Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

211
EXECUTIVE SUMMARY Hasil-hasil Penelitian Tahun 2006 Puslitbang Kesejahteraan Sosial Editor Drs. Charles S. Talimbo, M.Si DR. Harry Hikmat, M.Si Penyusun Drs. Sutaat Dra. Indah Huruswati Drs. Bambang Pudjianto, M.Si Rusmiyati, SE Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si Drs. Anwar Sitepu, MP Sugiyanto, S.Pd, M.Si Drs. Nurdin Widodo Dra. Sri Gati Setiti Dra. Alit Kurniasari, MP Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

description

kerjasama pemerintah swasta

Transcript of Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Page 1: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

EXECUTIVE SUMMARYHasil-hasil Penelitian Tahun 2006

Puslitbang Kesejahteraan Sosial

Editor

Drs. Charles S. Talimbo, M.Si

DR. Harry Hikmat, M.Si

Penyusun

Drs. Sutaat

Dra. Indah Huruswati

Drs. Bambang Pudjianto, M.Si

Rusmiyati, SE

Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si

Drs. Anwar Sitepu, MP

Sugiyanto, S.Pd, M.Si

Drs. Nurdin Widodo

Dra. Sri Gati Setiti

Dra. Alit Kurniasari, MP

Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

Page 2: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

EXECUTIVE SUMMARYHasil-Hasil Penelitian Tahun 2006

Puslitbang Kesejahteraan Sosial

Hak Cipta Setiap Tulisan pada : masing-masing Penulis

Hak Cipta Penerbitan pada : Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI.

Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur

Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126

Design Cover : Pradjwalita

Setting & Layout : Sarif Hidayat

All Right Reserved

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Tidak dibenarkan memproduksi ulang

setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga, baik secara

elektronik, fotokopi, mekanik, rekaman atau cara lain sebelum mendapat izin tertulis

dari penerbit.

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Executive Summary, Hasil-Hasil Penelitian Puslitbang Kesos /

editor, Charles S. Talimbo, Harry Hikmat.

iv + 205 hlm. ; 14,5 x 21 cm, (Executive Summary Tahun 2006)

ISBN : 978-979-5379-20-7

Diterbitkan oleh :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial

Departemen Sosial Republik Indonesia

Jl. Dewi Sartika 200, Cawang III, Jakarta Timur

Telp. (021) 8017146, Fax. (021) 8017126

Page 3: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

KATA PENGANTAR

Selama tahun 2006 telah dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan

pengembangan untuk beberapa tema yang dinilai mendesak seperti

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasan yang Berbasis Institusi Lokal,

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan (Identifikasi Permasalahan

dan Kebutuhan Keluarga), Evaluasi Program Subsidi Panti, Pelayanan Lanjut

Usia Berbasis Kekerabatan, Pengembangan Komunitas Peduli Anak,

Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Migran maupun Penelitian

Diagnostik tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten Nunukan, Pulang

Pisau, Bone dan Manado. Selain itu, ada penelitian yang merupakan

pengembangan salah satu metode untuk menentukan secara efektif data

kemiskinan di suatu komunitas, yaitu Pemeringkatan Keluarga menurut

Kondisi Sosial Ekonomi. Hasilnya telah dicetak dalam bentuk buku.

Tetapi untuk memudahkan pembaca, terutama pihak eksekutif yang

ingin memanfaatkan sebagai acuan berkaitan dengan penentuan kebijakan,

maka kami berusaha menyajikannya dalam bentuk Executive Summary.

Sudah barang tentu sajian ini lebih komunikatif. Dan bila pembaca

memerlukan yang lebih spesifik dan detail, tidak ada salahnya menelaah

buku-buku hasil penelitiannya.

Kami percaya, eksekutif masa kini adalah tipe ”research minded”

karenanya setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada wangsit,

tetapi melalui suatu proses kajian yang matang.

Semoga.

Kepala

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kesejahteraan Sosial

Charles S. Talimbo

NIP. 170011051

iPuslitbang Kesos

Page 4: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 5: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................

1. Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat

Kabupaten Nunukan

( Drs. Sutaat ) ..................................................................................

2. Diagnosa tentang Permasalahan Sosial di Kabupaten

Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah

( Dra. Indah Huruswati ) ...............................................................

3. Peta Masalah Sosial di Bone: Potensi, Problem dan

Strategi Penanganannya

( Drs. Bambang Pudjianto, M.Si ) ..................................................

4. Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon

Tengah Kotamadya Tomohon - Minahasa

( Rusmiyati, SE ) .............................................................................

5. Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan Di Era

Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat

( Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si ) ..................................................

6. Participatory Wealth Ranking, Sebuah Alternatif Teknik

Indentifikasi dan Seleksi Sasaran Program Pemberdayaan

Fakir Miskin

( Drs. Anwar Sitepu, MP ) ............................................................

7. Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

(Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan)

( Sugiyanto, S.Pd, M.Si ) ................................................................

Halaman

i

iii

1

25

43

65

81

99

119

iiiPuslitbang Kesos

Page 6: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

8. Evaluasi Program Subsidi Panti dalam Mendukung

Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial

( Drs. Nurdin Widodo ) ..................................................................

9. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

(Studi Kasus Pada Lima Wilayah di Indonesia)

( Dra. Sri Gati Setiti ) ....................................................................

10. Pengembangan Komunitas Peduli Anak

( Dra. Alit Kurniasari, MP ) .......................................................

11. Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

( Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si ) ...........................................

INDEKS ..................................................................................................

SEKILAS EDITOR ..............................................................................

SEKILAS PENYUSUN ......................................................................

129

153

169

181

191

195

199

iv Puslitbang Kesos

Page 7: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL

DI SEBATIK BARAT KABUPATEN

NUNUKAN1

Drs. Sutaat 2

ABSTRAK

Kabupaten Nunukan sebagai salah satu daerah pemekaran memiliki

permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, terutama belum tersedianya data-

base yang akurat sebagai bahan penyusunan rencana program pembangunan di

wilayahnya. Penelitian ini mencoba menggambarkan mendiagnosa kondisi dan

permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Nunukan, khususnya di

Kecamatan Sebatik Barat sebagai daerah pemekaran baru. Konsep yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sosial budaya. Perwujudan kebudayaan sebagai perangkat

pengetahuan tampak dalam kehidupan komuniti, berbentuk pranata sosial. Pranata

sosial dapat dipahami sebagai sistem antar hubungan peran dan norma berkenaandengan aktivitas yang dianggap penting oleh anggota komuniti.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa program pembangunan belum

banyak menyentuh Sebatik Barat. Hal ini menjadikan wilayah tersebut jauh tertinggal

dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang lebih tinggi masih

terbatas. Hal ini terkait dengan keterbatasan infrastruktur yang ada. Masalah-masalah

kesejahteraan sosial sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang

rendah, antara lain masalah fakir miskin, perumahan tidak layak huni, keterlantaran,

dan keluarga rentan. Untuk itu, penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain:(1) guna memacu kemajuan wilayah dan penduduk diperlukan upaya perbaikan dan

peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana pendidikan dan transportasi/

perhubungan dalam pulau dan antar pulau; (2) Program-program sektor sosial bagi

masyarakat berupa pemberdayaan masyarakat kurang mampu, perbaikan lingkungan

dan perumahan, serta peningkatan fungsi dan peningkatan peran sumber-sumber

kesejahteraan sosial (PSKS)

Kata kunci:

Masalah Sosial, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

1 Ditulis dari hasil penelitian tentang Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Sebatik Barat,

Kabupaten Nunukan, oleh Puslitbang Kesos, tahun 2006.

2 Sutaat, Peneliti Madya pada Puslitbang Kesos, berpendidikan S1 bidang kesejahteraan sosial;berpengalaman dalam berbagai kegiatan penelitian, dan memimpin berbagai kegiatan penelitian

di lingkungan Puslitbang Kesos, termasuk dalam penelitian tentang Diagnosa PermasalahanSosial di Empat Kabupaten tahun 2005.

1Puslitbang Kesos

Page 8: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Hasil penelitian Puslitbang Usaha Kesejahteraan Sosial (Puslitbang UKS,

2005) menyebutkan bahwa berbagai permasalahan sosial yang dihadapi

Kabupaten Nunukan sebagai daerah yang berbatasan dengan Malaysia,

antara lain: masih terisolirnya sejumlah masyarakat yang tinggal di pedalaman

dan perbatasan, sehingga sulit atau jauh dari sentuhan program

pembangunan; masih terdapatnya pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten

Nunukan yang belum dimanfaatkan atau belum punya nama; dan masih

rendahnya taraf hidup masyarakat terutama bila dibandingkan dengan taraf

kehidupan warga Malaysia di perbatasan.

Perbedaan kebudayaan pada masing-masing komuniti akan

mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu. Perbedaan tindakan dan

tingkah laku dalam menanggapi obyek yang sama dapat menimbulkan

suatu masalah antara satu komuniti dengan komuniti lainnya, dan ini

merupakan suatu dampak dari adanya masalah sosial yang terwujud sebagai

tindakan kebudayaan. Oleh karena itu, secara umum kesejahteraan sosial

dari masing-masing komuniti akan berbeda, begitu juga dengan pendefinisian

terhadap kesejahteraan dan masalah sosial. Menurut konsep sosial budaya,

masalah sosial hanya dapat diidentifikasi menurut cara pandang komuniti,

yakni bagaimana komuniti tersebut memberikan makna pada gejala yang

ada sebagai masalah sosial atau tidak. Dengan demikian, masalah sosial

pada masyarakat tertentu belum tentu dianggap sebagai masalah sosial oleh

masyarakat yang lainnya (Rudito, 2003). Komuniti adalah sekelompok

manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya

berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang

jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap

anggota-anggotanya (Warren, Cottrell dalam Ndaraha: 1990)

Di lingkungan Departemen Sosial, individu-individu atau masyarakat

yang mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal

sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Saat ini terdapat

27 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang telah diidentifikasi

Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak yang

menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak nakal, anak

jalanan, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi

korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, lanjut usia terlantar, lanjut

usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah,

2 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 9: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis, tuna

susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana, korban penyalahgunaan

napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah tak layak huni, keluarga

bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana alam, korban bencana

sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/AIDS, dan keluarga rentan

(Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002).

Guna mewujudkan kesejahteraan sosial, setiap masyarakat mempunyai

berbagai potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan. Pengertian sumber

menurut Max Siporin, adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi

dan dapat digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan

penyelesaian masalah. Allan Pincus dan Anne Minahan (Dwi Heru Sukoco,

1991) membagi sistem sumber menjadi tiga kategori, yaitu: Sistem Sumber

Informal atau Natural, Sistem Sumber Formal, Sistem Sumber

Kemasyarakatan, yaitu rumah sakit, lembaga pendidikan, lembaga pelatihan

kerja, tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Untuk mempertahankan

kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan dan mengorganisasikan

semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti aktivitas ekonomi,

sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong, dan sebagainya.

Didalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial, potensi dan sumber

kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal, sedangkan masalah

kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor kelemahan atau tantangan.

Berdasarkan berbagai uraian tersebut di atas, permasalahan sosial akan

ditangani secara sistematis dan tepat sasaran jika didasarkan pada data yang

akurat dan reliabel. Disinilah letak pentingnya data tentang masalah

kesejahteraan sosial sumber kesejahteraan sosial sebagai bahan dalam

pengembangan kebijakan/program yang terarah dan komprehensif.

Tersedianya data yang akurat dan reliabel akan menjadi acuan dalam

penentuan kebijakan prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial,

sehingga pelaksanaan program pembangunan akan tepat sasaran dan tepat

guna.

Daerah pemekaran baru seperti halnya Nunukan, tampaknya

mengalami masalah dalam hal penyediaan data (database) yang akurat

mengenai permasalahan sosial serta sumberdaya yang ada di wilayahnya.

Oleh karena itu, masih mengalami hambatan dalam merumuskan kebijakan

dan program kesejahteraan sosial yang responsif terhadap kondisi yang

3Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 10: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

ada. Sementara itu Pemerintah Pusat belum mempunyai data yang cukup

tentang potensi dan sumber serta permasalahan sosial, sehingga program

pusat dirasa kurang responsif terhadap kebutuhan lokal. Sebagai akibatnya,

pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terjangkau.

Sehubungan dengan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan

Sosial melaksanakan penelitian diagnostik tentang permasalahan sosial di

daerah.

Penelitiaan ini bertujuan untuk memperoleh data kualitatif tentang

jenis permasalahan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, serta upaya-

upaya penanganan yang pernah dilakukan di wilayah Kabupaten Nunukan.

Dengan berbagai pertimbangan kebutuhan wilayah, lokasi penelitian ini

difokuskan di Kecamatan Sebatik Barat sebagai salah satu kecamatan

pemekaran yang terletak di daerah perbatasan.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Deskriptif dimaksud untuk mencari dan menggali persepsi yang ada dan

berkembang di masyarakat; dengan menggali kenyataan sosial yang ada

dan mengkaitkannya dengan budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat.

Informasi dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, diskusi, dan

bahan-bahan dokumen. Informan penelitian ini adalah warga masyarakat

dan tokoh masyarakat setempat, serta aparat pemerintah daerah yang

dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan penelitian ini.

Lokasi penelitian ini di Kabupaten Nunukan, khususnya di Kecamatan

Sebatik Barat yang merupakan daerah pemekaran baru dan letaknya

berbatasan dengan negara tetangga (Malaysia Timur).

Keadaan Wilayah Lokasi Penelitian

Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau di Provinsi Kalimantan

Timur yang letaknya paling utara. Pulau ini terbagi menjadi dua bagian,

yakni bagian selatan merupakan wilayah Negara Republik Indonesia dan

bagian utara merupakan wilayah Negara Malaysia Timur (Sabah).

Sebatik Indonesia pada mulanya terdiri dari dua buah desa induk,

yaitu Desa Setabu dan Desa Sungai Pancang. Perkembangan wilayah Desa

Sungai Pancang relatif lebih maju dibandingkan Desa Setabu. Hal ini karena

4 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 11: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sungai Pancang mempunyai akses yang lebih mudah dengan negara tetangga

(Malaysia). Sementara itu, Desa Setabu yang letaknya di bagian barat

menghadap Pulau Nunukan dan Daratan Kalimantan, memiliki infrastruktur

transportasi ke Nunukan atau daratan Kalimantan relatif yang kurang

memadai. Oleh karena itu, dari segi kemajuan wilayah Desa Setabu menjadi

lebih lambat.

Kecamatan Sebatik Barat yang berpusat di Desa Setabu terdiri dari

empat desa, yakni Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu, dan

Desa Aji Kuning (letaknya berbatasan dengan Malaysia Timur). Desa Aji

Kuning ini berbatasan dengan Desa Sungai Pancang (Sebatik Timur), dan

karena itu desa ini merupakan desa di wilayah Sebatik Barat yang termasuk

paling maju. Kecamatan Sebatik Timur yang semula merupakan induk Desa

Sungai Pancang terdiri dari empat desa, yakni Desa Tanjung Karang, Sungai

Pancang, Sungai Nyamuk, dan Desa Tanjung Aru.

Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten

Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

5Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 12: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kependudukan

Penduduk Kecamatan Sebatik Barat berjumlah 10.285 jiwa. Sementara

itu jumlah penduduk Sebatik secara keseluruhan 30.947 jiwa. Dengan

demikian dapat dikatakan, bahwa 1/3 jumlah penduduk Sebatik berada di

Sebatik Barat, dan 2/3 lainnya merupakan penduduk Sebatik Timur. Hal

ini dapat dipahami mengingat bahwa Sebatik Timur kondisinya lebih maju

dari Sebatik Barat, baik dari segi ekonomi maupun sarana infrastruktur

yang relatif lebih baik dan lengkap. Oleh karena itu, penduduk banyak

terkonsentrasi di wilayah Timur yang jauh lebih maju.

Kondisi seperti tersebut di atas tampak pula pada jumlah pendudukper kelurahan di Sebatik Barat, yakni Kelurahan Aji Kuning dengan jumlahpenduduk terbesar (3.687 jiwa). Kondisi ini terkait dengan kemajuan DesaAji Kuning yang jauh melebihi desa-desa lain di Sebatik Barat. Sejak dariawal penduduk Aji Kuning telah banyak mengadakan hubungan ekonomiperdagangan dengan negara tetangga (Malaysia).

Tabel 1. Penduduk Kecamatan Sebatik Barat

Oleh karena itu, berdasarkan hasil wawancara dengan tokohmasyarakat setempat menyebutkan bahwa banyak penduduk Aji Kuningyang merupakan eks TKI di Malaysia. Bahkan banyak di antara merekamasih mempunyai kerabat yang berada di Malaysia (terutama di Tawao).Beberapa warga mempunyai identitas ganda, yakni warga Indonesia danwarga Malaysia; atau warga negara Malaysia tetapi merupakan penduduktetap Desa Aji Kuning. Tampaknya memang secara sosial budaya antarawarga Aji Kuning dengan Tawao-Malaysia hampir tidak ada batas. Beberaparumah warga ada yang sebagian berada di wilayah Indonesia dan sebagianlainnya berada di wilayah Malaysia, dan bahkan ada beberapa warga yangmendirikan rumah di atas tanah wilayah Malaysia.

REKAPITULASI HASIL PENDATAAN PENDUDUK TAHUN 2005

JUMLAH RT/DUSUN

KEPALA KELUARGA

JUMLAH JIWA DESA

RT DUSUN L P JML L P JML

Aji Kuning 17 4 908 51 959 1990 1697 3687

Setabu 7 - 442 28 470 1156 1001 2157

Binalawan 6 - 359 14 373 1013 886 1899

Liang Bunyu 11 - 530 28 558 1374 1168 2542

JUMLAH 41 4 2239 121 2360 5533 4752 10285 Sumber : Monografi Kecamatan Sebatik, 2005.

6 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 13: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pranata Kehidupan Masyarakat

1. Pranata Agama/Kepercayaan

Agama yang dianut penduduk Kecamatan Sebatik Barat sebagian

besar Islam, sedangkan sebagian lainnya Kristen Katholik dan

Protestan. Dengan demikian di lokasi kajian sarana ibadah yang ada

meliputi bangunan Masjid, langgar, dan Rumah Kebaktian di

perumahan penduduk. Semua tempat ibadah tersebut merupakan

usaha swadaya masyarakat.

Selain menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, pendudukdi Wilayah Kecamatan Sebatik Barat juga masih ada yangmengembangkan aliran kepercayaan Suku Bangsa Tidung. SukuTidung adalah bagian dari Suku Dayak yang tinggal di Tarakan yangmenempati daerah Pulau Sebatik, dan merupakan suku asli.Kepercayaan tersebut berupa pemberian semacam sesajen yangdilakukan oleh perorangan dengan cara mengirim doa melaluipemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah laut dandekat dengan tempat tinggalnya.

Acara menjalankan ritual adat/kepercayaan/religi yang dijalankannenek moyang Suku Dayak. Penduduk yang menjalankan dan masihmengembangkan religi asli dari warisan nenek moyang mereka,walaupun banyak juga yang menganut Agama Islam dan Khatolik.Namun dalam kepercayaan orang Sebatik masih mempercayai adanyaroh halus yang mendiami batu dan pohon besar dan menjaga sungaidan atau laut.

2. Pranata Keluarga/Kekerabatan

Dalam urusan perkawinan prinsip kekerabatan di lokasi kajian

adalah tidak ada aturan yang mengikat, artinya dimana pihak laki-laki

dan pihak perempuan mempunyai kebebasan untuk menentukan

pasangan/pilihan hidup. Sedangkan untuk penyelenggaraan pesta

perkawinan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan antara

kedua keluarga besar. Dalam sistem kekerabatan yang masih dianggap

kerabat dekat adalah kerabat sampai keturunan ketiga.

Pada dasarnya, dalam suatu keluarga besar yang masuk dalam

satu keluarga batih dan dikatakan masih memiliki ikatan yang kuat,

7Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 14: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dapat mempersatukan kelompok mereka yang ditandai dengan adanya

hak dan kewajiban antar anggota kerabat. Hak dan kewajiban anggota

kerabat tersebut dapat dilihat dalam pola perkawinan, perawatan orang

tua dan upacara kematian.

• Dalam Pola Perkawinan: sebagian besar penduduk mengikuti

aturan Agama Islam, misalnya dilarang oleh penduduk apabila

terjadi perkawinan: (1) antara anak laki-laki dan perempuan sesama

saudara laki-laki sekandung; dan (2) perkawinan antara bapak

dengan anak perempuannya. Tetapi jika terjadi perkawinan sepupu

silang, yakni perkawinan antara anak laki-laki antara saudara

sekandung laki-laki perempuan boleh dilakukan, karena hal tersebut

dianggap bukan saudara sedarah seperti halnya dengan anak

saudara laki-laki seayah.

• Dalam Pola Perawatan Orang Tua (lanjut usia). Jika salah satu

orang tua atau salah satu anggota keluarga sakit maka seluruh

anggota keluarga dilibatkan untuk membantu dan menanggung

biaya perawatan yang telah dimusyawarahkan secara bersama-

sama. Akan tetapi untuk perawatan sehari-hari perawatan

ditanggung oleh anak yang tinggal serumah, dan nantinya mewarisi

tempat tinggal orang tuanya.

• Dalam hal kematian, pelaksanaan penguburan baru bisa

dilaksanakan setelah anggota keluargganya kumpul terutama dua

generasi ke atas dan ke bawah. yakni: anak-anak, saudara kandung,

paman, bibi dari bapak maupun ibu. Jika ada peristiwa kematian

maka semua warga masyarakat terlibat, baik dalam upacara

pemakaman ataupun dalam pesta kendurinya/membaca doa.

Untuk keperluan membaca doa dalam kenduri, keperluan untuk

selamatan/kenduri setiap kepala keluarga akan memberikan

sumbangan sesuai dengan kedekatan hubungan antara kepala

keluarga dengan keluarga yang mengalami kematian.

3. Pranata Ekonomi

Keluarga-keluarga pada masyarakat Sebatik Barat dalam

pemenuhan kebutuhan hidup, terutama pangan merupakan tanggung

jawab bersama antara suami istri. Kebutuhan sandang dan keseluruhan

bahan pangan diperoleh dari lingkungan sekitar dan dapat juga dari

8 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 15: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

luar desa, selain belanja langsung di pasar yang ada di wilayah kecamatan

tersebut, dengan cara menjual hasil ladang, dan hasil tangkapan ikan/

nelayan, sesuai dengan mata pencaharian penduduk, dimana hasil dari

mata pencaharian tersebut dimanfaatkan untuk membeli bahan

kebutuhan pokok. Jadi untuk mencari nafkah bukan sepenuhnya

tanggung jawab seorang suami, istripun juga sangat berperan untuk

memenuhi segala keperluan rumah tangga.

Pasar yang biasa digunakan untuk menjual hasil-hasil pertanian/

tangkapan ikan dan membeli bahan kebutuhan pokok sehari-hari

adalah pasar tradisional yang terdekat dengan tempat tinggal mereka.

Pasar-pasar ini merupakan pasar keliling yang secara rutin mempunyai

jadwal di tiap desa. Pasar pada masing-masing desa hanya aktif satu

kali dalam satu minggu. Pedagang pasar tersebut sebagian besar berasal

dari Nunukan. Mereka berkeliling ke desa-desa sesuai dengan jadwal

pasar pada desa yang bersangkutan, misalnya untuk Desa Setabu pasar

aktif pada hari minggu. Kebutuhan sayuran penduduk sehari-hari

diperoleh dari penduduk setempat yang berdagang keliling membawa

sayuran hasil kebunnya. Sementara untuk kebutuhan pokok lainnya

diperoleh dari warung-warung yang ada di lingkungannya.

Sistem pertanian penduduk Sebatik umumnya sudah menetap,

dan tidak ada lagi sistem pertanian dengan cara ladang berpindah.

Walaupun sebagian besar wilayah Kecamatan Sebatik Barat adalah

hutan, namun hutan tersebut merupakan hutan lindung yang tidak

diperkenankan untuk dikerjakan sebagai lahan pertanian penduduk.

Sebagian dari mereka juga sudah mengenal sedikit model pertanian

modern, seperti memakai pupuk kimia, pestisida dan adanya benih

unggul. Namun demikian dari segi peralatan kerja umumnya masih

menggunakan peralatan sederhana, seperti parang, linggis, pacul dan

kampak.

Perkebunan dan perikanan sudah mulai terarah dengan cara

modern yakni dengan cara membuat keramba terapung, walupun

masih ada juga nelayan tradisional. Sedangkan dalam hal peternakan

masih bersifat tradisional, ternak mereka masih dibiarkan berkeliaran

di kebun atau di jalan-jalan desa, dan tidak disiapkan kandang dan

pakan secara khusus. Hasil tangkapan ikan dan hasil pertanian umumnya

mereka jual ke Malaysia atau di pasar-pasar tradisional yang ada di

9Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 16: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sekitar wilayah Sebatik Barat. Mereka jarang membawa dan menjual

barang dagangannya ke Nunukan, karena biaya yang mahal dan belum

lancarnya trasportasi umum.

Potensi dan Sumber Alam

Berdasarkan informasi tokoh masyarakat setempat, di Sebatik

sebenarnya terdapat sumber alam yang dapat mendukung kemajuan

wilayah, yakni sumber minyak bumi, namun demikian hingga kini belum

ada upaya untuk ekspolitasi sumber tersebut. Sumber alam yang sudah

diolah saat ini adalah tanah pertanian/perkebunan. Hasil yang diperoleh

saat ini dari pengolahan tanah yang merupakan hasil pertanian/perkebunan

rakyat, adalah dari kebun coklat dan pisang. Kebun coklat dan pisang

tersebut cukup luas dan memberikan hasil cukup besar bagi masyarakat

Sebatik Barat. Jenis pisang di wilayah ini bagi masyarakat setempat dikenal

dengan nama “pisang sanggar” (pisang goreng), karena umumnya disajikan

dengan cara digoreng. Untuk masyarakat Jawa, pisang sanggar tersebut

biasa dikenal sebagai pisang “kepok”.

Menurut masyarakat setempat, hasil coklat dan pisang banyak dijual

ke negara tetangga Malaysia (Tawao). Ada bebarapa hal yang mendorong

mereka melakukan hal itu, pertama karena kebiasaan yang sudah lama mereka

lakukan secara turun menurun untuk melakukan hubungan dagang dengan

penduduk negara tetangga. Bahkan di antara mereka ada yang pernah tinggal

dan punya kerabat yang berada di Malaysia dan mempunyai Identity Card

(ID) Malaysia. Kedua, tampaknya masyarakat masih lebih mengutamakan

kebutuhan ekonomi daripada kesadaran sebagai WNI. Hal ini tampaknya

merupakan salah satu ciri masyarakat di daerah perbatasan. Ketiga, dari segi

transportasi dan jarak serta waktu tempuh ke Tawao relatif lebih murah

dan mudah dibandingkan ke Nunukan. Kenyataan yang ada saat ini,

infrastruktur untuk jalur transportasi ke wilayah Indonesia masih kurang

memadai. Jalan penghubung antar kecamatan kondisinya rusak, apalagi

pada musim penghujan sulit dilalui kendaraan roda empat maupun roda

dua.

Sebelum masyarakat mengembangkan tanaman coklat, di Sebatik

pernah dikembangkan tanaman kopi terutama saat permintaan kopi dari

negara tetangga cukup besar. Setelah permintaan kopi dan harganya anjlok

masyarakat mulai beralih pada tanaman coklat.

10 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 17: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Permasalahan Sosial

Hasil penelitian ini mengidentifikasi ada tiga besaran permasalahan

sosial di Sebatik Barat yang mendorong munculnya berbagai permasalahan

kesejahteraan sosial, yakni masalah ketertinggalan, masalah infrastruktur yang

kurang memadai, dan masalah potensi dan sumber kesejahteraan sosial

yang belum menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat.

Masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Masalah Ketertinggalan

Sebatik merupakan pulau terluar dan terbagi menjadi dua wilayah

negara yaitu sebelah Utara Wilayah Malaysia (Sabah), dan sebelah

Selatan Wilayah Indonesia (Provinsi Kalimantan Timur). Kondisi yang

demikian menjadikan penduduk Sebatik tidak terlepas dari pengaruh

kehidupan masyarakat negara tetangga. Pada satu sisi, penduduk

Sebatik mendapat imbas kemajuan ekonomi dari penduduk negara

tetangga. Pada sisi lain, ada ketergantungan masyarakat dengan negara

tetangga, misalnya dalam pemasaran hasil dan pemenuhan kebutuhan

rumahtangga. Ketergantungan masyarakat pada negara tetangga dapat

mengurangi rasa kebangsaan dan nasionalisme. Mereka akan lebih

mementingkan kebutuhan ekonomi daripada memperhatikan

kedudukannya sebagai warga negara Indonesia. Hal ini tampak dari

informasi yang diperoleh bahwa beberapa penduduk Sebatik,

terutama yang dekat dengan perbatasan mempunyai ID ganda. Alasan

mereka adalah untuk kemudahan hubungan dengan masyarakat negara

tetangga yang dirasakan memberikan banyak keuntungan. Sementara

itu, akses komunikasi dan transportasi ke wilayah Indonesia masih

kurang memadai, sehingga sebagian besar penduduk seolah-olah

kurang menyatu dan berinteraksi secara intensif dengan penduduk

lainnya di wilayah Indonesia. Hal ini menjadikan Sebatik Barat tertinggal

dalam berbagai pembangunan, baik pembangunan fisik maupun non

fisik.

Masalah-masalah kesejahteraan sosial yang biasanya terkait dengan

daerah tertinggal antara lain rendahnya kemampuan ekonomi,

rendahnya pendidikan, dan rendahnya kualitas hidup. Demikian pula

yang terjadi di Sebatik Barat, tampak dari besarnya populasi keluarga

kurang mampu (kecuali miskin). Masalah yang terkait dengan rendahnya

11Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 18: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

kemampuan ekonomi tampaknya cukup besar, seperti rumah tidak

layak huni, keterlantaran, dan wanita rawan sosial ekonomi.

Meskipun tidak semua keluaga miskin berkaitan dengan kondisi

rumah, namun beberapa kasus keluarga miskin di Kecamatan Sebatik

Barat, umumnya bertempat di rumah yang layak huni. Penjelasan dari

kasus dimaksud adalah bila kita lihat pada status rumah atau

kepemilikan rumah. Beberapa kasus keluarga miskin menunjukkan

bahwa mereka menempati rumah yang bukan milik sendiri, tetapi

miliki kerabat atau warisan dari orangtuanya.

Ada beberapa jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial

(PMKS) yang hampir ada di setiap desa, yaitu keluarga miskin, fakir

miskin, wanita rawa sosial ekonomi, lanjut usia, penyandang cacat,

dan rumah tidak layak huni. Masalah-masalah tersebut tampaknya

berkaitan dengan kondisi kemiskinan. Namun demikian dapat

dikatakan bahwa penduduk miskin Sebatik Barat untuk pemenuhan

kebutuhan pangan belum merupakan hal yang serius (belum kritis).

Kemiskinan yang mereka alami adalah kekurangmampuan dalam hal

pemenuhan kebutuhan lainnya, misalnya pendidikan keluarga, partisipasi

iuran warga, dan penyediaan rumah yang layak huni.

Desa

No Jenis PMKS Setabu

Aji

Kuning

Bina-

lawan

Liang

Bunyu

Jml

1 Balita Terlantar - 14 - - 14

2 Anak Terlantar 22 38 - 2 62

3 Anak Nakal 8 10 - - 18

4 Anak Cacat 4 8 - 5 17

5 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 47 45 19 10 121

6 LU Terlantar 57 31 37 58 183

7 Penyandang Cacat 6 13 8 11 38

8 Cacat Bekas Sakit Kronis 7 - - 13 20

9 Pengemis - 3 - 5 8

10 Eks Napi - 3 - - 3

11 Keluarga Fakir Miskin 9 7 7 - 23

12 Rumah Tidak layak Huni 58 346 27 30 461

13 Kel. Bermasalah Psikologi 1 2 - - 3

14. Keluarga miskin 38 674 173 228 1.113

12 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Tabel 2. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Tiap Desa di Kecamatan Sebatik Barat, Tahun 2006

Page 19: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Hal yang menguntungkan bagi masyarakat Sebatik adalah kondisi

tanah yang relatif subur, menghasilkan komoditi pertanian yang cukup

besar seperti pisang, coklat, dan kopi. Hambatan yang dialami untuk

memperoleh pendapatan tinggi dari sektor pertanian, terutama

kurangnya posisi tawar dengan konsumen di negara tetangga; petani

hampir tidak pernah dapat menentukan harga jual hasil pertaniannya.

Menurut penduduk Sebatik, kasus komoditi kopi yang pernah

memberikan penghasilan cukup besar, namun dengan berkurangnya

dan bahkan berhentinya permintaan kopi dari negara tetangga

menjadikan harga kopi anjlok. Dampaknya adalah sebagian besar

mereka membabat kebun kopi untuk diganti dengan tanaman lainnya,

atau membiarkan kebun kopinya tidak terurus.

Sumber laut Sebatik (perikanan) sebenarnya cukup memberikan

harapan, namun penduduk setempat masih menggunakan perahu

tradisional ukuran kecil dan dengan peralatan yang sederhana, sehingga

kalah bersaing dengan nelayan dari negara tetangga. Beberapa nelayan

memperoleh peralatan dan modal dari penduduk negara tetangga,

tapi dengan konsekuensi harus menjual tangkapannya kepada mereka.

Oleh karena itu, selama peneliti ada di lokasi tidak melihat adanya

hasil laut yang berlimpah di pasar/warung lokal. Bahkan terkesan

sulit memperoleh ikan dari pasar lokal.

2. Masalah Keterbatasan Infrastruktur

Sebatik sebagai wilayah yang tergolong daerah tertinggal

mempunyai keterbatasan infrastruktur, seperti sarana perhubungan,

komunikasi, penyediaan air bersih, sarana pendidikan, dan sarana

kesehatan. Prasarana dan sarana kesehatan yang ada di wilayah

Kecamatan Sebatik Barat saat ini hanya ada dua puskesmas, yakni

satu Puskesmas di Desa Setabu dan satu Puskesmas di Desa Aji Kuning,

dengan jumlah dokter masing-masing satu orang. Dengan demikian,

penduduk mengalami hambatan dalam mengakses fasilitas kesehatan

yang ada. Hal ini merupakan permasalahan sendiri bagi penduduk

Sebatik Barat dalam mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.

Oleh karena itu, banyak penduduk Sebatik Barat yang masih

mengandalkan pengobatannya pada bantuan dukun melalui cara-cara

tradisional, yang dalam bahasa daerah/lokal disebut tatamba. Tatamba

13Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 20: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

juga merupakan kebiasaan adat (ritual) pengobatan bagi penduduk

yang terkena bisa ular, tenung yaitu cara penyembuhannya disembur

dengan air putih yang sudah diberi doa. Menurut mereka si sakit

sembuh karena izin dari Allah. Beberapa cara tradisional lainnya masih

sering dilakukan penduduk, misalnya pengobatannya dengan cara

mengunyah pucuk daun jambu dan nangka, merebus akar alang-alang,

cabe rawit, butuh (kemaluan) tupai, lalu diminum.

14 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Desa

No Jenis Fasilitas Setabu

Aji

Kuning Binalawan

Liang

Bunyu

Jml

1. Puskesmas 1 1 - - 2

2. Polindes - - 1 1 2

3. Posyandu 4 4 3 4 15

4. Dokter 1 1 - - 2

5. Perawat/Mantri 5 - - 1 6

6. Bidan 3 1 - 1 5

7. Dukun 2 - 9 7 18

Tabel 3. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Sebatik Barat

Tahun 2006

Kondisi tanah yang berbukit-bukit, sedikit sumber air, dan dekat

dengan laut menyebabkan kualitas air tanah maupun air pemukaan

sangat rendah. Oleh karena itu, penduduk Sebatik mengalami

permasalahan dalam penyediaan air bersih. Sumber air bersih utama

masyarakat saat ini adalah air hujan. Sehingga pada musim kemarau

penduduk mengalami kekurangan air bersih. Saat tidak ada hujan,

sumber air bersih yang ada meskipun rendah kualitasnya adalah sumur

umum dekat sungai yang mulai mengering. Untuk itu, penduduk harus

mengangkut air dari sumber tersebut bagi kebutuhan rumahtangganya.

Sarana jalan darat yang ada di Sebatik, baik jalan antar kecamatan

maupun antar desa sebagian besar berupa jalan darurat (jalan tanah

dan pasir batu). Jalan aspal baru mencapai jarak sekitar 2 km di Desa

Setabu (ibukota kecamatan). Sebagian jalan-jalan di Sebatik terutama

pada musim penghujan sulit dilalui oleh kendaraan roda dua maupun

roda empat. Sementara itu, jumlah sarana angkutan umum yang ada

masih terbatas dan dengan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti

itu menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk Sebatik, yakni

mobilitas penduduk antar desa/kecamatan sangat terbatas, termasuk

masalah pengangkutan hasil pertanian/perkebunan penduduk.

Page 21: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Saat ini angkutan laut (perahu motor) ke Nunukan tiap hari umumnya

hanya dua trip (berangkat pagi dan pulang siang hari), dan dengan

jumlah yang terbatas. Untuk ke Nunukan sekali jalan beaya yang harus

ditanggung per orang antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 20.000,- tergantung

dari banyaknya penumpang, makin banyak penumpang akan semakin

murah biayanya. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah

Nunukan untuk menciptakan sarana perhubungan yang relatif mudah

dijangkau masyarakat dan dengan frekuensi yang cukup memadai.

Sarana pendidikan yang ada saat ini masih terbatas, beberapa

desa hanya mempunyai sekolah sampai SD. Untuk wilayah Sebatik

Barat, sekolah lanjutan pertama (SMP) hanya ada dua yakni satu di

Desa Setabu dan satu di Desa Aji Kuning. Sehingga bagi anak-anak

penduduk desa lainnya harus menempuh jarak cukup jauh bila ingin

melanjutkan pendidikan pada tingkat SMP. Saat ini sekolah lanjutan

atas baru ada di Kecamatan Sebatik Timur, yakni sekolah milik swasta.

Sekolah lanjutan atas negeri hanya ada di Nunukan. Kondisi seperti

ini menyebabkan banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk

melanjutkan sekolah, baik karena masalah jarak lokasi maupun

kemampuannya yang terbatas. Oleh karena itu, hanya beberapa anak,

khususnya dari golongan mampu yang dapat melanjutkan pendidikan

yang lebih tinggi. Dengan demikian, dari segi pendidikan penduduk

Sebatik Barat sebagian besar rendah (hanya mencapai tingkat Sekolah

Dasar.

15Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Desa

No. Jenis Fasilitas

Pendidikan Setabu Aji

Kuning Binalawan

Liang

Bunyu

Jml

1. TPA 3 1 4 2 10

2. Sekolah Dasar 1 3 1 1 11

3. SLTP 1 1 - - 2

4. Kejar Paket A, B - - - 2 2

Jumlah 5 5 5 5 25

Tabel 4. Sarana Pendidikan di Kecamatan Sebatik Barat

Tahun 2006

Saran komunikasi telepon kabel dan telepon umum di wilayah

Sebatik Barat hingga saat ini belum tampak kehadiranya. Sementara

ini, penduduk banyak menggunakan sarana telepon seluler yang

jaringanya masih terbatas. Kepemilikannya juga masih terbatas pada

penduduk yang tergolong cukup mampu. Jaringan/siaran televisi dan

Page 22: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

radio sebagian sudah dapat ditangkap penduduk meskipun masih

terbatas. Namun demikian masuknya jaringan/siaran televisi asing

(negara tetangga) tampaknya tidak bisa dihindarkan mengingat letaknya

yang cukup dekat. Bila siaran televisi Indonesia tidak lebih kuat, maka

dapat menghambat masuknya informasi nasional dalam kehidupan

masyarakat Sebatik.

3. Masalah Pontensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial merupakan hal yang

penting dalam menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat.

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial ini dapat berwujud lembaga

sosial maupun individu-individu yang peduli terhadap usaha-usaha

kesejahteraan sosial. Jenis Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

(PSKS) yang mencakup kelompok/lembaga sosial dan perorangan

dapat dijelaskan seperti berikut:

• Perkumpulan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), kelompok ini

beranggotakan ibu-ibu rumahtangga yang memiliki anak balita.

Kelompok ini dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa dari

pemerintah. Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan kesehatan

dan kesejahteraan ibu dan anak. Kegiatannya berupa pemeriksaan

kesehatan balita, menimbang balita, penyuluhan dan pelayanan

keluarga berencana serta peningkatan gizi keluarga.

• PKK, Kelompok ini dibentuk atas prakarsa pemerintah,

beranggotakan kaum wanita terutama ibu rumahtangga. Tujuan

kelompok ini adalah peningkatan kesejahteraan keluarga melalui

berbagai kegiatan seperti arisan, simpan pinjam, tabungan, gotong

royong, dan usaha ekonomis produktif. Lembaga ini mempunyai

jangkauan wilayah berjenjang dari tingkat Rukun Tetangga, Dusun,

Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.

• Karang Taruna/kelompok pemuda. Kelompok ini merupakan

organisasi pemuda pada tingkat lokal. Inisiasi pembentukan Karang

Taruna oleh masyarakat, dan secara fungsional berada dalam

pembinaan Departemen Sosial. Anggotanya sebagian besar remaja

dan beberapa orang dewasa, dengan usia berkisar antara 19 tahun

sampai dengan usaia 40 tahun. Kelompok pemuda ini pada

umumnya memiliki kegiatan edukatif, ekonomis produktif dan

16 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 23: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

rekreatif. Namun demikian kondisi saat ini sebagian besar

tampaknya kurang aktif.

• Kelompok Tani dibentuk oleh masyarakat atas prakarsa pemerintah

dalam upaya peningkatan hasil pertanian. Kelompok ini

beranggotakan para petani dan memiliki kegiatan mulai dari

pengolahan tanah, bertanam sehingga diperoleh peningkatan hasil

pertanian.

• Pengajian/majlis taklim dibentuk oleh masyarakat untuk

meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi

kaum muslim. Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya

adalah mengadakan pengajian dan pembinaan mental keagamaan.

• Arisan keluarga. Kelompok ini dibentuk masyarakat merupakan

wadah silaturahmi, umumnya beranggotakan sejumlah Kepala

Keluarga dari etnis tertentu. Arisan ini digunakan sebagai sarana

tukar informasi dan saling memberikan pemikiran tentang

permasalahan yang dihadapi anggota.

• Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial

Masyarakat, merupakan individu-individu yang berasal dari

masyarakat setempat. Pembentukannya oleh inisiatif pemerintah

dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial. Mereka bekerja secara

mandiri, kelompok maupun bersama dalam wadah lembaga sosial

dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat

lingkungannya.

• Kelompok kesenian terdiri dari sekumpulan warga masyarakat yang

mempunyai minat dan bakat dibidang kesenian baik itu kesenian

tradisional maupun modern. Kelompok ini memiliki kegiatan

latihan rutin dan pentas untuk mengisi acara permintaan atau acara-

acara tertentu, misalnya pada upacara pernikahan dan peringatan

hari-hari besar nasional. Kegiatan kesenian tradisional yang terkenal

adalah tarian “Jepin” yang dilakukan secara berpasangan laki-laki

dan perempuan. Pakaian yang digunakan adalah pakaian adat

setempat.

Berdasarkan observasi dan hasil diskusi dengan warga masyarakat

setempat menunjukkan bahwa kondisi PSM dan KT di Sebatik Barat

17Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 24: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

saat ini dapat dikatakan kurang aktif lagi. Hal ini menurut mereka

disebabkan kurangnya bantuan dan pembinaan dari pemerintah

terhadap sumber-sumber tadi. Saat ini tampaknya PSM dan KT yang

merupakan andalan sektor sosial lepas dari perhatian Kantor Sosial

setempat. Pembinaan terhadap kelompok-kelompok sosial masyarakat

di Kabupaten Nunukan dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini

terjadi karena pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam kegiatan

pembinaan, terutama karena faktor lokasi yang sulit dijangkau dan

dukungan lainnya yang masih terbatas.

Organisasi-organisasi sosial lokal saat ini mempunyai kegiatan

yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong

dan pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum

tergugah dan kurang memahami pentingnya peran mereka dalam

penanganan masalahan kesejahteraan sosial di lingkungannya. Hal ini

antara lain disebabkan kondisi SDM yang relatif rendah (sebagian

besar pendidikan SD), dan minimnya sumber dana maupun informasi

yang mereka miliki.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kecamatan Sebatik

Barat saat ini masih kekurangan sumber yang dapat diakses oleh

mereka. Panti-panti sosial yang ada di Kabupaten Nunukan jumlah

maupun jangkauannya masih terbatas. Apalagi panti-panti rehabilitasi

sosial atau lembaga rehabiliasi sosial lainnya bagi penyandang cacat

saat ini belum ada di wilayah Kabupaten Nunukan. Sementara itu

organisasi-organisasi sosial yang ada di Kabupaten Nunukan belum

menjangkau wilayah Sebatik. Sehingga banyak penyandang masalah

yang tidak memperoleh pelayanan yang memadai.

Upaya yang Telah Dilakukan

Bila memperhatikan data PMKS seperti telah dikemukakan

sebelumnya, dapat dikatakan bahwa permasalahan sosial yang ada erat

kaitannya dengan ketidakmampuan ekonomi keluarga. Oleh karena itu,

upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat akan selalu terkait

dengan upaya peningkatan dari segi ekonomi atau pendapatan penduduk.

Beberapa upaya pemerintah yang masuk ke Sebatik berdasarkan

informasi tokoh-tokoh setempat, adalah upaya pemberdayaan keluarga

18 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 25: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

miskin berupa bantuan stimulan ekonomi produktif melalui Kelompok

Usaha Bersama (KUBE) dan bantuan perbaikan rumah penduduk. Dari

hasil observasi tampaknya KUBE tersebut tidak lagi terlihat kegiatannya.

Hal ini antara lain disebabkan kurang/tidak adanya pembinaan secara rutin

dari penyelenggara program/kegiatan.

Upaya penduduk sendiri untuk menanggulangi masalah kesejahteraan

sosial dilakukan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk, seperti

kelompok kematian, arisan, dan kelompok-kelompok yang berbasis RT.

Namun demikian masih sangat terbatas kualitas maupun jangkauannya.

Tampaknya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial di Sebatik Barat

masih memerlukan campur tangan dari luar, misalnya peranserta LSM/

Orsos dan peran pemerintah pusat maupun daerah. Hingga saat ini belum

terlihat peran LSM/Orsos dalam usaha kesejahteraan sosial.

Kesimpulan dan Saran

Program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat,

menjadikan wilayah ini masih tertinggal dibanding wilayah lainnya. Masih

minimnya infrastruktur yang ada, terutama sarana air bersih, pendidikan,

transportasi dan komunikasi, menjadikan mobilitas penduduk antar desa/

kecamatan sangat terbatas, dan akses pada pendidikan yang lebih tinggi

terbatas. Masalah kesejahteraan sosial umumnya bersumber dari kondisi

ekonomi penduduk yang rendah; kemampuan penduduk untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi yang jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan

yang relatif cukup tinggi.

Masalah kesejahteraan sosial yang cukup menonjol adalah kemiskinan,

masalah rumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan

keterlantaran. Masalah-masalah ini sebenarnya bersumber dari kondisi

ekonomi penduduk yang rendah, kemampuan penduduk untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi jauh tertinggal dengan harga barang kebutuhan yang

relatif cukup tinggi.

Potensi dan sumber kesejahteraan sosial setempat, seperti Pekerja Sosial

Masyarakat (PSM) dan Karang Taruna (KT) saat ini kurang aktif

melaksanakan fungsinya. Hal ini antara lain karena kurangnya pembinaan

dari pemerintah setempat terhadap sumber-sumber tersebut. PSM dan

KT yang merupakan andalan sektor sosial tampaknya lepas dari perhatian

19Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 26: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pemerintah setempat. Organisasi-organisasi sosial lokal mempunyai kegiatan

yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan arisan, gotong royong dan

pembinaan mental keagamaan. Tampaknya mereka belum tergugah dan

kurang memahami pentingnya peran mereka dalam penanganan masalahan

kesejahteraan sosial di lingkungannya.

Guna memacu kemajuan kehidupan masyarakat Sebatik, diperlukan

upaya perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang ada, terutama sarana

pendidikan, komunikasi, dan transportasi/perhubungan dalam pulau dan

antar pulau. Diharapkan dengan mudahnya akses pendidikan dan

transportasi/perhubungan bagi penduduk akan mempunyai dampak

terhadap peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Untuk itu, maka diperlukan program-program yang terpadu antar instansi

(Dinas-Dinas), antara lain:

a. Program-program sektor sosial yang diperlukan adalah upaya

pemberdayaan penduduk miskin, perbaikan lingkungan dan

perumahan, serta peningkatan fungsi dan peran sumber-sumber

kesejahteraan sosial lokal agar mampu berperan dalam pembangunan

bidang kesejahteraan sosial.

b. Untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan

formal diperlukan sarana pendidikan yang berkaitan dengan lembaga

pendidikan, buku-buku pelajaran dan beasiswa bagi anak-anak dari

keluarga miskin dan anak-anak terlantar.

c. Mengingat keterbatasan lembaga pelayanan sosial bagi penyandang

masalah kesejahteraan sosial, antara lain lembaga pelayanan dalam

bentuk panti rehabilitasi sosial, maka perlu dipertimbangkan oleh pusat

maupun pemerintah daerah (Instansi Sosial) untuk mendirikan panti-

panti rehabilitasi sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

d. Sejalan dengan upaya ini, pemerintah daerah setempat perlu secara

berkesinambungan melakukan pembaharuan data permasalahan

kesejahteraan sosial, agar dengan demikian pemerintah daerah akan

selalu mempunyai data yang akurat dan up to date bagi perencanaan

pembangunan.

20 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 27: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

e. Wilayah Sebatik yang berbatasan langsung dengan negara lain,

mempunyai posisi strategis terhadap kesatuan wilayah NKRI. Untuk

itu, maka baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu

lebih ekstra membangun wilayah yang bersangkutan, baik fisik maupun

non fisik. Dengan demikian, diharapkan tidak lagi menjadi daerah

tertinggal dan menjadi salah satu daerah perbatasan yang dapat

diandalkan Pemerintah RI.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Nunukan dengan BPS Kabupaten Nunukan, 2002,

Kabupaten Nunukan dalam Angka Tahun 2002, BPS, Nunukan.

Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,

Pusdatin, Jakarta.

Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press

Kecamatan Sebatik Barat, 2005, Monografi Kecamatan Sebatik

Rudito, Bambang dkk, 2004, Metode dan Teknik Pengelolaan Community Devel-

opment, ICSD, Jakarta.

Taliziduhu, Ndraha, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan

Masyarakat Tinggal Landas, Rineke Cipta, Bandung.

21Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 28: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Lampiran 1

Jenis PMKS dan Kriteria Menurut Masyarakat Lokal

di Kecamatan Sebatik Barat Tahun 2006

No. Jenis PMKS Kriteria Jumlah

1. Balita Terlantar anak usia 0 – 5 tahun, berasal dari keluarga kurang mampu, dan kurang atau tidak terpenuhi kebutuhannya secara memadai.

14

2. Anak Terlantar anak usia 6 – 12 tahun, yatim atau yatim piatu, orangtua tidak mampu secara ekonomi, hanya mampu mendapatkan pendidikan sampai SD.

62

3. Anak Nakal anak usia 15 – 21 tahun, sering mengkonsumsi alkohol, sering menggunakan obat-obat terlarang, dan mengganggu orang lain/lingkungan.

18

4. Anak Cacat anak usia 6 – 21 tahun, menderita cacat karena bawaan atau kecelakaan, mengalami hambatan dalam beraktivitas.

17

5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi

wanita, janda, usia produktif, kondisi ekonomi kurang mampu, mempunyai tanggungan anak usia sekolah, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya.

121

6. LU Terlantar laki-laki atau perempuan usia 60 tahun ke atas, tidak produktif lagi, tergantung pada bantuan orang lain, keluarga kurang mampu memberikan pelayanan.

183

7. Penyandang Cacat

orang dewasa, cacat bawaan atau karena kecelakaan, mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

38

8. Cacat Bekas sakit Kronis

orang dewasa, cacat akibat penyakit, seperti stroke, katarak dsb, hidupnya tergantung dari bantuan orang lain.

20

9. Pengemis anak-anak atau dewasa, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meminta-minta, tidak punya pekerjaan tetap.

8

10. Eks Napi orang dewasa, telah selesai menjalani hukuman karena pelanggaran lalu lintas, tidak mempunyai pekerjaan tetap.

3

11. Keluarga Fakir Miskin

keluarga dengan penghasilan tidak tetap, kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tidak mampu membiayai pendidikan anak, pendidikan keluarga paling tinggi SD, rumah darurat atau kondisinya kurang sempurna.

23

12. Rumah Tidak layak Huni

Dinding tidak sempurna, banyak yang bolong, lantai tidak sempurna/lantai kayu banyak yang rusak, atap dari daun atau dari seng tapi rusak, dan kurang sehat.

461

13. Kel. Bermasalah

Psikologi

kurang harmonis, suami isteri sering bertengkar, biasanya

terkait dengan masalah-masalah ekonomi.

3

14. Keluarga miskin keluarga dengan penghasilan tetap, sering mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mampu membiayai pendidikan anak pada tingkat SD.

1.113

22 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 29: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Lampiran 2

PETA WILAYAH

1. Peta Wilayah Desa Aji Kuning

2. Peta Wilayah Desa Binalawan

23Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 30: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

3. Peta Wilayah Desa Setabu

4. Peta Wilayah Desa Liang Bunyu

24 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Sebatik Barat Kab. Nunukan

Page 31: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL

DI KABUPATEN PULANG PISAU

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH1

Dra. Indah Huruswati 2

ABSTRAK

Kabupaten Pulang Pisau merupakan sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran

dari Kabupaten Kapuas yang diresmikan pada tahun 1999. Dampak dari pemekaran

tersebut, Kabupaten ini dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi,

antara lain permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah

administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana infrastruktur yangmasih kurang, serta masalah kesejahteraan sosial yang semakin merebak. Pemerintah

Daerah berupaya menata kembali sistem administrasi wilayahnya, salah satunya adalah

dengan menyediakan data dasar (database) yang akurat dan reliable tentang permasalahan

sosial serta sumberdaya, yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan

prioritas program pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan pro-

gram pembangunan di Kabupaten ini dapat terwujud secara tepat sasaran dan tepat

guna.

Upaya penyediaan database tersebut, dilakukan melalui penelitian kerjasamaantara Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial - Departemen Sosial RI dengan

Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau - Kalimantan Tengah pada pertengahan tahun

2006 lalu. Penelitian dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pandih Batu dan

Maliku yang dipilih berdasarkan keragaman masalah sosial dan potensi yang dimiliki.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa permasalahan sosial yang paling menonjol

adalah masalah fakir miskin (kemiskinan), keluarga rentan dan keluarga berumah

tidak layak huni, selain juga anak terlantar. Kriteria permasalahan sosial serta potensi,

diungkapkan dalam hasil penelitian ini berdasarkan pandangan masyarakat lokal

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang mereka miliki.

Kata kunci:

Permasalahan Sosial

1 Tulisan ini diangkat dari penelitian Diagnosis Permasalahan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau

Provinsi Kalimantan Tengah, dengan tim penelitian Drs. Moch. Syawie, MSc; Dra. EndangKironosasi, M.Si.

2 Indah Huruswati, Peneliti Muda pada Puslitbang Kessos, Badiklit Kesejahteraan Sosial

25Puslitbang Kesos

Page 32: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Sejak dicanangkannya otonomi daerah yaitu sejak diberlakukannya

Undang-Undang No.22 tahun 1999 (yang diperbaharui menjadi Undang-

Undang No. 32 tahun 2002) tentang Pemerintahan Daerah, terjadi

pemekaran pada beberapa wilayah di Indonesia. Tentunya berdampak pada

perubahan status administrasi pada wilayah-wilayah tersebut. Beberapa

wilayah yang semula merupakan kecamatan berubah menjadi kabupaten

karena dianggap telah memenuhi persyaratan administrasi, kewilayahan dan

sumberdaya manusia serta sumberdaya alam dan ekonomi. Pulang Pisau

yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Kapuas menjadi kabupaten

baru (pemekaran).

Dampak dari pemekaran tersebut, Kabupaten Pulang Pisau

dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain

permasalahan sumber daya manusia yang belum memadai, masalah

administrasi yang belum tertata dengan baik, sarana dan prasarana

infrastruktur yang masih kurang, masalah kesejahteraan sosial yang semakin

merebak serta permasalahan lainnya.

Dalam kaitan dengan penataan kembali wilayah pemekaran ini tentunya

memerlukan data dasar (database) yang akurat dan reliable sebagai dasar

dalam menyusun perencanaan program pembangunan di wilayah tersebut,

sehingga proses pembangunan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai

dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya serta dapat berlangsung secara

berkesinambungan. Sementara itu data dasar (database) mengenai

permasalahan sosial serta peta sumberdaya yang ada di wilayah yang

bersangkutan belum dimiliki oleh Pemerintah Daerah setempat.

Terkait dengan Pemerintah Pusat, dengan kurangnya data dan peta

permasalahan sosial, sumber daya sosial, ekonomi dan alam yang bercirikan

masyarakat lokal, tentunya akan berpengaruh pada program pusat yang

dampaknya tidak mampu mengakomodir kebutuhan daerah. Akibat lebih

lanjut adalah pelayanan sosial dan kebutuhan masyarakat tidak dapat

sepenuhnya terjangkau.

Padahal segala permasalahan sosial dapat diatasi secara sistematis dan

tepat sasaran jika didasarkan pada data yang akurat dan reliable. Disinilah

letak pentingnya data tentang masalah kesejahteraan sosial dan sumber

kesejahteraan sosial sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan yang

26 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 33: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

terarah dan komprehensif. Tersedianya data yang akurat dan reliable akan

menjadi acuan dalam penentuan kebijakan prioritas program pembangunan

kesejahteraan sosial, sehingga pelaksanaan program pembangunan di

Kabupaten Pulang Pisau dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut akan

tepat sasaran dan tepat guna.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Badan Pendidikan dan Penelitian

Sosial – Departemen Sosial RI bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten

Pulang Pisau - Kalimantan Tengah melakukan Penelitian Diagnosa

Permasalahan Sosial ini, sebagai langkah awal upaya identifikasi sekaligus

menemukenali secara lebih dalam permasalahan yang dihadapi daerah.

Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

• Apa dan bagaimana jenis penyandang masalah sosial serta potensi

dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian?

• Bagaimana kriteria dan karakteristik penyandang masalah kesejahteraan

sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di

lokasi penelitian?

• Program kesejahteraan sosial apa saja yang selama ini dilaksanakan di

Kabupaten Pulang Pisau?

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) diperolehnya data kualitatif tentang

jenis penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber daya sosial,

ekonomi dan alam sebagai data dasar di lokasi penelitian; (2) diperolehnya

data kualitatif tentang kriteria dan karakteristik penyandang masalah sosial

serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan alam di lokasi penelitian;

(3) diperolehnya gambaran mengenai lokasi dan peta penyandang masalah

kesejahteraan sosial serta potensi dan sumber daya sosial, ekonomi dan

alam di lokasi penelitian; dan (4) diperolehnya gambaran tentang program-

program penanggulangan permasalahan sosial yang pernah dilaksanakan

di lokasi penelitian.

Masalah kesejahteraan sosial dapat terjadi di setiap wilayah dan

disebabkan oleh berbagai hal yang saling berkait. Faktor penyebab masalah

kesejahteraan sosial dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal

sekaligus. Faktor internal pada umumnya menunjuk pada sistem sosial yang

mengandung benih ketimpangan struktural dalam masyarakat. Biasanya

terdapat segolongan masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap

peluang-peluang sosial ekonomi, sehingga menjadi rentan terhadap masalah

27Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 34: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

kesejahteraan sosial. Keterbatasan aset produksi dapat juga menyebabkan

kemiskinan, kemiskinan menyebabkan kurang pangan dan gizi, yang pada

akhirnya dapat menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental.

Dalam kaitannya dengan faktor eksternal, bisa termasuk intervensi

pemerintah, lembaga pemerintah dan pengusaha swasta. Intervensi pro-

gram dari pemerintah yang pada awalnya bertujuan intervensi pemecahan

masalah, ternyata justru menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap

pemerintah dan/atau menimbulkan suatu jenis masalah yang sebelumnya

tidak ada dalam masyarakat (Dove, 1985)

Secara potensial setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk

mengatasi masalah kesejahteraan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.

Potensi kesejahteraan sosial tersebut ada dalam bentuk sumber daya alam,

sumber daya manusia, dan sumber daya sosial yang berupa kemampuan

mengorganisir sumber daya alam atau manusia atau perpaduan keduanya.

Untuk mempertahankan kehidupannya, masyarakat memanfaatkan dan

mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas seperti

aktivitas ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong dan

sebagainya.

Metode Penelitian

Penelitian diagnostik yang dilakukan merupakan proses mengenal pasti

penyakit melalui tanda penyakit, simptom dan hasil pelbagai langkah

diagnostik. Penyakit yang dimaksud di sini adalah permasalahan sosial yang

ada di masyarakat. Kesimpulan yang didapat melalui proses ini dikenali

sebagai diagnosis.

Untuk mengenal pasti permasalahan sosial yang ada, digunakan

pendekatan kualitatif yang tujuannya adalah untuk memahami kondisi serta

pemahaman sekelompok orang dalam satu kelompok sosial. Diharapkan

dengan pendekatan ini diperoleh suatu gambaran bagaimana pelaku dalam

komuniti memandang dan memahami gejala sosial yang tampak, diobservasi,

dicatat dan dianalisa.

Sumber data terdiri dari : (1) data primer yaitu perorangan atau

individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten yang hidup dan

berkembang di daerah tersebut; (2) data sekunder yaitu literatur, baik cetak

maupun elektronik yang mendukung tujuan penelitian. Sedangkan

28 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 35: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pengumpulan informasi dilakukan selain melalui pengamatan (observasi),

juga wawancara, diskusi, penelusuran dokumen dan bahan-bahan visual.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah,

khususnya di Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku. Sebagian

kecamatan Maliku sebelum ada pemekaran merupakan bagian dari

kecamatan Pandih Batu. Sasaran penelitian adalah penduduk yang menetap

di daerah Kecamatan Pandih Batu dan Kecamatan Maliku, baik dari jenis

kelamin maupun jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk sebagai

penyandang masalah sosial, lokasi, penyandang masalah sosial dan potensi

serta sumber kesejahteraan sosial.

Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Pulang mempunyai

wilayah seluas 8.997 km² atau 899.700 ha,

sebagian wilayahnya terdiri dari lahan

gambut (277.300 hektar). Kabupaten ini

meliputi 8 wilayah kecamatan, 83 desa

definitif, dan 1 kelurahan. Secara umum

wilayah Kabupaten ini memiliki potensi

sumber daya alam yang lumayan besar,

terutama pada sektor kehutanan dan sektor

lain seperti pertanian dan peternakan yang

turut menyumbang potensi cukup besar

sejak dari tingkat desa.

Kecamatan Pandih Batu dan Maliku

yang menjadi lokasi penelitian ini, berjarak

paling jauh sekitar 56 km sampai 75 km

dari Ibukota Kabupaten, dengan waktu

tempuh sekitar 4 – 6 jam. Sementara itu,

jarak dari desa-desa ke ibukota Kecamatan antara 7 km sampai 30 km

yang dapat dicapai melalui jalan darat (jalan kabupaten) maupun jalan air

(Sungai Kahayan) dengan menggunakan perahu klotok dan speedboat.

Karakteristik penduduk di dua kecamatan memiliki sifat heterogen,

dimana komposisi penduduknya berasal dari ragam sukubangsa dan agama,

baik yang tergolong sebagai penduduk lokal yang terdiri dari sukubangsa

29Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 36: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Dayak dan Banjar maupun penduduk pendatang yang terdiri dari

sukubangsa Madura, Jawa dan Sunda.

Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi

yang ada, yaitu terkonsentrasi di tepi sungai dan cabang-cabangnya, terutama

para penduduk asli. Begitupun dengan pola pemukiman penduduk

umumnya relatif sama yaitu mengelompok di tengah lahan wilayah desa,

dan umumnya didirikan di tepi jalan dibuat sejajar atau mengikuti aliran

sungai. Rumah mereka umumnya dibuat dari kayu atau papan, dengan

atap ada yang menggunakan genteng dan daun kelapa atau rumbia.

Pendidikan warga masyarakat di wilayah ini pada umumnya Sekolah

Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Anak-anak

yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan di tingkat SLTP dan ingin

melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTA terpaksa harus pergi keluar dari

desanya, karena keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia

di wilayah ini. Bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu,

tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Mereka lebih memilih pergi

merantau ke Kota Palangkaraya untuk menjadi buruh bangunan atau menjadi

penambang emas di Kereng Pangi.

Mata pencaharian warga masyarakat sebagian besar sebagai petani.

Namun memperhatikan data yang ada di kecamatan ini tampaknya relatif

banyak warga masyarakat yang belum/tidak bekerja.

Diagnosis Permasalahan Sosial

Berdasarkan hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua Kecamatan

ditemukenali sejumlah permasalahan sosial yang ada yaitu 14 permasalahan

sosial untuk Kecamatan Pandih Batu dan 19 permasalahan sosial untuk

Kecamatan Maliku. Berdasarkan urutan permasalahan yang paling tinggi

frekwensinya yaitu masalah yang terkait dengan kemiskinan – yaitu masalah

keluarga fakir miskin. Masalah lain yang juga relatif tinggi yaitu masalah

rumah tidak layak huni dan wanita rawan sosial-ekonomi serta keluarga

rentan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian warga desa (laki-laki) yang

sudah menikah dalam usia muda, meninggalkan desa dengan alasan mencari

nafkah di tempat lain. Akhirnya keluarga mereka menjadi terlantar, demikian

halnya dengan lahan yang mereka miliki juga menjadi terlantar sehingga

membawa akibat pada kerentanan dan kemiskinan. Keluarga-keluarga yang

30 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 37: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

ditinggalkan oleh para kepala keluarga terpaksa harus berusaha mencari

nafkah sendiri atau ikut dengan orang tua mereka. Namun karena

keterbatasan dari kaum perempuan untuk bisa mengolah lahan, maka

mereka akhirnya tidak bisa memperoleh penghasilan. Keluarga-keluarga

tersebut akhirnya menjadi rentan untuk masuk ke dalam kemiskinan dan

bagi ibu-ibu, mereka menjadi rawan secara sosial-ekonomi. Hal ini

berdampak juga terhadap anak-anak mereka yang cenderung menjadi

terlantar, karena orang tua tidak mampu memberikan kebutuhan dasar

mereka. Anak-anak menjadi berhenti sekolah pada usia wajib belajar 9

tahun dan mereka tidak mendapatkan makanan bergizi, karena ibunya

(orangtua) tidak mempunyai uang untuk membeli makanan bergizi.

Kondisi lingkungan turut berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan

masyarakat. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa dengan tidak meratanya

distribusi penduduk antar desa di dua Kecamatan, yang salah satunya

disebabkan oleh keterbatasan aksesibilitas antar desa dengan desa lainnya

atau antar desa dengan kecamatan, maka pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya alam yang ada di lingkungan tidak dapat secara optimal dikelola

dan dimanfaatkan, baik karena keterbatasan SDM maupun teknologi yang

mereka miliki. Misalnya beberapa desa di Kecamatan Pandih Batu yaitu

Desa Pantik terdapat lahan tidur seluas 970 ha, di Desa Pangkoh Sari terdapat

lahan tidur seluas 400 ha dan di Desa Talio Muara terdapat lahan tidur

seluas 391 ha. Lahan tersebut belum tergarap sebagai akibat keterbatasan

SDM, baik dari segi jumlah dan penguasaan teknologi.

Karakteristik masyarakat yang bermukim di dua kecamatan ini terdiri

dari beragam sukubangsa dan agama. Sifat multi-etnik (heterogen) yang

mewarnai kehidupan sosial masyarakat, pada satu sisi merupakan potensi,

tetapi pada sisi yang lain potensial menimbulkan kerawanan konflik sosial,

bahkan fisik. Potensi konflik antara sukubangsa menjadi semakin rawan

karena pernah terjadi peristiwa konflik antara sukubangsa Dayak dan Banjar

(melayu) dengan sukubangsa Madura sekitar buan Maret tahun 2001. Saat

ini hubungan sosial diantara mereka yang pernah terlibat konflik relatif

sudah berangsur membaik, walaupun kondisi ini tetap harus diwaspadai

melalui kebijakan atau kegiatan-kegiatan yang tidak menimbulkan

kecemburuan sosial antara “penduduk lokal” (Dayak dan Banjar) dengan

“penduduk pendatang” yang terdiri dari para transmigran umum maupun

swakarsa yang terdiri dari Madura, Jawa dan Sunda.

31Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 38: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sementara itu bila melihat dukungan masyarakat terhadap program

pembangunan seharusnya juga melihat kesiapan mereka dalam hal

kemampuan mengelola dan memanfaatkannya. Membangun kapasitas salah

satunya adalah melalui pendidikan formal, yaitu sekolah. Kesulitan

masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak biasanya terkendala

oleh faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi putus sekolah

atau tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masalah

keterbatasan juga terjadi pada sarana pelayanan kesehatan, misalnya untuk

Kecamatan Pandih Batu tersedia satu unit Puskesmas yang tidak dilengkapi

Puskesmas Pembantu di tingkat desa. Tenaga dokter pun hanya satu dengan

15 tenaga medis lainnya (perawat dan bidan). Sementara alat perhubungan

(transportasi) antar desa maupun desa ke kecamatan relatif sulit dan mahal.

Tampaknya dengan melihat kondisi yang ada, diperlukan banyak pro-

gram dan kegiatan yang dapat mengakomodasi berbagai keragaman

kepentingan, sehingga melalui suatu proses tertentu keragaman karakteristik

penduduk dapat saling bersinergi untuk mencapai kehidupan masyarakat

yang sejahtera. Program dan kegiatan yang dikembangkan melalui

pemanfaatan potensi keswadayaan masyarakat (gotong-royong) menjadi

suatu yang bisa dipertimbangkan. Melalui potensi keswadayaan masyarakat

itu sendiri di samping strategis juga memiliki nilai pemberdayaan dalam

rangka proses memandirikan masyarakat untuk membantu dirinya sendiri.

Aksesibilitas masyarakat dalam beraktivitas, baik aktivitas sosial maupun

ekonomi masih menjadi kendala. Kondisi geografis dan alam yang demikian

belum dilengkapi dengan sarana-prasarana transportasi yang memadai.

Keterbatasan sarana-prasarana transportasi menyebabkan harga kebutuhan

pokok sehari-hari relatif tinggi, sementara penghasilan rumah tangga relatif

rendah. Hal ini terutama menjadi kendala terhadap aksesibilitas antar desa

maupun antara desa ke ibukota kecamatan.

Pembangunan infrastruktur fisik perlu dibarengi dengan pembangunan

infrastruktur sosial yang baik, sehingga diharapkan akan mendorong

partisipasi masyarakat. Tanpa itu, maka mereka cenderung memanfaatkan

infrastruktur fisik yang ada untuk memudahkan mereka pergi mencari nafkah

ke luar daerahnya. Dengan demikian, maka pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya alam yang ada di lingkungannya menjadi tidak optimal. Adanya

tanah pertanian yang tidak digarap dan kegagalan upaya masyarakat

memanfaatkan lahan tidur merupakan akibat pembangunan infrastruktur

32 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 39: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sosial-ekonomi belum dilakukan sesuai harapan masyarakat. Dalam hal ini

sudah tentu pihak Pemerintah berperan penting untuk memfasilitasi, baik

dari aspek kebijakan, regulasi, permodalan maupun aspek teknologi tepat

guna.

Upaya meningkatkan kesejahteraan sosial diperlukan suatu perencanaan

sosial yang baik. Perencanaan akan berjalan baik bila dilengkapi dan didasari

data yang akurat. Mencermati pelaksanaan program penanggulangan

kemiskinan dan upaya penanganan permasalahan sosial yang ada

menunjukkan bahwa sasaran program kurang tepat. Di Kecamatan Pandih

Batu, keluarga miskin atau fakir miskin tidak secara merata memperoleh

bantuan Raskin, Askeskin atau pun BLT-BBM. Seharusnya setiap keluarga

miskin/fakir miskin memperoleh beragam program bantuan. Tetapi hal

ini tidak terjadi dengan alasan bahwa alokasi bantuan kurang sesuai dengan

jumlah keluarga miskin atau fakir miskin yang ada. Apapun alasannya, maka

program bantuan yang ada menjadi kurang efektif. Seperti penerima BLT-

BBM karena tidak memperoleh Askeskin, maka dana BLT yang

diperolehnya dan seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan

pokok sehari-hari terpaksa digunakan untuk berobat. Penerima Raskin yang

seharusnya bisa menikmati beras enak dengan harga murah terpaksa harus

menjual berasnya itu ke pasar atau ke tetangga hanya untuk membiayai

SPP anaknya yang masih sekolah tetapi tidak memperoleh beasiswa berupa

dana Bantuan Khusus Murid (BKM) atau Bantuan Operasional Sekolah

(BOS).

Penyandang permasalahan sosial seperti fakir miskin yang cacat karena

penyakit kronis (diabetes) dan memiliki beberapa anak yang tidak terawat

karena masalah keterbatasan ekonomi seharusnya memperoleh program

bantuan sebagai fakir miskin, penyandang cacat akibat penyakit kronis serta

program bantuan bagi anaknya, yaitu program bantuan untuk anak terlantar.

Dinas Sosial dan Dinas terkait lainnya telah melakukan upaya

penanganan permasalahan sosial melalui pendataan terhadap rumah tak

layak huni, wanita rawan sosial, keluarga rentan, remaja nakal dan lahan

tidur. Pembinaan dan pelatihan dilakukan pula kepada beberapa jenis

penyandang masalah sosial untuk meningkatkan keterampilan (anyaman)

dan bantuan lainnya berbentuk bantuan kursi roda bagi penyandang cacat

dan bantuan ternak sapi kepada lansia terlantar, walaupun sebagian besar

ternak sapi kini sudah mati akibat terkena wabah penyakit. Dinas Sosial

33Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 40: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

melakukan program bantuan untuk Komunitas Adat Terpencil yang ada

di Desa Talio melalui program pemberantasan buta aksara. Dinas Kesehatan

juga membantu memberikan pelayanan kesehatan melalui kegiatan Posling

dan Posyandu kepada anak-anak terlantar.

Permasalahan sosial yang belum ditangani dengan upaya-upaya tertentu

adalah masalah rumah tak layak huni, khususnya yang berada di Desa Kantan

Muara berjumlah sekitar 96 unit dan di Desa Pangkoh Sari bahkan baru

dalam proses pendataan. Demikian pula keluarga rentan yang sampai saat

ini masih dalam proses pendataan, termasuk permasalahan sosial bagi

penyandang cacat akibat penyakit kronis. Sementara itu, penanganan lahan

tidur sudah dilakukan melalui musyawarah desa maupun sosialisasi, akan

tetapi pelaksanaannya masih terkendala oleh kekurangan modal dan kurang

kompaknya warga masyarakat.

Berkaitan dengan penggunaan kriteria untuk menggolongkan jenis

penyandang masalah sosial (Anak Terlantar, Anak Balita Terlantar, Remaja

Nakal, Lansia Terlantar, Wanita Rawan Sosial, Anak Cacat, Penyandang

Cacat, Anak Yatim/Piatu, Fakir Miskin, Keluarga Rentan dan sebagainya),

tampaknya dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat di dua kecamatan

masih terlihat perbedaan dalam menentukan usia anak dan remaja. Di

samping perbedaan kriteria, penajaman kriteria menjadi sangat penting.

34 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 41: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

35Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

No. JENIS PMKS KRITERIA

1. Fakir Miskin 1. Penghasilan kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari;

2. Tingkat produktifitas KK rendah, karena sebagai pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut;

3. Kondisi rumah / fisik bangunannya tidak layak ditempati (seperti bangunannya bocor, tidak memiliki jendela, lantainya masih beralaskan tanah, ukuran rumah 4 x 4 m dengan anggota keluarga lebih dari 5 orang, dan lain-lain).

4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabatan lainnya.

5. Tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.

2. Rumah Tidak Layak Huni 1. Kepadatan hunian yang cukup tinggi (rumah ukuran 4 x 4 m dihuni lebih dari 5 orang);

2. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan buruk. Bahan atap dari daun, dinding dari seng atau kayu rapuh dengan lantai tanah atau papan (jenis rumah panggung);

3. Ukuran bangunan rumah relatif kecil, yaitu antara 4 x 4 m atau 4 x 6 meter dan umumnya tidak memiliki penyekat ruangan;

4. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih menumpang, baik dengan orangtua/mertua/ kerabat lainnya.

5. Bangunan rumah tidak dilengkapi fasilitas MCK.

3. Wanita Rawan Sosial 1. Usia antara 16 tahun sampai 60 tahun; 2. Status janda ditinggal mati suami atau status belum

menikah; 3. Banyak anak/tanggungan yang belum bekerja; 4. Penghasilan kecil dan tidak dapat mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari; 5. Pengangguran atau tidak ada

pekerjaan/penghasilan sama sekali.

4. Lansia Terlantar 1. Usia di atas 61 tahun; 2. Penghasilan kecil, bahkan tidak ada sama sekali,

sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri;

3. Hidup sendiri atau bersama kerabat/non kerabat, tetapi kurang diperhatikan/perawatan dari sanak-keluarganya, baik karena alasan ekonomi maupun alasan non-ekonomi.

Tabel 1. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) di Kecamatan Pandih Batu

Page 42: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

5. Anak Balita Terlantar 1. Usia 0 – 4 tahun; 2. Kurang gizi dan kondisi sering sakit; 3. Kurang perawatan/perhatian orangtua; 4. Orangtua tergolong kurang mampu secara ekonomi.

6. Keluarga Rentan 1. Keluarga muda yang baru menikah sampai 5 tahun dan kurang serasi (ada di Desa Kantan Muara);

2. Usia nikah sudah 10 tahun dan masih menumpang orangtua/mertua (ada di Desa Gadabung);

3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan.

7. Anak Yatim Piatu 1. Usia antara 5 tahun sampai 16 tahun; 2. Ditinggal orangtua/satu atau kedua orangtua

meninggal; 3. Berasal dari keluarga tidak mampu.

8. Penyandang Cacat Fisik/ Mental

1. Adanya kelainan fisik/mental akibat kecelakaan maupun bawaan sejak lahir (bisu-tuli, kaki pincang, keterbelakangan mental);

2. Fungsi jasmani dan sosial terganggu; 3. Usia di atas 18 tahun

9. Penyandang Cacat Fisik/ Mental akibat Penyakit Kronis

1. Mantan penderita penyakit kronis yang dinyatakan secara medis telah sembuh;

2. Memiliki cacat fisik/mental akibat penyakitnya itu

10. Anak Terlantar 1. Usia 5 – 12 tahun; 2. Kurang perawatan orangtua karena kurang mampu

secara ekonomi; 3. Kurang gizi dan sering sakit-sakitan; 4. Kurang pergaulan dan komunikasi

11. Anak Cacat 1. Usia 5 – 12 tahun dan ada pula yang menetapkan 5 – 18 tahun;

2. Memiliki kelainan fisik dan mental; 3. Memiliki kelainan fisik atau mental saja

12. Komunitas Adat Terpencil (KAT)

1. Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam satu kesatuan fisik dan sosial yang relatif kecil;

2. Lokasi kesatuan fisik dan sosial yang terpencil; 3. Masyarakatnya masih amat terikat dengan

sumberdaya alam dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;

4. Keterbelakangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

13. Remaja Nakal 1. Usia 13 – 1 6 tahun; 2. Perilaku mengganggu lingkungan atau membuat resah

lingkungan. 3. Penghasilan kecil dan tidak mencukupi atau pas-pasan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/penghasilan 10% di atas garis kemiskinan

14. Lahan tidur 1. Lahan tidak digarap pemilik lebih dari 15 tahun; 2. Lahan ditinggal pemilik tanpa ada yang mengurus,

sehingga menghambat perekonomian/produktivitas pertanian, khususnya ada di Desa Pantik

36 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 43: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Tabel 2. Kriteria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) di Kecamata Maliku

No. JENIS PMKS KRITERIA

1. Balita Terlantar 0 – 4 tahun, kurang perawatan dari orang tua/keluarga luas (laki-laki / perempuan)

2. Anak Terlantar 5 – 13 tahun, tidak terlalu diperhatikan dan tidak terpenuhi kebutuhan dasar oleh orang tua/keluarga luas.

3. Anak Nakal 0 – 13 tahun, perilaku mengganggu kebiasaan umum (tetapi tidak masalah karena masih anak-anak, laki-laki/ perempuan).

4. Remaja Laki-laki Nakal 14 – 18 tahun, perilaku mengganggu dan dipermasalahkan.

5. Remaja Perempuan Nakal 14 – 18 tahun, sering begadang.

6. Anak Cacat 5 – 13 tahun, fisik tidak normal, mental tidak normal, terganggu dalam aktifitasnya.

7. Wanita Rawan Sosial Ekonomi

16 – 60 tahun, belum menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar baik jasmani ataupun rohani.

8. Wanita Korban Kekerasan 16 – 60 tahun, disakiti secara fisik dan mental.

9. Lanjut Usia Terlantar Sudah menikah/janda tidak terpenuhi kebutuhan dasar.

10. Lanjut Usia Korban Kekerasan

60 tahun ke atas, dirampas hak-haknya (tergantung lokal).

11. Penyandang Cacat Individu sejak lahir mengalami kelainan fisik dan mental serta karena penyakit kronik.

12. Tuna Susila Hubungan sex dengan lawan jenis berulang-ulang tanpa menikah dan tidak mengharapkan imbalan, baik barang maupun jasa.

13. Bekas Narapidana Orang yang selesai menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat (stigma sama tetapi perlakuan berbeda terhadap pelaku perampokan dan menabrak orang sampai meninggal karena tidak sengaja).

14. Keluarga Fakir Miskin Mempunyai pekerjaan tapi tidak tetap, penghasilan tidak mencukupi, termasuk untuk kebutuhan pangan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (jumlahnya paling besar).

15. Keluarga Berumah Tidak Layak

Rumah ukuran kurang dari 4 x 4 m, dinding dari jabuk (papan lapuk), lantai tanah, atap bocor.

16. Komunitas Adat Terpencil Kelompok orang yang jauh dari keramaian, transportasi hanya dari sungai, kebiasaan tidak berbeda dengan orang dari lokasi lain.

17. Masyarakat yang Tinggal di daerah Rawan Bencana

Kelompok orang yang tinggal di daerah secara fisik dan mental tertekan oleh proses alam dan sosial.

18. Pekerja Migran Terlantar Merantau, pendatang yang mencari kerja di suatu tempat tidak memperoleh yang diharapkan dan menjadi masalah di tempat tersebut.

19. Keluarga Rentan Keluarga yang banyak masalah (sosial, ekonomi, kebiasaan).

37Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 44: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesimpulan dan Saran

Masalah yang menjadi prioritas mendapat perhatian adalah masalah

fakir miskin dan keluarga miskin, rumah tidak layak huni serta Wanita

Rawan Sosial Ekonomi. Melihat kondisi permasalahan tersebut, yang pal-

ing menonjol adalah terkait dengan kemiskinan. Hampir di seluruh desa

masalah kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dihadapi oleh

warga masyarakat.

Masalah kemiskinan yang merupakan masalah terbesar di wilayah ini,

belum diupayakan penanganannya melalui program pemberdayaan secara

maksimal dan berkesinambungan. Program bantuan bagi keluarga miskin

yang tidak seluruhnya mendapat bantuan dan yang sifatnya hanya sesaat

merupakan program yang klise tetapi terus berlangsung. Hal ini tentunya

memerlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini secara

bersama-sama baik antara pemerintah dan masyarakat serta melakukan

program pemberdayaan secara berkesinambungan.

Kondisi kemiskinan terkait dengan keterbatasan atau hambatan-

hambatan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Hambatan tersebut

antara lain terkait dengan infrastruktur, sarana transportasi dan hambatan

dalam upaya pengolahan lahan. Hambatan ini menyebabkan relatif banyak

lahan (lahan tidur) yang tidak dapat diolah oleh masyarakat (petani).

Kemiskinan ini antara lain juga sebagai dampak dari gagalnya proyek lahan

gambut (sejuta hektar lahan gambut), mengingat bahwa lokasi ini merupakan

lokasi transmigrasi.

Permasalahan lain yang ada, berkaitan dengan infrastruktur jalan.

Prasarana jalan ini dianggap penting karena dapat memudahkan pemasaran

hasil pertanian yang sangat potensial bagi masyarakat setempat. Sementara

untuk saat ini, sarana transportasi yang utama di wilayah ini adalah sungai,

transportasi ini relatif mahal khususnya bagi warga masyarakat yang akan

menjangkau wilayah lain maupun untuk memasarkan hasil pertanian dan

perkebunan mereka (dalam bidang pertanian).

Permasalahan lain adalah keterbatasan sarana pendidikan dan

transportasi yang dimiliki daerah, sehingga masyarakat harus menjangkaunya

keluar desa atau kecamatan. Sementara kondisi ekonomi keluarga

menyebabkan anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan akses untuk mendapatkan

38 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 45: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pelayanan kesehatan, merupakan masalah lain yang dihadapi oleh warga

masyarakat karena sarana kesehatan (Puskesmas) hanya ada di Kecamatan

dan Rumah Sakit Umum di provinsi.

Lahan kosong yang dimiliki oleh sebagian warga, bisa menjadi

sumberdaya alam yang potensial jika diolah dengan baik. Mengingat lahan

di wilayah ini dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman jika saja ada

kerjasama yang baik antara pemerintah setempat dengan warga masyarakat.

Keterbatasan dalam hal penyediaan sarana pengolah lahan dan bibit tanaman

merupakan salah satu hambatan dimana lahan yang luas akhirnya hanya

menjadi lahan tidur.

Sementara pada sisi lain, sumberdaya yang masih dimiliki adalah adanya

rasa kebersamaan di antara warga masyarakat, karena mereka merasa sebagai

orang perantauan (transmigran). Kerjasama dalam bentuk tolong menolong

atau gotong royong serta semangat untuk mengolah lahan secara maksimal

merupakan pranata yang dapat dijadikan sumberdaya sosial dari warga

masyarakat di wilayah ini untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Peningkatan kesejahteraan ini tampaknya tidak dapat dilakukan sendiri oleh

masyarakat namun masih diperlukan peran Pemerintah Daerah setempat.

Dengan kata lain, meskipun memiliki keterbatasan modal usaha namun

masyarakat masih memiliki modal sosial berupa rasa kebersamaan atau

tolong menolong dan semangat membangun atau mengembangkan lahan

untuk pertanian dan perkebunan, dalam upaya mengatasi kemiskinan yang

dihadapi.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, diajukan saran-saran sebagai

berikut:

1. Sumberdaya alam yang potensial berupa lahan yang luas dan

sumberdaya sosial yang dimiliki warga masyarakat (keterampilan

dalam bidang pertanian dan beternak serta masih adanya rasa

kebersamaan/tolong menolong) bisa merupakan modal utama dalam

membangun masyarakat setempat. Untuk itu diperlukan kerjasama

yang baik antar Dinas-Dinas Provinsi maupun Kabupaten, guna

membangun wilayah ini secara ber-kesinambungan.

2. Dinas Teknis seperti Pekerjaan Umum, Perumahan dan Permukiman

membangun prasarana jalan, saluran irigasi dan penyediaan perumahan

sosial bagi warga masyarakat miskin. Prasarana jalan dan saluran irigasi

39Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 46: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sangat penting dan diperlukan oleh wilayah ini untuk membangun

ekonomi masyarakat.

3. Berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas Pertanian, Perkebunan,

Peternakan, Kehutanan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sangat

diperlukan untuk meluncurkan program mereka ke wilayah ini.

Masyarakat desa memiliki kemampuan yang potensial dalam hal

pertanian dan peternakan. Hal ini seharusnya didukung dengan pro-

gram pemberdayaan masyarakat di wilayah ini. Mereka siap untuk

memanfaatkan sumberdaya alam (lahan) yang ada namun mereka

sangat memerlukan stimulan berupa peralatan pengolah lahan dan

penyediaan bibit padi, palawija serta karet. Selain itu, perlu dilakukan

sosialisasi pengolahan tanah yang berkesinambungan di tingkat daerah,

mengingat lahan yang digarap di wilayah ini berbeda dengan lahan di

Jawa.

4. Demikian pula halnya dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan

Dinas Kesehatan, perlu meningkatkan kesejahteraan melalui program

perlindungan dan asuransi sosial bagi keluarga miskin. Dinas Kesehatan

diperlukan berkaitan dengan penyediaan air bersih. Dinas Sosial melalui

Direktorat Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga,

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Anak,

Direktorat Lanjut Usia, dan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang

Cacat, dapat berperan melakukan rehabilitasi dan pemberdayaan

masyarakat secara bersama-sama dan berkesinambungan. Hal ini

sangat diperlukan mengingat hasil diagnosis permasalahan sosial di

wilayah ini menunjukkan permasalahan sosial yang menonjol adalah

masalah Kemiskinan (keluarga fakir miskin), Keluarga Rentan, Rumah

tidak Layak Huni, Anak Terlantar, Penyandang Cacat (termasuk Anak

Cacat), dan Lanjut Usia Terlantar.

5. Dinas Koperasi dan UKM diperlukan sebagai lembaga yang dapat

memfasilitasi kredit usaha kecil bagi para petani khususnya terkait

dengan keterbatasan modal usaha mereka dalam mengolah lahan

pertanian atau mengembangkan usaha peternakan mereka.

6. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa

diperlukan secara bersama-sama dan berkesinambungan, sehingga

pemberdayaan dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat desa,

tidak sebagian-sebagian dan sesaat saja. Misalnya program

40 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 47: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pemberdayaan keluarga miskin tidak disarankan untuk memberikan

bantuan tunai berupa uang namun diberikan dalam bentuk barang

seperti traktor, dimana alat tersebut dapat dikelola secara bersama-

sama oleh seluruh warga masyarakat. Bantuan ini tidak berhenti sesaat,

tetapi harus lebih bersifat kesinambungan. Program bantuan atau

pemberdayaan bagi keluarga miskin sebaiknya diberikan untuk seluruh

keluarga yang bersangkutan, baik bagi anak-anak mereka untuk

mendapatkan bantuan beasiswa sekolah (BOS) serta asuransi kesehatan

bagi keluarga yang bersangkutan maupun jaminan sosial bagi keluarga

tersebut.

7. Sosialisasi pendidikan kedaerahan bagi anak-anak di tingkat desa,

dianggap sangat penting, karena anak-anak perlu banyak diberi

pengetahuan tentang daerahnya untuk membangun desa mereka.

Bukan pengetahuan perkotaan atau pengetahuan tingkat nasional yang

diberikan. Bila yang terjadi hal demikian, maka orientasi masa depan

anak-anak akan cenderung memilih pergi ke kota. Merantau menjadi

pilihan pemuda karena mereka tidak lagi mempunyai pengetahuan

kedaerahan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2006. Pulang Pisau dalam Angka tahun 2005. Kerjasama BPS dengan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pulang Pisau.

Dove, M.R. (ed), 1985

Peranan Kebudayaan Tradisional di Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor

Indonesia. Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, 2005

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD).

Riwut, Tjilik, 2003

Maneser Panatau Tatu Hiang, Pusaka Lima, Palangkaraya.

41Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kab. Pulang Pisau

Page 48: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 49: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PETA MASALAH SOSIAL DI BONE:

POTENSI, PROBLEM DAN STRATEGI

PENANGANANNYA1

Drs. Bambang Pudjianto, M.Si 2

ABSTRAK

Pemerintah daerah pada umumnya lebih mengutamakan pembangunan fisik

dan ekonomi di wilayahnya daripada pembangunan kesejahteraan sosial. Memang

tidak bisa dipungkiri bahwa masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah yang

baru dimekarkan adalah masalah infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Namun

kedua hal tersebut sangat terkait dengan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh

masyarakat setempat. Di sisi lain, pada praktiknya jaringan sosial tidaklah begitu saja

menciptakan modal fisik dan modal finansial. Dalam konteks penelitian ini banyak

warga masyarakat yang memiliki pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun sulit

untuk mengakses peluang dan sumber daya melalui jaringan-jaringan yang ada (main-

stream). Akibatnya, pertalian-pertalian sosial yang ada di tingkat lokal tidak secara

langsung mampu memberikan manfaat ekonomis (tingkat kesejahteraan yang lebih

baik), utamanya bagi warga masyarakat menengah-bawah. Jenis penelitian yang dipilihadalah deskriptif, dan alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam,

pedoman FGD, dan peta wilayah Hasil penelitian dapat diketahui, bahwa di wilayah

lokasi penelitian telah memiliki potensi sumber kessos berupa; pranata pendidikan,

pranata sosial, pranata kesehatan, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta

pranata jaringan kerja. Namun dengan berbagai potansi ekonomi, sosial, dan kultural

yang dimilikinya; penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa jenis

permasalahan sosial yang bermuara pada masalah kemiskinan. Karena itu, penting

untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, yaitu agar digunakan strategi

yang berprinsip pada partisipasi masyarakat dengan bersinergi pada peningkatan

fungsi dan peran sumber-sumber lokal.

Kata kunci:

Pranata Sosial, Potensi dan Sumber Daya, Masalah Sosial

1 Diangkat dari penelitian “Diagnosa Permasalahan Sosial di Kabupaten Bone Provinsi SulawesiSelatan dengan anggota Tim : Konsultan Drs. M. Rondang Siahaan; DR Bambang Rudito.Ketua Tim : Drs.Sutaat. Anggota: Dra. Endang Kironosasi, M.Si; Drs. Bambang Pudjianto, M.Si;Dra. Indah Huruswati; Drs. Suyanto. Sekretariat: Dini Khairunnisa, S.Kom

2 Bambang Pudjianto, Kasub Bid. Analisis Kebutuhan Bidang Program Puslitbang Kesos danPeneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, DepartemenSosial RI

43Puslitbang Kesos

Page 50: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Potret Kesejahteraan di Tengah Kelimpahan

Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar

di nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone yang didirikan oleh Manurung

Rimatajang pada tahun 1330, pernah mencapai puncak kejayaannya pada

masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario

Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri

Bontoala, pertengahan abad ke-17 (Abddurazak dkk, 1989:9). Pada masa

itu, masyarakat Bone yang didominasi oleh suku Bugis tersohor bukan

hanya sebagai pelaut dan pedagang yang tangguh, melainkan juga petani

yang ulet, handal dan produktif.3

Cermin kemasyhuran warga Bone dan suku Bugis khususnya dibidang

pertanian masih terlihat sampai sekarang. Data sensus penduduk tahun 2003

menunjukkan bahwa 72,2 persen penduduk Bone berusia 15 tahun ke atas

bekerja dan hidup dari sektor pertanian. Dari jumlah itu, sebesar 97,4 persen

adalah warga suku Bugis. Etos kerja yang tinggi dan sistem pertanian yang

baik membuat Bone di kenal sebagai lumbung padi. Bahkan bukan hanya

di Sulawesi Selatan, melainkan juga di kawasan timur Indonesia.4

Produksi tanaman bahan makanan, terutama padi, selalu surplus.

Hampir setiap kecamatan menjadi penghasil padi. Sentra penghasil padi

berada di Kecamatan Kahu, Barebbo, Sibulue, Bengo, Salomekko, Tonra,

Awangpone, Ajangale, Dua Boccoe, dan Cina. Tahun 2002 Bone

menghasilkan 517.535 ton padi. Sedangkan tahun 2003, menurut estimasi

Dinas Pertanian Kabupaten Bone, meningkat mendekati 560.000 ton. Tanah

yang digarap para petani tidak hanya menghasilkan padi. Produksi jagung,

ubi kayu, kacang hijau, kacang tanah dan kedelai juga berlimpah. Bahkan

tahun 2002 produksi kacang tanah (13.906 ton) dan kedelai (8.760 ton)

merupakan produksi tertinggi di Sulsel. Produksi 84.159 hektar perkebunan

rakyat ikut memperkuat peran sektor pertanian.5 Hasil yang menonjol dari

perkebunan adalah tebu, kakao, kelapa, jambu mete, kemiri, dan cengkeh.

3 lihat profil Bone yang dirilis dalam situs resmi Kabupaten Bone; WWW.Bone.go.id

4 Lihat “Kabupaten Bone dalam Angka tahun 2003” diterbitkan BPS Kabupaten Bone Tahun 2004.5 Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalam

Angka tahun 2003/2004.

44 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 51: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Tebu merupakan bahan baku gula Pabrik Gula Bone dan Pabrik Gula

Camming di Kabupaten Bone.6

Pertanian telah menjadi tiang utama kegiatan ekonomi Bone. Tahun

2002 nilainya mencapai Rp 2,2 trilyun. Yang merupakan 65 persen total

kegiatan daerah. Angka itu lebih kecil dibanding tahun 1999 dan 2000 yang

mencapai 67,7 dan 66,3 persen. Tanaman bahan makanan menjadi

penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Dominannya sektor pertanian

di Bone juga tercermin dari luas wilayah Kabupaten Bone yang sebagian

besar merupakan lahan persawahan dan tegalan. Data BPS tahun 2002

menyebutkan, dari 4.559 km persegi luas Kabupaten Bone, 88.449 ha

merupakan lahan persawahan, 120.524 ha lahan tegalan/ladang, dan 43.052

ha lahan perkebunan. ‘Hanya’ 11.148 ha lahan untuk tambak/empang dan

145.073 ha merupakan hutan.7

Meskipun Bone menjadi daerah sentra penghasil bahan makanan, dalam

mata rantai perdagangan hasil pertanian, para petani yang notabene menjadi

aktor utama produksi dan merupakan mayoritas penduduk Bone justru

tidak bisa menikmati keuntungan yang memadai. Segelintir spekulan dan

tengkulak yang menguasai jalur perdagangan yang justru selama ini meraup

untung besar. Tidak sulit untuk mendapatkan petani Bone yang terlilit hutang

para tengkulak. Akibatnya taraf hidup masyarakat Bone terbilang rendah

jika dibandingkan dengan potensi dan kemampuan berproduksi yang

mereka miliki.

Rendahnya taraf hidup masyarakat Bone terlihat dari hasil survey yang

dilakukan oleh BPS-UNDP pada tahun 2004. Survey ini menyimpulkan

bahwa Human Development Index (HDI) warga Bone tergolong rendah. Yakni

ditunjukkan dengan angka partisipasi bidang pendidikan yaitu hanya 60,7%

(yang seharusnya di atas 80-90%). Partispasi jender dalam ekonomi juga

masih sangat terbatas, dimana wanita bekerja yang berpendapatan hanya

28,1%. Sementara itu life expectation juga rendah, dibawah 65 tahun, dengan

balita penderita gizi buruk yang cukup tinggi, mencapai 27%.8

6 Laporan Litbang Kompas, 22/10/2002,atau lihat juga Laporan BPS-Bappenas-UNDP tentang“The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia” tahun 2004

7 Ibid.8 Ibid

45Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 52: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Data-data tersebut di atas jelas sangat memprihatinkan (terlebih pada

kasus bayi penderita gizi buruk), mengingat posisi Bone sebagai sentra

penghasil padi di Sulsel. Lebih memprihatinkan lagi karena Bone sejak tahun

2000-an, selain unggul di sektor pertanian, kontribusi sektor perikanan juga

tak kalah produktifnya. Pada tahun 1997 misalnya, sektor perikanan telah

menyumbang 9,2 persen pendapatan daerah, dan pada tahun 2001

meningkat menjadi 16,7 persen. Hal ini ditunjang oleh letak geografisnya,

yaitu dari 27 kecamatan di kabupaten Bone, 10 di antaranya memiliki garis

pantai sepanjang 127 kilometer. Ini jelas potensi ekonomi yang sangat

menjanjikan. Namun sebaliknya, jika tidak dimanage secara benar, kasus

pada sektor pertanian tidak mustahil berulang pada sektor perikanan dan

sektor perekonomian lainnya, yaitu sebuah potret buram (kemiskinan) di tengah

kelimpahan. Karena itu, jangan terkaget jika tanpa upaya dan strategi yang

tepat dalam mengatasinya, maka meletusnya berbagai permasalahan sosial

hanya tinggal menunggu waktu saja.

Penelitian ini ditujukan untuk melihat gejala yang muncul akibat fakta

sosial yang dijelaskan di atas. Artinya, bagaimanakah gambaran tentang

potensi dan sumberdaya sosial, ekonomi dan alam di Kabupaten Bone

memberi solusi atas permasalahan penyandang masalah sosial yang timbul

akibat timpangnya strategi pembangunan dengan penguatan sumber daya

lokal selama ini.

46 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 53: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kerangka Fikir

Kelemahan mendasar dari pembenahan struktur perekonomian kita

di tengah masa krisis (baik regional dan nasional) dinilai oleh banyak kalangan

adalah karena diabaikannya variabel kondisi sosial-ekonomi sebagai bagian

dari penyebab krisis. Diantaranya untuk konteks penelitian ini terlihat pada

masalah ketimpangan pembangunan SDM khususnya masyarakat lapisan

paling bawah.9 Artinya, bertambahnya keluarga miskin yang diikuti kemudian

dengan meningkatnya kuantitas dan kompleksitas permasalahan sosial besar

kemungkinan adalah akibat dari ketidakselarasan antara strategi

pembangunan kesejahteraan dengan strategi pembangunan ekonomi dalam

9 Ketimpangan pembangunan masa Orde Baru terjadi dalam bentuk-bentuk: (1) ketimpanganantar golongan ekonomi masyarakat; (2) ketimpangan antara kelompok pengusaha besar-kecil;(3) ketimpangan antar wilayah; (4) ketimpangan antar subwilayah di daerah yang pertumbuhanekonominya tinggi; (5) ketimpangan laju ekonomi antar sektor; (6) ketimpangan antara ekonomiperkotaan dan pedesaan; dan (7) ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia di lapisanmasyarakat bawah. Lihat Adrinof A. Chaniago, 2001:309.

47Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 1 : Peta Kota Watampone, Kabupaten Bone

Page 54: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

praktik. Dengan bahasa lain, bahwasanya masalah kemiskinan dan rawan

sosial-ekonomi adalah karena lemahnya ketahanan ekonomi dan ketahanan

sosial masyarakat (modal sosial) golongan menengah-bawah dalam

menghadapi guncangan besar arus krisis (Adrinof A.Chaniago, 2001:316).

Untuk ukuran tertentu, program-program intervensionis10 dari

pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah diakui menunjukkan kemajuan

dalam beberapa indikator keberhasilan di bidang kesejahteraan, misalnya

dengan penjelasan angka pendapatan perkapita penduduk yang terus

mengalami kenaikan, menurunnya jumlah angka orang buta huruf, angka

kematian bayi semakin dapat ditekan, dan usia tingkat harapan hidup semakin

panjang. Akan tetapi tingkat kesejahteraan tersebut di sisi lain tidak serta

merta dapat menjamin kemampuan dan kualitas hidup mereka secara lebih

baik. Pasalnya ketika arus krisis mendera pelbagai wilayah di Indonesia

(1998- sekarang), hampir semua golongan lapisan bawah dipastikan tidak

mampu “bertahan” di masa krisis tersebut, tidak terkecuali masyarakat di

wilayah kajian ini. Akibatnya pengangguran semakin bertambah cepat,

jumlah keluarga fakir miskin meningkat, menurunnya kadar asupan gizi

dan tingkat kesehatan (cacat), rebaknya anak jalanan dan terlantar, ancaman

eksploitasi seksual komersiil, perdagangan obat-obatan terlarang, dan

seterusnya

Terpaan krisis ekonomi dan dilanjutkan dengan perubahan orientasi

sosial-politik pembangunan nasional melalui bergulirnya masa transisi yang

disebut “era reformasi” tak pelak juga telah memunculkan kembali apresiasi

masyarakat lokal yang (tak lain adalah kelompok masyarakat lapisan

menengah-bawah) terbagi-bagi dalam wilayah kesukubangsaan berusaha

menciptakan akses terhadap sumber daya yang ada di wilayah kesuku-

bangsaannya. Bahkan komuniti-komuniti yang pada awalnya telah atau

hampir “terkubur” di era Orde Baru, mereka berusaha sekuat tenaga

membangun kembali sisa-sisa warisan kejayaan masa lalu dari suku-

bangsanya demi untuk turut bagian dalam sistem pencaharian ekonomi di

era ini (Rudito, 2005:23).

10 Fungsi intervensi sosial, yaitu: (1) prevensi ditujukan untuk mencegah timbul dan meluasnyapermaslahan kesejahteraan sosial dalam kehidupan masyarakat; (2) rehabilitasi, ditujukan untukmemfungsikan kembali dan memantapkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat;(3) pengembangan, ditujukan untuk pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosialmasyarakat melalui pengembangan potensi dirinya. Lihat Bambang Rudito dkk, 2005: 36.

48 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 55: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Karena itu kini hendaknya pendekatan pembangunan ekonomi dan

kesejahteraan perlu memperhatikan secara serius variabel pelapisan

masyarakat baik secara sosial-ekonomi dan antar wilayah, memperkecil

ketimpangan ekonomi antar sektor, serta terus mengupayakan perbaikan

kualitas SDM lapisan menengah-bawah. Jika tidak, kita akan mengulang

kembali kesalahan model pembangunan masa lalu yang pada akhirnya akan

melahirkan tipe-tipe ketimpangan ekonomi, sosial dan politik “versi

terbaru”. Salah satu kekhwatiran yang mengancam adalah kegagalan

mengangkat kualitas hidup penduduk yang mayoritas bekerja di sektor

tradisional (seperti pertanian dan peternakan). Yakni menjadikan sumber

ekonomi sektor tradisional sebagai kekuatan potensial yang dapat

meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial mereka secara proporsional.

Berhadapan dengan kondisi faktual tersebut, maka sepatutya dicarikan

alternatif langkah-langkah dan strategi penanganan yang tidak sepenuhnya

menggantungkan pada anggaran pemerintah. Misalnya dengan melakukan

participatory budgeting forum sebagaimana diamanatkan dalam SE Mendagri

No. 050/987 Tahun 2003 yang menawarkan proses perencanaan

pembangunan secara partisipatif (Rakorbang Partisipatif). Praktiknya, surat

edaran menteri ini masih semata bersifat “himbauan” yang jarang (sulit)

implementasinya dilakukan di lapangan secara tuntas. Padahal dengan

penganggaran keuangan daerah secara partisipatif memungkinkan

penanganan pelbagai masalah sosial dan pembangunan daerah dapat lebih

terarah, obyektif dan lebih berdaya-guna maksimal bagi kebutuhan riil warga

masyarakatnya. Namun, lagi-lagi pedekatan seperti ini terbentur oleh masalah

internal pemerintah desa, kecamatan atau kabupaten yang umumnya para

staf pemerintah tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengelola aset

desa/kecamatan dan dana pendapatan desa/kecamatan dengan baik. Oleh

karenanya, kecenderungan untuk menolak transparansi dan partisipasi sangat

besar, sekalipun desa tidak memilik aset yang cukup untuk melakukan

pembangunan.

Dalam lintasan sejarahnya, suku-bangsa di Bone terkenal gigih dalam

menjaga wilayah teritorialnya, atau dalam bahasa lain sumber daya

perekonomian di wilayahnya. Karena itu penting memper-timbangkan

konteks representasi identitas, golongan, sistem kehidupan lokal, serta

pemerataan pembangunan di setiap kewilayahan.

49Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 56: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Potensi dan Masalah Tanete Riattang : Sebuah Analisa Sosial

Di bandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Bone, kecamatan

Tanete Riattang memiliki keistimewaan tersendiri. Secara geografis, posisi

kecamatan yang tepat berada di tengah Kabupaten Bone memberikan

keuntungan berupa infrastruktur pemerintahan dan layanan publik yang

relatif lebih baik jika dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Posisi

geografis Tanete Riattang yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan

juga membuat kecamatan ini menjadi tujuan bagi warga Bone di wilayah

pinggiran untuk mengadu peruntungan. Akibatnya, secara demografis,

Tanete Riattang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

Secara historis-kultural, Tanete Riattang juga menempati posisi istimewa

di Bone, karena pusat Kerajaan Bone pada masa silam terletak di kecamatan

ini. Tidak mengherankan jika di kecamatan ini pula terdapat cagar budaya

berupa makan raja-raja bone, berbagai peninggalan dan artefak budaya

Kerajaan Bone dan sebuah museum penting yang menyimpan warisan

budaya kebesaran Kerajaan Bone dahulu kala. Tak berlebihan kiranya, jika

kecamatan ini disebut sebagai ‘pewaris sah’ kebudayaan Kerajaan Bone

pada abad pertengahan.

Posisi geografis yang strategis dan warisan kultural yang kaya membuat

Tanete Riattang menyimpan potensi ekonomi yang cukup besar untuk

didayagunakan menjadi keunggulan wilayah. Kelurahan Manurungge dan

Watampone yang dapat dibilang sebagai ‘epicentrum’ Kabupaten Bone

merupakan bagian sentral dari perekonomian Tanete Riattang khususnya,

dan Bone umumnya. Kekayaan warisan kultural seperti rumah adat Bugis

(Bola Somba) di Kelurahan Watampone, Museum Saoraja Lapawawoi

Kr. Sigeri dan makam raja-raja Bone di kelurahan Bukaka juga dapat menjadi

objek pariwisata potensial.11

Hanya di Tanete Riattang, diversifikasi mata pencaharian penduduk

terjadi dalam porsi yang relatif berimbang. Dari sejumlah kelurahan di

kecamatan ini, tiga diantaranya yakni Kelurahan Pappolo, Ta’, dan Walennae

sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Kelurahan-kelurahan

tersebut merupakan kelurahan di wilayah pinggiran kecamatan dengan tingkat

kepadatan penduduk relatif rendah. Dengan lahan yang subur, pertanian

11 Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/pariwisata.php

50 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 57: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

di tiga wilayah kelurahan ini berkembang dengan baik. Sementara itu, di

tiga kelurahan yakni Watampone, Bukaka dan Manurungge, sektor pertanian

bukanlah mata pencaharian utama penduduknya. Kelurahan Bukaka dan

Manurungge bergerak pada perekonomian sektor industri, berbeda halnya

dengan Watampone yang lebih mengandalkan sektor jasa (administrasi)

dan pariwisata. Selain sektor pertanian, jasa dan industri, saat ini Kecamatan

Tanete Riattang juga tengah mengembangkan sektor peternakan sebagai

bagian dari keunggulan wilayah. Beberapa jenis hewan ternak yang menjadi

favorit untuk dikembangkan di wilayah ini adalah antara lain ayam buras,

sapi dan kambing.12

Dengan berbagai potensi ekonomi tersebut, Kecamatan Tanete

Riattang juga menyimpan potensi-potensi sosial strategis lainnya. Sebagai

wilayah yang tergolong ‘perkotaan’, Kecamatan Tanete Riattang memiliki

berbagai pranata yang dapat digunakan sebagai modal bagi peningkatan

dan pengembangan kesejahteraan masyarakat. Beberapa pranata yang telah

tersedia di Tanete Riattang antara lain; pranata pendidikan13, pranata sosial14,

pranata kesehatan15, pranata keturunan dan kekerabatan yang kuat, serta

pranata hubungan dan jaringan kerja yang baik dan mapan.

Namun dengan berbagai potensi ekonomi, sosial dan cultural yang

dimilikinya, Kecamatan Tanete Riattang yang tergolong wilayah ‘perkotaan’

juga tak lepas dari berbagai permasalahan sosial. Walaupun tidak sangat

kompleks, namun berbagai persoalan yang ada tetap membutuhkan

perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah. Karena penanganan

yang setengah-setengah hanya akan membuat permasalahan sosial yang

muncul semakin banyak dan bukan tidak mungkin menjadi semakin

kompleks.

12 Potensi Desa Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2006, atau lihat Bone dalamAngka tahun 2004/2005.

13 Terdapat 74 lembaga pendidikan di Tanete Riattang dengan perincian; TPA/TK 25 buah, SD/MI 34 buah, SMP/MTs 7 buah dan Perguruan Tinggi 4 buah, BPS Kabupaten Bone, 2005.

14 Terdapat 6 jenis pranata sosial, yakni; arisan keluarga (17 buah), PKK (28 buah), dasawisma (39buah), siskamling (28 buah), karang taruna (6 buah), LPM/BPD (8 buah) dan jimpitan (11buah), lihat BPS Kabupaten Bone, 2005.

15 Terdapat 2 puskesmas dan 24 posyandu, 20 dokter, 78 perawat, 16 bidan dan 8 dukun/pengobat tradisional. Tidak terdapat rumah saki di Tanete Riattang, namun jarak dengan RSkabupaten sangat dekat, BPS Kabupaten Bone, 2005.

51Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 58: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 12 jenis permasalahan sosial

yang terjadi di Tanete Riattang, sejak dari masalah anak terlantar, anak

nakal, anak cacat, wanita rawan sosial ekonomi, penyandang cacat, lanjut

usia terlantar, cacat bekas penyakit kronis, napza, eks napi, keluarga fakir

miskin, rumah tidak layak huni, sampai keluarga bermasalah psikologi. Dari

sejumlah jenis permasalahan tersebut, masalah sosial yang berlatar belakang

ekonomi menunjukkan gejala paling dominan. Dari 1520 kasus, terindikasi

80,1% diantaranya merupakan masalah sosial berlatar belakang ekonomi,

yaitu dengan perincian 49,2% (748 kasus) masalah keluarga fakir miskin,

33,6% (512 kasus) masalah wanita rawan sosial ekonomi, dan 7,3% (111

kasus) masalah rumah tidak layak huni. Selebihnya, sebesar 19,9% terbagi

relatif rata dalam 9 masalah sosial lainnya.

Berbagai jenis masalah sosial tersebut di atas merupakan bentuk

ancaman secara ekonomi, sosial dan politik bagi proses pembangunan

kesejahteraan sosial di Tanete Riattang. Celakanya, ancaman ini secara faktual

menjadi lebih besar akibat terbatasnya anggaran belanja daerah bagi upaya

penanganan dan penyelesaian pelbagai jenis PMKS tersebut secara

menyeluruh dan berkesinambungan. Terlebih dana stimulan bantuan sosial

yang diharapkan menjadi bagian dari jawaban persoalan, selama ini masih

sangat tergantung pada alokasi dana dari pusat dan provinsi, membuat

pemerintah daerah tidak dapat secara leluasa dan cepat menyelesaikan

masalah sosial tersebut.

52 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 59: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dipilih adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan

untuk memperoleh gambaran/peta mengenai jenis, kriteria dan lokasi

penyandang masalah sosial serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial

secara kualitatif di Kabupaten Bone. Deskriptif yang dimaksud adalah

mencari dan menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat

dengan menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan

budaya yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Yakni simbol-simbol

penyampaian dan penetapan suatu gejala sosial sebagai kenyataan yang ada

di sekeliling masyarakat dan yang dialami oleh anggota masyarakat. 16

16 Lebih lanjut tentang penelitian kualitatif lihat Matthew B Miles & A. Michael Huberman,“Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru” Jakarta : UI Press, 1992.

53Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Gambar 2. Peta Kecamatan Tanete Riattang,

Kabupaten Bone

Page 60: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bone Kecamatan Tanete

Riantang, Sulawesi Selatan. Kriteria populasi dalam penelitian ini didasarkan

pada penduduk yang menetap di daerah ini, baik dilihat dari jenis kelamin,

jenis pekerjaan yang ada, kriteria penduduk penyandang masalah sosial,

lokasi, dan potensi serta sumber kesejahteraan sosial di Kabupaten Bone.

Sumber data terbagi dalam bentuk sumber data primer, yaitu kategori

perorangan atau individu, kelompok, lembaga/institusi yang berkompeten

yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Sementara sumber data

sekunder mencakup literatur, baik cetak maupun elektronik yang mendukung

tujuan penelitian.

Alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam (indepth

interview), pedoman FGD dan peta wilayah. Data yang berhasil dikumpulkan

diolah secara kualitatif, lalu ditampilkan dalam bentuk tabel. Selanjutnya

dibentuk matrik pemetaan sosial yang menggambarkan permasalahan sosial

dan potensi kesejahteraan. Pendekatan kualitatif yang dimaksudkan disini

adalah untuk melakukan pemetaan sosial, pemetaan terhadap pranata-

pranata sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan

menjadikannya suatu aktivitas rutin serta berkesinambungan dilaksanakan

oleh masyarakat lokal.

Penelitian ini pada dasarnya mempunyai tujuan memetakan masalah

sosial yang ada dan muncul di masyarakat dan ditanggapi oleh masyarakat

itu sendiri sebagai suatu masalah. Untuk mendeteksi masalah sosial diperlukan

suatu pendekatan dan metodologi guna memahami dan memetakan

masalah sosial yang terjadi, yaitu dengan melakukan pendekatan yang sifatnya

kualitatif, karena masalah sosial adalah masalah perasaan, penilaian berdasar

pada norma dan aturan yang menjadi acuan bagi komuniti yang

mengalaminya.

Alternatif Strategi Penanganan Masalah Sosialdi Tanete Riattang

Masalah pokok dari berbagai jenis permasalahan sosial di Tanete

Riattang sebagaimana nampak dalam data di atas adalah persoalan

kemiskinan. Seperti pernah diungkap banyak kajian bahwa menyelesaikan

persoalan kemiskinan tergolong sebagai agenda yang berat dan rumit,

meskipun bukan berarti tak teratasi. Oleh karenanya, penerapan strategi

54 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 61: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

yang jitu yang didasarkan atas bacaan yang tepat dan akurat atas data dan

realita mutlak diperlukan untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.

Kisah sukses beberapa negara atau komunitas dalam mengentaskan

kemiskinan patut untuk ditelaah sebagai pelajaran dan sumber inspirasi.

Banyak analisa yang menyatakan bahwa kemiskinan dipengaruhi banyak

faktor, sejak dari persoalan ketertutupan akses modal, struktur sosial dan

birokrasi yang menindas, pendidikan sampai budaya. Dan karenanya,

penanganan terhadap masalah ini juga membutuhkan berbagai pendekatan.

Namun demikian, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dalam kasus

Tanete Riattang, pelajaran dari Porto Alegre di Brazil dan Grameen Bank

di Banglades dalam mengentaskan kemiskinan patut untuk dijadikan

inspirasi.

Strategi penanganan kemiskinan di Porto Alegre didasarkan atas dua

strategi, transparansi dan partisipasi dalam penyusunan dan pengalokasian

anggaran daerah. Di Porto Alegre, melalui mekanisme local budgeting forum,

setiap warga kota mempunyai hak untuk tahu berapa dan untuk apa

anggaran daerah dialokasikan. Bukan hanya itu, warga juga mempunyai

hak untuk turut menentukan alokasi anggaran daerah tersebut. Hasilnya,

angka kemiskinan di Porto Alegre menurun drastis karena agenda-agenda

utama yang menjadi kepentingan publik seperti pengentasan kemiskinan

mendapatkan prioritas utama untuk didanai. Selain itu, korupsi juga menjadi

tereliminasi yang membuat tingkat kebocoran anggaran untuk rakyat menjadi

kecil.17

Strategi yang diterapkan Grameen Bank (GB) lain lagi. Muhamad

Yunus, sebagai pendiri GB dan juga peraih nobel perdamaian 2006,

berkeyakinan kemiskinan akut yang terjadi di Banglades khususnya daerah-

daerah pedesaan akan dapat diatasi jika dapat dilakukan dua hal; pertama,

akses terhadap modal bagi rakyat miskin dipermudah. Kedua, kaum

perempuan diberdayakan sebagai penggerak roda perekonomian mikro.

Melalui GB, Yunus melakukan dua hal tersebut; memberikan pinjaman

modal bagi kaum papa secara mudah dan tanpa agunan, dan sasaran

pemberian pinjaman itu difokuskan kepada kaum perempuan. Hasilnya,

lebih dari 8000 keluarga yang menjadi nasabah GB terangkat taraf

17 Lihat, Boaventura de Sousa Santos, “Participatory Budgeting in Porto Alegre : Toward a Redistributive

Democracy” Sage Publication, 1998

55Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 62: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

perekonomiannya yang berdampak pada naiknya taraf pendidikan dan

kesehatannya.18

Dua kasus tersebut, mengajarkan kita setidaknya terdapat empat

strategi yang dapat digunakan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di

Tanete Riattang, yakni melalui transparansi anggaran daerah, partisipasi

(melibatkan masyarakat) dalam penyusunan alokasi anggaran, permudah

akses modal bagi rakyat miskin, dan berdayakan perempuan sebagai

leading sector penggerak ekonomi rumah tangga. Pertanyaannya, mungkinkah

hal itu dilakukan? Menurut bacaan saya sangat mungkin!

Pertama, dengan disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002

memberikan peluang bagi setiap kabupaten/kota melakukan inovasi dan

inisiasi dalam pembangunan wilayahnya masing-masing. Berdasarkan UU

ini, daerah (kabupaten/kota) mempunyai kewenangan dan otonomi penuh

untuk mengembangkan kreatifitas membangun daerahnya, diluar lima hal;

pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, fiskal dan agama.

Kedua, Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 050/987 Tahun

2003 yang menawarkan proses perencanaan pembangunan secara

partisipatif (rakorbang partisipatif) membuka peluang bagi terjadinya par-

ticipatory budgeting. Dengan SE ini, ide untuk membuat semacam participa-

tory atau local budgeting forum di tingkat kabupaten ataupun kecamatan

mempunyai pijakan hukumnya.

Ketiga, iklim demokratisasi telah membuka kesadaran masyarakat kitaakan pentingnya transparansi, efektivitas, efisiensi dan tata kelolapemerintahan yang baik. Demokratisasi juga membuat organisasi-organisasisosial masyarakat sebagai bagian dari civil society tumbuh subur, termasuk diKabupaten Bone, khususnya di Tanete Riattang. Instrumen ini penting bagipelaksanaan strategi-strategi tersebut di atas.

Keempat, faktanya dari data penyandang masalah sosial tersebutterdahulu, perempuan merupakan kelompok masyarakat yang cukupdominan menyandang masalah sosial. Padahal jika diberdayakan, akanmenjadi roda penggerak ekonomi keluarga yang sangat efektif.

Dengan berbagai argumentasi tersebut, penerapan strategi pengentasankemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dapat dilakukan. Olehsebab itu, masalahnya bukan lagi seberapa mungkin strategi itu dapat

18 Lihat situs resmi Grameen Bank : www.grameen-info.org

56 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 63: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

diterapkan, melainkan seberapa kuat kemauan kepala daerah dan pihak-pihak terkait melakukannya. Sebagai cacatan, strategi program/kegiatandari pemerintah nantinya selayaknya bersinergi positif dengan pranata-pranata sosial yang ada di masyarakat. Jika nilai, identitas, kultur, pola hidupdan pranata sosial yang ada di masyarakat diabaikan, dikhawatirkan akanmenimbulkan segregasi sosial, ekonomi dan etnik, atau sekurangnya tidakmendapatkan apresiasi masyarakat lokal.

Bercermin dari lingkup masalah sosial dan berbagai strategipenangannya, perlu ditegaskan bahwa target sasaran yang perlu diperhatikanuntuk program penanganan masalah sosial di Tanete Riattang adalah rumahtangga miskin, kelompok perempuan rawan sosial-ekonomi, balita dananak cacat, serta anak nakal dan anak terlantar. Sementara potensi institusilokal yang bisa dioptimalkan adalah kelompok tani/kelompok usaha yangdiharapkan dapat bersinergi dengan KUBE, Kukesra dan Koperasi.Selanjutnya PKK, posyandu, puskesmas dan pengajian yang diharapkanmampu bersinergi dengan dokter dan tenaga medis yang ada serta paratokoh agama; serta karang taruna dan LPM yang menjembatani aksespengambilan keputusan terkait hajat hidup masyarakat di lingkungannya.

Beberapa program dapat digagas untuk menjalankan berbagai strategipenanganan masalah sosial diantaranya; Program Mitra Usaha Mandiri yangmeliputi program penguatan ekonomi produktif bagi keluarga miskin,perempuan dan petani; Program Kesehatan Terpadu yang meliputipenyuluhan balita sehat, pembinaan penyandang cacat, bina anak terlantardan tuna susila; Program Peningkatan Kualitas Layanan Panti dan Programpenyediaan database PMKS melalui sejumlah penelitian dan pengkajian.

KesimpulanTanete Riattang sebagai salah satu kecamatan utama di Kabupaten

Bone memiliki potensi ekonomi, sosial dan budaya yang cukup strategisuntuk dikembangkan. Potensi ekonomi yang perlu untuk terusdikembangkan di Tanete Riattang terutama berada pada sektor pertanian,industri dan jasa (administrasi), termasuk sektor peternakan. Untuk potensisosial Tanete Riattang terutama pada ketersediaan berbagai pranata yangcukup lengkap yang dapat digunakan sebagai instrumen penting dalammenangani berbagai permasalahan sosial. Selain itu, berbagai keunggulandemografis dan geografis juga menjadi modal sosial tersendiri yang dapatdimanfaatkan bagi pengembangan kecamatan ini ke depan. Disampingtentunya potensi budaya Tanete Riattang berupa berbagai peninggalan

57Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 64: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

budaya Kerajaan Bone yang dulu memang berlokasi di kawasan TaneteRiattang.

Selain memiliki berbagai potensi unggulan, Tanete Riattang tidak lepas

dari sejumlah permasalahan sosial yang patut untuk segera ditangani. Dari

sejumlah masalah tersebut (12 jenis PMKS), maka masalah kemiskinan

menjadi problem utama dan mendesak yang harus segera ditangani bersama

oleh pemerintah dan masyarakat. Ditilik dari diterminan kemiskinan,

disamping disebabkan oleh kebijakan internal yang tidak kondusif bagi

penguatan perekonomian lokal, tampaknya tergesernya fungsi dan rapuhnya

peran jaringan pranata sosial-ekonomi semakin memperburuk ketahanan

ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dengan demikian sebenarnya

penguatan ketahanan sosial ekonomi tidak cukup dengan menemukan apa

saja modal sosial yang ada, tetapi lebih luas lagi bagaimana menggalang

kekuatan untuk mengembangkan jaringan lokal (desa) guna lebih berdaya

dan tetap kokoh di tengah derasnya terpaan perubahan global.

Karena itu penting untuk menangani berbagai masalah tersebut

utamanya masalah kemiskinan, agar digunakan strategi yang berprinsip pada

transparansi, partisipasi, mempermudah akses modal bagi rakyat miskin

dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan

fungsi dan peran sumber-sumber kesejahteraan sosial lokal melalui;

1. Peningkatan kualitas SDM para penggiat pranata sosial dan ekonomi

melalui pelatihan para pengurus perkumpulan sosial-ekonomi,

organisasi sosial berbasis okupasi (mata pencaharian pokok di tingkat

lokal) yang umumnya cukup eksis di wilayah ini, serta organisasi sosial

berbasis jender yang meskipun kegiatannya mengalami pergeseran

(PKK dan Posyandu) tetapi perannya masih cukup efektif bagi

peningkatan kualitas hidup utamanya warga miskin.

2. Mempermudah akses modal bagi rakyat miskin dan perempuan

melalui bantuan stimulan yang digulirkan secara proporsional dan

merata. Serta menekan rebaknya spekulan dan para tengkulak (rentenir)

yang memainkan “nilai hasil produksi” para petani/usaha kecil lokal.

3. Membentuk kelompok jaringan atau forum bersama antar kelompok

sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan seterusnya sebagai

wadah edukasi, tukar informasi, termasuk menjadi embrio bagi

terbentuknya semacam local budgeting forum.

58 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 65: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

4. Pengawasan secara berkesinambungan baik dari pemerintah daerah,

provinsi dan pusat, maupun kalangan masyarakat untuk menjamin

terlaksananya program sesuai dengan maksud dan tujuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adrinof A. Chaniago, 2001, “Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi

Politik terhadap Akar Krisis Indonesia”, Jakarta: LP3ES.

BPS (Statistic Indonesia)-Bappenas-UNDP, 2004, tentang The Economics of

Democracy: Financing Human Development in Indonesia.

Christiaan Grootaert, Deepa Narayan, Veronica Nyhan Jones, dan Michael

Woolcock, “Measuring Social Capital: An Integrated Question-

naire,” The International Bank for Reconstruction and Develop-

ment/The World Bank, November, 2003, dalam http://

www.mapl.com.au/A13.htm.

Deepa Narayan and Michael F. Cassidy, “A Dimensional Approach to

Measuring Social Capital: Development and Validation of a Social

Capital Inventory,” Current Sociology, March 2001, Vol. 49(2). Lihat

http://www.mapl.com.au/A13.htm.

Ian Winter, “Towards a theorized understanding of family life and social

capital,” Australian Institute of Family Studies, Working Paper No.

21, April 2000, dalam http://www.mapl.com.au/A13.htm.

Kabupaten Bone Dalam Angka, 2005, Badan Pusat Statistik Kabupaten

Bone.

Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Bone, dalam http://www.bone.go.id/

pariwisata.php

Rudito, Bambang dkk., 2005, “Peta Permasalahan Sosial di Kabupaten

Sebatik”, Litbang Depsos RI.

Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan

Model Sistem Keterjaminan Sosial, 2003, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

59Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 66: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Lampiran

Gambar 3. Kelurahan Pappolo, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 4. Kelurahan Walannae, Kecamatan Tanete Riattang

60 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 67: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Gambar 5. Kelurahan Bukaka, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 6. Kelurahan Manurungnge, Kecamatan Tanete Riattang

61Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 68: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Gambar 7. Kelurahan Ta, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 8. Kelurahan Watampone, Kecamatan Tanete Riattang

62 Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 69: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Gambar 9. Kelurahan Masumpu, Kecamatan Tanete Riattang

Gambar 10. Kelurahan Biru, Kecamatan Tanete Riattang

63Puslitbang Kesos

Peta Masalah Sosial di Bone

Page 70: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 71: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DIAGNOSA PERMASALAHAN SOSIAL DI

KECAMATAN TOMOHON TENGAH

KOTAMADYA TOMOHON - MINAHASA1

Rusmiyati, SE 2

ABSTRAK

Kotamadya Tomohon sebagai salah satu kota yang baru memisahkan diri

dengan Kabupaten Minahasa memiliki berbagai permasalahan yang perlu

mendapatkan perhatian. Masalah dimaksud adalah belum tersedianya data (database)

yang akurat sebagai bahan untuk menyusun rencana program pembangunan wilayah.

Penelitian ini secara deskriptif mencoba menggambarkan kondisi dan permasalahan

kesejahteraan sosial yang ada di wilayah Kotamadya Tomohon, khususnya diKecamatan Tomohon Tengah yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan, yaitu Kelurahan

Talete Satu, kelurahan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan Matani Dua,

Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan Kelurahan Kolongan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah-masalah kesejahteraan sosial

sebagian besar bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, yang antara

lain disebabkan oleh merosotnya pendapatan bidang pertanian. Sementara itu untuk

beralih ke luar sektor pertanian belum didukung oleh kondisi SDM yang memadai.

Oleh karena itu, masalah kemiskinan dan masalah lain yang terkait cukup dominan

di wilayah ini, misalnya fakir miskin, rumah tidak layak huni, lanjut usia terlantar, dan

keluarga rentan. Untuk itu penelitian ini mengajukan rekomendasi antara lain: (1)perlunya program pemberdayaan fakir miskin sesuai dengan kondisi setempat; (2)

penanganan masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman pengembangannya, perlu

penanganan yang lebih tuntas; dan (3) perlu membangun kepedulian masyarakat

terhadap lingkungannya, serta meningkatkan kapasitas Potensi dan Sumber

Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan dalam pembangunan kesejahteraan

sosial di lingkungannya.

Kata kunci:

Masalah Sosial, Kemiskinan

1 Diangkat dari penelitian “Diagnosa Permasalahan Sosial di Kecamatan Tomohon Tengah

Kotamadya Tomohon, Minahasa, dengan Tim: Drs. Ahendy Priatna, M.Si, Drs. Agus DairoBeke, MM, dan Rusmiyati, SE.

2 Rusmiyati, staff Subbid Perencanaan dan Anggaran, Bidang Program, Puslitbang Kessos

65Puslitbang Kesos

Page 72: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Perubahan sistem pemerintahan dalam negeri dengan sistem otonomi

daerah membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap permasalahan

sosial secara lokal. Jika pemerintahan sebelumnya (Zaman Orde Baru)

bersifat sangat power oriented yang bernuansa pelestarian rezim kekuasaan,

tidak memberi ruang gerak pada masyarakat, dan semua harus menunggu

perintah penguasa, maka kini semuanya berubah dalam bentuk keterbukaan,

dan dengan demikian semua permasalahan yang selama ini terpendam secara

terselubung muncul keper mukaan.

Otonomi daerah merupakan jembatan menuju kemajuan suatu daerah,

tetapi dibalik itu merupakan sumber masalah baru, yaitu dengan munculnya

masalah lain berupa berbagai konflik kepentingan di setiap daerah otonom.

Persoalan-persoalan muncul secara estafet dan ragamnyapun semakin

banyak, sejalan pula dengan perkembangan suatu daerah (Otonom), bobot

permasalahan baik secara kuantitas maupun kualitas cenderung meningkat.

Tiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda sesuai kondisi

daerah masing-masing. Jika digeneralisir permasalahan setiap daerah akan

terlihat adanya permasalahan yang serupa, hanya motifnya yang berbeda-

beda. Sebagai contoh: kenakalan remaja, mabuk-mabukan, narkoba dan

sebagainya hampir terjadi di semua daerah.

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, tantangan yang

dihadapi oleh pemerintah daerah Kota Tomohon menjadi semakin besar

dan bertambah. Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk melaksanakan

pembangunan dibidang kesehatan dan kesejahteraan sosial serta

menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat dalam ruang lingkup

bidang tersebut dengan sumber daya atau potensi yang terbatas, baik dari

sisi SDM, sarana dan prasarana maupun dari sisi anggaran.

Sebagai upaya untuk menggali sumber permasalahan dapat dilakukan

melalui suatu pengkajian berdasarkan kondisi daerah masing-masing. Upaya

memaparkan dan mendiagnosa permasalahan di setiap daerah bertujuan

untuk memperoleh suatu pemahaman tentang sumber dan motif

permasalahan yang dikaji berdasarkan struktur sosial, kondisi eknonomi

politik dan budaya masyarakat di masing-masing daerah. Ilustrasi diatas

memberi gambaran bagaimana permasalahan masyarakat di berbagai

daerah dengan perbedaan kondisi geografis, struktur masyarakat, budaya

66 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 73: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dan nilai masyarakat setiap daerah mewarnai jenis dan jumlah permasalahan

yang terdapat dimasing-masing daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan pokok penelitian ini adalah

bahwa daerah belum memiliki data yang akurat tentang Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) serta Potensi dan Sumberdaya

Kesejahteraan Sosial (PSKS). Oleh karena itu, masih mengalami hambatan

dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang

responsif terhadap kondisi yang ada.

Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang sempurna

tentang permasalahan sosial, baik tentang potensi penyebab tumbuh

kembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat maupun

kuantitas dan kualitas permasalahan kesejahteraan sosial di wilayah penelitian.

Permasalahan sosial terjadi dimana-mana di seluruh wilayah

Indonesia dengan faktor dan tingkat frekuensi yang berbeda-beda.

Munculnya anekaragam permasalahan sosial tersebut bila didiagnosa lebih

mengacu pada kasus sebab akibat, artinya masalah itu timbul karena ulah

manusia, dan ketika manusia menangani masalahnya disitu timbul masalah

lagi sehingga semakin lama semakin membesar ibarat bola salju (snow ball)

dan berkarakter masalah yang akan menimbulkan masalah yang lain.

Permasalahan sosial bersumber dari faktor internal yakni suatu sistem

sosial yang menunjuk gejala ketimpangan struktural di masyarakat dalam

penanganan permasalahan, sedangkan faktor eksternal lebih mengacu pada

kebijakan pemerintah yang diwarnai dengan intervensi pemerintah melalui

program di berbagai sektor. Akibat dari intervensi pemerintah yang sangat

dominan, pada akhirnya menimbulkan permasalahan, misalnya: pertama,

tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat

tinggi, sehingga ketika masyarakat sedikit mengalami masalah, harapannya

adalah menunggu bantuan pemerintah. Kedua, kemandirian menjadi hilang

sehingga pola membantu mereka agar menolong dirinya sendiri jadi hilang.

Dampaknya menimbulkan masalah baru yang secara proses dimulai dengan

ketiadaan kepercayaan diri untuk bangkit berupaya keluar dari masalah,

berpasrah menerima keadaan apa adanya.

Individu-individu atau masyarakat yang mengalami masalah dalam

mewujudkan kesejahteraan sosial dikenal sebagai Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ada 27 jenis PMKS yang telah diidentifikasi

67Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 74: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Departemen Sosial, antara lain: balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan,

anak cacat, anak korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah, anak

nakal, wanita rawan sosial ekonomi, wanita yang menjadi korban tindak

kekerasan, lanjut usia terlantar, lanjut usia korban tindak kekerasan atau

diperlakukan salah, penyandang cacat, penyandang cacat bekas penderita

penyakit kronis, tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas narapidana,

korban penyalahgunaan napza, keluarga fakir miskin, keluarga berumah

tak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat

terpencil, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, korban bencana

alam, korban bencana sosial, pekerja migran terlantar, penyandang HIV/

AIDS, dan keluarga rentan (Pusat Data dan Informasi Depsos, 2002).

Suatu hal yang erat kaitannya dengan PMKS adalah sumber

kesejahteraan sosial. Pengertian sumber menurut Max Siporin (Sukoco,

1991), adalah sesuatu yang bermanfaat, dapat dimobilisasi dan dapat

digunakan sebagai alat dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian

masalah. Setiap masyarakat mempunyai berbagai potensi dan sumber antara

lain sumber daya alami, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial.

Untuk mempertahankan kehidupannya, suatu masyarakat memanfaatkan

dan mengorganisasikan semua sumber daya ini dalam berbagai aktivitas

seperti aktivitas ekonomi, sosial, politik, keagamaan, kesenian, gotong royong

dan sebagainya. Di dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial,

potensi dan sumber kesejahteraan sosial merupakan faktor kekuatan/modal,

sedangkan masalah kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai faktor

kelemahan atau tantangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap

masyarakat tidak hanya mempunyai kelemahan atau tantangan, tetapi juga

potensi dan sumber yang merupakan kekuatan diri untuk menghadapi

kelemahan atau tantangan. Namun demikian tidak semua golongan atau

masyarakat mampu memanfaatkan sumber dengan baik. Dalam hal yang

demikian diperlukan pihak luar untuk menyadarkan dan mendorong

masyarakat untuk memanfaatkan sumber yang ada secara maksimal.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan maksud mencari dan

menggali persepsi yang ada dan berkembang di masyarakat dengan

menggali kenyataan sosial yang ada dan mengkaitkannya dengan budaya

yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Tehnik pengumpulan data

68 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 75: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

menggunakan: data sekunder, wawancara mendalam: dengan masyarakat

umum, penyandang masalah, tokoh masyarakat (formal atau informal)

dan juga aparat setempat, dan observasi terhadap kondisi fisik lokasi, tata

kehidupan masyarakat setempat (masyarakat lokasi penelitian), pola hidup

(kegiatan ekonomi) potensi geografis wilayah dan sumber daya manusianya

serta faktor-faktor lain yang berkaitan.

Gambaran Lokasi Penelitian

1. Kondisi Wilayah

Jumlah penduduk miskin berdasarkan data Bapeda Kota

Tomohon (Maret 2005) berjumlah: 6938 KK atau mencapai 16,02%.

Hal ini memberi indikasi bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan

penduduk miskin yang nantinya berdampak pada masalah sosial dan

kesehatan. Meningkatnya kasus-kasus penyakit pada akhir-akhir ini

seperti demam berdarah dengue (DBD) 14 kasus, malaria: 217 kasus,

TB paru klinis: 763 kasus, Hipertensi: 3860 kasus, diabetes militus:

362 kasus. Hal ini diakibatkan kesadaran masyarakat terhadap

lingkungan sehat belum optimal, serta gaya hidup cenderung berpesta-

pesta dengan ungkapan ”Kalau ada tada kalau tidak haga ” akhirya

berdampak pada kesehatan dan masalah sosial.

Meningkatnya pengangguran dan permasalahan sosial lainnya

dikarenakan minimnya pendidikan formal dan keterampilan anak-

anak putus sekolah, dimana data menunjukkan anak terlantar sebanyak

6900 orang, anak nakal: 1236 anak. Anggapan masyarakat bahwa

permasalahan sosial adalah tanggung jawab pemerintah. Penyandang

masalah kesejahteraan sosial pada umumnya mengalami masalah

kemiskinan dan kondisi ketidakberdayaan fakir miskin dapat dilihat

dari tidak adanya alternatif individu, keluarga dan komunitas dalam

menentukan pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup dan

kesejahteraannya.

Kecamatan Tomohon Tengah terletak pada ketinggian 1000

meter dari permukaan laut dengan suhu udara 28 derajat celcius.

Kondisi lingkungan masyarakat kondusif, tentram dengan penduduk

mayoritas homogen. Jarak ke Ibu Kota Tomohon 2,5 km dengan

waktu tempuh 5 menit, dari ibukota provinsi sekitar 25 km, dan

69Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 76: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dengan sarana transportansi umum yang relatif lancar dan memadai.

Kecamatan Tomohon terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu Kelurahan

Talete Satu, Kelurhan Talete Dua, Kelurahan Matani Satu, Kelurahan

Matani Dua, Kelurahan Matani Tiga, Kelurahan Komasi, dan

Kelurahan Kolongan. Jumlah penduduk seluruhnya sekitar 18.556 jiwa,

sebagian besar (90%) beragama Kristen Protestan, sebagian lainnya

Katholik, Islam, dan Budha.

2. Potensi dan Sumber Alam

Hasil yang saat ini diperoleh dari pengolahan tanah berupa hasil

pertanian tanaman padi dan palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi

jalar, kacang tanah dan kacang kedelai. Sedangkan produksi padi pada

tahun 2004 menghasilkan padi sekitar 6.995 ton. Produksi tanaman

sayuran tahun 2004 mencapai 9.839 ton, produktivitas tertinggi

didominasi oleh tanaman terong sebesar 162,74 kw/ha. Sedangkan

produksi tanaman perkebunan terdiri dari kelapa, cengkeh, vanili, kopi,

dan kakao. Produksi tanaman perkebunan terbanyak adalah kelapa

mencapai 729,125 ton. Untuk tahun 2004, sektor peternakan populasi

terbesar terdiri dari sapi, kuda, kambing dan babi.

Melihat potensi alam, terutama hasil pertanian dan perkebunan,

pasang surutnya tampak tergantung dari luas lahan yang semakin

menyempit dikarenakan banyak pembangunan permukinan penduduk,

mini market dan mall.

3. Agama dan Kepercayaan

Agama yang dianut penduduk Kecamatan Tomohon Tengah

mayoritas beragama Kristen Protestan. Dan sebagian lainnya beragama

Katholik, Islam, dan Budha. Dengan demikian di lokasi kajian sarana

ibadah yang paling menonjol adalah Gereja. Di Kecamatan Tomohon

Tengah hanya terdapat sarana ibadah umat Islam, yaitu satu buah

Masjid. Semua tempat ibadah tersebut merupakan usaha swadaya

masyarakat. Saat ini semuanya masih dalam kondisi bagus dan masih

digunakan sebagai tempat untuk ibadah umat penduduk di wilayah

Kecamatan Tomohon Tengah.

Kelompok-kelompok yang terkait dengan keagamaan yang ada

di Kecamatan Tomohon Tangah adalah kelompok kebaktian gereja.

70 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 77: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kegiatan yang dilakukan kelompok ini diantaranya adalah mengadakan

kebaktian.

4. Sarana Pendidikan

Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana

pendidikan yang relatif cukup lengkap, dari mulai TK sampai

pergurunan tinggi. Sekolah negeri yang dimiliki wilayah ini adalah SD

(3 buah), SLTP (3 buah), dan satu perguruan Tingga Negeri. Sedangkan

sebagian lainnya yang jumlahnya relatif lebih banyak adalah sekolah

atau perguruan tinggi swasta, yakni terutama yang dikelola oleh yayasan

atau perkumpulan agama.

71Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

No. Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah

1. TK Swasta 13

2. SD Negeri 3

3. SD Swasta 9

4. SLTP. Negeri 3

6. SLTA. Swasta 7

7. PT.Swasta 5

8. PT.Negeri 1

9. Akademi Swasta 2

10. SLB 1

11. Sekolah Kursus Montir 3

12. Kursus Menjahit 7

13. BLK 1

Tabel 1. Sarana Pendidikan di Kecamatan Tomohon Tengah

5. Kesehatan

Untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan/perawatan kesehatan

masyarakat di Kecamatan Tomohon Tengah, umumnya penduduk

memanfaatkan sarana kesehatan yang telah ada dan letaknya relatif

cukup dekat.

Masing-masing Puskesmas maupun Balai Pengobatan Jemaat

Gereja maupun rumah sakit swasta (dibawah yayasan gereja) di

Kecamatan Tomohon Tengah saat ini memiliki seorang Dokter,

Perawat, dan Bidan dan para medis/perawat.

Page 78: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

6. Ekonomi

Sebagai daerah perkotaan, Tomohon Tengah mempunyai sarana

ekonomi yang cukup lengkap, misalnya warung/toko, pasar, mall/

swalayan dan sebagainya. Secara lebih rinci sarana ekonomi yang ada

dapat dilihat pada tabel 3. Oleh karena itu, kebutuhan sandang dan

keseluruhan bahan pangan masyarakat Tomohon Tengah mudah

diperoleh dari pasar di lingkungan sekitar. Selain belanja langsung di

pasar yang ada di wilayah kecamatan tersebut, masyarakat juga belanja

di Mall dan juga di Minimarket/Supermarket yang banyak bertebaran

di wilayah ini khususnya di Kota Tomohon.

72 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Kelurahan No. Jenis Fasilitas Kesehatan

a b c d e f g

1. Apotik - 1 - 1 1 - 1

2. Rumah sakit 1 1 1 1 1 -

3. Posyandu 2 1 1 2 2 1 2

4. Dokter Praktek Bersama 2 - - 1 1 1 1

5. Dokter Umum 1 - 2 1 1 1 -

6. Dokter Gigi 1 - 1 1 2 1 2

7. Dokter Mata 1 1 - - 2 1 -

8. Dokter THT 1 - - 1 1 1 -

9. Dokter Kulit 1 - 1 - 2 1 1

10. Dokter Jiwa - 1 1 - 2 1 -

11. Dokter Hewan 1 - 1 1 3 1 -

12. Bidan 1 1 2 1 2 2 1

13. Mantri Kesehatan 1 - 1 1 1 - 1

14. Dukun Bayi - 1 1 - 2 1 1

15. Puskesmas - - - - 1 2 -

16. Puskesmas Pmbantu - - 1 1 - - -

17. Toko Obat 1 1 2 - 2 1 3

18. Dukun - - - - - 2 - Keterangan: a = Kel. Talete 1 c = Kel. Komasi e = Kel. Matani 1 g = Kel. Matani 3

b = Kel. Talete 2 d = Kel. Kolongan f = Kel. Matani 2

Tabel 2. Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Tomohon Tengah

Page 79: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Permasalahan Kesejahteraan Sosial

Fakir miskin merupakan masalah yang sangat menonjol di Tomohon

Tengah. Warga masyarakat yang digolongkan sebagai keluarga miskin

didasarkan pada tingkat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya sehari-hari serba kekurangan, kondisi bangunan rumah yang

tidak layak huni, serta tingkat produktivitas kepala keluarga rendah dan

kondisi lain yang tidak mendukung. Kriteria atau pengkategorian warga

masyarakat miskin menurut kondisi lokal adalah sebagai berikut:

a. Penghasilan kecil/tidak tetap dan tidak dapat memenuhi kebutuhan

hidup keluarganya.

b. Tingkat produktivitas Kepala Keluarga yang rendah, karena sebagai

pencari nafkah utama sudah memasuki usia lanjut/pensiun.

73Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Kelurahan No.

Jenis Fasilitas

Kesehatan a b c d e f g

1. Warung/Kios 14 10 44 - 8 62 7

2. Koperasi 1 - - 2 1 2

3. Super Market/Toko 6 6 13 - 6 1 5

4. Bank - - - 1 1 - 3

5. Usaha bersama 1 - - 1 - - -

6. Kel.Simpan Pinjam 2 - - 1 - - -

7. Badan Kredit Desa - - - 1 - - -

8. Lumbung Pitih Nagari - - - 1 - - -

9. Usaha Industri Kecil - - - 5 - - -

10. Usaha Industri RT 1 - - - - - -

11. Diskotik 4 2 - 1 - - -

12. Karaoke 5 2 - 2 - - -

13. Rumah Bilyar 3 2 - 3 - - -

14. Gdg.Bioskop - - - 1 - - -

15. Hotel/Motel 2 2 - - 9 - 3

16. Restoran 5 4 - 7 - 3

17. Losmen 2 3 2 - 3 - 3

18. Pasar 1 1 - - 2 - -

19. Biro Perjalanan 1 - - - 1 - 1

20. Cafe 4 3 2 - - - 2

21. Mess/asrama - - 3 - - - -

Tabel 3. Fasilitas Ekonomi PendudukKecamatan

Tomohon Tengah

Page 80: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

c. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh dan sangat buruk dan bahan

atap dari seng yang sudah tua atau menggunakan kayu yang sudah

rapuh dengan lantai tanah atau papan.

d. Status kepemilikan bangunan rumah sebagian adalah masih

menumpang dan kontrak/sewa baik dengan orang tua/mertua

maupun kerabatan lainnya.

e. Ukuran bangunan rumah relatif kecil yaitu antara 5 x 4 meter atau 5

x 6 meter dan biasanya tidak mempunyai perekat ruangan.

Sebenarnya secara jujur Wilayah Minahasa (termasuk Tomohon)

tidaklah pantas menyandang predikat fakir miskin, karena umum sudah

mengetahui bahwa wilayah ini merupakan daerah subur, masyarakatnya

intelek dan penghasil cengkeh terkenal. Namun munculnya permasalahan

ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:

a. Pertama-tama berawal dari anjloknya harga cengkeh beberapa tahun

silam sehingga semangat masyarakat petani cengkeh turun drastis,

dengan demikian sumber penghasilan dari cengkeh tidak lagi

menjanjikan.

b. Diikuti oleh kondisi rawan bencana yang juga meliputi daerah

perkebunan cengkeh sehingga muncul kekhawatiran para petani

sehingga tidak lagi menggarap lahan perkebunannya.

c. Karena pergeseran gaya hidup dengan perkembangan kota desa

sehingga masyarakat lebih cenderung beralih ke pola hidup kota (mod-

ern).

d. Kurangnya dukungan Pemda setempat bagi kaum petani sehingga

dengan mudah para petani begitu saja meninggalkan lahan

pertaniannya. Seandainya dimotivasi agar beralih tanam hal ini masih

memungkinkan adanya alternatif penghasil lain selain cengkeh.

Ketika para petani beralih profesi menjadi pedagang, atau pengusaha

rumah tangga, mereka tidak siap untuk itu sehingga alternatif pilihan adalah

menjadi pekerja di Mall, Supermarket, Pertokoan dan sebagainya. Namun

kendala lain yang dihadapi, yaitu tidak memiliki keterampilan yang memadai,

dan lagi pula lapangan kerja yang tersedia di perkotaan tidak memadai

dengan jumlah pencari kerja. Akhirnya secara proses jumlah fakir miskin

sedikit demi sedikit mulai membengkak.

74 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 81: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

75Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Kelurahan No. Jenis PMKS

a b c d e f g

1. Anak Nakal 33 - - 75 - - -

2. Anak Jalanan 16 - - - - - -

3. Anak Cacat 4 - - - - - -

4. Wanita Rawan Sosek 4 6 - 54 - - -

5. Penyandang cacat 21 9 - 28 25 16 15

6. Eks Napi 10 6 - 6 - - -

7. Kel.Fakir Miskin 106 109 258 215 96 126 166

8. Kel.Rmh tdk layak 38 20 24 30 - - 20

9. Kel.Rentan 24 - - - - - -

10. Pengungsi 3 - - - - - -

11. Anak Terlantar - 24 50 40 16 60 -

12. Wanita Krbn Kekerasan - 16 15 97 16 10 26

13. LU Terlantar - 30 55 10 25 115 96

14. Rawan Banjir - - - 46 - - 50

15. Korban benc. Alam - - - 15 - - -

16. Kel.Bermasalah Sos. Psik. - - - 2 - - -

17. Eks.Pnykt Kronis - - - 10 - - -

Tabel 5. Data Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial

(PSKS) di Setiap Kelurahan

Kelurahan No. Jenis PSKS

a b c d e f g

1. Arisan 2 1 1 3 2 1 1

2. PKK 2 2 1 1 2 1 1

3. PSM - - - 1 1 1 -

4. Orsos Kemasy. 4 4 5 2 1 4 2

5. Karang Taruna 1 - - - 1 2 -

6. Orsos 1 2 1 - 2 1 1

7. LKMD 1 2 1 1 2 1 1

8. Org. Pemuda 2 1 1 1 1 1 1

9. Dunia Usaha Peduli Kesos 1 - - - 1 1 1

10. Panti Asuhan - 2 - - - - 1

11. Koperasi 2 - - - - - -

12. Org. Profesi 8 2 1 1 - - 1

13 Panti Werdha - - - - 1 - -

14 Rmh Jompo - - - - 1 - -

Tabel 4. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) di Setiap Kelurahan

Page 82: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Rumah tidak layak huni di beberapa kelurahan hampir sama dengan

kondisi di kelurahan lainnya yang ada di wilayah Kecamatan Tomohon

Tengah yaitu Kelurahan Talete I dan II, Kelurahan Matani I, II, III, Kelurahan

Komasi dan Kelurahan Kolongan. Jumlah rumah tak layak huni pada

kelurahan yang mempunyai permasalahan ini berkisar antara: 20 hingga 30

keluarga. Rumah-rumah tersebut adalah rumah dalam bentuk rumah asli

Minahasa yang sebagian besar terbuat dari kayu. Karena ketiadaan biaya

perbaikan, maka rumah–rumah ini semakin lama semakin rusak dan

kondisinya tampak tidak layak huni. Para penghuninya tidak punya

kemampuan untuk memperbaiki rumah–rumah tersebut sehingga melapor

dan meminta bantuan melalui dinas sosial setempat. Kriteria rumah tidak

layak huni menurut kondisi lokal, sebagai berikut:

a. Jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan luas rumah

b. Kondisi bangunan rumah sudah rapuh

c. Ukuran bangunan rumah relatif kecil

d. Status kepemilikan bangunan rumah masih menumpang

e. Kurangnya perlengkapan fasilitas MCK.

Wanita korban tindak kekerasan terdapat hampir di setiap kelurahan

(ada enam kelurahan). Wanita yang digolongkan sebagai wanita korban

kekerasan didasarkan pada status perkawinan, tingkat penghasilan dan

jumlah beban tanggungan. Kategori wanita korban kekerasan didasarkan

pada kriteria lokal, sebagai berikut:

a. Usia antara 20 hingga 60 tahun

b. Status perkawinan: janda ditinggal mati suami atau belum menikah.

c. Banyak anak dan belum ada yang menikah.

d. Penghasilan kecil

e. Memiliki sumber penghasilan yang tidak menentu.

Lanjut Usia terlantar terdapat hampir disemua kelurahan. Ada di 6

(enam) kelurahan yang ada di Kecamatan Tomohon Tengah. Warga

masyarakat di golongkan lanjut usia terlantar didasarkan pada usia, kondisi

ekonomi, serta seberapa besar perhatian dan perawatan yang diberikan

oleh anak/cucu atau keluarga lainnya. Sedangkan kriteria yang digunakan

di Tomohon Tengah, sebagai berikut:

76 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 83: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

a. Umur diatas 60 (enam puluh) tahun keatas.

b. Hidup sendiri atau bersama anak/cucu atau keluarga lainnya tetapisangat kurang diperhatikan dalam perawatan, permakanan dankebutuhan hidup lainnya, baik karena ketidakmampuan ekonomimaupun non ekonomi.

Masalah Anak Nakal merupakan masalah yang bersifat embrio

yang muncul melalui tahapan-tahapan proses yang kelihatannya bersumber

dari faktor lingkungan. Keterangan-keterangan yang diperoleh di lapangan

menggambarkan proses seperti itu. Perkembangan kota desa yang memang

berkembang dewasa ini menyebabkan juga adanya perubahan

perkembangan perilaku anak, misalnya munculnya tempat belanja berupa

supermarket, café, atau diskotik, yang menyebabkan para remaja mulai

beradaptasi diri dengan tempat–tempat ini. Contoh kasus lapangan yang

dilihat langsung adalah di salah satu supermarket, sejak supermarket buka

hingga ditutup pada malam harinya, polisi piket di depan supermarket

dengan maksud menghindari masuknya para remaja siswa sekolah terutama

pada jam-jam pelajaran sekolah (baik siswa pagi maupun siswa siang). Hal

yang sama dilakukan di café-café atau tempat hiburan lainnya.

Pada mulanya masyarakat di wilayah Tomohon terkenal sebagai petani

cengkeh yang ulung, sekarang pola hidup sudah mulai bergesar dengan

perubahan paradigma sebagai pedagang, pengusaha versi perkotaan. Oleh

karena itu, putra-putri mereka juga secara otomatis mewarisi gaya hidup

ini dengan tidak disebut sebagai anak petani dan lebih prestise kalau disebut

sebagai anak pengusaha (ala kota pedesaan). Akibatnya, selepas sekolah

mereka tidak mempunyai kegiatan, sehingga untuk mengisi kekosongan

terjadilah pertemuan antar remaja dan kalau sudah berkumpul mulai

bertindak yang tidak wajar. Dari sinilah timbul kenakalan-kenakalan remaja.

Bentuk kenakalan anak menurut definisi wilayah ini adalah menggangu

ketertiban masyarakat setempat dengan tindakan kumpul-kumpul yang

disertai mabuk–mabukan, dengan mengkonsumsi minuman keras (miras),

tindak kriminal walaupun dalam skala Desa/kelurahan dalam bentuk

mengganggu milik masyarakat.

Masalah yang dekat dengan anak nakal dan anak terlantar yaitu anak

jalanan, yakni para remaja yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di

jalanan secara tidak menentu. Faktor penyebabnya adalah faktor putus

sekolah, ketiadaan kegiatan yang pasti dan ketidaksadaran akan makna

77Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 84: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

mencari hidup. Diawali dengan jarang tinggal di rumah kemudian menjadi

keseringan maka pada akhirnya hidup di luar menjadi suatu yang merupakan

kebiasaan dan pada akhirnya menjadi pilihan. Faktor penyebab munculnya

anak jalanan ini, berawal dari kurangnya pengawasan orang tua, namun

karena kembali lagi terjadi perkembangan kota pedesaan maka cukup

membawa pengaruh pada kebiasaaan hidup anak.

Permasalahan Wanita Rawan Sosial Ekonomi adalah suatu

permasalahan yang dialami oleh sekelompok wanita, dimana para wanita

ini tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap. Minimnya lapangan

kerja bagi kaum wanita di Kelurahan ini menjadi sumber permasalahan.

Sebagai wilayah kelurahan yang kapasitas pertumbuhan industri tidak

memungkinkan, maka sulit bagi para wanita untuk mendapatkan sumber

penghidupan yang tetap. Hal ini ditambah pula dengan ketiadaan

keterampilan yang dimiliki para wanita ini. Informasi lapangan yang

diperoleh menyatakan, bahwa permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan

menurunya secara drastis pertanian cengkeh yang tadinya menjadi idola

di wilayah ini. Selepas dari itu para wanita ini sama sekali tidak punya alternatif

lain untuk mengatasi permasalahan mereka.

Permasalahan kecacatan secara khusus merupakan masalah yang

tidak semata karena kelalaian manusia, seperti misalnya cacat karena faktor

bawaan, maka permasalahan yang dihadapi di kelurahan ini merupakan

masalah sosial umum yang penanganannya berada dibawah Pemerintah

Daerah setempat.

Jumlah kasusnya cukup banyak yakni 114 kasus. Dari sejumlah

penyandang terdapat banyak diantaranya yang dapat dibina untuk melakukan

kegiatan mandiri dengan dimodali oleh Pemda setempat.

Masalah yang terkesan rawan bagi masyarakat adalah eks narapidana,

dengan alasan kalau–kalau suatu saat nanti perilakunya akan muncul kembali.

Para napi pun ini sadar bahwa kehadiran mereka di tengah masyarakat

kurang dapat diterima. Narapidana berawal mula dari kenakalan remaja,

lama kelamaan meningkat ke tindakan kriminal dan akhirnya sebagai

penghuni rutan. Dimanapun permasalahan narapidana ini hadir menjadi

permasalahan yang memerlukan penanganan yang sangat bijak agar persepsi

masyarakat terhadap para penyandangnya tidak ditolak oleh masyarakat

setempat.

78 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 85: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Keluarga rentan termasuk kategori keluarga manula yang perlu

mendapat pertolongan. Sebenarnya keluarga rentan ini bisa ditangani oleh

masing–masing keluarga, namun karena kondisi keluarga dalam kondisi

yang sama yaitu ketidakmampuan ekonomi sehingga permasalahan keluarga

rentan ini menjadi permasalahan tersendiri. Yang terutama memberi

perhatian adalah kepedulian pemerintah setempat. Keluarga–keluarga rentan

ini dalam keadaan pasrah menunggu pertolongan pemerintah. Sayangnya

di Minahasa ini belum begitu terdengar hal penampung keluarga rentan

atau semacam panti penampungan.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal masalah

penelitian, sebagai berikut:

1. Masalah yang paling menonjol dan merupakan masalah prioritas dikelurahan-kelurahan wilayah Tomohon Tengah adalah masalah fakirmiskin. Permasalahan ini merata terdapat di semua kelurahan(7 kelurahan).

2. Di beberapa kelurahan, masalah yang juga masalah prioritas keduaadalah masalah lanjut usia terlantar.

3. Masalah-masalah lain berdasarkan pengamatan dan hasil kajianpenelitian merupakan masalah yang terkait dan bersumber darimasalah-masalah prioritas seperti kemiskinan.

Dari kesimpulan yang diambil dari hasil kajian akan diberikan saran-

saran/rekomendasi, sebagai berikut :

1. Perlu program yang baku, khususnya bagi permasalahan fakir miskinyang sesuai dengan sumber permasalahan lokal, sehingga diperolehcara penyelesaian yang tepat. Untuk itu, program yang tepat adalahpemberdayaan fakir miskin melalui bantuan dan jaminan sosial, denganmemperhatikan kriteria lokal dan sumber-sumber yang tersedia..

2. Masalah lanjut usia yang sudah ada pedoman penanganannya,memerlukan langkah-langkah kegiatan yang lebih praktis dan nyata,mudah diacu atau diikuti masyarakat, sehingga penanganannya dapatlebih tuntas.

79Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 86: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

3. Masalah-masalah terkait lainnya perlu ditangani dengan upaya

pencegahan, misalnya melalui penyuluhan, membangun kepedulian

masyarakat terhadap lingkungannya, dan meningkatkan kapasitas

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) agar lebih berperan

dalam pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Tomohon dengan BPS Kabupaten Minahasa, 2005, Tomohon

Dalam Angka (Tomohon In Figures)

Departemen Sosial, 2002, Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,

Pusdatin, Jakarta.

............, 2004, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial, Konsep dan Strategi, Jakarta,

Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial.

Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon, 2005 Rencana

Strategis Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kota Tomohon Tahun

2005-2009

Dwi Heru Sukoco, 1991, Profesi Pekerja Sosial, Bandung, STKS Press

Tim Crescent IPB, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model

Sistem Keterjaminan Sosial, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

80 Puslitbang Kesos

Diagnosa Permasalahan Sosial di Kec. Tomohon Tengah-Minahasa

Page 87: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PEMETAAN KEMISKINAN DAN STRATEGI

PENGENTASANNYA BERBASIS INSTITUSI

LOKAL DAN BERKELANJUTAN

DI ERA OTONOMI DAERAH

DI PROVINSI SUMATERA BARAT1

Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si 2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memetakan kantong-kantong dan merumuskan strategi

pengentasan kemiskinan berdasarkan institusi lokal. Penelitian ini merupakan

penelitian terapan melalui survey terhadap 12 nagari dan 4 kelurahan dalam tiga

kabupaten dan dua kota. Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan,

wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Temuan lapangan antara lain; (1)

Kantong kemiskinan terdapat di Kabupaten Mentawai, Pasaman, Pasaman Barat,

Pesisir Selatan, Kota Padang dan Kota Payakumbuh; (2) sebutan orang miskin yaituurang indak bapunyo, urang indak mampu, urang susah, urang sulit, orang sangat miskin

disebut juga urang bangsaik atau urang ino; (3) pekerjaan utama mereka yaitu buruh

tani, tukang dan buruh kasar; (4) penyebab kemiskinan yaitu lokalitas ekosistem,

rendahnya akses, krisis ekonomi dan kebudayaan. Untuk mempertahankan hidupnya

(survival strategy) secara sosial dan ekonomi, antara lain melakukan pekerjaan secara

tetap dan memperbanyak jumlah anggota rumah tangga untuk bekerja. Strategi

pengentasan kemiskinan dengan membentuk suatu panitia berbasis institusi lokal

(Nagari/kelurahan). Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra

kerja. Anggotanya terdiri dari orang miskin, tokoh masyarakat, laki-laki dan

perempuan. Keanggotaan harus mempunyai komitmen yang tinggi.

Kata Kunci:

Kemiskinan, Penanggulangan Kemiskinan, Nagari Kelurahan

1 Judul asli dari penelitian Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis InstitusiLokal dan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian

kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial dengan Lembaga Pengabdiankepada Masyarakat Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

2 Achmadi Jayaputra, Kepala Bidang Program Puslitbang Kesos.

81Puslitbang Kesos

Page 88: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama pembangunan

nasional dan daerah, terutama sejak diberlakukannya undang-undang tentang

pemerintahan daerah. Hal tersebut seharusnya dijadikan momentum dan

peluang untuk mewujudkan desentralisasi pembangunan yang sensitif

terhadap persoalan lokal. Termasuk permasalahan sosial yang disebutkan

Departemen Sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) seperti pelacuran, anak jalanan, penyandang cacat, dan sebagainya.

Permasalahan tersebut berkaitan erat dengan kemiskinan. Berarti

memecahkan masalah kemiskinan secara tidak langsung memecahkan

PMKS, sekaligus membuka pintu untuk pemecahan PMKS lainnya.

Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengentaskan

kemiskinan, sayangnya penduduk miskin di Indonesia makin bertambah.

Khususnya di Provinsi Sumatera Barat, misalnya tahun 2001 penduduk

miskin tercatat 1,4 juta jiwa (23%), tahun 2003 menurun hanya 501.100

jiwa dan tahun 2004 menjadi 472.100 jiwa. Namun tahun 2005 dari jumlah

penduduk 4,46 juta jiwa terdapat 935.300 jiwa (20,70%) tergolong miskin.

Pengentasan kemiskinan sejak bergulirnya otonomi daerah belum

berhasil dengan baik, karena dihadapkan pada beberapa hal, antara lain:

• Program tidak tepat sasaran

• Program tidak bertahan lama (tidak berkesinambungan)

• Program dipaksakan dari atas, dan

• Program tidak diakses karena hambatan struktual.

Penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan bersifat karitatif

(charity) cenderung menjadikan orang miskin semakin tergantung pada

bantuan pihak luar. Akibatnya perekonomian mereka rentan dan mereka

dengan mudah kembali ke garis kemiskinan. Faktor lain berkaitan dengan

kelemahan organisai pelaksana seperti pemerintah lokal dan pemerintah

kelurahan atau desa (nagari). Oleh karena itu, diperlukan strategi baru dengan

menggunakan potensi sosial lokal untuk membantu orang miskin agar

terbebas dari kemiskinannya. Strategi yang dikembangkan itu termasuk

dalam community based development.

82 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 89: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Permasalahan dalam penelitian, yaitu:

a. Dimana rumah tangga miskin tersebut berkonsentrasi terhadaptipologi ekologis dan sumber pendapatan?

b. Bagaimana kondisi budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tanggamiskin tersebut?

c. Mengapa anggota rumah tangga tetap miskin, walaupun telah adaprogram pengentasan kemiskinan?

d. Apa strategi dalam pengentasan kemiskinan yang berbasis institusilokal yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Barat?

Tujuan penelitian yaitu;

a. Memetakan kantong-kantong kemiskinan berdasarkan tipologiekologis dan sumber mata pendapatan dan mengidentifikasikarakteristik budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin.

b. Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan dengan melibatkaninstitusi lokal, tokoh komunitas setempat dan pemerintah lokal.

Penelitian ini akan merumuskan model penanggulangan kemiskinan

yang dapat diadopsi untuk memecahkan PMKS lainnya karena bertumpu

pada pemberdayaan komunitas lokal.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan menggunakan

teknik pengumpulan data yaitu survey, wawancara mendalam, diskusi

kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) dan pengumpulan data skunder.

Survey dilakukan terhadap 12 Nagari dan 4 kelurahan yang terdapat dalam

3 kabupaten yaitu Pasaman, Solok dan Pesisir Selatan, serta 2 kota yaitu

Padang dan Payakumbuh. Lokasi dipilih secara sengaja berdasarkan angka

kemiskinan yang tinggi dan kondisi ekologis. Selain itu berdasarkan mata

pencaharian penduduk yaitu petani lahan kering, petani lahan basah, nelayan

dan bukan nelayan. Diskusi dengan menghadirkan masing-masing

14 orang terbagi dalam dua kelompok; pertama, kelompok pendudukan

miskin yang mengikuti program anti kemiskinan; kedua, tokoh masyarakat

yang berpengalaman melaksanakan program anti kemiskinan. Responden

seluruhnya berjumlah 224 orang. Wawancara mendalam dilakukan terhadap

informan dari instansi pemerintah di 3 kabupaten dan 2 kota tersebut terdiri

83Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 90: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dari Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kelautan, Pemberdayaan Masyarakat,

Camat dan Wali Nagari.

Lokasi Penelitian;

a. Kabupaten Pasaman; Kecamatan II Koto di Nagari Simpang Tonangdan Cubadak; Kecamatan Bonjol di Nagari Koto Kaciak dan GonggoHalia.

b. Kabupaten Solok; Kecamatan II Koto Diateh di Nagari Paninjauwandan Kuncir; Kecamatan Kubung di Nagari Gaung dan Panyangkalan.

c. Kabupaten Pesisir Selatan; Kecamatan IV Jurai di Nagari Painan;Kecamatan Linggo Sari Baganti di Nagari Lumpo, Air Haji danPungasan.

d. Kota Padang; Kecamatan Lubuk Bagalung di Kelurahan KampungBaru dan Gates

e. Kota Payakumbuh; Kecamatan Payakumbuh Barat di Kelurahan ParitRantang dan Padang Karambie.

Hasil PenelitianProvinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota, 157

kecamatan dan terdiri dari 517 Nagari/Kelurahan. Khusus di provinsi ini,istilah Nagari digunakan untuk daerah kabupaten dan Kelurahan untukdaerah kota. Wilayahnya 42,297 Km2, dilihat dari kondisi dan penggunaanlahan sebagian terdiri dari hutan (61%), tanah yang dimanfaatkan untukpermukiman (28,59%) dan selebihnya tanah yang belum dimanfaatkan.

Kinerja ekonomi di provinsi ini, untuk tahun 2003 pertumbuhanekonomi 5%-7% per tahun. Diantaranya, yang terbanyak adalah pertanian25,16% dan didukung lima sub sektor yaitu tanaman pangan danhortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan laut.

1. Kantong Kemiskinan

Di Sumatera Barat, tahun 1996 angka atau garis kemiskinan

di perkotaan sebesar Rp. 48.389,- dan di perdesaan sebesar

Rp. 34.863,-. Sedangkan tahun 2006, diketahui garis kemiskinan

di perkotaan sebesar Rp. 225.671,- dan di perdesaan sebesar

Rp. 159.904,-.

84 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 91: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Tahun 2005, terdapat 223.825 rumah tangga miskin atau 22,07%

dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rumah tangga miskin

banyak terdapat dalam enam daerah yaitu Kabupaten Mentawai 8.002

(51,12%), Pasaman 19.922 rumah tangga (35,98%), Pasaman Barat

21.186 rumah tangga (29,41%), Pesisir Selatan 26.337 rumah tangga

(25,17%), Padang 35.162 rumah tangga (21,07%) dan Payakumbuh

4.250 rumah tangga (17,12%).

Orang miskin dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan

perorangan atau rumah tangga seperti buruh tani, nelayan yang tidak

punya alat tangkap, buruh dan pedagang kecil. Ditemukan beberapa

sebutan orang miskin dalam istilah lokal yaitu urang indak bapunyo

(orang tidak punya), urang indak mampu (orang tidak mampu), urang

susah (orang susah), urang sulit (orang sulit). Orang miskin sebagai

keadaan negatif, selalu dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan

perorangan atau rumah tangga. Orang sangat miskin disebut juga

urang bangsaik (orang bangsat) atau urang ino (orang hina).

Mereka yang tergolong rumah tangga miskin kebanyakan di

perdesaan dengan mata pencaharian pokok sebagai petani di lahan

kering atau perladangan. Penyebabnya antara lain :

1) Tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit membutuhkanlahan yang luas.

2) Produktivitas rendah karena hama babi dan kera yang susahditanggulangi masyarakat setempat.

3) Kesuburan tanah dan ketersediaan air rendah.

4) Areal sawah sangat sedikit, sehingga mereka harus membeli beras.

Sedangkan di perkotaan angka yang tinggi karena tingginya

jumlah penduduk. Diantaranya nelayan yang tergolong miskin yang

dilihat dari kepemilikan alat tangkap. Nelayan terbagi tiga kelompok

yaitu; pertama, nelayan miskin yang terdiri dari buruh angkut; kedua,

nelayan sedang yang memiliki kapal dan bermotor tempel; ketiga,

nelayan kaya yang memiliki alat tangkap lengkap dan kapal bermotor.

Pada daerah yang berbasis pertanian sawah, golongan miskin

biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan

pendapatannya dari pekerjaan buruh tani. Ini terjadi karena tidak

memiliki lahan sendiri atau lahan sempit seperti petani penggarap yang

85Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 92: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

tidak mempunyai lahan pertanian. Pada tipologi yang berbasis nelayan,

golongan miskin menunjuk pada rumah tangga buruh nelayan yang

tidak memiliki sarana penangkap ikan yang lengkap. Biasanya buruh

nelayan hanya memiliki sampan saja atau perahu tidak bermotor.

Adapun tipologi di daerah perkotaan, golongan miskin biasanya

menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatan dari

buruh dan sektor informal. Khususnya sektor informal sangat

bervariasi seperti buruh kasar, pedagang yang tidak bermodal atau

bermodal kecil. Kebanyakan orang miskin melakukan pekerjaan ganda.

Misalnya di daerah perdesaan seorang sebagai petani sawah dapat

saja menjadi buruh tani, tukang dan buruh lainnya. Dikalangan nelayan,

seorang buruh nelayan dapat saja merangkap sebagai tukang atau

buruh angkat. Demikian juga daerah perkotaan, seorang pegawai

rendahan merangkap sebagai tukang ojek atau buruh serabutan.

Hasil survai secara keseluruhan, pekerjaan utama sebagai petani

atau buruh tani (54,10%), nelayan kecil atau buruh nelayan (16,30%),

tukang atau buruh (3,5%), pedagang kaki lima dan lain-lain (23,20%).

Pendapatan yang mereka peroleh antara lain terendah Rp. 200.000,-

per bulan (20,10%), Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 399.000,-

(28,10%), berpendapatan Rp. 400.000,- sampai dengan Rp. 599.000,-

(35,30%) dan yang berpendapatan diatas Rp. 600.000,- (16,50%).

Karakteristik sosial, kebanyakan rumah tangga yang dikepalai

perempuan termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Rumah

tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dan sebagian

besar menjadi tanggungan keluarga karena masih bayi, usia sekolah,

belum bekerja atau belum menikah.

Di tengah banyaknya program anti kemiskinan, ternyata

ekonomi rumah tangga miskin banyak yang merasa pesimis melihat

perbaikan ekonominya. Hasil survey, ada yang merasa ekonominya

lebih baik (4,5%), merasa lebih buruk (28,60%) dan yang menjawab

tidak ada perubahan (48,20%) dari tahun sebelumnya. Oleh karena

itu, penyebab kemiskinan antara lain;

1) Alternatif pekerjaan di daerahnya terbatas dan berkaitan denganperkembangan ekonomi makro. Apabila ingin memperbaikiekonomi, maka perlu mengakses peluang. Namun mereka tidakmampu karena terbatas pengetahuan dan keterampilan.

86 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 93: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

2) Ketiadaan alternatif dan tidak mampu mengkreasi peluang baru,

maka orang miskin bergantung pada pekerjaan yang tidak memberi

pendapatan yang mencukupi.

3) Produktivitas rendah karena orang miskin tidak memiliki aset lahan

yang memadai. Pertumbuhan penduduk terus berlangsung,

sementara luas lahan tetap dan dipengaruhi sistem pemilikan lahan

secara adat.

4) Orang miskin tidak mampu mengakses sumber daya karena

ketiadaan teknologi dan minimnya modal.

Orang miskin atau rumah tangga miskin dalam menghadapi

kemiskinan yang dialami melakukan upaya adaptasi. Strategi yang

mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya secara sosial dan

ekonomi. Adapun strategi adaptasi tersebut yaitu;

1) Pekerjaan Tetap

Mereka tidak berusaha pindah pekerjaan. Ini menunjukkan mereka

bertahan dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang. Alasannya

tidak tahu alternatif yang tersedia dan pekerjaan yang dilakukan

saat ini tetap lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain dengan

resiko pilihannya.

2) Anggota Rumah Tangga

Rumah tangga miskin cenderung memperbanyak jumlah anggota

rumah tangga ikut bekerja untuk memecahkan kesulitan hidup.

Pola ini merupakan bagian dari strategi adaptasi rumah tangga

miskin dalam menghadapi kemiskinan. Tujuannya untuk bertahan

hidup (survival strategy). Pilihan diversifikasi pekerjaan dan

pendapatan melalui pola nafkah ganda. Cara lain yang mendorong

orang miskin memecahkan masalah keuangan rumah tangganya

yaitu berhutang kepada tetangga (38,80%), berhutang kepada

anggota keluarga (20,50%) menerima bantuan dari anggota

keluarga (14,70%) atau berhutang kepada bos atau tauke (12,10%).

Sementara meminjam kepada lembaga keuangan perbankan atau

lembaga keuangan mikro tidak menjadi alternatif karena masih

kurangnya lembaga keuangan tersebut.

87Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 94: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Secara umum penyebab kemiskinan, antara lain;

1) Lokalitas Ekosistem

Di kalangan petani perdesaan atau lahan kering ketergantungan

terhadap lahan secara mutlak, tetapi lahan terbatas. Sedangkan

petani sawah ketersediaan air mutlak. Akan tetapi tidak ada irigasi

yang baik atau sumber air terbatas, sehingga produksi lahan sawah

rendah. Daerah perladangan dengan tanaman tua yang diusahakan

membutuhkan lahan yang luas, tetapi lahan yang ada sangat terbatas.

Selain itu status tanahnya sebagai tanah adat atau ulayat atau hutan

lindung tidak dapat digunakan sembarangan karena pengaturannya

yang berbeda.

Pengaruh ekologis sangat dirasakan di kalangan nelayan sangat

rentan terhadap perubahan cuaca yang tidak selalu sama atau

tergantung iklim, musim angin dan bulan.

2) Rendahnya Akses

Ada keluarga yang kekurangan lahan, disebabkan tanah ulayat

hanya digunakan oleh anak kemenakan pemilik ulayat. Banyak orang

miskin di nagari dari kalangan pendatang, sehingga tidak dapat

menggunakan lahan yang ada. Tanah telah dibagi habis, sedangkan

anggota kaum bertambah. Ada golongan keluarga atau masyarakat

yang hidup turun-temurun dalam kekurangan aset ekonomi atau

rendah aksesnya terhadap sumber daya setempat.

Di kalangan komunitas nelayan miskin, rendahnya akses

kepemilikan alat tangkap ikan seperti perahu motor.

3) Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi diikuti dengan kenaikan harga berbagai alat

produksi dan kebutuhan konsumsi telah menyebabkan semakin

beratnya kehidupan masyarakat. Termasuk kenaikan harga BBM

membuat ongkos produksi naik. Pada masyarakat petani ladang

yang terjadi meningkatnya biaya produksi seperti bibit dan pupuk.

Sementara pendapatan tidak seimbang dengan biaya pengeluaran

yang dibutuhkan untuk pangan dan konsumsi rumah tangga.

Ada pula di perkotaan yang dahulu merantau, terkena PHK

dan usahanya bangkrut, kini kembali ke kampung. Secara umum

88 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 95: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

yang paling dirasakan yaitu kenaikan harga kebutuhan dasar dan

membiayai modal usaha.

4) Kebudayaan

Semua rumah tangga miskin mempunyai pengetahuan dan

keterampilan. Namun hanya tahu terhadap kegiatan atau pekerjaan

yang diketahui saja, sehingga tidak ada alternatif pekerjaan lain.

2. Kinerja Anti Kemiskinan

Tahun 2002 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membentuk

Komite Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Gubernur Sumatera Barat

sebagai penanggung jawab. Tugas komite tersebut yaitu menyiapkan

data, mengkoordinasikan kegiatan, memfasilitasi dana, melakukan

pemantauan dan pengendalian. Namun dalam pelaksanaan kegiatan

belum menunjukkan hasilnya dalam penanggulangan kemiskinan.

Ternyata, sejak tahun 1983 sudah masuk program pengentasan

kemiskinan atau program anti kemiskinan yang dilakukan oleh beberapa

departemen atau instansi pemerintah lainnya.

Adapun program kemiskinan yang pernah dialami antara lain:

1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dari Departemen Sosial RI

2) Inpres Desa Tertinggal (IDT) dari Departemen Dalam Negeri

3) Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), KreditModal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Pedesaan(Kupedes), Kredit kelompok Kepada Kelompok Masyarakat(K3M)

4) Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)

5) Program Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS) dariBKKBN

6) Program perbaikan rumah tidak layak huni dari DepartemenKimpraswil

7) Program bantuan pendidikan bagi anak miskin

8) Program bantuan pengobatan orang miskin

9) Program bantuan beras miskin (Raskin) dari BULOG

89Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 96: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

10)Bantuan Langsung Tunai (BLT)

11)Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari DepartemenDalam Negeri

12)Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

13)Program Pengentasan Perkotaan (P2P)

14)Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PPMP)

15)Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS)

16)Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

17)Subsidi BBM

Menurut bantuan yang diberikan, semua program yang ada

terbagi lima; pertama, program yang bersifat jaring pengaman atau

program yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sesaat dengan

model bantuan karitatif seperti Raskin, BLT, Kartu Sehat, BAZIS;

kedua, program memberdayakan keluarga miskin dengan bantuan

modal usaha seperti IDT, KUBE, GEKS, PDM-DKE dan PMP;

ketiga, program pembangunan infrastruktur seperti IDT, PPK dan

Subsidi BBM; keempat, program, pengembangan keuangan mikro

dengan memberikan bantuan modal kepada kelompok simpan pinjam

seperti IDT, PPK, PMP dan P2P; kelima, program bantuan pendidikan

seperti BOS dan PPK.

Secara umum program anti kemiskinan yang pernah diikuti

belum membuat perekonomian mereka membaik. Pada umumnya

(90%) pernah mengikuti program anti kemiskinan, bahkan sebanyak

60% lebih pernah mengikuti dua sampai empat macam program anti

kemiskinan. Juga diakui responden, sebagian besar (80%) responden

mengaku ekonomi mereka tidak berubah dari sebelumnya dan

selebihnya (20%) menyatakan lebih buruk dari tahun sebelumnya. Rata-

rata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar karena penghasilan

yang diperoleh dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

Dampak program yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1) Program Tidak Efektif

Program-program anti kemiskinan tidak efektif

membebaskan penerima bantuan dari kemiskinannya. Bantuan yang

bersifat jaring pengaman sosial hanya untuk memenuhi kebutuhan

90 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 97: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

hidup sehari-hari dan tidak membuat mereka menyimpan karena

bantuan jumlahnya terlalu kecil. Beras Raskin lebih banyak

dimanfaatkan penduduk miskin di perkotaan daripada penduduk

miskin di perdesaan.

2) Pengembangan Infrastruktur

Program pengembangan infrastruktur seperti jalan dan

jembatan yang dibangun telah memudahkan penduduk setempat

untuk memasarkan produksinya, kendaraan bermotor dapat

menjangkau desanya. Namun daerah penerima bantuan tetap saja

menjadi kantong-kantong kemiskinan.

3) Keuangan Mikro Kurang Berhasil

Program pengembangan keuangan mikro bukan perbankan.

Terutama dalam bentuk simpan pinjam tidak bermanfaat dalam

waktu jangka panjang. Hal tersebut disebabkan kelompok simpan

pinjam tidak bertahan lama dan kelompok cepat bubar. Penyebab

lain kemacetan tinggi karena cicilan terlalu besar dan anggapan

uang pemerintah tidak perlu dikembalikan. Ikatan anggota dengan

kelompok rendah karena kebanyakan anggota dan perlu uang.

4) Bantuan Bergulir Kurang Berhasil

Bantuan yang diterima dalam kelompok tidak bergulir karena

sapi yang diterima terlebih dahulu dijual sebelum beranak. Selain

itu tidak ada pengawasan dan pembinaan dari penyelenggara pro-

gram dan tidak ada perhatian dari tokoh masyarakat setempat.

5) Bantuan Alat Tidak Efektif

Program bantuan peralatan usaha tidak efektif karena

penerima tidak mampu mengoperasikan alat yang diterima, tidak

mampu membayar cicilan dana bantuan dan pendapatan kecil

dengan biaya operasional yang tinggi.

Penyebab ketidakberhasilan program, yaitu;

1) Sifat Program

Bantuan yang diberikan menyelesaikan kebutuhan sesaat

karena bersifat karitatif dan parsial, hanya menyentuh sebagian

rumah tangga, sehingga tidak memberdayakan penerimanya.

91Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 98: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

2) Pengelolaan

Program bantuan tidak berkelanjutan dan kelompok yang

dibentuk tidak efektif.

3) Partisipasi Lokal

Partisipasi organisasi sosial dan tokoh lokal rendah karena

mereka tidak melakukan langkah-langkah untuk melanjutkan

program. Hal itu dianggap bukan menjadi urusan mereka dan

tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya. Pemerintah nagari/

kelurahan diperlakukan sebagai ujung tombak yang tumpul karena

program-program tidak memberdayakan organisasi lokal.

Gagalnya program anti kemiskinan disebabkan; pertama,

program-program tersebut tidak ada yang mendorong lembaga lokal

untuk aktif terlibat dan bertanggung jawab terhadap program anti

kemiskinan. Lembaga nagari/kelurahan tidak aktif memantau dan

membenahi program yang ada; kedua, komunitas perdesaan

beranggapan penanggulangan kemiskinan merupakan tugas

pemerintah.

3. Keragaan Energi Sosial Lokal

1) Peran Institusi Formal

Institusi formal lokal dalam pemerintah kabupaten (Nagari)

dipimpin Wali Nagari, Badan Perwakilan Adat Nagari (BPAN)

atau Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kantor tidak tiap

hari dibuka, hanya kalau ada keperluan atau pekerjaan tertentu

barulah dibuka seperti ada kegiatan dari kecamatan atau instansi

pemerintah lainnya. Sedangkan dalam pemerintah kota (Kelurahan)

ada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Lembaga

tersebut banyak berhubungan dengan warga setempat

dibandingkan dengan lembaga pimpinan adat (nini mamak ).

Namun dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari belum dapat

mengeluarkan aturan-aturan bagi nagarinya. Kegiatan yang

dilakukan terbatas pada penetapan anggaran pendapatan dan

belanja nagari/kelurahan. Berkaitan dengan penanggulangan

kemiskinan belum peduli terhadap program kemiskinan dan belum

berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.

92 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 99: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

2) Peran Institusi Informal

Lembaga informal yang ada merupakan lembaga yang tidak

terkait dengan pemerintah seperti Kerapatan/Lembaga Adat

Nagari (K/LAN), Badan Musyawarah Adat dan Syara (BMAS),

organisasi berbasis agama dan kekerabatan. Khususnya organisasi

yang berbasis keagamaan seperti majlis taklim dan kelompok

yasinan, perannya muncul ketika perayaan hari besar Islam seperti

Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain. Lembaga tersebut mempunyai

tugas mengumpulkan zakat, infaq dan shadaqah untuk dibagikan

kepada keluarga miskin.

3) Peran Kekerabatan

Kebutuhan anggota kerabat atau keluarga yang dialami selalu

dikaitkan dengan fungsi keluarga luas matrilineal. Bantuan sosial

ekonomi diberikan kepada seluruh anggota keluarga yang

memerlukan. Terutama berkaitan dengan keperluan yang sifatnya

mendadak seperti sakit, kebakaran, meninggal dan musibah lainnya.

Unsur matrilineal menjadi pokok perhatian yaitu; pertama,

harta pusaka sebagai sumber ekonomi keluarga luas matrilineal;

kedua, pola tempat tinggal keluarga luas matrilineal dalam

menjalankan perannya; ketiga, aktualisasi adat.

Hubungan sosial ekonomi dimulai dari hubungan timbal balik.

Semangat akan timbul saat membantu dalam pelaksanaan

perkawinan. Bantuan yang diberikan biasanya dalam bentuk uang

dan tenaga, sedangkan dalam biaya pendidikan tidak karena

menjadi urusan masing-masing. Bantuan terhadap orang miskin,

lanjut usia dan yatim piatu menjadi urusan paruiknya. Mereka lebih

baik dipelihara oleh paruik dan masyarakat setempat yang telah

saling mengenal dan dijamin lebih baik. Masyarakat tidak mau

dan merasa malu menempatkan lanjut usia dan anak yatim ke panti

asuhan. Peran tokoh lokal membantu orang miskin dalam bentuk

memberikan fasilitas atau modal usaha.

4) Nilai-nilai dan Solidaritas Lokal

Nilai-nilai dan praktek solidaritas sosial lokal tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat didasarkan rasa tanggung jawab

dan rasa kebersamaan. Tujuannya untuk membantu seluruh anggota

93Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 100: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

keluarga dan masyarakat. Pepatah Minangkabau; bakampung mamaga

kampung, tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari,

sandar menyandar bagaikan aur dengan tebing. Nilai yang terkandung

dalam pepatah tersebut mencerminkan kehidupan keluarga yang

saling tolong menolong dan saling bekerja sama.

Namun, dalam perkembangannya nilai-nilai tersebut tidak

lagi dijalankan. Masyarakat menggunakan kata individualis untuk

menyebut perilaku dari sebagian masyarakat yang tidak lagi

memikirkan sanak saudara dan para tetangga dalam kehidupan

sehari-hari. Organisasi sosial yang sangat dikenal yaitu Kelompok

simpan pinjam, Kongsi dan Julo-julo.

Kelompok simpan pinjam terdiri dari beberapa orang yang

mengelompokkan diri yang mengandalkan tenaga untuk

kepentingan anggota atau kelompoknya. Ada kelompok laki-laki

atau kelompok perempuan. Kelompok juga yang berhubungan

dengan pihak luar atau organisasi sosial untuk memperoleh

pinjaman. Kelompok simpan pinjam sering cepat bubar karena

menjadi pengurus tidak semuanya disenangi masyarakat, kecurigaan

anggota terhadap pengurus sangat tinggi.

Kongsi suatu istilah yang dimulai dari individu yang menjual

jasa dalam pengolahan lahan pertanian terhadap anggotanya.

Kegiatannya bertujuan untuk mengatasi kesulitan mereka dalam

membayar tenaga kerja. Biasanya, awal kegiatan kongsi berjalan

baik dan selanjutnya sering anggota kongsi malas dengan berbagai

alasan. Upah yang dibayarkan berbeda berdasarkan jenis kelamin,

laki-laki sebesar Rp. 20.000,- per hari dan perempuan sebesar

Rp. 10.000,- per hari.

Julo-julo (Arisan) yang merupakan kelompok penabung,

dipelopori ibu-ibu. Setiap anggota akan menabung sejumlah uang

sesuai dengan kesepakatan dan waktu penarikan yang ditentukan.

Biasanya terdiri dari 10 orang, tiap orang akan menerima bagian

sesuai dengan jumlah uang yang ditabung dan paling murah

Rp. 5.000,-. Keberadaan kelompok ini sangat membantu

masyarakat dalam mengatasi masalah keuangan terutama untuk

biaya pendidikan dan modal kerja.

94 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 101: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesimpulan dan Saran

Pemetaan kemiskinan telah menggambarkan kantong-kantong

kemiskinan dalam beberapa kabupaten dan kota yang menjadi lokasi

penelitian. Kantong-kantong kemiskinan tersebut berdasarkan tingkat

nagari/kelurahan yang terbagi dalam kelompok petani lahan kering,

persawahan dan nelayan. Dirumuskannya strategi pengentasan kemiskinan

berbasis institusi lokal yang disebutkan berbasis nagari/kelurahan.

Adanya model strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal

yang akan diujicobakan pada tingkat nagari/kelurahan yaitu;

a. Konsep

Pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal diartikan

program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan

mengandalkan organiasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar

komunitas lokal dan tokoh masyarakat pelaku aktif pengentasan

kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai

mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan pemeliharaan.

b. Prinsip

Organisasi sosial dan tokoh masyarakat harus aktif dan proaktif

dalam pengentasan kemiskinan yang disusun sesuai potensi dan aspirasi

masyarakat. Diperlukan badan atau organisasi sosial yang bertugas

mengkoordinasikan upaya pengentasan kemiskinan. Diperlukan

pendampingan yang menguasai tentang strategi dan teknik

penanggulangan kemiskinan. Program bersifat pemberdayaan

komunitas.

c. Sasaran

Komunitas nagari/kelurahan dengan angka kemiskinan tinggi

melalui lembaga-lembaga dan rumah tangga miskin. Meningkatkan

peran nagari/kelurahan yang mempunyai program anti kemiskinan

berdasarkan potensi dan aspirasi lokal. Di lokasi dibentuk organisasi

dengan sebutan Panitia Penanggulangan Kemiskinan Nagari/

Kelurahan.

95Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 102: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Ketentuan panitia antara lain;

- Lembaga tersebut dibentuk melalui musyawarah di nagari/kelurahanmasing-masing,

- Panitia beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan secaraproporsional

- Struktur organisasi tediri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendaharadan sekurang-kurangnya lima anggota,

- Tokoh-tokoh terseleksi yang mempunyai komitmen tinggi,

- Mempunyai anggaran khusus,

- Menggali sumber-sumber lokal,

- Perlu pemecahan faktor-faktor struktural lokal

Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:

1) Rekruitment Tenaga Pendamping

Pendamping dalam nagari/kelurahan sebanyak dua orang. Pendampingselalu berkoordinasi dengan peneliti dan pemerintahan nagari/kelurahan.

2) Upaya Penyadaran

Pendamping melakukan upaya penyadaran kepada lembaga-lembagadan tokoh masyarakat nagari/kelurahan agar mereka aktif melakukamnusaha pengentasan kemiskinan.

3) Membentuk Panitia

Berkoordinasi dengan nagari/kelurahan dengan mengikutsertakantokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk panitia.

4) Pelatihan

Dilakukan terhadap panitia penanggulangan kemiskinan agarmemahami kegiatannya.

5) Pendataan

Melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan merumuskankriteria kemiskinan yang sesuai dengan persepsi setempat.

6) Merumuskan Program

Merumuskan program dan kegiatan nagari/kelurahan denganmengikutsertakan tenaga ahli, pejabat pemerintah dan pihak lain untukmembantu rumah tangga miskin.

96 Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 103: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

7) Membuat Peraturan

Panitia dan tokoh masyarakat perlu membuat peraturan dalampengentasan kemiskinan di daerahnya.

8) Pelaksanaan Program

Panitia penanganan kemiskinan melaksanakan kegiatan sesuai denganrencana yang telah dibuat.

9) Membangun Keterlibatan

Keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan pemerintah dalammelakukan monitoring pengentasan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, 1997. “Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi:

Diskusi tentang Isu-isu Perubahan pada Ikatan Kekerabatan Matri-

lineal Minangkabau” dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial,

Nomor 3 - 4.

Ancok, Djamaluddin, 1995. “Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk

Mengentaskan Kemiskinan” dalam Awan Setya Dewanta, dkk (ed),

Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Indonesia. Yogyakarta; Aditya.

Chambers, R, 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta; LP3ES

Hikmat, Harry, 2003. “Pemberdayaan Pranata Sosial Pengalaman Empiris”

dalam Umi Ratih Santoso, dkk (ed), Menemukan Model Pemberdayaan

Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat; Perspektif

Teoritik, Metodologis dan Empiris. Jakarta; Pusbangtansosmas.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2006. Rencana Pembangunan Jangka

Menangah (RPJM) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006 – 2010: Agenda

6 Mempercepat Penurunan Tingkat Kemiskinan. Padang; Pemerintah

Provinsi Sumatera Barat.

Departemen Sosial RI, 2005. Data dan Informasi PMKS dan PSKS Tahun

2004. Jakarta; Pusdatin Kesos.

Sherraden, M, 2006. Aset untuk orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan

Kemiskinan. Jakarta; Raja Grafindo Persada.

97Puslitbang Kesos

Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya

Page 104: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 105: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PARTICIPATORY WEALTH RANKING

Sebuah Alternatif Teknik Identifikasi dan Seleksi

Sasaran Program Pemberdayaan Fakir Miskin1

Drs. Anwar Sitepu, MPM 2

ABSTRAK

Participatory Wealth Ranking (PWR) merupakan alternatif teknik mengidentifikasi

keluarga termiskin dan miskin. Manual PWR mudah dijabarkan oleh fasilitator untuk

memfasilitasi masyarakat melakukan pemeringkatan. Penyesuaian yang perlu

dilakukan adalah pada sistem penilaian yaitu nilai tertinggi diberikan kepada keluarga

terkaya. Data yang dihasilkan berupa data mikro, berupa daftar nama dan alamat

keluarga menurut urutan (peringkat) kemiskinan. Untuk seleksi sasaran program,

petugas lembaga tinggal menetapkan titik batas nilai. Dengan menggunakan teknik

PWR tampak dengan nyata bahwa masyarakat tidak saja diberi kesempatan

berpartisipasi tetapi diakui dan dihargai martabatnya. Apabila pemberdayaan fakirmiskin berniat untuk merangsang prakarsa masyarakat mengatasi permasalahannya

maka PWR adalah sebuah pilihan tepat untuk mengawali langkah.

Kata kunci:

Participatory Wealth Ranking, keluarga miskin

Pendahuluan

Salah satu titik rawan dalam penyelenggaraan Program Pemberdayaan

Fakir Miskin (P2FM) adalah pada tahap identifikasi dan seleksi sasaran.

Tahap ini rawan karena pada satu sisi sangat menentukan efektivitas

program secara keseluruhan pada sisi lain sering dianggap pekerjaan mudah

sehingga kurang diperhatikan atau bahkan disepelekan. Mengatasi hal tersebut

Puslitbang Kessos bermaksud menawarkan sebuah teknik yang disebut

Participatory Wealth Ranking (PWR). Teknik ini dikembangkan oleh The Small

1 Dikembangkan dari Laporan Penelitian Pemeringkatan Keluarga Menurut Kondisi SosialEkonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,

Badiklit Kesos, Departemen Sosial RI tahun 2006. Tim peneliti terdiri dari: Drs. Anwar Sitepu,MP (ketua), Drs. Agus Budi Purwanto (anggota), Dra. Haryati Roebiyantho (anggota),

Ir. Hendriyati, M.Si (anggota), Yanuar Farida Wismayanti, S.ST (sekretariat), dan Dra. Siti Aminah(sekretariat).

2 Anwar Sitepu, memperoleh gelar Magister dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

99Puslitbang Kesos

Page 106: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Enterprise Foundation (SEF) sebuah Non Governmental Organization (NGO

International), untuk mengidentifikasi dan menyeleksi penerima pelayanannya

di Afrika Selatan. PWR dalam perkembangannya sudah diadopsi oleh NGO

yang beroperasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Berdasarkan kajian awal teknik ini dipandang layak digunakan karenaprosesnya dinilai aplicable dan teknisnya dikembangkan berlandaskanpendekatan partisipatif, senada dan selaras dengan paradigma, visi dan misiserta strategi P2FM. Lazimnya sebuah produk luar, sebelum dianjurkanuntuk diaplikasikan secara luas dalam pelaksanaan P2FM, terlebih dahuluperlu dilakukan uji aplikasi. Tujuannya adalah mengetahui efektivitasnya,kendala dan kemudahannya. Penelitian dilakukan dengan mengaplikasikandi lapangan manual PWR yang disusun oleh The SEF. Peneliti, yangsebelumnya dilatih secara singkat, sekaligus bertindak sebagai fasilitator.Penelitian dilakukan di enam lokasi di provinsi berbeda, masing-masingsebagai satuan pemukiman setingkat atau bagian dari Dusun, Rukun Warga,dan Lingkungan. Proses aplikasi di lapangan diobservasi, seluruh pengalamandan hasilnya dicatat dan diabstraksikan. Tulisan ini merupakanpengembangan dari laporan uji aplikasi PWR di lapangan.

Konsep dan Teknik PWR

Participatory Wealth Ranking (PWR) adalah sebuah teknik pemeringkatan

keluarga menurut kondisi sosial ekonomi berlandaskan pada pendekatan

partisipatif. Tujuan PWR adalah untuk menemukan keluarga termiskin di

suatu masyarakat menurut ukuran mereka sendiri dan oleh mereka sendiri.

PWR adalah salah satu bentuk dari metode-metode partisipatif. Bentuk

lain yang relatif sudah dikenal lebih banyak orang adalah Participatory Rural

Apraisal (PRA). Seperti PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers,

PWR adalah sebuah teknik penelitian tetapi bukan sekedar teknik penelitian

biasa. Tekanan penting pada metode partisipatif bukan sebatas pada

aktivitas pengkajian/penelitian atau pengumpulan data tetapi pada aspek

pembelajaran masyarakat (Rianingsih (Ed),1996:14). Visi metode/

pendekatan partisipatif adalah perubahan sosial dan pemberdayaan

(penguatan) masyarakat agar ketimpangan ditiadakan. Metode-metode/

Teknik-teknik participatory dikembangkan sebagai salah satu upaya

menempatkan rakyat sebagai titik pusat pembangunan (people centred

development). Dengan Teknik PWR konsep dan indikator miskin tidak

disiapkan dari luar sebelum pengumpulan data dilakukan.

100 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 107: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Penggunaan teknik ini efektif dilakukan di masyarakat yang warganya

saling mengenal dengan baik. Pemeringkatan keluarga dilakukan oleh

perwakilan warga, dengan asumsi mereka lebih tahu kondisi sesamanya.

Perwakilan warga ditetapkan secara proporsional, minimal sebanyak 9

orang dan maksimal 15 orang. Pemeringkatan dilakukan melalui proses

penilaian berlapis, yaitu sebanyak tiga kali (triangulasi). Setiap penilaian

dilakukan oleh kelompok kecil (tiga sampai lima orang) perwakilan warga.

Penilaian dilakukan dengan teknik pengelompokkan, setiap keluarga

dibandingkan kondisi sosial ekonominya dengan keluarga lain. Keluarga

yang sama atau seimbang kondisi sosial ekonominya dikelompokkan menjadi

satu kelompok. Sumber data adalah perwakilan warga itu juga, sehingga

mereka bertindak sekaligus sebagai pengumpul data dan informan. Orang

luar, petugas lembaga bertindak sebagai fasilitator.

Pemeringkatan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: Tahap Persiapan,

Tahap Pelaksanaan dan Tahap Penghitungan Nilai.

1. Tahap Persiapan

Tahap Persiapan bertujuan untuk menciptakan suasana yang

kondusif untuk melakukan pemeringkatan. Kegiatan pada tahap ini

meliputi tiga besaran, yaitu: perkenalan dan penjelasan, merencanakan

pertemuan pemeringkatan dan pengaturan logistik. Perkenalan yang

dimaksud dilakukan dengan aparat setempat. Kepada aparat

dikenalkan siapa fasilitator, dijelaskan apa tujuannya dan bagaimana

teknis pemeringkatan, termasuk cara kerja, dan dukungan apa yang

diperlukan sampai pada kesepakatan melakukan pemeringkatan. Jika

aparat setempat sudah jelas dan tidak keberatan, lanjutkan dengan

pengaturan pelaksanaan kegiatan, termasuk waktu, tempat dan peserta.

Pada kesempatan tersebut fasilitator menjelaskan persyaratan peserta,

lokasi pertemuan yang diperlukan, dan perkiraan waktu yang

dibutuhkan.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini bertujuan untuk memisahkan atau mengelompokkan

keluarga menurut kondisi sosial ekonomi. Semua keluarga yang sama

atau seimbang dari segi sosial ekonomi dikelompokkan menjadi satu

kelompok, sehingga seluruh keluarga akan masuk dalam salah satu

101Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 108: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

kelompok. Tujuan tersebut dicapai melalui sejumlah kegiatan yaitu:

pemetaan, pendaftaran keluarga, pembuatan kartu, diskusi konsep,

dan sorting.

Pemetaan bertujuan untuk mengidentifikasi seluruh keluarga yang

tinggal di suatu wilayah dimana PWR dilakukan, sehingga tidak ada

yang terlewatkan. Peta memuat lokasi rumah setiap keluarga di

masyarakat tersebut. Setiap rumah di peta diberi nomor urut. Nama

masing-masing Kepala Keluarga dan identitas lain seperti nama

panggilan, pekerjaan dan nama isteri, kemudian didaftarkan pada form

khusus yang sudah disiapkan. Berikutnya, nama dan nomor urut

masing-masing KK ditulis kembali di atas sebuah potongan kertas

karton sehingga menjadi sebuah kartu. Kartu tersebut berfungsi sebagai

alat sorting. Sorting adalah pembandingan antar satu keluarga dengan

keluarga lain.

Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi konsep. Peserta diajak

merumuskan apa yang dimaksud dengan ”miskin” dan ”sangat

miskin” atau mengidentifikasi apa ciri-ciri sebuah keluarga miskin

atau sangat miskin. Diskusi dimaksudkan agar peserta berpikir dan

memiliki pemahaman yang sama tentang miskin dan sangat miskin.

Kesamaan pemahaman diperlukan untuk mempermudah proses sort-

ing. Sorting dilakukan dengan cara:

• Fasilitator menunjukkan kartu nama keluarga kepada kelompok.

Dijelaskan bahwa masing-masing kartu tersebut mewakili sebuah

keluarga.

• Kemudian, fasilitator mengambil dua kartu pertama, seraya

memperlihatkan dan menanyakan kepada peserta, apakah mereka

mengenal kedua keluarga yang namanya tertera pada masing-masing

kartu tersebut? ”Keluarga mana yang lebih miskin?” Disini akan

berlansung diskusi, masing-masing peserta akan menyampaikan

informasi dan pendapatnya.

• Setelah diperoleh kesepakatan, kedua kartu diletakkan

bersebelahan, yang lebih miskin di sebelah kiri dan yang lebih kaya

sebelah kanan. Alasan penempatan dicatat pada form yang telah

disiapkan. Dilanjutkan dengan kartu berikutnya, bandingkan dengan

dua kartu yang sudah diletakkan. Jika sama atau seimbang dengan

102 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 109: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

salah satu kartu yang sudah diletakkan tadi, maka kartu ketiga

diletakkan di atasnya. Jika lebih kaya dari kartu sebelah kanan, maka

kartu ketiga diletakkan di sebelah kanannya lagi, atau jika lebih

miskin dari yang paling kiri, maka kartu ketiga itu diletakkan di

sebelah kirinya lagi.

• Demikian seterusnya, satu demi satu dibandingkan dan diletakkan

di tempat yang sesuai. Pada akhirnya seluruh kartu akan masuk

pada salah satu kelompok atau tumpukan kartu.

• Sorting dilakukan sebanyak tiga kali masing-masing oleh kelompok

(3 sampai 5 orang) perwakilan warga, pada waktu dan tempat

berbeda.

Menurut The SEF tidak menjadi soal, berapa pun banyaknya

tumpukan, yang penting adalah bahwa masing-masing tumpukan

berbeda menurut kondisi sosial ekonomi. The SEF menganjurkan

sebaiknya minimal 4 tumpukan. Hal yang harus diingat bahwa sorting

adalah membandingkan kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga,

bukan bagaimana orang mencari uang atau berapa besar pendapatan

sebuah keluarga. Contoh, walau pun seseorang memiliki penghasilan

besar tetapi uangnya tidak dibawa ke rumah untuk kepentingan

keluarganya, maka itu percuma saja, tidak memberi dampak pada

kesejahteraan keluarganya. Seluruh kegiatan di atas, mulai dari membuat

peta, pendaftaran nama KK, pembuatan kartu, diskusi konsep dan

sorting dilakukan oleh perwakilan warga. Petugas dari lembaga hanya

sebagai fasilitator. PWR harus berlangsung dalam suasana santai tetapi

tetap serius.

3. Tahap Penghitungan Nilai

Akhir dari sorting adalah terpisahnya kartu keluarga menjadi

beberapa tumpukan. Tumpukan paling kiri di mana keluarga termiskin

berada diberi nilai 100, artinya 100% miskin. Nilai masing-masing

keluarga lain tergantung pada jumlah tumpukan (pengelompokkan)

dan di tumpukan mana dia berada. Contoh: Anggaplah kelompok

membagi keluarga ke dalam 4 kategori atau tumpukan menurut

kondisi sosial ekonominya. Menghitung seberapa miskin setiap

tumpukan, 100 dibagi dengan jumlah kategori. 100 dibagi 4 = 25

kalikan dengan nomor tumpukan. Tumpukan 4 = 100 : 4 x 4 = 100;

103Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 110: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Tumpukan 3 = 100 : 4 x 3 = 75 ; Tumpukan 2 = 100 : 4 x 2 = 50;

Tumpukan 1 = 100 : 4 x 1 = 25. Nilai dari masing-masing kelompok

penilai dimasukan pada kolom tersendiri pada form yang sudah

disiapkan.

Tujuan kegiatan ini adalah memperoleh nilai rata-rata masing-

masing keluarga. Nilai rata-rata berfungsi untuk menentukan peringkat

akhir keluarga di masyarakatnya. Karena masing-masing keluarga

dinilai sebanyak tiga kali maka setiap keluarga memperoleh tiga nilai.

Nilai rata-rata setiap keluarga adalah jumlah tiga nilai dibagi tiga.

Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik

batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di

masyarakat berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas

nilai di setiap lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya tidak

bisa seragam untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditentukan oleh

petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki kualifikasi untuk

itu. Titik batas nilai ditetapkan dengan mempertimbangkan ciri-ciri

atau karakteristik peringkat.

Uji Aplikasi PWR

Uji aplikasi dilakukan di 6 provinsi, masing-masing satu lokasi. Peneliti

bertindak sekaligus sebagai fasilitator. Menurut tipe masyarakatnya, 4 lokasi

berupa masyarakat perdesaan dan dua lokasi berupa masyarakat perkotaan.

Keenam lokasi merupakan calon lokasi program pemberdayaan fakir miskin.

Berikut adalah deskripsi aplikasi setiap tahap PWR.

1. Tahap Persiapan

Seluruh kegiatan pada tahap ini dapat dilakukan dengan baik disemua lokasi. Kegiatan diawali dengan menemui Kepala Kelurahan/Desa. Tim Fasilitator didampingi oleh aparat Dinas Sosial Provinsidan atau Dinas Sosial Kota/Kabupaten. Perkenalan dengan KepalaKelurahan/Kepala Desa berlangsung dengan baik. Kepada merekadijelaskan bahwa kegiatan dilakukan masih sebatas mengujicobakanteknik. Kepada masing-masing juga dijelaskan secara singkat tujuandan teknik pelaksanaan PWR. Masing-masing tidak keberatan diwilayahnya dilakukan kegiatan dan bersedia membantu. BersamaKepala Desa/Kelurahan ditetapkan bagian wilayahnya yang akan

104 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 111: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dijadikan lokasi. Fasilitator menjelaskan kriteria lokasi uji coba PWRyang diinginkan. Pada akhirnya lokasi terpilih menjadi bervariasi dimasing-masing provinsi. Cakupan lokasi menjadi berbeda, di Medanmeliputi satu lingkungan, di Subang dan Samarinda dua RT, di Balisatu dusun, dan seterusnya (lihat Tabel 1). Hal tersebut terjadi dalamupaya mencapai jumlah KK sebanyak antara 150 sampai 200 KK.

Perkenalan dan penjelasan lebih lanjut dilakukan dengan aparat

pemerintah di tingkat RT/RW/Kepala Dusun/Kepala Lingkungan.

Persiapan lebih krusial berlangsung bersama mereka. Intensitas kerja

lebih banyak dilakukan bersama aparat terbawah. Bersama Ketua RT/

RW/Lingkungan/Dusun dilakukan: pemilihan perwakilan warga,

penetapan lokasi pertemuan, pengaturan jadwal dan logistik. Kepada

mereka juga ditanyakan apakah warganya saling mengenal satu dengan

yang lain. Perwakilan warga di lokasi yang terdiri dari dua atau lebih

satuan administrasi (misal di Samarinda dua RT dan di Belu tiga dusun)

ditetapkan secara proporsional, sekaligus dengan memperhatikan

keseimbangan menurut jenis kelamin. Pemilihan dilakukan dengan

melibatkan ketua-ketua wilayah masing-masing dan sejumlah tokoh

setempat. Pelaksanaan PWR di Samarinda (Kaltim), Subang (Jabar)

dan Wonogiri (Jatim) bertepatan dengan bulan puasa. Kegiatan

dilaksanakan pada waktu dan tempat yang disepakati.

105Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Tabel 1. Lokasi Aplikasi PWR dan Tipe Masyarakatnya

No. PROVINSI KOTA/KAB

Kecamatan DESA/KEL. SATUAN TIPE

1. Sumatera Utara

Kota Medan Kec. Medan Denai

Kelurahan Tegalsari

Mandala 1

Lingkungan (1): L IX

Kota

2. Jawa Barat Kabupaten Subang Kec. Cipunagara

Desa Jati, Dusun Jati

Rukun Tetangga (2): RT 22 dan RT 23 RW 5

Desa

3. Jawa

Tengah

Kabupaten

Wonogiri Kec. Purwantoro

Desa

Kenteng

Dusun (1) :

Dusun Ploso Jenar

Desa

4. Bali Kabupaten Buleleng Kec. Bangli

Desa Kayubihi

Dusun (1) : Dusun Pucangan

Desa

5. Nusa Tenggara

Timur

Kabupaten Belu, Kec.

Lamaknen

Desa Lakmaras

Dusun (3): Sabulmil, Obipul,

Abistas

Desa

6. Kalimantan Timur

Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang

Kelurahan Selili

Rukun Tetangga (2): RT 29 dan RT 30

Kota

Page 112: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, fasilitator bekerja bersama perwakilan warga

atau disebut juga Tim Pemeringkat. Pada pertemuan pertama diawali

dengan perkenalan dan penjelasan. Di semua lokasi pertemuan berjalan

dengan baik, fasilitator dapat menyampaikan penjelasan dan hingga

dipahami perwakilan warga. Pertanyaan yang banyak disampaikan

warga adalah seputar tidak lanjut, apakah akan ada bantuan untuk

warga setempat. Kesan umum yang muncul adalah sepertinya mereka

tidak percaya bahwa mereka dapat melakukan pemeringkatan atau

mereka meragukan manfaatnya, karena pemerintah sudah memiliki

ukuran sendiri. Di beberapa tempat Tim Perwakilan warga minta

agar fasilitator terlebih dahulu menetapkan ukuran miskin atau tidak

miskin. Hal ini dapat dipahami sebagai indikasi, bahwa warga

masyarakat sudah lama demikian tergantung pada instruksi, tidak

percaya diri, kehilangan inisiatif. Kejadian berbeda terjadi di Buleleng

(Bali), perwakilan warga dalam sesi tanya jawab seperti

”menginterogasi” fasilitator dengan cara sangat halus. Seperti meminta

memperlihatkan KTP, Surat Tugas, dan Rekomendasi Badan Linmas

setempat.

Pembuatan peta di semua lokasi berjalan mulus, semua peserta

aktif, saling mengingatkan, memberi informasi, suasana rileks dan

santai. Hubungan dengan fasilitator mulai cair. Peta dibuat menurut

wilayah satuan administrasi, misalnya di Subang dibuat dua peta,

masing-masing untuk RT 22 dan RT 23. Demikian juga di lokasi lain

yang kegiatan mencakup lebih dari satu wilayah administrasi.

Pembuatan peta berlangsung melalui dua cara berbeda: pertama,

langsung sekali jadi; kedua, terlebih dahulu membuat sketsa kemudian

disalin kembali di atas kertas karton. Pelajaran berharga diperoleh

dari Wonogiri, salah seorang aparat Dinas Sosial setempat mengambil

alih proses pembuatan peta akibatnya muncul kesulitan. Proses

kemudian diulang lagi, seharusnya pembuatan peta diserahkan kepada

warga.

Pendaftaran KK di semua lokasi berlangsung lancar. Nama

masing-masing KK sesuai nomor urut pada peta ditulis pada form

yang sudah disiapkan. Di semua lokasi tidak ditemukan kesulitan berarti,

Perwakilan Warga (Tim Pemeringkat) berhasil mengidentifikasi semua

106 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 113: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

KK setempat. Hasil kegiatan ini adalah daftar nama KK berikut alamat,

nama panggilan dan nama isteri masing-masing. Fenomena yang

menarik adalah jumlah KK yang dilaporkan sebelumnya oleh aparat

pemerintah setempat ternyata berbeda dengan temuan penelitian (lihat

Tabel 2). Kecuali di Belu (NTT), jumlah KK hasil pemetaan lebih

banyak dibanding data pemerintah setempat. Hal demikian patut

diwaspadai karena dapat dibaca sebagai indikasi adanya sejumlah

keluarga yang tidak tercover. Dalam konteks pemberdayaan, hal

demikian sama artinya dengan menghilangkan akses sejumlah keluarga

untuk masuk pada program yang diselenggarakan untuk mereka.

Pertanyaan yang banyak muncul di semua lokasi adalah seputar

siapa yang dimaksud keluarga. Misalnya, seorang anak yang sudah

menikah tetapi masih tinggal bersama orangtuanya, seorang nenek

yang tinggal bersama keluarga anaknya, seorang anak yang sudah

menikah kemudian cerai dan kembali bersama orangtuanya, atau

keluarga pendatang yang tinggal di rumah kontrakan di lingkungan

setempat. Sesuai dengan semangat pemberdayaan, semua kasus-kasus

seperti di atas didaftar sebagai keluarga tersendiri.

107Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Tabel 2. Banyaknya Kepala Keluarga Menurut Data

dan Temuan di Lokasi Penelitian

LOKASI BANYAKNYA KEPALA

KELUARGA

NO. PROVINSI/KAB/KOTA/

KEC/KEL

SATUAN

PEMUKIMAN

SETEMPAT

DATA

DESA

DITEMU-

KAN

PERBE-

DAAN

1. Sumut,Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1

L9 183 305 122

RT 29 63 70 7

RT 30 86 109 23

2. Kaltim Kota Samarinda Kec. Samarinda Seberang Kel. Selili

Jumlah 149 179 30

RT 22 70 76 6

RT 23 82 90 8

3. Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati Jumlah 152 166 14

RT1/5 63

RT2/5 43

RT3/5 40

RT4/5 61

RT1/6 48

RT2/6 41

4. Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Ploso Jenar Dusun Ploso Jenar

Jumlah 212 343 131

5. Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli,Desa kayubihi

Dusun Pucangan

189 276

Dusun Sabulmil 63 60 -3

Dusun Obipul 43 42 -1

Dusun Abistas 53 51 -2

6. NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras

Jumlah 159 153 -6

Page 114: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesulitan terjadi di Medan (Sumut), perwakilan warga ternyata

tidak hafal nama sebagian KK setempat. Mereka mengenal wajahnya

tetapi tidak tahu siapa namanya. Ada dua persoalan pada kasus ini

yang tidak diantisipasi sebelumnya. Pertama, jumlah penduduk di lokasi

jauh melebihi data yang disampaikan Ketua Lingkungan sebelumnya,

yaitu 187 KK. Setelah dilakukan pemetaan, ditemukan sebanyak 305

KK; Kedua, hubungan antar dua kelompok besar penduduk ternyata

kurang harmonis, salah satu kelompok tertutup bagi kelompok yang

lain.

Pembuatan kartu keluarga di semua lokasi dilakukan sekaligus

dengan pendaftaran nama KK. Kedua kegiatan dilakukan setelah peta

selesai digambar. Selama pembuatan kartu tidak ditemukan kesulitan

serius. Fasilitator dapat menjalankan tugasnya dengan baik, semua

kegiatan dilakukan oleh Tim Perwakilan Warga. Kendala yang dihadapi

di beberapa lokasi adalah form dan blanko yang disiapkan tidak

mencukupi karena jumlah penduduk melampaui perkiraan. Sementara

itu, salah satu faktor yang cukup mendukung kelancaran kegiatan adalah

terdapatnya anggota perwakilan warga yang mampu menulis dengan

jelas dan cepat.

Sebelum sorting, terlebih dahulu dilakukan diskusi konsep. Pada

kegiatan ini fasilitator dituntut mampu menggali pendapat peserta.

Jika tidak cukup di fasilitasi, pengertian yang disampaikan cenderung

abstrak. Di semua lokasi berhasil dirumuskan pengertian konsep

”miskin” dan ”sangat miskin”. Berikut adalah contoh definisi miskin:

a) Lingkungan 9 Kel. TSM 1 Kota Medan.

Ciri-ciri sebuah keluarga miskin menurut hasil diskusi adalah: (1).Rumah numpang (pada orangtua, mertua atau saudara); (2). Makandari pemberian orang (anak/saudara/tetangga) atau mengemis;(3). Pendidikan anak putus sekolah sebelum tamat SD atau SLTP;(4). Tidak sanggup membayar biaya pengobatan apabila salahseorang anggotanya perlu berobat di rumah sakit. Biasanya caripinjaman; (5). Pekerjaan tidak tetap (serabutan).

b) RT 29 dan RT 30 Kel.Selili, Kota Samarinda.

(1) Makan seadanya. Memperoleh makanan dari bantuan orang

lain atau mengharap dari “raskin”. Lauk asal ada: contohnya

ikan asin murahan.

108 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 115: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

(2) Pekerjaan dan penghasilan tidak tetap. Untuk memenuhi

kebutuhan makan (pokok) selalu utang. Penghasilan rata-rata

per hari kurang dari Rp.25.000,- atau kurang Rp.750.000,- per

bulan.

(3) Tidak punya tempat tinggal sendiri yang layak huni. Biasanya

numpang pada keluarga lain atau menyewa rumah yang tidak

layak. Rumah Tidak layak huni yang dimaksud adalah rumah

yang komponen-komponennya, seperti dinding, lantai dan atap

sudah lapuk atau bocor.

(4) Anggota keluarga sering sakit karena kurang gizi.

(5) Tidak mampu membayar biaya pengobatan di rumah sakit.

(6) Peralatan rumah tangga sangat minim. Misalnya tidak punyaTV.

(7) Tidak mampu membeli air bersih.

(8) Tidak mampu menyediakan biaya pendidikan anak hinggaminimal tamat SLTP.

Setelah diskusi konsep selesai dilanjutkan dengan penjelasan danperagaan bagaimana melakukan sorting. Teknik sorting seperti padamanual The SEF tampak cukup mudah dijelaskan oleh fasilitator danmudah dipahami serta mudah dilakukan perwakilan warga di semualokasi. Perwakilan warga kemudian dibagi menjadi 3 kelompokmasing-masing dengan 3 sampai 4 orang anggota. Tugas masing-masing kelompok adalah menilai seluruh keluarga denganmemperbandingkan satu dengan yang lain berdasar kondisi sosialekonomi. Kegiatan ini disebut juga sorting, sementara kelompoknyadisebut juga Kelompok Penilai.

Pelaksanaan sorting berlangsung dalam dua model. Modelpertama, secara simultan, ketiga kelompok penilai bekerja secarabergantian. Model kedua, secara paralel, kelompok penilai melakukansorting secara terpisah pada waktu bersamaan di lokasi yang sama.Cara kedua ini dilakukan di kebanyakan lokasi karena di pandanglebih mudah dan mengirit waktu. Pada sorting dengan model paralelkartu keluarga perlu disiapkan sedemikian rupa, sehingga ketigakelompok penilai dapat melakukan tugasnya. Misalnya di buat rangkaptiga (pengalaman di Subang dan Samarinda) atau tetap di buat rangkapsatu, tetapi dibagi tiga bagian (pengalaman di Medan).

109Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 116: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Dalam prakteknya sorting berlangsung lancar, kelompok penilaidapat menilai setiap keluarga dan menempatkannya ke dalamkelompok atau kategori tertentu. Hal tersebut dimungkinkan karenasemua anggota Kelompok Penilai mengenal dengan baik keluarga-keluarga setempat. Banyaknya kategori bervariasi antara satu lokasidengan lokasi lain, mulai dari 4 sampai 6 kategori. Hasil sorting terdiridari dua bagian penting. Pertama, catatan pada kategori mana sebuahkeluarga ditempatkan dan alasan informatif mengapa ditempatkanpada kategori tertentu. Kedua, nilai bagi masing-masing keluarga.Karena sorting dilakukan sebanyak tiga kali maka masing-masingkeluarga memperoleh tiga nilai dan tiga catatan alasan. Nilai berasaldari atau tergantung pada tumpukan mana dia ditempatkan dan jumlahseluruh tumpukan (lihat sub bagian penghitungan nilai di atas). Kesulitanterjadi apabila Kelompok Penilai tidak mengenal dengan baik keluarga-keluarga setempat. Kejadian seperti ini dialami di Medan, sejumlahkeluarga tidak dikenal dengan baik oleh Kelompok Penilai, sehingganilai yang dihasilkan tidak konsisten.

3. Tahap Penghitungan Nilai

Penghitungan nilai yang dimaksud adalah mulai dari menetapkan

nilai setiap keluarga sampai mencari nilai rata-rata. Menetapkan nilai

masing-masing keluarga dilakukan oleh tiga Kelompok Penilai melalui

proses sorting. Karena itu sorting dapat disebut juga sebagai proses

penilaian. Kelompok penilai di semua lokasi tidak mengalami kesulitan

memahami sistem menetapkan nilai. Mereka mudah memahami nilai

tertinggi ditetapkan sebesar 100 diberikan kepada setiap keluarga

termiskin yang kartunya berada pada tumpukan paling kiri, tumpukan

ke-4. Sistem penetapan nilai demikian ternyata ditolak para peserta

(anggota kelompok Penilai) di semua lokasi. Alasan mereka seragam,

yaitu nilai tertinggi selalu diberikan kepada yang terbaik. Analog dengan

sistem penilaian anak sekolah. Keberatan warga diterima oleh fasilitator

di semua lokasi, nilai tertinggi diberikan kepada keluarga terkaya.

Sistem ini diterima dengan pertimbangan tidak merubah substansi

pengelompokkan.

Dengan ketentuan demikian, apabila sebuah kelompok penilaimembagi penduduk menjadi 4 kategori (tumpukan), maka nilaimasing-masing keluarga mulai dari termiskin sampai terkaya adalah

110 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 117: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

25,50, 75 dan 100. Pada umumnya jumlah kategori yang ditetapkanoleh tiga Kelompok Penilai di suatu lokasi adalah sama, sebanyak 4,5 atau 6. Sistem penilaian tetap sama. Nilai masing-masing keluargadengan mudah dapat dimasukkan kelompok penilai ke form yangdisiapkan. Penghitungan nilai rata-rata dapat dilakukan dengan lancaroleh peserta. Mudah bagi mereka menghitung (25 + 25 + 50) : 3.Kesempatan memasukkan nilai ke form ternyata sekaligus berfungsimelakukan kontrol. Masing-masing peserta ternyata memperhatikankeluarga siapa dapat nilai berapa. Mereka spontan mengajukan protesjika merasa ada keluarga yang diberi nilai tidak semestinya.

Berdasarkan nilai rata-rata diketahui peringkat kemiskinan setiap

keluarga. Keluarga dengan nilai terendah adalah keluarga termiskin.

Keluarga dengan nilai tertinggi adalah keluarga terkaya. Dalam upaya

penyederhanaan, peringkat keluarga digolongkan menjadi 4 sampai 6

golongan peringkat (lihat Tabel 3).

111Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

LOKASI GOLONGAN PERINGKAT Sosial Ekonomi NO.

PROVINSI/ KAB/KOTA/

KEC/KEL

SPS

JML PEND

I II III IV V VI

1. Sumut, Kota Medan Kec. Mdn Denai Kel.Ts Mandala 1

L9 305 52 97 68 73 15 -

RT 29 70 6 28 41 5 - -

RT 30 109 5 34 63 7 - -

2. Kaltim Kota Samarinda Kec. Smrd Seberang Kel. Selili Jumlah 179 11 72 104 12 - -

RT 22 76 25 22 29 - - -

RT 23 90 18 37 31 4 - -

3. Jabar, Kab Subang, Kec. Cipunagara, Desa Jati, Dusun Jati

Jumlah 166 43 59 60 4 - -

RT 1/5 63 12 22 15 9 5 -

RT 2/5 43 10 14 14 4 1 -

RT 3/5 40 6 23 10 7 2 -

RT 4/5 61 10 25 9 11 6 -

RT 1/6 48 11 26 6 4 1 - RT 2/6 41 10 22 6 3 - -

4. Jateng, Kab. Wonogiri, Kec.Purwantoro, Desa Kenteng

Jumlah 343 65 155 68 40 15 -

5. Bali, Kabupaten Bangli, Kec.Bangli, Desa Kayubihi

Dusun Pucangan

276 108 104 60 4 - -

Sabulmil 60 4 7 4 28 13 4

Obipul 42 2 1 4 21 11 2

Abistas 51 8 2 4 21 14 2

6. NTT, Kab. Belu, Kec. Lamaknen, Desa Lakmaras

Jumlah 153 14 1 14 70 38 8

Tabel 3. Distribusi Keluarga menurut Golongan Peringkat

Kondisi Sosial Ekonomi Di Lokasi Penelitian

Page 118: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

4. Menetapkan Sasaran Program

Seleksi penerima program dilakukan dengan menetapkan titik

batas nilai (the cut of point). Mengingat tingkat kesejahteraan di masyarakat

berbeda dan bervariasi antara wilayah, maka titik batas nilai di setiap

lokasi ditentukan secara sendiri-sendiri. Maksudnya, tidak bisa seragam

untuk semua lokasi. Titik batas nilai ditetapkan dengan

mempertimbangkan ciri-ciri atau karakteristik peringkat. Titik batas

nilai ditentukan oleh petugas lembaga yang sudah terlatih atau memiliki

kualifikasi untuk itu. Contoh: Penduduk dibagi menjadi 4 kategori

maka terdapat 10 variasi nilai rata-rata yang muncul, yaitu (lihat Tabel).

112 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Tabel 4. Variasi Nilai Rata-Rata yang berpeluang

Muncul dan Peringkatnya

NILAI No.

A B C JML RATA2 PERINGKAT

GOLONGAN PERINGKAT

1. 25 25 25 75 25 1

2. 25 25 50 100 33 2

I Paling Miskin

3. 25 50 50 125 41 3

4. 50 50 50 150 50 4

5. 50 50 75 175 58 5

II Miskin

6. 50 75 75 200 66 6

7. 75 75 75 225 75 7

8. 75 75 100 250 83 8

III

9. 75 100 100 275 92 9

10. 100 100 100 300 100 10 IV

Dengan memperhatikan karakteristik umum keluarga sesuai nilai

rata-rata atau peringkatnya dapat ditentukan “titik batas poin” keluarga

yang berhak menjadi sasaran program. Hal ini harus disesuaikan

dengan karakteristik sasaran program yang dirancang sebelumnya.

Sasaran program P2FM kemungkinan bukan keluarga dengan nilai

terendah, mungkin keluarga dengan nilai 33 sampai 41.

Keberhasilan Teknik PWRTeknik PWR berhasil dengan baik mengelompokkan secara relatif

semua keluarga di setiap lokasi menurut peringkat sosial ekonomi. Denganteknik PWR berhasil diidentifikasi keluarga termiskin di setiap lokasi.Penggolongan keluarga bervariasi di setiap lokasi. Di tiga lokasi, yaitu diKaltim, Jabar dan Bali keluarga digolongkan menjadi 4 peringkat. DiSumatera Utara dan di Jawa Tengah dibagi menjadi lima peringkat keluarga.Sedangkat di NTT menjadi 6 peringkat keluarga. Peringkat tertinggi, (yaitu

Page 119: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

peringkat 4 di Kaltim, Jabar dan Bali; peringkat 5 di Jateng dan Sumutdan peringkat 6 di NTT) terdiri dari keluarga terkaya. Di bawahnya berturut-turut keluarga yang lebih rendah secara sosial ekonomi. Keluarga termiskinadalah keluarga yang masuk pada peringkat satu. Di setiap lokasi, masing-masing peringkat berhasil dideskripsikan gambaran kondisi sosialekonominya.

Standar Keabsahan DataTeknik PWR dilengkapi dengan ukuran keabsahan tersendiri, yaitu:

konsistensi skor. Apabila 90% konsisten maka hasil penilaian kelompoktersebut dianggap dapat dipercaya. Sebaliknya apabila skor tidak konsistenlebih dari 10% maka hasil penilaian kelompok itu perlu diragukan. Nilaikonsisten yang dimaksud adalah apabila nilai yang diberikan oleh tigakelompok penilai adalah sama atau kalau berbeda maksimal perbedaansebesar 25 poin. Contoh: Kelompok Penilai A memberi nilai kepadakeluarga nomor urut 1 sebesar 20. Apabila Kelompok Penilai B memberinilai pada keluarga yang sama sebesar 60 maka nilai tersebut dianggaptidak konsisten. Konsistensi nilai di semua lokasi ternyata di atas 90%. DiJabar dan Kaltim konsistensi nilai bahkan mencapai 100%, di Bali, Jatengdan NTT nyaris 100%. Dengan demikian tampak bahwa teknik PWR dapatmenghasilkan data yang kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan.

Alasan lain untuk tidak meragukan keabsahan data yang diperolehdengan teknik ini adalah:

1. Hasil observasi atas beberapa keluarga miskin setelah proses penilaianselesai, tampak bahwa penilaian yang diberikan Tim Pemeringkatcukup objektif. Hal tersebut diyakini karena home visit di ke-6 lokasimemperlihatkan keluarga yang memperoleh nilai rata-rata rendah,memang kondisinya miskin.

113Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

LOKASI No.

PERBEDAAN NILAI Sumut Kaltim Jabar Jateng Bali NTT

1. 0 – 25

(Konsisten)

258

(84,6%)

179

(100%)

166

(100%)

331

(96,5%)

273

(99,9%)

151

(98,7%)

2. 26 >

(inkonsisten)

47

(15,4%)

0

(0%)

0

(0%)

12

(3,5%)

3

(0,1%)

2

(1,3%)

Jumlah 305 179 166 343 276 153

Tabel 5. Distribusi dan persentase keluarga menurut

perbedaan nilai

Page 120: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

2. Upaya seseorang untuk menempatkan sebuah keluarga pada peringkat

yang tidak sesuai, lebih kaya atau menjadi lebih miskin, tampak sulit

terjadi. Karena: pertama, penilaian dilakukan berlapis, ada saling

mengontrol antara peserta.; kedua, proses penilaian dengan kartu

memperkecil peluang; ketiga, masih ada rasa malu para perwakilan

warga untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tidak sesuai.

Pengecualian terjadi di Medan, nilai inkonsisten meliputi 15,4%. Hasil

penilaian tiga kelompok penilai di Medan ternyata tidak dapat dipercaya

sepenuhnya.

Kelebihan dan Kendala

Kelebihan PWR adalah:

a) Teknik PWR mudah dipahami dan mudah dilakukan meskipun olehwarga berpendidikan rendah.

b) Waktu pelaksanaan fleksibel, dapat dilakukan di luar jam kerja.

c) Masyarakat merasa dihargai karena seluruh proses dilakukan olehmereka dan sesuai dengan ukuran yang berlaku sehari-hari dimasyarakatnya.

d) Dapat mengidentifikasi seluruh keluarga yang bertempat tinggal diwilayah setempat, PWR cukup cermat. Data yang diperoleh tidaksekedar angka tetapi lengkap dengan identitas mulai dari nama KK,pekerjaan, alamat dan nama isteri. PWR berpeluang untukmengumpulkan data PSKS (Potensi Sosial Kesejahteraan Sosial) danPMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) lebih luas/banyak.

e) PWR dengan konsep keluarga lebih membawa nuansa keadilan.Keluarga yang sudah tidak lengkap, seperti janda yang tinggal serumahdengan keluarga anaknya, atau anak yang sudah menikah tetapi tinggalbersama orangtua/mertua dihitung sebagai keluarga tersendiri.

f) Pada proses pemetaan versi The SEF, peta semata-mata untukmengidentifikasi keluarga. Mengamati proses yang terjadi, peta dapatdiperluas sehingga memuat unsur PSKS dan PMKS.

g) Pada proses pendaftaran nama KK versi The SEF informasi yangdikumpulkan meliputi nama KK, nama panggilan, pekerjaan dan namaisteri. Ketika aplikasi PWR dilakukan di lapangan, tampak bahwapengumpulan data dapat diperluas/diperdalam sesuai kepentingan.

114 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 121: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

h) Pada proses sorting, ketika melakukan penilaian/perbandingan satukeluarga dengan keluarga lainnya, dikumpulkan informasi lanjutantentang kondisi sosial ekonomi masing-masing keluarga.

Kendala dalam pelaksanaan PWR adalah:

a) Masyarakat kita sudah terbiasa dengan instruksi.

b) Diperlukan kesabaran fasilitator untuk melakukan seluruh proses.

c) Pada masyarakat di mana hubungan sosial antara kelompok tidakharmonis atau renggang, pemilihan informan (perwakilan warga) harushati-hati, melibatkan semua kelompok.

d) Bahasa dapat menjadi kendala jika tidak ada penterjemah.

e) Masyarakat cenderung mengharapkan bantuan.

Indomie VS Jagung

Pemeringkatan keluarga dengan Teknik PWR, seperti dialami selama

penelitian, dapat dilakukan oleh dua orang fasilitator bersama sebanyak 9

orang perwakilan warga untuk sebanyak 150 sampai 200 KK dalam waktu

tiga hari. Untuk wilayah perdesaan, seperti pada kasus Wonogiri dan Bangli,

di mana penduduknya homogen dan memiliki interaksi sosial yang relatif

tinggi, dengan tenaga dan waktu yang sama dapat memperingkatkan lebih

dari 200 KK.

Dengan waktu dan tenaga seperti tersebut di atas, hasil yang diperoleh

meliputi:

1. Peta wilayah pemukiman setempat

2. Daftar nama KK seluruh penduduk SPS.

3. Daftar alasan penempatan setiap keluarga pada peringkat tertentu.

4. Konsep miskin menurut masyarakat setempat;

5. Daftar nilai seluruh KK

6. Daftar nama KK menurut peringkat sosial ekonomi, mulai daritermiskin sampai terkaya, di setiap SPS.

Hasil lain yang juga tidak ternilai harganya adalah dampak yang

ditimbulkan pada pribadi perwakilan warga dan pada masyarakat sebagai

kesatuan sosial.

115Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 122: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

1. Pada pribadi perwakilan warga mereka merasa dihargai dan didengarpendapatnya.

2. Sebagai kesatuan sosial, masyarakat diakui dan dihargai eksistensinya.Bandingkan jika petugas datang lalu melakukan survey tanpa pedulipendapat masyarakat setempat. Perasaan inferior warga bisa diangkat.Sikap selalu menunggu instruksi bisa berkurang. Rasa percaya diritumbuh.

3. Pengalaman perwakilan warga mengikuti kegiatan ini dapat dijadikanlandasan membangun sistem pegumpulan data PSKS dan PMKSsecara berkesinambungan. Mereka dapat melaksanakan sendiri PWRsecara berkala baik untuk kepentingan mereka sendiri maupunkepentingan pihak lain, termasuk pemerintah.

4. Melalui proses pelaksanaan PWR, fasilitator dapat menangkap situasiumum masyarakat, seperti: kecurigaan warga terhadap pendatang(di Bali); ketidakpecayaan warga atas penjelasan aparat pemerintah(di NTT); hubungan sosial yang kurang harmonis antara kelompokpenduduk pribumi dan non pribumi (di Medan).

5. Pelaksanaan PWR selain berguna untuk pengumpulan data sekaligusdapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi program.

6. Pelaksanaan PWR dapat menjadi titik awal (merangsang) muncul danberkembangnya kesadaran dan tanggung jawab sosial bersama sesamawarga untuk memecahkan masalah masyarakat.

Apakah teknik PWR efesien? Mahal atau murah, praktis seperti

memasak mie instan atau memerlukan waktu relatif lama seperti memasak

jagung? Sangat tergantung dari sisi mana pengukuran dilakukan. Kalau

pembangunan hendak mengejar ”setoran” maka teknik PWR terasa boros

dan mahal. Apabila pembangunan kesejahteraan sosial ingin konsisten

hendak membangun masyarakat sebagai basis perkembangan mandiri,

mendidik manusia, PWR menjadi super murah.

Kesimpulan dan SaranPWR cukup efektif digunakan untuk mengidentifikasi keluarga

menurut urutan kemiskinannya secara partisipatif. PWR memungkinkanpartisipasi masyarakat disalurkan secara representatif dan menghasilkan datasecara sistematik. Teknik ini mudah dilakukan oleh fasilitator yang dilatihsecara singkat dan perwakilan masyarakat sekali pun berpendidikan rendah.

116 Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 123: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PWR potensial digunakan untuk menjaring informasi lebih dalam (spesifik)maupun lebih luas. PWR juga dapat digunakan sebagai landasanpengembangan sistem pengumpulan data berkelanjutan berbasismasyarakat.

Apabila identifikasi dan seleksi sasaran Program Pemberdayaan FakirMiskin hendak dijadikan kegiatan produktif, maka PWR dapat dijadikanpilihan teknik. PWR tidak sekedar mengidentifikasi keluarga miskin dantermiskin, tetapi sekaligus merangsang prakarsa masyarakat. Namunsebelum digunakan secara luas untuk mengidentifikasi dan seleksi sasaranP2FM, PWR perlu terlebih dahulu digunakan secara terbatas di beberapakabupaten, sehingga diperoleh pengalaman riil. Pada aplikasi PWR harusdiwaspadai prosesnya dilakukan dengan benar. Walapun teknik sudah cukuppartisipatif tetapi jika tidak digunakan dengan benar hasil akhirnya akanberbeda.

DAFTAR PUSTAKA

David S Gibbon, Anton Simanowitz, ben Nkuna; 1999, Cost Effective

Targeting: Two Tools to Identify the Poor; CASHPOR Technical Service,

Negeri Sembilan, Malaysia.

Djohani, Rianingsih (Ed); 1996, Berbuat Bersama Berperan Setara:

Penerapan Participatory Rural Appraisal; Bandung Driyamedia untuk

Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusatenggara.

117Puslitbang Kesos

Participatory Wealth Ranking

Page 124: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 125: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PEMBERDAYAAN KELUARGA

DI WILAYAH PERBATASAN

(Identifikasi Masalah dan Kebutuhan)1

Sugiyanto, S.Pd, M.Si. 2

ABSTRAK

Penelitian ini, merupakan studi kasus wilayah perbatasan di lima

propinsi (Kepulauan Riau, Kalimatan Barat, Kalimantan Timur, Nusa

Tenggara Timur dan Papua), dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah,

kebutuhan dan potensi serta untuk mendapatkan konsep model

pemberdayaan keluarga di wilayah perbatasan. Penelitian ini bersifat

deskriptif kualitatif-kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk

menganalisis data yang bersifat kualitatif wawancara dengan para informan,

yaitu: pemuka masyarakat (formal, informal), LSM, Perguruan Tinggi dan

aparat instansi daerah terkait. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan

untuk menganalisis data dari responden yang bersifat kuantitatif. Informan

ditentukan secara purposive dengan teknik pengumpulan data dilakukan

melalui wawancara, observasi, dokumentasi dan focus group discussion. Data

kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi,

sedangkan data kualitatif dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian

data, yang akhirnya dilakukan pengambilan kesimpulan.

Secara umum, permasalahan yang dihadapi oleh keluarga di wilayah

perbatasan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan,

keterampilan serta ketidakmenentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan

penghasilannya. Untuk itu kebutuhan yang dibutuhkannya antara lain

memfasilitasi mereka untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi,

pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya). Adapun

1 Diangkat dari penelitian “Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan”-Identifikasi

Masalah dan Kebutuhan, dengan anggota Tim : Konsultan : Dr. Marzuki, M.Sc.; Prof. Dr. H.Agus Suradika, M.Pd. Ketua Tim : Drs. Masngudin, M. Hum. Anggota : Ir. Erliwati Suin;

Rukmini Dahlan, BA.; Drs. Muchtar, M.Si.; Sugiyanto, S.Pd., M.Si. Sekretariat : Bahder Husni,S.Sos. dan Haryanto, SST.

2 Sugiyanto, Ajun Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan

Sosial, Badan Pendididkan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

119Puslitbang Kesos

Page 126: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

potensi (sosial, alam dan SDM) masih sangat terbuka sekali untuk dapat

didayagunakan. Secara umum intervensi kebijakan (program pembangunan)

pemerintah dan Orsos telah dilakukan tetapi secara spesifik yang mengarah

terhadap pemberdayaan keluarga belum dilakukan. Karena program yang

telah dilakukan masih bersifat charity. Konsep model pemberdayaan keluarga

yang ditawarkan adalah konsep model pemberdayaan keluarga di daerah

perbatasan secara terpadu dan berkelanjutan. Konsep model tersebut masih

perlu diujicobakan dan disosialisasikan ke berbagai pihak agar dapat menjadi

program yang lebih efisien dan efektif.

Kata kunci:

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan

17.504 pulau. Dua pertiga wilayahnya terdiri dari perairan dengan garis

pantai sekitar 81.000-an km dan terletak diantara dua benua (Australia dan

Asia) serta dua samudera (Pasifik dan Hindia) memiliki perbatasan baik

darat maupun laut (http//www.tnial.mil.id).

Secara demografis, penyebaran penduduk di wilayah perbatasan

umumnya jarang dan sporadis. Di wilayah yang berbatasan darat, misalnya:

Kalbar, Kaltim, NTT jumlah penduduknya sedikit, sebarannya sangat jarang.

Sedangkan pada perbatasan laut, termasuk pulau-pulau terluar, bahkan tidak

berpenghuni (KRA XXXVIII, Lemhanas R.I., 2004).

Abdulhadi (LIPI) mengidentifikasi sejumlah permasalahan di wilayah

perbatasan, yaitu: pergeseran batas negara, minimnya pembangunan

infrastruktur, kesenjangan kehidupan dengan negara tetangga, arus informasi

dari dalam negeri kurang dan lebih deras arus dari negeri tetangga,

kemiskinan penduduk, sampai kurangnya perhatian dari sektor-sektor

terhadap pembangunan wilayah perbatasan (MI, 2 Januari 2006). Oleh

karena itu, Menko Polhukkam - dalam Rapat Tim Koordinasi Pengelolaan

Pulau-Pulau Terluar yang beranggotakan 17 menteri - menegaskan, masalah

perbatasan saat ini merupakan masalah krusial yang harus mendapatkan

perhatian khusus. Rencana pembangunan itu antara lain: peningkatan

keamanan, pelayanan bagi masyarakat serta penyediaan navigasi pelayaran

(MI, 30 Januari 2006).

120 Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 127: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sejalan dengan pemikiran itu, pemberdayaan keluarga di wilayah

perbatasan merupakan keharusan, karena keluarga mempunyai peran

penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mutu

suatu masyarakat ditentukan oleh kualitas kesatuan primer ini. Akan tetapi,

kenyataan empirik menunjukkan, banyak keluarga (di perbatasan) di dera

berbagai masalah seperti: kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan,

rendahnya kesehatan & nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak,

anak-anak yang tidak sekolah dan berbagai masalah sosial lainnya.

Terkait dengan itu, Puslitbang Kessos Depsos RI (2006) melakukanpenelitian, bertujuan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan keluargadi daerah perbatasan, serta ekplorasi model-model pemberdayaan keluargabaik yang telah maupun sedang dilaksanakan oleh berbagai pihak di daerah,unsur Pemda maupun masyarakat (LSM). Penelitian ini merupakan inputbagi penyusunan konsep model pemberdayaan keluarga di daerahperbatasan, yang nantinya diharapkan dapat diterapkan oleh unit operasionalDepartemen Sosial R.I. dalam hal ini Direktorat Pemberdayaan Keluargadan pihak terkait lainnya; Pemda, Dunia Usaha, LSM/Orsos dan PerguruanTinggi.

Menurut para ahli, keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama

dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai

mahluk sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan,

1988). Soekanto (1990) juga menyatakan, keluarga adalah: (1) pelindung

bagi pribadi-pribadi anggotanya, agar ketenteraman dan ketertiban

diperoleh dalam keluarga tersebut; (2) unit sosial ekonomi yang secara

material memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya; (3) menumbuhkan

dasar-dasar bagi kaidah pergaulan hidup; dan (4) merupakan wadah

terjadinya proses sosialisasi awal bagi manusia mempelajari dan mematuhi

kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor :10 Tahun 1992 dinyatakan, keluargaadalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atausuami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalamkonteks penelitian ini, yang dimaksud keluarga adalah keluarga miskin yangtinggal di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain. Yang padaumumnya mereka dalam kondisi keterbatasan baik secara fisik (saranatransportasi, komunikasi & lainnya yang tidak memadai, bahkan tidaktersedia), maupun nonfisik (tingkat pendapatan rendah, tingkat pendidikanrendah, derajat kesehatan rendah dan lain sebagainya).

121Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 128: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Ketidakberdayaan

Isolasi

Kemiskinan Kelemahan Fisik

Kerentanan

Bagan 1. Perangkap Depriasi(Sumber : Chambers, 1983)

Adapun arti dari pemberdayaan (empowerment) itu sendiri merupakan

konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran

masyarakat dan kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Ife (1995) memberikan

batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas

sumber, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan

kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi

di dalam dan memenuhi kehidupan komunitas mereka.

Dalam konsep pemberdayaan, terdapat dua hal yang saling berkait,

yaitu: kondisi berdaya dan ketidakberdayaan. Terkait dengan

ketidakberdayaan, Chambers (1983) mengemukakan konsep perangkap

deprivasi (concept of deprivation trap). Ia menganalisis penyebab kemiskinan

sebagai hubungan sebab akibat yang saling berkait dari powerlessness

(ketidakberdayaan), vulnerrebality (kerentanan), physical weakness (kelemahan

fisik), poverty (kemiskinan) dan isolation (keterisolisasian). Chambers lebih

lanjut menjelaskan, ketidakberdayaan membatasi akses terhadap sumber

daya negara, memperumit keadilan hukum terhadap penyelewengan,

hilangnya kekuatan tawar menawar, membuat rakyat semakin tidak

mempunyai kemampuan terhadap permintaan mendadak untuk

pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu

sengketa. Saling keterkaitan kelima itu dapat dicermati pada gambar berikut:

122 Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 129: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Menurut Oakley & Marsden (1984) dalam Pranarka & Moeljarto

(1996), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu: (1)

proses primer, yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan,

kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, agar menjadi lebih berdaya

membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian

mereka; dan (2) proses sekunder, dengan menekankan pada menstimuli,

mendorong, memotivasi masyarakat, agar mempunyai kemampuan/

keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Kedua proses ini bukan

klasifikasi kaku, tetapi saling terkait. Agar kecenderungan primer terwujud,

seringkali harus melalui proses sekunder terlebih dahulu.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-kuantitatif. Informan

ditentukan secara purposive mereka memahami secara baik kondisi daerah

perbatasan. Atas pertimbangan itu, informan dalam penelitian ini adalah:

(a) pemuka masyarakat setempat (formal-informal); (b) orsos/LSM; (c)

perguruan tinggi; (d) aparat instansi Pemerintah Daerah terkait. Responden

ditentukan secara random sampling - kepala keluarga di daerah berbatasan.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi,

dokumentasi, dan focus group discussion. Lokasi penelitian didasarkan atas

pertimbangan, lokasi tersebut berbatasan langsung dengan negara lain. Atas

dasar itu, lokasi terpilih adalah: (a) Kampung Skouw Sae (Jayapura Papua)

berbatasan darat dengan PNG; (b) Desa Pancang (Nunukan Kaltim)

berbatasan darat & laut dengan Malaysia; (c) Dusun Bungkang (Sanggau

Kalbar) berbatasan darat dengan Malaysia; (d) Desa Berakit (Bintan Kepri)

berbatasan laut dengan Malaysia & Singapura; dan (e) Desa Silawan (Belu

NTT) berbatasan darat dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Data kuantitatif dianalisis secara distributive-frekuentif, sedangkan data kualitatif

dianalisis secara reduktif, yang diikuti penyajian data, yang akhirnya dilakukan

pengambilan kesimpulan.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan, sejumlah permasalahan keluarga yang

mengedepan di daerah perbatasan lokasi penelitian adalah: kemiskinan

penduduk, yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan serta keterampilan

dan ketidak menentuan jenis pekerjaan yang ditekuni dan penghasilannya.

123Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 130: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Masalah tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian, dan

ketidakberdayan secara sosial, politik, dan psikologis. Kondisi tersebut

diperparah oleh berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan,

transportasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (pasar), serta belum ada

program pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan,

baik yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dengan demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan adalah:

memfasilitasi mereka, untuk dapat mengakses sistem sumber (informasi,

pengetahun, keterampilan, Orsos, ekonomi, kesehatan dan lainnya).

Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan,

fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan

untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi).

Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan

untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, adalah: adanya rasa

kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial pada keluarga

di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembaga-lembaga (in-

formal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi terjadinya

perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian, perkebunan)

yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka meningkatkan

taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Adapun intervensi

kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah dilakukan

terhadap keluarga di wilayah perbatasan, adalah: pembangunan sarana

prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi (pasar) dan pemukiman,

BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg UKM dan lainnya). Intervensi

kebijakan pemerintah tersebut di rasakan masih jauh dari yang diharapkan,

karena masih lebih bersifat charity, tidak berkelanjutan, tidak ada

pendampingan dan tidak ada monitoring dan evaluasi. Demikian halnya

intervensi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat (Orsos/LSM: dalam, luar

negeri), juga bersifat philantropy.

Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Berdasarkan permasalahan, kebutuhan, potensi tersebut model yang

ditawarkan ini akan diuraikan melalui variabel-variabel: lokasi penelitian

(desa/kecamatan/ kabupaten), permasalahan, kebutuhan, potensi, metode,

model yang ditawarkan (yang dilihat dari pelatihan, penyuluhan, UEP,

124 Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 131: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pendampingan) dan user. Model tersebut seperti terlihat pada bagan tersebut

di bawah ini :

125Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Keluarga di daerah

perbatasan

Intervensi: � Pelatihan,

bimbingan � Bantuan teknis

(pendampingan) � Bantuan: Kebutuhan

pokok, bahan bangunan perbaikan rumah, &

UEP.

Diperolehnya pengetahuan, keterampilan,

bantuan: Pendamping,

kebutuhan pokok, bahan

bangunan perbaikan rumah, &

bantuan UEP

Keberdayaan Keluarga

LMS/Orsos

Pemuka Masyarakat

Pengawasan

Masyarakat (Pelaku perubahan)

Pemerintah (Fasilitator)

Bagan 2. Model Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan.

Model tersebut memungkinkan untuk direplikasikan di tempat lain,

tentunya selain di lima wilayah perbatasan yang menjadi sampel penelitiaan

ini. Namun, masih diperlukan adanya penyempurnaan dalam usaha

memperkecil kelemahan dan menjawab ancaman. Sesuai dengan prinsip

participatory action research (PAR), maka untuk menghasilkan model yang

diharapkan memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, uji coba

perlu dilaksanakan berkali-kali untuk meredesign sesuai dengan hasil uji coba.

Pelaksanaan uji coba dalam penelitian ini nantinya masih terbatas pada

lima lokasi penelitian awal (Bintan, Sanggau, Nunukan, Belu dan Jayapura),

yang mewakili perbatasan darat maupun laut dengan negara tetangga. Setelah

itu bisa di uji cobakan lagi pada daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar.

Sehingga nantinya didapatkan/dihasilkan model yang variatif untuk setiap

jenis wilayah perbatasan.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian itu disimpulkan bahwa permasalahan

umum keluarga di daerah perbatasan, adalah kemiskinan penduduk. Masalah

tersebut terkait erat dengan kerentanan, keterisolasian dan ketidakberdayan

Page 132: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

secara sosial, politik dan psikologis. Kondisi tersebut diperparah oleh

berbagai keterbatasan sarana prasarana, antara lain: jalan, transportasi,

pendidikan, kesehatan dan ekonomi (pasar), serta belum adanya program

pemberdayaan secara spesifik bagi keluarga di daerah perbatasan, baik

yang dirancang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan

demikian, kebutuhan keluarga di daerah perbatasan antara lain: memfasilitasi

mereka, setidaknya untuk dapat mengakses terhadap sistem sumber

informasi, pengetahun, keterampilan, ekonomi, kesehatan dan lainnya.

Disamping itu, juga diperlukan sarana prasarana pendidikan, kesehatan,

fasilitas pasar dan berbagai bantuan (kebutuhan pokok, bahan bangunan

untuk perbaikan rumah dan bantuan usaha ekonomi melalui KUBE,

misalnya).Adapun potensi (sosial, alam dan SDM) yang dapat didayagunakan

untuk memberdayakan keluarga di daerah perbatasan, antara lain: masih

kentalnya rasa kebersamaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial

pada keluarga di daerah perbatasan. Disamping itu, juga adanya lembaga-

lembaga (informal, non formal) lokal, yang dapat dimanfaatkan bagi

terjadinya perubahan. Demikian juga potensi alam (laut, lahan pertanian,

perkebunan) yang masih belum diolah secara maksimal, dalam rangka

meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga di daerah perbatasan. Sedangkan

intervensi kebijakan (program pembangunan) pemerintah yang telah

dilakukan terhadap keluarga di daerah perbatasan lokasi penelitian, antara

lain: pembangunan sarana prasarana fisik (jalan, sekolah, kesehatan, ekonomi

(pasar) dan pemukiman, BLT/SLT, raskin, bantuan modal dari Meneg

UKM dan lainnya), masih jauh dari yang diharapkan, karena masih lebih

bersifat charity tidak berkelanjutan, tidak ada pendampingan dan tidak ada

monitoring dan evaluasi.

Dalam upaya pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan, untukitu direkomendasikan, pertama: secara internal (Depsos R.I.) perlu dirancangsuatu konsep model pemberdayaan keluarga di daerah perbatasan secaraterpadu dan berkelanjutan. Seperti konsep model yang ditawarkan (pre-scriptive) tersebut di atas. Kedua: secara eksternal, dipandang perlu: (a)penyusunan rancangan perundang-undangan tentang daerah perbatasanantar negara/pulau terluar/terpencil, sebagai acuan secara nasional dalamupaya mengembangkan daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil tersebut dalam rangka memperkokoh rasa nasionalisme dan tetaputuhnya NKRI; (b) membentuk semacam lembaga nasional, yang khususmenangani daerah perbatasan antar negara/pulau terluar/terpencil.

126 Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 133: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DAFTAR PUSTAKA

Chambers, Robert. (1983). Rural development: Putting the last first, Published

by Longman scientific and technical, essex, United Kingdom.

Depsos R.I., Ditjen. Pemberdayaan Sosial, D it. Pemberdayaan Peran

Keluarga. (2002). UU. R.I. Nomor: 10 Tahun 1992 Tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluar ga

Sejahtera.Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Tugas Di.

Pemberdayaan Peran Keluarga

Gerungan, W.A. (1988). Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.

Ife, Jim. (1995). Community Development: Creating community alternatives-vision,

analysis and practice, Australia, Longman Pty Ltd.

Pranarka, A.M.W. & Moeljarto, Vindyandika. (1996). Pemberdayaan (Em-

powerment). Pemberdayaan, konsep, dan implementasi, Jakarta: Centre for

Strategic and Intenational Studies (CSIS).

127Puslitbang Kesos

Pemberdayaan Keluarga di Wilayah Perbatasan

Page 134: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 135: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

EVALUASI PROGRAM SUBSIDI PANTI

DALAM MENDUKUNG KELANGSUNGAN

PELAYANAN PANTI SOSIAL1

Drs. Nurdin Widodo 2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pemanfaatan subsidi oleh panti-

panti sosial; (2) pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhan makanan

dan pengembangan usaha ekonomi produktif; dan (3) upaya panti-panti sosial dalam

mengatasi masalah pembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan).

Penelitian ini mengambil sampel lokasi panti di Provinsi Sumatera Utara, NusaTenggara Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Data daninformasi digali melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus dan studidokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistika deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya subsidi makanan dimanfaatkanuntuk meningkatkan kualitas makan pokok dan makanan tambahan dan memberikanpengaruh positif pada peningkatan kualitas menu makanan dan jenis makanantambahan. Adapun subsidi Usaha Ekonomis Produktif (UEP) dimanfaatkan untukmembuka UEP baru atau pengembangan UEP yang sudah ada, yang hasilnyamenunjukkan perubahan positif meskipun baru sebagian kecil panti sosial mengalamipeningkatan omset dan aset setelah mendapatkan subsidi. Terkait dengan masalahtersebut adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan dalam pengelolaan UEP.

Panti-panti sosial pada umumnya masih tetap mengharapkan agar subsidimasih diterima pada masa-masa mendatang. Hal ini menggambarkan, bahwa tingkatketergantungan panti-panti sosial terhadap pemerintah masih sangat tinggi. Dalamupaya mengatasi masalah pembiayaan, sebagian kecil dari panti sudah memiliki upayakonkret dan sebagian lainnya masih berupa gagasan. Namun, upaya ini menurutpengelola panti tetap belum bisa membantu biaya operasional panti.

Kata kunci:

Subsidi Panti, pemanfaatan subsidi, Pengaruh subsidi, Upaya panti, Harapan panti,

Implikasi kebijakan

1 Diangkat dari hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Subsidi Panti Dalam Mendukung

Kelangsungan Pelayanan Sosial oleh Drs. Nurdin Widodo (Ketua), Drs. Suradi, M.Si,Drs. B. Mujiyadi, MSW, Dra Nunung Unayah, Ivo Noviana, S.Sos dan Muslim Sabarisman, AKS.

Penerbit Puslitbang Kesos Depsos RI, 2006

2 Nurdin Widodo, Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial,Departemen Sosial RI

129Puslitbang Kesos

Page 136: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pendahuluan

Setiap makhluk hidup pasti memiliki kebutuhan dan sifatnya menuntut

pemenuhan dengan sesegera mungkin. Sebab apabila tidak segera dipenuhi

akan menimbulkan masalah baik yang bersifat individual (private trouble)

maupun gangguan yang bersifat kolektif (public issues). Menurut Neil Gil-

bert dan Harry Spect (dalam Sukoco, 1991), bahwa setiap manusia

dimanapun dan kapanpun secara universal memiliki sejumlah kebutuhan,

yaitu kebutuhan fisik, emosional, intelektual, spiritual dan sosial.

Selo Soemardjan (1997), membagi kebutuhan manusia menjadi tiga

jenis, yaitu (1) kebutuhan dasar (basic needs); (2) kebutuhan sosial-psikologis

(social-phsyicological needs); dan (3) kebutuhan pengembangan (developmental needs).

Krisis ekonomi yang hingga saat ini masih dirasakan oleh sebagian

besar masyarakat termasuk didalamnya lembaga-lembaga pelayanan sosial

mengakibatkan pemenuhan kebutuhan dasar ini masih merupakan hambatan.

Dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah apabila kebutuhan

dasar saja tidak dapat terpenuhi. Disinyalir terdapat lembaga pelayanan

sosial yang merasa terancam kelangsungannya dan bahkan tidak tertutup

kemungkinan mereka akan menghentikan kegiatannya

Sebagai bentuk tanggung jawab dan kemauan politik, pemerintah

telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap permasalahan

ini. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah diluncurkannya

program Bantuan Biaya Makanan dan Bantuan Usaha Ekonomis Produktif bagi

panti-panti sosial di seluruh Indonesia oleh Departemen Sosial.

Sejak diluncurkan, program ini terus mengalami peningkatan dari segi

jumlah subsidi maupun jumlah panti dan klien penerima subsidi. Pada tahun

2005, panti sosial yang menerima prorgam subsidi sebanyak 4.308 unit,

dengan rincian sebanyak 149.050 orang klien menerima bantuan biaya

makanan, 855 panti menerima bantuan Usaha Ekonomis Produktif (UEP)

dan 93 panti menerima pengembangan UEP.

Di dalam Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 50/HUK/2005

tentang Standardisasi Panti Sosial, ditegaskan bahwa salah satu jenis pelayanan

yang diberikan oleh panti sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar yang

meliputi makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Khusus untuk

memenuhi pemenuhan kebutuhan makan klien, diharapkan pihak panti

sosial melakukan konsultasi dengan ahli gizi dari instansi kesehatan setempat

130 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 137: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

guna memperoleh daftar menu makan yang memenuhi standar gizi dan

kesehatan. Melalui konsultasi ini maka pelayanan makan bagi klien, terutama

untuk anak-anak, tidak hanya bermanfaat secara fisik, akan tetapi juga

bermanfaat dalam pengembangan intelegensi dan psikomotorik. Kemudian

bagi para lanjut usia, pelayanan makan diharapkan akan mencegah atau

mengendalikan gangguan fisik dan menjaga kebugaran.

Konsep pelayanan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Alfred J.

Khan (Soetarso, 1980), pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh lembaga

kesejahteraan sosial disebut dengan “pelayanan kesejahteraan sosial”. Di negara-

negara berkembang tertentu, pelayanan kesejahteran sosial dimaksudkan

sebagai pelayanan yang difokuskan pada bantuan untuk perorangan atau

keluarga yang mengalami masalah penyesuaian diri dan pelaksanaan fungsi

sosial atau ketelantaran. Di negara lainnya digunakan istilah “pelayanan sosial”

untuk mencakup apa yang terkandung dalam pengertian pelayanan

kesejahteraan sosial di atas ditambah dengan : (1) Bantuan sosial, yaitu yang

ditekankan pada pemberian bantuan uang dan atau barang; (2) Program-

program kesehatan yang tidak tercakup oleh program yang dikembangkan

oleh swasta; (3) Pendidikan, Perumahan rakyat; (4) Program-program

ketenagakerjaan; dan (5) Fasilitas umum.

Menurut Anthony H. Pascal (dalam M.R. Siahaan, 2004) tujuan

pelayanan sosial adalah: (1) memberikan perlindungan kepada orang yang

mengalami kehilangan kemampuan; (2) menyediakan pilihan-pilihan kepada

penerima pelayanan; (3) mengembangkan keberfungsian sosial; dan (4)

meningkatkan keadilan untuk memperoleh kesempatan.

Dalam rangka memperoleh informasi tentang bagaimana realisasi

subsidi panti tersebut di lapangan dan pengaruhnya terhadap kelangsungan

panti sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial perlu

melaksanakan “Penelitian Evaluasi terhadap Pelaksanaan Program Subsidi

Panti dalam mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial”. Tujuan yang

akan dicapai melalui penelitian ini, adalah :

1. Diketahuinya pemanfaatan subsidi panti oleh panti-panti sosial.

2. Diketahuinya pengaruh subsidi panti terhadap pemenuhan kebutuhanmakanan dan pengembangan usaha ekonomis produktif (UEP).

3. Diketahuinya upaya panti-panti sosial dalam mengatasi masalahpembiayaan kegiatan selanjutnya (apabila subsidi dihentikan).

131Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 138: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Adapun manfaat yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai

bahan pertimbangan rasional bagi pimpinan Departemen Sosial dalam

pengembangan kebijakan dan program pemberdayaan panti sosial di

Indonesia.

Metode PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi (evaluatif research), yang

dilaksanakan dalam upaya mengetahui kekuatan dan kelemahan programsubsidi panti sosial, serta suatu cara menentukan perbaikan bagi parapengambil keputusan di Direktorat Jenderal Pelayanan dan RehabilitasiSosial. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbanganvariasi panti sosial yang menerima subsidi dari Departemen Sosial padatahun 2005. Adapun jenis-jenis panti sosial yang menjadi sasaran dalampenelitian ini adalah : Panti Sosial Asuhan Anak, Panti Sosial Tresna Werdha,Panti Sosial Penyandang Cacat, Panti Sosial Pamardi Putra dan Panti SosialTuna Sosial. Berdasarkan pertimbangan persebaran data panti penerimaprogram subsidi panti, maka penelitian ini dilaksanakan di 5 (lima) provinsi,yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta,Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Di setiap lokasi penelitian ditentukanpanti sosial sebanyak 10 unit dengan mempertimbangkan variasi panti sosial.Sumber data untuk setiap provinsi terdiri dari unsur Dinas Sosial provinsi(2 orang), pengelola panti sosial (10 orang) dan klien (10 orang), yangditentukan secara purposive. Dengan demikian jumlah responden di limaprovinsi adalah 360 orang (10 orang Instansi sosial, 100 orang pengelolapanti dan 250 klien panti). Teknik pengumpulan data yang digunakanwawancara, diskusi kelompok terfokus dan studi dokumentasi.

Data yang terkumpul, dianalisis secara kualitatif dan dideskripsikansesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan melalui tahapanediting, kategorisasi, tabulasi, analisis dan interpretasi. Secara kualitatif, datayang terhimpun dianalisis dengan mempertimbangkan informasi danmasukan dari tiap responden dan informan lainnya yang didapat melaluiwawancara.

Gambaran Umum Panti SosialPanti sosial yang menjadi sampel dalam Penelitian ini adalah panti

sosial milik pemerintah daerah (74%) dan milik masyarakat (26%). Khususuntuk Provinsi Sumatera Utara, panti sosial milik pemerintah daerah tidak

132 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 139: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

memperoleh subsidi panti. Adapun jenis dan jumlah panti sosial terdiridari 32 Panti Sosial Anak Terlantar (64%), 5 Panti Sosial Lanjut Usia (10%),7 Panti Sosial Penyandang Cacat (14%), 4 Panti Sosial Tuna Sosial (8%) dan2 Panti Sosial Napza (4%).

Sarana perkantoran yang dimiliki panti sosial berdasarkan data

sekunder di setiap panti menunjukkan sebanyak 26% panti sosial belum

memiliki komputer, 10% belum memiliki telepon dan sebanyak 72% belum

memiliki faxcimilie. Sementara peralatan sound system dan tape recorder baru

22% yang memilikinya. Peralatan kantor lainnya seperti meja kerja dan

lemari arsip sudah dimiliki oleh panti-panti sosial dengan jumlah terbatas,

sedangkan filling cabinet, calculator dan brankas dimiliki oleh sebagian kecil

panti-panti sosial. Sarana teknis seperti modul sebagai alat/panduan

pelayanan kepada klien hanya sebagian kecil (26%) panti sosial yang

memilikinya dan umumnya panti sosial milik pemerintah daerah. Peralatan

olah raga dan kesenian sebagian besar (88%) sudah memilikinya. Sementara

peralatan terapi medik, fisioterapi dan alat pijat refleksi dimiliki oleh panti

sosial cacat dan panti sosial Napza. Sebanyak 48% panti sosial memiliki

kendaraan bermotor roda empat dan 96% memiliki kendaraan roda dua.

Sumber dana tetap berasal dari Dinas Sosial provinsi (54%), Yayasan

Dharmais (48%), APBD (32%,) dan dari donatur/masyarakat sebesar

18%. Sumber dana tidak tetap terbesar berasal dari donatur/masyarakat

(72%) dan Dinas Sosial provinsi (28%).

Secara struktural panti-panti sosial pemerintah dipimpin oleh seorang

kepala, dibantu oleh beberapa orang kepala seksi yang diangkat berdasarkan

Surat Keputusan Kepala Daerah setempat (Bupati/Walikota). Sedangkan

pimpinan panti sosial swasta sebagian besar diangkat dan diberhentikan

oleh pengurus yayasan, sebagian para pengurus/pengelola panti (kepala,

sekretaris, bendahara, pengasuh dan tenaga lainnya) ada yang berasal dari

anggota keluarganya sendiri.

Jumlah tenaga di 50 panti sosial sebanyak 937 orang dan 69,05%

diantaranya adalah tenaga tetap, yakni Pegawai Negeri di panti-panti sosial

pemerintah., sedangkan tenaga tidak tetap merupakan tenaga honor panti.

Tingkat pendidikan tenaga panti terdiri dari SLTA (44,99%), sarjana muda,

sarjana dan pasca sarjana (44,11%), sedangkan tenaga yang berpendidikan

SD dan SLTP (9,77%) bertugas sebagai pengemudi, bagian gudang, juru

masak, tukang cuci dan satpam. Tenaga teknis terdiri dari pengasuh

133Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 140: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

(37,04%), pekerja sosial (27,37%), kerohanian (13,32%) dan lainnya adalah

instruktur, psikolog, perawat, dokter/psikiater, analis laboratorium dan

konselor. Khusus tenaga teknis pekerjaan sosial secara kuantitas masih relatif

terbatas, yaitu rata-rata 3 orang per panti sosial, yang rata-rata per pekerja

sosial mendampingi 74 orang klien. Rasio ini sangat berat terutama untuk

klien penyandang masalah pathologis, seperti penyandang cacat dan korban

napza.

Pemahaman tentang pekerja sosial ini di setiap panti berbeda-beda.Sebagian besar panti-panti sosial milik pemerintah daerah berpendapatbahwa tenaga pekerja sosial merupakan tenaga profesi yang seharusnyamempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial, atau yang pernahmengikuti pelatihan profesi pekerjaan sosial. Sementara sebagian panti(terutama panti sosial swasta) menyatakan bahwa pekerja sosial yangdimaksud disini adalah relawan sosial yang melaksanakan pelayananberdasarkan charitatif. Perbedaan persepsi tentang pekerjaan sosial iniberpengaruh terhadap pelayanan sosial kepada klien

Bentuk dukungan paling besar (74%) terhadap panti-panti sosial dalamjaringan kerja adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam bentukpengobatan kepada klien di puskesmas dan rumah sakit serta pelatihankeperawatan untuk lanjut usia. Sedangkan pelatihan keterampilan diberikanoleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Dinas Perindustrian memberikandukungan magang kerja melalui kerjasama dengan dunia usaha, KantorUrusan Agama memberikan bantuan pembimbing agama/mental kepadaklien, Dinas Sosial dan BKKKS memberikan dukungan pelatihanmanajemen panti. Namun, pelatihan ini baru diberikan sebanyak 46% daripanti-panti sosial. Selain itu pihak kepolisian juga memberikan penyuluhantentang bahaya Napza. Dukungan dalam bentuk beasiswa diberikan olehMuhammadiyah dan gereja.

Mengenai pemenuhan kebutuhan fisik klien, diperoleh informasi

sebanyak 50% panti memberikan menu makan tiga sehat plus berupa nasi,

sayur, lauk dan pauk, kadang-kadang buah. Sedangkan 36% memberikan

makan tiga sehat berupa nasi, sayur dan lauk pauk. Hanya sebagian kecil

panti sosial yang memberikan menu makan empat sehat dan empat sehat

plus berupa nasi, sayur, lauk pauk, kadang-kadang buah bahkan kadang-

kadang susu. Menu makanan rata-rata terdiri dari makanan pokok, sayur,

lauk pauk, buah ditambah susu. Sedangkan makanan tambahan diwujudkan

dalam bentuk kue, kolak, kacang hijau dan buah-buahan.

134 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 141: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sebagian besar (96%) panti-panti sosial memberikan pakaian sekolah,

pakaian lebaran, pakaian ibadah (sarung, baju koko, mukena) dan pakaian

dalam, yang biasanya dikaitkan dengan hari raya Idul Fitri dan Natal,

sedangkan pakaian sekolah diberikan sesuai kebutuhan klien. Kadang-

kadang pakaian juga diberikan oleh para dermawan pada saat mengadakan

kunjungan ke panti.

Sebagian besar tempat tinggal klien menggunakan asrama (96%),

lainnya dalam bentuk wisma (cottage). Apabila dilihat dari total jumlah klien,

95,83% klien tinggal dalam asrama dan 4,17% tinggal di cottage.

Sebagian besar (98%) Panti sosial juga memberikan peralatan/

perlengkapan mandi seperti sabun mandi, sabun cuci, sikat gigi, odol, handuk

dan pakaian dalam. yang diberikan setiap bulan dan ada yang tidak setiap

bulan. Dalam bidang kesehatan, pelayanan yang diberikan meliputi P3K,

rujukan ke puskesmas atau rumah sakit umum/daerah setempat.

Mengenai kegiatan pembinaan fisik, sebagian besar panti sosial

melaksanakan kegiatan senam secara rutin, sedangkan bola volley, sepak

bola dan tenis meja dilaksanakan secara insidentil pada sore hari. Pelaksanaan

bimbingan fisik sebagian besar memanfaatkan tenaga dari dalam panti,

sedangkan penyuluhan kesehatan melibatkan tenaga Puskesmas setempat.

Jenis bimbingan mental/psikososial yang dilaksanakan di panti-panti sosial

meliputi bimbingan agama, bimbingan bicara (spech therapy), bimbingan

kedisiplinan, konsultasi, pramuka dan psikoterapi.

Pemahaman bimbingan sosial di setiap panti berbeda-beda sesuai

dengan persepsi pimpinan/pengelola panti sosial. Jenis bimbingan sosial

yang selama ini diberikan oleh panti-panti sosial meliputi sosialisasi dengan

lingkungan/masyarakat, pengabdian masyarakat dan gotong royong.

Bimbingan keterampilan yang ada di panti-panti sosial memiliki tujuan

yang berbeda-beda. Secara umum kegiatan ini mempunyai tujuan: (1)

memberikan keterampilan kepada klien, sehingga kegiatan ini merupakan

program pokok bagi klien dalam panti, seperti yang dilaksanakan oleh

Panti Sosial Bina Remaja; (2) sebagai terapi dalam usaha membantu

penyembuhan klien sebagaimana kegiatan keterampilan yang dilaksanakan

oleh Panti Sosial Bina Laras; dan (3) merupakan kegiatan ekstra kurikuler

atau sekedar mengisi waktu luang. Walaupun memiliki tujuan yang berbeda,

sebagian besar (86%) panti sosial melaksanakan bimbingan keterampilan

135Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 142: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

secara rutin, 2 % melaksanakan bimbingan keterampilan secara insidentil

dan 12 % panti sosial tidak melaksanakan bimbingan keterampilan. Jenis

bimbingan keterampilan di setiap panti sosial bervariasi, yang disesuaikan

dengan kondisi masing-masing panti. Setiap panti sosial ada yang

melaksanakan 1 atau 2 jenis keterampilan ada juga yang melaksanakan 3 - 5

jenis keterampilan. Pelaksana kegiatan ini, sebagian memanfaatkan tenaga

dalam panti, sebagian panti memanfaatkan tenaga dari Dinas Tenaga Kerja,

Koperasi dan dunia usaha.

Pemanfaatan Subsidi Panti

1. Subsidi Makanan

Panti-panti yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah

panti-panti sosial yang mendapatkan subsidi makanan pada tahun 2004

dan 2005. Namun, untuk tahun 2005 ini tidak semua panti yang menjadi

responden mendapatkan subsidi makanan. Panti-panti milik

pemerintah daerah untuk Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan

tidak mendapatkan subsidi makanan dengan alasan sesuai dengan Surat

Edaran dari Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang menyatakan

bahwa panti milik Pemerintah tidak mendapatkan subsidi ini. Padahal,

menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial, yang tidak mendapatkan subsidi makanan adalah panti milik

Pemerintah (pusat) bukan milik Pemerintah Daerah.

Tidak semua panti sosial mendapatkan subsidi makanan sesuai

dengan jumlah klien. Dari 50 panti sosial dengan jumlah klien 3.693

orang, yang mendapatkan subsidi sebanyak 2.450 orang atau 66.94%

dari total klien dalam panti sosial. Untuk itu pemanfaatan subsidi

diserahkan sepenuhnya kepada panti-panti yang menerimanya. Dengan

demikian, ada keleluasaan bagi pengelola panti untuk mengelola subsidi

sebatas untuk biaya makanan dan bukan untuk kebutuhan yang lain.

Bagi panti yang telah memiliki sumber tetap seperti dari APBD (khusus

panti pemerintah), dari Yayasan Dharmais, dari Yayasan pendukung

utama operasional panti dan sebagainya, subsidi panti dapat digunakan

sebagai tambahan sumber dana panti.

Subsidi makanan yang besarnya Rp. 2.250,- per orang sangat

signifikan sebagai suplemen pemenuhan makanan klien yang digunakan

136 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 143: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

untuk menambah jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada

klien. Untuk Panti Pemerintah, subsidi dimaksud digunakan untuk

menambah lauk-pauk, makanan tambahan dan susu. Hal ini berkaitan

dengan sudah adanya dukungan APBD untuk menu pokok harian.

Sedangkan untuk panti swasta, subsidi makanan terkesan menjadi

“yang utama”. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya/kurangnya

sumber dana tetap. Apabila dibandingkan dengan harga eceran

tertinggi (HET) setempat untuk jenis barang yang dikonsumsi klien

sehari-hari, secara rata-rata maka jumlah anggaran dimaksud antara

kurang dan lebih dari mencukupi.

Menu makanan yang diberikan panti Pemerintah mengikuti menu

yang sudah ditetapkan dengan jadwal yang pasti dan masih dapat

memberikan buah dan susu serta makanan tambahan seperti kacang

hijau, meski tidak setiap hari. Sedangkan panti swasta, ada yang belum/

tidak dapat memberikan makanan tambahan. Namun demikian, ada

satu panti swasta yang dapat memberikan makanan tambahan.

Menu makanan yang diberikan panti kepada kliennya diusahakan

sedemikian rupa untuk memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna. Namun

demikian, untuk sebagian panti swasta standar tersebut masih dirasakan

sebagai ’utopia’ karena perbandingan jatah SOSH dengan harga

setempat masih relatif jauh.

Membandingkan jatah SOSH dengan HET setempat tampak

adanya angka ’minus’ dari anggaran panti untuk mengadakan bahan

makanan tiap harinya. Untuk itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

137Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Tabel 1. Perbandingan SOSH dengan kebutuhan tiap orang

No. Provinsi SOSH

(Rp)

Harga Kebutuhan per orang

per hari (Rp)

Kekurangan

(Rp)

1. Sumut 7.500,- 10.120,- 2.620,-

2. NTB 9.000,- 10.100,- 1.100,-

3. DI Yogya 10.000,- 11.150,- 1.150,-

4. Kalbar 9.600,- 11.140,- 1.540,-

5. Sulsel 11.000,- 9.900,- 1.100,-

Panti-panti pemerintah yang mendapatkan jatah SOSH tampakterjadi defisit tiap harinya, sehingga tuntutan untuk dapat memenuhistandar 4 sehat 5 sempurna hampir pasti tidak dapat terpenuhi. Kondisiini lebih parah dirasakan oleh panti swasta, karena tidak memiliki

Page 144: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sumber dana tetap seperti yang dimiliki panti pemerintah. Daripengamatan pada waktu penelitian, tampak bahwa beberapa pantihanya mampu memberikan makanan seadanya kepada kliennya. Klientidak setiap saat mendapatkan jatah lauk pauk yang memenuhi standargizi dan bahkan kalau mereka mendapatkan makanan harian hanyadalam wujud nasi dan sayur yang dimasak dengan cara diberikanbanyak kuah.

Banyak panti swasta yang hanya dapat merasakan lauk pauk enakapabila klien panti dimaksud diundang untuk acara selamatandi masyarakat sekitar panti atau panti mendapatkan hantaran darimasyarakat dalam wujud makanan matang. Khusus untuk Yogya,tampak bahwa indeks kebutuhan lebih tinggi, meskipun secara umumdiketahui bahwa HET relatif lebih murah bila dibandingkan denganprovinsi lain. Di Yogya panti milik pemda memberikan snack/makanan ringan pada medio pagi dan sore. Harga makanan ringandimaksud ditetapkan Rp 1.000,- tiap kali dan dengan demikian tiaphari diperlukan Rp 2.000,- untuk makanan ringan dimaksud. Jadi nilaiRp 11.150,- untuk Yogya merupakan kebutuhan paling besardibandingkan panti-panti di provinsi lain.

2. Subsidi Usaha Ekonomi Produktif

Tidak semua panti responden mendapatkan subsidi UEP yang

besarnya Rp 10 juta (subsidi baru) dan Rp 25 juta (subsidi

pengembangan usaha). Untuk itu dapat dilihat tabel berikut ini.

138 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

No. Subsidi UEP Jumlah %

1. Baru 31 panti 62

2. Pengembangan 4 panti 8

3. Tidak ada UEP 15 panti 30

Tabel 2. Jenis Subsidi UEP yang didapatkan

Dari 31 panti yang mendapatkan subsidi UEP baru dan 4 panti

yang mendapatkan subsidi pengembangan UEP dan dimanfaatkan

untuk berbagai jenis usaha, dari yang sifatnya ternak, usaha kerja hingga

usaha jasa. Selain itu diketahui bahwa terdapat panti yang

mengembangkan usahanya dalam 1 jenis atau lebih jenis usaha.

Mengenai variasi jenis usaha/kerja diperoleh informasi, bahwa

warung sembako menempati jumlah terbanyak (18,92%). Kemudian

Page 145: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

wartel dan rental komputer menempati urutan ke dua (10,81%). Pilihan

ini tentunya berkaitan dengan kemudahan pemasaran dari hasil usaha/

kerja yang dipilih. Sedangkan jenis usaha lainnya, antara lain: ternak

ayam, kambing dan sapi, budidaya lele, menjahit, salon, tanaman hias,

bengkel, foto copy, koperasi/simpan pinjam, bengkel dan pertukangan.

Alasan pemilihan jenis usaha ini berkaitan dengan pemasaran (31,33%),

lokasi (21,69%), SDM/pengelola (13,25%) dan lain alasan.

Dalam memanfaatkan dana subsidi UEP, masing-masing pantikemudian menjalin relasi dengan pihak lain sehingga diharapkan dapatmencapai peningkatan kemampuan kerja/produksi sekaligus dalamrangka pemasaran. Adapun jalinan kerja dimaksud, antara lain denganpihak dunia usaha serta institusi milik pemerintah dan masyarakat.Meskipun demikian terdapat panti yang tidak melakukan jalinan kerjasama karena usahanya ada yang memang sudah dalam keadaan tidakoperasi dan sebagian merasa dapat mengatasi sendiri masalahnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalinan terbanyak adalahdengan toko, terutama bagi panti yang mengembangkan UEP dalambentuk jualan sembako. Jalinan dimaksud terutama dalam rangkapengadaan bahan dagangan. Didapatkan informasi bahwa sebagiantoko memberikan kemudahan seperti mengambil barang terlebihdahulu dan baru membayar kemudian setelah barang dagangannyaterjual.

Jalinan terbesar ke dua adalah dengan PT Telkom. Ini berkaitandengan jenis usaha yang dikembangkan panti, yakni Wartel atau Warnet.Sementara itu, untuk jalinan dengan lembaga/institusi lain adalah dalamrangka peningkatan keterampilan dan pemeliharaan usaha.

Kerja sama dengan pihak lain baik dunia usaha maupun institusidimaksudkan sebagai praktek kerja, peningkatan kemampuan hinggaupaya pemasaran. Bentuk kerjasama/dukungan terhadap Panti Sosialantara lain praktek kerja, diklat perbengkelan, pemasaran danpenyuluhan kesehatan.

Pengaruh Subsidi

Untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh program subsidi

panti ini, analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang didukung

oleh tabel destribusi frekuensi dan diagram.

139Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 146: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

1. Makanan

Beberapa aspek terkait dengan makanan yang menjadi perhatian

dalam penelitian ini, yaitu frekuensi makan, menu makan (yang

menggambarkan kualitas makanan) dan makanan tambahan.

Pada aspek frekuensi makan, program subsidi panti tidak

memberikan pengaruh yang signifikan. Sebelum menerima subsidi,

96 persen panti sosial sudah memberikan makan tiga kali sehari dan

kemudian menjadi 100 persen setelah menerima subsidi, atau ada

penambahan sebesar 4 persen. Perubahan ini dinilai bermakna, karena

dengan subsidi panti akhirnya seluruh panti kini sudah sesuai dengan

Standardisasi Panti Sosial dalam pemberian makanan, khusunya dalam

hal frekuensi makan.

Aspek kedua dari makanan adalah menu makan klien dalam

panti sosial yang menggambarkan kualitas makanan yang dikonsumsi

oleh klien. Menurut ahli gizi, makanan dikatakan sehat apabila secara

umum telah memenuhi empat sehat lima sempurna, yaitu nasi, sayur,

lauk-pauk, buah-buahan dan susu. Ukuran ini sebagai dasar bagi

peneliti untuk mencermati menu makan yang disediakan panti sosial.

Pada umumnya sebagian besar panti sosial sudah menyusun

menu makan per hari bersama ahli gizi setempat. Namun, menu yang

telah disusun tersebut belum dapat dilaksanakan setiap hari karena

keterbatasan anggaran. Di lapangan, peneliti menemukan data, bahwa

panti sosial belum sepenuhnya mengikuti daftar menu makanan yang

yang telah disusun. Misalnya, untuk pemberian buah-buahan dan susu,

pada umumnya panti sosial memberikan 2 - 3 kali seminggu.

Berdasarkan kondisi lapangan itu, maka menu makan yang digunakan

dalam penelitian ini ada 5 (lima) ukuran, yaitu dua sehat, tiga sehat,

tiga sehat plus, empat sehat dan empat sehat plus yang menggambarkan

skala ordinal. Namun demikian, data yang dikumpulkan hanya

memenuhi 2 (dua) ukuran yaitu tiga sehat dan tiga sehat plus yang

akan dianalisis kemudian.

140 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 147: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Berdasarkan tabel di atas, program subsidi panti memberikan

pengaruh positif pada penyajian menu atau kualitas makanan panti

sosial.

Aspek berikutnya untuk melihat pemenuhan makanan klien

adalah pemberian makanan tambahan. Makanan tambahan memang

tidak termasuk makanan utama. Namun, klien panti sosial memerlukan

makanan tambahan sebagai tambahan gizi, baik terkait dengan tumbuh

kembang (bagi anak-anak) atau kesehatan (bagi orang dewasa).

Perbandingan sebelum dan sesudah subsidi dari makanan tambahan

dapat dilihat pada tabel berikut :

141Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Sebelum Sesudah No. Menu Makanan

F % F % 1. Tiga sehat 18 36 3 6 2. Tiga sehat plus 32 64 47 94

Jumlah 50 100 50 100

Tabel 3. Kualitas Makan Sebelum dan Sesudah Subsidi

Tabel 4. Makan Tambahan Sebelum dan Sesudah Subsidi

Sebelum Sesudah No. Makanan Tambahan

F % F %

1. Setiap hari 4 8 6 12

2. Kadang-kadang 28 56 42 84

Tidak ada 18 36 2 4

Jumlah 50 100 50 100

Berdasarkan data tersebut, program subsidi panti dapat

disimpulkan berpengaruh positif dan signifikan pada kemampuan

panti dalam memberikan makanan tambahan. Dari ketiga aspek yang

dicermati dalam penelitin ini bahwa :

1) Pengaruh terhadap frekuensi atau kuantitas permakanan, terjadipeningkatan dari semula 96 persen menjadi 100 persen panti sosialyang memberikan makan 3 kali sehari.

2) Pengaruh terhadap menu atau kualitas :

a) Terjadi penurunan dari semula 36 persen menjadi 6 persen

panti sosial yang memberikan makan tiga sehat (pindah ke tiga

plus).

b) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 94 persen

panti sosial yang memberikan makan tiga sehat plus.

Page 148: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

3) Pengaruh terhadap makanan tambahan :

a) Terjadi peningkatan dari semula 64 persen menjadi 96 persen

panti sosial yang memberikan makanan tambahan.

b) Terjadi peningkatan dari semula 8 persen menjadi 12 persen

panti sosial yang memberikan makanan tambahan setiap hari.

c) Terjadi peningkatan dari semula 56 persen menjadi 84 persen

panti sosial yang memberikan makanan tambahan kadang-

kadang (2-3 kali seminggu).

Berdasarkan informasi tersebut disimpulkan, bahwa pengaruh

subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan makanan pada panti-panti

sosial pada kategori rendah, yaitu berkisar 30 persen. Data ini

menunjukkan, bahwa pada umumnya sebelum menerima program

subsidi panti, panti sosial sudah memberikan kebutuhan makanan

relatif baik, dilihat dari aspek frekuensi, menu dan makanan tambahan.

Panti sosial sudah berupaya memberikan pelayanan terbaik yang sesuai

dengan kebutuhan klien. Hal ini menggambarkan bahwa panti sosial

pada umumnya sudah memiliki pemahaman akan eksistensinya

sebagai organisasi pelayanan manusia (human service organization).

Meskipun secara kuantitatif pengaruh program subsidi panti

relatif rendah, tetapi secara kualitatif memberikan manfaat yang sangat

besar. Sebagaimana dikemukakan oleh para pengelola panti sosial,

program subsidi panti sangat membantu kelancaran proses pelayanan

dan karenanya perlu dilanjutkan.

2. Usaha Ekonomis Produktif

Berbagai jenis UEP diselenggarakan oleh panti sosial, yang hasilnya

dapat diambil harian, mingguan maupun bulanan. Dalam rangka

mengetahui pengaruh subsidi bidang UEP, ada 4 aspek yang dicermati

dalam penelitian ini, yaitu penambahan jenis UEP, penambahan omzet/

minggu, penambahan aset dan pemanfaatan untuk kebutuhan operasional.

Dari 32 panti sosial yang menerima program subsidi untuk

kegiatan UEP, sebesar 8 panti sosial (25%) sudah berkembang (ada

penambahan jenis UEP), dengan rincian 5 panti menambah satu jenis

usaha dan 3 panti menambah 2 jenis usaha. Jenis-jenis usaha yang

merupakan usaha tambahan dari usaha utama, yaitu rental komputer,

142 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 149: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

traso, ternak ayam dan wartel. Sebagian besar (75%) panti sosial masih

mengelola usaha utama dari program subsidi, meskipun sebanyak 14

panti sosial (43.75%) menerima subsidi untuk pengembangan UEP.

Hal ini berarti terdapat 6 panti sosial yang menerima subsidi

pengembangan UEP digunakan untuk menambah modal usaha

utamanya.

Aspek kedua dari UEP adalah penambahan omzet dari usahayang dikelolanya. Aspek ini digunakan untuk mengetahui sejauhmanaUEP yang dikelola panti sosial mengalami perkembangan dari kondisiawal. Hal ini didasari anggapan dasar, bahwa apabila panti sosial sudahmengelola UEP dengan baik minimal selama 1 tahun, maka sudahterjadi peningkatan omzet. Dari 32 panti sosial yang mengelola UEP,sebanyak 23 panti sosial (71.88%) mengalami peningkatan omzet, yangberkisar Rp. 25.000/minggu hingga Rp. 2.000.000,-/minggu. Namundemikian, pada panti sosial yang mengalami penambahan omzet,sebagian besar (82,61%) memiliki omzet berkisar Rp. 25.000,--Rp. 350.000,- atau rata-rata omzet Rp. 165.000,-/minggu atau rata-rata Rp. 660.000,-/bulan.

Perhitungan omzet ini hanya berdasarkan perkiraan pengelolasaja, tanpa didukung oleh bukti tertulis berdasarkan pembukuan yangbaik. Hal ini merupakan kendala dalam penelitian ini, karena dataobyektif dalam bentuk data kuantitatif tentang omzet ini tidak dapatdiperoleh. Berdasar informasi yang dihimpun dari pengelola, merekamemang tidak pernah memperoleh bimbingan pembukuan dalampengelolaan UEP. Oleh karena itu, lemahnya administrasi pengelolaanUEP ini tidak sepenuhnya kesalahan dari pihak penerima programsubsidi panti.

Aspek ketiga dari pemanfaatan subsidi untuk UEP adalahpenambahan aset panti sosial. Aspek ini dilandasi pula oleh anggapandasar, bahwa dalam waktu minimal 1 tahun panti sosial sudah mampumenambah asetnya dari hasil mengelola UEP. Dari 32 panti sosialyang menerima program subsidi panti untuk UEP, hanya 4 panti sosialyang sudah mampu menambah aset masing-masing 1 jenis, yaituperalatan rumah tangga, peralatan pesta, rak aluminium dan alatpembuat kacang telor. Hal ini menggambarkan, bahwa UEP yangdikelola oleh panti sosial belum mengalami perkembangansebagaimana yang diharapkan.

143Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 150: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Aspek berikutnya terkait dengan UEP ini adalah penambahan

untuk kebutuhan operasional. Kebutuhan operasional yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah kebutuhan yang mendukung secara

langsung pemenuhan kebutuhan klien. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa sebanyak 6 panti sosial (6.75%) dari 32 panti sosial yang

mengelola UEP sudah dapat menambah kebutuhan operasional, yaitu

penambahan pada kebutuhan makanan, alat-alat penerangan, alat-alat

keterampilan dan pendidikan. Sedangkan 81,25% belum ada

penambahan kebutuhan operasional panti.

Dari keempat aspek yang dicermati untuk mengetahui pengaruh

program subsidi panti terhadap pengelolaan UEP, diperoleh

informasi sebagai berikut :

1) Terjadi penambahan jenis UEP pada 8 panti sosial (25%). Jenis-jenis UEP antara lain rental komputer, traso dan ternak ayam.

2) Terjadi penambahan omzet pada 23 panti sosial (71,88%) yangbesarnya sebagian besar rata-rata Rp. 165.000,-/minggu.

3) Terjadi penambahan aset pada 4 panti sosial (12,5%) yang sudahmengalami penambahan aset, antara lain peralatan rumah tangga,peralatan pesta, rak aluminium dan alat pembuat kacang telor.

4) Terjadi penambahan kebutuhan operasional pada 6 panti sosial(6,75%), antara lain untuk mendukung makanan tambahan, alatpenerangan, pengadaan alat-alat keterampilan dan pendidikan.

Berdasarkan informasi tersebut, disimpulkan bahwa programsubsidi panti berpengaruh relatif rendah terhadap pengelolaan danpengembangan UEP. Dari 32 panti sosial yang menerima programsubsidi panti untuk UEP, yang menonjol pada penambahan omzet.Namun demikian, penambahan omzet tersebut belummenggambarkan keberhasilan panti dalam mengelola danmengembangkan UEP, dikarenakan besarnya omzet tersebut perminggunya masih relatif rendah. Informasi ini menggambarkan,bahwa ada proses dalam pengelolaan UEP yang tidak tepat, antaralain penentuan jenis UEP, bahan dasar, keterampilan pengelola,pemasaran dan pembukuannya.

Hal ini menggambarkan pula lemahnya proses monitoring danevaluasi yang dilaksanakan oleh Instansi Sosial Provinsi terhadap prosespengelolan UEP. Pada umumnya Dinas Sosial memang melakukan

144 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 151: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

monitoring dan evaluasi terhadap UEP yang dikelola panti-panti sosial.Namun demikian, informasi yang diperoleh dari kegiatan itu tidaksegera ditindaklanjuti, dan akibatnya panti sosial mengelola UEPberdasarkan kemampuannya sendiri.

Program subsidi panti yang dialokasikan untuk UEP inididasarkan pada pemikiran, apabila UEP dikelola dengan baik, makanantinya panti sosial tidak terlalu bergantung pada pihak lain, termasukkepada pemerintah. Namun demikian, maksud dan tujuan dariprogram tersebut sulit direalisasikan, dan panti sosial masih bergantungpada bantuan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan. Olehkarena itu, upaya untuk memotong mengurangi ketergantungan pantisosial kepada pemerintah masih sulit diwujudkan untuk beberapa tahunke depan.

Upaya Panti Mengatasi Masalah Pembiayaan

Dalam kaitannya dengan upaya panti mengatasi permasalahan

pembiayaan, sebesar 28 persen panti sosial belum memiliki upaya atau

jalan keluar apabila program subsidi panti ini dihentikan. Sementara itu,

72 persen panti sosial sudah memiliki rencana mengatasi permasalahan

pembiayaan apabila program subsidi dihentikan. Dari jumlah tersebut, 50

persen panti sosial merencanakan mengembangkan UEP. Lainnya masih

bergantung pada pihak luar, dan bahkan ada yang akan mengurangi jumlah

kliennya. Hal ini menunjukkan kemandirian panti sosial dalam pembiayaan

program dan kegiatannya masih cukup rendah

Harapan Panti Terhadap Program Subsidi

Masih ada kekhawatiran para pengelola panti sosial apabila pada

saatnya nanti program subsidi panti ini dihentikan. Mereka masih

mengharapkan program subsidi panti terus dilanjutkan, terutama untuk

kebutuhan makanan. Informasi ini relevan dengan informasi sebelumnya

bahwa sumber dana panti sosial, sebagian besar masih berasal dari

pemerintah. Menurut para pengelola, apabila tidak ada dukungan

pemerintah, maka panti sosial akan menanggung beban yang amat berat

dalam penyelenggaraan pelayanan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan

makanan.

145Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 152: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Selain bantuan makanan, panti sosial juga mengharapkan adanya

bantuan untuk UEP. Apabila panti dapat mengelola UEP, maka akan

memiliki sumber dana tetap yang berasal dari panti sendiri, sehingga akan

mengurangi ketergantungannya terhadap pemerintah dan pihak luar lainnya.

Harapan berikutnya adalah pelatihan pengelolaan UEP dan pendampingan.

Implikasi Kebijakan

Sebagai suatu obyek penelitian, program subsidi panti ini menarik

karena dari tahun ke tahun besarnya anggaran yang dialokasikan terus

mengalami kenaikan. Khusus untuk tahun 2005, dari 50 panti sosial yang

menjadi obyek penelitian ini, rata-rata setiap panti sosial menerima dana

sebesar Rp. 38.247.911 per tahun. Besarnya dana subsidi panti ini apabila

dilihat dari besarnya anggaran makanan pada panti sosial, rata-rata mencapai

53,48 persen. Hal ini menggambarkan cukup besarnya dukungan pemerintah

cq. Departemen Sosial terhadap panti-panti sosial, demi kelangsungan

penyelenggaraan pelayanan pada panti-panti sosial.

Dana yang dialokasikan pemerintah pusat dalam program subsidipanti tersebut cukup besar. Pada pemanfaatan pemenuhan makanandirasakan oleh pengelola cukup membantu, terutama pada pemberianmakanan tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Sedangkan untukUEP, program subsidi ini pada umumnya, belum secara signifikanmemberikan manfaat bagi panti-panti sosial. Manfaat memang telahdirasakan oleh pengelola, tetapi belum dapat diketahui secara pasti seberapabesar dampak tersebut. Pada umumnya pengelola panti sosial belummelakukan pencatatan atas penggunaan subsidi untuk UEP ini. Hasil dariUEP yang bersumber dari subsidi panti tidak dibukukan tersendiri, sehinggakesulitan ketika menghitung berapa besarnya manfaat ekonomis dariprogram subsidi panti.

Berbagai persoalan administratif maupun teknis disinyalir terjadi secaraberulang-ulang, karena skema dari program ini rawan terjadipenyalahgunaan. Proses awal penentuan panti sosial yang layak sebagai calonpenerima program, jumlah klien yang diusulkan, sampai denganpertanggungjawaban administratif, merupakan titik-titik yang lemahterjadinya bias kepentingan. Bias kepentingan ini akan semakin parah apabilaproses supervisi, monitoring dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik,baik oleh penanggung jawab program di Instansi Sosial Provinsi maupunDepartemen Sosial.

146 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 153: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Meskipun diantara panti-panti sosial sudah menerima program subsidi

lebih dari satu kali, tetapi mereka masih sangat mengharapkan program

tersebut tidak dihentikan. Hal ini menggambarkan, bahwa program subsidi

panti pada umumnya belum mampu mendorong kemandirian panti sosial.

Berdasarkan hasil penelitian, 28 persen panti sosial belum menyusun langkah-

langkah untuk mengatasi permasalahan pembiayaan apabila program subsidi

panti ini dihentikan. Sementara itu, panti sosial yang sudah menyusun langkah-

langkah pun, masih menghaharapkan dana pada pihak luar. Hal ini semakin

menegaskan, bahwa program subsidi panti belum mampu mendorong

panti-panti sosial mengurangi ketergantungannya terhadap bantuan

pemerintah.

Dalam upaya menjawab permasalahan ketergantungan panti sosial

tersebut, maka skema program subsidi panti akan lebih tepat apabila

diarahkan pada bantuan untuk pengembangan UEP. Sekurang-kurangnya

ada tiga alasan dari pengembangan UEP ini, yaitu: (1) mengurangi

ketergantungan panti sosial pada pemerintah; (2) memperkuat komitmen

dan percaya diri pengelola panti sosial di bidang pelayanan kemanusiaan;

dan (3) panti-panti sosial akan semakin kreatif untuk mengembangkan

skema pelayanan yang profesional. Persoalannya adalah bagaimana

kemampuan panti sosial mengelola UEP tersebut, terutama dalam memilih

jenis UEP yang prospektif dan dalam waktu cepat dapat memberikan

hasil. Pada kerangka inilah diperlukan peran Instansi Sosial Provinsi untuk

memfasilitasi panti-panti sosial tesebut menentukan pilihan UEP yang tepat.

Meskipun penelitian ini menjangkau sample panti sosial yang sangat

terbatas (50 panti sosial), tetapi informasi yang diperoleh terkait dengan

bantuan kepada panti-panti sosial dapat menjadi bahan pertimbangan untuk

mendesain program yang tepat. Terutama mengurangi ketergantungan panti

sosial terhadap pemerintah dan semakin mendorong profesionalisme panti

sosial dalam penyelenggaraan pelayanan. Terkait dengan itu, maka supervisi,

monitoring dan evaluasi perlu dilakukan dengan baik, mulai dari kegiatan

seleksi panti sosial hingga terminasi. Perlu dilakukan evaluasi dari unit di

luar penyelenggaran program atau pihak independen, sehingga akan

diperoleh informasi yang obyektif tentang efektivitas pelaksanaan

program subsidi panti ini.

147Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 154: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesimpulan dan Saran

Panti-panti sosial pada umumnya memanfaatkan subsidi panti untuk

dua kegiatan besar, yaitu pemenuhan kebutuhan makanan dan usaha

ekonomi produktif (UEP). Meskipun klien yang diusulkan untuk

memperoleh subsidi jauh lebih kecil dari yang diusulkan, atau baru

menjangkau 66,94 persen, tetapi seluruh klien yang ada di panti sosial ikut

menikmati subsidi tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini sulit untuk

mengetahui secara tepat dampak program subsidi untuk biaya makanan.

Pemanfaatan subsidi untuk makanan ini, pada umumnya untuk makanan

tambahan dan meningkatkan kualitas menu. Untuk makanan tambahan,

diarahkan pada frekuensi pemberian makanan tambahan. Sedangkan

berkaitan dengan menu, subsidi dimanfaatkan untuk menambah menu,

seperti susu dan buah meskipun pemberian susu dan buah ini pada

umumnya belum setiap hari. Namun demikian, diperoleh data kualitatif,

bahwa subsidi panti dirasakan besar manfaatnya bagi panti-panti sosial

dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien.

Dana dari program subsidi panti dimanfaatkan oleh panti sosial untukmembuka UEP baru ataupun pengembangan UEP yang sudah ada.Penentuan UEP yang tepat sepenuhnya diserahkan kepada panti-panti sosialsendiri. Panti-panti sosial menentukan jenis-jenis UEP didasarkan pada aspektenaga, pasar, sarana dan bahan baku. Namun demikian, pada prakteknyabaru sebagian kecil UEP yang bisa mendukung kegiatan operasional pantisosial. Hal ini menunjukkan bahwa panti-panti sosial masih menghadapipersoalan dalam pengelolaan UEP.

Program subsidi panti untuk biaya makanan memberikan pengaruh

cukup nyata dalam mendukung pemenuhan kebutuhan makanan klien

dalam panti-panti sosial. Ada perubahan positif pada peningkatan kualitas

menu makanan yang semula tiga kali sehari, yaitu nasi sayur dan lauk

kemudian menjadi tiga sehat plus, yaitu nasi, sayur, lauk dan buah-buhan

meskipun tidak setiap hari. Selain itu berpengaruh pula pada frekuensi dan

jenis makanan tambahan, yakni dari satu jenis menjadi dua atau tiga dan

dari seminggu sekali menjadi dua kali. Diharapkan adanya perubahan kualitas

dan frekuensi serta jenis makanan tambahan ini akan semakin meningkatkan

derajat kesehatan klien.

Kemudian, kondisi UEP panti setelah menerima program juga

menunjukkan adanya perubahan positif, meskipun belum signifikan. Baru

148 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 155: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sebagian kecil panti sosial yang mengalami peningkatan omzet dan aset

setelah menerima program subsidi panti. Terkait dengan UEP ini adalah

kurangnya pelatihan dan pendampingan terhadap panti sosial dalam

pengelolaan UEP. Panti sosial diberikan kebebasan untuk mengelola UEP

menurut caranya sendiri dan pada prakteknya panti sosial tidak tepat ketika

memiliki UEP yang prospektif.

Sebagian besar panti sosial masih mengharapkan program subsidi ini

terus diterimanya. Sebagian kecil dari mereka telah memiliki gagasan

menemukan jalan keluar apabila program subsidi ini nantinya tidak

dilanjutkan. Hal ini menggambarkan, bahwa sebagian besar panti sosial

penerima program subsidi panti masih memiliki ketergantungan yang kuat

terhadap pemerintah untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini menunjukkan

panti justru semakin sulit melepaskan ketergantungannya pada pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diajukan beberapa saran yang ditujukan

kepada pengelola dan penanggung jawab program subsidi panti, yaitu:

a. Seleksi terhadap panti sosial calon penerima subsidi berdasarkan

kondisi riil panti sebagaimana adanya.

b. Penanggung jawab program bertanggung jawab terhadap panti sosial

yang diusulkan sebagai penerima program dan memiliki data by name

by address atas panti-panti sosial yang diusulkan. Upaya ini dilakukan

untuk mengantisipasi terjadinya panti fiktif, mark up jumlah klien dan

kelayakan panti sosial untuk menerima program. Panti sosial yang

sudah mandiri, tidak memperoleh prioritas sebagai penerima

program subsidi panti.

c. Bantuan UEP perlu menjadi priroritas dibandingkan dengan subsidi

untuk makanan. Terkait dengan itu, penyaluran bantuan UEP ini perlu

diawali dengan pelatihan UEP dan diikuti dengan pendampingan,

sehingga panti sosial tepat dalam memilih jenis UEP dan mampu

mengelolanya dengan baik. Diharapkan subsidi untuk kegiatan UEP

ini nantinya akan mengurangi ketergantungan panti-panti sosial

terhadap pemerintah. Pemerintah perlu menetapkan jangka waktu

yang tegas, yang diikuti dengan kriteria dan indikator yang terukur,

kapan panti sosial akan dikurangi subsidinya atau dihentikan sama

sekali.

149Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 156: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

d. Mekanisme pencarian dana melalui PT POS tetap dipertahankan, tetapiperlu diupayakan agar pencairan dana tidak terlambat sampai kepengelola panti sosial dan akan mempengaruhi efektifitasprogram itu sendiri.

e. Besarnya subsidi hendaknya disesuaikan dengan harga eceran tertinggi(HET) setempat (khusus makanan), sehingga setiap daerah besarnyaalokasi anggaran per orang/panti akan berbeda-beda.

f. Program subsidi panti sangat rawan dengan penyimpangan. Olehkarena itu, perlu dilakukan pengawasan lebih ketat mulai pada tahappenentuan panti-panti sosial calon penerima program sampai denganpenyaluran dananya. Perlu dibangun kemitraan secara sinergis antarapenanggung jawab program pada unit Ditjen Pelayanan danRehabilitasi Sosial, Itjen, Puslitbang Kessos dan instansi sosial di daerahuntuk mengawal program subsidi panti ini agar mencapai tujuan yangdiharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial RI, 2003, Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Tambahan Biaya

Makanan/Gizi, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.

—————————,2003, Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Biaya

Usaha Ekonomis Produktif, Direktorat Jenderal Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial.

—————————-, 2005, Standardisasi Panti Sosial, Badan Pendidikan

dan Penelitian Kesejahteraan Sosial.

————————, 2000, Pedoman Akreditasi Panti Sosial, Puslitbang Kesos.

Mujiyadi, B., dkk, 2003, Studi Pengembangan Panti Sosial Pamardi Putra Sebagai

Panti Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza Yang Komprehensif

dan Profesional, Puslitbang UKS.

Pincus, Allen and Anne Minahan, Social Work Practice : Model and Methode.

Illinois : Peacock Publisher Inc , 1973.

Selo Soemardjan, Selo, 1997, “Kemiskinan Pandangan Sosiologi”, Jurnal

Sosiologi, Indonesia, Nomor 2/September 1997, Jakarta : Ikatan

Sosiologi Indonesia.

150 Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 157: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Shortell, S.M. and Richardson, W.C. 1978, Health Program Evaluation, Saint

Louis: The C.V Moshy Company.

Siahaan, MPR, 2004, Beberapa Catatan dalam Praktek Pekerjaan Sosial, Makalah

dokumen pribadi (tidak diterbitkan).

Siporin, Max, (1975), Introduction to Sosial Work Practice, New York : Mac

Millan Publisher Co. Inc.

Soetarso, (1990), Praktek Pekerjaan Social dalam Pembangunan Masyarakat,

KOPMA Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial : Bandung.

Sukoco, Dwi Heru, (1991), Profesi Pekerjaan Sosial, Bandung : STKS

Publisher.

151Puslitbang Kesos

Evaluasi Program Subsidi Panti

Page 158: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 159: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PELAYANAN LANJUT USIA

BERBASIS KEKERABATAN

( Studi Kasus Pada Lima Wilayah Di Indonesia)1

Dra. Sri Gati Setiti 2

ABSTRAK

Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia seiring dengan jumlah

penduduk lanjut usia. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan telah dilakukan

oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, belum dapat memecahkan

permasalahan yang ada. Sementara kekerabatan sebagai sumber dan potensi

kesejahteraan sosial, yang telah berfungsi dalam pelayanan lanjut usia secara tradisional

belum dioptimalkan. Pertanyaan dalam penelitian ini, apakah pelayanan lanjut usia

berbasis kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia ?

Penelitian ini bertujuan mengetahui kebutuhan lanjut usia, permasalahan lanjut

usia dan pelayanan yang dilakukan oleh kerabat. Hal ini guna mengembangkan konsep

model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. Pendekatan deskriptif kualitatif,

tehnik pengumpulan data dengan wawancara, FGD, studi dokumentasi dan observasi.

Lokasi penelitian di Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan

Barat dan Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian bahwa pelayanan sosial dalam kerabat merupakan salah satu

nilai budaya setempat yang membuat lanjut usia merasa aman dan terlindungi dalam

lingkungan kerabat. Dilain pihak, kerabat merasa sudah menjalankan kewajiban dantanggung jawab sesuai nilai budaya dan agama yang dianutnya. Permasalahan lanjut

usia yang paling dirasakan adalah masalah kesehatan. Ditinjau dari kebutuhan hidup

pokok kecuali ekonomi, secara fisik umumnya merasakan tercukupi. Harapan lanjut

usia maupun kerabat adalah tempat serbaguna yang berfungsi pelayanan dan kegiatan

lanjut usia. Untuk memeriksakan penyakit, lanjut usia berharap pelayanan khusus

bagi lanjut usia atau Posyandu lansia yang murah dan mudah dijangkau.

Penelitian ini merekomendasikan suatu model pelayanan lanjut usia dalam

kerabat melalui : penguatan ekonomi kerabat bagi lanjut usia yang tidak potensial

dan ekonominya lemah, penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial,

1 Diangkat dari Penelitian Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan (Studi Kasus pada Lima Wilayah diIndonesia), peneliti: Dra. Sri Gati Setiti, Drs. Setyo Sumarno, Dra.Nina Karinina, Drs.Achmadi

Jayaputra M.Si, dkk. ed: Prof Dr. Rusmin Tumanggor.

2 Sri Gati Setiti, Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

153Puslitbang Kesos

Page 160: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

pengembangan lembaga organisasi lanjut usia yang memiliki berbagai kegiatan yang

bersifat psikis, maupun ekonomi, pembinaan generasi muda dalam upaya pelestarian

nilai budaya dan pelayanan kesehatan lanjut usia yang optimal.

Kata Kunci:

lanjut usia, Pelayanan Sosial, Kekerabatan

Pendahuluan

Peningkatan usia harapan hidup, diiringi jumlah dan persentase

penduduk lanjut usia. Hal ini sebagai prestasi sekaligus tantangan/beban.

Berbagai kebijakan dan pelayanan dilakukan oleh pemerintah maupun

masyarakat. Baik melalui sistem panti maupun nonpanti atau berbasis

masyarakat, seperti Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA), Day Care Service

maupun Day Care Centre.

Sebagian pelayanan cukup memadai, tetapi banyak yang memberikan

pelayanan secara terbatas, disamping kendala dana maupun petugas. Upaya

tersebut belum memadai dibanding populasi dan permasalahannya yang

kompleks. Dewasa ini lanjut usia yang tertangani melaui sistem panti maupun

nonpanti kurang dari 2% dari 2,3 juta lanjut usia. Mereka mengalami

berbagai keterlantaran, diantaranya terkena tindak kekerasan oleh orang

lain maupun kerabatnya.

Pada sisi lain, kita memiliki kearifan budaya. Tuntunan agama dan

nilai luhur menempatkan lanjut usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan

dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki,

penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat.

Penanganan masalah sosial merupakan bagian dari dan berakar pada nilai

tolong menolong yang dikenal hampir semua suku bangsa di Indonesia.

Peran kerabat dalam masyarakat di seluruh Indonesia mempunyai keterikatan

yang sangat kuat, sekaligus merupakan potensi yang luar biasa, sebagai

sumber kesetiakawanan sosial yang mampu memecahkan permasalahan

sosial didaerahnya. Hal ini perlu diangkat dan dikembangkan.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kesejahteraan Sosial tahun 2006 melakukan penelitian ”Pelayanan Lanjut

Usia Berbasis Kekerabatan”.

154 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 161: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Permasalahan

Ketidakseimbangan antara pelayanan sosial yang tersedia dan

permasalahan yang ada, berpengaruh kepada pelayanan lanjut usia. Lanjut

usia yang terlantar semakin mudah kita saksikan disekitar kita. Keterlantaran

baik disebabkan oleh kondisi yang berubah, sehingga merubah pola dan

kegiatan anggota keluarga yang berdampak kepada pelayanan bagi lanjut

usia. Keterlantaran lanjut usia juga disebabkan oleh semakin memudarnya

nilai dan penghargaan kepada lanjut usia. Pada sisi lain belum ada pelatihan

bagi pendamping kerabat yang melayani lanjut usia. Berdasarkan uraian

tersebut, bagaimana pelayanan dilakukan oleh kekerabatan terhadap lanjut

usia? Permasalahan yang akan diteliti: Apakah pelayanan lanjut usia berbasis

kekerabatan telah sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia?

Tujuan

1. Secara umum bertujuan, merumuskan pokok-pokok pikiran tentang

kerangka dasar pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan

(kerangka model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan, untuk uji

coba pada penelitian tahap II tahun 2007).

2. Secara khusus bertujuan:

a. Memahami tentang kebutuhan, permasalahan dan harapan lanjutusia.

b. Memahami bentuk pelayanan lanjut usia yang berbasis kekerabatan

c. Mengidentifikasi nilai-nilai terkait dengan pelayanan lanjut usiaberbasis kekerabatan.

d. Menyusun kerangka model pelayanan lanjut usia berbasiskekerabatan

Manfaat

Manfaat yang dapat dipetik bagi pemerintah, sebagai dasar ilmiah

perumusan kebijakan publik untuk menyelesaikan masalah pelayanan lanjut

usia. Bagi akademisi, untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan model

pelayanan lanjut usia. Bagi instruktur kediklatan, menjadi materi trainers.

Bagi pemberi pelayanan menjadi alternatif pelayanan.

155Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 162: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Tinjauan Teoritis

Definisi lanjut usia menitik beratkan kepada usia seseorang yang lebih

dari 60 tahun, mengacu kepada UU no 13 Th 1998. Adapun pelayanan

lanjut usia, berpedoman kepada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah

dan masyarakat, yakni pelayanan dalam panti dan pelayanan luar panti.

Sementara pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan adalah pelayanan yang

dilakukan oleh kerabat pada suku bangsa yang diteliti. Kekerabatan

mengangkat pendapat Suryono Sukanto (1990), Goode (1985) dan

Koentjaraningrat (1990). Kekerabatan dalam penelitian ini adalah orang

sedarah (consanguinal kin), yang dipanggil ”kekerabatan”, kerabat angkat

(adoptif kin), kerabat karena kawin mawin (afinal kin).

Dari deskripsi teoritis tersebut, maka kerangka konseptual dalam

penelitian ini, sebagai berikut :

LU dilayani saudara laki-

laki

LU dilayani anak laki-laki

Sosial Emosi/Spiritual Kesehatan fisik/psikis

Lanjut usia

Patrilineal Parental

LU dilayani saudara isteri atau saudara

suami

LU dilayani anak perempuan dan

anak laki-laki

Ekonomi

Bagan 1. Kerangka Konseptual dalam Pelayanan Lanjut Usia

156 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Berikut preposisi teoritisnya adalah :

”Lanjut usia akan dirawat di lingkungan kerabat dalam memenuhi

kebutuhan kesehatan, emosional dan spiritual serta sosial dan faktor ekonomi

menjadi komponen penting dalam mencapai berbagai kebutuhan tersebut”.

Page 163: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data melalui

studi dokumentasi, FGD pada: Kerabat, Tokoh Agama/masyarakat

setempat. Observasi pada lingkungan tinggal lanjut usia dirawat. Wawancara

berstruktur kepada lanjut usia, kerabat yang melayani lanjut usia. Wawancara

mendalam untuk informan kunci. Diskusi terbatas kepada pejabat terkait

pada tingkat provinsi. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara, diteliti suku

Melayu dan Toba. Di Kalimantan Barat, Suku Dayak dan Melayu. Di Jawa

Timur, Suku Jawa dan Madura. Di Sulawesi Selatan, Suku Bugis dan

Makasar. Nusa Tenggara Barat, Suku Sasak dan Bima. Secara sosial budaya

mewaklili sistem kekerabatan patrilineal dan parental, yang disajikan dalam

studi kasus.

Hasil Penelitian

Pemahaman tentang Lanjut usia

Adanya penyamaan persepsi tentang sapaan atau istilah lanjut usia,

berlaku pada masing masing daerah sebagai berikut :

1. Sapaan tentang Lanjut Usia

Lanjut usia dalam berbagai etnis memiliki sapaan yang berbeda. Pada

suku Batak, lanjut usia laki laki disapa Opung Bulang, untuk wanita

disapa dengan Opung Nini. Pada suku bangsa Jawa lanjut usia laki-

laki disapa dengan mbah kakung (halus: eyang kakung), untuk

perempuan disapa dengan mbah putri (halus: eyang putri). Pada suku

Madura, lanjut usia laki laki disapa Embah lanang, sedang untuk

perempuan juga disapa dengan Embah. Pada suku Sasak di NTB,

lanjut usia Laki laki disapa Pupung, untuk perempuan disapa Ninik.

Pada etnik Bima, lanjut usia Laki laki disapa Ompu (Tuak /halus),

untuk perempuan disapa dengan Wai. Dalam etnik Bugis, lanjut usia

laki laki disapa Nene, untuk perempuan disapa Kajao. Etnik Makassar,

lanjut usia Laki laki disapa Toa Baina, wanita disapa Toa Baine. Dalam

budaya Melayu, lanjut usia laki laki Melayu Sambas disapa Nek Aki,

untuk perempuan disapa Nek Wan. Berbeda halnya dengan Melayu

Kapuas, untuk laki-laki disapa Ai dan perempuan disapa Mi. Pada

Suku Dayak, lanjut usia laki laki disapa Nenek atau Nek aki, wanita

157Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 164: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

disapa dengan Nenek. Walau demikian panggilan tersebut kadang

ada yang sedikit berbeda. Hal ini karena adanya pengaruh budaya

sekitar yang turut memberi warna pada istilah atau sapaan kepada

lanjut usia yang berlaku bagi daerah tersebut.

2. Ciri ciri lanjut usia, yang disepakati dari hasil FGD adalah: lanjut usia

bila telah berusia lebih dari 60 tahun, berlaku sama pada semua etnik

yang diteliti. Ciri lainnya, disepakati lanjut usia bila telah memiliki cucu.

Berlaku untuk semua etnik yang diteliti, kecuali di Kalbar, sudah

memiliki cicit. Ciri lainnya termasuk mereka yang sering sakit-sakitan

atau fisiknya sudah lemah. Ciri ini berlaku untuk etnik Batak, Jawa

dan Sasak juga Bima.

3. Pola tempat tinggal bagi Lanjut Usia.

Secara umum pola tinggal mereka mengikuti garis kerabat. Dalam

Budaya Batak, yang menganut garis kerabat patrilineal, secara budaya

lanjut usia tinggal bersama kerabat ayah. Bila tidak dapat dilakukan,

maka kewajiban akan berpindah kepada adik laki lakinya. Namun,

ditemukan lanjut usia tinggal pada kerabat garis Ibu atau tinggal

berpindah antara anak satu dan lainnya.

Dalam budaya Jawa, yang mengikuti garis parental, lanjut usia dapat

secara bebas tinggal bersama kerabat pihak laki laki maupun pihak

perempuan. Pada etnik Sasak dan etnik Bima, secara adat tinggal

bersama anak laki laki tertua atau adiknya. Temuan dilapangan lanjut

usia tinggal bersama anak yang tinggalnya berdekatan. Walau demikian,

lanjut usia cenderung memilih tinggal pada anak peremuan atau yang

paling disukai. Pada Etnik Bima, memiliki kebiasaan khusus, bila sudah

pensiun dan anak-anak mereka sudah menikah, lanjut usia senang untuk

pulang kampung ke Bima. Pada etnik Melayu dan Dayak, lanjut usia

akan tinggal pada anak laki laki pertama atau adiknya. Namun, banyak

ditemukan lanjut usia senang tinggal di rumah panjang. Kerabat yang

tinggal di rumah panjang itulah yang bertanggung jawab kepadanya.

Etnik Bugis dan Makassar mengikuti sistem parental, walau demikian

biasanya menempatkan lanjut usia bersama dengan anak tertua atau

adiknya. Perubahan yang terjadi pada semua etnik yang diteliti, lanjut

usia tinggal bersama anak perempuan, anak yang tinggal berdekatan

atau anak yang paling disenangi.

158 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 165: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

4. Kerabat yang melayani Lanjut Usia.

Secara umum pelayanan kepada lanjut usia dilakukan oleh kerabat

yang paling dekat. Lanjut usia dirawat oleh kerabat sedarah, selain itu

juga dilakukan oleh kerabat atas hubungan perkawinan atau adopsi.

Pada kenyataannya, pelayanan dilakukan oleh anak, kemenakan dan

saudara sepupu, atau tetangga/kerabat jauh.

Kebutuhan Lanjut Usia

1. Kebutuhan fisik lanjut usia meliputi

sandang pangan, papan, kesehatan

dan spiritual. Kebutuhan makan

umumnya tiga kali sehari ada juga

dua kali. Makanan yang tidak keras,

tidak asin dan tidak berlemak.

Kebutuhan sandang, dibutuhkan

pakaian yang nyaman dipakai.

Pilihan warna sesuai dengan budaya

setempat. Model yang sesuai

dengan usia dan kebiasaan mereka.

Frekuensi pembeliannya umumnya

setahun sekali sudah mencukupi.

Kebutuhan papan, secara umum membutuhkan rumah tinggal yang

nyaman. Tidak kena panas, hujan, dingin, angin, terlindungi dari mara

bahaya dan dapat untuk melaksanakan kehidupan sehari hari, dekat

kamar kecil dan peralatan lansia secukupnya. Pelayanan kesehatan bagi

lanjut usia sangat vital. Obat obatan ringan sebaiknya selalu siap

didekatnya. Bila sakit segera diobati.Dibutuhkan fasilitas pelayanan

pengobatan rutin, murah, gratis dan mudah dijangkau.

2. Kebutuhan psikis, kondisi lanjut usia yang rentan membutuhkan

lingkungan yang mengerti dan memahaminya. Lanjut usia

membutuhkan teman yang sabar, yang mengerti dan memahaminya.

Mereka membutuhkan teman ngobrol, membutuhkan dikunjungi

kerabat, sering disapa dan didengar nasehatnya. Lanjut usia juga butuh

rekreasi, silaturahmi kepada kerabat dan masyarakat .

Kondisi Lanjut Usia.

159Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 166: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

3. Kebutuhan sosial lanjut usia membutuhkan orang-orang dalam berelasi

sosial. Terutama kerabat, juga teman sebaya, sekelompok kegiatan

dan masyarakat di lingkungannya, melalui kegiatan keagamaan,

olahraga, arisan dan lain-lain.

4. Kebutuhan ekonomi, bagi yang tidak memiliki pendapatan tetap,

membutuhkan bantuan sumber keuangan. Terutama yang berasal dari

kerabatnya. Secara ekonomi lanjut usia yang tidak potensial

membutuhkan uang untuk biaya hidup. Bagi lanjut usia yang masih

produktif membutuhkan keterampilan, UEP dan bantuan modal

usaha sebagai penguatan usahanya.

5. Kebutuhan spiritual, umumnya mereka mengisi waktu untuk beribadah.

Melalui Ibadah lanjut usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan

kedamaian menghadapi hari tua. Mereka sangat mendambakan

generasi penerus yang sungguh sungguh dalam menjalani ibadah.

Pelayanan Lanjut Usia oleh Kerabat

1. Pelayanan fisik, secara umum kerabat melayani makan tiga kali sehari.

Namun, ada juga yang tidak terpenuhi. Makanan yang disajikan sesuai

kemampuan mereka. Ada yang menyajikan nasi, sayur dan lauk. Ada

juga yang ditambah dengan buah. Tetapi, keterbatasan ekonomi

membuat mereka makan seadanya. Lanjut usia kadang mesti

menyesuaikan dengan makanan apa adanya. Kerabat yang menyajikan

makanan umumnya anak, menantu, keponakan perempuan yang

tinggal satu rumah/berdekatan.

Pelayanan sandang, bagi lanjut usia yang masih potensial biasanya

membeli sendiri. Sementara kerabat menambahkan pakaian kesukaan

mereka. Secara umum kerabat membelikan satu kali setahun. Bagi

lanjut usia yang tidak mampu biasanya diberi oleh kerabat jauh atau

masyarakat.

Pelayanan di bidang papan, sesuai dengan kemampuan kerabat.

Kondisi ekonomi kerabat yang terbatas, hanya mampu menyediakan

tempat tinggal seadanya. Keterbatasan ekonomi juga membuat kerabat

tidak mampu melayani pengobatan secara medis. Kadang mereka

hanya memberikan obat dari warung atau ramuan tradisionil atau

160 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 167: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

berobat ke dukun. Bagi yang memiliki kartu miskin, mereka masih

harus menghadapi biaya transpotasi yang mahal, prosedur yang berbelit

dan pelayanan yang sering tidak menyenangkan. Selain hal tersebut

diatas, kerabat juga memperhatikan lanjut usia yang ditinggal mati

pasangannya. Kerabat mencarikan pasangan, sebagai tempat

mencurahkan isi hati. Lanjut usia ada teman ngobrol, pendamping

dalam menjalani hidup.

2. Pelayanan psikis, dilakukan oleh kerabat yang mengerti dan memahami

lanjut usia yang kadang perilakunya berubah seperti: kekanak kanakan,

rewel, mudah tersinggung dll. Orang tua selalu memesan agar mengerti

kepada lanjut usia, seperti kata ”mapakau untuk Bugis/Makassar”

lanjut usia ditemani untuk ngobrol, didengar nasehatnya dan didengar

kaluhannya. Kerabat berusaha untuk sering mengunjungi, dengan oleh

oleh kesukaanya. Sekalipun demikian, ada satu dua ditemukan lanjut

usia mendapat perlakuan tidak baik, seperti dibentak bentak.

3. Pelayanan sosial kerabat berusaha menemani berbicara, didengar

nasehatnya, memberikan kabar keluarga dan berita secara umum.

Pada sisi lain, lanjut usia diantar cucu atau kemenakan untuk bertemu

dengan teman sebaya, juga teman sekelompok. Beberapa etnik yang

diteliti, secara intensif mereka bekerja secara kelompok (kasus Sasak),

juga teman sekampung asal (kasus Bima) dll. Lanjut usia juga diberikan

kegiatan bersama kelompoknya, diantaranya kelompok keagamaan,

olah raga, pengajian, yasinan, arisan, kelompok silaturahmi, kelompok

adat dan lain-lain.

4. Pelayanan ekonomi, dilakukan kerabat dengan memenuhi kebutuhan

dasar hidup lanjut usia. Bagi yang masih potensial, diberikan

kesempatan bekerja bersama kerabat. Melakukan kegiatan

keterampilan untuk memperoleh penghasilan. Bagi lanjut usia yang

sudah tidak potensial, kerabat memberikan uang, bahan mentah atau

memberikan makanan siap saji. Kesemuanya dilakukan secara gotong

royong.

5. Pelayanan spiritual dilakukan oleh kerabat dengan menyediakan sarana

dan peralatan ibadah. Ketika menjalani ibadah, berusaha menjauhkan

dari anak agar tidak gaduh. Kerabat menemani saat beribadah

di rumah, dimesjid atau dimajelis taklim.

161Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 168: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Diskusi bersama tokoh dan Dinas terkait

Pelayanan oleh Pemerintah dan Masyarakat

Pelayanan sosial oleh Pemerintah melalui dua sistem, yakni sistem

pelayanan sosial di dalam panti dan pelayanan diluar panti. Masing masing

provinsi memiliki panti sosial Tresna Wreda. Setiap panti sosial memberi

penampungan, jaminan hidup, pakaian, kesehatan, pemanfaatan waktu

luang, bimbingan sosial dan spiritual. Selain itu juga KUBE dan UEP,

penambahan Gizi, Kesehatan dan Informasi.

Program pelayanan diluar panti berupa: pemberdayaan lanjut usia

melalui dana Dekon, dalam bentuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

Bantuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dibidang ternak itik, ternak

ayam, ternak kambing, ada juga sapi (Sulsel) dan Bantuan Peningkatan Gizi

pada semua provinsi. Pemberdayaan lanjut usia melaui DAU dalam bentuk

pembinaan dan pemberdayaan Orsos.

Pelayanan lanjut usia yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya

berbentuk Orsos. Mereka bergabung dalam Karang Wredha, Karang Lansia

dan lain lain. Kegiatanya secara umum berupa penambahan Gizi, olah raga,

rekreasi, safari ibadah, kerja bakti dan penggalakkan tanaman obat. Kegiatan

edukasi berupa keterampilan dan bantuan modal. Dalam kegiatan usaha

kesejahteraan sosial berupa kunjungan orang sakit dan bantuan bagi warga

yang meninggal.

Pandangan Kerabat tentang Nilai-nilai yang TerkaitLanjut Usia

Secara umum kerabat

menghendaki lanjut usia tinggal

bersama dan dirawat oleh

kerabat. Hal ini memberi

manfaat bagi kedua belah

pihak. Lanjut usia merasakan

kedamaian berada ditengah

kerabat. Sedang kerabat dapat

memetik manfaat kepuasan

batin dalam memberikan

pengabdian, balas budi dan

membahagiakan orang tua.

162 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 169: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Cara ini sesuai dengan agama, maupun budaya yang mengikat mereka.

Bagi lanjut usia yang tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawat masyarakat

sekitarnya. Bila tidak sanggup melakukan, lanjut usia sebaiknya dirawat di

panti sosial.

Kerabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan lanjut usia,dilakukan sesuai garis kerabat yang dianutnya. Kondisi ini kini mulai bergeser,banyak ditemui lanjut usia tinggal dan dirawat oleh anak yang tinggalberdekatan, bersama anak perempuan/anak bungsu atau anak yang palingdisayangi.

Permasalahan penting bagi lanjut usia adalah permasalahan kesehatan.Lanjut usia mengalami berbagai penyakit degeneratif maupun penyakit noninfeksi yang sulit disembuhkan. Lanjut usia memerlukan pelayanan kesehatanrutin yang murah (gratis), cepat dan mudah. Bila lanjut usia sakit, segeradiberikan obat atau dibawa berobat. Ada yang menemani ketika berobat,ada yang melayani ketika memerlukan bantuan. Secara ekonomi, sumberdana yang digunakan untuk merawat lanjut usia berasal dari kerabat, yangditanggung secara bersama. Pelayanan sosial bagi lanjut usia perlu dipisahkanantara yang potensial dan yang tidak potensial. Bagi yang potensial tetapimiskin, memerlukan kegiatan usaha ekonomi produktif agar dapatmemenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi yang tidak potensial memerlukanbantuan ekonomi, melalui keluarga yang merawat.

Kerabat sebaiknya mengerti dan memahami yang baik dan tidakbaik dilakukan kepada lanjut usia. Kondisi fisik yang mengalami kemunduran,memerlukan pelayanan sesuai kondisinya. Melayani lanjut usia harus bisaberlaku sabar, memenuhi perintahnya, sepanjang tidak mencelakakan.Mendengarkan dan melaksanakan nasehatnya. Lanjut usia perlu” diisiperutnya dan dipelihara mata dan telinganya”. Hal yang buruk ,memperlakukan secara kasar, tidak sabar, baik ucapan atau perlakuan fisik.Pelayanan psikis, lanjut usia potensial memerlukan silaturahmi dan anjangsana. Mereka memerlukan wadah (Karang lansia/karang wredha) ataubentuk lainnya. Melalui wadah ini lanjut usia dapat melakukan aktifitas sesuaidengan keinginan mereka.

Harapan kepada kerabat, masyarakat dan pemerintah

Harapan kepada kerabat: pelayanan dinjalani secara ikhlas dan wajar.Kerabat masih mendengarkan dan menjalani nasehat lanjut usia. Bila adaperbedaan, dapat menyampaikan dengan cara yang tidak menyinggung.

163Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 170: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Harapan yang sangat tinggi kepada kerabat untuk tekun beribadah, rajinbelajar, kerja keras, setia dengan adat budayanya, menjaga dan meneruskannilai nilai demi masa depan yang baik.

Harapan kepada masyarakat: Memperlakukan lanjut usia denganwajar, hidup bersama masyarakat. Menyumbangkan ilmu danpengalamannya. Berpartisipasi dalam iuran, gotong royong, sekalipuntenaga/dana yang disumbangkan tidak seberapa.

Harapan kepada Pemerintah: agar mengembangkan programpenanganan ekonomi, bagi lanjut usia potensial. Memberi jaminan hidupkepada lanjut usia yang tidak potensial dengan kerabat tidak mampu.Memberi fasilitas pengobatan rutin, mudah dan gratis dengan memberikartu sehat lansia, juga jaminan hari tua bagi lanjut usia. Membentuk wadahkegiatan lanjut usia seperti: Karang wredha/Karang Lansia. Mendorongdan memfasilitasi bagi yang sudah terbentuk. Menyediakan fasilitas umumuntuk lanjut usia. Memberikan penyuluhan dan mensosialisasikan nilai-nilaiyang terkait dengan lanjut usia kepada generasi muda tentang:

1. Kerabat yang merawat lanjut usia nonpotensial

2. Lanjut usia yang masih potensial

3. Penyuluhan bagi generasi muda tentang nilai nilai yang terkait denganlanjut usia.

4. Penguatan & pemberdayaan pranata lanjut usia yang OBH maupunOTBH.

5. Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia ( dekat, mudah, murah/gratis).

PELAYANAN LANJUT USIA

BERBASIS KEKERABATAN

KERABAT

PEMBERDAYAAN EKONOMI

LANJUT USIA POTENSIAL

GENERASI MUDA PRANATA

LANJUT USIA

KESEHATAN LANJUT USIA

PEMBERDAYAAN

PENGUATAN

Bagan 2. KONSEP MODEL PELAYANAN LANJUT USIA

Konsep Model

164 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 171: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan

1. Ada dua kategori lanjut usia: (a) Penyandang masalah kesejahteraansosial (PMKS), umumnya terlantar dan tinggal di daerah rawan;(b) Lanjut usia potensial sebagai Potensi Sumber KesejahteraanSosial (PSKS), yang berpotensi sebagai sumber kesos, merekaterorganisir dalam Karang Wredha/Karang Lansia dan lain lain.

2. Pelayanan lanjut usia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya sebagaiberikut: (a) lanjut usia sebaiknya dirawat oleh anaknya/keluarga/kerabat; (b) lanjut usia yang tidak punya anak, sebaiknya dirawatoleh kerabat: adik kandung/sepupu, keponakan, cucu dan lainlain; (c) bilamana tidak memiliki kerabat, sebaiknya dirawattetangga. Bilamana tetangga tidak ada yang merawatnya, alternatifterakhir dirawat di Panti Sosial Lanjut Usia.

3. Pola tinggal lanjut usia yang diteliti : (a) Lanjut usia tinggal mandiridan dirawat oleh kerabat; (b) Lanjut usia yang tinggal bersamadan dirawat oleh kerabat (c) Lanjut usia yang tinggal di rumahnyasendiri, dirawat oleh tetangga; (d) Lanjut usia suami isteri. tinggaldi rumahnya sendiri; (e) Lanjut usia dirawat oleh sepupu/keponakan.

4. Permasalahan kesehatan: yang sulit disembuhkan/tidak bisasembuh karena usia. Umumnya menderita kaku sendi/lengan dansulit bergerak, katarak, kurang pendengaran, penyakit jantung, darahtinggi, osteoporosis dan penyakit penuaan lain.

5. Kebutuhan lanjut usia meliputi: (a) Pelayanan kesehatan merupakankebutuhan yang paling dirasakan lanjut usia; (b) Kebutuhan rohani,bagi lanjut usia yang masih sehat dan kuat, ingin beribadah sesuaiagama masing masing. Lanjut usia yang sakit dapat beribadah danmendengarkan radio/televisi; (c) Kebutuhan makan, lanjut usiamemerlukan makanan bergizi sesuai kebutuhannya., tetapi tidakada biaya untuk menyediakannya; (d) Kebutuhan pakaian, sesuaibudaya dan kebutuhannya. Bagi yang sudah terbaring di tempattidur memerlukan perlengkapan seperti pampers, perlak dan lain-lain; (e) Secara sosial lanjut usia menginginkan dikunjungi kerabat.Sedangkan bagi lanjut usia potensial ingin berkunjung ke teman/kerabat.

165Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 172: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

6. Harapan para lanjut usia: (a) Menginginkan tempat pertemuan

serbaguna, untuk pelayanan kesehatan, Posyandu, pertemuan/arisan

dan pameran hasil keterampilan; (b) untuk memeriksakan penyakit,

menginginkan pelayanan khusus yang dekat, mudah dan gratis; (c)

Lanjut usia potensial yang mempunyai UEP barhasil memberi

lapangan pekerjaan, ingin dicontoh generasi muda dan didukung

pemerintah; (d) Pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan dapat

dikembangkan karena sistem nilai budaya setempat di lima wilayah

yang diteliti mendukung upaya tersebut; (e) Pelayanan lanjut usia

dalam kerabat yang diteliti sudah memenuhi harapan. Para lanjut

usia merasa aman dan terlindungi berada dilingkungan kerabat.

2. Rekomendasi

1. Penguatan ekonomi bagi kerabat yang lemah, agar ada peningkatan

ekonomi dan dapat mencukupi kebutuhan lanjut usia secara lebih

baik, terutama untuk pemenuhan gizi dan berobat ke rumah sakit

yang biayanya mahal.

2. Penguatan ekonomi bagi lanjut usia potensial, yang memiliki UEP,

dengan memberi dukungan dana, ketrampilan, bimbingan dari

pemerintah, organisasi sosial maupun kelompok peduli.

3. Pengembangan lembaga/organisasi lanjut usia, agar lanjut usia

dapat menyumbangkan ilmu dan keterampilannya, sekaligus sebagai

kegiatan ekonomi maupun sosial kepada mesyarakat.

4. Pembinaan generasi muda dilakukan dengan memperkuat sistem

nilai budaya masing masing, memberikan berbagai motivasi melalui

penyuluhan dan mempraktekannya dalam bersikap dan berperilaku

sehari hari.

5. Meningkatkan kesejahteraan lanjut usia dengan cara pelayanan

kesehatan lanjut usia, yang didukung dengan tenaga dan pelayanan

medis secara memadai, rutin, mudah, murah/gratis dan dekat.

166 Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 173: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid, 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta ; Idayu Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977. Adat Istiadat Daerah

Jawa Timur. Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan.

___________ , 1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Selatan.

Jakarta ; Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Hardywinoto, & Toni Setyabudhi, 1999. Menjaga Keseimbangan Kwalitas Hidup

Para lanjut usia ”Panduan Gerentologi” Tinjauan dari Berbagai Aspek,

Jakarta, Gramedia.

Jayaputra, Achmadi dan Setyo Sumarno, 1999. Kajian Tentang Model-model

Pelayanan lanjut usia Berbasis Masyarakat Melalui Pusat Santunan Asuhan

Dalam Keluarga. Jakarta ; BPPKS.

Koentjaraningrat, 1990. Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta.

Loius Lowy, 1997, Social with the Aging, the Challange and Promise of the Later

Year, New York, Philadephia, San Fransisco, Harver & Row Pub-

lisher.

Pramuwito, dkk, 1991. Penelitian Uji Coba Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial

lanjut usia Berbasis Masyarakat. Jakarta; BPPKS.

Robert C. Atchley, 1983, Aging Community and Change, Wadsworth Publish-

ing Company, Belmont, California Division Wadsworth Inc.

________, 1983. Aging Community and Change, Scripps Foundation Gerontol-

ogy Center, Miami University, Wadswort Publishing Company,

Belmont California.

167Puslitbang Kesos

Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan

Page 174: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 175: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

PENGEMBANGAN KOMUNITAS PEDULI

ANAK 1

Dra. Alit Kurniasari, MPM 2

ABSTRAK

Penelitian pengembangan komunitas peduli anak bertujuan untuk

mengidentifikasi latar belakang pembentukan komunitas peduli anak,

mengidentifikasi potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan komunitas untuk

mengembangkan kepedulian komunitas serta mengidentifikasi bagaimana bentuk-

bentuk kepedulian komunitas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode

kualitatif melalui studi kasus yang dilakukan di 6 wilayah (Sumatera Utara/Medan,Sumatera Selatan/Palembang, Kalimantan Barat/Pontianak, Jawa Timur/Surabaya,

Sulawesi Selatan/Makasar, Nusa Tenggara Timur/Timor Tengah Selatan). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pembentukan komunitas peduli anak dilatarbelakangi

oleh kondisi faktual di masing-masing wilayah. Banyaknya permasalahan anak-anak

terlantar dan anak jalanan telah memprakarsai tokoh agama, kelompok remaja mesjid

dan praktisi sosial, untuk membangun komunitas peduli anak. Pandangan tentang

anak dan kebutuhannya memotivasi komunitas untuk memenuhi kebutuhan dan

hak anak. Pendampingan secara intensif dari tokoh komunitas, lembaga sosial

masyarakat yang peduli anak didukung keterlibatan pengusaha setempat maupun

pemerintah menjadi sumber motivasi bagi anggota masyarakat untuk berpartisipasi

aktif kedalam komunitas. Kepedulian diwujudkan dalam bentuk kelompok belajar,kelompok bermain dan TK, taman bacaan anak, pemberian beasiswa bagi anak

jalanan yang mampu sekolah dan pelatihan keterampilan. Pada beberapa wilayah,

pelayanan sosial tidak hanya bagi anak, tetapi juga menjangkau keluarga atau orang

tua, melalui pemberian keterampilan usaha. Potensi dan sumber pendukung untuk

mengembangkan komunitas seperti nilai ajaran agama sebagai pengikat kegiatan

komunitas, selain pandangan masyarakat tentang hak anak dan kebutuhannya, yang

berpihak pada anak dan tidak bias gender. Dukungan pengusaha setempat terhadap

kelanjutan pendidikan serta keterlibatan LSM yang peduli pada kesehatan dan

pendidikan anak, termasuk mengikutsertakan keluarga pada pelatihan usaha ekonomi

produktif. Dukungan pemerintah melalui paket belajar dan pelatihan keterampilan

telah memberi warna pada kegiatan komunitas. Adapun hambatan yang dihadapi

komunitas seperti terbatasnya jaringan kerja komunitas, minimnya pemahaman

1 Diangkat dari penelitian Komunitas Peduli Anak dengan anggota Alit Kurniasari (Ketua),

Gunawan, Tety Ati Padmi, Neni Riani, Sri Utami.

2 Alit Kurniasari, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan KesejahteraanSosial, Departemen Sosial RI.

169Puslitbang Kesos

Page 176: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

masyarakat bahwa komunitas sebagai ‘modal sosial’ yang dapat dikembangkan, belum

adanya kesamaan antara dukungan pemerintah dengan kebutuhan komunitas. Oleh

karenanya, untuk mengembangkan komunitas peduli anak perlu membentuk jejaring

kolaboratif antar sektor terkait; dunia usaha, masyarakat peduli anak dan pemerintah,

perlunya mengkampanyekan kegiatan peduli anak agar kesadaran masyarakat pada

kebutuhan dan hak anak semakin meningkat, peningkatan kemampuan pekerjakomunitas, fasilitasi pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan komunitas, kebijakan

tentang keberadaan komunitas sebagai bagian dari Sistem Kesejahteraan Nasional

Indonesia.

Kata kunci:

Hak Anak, Pelayanan Sosial Anak, Komunitas Peduli Anak

Pendahuluan

Kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak menjadi bagian penting

dari pembangunan kesejahteraan sosial. Anak sebagai generasi penerus

bangsa perlu dipersiapkan sejak awal agar tujuan anak sebagai pemilik era

masa datang dapat tercapai. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari

legalitas tingkat global sampai tingkat nasional. Indonesia telah memiliki

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Rativikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor

36 tahun 1990, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan perundang-undangan

di bawahnya, yang bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan

dan perlindungan anak seoptimal mungkin. Implikasinya adalah berbagai

elemen seperti LSM, Orsos, Dunia Usaha dan pemerintah berupaya

merealisasikannya dalam berbagai kegiatan. Pemerintah melakukan berbagai

aksi, juga memfasilitasi pembentukan Komite Aksi Nasional, Gugus Tugas,

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak di daerah

yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan dan elemen masyarakat.

Departemen Sosial melalui Direktorat Pelayanan Sosial Anak yang telah

lama dan berpengalaman dalam membina dan memfasilitasi pelayanan sosial

anak baik dalam maupun luar panti, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang

tidak kalah gencarnya dengan kegiatan lembaga nonpemerintahan lainnya.

Pada kenyataannya, kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan

meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Jumlah anak terlantar, termasuk anak jalanan cenderung semakin meningkat,

170 Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 177: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi.

Berdasarkan data Pusdatin Departemen Sosial RI (2006) menunjukkan

jumlah anak terlantar sebanyak 2.815.383 anak. Permasalahan anak tidak

terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia, terutama

masalah kemiskinan. Upaya penanganan yang dilakukan pemerintah tidak

sebanding dengan besaran permasalahan anak, sehingga peran aktif

masyarakat sangat diperlukan. Upaya penanganan permasalahan anak

berbasis masyarakat semakin banyak ditemukan. Kelompok masyarakat

yang memiliki kepentingan yang sama terhadap kesejahteraan anak, yang

selanjutnya disebut sebagai komunitas peduli anak, telah banyak melakukan

kegiatan pelayanan anak. Keberadaan komunitas tersebut sejalan dengan

salah satu tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yaitu meningkatkan

kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan

sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Oleh karena itu, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kessos), merasa perlu

melakukan penelitian tentang pengembangan komunitas peduli anak. Dalam

penelitian ini akan menelusuri bagaimana bentuk kegiatan komunitas, apa

latar belakang terbentuknya komunitas serta sumber dan potensi apa yang

dapat dimanfaatkan komunitas untuk mengembangkan kepedulian

komunitas?

Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan metode kualitatif dengan

studi kasus, guna memberi penjelasan komprehensif mengenai komunitas

peduli anak di wilayah yang terpilih. Penelitian studi kasus berupaya menelaah

sebanyak mungkin data mengenai komunitas peduli anak yang ada di

masyarakat. Pembahasan yang dilakukan berusaha untuk menjawab ”Why

and How”. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi

dan penelaahan dokumen, yang bertujuan semaksimal mungkin memperoleh

pandangan lengkap dan mendalam mengenai komunitas peduli anak. Lokasi

yang terpilih dengan cara purposive, yaitu kota-kota yang memiliki jumlah

permasalahan anak terlantar cukup tinggi yaitu Kota Medan, Palembang,

Makasar, Surabaya, Pontianak dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Sumber informan pada tokoh komunitas, anggota komunitas, tokoh

masyarakat, anak-anak dan Instansi Sosial. Untuk menjelaskan komunitas

peduli anak maka digunakan teori sikap dari Mar’at yang beranggapan

171Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 178: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

bahwa tingkah laku sosial dapat dimengerti melalui pendekatan teori stimu-

lus respon, artinya perilaku sosial dianalisis sebagai respon spesifik terhadap

stimuli yang diberikan, didukung oleh hukuman dan penghargaan sesuai

dengan reaksi yang terjadi. Artinya perilaku komunitas peduli anak, sebagai

perilaku sosial yang dipengaruhi oleh penghargaan maupun dukungan

terhadap kegiatan komunitas. Konsep komunitas dari Ferdinan Tonny

yang membagi komunitas pada 3 aspek yaitu seperasaan, sepenanggungan

dan saling membutuhkan. Berdasarkan hal tersebut, komunitas peduli anak

dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi

aktif dan prakarsa komunitas terhadap penanganan permasalahan yang

dihadapi masyarakat setempat. Selanjutnya komunitas peduli anak, dapat

menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan

masyarakat, yang dapat berfungsi sebagai gerakan yang dirancang untuk

meningkatkan kehidupan seluruh komunitas.

Hasil PenelitianBerdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa bentuk

kegiatan komunitas ada hubungannya dengan kondisi dan karakteristik sosialekonomi wilayah setempat. Misalnya, komunitas di Kota Pontianak yangberbatasan dengan wilayah negara lain, telah mendorong komunitas untukpeduli terhadap maraknya masalah trafficking dan melakukan pendampinganbagi anak yang berkonflik hukum. Komunitas di Kota Medan dan Surabaya,sebagaimana kota-kota besar lainnya yang menjadi pusat persinggahan bagipenduduk di wilayah sekitarnya memiliki permasalahan anak jalanan cukuptinggi. Komunitas di Kota Palembang dan Makasar dengan posisiwilayahnya yang cukup strategis sebagai pintu gerbang bagi wilayah lainnya,diwarnai tingginya permasalahan anak terlantar. Meningkatnya permasalahananak telah mendorong munculnya komunitas peduli anak yang diprakarsaioleh kalangan praktisi dan masyarakat terdidik dari berbagai perguruantinggi serta masyarakat lokal baik yang diikat oleh satu rumpun agamamaupun budaya, turut menangani permasalahan anak dan melakukankegiatan demi menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan. Perankekerabatan dan tanggung jawab sosial keluarga pada kenyataannya tidakmampu menyelamatkan anak dari keterlantaran. Seperti kasus di Medan,kondisi kemiskinan keluarga semakin menjauhkan keluarga dari interaksinyadengan kerabat lainnya, sehingga keterlantaran anak harus ditanggung olehkeluarga bersangkutan. Kasus di Timor Tengah Selatan, berawal dari kegiatan

172 Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 179: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

keagamaan untuk membantu anak terlantar melalui pelayanan sosial bersifatinsidental, tetapi kegiatannya berlanjut menjadi terorganisir setelahmemperoleh dukungan dari berbagai pihak. Motivasi atas jiwa kemanusiaandan dilandasi nilai-nilai agama telah mendorong komunitas untuk berbuatyang terbaik bagi anak-anak. “Nilai kasih sayang antar sesama karena salingmembutuhkan, sesuai dengan ajaran agama yang dianut” menjadi landasankomunitas untuk peduli pada anak. Semangat tersebut telah mampumemotivasi kelompok pemuda dan wanita, berpartisipasi pada kegiatankomunitas. Kepedulian tokoh masyarakat telah membangkitkan motivasimasyarakat setempat untuk peduli pada kehidupan anak jalanan. Kasus diSurabaya, telah melahirkan sanggar anak-anak jalanan yang diakuikeberadaannya di masyarakat dan menjadi contoh kegiatan di berbagaiprovinsi lainnya.

Perilaku yang ditunjukkan anggota komunitas semakin meningkatmanakala adanya keberhasilan mengentaskan anak dari keterpurukan dansemakin meningkatnya partisipasi tokoh masyarakat dan agama sertakelembagaan yang ada di masyarakat. Keberhasilan komunitas terhadappelayanan pada anak terlantar dan anak jalanan, telah berkembang menjadiembrio organisasi, diantaranya mampu membentuk lembaga pendidikan,dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak, seperti kasus komunitas di KotaPalembang. Kasus komunitas di Surabaya, mampu mengembangkankegiatan pelayanan anak seperti pemberian beasiswa, pelayanan perlindunganbagi anak remaja dari tindak kekerasan seksual dan anak yang dipekerjakanmenjadi pembantu rumah tangga.

Perilaku sosial yang ditampilkan oleh komunitas dipahami sebagaiwujud dari pandangan masyarakat tentang konsep anak dan kebutuhanyang harus dipenuhi anak, yang telah menimbulkan empathy untuk pemenuhankebutuhan tersebut dan selanjutnya diwujudkan dalam kegiatan komunitasyang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan melindungi anak dariketerpurukan. Konsep tentang anak diawali dengan pandangan tentangusia anak. Batasan usia sebagai anak adalah 18 tahun kebawah dan belummenikah, tetapi ada diantaranya yang berpendapat bahwa sebaiknya usiaanak sampai dengan usia 16 tahun, dengan alasan perilaku anak usia 18sudah tidak mencerminkan perilaku seorang anak demikian jugamemperlakukannya sudah harus berbeda. Sebutan anak jalanan telahmemberi stigmatisasi yang menghambat keberadaan anak untuk pemenuhankebutuhannya di masyarakat, sehingga perlu merubahnya dengan sebutan’anak negeri’ yang lebih mencerminkan keberpihakan pada anak. Konsep

173Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 180: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

tentang anak cukup bervariasi, ada yang melihat dari sudut pandang positif,bahwa anak sebagai potensi dan aset generasi penerus cita-cita bangsa,harapan bangsa, penerus estafet pembangunan, titipan Tuhan, fitrah yangharus dijaga yang dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga, penyejukhati, menjadi kekayaan berharga dan ahli waris, menjadi bagian dari dirikita. Sebaliknya, ada yang berpandangan tradisional, bahwa anak diibaratkansebagai kertas putih, yang tidak memiliki kemampuan, sebagai manusialemah dan rawan, masa depannya tergantung pada orang dewasa, menjadifigur yang harus membantu keluarga. Pandangan demikian memberipengertian bahwa keberadaan anak seolah-olah sangat tergantung padaorang tua, anak tidak memiliki hak untuk berkembang. Meskipun konseptentang anak berbeda-beda, namun sebagian besar memahami bahwa anakmemiliki kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan, bimbingan danpengarahan. Kebutuhan dimaksud, seperti hidup layak sebagai mana seoranganak, memperoleh makanan sehat, tempat berlindung, kesempatanbersekolah, kasih sayang, perhatian dari orang tua, mempunyai waktubermain dan diperlakukan secara manusiawi. Perlu pengarahan melaluipendidikan agama, budi pekerti serta memperoleh keterampilan,kesempatan berpendapat dan berkreativitas dan memperoleh pendidikanformal sesuai dengan kemampuan dan usianya. Kebutuhan tersebutsebenarnya sebagai bagian dari hak anak yang harus dipenuhi, yaitu: (1) hakuntuk hidup; (2) hak untuk tumbuh kembang; (3) hak untuk memperolehperlindungan dari kekerasan; meskipun hak anak untuk berpartisipasi masihbelum nampak. Pandangan tersebut, telah menjadikan anggota komunitasmerasa terpanggil untuk mewujudkannya melalui kegiatan pelayanan yangsesuai dengan hak dan kebutuhan anak.

Kegiatan komunitas berupa pendampingan intensif pada anak jalanan,

yang telah menyelamatkan anak dari tidak bersekolah menjadi bersekolah,

memberi kesempatan pada anak untuk mengikuti pendidikan luar sekolah,

memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan di jalanan, (kasus di

Surabaya dan Medan) dan dari tindakan hukum seperti kasus di Pontianak.

Bentuk kegiatan pelayanan tidak terbatas pada pemenuhan kebutuhan anak

untuk memperoleh tempat tinggal memadai, perhatian atau kasih sayang,

juga memberikan kebutuhan akan pendidikan dan keterampilan seperti

bermain musik, teater, sablon, dorsmeer. Selain itu, memberi kemudahan

memperoleh akte kelahiran dan memberi perlindungan dari tindak

kekerasan. Pelatihan keterampilan bermusik pada dasarnya tidak hanya

bertujuan untuk terampil bermain musik, tetapi juga memiliki kepercayaan

174 Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 181: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

diri untuk tampil di tempat umum. Meningkatnya kepercayaan diri pada

anak, setidaknya berdampak pada pribadi dan perilaku anak jalanan, dimana

anak merasa lebih dihargai dan berguna bagi orang lain.

Pada kenyatannya, kegiatan komunitas tidak terbatas pada anak, tetapi

juga membantu keluarganya dalam kemampuan ekonomi serta memberi

akses bagi pelayanan kesehatan serta memberikan pembekalan keterampilan

bagi keluarganya. Kegiatan dimaksud bertujuan agar keluarga dapat

meningkatkan pendapatannya sehingga dapat meringankan beban

pengeluaran untuk membesarkan anaknya. Bimbingan etika dan agama

termasuk kegiatan yang penting diberikan pada anak dan orang tua,

bertujuan agar anak dengan segala keterbatasan yang ada tetapi masih

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia.

175Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Gambar 1 : Anak jalanan di Surabaya berlatih musik

Keterlibatan dunia usaha/swasta, lembaga swadaya masyarakat dan

pemerintah menjadi kekhasan tersendiri dari masing-masing komunitas.

Kasus di Kota Palembang dengan dukungan lembaga international mampu

membangun komunitas peduli anak, tidak terbatas pada pemenuhan

tumbuh kembang anak, tetapi lebih luas mampu menjangkau kesejahteraan

keluarga. Komunitas di Makasar, didukung lembaga masyarakat setempat

mampu menciptakan kepedulian pada permasalahan anak lainnya.

Komunitas di Kabupaten Timor Tengah Selatan, menciptakan kepedulian

masyarakat dengan prinsip memberikan yang terbaik bagi anak, tidak

terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal. Kondisi

ini memiliki nilai strategis dalam pembangunan kesejahteraan sosial, karena

masyarakat telah ikut terlibat dalam menangani masalah anak. Partisipasi

dan kegiatan yang dilakukan komunitas, melalui curahan tenaga, kontribusi

pemikiran, sumbangan harta benda, maupun penggalangan dana, yang

Page 182: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing komunitas, memotivasi

komunitas untuk menyelamatkan anak dari keterlantaran.

Gambar 2 : Kegiatan Bimbingan agama bagi

Orang Tua dan Anak di Surabaya

176 Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Dukungan kepedulian sosial yang dikembangkan secara tradisionalmaupun profesional, telah tumbuh menjadi modal sosial melalui tindakankolektif komunitas guna mengatasi masalah yang dihadapi sesama wargamasyarakat, terutama masalah anak-anak. Di dalamnya terkandung semangatkaritas (charity), kepedulian sosial (volunteerism) dan kepedulian sesama warga(civic involvement), yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaanmasyarakat.

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan komunitasmasih banyak memerlukan keterlibatan pihak lain, terutama dalam rangkamembantu menyelesaikan masalah yang dihadapi komunitas, seperti dariPerguruan Tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga legislatif,Organisasi Masyarakat, Pengusaha, lembaga permodalan dan masyarakatitu sendiri. Keikutsertaan unsur-unsur tersebut dalam penyelesaian masalah,perlu ditata dengan baik yaitu melalui pembentukkan jejaring (network) antarlembaga secara kolaboratif. Jejaring kolaboratif bersifat informal,transparan, menampilkan kesetaraan, mengandalkan komitmen,mensinergikan upaya dan mengembangkan kesadaran kritis serta berfungsipula sebagai kontrol sosial. Dengan prinsip-prinsip tersebut jejaring akanmampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaianmasalah komunitas, melalui pertukaran informasi, pengalaman danpengetahuan serta penyediaan sumber daya yang berasal dari tingkatkomunitas, tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat pusat. Jaringankelembagaan komunitas peduli anak dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Page 183: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Masing-masing sektor memiliki fungsi tersendiri, misalnya public sectoratau pemerintah harus diletakkan secara strategis untuk mendorong inisiatifwarga masyarakat agar dapat mengembangkan berbagai potensikemandirian mereka dalam rangka membantu sesama warganya. CollectiveSector Action atau dapat disebut sebagai masyarakat sipil yang diantaranyaadalah komunitas peduli anak, berperan penting dalam pengembangandan perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraansosial anak. Sektor swasta (private sector) berkomitmen membantumewujudkan kesejahteraan sosial anak, dengan tanggung jawab sosialperusahaan (corporate social responsibility) yang menyediakan dana, keahliandan sumber daya yang dapat digunakan untuk kegiatan pengembangankomunitas peduli anak. Penting diperhitungkan juga lembaga-lembagafilantropi dan pembangunan international sebagai salah satu komponenpelaku atau sumber daya pengembangan komunitas peduli anak.

Gagasan tersebut sejalan gagasan Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional,yang menyebutkan bahwa pihak yang bertanggung jawab dalampengembangan kesejahteraan (anak) tidak lagi dimonopoli Negara, tetapidibagi bersama-sama kalangan swasta (perusahaan-perusahaan), lembaga-lembaga sosial masyarakat (termasuk organisasi keagamaan) dan lembaga-lembaga kerelawanan (seperti LSM yang mengumpulkan dana-dana amal).Langkah-langkah perlindungan sosial bagi anak terlantar sebagai perwujudanpelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinyahak dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal.

177Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Collective Action Sector (Komunitas Peduli Anak)

Public Sector (Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah)

Private Sector (Dunia usaha, LSM, Orsos,

Masyarakat peduli)

Jaringan

Kelembagaan

Peduli Anak

Bagan 3. Jaringan kelembagaan komunitas peduli anak

Page 184: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Komunitas peduli anak, sebagai lembaga sosial masyarakat padakenyataannya berdiri sendiri, belum sepenuhnya mampu menjangkaukalangan swasta, dalam hal ini dunia usaha. Kurangnya koordinasi diantaralembaga yang bergerak dalam pelayanan sosial anak, menjadi kelemahanyang dirasakan komunitas. Hal tersebut bukan tidak mungkin kepercayaandari dunia usaha untuk berkolaborasi menjadi minim. Meskipun selama inidunia usaha cukup mendukung kegiatan komunitas, tetapi masih bersifatinsidental, belum mampu menciptakan program terencana danberkelanjutan. Peran Lembaga kerelawanan, sebagai funding bagikeberlangsungan komunitas, memberi andil besar terutama dalam danadan program pelayanan sosial anak. Permasalahannya adalah komunitasbelum mampu mandiri selepas berakhirnya program. Masyarakat belumterbiasa menjadi mandiri, ketergantungan masyarakat pada pemerintah masihcukup melekat, karena kondisi tersebut telah dibentuk sejak masa lampau.Hal ini pula yang menjadi salah satu kendala bagi upaya pemberdayaanmasyarakat, seperti yang dialami pada kasus di Palembang.

Kesimpulan dan SaranSecara garis besar dapat disimpulkan, bahwa terbentuknya komunitas

peduli anak, karena adanya kesamaan perasaan terhadap keterlantaran anak,memiliki kepentingan bersama untuk memberikan pelayanan bagi anakagar terhindar dari keterpurukan lebih lanjut. Keberadan komunitas menjadibagian yang dibutuhkan anggotanya, terutama anak-anak terlantar dan anakjalanan menerima pelayanan yang selama ini hak dan kebutuhannyaterabaikan. Tindakan kolektif komunitas dapat diprakasai oleh berbagailapisan masyarakat, baik yang berlatar belakang agama, keilmuan bahkanatas dasar panggilan hati nurani sekalipun. Terpenting adalah motivasi yangdimiliki komunitas mampu menggerakkan partisipasi aktif anggotanyaguna menciptakan kehidupan yang terbaik bagi anak-anak. Kegiatankomunitas tidak dapat terselengara tanpa dukungan pemerintah danketerlibatan dunia usaha, maupun lembaga sosial masyarakat lainnya. Hanyasaja keberadaan komunitas berikut kasus-kasus keberhasilan, serta manfaatyang telah diperoleh anak beserta keluarganya kurang tersosialisasikan.Keterbatasan petugas pendamping bagi anak-anak terlantar dan anak jalanan,menjadi kendala yang dialami komunitas, selain sarana dan prasarana bagipenyelenggaraan kegiatan pelayanan. Semakin meningkatnya minat anak-anak terlantar yang membutuhkan pelayanan dari komunitas, semakinmenuntut komunitas untuk memperluas jaringan kerja (network). Keberadaan

178 Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 185: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

komunitas paduli anak, menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkanuntuk mengembangkan masyarakat sekitarnya.

Untuk itu, perlu direkomendasikan peningkatan sosialisasi ataumengkampanyekan komunitas peduli anak, melalui dialog interaktif padamedia masa dan elektronik, penyebarluasan informasi melalui media masadan elektronik. Selain itu, upaya pengembangan komunitas peduli anakmelalui fasilitasi program pemberdayaan kepada keluarga dengan anakterlantar. Melakukan peningkatan kemampuan petugas pendamping melaluikegiatan pemantapan, khususnya pekerjaan sosial agar lebih terarah,pengakuan terhadap petugas pendamping sebagai tenaga Pekerja Sosialdari Dinas Sosial setempat, memfasilitasi sarana prasarana komunitas, yangdisesuaikan dengan kebutuhan komunitas. Hal yang penting lainnya adalahkebijakan berlandaskan pada Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional Indo-nesia yang dapat memperkuat keberadaan komunitas peduli anak, sehinggaaksesibilitas komunitas peduli anak terhadap sumber-sumber dayakesejahteraan sosial seperti dunia usaha dan instansi pemerintah mendapatlegalitas yang sah.

DAFTAR PUSTAKA

Deddy Mulyana, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,

Bandung.

Harry Hikmat, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama

Pers. Bandung.

Hurlock, Elizabeth, 1989, Development Psychology, Mc Graw Hill, Toronto.

Mar’at, 1981, Teori Sikap, PT. Remaja Karya, Bandung.

Tonny F Nasdian & Lala Kolopaking, 2003, Sosiologi untuk Pengembangan

Masyarakat, program Pasca Sarjana IPB.

_______, 2005, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem

Kesejahteraan Nasional Indonesia, draft IX; Depsos RI.

179Puslitbang Kesos

Pengembangan komunitas Peduli Anak

Page 186: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 187: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

GENDER DAN KELUARGA MIGRAN

DI INDONESIA1

Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si 2

ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa para TKW melakukan migrasi

ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya. Hal ini menimbulkan dampak

sosial psikologis terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Lebih jauh, hal ini

mencerminkan adanya kompleksitas masalah keluarga buruh migran termasuk

pergeseran pola relasi gender pasca migrasi sebagai TKW. Untuk memahami hal itu,

penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian diutamakan

pada wilayah pemasok utama tenaga kerja wanita (TKW) seperti Lampung,

Indramayu, Malang dan Makassar. Sumber data dan informan penelitian adalah

TKW dan keluarganya. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulangke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan. Penentuan

keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan snowball. Analisis data dilakukan

dengan pendekatan patriarkhi dan analisis gender yang berkaitan dengan bargaining

position dan kesetaraan antara suami dan isteri.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Pasca kepulangan sebagai TKW, TKW

membawa nilai–nilai baru yang diserap melalui proses akulturasi budaya di negara

perantauannya yang didukung dengan posisi ekonomi isteri yang meningkat. Langsung

atau tidak langsung kondisi ini menaikkan posisi tawar di tengah keluarganya. Hal inimemberikan ruang yang cukup bagi terjadinya pergeseran pola relasi gender lokal di

tengah keluarganya, yang secara psikologis mengarah pada konsep androgini. Dengan

konsep relasi gender ini, pembagian kerja yang semula sangat sexist mulai kabur.

Suami mulai terlibat pada sektor domestik dan permisif pada nilai-nilai pemingitan,

sementara isteri mulai terbuka pada sektor publik. Dalam hal ini pihak isteri mulai

independent dalam membuat keputusan sehingga posisinya sebagai sub ordinat makin

kabur dan mengarah pada posisi isteri sebagai mitra. Namun demikian, keluarga

mengalami konflik secara potensial dan manifest, sehingga relatif kurang harmonis.

1 Diangkat dari hasil penelitian tentang Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga Di Indonesia,oleh Togiaratua Nainggolan, Faida Normawati, Ruaida Murni, Rachmanto Widjopranoto, dan

Sudibyonoto.

2 Togiaratua Nainggolan, Peneliti Pertama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan KesejahteraanSosial di Departemen Sosial RI.

181Puslitbang Kesos

Page 188: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sehubungan dengan hal tersebut kepada pihak–pihak terkait direkomendasikan

untuk memberikan pelatihan bagi calon TKW dengan materi pelatihan penguatan

fungsi dan tanggung jawab sosial keluarga yang mengarusutamakan pola relasi gen-

der. Selain itu, diperlukan bimbingan dan konseling keluarga bagi keluarga mantan

TKW sebagai upaya mengantisipasi dampak sosial negatif dari pergeseran pola relasi

gender dalam kehidupan keluarga.

Kata kunci :

Pergeseran Pola Relasi Gender, Tenaga Kerja Wanita, Keluarga Migran

PendahuluanLatar belakang penelitian ini didasarkan pada kenyataan, bahwa para

TKW melakukan migrasi ke luar negeri dengan meninggalkan keluarganya.Hal ini menimbulkan dampak sosial psikologis terutama bagi perempuanyang sudah menikah. Lebih jauh hal ini mencerminkan adanya kompleksitasmasalah pada buruh migran.

Pendapat senada dikemukakan oleh Krisnawati & Safitri (dalamDaulay, 2001) dalam sebuah tulisannya bahwa masalah buruh migran sangatkomplek karena konteksnya tidak saja soal perburuhan tetapi jugamenyangkut migran internasional, kapitalisme dunia dan globalisasi.Ketimpangan pendapatan negara maju dan negara dunia ketiga, kesalahankonsep pembangunan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun dan secarakhusus bagi TKW menyangkut masalah perempuan, yaitu masalah gender.

Selain masalah gender, sadar atau tidak, langsung atau tidak langsungperubahan peta situasi keluarga pasca TKW dapat mempengaruhi tingkatkeharmonisan keluarga buruh migran yang bersangkutan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengantujuan : (1) mendeskripsikan pergeseran pola relasi gender pada keluargamigran pasca migrasi sebagai buruh TKW; dan (2) mendeskripsikangambaran keharmonisan keluarga mereka pasca migrasi sebagai TKW.

Hasil penelitian diharapkan mampu : (1) menyajikan realitas positifmaupun negatif dari tindakan migrasi TKW terhadap keluarga, untukselanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi calon TKW dankeluarganya dalam membuat keputusan untuk migrasi sebagai TKW ; dan(2) bagi Departemen Sosial RI dan pihak terkait lainnya, dapat digunakansebagai bahan perumusan kebijakan dan pengembangan program yangditujukan bagi TKW dan keluarganya.

182 Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 189: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Metode PenelitianPenelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian

diutamakan pada wilayah yang menjadi pemasok utama tenaga kerja wanita(TKW) ke luar negeri seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, JawaTimur, Jawa Barat, dan Lampung.

Sumber data dan informan penelitian adalah TKW dan keluarganya,terutama dengan melihat kondisi isteri yang pernah bekerja ke luar negerimenjadi TKW. Informasi dari isteri ini selanjutnya akan dikonfirmasi ulangke suami, anak, mertua, masyarakat atau tokoh lainnya yang dinilai relevan.Pengambilan keluarga yang menjadi informan dilakukan dengan cara snow-ball dimana dari satu informan akan berkembang ke informan selanjutnya.

Teknik analisis data diarahkan pada pendekatan patriarkhi dan analisisgender yang berkaitan dengan bargaining position antara suami dan isteri sertamenyangkut kesetaraan posisi di antara mereka.

Hasil dan Pembahasan

1. Realitas TKW Sebagai Persoalan Sosial Budaya

Sebagai sebuah realita sosial kehadiran TKW banyak mendapatpujian sehubungan dengan prestasinya dalam bidang ekonomi dengansumbangan devisa yang besar, sehingga TKW diberikan predikatsebagai pahlawan devisa bagi negara. Namun, pujian dan predikatpahlawan ini dapat dikatakan semu, karena prestasi ini hanya dinilaiberdasarkan indikator ekonomi, sehingga terkesan meninabobokanmasyarakat terhadap substansi persoalan yang sesungguhnya dancenderung menutupi kelemahan pihak tertentu sebagai penyelenggaraprogram ini.

Penegasan ini cukup beralasan karena hingga saat ini programpengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi motif pendekatanbisnis yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan selera kepentingankelompok kapitalis. Akibatnya, prinsip hitung-hitungan ekonomi selalumenjadi ukuran. Dalam prakteknya, bagi kaum kapitalis menjadi TKWadalah menjadi “produsen” sekaligus menjadi “konsumen” denganukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh kelompok pengusaha.

Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus dipandang sebagaipersoalan sosial budaya dalam arti luas, selain peluang yang dapat

183Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 190: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dimanfaatkan secara ekonomi, juga harus memanfaatkan peluangdari aspek sosial budaya. “Mengekspor” TKW ke luar negeri bukansaja mengirim individu TKW secara fisik tetapi sekaligusmempertemukan dua atau lebih budaya yang berbeda dari berbagaiaspek.

Mengacu pada model transmisi budaya dari Cavali dan Sproza(dalam Berry dkk, 1999) pertemuan antara TKW dengan majikan dinegara tujuan sekaligus mempertemukan dan memfasilitasi kontakbudaya dua pihak yang mengadakan transaksi jasa. Hal ini potensialmemunculkan persoalan budaya dalam bentuk akulturasi danenkulturasi dengan segala konsekuensi lintas budaya, baik yang positifmaupun negatif.

Fenomena ini lebih sensitif lagi karena melibatkan perempuanyang berstatus isteri dari seorang suami dan sekaligus ibu dari sejumlahanak. Bahkan secara politis adalah “ibu” dari sang masa depan bangsa.Hal yang harus menjadi catatan pertama adalah kepergian seorangibu ke luar negeri tidak serta merta menyelesaikan masalah. Justrusebaliknya dapat memunculkan masalah baru dalam konteks keluargayang senantiasa tetap dituntut menjalankan segala fungsinya, yang secaraideal harus dikendalikan oleh suami-isteri. Hal senada dipertegas olehGoode (1985), bahwa dengan bekerjanya sang isteri ternyatameningkatkan pertentangan dalam perkawinan. Pernyataan ini semakinrelevan bagi TKW karena harus berpisah dengan keluarganya.

Secara bersamaan, meningkatnya keterlibatan perempuan dalamkegiatan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi,mengindikasikan peningkatan secara kuantitatif, dimana jumlahperempuan yang bekerja di luar rumah semakin banyak, walau angkastatistiknya belum dapat disebut secara pasti. Sementara pada sisi lain,ada peningkatan dalam “jumlah bidang pekerjaan” yang semuladidominasi oleh laki-laki secara berangsur dimasuki bahkan didominasioleh perempuan, walaupun secara kualitatif hal itu terjadi padapekerjaan kasar sebagaimana yang dialami oleh TKW.

Pada tataran global, perubahan kontemporer dalam hidup kaumperempuan ini, sebenarnya sudah dimulai pada saat modernismemenjadi bagian dari gaya hidup, bahkan ideologi masyarakat. Dalamkonteks ini, beban menjadi perempuan di era modern menjadi lebihberat, karena berbagai muatan nilai harus di akomodasi. Sadar atau

184 Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 191: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

tidak, trend kehidupan mengikuti arus perubahan sosial membawatransformasi masyarakat yang melibatkan pergeseran nilai-nilaitradisional ke arah modernisasi, termasuk dalam hal pergeseran polarelasi gender di kalangan buruh migran.

Perilaku penyesuaian diri dalam menerima arus informasimodernisasi dalam transmisi budaya menuntut kearifan tersendiri.Persepsi yang salah akan menimbulkan culture shock berupa responnegatif dan disorientasi yang dialami orang-orang yang hidup dalamsuatu lingkungan budaya baru. Bagi TKW yang harus pergi ke luarnegeri, persoalan semacam ini seharusnya menjadi fokus perhatiandalam perumusan kebijakan, bukan saja pada tingkat mikro, akantetapi juga pada tingkat makro. Secara makro, proses globalisasi telahmembawa keuntungan atas fenomena “perdagangan tanpa batas”dengan mendapatkan pekerja migran yang murah. Secara tidaklangsung buruh migran dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negaratujuan. Pada tingkat mikro, pemerintah memang melakukan intervensi.Tetapi hal itu lebih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perdagangandan aliran modal yang justru mendukung globalisasi itu sendiri, tetapitidak untuk isu kemanusiaan yang melekat pada proses migrasi itusendiri. Akibatnya muncul berbagai efek samping yang justru tidakdiharapkan.

Pada tataran inilah aspek sosial budaya dari program eksportenaga kerja ke luar negeri menjadi hal yang urgen untuk menjadikanTKW sebagai duta bangsa yang membawa nama harum bangsa danbukan menjadi “komoditas dagang” yang mendapat perlakuan sesuaiselera pasar.

2. TKW dan Rekonstruksi Gender

Sebagai bagian dari budaya, pola relasi gender menunjukkankecenderungan laki-laki diorientasikan ke bidang publik dan perempuanke bidang domestik. Kecenderungan ini menimbulkan ketimpangankekuasaan antara kedua jenis kelamin.

Pengaruh akar sosial budaya tradisional dalam mengasosiasikanperempuan sebagai kelompok orang yang memiliki ciri tertentu telahmemberikan warna dalam keterlibatan perempuan dalam kegiatanekonomi. Pemaknaan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomiini ditentukan oleh sistem nilai adat istiadat yang memberikan peluang

185Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 192: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

sekaligus pembatasan berupa etika, tentang apa yang boleh dan apayang tidak boleh dilakukan. Proses sosialisasi perempuan mengarahpada terjadinya identifikasi pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengansifat keperempuanannya. Terlihat bahwa perempuan ternyata banyakdilibatkan di sektor-sektor yang sudah terpola pada pekerjaan yangbersifat “menerima perintah”. Kecenderungan tersebut terefleksikandalam konteks yang lebih luas, dimana pihak yang memerintah adalahlaki-laki, dan pihak yang menerima perintah adalah perempuan. Selainitu, perempuan sebagai pihak yang menerima perintah, di dalamstruktur kekuasaan berada di posisi yang lemah dan terlihat jelas denganadanya hubungan–hubungan personal yang mempengaruhi ukuran-ukuran kedudukan dan kesempatan. Konstruksi gender inimenempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan perempuan padaujung yang yang lain di sebuah garis vertikal. Secara langsung konstruksiini menegaskan posisi sub ordinat perempuan dan superioritaslaki-laki.

Penjelasan tersebut menunjukkan betapa hegemoni patriarkhi

melingkupi pola relasi gender lokal. Dalam konteks ini, pembagian

kerja menjadi sexist (didasarkan pada jenis kelamin) dan dibedakan

dalam suatu dikotomi dari waktu ke waktu. Relasi gender menjadi

perilaku spesifik yang diharapkan dan dijadikan standar yang

diterapkan pada laki-laki dan perempuan, dimana penyimpangan

subjek dari ketentuan ini akan mendapatkan sanksi sosial (penilaian

negatif) masyarakat. Dengan kata lain, pola relasi gender ini merupakan

tingkah laku yang cocok untuk tiap-tiap jenis kelamin. Dalam hal ini,

kelompok laki-laki diharapkan akan menjadi maskulin dan perempuan

diharapkan menjadi feminin.

Bagi kaum perempuan, khususnya kaum isteri yang kebetulan

menjadi TKW, pergeseran nilai ini justru semakin berpeluang terjadi.

Konstruksi gender lokal yang dibawa dari daerah atau negara asal

akan “diuji dan dievaluasi” melalui interaksi budaya di daerah tujuan

perantauan dalam bentuk akulturasi budaya, khususnya budaya majikan

di luar negeri. Artinya secara tidak langsung, sadar atau tidak, TKW bersama

majikannya telah melakukan rekonstruksi gender terhadap pola relasi gender

lokal yang dibawa TKW. Walaupun hal itu, berjalan tanpa diantisipasi oleh

penyelenggara program.

186 Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 193: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Penjelasan tentang hal ini dikemukakan secara langsung oleh TKWbahwa secara perlahan tapi pasti mereka memasuki kehidupan keluargamajikannya sesuai dengan arahan dan petunjuk majikannya. Tanpadisadari TKW sering membanding-bandingkan kehidupan keluarganyadengan majikannya, dan memuji cara kerja anggota keluarganya yangtidak sexist (pembagian kerja tidak didasarkan pada jenis kelamin).

Pengakuan ini menunjukkan, bahwa TKW mengidolakan polarelasi gender majikannya. Ini berarti bahwa paling tidak pada tingkatkognitif dan afektif ada perubahan pola relasi gender dalam diri TKWsecara konsepsional. Lebih jauh, hal ini terbawa dalam kehidupanberkeluarga pasca TKW.

Fenomena pergeseran ini terjadi pada 5 wilayah penelitian,walaupun dalam konteks dan kualitas yang berbeda-beda. Inimembuktikan bahwa posisi isteri pasca TKW dapat memberikanruang yang cukup untuk melakukan pembongkaran terhadap polarelasi gender lokal sebagaimana dikemukakan oleh Daulay (2001).Secara umum pergeseran pola relasi gender tersebut dapatdigambarkan dalam tabel berikut :

187Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

No. Keadaan sebelum menjadi TKW Keadaan setelah menjadi TKW

1. Pencari nafkah utama adalah suami Pencari nafkah utama adalah suami dan isteri

2. Suami meyakini nilai-nilai pemingitan terhadap isteri

Suami mulai permisif ketika isteri masuk sektor publik

3. Isteri fokus terhadap sektor domestik Isteri mulai terbuka pada sektor publik

4. Isteri tidak independen dalam membuat keputusan

Isteri mulai independen dalam membuat keputusan

5. Suami tidak terlibat dalam sektor domestik Sebagian suami terjun ke sektor domestik

6. Pembagian kerja sexist dikotomis Pembagian kerja mulai kabur, tidak sexist dan tidak dikotomois

7. Posisi isteri sebagai sub ordinasi sangat kelihatan

Posisi isteri sebagai mitra mulai kelihatan

8. Pola relasi gender lebih didominasi maskulin dan feminin

Pola relasi gender mengarah pada androgini

9. Pengasuhan anak tanggung jawab utama isteri

Pengasuhan anak mengarah pada tanggung jawab bersama

10. Keluarga relatif harmonis Ada konflik yang bersifat potensial dan manifest

Tabel 1. Perubahan Pola Relasi Gender Keluarga Migran

Pasca Migrasi sebagai TKW

Page 194: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Kesimpulan dan Saran

Kehadiran TKW sebagai migran ternyata harus mengakomodasi

berbagai nilai. Dari perspektif global dan makro, betapa globalisasi telah

membawa keuntungan atas fenomena “perdagangan tanpa batas” dengan

mendapatkan pekerja yang murah. Secara tidak langsung buruh migran

dieksploitasi di dalam negeri sekaligus di negara tujuan. Dalam prakteknya,

bagi kaum kapitalis menjadi TKW adalah menjadi “produsen” sekaligus

menjadi “konsumen” dengan ukuran-ukuran yang dikonstruksikan oleh

kelompok pengusaha, dengan “memperlakukan manusia sebagai

komoditas”. Sementara dalam prespektif negara, TKW menyangkut

persoalan devisa. Adapun bagi keluarga, khususnya yang mempunyai sta-

tus isteri, TKW terkait fungsi dan tanggung jawab sosial istri terhadap suami

dan atau anak. Lebih khusus lagi, dalam perspektif gender, TKW berpeluang

melakukan pembongkaran pola relasi gender lokal dengan segala hegemoni

patriarkhinya.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan semacam “redefinisi”

terhadap keberadaan program TKW dari sisi pendekatan kebijakan sosial,

dengan mencoba menerjemahkan berbagai nilai ke dalam konsep dan

indikator kebijakan. Penegasan ini kiranya cukup beralasan, mengingat hingga

saat ini program pengiriman TKW ke luar negeri terlalu didominasi

“motif pendekatan bisnis” yang didefinisikan secara bebas sesuai dengan

selera kepentingan kelompok kapitalis. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri

harus dipandang sebagai persoalan sosial budaya dalam arti luas secara strategis, yang

harus memanfaatkan peluang tidak saja secara ekonomi tapi juga secara sosial budaya,

dengan mengakomodasi berbagai nilai dalam prespektif kemanusiaan.

Kepada Direktorat Pemberdayaan Keluarga Departemen Sosial,

Departemen Tenaga Kerja, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja bersama LSM terkait

diharapkan segera merumuskan kurikulum pelatihan bagi keluarga calon

TKW menyangkut materi pola relasi gender dan persoalan sosial budaya

lainnya, serta menajemen keluarga, sebagai upaya antisipasi terhadap

kemungkinan masalah yang muncul sehubungan kepergian istri menjadi

TKW. Sementara pasca migrasi sebagai TKW perlu diadakan konseling

keluarga sebagai upaya meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan

masyarakat.

188 Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 195: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

DAFTAR PUSTAKA

Berry dkk, (1999), Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasinya (terjemahan

Edi Suhardono), Gramedia, Jakarta.

Daulay, Harmona, (2001), Pergeseran Pola Relasi Gender Keluarga di Keluarga

Migran, Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang

Jawa Barat. Galang Press, Yogyakarta.

Goode, William, J, (1985), Sosiologi Keluarga, Bina Aksara, Jakarta.

189Puslitbang Kesos

Gender dan Keluarga Migran di Indonesia

Page 196: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 197: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

INDEKS

191Puslitbang Kesos

A

Abddurazak dkk (1989), 44

Adoptif kin, 156

Adrinof A. Chaniago (2001:316),48

Afinal kin, 156

Aksesibilitas, 32

Akurat, 3

Allan Pincus, 3

Androgini, 181

Anne Minahan, 3

Aplicable, 100

Australia, 120

B

Badan Pemberdayaan Masyarakat(BPM), 89

Bali, 116

Banglades, 55

Banjar, 30

Bantuan Khusus Murid (BKM),33

Bantuan Operasional Sekolah(BOS), 33, 41

Bargaining Position, 181, 183

Basic needs, 130

Belu, 125

Bintan, 125

Bone, i, 44, 45, 50, 54

Brazil, 55

Bugis, 44, 50

Bukaka, 51

C

Chambers (1983), 122

Charitatif, 134

Charity, 82, 120, 176

Civic Involvement, 176

Civil society, 56

Collective Sector Action, 177

Community based development, 82

Concept of deprivation trap, 122

Consanguinal kin, 156

Corporate social responsibility, 177

Culture shock, 185

D

Day Care Centre, 154

Day Care Service, 154

Dayak, 30

Degeneratif, 163

Desa Aji Kuning, 5, 6, 13

Desa Binalawan, 5

Desa Liang Bunyu, 5

Desa Setabu, 4, 5, 9, 13

Desa Sungai Pancang, 4, 5

Desa Talio, 34

Page 198: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

192 Puslitbang Kesos

Indeks

Desa Tanjung Aru, 5

Desa Tanjung Karang, 5

Developmental needs, 130

Diagnosa, 27

Diagnostik, 4

Disorientasi, 185

Distributive Frekuentif, 123

Dorsmeer, 174

Dove (1985), 28

Dwi Heru Sukoco (1991), 3

E

Edukatif, 16

Ekologis, 88

Ekonomis Produktif, 16

Empathy, 173

Empowerment, 122

Epicentrum, 50

Evaluatif Research, 132

F

Ferdinan Tonny, 172

Focus Group Discussion (FGD),83, 119, 123

G

Goode (1985), 156

Grameen Bank, 55

H

Heterogen, 31

Home visit, 113

Human Development Index (HDI), 45

Human Service Organization, 142

I

Ife (1995), 122

Independent, 181

Indepth Interview, 54

Inferior, 116

Isolation, 122

J

Jawa, 30

Jayapura, 125

K

Kalimantan Barat, 129

Kalimantan Tengah, 29

Kalimantan Timur, 4

Kelompok Usaha Bersama(KUBE), 19, 57

Koentjaraningrat (1990), 156

Komprehensif, 3

Komunitas Adat Terpencil (KAT),3, 34

L

Leading Sector, 56

Life Expectation, 45

Local Budgeting Forum, 55, 56, 58

Lokalitas Ekosistem, 88

Lembaga PembardayaanMasyarakat (LPM), 57, 92

Page 199: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

193Puslitbang Kesos

Indeks

M

Madura, 30

Mainstream, 43

Malaysia Timur, 4, 5

Malaysia, 2, 5, 6, 9, 10

Maliku, 29

Manado, i

Manifest, 181

Manurung Rimatajang, 44

Manurungge, 51

Max Siporin, 3, 68

Medan, 116

Minahasa, 74, 79

Muhamad Yunus, 55

N

Nagari, 81, 82, 88, 92, 95

NAPZA, 3

Ndaraha (1990), 2

Network, 176

Non Governmental OrganizationInternational (NGO), 100

Nusa Tenggara Timur, 116

Nunukan, i, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 125

Nusa Tenggara Barat, 129

O

Oakley & Marsden (1984), 123

P

Palembang, 175

Pandih Batu, 25, 29, 33

Participatory Action Research (PAR),125

Participatory Budgeting Forum, 49

Participatory Budgeting, 56

Participatory Rural Apraisal (PRA),100

Participatory Wealth Ranking (PWR),99, 102, 104, 112, 114, 116,117

Paruik, 93

Pathologis, 134

Patriarkhi, 186

Pekerja Sosial Masyarakat, 17

Penyandang MasalahKesejahteraan Sosial(PMKS), 2, 12, 18, 52, 57,67, 82, 83, 114

People Centred Development, 100

Permisif, 181

Physical weakness, 122

Porto Alegre, 55

Potensi dan Sumber KesejahteraanSosial (PSKS), 1, 16, 65,67, 80

Power Oriented, 66

Powerlessness, 122

Poverty, 122

Pranarka & Moeljarto (1996), 123

Prestise, 77

Private Sector, 177

Private Trouble, 130

Psikologis, 3

Public issues, 130

Public sector, 177

Page 200: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

194 Puslitbang Kesos

Indeks

Pulang Pisau, i, 26, 27, 29

Purposive, 119, 123, 171

Puslitbang UKS, 2

R

Rakorbang Partisipatif, 49

Reliable, 3, 25, 26

Research minded, i

Responsif, 3, 4

Rudito (2003, 2005:23), 2, 48

S

Samarinda, 105

Sanggau, 125

Sebatik Barat, 1, 4, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, 15, 17, 18

Sebatik Timur, 5

Segregasi Sosial, 57

Sexist, 186

Simptom, 28

Snowball, 181, 183

Social-phsyicological needs, 130

Sorting, 102

Speech therapy, 135

State obligation, 177

Stimulus Respon, 172

Subang, 105

Sukoco (1991), 68

Sulawesi Selatan, 129

Sumatera Barat, 89

Sumatera Utara, 129

Sunda, 30

Sungai Nyamuk, 5

Sungai Pancang, 5

Survival Strategy, 81, 87

Suryono Sukanto (1990), 156

T

Tanete Riattang, 50, 51, 52, 54, 55

Tatamba, 13

The cut of point, 104, 112

The Small Enterprise Foundation(SEF), 100

Tomohon, 70, 72, 74

Trafficking, 172

Trainers, 155

Triangulasi, 101

U

Usaha Ekonomis Produktif(UEP), 130, 139, 143, 144,146, 147, 149, 160

V

Volunteerism, 176

Vulnerrebality, 122

W

Watampone, 51

Wonogiri, 105

Warren & Cottrell, 2

Page 201: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

195Puslitbang Kesos

SEKILAS EDITOR

Drs. Charles S. Talimbo, M.Si, lahir di Ternate, 27 Juli 1952,

memperoleh gelar Magister Administrasi Bisnis tahun 1997 di Universitas

Hasanudin, Makassar.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang sebagai Kepala Pusat Penelitian

dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badiklit Kesos, Departemen Sosial

RI. Selama berkerja di Departemen Sosial RI, pernah menjabat sebagai

Kepala Pusat Penyuluhan Sosial, Kepala Bidang Penyuluhan Sosial, Kepala

Bidang Program Pusdiklat Pegawai, Kepala Balai Diklat Pegawai Depsos

Ujung Pandang, Kepala Kursus Tenaga Sosial (KTS) Ujung Pandang. Pernah

sebagai Sales dan Marketing PT BAT.

Pelatihan atau kursus yang pernah diikuti, antara lain : Diklat Pim II

LAN RI (2000); Sepadya (1990); TOT, TOC ADAB Australia – LAN RI

(1984); Diklat Penyuluhan Sosial (1983); dan Pra jabatan tingkat III (1981).

Dr. Ir. R. Harry Hikmat, M.Si, dilahirkan di Denpasar, tanggal

9 Juli 1963, memperoleh gelar Doktor untuk Ilmu Sosial tahun 2003 di

Universitas Padjadjaran Bandung dengan disertasi Marginalisasi Komunitas

Lokal dalam Perspektif Kontingensi Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus

di Kota Bekasi). Memperoleh gelar Master untuk Ilmu Pekerjaan Sosial di

Universitas Indonesia tahun 1996. Sebelumnya Sarjana Statistika di FMIPA

Institut Pertanian Bogor tahun 1987. Kegiatan pelatihan yang telah diikuti,

antara lain Pelatihan Penyusunan Indikator Sosial (Kantor Meneg LH, 1988);

Pelatihan metodologi penelitian kualitatif (UI, 1989); Asuransi Sosial–

JICWELS Jepang 1997; Manajemen Penanggulangan Kemiskinan-ESCAP

Bangkok 1999; Financial and Budgeting Management Program–IMDI–University

of Pittsburgh USA 1999; International Course for National Economic Manage-

ment and Poverty Eradication in National Institute of Public Administration (INTAN)

Malaysia tahun 2000; Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Pimpinan Tingkat

Dasar (SPADIA) Depsos tahun 2003; Statistics in Poverty Policies – Swedish

International Development Cooperation Agency (SIDA) in Cambodia, Swedia and

Beijing (2004-2005).

Page 202: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

196 Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang menjadi Dosen di

Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah Analisis

Kebijakan Sosial, Manajemen Pengembangan Masyarakat, Statistika Sosial,

Manajemen Perencanaan dan Keuangan. Selain itu menjadi Dosen STKS

Bandung tahun 1987 s.d 1997 dan Dosen Pasca Sarjana Spesialis Pekerjaan

Sosial di STKS Bandung untuk mata kuliah Metodologi Penelitian Pekerjaan

Sosial dan Pengembangan Modal Sosial.

Fasilitator dalam berbagai kegiatan pelatihan Participatory Research

Appraisal, perencanaan, pekerjaan sosial, penelitian sosial, dan analisis

kebijakan di Depsos, Depdiknas, Dep. Energi & Sumberdaya Mineral,

UNPAD, Lab Sosio UI, LSM, dan Bappenas. Aktivitas organisasi antara

lain menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN) 1999-2004 dan

Anggota Komisi Nasional Perlindungan Anak periode 2001-2005. Riwayat

pekerjaan, tahun 1996-1997 sebagai Kaur Penelitian dan Pengembangan di

STKS Bandung; tahun 1997 – 1998 sebagai Kasubag Perencanaan

Program Wilayah Timur di Biro Perencanaan Depsos; tahun 2004-2006

sebagai Kabag Bantuan Usaha Kelompok di Dit. Pemberdayaan Fakir

Miskin; tahun 2006 s.d sekarang sebagai Kabag Analisis Kebijakan

Perencanaan Kesejahteraan Sosial di Biro Perencanaan Depsos.

Karya penelitian antara lain Kualitas Pelayanan Panti Sosial Anak (Save

The Children, Unicef & Depsos, 2006); Pemenuhan Hak atas Pendidikan

Dasar di Daerah Konflik (Departemen Kehakiman dan HAM, 2003);

Aspek-Aspek Hak Anak yang Berkonflik Dengan Hukum (Departemen

Kehakiman dan HAM, 2004); Indikator dan Profil Kesejahteraan dan

Perlindungan Anak (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002), Studi

Pengembangan Program Community Development Pupuk Kaltim (2002), Studi

Kesiapan Daerah dalam Pelayanan Sosial Dasar di Era Desentralisasi (ADB

& Bappenas, 2002), Studi Manajemen dan Standarisasi Panti Sosial di DKI

Jakarta (Dinas Bintal & Kesos, 2002), Studi Dampak Pelayanan Program

Jaring Perlindungan Sosial melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak

Jalanan (ADB & Bappenas, 2001), Evaluasi Gerakan Rereongan Sarupi

Propinsi Jawa Barat (Pemda Jabar, 1996); Analisis Kebijakan Pengentasan

Orang Miskin melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Indonesia

(Ditbangdes, 1995); Profil dan efektivitas LSM dalam mengatasi

penyebarluasan AIDS di Indonesia (STKS,1993); Kegiatan Motivasi dalam

Proyek Kelangsungan Hidup Anak (Unicef dan Departemen Agama, 1992);

Page 203: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

197Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Pengembangan Desa/kelurahan Juara Perlombaan Desa di Propinsi DT I

Jawa Barat (Ditbangdes Prop. DT I Jawa Barat tahun 1989 s.d. 1993);

Penelitian Keberhasilan Desa-Desa Juara di Jawa Barat (Ditbangdes Prov.

DT I Jawa Barat tahun 1991).

Karya ilmiah yang pernah disusun antara lain : Penerapan Statistika

dalam Penelitian Pekerjaaan Sosial (1987), Paradigma pembangunan dan

perencanaan sosial (1995), Model Pembangunan Sosial di Indonesia (1997);

Metode Monitoring dan Evaluasi Program (1998); Filsafat dan Etika

Ilmuwan (1998); Teknik ilustrasi dalam penulisan artikel ilmiah (1999);

Metodologi penelitian sosial (1999); Analisis Dampak Sosial (1999). Karya

ilmiah yang telah diterbitkan yaitu : Participatory Research Apprasial dalam

Pengabdian Pada Masyarakat (HUP: 2001), Strategi Pemberdayaan

Masyarakat (HUP: 2001), dan Perencanaan Partisipatif (Cipruy:, 2002).

Page 204: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta
Page 205: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

SEKILAS PENYUSUN

Drs. Sutaat, lahir di Tegal (1951), Pendidikan Sarjana Muda

diperolehnya dari UMJ (1980) dan S1 dari STKS Bandung (1984). Memulai

karir sebagai PNS di PPA Bambu Apus (1975), selanjutnya alih tugas ke

Balitbang Kessos (1985). Jabatan struktural yang pernah diembannya adalah

kasubid perumusan program Puslit PKS Balitbang Kessos (1986-1997)

dan jabatan sekarang adalah Peneliti Muda (2005-sekarang).

Diklat yang pernah diikuti, antara lain adalah diklat tenaga peneliti,Pengembangan Tenaga Peneliti, Diklat Dasar Demografi, Diklat PenyusunanKerangka Acuan (Proposal) Sosbud, Pelatihan Komputer, dan DiklatSEPALA dan SEPAMA.

Penelitian internal (Litbang Kessos) yang telah dilakukan dan dibukukansedikitnya 21 buah, antara lain yaitu: (1) Identifikasi Kebutuhan Pelayananbagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (2003); (2) Analisis KebutuhanPekerja Sosial di Pusat Pelayanan Korban Bencana (2003);(3) Partisipasi Masyarakat Kota dalam Mengatasi Masalah Sosial Pasca Krisis(2003); (4) Prilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota (2004); dan (5) PersepsiLegislatif Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2004). Penelitian yangdilakukan kerjasama dengan institusi lain sedikitnya ada 10 buah, antara lainyaitu: (1) Survey on Accessibility Problems to Pantis and Vocational RehabilitationService after Decentralization in Indonesia (Yayasan Kandidat, 2003); (2) KajianManagemen Kessos Panti Sosial DKI Jakarta (YASHINTHA, 2002); (3)Kekerasan Masyarakat Daerah Perkotaan (Pusbangtansosmas, 2002); (4)Studi Persiapan Daerah dalam Pelaksanaan Strategi dan Pelayanan Sosialbagi Anjal (YASHINTHA, 2002); dan (5) Tanggung Jawab Sosial Industri(Kantor MASKAT, 2000).

Karya ilmiah yang telah diterbitkan, antara lain beberapa artikel padamajalah Jurnal dan Informasi yang diterbitkan oleh Puslit PKS maupunPuslitbang UKS Balatbangsos Depsos R.I. Disamping itu, juga sebagaieditor beberapa tulisan yang diterbitkan oleh Balatbangsos. Pengalamandibidang publikasi sebagai dewan redaksi, baik majalah Jurnal, InformasiPuslit PKS maupun Puslitbang UKS, Balatbangsos Depsos R.I

199Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 206: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Dra. Indah Huruswati, lahir di Jakarta. Pendidikan terakhir

Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Indonesia (FISIP-UI). Pengalaman kerja sebagai Peneliti pada Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial sejak 1986 dan jabatan

sekarang adalah Peneliti Madya.

Sejak bekerja di Badan Litbang Sosial ini, beberapa kali mengikuti

pendidikan dan pelatihan yang berkait dengan bidang penelitian, antara

lain: pelatihan tenaga peneliti, baik yang diselenggarakan oleh Balitbang

Sosial maupun kerjasama dengan laboratorium Sosiologi FISIP UI; pelatihan

pengolahan data yang diselenggarakan oleh BPS, pelatihan metodologi

kualitatif yang diselenggarakan Balitbang Sosial, serta diklat penulisan ilmiah

yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Departemen Sosial bekerjasama dengan

majalah Tempo.

Selain mengikuti diklat-diklat, penulis juga banyak memiliki pengalaman

penelitian dan penulisan di bidang sosial, antara lain: berkaitan dengan

Masalah Anak di Tempat Penitipan Anak, di Panti-panti Sosial Asuhan

Anak, di Panti Sosial Petirahan Anak, Anak Terlantar melalui Sistem Panti,

Profil Anak Jalanan, Pemetaan Anak Jalanan dan Orangtuanya di Kota-

kota Besar di Indonesia, Mapping and Social Survey of Street Children

bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, dan Penelitian

Permasalahan Remaja di Kota-kota Besar. Penelitian masalah kemiskinan

juga pernah dilakukan, antara lain tentang Pola Penanganan Kemiskinan di

Perkotaan yang dilakukan hingga kegiatan ujicoba pada beberapa kota.

Pengalaman menulis ilmiah diperoleh penulis dari berbagai kegiatan,

antara lain menjadi anggota redaksi pada majalah Jurnal Kesejahteraan Sosial,

sejak tahun 1998-2000.

Drs. Bambang Pudjianto, M.Si, lahir di Jakarta, 11 Novem-

ber 1967. Menamatkan program S1 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Padjajaran Bandung dan memperoleh gelar Magister

pada Bidang Psikologi Sosial Program Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada D.I. Yogyakarta tahun 2000. Saat ini menjabat Peneliti Muda dan

sebagai Kasub Analisa Kebutuhan Puslitbang Kesos Badiklit Departemen

Sosial RI. Selain aktif menulis di media jurnal dan informasi Puslitbang

Kesos juga sebagai tim editor Jurnal Penelitian dan Pengembangan UKS.

Sejak tahun 1995 mulai aktif mengajar pada beberapa perguruan tinggi

200 Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 207: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

swasta di Jakarta, khususnya pada bidang Psikologi Sosial. Beberapa

penelitian yang telah dilaksanakan, diantaranya KAT, Akreditasi Panti Sosial,

Penyandang Cacat, Konflik dan Kedamaian Sosial dan Penyalahgunaan

Napza.

Rusmiyati, SE, lahir di Jakarta, 11 Juli 1958, Pendidikan Sarjana

Manajemen (S1). Mulai karier sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balitbang

Sosial Puslitbang Kesos bidang Program dan Anggaran sampai sekarang.

Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Penelitian Uji Coba Model

Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan; Penelitian Eks Penderita Penyakit

Kronis Tuberkulosis (TBC); Penelitian Uji Coba Model Komunitas Adat

Terpencil (KAT); Pemetaan Permasalahan Kesejahteraan Sosial di

Kotamadya Tomohon.

Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si, lahir tanggal 2 November di

Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Aceh

(sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Pendidikan; Magister

Pengembangan Masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2000

– 2002); Diploma Ilmu Tauhid dari Uniersitas Islam Syekh Yusuf (1984 –

1986); Sarjana Antropologi dari FSUI (1978 – 1984); SMA Negeri 30 dan

SLTP Negeri 76 di Jakarta (1971 – 1977); SD di Banda Aceh dan Jakarta

(1965 – 1970). Jabatan Fungsional; Asisten Peneliti di Leknas LIPI (1983

– 1985); Asisten Peneliti Madya (1986) sampai dengan Ahli Peneliti Muda

(2002) di Badan Litbang Sosial. Sejak tahun 1986 sampai sekarang sebagai

pengajar Antropologi dan Sistem Budaya Indonesia di Universitas

Muhamadiyah Jakarta. Jabatan Struktural; Kepala Sub Bidang Statistik

dan Dokumentasi di Puslitbang UKS (1994 – 1998); Kepala Sub Bidang

Rencana dan Program di Puslitbang PKS (1998 – 1999); Kepala Bidang

Analisis dan Bimbingan Sosial di Pusbang Tansosmas (2000 – 2004); Kepala

Bidang Kerjasama dan Publikasi di Puslit PKS (2004 – 2005) dan sampai

sekarang sebagai Kepala Bidang Program di Puslitbang Kesos. Karya ilmiah

antara lain; Pembinaan Masyarakat pedalaman Irian Jaya (1986 – 1992);

Efektivitas Bantuan Pinjaman Modal Usaha RSDK (1999); Ujicoba Indikator

Kesejahteraan Sosial di Sumatera Utara, Otonomi Daerah dalam Perspektif

Budaya (2000); Kajian konflik Sosial Suku Bangsa Madura di Kabupaten

Sambas (2001); Nilai Kesetiakawanan Sosial dalam Pembangunan

Kesejahteraan Sosial, Suku Bangsa di Indonesia, Partisipasi Masyarakat dalam

Pelayanan Lanjut Usia di DKI Jakarta (2002); Pengaruh Budaya dalam

201Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 208: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Pengembangan Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur (2003);

Permasalahan Pengungsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pelayanan

Sosial Lanjut Usia di Indonesia. Pengalaman lapangan melakukan pengkajian

dan penelitian di berbagai daerah yang berkaitan dengan Komunitas Adat

Terpencil, lanjut usia, pengembangan potensi masyarakat pedesaan, konflik

dan solidaritas sosial.

Drs. Anwar Sitepu, MP, lahir di Sukanalu, 4 September 1958;

menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Kesejahteraan Sosial pada Sekolah

Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widuri di Jakarta, tahun 1986; dan

pendidikan S2 Program Studi Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bandung

dan Bogor, tahun 2004.

Bekerja untuk Departemen Sosial sejak tahun 1990, langsung

bergabung pada Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial di Jakarta,

awalnya pada Sekretariat kemudian masuk pada Pusat Penelitian

Permasalahan Kesejahteraan Sosial, tahun 1999 sampai sekarang. Sebelum

bergabung dengan Departemen Sosial, bekerja sebagai pekerja sosial dan

koordinator program pada Family Helper Project kerjasama Yayasan Pelita

Kasih dengan Christian Children’s Fund Inc., di Tanjung Priok, Jakarta, tahun

1982 sampai 1987.

Pelatihan teknis kelitbangan yang pernah diikuti antara lain: Peningkatan

Kemampuan Tenaga Peneliti Balitbangsos pada Laboratorium Sosiologi,

FISIP Universitas Indonesia, Depok, tahun 1992; Pelatihan Komputer dan

Statistik untuk Pengolahan Data Hasil Penelitian pada Lembaga Demografi,

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI), Jakarta, tahun 1994;

dan Pendidikan dan Pelatihan Analisa Data, kerjasama Pusdiklat Pegawai

Dep. Sosial – Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, tahun 1998.

Penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: Pola Konsentrasi

Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Tanah Grogot Kabupaten Pasir

Kalimanatan Timur, Pola Hubungan Sosial Antara Kelompok Etnis di

Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Pola Penanganan Kemiskinan di

Wilayah Perkotaan (Surabaya dan Bandung), Dampak Judi “Togel” pada

Kehidupan Keluarga Miskin di Kota Medan, Pola Pembinaan Remaja melalui

Karang Taruna di Kota Medan dan Bekasi, Akreditasi Panti Sosial di Bandar

Lampung.

202 Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 209: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Sugiyanto, S.Pd, M.Si, lahir di Tawangharjo, 8 Januari 1961. Mag-

ister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan

Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh

dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan

Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994),

Jabatan peneliti: Ajun Peneliti Muda bidang Kesejahteraan Sosial (Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) Badan Pendidikan dan

Penelitian Sosial, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti mengikuti kegiatan

penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan

sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara

mandiri maupun kelompok, dan kumpulan tulisannya pernah diterbitkan

di JURNAL maupun INFORMASI.

Drs. Nurdin Widodo, menamatkan program S1 di Sekolah

Tinggi Kesejahteraaan Sosial Bandung. Saat ini menjabat sebagai Peneliti

Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan

Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. Disamping itu, sebagai

editor Jurnal Puslitbang Kesos dan anggota tim penilai jabatan fungsional

Litkayasa Departemen Sosial RI. Penelitian yang telah dilakukan meliputi

topik-topik yang berkaitan dengan Pelayanan Anak Terlantar Putus Sekolah

Melalui Panti Sosial Bina Remaja, Hubungan Antar Kelompok Pribumi

dan Etnis Cina di Jakarta, Peran Lembaga Sosial dalam Penanganan

Pengungsi, Pemberdayaan Pranata Sosial, Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Tenaga Kerja di Sektor Industri, Pengungsi Wanita dan Anak Korban

Konflik dan Kerusuhan Sosial, Potensi Sosial Dalam Pelaksanaan Ketahanan

Sosial Masyarakat di Kota Kendari, Pengembangan Uji Coba Model

Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna, Permasalahan Sosial

Pengungsi Korban Poso dan Upaya Penanggulangannya, Konflik Serta

Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Lintas Kalangan Masyarakat di

Tanah Air, dan Penelitian Uji Coba Model Penanganan Anak Terlantar

Berbasis Kekerabatan.

Dra. Sri Gati Setiti, menamatkan program Sarjana Muda di

Fakultas Sastra dan Budaya Jurusan Anthropologi UGM Jogyakarta, Strata

1 di FISIP jurusan Anthropologi UNHAS Ujung Pandang. Saat ini menjabat

sebagai Peneliti Madya pada Puslitbang Kessos-Badiklit Kessos Departemen

Sosial RI. Selain itu juga menjadi anggota dewan redaksi Jurnal Penelitian

203Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 210: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

dan Pengembangan Sosial. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi topik-

topik yang berkaitan dengan: penanganan penyandang cacat, karang taruna, peranan

wanita, anak jalanan, perlindungan tenaga kerja wanita di sektor industri, tanggung

jawab sosial dunia usaha terhadap masyarakat sekitar, pemberdayaan keluarga dalam

mencegah tindak tuna sosial, profesionalisme pengelolaan Orsos, dampak sosial industri,

pola rekonsiliasi masyarakat antar etnis di daerah konflik di Indonesia, masalah

narkotika di sekolah, lanjut usia, efektivitas GN-OTA dalam pemberian kesejahteraan

anak, permukiman kumuh, dan pemberdayaan migran. Selain itu mengikuti berbagai

seminar tingkat nasional. Mengikuti diklat dosen dan peneliti di LD-UI

dan berbagai diklat penjenjangan peneliti. Menjadi anggota panitia pembina

ilmiah (PPI), panitia penilai lomba karya tulis masalah-masalah sosial tingkat

nasional, menjadi dosen tidak tetap di UMJ dan dosen di Universitas

Satyanegara (USNI) Jakarta.

Dra. Alit Kurniasari, MP, Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat Institut Pertanian Bogor (2004), Sarjana Psikologi Perkembangan

Universitas Pajajaran Bandung, pada tahun 1984. Saat ini menjabat sebagai

Peneliti Pertama di Puslitbang Kesos.

Penelitian yang pernah dilakukan: Penelitian tentang Anak Jalanan;

Permasalahan Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik; Penelitian

Kualitas Pengasuhan dan Pelayanan Panti Sosial Asuhan anak (PSAA) di

Indonesia.

Tulisan di Jurnal Puslitbang Kesos; Pelayanan Sosial bagi Eks

Penyandang Penyakit TBC Berbasis Masyarakat (2002); Faktor Penyebab

Kekerasan dalam Rumah Tangga (2006); Partisipasi Organisasi Sosial Lokal

dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2006).

Pernah menjadi staf pengajar di STKS Bandung, dari tahun 1986 –

1995, pada mata kuliah Psikologi Anak, Psikologi Abnormal dan Psikologi

Sosial.

204 Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun

Page 211: Executive Summary 2006 Kerjasama pemerintah dan swasta

Drs. Togiaratua Nainggolan, M.Si, lahir 3 Maret 1966 di

Samosir, Sumatera Utara. Pada tahun 1982 hijrah ke Payakumbuh Sumatra

Barat. Setelah tamat dari SMPP 25 Payakumbuh tahun 1985, melanjut ke

IKIP Padang hingga tamat 1991.Sejak tahun 1993 bekerja sebagai staf

Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. Dalam perjalanan karir sebagai

PNS, tahun 1999 mengikuti tugas belajar ke Fakultas Psikologi-Universitas

Gajah Mada Yogyakarta, hingga tamat tahun 2002.Tamat dari UGM

Yogyakarta, bertugas sebagai staf di Pusat Penelitian Permasalahan

Kesejahteraan Sosial hingga menjadi peneliti fungsional hingga sekarang di

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial di Departemen

Sosial RI. Pekerjaan lainnya, sejak tahun 2002 mengajar di Fakultas Psikologi

Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta dalam mata kuliah Psikologi

Sosial dan Psikologi Lintas Budaya.

205Puslitbang Kesos

Sekilas Editor dan Sekilas Penyusun