EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

72
EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING SAPI DAN HASIL OLAHANNYA SKRIPSI ELIH DALILAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Transcript of EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Page 1: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING SAPI DAN HASIL OLAHANNYA

SKRIPSI ELIH DALILAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Page 2: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

RINGKASAN

ELIH DALILAH. D14202052. Evaluasi Nilai Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan Hasil Olahannya. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si.

Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.

Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan tujuan meningkatkan nilai tambah, memperpanjang masa simpan dan menganekaragamkan produk olahan pangan. Selain memenuhi tujuan tersebut, pengolahan pun dapat menurunkan nilai gizi protein. Penurunan ini disebabkan oleh perlakuan suhu yang tidak terkontrol sehingga dapat merusak protein dan asam amino bahan pangan hasil ternak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari nilai gizi protein produk olahan daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta karakteristiknya melalui elektroforesis. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai Desember 2005. Penelitian ini diawali dengan pembuatan produk meliputi bakso, sosis, abon, dendeng dan panggang daging sapi di Bagian Teknologi Hasil Ternak dan Bagian Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Fakultas Peternakan. Penelitian dilanjutkan dengan melakukan analisis kadar protein kasar dan kecernaan in vitro di Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Selanjutnya di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor dilakukan analisis elektroforesis untuk melihat karakteristik protein. Pembuatan produk dilakukan dengan tiga kali ulangan. Pengujian peubah dilakukan secara komposit dan data hasil analisis laboratorium diolah secara deskriptif.

Nilai gizi protein setelah pengolahan mengalami perubahan kandungan protein kasar, kecernaan in vitro dan hasil elektroforesis protein. Daging segar pada awalnya mengandung protein kasar 19% dengan nilai kecernaan 79,09%, setelah diolah menjadi bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang terjadi perubahan. Bakso mengandung protein 11,16% dengan nilai kecernaan 83,27%, sosis 12,41% dengan nilai kecernaan 89,60%, abon mengandung protein 38,98% dengan nilai kecernaan 58,87%. Kandungan protein kasar dendeng 24,58% dengan nilai kecernaan 61,59% dan daging panggang protein kasar adalah 28,97% sedangkan nilai kecernaan 59,73%.

Perubahan nilai protein kasar dipengaruhi oleh penambahan bahan-bahan selain daging yang ditambahkan ke dalam produk pada saat pengolahan. Proses pengolahan dengan menggunakan panas tinggi pun dapat menyebabkan nitrogen yang bersifat volatil hilang sehingga kadar protein kasar akan berkurang. Nilai kecernaan dipengaruhi oleh panas yang digunakan yang dapat menyebabkan reaksi-reaksi protein seperti denaturasi, rasemisasi, ikatan silang (lisinoalanin dan lantionin) dan reaksi Maillard. Kadar protein kasar dan daya cerna mempengaruhi kadar protein tercerna. Kadar protein tercerna merupakan jumlah protein yang dapat dimanfaatkan tubuh. Bakso memiliki protein tercerna 9,29%, sosis 11,12%, abon 22,95%, dendeng 15,14%, dan daging panggang 17,30%.

Page 3: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Hasil elektroforesis menunjukkan banyaknya pita protein yang terbentuk. Protein yang terdeteksi pada daging segar adalah sebanyak 19 pita, pada bakso terbentuk 8 pita, sosis terbentuk 4 pita, dendeng 6 pita, abon 8 pita dan daging panggang 7 pita. Apabila dibandingkan dengan pita protein yang terbentuk pada daging segar, produk olahan memiliki pita yang baru terbentuk dan terdapat pula pita protein yang hilang. Kondisi ini disebabkan oleh pengolahan yang menggunakan pemanasan yang menyebabkan terjadinya denaturasi dan kerusakan protein. Penambahan bumbu–bumbu pun diduga menghasilkan protein yang berbeda dengan protein yang ada pada daging segar.

Kata-kata kunci : daging sapi, produk daging, kualitas protein, elektroforesis.

Page 4: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

ABSTRACT

Evaluation of Protein Nutrition Value and Characteristic of Beef and Its Products

Dalilah, E., Henny, N., and Tuti, S.

Protein nutrition value from meat products, especially its crude protein, in vitro digestibility and electrophoresis, is changed during cooking process. At the beginning raw meat contained 19% crude protein with 79,09% digestibility value. After processed into meat ball, sausage, abon, dendeng and roasted meat, these values were changed. The crude protein of meat ball, sausage, abon, dendeng and roasted meat were 11,16%, 12,41%, 38,98%, 24,58%, 28,97% respectively. This change is caused by addition of non-meat materials that was added as the process run by. Their digestibility value were 83,27%, 89,60%, 58,87%, 61,59%, 59,73% respectively. This variable is affected by heat used in process that caused protein reaction such as denaturation, rasemization, cross linking protein and Maillard reaction. Those two variable then affect protein availibility. In each product, it’s value were 9,29% meat ball, sausage 11,12%, abon 22,95%, dendeng 15,14%, and roasted meat 17,30%. Electrophoresis shows the amount of protein band which is formed. Raw meat have 19 band protein, meat ball 8 band, sausage 4 band, dendeng 6 band, abon 8 band and roasted meat have 7 band protein. The differences occur because of heating during processing and spices added. Various material addition could formed a new band that was different from raw material.

Key words : beef, meat products, protein quality, electrophoresis

Page 5: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

OLEH :

ELIH DALILAH

D14202052

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan

Pada Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING SAPI DAN HASIL OLAHANNYA

Page 6: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING SAPI DAN HASIL OLAHANNYA

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 23 Mei 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 131 845 347 NIP. 132 159 706

Dekan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. NIP.131 642 188

Page 7: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1984 di Bogor, Jawa Barat. Penulis

adalah anak ke dua dari sembilan bersaudara dari pasangan Bapak H. Abdul Kohar

dan Ibu Hj. Basiroh.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Pondok Rumput II,

pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 8

Bogor, dan pendidikan menengah lanjutan atas diselesaikan tahun 2002 di SMUN 2

Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Produksi Ternak

dengan Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor, melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN) pada Tahun

2002.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Profesi (HIMPRO),

Dewan Perwakilan Mahasiswa, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan

BPH Asrama Putri Darmaga (2003-2004). Penulis mendapatkan beasiswa selama

pendidikan di IPB. Beasiswa tersebut terdiri atas, Beasiswa Kerja Mahasiswa (BKM)

periode 2002-2003, beasiswa Student Equity 2003-2006, beasiswa Yayasan Al-

Munawaroh 2003-2006.

Page 8: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini sebagai tugas akhir Program Sarjana. Penulis mencoba memberikan

informasi hasil penelitian mengenai ” Evaluasi Nilai Gizi dan Karakteristik Protein

Daging Sapi dan Hasil Olahannya” secara deskriptif. Penelitian ini merupakan

salah satu penelitian yang didanai oleh Program Hibah Kompetisi A2 (PHK A2)

batch II tahun 2005, yang memiliki tujuan mengurangi masa studi mahasiswa.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan produk dari daging sapi (bakso,

sosis, abon, dendeng dan daging panggang), kemudian dilanjutkan dengan analisis

protein kasar, kecernaan in vitro dan elektroforesis. Perubahan kualitas protein

dijelaskan dalam karya tulis ini. Begitu pula dengan penyebab perubahan kualitas

protein daging setelah pengolahan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Akan tetapi

penulis sangat berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kalangan

peneliti maupun masyarakat secara umum terutama dalam cara mengolah dan

memilih makanan yang berkualitas.

Bogor, Mei 2006

Penulis

Page 9: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN .............................................................................................. i

ABSTRAK ................................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................. v

DAFTAR ISI .................................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3

Protein ................................................................................................ 3 Daging sapi ........................................................................................ 3 Teknik Pengolahan ............................................................................ 5 Produk Olahan Daging Sapi .............................................................. 8

Bakso ..................................................................................... 8 Sosis ....................................................................................... 9 Dendeng ................................................................................. 10 Abon ...................................................................................... 12 Daging Panggang ................................................................... 14

Bahan Tambahan dan Bumbu ............................................................ 14 Bahan Pengisi ........................................................................ 14 Santan ..................................................................................... 15 Minyak ................................................................................... 15 Bumbu-bumbu ....................................................................... 15

Reaksi Protein pada Proses Pengolahan ............................................ 17 Denaturasi Protein .................................................................. 17 Koagulasi Protein ................................................................... 18 Rasemisasi ............................................................................. 18 Pembentukan Lisinoalanin dan Lantionin ............................. 19 Reaksi Maillard ...................................................................... 19

Analisis Protein .................................................................................. 20 Protein Kasar .......................................................................... 20 Daya Cerna ............................................................................ 20 Elektroforesis ......................................................................... 21

MATERI DAN METODE ........................................................................... 24

Lokasi dan Waktu .............................................................................. 24

Page 10: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Materi ............................................................................................... 24 Prosedur ............................................................................................. 25

Preparasi Sampel .................................................................... 25 Pembuatan Bakso ....................................................... 25 Pembuatan Sosis ........................................................ 25 Pembuatan Dendeng Giling ....................................... 26 Pembuatan Abon ....................................................... 26 Pembuatan Daging Panggang .................................... 27

Peubah yang Diamati ............................................................. 27 Protein Kasar .............................................................. 27 Kecernaan Protein Secara In Vitro ............................. 28 Elektroforesis ............................................................. 28

Interprestasi Data ........................................... 29 Rancangan Percobaan ........................................................................ 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 31

Kadar Protein Kasar ........................................................................... 31 Bakso dan Sosis ..................................................................... 31 Abon, Dendeng dan Daging Panggang .................................. 34

Daya Cerna Protein Secara In Vitro .................................................. 36 Bakso dan Sosis ..................................................................... 36 Abon, Dendeng dan Daging Panggang .................................. 36

Kadar Protein Tercerna ...................................................................... 38 Bakso dan Sosis ..................................................................... 38 Abon, Dendeng dan Daging Panggang .................................. 39

Karakteristik Protein .......................................................................... 40 Karakteristik Protein Bakso dan Sosis ................................... 41 Karakteristik Protein Abon, Dendeng dan Daging Panggang ................................................................................ 43

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 45

Kesimpulan ...................................................................................... 45 Saran ................................................................................................ 45

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 47

LAMPIRAN ................................................................................................. 52

Page 11: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan Babi .................. 4

2. Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi .................................... 4

3. Jenis Protein dalam Daging dan Berat Molekulnya ............................. 6

4. Kandungan Nutrisi Bakso ..................................................................... 9

5. Kandungan Nutrisi Sosis ...................................................................... 10

6. Syarat Mutu Dendeng ............................................................................ 12

7. Kandungan Nutrisi Abon ....................................................................... 14

8. Konsentrasi Total Akrilamid dan Berat Molekul Protein ...................... 23

9. Komposisi Gel Pemisah dan Gel Penahan pada Elektroforesis ............ 25

10. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya ...... 31

Page 12: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Standar Berat Molekul Rendah (Low Molecular Weight) ...... 30

2. Hasil Analisis Elektroforesis pada Daging Sapi Segar .................... 40 dan Olahannya

Page 13: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Metode Silver Staining ..................................................................... 52

2. Kadar Air Daging Segar dan Produk Olahannya ............................... 53

3. Kadar Protein Kasar Daging Segar dan Produk Olahannya .............. 53

4. Gambar Hasil Elektroforesis Dendeng, Sosis Sapi dan Marker ........ 54

5. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Dendeng dan Sosis Sapi .................................................................................................... 54

6. Gambar Hasil Elektroforesis Bakso Sapi dan Marker ....................... 55

7. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Bakso .................... 55

8. Gambar Hasil Elektroforesis Abon Sapi dan Marker ........................ 56

9. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Abon ..................... 56

10. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Segar dan Marker ................... 57

11. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Segar ........ 57

12. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Panggang dan Marker ............ 58

13. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Panggang ............................................................................................ 58

Page 14: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu nutrien yang sangat penting untuk tubuh adalah protein yang

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi sebagai

sumber energi jika karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi. Protein secara umum di

bagi menjadi protein hewani dan protein nabati. Protein hewani memiliki

keistimewaan bila dibandingkan dengan protein nabati, karena protein hewani lebih

kompleks susunan asam aminonya.

Daging merupakan sumber nutrisi yang berkualitas bagi manusia terutama

sebagai sumber protein. Selain kandungan proteinnya yang tinggi, juga memiliki

kualitas yang tinggi. Kualitas protein dapat dilihat dari komposisi asam amino

penyusun dan daya cerna protein yang menentukan ketersediaan asam amino secara

biologis. Daging adalah salah satu hasil ternak yang dapat diolah dengan berbagai

macam teknik pengolahan. Daging dapat diolah dengan cara dimasak, digoreng,

dipanggang, disate, diasap atau diolah menjadi produk seperti sosis, bakso, abon dan

dendeng serta daging panggang.

Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya

meningkatkan nilai tambah, memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi,

meningkatkan penerimaan terhadap produk dan menganekaragamkan produk olahan

pangan. Selain memenuhi tujuan-tujuan tersebut, proses pengolahan dan pemasakan

pun dapat meningkatkan daya cerna protein, akan tetapi di satu sisi dapat pula

menurunkan nilai gizi proteinnya. Peningkatan daya cerna protein pada proses

pemasakan dapat terjadi sebagai akibat terdenaturasinya protein dan inaktivasi

senyawa-senyawa antinutrisi.

Penurunan nilai gizi suatu protein dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang

tidak terkontrol yang dapat merusak asam-asam amino bahan pangan hasil ternak.

Keanekaragaman teknik pengolahan daging yang semakin modern harus tetap

mempertimbangkan bagaimana mempertahankan nilai gizi, khususnya protein. Hal

ini mengingat pentingnya daging sebagai sumber protein hewani dan harga bahan

sumber protein yang relatif lebih mahal.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka sangat diperlukan

suatu penelitian tentang pengaruh berbagai teknik pengolahan terhadap nilai gizi

Page 15: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

protein daging. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagaimana

nilai gizi protein daging akibat teknik pengolahan yang berbeda, sehingga hasil

penelitian ini dapat dijadikan suatu acuan untuk memilih cara pengolahan yang tepat

agar gizi produk tetap dapat dipertahankan. Selain itu konsumen dapat memilih

produk yang tepat guna, dan memacu produsen atau peneliti dapat menciptakan suatu

teknik pengolahan yang tepat dan efisien yang dapat mempertahankan nilai gizinya,

baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari nilai gizi protein

produk olahan daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta

karakteristiknya melalui elektroforesis.

Page 16: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

TINJAUAN PUSTAKA

Protein

Protein memiliki arti ”pertama” atau utama. Protein merupakan makro

molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering

yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama

tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%),

nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor

(0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai

zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur, mengganti bagian tubuh yang rusak,

serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu

protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila energi

yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1993). Kadar

protein menentukan mutu makanan (bahan pangan). Protein dapat mengalami

kerusakan oleh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, guncangan dan sebab-

sebab lainnya (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam

amino essensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino

tersebut secara biologis. Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna

suatu protein, dapat pula menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Kebutuhan

protein setiap manusia adalah 1 g/kg berat badan yang seperempat dari kebutuhan

tersebut harus dipenuhi dari protein hewani, salah satunya adalah dari daging

(Winarno, 1980).

Daging Sapi

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil

pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak

menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1998).

Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar

yang dilayukan atau tanpa pelayuan, 2) daging yang dilayukan kemudian didinginkan

(daging dingin), 3) daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan

(daging beku), 4) daging masak, 5) daging asap, dan 6) daging olahan (Soeparno,

1998 ).

Page 17: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Daging sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat

Indonesia. Komponen bahan kering yang terbesar dari daging adalah protein

sehingga nilai nutrisi dagingnya pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992).

Komposisi protein daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu bila ditinjau dari

asam aminonya, daging memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan seimbang

hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 (Kinsman et al., 1992).

Tabel 1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan Babi

Jenis Daging Komposisi

Protein Air Lemak

---------------------------(g)----------------

Ayam 18,20 55,9 25,0

Domba 17,1 66,3 14,8

Sapi 18,8 66,0 14,0

Kambing 16,6 70,3 9,2

Babi 11,9 42,0 45,0 Sumber: Departemen Kesehatan RI (1995)

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Essensial Daging Sapi Jenis Asam Amino Essensial Kadar (g/100g N)

Histidin 21

Isoleusin 28

Leusin 49

Lisin 52

Metionin+Sistin 23

Phenilalanin+tirosin 45

Threonin 27

Triptofan 7

Valin 30

Sumber : Kinsman et al. (1992)

Komposisi kimia daging tergantung spesies hewan, kondisi hewan, jenis

daging karkas, proses pengawetan, penyimpanan dan metode pengepakan.

Page 18: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Komposisi kimia daging sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya.

Meningkatnya kandungan lemak daging dan kandungan air menyebabkan

kandungan protein akan menurun (Soeparno, 1998).

Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan

radikal non protein. Berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok

yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein jaringan ikat. Protein

sarkoplasma adalah protein larut air (water soluble protein) karena umumnya dapat

diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan

miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein ini memiliki sifat larut

dalam larutan garam (salt soluble protein). Protein jaringan ikat merupakan fraksi

protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin dan retikulin (Muchtadi

dan Sugiono, 1992). Menurut De Man (1997), protein otot terdiri atas sekitar 70%

protein struktur atau protein fibril dan sekitar 30% protein larut air. Protein miofibril

mengandung sekitar 32%-38% miosin, 13%-17% aktin, 7% tropomiosin dan 6%

protein strom. Miosin merupakan protein yang paling banyak pada otot yaitu sekitar

38%. Jenis protein pada daging dan berat molekulnya disajikan pada Tabel 3.

Teknik Pengolahan

Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat

pula menurunkan nilai gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan

berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya

karena protein merupakan senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagai

sisi aktif dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol,

lemak, dan produk oksidasinya serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang

oksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi, 1989).

Teknik pengolahan dengan pemasakan mampu menghasilkan produk yang

memiliki cita rasa yang luar biasa dibandingkan dengan teknik lain (Winarno,1993).

Namun demikian Karmas dan Harris (1989) menyatakan bahwa pengolahan dengan

panas menyebabkan gizi menurun bila dibandingkan dengan bahan segarnya.

Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada penampilan dan

bahan-bahan fisik dari jaringan otot. Perubahan tersebut tergantung pada waktu dan

Page 19: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

pemasakan dan kondisi suhu (Kinsman et al., 1994). Pemanasan diatas 60oC

menyebabkan molekul nutrien seperti protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat

Tabel 3. Jenis Protein dalam Daging dan Berat Molekulnya Jenis Protein Berat

Molekul Jenis Protein Berat

Molekul Miofibril Protein Filamen

Miosin 200 kD Desmin 55 kD

Aktin 42 kD Mioglobin 18 kD

Tropomiosin 33 kD Haemoglobin 68 kD

Troponin 80 kD Protease Pada Daging

Troponin C 18 kD Alkaline Protease 22 kD

Troponin I 23 kD Serin Protease 22-24 kD

Troponin T 38 kD Miosin –Cleaving enzim 26-27 kD

Aktinin Ca-activated netral 80 kD

α aktinin 95 kD Protease (CAF,CANP) 80+30 kD

β aktinin 37 kD Catepsin B 24-27 kD

γ aktinin 35 kD Catepsin D 42-45 kD

Eu aktinin 42 kD Catepsin L 24 kD

M-protein 165 kD Kolagen

Creatin kinase 43 kD Prokolagen 120 kD

C-protein 135 kD Prokolagen N-proteinase 260 kD

F-Protein 121 kD Prokolagen C-proteinase 80 kD

I-Protein 50 kD Lysil oksidase 29-31 kD Sumber : Price and Schweigert (1987)

tidak stabil (Hawab, 1999). Pemasakan daging dengan suhu 50oC menyebabkan α-

aktinin, protein yang paling labil menjadi tidak larut. Miosin menjadi tidak larut pada

saat suhu pemasakan mencapai 55oC kemudian aktin menjadi tidak larut pada saat

suhu pemanasan mencapai 70-80oC. Miosin dan troponin merupakan protein yang

paling tahan panas dan menjadi insoluble pada suhu 80oC. Komponen protein dengan

berat molekul 30.000 Da jumlahnya meningkat selama pemanasan, hal ini

kemungkinan karena terjadinya aktivasi panas dari protease calsium–activated

(Kinsman et al., 1994). Kasir (1999) menyatakan bahwa pemanasan (perebusan dan

penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama tanpa

penambahan karbohidrat, mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena

terbentuknya ikatan silang dalam protein. Proses pengolahan yang menggunakan

Page 20: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

panas melibatkan transfer panas secara konduksi, konveksi dan radiasi. Pemanasan

dengan konduksi melibatkan panas secara langsung dari partikel ke partikel misalnya

transfer panas dari bagian permukaan ke bagian dalam daging tanpa melalui medium

selain produk itu sendiri. Pemanasan dengan konveksi melibatkan transfer energi

panas melalui gerakan massa partikel yang dipanaskan dalam medium seperti udara

dan air. Pemanasan radiasi adalah transfer energi panas melalui ruangan (Soeparno,

1998).

Faktor yang mempengaruhi kualitas produk daging yang diolah dengan cara

pengeringan udara panas adalah temperatur, ukuran partikel dan gerakan udara panas

(Soeparno, 1998). Memasak daging dalam oven sangat cocok untuk bagian daging

yang empuk, ketebalan tidak lebih dari dua setengah inci dan ditempatkan pada suhu

125-175oC. Suhu yang lebih rendah akan memperpanjang waktu pemasakan tetapi

akan mengurangi penyusutan daging. Suhu yang lebih tinggi (200oC) digunakan

untuk mencoklatkan daging dan mempertajam aroma pada waktu yang singkat

(Pearson dan Tauber, 1984).

Metode penggorengan ada dua cara yaitu shallow frying yang menggunakan

sedikit minyak dan deep frying yang menggunakan banyak minyak, sehingga bahan

yang digoreng terendam dalam minyak dan panasnya merata dengan suhu 150-

200oC. Cara penggorengan abon sebaiknya dilakukan secara deep frying, karena

lebih cepat matang dan merata dengan suhu minyak goreng mencapai 200-205oC.

Penggunaan minyak goreng berfungsi sebagai penambah rasa gurih, nilai gizi dan

kalori dalam bahan pangan (Wijaya et al., 1992). Menurut Winarno (1999) suhu

penggorengan yang dianjurkan adalah 177-201oC atau tergantung bahan yang di

goreng.

Pengolahan panas memang mungkin memperpanjang dan meningkatkan

ketersediaan bahan pangan untuk konsumen tetapi bahan pangan tersebut mungkin

mempunyai kadar gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan keadaan segarnya.

Penurunan kadar gizi akibat pengolahan panas dipengaruhi oleh beratnya produksi

(Karmas dan Harris, 1989). Pengolahan menunjukkan adanya kerusakan protein.

Kerusakan ini dapat diuji dengan menghitung jumlah sisa asam amino lisin atau yang

disebut juga asam amino lisin yang reaktif (Purnomo, 1997). Namun demikian,

pemanasan 100oC tidak sampai merusak molekul protein secara total (Hawab, 1999).

Page 21: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Produk Olahan Daging Sapi

Bakso

Bakso memegang peranan penting dalam distribusi sumber protein hewani

(daging). Pembuatan bakso dapat mereduksi kebutuhan daging karena adanya

penggunaan atau penambahan bahan pengisi atau bahan pengikat, yang umumnya

berupa tepung tapioka (Muchtadi, 1989). Namun demikian, kadar daging tidak boleh

kurang dari 50%, sesuai dengan definisi bakso menurut BSN (1995), bahwa bakso

adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran

daging lemak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan

atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.Terbentuknya struktur yang kompak

pada bakso disebabkan adanya kemampuan daging untuk saling berikatan. Proses

pengikatan ini terjadi karena adanya panas, sebab daging segar (mentah) tidak

menunjukkan adanya kecenderungan untuk berikatan. Mekanisme pengikatan ini

melibatkan pengaturan kembali stuktur protein dan memungkinkan protein menjadi

bahan pengikat. Daya ikat protein tergantung pada jumlah protein miofibril yang

terekstrak dari partikel daging sedangkan protein yang terekstrak karena adanya

garam dan fosfat adalah miosin dan aktomiosin. Semakin luas permukaan daging

akibat penghancuran dan pengilingan maka semakin tinggi tingkat kerusakan sel

yang akan menyebabkan pelepasan cairan sel yang lebih banyak (Muchtadi, 1989). Penggunaan panas pada pembuatan bakso (perebusan) biasa dilakukan pada

suhu 65-70oC±20 menit untuk sapi. Penggunaan suhu tersebut menyebabkan protein

yang terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan (Kasir, 1999).

Pembuatan bakso ini pun memerlukan bumbu dan rempah-rempah yang mungkin

saja mempengaruhi nilai gizi dari bakso yang dihasilkan karena bumbu dan rempah

pun mengandung sejumlah protein (Muchtadi,1989).

Menurut Afrianty (2002) pembuatan abon dengan menggunakan daging

sebanyak 250 g memerlukan 7,5 g garam dapur (3%), 50 g es batu (20%), 50 g

tepung tapioka (20%), dan Sodium tripoliposfat (STPP) 0,75 g (0,3%). Merica dan

bawang putih juga diperlukan masing-masing 0,5 g (0,2%) dan 6,5 g (2,6%).

Pembuatan bakso diawali dengan pemotongan daging menjadi bagian yang

kecil, kemudian digiling bersamaan dengan garam, es dan STPP sebanyak 3 kali

masing-masing setengah menit. Daging yang telah halus ditambahkan bumbu dan

Page 22: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

tepung tapioka dan digiling kembali sebanyak 3 kali masing-masing setengah menit,

sampai menjadi adonan yang legit. Adonan kemudian didiamkan kurang lebih

selama 5 menit kemudian dicetak bulat-bulat. Bakso direndam dalam air bersuhu 50-

60oC selama 10 menit untuk pembentukan. Setelah 10 menit bakso direbus dalam air

bersuhu 100oC selama 15 menit (Afrianty, 2002).

Kadar protein bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung. Semakin

tinggi penambahan tepung maka kadar protein bakso semakin menurun. Selain itu

juga dipengaruhi oleh lemak. Semakin tinggi penggunaan daging tanpa lemak maka

kandungan protein bakso semakin tinggi (Oktaviani, 2002). Kandungan nutrisi bakso

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Bakso

No. Komposisi Satuan Persyaratan

1. Air % b/b Maksimal 70,0

2. Abu % b/b Maksimal 3,0

4. Lemak % b/b Maksimal 2,0

5. Protein % b/b Minimal 9,0 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1995)

Sosis

Sosis merupakan produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga

mengalami proses curing, pemanasan, dan pengasapan (Muchtadi, 1989). Menurut

(BSN, 1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging

halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan

atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan tambahan makanan lain yang diizinkan

dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.

Menurut Ridwanto (2003) bumbu–bumbu yang digunakan dalam pembuatan

sosis adalah susu skim 8%, 10% minyak nabati, 25% es, 3% garam, 0,3% STPP, 1%

bawang putih, 1% merica, 0,5% pala bubuk dan 0,3% MSG. Selain ditambahkan

bumbu dalam pembuatan sosis ditambahkan pula bahan pengisi seperti tepung

tapioka sebanyak 20% bahan pengisi.

Sosis dibagi atas enam kategori yang dibedakan berdasarkan metode

pembuatannya, yaitu: 1) sosis segar, 2) sosis kering dan semi kering, 3) sosis masak,

4) sosis masak dan diasap, 5) sosis asap tidak diasap dan 6) cooked meat specialist

Page 23: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

(Muchtadi, 1989). Pembuatan sosis secara umum adalah pencucian daging yang

dilanjutkan dengan pemotongan daging menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

Setelah dipotong daging digiling bersama garam dan setengah bagian es selama 5

menit. Bahan pengisi, lemak dan bumbu yang telah dimixer dimasukkan ke dalam

daging giling dan digiling kembali dengan ditambahkan sisa es yang bertujuan untuk

pencampuran selama 5 menit atau sampai membentuk adonan halus. Adonan

dimasukkan kedalam selongsong, kemudian dimasak dengan cara direbus pada suhu

60oC ± 45 menit (Ridwanto, 2003).

Sosis merupakan salah satu contoh produk emulsi minyak dalam air. Lemak

pada sosis berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu

sedangkan protein daging yang terlarut pada sosis bertindak sebagai emulsifier.

Protein harus dilarutkan untuk membentuk emulsi yang stabil. Protein emulsifier

dalam sosis biasanya protein larut dalam garam, yaitu aktin dan miosin. Selain itu

protein yang larut dalam air dan protein jaringan ikat yang tidak larut, mempunyai

kemampuan yang sangat terbatas untuk mengemulsi lemak (Muchtadi, 1989).

Rasio kadar protein : air berperanan dalam perhitungan formula sosis, karena

akan memberi petunjuk tentang penentuan komposisi produk akhir. Komposisi

nutrisi sosis menurut (BSN, 1995) dapat dilihat pada Tabel 5. Protein daging dalam

sosis berfungsi sebagai pengikat dan emulsi. Fraksi jaringan yang berisi protein larut

garam lebih penting dari pada fraksi sarkoplasma yang berisi protein larut dalam air

(Muchtadi, 1989).

Tabel 5. Komposisi Nutrisi Sosis

No. Komposisi Satuan Persyaratan

1. Air %b/b Maksimal 67,0

2. Abu %b/b Maksimal 3,0

3. Protein %b/b Minimal 13,0

4. Lemak %b/b Maksimal 25,0

5. Karbohidrat %b/b Maksimal 8,0 Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1995)

Dendeng

Dendeng merupakan produk hasil olahan pengawetan daging secara

tradisional yang secara umum dibuat dari daging sapi (Purnomo, 1997). Menurut

Page 24: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Winarno (1980) dendeng merupakan satu produk awetan daging yang

dikelompokkan sebagai daging curing.

Pembuatan dendeng memerlukan bumbu seperti gula merah (30%), lengkuas

(2,5%), ketumbar (2%), bawang merah (5%), bawang putih (1,5%), garam (2%), lada

(0,2%). Proses pembuatan dendeng dibagi menjadi dua, yaitu dendeng iris dan

dendeng giling. Pembuatan dendeng giling diawali dengan pembersihan daging dari

lemak dan pencucian daging, kemudian daging dipotong-potong dan digiling. Daging

yang telah halus dicuring dengan bumbu yang telah dihaluskan kemudian disimpan

selama sehari semalam. Adonan yang sudah dimalamkan dicetak dalam loyang

dengan ketebalan 3-5 mm. Dendeng dikeringkan dengan oven (60oC) sampai dengan

kadar air yang diinginkan. Dendeng yang akan digoreng direndam dalam air terlebih

dahulu (10 menit) kemudian ditiriskan (Nuraini, 2002).

Purnomo (1997) menyatakan bahwa dendeng mempunyai rasa manis

karena kadar gula yang tinggi, serta mempunyai warna coklat gelap yang disebabkan

oleh pigmen coklat atau pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi pencoklatan

non enzimatis dan kemungkinan warna yang diakibatkan oleh adanya proses

karamelisasi selama produksi dendeng tersebut. Warna dendeng juga dipengaruhi

oleh warna gula kelapa. Penambahan gula sebanyak 30,8% dari berat daging akan

menyebabkan reaksi Maillard karena kandungan gula kelapa terdiri atas sukrosa

73%. Selain memberi warna, gula kelapa dan garam yang ditambahkan pada dendeng

berperan sebagai humektan yang dapat menurunkan kadar air dan aktivitas air

produk, serta memberi rasa pada dendeng bersama-sama dengan bumbu-bumbu lain

sehingga menimbulkan bau yang khas pada dendeng.

Karamelisasi pada suhu tinggi, oksidasi asam askorbat dan reaski Maillard

merupakan tiga jalur utama reaksi pencoklatan non enzimatis. Reaksi Maillard

merupakan penyebab reaksi pencoklatan non enzimatis yang dapat terjadi selama

pengolahan dan penyimpanan makanan kering dan setengah lembab yang

mengandung protein. Pencoklatan non enzimatis sangat dipengaruhi oleh kondisi

reaksi terutama kondisi asam amino atau protein, karbohidrat, aw, kadar air, suhu,

pH, oksigen yang tersedia, humektan yang digunakan serta rempah-rempah atau

bahan tambahan makanan yang dipergunakan (Purnomo, 1997).

Page 25: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Kadar air yang dikurangi pada bahan pangan mengakibatkan kandungan

protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan

tetapi vitamin–vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang

(Winarno, 1980). Kenaikan kadar padatan, penambahan gula dalam pembuatan

dendeng dapat menurunkan sedikit nilai gizi protein daging, akibat terjadinya reaksi

pencoklatan non enzimatis (Maillard). Penyimpanan dendeng di suhu ruang pun

dapat menyebabkan reaksi Maillard terus berlangsung secara lambat sehingga dapat

juga menurunkan nilai gizinya (Muchtadi, 1989). Menurut Winarno (1980)

kandungan protein (per100 g) dendeng adalah 55% dan menurut BSN (1992)

kandungan protein pada mutu I adalah minimal 30% dan pada mutu II minimal 25%

untuk kandungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Syarat Mutu Dendeng

Karakteristik Satuan Syarat

Mutu I Mutu II

Kadar Air 12 12

Kadar Protein % b/bk 30 25

Abu Tidak Larut Asam %b/bk 1 1

Benda Asing %b/bk 1 1

Kapang dan Serangga Tidak Tampak Tidak Tampak Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1992)

Abon

Abon didefinisikan sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas,

dibuat dari daging yang direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (BSN,

1995) sedangkan menurut Sudarisman dan Elvina (1996) abon adalah hasil olahan

yang terwujud gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering. Daging yang

digunakan untuk pembuatan abon sebaiknya tidak liat serta tidak mengandung lemak

dan serabut jaringan. Bagian penutup (top side), tanjung (rump), pendasar dan gandik

(silver side), paha depan (chuck) dan daging punuk (blade) cocok digunakan untuk

pembuatan abon (Muchtadi, 1989).

Menurut Rahmat (2002) untuk pembuatan abon yang menggunakan daging

sebanyak 1 kg memerlukan bawang merah 50 g, bawang putih 25 g, gula pasir 70 g,

garam 10 g, satu sendok teh merica, minyak goreng 500 cc, santan kental 250 cc, dan

Page 26: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

jeruk nipis 20 cc. Pembuatan abon meliputi pencucian, pengukusan, penghancuran

daging, penggorengan dan pengeringan. Daging yang telah dicuci dan dibersihkan

lemaknya, dikukus selama 1 jam, kemudian ditiriskan dan ditumbuk pelan-pelan dan

disuir-suir. Hasil suiran daging dicampur dengan santan, air jeruk nipis dan bumbu

yang telah dihaluskan (bawang merah, bawang putih, merica, garam, gula) dan

didiamkan selama 30 menit agar bumbu lebih meresap. Adonan daging yang sudah

dicampur bumbu, disangrai dengan api kecil ±60oC selama ±30 menit. Abon yang

digoreng tanpa dikeringkan lagi, memerlukan 1 kg minyak untuk menggoreng 0,5 kg

abon. Lama penggorengan selama 10-15 menit dengan suhu minyak 200oC. Abon

yang dikeringkan dengan menggunakan oven, terlebih dahulu dilakukan

penggorengan selama 10-20 detik dengan suhu minyak 200oC. Suhu pengeringan

yang digunakan 120oC selama 30 menit dengan dilakukan pembalikan sebanyak 3

kali setiap 10 menit sekali supaya matang lebih merata (Rahmat, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah daging diolah menjadi abon

secara nyata daya cerna proteinnya menurun dari semula sebesar 78,3% untuk daging

mentah menjadi 31,2% untuk abon yang digoreng dalam minyak goreng dan 22,8%

untuk abon yang digoreng dalam santan. Penurunan nilai gizi ini terutama

disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selama proses

pengolahan, protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula (pereduksi) yang

ditambahkan sebagai bumbu (Muchtadi, 1989). Selain itu, penurunan kadar protein

pada abon disebabkan juga oleh penggunaan minyak yang mengandung 98% lemak

dan penggunaan santan. Persentase lemak yang meningkat menyebabkan persentase

protein menurun (Kasir, 1999).

Pemalsuan pada abon dapat dicegah dengan menentukan kadar protein

minimal. Abon minimal mengandung protein sekitar 20% (Muchtadi, 1989) dan 15%

(BSN, 1995) dan kandungan gizi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar

protein yang rendah menunjukkan kemungkinan penggunaan daging dalam jumlah

sedikit dan sebagai gantinya digunakan buah nangka, timbul atau kelewih (Muchtadi,

1989).

Page 27: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Tabel 7. Kandungan Nutrisi Abon

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Air % b/b Maksimal 7

2. Abu % b/b Maksimal 7

3. Abu Tidak Larut Dalam Asam % b/b Maksimal 0,1

4. Lemak % b/b Maksimal 30

5. Protein % b/b Minimal 15

6. Serat Kasar % b/b Minimal 1,0

7. Jumlah gula sebagai sakarosa % b/b Maksimal 30 Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1995)

Daging Panggang

Pemanggangan merupakan metode dengan cara mengalirkan panas secara

konveksi menggunakan oven tertutup yang dipanaskan terlebih dahulu (Kinsman et

al., 1994). Proses pengeringan daging dengan cara dipanggang dalam oven biasanya

tidak dilakukan pembalikan selama pemasakan. Penambahan bumbu dalam proses

pemanggangan hanya akan menembus sedalam setengah inchi ke dalam daging.

Waktu pemanggangan sangat bervariasi. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan dari

daging seperti bentuk, ukuran, potongan daging, kandungan tulang dan lemak

(Kinsman et al., 1994).

Bahan Tambahan dan Bumbu

Bahan Pengisi

Bahan pengisi, seperti tapioka sering ditambahkan pada pembuatan sosis dan

bakso. Menurut BSN (1994) tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi ubi kayu

segar (Manihot utilisima POHL atau Manihot usculenta rantz) setelah melalui cara

pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Kandungan kadar air pada tapioka

maksimal 15%, abu 0,6%, serat dan benda asing maksimal 0,80% (BSN, 1994).

Menurut Pandisurya (1983) tapioka mengandung air 13,12%, protein 0,13%, lemak

0,04%, abu 0,162%.

Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri atas pati (senyawa yang tidak

mempunyai rasa dan bau sehingga modifikasi cita rasa pada tepung tapioka mudah

Page 28: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

dilakukan. Ukuran granula pati 5-35μ. Pati tepung tapioka terdiri atas amilosa dan

amilopektin (Maarif et al., 1984).

Santan

Penggunaan santan kelapa adalah sebagai komponen penyedap dalam

berbagai masakan tradisional (Winarno, 1999). Kandungan protein pada santan

minimal 3%, lemak minimal 30%, air maksimal 80% (BSN, 1995).

Minyak

Minyak adalah komponen yang penting dalam menu masakan manusia dan

mampu memenuhi beberapa fungsi gizi. Minyak merupakan sumber energi yang

padat (g kal/g) dan dapat membantu meningkatkan densitas kalori dalam makanan

(Winarno, 1999).

Minyak kelapa sawit (palm oil) diperoleh dari daging buah kelapa sawit

mesokarp melalui proses ekstraksi (secara rendering atau pengepresan atau pelarutan

dan proses pemurnian), pengendapan dan pemisahan gum, netralisasi, pemucatan dan

deodorisasi. Secara umum minyak sawit yang dihasilkan mempunyai karakteristik

warna kuning pucat sampai orange tua, aroma yang menyenangkan (sedap), stabil

atau resistan terhadap ketengikan (Winarno, 1999).

Minyak digunakan sebagai medium memasak dalam menggoreng dengan

minyak terbatas (pan frying) maupun minyak melimpah yang mendidih (deep fat

frying). Minyak merupakan penghantar yang baik menyebabkan selain makanan

yang digoreng matang, menyebabkan panas bahan menjadi cukup tinggi sehingga

menjadi coklat sehingga minyak yang digunakan harus tahan pada suhu tinggi

(Winarno, 1999)

Bumbu-bumbu

Garam digunakan sebagai pemberi rasa, pengawet, dan melarutkan protein

miofibril. Penggunaan garam pada sosis melonggarkan protein miofibril dan

meningkatkan kemampuannya untuk mengemulsi lemak (Soeparno, 1998).

Bawang putih sering digunakan sebagai bumbu karena kandungan allicin

yang merupakan komponen utama yang berperanan dalam memberi aroma dan

merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh kuman-kuman penyakit

(bersifat anti bakteri). Bawang putih mangandung protein per100 g sebesar 4,5-7,0 g

Page 29: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

(Penebar Swadaya, 1998). Bawang merah digunakan sebagai penyedap karena

mengandung minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol, kuersitin

dan floroglusin (Rismundar, 1988).

Ketumbar (Coriandrum sativum L) digunakan sebagai bahan rempah yang

mengandung minyak atsiri dengan kandungan berbeda-beda 0-2%. Kandungan

protein dalam 100 g adalah 11 g (Rismundar, 1988). Jinten dapat membangkitkan

selera makan, sebagai penambah aroma pada produk daging. Batas maksimum pada

makanan 0,025%. Aroma khas dari jinten diperkirakan karena adanya

dihidrokuminaldehid dan monoterpen. Bau dan rasa jinten adalah kuat, hangat, tajam

dan keras. Kandungan protein per 100 g adalah 18 g (Rismundar, 1988).

Pala (Myristica fraganshouti) digunakan sebagai penambah rasa, penyedap

masakan. Kandungan pala dalam masakan maksimal 0,08%. Selain itu juga pala

memiliki aktivitas fungisidal dan bakterisidal (Rismundar, 1988). Minyak atsiri yang

dikandung biji pala sebesar 2-16%, fixed oil (minyak kental 25-40%) terdiri atas

beberapa jenis asam organik seperti asam palmitat, stearat, dan miristat, karbohidrat

±30%, protein ± 6% (Rismundar, 1988).

Lengkuas (Alpinia galanga) mengandung berbagai jenis minyak atsiri

diantaranya kamfer, galengi, galangol, eugenol dan juga mungkin cucurmin. Minyak

atsiri tersebut seluruhnya menghasilkan bau yang khas. Rimpang laos dikenal

sebagai pengempuk daging, pewangi daging seperti rendang, semur, dendeng

(Rismundar, 1988). Kunyit (Curcuma domestica val) memiliki fungsi sebagai bahan

obat tradisional dan bumbu dapur. Selain digunakan sebagai bumbu kunyit

digunakan sebagai penyedap dan sebagai pewarna (Rismundar, 1988). Komposisi

kunyit terdiri atas air 13,1%, protein 6,3%, lemak 5,1%, karbohidrat 69,4%, abu

3,5%, serat 2-6% (Purseglove, 1972). Menurut Rismundar (1988) protein yang

dikandung kunyit per100 g sebesar 6-8 g.

Kecap adalah sari kedelai yang telah difermentasikan dengan atau tanpa

penambahan gula kelapa dan bumbu. Kecap digunakan sebagai penyedap yang

ditimbulkan oleh asam glutamat yang dalam kecap terdapat dalam kondisi bebas.

Kecap memiliki kandungan protein sebesar 5,5 g per100 g kecap (Santoso, 1994).

Berdasarkan BSN (1994) kandungan protein minimal 2,5% dan mengandung gula

sakarosa 40%.

Page 30: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Asam jawa memiliki kandungan 4%-8% asam tartrat, 2%-6% asam sitrat,

1%-8% kalium bitartrat, 6% asam malat, 25%-40% gula invert, 15% selulosa, 20%-

25% air, 15%-20% zat yang tidak larut dalam air (Sutedjo, 1990). Kemiri adalah

daging biji kemiri (Alleurites mellucana willd) yang telah dipisahkan dari

tempurungnya (BSN, 1998).

Gula putih adalah gula kristal sakarosa kering dari tebu atau bit yang dibuat

melalui proses sulfitasi atau karbonatasi atau proses lainnya sehingga langsung dapat

dikonsumsi. Gula putih mengandung gula pereduksi maksimal 0,10-0,20% b/b (BSN,

1992). Selain gula putih terdapat juga gula merah atau gula kelapa yang mengandung

air 10% dan gula sakarosa 77% (Santoso, 1994).

Reaksi Protein pada Proses Pengolahan

Denaturasi Protein

Perlakuan yang beragam yang digunakan pada pengolahan menyebabkan

denaturasi protein (Davidek et al., 1990). Denaturasi merupakan suatu perubahan

struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya

pemecahan ikatan kovalen. Denaturasi didefinisikan juga sebagai suatu proses

terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya

lipatan molekul (Winarno, 1997). Denaturasi protein adalah perubahan konformasi

yang fundamental dalam semua bagian molekulnya yang penting yang menyebabkan

kehilangan aktivitas biologi dan fungsi alaminya (Davidek et al., 1990). Perlakuan

panas, pH ekstrim, alkohol gangguan fisik dan kimia dapat memicu terjadinya

denaturasi (Brown, 2000). Davidek et al. (1990) menyatakan bahwa proses

penggilingan daging menyebabkan protein terdenaturasi.

Denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis protein oleh

protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu protein

akibat perombakan dan terperisainya gugus amino-epsilon dari lisin protein asli yang

menghambat hidrolisis oleh tripsin (Karmas and Harris, 1989). Suhu antara 53oC -

63oC menyebabkan kolagen terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada

kisaran suhu antara 50oC-80oC (122oF dan 176oF) (Tornberg, 2004).

Page 31: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Koagulasi Protein

Pengembangan atau pemekaran molekul protein yang terdenaturasi akan

membuka gugus reaktif yang terdapat pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan

terjadi pengikatan kembali pada gugus reaksi yang sama atau berdekatan. Apabila

unit ikatan yang terbentuk cukup banyak, sehingga protein tidak mampu terdispersi

sebagai koloid, maka protein tersebut mengalami koagulasi (Muchtadi et al., 1993).

Menurut Winarno (1997) koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul

protein yang terdenaturasi. Setelah protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif

pada rantai polipeptida yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak

terdispersi lagi sebagai suatu koloid (Winarno, 1997). Koagulasi dapat terjadi pada

suhu di atas 90oC (Tornberg, 2004). Koagulasi maksimum terjadi pada saat

temperatur antara 60oC-65oC yang dicapai selama pemanasan (Davidek et al., 1990).

Rasemisasi Protein

Selama pemanasan bahan pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino

dan reaksi antar asam amino, rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D,

D-L atau D-D (Muchtadi, 1993). Rasemisasi asam amino adalah perubahan

konfigurasi asam amino dari bentuk L ke bentuk D (Astawan, 2005). Proses

pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama serta perlakuan alkali

menyebabkan terjadinya rasemisasi (Astawan, 2005 ; Muchtadi, 1993).

Rasemisasi asam amino terjadi juga selama penyangrayan bahan-bahan

protein terutama bila terdapat lipid atau gula pereduksi. Rasemisasi yang disebabkan

perlakuan alkali lebih menyebabkan penurunan daya cerna bila dibandingkan dengan

rasemisasi yang disebabkan perlakuan panas (Muchtadi, 1993).

Asam-asam amino D yang terbentuk tidak dapat diserang oleh enzim

pencernaan sehingga tidak dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1993). Menurut

Astawan (2005), tubuh manusia umumnya hanya dapat menggunakan asam amino

dalam bentuk L. Pembentukan ikatan peptida L-D, D-L atau D-D akan tahan

terhadap serangan enzim proteolitik. Penyerapan asam amino D berlangsung lebih

lambat dibandingkan dengan bentuknya dan meskipun dapat dicerna dan diserap,

sebagian besar asam amino essensial bentuk D tidak dapat digunakan oleh tubuh

manusia (Muchtadi, 1993). Pada manusia, D-lisin, D-treonin, D-triptofan, D-leusin,

D-treonin, D-isoleusin dan D-valin, tidak dapat digunakan sama sekali, D-fenilalanin

Page 32: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

sebagian dapat digunakan sama seperti L-fenilalanin dan diantara asam amino

essensial hanya D-metionin yang dapat digunakan sama seperti L-metionin

(Muchtadi, 1993).

Pembentukan Lisinoalanin dan Lantionin

Lisinoalanin terdiri dari residu lisin yang grup epsilon aminonya terikat pada

grup metil residu alanin. Bila residu tersebut terdapat dalam rantai protein, maka

akan terbentuk ikatan menyilang intramolekul atau antar molekul protein (Muchtadi,

1993). Lisinoalanin merupakan reaksi antar asam amino yang ditemukan pada bahan

pangan berprotein yang diberi perlakuan alkali dan pemanasan dalam waktu lama.

Pembentukan lisinoalanin dapat berperan dalam penurunan daya cerna protein,

karena apabila didegradasi senyawa tersebut tidak menghasilkan asam amino lisin

dan alanin dan apabila diserap tubuh akan terbuang sebagai urin (Muchtadi, 1993).

Lantionin dibentuk dari reaksi dehidro alanin dengan sistein (Muchtadi,

1993). Pembentukan lantionin juga terjadi pada kondisi dengan perlakuan panas dan

alkali. Adanya pembentukan lantionin menyebabkan sistein yang tersedia pada bahan

pangan berkurang separuhnya (Kelly et al., 1980).

Reaksi Maillard

Sumber utama penyebab menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan

dan penyimpanan adalah reaksi browning non enzimatis (reaksi Maillard), yaitu

reaksi antara protein dengan gula pereduksi (Muchtadi, 1993). Belitz and Grosch

(1999) menyatakan bahwa reaksi ini berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan

gugus amino dari asam-asam amino atau protein (terutama e-amino dari lisin, dan α-

amino dari asam amino N-terminal). Secara umum, reaksi non-enzimatis browning

hanya terjadi jika ada asam amino bebas dan grup karbonil gula pereduksi yang

diakhiri dengan pembentukan melanoidin (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Suhu,

waktu, kelembaban, pH, konsentrasi dan reaktan alami mempengaruhi terjadinya

reaksi pencoklatan atau Maillard (Shahidi, 1998). Reaksi Maillard efektif terjadi

pada suhu tinggi (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Penurunan nilai gizi ini terutama

disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) selama proses pengolahan.

Protein (asam amino) daging bereaksi dengan gula pereduksi yang ditambahkan

sebagai bumbu (Muchtadi, 1989). De Man (1997) menyatakan bahwa asam amino

Page 33: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

lisin merupakan asam amino yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan

non enzimatis, karena asam amino ini cenderung untuk terikat pada senyawa

karbonil melalui gugus ε-asam amino bebas. Selama pengolahan telah terjadi

kerusakan protein daging baik yang berbentuk ikatan silang (cross linking) ataupun

pemecahan selama pengolahan dan penyimpanan daging setengah lembab pada suhu

38oC.

Analisis Protein

Protein Kasar

Protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dapat dilakukan

menggunakan analisis kjeldhal (Budiyanto, 2002). Dikatakan secara tidak langsung

karena menurut Budiyanto (2002) yang dianalisis dengan metode ini adalah kadar

nitrogennya. Prinsip analisis kjeldhal adalah penetapan protein berdasarkan oksidasi

bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen jadi amonia. Selanjutnya amonia

bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Larutan dibuat jadi

basa dan amonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat

nitrogen yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan jumlahnya dengan titrasi

menggunakan HCl 0,02 M (Apriyantono et al.,1988).

Analisis kjeldhal dibedakan menjadi dua cara yaitu cara makro dan cara semi

mikro. Cara makro kjeldhal digunakan untuk contoh yang sukar untuk di

homogenisasi dan besar contoh 1-3 g, sedangkan semi mikro dirancang untuk ukuran

kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen (Budiyanto, 2002).

Daya Cerna Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh

enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau nilai

kecernaan (Muchtadi, 1993). Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim

pencernaan menjadi asam–asam amino. Protein tidak dapat masuk ke dalam sel

karena ukuran molekulnya tidak memungkinkan kecuali asam amino sebagai unit

monomernya (Hawab, 2002).

Protein harus terlebih dahulu dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim

pencernaan agar dapat masuk kedalam sel dan dapat dimanfaatkan oleh sel tubuh.

Page 34: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Asam amino yang masuk kedalam sel, akan dirakit kembali menjadi makromolekul

protein sesuai dengan yang dibutuhkan sel (Hawab, 2002).

Protein dari badan sebanyak 70 g masuk kedalam saluran pencernaan

bersama dengan 30-80 g protein yang masuk melalui bahan makanan yang

dikonsumsi setiap harinya (Winarno, 1993). Protein juga keluar bersama feses yang

jumlahnya tidak lebih dari 10 g/hari (Winarno, 1993). Pengukuran kualitas kecernaan

protein dapat dilakukan salah satunya dengan metode in vitro yang menggunakan

enzim protease. Enzim-enzim yang digunakan adalah pepsin–pankreatin,

kimotripsin, peptidase campuran dari beberapa macam enzim (multi enzim)

(Muchtadi, 1989).

Menurut Matta and Antony (1992), pepsin merupakan salah satu peptidase

dari lambung yang aktif pada pH getah perut (kira-kira sama dengan asam

hidroklorida 0,1 M; larutan asam kuat 0,1 M, pH 1). Pepsin terbentuk dari

pepsinogen melalui autoaktivasi atau oleh kerja asam hidroklorida. Protein besar

mulai dikatalisis oleh pepsin pada lingkungan asam dalam lambung kemudian pepsin

memecahnya menjadi peptida yang lebih kecil.

Degradasi protein merupakan pemecahan molekul protein kompleks menjadi

molekul lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim. Hasil degradasi

protein dapat berbentuk proteosa, pepton, polipeptida, peptida, asam amino, NH3 dan

unsur N dan juga dapat dihasilkan komponen yang menimbulkan bau busuk misalnya

merkaptan, skatol dan H2S (Winarno, 1980).

Elektroforesis

Salah satu cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

enzim atau protein adalah elektroforesis (Thohari et al., 1993). Prinsip yang

digunakan dalam elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan

yang berbeda adalah molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik, yang

besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan komponen medium pelarutnya

dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan

muatan molekul (Nur dan Adijuwana, 1987). Teknik elektroforesis pada dasarnya

digunakan untuk mengetahui pita dari protein yang dianalisis mengarah ke kutub

positif (anoda) atau kutub negatif (katoda) (Thohari et al., 1993 ; Matta dan Antony,

Page 35: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

1992). Semakin tinggi muatan ion, semakin cepat gerakannya (Matta dan Antony,

1992).

Kegunaan elektroforesis antara lain: 1) menentukan berat molekul (estimasi),

2) mendeteksi terjadinya pemalsuan bahan, 3) mendeteksi terjadinya kerusakan

bahan seperti protein dalam pengolahan dan penyimpanan, 4) untuk memisahkan

spesies-spesies yang berbeda secara kualitatif, yang selanjutnya masing-masing

spesies dapat dianalisis dan 5) menetapkan titik isoelektrik protein (Nur dan

Adijuwana, 1987).

Menurut Thohari et al. (1993) teknik elektroforesis dapat dibedakan menjadi

dua yaitu, 1) elektroforesis larutan (moving boundary elektroforesis) dan 2)

elektroforesis daerah (zone electrophoresis). Pada elektroforesis larutan, larutan

penyangga yang mengandung makro molekul ditempatkan didalam suatu sel tertutup

dan dialiri arus listrik. Kecepatan migrasi dari makro molekul diukur berdasarkan

hasil pemisahan molekul yang dilihat dalam bentuk pita di dalam media pelarut

(Thohari et al., 1993), sedangkan elektroforesis daerah menggunakan suatu bahan

padat yang berfungsi sebagai media penunjang dan berisi larutan penyangga. Contoh

yang akan dianalisis diletakkan pada media penyangga. Perpindahan molekul

dipengaruhi oleh medan listrik dan kepadatan dari media penunjang, dengan melihat

kemurnian dan menentukan ukuran dari biomolekulnya. Media yang biasa digunakan

antara lain gel pati, gel agerose, kertas siklosa poliasetat dan gel poliakrilamid

(Thohari et al., 1993).

Salah satu metode elektroforesis adalah SDS-PAGE (sodium deodocyl

sulphate polyacrylamide gel electrophoresis) (Nur dan Adijuwana, 1987). Gel yang

digunakan dalam elektroforesis SDS-PAGE adalah polyacrylamide yang merupakan

bentuk polimerisasi monomer acrylamid CH2=CH-CO-NH2 dan cross-linking

comonomer N,N’-methylene bisacrylamid (Garfin, 1990). Metode SDS-PAGE

terutama dilakukan untuk mengetahui apakah suatu protein monomerik atau

oligomerik. Berat molekul dan jumlah rantai polipetida sebagai sub unit atau

monomer juga dapat ditetapkan dengan SDS-PAGE. Metode SDS-PAGE dilakukan

pada pH sekitar netral. SDS merupakan anionic detergent yang bersama dengan

betamerkaptoetanol dan pemanasan menyebabkan rusaknya struktur tiga dimensi

protein menjadi konfigurasi random coil. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya ikatan

Page 36: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

sulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus-gugus sulfihidril (Nur dan

Adijuwana, 1987). Pemisahan berdasarkan berat molekul dengan berbagai

konsentrasi total akrilamid dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Konsentrasi Total Akrilamid dan Berat Molekul Protein

T % (%Total Akrilamid) Berat Molekul

3-5 ≥ 100.000

5-12 20.000-150.00

10-15 10.000-80.000

>15 ≤150.000 Sumber : Andrew (1986)

Page 37: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Bagian Ilmu

Produksi Ternak Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Laboratorium Biokimia

Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Mikrobiologi dan

Biokimia Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Desember 2005.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan

bahan untuk analisis kimia. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian

paha belakang (knuckle) sebanyak 5,5 kg. Bahan tambahan selain daging yang

digunakan adalah bahan-bahan untuk pembuatan produk olahan bakso, sosis, abon,

dendeng dan daging panggang. Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi

bahan untuk analisis protein kasar (K2SO4, HgO, H2SO4, HCl 0,01 M, NaOH,

H3BO3, HCl 0,043664 N), kecernaan protein secara in vitro (HCl 0,1 N, NaOH 0,5

N, larutan buffer fosfat 0,2 M pH 8 ) dan bahan untuk elektroforesis.

Bahan untuk elektroforesis terbagi menjadi tiga bagian yaitu, bahan pembuat

gel, buffer elektroforesis, buffer sampel, pewarna dan peluntur. Bahan pembuat gel

yang terdiri atas gel pemisah dan gel penahan disajikan pada Tabel 9. Buffer

elektroforesis terdiri atas (glisin 192 mM, SDS 0,1%, tris base 24,8 mM), buffer

sampel (SDS 1 g, gliserol 50%, bromophenol blue 0,1%, tris HCl 1 M, aquades),

larutan pewarna (50% metanol + 10% asam asetat + 0,06% coomassie blue R-250),

dan larutan peluntur (5% metanol + 7,5% asam asetat).

Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon,

dendeng dan daging panggang. Selain itu dipergunakan pula alat-alat analisis

laboratorium yang meliputi peralatan analisis kadar protein kasar (labu Kjeldhal 30

ml, pemanas Kjeldhal, alat destilasi, labu Erlenmeyer 125 ml, kondensor), daya cerna

protein secara in vitro (labu Erlenmeyer 50 ml, shaker, sentrifuse, kertas Whatman

41, oven) dan alat yang digunakan untuk elektroforesis terdiri atas alat elektroforesis

dan penangas air.

Page 38: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Tabel 9. Komposisi Gel Pemisah dan Gel Penahan pada Elektroforesis

Komposisi Gel Pemisah 10% Poliakrilamid

Gel Penahan 4% Poliakrilamid

Larutan stok akrilamid (30%), 29% (b/v) akrilamida, 1% (b/v) bis akrilamida

3,3 ml 0,67 ml

1,5 M Buffer Tris-Cl pH 8,8 2,5 ml -

0,5 M Buffer Tris-Cl pH 6,8 - 1,25 ml

Akuades 4,11 ml 3,075 ml

10% (b/v) SDS 0,1 ml 0,05 ml

10% (b/v) APS 0,1 ml 0,05 ml

TEMED 0,01 ml 0,005 ml Sumber : Laemmli (1970)

Prosedur

Preparasi Sampel

Daging yang berasal dari ternak sapi diolah menjadi bakso, sosis, dendeng,

abon dan daging panggang. Produk olahan dan daging segar dari ternak sapi tersebut

kemudian dianalisis mutu dan karakteristik proteinnya.

Pembuatan Bakso (Modifikasi Afrianti, 2002). Daging terlebih dahulu

dibersihkan dari bagian lemak dan jaringan ikat, kemudian dipotong-potong menjadi

ukuran yang lebih kecil. Persentase bumbu yang digunakan berdasarkan persentase

daging segar. Daging dimasukkan ke dalam alat penggilingan (food processor)

dengan ditambahkan 3% garam, 15% es batu dan 0,5% STPP, kemudian digiling

selama 1,5 menit. Setelah itu ke dalam adonan ditambahkan 30% tepung tapioka,

0,5% merica dan 2,5% bawang putih, dan 15% es batu kemudian digiling kembali

selama 1,5 menit. Adonan kemudian dicetak bulat dan direndam dalam air hangat

dengan kisaran suhu 60oC-70oC. Proses dilanjutkan dengan perebusan bakso dalam

air panas yang bersuhu 80oC selama 5 menit. Bakso yang telah mengapung diangkat

dan ditiriskan.

Pembuatan Sosis (Modifikasi Ridwanto, 2003). Lemak dan jaringan ikat pada

daging dihilangkan. Daging yang telah siap kemudian dimasukkan ke dalam alat

penggiling (food processor) dan ditambahkan 3% garam, 8% susu skim dan 1/3

bagian es batu, kemudian digiling selama 1,5 menit. Adonan ditambah 10% minyak,

Page 39: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

1,5% bawang putih yang telah dipotong-potong kecil, 1% merica, 0,5% pala dan 1/3

bagian es batu, kemudian digiling kembali selama 1,5 menit.

Adonan ditambah 12% tepung tapioka dan 1/3 bagian es batu (total es batu

yang ditambahkan adalah 35%), kemudian digiling kembali selama 2 menit.

Persentase bahan tambahan dihitung dari berat daging. Adonan kemudian

dimasukkan ke dalam selongsong sosis (casing) dengan menggunakan stuffer. Sosis

yang telah dimasukkan ke dalam selongsong dikukus selama 45 menit dengan suhu

65oC.

Pembuatan Dendeng Giling (Modifikasi Nuraini, 2002). Daging segar

dihilangkan dari lemak dan jaringan ikatnya terlebih dahulu, kemudian digiling

dengan menggunakan alat penggiling (Food Processor) selama 30 detik. Sejumlah

bumbu yang terdiri atas 3% garam, 30% gula merah, 1% asam jawa, 2,5% ketumbar,

10,9% laos, 2,5% bawang merah, 0,2% merica, 0,1% jinten dan 2,5% bawang putih

dihaluskan terlebih dahulu. Gula merah 30% dan 1% asam jawa dilarutkan dalam air

sebagai bumbu perendam.

Bumbu yang telah dihaluskan kemudian dicampur dengan larutan gula

merah dan asam jawa. Persentase bumbu perendam dihitung dari berat daging.

Campuran bumbu dituangkan pada daging yang telah digiling, diaduk rata dan

disimpan pada pendingin (refrigerator) selama 24 jam. Daging dicetak pada loyang

yang telah dilapisi dengan plastic high dencity poly ethylene (HDPE) dengan

ketebalan daging 6 mm. Daging kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu

70oC selama 7 jam. Sebelum dianalisis, dendeng digoreng pada suhu 120oC selama 2

menit hingga matang.

Pembuatan Abon (Modifikasi Rahmat, 2002). Daging dibersihkan dari lemak dan

dikukus selama 1 jam, kemudian disuir-suir dengan menggunakan garpu dan digiling

dengan menggunakan alat penggilingan (food processor). Bumbu yang terdiri atas

5% bawang merah, 2,5% bawang putih, 7% gula pasir, 25% santan, 1% garam, 0,2%

merica dihaluskan yang kemudian ditambahkan 10% air jeruk nipis. Persentase

bumbu yang digunakan berdasarkan berat daging.

Daging yang telah halus kemudian dimasak dengan semua bumbu yang telah

dihaluskan sambil diaduk-aduk hingga bumbu meresap. Daging diangkat dan

Page 40: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

ditiriskan, kemudian digoreng dengan minyak sebanyak 450 ml selama 15 menit

dengan api kecil (suhu 150oC). Abon diangkat dan dipres dengan alat pengepres.

Pengurangan kadar minyak dan air dapat dilakukan dengan cara pengeringan

menggunakan oven selama 15 menit pada suhu 130oC.

Pembuatan Daging Panggang (Saji, 2005). Daging terlebih dahulu dibersihkan

dari lemak kemudian dipotong-potong bentuk dadu dengan ukuran yang relatif sama.

Daging yang telah dipotong-potong kemudian digarami (curing) sebanyak 2,567%

garam selama 15 menit. Persentase bumbu yang digunakan berdasarkan berat

daging. Sebanyak 1,4% garam, 11,6% bawang merah, 4,3% bawang putih, 0,5%

ketumbar, 0,7% kunyit, 0,7% jahe, dan 4,3% kemiri dihaluskan kemudian, 0,026%

lengkuas dan 0,003% serai dimemarkan. Daging dimasak bersama dengan bumbu

yang telah dihaluskan lengkap dengan lengkuas dan serai yang telah dimemarkan

kemudian dicampurkan dengan 0,054% kecap manis, 4,2% gula merah, 0,001% gula

pasir dan 0,003% asam jawa (yang telah dicampur dengan 1 sendok makan air)

hingga bumbu meresap. Ditambahkan 0,833% ml air kelapa dan dimasak kembali.

Daging dipanggang di dalam oven listrik dengan suhu 120oC selama 10 menit.

Peubah yang Diamati

Protein Kasar (metode Kjeldahl-Mikro) (Apriyantono et al., 1988). Sampel

ditimbang sebanyak 0,05-0,1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml.

Ditambahkan katalis (1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO dan 2,0 + 0,1 ml H2SO4)

dan 3-10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N, kemudian dididihkan di dalam pemanas

Kjeldahl lengkap yang dihubungkan dengan penghisap uap melalui aspirator sampai

cairan menjadi jernih. Labu didinginkan dan isinya dipindahkan ke dalam alat

destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air dan air hasil pencucian

ini dipindahkan ke dalam alat destilasi, kemudian ditambahkan 2-3 ml NaOH.

Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes

indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen

blue 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor

harus terendam di bawah larutan H3BO3. Larutan NaOH sebanyak 2-3 ml

ditambahkan, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung 50 ml larutan destilat

(berwarna hijau) di dalam labu Erlenmeyer.

Page 41: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Tabung kondensor dibilas dengan air dan air bilasannya ditampung di dalam

Erlenmeyer yang sama. Dilakukan titrasi dengan HCl 0,043664 N (0,382%) sampai

terjadi perubahan warna menjadi ungu (warna semula) dan dilakukan penetapan

blanko. Perhitungan kadar protein kasar dan protein sisa dilakukan dengan rumus:

(a-b) x 0,014 x N HCl x c x 100 bobot sampel

Keterangan: a = ml titer

b = ml blanko

c = faktor konversi daging

Kecernaan Protein secara In Vitro (Saunders et al., 1973). Pengukuran kecernaan

protein secara in vitro dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 1-2 g.

Sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 15 ml HCl 0,1 N yang

mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok pada shaker water-bath dengan

kecepatan rendah dan suhu 37oC selama 3 jam. Larutan dinetralkan (pH 7) dengan

NaOH 0,5 N dan ditambahkan 4 mg enzim pankreatin di dalam 7,5 ml larutan buffer

fosfat 0,2 M dengan pH 8 yang mengandung natrium azida 0,005 M.

Larutan yang diperoleh dikocok pada shaker water-bath kembali dengan

kecepatan rendah dan suhu 37oC selama 24 jam. Padatan yang diperoleh dari akhir

penyaringan disaring dengan kertas saring Whatman 41 (sebelumnya bobot kertas

saring sudah dicatat). Padatan beserta kertas Whatman dikeringkan dalam oven

105oC selama 2 jam kemudian ditimbang, dan dilanjutkan dengan menganalisis

kandungan nitrogennya dengan menggunakan metode Kjeldahl-Mikro. Perhitungan

daya cerna protein dilakukan dengan rumus:

Protein Kasar - Protein Sisa x 100%

Protein Kasar

Elektroforesis (Laemmli, 1970). Tahapan elektroforesis terdiri atas preparasi

sampel, pembuatan gel, penetasan sampel, proses pemisahan protein, pewarnaan,

pencucian, interprestasi hasil. Sampel ditimbang masing-masing sebanyak 1 g dan

dihaluskan. Buffer fosfat 0,1 M sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalamnya, lalu

disentrifuse. Kemudian diambil supernatan dari hasil sentrifuse sebanyak 1 ml.

Supernatan tersebut kemudian dilarutkan dalam 1 ml larutan buffer tris dan

% N =

Kecernaan Protein =

Page 42: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

dipanaskan dalam air mendidih sebanyak 1 menit. Cetakan gel berupa dua lempeng

kaca berukuran 7,25x10,25 cm dan 8,25x10,25 cm dihimpitkan dan diantaranya

diletakkan pemisah (spacer). Bahan untuk gel pemisah (separating gel) dan gel

penahan (stacking gel) dibuat dari komposisi seperti pada Tabel 9. Sebanyak 1,5 ml

larutan gel pemisah ditambahkan 3µl TEMED, diaduk rata dan dipipetkan pada

bagian dasar kaca pencetak gel yang telah dipasang diatas lempeng kaca membentuk

garis lurus. Setelah larutan mengeras sisa larutan gel pemisah ditambah 5µl atau 10µl

TEMED dan dipipetkan perlahan-perlahan kedalam cetakan dan dijaga agar tidak

berbentuk gelembung udara. Aquades dipipet untuk membentuk tepi gel yang rata

dan untuk membasahi gel agar tidak kering. Pemasukan gel kedalam cetakan harus

dilakukan secepat mungkin karena adanya TEMED gel akan cepat mengeras. Setelah

gel pemisah membeku, aquades, diserap dengan kertas dan larutan gel penahan

dimasukkan hingga batas atas cetakan, sisir pencetak sumur segera dimasukkan dan

gel dibiarkan terpolimerisasi sempurna.

Gel yang telah terpolarisasi sempurna dapat langsung digunakan. Sisir dan

klip dilepaskan, kemudian gel dipasang, buffer elektroforesis dimasukkan dan alat

elektroforesis dirangkai. Sebelum dimasukkan ke dalam sumur, marker dan sampel

ditambahkan buffer sampel (1:1) diinkubasi pada penangas air mendidih selama 1

menit. Volume sampel yang dimasukkan ke dalam sumur sebanyak 20 µl tergantung

tebal tipisnya pita protein yang diinginkan. Elektroforesis (SDS PAGE) dijalankan

pada tegangan 100 V dan arus listrik 125 mA selama 1–1,5 jam hingga bromphenol

blue mencapai 1 cm dari bawah gel. Gel yang telah terbentuk dicelupkan dalam

larutan pewarna, kemudian dimasukkan ke dalam shaker selama 24 jam. Kelebihan

warna dibuang dengan merendam gel dalam larutan peluntur sampai diperoleh pita-

pita protein yang berwarna biru dengan latar belakang jernih. Silver staining

dilanjutkan bila pita pada gel tidak tampak jelas. Metode silver staining dapat dilihat

pada Lampiran 1.

Interpretasi Data

Hasil elektroforesis dilihat dari grafik yang dihasilkan berdasarkan markernya

seperti terlihat pada Gambar 1. Nilai yang dihasilkan, yaitu Rf (hasil pembagian

jarak pita dan jarak running) dan logaritma berat molekul marker (kD),

ditransformasikan dalam bentuk persamaan regresi linier Y = ax + b.

Page 43: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Y adalah logaritma berat molekul marker dan x adalah Rf.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola

searah dengan satu faktor perlakuan yaitu berbagai proses pengolahan. Perlakuan

yang dilakukan yaitu pembuatan produk olahan bakso (T1), sosis (T2), dendeng (T3),

abon (T4), daging panggang (T5) dengan (T0) adalah daging segar. Masing-masing

perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Pengujian peubah dilakukan dengan cara

komposit yaitu dengan mengambil 1/3 bagian dari setiap ulangan sampel kemudian

dicampur. Sampel hasil komposit diaduk rata kemudian diambil sampel untuk

dianalisa sesuai peubah yang diamati. Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.

Gambar 1. Kurva Standar Berat Molekul Rendah (Low Molecular Weight)

y = a x + b

R f

L o g B M

Page 44: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik pengolahan yaitu

pembuatan bakso, sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Proses tersebut

melibatkan pemanasan dengan metode yang berbeda. Semua produk tersebut

dianalisis kadar protein kasar, daya cerna protein secara in vitro dan kadar protein

tercerna. Hasil dari analisis tersebut disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya

Jenis Produk

Protein Kasar (% b/b)

Daya Cerna In Vitro (% b/b)

Kadar Protein Tercerna (%)

Daging Segar

19,0 79,03 15,02

Bakso 11,16 83,27 9,29

Sosis 12,41 89,60 11,12

Abon 38,98 58,87 22,95

Dendeng 24,58 61,59 15,14

Daging Panggang

28,97 59,73 17,30

Kadar Protein Kasar

Bakso dan Sosis

Kandungan protein kasar pada bakso menurun dari nilai protein kasar

daging segar 19,0% menjadi 11,16% untuk protein bakso. Penurunan ini disebabkan

karena pada pengolahan menjadi bakso terjadi proses penggilingan, pembumbuan

dan perebusan. Proses penggilingan menyebabkan denaturasi protein karena proses

penggilingan menyebabkan kenaikan suhu akibat panas. Namun demikian,

denaturasi karena proses penggilingan dapat dicegah dengan menambahkan es pada

saat proses penggilingan agar suhu adonan dibawah 20oC. Hasil ini dibuktikan

dengan suhu adonan bakso hanya mencapai 17oC.

Selain proses penggilingan, penambahan bahan-bahan lain selain daging dapat

menurunkan persentase protein pada bakso. Penambahan tepung pada pembuatan

Page 45: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

bakso akan mengurangi kadar protein. Octaviani (2002) menyatakan bahwa kadar

protein pada bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung, semakin tinggi

penambahan tepung maka protein bakso semakin kecil.

Penambahan garam pada proses pembuatan bakso menyebabkan adanya penurunan

kadar protein. Menurut Anshori (2002) kadar protein bakso semakin rendah dengan

semakin banyaknya garam yang ditambahkan. Hal ini disebabkan garam dapat

memecah ikatan hidrogen pada protein yang pada akhirnya menyebabkan denaturasi

protein dengan cara tersebut garam dapat meningkatkan daya kelarutan gugus

hidrofobik dalam air. Daya kelarutan yang meningkat menyebabkan protein yang

larut air pun semakin tinggi sehingga kadar protein akan turun karena protein banyak

terdapat dalam air rebusan bakso.

Rendahnya kandungan protein bakso bila dibandingkan dengan protein daging segar

juga disebabkan proses perebusan pada bakso yang dilakukan pada suhu 80oC

selama 5 menit. Menurut Waturaka (2002) perebusan yang dilakukan pada suhu

65oC-70oC selama ±20 menit untuk daging sapi dapat menyebabkan protein yang

terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan. Perebusan yang

dilakukan pada penelitian ini pada suhu 80oC sehingga mungkin dengan waktu yang

relatif singkat menyebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas, yang

menyebabkan terlarutnya protein larut air ke dalam air rebusan sehingga ketika diuji

kjeldhal sudah tidak terukur lagi. Pernyataan yang sama dinyatakan Setiawaty

(1985) bahwa pengolahan dengan cara perebusan menurunkan jumlah nitrogen

terlarut.

Kandungan protein pada bakso penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan

hasil penelitian Anshori (2002) yaitu sebesar 15,43%±0,75%. Perbedaan ini

disebabkan kandungan protein daging segar yang digunakan berbeda. Kandungan

protein daging segar yang digunakan Anshori (2002) adalah 22,5%. Selain itu

daging yang digunakan pada penelitian ini adalah daging yang telah mengalami

pembekuan sedangkan daging yang digunakan Anshori adalah daging setelah

pemotongan 1 jam tanpa pembekuan.

Penggunaan daging beku menyebabkan protein terlarut garam yang dapat

diekstrak menurun, yaitu sekitar 9% dibandingkan daging segar (Anindita, 2003).

Page 46: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Penurunan jumlah protein terekstrak dalam larutan garam kemungkinan karena

denaturasi protein pada saat pencairan (thawing) daging (Anindita, 2003). Bila di

bandingkan dengan standar yang telah ditetapkan BSN (1995) bahwa kandungan

protein bakso minimal 9% maka kandungan bakso pada penelitian ini lebih tinggi

dari standar yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan pada penelitian, jumlah daging

yang digunakan sebanyak 70%. Selain itu daging yang digunakan dalam penelitian

ini adalah daging knuckle yang telah dibersihkan lemaknya.

Kandungan protein sosis lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan

protein daging segar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan sosis ditambahkan

beberapa bahan selain daging seperti tepung tapioka sehingga persentase kadar

protein menjadi menurun. Menurut Ridwanto (2003) penambahan tepung pada

pembuatan sosis meningkatkan kandungan karbohidrat, sehingga lebih tinggi dari

kandungan karbohidrat daging segar.

Hasil kandungan protein sosis penelitian ini 12,41% lebih rendah di

bandingkan pada penelitian Rompis (1998) yang menyatakan kadar protein sosis

daging sapi sekitar 16,5%. Perbedaan nilai ini disebabkan perbedaan jenis daging dan

jumlah tapioka yang digunakan. Rompis (1998) menggunakan daging tetelan yang

telah dibekukan pada suhu -20oC, kemudian ditambahkan kombinasi antara tepung

tapioka dan susu skim sebanyak 3,5%. Sedangkan penelitian ini menggunakan

daging knuckle yang telah dibekukan pada suhu -27oC, kemudian ditambahkan

tepung tapioka sebanyak 12% dan susu skim sebanyak 8%. Menurut Pujorahardjo

(2002) kadar protein pada sosis dipengaruhi oleh jenis daging dan tingkat tapioka.

Selain itu kadar protein dalam produk daging sangat dipengaruhi oleh kandungan

awal dalam daging dan jumlah daging yang digunakan. Berdasarkan Standar

Nasional Indonesia kandungan protein sosis minimal 13,0%, dengan demikian

kandungan protein sosis penelitian ini masih dibawah standar. Hal ini mungkin

disebabkan oleh penggunaan daging pada pembuatan sosis ini merupakan daging

beku sehingga saat proses thawing, protein yang larut air ikut terlarut dalam air drip

(cairan hasil thawing) sehingga kadar protein yag terukur semakin kecil. Suhu

adonan sosis penelitian ini adalah 28oC sehingga mungkin pada awal proses struktur

molekul protein sudah berubah atau terdenaturasi.

Page 47: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan protein abon lebih tinggi dari

daging segar. Hal ini berbeda dengan yang dinyatakan Yenrina (1995) bahwa

kandungan protein abon akan lebih rendah dari daging segar, karena dalam proses

pembuatan abon, ada nitrogen yang bersifat volatil akan menguap. Analisis Kjeldhal

yang dilakukan Yenrina (1995) dalam persentase bahan kering dengan kandungan

protein daging segar adalah 87,70% sedangkan penelitian ini menggunakan

persentase bahan segar. Kandungan protein abon sebesar 38,98% dalam bahan segar.

Apabila dihitung dalam % bahan kering maka didapatkan hasil kandungan protein

kasar abon 39,87% dan protein daging segar 76,41%. Hasil ini sesuai dengan yang

dikemukakan Yenrina (1995) bahwa protein kasar abon dalam % bahan kering akan

menurun bila dibandingkan dengan daging segar.

Abon hasil penelitian Yenrina (1995) mengandung protein 54,45% bk untuk

abon dengan penambahan santan dan 66,58% bk untuk abon yang digoreng dengan

minyak, sedangkan pada penelitian ini kadar protein abon adalah 39,87% bk.

Perbedaan ini disebabkan oleh cara membuat abon yang berbeda. Penelitian ini

menambahkan santan dalam proses pembuatan abon, setelah itu abon digoreng dan

terakhir dikeringkan dengan oven. Penggunaan panas dengan waktu yang lama dan

suhu yang tinggi menyebabkan semakin banyak nitrogen yang bersifat volatil hilang.

Setelah proses pembumbuan, pembuatan abon dilanjutkan dengan proses

penggorengan dan pengeringan dengan oven. Hal tersebut dilakukan karena menurut

Widiyanto (2002) pembuatan abon dengan santan diperlukan proses lanjutan dengan

cara digoreng atau dikeringkan dengan oven, yang berfungsi untuk mengurangi kadar

air.

Kadar protein kasar dalam berat basah abon meningkat dibandingkan nilai

protein daging segarnya. Hal ini disebabkan oleh proses penggorengan. Proses

penggorengan menyebabkan kerusakan struktur protein yang terjadi mungkin lebih

banyak karena suhu pemanasan yang digunakan lebih tinggi. Namun karena hanya

sedikit air yang diuapkan selama penggorengan, komponen hasil dekomposisi

protein yang larut air pun hanya sedikit yang terlepas sedangkan senyawa nitrogen

hasil dekomposisi yang tidak larut air tetap dalam bahan sehingga masih terukur

Page 48: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

dalam analisis kadar protein dengan metode Kjeldhal (Pramono et al., 1985). Namun

demikian, kandungan abon pada penelitian ini masih diatas Standar Nasional

Indonesia. Protein abon yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional

minimal 15% (BSN, 1995) sedangkan kandungan abon penelitian ini adalah 38,98%.

Hal ini disebabkan pembuatan abon pada penelitian ini dilakukan pengolahan lebih

lanjut yaitu proses pengeringan. Menurut Winarno (1980) proses pengeringan

menyebabkan persentase protein meningkat.

Kadar protein dendeng lebih tinggi dibandingkan kandungan pada daging

segar hal ini disebabkan proses pengeringan. Proses pengeringan dendeng dilakukan

dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 7 jam. Sebelum dianalisis,

dendeng digoreng pada suhu 120oC selama 2 menit hingga matang. Menurut

Winarno (1980) dengan mengurangi kadar air, bahan pangan akan mengandung

senyawa–senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi

yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan kadar air daging segar (75,13%) dan

dendeng (32,29%) maka terbukti bahwa kadar air mempengaruhi persentase protein.

Perhitungan protein kasar dalam bahan kering menunjukkan hasil bahwa

dendeng mengandung protein sebesar 36,30% bk. Apabila dibandingkan dengan

kandungan protein kasar (% bk) dendeng pada standar yang telah ditetapkan BSN

(1992) yaitu mutu I 30% dan mutu II 25%, maka dendeng penelitian ini mengandung

protein yang lebih tinggi. Lebih tingginya kadar protein dendeng penelitian ini

disebabkan oleh daging yang digunakan memiliki kualitas yang lebih baik.

Nilai protein kasar daging panggang lebih tinggi dibandingkan daging segar

karena pengolahan dengan cara pengeringan akan mempengaruhi persentase protein.

Semakin kecil kadar air dalam bahan pangan maka semakin tinggi persentase protein

yang dikandungnya. Kadar air daging panggang 43,26% sedangkan kadar air daging

segar adalah 75,13%. Rendahnya kadar air daging panggang menyebabkan

persentase protein lebih tinggi. Kandungan protein daging panggang pada penelitian

ini adalah 28,97% lebih tinggi bila dibandingkan kadar protein daging panggang

dalam daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI (1995)

menetapkan kandungan protein daging panggang adalah 15,7%.

Page 49: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Daya Cerna Protein Secara In Vitro

Bakso dan Sosis

Pengolahan menjadi bakso dan sosis menyebabkan nilai kecernaan protein

meningkat dibandingkan dengan daging segarnya. Nilai kecernaan protein pada

bakso yaitu 83,27%, sosis 89,60% dan 79,03% untuk daging segar. Nilai kecernaan

bakso dan sosis cukup tinggi dan memenuhi persyaratan makanan yang mengandung

protein bermutu tinggi. Menurut Sediaoetama (1991) protein tergolong baik bila daya

cernanya sama atau lebih besar dari 80%.

Adanya penambahan garam, perebusan dan penggilingan menyebabkan

terjadinya denaturasi. Menurut Winarno (1997) denaturasi merupakan suatu

perubahan struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa

terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Hanya ikatan hidrogen dan ikatan garam saja

yang terpecah pada proses denaturasi. Peningkatan daya cerna ini disebabkan pada

pengolahan bakso pemanasan yang digunakan hanya mencapai 80oC dan sosis hanya

mencapai 65oC, kemungkinan yang terjadi adalah denaturasi protein. Protein otot

akan terdenaturasi pada suhu 50oC-80oC (Tornberg, 2004). Denaturasi protein

menyebabkan terbukanya lipatan protein sehingga enzim pencernaan lebih mudah

untuk menghidrolisis dan mudah memecah protein menjadi monomer-monomer.

Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Nilai kecernaan protein abon, dendeng dan daging panggang lebih kecil dari

daging segar. Nilai kecernaan ketiga produk dalam penelitian ini digolongkan protein

yang kurang baik karena daya cerna abon kurang dari 80%. Rendahnya daya cerna

abon disebabkan pengolahan abon sangat kompleks.

Pengolahan menjadi abon diawali dengan tahap pengukusan (tahap ini sudah terjadi

denaturasi karena suhu pengukusan mencapai 95oC), setelah itu dilanjutkan dengan

penghancuran menggunakan food processor tanpa adanya penambahan bahan yang

dapat mencegah mencegah denaturasi (seperti es). Tahap berikutnya adalah

pembumbuan dengan menambahkan santan dan proses pemanasan sampai bumbu

meresap, lalu digoreng dengan menggunakan panas 150oC dan pengeringan dalam

oven pada suhu 130oC. Proses ini menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang

lama, sehingga menyebabkan protein terdegradasi dan daya cerna menurun.

Page 50: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Pembuatan abon menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama,

menyebabkan tidak hanya terjadi denaturasi akan tetapi terjadi juga rasemisasi,

reaksi Maillard dan terbentuknya ikatan silang dalam protein seperti lisinoalanin dan

lantionin. Menurut Kasir (1999) terbentuknya ikatan silang akan menurunkan

kecernaan.

Menurut Muchtadi (1989) reaksi Maillard sangat nyata menurunkan daya

cerna protein. Reaksi Maillard yang disebabkan oleh bereaksinya gula pereduksi dan

protein dengan menghasilkan produk akhir berupa melanoidin yang tidak dapat kita

cerna. Selain itu menurut Geiger dan Borgstrom (1984) yang dikutip oleh Lenah

(1993) daya cerna akan menurun akibat proses pengolahan seperti pemanasan dan

pengeringan. Proses pemanggangan, penggorengan, penggaraman akan menurunkan

daya cerna protein.

Nilai kecernaan abon pada penelitian ini adalah 58,87%, lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai kecernaan pada penelitian Wisena (1988) yaitu 31,2%

untuk abon yang digoreng dengan minyak dan 22,8% untuk abon yang digoreng

dengan santan. Perbedaan ini disebabkan teknik pembuatan abon yang berbeda pada

penelitian ini pembuatan abon selain ditambahkan santan, abon pun digoreng dengan

menggunakan minyak goreng dan terakhir dikeringkan dengan oven.

Penambahan bumbu pada produk juga dapat menyebabkan terhambatnya

kecernaan seperti pada dendeng dengan penambahan gula merah dapat memicu

terjadinya reaksi Maillard yang dapat menurunkan kecernaan protein dendeng. Nilai

kecernaan dendeng 61,59%.

Proses pemanasan pada dendeng terdiri atas produk yang dikeringkan pada

suhu 70oC setelah itu dilakukan penggorengan pada suhu 120oC. Penggunaan suhu

pemasakan lebih dari 100oC menyebabkan menurunnya kecernaan. Suhu tinggi

menyebabkan tidak hanya membuka lipatan protein akan tetapi sudah sampai

memotong protein menjadi bagian–bagian kecil yang mungkin sudah menjadi protein

asing bagi enzim. Menurut Winarno (1997) denaturasi berat menyebabkan protein

terpotong dan bersifat irreversible. Protein yang telah terdegradasi tidak dikenali lagi

oleh enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik sehingga hanya memecah

protein-protein yang dikenalinya saja.

Page 51: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Daging panggang yang telah mengalami proses pembumbuan dan

pengeringan pun mengalami proses penurunan daya cerna enzim. Kemungkinan

disebabkan telah terbentuknya melanoidin sebagai hasil akhir reaksi Maillard yang

ditandai dengan warna coklat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan,

sehingga nilai kecernaan daging panggang 59,73% sangat rendah bila dibandingkan

dengan kecernaan daging segar yang mencapai 79,03%. Nilai kecernaan daging

panggang yang rendah ini menyebabkan daging panggang dikategorikan menjadi

pangan yang memiliki kualitas protein yang rendah

Daya cerna yang sangat rendah pada daging panggang disebabkan panas yang

digunakan dalam pemanggangan cukup tinggi yaitu 120oC menyebabkan dalam

waktu hanya 10 menit warna daging sudah berubah menjadi coklat yang

mengindikasikan telah terbentuknya melanoidin. Hal itulah yang menyebabkan

menurunnya daya cerna.

Protein Tercerna

Protein tercerna merupakan hasil perkalian antara protein kasar dan daya

cerna in vitro. Protein tercerna menunjukkan jumlah protein yang dapat digunakan

atau dimanfaatkan oleh tubuh. Tabel 10 menunjukkan protein tercerna pada produk

olahan beragam jumlahnya. Pembahasan ini dibagi menjadi dua bagian besar yaitu

produk basah (bakso dan sosis) dan produk kering (abon, dendeng dan daging

panggang).

Bakso dan Sosis

Bakso mengandung protein tercerna sebesar 9,29% lebih rendah bila di

bandingkan dengan protein tercerna pada daging segar 15,01%. Sama halnya dengan

sosis memiliki kandungan protein tercerna 11,11% yang berarti sosis pun mengalami

penurunan dibandingkan daging segar. Menurunnya protein tercerna ini disebabkan

oleh menurunnya kadar protein bakso dan sosis dibandingkan dengan daging segar.

Rendahnya nilai protein kasar menyebabkan rendahnya pula nilai protein tercerna,

begitu pula dengan daya cerna. Turunnya protein kasar pada bakso dan sosis

disebabkan oleh adanya penambahan bahan pengisi seperti tapioka. Penambahan

tapioka dapat mengurangi jumlah daging seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi

(1989) bahwa tapioka berfungsi mereduksi kebutuhan daging. Jumlah daging yang

Page 52: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

rendah menyebabkan protein tercerna rendah. Selain penambahan bahan pengisi,

bahan pengikat (susu skim) pun ditambahkan dalam pembuatan sosis. Susu skim

yang ditambahkan diduga mampu menambahkan sejumlah protein tercerna pada

sosis sehingga kadar protein tercerna pada sosis tidak terlalu rendah.

Walaupun daya cerna pada bakso cukup tinggi yaitu 83,27%, tetapi protein

yang dapat dimanfaatkan dalam bakso hanya 9,29%. Hal ini disebabkan oleh kadar

protein kasar bakso yang sangat kecil yaitu 11,16%, sehingga jika dikalikan antara

protein kasar dan daya cerna menghasilkan nilai yang sangat kecil. Sama halnya

yang terjadi pada produk sosis, nilai protein tercerna kecil karena kadar protein

kasarnya rendah yaitu hanya mencapai 12,41%. Nilai protein tercerna sangat

dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan daya cerna yang hubungannya berbanding

lurus. Nilai protein tercerna tinggi dicapai bila kadar protein kasar dan daya cerna

suatu produk tinggi.

Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Abon, dendeng dan daging panggang mengalami proses pengeringan dengan

oven. Ketiga produk ini memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari kadar protein

daging segar. Kadar protein abon 38,98% b/b, dendeng 24,58% b/b, dan daging

panggang 28,97% b/b, sedangkan kadar protein daging segar hanya mencapai 19%

b/b. Kadar protein kasar sangat mempengaruhi kadar protein tercerna. Persentase

protein kasar yang tinggi menyebabkan nilai protein tercerna pun tinggi. Protein

tercerna dalam abon 22,95%, 15,14% pada dendeng dan 17,30% pada daging

panggang sedangkan pada daging segar hanya terdapat 15,01% protein tercerna.

Daya cerna abon, dendeng, dan daging panggang lebih kecil bila dibandingkan

dengan daya cerna pada daging segar, akan tetapi kadar protein yang sangat tinggi

menyebabkan protein tercerna pada setiap produk tersebut menjadi tinggi.

Page 53: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Karakteristik Protein

Analisis elektroforesis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

konsentrasi akrilamid 10µl sehingga berat molekul yang dapat terlihat hanya protein

dengan berat molekul 10-80 kD. Data lengkap hasil elektroforesis daging segar dan

produk olahannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Analisis Elektroforesis pada Daging Sapi Segar dan Olahannya

81,58 kD

50,40 kD

36,56 kD

31,14 kD

22,59 kD

19,24 kD

11,88 kD

Panggang

50,44 kD

32,89 kD 31,17 kD

19,27 kD

16,41 kD

11,29 kD

Dendeng

51,96 kD

33,84 kD

20,22 kD 18,04 kD

Sosis

98,37 kD

88,87 kD

68,95 kD

56,28 kD

45,94 kD 43,66 kD 39,45 kD

27,65 kD

Bakso

75,87 kD

61,11 kD

54,85 kD 49,22 kD

44,18 kD

33,71 kD

27,15 kD

23,09 kD

Abon

114,55 kD

98,37 kD

72,54 kD 68,95 kD 65,54 kD

45,93 kD

41,50 kD

37,50 kD

32,20 kD 30,61 kD 27,65 kD 26,28 kD 23,75 kD 22,57 kD 21,45 kD 19,38 kD

17,51 kD 16,64 kD 15,04 kD

Segar

Page 54: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Karakteristik Protein pada Bakso dan Sosis

Hasil elektroforesis menunjukkan pita protein pada daging sapi segar

sebanyak 19 pita dengan berat molekul terbesar adalah 114,55 kD dan pita protein

terkecil dengan berat molekul 15,04 kD setelah diolah menjadi bakso pita protein

yang terlihat jumlahnya 8 buah dengan berat molekul terbesar adalah 98,37 kD dan

pita dengan berat molekul terkecil 27,65 kD.

Awalnya pita protein pada bakso dengan menggunakan coomasie blue tidak

terlihat jelas sehingga dilanjutkan dengan silver staining. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan Murphy dan Marks (2000) pemanasan dengan menggunakan suhu

80oC menggunakan coomasie blue yang terdeteksi hanya protein dengan berat

molekul <38 kD. Pewarnaan dengan silver staining menyebabkan protein pada

bakso terlihat lebih jelas.

Bila dilihat dari kedua pita antara daging segar dan bakso masih terdapat pita

yang sama berat molekulnya (protein pada daging segar masih terdapat pada bakso),

seperti protein dengan berat molekul 98,37 kD, 68,95 kD, 45,94 kD, 27,65 kD. Hal

ini mungkin disebabkan proses pengolahan menjadi bakso (moist cooking), suhu air

perebusan yang digunakan hanya mencapai 80oC sehingga diduga hanya terjadi

denaturasi ringan yang tidak mengubah ikatan kovalen dari protein.

Bila dilihat lebih jelas lagi terdapat pita protein baru pada bakso dengan berat

molekul 88,87 kD, 56,28 kD, 43,66 kD, 39,15 kD. Hal ini mungkin disebabkan oleh

protein berubah bentuk atau terbentuk ikatan baru hasil pemecahan protein tersebut.

Menurut Setiawaty (1985) panas dapat menyebabkan pembentukan ikatan yang baru

pada protein. Protein pada daging segar yang sudah tidak terdapat pada bakso

mungkin sudah berubah menjadi protein lain yang strukturnya sederhana dengan

berat molekul yang lebih kecil akibat pengaruh pemanasan.

Selain itu juga dapat disebabkan oleh larutnya protein yang larut air, karena

dalam pembuatan bakso terdapat proses perebusan sehingga akan banyak protein

larut air yang hilang. Menurut Kasir (1999) perebusan yang dilakukan pada suhu

65oC-70oC selama ± 20 menit untuk daging sapi dapat menyebabkan protein yang

terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan. Munculnya protein

baru pada pita elektroforesis bakso bisa juga disebabkan oleh penambahan bumbu

Page 55: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

seperti bawang putih, merica dan tapioka yang masing-masing mengandung protein

dengan kadar yang berbeda-beda 4,5-7,0 g dalam 100 gram bawang putih, 0,13%

untuk tapioka, dan merica 11,5% (Rismundar,1988 ; Pandisurya,1983)

Proses pengolahan sosis menghasilkan 4 pita protein dengan berat molekul

51,96 kD, 33,84 kD, 20,22 kD dan 18,04 kD. Penggunaan coomasie blue pada

elektroforesis menunjukkan pita yang sangat sedikit dan tidak terlihat jelas. Menurut

Murphy dan Marks (2000) pemanasan dengan suhu 60oC menyebabkan protein

dengan berat molekul 43 kD menurun sehingga tidak terlihat jelas lagi. Hal ini sesuai

dengan hasil elektroforesis pada produk sosis yang menggunakan suhu pengukusan

60oC-65oC.

Jumlah pita protein pada sosis yang terdeteksi hanya sedikit disebabkan oleh

pengolahan menjadi sosis menggunakan suhu 60oC-65oC selama 45 menit. Lamanya

waktu sangat mempengaruhi kualitas protein karena pemanasan yang lama

menyebabkan kerusakan pada protein, seperti terjadinya ikatan silang sehingga tidak

terdeteksi sebagai protein.

Pemanasan pada pembuatan sosis menggunakan suhu 65oC sehingga protein

tidak terpisah secara sempurna. Protein pada sosis yang tidak terpisahkan secara

sempurna, menyebabkan protein masih memiliki berat molekul yang sangat besar

sehingga tidak terdeteksi pada metode ini karena menggunakan konsentrasi akrilamid

sebesar 10µl. Menurut Andrew (1986) konsentrasi akrilamid sebesar 10µl hanya

mampu mendeteksi protein dengan berat molekul 10-80 kD. Menurut Murphy dan

Marks (2000), temperatur yang tinggi menyebabkan protein dengan berat molekul

yang besar terfragmentasi.

Bila dibandingkan dengan pita protein yang terbentuk pada daging segar

sudah tidak terdapat lagi pita protein yang sama. Hal ini disebabkan proses

penggilingan (penghancuran daging) pada sosis terlalu lama yaitu selama lima menit

yang dibagi menjadi 3 kali penggilingan masing–masing (1,5 menit sebanyak 2 kali

dan terakhir 2 menit) walaupun sudah dicegah dengan penambahan es akan tetapi

suhu adonan yang terbentuk mencapai 28oC sehingga mungkin telah terjadi

denaturasi protein. Berkurangnya pita protein yang muncul pada sosis mungkin

disebabkan juga karena adanya penambahan lemak seperti minyak (10%) yang akan

menurunkan jumlah protein. Susu skim yang ditambahkan merupakan jenis protein

Page 56: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

yang berbeda dengan protein daging segar sehingga akan menyebabkan pita protein

yang terbentuk berbeda dengan daging segar.

Karakteristik Protein pada Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Pita protein pada abon yang masih menyerupai protein daging segar hanya 2

pita dengan berat molekul 23,09 kD dan 27,15 kD. Menurut Price dan Schweigert

(1987) protein dengan berat molekul 23,09 kD kemungkinan adalah troponin I.

Troponin merupakan protein yang tahan panas. Pembuatan abon sangat kompleks

yang terdiri atas pengukusan, penghancuran daging, pembumbuan, penggorengan

dan proses terakhir adalah pengeringan dalam oven. Penambahan santan,

penggorengan menyebabkan produk abon memiliki pita protein yang sedikit karena

proses yang terjadi adalah denaturasi sampai reaksi Maillard, dan terdapat protein

baru yang merupakan ikatan–ikatan baru. Selain itu protein baru mungkin berasal

dari bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan abon.

Dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang dibumbui

dan dikeringkan setelah dianalisis elektroforesis didapatkan hasil sebanyak 6 pita

(50,44 kD, 32,89 kD, 31,17 kD, 19,27 kD, 16,41 kD, 11,29 kD) dengan berat

molekul sebanyak 3 pita mirip dengan pita protein pada daging segar (32,89 kD,

19,27 kD, 16,41 kD). Pengolahan menjadi dendeng mampu mereduksi atau

mengurangi jumlah pita yang terbentuk dari 19 protein pada daging segar menjadi 6

pita. Bila dilihat dari proses pembuatan dendeng yang dimulai dari penggilingan

daging, pembumbuan dan pemanggangan akan menyebabkan protein mengalami

perubahan bentuk struktur.

Proses pengolahan dendeng yang diawali dengan penggilingan, pengeringan

dan penggorengan serta penambahan berbagai bumbu akan mempengaruhi kadar

protein dan struktur protein. Penggilingan daging sampai halus tanpa ada

penambahan suaru bahan yang dapat mencegah denaturasi merupakaan awal dari

perubahan struktur protein dendeng. Selanjutnya proses pengeringan pada suhu 70oC

selama 7 jam dan proses peggorengan pada suhu 120oC selama 2 menit akan

menyebabkan terjadinya reaksi Maillard yang ditandai dengan pembentukan warna

coklat pada dendeng. Menurut Pandisurya (1983) proses pengolahan daging dan

penggorengan menurunkan jumlah nitrogen terlarut atau menurunkan kelarutan

Page 57: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

protein yang diekstrak dengan larutan garam dan proses penggorengan menurunkan

jumlah protein karena banyak N yang bersifat volatil hilang atau menguap.

Pita-pita protein yang terbentuk pada daging panggang sebanyak 7 pita

protein dengan berat molekul yang tertinggi 81,58 kD dan terkecil adalah 11,88 kD.

Pemanasan dengan suhu 120oC menyebabkan daging berubah warna menjadi warna

coklat (Maillard) yang menunjukkan protein telah bereaksi dengan gula pereduksi

dan menghasilkan N heterosiklik (melanoidin). Selain itu suhu yang digunakan

dalam pembuatan dendeng menyebabkan terputusnya ikatan kovalen dari protein

daging sehingga protein menjadi bagian-bagian yang kecil (protein yang baru).

Page 58: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengolahan mempengaruhi nilai gizi protein dari segi kandungan dan nilai

kecernaan protein. Kadar protein kasar produk basah atau produk dengan perebusan

dan pengukusan seperti bakso dan sosis mengalami penurunan dibandingkan dengan

daging segar sedangkan untuk produk yang mengalami pengeringan seperti abon,

dendeng dan daging panggang mengalami peningkatan kadar protein kasar. Apabila

dilihat dari segi daya cerna, bakso dan sosis masih memiliki kualitas protein yang

baik (daya cernanya lebih dari 80%) sedangkan dendeng, abon, dan daging panggang

memiliki kualitas kurang baik (daya cernanya kurang dari 80%). Namun demikian

kadar protein tercerna atau jumlah protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh

paling tinggi terdapat pada produk abon. Pita elektroforesis yang terbentuk paling

banyak pada produk bakso dan abon sedangkan paling sedikit terdapat pada produk

sosis. Pengolahan daging menjadi berbagai produk seperti bakso, sosis, abon,

dendeng, dan daging panggang secara umum memiliki nilai gizi protein yang masih

layak untuk dikonsumsi manusia.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, perlu dilakukan

penelitian lanjutan untuk melihat nilai kecernaan dengan metode in vivo. Selain itu

perlu adanya pengukuran kadar melanoidin untuk melihat pengaruh kadar

melanoidin terhadap kecernaan. Penelitian lebih lanjut dengan perbedaan konsentrasi

akrilamid dan konsentrasi sampel pada elektroforesis perlu dilakukan agar pita

protein lebih jelas dan protein dengan berat molekul yang lebih besar terdeteksi.

Page 59: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan

rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.

Shalawat serta salam penulis curahkan pada suri tauladan kita Nabi Muhammad

SAW, kepada keluarga, sahabat dan umatnya sampai akhir zaman.

Ayahanda H. Abdul Kohar dan ibunda tercinta Hj. Basiroh terima kasih atas

motivasi, do’a, kasih sayang dan semua bantuan baik materi, moral dan spritual.

Terima kasih untuk kakanda Asep Saepul Anwar dan adik-adikku Tuti Herawati, Ika

Jatnika, Luki Lukman Nul Hakim, Fitri Yani Rahmah, M. Kiran Rosadi, Meirisa

Sofia Khusnul Khotimah, dan Fikri Abdur Rahman atas semua kebahagiaan,

kesabaran, motivasi dan do’anya. Keluarga besar H. Saepulloh dan Patonah terima

kasih atas semua bantuan yang telah diberikan.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini,

M.Si dan Tuti Suryati, S.Pt., M.Si atas bimbingan, saran, nasehat dan perhatian yang

telah diberikan pada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terima kasih penulis

ucapkan pula kepada Dr. Ir. Tantan R. Wiradarya selaku dosen pembimbing

akademik atas perhatian dan semua bimbingan yang telah diberikan selama kuliah.

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Ir. Dwi Joko Setyono M.Si dan Irma

Isnafia Arief S.Pt., M.Si selaku dosen penguji atas semua saran, koreksi dan

masukkannya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada tim PHK A2

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah bekerja keras

dalam menyukseskan program pengurangan masa studi dan pendanaan penelitian ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman satu penelitian

Nurjamilah, Febry Ajronah Pane, Iwan Riyanto, dan Aam Aminudin Ridwan S.Pt

atas bantuan, dukungan dan kebersamaan selama penelitian. Tidak lupa penulis

ucapkan terima kasih untuk keluarga besar THT’39, keluarga besar Asrama Putri

Darmaga atas semua kasih sayang, motivasi, kebersamaan, rasa kekeluargaan yang

telah diberikan. Tidak lupa saya ucapkan kepada Yayasan Al Munawaroh terima

kasih atas semua bantuan yang telah diberikan. Penulis pun mengucapkan kepada

semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini yang

tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, Mei 2006

Penulis

Page 60: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

DAFTAR PUSTAKA

Afrianty. 2002. Sifat fisiko-kimia dan palatabilitas bakso dengan bahan utama daging sapi beku pada waktu pembekuan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati. dan S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Andrew. 1986. Electrophoresis Theory, Techniques and Biotechemical and Chemical Application. 2 nd Edition. Claredon Press, Oxford.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.

Anindita, S. 2003. Keamanan pangan dan nilai gizi bakso pedagang sektor informal di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor selama penjualan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anshori, M. 2002. Evaluasi penggunaan jenis daging dan konsentrasi garam yang berbeda terhadap mutu bakso. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Astawan, M. 2005. http://www.waspada.co.id/serba serbi/kesehatan/artikel.

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Dendeng. SNI 01-2908-1992. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Gula. SNI 01-3140-1992. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tapioka. SNI 01-3451-1994. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1994. Kecap Kedelai. SNI 01-3543-1994. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI 01-3707-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Santan. SNI 01-3816-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso. SNI 01-3818-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Sosis. SNI 01-3820-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1998. Kemiri. SNI 01-1684-1998. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Brown, A. 2000. Understanding Food, Principle and Preparation. Wad Sworth Thomson Learning, Hawai.

Belitz and Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer- Verlag, Berlin.

Page 61: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang.

Davidek, J., J. Vellisek and J. Pokorny. 1990. Chemical Change During Food Processing. Departement of Food Chemistry and Analysis. Institute Chemical Technology, New York.

De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Indonesia, Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia, Jakarta.

Garfin, D. 1990. One-Dimensional Gel Electrophoresis. In: Guide to Protein Purification. Murray P. Deutscher Academic Press, California, San Diego.

Hawab, H. M. 1999. Pengaruh pemanasan beras menjadi nasi sebagai peubah turunnya nilai nutrien beras. Buletin Kimia No. 14 hal 69-80.

Hawab, H. M. 2002. Pembebasan asam amino dari protein berkeratin tinggi secara in vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Kimia Vol 2 No. 2.

Karmas, E. dan R. Harris. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: Achmadi, S. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.

Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan organoleptik abon sapi, ayam, kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kelly, R. B., David and John W. F. 1980. Studies on the utilization of lysinoalanin and lanthionine. J. Nutr. 110 : 907-915.

Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C. Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poultry and Seafood Technology. Chapman and Hall, London.

Laemmli, U. K. 1970. Cleavage en struktural proteins during the assembly of the head of bactioriophage T 4. Nature 227:680-685.

Lenah. 1993. Pembuatan bakso dan sosis dari bahan dasar daging ikan cucut hasil pemasakan ekstruksi serta evaluasi mutunya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Lehninger, A. L. 1998. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan : Thenawidjaja, M. Erlangga, Jakarta.

Maarif, M., Adil. B., M. Rachmaniah dan Suhandi. 1984. Studi pengembangan proses pembuatan tepung tapioka dari singkong press. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Matta, M. S. dan Antony, C. W. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.

Muchtadi, D dan E. Setiawaty. 1985. Studies on dendeng an Indonesian traditional preserved meat product. Media Teknologi Pangan. 2(1) : 23-29.

Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Protein. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 62: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber-Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Murphy R. Y. and B. P. Marks. 2000. Effect of meat temperature on proteins, texture and cook loss for ground chicken breast patties. J. Poultry Science 79:99-104.

Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nuraini, I. 2002. Kualitas dendeng giling dari daging sapi, ayam dan kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Octaviani, Y. 2002. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso campuran daging dan jantung sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pandisurya. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pramono, A. I., D. Muchatdi, T. R. Muchtadi. 1985. Pembuatan dan evaluasi tahu bercita rasa daging. Media Teknologi Pangan 2(1):44-54.

Pearson, A. M. and W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI Publishing Company,Inc. Wesport, Connecticut.

Penebar Swadaya. 1998. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Price J.F. and Schweigert, B. 1987. The Science of Meat and Meat Products. 2nd Edition. Food and Nutrition Press, Westport.

Pujoraharjo, A. 2002. Karakteristik sosis dari daging kelinci dan ayam dengan tingkat penggunaan tapioka dan susu skim yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selama penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.

Purseglove, J. W. 1972. Tropical Crops : Monocotyledons 2. Longman, London.

Rahmat, M. 2002. Daya terima dan kualitas abon daging ayam ras petelur afkir goreng dan oven selama penyimpanan pada suhu kamar. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut petanian Bogor, Bogor.

Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas sosis daging sapi dengan substitusi tepung tulang rawan ayam pedaging sebagai bahan pengisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 63: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Rismundar. 1988. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rismundar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Eksport Indonesia. Sinar Baru, Bandung.

Rompis, J. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia serta palatabilitas sosis sapi. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saji. 2005. Resep Ayam Panggang Berbumbu. Tabloid , 27 Juli-29 Agustus 2005.

Santoso, H. 1994. Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisus, Yogyakarta.

Saunders R. M, M. A. Connor, A. N. Booth, E.M. Bickoff and G.O. Kohler. 1972. Measurement of digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. J. Nut. 103:530-535.

Sediaoetama, A. D. 1991. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian Rakyat, Jakarta.

Setiawaty, E. 1985. Mempelajari beberapa sifat protein dendeng sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Shahidi, S. 1998. Flavor of Meat, Meat Products and Sea Food. Thomson Science, London.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada Universitas Press, Yoyakarta.

Sutedjo, M. 1990. Pengembangan Kultur Tanaman Berkhasiat Obat. Rineka Cipta, . Jakarta.

Sudarisman, T dan Elvina A. R. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Thohari, M, B. Masyud, S. Supraptini. dan M. Cece. 1993. Analisis Perbandingan Polimorfisme Protein Darah dan Berbagai Jenis Rusa di Indonesia dengan Menggunakan Elektroforesis. Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tornberg. 2004. Effect of heat on meat proteins-implication on stucture and quality of meat product. J. Meat Sci 70:493-508.

Waturaka, F.Y. 2002. Komposisi kimia dan daya terima abon dari daging sapi dan ayam petelur afkir pada cara pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik abon daging domba dan daging kambing yang dimasak dengan metode pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wijaya, H., P. Retno Wikandari, Suliantan dan Sugiono. 1993. Pengaruh Cara Pengolahan pada Komponen Aktif Cita Rasa dari Rempah-rempah. Pusat Antar Universitas. Insititut Pertanian Bogor, Bogor.

Winarno , F. G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Page 64: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F. G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Pusat Pengembangan Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Wisena, M. 1988. Evaluasi nilai gizi abon sapi menggunakan metode In Vitro dan evaluasi mutu abon komersil yang berada di kota Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yenrina, R. 1995. Nilai gizi protein abon daging sapi yang dievaluasi dengan menggunakan tikus percobaan dan faktor sosial yang berhubungan dengan konsumsi abon di masyarakat. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 65: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

LAMPIRAN

Page 66: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Gel

Fiksasi selama 1jam (Larutan Fiksasi: 25% methanol,

12% Asam Asetat)

Di goyang dengan Shaker

Di + 50% Etanol Digoyang selama 20 menit dengan Shaker

Di +Etanol 30% kemudian di goyang lagi selama 2x20 menit

Di Tambah Larutan Enhancer (0,1 g Na2S2O3.5H2O) dan 500 ml Aquabides dan di

goyang selama 1 menit

dicuci dengan Aquabides di goyang selama 3x20 detik

Di + Silver Nitrat , 0,4 AgNO3, 70 ml Formaldehid dan 12 ml aquabides selama 30 menit

Di bilas dengan Aquabides 2x20 menit

Di celupkan dalam larutan 15 g, Na2CO3 dan 120 ml formaldehid dan digoyang sampai terlihat band/pita

Reaksi di hentikan dengan larutan fiksasi

Gel Gel

Lampiran 1. Metode Silver Staining

Page 67: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Lampiran 2. Kadar Air Daging Segar dan Produk Olahannya

Jenis Produk Kadar Air (% b/b)

Sapi Segar 75,13±0,43

Sosis 64,80±0,32

Bakso 69,59±0,33

Dendeng 32,29±0,92

Panggang 43,26±0,12

Abon 2,22±0,08

Lampiran 3. Kadar Protein Kasar Daging Segar dan Produk Olahannya

Jenis Produk PK (% bk)

Sapi Segar 76,40

Sosis 35,26

Bakso 36,70

Dendeng 36,30

Panggang 51,04

Abon 39,87

Page 68: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

9a 9

Sosis Sapi

M 6a 6

Dendeng Sapi

Lampiran 4. Gambar Hasil Elektroforesis Dendeng, Sosis Sapi dan Marker

Lampiran 5. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Dendeng dan Sosis Sapi

Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf Phosphorylase 97000 4.98677 4.7 0.6 0.12766 Albumin 66000 4.81954 4.7 0.8 0.170213 Ovalbumin 45000 4.65321 4.7 1.6 0.340426 Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.7 2.4 0.510638 Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.7 3.1 0.659574 α- Lactalbumin 14400 4.15836 4.7 3.9 0.829787

Kurva Standar LMWy = -1.068x + 5.051

R2 = 0.9737

44.24.44.6

4.85

5.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Rf

Log

BM Series1

Linear (Series1)

Page 69: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Bakso Marker

Lampiran 6. Gambar Hasil Elektroforesis Bakso Sapi dan Marker

Lampiran 7. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Bakso

Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf Phosphorylase 97000 4.98677 4.5 0.6 0.133333 Albumin 66000 4.81954 4.5 1.2 0.266667 Ovalbumin 45000 4.65321 4.5 2 0.444444 Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.5 2.8 0.622222 Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.5 3.4 0.755556 α- Lactalbumin 14400 4.15836 4.5 4.2 0.933333

Kurva Standar LMW

y = -0.9921x + 5.1031R2 = 0.994

44.24.44.64.8

55.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Rf

Log

BM Series1

Linear (Series1)

Page 70: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

Abon Marker

Lampiran 8. Gambar Hasil Elektroforesis Abon Sapi dan Marker

Lampiran 9. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Abon

Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf Phosphorylase 97000 4.98677 4.5 0.4 0.088889Albumin 66000 4.81954 4.5 0.9 0.2Ovalbumin 45000 4.65321 4.5 1.6 0.355556Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.5 2.4 0.533333Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.5 2.9 0.644444α- Lactalbumin 14400 4.15836 4.5 3.9 0.866667

Kurva Standar LMW

y = -1.0335x + 5.0445R2 = 0.9942

0123456

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Rf

Log

BM Series1

Linear (Series1)

Page 71: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

MDaging Segar

Lampiran 10. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Segar dan Marker

Lampiran 11. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Segar

Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf Phosphorylase 97000 4.98677 4.4 0.6 0.136364 Albumin 66000 4.81954 4.4 1.2 0.272727 Ovalbumin 45000 4.65321 4.4 2 0.454545 Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.4 2.8 0.636364 Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.4 3.4 0.772727 α- Lactalbumin 14400 4.15836 4.4 4.2 0.954545

Kurva Standar LMW

y = -0.97x + 5.1031R2 = 0.994

4

4.5

5

5.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Rf

Log

BM

Series1Linear (Series1)

Page 72: EVALUASI NILAI GIZI DAN KARAKTERISTIK PROTEIN DAGING ...

44a

Panggang Sapi

M

Lampiran 12. Gambar Hasil Elektroforesis Daging Panggang dan Marker

Lampiran 13. Data Marker dan Kurva LMW yang Digunakan Daging Panggang

Marker LMW BM Log BM Run Cm Band Cm Rf Phosphorylase 97000 4.98677 4.5 0.6 0.133333 Albumin 66000 4.81954 4.5 0.8 0.177778 Ovalbumin 45000 4.65321 4.5 1.6 0.355556 Carbonic anhydrase 30000 4.47712 4.5 2.4 0.533333 Trypsin inhibitor 20100 4.3932 4.5 3.1 0.688889 α- Lactalbumin 14400 4.15836 4.5 3.9 0.866667

Kurva Standar LMW

y = -1.0225x + 5.051R2 = 0.9737

44.24.44.64.8

55.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Rf

Log

BM Series1

Linear (Series1)