kabupaten Bone
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bone Kecamatan Tanete
Riantang, Sulawesi Selatan. Kriteria populasi dalam penelitian ini didasarkan
pada penduduk yang menetap di daerah ini, baik dilihat dari jenis kelamin,
jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk penyandang masalah sosial,
lokasi, dan potensi serta sumber kesejahteraan sosial di Kabupaten Bone.
Sumber data terbagi dalam bentuk sumber data primer, yaitu kategori
perorangan atau individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten
yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Sementara sumber data
sekunder mencakup literatur, baik cetak maupun elektronik yang mendukung
tujuan penelitian.
Alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam (indepth
interview), pedoman FGD dan peta wilayah. Data yang berhasil dikumpulkan
diolah secara kualitatif, lalu ditampilkan dalam bentuk tabel. Selanjutnya
dibentuk matrik pemetaan sosial yang menggambarkan permasalahan sosial
dan potensi kesejahteraan. Pendekatan kualitatif yang dimaksudkan disini
adalah untuk melakukan pemetaan sosial, pemetaan terhadap pranata-
pranata sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan
menjadikannya suatu aktivitas rutin serta berkesinambungan dilaksanakan
oleh masyarakat lokal.
Penelitian ini pada dasarnya mempunyai tujuan memetakan masalah
sosial yang ada dan muncul di masyarakat dan ditanggapi oleh masyarakat
itu sendiri sebagai suatu masalah. Untuk mendeteksi masalah sosial diperlukan
suatu pendekatan dan metodologi guna memahami dan memetakan
masalah sosial yang terjadi, yaitu dengan melakukan pendekatan yang sifatnya
kualitatif, karena masalah sosial adalah masalah perasaan, penilaian berdasar
pada norma dan aturan yang menjadi acuan bagi komuniti yang
mengalaminya.
Alternatif Strategi Penanganan Masalah Sosialdi Tanete Riattang
Masalah pokok dari berbagai jenis permasalahan sosial di Tanete
Riattang sebagaimana nampak dalam data di atas adalah persoalan
kemiskinan. Seperti pernah diungkap banyak kajian bahwa menyelesaikan
persoalan kemiskinan tergolong sebagai agenda yang berat dan rumit,
meskipun bukan berarti tak teratasi. Oleh karenanya, penerapan strategi
54 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
yang jitu yang didasarkan atas bacaan yang tepat dan akurat atas data dan
realita mutlak diperlukan untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.
Kisah sukses beberapa negara atau komunitas dalam mengentaskan
kemiskinan patut untuk ditelaah sebagai pelajaran dan sumber inspirasi.
Banyak analisa yang menyatakan bahwa kemiskinan dipengaruhi banyak
faktor, sejak dari persoalan ketertutupan akses modal, struktur sosial dan
birokrasi yang menindas, pendidikan sampai budaya. Dan karenanya,
penanganan terhadap masalah ini juga membutuhkan berbagai pendekatan.
Namun demikian, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dalam kasus
Tanete Riattang, pelajaran dari Porto Alegre di Brazil dan Grameen Bank
di Banglades dalam mengentaskan kemiskinan patut untuk dijadikan
inspirasi.
Strategi penanganan kemiskinan di Porto Alegre didasarkan atas dua
strategi, transparansi dan partisipasi dalam penyusunan dan pengalokasian
anggaran daerah. Di Porto Alegre, melalui mekanisme local budgeting forum,
setiap warga kota mempunyai hak untuk tahu berapa dan untuk apa
anggaran daerah dialokasikan. Bukan hanya itu, warga juga mempunyai
hak untuk turut menentukan alokasi anggaran daerah tersebut. Hasilnya,
angka kemiskinan di Porto Alegre menurun drastis karena agenda-agenda
utama yang menjadi kepentingan publik seperti pengentasan kemiskinan
mendapatkan prioritas utama untuk didanai. Selain itu, korupsi juga menjadi
tereliminasi yang membuat tingkat kebocoran anggaran untuk rakyat menjadi
kecil.17
Strategi yang diterapkan Grameen Bank (GB) lain lagi. Muhamad
Yunus, sebagai pendiri GB dan juga peraih nobel perdamaian 2006,
berkeyakinan kemiskinan akut yang terjadi di Banglades khususnya daerah-
daerah pedesaan akan dapat diatasi jika dapat dilakukan dua hal; pertama,
akses terhadap modal bagi rakyat miskin dipermudah. Kedua, kaum
perempuan diberdayakan sebagai penggerak roda perekonomian mikro.
Melalui GB, Yunus melakukan dua hal tersebut; memberikan pinjaman
modal bagi kaum papa secara mudah dan tanpa agunan, dan sasaran
pemberian pinjaman itu difokuskan kepada kaum perempuan. Hasilnya,
lebih dari 8000 keluarga yang menjadi nasabah GB terangkat taraf
17 Lihat, Boaventura de Sousa Santos, “Participatory Budgeting in Porto Alegre : Toward a Redistributive
Democracy” Sage Publication, 1998
55Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
perekonomiannya yang berdampak pada naiknya taraf pendidikan dan
kesehatannya.18
Dua kasus tersebut, mengajarkan kita setidaknya terdapat empat
strategi yang dapat digunakan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di
Tanete Riattang, yakni melalui transparansi anggaran daerah, partisipasi
(melibatkan masyarakat) dalam penyusunan alokasi anggaran, permudah
akses modal bagi rakyat miskin, dan berdayakan perempuan sebagai
leading sector penggerak ekonomi rumah tangga. Pertanyaannya, mungkinkah
hal itu dilakukan? Menurut bacaan saya sangat mungkin!
Pertama, dengan disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002
memberikan peluang bagi setiap kabupaten/kota melakukan inovasi dan
inisiasi dalam pembangunan wilayahnya masing-masing. Berdasarkan UU
ini, daerah (kabupaten/kota) mempunyai kewenangan dan otonomi penuh
untuk mengembangkan kreatifitas membangun daerahnya, diluar lima hal;
pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, fiskal dan agama.
Kedua, Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 050/987 Tahun
2003 yang menawarkan proses perencanaan pembangunan secara
partisipatif (rakorbang partisipatif) membuka peluang bagi terjadinya par-
ticipatory budgeting. Dengan SE ini, ide untuk membuat semacam participa-
tory atau local budgeting forum di tingkat kabupaten ataupun kecamatan
mempunyai pijakan hukumnya.
Ketiga, iklim demokratisasi telah membuka kesadaran masyarakat kitaakan pentingnya transparansi, efektivitas, efisiensi dan tata kelolapemerintahan yang baik. Demokratisasi juga membuat organisasi-organisasisosial masyarakat sebagai bagian dari civil society tumbuh subur, termasuk diKabupaten Bone, khususnya di Tanete Riattang. Instrumen ini penting bagipelaksanaan strategi-strategi tersebut di atas.
Keempat, faktanya dari data penyandang masalah sosial tersebutterdahulu, perempuan merupakan kelompok masyarakat yang cukupdominan menyandang masalah sosial. Padahal jika diberdayakan, akanmenjadi roda penggerak ekonomi keluarga yang sangat efektif.
Dengan berbagai argumentasi tersebut, penerapan strategi pengentasankemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dapat dilakukan. Olehsebab itu, masalahnya bukan lagi seberapa mungkin strategi itu dapat
18 Lihat situs resmi Grameen Bank : www.grameen-info.org
56 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
diterapkan, melainkan seberapa kuat kemauan kepala daerah dan pihak-pihak terkait melakukannya. Sebagai cacatan, strategi program/kegiatandari pemerintah nantinya selayaknya bersinergi positif dengan pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat. Jika nilai, identitas, kultur, pola hidupdan pranata sosial yang ada di masyarakat diabaikan, dikhawatirkan akanmenimbulkan segregasi sosial, ekonomi dan etnik, atau sekurangnya tidakmendapatkan apresiasi masyarakat lokal.
Bercermin dari lingkup masalah sosial dan berbagai strategipenangannya, perlu ditegaskan bahwa target sasaran yang perlu diperhatikanuntuk program penanganan masalah sosial di Tanete Riattang adalah rumahtangga miskin, kelompok perempuan rawan sosial-ekonomi, balita dananak cacat, serta anak nakal dan anak terlantar. Sementara potensi institusilokal yang bisa dioptimalkan adalah kelompok tani/kelompok usaha yangdiharapkan dapat bersinergi dengan KUBE, Kukesra dan Koperasi.Selanjutnya PKK, posyandu, puskesmas dan pengajian yang diharapkanmampu bersinergi dengan dokter dan tenaga medis yang ada serta paratokoh agama; serta karang taruna dan LPM yang menjembatani aksespengambilan keputusan terkait hajat hidup masyarakat di lingkungannya.
Beberapa program dapat digagas untuk menjalankan berbagai strategipenanganan masalah sosial diantaranya; Program Mitra Usaha Mandiri yangmeliputi program penguatan ekonomi produktif bagi keluarga miskin,perempuan dan petani; Program Kesehatan Terpadu yang meliputipenyuluhan balita sehat, pembinaan penyandang cacat, bina anak terlantardan tuna susila; Program Peningkatan Kualitas Layanan Panti dan Programpenyediaan database PMKS melalui sejumlah penelitian dan pengkajian.
KesimpulanTanete Riattang sebagai salah satu kecamatan utama di Kabupaten
Bone memiliki potensi ekonomi, sosial dan budaya yang cukup strategisuntuk dikembangkan. Potensi ekonomi yang perlu untuk terusdikembangkan di Tanete Riattang terutama berada pada sektor pertanian,industri dan jasa (administrasi), termasuk sektor peternakan. Untuk potensisosial Tanete Riattang terutama pada ketersediaan berbagai pranata yangcukup lengkap yang dapat digunakan sebagai instrumen penting dalammenangani berbagai permasalahan sosial. Selain itu, berbagai keunggulandemografis dan geografis juga menjadi modal sosial tersendiri yang dapatdimanfaatkan bagi pengembangan kecamatan ini ke depan. Disampingtentunya potensi budaya Tanete Riattang berupa berbagai peninggalan
57Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
budaya Kerajaan Bone yang dulu memang berlokasi di kawasan TaneteRiattang.
Selain memiliki berbagai potensi unggulan, Tanete Riattang tidak lepas
dari sejumlah permasalahan sosial yang patut untuk segera ditangani. Dari
sejumlah masalah tersebut (12 jenis PMKS), maka masalah kemiskinan
menjadi problem utama dan mendesak yang harus segera ditangani bersama
oleh pemerintah dan masyarakat. Ditilik dari diterminan kemiskinan,
disamping disebabkan oleh kebijakan internal yang tidak kondusif bagi
penguatan perekonomian lokal, tampaknya tergesernya fungsi dan rapuhnya
peran jaringan pranata sosial-ekonomi semakin memperburuk ketahanan
ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dengan demikian sebenarnya
penguatan ketahanan sosial ekonomi tidak cukup dengan menemukan apa
saja modal sosial yang ada, tetapi lebih luas lagi bagaimana menggalang
kekuatan untuk mengembangkan jaringan lokal (desa) guna lebih berdaya
dan tetap kokoh di tengah derasnya terpaan perubahan global.
Karena itu penting untuk menangani berbagai masalah tersebut
utamanya masalah kemiskinan, agar digunakan strategi yang berprinsip pada
transparansi, partisipasi, mempermudah akses modal bagi rakyat miskin
dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan
fungsi dan peran sumber-sumber kesejahteraan sosial lokal melalui;
1. Peningkatan kualitas SDM para penggiat pranata sosial dan ekonomi
melalui pelatihan para pengurus perkumpulan sosial-ekonomi,
organisasi sosial berbasis okupasi (mata pencaharian pokok di tingkat
lokal) yang umumnya cukup eksis di wilayah ini, serta organisasi sosial
berbasis jender yang meskipun kegiatannya mengalami pergeseran
(PKK dan Posyandu) tetapi perannya masih cukup efektif bagi
peningkatan kualitas hidup utamanya warga miskin.
2. Mempermudah akses modal bagi rakyat miskin dan perempuan
melalui bantuan stimulan yang digulirkan secara proporsional dan
merata. Serta menekan rebaknya spekulan dan para tengkulak (rentenir)
yang memainkan “nilai hasil produksi” para petani/usaha kecil lokal.
3. Membentuk kelompok jaringan atau forum bersama antar kelompok
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan seterusnya sebagai
wadah edukasi, tukar informasi, termasuk menjadi embrio bagi
terbentuknya semacam local budgeting forum.
58 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
4. Pengawasan secara berkesinambungan baik dari pemerintah daerah,
provinsi dan pusat, maupun kalangan masyarakat untuk menjamin
terlaksananya program sesuai dengan maksud dan tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adrinof A. Chaniago, 2001, “Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi
Politik terhadap Akar Krisis Indonesia”, Jakarta: LP3ES.
BPS (Statistic Indonesia)-Bappenas-UNDP, 2004, tentang The Economics of
Democracy: Financing Human Development in Indonesia.
Christiaan Grootaert, Deepa Narayan, Veronica Nyhan Jones, dan Michael
Woolcock, “Measuring Social Capital: An Integrated Question-
naire,” The International Bank for Reconstruction and Develop-
ment/The World Bank, November, 2003, dalam http://
www.mapl.com.au/A13.htm.
Deepa Narayan and Michael F. Cassidy, “A Dimensional Approach to
Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social
Capital Inventory,” Current Sociology, March 2001, Vol. 49(2). Lihat
http://www.mapl.com.au/A13.htm.
Ian Winter, “Towards a theorized understanding of family life and social
capital,” Australian Institute of Family Studies, Working Paper No.
21, April 2000, dalam http://www.mapl.com.au/A13.htm.
Kabupaten Bone Dalam Angka, 2005, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bone.
Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/
pariwisata.php
Rudito, Bambang dkk., 2005, “Peta Permasalahan Sosial di Kabupaten
Sebatik”, Litbang Depsos RI.
Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan
Model Sistem Keterjaminan Sosial, 2003, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
59Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Lampiran
Gambar 3. Kelurahan Pappolo, Kecamatan Tanete Riattang
Gambar 4. Kelurahan Walannae, Kecamatan Tanete Riattang
60 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Gambar 5. Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang
Gambar 6. Kelurahan Manurungnge, Kecamatan Tanete Riattang
61Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Gambar 7. Kelurahan Ta, Kecamatan Tanete Riattang
Gambar 8. Kelurahan Watampone, Kecamatan Tanete Riattang
62 Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
Gambar 9. Kelurahan Masumpu, Kecamatan Tanete Riattang
Gambar 10. Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang
63Puslitbang Kesos
Peta Masalah Sosial di Bone
DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL DI
KECAMATAN TOMOHON TENGAH
KOTAMADYA TOMOHON - MINAHASA1
Rusmiyati, SE 2
ABSTRAK
Kotamadya Tomohon sebagai salah satu kota yang baru memisahkan diri
dengan Kabupaten Minahasa memiliki berbagai permasalahan yang perlu
mendapatkan perhatian. Masalah dimaksud adalah belum tersedianya data (database)
yang akurat sebagai bahan untuk menyusun rencana program pembangunan wilayah.
Penelitian ini secara deskriptif mencoba menggambarkan kondisi dan permasalahan
kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Kotamadya Tomohon, khususnya diKecamatan Tomohon Tengah yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan, yaitu Kelurahan
Talete Satu, kelurahan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan Matani Dua,
Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan Kelurahan Kolongan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah kesejahteraan sosial
sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, yang antara
lain disebabkan oleh merosotnya pendapatan bidang pertanian. Sementara itu untuk
beralih ke luar sektor pertanian belum didukung oleh kondisi SDM yang memadai.
Oleh karena itu, masalah kemiskinan dan masalah lain yang terkait cukup dominan
di wilayah ini, misalnya fakir miskin, rumah tidak layak huni, lanjut usia terlantar, dan
keluarga rentan. Untuk itu penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain: (1)perlunya program pemberdayaan fakir miskin sesuai dengan kondisi setempat; (2)
penanganan masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman pengembangannya, perlu
penanganan yang lebih tuntas; dan (3) perlu membangun kepedulian masyarakat
terhadap lingkungannya, serta meningkatkan kapasitas Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan dalam pembangunan kesejahteraan
sosial di lingkungannya.
Kata kunci:
Masalah Sosial, Kemiskinan
1 Diangkat dari penelitian “Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon Tengah
Kotamadya Tomohon, Minahasa, dengan Tim: Drs. Ahendy Priatna, M.Si, Drs. Agus DairoBeke, MM, dan Rusmiyati, SE.
2 Rusmiyati, staff Subbid Perencanaan dan Anggaran, Bidang Program, Puslitbang Kessos
65Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Perubahan sistem pemerintahan dalam negeri dengan sistem otonomi
daerah membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap permasalahan
sosial secara lokal. Jika pemerintahan sebelumnya (Zaman Orde Baru)
bersifat sangat power oriented yang bernuansa pelestarian rezim kekuasaan,
tidak memberi ruang gerak pada masyarakat, dan semua harus menunggu
perintah penguasa, maka kini semuanya berubah dalam bentuk keterbukaan,
dan dengan demikian semua permasalahan yang selama ini terpendam secara
terselubung muncul keper mukaan.
Otonomi daerah merupakan jembatan menuju kemajuan suatu daerah,
tetapi dibalik itu merupakan sumber masalah baru, yaitu dengan munculnya
masalah lain berupa berbagai konflik kepentingan di setiap daerah otonom.
Persoalan-persoalan muncul secara estafet dan ragamnyapun semakin
banyak, sejalan pula dengan perkembangan suatu daerah (Otonom), bobot
permasalahan baik secara kuantitas maupun kualitas cenderung meningkat.
Tiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda sesuai kondisi
daerah masing-masing. Jika digeneralisir permasalahan setiap daerah akan
terlihat adanya permasalahan yang serupa, hanya motifnya yang berbeda-
beda. Sebagai contoh: kenakalan remaja, mabuk-mabukan, narkoba dan
sebagainya hampir terjadi di semua daerah.
Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, tantangan yang
dihadapi oleh pemerintah daerah Kota Tomohon menjadi semakin besar
dan bertambah. Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk melaksanakan
pembangunan dibidang kesehatan dan kesejahteraan sosial serta
menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat dalam ruang lingkup
bidang tersebut dengan sumber daya atau potensi yang terbatas, baik dari
sisi SDM, sarana dan prasarana maupun dari sisi anggaran.
Sebagai upaya untuk menggali sumber permasalahan dapat dilakukan
melalui suatu pengkajian berdasarkan kondisi daerah masing-masing. Upaya
memaparkan dan mendiagnosa permasalahan di setiap daerah bertujuan
untuk memperoleh suatu pemahaman tentang sumber dan motif
permasalahan yang dikaji berdasarkan struktur sosial, kondisi eknonomi
politik dan budaya masyarakat di masing-masing daerah. Ilustrasi diatas
memberi gambaran bagaimana permasalahan masyarakat di berbagai
daerah dengan perbedaan kondisi geografis, struktur masyarakat, budaya
66 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
dan nilai masyarakat setiap daerah mewarnai jenis dan jumlah permasalahan
yang terdapat dimasing-masing daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan pokok penelitian ini adalah
bahwa daerah belum memiliki data yang akurat tentang Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) serta Potensi dan Sumberdaya
Kesejahteraan Sosial (PSKS). Oleh karena itu, masih mengalami hambatan
dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang
responsif terhadap kondisi yang ada.
Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang sempurna
tentang permasalahan sosial, baik tentang potensi penyebab tumbuh
kembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat maupun
kuantitas dan kualitas permasalahan kesejahteraan sosial di wilayah penelitian.
Permasalahan sosial terjadi dimana-mana di seluruh wilayah
Indonesia dengan faktor dan tingkat frekuensi yang berbeda-beda.
Munculnya anekaragam permasalahan sosial tersebut bila didiagnosa lebih
mengacu pada kasus sebab akibat, artinya masalah itu timbul karena ulah
manusia, dan ketika manusia menangani masalahnya disitu timbul masalah
lagi sehingga semakin lama semakin membesar ibarat bola salju (snow ball)
dan berkarakter masalah yang akan menimbulkan masalah yang lain.
Permasalahan sosial bersumber dari faktor internal yakni suatu sistem
sosial yang menunjuk gejala ketimpangan struktural di masyarakat dalam
penanganan permasalahan, sedangkan faktor eksternal lebih mengacu pada
kebijakan pemerintah yang diwarnai dengan intervensi pemerintah melalui
program di berbagai sektor. Akibat dari intervensi pemerintah yang sangat
dominan, pada akhirnya menimbulkan permasalahan, misalnya: pertama,
tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat
tinggi, sehingga ketika masyarakat sedikit mengalami masalah, harapannya
adalah menunggu bantuan pemerintah. Kedua, kemandirian menjadi hilang
sehingga pola membantu mereka agar menolong dirinya sendiri jadi hilang.
Dampaknya menimbulkan masalah baru yang secara proses dimulai dengan
ketiadaan kepercayaan diri untuk bangkit berupaya keluar dari masalah,
berpasrah menerima keadaan apa adanya.
Individu-individu atau masyarakat yang mengalami masalah dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal sebagai Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ada 27 jenis PMKS yang telah diidentifikasi
67Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan,
anak cacat, anak korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak
nakal, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi korban tindak
kekerasan, lanjut usia terlantar, lanjut usia korban tindak kekerasan atau
diperlakukan salah, penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita
penyakit kronis, tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana,
korban penyalahgunaan napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah
tak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat
terpencil, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana
alam, korban bencana sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/
AIDS, dan keluarga rentan (Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002).
Suatu hal yang erat kaitannya dengan PMKS adalah sumber
kesejahteraan sosial. Pengertian sumber menurut Max Siporin (Sukoco,
1991), adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi dan dapat
digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian
masalah. Setiap masyarakat mempunyai berbagai potensi dan sumber antara
lain sumber daya alami, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial.
Untuk mempertahankan kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan
dan mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas
seperti aktivitas ekonomi, sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong
dan sebagainya. Di dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial,
potensi dan sumber kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal,
sedangkan masalah kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor
kelemahan atau tantangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap
masyarakat tidak hanya mempunyai kelemahan atau tantangan, tetapi juga
potensi dan sumber yang merupakan kekuatan diri untuk menghadapi
kelemahan atau tantangan. Namun demikian tidak semua golongan atau
masyarakat mampu memanfaatkan sumber dengan baik. Dalam hal yang
demikian diperlukan pihak luar untuk menyadarkan dan mendorong
masyarakat untuk memanfaatkan sumber yang ada secara maksimal.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan maksud mencari dan
menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat dengan
menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan budaya
yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Tehnik pengumpulan data
68 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
menggunakan: data sekunder, wawancara mendalam: dengan masyarakat
umum, penyandang masalah, tokoh masyarakat (formal atau informal)
dan juga aparat setempat, dan observasi terhadap kondisi fisik lokasi, tata
kehidupan masyarakat setempat (masyarakat lokasi penelitian), pola hidup
(kegiatan ekonomi) potensi geografis wilayah dan sumber daya manusianya
serta faktor-faktor lain yang berkaitan.
Gambaran Lokasi Penelitian
1. Kondisi Wilayah
Jumlah penduduk miskin berdasarkan data Bapeda Kota
Tomohon (Maret 2005) berjumlah: 6938 KK atau mencapai 16,02%.
Hal ini memberi indikasi bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan
penduduk miskin yang nantinya berdampak pada masalah sosial dan
kesehatan. Meningkatnya kasus-kasus penyakit pada akhir-akhir ini
seperti demam berdarah dengue (DBD) 14 kasus, malaria: 217 kasus,
TB paru klinis: 763 kasus, Hipertensi: 3860 kasus, diabetes militus:
362 kasus. Hal ini diakibatkan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan sehat belum optimal, serta gaya hidup cenderung berpesta-
pesta dengan ungkapan ”Kalau ada tada kalau tidak haga ” akhirya
berdampak pada kesehatan dan masalah sosial.
Meningkatnya pengangguran dan permasalahan sosial lainnya
dikarenakan minimnya pendidikan formal dan keterampilan anak-
anak putus sekolah, dimana data menunjukkan anak terlantar sebanyak
6900 orang, anak nakal: 1236 anak. Anggapan masyarakat bahwa
permasalahan sosial adalah tanggung jawab pemerintah. Penyandang
masalah kesejahteraan sosial pada umumnya mengalami masalah
kemiskinan dan kondisi ketidakberdayaan fakir miskin dapat dilihat
dari tidak adanya alternatif individu, keluarga dan komunitas dalam
menentukan pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraannya.
Kecamatan Tomohon Tengah terletak pada ketinggian 1000
meter dari permukaan laut dengan suhu udara 28 derajat celcius.
Kondisi lingkungan masyarakat kondusif, tentram dengan penduduk
mayoritas homogen. Jarak ke Ibu Kota Tomohon 2,5 km dengan
waktu tempuh 5 menit, dari ibukota provinsi sekitar 25 km, dan
69Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
dengan sarana transportansi umum yang relatif lancar dan memadai.
Kecamatan Tomohon terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu Kelurahan
Talete Satu, Kelurhan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan
Matani Dua, Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan
Kelurahan Kolongan. Jumlah penduduk seluruhnya sekitar 18.556 jiwa,
sebagian besar (90%) beragama Kristen Protestan, sebagian lainnya
Katholik, Islam, dan Budha.
2. Potensi dan Sumber Alam
Hasil yang saat ini diperoleh dari pengolahan tanah berupa hasil
pertanian tanaman padi dan palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi
jalar, kacang tanah dan kacang kedelai. Sedangkan produksi padi pada
tahun 2004 menghasilkan padi sekitar 6.995 ton. Produksi tanaman
sayuran tahun 2004 mencapai 9.839 ton, produktivitas tertinggi
didominasi oleh tanaman terong sebesar 162,74 kw/ha. Sedangkan
produksi tanaman perkebunan terdiri dari kelapa, cengkeh, vanili, kopi,
dan kakao. Produksi tanaman perkebunan terbanyak adalah kelapa
mencapai 729,125 ton. Untuk tahun 2004, sektor peternakan populasi
terbesar terdiri dari sapi, kuda, kambing dan babi.
Melihat potensi alam, terutama hasil pertanian dan perkebunan,
pasang surutnya tampak tergantung dari luas lahan yang semakin
menyempit dikarenakan banyak pembangunan permukinan penduduk,
mini market dan mall.
3. Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut penduduk Kecamatan Tomohon Tengah
mayoritas beragama Kristen Protestan. Dan sebagian lainnya beragama
Katholik, Islam, dan Budha. Dengan demikian di lokasi kajian sarana
ibadah yang paling menonjol adalah Gereja. Di Kecamatan Tomohon
Tengah hanya terdapat sarana ibadah umat Islam, yaitu satu buah
Masjid. Semua tempat ibadah tersebut merupakan usaha swadaya
masyarakat. Saat ini semuanya masih dalam kondisi bagus dan masih
digunakan sebagai tempat untuk ibadah umat penduduk di wilayah
Kecamatan Tomohon Tengah.
Kelompok-kelompok yang terkait dengan keagamaan yang ada
di Kecamatan Tomohon Tangah adalah kelompok kebaktian gereja.
70 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya adalah mengadakan
kebaktian.
4. Sarana Pendidikan
Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana
pendidikan yang relatif cukup lengkap, dari mulai TK sampai
pergurunan tinggi. Sekolah negeri yang dimiliki wilayah ini adalah SD
(3 buah), SLTP (3 buah), dan satu perguruan Tingga Negeri. Sedangkan
sebagian lainnya yang jumlahnya relatif lebih banyak adalah sekolah
atau perguruan tinggi swasta, yakni terutama yang dikelola oleh yayasan
atau perkumpulan agama.
71Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
No. Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah
1. TK Swasta 13
2. SD Negeri 3
3. SD Swasta 9
4. SLTP. Negeri 3
6. SLTA. Swasta 7
7. PT.Swasta 5
8. PT.Negeri 1
9. Akademi Swasta 2
10. SLB 1
11. Sekolah Kursus Montir 3
12. Kursus Menjahit 7
13. BLK 1
Tabel 1. Sarana Pendidikan di Kecamatan Tomohon Tengah
5. Kesehatan
Untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan/perawatan kesehatan
masyarakat di Kecamatan Tomohon Tengah, umumnya penduduk
memanfaatkan sarana kesehatan yang telah ada dan letaknya relatif
cukup dekat.
Masing-masing Puskesmas maupun Balai Pengobatan Jemaat
Gereja maupun rumah sakit swasta (dibawah yayasan gereja) di
Kecamatan Tomohon Tengah saat ini memiliki seorang Dokter,
Perawat, dan Bidan dan para medis/perawat.
6. Ekonomi
Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana
ekonomi yang cukup lengkap, misalnya warung/toko, pasar, mall/
swalayan dan sebagainya. Secara lebih rinci sarana ekonomi yang ada
dapat dilihat pada tabel 3. Oleh karena itu, kebutuhan sandang dan
keseluruhan bahan pangan masyarakat Tomohon Tengah mudah
diperoleh dari pasar di lingkungan sekitar. Selain belanja langsung di
pasar yang ada di wilayah kecamatan tersebut, masyarakat juga belanja
di Mall dan juga di Minimarket/Supermarket yang banyak bertebaran
di wilayah ini khususnya di Kota Tomohon.
72 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Kelurahan No. Jenis Fasilitas Kesehatan
a b c d e f g
1. Apotik - 1 - 1 1 - 1
2. Rumah sakit 1 1 1 1 1 -
3. Posyandu 2 1 1 2 2 1 2
4. Dokter Praktek Bersama 2 - - 1 1 1 1
5. Dokter Umum 1 - 2 1 1 1 -
6. Dokter Gigi 1 - 1 1 2 1 2
7. Dokter Mata 1 1 - - 2 1 -
8. Dokter THT 1 - - 1 1 1 -
9. Dokter Kulit 1 - 1 - 2 1 1
10. Dokter Jiwa - 1 1 - 2 1 -
11. Dokter Hewan 1 - 1 1 3 1 -
12. Bidan 1 1 2 1 2 2 1
13. Mantri Kesehatan 1 - 1 1 1 - 1
14. Dukun Bayi - 1 1 - 2 1 1
15. Puskesmas - - - - 1 2 -
16. Puskesmas Pmbantu - - 1 1 - - -
17. Toko Obat 1 1 2 - 2 1 3
18. Dukun - - - - - 2 - Keterangan: a = Kel. Talete 1 c = Kel. Komasi e = Kel. Matani 1 g = Kel. Matani 3
b = Kel. Talete 2 d = Kel. Kolongan f = Kel. Matani 2
Tabel 2. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Tomohon Tengah
Permasalahan Kesejahteraan Sosial
Fakir miskin merupakan masalah yang sangat menonjol di Tomohon
Tengah. Warga masyarakat yang digolongkan sebagai keluarga miskin
didasarkan pada tingkat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya sehari-hari serba kekurangan, kondisi bangunan rumah yang
tidak layak huni, serta tingkat produktivitas kepala keluarga rendah dan
kondisi lain yang tidak mendukung. Kriteria atau pengkategorian warga
masyarakat miskin menurut kondisi lokal adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan kecil/tidak tetap dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya.
b. Tingkat produktivitas Kepala Keluarga yang rendah, karena sebagai
pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut/pensiun.
73Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Kelurahan No.
Jenis Fasilitas
Kesehatan a b c d e f g
1. Warung/Kios 14 10 44 - 8 62 7
2. Koperasi 1 - - 2 1 2
3. Super Market/Toko 6 6 13 - 6 1 5
4. Bank - - - 1 1 - 3
5. Usaha bersama 1 - - 1 - - -
6. Kel.Simpan Pinjam 2 - - 1 - - -
7. Badan Kredit Desa - - - 1 - - -
8. Lumbung Pitih Nagari - - - 1 - - -
9. Usaha Industri Kecil - - - 5 - - -
10. Usaha Industri RT 1 - - - - - -
11. Diskotik 4 2 - 1 - - -
12. Karaoke 5 2 - 2 - - -
13. Rumah Bilyar 3 2 - 3 - - -
14. Gdg.Bioskop - - - 1 - - -
15. Hotel/Motel 2 2 - - 9 - 3
16. Restoran 5 4 - 7 - 3
17. Losmen 2 3 2 - 3 - 3
18. Pasar 1 1 - - 2 - -
19. Biro Perjalanan 1 - - - 1 - 1
20. Cafe 4 3 2 - - - 2
21. Mess/asrama - - 3 - - - -
Tabel 3. Fasilitas Ekonomi PendudukKecamatan
Tomohon Tengah
c. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan sangat buruk dan bahan
atap dari seng yang sudah tua atau menggunakan kayu yang sudah
rapuh dengan lantai tanah atau papan.
d. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih
menumpang dan kontrak/sewa baik dengan orang tua/mertua
maupun kerabatan lainnya.
e. Ukuran bangunan rumah relatif kecil yaitu antara 5 x 4 meter atau 5
x 6 meter dan biasanya tidak mempunyai perekat ruangan.
Sebenarnya secara jujur Wilayah Minahasa (termasuk Tomohon)
tidaklah pantas menyandang predikat fakir miskin, karena umum sudah
mengetahui bahwa wilayah ini merupakan daerah subur, masyarakatnya
intelek dan penghasil cengkeh terkenal. Namun munculnya permasalahan
ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
a. Pertama-tama berawal dari anjloknya harga cengkeh beberapa tahun
silam sehingga semangat masyarakat petani cengkeh turun drastis,
dengan demikian sumber penghasilan dari cengkeh tidak lagi
menjanjikan.
b. Diikuti oleh kondisi rawan bencana yang juga meliputi daerah
perkebunan cengkeh sehingga muncul kekhawatiran para petani
sehingga tidak lagi menggarap lahan perkebunannya.
c. Karena pergeseran gaya hidup dengan perkembangan kota desa
sehingga masyarakat lebih cenderung beralih ke pola hidup kota (mod-
ern).
d. Kurangnya dukungan Pemda setempat bagi kaum petani sehingga
dengan mudah para petani begitu saja meninggalkan lahan
pertaniannya. Seandainya dimotivasi agar beralih tanam hal ini masih
memungkinkan adanya alternatif penghasil lain selain cengkeh.
Ketika para petani beralih profesi menjadi pedagang, atau pengusaha
rumah tangga, mereka tidak siap untuk itu sehingga alternatif pilihan adalah
menjadi pekerja di Mall, Supermarket, Pertokoan dan sebagainya. Namun
kendala lain yang dihadapi, yaitu tidak memiliki keterampilan yang memadai,
dan lagi pula lapangan kerja yang tersedia di perkotaan tidak memadai
dengan jumlah pencari kerja. Akhirnya secara proses jumlah fakir miskin
sedikit demi sedikit mulai membengkak.
74 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
75Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Kelurahan No. Jenis PMKS
a b c d e f g
1. Anak Nakal 33 - - 75 - - -
2. Anak Jalanan 16 - - - - - -
3. Anak Cacat 4 - - - - - -
4. Wanita Rawan Sosek 4 6 - 54 - - -
5. Penyandang cacat 21 9 - 28 25 16 15
6. Eks Napi 10 6 - 6 - - -
7. Kel.Fakir Miskin 106 109 258 215 96 126 166
8. Kel.Rmh tdk layak 38 20 24 30 - - 20
9. Kel.Rentan 24 - - - - - -
10. Pengungsi 3 - - - - - -
11. Anak Terlantar - 24 50 40 16 60 -
12. Wanita Krbn Kekerasan - 16 15 97 16 10 26
13. LU Terlantar - 30 55 10 25 115 96
14. Rawan Banjir - - - 46 - - 50
15. Korban benc. Alam - - - 15 - - -
16. Kel.Bermasalah Sos. Psik. - - - 2 - - -
17. Eks.Pnykt Kronis - - - 10 - - -
Tabel 5. Data Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
(PSKS) di Setiap Kelurahan
Kelurahan No. Jenis PSKS
a b c d e f g
1. Arisan 2 1 1 3 2 1 1
2. PKK 2 2 1 1 2 1 1
3. PSM - - - 1 1 1 -
4. Orsos Kemasy. 4 4 5 2 1 4 2
5. Karang Taruna 1 - - - 1 2 -
6. Orsos 1 2 1 - 2 1 1
7. LKMD 1 2 1 1 2 1 1
8. Org. Pemuda 2 1 1 1 1 1 1
9. Dunia Usaha Peduli Kesos 1 - - - 1 1 1
10. Panti Asuhan - 2 - - - - 1
11. Koperasi 2 - - - - - -
12. Org. Profesi 8 2 1 1 - - 1
13 Panti Werdha - - - - 1 - -
14 Rmh Jompo - - - - 1 - -
Tabel 4. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) di Setiap Kelurahan
Rumah tidak layak huni di beberapa kelurahan hampir sama dengan
kondisi di kelurahan lainnya yang ada di wilayah Kecamatan Tomohon
Tengah yaitu Kelurahan Talete I dan II, Kelurahan Matani I, II, III, Kelurahan
Komasi dan Kelurahan Kolongan. Jumlah rumah tak layak huni pada
kelurahan yang mempunyai permasalahan ini berkisar antara: 20 hingga 30
keluarga. Rumah-rumah tersebut adalah rumah dalam bentuk rumah asli
Minahasa yang sebagian besar terbuat dari kayu. Karena ketiadaan biaya
perbaikan, maka rumah–rumah ini semakin lama semakin rusak dan
kondisinya tampak tidak layak huni. Para penghuninya tidak punya
kemampuan untuk memperbaiki rumah–rumah tersebut sehingga melapor
dan meminta bantuan melalui dinas sosial setempat. Kriteria rumah tidak
layak huni menurut kondisi lokal, sebagai berikut:
a. Jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan luas rumah
b. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh
c. Ukuran bangunan rumah relatif kecil
d. Status kepemilikan bangunan rumah masih menumpang
e. Kurangnya perlengkapan fasilitas MCK.
Wanita korban tindak kekerasan terdapat hampir di setiap kelurahan
(ada enam kelurahan). Wanita yang digolongkan sebagai wanita korban
kekerasan didasarkan pada status perkawinan, tingkat penghasilan dan
jumlah beban tanggungan. Kategori wanita korban kekerasan didasarkan
pada kriteria lokal, sebagai berikut:
a. Usia antara 20 hingga 60 tahun
b. Status perkawinan: janda ditinggal mati suami atau belum menikah.
c. Banyak anak dan belum ada yang menikah.
d. Penghasilan kecil
e. Memiliki sumber penghasilan yang tidak menentu.
Lanjut Usia terlantar terdapat hampir disemua kelurahan. Ada di 6
(enam) kelurahan yang ada di Kecamatan Tomohon Tengah. Warga
masyarakat di golongkan lanjut usia terlantar didasarkan pada usia, kondisi
ekonomi, serta seberapa besar perhatian dan perawatan yang diberikan
oleh anak/cucu atau keluarga lainnya. Sedangkan kriteria yang digunakan
di Tomohon Tengah, sebagai berikut:
76 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
a. Umur diatas 60 (enam puluh) tahun keatas.
b. Hidup sendiri atau bersama anak/cucu atau keluarga lainnya tetapisangat kurang diperhatikan dalam perawatan, permakanan dankebutuhan hidup lainnya, baik karena ketidakmampuan ekonomimaupun non ekonomi.
Masalah Anak Nakal merupakan masalah yang bersifat embrio
yang muncul melalui tahapan-tahapan proses yang kelihatannya bersumber
dari faktor lingkungan. Keterangan-keterangan yang diperoleh di lapangan
menggambarkan proses seperti itu. Perkembangan kota desa yang memang
berkembang dewasa ini menyebabkan juga adanya perubahan
perkembangan perilaku anak, misalnya munculnya tempat belanja berupa
supermarket, café, atau diskotik, yang menyebabkan para remaja mulai
beradaptasi diri dengan tempat–tempat ini. Contoh kasus lapangan yang
dilihat langsung adalah di salah satu supermarket, sejak supermarket buka
hingga ditutup pada malam harinya, polisi piket di depan supermarket
dengan maksud menghindari masuknya para remaja siswa sekolah terutama
pada jam-jam pelajaran sekolah (baik siswa pagi maupun siswa siang). Hal
yang sama dilakukan di café-café atau tempat hiburan lainnya.
Pada mulanya masyarakat di wilayah Tomohon terkenal sebagai petani
cengkeh yang ulung, sekarang pola hidup sudah mulai bergesar dengan
perubahan paradigma sebagai pedagang, pengusaha versi perkotaan. Oleh
karena itu, putra-putri mereka juga secara otomatis mewarisi gaya hidup
ini dengan tidak disebut sebagai anak petani dan lebih prestise kalau disebut
sebagai anak pengusaha (ala kota pedesaan). Akibatnya, selepas sekolah
mereka tidak mempunyai kegiatan, sehingga untuk mengisi kekosongan
terjadilah pertemuan antar remaja dan kalau sudah berkumpul mulai
bertindak yang tidak wajar. Dari sinilah timbul kenakalan-kenakalan remaja.
Bentuk kenakalan anak menurut definisi wilayah ini adalah menggangu
ketertiban masyarakat setempat dengan tindakan kumpul-kumpul yang
disertai mabuk–mabukan, dengan mengkonsumsi minuman keras (miras),
tindak kriminal walaupun dalam skala Desa/kelurahan dalam bentuk
mengganggu milik masyarakat.
Masalah yang dekat dengan anak nakal dan anak terlantar yaitu anak
jalanan, yakni para remaja yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di
jalanan secara tidak menentu. Faktor penyebabnya adalah faktor putus
sekolah, ketiadaan kegiatan yang pasti dan ketidaksadaran akan makna
77Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
mencari hidup. Diawali dengan jarang tinggal di rumah kemudian menjadi
keseringan maka pada akhirnya hidup di luar menjadi suatu yang merupakan
kebiasaan dan pada akhirnya menjadi pilihan. Faktor penyebab munculnya
anak jalanan ini, berawal dari kurangnya pengawasan orang tua, namun
karena kembali lagi terjadi perkembangan kota pedesaan maka cukup
membawa pengaruh pada kebiasaaan hidup anak.
Permasalahan Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah suatu
permasalahan yang dialami oleh sekelompok wanita, dimana para wanita
ini tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap. Minimnya lapangan
kerja bagi kaum wanita di Kelurahan ini menjadi sumber permasalahan.
Sebagai wilayah kelurahan yang kapasitas pertumbuhan industri tidak
memungkinkan, maka sulit bagi para wanita untuk mendapatkan sumber
penghidupan yang tetap. Hal ini ditambah pula dengan ketiadaan
keterampilan yang dimiliki para wanita ini. Informasi lapangan yang
diperoleh menyatakan, bahwa permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan
menurunya secara drastis pertanian cengkeh yang tadinya menjadi idola
di wilayah ini. Selepas dari itu para wanita ini sama sekali tidak punya alternatif
lain untuk mengatasi permasalahan mereka.
Permasalahan kecacatan secara khusus merupakan masalah yang
tidak semata karena kelalaian manusia, seperti misalnya cacat karena faktor
bawaan, maka permasalahan yang dihadapi di kelurahan ini merupakan
masalah sosial umum yang penanganannya berada dibawah Pemerintah
Daerah setempat.
Jumlah kasusnya cukup banyak yakni 114 kasus. Dari sejumlah
penyandang terdapat banyak diantaranya yang dapat dibina untuk melakukan
kegiatan mandiri dengan dimodali oleh Pemda setempat.
Masalah yang terkesan rawan bagi masyarakat adalah eks narapidana,
dengan alasan kalau–kalau suatu saat nanti perilakunya akan muncul kembali.
Para napi pun ini sadar bahwa kehadiran mereka di tengah masyarakat
kurang dapat diterima. Narapidana berawal mula dari kenakalan remaja,
lama kelamaan meningkat ke tindakan kriminal dan akhirnya sebagai
penghuni rutan. Dimanapun permasalahan narapidana ini hadir menjadi
permasalahan yang memerlukan penanganan yang sangat bijak agar persepsi
masyarakat terhadap para penyandangnya tidak ditolak oleh masyarakat
setempat.
78 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
Keluarga rentan termasuk kategori keluarga manula yang perlu
mendapat pertolongan. Sebenarnya keluarga rentan ini bisa ditangani oleh
masing–masing keluarga, namun karena kondisi keluarga dalam kondisi
yang sama yaitu ketidakmampuan ekonomi sehingga permasalahan keluarga
rentan ini menjadi permasalahan tersendiri. Yang terutama memberi
perhatian adalah kepedulian pemerintah setempat. Keluarga–keluarga rentan
ini dalam keadaan pasrah menunggu pertolongan pemerintah. Sayangnya
di Minahasa ini belum begitu terdengar hal penampung keluarga rentan
atau semacam panti penampungan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal masalah
penelitian, sebagai berikut:
1. Masalah yang paling menonjol dan merupakan masalah prioritas dikelurahan-kelurahan wilayah Tomohon Tengah adalah masalah fakirmiskin. Permasalahan ini merata terdapat di semua kelurahan(7 kelurahan).
2. Di beberapa kelurahan, masalah yang juga masalah prioritas keduaadalah masalah lanjut usia terlantar.
3. Masalah-masalah lain berdasarkan pengamatan dan hasil kajianpenelitian merupakan masalah yang terkait dan bersumber darimasalah-masalah prioritas seperti kemiskinan.
Dari kesimpulan yang diambil dari hasil kajian akan diberikan saran-
saran/rekomendasi, sebagai berikut :
1. Perlu program yang baku, khususnya bagi permasalahan fakir miskinyang sesuai dengan sumber permasalahan lokal, sehingga diperolehcara penyelesaian yang tepat. Untuk itu, program yang tepat adalahpemberdayaan fakir miskin melalui bantuan dan jaminan sosial, denganmemperhatikan kriteria lokal dan sumber-sumber yang tersedia..
2. Masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman penanganannya,memerlukan langkah-langkah kegiatan yang lebih praktis dan nyata,mudah diacu atau diikuti masyarakat, sehingga penanganannya dapatlebih tuntas.
79Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
3. Masalah-masalah terkait lainnya perlu ditangani dengan upaya
pencegahan, misalnya melalui penyuluhan, membangun kepedulian
masyarakat terhadap lingkungannya, dan meningkatkan kapasitas
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan
dalam pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Tomohon dengan BPS Kabupaten Minahasa, 2005, Tomohon
Dalam Angka (Tomohon In Figures)
Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
Pusdatin, Jakarta.
............, 2004, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial, Konsep dan Strategi, Jakarta,
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial.
Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon, 2005 Rencana
Strategis Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon Tahun
2005-2009
Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press
Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model
Sistem Keterjaminan Sosial, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
80 Puslitbang Kesos
Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa
PEMETAAN KEMISKINAN DAN STRATEGI
PENGENTASANNYA BERBASIS INSTITUSI
LOKAL DAN BERKELANJUTAN
DI ERA OTONOMI DAERAH
DI PROVINSI SUMATERA BARAT1
Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si 2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memetakan kantong-kantong dan merumuskan strategi
pengentasan kemiskinan berdasarkan institusi lokal. Penelitian ini merupakan
penelitian terapan melalui survey terhadap 12 nagari dan 4 kelurahan dalam tiga
kabupaten dan dua kota. Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan,
wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Temuan lapangan antara lain; (1)
Kantong kemiskinan terdapat di Kabupaten Mentawai, Pasaman, Pasaman Barat,
Pesisir Selatan, Kota Padang dan Kota Payakumbuh; (2) sebutan orang miskin yaituurang indak bapunyo, urang indak mampu, urang susah, urang sulit, orang sangat miskin
disebut juga urang bangsaik atau urang ino; (3) pekerjaan utama mereka yaitu buruh
tani, tukang dan buruh kasar; (4) penyebab kemiskinan yaitu lokalitas ekosistem,
rendahnya akses, krisis ekonomi dan kebudayaan. Untuk mempertahankan hidupnya
(survival strategy) secara sosial dan ekonomi, antara lain melakukan pekerjaan secara
tetap dan memperbanyak jumlah anggota rumah tangga untuk bekerja. Strategi
pengentasan kemiskinan dengan membentuk suatu panitia berbasis institusi lokal
(Nagari/kelurahan). Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra
kerja. Anggotanya terdiri dari orang miskin, tokoh masyarakat, laki-laki dan
perempuan. Keanggotaan harus mempunyai komitmen yang tinggi.
Kata Kunci:
Kemiskinan, Penanggulangan Kemiskinan, Nagari Kelurahan
1 Judul asli dari penelitian Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis InstitusiLokal dan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian
kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial dengan Lembaga Pengabdiankepada Masyarakat Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
2 Achmadi Jayaputra, Kepala Bidang Program Puslitbang Kesos.
81Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama pembangunan
nasional dan daerah, terutama sejak diberlakukannya undang-undang tentang
pemerintahan daerah. Hal tersebut seharusnya dijadikan momentum dan
peluang untuk mewujudkan desentralisasi pembangunan yang sensitif
terhadap persoalan lokal. Termasuk permasalahan sosial yang disebutkan
Departemen Sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) seperti pelacuran, anak jalanan, penyandang cacat, dan sebagainya.
Permasalahan tersebut berkaitan erat dengan kemiskinan. Berarti
memecahkan masalah kemiskinan secara tidak langsung memecahkan
PMKS, sekaligus membuka pintu untuk pemecahan PMKS lainnya.
Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengentaskan
kemiskinan, sayangnya penduduk miskin di Indonesia makin bertambah.
Khususnya di Provinsi Sumatera Barat, misalnya tahun 2001 penduduk
miskin tercatat 1,4 juta jiwa (23%), tahun 2003 menurun hanya 501.100
jiwa dan tahun 2004 menjadi 472.100 jiwa. Namun tahun 2005 dari jumlah
penduduk 4,46 juta jiwa terdapat 935.300 jiwa (20,70%) tergolong miskin.
Pengentasan kemiskinan sejak bergulirnya otonomi daerah belum
berhasil dengan baik, karena dihadapkan pada beberapa hal, antara lain:
• Program tidak tepat sasaran
• Program tidak bertahan lama (tidak berkesinambungan)
• Program dipaksakan dari atas, dan
• Program tidak diakses karena hambatan struktual.
Penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan bersifat karitatif
(charity) cenderung menjadikan orang miskin semakin tergantung pada
bantuan pihak luar. Akibatnya perekonomian mereka rentan dan mereka
dengan mudah kembali ke garis kemiskinan. Faktor lain berkaitan dengan
kelemahan organisai pelaksana seperti pemerintah lokal dan pemerintah
kelurahan atau desa (nagari). Oleh karena itu, diperlukan strategi baru dengan
menggunakan potensi sosial lokal untuk membantu orang miskin agar
terbebas dari kemiskinannya. Strategi yang dikembangkan itu termasuk
dalam community based development.
82 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Permasalahan dalam penelitian, yaitu:
a. Dimana rumah tangga miskin tersebut berkonsentrasi terhadaptipologi ekologis dan sumber pendapatan?
b. Bagaimana kondisi budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tanggamiskin tersebut?
c. Mengapa anggota rumah tangga tetap miskin, walaupun telah adaprogram pengentasan kemiskinan?
d. Apa strategi dalam pengentasan kemiskinan yang berbasis institusilokal yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Barat?
Tujuan penelitian yaitu;
a. Memetakan kantong-kantong kemiskinan berdasarkan tipologiekologis dan sumber mata pendapatan dan mengidentifikasikarakteristik budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin.
b. Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan dengan melibatkaninstitusi lokal, tokoh komunitas setempat dan pemerintah lokal.
Penelitian ini akan merumuskan model penanggulangan kemiskinan
yang dapat diadopsi untuk memecahkan PMKS lainnya karena bertumpu
pada pemberdayaan komunitas lokal.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan menggunakan
teknik pengumpulan data yaitu survey, wawancara mendalam, diskusi
kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) dan pengumpulan data skunder.
Survey dilakukan terhadap 12 Nagari dan 4 kelurahan yang terdapat dalam
3 kabupaten yaitu Pasaman, Solok dan Pesisir Selatan, serta 2 kota yaitu
Padang dan Payakumbuh. Lokasi dipilih secara sengaja berdasarkan angka
kemiskinan yang tinggi dan kondisi ekologis. Selain itu berdasarkan mata
pencaharian penduduk yaitu petani lahan kering, petani lahan basah, nelayan
dan bukan nelayan. Diskusi dengan menghadirkan masing-masing
14 orang terbagi dalam dua kelompok; pertama, kelompok pendudukan
miskin yang mengikuti program anti kemiskinan; kedua, tokoh masyarakat
yang berpengalaman melaksanakan program anti kemiskinan. Responden
seluruhnya berjumlah 224 orang. Wawancara mendalam dilakukan terhadap
informan dari instansi pemerintah di 3 kabupaten dan 2 kota tersebut terdiri
83Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
dari Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kelautan, Pemberdayaan Masyarakat,
Camat dan Wali Nagari.
Lokasi Penelitian;
a. Kabupaten Pasaman; Kecamatan II Koto di Nagari Simpang Tonangdan Cubadak; Kecamatan Bonjol di Nagari Koto Kaciak dan GonggoHalia.
b. Kabupaten Solok; Kecamatan II Koto Diateh di Nagari Paninjauwandan Kuncir; Kecamatan Kubung di Nagari Gaung dan Panyangkalan.
c. Kabupaten Pesisir Selatan; Kecamatan IV Jurai di Nagari Painan;Kecamatan Linggo Sari Baganti di Nagari Lumpo, Air Haji danPungasan.
d. Kota Padang; Kecamatan Lubuk Bagalung di Kelurahan KampungBaru dan Gates
e. Kota Payakumbuh; Kecamatan Payakumbuh Barat di Kelurahan ParitRantang dan Padang Karambie.
Hasil PenelitianProvinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota, 157
kecamatan dan terdiri dari 517 Nagari/Kelurahan. Khusus di provinsi ini,istilah Nagari digunakan untuk daerah kabupaten dan Kelurahan untukdaerah kota. Wilayahnya 42,297 Km2, dilihat dari kondisi dan penggunaanlahan sebagian terdiri dari hutan (61%), tanah yang dimanfaatkan untukpermukiman (28,59%) dan selebihnya tanah yang belum dimanfaatkan.
Kinerja ekonomi di provinsi ini, untuk tahun 2003 pertumbuhanekonomi 5%-7% per tahun. Diantaranya, yang terbanyak adalah pertanian25,16% dan didukung lima sub sektor yaitu tanaman pangan danhortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan laut.
1. Kantong Kemiskinan
Di Sumatera Barat, tahun 1996 angka atau garis kemiskinan
di perkotaan sebesar Rp. 48.389,- dan di perdesaan sebesar
Rp. 34.863,-. Sedangkan tahun 2006, diketahui garis kemiskinan
di perkotaan sebesar Rp. 225.671,- dan di perdesaan sebesar
Rp. 159.904,-.
84 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Tahun 2005, terdapat 223.825 rumah tangga miskin atau 22,07%
dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rumah tangga miskin
banyak terdapat dalam enam daerah yaitu Kabupaten Mentawai 8.002
(51,12%), Pasaman 19.922 rumah tangga (35,98%), Pasaman Barat
21.186 rumah tangga (29,41%), Pesisir Selatan 26.337 rumah tangga
(25,17%), Padang 35.162 rumah tangga (21,07%) dan Payakumbuh
4.250 rumah tangga (17,12%).
Orang miskin dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan
perorangan atau rumah tangga seperti buruh tani, nelayan yang tidak
punya alat tangkap, buruh dan pedagang kecil. Ditemukan beberapa
sebutan orang miskin dalam istilah lokal yaitu urang indak bapunyo
(orang tidak punya), urang indak mampu (orang tidak mampu), urang
susah (orang susah), urang sulit (orang sulit). Orang miskin sebagai
keadaan negatif, selalu dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan
perorangan atau rumah tangga. Orang sangat miskin disebut juga
urang bangsaik (orang bangsat) atau urang ino (orang hina).
Mereka yang tergolong rumah tangga miskin kebanyakan di
perdesaan dengan mata pencaharian pokok sebagai petani di lahan
kering atau perladangan. Penyebabnya antara lain :
1) Tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit membutuhkanlahan yang luas.
2) Produktivitas rendah karena hama babi dan kera yang susahditanggulangi masyarakat setempat.
3) Kesuburan tanah dan ketersediaan air rendah.
4) Areal sawah sangat sedikit, sehingga mereka harus membeli beras.
Sedangkan di perkotaan angka yang tinggi karena tingginya
jumlah penduduk. Diantaranya nelayan yang tergolong miskin yang
dilihat dari kepemilikan alat tangkap. Nelayan terbagi tiga kelompok
yaitu; pertama, nelayan miskin yang terdiri dari buruh angkut; kedua,
nelayan sedang yang memiliki kapal dan bermotor tempel; ketiga,
nelayan kaya yang memiliki alat tangkap lengkap dan kapal bermotor.
Pada daerah yang berbasis pertanian sawah, golongan miskin
biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan
pendapatannya dari pekerjaan buruh tani. Ini terjadi karena tidak
memiliki lahan sendiri atau lahan sempit seperti petani penggarap yang
85Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
tidak mempunyai lahan pertanian. Pada tipologi yang berbasis nelayan,
golongan miskin menunjuk pada rumah tangga buruh nelayan yang
tidak memiliki sarana penangkap ikan yang lengkap. Biasanya buruh
nelayan hanya memiliki sampan saja atau perahu tidak bermotor.
Adapun tipologi di daerah perkotaan, golongan miskin biasanya
menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatan dari
buruh dan sektor informal. Khususnya sektor informal sangat
bervariasi seperti buruh kasar, pedagang yang tidak bermodal atau
bermodal kecil. Kebanyakan orang miskin melakukan pekerjaan ganda.
Misalnya di daerah perdesaan seorang sebagai petani sawah dapat
saja menjadi buruh tani, tukang dan buruh lainnya. Dikalangan nelayan,
seorang buruh nelayan dapat saja merangkap sebagai tukang atau
buruh angkat. Demikian juga daerah perkotaan, seorang pegawai
rendahan merangkap sebagai tukang ojek atau buruh serabutan.
Hasil survai secara keseluruhan, pekerjaan utama sebagai petani
atau buruh tani (54,10%), nelayan kecil atau buruh nelayan (16,30%),
tukang atau buruh (3,5%), pedagang kaki lima dan lain-lain (23,20%).
Pendapatan yang mereka peroleh antara lain terendah Rp. 200.000,-
per bulan (20,10%), Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 399.000,-
(28,10%), berpendapatan Rp. 400.000,- sampai dengan Rp. 599.000,-
(35,30%) dan yang berpendapatan diatas Rp. 600.000,- (16,50%).
Karakteristik sosial, kebanyakan rumah tangga yang dikepalai
perempuan termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Rumah
tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dan sebagian
besar menjadi tanggungan keluarga karena masih bayi, usia sekolah,
belum bekerja atau belum menikah.
Di tengah banyaknya program anti kemiskinan, ternyata
ekonomi rumah tangga miskin banyak yang merasa pesimis melihat
perbaikan ekonominya. Hasil survey, ada yang merasa ekonominya
lebih baik (4,5%), merasa lebih buruk (28,60%) dan yang menjawab
tidak ada perubahan (48,20%) dari tahun sebelumnya. Oleh karena
itu, penyebab kemiskinan antara lain;
1) Alternatif pekerjaan di daerahnya terbatas dan berkaitan denganperkembangan ekonomi makro. Apabila ingin memperbaikiekonomi, maka perlu mengakses peluang. Namun mereka tidakmampu karena terbatas pengetahuan dan keterampilan.
86 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
2) Ketiadaan alternatif dan tidak mampu mengkreasi peluang baru,
maka orang miskin bergantung pada pekerjaan yang tidak memberi
pendapatan yang mencukupi.
3) Produktivitas rendah karena orang miskin tidak memiliki aset lahan
yang memadai. Pertumbuhan penduduk terus berlangsung,
sementara luas lahan tetap dan dipengaruhi sistem pemilikan lahan
secara adat.
4) Orang miskin tidak mampu mengakses sumber daya karena
ketiadaan teknologi dan minimnya modal.
Orang miskin atau rumah tangga miskin dalam menghadapi
kemiskinan yang dialami melakukan upaya adaptasi. Strategi yang
mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya secara sosial dan
ekonomi. Adapun strategi adaptasi tersebut yaitu;
1) Pekerjaan Tetap
Mereka tidak berusaha pindah pekerjaan. Ini menunjukkan mereka
bertahan dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang. Alasannya
tidak tahu alternatif yang tersedia dan pekerjaan yang dilakukan
saat ini tetap lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain dengan
resiko pilihannya.
2) Anggota Rumah Tangga
Rumah tangga miskin cenderung memperbanyak jumlah anggota
rumah tangga ikut bekerja untuk memecahkan kesulitan hidup.
Pola ini merupakan bagian dari strategi adaptasi rumah tangga
miskin dalam menghadapi kemiskinan. Tujuannya untuk bertahan
hidup (survival strategy). Pilihan diversifikasi pekerjaan dan
pendapatan melalui pola nafkah ganda. Cara lain yang mendorong
orang miskin memecahkan masalah keuangan rumah tangganya
yaitu berhutang kepada tetangga (38,80%), berhutang kepada
anggota keluarga (20,50%) menerima bantuan dari anggota
keluarga (14,70%) atau berhutang kepada bos atau tauke (12,10%).
Sementara meminjam kepada lembaga keuangan perbankan atau
lembaga keuangan mikro tidak menjadi alternatif karena masih
kurangnya lembaga keuangan tersebut.
87Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Secara umum penyebab kemiskinan, antara lain;
1) Lokalitas Ekosistem
Di kalangan petani perdesaan atau lahan kering ketergantungan
terhadap lahan secara mutlak, tetapi lahan terbatas. Sedangkan
petani sawah ketersediaan air mutlak. Akan tetapi tidak ada irigasi
yang baik atau sumber air terbatas, sehingga produksi lahan sawah
rendah. Daerah perladangan dengan tanaman tua yang diusahakan
membutuhkan lahan yang luas, tetapi lahan yang ada sangat terbatas.
Selain itu status tanahnya sebagai tanah adat atau ulayat atau hutan
lindung tidak dapat digunakan sembarangan karena pengaturannya
yang berbeda.
Pengaruh ekologis sangat dirasakan di kalangan nelayan sangat
rentan terhadap perubahan cuaca yang tidak selalu sama atau
tergantung iklim, musim angin dan bulan.
2) Rendahnya Akses
Ada keluarga yang kekurangan lahan, disebabkan tanah ulayat
hanya digunakan oleh anak kemenakan pemilik ulayat. Banyak orang
miskin di nagari dari kalangan pendatang, sehingga tidak dapat
menggunakan lahan yang ada. Tanah telah dibagi habis, sedangkan
anggota kaum bertambah. Ada golongan keluarga atau masyarakat
yang hidup turun-temurun dalam kekurangan aset ekonomi atau
rendah aksesnya terhadap sumber daya setempat.
Di kalangan komunitas nelayan miskin, rendahnya akses
kepemilikan alat tangkap ikan seperti perahu motor.
3) Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi diikuti dengan kenaikan harga berbagai alat
produksi dan kebutuhan konsumsi telah menyebabkan semakin
beratnya kehidupan masyarakat. Termasuk kenaikan harga BBM
membuat ongkos produksi naik. Pada masyarakat petani ladang
yang terjadi meningkatnya biaya produksi seperti bibit dan pupuk.
Sementara pendapatan tidak seimbang dengan biaya pengeluaran
yang dibutuhkan untuk pangan dan konsumsi rumah tangga.
Ada pula di perkotaan yang dahulu merantau, terkena PHK
dan usahanya bangkrut, kini kembali ke kampung. Secara umum
88 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
yang paling dirasakan yaitu kenaikan harga kebutuhan dasar dan
membiayai modal usaha.
4) Kebudayaan
Semua rumah tangga miskin mempunyai pengetahuan dan
keterampilan. Namun hanya tahu terhadap kegiatan atau pekerjaan
yang diketahui saja, sehingga tidak ada alternatif pekerjaan lain.
2. Kinerja Anti Kemiskinan
Tahun 2002 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membentuk
Komite Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Kepala Badan
Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Gubernur Sumatera Barat
sebagai penanggung jawab. Tugas komite tersebut yaitu menyiapkan
data, mengkoordinasikan kegiatan, memfasilitasi dana, melakukan
pemantauan dan pengendalian. Namun dalam pelaksanaan kegiatan
belum menunjukkan hasilnya dalam penanggulangan kemiskinan.
Ternyata, sejak tahun 1983 sudah masuk program pengentasan
kemiskinan atau program anti kemiskinan yang dilakukan oleh beberapa
departemen atau instansi pemerintah lainnya.
Adapun program kemiskinan yang pernah dialami antara lain:
1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dari Departemen Sosial RI
2) Inpres Desa Tertinggal (IDT) dari Departemen Dalam Negeri
3) Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), KreditModal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Pedesaan(Kupedes), Kredit kelompok Kepada Kelompok Masyarakat(K3M)
4) Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
5) Program Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS) dariBKKBN
6) Program perbaikan rumah tidak layak huni dari DepartemenKimpraswil
7) Program bantuan pendidikan bagi anak miskin
8) Program bantuan pengobatan orang miskin
9) Program bantuan beras miskin (Raskin) dari BULOG
89Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
10)Bantuan Langsung Tunai (BLT)
11)Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari DepartemenDalam Negeri
12)Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
13)Program Pengentasan Perkotaan (P2P)
14)Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PPMP)
15)Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS)
16)Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
17)Subsidi BBM
Menurut bantuan yang diberikan, semua program yang ada
terbagi lima; pertama, program yang bersifat jaring pengaman atau
program yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sesaat dengan
model bantuan karitatif seperti Raskin, BLT, Kartu Sehat, BAZIS;
kedua, program memberdayakan keluarga miskin dengan bantuan
modal usaha seperti IDT, KUBE, GEKS, PDM-DKE dan PMP;
ketiga, program pembangunan infrastruktur seperti IDT, PPK dan
Subsidi BBM; keempat, program, pengembangan keuangan mikro
dengan memberikan bantuan modal kepada kelompok simpan pinjam
seperti IDT, PPK, PMP dan P2P; kelima, program bantuan pendidikan
seperti BOS dan PPK.
Secara umum program anti kemiskinan yang pernah diikuti
belum membuat perekonomian mereka membaik. Pada umumnya
(90%) pernah mengikuti program anti kemiskinan, bahkan sebanyak
60% lebih pernah mengikuti dua sampai empat macam program anti
kemiskinan. Juga diakui responden, sebagian besar (80%) responden
mengaku ekonomi mereka tidak berubah dari sebelumnya dan
selebihnya (20%) menyatakan lebih buruk dari tahun sebelumnya. Rata-
rata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar karena penghasilan
yang diperoleh dibawah Rp. 600.000,- per bulan.
Dampak program yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Program Tidak Efektif
Program-program anti kemiskinan tidak efektif
membebaskan penerima bantuan dari kemiskinannya. Bantuan yang
bersifat jaring pengaman sosial hanya untuk memenuhi kebutuhan
90 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
hidup sehari-hari dan tidak membuat mereka menyimpan karena
bantuan jumlahnya terlalu kecil. Beras Raskin lebih banyak
dimanfaatkan penduduk miskin di perkotaan daripada penduduk
miskin di perdesaan.
2) Pengembangan Infrastruktur
Program pengembangan infrastruktur seperti jalan dan
jembatan yang dibangun telah memudahkan penduduk setempat
untuk memasarkan produksinya, kendaraan bermotor dapat
menjangkau desanya. Namun daerah penerima bantuan tetap saja
menjadi kantong-kantong kemiskinan.
3) Keuangan Mikro Kurang Berhasil
Program pengembangan keuangan mikro bukan perbankan.
Terutama dalam bentuk simpan pinjam tidak bermanfaat dalam
waktu jangka panjang. Hal tersebut disebabkan kelompok simpan
pinjam tidak bertahan lama dan kelompok cepat bubar. Penyebab
lain kemacetan tinggi karena cicilan terlalu besar dan anggapan
uang pemerintah tidak perlu dikembalikan. Ikatan anggota dengan
kelompok rendah karena kebanyakan anggota dan perlu uang.
4) Bantuan Bergulir Kurang Berhasil
Bantuan yang diterima dalam kelompok tidak bergulir karena
sapi yang diterima terlebih dahulu dijual sebelum beranak. Selain
itu tidak ada pengawasan dan pembinaan dari penyelenggara pro-
gram dan tidak ada perhatian dari tokoh masyarakat setempat.
5) Bantuan Alat Tidak Efektif
Program bantuan peralatan usaha tidak efektif karena
penerima tidak mampu mengoperasikan alat yang diterima, tidak
mampu membayar cicilan dana bantuan dan pendapatan kecil
dengan biaya operasional yang tinggi.
Penyebab ketidakberhasilan program, yaitu;
1) Sifat Program
Bantuan yang diberikan menyelesaikan kebutuhan sesaat
karena bersifat karitatif dan parsial, hanya menyentuh sebagian
rumah tangga, sehingga tidak memberdayakan penerimanya.
91Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
2) Pengelolaan
Program bantuan tidak berkelanjutan dan kelompok yang
dibentuk tidak efektif.
3) Partisipasi Lokal
Partisipasi organisasi sosial dan tokoh lokal rendah karena
mereka tidak melakukan langkah-langkah untuk melanjutkan
program. Hal itu dianggap bukan menjadi urusan mereka dan
tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya. Pemerintah nagari/
kelurahan diperlakukan sebagai ujung tombak yang tumpul karena
program-program tidak memberdayakan organisasi lokal.
Gagalnya program anti kemiskinan disebabkan; pertama,
program-program tersebut tidak ada yang mendorong lembaga lokal
untuk aktif terlibat dan bertanggung jawab terhadap program anti
kemiskinan. Lembaga nagari/kelurahan tidak aktif memantau dan
membenahi program yang ada; kedua, komunitas perdesaan
beranggapan penanggulangan kemiskinan merupakan tugas
pemerintah.
3. Keragaan Energi Sosial Lokal
1) Peran Institusi Formal
Institusi formal lokal dalam pemerintah kabupaten (Nagari)
dipimpin Wali Nagari, Badan Perwakilan Adat Nagari (BPAN)
atau Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kantor tidak tiap
hari dibuka, hanya kalau ada keperluan atau pekerjaan tertentu
barulah dibuka seperti ada kegiatan dari kecamatan atau instansi
pemerintah lainnya. Sedangkan dalam pemerintah kota (Kelurahan)
ada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Lembaga
tersebut banyak berhubungan dengan warga setempat
dibandingkan dengan lembaga pimpinan adat (nini mamak ).
Namun dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari belum dapat
mengeluarkan aturan-aturan bagi nagarinya. Kegiatan yang
dilakukan terbatas pada penetapan anggaran pendapatan dan
belanja nagari/kelurahan. Berkaitan dengan penanggulangan
kemiskinan belum peduli terhadap program kemiskinan dan belum
berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.
92 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
2) Peran Institusi Informal
Lembaga informal yang ada merupakan lembaga yang tidak
terkait dengan pemerintah seperti Kerapatan/Lembaga Adat
Nagari (K/LAN), Badan Musyawarah Adat dan Syara (BMAS),
organisasi berbasis agama dan kekerabatan. Khususnya organisasi
yang berbasis keagamaan seperti majlis taklim dan kelompok
yasinan, perannya muncul ketika perayaan hari besar Islam seperti
Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain. Lembaga tersebut mempunyai
tugas mengumpulkan zakat, infaq dan shadaqah untuk dibagikan
kepada keluarga miskin.
3) Peran Kekerabatan
Kebutuhan anggota kerabat atau keluarga yang dialami selalu
dikaitkan dengan fungsi keluarga luas matrilineal. Bantuan sosial
ekonomi diberikan kepada seluruh anggota keluarga yang
memerlukan. Terutama berkaitan dengan keperluan yang sifatnya
mendadak seperti sakit, kebakaran, meninggal dan musibah lainnya.
Unsur matrilineal menjadi pokok perhatian yaitu; pertama,
harta pusaka sebagai sumber ekonomi keluarga luas matrilineal;
kedua, pola tempat tinggal keluarga luas matrilineal dalam
menjalankan perannya; ketiga, aktualisasi adat.
Hubungan sosial ekonomi dimulai dari hubungan timbal balik.
Semangat akan timbul saat membantu dalam pelaksanaan
perkawinan. Bantuan yang diberikan biasanya dalam bentuk uang
dan tenaga, sedangkan dalam biaya pendidikan tidak karena
menjadi urusan masing-masing. Bantuan terhadap orang miskin,
lanjut usia dan yatim piatu menjadi urusan paruiknya. Mereka lebih
baik dipelihara oleh paruik dan masyarakat setempat yang telah
saling mengenal dan dijamin lebih baik. Masyarakat tidak mau
dan merasa malu menempatkan lanjut usia dan anak yatim ke panti
asuhan. Peran tokoh lokal membantu orang miskin dalam bentuk
memberikan fasilitas atau modal usaha.
4) Nilai-nilai dan Solidaritas Lokal
Nilai-nilai dan praktek solidaritas sosial lokal tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat didasarkan rasa tanggung jawab
dan rasa kebersamaan. Tujuannya untuk membantu seluruh anggota
93Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
keluarga dan masyarakat. Pepatah Minangkabau; bakampung mamaga
kampung, tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari,
sandar menyandar bagaikan aur dengan tebing. Nilai yang terkandung
dalam pepatah tersebut mencerminkan kehidupan keluarga yang
saling tolong menolong dan saling bekerja sama.
Namun, dalam perkembangannya nilai-nilai tersebut tidak
lagi dijalankan. Masyarakat menggunakan kata individualis untuk
menyebut perilaku dari sebagian masyarakat yang tidak lagi
memikirkan sanak saudara dan para tetangga dalam kehidupan
sehari-hari. Organisasi sosial yang sangat dikenal yaitu Kelompok
simpan pinjam, Kongsi dan Julo-julo.
Kelompok simpan pinjam terdiri dari beberapa orang yang
mengelompokkan diri yang mengandalkan tenaga untuk
kepentingan anggota atau kelompoknya. Ada kelompok laki-laki
atau kelompok perempuan. Kelompok juga yang berhubungan
dengan pihak luar atau organisasi sosial untuk memperoleh
pinjaman. Kelompok simpan pinjam sering cepat bubar karena
menjadi pengurus tidak semuanya disenangi masyarakat, kecurigaan
anggota terhadap pengurus sangat tinggi.
Kongsi suatu istilah yang dimulai dari individu yang menjual
jasa dalam pengolahan lahan pertanian terhadap anggotanya.
Kegiatannya bertujuan untuk mengatasi kesulitan mereka dalam
membayar tenaga kerja. Biasanya, awal kegiatan kongsi berjalan
baik dan selanjutnya sering anggota kongsi malas dengan berbagai
alasan. Upah yang dibayarkan berbeda berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki sebesar Rp. 20.000,- per hari dan perempuan sebesar
Rp. 10.000,- per hari.
Julo-julo (Arisan) yang merupakan kelompok penabung,
dipelopori ibu-ibu. Setiap anggota akan menabung sejumlah uang
sesuai dengan kesepakatan dan waktu penarikan yang ditentukan.
Biasanya terdiri dari 10 orang, tiap orang akan menerima bagian
sesuai dengan jumlah uang yang ditabung dan paling murah
Rp. 5.000,-. Keberadaan kelompok ini sangat membantu
masyarakat dalam mengatasi masalah keuangan terutama untuk
biaya pendidikan dan modal kerja.
94 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Kesimpulan dan Saran
Pemetaan kemiskinan telah menggambarkan kantong-kantong
kemiskinan dalam beberapa kabupaten dan kota yang menjadi lokasi
penelitian. Kantong-kantong kemiskinan tersebut berdasarkan tingkat
nagari/kelurahan yang terbagi dalam kelompok petani lahan kering,
persawahan dan nelayan. Dirumuskannya strategi pengentasan kemiskinan
berbasis institusi lokal yang disebutkan berbasis nagari/kelurahan.
Adanya model strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal
yang akan diujicobakan pada tingkat nagari/kelurahan yaitu;
a. Konsep
Pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal diartikan
program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan
mengandalkan organiasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar
komunitas lokal dan tokoh masyarakat pelaku aktif pengentasan
kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai
mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan pemeliharaan.
b. Prinsip
Organisasi sosial dan tokoh masyarakat harus aktif dan proaktif
dalam pengentasan kemiskinan yang disusun sesuai potensi dan aspirasi
masyarakat. Diperlukan badan atau organisasi sosial yang bertugas
mengkoordinasikan upaya pengentasan kemiskinan. Diperlukan
pendampingan yang menguasai tentang strategi dan teknik
penanggulangan kemiskinan. Program bersifat pemberdayaan
komunitas.
c. Sasaran
Komunitas nagari/kelurahan dengan angka kemiskinan tinggi
melalui lembaga-lembaga dan rumah tangga miskin. Meningkatkan
peran nagari/kelurahan yang mempunyai program anti kemiskinan
berdasarkan potensi dan aspirasi lokal. Di lokasi dibentuk organisasi
dengan sebutan Panitia Penanggulangan Kemiskinan Nagari/
Kelurahan.
95Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
Ketentuan panitia antara lain;
- Lembaga tersebut dibentuk melalui musyawarah di nagari/kelurahanmasing-masing,
- Panitia beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan secaraproporsional
- Struktur organisasi tediri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendaharadan sekurang-kurangnya lima anggota,
- Tokoh-tokoh terseleksi yang mempunyai komitmen tinggi,
- Mempunyai anggaran khusus,
- Menggali sumber-sumber lokal,
- Perlu pemecahan faktor-faktor struktural lokal
Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1) Rekruitment Tenaga Pendamping
Pendamping dalam nagari/kelurahan sebanyak dua orang. Pendampingselalu berkoordinasi dengan peneliti dan pemerintahan nagari/kelurahan.
2) Upaya Penyadaran
Pendamping melakukan upaya penyadaran kepada lembaga-lembagadan tokoh masyarakat nagari/kelurahan agar mereka aktif melakukamnusaha pengentasan kemiskinan.
3) Membentuk Panitia
Berkoordinasi dengan nagari/kelurahan dengan mengikutsertakantokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk panitia.
4) Pelatihan
Dilakukan terhadap panitia penanggulangan kemiskinan agarmemahami kegiatannya.
5) Pendataan
Melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan merumuskankriteria kemiskinan yang sesuai dengan persepsi setempat.
6) Merumuskan Program
Merumuskan program dan kegiatan nagari/kelurahan denganmengikutsertakan tenaga ahli, pejabat pemerintah dan pihak lain untukmembantu rumah tangga miskin.
96 Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
7) Membuat Peraturan
Panitia dan tokoh masyarakat perlu membuat peraturan dalampengentasan kemiskinan di daerahnya.
8) Pelaksanaan Program
Panitia penanganan kemiskinan melaksanakan kegiatan sesuai denganrencana yang telah dibuat.
9) Membangun Keterlibatan
Keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan pemerintah dalammelakukan monitoring pengentasan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, 1997. “Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi:
Diskusi tentang Isu-isu Perubahan pada Ikatan Kekerabatan Matri-
lineal Minangkabau” dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial,
Nomor 3 - 4.
Ancok, Djamaluddin, 1995. “Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk
Mengentaskan Kemiskinan” dalam Awan Setya Dewanta, dkk (ed),
Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Indonesia. Yogyakarta; Aditya.
Chambers, R, 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta; LP3ES
Hikmat, Harry, 2003. “Pemberdayaan Pranata Sosial Pengalaman Empiris”
dalam Umi Ratih Santoso, dkk (ed), Menemukan Model Pemberdayaan
Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat; Perspektif
Teoritik, Metodologis dan Empiris. Jakarta; Pusbangtansosmas.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2006. Rencana Pembangunan Jangka
Menangah (RPJM) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006 – 2010: Agenda
6 Mempercepat Penurunan Tingkat Kemiskinan. Padang; Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat.
Departemen Sosial RI, 2005. Data dan Informasi PMKS dan PSKS Tahun
2004. Jakarta; Pusdatin Kesos.
Sherraden, M, 2006. Aset untuk orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
97Puslitbang Kesos
Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya
PARTICIPATORY WEALTH RANKING
Sebuah Alternatif Teknik Identifikasi dan Seleksi
Sasaran Program Pemberdayaan Fakir Miskin1
Drs. Anwar Sitepu, MPM 2
ABSTRAK
Participatory Wealth Ranking (PWR) merupakan alternatif teknik mengidentifikasi
keluarga termiskin dan miskin. Manual PWR mudah dijabarkan oleh fasilitator untuk
memfasilitasi masyarakat melakukan pemeringkatan. Penyesuaian yang perlu
dilakukan adalah pada sistem penilaian yaitu nilai tertinggi diberikan kepada keluarga
terkaya. Data yang dihasilkan berupa data mikro, berupa daftar nama dan alamat
keluarga menurut urutan (peringkat) kemiskinan. Untuk seleksi sasaran program,
petugas lembaga tinggal menetapkan titik batas nilai. Dengan menggunakan teknik
PWR tampak dengan nyata bahwa masyarakat tidak saja diberi kesempatan
berpartisipasi tetapi diakui dan dihargai martabatnya. Apabila pemberdayaan fakirmiskin berniat untuk merangsang prakarsa masyarakat mengatasi permasalahannya
maka PWR adalah sebuah pilihan tepat untuk mengawali langkah.
Kata kunci:
Participatory Wealth Ranking, keluarga miskin
Pendahuluan
Salah satu titik rawan dalam penyelenggaraan Program Pemberdayaan
Fakir Miskin (P2FM) adalah pada tahap identifikasi dan seleksi sasaran.
Tahap ini rawan karena pada satu sisi sangat menentukan efektivitas
program secara keseluruhan pada sisi lain sering dianggap pekerjaan mudah
sehingga kurang diperhatikan atau bahkan disepelekan. Mengatasi hal tersebut
Puslitbang Kessos bermaksud menawarkan sebuah teknik yang disebut
Participatory Wealth Ranking (PWR). Teknik ini dikembangkan oleh The Small
1 Dikembangkan dari Laporan Penelitian Pemeringkatan Keluarga Menurut Kondisi SosialEkonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI tahun 2006. Tim peneliti terdiri dari: Drs. Anwar Sitepu,MP (ketua), Drs. Agus Budi Purwanto (anggota), Dra. Haryati Roebiyantho (anggota),
Ir. Hendriyati, M.Si (anggota), Yanuar Farida Wismayanti, S.ST (sekretariat), dan Dra. Siti Aminah(sekretariat).
2 Anwar Sitepu, memperoleh gelar Magister dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
99Puslitbang Kesos
Enterprise Foundation (SEF) sebuah Non Governmental Organization (NGO
International), untuk mengidentifikasi dan menyeleksi penerima pelayanannya
di Afrika Selatan. PWR dalam perkembangannya sudah diadopsi oleh NGO
yang beroperasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan kajian awal teknik ini dipandang layak digunakan karenaprosesnya dinilai aplicable dan teknisnya dikembangkan berlandaskanpendekatan partisipatif, senada dan selaras dengan paradigma, visi dan misiserta strategi P2FM. Lazimnya sebuah produk luar, sebelum dianjurkanuntuk diaplikasikan secara luas dalam pelaksanaan P2FM, terlebih dahuluperlu dilakukan uji aplikasi. Tujuannya adalah mengetahui efektivitasnya,kendala dan kemudahannya. Penelitian dilakukan dengan mengaplikasikandi lapangan manual PWR yang disusun oleh The SEF. Peneliti, yangsebelumnya dilatih secara singkat, sekaligus bertindak sebagai fasilitator.Penelitian dilakukan di enam lokasi di provinsi berbeda, masing-masingsebagai satuan pemukiman setingkat atau bagian dari Dusun, Rukun Warga,dan Lingkungan. Proses aplikasi di lapangan diobservasi, seluruh pengalamandan hasilnya dicatat dan diabstraksikan. Tulisan ini merupakanpengembangan dari laporan uji aplikasi PWR di lapangan.
Konsep dan Teknik PWR
Participatory Wealth Ranking (PWR) adalah sebuah teknik pemeringkatan
keluarga menurut kondisi sosial ekonomi berlandaskan pada pendekatan
partisipatif. Tujuan PWR adalah untuk menemukan keluarga termiskin di
suatu masyarakat menurut ukuran mereka sendiri dan oleh mereka sendiri.
PWR adalah salah satu bentuk dari metode-metode partisipatif. Bentuk
lain yang relatif sudah dikenal lebih banyak orang adalah Participatory Rural
Apraisal (PRA). Seperti PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers,
PWR adalah sebuah teknik penelitian tetapi bukan sekedar teknik penelitian
biasa. Tekanan penting pada metode partisipatif bukan sebatas pada
aktivitas pengkajian/penelitian atau pengumpulan data tetapi pada aspek
pembelajaran masyarakat (Rianingsih (Ed),1996:14). Visi metode/
pendekatan partisipatif adalah perubahan sosial dan pemberdayaan
(penguatan) masyarakat agar ketimpangan ditiadakan. Metode-metode/
Teknik-teknik participatory dikembangkan sebagai salah satu upaya
menempatkan rakyat sebagai titik pusat pembangunan (people centred
development). Dengan Teknik PWR konsep dan indikator miskin tidak
disiapkan dari luar sebelum pengumpulan data dilakukan.
100 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Penggunaan teknik ini efektif dilakukan di masyarakat yang warganya
saling mengenal dengan baik. Pemeringkatan keluarga dilakukan oleh
perwakilan warga, dengan asumsi mereka lebih tahu kondisi sesamanya.
Perwakilan warga ditetapkan secara proporsional, minimal sebanyak 9
orang dan maksimal 15 orang. Pemeringkatan dilakukan melalui proses
penilaian berlapis, yaitu sebanyak tiga kali (triangulasi). Setiap penilaian
dilakukan oleh kelompok kecil (tiga sampai lima orang) perwakilan warga.
Penilaian dilakukan dengan teknik pengelompokkan, setiap keluarga
dibandingkan kondisi sosial ekonominya dengan keluarga lain. Keluarga
yang sama atau seimbang kondisi sosial ekonominya dikelompokkan menjadi
satu kelompok. Sumber data adalah perwakilan warga itu juga, sehingga
mereka bertindak sekaligus sebagai pengumpul data dan informan. Orang
luar, petugas lembaga bertindak sebagai fasilitator.
Pemeringkatan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: Tahap Persiapan,
Tahap Pelaksanaan dan Tahap Penghitungan Nilai.
1. Tahap Persiapan
Tahap Persiapan bertujuan untuk menciptakan suasana yang
kondusif untuk melakukan pemeringkatan. Kegiatan pada tahap ini
meliputi tiga besaran, yaitu: perkenalan dan penjelasan, merencanakan
pertemuan pemeringkatan dan pengaturan logistik. Perkenalan yang
dimaksud dilakukan dengan aparat setempat. Kepada aparat
dikenalkan siapa fasilitator, dijelaskan apa tujuannya dan bagaimana
teknis pemeringkatan, termasuk cara kerja, dan dukungan apa yang
diperlukan sampai pada kesepakatan melakukan pemeringkatan. Jika
aparat setempat sudah jelas dan tidak keberatan, lanjutkan dengan
pengaturan pelaksanaan kegiatan, termasuk waktu, tempat dan peserta.
Pada kesempatan tersebut fasilitator menjelaskan persyaratan peserta,
lokasi pertemuan yang diperlukan, dan perkiraan waktu yang
dibutuhkan.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan atau mengelompokkan
keluarga menurut kondisi sosial ekonomi. Semua keluarga yang sama
atau seimbang dari segi sosial ekonomi dikelompokkan menjadi satu
kelompok, sehingga seluruh keluarga akan masuk dalam salah satu
101Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
kelompok. Tujuan tersebut dicapai melalui sejumlah kegiatan yaitu:
pemetaan, pendaftaran keluarga, pembuatan kartu, diskusi konsep,
dan sorting.
Pemetaan bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh keluarga yang
tinggal di suatu wilayah dimana PWR dilakukan, sehingga tidak ada
yang terlewatkan. Peta memuat lokasi rumah setiap keluarga di
masyarakat tersebut. Setiap rumah di peta diberi nomor urut. Nama
masing-masing Kepala Keluarga dan identitas lain seperti nama
panggilan, pekerjaan dan nama isteri, kemudian didaftarkan pada form
khusus yang sudah disiapkan. Berikutnya, nama dan nomor urut
masing-masing KK ditulis kembali di atas sebuah potongan kertas
karton sehingga menjadi sebuah kartu. Kartu tersebut berfungsi sebagai
alat sorting. Sorting adalah pembandingan antar satu keluarga dengan
keluarga lain.
Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi konsep. Peserta diajak
merumuskan apa yang dimaksud dengan ”miskin” dan ”sangat
miskin” atau mengidentifikasi apa ciri-ciri sebuah keluarga miskin
atau sangat miskin. Diskusi dimaksudkan agar peserta berpikir dan
memiliki pemahaman yang sama tentang miskin dan sangat miskin.
Kesamaan pemahaman diperlukan untuk mempermudah proses sort-
ing. Sorting dilakukan dengan cara:
• Fasilitator menunjukkan kartu nama keluarga kepada kelompok.
Dijelaskan bahwa masing-masing kartu tersebut mewakili sebuah
keluarga.
• Kemudian, fasilitator mengambil dua kartu pertama, seraya
memperlihatkan dan menanyakan kepada peserta, apakah mereka
mengenal kedua keluarga yang namanya tertera pada masing-masing
kartu tersebut? ”Keluarga mana yang lebih miskin?” Disini akan
berlansung diskusi, masing-masing peserta akan menyampaikan
informasi dan pendapatnya.
• Setelah diperoleh kesepakatan, kedua kartu diletakkan
bersebelahan, yang lebih miskin di sebelah kiri dan yang lebih kaya
sebelah kanan. Alasan penempatan dicatat pada form yang telah
disiapkan. Dilanjutkan dengan kartu berikutnya, bandingkan dengan
dua kartu yang sudah diletakkan. Jika sama atau seimbang dengan
102 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
salah satu kartu yang sudah diletakkan tadi, maka kartu ketiga
diletakkan di atasnya. Jika lebih kaya dari kartu sebelah kanan, maka
kartu ketiga diletakkan di sebelah kanannya lagi, atau jika lebih
miskin dari yang paling kiri, maka kartu ketiga itu diletakkan di
sebelah kirinya lagi.
• Demikian seterusnya, satu demi satu dibandingkan dan diletakkan
di tempat yang sesuai. Pada akhirnya seluruh kartu akan masuk
pada salah satu kelompok atau tumpukan kartu.
• Sorting dilakukan sebanyak tiga kali masing-masing oleh kelompok
(3 sampai 5 orang) perwakilan warga, pada waktu dan tempat
berbeda.
Menurut The SEF tidak menjadi soal, berapa pun banyaknya
tumpukan, yang penting adalah bahwa masing-masing tumpukan
berbeda menurut kondisi sosial ekonomi. The SEF menganjurkan
sebaiknya minimal 4 tumpukan. Hal yang harus diingat bahwa sorting
adalah membandingkan kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga,
bukan bagaimana orang mencari uang atau berapa besar pendapatan
sebuah keluarga. Contoh, walau pun seseorang memiliki penghasilan
besar tetapi uangnya tidak dibawa ke rumah untuk kepentingan
keluarganya, maka itu percuma saja, tidak memberi dampak pada
kesejahteraan keluarganya. Seluruh kegiatan di atas, mulai dari membuat
peta, pendaftaran nama KK, pembuatan kartu, diskusi konsep dan
sorting dilakukan oleh perwakilan warga. Petugas dari lembaga hanya
sebagai fasilitator. PWR harus berlangsung dalam suasana santai tetapi
tetap serius.
3. Tahap Penghitungan Nilai
Akhir dari sorting adalah terpisahnya kartu keluarga menjadi
beberapa tumpukan. Tumpukan paling kiri di mana keluarga termiskin
berada diberi nilai 100, artinya 100% miskin. Nilai masing-masing
keluarga lain tergantung pada jumlah tumpukan (pengelompokkan)
dan di tumpukan mana dia berada. Contoh: Anggaplah kelompok
membagi keluarga ke dalam 4 kategori atau tumpukan menurut
kondisi sosial ekonominya. Menghitung seberapa miskin setiap
tumpukan, 100 dibagi dengan jumlah kategori. 100 dibagi 4 = 25
kalikan dengan nomor tumpukan. Tumpukan 4 = 100 : 4 x 4 = 100;
103Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Tumpukan 3 = 100 : 4 x 3 = 75 ; Tumpukan 2 = 100 : 4 x 2 = 50;
Tumpukan 1 = 100 : 4 x 1 = 25. Nilai dari masing-masing kelompok
penilai dimasukan pada kolom tersendiri pada form yang sudah
disiapkan.
Tujuan kegiatan ini adalah memperoleh nilai rata-rata masing-
masing keluarga. Nilai rata-rata berfungsi untuk menentukan peringkat
akhir keluarga di masyarakatnya. Karena masing-masing keluarga
dinilai sebanyak tiga kali maka setiap keluarga memperoleh tiga nilai.
Nilai rata-rata setiap keluarga adalah jumlah tiga nilai dibagi tiga.
Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik
batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di
masyarakat berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas
nilai di setiap lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya tidak
bisa seragam untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditentukan oleh
petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki kualifikasi untuk
itu. Titik batas nilai ditetapkan dengan mempertimbangkan ciri-ciri
atau karakteristik peringkat.
Uji Aplikasi PWR
Uji aplikasi dilakukan di 6 provinsi, masing-masing satu lokasi. Peneliti
bertindak sekaligus sebagai fasilitator. Menurut tipe masyarakatnya, 4 lokasi
berupa masyarakat perdesaan dan dua lokasi berupa masyarakat perkotaan.
Keenam lokasi merupakan calon lokasi program pemberdayaan fakir miskin.
Berikut adalah deskripsi aplikasi setiap tahap PWR.
1. Tahap Persiapan
Seluruh kegiatan pada tahap ini dapat dilakukan dengan baik disemua lokasi. Kegiatan diawali dengan menemui Kepala Kelurahan/Desa. Tim Fasilitator didampingi oleh aparat Dinas Sosial Provinsidan atau Dinas Sosial Kota/Kabupaten. Perkenalan dengan KepalaKelurahan/Kepala Desa berlangsung dengan baik. Kepada merekadijelaskan bahwa kegiatan dilakukan masih sebatas mengujicobakanteknik. Kepada masing-masing juga dijelaskan secara singkat tujuandan teknik pelaksanaan PWR. Masing-masing tidak keberatan diwilayahnya dilakukan kegiatan dan bersedia membantu. BersamaKepala Desa/Kelurahan ditetapkan bagian wilayahnya yang akan
104 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
dijadikan lokasi. Fasilitator menjelaskan kriteria lokasi uji coba PWRyang diinginkan. Pada akhirnya lokasi terpilih menjadi bervariasi dimasing-masing provinsi. Cakupan lokasi menjadi berbeda, di Medanmeliputi satu lingkungan, di Subang dan Samarinda dua RT, di Balisatu dusun, dan seterusnya (lihat Tabel 1). Hal tersebut terjadi dalamupaya mencapai jumlah KK sebanyak antara 150 sampai 200 KK.
Perkenalan dan penjelasan lebih lanjut dilakukan dengan aparat
pemerintah di tingkat RT/RW/Kepala Dusun/Kepala Lingkungan.
Persiapan lebih krusial berlangsung bersama mereka. Intensitas kerja
lebih banyak dilakukan bersama aparat terbawah. Bersama Ketua RT/
RW/Lingkungan/Dusun dilakukan: pemilihan perwakilan warga,
penetapan lokasi pertemuan, pengaturan jadwal dan logistik. Kepada
mereka juga ditanyakan apakah warganya saling mengenal satu dengan
yang lain. Perwakilan warga di lokasi yang terdiri dari dua atau lebih
satuan administrasi (misal di Samarinda dua RT dan di Belu tiga dusun)
ditetapkan secara proporsional, sekaligus dengan memperhatikan
keseimbangan menurut jenis kelamin. Pemilihan dilakukan dengan
melibatkan ketua-ketua wilayah masing-masing dan sejumlah tokoh
setempat. Pelaksanaan PWR di Samarinda (Kaltim), Subang (Jabar)
dan Wonogiri (Jatim) bertepatan dengan bulan puasa. Kegiatan
dilaksanakan pada waktu dan tempat yang disepakati.
105Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Tabel 1. Lokasi Aplikasi PWR dan Tipe Masyarakatnya
No. PROVINSI KOTA/KAB
Kecamatan DESA/KEL. SATUAN TIPE
1. Sumatera Utara
Kota Medan Kec. Medan Denai
Kelurahan Tegalsari
Mandala 1
Lingkungan (1): L IX
Kota
2. Jawa Barat Kabupaten Subang Kec. Cipunagara
Desa Jati, Dusun Jati
Rukun Tetangga (2): RT 22 dan RT 23 RW 5
Desa
3. Jawa
Tengah
Kabupaten
Wonogiri Kec. Purwantoro
Desa
Kenteng
Dusun (1) :
Dusun Ploso Jenar
Desa
4. Bali Kabupaten Buleleng Kec. Bangli
Desa Kayubihi
Dusun (1) : Dusun Pucangan
Desa
5. Nusa Tenggara
Timur
Kabupaten Belu, Kec.
Lamaknen
Desa Lakmaras
Dusun (3): Sabulmil, Obipul,
Abistas
Desa
6. Kalimantan Timur
Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang
Kelurahan Selili
Rukun Tetangga (2): RT 29 dan RT 30
Kota
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, fasilitator bekerja bersama perwakilan warga
atau disebut juga Tim Pemeringkat. Pada pertemuan pertama diawali
dengan perkenalan dan penjelasan. Di semua lokasi pertemuan berjalan
dengan baik, fasilitator dapat menyampaikan penjelasan dan hingga
dipahami perwakilan warga. Pertanyaan yang banyak disampaikan
warga adalah seputar tidak lanjut, apakah akan ada bantuan untuk
warga setempat. Kesan umum yang muncul adalah sepertinya mereka
tidak percaya bahwa mereka dapat melakukan pemeringkatan atau
mereka meragukan manfaatnya, karena pemerintah sudah memiliki
ukuran sendiri. Di beberapa tempat Tim Perwakilan warga minta
agar fasilitator terlebih dahulu menetapkan ukuran miskin atau tidak
miskin. Hal ini dapat dipahami sebagai indikasi, bahwa warga
masyarakat sudah lama demikian tergantung pada instruksi, tidak
percaya diri, kehilangan inisiatif. Kejadian berbeda terjadi di Buleleng
(Bali), perwakilan warga dalam sesi tanya jawab seperti
”menginterogasi” fasilitator dengan cara sangat halus. Seperti meminta
memperlihatkan KTP, Surat Tugas, dan Rekomendasi Badan Linmas
setempat.
Pembuatan peta di semua lokasi berjalan mulus, semua peserta
aktif, saling mengingatkan, memberi informasi, suasana rileks dan
santai. Hubungan dengan fasilitator mulai cair. Peta dibuat menurut
wilayah satuan administrasi, misalnya di Subang dibuat dua peta,
masing-masing untuk RT 22 dan RT 23. Demikian juga di lokasi lain
yang kegiatan mencakup lebih dari satu wilayah administrasi.
Pembuatan peta berlangsung melalui dua cara berbeda: pertama,
langsung sekali jadi; kedua, terlebih dahulu membuat sketsa kemudian
disalin kembali di atas kertas karton. Pelajaran berharga diperoleh
dari Wonogiri, salah seorang aparat Dinas Sosial setempat mengambil
alih proses pembuatan peta akibatnya muncul kesulitan. Proses
kemudian diulang lagi, seharusnya pembuatan peta diserahkan kepada
warga.
Pendaftaran KK di semua lokasi berlangsung lancar. Nama
masing-masing KK sesuai nomor urut pada peta ditulis pada form
yang sudah disiapkan. Di semua lokasi tidak ditemukan kesulitan berarti,
Perwakilan Warga (Tim Pemeringkat) berhasil mengidentifikasi semua
106 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
KK setempat. Hasil kegiatan ini adalah daftar nama KK berikut alamat,
nama panggilan dan nama isteri masing-masing. Fenomena yang
menarik adalah jumlah KK yang dilaporkan sebelumnya oleh aparat
pemerintah setempat ternyata berbeda dengan temuan penelitian (lihat
Tabel 2). Kecuali di Belu (NTT), jumlah KK hasil pemetaan lebih
banyak dibanding data pemerintah setempat. Hal demikian patut
diwaspadai karena dapat dibaca sebagai indikasi adanya sejumlah
keluarga yang tidak tercover. Dalam konteks pemberdayaan, hal
demikian sama artinya dengan menghilangkan akses sejumlah keluarga
untuk masuk pada program yang diselenggarakan untuk mereka.
Pertanyaan yang banyak muncul di semua lokasi adalah seputar
siapa yang dimaksud keluarga. Misalnya, seorang anak yang sudah
menikah tetapi masih tinggal bersama orangtuanya, seorang nenek
yang tinggal bersama keluarga anaknya, seorang anak yang sudah
menikah kemudian cerai dan kembali bersama orangtuanya, atau
keluarga pendatang yang tinggal di rumah kontrakan di lingkungan
setempat. Sesuai dengan semangat pemberdayaan, semua kasus-kasus
seperti di atas didaftar sebagai keluarga tersendiri.
107Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Tabel 2. Banyaknya Kepala Keluarga Menurut Data
dan Temuan di Lokasi Penelitian
LOKASI BANYAKNYA KEPALA
KELUARGA
NO. PROVINSI/KAB/KOTA/
KEC/KEL
SATUAN
PEMUKIMAN
SETEMPAT
DATA
DESA
DITEMU-
KAN
PERBE-
DAAN
1. Sumut,Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1
L9 183 305 122
RT 29 63 70 7
RT 30 86 109 23
2. Kaltim Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang Kel. Selili
Jumlah 149 179 30
RT 22 70 76 6
RT 23 82 90 8
3. Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati Jumlah 152 166 14
RT1/5 63
RT2/5 43
RT3/5 40
RT4/5 61
RT1/6 48
RT2/6 41
4. Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Ploso Jenar Dusun Ploso Jenar
Jumlah 212 343 131
5. Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli,Desa kayubihi
Dusun Pucangan
189 276
Dusun Sabulmil 63 60 -3
Dusun Obipul 43 42 -1
Dusun Abistas 53 51 -2
6. NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras
Jumlah 159 153 -6
Kesulitan terjadi di Medan (Sumut), perwakilan warga ternyata
tidak hafal nama sebagian KK setempat. Mereka mengenal wajahnya
tetapi tidak tahu siapa namanya. Ada dua persoalan pada kasus ini
yang tidak diantisipasi sebelumnya. Pertama, jumlah penduduk di lokasi
jauh melebihi data yang disampaikan Ketua Lingkungan sebelumnya,
yaitu 187 KK. Setelah dilakukan pemetaan, ditemukan sebanyak 305
KK; Kedua, hubungan antar dua kelompok besar penduduk ternyata
kurang harmonis, salah satu kelompok tertutup bagi kelompok yang
lain.
Pembuatan kartu keluarga di semua lokasi dilakukan sekaligus
dengan pendaftaran nama KK. Kedua kegiatan dilakukan setelah peta
selesai digambar. Selama pembuatan kartu tidak ditemukan kesulitan
serius. Fasilitator dapat menjalankan tugasnya dengan baik, semua
kegiatan dilakukan oleh Tim Perwakilan Warga. Kendala yang dihadapi
di beberapa lokasi adalah form dan blanko yang disiapkan tidak
mencukupi karena jumlah penduduk melampaui perkiraan. Sementara
itu, salah satu faktor yang cukup mendukung kelancaran kegiatan adalah
terdapatnya anggota perwakilan warga yang mampu menulis dengan
jelas dan cepat.
Sebelum sorting, terlebih dahulu dilakukan diskusi konsep. Pada
kegiatan ini fasilitator dituntut mampu menggali pendapat peserta.
Jika tidak cukup di fasilitasi, pengertian yang disampaikan cenderung
abstrak. Di semua lokasi berhasil dirumuskan pengertian konsep
”miskin” dan ”sangat miskin”. Berikut adalah contoh definisi miskin:
a) Lingkungan 9 Kel. TSM 1 Kota Medan.
Ciri-ciri sebuah keluarga miskin menurut hasil diskusi adalah: (1).Rumah numpang (pada orangtua, mertua atau saudara); (2). Makandari pemberian orang (anak/saudara/tetangga) atau mengemis;(3). Pendidikan anak putus sekolah sebelum tamat SD atau SLTP;(4). Tidak sanggup membayar biaya pengobatan apabila salahseorang anggotanya perlu berobat di rumah sakit. Biasanya caripinjaman; (5). Pekerjaan tidak tetap (serabutan).
b) RT 29 dan RT 30 Kel.Selili, Kota Samarinda.
(1) Makan seadanya. Memperoleh makanan dari bantuan orang
lain atau mengharap dari “raskin”. Lauk asal ada: contohnya
ikan asin murahan.
108 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
(2) Pekerjaan dan penghasilan tidak tetap. Untuk memenuhi
kebutuhan makan (pokok) selalu utang. Penghasilan rata-rata
per hari kurang dari Rp.25.000,- atau kurang Rp.750.000,- per
bulan.
(3) Tidak punya tempat tinggal sendiri yang layak huni. Biasanya
numpang pada keluarga lain atau menyewa rumah yang tidak
layak. Rumah Tidak layak huni yang dimaksud adalah rumah
yang komponen-komponennya, seperti dinding, lantai dan atap
sudah lapuk atau bocor.
(4) Anggota keluarga sering sakit karena kurang gizi.
(5) Tidak mampu membayar biaya pengobatan di rumah sakit.
(6) Peralatan rumah tangga sangat minim. Misalnya tidak punyaTV.
(7) Tidak mampu membeli air bersih.
(8) Tidak mampu menyediakan biaya pendidikan anak hinggaminimal tamat SLTP.
Setelah diskusi konsep selesai dilanjutkan dengan penjelasan danperagaan bagaimana melakukan sorting. Teknik sorting seperti padamanual The SEF tampak cukup mudah dijelaskan oleh fasilitator danmudah dipahami serta mudah dilakukan perwakilan warga di semualokasi. Perwakilan warga kemudian dibagi menjadi 3 kelompokmasing-masing dengan 3 sampai 4 orang anggota. Tugas masing-masing kelompok adalah menilai seluruh keluarga denganmemperbandingkan satu dengan yang lain berdasar kondisi sosialekonomi. Kegiatan ini disebut juga sorting, sementara kelompoknyadisebut juga Kelompok Penilai.
Pelaksanaan sorting berlangsung dalam dua model. Modelpertama, secara simultan, ketiga kelompok penilai bekerja secarabergantian. Model kedua, secara paralel, kelompok penilai melakukansorting secara terpisah pada waktu bersamaan di lokasi yang sama.Cara kedua ini dilakukan di kebanyakan lokasi karena di pandanglebih mudah dan mengirit waktu. Pada sorting dengan model paralelkartu keluarga perlu disiapkan sedemikian rupa, sehingga ketigakelompok penilai dapat melakukan tugasnya. Misalnya di buat rangkaptiga (pengalaman di Subang dan Samarinda) atau tetap di buat rangkapsatu, tetapi dibagi tiga bagian (pengalaman di Medan).
109Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Dalam prakteknya sorting berlangsung lancar, kelompok penilaidapat menilai setiap keluarga dan menempatkannya ke dalamkelompok atau kategori tertentu. Hal tersebut dimungkinkan karenasemua anggota Kelompok Penilai mengenal dengan baik keluarga-keluarga setempat. Banyaknya kategori bervariasi antara satu lokasidengan lokasi lain, mulai dari 4 sampai 6 kategori. Hasil sorting terdiridari dua bagian penting. Pertama, catatan pada kategori mana sebuahkeluarga ditempatkan dan alasan informatif mengapa ditempatkanpada kategori tertentu. Kedua, nilai bagi masing-masing keluarga.Karena sorting dilakukan sebanyak tiga kali maka masing-masingkeluarga memperoleh tiga nilai dan tiga catatan alasan. Nilai berasaldari atau tergantung pada tumpukan mana dia ditempatkan dan jumlahseluruh tumpukan (lihat sub bagian penghitungan nilai di atas). Kesulitanterjadi apabila Kelompok Penilai tidak mengenal dengan baik keluarga-keluarga setempat. Kejadian seperti ini dialami di Medan, sejumlahkeluarga tidak dikenal dengan baik oleh Kelompok Penilai, sehingganilai yang dihasilkan tidak konsisten.
3. Tahap Penghitungan Nilai
Penghitungan nilai yang dimaksud adalah mulai dari menetapkan
nilai setiap keluarga sampai mencari nilai rata-rata. Menetapkan nilai
masing-masing keluarga dilakukan oleh tiga Kelompok Penilai melalui
proses sorting. Karena itu sorting dapat disebut juga sebagai proses
penilaian. Kelompok penilai di semua lokasi tidak mengalami kesulitan
memahami sistem menetapkan nilai. Mereka mudah memahami nilai
tertinggi ditetapkan sebesar 100 diberikan kepada setiap keluarga
termiskin yang kartunya berada pada tumpukan paling kiri, tumpukan
ke-4. Sistem penetapan nilai demikian ternyata ditolak para peserta
(anggota kelompok Penilai) di semua lokasi. Alasan mereka seragam,
yaitu nilai tertinggi selalu diberikan kepada yang terbaik. Analog dengan
sistem penilaian anak sekolah. Keberatan warga diterima oleh fasilitator
di semua lokasi, nilai tertinggi diberikan kepada keluarga terkaya.
Sistem ini diterima dengan pertimbangan tidak merubah substansi
pengelompokkan.
Dengan ketentuan demikian, apabila sebuah kelompok penilaimembagi penduduk menjadi 4 kategori (tumpukan), maka nilaimasing-masing keluarga mulai dari termiskin sampai terkaya adalah
110 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
25,50, 75 dan 100. Pada umumnya jumlah kategori yang ditetapkanoleh tiga Kelompok Penilai di suatu lokasi adalah sama, sebanyak 4,5 atau 6. Sistem penilaian tetap sama. Nilai masing-masing keluargadengan mudah dapat dimasukkan kelompok penilai ke form yangdisiapkan. Penghitungan nilai rata-rata dapat dilakukan dengan lancaroleh peserta. Mudah bagi mereka menghitung (25 + 25 + 50) : 3.Kesempatan memasukkan nilai ke form ternyata sekaligus berfungsimelakukan kontrol. Masing-masing peserta ternyata memperhatikankeluarga siapa dapat nilai berapa. Mereka spontan mengajukan protesjika merasa ada keluarga yang diberi nilai tidak semestinya.
Berdasarkan nilai rata-rata diketahui peringkat kemiskinan setiap
keluarga. Keluarga dengan nilai terendah adalah keluarga termiskin.
Keluarga dengan nilai tertinggi adalah keluarga terkaya. Dalam upaya
penyederhanaan, peringkat keluarga digolongkan menjadi 4 sampai 6
golongan peringkat (lihat Tabel 3).
111Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
LOKASI GOLONGAN PERINGKAT Sosial Ekonomi NO.
PROVINSI/ KAB/KOTA/
KEC/KEL
SPS
JML PEND
I II III IV V VI
1. Sumut, Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1
L9 305 52 97 68 73 15 -
RT 29 70 6 28 41 5 - -
RT 30 109 5 34 63 7 - -
2. Kaltim Kota Samarinda Kec. Smrd Seberang Kel. Selili Jumlah 179 11 72 104 12 - -
RT 22 76 25 22 29 - - -
RT 23 90 18 37 31 4 - -
3. Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati
Jumlah 166 43 59 60 4 - -
RT 1/5 63 12 22 15 9 5 -
RT 2/5 43 10 14 14 4 1 -
RT 3/5 40 6 23 10 7 2 -
RT 4/5 61 10 25 9 11 6 -
RT 1/6 48 11 26 6 4 1 - RT 2/6 41 10 22 6 3 - -
4. Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Kenteng
Jumlah 343 65 155 68 40 15 -
5. Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli, Desa Kayubihi
Dusun Pucangan
276 108 104 60 4 - -
Sabulmil 60 4 7 4 28 13 4
Obipul 42 2 1 4 21 11 2
Abistas 51 8 2 4 21 14 2
6. NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras
Jumlah 153 14 1 14 70 38 8
Tabel 3. Distribusi Keluarga menurut Golongan Peringkat
Kondisi Sosial Ekonomi Di Lokasi Penelitian
4. Menetapkan Sasaran Program
Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik
batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di masyarakat
berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas nilai di setiap
lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya, tidak bisa seragam
untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditetapkan dengan
mempertimbangkan ciri-ciri atau karakteristik peringkat. Titik batas
nilai ditentukan oleh petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki
kualifikasi untuk itu. Contoh: Penduduk dibagi menjadi 4 kategori
maka terdapat 10 variasi nilai rata-rata yang muncul, yaitu (lihat Tabel).
112 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
Tabel 4. Variasi Nilai Rata-Rata yang berpeluang
Muncul dan Peringkatnya
NILAI No.
A B C JML RATA2 PERINGKAT
GOLONGAN PERINGKAT
1. 25 25 25 75 25 1
2. 25 25 50 100 33 2
I Paling Miskin
3. 25 50 50 125 41 3
4. 50 50 50 150 50 4
5. 50 50 75 175 58 5
II Miskin
6. 50 75 75 200 66 6
7. 75 75 75 225 75 7
8. 75 75 100 250 83 8
III
9. 75 100 100 275 92 9
10. 100 100 100 300 100 10 IV
Dengan memperhatikan karakteristik umum keluarga sesuai nilai
rata-rata atau peringkatnya dapat ditentukan “titik batas poin” keluarga
yang berhak menjadi sasaran program. Hal ini harus disesuaikan
dengan karakteristik sasaran program yang dirancang sebelumnya.
Sasaran program P2FM kemungkinan bukan keluarga dengan nilai
terendah, mungkin keluarga dengan nilai 33 sampai 41.
Keberhasilan Teknik PWRTeknik PWR berhasil dengan baik mengelompokkan secara relatif
semua keluarga di setiap lokasi menurut peringkat sosial ekonomi. Denganteknik PWR berhasil diidentifikasi keluarga termiskin di setiap lokasi.Penggolongan keluarga bervariasi di setiap lokasi. Di tiga lokasi, yaitu diKaltim, Jabar dan Bali keluarga digolongkan menjadi 4 peringkat. DiSumatera Utara dan di Jawa Tengah dibagi menjadi lima peringkat keluarga.Sedangkat di NTT menjadi 6 peringkat keluarga. Peringkat tertinggi, (yaitu
peringkat 4 di Kaltim, Jabar dan Bali; peringkat 5 di Jateng dan Sumutdan peringkat 6 di NTT) terdiri dari keluarga terkaya. Di bawahnya berturut-turut keluarga yang lebih rendah secara sosial ekonomi. Keluarga termiskinadalah keluarga yang masuk pada peringkat satu. Di setiap lokasi, masing-masing peringkat berhasil dideskripsikan gambaran kondisi sosialekonominya.
Standar Keabsahan DataTeknik PWR dilengkapi dengan ukuran keabsahan tersendiri, yaitu:
konsistensi skor. Apabila 90% konsisten maka hasil penilaian kelompoktersebut dianggap dapat dipercaya. Sebaliknya apabila skor tidak konsistenlebih dari 10% maka hasil penilaian kelompok itu perlu diragukan. Nilaikonsisten yang dimaksud adalah apabila nilai yang diberikan oleh tigakelompok penilai adalah sama atau kalau berbeda maksimal perbedaansebesar 25 poin. Contoh: Kelompok Penilai A memberi nilai kepadakeluarga nomor urut 1 sebesar 20. Apabila Kelompok Penilai B memberinilai pada keluarga yang sama sebesar 60 maka nilai tersebut dianggaptidak konsisten. Konsistensi nilai di semua lokasi ternyata di atas 90%. DiJabar dan Kaltim konsistensi nilai bahkan mencapai 100%, di Bali, Jatengdan NTT nyaris 100%. Dengan demikian tampak bahwa teknik PWR dapatmenghasilkan data yang kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan.
Alasan lain untuk tidak meragukan keabsahan data yang diperolehdengan teknik ini adalah:
1. Hasil observasi atas beberapa keluarga miskin setelah proses penilaianselesai, tampak bahwa penilaian yang diberikan Tim Pemeringkatcukup objektif. Hal tersebut diyakini karena home visit di ke-6 lokasimemperlihatkan keluarga yang memperoleh nilai rata-rata rendah,memang kondisinya miskin.
113Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
LOKASI No.
PERBEDAAN NILAI Sumut Kaltim Jabar Jateng Bali NTT
1. 0 – 25
(Konsisten)
258
(84,6%)
179
(100%)
166
(100%)
331
(96,5%)
273
(99,9%)
151
(98,7%)
2. 26 >
(inkonsisten)
47
(15,4%)
0
(0%)
0
(0%)
12
(3,5%)
3
(0,1%)
2
(1,3%)
Jumlah 305 179 166 343 276 153
Tabel 5. Distribusi dan persentase keluarga menurut
perbedaan nilai
2. Upaya seseorang untuk menempatkan sebuah keluarga pada peringkat
yang tidak sesuai, lebih kaya atau menjadi lebih miskin, tampak sulit
terjadi. Karena: pertama, penilaian dilakukan berlapis, ada saling
mengontrol antara peserta.; kedua, proses penilaian dengan kartu
memperkecil peluang; ketiga, masih ada rasa malu para perwakilan
warga untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak sesuai.
Pengecualian terjadi di Medan, nilai inkonsisten meliputi 15,4%. Hasil
penilaian tiga kelompok penilai di Medan ternyata tidak dapat dipercaya
sepenuhnya.
Kelebihan dan Kendala
Kelebihan PWR adalah:
a) Teknik PWR mudah dipahami dan mudah dilakukan meskipun olehwarga berpendidikan rendah.
b) Waktu pelaksanaan fleksibel, dapat dilakukan di luar jam kerja.
c) Masyarakat merasa dihargai karena seluruh proses dilakukan olehmereka dan sesuai dengan ukuran yang berlaku sehari-hari dimasyarakatnya.
d) Dapat mengidentifikasi seluruh keluarga yang bertempat tinggal diwilayah setempat, PWR cukup cermat. Data yang diperoleh tidaksekedar angka tetapi lengkap dengan identitas mulai dari nama KK,pekerjaan, alamat dan nama isteri. PWR berpeluang untukmengumpulkan data PSKS (Potensi Sosial Kesejahteraan Sosial) danPMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) lebih luas/banyak.
e) PWR dengan konsep keluarga lebih membawa nuansa keadilan.Keluarga yang sudah tidak lengkap, seperti janda yang tinggal serumahdengan keluarga anaknya, atau anak yang sudah menikah tetapi tinggalbersama orangtua/mertua dihitung sebagai keluarga tersendiri.
f) Pada proses pemetaan versi The SEF, peta semata-mata untukmengidentifikasi keluarga. Mengamati proses yang terjadi, peta dapatdiperluas sehingga memuat unsur PSKS dan PMKS.
g) Pada proses pendaftaran nama KK versi The SEF informasi yangdikumpulkan meliputi nama KK, nama panggilan, pekerjaan dan namaisteri. Ketika aplikasi PWR dilakukan di lapangan, tampak bahwapengumpulan data dapat diperluas/diperdalam sesuai kepentingan.
114 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
h) Pada proses sorting, ketika melakukan penilaian/perbandingan satukeluarga dengan keluarga lainnya, dikumpulkan informasi lanjutantentang kondisi sosial ekonomi masing-masing keluarga.
Kendala dalam pelaksanaan PWR adalah:
a) Masyarakat kita sudah terbiasa dengan instruksi.
b) Diperlukan kesabaran fasilitator untuk melakukan seluruh proses.
c) Pada masyarakat di mana hubungan sosial antara kelompok tidakharmonis atau renggang, pemilihan informan (perwakilan warga) harushati-hati, melibatkan semua kelompok.
d) Bahasa dapat menjadi kendala jika tidak ada penterjemah.
e) Masyarakat cenderung mengharapkan bantuan.
Indomie VS Jagung
Pemeringkatan keluarga dengan Teknik PWR, seperti dialami selama
penelitian, dapat dilakukan oleh dua orang fasilitator bersama sebanyak 9
orang perwakilan warga untuk sebanyak 150 sampai 200 KK dalam waktu
tiga hari. Untuk wilayah perdesaan, seperti pada kasus Wonogiri dan Bangli,
di mana penduduknya homogen dan memiliki interaksi sosial yang relatif
tinggi, dengan tenaga dan waktu yang sama dapat memperingkatkan lebih
dari 200 KK.
Dengan waktu dan tenaga seperti tersebut di atas, hasil yang diperoleh
meliputi:
1. Peta wilayah pemukiman setempat
2. Daftar nama KK seluruh penduduk SPS.
3. Daftar alasan penempatan setiap keluarga pada peringkat tertentu.
4. Konsep miskin menurut masyarakat setempat;
5. Daftar nilai seluruh KK
6. Daftar nama KK menurut peringkat sosial ekonomi, mulai daritermiskin sampai terkaya, di setiap SPS.
Hasil lain yang juga tidak ternilai harganya adalah dampak yang
ditimbulkan pada pribadi perwakilan warga dan pada masyarakat sebagai
kesatuan sosial.
115Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
1. Pada pribadi perwakilan warga mereka merasa dihargai dan didengarpendapatnya.
2. Sebagai kesatuan sosial, masyarakat diakui dan dihargai eksistensinya.Bandingkan jika petugas datang lalu melakukan survey tanpa pedulipendapat masyarakat setempat. Perasaan inferior warga bisa diangkat.Sikap selalu menunggu instruksi bisa berkurang. Rasa percaya diritumbuh.
3. Pengalaman perwakilan warga mengikuti kegiatan ini dapat dijadikanlandasan membangun sistem pegumpulan data PSKS dan PMKSsecara berkesinambungan. Mereka dapat melaksanakan sendiri PWRsecara berkala baik untuk kepentingan mereka sendiri maupunkepentingan pihak lain, termasuk pemerintah.
4. Melalui proses pelaksanaan PWR, fasilitator dapat menangkap situasiumum masyarakat, seperti: kecurigaan warga terhadap pendatang(di Bali); ketidakpecayaan warga atas penjelasan aparat pemerintah(di NTT); hubungan sosial yang kurang harmonis antara kelompokpenduduk pribumi dan non pribumi (di Medan).
5. Pelaksanaan PWR selain berguna untuk pengumpulan data sekaligusdapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi program.
6. Pelaksanaan PWR dapat menjadi titik awal (merangsang) muncul danberkembangnya kesadaran dan tanggung jawab sosial bersama sesamawarga untuk memecahkan masalah masyarakat.
Apakah teknik PWR efesien? Mahal atau murah, praktis seperti
memasak mie instan atau memerlukan waktu relatif lama seperti memasak
jagung? Sangat tergantung dari sisi mana pengukuran dilakukan. Kalau
pembangunan hendak mengejar ”setoran” maka teknik PWR terasa boros
dan mahal. Apabila pembangunan kesejahteraan sosial ingin konsisten
hendak membangun masyarakat sebagai basis perkembangan mandiri,
mendidik manusia, PWR menjadi super murah.
Kesimpulan dan SaranPWR cukup efektif digunakan untuk mengidentifikasi keluarga
menurut urutan kemiskinannya secara partisipatif. PWR memungkinkanpartisipasi masyarakat disalurkan secara representatif dan menghasilkan datasecara sistematik. Teknik ini mudah dilakukan oleh fasilitator yang dilatihsecara singkat dan perwakilan masyarakat sekali pun berpendidikan rendah.
116 Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
PWR potensial digunakan untuk menjaring informasi lebih dalam (spesifik)maupun lebih luas. PWR juga dapat digunakan sebagai landasanpengembangan sistem pengumpulan data berkelanjutan berbasismasyarakat.
Apabila identifikasi dan seleksi sasaran Program Pemberdayaan FakirMiskin hendak dijadikan kegiatan produktif, maka PWR dapat dijadikanpilihan teknik. PWR tidak sekedar mengidentifikasi keluarga miskin dantermiskin, tetapi sekaligus merangsang prakarsa masyarakat. Namunsebelum digunakan secara luas untuk mengidentifikasi dan seleksi sasaranP2FM, PWR perlu terlebih dahulu digunakan secara terbatas di beberapakabupaten, sehingga diperoleh pengalaman riil. Pada aplikasi PWR harusdiwaspadai prosesnya dilakukan dengan benar. Walapun teknik sudah cukuppartisipatif tetapi jika tidak digunakan dengan benar hasil akhirnya akanberbeda.
DAFTAR PUSTAKA
David S Gibbon, Anton Simanowitz, ben Nkuna; 1999, Cost Effective
Targeting: Two Tools to Identify the Poor; CASHPOR Technical Service,
Negeri Sembilan, Malaysia.
Djohani, Rianingsih (Ed); 1996, Berbuat Bersama Berperan Setara:
Penerapan Participatory Rural Appraisal; Bandung Driyamedia untuk
Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusatenggara.
117Puslitbang Kesos
Participatory Wealth Ranking
PEMBERDAYAAN KELUARGA
DI WILAYAH PERBATASAN
(Identifikasi Masalah dan Kebutuhan)1
Sugiyanto, S.Pd, M.Si. 2
ABSTRAK
Penelitian ini, merupakan studi kasus wilayah perbatasan di lima
propinsi (Kepulauan Riau, Kalimatan Barat, Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Timur dan Papua), dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah,
kebutuhan dan potensi serta untuk mendapatkan konsep model
pemberdayaan keluarga di wilayah perbatasan. Penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif-kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
menganalisis data yang bersifat kualitatif wawancara dengan para informan,
yaitu: pemuka masyarakat (formal, informal), LSM, Perguruan Tinggi dan
aparat instansi daerah terkait. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan
untuk menganalisis data dari responden yang bersifat kuantitatif. Informan
ditentukan secara purposive dengan teknik pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara, observasi, dokumentasi dan focus group discussion. Data
kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi,
sedangkan data kualitatif dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian
data, yang akhirnya dilakukan pengambilan kesimpulan.
Secara umum, permasalahan yang dihadapi oleh keluarga di wilayah
perbatasan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan,
keterampilan serta ketidakmenentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan
penghasilannya. Untuk itu kebutuhan yang dibutuhkannya antara lain
memfasilitasi mereka untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi,
pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya). Adapun
1 Diangkat dari penelitian “Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan”-Identifikasi
Masalah dan Kebutuhan, dengan anggota Tim : Konsultan : Dr. Marzuki, M.Sc.; Prof. Dr. H.Agus Suradika, M.Pd. Ketua Tim : Drs. Masngudin, M. Hum. Anggota : Ir. Erliwati Suin;
Rukmini Dahlan, BA.; Drs. Muchtar, M.Si.; Sugiyanto, S.Pd., M.Si. Sekretariat : Bahder Husni,S.Sos. dan Haryanto, SST.
2 Sugiyanto, Ajun Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial, Badan Pendididkan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.
119Puslitbang Kesos
potensi (sosial, alam dan SDM) masih sangat terbuka sekali untuk dapat
didayagunakan. Secara umum intervensi kebijakan (program pembangunan)
pemerintah dan Orsos telah dilakukan tetapi secara spesifik yang mengarah
terhadap pemberdayaan keluarga belum dilakukan. Karena program yang
telah dilakukan masih bersifat charity. Konsep model pemberdayaan keluarga
yang ditawarkan adalah konsep model pemberdayaan keluarga di daerah
perbatasan secara terpadu dan berkelanjutan. Konsep model tersebut masih
perlu diujicobakan dan disosialisasikan ke berbagai pihak agar dapat menjadi
program yang lebih efisien dan efektif.
Kata kunci:
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
17.504 pulau. Dua pertiga wilayahnya terdiri dari perairan dengan garis
pantai sekitar 81.000-an km dan terletak diantara dua benua (Australia dan
Asia) serta dua samudera (Pasifik dan Hindia) memiliki perbatasan baik
darat maupun laut (http//www.tnial.mil.id).
Secara demografis, penyebaran penduduk di wilayah perbatasan
umumnya jarang dan sporadis. Di wilayah yang berbatasan darat, misalnya:
Kalbar, Kaltim, NTT jumlah penduduknya sedikit, sebarannya sangat jarang.
Sedangkan pada perbatasan laut, termasuk pulau-pulau terluar, bahkan tidak
berpenghuni (KRA XXXVIII, Lemhanas R.I., 2004).
Abdulhadi (LIPI) mengidentifikasi sejumlah permasalahan di wilayah
perbatasan, yaitu: pergeseran batas negara, minimnya pembangunan
infrastruktur, kesenjangan kehidupan dengan negara tetangga, arus informasi
dari dalam negeri kurang dan lebih deras arus dari negeri tetangga,
kemiskinan penduduk, sampai kurangnya perhatian dari sektor-sektor
terhadap pembangunan wilayah perbatasan (MI, 2 Januari 2006). Oleh
karena itu, Menko Polhukkam - dalam Rapat Tim Koordinasi Pengelolaan
Pulau-Pulau Terluar yang beranggotakan 17 menteri - menegaskan, masalah
perbatasan saat ini merupakan masalah krusial yang harus mendapatkan
perhatian khusus. Rencana pembangunan itu antara lain: peningkatan
keamanan, pelayanan bagi masyarakat serta penyediaan navigasi pelayaran
(MI, 30 Januari 2006).
120 Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Sejalan dengan pemikiran itu, pemberdayaan keluarga di wilayah
perbatasan merupakan keharusan, karena keluarga mempunyai peran
penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mutu
suatu masyarakat ditentukan oleh kualitas kesatuan primer ini. Akan tetapi,
kenyataan empirik menunjukkan, banyak keluarga (di perbatasan) di dera
berbagai masalah seperti: kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya kesehatan & nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak,
anak-anak yang tidak sekolah dan berbagai masalah sosial lainnya.
Terkait dengan itu, Puslitbang Kessos Depsos RI (2006) melakukanpenelitian, bertujuan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan keluargadi daerah perbatasan, serta ekplorasi model-model pemberdayaan keluargabaik yang telah maupun sedang dilaksanakan oleh berbagai pihak di daerah,unsur Pemda maupun masyarakat (LSM). Penelitian ini merupakan inputbagi penyusunan konsep model pemberdayaan keluarga di daerahperbatasan, yang nantinya diharapkan dapat diterapkan oleh unit operasionalDepartemen Sosial R.I. dalam hal ini Direktorat Pemberdayaan Keluargadan pihak terkait lainnya; Pemda, Dunia Usaha, LSM/Orsos dan PerguruanTinggi.
Menurut para ahli, keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama
dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai
mahluk sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan,
1988). Soekanto (1990) juga menyatakan, keluarga adalah: (1) pelindung
bagi pribadi-pribadi anggotanya, agar ketenteraman dan ketertiban
diperoleh dalam keluarga tersebut; (2) unit sosial ekonomi yang secara
material memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya; (3) menumbuhkan
dasar-dasar bagi kaidah pergaulan hidup; dan (4) merupakan wadah
terjadinya proses sosialisasi awal bagi manusia mempelajari dan mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor :10 Tahun 1992 dinyatakan, keluargaadalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atausuami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalamkonteks penelitian ini, yang dimaksud keluarga adalah keluarga miskin yangtinggal di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain. Yang padaumumnya mereka dalam kondisi keterbatasan baik secara fisik (saranatransportasi, komunikasi & lainnya yang tidak memadai, bahkan tidaktersedia), maupun nonfisik (tingkat pendapatan rendah, tingkat pendidikanrendah, derajat kesehatan rendah dan lain sebagainya).
121Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Ketidakberdayaan
Isolasi
Kemiskinan Kelemahan Fisik
Kerentanan
Bagan 1. Perangkap Depriasi(Sumber : Chambers, 1983)
Adapun arti dari pemberdayaan (empowerment) itu sendiri merupakan
konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran
masyarakat dan kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Ife (1995) memberikan
batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas
sumber, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi
di dalam dan memenuhi kehidupan komunitas mereka.
Dalam konsep pemberdayaan, terdapat dua hal yang saling berkait,
yaitu: kondisi berdaya dan ketidakberdayaan. Terkait dengan
ketidakberdayaan, Chambers (1983) mengemukakan konsep perangkap
deprivasi (concept of deprivation trap). Ia menganalisis penyebab kemiskinan
sebagai hubungan sebab akibat yang saling berkait dari powerlessness
(ketidakberdayaan), vulnerrebality (kerentanan), physical weakness (kelemahan
fisik), poverty (kemiskinan) dan isolation (keterisolisasian). Chambers lebih
lanjut menjelaskan, ketidakberdayaan membatasi akses terhadap sumber
daya negara, memperumit keadilan hukum terhadap penyelewengan,
hilangnya kekuatan tawar menawar, membuat rakyat semakin tidak
mempunyai kemampuan terhadap permintaan mendadak untuk
pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu
sengketa. Saling keterkaitan kelima itu dapat dicermati pada gambar berikut:
122 Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Menurut Oakley & Marsden (1984) dalam Pranarka & Moeljarto
(1996), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (1)
proses primer, yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan,
kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, agar menjadi lebih berdaya
membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka; dan (2) proses sekunder, dengan menekankan pada menstimuli,
mendorong, memotivasi masyarakat, agar mempunyai kemampuan/
keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Kedua proses ini bukan
klasifikasi kaku, tetapi saling terkait. Agar kecenderungan primer terwujud,
seringkali harus melalui proses sekunder terlebih dahulu.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-kuantitatif. Informan
ditentukan secara purposive mereka memahami secara baik kondisi daerah
perbatasan. Atas pertimbangan itu, informan dalam penelitian ini adalah:
(a) pemuka masyarakat setempat (formal-informal); (b) orsos/LSM; (c)
perguruan tinggi; (d) aparat instansi Pemerintah Daerah terkait. Responden
ditentukan secara random sampling - kepala keluarga di daerah berbatasan.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi,
dokumentasi, dan focus group discussion. Lokasi penelitian didasarkan atas
pertimbangan, lokasi tersebut berbatasan langsung dengan negara lain. Atas
dasar itu, lokasi terpilih adalah: (a) Kampung Skouw Sae (Jayapura Papua)
berbatasan darat dengan PNG; (b) Desa Pancang (Nunukan Kaltim)
berbatasan darat & laut dengan Malaysia; (c) Dusun Bungkang (Sanggau
Kalbar) berbatasan darat dengan Malaysia; (d) Desa Berakit (Bintan Kepri)
berbatasan laut dengan Malaysia & Singapura; dan (e) Desa Silawan (Belu
NTT) berbatasan darat dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
Data kuantitatif dianalisis secara distributive-frekuentif, sedangkan data kualitatif
dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian data, yang akhirnya dilakukan
pengambilan kesimpulan.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan, sejumlah permasalahan keluarga yang
mengedepan di daerah perbatasan lokasi penelitian adalah: kemiskinan
penduduk, yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan serta keterampilan
dan ketidak menentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan penghasilannya.
123Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Masalah tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian, dan
ketidakberdayan secara sosial, politik, dan psikologis. Kondisi tersebut
diperparah oleh berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan,
transportasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (pasar), serta belum ada
program pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan,
baik yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dengan demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan adalah:
memfasilitasi mereka, untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi,
pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya).
Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan,
fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan
untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi).
Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan
untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, adalah: adanya rasa
kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial pada keluarga
di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembaga-lembaga (in-
formal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi terjadinya
perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian, perkebunan)
yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka meningkatkan
taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Adapun intervensi
kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah dilakukan
terhadap keluarga di wilayah perbatasan, adalah: pembangunan sarana
prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi (pasar) dan pemukiman,
BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg UKM dan lainnya). Intervensi
kebijakan pemerintah tersebut di rasakan masih jauh dari yang diharapkan,
karena masih lebih bersifat charity, tidak berkelanjutan, tidak ada
pendampingan dan tidak ada monitoring dan evaluasi. Demikian halnya
intervensi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat (Orsos/LSM: dalam, luar
negeri), juga bersifat philantropy.
Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Berdasarkan permasalahan, kebutuhan, potensi tersebut model yang
ditawarkan ini akan diuraikan melalui variabel-variabel: lokasi penelitian
(desa/kecamatan/ kabupaten), permasalahan, kebutuhan, potensi, metode,
model yang ditawarkan (yang dilihat dari pelatihan, penyuluhan, UEP,
124 Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
pendampingan) dan user. Model tersebut seperti terlihat pada bagan tersebut
di bawah ini :
125Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
Keluarga di daerah
perbatasan
Intervensi: � Pelatihan,
bimbingan � Bantuan teknis
(pendampingan) � Bantuan: Kebutuhan
pokok, bahan bangunan perbaikan rumah, &
UEP.
Diperolehnya pengetahuan, keterampilan,
bantuan: Pendamping,
kebutuhan pokok, bahan
bangunan perbaikan rumah, &
bantuan UEP
Keberdayaan Keluarga
LMS/Orsos
Pemuka Masyarakat
Pengawasan
Masyarakat (Pelaku perubahan)
Pemerintah (Fasilitator)
Bagan 2. Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan.
Model tersebut memungkinkan untuk direplikasikan di tempat lain,
tentunya selain di lima wilayah perbatasan yang menjadi sampel penelitiaan
ini. Namun, masih diperlukan adanya penyempurnaan dalam usaha
memperkecil kelemahan dan menjawab ancaman. Sesuai dengan prinsip
participatory action research (PAR), maka untuk menghasilkan model yang
diharapkan memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, uji coba
perlu dilaksanakan berkali-kali untuk meredesign sesuai dengan hasil uji coba.
Pelaksanaan uji coba dalam penelitian ini nantinya masih terbatas pada
lima lokasi penelitian awal (Bintan, Sanggau, Nunukan, Belu dan Jayapura),
yang mewakili perbatasan darat maupun laut dengan negara tetangga. Setelah
itu bisa di uji cobakan lagi pada daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Sehingga nantinya didapatkan/dihasilkan model yang variatif untuk setiap
jenis wilayah perbatasan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian itu disimpulkan bahwa permasalahan
umum keluarga di daerah perbatasan, adalah kemiskinan penduduk. Masalah
tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian dan ketidakberdayan
secara sosial, politik dan psikologis. Kondisi tersebut diperparah oleh
berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan, transportasi,
pendidikan, kesehatan dan ekonomi (pasar), serta belum adanya program
pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan, baik
yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan
demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan antara lain: memfasilitasi
mereka, setidaknya untuk dapat mengakses terhadap sistem sumber
informasi, pengetahun, keterampilan, ekonomi, kesehatan dan lainnya.
Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan,
fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan
untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi melalui KUBE,
misalnya).Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan
untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, antara lain: masih
kentalnya rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial
pada keluarga di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembaga-
lembaga (informal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi
terjadinya perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian,
perkebunan) yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka
meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Sedangkan
intervensi kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah
dilakukan terhadap keluarga di daerah perbatasan lokasi penelitian, antara
lain: pembangunan sarana prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi
(pasar) dan pemukiman, BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg
UKM dan lainnya), masih jauh dari yang diharapkan, karena masih lebih
bersifat charity tidak berkelanjutan, tidak ada pendampingan dan tidak ada
monitoring dan evaluasi.
Dalam upaya pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan, untukitu direkomendasikan, pertama: secara internal (Depsos R.I.) perlu dirancangsuatu konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan secaraterpadu dan berkelanjutan. Seperti konsep model yang ditawarkan (pre-scriptive) tersebut di atas. Kedua: secara eksternal, dipandang perlu: (a)penyusunan rancangan perundang-undangan tentang daerah perbatasanantar negara/pulau terluar/terpencil, sebagai acuan secara nasional dalamupaya mengembangkan daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil tersebut dalam rangka memperkokoh rasa nasionalisme dan tetaputuhnya NKRI; (b) membentuk semacam lembaga nasional, yang khususmenangani daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil.
126 Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. (1983). Rural development: Putting the last first, Published
by Longman scientific and technical, essex, United Kingdom.
Depsos R.I., Ditjen. Pemberdayaan Sosial, D it. Pemberdayaan Peran
Keluarga. (2002). UU. R.I. Nomor: 10 Tahun 1992 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluar ga
Sejahtera.Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Tugas Di.
Pemberdayaan Peran Keluarga
Gerungan, W.A. (1988). Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.
Ife, Jim. (1995). Community Development: Creating community alternatives-vision,
analysis and practice, Australia, Longman Pty Ltd.
Pranarka, A.M.W. & Moeljarto, Vindyandika. (1996). Pemberdayaan (Em-
powerment). Pemberdayaan, konsep, dan implementasi, Jakarta: Centre for
Strategic and Intenational Studies (CSIS).
127Puslitbang Kesos
Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan
EVALUASI PROGRAM SUBSIDI PANTI
DALAM MENDUKUNG KELANGSUNGAN
PELAYANAN PANTI SOSIAL1
Drs. Nurdin Widodo 2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pemanfaatan subsidi oleh panti-
panti sosial; (2) pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhan makanan
dan pengembangan usaha ekonomi produktif; dan (3) upaya panti-panti sosial dalam
mengatasi masalah pembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan).
Penelitian ini mengambil sampel lokasi panti di Provinsi Sumatera Utara, NusaTenggara Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Data daninformasi digali melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus dan studidokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistika deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya subsidi makanan dimanfaatkanuntuk meningkatkan kualitas makan pokok dan makanan tambahan dan memberikanpengaruh positif pada peningkatan kualitas menu makanan dan jenis makanantambahan. Adapun subsidi Usaha Ekonomis Produktif (UEP) dimanfaatkan untukmembuka UEP baru atau pengembangan UEP yang sudah ada, yang hasilnyamenunjukkan perubahan positif meskipun baru sebagian kecil panti sosial mengalamipeningkatan omset dan aset setelah mendapatkan subsidi. Terkait dengan masalahtersebut adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan dalam pengelolaan UEP.
Panti-panti sosial pada umumnya masih tetap mengharapkan agar subsidimasih diterima pada masa-masa mendatang. Hal ini menggambarkan, bahwa tingkatketergantungan panti-panti sosial terhadap pemerintah masih sangat tinggi. Dalamupaya mengatasi masalah pembiayaan, sebagian kecil dari panti sudah memiliki upayakonkret dan sebagian lainnya masih berupa gagasan. Namun, upaya ini menurutpengelola panti tetap belum bisa membantu biaya operasional panti.
Kata kunci:
Subsidi Panti, pemanfaatan subsidi, Pengaruh subsidi, Upaya panti, Harapan panti,
Implikasi kebijakan
1 Diangkat dari hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Subsidi Panti Dalam Mendukung
Kelangsungan Pelayanan Sosial oleh Drs. Nurdin Widodo (Ketua), Drs. Suradi, M.Si,Drs. B. Mujiyadi, MSW, Dra Nunung Unayah, Ivo Noviana, S.Sos dan Muslim Sabarisman, AKS.
Penerbit Puslitbang Kesos Depsos RI, 2006
2 Nurdin Widodo, Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial,Departemen Sosial RI
129Puslitbang Kesos
Pendahuluan
Setiap makhluk hidup pasti memiliki kebutuhan dan sifatnya menuntut
pemenuhan dengan sesegera mungkin. Sebab apabila tidak segera dipenuhi
akan menimbulkan masalah baik yang bersifat individual (private trouble)
maupun gangguan yang bersifat kolektif (public issues). Menurut Neil Gil-
bert dan Harry Spect (dalam Sukoco, 1991), bahwa setiap manusia
dimanapun dan kapanpun secara universal memiliki sejumlah kebutuhan,
yaitu kebutuhan fisik, emosional, intelektual, spiritual dan sosial.
Selo Soemardjan (1997), membagi kebutuhan manusia menjadi tiga
jenis, yaitu (1) kebutuhan dasar (basic needs); (2) kebutuhan sosial-psikologis
(social-phsyicological needs); dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs).
Krisis ekonomi yang hingga saat ini masih dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat termasuk didalamnya lembaga-lembaga pelayanan sosial
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan dasar ini masih merupakan hambatan.
Dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah apabila kebutuhan
dasar saja tidak dapat terpenuhi. Disinyalir terdapat lembaga pelayanan
sosial yang merasa terancam kelangsungannya dan bahkan tidak tertutup
kemungkinan mereka akan menghentikan kegiatannya
Sebagai bentuk tanggung jawab dan kemauan politik, pemerintah
telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap permasalahan
ini. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah diluncurkannya
program Bantuan Biaya Makanan dan Bantuan Usaha Ekonomis Produktif bagi
panti-panti sosial di seluruh Indonesia oleh Departemen Sosial.
Sejak diluncurkan, program ini terus mengalami peningkatan dari segi
jumlah subsidi maupun jumlah panti dan klien penerima subsidi. Pada tahun
2005, panti sosial yang menerima prorgam subsidi sebanyak 4.308 unit,
dengan rincian sebanyak 149.050 orang klien menerima bantuan biaya
makanan, 855 panti menerima bantuan Usaha Ekonomis Produktif (UEP)
dan 93 panti menerima pengembangan UEP.
Di dalam Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 50/HUK/2005
tentang Standardisasi Panti Sosial, ditegaskan bahwa salah satu jenis pelayanan
yang diberikan oleh panti sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar yang
meliputi makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Khusus untuk
memenuhi pemenuhan kebutuhan makan klien, diharapkan pihak panti
sosial melakukan konsultasi dengan ahli gizi dari instansi kesehatan setempat
130 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
guna memperoleh daftar menu makan yang memenuhi standar gizi dan
kesehatan. Melalui konsultasi ini maka pelayanan makan bagi klien, terutama
untuk anak-anak, tidak hanya bermanfaat secara fisik, akan tetapi juga
bermanfaat dalam pengembangan intelegensi dan psikomotorik. Kemudian
bagi para lanjut usia, pelayanan makan diharapkan akan mencegah atau
mengendalikan gangguan fisik dan menjaga kebugaran.
Konsep pelayanan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Alfred J.
Khan (Soetarso, 1980), pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh lembaga
kesejahteraan sosial disebut dengan “pelayanan kesejahteraan sosial”. Di negara-
negara berkembang tertentu, pelayanan kesejahteran sosial dimaksudkan
sebagai pelayanan yang difokuskan pada bantuan untuk perorangan atau
keluarga yang mengalami masalah penyesuaian diri dan pelaksanaan fungsi
sosial atau ketelantaran. Di negara lainnya digunakan istilah “pelayanan sosial”
untuk mencakup apa yang terkandung dalam pengertian pelayanan
kesejahteraan sosial di atas ditambah dengan : (1) Bantuan sosial, yaitu yang
ditekankan pada pemberian bantuan uang dan atau barang; (2) Program-
program kesehatan yang tidak tercakup oleh program yang dikembangkan
oleh swasta; (3) Pendidikan, Perumahan rakyat; (4) Program-program
ketenagakerjaan; dan (5) Fasilitas umum.
Menurut Anthony H. Pascal (dalam M.R. Siahaan, 2004) tujuan
pelayanan sosial adalah: (1) memberikan perlindungan kepada orang yang
mengalami kehilangan kemampuan; (2) menyediakan pilihan-pilihan kepada
penerima pelayanan; (3) mengembangkan keberfungsian sosial; dan (4)
meningkatkan keadilan untuk memperoleh kesempatan.
Dalam rangka memperoleh informasi tentang bagaimana realisasi
subsidi panti tersebut di lapangan dan pengaruhnya terhadap kelangsungan
panti sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial perlu
melaksanakan “Penelitian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Program Subsidi
Panti dalam mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial”. Tujuan yang
akan dicapai melalui penelitian ini, adalah :
1. Diketahuinya pemanfaatan subsidi panti oleh panti-panti sosial.
2. Diketahuinya pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhanmakanan dan pengembangan usaha ekonomis produktif (UEP).
3. Diketahuinya upaya panti-panti sosial dalam mengatasi masalahpembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan).
131Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Adapun manfaat yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai
bahan pertimbangan rasional bagi pimpinan Departemen Sosial dalam
pengembangan kebijakan dan program pemberdayaan panti sosial di
Indonesia.
Metode PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi (evaluatif research), yang
dilaksanakan dalam upaya mengetahui kekuatan dan kelemahan programsubsidi panti sosial, serta suatu cara menentukan perbaikan bagi parapengambil keputusan di Direktorat Jenderal Pelayanan dan RehabilitasiSosial. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbanganvariasi panti sosial yang menerima subsidi dari Departemen Sosial padatahun 2005. Adapun jenis-jenis panti sosial yang menjadi sasaran dalampenelitian ini adalah : Panti Sosial Asuhan Anak, Panti Sosial Tresna Werdha,Panti Sosial Penyandang Cacat, Panti Sosial Pamardi Putra dan Panti SosialTuna Sosial. Berdasarkan pertimbangan persebaran data panti penerimaprogram subsidi panti, maka penelitian ini dilaksanakan di 5 (lima) provinsi,yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta,Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Di setiap lokasi penelitian ditentukanpanti sosial sebanyak 10 unit dengan mempertimbangkan variasi panti sosial.Sumber data untuk setiap provinsi terdiri dari unsur Dinas Sosial provinsi(2 orang), pengelola panti sosial (10 orang) dan klien (10 orang), yangditentukan secara purposive. Dengan demikian jumlah responden di limaprovinsi adalah 360 orang (10 orang Instansi sosial, 100 orang pengelolapanti dan 250 klien panti). Teknik pengumpulan data yang digunakanwawancara, diskusi kelompok terfokus dan studi dokumentasi.
Data yang terkumpul, dianalisis secara kualitatif dan dideskripsikansesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan melalui tahapanediting, kategorisasi, tabulasi, analisis dan interpretasi. Secara kualitatif, datayang terhimpun dianalisis dengan mempertimbangkan informasi danmasukan dari tiap responden dan informan lainnya yang didapat melaluiwawancara.
Gambaran Umum Panti SosialPanti sosial yang menjadi sampel dalam Penelitian ini adalah panti
sosial milik pemerintah daerah (74%) dan milik masyarakat (26%). Khususuntuk Provinsi Sumatera Utara, panti sosial milik pemerintah daerah tidak
132 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
memperoleh subsidi panti. Adapun jenis dan jumlah panti sosial terdiridari 32 Panti Sosial Anak Terlantar (64%), 5 Panti Sosial Lanjut Usia (10%),7 Panti Sosial Penyandang Cacat (14%), 4 Panti Sosial Tuna Sosial (8%) dan2 Panti Sosial Napza (4%).
Sarana perkantoran yang dimiliki panti sosial berdasarkan data
sekunder di setiap panti menunjukkan sebanyak 26% panti sosial belum
memiliki komputer, 10% belum memiliki telepon dan sebanyak 72% belum
memiliki faxcimilie. Sementara peralatan sound system dan tape recorder baru
22% yang memilikinya. Peralatan kantor lainnya seperti meja kerja dan
lemari arsip sudah dimiliki oleh panti-panti sosial dengan jumlah terbatas,
sedangkan filling cabinet, calculator dan brankas dimiliki oleh sebagian kecil
panti-panti sosial. Sarana teknis seperti modul sebagai alat/panduan
pelayanan kepada klien hanya sebagian kecil (26%) panti sosial yang
memilikinya dan umumnya panti sosial milik pemerintah daerah. Peralatan
olah raga dan kesenian sebagian besar (88%) sudah memilikinya. Sementara
peralatan terapi medik, fisioterapi dan alat pijat refleksi dimiliki oleh panti
sosial cacat dan panti sosial Napza. Sebanyak 48% panti sosial memiliki
kendaraan bermotor roda empat dan 96% memiliki kendaraan roda dua.
Sumber dana tetap berasal dari Dinas Sosial provinsi (54%), Yayasan
Dharmais (48%), APBD (32%,) dan dari donatur/masyarakat sebesar
18%. Sumber dana tidak tetap terbesar berasal dari donatur/masyarakat
(72%) dan Dinas Sosial provinsi (28%).
Secara struktural panti-panti sosial pemerintah dipimpin oleh seorang
kepala, dibantu oleh beberapa orang kepala seksi yang diangkat berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Daerah setempat (Bupati/Walikota). Sedangkan
pimpinan panti sosial swasta sebagian besar diangkat dan diberhentikan
oleh pengurus yayasan, sebagian para pengurus/pengelola panti (kepala,
sekretaris, bendahara, pengasuh dan tenaga lainnya) ada yang berasal dari
anggota keluarganya sendiri.
Jumlah tenaga di 50 panti sosial sebanyak 937 orang dan 69,05%
diantaranya adalah tenaga tetap, yakni Pegawai Negeri di panti-panti sosial
pemerintah., sedangkan tenaga tidak tetap merupakan tenaga honor panti.
Tingkat pendidikan tenaga panti terdiri dari SLTA (44,99%), sarjana muda,
sarjana dan pasca sarjana (44,11%), sedangkan tenaga yang berpendidikan
SD dan SLTP (9,77%) bertugas sebagai pengemudi, bagian gudang, juru
masak, tukang cuci dan satpam. Tenaga teknis terdiri dari pengasuh
133Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
(37,04%), pekerja sosial (27,37%), kerohanian (13,32%) dan lainnya adalah
instruktur, psikolog, perawat, dokter/psikiater, analis laboratorium dan
konselor. Khusus tenaga teknis pekerjaan sosial secara kuantitas masih relatif
terbatas, yaitu rata-rata 3 orang per panti sosial, yang rata-rata per pekerja
sosial mendampingi 74 orang klien. Rasio ini sangat berat terutama untuk
klien penyandang masalah pathologis, seperti penyandang cacat dan korban
napza.
Pemahaman tentang pekerja sosial ini di setiap panti berbeda-beda.Sebagian besar panti-panti sosial milik pemerintah daerah berpendapatbahwa tenaga pekerja sosial merupakan tenaga profesi yang seharusnyamempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial, atau yang pernahmengikuti pelatihan profesi pekerjaan sosial. Sementara sebagian panti(terutama panti sosial swasta) menyatakan bahwa pekerja sosial yangdimaksud disini adalah relawan sosial yang melaksanakan pelayananberdasarkan charitatif. Perbedaan persepsi tentang pekerjaan sosial iniberpengaruh terhadap pelayanan sosial kepada klien
Bentuk dukungan paling besar (74%) terhadap panti-panti sosial dalamjaringan kerja adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam bentukpengobatan kepada klien di puskesmas dan rumah sakit serta pelatihankeperawatan untuk lanjut usia. Sedangkan pelatihan keterampilan diberikanoleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Dinas Perindustrian memberikandukungan magang kerja melalui kerjasama dengan dunia usaha, KantorUrusan Agama memberikan bantuan pembimbing agama/mental kepadaklien, Dinas Sosial dan BKKKS memberikan dukungan pelatihanmanajemen panti. Namun, pelatihan ini baru diberikan sebanyak 46% daripanti-panti sosial. Selain itu pihak kepolisian juga memberikan penyuluhantentang bahaya Napza. Dukungan dalam bentuk beasiswa diberikan olehMuhammadiyah dan gereja.
Mengenai pemenuhan kebutuhan fisik klien, diperoleh informasi
sebanyak 50% panti memberikan menu makan tiga sehat plus berupa nasi,
sayur, lauk dan pauk, kadang-kadang buah. Sedangkan 36% memberikan
makan tiga sehat berupa nasi, sayur dan lauk pauk. Hanya sebagian kecil
panti sosial yang memberikan menu makan empat sehat dan empat sehat
plus berupa nasi, sayur, lauk pauk, kadang-kadang buah bahkan kadang-
kadang susu. Menu makanan rata-rata terdiri dari makanan pokok, sayur,
lauk pauk, buah ditambah susu. Sedangkan makanan tambahan diwujudkan
dalam bentuk kue, kolak, kacang hijau dan buah-buahan.
134 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Sebagian besar (96%) panti-panti sosial memberikan pakaian sekolah,
pakaian lebaran, pakaian ibadah (sarung, baju koko, mukena) dan pakaian
dalam, yang biasanya dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri dan Natal,
sedangkan pakaian sekolah diberikan sesuai kebutuhan klien. Kadang-
kadang pakaian juga diberikan oleh para dermawan pada saat mengadakan
kunjungan ke panti.
Sebagian besar tempat tinggal klien menggunakan asrama (96%),
lainnya dalam bentuk wisma (cottage). Apabila dilihat dari total jumlah klien,
95,83% klien tinggal dalam asrama dan 4,17% tinggal di cottage.
Sebagian besar (98%) Panti sosial juga memberikan peralatan/
perlengkapan mandi seperti sabun mandi, sabun cuci, sikat gigi, odol, handuk
dan pakaian dalam. yang diberikan setiap bulan dan ada yang tidak setiap
bulan. Dalam bidang kesehatan, pelayanan yang diberikan meliputi P3K,
rujukan ke puskesmas atau rumah sakit umum/daerah setempat.
Mengenai kegiatan pembinaan fisik, sebagian besar panti sosial
melaksanakan kegiatan senam secara rutin, sedangkan bola volley, sepak
bola dan tenis meja dilaksanakan secara insidentil pada sore hari. Pelaksanaan
bimbingan fisik sebagian besar memanfaatkan tenaga dari dalam panti,
sedangkan penyuluhan kesehatan melibatkan tenaga Puskesmas setempat.
Jenis bimbingan mental/psikososial yang dilaksanakan di panti-panti sosial
meliputi bimbingan agama, bimbingan bicara (spech therapy), bimbingan
kedisiplinan, konsultasi, pramuka dan psikoterapi.
Pemahaman bimbingan sosial di setiap panti berbeda-beda sesuai
dengan persepsi pimpinan/pengelola panti sosial. Jenis bimbingan sosial
yang selama ini diberikan oleh panti-panti sosial meliputi sosialisasi dengan
lingkungan/masyarakat, pengabdian masyarakat dan gotong royong.
Bimbingan keterampilan yang ada di panti-panti sosial memiliki tujuan
yang berbeda-beda. Secara umum kegiatan ini mempunyai tujuan: (1)
memberikan keterampilan kepada klien, sehingga kegiatan ini merupakan
program pokok bagi klien dalam panti, seperti yang dilaksanakan oleh
Panti Sosial Bina Remaja; (2) sebagai terapi dalam usaha membantu
penyembuhan klien sebagaimana kegiatan keterampilan yang dilaksanakan
oleh Panti Sosial Bina Laras; dan (3) merupakan kegiatan ekstra kurikuler
atau sekedar mengisi waktu luang. Walaupun memiliki tujuan yang berbeda,
sebagian besar (86%) panti sosial melaksanakan bimbingan keterampilan
135Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
secara rutin, 2 % melaksanakan bimbingan keterampilan secara insidentil
dan 12 % panti sosial tidak melaksanakan bimbingan keterampilan. Jenis
bimbingan keterampilan di setiap panti sosial bervariasi, yang disesuaikan
dengan kondisi masing-masing panti. Setiap panti sosial ada yang
melaksanakan 1 atau 2 jenis keterampilan ada juga yang melaksanakan 3 - 5
jenis keterampilan. Pelaksana kegiatan ini, sebagian memanfaatkan tenaga
dalam panti, sebagian panti memanfaatkan tenaga dari Dinas Tenaga Kerja,
Koperasi dan dunia usaha.
Pemanfaatan Subsidi Panti
1. Subsidi Makanan
Panti-panti yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
panti-panti sosial yang mendapatkan subsidi makanan pada tahun 2004
dan 2005. Namun, untuk tahun 2005 ini tidak semua panti yang menjadi
responden mendapatkan subsidi makanan. Panti-panti milik
pemerintah daerah untuk Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan
tidak mendapatkan subsidi makanan dengan alasan sesuai dengan Surat
Edaran dari Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang menyatakan
bahwa panti milik Pemerintah tidak mendapatkan subsidi ini. Padahal,
menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial, yang tidak mendapatkan subsidi makanan adalah panti milik
Pemerintah (pusat) bukan milik Pemerintah Daerah.
Tidak semua panti sosial mendapatkan subsidi makanan sesuai
dengan jumlah klien. Dari 50 panti sosial dengan jumlah klien 3.693
orang, yang mendapatkan subsidi sebanyak 2.450 orang atau 66.94%
dari total klien dalam panti sosial. Untuk itu pemanfaatan subsidi
diserahkan sepenuhnya kepada panti-panti yang menerimanya. Dengan
demikian, ada keleluasaan bagi pengelola panti untuk mengelola subsidi
sebatas untuk biaya makanan dan bukan untuk kebutuhan yang lain.
Bagi panti yang telah memiliki sumber tetap seperti dari APBD (khusus
panti pemerintah), dari Yayasan Dharmais, dari Yayasan pendukung
utama operasional panti dan sebagainya, subsidi panti dapat digunakan
sebagai tambahan sumber dana panti.
Subsidi makanan yang besarnya Rp. 2.250,- per orang sangat
signifikan sebagai suplemen pemenuhan makanan klien yang digunakan
136 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
untuk menambah jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada
klien. Untuk Panti Pemerintah, subsidi dimaksud digunakan untuk
menambah lauk-pauk, makanan tambahan dan susu. Hal ini berkaitan
dengan sudah adanya dukungan APBD untuk menu pokok harian.
Sedangkan untuk panti swasta, subsidi makanan terkesan menjadi
“yang utama”. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya/kurangnya
sumber dana tetap. Apabila dibandingkan dengan harga eceran
tertinggi (HET) setempat untuk jenis barang yang dikonsumsi klien
sehari-hari, secara rata-rata maka jumlah anggaran dimaksud antara
kurang dan lebih dari mencukupi.
Menu makanan yang diberikan panti Pemerintah mengikuti menu
yang sudah ditetapkan dengan jadwal yang pasti dan masih dapat
memberikan buah dan susu serta makanan tambahan seperti kacang
hijau, meski tidak setiap hari. Sedangkan panti swasta, ada yang belum/
tidak dapat memberikan makanan tambahan. Namun demikian, ada
satu panti swasta yang dapat memberikan makanan tambahan.
Menu makanan yang diberikan panti kepada kliennya diusahakan
sedemikian rupa untuk memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna. Namun
demikian, untuk sebagian panti swasta standar tersebut masih dirasakan
sebagai ’utopia’ karena perbandingan jatah SOSH dengan harga
setempat masih relatif jauh.
Membandingkan jatah SOSH dengan HET setempat tampak
adanya angka ’minus’ dari anggaran panti untuk mengadakan bahan
makanan tiap harinya. Untuk itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
137Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Tabel 1. Perbandingan SOSH dengan kebutuhan tiap orang
No. Provinsi SOSH
(Rp)
Harga Kebutuhan per orang
per hari (Rp)
Kekurangan
(Rp)
1. Sumut 7.500,- 10.120,- 2.620,-
2. NTB 9.000,- 10.100,- 1.100,-
3. DI Yogya 10.000,- 11.150,- 1.150,-
4. Kalbar 9.600,- 11.140,- 1.540,-
5. Sulsel 11.000,- 9.900,- 1.100,-
Panti-panti pemerintah yang mendapatkan jatah SOSH tampakterjadi defisit tiap harinya, sehingga tuntutan untuk dapat memenuhistandar 4 sehat 5 sempurna hampir pasti tidak dapat terpenuhi. Kondisiini lebih parah dirasakan oleh panti swasta, karena tidak memiliki
sumber dana tetap seperti yang dimiliki panti pemerintah. Daripengamatan pada waktu penelitian, tampak bahwa beberapa pantihanya mampu memberikan makanan seadanya kepada kliennya. Klientidak setiap saat mendapatkan jatah lauk pauk yang memenuhi standargizi dan bahkan kalau mereka mendapatkan makanan harian hanyadalam wujud nasi dan sayur yang dimasak dengan cara diberikanbanyak kuah.
Banyak panti swasta yang hanya dapat merasakan lauk pauk enakapabila klien panti dimaksud diundang untuk acara selamatandi masyarakat sekitar panti atau panti mendapatkan hantaran darimasyarakat dalam wujud makanan matang. Khusus untuk Yogya,tampak bahwa indeks kebutuhan lebih tinggi, meskipun secara umumdiketahui bahwa HET relatif lebih murah bila dibandingkan denganprovinsi lain. Di Yogya panti milik pemda memberikan snack/makanan ringan pada medio pagi dan sore. Harga makanan ringandimaksud ditetapkan Rp 1.000,- tiap kali dan dengan demikian tiaphari diperlukan Rp 2.000,- untuk makanan ringan dimaksud. Jadi nilaiRp 11.150,- untuk Yogya merupakan kebutuhan paling besardibandingkan panti-panti di provinsi lain.
2. Subsidi Usaha Ekonomi Produktif
Tidak semua panti responden mendapatkan subsidi UEP yang
besarnya Rp 10 juta (subsidi baru) dan Rp 25 juta (subsidi
pengembangan usaha). Untuk itu dapat dilihat tabel berikut ini.
138 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
No. Subsidi UEP Jumlah %
1. Baru 31 panti 62
2. Pengembangan 4 panti 8
3. Tidak ada UEP 15 panti 30
Tabel 2. Jenis Subsidi UEP yang didapatkan
Dari 31 panti yang mendapatkan subsidi UEP baru dan 4 panti
yang mendapatkan subsidi pengembangan UEP dan dimanfaatkan
untuk berbagai jenis usaha, dari yang sifatnya ternak, usaha kerja hingga
usaha jasa. Selain itu diketahui bahwa terdapat panti yang
mengembangkan usahanya dalam 1 jenis atau lebih jenis usaha.
Mengenai variasi jenis usaha/kerja diperoleh informasi, bahwa
warung sembako menempati jumlah terbanyak (18,92%). Kemudian
wartel dan rental komputer menempati urutan ke dua (10,81%). Pilihan
ini tentunya berkaitan dengan kemudahan pemasaran dari hasil usaha/
kerja yang dipilih. Sedangkan jenis usaha lainnya, antara lain: ternak
ayam, kambing dan sapi, budidaya lele, menjahit, salon, tanaman hias,
bengkel, foto copy, koperasi/simpan pinjam, bengkel dan pertukangan.
Alasan pemilihan jenis usaha ini berkaitan dengan pemasaran (31,33%),
lokasi (21,69%), SDM/pengelola (13,25%) dan lain alasan.
Dalam memanfaatkan dana subsidi UEP, masing-masing pantikemudian menjalin relasi dengan pihak lain sehingga diharapkan dapatmencapai peningkatan kemampuan kerja/produksi sekaligus dalamrangka pemasaran. Adapun jalinan kerja dimaksud, antara lain denganpihak dunia usaha serta institusi milik pemerintah dan masyarakat.Meskipun demikian terdapat panti yang tidak melakukan jalinan kerjasama karena usahanya ada yang memang sudah dalam keadaan tidakoperasi dan sebagian merasa dapat mengatasi sendiri masalahnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalinan terbanyak adalahdengan toko, terutama bagi panti yang mengembangkan UEP dalambentuk jualan sembako. Jalinan dimaksud terutama dalam rangkapengadaan bahan dagangan. Didapatkan informasi bahwa sebagiantoko memberikan kemudahan seperti mengambil barang terlebihdahulu dan baru membayar kemudian setelah barang dagangannyaterjual.
Jalinan terbesar ke dua adalah dengan PT Telkom. Ini berkaitandengan jenis usaha yang dikembangkan panti, yakni Wartel atau Warnet.Sementara itu, untuk jalinan dengan lembaga/institusi lain adalah dalamrangka peningkatan keterampilan dan pemeliharaan usaha.
Kerja sama dengan pihak lain baik dunia usaha maupun institusidimaksudkan sebagai praktek kerja, peningkatan kemampuan hinggaupaya pemasaran. Bentuk kerjasama/dukungan terhadap Panti Sosialantara lain praktek kerja, diklat perbengkelan, pemasaran danpenyuluhan kesehatan.
Pengaruh Subsidi
Untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh program subsidi
panti ini, analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang didukung
oleh tabel destribusi frekuensi dan diagram.
139Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
1. Makanan
Beberapa aspek terkait dengan makanan yang menjadi perhatian
dalam penelitian ini, yaitu frekuensi makan, menu makan (yang
menggambarkan kualitas makanan) dan makanan tambahan.
Pada aspek frekuensi makan, program subsidi panti tidak
memberikan pengaruh yang signifikan. Sebelum menerima subsidi,
96 persen panti sosial sudah memberikan makan tiga kali sehari dan
kemudian menjadi 100 persen setelah menerima subsidi, atau ada
penambahan sebesar 4 persen. Perubahan ini dinilai bermakna, karena
dengan subsidi panti akhirnya seluruh panti kini sudah sesuai dengan
Standardisasi Panti Sosial dalam pemberian makanan, khusunya dalam
hal frekuensi makan.
Aspek kedua dari makanan adalah menu makan klien dalam
panti sosial yang menggambarkan kualitas makanan yang dikonsumsi
oleh klien. Menurut ahli gizi, makanan dikatakan sehat apabila secara
umum telah memenuhi empat sehat lima sempurna, yaitu nasi, sayur,
lauk-pauk, buah-buahan dan susu. Ukuran ini sebagai dasar bagi
peneliti untuk mencermati menu makan yang disediakan panti sosial.
Pada umumnya sebagian besar panti sosial sudah menyusun
menu makan per hari bersama ahli gizi setempat. Namun, menu yang
telah disusun tersebut belum dapat dilaksanakan setiap hari karena
keterbatasan anggaran. Di lapangan, peneliti menemukan data, bahwa
panti sosial belum sepenuhnya mengikuti daftar menu makanan yang
yang telah disusun. Misalnya, untuk pemberian buah-buahan dan susu,
pada umumnya panti sosial memberikan 2 - 3 kali seminggu.
Berdasarkan kondisi lapangan itu, maka menu makan yang digunakan
dalam penelitian ini ada 5 (lima) ukuran, yaitu dua sehat, tiga sehat,
tiga sehat plus, empat sehat dan empat sehat plus yang menggambarkan
skala ordinal. Namun demikian, data yang dikumpulkan hanya
memenuhi 2 (dua) ukuran yaitu tiga sehat dan tiga sehat plus yang
akan dianalisis kemudian.
140 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Berdasarkan tabel di atas, program subsidi panti memberikan
pengaruh positif pada penyajian menu atau kualitas makanan panti
sosial.
Aspek berikutnya untuk melihat pemenuhan makanan klien
adalah pemberian makanan tambahan. Makanan tambahan memang
tidak termasuk makanan utama. Namun, klien panti sosial memerlukan
makanan tambahan sebagai tambahan gizi, baik terkait dengan tumbuh
kembang (bagi anak-anak) atau kesehatan (bagi orang dewasa).
Perbandingan sebelum dan sesudah subsidi dari makanan tambahan
dapat dilihat pada tabel berikut :
141Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Sebelum Sesudah No. Menu Makanan
F % F % 1. Tiga sehat 18 36 3 6 2. Tiga sehat plus 32 64 47 94
Jumlah 50 100 50 100
Tabel 3. Kualitas Makan Sebelum dan Sesudah Subsidi
Tabel 4. Makan Tambahan Sebelum dan Sesudah Subsidi
Sebelum Sesudah No. Makanan Tambahan
F % F %
1. Setiap hari 4 8 6 12
2. Kadang-kadang 28 56 42 84
Tidak ada 18 36 2 4
Jumlah 50 100 50 100
Berdasarkan data tersebut, program subsidi panti dapat
disimpulkan berpengaruh positif dan signifikan pada kemampuan
panti dalam memberikan makanan tambahan. Dari ketiga aspek yang
dicermati dalam penelitin ini bahwa :
1) Pengaruh terhadap frekuensi atau kuantitas permakanan, terjadipeningkatan dari semula 96 persen menjadi 100 persen panti sosialyang memberikan makan 3 kali sehari.
2) Pengaruh terhadap menu atau kualitas :
a) Terjadi penurunan dari semula 36 persen menjadi 6 persen
panti sosial yang memberikan makan tiga sehat (pindah ke tiga
plus).
b) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 94 persen
panti sosial yang memberikan makan tiga sehat plus.
3) Pengaruh terhadap makanan tambahan :
a) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 96 persen
panti sosial yang memberikan makanan tambahan.
b) Terjadi peningkatan dari semula 8 persen menjadi 12 persen
panti sosial yang memberikan makanan tambahan setiap hari.
c) Terjadi peningkatan dari semula 56 persen menjadi 84 persen
panti sosial yang memberikan makanan tambahan kadang-
kadang (2-3 kali seminggu).
Berdasarkan informasi tersebut disimpulkan, bahwa pengaruh
subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan makanan pada panti-panti
sosial pada kategori rendah, yaitu berkisar 30 persen. Data ini
menunjukkan, bahwa pada umumnya sebelum menerima program
subsidi panti, panti sosial sudah memberikan kebutuhan makanan
relatif baik, dilihat dari aspek frekuensi, menu dan makanan tambahan.
Panti sosial sudah berupaya memberikan pelayanan terbaik yang sesuai
dengan kebutuhan klien. Hal ini menggambarkan bahwa panti sosial
pada umumnya sudah memiliki pemahaman akan eksistensinya
sebagai organisasi pelayanan manusia (human service organization).
Meskipun secara kuantitatif pengaruh program subsidi panti
relatif rendah, tetapi secara kualitatif memberikan manfaat yang sangat
besar. Sebagaimana dikemukakan oleh para pengelola panti sosial,
program subsidi panti sangat membantu kelancaran proses pelayanan
dan karenanya perlu dilanjutkan.
2. Usaha Ekonomis Produktif
Berbagai jenis UEP diselenggarakan oleh panti sosial, yang hasilnya
dapat diambil harian, mingguan maupun bulanan. Dalam rangka
mengetahui pengaruh subsidi bidang UEP, ada 4 aspek yang dicermati
dalam penelitian ini, yaitu penambahan jenis UEP, penambahan omzet/
minggu, penambahan aset dan pemanfaatan untuk kebutuhan operasional.
Dari 32 panti sosial yang menerima program subsidi untuk
kegiatan UEP, sebesar 8 panti sosial (25%) sudah berkembang (ada
penambahan jenis UEP), dengan rincian 5 panti menambah satu jenis
usaha dan 3 panti menambah 2 jenis usaha. Jenis-jenis usaha yang
merupakan usaha tambahan dari usaha utama, yaitu rental komputer,
142 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
traso, ternak ayam dan wartel. Sebagian besar (75%) panti sosial masih
mengelola usaha utama dari program subsidi, meskipun sebanyak 14
panti sosial (43.75%) menerima subsidi untuk pengembangan UEP.
Hal ini berarti terdapat 6 panti sosial yang menerima subsidi
pengembangan UEP digunakan untuk menambah modal usaha
utamanya.
Aspek kedua dari UEP adalah penambahan omzet dari usahayang dikelolanya. Aspek ini digunakan untuk mengetahui sejauhmanaUEP yang dikelola panti sosial mengalami perkembangan dari kondisiawal. Hal ini didasari anggapan dasar, bahwa apabila panti sosial sudahmengelola UEP dengan baik minimal selama 1 tahun, maka sudahterjadi peningkatan omzet. Dari 32 panti sosial yang mengelola UEP,sebanyak 23 panti sosial (71.88%) mengalami peningkatan omzet, yangberkisar Rp. 25.000/minggu hingga Rp. 2.000.000,-/minggu. Namundemikian, pada panti sosial yang mengalami penambahan omzet,sebagian besar (82,61%) memiliki omzet berkisar Rp. 25.000,--Rp. 350.000,- atau rata-rata omzet Rp. 165.000,-/minggu atau rata-rata Rp. 660.000,-/bulan.
Perhitungan omzet ini hanya berdasarkan perkiraan pengelolasaja, tanpa didukung oleh bukti tertulis berdasarkan pembukuan yangbaik. Hal ini merupakan kendala dalam penelitian ini, karena dataobyektif dalam bentuk data kuantitatif tentang omzet ini tidak dapatdiperoleh. Berdasar informasi yang dihimpun dari pengelola, merekamemang tidak pernah memperoleh bimbingan pembukuan dalampengelolaan UEP. Oleh karena itu, lemahnya administrasi pengelolaanUEP ini tidak sepenuhnya kesalahan dari pihak penerima programsubsidi panti.
Aspek ketiga dari pemanfaatan subsidi untuk UEP adalahpenambahan aset panti sosial. Aspek ini dilandasi pula oleh anggapandasar, bahwa dalam waktu minimal 1 tahun panti sosial sudah mampumenambah asetnya dari hasil mengelola UEP. Dari 32 panti sosialyang menerima program subsidi panti untuk UEP, hanya 4 panti sosialyang sudah mampu menambah aset masing-masing 1 jenis, yaituperalatan rumah tangga, peralatan pesta, rak aluminium dan alatpembuat kacang telor. Hal ini menggambarkan, bahwa UEP yangdikelola oleh panti sosial belum mengalami perkembangansebagaimana yang diharapkan.
143Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Aspek berikutnya terkait dengan UEP ini adalah penambahan
untuk kebutuhan operasional. Kebutuhan operasional yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah kebutuhan yang mendukung secara
langsung pemenuhan kebutuhan klien. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebanyak 6 panti sosial (6.75%) dari 32 panti sosial yang
mengelola UEP sudah dapat menambah kebutuhan operasional, yaitu
penambahan pada kebutuhan makanan, alat-alat penerangan, alat-alat
keterampilan dan pendidikan. Sedangkan 81,25% belum ada
penambahan kebutuhan operasional panti.
Dari keempat aspek yang dicermati untuk mengetahui pengaruh
program subsidi panti terhadap pengelolaan UEP, diperoleh
informasi sebagai berikut :
1) Terjadi penambahan jenis UEP pada 8 panti sosial (25%). Jenis-jenis UEP antara lain rental komputer, traso dan ternak ayam.
2) Terjadi penambahan omzet pada 23 panti sosial (71,88%) yangbesarnya sebagian besar rata-rata Rp. 165.000,-/minggu.
3) Terjadi penambahan aset pada 4 panti sosial (12,5%) yang sudahmengalami penambahan aset, antara lain peralatan rumah tangga,peralatan pesta, rak aluminium dan alat pembuat kacang telor.
4) Terjadi penambahan kebutuhan operasional pada 6 panti sosial(6,75%), antara lain untuk mendukung makanan tambahan, alatpenerangan, pengadaan alat-alat keterampilan dan pendidikan.
Berdasarkan informasi tersebut, disimpulkan bahwa programsubsidi panti berpengaruh relatif rendah terhadap pengelolaan danpengembangan UEP. Dari 32 panti sosial yang menerima programsubsidi panti untuk UEP, yang menonjol pada penambahan omzet.Namun demikian, penambahan omzet tersebut belummenggambarkan keberhasilan panti dalam mengelola danmengembangkan UEP, dikarenakan besarnya omzet tersebut perminggunya masih relatif rendah. Informasi ini menggambarkan,bahwa ada proses dalam pengelolaan UEP yang tidak tepat, antaralain penentuan jenis UEP, bahan dasar, keterampilan pengelola,pemasaran dan pembukuannya.
Hal ini menggambarkan pula lemahnya proses monitoring danevaluasi yang dilaksanakan oleh Instansi Sosial Provinsi terhadap prosespengelolan UEP. Pada umumnya Dinas Sosial memang melakukan
144 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
monitoring dan evaluasi terhadap UEP yang dikelola panti-panti sosial.Namun demikian, informasi yang diperoleh dari kegiatan itu tidaksegera ditindaklanjuti, dan akibatnya panti sosial mengelola UEPberdasarkan kemampuannya sendiri.
Program subsidi panti yang dialokasikan untuk UEP inididasarkan pada pemikiran, apabila UEP dikelola dengan baik, makanantinya panti sosial tidak terlalu bergantung pada pihak lain, termasukkepada pemerintah. Namun demikian, maksud dan tujuan dariprogram tersebut sulit direalisasikan, dan panti sosial masih bergantungpada bantuan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan. Olehkarena itu, upaya untuk memotong mengurangi ketergantungan pantisosial kepada pemerintah masih sulit diwujudkan untuk beberapa tahunke depan.
Upaya Panti Mengatasi Masalah Pembiayaan
Dalam kaitannya dengan upaya panti mengatasi permasalahan
pembiayaan, sebesar 28 persen panti sosial belum memiliki upaya atau
jalan keluar apabila program subsidi panti ini dihentikan. Sementara itu,
72 persen panti sosial sudah memiliki rencana mengatasi permasalahan
pembiayaan apabila program subsidi dihentikan. Dari jumlah tersebut, 50
persen panti sosial merencanakan mengembangkan UEP. Lainnya masih
bergantung pada pihak luar, dan bahkan ada yang akan mengurangi jumlah
kliennya. Hal ini menunjukkan kemandirian panti sosial dalam pembiayaan
program dan kegiatannya masih cukup rendah
Harapan Panti Terhadap Program Subsidi
Masih ada kekhawatiran para pengelola panti sosial apabila pada
saatnya nanti program subsidi panti ini dihentikan. Mereka masih
mengharapkan program subsidi panti terus dilanjutkan, terutama untuk
kebutuhan makanan. Informasi ini relevan dengan informasi sebelumnya
bahwa sumber dana panti sosial, sebagian besar masih berasal dari
pemerintah. Menurut para pengelola, apabila tidak ada dukungan
pemerintah, maka panti sosial akan menanggung beban yang amat berat
dalam penyelenggaraan pelayanan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan
makanan.
145Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Selain bantuan makanan, panti sosial juga mengharapkan adanya
bantuan untuk UEP. Apabila panti dapat mengelola UEP, maka akan
memiliki sumber dana tetap yang berasal dari panti sendiri, sehingga akan
mengurangi ketergantungannya terhadap pemerintah dan pihak luar lainnya.
Harapan berikutnya adalah pelatihan pengelolaan UEP dan pendampingan.
Implikasi Kebijakan
Sebagai suatu obyek penelitian, program subsidi panti ini menarik
karena dari tahun ke tahun besarnya anggaran yang dialokasikan terus
mengalami kenaikan. Khusus untuk tahun 2005, dari 50 panti sosial yang
menjadi obyek penelitian ini, rata-rata setiap panti sosial menerima dana
sebesar Rp. 38.247.911 per tahun. Besarnya dana subsidi panti ini apabila
dilihat dari besarnya anggaran makanan pada panti sosial, rata-rata mencapai
53,48 persen. Hal ini menggambarkan cukup besarnya dukungan pemerintah
cq. Departemen Sosial terhadap panti-panti sosial, demi kelangsungan
penyelenggaraan pelayanan pada panti-panti sosial.
Dana yang dialokasikan pemerintah pusat dalam program subsidipanti tersebut cukup besar. Pada pemanfaatan pemenuhan makanandirasakan oleh pengelola cukup membantu, terutama pada pemberianmakanan tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Sedangkan untukUEP, program subsidi ini pada umumnya, belum secara signifikanmemberikan manfaat bagi panti-panti sosial. Manfaat memang telahdirasakan oleh pengelola, tetapi belum dapat diketahui secara pasti seberapabesar dampak tersebut. Pada umumnya pengelola panti sosial belummelakukan pencatatan atas penggunaan subsidi untuk UEP ini. Hasil dariUEP yang bersumber dari subsidi panti tidak dibukukan tersendiri, sehinggakesulitan ketika menghitung berapa besarnya manfaat ekonomis dariprogram subsidi panti.
Berbagai persoalan administratif maupun teknis disinyalir terjadi secaraberulang-ulang, karena skema dari program ini rawan terjadipenyalahgunaan. Proses awal penentuan panti sosial yang layak sebagai calonpenerima program, jumlah klien yang diusulkan, sampai denganpertanggungjawaban administratif, merupakan titik-titik yang lemahterjadinya bias kepentingan. Bias kepentingan ini akan semakin parah apabilaproses supervisi, monitoring dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik,baik oleh penanggung jawab program di Instansi Sosial Provinsi maupunDepartemen Sosial.
146 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Meskipun diantara panti-panti sosial sudah menerima program subsidi
lebih dari satu kali, tetapi mereka masih sangat mengharapkan program
tersebut tidak dihentikan. Hal ini menggambarkan, bahwa program subsidi
panti pada umumnya belum mampu mendorong kemandirian panti sosial.
Berdasarkan hasil penelitian, 28 persen panti sosial belum menyusun langkah-
langkah untuk mengatasi permasalahan pembiayaan apabila program subsidi
panti ini dihentikan. Sementara itu, panti sosial yang sudah menyusun langkah-
langkah pun, masih menghaharapkan dana pada pihak luar. Hal ini semakin
menegaskan, bahwa program subsidi panti belum mampu mendorong
panti-panti sosial mengurangi ketergantungannya terhadap bantuan
pemerintah.
Dalam upaya menjawab permasalahan ketergantungan panti sosial
tersebut, maka skema program subsidi panti akan lebih tepat apabila
diarahkan pada bantuan untuk pengembangan UEP. Sekurang-kurangnya
ada tiga alasan dari pengembangan UEP ini, yaitu: (1) mengurangi
ketergantungan panti sosial pada pemerintah; (2) memperkuat komitmen
dan percaya diri pengelola panti sosial di bidang pelayanan kemanusiaan;
dan (3) panti-panti sosial akan semakin kreatif untuk mengembangkan
skema pelayanan yang profesional. Persoalannya adalah bagaimana
kemampuan panti sosial mengelola UEP tersebut, terutama dalam memilih
jenis UEP yang prospektif dan dalam waktu cepat dapat memberikan
hasil. Pada kerangka inilah diperlukan peran Instansi Sosial Provinsi untuk
memfasilitasi panti-panti sosial tesebut menentukan pilihan UEP yang tepat.
Meskipun penelitian ini menjangkau sample panti sosial yang sangat
terbatas (50 panti sosial), tetapi informasi yang diperoleh terkait dengan
bantuan kepada panti-panti sosial dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
mendesain program yang tepat. Terutama mengurangi ketergantungan panti
sosial terhadap pemerintah dan semakin mendorong profesionalisme panti
sosial dalam penyelenggaraan pelayanan. Terkait dengan itu, maka supervisi,
monitoring dan evaluasi perlu dilakukan dengan baik, mulai dari kegiatan
seleksi panti sosial hingga terminasi. Perlu dilakukan evaluasi dari unit di
luar penyelenggaran program atau pihak independen, sehingga akan
diperoleh informasi yang obyektif tentang efektivitas pelaksanaan
program subsidi panti ini.
147Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Kesimpulan dan Saran
Panti-panti sosial pada umumnya memanfaatkan subsidi panti untuk
dua kegiatan besar, yaitu pemenuhan kebutuhan makanan dan usaha
ekonomi produktif (UEP). Meskipun klien yang diusulkan untuk
memperoleh subsidi jauh lebih kecil dari yang diusulkan, atau baru
menjangkau 66,94 persen, tetapi seluruh klien yang ada di panti sosial ikut
menikmati subsidi tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini sulit untuk
mengetahui secara tepat dampak program subsidi untuk biaya makanan.
Pemanfaatan subsidi untuk makanan ini, pada umumnya untuk makanan
tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Untuk makanan tambahan,
diarahkan pada frekuensi pemberian makanan tambahan. Sedangkan
berkaitan dengan menu, subsidi dimanfaatkan untuk menambah menu,
seperti susu dan buah meskipun pemberian susu dan buah ini pada
umumnya belum setiap hari. Namun demikian, diperoleh data kualitatif,
bahwa subsidi panti dirasakan besar manfaatnya bagi panti-panti sosial
dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien.
Dana dari program subsidi panti dimanfaatkan oleh panti sosial untukmembuka UEP baru ataupun pengembangan UEP yang sudah ada.Penentuan UEP yang tepat sepenuhnya diserahkan kepada panti-panti sosialsendiri. Panti-panti sosial menentukan jenis-jenis UEP didasarkan pada aspektenaga, pasar, sarana dan bahan baku. Namun demikian, pada prakteknyabaru sebagian kecil UEP yang bisa mendukung kegiatan operasional pantisosial. Hal ini menunjukkan bahwa panti-panti sosial masih menghadapipersoalan dalam pengelolaan UEP.
Program subsidi panti untuk biaya makanan memberikan pengaruh
cukup nyata dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien
dalam panti-panti sosial. Ada perubahan positif pada peningkatan kualitas
menu makanan yang semula tiga kali sehari, yaitu nasi sayur dan lauk
kemudian menjadi tiga sehat plus, yaitu nasi, sayur, lauk dan buah-buhan
meskipun tidak setiap hari. Selain itu berpengaruh pula pada frekuensi dan
jenis makanan tambahan, yakni dari satu jenis menjadi dua atau tiga dan
dari seminggu sekali menjadi dua kali. Diharapkan adanya perubahan kualitas
dan frekuensi serta jenis makanan tambahan ini akan semakin meningkatkan
derajat kesehatan klien.
Kemudian, kondisi UEP panti setelah menerima program juga
menunjukkan adanya perubahan positif, meskipun belum signifikan. Baru
148 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
sebagian kecil panti sosial yang mengalami peningkatan omzet dan aset
setelah menerima program subsidi panti. Terkait dengan UEP ini adalah
kurangnya pelatihan dan pendampingan terhadap panti sosial dalam
pengelolaan UEP. Panti sosial diberikan kebebasan untuk mengelola UEP
menurut caranya sendiri dan pada prakteknya panti sosial tidak tepat ketika
memiliki UEP yang prospektif.
Sebagian besar panti sosial masih mengharapkan program subsidi ini
terus diterimanya. Sebagian kecil dari mereka telah memiliki gagasan
menemukan jalan keluar apabila program subsidi ini nantinya tidak
dilanjutkan. Hal ini menggambarkan, bahwa sebagian besar panti sosial
penerima program subsidi panti masih memiliki ketergantungan yang kuat
terhadap pemerintah untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini menunjukkan
panti justru semakin sulit melepaskan ketergantungannya pada pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diajukan beberapa saran yang ditujukan
kepada pengelola dan penanggung jawab program subsidi panti, yaitu:
a. Seleksi terhadap panti sosial calon penerima subsidi berdasarkan
kondisi riil panti sebagaimana adanya.
b. Penanggung jawab program bertanggung jawab terhadap panti sosial
yang diusulkan sebagai penerima program dan memiliki data by name
by address atas panti-panti sosial yang diusulkan. Upaya ini dilakukan
untuk mengantisipasi terjadinya panti fiktif, mark up jumlah klien dan
kelayakan panti sosial untuk menerima program. Panti sosial yang
sudah mandiri, tidak memperoleh prioritas sebagai penerima
program subsidi panti.
c. Bantuan UEP perlu menjadi priroritas dibandingkan dengan subsidi
untuk makanan. Terkait dengan itu, penyaluran bantuan UEP ini perlu
diawali dengan pelatihan UEP dan diikuti dengan pendampingan,
sehingga panti sosial tepat dalam memilih jenis UEP dan mampu
mengelolanya dengan baik. Diharapkan subsidi untuk kegiatan UEP
ini nantinya akan mengurangi ketergantungan panti-panti sosial
terhadap pemerintah. Pemerintah perlu menetapkan jangka waktu
yang tegas, yang diikuti dengan kriteria dan indikator yang terukur,
kapan panti sosial akan dikurangi subsidinya atau dihentikan sama
sekali.
149Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
d. Mekanisme pencarian dana melalui PT POS tetap dipertahankan, tetapiperlu diupayakan agar pencairan dana tidak terlambat sampai kepengelola panti sosial dan akan mempengaruhi efektifitasprogram itu sendiri.
e. Besarnya subsidi hendaknya disesuaikan dengan harga eceran tertinggi(HET) setempat (khusus makanan), sehingga setiap daerah besarnyaalokasi anggaran per orang/panti akan berbeda-beda.
f. Program subsidi panti sangat rawan dengan penyimpangan. Olehkarena itu, perlu dilakukan pengawasan lebih ketat mulai pada tahappenentuan panti-panti sosial calon penerima program sampai denganpenyaluran dananya. Perlu dibangun kemitraan secara sinergis antarapenanggung jawab program pada unit Ditjen Pelayanan danRehabilitasi Sosial, Itjen, Puslitbang Kessos dan instansi sosial di daerahuntuk mengawal program subsidi panti ini agar mencapai tujuan yangdiharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Sosial RI, 2003, Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Tambahan Biaya
Makanan/Gizi, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
—————————,2003, Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Biaya
Usaha Ekonomis Produktif, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial.
—————————-, 2005, Standardisasi Panti Sosial, Badan Pendidikan
dan Penelitian Kesejahteraan Sosial.
————————, 2000, Pedoman Akreditasi Panti Sosial, Puslitbang Kesos.
Mujiyadi, B., dkk, 2003, Studi Pengembangan Panti Sosial Pamardi Putra Sebagai
Panti Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza Yang Komprehensif
dan Profesional, Puslitbang UKS.
Pincus, Allen and Anne Minahan, Social Work Practice : Model and Methode.
Illinois : Peacock Publisher Inc , 1973.
Selo Soemardjan, Selo, 1997, “Kemiskinan Pandangan Sosiologi”, Jurnal
Sosiologi, Indonesia, Nomor 2/September 1997, Jakarta : Ikatan
Sosiologi Indonesia.
150 Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
Shortell, S.M. and Richardson, W.C. 1978, Health Program Evaluation, Saint
Louis: The C.V Moshy Company.
Siahaan, MPR, 2004, Beberapa Catatan dalam Praktek Pekerjaan Sosial, Makalah
dokumen pribadi (tidak diterbitkan).
Siporin, Max, (1975), Introduction to Sosial Work Practice, New York : Mac
Millan Publisher Co. Inc.
Soetarso, (1990), Praktek Pekerjaan Social dalam Pembangunan Masyarakat,
KOPMA Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial : Bandung.
Sukoco, Dwi Heru, (1991), Profesi Pekerjaan Sosial, Bandung : STKS
Publisher.
151Puslitbang Kesos
Evaluasi Program Subsidi Panti
PELAYANAN LANJUT USIA
BERBASIS KEKERABATAN
( Studi Kasus Pada Lima Wilayah Di Indonesia)1
Dra. Sri Gati Setiti 2
ABSTRAK
Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia seiring dengan jumlah
penduduk lanjut usia. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan telah dilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, belum dapat memecahkan
permasalahan yang ada. Sementara kekerabatan sebagai sumber dan potensi
kesejahteraan sosial, yang telah berfungsi dalam pelayanan lanjut usia secara tradisional
belum dioptimalkan. Pertanyaan dalam penelitian ini, apakah pelayanan lanjut usia
berbasis kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia ?
Penelitian ini bertujuan mengetahui kebutuhan lanjut usia, permasalahan lanjut
usia dan pelayanan yang dilakukan oleh kerabat. Hal ini guna mengembangkan konsep
model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. Pendekatan deskriptif kualitatif,
tehnik pengumpulan data dengan wawancara, FGD, studi dokumentasi dan observasi.
Lokasi penelitian di Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan
Barat dan Sulawesi Selatan.
Hasil penelitian bahwa pelayanan sosial dalam kerabat merupakan salah satu
nilai budaya setempat yang membuat lanjut usia merasa aman dan terlindungi dalam
lingkungan kerabat. Dilain pihak, kerabat merasa sudah menjalankan kewajiban dantanggung jawab sesuai nilai budaya dan agama yang dianutnya. Permasalahan lanjut
usia yang paling dirasakan adalah masalah kesehatan. Ditinjau dari kebutuhan hidup
pokok kecuali ekonomi, secara fisik umumnya merasakan tercukupi. Harapan lanjut
usia maupun kerabat adalah tempat serbaguna yang berfungsi pelayanan dan kegiatan
lanjut usia. Untuk memeriksakan penyakit, lanjut usia berharap pelayanan khusus
bagi lanjut usia atau Posyandu lansia yang murah dan mudah dijangkau.
Penelitian ini merekomendasikan suatu model pelayanan lanjut usia dalam
kerabat melalui : penguatan ekonomi kerabat bagi lanjut usia yang tidak potensial
dan ekonominya lemah, penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial,
1 Diangkat dari Penelitian Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan (Studi Kasus pada Lima Wilayah diIndonesia), peneliti: Dra. Sri Gati Setiti, Drs. Setyo Sumarno, Dra.Nina Karinina, Drs.Achmadi
Jayaputra M.Si, dkk. ed: Prof Dr. Rusmin Tumanggor.
2 Sri Gati Setiti, Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.
153Puslitbang Kesos
pengembangan lembaga organisasi lanjut usia yang memiliki berbagai kegiatan yang
bersifat psikis, maupun ekonomi, pembinaan generasi muda dalam upaya pelestarian
nilai budaya dan pelayanan kesehatan lanjut usia yang optimal.
Kata Kunci:
lanjut usia, Pelayanan Sosial, Kekerabatan
Pendahuluan
Peningkatan usia harapan hidup, diiringi jumlah dan persentase
penduduk lanjut usia. Hal ini sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban.
Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat. Baik melalui sistem panti maupun nonpanti atau berbasis
masyarakat, seperti Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA), Day Care Service
maupun Day Care Centre.
Sebagian pelayanan cukup memadai, tetapi banyak yang memberikan
pelayanan secara terbatas, disamping kendala dana maupun petugas. Upaya
tersebut belum memadai dibanding populasi dan permasalahannya yang
kompleks. Dewasa ini lanjut usia yang tertangani melaui sistem panti maupun
nonpanti kurang dari 2% dari 2,3 juta lanjut usia. Mereka mengalami
berbagai keterlantaran, diantaranya terkena tindak kekerasan oleh orang
lain maupun kerabatnya.
Pada sisi lain, kita memiliki kearifan budaya. Tuntunan agama dan
nilai luhur menempatkan lanjut usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan
dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki,
penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat.
Penanganan masalah sosial merupakan bagian dari dan berakar pada nilai
tolong menolong yang dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia.
Peran kerabat dalam masyarakat di seluruh Indonesia mempunyai keterikatan
yang sangat kuat, sekaligus merupakan potensi yang luar biasa, sebagai
sumber kesetiakawanan sosial yang mampu memecahkan permasalahan
sosial didaerahnya. Hal ini perlu diangkat dan dikembangkan.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial tahun 2006 melakukan penelitian ”Pelayanan Lanjut
Usia Berbasis Kekerabatan”.
154 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Permasalahan
Ketidakseimbangan antara pelayanan sosial yang tersedia dan
permasalahan yang ada, berpengaruh kepada pelayanan lanjut usia. Lanjut
usia yang terlantar semakin mudah kita saksikan disekitar kita. Keterlantaran
baik disebabkan oleh kondisi yang berubah, sehingga merubah pola dan
kegiatan anggota keluarga yang berdampak kepada pelayanan bagi lanjut
usia. Keterlantaran lanjut usia juga disebabkan oleh semakin memudarnya
nilai dan penghargaan kepada lanjut usia. Pada sisi lain belum ada pelatihan
bagi pendamping kerabat yang melayani lanjut usia. Berdasarkan uraian
tersebut, bagaimana pelayanan dilakukan oleh kekerabatan terhadap lanjut
usia? Permasalahan yang akan diteliti: Apakah pelayanan lanjut usia berbasis
kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia?
Tujuan
1. Secara umum bertujuan, merumuskan pokok-pokok pikiran tentang
kerangka dasar pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan
(kerangka model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan, untuk uji
coba pada penelitian tahap II tahun 2007).
2. Secara khusus bertujuan:
a. Memahami tentang kebutuhan, permasalahan dan harapan lanjutusia.
b. Memahami bentuk pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan
c. Mengidentifikasi nilai-nilai terkait dengan pelayanan lanjut usiaberbasis kekerabatan.
d. Menyusun kerangka model pelayanan lanjut usia berbasiskekerabatan
Manfaat
Manfaat yang dapat dipetik bagi pemerintah, sebagai dasar ilmiah
perumusan kebijakan publik untuk menyelesaikan masalah pelayanan lanjut
usia. Bagi akademisi, untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan model
pelayanan lanjut usia. Bagi instruktur kediklatan, menjadi materi trainers.
Bagi pemberi pelayanan menjadi alternatif pelayanan.
155Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Tinjauan Teoritis
Definisi lanjut usia menitik beratkan kepada usia seseorang yang lebih
dari 60 tahun, mengacu kepada UU no 13 Th 1998. Adapun pelayanan
lanjut usia, berpedoman kepada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat, yakni pelayanan dalam panti dan pelayanan luar panti.
Sementara pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan adalah pelayanan yang
dilakukan oleh kerabat pada suku bangsa yang diteliti. Kekerabatan
mengangkat pendapat Suryono Sukanto (1990), Goode (1985) dan
Koentjaraningrat (1990). Kekerabatan dalam penelitian ini adalah orang
sedarah (consanguinal kin), yang dipanggil ”kekerabatan”, kerabat angkat
(adoptif kin), kerabat karena kawin mawin (afinal kin).
Dari deskripsi teoritis tersebut, maka kerangka konseptual dalam
penelitian ini, sebagai berikut :
LU dilayani saudara laki-
laki
LU dilayani anak laki-laki
Sosial Emosi/Spiritual Kesehatan fisik/psikis
Lanjut usia
Patrilineal Parental
LU dilayani saudara isteri atau saudara
suami
LU dilayani anak perempuan dan
anak laki-laki
Ekonomi
Bagan 1. Kerangka Konseptual dalam Pelayanan Lanjut Usia
156 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Berikut preposisi teoritisnya adalah :
”Lanjut usia akan dirawat di lingkungan kerabat dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan, emosional dan spiritual serta sosial dan faktor ekonomi
menjadi komponen penting dalam mencapai berbagai kebutuhan tersebut”.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui
studi dokumentasi, FGD pada: Kerabat, Tokoh Agama/masyarakat
setempat. Observasi pada lingkungan tinggal lanjut usia dirawat. Wawancara
berstruktur kepada lanjut usia, kerabat yang melayani lanjut usia. Wawancara
mendalam untuk informan kunci. Diskusi terbatas kepada pejabat terkait
pada tingkat provinsi. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara, diteliti suku
Melayu dan Toba. Di Kalimantan Barat, Suku Dayak dan Melayu. Di Jawa
Timur, Suku Jawa dan Madura. Di Sulawesi Selatan, Suku Bugis dan
Makasar. Nusa Tenggara Barat, Suku Sasak dan Bima. Secara sosial budaya
mewaklili sistem kekerabatan patrilineal dan parental, yang disajikan dalam
studi kasus.
Hasil Penelitian
Pemahaman tentang Lanjut usia
Adanya penyamaan persepsi tentang sapaan atau istilah lanjut usia,
berlaku pada masing masing daerah sebagai berikut :
1. Sapaan tentang Lanjut Usia
Lanjut usia dalam berbagai etnis memiliki sapaan yang berbeda. Pada
suku Batak, lanjut usia laki laki disapa Opung Bulang, untuk wanita
disapa dengan Opung Nini. Pada suku bangsa Jawa lanjut usia laki-
laki disapa dengan mbah kakung (halus: eyang kakung), untuk
perempuan disapa dengan mbah putri (halus: eyang putri). Pada suku
Madura, lanjut usia laki laki disapa Embah lanang, sedang untuk
perempuan juga disapa dengan Embah. Pada suku Sasak di NTB,
lanjut usia Laki laki disapa Pupung, untuk perempuan disapa Ninik.
Pada etnik Bima, lanjut usia Laki laki disapa Ompu (Tuak /halus),
untuk perempuan disapa dengan Wai. Dalam etnik Bugis, lanjut usia
laki laki disapa Nene, untuk perempuan disapa Kajao. Etnik Makassar,
lanjut usia Laki laki disapa Toa Baina, wanita disapa Toa Baine. Dalam
budaya Melayu, lanjut usia laki laki Melayu Sambas disapa Nek Aki,
untuk perempuan disapa Nek Wan. Berbeda halnya dengan Melayu
Kapuas, untuk laki-laki disapa Ai dan perempuan disapa Mi. Pada
Suku Dayak, lanjut usia laki laki disapa Nenek atau Nek aki, wanita
157Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
disapa dengan Nenek. Walau demikian panggilan tersebut kadang
ada yang sedikit berbeda. Hal ini karena adanya pengaruh budaya
sekitar yang turut memberi warna pada istilah atau sapaan kepada
lanjut usia yang berlaku bagi daerah tersebut.
2. Ciri ciri lanjut usia, yang disepakati dari hasil FGD adalah: lanjut usia
bila telah berusia lebih dari 60 tahun, berlaku sama pada semua etnik
yang diteliti. Ciri lainnya, disepakati lanjut usia bila telah memiliki cucu.
Berlaku untuk semua etnik yang diteliti, kecuali di Kalbar, sudah
memiliki cicit. Ciri lainnya termasuk mereka yang sering sakit-sakitan
atau fisiknya sudah lemah. Ciri ini berlaku untuk etnik Batak, Jawa
dan Sasak juga Bima.
3. Pola tempat tinggal bagi Lanjut Usia.
Secara umum pola tinggal mereka mengikuti garis kerabat. Dalam
Budaya Batak, yang menganut garis kerabat patrilineal, secara budaya
lanjut usia tinggal bersama kerabat ayah. Bila tidak dapat dilakukan,
maka kewajiban akan berpindah kepada adik laki lakinya. Namun,
ditemukan lanjut usia tinggal pada kerabat garis Ibu atau tinggal
berpindah antara anak satu dan lainnya.
Dalam budaya Jawa, yang mengikuti garis parental, lanjut usia dapat
secara bebas tinggal bersama kerabat pihak laki laki maupun pihak
perempuan. Pada etnik Sasak dan etnik Bima, secara adat tinggal
bersama anak laki laki tertua atau adiknya. Temuan dilapangan lanjut
usia tinggal bersama anak yang tinggalnya berdekatan. Walau demikian,
lanjut usia cenderung memilih tinggal pada anak peremuan atau yang
paling disukai. Pada Etnik Bima, memiliki kebiasaan khusus, bila sudah
pensiun dan anak-anak mereka sudah menikah, lanjut usia senang untuk
pulang kampung ke Bima. Pada etnik Melayu dan Dayak, lanjut usia
akan tinggal pada anak laki laki pertama atau adiknya. Namun, banyak
ditemukan lanjut usia senang tinggal di rumah panjang. Kerabat yang
tinggal di rumah panjang itulah yang bertanggung jawab kepadanya.
Etnik Bugis dan Makassar mengikuti sistem parental, walau demikian
biasanya menempatkan lanjut usia bersama dengan anak tertua atau
adiknya. Perubahan yang terjadi pada semua etnik yang diteliti, lanjut
usia tinggal bersama anak perempuan, anak yang tinggal berdekatan
atau anak yang paling disenangi.
158 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
4. Kerabat yang melayani Lanjut Usia.
Secara umum pelayanan kepada lanjut usia dilakukan oleh kerabat
yang paling dekat. Lanjut usia dirawat oleh kerabat sedarah, selain itu
juga dilakukan oleh kerabat atas hubungan perkawinan atau adopsi.
Pada kenyataannya, pelayanan dilakukan oleh anak, kemenakan dan
saudara sepupu, atau tetangga/kerabat jauh.
Kebutuhan Lanjut Usia
1. Kebutuhan fisik lanjut usia meliputi
sandang pangan, papan, kesehatan
dan spiritual. Kebutuhan makan
umumnya tiga kali sehari ada juga
dua kali. Makanan yang tidak keras,
tidak asin dan tidak berlemak.
Kebutuhan sandang, dibutuhkan
pakaian yang nyaman dipakai.
Pilihan warna sesuai dengan budaya
setempat. Model yang sesuai
dengan usia dan kebiasaan mereka.
Frekuensi pembeliannya umumnya
setahun sekali sudah mencukupi.
Kebutuhan papan, secara umum membutuhkan rumah tinggal yang
nyaman. Tidak kena panas, hujan, dingin, angin, terlindungi dari mara
bahaya dan dapat untuk melaksanakan kehidupan sehari hari, dekat
kamar kecil dan peralatan lansia secukupnya. Pelayanan kesehatan bagi
lanjut usia sangat vital. Obat obatan ringan sebaiknya selalu siap
didekatnya. Bila sakit segera diobati.Dibutuhkan fasilitas pelayanan
pengobatan rutin, murah, gratis dan mudah dijangkau.
2. Kebutuhan psikis, kondisi lanjut usia yang rentan membutuhkan
lingkungan yang mengerti dan memahaminya. Lanjut usia
membutuhkan teman yang sabar, yang mengerti dan memahaminya.
Mereka membutuhkan teman ngobrol, membutuhkan dikunjungi
kerabat, sering disapa dan didengar nasehatnya. Lanjut usia juga butuh
rekreasi, silaturahmi kepada kerabat dan masyarakat .
Kondisi Lanjut Usia.
159Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
3. Kebutuhan sosial lanjut usia membutuhkan orang-orang dalam berelasi
sosial. Terutama kerabat, juga teman sebaya, sekelompok kegiatan
dan masyarakat di lingkungannya, melalui kegiatan keagamaan,
olahraga, arisan dan lain-lain.
4. Kebutuhan ekonomi, bagi yang tidak memiliki pendapatan tetap,
membutuhkan bantuan sumber keuangan. Terutama yang berasal dari
kerabatnya. Secara ekonomi lanjut usia yang tidak potensial
membutuhkan uang untuk biaya hidup. Bagi lanjut usia yang masih
produktif membutuhkan keterampilan, UEP dan bantuan modal
usaha sebagai penguatan usahanya.
5. Kebutuhan spiritual, umumnya mereka mengisi waktu untuk beribadah.
Melalui Ibadah lanjut usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan
kedamaian menghadapi hari tua. Mereka sangat mendambakan
generasi penerus yang sungguh sungguh dalam menjalani ibadah.
Pelayanan Lanjut Usia oleh Kerabat
1. Pelayanan fisik, secara umum kerabat melayani makan tiga kali sehari.
Namun, ada juga yang tidak terpenuhi. Makanan yang disajikan sesuai
kemampuan mereka. Ada yang menyajikan nasi, sayur dan lauk. Ada
juga yang ditambah dengan buah. Tetapi, keterbatasan ekonomi
membuat mereka makan seadanya. Lanjut usia kadang mesti
menyesuaikan dengan makanan apa adanya. Kerabat yang menyajikan
makanan umumnya anak, menantu, keponakan perempuan yang
tinggal satu rumah/berdekatan.
Pelayanan sandang, bagi lanjut usia yang masih potensial biasanya
membeli sendiri. Sementara kerabat menambahkan pakaian kesukaan
mereka. Secara umum kerabat membelikan satu kali setahun. Bagi
lanjut usia yang tidak mampu biasanya diberi oleh kerabat jauh atau
masyarakat.
Pelayanan di bidang papan, sesuai dengan kemampuan kerabat.
Kondisi ekonomi kerabat yang terbatas, hanya mampu menyediakan
tempat tinggal seadanya. Keterbatasan ekonomi juga membuat kerabat
tidak mampu melayani pengobatan secara medis. Kadang mereka
hanya memberikan obat dari warung atau ramuan tradisionil atau
160 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
berobat ke dukun. Bagi yang memiliki kartu miskin, mereka masih
harus menghadapi biaya transpotasi yang mahal, prosedur yang berbelit
dan pelayanan yang sering tidak menyenangkan. Selain hal tersebut
diatas, kerabat juga memperhatikan lanjut usia yang ditinggal mati
pasangannya. Kerabat mencarikan pasangan, sebagai tempat
mencurahkan isi hati. Lanjut usia ada teman ngobrol, pendamping
dalam menjalani hidup.
2. Pelayanan psikis, dilakukan oleh kerabat yang mengerti dan memahami
lanjut usia yang kadang perilakunya berubah seperti: kekanak kanakan,
rewel, mudah tersinggung dll. Orang tua selalu memesan agar mengerti
kepada lanjut usia, seperti kata ”mapakau untuk Bugis/Makassar”
lanjut usia ditemani untuk ngobrol, didengar nasehatnya dan didengar
kaluhannya. Kerabat berusaha untuk sering mengunjungi, dengan oleh
oleh kesukaanya. Sekalipun demikian, ada satu dua ditemukan lanjut
usia mendapat perlakuan tidak baik, seperti dibentak bentak.
3. Pelayanan sosial kerabat berusaha menemani berbicara, didengar
nasehatnya, memberikan kabar keluarga dan berita secara umum.
Pada sisi lain, lanjut usia diantar cucu atau kemenakan untuk bertemu
dengan teman sebaya, juga teman sekelompok. Beberapa etnik yang
diteliti, secara intensif mereka bekerja secara kelompok (kasus Sasak),
juga teman sekampung asal (kasus Bima) dll. Lanjut usia juga diberikan
kegiatan bersama kelompoknya, diantaranya kelompok keagamaan,
olah raga, pengajian, yasinan, arisan, kelompok silaturahmi, kelompok
adat dan lain-lain.
4. Pelayanan ekonomi, dilakukan kerabat dengan memenuhi kebutuhan
dasar hidup lanjut usia. Bagi yang masih potensial, diberikan
kesempatan bekerja bersama kerabat. Melakukan kegiatan
keterampilan untuk memperoleh penghasilan. Bagi lanjut usia yang
sudah tidak potensial, kerabat memberikan uang, bahan mentah atau
memberikan makanan siap saji. Kesemuanya dilakukan secara gotong
royong.
5. Pelayanan spiritual dilakukan oleh kerabat dengan menyediakan sarana
dan peralatan ibadah. Ketika menjalani ibadah, berusaha menjauhkan
dari anak agar tidak gaduh. Kerabat menemani saat beribadah
di rumah, dimesjid atau dimajelis taklim.
161Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Diskusi bersama tokoh dan Dinas terkait
Pelayanan oleh Pemerintah dan Masyarakat
Pelayanan sosial oleh Pemerintah melalui dua sistem, yakni sistem
pelayanan sosial di dalam panti dan pelayanan diluar panti. Masing masing
provinsi memiliki panti sosial Tresna Wreda. Setiap panti sosial memberi
penampungan, jaminan hidup, pakaian, kesehatan, pemanfaatan waktu
luang, bimbingan sosial dan spiritual. Selain itu juga KUBE dan UEP,
penambahan Gizi, Kesehatan dan Informasi.
Program pelayanan diluar panti berupa: pemberdayaan lanjut usia
melalui dana Dekon, dalam bentuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
Bantuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dibidang ternak itik, ternak
ayam, ternak kambing, ada juga sapi (Sulsel) dan Bantuan Peningkatan Gizi
pada semua provinsi. Pemberdayaan lanjut usia melaui DAU dalam bentuk
pembinaan dan pemberdayaan Orsos.
Pelayanan lanjut usia yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya
berbentuk Orsos. Mereka bergabung dalam Karang Wredha, Karang Lansia
dan lain lain. Kegiatanya secara umum berupa penambahan Gizi, olah raga,
rekreasi, safari ibadah, kerja bakti dan penggalakkan tanaman obat. Kegiatan
edukasi berupa keterampilan dan bantuan modal. Dalam kegiatan usaha
kesejahteraan sosial berupa kunjungan orang sakit dan bantuan bagi warga
yang meninggal.
Pandangan Kerabat tentang Nilai-nilai yang TerkaitLanjut Usia
Secara umum kerabat
menghendaki lanjut usia tinggal
bersama dan dirawat oleh
kerabat. Hal ini memberi
manfaat bagi kedua belah
pihak. Lanjut usia merasakan
kedamaian berada ditengah
kerabat. Sedang kerabat dapat
memetik manfaat kepuasan
batin dalam memberikan
pengabdian, balas budi dan
membahagiakan orang tua.
162 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Cara ini sesuai dengan agama, maupun budaya yang mengikat mereka.
Bagi lanjut usia yang tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat masyarakat
sekitarnya. Bila tidak sanggup melakukan, lanjut usia sebaiknya dirawat di
panti sosial.
Kerabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan lanjut usia,dilakukan sesuai garis kerabat yang dianutnya. Kondisi ini kini mulai bergeser,banyak ditemui lanjut usia tinggal dan dirawat oleh anak yang tinggalberdekatan, bersama anak perempuan/anak bungsu atau anak yang palingdisayangi.
Permasalahan penting bagi lanjut usia adalah permasalahan kesehatan.Lanjut usia mengalami berbagai penyakit degeneratif maupun penyakit noninfeksi yang sulit disembuhkan. Lanjut usia memerlukan pelayanan kesehatanrutin yang murah (gratis), cepat dan mudah. Bila lanjut usia sakit, segeradiberikan obat atau dibawa berobat. Ada yang menemani ketika berobat,ada yang melayani ketika memerlukan bantuan. Secara ekonomi, sumberdana yang digunakan untuk merawat lanjut usia berasal dari kerabat, yangditanggung secara bersama. Pelayanan sosial bagi lanjut usia perlu dipisahkanantara yang potensial dan yang tidak potensial. Bagi yang potensial tetapimiskin, memerlukan kegiatan usaha ekonomi produktif agar dapatmemenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi yang tidak potensial memerlukanbantuan ekonomi, melalui keluarga yang merawat.
Kerabat sebaiknya mengerti dan memahami yang baik dan tidakbaik dilakukan kepada lanjut usia. Kondisi fisik yang mengalami kemunduran,memerlukan pelayanan sesuai kondisinya. Melayani lanjut usia harus bisaberlaku sabar, memenuhi perintahnya, sepanjang tidak mencelakakan.Mendengarkan dan melaksanakan nasehatnya. Lanjut usia perlu” diisiperutnya dan dipelihara mata dan telinganya”. Hal yang buruk ,memperlakukan secara kasar, tidak sabar, baik ucapan atau perlakuan fisik.Pelayanan psikis, lanjut usia potensial memerlukan silaturahmi dan anjangsana. Mereka memerlukan wadah (Karang lansia/karang wredha) ataubentuk lainnya. Melalui wadah ini lanjut usia dapat melakukan aktifitas sesuaidengan keinginan mereka.
Harapan kepada kerabat, masyarakat dan pemerintah
Harapan kepada kerabat: pelayanan dinjalani secara ikhlas dan wajar.Kerabat masih mendengarkan dan menjalani nasehat lanjut usia. Bila adaperbedaan, dapat menyampaikan dengan cara yang tidak menyinggung.
163Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Harapan yang sangat tinggi kepada kerabat untuk tekun beribadah, rajinbelajar, kerja keras, setia dengan adat budayanya, menjaga dan meneruskannilai nilai demi masa depan yang baik.
Harapan kepada masyarakat: Memperlakukan lanjut usia denganwajar, hidup bersama masyarakat. Menyumbangkan ilmu danpengalamannya. Berpartisipasi dalam iuran, gotong royong, sekalipuntenaga/dana yang disumbangkan tidak seberapa.
Harapan kepada Pemerintah: agar mengembangkan programpenanganan ekonomi, bagi lanjut usia potensial. Memberi jaminan hidupkepada lanjut usia yang tidak potensial dengan kerabat tidak mampu.Memberi fasilitas pengobatan rutin, mudah dan gratis dengan memberikartu sehat lansia, juga jaminan hari tua bagi lanjut usia. Membentuk wadahkegiatan lanjut usia seperti: Karang wredha/Karang Lansia. Mendorongdan memfasilitasi bagi yang sudah terbentuk. Menyediakan fasilitas umumuntuk lanjut usia. Memberikan penyuluhan dan mensosialisasikan nilai-nilaiyang terkait dengan lanjut usia kepada generasi muda tentang:
1. Kerabat yang merawat lanjut usia nonpotensial
2. Lanjut usia yang masih potensial
3. Penyuluhan bagi generasi muda tentang nilai nilai yang terkait denganlanjut usia.
4. Penguatan & pemberdayaan pranata lanjut usia yang OBH maupunOTBH.
5. Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia ( dekat, mudah, murah/gratis).
PELAYANAN LANJUT USIA
BERBASIS KEKERABATAN
KERABAT
PEMBERDAYAAN EKONOMI
LANJUT USIA POTENSIAL
GENERASI MUDA PRANATA
LANJUT USIA
KESEHATAN LANJUT USIA
PEMBERDAYAAN
PENGUATAN
Bagan 2. KONSEP MODEL PELAYANAN LANJUT USIA
Konsep Model
164 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
1. Ada dua kategori lanjut usia: (a) Penyandang masalah kesejahteraansosial (PMKS), umumnya terlantar dan tinggal di daerah rawan;(b) Lanjut usia potensial sebagai Potensi Sumber KesejahteraanSosial (PSKS), yang berpotensi sebagai sumber kesos, merekaterorganisir dalam Karang Wredha/Karang Lansia dan lain lain.
2. Pelayanan lanjut usia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya sebagaiberikut: (a) lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/kerabat; (b) lanjut usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawatoleh kerabat: adik kandung/sepupu, keponakan, cucu dan lainlain; (c) bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawattetangga. Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatifterakhir dirawat di Panti Sosial Lanjut Usia.
3. Pola tinggal lanjut usia yang diteliti : (a) Lanjut usia tinggal mandiridan dirawat oleh kerabat; (b) Lanjut usia yang tinggal bersamadan dirawat oleh kerabat (c) Lanjut usia yang tinggal di rumahnyasendiri, dirawat oleh tetangga; (d) Lanjut usia suami isteri. tinggaldi rumahnya sendiri; (e) Lanjut usia dirawat oleh sepupu/keponakan.
4. Permasalahan kesehatan: yang sulit disembuhkan/tidak bisasembuh karena usia. Umumnya menderita kaku sendi/lengan dansulit bergerak, katarak, kurang pendengaran, penyakit jantung, darahtinggi, osteoporosis dan penyakit penuaan lain.
5. Kebutuhan lanjut usia meliputi: (a) Pelayanan kesehatan merupakankebutuhan yang paling dirasakan lanjut usia; (b) Kebutuhan rohani,bagi lanjut usia yang masih sehat dan kuat, ingin beribadah sesuaiagama masing masing. Lanjut usia yang sakit dapat beribadah danmendengarkan radio/televisi; (c) Kebutuhan makan, lanjut usiamemerlukan makanan bergizi sesuai kebutuhannya., tetapi tidakada biaya untuk menyediakannya; (d) Kebutuhan pakaian, sesuaibudaya dan kebutuhannya. Bagi yang sudah terbaring di tempattidur memerlukan perlengkapan seperti pampers, perlak dan lain-lain; (e) Secara sosial lanjut usia menginginkan dikunjungi kerabat.Sedangkan bagi lanjut usia potensial ingin berkunjung ke teman/kerabat.
165Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
6. Harapan para lanjut usia: (a) Menginginkan tempat pertemuan
serbaguna, untuk pelayanan kesehatan, Posyandu, pertemuan/arisan
dan pameran hasil keterampilan; (b) untuk memeriksakan penyakit,
menginginkan pelayanan khusus yang dekat, mudah dan gratis; (c)
Lanjut usia potensial yang mempunyai UEP barhasil memberi
lapangan pekerjaan, ingin dicontoh generasi muda dan didukung
pemerintah; (d) Pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan dapat
dikembangkan karena sistem nilai budaya setempat di lima wilayah
yang diteliti mendukung upaya tersebut; (e) Pelayanan lanjut usia
dalam kerabat yang diteliti sudah memenuhi harapan. Para lanjut
usia merasa aman dan terlindungi berada dilingkungan kerabat.
2. Rekomendasi
1. Penguatan ekonomi bagi kerabat yang lemah, agar ada peningkatan
ekonomi dan dapat mencukupi kebutuhan lanjut usia secara lebih
baik, terutama untuk pemenuhan gizi dan berobat ke rumah sakit
yang biayanya mahal.
2. Penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial, yang memiliki UEP,
dengan memberi dukungan dana, ketrampilan, bimbingan dari
pemerintah, organisasi sosial maupun kelompok peduli.
3. Pengembangan lembaga/organisasi lanjut usia, agar lanjut usia
dapat menyumbangkan ilmu dan keterampilannya, sekaligus sebagai
kegiatan ekonomi maupun sosial kepada mesyarakat.
4. Pembinaan generasi muda dilakukan dengan memperkuat sistem
nilai budaya masing masing, memberikan berbagai motivasi melalui
penyuluhan dan mempraktekannya dalam bersikap dan berperilaku
sehari hari.
5. Meningkatkan kesejahteraan lanjut usia dengan cara pelayanan
kesehatan lanjut usia, yang didukung dengan tenaga dan pelayanan
medis secara memadai, rutin, mudah, murah/gratis dan dekat.
166 Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid, 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta ; Idayu Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977. Adat Istiadat Daerah
Jawa Timur. Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan.
___________ , 1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan.
Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Hardywinoto, & Toni Setyabudhi, 1999. Menjaga Keseimbangan Kwalitas Hidup
Para lanjut usia ”Panduan Gerentologi” Tinjauan dari Berbagai Aspek,
Jakarta, Gramedia.
Jayaputra, Achmadi dan Setyo Sumarno, 1999. Kajian Tentang Model-model
Pelayanan lanjut usia Berbasis Masyarakat Melalui Pusat Santunan Asuhan
Dalam Keluarga. Jakarta ; BPPKS.
Koentjaraningrat, 1990. Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta.
Loius Lowy, 1997, Social with the Aging, the Challange and Promise of the Later
Year, New York, Philadephia, San Fransisco, Harver & Row Pub-
lisher.
Pramuwito, dkk, 1991. Penelitian Uji Coba Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial
lanjut usia Berbasis Masyarakat. Jakarta; BPPKS.
Robert C. Atchley, 1983, Aging Community and Change, Wadsworth Publish-
ing Company, Belmont, California Division Wadsworth Inc.
________, 1983. Aging Community and Change, Scripps Foundation Gerontol-
ogy Center, Miami University, Wadswort Publishing Company,
Belmont California.
167Puslitbang Kesos
Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan
PENGEMBANGAN KOMUNITAS PEDULI
ANAK 1
Dra. Alit Kurniasari, MPM 2
ABSTRAK
Penelitian pengembangan komunitas peduli anak bertujuan untuk
mengidentifikasi latar belakang pembentukan komunitas peduli anak,
mengidentifikasi potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan komunitas untuk
mengembangkan kepedulian komunitas serta mengidentifikasi bagaimana bentuk-
bentuk kepedulian komunitas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
kualitatif melalui studi kasus yang dilakukan di 6 wilayah (Sumatera Utara/Medan,Sumatera Selatan/Palembang, Kalimantan Barat/Pontianak, Jawa Timur/Surabaya,
Sulawesi Selatan/Makasar, Nusa Tenggara Timur/Timor Tengah Selatan). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembentukan komunitas peduli anak dilatarbelakangi
oleh kondisi faktual di masing-masing wilayah. Banyaknya permasalahan anak-anak
terlantar dan anak jalanan telah memprakarsai tokoh agama, kelompok remaja mesjid
dan praktisi sosial, untuk membangun komunitas peduli anak. Pandangan tentang
anak dan kebutuhannya memotivasi komunitas untuk memenuhi kebutuhan dan
hak anak. Pendampingan secara intensif dari tokoh komunitas, lembaga sosial
masyarakat yang peduli anak didukung keterlibatan pengusaha setempat maupun
pemerintah menjadi sumber motivasi bagi anggota masyarakat untuk berpartisipasi
aktif kedalam komunitas. Kepedulian diwujudkan dalam bentuk kelompok belajar,kelompok bermain dan TK, taman bacaan anak, pemberian beasiswa bagi anak
jalanan yang mampu sekolah dan pelatihan keterampilan. Pada beberapa wilayah,
pelayanan sosial tidak hanya bagi anak, tetapi juga menjangkau keluarga atau orang
tua, melalui pemberian keterampilan usaha. Potensi dan sumber pendukung untuk
mengembangkan komunitas seperti nilai ajaran agama sebagai pengikat kegiatan
komunitas, selain pandangan masyarakat tentang hak anak dan kebutuhannya, yang
berpihak pada anak dan tidak bias gender. Dukungan pengusaha setempat terhadap
kelanjutan pendidikan serta keterlibatan LSM yang peduli pada kesehatan dan
pendidikan anak, termasuk mengikutsertakan keluarga pada pelatihan usaha ekonomi
produktif. Dukungan pemerintah melalui paket belajar dan pelatihan keterampilan
telah memberi warna pada kegiatan komunitas. Adapun hambatan yang dihadapi
komunitas seperti terbatasnya jaringan kerja komunitas, minimnya pemahaman
1 Diangkat dari penelitian Komunitas Peduli Anak dengan anggota Alit Kurniasari (Ketua),
Gunawan, Tety Ati Padmi, Neni Riani, Sri Utami.
2 Alit Kurniasari, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan KesejahteraanSosial, Departemen Sosial RI.
169Puslitbang Kesos
masyarakat bahwa komunitas sebagai ‘modal sosial’ yang dapat dikembangkan, belum
adanya kesamaan antara dukungan pemerintah dengan kebutuhan komunitas. Oleh
karenanya, untuk mengembangkan komunitas peduli anak perlu membentuk jejaring
kolaboratif antar sektor terkait; dunia usaha, masyarakat peduli anak dan pemerintah,
perlunya mengkampanyekan kegiatan peduli anak agar kesadaran masyarakat pada
kebutuhan dan hak anak semakin meningkat, peningkatan kemampuan pekerjakomunitas, fasilitasi pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan komunitas, kebijakan
tentang keberadaan komunitas sebagai bagian dari Sistem Kesejahteraan Nasional
Indonesia.
Kata kunci:
Hak Anak, Pelayanan Sosial Anak, Komunitas Peduli Anak
Pendahuluan
Kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak menjadi bagian penting
dari pembangunan kesejahteraan sosial. Anak sebagai generasi penerus
bangsa perlu dipersiapkan sejak awal agar tujuan anak sebagai pemilik era
masa datang dapat tercapai. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari
legalitas tingkat global sampai tingkat nasional. Indonesia telah memiliki
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Rativikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor
36 tahun 1990, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan perundang-undangan
di bawahnya, yang bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan
dan perlindungan anak seoptimal mungkin. Implikasinya adalah berbagai
elemen seperti LSM, Orsos, Dunia Usaha dan pemerintah berupaya
merealisasikannya dalam berbagai kegiatan. Pemerintah melakukan berbagai
aksi, juga memfasilitasi pembentukan Komite Aksi Nasional, Gugus Tugas,
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak di daerah
yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan dan elemen masyarakat.
Departemen Sosial melalui Direktorat Pelayanan Sosial Anak yang telah
lama dan berpengalaman dalam membina dan memfasilitasi pelayanan sosial
anak baik dalam maupun luar panti, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang
tidak kalah gencarnya dengan kegiatan lembaga nonpemerintahan lainnya.
Pada kenyataannya, kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan
meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Jumlah anak terlantar, termasuk anak jalanan cenderung semakin meningkat,
170 Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi.
Berdasarkan data Pusdatin Departemen Sosial RI (2006) menunjukkan
jumlah anak terlantar sebanyak 2.815.383 anak. Permasalahan anak tidak
terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia, terutama
masalah kemiskinan. Upaya penanganan yang dilakukan pemerintah tidak
sebanding dengan besaran permasalahan anak, sehingga peran aktif
masyarakat sangat diperlukan. Upaya penanganan permasalahan anak
berbasis masyarakat semakin banyak ditemukan. Kelompok masyarakat
yang memiliki kepentingan yang sama terhadap kesejahteraan anak, yang
selanjutnya disebut sebagai komunitas peduli anak, telah banyak melakukan
kegiatan pelayanan anak. Keberadaan komunitas tersebut sejalan dengan
salah satu tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yaitu meningkatkan
kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kessos), merasa perlu
melakukan penelitian tentang pengembangan komunitas peduli anak. Dalam
penelitian ini akan menelusuri bagaimana bentuk kegiatan komunitas, apa
latar belakang terbentuknya komunitas serta sumber dan potensi apa yang
dapat dimanfaatkan komunitas untuk mengembangkan kepedulian
komunitas?
Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan metode kualitatif dengan
studi kasus, guna memberi penjelasan komprehensif mengenai komunitas
peduli anak di wilayah yang terpilih. Penelitian studi kasus berupaya menelaah
sebanyak mungkin data mengenai komunitas peduli anak yang ada di
masyarakat. Pembahasan yang dilakukan berusaha untuk menjawab ”Why
and How”. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi
dan penelaahan dokumen, yang bertujuan semaksimal mungkin memperoleh
pandangan lengkap dan mendalam mengenai komunitas peduli anak. Lokasi
yang terpilih dengan cara purposive, yaitu kota-kota yang memiliki jumlah
permasalahan anak terlantar cukup tinggi yaitu Kota Medan, Palembang,
Makasar, Surabaya, Pontianak dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Sumber informan pada tokoh komunitas, anggota komunitas, tokoh
masyarakat, anak-anak dan Instansi Sosial. Untuk menjelaskan komunitas
peduli anak maka digunakan teori sikap dari Mar’at yang beranggapan
171Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui pendekatan teori stimu-
lus respon, artinya perilaku sosial dianalisis sebagai respon spesifik terhadap
stimuli yang diberikan, didukung oleh hukuman dan penghargaan sesuai
dengan reaksi yang terjadi. Artinya perilaku komunitas peduli anak, sebagai
perilaku sosial yang dipengaruhi oleh penghargaan maupun dukungan
terhadap kegiatan komunitas. Konsep komunitas dari Ferdinan Tonny
yang membagi komunitas pada 3 aspek yaitu seperasaan, sepenanggungan
dan saling membutuhkan. Berdasarkan hal tersebut, komunitas peduli anak
dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi
aktif dan prakarsa komunitas terhadap penanganan permasalahan yang
dihadapi masyarakat setempat. Selanjutnya komunitas peduli anak, dapat
menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
masyarakat, yang dapat berfungsi sebagai gerakan yang dirancang untuk
meningkatkan kehidupan seluruh komunitas.
Hasil PenelitianBerdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa bentuk
kegiatan komunitas ada hubungannya dengan kondisi dan karakteristik sosialekonomi wilayah setempat. Misalnya, komunitas di Kota Pontianak yangberbatasan dengan wilayah negara lain, telah mendorong komunitas untukpeduli terhadap maraknya masalah trafficking dan melakukan pendampinganbagi anak yang berkonflik hukum. Komunitas di Kota Medan dan Surabaya,sebagaimana kota-kota besar lainnya yang menjadi pusat persinggahan bagipenduduk di wilayah sekitarnya memiliki permasalahan anak jalanan cukuptinggi. Komunitas di Kota Palembang dan Makasar dengan posisiwilayahnya yang cukup strategis sebagai pintu gerbang bagi wilayah lainnya,diwarnai tingginya permasalahan anak terlantar. Meningkatnya permasalahananak telah mendorong munculnya komunitas peduli anak yang diprakarsaioleh kalangan praktisi dan masyarakat terdidik dari berbagai perguruantinggi serta masyarakat lokal baik yang diikat oleh satu rumpun agamamaupun budaya, turut menangani permasalahan anak dan melakukankegiatan demi menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan. Perankekerabatan dan tanggung jawab sosial keluarga pada kenyataannya tidakmampu menyelamatkan anak dari keterlantaran. Seperti kasus di Medan,kondisi kemiskinan keluarga semakin menjauhkan keluarga dari interaksinyadengan kerabat lainnya, sehingga keterlantaran anak harus ditanggung olehkeluarga bersangkutan. Kasus di Timor Tengah Selatan, berawal dari kegiatan
172 Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
keagamaan untuk membantu anak terlantar melalui pelayanan sosial bersifatinsidental, tetapi kegiatannya berlanjut menjadi terorganisir setelahmemperoleh dukungan dari berbagai pihak. Motivasi atas jiwa kemanusiaandan dilandasi nilai-nilai agama telah mendorong komunitas untuk berbuatyang terbaik bagi anak-anak. “Nilai kasih sayang antar sesama karena salingmembutuhkan, sesuai dengan ajaran agama yang dianut” menjadi landasankomunitas untuk peduli pada anak. Semangat tersebut telah mampumemotivasi kelompok pemuda dan wanita, berpartisipasi pada kegiatankomunitas. Kepedulian tokoh masyarakat telah membangkitkan motivasimasyarakat setempat untuk peduli pada kehidupan anak jalanan. Kasus diSurabaya, telah melahirkan sanggar anak-anak jalanan yang diakuikeberadaannya di masyarakat dan menjadi contoh kegiatan di berbagaiprovinsi lainnya.
Perilaku yang ditunjukkan anggota komunitas semakin meningkatmanakala adanya keberhasilan mengentaskan anak dari keterpurukan dansemakin meningkatnya partisipasi tokoh masyarakat dan agama sertakelembagaan yang ada di masyarakat. Keberhasilan komunitas terhadappelayanan pada anak terlantar dan anak jalanan, telah berkembang menjadiembrio organisasi, diantaranya mampu membentuk lembaga pendidikan,dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak, seperti kasus komunitas di KotaPalembang. Kasus komunitas di Surabaya, mampu mengembangkankegiatan pelayanan anak seperti pemberian beasiswa, pelayanan perlindunganbagi anak remaja dari tindak kekerasan seksual dan anak yang dipekerjakanmenjadi pembantu rumah tangga.
Perilaku sosial yang ditampilkan oleh komunitas dipahami sebagaiwujud dari pandangan masyarakat tentang konsep anak dan kebutuhanyang harus dipenuhi anak, yang telah menimbulkan empathy untuk pemenuhankebutuhan tersebut dan selanjutnya diwujudkan dalam kegiatan komunitasyang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan melindungi anak dariketerpurukan. Konsep tentang anak diawali dengan pandangan tentangusia anak. Batasan usia sebagai anak adalah 18 tahun kebawah dan belummenikah, tetapi ada diantaranya yang berpendapat bahwa sebaiknya usiaanak sampai dengan usia 16 tahun, dengan alasan perilaku anak usia 18sudah tidak mencerminkan perilaku seorang anak demikian jugamemperlakukannya sudah harus berbeda. Sebutan anak jalanan telahmemberi stigmatisasi yang menghambat keberadaan anak untuk pemenuhankebutuhannya di masyarakat, sehingga perlu merubahnya dengan sebutan’anak negeri’ yang lebih mencerminkan keberpihakan pada anak. Konsep
173Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
tentang anak cukup bervariasi, ada yang melihat dari sudut pandang positif,bahwa anak sebagai potensi dan aset generasi penerus cita-cita bangsa,harapan bangsa, penerus estafet pembangunan, titipan Tuhan, fitrah yangharus dijaga yang dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga, penyejukhati, menjadi kekayaan berharga dan ahli waris, menjadi bagian dari dirikita. Sebaliknya, ada yang berpandangan tradisional, bahwa anak diibaratkansebagai kertas putih, yang tidak memiliki kemampuan, sebagai manusialemah dan rawan, masa depannya tergantung pada orang dewasa, menjadifigur yang harus membantu keluarga. Pandangan demikian memberipengertian bahwa keberadaan anak seolah-olah sangat tergantung padaorang tua, anak tidak memiliki hak untuk berkembang. Meskipun konseptentang anak berbeda-beda, namun sebagian besar memahami bahwa anakmemiliki kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan, bimbingan danpengarahan. Kebutuhan dimaksud, seperti hidup layak sebagai mana seoranganak, memperoleh makanan sehat, tempat berlindung, kesempatanbersekolah, kasih sayang, perhatian dari orang tua, mempunyai waktubermain dan diperlakukan secara manusiawi. Perlu pengarahan melaluipendidikan agama, budi pekerti serta memperoleh keterampilan,kesempatan berpendapat dan berkreativitas dan memperoleh pendidikanformal sesuai dengan kemampuan dan usianya. Kebutuhan tersebutsebenarnya sebagai bagian dari hak anak yang harus dipenuhi, yaitu: (1) hakuntuk hidup; (2) hak untuk tumbuh kembang; (3) hak untuk memperolehperlindungan dari kekerasan; meskipun hak anak untuk berpartisipasi masihbelum nampak. Pandangan tersebut, telah menjadikan anggota komunitasmerasa terpanggil untuk mewujudkannya melalui kegiatan pelayanan yangsesuai dengan hak dan kebutuhan anak.
Kegiatan komunitas berupa pendampingan intensif pada anak jalanan,
yang telah menyelamatkan anak dari tidak bersekolah menjadi bersekolah,
memberi kesempatan pada anak untuk mengikuti pendidikan luar sekolah,
memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan di jalanan, (kasus di
Surabaya dan Medan) dan dari tindakan hukum seperti kasus di Pontianak.
Bentuk kegiatan pelayanan tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan anak
untuk memperoleh tempat tinggal memadai, perhatian atau kasih sayang,
juga memberikan kebutuhan akan pendidikan dan keterampilan seperti
bermain musik, teater, sablon, dorsmeer. Selain itu, memberi kemudahan
memperoleh akte kelahiran dan memberi perlindungan dari tindak
kekerasan. Pelatihan keterampilan bermusik pada dasarnya tidak hanya
bertujuan untuk terampil bermain musik, tetapi juga memiliki kepercayaan
174 Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
diri untuk tampil di tempat umum. Meningkatnya kepercayaan diri pada
anak, setidaknya berdampak pada pribadi dan perilaku anak jalanan, dimana
anak merasa lebih dihargai dan berguna bagi orang lain.
Pada kenyatannya, kegiatan komunitas tidak terbatas pada anak, tetapi
juga membantu keluarganya dalam kemampuan ekonomi serta memberi
akses bagi pelayanan kesehatan serta memberikan pembekalan keterampilan
bagi keluarganya. Kegiatan dimaksud bertujuan agar keluarga dapat
meningkatkan pendapatannya sehingga dapat meringankan beban
pengeluaran untuk membesarkan anaknya. Bimbingan etika dan agama
termasuk kegiatan yang penting diberikan pada anak dan orang tua,
bertujuan agar anak dengan segala keterbatasan yang ada tetapi masih
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia.
175Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
Gambar 1 : Anak jalanan di Surabaya berlatih musik
Keterlibatan dunia usaha/swasta, lembaga swadaya masyarakat dan
pemerintah menjadi kekhasan tersendiri dari masing-masing komunitas.
Kasus di Kota Palembang dengan dukungan lembaga international mampu
membangun komunitas peduli anak, tidak terbatas pada pemenuhan
tumbuh kembang anak, tetapi lebih luas mampu menjangkau kesejahteraan
keluarga. Komunitas di Makasar, didukung lembaga masyarakat setempat
mampu menciptakan kepedulian pada permasalahan anak lainnya.
Komunitas di Kabupaten Timor Tengah Selatan, menciptakan kepedulian
masyarakat dengan prinsip memberikan yang terbaik bagi anak, tidak
terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Kondisi
ini memiliki nilai strategis dalam pembangunan kesejahteraan sosial, karena
masyarakat telah ikut terlibat dalam menangani masalah anak. Partisipasi
dan kegiatan yang dilakukan komunitas, melalui curahan tenaga, kontribusi
pemikiran, sumbangan harta benda, maupun penggalangan dana, yang
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing komunitas, memotivasi
komunitas untuk menyelamatkan anak dari keterlantaran.
Gambar 2 : Kegiatan Bimbingan agama bagi
Orang Tua dan Anak di Surabaya
176 Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
Dukungan kepedulian sosial yang dikembangkan secara tradisionalmaupun profesional, telah tumbuh menjadi modal sosial melalui tindakankolektif komunitas guna mengatasi masalah yang dihadapi sesama wargamasyarakat, terutama masalah anak-anak. Di dalamnya terkandung semangatkaritas (charity), kepedulian sosial (volunteerism) dan kepedulian sesama warga(civic involvement), yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaanmasyarakat.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan komunitasmasih banyak memerlukan keterlibatan pihak lain, terutama dalam rangkamembantu menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas, seperti dariPerguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga legislatif,Organisasi Masyarakat, Pengusaha, lembaga permodalan dan masyarakatitu sendiri. Keikutsertaan unsur-unsur tersebut dalam penyelesaian masalah,perlu ditata dengan baik yaitu melalui pembentukkan jejaring (network) antarlembaga secara kolaboratif. Jejaring kolaboratif bersifat informal,transparan, menampilkan kesetaraan, mengandalkan komitmen,mensinergikan upaya dan mengembangkan kesadaran kritis serta berfungsipula sebagai kontrol sosial. Dengan prinsip-prinsip tersebut jejaring akanmampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaianmasalah komunitas, melalui pertukaran informasi, pengalaman danpengetahuan serta penyediaan sumber daya yang berasal dari tingkatkomunitas, tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat pusat. Jaringankelembagaan komunitas peduli anak dapat dilihat dari gambar berikut ini:
Masing-masing sektor memiliki fungsi tersendiri, misalnya public sectoratau pemerintah harus diletakkan secara strategis untuk mendorong inisiatifwarga masyarakat agar dapat mengembangkan berbagai potensikemandirian mereka dalam rangka membantu sesama warganya. CollectiveSector Action atau dapat disebut sebagai masyarakat sipil yang diantaranyaadalah komunitas peduli anak, berperan penting dalam pengembangandan perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraansosial anak. Sektor swasta (private sector) berkomitmen membantumewujudkan kesejahteraan sosial anak, dengan tanggung jawab sosialperusahaan (corporate social responsibility) yang menyediakan dana, keahliandan sumber daya yang dapat digunakan untuk kegiatan pengembangankomunitas peduli anak. Penting diperhitungkan juga lembaga-lembagafilantropi dan pembangunan international sebagai salah satu komponenpelaku atau sumber daya pengembangan komunitas peduli anak.
Gagasan tersebut sejalan gagasan Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional,yang menyebutkan bahwa pihak yang bertanggung jawab dalampengembangan kesejahteraan (anak) tidak lagi dimonopoli Negara, tetapidibagi bersama-sama kalangan swasta (perusahaan-perusahaan), lembaga-lembaga sosial masyarakat (termasuk organisasi keagamaan) dan lembaga-lembaga kerelawanan (seperti LSM yang mengumpulkan dana-dana amal).Langkah-langkah perlindungan sosial bagi anak terlantar sebagai perwujudanpelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinyahak dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal.
177Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
Collective Action Sector (Komunitas Peduli Anak)
Public Sector (Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah)
Private Sector (Dunia usaha, LSM, Orsos,
Masyarakat peduli)
Jaringan
Kelembagaan
Peduli Anak
Bagan 3. Jaringan kelembagaan komunitas peduli anak
Komunitas peduli anak, sebagai lembaga sosial masyarakat padakenyataannya berdiri sendiri, belum sepenuhnya mampu menjangkaukalangan swasta, dalam hal ini dunia usaha. Kurangnya koordinasi diantaralembaga yang bergerak dalam pelayanan sosial anak, menjadi kelemahanyang dirasakan komunitas. Hal tersebut bukan tidak mungkin kepercayaandari dunia usaha untuk berkolaborasi menjadi minim. Meskipun selama inidunia usaha cukup mendukung kegiatan komunitas, tetapi masih bersifatinsidental, belum mampu menciptakan program terencana danberkelanjutan. Peran Lembaga kerelawanan, sebagai funding bagikeberlangsungan komunitas, memberi andil besar terutama dalam danadan program pelayanan sosial anak. Permasalahannya adalah komunitasbelum mampu mandiri selepas berakhirnya program. Masyarakat belumterbiasa menjadi mandiri, ketergantungan masyarakat pada pemerintah masihcukup melekat, karena kondisi tersebut telah dibentuk sejak masa lampau.Hal ini pula yang menjadi salah satu kendala bagi upaya pemberdayaanmasyarakat, seperti yang dialami pada kasus di Palembang.
Kesimpulan dan SaranSecara garis besar dapat disimpulkan, bahwa terbentuknya komunitas
peduli anak, karena adanya kesamaan perasaan terhadap keterlantaran anak,memiliki kepentingan bersama untuk memberikan pelayanan bagi anakagar terhindar dari keterpurukan lebih lanjut. Keberadan komunitas menjadibagian yang dibutuhkan anggotanya, terutama anak-anak terlantar dan anakjalanan menerima pelayanan yang selama ini hak dan kebutuhannyaterabaikan. Tindakan kolektif komunitas dapat diprakasai oleh berbagailapisan masyarakat, baik yang berlatar belakang agama, keilmuan bahkanatas dasar panggilan hati nurani sekalipun. Terpenting adalah motivasi yangdimiliki komunitas mampu menggerakkan partisipasi aktif anggotanyaguna menciptakan kehidupan yang terbaik bagi anak-anak. Kegiatankomunitas tidak dapat terselengara tanpa dukungan pemerintah danketerlibatan dunia usaha, maupun lembaga sosial masyarakat lainnya. Hanyasaja keberadaan komunitas berikut kasus-kasus keberhasilan, serta manfaatyang telah diperoleh anak beserta keluarganya kurang tersosialisasikan.Keterbatasan petugas pendamping bagi anak-anak terlantar dan anak jalanan,menjadi kendala yang dialami komunitas, selain sarana dan prasarana bagipenyelenggaraan kegiatan pelayanan. Semakin meningkatnya minat anak-anak terlantar yang membutuhkan pelayanan dari komunitas, semakinmenuntut komunitas untuk memperluas jaringan kerja (network). Keberadaan
178 Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
komunitas paduli anak, menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkanuntuk mengembangkan masyarakat sekitarnya.
Untuk itu, perlu direkomendasikan peningkatan sosialisasi ataumengkampanyekan komunitas peduli anak, melalui dialog interaktif padamedia masa dan elektronik, penyebarluasan informasi melalui media masadan elektronik. Selain itu, upaya pengembangan komunitas peduli anakmelalui fasilitasi program pemberdayaan kepada keluarga dengan anakterlantar. Melakukan peningkatan kemampuan petugas pendamping melaluikegiatan pemantapan, khususnya pekerjaan sosial agar lebih terarah,pengakuan terhadap petugas pendamping sebagai tenaga Pekerja Sosialdari Dinas Sosial setempat, memfasilitasi sarana prasarana komunitas, yangdisesuaikan dengan kebutuhan komunitas. Hal yang penting lainnya adalahkebijakan berlandaskan pada Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional Indo-nesia yang dapat memperkuat keberadaan komunitas peduli anak, sehinggaaksesibilitas komunitas peduli anak terhadap sumber-sumber dayakesejahteraan sosial seperti dunia usaha dan instansi pemerintah mendapatlegalitas yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyana, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Harry Hikmat, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama
Pers. Bandung.
Hurlock, Elizabeth, 1989, Development Psychology, Mc Graw Hill, Toronto.
Mar’at, 1981, Teori Sikap, PT. Remaja Karya, Bandung.
Tonny F Nasdian & Lala Kolopaking, 2003, Sosiologi untuk Pengembangan
Masyarakat, program Pasca Sarjana IPB.
_______, 2005, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem
Kesejahteraan Nasional Indonesia, draft IX; Depsos RI.
179Puslitbang Kesos
Pengembangan komunitas Peduli Anak
GENDER DAN KELUARGA MIGRAN
DI INDONESIA1
Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si 2
ABSTRAK
Penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa para TKW melakukan migrasi
ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya. Hal ini menimbulkan dampak
sosial psikologis terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Lebih jauh, hal ini
mencerminkan adanya kompleksitas masalah keluarga buruh migran termasuk
pergeseran pola relasi gender pasca migrasi sebagai TKW. Untuk memahami hal itu,
penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian diutamakan
pada wilayah pemasok utama tenaga kerja wanita (TKW) seperti Lampung,
Indramayu, Malang dan Makassar. Sumber data dan informan penelitian adalah
TKW dan keluarganya. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulangke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan. Penentuan
keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan snowball. Analisis data dilakukan
dengan pendekatan patriarkhi dan analisis gender yang berkaitan dengan bargaining
position dan kesetaraan antara suami dan isteri.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Pasca kepulangan sebagai TKW, TKW
membawa nilai–nilai baru yang diserap melalui proses akulturasi budaya di negara
perantauannya yang didukung dengan posisi ekonomi isteri yang meningkat. Langsung
atau tidak langsung kondisi ini menaikkan posisi tawar di tengah keluarganya. Hal inimemberikan ruang yang cukup bagi terjadinya pergeseran pola relasi gender lokal di
tengah keluarganya, yang secara psikologis mengarah pada konsep androgini. Dengan
konsep relasi gender ini, pembagian kerja yang semula sangat sexist mulai kabur.
Suami mulai terlibat pada sektor domestik dan permisif pada nilai-nilai pemingitan,
sementara isteri mulai terbuka pada sektor publik. Dalam hal ini pihak isteri mulai
independent dalam membuat keputusan sehingga posisinya sebagai sub ordinat makin
kabur dan mengarah pada posisi isteri sebagai mitra. Namun demikian, keluarga
mengalami konflik secara potensial dan manifest, sehingga relatif kurang harmonis.
1 Diangkat dari hasil penelitian tentang Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Di Indonesia,oleh Togiaratua Nainggolan, Faida Normawati, Ruaida Murni, Rachmanto Widjopranoto, dan
Sudibyonoto.
2 Togiaratua Nainggolan, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan KesejahteraanSosial di Departemen Sosial RI.
181Puslitbang Kesos
Sehubungan dengan hal tersebut kepada pihak–pihak terkait direkomendasikan
untuk memberikan pelatihan bagi calon TKW dengan materi pelatihan penguatan
fungsi dan tanggung jawab sosial keluarga yang mengarusutamakan pola relasi gen-
der. Selain itu, diperlukan bimbingan dan konseling keluarga bagi keluarga mantan
TKW sebagai upaya mengantisipasi dampak sosial negatif dari pergeseran pola relasi
gender dalam kehidupan keluarga.
Kata kunci :
Pergeseran Pola Relasi Gender, Tenaga Kerja Wanita, Keluarga Migran
PendahuluanLatar belakang penelitian ini didasarkan pada kenyataan, bahwa para
TKW melakukan migrasi ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya.Hal ini menimbulkan dampak sosial psikologis terutama bagi perempuanyang sudah menikah. Lebih jauh hal ini mencerminkan adanya kompleksitasmasalah pada buruh migran.
Pendapat senada dikemukakan oleh Krisnawati & Safitri (dalamDaulay, 2001) dalam sebuah tulisannya bahwa masalah buruh migran sangatkomplek karena konteksnya tidak saja soal perburuhan tetapi jugamenyangkut migran internasional, kapitalisme dunia dan globalisasi.Ketimpangan pendapatan negara maju dan negara dunia ketiga, kesalahankonsep pembangunan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun dan secarakhusus bagi TKW menyangkut masalah perempuan, yaitu masalah gender.
Selain masalah gender, sadar atau tidak, langsung atau tidak langsungperubahan peta situasi keluarga pasca TKW dapat mempengaruhi tingkatkeharmonisan keluarga buruh migran yang bersangkutan.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengantujuan : (1) mendeskripsikan pergeseran pola relasi gender pada keluargamigran pasca migrasi sebagai buruh TKW; dan (2) mendeskripsikangambaran keharmonisan keluarga mereka pasca migrasi sebagai TKW.
Hasil penelitian diharapkan mampu : (1) menyajikan realitas positifmaupun negatif dari tindakan migrasi TKW terhadap keluarga, untukselanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi calon TKW dankeluarganya dalam membuat keputusan untuk migrasi sebagai TKW ; dan(2) bagi Departemen Sosial RI dan pihak terkait lainnya, dapat digunakansebagai bahan perumusan kebijakan dan pengembangan program yangditujukan bagi TKW dan keluarganya.
182 Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
Metode PenelitianPenelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian
diutamakan pada wilayah yang menjadi pemasok utama tenaga kerja wanita(TKW) ke luar negeri seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, JawaTimur, Jawa Barat, dan Lampung.
Sumber data dan informan penelitian adalah TKW dan keluarganya,terutama dengan melihat kondisi isteri yang pernah bekerja ke luar negerimenjadi TKW. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulangke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan.Pengambilan keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan cara snow-ball dimana dari satu informan akan berkembang ke informan selanjutnya.
Teknik analisis data diarahkan pada pendekatan patriarkhi dan analisisgender yang berkaitan dengan bargaining position antara suami dan isteri sertamenyangkut kesetaraan posisi di antara mereka.
Hasil dan Pembahasan
1. Realitas TKW Sebagai Persoalan Sosial Budaya
Sebagai sebuah realita sosial kehadiran TKW banyak mendapatpujian sehubungan dengan prestasinya dalam bidang ekonomi dengansumbangan devisa yang besar, sehingga TKW diberikan predikatsebagai pahlawan devisa bagi negara. Namun, pujian dan predikatpahlawan ini dapat dikatakan semu, karena prestasi ini hanya dinilaiberdasarkan indikator ekonomi, sehingga terkesan meninabobokanmasyarakat terhadap substansi persoalan yang sesungguhnya dancenderung menutupi kelemahan pihak tertentu sebagai penyelenggaraprogram ini.
Penegasan ini cukup beralasan karena hingga saat ini programpengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi motif pendekatanbisnis yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan selera kepentingankelompok kapitalis. Akibatnya, prinsip hitung-hitungan ekonomi selalumenjadi ukuran. Dalam prakteknya, bagi kaum kapitalis menjadi TKWadalah menjadi “produsen” sekaligus menjadi “konsumen” denganukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh kelompok pengusaha.
Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus dipandang sebagaipersoalan sosial budaya dalam arti luas, selain peluang yang dapat
183Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
dimanfaatkan secara ekonomi, juga harus memanfaatkan peluangdari aspek sosial budaya. “Mengekspor” TKW ke luar negeri bukansaja mengirim individu TKW secara fisik tetapi sekaligusmempertemukan dua atau lebih budaya yang berbeda dari berbagaiaspek.
Mengacu pada model transmisi budaya dari Cavali dan Sproza(dalam Berry dkk, 1999) pertemuan antara TKW dengan majikan dinegara tujuan sekaligus mempertemukan dan memfasilitasi kontakbudaya dua pihak yang mengadakan transaksi jasa. Hal ini potensialmemunculkan persoalan budaya dalam bentuk akulturasi danenkulturasi dengan segala konsekuensi lintas budaya, baik yang positifmaupun negatif.
Fenomena ini lebih sensitif lagi karena melibatkan perempuanyang berstatus isteri dari seorang suami dan sekaligus ibu dari sejumlahanak. Bahkan secara politis adalah “ibu” dari sang masa depan bangsa.Hal yang harus menjadi catatan pertama adalah kepergian seorangibu ke luar negeri tidak serta merta menyelesaikan masalah. Justrusebaliknya dapat memunculkan masalah baru dalam konteks keluargayang senantiasa tetap dituntut menjalankan segala fungsinya, yang secaraideal harus dikendalikan oleh suami-isteri. Hal senada dipertegas olehGoode (1985), bahwa dengan bekerjanya sang isteri ternyatameningkatkan pertentangan dalam perkawinan. Pernyataan ini semakinrelevan bagi TKW karena harus berpisah dengan keluarganya.
Secara bersamaan, meningkatnya keterlibatan perempuan dalamkegiatan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi,mengindikasikan peningkatan secara kuantitatif, dimana jumlahperempuan yang bekerja di luar rumah semakin banyak, walau angkastatistiknya belum dapat disebut secara pasti. Sementara pada sisi lain,ada peningkatan dalam “jumlah bidang pekerjaan” yang semuladidominasi oleh laki-laki secara berangsur dimasuki bahkan didominasioleh perempuan, walaupun secara kualitatif hal itu terjadi padapekerjaan kasar sebagaimana yang dialami oleh TKW.
Pada tataran global, perubahan kontemporer dalam hidup kaumperempuan ini, sebenarnya sudah dimulai pada saat modernismemenjadi bagian dari gaya hidup, bahkan ideologi masyarakat. Dalamkonteks ini, beban menjadi perempuan di era modern menjadi lebihberat, karena berbagai muatan nilai harus di akomodasi. Sadar atau
184 Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
tidak, trend kehidupan mengikuti arus perubahan sosial membawatransformasi masyarakat yang melibatkan pergeseran nilai-nilaitradisional ke arah modernisasi, termasuk dalam hal pergeseran polarelasi gender di kalangan buruh migran.
Perilaku penyesuaian diri dalam menerima arus informasimodernisasi dalam transmisi budaya menuntut kearifan tersendiri.Persepsi yang salah akan menimbulkan culture shock berupa responnegatif dan disorientasi yang dialami orang-orang yang hidup dalamsuatu lingkungan budaya baru. Bagi TKW yang harus pergi ke luarnegeri, persoalan semacam ini seharusnya menjadi fokus perhatiandalam perumusan kebijakan, bukan saja pada tingkat mikro, akantetapi juga pada tingkat makro. Secara makro, proses globalisasi telahmembawa keuntungan atas fenomena “perdagangan tanpa batas”dengan mendapatkan pekerja migran yang murah. Secara tidaklangsung buruh migran dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negaratujuan. Pada tingkat mikro, pemerintah memang melakukan intervensi.Tetapi hal itu lebih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perdagangandan aliran modal yang justru mendukung globalisasi itu sendiri, tetapitidak untuk isu kemanusiaan yang melekat pada proses migrasi itusendiri. Akibatnya muncul berbagai efek samping yang justru tidakdiharapkan.
Pada tataran inilah aspek sosial budaya dari program eksportenaga kerja ke luar negeri menjadi hal yang urgen untuk menjadikanTKW sebagai duta bangsa yang membawa nama harum bangsa danbukan menjadi “komoditas dagang” yang mendapat perlakuan sesuaiselera pasar.
2. TKW dan Rekonstruksi Gender
Sebagai bagian dari budaya, pola relasi gender menunjukkankecenderungan laki-laki diorientasikan ke bidang publik dan perempuanke bidang domestik. Kecenderungan ini menimbulkan ketimpangankekuasaan antara kedua jenis kelamin.
Pengaruh akar sosial budaya tradisional dalam mengasosiasikanperempuan sebagai kelompok orang yang memiliki ciri tertentu telahmemberikan warna dalam keterlibatan perempuan dalam kegiatanekonomi. Pemaknaan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomiini ditentukan oleh sistem nilai adat istiadat yang memberikan peluang
185Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
sekaligus pembatasan berupa etika, tentang apa yang boleh dan apayang tidak boleh dilakukan. Proses sosialisasi perempuan mengarahpada terjadinya identifikasi pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengansifat keperempuanannya. Terlihat bahwa perempuan ternyata banyakdilibatkan di sektor-sektor yang sudah terpola pada pekerjaan yangbersifat “menerima perintah”. Kecenderungan tersebut terefleksikandalam konteks yang lebih luas, dimana pihak yang memerintah adalahlaki-laki, dan pihak yang menerima perintah adalah perempuan. Selainitu, perempuan sebagai pihak yang menerima perintah, di dalamstruktur kekuasaan berada di posisi yang lemah dan terlihat jelas denganadanya hubungan–hubungan personal yang mempengaruhi ukuran-ukuran kedudukan dan kesempatan. Konstruksi gender inimenempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan perempuan padaujung yang yang lain di sebuah garis vertikal. Secara langsung konstruksiini menegaskan posisi sub ordinat perempuan dan superioritaslaki-laki.
Penjelasan tersebut menunjukkan betapa hegemoni patriarkhi
melingkupi pola relasi gender lokal. Dalam konteks ini, pembagian
kerja menjadi sexist (didasarkan pada jenis kelamin) dan dibedakan
dalam suatu dikotomi dari waktu ke waktu. Relasi gender menjadi
perilaku spesifik yang diharapkan dan dijadikan standar yang
diterapkan pada laki-laki dan perempuan, dimana penyimpangan
subjek dari ketentuan ini akan mendapatkan sanksi sosial (penilaian
negatif) masyarakat. Dengan kata lain, pola relasi gender ini merupakan
tingkah laku yang cocok untuk tiap-tiap jenis kelamin. Dalam hal ini,
kelompok laki-laki diharapkan akan menjadi maskulin dan perempuan
diharapkan menjadi feminin.
Bagi kaum perempuan, khususnya kaum isteri yang kebetulan
menjadi TKW, pergeseran nilai ini justru semakin berpeluang terjadi.
Konstruksi gender lokal yang dibawa dari daerah atau negara asal
akan “diuji dan dievaluasi” melalui interaksi budaya di daerah tujuan
perantauan dalam bentuk akulturasi budaya, khususnya budaya majikan
di luar negeri. Artinya secara tidak langsung, sadar atau tidak, TKW bersama
majikannya telah melakukan rekonstruksi gender terhadap pola relasi gender
lokal yang dibawa TKW. Walaupun hal itu, berjalan tanpa diantisipasi oleh
penyelenggara program.
186 Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
Penjelasan tentang hal ini dikemukakan secara langsung oleh TKWbahwa secara perlahan tapi pasti mereka memasuki kehidupan keluargamajikannya sesuai dengan arahan dan petunjuk majikannya. Tanpadisadari TKW sering membanding-bandingkan kehidupan keluarganyadengan majikannya, dan memuji cara kerja anggota keluarganya yangtidak sexist (pembagian kerja tidak didasarkan pada jenis kelamin).
Pengakuan ini menunjukkan, bahwa TKW mengidolakan polarelasi gender majikannya. Ini berarti bahwa paling tidak pada tingkatkognitif dan afektif ada perubahan pola relasi gender dalam diri TKWsecara konsepsional. Lebih jauh, hal ini terbawa dalam kehidupanberkeluarga pasca TKW.
Fenomena pergeseran ini terjadi pada 5 wilayah penelitian,walaupun dalam konteks dan kualitas yang berbeda-beda. Inimembuktikan bahwa posisi isteri pasca TKW dapat memberikanruang yang cukup untuk melakukan pembongkaran terhadap polarelasi gender lokal sebagaimana dikemukakan oleh Daulay (2001).Secara umum pergeseran pola relasi gender tersebut dapatdigambarkan dalam tabel berikut :
187Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
No. Keadaan sebelum menjadi TKW Keadaan setelah menjadi TKW
1. Pencari nafkah utama adalah suami Pencari nafkah utama adalah suami dan isteri
2. Suami meyakini nilai-nilai pemingitan terhadap isteri
Suami mulai permisif ketika isteri masuk sektor publik
3. Isteri fokus terhadap sektor domestik Isteri mulai terbuka pada sektor publik
4. Isteri tidak independen dalam membuat keputusan
Isteri mulai independen dalam membuat keputusan
5. Suami tidak terlibat dalam sektor domestik Sebagian suami terjun ke sektor domestik
6. Pembagian kerja sexist dikotomis Pembagian kerja mulai kabur, tidak sexist dan tidak dikotomois
7. Posisi isteri sebagai sub ordinasi sangat kelihatan
Posisi isteri sebagai mitra mulai kelihatan
8. Pola relasi gender lebih didominasi maskulin dan feminin
Pola relasi gender mengarah pada androgini
9. Pengasuhan anak tanggung jawab utama isteri
Pengasuhan anak mengarah pada tanggung jawab bersama
10. Keluarga relatif harmonis Ada konflik yang bersifat potensial dan manifest
Tabel 1. Perubahan Pola Relasi Gender Keluarga Migran
Pasca Migrasi sebagai TKW
Kesimpulan dan Saran
Kehadiran TKW sebagai migran ternyata harus mengakomodasi
berbagai nilai. Dari perspektif global dan makro, betapa globalisasi telah
membawa keuntungan atas fenomena “perdagangan tanpa batas” dengan
mendapatkan pekerja yang murah. Secara tidak langsung buruh migran
dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negara tujuan. Dalam prakteknya,
bagi kaum kapitalis menjadi TKW adalah menjadi “produsen” sekaligus
menjadi “konsumen” dengan ukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh
kelompok pengusaha, dengan “memperlakukan manusia sebagai
komoditas”. Sementara dalam prespektif negara, TKW menyangkut
persoalan devisa. Adapun bagi keluarga, khususnya yang mempunyai sta-
tus isteri, TKW terkait fungsi dan tanggung jawab sosial istri terhadap suami
dan atau anak. Lebih khusus lagi, dalam perspektif gender, TKW berpeluang
melakukan pembongkaran pola relasi gender lokal dengan segala hegemoni
patriarkhinya.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan semacam “redefinisi”
terhadap keberadaan program TKW dari sisi pendekatan kebijakan sosial,
dengan mencoba menerjemahkan berbagai nilai ke dalam konsep dan
indikator kebijakan. Penegasan ini kiranya cukup beralasan, mengingat hingga
saat ini program pengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi
“motif pendekatan bisnis” yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan
selera kepentingan kelompok kapitalis. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri
harus dipandang sebagai persoalan sosial budaya dalam arti luas secara strategis, yang
harus memanfaatkan peluang tidak saja secara ekonomi tapi juga secara sosial budaya,
dengan mengakomodasi berbagai nilai dalam prespektif kemanusiaan.
Kepada Direktorat Pemberdayaan Keluarga Departemen Sosial,
Departemen Tenaga Kerja, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja bersama LSM terkait
diharapkan segera merumuskan kurikulum pelatihan bagi keluarga calon
TKW menyangkut materi pola relasi gender dan persoalan sosial budaya
lainnya, serta menajemen keluarga, sebagai upaya antisipasi terhadap
kemungkinan masalah yang muncul sehubungan kepergian istri menjadi
TKW. Sementara pasca migrasi sebagai TKW perlu diadakan konseling
keluarga sebagai upaya meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan
masyarakat.
188 Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Berry dkk, (1999), Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasinya (terjemahan
Edi Suhardono), Gramedia, Jakarta.
Daulay, Harmona, (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga di Keluarga
Migran, Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang
Jawa Barat. Galang Press, Yogyakarta.
Goode, William, J, (1985), Sosiologi Keluarga, Bina Aksara, Jakarta.
189Puslitbang Kesos
Gender dan Keluarga Migran di Indonesia
INDEKS
191Puslitbang Kesos
A
Abddurazak dkk (1989), 44
Adoptif kin, 156
Adrinof A. Chaniago (2001:316),48
Afinal kin, 156
Aksesibilitas, 32
Akurat, 3
Allan Pincus, 3
Androgini, 181
Anne Minahan, 3
Aplicable, 100
Australia, 120
B
Badan Pemberdayaan Masyarakat(BPM), 89
Bali, 116
Banglades, 55
Banjar, 30
Bantuan Khusus Murid (BKM),33
Bantuan Operasional Sekolah(BOS), 33, 41
Bargaining Position, 181, 183
Basic needs, 130
Belu, 125
Bintan, 125
Bone, i, 44, 45, 50, 54
Brazil, 55
Bugis, 44, 50
Bukaka, 51
C
Chambers (1983), 122
Charitatif, 134
Charity, 82, 120, 176
Civic Involvement, 176
Civil society, 56
Collective Sector Action, 177
Community based development, 82
Concept of deprivation trap, 122
Consanguinal kin, 156
Corporate social responsibility, 177
Culture shock, 185
D
Day Care Centre, 154
Day Care Service, 154
Dayak, 30
Degeneratif, 163
Desa Aji Kuning, 5, 6, 13
Desa Binalawan, 5
Desa Liang Bunyu, 5
Desa Setabu, 4, 5, 9, 13
Desa Sungai Pancang, 4, 5
Desa Talio, 34
192 Puslitbang Kesos
Indeks
Desa Tanjung Aru, 5
Desa Tanjung Karang, 5
Developmental needs, 130
Diagnosa, 27
Diagnostik, 4
Disorientasi, 185
Distributive Frekuentif, 123
Dorsmeer, 174
Dove (1985), 28
Dwi Heru Sukoco (1991), 3
E
Edukatif, 16
Ekologis, 88
Ekonomis Produktif, 16
Empathy, 173
Empowerment, 122
Epicentrum, 50
Evaluatif Research, 132
F
Ferdinan Tonny, 172
Focus Group Discussion (FGD),83, 119, 123
G
Goode (1985), 156
Grameen Bank, 55
H
Heterogen, 31
Home visit, 113
Human Development Index (HDI), 45
Human Service Organization, 142
I
Ife (1995), 122
Independent, 181
Indepth Interview, 54
Inferior, 116
Isolation, 122
J
Jawa, 30
Jayapura, 125
K
Kalimantan Barat, 129
Kalimantan Tengah, 29
Kalimantan Timur, 4
Kelompok Usaha Bersama(KUBE), 19, 57
Koentjaraningrat (1990), 156
Komprehensif, 3
Komunitas Adat Terpencil (KAT),3, 34
L
Leading Sector, 56
Life Expectation, 45
Local Budgeting Forum, 55, 56, 58
Lokalitas Ekosistem, 88
Lembaga PembardayaanMasyarakat (LPM), 57, 92
193Puslitbang Kesos
Indeks
M
Madura, 30
Mainstream, 43
Malaysia Timur, 4, 5
Malaysia, 2, 5, 6, 9, 10
Maliku, 29
Manado, i
Manifest, 181
Manurung Rimatajang, 44
Manurungge, 51
Max Siporin, 3, 68
Medan, 116
Minahasa, 74, 79
Muhamad Yunus, 55
N
Nagari, 81, 82, 88, 92, 95
NAPZA, 3
Ndaraha (1990), 2
Network, 176
Non Governmental OrganizationInternational (NGO), 100
Nusa Tenggara Timur, 116
Nunukan, i, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 125
Nusa Tenggara Barat, 129
O
Oakley & Marsden (1984), 123
P
Palembang, 175
Pandih Batu, 25, 29, 33
Participatory Action Research (PAR),125
Participatory Budgeting Forum, 49
Participatory Budgeting, 56
Participatory Rural Apraisal (PRA),100
Participatory Wealth Ranking (PWR),99, 102, 104, 112, 114, 116,117
Paruik, 93
Pathologis, 134
Patriarkhi, 186
Pekerja Sosial Masyarakat, 17
Penyandang MasalahKesejahteraan Sosial(PMKS), 2, 12, 18, 52, 57,67, 82, 83, 114
People Centred Development, 100
Permisif, 181
Physical weakness, 122
Porto Alegre, 55
Potensi dan Sumber KesejahteraanSosial (PSKS), 1, 16, 65,67, 80
Power Oriented, 66
Powerlessness, 122
Poverty, 122
Pranarka & Moeljarto (1996), 123
Prestise, 77
Private Sector, 177
Private Trouble, 130
Psikologis, 3
Public issues, 130
Public sector, 177
194 Puslitbang Kesos
Indeks
Pulang Pisau, i, 26, 27, 29
Purposive, 119, 123, 171
Puslitbang UKS, 2
R
Rakorbang Partisipatif, 49
Reliable, 3, 25, 26
Research minded, i
Responsif, 3, 4
Rudito (2003, 2005:23), 2, 48
S
Samarinda, 105
Sanggau, 125
Sebatik Barat, 1, 4, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, 15, 17, 18
Sebatik Timur, 5
Segregasi Sosial, 57
Sexist, 186
Simptom, 28
Snowball, 181, 183
Social-phsyicological needs, 130
Sorting, 102
Speech therapy, 135
State obligation, 177
Stimulus Respon, 172
Subang, 105
Sukoco (1991), 68
Sulawesi Selatan, 129
Sumatera Barat, 89
Sumatera Utara, 129
Sunda, 30
Sungai Nyamuk, 5
Sungai Pancang, 5
Survival Strategy, 81, 87
Suryono Sukanto (1990), 156
T
Tanete Riattang, 50, 51, 52, 54, 55
Tatamba, 13
The cut of point, 104, 112
The Small Enterprise Foundation(SEF), 100
Tomohon, 70, 72, 74
Trafficking, 172
Trainers, 155
Triangulasi, 101
U
Usaha Ekonomis Produktif(UEP), 130, 139, 143, 144,146, 147, 149, 160
V
Volunteerism, 176
Vulnerrebality, 122
W
Watampone, 51
Wonogiri, 105
Warren & Cottrell, 2
195Puslitbang Kesos
SEKILAS EDITOR
Drs. Charles S. Talimbo, M.Si, lahir di Ternate, 27 Juli 1952,
memperoleh gelar Magister Administrasi Bisnis tahun 1997 di Universitas
Hasanudin, Makassar.
Sejak tahun 2006 sampai sekarang sebagai Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial
RI. Selama berkerja di Departemen Sosial RI, pernah menjabat sebagai
Kepala Pusat Penyuluhan Sosial, Kepala Bidang Penyuluhan Sosial, Kepala
Bidang Program Pusdiklat Pegawai, Kepala Balai Diklat Pegawai Depsos
Ujung Pandang, Kepala Kursus Tenaga Sosial (KTS) Ujung Pandang. Pernah
sebagai Sales dan Marketing PT BAT.
Pelatihan atau kursus yang pernah diikuti, antara lain : Diklat Pim II
LAN RI (2000); Sepadya (1990); TOT, TOC ADAB Australia – LAN RI
(1984); Diklat Penyuluhan Sosial (1983); dan Pra jabatan tingkat III (1981).
Dr. Ir. R. Harry Hikmat, M.Si, dilahirkan di Denpasar, tanggal
9 Juli 1963, memperoleh gelar Doktor untuk Ilmu Sosial tahun 2003 di
Universitas Padjadjaran Bandung dengan disertasi Marginalisasi Komunitas
Lokal dalam Perspektif Kontingensi Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus
di Kota Bekasi). Memperoleh gelar Master untuk Ilmu Pekerjaan Sosial di
Universitas Indonesia tahun 1996. Sebelumnya Sarjana Statistika di FMIPA
Institut Pertanian Bogor tahun 1987. Kegiatan pelatihan yang telah diikuti,
antara lain Pelatihan Penyusunan Indikator Sosial (Kantor Meneg LH, 1988);
Pelatihan metodologi penelitian kualitatif (UI, 1989); Asuransi Sosial–
JICWELS Jepang 1997; Manajemen Penanggulangan Kemiskinan-ESCAP
Bangkok 1999; Financial and Budgeting Management Program–IMDI–University
of Pittsburgh USA 1999; International Course for National Economic Manage-
ment and Poverty Eradication in National Institute of Public Administration (INTAN)
Malaysia tahun 2000; Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Pimpinan Tingkat
Dasar (SPADIA) Depsos tahun 2003; Statistics in Poverty Policies – Swedish
International Development Cooperation Agency (SIDA) in Cambodia, Swedia and
Beijing (2004-2005).
196 Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang menjadi Dosen di
Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Analisis
Kebijakan Sosial, Manajemen Pengembangan Masyarakat, Statistika Sosial,
Manajemen Perencanaan dan Keuangan. Selain itu menjadi Dosen STKS
Bandung tahun 1987 s.d 1997 dan Dosen Pasca Sarjana Spesialis Pekerjaan
Sosial di STKS Bandung untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Pekerjaan
Sosial dan Pengembangan Modal Sosial.
Fasilitator dalam berbagai kegiatan pelatihan Participatory Research
Appraisal, perencanaan, pekerjaan sosial, penelitian sosial, dan analisis
kebijakan di Depsos, Depdiknas, Dep. Energi & Sumberdaya Mineral,
UNPAD, Lab Sosio UI, LSM, dan Bappenas. Aktivitas organisasi antara
lain menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN) 1999-2004 dan
Anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak periode 2001-2005. Riwayat
pekerjaan, tahun 1996-1997 sebagai Kaur Penelitian dan Pengembangan di
STKS Bandung; tahun 1997 – 1998 sebagai Kasubag Perencanaan
Program Wilayah Timur di Biro Perencanaan Depsos; tahun 2004-2006
sebagai Kabag Bantuan Usaha Kelompok di Dit. Pemberdayaan Fakir
Miskin; tahun 2006 s.d sekarang sebagai Kabag Analisis Kebijakan
Perencanaan Kesejahteraan Sosial di Biro Perencanaan Depsos.
Karya penelitian antara lain Kualitas Pelayanan Panti Sosial Anak (Save
The Children, Unicef & Depsos, 2006); Pemenuhan Hak atas Pendidikan
Dasar di Daerah Konflik (Departemen Kehakiman dan HAM, 2003);
Aspek-Aspek Hak Anak yang Berkonflik Dengan Hukum (Departemen
Kehakiman dan HAM, 2004); Indikator dan Profil Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002), Studi
Pengembangan Program Community Development Pupuk Kaltim (2002), Studi
Kesiapan Daerah dalam Pelayanan Sosial Dasar di Era Desentralisasi (ADB
& Bappenas, 2002), Studi Manajemen dan Standarisasi Panti Sosial di DKI
Jakarta (Dinas Bintal & Kesos, 2002), Studi Dampak Pelayanan Program
Jaring Perlindungan Sosial melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak
Jalanan (ADB & Bappenas, 2001), Evaluasi Gerakan Rereongan Sarupi
Propinsi Jawa Barat (Pemda Jabar, 1996); Analisis Kebijakan Pengentasan
Orang Miskin melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Indonesia
(Ditbangdes, 1995); Profil dan efektivitas LSM dalam mengatasi
penyebarluasan AIDS di Indonesia (STKS,1993); Kegiatan Motivasi dalam
Proyek Kelangsungan Hidup Anak (Unicef dan Departemen Agama, 1992);
197Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Pengembangan Desa/kelurahan Juara Perlombaan Desa di Propinsi DT I
Jawa Barat (Ditbangdes Prop. DT I Jawa Barat tahun 1989 s.d. 1993);
Penelitian Keberhasilan Desa-Desa Juara di Jawa Barat (Ditbangdes Prov.
DT I Jawa Barat tahun 1991).
Karya ilmiah yang pernah disusun antara lain : Penerapan Statistika
dalam Penelitian Pekerjaaan Sosial (1987), Paradigma pembangunan dan
perencanaan sosial (1995), Model Pembangunan Sosial di Indonesia (1997);
Metode Monitoring dan Evaluasi Program (1998); Filsafat dan Etika
Ilmuwan (1998); Teknik ilustrasi dalam penulisan artikel ilmiah (1999);
Metodologi penelitian sosial (1999); Analisis Dampak Sosial (1999). Karya
ilmiah yang telah diterbitkan yaitu : Participatory Research Apprasial dalam
Pengabdian Pada Masyarakat (HUP: 2001), Strategi Pemberdayaan
Masyarakat (HUP: 2001), dan Perencanaan Partisipatif (Cipruy:, 2002).
SEKILAS PENYUSUN
Drs. Sutaat, lahir di Tegal (1951), Pendidikan Sarjana Muda
diperolehnya dari UMJ (1980) dan S1 dari STKS Bandung (1984). Memulai
karir sebagai PNS di PPA Bambu Apus (1975), selanjutnya alih tugas ke
Balitbang Kessos (1985). Jabatan struktural yang pernah diembannya adalah
kasubid perumusan program Puslit PKS Balitbang Kessos (1986-1997)
dan jabatan sekarang adalah Peneliti Muda (2005-sekarang).
Diklat yang pernah diikuti, antara lain adalah diklat tenaga peneliti,Pengembangan Tenaga Peneliti, Diklat Dasar Demografi, Diklat PenyusunanKerangka Acuan (Proposal) Sosbud, Pelatihan Komputer, dan DiklatSEPALA dan SEPAMA.
Penelitian internal (Litbang Kessos) yang telah dilakukan dan dibukukansedikitnya 21 buah, antara lain yaitu: (1) Identifikasi Kebutuhan Pelayananbagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (2003); (2) Analisis KebutuhanPekerja Sosial di Pusat Pelayanan Korban Bencana (2003);(3) Partisipasi Masyarakat Kota dalam Mengatasi Masalah Sosial Pasca Krisis(2003); (4) Prilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota (2004); dan (5) PersepsiLegislatif Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2004). Penelitian yangdilakukan kerjasama dengan institusi lain sedikitnya ada 10 buah, antara lainyaitu: (1) Survey on Accessibility Problems to Pantis and Vocational RehabilitationService after Decentralization in Indonesia (Yayasan Kandidat, 2003); (2) KajianManagemen Kessos Panti Sosial DKI Jakarta (YASHINTHA, 2002); (3)Kekerasan Masyarakat Daerah Perkotaan (Pusbangtansosmas, 2002); (4)Studi Persiapan Daerah dalam Pelaksanaan Strategi dan Pelayanan Sosialbagi Anjal (YASHINTHA, 2002); dan (5) Tanggung Jawab Sosial Industri(Kantor MASKAT, 2000).
Karya ilmiah yang telah diterbitkan, antara lain beberapa artikel padamajalah Jurnal dan Informasi yang diterbitkan oleh Puslit PKS maupunPuslitbang UKS Balatbangsos Depsos R.I. Disamping itu, juga sebagaieditor beberapa tulisan yang diterbitkan oleh Balatbangsos. Pengalamandibidang publikasi sebagai dewan redaksi, baik majalah Jurnal, InformasiPuslit PKS maupun Puslitbang UKS, Balatbangsos Depsos R.I
199Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Dra. Indah Huruswati, lahir di Jakarta. Pendidikan terakhir
Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (FISIP-UI). Pengalaman kerja sebagai Peneliti pada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial sejak 1986 dan jabatan
sekarang adalah Peneliti Madya.
Sejak bekerja di Badan Litbang Sosial ini, beberapa kali mengikuti
pendidikan dan pelatihan yang berkait dengan bidang penelitian, antara
lain: pelatihan tenaga peneliti, baik yang diselenggarakan oleh Balitbang
Sosial maupun kerjasama dengan laboratorium Sosiologi FISIP UI; pelatihan
pengolahan data yang diselenggarakan oleh BPS, pelatihan metodologi
kualitatif yang diselenggarakan Balitbang Sosial, serta diklat penulisan ilmiah
yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Departemen Sosial bekerjasama dengan
majalah Tempo.
Selain mengikuti diklat-diklat, penulis juga banyak memiliki pengalaman
penelitian dan penulisan di bidang sosial, antara lain: berkaitan dengan
Masalah Anak di Tempat Penitipan Anak, di Panti-panti Sosial Asuhan
Anak, di Panti Sosial Petirahan Anak, Anak Terlantar melalui Sistem Panti,
Profil Anak Jalanan, Pemetaan Anak Jalanan dan Orangtuanya di Kota-
kota Besar di Indonesia, Mapping and Social Survey of Street Children
bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, dan Penelitian
Permasalahan Remaja di Kota-kota Besar. Penelitian masalah kemiskinan
juga pernah dilakukan, antara lain tentang Pola Penanganan Kemiskinan di
Perkotaan yang dilakukan hingga kegiatan ujicoba pada beberapa kota.
Pengalaman menulis ilmiah diperoleh penulis dari berbagai kegiatan,
antara lain menjadi anggota redaksi pada majalah Jurnal Kesejahteraan Sosial,
sejak tahun 1998-2000.
Drs. Bambang Pudjianto, M.Si, lahir di Jakarta, 11 Novem-
ber 1967. Menamatkan program S1 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Padjajaran Bandung dan memperoleh gelar Magister
pada Bidang Psikologi Sosial Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada D.I. Yogyakarta tahun 2000. Saat ini menjabat Peneliti Muda dan
sebagai Kasub Analisa Kebutuhan Puslitbang Kesos Badiklit Departemen
Sosial RI. Selain aktif menulis di media jurnal dan informasi Puslitbang
Kesos juga sebagai tim editor Jurnal Penelitian dan Pengembangan UKS.
Sejak tahun 1995 mulai aktif mengajar pada beberapa perguruan tinggi
200 Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
swasta di Jakarta, khususnya pada bidang Psikologi Sosial. Beberapa
penelitian yang telah dilaksanakan, diantaranya KAT, Akreditasi Panti Sosial,
Penyandang Cacat, Konflik dan Kedamaian Sosial dan Penyalahgunaan
Napza.
Rusmiyati, SE, lahir di Jakarta, 11 Juli 1958, Pendidikan Sarjana
Manajemen (S1). Mulai karier sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balitbang
Sosial Puslitbang Kesos bidang Program dan Anggaran sampai sekarang.
Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Penelitian Uji Coba Model
Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan; Penelitian Eks Penderita Penyakit
Kronis Tuberkulosis (TBC); Penelitian Uji Coba Model Komunitas Adat
Terpencil (KAT); Pemetaan Permasalahan Kesejahteraan Sosial di
Kotamadya Tomohon.
Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si, lahir tanggal 2 November di
Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Pendidikan; Magister
Pengembangan Masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2000
– 2002); Diploma Ilmu Tauhid dari Uniersitas Islam Syekh Yusuf (1984 –
1986); Sarjana Antropologi dari FSUI (1978 – 1984); SMA Negeri 30 dan
SLTP Negeri 76 di Jakarta (1971 – 1977); SD di Banda Aceh dan Jakarta
(1965 – 1970). Jabatan Fungsional; Asisten Peneliti di Leknas LIPI (1983
– 1985); Asisten Peneliti Madya (1986) sampai dengan Ahli Peneliti Muda
(2002) di Badan Litbang Sosial. Sejak tahun 1986 sampai sekarang sebagai
pengajar Antropologi dan Sistem Budaya Indonesia di Universitas
Muhamadiyah Jakarta. Jabatan Struktural; Kepala Sub Bidang Statistik
dan Dokumentasi di Puslitbang UKS (1994 – 1998); Kepala Sub Bidang
Rencana dan Program di Puslitbang PKS (1998 – 1999); Kepala Bidang
Analisis dan Bimbingan Sosial di Pusbang Tansosmas (2000 – 2004); Kepala
Bidang Kerjasama dan Publikasi di Puslit PKS (2004 – 2005) dan sampai
sekarang sebagai Kepala Bidang Program di Puslitbang Kesos. Karya ilmiah
antara lain; Pembinaan Masyarakat pedalaman Irian Jaya (1986 – 1992);
Efektivitas Bantuan Pinjaman Modal Usaha RSDK (1999); Ujicoba Indikator
Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara, Otonomi Daerah dalam Perspektif
Budaya (2000); Kajian konflik Sosial Suku Bangsa Madura di Kabupaten
Sambas (2001); Nilai Kesetiakawanan Sosial dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial, Suku Bangsa di Indonesia, Partisipasi Masyarakat dalam
Pelayanan Lanjut Usia di DKI Jakarta (2002); Pengaruh Budaya dalam
201Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Pengembangan Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur (2003);
Permasalahan Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pelayanan
Sosial Lanjut Usia di Indonesia. Pengalaman lapangan melakukan pengkajian
dan penelitian di berbagai daerah yang berkaitan dengan Komunitas Adat
Terpencil, lanjut usia, pengembangan potensi masyarakat pedesaan, konflik
dan solidaritas sosial.
Drs. Anwar Sitepu, MP, lahir di Sukanalu, 4 September 1958;
menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Kesejahteraan Sosial pada Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widuri di Jakarta, tahun 1986; dan
pendidikan S2 Program Studi Magister Profesional Pengembangan
Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bandung
dan Bogor, tahun 2004.
Bekerja untuk Departemen Sosial sejak tahun 1990, langsung
bergabung pada Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial di Jakarta,
awalnya pada Sekretariat kemudian masuk pada Pusat Penelitian
Permasalahan Kesejahteraan Sosial, tahun 1999 sampai sekarang. Sebelum
bergabung dengan Departemen Sosial, bekerja sebagai pekerja sosial dan
koordinator program pada Family Helper Project kerjasama Yayasan Pelita
Kasih dengan Christian Children’s Fund Inc., di Tanjung Priok, Jakarta, tahun
1982 sampai 1987.
Pelatihan teknis kelitbangan yang pernah diikuti antara lain: Peningkatan
Kemampuan Tenaga Peneliti Balitbangsos pada Laboratorium Sosiologi,
FISIP Universitas Indonesia, Depok, tahun 1992; Pelatihan Komputer dan
Statistik untuk Pengolahan Data Hasil Penelitian pada Lembaga Demografi,
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI), Jakarta, tahun 1994;
dan Pendidikan dan Pelatihan Analisa Data, kerjasama Pusdiklat Pegawai
Dep. Sosial – Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, tahun 1998.
Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Pola Konsentrasi
Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Tanah Grogot Kabupaten Pasir
Kalimanatan Timur, Pola Hubungan Sosial Antara Kelompok Etnis di
Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Pola Penanganan Kemiskinan di
Wilayah Perkotaan (Surabaya dan Bandung), Dampak Judi “Togel” pada
Kehidupan Keluarga Miskin di Kota Medan, Pola Pembinaan Remaja melalui
Karang Taruna di Kota Medan dan Bekasi, Akreditasi Panti Sosial di Bandar
Lampung.
202 Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Sugiyanto, S.Pd, M.Si, lahir di Tawangharjo, 8 Januari 1961. Mag-
ister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan
Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh
dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan
Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994),
Jabatan peneliti: Ajun Peneliti Muda bidang Kesejahteraan Sosial (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) Badan Pendidikan dan
Penelitian Sosial, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti mengikuti kegiatan
penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan
sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara
mandiri maupun kelompok, dan kumpulan tulisannya pernah diterbitkan
di JURNAL maupun INFORMASI.
Drs. Nurdin Widodo, menamatkan program S1 di Sekolah
Tinggi Kesejahteraaan Sosial Bandung. Saat ini menjabat sebagai Peneliti
Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. Disamping itu, sebagai
editor Jurnal Puslitbang Kesos dan anggota tim penilai jabatan fungsional
Litkayasa Departemen Sosial RI. Penelitian yang telah dilakukan meliputi
topik-topik yang berkaitan dengan Pelayanan Anak Terlantar Putus Sekolah
Melalui Panti Sosial Bina Remaja, Hubungan Antar Kelompok Pribumi
dan Etnis Cina di Jakarta, Peran Lembaga Sosial dalam Penanganan
Pengungsi, Pemberdayaan Pranata Sosial, Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Tenaga Kerja di Sektor Industri, Pengungsi Wanita dan Anak Korban
Konflik dan Kerusuhan Sosial, Potensi Sosial Dalam Pelaksanaan Ketahanan
Sosial Masyarakat di Kota Kendari, Pengembangan Uji Coba Model
Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna, Permasalahan Sosial
Pengungsi Korban Poso dan Upaya Penanggulangannya, Konflik Serta
Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Lintas Kalangan Masyarakat di
Tanah Air, dan Penelitian Uji Coba Model Penanganan Anak Terlantar
Berbasis Kekerabatan.
Dra. Sri Gati Setiti, menamatkan program Sarjana Muda di
Fakultas Sastra dan Budaya Jurusan Anthropologi UGM Jogyakarta, Strata
1 di FISIP jurusan Anthropologi UNHAS Ujung Pandang. Saat ini menjabat
sebagai Peneliti Madya pada Puslitbang Kessos-Badiklit Kessos Departemen
Sosial RI. Selain itu juga menjadi anggota dewan redaksi Jurnal Penelitian
203Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
dan Pengembangan Sosial. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi topik-
topik yang berkaitan dengan: penanganan penyandang cacat, karang taruna, peranan
wanita, anak jalanan, perlindungan tenaga kerja wanita di sektor industri, tanggung
jawab sosial dunia usaha terhadap masyarakat sekitar, pemberdayaan keluarga dalam
mencegah tindak tuna sosial, profesionalisme pengelolaan Orsos, dampak sosial industri,
pola rekonsiliasi masyarakat antar etnis di daerah konflik di Indonesia, masalah
narkotika di sekolah, lanjut usia, efektivitas GN-OTA dalam pemberian kesejahteraan
anak, permukiman kumuh, dan pemberdayaan migran. Selain itu mengikuti berbagai
seminar tingkat nasional. Mengikuti diklat dosen dan peneliti di LD-UI
dan berbagai diklat penjenjangan peneliti. Menjadi anggota panitia pembina
ilmiah (PPI), panitia penilai lomba karya tulis masalah-masalah sosial tingkat
nasional, menjadi dosen tidak tetap di UMJ dan dosen di Universitas
Satyanegara (USNI) Jakarta.
Dra. Alit Kurniasari, MP, Magister Profesional Pengembangan
Masyarakat Institut Pertanian Bogor (2004), Sarjana Psikologi Perkembangan
Universitas Pajajaran Bandung, pada tahun 1984. Saat ini menjabat sebagai
Peneliti Pertama di Puslitbang Kesos.
Penelitian yang pernah dilakukan: Penelitian tentang Anak Jalanan;
Permasalahan Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik; Penelitian
Kualitas Pengasuhan dan Pelayanan Panti Sosial Asuhan anak (PSAA) di
Indonesia.
Tulisan di Jurnal Puslitbang Kesos; Pelayanan Sosial bagi Eks
Penyandang Penyakit TBC Berbasis Masyarakat (2002); Faktor Penyebab
Kekerasan dalam Rumah Tangga (2006); Partisipasi Organisasi Sosial Lokal
dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2006).
Pernah menjadi staf pengajar di STKS Bandung, dari tahun 1986 –
1995, pada mata kuliah Psikologi Anak, Psikologi Abnormal dan Psikologi
Sosial.
204 Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun
Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si, lahir 3 Maret 1966 di
Samosir, Sumatera Utara. Pada tahun 1982 hijrah ke Payakumbuh Sumatra
Barat. Setelah tamat dari SMPP 25 Payakumbuh tahun 1985, melanjut ke
IKIP Padang hingga tamat 1991.Sejak tahun 1993 bekerja sebagai staf
Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. Dalam perjalanan karir sebagai
PNS, tahun 1999 mengikuti tugas belajar ke Fakultas Psikologi-Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, hingga tamat tahun 2002.Tamat dari UGM
Yogyakarta, bertugas sebagai staf di Pusat Penelitian Permasalahan
Kesejahteraan Sosial hingga menjadi peneliti fungsional hingga sekarang di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial di Departemen
Sosial RI. Pekerjaan lainnya, sejak tahun 2002 mengajar di Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta dalam mata kuliah Psikologi
Sosial dan Psikologi Lintas Budaya.
205Puslitbang Kesos
Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun