MM ITBK - Membedah Manajemen Operasi Bisnis H.J.Heinz (ABC) by Noverino Rifai
EVALUASI IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA …repository.fisip-untirta.ac.id/1025/1/Achmad Hafidz...
-
Upload
truongdieu -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
Transcript of EVALUASI IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA …repository.fisip-untirta.ac.id/1025/1/Achmad Hafidz...
EVALUASI IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH
KOTA TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2012
TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN,
GELANDANGAN, PENGEMIS DAN PENGAMEN
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Oleh:
Achmad Hafidz Rifai
NIM 6661111159
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG 2018
ABSTRAK
Achmad Hafidz Rifai. NIM: 6661111159. SKRIPSI. Evaluasi Implementasi
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 05 Tahun 2012 Tentang
Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Program
Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Dr. Dirlanudin, M.Si.,
Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos., M.Si.
Penelitian mengenai Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen ini dilatarbelakangi oleh maraknya anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen yang melakukan aktivitas dijalan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Penelitian ini menggunakan teori evaluasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Nurcholis, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan huberman. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan peraturan daerah ini masih belum berjalan dengan optimal. Sarana dan prasarana pendukung pembinaan seperti balai pelatihan, dan instruktur pelatih belum tersedia, sehingga kegiatan pembinaan tidak efisien. Dan juga sanksi bagi yang melanggar ketentuan didalam peraturan daerah ini belum di terapkan. Peneliti memberikan saran agar disediakannya balai dan instruktur pelatihan agar kegiatan pembinaan lebih efisien. Dan juga perlu adanya koordinasi dengan kepolisian dalam penindakan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.
Kata kunci : Anak Jalanan, Evaluasi, Implementasi, Pembinaan, Peraturan Daerah Kota Tangerang
ABSTRACT
Achmad Hafidz Rifai. NIM: 6661111159. Thesis. Evaluation of the Implementation of Tangerang City’s Regional Regulation Number 05 of 2012 About The Guidance of Street Children, Vagrants, Beggars and Street Singers. Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. First Advisor, Dr. Dirlanudin, M.Si., Second Advisor, Rahmawati, S.Sos., M.Si.
Research on Evaluation of the Implementation of Tangerang City’s Regional Regulation Number 05 of 2012 About The Guidance of Street Children, Vagrants, Beggars and Street Singers is motivated by the rise of street children, vagrants, beggars and street singers who do activities on the street. The purpose of this research is to evaluate the implementation of Tangerang city’s regional regulation number 05 of 2012 about the guidance of street children, vagrants, beggars and street singers. This research is using public policy evaluation theory proposed by Nurcholis, with using descriptive-qualitative method. Data analysis techniques used are techniques developed by Miles and huberman. The results of this research indicate that the implementation of this regulation is still not running optimally. Supporting facilities and infrastructure for coaching, such as training centers and training instructors are not available, so inefficient coaching activities. And also punishment for those who violate the provisions in this regional regulation has not been applied. Researchers provide suggestions for the provision of training centers and instructors so that coaching activities are more efficient. And also need to coordinate with the police in the prosecution and sanctions against violations that occurred.
Keywords: Evaluation, Guidance, Implementation, Tangerang city’s regional regulation, Street children
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : ACHMAD HAFIDZ RIFAI
NIM : 6661111159
Judul : Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kota TangerangNomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
Telah diuji dihadapan dewan penguji sidang skripsi dan komprehensif di Serang,Tanggal ..... Juli 2018 dan dinyatakan LULUS.
Serang, ..... Juli 2018
Mengetahui,
Ketua Penguji,
Listyaningsih, S.Sos, M.Si
NIP. 197603292003122001
Anggota,
Riny Handayani, M.Si
NIP. 196109031987031001
Anggota,
Dr. Dirlanudin, M. Si
NIP. 196109031987031001
.........................................
.........................................
.........................................
Dekan FISIP UNTIRTA
Dr. Agus Sjafari, M. Si
NIP. 197108242005011002
Ketua Program Studi
Listyaningsih, S.Sos, M.Si
NIP. 197603292003122001
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : Achmad Hafidz Rifai
NIM : 6661111159
Judul Skripsi : Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kota Tangerang
Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
Serang, Juni 2018
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Disajikan,
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Dirlanudin, M.Si Rahmawati S.sos., M,SiNIP. 196109031987031001 NIP. 1979052520050012001
Mengetahui,
Dekan FISIP
Dr. Agus Sjafari, M.SiNIP. 19710824005011002
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Achmad Hafidz Rifai
NIM : 6661111159
Tempat tanggal lahir : Tangerang, 17 Juli 1993
Program Studi : Ilmu Administrasi Publik
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Evaluasi Implementasi Peraturan
Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen” adalah hasil karya saya sendiri, dan
seluruh sumber yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar. Apabila di kemudian hari skripsi ini terbukti mengandung unsur plagiat,
maka gelar kesarjanaan saya bisa dicabut.
Serang, Juli 2018
Achmad Hafidz Rifai
Nim. 6661111159
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan nikmat, karunia serta hidayah-Nya hingga penyusunan skripsi ini
terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW. Tak lupa peneliti ucapkan terima kasih yang tak
terhingga bagi kedua orang tua yang telah mengorbankan waktu, tenaga,
kesabaran serta doa yang tak pernah putus.
Penyusunan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Administrasi Publik pada Program Studi Ilmu
Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Skripsi ini berjudul “Evaluasi Implementasi Peraturan
Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen”
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti juga memperoleh bantuan
bimbingan dan saran baik berupa moril maupun materiil. Untuk itu, dalam
kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
ii
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, M.Si selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa serta selaku Dosen
Pembimbing II dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah meluangkan
waktunya membimbing peneliti dari awal hingga akhir dan membagi
ilmunya untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Imam Mukhroman, S.Ikom., M.Ikom selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan III Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Listyaningsih, S.Sos., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Dr. Dirlanudin, M.Si selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan
waktunya dan membagi ilmunya untuk membimbing peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan ilmu selama menjalani
perkuliahan.
9. Dinas Sosial Kota Tangerang yang telah membantu peneliti dalam
penyediaan data untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang yang telah membantu peneliti
dalam penyediaan data untuk menyelesaikan skripsi ini.
iii
11. Kedua orang tua, Ayahanda Edy Hartono dan Ibu Juhaefah dan keluarga
yang telah membimbing, mendoakan, sabar, dan memberikan motivasi
kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
12. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan, Andrianto, Dimas Rian,
Eko Jumantoro, Muhammad Adriansyah, Shella Novianti, Vergie Putri
Gayatri dan Veronica Puspaningtyas yang selalu memberikan saran dan
dukungan kepada penulis.
13. Terimakasih kepada teman-teman, Chairul Anwar, Indra Mirza, Muamar
Ilham, Nurul Fitri dan Titis Srikandi yang selalu memberi dukungan
kepada penulis.
14. Teman-teman mahasiswa kelas B Program Studi Ilmu Administrasi Publik
angkatan 2011 yang telah memberikan banyak pengalaman, dukungan,
serta doa.
15. Teman-teman Mahasiswa Administrasi Publik Angkatan 2011 yang selalu
memberikan saran dan dukungan kepada penulis.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih
banyak atas segala bantuan dan dukungannya.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, begitu pun pada skripsi yang
masih jauh dari sempurna ini. Oleh karena itu, peneliti menerima saran dan kritik
yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
peneliti khususnya bagi almamater beserta para pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
iv
Tangerang, Juni 2018
Peneliti
Achmad Hafidz R.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR ORISINALITAS
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 12
1.3 Rumusan Masalah 13
1.5 Tujuan Penelitian 13
1.6 Manfaat Penelitian 13
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
ASUMSIDASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori 15
2.1.1 Kebijakan Publik 15
2.1.2 Implementasi Kebijakan 17
v
2.1.3 Evaluasi Kebijakan 21
2.1.3.1 Definisi Evaluasi Kebijakan 21
2.1.3.2 Kendala Evaluasi Kebijakan 24
2.1.3.3 Model Evaluasi Kebijakan 25
2.1.3.4 Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan 28
2.1.4 Pembinaan 30
2.1.5 Anak Jalanan 30
2.1.6 Gelandangan, Pengemis dan Pengamen 32
2.2 Penelitian Terdahulu 33
2.3 Kerangka Pemikiran 36
2.4 Asumsi Dasar 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian 40
3.2 Fokus Penelitian 42
3.3 Lokasi Penelitian 43
3.4 Variabel Penelitian 44
3.4.1 Definisi Konsep 44
3.4.1 Definisi Operasional 44
3.5 Instrumen Penelitian 46
3.6 Informan Penelitian 48
vi
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 49
3.8 Uji Keabsahan Data 56
3.9 Jadwal Penelitian 57
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian 59
4.1.1 Gambaran Umum Kota Tangerang 59
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Tangerang 63
4.2 Deskripsi Data 71
4.2.1 Data Informan Penelitian 74
4.3 Pembahasan 75
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian 101
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 113
5.2 Saran 116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
2.1 Kriteria Evaluasi Menurut William N. Dunn 26
3.1 Daftar Informan Penelitian 49
3.2 Pedoman Wawancara 51
3.3 Jadwal Penelitian 59
4.1 Jumlah Kecamatan di Kota Tangerang 62
4.2 Daftar Informan Penelitian 75
4.3 Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Input 105
4.4 Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Proses 108
4.5 Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Output 110
4.6 Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Outcome 111
viii
DAFTAR GAMBAR
1.1 Jumlah PMKS Menurut Jenis dan Kecamatan di Kota Tangerang 8
2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 38
3.1 Analisis Data Menurut Miles dan Huberman 54
4.1 Peta Administratif Kota Tangerang 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Negara berkembang seperti Indonesia secara berkelanjutan melakukan
pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan negara yang
tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Agar tujuan negara tersebut dapat terlaksana,
dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu melaksanakannya dengan
baik, sehingga perlu di persiapkan sejak dini. Maka dari itu, perkembangan
anak telah menjadi perhatian yang penting mulai dari usia dini anak perlu di
didik agar kelak mampu bersaing dengan dunia internasional.
Setiap anak pada dasarnya memiliki hak yang sama, termasuk Anak
Jalanan, mereka juga berhak atas pendidikan, kesehatan dan hak
perlindungan. Dalam menjamin hak tersebut pemerintah menuangkan pada
suatu kebijakan berupa Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun
2002 yang menjelaskan bahwa setiap anak adalah tunas potensi dan generasi
muda penerus cita-cita bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai
ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan. UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 4 Tentang
2
Perlindungan anak menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 8 menyatakan setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial, keberadaan anak di jalanan
dikarenakan tidak terpenuhinya hak-hak mereka selama berada di ranah
domestik, karena adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
menjadi salah satu penyebab anak turun ke jalan. Beberapa anak jalanan
harus berada di jalanan karena keadaan ekonomi keluarga juga menunjukan
kegagalan dalam pemenuhan hak asuh yang ideal untuk keadaan anak. Pada
pasal 34 UUD 1945 juga sudah jelas ditegaskan fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara dan apabila dikaitkan dengan UU Nomor 23
Tahun 2002, yang menjelaskan tentang perlindungan anak maka lengkaplah
suatu peraturan yang melindungi hak-hak anak.
Maka dari itu diperlukan adanya upaya perlindungan untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-hak serta adanya perbedaan tanpa adanya diskriminasi.
Selain itu dibentuk pula Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan tujuan
memantau, memajukan dan melindungi hak-hak anak serta mencegah
berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara,
perorangan ataupun lembaga. Anak-anak sebagai manusia juga perlu
3
dihargai, maka pada tanggal 23 juli ditetapkan sebagai hari anak nasional
berdasarkan Keppres Nomor 4 tahun 1984. Anak jalanan seringkali menjadi
konotasi negatif dimata sebagian masyarakat. Mereka sering dianggap
meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Mereka yang masih anak-
anak terkadang sudah terlibat ke dalam aktivitas-aktivitas yang mengarah
kepada tindak kriminal seperti pencopetan, penodongan, dan tindak kriminal
lainnya. Tetapi anggapan tersebut yang merupakan pandangan masyarakat
secara umum tidak sepenuhnya benar karena tidak semua anak di jalanan
melakukan kegiatan-kegiatan demikian. Pekerjaan yang dilakukan anak-anak
jalanan ini seharunya perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus dari
pemerintah daerah dan dinas terkait, karena anak-anak pada usia mereka
sudah semestinya berada di sekolah untuk mendapat pendidikan.
Perkembangan Kota Tangerang yang pesat memicu peningkatan pusat-
pusat keramaian. Seiring dengan banyaknya pusat keramaian, berbanding
lurus dengan jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
yang banyak terlihat di area sekitar pusat keramaian tersebut, seperti mall,
lampu lalu lintas, terminal, dan sebagai nya. Anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen merupakan masalah daerah yang membutuhkan
langkah-langkah penanganan yang sistematik, terkoordinasi dan terintegrasi,
dalam pelaksanaannya perlu dilakukan secara bersinergi antara pemerintah
dan non-pemerintah. Keberadaan mereka juga cenderung membahayakan diri
sendiri dan orang lain, juga menimbulkan ketidaktentraman dijalan umum,
serta memungkinkan mereka menjadi sasaran eksploitasi dan tindak kriminal.
4
Merebaknya Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
menjadi permasalahan yang sangat kompleks yang perlu mendapatkan
perhatian serius dari banyak pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun
pemerintah. Sejauh ini perhatian tersebut nampaknya belum efektif dan
solutif, belum memadai, belum terencana, dan terintegrasi dengan baik. Anak
jalanan merupakan kategori anak yang tidak berdaya. Secara psikologis, anak
jalanan adalah anak-anak yang pada suatu taraf tertentu belum memiliki
cukup mental dan emosional yang kuat, sementara mereka harus bergelut
dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi
perkembangan dan pembentukan kepribadiannya.
Anak jalanan seharusnya dilindungi dan dijamin hak-haknya
sebagaimana anak pada umumnya agar menjadi manusia yang bermanfaat
dan bermasa depan cerah. Anak-anak perlu mendapatkan hak-haknya secara
normal sebagaimana layaknya, antara lain hak sipil dan kemerdekaan (civil
right and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
environment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic
health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, leisure, and
culture activities), dan perlindungan khusus (special protection) (Darmawan,
2008 : 28).
Hak-hak anak tersebut yang seharusnya diterima oleh seorang anak
belum dapat terpenuhi, sehingga seorang anak terpaksa memilih untuk hidup
di jalanan. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh Negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung
5
jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan fakir miskin dan anak-anak
terlantar, termasuk anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Hak-hak asasi
anak terlantar dan anak jalanan, pada hakikatnya sama dengan hak-hak asasi
manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam Pengesahan Konvensi Hak-hak
Anak (Convention on the Right of the Child ) yang diadopsi oleh PBB pada
tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990 telah meletakkan dasar utama bagi
pemenuhan hak-hak anak. Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor.
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan bahwa “Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan termasuk anak
jalanan” (Herlina, Apong, 2003).
Selain anak jalanan, pesatnya perkembangan kota juga tidak dapat
dipungkiri menjadi daya tarik bagi PMKS lain yang dalam hal ini adalah
Pengamen, Pengemis dan gelandangan. Pengamen adalah seseorang atau
sekelompok yang melakukan apresiasi seni melalui proses suatu latihan
dengan menampilkan suatu karya seni, yang dapat didengar dan dinikmati
oleh orang lain, sehingga orang lain merasa terhibur yang kemudian orang
lain memberikan jasa atau imbalan atas kegiatannya itu secara ikhlas.
Maraknya fenomena gelandangan dan pengemis di kota-kota besar
tentunya disebabkan oleh berbagai faktor-faktor tertentu. Masalah sosial
gelandangan dan pengemis merupakan masalah yang sangat kompleks karena
6
mencakup berbagai aspek, antara lain yaitu aspek sosial, aspek budaya, aspek
psikologi, aspek hukum, aspek ekonomi, dan aspek keamanan. Permasalahan
gelandangan dan pengemis saat ini masih tetap menjadi beban pembangunan
nasional dewasa ini untuk itu peran pemerintah dan masyarakat untuk
menanggulangi permasalahan ini tentunya harus dilakukan secara bersama-
sama, sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada. (Fitriyati,
2014:http://nurfitriyati.blogspot.co.id/2014/10/fenomena-gelandangan-dan-
pengemis-serta.html).
Permasalahan gelandangan dan pengemis saat ini masih tetap menjadi
beban pembangunan nasional dewasa ini untuk itu peran pemerintah dan
masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini tentunya harus dilakukan
secara bersama-sama, sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang
ada, gelandangan dan pengemis merupakan kantong kemiskinan yang hidup
di perkotaan hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup
yang semakin mendesak. (Tira,
2012:https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid
=1496)
Pengemis merupakan gejala sosial yang selalu hadir di tengah-tengah
dinamika perkembangan suatu wilayah perkotaan maupun pedesaan. Secara
fisik, pengemis juga berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya, tetapi
sesungguhnya mereka terisolasi karena tidak bisa mencapai fasilitas yang ada.
Mengemis itu sendiri adalah kegiatan meminta-minta bantuan, derma,
sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan
7
penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan
kebutuhan apa adanya dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang
lain. (Shalih bin Abdullah, 2003:17).
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980,
orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di muka
umum dengan berbagai cara dan alasan dengan mengharapkan belas kasihan
dari orang lain disebut dengan pengemis. Pengemis adalah orang yang tidak
mempunyai penghasilan yang tetap dan pada umumnya hidup dengan cara
mengandalkan belas kasihan dari orang lain.
Gelandangan dan pengemis adalah dua hal yang berbeda meskipun
keduanya sama-sama masuk ke dalam kategori Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagian dari gelandangan ada yang bekerja
sebagai pengemis, tetapi tidak selalu pengemis adalah bagian dari
gelandangan. Karena gelandangan pada umumnya tidak memiliki tempat
tinggal, tetapi seorang pengemis tidak jarang mereka memiliki rumah atau
juga tempat tinggal. Sedangkan gelandangan, mereka adalah orang-orang
yang tidak memiliki rumah atau tempat tinggal yang tetap.
Kota Tangerang sendiri sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah
yang mengatur tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan
pengamen, yaitu peraturan daerah nomor 5 tahun 2012 tentang pembinaan
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Namun dalam
pelaksanaannya peraturan daerah masih ini belum menunjukkan hasil yang
maksimal.
8
Gambar 1.1
Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menurut
Jenis dan Kecamatan di Kota Tangerang pada Tahun 2015
(sumber : Bab IV : Sosial. Kota Tangerang Dalam Angka 2016)
Berdasarkan pada tabel 1.1 dapat dilihat bahwa pada tahun 2011
terdapat 110 anak jalanan, 78 pengemis dan 45 gelandangan, setelah
diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 5 pada Tahun 2012, jumlah anak
jalanan mengalami penurunan sebanyak 1 orang menjadi 109, pengemis
meningkat menjadi 85 orang, dan gelandangan menurun menjadi 27 orang.
Namun setelah satu tahun berjalan, pada tahun 2013 jumlah anak jalanan,
9
pengemis dan gelandangan tidak mengalami perubahan, hal ini dapat
diartikan bahwa setelah berlakunya Peraturan daerah Nomor 5 tersebut belum
memberikan dampak yang signifikan.
Menurut observasi awal peneliti, ada beberapa masalah mengenai
pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan
Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen ini, masalah pertama
adalah kurangnya sosialisasi dengan masyarakat mengenai Peraturan daerah
Nomor 5 tentang larangan memberi uang ataupun barang kepada anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Bapak Caryo selaku staff
Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Tangerang menyatakan bahwa
metode sosialisasi yang diakukan Dinas Sosial Kota Tangerang terkait
dengan Peraturan daerah nomor 5 ini, dilakukan dengan menempatkan
sejumlah banner pada halte-halte, terminal dan lampu lalu lintas dirasa masih
kurang tanpa adanya sosialisasi yang dilakukan dengan terjun langsung
kepada masyarakat. Sosialisasi yang dimaksud adalah mengenai sanksi dan
larangan memberi kepada Para PMKS oleh masyarakat. Dengan masih
adanya dukungan dari masyarakat dengan cara masyarakat masih memberi
uang kepada anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen ini
membuat mereka merasa nyaman dengan mudahnya mencari uang di jalan
tersebut, hal ini yang membuat mereka kembali turun ke jalan dan kembali
melakukan aktifitas mengemis dan mengamen, seperti yang di sampaikan
pada wawancara dengan staff Dinas Sosial Kota Tangerang. (sumber : hasil
wawancara observasi awal dengan Bapak Caryo Wijaya, staff Bidang
10
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Tangerang, 23 Ferbruari 2016, Dinas
Sosial Kota Tangerang).
Permasalahan yang kedua adalah kurangnya sarana dan prasarana yang
diperlukan untuk kegiatan pembinaan dan rehabilitas sosial yang dimiliki
oleh Dinas Sosial Kota Tangerang. Bapak Caryo Wijaya selaku staff bidang
Rehabilitasi sosial dinas sosial Kota Tangerang menuturkan bahwa dinas
sosial Kota Tangerang masih belum memiliki rumah singgah, panti sosial,
pusat rehabilitasi ataupun rumah pelatihan sebagai sarana penunjang dalam
melakukan kegiatan pembinaan dan rehabilitasi. Selama ini, kegiatan
rehabilitasi dan pembinaan para PMKS yang terjaring razia oleh dinas sosial
Kota Tangerang dititipkan ke panti sosial Bina Karya milik Kementrian
Sosial yang terletak di wilayah Bekasi Timur.
Permasalahan yang ketiga adalah belum terlaksananya beberapa
instrumen dalam Peraturan Daerah Nomor 5 tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen, pada peraturan daerah
tersebut terdapat pasal yang mengatur tentang pengenaan sanksi kepada Anak
jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen itu sendiri maupun kepada
masyarakat yang memberi uang ataupun barang kepada mereka, larangan
tersebut tertuang dalam pasal 16 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap
dilarang memberi uang dan/atau barang kepada anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen di jalan umum. Dan dijatuhkan sanksi kepada orang
yang melakukan pelanggaran tersebut seperti tertuang dalam pasal 18 ayat 1
yang menyatakan bahwa pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud
11
dalam pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan
atau denda paling banyak Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah). Penegakan
hukum berupa penjatuhan sanksi tersebut belum terlaksana dikarenakan
kurangnya fungsi pengawasan terkait sanksi tersebut. (sumber : hasil
observasi awal dan wawancara dengan Bapak Caryo Wijaya, staff bagian
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Tangerang, 23 Ferbruari 2016, Dinas
Sosial Kota Tangerang).
Masalah berikutnya adalah banyaknya anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen (PMKS) yang tidak kooperatif. Banyak dari mereka
hanya menjadikan proses pembinaan sebagai dalih untuk menggugurkan
kesalahan. Bapak Caryo Wijaya selaku staff Dinas Sosial Kota Tangerang
menuturkan bahwa para PMKS tersebut mengajukan diri untuk ikut
pembinaan pada saat mereka terjaring razia PMKS, namun alasan mereka
untuk ikut pembinaan adalah bukan murni karna ingin mengikuti pelatihan
atau pembinaan. Mereka mengatakan ingin ikut pelatihan dan pembinaan
semata karena agar lebih cepat dibebaskan, namun saat di hubungi menjelang
waktu pemberangkatan, tidak ada respon dari para PMKS yang mendaftar
kegiatan pembinaan dan pelatihan tersebut. Hal ini berkaitan dengan
permasalahan pertama di mana tidak terdapatnya panti ataupun rumah
singgah untuk menampung para PMKS yang telah terjaring razia.
Dengan latar belakang demikian tersebut, penulis tertarik untuk
mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Evaluasi pelaksanaan Peraturan
12
Daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012 tentang pembinaan anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah peneliti
jelaskan, peneliti dapat mengidentifikasikan beberapa masalah yang
menyangkut dengan Evaluasi Peraturan daerah Nomor 5 Kota Tangerang
tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen,
antara lain.
1. Kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial kepada
masyarakat terkait sanksi dan larangan dalam Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 5 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan,
Pengemis dan Pengamen.
2. Belum terlaksananya fungsi penegakan hukum terkait sanksi yang
terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tentang
Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
3. Belum tersedianya rumah singgah, rumah pelatihan, pusat
rehabilitasi, dan panti asuhan bagi anak-anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen di Kota Tangerang.
4. Tidak kooperatifnya penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang hanya menjadikan kegiatan pembinaan hanya sebagai
alasan penggugur kesalahan.
13
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana evaluasi pelaksanaan
peraturan daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012 setelah peraturan
tersebut diberlakukan?”
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, peneliti mempunyai tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana
Evaluasi Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
memberikan kemanfaatan sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat
menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam
pengembangan ilmu sosial khususnya ilmu Administrasi Publik di
bidang Kebijakan Publik tentang Evaluasi. Sehingga penelitian ini
dapat memberikan masukan kepada instansi dan stakeholder
terkait.
14
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam
mengamati fenomena sosial, dan khasanah ilmu pengetahuan lain
dalam mengikuti program studi Ilmu Administrasi Publik. Manfaat
penelitian ini juga dapat dijadikan referensi tambahan untuk Dinas
Sosial Kota Tangerang, dan seluruh lapisan masyarakat sehingga
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi seluruh pembaca
pada penelitian selanjutnya.
15
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1.Deskripsi Teori
Deskripsi teori adalah mengkaji berbagai teori yang relevan dengan
permasalahan yang sedang peneliti kaji, kemudian menyusunnya secara
teratur dan rapi yang kemudian digunakan untuk merumuskan fenomena
permasalahan.
Penggunaan teori dalam penelitian akan memberikan acuan bagi
peneliti dalam melakukan analisis terhadap masalah sehingga dapat
menyusun pertanyaan dengan rinci dalam proses penelitian sehingga
memperoleh jawaban atas masalah yang telah di rumuskan. Oleh karena itu,
pada bab ini peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian yang berjudul Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 5
Kota Tangerang Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis
dan Pengamen.
2.1.1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah sebuah pilihan kebijakan yang dibuat oleh
pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, ataupun pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan, menyangkut pilihan yang
harus dilakukan dan ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah
16
dalam bidang tertentu. Ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika
itu pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap
kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya.
Pada dasarnya ada perbedaan makna antara konsep “kebijakan” dan
“kebijaksanaan”. Kebijakan merupakan suatu keputusan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan pertimbangan tertentu. Sedangkan
kebijaksanaan berkenaan pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan
kondisi tertentu yang berada di luar kebijakan yang telah ditetapkan
berdasarkan alasan tertentu yang berkaitan dengan kondisi yang mendesak
yang bersifat kemanusiaan. (abidin, 2012:3)
Secara konseptual definisi kebijakan publik dikemukakan oleh W.I
Jenkins (1978) dalam Wahab (2012:15) adalah sebagai berikut :
“kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam kewenangan kekuasaan para aktor tersebut”
Sedangkan Lemieux dalam Wahab (2012:15) menjelaskan bahwa:
“kebijakan publik adalah produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor politik yang hubungannya terstruktur”
Carl Frederich dan James Anderson dalam Agustino (2006:7)
mengemukakan pendapat mengenai kebijakan publik, yaitu:
17
Carl Frederich (1969) menjelaskan bahwa:
“kebijakan adalah serangkaian tindakan / kegiatan yang diusulkan oleh seorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.
Sementara itu james Anderson (1984) menjelaskan bahwa:
“serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu yang diperhatikan”.
Dari beberapa teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh para
ahli, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian
keputusan yang ditetapkan oleh aktor pembuat kebijakan atau aparat
pemerintah mengenai permasalahan yang sedang diperhatikan dengan
mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat di dalamnya, dengan tujuan
untuk memecahkan masalah tersebut. Karena kebijakan tersebut dibuat dan
dilaksanakan guna kepentingan publik dengan berbagai alternatif pemecahan
masalah yang telah dibuat.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan penting dalam
sebuah proses pelaksanaan kebijakan publik. Implementasi kebijakan
merupakan tahapan kedua dalam proses kebijakan publik setelah formulasi
kebijakan disepakati, kemudian dilakukan implementasi. Secara sederhana
18
proses implementasi sering diartikan sebagai tindakan nyata yang dilakukan
pemerintah sebagai hasil dari pada formulasi sebuah kebijakan. Karena tanpa
implementasi, suatu kebijakan hanyalah merupakan sebuah dokumen yang
tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebijakan publik
proses implementasi merupakan tahapan yang paling mendapatkan
sorotan, karena biasanya dalam proses pelaksanaannya sering tidak
sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat oleh aktor pembuat kebijakan.
Wahab (2012:133) menjelaskan secara luas implementasi
kebijakan diartikan sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau
penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan undang-
undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara pemangku kepentingan
(stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur, dan teknik
secara sinergis yang di gerakan untuk bekerja sama guna menerapkan
kebijakan ke arah tertentu yang dikehendaki.
Van Meter dan Van Horn, Daniel A. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier dalam Wahab (2012:135) mendefinisikan implementasi kebijakan
sebagai berikut:
Van Meter dan Van Horn (1979) menjelaskan bahwa:
“implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu maupun kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”.
19
Sementara Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979)
menjelaskan bahwa:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah sesuatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan publik yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat”.
Sedangkan Nugroho (2014:657) menjelaskan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi
kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Dapat dikatakan bahwa pengertian dari implementasi kebijakan pada
dasarnya berupa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan.
Tindakan tersebut berasal dari kelompok pemerintah maupun swasta yang
memiliki kemampuan untuk bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Namun, pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih
dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk
atau baik bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak
bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.
20
Sedangkan Agustino (2008:139) mengatakan bahwa ”implemantasi
kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan dan sasaran
kebijakan itu sendiri”.
Hakikat dari implmentasi adalah bagaimana rangkaian kegiatan yang
terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan
didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang agar
tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Dalam prakteknya implementasi
kebijakan menitikberatkan pada permasalahan yang begitu kompleks, bahkan
tak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan
(Agustino,2008:138)
Menurut Sabatier dalam Parsons (2005:487) terdapat enam syarat
yang mencukupi dan harus ada untuk implementasi yang efektif, yaitu:
1. Tujuan yang jelas dan konsisten, sehingga dapat menjadi standar evaluasi legan dan sumber daya
2. Teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan itu mengandung teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan perubahan.
3. Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membatu pihak-pihak yang mengimplementasikan kebijakan dengan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan
4. Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan kebijakan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
5. Dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislatif dan eksekutif.
6. Perubahan dalam kondisi sosio-ekonomi yang tidak melemahkan dukungan kelompok dan penguasa atau tidak melemahkan
21
dukungan kelompok dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.
Menurut pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah sebuah proses
pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan kebijakan yang telah disepakati
oleh para aktor pembuat kebijakan dan pemerintah dalam bentuk program
maupun turunan dari kebijakan tersebut dengan pedoman-pedoman kebijakan
publik, yang mencakup usaha untuk mengadministrasikan sehingga
menghasilkan output dari kebijakan tersebut.
2.1.3. Evaluasi Kebijakan
2.1.3.1. Definisi Evaluasi Kebijakan
Evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing
menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Evaluasi adalah penilaian secara sistematis untuk melihat sejauh
mana efisiensi suatu program masukan (input) untuk memaksimalkan
keluaran (output), evaluasi juga digunakan untuk mencapai tujuan dari
program pencapaian hasil atau aktivitas,dan kesesuaian program kebijakan
dan kebutuhan masyarakat. Evaluasi juga termasuk salah satu kegiatan yang
dilakukan untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan.
Nugroho (2014:706) menjelaskan bahwa “evaluasi kebijakan biasanya
ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan dari kinerja implementasi.
Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan selesai dilaksanakan. Evaluasi
diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan”
22
Menurut Dunn dalam Nugroho (2014:712) menjelaskan bahwa:
“evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebihakan berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan”
Sementara James P. Lester dan Joseph Steward Jr (2000) dalam
Nugroho (2014:714) menjelaskan bahwa :
“Evaluasi implementasi kebijakan dikelompokkan menjadi evaluasi proses, berkenaan dengan proses implementasi, evaluasi impak yaitu evaluasi yang berkenaan dengan hasil implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki, dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi dari berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu”.
Agustino (2008:186) menyatakan bahwa “evaluasi kebijakan adalah
rangkaian aktivitas fungsional yang berusaha untuk membuat penilaian
melalui pendapat mengenai manfaat atau pengaruh atas kebijakan, program,
dan proyek yang tengah dan/atau telah dilaksanakan”.
Lester dan Stewart (2000:126) dalam Agustino (2008:185),
menjelaskan bahwa evaluasi ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan
suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang di inginkan.
Menurut Rossi & Freeman (Pasolong, 2010:60), menyatakan bahwa:
“Evaluasi digunakan untuk mempelajari tentang hasil yang diperoleh suatu program untuk dikaitkan dalam pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari mereka yang berada diluar lingkungan politik. Evaluasi, tidak saja berguna untuk
23
menjustifikasikan kegunaan dari program yang sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat kegunaan program dan inisiatif baru, peningkatan efektifitas manajemen dan administrasi program, dan mempertanggungjawabkan pihak yang mensponsori program tersebut”.
Menurut Soebarsono dalam bukunya mengatakan bahwa evaluasi
memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
2) Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui beberapa biayadan manfaat dari suatu kebijakan.
3) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur seberapa besar dan berkualitas pengeluaran atau output dari suaru kebijakan.
4) Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
5) Untuk mengetahui apabila adanya penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
6) Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluais adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas mengenai evaluasi kebijakan
publik, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses yang
dilakukan untuk menilai dan mengukur, serta membandingkan hasil-hasil
pelaksanaan kegiatan sebuah program atau kebijakan yang telah dicapai,
apakah hasil atau output program tersebut sudah sesuai dengan yang telah di
rencanakan (input) secara efektif dan efisien. Sehingga dapat diperoleh
24
informasi mengenai nilai atau manfaat hasil dari kebijakan tersebut, serta
dapat dilakukan perbaikan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya.
2.1.3.2. Kendala Evaluasi Kebijakan
Proses kegiatan evaluasi kebijakan sering menghadapi berbagai
kendala di lapangan. Yang mengakibatkan evaluasi tidak sepenuhnya dapat
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Menurut Abidin (2012:175) kendala-
kendala tersebut adalah sebagai berikut :
1) Keterbatasan wewenang untuk melakukan evaluasi, berkaitan dengan kedudukan dan wewenang dari pejabat atau instansi yang melakukan evaluasi.
2) Tumpang tindih fungsi antar instansi, hal ini bisa terjadi jika suatu fungsi ditangani atau berada dalam wewenang dua atau lebih instansi.
3) Tumpang tindih fungsi evaluasi antar lembaga pengawasan, artinya kesulitan tidak hanya terjadi pada pihak yang dievaluasi, tetapi juga dari kalangan yang melakukan evaluasi.
4) Tidak adanya proses lanjutan dari hasil evaluasi, masalah ini sering muncul dari hasil pengawasan lembaga yang menemukan kejanggalan atau temuan-temuan yang bermasalah, akan tetapi tidak diproses lebih lanjut.
5) Kesulitan dalam biaya, ini dikarenakan program evaluasi tidak memperoleh prioritas yang sama dengan program lain dalam fungsi pelaksanaan. Di satu sisi evaluasi ditakutkan memberikan kemungkinan adanya penilaian yang negatif terhadap kinerja pemerintah.
6) Tindak lanjut evaluasi, berkaitan dengan hakikat evaluasi yakni menemukan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya kebijakan yang dievaluasi.
Sedangkan Soebarsono (2012:130) mengidentifikasi beberapa kendala
dalam melakukan evaluasi kebijakan, berikut ini adalah kendala dalam
melakukan evaluasi kebijakan, yaitu :
25
1) Kendala psikologis, yang artinya banyak aparat pemerintah yang masih alergi terhadap kegiatan evaluasi, karena dipandang berkaitan dengan prestasi dirinya. Apabila hasil evaluasi menunjukkan kurang baik, bisa jadi menghambat karier mereka. Sehingga banyak aparat memandang kegiatan evaluasi bukan merupakan bagian penting dari kebijakan publik.
2) Kendala ekonomis, kegiatan evaluasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti biaya untuk pengumpulan data dan pengolahan data, biaya untuk para staf administrasi, dan biaya untuk para evaluator.
3) Kendala teknis, para evaluator sering dihadapkan pada masalah tidak tersedianya cukup data dan informasi yang diperbaharui atau up to date.
4) Kendala politis, disini evaluasi sering terbentur dan bahkan gagal karena alasan politis. Masing-masing kelompok bisa jadi saling menutupi kelemahan dari implementasi kebijakan dikarenakan adanya kegiatan politis di dalamnya.
5) Kurang tersedianya evaluator, banyak lembaga pemerintah yang kurang memiliki sumber daya manusia yang berkompetensi menjadi evaluasi kebijakan, ini disebabkan karena belum terciptanya evaluasi di lembaga pemerintahan.
2.1.3.3. Model Evaluasi Kebijakan
William N. Dunn (Nugroho. 2014:712) membagi kriteria evaluasi
menjadi 6 (enam) kriteria. Pertama, efektivitas, merupakan suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Intinya adalah efek dari suatu aktivitas. Kedua,
efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Ketiga, kecukupan, merupakan
sejauh mana tingkat efektivitas dalam memecahkan masalah untuk
memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan masalah.
Keempat, perataan yang mempertanyakan apakah distribusi dan alokasi
26
layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik sudah merata
sesuai dengan asas keadilan. Kelima, responsivitas, mencakup respon dari
hasil kebijakan tersebut apakah sudah memuaskan kebutuhan atau nilai
terhadap kelompok-kelompok tertentu. Keenam, ketepatan, merupakan
sebuah ukutan apakah sebuah program atau kebijakan tersebut sudah sesuai
dengan kebutuhan, dan hasil yang dicapai benar-benar berguna sesuai yang
direncanakan. Kriteria tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1
Kriteria Evaluasi Menurut William N. Dunn
No Tipe kriteria Pertanyaan Ilustrasi
1 Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?
Unit pelayanan
2 Efisiensi Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya, Manfaat bersih, Rasio biaya-manfaat
3 Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Biaya tetap. Efektivitas tetap
4 Perataan
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Kriteria Pareto, Kriteria Kaldor-Hicks, Kriteria Rawls
5 Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Konsistensi dengan survey Warganegara
6 Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-bener berguna dan bernilai?
Program publik harus merata dan efisien
(sumber : Nugroho. 2014:712)
27
James Anderson, Edward A. Suchman, Wibawa dkk. (Nugroho,
2014:716) memiliki tahapan yang berbeda dalam melakukan evaluasi
kebijakan. James Anderson (2011) membagi evaluasi kebijakan publik ke
dalam tiga tipe. Pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai
kegiatan fungsional yang selalu melekat pada setiap kebijakan publik. Kedua,
evaluasi yang memfokuskan pada proses bekerjanya kebijakan publik.
Ketiga, evaluasi sistematis untuk mengukur kebijakan atau mengukur
pencapaian disbanding target yang ditetapkan.
Edward A. Suchman melihat evaluasi dari sudut praktis dengan
mengemuka kan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu :
1) Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi 2) Analisis terhadap masalah 3) Deskripsi dan standarisasi kegiatan 4) Pengukuran terhadap tindakan perubahan yang terjadi 5) Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat
dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain. 6) Beberapa indikator untuk menentukan suatu dampak.
Sementara Wibawa dkk. Mengemuka kan bahwa evaluasi kebijakan
publik memiliki empat variabel yaitu :
1) Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realis yang diamatinya. Dari sini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut.
2) Kepatuhan,melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrat maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
28
3) Audit, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran dan penyimpangan.
4) Akunting, dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Nurcholis (2007:277), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah
penilaian secara menyeluruh terhadap input, proses, output, dan outcome dari
kebijakan pemerintah daerah. Menurutnya evaluasi membutuhkan sebuah
skema umum penilaian, yaitu :
1) Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan, meliputi sumber daya manusia, sarana atau prasarana, sosialisasi kebijakan.
2) Proses, yaitu bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat, meliputi kejelasan mekanisme, kepastian, penertiban, dan keefektifan dalam pelaksanaan kebijakan.
3) Output (hasil), yaitu hasil dari pelaksanaan kebijakan. Apakah suatu pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Output meliputi tepat tidaknya sasaran yang dituju, sasaran yang tertangani, dan kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.
4) Outcome (dampak), yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan, meliputi perubahan atau perbaikan, peningkatan, dan dampak positif terhadap implementor yang terlibat di dalamnya.
2.1.3.4. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan
Tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan menurut Nugroho
(2014:722), ditujukan untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator
kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:
29
1) Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.
2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome implementasi kebijakan.
3) Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan tugas pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable varuable, variabel yang bersifar natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah, tidak dapet di masukan sebagai variabel evaluasi.
William N. Dunn (Agustino, 2008:188), memberikan penjelaan
mengenai fungsi evaluasi kebijakan. Ada tiga fungsi evaluasi kebijakan yang
dikemukakan oleh Dunn, yaitu:
1) Memberi informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dicapai. Dengan evaluasi dapat diungkapkan mengenai pencapaian suatu tujuan, sasaran dan target tertentu.
2) Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.
3) Memberi sumbangan pada aplikasi metode analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah dan rekomendasinya. Informasi mengenai tidak memadainya suatu kinerja kebijakan, program dan kegiatan memberikan kontribusi bagi perumusan ulang kebijakan, program dan kegiatan. Evaluasi dapat pula menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian alternatif kebijakan, yang bermanfaat untuk mengganti kebijakan yang berlaku dengan alternatif kebijakan yang lain.
30
2.1.4. Pembinaan
Berdasarkan Peraturan daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012,
yang dimaksud dengan pembinaan adalah segala upaya atau kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen dan keluarganya supaya tetap
hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasar bagi
kemanusiaan.
Selanjutnya menurut Perda Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012,
pembinaan dibagi menjadi 2 (dua). Pertama, pembinaan pencegahan, adalah
kegiatan-kegiatan dilaksanakan secara terencana dan terorganisir untuk
mencegah timbulnya anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di
jalanan melalui pemantauan, pendataan, penelitian, sosialisasi, pengawasan
dan pengendalian yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Kedua, Pembinaan Lanjutan,
adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana terorganisir dengan
maksud menekan, meniadakan, mengurangi dan mencegah meluasnya anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen untuk mewujudkan ketertiban
di tempat umum.
2.1.5. Anak Jalanan
Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang berusia di bawah
18 (delapan belas) tahun. Hak anak adalah bagian dari hak azasi manusia
31
yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan Negara. Kesejahteraan anak adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohaniah, jasmaniah, maupun
lingkungan sosialnya.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat, kemanusiaan serta
mendapatkan perlindungan dan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang
mempunyai masalah di jalanan. Jalanan adalah tempat untuk lalu lintas orang
atau kendaraan, serta tempat fasilitas publik yang digunakan untuk lalu lintas
orang yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Anak jalanan selanjutnya disebut Anjal adalah anak yang berusia di
bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari
nafkah dan berkeliaran di jalanan maupun tempat-tempat umum.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat, kemanusiaan serta mendapatkan
perlindungan dan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang mempunyai
masalah di jalanan.
32
2.1.6. Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
Menurut Perda Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012, yang dimaksud
dengan gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat, tidak mempunyai mata
pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Gelandangan
dan pengemis adalah dua hal yang berbeda meskipun keduanya sama-sama
masuk kedalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Sebagian dari gelandangan ada yang bekerja sebagai pengemis, tetapi tidak
selalu pengemis adalah bagian dari gelandangan. Karena gelandangan pada
umumnya tidak memiliki tempat tinggal, tetapi seorang pengemis tidak jarang
mereka memiliki rumah atau juga tempat tinggal. Sedangkan gelandangan,
mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki rumah atau tempat tinggal
yang tetap.
Sedangkan Pengemis adalah seseorang atau kelompok dan/atau
bertindak atas nama lembaga sosial yang mendapatkan penghasilan dengan
cara meminta-minta dijalanan dan/atau ditempat umum dengan berbagai
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012, yang
dimaksud dengan pengamen adalah seseorang atau sekelompok yang
melakukan apresiasi seni melalui proses suatu latihan dengan menampilkan
suatu karya seni, yang dapat didengar dan dinikmati oleh orang lain, sehingga
33
orang lain merasa terhibur yang kemudian orang lain memberikan jasa atau
imbalan atas kegiatannya itu secara ikhlas.
2.2.Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan kajian penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari berbagai sumber ilmiah,
baik skripsi, tesis, disertasi, atau jurnal penelitian. Penelitian terdahulu
merupakan salah satu acuan data relevan yang bisa dijadikan sebagai data
pendukung oleh peneliti yang sesuai dengan penelitian ini, baik fokus
maupun lokus penelitian, serta permasalahan yang sedang diteliti. Sebagai
acuan dalam penelitian ini, peneliti mencantumkan hasil penelitian terdahulu
dalam bentuk deskripsi yang berupa hasil penelitian skripsi.
Pertama, adalah penelitian dalam skripsi yang dilakukan oleh Yayang
Muchamad Widiyatmoko yang berjudul Evaluasi Penanganan Anak Jalanan
di Kota Cilegon. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 dengan
menggunakan teori Evaluasi Kebijakan model Evaluasi William N. Dunn,
dan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini di latar
belakangi oleh banyaknya permasalahan terkait anak jalanan di Kota Cilegon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penanganan anak jalanan oleh
dinas sosial Kota Cilegon, dengan asumsi bahwa program penanganan anak
jalanan di Kota Cilegon belum berjalan dengan baik.
Hasil penelitian ini berdasarkan teori William N. Dunn,dari segi
efektivitas belum tercapainya target penanganan anak jalanan di Dinas Sosial
34
Kota Cilegon, hal ini diakibatkan karena kurangnya kesadaran dari anak
jalanan itu sendiri dan kurang nya ketegasan dan kesigapan dari pihak
pemerintah. Dari segi efisiensi, pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah
Kota Cilegon dapat dikatakan tidak efisien, hal ini dikarenakan waktu
pelatihan yang diberikan hanya sekitar kurang lebih satu minggu per
tahunnya. Dari segi kecukupan, pencapaian penanganan anak jalanan di Kota
Cilegon sudah mencapai target yang diinginkan yaitu berkurang sekitar 20
anak. Akan tetapi penanganan anak jalanan tersebut hanya berhasil sekitar
setengah dari jumlah anak yang diberikan pelatihan. Dari segi perataan,
pelatihan yang diberikan belum merata karena pelatihan yang diberikan
dibatasi kuotanya. Dari segi responsivitas, sistem komunikasi yang dilakukan
adalah dari bawah ke atas sehingga komunikasi di antara pihak anak jalanan
dan pemerintah tidak terlalu baik. Dari segi ketepatan dinyatakan penanganan
anak jalanan yang diberikan sudah tepat.(http://repository.fisip-
untirta.ac.id/43/1/SKRIPSI_Yayang_Muchamad_Widiyatmoko-2.pdf ).
Adapun persamaan penelitian “Evaluasi Penanganan Anak Jalanan di
Kota Cilegon” dengan penelitian ini adalah latar belakang yang sama-sama
bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan pelatihan atau pembinaan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah kepada anak-anak jalanan. Dan juga dalam
teori yang digunakan memiliki kemiripan seperti pada kriteria efektifitas dan
efisiensi memiliki kemiripan dengan kriteria “proses” menurut teori
Nurcholis yang sama-sama membahas tentang pelaksanaan kebijakan.
Adapun perbedaan penelitian dari kedua penelitian ini adalah penelitian
35
terdahulu terbatas membahas tentang pelatihan anak jalanan saja sedangkan
penelitian ini membahas tentang pelatihan atau pembinaan kepada anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Mursyid Itsnaini mengenai
Pemberdayaan Anak Jalanan oleh Rumah Singgah Kawah di Kelurahan
Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada tahun
2010 dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pemberdayaan anak jalanan oleh rumah singgah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberdayaan oleh rumah singgah berjalan dengan
cukup baik, hanya saja masih perlu perhatian lebih dan kerja sama dari
pemerintah kepada instansi non-pemerintahan seperti rumah singgah. Selain
itu masih diperlukan juga perbaikan dan perawatan kepada sarana dan
prasarana, dan juga masih perlu diperhatikan untuk peningkatan kualitas
sumber daya bagi tenaga kerja, instruktur dan juga pembimbing agar dapat
meningkatkan mutu dan kualitas dari anak-anak yang
terbina.(http://digilib.uin-suka.ac.id/5773/).
Adapun persamaan dari penelitian “Pemberdayaan Anak Jalanan oleh
Rumah Singgah Kawah di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta”
dengan penelitian ini adalah latar belakang pemberdayaan atau pembinaan
kepada anak jalanan. Adapun perbedaan penelitian tersebut adalah penelitian
terdahulu membahas peranan yang dilakukan oleh rumah singgah dalam
melakukan pemberdayaan sedangkan pada penelitian ini membahas tentang
36
bagaimana berjalannya program pembinaan yang dilakukan oleh pihak
pemerintah
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Sugiyono (2007:60), menjelaskan bahwa “kerangka berpikir
merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan
berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.”
Kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang ditetapkan
oleh aktor pembuat kebijakan atau aparat pemerintah mengenai permasalahan
yang sedang diperhatikan dengan mengalokasikan nilai-nilai kepada
masyarakat di dalamnya, dengan tujuan untuk memecahkan masalah tersebut.
Karena kebijakan tersebut dibuat dan dilaksanakan guna kepentingan publik
dengan berbagai alternatif pemecahan masalah yang telah dibuat.
Evaluasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menilai dan
mengukur, serta membandingkan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan sebuah
program atau kebijakan yang telah dicapai, apakah hasil atau output program
tersebut sudah sesuai dengan yang telah di rencanakan (input) secara efektif
dan efisien. Sehingga dapat diperoleh informasi mengenai nilai atau manfaat
hasil dari kebijakan tersebut, serta dapat dilakukan perbaikan apabila terjadi
penyimpangan di dalamnya.
Pembinaan adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen dan keluarganya supaya tetap hidup dan mencari
37
nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasar bagi kemanusiaan. Dalam
Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012, pembinaan dibagi
menjadi 2 (dua). Pertama, pembinaan pencegahan, adalah kegiatan-kegiatan
dilaksanakan secara terencana dan terorganisir untuk mencegah timbulnya
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di jalanan melalui
pemantauan, pendataan, penelitian, sosialisasi, pengawasan dan pengendalian
yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen. Kedua, Pembinaan Lanjutan, adalah kegiatan yang
dilaksanakan secara terencana terorganisir dengan maksud menekan,
meniadakan, mengurangi dan mencegah meluasnya anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen untuk mewujudkan ketertiban di
tempat umum.
Dari pemaparan peneliti di atas, untuk mengevaluasi Peraturan Daerah
Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen dengan menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Nurcholis (2007:277), bahwa evaluasi kebijakan adalah
penilaian secara menyeluruh terhadap input, proses, output, dan outcome dari
kebijakan pemerintah daerah. Untuk lebih jelas, peneliti merumuskan
kerangka berfikir penelitian dalam bentuk bagan yang digambarkan sebagai
berikut:
38
Gambar 2.1
Kerangka pemikiran penelitian
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
Masalah :
1. Kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial kepada masyarakat terkait sanksi dan larangan dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen.
2. Belum terlaksananya fungsi penegakan hukum terkait sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
3. Belum tersedianya rumah singgah, rumah pelatihan, pusat rehabilitasi, dan panti asuhan bagi anak-anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Tangerang.
4. Tidak kooperatifnya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang hanya menjadikan kegiatan pembinaan hanya sebagai alasan penggugur kesalahan.
Evalusi kebijakan Publik menurut Nurcholis (2007:277), dengan indikator penilaian meliputi :
1. Input (meliputi sumber daya manusia, operasional, sarana dan prasarana, sosialisasi pelaksanaan kebijakan)
2. Proses (meliputi kejelasan mekanisme, pelayanan, kepastian, penertiban, dan keefektifan dalam pelaksanaan kebijakan.)
3. Output (meliputi hasil dari pelaksanaan kebjiakan, kesesuaian pelaksanaan dengan tujuan yang ditetapkan, tepat tidaknya sasaran yang dituju, sasaran yang tertangani, dan kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.)
4. Outcome (meliputi apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan, meliputi perubahan atau perbaikan, peningkatan, dan dampak positif terhadap implementor yang terlibat didalamnya.)
Hasil penelitian : Memberikan penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan, sebagai bahan
rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan kebijakan mendatang.
39
2.4.Asumsi Dasar
Asumsi dasar merupakan hasil dari refleksi penelitian berdasarkan
kajian pustaka dan kajian teori yang digunakan sebagai dasar argumentasi.
Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan peneliti, peneliti
berasumsi bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan Pengemis dan
Pengamen belum berjalan dengan optimal.
40
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Metode peneilitian merupakan tahapan yang penting dalam sebuah proses
dan kegiatan penelitian. Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek
atau subjek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam penelitian ini,
subjek yang menjadi tujuan dapat dipahami lebih mendalam sehingga data yang
dikumpulkan adalah data yang akurat, objektif, valid, dan realiable.
Metode penelitian merupakan totalitas cara untuk meneliti dan
menemukan kebenaran. Karena metode penelitian memiliki standar–standar yang
objektif dan ilmiah sebagai suatu dasar bagi penelitian yang digunakan peneliti
untuk menginterpretasikan data dan membuat kesimpulan sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode penelitian sebagai keseluruhan proses dari kajian atau
penelitian.
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode penelitian menurut Sugiyono (2009:2) yaitu pada dasarnya
merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu. Dalam pengertian yang luas Sugiyono menjelaskan bahwa metode
penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid,
dengan tujuan untuk dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan suatu
41
pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4) mengemuka kan bahwa
metodologi penelitian deskriptif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang
atau perilaku yang diamati. Menurut Denzim dan Lincoln (1987) dalam
Moleong (2007:5) Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan
latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan
dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi
pengertian ini, peneliti kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan
wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan
perasaan dan perilaku individu ataupun sekelompok orang.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong
(2007:6) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Pendekatan kualitatif dipergunakan karena untuk meneliti kondisi objek
yang alamiah di mana peneliti berperan sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data
42
bersifat induktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada makna
dari pada generalisasi. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses
dari pada produk atau outcome dan juga digunakan untuk mendapatkan data
yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sesuatu hal seperti apa adanya
(kenyataan di lapangan). Penelitian kualitatif juga lebih tertarik pada
dinamika terjadinya proses atau peristiwa yang melatar belakangi
terjadinya suatu hasil tertentu. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah
untuk memahami makna yang berada di balik fakta-fakta. Pemahaman yang
mendalam terhadap suatu peristiwa atau fenomena sosial merupakan hal yang
terpenting.
Dalam pendekatan kualitatif data yang dihasilkan berbentuk kata,
kalimat dan gambar untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial yang
terjadi dengan mendeskripsikan fenomena yang sesuai dengan masalah
dan unit yang diteliti. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti
bermaksud untuk menggambarkan permasalahan yang ada terkait Evaluasi
Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012 tentang Pembinaan
Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen.
3.2 Fokus Penelitian
Dalam mempertajam penelitian kualitatif, peneliti harus menetapkan
fokus. Spradley dalam Sugiyono (2009:34) menyatakan bahwa “A focused
refer to a single cultural domain or a few related domains”. Maksudnya
43
adalah bahwa fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain
yang terkait dari situasi sosial. Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus
lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari
situasi sosial (lapangan).
Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara
lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial. Tetapi juga ada keinginan
untuk menghasilkan ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti .Fokus
penelitian yang diperoleh setelah peneliti melakukan penjelajahan umum.
Dari penjelajahan umum ini peneliti akan memperoleh gambaran umum
menyeluruh yang masih pada tahap permukaan terhadap situasi sosial. Untuk
dapat memahami secara lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan
fokus penelitian. Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah pada Evaluasi
Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 tahun 2012 tentang pembinaan
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen.
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tentang Evaluasi Peraturan Daerah Kota Tangerang
nomor 5 tahun 2012 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis
dan pengamen adalah Kantor Dinas Sosial Kota Tangerang yang berada di
Kecamatan Neglasari, dan titik tempat yang banyak terdapat penyandang
masalah kesejahteraan sosial di antaranya: Flyover PLN Kecamatan
Tangerang, Terminal Bus Poris Plawad di Kecamatan Cipondoh, pintu air 10
di Kecamatan Karawaci, dan halte bus Kebon Nanas di Kecamatan Pinang.
44
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konsep
Definisi konseptual memberikan penjelasan tentang konsep dari
variabel yang akan diteliti menurut pendapat peneliti berdasarkan
kerangka teori yang digunakan. Konsep yang digunakan dalam
penelitian tentang Evaluasi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5
Tahun 2012 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis
dan Pengamen adalah mengenai Evaluasi.
Adapun beberapa pendapat para ahli mengenai evaluasi kebijakan
publik, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses yang
dilakukan untuk menilai serta membandingkan hasil-hasil pelaksanaan
kegiatan sebuah program atau kebijakan yang telah dicapai, apakah
hasil atau output program tersebut sudah sesuai dengan yang telah
direncanakan (input) secara efektif dan efisien. Sehingga dapat
diperoleh informasi mengenai nilai atau manfaat hasil dari kebijakan
tersebut serta dapat dilakukan perbaikan apabila ada penyimpangan di
dalamnya.
3.4.2 Definisi Operasional
Adapun fenomena yang diamati dalam penelitian mengenai
Evaluasi Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012
Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen. Untuk mengamati fenomena tersebut, maka peneliti
45
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nurcholis (2007:277) yang
menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan adalah penilaian secara
menyeluruh terhadap input, proses, output, dan outcome dari kebijakan
pemerintah. Menurut Nurcholis, evaluasi membutuhkan sebuah skema
umum penilaian, yaitu:
1. Input, yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan
kebijakan, meliputi sumber daya manusia, sarana atau prasarana,
sosialisasi kebijakan.
2. Proses, yaitu bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam
bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat, meliputi kejelasan
mekanisme, kepastian, penertiban, dan keefektifan dalam
pelaksanaan kebijakan.
3. Output (hasil), yaitu hasil dari pelaksanaan kebjiakan. Apakah
suatu pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan. Output meliputi tepat tidaknya sasaran
yang dituju, sasaran yang tertangani, dan kelompok yang terlibat
dalam pelaksanaan kebijakan.
4. Outcome (dampak), yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan
berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan
kebijakan, meliputi perubahan atau perbaikan, peningkatan, dan
dampak positif terhadap implementor yang terlibat di dalamnya.
46
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data. Instrumen yang
baik harus absah (valid) dan dapat dipercaya (reliable). Instrumen valid
adalah instrumen yang dengan tepat mengukur apa yang harus diukur.
Instrumen reliabel bila hasil pengukuran itu bersifat ajek. Pada prinsipnya
meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena sosial maupun
alam. Oleh karenanya, dalam melakukan pengukuran harus ada alat ukur
yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen
penelitian. Jadi instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik
semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2009:102).
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian,
karena itu seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar
mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang
sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
Metode penelitian yang akan digunakan peneliti adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini didasarkan pada kondisi dan
konteks masalah yang dikaji, yaitu Evaluasi Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Dalam penelitian kualitatif, peneliti
merupakan instrumen penelitian yang akan berinteraksi secara langsung
dengan responden penelitian.
47
Dalam penelitian Evaluasi Peraturan Daerah Kora Tangerang Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen. Menurut Nasution dalam Sugiyono (2012:224), peneliti sebagai
instrumen penelitian memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala
stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna
atau tidak bagi penelitian,
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua
aspek sehingga dapat mendapatkan ragam data sekaligus
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu
instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap
keseluruhan situasi, kecuali manusia
4. Situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami
dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu
sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan
pengetahuan kita.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data
yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis
dengan segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk
menguji hipotesis yang timbul seketika.
6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan
menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh
penegasan, perubahan, perbaikan
7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang
menyimpang justru diberi perhatian. Respon yang lain dari
48
pada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk
mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman
mengenai aspek yang diteliti.
3.6 Informan Penelitian
Dalam mengumpulkan data yang akurat, maka peneliti memilih informan
dengan menggunakan teknik Purposive atau dipilih secara sengaja, di mana
peneliti sudah menentukan siapa saja yang akan diwawancarai dengan
pertimbangan tertentu. Di mana informan tersebut peneliti anggap sebagai
pihak-pihak yang paling mengetahui situasi dan kondisi objek penelitian.
Dalam hal ini yang dijadikan informan oleh peneliti dalam penelitian
Evaluasi Implementasi Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen di Kota Tangerang, antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel 3. 1
Daftar Informan Penelitian
(Sumber: Peneliti, 2018)
No Kategori Informan Status Informan
1 Dinas Sosial Key Informan
2 Satpol PP Key Informan
3 Sasaran Pembinaan (PMKS) Key Informan
4 Warga Masyarakat Key Informan
49
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Sugiyono (2012:224), teknik pengumpulan data merupakan langkah
yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan
data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar
data yang ditetapkan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan/Observasi
Sugiyono (2007:166), mejelaskan bahwa observasi
diklasifikasikan menjadi dua cara yaitu cara berperan serta dan cara
yang tidak berperan serta. Observasi berperan serta, pengamat
melakukan dua fungsi sekaligus yaitu sebagai pengamat dan sekaligus
menjadi anggota resmi dari dari kelompok yang diamatinya. Namun
observasi tanpa berperan serta, pengamat hanya melakukan satu fungsi
yaitu mengadakan pengamatan. Dalam penelitian ini, teknik observasi
yang digunakan adalah observasi tanpa peran serta. Adanya
keterbatasan waktu menyebabkan peneliti hanya melakukan satu
fungsi observasi yaitu hanya melakukan pengamatan tanpa harus
menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamati.
2. Wawancara
Menurut Moleong (2006:186), wawancara merupakan percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
50
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Adapun teknik pengumpulan
data dengan cara wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (indepth interview) data yang diperoleh terdiri dari kutipan
langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat perasaan dan
pengetahuan informan penelitian. Informan penelitian adalah orang yang
memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, wawancara dilakukan secara mendalam.
Ada dua jenis wawancara dalam penelitian kualitatif, yaitu wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan sebagai
teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di
mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya,
pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2011:138-140).
Agar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara,
maka pertanyaan yang diajukan tertuang dalam dimensi pertanyaan. Di
mana dimensi pertanyaan tersebut sesuai dengan garis besar permasalahan
yang akan ditanyakan sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh
Nurcholis (2007:277) yang menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan adalah
penilaian secara menyeluruh terhadap input, proses, output, dan outcome
dari kebijakan pemerintah daerah, seperti yang tertera pada tabel berikut:
51
Tabel 3.2
Pedoman wawancara
No Dimensi Sub Dimensi Pernyataan
1 Input
(Masukan)
Sumber daya
Manusia
Sumber daya manusia terkait pelaksanaan peraturan daerah
Sarana dan
Prasarana
Sarana dan prasarana penunjang terkait peraturan daerah tersebut
Sosialisasi Sosialisasi mengenai peraturan daerah terhadap sasaran kebijakan
2 Proses
(Pelaksanaan)
Kejelasan
mekanisme
Mekanisme mengenai implementasi peraturan daerah
Pelayanan Pelayanan terhadap sasaran kebijakan dalam proses pembinaan
Kepastian Kepastian waktu pelaksanaan peraturan daerah
Penertiban Penertiban terkait sanksi dalam pelaksanaan peraturan daerah
Keefektifan Efektivitas dari proses pelaksanaan peraturan daerah setelah dijalankan
3 Output(Hasil)
Kesesuaian
dengan tujuan
Kesesuaian antara tujuan dari peraturan daerah dengan hasil dari pelaksanaan kebijakan
Tepat sasaran Ketepatan sasaran saat pelaksanaan kebijakan peraturan daerah
Sasaran yang ter
tangani
Kelanjutan dari sasaran peraturan daerah yang telah tertangani atau yang telah mengikuti pelatihan
Kelompok yang
terlibat
Kelompok-kelompok yang terlibat saat pelaksanaan peraturan daerah
4 Outcome
(Dampak)
Perubahan atau
perbaikan
Adakah perubahan terhadap kelompok sasaran dari kebijakan tersebut? Perubahan terhadap kelompok sasaran dari peraturan daerah setelah mengikuti pelatihan
Dampak positif
terhadap
implementor
Peningkatan yang terjadi terhadap implementor setelah peraturan daerah dijalankan
52
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumen merupakan studi yang digunakan untuk mencari
dan memperoleh data sekunder yang relevan dengan masalah yang
diteliti berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan-catatan,
peraturan, kebijakan, laporan-laporan. Dokumen yang berbentuk gambar,
misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara
dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2009:82).
4. Studi Literatur/Pustaka
Studi literatur/kepustakaan merupakan pengumpulan data penelitian
yang diperoleh dari berbagai referensi baik buku ataupun jurnal
ilmiah yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian
kualitatif, kegiatan analisis data diperoleh sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Namun
faktanya analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan
data. Data yang terkumpul harus diolah sedemikian rupa hingga menjadi
informasi yang dapat digunakan dalam menjawab perumusan masalah
yang diteliti.
Sugiyono (2009:89) menjelaskan bahwa analisis data kualitatif
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
53
degan cara mengorganisasikan kedalam kategori, menjabarkan ke dalam
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah di
pahami oeh diri sendiri maupun orang lain.
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai di lapangan. Teknik
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah degan menggunakan
teknik analisa dan kualitatif mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan
Huberman (2009). Menurut kedua tokoh tersebut, bahwa aktivitas dalam
analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dengan berlangsung secara
terus–menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan
datanya jenuh. Selama dalam prosesnya, pengumpulan data dilakukan tiga
kepentingan di antaranya : Reduksi data (data reduction), penyajian data
(data display), dan verifikasi (verification) yang apabila digambarkan akan
nampak seperti berikut:
Gambar 3.1 Analisis data menurut Miles dan Huberman
Sumber : (Miles dan Huberman, 2009:20)
Pengumpulan Data Penyajian Data
Verifikasi Data
Reduksi Data
54
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap
yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan
dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam melaksanakan pengumpulan data
dalam suatu penelitian, akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil
suatu penelitian.
Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan
penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji
validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan
sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap
atau menjaring berbagai fenomena informasi atau kondisi di lokasi
penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya,
pengumpulan data ada yang dilaksanakan melalui pendekatan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Dengan kondisi tersebut, pengertian
pengumpulan data diartikan juga sebagai proses yang menggambarkan
proses pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian kuantitatif
dan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti
dalam upaya mengumpulkan sejumlah informasi di lapangan yang
diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian
kualitatif), atau untuk menguji hipotesis penelitian (untuk penelitian
kuantitatif).
55
2. Reduksi Data (Data Reduction)
Selama proses pengumpulan data dari berbagai sumber, tentunya
akan sangat banyak data yang didapatkan oleh peneliti. Semakin lama
peneliti berada di lapangan, maka data yang didapatkan akan semakin
kompleks dan rumit sehingga, apabila tidak segera di olah akan dapat
menyulitkan peneliti, oleh karena itu proses anlisis data pada tahap ini juga
harus di lakukan. Untuk memperjelas data yang didapatkan dan
mempermudah peneliti dalam pengumpulan data, selanjutnya maka
dilakukan reduksi data.
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses merangkum, memilih
hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, di cari tema
dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan.
3. Penyajian Data (Data Display)
Langkah penting selanjutnya dalam kegiatan analisis data kualitatif
adalah penyajian data. Secara sederhana penyajian data dapat diartikan
sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam sebuah
penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, tabel, grafik, flow chart, bagan, pictogram, dan sejenisnya.
Namun pada penelitian ini, penyajian data yang peneliti lakukan
adalah bentuk narasi. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Miles dan
Hubberman, “the most frequent from display data for qualitative research
56
data in the past has been narrative test”, yang paling sering digunakan
untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang
bersifat naratif (Sugiyono, 2012: 95).
4. Verifikasi (Verification)
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan
Hubberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan
pengumpulan data, peneliti mulai mencari arti daru hubungan-hubungan,
mencatat keteraturan, pola-pola dan menarik kesimpulan. Asumsi dasar
dan kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan terus berubah selama proses, pengumpulan data masih terus
berlangsung dan tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung
pada tahap pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi, apabila kesimpulan
tersebut didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.8 Uji Keabsahan Data
Menurut Sugiyono (2012:267), keabsahan data atau validitas adalah
derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data
yang dapat dilaporkan peneliti. Data dalam penelitian kualitatif dapat
dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti
dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang dteliti.
Uji keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
57
1. Triangulasi
Teknik triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data
yang telah ada (sugiyono, 2012:273). Terdapat beberapa macam triangulasi,
di antaranya:
a. Triangulasi sumber, yaitu mengecek data yang diperoleh dari sumber
yang berbeda.
b. Triangulasi teknik, yaitu mengecek data yang diperoleh dari sumber
yang sama dengan teknik yang berbeda.
c. Triangulasi waktu, yaitu mengecek data yang diperoleh di waktu yang
berbeda
Dalam penelitian ini, dikarenakan terbatasnya waktu maka proses uji
keabsahan data yang dilakukan oleh peneliti hanya menggunakan dua teknik
triangulasi, yakni triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
3.9 Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini merupakan tahapan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian tentang Evaluasi Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen, terhitung persiapan, pelaksanaan dan
pelaporan hasil penelitian. Waktu penelitian diuraikan dalam waktu bulan dan
disajikan dalam bentuk tabel. Rincian jadwal penelitian adalah sebagai
berikut:
58
Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
2016 2017 2018
Jan Feb-Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1 Observasi Awal
2 Penyusunan Proposal
3 Bimbingan dan
Perbaikan Proposal
4 Seminar Proposal
5 Revisi Proposal Skripsi
6 Proses Pencarian Data Di Lapangan
7 Pengelolaan Data Dari Lapangan
8 Bimbingan BAB IV dan BAB V
9 Sidang Skripsi
(sumber: Peneliti, 2018)
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Kota Tangerang
Wilayah Provinsi Banten terbagi menjadi empat wilayah Kota dan
empat wilayah Kabupaten, yaitu Kota Cilegon, Kota Serang, Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Lebak, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang. Kota
Tangerang terdiri atas 13 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 104
kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Kota
Administratif, dan akhirnya ditetapkan sebagai Kota madya pada
tanggal 28 Februari 1993. Sebutan Kota madya diganti dengan Kota
pada tahun 2001.
60
Gambar 4.1
Peta Administratif Kota Tangerang
(Sumber: http://webgis.tangerangkota.go.id/)
Kota Tangerang secara geografis terletak pada posisi 106° 36` -
106° 42` Bujur Timur (BT) dan 6° 6` - 6° Lintang Selatan (LS) dengan
luas wilayah 164.55 km2. Secara administratif luas wilayah Kota
Tangerang dibagi menjadi 13 Kecamatan yaitu Kecamatan Ciledug,
Kecamatan Larangan, Kecamatan Karang Tengah, Kecamatan
Cipondoh, Kecamatan Tangerang, Kecamatan Karawaci, Kecamatan
Jatiuwung, Kecamatan Cibodas, Kecamatan Periuk, Kecamatan Batu
Ceper, Kecamatan Neglasari, dan Kecamatan Benda.
61
Table 4.1
Jumlah Kecamatan di Kota Tangerang
No Kecamatan Luas Wilayah (Km2)
1 Ciledug 8,77Km2
2 Larangan 9,40Km2
3 Karang Tengah 10,47 Km2
4 Cipondoh 17,91 Km2
5 Pinang 21,59 Km2
6 Tangerang 15,79 Km2
7 Karawaci 13,48 Km2
8 Jatiuwung 14,41 Km2
9 Cibodas 9,61 Km2
10 Periuk 9,54 Km2
11 Batuceper 11,58 Km2
12 Neglasari 16,08 Km2
13 Benda 5,92 Km2
Sumber: Kota Tangerang dalam angka 2016
Kota Tangerang berada pada ketinggian 10-30 meter di atas
permukaan laut (mdpl), dengan bagian utara rata-rata memiliki
ketinggian 10 mdpl seperti Kecamatan Neglasari, Kecamatan Batu
Ceper, dan Kecamatan Benda. Sedangkan bagian selatan rata-rata
memiliki ketinggian sampai 30 mdpl seperti Kecamatan Ciledug dan
62
Kecamatan Larangan. Adapun batas administrasi Kota Tangerang
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga,
Kecamatan Kosambi, dan Kecamatan sepatan di
Kabupaten Tangerang.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan curug di
Kabupaten Tangerang, serta Kecamatan
Serpong Utara dan Kecamatan Pondok Aren di
Kota Tangerang Selatan.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta
Selatan di DKI Jakarta.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Pasar Kemis
dan Kecamatan Cikupa di Kabupaten
Tangerang.
Letak Kota Tangerang tersebut sangat strategis karena berada di
antara Ibukota Negara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai
dengan instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang
Pengembangan Jabotabek ( Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota
Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI
Jakarta.
63
Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya
pesat. Pada satu sisi wilayah Kota Tangerang menjadi daerah limpahan
berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota
Tangerang dapat menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah
Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang
produktif.
Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang dipercepat pula dengan
keberadaan Bandara Udara Internasional Soekarno Hatta yang sebagian
arealnya termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang.
Gerbang perhubungan udara Indonesia tersebut telah membuka peluang
bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas di Kota
Tangerang.
4.1.2. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Tangerang
Dinas Sosial merupakan unsur pelaksana penyelenggara
pemerintahan pada bidang sosial di wilayah Kota Tangerang. Dinas
Sosial Kota Tangerang berlokasi di wilayah Kecamatan Neglasari di jl.
Iskandar Muda No.1 Bendung pintu air sepuluh, Neglasari, Kota
Tangerang.
Dinas Sosial Kota Tangerang dipimpin oleh Kepala Dinas yang
membawahi Sekretariat Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Sub
Bagian Keuangan, Sub Bagian Perencanaan, Bidang Perlindungan dan
Jaminan Sosial, Bidang Rehabilitasi Sosial, Bidang Pemberdayaan
64
Sosial, UPT, dan Kelompok Jabatan Fungsional. Berikut adalah struktur
organisasi Dinas Sosial Kota Tangerang berdasarkan Peraturan
WaliKota Tangerang Nomor 63 Tahun 2016 Tentang Kedudukan
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Sosial,
yang terdiri dari:
a. Kepala Dinas
b. Sekretariat:
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
2. Sub Bagian Keuangan
3. Sub Bagian Perencanaan
c. Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial
1. Seksi Perlindungan Sosial
2. Seksi Jaminan Sosial
d. Bidang Rehabilitasi Sosial
1. Seksi Rehabilitasi Anak dan Lanjut Usia
2. Seksi Rehabilitasi Orang dengan Disabilitas
3. Seksi Rehabilitasi Eks Penyandang Penyakit Sosial dan
Tuna Sosial
e. Bidang Pemberdayaan Sosial
1. Seksi Pemberdayaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial
2. Seksi Pemberdayaan Keluarga dan Fakir Miskin
65
3. Seksi Penyuluhan Kesos dan Pengelolaan Sumber Dana
Bantuan Sosial
f. UPT
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
Dinas Sosial Kota Tangerang mempunyai tugas untuk membantu
Walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang sosial
yang menjadi kewenangan Daerah dan tugas pembantuan yang
diberikan kepada Daerah sesuai dengan visi, misi dan program Walikota
sebagaimana dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah.
Kepala Dinas mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan teknis pelaksanaan urusan di bidang
sosial;
b. Pelaksanaan kebijakan sesuai dengan bidang sosial;
c. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang sosial;
d. Pengelolaan UPT;
e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Walikota sesuai
dengan lingkup tugas dan fungsinya.
Sekretariat Dinas mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan di
bidang administrasi umum, kepegawaian, keuangan dan perencanaan.
Sekretariat Dinas mempunyai fungsi sebagai berikut:
66
a. Penatausahaan urusan umum;
b. Penatausahaan urusan kepegawaian;
c. Penatausahaan urusan keuangan;
d. Pengoordinasian dalam penyusunan perencanaan Dinas;
e. Pengoordinasian dalam pembangunan dan pengembangan e-
goverment;
f. Pengoordinasian pelaksanaan tugas Bidang dan UPT di
lingkungan Dinas.
Sub Bagian umum dan kepegawaian mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas dan fungsi sekretariat di bidang
administrasi umum dan administrasi kepegawaian. Uraian tugas Sub
Bagian Umum dan Kepegawaian adalah sebagai berikut:
a. Melakukan penyusunan program dan rencana kegiatan Sub
Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. Melakukan pengelolaan urusan surat menyurat tata naskah
dinas;
c. Melakukan pengelolaan urusan rumah tangga, perpustakaan
ke-arsipan, ke-protokolan, dan ke-humasan Dinas;
d. Melakukan pembinaan dan pengembangan pegawai Dinas
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Melakukan pelayangan administrasi kepegawaian Dinas sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
67
f. Melakukan fasilitasi penilaian prestasi kerja pegawai Dinas
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
g. Melakukan fasilitasi pemrosesan penetapan angka kredit
jabatan fungsional di lingkungan Dinas;
h. Melakukan penyusunan Rencana Kebutuhan Barang Dinas;
i. Melaksanakan pengamanan dan pemeliharaan barang milik
daerah yang dalam penguasaan SKPD;
j. Melakukan fasilitasi dalam pembangunan dan pengembangan
e-goverment;
k. Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan Sub
Bagian Umum dan Kepegawaian;
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya.
Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas dan fungsi Sekretariat di bidang administrasi keuangan. Uraian
tugas Sub Bagian Keuangan adalah sebagai berikut:
a. Melakukan penyusunan program dan rencana kegiatan Sub
Bagian Keuangan;
b. Melakukan pembinaan penatausahaan keuangan Dinas;
c. Melakukan penatausahaan anggaran Dinas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Melakukan pengelolaan kas Dinas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
68
e. Melakukan penatausahaan pendapatan yang berasal dari
retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Melakukan pelayanan lainnya di bidang keuangan Dinas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
g. Menyimpan bukti-bukti transaksi keuangan sebagai bahan
penyusunan laporan pertanggung jawaban keuangan Dinas;
h. Melakukan penyusunan laporan keuangan Dinas sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
i. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya.
Sub Bagian Perencanaan mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi Sekretariat di bidang penyusunan program,
evaluasi dan pelaporan. Uraian tugas Sub Bagian Perencanaan adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan penyusunan program dan rencana kegiatan Sub
Bagian Perencanaan;
b. Melakukan pengoordinasian penyusunan rencana program dan
kegiatan Dinas, meliputi Rencana Strategis (Renstra), Rencana
Kerja (Renja), Indikator Kinerja Utama (IKU), Rencana Kerja
dan Anggaran (RKA), dan penetapan Kinerja (PK);
69
c. Melakukan pengumpulan dan peng-administrasian usulan
RKA/RKPA dari unit-unit kerja di lingkungan Dinas;
d. Melakukan penyusunan RKA/RKPA dan DPA/DPPA Dinas
berdasarkan usulan unit-unit kerja dan hasil pembahasan
internal Dinas;
e. Melakukan pembinaan administrasi perencanaan di
lingkungan Dinas;
f. Melakukan pengelolaan data kemiskinan PMKS dan PSKS;
g. Melakukan kegiatan monitoring, evauasi, dan pelaporan
terhadap realisasi atau pelaksanaan program dan kegiatan
Dinas;
h. Melakukan koordinasi dengan unit-unit kerja di lingkungan
Dinas dalam rangka penyiapan bahan-bahan untuk menyusun
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah lingkup Dinas dan
laporan kedinasan lainnya
i. Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan Sub
Bagian Perancanaan;
j. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya.
Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial mempunyai Tugas
menyelenggarakan sebagian tugas Dinas dalam lingkup perlindungan
70
dan jaminan sosial. Bidang perlindungan dan Jaminan Sosial
mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan perlindungan sosial;
b. Penyelenggaraan jaminan sosial;
c. Penyelenggaraan pemantauan, pengawasan dan pembinaan
terhadap panti-panti sosial;
d. Pelaporan.
Bidang Rehabilitasi Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan
sebagian tugas Dinas dalam lingkup rehabilitasi sosial. Bidang
Rehabilitasi Sosial mempunyai fungsi sebagai berikut;
a. Koordinasi pengatusan dan standarisasi di bidang rehabiitasi
sosial;
b. Koordinasi fasilitasi dan pelaksanaan pembinaan di bidang
rehabilitasi sosial
c. Koordinasi, pembinaan dan pengembangan di bidang
rehabilitasi sosial;
d. Koordinasi, monitoring dan pengawasan di bidang rehabilitasi
sosial;
e. Pelaporan.
71
Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas
menyelenggarakan sebagian tugas Dinas dalam lingkup pemberdayaan
sosial. Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai fungsi sebagai berikut;
a. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial;
b. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan
keluarga dan fakir miskin;
c. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan penyuluhan
kesos dan pengelolaan sumber dana bantuan sosial;
d. Pelaporan.
Kelompok Jabatan Fungsional ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kelompok Jabatan
Fungsional bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas.
4.2. Deskripsi Data
Deskripsi data merupakan bagian untuk menjelaskan penelitian yang telah
diolah dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data, baik data
kualitatif maupun kuantitatif. Peneliti dalam tahap ini akan melakukan analisis
data berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, yang terdiri
dari Dinas Sosial Kota Tangerang, Kantor Satpol PP Kota Tangerang, para
72
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan warga masyarakat yang
ada di Kota Tangerang.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian, yaitu untuk
mengevaluasi penerapan dari Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota
Tangerang. Dalam penelitian mengenai Evaluasi Implementasi Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan,
Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang, peneliti menggunakan teori
evaluasi menurut Nurcholis yang meliputi:
1. Input, yang meliputi sumber daya manusia, operasional, sarana dan
prasarana, sosialisasi pelaksanaan kebijakan.
2. Proses, yang meliputi kejelasan mekanisme, pelayanan, kepastian,
penertiban, dan keefektifan dalam pelaksanaan kebijakan.
3. Output, yang meliputi hasil dari pelaksanaan kebjiakan, kesesuaian
pelaksanaan dengan ujuan yang ditetapkan, tepat tidaknya sasaran
yang dituju, sasaran yang tertangani, dan kelompok yang terlibat
dalam pelaksanaan kebijakan.
4. Outcome, meliputi apakah suatu peningkatan, dan dampak positif
terhadap implementor yang terlibat di dalamnya, pelaksanaan
kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan
tujuan kebijakan, meliputi perubahan atau perbaikan.
73
Kemudian data yang peneliti dapatkan lebih banyak berupa kata-kata dan
tindakan yang peneliti peroleh melalui proses wawancara dan observasi. Kata-
kata dan tindakan orang yang diwawancara merupakan sumber utama dalam
penelitian. Sumber data ini kemudian oleh peneliti dicatat dengan
menggunakan catatan tertulis atau melalui alat perekam yang peneliti gunakan
dalam penelitian. Proses pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan
peneliti secara investigasi di mana peneliti melakukan wawancara dengan
sejumlah informan yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini,
sehingga peneliti mendapatkan informasi yang sesuai dengan yang diharapkan.
Data-data yang peneliti dapatkan adalah data yang berkaitan dengan
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan
Anak jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang. Hasil
yang diperoleh dari wawancara, observasi, kemudian dibentuk secara tertulis
dengan bentuk pola serta dibuat kode-kode pada aspek tertentu berdasarkan
jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan pembahasan permasalahan
penelitian serta dilakukan kategorisasi. Dalam menyusun jawaban hasil
wawancara, peneliti memberikan kode-kode sebagai berikut:
1. Kode Q1,2,3 dan seterusnya untuk menunjukan item pertanyaan.
2. Kode A untuk menunjukan item jawaban.
3. Kode I1,I2, I3untuk menunjukan daftar informan.
74
4.2.1 Data Informan Penelitian
Seperti yang telah peneliti paparkan pada pembahasan sebelumnya
mengenai metode penelitian, bahwa peneliti telah menjelaskan pemilihan
informan dalam penelitian ini, penentuan informan penelitian ditentukan
dengan teknik Purposive atau dipilih secara sengaja, yakni suatu teknik
pengambilan informan dengan penetapan sampel berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Adapun informan-informan yang peneliti tentukan ini adalah pihak-pihak yang
terlibat dan memiliki informasi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Adapun daftar informan yang terlibat
dalam penelitian ini adalah seperti yang dimuat dala tabel 4.2 yaitu sebagai
berikut:
75
Tabel 4.2
Daftar Informan Penelitian
(Sumber: Peneliti, 2018)
4.3. Pembahasan
Setelah melakukan penelitian ke lapangan baik melalui wawancara,
observasi, ataupun dokumentasi kemudian peneliti mendapatkan data-data dan
jawaban yang dibutuhkan dalam menyelesaikan proses penelitian, dan setelah
No Nama Informan Kode Pekerjaan / Jabatan
1 Endang Maturidi, SH, M.Si
I1-1 Kepala bidang rehabilitasi sosial
2 Syahrial, S.Ip I1-2 Kepala seksi rehabilitasi eks penyandang penyakit sosial dan tuna sosial
3 Caryo Wijaya I1-3 Staff rehabilitasi sosial
4 Drs. H. Mumung Nurwana
I2-1 Kepala satuan polisi pamong praja
5 Achsin Ghufron F, S.STP I2-2 Kepala bidang ketertiban umum
6 Andi Kurniawan I3-1 Anak Jalanan/Pengamen
7 Heru Saputra I3-2 Pengamen
8 Vika Indriani I4-1 Masyarakat Pengguna Jalan
9 Alfa Nur Fuadi I4-2 Masyarakat Pengguna Jalan
76
melakukan reduksi data, maka peneliti akan memaparkan hasil tersebut dengan
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nurcholis, berikut adalah
pemaparan hasil penelitian sesuai dengan fokus penelitian.
1. Input (Masukan)
Dimensi input merupakan masukan-masukan yang diperlukan dalam
pelaksanaan kebijakan. Aspek yang dikembangkan dalam dimensi input
meliputi sumber daya manusia, sarana prasarana, dan sosialisasi mengenai
kebijakan.
1) Sumber Daya Manusia (SDM)
Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dalma hal ini adalah pegawai atau
implementor yang melaksanakan Perda, berkaitan dengan jumlah sumber daya
manusia yang ada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan dan bekerja sesuai
dengan kompetensinya atau belum, berikut keterangan yang disampaikan oleh
I1-2 pada saat wawancara:
“SDM bisa dibilang cukup dengan personel yg ada di kita, baik struktural dan fungsional, strukturalnya di kita ada pimpinan kita di kepala bidang, dibawahnya ada kepala seksi 3 orang, seksinya yg menangani masalah anak jalanan, pengemis pengamen cuma satu orang, selebihnya kepala seksi disabilitas, disebelahnya lagi seksi anak dan lansia. Tapi dalam pelaksanaan dilapangan mereka semua bantu, kan masih dikendali satu kabid, terus kita punya penyidik, PPNS, Penyidik Pegawai Negri Sipil, kita juga dibantu Pol PP untuk razia dan pengawasan di jalanan. Kalo missal kita butuh tenaga yang diluar sumber daya yang ada, kita datangkan tenaga tenaga ahli, tapi jaranglah, nah itu biasanya dalam bentuk pembinaan dan pelatihan karna itu berkaitan dengan skill, tapi kan itu periodik.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
77
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa sumber daya manusia
yang di miliki oleh Dinas Sosial dapat dikatakan sudah mencukupi, namun
masih memiliki kekurangan untuk instruktur pelatihan, sebagaimana
disampaikan oleh I1-1 kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Bicara soal SDM, soal SDM ini kita gak bisa cuma menyangkut jumlah, tapi juga kualitas, mampu gak tuh orang-orangnya, disini sih saya rasa SDM nya baik, anggota-anggota kita semua paham, ngerti apa-apa aja yang harus mereka lakukan, ya sudah paham lah mereka soal ini, yang kurang ya cuma satu untuk pelatihan kita masih kurang ya, istruktur nya.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa Dinas Sosial Kota
Tangerang masih memiliki kekurangan dari segi instruktur untuk pelatihan.
Sedangkan dari sisi Satpol PP yang juga merupakan implementor dari
peraturan daerah nomor 5 tahun 2012, berikut keterangan yang disampaikan
oleh I2-1 :
“Kalo SDM di Kota Tangerang sudah terpenuhi, di pusat disini ada satuan polisi pamong praja, ada PPNS, di tiga belas kecamatan ada tramtib, terus kesehariannya di turunkan itu tiga shift, shift ke satu itu jam enam pagi sampai dengan jam dua siang, itu dua pleton, dua pleton itu jumlahnya empat puluh enam orang. Shift ke dua itu jam dua siang sampai jam sepuluh malam, itu dua pleton. Shift ketiga jam sepuluh malam sampai jam enam pagi itu satu pleton. Mengapa saya ambil yang pagi siang dua pleton karna memang hiruk-pikuk pergerakan anak jalanan dan segala macamnya ada di jam jam tersebut, jadi SDM sudah tercukupi untuk Kota Tangerang.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
78
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa sumber daya
yang di miliki oleh Dinas Sosial dan Satpol PP dalam menjalankan tugasnya
sudah dapat dikatakan terpenuhi dalam menangani masalah-masalah yang ada
di Kota Tangerang yang dimana salah satunya adalah masalah mengenai anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen.
2) Sarana dan Prasarana
Aspek sarana dan prasarana penunjang merupakan aspek yang dibutuhkan
dalam proses pembinaan, dalam hal ini adalah rumah singgah, panti sosial dan
fasilitas pendukung yang layak didalamnya apakah sudah tersedia atau belum.
Fasilitas tersebut berupa segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses
pelaksanaan pembinaan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Berikut
adalah data hasil wawancara peneliti bersama I1-3 :
“Untuk sarana dan prasarana memang kita masih kurang ya, untuk sekarang di dinas ini kita cuma punya rumah singgah saja, untuk panti nya sendiri, Kota Tangerang ini masih belum punya panti sosial, jadi sampai sekarang jika ada yang terjaring razia, kita masih titip untuk di bina di BP2S di Pasirona punya Provinsi dan PSBK punya nya kemensos di bekasi”. (Wawancara, Kamis 24 Mei 2018 Pukul 14:30 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Hasil wawancara bersama staff bidang rehabilitasi sosial di atas dapat
diketahui bahwa untuk melakukan pembinaan atau pelatihan, Dinas Sosial Kota
Tangerang sendiri masih kekurangan sarana, hal senada juga di katakan oleh I1-1
sebagai berikut:
79
“Kita memang masih punya kekurangan di sarana dan prasarana, untuk pemerintah Kota Tangerang sebenarnya sih bukan masalah, sepanjang kewenangannya ada, untuk dari sisi pembiayaan ga ada masalah, untuk mewujudkan sebuah sarana yang di butuhkan tuh kita punya kok anggaran cukup, cuma kewenangannya ga punya, gitu, untuk tingkat kota itu ga boleh punya panti sendiri, kecuali yang swasta ya, kalo kota nya sendiri si ga boleh punya panti, itu yang boleh punya panti itu tingkat Provinsi sama pusat.”. (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa Dinas Sosial Kota
Tangerang masih memiliki kekurangan sarana dan prasarana, untuk saat ini di
Dinas Sosial Kota Tangerang hanya memiliki fasilitas berupa rumah singgah.
Sedangkan fasilitas yang tidak dimiliki diantaranya tidak adanya Panti Sosial
maupun balai pelatihan untuk mendukung peraturan daerah mengenai
pembinaan, namun hal ini terjadi bukan karena tidak adanya anggaran, namun
karena tidak adanya kewenangan untuk membangun Panti Sosial di tingkat
Kota.
3) Sosialisasi
Aspek sosialisasi merupakan proses penyampaian informasi kepada
sasaran kebijakan mengenai Peraturan Daerah yang mengatur tentang
pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen, bagaimana
dengan penjabaran isi peraturan tersebut apakah sudah cukup jelas dipahami
oleh semua pihak terkait untuk diimplementasikan, berikut adalah wawancara
dengan I1-1
80
“Sosialisasi kita lakukan dari tingkat bawah mulai dari kecamatan itu setiap ada kegiatan di kecamatan selalu kita adakan penyuluhan, terus juga yang bisa di lihat sendiri kita pasang beberapa reklame di tempat-tempat yang biasanya banyak mereka, contohnya di lampu merah PLN itu ada satu reklame, di lampu merah adipura juga ada satu.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara bersama Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial di atas
dapat diketahui bahwa sosialisasi oleh Dinas Sosial dilakukan dengan cara
penyuluhan dan pemasangan reklame mengenai larangan untuk memberi seperti
yang tercantum pada peraturan daerah nomor 5 tahun 2012, hal senada juga
dikatakan oleh I1-2 sebagai berikut:
“Sosialisasi kita sudah lakukan melalui pamflet-pamflet baliho-baliho di tiap titik-titik rawan, entah itu di perempatan jalan, di mall, udah ada itu mah. Kemudian juga kita sering sosialisasi memanggil kepala seksi kepala seksi tingkat kecamatan yang berkaitan dengan perda nih peran mereka tuh apa aja.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Selain itu I1-3 juga memberikan pernyataan kepada peneliti terkait
sosialisasi, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Pasti itu, harus ada terutama buat si mereka-mereka nya ini, kita kan ga cuma nangkepin, kita kasih penyuluhan juga tuh kalo ini nih gaboleh, diatur pasal segini-segini, kalo mau pelatihan ayo kita data kita bawa ke pelatihannya, untuk masyarakatnya sendiri itu ada larangannya, kita pake reklame gede-gede di lampu merah, ya berharapnya si masyarakat pengguna jalannya pada baca itu.” (Wawancara, Kamis 24 Mei 2018 Pukul 14:30 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
81
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi dilakukan
dengan cara pemasangan reklame dan juga kepada kepala seksi yang ada di
tingkat Kecamatan diberikan penyuluhan mengenai peran apa saja yang harus
dilakukan. Hal mengenai sosialisasi dan penempatan reklame di beberapa ruas
lampu merah juga disampaikan oleh I4-1 sebagai masyarakat pengguna jalan
kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Kalo untuk sosialisasi langsung dari orang sana nya si saya kurang tau ya, tapi baliho si emang ada pernah liat di deket lampu merah yang soal denda kalo ngasih ke pengemis apa pengamen, tapi cuma itu aja si cuma baca itu aja.” (Wawancar Kamis 24 Mei 2018 Pukul 16.15 di angkutan kota jurusan Ciledug-Cikokol Kota Tangerang)
Berdasarkan hasil wawancara bersama beberapa informan dapat
diketahui bahwa proses sosialisasi sudah berjalan dengan cukup baik, yaitu
dengan diadakannya sosialisasi sampai ke tingkat Kecamatan dan melalui
reklame di beberapa titik rawan terjadinya kegiatan dijalan seperti mengemis
dan mengamen, walaupun tidak dilakukan sosialisasi secara langsung kepada
masyarakat, tetapi dengan adanya reklame setidaknya masyarakat mengetahui
adanya peraturan daerah tersebut dan mengetahui bahwa adanya larangan untuk
memberi kepada anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen
sebagaimana tercantum didalam peraturan daerah tersebut.
82
2. Proses
Proses merupakan bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk
pelayanan langsung kepada objek kebijakan. Dalam melakukan penilaian
terhadap proses pelaksaaan kebijakan tersebut, maka peneliti
mengembangkannya ke dalam beberapa aspek, yaitu kejelasan mekanisme
penarikan, pelayanan, kepastian, penertiban, dan ke-efektifan pelaksanaan
Peraturan Daerah tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara peneliti bersama
informan mengenai penilaian dimensi proses.
1) Kejelasan Mekanisme
Proses pelaksanaan kebijakan pembinaan anak jalanan, gelandangan,
pengemis dan pengamen diperlukan adanya kejelasan mekanisme dan peraturan
yang jelas dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut, apakah peraturan dan
mekanisme tersebut sudah jelas dan di implementasikan atau belum oleh
petugas, berikut adalah hasil wawancara bersama I2-1 sebagai berikut:
“Mekanisme nya, itu kita bikin SP, yang tim nih bikin SP, sebelumnya sudah kontek ke Dinas Sosial nih kami mau merazia, kalo mau bareng ayo ke lapangan, kami sekarang baik ada hasil atau ngga tetap koordinasi dengan dinsos, bergerak deh nih ke lapangan. Mekanisme razia itu semua pleton yang tadi diwajibkan untuk merazia, pokoknya semua pelanggaran apapun, pleton itu perjam itu semua bergerak, tapi ada yang razia gabungan nih, misalkan Dinas Sosialnya turun kabidnya turun, kasi nya turun, terus jajaran sampingnya ada, itu ditentukan juga pake SP, dipersiapkan, kita bergerak ke titik-titik yang telah di tentukan dari hasil survei, antara lain lampu merah PLN sudirman fly over ya, yang kedua lampu merah tanah tinggi, yang ketiga tugu adipura dan tempat-tempat lainnya, karna pada umumnya itu anak jalanan, pengamen, pengemis itu
83
adanya di lampu merah.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasat Satpol PP di atas dapat
diketahui bahwa mekanisme pelaksanaan razia oleh Satpol PP sudah jelas, hal
senada juga disampaikan oleh I2-2 kepada peneliti, berikut adalah penyataannya:
“Mekanismenya, kalo yang jaga sih kita rutin itu sudah tugas harian untuk standby jaga, kalo yang untuk razia gabungan itu pertama kita dapet SP dulu, surat perintah, terus koordinasi sama dinsos, nanti ada anggota mereka yang ikut berapa orang siapa-siapa aja, misal sama kabid dan jajarannya, setelah itu baru kita tentuin nih titik mana aja yang mau di datengin, udah gitu baru kita sama-sama turun ke lapangan, operasi, misal dapet nih, kena berapa orang, kumpulin dulu di sini, kita data, udah di data baru deh mereka bawa ke dinsos, tapi tetep kita kawal sampe ke dinsos, selanjutnya itu kewenangan mereka untuk di bina atau dikasih pelatihan.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 14:30 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Hasil dari pernyataan informan penelitian di atas dapat diketahui bahwa
mekanisme pelaksanaan razia sudah cukup jelas, dimulai dari diterbitkannya
surat perintah untuk merazia dan di koordinasikan dengan dinas terkait, yaitu
Dinas Sosial sebagai salah satu implementor. Setelah pelaksanaan razia,
kemudian dilakukan pendataan terharap sasaran yang terjaring razia untuk
kemudian di kawal menuju kantor Dinas Sosial untuk dilakukan pembinaan
lebih lanjut.
Sementara itu mekanisme pelaksanaan dari sisi Dinas Sosial sebagaimana
disampaikan oleh I1-2, pernyataannya adalah sebagai berikut:
84
“Setiap tangkapan kita asesmen maunya apa, setelah ketauan minatnya dia, baru kita arahkan, misalnya ke bengkel, cuci steam apa sablon, menjahit, atau tata boga untuk yang cewe-cewe nya, kalo sudah terpetakan seperti itu baru kita arahkan, itu kalo dia memang warga kita, kalo KTP nya ternyata luar tangerang, misal adanya di jawa barat, kita kembalikan melalui dinsos setempat, gitu, ga langsung kita yang bina. Kalo memang dia KTP nya warna luar Banten atau luar Kota Tangerang, kita kirim ke instansi Dinas Sosial dimana dia sesuai tinggalnya, jadi ada koordinasi antar daerah”. (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa mekanisme
pelaksanaan pembinaan sudah cukup jelas. Pelaksanaannya mengikuti SOP
yang berlaku, namun proses yang berjalan hanya sampai pada tahap
pendampingan, di mana hal ini dikarenakan Dinas Sosial Kota Tangerang
sendiri belum memiliki balai pelatihan ataupun tenaga pelatih. Hal tersebut
disampaikan oleh I1-1 kepada peneliti, berikut adalah penyataannya:
“Untuk mekanisme pelaksanaan, kita kan punya SOP, jadi disini pun melaksanakannya mengikuti SOP yang ada, tapi proses disini cuma sampai pada tahap pendampingan saja, karena memang kita tidak punya panti sosial atau balai pelatihan ataupun tenaga pelatih untuk melakukan pelatihan”. (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Berdasarkan hasil dari pernyataan informan penelitian di atas dapat
diketahui bahwa mekanisme proses pelaksanaan pembinaan tersebut sudah jelas
tertulis di dalam peraturan daerah itu sendiri, namun dalam pelaksanaannya,
proses yang dilakukan sendiri oleh Dinas Sosial Kota Tangerang terbatas
sampai proses pendampingan, untuk selanjutnya dititipkan kepada Panti Sosial
85
milik Kementrian Sosial atau balai pelatihan milih Pemerintah Provinsi
dikarenakan Kota Tangerang sendiri belum memiliki balai pelatihan untuk
melakukan pelatihan sendiri.
2) Pelayanan
Pelayanan merupakan aspek penting dalam pembinaan, karena ketika
pembinaan ini dilakukan kepada sasaran kebijakan maka perlu adanya
pelayanan yang berupa fasilitas atau prasarana yang memadai, dalam hal ini
rumah singgah, panti sosial dan prasarana pendukung lainnya. Namun yang
terjadi di lapangan, pelayanan yang dilakukan hanya sampai tahap
pendampingan yang diberikan kepada sasaran kebijakan, seperti yang
disampaikan oleh I1-3 sebagai berikut: “pelayanan saya rasa sudah diberikan,
mereka kita dampingi, kita anter untuk pelatihan dan selesai pelatihan kita
jemput dan di data lagi.” (Wawancara, Kamis 24 Mei 2018 Pukul 14:30 WIB.
Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Hal senada juga dikatakan oleh I1-2 sebagai berikut:
“Pelayanan maksudnya yang bagaimana nih, kalo ini bisa diartikan kepada kegiatan pendampingan, kita sudah yang terbaik mungkin, karna kami juga kan gamau mereka di jalanan, kalo pelayanan dalam hal penampungan maupun pelatihan, kita masih belum bisa sendiri, untuk rumah singgah sebenarnya ada, tapi untuk pelatihan atau panti, kita kan gapunya kewenangan”. (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
86
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa pelayanan yang dilakukan
oleh Dinas Sosial Kota Tangerang hanya terbatas sampai pada tahap
pendampingan, hal ini dikarenakan Kota Tangerang sendiri belum memiliki
Panti Sosial ataupun balai pelatihan untuk melakukan kegiatan pembinaan
sendiri.
3) Kepastian
Kepastian merupakan aspek pendukung dalam melakukan implementasi
peraturan daerah ini, kepastian berkaitan dengan waktu pelaksanaan tahapan-
tahapan pembinaan, berikut adalah hasil wawancara dengan I1-3 yaitu sebagai
berikut: “Pelaksanaan perda nya sendiri sih jalan terus, razia kita adakan
sebulan beberapa kali”. Kemudian hal serupa juga sampaikan oleh I2-1 yang
mengatakan:
“Sebetulnya apa yang dikatakan oleh saya itu setiap hari begitu, tetapi yang tim itu sebulan itu empat kali, yang tim gabungan yang langsung serempak itu empat kali dalam satu bulan.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kepastian waktu
pengawasan di lapangan dilakukan setiap hari oleh Satpol PP, dan juga akan
dilakukan razia gabungan sebanyak empat kali dalam satu bulan. Sementara itu
untuk kepastian pelatihannya sendiri bergantung kepada kesesuaian minat dari
mereka yang telah di data dengan ketersediaan jenis pelatihan yang sedang
87
berlangsung, hal tersebut disampaikan oleh I1-2, pernyataannya adalah sebagai
berikut:
“Itu tergantung program sana, bukan program kita, kan kita masih titip disana karna kan gapunya kewenangan buat bangun itu, itu dinsos Provinsi banten yang punya program kerja nya, anggaran itu anggaran sana, programnya program disana juga, dia sesuai dengan kemampuan anggaran sana, ga stabil, tapi tiap tahun pasti ada. Disini kan ga ngirim kesana, kalo dia minta baru kita ngirim, kan jenis pelatihannya juga macem-macem, fokus dia untuk pelatihan ini nih, kita kirim, ga semau-maunya kita kirim, misal disana lagi program pelatihan bengkel motor, ternyata anak-anak kita mau nya servis AC, ya ga dikirim karna kan ga sesuai, sedangkan disana kan pelatihannya servis motor, yaudah tong sabar, kan gitu”. (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Hal senada juga dikatakan oleh I1-1, berikut pernyataanya:
“Waktu pelaksanaan kita setiap saat juga tetep kita jalanin, misal ada kiriman dari pol pp, ada yang ke tangkep gitu, ya kita terima, kita tampung. Untuk pelatihannya sendiri, karna disini belum bisa untuk melakukan pelatihan, jadi untuk pelatihan kita tunggu kabar dari Provinsi, kalo dibuka untuk pelatihan kita kirim kesana, lama pelatihannya sendiri itu biasanya satu sampai tiga bulan.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan beberapa informan di atas,
dapat diketahui bahwa waktu pelaksanaan untuk merazia dilakukan empat kali
dalam satu bulan. Sedangkan untuk pelatihannya sendiri bergantung dari
program pelatihan yang diadakan oleh Dinas Sosial Provinsi Banten dan
menyesuaikan dengan minat dari sasaran pembinaan yang telah di data. Lama
waktu yang dibutuhkan untuk sekali pelatihan adalah antara satu sampai tiga
88
bulan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa dari segi waktu sangat
tidak efisien, dan seharusnya Dinas Sosial perlu mengadakan tenaga pelatih
sendiri untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan dari peraturan daerah tersebut.
4) Penertiban
Penertiban adalah aspek penting yang harus dilakukan oleh Dinas Sosial
Kota Tangerang terhadap hal-hal yang melanggar ketentuan yang ada di dalam
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tersebut, karena di dalam Peraturan
Daerah tersebut terdapat dua pasal yang berisi larangan yaitu pada pasal 15 dan
16 Bab VII mengenai larangan, dan dua pasal ketentuan sanksi yaitu pada pasal
17 dan 18 Bab VIII mengenai ketentuan sanksi. Berikut keterangan mengenai
proses penertiban yang didapatkan dari I1-1 yaitu sebagai berikut:
“Masalah sanksi dari awal perda ini di sahkan sampai sekarang masih belum ada yang kita kenakan sanksi, karna kan untuk yang memberi itu agak sulit kita lakukan pengawasannya, lagi pula untuk pengenaan sanksi itu kan ranahnya pol pp, bukan di kita. Untuk masalah eksploitasi juga kita masih belum menemukan, belum melihat langsung, untuk yang ini kan kita harus tangkap tangan baru bisa kita jatuhkan sanksi, sampai saat ini kita masih belum menemukan, jadi masih belum ada juga yang dikenakan sanksi itu.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa sampai saat ini belum
optimalnya penertiban dan penindakan yang dilakukan. Hal senada juga
disampaikan oleh I1-3 kepada peneliti, berikut adalah pernyataannya:
“Penjatuhan sanksi itu belum ada ya, karna kita pun sebenernya gak bisa menjatuhkan sanksi, masalah terkait sanksi disana itu tugasnya Satpol PP beserta PPNS, kita cuma bisa kasih sosialisasi ke masyarakat dengan
89
reklame tadi yang harapannya masyarakat sadar kalo ngasih uang ke mereka itu malah bikin mereka keenakan dijalanan.” (Wawancara, Kamis 24 Mei 2018 Pukul 14:30 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja pun mengungkapkan
kepada peneliti terkait penertiban sanksi yang tertulis di dalam peraturan daerah
tersebut, pernyataan yang disampaikan oleh I2-1 kepada peneliti adalah sebagai
berikut:
“Nah di kita Pol PP jujur aja ya di kita ini sebatas merazia terus diserahkan ke dinsos, sedangkan kaitan dengan sanksi yang memberi atau eksploitasi itu belum sampai kearah sana, ini sekarang saya lagi ngamati katanya ada yang ngedrop, seperti pengemis ada yang ngedrop, tapi ini saya belum melihat gitu orang yang dari mobil ngedrop pengemis itu belum sampai sekarang, di kita itu belum sampai kearah sana tapi baru hanya sebatas razia dan penyuluhan saja.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa sampai saat ini
penertiban yang dilakukan oleh Dinas Sosial maupun Satpol PP memang belum
dilakukan, upaya-upaya yang dilakukan agar masyarakat tidak lagi memberi
uang dijalan juga hampir tidak ada, penertiban berupa teguran dan penindakan
terhadap masyarakat yang melanggar pun hampir tidak ada dan hanya
mengharapkan kesadaran dari warga masyarakat. Selain itu, sanksi kepada
oknum yang melakukan eksploitasi juga baru bisa dijatuhkan apabila terjadi
operasi tangkap tangan, sementara itu berdasarkan pemaparan dari kepala
satuan polisi pamong praja pun belum berhasil mendapati aktivitas tersebut,
penerapan sanksi yang tertulis di dalam peraturan daerah nomor 5 tahun 2012
90
tersebut memang belum diterapkan baik oleh Dinas Sosial, Satpol PP maupun
PPNS , sehingga fungsi penertiban belum berjalan dengan optimal.
5) Efektivitas
Efektivitas merupakan salah satu aspek penting yang harus di lihat dalam
mengimplementasikan Peraturan Daerah, apakah Dinas Sosial dan Satpol PP
sebagai implementor sudah efektif atau belum dalam melaksanakan peraturan
daerah yang dimaksud, berikut adalah pernyataan dari I2-1:
“Yang namanya orang mau berbuat sesuatu itu pinter juga, tapi kalo dikatakan lebih pinter dari pol pp mah gak juga karna ketangkep, tapi pinter juga mereka, dia pinternya gitu, kalo pol pp ga ada ngemis ngamen itu berjalan, terus ketika di operasi itu ada yang bisa lolos yang larinya kenceng banget, itu kadang kita khawatir, di lampu merah tanah tinggi itu pernah ada yang ketabrak mobil angkot, larinya udah ga mikirkan apa apa, nah dengan kejadian-kejadian itu kita mikirin gimana nih cara nangkepnya, yang soal razia awalnya yang dulu fokus gitu satu titik sekarang saya pencar, karna mereka juga udah canggih kan pada pake HP, kita gamau ketinggalan, kita pake tehnik juga kita pencar terus yang dulu nya pake mobil kan mereka kabur duluan sekarang kita pake motor juga sama yang baju preman juga jadi lebih efektif. Nah dengan cara yang saya sebutkan tadi itu bisa dibilang lebih efektif lah sekarang mah gitu.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kegiatan razia yang
dilakukan oleh Satpol PP bisa berjalan lebih efektif. Hal senada juga
disampaikan oleh I2-2 kepada peneliti, berikut pernyataannya:
“Bisa dibilang efektif, memang pasti ada yang lari pas di razia, tapi itu ga banyak, karna kan kita udah cegat duluan, semua arah jalan udah dijaga
91
sama yang pake pakaian preman” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 14:30 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan razia
yang dilakukan Satpol PP setelah menyiasati cara merazia mengikuti
perkembangan di lapangan, kini bisa berjalan lebih efektif. Sementara itu I1-3
menyampaikan kepada peneliti mengenai ke-efektifan dari segi pembinaan,
pernyataan I1-3 adalah sebagai berikut:
“Efektif ya, bisa dibilang efektif soalnya mereka yang dijalan juga berkurang, meskipun tidak banyak, tapi sekarang yang kita temuin dijalan tuh rata-rata muka baru, orang-orang baru.” (Wawancara, Kamis 24 Mei 2018 Pukul 14:30 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial berjalan cukup efektif. Hal senada
juga disampaikan oleh I1-2 kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai
berikut:
“Kalo efektif si saya rasa efektif, cuma kalo saya bilang berhasil jadinya terlalu sombong nanti, setelah kita kirim dilatih disana sebulan atau dua bulan sesuai kebutuhannya, mereka yang bener-bener ikut pelatihan, ga ada tuh yang turun lagi ke jalan, malah dia ngajak temen-temennya untuk gabung, jadi bisa dibilang efektif.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Tangerang cukup efektif, namun masih bisa
di katakan belum optimal, hal ini dikarenakan keberhasilan pembinaan atau
92
pelatihan hanya berkisar di angka tiga puluh persen dari total PMKS yang ikut
pelatihan. Hal tersebut seperti disampaikan oleh kepala bidang rehabilitasi
sosial kepada peneliti, berikut adalah pernyataan dari I1-1:
“Efektif, cuma ya itu , masalah kesadaran aja, dari yang terjaring razia, paling tiga puluh persennya yg ikut, ikut si semua ikut, maksudnya yang sungguh-sungguh beneran mau berubah, misal dari sepuluh orang, paling tiga orang yang beneran mau berubah sisanya si karna terpaksa, nanti selesai pelatihan ya mereka balik lagi, tapi biasanya gak disini, pindah ke tetangga, ke tangsel atau kabupaten, atau ke DKI, jadi kelo efektif ya efektif yang dijalanan berkurang tapi untuk berhasil merubah, itu cuma sekitar tiga puluh persen yang berubah.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan di atas, peneliti dapat
menganalisis bahwa dalam pelaksanaan kegiatan razia yang dilakukan oleh
Satpol PP, bisa dikatakan cukup efektif setelah dilakukan perubahan cara
pelaksanaan razia itu sendiri. Sedangkan dari segi pelatihan dan/atau pembinaan
yang dilakukan oleh Dinas Sosial dapat dikatakan efektif dari segi jumlah
mereka yang kembali turun ke jalan-jalan protokol di Kota Tangerang, namun
hal ini terjadi bukan karena berhasil mengubah profesi dari mereka-mereka
yang biasa turun ke jalan, melainkan karena pindahnya PMKS-PMKS yang
pada awalnya beroperasi di jalan protokol di Kota Tangerang. Keberhasilan dari
pelaksanaan pelatihan itu sendiri hanya berkisar di angka tiga puluh persen dari
keseluruhan yang mengikuti pelatihan tersebut, jadi dari segi ke-efektifan
pelaksanaan peraturan daerah ini dapat dikatakan masih belum optimal.
93
3. Output (Hasil)
Output merupakan hasil dari sebuah pelaksanaan kebijakan, apakah
pelaksanaan kebijakan tersebut menghasilkan keluaran atau produk yang sesuai
dengan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Ada beberapa aspek dalam
dimensi output yaitu kesesuaian pelaksanaan dengan tujuan kebijakan,
ketepatan sasaran yang dituju, sasaran yang tertangani dan kelompok-kelompok
yang terlibat di dalan pelaksanaan kebijakan tersebut.
1) Kesesuaian pelaksanaan dengan tujuan kebijakan
Pelaksanaan kebijakan seharusnya sesuai dengan tujuan dibuatnya
kebijakan, namun apa yang terjadi terharap peraturan daerah nomor 5 tahun
2012 ini masih belum berhasil dalam mencapai tujuan yang di inginkan dalam
peraturan daerah tersebut, seperti yang disampaikan oleh Bapak Syahrial selaku
Kepala Seksi Rehabilitasi eks Penyandang Penyakit Sosial dan Tuna Sosial,
berikut adalah pernyataan yang diberikan oleh I1-2:
“Belum lah, sepanjang kesejahteraan sosial di Kota Tangerang belum seratus persen sesuai dengan tujuan yang ada di peraturan daerah, masih bisa dibilang belum sesuai, fakta dilapangan akan terlihat, jangan nanti dibilang disini tercapai tapi fakta dilapangan masih banyak kok, tapi minimal kita punya target, setidaknya anak jalanan pengemis dan pengamen itu ga di jalan-jalan protokol lah, artinya bersih ajak jalanan, pengamen, pengemis dari jalan protokol, itu target, walaupun perda melarang itu, setidaknya mengurangi walaupun ga seratus persen sesuai.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
94
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan dari
peraturan daerah tersebut belum berhasil mencapai tujuan yang di inginkan. Hal
senada juga disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial kepada
peneliti, pernyataan dari I1-1 adalah sebagai berikut:
“Kalo dikatakan sesuai, sudah pasti yang dilaksanakan ini kan untuk mencapai tujuan yang diinginkan diperda itu, tapi kalo tercapai, itu belum sepenuhnya tercapai, oleh karena itu kita disini masih terus menjalankan kebijakan ini, kalo udah tercapai kan berarti udah ga ada lagi mereka yang dijalanan.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang) Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari peraturan
daerah tersebut belum tercapai seratus persen, namun Dinas Sosial selaku
implementor menargetkan untuk bersihnya anak jalanan, pengemis dan
pengamen di jalan-jalan protokol.
2) Ketepatan sasaran
Ketepatan sasaran yang dituju merupakan aspek penting dalam
pelaksanaan pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen,
apakah selama ini proses pelaksanaannya sudah tepat sasaran, untuk
mengetahui ketepatan sasaran dalam hal proses pelaksanaan kebijakan yang
berkaitan dengan pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen, berikut adalah hasil wawancara dengan I2-1:
“Iya tepat sasaran, sasaran kita kan sudah jelas, siapa aja mereka itu, anak jalanan, pengemis, pengamen, mereka-mereka yang beroprasi di jalanan, mereka yang mencari uang di jalanan, tapi yang cari uang dijalanannya yang gimana, mereka yang dengan cara meminta-minta atau mengamen,
95
kalo yang jualan ya ga kita angkut.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang) Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan
tugas, dalam hal ini merazia, Satpol PP sudah tepat sasaran. Hal senada juga
disampaikan oleh I2-2 kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Tepat sasaran, kita kan sebelum berangkat sudah punya target, siapa aja yang mau kita jaring, dijalan juga kan sudah ada yang turun duluan yang pakai baju preman, atau intel lah yang udah mengamati keadaan duluan, setelah dipastikan, kita berangkat kesana.” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 14:30 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang) Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan yang
dilakukan sudah tepat sasaran, dikarenakan sebelum melaksanakan tugas atau
melakukan razia, Satpol PP sendiri sudah memiliki target operasi. Hal senada
juga dikatakan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial kepada peneliti,
pernyataan I1-1 adalah sebagai berikut:
“Sudah tepat, kita menjalankan ini harus sesuai kepada mereka-meraka yang perlu untuk dibina, mereka-mereka yang butuh pelatihan, butuh skill, yang tujuannya supaya mereka gak cari uang dijalanan lagi, kalo tepat sasaran iya kita sudah tepat sasaran ke mereka-mereka yang membutuhkan untuk itu” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang) Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan di atas, dapat
diketahui bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2012 ini sudah
tepat pada sasaran karena dalam pelaksanaannya juga sudah jelas terlihat siapa
saja target dari perda tersebut.
96
3) Sasaran yang tertangani
Aspek sasaran yang tertangani dalam pelaksanaan kebijakan merupakan
hal yang berkaitan dengan kegiatan pengawasan setelah sasaran dari kebijakan
tersebut tertangani, untuk mengetahui mengenai sasaran yang tertangani,
peneliti melakukan wawancara bersama I1-1 yaitu sebagai berikut:
“Yang sudah menerima pelatihan, kita masih tetap mengawasi bagaimana mereka diluar, skill yang diberi itu terpakai gak, berguna gak pelatihannya, kita masih mengawasi, masih kita bimbing, contoh yang sudah dikasih pelatihan untuk bengkel, kita bimbing tuh usaha bengkelnya, bahasa nya apa ya, kita monitor, kita cek, kita kunjungin lah, kalo dia sukses, kita akan usulkan ke kementrian agar dibantu secara finansial.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara diatas dapat di ketahui bahwa sasaran yang telah
tertangani masih mendapat pengawasan dari pihak Dinas Sosial, hal senada
juga disampaikan oleh I1-2 kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai
berikut:
“Setelah pelatihan mereka dikembalikan ke kita lengkap dengan peralatannya, misal servis motor tuh satu set lengkap diberikan dari sana, nah tugas kita memonitor aktivitas operasionalnya, jangan-jangan dikasih alat dijual tuh peralatan, tapi kalo dijual kita ancam pidana, karna ini kan barang Negara, tapi rata-rata dengan ancaman itu mereka takut, berjalan lah.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Berdasarkan keterangan dari beberapa informan diatas, dapat diketahui
bahwa dalam pelaksanaan pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
97
pengamen, kelompok sasaran yang telah tertangani masih tetap dimonitor dan
mendapat pengawasan dari Dinas Sosial untuk dilihat keberhasilan dan apakah
kegaitan tersebut berlanjut, apabila kegiatan tersebut berhasil, maka Dinas
Sosial akan merekomendasikan kepada kementrian agar mendapat bantuan
secara finansial dari kementrian sosial.
4) Kelompok yang terlibat
Kelompok yang terlibat berkaitan dengan lembaga atau pihak terkait yang
bekerja sama dalam mengimplementasikan peraturan daerah nomor 5 tahun
2012. Mengenai kelompok yang terlibat, peneliti melakukan wawancara
bersama I1-1 yaitu sebagai berikut:
“Yang terlibat itu pertama ada Satpol PP, yang melakukan operasi langsung dilapangan, dibantu sama ada juga PPNS, ada juga komunitas, seperti komunitas keluarga anak langit, komunitas rumah tawon, dan komunitas-komunitas semacam itu mereka aktif ngajak mereka-mereka yang masih di jalan.” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahu bahwa dalam pelaksanaan
peraturan daerah tersebut dibantu oleh beberapa pihak. Hal serupa juga
disampaikan oleh I1-2 kepada peneliti, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Selain koordinasi dengan pol pp Ada yang terlibat, ada komunitas-komunitas, ada komunitas anak tawon, ada komunitas anak langit, ada lah komunitas-komunitas itu, tapi dia ini organisasi nya tidak berbadan hukum, jadi kita memberi bantuan kepada dia itu susah, jadi sulit buat
98
kita mempertanggung jawabkannya.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan di atas dapat diketahui
bahwa dalam mengimplementasikan peraturan daerah nomor 5 tahun 2012 ini
ada beberapa kelompok-kelompok yang terlibat, di antaranya Satpol PP yang
bertugas melakukan razia di jalan dengan dibantu PPNS. Terkait dengan
kegiatan pembinaan, Dinas Sosial juga sedikit terbantu oleh komunitas-
komunitas yang ada peduli terhadap anak-anak jalanan, di antaranya komunitas
keluarga anak langit, dan komunitas rumah tawon.
4. Outcome (Dampak)
Outcome yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata
terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan. Untuk mengetahui
dampak yang dihasilkan dari hasil pelaksanaan peraturan daerah tersebut, maka
peneliti melihat dari dampak ada tidaknya tanggapan atau perubahan terhadap
kelompok sasaran kebijakan, dan peningkatan pelaksanaan oleh implementor
terhadap peraturan daerah tersebut.
1) Perubahan kelompok sasaran
Dampak perubahan terhadap kelompok sasaran merupakan aspek penting
dalam sebuah hasil pelaksanaan kebijakan, ini karena berkaitan dengan tujuan
dibuatnya kebijakan, apakah dampak tersebut positif atau negatif. Dampak
perubahan kelompok sasaran yang ditimbulkan dari pelaksanaan peraturan
99
daerah tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti
dengan I1-2 yaitu sebagai berikut:
“Setelah di kasih pelatihan itu biasanya mereka udah beraktivitasnya berprofesi nya sesuai dengan minat dia tadi, yang misal dia minatnya sevis motor atau apa, malah biasanya kan yang ikut pelatihan tuh terbatas berapa orang, pas pulangkan dikasih peralatan tuh, dia buka tuh counter-counter bengkel di kampung-kampung, dan seperti yang saya bilang, dia ngajak tuh yang satu tempat itu narik dua tiga temen-temennya yang masih di jalan, yang mau, karna kuota pelatihannya terbatas, nanti dia rekrut temen-temennya untuk aktif di bengkel dia, yang ikut pelatihan satu nanti dia dibantu temen-temen yang ga ikut pelatihan beberapa orang.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang) Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa terdapat perubahan
terhadap sasaran kebijakan. Hal senada juga disampaikan oleh I1-1 kepada
peneliti, pernyataannya adalah sebagai berikut:
“Perubahan ada, pasti ada, selalu ada perubahan, seperti yang saya bilang tadi, sekitar tiga puluh persen lah yang sungguh-sungguh ikut pelatihan, dia itu gak turun lagi ke jalanan, alih profesi lah istilahnya, mengelola usaha apa yang sudah mereka dapat dari pelatihan itu” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang) Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa terdapat perubahan
terhadap sasaran kebijakan yang telah melalui proses pelatihan, mereka
biasanya tidak lagi turun ke jalan, beralih profesi, menerapkan apa yang telah
mereka dapat dari pelatihan, bahkan mereka mengajak teman-teman mereka
yang masih di jalan untuk ikut membantu menjalankan usaha yang dijalankan.
100
2) Peningkatan pelaksanaan
Dampak dari hasil pelaksanaan kebijakan yang sudah maupun sedang
berjalan adalah mengenai peningkatan pelaksanaan peraturan daerah yang
sedang dijalankan, berikut adalah hasil dari wawancara yang telah dilakukan
dengan I2-1 yang mengatakan bahwa:
“Peningkatan ya ada, kalo dulu misalkan ke titik ini nih geruyuk semua ke satu titik kalo sekarang engga dipencar, timnya dibagi berapa orang nih kamu ke titik ini, kamu ke titik ini, jadi sekaligus nih, kan sekarang mah anak jalanan pengemis udah punya HP, jadi begitu di razia di lampu merah PLN, dia kontek ke temennya “eh ada razia nih” jadi yang di tempat lain bubar, nah pake tehnik sama saya sekarang ini, langsung dibagi tugas ke semua titik itu. Awalnya kita pake mobil, udah ketauan ada mobil lari kan mereka, kalo sekarang ditambah pake motor, tambah juga yang pake baju preman, misal lampu merah, jalan ada dimana, jadi orang udah di tugasin dari semua jalan, jadi yang pertama yang pake motor, baru deh yang kena kita bawa pake mobil itu” (Wawancara, Rabu 30 Mei 2018 pukul 13:45 WIB. Di Kantor Satpol PP Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara bersama kepala Satpol PP dapat diketahui bahwa
upaya peningkatan dalam rangka mengefektifkan kegiatan razia terus
dilakukan, peningkatan memang perlu dilakukan seiring dengan berjalannya
waktu mengikuti bagaimana dinamika keadaan di lapangan. Di sisi lain, pihak
Dinas Sosial pun terus melakukan peningkatan untuk mewujudkan visi misi
dari Kota Tangerang sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Seksi Rehabilitasi
eks Penyandang Penyakit Sosial dan Tuna Sosial yang disampaikan kepada
peneliti, berikut adalah pernyataan dari I1-2:
101
“Peningkatan dalam melaksanakannya ada, kita selalu upayakan yang terbaik, ini kan untuk mewujudkan visi misi kota juga, biar tentram gitu di jalanan, tempat-tempat makan, kan agak risih juga lagi makan di pujasera ada yang ngamen, jadi peningkatan selalu kita tingkatkan.” (Wawancara, Jumat 25 Mei 2018. Pukul 09:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Hal senada juga disampaikan oleh I1-1 kepada peneliti, pernyataannya
adalah sebagai berikut:
“Ada peningkatan, contohnya awalnya kita cuma ada rumah singgah itu yang di belakang, sekarang kita sudah bangun juga RPS ya, rumah perlindungan sosial itu yang sementara ini sekarang di isi sama lansia” (Wawancara, Rabu 4 Juni 2018 pukul 10:00 WIB. Di kantor Dinas Sosial Kota Tangerang)
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan di atas dapat diketahui
bahwa peningkatan terus dilakukan baik oleh Dinas Sosial maupun Satpol PP,
di mana Satpol PP pun melakukan peningkatan dengan cara menyesuaikan apa
yang terjadi di lapangan, begitu pun dengan Dinas Sosial yang awalnya hanya
memiliki fasilitas rumah singgah, namun saat ini sudah memiliki peningkatan
fasilitas berupa pengadaan rumah perlindungan sosial (RPS).
4.4. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian merupakan isi dari hasil analisis data dan
fakta yang peneliti dapatkan di lapangan kemudian disesuaikan dengan teori
yang peneliti gunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teori evaluasi menurut Nurcholis dalam bukunya yang berjudul
Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah yang menjelasan bahwa
102
evaluasi kebijakan merupakan penilaian secara menyeluruh terhadap input,
proses, output dan outcome. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian
dilapangan mengenai Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 5 Tahun 2012
Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di
Kota Tangerang ini belum berjalan dengan optimal. Hal tersebut dapat dilihat
dari hasil evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan melihat dari
aspek input, proses, output dan outcome. Di mana hasil dari obsevasi dan
wawancara yang telah dilakukan dalam penelitian ini, peneliti mendapat data-
data sebagai berikut:
1. Input (masukan)
Dimensi input atau masukan dari pelaksanaan peraturan daerah tersebut
dapat diketahui bahwa kapasitas sumber daya manusia dari Dinas Sosial sudah
dapat dikatakan cukup baik di mana personel yang ada sudah paham dan
mengerti apa-apa saja tugas yang harus mereka lakukan, dan juga personel yang
ada dibantu oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negri Sipil) dan juga Satpol PP
dalam menjalankan tugasnya, namun tetap masih memiliki kekurangan yaitu
masih belum memiliki instuktur untuk melakukan pelatihan sendiri. Dari sisi
Satpol PP yang juga merupakan salah satu implementor dalam peraturan daerah
ini, sumber daya manusia yang ada pun dapat dikatakan sudah terpenuhi, di
mana dalam pelaksanaan tugasnya juga dibantu oleh PPNS, dan di tiap tiap
kecamatan sebanyak tiga belas kecamatan yang ada di Kota Tangerang dijaga
oleh tramtib. Untuk personel yang berjaga sehari-hari, Satpol PP membagi
103
menjadi tiga shift, di mana shift pertama bertugas dari jam enam pagi sampai
dengan jam dua siang, shift kedua bertugas dari jam dua siang sampai jam
sepuluh malam, dan shift ketiga bertugas dari jam sepuluh malam sampai jam
enam pagi. Jumlah personel yang dikerahkan untuk tiap-tiap shift adalah dua
pleton untuk shift pertama dan kedua, dan satu pleton untuk shift ketiga, satu
pleton itu sendiri terdiri dari 46 orang. Dengan demikian, sumber daya manusia
penunjang berjalannya peraturan daerah ini dapat dikatakan sudah mencukupi
walaupun masih memiliki kekurangan yaitu untuk kegiatan pelatihan.
Kemudian untuk sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan peraturan
daerah ini masih memiliki banyak kekurangan, karena panti sosial dan balai
pelatihan yang menjadi aspek penting dalam pembinaan anak jalanan,
gelandangan, pengemis dan pengamen ini masih belum tersedia. Tidak
tersedianya panti sosial sendiri dikarenakan tidak adanya kewenangan untuk
membangun panti sosial di tingkat kota. Dengan tidak adanya fasilitas
pendukung untuk melakukan pembinaan ini, untuk kegiatan pembinaan atau
pelatihan itu sendiri dilakukan dengan cara menitipkan mereka-mereka yang
terjaring razia ke tempat pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi Banten yang
terletak di Rangkas.
Sosialisasi merupakan hal yang sangat penting dilakukan baik kepada
sasaran kebijakan maupun warga masyarakat agar peraturan daerah yang di
implementasikan diketahui oleh publik, terlebih terdapat pasal yang mengatur
104
tentang larangan yang ditujukan kepada warga masyarakat. Sampai saat ini
bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial terkait peraturan daerah ini
adalah dengan cara memasang reklame yang berisikan bentuk larangan dan
sanksi yang dapat dikenakan kepada warga masyarakat apabila memberi kepada
mereka di jalanan. Selain kepada warga masyarakat, penyuluhan pun diberikan
kepada sasaran kebijakan, yaitu anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen itu sendiri, yang dilakukan pada saat mereka terjaring razia.
Kemudian sosialisasi juga di lakukan kepada kepala seksi tingkat kecamatan
yang dilakukan pada saat ada kegiatan di kecamatan yang kemudian kepala
seksi-kepala seksi yang ada dikumpulkan untuk diberikan penyuluhan
mengenai apa-apa saja yang peran yang dapat mereka ambil.
Berdasarkan hasil evaluasi input dari Peraturan Daerah Kota Tangerang
Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan,
Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang. Dari aspek sumber daya manusia
dapat dikatakan mencukupi walaupun masih memiliki kekurangan instruktur
untuk kegiatan pelatihan. Sarana dan prasarana penunjang jalannya peraturan
daerah ini masih memiliki kekurangan yaitu dari segi fasilitas penunjang
pembinaannya itu sendiri, di mana tidak tersedianya balai pelatihan ataupun
panti sosial. Dari aspek sosialisasi, sosialisasi dilakukan oleh pihak Dinas
Sosial dengan cara memasang papan reklame berupa himbauan untuk tidak
memberi disertai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada warga masyarakat
105
apabila kedapatan memberi uang di jalanan, reklame ini ditempatkan di titik-
titik yang biasanya banyak dijadikan tempat kegiatan anak jalanan, pengemis
ataupun pengamen.
Tabel 4.3
Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Input
No Dimensi Sub Dimensi Hasil Temuan Lapangan
1 Input (Masukan)
Sumber Daya
Manusia
Dinas Sosial belum memiliki instruktur untuk melakukan pelatihan.
Satpol PP membagi 3 shift untuk melakukan pengawasan, setiap shift menurunkan 2 pleton dan 1 pleton terdiri dari 46 orang
Sarana dan
Prasarana
Dinas Sosial masih memiliki kekurangan, tidak memiliki balai pelatihan maupun panti sosial
Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan dengan menempatkan reklame di jalan-jalan protokol
2. Proses
Dimensi proses dalam pelaksanaan peraturan daerah tersebut dapat
diketahui bahwa mekanisme dan peraturan daerah mengenai pembinaan anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen ini sudah jelas, dalam
106
pelaksanaannya pun sudah mengikuti SOP yang ada, tetapi kegiatan
pembinaannya itu sendiri tidak dilakukan oleh Dinas Sosial, tetapi dititipkan
kepada balai pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi Banten atau ke Panti Sosial
Bina Karya milik Kementrian Sosial.
Kemudian pelayanan yang diberikan kepada sasaran pembinaan berupa
kegiatan pendampingan untuk mengikuti proses pembinaan atau pelatihan dan
pendampingan setelah pelatihan untuk menerapkan keahlian yang telah
didapatkan dari proses pelatihan dan menjalankan usaha sesuai keahlian yang
telah mereka dapat. Sedangkan kepastian dalam waktu pelaksanaan peraturan
daerah tersebut, kegiatan pengawasan di jalan oleh Satpol PP dilakukan setiap
hari sedangkan kegiatan razia gabungan dilakukan sebanyak empat kali dalam
satu bulan. Untuk kegiatan pelatihannya sendiri tidak memiliki kepastian waktu
dikarenakan harus menunggu jadwal program pelatihan dari Dinas Sosial
Provinsi dan juga tergantung dengan jenis kegiatan pelatihan yang berlangsung
dengan minat dari sasaran pembinaan.
Proses penertiban yang seharusnya dilakukan ternyata sama sekali belum
berjalan, sanksi-sanksi yang tercantum di peraturan daerah tersebut belum di
implementasikan, sampai saat ini penertiban yang dilakukan oleh Dinas Sosial
maupun Satpol PP memang belum dilakukan, upaya-upaya yang dilakukan agar
masyarakat tidak lagi memberi uang dijalan juga hampir tidak ada, penertiban
berupa teguran dan penindakan terhadap masyarakat yang melanggar pun
hampir tidak ada dan hanya mengharapkan kesadaran dari warga masyarakat.
107
Selain itu, sanksi kepada oknum yang melakukan eksploitasi juga baru bisa
dijatuhkan apabila terjadi operasi tangkap tangan, sementara itu berdasarkan
pemaparan dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja pun belum berhasil
mendapati aktivitas tersebut, penerapan sanksi yang tertulis di dalam Peraturan
Daerah nomor 5 tahun 2012 tersebut memang belum diterapkan baik oleh Dinas
Sosial, Satpol PP maupun PPNS, sehingga fungsi penertiban belum berjalan
dengan optimal.
Berdasarkan dari hasil evaluasi proses pelaksanaan pembinaan anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Tangerang bahwa
dalam pelaksanaan kegiatan razia yang dilakukan oleh Satpol PP, bisa
dikatakan efektif setelah dilakukan perubahan cara pelaksanaan razia itu
sendiri. Sedangkan dari segi pelatihan dan/atau pembinaan yang dilakukan oleh
Dinas Sosial dapat dikatakan efektif dari segi jumlah mereka yang kembali
turun ke jalan-jalan protokol di Kota Tangerang, namun hal ini terjadi bukan
karena berhasil mengubah profesi dari mereka yang biasa turun ke jalan,
melainkan karena pindahnya PMKS yang pada awalnya beroperasi di jalan
protokol di Kota Tangerang. Keberhasilan dari pelaksanaan pelatihan itu sendiri
hanya berkisar di angka tiga puluh persen dari keseluruhan yang mengikuti
pelatihan tersebut, jadi dari segi ke-efektifan pelaksanaan peraturan daerah ini
masih belum optimal.
108
Tabel 4.4
Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Proses
No Dimensi Sub Dimensi Hasil Temuan Lapangan
1
Proses
(Pelaksanaan)
Kejelasan
mekanisme
Mekanisme sudah jelas, dijalankan sesuai SOP
Untuk kegiatan pelatihan dititipkan ke balai pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi dikarenakan Dinas Sosial Kota Tangerang belum memiliki balai pelatihan.
Pelayanan
Pelayanan berupa pendampingan kepada PMKS untuk melakukan pelatihan
Kepastian
Pengawasan oleh Satpol PP dilakukan setiap hari
Razia gabungan oleh Satpol PP dan Dinas Sosial dilakukan 4 kali dalam satu bulan
Penertiban
Penertiban dilakukan hanya sebatas razia
Penerapan sanksi belum diterapkan
Keefektifan Masih belum optimal
3. Output (hasil)
Output atau hasil dari pelaksanaan peraturan daerah mengenai pembinaan
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Tangerang dapat
109
di ketahui bahwa dalam proses pelaksanaan ini dapat dikatakan belum sesuai
dengan tujuan dari apa yang diharapkan peraturan daerah tersebut, namun
Dinas Sosial sebagai implementor menargetkan untuk bersihnya anak jalanan,
pengemis dan pengamen dijalan-jalan protokol. Kegiatan pembinaan anak
jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen ini dapat dikatakan sudah tepat
sasaran karena dari kebijakan ini sendiri sudah jelas kegiatan pelaksanaan
pembinaan tersebut ditargetkan untuk anak jalanan, gelandangan, pengemis dan
pengamen.
Kelanjutan dari sasaran kebijakan yang telah menerima pelatihan
dikembalikan lagi kepada Dinas Sosial, setelah pelatihan dilaksanakan mereka
menerima peralatan penunjang sesuai dengan kegiatan pelatihan apa yang
mereka ikuti, selanjutnya Dinas Sosial melakukan monitoring, pengawasan
terhadap mereka yang sedang memulai usaha sesuai dengan keahlian yang
mereka dapatkan dari pelatihan, dan apabila usaha tersebut berjalan, maka
Dinas Sosial akan mengusulkan kepada kementrian sosial untuk mendapatkan
bantuan secara finansial.
110
Tabel 4.5
Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Output
No Dimensi Sub Dimensi Hasil Temuan Lapangan
1 Output (Hasil)
Kesesuaian
dengan tujuan
Masih belum sesuai dengan tujuan dari peraturan daerah karena masih terdapat PMKS yang turun ke jalan
Ketepatan
sasaran
Sudah tepat dengan sasaran
Sasaran yang
tertangani
Pihak Dinas Sosial masih melakukan monitoring kepada PMKS yang telah mengikuti pelatihan
Kelompok yang
terlibat
Dinas Sosial Satpol PP PPNS
4. Outcome (dampak)
Outcome atau dampak nyata yang ditimbulkan dari pelaksanaan
pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen ini dapat
diketahui bahwa terdapat perubahan terhadap sekitar tiga puluh persen dari
sasaran kebijakan yang telah melalui proses pelatihan, mereka biasanya tidak
lagi turun ke jalan, beralih profesi, menerapkan apa yang telah mereka dapat
dari pelatihan, bahkan mereka mengajak teman-teman mereka yang masih di
jalan untuk ikut membantu menjalankan usaha yang dijalankan. Namun tidak
semua dari mereka yang ikut pelatihan berubah dalam artian beralih profesi dan
111
tidak lagi turun ke jalan, karena ada dari mereka yang mengikuti pelatihan
hanya karena terpaksa dan sebagai alasan agar dibebaskan.
Dampak lain dari pelaksanaan peraturan daerah mengenai pembinaan
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen adalah peningkatan
pelaksanaan dari implementor, dari sisi Satpol PP melakukan peningkatan
untuk mengefektifkan proses razia dengan melakukan penyesuaian dengan
keadaan di lapangan. Di sisi lain, pihak Dinas Sosial pun terus melakukan
peningkatan untuk mewujudkan visi misi dari Kota Tangerang, yang awalnya
hanya memiliki fasilitas rumah singgah, namun saat ini sudah memiliki
peningkatan fasilitas berupa pengadaan rumah perlindungan sosial (RPS) yang
pada saat ini difungsikan untuk lansia.
Tabel 4.6
Hasil Temuan Lapangan Atas Dimensi Outcome
No Dimensi Sub Dimensi Hasil Temuan Lapangan
1 Input (Masukan)
Perubahan atau
perbaikan
Mereka yang telah mengikuti pelatihan tidak lagi turun ke jalan di daerah Kota Tangerang dan menerapkan hasil dari pelatihan
Yang tidak menerapkan hasil dari pelatihan, pindah ke Kota lain dan meneruskan kegiatan di jalanan
112
Dampak positif
terhadap
implementor
Dinas Sosial memiliki peningkatan fasilitas berupa pengadaan Rumah Perlindungan Sosial (RPS)
Satpol PP mengubah proses tata cara razia dengan menyesuaikan keadaan dilapangan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dengan menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Nurcholis dengan keempat skema umum penilaian yang telah
dipaparkan di atas, dapat memberikan informasi bahwa dalam pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Tangerang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,
Gelandangan, Pengemis dan Pengamen ini yang telah dijalankan oleh pihak Dinas
Sosial maupun Satpol PP sebagai implementor masih belum berjalan dengan optimal.
113
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
maka kesimpulan akhir penelitian mengenai Evaluasi Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen dapat dikatakan belum berjalan dengan optimal. Hal tersebut
dikarenakan masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan pembinaan
anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Kekurangan tersebut ada
pada input kebijakan sehingga mempengaruhi proses dari pelaksanaan kebijakan
tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan pada dimensi input, pada aspek sumber daya
manusia dalam pelaksanaan kebijakan, sudah dapat dikatakan mencukupi namun
masih memiliki kekurangan, kapasitas sumber daya manusia dari Satpol PP
maupun Dinas Sosial sudah dapat dikatakan cukup dalam hal kuantitas, Satpol PP
sendiri sebagai garis depan yang bertanggung jawab dalam kegiatan razia,
memiliki tiga shift untuk berjaga, dimana shift pagi dan sore mengerahkan dua
pleton, dan pada shift malam satu pleton, dalam satu pleton terdiri dari 46 orang
dari sisi Dinas Sosial masih memiliki kekurangan yaitu kekurangan instruktur
tenaga pelatihan.
114
Pada aspek sarana dan prasarana, dengan tidak adanya kewenangan untuk
membangun panti sosial pada tingkat kota, fasilitas pendukung pelaksanaan
kebijakan mengenai pembinaan ini dapat dikatakan belum mencukupi. Saat ini
Dinas Sosial hanya memiliki fasilitas rumah singgah dan rumah perlindungan
sosial, rumah perlindungan sosial sendiri saat ini hanya diperuntukan kepada
lansia, berkaitan dengan aspek sumber daya, dikarenakan tidak adanya instruktur
pelatih, Dinas Sosial juga belum memiliki balai pelatihan sendiri.
Untuk sosialisasi, kegiatan sosialisasi kepada sasaran kebijakan, dilakukan
dengan penyuluhan pada saat sasaran kebijakan tersebut telah terjaring razia,
sementara untuk sosialisasi langsung yang turun kepada masyarakat memang
tidak dilakukan, sosialisasi kepada masyarakat dilakukan dengan cara memasang
reklame di titik-titik lampu merah yang berisikan pasal larangan untuk memberi
uang kepada anak jalanan, pengemis dan pengamen dijalanan.
Kedua, berdasarkan pada dimensi proses, untuk mekanisme pelaksanaan
kebijakan ini sudah cukup jelas, mulai dari kegiatan razia, pendataan, dan
dititipkan pada balai pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi atau pada Panti Sosial
Bina Karya milik Kementrian Sosial. Untuk waktu pelaksanaannya kegiatan
pembinaan atau pelatihan itu sendiri masih dapat dikatakan belum efisien, hal ini
dikarenakan kegiatan pelatihan yang berlangsung belum tentu sesuai dengan
minat dari sasaran pembinaan yang terdapat di Kota Tangerang. Proses penertiban
kebijakan ini juga belum berjalan, pasal-pasal sanksi yang tercantum di peraturan
daerah ini belum di implementasikan, sampai saat ini juga belum ada upaya atau
tindakan yang dilakukan oleh Dinas Sosial maupun Satpol PP untuk menerapkan
115
sanksi yang berlaku. Untuk ke-efektifan sendiri, setelah dilakukan razia gabungan
rutin empat kali satu bulan dan kegiatan pelatihan, mereka-mereka yang
beraktivitas di jalan memang berkurang, namun efektifitas dari kegiatan pelatihan
itu sendiri, dari seluruh peserta yang mengikuti pelatihan, sekitar tiga puluh persen
yang usahanya terus berjalan.
Ketiga, berdasarkan dimensi output pelaksanaan, hasil dari proses
pelaksanaan kebijakan ini sendiri masih belum sesuai dengan tujuan yang
tercantum pada peraturan daerah itu sendiri, masih dikatakan belum berhasil
karena masih terdapat mereka-mereka yang turun ke jalan, Dinas Sosial sendiri
sebagai implementor menargetkan untuk bersihnya anak jalanan, pengemis, dan
pengamen di jalan protokol dalam artian mereka tidak lagi melakukan kegiatan
dijalan-jalan protokol. Kelanjutan dari sasaran kebijakan yang telah menerima
pelatihan dan membuka usaha sesuai keahlian yang didapat, masih terus di
monitor dan diberi pengawasan oleh Dinas Sosial, yang apabila usaha tersebut
berjalan, Dinas Sosial akan mengusulkan kepada kementrian untuk mendapatkan
bantuan secara finansial.
Keempat, berdasarkan dimensi outcome, hasil dari kegiatan pelatihan
tersebut diketahui dapat memberikan perubahan terhadap sekitar tiga puluh persen
dari peserta yang mengikuti pelatihan, di mana setelah mendapat pelatihan,
mereka tidak lagi turun ke jalan dan beralih profesi menjalankan keahlian yang
mereka dapat dari kegiatan pelatihan.
116
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang Evaluasi Implementasi Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan,
Pengemis dan Pengamen di Kota Tangerang, peneliti memberikan beberapa saran
yang dapat dijadikan referensi untuk mengoptimalkan pelaksanaan dari peraturan
daerah tersebut. Adapun saran tersebut yaitu :
1. Dinas Sosial Kota Tangerang perlu melakukan pengadaan instruktur
untuk kegiatan pelatihan untuk mendukung kegiatan pelatihan agar
kegiatan pelatihan dapat berjalan lebih efisien karena dapat dilakukan
sendiri oleh Dinas Sosial Kota Tangerang tanpa harus menitipkan pada
balai pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi
2. Dinas Sosial Kota Tangerang perlu menyediakan fasilitas balai
pelatihan untuk mendukung kegiatan pelatihan agar kegiatan pelatihan
dapat berjalan lebih efisien karena dapat dilakukan sendiri oleh Dinas
Sosial Kota Tangerang tanpa harus menitipkan pada balai pelatihan
milik Dinas Sosial Provinsi.
3. Dinas Sosial maupun Satpol PP perlu melakukan pengawasan di
lapangan untuk menindak lanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam peraturan daerah.
4. Dinas Sosial maupun Satpol PP perlu melakukan penindakan teguran
sebagai upaya menindak lanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
sesuai dengan apa yang disebutkan didalam peraturan daerah.
117
5. Perlu adanya koordinasi atau kerjasama dengan pihak kepolisian dalam
melakukan penindakan dan pemberian sanksi sebagai mana yang sudah
disebutkan di dalam peraturan daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abidin, zainal said. 2012. Kebijakan publik edisi 2. Jakarta : Salemba Humanika.
Agustino, leo. 2006. Dasar-dasar kebijakan publik. Bandung : Alfabeta.
. 2006. Politik dan kebijakan publik. Bandung : AIPI.
Herlina, Apong dkk. 2003. Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Harapan Prima.
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
. 2014. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah.Jakarta: Gramedia.
Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Utama.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Subarsono. 2012. Analisis kebijakan publik : konsep teori dan aplikasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2007. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D.
Bandung:Alfabeta.
. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:Alfabeta.
Wahab, Abdul Solihin. 2012. Analisis Kebijakan Publik Dari Formulasi ke
Penysunan Model-model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT.Bumi
Aksara.
Jurnal Skripsi :
Widiyatmoko,Yayang Muchamad. 2012. Evaluasi Penanganan Anak Jalanan di Kota
Cilegon. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa : Skripsi yang dipublikasikan.
Itsnaini, Mursyid. 2010. Pemberdayaan Anak Jalanan Oleh Rumah Singgah Kawah
di Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yoyakarta. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga : Skripsi yang dipublikasikan.
Dokumen :
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak
Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen.
Peraturan Walikota Tangerang Nomor 63 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Sosial
Sumber Lain :
Dewi, Ni Luh Putu Sintya. 2013. Menanggulangi Masalah Anak Jalanan. Diunduh
dari (http://indreamy.blogspot.com/2013/02/artikel-menanggulangi-masalah
anak.html) diunduh pada tanggal 20 Juni 2016.
Fitriyati, Nur. 2014. Fenomena Gelandangan dan Pengemis Serta
Penanggulangannya. (http://nurfitriyati.blogspot.co.id/2014/10/fenomena-
gelandangan-dan-pengemis-serta.html) diunduh pada tanggal 30 April 2016.
Tira. 2012. Gelandangan dan Pengemis Isu Permasalahan Sosial.Diunduh dari
(https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1496)
diunduh pada pada 5 April 2016