Evapro TB (ikm)

79
EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI UPT PUSKESMAS KECAMATAN BEJI PERIODE JANUARI – DESEMBER 2014 Disusun oleh: Dessy Krissyena, S.Ked 1320221128 Pembimbing: Dr. Hanna Windyantini, MPdKed KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATA MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

description

Evapro TB Fix, TUBERKULOSIS, EVALUASI PROGRAM, PUSKESMAS, IKM, ILMU KESEHATAN MASYRAKAT

Transcript of Evapro TB (ikm)

Page 1: Evapro TB (ikm)

EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS

DI UPT PUSKESMAS KECAMATAN BEJI

PERIODE JANUARI – DESEMBER 2014

Disusun oleh:

Dessy Krissyena, S.Ked 1320221128

Pembimbing:

Dr. Hanna Windyantini, MPdKed

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATA MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN “VETERAN” JAKARTA

2015

Page 2: Evapro TB (ikm)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011). Penyakit ini

bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi

berbahaya hingga kematian. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang

masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang

bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium

tuberculosis ini pun tinggi. WHO menyatakan bahwa Tuberkulosis merupakan

global emergency pada awal tahun 1990-an. Hingga saat ini, TB merupakan

penyakit menular yang masih menjadi tantangan bagi banyak negara di dunia.

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara dengan beban TB tinggi di dunia

(Depkes, 2013).

Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya

perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya

perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB dimana

sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Dunia telah

menempatkan TB sebagai salah satu indikator keberhasilan pencapaian MDGs.

Secara umum ada 4 indikator yang diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan

kasus dan Keberhasilan pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator

sudah dicapai oleh Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya pada

tahun 2015 dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun 1990, dari

92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah mencapai

angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka Penemuan kasus (case

detection rate) kasus TB BTA positif mencapai lebih 70%. Indonesia telah

mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan mencapai 77,3% pada tahun 2010.

Angka ini akan terus ditingkatkan agar mencapai 90% pada tahun 2015 sesuai

target RJPMN. Angka keberhasilan pengobatan (success rate) telah mencapai

lebih dari 85%, yaitu 91% pada tahun 2009.3 Indonesia mendapatkan Champion

Page 3: Evapro TB (ikm)

Award for Exeptional Work in the Fight Againts TB yang diperoleh dari USAID

Global Health atas prestasi luar biasa dalam penanggulangan Tuberkulosis (TB).

Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan Peringatan Hari Tuberkulosis

Sedunia tahun 2013, kepada Pemerintah Indonesia (Depkes, 2013).

Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjelajahan

Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang

kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Badan Pengobatan Penyakit Paru Paru

(BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui

Puskesmas. Pada tahun 1995, program pengendalian TB mulai menerapkan

strategi pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (DOTS =

Directly Observed Treatment Shortcourse) yang dilaksanakan di Puskesmas

secara bertahap (Kemenkes, 2015).

Strategi nasional pengendalian TB telah sejalan dengan petunjuk

internasional (WHO DOTS dan strategi baru Stop TB). Strategi yang

direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed

Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk

mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang

yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur

selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus;

dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan

program (Depkes, 2013). Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara

Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam

pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes, 2015). DOTS sangat penting untuk

penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi komponen

utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus diperluas.

Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pengendalian TB di Indonesia

tetapi tantangan masalah TB ke depan tidaklah semakin ringan. Tantangan

tersebut diantaranya berupa meningkatnya koinfeksi TB-HIV, kasus TB-MDR,

kelemahan manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian

TB. Walaupun jumlahnya sudah berhasil ditekan, tapi jumlah pasien TB dan

kematiannya masih juga cukup banyak. Oleh karena itu, pengendalian TB

memerlukan partisipasi semua pihak dan dukungan seluruh lapisan masyarakat.

Page 4: Evapro TB (ikm)

1.2 Masalah

Belum adanya evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di

Puskesmas Beji tahun 2014 serta untuk melihat sejauh mana keberhasilan

puskesmas dalam program Pengendalian TB.

1.3 Tujuan

I.3.1. Tujuan umum

Melakukan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis agar

dapat diketahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilannya di Puskesmas

Beji.

I.3.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pelaksanaan dan pencapaian program Pengendalian

Tuberkulosis di Puskesmas Beji

b. Mengetahui masalah-masalah pada program Pengendalian

Tuberkulosis di Puskesmas Beji

c. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah-masalah dari program

Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Beji dan membuat prioritas

masalah

d. Membuat alternatif pemecahan masalah untuk program Pengendalian

Tuberkulosis di Puskesmas Beji

1.4 Manfaat

1.4.1.Manfaat bagi Puskesmas

a. Mendapatkan masukan mengenai pelaksanaan dan masalah-masalah

yang dihadapi selama pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis

di Puskesmas Beji

b. Mendapatkan alternatif penyelesaian masalah dalam pelaksanaan

program Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas Beji.

c. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan guna

meningkatkan keberhasilan program Pengendalian Tuberkulosis

Puskesmas Beji pada tahun-tahun berikutnya.

Page 5: Evapro TB (ikm)

1.4.2.Manfaat bagi Universitas

Sebagai tempat penyelenggaraan tugas kedokteran terutama dalam

kepaniteraan kedokteran komunitas serta siap bekerja di masyarakat.

1.4.3.Manfaat bagi penulis

a. Penulis dapat melakukan evaluasi program puskesmas dengan

mengaplikasikan ilmu kesehatan komunitas

b. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan program Pengendalian

Tuberkulosis di Puskesmas Beji

c. Penulis dapat mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif

penyelesaian masalah sebagai masukan untuk pelaksanaan

Page 6: Evapro TB (ikm)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Program Pengendalian Tuberkulosis

2.1.1.Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2006).

2.1.2.Epidemiologi Tuberkulosis

Global Tuberculosis Report 2014, melaporkan bahwa Indonesia

masuk dalam 10 besar negara dengan insidensi tertinggi. Indonesia

merupakan negara kelima dengan Insidensi TB di dunia setelah India,

China, Nigeria, Pakistan (WHO, 2014). Angka ini menunjunkkan bahwa

angka insidensi TB di Indonesia masih tinggi. Meskipun memiliki beban

penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara

High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang

mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan

pengobatan pada tahun 2006 (Kemenkes, 2011).

2.1.3.Tujuan dan Sasaran Pengendalian TB

Tujuan dari Pengendalian TB adalah Menurunkan angka kesakitan

dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan

kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI,

2011).

Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana

strategis kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu

menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224

per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan

persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73%

menjadi 90%; (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus

baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan persentase

provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan

Page 7: Evapro TB (ikm)

persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80%

menjadi 88% (Depkes RI, 2011).

2.1.4. Kebijakan Pengendalian TB

a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas

desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai

titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan

sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

b. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan

memperhatikan strategi Global Stop TB partnership.

c. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah

terhadap program pengendalian TB.

d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap

peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan

pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya MDR-TB.

e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan

oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi

Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter

Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.

f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan

kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan

masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB

(Gerdunas TB).

g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan

ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.

h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara

cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi

menjamin ketersediaannya.

i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk

meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

Page 8: Evapro TB (ikm)

j. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan

kelompok rentan lainnya terhadap TB.

k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs

(Depkes RI, 2011).

2.1.5.Strategi

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:

a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu

b. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan

masyarakat miskin serta rentan lainnya

c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat

(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private

Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB

Care

d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.

e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan

manajemen program pengendalian TB.

f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program

TB.

g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi

strategis (Depkes RI, 2011).

2.1.6.Kegiatan

a. Tatalaksana dan Pencegahan TB

Kegiatan yang dilakukan seperti penemuan kasus tuberkulosis,

pengobatan tuberkulosis, pemantauan dan hasil pengobatan tuberkulosis

Pengendalian infeksi pada sarana layanan, serta pencegahan tuberkulosis.

b. Manajemen Program TB

Kegiatan-kegiatan pada manajemen Program TB antara lain

perencanaan program tuberkulosis, monitoring dan evaluasi program

tuberkulosis, manajemen logistik program tuberkulosis dan

Page 9: Evapro TB (ikm)

pengembangan ketenagaan program tuberkulosis, serta promosi program

tuberkulosis.

c. Pengendalian TB komprehensif

Kegiatan yang dilakukan antara lain penguatan layanan

laboratorium tuberkulosis, Public - Private Mix (pelibatan semua fasilitas

pelayanan kesehatan), kolaborasi TB-HIV, pemberdayaan masyarakat

dan pasien TB, pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru, manajemen

TB resisten obat, serta penelitian tuberkulosis (Depkes RI, 2011).

2.1.7.Organisasi Pelaksanaan

Organisasi pelaksanaan Pengendalian TB terdiri dari aspek

manajemen program dan aspek tatalaksana pasien TB.

a. Aspek manajemen program

Tingkat Pusat

Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu

Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan

forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra.

Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya

pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional

dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.

Tingkat Propinsi

Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang

terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur

organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan

program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan

Propinsi.

Tingkat Kabupaten/Kota

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten /

kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan

struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.

Page 10: Evapro TB (ikm)

Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota

dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

b. Aspek Tatalaksana pasien TB

Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter

Praktek Swasta.

Puskesmas

Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok

Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan

Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima)

Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat

dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga

dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.

Rumah Sakit

Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru

Masyarakat (B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua

kegiatan tatalaksana pasien TB.

Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.

Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS

sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan

(klinik).

2.1.8.Penemuan Kasus Tuberkulosis

Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang

memiliki gejala:

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam

hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru

selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,

dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih

Page 11: Evapro TB (ikm)

tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala

tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien

TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

langsung.

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB

dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:

1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)

2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.

6. Pasien TB kambuh.

7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR

9. ODHA dengan gejala TB-HIV.

Setelah menjaring mereka yang memiliki gejala, tahap selanjutnya

adalah pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk

menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan

potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan

dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu

(SPS).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasyankes.

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

Page 12: Evapro TB (ikm)

2.1.9.Diagnosis Tuberkulosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Selanjutnya, diagnosis TB Paru pada

orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program

TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan

dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang

sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis (Depkes, 2011).

Diagram 2.1 Alur Diagnosis TB Paru

2.1.10. Pengobatan Tuberkulosis

a. Prinsip Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

Page 13: Evapro TB (ikm)

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip

sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

Tahapan pengobatan Tuberkulosis terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap

awal (intensif) dan tahap lanjutan.

Tahap awal (intensif) : pada tahap intensif (awal) pasien mendapat

obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut

diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam

kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif

menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan : Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan

penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan.

b. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk

paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

Page 14: Evapro TB (ikm)

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket

untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia:

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan

(HRZE)

Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,

Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1,

yaitu pirazinamid and etambutol.

2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket

berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini

terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam

satu paket untuk satu pasien.

3. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk

blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

c. Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien

baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Page 15: Evapro TB (ikm)

Tabel 2.2 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah

diobati sebelumnya:

• Pasien kambuh

• Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Catatan:

Page 16: Evapro TB (ikm)

• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk

streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

•Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan

menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.

(1ml = 250mg).

3. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk

tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.5 Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 2.6 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida

(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan

diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi

obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping

itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini

kedua.

2.1.11. Pemantauan dan Evaluasi Program

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen

untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun

dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera

Page 17: Evapro TB (ikm)

mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah

direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera.

Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama,

biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh

mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam

mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi

sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.

Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota,

Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan

kegiatan pada wilayahnya masing-masing.

Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),

proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan

menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas

pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.

Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB

digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara

Nasional ada 2 yaitu:

Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

CDR adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang

ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif

yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate

menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada

wilayah tersebut.

Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan

pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.

Rumus :

Jumlah pasienbaruTB BTA positif yangdilaporkanPerkiraan jumlah pasien baruTB BTA positif

x100 %

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh

berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif

dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate

Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.

Page 18: Evapro TB (ikm)

Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase

pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan

(baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien

baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini

merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka

pengobatan lengkap.

Rumus :

JumlahbaruTB BTA positif (sembuh+¿ pengobatanlengkap)Jumlah pasienbaru TB BTA yangdiobati

x 100 %

2.2 Sistem

2.3.1.Pengertian Sistem

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem adalah erangkat

unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu

totalitas (KBBI, 2015). Sedangkan, menurut Ryans, sistem adalah

gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses

atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya

menghasilkan sesuatu yang ditetapkan.

2.3.2.Unsur-unsur Sistem

Unsur-unsur yang terdapat dalam sistem dapat dikelompokkan menjadi

enam unsur yaitu :

a. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang

terdapat dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat

berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan,

masukan terdiri dari tenaga, dana, metoda, sarana/material.

b. Proses (process) adalah kumpulan bagian atau elemen yang

terdapat dalam sistim dan yang berfungsi untuk mengubah

masukan menjadi keluaran yang direncanakan. Dalam sistem

pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan penilaian.

c. Keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang

dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem.

Page 19: Evapro TB (ikm)

Lingkungan

Masukan Proses Keluaran Dampak

Umpan Balik

d. Umpan balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen

yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai

masukan bagi sistem tersebut.

e. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran

suatu sistem.

f. Lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak

dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap

sistem (Azrul, 1996).

Diagram 2.2 Hubungan Unsur-unsur Sistem

2.3.3.Pendekatan Sistem

Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan

tertentu yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut perlu

dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara

keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama

berfungsi untuk mencapai tujuan kesatuan. Apabila prinsip pokok atau

cara kerja sistem ini diterapkan pada waktu menyelenggarakan pekerjaan

administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan nama

pendekatan sistem (system approach).

Pendekatan sistem adalah penerapan suatu prosedur yang logis dan

rasional dalam merancang suatu rangkaian komponen-komponen yang

berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai suatu kesatuan mencapai

tujuan yang telah ditetapkan (Marliana, 2008).

Page 20: Evapro TB (ikm)

2.3.4.Evaluasi Program

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing

menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan

program. Secara umum, istilah evaluasi sapat disamakan dengan

penaksiran (appraisal), pemberian angka (ratting) dan penilaian

(assessment) kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil

kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik,

evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau

manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataan

mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut member sumbangan pada

tujuan atau sasaran, dalam hal ini dikatakan bahwa kebijakan atau program

telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa

masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi.

Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan keberhasilan atau

kegagalan pelaksanaan dari suatu program, oleh karena itu pengertian

evaluasi sering digunakan untuk menunjukan tahapan siklus pengelolahan

program yang mencakup :

a. Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE).

Pada tahap perencanaan, evaluasi sering digunakan untuk

memilih dan menentukan prioritas dari berbagai alternative dan

kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan

sebelumnya.

b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING).

Pada tahap pelaksanaan, evaluasi digunakan untuk

menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan program dibandingkan

dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

c. Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST)

Pada tahap pasca pelaksanaan evaluasi ini diarahkan untuk

melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program

mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.

Evaluasi ini dilakukan setelah program berakhir untuk menilai

Page 21: Evapro TB (ikm)

relevansi (dampak dibandingkan masukan), efektivitas (hasil

dibandingkan keluaran), kemanfaatan (dampak dibandingkan

hasil), dan keberlanjutan (dampak dibandingkan dengan hasil dan

keluaran) dari suatu program (Anonim, 2011).

BAB III

METODE EVALUASI

Page 22: Evapro TB (ikm)

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder.

Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator

pelaksana Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas

Kecamatan Beji. Selain itu, data sekunder didapatkan dari Profil UPT

Puskesmas Kecamatan Beji 2014 dan Buku Registrasi Pasien TB Tahun 2014

di Klinik TB Paru.

3.2 Cara penilaian dan Evaluasi

3.2.1.Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian

Evaluasi dilakukan pada Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT

Puskesmas Beji. Sumber rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan

adalah sebagai berikut :

1. Profil UPT Puskesmas Kecamatan Beji 2014

2. Pedoman Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru tahun

2011

3. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

Tabel 3.1 Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian

Variabel Definisi operasional atau rumus Target

Prevalensi TB

(per 100.000)

Jumlah suspek yangdiperiksaJumlah penduduk

x 100.000 180%

Case Detection

Rate (%)

Jumlah pasienbaruTB BTA positif yangdilaporkanPerkiraan jumlah pasien baruTB BTA positif

x100 %

90%

Success Rate

(%)

JumlahbaruTB BTA positif (sembuh+¿ pengobatanlengkap)Jumlah pasien baruTB BTA yang diobat i

x 100 %88%

Sumber : Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

3.3 Cara Analisis

3.3.1.Menetapkan indikator dan tolok ukur dari unsur keluaran.

Page 23: Evapro TB (ikm)

Mengetahui atau menetapkan indikator dan tolok ukur atau standar

yang ingin dicapai merupakan langkah pertama untuk menentukan adanya

suatu masalah dari pencapaian hasil output. Indikator didapatkan dari

berbagai rujukan, rujukan tersebut harus realistis dan sesuai sehingga layak

digunakan untuk mengukur. Tolok ukur juga diperoleh dari rujukan.

3.3.2.Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran dengan

tolok ukurnya.

Langkah selanjutnya adalah memabandingkan hasil pencapaian

program (output) dengan tolok ukurnya. Jika terdapat kesenjangan antara

tolok ukur dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran maka disebut

sebagai masalah.

3.3.3.Menetapkan prioritas masalah.

Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari indikator yang dipakai.

Sehingga perlu dibuat prioritas masalah. Tujuan menetapkan prioritas

masalah adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan masalahnya

terlebih dahulu. Jika masalah lebih dari satu, maka penetapan prioritas

masalah dilakukan dengan teknik kriteria matriks. Kriteria ini dibedakan

atas tiga macam, yaitu:

a) Pentingnya masalah (importancy / I), makin penting masalah tersebut,

makin diprioritaskan penyelesainnya. Ukuran pentingnya masalah yaitu :

1) Besarnya masalah (prevalence / P)

2) Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (severity / S)

3) Kenaikan besarnya masalah (rate of increase / RI)

4) Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree of

unmeet need / DU)

5) Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit / SB)

6) Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern / PB)

7) Suasana politik (political climate / PC)

b) Kelayakan teknologi (technical feasibility / T), makin layak teknologi

yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin

diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan teknologi yang dimaksud

adalah menunjuk penguasaan ilmu dan teknologi yang sesuai.

Page 24: Evapro TB (ikm)

c) Sumber daya yang tersedia (resources availability / R), makin tersedia

sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah makin

diprioritaskan masalah tersebut. Sumber daya yang dimaksud adalah yang

menunjuk pada tenaga (man), dana (money) dan sarana (material).

Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting)

untuk setiap kriteria yang sesuai. Perhitungan prioritas masalah dilakukan

dengan rumus “I x T x R”. Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah

yang memiliki nilai tertinggi.

3.3.4.Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan.

Untuk menentukan penyebab masalah, gambarkan terlebih dahulu

proses terjadinya masalah atau kerangka konsep prioritas masalah,

sehingga diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan

diidentifikasi.

3.3.5. Identifikasi penyebab masalah.

Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan unsur masukan,

proses, umpan balik dan lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan

berpengaruh terhadap prioritas masalah. Selanjutnya menentukan tolok

ukur dari masing-masing unsur tersebut. Setelah itu, bandingkan

pencapaian dari unsur-unsur tersebut dengan tolok ukurnya, kesenjangan

yang ada ditetapkan sebagai penyebab masalah.

3.3.6.Membuat alternatif jalan keluar.

Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat

alternatif jalan keluar. Alternatif jalan keluar dibuat dengan melihat

kerangka konsep prioritas masalah, sehingga tersusun daftar alternatif

jalan keluar, dengan melihat kondisi dan situasi fasilitas kesehatan di

puskesmas.

3.3.7.Menentukan prioritas cara pemecahan masalah.

Setelah membuat alternatif jalan keluar yang dianggap paling baik dan

memungkinkan, laangkah selanjutnya adalah menentukan prioritas cara

pemecahan masalah. Pemilihan cara pemecahan masalah ini dengan

memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan

adalah:

Page 25: Evapro TB (ikm)

a) Efektifitas jalan keluar (effectifity/ E), menetapkan nilai efektifitas

untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1

(paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas

jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk

menentukan efektifitas jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan

sebagai berikut:

1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude/ M) Makin

besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi prioritas jalan keluar

tersebut.

2) Pentingnya jalan keluar (importancy/ I) Pentingnya jalan keluar

dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin langgeng selesai

masalahnya, makin penting jalan keluar tersebut.

3) Sensivitas jalan keluar (vuneberality/ V) Sensitivitas dikaitkan

dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat masalah

teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut.

b) Efisiensi Jalan Keluar (efficiency/C), menetapkan nilai efisiensi untuk

setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling

tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling efisien). Nilai efisien ini

biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk

melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin

tidak efisien jalan keluar tersebut.

Menghitung nilai P (prioritas) untuk setiap alternatif jalan keluar yaitu

dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan nilai C. Jalan

keluar dengan nilai P tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih. Lebih

jelas rumus untuk menghitung prioritas jalan keluar dapat dilihat dibawah

ini :

P= M x I x VC

Keterangan = P: priority, M: Magnitude, I: Importancy , V: Vulnerability,

C : Cost

3.4 Cara Evaluasi

3.4.1.Pengolahan Data

Page 26: Evapro TB (ikm)

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan data di tabel-

tabel yang tersedia, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan secara

komputerisasi.

3.5 Waktu dan Lokasi

Pengambilan data dilakukan mulai Mei 2015 – Juni 2015 di Klinik TB

Paru UPT Puskesmas Beji.

BAB IV

PENYAJIAN DATA

Page 27: Evapro TB (ikm)

4.1 Data Umum

4.1.1. Keadaan Geografis

Kode Puskesmas : P.3.27.606.02.01

Nama Puskesmas : BEJI

Kecamatan : BEJI

Kabupaten/Kotamadya : DEPOK

Propinsi : JAWA BARAT

Puskesmas Beji merupakan Puskesmas Rawat Jalan yang terletak

di Jl. Bambon Raya no 7B Kelurahan Beji Timur,berdiri sekitar bulan

Agustus tahun 1981, pada awal berdirinya karyawannya hanya

berjumlah 12 orang. Seiring dengan berjalannya waktu Puskesmas Beji

berkembang pesat, dan terus meningkatkan pelayanan. Saat ini

Puskesmas Beji mempunyai karyawan 66 orang, sejak bulan April 2014

mulai menjadi Puskesmas 24 jam dan PONED (Pelayanan Obstetri

Neonatal Emergensi Dasar) dan klinik dampak merokok. Saat ini

Puskesmas menyelenggarakan Rawat jalan 24 Jam dan melayani

persalinan normal. Dan pada tahun yang sama Puskesmas Beji juga mulai

membuka Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di Jl. Halmahera

Depok Utara Kelurahan Beji.

Puskesmas Beji adalah Puskesmas Kecamatan yang membawahi 2

Puskesmas Kelurahan, yaitu : Puskesmas Kemiri Muka dan Puskesmas

Tanah Baru. Dalam kegiatannya Puskesmas Beji bertanggung jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di 2 wilayah kelurahan yaitu

6 Kelurahan Beji dan Beji Timur dengan luas wilayah kerja 3,17 km2.

Kondisi alam di wilayah kerja Puskesmas Beji sebagian besar merupakan

daerah pemukiman dimana apabila musim penghujan lokasi daerah yang

rawan bencana terutama banjir ada di Kelurahan Beji yaitu di RW 03

dan Kelurahan Beji Timur di RW 01.

Letaknya dekat dengan perumahan dan dekat dengan Kampus UI

Depok sehingga cukup mudah dilalui kendaraan mobil dan motor sampai

ke lokasi Puskesmas, disamping juga dilalui oleh jalur angkot. Adapun

Page 28: Evapro TB (ikm)

wilayah kerja Puskesmas Beji dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai

berikut :

Gambar 4.1 Peta Kecamatan Beji

Keterangan :

- Batas Utara : Kelurahan Kukusan

- Batas Selatan : Kecamatan Pancoran Mas

- Batas Barat : Kelurahan Tanah Baru

- Batas Timur : Kelurahan Kemiri Muka

Semakin berkembangnya jumlah dan jenis pelayanan kesehatan

dan beragamnya tuntutan dari masyarakat saat ini dan di masa yang akan

datang maka UPT Puskesmas Kecamatan Beji selalu berusaha untuk

dapat memenuhi kriteria mutu pelayanan kesehatan yang baik dengan

selalu meningkatkan kinerja sumber daya manusia serta mengembangkan

fungsi sosial Puskesmas.

4.1.2. Data Demografis

Berdasarkan proyeksi penduduk BPS Kota Depok penduduk

wilayah Puskesmas Beji tahun 2014 meliputi Kelurahan Beji dan Beji

Timur berjumlah 66.645 orang . Penduduk Kelurahan Beji berjumlah

54.569 orang dengan kepadatan penduduk pada sebesar 3818 orang/km2

Page 29: Evapro TB (ikm)

dan pada kelurahan Beji Timur berjumlah 12.076 orang dengan

kepadatan penduduk 980 orang/km2.

Jumlah Penduduk : 66.645 orang

Kepadatan : 2.505 orang/km2

Jumlah KK : 19.458

Laki-laki : 33.414 orang

Perempuan : 33.231 orang

Jumlah Ibu Hamil : 1760 orang

Jumlah Bulin/Bufas : 1680 orang

Jumlah Bayi : 1536 orang

Jumlah Balita : 5910 orang

Jumlah PUS : 24.423 orang

Jumlah Lansia : 2035 orang

1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok

Umur

Grafik 4.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Beji tahun 2014

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian

Tabel 4.1 Peduduk Puskemas Beji Berdasarkan Mata pencarian

Page 30: Evapro TB (ikm)

3. Jumlah Penduduk menurut Agama

Tabel 4.2 Peduduk Puskemas Beji Menurut Agama

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan modal dasar

pembangunan karena pelaksanaan pembangunan tidak cukup hanya

mengandalkan sumber daya alam tetapi tergantung juga pada sumber

daya manusia. Mutu penduduk wilayah Puskesmas Beji dapat dilihat

dari kemampuan baca tulis juga tingkat pendidikan formal yang

diselesaikan. Tingkat pendidikan formal penduduk dapat dijadikan

dasar perencanaan program kesehatan khususnya bidang promotif dan

preventif.

Grafik 4.2 Jumlah Penduduk Wilayah Puskesmas Beji Menurut

Pendidikan

5. Persentase Penduduk berdasarkan Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Pra Bayar

Page 31: Evapro TB (ikm)

Penduduk wilayah Puskesmas Beji yang mendapatkan jaminan

kesehatan prabayar berupa Askes PNS, Jamkesmas dan Jamkesda

sebanyak 30.120 jiwa atau 45 % dari jumlah penduduk Puskesmas

Beji.

Grafik 4.3 Persentase Cakupan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar di

Wilayah Puskesmas Beji Tahun 2014

4.2 Data Puskesmas

4.2.1. Gambaran Umum dan Sarana Kesehatan

Sejak pertengahan tahun 2012, tepatnya 1 Juli 2012 Puskesmas

Beji telah mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 :

2008 pada beberapa pelayanannya. Adapun pelayanan yang telah

menerapkan antara lain : Poli Umum, Poli Gigi, Poli MTBS,

Laboratorium,Loket, Farmasi dan TU sebagai Penunjang. Pada tanggal 4

Desember 2012 Puskesmas Beji telah 7 dilakukan audit sertifikasi ISO

9001:2008 oleh Badan Sertifikasi Beureu Veritas (BV) dan berhak untuk

mendapatkan sertifikat ISO: 9001:2008. Dengan di terapkannya Sistem

Manajemen Mutu berdasarkan persyaratan ISO 9001 : 2008 diharapkan

Puskesmas Kecamatan Beji dapat menjadi pusat pelayanan kesehatan

yang berkualitas dan dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Pada bulan

Juli 2014 dan Januari 2015 UPT Puskesmas Beji telah dilakukan audit

Page 32: Evapro TB (ikm)

Surveilance ISO 9001:2008 oleh Badan Sertifikasi SAI Global pada

beberapa pelayanan yaitu : poli umum, Poli KIA/KB, poli gigi, Farmasi,

Loket dan TU sebagai pendukung.

Tabel 4.3 Bangunan Fisik

Puskesmas Beji juga memiliki sarana penunjang kesehatan yaitu

kendaraan. Kendaraan-kendaraan tersebut antara lain Pusling (1 dengan

kondisi kurang baik), Ambulan Siaga (2 dengan kondisi baik), Motor 3 (2

dengan kondisi baik dan 1 kurang baik).

Puskesmas Beji pada tahun 2014 memiliki 66 karyawan, terdiri

dari pegawai negeri sipil dan 8 sukwan/swakelola dengan berbagai

kualifikasi bidang pendidikan, sebagaimana dijelaskan dalam tabel

berikut :

Tabel 4.4 Keadaan SDM di Puskesmas Beji Tahun 2014

Page 33: Evapro TB (ikm)

4.2.2. Kegiatan Puskesmas

Puskesmas Beji termasuk kategori Puskesmas kawasan perkotaan,

Puskesmas Beji dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di

wilayahnya melakukan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan

masyarakat,yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional

merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya Kesehatan

Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah setiap kegiatan

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan

menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga,

kelompok, dan masyarakat. Upaya Kesehatan Perseorangan yang

selanjutnya disingkat UKP adalah suatu kegiatan dan/ atau serangkaian

kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan,

pencegahan,penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat

penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan.

Page 34: Evapro TB (ikm)

1. Upaya Kesehatan Masyarakat

a. Upaya Pelayanan Masyarakat Esensial

- Pelayanan Promosi Kesehatan (Promkes)

- Pelayanan Kesehatan Lingkungan

- Pelayanan Kesehatan Ibu,anak dan keluarga Berencana

- Pelayanan Gizi - Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

b. Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan

- Upaya kesehatan Olahraga

- Upaya kesehatan Jiwa

- Upaya Kerja dan Indra

- Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat

- Usaha Kesehatan Sekolah

- Pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas)

- Upaya Kesehatan Tradisional

- Upaya Kesehatan Lansia

2. Upaya Kesehatan Perorangan, pelayanan kefarmasian dan pelayanan

pemeriksaaan penunjang

a. Layanan Umum dan 24 Jam dan Kegawatdaruratan

b. Layanan Gigi dan Mulut

c. MTBS

d. Lansia

e. Layanan KIA dan KB

f. Konseling Gizi dan Menyusui

g. Klinik Sanitasi

h. Klinik TB Paru

i. Layanan Farmasi

j. Layanan Laboratorium

k. PONED

l. Puskesmas Pembantu (Pustu)

Page 35: Evapro TB (ikm)

4.2.3. Struktur Organisasi

Page 36: Evapro TB (ikm)

4.3 Data Khusus

Grafik 4.5 Gambaran Kasus BTA + Puskesmas Beji tahun 2010-2014

Tabel 4.5 Jumlah Pasien Baru TB BTA (+) dan BTA (-) Tahun 2014

BTA (+) BTA (-) Total

Laki-laki 31 37 68

Perempuan 19 10 29

Diobati 50 47 97

Tabel 4.6 Pasien Sembuh dan Pengobatan Lengkap Tuberkulosis Tahun 2014

Sembuh Lengkap

Triwulan I 7 11

Triwulan II 11 11

Triwulan III 2 7

Triwulan IV 3 2

Total 23 31

Tabel 4.7 Suspek Tuberkulosis Tahun 2014

Suspek

Tahun 2014 99

Page 37: Evapro TB (ikm)

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Masalah

Masalah merupakan kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil

pencapaian pada unsul keluaran. Proses identifikasi masalah dimulai dengan

mengetahui keluaran program kerja Puskesmas. Kemudian jika ditemukan

kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur, maka hal tersebut

merupakan masalah pada program di Puskesmas. Masalah yang ditemukan

pada program Pengendalian TB di Puskesmas Beji adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1 Evaluasi Keluaran

VariabelDefinisi operasional atau rumus

Targe

t

Masala

h

Prevalens

i TB (per

100.000)

Jumlah suspek yang diperiksaJumlah penduduk

x 100.000

9966.645

x100 %=148.54 %

180% -

Case

Detection

Rate (%)

Jumlah pasienbaruTB BTA positif yangdilaporkanPerkiraan jumlah pasien baruTB BTA positif

x100 %

50205

x100 %=24.3%

90% +

Success

Rate (%)

JumlahbaruTB BTA positif (sembuh+¿ pengobatanlengkap)Jumlah pasienbaru TB BTA yangdiobati

x 100 %

(23+31)97

x 100 %=55.6 %

88% +

5.2 Menetapkan daftar masalah

Page 38: Evapro TB (ikm)

Masalah yang ditemukan pada program Pengendalian TB di Puskesmas

Beji Tahun 2014 adalah :

a. Case Detection Rate (CDR) puskesmas adalah 24.3%, lebih kecil dari

indikator yang seharusnya dicapai, yaitu 90%.

b. Success Rate puskesmas adalah 55.6%, lebih kecil dari indikator yang

seharusnya dicapai, yaitu 88%.

5.3 Penetapan prioritas masalah

Dalam menetapkan prioritas masalah, terdapat kriteria matriks

pemilihan prioritas masalah. Pada tehnik ini, setiap masalah diberikan skor

berdasarkan variabel pentingnya masalah (Importancy = I) yang diukur

bedasarkan pada besarnya masalah (Prevalence = P), akibat yang

ditimbulkan (Severity = S), kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase =

RI), derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of Unmeet

need = DU), keuntungan sosial karena terselesaikannya masalah (Social

Benefit = SB), perhatian masyarakat (Public Concern = PCo) dan iklim

politik (Political Climate = PC). Selain itu digunakan juga variabel

kelayakan tehnologi (Tehnical feasibility = T) yaitu semakin layak tehnologi

yang tersedia dan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah, semakin

diprioritaskan masalah tersebut. Digunakan pula variabel sumber daya yang

tersedia (Reasources availability = R) yaitu semakin tersedia sumber daya

yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah

tersebut. Diberikan skor antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat

penting) untuk setiap variabel dan kriteria.

Tabel 5.2 Penentuan Prioritas Masalah

Daftar Masalah

Impotancy (I) T R Jumlah

IxTxRP S RI DU SB PCo PC

Belum tercapainya CDR 5 5 3 5 5 1 5 2 5 290

Belum tercapainya SR 4 3 5 3 4 1 5 5 2 250

Page 39: Evapro TB (ikm)

a. Penetapan prioritas masalah berdasarkan besarnya masalah (Prevalence)

Nilai untuk besarnya masalah pada target pencapaian CDR

diberikan nilai 5 karena semakin banyak penemuan pasien TB dengan

BTA (+) maka pencegahan penularan TB akan semakin baik. SR juga

penting dalam pencegahan penularan TB, karena berkaitan dengan

pengobatan pasien TB, namun tidak sepenting penemuan kasus BTA (+)

pada deteksi kasus TB. Selain itu, jarak kesenjangan antara target dan

pencapaian CDR lebih besar dibandingkan SR, sehingga penulis

memberikan nilai 4 untuk masalah belum tercapainya SR.

b. Penetapan prioritas masalah berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari

masalah ini (Severity).

Pendeteksian kasus pasien TB paru BTA (+) yang belum tercapai

atau masih kurang dari target mengindikasikan bahwa masih ada sumber

infeksi TB di masyarakat yang berpotensi untuk menularkan ke orang

sekitarnya. Sehingga akibat yang ditimbulkan akan semakin besar, yaitu

jumlah penderita TB semakin banyak. Oleh karena itu, penulis

memberikan nilai 5 untuk belum tercapainya CDR, sedangkan nilai 3

untuk belum tercapainya SR walaupun sama-sama memberikan

kontribusi dalam penularan TB, namun pada penyebut SR terdapat angka

pasien yang sembuh dari TB yang tidak menularkan ke orang lain.

c. Penetapan prioritas masalah berdasarkan kenaikan besarnya masalah

(Rate of Increase).

Pasien TB yang tidak diobati akan menyebabkan semakin

bertambah banyaknya masyarakat yang tertular TB sehingga jumlah

pasien TB akan bertambah. Kenaikan besarnya masalah lebih besar

akibat kurangnya pencapaian SR dibandingkan CDR. Sehingga penulis

memberikan nilai 5 pada kurang tercapainya SR, sedangkan nilai 3 untuk

kurang tercapainya CDR.

Page 40: Evapro TB (ikm)

d. Penetapan prioritas masalah berdasarkan derajat keinginan masyarakat

yang tidak terpenuhi (Degree Of Unmeet need).

Keinginan masyarakat akan penyakit TB adalah bebas dari

penularan TB, karena lebih baik mencegah daripada mengobati. Selain

itu, masyarakat juga menginginkan penyakitnya untuk terdeteksi lebih

awal sehingga kemungkinan untuk sembuh lebih baik dan terhindar dari

komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit TB. Oleh karena itu, penulis

memberikan nilai 5 pada masalah belum tercapainya CDR, sedangkan

nilai 3 pada masalah belum tercapainya SR.

e. Penetapan prioritas masalah berdasarkan keuntungan sosial (Social

Benefit)

Jika tingkat keberhasilan pengobatan tercapai, maka produktivitas

pasien TB akan semakin tinggi, sehingga kebutuhan ekonomi dapat

terpenuhi. Keuntungan sosial yang didapat juga semakin besar. Oleh

karena itu, penulis memberikan nilai 5 pada masalah kurang tercapainya

SR, sedangkan nilai 4 pada keuntungan sosial untuk pemenuhan

kurangnya CDR.

f. Penetapan prioritas masalah berdasarkan rasa prihatin masyarakat

terhadap masalah (Public Concern)

Rendahnya angka CDR dan SR di puskesmas sama-sama kurang

mendapat perhatian dari masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena

kurangnya sosialisasi mengenai target nasional terhadap pengendalian

TB, sehingga kedua masalah diberikan nilai 1.

g. Penetapan prioritas masalah berdasarkan suasana politik (Political

Climate)

Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu indikator

keberhasilan pencapaian MDGs. Secara umum ada 4 indikator yang

diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan kasus dan Keberhasilan

Page 41: Evapro TB (ikm)

pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator sudah dicapai oleh

Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya pada tahun 2015

dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun 1990, dari

92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah

mencapai angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka

Penemuan kasus (case detection rate) kasus TB BTA positif mencapai

lebih 70%. Indonesia telah mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan

mencapai 77,3% pada tahun 2010. Angka ini akan terus ditingkatkan

agar mencapai 90% pada tahun 2015 sesuai target RJPMN. Angka

keberhasilan pengobatan (success rate) telah mencapai lebih dari 85%,

yaitu 91% pada tahun 2009.

Indikator-indikator diatas merupakan sasaran program

pengendalian TB sehingga penilaian masalah berdasarkan suasana politik

mendapat nilai yang sama, yaitu 5.

h. Penetapan prioritas masalah berdasarkan dari sudut kelayakan tehnologi

(Technical feasibility)

Teknologi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah CDR

antara lain penggunaan reagen pemeriksaan, mikroskop, dan alat rontgen.

Sedangkan dalam menyelesaikan masalah SR hanya pencatatan dan

mengelompokan obat sesuai nama pasien menggunakan kardus, kedua

hal tersebut dilakukan dengan manual. Oleh karena itu, teknologi yang

mudah digunakan akan semakin tinggi nilainya, maka diberikan nilai 5

pada penyelesaian masalah kurang tercapainya SR, sedangkan nilai 2

untuk masalah kurang tercapainya CDR.

i. Penetapan prioritas masalah berdasarkan sumber daya yang tetrsedia

(Resources availability)

Sumber daya terdiri atas tenaga (man), dana (money) dan sarana

(material). Ketersediaan sumber daya pada masalah penemuan kasus

(CDR) baru BTA (+) lebih besar dibandingkan masalah keberhasilan

Page 42: Evapro TB (ikm)

pengobatan. Oleh karena itu, nilai 5 untuk masalah kurang tercapainya

CDR, sedangkan nilai 2 untuk masalah kurang tercapainya SR.

5.4 Kesimpulan prioritas masalah

Dari hasil perhitungan matriks, maka ditetapkan masalah yang

menjadi prioritas yaitu belum tercapainya Case Detection Rate.

5.5 Kerangka konsep masalah

Sasaran CDR yang belum tercapai di UPT Puskesmas Kecamatan Beji

merupakan keluaran yang tidak sesuai dengan target. Keluaran merupakan

salah satu unsur sistem, sehingga untuk mengatasi keluaran yang tidak

sesuai target harus dilihat kemungkinan adanya masalah dari masukan,

proses, uman balik dan lingkungan. Penyebab masalah dapat ditetapkan

dengan menggambarkan terlebih dahulu proses terjadinya masalah atau

kerangka konsepnya, sehingga diharapkan semua faktor penyebab masalah

dapat diketahui dan diidentifikasi.

Kerangka konsep belum tercapainya sasaran CDR di UPT Puskesmas

Beji dapat dilihat sebagai berikut :

Page 43: Evapro TB (ikm)

Belum tercapainya CDR

MasukanProses

Lingkungan Umpan Balik

SDM

Kualitas dan kuantitas SDM

Sarana

Medis & Non Medis

Metode Penemuan tersangkaPenegakan diagnosis

Pengobatan

Dana

Biaya pelaksanaan program

Penyuluhan

Akses pelayanan kesehatanSosial ekonomi dan pendididkan

Lingkungan pemukiman Masukan hasil pelaporan

PenilaianPencatatan dan pelaporan

Pengawasan program

Pelaksanaan

Pemeriksaan ulag dahak

PMO

Organisasi

Job list

Perencanaan

Belum Tercapai CDR

Pembinaan & pelatihan kader

Pencatatan dan pelaporan

Bagan 1 . Kerangka Konsep

5.6 Estimasi penyebab masalah

Estimasi penyebab masalah belum tercapainya sasaran CDR akan

dibahas dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan unsur

masukan, proses, lingkungan dan umpan balik.

Komponen masukan terdiri dari banyak unsur, dari unsur tenaga yang

berpotensi menjadi penyebab masalah adalah kurangnya tenaga petugas

administrasi yang mencatat laporan maupun proses yang sedang berjalan

pada pasien TB. Selama ini, perawat merangkap juga menjadi petugas

administrasi. Selain itu, unsur metode juga berpotensi menjadi penyebab

masalah. Penyuluhan terhadap penderita dan keluarga serta masyarakat

belum maksimal. Poster mengenai TB di ruang tunggu pasien TB hanya

satu, hal ini menunjukan kurangnya sosialisasi TB secara pasif. Penyuluhan

terhadap pasien TB dan keluarga sudah dilakukan, namun kurang efisien

karena hanya memberitahu untuk menggunakan masker saat pasien dan

keluarga mengambil obat ke puskesmas. Penyuluhan kepada masyarakat

Page 44: Evapro TB (ikm)

juga kurang efektif dan efisien, sehingga tindakan preventif juga minimal.

Oleh karena itu bila tenaga kurang memadai dan penyuluhan yang minimal,

hal ini dapat menyulitkan pelaksanaan program ini.

Komponen proses terdiri dari beberapa unsur, seperti pencatatan dan

pelaporan. Pengisian laporan tertulis pada tahun 2014 tidak rapih dan tidak

lengkap. Hal ini terlihat dari pelaporan penjumlahan kategori-kategori

pasien TB tidak lengkap.

Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan setelah

dilaksanakannya program selama satu periode tidak didapatkan adanya

masukan untuk perbaikan program berikutnya. Hasil pelaporan ini

diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas untuk menyusun

rencana program pada periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya

perbaikan dari yang sebelumnya.

5.7 Konfirmasi penyebab masalah

Konfirmasi penyebab masalah dibuat dengan melihat kembali

pencapaian di Puskesma dengan tolok ukur berdasarkan unsur sistem yang

bermasalah yaitu unsur masukan, proses dan umpan balik.

Tabel 5.2 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen masukan

Unsur Tolok Ukur PencapaianPenyebab Masalah

Tenaga Tenaga pelaksana minimal: 1 dokter, 1 perawat, 1 petugas administrasi, dan 1 analisis sebagai pemeriksa laboratorium

Terdapat 1 dokter, hanya terdapat 1 perawat merangkap menjadi tenaga administrasi.

(+)

Dana Tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan program yang berasal dari APBD dan APBN

Tersedianya dana yang cukup lancar dari APBD, APBN dan GF.

(-)

Sarana Tersedianya sarana:1. Sarana medis: alat-alat

pemeriksaan seperti stetoskop, senter, timbangan, tersimeter, dan termometer

2. Sarana non medis: ruangan dilengkapi dengan ruang tunggu yang terbuka , ruang periksa pasien , ruang laboratorium, ruang suntik, ruang obat, tempat untuk memeriksa, lemari

1. Tersedia

2. Tersedia

(-)

Page 45: Evapro TB (ikm)

penyimpanan obat, bangku untuk ruang tunggu, status, alat tulis, buku catatan

3. Sarana penyuluhan: brosur, poster

4. Sarana khusus pencatatan dan pelaporan

5. Laboratorium

3. Tersedia, walaupun hanya 1 poster.

4. Tersedia

5. Tersedia

Metode Pengobatan penderita Tuberkulosis Paru sesuai dengan pedoman pemberantasan penyakit Tuberkulosis Paru :

a. Penemuan tersangka pasien TB parub. Penentuan diagnosis pasien TB paruc. Pengobatan pasien TB paru

Penyuluhan kesehatana. Penyuluhan kepada

penderita dan keluargab. Penyuluhan ke masyarakat

Pembinaaan dan pelatihan kader Pencatatan dan pelaporan kasus Tuberkulosis Paru

a. Penemuan tersangka TB dilakukan secara pasif dengan pasien datang sendiri ke puskesmas dan secara aktif oleh kader yang terlatih jika menunjukan gejala khas TB.

b. Sudah sesuai prosedurc. Sudah sesuai prosedurPenyuluhan kesehatan :a. Sudah dilakukan namun

kurang efisienb. Jarang dilakukanSudah dilakukanSudah dilakukan

(+)

Tabel 5.3 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen proses

Unsur Tolok Ukur PencapaianPenyebab Masalah

Perencanan Adanya perencanaan

operasional yang

jelas: jenis kegiatan,

target kegiatan,

waktu kegiatan.

Perencanaan sudah dibuat (-)

Organisasi Adanya struktur pelaksana program Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas

Terdapat struktur pelaksana

Sudah terdapat pembagian tugas yang jelas

(-)

Pelaksanaan Penemuan tersangka pasien TB paruPenentuan diagnosis pasien TB paruPengobatan pasien TB paruPengawasan Menelan ObatPemeriksaan ulang dahak pasien TB paru

Sudah sesuai prosedur

Sudah sesuai prosedur

Sudah sesuai prosedurPMO telah ditentukanSudah sesuai prosedur

(-)

Page 46: Evapro TB (ikm)

Penyuluhan TB Sudah dilakukan saat proses pengobatan

Pencatatan dan pelaporan

Penilaian kegiatan dalam bentuk laporan tertulis secara periodikPengisian laporan tertulis yang lengkapPenyimpanan laporan tertulis yang benar

Laporan tertulis dilakukan secara periodik tahunan

Laporan tertulis tidak lengkapPenyimpanan laporan sudah baik

(+)

Pengawasan Adanya pengawasan eksternal maupun internal

Pengawasan program dilakukan oleh Dinas Kesehatan Depok dan secara internal oleh kepala puskesmas

(-)

Tabel 5.4 Konfirmasi penyebab masalah pada komponen umpan balik

Unsur Tolok Ukur PencapaianPenyebab Masalah

Digunakan data-data

tentang hasil kegiatan

dan analisis sebagai

masukan dan

perbaikan program

selanjutnya

Tidak ada masukan untuk perbaikan program

(+)

5.8 Berbagai penyebab masalah

Berdasarkan tabel konfirmasi berdasarkan komponen masukan, proses dan

umpan balik diatas maka masalah belum tercapainya CDR untuk program

pengendalian TB di UPT Puskesmas Beji tahun 2014 adalah :

1. Komponen masukan :

- kurangnya tenaga atau SDM

- penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada

penderita TB, pasien dan masyarakat.

2. Komponen proses :

- Pencatatan dan pelaporan yang kurang lengkap.

3. Komponen umpan balik :

- Tidak ada masukan untuk perbaikan program sebagai umpan

balik program.

Page 47: Evapro TB (ikm)

5.9 Penetapan prioritas penyebab masalah

Setelah dilakukan penyaringan penyebab masalah yang berpotensi

menyebabkan belum tercapainya CDR, maka harus dilakukan pemilihan

prioritas penyebab masalah. Prioritas penyebab masalah harus dipilih karena

penyebab masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan semuanya dalam

waktu bersamaan dan karena adanya keterbatasan kemampuan dalam

menyelesaikan masalah. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan

menggunakan teknik kriteria matriks.

Tabel 5.5 Prioritas Penyebab Masalah

No Masalah

Penentu Prioritas Penyebab

Total

C x T x R

C T R

1. Kurangnya tenaga atau SDM 5 3 5 75

2. Penyuluhan yang masih kurang efektif dan

efisien kepada penderita TB, pasien dan

masyarakat.

5 5 5 125

3 Pencatatan dan pelaporan yang kurang lengkap 4 4 4 64

4 Tidak ada masukan untuk perbaikan program

sebagai umpan balik program.

3 4 3 36

Poin Contribution/C kurangnya tenaga kesehatan menyebabkan

kurang maksimalnya pelayanan yang dilakukan di Puskesmas, sehingga

pekerjaan menjadi tumpang tindih dan tidak terfokus, maka diberikan nilai

5. Penyuluhan yang kurang efektif dan efisien juga diberikan nilai 5 karena

penyuluhan pada proses masukan bertujuan untuk pencegahan tertularnya

infeksi TB. Pencatatan dan pelaporan yang kurang lengkap diberikan nilai 4

serta nilai 3 pada masalah umpan balik yaitu tidak adanya masukan untuk

perbaikan program.

Poin Technical Feasibility/T tentang tenaga kesehatan memiliki

kelayakan teknologi yang sudah cukup maka hal ini diberi poin 3.

Penyuluhan membutuhkan sarana seperti poster, lembar balik, dan brosur

bahkan membutuhkan banyak sarana untuk membuat suatu acara

Page 48: Evapro TB (ikm)

penyuluhan kepada masyarakat, sehingga diberikan nilai 5. Pencatatan dan

pelaporan serta masukan untuk perbaikan program masing-masing diberikan

nilai 4.

Poin Resources/R sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan tenaga atau SDM sangatlah penting untuk menunjang program

Pengendalian TB, begitu juga dengan kegiatan penyukuhan sehingga

masing-masing diberi nilai 5. Pencatatan dan pelaporan diberikan nilai 4 dan

untuk masukan untuk program diberikan nilai 3.

Berdasarkan tabel teknik kriteria matriks di atas maka prioritas

penyebab masalah adalah penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien

kepada penderita TB, pasien dan masyarakat.

5.10 Alternatif penyelesaian masalah

Berdasarkan penetapan prioritas penyebab masalah, didapatkan

alternatif pemecahan masalah dan penjabaran programnya adalah:

1. Penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat

Latar belakang : Penyuluhan dapat dilakukan secara langsung

maupun tidak langsung. Penyuluhan secara langsung seperti seminar

dan diskusi kelompok. Sedangkan penyuluhan secara tidak langsung

seperti menggunakan media yaitu poster, banner, brosur dan

spanduk. Semakin banyaknya penyuluhan mengenai TB, diharapkan

semakin meningkatnya pengetahuan tentang TB. Sehingga angka

penularan dan angka kejadian TB dapat ditekan.

Tujuan : memberikan informasi penyakit Tuberkulosis dan

memodifikasi perilaku pasien, keluarga dan masyarakat agar

kondusif bagi kesehatan.

Alokasi dana :

Media promosi Rp. 100.000

Penyuluh/Ahli acara penyuluhan Rp. 250.000

Acara penyuluhan target > 50 peserta Rp. 500.000 +

Total Rp. 750.000

Page 49: Evapro TB (ikm)

2. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka

meningkatkan kualitas penyuluhan

Latar belakang : petugas dan kader kesehatan perlu dilatih secara

berkala. Pelatihan ini sangat bermanfaat di masyarakat, terutama

untuk penjaringan suspek TB. Selain itu, meningkatnya pengetahuan

petugas kesehatan dan kader juga meningkatkan pengetahuan

masyrakat akan penyakit TB.

Tujuan : memberikan pelatihan kepada petugas dan kader

kesehatan agar pengetahuan tentang TB meningkat sehingga dapat

mendeteksi suspek TB di masyarakat dan dapat mensosialisasikan

penyakit TB secara berkala.

Alokasi dana :

Media promosi saat pelatihan Rp. 100.000

Ahli pelatihan Rp. 200.000

Konsumsi Rp. 70.000

ATK Rp. 30.000 +

Total Rp. 400.000

5.11 Memilih prioritas pemecahan masalah

Cara pemecahan masalah telah dibuat dan akan dipilih satu cara

pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.

Pemilihan prioritas cara dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan

teknik kriteria matriks, yaitu dengan menentukan:

1. Efektifitas

Efektifitas terdiri dari beberapa faktor yaitu Magnitude (M),

Importancy (I), dan Vulnerability (V). Menetapkan nilai efektifitas

(effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yaitu dengan

memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5 (paling

efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling

tinggi.

Page 50: Evapro TB (ikm)

2. Efisiensi (C)

Nilai efisiensi berkaitan dengan biaya (Cost) yang diperlukan

untuk melaksanakan pemecahan masalah. Semakinkecil biaya, semakin

efisien, maka semakin kecil nilainya agara nilai pembaginya lebih kecil,

sehingga jalan keluarnya semakin baik.

3. Prioritas Pemecahan Masalah (P)

Nilai prioritas dinilai dari pembagian nilai C oleh hasil perkalian

nilai M x I x V. Hasil nilai yang tertinggi berarti prioritas jalan keluar

yang terpilih.

Tabel 5.6 Penentuan prioritas pemecahan masalah

No Alternatif Pemecahan Masalah

Efektifitas Efisiensi (C)

Jumlah (P)

M I V MxIxVC

1. Penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat

5 3 4 4 15

2. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas penyuluhan

4 5 1 2 10

Hasil perhitungan matriks diatas menentukan bahwa prioritas

pemecahan masalah yang terpilih adalah penyuluhan yang dilakukan kepada

penderita TB, keluarga dan masyarakat .

Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, keluarga dan

masyarakat secara langsung akan berdampak semakin besarnya masalah TB

yang dapat diselesaikan, seperti mengenal lebih dini gejala TB, mengetahui

cara penularan, faktor risiko, dan pengobatan TB. Sehingga mendapatkan

nilai Magnitude yang besar dibandingkan dengan pelatihan petugas dan kader

kesehatan, yaitu 5. Pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka

meningkatkan kualitas penyuluhan juga penting untuk dilakukan, sehingga

diberikan nilai 4.

Importancy (I) atau pentingnya jalan keluar, berhubungan dengan

kelanggengan penyelesaian masalah. Semakin langgeng selesai suatu

Page 51: Evapro TB (ikm)

masalah, semakin penting jalan keluar tersebut. Pelatihan petugas dan kader

kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas penyuluhan diberikan nilai

yang lebih besar karena dengan terlatihnya petugas dan kader kesehatan,

maka program promotif dan preventif akan berjalan sesuai dengan target yang

ada. Sedangkan untuk penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB,

pasien dan keluarga akan berdampak hanya sesaat, sehingga diberikan nilai

yang lebih kecil.

Vulnerability (V) dinilai dari kecepatan jalan keluar dalam mengatasi

masalah yang ada. Penyuluhan yang dilakukan kepada penderita TB, pasien

dan keluarga secara langsung akan memberikan waktu yang lebih singkat

dalam mengatasi masalah dibandingkan pelatihan petugas dan kader

kesehatan, karena pelatihan petugas dan kader kesehatan masih menunggu

hasil keluaran dari pelatihan itu sendiri. Sehingga nilai yang lebih besar

diberikan pada penyuluhan dibandingkan dengan pelatihan, yaitu 4 dan 1

Efisiensi (cost) jalan keluar pada pelatihan petugas dan kader kesehatan

mendapatkan nilai yang kecil yaitu 2, penyuluhan yang dilakukan kepada

penderita TB, pasien dan keluarga diberikan nilai 4.

5.12 Proposal prioritas alternatif penyelesaian masalah

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di UPT

Puskesmas Beji Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

a. Masalah dalam pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di

UPT Puskesmas Beji tahun 2014 adalah belum tercapainya Case

Detection Rate (CDR) puskesmas (24.3%) lebih kecil dari indikator

yang seharusnya dicapai, yaitu 90%.

Page 52: Evapro TB (ikm)

b. Penyebab masalahnya adalah pada komponen masukan yaitu

penyuluhan yang masih kurang efektif dan efisien kepada penderita TB,

pasien dan masyarakat.

c. Alternatif pemecahan masalah bagi pelaksanaan program tersebut

adalah penyuluhan kepada penderita TB, pasien dan masyarakat secara

langsung dan pelatihan petugas dan kader kesehatan dalam rangka

meningkatkan kualitas penyuluhan.

d. Pemecahan masalah yang terpilih adalah penyuluhan kepada penderita

TB, pasien dan masyarakat secara langsung.

6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan. 2011. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis di

Indonesia. Jakarta

Page 53: Evapro TB (ikm)

2. Departemen Kesehatan RI. 2013. Identifikasi dan Obati, Mari Ciptakan

Dunia yang Bebas TB. Tersedia pada :

www.depkes.go.id/article/view/2280/menkes-identifikasi-dan-obati-mari-

ciptakan-dunia-yang-bebas-tb.html [Diakses tanggal 29 Juni 2015]

3. Departemen Kesehatan RI. 2011. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Tersedia

pada : www.depkes.go.id/article/view/1444/tbc-masalah-kesehatan-

dunia.html [Diakses tanggal 29 Juni 2015]

4. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin : Tuberkulosis ; Temukan Obati

Sampai Sembuh. Jakarta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan

RI. Hal. 1-7.

5. World Health Organization. 2014. Global Tuberkulosis Report 2014.

Switzerland. WHO Press. Hal. 32-33.

6. Kementerian Kesahatan RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di

Indonesia 2010-2014. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan.

7. Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. Jakarta. Departemen Kesehatan.

8. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2015. kbbi.web.id/sistem.

9. Azwar, Azrul. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Lebih Bermutu.

Jakarta. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Hal. 103.

10. Marliana, Lina. 2008. Pelaksanaan Program. Tersedia pada : lib.ui.ac.id/file?

file=digital/122947-S-5237-Pelaksanaan%20program-Literatur.pdf [Diakses

tanggal 30 Juni 2015]

11. Anonim. 2011. Evaluasi Program. Tersedia pada :

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23917/3/Chapter%20II.pdf

[Diakses tanggal 30 Juni 2015]