Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

45
RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA ! Evaluasi atas Rancangan APBN 2012 | | Abdul Waidl, Endah Sricahyani Sucipto, Yustinus Prastowo Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo Penulis Penyunting

description

Di tahun 2011, KAI bersama–sama dengan Yayasan Tifa meluncurkan Evaluasi Rancangan APBN 2012. Laporan evaluasi menjadi semacam “pidato tandingan” atas Pidato Presiden pada Penyampaian RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2012 beserta Nota Keuangannya di DPR 16 Agustus 2011 lalu. Secara ringkas laporan ini mengkritisi bahwa meski anggaran negara mencapai 1,4 Triliun rupiah (2012), namun anggaran untuk kesejahteraan sosial atau belanja sosial justru cenderung mandeg dan bahkan menurun; bersifat residual, remah–remah dan hanya terbatas bagi warga miskin. Selain itu, pada sisi tata kelola anggaran negara, Rancangan APBN 2012 tersebut masih saja belum dilindungi dengan sistem integritas demi mencegah salah urus, korupsi dan penyelewengan–penyelewengan anggaran lainnya.

Transcript of Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Page 1: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF

DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK

SEMUA WARGA NEGARA !

Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

|

|

Abdul Waidl, Endah Sricahyani Sucipto, Yustinus Prastowo

Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo

Penulis

Penyunting

Page 2: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL,

BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA !

Page 3: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Sangsi Pelanggaran

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1

(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu-Juta-Rupiah), atau pidana penjara paling

lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu

Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

ii

Page 4: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL,BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA !

Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Oleh :

Komisi Anggaran Independen (KAI)

Abdul Waidl, Endah Sricahyani Yustinus Prastowo

Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo

||

Penulis

Penyunting

Sucipto,

Page 5: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

RAPBN 2012 masih konservatif dan residual, belum untuk semua

warga negara ! evaluasi atas rancangan APBN 2012

/ penyunting: Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo

--- Jakarta : Yayasan Tifa, 2011

35 halaman+vi ; 25,5x18 cm2

ISBN 978-979-16226-8-4

Cetakan Pertama, November 2011

Penerbit Yayasan Tifa Jakarta - Indonesia

Jln. Jaya Mandala II / 14E Menteng Dalam

Jakarta Selatan 12870

Telp. (021) 829-2776, Fax (021) 837-83648

e-mail : [email protected]

Diterbitkan atas kerjasama dengan Komisi Anggaran Independen (KAI)

Desain tata letak dan perwajahan : Ayoenk

iv

Page 6: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR vii

Sekilas Tentang Komisi Anggaran Independen ( KAI ) 1

Pengantar: 3

I.

9

Ringkasan Eksekutif

Pajak yang Konservatif:Pajak Tanpa Partisipasi Publik

II.

15

III.

19

IV.

29

Tentang Para Penulis dan Editor 35

Beban Berat Belanja Pegawai:Kapan APBN Untuk Semua?

Alokasi Belanja Sosial Residual:Mengorbankan Kaum Perempuan dan Anak

Beban Utang:Memperkecil Kesejahteraan Masyarakat

v

Page 7: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Komisioner :

Badan Pengawas :

Konstituen :

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

Ah Maftuchan

Abdul Ghofur

Binny Buchori

Dadang Trisasongko

Danang Widoyoko

Ibrahim Fahmy Badoh

KH Masdar F Masudi

Masruchah

Prasetyantoko

Sugeng Bahagijo

Teten Masduki

Yuna Farhan

Yanuar Rizky

Zoemrotin K. Susilo

Fitri Sunarto

Ridaya Laodengkowe

Setyo Budiantoro

IBC, ICW, Lakpesdam NU, LAPAM,

Perkumpulan Prakarsa, P3M, PWYP,

Seknas FITRA

Contact Persons :

Abdul Waidl

Mickael B. Hoelman

Sekretaris JenderalKomisi Anggaran Independen

Pengelola Program Demokrasi danTata Pemerintahan, Yayasan Tifa

d/a Perhimpunan Pengembangan Pesantren

dan Masyarakat (P3M)

Jln. Cililitan Kecil III/ 12 - Kramatjati, Jakarta Timur

HP : +62-815-9878729

Email : [email protected]

Jl. Jaya Mandala II No. 14 E

Menteng Dalam, Jakarta Selatan 12870

Email : [email protected]

Komisi Anggaran Independen

vi

Page 8: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Sejak 2009 lalu, Yayasan Tifa bersama–sama dengan Perkumpulan Prakarsa dan beberapa

lembaga organisasi non–pemerintah yang peduli masalah anggaran, tata pemerintahan dan

kesejahteraan sosial menginisiasi lahirnya Komisi Anggaran Independen (KAI). Ide komisi

independen ini berangkat dari beberapa upaya yang telah dirintis sebelumnya baik lewat

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun

melalui forum–forum lainnya. Inisiasi komisi independen juga dilatarbelakangi

oleh ketiadaan alternatif wacana, pendapat bahkan perdebatan di setiap pembahasan

Rancangan APBN maupun manakala presiden sebagai kepala pemerintahan melaporkan

kinerja anggaran kabinetnya kepada sidang para wakil rakyat di DPR. Di satu sisi,

mandegnya fungsi pengawasan di parlemen telah membuat pembahasan anggaran lebih

banyak didominasi oleh pertimbangan kepentingan politik ketimbang kesejahteraan untuk

seluruh warga yang diwakilinya, sementara di lain sisi terlalu ekspansifnya perhatian

berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan lembaga–lembaga swadaya

masyarakat sipil untuk “terjun” ke daerah telah membuat politik anggaran nasional

seolah–olah sepi dari perhatian bahkan kritik.

Kelahiran KAI sebagai komisi independen karenanya juga tidak luput dilepaskan dari

keinginan besar meluruskan setir politik anggaran kepada orang banyak, kaum biasa, ibu

bapak, tua muda warga negara Indonesia. Sudah semestinya peningkatan jumlah anggaran

negara dalam kurun waktu satu dekade terakhir hendaknya diimbangi oleh perbaikan

kualitas hidup warga negara setidaknya untuk sekedar menikmati barang publik seperti

pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, pendapatan hingga perlindungan pensiun yang

layak. Sebagai sebuah entitas yang independen dari kepentingan–kepentingan politik,

komisi ini bekerja dengan semua pihak dan pemangku kepentingan yang memiliki tujuan

dan kepedulian yang sama dalam memperbaiki anggaran negara dan mewujudkan

anggaran negara yang mampu menyejahterakan warga.

Sejak 2010, secara berkala KAI memberikan laporan evaluasi kritis kepada publik atas

kinerja anggaran negara. Pada tahun itu juga, KAI meluncurkan Laporan Tahunan atas

APBN 2010. Laporan ini secara khusus menyoroti masih elitisnya anggaran negara dan

minimnya perhatian dan akuntabilitas anggaran kepada warga negara. Di tahun ini, sebuah

laporan kembali diluncurkan oleh KAI bersama–sama dengan Yayasan Tifa atas Evaluasi

Rancangan APBN 2012. Laporan evaluasi menjadi semacam “pidato tandingan” atas Pidato

Presiden pada Penyampaian RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2012 beserta Nota

Keuangannya di DPR 16 Agustus 2011 lalu. Secara ringkas laporan yang ada di hadapan

saudara ini mengkritisi bahwa meski anggaran negara semakin membelendung hingga

mencapai 1,4 Triliun rupiah (2012), namun anggaran untuk kesejahteraan sosial atau

belanja sosial justru cenderung mandeg dan bahkan menurun; bersifat residual,

remah–remah dan hanya terbatas bagi warga miskin. Selain itu, pada sisi tata kelola

anggaran negara, Rancangan APBN 2012 tersebut masih saja belum dilindungi dengan

sistem integritas demi mencegah salah urus, korupsi dan penyelewengan–penyelewengan

anggaran lainnya.

ad–hoc

KATA PENGANTAR

vii

Page 9: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Masih banyak catatan kritis dan rekomendasi perbaikan yang dicermati serta diusulkan di

dalam laporan KAI ini. Dalam kaitan itu, Yayasan Tifa memberikan apresiasi kepada

seluruh komisioner Komisi Anggaran Independen, lembaga–lembaga anggotanya dan para

pihak lain yang terkait di dalam proses penyusunan laporan ini. Kami berharap upaya ini

dapat terus berjalan, tersebarluaskan serta mendorong perhatian lebih besar dari

masyarakat sipil terhadap penilaian kinerja pemerintahnya. Secara khusus, harapan kami

penilaian–penilaian tersebut dapat berkembang lebih maju, yakni memberikan dukungan

pemecahan masalah bagi para perumus dan pengambil kebijakan. Akhir kata, mewakili

Yayasan Tifa perkenankan saya mengucapkan selamat membaca laporan ini.

Mickael B. HoelmanPengelola Program

Demokrasi dan Tata Pemerintahan

Yayasan Tifa

viii

Page 10: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Komisi Anggaran Independen (KAI) merupakan sebuah komisi yang dibentuk dan

beranggotakan unsur-unsur individu serta kelompok masyarakat sipil untuk

memperjuangkan amanat konstitusi, khususnya Pasal 26h tentang hak setiap orang

untuk hidup sejahtera serta pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial budaya seperti yang

termaktub dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 11 Tahun 2005

tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya melalui

praktik tata kelola anggaran Negara yang pro rakyat miskin, terbuka dan bertanggung

gugat.

Terbentuknya KAI diawali dengan keberadaan Kelompok Kerja (Pokja) KAI yang

didirikan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 2009 dalam acara Lokakarya Nasional

Pertama Komisi Anggaran Independen yang diselenggarakan oleh Perkumpulan

Prakarsa. Pokja merupakan perkumpulan atau koalisi organisasi-organisasi non

pemerintah yang membentuk dan mendukung kerja-kerja Komisi Anggaran

Independen. Beberapa organisasi pemrakarsa itu diantaranya ; Perkumpulan Prakarsa,

Seknas FITRA, Publish What You Pay, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat, Indonesia Corruption Watch, Lakpesdam NU, Lembaga Advokasi

Pendidikan Anak Marginal serta Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia.

Sebagai sebuah entitas yang independen dari kepentingan-kepentingan partai politik

tertentu, komisi ini bekerja dengan seluruh pihak dan para pemangku kepentingan

yang memiliki tujuan dan kepedulian yang sama dalam memperbaiki tata kelola

anggaran negara dan mewujudkan anggaran negara yang mampu menyejahterakan

warga. Secara berkala, Komisi Anggaran Independen memberikan laporan kepada

publik tentang berbagai upaya yang telah dilakukan, capaian yang dihasilkan serta

sumber daya yang telah digunakan.

Inisiasi Komisi Anggaran Independen (KAI) berpijak dari beberapa hal:

1. Bahwa anggaran belanja negara masih dikelola dengan buruk. Di satu sisi,

peningkatan besaran anggaran belum membawa perubahan yang signifikan dalam

belanja sosial bagi peningkatan kesejahteraan warga, misalnya saja pemenuhan

hak kesehatan. Di sisi lain, belanja pegawai, birokrat dan pejabat publik justru

meningkat pesat. Ini dapat dilihat pada belanja pegawai dalam APBN 2010 yang

telah melampaui besaran Belanja Subsidi.

Sekilas tentang

Komisi Anggaran Independen ( KAI )

1

Page 11: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

2. Menyikapi permasalahan tersebut, muncul sebuah kebutuhan nyata untuk lebih

mengoptimalkan peran kelompok masyarakat sipil guna mendorong tata kelola

anggaran yang lebih baik dan menyejahterakan warga. Masih buruknya tata

kelola anggaran menunjukkan bahwa sinergi dalam kerjasama beragam kelompok

tersebut harus ditingkatkan.

3. Sinergi kerja dan koherensi agenda karenanya sangat penting untuk

memampukan masyarakat sipil memanfaatkan peluang-peluang politik yang ada

guna membangun aliansi strategis dengan para pemangku kepentingan kunci

dalam reformasi tata kelola anggaran.

Sejak tahun 2009, guna mewujudkan upaya perbaikan tata kelola anggaran tersebut,

Komisi Anggaran Independen bekerja melalui dukungan Yayasan Tifa. Didirikan satu

dasawarsa yang lalu, Yayasan Tifa bekerja untuk mempromosikan masyarakat terbuka

di Indonesia; suatu masyarakat yang menghargai keberagaman, menjunjung tinggi

aturan hukum, keadilan dan kesetaraan. Suatu komunitas dimana warganegara,

pemerintah dan bisnis mendukung hak–hak individu, dan terutama hak–hak dan

pandangan perempuan, kaum minoritas dan masyarakat terpinggirkan lainnya, serta

memupuk solidaritas, dan tata pemerintahan yang baik. Yayasan Tifa melaksanakan

misinya ini melalui dan bersama dengan masyarakat sipil.

2 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Page 12: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Ciri–ciri utama Rancangan APBN 2012

?

?

Rancangan APBN 2012 semakin raksasa dan lebih dari cukup untuk membangun

Indonesia.

Rancangan APBN 2012 masih bertumpu pada kebijakan pajak konservatif,

dimana penerimaan pajak rendah dengan sistem perpajakan yang masih belum

adil.

Besaran nominal belanja APBN 2012 dirancang berjumlah 1.418,497 Triliun

rupiah.Angka ini sangat menjanjikan,JIKA, pemerintah memiliki kemauan untuk

menaikkan derajat kesejahteraan dan keadilan pembangunan bagi rakyatnya.

Persentase penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia masih berada di

bawah Malaysia dan Thailand yang telah mencapai di atas 16 % PDB, Korea Selatan 24

%, atau tax ratio terendah anggota OECD, yakni Meksiko yang sebesar 17 %. Rata–rata

tax ratio negara anggota OECD telah mencapai 34 % PDB. Untuk menjadi negara maju

(developed country), Indonesia setidaknya memerlukan tax ratio sebesar 25–30% PDB

atau jika mengacu UN Millenium Project dibutuhkan tax ratio 24% PDB.

PENGANTAR

Ringkasan Eksekutif

Grafik 1. Perbandingan Penerimaan Pajak dan Jenis Pajak

terhadap Produk Domestik Bruto

12,25 12,4213,30

11,0311,88 11,98

6,23 6,036,62

5,65 5,79 5,91

3,71 3,91 4,243,45

4,19 4,41

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Penerimaan Pajak (tax ratio) PPh PPN

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah

? Alokasi anggaran Belanja Pegawai pada Rancangan APBN 2012 semakin

membelendung dan berpeluang membatasi Belanja Modal. Di tingkat Pusat, pada

tahun 2006 alokasi untuk Belanja Pegawai sebesar 73,252 Triliun rupiah. Enam tahun

kemudian alokasi untuk Belanja Pegawai membelendung hingga mencapai angka

215,725 Triliun rupiah. Sementara Belanja Modal, masing–masing hanya sebesar 54,952

Triliun rupiah (2006) dan 168,126 Triliun rupiah (2012).

3

Rin

gkasan Ekseku

tif

Page 13: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Grafik 2. Perbandingan Belanja Modal dan Belanja Pegawai

Sumber : Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012

54.952 64.289 72.773 75.871 80.287

140.953

168.12673.252

90.425112.829

127.669148.078

182.874

215.725

(18.300)(26.136)

(40.057)(51.798)

(67.791)

(41.922)

(47.599)

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

400.000

450.000

2006 (LKPP) 2007 (LKPP) 2008 (LKPP) 2009 (LKPP) 2010 (LKPP) 2011 (APBNP) 2012 (RAPBN)

Belanja Modal Belanja Pegawai Selisih

Tril

iun

Ru

pia

h

?

.

Anggaran untuk Kesejahteraan Sosial atau Belanja Sosial cenderung mandeg dan

menurun Lagipula, besaran anggaran yang dialokasikan hanya dana sisa yang ada;

bersifat residual, remah–remah dan terbatas bagi warga miskin. Dalam Rancangan APBN

2012, anggaran kesejahteraan sosial (KESOS) hanya dialokasikan sebesar Rp 73,16

Triliun (5,16%) yang disebarkan di berbagai program dan sektor. Angka ini jauh lebih

kecil bila dibandingkan dengan anggaran belanja pegawai. Alokasi terbesar belanja

sosial terdapat di lima program utama, yaitu: Bantuan Operasional Sekolah/ BOS (Rp

23,6 Triliun), Beras Miskin/ RASKIN (Rp 15,6 Triliun), Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat/ PNPM Mandiri (Rp 12,3 Triliun), Jaminan Kesehatan Masyarakat/

JAMKESMAS (Rp 5,9 Triliun) serta Program Keluarga Harapan/ PKH (Rp 2,1 Triliun).

Grafik 3. Trend Persentase Anggaran Kesejahteraan Sosial

2,96%

3,39%

1,10%

1,89% 1,86%

1,35%

1,66%

1,31%1,43%

0,84%

1,39%

1,09%1,32%

1,10%

0,91%

0,76%1,01%

1,14% 1,07%

0,87%

0%

1%

1%

2%

2%

3%

3%

4%

4%

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

BOS RASKIN BENCANA ALAM JAMKESMAS BEASISWA SLT/BLT/PKH PNPM KESEJAHTERAAN PETANI

Sumber : DIPA/RKA KL tahun 2006 - 2012

4 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Rin

gkas

an E

ksek

uti

f

Page 14: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

? Beban Pembayaran Utang semakin berat. Dalam Rancangan APBN 2012, total

pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri dianggarkan sebesar 170 Triliun

(12% dari total belanja negara), posisinya jauh di atas belanja pemerintah pusat yang lain,

seperti pada fungsi perlindungan sosial (5,26 Triliun), lingkungan hidup (10,6 Triliun),

kesehatan (14,69 Triliun), perumahan dan fasilitas umum (26 Triliun), pertahanan (64,3

Triliun), pendidikan (95,6 Triliun) bahkan ekonomi (97,5 Triliun). Beban ini membuat

APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, jaminan kesehatan serta

akses pendidikan yang murah dan bermutu bagi warga.

? Rancangan APBN 2012 masih belum dilindungi dengan sistem integritas.

Penerimaan Pajak dan pelaksanaan penggunaannya masih saja diwarnai oleh

penyelewenangan, salah urus dan korupsi secara massif dalam kurun waktu lima tahun

terakhir. Pada Rancangan APBN 2012, belum nampak cara, sistem dan mekanisme baru

untuk mencegah dan mengurangi korupsi yang sistemik ini. Padahal, korupsi yang

massif berdampak tidak saja pada berkurangnya penerimaan APBN, akan tetapi juga

pada sisi realisasi anggaran dan efektivitas penggunaan anggaran yang rendah.

Sumber : Data Dirjen Pengelolaan Utang, diolah * Persentase atas Total Belanja Negara

Belanja Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012Bayar Utang LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P R-APBN

vs

Belanja Negara

Bayar Bunga Utang

Dalam Negeri

Luar Negeri

Cicilan Pokok UtangLuar Negeri

Total PembayaranBunga dan CicilanPokok Utang

667.128,7 757.649,9 985.730,7 937.382,1 1.042.117,2 1.320.751,3 1.418.497,7

79.082,6 79.806,4 88.429,8 93.782,1 88.383,2 106.583,8 123.072,0

54.908,3 54.079,4 59,887,0 63.755,9 61.480,6 76.613,7 89.357,7

24.174,3 25.727,0 28.542,8 30.026,2 26.902,7 29.970,1 33.714,3

52.681,1 57.922,5 63.435,3 68.031,1 50.632,5 47.234,7 47.260,1

(19,75%) (18,2%) (15,4%) (17,26%) (13,34%) (11,65%) (12%)

131.763,7 137.728,9 151.865,1 161.813,2 139.015,7 153.818,5 170.332,1

*

5KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Rin

gkasan Ekseku

tif

Tabel 1. Belanja Negara vs Belanja Utang (2006-2012)

( dalam Triliyun Rupiah )

Page 15: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

1.

Target perolehan pajak diharapkan setidaknya dapat sejajar dengan Malaysia dan

Thailand (16–17% PDB) dalam kurun waktu lima tahun mendatang untuk

kemandirian fiskal dan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan tersebut, KAI memandang

pentingnya dukungan politik terhadap otoritas perpajakan agar dapat melaksanakan

fungsi pemungutan pajak dengan baik. Kendala terbesar dalam pemungutan pajak

adalah ketersediaan data, informasi serta alat keterangan. Hal ini dapat diatasi

dengan kemauan politik untuk melakukan kerjasama dari seluruh penyelenggara

negara dan para pemangku kepentingan.

2.

Keterbukaan pemerintah dibutuhkan untuk

memudahkan pengawasan dan partisipasi warganegara. Pemerintah diharapkan

dapat menghitung dengan cermat jumlah potensi pajak dan kesenjangan pajak (tax

gap) yang sebenarnya. Hasil perhitungan setiap tahun harus terbuka bagi akses

publik.

3.

KAI mengusulkan penghentian remunerasi hingga pemerintah melaksanakan audit

dan penilaian kinerja, penyederhanaan kementerian dan kelembagaan (termasuk

lembaga non struktural) serta pembatasan maksimal alokasi belanja Pegawai di Pusat

dan Daerah sebesar 40 persen. Pemerintah juga harus segera menerbitkan regulasi

yang menetapkan rasio PNS dan reformulasi skema dana perimbangan yang

memberikan insentif bagi daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan

disinsentif bagi terjadinya pemekaran daerah baru.

4. Belanja sosial semestinya

dinaikkan jika Indonesia hendak menyelamatkan kaum perempuan dan anak–anak.

Kemiskinan dan kekerasan yang dialami oleh Jutaan kaum perempuan dan anak–anak

tidak bisa diatasi hanya dengan alokasi dan program yang sifatnya residual. Besaran

alokasi kesehatan dan pendidikan serta jaminan sosial harus setara dengan

negara–negara lain10–15% atau minimal 3%PDB. Dalam kaitan itu, sudah waktunya

bagi pemerintah untuk menyusun program–program pemberdayaan dan

perlindungan bagi perempuan dan anak–anak secara lebih nyata, komprehensif dan

berkelanJutan, sejajar dengan negara–negara berpendapatan menengah (middle

income countries) lainnya.

5.

KAI mengusulkan batas maksimal pembayaran beban utang dalam dan luar negeri

dengan ketentuan dan kriteria sebagai berikut: (a) tidak melebihi belanja sosial; (b)

tidak melebihi belanja modal dan barang (belanja pembangunan); dan (c) tidak

melebihi 1,5 persen PDB.

KAI merekomendasikan Pemerintah untuk menaikkan target penerimaan pajak.

KAI merekomendasikan Pemerintah dan DPR menetapkan transparansi target

dan realisasi penerimaan pajak.

KAI merekomendasikan moratorium dan regulasi baru atas Belanja Pegawai.

KAI merekomendasikan peningkatan Belanja Sosial.

KAI mendesak penghentian utang baru dan merekomendasikan Pemerintah dan

DPR untuk menetapkan batas maksimal pembayaran utang setiap tahun.

REKOMENDASI-REKOMENDASI

6 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Rin

gkas

an E

ksek

uti

f

Page 16: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

6.

Korupsi yang sistematis dan melembaga tidak akan dapat dikurangi

karena aktor pengguna anggaran (birokrasi dan elit politik) bertumpu kepada sistem,

tata cara dan mekanisme birokrasi yang kuno serta rawan penyalahgunaan. Selama 50

tahun lebih, birokrasi Indonesia belum pernah diaudit dan ditata ulang berdasarkan

penilaian yang terbaru. Audit juga diharapkan menghasilkan strategi dan arah bagi

reformasi birokrasi.

7.

Satu cara sederhana mencegah korupsi sistemik atas dana APBN 2012 mendatang

adalah dengan jalan membuka akses publik kepada setiap SPT pejabat publik.

Seluruh SPT pejabat publik harus dan wajib dibuka sejak SPT 2012/ 2013. Pejabat

publik yang dimaksud meliputi (a) anggota Badan Anggaran DPR; (b) Presiden, Wakil

Presiden, Ketua–ketua Fraksi di DPR dan Ketua Komisi di DPR; (c) Semua Pejabat

Eselon I dan II di seluruh kementerian dan lembaga; (d) Semua Gubernur, Bupati,

Walikota, Ketua DPRD di seluruh propinsi, kota dan kabupaten di Indonesia.

KAI merekomendasikan segera dilakukan audit kelembagaan dan kinerja oleh

KPK dan BPK guna memperoleh postur dan jumlah kementerian dan lembaga

yang tepat.

KAI merekomendasikan pembukaan akses publik terhadap SPT Pejabat Publik.

7KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Rin

gkasan Ekseku

tif

Page 17: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

8 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Rin

gkas

an E

ksek

uti

f

Page 18: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

1.

Penerimaan perpajakan rata–rata memberikan kontribusi sebesar 69,4% terhadap

penerimaan dalam negeri. Dalam APBN–P tahun 2011, penerimaan dalam negeri

diperkirakan mencapai Rp 1.165,3 Triliun atau meningkat sebesar 17,4 % bila

dibandingkan dengan realisasi tahun 2010. Penerimaan dalam negeri terutama

berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 878,7 Triliun (75,4 %), dan sisanya

berasal dari PNBP sebesar Rp 286,6 Triliun (24,6 %).

Penerimaan pajak belum optimal, tercermin dari rendahnya tax ratio.

BAGIAN PERTAMA

Pajak yang Konservatif :Pajak tanpa Partisipasi Publik

Kondisi Penerimaan Pajak

Secara nominal penerimaan pajak meningkat namun masih bersifat inkremental.

Persentase penerimaan pajak terhadap PDB ( ) tidak menunjukkan kenaikan

signifikan, dimana Rancangan APBN 2012 mematok 12,6%. Meskipun tidak dapat

dijadikan satu–satunya ukuran kinerja institusi perpajakan, dapat menjadi

petunjuk belum optimalnya pemungutan pajak di Indonesia. Artinya masih terdapat

cukup besar potensi pajak yang belum dapat dipungut. Sebagaimana tampak dalam

Tabel 1, selama enam tahun terakhir tidak pernah melampaui 14%, bahkan

mencapai angka tertinggi 13,3 % hanya pada tahun 2008 ketika

dilakukan. Angka Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand

yang telah melampaui 16 %, Korea Selatan 24 %, atau terendah anggota

OECD Meksiko sebesar 17 %. Rata–rata negara anggota OECD sendiri telah

tax ratio

tax ratio

tax ratio

sunset policy

tax ratio

tax ratio

tax ratio

Tabel 2. Perbandingan Penerimaan Pajak dan Jenis Pajak terhadap Produk Domestik Bruto

( dalam Triliyun Rupiah )

*) Angka Tax RatioSumber: Kementerian Keuangan

Uraian 2006 %PDB 2007 %PDB 2008 %PDB 2009 %PDB 2010 %PDB 2011 %PDB

PDB 3.340 3.950 4.952 5.614 6.253 7.006

Penerimaan Pajak 409 12,25 491 12,42 659 13,3 619 11,03 743 11,88 839 11,98

Pph 208 6,23 238 6,03 328 6,62 317 5,65 362 5,79 414 5,91

PPN 124 3,71 155 3,91 201 4,24 194 3,45 262 4,19 309 4,41

*

9

Pajak yan

g Ko

nservatif; P

ajak tanp

a Partisip

asi Pu

blik

Page 19: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Besarnya penerimaan PPh Pasal 21 dibandingkan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi juga

menunjukkan belum optimalnya pemungutan pajak karena PPh Pasal 21 didukung

mekanisme pemotongan ( ) oleh pemberi kerja sedangkan PPh Pasal

25/29 Orang Pribadi menganut asas . Fakta bahwa pada tahun 2006

Sukanto Tanoto memiliki kekayaan senilai USD 2,8 Milyar dan asset perusahaan

mencapai USD 22,3 Milyar atau 19 Juta kali pendapatan per kapita orang Indonesia

USD 1.150, dan 40 orang terkaya Indonesia menguasai 6% kekayaan nasional (Leigh

dan van der Eng:2010). Atau berdasarkan data Capgemini Consulting Technology

Outsourcing – Asia Pasific Wealth Report 2010, pada tahun 2009 di Indonesia

terdapat 24.000 orang dengan total kekayaan USD 80 Milyar, tetapi kontribusi setoran

pajak 1000 orang kaya di KPP Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya Jakarta tidak lebih

dari Rp 750 Milyar setahun. Penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan yang jauh lebih

withholding

self–assessment

mencapai 34 %. Untuk dapat menjadi negara maju ( ), dibutuhkan

sebesar 25–30% atau jika mengacu kepada UN Millenium Project dibutuhkan

24% (Bird: 2008).

2.

Struktur pokok penerimaan pajak dalam APBN terdapat dalam tabel 2.

Dari struktur tersebut dapat segera ditengarai ketidakadilan dimana realisasi APBN

2006–2010 menunjukkan penerimaan PPh Pasal 21 (PPh pegawai/ karyawan) berada

jauh di atas penerimaan PPh Pasal 25/29 Pribadi (non pegawai/karyawan). Pada

tahun 2010 PPh Pasal 21 telah mencapai Rp 55,3 trilyun (18,6% dari total

penerimaan pajak) sementara PPh Pasal 25/29 Pribadi (non pegawai/karyawan)

hanya Rp 3,6 trilyun (1,2% dari total penerimaan pajak). Hal ini jelas tidak adil karena

orang pribadi usahawan yang seharusnya masuk kategori individu kaya (

) justru tidak memberikan sumbangan signifikan terhadap penerimaan

pajak. Struktur pajak yang tidak adil juga terdapat dalam perbandingan realisasi PPh

dan PPN 2006–2010 yang menunjukkan pertumbuhan penerimaan PPh relatif

stagnan, sedangkan pertumbuhan penerimaan PPN relatif tinggi. Padahal PPh

merupakan jenis pajak yang mencerminkan keadilan karena dipungut berdasarkan

kemampuan membayar ( ), sedangkan PPN adalah pajak konsumsi yang

bersifat regresif dan bebannya ditanggung konsumen akhir dengan tidak

memperhitungkan kemampuan membayar.

developed country

tax ratio

tax ratio

high wealth

individual

ability to pay

Struktur penerimaan pajak dalam Rancangan APBN 2012 belum mencerminkan

keadilan.

Tabel 3. Perbandingan Penerimaan PPh dan PPN terhadap Penerimaan Pajak

( dalam Triliyun Rupiah )

Persentase PPh Pasal 21, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, dan PPh

Pasal 25/29 Badan dibandingkan terhadap penerimaan PPhSumber: Kementerian Keuangan (diolah)

Uraian 2006 % 2007 % 2008 % 2009 % 2010 % 2011 %

Penerimaan Pajak 409 490 658 619 743 839

PPh 165 40 194 40 250 38 267 43 306 41 360 43

PPh Pasal 21 31 19 39 20 51 20 52 19 55 18 62 17

PPh Pasal 25/29 OP 2 1,1 2 0,8 4 1,4 3 1,2 4 1,2 4 1

PPh Badan 65 39 80 41 106 42 120 45 131 43 166 46

PPN 123 30 154 31 209 32 193 31 262 35 309 37

10 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Paj

ak y

ang

Ko

nse

rvat

if; P

ajak

tan

pa

Par

tisi

pas

i P

ub

lik

Page 20: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

tinggi dibandingkan penerimaan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi juga menunjukkan

gejala tidak sehat di mana struktur penerimaan yang baik adalah PPh Orang Pribadi di

atas PPh Badan. Ini merupakan cermin upaya penghindaran pajak yang dilakukan

Wajib Pajak Orang Pribadi dengan memanfaatkan kelemahan aturan dan sistem

perpajakan. Fakta ini menuntut upaya yang lebih keras, strategi yang lebih baik, dan

rancangan kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi ketimpangan dan

memenuhi rasa keadilan bagi semua.

3. Kebijakan perpajakan nasional masih

berfokus pada fungsi yaitu mengisi kas negara dan tidak memperhatikan

fungsi (mengatur). Langkah-langkah yang akan dilakukan Pemerintah juga

masih bercorak teknokratik dan apolitis, yaitu hanya menjadi tugas dan tanggung

jawab institusi teknis (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai) dan belum melibatkan

para pemangku kepentingan, termasuk memperhitungkan kontestasi kepentingan

yang berpengaruh besar. Nota Keuangan dan RAPBN 2012 juga tidak menyajikan

sebuah konstruksi kebijakan perpajakan yang komprehensif, terintegrasi, dan

mendukung visi besar yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial. Besarnya –

yaitu selisih antara potensi pajak yang sebenarnya dibandingkan dengan pajak yang

berhasil dipungutbelum dirumuskan dengan jelas. Bahkan target penerimaan pajak

dan Sensus Pajak Nasional yang dilakukan pada 2011–2012 tidak mencantumkan

besarnya potensi dan rencana realisasi pajak. Kebijakan belum dirumuskan dalam

paradigma partisipatif–demokratik yang berpijak pada relasi warganegara wajib

membayar pajak ke negara (dan negara memiliki hak memaksa), sebaliknya negara

wajib memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan warganegara (dan warganegara

memiliki hak menuntut).

Kebijakan Perpajakan dalam RAPBN 2012.

budgetair

regulerend

tax gap

Dampak Kebijakan Perpajakan yang Konservatif

1. Rendahnya berarti hilangnya potensi penerimaan negara yang dapat

digunakan sebagai sumber pembiayaan belanja sosial dan pembangunan

infrastruktur. Jika menggunakan taksiran konservatif, yang terjadi sebesar

30–40% PDB dengan potensi pajak sekurang–kurangnya Rp 300 trilyun/tahun. Dari

perspektif hak, warganegara terancam kehilangan redistribusi pendapatan berupa

layanan publik yang berkualitas, jaminan sosial yang memadai, investasi

kesejahteraan dan sebagainya.

2. Pajak belum menjadi instrumen yang memungkinkan pembiayaan negara, penciptaan

pemerataan, dan penguatan kapasitas negara, dalam bingkai relasi negara–

warganegara yang demokratis ( ). Saat ini kinerja institusi

perpajakan dianggap tercapai apabila target penerimaan yang dibebankan terpenuhi

tanpa memperhatikan aspek keadilan, distribusi pendapatan, pemihakan kepada

kaum miskin dan terpinggirkan maupun pencapaian indeks pembangunan manusia

yang berkualitas.

3. Potensi timbulnya delegitimasi tehadap pemerintah karena keterputusan kebijakan

perpajakan yang menekankan besarnya penerimaan dengan minimnya alokasi APBN

untuk pelayanan publik.

4. Potensi timbulnya delegitimasi tehadap pemerintah karena keterputusan kebijakan

perpajakan yang menekankan besarnya penerimaan dengan alokasi APBN untuk

pelayanan publik.

tax ratio

tax gap

revenue–bargaining policy

11KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Pajak yan

g Ko

nservatif; P

ajak tanp

a Partisip

asi Pu

blik

Page 21: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Rekomendasi

1. Pentingnya dukungan politik bagi otoritas perpajakan agar dapat melaksanakan

fungsi pemungutan dengan baik. Kendala terbesar dalam pemungutan pajak adalah

ketersediaan data, informasi, dan alat keterangan. Hal ini dapat diatasi dengan

kemauan politik untuk melakukan kerjasama di antara seluruh penyelenggara negara

dan pemangku kepentingan.

2. Transparansi target dan realisasi penerimaan pajak sehingga memudahkan

pengawasan dan partisipasi warganegara. Hal ini memerlukan penghitungan yang

cermat atas berapa sebenarnya jumlah potensi pajak dan yang ada.

3. Optimalisasi pemungutan pajak. Optimalisasi hendaknya berfokus kepada potensi di

sektor ekonomi bawah tanah ( ), di mana terdapat potensi pajak

sekurang–kurangnya Rp 300 trilyun/ tahun. Dibutuhkan penghitungan potensi

penerimaan pajak lainnya, diantaranya praktik transfer pricing yang menjadikan

Indonesia sebagai pusat biaya ( ) dan diduga merugikan negara hingga

ratusan trilyun rupiah, potensi PPh dari simpanan di bank yang pada 2010 telah

mencapai Rp 2000 trilyun (LPS:2010), kepemilikan saham,

, dll. Pemberlakuan pemungutan pajak dengan tarif efektif melalui sistem

pengawasan yang baik terhadap sektor potensial –seperti pertambangan, industri

pertanian, industri hasil hutan, finansial– hingga tercipta sistem administrasi yang

baik.

4. Kebijakan pemerintah harus lebih memperhatikan perempuan, anak, dan

warganegara berpenghasilan rendah, termasuk insentif bagi pekerja yang memasuki

usia tidak produktif agar dapat mengalokasikan biaya kesehatan dan pensiun,

mengenakan pajak konsumsi yang tinggi – terhadap barang–barang yang merugikan

kepentingan umum (rokok, minuman keras), barang yang hanya dikonsumsi

kelompok HWI ( ) dan HNWI ( ),

pengenaan disinsentif bagi perusahaan perusak lingkungan, pajak terhadap ekspor

industri ekstraktif agar mendorong pengolahan di dalam negeri, hingga peruntukan

pajak ( ) yang memastikan kontraprestasi pajak dinikmati

warganegara, seperti alokasi langsung 10% penerimaan PPN untuk sektor

pendidikan, pajak atas polusi udara/lingkungan, dll. Untuk mendorong transparansi

juga perlu diperlakukan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai barang publik bagi calon

pejabat publik.

5. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menciptakan efek jera ( )

melalui pemeriksaan/penyidikan wajib pajak yang terindikasi tindak pidana dengan

proses pengidentifikasian dan pengawasan yang melibatkan pihak lain seperti Komisi

Pemberantasan Korupsi, PPATK, kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, lembaga

keuangan internasional, serta pemangku kepentingan seperti LSM, asosiasi–asosiasi

profesi, organisasi massa/ kemasyarakatan hingga serikat–serikat pekerja. Termasuk

pula melakukan peningkatan kompetensi aparatur dan pemberian hukuman yang

berat bagi aparatur yang menyalahgunakan kewenangan dan terbukti melakukan

korupsi.

tax gap

underground economy

cost centre

non cash payment

transaction

High Wealth Individuals High Net–Worth Individuals

earmarking tax

detterent effect

5. Partisipasi masyarakat rendah. Rendahnya partisipasi warga negara itu tercermin

dalam peningkatan jumlah wajib pajak dari 4,3 Juta pada tahun 2005 menjadi 20,4

Juta pada 2010 yang tidak dibarengi dengan tingkat kepatuhan pajak.

12 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Paj

ak y

ang

Ko

nse

rvat

if; P

ajak

tan

pa

Par

tisi

pas

i P

ub

lik

Page 22: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Subsidi BBM

Subsidi BBM pada Rancangan APBN 2012 mencapai Rp 129 trilyun atau naik sebesar Rp

47,3 trilyun dibandingkan dengan APBN 2011. Besarnya subsidi BBM yang melampaui

subsidi di semua sektor lain tentu saja membebani APBN. Namun mencabut subsidi BBM

dalam waktu dekat juga berbahaya karena dampaknya adalah inflasi yang tinggi dalam

kurun waktu yang relatif lama yang secara langsung akan membebani rakyat dengan

penghasilan rendah. Pemerintah karenanya harus merumuskan kebijakan yang tepat, baik

kebijakan pengendalian subsidi maupun kebijakan menciptakan sumber energi alternatif

terbarukan serta kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi publik. Pemerintah

secara berkala perlu melaksanakan audit terhadap subsidi BBM guna menghindari

penyimpangan dalam penyaluran maupun penggelembungan ( ) biaya subsidi BBM.

Pembatasan subsidi BBM niscaya dilakukan karena pada praktiknya yang menikmati

subsidi BBM adalah orang kaya (Tumiwa:2010). Kebijakan pembatasan dapat dilakukan

dengan pembatasan subsidi hanya untuk angkutan umum, eliminasi penggunaan BBM

bersubsidi untuk mobil dan motor pribadi secara bertahap disertai edukasi yang baik dan

melibatkan para pemangku kepentingan, penyesuaian harga BBM bersubsidi, dan

optimalisasi pemakaian energi terbarukan. Sedangkan pembangunan infrastruktur

transportasi publik semestinya dilakukan dengan perencanaan yang berdasarkan

pemihakan kepada kepentingan umum, pelaksanaan proyek yang transparan dan

profesional serta evaluasi dan pemeliharaan yang baik.

mark up

13KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Pajak yan

g Ko

nservatif; P

ajak tanp

a Partisip

asi Pu

blik

Page 23: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

14 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Paj

ak y

ang

Ko

nse

rvat

if; P

ajak

tan

pa

Par

tisi

pas

i P

ub

lik

Page 24: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

BAGIAN KEDUA

Beban Berat Belanja Pegawai;Kapan APBN untuk Semua?

1. Alokasi anggaran Belanja Pegawai semakin membelendung dan berpeluang

memperkecil porsi Belanja Modal dan Belanja Barang. Di tingkat Pusat, pada

tahun 2006 anggaran yang disediakan untuk Belanja Pegawai sebesar 73,252 Triliun

rupiah. Pada Rancangan APBN 2012, alokasi yang disediakan untuk Belanja Pegawai

mencapai 215,725 Triliun rupiah. Hanya dalam waktu enam tahun, anggaran untuk

Belanja Pegawai naik sebesar 142,473 Triliun rupiah. Besarnya kenaikan Belanja

Pegawai ini jauh di atas alokasi Belanja Barang dan Belanja Modal yang hanya sebesar

138,482 Triliun dan 168,125 Triliun rupiah. Dalam banyak hal, minimnya belanja

modal ini telah menyebabkan berbagai pembangunan dan kewajiban kesejahteraan

warga yang langsung ditangani pemerintah pusat tidak tercapai. Di tingkat daerah,

banyak APBD menunjukkan data yang lebih memprihatinkan. Dalam APBD 2011

terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah di

antaranya bahkan mencapai 70%. Belanja pegawai terbesar di Kabupaten Demak

mencapai 89%. Besarnya Belanja Pegawai ini menyebabkan melemahnya diskresi

fiskal untuk kepentingan pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik dasar

seperti pendidikan, kesehatan, bahkan untuk kepentingan menumbuhkan ekonomi

dan kesejahteraan warga.

2. Pemerintah belum memiliki desain rekrutmen pegawai negeri; rasio kelayakan

jumlah serta standar kesejahteraan pegawai negeri. Ketidakjelasan desain

kepegawaian tersebut justru dijawab pemerintah dengan kebijakan yang semakin

membebani keuangan nasional dan daerah. Sejak 2006, pemerintah terus merekrut

pegawai negeri, menaikkan gaji pegawai antara 5–20 persen, meningkatkan tunjangan

struktural dan fungsional bahkan memberi gaji ke–13. Pemerintah juga memperluas

program remunerasi sejak tahun 2007 dari tiga menjadi 14 kementerian/ lembaga.

Pemerintah membentuk Lembaga Non Struktural (LNS) yang hingga 2010 berjumlah

76 buah. Pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan secara khusus kepada PNS,

Tabel 4. Dana Belanja Pegawai ( dalam Triliyun Rupiah )

2006 (LKPP) 2007 (LKPP) 2008 (LKPP) 2009 (LKPP) 2010 (LKPP) 2011 (APBN-P) 2012 (RAPBN)

73,252 90,425 112,829 127,669 148,078 182,874 215,725

Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012

15

Beb

an B

erat Belan

ja Pegaw

ai; Kap

an A

PB

Nu

ntu

k Semu

a?

Page 25: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Tabel 5. Pertumbuhan Jumlah PNS 2005 s.d. Desember 2010

3. Pemerintah tidak memiliki batasan maksimal alokasi Belanja Pegawai dalam

kebijakan anggaran nasional dan daerah. Ketiadaan batasan telah menyebabkan

alokasi anggaran bisa semaunya dipakai untuk kepentingan Belanja Pegawai bahkan

mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yakni pelayanan dan peningkatan

kesejahteraan warga. Hal ini misalnya tercermin dari besarnya persentase Belanja

Pegawai yang mengalahkan Belanja Modal dan Belanja Barang.

Menteri (JAMKESMEN), dan para pejabat utama setingkat Menteri (JAMKESTAMA).

Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rancangan APBN 2012, dan telah mendorong

kebijakan Moratorium PNS yang semula dimaksudkan untuk mengurangi beban

Belanja Pegawai justru menaikkan alokasi Belanja Pegawai hingga 32,8 Triliun rupiah,

atau dari 182,874 Triliun pada APBN Perubahan 2011 menjadi 215,725 Triliun pada

Rancangan APBN 2012.

% %Pertumbuhan

%Tahun Pria Wanita Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan

2005 2.131.674 0,06 1.530.662 5,05 3.662,336 2,09

2006 2.144.320 0,59 1.580.911 3,28 3.725.231 1,72

2007 2.292.555 6,91 1.774.646 12,25 4.067.201 9,18

2008 2.257.408 - 1,53 1.825.952 2,89 4.083.360 0,4

2009 2.455.269 8,76 2.068.936 13,31 4.524.205 10,8

2010 2.460.283 0,2 2.137.817 3,33 4.598.100 1,63

Tabel 6. Belanja Pemerintah Pusat, 2006-2012 ( miliar rupiah )

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN

1. Belanja Pegawai 73.252,3 90.425,0 112.829,9 127.669,7 148.078,1 182.874,9 215.725,1

2. Belanja Barang 47.181,9 54.511,4 55.963,5 80.667,9 97.596,8 142.825,9 138.482,4

3. Belanja Modal 54.951,9 64.288,7 72.772,5 75.870,8 80.287,1 140.952,5 168.125,9

4. Pembayaran Bunga Utang 79.082,6 79.806,4 88.429,8 93.782,1 88.383,2 106.583,8 123.072,0

*)

a. Gaji dan Tunjangan 43.067,9 50.343,5 67.760,7 70.653,7 80.990,3 89.736,8 104.935,7

b. Honorarium dan Vakasi 6.426,2 11.531,7 7.765,9 8.496,0 14.334,3 31.024,9 41.614,9

c. Konstribusi Sosial 23.758,3 28.549,8 37.303,3 48.520,0 52,753,5 62.113,3 69.174,5

a. Utang Dalam Negeri 54.908,3 54.079,4 59.887,0 63.755,9 61.480,6 76.613,7 89.357,7

b. Utang Luar Negeri 24.174,3 25.727,0 28.542,8 30.026,2 29.902,7 29.970,1 33.714,3

5. Subsidi 107.431,8 150.214,5 275.291,4 138.082,2 192.707,1 237.194,7 208.850,2

6. Belanja Hibah - - - - 70,0 404,9 1.796,7

7. Bantuan Sosial 40.708,6 49.756,3 57.740,8 73.813,6 68.611,1 81.810,4 63.572,0

8. Belanja Lain-lain 37.423,1 15.621,2 30.328,1 38.926,2 21.673,0 15.596,2 34.512,6

Jumlah 440.032,1 504.623,4 693.356,0 628.812,4 697.406,4 908.243,4 954.136,8

a. Energi 94.605,4 116.865,9 223.013,2 94.585,9 139.952,9 195.288,7 168.559,9

b. Non-Energi 12.826,4 33.348,6 52.278,2 43.496,3 52.754,1 41.906,0 40.290,3

a. Penanggulangan Bencana - - - - - 4.000,0 4.000,0

b. Bantuan Melalui K/L 40.708,6 49.756,3 57.740,8 73.813,6 68.611,1 77,810,5 59.572,0

a. - - - - - 4.718,7 15.846,4

b. Belanja Lainnya 37.423,1 15.621,2 30.328,1 38.926,2 21.673,0 10.877,4 14.486,0

c. Penyesuaian Dana Pendidikan - - - - - - 4.180,2

Policy Measures

Sumber: Badan Kepegawaian Negara, www.bkn.go.id, diakses 19 September 2011

Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012 *) Angka Sementara

16 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Beb

an B

erat

Bel

anja

Peg

awai

; K

apan

AP

BN

un

tuk

Sem

ua?

Page 26: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Dampak Beban Berat Belanja Pegawai

Rekomendasi ke Depan

1.

Hal ini dapat dilihat dari

rendahnya alokasi belanja jaminan kesehatan warga, keterjangkauan pendidikan

untuk warga miskin dan terpinggirkan, serta pos penguatan ekonomi warga.

Sementara alokasi untuk Belanja Pegawai sedemikian tinggi. Keadaan ini makin

diperparah dengan daya serap APBN dan APBD untuk Belanja Modal yang juga

rendah.

2.

Keadaan seperti ini hanya akan

meningkatkan sumbangan pertumbuhan ekonomi konsumtif dan menurunkan

peluang ekonomi produktif. Keadaan ini juga akan mempertebal mental buruh

ketimbang semangat kewirausahaan dan kemandirian. Pada saat pertumbuhan

ekonomi riil warga masih rendah, keadaan pegawai negeri justru semakin sejahtera,

hal demikian akan semakin menguatkan niat masyarakat untuk menjadi pegawai

negeri. Seperti disebutkan dalam Nota Keuangan Rancangan APBN 2012, penghasilan

dan kesejahteraan aparatur negara mengalami peningkatan, yang tercermin pada

kenaikan upah bersih (setara harga beras) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pangkat

terendah (golongan I/a tidak kawin) mengalami peningkatan dari sekitar Rp

1.000.000 dalam tahun 2006 (setara 214 Kg Beras) menjadi sekitar Rp 2.000.000

dalam tahun 2011 (setara 332 Kg Beras). Khusus bagi guru dengan pangkat terendah

(golongan II/a tidak kawin) upah bersih mereka mengalami peningkatan dari sekitar

Rp 1.315.000 dalam tahun 2006 (setara 314 Kg Beras) menjadi sekitar Rp 2.650.000

dalam tahun 2011 (setara 562 Kg Beras), sedangkan bagi anggota TNI/ Polri dengan

pangkat terendah (Tamtama/ Bintara) upah bersihnya mengalami peningkatan dari

sekitar Rp 1.584.000 dalam tahun 2006 (setara 412 Kg Beras) menjadi sekitar Rp

2.631.000 dalam tahun 2011 (setara 557 Kg Beras).

3. Rancangan

APBN 2012 yang memberikan kenaikan 10 persen gaji pokok pegawai negeri,

berpeluang besar menaikkan inflasi. Alih–alih menguntungkan warga, inflasi justru

semakin menurunkan tingkat daya beli warga. Keadaan seperti ini jelas tidak

menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi peluang peningkatan

kesejahteraan warga.

1.

Terungkapnya kasus Gayus dan Hakim

Imas merupakan indikator bahwa remunerasi tidak cukup efektif mengurangi korupsi

dan meningkatkan pelayanan kepada warga. Pemberian remunerasi seharusnya

diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai dan perbaikan mutu pelayanan

Menurunnya kapasitas fiskal (nasional dan daerah) untuk meningkatkan

kesejahteraan warga, mendekatkan akses pendidikan yang murah dan

berkualitas serta pelayanan kesehatan bermutu.

Meningkatnya pendapatan pegawai negeri berpeluang mendorong

ketergantungan warga pada rekrutmen negara.

Setiap kenaikan pendapatan pegawai negeri selalu memicu inflasi.

Penghentian Remunerasi hingga Pemerintah melaksanakan audit dan penilaian

kinerja serta kelembagaan Kementerian dan Lembaga Pemerintah dengan

tujuan pokok perbaikan radikal terhadap mutu pelayanan pegawai kepada

warga dan mengurangi tingkat korupsi.

17KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Beb

an B

erat Belan

ja Pegaw

ai; Kap

an A

PB

Nu

ntu

k Semu

a?

Page 27: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

publik. Pegawai yang tidak produktif dan tidak kompeten, akibat sistem rekruitmen

yang masih sarat KKN, serta pejabat yang memiliki harta tidak wajar harus dipangkas.

Hasil pemangkasan selanjutnya dapat dikonversi untuk menutupi tambahan

penghasilan. Hasilnya dapat merampingkan (efektif) birokrasi dan menghemat biaya

(efisien).

2. Reformasi birokrasi

idealnya dimulai dari atas dan diawali dengan konsep makro yang jelas. Ada banyak

kementerian seperti kementerian sosial hingga kementerian informasi dan teknologi

yang sebenarnya tidak memerlukan departemen khusus dan dapat digabungkan

dengan kementerian lain. Kementerian Pertanian dan Kehutanan juga tidak terlalu

dibutuhkan dan fungsinya dapat dijalankan lewat pembagian urusan daerah.

Pengurangan lembaga dan kementerian sudah pasti akan mengurangi banyak dana

Belanja Pegawai.

3. APBN telah

memberikan fasilitas dan menaikkan kesejahteraan aparat negara. Jumlah alokasi

anggaran untuk belanja pegawai negeri sudah sangat besar. Karena itu, demi menjaga

kepantasan, keadilan, dan mengurangi beban tanggungan pemerintah, maka PPh PNS

pantas untuk dicabut.

4.

Rasio jumlah pegawai dapat mempertimbangkan variabel

jumlah penduduk, kondisi geografis, kemampuan keuangan hingga fungsi pelayanan

urusan daerah. Mengacu kepada perbandingan negara sebaya seperti Brazil yang

menetapkan batasan maksimal Belanja Pegawai yang tidak melebihi 48 persen, maka

Indonesia dapat mempertimbangkan batasan setara 40 persen belanja pegawai dalam

APBN dan APBD terhadap total biaya pembangunan. Sedangkan reformulasi skema

dana perimbangan diharapkan menjadi ganjaran bagi daerah yang melakukan

efisiensi jumlah pegawai dan memberi hukuman kepada daerah yang menaikkan

jumlah pegawai dan alokasi Belanja Pegawai yang melebihi ketentuan ambang batas

yang telah ditetapkan sebelumnya.

Penyederhanaan Lembaga Non-Struktural dan Kementerian.

Menghapus PPh PNS yang selama ini ditanggung oleh negara.

Pemerintah harus menyusun regulasi yang menetapkan rasio PNS, memberi

batasan maksimal alokasi Belanja Pegawai per tahun dalam APBN dan APBD,

serta merumuskan skema dana perimbangan yang memberikan insentif bagi

daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan disisentif bagi terjadinya

pemekaran daerah baru.

18 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Beb

an B

erat

Bel

anja

Peg

awai

; K

apan

AP

BN

un

tuk

Sem

ua?

Page 28: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

BAGIAN KETIGA

Alokasi Belanja Sosial Residual;Mengorbankan Kaum Perempuan dan Anak

1. Politik Kesejahteraan Sosial: Beban Ganda Kemiskinan

Kebijakan penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia sebenarnya dapat dilihat di

dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mulai terlihat

mengarah kepada model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di

negara–negara maritim kepulauan di Eropa ( ). Penganggaran residual

membawa ciri penyelenggaraan jaminan sosial yang lebih diprioritaskan kepada

kelompok rentan (rakyat miskin, cacat, pengangguran). Di luar kelompok tersebut,

jaminan sosial tetap diselenggarakan, namun penganggarannya tidak lagi dibebankan

kepada Negara, namun diserahkan dan harus ditanggung secara bersama–sama

antara pemerintah, swasta dan pekerja.

Penganggaran kesejahteraan sosial seperti ini memang hampir mirip seperti yang

diselenggarakan di Jepang, yang memadukan prinsip–prinsip dalam sistem asuransi

sosial dan bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan

pembagian silang antar penduduk ( ), pemerintah tetap

terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Pola pendanaan

bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat ini sebenarnya

telah lama menggejala di berbagai negara menjelang abad 21 seperti yang dilaporkan

oleh Japan Ministry of Health, Labour, and Welfare (MHLW) (1999: 4):

Perubahan menuju pengganggaran residual ini sebenarnya bertentangan dengan

mandat konstitusi yang mengamanatkan kesejahteraan sosial menjadi tanggung

jawab negara sepenuhnya. Dalam banyak hal, perubahan ini dipengaruhi oleh alasan

anglo saxon

sharing across population

1

Social security is a mechanism basically created for income redistribution and

mutual assistance based on the idea of individual independence and support by the

social solidarity of people… A regional welfare system comprised of multiple

layers of “self–support”, “mutual support” dan “public support” for the entire

society to support welfare including families, regional organizations, companies,

and the national and local governments based on the independence of each citizen.

1Lihat Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

19

Alo

kasi Belan

ja Sosial R

esidu

al; Men

gorb

ankan

Kau

m P

eremp

uan

& A

nak

Page 29: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

ketidakmampuan negara dalam penyediaan anggaran yang dibutuhkan (keterbatasan

anggaran). Dengan alasan itu pulalah, pemerintah kemudian mencoba melepaskan

sebagian tanggung–jawabnya dengan cara hanya memberikan kesejahteraan sosial

(jaminan sosial khususnya) kepada warga miskin saja.

Perubahan paradigma penganggaran kesejahteraan sosial demikian akhirnya

membawa dampak berubahnya politik penganggaran kesejahteraan sosial di

Indonesia. Berbagai subsidi yang tidak spesifik untuk rakyat miskin, khususnya

subsidi energi (BBM dan listrik) dihapuskan secara bertahap. Kebijakan penghapusan

ini telah dimulai sejak tahun 2008 lalu, dengan menurunkan persentase subsidi

energi dari 26,56% pada tahun 2007 menjadi 22,62% di tahun 2008. Bahkan pada

tahun berikutnya (2009) prosentasenya hanya tinggal 10,09% saja.

Sayangnya (atau untungnya) di tahun 2010 terjadi lonjakan harga minyak bumi yang

sempat tak terkendali, sehingga kebijakan penghapusan subsidi energi sempat

tersendat, karena pemerintah mau tidak mau harus menyesuaikan anggaran subsidi

energi dengan kenaikan harga minyak bumi. Itulah kenapa pada tahun 2010 subsidi

energi sempat naik menjadi 13,82% dan kembali naik menjadi 15,22% pada 2011.

Namun karena sejak awal kenaikan tersebut berangkat dari “keterpaksaan” (bukan

kebijakan), menjadi wajar jika pada tahun 2012 pemerintah kembali menurunkannya

menjadi 11,89% seiring dengan kecenderungan harga minyak bumi yang mulai

kembali stabil.

Penurunan kembali belanja subsidi energi 2012 adalah kembalinya pemerintah kepada

komitmen awal untuk menghapus subsidi–subsidi yang tidak spesifik rakyat miskin

dalam rangka penerapan kesejahteraan sosial residual. Kebijakan yang sudah pasti

berakibat semakin miskinnya rakyat miskin karena arus inflasi. Namun pemerintah

kembali berjanji dan menjamin akan merealokasi pemangkasan anggaran subsidi untuk

bantuan–bantuan sosial bagi rakyat miskin, sehingga mereka terhindar dari dampak

inflasi dengan memperbesar anggaran kesejahteraan sosial non subsidi.

Sayangnya, jaminan pemerintah ini masih lebih banyak bersifat lip services daripada

bukti nyatanya. Karena selama 5 (lima) tahun terakhir anggaran kesejahteraan sosial

Grafik 4. Kecenderungan Subsidi Energi 2006-2012 ( Milyar Rupiah )

Sumber: APBN tahun 2006 - 2012

20 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Alo

kasi

Bel

anja

So

sial

Res

idu

al; M

engo

rban

kan

Kau

m P

erem

pu

an &

An

ak

Page 30: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Grafik 5. Kecenderungan Anggaran Kesos Lintas Sektor (Non-Subsidi ) 2006 - 2012

Grafik 6. Kecenderungan Subsidi Non-Energi 2006 - 2012 ( Milyar Rupiah )

tetap tidak mengalami peningkatan berarti, cenderung stagnan bahkan menurun.

Fakta konkrit, ketika pemerintah mencabut sebagian subsidi BBM pada tahun 2008

seharusnya anggaran kesejahteraan sosial naik karena mendapatkan tambahan

anggaran dari hasil realokasi pengurangan subsidi. Kenyataannya malah turun begitu

tajam dari 8,02% pada tahun 2007 menjadi 4,32% saja pada tahun 2008. Dan saat ini

(2012) kebijakan ini diulangi lagi oleh Pemerintah. Jika pada tahun 2011 anggaran

kesos mulai membaik menjadi 5,56%, tahun 2012 kembali diturunkan menjadi

5,16%.

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 -

Sumber: APBN tahun 2006 – 2012

21KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Begitu pula dengan berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk,

benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) yang terkait langsung dengan

nasib kesejahteraan sosial rakyat miskin, yang seharusnya tetap dipertahankan

ternyata juga dipangkas oleh pemerintah. Ini terlihat dari turunnya anggaran subsidi

non energi dari 4,67% (Rp 57,4 Triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3

Triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang

seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru ikut turun dari

5,3% menjadi 4,64%. Satu–satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di

tahun 2010 menjadi 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan

kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu. Alo

kasi Belan

ja Sosial R

esidu

al; Men

gorb

ankan

Kau

m P

eremp

uan

& A

nak

Page 31: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Jika mengacu kepada UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, program

kesejahteraan sosial di Indonesia terbagi ke dalam 4 (empat) bidang, yaitu:

perlindungan sosial ( ), jaminan sosial ( ), pemberdayaan

sosial ( ), dan rehabilitasi sosial ( ).

Dalam Rancangan APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (KESOS) dari keempat

bidang di atas total alokasinya hanya sebesar Rp 73,16 Triliun (5,16%), tersebar di

berbagai program dan sektor (lihat grafik ). Prosentase ini memang jauh lebih kecil

jika dibandingkan dengan anggaran bagi kesejahteraan pegawai yang di tahun yang

sama dialokasikan mencapai 15,12%. Alokasi anggaran KESOS terbesar berada di lima

program utama, yakni: BOS (Rp 23,6 Triliun), RASKIN (Rp 15,6 Triliun), PNPM (Rp

12,3 Triliun), JAMKESMAS (Rp 5,9 Triliun) dan PKH (Rp 2,1 Triliun).

Ironisnya secara keseluruhan, anggaran–anggaran KESOS pada R–APBN 2012 hampir

semuanya mengalami penurunan persentase. Hanya program BOS dan PKH saja yang

mengalami kenaikan, itupun tidak signifikan (lihat grafik 7).

social security social insurance

social assistance social rehabilitation

5

Grafik 7. Kecenderungan Persentase Anggaran Kesos 2006 - 2012

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

22 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Alo

kasi

Bel

anja

So

sial

Res

idu

al; M

engo

rban

kan

Kau

m P

erem

pu

an &

An

ak

Page 32: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Program Beras Miskin misalnya, yang awalnya di tahun 2011 masih mendapatkan

alokasi Rp 16,2 Triliun (1,32%), pada tahun 2012 diturunkan menjadi Rp 15,6 Triliun,

yang digunakan untuk melindungi 17,3 Juta orang miskin. Padahal pada tahun 2008

cakupan RASKIN telah mencapai 19,1 Juta orang miskin. Sayangnya wilayah cakupan

RASKIN ini terus menurun hingga tahun 2012, meski angka kemiskinan di Indonesia

dalam lima tahun terakhir tidak mengalami penurunan yang berarti, sehingga tidak

semestinya alokasi anggaran dan cakupan RASKIN justru diperkecil.

Begitu pula dengan program JAMKESMAS, dalam Rancangan APBN 2012 juga

diturunkan dari Rp 6,3 Triliun (pada tahun 2011) menjadi Rp 5,9 Triliun. Penurunan

ini tentu akan semakin mempersulit rakyat miskin dalam memperoleh akses

kesehatan. Sebab dengan Rp 5,9 Triliun tersebut setiap orang miskin hanya akan

mendapat alokasi Rp 6.435 per bulannya. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan

asuransi kesehatan yang dimiliki PNS, TNI dan Polri yang telah mencapai Rp 35 ribu

per bulannya.

Program–program kesejahteraan sosial yang berada di bawah Kementerian Sosial

(KEMENSOS) juga tidak ada bedanya. Satu–satunya program jaminan sosial yang

ditangani Kemensos adalah Bantuan Tunai Bersyarat dan Asuransi Kesejahteraan

Sosial (ASKESOS). Bantuan Tunai Bersyarat diperuntukkan bagi rumah tangga sangat

miskin dengan total anggaran Rp 2,1 Triliun. Program tersebut saat ini dikenal dengan

Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini pun hanya mampu menjangkau 1,5

Juta rumah tangga saja dengan alokasi tidak lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Begitu

pula dengan ASKESOS, dengan anggaran yang hanya sebesar Rp 30 Milyar, KEMENSOS

hanya bisa menargetkan ASKESOS bagi 50.800 jiwa saja.

Di luar itu, KEMENSOS memang masih memiliki satu program bantuan sosial lainnya

yaitu pemberian modal usaha kepada warga miskin yang digabung ke dalam

kelompok–kelompok usaha bersama (KUBE). Untuk tahun 2012, anggaran KUBE

direncanakan sebesar Rp 218,1 Milyar dan diperuntukkan bagi 9.311 kelompok fakir

miskin. Selebihnya, program kesejahteraan sosial KEMENSOS masih tetap setia

dengan paradigma lama yang memandang warga miskin dengan profesi pengemis,

gelandangan, PSK sebagai penyakit sosial yang perlu direhabilitasi. Itu sebabnya pula,

KEMENSOS masih mempertahankan Direktorat Jenderal (DITJEN) yang khusus

menangani rehabilitasi. Dalam praktiknya, program rehabilitasi sosial seringkali

berjalan beriringan dengan program–program ketenteraman dan ketertiban umum

(penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi sosial dilakukan melalui pembinaan,

penyuluhan dan pemberian keterampilan di panti–panti sosial. Anggarannya

tergolong cukup besar karena mencapai 930,4 Milyar jika dibandingkan dengan

program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang hanya sebesar

Rp 754,8 Milyar. Dari perbandingan angka ini pula dapat dibaca bahwa pemerintah

ternyata lebih memilih prioritas penertiban (baca: penggarukan) pengemis,

gelandangan dan PSK ketimbang memberikan bantuan dan perlindungan sosial

kepada mereka sebagai kelompok rentan.

Meskipun Indonesia

secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara substansial,

konstitusinya (Pasal 28C; Pasal 28Hdan Pasal 34) mengamanatkan bahwa jaminan

sosial pada dasarnya merupakan hak–hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara

(Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika Indonesia akan

Kesejahteraan Sosial Residual: Beban Ganda Kemiskian.

23KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Alo

kasi Belan

ja Sosial R

esidu

al; Men

gorb

ankan

Kau

m P

eremp

uan

& A

nak

Page 33: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Grafik 8. Kecenderungan Anggaran Kesejahteraan Perempuan dan Anak

mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara tidak boleh

mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada rakyat. Karena, selain

negara pada dasarnya merupakan representasi rakyat, dimanapun di seluruh negara,

bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain dimana peran dan

kontribusi negara masih dominan.

Model penganggaran kesejahteraan residual yang sedang dicoba dipraktikkan saat ini;

yang hanya memprioritaskan kesejahtearan sosial kepada rakyat miskin, seharusnya

diikuti dengan jaminan pemenuhan hak–hak sosial, ekonomi, kesehatan dan

pendidikan bagi warga miskin. Dalam praktiknya, ternyata pemerintah masih saja

belum mampu memenuhinya. Anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin tetap

kecil dan terbatas. Akibatnya, pencabutan subsidi BBM sebagai bagian dari kebijakan

penganggaran kesejahteraan residual justru semakin memiskinkan warga miskin. Di

satu sisi, warga miskin terbebani dengan dicabutnya subsidi BBM yang berdampak

pada inflasi, sementara di sisi yang lain anggaran yang seharusnya mampu mencakup

kesejahteraan sosial mereka tetap terbatas. Kalaupun terjadi peningkatan, jumlahnya

tetap tidak sebanding dengan laju inflasi.

Penganggaran kesejahteraan perempuan dan anak (di luar anggaran kesehatan ibu

dan anak) jika dilihat dari prosentasenya terhadap total belanja APBN selalu berada di

bawah 0,5%, dan itupun sebagian besar dipergunakan guna menekan laju

pertumbuhan penduduk (program Keluarga Berencana) ketimbang ditujukan untuk

program–program perlindungan maupun pemberdayaan perempuan dan anak

miskin.

2. Penganggaran Kesejahteraan Perempuan dan Anak:

Politik Anggaran tanpa Kehendak Politik Baik.

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011), anggaran kesejahteraan sosial

secara nominal memang naik dari Rp 4,83 Triliun menjadi Rp Rp 5,40 Triliun, namun

secara prosentase terhadap total belanja jumlah ini justru turun dari 0,39% menjadi

0,38%.

24 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Alo

kasi

Bel

anja

So

sial

Res

idu

al; M

engo

rban

kan

Kau

m P

erem

pu

an &

An

ak

Page 34: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Grafik 9. Kecenderungan Anggaran kesejahteraan Perempuan dan Anak

(Lintas Sektor) 2006 –2012

Program pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah pun, di samping

anggarannya begitu kecil, juga sebatas kepada program pengarusutamaan jender di

setiap kementerian/ lembaga. Hal ini berlangsung terus menerus selama bertahun–

tahun sejak jaman Orde Baru. Akibatnya hampir tidak ada satu pun program yang

benar–benar memberdayakan perempuan dan anak (yang tidak sebatas pengarus-

utamaan) selama ini diklaim berhasil dalam APBN.

Dalam konstruksi

budaya , kelompok perempuan selalu menjadi kelompok termiskin dari

rakyat miskin, karena selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan

oleh stereotip dan sistem budaya yang masih memandang mereka sebagai subordinat

laki–laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumberdaya. Konstruksi budaya

patriarki ini telah membawa dampak ketimpangan jender yang berlarut–larut.

Berdasarkan data BPS 2000, perbedaan kemampuan membaca menulis antara

laki–laki dan perempuan di Indonesia masih tinggi dengan perbandingan 56,9% :

88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi kepada

timpangnya perbandingan laki–laki dan perempuan yang bekerja di sektor informal

dengan perbandingan 29,6% : 39,2%.

Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum perempuan terhadap

laki–laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah. Hal ini

dapat terlihat dari berbagai program peningkatan kesejahteraan perempuan yang

anggarannya lebih banyak dihabiskan untuk program Keluarga Berencana (KB) saja.

Program–program yang bersifat pemberdayaan perempuan dan anak, serta pelayanan

sosial selalu mendapatkan prosentase yang kecil (lihat grafik 9).

Ketimpangan Jender di Indonesia dan Penganggarannya.

patriarkhi

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

25KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Alo

kasi Belan

ja Sosial R

esidu

al; Men

gorb

ankan

Kau

m P

eremp

uan

& A

nak

Page 35: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Dalam hal perlindungan kepada perempuan misalnya, berdasarkan temuan Komisi

Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN), angka

kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun masih tinggi. Pada

tahun 2010 saja, dilaporkan terdapat 105.103 kasus kekerasan, jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan data kasus yang terjadi di tahun 2007 yang sebanyak 34.665

kasus. Namun, hampir tidak ada anggaran untuk memberikan perlindungan bagi

perempuan terhadap kekerasan ini. Dalam Rancangan APBN 2012, program khusus

perlindungan perempuan hanya menyediakan anggaran sebesar Rp 9,7 Milyar dan

itupun sebagian besar (Rp 6,3 Milyar) akan digunakan untuk menutupi biaya kantor

KOMNAS PEREMPUAN. Praktis, hanya tersedia anggaran sejumlah Rp 3,4 Milyar saja

yang dapat digunakan oleh KOMNAS PEREMPUAN untuk melaksanakan program

perlindungan selama tahun 2012. Padahal program–program perlindungan yang

menjadi tanggung–jawab KOMNAS PEREMPUAN begitu luas mencakup advokasi

kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan,

pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan hingga pemberian konseling bagi

perempuan korban kekerasan. Tidak sebandingnya anggaran perlindungan dengan

tugas dan tanggung–jawab KOMNAS PEREMPUAN tersebut telah membuat kebijakan

dan kegiatan perlindungan terhadap perempuan terancam lumpuh karena ketiadaan

anggaran.

Begitu pula halnya dalam perlindungan anak. Dari anggaran sebesar Rp 38,6 Milyar di

Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(MENEG PP & PA), sebagian besar habis digunakan di internal kementerian saja untuk

harmonisasi kebijakan perlindungan anak. Sehingga Komisi Perlindungan Anak

Indonesia (KPAI) juga harus mengalami nasib yang sama seperti KOMNAS

PEREMPUAN, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.

Selain kekerasan terhadap perempuan

dan anak, persoalan ancaman kematian karena rendahnya derajat dan akses

kesehatan mengakibatkan angka kematian ibu dan anak masih tinggi. Sampai tahun

2010, angka kematian ibu masih mencapai 228 dari 1.000 proses persalinan. Begitu

pula dengan angka kematian anak masih mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup.

Angka ini hampir lima kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di

Malaysia, dua kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan

Philipina. Belum lagi kasus gizi buruk yang pada tahun 2010 saja masih tercatat 4,1

Juta kasus gizi buruk yang terdeteksi.

Di dalam Rancangan APBN 2012, dari Rp 28,8 Triliun anggaran Kementerian

Kesehatan (KEMENKES), anggaran yang langsung digunakan untuk penanggulangan

kematian ibu dan bayi dititipkan ke dalam program JAMKESMAS dalam bentuk

Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) sebesar 1,6 Triliun. JAMPERSAL tersebut

diperuntukkan bagi ibu miskin yang belum terjangkau dalam JAMKESMAS. Sayangnya

program JAMPERSAL ini baru meliputi 10 klaim saja (yang berarti baru mencakup 10

kabupaten/ kota). Sementara untuk penanggulangan kasus kurang gizi dan gizi buruk,

penganggarannya dimasukkan ke dalam bagian program bina gizi dan kesehatan ibu

dan anak dengan total anggaran Rp 2 Triliun. Meski jumlahnya lumayan besar,

sayangnya sebagian besar program ini anggarannya masih digunakan untuk

kebutuhan sosialisasi dan layanan perkantoran saja. Anggaran yang benar–benar

digunakan langsung untuk perbaikan gizi hanya terdapat di sub–program pengadaan

Penganggaran Kesehatan Ibu dan Anak.

26 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Alo

kasi

Bel

anja

So

sial

Res

idu

al; M

engo

rban

kan

Kau

m P

erem

pu

an &

An

ak

Page 36: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

makanan tambahan sebesar Rp 37 Milyar dan pelatihan bagi tenaga kesehatan

sebesar Rp 13,3 Milyar.

dengan menghapus segala

subsidi bersifat umum harus diikuti dengan pemenuhan anggaran kesejahteraan

sosial bagi warga miskin di dalam APBN. Prioritas pertama yang harus dipenuhi

negara adalah terpenuhinya hak–hak dasar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan)

warga miskin. Hak–hak dasar seyogyanya lebih banyak difokuskan kepada jaminan

sosial di bidang pendidikan dan kesehatan ketimbang bantuan–bantuan sosial yang

bersifat karitatif. Kalaupun dipertahankan, seharusnya kebijakan tersebut sudah

mulai beranjak dari karitatif mengarah kepada upaya–upaya membangun

kemandirian ekonomi warga miskin. Bantuan sosial bersifat pemberdayaan ekonomi

tentunya juga hanya bisa berlaku efektif bila disertai dukungan perlindungan usaha

bagi warga miskin.

di Rancangan APBN 2012 prosentasenya masih

relatif kecil yaitu 19,9% (Rp 282 Triliun). Idealnya, dengan konstitusi yang

mengamanatkan kesejahteraan sosial sebagai tanggung jawab negara, maka belanja

kesejahteraan sosial seyogyanya berada di kisaran 30–50%. Kisaran prosentase ini

sebenarnya masuk akal dan pernah dicapai Pemerintah pada tahun 2007 dengan total

belanja 42,2%. Sebagai perbandingan, di Selandia Baru yang selama ini kerap

dijadikan rujukan pemerintah dalam penganggaran kesejahteraan sosial residual,

prosentase anggaran KESOS bahkan bisa mencapai 39%. Sebaliknya jika pola

kebijakan dan praktik penganggaran kesejahteraan sosial residual yang usang ini

senantiasa dipertahankan maka hanya akan memperparah tingkat kemiskinan warga

miskin.

seharusnya tidak lagi stagnan pada upaya

pengarusutamaan jender saja. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun

program–program pemberdayaan perempuan dalam kerangka pemenuhan hak–hak

ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Dengan demikian, cara pandang

pemerintah dalam memandang urusan perempuan dan anak tidak lagi sebatas

program KB saja, yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan hak perempuan, kecuali

sebatas memaksa perempuan menjadi obyek kontrasepsi ketimbang laki–laki.

3. Rekomendasi

?

?

?

Politik penganggaran kesejahteraan sosial residual

Anggaran kesejahteraan sosial

Anggaran kesejahteraan perempuan

27KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Alo

kasi Belan

ja Sosial R

esidu

al; Men

gorb

ankan

Kau

m P

eremp

uan

& A

nak

Page 37: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

28 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Alo

kasi

Bel

anja

So

sial

Res

idu

al; M

engo

rban

kan

Kau

m P

erem

pu

an &

An

ak

Page 38: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

BAGIAN KEEMPAT

Beban Utang:Memperkecil Kesejahteraan Masyarakat

Kondisi Kritis Utang

1.

Dalam kurun waktu 2006–2011 utang luar dan dalam negeri mengalami kenaikan

dari 1.302 Triliun menjadi 1.734 Triliun rupiah (per 31 Juli 2011). Jika tercatat

sampai Juli 2011 jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 Juta jiwa (prediksi

BKKBN), maka masing–masing orang penduduk Indonesia harus menanggung beban

utang sebesar 7,2 Juta rupiah. Sementara Rancangan APBN 2012 belum menunjukkan

tanda–tanda pemerintah untuk mengurangi utang.

Utang Indonesia kian membengkak dan beban utang perkapita juga meningkat.

2.

Utang baru selalu lebih besar dari kebutuhan membayar bunga dan

cicilan pokok utang lama. Bila kebijakan utang terus menerus demikian, maka utang

Indonesia tidak akan pernah lunas sampai kiamat. Seperti pada tahun 2008 dan 2010,

untuk menutup pembiayaan defisit, bayar utang, non utang yang jumlahnya mencapai

115,58 Triliun dan 203,54 Triliun, pemerintah telah menarik utang baru sebesar

176,5 Triliun dan 222,8 Triliun. Untuk tahun 2009 dan 2011, jumlah utang baru jauh

di atas kebutuhan pembayaran utang lama. Utang baru mencapai 207,2 Triliun dan

273,287 Triliun, sedangkan pembayaran utang lama berjumlah 123,3 Triliun dan

146,2 Triliun.

Pemerintah seperti kecanduan utang dan terlampau bersemangat menarik

utang baru sehingga melebihi kebutuhan bayar utang lama dan membiayai hal

lain non utang.

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011+

Pinjaman

Surat Berharga Negara

559 43% 586 42% 730 45% 611 38% 612 37% 591 34%

743 57% 803 58% 906 55% 979 62% 1,064 63% 1,143 66%

Total Utang Pemerintah Pusat 1,302 100% 1,389 100% 1,636 100% 1,591 100% 1,677 100% 1,734 100%

( Dalam Triliyun Rupiah dan % )

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara

(Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

Tabel 7. Daftar Utang Pemerintah Republik Indonesia, 2006 - 2011

29

Beb

an U

tang; M

emp

erkecil kesejahteraan

Masyarakat

Page 39: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

. Pinjaman yang dicairkan ( ) selalu

saja berada di bawah nilai komitmen yang disepakati ( ), dan utang

yang dimanfaatkan selalu di bawah yang dicairkan ( ). Seperti tahun

2011, terdapat 228,2 Milyar dollar utang luar negeri yang disepakati (

). Namun, yang dicairkan hanya sebesar 217,3 Milyar dollar

( ). Dari jumlah tersebut, tersisa 10,9 Milyar dollar utang yang tidak

dimanfaatkan. Padahal utang dalam kategori net commitment telah mewajibkan

pembayaran walaupun tidak semuanya dicairkan, sementara utang yang dicairkan

mengharuskan pembayaran bunga meskipun tidak seluruhnya dimanfaatkan.

Disisi lain, utang baru yang ditarik selalu rendah tingkat penyerapannya bahkan

tidak dapat terserap seluruhnya disbursement

net commitment

undisbursement

net

commitment

disbursement

fee

2008 2009 2010 2011+

Kebutuhan Pembiayaan (115,579) (224,292) (203,538) (286,867)

Defisit (4,121) (88,619) (46,846) (124,657)

Pembayaran Utang (108,958) (123,279) (135,893) (146,243)

Pembiayaan Non Utang (2,500) (12,395) (20,799) (15,968)

Sumber Pembiayaan 195,529 248,257 248,243 286,867

Utang 176,468 207,200 222,822 273,287

Non Utang 19,061 41,057 25,421 13,580

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan 79,950 23,965 44,706 (0)

Net Cash Flow Pembiayaan 89,261 111,256 91,552 124,656

Jatuh Tempo dan Buyback Surat Berharga Negara (40,333) (49,067) (76,532) (86,700)

Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Luar Negeri (63,435) (68,031) (50,633) (47,818)

Penerusan Pinjaman (5,189) (6,181) (8,729) (11,725)

Dana Investasi Pemerintah & Restrukturisasi BUMN (2,500) (12,395) (12,299) (13,932)

Dana Pengembangan Pendidikan Nasional - - (1,000) (1,000)

Pinjaman kepada PT. PLN - - (7,500)

Kewajiban Penjaminan (1,036)

Penerbitan SBN, Bruto 126,249 148,538 167,634 213,354

Penarikan Pinjaman Luar Negeri 50,219 58,662 54,795 58,933

Penarikan Pinjaman Dalam Negeri - - 394 1,000

Privatisasi dan Penjualan Aset Program Restrukturisasi 2,902 - 3,232 923

Perbankan Dalam Negeri 16,159 41,057 22,189 12,657

Penerbitan SBN Domestik 86,932 101,736 142,593 -

Penerbitan SBN Valas 39,317 46,802 25,041 -

Pinjaman Program 30,100 28,938 28,975 19,813

Pinjaman Proyek untuk K/L 14,929 23,544 17,091 27,396

Pinjaman Proyek untuk Penerusan Pinjaman 5,189 6,181 8,729 11,725

Surat Berharga Negara 85,916 99,442 91,102 126,654

Pinjaman Luar Negeri (13.217) (16,848) (4,566) (609)

Pinjaman Dalam Negeri - - 394 1,000

Non Utang 16,561 28,662 4,622 (2,388)

Catatan :APBN 2008-2010 PAN/LKPP Audited

* APBN 2011

TAHUN : 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Net Commitment

Disbursement

Undisbursed

170.7 181.7 201.1 205.5 219.4 228.2

161.4 172.1 189.6 194.7 208.0 217.3

9.3 9.7 11.6 10.8 11.4 10.9

Net Commitment Disbursement= =jumlah pinjaman yang disepakati jumlah pinjaman yang dicairkan

( Miliar USD )

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara

(Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

30 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Beb

an U

tan

g; M

emp

erke

cil ke

seja

hte

raan

Mas

yara

kat

Tabel 9. Tingkat Penyerapan Utang (2006-2011)

Tabel 8. Kecenderungan pembiayaan utang baru

Page 40: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

* Persentase atas Total Belanja Negara

2

Besarnya utang dalam

dan luar negeri dan kebijakan untuk terus menerus mengutang merupakan kebijakan

simplistis, pragmatis, menandakan minimnya kreativitas cara mengelola anggaran

Utang memperbesar potensi intervensi asing terhadap kebijakan sehingga

pembangunan makin sulit dilaksanakan secara mandiri.

3. Hal ini didasari pada

dua hal. Pertama, daya serap APBN terutama Belanja Modal yang senantiasa rendah.

Daya serap APBN pada kuartal 1–3 selalu lebih rendah dari target realisasi.

Penyerapan akan terjadi besar–besaran terutama di kuartal keempat akhir tahun. Bila

penyerapan terjadi sejak awal tahun, maka peluang untuk mengangkat pertumbuhan

ekonomi akan sangat besar. Sebagai contoh dalam APBN 2010 daya serap Belanja

Modal hanya 84,49 persen (80,29 Triliun dari alokasi 95,02 Triliun). Pada tahun 2011,

hingga 15 September 2011, Belanja Modal baru terserap sekitar 30 persen dari total

pagu anggaran senilai Rp. 136,87 Triliun (APBNP 2011). Hal ini telah mendorong

surplus APBN 2011 sampai September yang mencapai 74,3 Triliun. Kedua, tingginya

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) APBN setiap tahun. Tercatat pada tahun

2008 SILPA mencapai 51,3 Triliun (versi pemerintah dan 79,95 Triliun versi BPK),

tahun 2009 mencapai 38 Triliun, dan tahun 2010 sebesar 47 Triliun. Bila daya serap

APBN dibuat normal sesuai kompetensi tiap kementerian/ lembaga (tidak ada

penggenjotan di kuartal IV atau akhir tahun), maka kemungkinan daya serap APBN

hanya berkisar 85 persen dan lagi–lagi menyisakan SILPA yang cukup besar. Dibarengi

dengan efisiensi belanja, termasuk mengurangi belanja remunerasi, maka APBN dapat

lebih optimal tanpa memerlukan tambahan utang baru.

1.

Seperti pada Rancangan APBN 2012, total pembayaran

bunga dan cicilan pokok utang luar negeri sebesar 170 Triliun (12% dari total belanja

negara), posisinya jauh berada di atas belanja pemerintah pusat seperti pada fungsi

pertahanan (64,3 Triliun), ekonomi (97,5 Triliun), lingkungan hidup (10,6 Triliun),

perumahan dan fasilitas umum (26 Triliun), kesehatan (14,69 Triliun), pendidikan

(95,6 Triliun), perlindungan sosial (5,26 Triliun). Keadaan ini juga berpeluang

menjadi beban sehingga APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan

ekonomi, jaminan kesehatan, dan akses pendidikan yang murah dan bermutu bagi

warga.

Pemerintah sebenarnya tidak perlu menarik utang baru.

Utang menjadi beban berat fiskal dan mengurangi diskresi pembangunan dan

pelayanan untuk warga.

Dampak Pengelolaan Utang Tidak Efisien

Belanja Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012Bayar Utang LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P R-APBN

vs

Belanja Negara

Bayar Bunga Utang

Dalam Negeri

Luar Negeri

Cicilan Pokok UtangLuar Negeri

Total PembayaranBunga dan CicilanPokok Utang

667.128,7 757.649,9 985.730,7 937.382,1 1.042.117,2 1.320.751,3 1.418.497,7

79.082,6 79.806,4 88.429,8 93.782,1 88.383,2 106.583,8 123.072,0

54.908,3 54.079,4 59,887,0 63.755,9 61.480,6 76.613,7 89.357,7

24.174,3 25.727,0 28.542,8 30.026,2 26.902,7 29.970,1 33.714,3

52.681,1 57.922,5 63.435,3 68.031,1 50.632,5 47.234,7 47.260,1

(19,75%) (18,2%) (15,4%) (17,26%) (13,34%) (11,65%) (12%)

131.763,7 137.728,9 151.865,1 161.813,2 139.015,7 153.818,5 170.332,1

*

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara

(Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

31KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Beb

an U

tang; M

emp

erkecil kesejahteraan

Masyarakat

Tabel 10. Belanja Negara vs BelanjaUtang (2006-2012)

Page 41: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

negara yang lebih efektif dan efisien, yang pada akhirnya mempersempit kemampuan

untuk menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan warga secara mandiri. Utang juga

merupakan tanda malasnya pemerintah dalam mencari alternatif pembiayaan yang

mandiri.

3.

Peluang kolusi terjadi sejak dari negosiasi utang baru melalui

imbalan ( ) dari pemberi utang. Ketersediaan dana utang baru yang melebihi

kebutuhan membayar utang lama juga bermakna ketersediaan kue uang yang

berpotensi dikorupsi.

1.

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat harus

serius memikirkan cara mengatasi masalah defisit baik melalui upaya menguatkan

sumber pendanaan dalam negeri lewat pengelolaan sumber daya alam yang mandiri,

atau melakukan penghematan dan mengurangi peluang pemborosan belanja negara.

Bila optimalisasi sumber daya alam yang dipilih, maka hal ini akan memerlukan upaya

revisi kebijakan. Ada banyak perundang–undangan yang saat ini tidak

menguntungkan kepentingan nasional yang harus dirombak, seperti Undang–undang

Migas No. 22 Tahun 2001, Undang–undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan

Batubara (MINERBA) yang tidak mengatur pentingnya DMO (

) bagi kepentingan nasional, maupun Undang–undang No. 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang

hingga 95 persen.

2. Terhadap utang lama, bila mengikuti

ketentuan bunga yang berlaku, maka Indonesia akan terus mengalami penurunan

kapasitas fiskal yang disebabkan oleh beban bunga utang dan cicilan pokok utang.

Seperti sudah diuraikan sebelumnya di atas, rasanya sudah tidak masuk akal utang

baru Indonesia berada jauh di atas kewajiban membayar bunga dan cicilan utang

lama. Jadi, sekedar untuk “gali lubang tutup lubang” saja. Indonesia sudah tidak

mungkin mampu melunasi semua utang. Dalam posisi demikian, rasanya nyaris tidak

mungkin bagi Indonesia untuk melunasi utang kecuali Pemerintah berupaya

melakukan terobosan radikal, yang bukan sekedar penjadwalan ulang. Penghapusan

utang ( ) patut dipertimbangkan sebagai jalan keluar terutama

terhadap beban utang luar negeri. Dan bila bukan upaya tersebut yang dipilih,

setidaknya harus ada upaya yang lebih serius untuk mengurangi pokok utang melalui

berbagai bentuk rekayasa keuangan seperti restrukturisasi utang melalui upaya

merubah utang menjadi penyertaan modal ( ) atau pengurangan

jumlah utang ( ) melalui jalan arbitrase internasional.

3.

Bila mengacu kepada standar IMF, maka

Indonesia masuk dalam kategori aman dalam pengelolaan utang, karena rasio utang

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen. Akan

tetapi, jumlah utang yang belum dilunasi ( ) tidak hanya dilihat dengan

Utang memperbesar peluang terjadinya kolusi karena kelebihan kue

pembiayaan APBN.

STOP Utang Baru, optimalkan pendapatan, dan efisiensi pengeluaran untuk

membiayai pembangunan.

Rekayasa keuangan terhadap utang lama.

Pemerintah juga harus mengembangkan indikator tambahan sebagai

pertimbangan pengelolaan utang.

fee

Domestic Market

Obligation

debt cancellation

debt to equity swap

debt stock

outstanding

Rekomendasi Pengelolaan Utang

32 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Beb

an U

tan

g; M

emp

erke

cil ke

seja

hte

raan

Mas

yara

kat

Page 42: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

rasio terhadap PDB, karena rasio utang ( ) mengabaikan fakta bahwa

pembayaran utang membawa konsekuensi terhadap penurunan pelayanan negara

terhadap warga. Setiap rupiah yang dibayarkan ke utang, sesungguhnya dapat

didistribusikan bagi pencapaian kesehatan dan akses pendidikan warga yang

bermutu. Selain itu, tingkat keamanan utang juga harus mempertimbangkan dari

rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang ( ) terhadap

penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini yang kerap disebut sebagai

(DSRFR). Jika rasio ini diperbandingkan, maka data di atas

sebelumnya menunjukkan bahwa Indonesia tidak pantas lagi untuk menarik utang

baru. Alih–alih, Indonesia sangat membutuhkan ( ) terobosan kebijakan

untuk mendapatkan alternatif pembiayaan selain utang. Karenanya, kebijakan

anggaran hendaknya disusun berdasarkan kemampuan pendapatan yang sudah

dioptimalkan dan mempertimbangkan masak–masak asas efektivitas dan efisiensi

program. Bila Pemerintah hanya mampu membayar bunga utang dan sekedar

mengalihkan utang luar negeri ke dalam utang dalam negeri, sebaiknya Pemerintah

perlu berpikir keras bagaimana berhenti mengutang sembari terus melakukan

pembangunan.

debt ratio

debt services

debt service

ratio to fiscal revenues

badly need

33KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Beb

an U

tang; M

emp

erkecil kesejahteraan

Masyarakat

Page 43: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

34 RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

Beb

an U

tan

g; M

emp

erke

cil ke

seja

hte

raan

Mas

yara

kat

Page 44: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

TENTANG PARA PENULIS DAN EDITOR

Abdul Waidl

Endah Sricahyani Sucipto

Yustinus Prastowo,

Mickael B. Hoelman

Sugeng Bahagijo

, berpengalaman dalam kajian analisis dan advokasi anggaran di tingkat daerah

dan nasional. Beberapa publikasinya antara lain; “Konflik dan Kerjasama Antar Daerah”

(Jakarta: LIPI, 2004); “Korupsi di Negeri Kaum Beragama” (Jakarta: P3M–Partnership, 2006);

“Modul Advokasi Anggaran Berbasis Ormas Islam” (Jakarta: Seknas Fitra–The Asia

Foundation, 2007); “Mendahulukan Si Miskin Buku Sumber Bagi Anggaran Pro Rakyat”

(Jogjakarta: LKiS dan Prakarsa, 2008); dan “Anggaran Pro Kaum Miskin Sebuah Upaya

Menyejahterakan Masyarakat” (Jakarta: LP3ES, 2010). Pernah berkiprah di P3M

(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dan Perkumpulan Prakarsa. Sempat dipercaya

menjadi Badan Pelaksana Bidang Pengembangan Metodelogi Partisipatif di FPPM (Forum Pengembangan

Partisipasi Masyarakat) dan menjadi Direktur Eksekutif PP LAKPESDAM NU sebelum terpilih sebagai

Sekretaris Jenderal Komisi Anggaran Independen (KAI). Menamatkan sarjana dari Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta pada tahun 1999 dan saat ini sedang menempuh studi lanjutan di

The Islamic College, Jakarta.

, saat ini aktif di Sekretariat Nasional FITRA (Forum Indonesia

untuk Transparansi Anggaran) sebagai Direktur . Yenny –begitu ia akrab

disapa, sering terlibat dalam kajian dan penelitian analisis anggaran. Sebelum bergabung

dengan FITRA, ia aktif berkarya di Koalisi Anti Utang sebagai staff riset dan kajian. Lulusan

Universitas Brawijaya Malang ini belakangan lumayan sering keluar masuk daerah menjadi

pelatih, fasilitator, konsultan maupun peneliti. Beberapa publikasinya antara lain; “Inovasi

Partisipasi Pembelajaran di 5 Daerah” (Bandung: co–author, FPPM–TIFA, 2009); “Mendorong

Akuntabilitas Pembiayaan Pemilu dan Transparansi Anggaran KPU/ KPUD” (Jakarta: co–author,

FITRA–DRSP, 2009); dan “Studi Dampak Advokasi Gender Budget di Polewali Mandar dan Kota Palu”

(Jakarta: FITRA–CIDA–TAF, 2008).

pendiri Enforce Advisory Indonesia ini cukup berpengalaman di bidang

perpajakan. Selain aktif sebagai Peneliti Senior di Center for Finance and Taxation Studies,

Jakarta ia juga rajin menjadi instruktur dan pembicara di lokakarya maupun

seminar–seminar tentang Perpajakan. Beberapa karya publikasinya antara lain; “Manfaat

dan Risiko Memiliki NPWP” (Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2009); “Panduan Lengkap

Pajak” (Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2009); dan “Buku Pintar Menghitung Pajak”

(Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2011). Jebolan STAN dan pemegang Magister Filsafat

dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini berpengalaman menjadi Pemeriksa Pajak pada Direktorat

Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI (1997–2002), Kuasa Pemerintah pada Sengketa Utang Negara/

Pejabat Sita Pajak Negara di Departemen Keuangan RI (2002–2007) dan terakhir ia menjabat sebagai Tenaga

Fungsional pada Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI (2007–2011).

, pernah berkiprah di masa awal berdirinya ICW (Indonesia Corruption

Watch). Berpengalaman bekerja pada Department for International Development (seperti

Bappenas pemerintah Inggris Raya), menjadi penasihat advokasi dan tata pemerintahan

kantor Oxfam Inggris Raya untuk perwakilan Indonesia dan saat ini dipercaya mengelola

Program Demokrasi dan Tata Pemerintahan di Yayasan Tifa. Menamatkan sarjana di bidang

ekonomi dan studi lanjutan pada disiplin ilmu politik.

, berpengalaman dalam kajian–kajian analisis kebijakan sosial. Beberapa

publikasinya antara lain; “Mimpi Negara Kesejahteraan: Telaah Dinamika Peran Negara dalam

Produksi dan Alokasi Kesejahteraan” (Jakarta: co–author, LP3ES, 2006) dan “Globalisasi

Menghempas Indonesia” (Jakarta: editor, LP3ES, 2006). Mantan Deputy Director INFID

(International NGO Forum on Indonesian Development) pada kurun waktu 2002–2004 dan

Asociate Director Perkumpulan Prakarsa (2005–2009). Ia juga pernah menjadi penasihat

teknis untuk Deputy Menteri Bappenas Urusan Otonomi dan Kerjasama Daerah (2004–2005)

serta penasihat kebijakan Menkokesra (2006–2007). Selain aktif menulis, saat ini ia dipercaya menjadi

Direktur Eksekutif KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi).

Resource Center

35

Page 45: Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

YAYASAN TIFAJl. Jaya Mandala II No. 14E, Menteng Dalam

Jakarta Pusat 12870 - INDONESIA

Ph. +62 (21) 829-2776 | Fax. +62 (21) 837-836-48

e-mail to : [email protected]

www.tifafoundation.org

ISBN 978-979-16226-8-4