EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN … · KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT ......
-
Upload
truongduong -
Category
Documents
-
view
236 -
download
0
Transcript of EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN … · KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT ......
EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH
PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT
LERI NURIADI
SEKOLAH PASCA SARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
Leri NuriadiNRP. C252080444
ABSTRACT
LERI NURIADI. Coral Reefs Management Evaluation at Marine Conservation Area of Biawak Islands of Indramayu, West Java Province. Under direction of SULISTIONO and GATOT YULIANTO.
The research was conducted in Marine Conservastion Area of Biawak Island of Indramayu, West Java Province. The Marine Conservastion Area is located in the Java Sea, northern part of the Indramayu District which familiar with high pressure from fishings, industries, and other human activities. The objective of the research were to assess condition of coral reefs, to assess role and importance of key stakeholders in the coral reef management and to evaluate current its management and recommend to better coral reef management in the area. I employed Line Intercept Transect, Visual Cencus Methods, Reef Check Benthos, Household interview and Expert interview to collect biophysical and socio-economic data. Coral reefs condition categorized as bad to medium condition with percent coral cover variated among 22,7±5,9% to 45,7±13,2%, 13 families and 39 genuses were found. The density of reef fishes were variated among 5.967±1.767 ind/ha to 20.433±10.355 ind/ha with 85 species and 18 families and the density of benthos were variated among 2.000±1.000 ind/ha to 14.667±14.964 with 29 species and 23 families. Result showed that anthropogenic activities gaves high pressure on coral reef condition. Destructive fishing still practiced around the protected area. Law enforcement, surveillance and monitoring actions were not implemented well. Government institution and private sectors need to be collaborated to create good coral reefs management. Collaboration among stakeholders became the key to successful MPA management. Implementation of management policy need to be focused on protect and conserve coral reefs to restore the condition.
Keywords: marine conservation area, coral reefs, stakeholders, coral reefs management
RINGKASAN
LERI NURIADI. Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SULISTIONO and GATOT YULIANTO.
Pulau Biawak dan sekitarnya di perairan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pada tahun 2004 melalui Surat Keputusan Bupati Indramayu nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Salah satu tujuan penetapannya adalah perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati, diharapkan dapat mempertahankan kondisi ekosistem dan memberikan dampak positif terhadap sumberdaya kelautan di wilayah perairan Indramayu baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sejak Tahun 2006, pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya secara hukum dilaksanakan oleh Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006 tentang Pembentukan Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki ekosistem pesisir penting yang salah satunya adalah terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Pulau Biawak adalah 21,43 ha, Pulau Gosong seluas 37,06 ha dan Pulau Candikian seluas 42,79 ha (LAPAN 2006, diacu dalam Nurhakim 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang, dan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang serta memberikan saran/rekomendasi kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan pasca penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi laut daerah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, persentase tutupan terumbu karang serta peran dan fungsi stakeholder terkait.
Kondisi terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan tidak memperlihatkan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan tahun 2010, kondisi tutupan karang pada setiap stasiun pengamatan tergolong pada kategori buruk hingga sedang dengan kisaran tutupan karang hidup antara 22,7±5,9% – 45,7±13,2%. Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya disebabkan oleh masih adanya kegiatan antropogenik yang tidak ramah lingkungan diantaranya penangkapan ikan dengan bahan beracun, penangkapan ikan dengan bahan peledak, pencemaran minyak dan turun naik jangkar kapal. Perilaku dari kegiatan antropogenik ini terjadi karena masih lemahnya pengawasan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya
pengawasan diantaranya adalah: a) Jarak dari daratan menuju pulau Biawak cukup jauh kurang lebih 50 km; b) Sumberdaya manusia belum memenuhi; dan c) pendanaan masih mengandalkan pada dana APBD. Faktor antopogenik ini menjadi ancaman yang harus segera mendapat perhatian dari pengelola kawasan dengan melakukan respon terhadapnya.
Rencana operasional pengelolaan KKLD di titikberatkan kepada kegiatan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang terutama mengurangi laju degradasi terumbu karang, dengan pelaksanaan program-program seperti: a) peningkatan pengawasan KKLD dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi; b) pengembangan program rehabilitasi karang; dan c) Pengembangan kegiatan penelitian (research) terumbu karang.
Partispasi dari berbagai stakeholder yang terkait sangat penting dalam pengelolaan terumbu karang. Peran insitusi pemerintah dan swasta perlu diperhatikan dan diakomodir oleh pengambil kebijakan terkait pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Dengan adanya kolaborasi dan kerjasama yang baik, diharapkan setiap hambatan dalam pengelolaan terumbu karang dapat teratasi dan kondisi terumbu karang semakin baik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPBDilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH
PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT
LERI NURIADI
Tesissebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Handoko Adi Susanto, M.Sc.
Judul Tesis : Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.
Nama Mahasiswa : Leri Nuriadi
Nomor Pokok : C252080444
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui,
Diketahui,
Tanggal Ujian: 17 April 2012 Tanggal Lulus:
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.Ketua Komisi
Ir. Gatot Yulianto, M.Si.Anggota Komisi
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA . Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji syukur atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan oleh-Nya hingga tesis dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.” dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Master of Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir Sulistiono, M.Sc. dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan;
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta seluruh staf;
3. Dr. Ir. Handoko Adi Susanto, M.Sc. sebagai penguji luar atas arahan dan masukan untuk perbaikan tesis ini;
4. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II yang telah mensponsori beasiswa pendidikan ini;
5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta staf atas keramahtamahan dan bantuannya;
6. Istri tercinta, Anita Syamsudin, S.Pi., yang senantiasa setia mendampingi dan memotivasi dalam meraih cita-cita;
7. Kedua orang tua, Ibu serta Bapak mertua yang selalu memberi semangat terselesaikannya tesis ini;
8. Pak Tasid beserta keluarga atas peminjaman perahu, Jimmy, Luki, Andra, Ratih, yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan serta Heri Rasdiana dan Sukendi Darmasyah yang telah bersama-sama melakukan penelitian di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat;
9. Rekan-rekan Program Studi SPL angkatan 2008 yang telah menjadi teman diskusi, memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat umum yang membaca dan membutuhkan.
Bogor, Juni 2012
Leri Nuriadi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1978 dari Bapak Drs. Dede Satriadi dan Ibu Leni Nurlena sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran yang diselesaikan pada tahun 2002. Penulis diterima menjadi CPNS Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2005 sebagai pelaksana pada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) dengan bantuan dana dari COREMAP –World Bank.
xix
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xxi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxvii
1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 8
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
2.1 Terumbu Karang ............................................................................. 11
2.2 Ikan Karang ..................................................................................... 13
2.3 Degradasi Ekosistem Terumbu Karang ........................................... 15
2.4 Pengelolaan Terumbu Karang ......................................................... 18
2.5 Kawasan Konservasi Laut ............................................................... 20
2.6 Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang ..................................... 22
2.7 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang ..................... 23
3 METODE ................................................................................................ 27
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 27
3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................. 28
3.3 Analisis Data ................................................................................... 32
3.4 Analisis Stakeholder.......................................................................... 34
3.5 Analisis Kebijakan ........................................................................... 35
4 HASIL PENELITIAN ............................................................................. 37
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 37
4.2 Kondisi Terumbu Karang ................................................................ 42
4.2.1 Persentase Tutupan Karang ...................................................... 42
4.2.2 Kondisi Ikan Karang ................................................................ 51
4.2.3 Kondisi Benthos ...................................................................... 60
4.3 Peran dan Kepentingan Stakeholder ................................................ 66
4.4 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang .................... 69
5 PEMBAHASAN ..................................................................................... 81
5.1 Kondisi Terumbu Karang ................................................................. 81
5.2 Peran dan Kepentingan Stakeholder ................................................ 88
5.3 Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang ........................................... 93
xx
xix
6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 105
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 105
6.2 Saran ................................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 109
LAMPIRAN ................................................................................................. 117
xxi
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang .................. 16
2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu
karang (dalam ribuan US$ km-2
) ............................................................ 17
3 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan .............................................. 27
4 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup ................................ 32
5 Kategori kelimpahan ikan karang ........................................................... 33
6 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya .......................... 41
7 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
Tahun 2010.............................................................................................. 50
8 Kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun
pengamatan ............................................................................................. 51
9 Kelompok ikan indikator yang ditemukan di Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 57
10 Kelompok ikan target yang ditemukan di Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 58
11 Kelompok ikan mayor yang ditemukan di Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 59
12 Kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ............... 60
13 Daftar stakeholder pengelolaan terumbu karang di KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya ................................................................. 67
14 Matriks analisis stakeholder ................................................................... 68
15 Faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) pada KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya ......................................................................................... 73
16 Hasil analisis komponen SWOT KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 73
17 Hasil analisis faktor kekuatan pengelolaan terumbu karang .................. 75
18 Hasil analisis faktor kelemahan pengelolaan terumbu karang ............... 76
19 Hasil analisis faktor peluang pengelolaan terumbu karang .................... 77
20 Hasil analisis faktor ancaman pengelolaan terumbu karang .................. 78
21 Hasil analisis kebijakan pengelolaan terumbu karang ........................... 70
22 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2003 ......................................................................................................... 87
23 Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang
di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ................................................. 92
xxii
xxi
24 Respon terhadap pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya ......................................................................................... 103
xxiii
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema kerangka pemikiran penelitian ................................................... 10
2 Peta stasiun pengamatan ........................................................................ 28
3 Metode pengumpulan data karang, ikan karang dan benthos ................. 30
4 Contoh tabel stakeholder dan analisis stakeholder ................................ 34
5 Contoh format analisis stakeholder ........................................................ 35
6 Format stakeholder grid dalam analisis stakeholder ............................. 35
7 Hirarki Analisis A’WOT ........................................................................ 36
8 Satwa endemik di Pulau Biawak (Biawak dari jenis Varanus salvator) 37
9 Gerbang masuk Pulau Biawak ............................................................... 38
10 Kondisi Terumbu Karang Pulau Biawak dengan kehadiran genus
Porites sp terbesar ................................................................................. 42
11 Kegiatan sampling terumbu karang dengan metode TGM .................... 42
12 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ............................................................... 43
13 Karang dengan persen tutupan tebesar di stasiun 1, Gambar
A: Porites sp, Gambar B: Turbinaria sp ................................................ 44
14 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ............................................................... 44
15 Karang dengan persen tutupan terbesar di stasiun 2, Gambar A:
Acropora, Gambar B: Diploastrea .......................................................... 45
16 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ............................................................... 45
17 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ............................................................... 46
18 Karang Pocillopora dengan persen tutupan terbesar di stasiun 4 .......... 47
19 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling. ............................................................. 47
20 Persentase tutupan karang setiap stasiun ................................................ 48
21 Grafik persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang merusak
terumbu karang ....................................................................................... 50
22 Grafik kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun
pengamatan ............................................................................................ 51
xxiv
xxiii
23 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling .................................................................................................. 52
24 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling................................................................................................... 53
25 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling .................................................................................................. 53
26 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling .................................................................................................. 54
27 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling................................................................................................... 55
28 Grafik kelimpahan kelompok ikan setiap stasiun ................................... 56
29 Grafik kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
(ind/ha)..................................................................................................... 60
30 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ........................................................................ 61
31 Acanthaster plancii di lokasi pengamatan .............................................. 62
32 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ........................................................................ 62
33 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ....................................................................... 63
34 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ....................................................................... 64
35 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ....................................................................... 65
36 Grafik kelimpahan benthos setiap stasiun ............................................... 66
37 Stakeholder Grid pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ..... 69
38 Grafik persepsi masyarakat terkait pengelolaan terumbu karang ........... 71
39 Grafik prioritas faktor SWOT terhadap kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya .......................................... 73
40 Grafik prioritas faktor kekuatan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ........................... 75
41 Grafik prioritas faktor kelemahan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ........................... 76
42 Grafik persepsi masyarakat terhadap pengawasan terumbu karang ....... 77
xxv
xxiii
43 Grafik prioritas faktor peluang terhadap kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ......................................... 77
44 Grafik prioritas faktor ancaman terhadap kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ......................................... 78
45 Grafik prioritas terhadap alternatif kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ......................................... 79
46 Skema pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ............................................................................................... 82
47 Coral Bleaching, indikasi dari penangkapan ikan dengan sianida ......... 83
48 Patahan karang indikasi penangkapan ikan dengan bahan peledak ....... 84
49 Pencemaran minyak di pesisir Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2005 ........................................................................................................ 86
50 Skema peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya .................................................................. 88
51 Peran DPRD dalam Proses penyusunan APBD ..................................... 90
52 Persepsi masyarakat terhadap pengawasan di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya ......................................................................................... 97
53 Kegiatan transplantasi karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 100
54 Kegiatan demplot budidaya terumbu karang di Kab. Indramayu .......... 100
55 Kegiatan pelatihan transplantasi karang di Kab. Indramayu ................. 102
xxv
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Jenis dan persen kehadiran karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ............................................................................................... 119
2 Jenis dan distribusi kehadiran ikan di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 120
3 Jenis dan distribusi kehadiran benthos di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 122
4 Surat Keputusan Penetapan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ....... 123
5 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2006 ...... 125
6 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2007 ...... 129
7 Kuesioner analisis stakeholder ................................................................ 134
8 Kuesioner persepsi masyarakat terhadap 7 kebijakan operasional
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya .. 146
9 Kuesioner Analisis A’WOT Pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ................................................................................................ 151
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi
keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Ekosistem ini
tumbuh umumnya di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang memiliki
produktivitas primer yang tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 10 kgC/m2/tahun,
dibandingkan dengan produktivitas perairan laut lepas pantai, yang hanya berkisar
antara 50–100 mgC/m2/tahun (Supriharyono 2007). Tingginya produktivitas
primer di daerah terumbu karang ini menyebabkan terjadinya pengumpulan
hewan-hewan yang beranekaragam, seperti ikan, udang, moluska (kerang-
kerangan) dan lainnya (Supriharyono 2007). Luas terumbu karang di perairan
Indonesia diperkirakan sekitar 85.707 km2 yang terdiri dari 50.223 km2 terumbu
penghalang, 19.540 km2 terumbu cincin (atol), 14.542 km2 terumbu tepi, dan
1.402 km2 oceanic platform reef (Tomascik et al. 1997, in Dahuri 2003).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat
memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber
plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku
substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu
karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai
pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.
Terumbu karang sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia,
sehingga layak mendapat perhatian yang khusus. Besar tutupan karang di dunia
tidak lebih dari 1% dari luas wilayah lautan, namun dapat menyokong kehidupan
hampir sepertiga dari jumlah spesies ikan laut di dunia, menyediakan sekitar 10%
dari total jumlah ikan yang di konsumsi oleh manusia, dan dapat menjadi objek
yang penting dalam industri wisata (Rinkevich 2008).
Tutupan karang mengalami penurunan hingga 1% sebelum tahun 1997,
dan meningkat menjadi 2% antara tahun 1997 dan 2003 (Rinkevich 2008).
Sebagai perbandingan, terumbu karang mengalami penurunan lebih cepat
2
dibandingkan dengan hutan daratan sekitar 2%/tahun (Bruno dan Selig 2007).
Berdasarkan hasil penelitian P3O LIPI pada tahun 1996, kondisi terumbu
karang di Indonesia 7% dalam kondisi sangat baik, 33% kondisi baik, 46% rusak
dan 15% lainnya dalam kondisi sudah kritis (Supriharyono 2007). Penelitian pada
tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia adalah
5,47% kondisi sangat baik, 25,48% kondisi baik, 37,06% kondisi cukup, dan
31,98% dalam kondisi rusak, penelitian ini dilakukan di 985 lokasi (Suharsono
2008). Data kondisi terumbu karang di Indonesia pada tahun 2009 tidak jauh
berbeda dengan nilai 5,56% kondisi sangat baik, 25,89% kondisi baik, 37,10%
kondisi cukup dan 31,45% kondisi kurang/rusak.
Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan
yang cukup besar untuk sektor perikanan. Menurut Cesar (2006) in Sjafrie (2010)
menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik
dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun, kategori baik sebesar 13
ton/km2/tahun, dan kategori cukup sebesar 8 ton/km2/tahun. Apabila
dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan
Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar US$ dari aspek perikanan, wisata dan
perlindungan laut.
Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sangat bervariasi.
Kerusakan berat lebih ditemukan di bagian barat Indonesia dibandingkan dengan
bagian timur. Tutupan karang hidup di bagian barat kurang dari 50% bahkan ada
yang lebih rendah dari 25%, sedangkan bagian tengah Indonesia memiliki kondisi
lebih baik dimana lebih dari 30% karang hidupnya dalam keadaan yang baik, dan
di bagian timur kondisinya lebih baik lagi dibanding bagian barat dan tengah
(Hidayati 2003).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi atau kerusakan
ekosistem terumbu karang dilihat dari penyebabnya dibedakan menjadi dua, yaitu
kerusakan karena alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik.
Kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain
melalui pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik,
banjir, tsunami, serta fenomena alam lainnya. Aktivitas manusia atau
antropogenik yang dapat merusak ekosistem terumbu karang diantaranya adalah
3
penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan kehidupan karang seperti
penggunaan bahan peledak dan bahan beracun, penambangan karang, dan
pembuangan limbah baik dari aktivitas industri maupun rumah tangga yang ada di
daerah daratan (Supriharyono 2007).
Dalam rangka penyelamatan terumbu karang, berbagai usaha telah
dilakukan baik secara lokal, regional maupun nasional. Upaya penyelamatan
terumbu karang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah
maupun swasta. Salah satu upaya yang dikembangkan baik oleh pemerintah
maupun swasta adalah program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.
Salah satu upaya pemerintah untuk melindungi suatu kawasan laut dengan
ekosistem terumbu karang adalah dengan menetapkan kawasan perairan menjadi
kawasan konservasi perairan. Konservasi sumberdaya terumbu karang merupakan
salah satu implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, dimana kawasan
konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga sering disebut pula
sebagai kawasan lindung. Salah satu upaya perlindungan terhadap terumbu karang
melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan atau Kawasan Konservasi
Laut Daerah.
Perencanaan pendirian Kawasan Konservasi Laut pertama kali masuk
dalam program pemerintah Indonesia pada Repelita V (1988-1993) dengan tujuan
mendirikan Kawasan Konservasi Laut seluas 10 juta ha. Luas areal konservasi
tersebut ditargetkan 10% dari luas batas daerah laut teritorial yang dijadikan
tujuan konservasi. Diperkirakan bahwa areal seluas itu dapat mewakili seluruh
contoh ekosistem yang terdapat di daerah pesisir dan laut (Dahuri 2003).
Pembentukan Kawasan Konservasi Laut kemudian mendapat payung
hukum melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam Undang-undang tersebut
disebutkan bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati
dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah
konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara
dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu
sendiri. Upaya konservasi sumberdaya hayati di daerah dilandasi dengan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana pada pasal
4
10 dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah
eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya. Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya di revisi dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan direvisi lagi dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya amanat konservasi
ekosistem tercantum dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan Bab IV pasal 13 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan
sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis, dan
konservasi genetika ikan.
Sampai dengan tahun 2010, Indonesia telah menetapkan kurang lebih
sebanyak 36 Kawasan Konservasi Laut Daerah yang tersebar dari wilayah barat
sampai wilayah timur Indonesia. Jumlah luasan kawasan konservasi yang dapat
dicapai oleh pemerintah Indonesia mencapai ±13,5 juta ha. Pemerintah Indonesia
menetapkan angka 20 juta ha sebagai target capaian penetapan kawasan
konservasi laut di tahun 2020.
Kabupaten Indramayu adalah salah satu kabupaten di wilayah barat
Indonesia yang memiliki perairan laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Keanekaragaman hayati yang tinggi ini ditandai dengan keberadaan tiga pulau di
wilayah utara yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Pulau
Biawak merupakan kawasan yang memiliki berbagai macam ekosistem yaitu
ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang hampir mengelilingi seluruh pulau. Menurut LAPAN
(2006) in Nurhakim (2009), luas sebaran terumbu karang di Pulau Biawak adalah
21,43 ha, Pulau Gosong seluas 37,06 ha dan Pulau Candikian seluas 42,79 ha.
Karang-karang yang tumbuh di perairan Pulau Biawak didominasi oleh karang
batu (massive) dan karang meja (tabullate). Tipe terumbu karang adalah terumbu
karang tepi (fringing reef) (DKP 2005). Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya
ditetapkan menjadi sebuah kawasan konservasi laut daerah melalui Surat
Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 tentang
Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata
Laut pada tanggal 7 April 2004.
5
Dengan diimplementasikannya kawasan konservasi laut daerah sebagai
salah satu bentuk perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang, diharapkan
dapat memberikan dampak positif bagi kondisi terumbu karang dan juga dapat
memberikan hasil dan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.
Tantangan selanjutnya dari sebuah penetapan kawasan konservasi laut adalah
upaya pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait untuk
tetap menjaga kelestarian terumbu karang sekaligus memberi manfaat bagi
masyarakat sekitar kawasan yang memiliki ketergantungan dengan keberadaan
ekosistem ini. Dengan pembentukan kawasan konservasi tersebut maka dilakukan
upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang salah satunya dengan
berpedoman kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum pengelolaan terumbu karang.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan kawasan konservasi laut
daerah harapannya mampu menjadi salah satu alternatif pengelolaan ekosistem
terumbu karang, sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap
kelangsungan hidup terumbu karang dan sumberdaya alam lain yang berada di
sekitarnya, sehingga penulis akan melakukan evaluasi pengelolaan terumbu
karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya,
Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
1.2 Perumusan Masalah
Sejak Tahun 2004 Pulau Biawak dan sekitarnya telah menjadi sebuah
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan Surat Keputusan Bupati
Indramayu Nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak
dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut pada tanggal 7
April 2004. Berdasarkan ketetapan ini, KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
dibagi dalam 2 (dua) zonasi, yaitu:
1. Internal Zone, yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan
populasi Sumber Daya Hayati,
2. Eksternal Zone, yang merupakan perlindungan dan Pemanfaatan Wisata.
Saat penelitian ini dilaksanakan, keberadaan KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya telah berjalan lebih dari 6 (enam) tahun sejak tahun 2004. Rentang
6
waktu tersebut diharapkan telah menunjukan adanya perubahan yang positif
terhadap pola-pola upaya konservasi, pemanfaatan dan rehabilitasi sumberdaya
alam yang ada di wilayah tersebut, dan mampu menjaga serta memperbaiki
biodiversitas dan fungsi ekosistem yang terdapat di wilayahnya (Pomeroy et al.
2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Selig dan Bruno (2010) bahwa kondisi
terumbu karang di dalam kawasan yang dilindungi mengalami peningkatan,
sebagai contoh tutupan karang di wilayah Karibia meningkat 0,05% dan di
wilayah Pasifik dan Hindia meningkat 0,08% dalam kurun waktu satu tahun.
Sementara kondisi tutupan karang di wilayah perairan yang tidak dilindungi
mengalami penurunan dengan rata-rata 0,27-0,41% di wilayah Karibia dan 0,43%
di wilayah Pasifik dan Hindia.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting yang berada di
dalam KKLD. Secara umum, konservasi terumbu karang seringkali mengalami
kesulitan dalam pelaksanaannya. Kendala yang dihadapi umum dalam
pengelolaan terumbu karang adalah bahwa degradasi tidak hanya disebabkan oleh
peristiwa alam, tetapi juga karena faktor manusia (antropogenik).
Beberapa kegiatan yang masih bisa ditemukan di lokasi KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya terkait aktivitas antropogenik adalah: 1) penangkapan ikan
di wilayah KKLD, bahkan tidak sedikit masih bersifat merusak seperti
penggunaan bom, 2) tempat peristirahatan kapal-kapal nelayan, 3) pengambilan
karang hias oleh nelayan luar Indramayu, 4) pencemaran minyak.
Sekalipun sebuah kawasan sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi
laut, pelanggaran terhadap aturan yang ada masih saja terjadi, hal ini bisa
disebabkan oleh berbagai faktor. Idealnya, sebuah kawasan yang sudah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi laut harus mampu mengatur prilaku masyarakatnya,
karena pada intinya, pembentukan kawasan menjadi sebuah kawasan konservasi
laut adalah dalam rangka mengatur prilaku manusianya. Keberhasilan sebuah
kawasan konservasi laut dalam menjaga kelestarian ekosistemnya memerlukan
respon mayarakat yang benar terhadap aturan yang berlaku (Bell et al. 2006).
Respon masyarakat terhadap aturan yang ada sangat dipengaruhi oleh kinerja dari
institusi yang mengeluarkan aturan tersebut. Hal ini berarti sebuah kawasan tidak
cukup hanya sekedar ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, tetapi harus
7
didukung oleh suatu upaya pengelolaan yang efektif dari pihak yang bertanggung
jawab sebagai pengelola kawasan konservasi laut tersebut (Martinez et al. 2009).
Secara global, sudah banyak kawasan yang ditetapkan sebagai sebuah
kawasan konservasi laut, tapi sangat disayangkan kebanyakan masih sekedar
“aturan dalam kertas” dengan pengelolaan yang kurang efektif (Hodgson 1999).
Data terkini di wilayah Asia Tenggara, dari 332 kawasan konservasi laut
menunjukkan 14% dikelola dengan efektif, 48% kurang efektif dan 38% tidak
efektif (Pomeroy et al. 2004). Sebanyak 12% terumbu karangnya berada dalam
tekanan (Mora et al. 2006, in Christie dan White 2007) dan proses pengelolaannya
tidak berjalan baik (Christie dan White 2007). Sebuah kawasan konservasi laut
yang dikelola dengan baik merupakan “perhiasan” yang tidak banyak ditemukan
(Sale 2008).
Sebuah kawasan konservasi laut akan ditantang kemampuannya dalam
mencapai tujuan sekalipun dengan permasalahan seperti kurangnya jumlah staf
pengelola, rendahnya dana, logistik dan dukungan teknis, kurangnya informasi
keilmuan, lemahnya kelembagaan, lemahnya pengambilan keputusan, dan
lemahnya dukungan politik (Pomeroy et al. 2004). Masalah lain yang dihadapi
dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut adalah kurangnya koordinasi
pada setiap level yang berbeda (Martinez et al. 2009).
Pengelolaan kawasan konservasi laut adalah pengelolaan yang kolektif.
Keberhasilannya tergantung kepada implementasi kerjasama antar setiap
stakeholder seperti organisasi massa, kelompok swasta, kelompok lingkungan
hidup, institusi pemerintah, akademisi, dan masyarakat (Davos 1999). Banyak
kajian yang memperlihatkan bahwa input peran stakeholder sangat mempengaruhi
terhadap output keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut (Himes 2007).
Keterlibatan stakeholder adalah kunci sukses keberhasilan sebuah kawasan
konservasi laut (Gleason et al. 2009).
Selanjutnya Gleason et al. (2009) menyatakan bahwa dalam mengelola
kawasan konservasi laut perlu adanya keterpaduan antara sains, stakeholder dan
kebijakan pengelolaan. Dalam rangka merancang sebuah rekomendasi kebijakan
pengelolaan terumbu karang, sangat penting terlebih dahulu mendapatkan
gambaran kondisi terumbu karang yang ada, bagaimana tekanannya dan
8
bagaimana pengelolaannya (Martinez et al. 2009). Penetapan kawasan menjadi
kawasan konservasi laut adalah upaya yang tepat dalam konservasi terumbu
karang, tetapi disitu ada resiko kegagalan bilamana kawasan tidak dikelola dengan
benar.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis melakukan kajian
tentang evaluasi pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya pasca ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a Mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi
Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya;
b Mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu
karang;
c Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang dan
memberikan rekomendasi kebijakan operasional pengelolaan terumbu
karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a Memberikan kontribusi yang baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan;
b Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam
pengelolaan terumbu karang;
c Menjadi bahan informasi dan acuan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi
Laut Daerah;
d Menambah khasanah akademik bagi studi lebih lanjut tentang pengelolaan
terumbu karang.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya (Pulau Gosong dan Pulau
Candikian) memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan
9
ekosistem yang terdapat didalamnya. Salah satu ekosistem penting adalah
ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono (2007) penetapan kawasan
kawasan konservasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan ekosistem terumbu
karang.
Sistem pengelolaan terumbu karang dan kawasan konservasi laut telah
banyak dibentuk. Sayangnya, hanya sekitar 14% dari 332 kawasan konservasi laut
dikelola dengan efektif (Pomeroy et al. 2004). Hal ini dikarenakan hanya sedikit
pengelola kawasan yang terlatih dengan baik dan seringkali sedikitnya fasilitas
dalam penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak. Diantara sekian banyak
permasalahan, salah satunya adalah lemahnya koordinasi dan komunikasi antar
stakeholder yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan (Kunzmann
2002, in Wolff 2009). Penangkapan ikan secara ilegal bahkan masih tercatat
sekalipun di dalam wilayah kawasan konservasi laut yang memiliki pengelolaan
yang baik seperti Great Barrier Reef Marine Park (GBRMP) (Gribble dan
Robertson 1998, in Hodgson 1999).
Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian
pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat untuk mengelolanya
dengan tetap menjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu, kesadaran dan
partisipasi aktif dalam setiap program, pengelolaan yang seimbang antara
pemanfaatan dan konservasi menjadi sangat penting.
Peranan stakeholder yang terkait menjadi sangat penting dalam
menentukan keberhasilan pengelolaan terumbu karang di dalam sebuah KKLD.
Stakeholder yang terkait terdiri dari berbagai unsur yaitu pemerintah, swasta,
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, dan lainnya.
Setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing terhadap keberadaan
terumbu karang dan keberadaan KKLD. Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu
adanya aturan dan kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang supaya setiap
kepentingan dapat terintegrasi dengan baik.
Pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, salah
satu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan
pengelolaan terumbu karang adalah mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan
10
dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang pedoman umum pengelolaan
terumbu karang.
Berhasil tidaknya pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut sangat
ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan ekosistem
terumbu karang. Faktor internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan dalam
pengelolaan ekosistem terumbu karang, sementara faktor eksternal adalah faktor
peluang dan ancaman yang ada dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Untuk dapat merumuskan suatu kajian evaluasi pengelolaan ekosistem
terumbu karang, sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengintegrasikan
aspek ekologis dan peranan stakeholder dalam suatu program pengelolaan yang
ada, sehingga menjadi sebuah strategi dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem
terumbu karang. Berdasarkan konsep pemikiran yang telah diuraikan diatas,
kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) adalah ekosistem yang unik sifatnya.
Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Terumbu karang
merupakan timbunan masif dari CaCO3 yang terutama telah dihasilkan oleh
hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria=Scleractinia)
dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme-organisme lain
penghasil kapur (Romimohtarto dan Sri 2007). Terumbu karang menyimpan
sekitar 7x108 tons Carbon per tahun dalam bentuk kalsium karbonat, sehingga
mereka memiliki peranan penting dalam siklus karbon global yang bisa membantu
menetralkan akumulasi karbon dioksida (CO2) sebagai efek rumah kaca di dalam
atmosfer (Wolff 2009).
Sebagai ekosistem dasar laut terumbu karang dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan
hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri atas
satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang
terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu
yang disebut koloni. Karang (corals) dibedakan kedalam dua kelompok yaitu
hermatypic dan ahermatypic. Karang hermatypic membentuk terumbu sementara
ahermatypic tidak, pada kebanyakan karang hermatypic di dalam jaringannya
terdapat sel alga yang bersimbiosis dan hidup bersama yaitu zooxanthellae yang
tidak dimiliki oleh kebanyakan karang ahermatypic (Nybakken 1997).
Terdapat tiga tipe struktur terumbu karang di Indonesia, yaitu terumbu tepi
(fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef) dan terumbu berbentuk cincin
atau atol (atoll). Terumbu tepi adalah terumbu karang yang berada dekat dan
sejajar dengan garis pantai. Terumbu penghalang serupa dengan terumbu tepi,
dengan kekecualian jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan
cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh peraian yang dalam. Atol adalah
12
terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau)
dengan kedalaman mencapai 45 meter. Selain ketiga kelompok besar tersebut, di
Indonesia terdapat jenis terumbu gosong (patch reef), seperti terumbu karang di
Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa (Dahuri 2003).
Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem pantai yang
memiliki kenakeragaman hayati dan produktivitas yang tinggi. Tingginya tingkat
keanekaragaman disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang
terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal
yang cukup luas dan terdiri atas berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan
sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem
yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Indonesia merupakan
pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral
Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies (Dermawan dan
Mulyana 2008). Nilai produksi primer bersih terumbu karang berkisar 300–5.000
g C (Carbon) m-2 tahun-1, lebih tinggi daripada ekosistem sekitarnya, yaitu hanya
sebesar 20–40 C m-2 tahun-1 (Dahuri 2003). Tingginya produktivitas primer di
perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat
pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan
(feeding ground) dari kebanyakan ikan. Sehingga secara langsung produktivitas
sekunder dari hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster),
dan kerang-kerangan yang berasosiasi dengannya menjadi tinggi pula. Menurut
WWF (1994) in Supriharyono (2008) menyatakan bahwa hasil produksi perikanan
karang bisa mencapai sekitar 10–30 ton/km2/tahun. Dengan luas area karang di
Indonesia sekitar 50.000 km2, maka produksi tahunan ikan karang di Indonesia
mencapai 500.000 – 1.500.000 ton.
Ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis
yang sangat penting diantaranya adalah: (a) pelindung pantai dari hempasan
gelombang, (b) habitat bagi berbagai jenis biota laut, (c) nursery, feeding dan
spawning ground bagi biota laut, (d) penyuplai bahan organik, (e) sumber
biodiversitas dan segala potensinya, (f) peredam proses pemadaman global
melalui mekanisme penyerapan karbon dari udara menjadi deposit karbon di
13
sedimen, (g) penyedia sumberdaya perikanan ekonomis penting, (h) penyedia
bahan makanan dan obat-obatan, dan (i) daerah pariwisata laut yang sangat indah
(Kusumastanto et al. 2006).
Terumbu karang yang masih baik mempunyai nilai estetika yang tinggi
dan dapat dimanfaatkan pula untuk mendorong industri pariwisata laut. Kegiatan
pariwisata laut yang memberikan kesempatan orang untuk menyelam, mengamati
dan memotret kekayaan serta keindahan bawah air ini tampak semakin
berkembang di Indonesia dan dapat merupakan sumber penghasil devisa (Nontji
2007).
Melihat pentingnya terumbu karang baik sebagai ekosistem maupun
sebagai sumberdaya ekonomi maka perlu untuk menjaga kelestariannya. Sekali
terumbu karang hancur, maka akan sangat sulit dan memerlukan waktu yang
sangat lama untuk memulihkannya kembali seperti sedia kala, itu pun bila masih
mungkin.
2.2 Ikan Karang
Pada daerah terumbu karang, organisme yang paling banyak ditemukan
dalam jumlah besar adalah dari jenis ikan. Sekitar satu pertiga bagian dari semua
spesies ikan hidup pada terumbu karang, sedangkan lainnya memiliki
ketergantungan pada karang, lamun dan mangrove dalam siklus hidupnya
(Hinrichsen 1998, in Dirhamsyah 2005). Indonesia diyakini merupakan salah satu
wilayah di dunia yang kaya akan ikan karang, sekalipun belum ada publikasi yang
komprehensif tentang daftar ikan karang, Indonesia memiliki biodiversitas karang
tertinggi di dunia, terutama di wilayah Indonesia bagian Timur (Allen 2002, in
Dirhamsyah 2005). Dengan jumlahnya yang besar ini, ikan karang menjadi
penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken
1997). Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi
keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu
karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan
berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya.
Kelompok-kelompok penting ikan karang meliputi kerapu (groupers), baronang
(rabbit fish), kakatua (parrot fish), surgeon fish, kuniran (goat fish), jacks, hiu
14
(shark), pari (ray fish), squirre fish, belut laut (eels), croackers, tigawaja (drums),
grunts, priacanthids, dan rudder fish (Supriharyono 2007). Keberadaan ikan
karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang
ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Menurut penelitian kondisi
terumbu karang dengan sistem penangkapan ikan karang secara tradisional
memiliki kondisi karang yang lebih sehat (Hoffman 2002).
Ikan karang terbagi kedalam tiga kelompok yaitu: (1) kelompok ikan
indikator, yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan
terumbu karang di suatu perairan seperti famili Chaetodontidae; (2) ikan target,
yaitu ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti
famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; dan (3) kelompok ikan
mayor, yaitu kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan, karena peran
lainnya belum diketahui seperti famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,
Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae (Adrim 1993).
Semua jenis ikan pada terumbu karang masuk ke dalam jaring-jaring
makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari
hubungan mangsa-dimangsa. Beberapa kelompok ikan sangat penting bagi
terumbu karang. Ikan kupu-kupu misalnya, yang memakan hanya polip karang.
Ikan ini hanya hadir kalau terdapat karang hidup dan dapat digunakan sebagai
indikator kesehatan dan tutupan karang dengan melihat keanekaragaman jenis dan
banyaknya ikan ini. Ikan kakatua memakan karang dan batuan kapur, dan
membuang butiran-butiran putih yang telah digerus oleh penggiling farengialnya,
mereka penyebab penting erosi terumbu dan pembentuk pasir. Seekor ikan
kakatua dewasa dapat menimbun 500 kg pasir karang/tahun pada terumbu
(Romimohtarto dan Sri 2007).
Pada wilayah kawasan konservasi komunitas ikan dan total biomass ikan
karang lebih besar dibanding komunitas ikan dan biomass ikan diluar kawasan
konservasi. Penelitian ini diteliti dengan melakukan pengamatan underwater
visual cencus (UVC) (Pet-Soede et al. 2001). Berdasarkan hasil penilaian dari 112
penelitian yang dilakukan di 80 kawasan konservasi memperlihatkan peningkatan
ukuran (size) individu dari sebuah organisme, peningkatan biomass dan
keanekaragaman spesies, dan yang lebih mengejutkan lagi dari penelitian ini
15
adalah peningkatannya terjadi pada jarak 1-3 tahun (Briggs 2005). Menurut
Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007) in Rudi et al. (2009) menyatakan
bahwa kelimpahan spesies, kepadatan dan biomassa ikan pada wilayah yang
mendapat perlindungan lebih tinggi dan lebih signifikan secara statistik dibanding
dengan wilayah yang tidak dilindungi.
2.3 Degradasi Ekosistem Terumbu Karang
Secara umum, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan
antropogenik dan gangguan alam. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa
kerusakan terumbu karang utamanya disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan
oleh aktivitas manusia (Nontji 1999, in Kunzman 2002). Dampak dari
antropogenik terhadap terumbu karang dapat terjadi baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kegitan manusia yang memiliki dampak negatif terhadap terumbu
karang adalah kegiatan penambangan karang, penangkapan ikan yang merusak,
polusi (run off dan tumpahan minyak), pembangunan wilayah pesisir dan
wisatawan yang tidak terkontrol (Nontji 2000). Menurut Burke et al. (2002)
beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu: 1) Pembangunan di wilayah
pesisir yang tidak dikelola dengan baik; 2) akivitas di laut antara lain dari kapal
dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar; 3) penebangan
hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi;
4) penangkapan ikan secara berlebihan; 5) penangkapan ikan dengan
menggunakan bom atau racun; dan 6) perubahan iklim global. Burke et al. (2002)
menambahkan ancaman utama bagi terumbu karang di Indonesia adalah
penangkapan ikan secara berlebihan dan penangkapan ikan yang merusak.
Persentase ancaman akibat penangkapan ikan secara berlebihan dapat mencapai
64% dari luas keseluruhan, dan mencapai 53% akibat penangkapan ikan dengan
metode yang merusak.
Aktivitas antropogenik memberikan gangguan yang terus menerus,
sementara gangguan dari alam terjadi secara sporadis sehingga perlu waktu yang
cukup lama bagi terumbu karang untuk kembali pada kondisi semula. Beberapa
gangguan alam diantaranya: angin topan, El Nino, gempa bumi dan tsunami, serta
predator.
16
Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia
baik di daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di
daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan
dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga pada ekosistem
terumbu karang atau pesisir dan lautan. Menurut UNEP (1990) in Dahuri et al.
(2001) sebagian besar (80%) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari
kegiatan manusia di daratan (land basic activities).
Secara rinci Bengen (2001) merinci dampak kerusakan terumbu karang
sebagai akibat kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan lautan seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang
No. Kegiatan Dampak Potensial1. Penambangan karang dengan
atau tanpa bahan peledakPerusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu
2. Pembuangan limbah panas Meningkatnya suhu air 5-10 oC di atas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota lainnya.
3. Pengundulan hutan di lahan atas
Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip.
4. Pengerukan di sekitar terumbu karang
Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.
5. Kepariwisataan • Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan• Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.• Kerusakan fisik karang karena jangkar kapal• Rusaknya karang oleh penyelam.• Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.
6. Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)
Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata.
7. Penangkapan ikan dengan bahan peledak
Mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang.
Sumber: Bengen 2001
Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar–besaran
dengan bahan peledak dan sianida di Indonesia. Penyebabnya adalah permintaan
yang tinggi terhadap ikan karang terutama jenis kerapu (groupers) maupun ikan
Napoleon wrasse. Ikan karang memiliki nilai pasar yang tinggi berkisar US$ 60-
17
180 per kilo sehingga menyebabkan perburuan ikan karang hampir di seluruh
perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini mau tidak mau
supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah, sehingga masyarakat
beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan sianida.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak berlangsung sejak Tahun 1930 dan
merupakan kegiatan ilegal, menyebar selama terjadinya perang dunia II dimana
bahan peledak mudah didapatkan.
Jika berbagai ancaman terhadap terumbu karang terjadi, maka kerugian
yang dialami negara akan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Agar
lebih jelas dapat dilihat data-data pada Tabel 2.
Tabel 2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang (dalam ribuan US$ km-2)
Fungsi/ Ancaman
Manfaat bersih jumlah manfaat
Kerugian bagi Negara
PerikananPerlindungan pantai
PariwisataLain-nya (*)
Jumlah kerugian (**)
Penangkapan ikan dengan bahan racun
33,3 40,2 0,0 2,6-435,6 n.q 42,8-475,6
Penangkapan ikan dengan peledak
14,6 86,3 8,9-193,0 2,9-481,9 n.q 98,1-761,2
Pengambilan batu karang 121,0 93,6 12,0-260,0 2,9-481,9 >67
(**) 175,5-902,5
Sedimentasi– penebangan kayu
98,0 81,0 - 192,0 n.q 273,0
Sedimentasi- perkotaan n.q n.q n.q n.q n.q n.q
Penangkapan ikan berlebihan
38,5 108,8 - n.q n.q 108,9
Sumber: Cesar (1996) in Dahuri 2003
Keterangan : Selang menunjukkan lokasi nilai rendah dan tinggi atas nilai potensi pariwisata dan perlindungan pantain.q tidak dapat dihitung(*) mencakup kerugian kehilangan pengamanan pangan dan nilai kenaekaragaman hayati (tidak dapat dihitung)(**) kerusakan hutan yang disebabkan oleh pengambilan kayu untuk pengolahan batu kapur (karang) diperkirakan US$ 67.000
Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas
masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi terhalang dari
18
penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila
penutupan lahan seperti reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi
yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang
dibuang ke perairan. Menurut penelitian Cesar (2000) biaya polusi dan sampah
kota selama 1 (satu) tahun di Indonesia adalah 987 milyar US$. Sedangkan
keuntungan dari pariwisata adalah 101 milyar USD, dari perikanan 221 milyar
US$, dan kesehatan (farmasi) sebesar 4,8 milyar US$ Sehingga total manfaat
yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang adalah 327 milyar US$, atau
sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar US$.
2.4 Pengelolaan Terumbu Karang
Sumberdaya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat terbatas dan
dapat mengalami kerusakan, maka sumberdaya ini perlu dikelola untuk menjamin
bahwa sumberdaya dimanfaatkan secara berkesinambungan dan bertanggung
jawab, dan potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien yang
membuat keuntungan menjadi kecil bahkan tidak ada lagi (Suadi dan Widodo
2006). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang, terutama
dari aktivitas antropogenik, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu
karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan
tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara
bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.
Penurunan kondisi terumbu karang yang berkelanjutan sudah menjadi
kenyataan yang menyedihkan bagi para ilmuwan biologi, konservasionis, dan
semua pihak yang memberi nilai terhadap keberadaannya. Banyak terumbu
karang yang sudah menjadi patahan-patahan sehingga terjadi perubahan fase pada
berkembangnya alga dan rumput laut (seaweeds). Beberapa tahun belakangan,
banyak penelitian mengarah kepada pengidentifikasian karakteristik lokasi
konservasi yang harus segera mendapat perhatian, utamanya di daerah tropis yang
merupakan wilayah sebaran terumbu karang (Briggs 2005).
Salah satu cara dan mungkin satu-satunya cara untuk melindungi
kepulauan karang adalah dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL).
Sistem zonasi yang diberlakukan di dalam penerapan sebuah Kawasan Konservasi
19
Laut terbukti dapat diterapkan dalam kerangka menuju pemanfaatan yang
berkelanjutan seperti dengan adanya zona inti, zona berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan zona lainnya (Wolff 2009).
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang mengandung sumber
daya alam yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia, oleh karena itu
diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber
daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman. Tanpa
menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang
akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi
oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya. Karena itu pengelolaan
sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan
memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang
harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber
daya laut ini. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu
karang sangat penting mulai dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
sampai pada tahap evaluasi dari suatu cara pengelolaan.
Nontji (2000) menyatakan bahwa degradasi terumbu karang di Indonesia
terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang,
lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar institusi, adanya tekanan
terhadap terumbu karang dari masyarakat pesisir dan lemahnya kebijakan nasional
tentang pengelolaan terumbu karang.
Dalam hal kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, pemerintah
membuat suatu pedoman umum pengelolaan terumbu karang melalui Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai
acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.
Tujuan pedoman umum ini adalah:
20
1) mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi
pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan
daya dukung lingkungan;
2) mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi
nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang;
3) mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak;
4) melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal;
5) menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan
berkesinambungan.
2.5 Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan suatu kawasan yang
berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di
dalam kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap
kawasan konservasi laut yang terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun
belakangan ini, baik gangguan dari alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia.
Salah satu langkah yang nyata dalam mengurangi berbagai gangguan tersebut
adalah penetapan kawasan konservasi laut (Dermawan dan Suraji 2006).
Pengertian KKL diusulkan oleh Komite Nasional Konservasi Laut
(KOMNASKOLAUT) sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area
(MPA). Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa
kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia , definisi kategori
tersebut adalah sebagai berikut (Dermawan 2006) :
“Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta
termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang
dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi
seluruh atau sebagian wilayah tersebut.”
Menurut IUCN (1994) in Supriharyono (2007) ada beberapa tujuan
kawasan konservasi laut, yaitu ; (1) melindungi dan mengelola sistem laut dan
estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang
dan mempertahankan keanekaragaman genetik; (2) untuk melindungi penurunan,
21
tekanan, populasi dan spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk
kelangsungan hidup mereka; (3) mencegah aktivitas luar yang memungkinkan
kerusakan kawasan konservasi laut; (4) memberikan kesejateraan yang terus
menerus kepada masyarakat dengan menciptakan konservasi laut; dan (5)
menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi
aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan, Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, disebutkan jenis-jenis
dari Kawasan Konservasi Perairan, yaitu:
1) Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang
mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
pengkajian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang
perikanan yang berkelanjutan, wisata bahari dan rekreasi.
2) Taman Wisata Perairan adalah kawasan perairan dengan tujuan utama
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan
ekosistemnya.
4) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang
berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Menurut Dahuri (2003), masalah yang mendasar dalam pengelolaan
kawasan konservasi laut adalah (1) batasan hukum kawasan konservasi; (2)
perusakan habitat; (3) penangkapan yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati;
(4) polusi dan sedimentasi; (5) kurangnya fasilitas dan infrastruktur; (6) lemahnya
keikutsertaan dan kesadaran masyarakat lokal; (7) rendahnya keahlian SDM yang
ada; dan (8) lemahnya komitmen politik.
2.6 Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang
22
Dalam melakukan penelitian terhadap suatu wilayah, perhatian terhadap
masyarakat dan institusi yang mengatur wilayah tersebut merupakan hal yang
penting. Banyak penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil
dengan mengedepankan interaksi antara masyarakat dengan institusinya. Dalam
kaitan ini, stakeholder menjadi sangat penting (Budiharsono et al. 2006).
Freeman (1984) in Budiharsono et al. (2006) mendefinisikan stakeholder
sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi
oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) mendefinisikan
stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada
permasalahan. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu
dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi
posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999, in Budiharsono
et al. 2006).
Salah satu pendekatan dalam mengklasifikasikan model pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah berdasarkan tingkat pengendalian stakeholder.
Dalam pendekatan ini, Jentoft (1989) diacu dalam Satria (2002)
mengklasifikasikannya menjadi tiga, yakni pemerintah (command and control),
community based-management (CBM) dan Co-Management.
Model command and control merupakan model konvensional. Dalam hal
ini, pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya perikanan,
khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal
yang dimilikinya. Nelayan atau pelaku usaha perikanan tidak mendapat
kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan. Dengan
demikian proses pengelolaan sumberdaya perikanan berlangsung secara
sentralistik. Model community based-management (CBM) atau pengelolaan yang
berbasis pada masyarakat yang merupakan kebalikan dari model command and
control. Dalam CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nelayan atau
pelaku usaha perikanan di suatu wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya
informal. Dalam model ini, partisipasi nelayan sangatlah tinggi dan mereka
memiliki otonomi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Terakhir
adalah model co-management yang akhir-akhir ini terus disosialisasikan. Model
ini merupakan sintesis dari dua model sebelumnya. Dalam model ini, pemerintah
23
dan masyarakat yang seringkali diawali organisasi nelayan atau koperasi
perikanan bersama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya mulai dari
perencanaan hingga pengawasan (Satria 2002).
Analisis stakeholder adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi
mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan
menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang
memungkinkan terjadinya trade-off.
2.7 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan, sehingga kebijakan dapat dimanfaatkan ditingkat politik
dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 2001). Kebijakan
adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan
maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan
keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang
ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi
dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah.
Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah:
“Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara
pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara
terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non
pemerintah”.
Tujuan kebijakan umum pengelolaan terumbu karang nasional adalah
terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan keseimbangan antara
pemanfaatan dan kelestariannya yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu
dan sinergis oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, swasta,
perguruan tinggi serta lembaga non pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan
suatu upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai isu dan permasalahan yang
menjadi penyebab terbesar semakin terdegradasinya ekosistem terumbu karang di
Indonesia.
24
Kebijakan umum sebagaimana tersebut di atas, dijabarkan menjadi tujuh
kebijakan operasional sebagai berikut (Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004):
a. Kebijakan 1
Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi
ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang
kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem
tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan
internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.
b. Kebijakan 2
Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan meningkatkan
hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan
melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang
berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam
yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik
biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.
c. Kebijakan 3
Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk
mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya
alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian
fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
d. Kebijakan 4
Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang
yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi,
pengawasan dan penegakan hukum.
e. Kebijakan 5
25
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan
kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya
masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem
terumbu karang dan lingkungan sekitar.
f. Kebijakan 6
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem
informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu
karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama
internasional.
g. Kebijakan 7
Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem
terumbu karang.
Kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori
deskriftif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan
yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk
memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan
mengontrol dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Walaupun demikian
analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan suatu masalah dan juga
menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai serta arah tindakan yang lebih baik.
Jadi analisis kebijakan mencakup kegiatan evaluasi dan anjuran kebijakan.
Quandun in Dunn (2001) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah
setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat
menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka.
Kata “analisis” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak
langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup
tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-
komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif
baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap
masalah atau isu yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah
selesai.
Dalam analisis kebijakan terdapat tiga pendekatan yaitu:
26
1. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat
dari kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu
apakah sesuatu itu ada?
2. Pendekatan evaluatif, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan
penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya
adalah berapa nilai sesuatu?
3. Pendekatan normatif, adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan
pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan.
Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan?
3 METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau
Biawak dan sekitarnya yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten
Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi titik-titik pengamatan ditentukan
berdasarkan keterwakilan lokasi dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan
dan penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan data. Pengamatan ekosistem
terumbu karang yang dilakukan di Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi menjadi 5
(lima) stasiun (Tabel 3) pengamatan yang terdiri dari:
1) Pulau Biawak diwakili tiga stasiun,
2) Pulau Gosong diwakili satu stasiun,
3) Pulau Candikian diwakili satu stasiun.
Tabel 3 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan
Stasiun Lokasi Koordinat
1 Bagian Barat Pulau Biawak 05˚55'43.38'' LS
108˚22'14.3'' BT
2 Bagian Selatan Pulau Biawak 05˚56'16.9'' LS
108˚22'54.5'' BT
3 Bagian Utara Pulau Biawak 05˚55'27.3'' LS
108˚22'52.5'' BT
4 Pulau Gosong 05˚51'49.9'' LS
108˚23'22.4'' BT
5 Pulau Candikian 05˚48'19.5'' LS
108˚25'34.2'' BT
Sebagai acuan dalam menentukan lokasi titik pengamatan, digunakan peta
dasar Indonesia untuk wilayah Jawa-Pantai Utara (Tanjung Priok hingga Cirebon)
lembar II nomor 79 dengan skala 1:200.000 yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro-
Oseanografi tahun 2003. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Mei–Agustus 2010. KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya yang terletak di sebelah utara Indramayu, yaitu
sekitar 26 mil (±50 km). Akses menuju pulau ini berasal dari beberapa daerah
sekitarnya, misalnya Desa Brondong dan Desa Karangsong. Untuk menuju pulau
28
tersebut harus memakai perahu yang disewa dari nelayan karena belum ada
angkutan khusus yang berangkat setiap hari.
Pengamatan ekosistem terumbu karang di wilayah KKLD dilakukan pada
waktu siang hari dari pukul 09.00-16.00 WIB. Pengambilan data sosial dilakukan
di sekitar Kabupaten Indramayu dengan melibatkan instansi pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat nelayan sekitar KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya.
(digambar ulang dari peta dasar Indonesia no.79 Dinas Hidro Oseanografi 2003).
Gambar 2 Peta stasiun pengamatan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam kajian tesis ini terdiri dari dua jenis data yaitu
data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan
dari kajian berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti buku-
29
buku yang dipublikasikan, hasil penelitian yang terkait, laporan, serta bahan
publikasi lainnya. Pengumpulan data pada kajian tesis ini mengandung 2 (dua)
jenis pengumpulan data yaitu pengumpulan data biofisik dan pengumpulan data
sosial ekonomi.
a) Pengumpulan data biofisik
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data lifeform komunitas
karang, ikan karang dan benthos. Pengambilan data lifeform terumbu karang
diambil dengan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung (TGM) dari
English et al. (1997), dengan beberapa modifikasi. Pengamatan dilakukan pada
dua kedalaman yaitu 3 m dan 10 m, masing-masing kedalaman diletakkan 3
transek masing-masing berukuran 20 m dari 0-20 m (titik sampling 1), 25-45 m
(titik sampling 2) dan 50-70 m (titik sampling 3) dengan jarak antar transek 5 m
yang terletak pada satu garis sepanjang 70 m sejajar pantai. Masing-masing
transek dihitung sebagai 1 (satu) titik sampling (Gambar 3). Semua biota dan
substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga
sentimeter.
Metode pengamatan yang digunakan dalam pengumpulan data ikan karang
adalah dengan metode underwater visual census (UVC), dimana ikan-ikan yang
terlihat di dalam transek dicatat jenis dan jumlahnya. Posisi transek ini sama
dengan posisi garis transek pada pengamatan tutupan terumbu karang. Ikan karang
yang diambil datanya untuk dicatat adalah ikan-ikan yang berada di wilayah
transek pada saat pengambilan data dilakukan. Ikan-ikan yang ditemui dicatat.
Sensus dilakukan dengan radius pandang 2,5 m ke sebelah kiri dan 2,5 m ke
sebelah kanan garis transek yang telah dipasang 3 buah dari 0-20 m (titik
sampling 1), 25-45 m (titik sampling 2), dan 50-70 m (titik sampling 3), sehingga
luas bidang yang teramati pada setiap transeknya adalah 5 m x 20 m = 100 m2.
Jenis dan kepadatan individu ikan karang diamati pada setiap transek. Spesies
ikan yang didata dikelompokkan kedalam tiga kelompok utama, yaitu: ikan target,
ikan indikator dan ikan major (English et al. 1997).
Pengumpulan data benthos dilakukan untuk menghitung jumlah biota
bentik yang hidup berasosiasi dan berperan dalam menunjang tingkat kesuburan
30
karang dan terumbu karang (Manuputty et al. 2006). Peralatan dan bahan yang
digunakan sama dengan metode TGM. Sampling dilakukan setelah kegiatan
TGM, dengan metode reef check benthos (RCB), yaitu berupa transek yang sama
sepanjang 70 m dengan lebar 1 meter ke kanan dan 1 meter ke kiri dari garis
transek yang telah dipasang 3 buah dari 0-20 m (titik sampling 1), 25-45 m (titik
sampling 2), dan 50-70 m (titik sampling 3). Total bidang pengambilan dan
pencatatan biota bentik: (2x20) m2 = 40 m
2.
Penyelaman untuk pengumpulan data karang, ikan dan benthos dilakukan
dengan satu kali penyelaman dan sau kali pencatatan data pada satu transek/titik
sampling yang diambil datanya.
Gambar 3 Metode pengumpulan data karang, ikan karang dan benthos.
b) Pengumpulan data sosial ekonomi
Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan metode
wawancara/interview dan kuesioner untuk mendapatkan data stakeholder,
kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang dan persepsi masyarakat
terhadap pengelolaan terumbu karang. Wawancara dimaksudkan untuk
mendapatkan keterangan dari responden yang tinggal di sekitar lokasi penelitian
dengan berpedoman pada suatu daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun
sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut Hadi dan Sudharto (2005) wawancara
dapat dilakukan dengan beberapa cara:
31
1) Wawancara bebas atau tanpa pedoman pertanyaan. Wawancara bebas
dapat dilakukan pada waktu peninjauan di lapangan dimana peneliti
menginventarisir issu dan permasalahan.
2) Wawancara dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Pedoman
digunakan sebagai panduan dalam wawancara. Wawancara dilakukan
secara terstruktur, yaitu dengan menggunakan pedoman pertanyaan
untuk menghimpun data dari responden.
Pengumpulan data stakeholder dilakukan dengan cara : (1)
mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman (berkaitan dengan perencanaan
kebijaksanaan) dan berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian.
Hasilnya berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait pengelolaan
ekosistem terumbu karang, (2) identifikasi stakeholder menggunakan pendekatan
partisipatif dengan teknik snow ball dimana setiap stakeholder mengidentifikasi
stakeholder lainnya. Berdiskusi dengan stakeholder yang teridentifikasi
pertamakali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan
stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya. Metode ini dapat membantu
pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan
stakeholder. Stakeholder penentu (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif),
stakeholder penunjang (LSM, Perguruan Tinggi, pengusaha dan lembaga donor
swasta), stakeholder kunci (nelayan, dan lainnya dimana sumber ekonominya
sangat bergantung dengan KKL).
Pengumpulan data untuk menentukan prioritas kebijakan operasional
pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner.
Responden terdiri dari pengambil kebijakan, pakar dan praktisi yang terkait
dengan pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, seperti pemerintah,
DPRD, Bappeda, LSM, Perguruan Tinggi, pakar lingkungan, dan tokoh
masyarakat.
Pengumpulan data terhadap persepsi masyarakat terkait pengelolaan
terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dengan metode
wawancara dan kuesioner. Responden merupakan stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Pemilihan
responden menggunakan teknik purpossive sampling, sehingga pemilihan
32
responden didasarkan atas ciri-ciri responden yang sudah diketahui sebelumnya.
Penetapan ini didasari atas informasi yang mendahului tentang keadaan responden
(Hadi 2005). Sampel diambil dengan maksud dan tujuan tertentu, dimana
seseorang diambil sebagai responden karena dianggap memiliki informasi yang
diperlukan dalam penelitian. Pemilihan responden berdasarkan kelompok kunci
dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Responden yang dipilih secara purpossive sebanyak 50 responden yang terdiri
dari pemerintah daerah (14 orang), DPRD (1 orang), Bappeda (1 orang),
perguruan tinggi (3 orang), LSM (2 orang), swasta (1 orang), organisasi
mahasiswa (4 orang) dan masyarakat sekitar lokasi penelitian (20 orang).
3.3 Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis berdasarkan jenisnya.
Adapun analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Persentase tutupan karang
Analisis persentase tutupan karang hidup berdasarkan metode TGM
dihitung dengan formulasi English et al. (1997) yaitu:
li
Ni = x 100%
L
Dimana: Ni = persen penutupan karang
li = panjang total lifeform/jenis ke-i
L = panjang transek (70 m)
Untuk menilai kondisi tutupan karang, digunakan kategori berdasarkan
publikasi oleh Gomez et al. (1994) dimana untuk persentase tutupan karang
hidup sebagai berikut (Tabel 4):
Tabel 4 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup
Persentase tutupan Kategori
0 – 24,9 % Buruk
25 – 49,9 % Sedang
50 – 74,9 % Baik
75 – 100 % Sangat baik
33
b) Analisis ikan karang
Untuk mengetahui kelimpahan masing-masing ikan karang dengan jumlah
stasiun ke-i, bisa dihitung kelimpahannya per satuan unit dengan rumus:
∑ind. Jenis ikan karang pada sts ke-i
Kelimpahan jenis ikan =
Luas transek
Komunitas ikan karang yang teramati dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok utama (English et al. 1997) yaitu: Ikan target, ikan indikator dan ikan
major. Kelompok ikan target adalah ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis
dan hidup berasosiasi dengan perairan terumbu karang; Kelompok ikan indikator
adalah ikan yang hidupnya berasosiasi sangat erat dengan terumbu karang, seperti
ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae; Kelompok ikan major adalah semua
ikan yang tidak termasuk di kedua kelompok tersebut, yang pada umumnya
berupa ikan-ikan berukuran kecil yang dimanfaatkan sebagai ikan hias, kelompok
ikan ini biasanya bergerombol dalam jumlah individu yang sangat banyak.
Untuk menilai kelimpahan ikan karang di lokasi pengamatan, digunakan
kategori menurut Djamali dan Darsono (2005) in Sumadiharga et al. (2006)
sebagai berikut (Tabel 5):
Tabel 5 Kategori kelimpahan ikan karang
Kelimpahan ikan (ind/ha) Kategori
>10.000 Sangat melimpah
4.000 – 10.000 Melimpah
2.000 – 4.000 Kurang melimpah
1.000 – 2.000 Jarang
200 – 1.000 Sangat jarang
c) Analisis benthos
Untuk mengetahui kelimpahan masing-masing makrobenthos dengan
jumlah stasiun ke-i, bisa dihitung kelimpahannya per satuan unit dengan rumus:
∑ind. benthos pada sts ke-i
Kelimpahan benthos =
Luas transek
Untuk perhitungan analisis ekologis persentase tutupan karang,
kelimpahan ikan karang dan kelimpahan benthos dilakukan dengan Ms. Excel
2007.
34
3.4 Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder merupakan suatu sistem untuk mengumpulkan
informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan
informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi
yang memungkinkan terjadinya trade-off.
Berdasarkan identifikasi stakeholder tersebut dilakukan analisis
kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) masing-masing stakeholder
dalam kaitan dengan kebijakan operasional pengelolaan ekosistem terumbu
karang. Kepentingan merujuk pada peran seorang stakeholder di dalam
pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap
keputusan yang akan dibuat, sedangkan pengaruh merujuk pada kekuatan yang
dimiliki seorang stakeholder yang teridentifikasi dari hasil analisis stakeholder.
Langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholder adalah
(Budiharsono et al. 2006):
1) Identifikasi stakeholder, melakukan identifikasi stakeholder terkait
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dan
membuat daftar stakeholder.
2) Membuat tabel stakeholder, daftar stakeholder dimasukan dalam tabel
stakeholder untuk dilakukan analisis terhadap peran dan pengaruh masing-
masing stakeholder.
UNSUR STAKEHOLDER
Unsur A Stakeholder A
Unsur B Stakeholder B
Unsur C Stakeholder C
Unsur D Stakeholder D
dan seterusnya dan seterusnya
Gambar 4 Contoh tabel stakeholder dalam analisis stakeholder.
3) Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholder, pengaruh dan
kepentingan stakeholder dianalisis dengan format analisis stakeholder
LGA Romania, RTI 2001 (Chetwynd dan Chetwynd 2001).
35
Kelompok
Stakeholder
Peran dalam
kegiatan
Pelaksana
Pengorganisir
Pembuat
keputusan
Pemanfaat
Pengontrol
Pendukung
penentang
Pengaruh kegiatan
terhadap kepentingan
stakeholder
T = tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Pengaruh stakeholder terhadap
keberhasilan kegiatan
T = tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Tahap
penyiapan
Tahap
pelaksanaan
Stakeholder A
Stakeholder B
dan seterusnya
Gambar 5 Contoh format analisis stakeholder.
4) Membuat stakeholder grid, stakeholder yang sudah di analisis dengan
analisis stakeholder, dikelompokkan sesuai dengan pengaruh dan
kepentingannya.
Pengaruh
Rendah
Pengaruh
Tinggi
Kepentingan
Tinggi
Kelompok Stakeholder
yang penting namun
barangkali perlu pemberdayaan
Kelompok stakeholder yang
paling kritis
Kepentingan
Rendah
Kelompok stakeholder
yang paling rendah prioritasnya
Kelompok yang bermanfaat
untuk merumusan atau menjembatani keputusan dan
opini
Gambar 6 Format stakeholder grid dalam analisis stakeholder.
5) Menyepakati hasil analisis dengan stakeholder utama
3.5 Analisis Kebijakan
Metode yang digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan operasional
pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah metode A'WOT, yaitu metode yang
merupakan penggabungan antara AHP (analytical hierarchy process) dengan
Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats). Penentuan
faktor-faktor dari setiap komponen SWOT dan pembobotannya diperoleh dari
hasil wawancara dengan responden. Wawancara adalah komunikasi langsung
36
antara peneliti dan informan. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab
dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik informan merupakan pola
media yang melengkapi informasi lisan yang disampaikan oleh informan.
Keputusan alternatif dievaluasi dengan respek untuk masing-masing faktor
SWOT dengan penggunaan AHP. Dalam hal ini, analisis SWOT digunakan
sebagai frame dasar yang akan menghasilkan keputusan situasional, sedangkan
AHP digunakan untuk membantu meningkatkan analisis SWOT dalam
mengelaborasikan hasil analisis sehingga keputusan kebijakan operasional
pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat diprioritaskan. Penentuan faktor-
faktor masing-masing komponen SWOT dilakukan secara partisipatoris. Setelah
dilakukan penentuan faktor-faktor, SWOT kemudian dilakukan analisis AHP.
Dalam Analisis AHP juga digunakan AHP partisipatif, yaitu respondennya adalah
seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Tahapan metode A'WOT adalah: (1) Mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
dengan metode SWOT; dan (2) Melakukan analytical hierarchy process (AHP).
Hirarki A'WOT penentuan kebijakan operasional pengelolaan ekosistem terumbu
karang pada Gambar 7. Selanjutnya data yang sudah diperoleh diolah dengan
menggunakan program komputer Expert Choice 2000 (Budiharsono et al. 2006).
Gambar 7 Hirarki analisis A’WOT.
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya terletak di
perairan sebelah utara Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Secara
administratif, KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terletak di Kecamatan Kota
Indramayu, Kabupaten Indramayu. KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya meliputi
Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Secara geografis Pulau
Biawak terletak pada posisi 05o56’022’’ LS dan 108
o22’015’’ BT, Pulau Gosong
terletak pada posisi 5o52’076” LS dan 108
o24’337’’ BT dan Pulau Candikian
terletak 5o48’089” LS dan 108
o24’487’’ BT. Berdasarkan rencana pengelolaan
(management plan) KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya tahun 2005, luas total
KKLD Kabupaten Indramayu ±15.540 ha, yang terdiri atas luas wilayah perairan
±14.798 ha dan luas daratan ±742 ha (Pulau Biawak ± 130 ha, Pulau Gosong
±312 ha dan Pulau Candikian ±300 ha).
Pulau Biawak terletak di lepas pantai Laut Jawa, terletak 26 mil (±50 km)
di sebelah utara pantai Indramayu. Keadaan topografi datar, beberapa bagian
pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut terutama pada saat pasang
naik. Panjang pulau dari timur ke barat ± 1 km dan dari utara ke selatan ± 0,5 km.
Pulau ini dinamakan Pulau Biawak karena di pulau ini hidup satwa endemik yaitu
Biawak (Varanus salvator).
Sumber foto: Foto survei, 2010 Gambar 8 Satwa endemik di Pulau Biawak (Biawak dari jenis Varanus salvator).
38
Di Pulau Biawak tidak terdapat perkampungan, yang bermukim hanya
petugas penjaga mercusuar dari Direktorat Jendral Perhubungan Laut. Para
petugas bergilir untuk masa-masa tertentu. Pada umumnya setiap 6 (enam) bulan
mereka menjaga mercusuar. Mercusuar dibangun pada tahun 1872 dan diresmikan
oleh Z.M. Willem III. Menara ini merupakan salah satu daya tarik pengunjung
(obyek wisata).
Kondisi pulau yang jaraknya relatif jauh dari daratan Indramayu (Pulau
Jawa) menjadikan pulau ini jarang dikunjungi terkecuali nelayan-nelayan yang
melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan pulau tersebut, sedangkan pada
Pulau Gosong dan Pulau Candikian sama sekali tidak ada manusia yang
menghuni. Kedua pulau tersebut dikunjungi hanya untuk menangkap ikan. Pulau
Biawak dan Pulau Gosong dijadikan tempat berlabuh bagi para nelayan ketika
mereka terkena badai sehingga mereka dapat terhindar dari arus gelombang yang
tinggi.
Sumber foto: Foto survei, 2010
Gambar 9 Gerbang masuk Pulau Biawak.
Pulau Gosong terletak sekitar 7 km dari arah timur laut Pulau Biawak.
Biota laut sebagai komoditi perikanan masih banyak dijumpai. Pulau ini
berbentuk cincin akibat pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan
(Exor I) untuk penimbunan wilayah pantai di kawasan industri pada awal tahun
1990-an. Di pulau ini dijumpai hanya beberapa vegetasi tumbuhan. Pulau ini
merupakan karang dan biasanya muncul pada saat sedang surut.
Pulau Candikian terletak sekitar 14 km arah timur laut Pulau Biawak.
Pulau Candikian sebagian kecil saja daratan yang berada di atas permukaan air
39
laut dan hanya ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan. Pulau Candikian juga
bukan merupakan pulau hutan walaupun luas daratannya lebih besar dari Pulau
Gosong. Jenis tanaman pantai yang ditemukan adalah ketapang dan bakau
(Bruguiera sp). Mangrove yang ada di dominasi oleh jenis Rhizopora sp.
Pulau Biawak merupakan pulau hutan yang banyak ditumbuhi berbagai
jenis bakau sebagai ciri khas ekosistem mangrove. Kondisi ekosistem mangrove
masih baik dengan tumbuhnya berbagai ragam jenis mangrove yang sudah langka
sebagaimana jarang dijumpai di pantai utara Jawa. Jenis-jenis bakau yang tumbuh
diantaranya adalah Sonneratia spp, Avicennia sp, Bruguiera sp, Rhizopora
sp, Ceriops sp, Acanthus sp, Lummitterae, Xylocarpus, Aigicera, Nipa sp, dan
Heriera sp. Sementara di Pulau Gosong terdapat jenis Avicennia sp dan di Pulau
Candikian terdapat jenis Bruguiera sp (Diskanla, 2005).
Pada umumnya kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki kesamaan
morfologis. Formasi geologi wilayah pesisir pantai utara Indramayu terutama
Pulau Biawak tersusun atas batuan sedimen yang terdiri batu-batuan kapur
(karang), dan hancuran batu karang, pasir putih, pasir, campuran hancuran bahan
literit serta jenis batuan pliocene sedimentary facies, alluvium, sedimen kersik
lumpur dan humus yang berasal dari daratan pesisir Indramayu dan Laut Jawa
(Diskanla 2005). Kondisi banjir jarang terjadi, tanah bersifat anaerobik ketebalan
tanah dibawah top soil (0-4 m). Penyebaran ketiga jenis batuan menurut
kedalaman laut adalah sebagai berikut batuan kapur (karang) 0-10 m, batuan pasir
dan karang 10–20 m, batuan pasir dan sedimen lebih dari 20 m.
Wilayah Kabupaten Indramayu beriklim tropis yang mempengaruhi
dominan angin laut yang berhembus sepanjang hari. Pulau Biawak dan sekitarnya
didominasi oleh musim penghujan (Bulan November-Maret) dan musim kemarau
(Bulan Juni-Agustus), dengan adanya pengaruh dominan dua musim angin, yaitu
musim barat (angin baratan) dan musim timur (angin timuran).
Kelembaban udara rata-rata mencapai 80% dengan suhu berkisar 23–32 oC
dan suhu rata-rata 30 oC perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu
besar. Curah hujan disekitar perairan Kabupaten Indramayu bervariasi dengan
nilai rata-rata per tahun sebesar 1.621 mm. Curah hujan bulanan antara 100-400
mm pada musim barat 50–100 pada musim timur (Diskanla 2005).
40
Karakteristik pasang surut campuran cenderung diurnal dengan range
pasang surut sampai 80 cm. Pola pasang yang terjadi adalah tipe diurnal, yaitu
dalam satu hari terjadi dua kali pasang naik dan pasang surut, dengan fluktuasi
berkisar 1-2 meter dan mencapai puncaknya pada saat bulan purnama. Jenis
pasang surut tersebut merupakan tipe umum jenis pasut di perairan Laut Jawa.
Karakteristik pasang surut Cirebon dan sekitarnya mempunyai tipe pasang surut
ganda campuran (Dahuri 1996, in Diskanla 2005). Gerakan pasang surut air laut
menyebabkan terjadinya perubahan permukaan air laut sepanjang pantai secara
teratur setiap hari. Selain angin dan gelombang, pasang surut air laut di tepi
pantai Indramayu mempunyai peranan sangat besar terhadap erosi pantai yang
sangat berpengaruh pada keragaan geomorfologi pantai.
Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung
kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia
dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah kecepatan arus, salinitas,
kecerahan, suhu, dan kedalaman.
Gelombang laut diperairan Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki
spesifikasi tinggi dan arah jalarnya dipengaruhi oleh angin, sedangkan tinggi
gelombang bervariasi antara 0,5-1 m. Ketinggian gelombang pada saat musim
angin barat dapat mencapai 2–3 m. Arah arus di Pulau Biawak dan sekitarnya
secara umum didominasi dari arah timur laut sampai tenggara. Hal ini
menunjukkan bahwa pola arus permukaan di perairan tersebut diakibatkan oleh
pola angin yang terjadi, sebagaimana sifat fisis arus permukaan di perairan Laut
Jawa pada umumnya. Arus di ketiga pulau tersebut cukup tinggi pada waktu angin
barat dan timur, sedangkan arusnya dapat mencapai 5-10 m/det, dan perubahan
pasang surut sekitar 1,5-2 m menurut musim (Diskanla 2005). Arus berdasarkan
hasil pengamatan memiliki rata-rata 0,167 m/det, pada saat pengamatan dilakukan
kondisi perairan relatif tenang.
Variasi salinitas horisontal maupun vertikal pada perairan Pulau Biawak
dan sekitarnya relatif kecil. Data kisaran salinitas rata-rata umumnya berkisar 30-
33 ppm (Diskanla 2005). Berdasarkan pengamatan di lapangan data yang tercatat
berkisar antara 28-33 ppm. Data kisaran derajat keasaman (pH) pada perairan
disekitar Pulau Biawak dan sekitarnya umumnya memiliki nilai pH 7-8.
41
Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukan kemampuan
cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami
kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan fotosintesa. Kecerahan
perairan didapatkan dari perbandingan antara kedalaman secchi disc dengan
kedalaman perairan di kali 100%. Tingkat kecerahan yang berbeda-beda antar
lokasi antara 80-100% (Diskanla 2005). Berdasarkan hasil pengamatan, kecerahan
berkisar antara 80-95%.
Variasi rata-rata temperatur air di Pulau Biawak, Pulau Gosong, dan Pulau
Candikian berkisar antara 28–30 oC (Diskanla 2005). Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan, suhu berkisar antara 26–29 oC. Adanya variasi tersebut
dipengaruhi oleh kedalaman pulau yang bervariasi. Secara umum apabila
kedalaman semakin kecil maka temperatur air laut pada saat siang hari akan
semakin besar, karena adanya pengaruh penetrasi cahaya matahari. Meskipun
demikian karena adanya mekanisme naik turunnya air laut oleh karena pasang
surut maka temperatur perairan akan berkisar pada temperatur normal pada
umumnya.
Tingkat kedalaman perairan laut di Pulau Biawak dan sekitarnya
berdasarkan peta dasar yang diterbitkan Dinas Hidro Oseonografi Tahun 2002
yaitu 36 meter sampai dengan 50 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan
kedalaman laut di sekitar pulau antara 36 meter hingga 46 meter di bawah
permukaan laut. Daerah yang paling dalam terdapat pada bagian tengah perairan
selat antara Pulau Biawak dengan Pulau Gosong dan Pulau Gosong dengan Pulau
Candikian dengan kisaran kedalaman 50 meter di bawah permukaan laut, pada
daerah ini arus air laut yang ada sangat deras.
Hasil pengukuran kondisi perairan Pulau Biawak dan sekitarnya yang
diamati pada saat penelitian pada lima stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya
Stasiun
Waktu
Pengamatan
(WIB)
Salinitas (‰) Suhu (˚C) Kecepatan
arus (m/det)
Kecerahan
(%)
1 10.40 33 26 0 95
2 15.00 28 26 0,167 85
3 15.00 30 28 0,167 90
4 09.46 31 29 0,167 80
5 12.00 30 29 0,167 85
Sumber: pengumpulan data 2010
42
4.2 Kondisi Terumbu Karang
4.2.1 Persentase Tutupan Karang
Dari hasil survei di lapangan, tipe terumbu karang di Pulau Biawak dan
sekitarnya merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Pengamatan kondisi
tutupan karang dilakukan dengan menggunakan metode transek garis
menyinggung (TGM) pada 5 stasiun pengamatan. Penyelaman dilakukan
sebanyak 1 (satu) kali penyelaman pada masing-masing stasiun, pada musim
kemarau dengan kondisi fisik perairan terlihat pada Tabel 6. Komponen penyusun
terumbu karangnya sangat padat dan banyak didominasi oleh karang-karang keras
dari famili Acroporidae, Faviidae dan Poritidae. Jumlah genus yang ditemukan
selama penelitian sebanyak 39 genus dari 13 famili karang (Lampiran 1). Persen
kehadiran terbesar dari genus Porites sp sebanyak 20,58% yang disusul kemudian
dari genus Acropora sp 11,59% dan Diploastrea sp 9,15%.
Sumber foto: Foto survei, 2010 Gambar 10 Kondisi Terumbu Karang Pulau Biawak dengan kehadiran genus
Porites sp terbesar.
Sumber foto: Foto survei, 2010
Gambar 11 Kegiatan sampling terumbu karang dengan metode TGM.
43
Kelimpahan karang bervariasi di setiap lokasi pengamatan, hasil
pengamatan di kelima stasiun terhadap persentase tutupan karang keras di Pulau
Biawak dan sekitarnya diperoleh:
a. Bagian Barat Pulau Biawak (Stasiun 1)
Gambar 12 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian barat Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m persentase
tutupan karang hidup bervariasi antara 31,4-47,8%, dan pada kedalaman 10 m
bervariasi antara 19,4-39,4%. Pada kedalaman 3 m, Porites sp dan Acropora sp
merupakan genus karang dengan persen tutupan terbesar dibandingkan yang
lainnya. Ciri khas dari Porites antara lain adalah adanya tiga septa yang
bergabung menjadi satu disebut triplet dengan satu pali (Suharsono 2008). Porites
mempunyai jenis sekitar 25 jenis, tersebar di seluruh perairan Indonesia
(Suharsono 2008). Pada kedalaman 10 m, Turbinaria sp merupakan genus dengan
tutupan karang terbesar. Turbinaria merupakan koloni berbentuk gada, lembaran
atau daun. Koralit membulat, setengah tenggelam atau berupa tabung kecil dengan
dinding yang porus dengan struktur yang seragam di seluruh permukaan. Septa
kecil dan pendek, kolumela besar dan padat. Polip relatif besar dan pendek. Genus
ini tersebar di seluruh perairan Indonesia sebanyak 15 jenis (Suharsono 2008).
44
A
B
Sumber foto: Foto survei, 2010 Gambar 13 Karang dengan persen tutupan tebesar di stasiun 1, Gambar A: Porites
sp, Gambar B: Turbinaria sp.
b. Bagian Selatan Pulau Biawak (Stasiun 2)
Gambar 14 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian selatan Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m persentase
tutupan karang hidup bervariasi antara 32,6-51,4%, dan pada kedalaman 10 m
bervariasi antara 23,8-64,9%. Pada kedalaman 3 m, Acropora sp merupakan
genus karang yang ditemukan dengan persen tutupan terbesar di lokasi. Acropora
tersebar di seluruh perairan Indonesia sekitar 113 jenis (Suharsono 2008). Pada
kedalaman 10 m, karang massive ditemukan banyak terdapat di lokasi ini,
diantaranya Porites sp dan Diploastrea sp. Genus Diploastrea merupakan koloni
45
massive dengan ukuran besar dan membulat, tersebar di seluruh perairan
Indonesia dan hanya mempunyai satu jenis yaitu Diploastrea heliopora
(Suharsono 2008).
.
A
B
Sumber foto: Foto survei, 2010
Gambar 15 Karang dengan persen tutupan terbesar di stasiun 2, Gambar A:
Acropora, Gambar B: Diploastrea.
c. Bagian Utara Pulau Biawak (Stasiun 3)
Gambar 16 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian Utara Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m persentase
tutupan karang hidup bervariasi antara 16,9-13,0%, dan pada kedalaman 10 m
bervariasi antara 9,8-40,2%. Genus Acropora sp merupakan genus karang dengan
46
tutupan karang terbesar di kedalaman 3 m. Pada kedalaman 10 m Diploastrea sp
merupakan genus dengan tutupan karang terbesar.
d. Pulau Gosong (Stasiun 4)
Gambar 17 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi Pulau Gosong, pada kedalaman 3 m persentase tutupan karang
hidup bervariasi antara 31,0-63,6%, dan pada kedalaman 10 m bervariasi antara
40,5-47,1%. Pada kedalaman 3 m Porites sp merupakan genus karang dengan
persen tutupan terbesar di lokasi. Pada kedalaman 10 m, jenis karang dengan
tutupan karang terbesar adalah Pocillopora sp. Karang Pocillopora merupakan
koloni bercabang, submassive, koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan
kolumela. Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil yang
disebut verucosae. Sebarannya ditemukan di seluruh Indonesia (Suharsono 2008).
Karang ini ditemukan dari terumbu di perairan dangkal hingga perairan dalam.
Karang Pocillopora merupakan salah satu karang perintis di ekosistem terumbu
karang. Keberadaannya sangat menentukan keberhasilan penempelan jenis karang
lainnya (Munasik et al. 2006).
47
Sumber foto: Foto survei, 2010
Gambar 18 Karang Pocillopora dengan persen tutupan terbesar di stasiun 4.
e. Pulau Candikian (Stasiun 5)
Gambar 19 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi Pulau Candikian, pada kedalaman 3 m persentase tutupan
karang hidup bervariasi antara 17,3-28,9%, dan pada kedalaman 10 m bervariasi
antara 32,0-58,2%. Pada kedalaman 3 m, karang massive ditemukan banyak
terdapat di lokasi ini, Diploastrea sp merupakan genus karang dengan tutupan
karang terbesar di lokasi ini, biasa ditemukan di daerah rataan terumbu sampai
dengan daerah tubir. Pada kedalaman 10 m, Porites sp merupakan genus karang
yang ditemukan dengan tutupan karang terbesar.
48
Berdasarkan data dari setiap titik sampling per stasiun, maka ditentukan
nilai rata-rata persentase tutupan karang pada setiap stasiun untuk kedalaman 3 m
dan 10 m. Dari hasil perhitungan data diketahui bahwa secara umum kondisi
tutupan karang pada setiap stasiun pengamatan tergolong kategori buruk hingga
sedang dengan kisaran tutupan karang hidup bervariasi antara 22,7±5,9% –
45,7±13,2% (Gomez et al. 1994), dapat dilihat pada grafik Gambar 20.
Gomez et al. 1994
Persentase tutupan Kategori
0 – 24,9 % : Buruk
25 – 49,9 % : Sedang
50 – 74,9 % : Baik
75 – 100 % : Sangat baik
Gambar 20 Persentase tutupan karang setiap stasiun.
49
Persentase karang mati bervariasi antara 10,4±8,0% – 58,9±23,2% pada
kedalaman 3 m dan 2,5±1,7% – 32,0±16,6% pada kedalaman 10 m. Salah satu
faktor yang bisa mengakibatkan kematian karang diantaranya adalah tingginya
pencemaran. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa lokasi KKLD
merupakan wilayah jalur transportasi kapal sehingga rawan terkena pengaruh
tumpahan minyak buangan kapal, dan juga peristiwa tumpahnya minyak yang
terjadi pada Tahun 2005 di perairan sekitar Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu.
Akibatnya terumbu karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak.
Menurut O'Sullivan dan Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara
terumbu karang dengan minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang
meluas. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar
matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Menurut Fakhrudin
(2004), lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan
mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup
untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
Selain persentase karang mati, patahan karang juga memiliki nilai
persentase yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari persentase patahan karang pada
masing-masing stasiun yang berkisar antara 4,2±6,7% – 62,3±15,0% pada
kedalaman 3 m dan 20,3±6,5% – 68,4±10,6% pada kedalaman 10 m. Kerusakan
ini terjadi akibat masih adanya aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan
terhadap ekosistem terumbu karang seperti pengeboman ikan, penggunaan jaring
ikan yang tidak ramah lingkungan dan pembuangan jangkar yang berlabuh di
kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya.
Wilayah utara Pulau Biawak adalah wilayah yang paling rawan terjadi
aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan karena wilayah ini tidak dapat
terawasi secara langsung dari wilayah daratan, dimana pintu gerbang kawasan
terletak di bagian selatan Pulau Biawak. Data memperlihatkan bahwa persentase
karang hidup di wilayah utara Pulau Biawak (Stasiun 3) sangat rendah cenderung
masuk kategori buruk hingga sedang dengan persentase 26,4±10,7% pada
kedalaman 3 m dan 24,9±15,2% pada kedalaman 10 m, sementara persentase
patahan karangnya masing-masing kedalaman 62,3±15% dan 41,5±18,9%.
50
Pada penelitian ini, penulis tidak melakukan kajian atas kerusakan pada
terumbu karang yang disebabkan oleh faktor alam tapi lebih kepada faktor yang
ditimbulkan oleh kegiatan antropogenik di sekitar KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya. Hasil kuesioner terhadap persepsi masyarakat terkait kerusakan
terumbu karang dan penyebabnya terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Grafik persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang merusak terumbu
karang. Berdasarkan nilai persepsi masyarakat dari 50 responden yang diambil,
88% menyatakan bahwa masih terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang
merusak lingkungan dengan persentase pengrusakan dengan bom sebesar 60%
(Gambar 21).
Berdasarkan data setiap stasiun maka nilai persentase tutupan karang yang
mewakili tiap pulau pada kawasan konservasi diketahui seperti terlihat pada
Tabel 7.
Tabel 7 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2010
Lokasi Keda-
laman
Karang
Hidup
(%)
Karang
Mati
(%)
Alga
(%)
Karang
Lunak
(%)
Patahan
Karang
(%)
Pasir
(%)
Lainnya
(%)
Bagian Barat
Pulau Biawak
3 m 37,0±9,3 44,0±11,7 3,8±6,5 - 4,2±6,7 10,9±2,4 0,2±0,3
10 m 27,4±10,6 2,5±1,7 1,4±1,5 0,3±0,5 68,4±10,6 - -
Bagian Selatan
Pulau Biawak
3 m 39,2±10,6 15,3±3,6 - 9,5±4,8 36,0±12,5 - -
10 m 42,3±20,9 31,0±22,6 - 0,3±0,5 20,3±6,5 - -
Bagian Utara
Pulau Biawak
3 m 26,4±10,7 10,4±8,0 - 1,0±1,0 62,3±15,0 - -
10 m 24,9±15,2 32,0±16,6 0,1±0,2 0,1±1,0 41,5±18,9 0,2±0,3 1,2±1,2
Pulau Gosong 3 m 42,4±18,4 22,6±8,9 1,3±1,2 2,4±2,3 31,4±24,7 - -
10 m 43,0±3,6 22,5±7,2 - 1,0±1,7 33,4±7,4 - -
Pulau
Candikian
3 m 22,7±5,9 58,9±23,2 - 3,6±3,1 19,9±23,3 1,5±2,6 -
10 m 45,7±13,2 9,2±4,8 - 1,0±1,1 41,8±22,0 2,2±2,2 -
Sumber: olah data 2010
51
4.2.2 Kondisi Ikan Karang
Hasil dari pengamatan ikan dengan menggunakan metode underwater
visual census (UVC) yang dilakukan di 5 stasiun tercatat sebanyak 83 spesies ikan
dari 19 famili (Lampiran 2). Dari hasil perhitungan data diketahui bahwa
kelimpahan ikan bervariasi antara 5.967±1.767 ind/ha sampai dengan
20.433±10.355 ind/ha. Kelimpahan ikan pada tiap-tiap stasiun disajikan pada
Tabel 8 dan Gambar 22.
Tabel 8 Kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per
stasiun pengamatan
Lokasi Kedalaman Kelimpahan
(ind/ha)
STDEV
(±)
Bagian Barat Pulau Biawak 3 m 18.700 1.493
10 m 17.100 5.289
Bagian Selatan Pulau Biawak 3 m 12.700 7.208
10 m 12.233 3.163
Bagian Utara Pulau Biawak 3 m 5.967 1.767
10 m 9.733 5.314
Pulau Gosong 3 m 20.433 10.355
10 m 15.633 3.014
Pulau Candikian 3 m 7.800 1.587
10 m 16.900 3.759
Gambar 22 Grafik kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per
stasiun pengamatan.
Jumlah dan jenis ikan yang dicatat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
yaitu: kelompok ikan indikator, kelompok ikan target dan kelompok ikan mayor.
Kelompok ikan indikator 5 spesies, ikan target 27 spesies dan ikan mayor 51
52
spesies. Secara keseluruhan ikan-ikan karang di perairan Pulau Biawak dan
sekitarnya didominasi oleh jenis-jenis seperti Pomacentrus alexanderae,
Pomacentrus smithi, Chromis ternatensis dan Chromis cyanea dari kelompok ikan
mayor. Spesies ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah
Pomacentrus alexanderae disusul oleh spesies Pomacentrus smithi. Kelimpahan
ikan bervariasi di setiap lokasi pengamatan, kelimpahan ikan berdasarkan
pengelompokan ikan ke dalam kelompok ikan indikator, kelompok ikan target dan
ikan kelompok mayor di setiap titik sampling pada kelima stasiun di Pulau
Biawak dan sekitarnya diperoleh:
a. Bagian Barat Pulau Biawak (Stasiun 1)
Gambar 23 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling.
Pada lokasi bagian barat Pulau Biawak, kelimpahan ikan didominasi oleh
kelompok ikan mayor dengan kelimpahan bervariasi antara 16.800-18.500 ind/ha
di kedalaman 3 m dan 9.600-19.300 ind/ha di kedalaman 10 m. Pada kedalaman 3
m didapatkan 25 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Pomacentrus
alexanderae dengan kelimpahan 15.133±1.012 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
didapatkan 31 spesies dan masih didominasi oleh Pomacentrus alexanderae
dengan kelimpahan 6.167±3.808 ind/ha. Pomacentrus alexanderae merupakan
jenis ikan yang menyukai alga (Dhahiyat et al. 2003). Dominasi Pomacentrus
disebabkan juga oleh sifat mereka yang teritori (Low 1971, in Dhahiyat et al.
2003). Selain itu Pomacentrus sangat dipengaruhi oleh karakteristik morfologis
dan substrat, beberapa spesies diantaranya cenderung menggunakan karang
53
sebagai habitat daripada sebagai sumber makanan (Roberts dan Ormond 1987, in
Dhahiyat et al. 2003).
b. Bagian Selatan Pulau Biawak (Stasiun 2)
Gambar 24 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling.
Pada lokasi bagian selatan Pulau Biawak, kelimpahan ikan didominasi
oleh kelompok ikan mayor dengan kelimpahan bervariasi antara 4.400-16.200
ind/ha di kedalaman 3 m dan 8.300-14.000 ind/ha di kedalaman 10 m. Pada
kedalaman 3 m didapatkan 18 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah
Pomacentrus alexanderae dengan kelimpahan 6.700±6.188 ind/ha yang diikuti
oleh Chromis cyanea dengan kelimpahan 2.400±964 ind/ha . Pada kedalaman 10
m didapatkan 19 spesies dan masih didominasi oleh Pomacentrus alexanderae
dengan kelimpahan 7.500±1.600 ind/ha yang diikuti oleh Abudefduf sexfasciatus
dengan kelimpahan 1.600±1.637 ind/ha.
c. Bagian Utara Pulau Biawak (Stasiun 3)
Gambar 25 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling.
54
Pada lokasi bagian utara Pulau Biawak, kelimpahan ikan didominasi oleh
kelompok ikan mayor dengan kelimpahan bervariasi antara 3.800-4.900 ind/ha di
kedalaman 3 m dan 5.200-13.400 ind/ha di kedalaman 10 m. Pada kedalaman 3 m
didapatkan 26 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Pomacentrus
alexanderae dengan kelimpahan 1.300±889 ind/ha yang diikuti oleh
Neoglyphidodon melas dengan kelimpahan 767±666 ind/ha . Pada kedalaman 10
m didapatkan 31 spesies didominasi oleh Chromis analis dengan kelimpahan
2.267±950 ind/ha yang diikuti oleh Pomacentrus alexanderae dengan kelimpahan
1.500±1.559 ind/ha.
d. Pulau Gosong (Stasiun 4)
Gambar 26 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling.
Pada lokasi Pulau Gosong, kelimpahan ikan didominasi oleh kelompok
ikan mayor dengan kelimpahan bervariasi antara 7.500-29.100 ind/ha di
kedalaman 3 m dan 11.900-17.700 ind/ha di kedalaman 10 m. Pada kedalaman 3
m didapatkan 26 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Pomacentrus
alexanderae dengan kelimpahan 10.100±5,484 ind/ha yang diikuti oleh Chromis
ternatensis dengan kelimpahan 3.733±5.143 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
didapatkan 29 spesies didominasi oleh Chromis ternatensis dengan kelimpahan
6.000±3.460 ind/ha yang diikuti oleh Pomacentrus alexanderae dengan
kelimpahan 4.200±2.931 ind/ha. Kehadiran Pomacentrus alexanderae dan
Chromis tenatensis membuat kelimpahan ikan di lokasi ini menjadi tinggi.
Tingginya kelimpahan Chromis ternatensis di lokasi ini disebabkan pula oleh
kondisi terumbu karang yang lebih baik dibanding lokasi lainnya.
55
e. Pulau Candikian (Stasiun 5)
Gambar 27 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan
mayor di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling.
Pada lokasi Pulau Candikian, kelimpahan ikan didominasi oleh kelompok
ikan mayor dengan kelimpahan bervariasi antara 5.100-8.000 ind/ha di kedalaman
3 m dan 12.800-18.800 ind/ha di kedalaman 10 m. Pada kedalaman 3 m
didapatkan 26 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Pomacentrus smithi
dengan kelimpahan 2.467±3.213 ind/ha yang diikuti oleh Pomacentrus
alexanderae dengan kelimpahan 1.567±1.193 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
didapatkan 23 spesies didominasi oleh Pomacentrus alexanderae dengan
kelimpahan 3.900±1.539 ind/ha dan Chromis atripectoralis dengan kelimpahan
3.867±3.050 ind/ha yang diikuti oleh Ambliglyphidodon curacao dengan
kelimpahan 2.467±3.139 ind/ha. Di lokasi ini teramati keberadaan sekelompok
ikan Bolbometopon muricatum yang mempunyai nama lain Green Humphead
Parrotfish berasal dari family Scaridae. Ikan ini dikenal juga sebagai ikan kakatua,
satu-satunya anggota dari genus Bolbometopon yang merupakan ikan kakatua
terbesar yang dapat tumbuh sampai 1,3 m dan berat 46 kg, mempunyai benjolan di
kepala dan menggunakannya sebagai pemecah karang. Ikan ini merupakan
pemakan karang, dan mengkonsumsi karang sebanyak 5 ton dalam setahun. Ikan
ini menurut IUCN, statusnya vurnerable (terancam punah). Disamping sebagai
pemakan karang, ikan ini mempunyai peranan dalam resilience ekosistem
terumbu karang dengan menyedikan tempat untuk koloni baru coralline algae
dan karang (Bellwood et al. 2003, in Green dan Bellwood 2009).
Berdasarkan data dari setiap titik sampling per stasiun, maka ditentukan
nilai rata-rata kelimpahan ikan berdasarkan kelompok ikan indikator, ikan target
56
dan ikan mayor pada setiap stasiun untuk kedalaman 3 m dan 10 m, dapat dilihat
pada grafik Gambar 28.
Gambar 28 Grafik kelimpahan kelompok ikan setiap stasiun.
Pada kelompok ikan indikator, sebanyak 5 (lima) spesies ikan dari famili
Chaetodontidae telah dijumpai selama penelitian berlangsung. Jenis-jenis tersebut
adalah Chaetodon octofasciatus, C. baronessa, Chelmon rostratus,
Chaetodontoplus mesoleucus dan Heniochus varius. Ikan-ikan yang termasuk
famili ini mempunyai bentuk tubuh yang pipih serta lebar, sehingga gerakannya
meliuk-liuk mirip kepet. Jenis ini dikenal pula dengan nama ikan kepe-kepe.
Diperkirakan terdapat sekitar 114 jenis ikan kepe-kepe, dan di Indonesia
ditemukan sekitar 44 jenis (Dahuri 2003). Sebagian besar merupakan penghuni
terumbu karang, sebagian kecil hidup di daerah lamun, rumput laut dan habitatl
57
lainnya. Ikan dari jenis ini hidup di daerah perairan laut tropis pada kedalaman
perairan 0-20 meter (Dahuri 2003). Diantara ikan kepe-kepe tersebut, ikan kepe-
kepe yang paling dominan jenisnya di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya adalah
Chaetodon octofasciatus (80,56%). Ikan ini tersebar merata di semua lokasi
penelitian, dan hal ini terlihat dari angka persentase kehadirannya. Chaetodon
octofasciatus memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi terumbu karang
akibat tekanan lingkungan. Namun, tidak semua ikan Chaetodontidae sebagai
pemakan karang keras (scleractinian coral), ada juga pemakan octocoral (karang
lunak). Kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan
bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Jenis-jenis ikan indikator
yang ditemukan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya selama penelitian
disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Kelompok ikan indikator yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya
Kelompok Ikan Indikator Lokasi
P. Biawak P. Gosong P. Candikian
Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus + + +
Chelmon rostratus + - -
Heniochus varius + - -
Chaetodontoplus mesoleucus + - -
Chaetodon baronessa + - -
Sumber: Data Primer hasil survei 2010
Catatan: (+) = ada; (-) = tidak ada
Pada kelompok ikan target, sedikitnya ada 27 spesies ikan
konsumsi/pangan yang tergolong dalam 8 (delapan) genus mendiami perairan
Pulau Biawak dan sekitarnya. Secara umum ikan-ikan target yang tecatat selama
penelitian sebagian besar merupakan ikan dewasa. Kelimpahan terbesar yang
didapatkan selama penelitian dari kelompok ikan target adalah Caesio cuning
sebesar 27,42%. Caesio cuning atau ikan ekor kuning ditemukan di setiap pulau,
ikan tersebut selalu hidup berkelompok (schooling). Namun demikian kelimpahan
ikan ini masuk kategori sangat jarang dengan kelimpahan bervariasi antara
67±115 – 1.100±624 ind/ha, hal ini dikarenakan ikan ini membutuhkan ruang
yang luas sehingga lebih suka pada pola pertumbuhan karang yang merayap
(encrusting), sehingga banyak biota (plankton) yang tersingkap tidak berada di
rongga-rongga karang yang memudahkan kelompok ikan Caesio cuning untuk
memperoleh makanan (Zamani et al. 2011), sementara KKLD Pulau Biawak dan
58
sekitarnya didominasi oleh jenis karang bercabang dan karang massive. Jenis-jenis
ikan target yang ditemukan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya selama
penelitian disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Kelompok ikan target yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya
Kelompok Ikan Target Lokasi
P. Biawak P. Gosong P. Candikian
Serranidae Epinephelus hexagonatus + - + Cephalopolis fulva + - - Plectropomus laevis + - - Epinephelus malabaricus + - - Cephalopholis argus - + +
Cephalopolis boenak - + -
Epinephelus fasciatus + - -
Cephalopholis micropion + - -
Lutjanidae Lutjanus lunulatus - + -
Lutjanus gibbus - + -
Lutjanus notatus - + -
Lutjanus russelli + - - Lethiridae Monotaxis grandoculis + - - Caesionidae Caesio cuning + + + Siganidae Siganus guttatus + - - Scarridae Scarus ghobban + - +
Chlorurus sordidus + + -
Scarus rivulatus + + +
Scarus viridifucatus + + +
Bolbometopon muricatum - - +
Chlorurus bleekeri - + -
Scarus flavipectoralis + - -
Scarus ferrugineus + - - Mullidae Parupeneus barberinus + - - Nemipteridae Scolopsis lineatus + + +
Scolopsis trilineatus + - -
Scolopsis bilineatus + + +
Sumber: Data Primer hasil survei 2010
Catatan: (+) = ada; (-) = tidak ada
Pada penelitian ini ikan mayor mendominasi baik dalam jumlah jenis
maupun kelimpahan. Pada kelompok ikan mayor, didapatkan sebanyak 51 spesies
ikan dari 9 genus. Genus yang paling sering dijumpai di lokasi adalah dari famili
Pomacentridae dengan 26 spesies. Kelimpahan terbesar dari kelompok ikan mayor
adalah Pomacentrus alexanderae sebesar 37,78%. Ikan dari famili Pomacentridae
menempati peringkat teratas dalam jumlah jenis maupun kelimpahan. Hal ini
dapat dimengerti mengingat jenis ini memiliki jumlah jenis yang tinggi untuk
kelompok ikan karang dan menempati hampir semua habitat di terumbu karang.
Jenis-jenis ikan mayor yang ditemukan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
selama penelitian disajikan dalam Tabel 11.
59
Tabel 11 Kelompok ikan mayor yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya
Kelompok Ikan Mayor Lokasi
P. Biawak P. Gosong P. Candikian Pomacentridae Abudefduf bengalensis + - - Abudefduf sexfasciatus + + - Abudefduf vaigiensis + - - Ambliglyphidodon curacao + + + Ambliglyphidodon leucogaster + + Amphiprion clarkii + - + Amphiprion ocelaris + + - Amphiprion sandaracinos + - - Chromis analis + + + Chromis atripectoralis + + + Chromis cyanea + + + Chromis notata + + + Pomacentrus taeniometopon - + - Chromis ternatensis + + - Chrysiptera cyanea - + - Dischistodus perspicillatus + - - Dischistodus prosopotaenia + + + Neoglyphidodon melas + + - Neoglyphidodon bonang + + + Neopomacentrus cyanomos - - + Pomacentrus alexanderae + + + Pomacentrus burroughi + + - Plectroglyphidodon lacrymatus - - + Pomacentrus smithi - - + Pomacentrus trichrous + - - Pomacentrus trilineatus + - -
Labridae Bodianus mesothorax - - +
Cheilinus fasciatus + + +
Chlorurus sordidus - + -
Diproctacanthus xanthurus + + -
Epibulus insidator - + -
Gomphosus varius - - +
Halichoeres leucurus + - -
Halichoeres melanurus + - -
Hemigymnus melapterus + + +
Halichoeres purpuracens - + -
Halichoeres prosopeion - - +
Halichoeres radiatus + - -
Halichoeres trimaculatus + + -
Halichoeres vrolikii + - -
Labroides dimidiatus + + +
Thalassoma lunare + + + Pomacanthidae Centopyge nox + - + Pomacanthus sextriatus - - + Monacanthidae Cantherhines pullus + - - Scorpaenidae Pterois volitans + - - Holocentridae Sargocentron rubrum + + - Muraenidae Strophidon sathete + - - Haemulidae Plectorhinchus chaetodonoides - - + Ephippidae Platax teira + - - Platax pinnatus + - -
Sumber: Data Primer hasil survei 2010
Catatan: (+) = ada; (-) = tidak ada
60
4.2.3 Kondisi Benthos
Hasil dari pengamatan ikan dengan menggunakan metode Reef Check
Benthos (RCB) yang dilakukan di 5 stasiun tercatat sebanyak 29 spesies dari 23
famili dan 6 filum (Lampiran 3). Dari hasil perhitungan data diketahui bahwa
kelimpahan benthos bervariasi antara 2.000±1.000 ind/ha sampai dengan
14.667±14.964 ind/ha. Kelimpahan benthos pada tiap-tiap stasiun disajikan pada
Tabel 12 dan Gambar 29.
Tabel 12 Kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
Lokasi Kedalaman Kelimpahan
(ind/ha)
STDEV
(±)
Bagian Barat Pulau Biawak 3 m 11.667 3.224
10 m 7.500 4.770
Bagian Selatan Pulau Biawak 3 m 7.083 3.503
10 m 3.333 1.909
Bagian Utara Pulau Biawak 3 m 3.833 1.010
10 m 8.333 3.185
Pulau Gosong 3 m 5.500 1.323
10 m 14.667 4.964
Pulau Candikian 3 m 2.000 1.000
10 m 2.750 3.269
Gambar 29 Grafik kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
(ind/ha).
Kelimpahan benthos bervariasi di setiap lokasi pengamatan, kelimpahan
benthos berdasarkan filum di setiap titik sampling pada kelima stasiun di Pulau
Biawak dan sekitarnya diperoleh:
61
a. Bagian Barat Pulau Biawak (Stasiun 1)
Gambar 30 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 1 di kedalaman 3 m
dan 10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian barat Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m didapatkan
11 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Atriolum robustum dari filum
Chordata dengan kelimpahan 6.833±4.163 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
didapatkan 11 spesies yang didominasi oleh Aaptos aaptos dari filum Porifera
dengan kelimpahan 2.417±3.971 ind/ha.
Keberadaan Porifera yang cukup besar di daerah barat pulau dapat
menginvasi kawasan terumbu karang sehingga memperkecil area larva hewan
karang untuk hidup dan tumbuh. Porifera menutupi karang yang mati dengan
cepat serta memperkecil kemungkinan larva hewan karang untuk menempel dan
hidup.
Salah satu predator alami yang ditemukan di stasiun 1 diantaranya adalah
ditemukannya Bintang Laut Mahkota Duri atau Crown of Thorn starfish/COTs
(Acanthaster plancii). Bintang laut ini merupakan salah satu jenis yang berpotensi
menimbulkan masalah besar dalam pengelolaan terumbu karang. Menurut Lassig
(1995) dalam Fraser et al. (2000) Acanthaster plancii adalah predator karang yang
62
efisien karena dapat memakan karang seluas 5–13 m persegi karang hidup dalam
satu tahun.
Sumber foto: Foto survei, 2010
Gambar 31 Acanthaster plancii di lokasi pengamatan.
b. Bagian Selatan Pulau Biawak (Stasiun 2)
Gambar 32 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 2 di kedalaman 3 m
dan 10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian selatan Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m didapatkan
9 spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Spirobranchus giganteus dari filum
Annelida dengan kelimpahan 2.167±1.893 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
63
didapatkan 6 spesies yang didominasi oleh Atriolum robustum dari filum Chordata
dengan kelimpahan 1.667±1.127 ind/ha.
Filum Annelida yang terdapat di daerah ini adalah famili Sabellidae
dengan spesies Sabellastarte indica yang dikenal dengan sebutan cacing kipas dan
famili Serpulidae dengan spesies Spirobranchus giganteus yang dikenal dengan
sebutan cacing pohon natal.
c. Bagian Utara Pulau Biawak (Stasiun 3)
Gambar 33 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 3 di kedalaman 3 m
dan 10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi bagian utara Pulau Biawak, pada kedalaman 3 m didapatkan 8
spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Pedum spondiloidum dari filum
Moluska dengan kelimpahan 1.500±1.090 ind/ha. Pada kedalaman 10 m
didapatkan 7 spesies yang didominasi oleh Dysidea sp dari filum Porifera dengan
kelimpahan 4.833±1.665 ind/ha.
Selain Dysidea sp, spesies dari filum Moluska yang ditemukan di daerah
ini adalah Drupella sp yang merupakan kelas Gastropoda famili Muricidae.
Hewan ini merupakan hewan koralivora (pemangsa koralit karang). Ciri
kerusakan biologis karang akibat prilaku koralivora Drupella (baik intensitas dan
64
luasnya) cenderung serupa dengan dampak yang disebabkan Acanthaster plancii
(Ayling 2000). Drupella memilih mangsanya (umumnya koloni karang) karena
berbagai alasan yang cukup kompleks, diantaranya: bentuk pertumbuhan koloni
karang, kemudahan mereka untuk mengambil jaringan karang yang hidup,
produksi lendir dari karang, nilai nutrisi jaringan karang juga kemampuan
pertahanan nematosit (sel penyengat) dari karang itu sendiri (Morton et al. 2002).
d. Pulau Gosong (Stasiun 4)
Gambar 34 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 4 di kedalaman 3 m
dan 10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi Pulau Gosong, pada kedalaman 3 m didapatkan 15 spesies
dengan kelimpahan tertinggi adalah Atriolum robustum dari filum Chordata
dengan kelimpahan 1.583±946 ind/ha diikuti oleh Diadema savignyii dengan
kelimpahan 917±764 ind/ha. Pada kedalaman 10 m didapatkan 14 spesies yang
didominasi oleh Aaptos aaptos dari filum Porifera dengan kelimpahan
7.250±3.250 ind/ha, diikuti oleh Sebelastarte indica dengan kelimpahan
2.333±3.185 ind/ha dan Atriolum robustum dengan kelimpahan 2.000±3.041
ind/ha.
65
e. Pulau Candikian
Gambar 35 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 5 di kedalaman 3 m
dan 10 m pada setiap titik sampling.
Pada lokasi Pulau Candikian, pada kedalaman 3 m didapatkan 6 spesies
dengan kelimpahan tertinggi adalah Diadema setosum dari filum Echinodermata
dengan kelimpahan 583±520 ind/ha dan Drupella rugosa dari filum Moluska
dengan kelimpahan 583±144 ind/ha. Pada kedalaman 10 m didapatkan 5 spesies
yang didominasi oleh Aaptos aaptos dari filum Porifera dengan kelimpahan
1.667±2.887 ind/ha. Hewan dari Filum Echinodermata yang biasa terdapat di
daerah ini adalah Bulu babi. Hewan yang memiliki nama Internasional sea urchin
atau edible sea urchin ini tidak mempunyai lengan. Tubuhnya umumnya
berbentuk seperti bola dengan cangkang yang keras berkapur dan dipenuhi dengan
duri-duri (Nontji 2007). Bulu babi hidup di terumbu karang (zona pertumbuhan
alga) dan lamun. Ada yang mempunyai duri yang panjang dan lancip, ada pula
yang durinya pendek dan tumpul. Makanannya terutama alga, tetapi ada beberapa
jenis yang juga memakan hewan-hewan kecil lainnya (Nontji 2007).
Berdasarkan data dari setiap titik sampling per stasiun, maka ditentukan
nilai rata-rata kelimpahan benthos berdasarkan filum pada setiap stasiun untuk
kedalaman 3 m dan 10 m, dapat dilihat pada grafik Gambar 36.
66
Gambar 36 Grafik kelimpahan benthos setiap stasiun.
4.3 Peran dan Kepentingan Stakeholder
Analisis stakeholder menjadi alat penting dalam mengidentifikasi para
pelaku pengelolaan terumbu karang. Pelaku pengelolaan ini meliputi orang dan
organisasi yang terlibat ataupun terkena dampak dari suatu perencanaan. Untuk
memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas, analisis stakeholder ini harus
menguji dan mengidentifikasi berbagai dimensi yang berbeda-beda. Analisis ini
harus mampu memisahkan antara kelompok yang relevan dengan kelompok yang
berkepentingan dalam sektor umum, swasta dan organisasi. Dengan pemisahan
tersebut akan terihat jelas potensi mereka sehingga tingkat keterwakilan bisa lebih
proporsional. Namun perlu segera disadari bahwa analisis stakeholder ini hanya
67
menyediakan alat untuk mengidentifikasi potensi stakeholder, dan tidak menjamin
bahwa mereka akan terlibat secara aktif didalamnya.
Proses penentuan stakeholder dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
1. Mengidentifikasi sendiri berdasarkan keterkaitan relevan dalam bidang
pengelolaan terumbu karang;
2. Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan-laporan baik
yang dikeluarkan oleh pemerintah atau non pemerintah;
3. Identifikasi dengan pendekatan partisipatif dimana setiap stakeholder
mengidentifikasi stakeholder lainnya, melakukan diskusi sehingga setiap
stakeholder dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan
stakeholder penting lain yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu
karang.
Untuk memudahkan analisis stakeholder, setiap stakeholder dikategorikan
kedalam beberapa unsur yaitu: pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga
legislatif), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, organisasi
sosial, serta pakar dan profesional. Berdasarkan hasil analisis stakeholder, maka
stakeholder yang terkait dengan penyusunan kebijakan pengelolaan terumbu
karang di perairan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Kabupaten Indramayu
dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13 Daftar stakeholder pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya
UNSUR STAKEHOLDER
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Perikanan dan Kelautan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kantor Lingkungan Hidup
Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata
Dinas Perhubungan
BAPPEDA
DPRD
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Siklus
Organisasi Sosial Organisasi mahasiswa
Pakar dan Profesional Pakar Lingkungan Hidup
Universitas
Masyarakat Masyarakat nelayan, tokoh masyarakat
68
Berdasarkan tabel stakeholder dilakukan analisis peran dan pengaruh
masing-masing stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Kegiatan ini dilakukan dengan
wawancara dan kuesioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang
teridentifikasi. Hasil kegiatan wawancara dan kuesioner berlanjut pada pemetaan
stakeholder dengan memberi skor berdasarkan peran dan pengaruh stakeholder
pada pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, seperti
terlihat pada Tabel 14 berikut:
Tabel 14 Matriks analisis stakeholder
Kelompok
Stakeholder
Peran dalam
kegiatan
Pelaksana
Pengorganisir
Pembuat
keputusan
Pemanfaat
Pengontrol
Pendukung
penentang
Pengaruh
kegiatan terhadap
kepentingan
stakeholder
T = tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Pengaruh stakeholder
terhadap keberhasilan
kegiatan
T = tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Tahap
penyiapan
Tahap
pelaksanaan
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
Pendukung 3 3 3
DKP Provinsi Pendukung 3 3 3
DKP Kabupaten Pengorganisir dan
pengontrol
5 5 5
DPRD Pembuat
Keputusan
4 5 4
BAPPEDA Pendukung 3 5 3
Dishutbun Pendukung 4 4 4
Disporabudpar Pendukung 4 4 4
Dishub Pendukung 2 2 2
Masyarakat
nelayan
Pemanfaat,
pelaksana dan
pengontrol
5 3 4
LSM Pendukung dan
Pelaksana
4 4 4
UNWIR Pendukung dan
pelaksana
4 3 4
MAPALA Pendukung 3 3 3
Kantor LH Pendukung 4 4 4
Sumber format: LGA Romania, RTI 2001
69
Untuk melihat besarnya kepentingan dan pengaruh masing-masing
stakeholder terhadap pengelolaan terumbu karang, alat analisis yang digunakan
adalah “stakeholder grid” yang mengkategorikan stakeholder menurut tingkat
kepentingan dan pengaruhnya terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang
yang diilustrasikan pada Gambar 37.
Pengaruh rendah Pengaruh tinggi
Kepentingan tinggi Kelompok A:
LSM
UNWIR
Warga
Kelompok B:
Pemerintah Pusat, kota dan
Kabupaten
Tokoh Masyarakat
Kepentingan rendah Kelompok C:
Dishub
Organisasi sosial
(MAPALA)
Kelompok D:
DPRD
BAPPEDA
Sumber format: Budiharsono et al. 2006
Gambar 37 Stakeholder Grid pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
4.4 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang secara khusus telah
dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: Kep.38/men/2004 Tentang Pedoman umum pengelolaan terumbu karang.
Pedoman Umum sebagaimana dimaksud sebagai acuan bagi Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka
pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.
Setelah Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya ditetapkan sebagai
Kawasan Konservasi Laut Daerah, pemerintah pusat melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan menyusun rencana pengelolaan (Management Plan)
Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya Kabupaten
Indramayu Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan acuan dalam pengelolaan KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya kedepannya. Selain itu, pemerintah daerah melalui
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu pada tahun 2005 menyusun
Naskah Akademik Pengelolaan KKLD Pulau Biawak Kabupaten Indramayu.
70
Implementasi dari kegiatan pengelolaan KKLD yang telah di rencanakan
merupakan kunci untuk menjaga sumberdaya pesisir. Dari hasil pengamatan di
lapangan, keberadaan KKLD yang telah berjalan sejak diterbitkannya SK Bupati
Indramayu seperti tersebut di atas, belum dapat memberikan perubahan yang
signifikan baik pengaturan dan pengelolan sumberdaya alam pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil khususnya terumbu karang yang ada di kawasan tersebut.
Tahun 2006 pemerintah daerah Kabupaten Indramayu menetapkan Forum
Pengelola KKLD Kabupaten Indramayu melalui Keputusan Bupati Indramayu
Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006, sehingga idealnya segala bentuk
pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dapat dilaksanakan oleh forum
ini, terutama terkait dengan proses perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan
pemantauan pengelolaan terumbu karang di kawasan tersebut. Untuk itu, perlu
adanya kebijakan operasional yang tepat dalam melaksanakan pengelolaan
terumbu karang di kawasan tersebut. Salah satu pedoman yang dapat digunakan
dalam menyusun kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang adalah
pedoman umum pengelolaan terumbu karang berdasarkan pada Surat Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.38/men/2004 Tentang Pedoman
umum pengelolaan terumbu karang.
Forum pengelola KKLD Pulau Biawak dalam menetapkan kebijakan
operasional dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak
diamanatkan mengacu pada pedoman umum tersebut. Kebijakan operasional
pengelolaan terumbu karang dijabarkan menjadi 7 kebijakan. Dalam
melaksanakan kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya, perlu adanya skala prioritas sesuai dengan kebutuhan.
Analisis A’WOT digunakan untuk menentukan skala prioritas dari 7
kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang dengan menggabungkan
faktor-faktor komponen SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and
Threats) dengan Analysis Hierarchy Process (AHP). Untuk membantu penentuan
faktor SWOT, dilakukan wawancara dan kuesioner terkait kebijakan pengelolaan
terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terhadap 50 responden
(Gambar 38) dan dalam penentuan AHP dilakukan wawancara dan kuesioner
kepada stakeholder yang berperan dalam pengelolaan terumbu karang yaitu Dinas
71
Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
DPRD, Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pemuda Olah Raga
Kebudayaan dan Pariwisata, LSM, Universitas Wiralodra, Pakar dan Tokoh
Masyarakat.
Gambar 38 Grafik persepsi masyarakat terkait pengelolaan terumbu karang.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa beberapa faktor kekuatan
(Strengths) yang menjadi pendukung pengelolaan terumbu karang di lokasi
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya diantaranya adalah; 1) adanya upaya
perlindungan terhadap sumberdaya terumbu karang dengan ditetapkannya Pulau
Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah; 2) terumbu
72
karang hampir mengelilingi seluruh pulau dan bisa dijumpai di ketiga pulau
sehingga memiliki sebaran yang luas; dan 3) memiliki kenekaragaman karang
yang tinggi sehingga memiliki potensi wisata bahari.
Faktor kelemahan yang teridentifikasi adalah; 1) lemahnya pengawasan
dan penegakan hukum terhadap eksploitasi terumbu karang; 2) akses
penyebrangan dari daratan menuju Pulau Biawak memakan waktu cukup lama
antara 4 sampai 6 jam perjalanan dengan perahu nelayan 20 PK; 3) kurangnya
penelitian dan kajian ilmiah mengenai terumbu karang yang mampu mendukung
pengelolaannya; dan 4) biaya operasional tinggi, hal ini sangat dirasakan oleh
masyarakat nelayan sekitar.
Faktor Peluang yang mendukung pengelolaan terumbu karang adalah; 1)
tingginya perhatian pemerintah terhadap kelestarian terumbu karang,
diantaranya dengan dibentuknya Forum Pengelola KKLD Kabupaten Indramayu
melalui Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006
dimana Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu sebagai
Ketua Forum dengan dibantu oleh perwakilan dinas-dinas dan instansi lainnya
sebagai anggota pengelola diantaranya Dinas Kehutan dan Perkebunan,
POLAIRUD, Kepala Danlanal, Universitas Wiralodra Indramayu (UNWIR),
Dinas Perhubungan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pertambangan
dan Lingkungan Hidup dan BAPPEDA Indramayu; 2) permintaan terhadap hasil
perikanan dan objek wisata yang makin meningkat; dan 3) tersedianya teknologi
monitoring dan transplantasi karang.
Faktor ancaman dalam pengelolaan terumbu karang adalah; 1) kerusakan
terumbu karang akibat pencemaran, sebagai contoh tumpahan minyak pada tahun
2005 di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya; 2) kegiatan penangkapan ikan
yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom atau racun; dan 3)
eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan komersil, seperti
pengambilan karang hias ilegal.
Faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) pada KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 15.
73
Tabel 15 Faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) pada KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya
STRENGTHS
a. Statusnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, yang pemanfaatan sumberdaya
alamnya mengandung misi konservasi.
b. Luasnya sebaran terumbu karang di sekitar perairan Pulau Biawak dan sekitarnya.
c. Keanekaragaman karang tinggi sehingga memiliki potensi wisata bahari.
WEAKNESSES
d. Lemahnya Pengawasan dan penegakan hukum terhadap eksploitasi terumbu karang.
e. Akses penyebrangan dari daratan menuju Pulau Biawak memakan waktu yang lama
kira-kira 4 – 6 jam
f. Kurangnya penelitian ilmiah mengenai terumbu karang yang mampu mendukung
pengelolaannya
g. Biaya operasional tinggi
OPPORTUNITIES
h. Tingginya perhatian pemerintah terhadap kelestarian terumbu karang (dibentuknya
Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu)
i. Permintaan terhadap hasil perikanan dan objek wisata yang makin meningkat
j. Tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi karang
THREATS
k. Kerusakan terumbu karang akibat pencemaran
l. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan (bom, racun)
m. Eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan komersil
Hasil analis dari faktor strengths, weaknesses, opportunities dan threats bisa
dilihat pada Gambar 39 dan Tabel 16 berikut:
Gambar 39 Grafik prioritas faktor SWOT terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Tabel 16 Hasil analisis komponen SWOT KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
Komponen SWOT Bobot Prioritas Relatif
Strengths (kekuatan) 0,331 P2
Weaknesess (kelemahan) 0,153 P3
Opportunities (peluang) 0,127 P4
Threats (ancaman) 0,389 P1
74
Hasil analisis komponen SWOT pada KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya menunjukkan bahwa ancaman (threats) menempati prioritas utama
dalam pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dengan nilai sebesar
0,389, kemudian diikuti oleh faktor kekuatan (strengths) sebesar 0,331, faktor
kelemahan (weaknesses) sebesar 0,153 dan faktor peluang (opportunities)
sebesar 0,127 (Tabel 18).
Pencemaran lingkungan terhadap terumbu karang, penangkapan ikan
dengan cara tidak ramah lingkungan (penggunaan bom dan racun) serta
pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan komersil (pengambilan karang untuk
ikan hias) merupakan prioritas utama yang paling penting untuk diperhatikan
dalam pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
kondisi saat ini dimana kondisi terumbu karang Pulau Biawak dan sekitarnya
dalam kategori buruk hingga sedang dengan kisaran tutupan karang hidup antara
22,7±5,9% – 45,7±13,2%.
Untuk lebih merinci tentang faktor dominan dalam pengelolaan terumbu
karang sebagaimana analisis yang telah dilakukan berikut disampaikan uraian
tingkat prioritas dari masing-masing faktor pendukung seperti kekuatan,
kelemahan, peluang/kesempatan dan ancaman.
1) Prioritas pada faktor kekuatan
Berdasarkan pengamatan dan analisis yang telah dilakukan teridentifikasi
beberapa faktor kekuatan yang menjadi pendukung dalam pengelolaan terumbu
karang yaitu a) status kawasan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah dengan
kekuatan hukum melalui Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 556/Kep.528-
Diskanla/2004 dan adanya legitimasi yang kuat terkait pengelolaan terumbu
karang dengan PERDA No.14 Tahun 2006 yang memiliki asas-asas sebagai
berikut:
a) Perlindungan pelestarian dan keanekaragaman hayati berserta
ekosistemnya untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
b) Pemanfaatan potensi sumberdaya secara berkelanjutan yang dititik
beratkan pada pertimbangan aspek ekologis
75
c) Dalam pengelolaan KKLD prinsip-prinsip keterbukaan, kebersamaan,
keadilan dan perlindungan hukum bagi setiap pemangku kepentingan.
d) Proses-proses dalam perencanaan dan pengelolaan KKLD akan dilakukan
secara mufakat, keterpaduan, kesimbangan, berkelanjutan, berkeadilan dan
berbasis-masyarakat.
Faktor pendukung kedua adalah b) luasnya sebaran terumbu karang yang
mengelilingi Pulau Biawak dan sekitarnya, dan faktor ketiga adalah c)
keanekaragaman karang yang tinggi sehingga berpotensi untuk kegiatan wisata
bahari. Skala prioritas dari faktor kekuatan bisa dilihat pada Gambar 40 dan Tabel
17 berikut:
Gambar 40 Grafik prioritas faktor kekuatan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Tabel 17 Hasil analisis faktor kekuatan pengelolaan terumbu karang
Faktor Kekuatan (Strengths) Bobot Prioritas Relatif
Statusnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, yang
pemanfaatan sumberdaya alamnya mengandung misi konservasi 0,657 P1
Luasnya sebaran terumbu karang di sekitar perairan Pulau Biawak
dan sekitarnya. 0,249 P2
Keanekaragaman karang tinggi sehingga memiliki potensi wisata
bahari. 0,094 P3
Adanya Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 556/Kep.528-
Diskanla/2004 dan PERDA No.14 Tahun 2006 menjadi legitimasi yang kuat
dalam pengelolaan terumbu karang, sehingga keberadaan PERDA tersebut
menjadi faktor prioritas utama dalam pengelolaan terumbu karang.
76
2) Prioritas pada faktor kelemahan
Faktor kelemahan yang bisa teridentifikasi dalam pengelolaan terumbu
karang adalah; d) lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap
eksploitasi terumbu karang; e) akses penyeberangan dari daratan menuju Pulau
Biawak memakan waktu yang lama kira-kira 4-6 jam; f) kurangnya penelitian
ilmiah mengenai terumbu karang yang mampu mendukung pengelolaannya; dan
g) biaya operasional tinggi. Skala prioritas dari faktor kelemahan bisa dilihat pada
Gambar 41 dan Tabel 18 berikut:
Gambar 41 Grafik prioritas faktor kelemahan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Tabel 18 Hasil analisis faktor kelemahan pengelolaan terumbu karang
Faktor Kelemahan (Weaknesses) Bobot Prioritas Relatif
Lemahnya Pengawasan dan penegakan hukum terhadap
eksploitasi terumbu karang 0,353 P1
Akses penyebrangan dari daratan menuju Pulau Biawak
memakan waktu yang lama kira-kira 4-5 jam 0,238 P3
Kurangnya penelitian ilmiah mengenai terumbu karang yang
mampu mendukung pengelolaannya 0,279 P2
Biaya operasional tinggi 0,130 P4
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan
eksploitasi terumbu karang menjadi prioritas pertama yang harus diperhatikan
sebesar 35,3% dalam pengelolaan terumbu karang, hal ini disebabkan karena
sering terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan dengan
penggunaan bom dan racun. Prioritas kedua dengan bobot 27,9% adalah perlunya
kegiatan-kegiatan ilmiah untuk mengumpulkan data kondisi karang di KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya karena data yang terkumpul sampai penelitian ini
dilaksanakan sangatlah minim.
77
Gambar 42 Grafik persepsi masyarakat terhadap pengawasan terumbu karang.
3) Prioritas pada faktor peluang
Faktor peluang yang bisa teridentifikasi dalam pengelolaan terumbu
karang adalah; h) tingginya perhatian pemerintah dan LSM terhadap kelestarian
terumbu karang (dibentuknya Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu); i)
permintaan terhadap hasil perikanan dan objek wisata yang makin meningkat; dan
j) tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi karang. Skala prioritas dari
faktor peluang bisa dilihat pada Gambar 43 dan Tabel 19 berikut:
Gambar 43 Grafik prioritas faktor peluang terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Tabel 19 Hasil analisis faktor peluang pengelolaan terumbu karang
Faktor Peluang (Opportunities) Bobot Prioritas Relatif
Tingginya perhatian pemerintah terhadap kelestarian terumbu
karang (dibentuknya Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu) 0,634 P1
Permintaan terhadap hasil perikanan dan objek wisata yang
makin meningkat 0,240 P2
Tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi karang 0,126 P3
Tingginya perhatian pemerintah terhadap kelestarian terumbu karang
menjadi faktor pendukung yang menempati prioritas pertama dengan bobot
78
63,4%, hal ini terlihat dengan dibentuknya Forum Pengelola KKLD Kabupaten
Indramayu dimana keanggotannya merupakan gabungan dari berbagai dinas dan
instansi.
4) Prioritas pada faktor ancaman
Faktor ancaman yang bisa teridentifikasi dalam pengelolaan terumbu
karang adalah; k) kerusakan terumbu karang akibat pencemaran; l) kegiatan
penangkapan ikan yang merusak lingkungan; dan m) Eksploitasi/pemanfaatan
terumbu karang untuk tujuan komersil. Skala prioritas dari faktor ancaman bisa
dilihat pada Gambar 44 dan Tabel 20 berikut:
Gambar 44 Grafik prioritas faktor ancaman terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Tabel 20 Hasil analisis faktor ancaman dalam pengelolaan terumbu karang
Faktor Ancaman (Threats) Bobot Prioritas Relatif
Kerusakan terumbu karang akibat pencemaran 0,347 P2
Kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan (bom
dan racun) 0,534 P1
Eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan
komersil 0,118 P3
Kondisi terumbu karang yang mengalami penurunan akibat kegiatan
penangkapan ikan yang merusak lingkungan (bom dan racun) perlu mendapat
perhatian khusus dalam pengelolaan terumbu karang, sehingga kegiatan
penangkapan secara merugikan ini mendapat prioritas pertama pada faktor
ancaman terhadap pengelolaan terumbu karang dengan nilai bobot 53,4%.
Selanjutnya prioritas alternatif kebijakan pengelolaan terumbu karang di
evaluasi berdasarkan faktor-faktor SWOT yang sudah diidentifikasi. Tabel 21
menunjukan hasil analisis A'WOT yang menghasilkan berbagai alternatif
79
kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang dengan variasi bobot berkisar 0,047
sampai dengan 0,291. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan dengan bobot
tertinggi adalah Upaya pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi
terumbu karang, kemudian diikuti dengan peningkatan kerjasama, koordinasi dan
kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Tabel 21 Hasil analisis kebijakan pengelolaan terumbu karang
Kebijakan Pengelolaan Terumbu karang Bobot Prioritas Relatif
Upaya pelestarian, perlindungan, dan
peningkatan kondisi terumbu karang
0,291 P1
Pengembangan kapasitas dan kapabilitas
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota
0,161 P3
Penyusunan rencana tata ruang pengelolaan
wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan
kelestarian terumbu karang
0,047 P7
Peningkatan kerjasama, koordinasi dan
kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
masyarakat dalam pengambilan keputusan
0,201 P2
Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir
melalui pengembangan kegiatan ekonomi
kerakyatan
0,101 P5
Pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, penelitian, sistem informasi,
pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan
terumbu karang
0,091 P6
Peningkatan pendanaan untuk pengelolaan
terumbu karang
0,107 P4
Gambar 45 Grafik prioritas terhadap alternatif kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
80
Hasil lengkap rumusan alternatif kebijakan dalam pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai berikut:
1) Upaya pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang;
2) Peningkatan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan;
3) Pengembangan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
4) Peningkatan pendanaan untuk pengelolaan terumbu karang;
5) Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan
kegiatan ekonomi kerakyatan;
6) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem
informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan terumbu karang;
7) Penyusunan rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk
mempertahankan kelestarian terumbu karang.
5 PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Terumbu Karang
Terumbu karang yang tersebar di wilayah pesisir, keberadaannya akan
selalu mendapat tantangan dari faktor antropogenik dan alam termasuk
didalamnya penangkapan ikan berlebih (overfishing), praktek penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing), pembangunan untuk wisata,
pemutihan karang (coral bleaching), pengasaman air laut (acidification), sea-level
rise, blooming alga, pencemaran, penyakit karang, kehadiran spesies pemangsa
karang, dan kerusakan akibat angin topan/badai (Crabbe 2010). Faktor alam dan
intensitas antropogenik yang meningkat perlu mendapatkan perhatian yang lebih,
karena dampaknya terhadap kondisi karang hidup pada suatu ekosistem terumbu
karang sangat besar.
Dari hasil survei luasan tutupan karang hidup di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya yang dilakukan pada 5 (lima) stasiun, secara keseluruhan didapatkan
bahwa karang yang hidup didominasi oleh jenis karang massive. Hal ini karena
jenis karang massive memiliki tingkat kerentanan yang lebih baik dibandingkan
dengan jenis karang bercabang (branching coral) terhadap gangguan yang berasal
dari alam maupun aktivitas manusia (antropogenik). Jenis karang bercabang akan
mudah rusak atau patah jika terkena benturan keras atau bom.
Berdasarkan hasil penelitian, persentase tutupan karang hidup KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya antara 22,7±5,9% – 45,7±13,2% yang tergolong
pada kategori buruk hingga sedang (Gomez et al. 1994). Persentase karang mati
bervariasi antara 10,4±8,0%–58,9±23,2% pada kedalaman 3 m dan 2,5±1,7% –
32,0±16,6% pada kedalaman 10 m. Selain persentase karang mati, patahan karang
juga memiliki nilai persentase yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari persentase
patahan karang pada masing-masing stasiun yang berkisar antara 4,2±6,7% –
62,3±15,0% pada kedalaman 3 m dan 20,3±6,5% – 68,4±10,6% pada kedalaman
10 m.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi terumbu karang di
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dapat digambarkan berdasarkan skema
82
pengelolaan di kawasan konservasi laut yang merupakan modifikasi dari kerangka
pengelolaan dan faktor-faktor yang memicu perubahan ekosistem atau habitat
dalam suatu kawasan konservasi perairan menurut Martinez et al. (2009) (Gambar
46).
Gambar 46 Skema pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya. (Modifikasi kerangka pengelolaan Marine Protected Area, Martinez
et al. 2009)
Faktor antropogenik yang menyebabkan hancurnya terumbu karang di
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya yaitu: kegiatan penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan, aktivitas penambatan jangkar dari perahu nelayan yang
bersandar di pulau dan adanya pencemaran air laut dari tumpahan minyak pada
tahun 2005.
Kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang masih
terjadi di kawasan antara lain kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan
beracun seperti sianida (potassium) dan penggunaan bahan peledak atau bom.
Penggunaan bahan beracun seperti sianida banyak dilakukan oleh para pemburu
83
ikan hias. Selain pemburu ikan hias, terumbu karang juga mengalami kerusakan
dari aktivitas pengambilan karang hias untuk kepentingan perdagangan baik lokal
maupun untuk ekspor. Pemburu ikan hias dan pengambil karang hias bukan
berasal dari daerah Indramayu melainkan dari wilayah lain. Menurut informasi
petugas penjaga mercusuar di Pulau Biawak, sering menemukan pemburu ikan
hias dan terumbu karang yang membawa senjata dalam operasinya hingga petugas
tidak dapat berbuat banyak untuk memperingatkannya.
Berkurangnya persentase tutupan karang yang disebabkan oleh kegiatan
penangkapan ikan konsumsi dengan sianida di Indonesia diestimasi berkisar
antara 0,05–0,06 m2 per 100 m
2 per tahun (Mous et al. 2000). Kerusakan terumbu
karang lebih besar lagi bila target ikan yang ditangkap adalah ikan hias
ornamental, karena ikan tangkapan berukuran kecil sehingga karang bercabang
akan hancur dalam area yang cukup luas, sekitar 0,4% karang hilang per tahunnya
(McManus et al. 1997, in Mous et al. 2000).
Jones dan Gulberg (1999) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi
akibat kegiatan penangkapan ikan dengan sianida adalah terjadinya pemutihan
(bleaching) karang, yang disebabkan hilangnya zooxanthela pada karang ketika
karang terkena sianida. Gambar 47 memperlihatkan kondisi karang yang
mengalami bleaching sebagai indikasi akibat praktek penangkapan ikan dengan
sianida di wilayah utara Pulau Biawak.
Sumber foto: Sukendi (foto pengamatan di lokasi P. Biawak, 2010)
Gambar 47 Coral Bleaching, indikasi dari penangkapan ikan dengan sianida.
Penggunaan bahan peledak (bom) di kawasan Pulau Biawak juga sering
terjadi. Hanya saja, pelaku pemboman tidak diketahui dengan pasti apakah
84
nelayan Indramayu atau nelayan dari luar Indramayu. Salah satu ciri bahwa
terumbu karang mengalami kerusakan adalah banyaknya karang dalam bentuk
patahan kecil yang berserakan di dasar perairan dengan luasan yang cukup luas.
Wilayah utara Pulau Biawak (Stasiun 3) memperlihatkan bukti masih
berlangsungnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom.
Berdasarkan hasil penelitian, wilayah utara Pulau Biawak memiliki nilai tutupan
karang hidup paling rendah yaitu 26,4±10,7% pada kedalaman 3 m dan 24,9±15,2
% pada kedalaman 10 m. Patahan karang di wilayah ini relatif paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya yaitu 62,3±15,0% pada kedalaman 3 m dan
41,5±18,9% pada kedalaman 10 m. Hal ini disebabkan karena wilayah utara pulau
adalah wilayah yang kurang mendapat pengawasan mengingat aktivitas manusia
terkonsentrasi di wilayah selatan. Keberadaan penjaga mercusuar di wilayah
selatan, sedikitnya mampu menjaga kondisi terumbu karang disekitar wilayah
selatan lebih baik.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dianggap menjadi
salah satu faktor utama yang menyebabkan rusaknya terumbu karang di perairan
Indonesia (Erdman 2000, in Fox et al. 2000). Bom skala rumah tangga dari TNT,
potassium klorida atau amonium nitrat dengan ukuran 0,5 kg sampai 10 kg yang
diledakan di area terumbu karang dapat menghancurkan karang dengan radius 1–
5 m dan membunuh organisme laut lainnya dengan radius 77 meter (Jennings dan
Lock 1996, in Fox et al. 2000).
Sumber foto: Sukendi (foto pengamatan di lokasi P. Biawak, 2010)
Gambar 48 Patahan karang indikasi penangkapan ikan dengan bahan peledak.
Kerusakan terumbu karang berpengaruh terhadap keberadaan ikan-ikan
indikator, karena ikan-ikan ini berasosiasi paling kuat dengan karang. Hal ini
85
terlihat dengan rendahnya jumlah ikan indikator yang ditemukan selama
penelitian yaitu sebanyak 5 (lima) jenis dengan kelimpahan terbanyak didominasi
oleh ikan Chaetodon octofasciatus.
Keberadaan Pulau Biawak di utara Pulau Jawa digunakan para nelayan
pencari ikan sebagai tempat untuk peristirahatan atau transit kapal. Hampir setiap
malam selama penelitian berlangsung, banyak kapal bersandar di Pulau Biawak.
Selain itu, bila cuaca buruk, para nelayan menjangkarkan kapalnya di Pulau
Biawak dan bermalam hingga cuaca kembali membaik. Aktivitas turun naik
jangkar ini menyebabkan rusaknya terumbu di wilayah selatan Pulau Biawak.
Jangkar menyebabkan kerusakan pada terumbu karang pada saat proses
membuang jangkar, mengatur dan mengambil jangkar (Dinsdale 2004a). Karang
terbelah dan pada saat jangkar menghantam subsrat karang. Setelah terpasang,
kerusakan berikutnya terjadi saat rantai jangkar ditarik pada stuktur substrat
karang. Jika jangkar tersangkut pada koloni karang, karang akan terbalik pada saat
pengambilan jangkar (Dinsdale 2004a).
Patahan karang selain sebagai indikasi adanya penangkapan dengan
menggunakan bahan peledak, juga merupakan indikasi proses penjangkaran kapal.
Pada terumbu karang yang rusak dan sudah terangkat, biota pada terumbu karang
jarang ditemukan dan digantikan patahan karang mati (Dinsdale 2004b). Jangkar
dapat menyebabkan karang terbelah dan terpecah kemudian mati dan menjadi
patahan karang (Saphier dan Hoffman 2005). Pada kedalaman 3 m terlihat bahwa
persentase patahan karang mencapai 36,0±12,5% di wilayah selatan pulau
(Stasiun 2).
Pada tahun 2005, berdasarkan informasi yang dikumpulkan, pernah terjadi
pencemaran dari tumpahan minyak di sekitar Pulau Biawak dan Pulau Gosong.
Tumpahan minyak dapat menyebar dan memberi dampak pada daerah
penangkapan, ekosistem pesisir dan pantai. Peristiwa ini juga memberi dampak
pada ekosistem pesisir di sekitar kawasan konservasi Pulau Biawak.
Minyak mengalami kontak dengan karang dengan berbagai cara. Minyak
memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan air, sehingga umumnya minyak
akan mengapung diatas permukaan karang. Beberapa karang akan berada di
permukaan pada saat air laut surut, hal ini menyebabkan karang mengalami
86
kontak langsung dengan minyak sehingga karang tertutup oleh minyak. Gerakan
ombak akan memecah minyak menjadi tetesan minyak di dalam kolom air.
Lambat laun tetesan ini akan bersentuhan dengan karang. Pada beberapa tempat
yang memiliki kandungan partikel yang tinggi di sekitar terumbu karang, minyak
akan menyatu dengan partikel mineral dan tenggelam. Partikel yang mengandung
minyak ini akan mempengaruhi karang (IPIECA 2000). Lebih buruk lagi, partikel
mengandung minyak akan tenggelam dan sampai pada dasar perairan, sehingga
dasar perairan terkontaminasi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat
menyebabkan dampak yang berat terhadap organisme bentik karena sedimen
mengeluarkan komponen beracun (Farrington 1999, in Haapkyla et al. 2007).
Sumber foto: Arsip Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu Tahun 2005
Gambar 49 Pencemaran minyak di pesisir Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2005.
Dampak kronis dari pencemaran oleh minyak terhadap karang adalah
dapat menyebabkan matinya seluruh koloni karang. Dampak kronis antara lain
mempengaruhi histologi, biokimia, perilaku, reproduksi, dan perkembangan
karang (NOAA 2010). Peristiwa tumpahan minyak di cagar alam Eliat (Laut
Merah) menyebabkan struktur karang berubah secara drastis dan belum berubah
seperti kondisi pada saat sebelum terkena polusi hingga lebih dari 10 tahun (Loya
1976a, in Loya dan Rinkevich 1980).
Pengumpulan data kondisi terumbu karang di kawasan konservasi Pulau
Biawak dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: 1) melakukan pengamatan langsung
di lapangan; dan 2) melakukan pengumpulan data sekunder terhadap penelitian
atau pengamatan sebelumnya. Sampai penelitian ini dilaksanakan, data persentase
tutupan karang yang ditemukan sangat minim sekali, hal ini dikarenakan
87
kurangnya kegiatan monitoring dan evaluasi kondisi terumbu karang di kawasan
konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya.
Dari hasil pengumpulan data sekunder didapatkan data persentase tutupan
karang yang merupakan hasil penelitian Departemen Kelautan dan Perikanan pada
tahun 2003. Kondisi tutupan karang tahun 2003 menggambarkan kondisi terumbu
karang sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, sementara data
pengamatan tahun 2010 menggambarkan kondisi terumbu karang setelah Pulau
Biawak dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah.
Untuk memperoleh gambaran bagaimana persentase tutupan terumbu
karang di Pulau Biawak dan sekitarnya, Tabel 22 memperlihatkan persentase
tutupan terumbu karang sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi (DKP
2003)
Tabel 22 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2003
Lokasi Kedalaman
(m)
Karang
Hidup (%)
Karang
mati (%)
Abiotik
(%)
Alga
(%)
Biota
Lain (%)
P. Biawak 3 52.4 12.7 32.2 2.6 -
10 23.1 39.9 35.9 - 1.0
P. Gosong 3 31.4 12.2 48.2 7.0 1.2
10 14.5 37.9 41.8 0.3 0.8
P. Candikian 3 53.6 29.3 9.1 1.6 3.6
10 52.7 47.2 - - -
Sumber: DKP 2003
Meskipun hasil dari survey yang dilakukan DKP tahun 2003 dan
pengamatan pada tahun 2010 tidak dapat semata-mata dibandingkan, dikarenakan
tidak adanya titik koordinat pada hasil survey tahun 2003 dan tanda pada lokasi
pengambilan data, sehingga adanya kemungkinan perbedaan penyimpangan titik
lokasi pengambilan data, namun dari kedua data tersebut dapat memberikan
gambaran mengenai kondisi terumbu karang di kawasan tersebut. Berdasarkan
data tutupan karang hidup pada Tahun 2003, tutupan karang hidup di Pulau
Biawak dan sekitarnya bervariasi antara 14,5-53,6%, dengan demikian kondisi
terumbu karang berada pada kategori buruk hingga baik. Sementara data
persentase turupan karang hidup di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya pada
Tahun 2010 memperlihatkan nilai tutupan bervariasi antara 22,7±5,9% –
45,7±13,2%, sehingga berada pada kategori buruk hingga sedang. Berdasarkan
88
kedua data tersebut kondisi persentase tutupan karang hidup tidak mengalami
perubahan yang signifikan, bahkan beberapa lokasi memperlihatkan penurunan
persentase tutupan karang hidup. Kondisi tutupan karang hidup di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya masih dalam kategori buruk hingga sedang.
5.2 Peran dan Kepentingan Stakeholder
Dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya, para stakeholder diharapkan saling berinteraksi dan berkolaborasi
untuk menentukan pola pengelolaan yang tepat agar tidak merugikan salah satu
atau beberapa pihak yang bersangkutan. Hal ini diperlihatkan dengan
partisipasi/peran serta dari masing-masing stakeholder dalam pengelolaan
tersebut. Skema peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD
Pulau Biawak dan sekitarnya tersaji pada Gambar 50.
Gambar 50 Skema peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu
karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu berperan sebagai
pengorganisir dan pengontrol sekaligus stakeholder kunci dalam pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya karena merupakan
stakeholder yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi dalam
pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, hal ini diperkuat dengan adanya
SK Bupati Indramayu Nomor: 556/Kep.528-Diskanla/2004 dimana didalamnya
memutuskan menugaskan Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu untuk
mempersiapkan rencana pengelolaan KKLD dan mengkoordinasikan serta
89
mensosialisasikan dengan pihak terkait. Selanjutnya diperkuat lagi dengan
dikeluarkannya Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-
Diskanla/2006 tentang Forum Pengelola KKLD Kabupaten Indramayu dimana
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan bertindak selaku ketua forum. Susunan
dari forum pengelola ini dapat mengalami perubahan sesuai dengan
kebutuhannya, tercatat pada tahun 2007, Bupati Indramayu mengeluarkan Surat
Keputusan baru tentang Pembentukan Forum Pengelola Kawasan Konservasi
Laut Daerah Kabupaten Indramayu dengan Nomor: 523.9/Kep.466A-
Diskanla/2007.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu tentang Pembentukan
Forum Pengelola Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Indramayu
dengan Nomor: 523.9/Kep.466A-Diskanla/2007, segala bentuk biaya
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam menetapkan
APBD salah satu lembaga yang berperanan penting dalam terealisasinya
anggaran untuk kegiatan pemerintah daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki kepentingan rendah
terhadap pengelolaan terumbu karang, namun memiliki pengaruh yang tinggi
terhadap keberhasilan dalam pengelolaan terumbu karang. DPRD berperan dalam
membuat keputusan dalam program kerja yang diusulkan oleh pemerintah daerah,
apakah mereka menyetujui atau tidak. Sehingga pengelola KKLD harus menaruh
perhatian terhadap kondisi ini. Berdasarkan peran dan fungsinya, DPRD memiliki
3 (tiga) fungsi yaitu: 1) fungsi legislasi; 2) fungsi anggaran; dan 3) fungsi
pengawasan. Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut secara ideal diharapkan dapat
melahirkan output yaitu: 1) Peraturan Daerah (PERDA) yang aspiratif dan
responsif; 2) anggaran belanja daerah (APBD) yang efektif dan efisien; dan 3)
terdapatnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas
(Kartiwa 2006).
Dalam Pasal 19 ayat 2, UU 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa
penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah dan DPRD,
kemudian pada pasal 40 ditegaskan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur
Pemerintah Dearah yang bersama-sama dengan Kepala Daerah membentuk dan
90
membahas APBD. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hubungan antara
Pemerintah Dearah dan DPRD merupakan mitra sejajar yang sama-sama
melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Hubungan
tercermin dalam pembuatan kebijakan daerah yang berupa Peraturan Daerah.
Dengan demikian antara kedua lembaga tersebut harus membangun hubungan
yang saling mendukung dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Untuk itu
perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD dalam pengelolaan terumbu karang di
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Peranan DPRD dalam penyusunan APBD
dapat dilihat pada Gambar 51.
Keterangan: APBD = Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
PPAS = Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
RKA-SKPD = Rencana Kerja Anggaran-Satuan Kerja Perangkat Daerah
RKA-PPKD = Rencana Kerja Anggaran-Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Gambar 51 Peran DPRD dalam Proses penyusunan APBD.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) berperan sebagai
pendukung dalam pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya. Bappeda berperan dalam menentukan perencanaan pembangunan
suatu daerah setiap tahunnya. Menurut aturan KEPRES Nomor 27 Tahun 1980,
dalam BAB I bahwa badan ini adalah Badan Staf yang langsung dibawah dan
91
bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Dimana Bappeda berperan sebagai
pembantu kepala daerah dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan
pembangunan daerah. Peran dan fungsi Bappeda adalah: 1) Perumusan kebijakan
teknis bidang perencanaan pembangunan daerah; 2) Pemberian perizinan dan
pelaksanaan pelayanan umum bidang perencanaan pembangunan daerah; dan 3)
Pemberian pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seperti
halnya DPRD, maka dipandang perlu untuk memperkuat peran dan fungsi
Bappeda dalam pengelolaan terumbu karang kedepannya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan,
Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perhubungan dan
Kantor Lingkungan Hidup merupakan stakeholder pendukung dalam pengelolaan
terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan sebagai pendukung dan
pelaksana dalam pengelolaan terumbu karang. LSM yang bergerak di bidang
lingkungan memiliki visi dan misi menciptakan kelestarian lingkungan, sehingga
dukungan lembaga ini terhadap pengelolaan terumbu karang sangat bermanfaat.
Pengalaman serta upaya yang telah dilakukan LSM terkait pengelolaan terumbu
karang akan sangat membantu dalam keberhasilan pengelolaan selanjutnya.
Masyarakat memiliki kepentingan yang kuat terhadap pengelolaan
terumbu karang, mereka berperan sebagai pemanfaat, pelaksana sekaligus
pengontrol dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya. Hanya saja, pada kasus pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya, peranan masyarakat dalam pengelolaannya sangat rendah
dikarenakan lokasi KKLD yang cukup jauh dari lokasi penduduk lokal
Indramayu. Sehingga fungsi masyarakat sebagai pengontrol menjadi kurang.
Masyarakat tidak dapat optimal dalam membantu pengawasan terumbu karang.
Sistem pengelolaan dengan berbasis masyarakat tidak akan terlaksana dengan baik
apabila diterapkan dalam pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di
Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya disajikan pada
Tabel 23.
92
Tabel 23 Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang
di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
Stakeholder Peran yang dilakukan dalam
pengelolaan terumbu karang
Kepentingan dalam pengelolaan
terumbu karang
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Stakeholder kunci - Menjalankan fungsi
pengelolaan KKLD sesuai SK Bupati
Indramayu
1. Implementasi visi dan misi Dinas
Perikanan dan Kelautan Kab.
Indramayu
2. Merupakan Tugas Pokok dan Fungsi
dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.
Indramayu
3. Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan Kab. Indramayu
khususnya di sekitar KKLD
Pemerintah Pusat
(Kementerian
Kelautan dan
Perikanan)
1. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman
dan Kriteria dalam pengelolaan terumbu
karang
2. Pembiayaan dalam pengelolaan
terumbu karang
Implementasi visi dan misi terkait
pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan
Konservasi Perairan
DPRD 1. Penetapan kebijakan publik terkait
pengelolaan terumbu karang
2. Penerbitan Peraturan Daerah terkait
pengelolaan terumbu karang
3. Meningkatkan peran KKLD P. Biawak
sebagai daerah wisata
Implementasi Misi DPRD Kab
Indramayu: Berperan aktif dalam
percepatan dan mendukung proses
pengambilan kebijakan publik yang
berkualitas
BAPPEDA Pemetaan dan penyusunan data untuk
perencanaan tata ruang
Mewujudkan Tata Ruang Daerah
Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
1. Rehabilitasi kawasan
2. Peningkatan kualitas lingkungan
Perlindungan dan Pengamatan hutan
Dinas Pemuda
Olahraga
Kebudayaan dan
Pariwisata
1. Promosi KKLD
2. Peningkatan kegiatan wisata bahari
3. Penyediaan operator wisata
Meningkatkan nilai pariwisata Kab.
Indramayu
Dinas
Perhubungan
Secara tidak langsung membantu
pengawasan perairan KKLD karena
adanya petugas mercusuar
Sekitar KKLD merupakan jalur
transportasi kapal
Kantor LH 1. Pengembangan teknologi
2. Pengembangan data dan informasi
3. Pengendalian pencemaran
4. Rehabilitasi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
LSM Siklus 1. Pemberdayaan masyarakat sekitar
KKLD
2. Program rehabilitasi terumbu karang
3. Peningkatan kerjasama dan kinerja
antar lembaga
4. Pemantauan kondisi terumbu karang
1. Melestarikan alam dan
mensejahterakan masyarakat Indramayu
2. Menjalin kemitraan dengan
pemerintah dalam menjalankan
program
Universitas
Wiralodra
1. Kegiatan penelitian
2. Praktek Kerja Lapang mahasiswa
3. Program rehabilitasi terumbu karang
4. Program edukasi terhadap masyarakat
sekitar KKLD
Meningkatkan pelaksanaan dan kualitas
Tri Dharma Perguruan Tinggi
menghasilkan ilmuan yang profesional,
mandiri, dan bertanggung jawab
terhadap masyarakat indramayu dan
mampu bersaing dalam menghadapi era
globalisasi di dunia perguruan tinggi
Mahasiswa
Pencinta Alam
1. Membantu program rehabilitasi
kawasan
Melestarikan alam
Masyarakat 1. Pemanfataan yang ramah lingkungan
dan tidak merusak ekosistem
2. Berpartisipasi dalam rehabilitasi
terumbu karang
Pemanfaatan sumberdaya terumbu
karang
93
5.3 Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya
tidak terlepas dari pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya secara
keseluruhan. Terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya merupakan salah
satu bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) secara yuridis dan
fakta merupakan daerah konservasi dan perlindungan sekaligus sebagai kawasan
pariwisata. Kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Indramayu sebagai daerah otonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam di
wilayah pesisir dan laut, didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (3) kewenangan daerah untuk
mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: (huruf a): eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut.
Pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya secara legal dikelola
oleh Forum Pengelola KKLD Kabupaten Indramayu sesuai dengan Surat
Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006.
Sehingga pengelolaan terhadap terhadap terumbu karang di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya pada dasarnya menjadi kewenangan forum ini. Pembentukan
forum pengelola KKLD merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Indramayu sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengelola KKLD
sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan SK tersebut, Kepala Dinas Perikanan dan
Kelautan ditetapkan sebagai ketua forum, sehingga jabatan ketua dan
keanggotaannya melekat pada bidang/jabatan dalam sebuah instansi, bukan pada
orang perseorangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kelembagaan dan
lembaga yang mengelola terumbu karang sangat penting keberadaannya dalam
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Dalam
pengelolaan sumberdaya hayati laut, lembaga pengelola dibentuk oleh Pemerintah
untuk mengelola terumbu karang dan menyelesaikan setiap konflik diantara
pengguna dari manfaat terumbu karang. Oleh karena itu, kemampuan pengelola
dalam mengelola terumbu karang menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan
pengelolaan terhadap terumbu karang di KKLD.
94
Bila dilihat dari pemegang kendali pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya, maka pengendalian pengelolaan diklasifikasikan pada model
pengelolaan oleh pemerintah (command and control). Model command and
control merupakan model konvensional yang memungkinkan pemerintah
memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya yang ada termasuk
melakukan pengawasan melalui organisasi formal didasarkan pada fungsi alokasi,
distribusi dan stabilisasi (Salim 2010). Fungsi alokasi melalui regulasi
dimaksudkan untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang
ditetapkannya. Fungsi distribusi dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan
keadilan dan kewajiban sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap
orang atau kelompok. Sementara itu, fungsi keadilan dilakukan dalam bentuk
keberpihakan kepada mereka yang posisinya lemah.
Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis pemerintah adalah
pengelolaan sumberdaya terumbu karang dengan pemerintah sebagai pemegang
kuasa dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Pemerintah
memiliki seluruh hak yang berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya, yaitu hak
memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan (Priyono 2004).
Sebagai konsekuensi dari model pengelolaan ini, maka pemerintah sebagai
pengelola harus mampu menyediakan pendanaan dalam rangka pengelolaan
KKLD. Sumber pendanaan KKLD yang bisa diidentifikasi diperoleh dari:
1. Pembiayaan dari pemerintah pusat, pembiayaan dari pemerintah pusat
bersumber dari APBN, anggaran dari pusat ini sangat terbatas dan kurang
memadai dalam menunjang program-program KKLD.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU), DAK
dapat digunakan dalam mendukung program pengelolaan KKLD untuk
program yang sangat mendesak/penting. Program-program yang dianggap
penting harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. DAU dapat
digunakan dalam pengelolaan KKLD dalam jumlah yang kecil karena
DAU disalurkan ke daerah untuk berbagai kepentingan.
3. Pembiayaan dari pemerintah daerah, pembiayaan dari pemerintah didapat
dari hasil PAD yang berasal dari berbagai sumber, diantaranya retribusi,
BUMD dan lainnnya.
95
4. Pembiayaan dari lainnya, sumber pembiayaan dari lainnya adalah bantuan
atau pinjaman dari luar negeri. Dengan bantuan pemerintah pusat,
pemerintah daerah dapat mengakses pinjaman dan atau hibah dari luar
negeri yang diperuntukkan bagi pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya.
Pada kenyataannya pengelolaan sumberdaya yang berpusat pada
pemerintah mengandung beberapa kelemahan diantaranya (Nikijuluw 2001, in
Satria 2002):
1. Keterlambatan pemerintah dalam menegakkan aturan yang sudah
ditetapkan;
2. Kesulitan dalam penegakan hukum karena kurangnya aparat atau personel
dan fasilitas untuk melakukan pengawasan maupun pengendalian;
3. Ketidak sesuaian antara peraturan yang dibuat pemerintah pusat dengan
kenyataan di lapangan;
4. Munculnya berbagai peratutan yang saling bertentangan satu sama lain;
5. Tingginya biaya transaksi, khususnya dalam biaya sosialisasi, biaya
pemantauan, biaya pelaporan, dan biaya kegiatan yang tidak diantisipasi
sebelumnya;
6. Banyaknya wewenang yang tersebar di banyak instansi departemen
sehingga seringkali menyebabkan masalah dalam koordinasi;
7. Ketidakakuratan data dan informasi yang didapatkan pemerintah sehingga
menyebabkan ketidaktepatan keputusan yang diambil;
8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen dapat terjadi ketika
pemerintah harus cepat mengatasi masalah-masalah yang muncul di
lapangan.
Forum pengelola sebagai lembaga pengelola KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya harus dapat memberikan tindakan atau respon yang tepat dalam
melakukan pengelolaan terumbu karang. Bila melihat skema pengelolaan terumbu
karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya pada Gambar 46, kondisi terumbu
karang dipengaruhi oleh faktor pemicu kerusakan (alam dan antropogenik) dan
bagaimana pengelola kawasan melakukan respon dari sisi pengelolaannya.
Respon tersebut berdasarkan kerangka pengelolaan dan faktor-faktor yang
96
memicu perubahan ekosistem atau habitat dalam suatu kawasan konservasi
perairan menurut Martinez et al. (2009) diantaranya: 1); pengawasan; 2)
partisipasi institusi; 3) penelitian; 4) rehabilitasi dan 5) pendidikan/pelatihan/
edukasi, dimana keberhasilan pengelolaan ini akan dicapai dengan adanya
perencanaan yang benar.
Studi lain menjelaskan bahwa unsur-unsur yang menentukan keberhasilan
pengelolaan terumbu karang dalam suatu wilayah konservasi adalah: 1) Ekosistem
terumbu karang dan nilai pentingnya; 2) Perencanaan dan kerjasama antar
stakeholder; 3) Pengelolaan; 4) Penegakan hukum; 5) Penetapan no take zone; 6)
Pemetaan; 7) Monitoring; 8) Restorasi; 9) Penelitian; 10) Pelatihan; 11)
Pendidikan; 12) Sumber Daya Manusia dan dana; dan 13) Evaluasi dan pelaporan
(U.S. Coral Reff Task Force Working Group on Ecosystem Science and
Conservation 2000).
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor kekuatan (Strength), kelemahan
(Weaknesess), peluang (Oportunity) dan ancaman (Threats) (SWOT), prioritas
pertama yang perlu mendapat perhatian adalah pada faktor ancaman. Dalam
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, faktor-faktor
yang mengancam terumbu karang seperti pengeboman, pencemaran dan
eksploitasi terumbu karang perlu segera direspon dengan cepat. Prioritas pertama
kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya adalah melakukan upaya pelestarian, perlindungan, dan peningkatan
kondisi terumbu karang.
Di dalam pengelolaan sebuah kawasan yang efektif, kegiatan antropogenik
dapat dikendalikan dengan adanya sistem pengawasan yang baik. Di beberapa
kawasan konservasi perairan, pengelola kawasan membentuk tim pengawas yang
bertugas untuk menjaga kelestarian kawasan dengan melakukan patroli di wilayah
kawasan. Kegiatan pemantauan (monitoring), pengendalian (controlling) dan
pengawasan (surveillance) menjadi sangat penting untuk bisa mengendalikan
kegiatan antropogenik dan menciptakan kawasan yang lestari. Martinez et al.
(2009) menyatakan bahwa didalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi
perairan, maka termasuk didalamnya adalah pelaksanaan kegiatan pengawasan,
pengendalian dan pemantauan kawasan.
97
Kegiatan pengawasan yang dilaksanakan di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan masyarakat
melalui kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) sekitar kawasan.
Persepsi masyarakat terhadap fungsi pengawasan di Kawasan Konservasi Pulau
Biawak dan sekitarnya memperlihatkan bahwa 56% responden menyatakan
pengawasan belum optimal (Gambar 52).
Gambar 52 Persepsi masyarakat terhadap pengawasan di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya.
Menurut Martinez et al. (2009) kegiatan antropogenik yang merusak
ekosistem terumbu karang terjadi akibat masih lemahnya pengawasan yang
optimal, dan kegiatan pengawasan belum optimal terjadi akibat beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang menyebabkan belum optimalnya
kegiatan pengawasan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya diantaranya: 1)
Jarak dari daratan menuju pulau Biawak cukup jauh ±50 km; 2) Sumberdaya
manusia belum memenuhi; dan 3) Pendanaan masih mengandalkan pada dana
APBN dan APBD. Kurangnya pendanaan dan lemahnya penegakan aturan
menyebabkan keberadaan kawasan konservasi laut tidak mampu untuk
menciptakan kelestarian bagi ekosistem didalamnya (Lundquist dan Granek 2005,
in Teh et al. 2008). Kurang cukupnya pendanaan suatu KKLD dalam waktu yang
cukup lama mempengaruhi kapasitas dari kegiatan pengawasan di kawasan
tersebut (Evans dan Russ 2004, in Teh et al. 2008). Lemahnya pengawasan akan
berpotensi pada berlangsungnya aktivitas merusak dan mengancam keutuhan
kawasan konservasi (Gribble dan Robertson 1998, in Teh et al. 2008).
Sebagai perbandingan, sebuah kawasan konservasi yang memiliki
pendanaan yang cukup mampu menginvestasikan dananya untuk kegiatan
98
pengawasan dan teknologinya sehingga mampu meningkatkan kapabilitas
pelaksanaan pengawasan kawasan konservasi. Sebagai contoh, pada tahun 2000
otoritas Kawasan Great Barrier Reef Australia menganggarkan satu pertiga dari
anggaran pertahunnya untuk pengawasan, hasilnya mampu menciptakan kondisi
ekosistem yang lebih baik.
Pengelolaan terumbu karang di suatu kawasan konservasi perairan juga
dipengaruhi oleh partisipasi institusi. Institusi yang dimaksud adalah institusi
pemerintah maupun institusi swasta yang terkait dengan pengelolaan terumbu
karang dan berkepentingan dalam pemanfaatan terumbu karang.
Forum yang diketuai oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Indramayu ini harus bisa mengakomodir dan mengoptimalkan fungsi-
fungsi dari institusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu untuk dapat
berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya. Berdasarkan hasil analisis stakeholder, maka dapat dilihat
besarnya pengaruh dan kepentingan dari beberapa institusi seperti Dewan
Perwakilan Rakyat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),
Pemerintah provinsi dan Daerah terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat,
organisasi sosial, bahkan masyarakat, sehingga harus bisa dioptimalkan
peranannya masing-masing dalam pengelolaan terumbu karang.
Dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya, selain peran pemerintah, perlu juga diperhatikan peran pihak swasta.
Bagi institusi swasta, keberadaan kawasan konservasi perairan dalam melindungi
terumbu karang sebagai ekosistem yang berada didalamnya, merupakan peluang
bisnis yang sangat besar. Pihak swasta memiliki kekuatan secara ekonomi dalam
jangka waktu yang panjang untuk mendukung keberadaan dan pengelolaan
kawasan konservasi perairan (Riedmiller 2003). Kemampuan ekonomi serta dana
yang besar dari pihak swasta merupakan aset yang perlu mendapat perhatian dan
jangan sampai terabaikan dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Keterlibatan
pihak swasta di kawasan konservasi terumbu karang di Sabah-Malaysia mampu
mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang ilegal dan perburuan penyu (Teh et
al. 2008). Sebagai hasilnya, secara komparatif terjadi peningkatan kelimpahan
ikan dan banyaknya penetasan penyu di Pulau Lankayan. Teh et al. (2008) juga
99
mengemukakan beberapa poin yang dapat ditingkatkan dengan melibatkan pihak
swasta dalam pengelolaan terumbu karang yaitu: 1) ketersediaan dana dalam
jangka waktu yang panjang; 2) kenakeragaman dan kesehatan karang terjaga
untuk kegiatan wisata; 3) dukungan dalam pengawasan bekerjasama dengan
lembaga pengelola KKLD; dan 4) meminimalisir sosial konflik.
Faktor lain yang mendorong keberhasilan pengelolaan terumbu karang di
kawasan konservasi perairan adalah kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian harus
merupakan bagian dari pengelolaan dan menjadi agenda bagi pengelola dalam
mengelola terumbu karang. Kegiatan penelitian yang menyangkut dalam
pengelolaan terumbu karang adalah: 1) kegiatan monitoring dan survei kondisi
terumbu karang; 2) penelitian eksperimental atau penelitian di laboratorium; 3)
penelitian terhadap teknik dan teknologi terbaru tentang karang; 4) penelitian
terhadap hubungan antara aktivitas manusia dan degradasi karang; dan 5)
penelitian terhadap hubungan antara alam dan manusia yang mempengaruhi
karang (U.S. Coral Reff Task Force Working Group on Ecosystem Science and
Conservation 2000). Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah supaya pengelola
mengetahui secara pasti apakah terumbu karang di kawasan tersebut kondisinya
membaik atau memburuk.
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penelitian di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya, 28% menyatakan ada, 20% menyatakan tidak ada dan 52%
menyatakan tidak tahu. Sementara berdasarkan hasil pengumpulan data sekunder
dilapangan, sangat minim sekali hasil-hasil penelitian terkait terumbu karang di
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya yang didapatkan. Data tentang kondisi
terumbu karang yang didapatkan selama pengumpulan data sekunder tercatat
merupakan data Tahun 2003 hasil penelitian Depatemen Kelautan dan Perikanan
dalam rangka melakukan inventarisasi dan penilaian potensi calon kawasan
konservasi laut daerah di Indramayu, Jawa Barat.
Kerusakan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya salah
satunya adalah karena penggunaan bahan peledak/bom. Ledakan menyebabkan
karang hancur menjadi patahan-patahan yang berserakan di dasar perairan, tidak
jarang menutupi dan mengubur karang lainnya sehingga memperlambat proses
pemulihan karang (recovery). Untuk memperbaiki kondisi ini, pengelola perlu
100
melakukan upaya perbaikan dan pemulihan karang di kawasan sehingga proses
pemulihan dapat segera terjadi. Upaya restorasi dan rehabilitasi karang mampu
memberikan kontribusi dalam kegiatan konservasi terumbu karang (Fox et al.
2005).
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian terumbu karang di
Pulau Biawak dan sekitarnya, 56% menyatakan ada, 6% menyatakan tidak, dan
38% menyatakan tidak tahu. Menurut data yang dikumpulkan, Dinas Kelautan
dan Perikanan Kab. Indramayu sudah melaksanakan kegiatan pelestarian terumbu
karang dengan rehabilitasi terumbu karang. Beberapa diantaranya adalah: 1)
Tahun 2004, kegiatan transplantasi terumbu karang; dan 2) Tahun 2005, membuat
demplot budidaya terumbu karang.
Sumber foto: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu (2004)
Gambar 53 Kegiatan transplantasi karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya.
Sumber foto: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu (2005)
Gambar 54 Kegiatan demplot budidaya terumbu karang di Kab. Indramayu.
101
Unsur keberhasilan lainnya dalam pengelolaan terumbu karang di
Kawasan Konservasi Perairan adalah dengan melaksanakan kegiatan pendidikan
dan/atau pelatihan tentang terumbu karang. Pendidikan merupakan bidang yang
dapat mendukung tercapainya tujuan pengelolaan terumbu karang, dimana
masyarakat akan lebih memahami dan mengerti pentingnya sumber daya terumbu
karang bagi kehidupan manusia. Masyarakat harus mendapat pengetahuan tentang
sumber daya pesisir dan bagaimana cara memanfaatkan yang benar sehingga tidak
menimbulkan dampak yang merugikan di masa yang akan datang. Pendidikan
harus memiliki program yang tepat sesuai dengan sasarannya, diantaranya: 1)
pendidikan yang berorientasi terhadap pengguna (user) dari terumbu karang; 2)
pendidikan yang berorientasi kepada generasi muda atau pelajar, melalui
pendidikan di sekolah-sekolah, sehingga setiap pelajar akan tertarik dan peka
terhadap kegiatan konservasi; 3) pendidikan yang berorientasi kepada masyarakat
lokal dengan fokus materi pada keseluruhan informasi tentang perlindungan
terumbu karang serta nilai dan keuntungan ekonomi bagi masyarakat; 4)
pendidikan yang berorientasi pada keterlibatan masyarakat luas dalam
pengelolaan terumbu karang; 5) pendidikan yang berorientasi pada pengambil
kebijakan pada setiap level pemerintahan; dan 6) pendidikan yang berorientasi
pada penyebarluasan informasi melalui media cetak maupun media elektronik.
Pelatihan merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia dalam pengelolaan terumbu karang. Pelatihan dapat
berbentuk apa saja, diantaranya pelatihan formal/informal training (melalui
workshop atau universitas), in-service training (pelatihan oleh agensi), on-the-job
training (pelatihan bersama spesialis, kerja kelompok atau tim), dan self training
(pelatihan mandiri dengan membaca dan belajar atau melalui kursus yang sesuai).
Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pelatihan terumbu karang, 42%
menyatakan ada, 20% meyatakan tidak ada dan 38% menyatakan tidak tahu.
Menurut data yang dikumpulkan, pernah dilaksanakan kegiatan pelatihan
pelestarian terumbu karang di Kab. Indramayu oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan melalui pelatihan transplantasi terumbu karang pada tahun 2008.
102
Sumber foto: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu (2008)
Gambar 55 Kegiatan pelatihan transplantasi karang di Kab. Indramayu.
Pengelolaan yang baik terlaksana karena hasil perencaan yang baik. Setiap
ekosistem terumbu karang yang dilindungi harus memiliki rencana pengelolaan
yang disiapkan atas kerjasama dari berbagai stakeholder terkait. Rencana
pengelolaan harus sesuai dengan mandat undang-undang atau peraturan dan harus
mencakup masalah hukum, administratif, dan pendidikan bersama-sama dengan
tujuan ekologi dan fisik.
Kebijakan yang dipakai dalam pengelolaan terumbu karang harus
berdasarkan pada hukum dan mengacu pada peraturan atau perundang-undangan
yang berlaku tentang pengelolaan terumbu karang. Perencanaan suatu pengelolaan
sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam pengelolaan, dan menjalankan
pengelolaan sesuai rencana menjadi faktor keberhasilan pengelolaan itu sendiri.
Untuk mengelola terumbu karang secara lestari dibutuhkan implementasi
rencana pengelolaan yang menggabungkan koleksi data dasar status terumbu
karang, hasil pemantauan yang terus menerus, strategi implementasi, dan
pengelolaan yang adaptif. Karena setiap lokasi berbeda, maka strategi yang
berskala luas mungkin saja dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya secara lebih
baik. Pengelolaan yang efektif akan membutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas serta dukungan pendanaan. Karena banyak tekanan pada terumbu
karang yang berakar dari masalah sosial dan ekonomi, pengelolaan juga harus
melihat aspek lain selain aspek biologi. Implementasi pengelolaan harus
menitikberatkan pada pengelolaan yang dapat menolong menciptakan masa depan
yang baik bagi terumbu karang dan memungkinkan pemulihan kondisi terumbu
karang yang telah menurun. Dengan menempatkan terumbu karang lebih tinggi
103
yaitu ke dalam agenda regional, ekosistem yang indah dan memiliki produktivitas
yang tinggi ini akan berada dalam posisi yang lebih kuat untuk menghadapi
tekanan yang bertambah dan dapat terus menyediakan jasa-jasa yang tak ternilai
bagi masyarakat Indramayu pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Berdasarkan hasil evaluasi pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau
Biawak dan sekitarnya, maka beberapa respon yang bisa dilakukan unruk
meningkatkan pengelolaan terumbu karang tersaji pada Tabel 24.
Tabel 24 Respon terhadap pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya
Pengawasan Partisipasi
institusi Penelitian Rehabilitasi Edukasi
Meningkatkan
kapabilitas
pengawasan
Mengoptimalkan
partisipasi
stakeholder yang
memiliki
pengaruh yang
tinggi dalam
pengelolaan
terumbu karang
Kegiatan
penelitian
menjadi bagian
pengelolaan
Melaksanakan
restorasi dan
rehabilitasi
karang
Pendidikan harus
memiliki
program yang
tepat sesuai
dengan
sasarannya
Kerjasama
seluruh
stakeholder
Kerjasama
Pemerintah dan
Swasta dalam
pengelolaan
terumbu karang
Melakukan
kerjasama
dengan lembaga
penelitian baik
pemerintah
maupun swasta
Kerjasama
dengan
stakeholder
terkait dalam
melaksanakan
rehabilitasi
terumbu karang
Pelatihan dapat
berbentuk apa
saja, diantaranya
pelatihan
formal/informal
training, in-
service training,
on-the-job
training dan self
training
Menurut Bengen (2005) bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan
apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan, yaitu ekologi, sosial dan
ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa pengelolaan
dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan
dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity),
sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial
mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan hendaknya dapat menciptakan
pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.
Penelitian ini lebih ditekankan pada evaluasi pengelolaan terumbu karang di
104
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai sebuah ekosistem dengan pengaruh
aktivitas antropogenik yang berlangsung di sekitarnya, sehingga perlu adanya
penelitian lebih mendalam tentang evaluasi pengelolaan terrumbu karang di
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terhadap perubahan sosial dan ekonomi
masyarakat supaya dapat diketahui sejauhmana keberhasilan pengelolaannya dan
sejauhmana pengelolaan ini bisa dikatakan berkelanjutan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil analisis pengelolaan terumbu karang di Kawasan
Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Kondisi terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya sejak
ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan belum memperlihatkan
perubahan yang lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan tahun 2010,
kondisi tutupan karang pada setiap stasiun pengamatan tergolong pada
kategori buruk hingga sedang dengan kisaran tutupan karang hidup antara
22,7±5,9% – 45,7±13,2%. Beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya
terumbu karang Pulau Biawak dan sekitarnya adalah:
a) Kegiatan antropogenik yaitu penangkapan ikan dengan bahan beracun,
penangkapan ikan dengan bahan peledak, pencemaran minyak, aktivitas
turun naik jangkar perahu nelayan;
b) Belum optimalnya kegiatan pengawasan KKLD, yang menyebabkan
kurangnya kontrol terhadap kegiatan antropogenik yang terjadi di sekitar
kawasan;
c) Belum optimalnya dukungan pendanaan dalam rangka pengelolaan
terumbu karang.
2) Dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya,
stakeholder yang memiliki peran sebagai pengorganisasi dan pengontrol
adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Indramayu. DPRD sebagai
pembuat keputusan memiliki peran penting dalam penetapan APBD yang
merupakan sumber pendanaan dari Forum Pengelola KKLD Indramayu
sebagai badan pengelola kawasan.
3) Pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
diklasifikasikan pada model pengelolaan berbasis pemerintah (command and
106
control), sehingga pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan
sumberdaya yang ada termasuk penyediaan sumber pendanaan dalam
pengelolaan KKLD. Sumber pendanaan pengelola berasal dari APBD
sehingga dukungan terhadap pengelolaan kurang optimal, dampaknya
pelaksanaan program pengelolaan seperti pengawasan, edukasi, penelitian,
dan rehabilitasi kurang optimal.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi terumbu karang dan
pengelolaannya di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, maka beberapa hal yang
dapat disarankan antara lain:
1) Dalam rangka memulihkan kondisi terumbu karang di KKLD Pulau Biawak,
pengelola harus dapat menciptakan interaksi dan kolaborasi setiap
stakeholder untuk meningkatkan kegiatan pengawasan, penelitian, edukasi,
rehabilitasi dan meningkatkan partisipasi insitusi baik insitusi pemerintah
maupun swasta.
2) Membuka peluang bagi pihak swasta untuk berperan dalam pengelolaan
KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terutama di bidang ekowisata bahari,
dengan pertimbangan:
a) KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi dan Wisata Laut, sehingga kegiatan pariwisata bahari perlu
berkembang dan akan berdampak pada pelestarian dan perlindungan
terumbu karang sebagai aset wisata;
b) Ketersediaan dana dalam jangka waktu yang panjang;
c) Dapat memberikan dukungan pengawasan yang bekerjasama dengan
pengelola KKLD;
d) Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat dan meminimalisir konflik.
3) Dalam melaksanakan Kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di
KKLD Pulau Biawak harus lebih memprioritaskan pada upaya pelestarian,
perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang, dengan pelaksanaan
program-program seperti:
107
a. Peningkatan pengawasan KKLD dan penegakan hukum terhadap
pelanggaran yang terjadi;
b. pengembangan program rehabilitasi karang;
c. Pengembangan kegiatan penelitian (research) terumbu karang.
4) Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dengan memperhatikan
keterwakilan musim disertai data ekosistem terumbu karang yang berkala dan
memperbanyak ulangan dalam pengambilan sampel untuk mengetahui
persentase tutupan karang, kelimpahan jenis ikan dan kelimpahan benthos.
5) Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang kondisi terumbu karang
sebagai dampak kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir khususnya
masyarakat Kab. Indramayu dan umumnya masyarakat diluar Kab.
Indramayu.
108
DAFTAR PUSTAKA
Adrim M. 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Materi Kursus Pelatihan Metodelogi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI, 54 hal.
Allen G, Steene R, Humann P, Deloach N. 2003. Reef Fish Identification, Tropical Pacific. New World Publication, Inc-Jacksonville, Florida USA. Odissey Publishing-El Cajon California USA. Printed by Star Standard Industries Pte Ltd, Singapore.
Ayling AM. 2000. The Effect of Drupella spp. Grazing on Coral Reef in Australia. Sea Research ABN 51 594 242 720. PO BOX 810 Mossman Queensland 4873 Australia.
Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor: 62 p.
Bengen DG. 2005. Merajut Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya pesisir dan laut kawasan timur Indonesia bagi pembangunan kelautan berkelanjutan. Disajikan pada seminar Makassar maritime meeting. Makassar.
Bell JD, Ratner BD, Stobutzki I, Oliver J. 2006. Addressing the Coral Reef Crisis in Developing Countries. Elsevier Ltd Ocean & Coastal Management 2006; 49:976–985.
Briggs JC. 2005. Coral Reefs: Conserving the Evolutionary Sources. Elsevier Biological Conservation 126:297-305.
Bruno JF, Selig ER. 2007. Regional Decline Of Coral Cover in The Indo-Pacific: Timing, Extent, and Subregional Comparisons. Open Access Plos one [terhubung berkala]. http://www.plosone.org/article/info:doi/10.1371/ journal.pone.0000711 [13 September 2010].
Budiharsono S, Suaedi, Asbar. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan.
Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia). World Resources Institute, Amerika Serikat.
Cesar HS. 2000. Coral Reefs : Their Functions, Threaths and Economics Value. Working Paper Series “Work in Progress”. World Bank. Washington DC.
110
Chetwynd E.Jr, Chetwynd JF. 2001. A Practical Guide to Citizen Participation in Local Government in Romania, RTI, 2001
Christie P, White AT. 2007. Best Practices for Improved Governance of Coral Reef Marine Protected Areas. Springer-Verlag 2007;26:1047–1056.
Crabbe MJC. 2010. Coral Ecosystem Resilience, Conservation and Management on the Reef of Jamaica in the Face of Anthropogenic Activities and Climate Change. Diversity 2:881-896.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.. Jakarta: Pradnya Paramita.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Asset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Davos CA. 1999. Sustainable Cooperation as the Challenge for a New Coastal Management Paradigm. Coastal Conservation 5:171-180.
Dermawan A, Mulyana Y. 2008. Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dermawan A, Suraji, editor. 2006. Draft Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II (COREMAP II), Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H. 2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi Indonesia, 3:87-94.
Dinsdale E. 2004a. Coral Reefs Health Indicators: Integrating Ecological and Perceptual Assessments of Anchor Damage [Tesis]. Townsville, Queensland, Australia: James Cook University.
Dinsdale E. 2004b. Assessing Anchor Damage on Coral Reefs: A Case Study in Selection of Environmental Indicators. Springer-Verlag, Environmental management, 33:126-139.
Dirhamsyah. 2005. Analysis of the Efectiveness of Indonesia’s Coral Reef Management Frameworks [Thesis]. New South Wales: University of Wollongong. Australia.
Dirhamsyah. 2006. The Indonesian Coral Reef Rehabilitation and Management Program: Lesson Learned in Community-Based Reff Management at Senayang and Lingga Island, Riau. Coastal Development 2005;9:85-96.
111
[Diskanla] Dinas Perikanan dan Kelautan, Satuan Kerja Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan kelautan Propinsi Jawa Barat. 2005. Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademik Pengelolaan KKLD Pulau Biawak Kabupaten Indramayu. Indramayu: DPK.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2003. Inventarisasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah di Indramayu Jawa Barat. Jakarta: DKP.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2005. Laporan Akhir Management Plan Kawasan Konservasi Laut Daerah P. Biawak Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Jakarta: DKP.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Jakarta.
Dunn WN. 2001. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Tim Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources, Australian Institute of Marine Science.
Fahruddin. 2004. Dampak Tumpahan Minyak pada Biota Laut. Career Development Network, Faculty of Engineering University of Indonesia. Jakarta Pramudianto.
Fox HE, Pet JS, Dahuri R, Caldwell RL. 2000. Coral Reef Restoration After Blast Fishing in Indonesia. Proceeding 9th International Coral Reef Symposium, Bali, Indonesia, 23 – 27 Oktober 2000.
Fox HE, Mous PJ, Pet JS, Muljadi AH, Caldwell RL. 2005. Experimental Assessment of Coral Reef Rehabilitation Following Blast Fishing. Conservation Biology, 2005: 19:98-107.
Fraser N, Crawford B, Kusen J. 2000. Best Practices Guide for Crown-of-Thorns Cleans-Ups. Proyek Pesisir Special Publications. Coastal Resources Center Coastal Management Report #2225. Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island. 38 p.
112
Gleason M, McCreary S, Henson MM, Ugoretz J, Fox E, Merrifield M, McClintock W, Serpa P, Hoffman K. 2009. Science-Based and Stakeholder Driven Marine Protected Area Network Planning: A Successful Case Study From North Central California. Ocean and Coastal Management 2009.12.001.
Gomez ED, Yap HY. 1978. Monitoring Reef Condition. In: Kenchington RA, Hudson BET, editor. Coral Reef Management Handbook. Jakarta: UNESCO Regional Office Science and Technology for South East Asia. p 187-195.
Gomez ED, Alino PM, Yap HY, Licuanan WY. 1994. A Review of the Status of Philippine Reefs. Marine Pollution Bulletin 1994; 29:62-68.
Green AL, Bellwood DR. 2009. Monitoring functional groups of herbivorous reef fishes as indicators of coral reef resilience – a practical guide for coral reef managers in the Asia Pacific Region. IUCN Working Group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 pages.
Hadi, Sudharto P. 2005. Metodologi Penelitian Sosial: Kuantitatif, Kualitatif, dan Kaji Tindak. Program Magister Ilmu Lingkungan. UNDIP. Semarang.
Haapkyla J, Ramade F, Salvat B. 2007. Oil Pollution on Coral Reefs: A Review of the States of Knowledge and Management Needs. Vie et milieu – Live and environment 2007; 57(1/2): 91-107.
Hidayati D. 2003. Coral Reef Rehabilitation and Management Program in Indonesia, editor. Proceedings of the third International Surfing Reefs Symposium, Raglan, New Zealand, June 22 – 25 2003, p303 – 319.
Himes AH. 2007. Performance Indicators in MPA Management: Using Questionnaires to Analyze Stakeholder Preferences. Elsevier, Ocean and Coastal Management 2007; 50:329–351.
Hodgson G. 1999. A Global Assessment of Human Effects on Coral Reefs. Elsevier Science Ltd, Marine Pollutions Bulletin 1999; 38:345 – 355.
Hoffman TC. 2002. Coral Reef Health and Effects of Socio-economic Factors in Fiji and Cook Islands. Elsevier. Marine Pollution Bulletin 2002; 44:1281-1293.
[IPIECA] International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. 2000. Biological impact of oil pollution: Coral reefs. IPIECA Report Series, Vol.3.
Jones RJ, Gulberg OH. 1999. Effects of Cyanide on Coral Photosynthesis: Implication for Identifying The Cause of Coral Bleaching and for Assessing the Environmental Effects of Cyanide Fishing. Marine Ecology Progress Series 1999; 177:83-91.
113
Juanda B. 2007. Metodelogi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor: IPB.
Kartiwa HA. 2006. Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam rangka Mewujudkan “Good Governance”,(makalah), 2006.
Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN SPON, an Imprint of Routledge, London and New York, 375p.
Kunzman A. 2002. On the way to Management of West Sumatra’s Coastal Ecosystems. The ICLARM, quarterly. 2002: 25:4.
Kusumastanto T, Ardianto L, Damar A. 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Buku Materi Pokok MMPI5104/2SKS/MODUL 1-6, Cetakan 1, Jakarta: Universitas Terbuka.
Loya Y, Rinkevich B. 1980. Effects of Oil Pollution on Coral Reef Communities. Marine Ecology – Progress Series 1980; 3:167-180.
Manuputty AEW, Giyanto, Winardi, Suharti SR, Djuwariah. 2006. Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). Jakarta.
Martınez CO, Casalguero FG, Sempere JTB, Cebrian CB, Valle C, Lizaso JLS, Forcada A, Jerez PS, Sosa PM, Falcon JM, Salas F, Graziano M, Chemello R, Stobart B, Cartagena P. Ruzapa AP, Vandeperre F, Rochel E, Planes S, Brito A. 2009. A Conceptual Framework for the Integral Management of Marine Protected Areas. Elsevier. Ocean & Coastal Management 2009 52:89–101.
Morton B, Graham B, Kwok CT. 2002. Corallivory and Prey Choice by Drupella rugosa (Gastropoda Muricidae) in Hongkong. Oxford Molluscan 68:217-223
Mous PJ, Pet-Soede L, Erdmann M, Cesar HSJ, Sadovy Y, Pet JS. 2000. Cyanide Fishing on Indonesian Coral Reefs for the Live Food Fish Market – What Is The Problem?. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 7:20-27.
Munasik, Sugianto DN, Pranowo WS, Suharsono, Situmorang J, Nitimulyo KH. 2006. Pola Arus dan Kelimpahan Karang Pocillopora damicornis di Pulau Panjang, Jawa Tengah. Ilmu Kelautan. 2006; 11(1):11-18.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2010. Oil Spills in Coral Reefs: Planning and Response Considerations. Department of Commerce, United States of America 2010.
Nontji A. 2000. Coral reefs of Indonesia: Past, present and future. Proceedings 9th
International Coral Reefs Symposium, Bali, 2000 Indonesia. Vol I hlm 17–27.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Cetakan 5. Jakarta: Penerbit Djambatan.
114
Nurhakim MA. 2009. Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Terbuka.
Nybakken JW. 1997. Marine Biology an Ecological Approach. Fourth Edition. United States of America: Addison Wesley Educational Publishers Inc.
O'Sullivan AJ, Jacques TG. 2001. Impact Reference System - Effects of Oil in the Marine Environment: Impact of Hydrocarbons on Fauna and Flora. Internet Edition. European Commission Directorate General Environment Civil Protection and Environmental Accidents Brussels. Belgium.
Pet-Soede C, Densen WLT, Pet JS, Machiels MAM, 2001. Impact of Indonesian Coral Reef Fisheries on Fish Community Structure and the Resultant Catch Composititon. Elsevier, Fisheries Research 2001; 51:35-51.
Pollnac R, Bunce L, Townsley P, Pomeroy R. 2000. Socioeconomic Manual for Coral Reef Management. Global Coral Reef Monitoring Network, Australian Institute of Marine Science, 251p.
Pomeroy RS, Lani MW, John EP, Gonzalo AC. 2004. How is Your MPA Doing?A Methodology for Evaluating the Management Effectiveness of Marine Protected Areas. Elsevier, Ocean & Coastal Management 2005; 48:485–502.
Priyono A. 2004. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Riedmiller S. 2003. How Can The Private Sector Benefit From Investing in Marine Conservation? Some Experiences of The Chumbee Project in Zanzibar/Tanzania. Di dalam: Vth World Park Congress: Sustainable Finance Stream. Durban-South Africa, September 2003, hlm 1.
Rinkevich B. 2008. Management of Coral Reefs: What We Have Gone Wrong When Neglecting Active Reef Restoration. Marine Pollution Bulletin 2008; 56:1821-1824.
Romimohtarto K, Sri J. 2007. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Edisi Revisi, Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Rudi E, Elrahimi SA, Kartawijaya T, Herdiyana Y, Setiawan F, Pardede ST, Campbell SJ, Tamelander J. 2009. Reef Fish Status in Nothern Acehnese Reef Based on Management Type. Biodiversitas 2009; 10:88-93.
Sale PF. 2008. Management of Coral Reefs: Where We Have Gone Wrong and What We can Do About It. Elsevier, Marine Pollution Bulletin 2008; 56:805–809
115
Salim M. 2010. Dinamika Kebijakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang Pada Masa Reformasi dan Otonomi Daerah [Tesis]. Semarang: Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro.
Salm RV, John C, Erkki S. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for planners and managers. IUCN. Washington DC. 371pp.
Saphier AD, Hoffman TC. 2005. Forecasting Models to Quantify Three Anthropogenic Stresses on Coral Reefs From Marine Recreation: Anchor Damage, Diver Contact and Copper Emission from Antifouling Paint. Marine Pollution Bulletin, in press.
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. Anggota IKAPI.
Selig ER, Bruno JF. 2010. A Global Analysis of The Effectiveness of Marine Protected Areas in Preventing Coral Loss. Open Access Plos one [terhubung berkala].http://www.plosone.org/article/info:doi/10.1371/journal.pone.0009278 [19 Maret 2012].
Sjafrie NDM. 2010. Nilai Ekonomi Terumbu Karang di Kecamaan Selat Nasik, Kabupaten Belitung. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2010; 36(1):97-109.
Suadi, J Widodo. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi. LIPI.
Sumadiharga OK, Djamali A, Badrudin M. 2006. Keanekaragaman Jenis Ikan Karang di Perairan Belitung Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Ilmu Kelautan. 2006; 11(4):201-209.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Edisi revisi cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 129 halaman.
Teh LCL, Teh LSL, Chung FC. 2008. A Private Management Approach to Coral Reef Conservation in Sabah, Malaysia. Springer. Biodivers Conservation 2008; 17:3061-3077.
U.S. Coral Reff Task Force Working Group on Ecosystem Science and Conservastion. 2000. Coral reef protected areas: A guide for management. U.S. Coral Reef Task Force, Department of the Interior, Washington D.C. 14 pp.
Wolff M. 2009. Tropical Waters and Their Living Resources: Ecology, Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.
116
Zamani NP, Wardiatno Y, Nggajo R. 2011. Strategi Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Jurnal Saintek Perikanan. 2011; 6(2):38-51.
LAMPIRAN
119
Lampiran 1. Jenis dan persen kehadiran karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya
10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10m 3m
Acroporidae Acropora sp 8 12 3 15 5 16 2 4 4 7 22 54 76 11.59%
Anacropora sp 2 2 0 2 0.30%
Astreopora sp 2 1 2 3 2 5 0.76%
Montipora sp 1 1 2 2 1 5 6 0.91%
Agaricidae Agaricia sp 1 1 1 1 2 0.30%
Coeloseries sp 2 2 2 2 4 0.61%
Leptoseris sp 1 2 1 7 2 9 4 13 1.98%
Pachyseris sp 2 6 3 3 1 7 2 2 12 14 26 3.96%
Pavona sp 10 1 5 1 3 6 1 7 1 29 6 35 5.34%
Astrocoeniidae Madracis sp 1 3 3 1 4 0.61%
Caryophylliidae Euphyllia sp 2 1 1 2 2 4 0.61%
Physogira sp 1 1 1 1 2 3 0.46%
Plerogyra sp 1 1 0 1 0.15%
Dendrophylliidae Turbinaria sp 18 2 1 18 3 21 3.20%
Faviidae Barabattoia sp 1 1 2 0.30%
Cyphastrea sp 3 3 2 8 8 1.22%
Diploastrea sp 8 6 5 6 8 4 6 7 10 23 37 60 9.15%
Echinopora sp 2 1 2 1 5 1 6 0.91%
Favia sp 2 2 2 1 1 5 3 8 1.22%
Favites sp 1 3 3 1 5 3 1 7 10 17 2.59%
Goniastrea sp 2 1 3 2 4 6 0.91%
Montastrea sp 3 3 5 2 3 3 13 16 2.44%
Platygira sp 1 2 1 1 3 4 0.61%
Fungiidae Ctenactis sp 1 5 1 5 6 0.91%
Fungia sp 1 2 15 2 4 2 20 6 26 3.96%
Sandalolitha sp 1 1 1 2 1 3 0.46%
Merulinidae Hydnophora sp 1 2 2 4 1 4 6 10 1.52%
Merulina sp 2 1 1 1 1 2 4 6 0.91%
Mussidae Blastomussa sp 1 1 1 0.15%
Lobophyllia sp 1 3 1 1 1 1 1 3 6 9 1.37%
Symphyllia sp 2 1 1 2 2 1 3 6 9 1.37%
Oculinidae Galaxea sp 2 1 7 1 3 8 6 14 2.13%
Pocilloporidae Pocillopora sp 1 1 30 24 1 1 31 27 58 8.84%
Seriatopora sp 1 1 3 8 1 3 2 15 4 19 2.90%
Poritidae Alveopora sp 1 1 2 1 3 4 0.61%
Goniopora sp 1 1 3 4 8 8 9 17 2.59%
Porites sp 10 26 3 14 4 7 11 34 17 9 45 90 135 20.58%
Siderastreidae Psammocora sp 9 9 9 1.37%
Siderastrea sp 1 1 1 0.15%
656 100.00%
Genus
Jenis Karang Distribusi kehadiran karang pada stasiun pengamatanTotal
Persen
kehadiranFamiliTotalStasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
120
Lampiran 2. Jenis dan distribusi kehadiran ikan di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m
2 2 1 1 4 11 3 5 4 3
Chaetodon octofasciatus 2 1 1 1 3 6 3 5 4 3
Chelmon rostratus 1 1
Heniochus varius 1
Chaetodontoplus mesoleucus 2
Chaetodon baronessa 1 1
8 14 25 7 13 10 20 6 12 9
Epinephelus hexagonatus 1 2 1 1 2 1
Cephalopolis fulva 1
Plectropomus laevis 1
Epinephelus malabaricus 2 1
Cephalopholis argus 2 1
Cephalopolis boenak 1
Epinephelus fasciatus 1
Cephalopholis micropion 2
Lutjanus lunulatus 1
Lutjanus gibbus 1
Lutjanus notatus 1
Lutjanus russelli 1
Lethiridae Monotaxis grandoculis 1
Caesionidae Caesio cuning 1 1 9 3 5 13 1 1
Siganidae Siganus guttatus 11
Scarus ghobban 1 1 2
Chlorurus sordidus 2 2 3
Scarus rivulatus 2 1 1 4
Scarus viridifucatus 1 1 1 1 2
Bolbometopon muricatum 3
Chlorurus bleekeri 1
Scarus flavipectoralis 1
Scarus ferrugineus 1
Mullidae Parupeneus barberinus 1
Scolopsis lineatus 1 3 1 1 1 1
Scolopsis trilineatus 1
Scolopsis bilineatus 1 3 1 1 2 2 2 1
186 135 106 118 47 112 191 149 69 361
Abudefduf bengalensis 1
Abudefduf sexfasciatus 2 1 2 12 2
Abudefduf vaigiensis 1
Ambliglyphidodon curacao 1 1 2 4 2 5 1 25
Ambliglyphidodon leucogaster 1 1 1 1 3 2 3
Amphiprion clarkii 1 2
Amphiprion ocelaris 1 3 1
Amphiprion sandaracinos 4
Chromis analis 35 5 23 4 4 3 20
Chromis atripectoralis 2 5 1 6 2 13 2 37
Chromis cyanea 11 32 25 11 33 8 1 2 3
Chromis notata 1 2 1 1 3 4 2 2
Pomacentrus taeniometopon 1
Chromis ternatensis 4 1 38 60
Chrysiptera cyanea 2 1
Dischistodus perspicillatus 1
Dischistodus prosopotaenia 1 1 1 1 1 1
Neoglyphidodon melas 1 8 3 1
Neoglyphidodon bonang 1 4 4
Neopomacentrus cyanomos 1
Pomacentrus alexanderae 154 32 67 75 13 15 101 42 18 39
Pomacentrus burroughi 1 8 10
Plectroglyphidodon lacrymatus 1
Pomacentrus smithi 25 221
Pomacentrus trichrous 2 3
Pomacentrus trilineatus 2
Spesies
Jenis Ikan
Nemipteridae
KELOMPOK IKAN MAYOR
Pomacentridae
KELOMPOK IKAN INDIKATOR
Chaetodontidae
KELOMPOK IKAN TARGET
Serranidae
Lutjanidae
Scarridae
Distribusi Kehadiran pada Stasiun Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Family
121
Lampiran 2 (lanjutan)
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m
186 135 106 118 47 112 191 149 69 361
Bodianus mesothorax 1
Cheilinus fasciatus 1 1 2 6 2 1 2
Chlorurus sordidus 2
Diproctacanthus xanthurus 1 1 1 1
Epibulus insidator 1
Gomphosus varius 1
Halichoeres leucurus 4
Halichoeres melanurus 1 1 1 1 1
Hemigymnus melapterus 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2
Halichoeres purpuracens 1
Halichoeres prosopeion 1
Halichoeres radiatus 1
Halichoeres trimaculatus 1 1 1
Halichoeres vrolikii 1
Labroides dimidiatus 1 3 1 2 1 1 4 1
Thalassoma lunare 2 9 4 4 2 1 4 3 2 3
Pomacanthidae Centopyge nox 2 1 1
Pomacanthus sextriatus 1
Monacanthidae Cantherhines pullus 1
Scorpaenidae Pterois volitans 1
Holocentridae Sargocentron rubrum 2 2 1
Muraenidae Strophidon sathete 1
Haemulidae Plectorhinchus chaetodonoides 1
Platax teira 1
Platax pinnatus 1
Spesies
Jenis Ikan
KELOMPOK IKAN MAYOR
Labridae
Ephippidae
Distribusi Kehadiran pada Stasiun Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Family
122
Lampiran 3. Jenis dan distribusi kehadiran benthos di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m
Acanthasteridae Acanthaster plancii 1
Actiniidae Entacmea quadricolor 1
Aplysiidae Aplysia sp 9
Callyspongiidae Callyspongia 1
Chalinidae Acervochalina velina 33
Colobometridae Colobometra perspinosa 1
Comasteridae Comaster multibranchiatus 1 3 3 1 2
Capilaster 2 1 2
Oxycomanthus bennetti 2
Diadematidae Diadema savignyi 2 8 3 3
Diadema Setosum 2 7 5
Echinothrix calamaris 6 2 1 4
Didemnidae Atriolum robustus 82 21 14 20 3 19 24
Didemnum molle 1
Dysideidae Dysidea sp 4 58
Holothuridae Holothuria edulis 1
Muricidae Drupella rugosa 3 6 1 1 6 4
Pectinidae Pedum spondiloidum 2 14 8 18 3 8 9 2
Petrosiidae Strongylopora 7
Phyllidiidae Phyllidia sp 1 13 1 12 5 3
Sabellidae Sabellastarte indica 5 3 6 3 8 11 2 28
Serpulidae Spirobranchus giganteus 11 26 3 20
Stichodactylidae Heteractis magnifica 4 3 1 3
Suberitidae Aaptos aaptos 1 29 6 7 87 20
Styelidae Polycarpa aurata 2
Terrebelliidae Loimia medusa 1
Tridacnidae Tridacna maxima 1 1 1
Tridacna crocea 1
Trochidae Trochus niloticus 3
Distribusi kehadiran pada stasiun pengamatan
Famili Spesies
Jenis benthos
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
123
Lampiran 4. Surat Keputusan Penetapan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
124
Lampiran 4 (lanjutan)
125
Lampiran 5. Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2006
126
Lampiran 5 (lanjutan)
127
Lampiran 5 (lanjutan)
128
Lampiran 5 (lanjutan)
129
Lampiran 6. Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2007
130
Lampiran 6 (lanjutan)
131
Lanju Lampiran 6 (lanjutan)
132
Lampiran 6 (lanjutan)
133
Lampiran 6 (lanjutan)
134
Lampiran 7. Kuesioner analisis stakeholder
Kuesioner Analisis Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah
Pulau Biawak Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat
Identitas responden
Nama : …………………………………………………
Umur : …………………………………………………
Jenis Kelamin : …………………………………………………
Pekerjaan/Instansi : …………………………………………………
Jabatan : …………………………………………………
Telp/HP : …………………………………………………
Tanggal Wawancara : …………………………………………………
Paraf : …………………………………………………
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
135
Lampiran 7 (lanjutan)
DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal : …………………………
Profil lembaga
Nama Lembaga : …………………………………………………………………………………….
Nama Pimpinan : 1. …………………………………………………………………………………
2. .…..……………………………………………………………………………
Alamat : …..…….………………………………………………………………………
...............….…….……….…………………………………………………….
Telephone : .…………………………….. Facsimile : ..........………………………
E-mail : .……………………………………………………………………………………
Tanggal berdiri : .....……………………………………………………………………………….
No. Akta (bila ada): ……………………………..………………………………………………….
Struktur Organisasi:
Ada (terlampir) Tidak ada
Jenis organisasi : Yayasan Ormas Orpol
Asosiasi CBO Koperasi
…………………………………………………………………………….
Tipe kegiatan : Penelitian Advokasi Info-com
Pendanaan Pendidikan & lat. B. Kemanusiaan
…………………………………………………………………………...
……………………………………………………………………………
136
Lampiran 7 (lanjutan)
Bidang kegiatan : Pertanian Sosial Kebudayaan
Perburuhan Lingkungan hidup Ibu & anak
Ek. Masyarakat Gizi & makanan Industri
Tek. Tepat guna Masy. Adat Gender
Industri kecil Hak asasi manusia Ketrampilan
………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………
Wilayah Kegiatan: Desa/Kel. Kab. Kota. Propinsi
Nasional Internasional
Sumber Dana: Modal sendiri Iuran anggota Pemerintah
Donor Dlm. Neg. Donor LN Usaha sendiri
………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………..
Mitra Kerja : Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan
137
Lampiran 7 (lanjutan)
LSM/ORNOP (Organisasi Non Pemerintah)
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan
Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan
Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan
Peran Dalam Pengelolaan Partisipatif
1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
2. Keterlibatan institusi Anda dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak bersama dalam masyarakat.?
sering pernah tidak pernah
138
Lampiran 7 (lanjutan)
Penjelasan rinci:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Jika Anda pernah terlibat, dimana tingkat keterlibatannya:
Kelurahan Kab./kota Propinsi Nasional
Penjelasan rinci:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak? konsultasi persetujuan pelaksanaan
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam pelaksanaan
proyek/program pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak?
memfasilitasi melatih mendampingi
mengawasi mengevaluasi ………………………
…………………………………………
……………………………………………
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
139
Lampiran 7 (lanjutan)
Pengelolaan Yang Partisipatif
1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak selama ini?
sudah baik cukup baik tidak baik
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
2. Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Pendapat tentang peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan:
sudah baik cukup baik tidak baik
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
5. Perlukah pelaku pengelolaan ekosistem terumbu karang (stakeholder) membentuk
sebuah forum dialog?
perlu tidak perlu tidak tahu
mengapa:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
140
Lampiran 7 (lanjutan)
6. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut anda adalah?
forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
7. Bila perlu, siapa yang harus memfasilitasi pertemuan?
pemda NGS . tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
141
Lampiran 7 (lanjutan)
DATA GOVERMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : …………………………………………..
Tanggal : …………………………
Profil lembaga
Nama Dinas/Inst.: …………………………………………………………………………………
Nama Pimpinan: 1. .………………………………………………………………………………
2. .………………………………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
Telephone : .…………………………….. Facsimile : ………………………………
E-mail : .………………………………………………………………………………
Struktur Organisasi : Ada (terlampir) Tidak ada
Tipe kegiatan : .………………………………………………………………………………
………..…………………………………………………………………………
Mitra Kerja : Pengusaha
No. Nama Perusahaan Nama Program Waktu Keterangan
142
Lampiran 7 (lanjutan)
LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan
Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan
Kelompok Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif
1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak yang benar menurut Anda apabila masyarakat mengetahui ikut dalam setiap proses ada sosialisasi
ikut memilih dan menetapkan
…………………………………………………………...........................................
143
Lampiran 7 (lanjutan)
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
2. Keterlibatan institusi Anda dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak bersama masyarakat.
sering pernah tidak pernah
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Batas keterlibatan institusi Anda dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak konsultasi persetujuan pelaksanaan
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan dinas/instansi dalam pelaksanaan
pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak?
memfasilitasi melatih mendampingi
memobilisasi mengawasi mengevaluasi
…………………………………………
……………………………………………
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
144
Lampiran 7 (lanjutan)
Perencanaan Yang Partisipatif
1. Pendapat mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak di
wilayah Anda selama ini?
sudah baik cukup baik tidak baik
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak bersama masyarakat?
ada tidak ada
Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3 Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
4. Perlukah pelaku pengelolaan ekosistem terumbu karang (stakeholder) membentuk
sebuah forum dialog pembangunan
perlu tidak perlu tidak tahu
mengapa:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
145
Lampiran 7 (lanjutan)
5. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut anda adalah:
forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
6. Bila perlu, siapa yang harus memfasilitasi pertemuan
pemda NGS tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
146
Lampiran 8. Kuesioner persepsi masyarakat terhadap 7 kebijakan operasional
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
Kuesioner Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah
Pulau Biawak Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat
Identitas responden
Nama : …………………………………………………
Umur : …………………………………………………
Jenis Kelamin : …………………………………………………
Pekerjaan/Instansi : …………………………………………………
Jabatan : …………………………………………………
Telp/HP : …………………………………………………
Tanggal Wawancara : …………………………………………………
Paraf : …………………………………………………
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
147
Lampiran 8 (lanjutan)
Kuesioner
Kebijakan 1. Upaya pelestarian dan perlindungan
a) Adakah upaya pelestarian ekosistem terumbu karang di perairan P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
b) Apakah saudara tahu apa itu KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah)? (ya/tidak) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
c) Adakah kegiatan yang merusak terumbu karang di KKLD P. Biawak (penangkapan ikan dengan bom/racu, pencemaran/polusi, lainnya)? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
d) Adakah peraturan yang mengatur upaya pelestarian terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
e) Adakah badan pengelola KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tida tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
f) Adakah kegiatan menjaga kawasan (pengawasan) KKLD dan sekitarnya? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
Kebijakan 2. Kapasitas dan Kapabilitas Pemerintah
a) Adakah program kegiatan dari Pemerintah (Pusat/Provinsi/Kota/ Kabupaten) untuk pengelolaan terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan
…………………………………………………………….......................................
148
Lampiran 8 (lanjutan)
…………………………………………………………….......................................
b) Adakah program pemerintah yang melibatkan masyarakat di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
Kebijakan 3. Tata ruang Pengelolaan
a) Tahukah anda batas wilayah KKLD P. Biawak? (ya/tidak) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
b) Tahukah anda batas pemanfaatan wilayah KKLD P. Biawak? (ya/tidak) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
c) Tahukah anda kegiatan apa saja yang bisa dilakukan di wilayah KKLD P. Biawak? (ya/tidak) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
Kebijakan 4. Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat
a) Adakah kerjasama antara Pemerintah (Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten) dan masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap wilayah KKLD P. Biawak dan pengelolaan terumbu karang? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
b) Adakah hubungan kerjasama antar nelayan? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
Kebijakan 5. Pengembangan Ekonomi Rakyat
a) Adakah kegiatan usaha kecil di wilayah KKLD P. Biawak yang bisa meningkatkan ekonomi masyarakat? (ada/tidak/tidak tahu)
149
Lampiran 8 (lanjutan)
Sebutkan:
……………………………………………………………................
……………………………………………………………................
b) Adakan kegiatan yang diusahakan Pemerintah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
c) Adakah kegiatan usaha di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak Tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
d) Adakah kegiatan yang diusahakan masyarakat lokal untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
Kebijakan 6. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
a) Apakah saudara tahu apa itu ekosistem terumbu karang? (ya/tidak) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
b) Adakah kegiatan pelatihan tentang terumbu karang? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
c) Adakah kegiatan penelitian terhadap kondisi terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
d) Adakah kerjasama masyarakat/pemerintah dengan lembaga penelitian di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
150
Lampiran 8 (lanjutan)
Kebijakan 7. Sumber Pendanaan
a) Adakah sumber dana dari pemerintah (Pusat/Provinsi/Kota/Kabupaten) untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
b) Adakah sumber dana dari pihak swasta (LSM/perusahaan) untuk pengelolaan ekosistem termbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
c) Adakah sumber dana dari Lembaga Penelitian atau Akademik (LIPI/Universtas/lainnya) untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
d) Adakah upaya masyarakat sendiri untuk mencari dana untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah KKLD P. Biawak? (ada/tidak/tidak tahu) Sebutkan:
…………………………………………………………….......................................
…………………………………………………………….......................................
151
Lampiran 9. Kuesioner Analisis A’WOT Pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya
Masyarakat Swasta Pemerintah ………………
…
KUISIONER
PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
KKLD P. BIAWAK KABUPATEN INDRAMAYU
Nama :
Umur (tahun) :
Pekerjaan/Istansi :
Jabatan :
Pendidikan :
Alamat :
Telp :
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
152
Lampiran 9 (lanjutan)
A. Penentuan Bobot Komponen S, W, O dan T
Strengths (S) Weaknesses (W) a. Statusnya sebagai Kawasan
Konservasi Laut Daerah, yang
pemanfaatan sumberdaya alamnya
mengandung misi konservasi.
b. Luasnya sebaran terumbu karang di
sekitar perairan P. Biawak dan
sekitarnya. c. Keanekaragaman karang tinggi
sehingga memiliki potensi wisata
bahari.
d. Lemahnya Pengawasan dan penegakan
hukum terhadap eksploitasi terumbu
karang.
e. Akses penyebrangan dari daratan
menuju P. Biawak memakan waktu
yang lama kira-kira 4 jam
f. Rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai ekosistem terumbu karang
dan pemanfaatannya
g. Biaya operasional tinggi
Opportunities (O) Threats (T) h. Tingginya perhatian pemerintah
dan LSM terhadap kelestarian
terumbu karang
i. Permintaan terhadap hasil
perikanan dan objek wisata yang
makin meningkat
j. Tersedianya teknologi monitoring
dan transplantasi karang
k. Kerusakan terumbu karang akibat
pencemaran
l. Kegiatan penangkapan ikan yang
merusak lingkungan (Bom, racun,
trawl)
m. Eksploitasi/pemanfaatan terumbu
karang untuk tujuan komersil
1. Urutkan peringkat komponen SWOT = Strengths (Kekuatan), Weaknesses (W),
Opportunities (Peluang), Threats (Ancaman) dari yang mempunyai prioritas tertinggi
sampai terendah dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau
Biawak dan sekitarnya.
Prioritas
Atribut S W O T
S 1
W - 1
O - - 1
T - - - 1
B. Penentuan Bobot Faktor dari Komponen S, W, O dan T
a. Faktor kekuatan (S)
2. Urutkan faktor yang paling penting sampai yang tidak penting dari komponen kekuatan dalam
kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Biawak Kabupaten
Indramayu
a. Statusnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, yang pemanfaatan sumberdaya
alamnya mengandung misi konservasi.
b. Luasnya sebaran terumbu karang di sekitar perairan P. Biawak dan sekitarnya.
c. Keanekaragaman karang tinggi sehingga memiliki potensi wisata bahari.
153
Lampiran 9 (lanjutan)
Prioritas
Atribut a b c
a 1
b - 1
c - - 1
b. Faktor kelemahan (W)
3. Urutkan faktor yang paling penting sampai yang tidak penting dari komponen kelemahan
dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Biawak
Kabupaten Indramayu
d. Lemahnya Pengawasan dan penegakan hukum terhadap eksploitasi terumbu karang
e. Akses penyebrangan dari daratan menuju P. Biawak memakan waktu yang lama kira-kira
4 jam
f. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai ekosistem terumbu karang dan
pemanfaatannya
g. Biaya operasional tinggi.
Prioritas
Atribut d e f g
d 1
e - 1
f - - 1
g - - - 1
c. Faktor peluang (O)
4. Urutkan faktor yang paling penting sampai yang tidak penting dari komponen peluang dalam
kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Biawak Kabupaten
Indramayu
h. Tingginya perhatian pemerintah dan LSM terhadap kelestarian terumbu karang
i. Permintaan terhadap hasil perikanan dan objek wisata yang makin meningkat
j. Tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi karang
Prioritas
Atribut h i j
h 1
i - 1
j - - 1
154
Lampiran 9 (lanjutan)
d. Faktor ancaman (T)
5. Urutkan faktor yang paling penting sampai yang tidak penting dari komponen ancaman dalam
kaitannya dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Biawak Kabupaten
Indramayu
k. Kerusakan terumbu karang akibat pencemaran
l. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan (Bom, racun, trawl)
m. Eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang untuk tujuan komersil
Prioritas
Atribut k l m
k 1
l - 1
m - - 1
155
Lampiran 9 (lanjutan)
B. Penentuan Bobot Alternatif Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang
6. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan statusnya sebagai Kawasan Konservasi Laut
Daerah, yang pemanfaatan sumberdaya alamnya mengandung misi konservasi.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
156
Lampiran 9 (lanjutan)
7. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan luasnya sebaran terumbu karang di sekitar
perairan P. Biawak dan sekitarnya.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindunga
n
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
157
Lampiran 9 (lanjutan)
8. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan keanekaragaman karang tinggi sehingga memiliki
potensi wisata bahari.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembanga
n ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
158
Lampiran 9 (lanjutan)
9. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan lemahnya Pengawasan dan penegakan hukum
terhadap eksploitasi terumbu karang.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
159
Lampiran 9 (lanjutan)
10. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan akses penyebrangan dari daratan menuju P.
Biawak memakan waktu yang lama kira-kira 4 jam.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkat
an
pendanaa
n
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembanga
n ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
160
Lampiran 9 (lanjutan)
11. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai
ekosistem terumbu karang dan pemanfaatannya.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembanga
n ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
161
Lampiran 9 (lanjutan)
12. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan biaya operasional tinggi.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembanga
n ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
162
Lampiran 9 (lanjutan)
13. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan tingginya perhatian pemerintah dan LSM terhadap
kelestarian terumbu karang.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
163
Lampiran 9 (lanjutan)
14. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan permintaan terhadap hasil perikanan dan objek
wisata yang makin meningkat.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
164
Lampiran 9 (lanjutan)
15. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi
karang.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
165
Lampiran 9 (lanjutan)
16. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan kerusakan terumbu karang akibat pencemaran.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
166
Lampiran 9 (lanjutan)
17. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan kegiatan penangkapan ikan yang merusak
lingkungan (Bom, racun, trawl).
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembanga
n ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1
167
Lampiran 9 (lanjutan)
18. Penentuan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu dengan kegiatan eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang
untuk tujuan komersil.
Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting
Prioritas
Atribut Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
Peningkatan
kapasitas
dan
kapabilitas
pemerintah
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
Pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
Peningkatan
pendanaan
Peningkatan
upaya
pelestarian
dan
perlindungan
1
Peningkatan
kapasitas dan
kapabilitas
pemerintah
- 1
Penyusunan
tata ruang
pengelolaan
P. Biawak
- - 1
Peningkatan
kerjasama
antara
pemerintah
dan
masyarakat
- - - 1
Peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
- - - - 1
Pengembang
an ilmu
pengetahuan
dan teknologi
- - - - - 1
Peningkatan
pendanaan - - - - - - 1